asas keseimbangan dalam perjanjian kredit bank...
TRANSCRIPT
ASAS KESEIMBANGAN
DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
(STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI
No. 3956 K/Pdt/2000 JO PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)
TESIS
AMIN IMANUEL BURENI
1106030220
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM
KEKHUSUSAN PRAKTEK PERADILAN
JAKARTA
JANUARI 2013
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
ASAS KESEIMBANGAN
DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
(STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI
No. 3956 K/Pdt/2000 JO PUTUSAN PENGADILAN TINGGI
SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum
AMIN IMANUEL BURENI
1106030220
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM
KEKHUSUSAN PRAKTEK PERADILAN
JAKARTA
JANUARI 2013
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang
dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : AMIN IMANUEL BURENI
NPM : 1106030220
Tanda Tangan :
Tanggal : 21 Januari 2013
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :
Nama : Amin Imanuel Bureni
NPM : 1106030220
Program Studi : Praktek Peradilan
Judul Tesis : ASAS KESEIMBANGAN DALAM PERJANJIAN
KREDIT BANK (STUDI TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG RI No. 3956 K/Pdt/2000 JO
PUTUSAN PENGADILAN TINGGI SBY No.
628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Hukum pada Program Sudi Pascasarjana Program Kekhususan
Praktek Peradilan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Prof. DR. Rosa Agustina, SH., MH. (…………….)
Penguji : Heru Susetyo, SH. LLM. M.Si (…………….)
Penguji : Dr. Yoni Agus Setyono, SH.MH (…………….)
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 21 Januari 2013
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan puja syukur patut penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa karena atas berkat dan rahmatNya serta taufik dan hidayahNya sehingga
karya tulis berupa tesis berjudul “ASAS KESEIMBANGAN DALAM
PERJANJIAN KREDIT BANK (STUDI TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG RI No. 3956 K/Pdt/2000 JO. PUTUSAN
PENGADILAN TINGGI SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY JO. PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS)” sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Kekhususan Praktek Peradilan,
dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan tesis ini tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, karena itu sepatutnya penulis
menyampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada :
1. Yang sangat kukasihi dan kuhormati kedua orang tua kandungku (Bapak
Thitus Bureni, SH.M.Hum dan Ibu Stince Fatima Bureni) di Kupang – Nusa
Tenggara Timur yang telah membesarkanku dari kecil hingga saat ini dengan
penuh cinta dan kasih sayang tanpa pamrih, penuh harap dan bangga ketika
kuinjakkan kaki di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Masih kuingat doa
restu papa dan mama ketika hendak kulangkahkan kaki ke Jakarta, tak
mampu kubalaskan semuanya, dalam doa aku meminta Tuhan Yesus selalu
memberkati papa dan mama.
2. Demikian pula bagi mertuaku Bapak David Adoe dan Ibu Sartje Panie yang
dari keberadaannya memaklumi keadaanku dan tak putus mendoakan aku.
Tuhan Yesus memberkati.
3. Isteriku tercinta Anung M. Bureni-Adoe, S.Pi dan anakku terkasih Reall
D‟Abraham Ceavinlee Bureni, dalam kesetiaan cinta dan dukungan moril
selalu memotivasiku untuk bertahan dan menyelesaikan perjuangan ini.
Kalian selalu menghiasi hari-hariku dengan cinta kasih dan kuakui kalianlah
yang terbaik bagiku. Dengan bangga papa persembahkan tesis ini buat kalian.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
v
4. Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung RI dan jajarannya yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh tugas belajar di
Universitas Indonesia selama 17 bulan, serta Perwakilan C4J-USAID yang
telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan
Strata 2 (S2) di Universitas Indonesia. Suatu kehormatan bagiku.
5. Yang Mulia Bapak Th. Pudjiwahono, SH. MHum, selaku mantan Ketua
Pengadilan Tinggi Kupang (sekarang Wakil Ketua Pengadilan Tinggi
Jakarta), Yang Mulia Bapak Soesilo Utomo, SH selaku mantan Wakil Ketua
Pengadilan Negeri Ende (sekarang Ketua Pengadilan Negeri So‟e), Yang
Mulia Bapak Ahmad Petensili, SH. MH (selaku Ketua Pengadilan Negeri
Ende) dan Ibu Maria D. Angelina (selaku Panitera Pengadilan Negeri Ende)
yang telah memberikan motivasi kepada penulis untuk melanjutkan dan
menyelesaikan studi Magister Hukum,
6. Prof. Dr. Rosa Agustina, SH, MH, selaku Ketua Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sekaligus selaku Dosen Pembimbing
sekaligus Penguji bagi Penulis, yang dengan ketulusan dan kesabaran telah
meluangkan waktu untuk membimbing penulis, dengan keikhlasan telah
memfasilitasi penulis memperoleh literatur-literatur langka, menuntun penulis
untuk dapat menelusuri berbagai literatur berkaitan dengan tesis ini, dan terus
memotivasi penulis untuk bergerak maju. Tak cukup ucapan terima kasih ini,
dalam doa aku berharap Tuhan yang kusembah memperhitungkan segala
kebaikan Guru Besar-ku.
7. Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri, selaku Rektor Universitas
Indonesia. Pertama kali kukagumi Universitas Indonesia karena
diperkenalkan oleh Bapak Rektor Universitas Indonesia dalam kunjungan ke
Ende untuk penandatanganan MoU antara Universitas Indonesia dengan
Pemerintah Daerah Kabupaten Ende.
8. Dewan penguji tesis dari Penulis: Dr. Yoni Agus Setyono, SH. MH, Heru
Susetyo, SH, LLM, M.Si, penulis ucapkan terima kasih atas kesempatan,
waktu dan masukan-masukan yang diberikan kepada penulis.
9. Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Seluruh Dosen Program
Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
vi
10. Seluruh Staf Tata Usaha Program Studi Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Indonesia, terkhusus yang kan kukenang Pak Udin.
11. Spesial kepada kedua sahabatku : bro I Dewa Gede Budhy Dharma Asmara,
SH.MH dan bro David Fredriek Albert Porajow, SH.MH. Dalam suka kita
nikmati bersama, dalam duka kita berbagi bersama. Kalian bukan sekedar
sahabat bagiku tetapi separuh dari jiwaku, walau nanti kita berpisah tapi diri
kalian dalam canda, tawa, sedih, letih dan stress akan selalu kukenang.
Terima kasih atas persahabatan dan kekompakan selama studi. Demikian juga
kepada semua rekan/rekanita kelas Praktek Peradilan / Mahkamah Agung : 1.
Afif Januarsyah, SH, MH, 2. Andre Trisandy, SH, MH, 3. Ben Ronald P.
Situmorang, SH, MH, 4. Dwi Hananta, SH, MH, 5. Hasanuddin, SH, MH, 6.
Harika Nova Yeri, SH, MH, 7. Hendro Wicaksono, SH, MH, 8. M.
Aliaskandar, SH, MH, 9. M. Fauzan Haryadi, SH, MH, 10. M. Sholeh, SH,
MH, 11. Ni Kadek Susantiani, SH, MH, 12. Nofita Dwi Wahyuni, SH, MH,
13. Ramon Wahyudi, SH, MH, 14. Rios Rahmanto, SH, MH, 15. R.A.
Asriningrum Kusumawardhani, SH, MH, 16. Wini Nofiarini, SH, MH, dan
17. Yudhistira Adhi Nugraha SH, MH. sukses dan provisiat untuk kita semua.
12. Para pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang telah
membantu dalam penulisan tesis ini, baik dalam bentuk nasihat, bimbingan,
doa, maupun berbagai bantuan sekecil apapun itu kepada penulis, sangat
berharga bagiku.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, ibarat
tiada gading yang tak retak, tiada bumi yang tak bercacing. Demi penyempurnaan
tesis ini, segala usul, saran, kritikan yang sifatnya konstruktif, penulis terima
dengan tangan terbuka disertai ucapan terima kasih.
Akhirnya, semoga tesis ini dapat memberikan warna baru bagi hukum
perikatan khususnya perjanjian kredit bank di Indonesia.
Jakarta, 21 Januari 2013
Amin Imanuel Bureni
NPM: 1106030220
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama : Amin Imanuel Bureni
NPM : 1106030220
Program Studi : Program Pascasarjana Magister Hukum
Departemen : Peminatan Praktek Peradilan
Fakultas : Hukum
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalti
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
“ASAS KESEIMBANGAN DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
(STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 3956
K/Pdt/2000 JO PUTUSAN PENGADILAN TINGGI SBY No.
628/Pdt/1999/PT.SBY JO PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GS No.
37/Pdt.G/1998/PN. GS)”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Januari 2013
Yang menyatakan,
(Amin Imanuel Bureni)
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
viii
ABSTRAK
Nama : Amin Imanuel Bureni
Program Studi : Praktek Peradilan / Mahkamah Agung
Judul : Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Kredit Bank (Studi
Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 3956 K/Pdt/2000
jo. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No.
628/Pdt/1999/PT.SBY jo. Putusan Pengadilan Negeri Gresik
No. 37/PPdt.G/1998/PN.GS.
Perjanjian kredit bank merupakan media atau perantara pihak dalam
keterkaitan pihak yang mempunyai kelebihan dana surplus of funds dengan pihak-
pihak yang kekurangan dan memerlukan dana lack of funds. Perjanjian kredit
bank membentuk perikatan diantara para pihak dalam hubungan yang saling
membutuhkan dimana masing-masing pihak berkehendak memperoleh manfaat/
keuntungan dari perikatan tersebut. Karena itu dalam perjanjian kredit bank harus
ada keseimbangan kepentingan para pihak baik pada tataran pembuatan perjanjian
kredit bank maupun pada tataran pemenuhannya yang dimuat sebagai klausula
perjanjian. Kenyataannya, seringkali ditemukan tidak terdapatnya keseimbangan
pengaturan kepentingan para pihak diantaranya terdapat klausula “Penetapan dan
Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank” yang disinyalir sebagai klausula
eksonerasi karena dengan pencantuman klausula tersebut maka pihak bank dapat
secara sewenang-wenang mengubah bunga kredit dan juga sebagai benteng bagi
pihak bank menghindari pertanggungjawaban hukum. Dalam hal ini masyarakat
pencari keadilan mengharapkan hakim dapat memberi keadilan melalui pemulihan
keseimbangan kepentingan dalam perjanjian kredit bank tersebut. Pokok
permasalahan penelitian ini adalah : apakah pencantuman klausula “Penetapan
dan Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank” dalam perjanjian kredit bank
melanggar asas keseimbangan ? dan apakah hakim dapat mengintervensi suatu
perjanjian kredit yang disepakati para pihak ? Selanjutnya dengan menggunakan
metode penelitian deskriptif analisis, peneliti menganalisis pengaruh pencantuman
klausula “Penetapan dan Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank” terhadap
keseimbangan perjanjian kredit bank dan menganalisis kewenangan hakim dalam
mengintervensi suatu perjanjian kredit yang disepakati para pihak sekaligus
memberikan rekomendasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencantuman
klausula “Penetapan dan Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank” tanpa
memuat klausula yang menjamin dilakukannya negosiasi ulang mengenai
perubahan bunga kredit bank adalah melanggar asas keseimbangan dan karena itu
hakim karena jabatannya (ex officio) maupun karena amanat undang-undang
berwenang mengintervensi perjanjian kredit bank tersebut untuk memulihkan
keseimbangannya. Atas terdapatnya kelemahan / kekosongan hukum positif
mengenai pengaturan pelaksanaan perjanjian kredit dilakukan dengan itikad baik
dan juga mengenai pengaturan peranan hakim dalam memulihkan keseimbangan
perjanjian kredit bank, maka direkomendasikan agar dilakukan revisi KUHPerdata
dan/atau revisi atas regulasi undang-undang terkait.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
ix
ABSTRACT
Name : Amin Imanuel Bureni
Study Program : Practice of Judicial Administration/Supreme Court
Title : The Balance Principle in the Bank Credit Agreement (The
Study on the Decision of the RI Supreme Court No. 3956
K/Pdt/2000 jo. the Decision of the Surabaya High Court
No. 628/Pdt/1999/PT.SBY jo. the Decision of the Gresik
District Court No. 37/PPdt.G/1998/PN.GS.
The bank credit agreement is a medium or an intermediary of the parties in
the involvement of the parties that have surplus of funds with the parties having
lack of funds and needing funds. The bank credit agreement establishes the bond
among the parties in a relationship which mutually needs each other where each
party wishes to obtain advantages/benefits from the bond. Therefore, in the bank
credit agreement there has to be a balance of interests of the parties both in the
phase of the drawing of the bank credit agreement and in the phase of its
fulfillment set forth as one of the clauses of the agreement. In reality, the
imbalance of the parties‟ interest arrangement is often discovered, which among
others there is a clause of “Bank Interest Determined and Calculated by the Bank”
pointed out as an exoneration clause because by putting the clause the bank can
arbitrarily change the credit interest and also as the shield for the bank to avoid
legal liability. In this case, the society seeking for justice expect the judge can
provide it through the restoration of interest balance in the bank credit agreement.
The main problems of the research are: does the writing of the clause “Bank
Interests Determined and Calculated by the Bank” in the bank credit agreement
violate the balance principle? And can a judge intervene a credit agreement
approved by all parties? Furthermore, by using the descriptive analysis research
method, the researcher analyzes the influence of the writing of the clause “Bank
Interests Determined and Calculated by the Bank” to the balance of the bank
credit agreement and analyzes the authority of a judge in intervening a credit
agreement approved by all parties and in providing recommendations. The
research result shows that the writing of the clause “Bank Interests Determined
and Calculated by the Bank” without setting forth the clause which guarantees a
renegotiation to be done on the change of the bank credit interests violates the
balance principle, and therefore a judge because of his/her position (ex officio) and
because of the mandate of the laws has the authority to intervene the bank credit
agreement to restore its balance. As there are some weaknesses/positive law
disparities on the arrangement of the credit agreement implementation done with
good faith and also on the arrangement of the judge‟s roles in the restoration of
the bank credit agreement balance, it is recommended that the revision of Civil
Code and/or the revision on the relevant laws should be done.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................. I
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ……………………….. Ii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………….. Iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………. iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………… vii
ABSTRAK ………………………………………………………………… viii
ABSTRACT ……………………………………………………………….. ix
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
X
BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………. 1
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH …………………….. 1
1.2.POKOK PERMASALAHAN…………………..…………. 15
1.3.TUJUAN PENELITIAN …………………………………... 15
1.4.MANFAAT PENELITIAN ……………………………..… 16
1.4.1. Manfaat Teoritis ….…………………….………….. 16
1.4.2. Manfaat Praktis ….…………………….………….. 17
1.5.METODE PENELITIAN …………………………….…… 17
1.5.1. Tipologi Penelitian ………………….……………... 18
1.5.2. Sumber Data ………………………….…………… 19
1.5.3. Teknik Pengumpulan Data …………….………….. 20
1.5.4. Metode Analisa Data ………………….………….. 20
1.6.KERANGKA TEORI DAN KONSEP ………………….… 20
1.6.1. Kerangka Teori ………………………….………… 20
1.6.2. Kerangka Konsep ……………………….…………. 31
1.7.SISTEMATIKA PENULISAN ………………………….…
32
BAB 2 KONSEP PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DAN
PERJANJIAN KREDIT DALAM REGULASI ……………
34
2.1.PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM ………………….… 35
2.2.PERJANJIAN KREDIT ……………………………….…
52
BAB 3 KEDUDUKAN ASAS KESEIMBANGAN DALAM
PERJANJIAN KREDIT BANK ……………………………..
80
BAB 4 ASAS KESEIMBANGAN PERJANJIAN KREDIT BANK
DALAM PUTUSAN HAKIM ………………………………
112
4.1.PENCANTUMAN KLAUSULA “PENETAPAN DAN
PERHITUNGAN BUNGA BANK DILAKUKAN OLEH
BANK” DALAM PERJANJIAN KREDIT ……………......
112
4.1.1. Putusan Nomor : 3956 K / Pdt / 2000 jo. Nomor :
628 / Pdt / 1999 / PT.Sby jo. Nomor : 37 / Pdt.G /
1998 / PN.GS ……………………………………….
112
4.1.2. Putusan Nomor : 1530 K/Pdt/2011 jo. Nomor : 448 123
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xi
/ Pdt / 2010 / PT.Smg jo. Nomor : 11 / Pdt.G / 2010 /
PN.Jpr ………………………………………………
4.1.3. Putusan Nomor : 3431 K/Pdt/1985 jo. Nomor :
523/1983/Pdt/PT.Smg jo. Nomor : 12/G/1983/Pdt.Bla …..
133
4.2.PERANAN HAKIM DALAM MEMULIHKAN
KESEIMBANGAN PERJANJIAN KREDIT BANK ……
144
BAB 5 PENUTUP …………………………………………………….. 170
5.1.KESIMPULAN …………………………………………… 170
5.2.SARAN - SARAN ………………………………………...
