bab ii tinjauan pustaka 2.1 peningkatan tekanan darah 2.1

31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peningkatan Tekanan Darah 2.1.1 Definisi Peningkatan Tekanan Darah Peningkatan tekanan darah secara umum didefenisikan sebagai tekanan darah yang melebihi tekanan darah normal. Definisi peningkatan tekanan darah diatas normal berdasarkan JNC 7 adalah tekanan darah sistol kurang dari 120 mmHg dan tekanan darah diastol kurang dari 80 mmHg (Tabel 2.1) (Chobanian dkk.2003). Sebelum munculnya JNC 7 klasifikasi hipertensi tidak mengenal prehipertensi. Klasifikasi JNC 7 merupakan klasifikasi yang banyak dipakai di seluruh dunia untuk mendefininisikan peningkatan tekanan darah. Klasifikasi lain yang cukup banyak dipakai acuan untuk definisi klasifikasi tekanan darah adalah klsifikasi yang dikeluarkan oleh European Society of Hypertension (ESC) dan European Society Cardiology (ESC). Pada klasifikasi ini tekanan darah dibagi menjadi 7 kelompok yaitu optimal, normal, normal tinggi hipertensi grade 1-3 dan hipertensi sistolik terisolasi (tabel 2.2) (ESH/ESC,2013) Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah berdasarkan JNC 7 (Chobanian dkk.2003) Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg) Normal <120 Dan <80 Prehipertensi 120-139 Atau 80-89 Hipertensi stage I 140-159 Atau 90-99 Hipertensi stage 2 ≥160 ≥100 Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah ESH/ESC (ESH/ESC,2013) 10

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Peningkatan tekanan darah secara umum didefenisikan sebagai tekanan darah yang
melebihi tekanan darah normal. Definisi peningkatan tekanan darah diatas normal berdasarkan
JNC 7 adalah tekanan darah sistol kurang dari 120 mmHg dan tekanan darah diastol kurang dari
80 mmHg (Tabel 2.1) (Chobanian dkk.2003). Sebelum munculnya JNC 7 klasifikasi hipertensi
tidak mengenal prehipertensi.
Klasifikasi JNC 7 merupakan klasifikasi yang banyak dipakai di seluruh dunia untuk
mendefininisikan peningkatan tekanan darah. Klasifikasi lain yang cukup banyak dipakai acuan
untuk definisi klasifikasi tekanan darah adalah klsifikasi yang dikeluarkan oleh European Society
of Hypertension (ESC) dan European Society Cardiology (ESC). Pada klasifikasi ini tekanan
darah dibagi menjadi 7 kelompok yaitu optimal, normal, normal tinggi hipertensi grade 1-3 dan
hipertensi sistolik terisolasi (tabel 2.2) (ESH/ESC,2013)
Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah berdasarkan JNC 7 (Chobanian dkk.2003)
Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi stage 2 ≥160 ≥100
Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah ESH/ESC (ESH/ESC,2013)
10
Optimal <120 <80
Normal 120-129 80-84
Hipertensi Sistolik
Prehipertensi dibagi menjadi dua yaitu prehipertensi stage 1 dan prehipertensi stage 2.
Prehipertensi stage 1 didefinisikan sebagai tekanan darah sistol 120-129 mmHg dan diastol 80-
84 mmHg. Sedangkan prehipertensi stage II didefinisikan sebagai tekanan sistol 130-139 mmHg
dan diastol 85-89 mmHg (Vasan dkk.2001). Tujuan klasifikasi tekana darah adalah untuk
menetukan strategi pencegahan, terapi, mencegah komplikasi dan pemberian edukasi kepada
pasien (Kaplan,2010)
Prehipertensi merupakan keadaan yang sering didapatkan pada penduduk dunia lintas
usia, jenis kelamin, ras dan letak geografis. Prvalensi prehipertensi pada orang dewasa diseluruh
dunia berkisar antara 25%-38%, terkecuali di Iran yang mencapai 52% dari 69.772 individu.
Prevalensi prehipertensi di USA dari 8960 individu berkisar 33%-37%. Prehipertensi terutama
terjadi pada laki-laki, usia pertengahan dan memiliki body mass index (BMI) yang lebih besar
(Kshirsagar dkk.,2006). Pada wanita posmenopause prevalensi prehipertensi dari 60.785 individu
sebesar 38% (Hsia dkk.,2007).
Di Asia prevalensi prehipertensi di Cina dari 169.871 individu dengan umur>40 tahun
adalah 34,5% (Gu D dkk.,2009). Di Korea dari 6074 individu berumur>20 tahun (2620 laki-laki
dan 3454 perempuan) adalah 22,9% dengan 26,9% laki-laki dan 20,5% wanita (Choi dkk.,2001).
32,3% di Jepang dari 11.000 individu (6739 perempuan dan 4261 laki-laki) umur>18 tahun
prevalensi prehipertensi adalah 32,3% (Ishikawa dkk.,2010) dan di India sebesar 32,3% dari
1746 individu (yadav dkk.,2008). Di Indonesia belum data epidemiologi kejadian prehipertensi
namun diyakini kejadian prehipertensi sebagai suatu fenomena gunung es.
Individu dengan prehipertensi dua sampai tiga kali lebih berisiko menjadi hipertensi
dibandingkan individu normotensi. Dari studi Framingham dengan 2900 individu prehipertensi
setelah 4 tahun terdapat 30,3% berkembang menjadi hipertensi. Pada studi ini jika difokuskan
pada prehipertensi stage 2 maka yang berumur kurang dari 65 tahun didapatkan 37% menjadi
hipertensi dan yang berumur lebih dari 65 tahun 50% menjadi hipertensi setelah 4 tahun. Pada
studi PHARAO (prevention of hypertension with the angiotensin-converting enzyme inhibitor)
yang melibatkan 1008 individu dengan prehipertensi kejadian hipertensi pada kelompok placebo
sebesar 43% (Luders dkk., 2008). Sedangkan di Asia, pada penduduk Cina dari 17.052 orang
dengan prehipertensi setelah 28 bulan 30% berkembang menjadi hipertensi (Sun dkk.2010). Pada
studi lain dengan masa penelitian lebih lama (delapan tahun) prevalensi prehipertensi yang
menjadi hipertensi adalah empat sampai sembilan kali lebih berisiko terjadi hipertensi (Selassie
dkk.2011).
