bab 13. prasangka.pdf

15
1 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini PRASANGKA (PREJUDICE): Penyebab dan Cara Mengatasinya Prasangka : Fenomena sosial (terjadi) di mana-mana Prasangka terjadi di mana-mana dalam berbagai bentuk, dan hal itu memengaruhi kita semua. Prasangka dapat terjadi dalam dua arah: mengalir dari kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas, dan sebaliknya. Kelompok manapun dapat menjadi sasaran prasangka. Banyak aspek dari identitas kita yang dapat menyebabkan kita diberi label dan didiskriminasi, antara lain kebangsaan, ras, etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, agama, penampilan fisik, negara, dll. Beberapa orang memiliki sikap negatif tentang pekerja kerah biru, ada pula yang bersikap negatif terhadap para CEO, dsb. Intinya adalah bahwa tidak satupun dari kita yang benar-benar tidak cedera oleh prasangka; prasangka adalah masalah umum untuk seluruh umat manusia. Ketidaksukaan terhadap suatu kelompok yang berlangsung terus-menerus akibatnya dapat meningkatkan kebencian ekstrim, bahkan dapat diikuti dengan tindakan menyiksa dan membunuh. Salah satu konsekuensi dari seringnya menjadi target prasangka terus-menerus adalah penurunan harga diri seseorang. Prasangka dan Harga Diri Anak-anak Amerika Afrika, bahkan yang masih berumur 3 tahun nampaknya sudah berpikir tidak menginginkan menjadi orang kulit hitam. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian Clark dan Clark (1947): Anak-anak ditawari pilihan antara bermain dengan boneka kulit putih atau bermain dengan boneka kulit hitam. Sebagian besar dari mereka menolak boneka hitam, mereka merasa bahwa boneka putih lebih cantik dan lebih unggul. Perasaan rendah diri nampaknya telah menyebabkan penindasan terhadap kelompoknya sendiri. Misalnya, penelitian Goldberg (1968) menunjukkan bahwa perempuan dari budaya Afrika-Amerika telah belajar menganggap diri mereka secara intelektual lebih rendah dari pria. Dalam eksperimennya, Goldberg meminta para mahasiswi untuk membaca artikel ilmiah dan mengevaluasinya dalam hal kompetensi dan gaya penulisan. Untuk sebagian subjek, penulis artikel ilmiah itu ditulis dengan nama pria (John T. Mc.Kay), dan untuk sebagian subjek lainnya, artikel ilmiah yang sama itu nama penulisnya ditulis dengan nama wanita (Joan T. Mc.Kay). Hasilnya ternyata para mahasiswi itu menilai lebih tinggi dalam kondisi artikel ilmiah itu diinformasikan sebagai tulisan seorang pria. Hasil penelitian Clark & Clark (1947) dan Goldberg (1968) di atas menunjukkan adanya warisan prasangka dalam suatu masyarakat.

Upload: dangliem

Post on 12-Jan-2017

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini

PRASANGKA (PREJUDICE):

Penyebab dan Cara Mengatasinya

Prasangka : Fenomena sosial (terjadi) di mana-mana Prasangka terjadi di mana-mana dalam berbagai bentuk, dan hal itu

memengaruhi kita semua. Prasangka dapat terjadi dalam dua arah: mengalir dari

kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas, dan sebaliknya. Kelompok manapun

dapat menjadi sasaran prasangka. Banyak aspek dari identitas kita yang dapat

menyebabkan kita diberi label dan didiskriminasi, antara lain kebangsaan, ras, etnis,

jenis kelamin, orientasi seksual, agama, penampilan fisik, negara, dll.

Beberapa orang memiliki sikap negatif tentang pekerja kerah biru, ada pula

yang bersikap negatif terhadap para CEO, dsb. Intinya adalah bahwa tidak satupun

dari kita yang benar-benar tidak cedera oleh prasangka; prasangka adalah masalah

umum untuk seluruh umat manusia. Ketidaksukaan terhadap suatu kelompok yang

berlangsung terus-menerus akibatnya dapat meningkatkan kebencian ekstrim, bahkan

dapat diikuti dengan tindakan menyiksa dan membunuh. Salah satu konsekuensi dari

seringnya menjadi target prasangka terus-menerus adalah penurunan harga diri

seseorang.

Prasangka dan Harga Diri Anak-anak Amerika Afrika, bahkan yang masih berumur 3 tahun nampaknya

sudah berpikir tidak menginginkan menjadi orang kulit hitam. Hal ini ditunjukkan

dalam penelitian Clark dan Clark (1947): Anak-anak ditawari pilihan antara

bermain dengan boneka kulit putih atau bermain dengan boneka kulit hitam. Sebagian

besar dari mereka menolak boneka hitam, mereka merasa bahwa boneka putih lebih

cantik dan lebih unggul.

Perasaan rendah diri nampaknya telah menyebabkan penindasan terhadap

kelompoknya sendiri. Misalnya, penelitian Goldberg (1968) menunjukkan bahwa

perempuan dari budaya Afrika-Amerika telah belajar menganggap diri mereka secara

intelektual lebih rendah dari pria. Dalam eksperimennya, Goldberg meminta para

mahasiswi untuk membaca artikel ilmiah dan mengevaluasinya dalam hal kompetensi

dan gaya penulisan. Untuk sebagian subjek, penulis artikel ilmiah itu ditulis dengan

nama pria (John T. Mc.Kay), dan untuk sebagian subjek lainnya, artikel ilmiah yang

sama itu nama penulisnya ditulis dengan nama wanita (Joan T. Mc.Kay). Hasilnya

ternyata para mahasiswi itu menilai lebih tinggi dalam kondisi artikel ilmiah itu

diinformasikan sebagai tulisan seorang pria.