172
DAFTAR REFERENSI …………………………………………………... 175
LAMPIRAN – LAMPIRAN
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Kehadiran bank1 memiliki arti penting bagi wiraswastawan. Posisi
bank selaku pemegang modal dan wiraswastawan selaku yang membutuhkan
modal sering menempatkan wiraswastawan berada dalam posisi lemah dalam
hal modal/dana. Ketika wiraswastawan memanfaatkan jasa bank melalui
produk perjanjian kredit, biasanya wiraswastawan memiliki bargaining
power yang lemah ketimbang bank (kecuali wiraswastawan bermodal besar)
1 Bank pertama di Indonesia didirikan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada
tahun 1824 dengan nama Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM), dan pemerintah
Hidia-Belanda bertindak sebagai salah satu pemegang saham utama. Bank tersebut
didirikan untuk mengisi kekosongan akibat likuidasi Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC) yang mengalami kebangkrutan. NHM kemudian berubah menjadi
Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII). Selain itu, pemerintah Hindia Belanda juga
mendirikan De Javasche Bank (kini menjadi Bank Indonesia) pada tahun 1827 dan NV
Escompto Bank yang kemudian dikenal sebagai Bank Dagang Negara. Bank terus
berkembang, diantaranya pada tahun 1928 di Surabaya oleh Dokter Soetomo, Samsi dan
Ir. Anwari mendirikan Bank Nasional Indonesia (BNI). Pada masa Jepang, tanggal 1
April 1942 telah didirikan Tyokin Kyotu (dulunya Bank Tabungan Hindia-Belanda)
dengan modal permulaan dari pihak Jepang. Pada awal kemerdekaan Indonesia, dalam
Sidang Dewan Menteri tanggal 19 september 1949, Pemerintah RI telah mempercayakan
pembentukan bank sirkulasi berbentuk bank milik negara kepada R.M. Margono
Djojohadikusumo yang kemudian mendirikan yayasan “Pusat Bank Indonesia” dengan
Akta Notaris R.M. Soerojo di Jakarta tanggal 14 Oktober 1945. Pada tahun 1946,
pemerintah mengeluarkan Perpu yang menggantikan UU No. 2 Tahun 1946 yang
menegaskan lahirnya BNI (17 Agustus 1946) dengan tugas mengeluarkan dan
mengedarkan uang kertas bank sekaligus sebagai pemegang kas negara. Berdasarkan PP
No. 1 Tahun 1946, pada tanggal 22 Februari 1946, pemerintah mendirikan Bank Rakyat
Indonesia. Pada tanggal 1 Januari 1947, pemerintah mendirikan Banking and Trading
Corporation Ltd (BTC) di Jakarta yang kemudian asetnya disita Belanda saat agresi
militer. Setelah pengakuan kedaulatan dimana pemerintah Indonesia berpusat di
Yogyakarta, BTC diaktifkan kembali dengan tugas memberikan perkreditan kecil atas
jaminan emas dan perhiasan. BTC kemudian berganti nama menjadi Indonesian Bank
Corporation (IBC). Pada tahun 1953 diterbitkan UU No. 11 Tahun 1953 tentang
penetapan UU Pokok Bank Indonesia yang dilengkapi dengan aturan tambahan berupa PP
No.1 Tahun 1955, Keputusan Dewan Moneter No. 25/1957, 26/1957 dan 27/1957,
dimana BI memiliki kekuasaan dan hak-hak prerogatif sebagai bank sentral modern
termasuk berwenang mengawasi perkreditan di Indonesia.(Lihat Widjanarto, Hukum Dan
Ketentuan Perbankan Di Indonesia, Edisi II Cetakan II, PT. Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta, 1995, halaman 3-9).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
2
dan karena itu kebanyakan wiraswastawan selaku calon nasabah debitur
bersikap „pasrah‟ akan ketentuan perjanjian kredit yang disodorkan bank.
Perjanjian kredit merupakan media atau perantara pihak dalam
keterkaitan pihak yang mempunyai kelebihan dana surplus of funds dengan
pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana lack of funds.2 Pihak
surplus of funds mengharapkan keuntungan dari peminjaman dananya dan
pihak lack of funds mengharapkan dengan dana yang dipinjamkan dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi, baik pihak surplus of funds
maupun pihak lack of funds masing-masing memiliki kepentingan dalam
perjanjian kredit sehingga tidaklah dibenarkan dalam perjanjian kredit, pihak
lack of funds saja yang diperhatikan kepentingannya.
Ketika pihak bank dan pihak calon nasabah debitur menandatangani
perjanjian kredit maka perjanjian kredit tersebut mengikat kedua belah pihak
dan merupakan undang-undang3 bagi kedua belah pihak. Pemberlakuan
perjanjian sebagai undang-undang bagi mereka yang mengikatkan diri dalam
suatu perjanjian, telah menempatkan perjanjian itu sebagai hukum. Dalam hal
ini Roscoe Pound mengemukakan bahwa hukum adalah keseimbangan
kepentingan.4
Lahirnya perjanjian kredit mewajibkan pihak-pihak yang mengikatkan
diri dalam perjanjian kredit tersebut untuk tunduk pada syarat-syarat yang
diperjanjikan baik berupa hak maupun kewajiban kedua belah pihak
sebagaimana tertuang dalam perjanjian kredit itu. Mengikatnya syarat-syarat
dalam perjanjian kredit bagi para pihak dan kewajiban para pihak tunduk
pada perjanjian kredit itu dilindungi oleh hukum apabila perjanjian kredit
tersebut dilahirkan dalam keadaan yang sah yaitu sah proses pembuatan dan
penetapannya dan sah isi atau syarat-syarat yang termuat dalam perjanjian
kredit itu.
2 Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Sekitar Perjanjian Kredit, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro,1997, halaman 1. 3 Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata mengatur : semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 4 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Edisi Revisi), PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1996, halaman 130.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
3
Pasal 1320 KUH Perdata telah mengatur 4 (empat) syarat sahnya
suatu perjanjian yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Syarat kesatu dan kedua adalah syarat subyektif yang apabila tidak terpenuhi
maka konsekuensinya perjanjian itu dapat dibatalkan. Sedangkan syarat
ketiga dan keempat adalah syarat obyektif yang apabila tidak terpenuhi maka
perjanjian itu batal demi hukum.
Mengenai kesepakatan sebagai syarat sahnya perjanjian, Pasal 1321
KUH Perdata mengatur bahwa apabila kesepakatan tercapai karena
kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian atau
karena paksaan atau penipuan maka dianggap tidak ada kesepakatan. Dengan
demikian, kesepakatan itu harus terjadi dalam keadaan para pihak yang bebas
dan jujur, tidak ada penipuan, tidak ada paksaan dan tidak terjadi kekhilafan.
Kesepakatan yang terjadi karena kekhilafan, penipuan ataupun paksaan dapat
dijadikan alasan meminta pembatalan perjanjian.
Selain itu, dalam perkembangannya, penyalahgunaan keadaan
(misbruik van omstandigheden) juga dijadikan alasan untuk membatalkan
perjanjian karena penggugat tidak menghendaki adanya perjanjian tersebut
atau karena perjanjian itu tidak dikehendaki penggugat dalam bentuk yang
demikian. Konsep ini diterapkan antara lain dalam putusan Mahkamah Agung
RI No. 3431 K/Pdt/1985, tanggal 4 Maret 1987 dan putusan Mahkamah
Agung RI No. 1904 K/Sip/1982, tanggal 28 Januari 1984.5
5 H.P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden)
Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum
di Belanda dan Indonesia), Edisi Revisi Kedua, Liberty Yogyakarta, 2010, halaman 66-
70. Juga dikemukakan bahwa konsep Misbruik van Omstandigheden sebagai alasan baru
pembatalan perjanjian telah diakomodir dalam NBW Belanda dan telah diterapkan dalam
perkara-perkara antara lain : a) Bovag II, HR 11 Januari 1957, NJ 1959, 57; b)
BUMA/Brinkman, HR 24 Mei 1968, NJ 1968, 252; c) Pensiun janda, HR 29 April 1971,
NJ 1972, 336; d) Van Elmbt/Feierabend, HR 29 Mei 1964, NJ 1965, 104; e)
Bluijssen/Kolhorn, HR 13 Juni 1975, NJ 1976, 98. (halaman 52-66).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
4
Untuk mencapai kesepakatan diantara para pihak tentunya
penyampaian kehendak masing-masing pihak dilakukan dalam keadaan bebas
dan ada proses mencari persesuaian kehendak diantara para pihak dalam
wadah negosiasi. Fase negosiasi merupakan “crucial point” untuk
merumuskan pertukaran hak dan kewajiban para pihak yang nantinya
mengikat dan wajib untuk dipenuhi.6
Dewasa ini banyak perjanjian kredit yang terjadi bukan melalui proses
negosiasi di antara para pihak, melainkan format perjanjian telah disiapkan
secara sepihak oleh pihak bank berupa syarat-syarat baku yang dituangkan
dalam formulir yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada calon
nasabah debitur untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan
kepada calon nasabah debitur bernegosiasi. Kalaupun calon nasabah debitur
diberikan ruang bernegosiasi, keputusan mengubah syarat baku terdapat pada
pimpinan pusat bank dan bukan pada kepala cabang bank sehingga
memerlukan waktu yang cukup lama untuk proses negosiasi dan sudah tentu
merugikan pihak calon nasabah debitur karena kebutuhan dana mendesak.
Dalam keadaan demikian, calon nasabah debitur diperhadapkan pada
kondisi take it or leave it tanpa kebebasan bagi calon nasabah debitur
memutuskan pilihannya. Dengan kata lain, kalaupun terjadi kesepakatan
maka sepakat itu terjadi karena terpaksa. Sepakat yang diberikan dengan
terpaksa adalah contradiction in terminis. Adanya paksaan menunjukkan
tidak adanya sepakat.7 Dalam hal ini, Hood Philips berpendapat bahwa : The
contracts (standard contract) are the take-it-or leave it kind, for here the
customer cannot bargain over the terms : his only choice is to accept the term
in to or to reject the service together.8
6 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam
Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, halaman 148. 7 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, PT. Pustaka
Utama Graffiti, Jakarta, Agustus 2009, halaman 52. 8 Dewi Tenty Septi Artianty, Tinjauan Hukum Atas Klausula Baku dalam
Perjanjian Kerjasama Perusahaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak untuk Umum
(SPBU) Dihubungkan dengan Asas Kebebasan Berkontrak, (Tesis Program Pasca
Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, 2006, halaman 9).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
5
Perjanjian yang demikian dinamakan perjanjian standar atau
perjanjian baku9 atau perjanjian adhesi.
10 Menurut Sutan Remy Sjahdeini,
perjanjian baku adalah : “Perjanjian yang hampir seluruh klausula-
klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya
tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.”11
Lebih lanjut Sutan Remy Sjahdeini mengungkapkan bahwa yang belum
dibakukan dalam perjanjian kredit hanyalah beberapa hal misalnya yang
menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal
lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan kata lain, yang
dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausula-klausulanya.12
Dalam literatur lain, A. Pitlo-Bolweg dalam Ignasius Ridwan Widyadharma
(1997) menekankan bahwa perjanjian standar adalah suatu dwangcontract.13
Kebijakan pengambilan keputusan mengenai kemungkinan perubahan
syarat baku yang diserahkan pada pimpinan bank pusat menjadikan proses
tercapainya kesepakatan/perjanjian menjadi berlarut-larut dan tidak efisien.
Tidak mengherankan apabila pihak bank lebih cenderung memberikan
pelayanannya kepada calon nasabah debitur yang sepakat dengan syarat baku
yang disodorkan.14
Situasi dimana kurangnya ruang negosiasi dalam perjanjian kredit
cenderung menimbulkan ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara pihak
bank dengan nasabah debitur dalam perjanjian kredit yang ditetapkan.
Ketidakseimbangan tersebut umumnya merugikan pihak nasabah debitur.
Herlien Budiono mengemukakan 3 (tiga) aspek yang saling berkaitan
dari perjanjian yang dapat dimunculkan sebagai faktor penguji berkenaan
9 Lahirnya perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain oleh perkembangan
masyarakat modern, dan perkembangan keadaan sosial ekonomi. Tujuan semula
diadakannya perjanjian baku adalah alasan efisiensi dan alasan praktis. Hubungan
ekonomi yang bergerak cepat telah menjadikan perjanjian baku sebagai suatu kebutuhan
karena dinilai lebih efisien. 10
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 73-74. 11
Ibid, halaman 66. 12
Ibid, halaman 74. 13
Ignatius Ridwan Widyadharma, Op.Cit, halaman 8. 14
R.Subekti dalam Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan,
Sinar Grafika, Jakarta,2010, halaman 338.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
6
dengan daya kerja asas keseimbangan, yakni :15
pertama, perbuatannya
sendiri atau perilaku individual, kedua, isi kontrak, dan ketiga, pelaksanaan
dari apa yang telah disepakati.
Khusus mengenai faktor penguji pertama, perbuatannya sendiri atau
perilaku individu, Herlien Budiono mengungkapkan sebagai berikut :
Suatu perbuatan hukum tidak boleh bersumber dari ketidaksempurnaan
keadaan jiwa seseorang. Keadaan tidak seimbang dapat terjadi sebagai
akibat dari perbuatan hukum yang dengan cara terduga dapat
menghalangi pengambilan keputusan atau pertimbangan secara matang.
Yang dimaksud disini adalah keadaan yang berlangsung lama, seperti
ketidakcakapan bertindak (handelings-onbekwaamheid). Juga, tercakup
ke dalam itu ialah perbuatan (-perbuatan) sebagai akibat dari cacatnya
kehendak pelaku, misalnya karena ancaman (bedreiging), penipuan
(bedrog), atau penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstadigheden).16
Ketidakseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian
kredit, setidaknya dipengaruhi oleh keleluasaan yang diberikan Bank
Indonesia melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 kepada masing-masing bank induk
untuk menyusun dan menetapkan format baku perjanjian kredit.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR
tanggal 31 Maret 1995 tersebut hanya memberikan rambu-rambu untuk
diperhatikan oleh masing-masing bank dalam menetapkan perjanjian kredit
sebagai berikut :17
1. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi
kepentingan bank;
2. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit, serta
persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan persetujuan kredit dimaksud.
15
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia
Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, PT. Citra Aditia Bakti,
Bandung, 2006, halaman 334. 16
Ibid, halaman 335. 17
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 328.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
7
Rambu-rambu tersebut telah memberi keleluasaan pada masing-
masing bank untuk menetapkan klausula-klausula baku dalam format
perjanjian baku guna melindungi kepentingan bank yang terkadang tidak
wajar dan tidak adil sehingga merugikan kepentingan calon nasabah debitur
sebab tidak ada keseimbangan hak dan kewajiban antara pihak bank selaku
kreditur dengan pihak nasabah debitur dalam perjanjian kredit. Klausula baku
yang demikian disebut klausula eksonerasi, atau klausula eksemsi atau
klausula exclusion.
Penggunaan istilah yang berbeda untuk keadaan klausula yang sama
tersebut lebih ditekankan pada selera masing-masing penulis tentunya dengan
dasar argumentasi ilmiah. Misalnya, Sutan Remy Sjahdeini cenderung
menggunakan istilah klausula eksemsi yang sering digunakan dalam
peristilahan perbankan di Amerika Serikat yaitu istilah yang sering digunakan
dalam pustaka Inggris exemption clauses, dengan mendasarkannya pada
keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0389/U/1988 tanggal
11 Agustus 1988 tentang Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang
mengarahkan demi keseragaman , sumber rujukan yang diutamakan adalah
istilah Inggris yang pemakaiannya sudah internasional, yakni yang
dilazimkan para ahli dalam bidangnya.18
Penulis menggunakan istilah klausula eksonerasi dalam penulisan
tesis ini sebagaimana digunakan dalam berbagai literatur Mariam Darus
Badrulzaman. Klausula eksonerasi merupakan peristilahan yang ditemukan
dalam berbagai pustaka Belanda exoneratie clausule. Pengambilalihan istilah
yang dipakai dalam pustaka Belanda ini menurut penulis lebih tepat
digunakan dalam pengkajian klausula baku perbankan yang pada intinya
merupakan klausula hukum perjanjian, karena sejarah hukum perjanjian
Indonesia berasal dari Belanda sebagai akibat penerapan asas konkordasi. Hal
ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan dalam memahami perkembangan
hukum perjanjian dan pemaknaan istilah yang digunakan.
Rijken mengungkapkan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula
yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak
18
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 82.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
8
menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti
rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan
melawan hukum.19
Klausula eksonerasi merupakan klausula yang bertujuan untuk
membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap
gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan
semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian
tersebut.20
Dengan kata lain, merupakan klausula yang berisi pembatasan
pertanggungjawaban dari kreditur.21
Untuk itu Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan ciri-ciri
klausula eksenorasi/perjanjian baku yang meniadakan atau membatasi
kewajiban salah satu pihak (kreditur) sebagai berikut :22
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat
dari debitur;
2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;
3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
4. Bentuknya tertulis;
5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.
H.P. Panggabean dalam penelitian terhadap model-model perjanjian
kredit yang dikeluarkan oleh BRI, BNI, BEII, BAPIN, SBU, BCA, BDNI,
BPDSU, dan BII menemukan klausula-klausula eksonerasi sebagai berikut :23
1. Bank sewaktu-waktu berhak untuk mengakhiri perjanjian secara
sepihak dan kemudian menagih utang secara sekaligus dan seketika
menurut waktu yang ditentukan bank;
2. Bank berhak menentukan sendiri jumlah utang debitur berdasarkan
jumlah utang pokok, bunga kredit, provisi, dan lain-lain sebagainya;
3. Bank diberi kuasa mutlak yang tidak dapat dicabut kembali menjual
barang jaminan;
4. Bank tidak wajib memberikan kredit kepada debitur walaupun
maksimum kredit (plafon kredit) belum tercapai;
19
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994,
halaman 47. 20
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 84. 21
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya
di Indonesia. Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum dan Pendidikan Hukum
(Kumpulan Pidato-Pidato Pengukuhan), Alumni, Bandung, 1981, halaman 109. 22
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.Cit, halaman50. 23
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 347-349.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
9
5. Bank berhak dengan nama dan/atau cara apapun juga melakukan
tindakan hukum yang dianggap baik oleh bank atau menurut peraturan
yang berlaku, apabila debitur lalai, atau tidak dapat melunasi kreditnya.