Banyak studi memperlihatkan hubungan yang positif antara peningkatan tekanan darah
dengan kejadian kardiovaskular. Kejadian kardiovaskular bahkan sudah meningkat pada individu
prehipertensi. Studi observasi Lawes dkk.(2008) pada 1 juta lebih penduduk dunia menunjukkan
peningkatan tekanan darah sebagai faktor mayor terjadinya morbiditas dan mortalitas kejadian
kardiovaskular. Terdapat hubungan yang positif dan progresif antara peningkatan tekanan darah
(dimulai dari tekanan sistol>115 mmHG dan diastole>75 mmhg) dengan kejadian stroke dan
ischemic heart disease (IHD).
berhubungan dengan peningkatan 2 kali kejadian kardiovaskular dibanding pada tekanan darah
dibawah 120/80 mmHg (Vasan dkk.,2001). Liszka dkk.2005 mendapatkan 93% pasien dengan
prehipertensi mempunyai minimal satu faktor risiko kardiovascular. Studi kohort ARIC
(Atherosclerosis Risk in Community) pada 8960 individu mendapatkan peningkatan risiko
relative sebesar 2,5 kali dibanding individu dengan tekanan darah kurang dari 120/80 mmHg
(Kshirsagar dkk. 2006).
2.1.4 . Faktor Risiko Peningkatan Tekanan Darah
Etiologi peningkatan tekanan darah sampai saat ini belum diketahui secara pasti,
diperkirakan bersifat multifaktorial. Secara umum penyebab peningkatan tekanan darah dibagi
menjadi primer dan sekunder. Pada kurang lebih 90-95% dari seluruh penderita hipertensi,
mekanisme penyebab tingginya tekanan darah tidak dapat diidentifikasi atau belum jelas
penyebabnya (primer) dan hanya 5-10% dari seluruh kasus sudah diidentifikasi penyebabnya
(sekunder). Makalah ini akan membahas mengenai faktor risiko hipertensi dan mekanisme
peningkatan tekanan khususnya hipertensi primer. Tekanan darah yang tinggi secara umum
disebabkan interaksi antara faktor genetik dan lingkungan ( Appel dkk,2006). Faktor risiko
terjadinya hipertensi dapat di bagi menjadi faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor
risiko yang dapat di modifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi genetik, ras,
umur dan jenis kelamin. berikut ini dibahas mengenai faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi:
Prevalensi hipertensi meningkat sesuai dengan usia. Tekanan darah sistolik meningkat
dengan cepat seiring bertambahnya usia. Pada studi Framingham, individu normotensi
yang berusia 55-65 tahun jika diikuti selama 20 tahun maka didapatkan 90% individu
tersebut dengan hipertensi (Vasan dkk,2001).
2) Genetik
Hipertensi pada orang yang mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarga sekitar 15-
35%. Hipertensi usia di bawah 55 tahun terjadi 3.8 kali lebih sering pada individu dengan
riwayat hipertensi pada keluarga. Hipertensi dapat merupakan mutasi tunggal atau dapat
diturunkan berdasarkan hukum Mendel. Lipton dkk.(2009) memaparkan adanya mutasi
dari 10 gen yang menyebabkan bentuk hipertensi Mendelian atau hipertensi monogenik
atau gen tunggal yang bersifat diturunkan pada manusia dan juga menjelaskan mutasi 9
gen yang berperan menyebabkan hipertensi (Vikrant dan Tiwari,2001). Mutasi genetik
tersebut bertanggung jawab terhadap 3 bentuk sindrom hipertensi mendellian atau
hipertensi gen tunggal yang langka, yaitu glucocorticoid remediable aldoteronism
(GRA), sindrom liddle, dan apparent mineralocorticoid excess (AME) (Oparil dan
Calhoun,2003). Mutasi – mutasi tersebut berpengaruh terhadap tekanan darah melalui
perubahan pengaturan kadar garam di ginjal, hal ini sekaligus memperkuat hipotesis
guyton yang berpendapat bahwa perkembangan hipertensi tergantung pada disfungsi
renal yang ditentukan secara genetik, yang menyebabkan retensi air dan garam. Beberapa
penelitian dengan pendekatan kandidat gen yang berkaitan dengan jalur mekanisme
hipertensi sudah diketahui di antaranya adalah penelitian terhadap gen M235T, suatu
varian gen angiotensinogen dalam sistem renin angiotensin aldosteron, yang berhubungan
dengan peningkatan kadar angiotensinogen pada sirkulasi darah dan peningkatan tekanan
darah pada berbagai populasi yang berbeda (Vikrant dan Tiwari,2001).
3) Ras
Risiko relatif hipertensi berbeda antara kelompok rasial. Orang Amerika Serikat kulit
hitam cenderung mempunyai tekanan darah lebih tinggi dibandingkan bukan kulit hitam
dan keseluruhan angka mortalitas lebih tinggi pada kulit hitam. Sedangkan angka
hipertensi pada hispanik Amerika dari meksiko lebih rendah dibanding kulit putih (Cutler
dkk.,2008).
4) Jenis Kelamin
Hipertensi berkaitan dengan jenis kelamin laki-laki dan usia. Pada usia tua risiko
hipertensi meningkat tajam pada perempuan dibanding laki-laki. Okimura dkk,. (2005)
mendapatkan reseptor angiotensin II tipe 2 lebih banyak pada mencit jantan.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi konsumsi garam (sodium), obesitas,
kontrasepsi oral, dislipidemia, alcohol, rokok, latihan fisik, stress mental dan konsumsi kopi.
Secara patofisiologi terjadinya peningkatan tekanan darah melalui mekanisme neural,
mekanisme renal, mekanisme hormonal dan mekanisme endotel (Kaplan,2010). Berikut ini akan
diuraikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.
2.1.4.1 Diet Tinggi Garam
Bukti-bukti yang menghubungkan antara diet tinggi garam dengan hipertensi sudah
banyak didapatkan. Penelitian pada suku Indian Yanomano di Brazil utara dimana masyarakat
hanya mengonsumsi sedikit garam, maka hanya sedikit atau hampir tidak didapatkan
peningkatan tekanan darah yang berkaitan dengan usia, tidak seperti yang didapatkan pada
penduduk negara berkembang maupun negara maju (Oparil dkk.2003).
Studi INTERSALT dengan populasi yang mencakup 10.079 subjek laki-laki dan
perempuan usia 20 hingga 59 tahun dari 52 pusat penelitian yang tersebar di seluruh dunia,
didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi garam dengan
perkembangan terjadinya hipertensi, dengan pengukuran ekskresi sodium lewat urine selama 24
jam dihubungkan dengan tekanan darah sistolik dan diastolik (Elliot dkk.1996). Menurunkan
asupan garam sebesar 1700 mg/hari dapat menurunkan tekanan darah 4-5 mmHg pada penderita
hipertensi dan 2 mmHg pada orang sehat (Nancy,2008). Lebih jauh mengenai peranan konsumsi
garam terhadap peningkatan tekanan darah akan dibahas pada bagian patofisiologi.
