bab 2 tinjauan pustaka 2.1 streptococcus pyogeneseprints.umm.ac.id/54401/3/bab ii.pdf · 7 (donald,...
TRANSCRIPT
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Streptococcus pyogenes
2.1.1 Klasifikasi Bakteri
Kingdom : Eubacteria
Phylum : Firmicutes
Class : Bacilli
Order : Lactobacilles
Family : Streptococcaceae
Genus : Streptococcus
Species : Streptococcus pyogenes (Stephens, 2006)
2.1.2 Morfologi
Streptococcus pyogenes adalah bakteri Gram-positif, bersifat anaerob-
fakultatif, katalase-negatif, tidak motile, dan tidak memiliki spora. Streptococcus
pyogenes berbentuk kokus, berdiameter 0.6-1.0 µm, dan tersusun berpasangan atau
berderet seperti rantai dengan panjang yang bervariasi (Patterson, 2018).
Metabolisme dari Streptococcus pyogenes bersifat fermentatif dan
membutuhkan media yang mengandung banyak darah untuk pertumbuhannya.
Streptococcus pyogenes tumbuh baik pada pH 7.4-7.6 dan suhu optimum 37 0C
(Mudatsir, 2010). Bakteri ini memiliki kapsul yang mengandung asam hialuronat
dan tergolong β-haemolytic karena dapat melisiskan eritrosit secara sempurna
(Todar, 2012).
7
(Donald, 2018)
Gambar 2.1
Bakteri Streptococcus pyogenes
2.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan reaksi hemolisis pada agar darah, Streptococcus dibagi
menjadi 3 kelompok, yaitu β-haemolytic (mampu melisiskan eritrosit dengan
sempurna sehingga berwarna merah dan terang), α hemolytic (hanya mampu
melisiskan eritrosit secara parsial sehingga berwarna hijau), dan γ hemolytic (tidak
terjadi proses hemolisis) (Patterson, 2018). Streptococcus pyogenes menghasilkan
hemolisin, suatu produk ekstraseluler yang mampu melisiskan eritrosit secara
sempurna. Oleh karena itu, Streptococcus pyogenes masuk dalam kelompok β-
haemolytic (Mudatsir, 2010).
Streptococcus β haemolyticus dapat dibagi menjadi 20 grup serologis yaitu
grup A-T. Grup A, B, C, D, dan G merupakan grup yang paling sering ditemukan
pada manusia dan grup A mempunyai sifat yang sangat virulen jika dibandingkan
dengan grup Streptococcus β haemolyticus lainnya. Sistem penentuan serotipe
Streptococcus β haemolyticus grup A dibuat menurut abjad berdasarkan jenis
polisakarida dinding sel (Lancefield group). Jenis polisakarida ini ditentukan
Streptococcus pyogenes
8
berdasarkan reaksi presipitin protein M atau dengan reaksi aglutinin protein T
dinding sel. Streptococcus pyogenes disebut sebagai Streptococcus β haemolyticus
grup A karena dinding sel terdiri dari polisakarida polimer l-ramnose dan N-asetil-
D-glukosamin. Polisakarida akan mengadakan ikatan ke peptidoglikan yang
disusun dari N-asetil-D-glukosamin, N-asetil-D-muraminic acid, dan tetrapeptida
asam d-glutamat, serta d-lisin dan l-lisin pada dinding sel (Pardede, 2009).
(Spellerberg & Brandt, 2016)
Gambar 2.2
Hemolisis Streptococcus pyogenes
2.1.4 Struktur Bakteri
Bakteri Streptococcus pyogenes merupakan sel prokariotik dengan genom
berbentuk sirkuler dan mempunyai plasmid (Yasir, 2015). Berikut adalah struktur
sel dari bakteri Streptococcus pyogenes:
1. Kapsul
Bakteri Streptococcus pyogenes mempunyai kapsul yang mengandung asam
hialuronat. Kapsul asam hialuronat ini dibutuhkan bakteri untuk resistensi
Media BAP Streptococcus pyogenes
Pelisisan eritrosit
9
terhadap fagositosis dan membantu melekatkan diri pada sel epitel penjamu
(Pardede, 2009).
2. Dinding Sel
Dinding sel Streptococcus pyogenes tersusun atas unit berulang N-
asetilglukosamin, N-asetilmuramat, dan peptidoglikan standar yang saling
dihubungkan oleh asam amino (Todar, 2012). Lapisan peptidoglikan berperan
dalam mempertahankan rigiditas dari dinding sel. Selain itu, dinding sel
Streptococcus pyogenes juga mengandung protein spesifik yang terdiri dari
kelas mayor, yaitu protein M yang bersifat virulensi dan protein T serta kelas
minor, yaitu protein F, protein R, dan protein lain yang menyerupai protein M
(Pardede, 2009).
3. Membran plasma
Streptococcus pyogenes mempunyai membran plasma yang terbentuk dari
lipoprotein dan protein. Membran plasma ini berfungsi untuk melindungi sel
dari lingkungan ekstraseluler dan mengatur zat-zat yang masuk dan keluar sel
(Pardede, 2009).