Hasil penelitian Clark & Clark (1947) dan Goldberg (1968) di atas menunjukkan

adanya warisan prasangka dalam suatu masyarakat.

2 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini

A. DEFINISI PRASANGKA Prasangka merupakan sikap. Sikap terdiri dari tiga komponen:

komponen afektif atau emosional , mewakili kedua jenis emosi yang berkaitan

dengan sikap (misalnya, kemarahan, kehangatan) dan ekstremitas

sikap (misalnya, kegelisahan ringan, permusuhan langsung).

komponen kognitif , yang melibatkan keyakinan atau pikiran-pikiran yang

membentuk sikap.

komponen perilaku, berkaitan dengan tindakan seseorang. Sikap biasanya diikuti

dengan perilaku (meskipun tidak selalu).

Prasangka, menunjuk pada struktur sikap umum dengan komponen afektifnya

(emosional). Prasangka, bisa positif atau negatif, namun para psikolog sosial (dan

orang-orang pada umumnya) menggunakan kata prasangka terutama menunjuk pada

sikap negatif terhadap orang lain. Prasangka dalam konteks ini didefinisikan sebagai:

‚Sikap negatif terhadap individu atau sekelompok individu tertentu, yang hanya

didasarkan pada keanggotaan individu tersebut dalam kelompok tertentu.‛

1. Stereotip : Komponen Kognitif

Istilah stereotype pertama kali diperkenalkan oleh Jumalis Walter Lippmann

(1992). Ia menggambarkan stereotype sebagai "The little pictures we carry around inside

our head", dimana gambaran-gambaran tersebut merupakan skema mengenai

kelompok. Budaya atau kelompok tertentu dapat digambarkan dengan ciri-ciri yang

sama. Contohnya, kita akan terkejut jika menjumpai supir taksi perempuan, karena

profesi supir taksi biasanya dijalankan oleh laki-laki.

Stereotip adalah proses kognitif, bukan emosional. Stereotip tidak selalu

mengarah pada tindakan yang sengaja dilakukan untuk melecehkan. Seringkali

stereotip hanyalah sebuah teknik yang kita gunakan untuk menyederhanakan dalam

melihat dunia. Namun bagaimanapun juga, stereotipe tidak boleh membutakan manusia

dalam melihat perbedaan-perbedaan individual yang ada, karena bila demikian bersifat

maladaptif, tidak adil, dan berpotensial untuk menjadi sesuatu yang melecehkan.

Olahraga, Ras, dan Atribusi

Potensi penyalahgunaan stereotype sebagai jalan pintas mental terlihat jelas.

Contohnya, suatu etnis tertentu dianggap pemalas, dan etnis lainnya dianggap serakah.

Namun potensi tersebut dapat juga terselubung, bahkan mengandung atribut positif.

Contohnya, kebanyakan orang cenderung menganggap bahwa orang kulit hitam mahir

Stereotype:

Generalisasi mengenai suatu kelompok orang, di mana karakteristik tertentu

diberikan kepada seluruh anggota kelompok tersebut, tanpa mengindahkan

adanya variasi yang ada pada anggota-anggotanya.

3 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini

dalam permainan bola basket, dan ketika menemukan seorang kulit hitam yang tidak

dapat bermain basket, kita akan terkejut. Bila demikian, kita menolak individualitas

orang kulit hitam tersebut.

Stereotip, Atribusi, dan Gender

Wanita cenderung digambarkan memiliki perilaku yang lebih sensitif secara

sosial, ramah, dan lebih peduli atas kesejahteraan orang lain bila dibanding

dengan pria; sedangkan pria digambarkan cenderung berperilaku dengan cara

yang lebih dominan, mengontrol, dan mandiri.

Fenomena stereotip gender seringkali tidak mencerminkan realitas. Misalnya,

penelitian Deaux dan Emsweiler (1974) menunjukkan bahwa ketika seorang

pria berhasil pada tugas yang kompleks, pengamat dari kedua jenis kelamin

mengatribusi keberhasilan tsb disebabkan oleh kemampuan yang dimiliki. Di sisi lain

jika seorang wanita sukses dalam tugas yang sama, pengamat mengatribusi kesuksesan

tersebut disebabkan keberuntungan.

2. Diskriminasi: Komponen Perilaku

Ketika stereotype menimbulkan perilaku yang tidak adil terhadap orang lain,

maka telah terjadi diskriminasi.

Di Amerika, beberapa hasil penelitian selama dua dekade lalu menunjukkan

bahwa homoseksual menghadapi perlakuan diskriminatif dan antipati di hari-hari

kehidupan mereka. Tidak seperti perempuan, etnis minoritas, orang cacat,

homoseksual tidak dilindungi oleh hukum nasional yang melarang diskriminasi di

tempat kerja. Kaum homoseksual rentan terhadap diskriminasi dalam dunia pekerjaan.

Untuk melihat kemungkinan ini, Michelle Hebl dkk (2002) mengadakan suatu

eksperimen lapangan dengan menggunakan enam belas mahasiswa (delapan pria dan

delapan perempuan) yang mencoba untuk melamar pekerjaan di toko-toko lokal.

Dalam beberapa wawancara, mahasiswamahasiswa tersebut mengaku bahwa mereka

homoseksual dan dalam beberapa wawancara lain mereka tidak mengakuinya.

Mahasiswa-mahasiswa tersebut berpakaian jeans dan jaket yang sama. Penelitian ini

menguji dua jenis diskriminasi, yaitu formal discrimination dan interpersonal

discrimination. Untuk mengukur formal discrimination, peneliti mencoba melihat adanya

perbedaan dalam perkataan employer mengenai ketersediaan pekerjaan, perbedaan

apakah employer mengizinkan mengisi formulir pekerjaaan, perbedaan apakah employer

memberikan jawaban atas lamaran kerja, dan perbedaan respon employer ketika

dimintai izin untuk pcrgi ke kamar kecil. Peneliti tidak menemukan adanya perbedaan

Diskriminasi:

Perilaku negatif atau membahayakan terhadap anggota kelompok tertentu,

semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut.