2.1.4.2 Stres
ketakutan dan kesedihan sudah lama diketahui dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah
secara temporer. Karena metode eksperimental yang terstandarisasi di laboratorium untuk
mengukur respons kardiovaskular dan respons neuroendokrin terhadap stres psikologis maupun
lingkungan sudah dapat diaplikasikan, maka kini dapat dibuktikan bahwa stres psikologis dan
lingkungan dapat meningkatkan respons – respons tersebut dalam jangka pendek. Riset–riset
laboratorium juga menunjukan bahwa pola adrenergik dan pola hemodinamik yang berbeda akan
dihasilkan oleh jenis stressor yang berbeda pula (Light dkk.2005).
Riset–riset pada manusia maupun hewan coba membuktikan hubungan antara stress
dengan peningkatan tekanan darah pada individu dengan kerentanan genetik atau individu
dengan kerentanan faktor lingkungan, seperti kebiasaan diet tinggi garam dan diet rendah
potasium.Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis terutama melalui aktivasi terhadap reseptor
β adrenergik merupakan mediator utama terhadap kenaikan tekanan darah, meskipun terdapat
juga faktor – faktor lain yang terlibat. Pola kepribadian dan kebiasaan tertentu juga berhubungan
dengan respons stres yang tinggi dan risiko peningkatan tekanan darah yang lebih besar.
Contohnya pola kepribadian tipe A (agresifitas tinggi, kompetitif, tidak bersahabat, selalu
tergesa-gesa) dan kebiasaan hidup (seperti bekerja dengan tekanan yang tinggi dan tekanan hidup
pada kelas sosial ekonomi yang rendah) (Vikrant dan Tiwari,2001).
2.1.4.3. Obesitas
Penelitian populasi sudah lama membuktikan ada kaitan yang erat antara obesitas dengan
peningkatan tekanan darah. Dalam studi Framingham didapatkan 70% hipertensi pada laki – laki
dan 61% pada wanita memiliki kelebihan lemak atau berat badan berlebih. Beberapa mekanisme
yang menjelaskan obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi (didukung oleh data-data
dari penelitian terhadap manusia dan hewan coba) yaitu melalui overaktivitas simpatis, resistensi
leptin selektif, peran adipokin, overaktivitas sistem renin angiotensin aldosteron, reactive oxygen
species (ROS), defisiensi NO dan beberapa teori lain (Gambar 2.1).
Jaringan lemak viseral merupakan penghubung antara obesitas dengan peningkatan
tekanan darah dan aterosklerosis. Sel-sel lemak menghasilkan beberapa substansi biologis aktif
yang disebut adipokin (Katagiri dkk.,2007). Beberapa adipokin bersifat prohipertensif seperti
leptin, angiotensinogen, resistin, retinol binding protein (rbp4), plasminogen activator inhibitor -
1 (PAI-1), tumor necrosis factor (TNF α), asam lemak, hormon steroid, dan faktor-faktor
pertumbuhan. Sedangkan beberapa adipokin bersifat sebagai antihipertensi, contohnya adalah
adiponektin (Oparil dkk.,2003).
dkk.,2007).
Hipertensi lebih sering terjadi pada populasi diabetes dibandingkan populasi non-
diabetes. Lebih dari 75% pasien diabetes mempunyai tekanan darah lebih dari 130/80 mmHg
atau mengkonsumsi obat antihipertensi. Hipertensi dapat terjadi bersamaan dengan diabetes
(komorbid) atau merupakan akibat proses patologis dari perjalanan diabetes.
Pathogenesis hipertensi pada diabetes merupakan proses yang komples dan belum
sepenuhnya dapat dijelaskan. Disfungsi otonom, aktivasi Renin Angiotensin Aldosteron System
(RAAS), resistensi insulin, aktivasi system saraf simpatis disfungsi endotel dan kekakuan
pembuluh darah arteri merupakn sebagian faktor yang diketahui berkontribusi pada terjadinya
hipertensi pada diabetes melitus (William,2003). Lihat Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Mekanisme Hipertensi pada Diabetes Melitus (William,2003)
2.1.4.5. Obat Anti Inflamasi (OAIN)
Prevalensi hipertensi meningkat dengan penggunaan OAIN. Obat anti inflamasi
menyebabkan peningkatan tekanan darah rata-rata sebesar 5 mmHg dan sebaiknya dihindari
pada individu dengan prehipertensi dan hipertensi. Obat anti inflamasi menghambat sintesa
prostaglandin dan meningkatkan sintesa endotelin-1 (vasokonstriktor). Prostaglandin merupakan
vasodilator yang kuat sehingga penghambatan prostaglandin akan meningkatkan tahanan perifer.
Penggunaan OAIN lebih dari 14 hari meningkatkan tekanan darah Didier dkk., 2002).
2.1.4.6. Kontrasepsi Oral
kontrasepsi oral tetapi peningkatan besar kadang terjadi. Hal ini disebabkan ekspansi volume
karena peningkatan sintesis hepatic substrat renin dan aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldoseron. Kontrasepsi esterogen akan meningkatkan tekanan darah 3-6/2-5 mmHg. Sekitar 5%
perempuan yang menggunakan kontrasepsi oral jangka panjang menunjukkan peningkatan
tekanan darah diatas 140/90 mmHg. Hipertensi terkait kontrasepsi lebih sering sering pada
perempuan di atas 35 tahun, menggunakan kontrasepsi lebih dari 5 tahun dan individu gemuk.
Umumnya hipertensi reversible setelah penghentian kontrasepsi, tetapi mungkin perlu beberapa
minggu (Sutter,2011).
2.1.4.7 Kopi (Kafein)
Kopi merupakan stimulan yang dikonsumsi secara luas di seluruh dunia. Kopi dapat
meningkatkan secara akut tekanan darah dengan memblok reseptor vasodilatasi adenosine dan
meningkatkan norepinefrin plasma. Minum dua sampai tiga cangkir kopi akan meningkatkan
tekanan darah secara akut dengan variasi peningkatan tekanan darah dimana mencapai puncak
dalam satu jam dan kembali ke tekanan darah dasar setelah empat jam (Kaplan,2010).
