bab 2 tinjauan pustaka 2.1 streptococcus pyogeneseprints.umm.ac.id/54401/3/bab ii.pdf · 7 (donald,...

27
6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Streptococcus pyogenes 2.1.1 Klasifikasi Bakteri Kingdom : Eubacteria Phylum : Firmicutes Class : Bacilli Order : Lactobacilles Family : Streptococcaceae Genus : Streptococcus Species : Streptococcus pyogenes (Stephens, 2006) 2.1.2 Morfologi Streptococcus pyogenes adalah bakteri Gram-positif, bersifat anaerob- fakultatif, katalase-negatif, tidak motile, dan tidak memiliki spora. Streptococcus pyogenes berbentuk kokus, berdiameter 0.6-1.0 μm, dan tersusun berpasangan atau berderet seperti rantai dengan panjang yang bervariasi (Patterson, 2018). Metabolisme dari Streptococcus pyogenes bersifat fermentatif dan membutuhkan media yang mengandung banyak darah untuk pertumbuhannya. Streptococcus pyogenes tumbuh baik pada pH 7.4-7.6 dan suhu optimum 37 0 C (Mudatsir, 2010). Bakteri ini memiliki kapsul yang mengandung asam hialuronat dan tergolong β-haemolytic karena dapat melisiskan eritrosit secara sempurna (Todar, 2012).

Upload: others

Post on 27-Jan-2020

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Streptococcus pyogenes

2.1.1 Klasifikasi Bakteri

Kingdom : Eubacteria

Phylum : Firmicutes

Class : Bacilli

Order : Lactobacilles

Family : Streptococcaceae

Genus : Streptococcus

Species : Streptococcus pyogenes (Stephens, 2006)

2.1.2 Morfologi

Streptococcus pyogenes adalah bakteri Gram-positif, bersifat anaerob-

fakultatif, katalase-negatif, tidak motile, dan tidak memiliki spora. Streptococcus

pyogenes berbentuk kokus, berdiameter 0.6-1.0 µm, dan tersusun berpasangan atau

berderet seperti rantai dengan panjang yang bervariasi (Patterson, 2018).

Metabolisme dari Streptococcus pyogenes bersifat fermentatif dan

membutuhkan media yang mengandung banyak darah untuk pertumbuhannya.

Streptococcus pyogenes tumbuh baik pada pH 7.4-7.6 dan suhu optimum 37 0C

(Mudatsir, 2010). Bakteri ini memiliki kapsul yang mengandung asam hialuronat

dan tergolong β-haemolytic karena dapat melisiskan eritrosit secara sempurna

(Todar, 2012).

7

(Donald, 2018)

Gambar 2.1

Bakteri Streptococcus pyogenes

2.1.3 Klasifikasi

Berdasarkan reaksi hemolisis pada agar darah, Streptococcus dibagi

menjadi 3 kelompok, yaitu β-haemolytic (mampu melisiskan eritrosit dengan

sempurna sehingga berwarna merah dan terang), α hemolytic (hanya mampu

melisiskan eritrosit secara parsial sehingga berwarna hijau), dan γ hemolytic (tidak

terjadi proses hemolisis) (Patterson, 2018). Streptococcus pyogenes menghasilkan

hemolisin, suatu produk ekstraseluler yang mampu melisiskan eritrosit secara

sempurna. Oleh karena itu, Streptococcus pyogenes masuk dalam kelompok β-

haemolytic (Mudatsir, 2010).

Streptococcus β haemolyticus dapat dibagi menjadi 20 grup serologis yaitu

grup A-T. Grup A, B, C, D, dan G merupakan grup yang paling sering ditemukan

pada manusia dan grup A mempunyai sifat yang sangat virulen jika dibandingkan

dengan grup Streptococcus β haemolyticus lainnya. Sistem penentuan serotipe

Streptococcus β haemolyticus grup A dibuat menurut abjad berdasarkan jenis

polisakarida dinding sel (Lancefield group). Jenis polisakarida ini ditentukan

Streptococcus pyogenes

8

berdasarkan reaksi presipitin protein M atau dengan reaksi aglutinin protein T

dinding sel. Streptococcus pyogenes disebut sebagai Streptococcus β haemolyticus

grup A karena dinding sel terdiri dari polisakarida polimer l-ramnose dan N-asetil-

D-glukosamin. Polisakarida akan mengadakan ikatan ke peptidoglikan yang

disusun dari N-asetil-D-glukosamin, N-asetil-D-muraminic acid, dan tetrapeptida

asam d-glutamat, serta d-lisin dan l-lisin pada dinding sel (Pardede, 2009).

(Spellerberg & Brandt, 2016)

Gambar 2.2

Hemolisis Streptococcus pyogenes

2.1.4 Struktur Bakteri

Bakteri Streptococcus pyogenes merupakan sel prokariotik dengan genom

berbentuk sirkuler dan mempunyai plasmid (Yasir, 2015). Berikut adalah struktur

sel dari bakteri Streptococcus pyogenes:

1. Kapsul

Bakteri Streptococcus pyogenes mempunyai kapsul yang mengandung asam

hialuronat. Kapsul asam hialuronat ini dibutuhkan bakteri untuk resistensi

Media BAP Streptococcus pyogenes

Pelisisan eritrosit

9

terhadap fagositosis dan membantu melekatkan diri pada sel epitel penjamu

(Pardede, 2009).