6. Bank berhak menangguhkan pelaksanaan perjanjian semata-mata atas
pertimbangannya sendiri;
7. Bank tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan
kerusakan, kelambatan atau karena hilangnya surat telegram termasuk
juga kerugian yang disebabkan tindakan pihak yang menjadi perantara;
8. Semua surat-surat berharga, barang-barang bergerak dan tetap yang
diterima bank atau yang berada di tangan pihak ketiga berdasarkan
apapun juga menjadi jaminan bagi bank untuk pengembalian utang si
debitur dan semua surat-surat berharga dan barang-barang tersebut
apabila hilang atau rusak menjadi risiko dan tanggung jawab debitur;
9. Bank tidak bertanggung jawab atas kekurangan pihak ketiga yang
ditunjukkannya untuk melaksanakan perintah-perintah debitur;
10. Semua pengiriman kepada atau oleh bank dari pihak-pihak ketiga
dilakukan untuk perkiraan dan risiko nasabah;
11. Bank berhak untuk mengadakan perubahan-perubahan pada syarat-
syarat perjanjian kredit;
12. Bank berhak untuk menggadaikan kembali kepada orang lain segala
benda yang digadaikan debitur kepadanya;
13. Bahwa dengan lewatnya waktu yang diperjanjikan untuk melunasi
kredit, sudah merupakan bukti terjadinya keadaan wanprestasi (tidak
perlu pemberitahuan).
Dalam penelitian terpisah, Sutan Remy Sjahdeini mengungkapkan
bahwa dari penelitiannya terdapat 14 (empat belas) klausula eksonerasi dalam
perjanjian kredit, yaitu :24
1. Kewenangan bank untuk sewaktu-waktu tanpa alasan dan tanpa
pemberitahuan sebelumnya secara sepihak menghentikan izin tarik
kredit.
2. Bank berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang
agunan dalam hal penjualan barang agunan karena kreditt nasabah
debitur macet.
3. Kewajiban nasabah debitur untuk tunduk kepada segala petunjuk dan
peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan ditetapkan
kemudian oleh bank.
4. Keharusan nasabah debitur untuk tunduk kepada syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan umum hubunngan rekening koran dari bank yang
bersangkutan namun tanpa sebelumnya nasabah debitur diberi
kesempatan untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan umum hubungan rekening koran tersebut.
24
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 214-264.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
10
5. Kuasa nasabah debitur yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank
untuk dapat melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh
bank.
6. Kuasa nasabah debitur kepada bank untuk mewakili dan melaksanakan
hak-hak nasabah debitur dalam setiap rapat umum pemegang saham.
7. Pencantuman klausula-klausula eksemsi yang membebaskan bank dari
tuntutan ganti kerugian oleh nasabah debitur atas terjadinya kerugian
yang diderita olehnya sebagai akibat tindakan bank.
8. Pencantuman klausula eksemsi mengenai tidak adanya hak nasabah
debitur untuk dapat menyatakan keberatan atas pembebanan
rekeningnya.
9. Pembuktian kelalaian nasabah debitur secara sepihak oleh pihak bank
semata.
10. Penetapan dan perhitungan bunga bank secara merugikan nasabah
debitur.
11. Denda keterlambatan merupakan bunga terselubung.
12. Perhitungan bunga berganda menurut praktik perbankan bertentangan
dengan Pasal 1251 KUHPerdata.
13. Pengabaian Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata berkenaan dengan
klausula events of default.
14. Kewajiban pelunasan bunga terlebih dahulu adalah sesuai dengan
undang-undang (Pasal 1397 KUH Perdata) tetapi sangat memberatkan
nasabah.
Klausula-klausula eksonerasi tersebut memang memberatkan calon
nasabah debitur dan menempatkan pihak bank pada posisi yang lebih kuat.
Atas keadaan tersebut, Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman mengemukakan
sebagai berikut :
Perjanjian-perjanjian kredit bank yang telah dibakukan tersebut banyak
mengandung sejumlah klausula yang memberatkan nasabah debitur,
yakni memuat sejumlah klausula yang tidak wajar dan tidak adil dengan
menyalahgunakan keadaan nasabah debiturnya. Penyalahgunaan
keadaan nasabah debitur ini ternyata dikarenakan secara ekonomis dan
psikologis, kedudukan bank sangat kuat dan tidak seimbang dengan
nasabah debiturnya pada saat penandatanganan perjanjian kredit.25
Keadaan lemahnya kedudukan pihak calon nasabah debitur akan
berubah apabila perjanjian kredit telah ditetapkan dimana kedudukan pihak
bank akan menjadi lebih lemah dan kedudukan pihak nasabah debitur berada
pada posisi yang lebih kuat. Dalam hal ini Sutan Remy Sjahdeini
mengemukakan bahwa :
25
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 354.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
11
Pada waktu kredit akan diberikan, pada umumnya memang bank dalam
posisi yang lebih kuat disbanding dengan calon nasabah debitur. Hal
tersebut karena pada saat pembuatan perjanjian itu calon nasabah
debitur sangat membutuhkan bantuan kredit itu dari bank. … Hal itu
menyebabkan posisi tawar menawar bank menjadi sangat kuat. …
Tetapi setelah kredit diberikan berdasarkan perjanjian kredit ternyata
kedudukan bank lemah. Kedudukan bank setelah kredit diberikan
banyak bergantung pada integritas nasabah debitur.26
Dalam praktek peradilan, klausula-klausula eksonerasi tersebut sering
dijadikan dasar gugatan perbuatan melawan hukum yaitu untuk menyatakan
perjanjian kredit tersebut batal karena tidak adanya keseimbangan hak dan
kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit.
Fakta munculnya gugatan-gugatan mengenai perjanjian kredit antara
nasabah debitur melawan pihak bank menunjukkan bahwa masyarakat
semakin sadar akan kedudukannya yang lemah dalam suatu perjanjian kredit
di bank. Selain itu, lahirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UU RI No.8 Tahun 1999, LN RI Tahun 1999 No.
42 TLN RI No. 3821) khususnya Bab V Pasal 18 tentang Ketentuan
Pencantuman Kalusula Baku telah berperan memberikan keberanian bagi
nasabah debitur memperjuangkan hak-haknya dalam perjanjian kredit.27
Kehadiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen untuk melindungi kepentingan konsumen di Indonesia yang belum
ada28
agar terdapat suatu perjanjian yang seimbang antara konsumen dan
produsen berdasarkan asas kesetaraan berkontrak.29
26
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 207-208. 27
Lihat konsiderans menimbang angka 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang menyatakan : bahwa untuk meningkatkan harkat dan
martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta
menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab (Republik
Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
UU RI No.8 Tahun 1999, LN RI Tahun 1999 No. 42 TLN RI No. 3821). 28
Lihat konsiderans menimbang angka 5 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Ibid). 29
Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di
Indonesia Simpanan, Jasa & Kredit, Ghalia Indonesia, Bogor, Mei 2006, halaman 69.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
12
Menurut Sriwati dalam Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman (2010),
adanya pengaturan terhadap perlindungan konsumen terutama pada peraturan
yang berkaitan dengan klausula baku, sedikit banyak menyadarkan
masyarakat bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak yang
(semestinya) sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian itu. Dimana
pengaturan ini merupakan tonggak awal bagi adanya keseimbangan dalam
penempatan pihak pada suatu perjanjian.30
Kehadiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tidak untuk mematikan kreatifitas pelaku usaha
dalam melindungi diri dan asetnya dalam dunia wirausaha melainkan untuk
menyeimbangkan kembali kedudukan pelaku usaha dan konsumen. Dalam
hal ini, Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam Djoni S. Gazali dan
Rachmadi Usman (2010) mengemukakan bahwa pada prinsipnya Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tidak melarang pelaku usaha untuk membuat
perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau
perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/atau jasa, selama dan
sepanjang perjanjian baku dan/atau klausula baku tersebut tidak
mencantumkan ketentuan yang dilarang serta tidak berbentuk sebagaimana
dilarang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999.31
Fenomena dalam perjanjian kredit di bank tersebut perlu disikapi
Mahkamah Agung RI melalui pemberian pendapatnya melalui putusan-
putusan khususnya mengenai penerapan/penggunaan asas keseimbangan
dalam perjanjian kredit di bank. Hal ini penting sebagai hukum yang pasti
bagi bank masing-masing dalam membuat dan menetapkan perjanjian kredit.
Dalam penulisan tesis ini, penulis memilih memfokuskannya pada
klausula “penetapan dan perhitungan bunga bank dilakukan oleh bank”
karena sepanjang pengamatan penulis klausula tersebut sering digunakan
pihak bank terutama dalam keadaan tidak menentunya suku bunga yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk menguntungkan dirinya tanpa
mempertimbangkan keadaan dari nasabah debitur. Lebih jauh, atas gugatan
30
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 358 – 359. 31 Ibid, halaman 358
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
13
yang mendasarkan pada klausula tersebut sebagai obyek gugatan baik di
dalam perjanjian kredit bank maupun perjanjian pinjam meminjam uang telah
mengharuskan hakim bersikap memasuki ranah perjanjian dan memberikan
putusan.
Dari berbagai literatur setidak-tidaknya penulis mencatat 3 (tiga)
perkara yang berkaitan dengan klausula bunga kredit dalam perjanjian, yaitu :
1. Perkara No. 3956 K/Pdt/2000 jo. No. 628/Pdt/1999/PT.Sby jo. No.
37/Pdt.G/1998/PN.GS antara SG dan AK Melawan PT. Bank X dan
Kepala Kantor Badan Y.
2. Perkara No. 1530 K/Pdt/2011 jo. No. 448/Pdt/2010/PT.Smg jo.
No.11/Pdt.G/2010/PN.Jpr antara SW melawan PT. Bank Y dan
Pemerintah RI Cq. Menteri Z Cq. Dirjen Z1 Cq. Kanwil Z2.
3. Perkara No. 3431 K/Pdt/1985 jo. No. 523/1983/Pdt/PT. Smg jo. No.
12/G/1983/Pdt. Bla. Antara SS melawan Ny. B dan RB.
Dalam penulisan tesis ini, penulis memfokuskan kajian pada Putusan
Mahkamah Agung RI No. 3956 K/Pdt/2000 jo Putusan Pengadilan Tinggi
Sby No. 628/Pdt/1999/PT.SBY jo Putusan Pengadilan Negeri GS No.
37/Pdt.G/1998/PN. GS dan sebagai perbandingannya, penulis juga akan
mengkaji Putusan Mahkamah Agung RI No. 1530 K/Pdt/2011 jo. No.
448/Pdt/2010/PT. Smg jo. No.11/Pdt.G/2010/PN.Jpr serta Putusan
Mahkamah Agung RI No. 3431 K/Pdt/1985 jo. No. 523/1983/Pdt/PT. Smg jo.
No. 12/G/1983/Pdt. Bla.
Putusan Mahkamah Agung RI No. 3956 K/Pdt/2000 jo Putusan
Pengadilan Tinggi SBY No. 628/Pdt/1999/PT.SBY jo Putusan Pengadilan
Negeri GS No. 37/Pdt.G/1998/PN. GS adalah putusan yang diberikan
lembaga yudikatif dalam perkara antara SG dahulu bernama GSA (Penggugat
I) dan AK alias LAK (Penggugat II) melawan PT. Bank X (Tergugat) dan
Kepala Kantor Badan Y (Turut Tergugat).
Dalam perkara tersebut, para penggugat mendalilkan bahwa para
penggugat pernah menerima fasilitas kredit dari tergugat sejumlah
Rp.1.850.000.000,-, belum termasuk bunga, provisi kredit, serta biaya-biaya
lain yang ditanggung oleh para penggugat. Adapun bunga yang ditetapkan
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
14
oleh tergugat adalah sebesar 21 % per tahun dihitung dari jumlah pemakaian
dana kredit. Para penggugat selalu tertib membayar kredit tersebut. Namun
dalam perjalanannya, per juli 1998 tergugat secara sepihak menaikkan bunga
kredit menjadi 61% per tahun yang tidak sesuai dengan isi perjanjian. Akta
perjanjian yang tidak seimbang dan kabur dimanfaatkan tergugat untuk
menafsirkan secara sepihak isi perjanjian tersebut.
Sebaliknya tergugat membantah dalil gugatan para penggugat.
Menurut tergugat kenaikan bunga kredit yang dilakukan tergugat sudah sesuai
dengan isi Akta Pengakuan Hutang No. 76 Tanggal 27 Januari 1995 yang
telah disepakati bersama antara para penggugat dengan tergugat. Dalam akta
tersebut diperjanjikan bahwa bunga bersifat fariable, yaitu :”suku bunga
tersebut setiap waktu dapat berubah menurut penetapan pihak pertama
(tergugat), dan akan diberitahukan kepada pihak kedua (para penggugat)”,
sehingga tidak benar tergugat menafsirkan secara sepihak isi perjanjian untuk
menguntungkan tergugat. Tentang isi perjanjian mengenai suku bunga
tersebut telah dibenarkan penggugat dalam surat gugatannya.
Dalam putusan Pengadilan Negeri, majelis hakim memutuskan
mengembalikan suku bunga pada posisi 21% dengan pertimbangan :
perlindungan hukum harus diberikan dalam proporsinya dalam
keseimbangan. Pencantuman klausula jumlah bunga setiap saat bisa berubah
sesuai ketentuan bank tidaklah berarti dalam keadaan situasi krisis yang
berkepanjangan bank lalu menaikkan bunga sesuka hatinya tanpa
mengindahkan norma-norma kepatutan, keadilan serta kelayakan dalam
masyarakat dimana debitur saat-saat krisis ekonomi ini juga pasti mengalami
kemunduran dalam usahanya.
Dalam tingkat banding, kuasa kukum para penggugat dan kuasa
hukum tergugat telah mencabut pernyataan banding. Meskipun kemudian
perkara tersebut diajukan kasasi dengan alasan bahwa pencabutan banding
tersebut dilakukan kuasa penggugat asli tanpa sepengetahuan dan seijin dari
penggugat asli dan tidak disertai dengan surat kuasa khusus untuk mencabut
permohonan banding. Mahkamah Agung dalam putusannya menolak
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
15
permohonan kasasi tersebut dengan pertimbangan bahwa Pengadilan Tinggi
tidak salah menerapkan hukum dalam perkara tersebut.
Putusan Pengadilan Negeri GS yang mendudukkan kembali suku
bunga pada 21% sesuai suku bunga awal didasarkan pada pertimbangan
kepatutan dan kelayakan. Disisi lainnya, isi perjanjian tersebut secara jelas
memungkinkan adanya perubahan suku bunga karena menganut floating rate
of interest, dan hal itu disepakati oleh para penggugat maupun tergugat. Hal
ini sangat menarik, karena untuk memberikan kepastian hukum, keadilan
hukum dan kemanfaatan hukum, hakim telah masuk dalam ranah perjanjian
dan dapat mengenyampingkan isi perjanjian dengan menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
sesuai amanat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman.32
1.2. POKOK PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok
permasalahan adalah :
1. Apakah pencantuman klausula “penetapan dan perhitungan bunga bank
dilakukan oleh bank” dalam perjanjian kredit melanggar asas
keseimbangan ?
2. Apakah Hakim dapat mengintervensi suatu perjanjian kredit yang
disepakati para pihak ?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan tesis ini adalah :
1. Ingin menganalisis pengaruh pencantuman klausula “penetapan dan
perhitungan bunga bank dilakukan oleh bank” terhadap keseimbangan
32
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, UU RI No.48 Tahun 2009, Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor
157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
16
perjanjian kredit perbankan serta memberikan rekomendasi berkaitan
dengan hasil analisis.
2. Ingin menganalisis kewenangan Hakim dalam mengintervensi suatu
perjanjian kredit yang disepakati para pihak serta memberikan
rekomendasi berkaitan dengan hasil analisis.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Dalam penulisan tesis ini, sedikitnya ada dua manfaat yang kiranya
dapat diperoleh, yaitu :
1.4.1. Manfaat Teoritis.
Dari sisi teoritis, penulisan ini diharapkan dapat membuktikan
bahwa pencantuman klausula “penetapan dan perhitungan bunga bank
dilakukan oleh bank” memberikan pengaruh terhadap keseimbangan
kepentingan para pihak yang terakomodir dalam suatu perjanjian
kredit perbankan. Dipilihnya asas keseimbangan sebagai medan uji
karena pada prinsipnya pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian
kredit memiliki kepentingan masing-masing dan untuk memenuhi
kepentingan tersebut, dilakukan dengan bekerjasama di antara para
pihak dengan tujuan saling menguntungkan.
Penulisan tesis ini juga diharapkan dapat memberikan
sumbangsih bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya
menjadikan asas keseimbangan dalam perjanjian sebagai salah satu
asas perjanjian yang diakomodir dalam hukum positif. Dengan
diakomodirnya asas keseimbangan secara tegas dalam hukum positif,
diharapkan dapat digunakan sebagai asas pokok dalam perjanjian
kredit perbankan yang bermanfaat dalam memberikan perlindungan
hukum yang berkeadilan bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam
suatu perjanjian kredit perbankan.