2.1.5 Patofisiologi Peningkatan Tekanan Darah
Faktor-faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah pada dasarnya
merupakan faktor yang mempengaruhi rumus dasar tekanan darah yaitu curah jantung dikalikan
resistensi perifer. Tekanan darah dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi
yang merupakan hasil dari aksi pompa jantung atau yang sering disebut curah jantung (cardiac
output) dan tekanan dari arteri perifer (disebut dengan resistensi perifer). Kedua penentu primer
tekanan darah juga ditentukan oleh berbagai interaksi faktor-faktor serial yang sangat kompleks
(gambar 2.3). Berdasarkan rumus yang telah dijelaskan maka peningkatan tekanan darah secara
logis dapat terjadi karena peningkatan curah jantung dan atau peningkatan resistensi perifer.
Peningkatan curah jantung terjadi melalui dua mekanisme yaitu peningkatam volume cairan
(preload) dan peningkatan kontraktilitas karena rangsangan neural jantung. Meskipun faktor
peningkatan curah jantung terlibat dalam permulaan timbulnya hipertensi, namun temuan-
temuan pada penderita hipertensi kronis menunjukkan adanya hemodinamik yang khas yaitu
adanya peningkatan resistensi perifer dengan curah jantung yang normal (Vikrant dan Tiwari,
2001).
Adanya pola peningkatan curah jantung yang menyebabkan peningkatan resistensi perifer
secara persisten, sudah diteliti pada beberapa orang dan pada banyak hewan coba pada
penelitian-penelitian tentang hipertensi. Pada hewan coba dengan kondisi jaringan ginjal yang
berkurang, maka tekanan darah pada awalnya akan naik sebagai konsekuensi tingginya curah
jantung, namun dalam beberapa hari, resistensi perifer akan meningkat dan curah jantung
kembali ke nilai basal. Perubahan resistensi perifer tersebut menunjukkan adanya perubahan
properti intrinsik dari pembuluh darah yang berfungsi untuk mengatur aliran darah yang terkait
dengan kebutuhan metabolik dari jaringan. Proses ini disebut autoregulasi, yaitu proses dimana
dengan adanya peningkatan curah jantung maka jumlah darah yang mengalir menuju jaringan
akan meningkat. Peningkatan aliran darah ini meningkatkan aliran nutrisi yang berlebihan,
melebihi kebutuhan jaringan dan juga meningkatkan pembersihan produk-produk metabolik
tambahan yang dihasilkan. Maka sebagai respons terhadap perubahan tersebut, pembuluh darah
akan mengalami vasokonstriksi untuk menurunkan aliran darah dan mengembalikan
keseimbangan antara suplai dan kebutuhan nutrisi kembali ke normal, namun resistensi perifer
akan tetap tinggi yang dipicu oleh adanya penebalan struktur dari sel – sel pembuluh darah
(Fuster dkk.,2008).
2001)
Berikut ini beberapa faktor peningkatan tekanan darah yang berkaitan dengan mekanisme
patofisiologi pada gambar 2.3. Faktor-faktor seperti stress, genetik, obesitas sudah dibahas di
atas.
2.1.5.1. Konsumsi dan Pengaturan Sodium oleh Ginjal
Salah satu faktor utama (mungkin yang paling dominan) yang berkaitan dengan
patofisiologi peningkatan tekanan darah adalah konsumsi sodium dan pengaturan sodium oleh
ginjal. Ginjal dapat berperan baik sebagai pemicu maupun sebagai sasaran dari hipertensi. Sejak
abad ke 19, Bright sudah menghubungkan adanya penyakit jantung hipertensi dengan ukuran
ginjal yang mengecil. Pada tahun 1930-an, berdasarkan penelitiannya, Goldblatt juga
membuktikan bahwa ginjal dapat menyebabkan hipertensi. Dan pada tahun 1970-an penelitian
Guyton semakin diyakini bahwa disfungsi ginjal dapat menyebabkan terjadinya hipertensi
maupun sebaliknya, hipertensi dapat memperburuk disfungsi ginjal. Defek fundamental dari
penyebab hipertensi oleh faktor ginjal adalah karena ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresi
sodium yang dikonsumsi berlebihan yang disebabkan oleh diet tinggi garam (Leonard dan
Pikir,2015).
Ginjal sangat efektif dalam mengekresikan kelebihan sodium dan cairan dalam keadaan
berlebih dan menahan air dan garam selama masa kekurangan sehingga perubahan komposisi
cairan tubuh kurang dari 10% pada konsumsi garam yang berlebih. Secara fisiologis ekskresi
sodium dalam urin menggambarkan fungsi tekanan perfusi dari ginjal. Perubahan tekanan perfusi
akan merubah ekskresi sodium oleh ginjal sehingga peningkatan tekanan perfusi akan
meningkatkan pengeluaran sodium dalam urin (pengurangan reabsoprsi sodium pada ginjal).
Pada individu dengan normotensi ketika tekanan darah naik maka ginjal akan meningkatkan
eksresi sodium dan air sehingga mengurangi volume cairan tubuh dan tekanan darah menjadi
normal lagi. Fenomena ini dikenal dengan pressure natriuresis (He & MacGregor,2007).
Normalnya seorang individu hanya memerlukan sodium 500 mg/hari. Konsumsi sodium
yang melebihi batas atas ginjal akan menaikkan tekanan darah. Konsumsi sodium yang lebih dari
100 mmol/hari akan melewati kemampuan ginjal untuk mengeksresikan sodium sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah (gambar 2.4).
Meskipun bukti-bukti yang menghubungkan konsumsi garam yang berlebihan dengan
hipertensi sudah cukup banyak, namun belum ada penjelasan sederhana mengenai bagaimana
retensi garam dapat meningkatkan tekanan darah.
Gambar 2.4. Hubungan Peningkatan Tekanan Darah dan Konsumsi Sodium (Kaplan,2010)
Beberapa kemungkinan yaitu retensi garam dapat menyebabkan vasokonstriksi,
remodelling pembuluh darah.dan hipertensi baik melalui mekanisme yang terkait volume
(volume dependent) atau melalui mekanisme yang tidak terkait volume (volume independent).
Beberapa teori yang mendasari kedua mekanisme tersebut disebutkan dalam tabel 2.3.
Terdapat dua teori terkait volume yaitu autoregulasi dimana otot polos pembuluh darah
dapat mengalami vasokonstriksi dengan properti intrinsiknya tanpa adanya pengaruh neural
maupun hormonal, yang disebabkan oleh karena peningkatan volume (lihat gambar 2.5). Volume
cairan yang berlebihan menyebabkan peningkatan preload sehingga curah jantung meningkat.
Peningkatan curah jantung menyebabkan suplai cairan ke jaringan melebihi kebutuhan sehingga
arteri merespons dengan vasokonstriksi untuk menghentikan suplai yang berlebihan, sehingga
menyebabkan peningkatan resistensi perifer dan meningkatnya tekanan darah (Arhima,2012).