4. Sitoplasma
Sitoplasma terletak dalam membran plasma dan berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya reaksi metabolisme (Bahiyah, 2014).
5. Ribosom
Ribosom terdiri dari asam ribonukleat (RNA) dan protein. Fungsi utama dari
ribosom adalah sintesis protein. Ribosom berperan dalam translasi dari
messenger RNA (mRNA) menjadi protein (Alim, 2013).
10
6. Plasmid
Plasmid merupakan DNA ekstrakromosomal yang berbentuk sirkuler.
Plasmid tidak berperan langsung dalam metabolisme (pembawa sifat non-
esensial bagi pertumbuhan bakteri) (Bahiyah, 2014).
7. Fimbriae
Fimbriae yang ada pada permukaan dinding sel tersusun dari protein M yang
spesifik dan asam lipoteikoat berupa polifosfogliserol dan asam lemak. Asam
lipoteikoat ini membantu proses adhesi Streptococcus pyogenes menuju
fibronektin pada sel epitel penjamu (Pardede, 2009).
2.1.5 Struktur Antigen
Dinding sel Streptococcus pyogenes mengandung antigen polisakarida yang
digunakan sebagai reaktivitas serologis untuk mengidentifikasi secara pasti bakteri
Streptococcus pyogenes. Antigen polisakarida merupakan bentuk polimer dari N-
asetilglukosamin dan ramnose. Antigen ini disebut juga dengan senyawa C atau
antigen karbohidrat (Todar, 2012). Antigen polisakarida akan mengadakan ikatan
ke peptidoglikan pada dinding sel. Selain itu, kapsul asam hialuronat dari
Streptococcus pyogenes juga dapat bersifat sebagai antigen karena berperan dalam
proses infeksi dan resistensi terhadap fagositosis dari antibodi penjamu. Fimbrae
dari Streptococcus pyogenes mengandung protein M yang mana merupakan faktor
virulensi utama dari bakteri Streptococcus pyogenes (Pardede, 2009).
11
2.1.6 Toxin dan Enzim
Sebagian besar Streptococcus pyogenes menghasilkan satu atau lebih toxin
yang dikenal dengan nama exotoxines pyrogenic streptococcus (EPS) atau biasa
disebut erythrogenis toxin. Erythrogenis toxin mempunyai tiga tipe, yaitu EPS A,
EPS B, dan EPS C yang bertindak sebagai superantigen. EPS A merupakan toxin
yang paling toksik diantara tipe EPS yang lain karena dapat menyebabkan kematian
(Todar, 2012). Erythrogenis toxin bekerja dengan cara menstimulasi atau
mengaktivasi sel T dengan mengikat molekul MHC kelas II secara langsung dan
tidak spesifik. Dengan superantigen sekitar 20%, sel T dapat dirangsang dan
menghasilkan pelepasan sitokin ( interleukin IL-1 dan IL-2, tumour necrosis factor-
α (TNF-α), dan interferon-γ ) yang sangat merugikan karena dapat menyebabkan
inflamasi, syok, dan gagal organ (Pardede, 2009).
(Donald, 2018)
Gambar 2.3
Superantigen Streptococcus pyogenes
12
Menurut (Pardede, 2009), Streptococcus pyogenes memiliki sejumlah
protein dan produk ekstraseluler sebagai berikut:
a. Protein M
Protein M merupakan faktor virulensi utama dari Streptococcus pyogenes.
Protein ini bersifat tahan panas, resistensi terhadap fagositosis, dan sensitif
terhadap tripsin.
b. Protein F
Protein F berperan dalam mengenali fibronektin pada sel epitel penjamu
sehingga membantu proses adhesi dan kolonisasi.
c. Protein R dan Protein T
Bukan merupakan penentu utama terjadinya virulensi. Protein ini resisten
terhadap tripsin.
d. Streptolisin O
Streptolisin O bersifat imunogenik dan labil terhadap oksigen. Streptolisin ini
dapat menghancurkan eritrosit, leukosit polimorfonuklear (PMN), trombosit,
dan organela dengan cara membuat lubang pada membran sel. Antistreptolisin
O (ASO) dapat digunakan secara klinis untuk mengkonfirmasi infeksi baru
oleh Streptococcus pyogenes.
e. Streptolisin S
Streptolisin S bersifat tidak imunogenik, stabil terhadap oksigen, tetapi
bersifat kardiotoksik. Streptolisin ini berpotensi dapat merusak banyak jenis
sel termasuk neutrofil, trombosit, dan organel subseluler. Streptolisin S juga
berperan dalam pelisisan eritrosit pada media agar darah.
13
f. Streptokinase
Streptokinase dikenal juga dengan fibrinolisin yang berperan dalam
melisiskan fibrin dengan membantu proses pengaktifan plasminogen menjadi
plasmin. Plasmin yang aktif akan mengaktivasi kaskade komplemen yang
menyebabkan protein matriks ekstraselular pecah dan menstimulasi pelepasan
vasoaktif bradikinin . Hal ini menyebabkan infeksi jaringan lunak oleh
Streptococcus pyogenes cepat menyebar dan meluas.
g. Streptodornase
Streptodornase berperan dalam aktivitas deoksiribonuklease dan ribonuklease.
h. Hyaluronidase
Hyaluronidase berperan dalam spreading faktor, protein yang membantu
penyebaran bakteri dalam jaringan dengan memecah asam hialuronat.