2. Dinding Sel

Dinding sel Streptococcus pyogenes tersusun atas unit berulang N-

asetilglukosamin, N-asetilmuramat, dan peptidoglikan standar yang saling

dihubungkan oleh asam amino (Todar, 2012). Lapisan peptidoglikan berperan

dalam mempertahankan rigiditas dari dinding sel. Selain itu, dinding sel

Streptococcus pyogenes juga mengandung protein spesifik yang terdiri dari

kelas mayor, yaitu protein M yang bersifat virulensi dan protein T serta kelas

minor, yaitu protein F, protein R, dan protein lain yang menyerupai protein M

(Pardede, 2009).

3. Membran plasma

Streptococcus pyogenes mempunyai membran plasma yang terbentuk dari

lipoprotein dan protein. Membran plasma ini berfungsi untuk melindungi sel

dari lingkungan ekstraseluler dan mengatur zat-zat yang masuk dan keluar sel

(Pardede, 2009).

4. Sitoplasma

Sitoplasma terletak dalam membran plasma dan berfungsi sebagai tempat

berlangsungnya reaksi metabolisme (Bahiyah, 2014).

5. Ribosom

Ribosom terdiri dari asam ribonukleat (RNA) dan protein. Fungsi utama dari

ribosom adalah sintesis protein. Ribosom berperan dalam translasi dari

messenger RNA (mRNA) menjadi protein (Alim, 2013).

10

6. Plasmid

Plasmid merupakan DNA ekstrakromosomal yang berbentuk sirkuler.

Plasmid tidak berperan langsung dalam metabolisme (pembawa sifat non-

esensial bagi pertumbuhan bakteri) (Bahiyah, 2014).

7. Fimbriae

Fimbriae yang ada pada permukaan dinding sel tersusun dari protein M yang

spesifik dan asam lipoteikoat berupa polifosfogliserol dan asam lemak. Asam

lipoteikoat ini membantu proses adhesi Streptococcus pyogenes menuju

fibronektin pada sel epitel penjamu (Pardede, 2009).

2.1.5 Struktur Antigen

Dinding sel Streptococcus pyogenes mengandung antigen polisakarida yang

digunakan sebagai reaktivitas serologis untuk mengidentifikasi secara pasti bakteri

Streptococcus pyogenes. Antigen polisakarida merupakan bentuk polimer dari N-

asetilglukosamin dan ramnose. Antigen ini disebut juga dengan senyawa C atau

antigen karbohidrat (Todar, 2012). Antigen polisakarida akan mengadakan ikatan

ke peptidoglikan pada dinding sel. Selain itu, kapsul asam hialuronat dari

Streptococcus pyogenes juga dapat bersifat sebagai antigen karena berperan dalam

proses infeksi dan resistensi terhadap fagositosis dari antibodi penjamu. Fimbrae

dari Streptococcus pyogenes mengandung protein M yang mana merupakan faktor

virulensi utama dari bakteri Streptococcus pyogenes (Pardede, 2009).

11

2.1.6 Toxin dan Enzim

Sebagian besar Streptococcus pyogenes menghasilkan satu atau lebih toxin

yang dikenal dengan nama exotoxines pyrogenic streptococcus (EPS) atau biasa

disebut erythrogenis toxin. Erythrogenis toxin mempunyai tiga tipe, yaitu EPS A,

EPS B, dan EPS C yang bertindak sebagai superantigen. EPS A merupakan toxin

yang paling toksik diantara tipe EPS yang lain karena dapat menyebabkan kematian

(Todar, 2012). Erythrogenis toxin bekerja dengan cara menstimulasi atau

mengaktivasi sel T dengan mengikat molekul MHC kelas II secara langsung dan

tidak spesifik. Dengan superantigen sekitar 20%, sel T dapat dirangsang dan

menghasilkan pelepasan sitokin ( interleukin IL-1 dan IL-2, tumour necrosis factor-

α (TNF-α), dan interferon-γ ) yang sangat merugikan karena dapat menyebabkan

inflamasi, syok, dan gagal organ (Pardede, 2009).

(Donald, 2018)

Gambar 2.3

Superantigen Streptococcus pyogenes

12

Menurut (Pardede, 2009), Streptococcus pyogenes memiliki sejumlah

protein dan produk ekstraseluler sebagai berikut:

a. Protein M

Protein M merupakan faktor virulensi utama dari Streptococcus pyogenes.

Protein ini bersifat tahan panas, resistensi terhadap fagositosis, dan sensitif

terhadap tripsin.

b. Protein F

Protein F berperan dalam mengenali fibronektin pada sel epitel penjamu

sehingga membantu proses adhesi dan kolonisasi.

c. Protein R dan Protein T

Bukan merupakan penentu utama terjadinya virulensi. Protein ini resisten

terhadap tripsin.

d. Streptolisin O

Streptolisin O bersifat imunogenik dan labil terhadap oksigen. Streptolisin ini

dapat menghancurkan eritrosit, leukosit polimorfonuklear (PMN), trombosit,

dan organela dengan cara membuat lubang pada membran sel. Antistreptolisin

O (ASO) dapat digunakan secara klinis untuk mengkonfirmasi infeksi baru

oleh Streptococcus pyogenes.

e. Streptolisin S

Streptolisin S bersifat tidak imunogenik, stabil terhadap oksigen, tetapi

bersifat kardiotoksik. Streptolisin ini berpotensi dapat merusak banyak jenis

sel termasuk neutrofil, trombosit, dan organel subseluler. Streptolisin S juga

berperan dalam pelisisan eritrosit pada media agar darah.