Tabel 2.3.Mekanisme Sodium Dalam Meningkatkan Tekanan Darah (Rodriguez dkk., 2007)
Mekanisme terkait volume cairan :
- Efek sistem saraf pusat yang diperantarai angiotensin
- Penigkatan aktivitas sistem saraf simpatis
- Hipertropi mioblast di jantung dan sel otot polos pembuluh darah
- Peningkatan produksi faktor nuklear κB
- Peningkatan ekspresi reseptor AT1R pada jaringan ginjal
- Peningkatan produksi transforming growth factor β
Teori yang kedua adalah teori endogenous ouabain like inhibitor (EO) atau yang disebut
cardiac glycoside. Cardiac Glycoside (EO) menghambat Na-K-ATPase pada otot halus dan otot
jantung (Gambar 2.6). Berdasarkan teori ini, retensi garam dapat menstimulasi sel-sel glomerulus
adrenal untuk melepaskan EO yang akan menghambat pompa Na/K-ATPase pada otot polos
pembuluh darah dan otot jantung dan menyebabkan peningkatan aliran keluar sodium melalui
Na-Ca- Exchanger (NCX) dan meningkatkan Ca 2+
di sitosol sehingga menyebabkan
darah (Rodriguez dkk., 2007).
Gambar 2.6. Peningkatan Tekanan Darah Melalui Produksi Endogenous Oubain Like
Steroid/Cardiac glicoside (Kaplan,2010)
Mekanisme retensi sodium dapat meningkatkan tekanan darah yang tidak terkait volume
cairan, dapat disebabkan karena sodium yang berlebihan pada akhirnya menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan tekanan darah (Kaplan,2010).
2.1.5.2. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAA)
Sistem RAA merupakan sistem yang memegang peranan penting dalam kontrol
homeostatik tekanan arterial, perfusi jaringan dan homeostatik volume ekstraseluler. Sistem ini
berfungsi sebagai suatu kelenjar endokrin yang unik dimana hormon aktifnya yaitu angiotensin II
dibentuk di ruang ekstraseluler melalui proses pembelahan proteolitik sekuential dan
prekusornya, dan mampu meningkatkan tekanan darah melalui berbagai mekanisme. Renin yang
dihasilkan oleh sel-sel jukstaglomerulus ginjal, akan memecah angiotensinogen, suatu substrat
renin yang dihasilkan oleh hati, menjadi angiotensin I yang kemudian akan dikonversi menjadi
hormon aktif angiotensin II oleh angiotensin converting enzyme. Lihat Gambar 2.7.
Angiotensin converting enzyme (ACE) selain terdapat di paru dalam jumlah yang
berlimpah, juga terdapat pada jantung dan pembuluh darah yang disebut sebagai ACE jaringan.
Selain lewat jalur ACE, terdapat jalur alternatif untuk mengonversi angiotensi I menjadi
angiotensin II yaitu melalui jalur chimase. Chimase adalah suatu enzym serin protease yang
terdapat pada jantung dan arteri (Vikran dan Tiwari, 2001).
Gambar 2.7. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (Kaplan,2010)
Berikut adalah pemaparan dan peranan hormon-hormon dalam sistem RAAS yaitu :
Renin
Jalur hormonal RAAS dimulai dengan biosintesis renin di sel jukstaglomerular yang terletak di
arteriola aferen dan juga di arteriola eferan pada glomerulus ginjal.
Prinsip sekresi renin secara aktif diatur oleh empat faktor yang saling terkait yaitu
melalui mekanisme baroreseptor pada arteriola afferen yang dapat mengindera perubahan
tekanan perfusi renal. Kedua melalui perubahan pengaliran NaCl, yang terdeteksi sebagai
perubahan konsentrasi Cl -
ke dalam sel – sel makula densa di tubulus distalis yang terletak di
dekat sel – sel jukstaglomerular dan bersama – sama membentuk apparatus juksta glomerula.
Ketiga melalui stimulasi saraf simpatetik melalui reseptor beta -1 adrenergik, dan yang keempat
melalui umpan balik secara langsung dari angiotensin II pada sel – sel jukstaglomerulus (Vikran
dan Tiwari, 2001).
Indeks klinis untuk mengukur aktivitas RAA adalah aktivita renin plasma atau plasma
renin activity (PRA) dan konsentrasi renin plasma atau plasma renin concentration (PRC).
Peningkatan tekanan darah, khususnya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh
peningkatan vokume yang terkait dengan kadar garam seharusnya menyebabkan umpan balik
negatif berupa supresi atau penekanan PRA yang komplit. Namun pada kenyataannya, pada
beberapa pasien dengan hipertensi primer ada yang memiliki tingkat PRA yang lebih tinggi
dibandingkan pada pasien normotensi pada usia dan jenis kelamin yang sama. Pada suatu
penelitian terhadap pasien hipertensi primer, ternyata didapatkan 20% memiliki kadar renin yang
tinggi, 30% memiliki kadar renin yang rendah dan sisanya memiliki kadar renin yang normal.
Ketidaksesuaian ini dapat dijelaskan dengan beberapa teori yaitu teori heterogenitas nefron, teori
neurogenik atau aktivitas simpatis dan teori nonmodulasi. Pada teori heterogenitas nefron, kadar
renin sirkulasi tetap tinggi karena terdapat subpopulasi dari nefron yang mengalami iskemik
yang berkontribusi memproduksi renin dalam jumlah yang berlebihan. Pada teori neurogenik,
disebutkan bahwa kadar renin yang tinggi pada pasien hipertensi disebabkan oleh stimulasi
neurogenik sedangkan pada teori nonmodulasi, kadar renin yang tetap tinggi pada pasien
hipertensi primer dianggap terjadi karena adanya defektivitas pada umpan balik pengaturan
sistem RAA dalam ginjal dan kelenjar adrenal (Kaplan,2010).
Angiotensin
Angiotensinogen akan dipecah oleh renin menjadi angiotensin I yang kemudian
dikonversi menjadi hormon aktif yaitu angiotensin II melalui jalur ACE maupun melalui jalur
alternatif chimase. Angiotensin II dapat meningkatkan tekanan darah melalui beberapa
mekanisme di antaranya melalui konstriksi pembuluh darah resisten, menstimulasi sintesis dan
pelepasan aldosteron, menstimulasi reabsorbsi sodium di tubulus renalis secara langsung dan
secara tidak langsung melalui peran aldosteron, juga melalui stimulasi rasa haus dan pelepasan
hormon antidiuretik serta melalui peningkatan aliran simpatetik dari otak. Angiotensin II juga
dapat menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia sel – sel kardiak dan vaskuler secara langsung
dengan mengaktivasi reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) dan secara tidak langsung dengan
menstimulasi pelepasan beberapa faktor pertumbuhan dan sitokin – sitokin.