(Todar, 2012)
Gambar 2.4
Toxin dan Enzim Streptococcus pyogenes
14
2.1.7 Patogenesis
Virulensi Streptococcus pyogenes ditentukan dari kemampuan bakteri
untuk melekat pada permukaan sel, invasi ke dalam sel epitel, bertahan dari
fagositosis, serta memiliki berbagai macam toxin dan enzim. Awalnya,
Streptococcus pyogenes melekat pada membran mukosa sel epitel penjamu dengan
diperantai oleh asam lipoteikoat berupa polifosfogliserol dan asam lemak (Pardede,
2009). Setelah melekat, protein M yang ada pada Streptococcus pyogenes juga akan
mengikat fibrinogen dari serum dan memblokir ikatan antara komplemen dan
peptidoglikan sehingga proses fagositosis terhambat. Hal ini mengakibatkan
Streptococcus pyogenes mudah membentuk koloni dan berkembang sangat cepat
dalam tubuh manusia (Todar, 2012).
Protein M bersifat virulen karena mirip dengan otot jantung, otot skeletal,
otot polos, fibroblas katup jantung, dan jaringan saraf pada manusia. Berbeda
dengan protein R, T, dan antigen karbohidrat, mereka tidak digunakan sebagai
penentu utama terjadinya virulensi (Todar, 2012).
(Spellerberg & Brandt, 2016)
Gambar 2.5
Patogenesis Streptococcus pyogenes
15
2.1.8 Tes Diagnostik dan Laboratorium
Langkah awal sebelum melakukan tes diagnostik dan laboratorium adalah
mengambil spesimen, yaitu bahan yang akan diperiksa dan diambil sesuai dengan
gejala klinis pasien. Spesimen dikatakan baik jika dapat mewakili kuman penyebab
penyakit infeksi. Spesimen yang diambil dapat berupa swab tenggorok, nanah,
cairan serebrospinal, darah, dan lainnya tergantung gejala klinis (Triyana, 2018).
Setelah dilakukan pengambilan spesimen, dilakukan beberapa tes pemeriksaan
yang dapat membantu menegakkan diagnosis akibat infeksi Streptococcus
pyogenes.
Berikut pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis akibat
infeksi Streptococcus pyogenes:
a. Smear
Tes ini dilakukan dengan cara membuat sediaan atau preparat bakteri
kemudian dilakukan pewarnaan Gram. Tujuan dari pewarnaan Gram adalah
untuk melihat morfologi dan sifat pewarnaan bakteri. Bakteri dikatakan Gram-
positif jika hasil akhir berwarna ungu. Hal ini disebabkan karena dinding sel
bakteri Gram-positif tersusun atas peptidoglikan yang tebal dan tahan
terhadap alkohol. Sedangkan bakteri dikatakan Gram-negatif jika hasil akhir
berwarna merah. Hal ini disebabkan karena dinding sel bakteri Gram-negatif
tersusun dari lipid yang tebal, bersifat mudah larut, dan terbilas oleh alkohol.
Smear dari bakteri Streptococcus pyogenes menghasilkan morfologi berupa
bentuk kokus dan sifat pewarnaan menunjukkan Gram-positif karena
berwarna ungu (Triyana, 2018).
16
b. Uji Katalase
Untuk membedakan kelompok Staphylococcus dan Streptococcus, uji katalase
penting untuk dilakukan. Uji katalase dilakukan dengan menambahkan H2O2
3% ke isolat bakteri dan dikatakan katalase positif jika terdapat gelembung
udara. Bakteri yang memproduksi enzim katalase mampu memecah H2O2
menjadi H2O dan O2. Streptococcus pyogenes tidak memproduksi enzim
katalase sehingga uji katalase bernilai negatif. Selain golongan Streptococcus,
bakteri lain yang juga masuk dalam katalase negatif adalah golongan
Lactobacillus, dan Clostridium (Novianti, 2019).
c. Kultur
Streptococcus pyogenes umumnya tumbuh pada media agar yang
mengandung banyak darah. Teknik kultur dapat mendeteksi adanya proses
hemolisis yang penting sebagai langkah untuk mengidentifikasi Streptococcus
pyogenes. Media selektif yang digunakan untuk mengkultur bakteri Gram-
positif adalah media agar sederhana berupa darah domba karena mempunyai
komposisi yang hampir sama dengan darah manusia (Mudatsir, 2010).
Kondisi inkubasi optimal untuk sebagian besar strain Streptococcus mulai dari
rentang suhu 35-37 0C dengan adanya 5% CO2 atau dalam kondisi anaerobik.
Gambaran khas koloni dari Streptococcus pyogenes setelah 24 jam di inkubasi
pada suhu 35-37 0C adalah terdapat bentukan seperti kubah dengan permukaan
halus dan margin yang jelas. Bakteri ini berwarna putih keabu-abuan dan
memiliki diameter > 0,5 mm. Disekelilingnya terdapat warna merah yang
terang karena adanya proses hemolisis (pelisisan eritrosit) yang sempurna
(Spellerberg & Brandt, 2016).