13

f. Streptokinase

Streptokinase dikenal juga dengan fibrinolisin yang berperan dalam

melisiskan fibrin dengan membantu proses pengaktifan plasminogen menjadi

plasmin. Plasmin yang aktif akan mengaktivasi kaskade komplemen yang

menyebabkan protein matriks ekstraselular pecah dan menstimulasi pelepasan

vasoaktif bradikinin . Hal ini menyebabkan infeksi jaringan lunak oleh

Streptococcus pyogenes cepat menyebar dan meluas.

g. Streptodornase

Streptodornase berperan dalam aktivitas deoksiribonuklease dan ribonuklease.

h. Hyaluronidase

Hyaluronidase berperan dalam spreading faktor, protein yang membantu

penyebaran bakteri dalam jaringan dengan memecah asam hialuronat.

(Todar, 2012)

Gambar 2.4

Toxin dan Enzim Streptococcus pyogenes

14

2.1.7 Patogenesis

Virulensi Streptococcus pyogenes ditentukan dari kemampuan bakteri

untuk melekat pada permukaan sel, invasi ke dalam sel epitel, bertahan dari

fagositosis, serta memiliki berbagai macam toxin dan enzim. Awalnya,

Streptococcus pyogenes melekat pada membran mukosa sel epitel penjamu dengan

diperantai oleh asam lipoteikoat berupa polifosfogliserol dan asam lemak (Pardede,

2009). Setelah melekat, protein M yang ada pada Streptococcus pyogenes juga akan

mengikat fibrinogen dari serum dan memblokir ikatan antara komplemen dan

peptidoglikan sehingga proses fagositosis terhambat. Hal ini mengakibatkan

Streptococcus pyogenes mudah membentuk koloni dan berkembang sangat cepat

dalam tubuh manusia (Todar, 2012).

Protein M bersifat virulen karena mirip dengan otot jantung, otot skeletal,

otot polos, fibroblas katup jantung, dan jaringan saraf pada manusia. Berbeda

dengan protein R, T, dan antigen karbohidrat, mereka tidak digunakan sebagai

penentu utama terjadinya virulensi (Todar, 2012).

(Spellerberg & Brandt, 2016)

Gambar 2.5

Patogenesis Streptococcus pyogenes

15

2.1.8 Tes Diagnostik dan Laboratorium

Langkah awal sebelum melakukan tes diagnostik dan laboratorium adalah

mengambil spesimen, yaitu bahan yang akan diperiksa dan diambil sesuai dengan

gejala klinis pasien. Spesimen dikatakan baik jika dapat mewakili kuman penyebab

penyakit infeksi. Spesimen yang diambil dapat berupa swab tenggorok, nanah,

cairan serebrospinal, darah, dan lainnya tergantung gejala klinis (Triyana, 2018).

Setelah dilakukan pengambilan spesimen, dilakukan beberapa tes pemeriksaan

yang dapat membantu menegakkan diagnosis akibat infeksi Streptococcus

pyogenes.

Berikut pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis akibat

infeksi Streptococcus pyogenes:

a. Smear

Tes ini dilakukan dengan cara membuat sediaan atau preparat bakteri

kemudian dilakukan pewarnaan Gram. Tujuan dari pewarnaan Gram adalah

untuk melihat morfologi dan sifat pewarnaan bakteri. Bakteri dikatakan Gram-

positif jika hasil akhir berwarna ungu. Hal ini disebabkan karena dinding sel

bakteri Gram-positif tersusun atas peptidoglikan yang tebal dan tahan

terhadap alkohol. Sedangkan bakteri dikatakan Gram-negatif jika hasil akhir

berwarna merah. Hal ini disebabkan karena dinding sel bakteri Gram-negatif

tersusun dari lipid yang tebal, bersifat mudah larut, dan terbilas oleh alkohol.

Smear dari bakteri Streptococcus pyogenes menghasilkan morfologi berupa

bentuk kokus dan sifat pewarnaan menunjukkan Gram-positif karena

berwarna ungu (Triyana, 2018).

16

b. Uji Katalase

Untuk membedakan kelompok Staphylococcus dan Streptococcus, uji katalase

penting untuk dilakukan. Uji katalase dilakukan dengan menambahkan H2O2

3% ke isolat bakteri dan dikatakan katalase positif jika terdapat gelembung

udara. Bakteri yang memproduksi enzim katalase mampu memecah H2O2

menjadi H2O dan O2. Streptococcus pyogenes tidak memproduksi enzim

katalase sehingga uji katalase bernilai negatif. Selain golongan Streptococcus,

bakteri lain yang juga masuk dalam katalase negatif adalah golongan

Lactobacillus, dan Clostridium (Novianti, 2019).

c. Kultur

Streptococcus pyogenes umumnya tumbuh pada media agar yang

mengandung banyak darah. Teknik kultur dapat mendeteksi adanya proses

hemolisis yang penting sebagai langkah untuk mengidentifikasi Streptococcus

pyogenes. Media selektif yang digunakan untuk mengkultur bakteri Gram-

positif adalah media agar sederhana berupa darah domba karena mempunyai

komposisi yang hampir sama dengan darah manusia (Mudatsir, 2010).