Aktivasi reseptor AT1 akan menstimulasi berbagai macam tirosin kinase yang berperan
memfosforilasi residu – residu tirosin pada beberapa protein dan menyebabkan vasokonstriksi,
pertumbuhan sel dan proliferasi sel. Sedangkan aktivasi reseptor AT2 akan menstimulasi
fosfatase yang berperan mengativasi protein kinase yang teraktivasi mitogen, suatu enzim
penting yang berperan dalam transduksi sinyal – sinyal dari reseptor AT1. Dengan demikian,
aktivasi reseptor AT2 menghasilkan efek- efek biologis yang berlawanan dengan aktivasi
reseptor AT1 yaitu menyebabkan vasodilatasi, penghambatan pertumbuhan sel dan
penghambatan diferensiasi sel.
Peran fisiologis reseptor AT2 pada organisme dewasa masih belum jelas , akan tetapi
dianggap mempunyai peran dan fungsi dalam kondisi stres, seperti pada injury vaskular dan pada
iskemia reperfus. Pada pemberian angiotensin II tipe 1 receptor blocker (ARB) maka renin akan
dikeluarkan dari ginjal karena hilangnya umpan balik inhibisi oleh angiotensin II. Dan
peningkatan pembentukan angiotensin II yang diarahkan ke reseptor AT2 akan menyebabkan
vasodilatasi dan penghentian remodeling vaskular yang tidak diinginkan.
Produksi lokal angiotensin II pada berbagai jaringan meliputi pembuluh darah, jantung,
adrenal dan otak, dikendalikan oleh ACE dan enzim – enzim lain termasuk enzim serin
proteinase chimase. Aktivitas sistem renin angiotensin lokal dan jalur alternatif pembentukan
angiotensin II memberikan kontribusi yang penting pada remodelling pada pembuluh darah
resisten dan perkembangan kerusakan target organ ang mencakup hipertrofi ventrikel kiri, gagal
jantung kongestif, aterosklerosis, stroke, PGK, infark miokard dan juga aneurisma arteial yang
dapat terjadi pada penderita hipertensi (Daien dkk., 2012).
Aldosteron
Aldosteron disintesis dengan suatu pola yang teratur di kelenjar ekstra adrenal dan
mempunyai aksi yang bersifat autokrin maupun parakrin terhadap jantung dan pembuluh darah.
Jantung dan pembuluh darah juga akan mengekspresi suatu reseptor mineralokortikoid dengan
afinitas yang tinggi, yang dapat mengikat baik mineralokortikoid maupun glukokortikoid.
Aktivasi reseptor-reseptor mineralokortikoid ini dianggap dapat menstimulasi fibrosis
intravaskuler dan perivaskuler serta interstistial fibrosis pada jantung.
Golongan obat antagonis aldosteron non selektif yaitu spironolakton dan golongan
aldosteron selektif yang terbaru yaitu eplerenon, cukup efektif untuk mencegah dan
memutarbalikkan proses deposisi kolagen pada pembuluh darah dan jantung yang dilakukan
pada eksperimen hewan coba. Pengobatan spironolakton pada pasien dengan gagal jantung
dapat mengurangi kadar prokolagen tipe III N- terminal aminopeptida di sirkulasi darah, yang
menunjukkan adanya suatu efek antifibrotik. Spironolakton dan antagonis aldosteron selektif
yang lebih baik yaitu eplerenon, digunakan untuk mengobati pasien dengan hipertensi, gagal
jantung dan infark miokard akut yang memiliki komplikasi disfungsi ventrikel kiri atau
komplikasi gagal jantung, karena memiliki efek unik yaitu efek proteksi terhadap jaringan Currie
dkk.,2012).
Sistem Saraf Otonom
Sistem saraf otonom terdiri dari sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Pada
sistem saraf simpatik, input sinaps eksitasi dan inhibisi berasal dari nukleus traktus solitarius
(NTS) menuju ke saraf – saraf di nukleus rostral ventrolateral medula (RVLM), sebagai pusat
aliran simpatetik di batang otak. Dari RVLM di batang otak tersebut serabut simpatis
preganglionik bersinaps di medulla adrenal dan di rangkaian ganglia simpatis para vertebral
untuk melepaskan epineprin. Serabut – serabut postganglionik yang melepaskan norepineprin
akan menginervasi jantung, pembuluh darah dan ginjal.
Epineprin dan norepineprin atau biasa disebut sebagai katekolamin akan berikatan
dengan protein G-coupled pada reseptor adrenergik α dan β. Adrenoreseptor α1 paling banyak
terdapat pada pembuluh darah resistan dan perantara sebagian besar vasokonstriksi yang
disebabkan oleh stimulasi neural lewat pelepasan norepineprin. Terdapat tiga jenis subtipe dari
reseptor α2, yaitu reseptor α2a, α2b, dan α2c. Reseptor α2a terdapat pada nukelus RVLM dan
bersifat menekan simpatetik. Reseptor ini menjadi perantara efek hipotensi saat berikatan dengan
klonidin atau obat simpatolitik sentral lain. Baik reseptor α2a maupun α2c juga terdapat pada
ujung saraf simpatis dan menghambat pelepasan NE. Sedangkan reseptor α2b terletak pada
pembuluh darah perifer yang menyebabkan vasokonstriksi bila berikatan dengan katekolamin
dalam sirkulasi.
darah, selain itu juga berkontribusi mempertahankan dan memperburuk hipertensi melalui
stimulasi terhadap jantung, pembuluh darah perifer dan retensi cairan. Ketidakseimbangan fungsi
saraf otonom yaitu adanya peningkatan aktivitas simpatis disertai dengan penurunan aktivitas
parasimpatis, berhubungan dengan banyak abnormalitas-abnomalitas metabolik, hemodinamik,
trofik dan rheologik yang menyebabkan adanya peningkatan morbiditas dan mortalitas oleh
karena masalah kardiovaskular (Grassi, 2004).
Mekanisme peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis pada pasien hipertensi bersifat
kompleks dan melibatkan adanya perubahan – perubahan pada jalur barorefleks dan
kemorefleks, baik pada level periferal maupun pada level sentral. Baroreseptor arterial
mengalami pengaturan ulang ke kondisi tekanan darah yang tinggi pada pasien hipertensi, dan
pengaturan ulang di level perifer ini akan kembali normal apabila tekanan darah arterial kembali
normal. Dengan mengembalikan sistem barorefleks kembali normal, maka akan dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah arterial. Hal tersebut di atas merupakan mekanisme
pengaturan yang cukup menguntungkan yang mempunyai implikasi klimis yang cukup penting.