4 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini

yang signifikanmengenai hal ini. Namun peneliti melihat adanya indikasi interpersonal

discrimination yang kuat terhadap kaum homoseksual. Dibandingkan interaksi dengan

mahasiswa yang tidak mengaku homoseksual, employer kurang positif secara verbal,

menghabiskan waktu lebih sedikit untuk wawancara, tidak terlalu banyak berbicara

ketika mengobrol, dan melakukan lebih sedikit kontak mata dengan mahasiswa yang

mengaku homoseksual. Perilaku para employer ini menunjukkan adanya

ketidaknyamanan atau jarak terhadap orang yang mereka anggap homoseksual.

B. PENYEBAB PRASANGKA

1. Cara Berpikir : Kognisi Sosial

Penjelasan pertama mengenai penyebab prasangka, bahwa prasangka adalah

produk sampingan yang tak terelakkan dari cara kita memproses dan mengatur

informasi. Kecenderungan kita untuk mengkategorikan dan mengelompokkan

informasi, membentuk skema dan menggunakannya dalam menafsirkan informasi

baru atau unik, mengandalkan pada heuristicts (jalan pintas dalam penalaran mental)

yang tidak akurat, dan bergantung pada proses memori yang salah, dimana semua

aspek kognisi sosial tersebut dapat membawa kita membentuk stereotip negatif

dan menerapkannya dengan cara diskriminatif. Berikut ini beberapa sisi gelap kognisi

sosial yang terkait dengan prasangka.

Kategorisasi sosial : Kita versus Mereka

Langkah pertama dalam prejudice adalah terjadinya kategorisasi;

mengelompokkan orang berdasarkan karakteristik tertentu, seperti gender, kebangsaan,

etnis, dan sebagainya. Ketika bertemu orang-orang dengan karakteristik tertentu,

manusia akan bergantung pada persepsi yang dibentuk di masa lalu mengenai orang

dengan karakteristik tersebut untuk membantu menentukan reaksi dan perilaku untuk

mengahadapi orang dengan karakteristik tersebut. Sebagai contoh, Jane Elliot (1977),

seorang guru SD kelas 3 di Riceville, Iowa, mengelompokkan muridnya berdasarkan

warna mata mereka untuk mengajarkan tentang prasangka, karena kehidupan murid-

muridnya terlalu terlindungi dimana mereka semua berkulit putih dan penganut

agama Kristen. Elliot berkata pada murid-muridnya bahwa anak-anak yang bermata

biru merupakan anak-anak yang lebih superior dari anak yang hermata cokelat.

Perkataan Elliot mulai menunjukkan dampak yang signifikan, kelas yang awalnya

sangat kooperatif dan kohesif menjadi kelas yang sangat berbeda dari sebelumnya.

Anak-anak bermata biru yang merasa lebih superior mulai mengucilkan dan tidak mau

bermain bersama anak bermata cokelat. Anak-anak bermata cokelat menjadi tertekan

dan menghasilkan nilai tes yang buruk pada hari itu. Hari berikutnya Elliot

menyatakan bahwa pengelompokkan hari sebelumnya merupakan kesalahan besar, di

mana anak bermata cokelatlah yang sesungguhnya lebih superior dari anak-anak

bermata hiru. Pada hari itu suasana kelas bertukar; anak-anak bermata cokelat

melakukan 'pembalasannya' terhadap anak-anak bermata biru. Pada hari ketiga, Elliot

5 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini

menyatakan makna sesungguhnya dari apa yang telah mereka alami dua hari

belakangan, dan menjelaskan bahwa mereka telah belajar mengenai prasangka dan

diskriminasi. Anak-anak mendiskusikan hal ini dan mereka mengerti pesan yang

disampaikan oleh Elliot. Elliot mengadakan pertemuan kembali dengan murid-

muridnya tsb setelah mereka berumur duapuluhan. Murid-murid Elliot menyatakan

bahwa pengalaman mereka terdahulu mengenai prasangka dan diskriminasi sangat

melekat dan membentuk mereka menjadi pribadi yang sadar akan buruknya prasangka

dan diskriminasi. Dalam kasus Elliot, pada hari pertama murid-murid bermata biru

melihat murid bermata coklat sebagai out-group, berbeda, dan lebih inferior. Sebaliknya,

murid bermata cokelat menganggap diri mereka bukan anggota kelompok 'superior'.

In-group Bias

In-Group Bias adalah perasaan positif dan perlakuan istimewa seseorang kepada

orang lain yang dianggap bagian dari in-group, serta perasaan negatif dan perlakuan

yang tidak adil terhadap orang yang dianggap sebagai bagian out-group.

Henri Tajfel (1982), seorang psikolog sosial dari Inggris, menggarisbawahi motif

utama dari in-group bias, yaitu self~esteem: Individu berusaha meningkatkan self~esteem

dengan cara mengidentifikasi dirinya ke dalam kelompok sosial tertentu. Namun, self-

esteem hanya dapat meningkat jika individu tersebut melihat kelompoknya sebagai

kelompok yang lebih superior dari kelompok lain. Sebagai contoh, bagi anggota Ku

Klux Klan, tidak cukup hanya percaya bahwa ras kulit putih harus dipisahkan dari ras

lain, tapi mereka juga harus yakin akan superioritas kelompok mereka agar merasa

nyaman dan positif terhadap diri mereka.

Berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan oleh Tajfel dkk maupun

peneliti lainnya, dapat disimpulkan bahwa walaupun hanya terdapat sedikit perbedaan

antara in-group dan out-group tertentu, berada dalam in-group membuat individu ingin

'menang' dari out-group, hal ini membuat individu cenderung memperlakukan anggota

out-group dengan tidak adil untuk dapat meningkatkan self-esteem. Ketika in-group

betul-betul 'menang', hal ini memperkuat harga diri dan identifikasi individu terhadap

group tersebut.

Homogenitas Out-group

Penelitian mengenai out-group homogeneity dilakukan pada mahasiswa dua

universitas yang bersaing, yaitu Princeton dan Rutgers. Persaingan kedua universitas

ini berdasarkan pada bidang atletik, akademik, dan kesadaran kelas (Princeton

merupakan universitas swasta, sedangkan Rutgers universitas negeri). Partisipan pria

dari kedua universitas diminta untuk menyaksikan rekaman video mengenai tiga pria

berbeda yang diminta untuk menentukan keputusan. Contohnya, dalam satu video,

eksperimenter menanyakan pada pria dalam video tentang jenis musik yang ingin

didengarkan (musik rock atau klasik) ketika ia berpartisipasi dalam eksperimen

mengenai persepsi auditory. Para partisipan diberitahu bahwa pria dalam video

merupakan mahasiswa Princeton atau Rutgers, maka bagi sebagian partisipan, pria

dalam video adalah anggota in-group dan bagi partisipan lain pria tersebut adalah

6 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini

anggota out-group. Setelah menyaksikan jenis musik pilihan pria dalam video, partisipan

diminta untuk memprediksi persentase mahasiswa laki-laki dari universitas tersebut

yang memilih jenis musik yang sama. Hasilnya, partisipan yang menganggap pria

dalam video sebagai anggota out-group memprediksi persentase yang lebih tinggi

dibandingkan dengan partisipan yang menganggap pria dalam video sebagai anggota

in-group. Hal ini mendukung hipotesis out-group homogeneity: bila kita mengetahui

sesuatu mengenai seorang anggota out-group, kita cenderung merasa tahu mengenai

semua anggota out-group.

Kegagalan Berpikir Logis

Kegagalan berpikir logis (the failure of logic) yaitu keadaan di mana emosi

seseorang mengalahkan logikanya (untuk menerima argumen yang logis). Orang-orang

yang telah memiliki prasangka yang kuat akan suatu hal akan sangat sulit untuk

diubah cara pandangnya, bahkan orang yang biasanya rasional sekalipun dapat

menjadi kebal terhadap logika dan fakta ketika berbicara mengenai hal-hal yang sudah

menimbulkan prasanga tertentu.

Ada dua hal yang menyebabkan hal ini, yaitu aspek afektif dan kognitif dari

sikap (attitude). Aspek afektif atau emosi membuat seseorang sangat susah untuk

diubah cara pandang atau prasangkanya; seseorang yang telah mengembangkan

perasaan/emosi tertentu mengenai suatu hal cenderung memakai emosinya daripada

logika (argumen yang bersifat logis tidak efektif dalam melawan emosi). Aspek kognisi

yang membuat logika gagal adalah pemrosesan informasi. Seperti yang telah dibahas,

dunia terlalu rumit bagi manusia untuk memiliki pemikiran yang berbeda untuk setiap

hal. Pikiran manusia pada dasarnya kurang objektif, contohnya, ketika individu telah

membentuk skema mengenai kelompok tertentu, cara individu tersebut memproses

informasi mengenai kelompok tersebut akan berbeda dengan cara memproses

informasi mengenai kelompok lain. Ketika informasi yang diterima konsisten dengan

skema yang telah terbentuk, informasi ini akan lebih diperhatikan dan akan lebih sering

dilakukan atau diingat dibandingkan informasi yang berlawanan dengan skema.

Kuatnya Stereotip

Pada dasarnya stereotype merefleksikan keyakinan budaya mengenai hal

tertentu. Individu dapat menginternalisasi stereotype tersebut dan menggunakannya

sebagai bagian dari skema yang dimilikinya. Jika individu tidak percaya pada stereotype

yang ada, ia dengan mudah akan mengakui stereotype tersebut sebagai kepercayaan

yang didukung oleh orang-orang lain.

Out-Group Homogeneity:

Persepsi bahwa individu-individu dari out-group satu sama lain cenderung

sama (homogeneous) daripada kenyataannya, dan memiliki lebih banyak

kesamaan dibandingkan dengan individu anggota in-group.

7 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini

Aktifasi Stereotip

Individu dapat memiliki perasaan negatif atau sekedar mengetahui stereotip

tertentu mengenai suatu hal atau orang, namun mereka dapat menekan perasaan

negatif tersebut untuk menonjolkan fakta bahwa mereka adil (tidak berprasangka) dan

mengesampingkan stereotip yang ada. Walaupun demikian, perasaan negatif dan

stereotip sesungguhnya tetap ada dan tersembunyi di dalam diri, dan dapat diaktivasi

oleh stimulus yang ada.

Eksperimen yang dilakukan oleh Rogers dan Prentice-Dunn (1981)

membuktikan hal tsb. Eksperimen ini dilakukan dengan partisipan siswa kulit putih.

Para siswa diberitahu bahwa mereka akan diminta melakukan sengatan listrik terhadap

siswa lain yang sedang belajar (the learners). Partisipan diberitahu bahwa the learners

merupakan orang kulit putih dan hitam. Partisipan memberikan sengatan listrik

dengan intensitas yang lebih rendah kepada orang kulit hitam daripada orang kulit

putih, kemungkinan untuk menekan hasrat atau untuk menunjukkan bahwa mereka

bukan orang yang memiliki prasangka. Suatu saat, partisipan mendengar the learner

memberikan komentar yang merendahkan terhadap mereka, yang secara alami

membuat mereka marah. Sctelah itu. dengan kekuasaan mereka untuk melakukan

sengatan listrik, partisipan yang bertugas untuk orang kulit hitam memberikan

sengatan listrik dengan intensitas yang lebih kuat daripada partisipan yang bekerja

dengan siswa kulit putih. Partisipan berhasil menekan (suppress) perasaan negatif

mereka dalam kondisi normal, namun ketika merasa marah atau frustasi, atau

self~esteem mereka goyah, mereka mengekspresikan prasangka secara langsung.