Kondisi inkubasi optimal untuk sebagian besar strain Streptococcus mulai dari

rentang suhu 35-37 0C dengan adanya 5% CO2 atau dalam kondisi anaerobik.

Gambaran khas koloni dari Streptococcus pyogenes setelah 24 jam di inkubasi

pada suhu 35-37 0C adalah terdapat bentukan seperti kubah dengan permukaan

halus dan margin yang jelas. Bakteri ini berwarna putih keabu-abuan dan

memiliki diameter > 0,5 mm. Disekelilingnya terdapat warna merah yang

terang karena adanya proses hemolisis (pelisisan eritrosit) yang sempurna

(Spellerberg & Brandt, 2016).

17

d. Uji Basitrasin

Setelah dilakukan smear, uji katalase, dan kultur, selanjutnya dilakukan uji

basitrasin. Uji ini dilakukan dengan cara membuat suspensi dengan kekeruhan

McFarland 0,5%. Selanjutnya, goreskan (streaking) pada permukaan medium

agar darah secara merata dengan menggunakan kapas lidi steril. Setelah itu,

letakkan kertas cakram yang mengandung basitrasin 0,05 unit pada

permukaan medium perbenihan dengan menggunakan pinset steril. Lakukan

inkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam, lalu amati daerah zona hambat

basistrasin terhadap pertumbuhan bakteri. Hasil uji basitrasin adalah

Streptococcus pyogenes sensitive terhadap basitrasin (Mudatsir, 2010).

e. Tes Serologi

Tes ini digunakan untuk memperkirakan berapa kenaikan titer dari antibodi.

Biasanya digunakan pada infeksi kronis Streptococcus pyogenes seperti

demam rematik atau glomerulonefritis. Jarang digunakan pada infeksi akut

karena antibodi membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua minggu setelah

onset infeksi akut terdeteksi dalam sampel serum. Beberapa antibodi yang

banyak digunakan adalah anti-streptolisin O (ASO) dan anti-DNase B.

Tingkat antibodi terhadap streptolisin O mulai meningkat setelah satu minggu

infeksi dan mencapai tingkat maksimum sekitar tiga sampai enam minggu

infeksi. Sedangkan Titer DNase B mulai muncul pada dua minggu setelah

onset infeksi dan mungkin tidak mencapai titer maksimum selama enam

sampai delapan minggu (Spellerberg & Brandt, 2016).

18

2.1.9 Manifestasi Klinis

Menurut (Stevens, 2016), berikut ini adalah beberapa penyakit yang

disebabkan karena infeksi oleh Streptococcus pyogenes:

a. Pharyngitis

Infeksi aktif oleh Streptococcus pyogenes sering menjadi penyebab timbulnya

Pharyngitis. Dapat menyerang semua usia, terutama pada usia 5-15 tahun.

Infeksi ini bersifat musiman (sering terjadi saat musim dingin dan musim

gugur). Faringitis disebabkan oleh Streptococcus pyogenes dengan serotipe M

1, 3, 5, 6, 14, 18, 19, dan 24.

b. Tonsillitis

Merupakan radang yang terjadi pada tonsil palatina. Tonsillitis dapat

menyerang semua usia, terutama anak-anak.

c. Cellulitis

Infeksi lokal oleh Streptococcus pyogenes serotipe M 50, 61, 506, dan 507

yang menyebar sampai di jaringan subkutan.

d. Erysipelas

Infeksi lokal oleh Streptococcus pyogenes serotipe M 50, 61, 506, dan 507

yang menyebar sampai di dermis.

e. Scarlet Fever

Saat ini, pyrogenic exotoxines dikenal sebagai superantigen dari Streptococcus

pyogenes yang menyebabkan ruam, lidah stroberi, dan deskuamasi kulit pada

Scarlet Fever.

19

f. Necrotizing fascilitis

Infeksi lokal oleh Streptococcus pyogenes serotipe M 50, 61, 506, dan 507

yang mengenai pada fasia dan dengan cepat berlanjut ke otot yang

mendasarinya.

g. Demam Rematik

Beberapa antibodi yang dihasilkan selama infeksi Streptococcus pyogenes

bereaksi silang dengan jaringan tertentu pada tubuh manusia. Hal ini secara

tidak langsung membuat jaringan-jaringan tersebut rusak. Demam rematik

terjadi saat protein M bereaksi silang dengan sarkolema (otot pada jantung).

h. Streptococcus toxic shock syndrome

Merupakan kondisi parah dari infeksi invasif Streptococcus pyogenes.

Streptococcus toxic shock syndrome ditandai dengan rusaknya banyak organ

yang dapat mengancam jiwa.

i. Lymphangitis

Infeksi oleh Streptococcus pyogenes yang mengakibatkan peradangan pada

saluran limfatik

j. Glomerulonephritis

Terjadi saat reaksi antigen antibodi terjadi di glomerulus. Hal ini dapat

menyebabkan reaksi inflamasi yang dapat menimbulkan kerusakan pada

ginjal. Reaksi ini dipicu oleh aktivasi plasminogen menjadi plasmin dengan

bantuan streptokinase dan diikuti oleh aktivasi komplemen yang

mengakibatkan pengendapan kompleks antigen antibodi didalam glomerulus.