17
d. Uji Basitrasin
Setelah dilakukan smear, uji katalase, dan kultur, selanjutnya dilakukan uji
basitrasin. Uji ini dilakukan dengan cara membuat suspensi dengan kekeruhan
McFarland 0,5%. Selanjutnya, goreskan (streaking) pada permukaan medium
agar darah secara merata dengan menggunakan kapas lidi steril. Setelah itu,
letakkan kertas cakram yang mengandung basitrasin 0,05 unit pada
permukaan medium perbenihan dengan menggunakan pinset steril. Lakukan
inkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam, lalu amati daerah zona hambat
basistrasin terhadap pertumbuhan bakteri. Hasil uji basitrasin adalah
Streptococcus pyogenes sensitive terhadap basitrasin (Mudatsir, 2010).
e. Tes Serologi
Tes ini digunakan untuk memperkirakan berapa kenaikan titer dari antibodi.
Biasanya digunakan pada infeksi kronis Streptococcus pyogenes seperti
demam rematik atau glomerulonefritis. Jarang digunakan pada infeksi akut
karena antibodi membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua minggu setelah
onset infeksi akut terdeteksi dalam sampel serum. Beberapa antibodi yang
banyak digunakan adalah anti-streptolisin O (ASO) dan anti-DNase B.
Tingkat antibodi terhadap streptolisin O mulai meningkat setelah satu minggu
infeksi dan mencapai tingkat maksimum sekitar tiga sampai enam minggu
infeksi. Sedangkan Titer DNase B mulai muncul pada dua minggu setelah
onset infeksi dan mungkin tidak mencapai titer maksimum selama enam
sampai delapan minggu (Spellerberg & Brandt, 2016).
18
2.1.9 Manifestasi Klinis
Menurut (Stevens, 2016), berikut ini adalah beberapa penyakit yang
disebabkan karena infeksi oleh Streptococcus pyogenes:
a. Pharyngitis
Infeksi aktif oleh Streptococcus pyogenes sering menjadi penyebab timbulnya
Pharyngitis. Dapat menyerang semua usia, terutama pada usia 5-15 tahun.
Infeksi ini bersifat musiman (sering terjadi saat musim dingin dan musim
gugur). Faringitis disebabkan oleh Streptococcus pyogenes dengan serotipe M
1, 3, 5, 6, 14, 18, 19, dan 24.
b. Tonsillitis
Merupakan radang yang terjadi pada tonsil palatina. Tonsillitis dapat
menyerang semua usia, terutama anak-anak.
c. Cellulitis
Infeksi lokal oleh Streptococcus pyogenes serotipe M 50, 61, 506, dan 507
yang menyebar sampai di jaringan subkutan.
d. Erysipelas
Infeksi lokal oleh Streptococcus pyogenes serotipe M 50, 61, 506, dan 507
yang menyebar sampai di dermis.
e. Scarlet Fever
Saat ini, pyrogenic exotoxines dikenal sebagai superantigen dari Streptococcus
pyogenes yang menyebabkan ruam, lidah stroberi, dan deskuamasi kulit pada
Scarlet Fever.
19
f. Necrotizing fascilitis
Infeksi lokal oleh Streptococcus pyogenes serotipe M 50, 61, 506, dan 507
yang mengenai pada fasia dan dengan cepat berlanjut ke otot yang
mendasarinya.
g. Demam Rematik
Beberapa antibodi yang dihasilkan selama infeksi Streptococcus pyogenes
bereaksi silang dengan jaringan tertentu pada tubuh manusia. Hal ini secara
tidak langsung membuat jaringan-jaringan tersebut rusak. Demam rematik
terjadi saat protein M bereaksi silang dengan sarkolema (otot pada jantung).
h. Streptococcus toxic shock syndrome
Merupakan kondisi parah dari infeksi invasif Streptococcus pyogenes.
Streptococcus toxic shock syndrome ditandai dengan rusaknya banyak organ
yang dapat mengancam jiwa.
i. Lymphangitis
Infeksi oleh Streptococcus pyogenes yang mengakibatkan peradangan pada
saluran limfatik
j. Glomerulonephritis
Terjadi saat reaksi antigen antibodi terjadi di glomerulus. Hal ini dapat
menyebabkan reaksi inflamasi yang dapat menimbulkan kerusakan pada
ginjal. Reaksi ini dipicu oleh aktivasi plasminogen menjadi plasmin dengan
bantuan streptokinase dan diikuti oleh aktivasi komplemen yang
mengakibatkan pengendapan kompleks antigen antibodi didalam glomerulus.