Selain itu, dalam praktik peradilan, juga didapati adanya
intervensi hakim dalam merubah suku bunga yang diperjanjikan.
Karena itu, penulisan tesis ini diharapkan dapat membuktikan ada atau
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
17
tidaknya kewenangan hakim dalam mengintervensi perjanjian kredit
perbankan. Hal ini demi membuat terang batasan kewenangan hakim
yang dapat bermanfaat bagi pencari keadilan dan praktisi hukum serta
kaum akademisi.
1.4.2. Manfaat Praktis.
Dari sisi praktis, penulisan tesis ini diharapkan dapat
menjadikan asas keseimbangan sebagai asas yang dapat diterapkan
pelaku usaha untuk memberikan kedudukan yang seimbang bagi para
pihak ketika mengadakan suatu perjanjian kredit, dengan memberi
ruang negosiasi kepentingan masing-masing seluas-luasnya dan
mengakomodir kepentingan yang seimbang dalam perjanjian kredit
perbankan.
Selain itu, hasil penulisan tesis ini juga diharapkan dapat
dijadikan bahan referensi oleh hakim dalam mengadili perkara yang
berkaitan dengan perjanjian kredit. Bagi pencari keadilan, penulisan
tesis ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk memperjuangkan
pemenuhan hak-haknya secara seimbang dalam perjanjian kredit.
1.5. METODE PENELITIAN
Soetandio Wignjosoebroto mengemukakan bahwa apabila orang
hendak mempelajari secara tuntas metode penelitian hukum, maka orang
tersebut harus memahami terlebih dahulu “penelitian”, “metode”, dan
“hukum”.33
Lebih lanjut disarikan bahwa penelitian sebagai suatu usaha
pencarian jawaban yang benar sedangkan metode adalah prosedur terkontrol
untuk menemukan pengetahuan.34
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa metode penelitian adalah prosedur terkontrol untuk menemukan
pengetahuan sebagai jawaban yang benar atas suatu pertanyaan ilmiah.
33
Sulistyowati Irianto dan Shidarta (editor), Metode Penelitian Hukum
Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011, halaman 95. 34
Ibid, halaman 96-97.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
18
Sebagai prosedur terkontrol maka metode penelitian memuat langkah-
langkah teratur dan terarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
termasuk pada akhirnya jawaban yang ditemukan tidak saja benar tetapi dapat
dipertanggungjawabkan. Karena itu menurut Prof. Sunaryati Hartono,
metode penelitian sebagai cara atau jalan atau proses pemeriksaan atau
penyelidikan, menggunakan cara penalaran dan berpikir yang logis-analitis
(logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori suatu ilmu (atau
beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau mengadakan
verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa
alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu.35
Dengan demikian,
metode penelitian adalah roh dari suatu penelitian. Penggunaan metode yang
salah berimbas pada tidak sakihnya hasil penelitian.
Metode yang digunakan penulis dalam penulisan tesis ini adalah
metode penelitian normatif, yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder yang berkaitan dengan Perjanjian maupun Asas Keseimbangan
sebagai proses untuk menentukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi
berupa argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi.36
1.5.1. Tipologi Penelitian.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang sifatnya analisis
kualitatif dengan tujuan menggambarkan dan menganalisa secara
tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.
Kaitannya dengan penulisan tesis ini, penulis menggambarkan suatu
peraturan hukum yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang
relevan dan putusan-putusan pengadilan kemudian menganalisanya
secara cermat tentang pengaruh pencantuman klausula “penetapan dan
35
Teguh Wicaksono Saputra, Tesis, Penerapan Asas Keseimbangan dan Asas
Kebebasan Berkontrak Dalam Putusan Pengadilan, Program PAsca Sarjana Magister
Hukum Universitas Indonesia, Juli 2011, halaman 20. 36
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2010, halaman 35,
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
19
perhitungan bunga bank dilakukan oleh bank” terhadap asas
keseimbangan dalam perjanjian kredit di bank X.
Untuk itu, penulis menggunakan pendekatan kasus (case
approach) dengan tujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma
atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama
mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana dalam perkara-
perkara yang menjadi fokus penelitian, dengan mempergunakan data
yang bersumber pada hukum positif, maupun bahan-bahan
kepustakaan seperti tesis, makalah-makalah, jurnal, majalah-majalah,
surat kabar dan literatur lainnya, yang berkaitan dengan perjanjian
kredit dan asas keseimbangan.
1.5.2. Sumber Data.
Data-data dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yaitu
data yang diperoleh dari kepustakaan berupa :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang terdapat dalam
peraturan-peraturan perundang-undangan maupun di dalam putusan
pengadilan.37
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan untuk membantu
menganalisis dan memahami sumber hukum primer berupa buku-
buku, makalah-makalah, tesis, jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus
hukum, komentar-komentar atas putusan pengadilan dan sumber-
sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Putusan
pengadilan sebagai bahan hukum sekunder yang diteliti adalah
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak
terpaku pada landmark decision tetapi juga putusan pengadilan
yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.38
Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada
penulis semacam petunjuk kearah mana penulis melangkah, dapat
pula sebagai pemberi inspirasi melakukan penelitian lanjutan, juga
37
Ibid, halaman 144-155. 38
Ibid, halaman 195.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
20
dapat sebagai panduan berfikir dalam menyusun argumentasi yang
akan diajukan dalam persidangan atau memberikan pendapat
hukum.39
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberi penjelasan
terhadap sumber hukum primer dan sekunder, yang berupa artikel,
jurnal ilmiah, internet dan sumber-sumber lain yang berhubungan
dengan penulisan tesis ini.
1.5.3. Teknik Pengumpulan Data
Data-data untuk penulisan tesis ini dikumpulkan dengan teknik
pengumpulan data berupa studi dokumen, yaitu melakukan penelitian
terhadap dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan
yang akan diteliti guna memperoleh landasan teoritis dan informasi
dalam bentuk ketentuan formal.
1.5.4. Metode Analisa Data.
Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan metode
normatif kualitatif. Secara normatif karena penelitian dalam penulisan
tesis ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai
hukum positif. Secara kualitatif karena merupakan analisis data yang
berasal dari hasil penelusuran bahan pustaka termasuk putusan-
putusan pengadilan.
1.6. KERANGKA TEORI DAN KONSEP
1.6.1. Kerangka Teori.
Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa yang dimaksudkan
dengan teori adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling
berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan
penjelasan atas suatu gejala.40
Teori juga digunakan untuk menggali
39
Ibid, halaman 155. 40
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 8.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
21
lebih mendalam aturan hukum dengan memasuki teori hukum demi
mengembangkan suatu kajian hukum tertentu41
, yang diperinci lagi
oleh Soerjono Soekanto dalam kegunaan teori sebagai berikut :42
1. Untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak
diselidiki atau diuji kebenarannya.
2. Sebagai suatu ikthisar daripada hal-hal yang telah diketahui serta
diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.
3. Sebagai kemungkinan prediksi pada fakta mendatang, oleh karena
telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin
faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
Penulisan tesis ini, akan terfokus pada urgenitas asas
keseimbangan dalam pembuatan/penyusunan perjanjian kredit di bank
dan pengakomodiran kepentingan para pihak secara seimbang dalam
perjanjian kredit bank. Perjanjian kredit yang mengakomodir
kepentingan pihak-pihak secara seimbang diharapkan akan
memberikan manfaat dan keadilan bagi para pihak yang bermuara
pada tercapainya tujuan hukum, yakni berubahnya kehidupan
masyarakat dari keadaan sebelumnya yang terkesan “pasrah” atas
klausula perjanjian kredit yang memberatkannya menjadi masyarakat
yang memperjuangkan kepentingan perdatanya dalam suatu perjanjian
kredit. Karena itu, teori Roscoe Pound bahwa hukum itu
keseimbangan kepentingan dimana apabila keseimbangan kepentingan
telah tercapai akan merubah kehidupan masyarakat dan terciptanya
kemajuan hukum, dianggap penulis tepat digunakan sebagai landasan
teori dalam penulisan tesis ini.
Roscoe Pound (1870-1964) dari aliran Neo-Positivisme
adalah tokoh teori hukum abad ke-20, mengemukakan teori tentang
hukum itu keseimbangan kepentingan.43
Bagi Pound, hukum tidak
boleh dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis-analitis
41
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, halaman 73. 42
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, UI Press,
Jakarta, 2006, halaman 121. 43
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta :
2010, halaman 154.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
22
ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang
terlampau eksklusif. Sebaliknya, hukum itu mesti didaratkan di dunia
nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.44
Karena itu perlu
langkah progresif yaitu memfungsikan hukum untuk menata
ketimpangan-ketimpangan struktural dalam pola keseimbangan yang
proporsional sebagai langkah perubahan menciptakan dunia yang
beradab dalam masyarakat.45
Dari sinilah muncul teori Pound tentang
law is a tool of social engineering46
.
Fokus utama Pound dalam konsep social engineering adalah
keseimbangan kepentingan. Menurut Pound, antara hukum dan
masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. Hukum tidaklah
menciptakan kepuasan tetapi hanya memberi legitimasi atas
kepentingan manusia untuk mencapai kepuasan tersebut dalam
keseimbangan.47
Tujuannya ialah untuk sebaik-baiknya mengimbangi
kebutuhan-kebutuhan sosial dan individual yang satu dengan yang
lain. Cita-cita keadilan yang hidup dalam hati rakyat dan yang ditujui
oleh pemerintah merupakan simbol dari harmonisasi yang tidak
memihak antara kepentingan-kepentingan individual yang satu
terhadap yang lain. Ideal keadilan ini didukung oleh paksaan. Paksaan
digunakan oleh negara demi kontrol sosial, yaitu untuk menjamin
keamanan sosial, dan dengan demikian memajukan kepentingan
umum sebaik-baiknya.48
44
Ibid. 45
Gurvitch Georges dalam Mertodipuro Sumantri dan Moh. Radjab
(Penerjemah), Sosiologi Hukum, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996, halaman 142,
mengemukakan bahwa pikiran Pound dibentuk oleh konfrontasi terus-menerus dari
masalah sosiologis (masalah pengawasan sosial dan kepentingan sosial), masalah flsafat
(pragmatisme serta teori eksperimental tentang nilai-nilai), masalah sejarah hukum
(berbagai kemantapan dan keluwesan dalam tipe sistem hukum) dan masalah sifat
pekerjaan pengadilan Amerika (unsur kebijaksanaan administratif dalam proses
pengadilan). 46
Bernard L.Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Op.Cit,
halaman 155. 47
Ibid, halaman 161. 48
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yayasan Kanisius,
Yogyakarta, 1982, halaman 180.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
23
Lebih lanjut Pound mengemukakan bahwa dalam
perkembangannya telah terjadi perubahan sistem hukum yaitu
meliputi :49
(1) pembatasan penggunaan kekayaan; (2) pembatasan
kebebasan perjanjian; (3) pembatasan kekuasaan memiliki kekayaan;
(4) pembatasan kekuasaan pemiutang (creditor) atau pihak yang
dirugikan untuk menjamin kepuasannya; (5) perubahan gagasan
tentang pertanggungjawaban dalam arti adanya dasar yang lebih
objektif; (6) keputusan pengadilan mengenai kepentingan masyarakat,
dengan pembatasan peraturan umum untuk lebih mengutamakan
pedoman yang luwes dan kebijaksanaan; (7) pengadaan dana umum
untuk mengganti kerugian individu yang dirugikan oleh alat
kekuasaan negara; (8) perlindungan anggota rumah tangga yang
hidupnya masih bergantung.
Dalam tulisan-tulisannya, Roscoe Pound berusaha menjelaskan
social engineering dengan formulasi social interest yaitu perimbangan
kepentingan-kepentingan masyarakat akan menghasilkan perubahan
kehidupan masyarakat dan kemajuan hukum.
Pound dalam Lili Rasjidi (1985)50
mengklasifisir interest-
interest yang dilindungi oleh hukum dalam 3 kategori pokok :
1. Public interest (kepentingan umum);51
2. Social interest (kepentingan masyarakat);52
49
Gurvitch Georges dalam Mertodipuro Sumantri dan Moh. Radjab
(Penerjemah), Op.Cit, halaman 145. 50
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, 1985, halaman
130. 51
Public interest yang terutama adalah : pertama : kepentingan dari negara
sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan substansinya, dan kedua,
kepentingan-kepentingan dari negara sebagai penjaga kepentingan-kepentingan
masyarakat. 52
Social interest menurut Pound dalam Bernard L.Tanya, Yoan N. Simanjuntak
dan Markus Y. Hage, Op.Cit, halaman 156-157, meliputi enam jenis kepentingan,
pertama¸kepentingan sosial dalam soal keamanan umum meliputi kepentingan dalam
melindungi ketenangan dan ketertiban, kesehatan dan keselamatan, keamanan atas
transaksi-transaksi dan pendapatan, kedua, kepentingan sosial dalam hal keamanan
institusi sosial meliputi : a) perlindungan hubungan-hubungan rumah tangga dan
lembaga-lembaga politik serta ekonomi yang sudah lama diakui dalam ketentuan-
ketentuan hukum yang menjamin lembaga perkawinan atau melindungi keluarga sebagai
lembaga sosial, b) keseimbangan antara kesucian perkawinan dan hak untuk bercerai, c)
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
24
3. Private interest (kepentingan pribadi);
Kepentingan-kepentingan yang diklasifikasikan Pound tersebut
sifatnya tidak absolut karena sangat bergantung pada sistem politik
dan sosial masyarakat. Titik kekuatan Pound terletak pada kerangka
pengelompokan yang dibangunnya serta peran sentral dari
pengelompokan itu, pertama, hukum perlu didayagunakan sebagai
sarana menuju tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan
sosial, kedua, pengelompokan semacam itu sangat membantu untuk
memperjelas kategori kepentingan yang ada dalam masyarakat secara
keseluruhan, berikut bagaimana menyeimbangkannya secara tepat
sesuai dengan aspirasi dan tuntutan yang berkembang kini dan di
sini.53
Tentang private interest, Pound membedakannya atas tiga
macam yaitu :54
1. Interest of personality, meliputi perlindungan terhadap integritas
(keutuhan) fisik, kemerdekaan kehendak, reputasi (nama baik)
terjaminnya rahasia-rahasia pribadi, kemerdekaan keyakinan
agama dan kemerdekaan pendapat. Oleh Pound hal-hal tersebut
mencakup cabang-cabang hukum seperti hukum pidana mengenai
serangan dan penganiayaan, hukum tentang fitnah, prinsip-prinsip
kontrak atau pembalasan kekuasaan polisi bercampur tangan
perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan antara suami dan isteri terhadap hak bersama
untuk menuntut ganti rugi karena perbuatan yang tidak patut, d) keseimbangan antara
perlindungan lembaga-lembaga keagamaan dan tuntutan akan kemerdekaan beragama, e)
menyangkut kepentingan keamananan lembaga-lembaga politik, maka perlu ada
keseimbangan antara jaminan kebebasan berbicara dan kepentingan keselamatan negara,
ketiga, kepentingan-kepentingan sosial menyangkut moral umum meliputi perlindungan
masyarakat terhadap merosotnya moral seperti korupsi, judi, fitnah, transaksi-transaksi
yang bertentangan dengan kesusilaan, serta ketentuan-ketentuan yang ketat mengenai
tingkah laku wali, keempat, kepentingan sosial menyangkut pengamanan sumber daya
sosial termasuk penyalahgunaan hak atas barang yang dapat merugikan orang, kelima,
kepentingan sosial menyangkut kemajuan sosial berkaitan dengan keterjaminan hak
manusia memanfaatkan alam untuk kebutuhannya, tuntutan agar rekayasa sosial
bertambah banyak dan lain sebagainya, keenam, kepentingan sosial menyangkut
kehidupan individual (pernyataan diri, kesempatan, kondisi kehidupan). 53
Ibid, halaman 157-158. 54
Lili Rasjidi, Loc.Cit, halaman 130.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
25
dalam rapat-rapat, proses-proses, jaminan hak milik, dan
sebagainya;
2. Interest in domestic meliputi kepentingan dalam hubungan rumah
tangga terutama mengenai perlindungan hukum bagi perkawinan,
tuntutan bagi pemeliharaan keluarga dan hubungan hukum antara
orang tua dan anak-anak yang meliputi pula masalah-masalah
nafkah dari anak-anak dan kekuasaan pengawasan pengadilan-
pengadilan anak-anak terhadap hubungan hukum antara orang tua
dan anak-anak;
3. Interest of substance meliputi perlindungan terhadap harta,
kemerdekaan penggantian mewaris dalam penyusunan testament,
kemerdekaan industri dan kontrak dan pengharapan legal akan
keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh. Juga dimasukkan
hak untuk berserikat yang masih dipolemikkan tergolong interest
of personality dari pada interest of substance.
Dalam konteks perjanjian kredit perbankan maka konsep
pendekatan interest Pound yang bertalian dengan obyek kajian adalah
private interest sebagai lingkup keperdataan yakni hubungan hukum
antara orang sebagai nasabah atau debitur dengan badan hukum bank
sebagai kreditur, khususnya interest of personality mengenai prinsip-
prinsip kontrak dan interest of substance mengenai kemerdekaan
berkontrak.