Selain pengaturan ulang di perifer, pada level sentral juga tedapat pengaturan ulang yaitu
refleks serabut saraf baroreseptor di aorta. Pengaturan ulang barorefleks ini sebagian besar
diperantarai oleh aksi sentral dari angiotensin II. Angiotensin II juga memperkuat respons
terhadap stimulasi simpatetik pada mekanisme perifer yaitu melalui modulasi pelepasan
norepineprin pada serabut presinaptik. Mediator – mediator berukuran molekul kecil yang lain
yang mampu menekan aktivitas baroreseptor dan berkontribusi memperkuat aktivitas simpatis
pada pasien hipertensi di antaranya adalah ROS dan endotelin (Abdelhalim, 2004).
Stimulasi simpatis kronis dapat memicu remodelling vaskuler dan hipertrofi ventrikel
kiri, melalui mekanisme aksi norepineprin baik secara langsung maupun tidak langsung ke
reseptornya maupun pelepasan berbagai faktor – faktor trofik seperti transforming growth
factors, insulin like growth factors, dan faktor pertumbuhan fibroblast. Studi – studi klinis juga
menunjukkan hubungan yang positif antara kadar norepineprin sirkulasi , massa ventrikel kiri
dan pengurangan kelenturan arteri radialis yang merupakan suatu indeks hipertrofi vaskuler.
Jadi, mekanisme simpatetik selain berkontribusi terhadap perkembangan hipertensi juga
memiliki kontribusi terhadap perkembangan kerusakan target organ (Currie dkk., 2012).
2.1.5.3. Disfungsi Endotel
Salah satu faktor penting dari patogenesis hipertensi adalah disfungsi endotel. Lapisan
endotel pada pembuluh darah berperan cukup vital dalam menjada kesehatan pembuluh darah
karena merupakan suatu pertahanan utama terhadap aterosklerosis dan hipertensi. Disfungsi
endotel, suatu penanda adanya suatu hipertensi dan faktor risiko kardiovaskular yang lain,
ditandai dengan adanya gangguan pengeluaran faktor-faktor relaksasi dari endotel (endotel
derived relaxing factors) seperti nitri oksida (NO) dan peningkatan pengeluaran faktor endotel
yang bersifat proinflamasi, protrombotik, faktor pertumbuhan dan faktor vasokonstriksi yang
mencakup endothelin, tromboksan dan TGF-β. Adanya faktor-faktor yang disebutkan terakhir
tersebut menunjukkan bahwa pembuluh darah terinflamasi oleh kondisi hipertensi dan inflamasi
vaskuler sendiri juga beperan dalam pembentukan dan komplikasi munculnya tekanan darah
tinggi (Abdelhalim,2004).
Disfungsi endotel adalah fenomena kompleks yang secara klasik telah dikaitkan dengan
adanya perubahan jalur L –arginin nitrit oksida (NO) sintase guanilil siklase, adanya penurunan
hiperpolarisasi endotel dan adanya peningkatan produksi faktor vasokonstriktor terutama
prostanoid. NO adalah vasodilator yang cukup poten dan berperan sebagai penghambat adhesi
dan agregasi platelet serta penekan migrasi dan proliferasi sel otot polos vaskuler. NO dihasilkan
oleh sel endotel normal sebagai respons terhadap berbagai rangsangan termasuk salah satunya
karena perubahan tekanan darah, adanya shear stress dan regangan pulsatile.NO juga berperan
penting dalam pengaturan tekanan darah, trombosis dan proses aterosklerosis. Sistem
kardiovaskular pada individu sehat akan terpapar dengan regangan vasodilator yang terkait
dengan NO, secara terus menerus, namun relaksasi vaskuler yang terkait NO ini ternyata hilang
pada individu dengan hipertensi. Suatu percobaan dengan memberikan superoksida dismutase,
suatu enzim yang mereduksi superoksida menjadi hidrogen peroksida secara invivo
menunjukkan adanya penurunan tekanan darah dan mengembalikan bioaktivitas NO dan hal ini
menunjukkan bahwa stres oksidan yang ditunjukkan dengan adanya ROS, berkontribusi terhadap
inaktivasi NO dan perkembangan disfungsi endotel pada hipertensi. ROS menyebabkan
terjadinya disfungsi endotel yang memperburuk kondisi hipertensi, melalu serangkaian proses
yang terkait dengan proses reduksi dan oksidasi di otot polos pembuluh darah (Paravicini &
Touyz,2006).
Sodium yang dikonsumsi akan disekresikan terutama melalui ginjal yaitu melalui
produksi urin. Sekresi sodium melalui urin berperan penting dalam menjaga homeostatis air dan
tekanan darah dalam tubuh. Normalnya seorang sehat mempunyai kebutuhan minimal akan
sodium adalah 500 mg/hari. Sekitar 85-90% sodium yang dikonsumsi diekskresikan melalui
ginjal. Kebutuhan fisiologis sodium yaitu 500 mg/hari. Konsumsi sodium rata-rata penduduk
dunia mencapai 12 gram/hari. Konsumsi ini jauh lebih tinggi dari kemampuan ginjal dalam
mensekresikan urin terlewati. Pengukuran konsumsi sodium dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu
secara subjektif dengan dietary food recall dan objektif dengan pemeriksaan sodium urin spot,
overnight dan urin 24 jam.
Pemeriksaan sodium urin 24 jam merupakan baku emas dalam menilai konsumsi sodium
seseorang. Satuan untuk menyatakan kadar sodium dalam urin yang biasa digunakan adalah
milimolar (mmol) atau miligram. Untuk kemudahan konversi sodium dari mmol dapat dilihat
pada tabel 2.4. Kadang-kadang konsumsi sodium dinyatakan sebagai konsumsi garam. Garam
adalah senyawa kimia yang terdiri sodium dan klorida dengan 1 mmol sodium sama dengan 58
mg garam.
Milimol (mmol) miligram Miligram Milimol (mmol)
1 23 500 22
50 1150 1000 43,5
100 2300 1500 65
150 3450 2000 87
Tabel 2.5. Kelebihan dan Kekurangan Penghitungan Konsumsi Sodium (Elliot dan Brown,
2006)
Recall Makanan Kuisioner makan Mudah dikerjakan
dan murah
Banyak kesalahan
yang terjadi
seobjektif
dengan
Pengukuran konsumsi sodium yang termudah adalah dengan dietary food recall
(wawancara) namun sering tidak tepat menggambarkan jumlah konsumsi sodium yang
sebenarnya karena bersifat sangat subjektif dan banyak human erorr yang terjadi karena lupa
akan makanan yang dikonsumsi. Jumlah konsumsi sodium selama 24 jam dari wawancara dapat
dihitung dengan perangkat lunak nutrisurvey yang telah divalidasi dan digunakan oleh WHO
sebagai perangkat lunak untuk menilai asupan nutrisi (Mugo dkk.2004).