20
2.1.10 Pengobatan
Pengobatan yang masih sering digunakan dan menjadi pilihan awal untuk
infeksi yang ditimbulkan oleh Streptococcus pyogenes adalah Penicillin. Untuk
infeksi ringan seperti faringitis sampai dengan sedang seperti infeksi kulit dan
jaringan lunak, penisilin V oral dengan dosis 500 mg dua sampai tiga kali sehari
selama 10 hari dianjurkan. Cephalosporin generasi pertama merupakan alternatif
yang dapat diberikan kecuali jika penderita mempunyai riwayat hipersensitivitas
langsung terhadap antibiotik β-laktam (Pardede, 2009). Sampai saat ini, masih
belum ada vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi Streptococcus pyogenes
(Todar, 2012).
2.2 Kelopak Bunga Rosella
2.2.1 Taksonomi
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Subkelas : Dilleniidae
Ordo : Malvaceales
Famili : Malvaceae
Genus : Hibiscus
Spesies : Hibiscus sabdariffa Linn.
(Haidar, 2016)
21
2.2.2 Nama Lokal Kelopak Bunga Rosella
Bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) dikenal dengan nama yang
berbeda-beda di seluruh dunia, diantaranya adalah Jamaican Sorell (India Barat),
Oseille Rouge (Prancis), Quimbombo Chino (Spanyol), Karkade (Afrika Utara),
dan Bisap (Sinegal). Sedangkan, di Indonesia, bunga rosella (Hibiscus sabdariffa
Linn.) mempunyai nama yang berbeda-beda disetiap daerahnya, yaitu Merambos
Ijo (Jawa Tengah), Kesew Jawe (Sumatera Selatan), Asam Rejang (Muara Enim),
dan Asam Jarot (Padang) (Maryani & Kristiana, 2005).
2.2.3 Morfologi Kelopak Bunga Rosella
Bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) mempunyai batang yang bulat,
tegak, berkayu, dan berwarna merah. Tanaman ini berkembang biak secara genetif
(dengan biji) dan dapat tumbuh pada ketinggian 3-5 meter.
Menurut (Pangaribuan, 2016), bagian-bagian yang ada pada tanaman rosella
(Hibiscus sabdariffa Linn.) meliputi akar, daun, bunga, dan biji.
a. Akar
Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) mempunyai akar tunggal.
b. Daun
Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) mempunyai daun tunggal yang
berbentuk bulat telur, bertulang menjari, ujung tumpul dengan tepi yang
bergerigi, dan bagian pangkal berlekuk. Daun rosella (Hibiscus sabdariffa
Linn.) mempunyai panjang sekitar 6-15 cm dan lebar 5-8 cm. Sedangkan
tangkai daunnya berbentuk bulat dan berwarna hijau dengan panjang 4-7 cm.
22
c. Bunga
Kalik atau kelopak bunga dari rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) berwarna
merah gelap dan lebih tebal jika dibandingkan dengan bunga raya (bunga
sepatu). Bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) merupakan bunga tunggal,
pada setiap tangkai hanya terdapat satu bunga. Kelopak bunga rosella
(Hibiscus sabdariffa Linn.) berjumlah 8-11 helai.
d. Biji
Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) memiliki biji yang berbentuk
seperti ginjal. Terkadang lebih triangular dengan sudut yang runcing, berbulu,
dengan panjang 5 mm dan lebar 4 mm.
(Haidar, 2016)
Gambar 2.6
Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.)
2.2.4 Habitat dan Distribusi Kelopak Bunga Rosella
Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) merupakan tanaman perdu
yang berasal dari India Timur dan kemudian menyebar ke wilayah beriklim tropis
dan subtropis, termasuk Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di
ketinggian 0-900 m dari atas permukaan laut, pada iklim yang basah, cukup
23
pengairan, dan sinar matahari. Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) tumbuh
optimal pada suhu 20-34 0C di tanah yang subur, tidak berlempung, gembur, dan
juga mempunyai struktur yang baik. Waktu yang baik untuk menanam rosella
(Hibiscus sabdariffa Linn.) ialah pada awal musim hujan (Eka, 2018).
2.2.5 Kandungan Kelopak Bunga Rosella
Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) merupakan fitofarmaka yang
mempunyai berbagai macam manfaat karena memiliki potensi sebagai sumber
bahan pangan fungsional, antibakteri, antioksidan, zat pewarna alami, serta
pemanfaatan dalam bidang kesehatan (Nurnasari & Khuluq, 2017). Rosella
(Hibiscus sabdariffa Linn.) mengandung zat-zat, antara lain vitamin D yang
bermanfaat untuk pertumbuhan tulang, vitamin C sebagai antioksidan, vitamin A
baik untuk kesehatan mata, omega 3 untuk pertumbuhan dan kecerdasan otak anak,
kalsium untuk pertumbuhan, dan kalori yang berguna untuk memulihkan stamina.
Selain itu, rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) juga mengandung protein,
karbohidrat, serat, dan mineral (Haidar, 2016).