20

2.1.10 Pengobatan

Pengobatan yang masih sering digunakan dan menjadi pilihan awal untuk

infeksi yang ditimbulkan oleh Streptococcus pyogenes adalah Penicillin. Untuk

infeksi ringan seperti faringitis sampai dengan sedang seperti infeksi kulit dan

jaringan lunak, penisilin V oral dengan dosis 500 mg dua sampai tiga kali sehari

selama 10 hari dianjurkan. Cephalosporin generasi pertama merupakan alternatif

yang dapat diberikan kecuali jika penderita mempunyai riwayat hipersensitivitas

langsung terhadap antibiotik β-laktam (Pardede, 2009). Sampai saat ini, masih

belum ada vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi Streptococcus pyogenes

(Todar, 2012).

2.2 Kelopak Bunga Rosella

2.2.1 Taksonomi

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Subkelas : Dilleniidae

Ordo : Malvaceales

Famili : Malvaceae

Genus : Hibiscus

Spesies : Hibiscus sabdariffa Linn.

(Haidar, 2016)

21

2.2.2 Nama Lokal Kelopak Bunga Rosella

Bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) dikenal dengan nama yang

berbeda-beda di seluruh dunia, diantaranya adalah Jamaican Sorell (India Barat),

Oseille Rouge (Prancis), Quimbombo Chino (Spanyol), Karkade (Afrika Utara),

dan Bisap (Sinegal). Sedangkan, di Indonesia, bunga rosella (Hibiscus sabdariffa

Linn.) mempunyai nama yang berbeda-beda disetiap daerahnya, yaitu Merambos

Ijo (Jawa Tengah), Kesew Jawe (Sumatera Selatan), Asam Rejang (Muara Enim),

dan Asam Jarot (Padang) (Maryani & Kristiana, 2005).

2.2.3 Morfologi Kelopak Bunga Rosella

Bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) mempunyai batang yang bulat,

tegak, berkayu, dan berwarna merah. Tanaman ini berkembang biak secara genetif

(dengan biji) dan dapat tumbuh pada ketinggian 3-5 meter.

Menurut (Pangaribuan, 2016), bagian-bagian yang ada pada tanaman rosella

(Hibiscus sabdariffa Linn.) meliputi akar, daun, bunga, dan biji.

a. Akar

Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) mempunyai akar tunggal.

b. Daun

Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) mempunyai daun tunggal yang

berbentuk bulat telur, bertulang menjari, ujung tumpul dengan tepi yang

bergerigi, dan bagian pangkal berlekuk. Daun rosella (Hibiscus sabdariffa

Linn.) mempunyai panjang sekitar 6-15 cm dan lebar 5-8 cm. Sedangkan

tangkai daunnya berbentuk bulat dan berwarna hijau dengan panjang 4-7 cm.

22

c. Bunga

Kalik atau kelopak bunga dari rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) berwarna

merah gelap dan lebih tebal jika dibandingkan dengan bunga raya (bunga

sepatu). Bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) merupakan bunga tunggal,

pada setiap tangkai hanya terdapat satu bunga. Kelopak bunga rosella

(Hibiscus sabdariffa Linn.) berjumlah 8-11 helai.

d. Biji

Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) memiliki biji yang berbentuk

seperti ginjal. Terkadang lebih triangular dengan sudut yang runcing, berbulu,

dengan panjang 5 mm dan lebar 4 mm.

(Haidar, 2016)

Gambar 2.6

Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.)

2.2.4 Habitat dan Distribusi Kelopak Bunga Rosella

Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) merupakan tanaman perdu

yang berasal dari India Timur dan kemudian menyebar ke wilayah beriklim tropis

dan subtropis, termasuk Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di

ketinggian 0-900 m dari atas permukaan laut, pada iklim yang basah, cukup

23

pengairan, dan sinar matahari. Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) tumbuh

optimal pada suhu 20-34 0C di tanah yang subur, tidak berlempung, gembur, dan

juga mempunyai struktur yang baik. Waktu yang baik untuk menanam rosella

(Hibiscus sabdariffa Linn.) ialah pada awal musim hujan (Eka, 2018).

2.2.5 Kandungan Kelopak Bunga Rosella

Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) merupakan fitofarmaka yang

mempunyai berbagai macam manfaat karena memiliki potensi sebagai sumber

bahan pangan fungsional, antibakteri, antioksidan, zat pewarna alami, serta

pemanfaatan dalam bidang kesehatan (Nurnasari & Khuluq, 2017). Rosella

(Hibiscus sabdariffa Linn.) mengandung zat-zat, antara lain vitamin D yang

bermanfaat untuk pertumbuhan tulang, vitamin C sebagai antioksidan, vitamin A

baik untuk kesehatan mata, omega 3 untuk pertumbuhan dan kecerdasan otak anak,

kalsium untuk pertumbuhan, dan kalori yang berguna untuk memulihkan stamina.

Selain itu, rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) juga mengandung protein,

karbohidrat, serat, dan mineral (Haidar, 2016).