Proses Stereotip: Otomatis dan Terkendali

Patricia Devine dkk menemukan bahwa anggota masyarakat sama-sama

menyimpan arsip stereotip yang dapat diakses dari pikirannya, meskipun mungkin

mereka tidak mempercayai stereotip tsb. Devine dkk membedakan adanya dua

pemrosesan informasi stereotip, yaitu pemrosesan otomatis dan pemrosesan terkendali.

Pemrosesan otomatis:

Terjadi ketika ada stimulus yang memicu, adanya anggota kelompok yang

distereotip dan pernyataan yang mengandung stereotype, mengakibatkan stereotype

mengenai kelompok tersebut teraktivasi. ~ Terjadinya tanpa disadari, terjadi begitu

saja dipicu oleh adanya suatu stimulus.

Pemrosesan terkendali:

Terjadi dengan kesadaran ~ individu memutuskan untuk mengikuti stereotype yang

ada atau tidak.

Model Prasangka: Justification – Suppression

Berdasarkan penelitian-penelitian Divine dkk mengenai dua jenis pemrosesan

stereotip tersebut di atas, Crandall dan Eshleman (2004) mengajukan suatu model teori

yang menjelaskan bagaimana bekerjanya prasangka. Menurut model ini, kebanyakan

orang berjuang di antara kebutuhan untuk mengekspresikan prasangka dan kebutuhan

untuk mempertahankan konsep diri yang positif (dalam hal ini tidak berprasangka),

8 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini

baik di mata mereka sendiri maupun di mata orang lain. Seperti kita ketahui,

melakukan supresi (menekan) impuls prasangka akan memakan energi. Manusia selalu

menghindari pemakaian energi yang konstan sehingga selalu mencari pembenaran

yang valid mengenai sikap negatif mereka terhadap orang lain atau out-group

(menghindari disonansi kognitif). Ketika menemukan pembenaran atas sikap negatif

ini, kemudian kita dapat mengekspresikan sikap negatif kepada out-group yang

dimaksud dan terhindar dari disonansi kognitif.

The Illusory Correlation

Hal lain yang membuat kita mengalami proses kognitif stereotip adalah karena

adanya ilusi korelasi (illusory correlation), yaitu kecenderungan menghubungkan

antara dua hal yang sebenarnya tidak berhubungan. Sebagai contoh, adanya

kepercayaan bahwa pasangan yang belum mempunyai anak akan dapat mempunyai

anak setelah mengadopsi anak. Hal ini sebenamya sama sekali tidak berhubungan satu

sama lain. Pasangan yang terlebih dahulu mengadopsi dapat memperoleh anak

kemungkinan karena berkurangnya kecemasan dan tingkat stress-nya. Dalam konteks

stereotip dan prasangka, ilusi korelasi juga terjadi, yaitu ketika kita menghubungkan

hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan yang terjadi di antara orang-orang atau

situasi tertentu (khusus) dan lebih lanjut kita anggap berlaku untuk semua anggota

suatu kelompok.

Dapatkah kita mengubah stereotip yang kita yakini?

Para peneliti telah menemukan bahwa ketika kepada orang-orang disajikan

beberapa contoh atau hal yang menyangkal stereotip yang ada, kebanyakan hal itu

tidak mengubah kepercayaan umum mereka. Namun , dalam satu percobaan, beberapa

orang yang disajikan dengan bukti, itu justru memperkuat keyakinan stereotip mereka,

karena bukti itu menantang mereka untuk mencari alasan tambahan untuk berpegang

pada keyakinan itu.

2. Bagaimana Kita Menetapkan Makna: Macam-macam Bias Atribusi

Seperti halnya kita membentuk atribusi terhadap perilaku seseorang, kita pun

melakukan atribusi (menyimpulkan penyebab perilaku) terhadap kelompok secara

menyeluruh. Berikut ini beberapa fenomena yang menggambarkan atribusi terhadap

kelompok.

Penjelasan Disposisional dan Situasional

Salah satu mengapa stereotype sangat melekat dalam kehidupan manusia adalah

karena adanya kecenderungan untuk melakukan dispositional attribution (atribusi

intemal), yaitu bahwa penyebab perilaku seseorang lebih dianggap sebagai hasil dari

aspek kepribadian orang itu dan bukan aspek situasional. Kecenderungan ini biasa

disebut “fundamental attribution error” (kesalahan atribusi mendasar). Meskipun

mengatribusi perilaku orang-orang atas dasar faktor disposisional (internal) juga sering

9 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini

akurat, bagaimanapun perilaku manusia juga dibentuk oleh situasi. Oleh sebab itu bila

terlalu bersandar pada atribusi disposisional, seringkali membuat atribusi kita salah.

Berdasarkan proses yang terjadi pada tingkat individu ini, kita dapat membayangkan

masalah dan komplikasi yang muncul ketika kita melakukannya terhadap seluruh

anggota kelompok pada out-group.

Stereotip merupakan atribusi disposisional yang negatif. Thomas Pettigrew

(1979) menyebut kecenderungan untuk membuat atribusi disposisional tentang

perilaku negatif individu dan mengenakannya untuk seluruh anggota kelompok ini

sebagai “ultimate attribution error”.