Bagian utama dari rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) yang banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat adalah kelopak bunganya. Kelopak bunga rosella
(Hibiscus sabdariffa Linn.) berwarna merah, terlihat cukup menarik, dan
mengandung senyawa yang berpotensi sebagai antibakteri. Senyawa tersebut antara
lain alkaloid, flavonoid, phenol, tanin, dan saponin. Senyawa phenol merupakan
senyawa utama yang paling berperan sebagai bakterisidal. Selain itu, senyawa ini
juga bersifat antiseptik dan antihelmentik (Sam, et al., 2018). Menurut (Alfian &
Susanti, 2012), Senyawa phenol yang ada pada kelopak bunga rosella (Hibiscus
24
sabdariffa Linn.) terdiri dari anthocyanins seperti cyanidin-3-sambubioside,
delphinidin-3-sambubioside, dan delphinidin-3-glucoside, serta flavonoid seperti
gossypetin, hibiscetin, dan glukosida lainnya. Kelopak bunga rosella (Hibiscus
sabdariffa Linn.) sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sediaan teh.
Tabel 2.1 Kandungan 100 Gram Kelopak Rosella Segar
Kandungan Gizi Jumlah
Air 9.2 g
Protein 1.145 g
Lemak 2.61 g
Serat 12.0 g
Abu 6.90 g
Kalsium 1.263 mg
Fosforus 273.2 mg
Zat Besi 8.98 mg
Karotena 0.029 mg
Thiamine 0.117 mg
Riboflavin 0.277 mg
Niacin 3.765 mg
Asid Askorbik 6.7 mg (Haidar, 2016)
Berdasarkan Tabel 2.1, diketahui bahwa dalam 100 gram rosella (Hibiscus
sabdariffa Linn.) segar mengandung air, protein, lemak, serat, abu, kalsium,
fosforus, zat besi, karotena, thiamine, riboflavin, niacin, dan asid askorbik yang
bermanfaat.
Tabel 2.2 Kandungan Senyawa Phenol dalam Kelopak Rosella Kering
Metode Pengeringan Total Phenol
(%)
Suhu 30 0C dalam 30 jam 22 %
Suhu 60 0C dalam 25 jam 18 %
Suhu 30 0C dalam 70 jam 16 %
Sinar matahari dalam 1 hari 20 %
Sinar matahari dalam 2 hari 17 %
Rosella kering dari pasaran 12 %
(Winarti, et al., 2015)
25
Berdasarkan Tabel 2.2, diketahui bahwa metode pengeringan
mempengaruhi kandungan senyawa phenol yang ada di dalam kelopak bunga
rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.). Semakin kecil suhu pengeringan dan semakin
pendek waktu yang diperlukan untuk pengeringan, maka kandungan senyawa
phenol yang ada dalam kelopak bunga rosella semakin besar karena yang menguap
sedikit.
Tabel 2.3 Kandungan Aktif Kelopak Bunga Rosella dalam Berbagai Ekstrak
Senyawa Metanol Etanol Etil Asetat Heksan
Phenol + + + +
Tannin - + - -
Flavonoid + + + -
Saponin + + - +
Alkaloid + + + - Ket: Ada (+); Tidak ada (-)
(Olaleye & Tolulope, 2007), (Purbowati, et al., 2015), dan (Miranti, et al., 2013)
Berdasarkan Tabel 2.3, diketahui bahwa ekstrak dengan pelarut etanol
mengandung senyawa aktif berupa phenol, tannin, flavonoid, saponin, dan alkaloid.
Ekstrak dengan pelarut metanol dan etil asetat tidak mengandung senyawa tannin,
sedangkan ekstrak dengan pelarut heksan tidak mengandung senyawa tannin dan
alkaloid. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus
sabdariffa Linn.) dengan pelarut etanol mengandung senyawa aktif antimikroba
lebih banyak dibandingkan dengan pelarut lain (metanol, etil asetat, dan heksan).
Etanol banyak disarankan sebagai pelarut pada ekstraksi polyphenol yang aman
bagi manusia (Purbowati, et al., 2015).
26
Tabel 2.4 Perbandingan Ekstrak Etanol Kelopak Bunga Rosella 30% dan 96%
Pemeriksaan Ekstrak Etanol
30%
Ekstrak Etanol
96%
Kadar air 24.4% 14.4%
Kadar abu 8.8% 2.5%
Kadar abu tidak larut asam 12.5% 5.4%
Kadar senyawa larut air 75.4% 80.2%
Kadar senyawa larut etanol 62.9% 81.6% (Miranti, et al., 2013)
Berdasarkan Tabel 2.4, diketahui bahwa kadar senyawa bioaktif yang
terlarut dalam ekstrak etanol 96% lebih besar dibandingkan dengan ekstrak etanol
30% (Miranti, et al., 2013). Kadar senyawa yang larut dalam etanol 96% sebesar
81.6%. Sedangkan kadar senyawa yang larut dalam etanol 30% sebesar 62.9%.
Tabel 2.5 Kandungan Phenol Dalam Ekstrak Etanol Kelopak Bunga Rosella
Kandungan Bioaktif Jumlah (%)
Phenolik 60.44%
(Sam, et al., 2018)
Berdasarkan Tabel 2.5, diketahui bahwa senyawa bioaktif phenol dari
ekstrak etanol kelopak bunga rosella sebesar 60.44 %.