Pound mengemukakan bahwa pada awalnya kontrak berupa
pertukaran janji secara lisan diantara dua belah pihak. Dalam
pertukaran janji lisan tersebut, moral55
selalu dikedepankan dalam
bentuk selalu berfikir positif bahwa para pihak yang saling bertukar
55
Kaum Puritein mengemukakan doktrin bahwa manusia ialah “a free moral
agent”, dengan kemampuan untuk memilih apa yang akan ia perbuat dan suatu tanggung
jawab yang mengiringi kemampuan itu. Ia mengutamakan kesadaran batin individual dan
penilaian individual. Tak ada kekuasaan yang diperbolehkan memaksanya, tetapi tiap-tiap
orang patut menduga dan menanggung segala konsekuensi tentang pilihan yang bebas
dilakukannya. (Ibid, halaman 74).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
26
janji tersebut memiliki itikad yang baik dalam bertukar janji.
Pertukaran janji lisan tersebut didasarkan pada “saling percaya”.56
Dalam pemikiran-pemikiran sarjana-sarjana Romawi, dikenal
dua macam janji, yaitu :57
1. Janji-janji formal,
a. Dengan ketentuan, mempergunakan perkataan penyucian
spandeo dan demikian menganggap bahwa dengan upacara
pencurahan air suci dewa-dewa akan memperhatikan janji itu.
b. Dengan upacara umum yang rupanya melambangkan satu
transaksi sejati di depan seluruh rakyat.
c. Dimasukkan ke dalam buku belanja rumah tangga.
2. Janji-janji formal saja yang tidak diakui oleh hukum dan
bergantung seluruhnya kepada itikad baik dari orang yang berbuat
janji.
Menurut teori equivalent sebagai rasionalisasi dari causa
debendi58
hukum Jerman Kuno, model janji lisan diistilahkan sebagai
janji abstrak59
yang tidak dikenakan equivalent, tidak mengikat secara
otomatis dan karena itu tidak mengikat secara hukum, kecuali hal
yang terlebih dulu telah diakui hukum.
Pound mengemukakan tiga alasan tidak mengikatnya secara
hukum model janji abstrak, sebagai berikut :
1. Alasan pertama, mempercayai janji abstrak adalah suatu
kecerobohan dan tidak dapat dimintakan jaminan kecuali apa
yang dijamin oleh hukum. Artinya bahwa jika sesuatu yang
diperjanjikan tersebut sebelumnya tidak diatur oleh hukum
56
Bandingkan pula dengan pendapat Charles Fried dalam tulisannya Contract
as Promise, dalam Craswell, Richard dan Alan Schwartz (editor) dalam Foundations of
Contract Law, Oxford University Press, New York, 1994. 57
Roscoe Pound dalam Mohamad Radjab (Penterjemah), Pengantar Filsafat
Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1982, halaman 150. 58
Causa debendi merupakan alasan untuk mengutang pelaksanaan yang
dijanjikan. Bila sesuatu ditukar untuk satu janji, maka sesuatu itu adalah satu causa
debendi. Jadi, causa debendi adalah reason dari penundaan pelaksanaan kewajiban dalam
perjanjian. 59
Menurut Hegel, janji abstrak hanyalah satu kualifikasi subyektif dari kemauan
seseorang, yang mempunyai kebebasan untuk mengubahnya.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
27
sebagai hal yang diperjanjikan maka tidak ada jaminan
perlindungan hukum atas perjanjian tersebut. Karena janji abstrak
di luar yang telah diatur hukum tidak dijamin oleh hukum maka
tidak ada kepentingan dalam janji abstrak tersebut dan karena itu
kita tidak dapat membuktikan kepentingan hukumnya.
2. Alasan kedua, suatu janji abstrak tanpa equivalent menunjukkan
bahwa janji tersebut dibuat secara tidak sungguh-sungguh dan
tanpa pemikiran yang matang, karena itu janji seperti itu tidak
dapat dipercayai. Hanya janji yang dibuat melalui pemikiran yang
matang dan dengan niat yang sungguh-sungguh saja yang dapat
diuji secara equivalent.
3. Alasan ketiga, apabila janji abstrak tidak ditepati maka akan
menerbitkan kerugian pada pihak lainnya dan tidak ada sarana
untuk menuntut ganti kerugian atas tidak dilaksanakannya janji
tersebut.
Menurut Pound, unsur yang paling menentukan dalam
pemikiran abad ke-17 mengenai kontrak adalah gagasan hukum alam;
gagasan tentang deduksi dari sifat manusia sebagai salah satu makhluk
bersusila, dan dari kaidah hukum dan lembaga hukum yang
menyatakan cita-cita sifat manusia ini60
dimana pada abad ke-19 telah
terjadi pergeseran paradigma, yaitu menekankan pada kebebasan
dalam membuat kontrak ketimbang memaksakan pelaksanaan kontrak
sebagai deduksi dari hukum kebebasan.61
Tiap orang agar dibebaskan
untuk memakai kekuasaan alamiah dengan merdeka dalam melakukan
penawaran dan pertukaran serta dalam mengadakan perjanjian
(kontrak), dengan ketentuan bahwa kebebasan tersebut tidak boleh
60
Roscoe Pound dalam Mohamad Radjab (Penerjemah), Op.Cit, halaman 154. 61
Menurut Theo Huijberg dalam Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gadja
Mada University Press, Yogyakarta, 2006, halaman 117-118, inti sari kebebasan adalah
bahwa manusia dapat bertindak menurut inisiatif sendiri dan pilihan sendiri atas dasar
pandangannya yang universal. Tiap-tiap tindakan terdiri dari tiga unsure : 1) tindakan itu
sendiri, 2) asal tindakan, 3) tujuan tindakan. Makna kebebasan adalah bila manusia
mampu mengarahkan dirinya kea rah suatu tujuan yang bernilai baginya. Makna
kebebasan semacam inilah yang disebut sebagai kebebasan eksistensial, karena
kebebasan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidupnya, dan dengan
demikian mengembangkan eksistensinya sesuai dengan cita-cita inti pribadinya.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
28
mengganggu kebebasan orang lain (kebebasan terbatas).62
Kebebasan
sebagai satu gagasan etis yang menjelmakan dirinya di dalam satu
kebebasan yang lebih besar dari pengemukaan diri (self-assertion) dan
penentuan sendiri (self-determination) melalui janji dan persetujuan,
dan memberikan satu efek yang lebih luas kepada kehendak yang
dikemukakan dan diperjanjikan tersebut.63
Aliran utilitarianism sebagai gagasan hukum alam dan laissez
faire sebagai paham ekonomi klasik memiliki pengaruh yang besar
dalam perkembangan hukum perjanjian abad ini, yaitu menempatkan
kebebasan berkontrak sebagai prinsip umum dalam pembuatan
perjanjian.
Kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan
paham pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith dimana teori
ekonomi klasik yang dikemukakannya telah didasarkan pada ajaran
hukum alam. Hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy
Bentham yang dikenal dengan utilitarianism. Itulah sebabnya
Utilitarianism dan teori klasik laissez faire dianggap saling
melengkapi dan sama-sama menghidupkan pemikiran liberal
individualistis.64
Demikian halnya, dalam konsep Laissez-Faire,
individu harus diberikan kebebasan untuk menetapkan langkahnya,
dengan sekuat akal dan tenaganya, untuk mencapai kesejahteraan yang
62
Menurut Theo Huijberg, Ibid, halaman 117, kebebasan manusia tidak tanpa
batas. Tiap-tiap pilihan adalah terbatas, baik karena faktor eksternal maupun internal.
Terbatasnya pilihan disebabkan halangan-halangan baik yang bersifat eksternal maupun
yang bersifat internal. Dalam filsafat tradisional, ada empat halangan yang dimaksud :
a. Halangan yang berasal dari batin, yaitu ketidakpengetahuan (ignorantia), ketakutan
(metus) dan nafsu (passio).
b. Halangan yang berasal dari luar batin, yaitu kekerasan (violentia) atau tekanan atau
paksaan. 63
Roscoe Pound dalam Muhammad Radjab (Penerjemah), Tugas Hukum,
Bhratara, Jakarta, 1965, halaman 23, mengemukakan bahwa ahli-ahli filsafat hukum dari
abad ke-19 yang beriktiar mendasarkan seluruh teorinya di atas gagasan kebebasan,
memandang persetujuan atau kontrak sebagai lembaga-lembaga hukum yang penting.
Lembaga-lembaga ini menyadari kebebasan itu sebagai ide. Dikatakan bahwa
penyelenggaraan kontrak, persetujuan, penyelesaian perkara dan akte penyerahan adalah
legislatif sifatnya. Pihak-pihak peserta perjanjian adalah membuat undang-undang untuk
mereka sendiri. 64
P.S. Atiyah dalam Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 21.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
29
seoptimal mungkin. Jika individu berhasil mencapai kesejahteraan,
masyarakat yang merupakan kumpulan individu tersebut akan
sejahtera pula. Dalam mencapai kesejahteraan ekonomi individu harus
mempunyai kebebasan dan raja serta pejabatnya tidak boleh campur
tangan.”65
Dalam kebebasan berkontrak terdapat kebebasan seluas-
luasnya yang oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk
mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban
umum.66
Dengan demikian, kebebasan berkontrak bukanlah keadaan
sebebas-bebasnya membuat perjanjian tanpa memperhatikan undang-
undang, kepatutan dan kepentingan umum, melainkan kebebasan
berkontrak yang bertanggung jawab dan dibatasi oleh undang-undang,
kepatutan dan kepentingan umum. Karena itu, meskipun para pihak
memiliki kebebasan dalam berkontrak, namun perjanjian tersebut
hendaknya tidak memuat unsur yang bertentangan dengan undang-
undang, kepatutan dan kepentingan umum. Dalam hal ini Nili Cohen
dalam tulisannya Pre-Contractual Duties mengemukakan sebagai
berikut :
no legal system would legitimize use of violence, fraud or other
unlawful menas in negotiating process; … A contract concluded
by violence or fraud is not a product of the free will of the
contracting parties.67
Menurut hukum perjanjian Indonesia, asas kebebasan
berkontrak meliputi ruang lingkup sebagai berikut :68
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
65
Kennnet Lux dalam Dewi Tenty Septi Artiany, Op.Cit, halaman 24. 66
Rahman Hasanudin, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di
Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, halaman 148. 67
Nili Cohen dalam Jack Beatson and Daniel Friedman (editor), Good Faith
and Fault in Contract Law, Clarendon Press Oxford, New York, 1995, halaman 25. 68
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 47.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
30
2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian.
3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian
yang akan dibuatnya.
4. Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian.
5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-
undang yang bersifat opsional (aanvulled, optional).
Kebebasan berkontrak yang merupakan „roh‟ dan „napas‟
sebuah kontrak atau perjanjian, secara implisit memberikan panduan
bahwa dalam berkontrak pihak-pihak diasumsikan mempunyai
kedudukan yang seimbang. Selanjutnya masing-masing pihak akan
merasa saling membutuhkan dan perjanjian dapat dipandang sebagai
kerjasama mencapai tujuan bersama yang memberi kebahagiaan
bersama, ada saling menghormati dan memiliki tanggung jawab
bersama menjalankan ikhtisiar janji yang diikat bersama. Dengan
demikian, diharapkan akan muncul kontrak yang adil dan seimbang
pula bagi para pihak.69
Namun demikian, dalam praktik masih banyak ditemukan
model kontrak standar (kontrak baku) yang dianggap cenderung berat
sebelah dan tidak seimbang. Agus Yudha Hernoko mengibaratkan
kontrak yang demikian sebagai pertarungan antara David vs Goliath,
dimana berhadapan dua kekuatan yang tidak seimbang, antara pihak
yang mempunyai bargaining position kuat yang diposisikan sebagai
Goliath dengan pihak yang lemah bargaining position-nya yang
diposisikan sebagai David. Dengan demikian pihak yang lemah
bargaining position hanya sekedar menerima segala isi kontrak
dengan terpaksa (taken for granted), sebab apabila ia mencoba
menawar dengan alternatif lain kemungkinan besar akan menerima
konsekuensi kehilangan apa yang dibutuhkan. Jadi hanya ada dua
alternatif pilihan bagi pihak yang lemah bargaining position-nya
untuk menerima atau menolak (take it or leave it).70
69
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, halaman 2. 70
Ibid.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
31
Mengenai keadaan tersebut, Sutan Remy Sjahdeini
mengemukakan pendapatnya bahwa bila dalam perjanjian dimana
tidak adanya keseimbangan kedudukan para pihak maka yang saling
berhadapan adalah dua lawan janji dan bukan dua mitra janji.71
Kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak
memiliki bargaining power yang seimbang. 72
Dalam literatur lain,
Tan Kamello berpendapat bahwa “…tekanan dari salah satu pihak
melalui posisi inequality of bargaining power dapat mengakibatkan
prestasi perjanjian tidak seimbang, dan hal ini melanggar asas iustum
pretium”.73
Menyikapi ketidakseimbangan dalam perjanjian baku tentunya
diperlukan sikap dan pemahaman yang objektif serta komprehensif
dalam menilai isi kontrak. Akan lebih fair dan obyektif apabila
menilai keberadaan suatu kontrak terutama dengan mencermati
substansinya.74
1.6.2. Kerangka Konsep.
Konsepsi adalah pengembangan image untuk menerjemahkan
suatu ide atau gagasan, yang biasanya berbentuk kata sebagai usaha
menerjemahkan sesuatu yang abstrak menjadi sesuatu yang konkrit
yang disebut operational definition.
Dalam penulisan tesis ini, terdapat beberapa istilah yang sering
terdapat dalam bidang hukum perjanjian yaitu asas keseimbangan dan
posisi tawar (bargaining position) yang lebih kuat. Sebagai upaya
menghindari kesimpangsiuran pengertian mengenai istilah-istilah
tersebut, maka perlu penulis memberikan batasan arti dari kedua
istilah di atas sebagai berikut :
71
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 2. 72
Ibid, halaman 204. 73
Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui
Hubungan Antara Bank dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
Tahun 2006, halaman 11. 74
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, halaman 5.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
32
1. Asas keseimbangan adalah keadaan hening atau keselarasan karena
dari pelbagai gaya yang bekerja tidak satupun mendominasi yang
lainnya atau karena tidak satu elemen menguasai yang lainnya.75
2. Posisi tawar (bargaining position) yang lebih kuat adalah posisi
salah satu pihak yang karena hal-hal tertentu dapat memaksakan
kehendaknya agar pihak yang lain menerima klausula-klausula
yang diinginkan sehingga perjanjian itu menguntungkan dirinya
sendiri dan sebaliknya merugikan pihak yang lain.76
1.7. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penulisan tesis ini, pembahasan hanya terbatas pada hal-hal
yang tercantum pada bab-bab yang dikemukakan yaitu :
BAB 1 PENDAHULUAN
Pada bab pertama ini akan dijabarkan mengenai latar belakang
masalah dilakukannya penelitian, pokok permasalahan dari
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori dan
konsep, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB 2 KONSEP PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DAN
PERJANJIAN KREDIT DALAM REGULASI.
Pada bab kedua ini akan dijelaskan mengenai tinjauan umum /
konsepsi perjanjian pinjam meminjam sebagai dasar dari perjanjian
kredit dan tinjauan umum mengenai perjanjian kredit khususnya
perjanjian kredit perbankan sebagai perkembangan dari perjanjian
pinjam meminjam, dengan mendasarkannya pada KUH Perdata,
regulasi pendukung lainnya, doktrin atau pendapat ahli, serta
yurisprudensi.
75
Herlien Budiono, Op.Cit, halaman 304. 76
Sutan Remy Sjahdeini,Op.Cit, halaman 12.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
33
BAB 3 KEDUDUKAN ASAS KESEIMBANGAN DALAM
PERJANJIAN KREDIT BANK.
Pada bab ketiga ini akan dijelaskan mengenai tinjauan umum asas
keseimbangan dan tinjauan umum perjanjian kredit bank di
Indonesia yaitu dengan mendasarkannya pada KUH Perdata,
regulasi pendukung lainnya, doktrin atau pendapat ahli, serta
yurisprudensi.
BAB 4 ASAS KESEIMBANGAN PERJANJIAN KREDIT BANK
DALAM PUTUSAN HAKIM.
Pada bab keempat, penulis akan menganalisis pengaruh
pencantuman klausula “Penetapan dan perhitungan bunga bank
dilakukan oleh bank” terhadap asas keseimbangan dalam perjanjian
kredit di bank X. Selanjutnya juga akan dianalisis mengenai ada
atau tidaknya kewenangan hakim dalam mengintervensi perjanjian
kredit bank.
BAB 5 PENUTUP
Bab kelima merupakan penutup yang akan berisikan kesimpulan
penulis atas penelitian ini dan saran yang penulis berikan terkait
dengan penulisan tesis ini.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
34
BAB 2
KONSEP PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DAN
PERJANJIAN KREDIT DALAM REGULASI
Perjanjian pinjam meminjam dipandang sebagai padanan yang tepat bagi
perjanjian kredit dikarenakan lembaga perjanjian kredit itu sendiri secara khusus
tidak dikenal dalam KUHPerdata. Bahkan beberapa pakar hukum berpendapat
bahwa perjanjian kredit bank itu pada hakikatnya merupakan perjanjian pinjam
meminjam sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1754 KUHPerdata.77
Meskipun demikian, Sutan Remy Sjahdeini mengungkapkan bahwa
sesungguhnya perjanjian pinjam meminjam dan perjanjian kredit memiliki
perbedaan yang dapat diuraikan sebagai berikut :78
1. Sifatnya yang konsensual dari suatu perjanjian kredit bank itulah yang
merupakan ciri pertama yang membedakan dari perjanjian peminjaman uang
yang bersifat riil.
2. Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur tidak dapat
digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan yang tertentu oleh
nasabah debitur, seperti yang dilakukan oleh peminjam uang (debitur) pada
perjanjian peminjaman uang biasa.
3. Perjanjian kredit bank yang membedakannya dari perjanjian peminjaman
uang ialah mengenai syarat cara penggunaannya, dimana kredit bank hanya
dapat digunakan menurut cara tertentu, yaitu dengan menggunakan cek atau
perintah pemindahbukuan, sedangkan pada perjanjian peminjaman uang
biasa, uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditur dalam
kekuasaan debitur dengan tidak diisyaratkan bagaimana caranya debitur akan
menggunakan uang pinjaman itu.
Berdasarkan uraian diatas, maka adalah tepat terlebih dahulu penulis
menguraikan tentang perjanjian pinjam meminjam sebagai pemahaman dasar
sebelum menguraikan materi perjanjian kredit.
77
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 313. 78
Ibid, halaman 316-317.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
35
2.1. PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM
Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan79
. Selain perjanjian,
sumber perikatan lainnya adalah undang-undang dan perjanjian-perjanjian
tertentu. Sebagai sumber perikatan maka segala ketentuan tentang perjanjian
menjadi syarat perikatan karena perjanjian. Dengan kata lain, seluruh syarat
perikatan karena perjanjian juga menjadi ketentuan yang berlaku atas semua
perjanjian yang dibuat oleh para pihak, termasuk jenis perjanjian yang tidak
diatur dalam BW (Burgelijk Wetbook). Dengan demikian, perjanjian apapun
yang dibuat acuannya adalah ketentuan umum tentang perikatan sebagaimana
diatur dalam Pasal 1233 sampai Pasal 1456 BW.80
Pasal 1313 KUH Perdata mengatur bahwa suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.81
Menurut Subekti, suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal.82
Selanjutnya Herlien Budiono merumuskan perjanjian sebagai
perjumpaan kehendak dari pihak-pihak,83
dan Wirjono Prodjodikoro
79
Menurut Gr. Van der Burght, perikatan adalah suatu hubungan hukum harta
kekayaan antara dua orang atau lebih, yang menurut ketentuan seseorang atau lebih
berhak atas sesuatu, sedangkan yang seorang lagi atau lebih berkewajiban untuk itu. (Gr.
Van der Burght disadur oleh Freddy Tengker dan Wila Chandrawila Supriadi (editor),
Buku Tentang Perikatan Dalam Teori dan Yurisprudensi, Cv. Mandar Maju, Bandung,
2012, halaman 1). 80
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal
1233 sampai 1456 BW, PT. Rajagrafondo Persada, Jakarta, 2008, halaman1. 81
Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu
luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan
terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di
dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun sifatnya
istimewa karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUH
Perdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Selain itu, mencakup pula perbuatan
melawan hukum dimana di dalam perbuatan melawan hukum tidak ada unsur persetujuan
(Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993, halaman 89). 82
Perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk
melakukan sesuatu. Sedangkan kontrak memiliki arti yang lebih sempit karena diitujukan
kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis (Lihat Subekti, Hukum Perjanjian,
Intermasa, Jakarta, 2010, halaman 1). 83
Herlien Budiono dalam Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan
Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, PT. Gramedia, Jakarta, 2010 halaman 61.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
36
merumuskan bahwa perjanjian adalah peristiwa hukum yang menimbulkan
perikatan dimana dua subyek hukum melakukan hubungan hukum yang
bersifat mengikat. Suatu hubungan hukum antara dua pihak dimana satu
pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk
tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu.84
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa perjanjian
adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih tentang suatu hal tertentu.
Kesepakatan yang dibuat haruslah kesepakatan atas kehendak bersama
sebagai mufakat atas perjumpaan kehendak masing-masing pihak mengenai
suatu hal yang halal atau tidak dilarang oleh hukum (rechtmatigedaad).
Para pihak yang membuat perjanjian pada dasarnya memiliki
kepentingan masing-masing dimana tujuan dari kepentingannya tersebut tidak
dapat dicapai secara sendiri-sendiri karena bertalian dengan kepentingan
pihak lain. Karena itu pada prinsipnya suatu perjanjian dibuat atas dasar
kepentingan masing-masing pihak yang saling bergantung. Dalam hal ini,
P.S. Atiyah mengemukakan bahwa “some indication of the fact the people
who make promises very often-perhaps usually-do so because they want to
get something from the promise which they can only get by doing so.”85
Dengan demikian maka perjanjian itu merupakan alat bagi para pihak dalam
memenuhi kepentingannya.
Berdasarkan pemahaman sederhana mengenai perjanjian di atas,
secara mendasar perjanjian terbentuk karena terdapatnya subyek pembuat
perjanjian dan obyek sebagai hal yang diperjanjikan. Mengenai subyek
perjanjian, KUHPerdata membedakan atas tiga golongan, yaitu :86
a. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri.
b. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari padanya.
c. Pihak ketiga.
84
Wiryono Prodjodikoro, Azaz-azaz Hukum Perjanjian, Penerbit : Mandar
Maju, Bandung, 2000, halaman 4. 85
P.S.Atiyah, Promisses, Morals, And Law, Clarendon Press Oxford, New
York, 1981, page 143. 86
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.Cit, halaman 22.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
37
Sedangkan mengenai obyek perjanjian, dengan merujuk pada ketentuan Pasal
1234 KUH Perdata, obyek perjanjian dapat berbentuk perikatan untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
“Sesuatu” yang dimaksudkan Pasal 1234 KUH Perdata diperjelas dalam
rumusan Pasal 1332 KUH Perdata yaitu hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja termasuk barang-barang yang baru akan ada dikemudian
hari (sesuai Pasal 1334 KUH Perdata). Selain itu “sesuatu” juga dapat
diartikan sebagai :87
a. Barang yang cara pelaksanaan kewajibannya dilakukan dengan cara
menyerahkan.
b. Jasa (tenaga atau keahlian) yang cara pelaksanaan kewajibannya dilakukan
dengan cara berbuat sesuatu.
c. Tidak berbuat sesuatu yang cara pelaksanaan kewajibannya dengan cara
tidak berbuat sesuatu.
Perjanjian untuk memberikan sesuatu adalah perjanjian yang bersifat
konsensual88
yang obyeknya adalah barang. Barang yang akan diserahkan
tersebut haruslah sesuatu yang telah ditentukan secara pasti jenisnya dan
sebaiknya dapat ditentukan jumlahnya. Mengenai jenis dan volume barang
telah diatur dalam Pasal 1333 KUH Perdata yang rumusan lengkapnya
sebagai berikut :
Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa
suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal
saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Perjanjian pinjam meminjam adalah bentuk perjanjian “memberikan
sesuatu” yang pemenuhannya akan dilakukan dikemudian waktu. Perjanjian
87
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op.Cit, halaman 5. 88
Asas konsesualitas menyatakan bahwa suatu perjanjian dianggap telah lahir
dan mengikat para pihak terhitung semenjak tercapainya secara sah kesepakatan para
pihak mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan. Syarat sahnya perjanjian yang
dimaksud adalah sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 1320 KUH Perdata (Sunu Widi
Purwoko, Catatan Hukum Seputar Perjanjian Kredit dan Jaminan, Nine Seasons
Communication, Jakarta, 2011, halaman 9).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
38
untuk memberikan sesuatu mengandung unsur perjanjian untuk menyerahkan
(leveren) sebagai kewajiban pokok dan merawat benda (prestasi) sampai pada
saat penyerahan dilakukan sebagai kewajiban preparatoir yaitu hal-hal yang
harus dilakukan oleh debitur menjelang penyerahan benda yang diperjanjikan
sebagai seorang bapak rumah tangga yang baik (al seen goed huis vader).89
Dalam hal ini, pihak yang dibebankan kewajiban menyerahkan barang harus
merawat barang tersebut selama belum diserahterimakan selayaknya barang
tersebut tidak akan diserahterimakan kepada pihak lain90
seperti terhadap
barang milik sendiri (culpa levis lata concreto).91
Dalam keadaan pihak
berutang janji tidak mampu menyerahkan barangnya atau telah tidak merawat
sepatutnya sesuai perjanjian maka pihak berutang janji wajib memberikan
ganti biaya, rugi dan bunga kepada pihak berpiutang janji.92
Perjanjian pinjam meminjam dapat dideskripsikan sebagai terdapatnya
sesuatu pinjaman yang diserahkan oleh pihak kreditur kepada pihak debitur
dan terdapatnya tagihan dari pihak kreditur terhadap pihak debitur atau beban
kewajiban pihak debitur untuk mengembalikan pinjaman tersebut disertai
dengan pemenuhan kewajiban para pihak sesuai dengan isi perjanjian.
Pasal 1754 KUH Perdata sebagai dasar yuridis perjanjian pinjam
meminjam, memberikan definisi perjanjian pinjam meminjam sebagai
perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain
suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian,
dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Ketentuan
Pasal 1754 KUH Perdata tersebut mempertegas bahwa dalam perjanjian
pinjam meminjam yang berlaku sebagai obyek hanyalah barang bernilai
ekonomis sebagaimana dimaksud Pasal 1332 KUH Perdata.
R. Subekti berpendapat bahwa perjanjian pinjam meminjam berbeda
dengan perjanjian pinjam pakai yaitu pada kriterium apakah barang yang
89
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.Cit, halaman 8. 90
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Loc.Cit, halaman 5. 91
Istilah “al seen goed huisvader” (seperti seorang kepala rumah tangga yang
baik) tersebut tidak dijelaskan dalam undang-undang (Wiryono Prodjodikoro, Op.Cit,
halaman 42).. 92
Lihat Pasal 1236 KUH Perdata.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
39
dipinjamkan itu menghabis karena pemakaian atau tidak. Kalau barang yang
dipinjamkan itu menghabis karena pemakaian, itu adalah pinjam meminjam.93
Disebabkan barang dalam pinjam meminjam sifatnya habis karena
pemakaian, maka Pasal 1755 KUH Perdata memberi hak kepada penerima
pinjaman bertindak selaku pemilik barang yang dipinjam. Konsekuensinya,
apabila barang tersebut musnah atau hilang atau lepas dari penguasaannya
maka menjadi tanggungan penerima pinjaman. Ketentuan Pasal 1755 KUH
Perdata tersebut memberikan kewajiban bagi penerima pinjaman untuk
merawat barang pinjaman sebagaimana miliknya sendiri dengan kewajiban
untuk mengganti barang tersebut apabila musnah.
Dewasa ini perjanjian pinjam meminjam dilakukan secara tertulis
yang dimaksudkan sebagai bukti tertulis telah terjadinya perjanjian pinjam
meminjam diantara para pihak. Perjanjian pinjam meminjam secara tertulis
memuat kesepakatan para pihak termasuk syarat-syarat tertentu yang
disepakati.
Syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian pinjaman meminjam
merupakan syarat-syarat khusus yang dirumuskan dalam perjanjian sesuai
kebutuhan dan berdampak pada dapat dibatalkannya atau diubahnya atau
dibuat perjanjian baru apabila terdapat pihak ingkar janji. Syarat-syarat
khusus tersebut barulah dapat berkekuatan hukum mengikat apabila
perjanjian tersebut sah sesuai ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu jika
syarat kata sepakat94
dan syarat kecakapan sebagai syarat subyektif, serta
syarat hal tertentu dan syarat suatu sebab yang halal sebagai syarat obyektif
telah dipenuhi.
Perjanjian pinjam meminjam lahir melalui proses penawaran-
penawaran atau ijab kabul atau negosiasi untuk mempertemukan persesuaian
93
R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995,
halaman 125. 94
Dengan diperlakukannya kata sepakat mengenai perjanjian, maka berarti
kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak dan tidak mendapat suatu
tekanan yang mengakibatkan adanya cacat kehendak bagi perwujudan kehendak tersebut.
“Sepakat” dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende
wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan
tawaran (offerte) sedangkan pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan
akseptasi (acceptatie). (Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum
Perikatan Dengan Penjelasan, Op.Cit, halaman 98).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
40
penawaran dan penerimaan diantara para pihak yang akan melakukan
perjanjian. Dalam hal ini, kecocokan penawaran dengan penerimaan sebagai
tujuan persetujuan haruslah dinyatakan dengan cukup terang. 95
Untuk menjadikan suatu persetujuan “terang” maka para pihak
haruslah menyatakan secara terus terang dan jujur kehendak masing-masing
dalam mencari persesuaiannya. Pernyataan kehendak para pihak secara terang
dan jujur akan efektif apabila perjanjian dibuat dalam keadaan bebas.
Tentang kebebasan berkontrak, Randy E. Barnett berpendapat bahwa
kebebasan berkontrak memiliki dua dimensi yang berbeda, pertama, freedom
from contract yaitu seseorang tidak memiliki kewajiban kontraktual jika
kewajiban tersebut tidak didasarkan pada kesepakatan diantara mereka, dan
kedua, freedom to contract yaitu seseorang akan memiliki kewenangan yang
didasarkan pada kesepakatan dalam hubungan hukum mereka.96
Kebebasan berkontrak bukanlah kekebasan tanpa batas sebab terdapat
sejumlah pembatasan terhadap kebebasan berkontrak dalam sistem hukum
yang diatur melalui peraturan perundang-undangan maupun putusan
hakim/pengadilan. Dalam kaitannya dengan perjanjian pinjam meminjam
maka tidak dibenarkan dilakukannya perjanjian pinjam meminjam atas dasar
keterpaksaan maupun tanpa itikad baik.
Keadaan pembuatan perjanjian pinjam meminjam dalam keadaan
terpaksa dan tanpa itikad baik dapat menimbulkan kekhilafan97
, paksaan98
maupun penipuan99
. Kekhilafan, paksaan maupun penipuan dalam perjanjian
95
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, halaman 28. 96
Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Pascasarjana
FH-UI, Jakarta, 2003, halaman 99. 97
Pasal 1322 KUH Perdata mengatur : Kekhilafan tidak mengakibatkan
batalnya suatu perjanjian, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang
yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika
kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seseorang bermaksud
untuk membuat perjanjian, kecuali jika perjanjian itu dibuat terutama karena mengingat
dirinya orang tersebut.” 98
Pasal 1324 KUH Perdata mengatur apabila dalam pembuatan perjanjian
terjadi perbuatan sedemikian rupa yang membuat takut pihak lainnya yang berpikiran
sehat yaitu bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan sesuatu kerugian yang
terang dan nyata. 99
Pasal 1328 KUH Perdata mengatur : Penipuan merupakan suatu alasan untuk
membatalkan suatu perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak
adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
41
pinjam meminjam dapat mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum
yang memberi konsekuensi perjanjian pinjam meminjam tersebut dianggap
tidak pernah ada.
Kekhilafan dalam suatu perjanjian pinjam meminjam, dapat terjadi
mengenai orangnya dan mengenai hakekat bendanya. Kekhilafan mengenai
hakekat benda maksudnya ialah bahwa kekhilafan itu adalah mengenai sifat
benda, yang merupakan alasan yang sesungguhnya bagi kedua belah pihak
untuk mengadakan perjanjian,100
mengenai jenis dan kadar pinjaman dan
besarnya utang (jika pinjaman berupa uang) serta keliru pihak dengan siapa
perjanjian diadakan.
Selanjutnya mengenai paksaan, paksaan dalam perjanjian pinjam
meminjam acap kali dilakukan dengan cara memaksakan pihak debitur
menyetujui persyaratan-persyaratan tertentu yaitu dengan tidak memberikan
pilihan lain bagi pihak debitur selain menerima dan menyetujui persyaratan
yang ditentukan pihak kreditur. Paksaan tersebut terutama dilakukan dengan
cara mencantumkan syarat pembebanan bunga yang memberatkan pihak
debitur, antara lain pencantuman syarat mengenai waktu pengembalian
pinjaman, penentuan bunga dan persyaratan sanksi yang tidak melindungi
kepentingan pihak debitur sebagai bentuk memanfaatkan kelemahan psikis
dan ekonomis dari pihak penerima pinjaman.101
Sedangkan penipuan dalam perjanjian pinjam meminjam dapat terjadi
apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang
membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak
dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan.” 100
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan
dengan Penjelasan, Op.Cit, halaman 100. 101
Van Dunne mengemukakan persyaratan suatu perbuatan dapat dikategorikan
sebagai penyalahgunaan keadaan dalam hal keunggulan ekonomis, yaitu : a) salah satu
pihak harus mempunyai keunggulan ekonomi terhadap yang lainnya; b) pihak lain
terpaksa mengadakan perjanjian dan persyaratan suatu perbuatan dapat dikategorikan
sebagai penyalahgunaan keadaan dalam hal keunggulan kejiwaan, yaitu : a) salah satu
pihak menyalahgunakan kebergantungan relatif, misalnya : antara suami-isteri, dokter-
pasien, pendeta-jemaat; b) salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang
istimewa dari pihak lawan, misalnya: adanya gangguan kejiwaan, tidak berpengalaman,
gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik. (Lihat Henry Pandapotan
Panggabean, Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan Hukum Perikatan,
Alumni, Bandung, 2008, halaman 292-293).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
42
palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak
lawannya memberikan perizinannya.102
Pokok penipuan harus berkaitan
dengan hakikat perjanjian atau sesuatu yang bersifat esensial dalam perjanjian
tersebut.103
Kebebasan berkontrak saja tidak cukup menjamin suatu perjanjian
pinjam meminjam akan terlaksana sebagaimana tujuan perjanjian itu sendiri.