Bagian utama dari rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) yang banyak

dimanfaatkan oleh masyarakat adalah kelopak bunganya. Kelopak bunga rosella

(Hibiscus sabdariffa Linn.) berwarna merah, terlihat cukup menarik, dan

mengandung senyawa yang berpotensi sebagai antibakteri. Senyawa tersebut antara

lain alkaloid, flavonoid, phenol, tanin, dan saponin. Senyawa phenol merupakan

senyawa utama yang paling berperan sebagai bakterisidal. Selain itu, senyawa ini

juga bersifat antiseptik dan antihelmentik (Sam, et al., 2018). Menurut (Alfian &

Susanti, 2012), Senyawa phenol yang ada pada kelopak bunga rosella (Hibiscus

24

sabdariffa Linn.) terdiri dari anthocyanins seperti cyanidin-3-sambubioside,

delphinidin-3-sambubioside, dan delphinidin-3-glucoside, serta flavonoid seperti

gossypetin, hibiscetin, dan glukosida lainnya. Kelopak bunga rosella (Hibiscus

sabdariffa Linn.) sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sediaan teh.

Tabel 2.1 Kandungan 100 Gram Kelopak Rosella Segar

Kandungan Gizi Jumlah

Air 9.2 g

Protein 1.145 g

Lemak 2.61 g

Serat 12.0 g

Abu 6.90 g

Kalsium 1.263 mg

Fosforus 273.2 mg

Zat Besi 8.98 mg

Karotena 0.029 mg

Thiamine 0.117 mg

Riboflavin 0.277 mg

Niacin 3.765 mg

Asid Askorbik 6.7 mg (Haidar, 2016)

Berdasarkan Tabel 2.1, diketahui bahwa dalam 100 gram rosella (Hibiscus

sabdariffa Linn.) segar mengandung air, protein, lemak, serat, abu, kalsium,

fosforus, zat besi, karotena, thiamine, riboflavin, niacin, dan asid askorbik yang

bermanfaat.

Tabel 2.2 Kandungan Senyawa Phenol dalam Kelopak Rosella Kering

Metode Pengeringan Total Phenol

(%)

Suhu 30 0C dalam 30 jam 22 %

Suhu 60 0C dalam 25 jam 18 %

Suhu 30 0C dalam 70 jam 16 %

Sinar matahari dalam 1 hari 20 %

Sinar matahari dalam 2 hari 17 %

Rosella kering dari pasaran 12 %

(Winarti, et al., 2015)

25

Berdasarkan Tabel 2.2, diketahui bahwa metode pengeringan

mempengaruhi kandungan senyawa phenol yang ada di dalam kelopak bunga

rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.). Semakin kecil suhu pengeringan dan semakin

pendek waktu yang diperlukan untuk pengeringan, maka kandungan senyawa

phenol yang ada dalam kelopak bunga rosella semakin besar karena yang menguap

sedikit.

Tabel 2.3 Kandungan Aktif Kelopak Bunga Rosella dalam Berbagai Ekstrak

Senyawa Metanol Etanol Etil Asetat Heksan

Phenol + + + +

Tannin - + - -

Flavonoid + + + -

Saponin + + - +

Alkaloid + + + - Ket: Ada (+); Tidak ada (-)

(Olaleye & Tolulope, 2007), (Purbowati, et al., 2015), dan (Miranti, et al., 2013)

Berdasarkan Tabel 2.3, diketahui bahwa ekstrak dengan pelarut etanol

mengandung senyawa aktif berupa phenol, tannin, flavonoid, saponin, dan alkaloid.

Ekstrak dengan pelarut metanol dan etil asetat tidak mengandung senyawa tannin,

sedangkan ekstrak dengan pelarut heksan tidak mengandung senyawa tannin dan

alkaloid. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus

sabdariffa Linn.) dengan pelarut etanol mengandung senyawa aktif antimikroba

lebih banyak dibandingkan dengan pelarut lain (metanol, etil asetat, dan heksan).

Etanol banyak disarankan sebagai pelarut pada ekstraksi polyphenol yang aman

bagi manusia (Purbowati, et al., 2015).

26

Tabel 2.4 Perbandingan Ekstrak Etanol Kelopak Bunga Rosella 30% dan 96%

Pemeriksaan Ekstrak Etanol

30%

Ekstrak Etanol

96%

Kadar air 24.4% 14.4%

Kadar abu 8.8% 2.5%

Kadar abu tidak larut asam 12.5% 5.4%

Kadar senyawa larut air 75.4% 80.2%

Kadar senyawa larut etanol 62.9% 81.6% (Miranti, et al., 2013)

Berdasarkan Tabel 2.4, diketahui bahwa kadar senyawa bioaktif yang

terlarut dalam ekstrak etanol 96% lebih besar dibandingkan dengan ekstrak etanol

30% (Miranti, et al., 2013). Kadar senyawa yang larut dalam etanol 96% sebesar

81.6%. Sedangkan kadar senyawa yang larut dalam etanol 30% sebesar 62.9%.

Tabel 2.5 Kandungan Phenol Dalam Ekstrak Etanol Kelopak Bunga Rosella

Kandungan Bioaktif Jumlah (%)

Phenolik 60.44%

(Sam, et al., 2018)

Berdasarkan Tabel 2.5, diketahui bahwa senyawa bioaktif phenol dari

ekstrak etanol kelopak bunga rosella sebesar 60.44 %.