Ancaman Stereotip

Secara statistik terdapat perbedaan kinerja dalam tes kemampuan akademik

antar berbagai kelompok budaya. Misalnya, di Amerika, orang-orang Amerika-Asia

rata-rata kinerjanya agak lebih baik daripada kelompok Amerika-Anglo, dan kelompok

Amerika-Anglo sedikit lebih baik daripada kelompok Amerika-Afrika. Mengapa hal

ini terjadi? Beberapa hal yang dapat menjadi penjelasan antara lain faktor ekonomi,

budaya, sejarah, politik. Selain itu, terdapat penjelasan lain, yaitu adanya kecemasan

yang dihasilkan oleh stereotip negatif. Dalam serangkaian eksperimen, Claude, Steele,

Joshua Aronson, dkk telah menunjukkan adanya satu faktor situasional yang dominan

(yang menentukan kinerja dalam tes akademik) yang didasari fenemona yang mereka

sebut sebagai ancaman stereotip.

Sebagai contoh, bila orang Amerika-Afrika meraih nilai akademik yang tinggi,

sebagian besar dari mereka mengonfirmasi adanya stereotip budaya yang negatif,

yakni inferioritas intelektual. Akibatnya, mereka mengatakan “Jika nilai saya buruk

dalam tes ini, hal ini akan mencerminkan lemahnya saya dan ras saya”.

Harapan dan Penyimpangan Stereotip

Ketika anggota kelompok lain (outgroup) berperilaku seperti yang kita harapkan,

hal ini akan menegaskan dan bahkan menguatkan stereotip kita. Tapi apa yang terjadi

ketika anggota suatu outgroup berperilaku dengan cara yang tak terduga

(nonstereotypical)? Menurut teori atribusi, individu akan cenderung tetap menganggap

Ultimate Attribution Error :

Kecenderungan melakukan atribusi disposisional kepada seluruh anggota

kelompok.

Ancaman Stereotip (Stereotype Threat):

Ketakutan yang dialami oleh anggota suatu kelompok bahwa perilaku mereka

dapat membenarkan stereotip budaya mengenai kelompoknya.

10 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini

bahwa orang yang berperilaku berlawanan dengan stereotip, sebenarnya memiliki

kesamaan dengan stereotype tersebut, hanya saja hal itu tidak tampak dengan jelas

dalam situasi tertentu.

Sebagai contoh, kita diberitahu bahwa seseorang merupakan orang yang tidak

ramah, kemudian kita berinteraksi dengan orang tersebut dan menemukan bahwa

orang tersebut berperilaku ramah. Dalam keadaan seperti itu kita cenderung

menganggap bahwa perilaku ramah orang tersebut adalah palsu, dan di balik

keramahannya sebenarnya ia adalah orang yang tidak suka berteman. Dalam hal ini

kita melakukan atribusi disposisional/internal (dispositional attribution), disebabkan

adanya stereotip disposisional (dispositional stereotype) yang sudah tertanam di benak

kita.

Menyalahkan Korban

Sulit bagi orang yang jarang didiskriminasi untuk memahami bagaimana

rasanya menjadi sasaran prasangka. Anggota masyarakat Amerika yang dominan yang

berniat baik akan bersimpati dengan nasib mereka yang minoritas: orang-orang Afrika

Amerika, Hispanik Amerika, Asia Amerika, Yahudi, perempuan, homoseksual, dan

kelompok lain yang menjadi sasaran diskriminasi. Tetapi empati saja sebenarnya tidak

mudah didapatkan bagi mereka yang telah secara rutin dinilai berdasarkan reputasi

mereka, bukan karena ras, etnis, agama, atau kelompok keanggotaan lainnya. Padahal,

ketika tidak ada empati, mudah untuk masuk dalam perangkap ‘menyalahkan korban’

(blaming the victim). Berlangsungnya atribusi seperti ini: “Jika orang-orang Yahudi

telah menjadi korban dalam sejarah mereka, mereka pasti telah melakukan sesuatu

yang memungkinkan terjadinya hal tersebut”.

Sebagai contoh, dalam suatu eksperimen, dua orang yang bekerja sama

kerasnya dalam melakukan suatu tugas, berdasarkan undian dengan koin, salah

satunya menerimaa imbalan yang besar, dan yang lain tidak menerima apapun.

Observer yang melihat hasil yang berbeda tsb (adanya imbalan atau tidak ada imbalan)

cenderung kembali menilai pekerjaan yang dilakukan kedua orang tersebut, dan

meyakinkan dirinya bahwa orang yang tidak mendapat imbalan kurang bekerja keras

dalam menyelesaikan tugas.

Self-Fulfilling Prophecies

Jika Anda yakin bahwa Si A bodoh dan memperlakukannya sebagai orang

bodoh, meskipun sebenarnya tidak, sangat mungkin ia tidak akan menunjukkan

Menyalahkan Korban (Blaming the Victim):

Kecenderungan untuk menyalahkan individu atas situasi atau kejadian yang

menimpanya, biasanya dimotivasi oleh cara pandang 'the world is a fair place'.

11 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini

kepintaran di hadapan Anda. Keadaan seperti ini merupakan Self-Fulfilling Prophecy,

yang telah dibahas pada Bab 3.

Bagaimana hal ini terjadi? Jika Anda melihat Si A, Anda mungkin tidak akan

mengajukan pertanyaan menarik, dan tidak mendengarkan dengan penuh perhatian

pada saat ia berbicara, bahkan mungkin Anda melihat keluar jendela atau menghindar.

Anda memperlakukan demikian karena harapan yang sederhana: “Mengapa

membuang energi memperhatikan Si A jika dia tidak mungkin mengatakan hal-hal

yang cerdas atau menarik?” Hal ini memiliki dampak penting pada perilaku Si A,

karena jika seseorang yang sedang berbicara tidak mendapat perhatian, tentu saja ia

akan merasa tidak nyaman dan mungkin akan bungkam, tidak menampilkan semua

puisi dan kebijaksanaan dalam dirinya. Keadaan ini berfungsi mengonfirmasi

keyakinan awal yang Anda miliki tentang dia, sehingga terjadilah lingkaran tertutup

self-fulfilling prophecy.