Pengukuran dengan urin sodium 24 jam paling objektif menggambarkan jumlah
konsumsi sodium namun kendalanya pasien sering tidak bisa menampung urin yang diperlukan
selama 24 jam. Kelebihan dan kekurangan masing-masing teknik pengukuran konsumsi sodium
dapat dilihat pada tabel 2.5.
Pengukuran konsumsi sodium yang paling mendekati baku emas urin dan teknik
pengambilannya tidak terlalu menyulitkan pasien adalah overnight urine dimana pasien diminta
mengumpulkan urin yang dikumpul selama 8-12 jam yang dihitung saat pasien akan tidur pada
malam hari.
2.3.1. Waktu pengukuran
Untuk diagnosis hipertensi, beberapa bacaan harus dilakukan pada berbagai waktu
selama jam bangun dari pasien. Variabel lain yang dapat mempengaruhi tekanan darah harus
dihindari dalam 30 – 60 menit sebelum evaluasi tekanan darah. Hal ini termasuk asupan
makanan, latihan berat, merokok dan konsumsi kafein. Merokok dapat menimbulkan kenaikan
tekanan darah sehingga dianjurkan untuk tidak merokok selama lebih dari 30 menit sebelum
pengukuran dilakukan. Asupan kafein dapat meningkatkan tekanan darah secara akut, terutama
pada peminum kopi yang non-habitual. Pengukuran tekanan darah di ruangan yang sejuk (12 0 C)
atau saat pasien berbicara dapat meningkatkan nilai yang terukur sebanyak 8 – 15 mmHg.
2.3.2. Jenis perangkat pengukuran dan Ukuran Manset
Sfigmomanometer merkuri memberikan pengukuran yang paling akurat dari tekanan
darah spigmomanometer aneroid, yang digunakan di banyak kantor/ tempat kerja, harus
diperiksa dan disesuaikan dengan perangkat tekanan darah yang menggunakan merkuri/air raksa
karena alat pengukur tersebut menggunakan udara/sistem pegas sebagai mekaniknya yang
memungkinkan terjadinya kesalahan (Chobanian dkk.,2003).
Penggunaan manset yang berukuran tepat adalah sangat penting. Jika manset yang
digunakan terlalu kecil, tekanan yang dihasilkan untuk menggembungkan manset mungkin tidak
sepenuhnya ditransmisikan ke arteri brakhialis. Sehingga dalam pengaturan ini tekanan dalam
manset mungkin jauh lebih tinggi dari tekanan intraarterial, yang dapat menyebabkan tekanan
sistolik terlalu tinggi sebanyak 10 – 50 mmHg terutama pada pasien obesitas.
Panjang manset BP harus 80 persen, dan lebar minimal 40 persen (beberapa
menggunakan 46 persen) dari lingkar atas. Rekomendasi lebar manset ini tidak dapat
dipergunakan secara praktis pada pasien dengan obesitas. Satu pedoman mengenai ukuran
manset yang tepat untuk lingkar lengan yang ditunjuk adalah sebagai berikut :
- Lingkar lengan 22 – 26 cm, manset dewasa kecil 12x22 cm
- Lingkar lengan 27 – 34 cm, manset dewasa 16x30 cm
- Lingkar lengan 35 – 44 cm, manset dewasa besar 16 x 36 cm
- Lingkar lengan 45 – 52 cm, manset paha orang dewasa 16 x 42 cm
Namun rekomendasi lainnya terdapat beberapa perbedaan misalnya untuk lingkar lengan
<50cm, menggunakan manset dewasa besar 12 x 40 cm sedangkan yang lain merekomendasikan
manset paha 20x42 cm untuk lingkar lengan <52cm (Rajeev dan Guptha, 2010).
2.3.3. Posisi Pasien dan Penempatan Manset
Pengukuran tekanan darah idealnya dilakukan dalam posisi duduk dengan punggung
yang bersandar. Nilai pengukuran dengan posisis terlentang cenderung sedikit berbeda, dengan
tekanan darah sistolik yang lebih tinggi hingga 2 – 3 mmHg dan tekanan diastolik yang lebih
rendah pada tingkat yang sama. Pengukuran dengan posisi terlentang dan posisi berdiri dengan
jeda 5 menit saat berdiri harus selalu diambil pada orang tua, penyakit diabetes dan parkinson.
Hal ini untuk mendeteksi adanya hipertensi postural, yang seringkali berhubungan dengan
insufisiensi saraf otonom.
Lengan harus didukung sampai sejajar setinggi jantung. Membiarkan lengan
menggantung ke bawah ketika pasien duduk atau berdiri akan mengakibatkan arteri brakialis
posisinya menjadi 15 cm di bawah jantung. Akibatnya, tekanan darah yang diukur akan
meningkat hingga 10 – 12 mmHg karena penambahan tekanan hidrostatik akibat adanya
gravitasi. Sebaiknya pengukuran yang benar adalah dengan lengan sedikit berada di atas tingkat
dari jantung pada posisi ini. Manometer merkuri sendiri harus bisa terlihat akan tetapi tidak harus
setingkat jantung.
Pasien harus duduk diam selama 5 menit sebelum tekanan darah diukur. Bahkan dalam
kondisi yang optimal, banyak pasien yang terlihat takut ketika ke dokter sehingga terjadi
kenaikan akut pada tekanan darah. Dua puluh hingga tiga puluh persen pasien dengan hipertensi
yang diperiksa di kamar periksa dokter memiliki tekanan darah yang normal saat diperiksa di
luar kamar periksa, fenomena ini disebut white coat hypertension atau hipertensi kamar periksa
yang terisolasi.
Manset tekanan darah harus ditempatkan sejajar dengan garis tengah lengan atas selama
pulsasi arteri brakialis, dengan lengan tanpa pakaian ketat (lengan pakaian pasien tidak boleh
digulung karena dapat bertindak sebagai torniquet). Meskipun pembacaan tekanan darah yang
mirip dengan manset ditempatkan di lengan atas tanpa halangan bajunamun mengambil tekanan
darah di atas pakaian tebal seperti sweater harus dihindari. Jika memungkinkan, ujung bawah
manset tekanan darah harus berada 2 – 3 cm di atas fossa antecubiti untuk meminimalkan adanya
bunyi kebisingan artefak terkait dengan stetoskop yang menyentuh manset (pickering dkk.,
2005).