Berikut kandungan aktif kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.)

yang diduga berperan dalam menghambat aktivitas bakteri Streptococcus pyogenes:

1. Flavonoid

Flavonoid merupakan turunan terbesar dari senyawa phenol yang bersifat

polar. Senyawa ini mampu mendenaturasi dan mengkoagulasi protein sel

bakteri. Hal ini menyebabkan aktifitas metabolisme sel bakteri terhenti,

hingga pada akhirnya sel bakteri mati (Miranti, et al., 2013). Flavonoid

memiliki struktur aktif yang bersifat antibakteri, yaitu flavones (apigenin,

tangeretin, baicalein, dan rpoifolin), flavonols (kaempferol, quercetin,

myricetin, dan fisetin), flavanones (hesperitin, naringenin, dan eriodictyol),

27

Isoflavonoids (genistein dan daidzein), neoflavonoids, flavanols, flavan-3-ols

atau catechins, anthocyanins (cyanidin, delphinidin, malvidin, pelargonidin,

dan peonidin), chalcones (phloridzin, arbutin, phloretin, dan

chalconaringenin) (Panche, et al., 2016). Struktur antibakteri dari flavonoid

memiliki sel target yang multipel sehingga mudah mendekat dan masuk ke

dalam sel bakteri. Selain itu, menurut (Cushnie, et al., 2003), flavonoid dapat

menghambat sintesis asam nukleat dan mengganggu fungsi membran

sitoplasma sehingga dinding sel menjadi rusak.

2. Phenol

Phenol atau polyphenol merupakan senyawa bioaktif terbesar dalam kelopak

bunga rosella. Senyawa ini mampu merusak membran plasma sel dan

mendenaturasi protein sel dari bakteri (Dyah & Elina, 2015). Senyawa ini

memiliki sifat sebagai koagulator protein. Melalui ikatan hydrogen, phenol

dapat berikatan dengan protein. Hal ini dapat menyebabkan struktur protein

menjadi rusak karena protein mengalami aglutinasi. Protein yang mengalami

aglutinasi tidak dapat berfungsi lagi dan mengakibatkan pembentukan dinding

sel bakteri menjadi terganggu. Senyawa phenol menyebabkan dinding sel dan

membran sitoplasma bakteri menjadi tidak stabil sehingga fungsi

pengendalian susunan protein, fungsi permeabilitas selektif, dan fungsi

pengangkutan aktif menjadi terganggu. Integritas sitoplasma yang terganggu

menyebabkan ion dan berbagai macam makromolekul mudah lolos dari dalam

sel. Dinding sel yang sudah tidak berfungsi lagi dalam mempertahankan

bentuk dan melindungi bakteri akan lisis. Tanpa adanya dinding sel, maka

bakteri tidak dapat bertahan dari lingkungan ekstraselular sehingga

28

menyebabkan kematian sel bakteri (hilangnya kemampuan bakteri secara

permanen untuk tumbuh dan membelah) (Viganita, et al., 2009).

3. Alkaloid

Alkaloid bekerja dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan

dari sel bakteri. Hal ini menyebabkan lapisan dinding sel bakteri tidak

terbentuk secara utuh (Komala, et al., 2013).

4. Tannin

Tannin merupakan senyawa metabolit sekunder bagian dari phenol. Tannin

bekerja dengan cara membentuk ikatan yang stabil dengan protein sehingga

terjadi koagulasi protoplasma bakteri. Selain itu, tannin juga mengganggu

polipeptida dari dinding sel (Miranti, et al., 2013). Tannin dapat menghambat

produksi enzim yang dikeluarkan oleh bakteri (Dyah & Elina, 2015).

5. Saponin

Saponin merupakan senyawa aktif bagian dari phenol. Senyawa ini mampu

menyebabkan kebocoran pada dinding sel bakteri sehingga sel mengalami

ketidakseimbangan ion dan akhirnya lisis (Komala, et al., 2013). Saponin yang

diabsorpsi pada permukaan sel mengakibatkan permeabilitas dari membran

sel meningkat sehingga terjadi kerusakan pada membran sel bakteri dan bahan

esensial yang dibutuhkan oleh bakteri untuk kelangsungan hidupnya pun juga

menghilang (Miranti, et al., 2013).

29

2.2.6 Efektivitas Ekstrak Kelopak Bunga Rosella Terhadap Mikroba

Menurut penelitian (Olaleye & Tolulope, 2007), ekstrak kelopak bunga

rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) terbukti dapat menghambat aktivitas berbagai

macam bakteri, seperti Staphylococcus aureus, Bacillus stearothermophilus,

Micrococcus luteus, Serratia mascences, Clostridium sporogenes, Escherichia coli,

Klebsiella pneumoniae, Bacillus cereus, dan Pseudomonas fluorescence. Jenis

ekstrak yang digunakan pada penelitian tersebut adalah metanol dengan metode

pengujian disk difusi. Konsentrasi minimal yang digunakan adalah 20 mg.