Dalam hal ini diperlukan itikad baik104
masing-masing pihak yaitu itikad baik
pada saat penyusunan perjanjian pinjam meminjam dan itikad baik dalam
melaksanakan perjanjian pinjam meminjam. Itikad baik dalam menyusun
perjanjian pinjam meminjam akan menghasilkan kesepakatan yang terang dan
jujur, dengan demikian menghindari suatu perjanjian pinjam meminjam yang
cacat kehendak.
Dengan itikad baik setidaknya lebih memberikan penguatan bahwa
suatu perjanjian pinjam meminjam telah dilakukan secara sah, dapat
dilaksanakan dan terdapat garansi pemenuhan prestasi. Dalam hal ini James
Gordley dalam Ridwan Khairandy mengemukakan bahwa idealnya dalam
lembaga perjanjian para pihak harus berperilaku sebagai berikut :105
1. Para pihak harus memegang teguh janji atau perkataannya.
2. Para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang
menyesatkan terhadap salah satu pihak.
3. Para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang
terhormat dan jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak secara tegas
diperjanjikan.
Pentingnya itikad baik karena esensinya suatu perjanjian pinjam
meminjam didasarkan pada kepercayaan pihak pemberi pinjaman kepada
pihak penerima pinjaman. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa
102
Subekti, Hukum Perjanjian, Op.Cit, halaman 24. 103
Widjaja Gunawan dan Kartini Muljadi, Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, halaman 126. 104
Doktrin itikad baik mulai berkembang seiring dengan mulai diakuinya
kontrak konsensual informal yang pada mulanya hanya meliputi kontrak jual beli, sewa
menyewa, persekutuan perdata, dan mandate. Doktrin itikad baik berakar pada etika
sosial Romawi mengenai kewajiban yang komprehensif akan ketaatan dan keimanan
yang berlaku bagi warga negara maupun bukan (Ridwan Khairandy, Op.Cit, halaman
132). 105
Ibid.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
43
pada prinsipnya suatu perjanjian peminjaman uang didasarkan pada
kepercayaan akan kemampuan ekonomi penerima kredit (pinjaman).106
Itikad baik memiliki relevansi dengan sebab yang halal sebagai syarat
sahnya perjanjian.107
Mengenai sebab yang halal, ketentuan Pasal 1335 KUH
Perdata mengatur bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat
karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai
kekuatan. Lebih lanjut, penjelasan atas Pasal 1335 KUH Perdata menjelaskan
bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah :
1) Bukan tanpa sebab;
2) Bukan sebab yang palsu;
3) Bukan sebab yang terlarang.
Ketentuan Pasal 1336 KUH Perdata telah memberikan perluasan
makna “sebab yang halal” yaitu tidak terbatas pada apa yang dimaksudkan
dalam Pasal 1335 KUH Perdata tetapi juga meliputi sebab tidak terlarang
lainnya yang tidak dinyatakan secara tegas dalam perjanjian tersebut. Intinya,
menurut Pasal 1337 KUH Perdata, sebab terlarang adalah apabila dilarang
oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum. Keabsahan suatu perjanjian digantungkan pada sebab yang halal,
walaupun hal itu tidak dicantumkan secara jelas dalam perjanjian.108
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja menyatakan bahwa sebab yang
halal yang dimaksudkan dalam rumusan Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal
1337 KUH Perdata tidak lain dan tidak bukan adalah prestasi dalam
perjanjian yang melahirkan perikatan, yang wajib dilakukan atau dipenuhi
oleh para pihak, yang tanpa adanya prestasi yang ditentukan tersebut, maka
perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah ada diantara para
pihak.109
Dalam literatur lain, Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanungsong
merumuskan suatu sebab yang halal, artinya isi dari perjanjian itu harus
mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang,
106
H.M.Hazniel Harun, Hukum Perjanjian Kredit Bank, Tritura‟66, Jakarta,
1991, halamana 3. 107
Tentang syarat sahnya perjanjian dapat dilihat rumusan Pasal 1320 KUH
Perdata. 108
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op.Cit. halaman 77. 109
Widjaja Gunawan dan Kartini Muljadi, Op.Cit, halaman 164.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
44
kesusilaan, atau ketertiban umum.110
Selanjutnya menurut yurisprudensi,
causa adalah isi atau maksud dari perjanjian.111
Dalam kaitannya dengan syarat sebab yang halal, maka suatu
perjanjian pinjam meminjam tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang, harus sesuai dengan kesusilaan, tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, dapat dilaksanakan dan didasarkan pada kehendak bersama. Suatu
larangan dalam undang-undang merupakan halangan untuk membuat suatu
persetujuan yang bersifat melanggar larangan itu, sedangkan kesusilaan dan
pelanggaran atas ketertiban umum merupakan causa yang sifatnya relatif
tergantung pada sifat-sifat hidup suatu negara dan masyarakat.112
Dalam hal ini, Munir Fuady mengemukakan larangan atas
pencantuman syarat-syarat dalam perjanjian berupa :113
1. Syarat yang tidak mungkin terlaksana;
2. Syarat yang bertentangan dengan kesusilaan;
3. Syarat yang bertentangan dengan undang-undang yang berlaku;
4. Syarat yang semata-mata bergantung kepada kemauan orang yang terikat;
Syarat yang tidak mungkin terlaksana, bertentangan dengan kesusilaan
atau bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, apabila termuat
dalam perjanjian, maka syarat tersebut batal demi hukum dan kontraknya
menjadi tidak berdaya (Pasal 1254 KUH Perdata). Sedangkan perjanjian yang
mengandung syarat bahwa pelaksanaannya semata-mata bergantung kepada
kemauan orang yang terikat, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi
hukum (Pasal 1256 ayat (1) KUH Perdata).114
Perjanjian yang dibuat dengan
sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUH
Perdata).
Pasal 1754 KUH Perdata secara jelas mengkategorikan perjanjian
pinjam meminjam sebagai perjanjian atas beban, yaitu adanya kewajiban
110
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanungsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi
Kedua,PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008, halaman 31. 111
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan
dengan Penjelasan, Op.Cit, halaman 106. 112
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, halaman 38. 113
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Bagian
Kedua, Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2003, halaman 106. 114
Ibid, halaman 107.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
45
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama
pula. Apabila barang pinjaman berwujud benda (emas, perak, atau lain-lain
barang perdagangan), maka penerima pinjaman hanya berkewajiban
mengembalikan benda-benda tersebut sesuai berat dan mutu barang yang
dipinjamnya (Pasal 1758 KUH Perdata) dan tidak diwajibkan lebih dari itu.
Artinya, apabila atas kehendak sendiri atau kemudian diperjanjikan lain
bahwa pengembalian barang pinjaman akan disertai sesuatu bentuk tertentu,
undang-undang tidak melarangnya sepanjang disepakati bersama dan tidak
melanggar hukum, kepatutan, dan kesusilaan.
Demikian pula apabila barang tersebut berupa uang, maka utang
penerima pinjaman hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam
perjanjian berdasarkan mata uang yang berlaku pada waktu pelunasan,
dihitung menurut harga yang berlaku pada saat itu (Pasal 1756 KUH Perdata),
kecuali diperjanjikan akan dikembalikan sesuai keadaan semula baik jumlah
maupun kadar logamnya (Pasal 1757 KUH Perdata).
Yurisprudensi Mahkamah Agung menetapkan jumlah uang yang harus
dibayar oleh si berutang dalam perjanjian-perjanjian sebelum perang dunia
kedua, yang mengambil dasar untuk penilaian kembali jumlah yang terutang
itu : harga emas sebelum perang dibandingkan dengan harga emas sekarang,
namun resiko tentang kemerosotan nilai mata uang itu dipikul oleh masing-
masing pihak separoh. Yurisprudensi tersebut mencerminkan suatu
pengetrapan asas itikad baik yang harus diindahkan dalam hal pelaksanaan
suatu perjanjian, seperti terkandung dalam Pasal 1338 ayat (3) BW.115
Selain itu dalam perjanjian pinjam meminjam juga memberikan beban
atas sejumlah kewajiban-kewajiban pemberi pinjaman dan penerima
pinjaman dimana kewajiban pemberi pinjaman merupakan hak penerima
pinjaman, sebaliknya, kewajiban penerima pinjaman merupakan hak pemberi
pinjaman.
Pasal 1759 KUH Perdata hingga Pasal 1762 KUH Perdata secara
khusus mengatur tentang hak pemberi pinjaman. Dalam hal ini, diatur khusus
mengenai hak tagih pemberi pinjaman, yaitu pemberi pinjaman tidak dapat
115
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Op.Cit, halaman 126.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
46
meminta kembali apa yang dipinjamkan sebelum jatuh tempo (Pasal 1759
KUH Perdata). Sedangkan tentang kewajiban-kewajiban penerima pinjaman,
yaitu mengenai kewajiban mengembalikan pinjaman, telah diatur dalam Pasal
1763 KUH Perdata dan Pasal 1764 KUH Perdata. Adanya kewajiban
mengembalikan pinjaman semakin mempertegas bahwa perjanjian pinjam
meminjam terkategorisasi sebagai perjanjian atas beban.
Pasal 1763 KUH Perdata mewajibkan penerima pinjaman untuk
mengembalikan pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang sama, dan pada
waktu yang ditentukan. Artinya, terdapat 2 (dua) kewajiban utama penerima
pinjaman dalam hal mengembalikan pinjaman, yaitu :
1. Meneliti jumlah dan keadaan pinjaman yang dikembalikan sesuai dengan
pinjaman yang diiterimanya.
2. Memperhatikan batas waktu pengembalian pinjaman agar tidak lampau
waktu.
Apabila penerima pinjaman tidak mampu memenuhi kewajibannya,
maka penerima pinjaman wajib membayar harga barang yang dipinjamnya
sesuai yang harus dikembalikan menurut perjanjian, sesuai dengan harga pada
waktu dan tempat yang ditentukan untuk pengembalian barang pinjaman.
Sedangkan apabila waktu dan tempat tidak ditentukan maka pelunasannya
disesuaikan dengan harga pada waktu dan tempat penerimaan pinjaman.
Khusus mengenai pembebanan bunga sebagai syarat tambahan dalam
perjanjian pinjam meminjam, Pasal 1765 KUH Perdata memperbolehkan
untuk diperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau barang yang sifatnya
habis dipakai. Bunga yang diperjanjikan atas peminjaman beras atau gandum,
lazimnya juga berupa beras atau gandum, meskipun tidak dilarang untuk
menetapkan bunganya berupa uang.116
Tentunya jika obyek perjanjian pinjam
meminjam berupa barang maka harganya harus dapat ditaksir. Pentingnya
ketentuan menaksir harga barang dalam rangka menjaga kemungkinan
musnahnya barang tersebut sehingga memberikan kewajiban bagi penerima
pinjaman menggantinya dengan barang serupa yang sama jenis, bentuk dan
kadarnya, atau dengan sejumlah uang tertentu.
116
Ibid, halaman 129.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
47
Bunga dapat dikategorikan sebagai bentuk peningkatan nilai atas
barang atau uang. Dalam hal ini Aristoteles berpendapat bahwa uang harus
digunakan di dalam proses transaksi dan untuk meningkatkan nilainya
melalui bunga.117
Dalam sistem keuangan modern, seringkali dibuat pembedaan bunga
atas bunga sederhana dan bunga berbunga. Pada konsep bunga sederhana,
pembebanan bunga dilakukan hanya pada utang pokoknya saja, sedangkan
pada konsep bunga berbunga, pembebanan bunga dilakukan pada jumlah
pokok dan bunga dalam interval waktu tertentu.118
Penentuan bunga dalam perjanjian pinjam meminjam haruslah bunga
yang wajar dan layak dijalankan yaitu sesuai dengan kesepakatan para pihak
atau bunga yang diperjanjikan maupun atas ketentuan undang-undang (Pasal
1767 KUH Perdata). Dalam Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung tercatat
bahwa dalam lingkungan Hukum Adat, besarnya suku bunga pinjaman adalah
sebagaimana yang telah diperjanjikan bersama (Putusan MA Nomor 289
K/Sip/1972 tanggal 22 Juli 1972).119
Dalam hal bunga tersebut berupa bunga yang diperjanjikan maka
bunga yang diperjanjikan para pihak tersebut haruslah dituangkan secara
tertulis dalam perjanjian pinjam meminjam dan besarnya bunga tidak dapat
melebihi ketentuan undang-undang. Selanjutnya penerima pinjaman wajib
membayarkan bunga tersebut hingga tuntas meskipun pinjaman telah jatuh
tempo.
KUH Perdata juga memberi landasan yuridis untuk memperjanjikan
bunga tetap atau bunga abadi. Memperjanjikan bunga tetap atau bunga abadi
menurut Pasal 1770 KUH Perdata ialah suatu perjanjian dengan mana pihak
yang memberi pinjaman uang memperjanjikan pembayaran bunga atas
pembayaran sejumlah uang pokok yang tidak akan dimintanya kembali.
117
Tarek El-Diwaby, The Problem With Interest (Sistem Bunga dan
Permasalahannya), diterjemahkan oleh Amdiar Amir, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta,
Juni 2003, halaman 30. 118
Ibid, halaman 13. 119
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Op.Cit, halaman 130.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
48
Pembayaran bunga tetap dapat diangsur kecuali disepakati lain120
(Pasal
1771 KUH Perdata).
Atas pengingkaran pembayaran bunga tetap atau bunga abadi Pasal
1772 KUH Perdata memberikan hak kepada kreditur untuk memaksakan
debitur mengembalikan uang pokok pinjaman, yaitu dalam hal :
a. Jika ia tidak membayar sesuatu apapun atas bunga yang harus dibayarnya
selama dua tahun berturut-turut;
b. Jika ia lalai memberikan jaminan yang dijanjikan kepada si berpiutang.
c. Jika ia telah dinyatakan pailit.
Dalam waktu dua puluh hari setelah diperingatkan atas perantaraan
hakim ternyata debitur membayarkan angsuran-angsurannya yang sudah
harus dibayarkan atau memberikan jaminan yang dijanjikan, maka debitur
dibebaskan dari paksaan mengembalikan pinjaman pokok (Pasal 1773 KUH
Perdata). Artinya, hak kreditur untuk memaksakan debitur mengembalikan
pokok pinjaman disalurkan melalui proses hukum yaitu melalui hakim.
Mengenai bunga yang tidak diperjanjikan, Pasal 1768 KUH Perdata
menentukan, dalam hal suatu perjanjian pinjam meminjam ditentukan
pengembalian pinjaman disertai bunga namun besar bunga tidak
diperjanjikan, maka bunga yang dibayarkan haruslah tunduk pada bunga yang
diatur oleh undang-undang yaitu sebesar enam prosen setahun menurut
Staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1848 No. 22.121
Regulasi lainnya, Pasal 1766 KUH Perdata mengatur bahwa atas
bunga yang tidak diperjanjikan dan dibayarkan oleh penerima pinjaman atas
kehendak sendiri, karena tidak diwajibkan untuk dibayarkan maka tidak dapat
dituntut untuk dikembalikan. Bunga yang tidak diperjanjikan tersebut hanya
dapat diperhitungkan apabila terdapat permintaan pengembalian pembayaran
bunga yang tidak diperjanjikan dan hanya diperhitungkan apabila bunga yang
tidak diperjanjikan tersebut dibayarkan melebihi bunga yang ditetapkan
120
Kesepakatan yang dimaksud adalah diperjanjikan bahwa pengangsuran itu
tidak dilakukan selain setelah lewatnya suatu waktu tertentu, waktu mana tidak boleh
ditetapkan lebih lama dari sepuluh tahun, atau tidak boleh dilakukan tanpa pemberitahuan
lebih dahulu kepada si berpiutang dengan suatu tenggang waktu yang sebelumnya telah
ditetapkan oleh mereka yang tidak boleh lebih dari satu tahun. 121
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Op.Cit, halaman 129.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
49
undang-undang. Selisih antara bunga sesuai ketentuan undang-undang dengan
bunga yang dibayarkan dimana tidak diperjanjikan sebagai kelebihan
pembayaran bunga itulah yang dikembalikan kepada penerima pinjaman.
Atas pembayaran pinjaman yang tidak disebutkan dalam bukti
pembayaran termasuk juga di dalamnya bunga, Pasal 1769 KUH Perdata
menetapkan bahwa bukti pembayaran uang pokok dengan tidak menyebutkan
sesuatu apa mengenai bunga, memberikan persangkaan tentang sudah pula
dibayarnya bunga itu, dan si berutang dibebaskan dari pada itu.
R. Subekti mengemukakan bahwa apabila seorang kreditur
memberikan tanda pembayaran yang sah tentang telah dibayarnya uang
pokok, dianggap bahwa bunga-bunga yang terutang juga sudah dibayar. Jika
sebenarnya tidak demikian, itu menjadi beban bagi kreditur untuk
membuktikannya.122
Dalam perjanjian pinjam meminjam, haruslah dinyatakan secara jelas
jenis pinjaman, besaran utang (jika pinjaman berupa uang), cara
penyerahannya maupun cara pengembaliannya termasuk pengaturan bunga
yang disepakati dan lamanya waktu pengembalian serta sanksi apabila salah
satu pihak mengingkari perjanjian. Putusan Mahkamah Agung Nomor :
2423K/Pdt/1986 menyatakan : diperkenankan adanya klausula penghukuman
bila salah satu pihak melanggar perjanjian.