Berikut kandungan aktif kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.)
yang diduga berperan dalam menghambat aktivitas bakteri Streptococcus pyogenes:
1. Flavonoid
Flavonoid merupakan turunan terbesar dari senyawa phenol yang bersifat
polar. Senyawa ini mampu mendenaturasi dan mengkoagulasi protein sel
bakteri. Hal ini menyebabkan aktifitas metabolisme sel bakteri terhenti,
hingga pada akhirnya sel bakteri mati (Miranti, et al., 2013). Flavonoid
memiliki struktur aktif yang bersifat antibakteri, yaitu flavones (apigenin,
tangeretin, baicalein, dan rpoifolin), flavonols (kaempferol, quercetin,
myricetin, dan fisetin), flavanones (hesperitin, naringenin, dan eriodictyol),
27
Isoflavonoids (genistein dan daidzein), neoflavonoids, flavanols, flavan-3-ols
atau catechins, anthocyanins (cyanidin, delphinidin, malvidin, pelargonidin,
dan peonidin), chalcones (phloridzin, arbutin, phloretin, dan
chalconaringenin) (Panche, et al., 2016). Struktur antibakteri dari flavonoid
memiliki sel target yang multipel sehingga mudah mendekat dan masuk ke
dalam sel bakteri. Selain itu, menurut (Cushnie, et al., 2003), flavonoid dapat
menghambat sintesis asam nukleat dan mengganggu fungsi membran
sitoplasma sehingga dinding sel menjadi rusak.
2. Phenol
Phenol atau polyphenol merupakan senyawa bioaktif terbesar dalam kelopak
bunga rosella. Senyawa ini mampu merusak membran plasma sel dan
mendenaturasi protein sel dari bakteri (Dyah & Elina, 2015). Senyawa ini
memiliki sifat sebagai koagulator protein. Melalui ikatan hydrogen, phenol
dapat berikatan dengan protein. Hal ini dapat menyebabkan struktur protein
menjadi rusak karena protein mengalami aglutinasi. Protein yang mengalami
aglutinasi tidak dapat berfungsi lagi dan mengakibatkan pembentukan dinding
sel bakteri menjadi terganggu. Senyawa phenol menyebabkan dinding sel dan
membran sitoplasma bakteri menjadi tidak stabil sehingga fungsi
pengendalian susunan protein, fungsi permeabilitas selektif, dan fungsi
pengangkutan aktif menjadi terganggu. Integritas sitoplasma yang terganggu
menyebabkan ion dan berbagai macam makromolekul mudah lolos dari dalam
sel. Dinding sel yang sudah tidak berfungsi lagi dalam mempertahankan
bentuk dan melindungi bakteri akan lisis. Tanpa adanya dinding sel, maka
bakteri tidak dapat bertahan dari lingkungan ekstraselular sehingga
28
menyebabkan kematian sel bakteri (hilangnya kemampuan bakteri secara
permanen untuk tumbuh dan membelah) (Viganita, et al., 2009).
3. Alkaloid
Alkaloid bekerja dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan
dari sel bakteri. Hal ini menyebabkan lapisan dinding sel bakteri tidak
terbentuk secara utuh (Komala, et al., 2013).
4. Tannin
Tannin merupakan senyawa metabolit sekunder bagian dari phenol. Tannin
bekerja dengan cara membentuk ikatan yang stabil dengan protein sehingga
terjadi koagulasi protoplasma bakteri. Selain itu, tannin juga mengganggu
polipeptida dari dinding sel (Miranti, et al., 2013). Tannin dapat menghambat
produksi enzim yang dikeluarkan oleh bakteri (Dyah & Elina, 2015).
5. Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif bagian dari phenol. Senyawa ini mampu
menyebabkan kebocoran pada dinding sel bakteri sehingga sel mengalami
ketidakseimbangan ion dan akhirnya lisis (Komala, et al., 2013). Saponin yang
diabsorpsi pada permukaan sel mengakibatkan permeabilitas dari membran
sel meningkat sehingga terjadi kerusakan pada membran sel bakteri dan bahan
esensial yang dibutuhkan oleh bakteri untuk kelangsungan hidupnya pun juga
menghilang (Miranti, et al., 2013).
29
2.2.6 Efektivitas Ekstrak Kelopak Bunga Rosella Terhadap Mikroba
Menurut penelitian (Olaleye & Tolulope, 2007), ekstrak kelopak bunga
rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) terbukti dapat menghambat aktivitas berbagai
macam bakteri, seperti Staphylococcus aureus, Bacillus stearothermophilus,
Micrococcus luteus, Serratia mascences, Clostridium sporogenes, Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae, Bacillus cereus, dan Pseudomonas fluorescence. Jenis
ekstrak yang digunakan pada penelitian tersebut adalah metanol dengan metode
pengujian disk difusi. Konsentrasi minimal yang digunakan adalah 20 mg.