Tabel 2.6 Zona Inhibisi Ekstrak Kelopak Bunga Rosella Terhadap Bakteri

Uji Strain Bakterial Zona Inhibisi (mm)

Staphylococcus aureus 24±0.3

Bacillus stearothermophilus 18±0.2

Micrococcus luteus 22±0.2

Serratia mascences 18±0.4

Clostridium sporogenes 10±0.4

Escherichia coli 20±0.4

Klebsiella pneumoniae 40±0.2

Bacillus cereus 40±0.2

Pseudomonas fluorescence 28±0.2 (Olaleye & Tolulope, 2007)

Berdasarkan Tabel 2.6, diketahui bahwa ekstrak kelopak bunga rosella

(Hibiscus sabdariffa Linn.) dapat memberikan aktivitas antibakteri sebesar (10±0.4

- 40±0.2 mm). Aktivitas antibakteri tertinggi terdapat pada Klebsiella pneumoniae

dan Bacillus cereus (40±0.2 mm inhibition zone). Ekstrak dengan pelarut metanol

tidak lebih baik jika dibandingkan dengan pelarut etanol. Seperti penelitian yang

dilakukan oleh (Cabrera, et al., 2013), diketahui bahwa ekstrak kelopak bunga

rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) terhadap bakteri Salmonella dengan pelarut

etanol memberikan efek antimikroba dengan zona inhibisi 35% lebih besar daripada

30

metanol. Ekstrak etanol tidak mudah ditumbuhi kapang, tidak beracun, dan

merupakan pelarut senyawa polar yang baik (Murtiwi, 2014).

2.2.7 Konsentrasi Acuan Uji Efektivitas Antimikroba

Menurut penelitian (Lusida, et al., 2017), yaitu ‘Efek Antibakteri ekstrak

kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa) terhadap Staphylococcus epidermidis

Secara In Vitro’, menggunakan pelarut etanol 96% dan metode dilusi tabung

dengan rentang konsentrasi 100%; 50%; 25%; 12.5%; 6.25%; 3.12%; 1.56%;

0.78%; 0.39%; 0.19%, diketahui bahwa Kadar Bunuh Minimal (KBM) ekstrak

kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) terhadap koloni Staphylococcus

epidermidis ditetapkan pada konsentrasi 1.56% atau setara dengan 1.95 mg/mL.

Selain itu, menurut penelitian (Miranti, et al., 2013), diketahui bahwa ekstrak

kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) menggunakan pelarut etanol 96%

dengan metode difusi dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus

aureus sebesar 2.5 mm pada konsentrasi 20%.

2.2.8 Uji Kepekaan Terhadap Antimikroba

Uji kepekaan terhadap antimikroba merupakan suatu uji yang bertujuan

untuk menentukan potensi suatu zat yang diduga atau telah memiliki aktivitas

sebagai antimikroba (Balouiri, et al., 2016).

Menurut (Soleha, 2015), macam-macam metode uji kepekaan terhadap

antimikroba yaitu:

31

1. Metode Difusi

Prinsip dari metode difusi adalah piringan yang berisi agen antimikroba

diletakkan pada media agar yang telah ditanami bakteri yang akan berdifusi

pada media agar tersebut.

a. Kertas Cakram

Prinsip menggunakan metode difusi dengan kertas cakram, yaitu kertas

cakram yang telah diberi antimikroba ditempatkan pada media yang telah

ditanami bakteri yang akan diuji secara merata. Setelah dilakukan

inkubasi selama 24 jam dengan suhu 37 0C, diamati hasilnya. Area jernih

mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan bakteri oleh agen

antimikroba pada permukaan media agar.

b. Sumuran

Prinsip menggunakan metode difusi dengan cara sumuran adalah

membuat sumuran dengan diameter tertentu pada media agar yang telah

ditanami mikroba uji. Sumuran dibuat tegak lurus terhadap permukaan

media.

2. Metode Dilusi

Prinsip dari metode dilusi adalah menentukan aktivitas antimikroba

secara kuantitatif dengan cara melarutkan antimikroba ke dalam media agar

yang kemudian ditanami bakteri yang akan diuji. Setelah diinkubasi selama

24 jam, konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri

disebut dengan KHM (Kadar Hambat Minimal). Secara umum, untuk

menentukan KHM, pengenceran antimikroba dilakukan dengan cara

menurunkan konsentrasi menjadi setengahnya, misalnya 16; 8; 4; 2; 1; 0.5;

32

0.25 mg/mL. Sedangkan, untuk menentukan konsentrasi minimal yang dapat

membunuh bakteri (Kadar Bunuh Minimal/KBM) dilakukan dengan cara

menanam bakteri pada perbenihan cair dari KHM kedalam agar kemudian

diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0C. Penentuan KBM ketika tidak

terjadi pertumbuhan bakteri lagi pada agar.

Metode dilusi terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu dilusi perbenihan cair

dan dilusi perbenihan padat.

a. Dilusi Perbenihan Cair

Metode dilusi perbenihan cair terdiri atas mikrodilusi dan makrodilusi.

Pada dasarnya prinsip pengerjaan keduanya sama. Hanya saja berbeda

dalam volumenya. Untuk mikrodilusi, umumnya menggunakan volume

0,05 mL sampai dengan 0,1 mL. Sedangkan makrodilusi menggunakan

volume lebih dari 1 mL.

b. Dilusi Perbenihan Padat

Pada dasarnya prinsip kerja metode ini sama dengan metode dilusi

perbenihan cair. Hanya saja metode dilusi perbenihan padat

menggunakan media padat. Keuntungan dari metode ini adalah satu

konsentrasi agen mikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji

beberapa bakteri uji.