Para peneliti menunjukkan relevansi dari fenomena ini untuk stereotip dan

diskriminasi dalam suatu eksperimen (Word, Zanna, & Cooper, 1974). Mahasiswa

perguruan tinggi kulit putih diminta untuk mewawancarai pelamar pekerjaan;

beberapa pelamar berkulit putih, dan lainnya orang Afrika Amerika. Tanpa disadari,

para mahasiswa menampilkan ketidaknyamanan dan kurangnya minat ketika

mewawancarai pelamar Afrika Amerika. Mereka duduk lebih jauh; cenderung gagap,

dan mengakhiri wawancara jauh lebih cepat dibanding ketika mereka mewawancarai

pelamar kulit putih. Apakah perilaku ini mempengaruhi pelamar Afrika Amerika?

Untuk mengetahuinya, para peneliti melakukan eksperimen lanjutan di mana mereka

mengatur perilaku pewawancara (oleh pembantu eksperimenter) dibuat bervariasi

sesuai dengan cara pewawancara memperlakukan orang kulit putih atau orang Afrika

Amerika pada percobaan pertama, tapi pada eksperimen kedua ini semua yang

diwawancarai adalah kulit putih. Para peneliti merekam prosesnya dan perilaku

pelamar dinilai oleh penilai independen (bukan peneliti). Dalam eksperimen kedua ini

mereka menemukan bahwa para pelamar (semua kulit putih) yang diwawancarai ala

wawancara untuk orang Afrika Amerika, dinilai jauh lebih gugup dan jauh kurang

efektif dibanding dengan mereka yang diwawancarai ala wawancara dengan pelamar

kulit putih pada percobaan pertama. Singkatnya, eksperimen ini menunjukkan dengan

jelas bahwa ketika orang-orang ditempatkan di posisi yang kurang menguntungkan,

maka cenderung merespon dengan kurang baik.

Self-Fulfilling Prophecies:

Keadaan di mana individu: (1) memiliki ekspektasi tertentu terhadap

seseorang; (2) yang kemudian mempengaruhi perilaku individu terhadap

orang lain tersebut; (3) yang menyebabkan orang lain tersebut berperilaku

sesuai dengan ekspektasi awal individu.

12 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini

3. Prasangka dan Kompetisi: Realistic Conflict Theory

Salah satu sumber konflik yang paling menonjol atas konflik dan prasangka

adalah kompetisi untuk sumber daya langka, politik kekuasaan, dan status sosial.

Masalah sesederhana apapun dalam fenomena ingroup vs outgroup, akan diperbesar

oleh persaingan ekonomi, politik, atau status. Realistic Conflict Theory menyatakan

bahwa sumber daya yang terbatas menyebabkan konflik antara kelompok-kelompok

dan menghasilkan prasangka dan diskriminasi (Jackson, 1993; Sherif, 1966; White,

1977). Dengan demikian sikap berprasangka cenderung meningkat saat-saat tegang dan

konflik ada atas tujuan mutually.exclusive. Misalnya, Prasangka sangat tinggi di antara

orang-orang Palestina dan Israel yang memperebutkan daerah teritorial. Individu

mempunyai kecenderungan untuk menyalahkan anggota out-group yang berkompetisi

dengannya atas kelangkaan sumber daya.

Dalam keadaan sumberdaya yang terbatas , terdapat risiko terjadinya frustasi

dan ketidakbahagiaan, diikuti kecenderungan menyerang kelompok yang tidak

disukai. Hal ini disebut scapegoating (mengambinghitamkan).

4. Cara Kita Melakukan Konformitas: Aturan-aturan Normatif

Penyebab terakhir prasangka adalah konformitas, baik terhadap normaa standar

yang berlaku maupun terhadap aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.

Konformitas memiliki motif tertentu, seperti untuk memperoleh informasi

(informational confiJrmity) atau agar diterima oleh kelompok tertentu (normative

conformity). Ketika melibatkan prejudice, maka konformitas akan menjadi berbahaya.

Bila Prasangka Diinstitusikan

Norma adalah aturan atau batasan yang dianggap benar oleh masyarakat.

Setiap budaya memiliki norma tertentu. Ketika individu hidup di lingkungan yang

mempunyai norma yang mengandung stereotip dan diskriminasi, maka individu

tersebut secara tidak sadar akan mengembangkan prasangka dan diskriminasi di dalam

diri. Hal ini disebut institutionalized racism dan institutionalized sexism.

Realistic Conflict Theory:

Paham bahwa sumber daya yang terbatas akan berujung pada konflik antar

kelompok dan meningkatkan prasangka dan diskriminasi.

Mengambinghitamkan (Scapegoating):

kecenderungan individu-individu, bila frustrasi atau tidak bahagia,

mengarahkan agresi kepada kelompok yang tidak disukai dan relative lemah.

13 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini

Institutionalized racism: Sikap membedakan ras (rasis) yang dimiliki oleh

mayoritas orang-orang yang hidup dalam masyarakat di mana terdapat norma

stereotip dan diskriminasi.

Institutionalized sexism: Sikap pembedaan jenis kelamin (seksisme) yang dimiliki

oleh mayoritas orang-orang yang hidup dalam masyarakat di mana terdapat norma

stereotip dan diskriminasi.

Prasangka Modern

Zaman berubah, dan norma budaya semakin memberikan toleransi terhadap

out-group. Hal ini membuat banyak orang menjadi lebih berhati-hati terhadap

perilakunya dengan tidak menunjukkan prejudice kepada khayalak luar, namun tetap

berpegang kepada stereotip yang diyakini. Fenomena ini dikenal sebagai modern racism.