Tabel 2.6 Zona Inhibisi Ekstrak Kelopak Bunga Rosella Terhadap Bakteri
Uji Strain Bakterial Zona Inhibisi (mm)
Staphylococcus aureus 24±0.3
Bacillus stearothermophilus 18±0.2
Micrococcus luteus 22±0.2
Serratia mascences 18±0.4
Clostridium sporogenes 10±0.4
Escherichia coli 20±0.4
Klebsiella pneumoniae 40±0.2
Bacillus cereus 40±0.2
Pseudomonas fluorescence 28±0.2 (Olaleye & Tolulope, 2007)
Berdasarkan Tabel 2.6, diketahui bahwa ekstrak kelopak bunga rosella
(Hibiscus sabdariffa Linn.) dapat memberikan aktivitas antibakteri sebesar (10±0.4
- 40±0.2 mm). Aktivitas antibakteri tertinggi terdapat pada Klebsiella pneumoniae
dan Bacillus cereus (40±0.2 mm inhibition zone). Ekstrak dengan pelarut metanol
tidak lebih baik jika dibandingkan dengan pelarut etanol. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh (Cabrera, et al., 2013), diketahui bahwa ekstrak kelopak bunga
rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) terhadap bakteri Salmonella dengan pelarut
etanol memberikan efek antimikroba dengan zona inhibisi 35% lebih besar daripada
30
metanol. Ekstrak etanol tidak mudah ditumbuhi kapang, tidak beracun, dan
merupakan pelarut senyawa polar yang baik (Murtiwi, 2014).
2.2.7 Konsentrasi Acuan Uji Efektivitas Antimikroba
Menurut penelitian (Lusida, et al., 2017), yaitu ‘Efek Antibakteri ekstrak
kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa) terhadap Staphylococcus epidermidis
Secara In Vitro’, menggunakan pelarut etanol 96% dan metode dilusi tabung
dengan rentang konsentrasi 100%; 50%; 25%; 12.5%; 6.25%; 3.12%; 1.56%;
0.78%; 0.39%; 0.19%, diketahui bahwa Kadar Bunuh Minimal (KBM) ekstrak
kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) terhadap koloni Staphylococcus
epidermidis ditetapkan pada konsentrasi 1.56% atau setara dengan 1.95 mg/mL.
Selain itu, menurut penelitian (Miranti, et al., 2013), diketahui bahwa ekstrak
kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.) menggunakan pelarut etanol 96%
dengan metode difusi dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus sebesar 2.5 mm pada konsentrasi 20%.
2.2.8 Uji Kepekaan Terhadap Antimikroba
Uji kepekaan terhadap antimikroba merupakan suatu uji yang bertujuan
untuk menentukan potensi suatu zat yang diduga atau telah memiliki aktivitas
sebagai antimikroba (Balouiri, et al., 2016).
Menurut (Soleha, 2015), macam-macam metode uji kepekaan terhadap
antimikroba yaitu:
31
1. Metode Difusi
Prinsip dari metode difusi adalah piringan yang berisi agen antimikroba
diletakkan pada media agar yang telah ditanami bakteri yang akan berdifusi
pada media agar tersebut.
a. Kertas Cakram
Prinsip menggunakan metode difusi dengan kertas cakram, yaitu kertas
cakram yang telah diberi antimikroba ditempatkan pada media yang telah
ditanami bakteri yang akan diuji secara merata. Setelah dilakukan
inkubasi selama 24 jam dengan suhu 37 0C, diamati hasilnya. Area jernih
mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan bakteri oleh agen
antimikroba pada permukaan media agar.
b. Sumuran
Prinsip menggunakan metode difusi dengan cara sumuran adalah
membuat sumuran dengan diameter tertentu pada media agar yang telah
ditanami mikroba uji. Sumuran dibuat tegak lurus terhadap permukaan
media.
2. Metode Dilusi
Prinsip dari metode dilusi adalah menentukan aktivitas antimikroba
secara kuantitatif dengan cara melarutkan antimikroba ke dalam media agar
yang kemudian ditanami bakteri yang akan diuji. Setelah diinkubasi selama
24 jam, konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
disebut dengan KHM (Kadar Hambat Minimal). Secara umum, untuk
menentukan KHM, pengenceran antimikroba dilakukan dengan cara
menurunkan konsentrasi menjadi setengahnya, misalnya 16; 8; 4; 2; 1; 0.5;
32
0.25 mg/mL. Sedangkan, untuk menentukan konsentrasi minimal yang dapat
membunuh bakteri (Kadar Bunuh Minimal/KBM) dilakukan dengan cara
menanam bakteri pada perbenihan cair dari KHM kedalam agar kemudian
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0C. Penentuan KBM ketika tidak
terjadi pertumbuhan bakteri lagi pada agar.
Metode dilusi terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu dilusi perbenihan cair
dan dilusi perbenihan padat.
a. Dilusi Perbenihan Cair
Metode dilusi perbenihan cair terdiri atas mikrodilusi dan makrodilusi.
Pada dasarnya prinsip pengerjaan keduanya sama. Hanya saja berbeda
dalam volumenya. Untuk mikrodilusi, umumnya menggunakan volume
0,05 mL sampai dengan 0,1 mL. Sedangkan makrodilusi menggunakan
volume lebih dari 1 mL.
b. Dilusi Perbenihan Padat
Pada dasarnya prinsip kerja metode ini sama dengan metode dilusi
perbenihan cair. Hanya saja metode dilusi perbenihan padat
menggunakan media padat. Keuntungan dari metode ini adalah satu
konsentrasi agen mikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji
beberapa bakteri uji.