Orang menghindar dari cap rasis namun ketika situasi sudah 'aman', prasangka mereka

akan terkuak.

Sebagai contoh: Walaupun hanya ada sedikit orang Amerika yang mengaku bahwa

mereka tidak setuju dengan penggabungan sekolah, ternyata kebanyakan orangtua

berkulit putih tidak setuju untuk membiarkan anak mereka naik bus ke sekolah untuk

mendapatkan keseimbangan rasia! Ketika ditanya, para orangtua ini bersikeras bahwa

keengganan mereka tidak ada hubungannya dengan prejudice; mereka hanya tidak

ingin anak mereka menghabiskan banyak waktu di bus. Tetapi menurut John

McConahay (1981), Kebanyakan orangtua kulit putih tidak banyak banyak protes

ketika anak mereka menaiki bus yang jalurnya hanya melalui sekolah orang kulit putih.

C. BAGAIMANA CARA MENGURANGI PRASANGKA?

Pettigrew dan Tropp (dalam Aronson, 2007) mengatakan bahwa kontak antar

ras merupakan hal yang baik. Dalam kenyataannya, kontak tidak selalu dapat

mengurangi prasangka. Berdasarkan penelitian dan eksperimen yang dilakukan oleh

Sherif, dkk (1961) terhadap kamp anak laki-laki, di mana dua kubu (EaKles dan Rattlers)

saling bersaing, terdapat enam kondisi dalam kontak yang dapat mengurangi

prasangka:

Peneliti menempatkan dua kubu yang bersaing dalam suatu keadaan yang

membuat mereka saling tergantung satu sama lain (mutual interdependence) (Kondisi

pertama) untuk mencapai tujuan tertentu (Kondisi kedua). Contohnya, peneliti

membuat sebuah keadaan darurat dengan merusak sistem suplai air. Satu-satunya cara

untlik menyelesaikan masalah ini adalah dengan bersatunya Eagles dan Rattlers.

Prasangka Modern:

Berperilaku yang tidak mencerminkan prejudice, namun tetap

mempertahankan sikap berprasangka di dalam diri.

14 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini

Kondisi ketiga, ketika status individu berbeda, interaksi atau kontak dapat

berujung pada pola stereotype yang ada, seperti ketika bos berbicara pada pegawainya,

maka sang bos akan berperilaku sesuai stereotip umum mengenai bos. Pada intinya,

kontak seharusnya membuat orang belajar bahwa stereotype (khususnya stereotype

negatif) mereka salah. Dengan kesetaraan status antar individu. tidak ada yang lebih

berkuasa dibandingkan siapapun, dan prejudice pun dapat tereduksi (berkurang).

Kondisi keempat, menempatkan dua kelompok yang berbeda dalam satu

ruangan tidak dapat dengan mudah mengurangi prejudice karena masing-masing

individu akan tetap terfokus pada kelompoknya. Individu dapat lebih mengenal dan

memahami individu lainnya jika berada dalam keadaan one-to-one basis, dimana

interaksi yang dilakukan lebih bersifat interpersonal. Melalui interaksi bersahabat dan

informal dengan beberapa anggota out-group, individu dapat lebih memahami bahwa

stereotip yang dipercayainya ternyata salah.

Kondisi kelima, melalui persahabatan, interaksi informal dengan berbagai

anggota (multiple members) out-group, seorang individu akan belajar bahwa keyakinan-

nya tentang out-group adalah salah.

Kondisi keenam, adanya norma yang mempromosikan dan mendukung

kesetaraan di antara kelompok (Amir, 1969; Wilder, 1984). Norma sosial yang kuat,

dapat dimanfaatkan untuk memotivasi orang untuk menjangkau anggota kelompok

luar. Sebagai contoh, jika bos atau profesor menciptakan dan memperkuat norma

penerimaan dan toleransi di tempat kerja atau di dalam kelas, anggota kelompok akan

mengubah perilaku mereka agar sesuai norma tersebut.

Sebagai ringkasan dari ilustrasi di atas, kelompok-kelompok yang bermusuhan

akan mengurangi stereotip, prasangka, dan diskriminasi ketika terdapat keenam

kondisi kontak (Aronson & Bridgeman, 1979; Cook, 1984; Riordan, 1978):

1. Rasa saling ketergantungan

2. Suatu tujuan bersama

3. Status seimbang

4. Kontak informal, interpersonal

5. Beberapa kontak

6. Norma sosial dan kesetaraan

Kerjasama dan Salingketergantungan: The Jigsaw Classroom

Tahun 1971, Elliot Aronson menerapkan sebuah konsep yang dapat membuat

suasana kelas lebih harmonis yang disebut jigsaw classroom. Aronson menyusun tempat

duduk murid-murid dengan pola interasial, di mana setiap kelompok berisikan murid

dengan ras dan etnis yang berbeda yang mempunyai tujuan yang sarna. Melalui jigsaw

lassroom, murid-murid mulai saling memperhatikan dan menghormati satu sama lain

Mutual Interdependence:

Keadaan dirnana dua atau lebih kelornpok saling membutuhkan dan

bergantung satu sama lain guna mencapai tujuan yang penting bagi mereka.

15 Handout Psi Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini

karena adanya mutual interdependence di antara mereka. Jigsaw classroom dapat berhasil

karena teknik ini membuat setiap anak berpartisipasi dalam kelompok yang kooperatif

yang memecahkan persepsi in-group versus out-group, dan membuat individu

mengembangkan kategori kognitif "kesatuan" antar murid. Alasan lain mengapa jigsaw

classroom berhasil adalah karena jigsaw classroom mengembangkan hasil interpersonal

yang positif, dimana anak mengembangkan empati melalui kegiatan kooperatif yang

dilakukan dalam kelas.

--oo0oo--