Suharnoko mengemukakan bahwa dengan dipenuhinya syarat sahnya
perjanjian yaitu syarat subyektif dan syarat obyektif, maka suatu perjanjian
menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang
membuatnya.123
Meskipun demikian bukan berarti dengan telah sahnya suatu
perjanjian pinjam meminjam akan menjamin para pihak taat pada isi
perjanjian.
Dalam hal suatu perjanjian telah dilaksanakan sebagaimana mestinya,
menurut Wirjono Prodjodikoro, maka tercapailah tujuannya dan musnahlah
perjanjian itu, artinya, terhentilah adanya suatu perhubungan hukum, yang
122
Ibid, halaman 131. 123
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media,
Jakarta, 2005, halaman 1.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
50
dinamakan perjanjian.124
Lebih lanjut, juga dikemukakan bahwa pelaksanaan
perjanjian yang terjadi tepat seperti yang disepakati dinamakan “betaling”
atau pembayaran, seolah-olah semua pelaksanaan perjanjian berupa suatu
pembayaran uang tunai.125
Lain halnya apabila perjanjian tidak dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Atas tidak dipenuhinya prestasi dalam perjanjian pinjam
meminjam, maka pihak pemberi pinjaman dapat melakukan penagihan
kepada pihak penerima pinjaman untuk memenuhi prestasinya. Penagihan
dapat dilakukan kreditur dalam keadaan perjanjian pinjam meminjam tersebut
tidak ditentukan waktu untuk melaksanakan janji atau telah lampau waktu
untuk melaksanakan janji namun janji tidak dipenuhi.126
Apabila tidak diperjanjikan mengenai jatuh tempo maka hakim berhak
menentukan batas waktu pengembalian pinjaman dengan memberikan sedikit
kelonggaran waktu bagi penerima pinjaman (Pasal 1760 KUH Perdata), atau
apabila diperjanjikan bahwa pengembalian pinjaman akan dilakukan pada
waktu penerima pinjaman mampu mengembalikannya, maka hakim dengan
mengingat keadaan para pihak berwenang menentukan waktu pengembalian
pinjaman (Pasal 1761 KUH Perdata).
Penentuan tanggal jatuh tempo pengembalian pinjaman oleh hakim
dimuat dalam putusan hakim yang sifatnya condemnatoir. Perintah
mengembalikan pinjaman tersebut diberikan dengan kelonggaran waktu
apabila sebelumnya tidak diperjanjikan mengenai jatuh tempo pengembalian
pinjaman dengan dapat dibebani bunga moratoir terhitung sejak putusan
dijatuhkan.
Dalam keadaan sebelum diajukan gugatan, penggugat telah menagih
pinjaman pada tergugat disertai penentuan jatuh tempo pengembalian
pinjaman, maka tidak pada tempatnya lagi kalau hakim masih juga
memberikan pengunduran waktu pengembalian pinjaman. Sedangkan dalam
hal apabila pemberian pinjaman tersebut dilakukan dengan akte otentik
(notaris) maka jika dimintakan oleh penggugat, hakim dapat memerintahkan
124
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, halaman 117. 125
Ibid. 126
Ibid, halaman 175.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
51
agar putusannya tersebut dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terdapat
upaya hukum.127
Putusan yang memerintahkan agar putusan tersebut
dijalankan terlebih dahulu, dalam hukum acara perdata disebut putusan serta
merta (uitvoerbaar bij voorraad).
Apabila hakim menjatuhkan putusan serta merta (uitvoerbaar bij
voorraad), hakim terikat pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2000 tentang Acara Penerapan Lembaga Paksa Badan, khususnya pada
butir keempat, yang mengatur keadaan-keadaan dapat dijatuhkannya putusan
serta merta, yaitu :
a. Gugatan didasarkan pada bukti surat otentik atau surat tulisan tangan
(handschrift) yang tidak dibantah kebenarannya tentang isi dan tanda
tangannya, yang menurut undang-undang tidak mempunyai kekuatan
bukti.
b. Gugatan tentang utang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak
dibantah.
c. Gugatan tentang sewa menyewa tanah, rumah, gudang, dan lain-lain,
dimana hubungan sewa-menyewa sudah habis/lampau, atau penyewa
terbukti melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang beritikad baik.
d. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-
gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum
tetap.
e. Dikabulkan gugatan provisional, dengan mempertimbangkan hukum yang
tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv.
f. Gugatan berdasarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (in kracht van gewisde) dan mempunyai hubungan dengan pokok
gugatan yang diajukan.
g. Pokok sengketa mengenai bezitrecht.
Selanjutnya pelaksanaan putusan serta merta tersebut barulah dapat
dijalankan apabila telah ada penetapan mengenai pemberian jaminan yang
nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi. Hal ini sesuai dengan
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan
127
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Op.Cit, halaman 127.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
52
Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij voorraad) dan Provisionil yang
mengatur : setiap kali akan melaksanakan Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar
bij voorraad) harus disertai penetapan sebagai diatur dalam butir 7 SEMA
Nomor 3 Tahun 2000 yang menyebutkan : “Adanya pemberian jaminan yang
nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi sehingga tidak
menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata dikemudian hari
dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan tingkat pertama.”
Lepasnya pihak penerima pinjaman dari kewajiban membayarkan
biaya, rugi, dan bunga apabila pihak penerima pinjaman mampu
membuktikan bahwa terdapat keadaan memaksa atau suatu kejadian yang tak
disengaja atau hal tersebut merupakan perbuatan yang terlarang (Pasal 1245
KUH Perdata) atau pihak penerima pinjaman mampu membuktikan bahwa
kerugian yang dialami pemberi pinjaman bukan akibat perbuatan dari
penerima pinjaman.
2.1. PERJANJIAN KREDIT
Secara sederhana, pemberian kredit dapat diartikan sebagai pemberian
pinjaman “sesuatu” yang pada waktunya harus dikembalikan. Pemberian
kredit dapat berupa barang ataupun uang dan meliputi berbagai sektor
perekonomian atas kesepakatan pihak-pihak.
Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa perjanjian kredit tidak
identik dengan perjanjian pinjam uang sebagaimana tertuang dalam KUH
Perdata, sebab perjanjian kredit memiliki ciri khusus yang membedakannya
dengan perjanjian pinjam uang biasa.
Ciri khusus perjanjian kredit dapat dilihat dalam tindakan bank yang
memuat dalam perjanjian kreditnya klausul yang dinamakan condition
precedent sebagai peristiwa atau kejadian yang harus dipenuhi atau terjadi
terlebih dahulu setelah perjanjian ditandatangani oleh para pihak sebelum
penerima kredit dapat menggunakan kreditnya.128
128
Lukman Santoso AZ, Hak dan Kewajiban Hukum NNasabah Bank, Pustaka
Yustisia, Yogyakarta, 2011, halaman 60.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
53
Tri Widiyono mengemukakan syarat utama penarikan kredit yang
harus terlebih dahulu dipenuhi sebagai condition precedent adalah agunan
telah diikat dengan sempurna (telah didaftarkan), telah diasuransikan dan
debitur telah membayar seluruh kewajibannya, termasuk biaya-biaya, ongkos,
administrasi, komisi, dan lain sebagainya.129
Disamping syarat-syarat
penarikan kredit tersebut, juga diatur mengenai tata cara penarikan kredit
yang harus dipatuhi para pihak, misalnya dengan cara revolving, yaitu
penarikan sesuai dengan kebutuhan sampai dengan maksimum plafond
fasilitas kredit/limit kredit, atau dengan cara aflopend yang penarikannya
secara seketika dan sekaligus.130
Secara etimologis “kredit” berasal dari bahasa latin “credere” yang
berarti kepercayaan. Berpijak dari sini, maka dasar pemberian kredit adalah
kepercayaan.131
Berdasarkan arti harafiah tersebut, maka seseorang atau
badan usaha mendapatkan kedit dari bank karena orang atau badan usaha
tersebut telah mendapatkan kepercayaan dari bank pemberi kredit.
Pengertian kredit lainnya dikemukakan oleh O.P. Simorangkir dalam
H.R. Daeng Naja (2005) yang mengartikan kredit sebagai pemberian prestasi
(misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) akan terjadi
pada waktu mendatang.132
Mariam Darus Badrulzaman juga memberikan pengertian perjanjian
kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dan pihak lain yang mewajibkan pihak penerima pinjaman melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian
hasil keuntungan.133
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
pemberian kredit merupakan pemberian pinjaman yang akan dikembalikan
129
Try Widiyono, Op.Cit, halaman 271. 130
Ibid, halaman 272. 131
Bambang Sunggono, Pengantar Hukum Perbankan, CV. Mandar Maju,
Bandung , 1995, halaman 127. 132
H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bhakti,
Bandung ,2005, halaman 123. 133
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.Cit, halaman 34.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
54
pada waktunya. Pinjaman yang diberikan merupakan utang yang harus
dilunasi oleh debitur. Dalam praktek bisnis, pengembalian utang diikuti
dengan bunga atau imbalan tertentu.134
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
akan ditemukan dua istilah yang berbeda namun memiliki makna yang sama
untuk pemberian kredit yaitu istilah kredit yang digunakan pada bank
konvensional dalam menjalankan kegiatan usahanya dan kata pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah yang digunakan pada bank syariah.135
Istilah kredit banyak dipakai dalam sistem perbankan konvensional
yang berbasis pasar bunga (interest based), sedangkan dalam hukum
perbankan syariah lebih dikenal dengan istilah pembiayaan (financing) yang
berbasis pada keuntungan riil yang dikehendaki (margin) ataupun bagi hasil
(profit sharing).136
Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan pengertian yang diatur
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu ketentuan
Pasal 1 angka 11 memberikan pengertian kredit sebagai berikut :
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.137
Ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tersebut memberikan unsur-unsur pokok kredit sebagai berikut :
a. Adanya kesepakatan pinjam meminjam.
b. Obyeknya adalah uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
uang.
134 Tan Kamello dalam Lukman Santoso AZ, Hak dan Kewajiban Hukum
Nasabah Bank, Op.Cit, halaman 59. 135
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 264. 136
Abdul Ghofur Anshori dalam Gazali, Djoni S dan Rachmadi Usman, Ibid. 137
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UU RI No.10 Tahun 1998, LN RI
Tahun 1998 No. 182 TLN RI No. 3790.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
55
c. Pinjaman tersebut merupakan utang.
d. Dapat ditagih dalam jangka waktu tertentu.
e. Pembayaran pokok utang disertai bunga pinjaman.
Sedangkan pengertian pembiayaan diatur dalam Pasal 1 angka 12
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sebagai berikut :
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syahriah adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.138
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tersebut, terkandung unsur-unsur pokok pembiayaan sebagai
berikut :
a. Adanya kesepakatan pinjam meminjam.
b. Obyeknya adalah uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
uang.
c. Dapat ditagih dalam jangka waktu tertentu.
d. Pembayaran pinjaman disertai imbalan atau bagi hasil.
Dengan menarik unsur-unsur “kredit” dan “pembiayaan” maka terlihat
bahwa sebenarnya antara “kredit” dan “pembiayaan” memiliki kesamaan
bentuk sebagai pemberian pinjaman berdasarkan kesepakatan berupa uang
atau tagihan lainnya yang dapat disamakan dengan uang. Perbedaannya,
dalam “kredit”, pinjaman tersebut sebagai utang, sedangkan dalam
“pembiayaan”, pinjaman tersebut tetap sebagai pinjaman. Perbedaan lainnya,
dalam “kredit”, pengembalian utang disertai dengan bunga, sedangkan dalam
“pembiayaan”, pengembalian pinjaman disertai dengan imbalan atau bagi
hasil.
Dari rumusan istilah kredit dan pembiayaan dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, semakin jelas terlihat
138 Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Ibid.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
56
perbedaannya yaitu terletak pada bentuk prestasi yang akan diberikan debitur
kepada kreditur atas pemberian kredit atau pembiayaan. Pada bank
konvensional, prestasi yang diberikan berupa bunga sebagai keuntungan,
sedangkan pada bank syariah, prestasi yang diberikan debitur berupa imbalan,
bagi hasil, atau bahkan tanpa imbalan sesuai kesepakatan pihak debitur dan
kreditur dalam perjanjian kredit.
Terlepas dari perbedaan peristilahan tersebut, perjanjian kredit yang
dimaksudkan penulis adalah perjanjian kredit yang terjadi pada bank
konvensional yang menerapkan bunga sebagai keuntungan yang diperoleh
bank kreditur dari nasabah debitur.
Secara umum, hubungan perjanjian antara bank dengan nasabah dapat
dilihat dalam 4 (empat) bentuk yaitu :139
1. Debtor-creditor relationship, as regard any money deposited by the
customer with the banker and as regards any money lent to the customer
by the banker.
2. Agent and principal relationship, as the customer gives the banker a
mandate to do certain acts in connection with his account or to permit
any other person to do such and act.
3. Fiduciary relationship, an example is where equity imposes e duty on a
bank not to take undue advantage over a costumer.
4. Constructive trustee and beneficiary relationship.
Kajian penulisan tesis ini difokuskan pada debtor-creditor
relationship yaitu dalam hubungan pemberian kredit dimana pihak bank
berlaku sebagai kreditur dan pihak nasabah berlaku sebagai debitur.
Pemilihan kajian sektor pemberian kredit oleh bank dikarenakan bank dalam
menyalurkan dana masyarakat melakukan perjanjian kredit secara
baku/standar/adhesi yang sering kali dianggap sebagai perjanjian sepihak.
Pemberian kredit oleh bank berkaitan dengan fungsi utama bank
sebagai intermediasi yaitu menghimpun dana masyarakat dan
menyalurkannya secara efektif dan efisien pada sektor-sektor riil untuk
139
Lee Mei Pheng, Banking Law : The Banker - Customer Relationship, artikel
sebagaimana termuat dalam Reading Material Hukum Perbankan 1 yang dikumpulkan
oleh Yunus Husen dan Zulkarnain Sitompul, Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Jakarta, halaman 21-22.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
57
menggerakkan pembangunan dan stabilitas perekonomian negara.140
Edward
L. Symons, Jr mengemukakan bahwa fungsi intermediasi tersebut
menunjukkan fungsi bank sebagai deposit-taking, credit-granting and credit-
exchange activities.141
Dalam menjalankan fungsi credit-granting, bank
memainkan perannya melalui program jasa pemberian kredit.142
Secara sederhana, seseorang yang bermaksud memperoleh kredit bank
memulai langkahnya dengan mengajukan permohonan kredit dan mengisi
formulir tertentu yang telah disediakan oleh bank. Selanjutnya, setelah syarat-
syarat yang berkenaan dengan permohonan kredit dipenuhi, maka bank,
dalam hal ini bagian analisa kredit, akan melakukan penilaian, apakah
permohonan kredit itu dapat diteruskan/diajukan kepada direksi atau tidak.
Apabila permohonan tersebut diteruskan kepada direksi (dalam hal tertentu
juga dengan persetujuan komisaris) hal ini dimaksudkan untuk meminta
persetujuan direksi. Dalam hal permohonan kredit tersebut disetujui, maka
dilakukanlah penandatanganan persetujuan pemberian kredit dalam bentuk
“Perjanjian Kredit”.143
Pentingnya dilakukan analisa kredit sebelum penentuan sikap apakah
permohonan kredit diterima atau ditolak, dimaksudkan agar kredit-kredit
yang diberikan tidak mudah menjadi kredit macet. Dalam hal ini, bank harus
melakukan penelitian secara seksama terhadap berbagai aspek termasuk
kewajiban bank untuk memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.144
Terjadinya kredit macet karena kebanyakan bank menerapkan patokan
pemberian kredit yang lebih bersifat pendekatan ekonomis (likuiditas dan
profitabilitas) ketimbang pendekatan yuridis. Dalam hal ini pihak bank lebih
140
Lukman Santoso AZ, Op.Cit, halaman 13. 141
Artikel Edward L. Symons, Jr, Business of Banking : The “Business of
Banking´in Historical Perspective, artikel sebagaimana termuat dalam Reading Material
Hukum Perbankan 1 yang dikumpulkan oleh Yunus Husen dan Zulkarnain Sitompul,
Op.Cit, halaman 704. 142
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dapat
dijadikan dasar yuridis pengaturan jasa bank dalam memberikan kredit. 143
H.M. Nazniel Harun, Aspek-Aspek Hukum Perdata Dalam Pemberian Kredit
Perbankan, IND-HILL-CO, Jakarta, 1995, halaman 5. 144
Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 270.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
58
mengutamakan analisis keuntungan bisnis ketimbang penerapan jaminan
kredit yang memenuhi syarat yuridis.145
Seyogyanya baik pendekatan
ekonomis maupun pendekatan yuridis dilakukan secara berbarengan dengan
mempertimbangkan keseimbangannya. Intinya dalam analisa kredit
diperlukan kehati-hatian untuk mencegah timbulnya kredit macet.146
Kehati-hatian yang dimaksud adalah pengendalian risiko melalui
penerapan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku secara
konsisten.147
Dalam posisi tersebut, pihak bank selaku kreditur harus mampu
145
H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit
Perbankan, Alumni, Bandung, 2012, halaman 112. 146
Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produksi jo.
Peraturan Bank Indonesia No. 4/6/PBI/2002 tanggal 6 September 2002, Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 dan Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993 tentang Kualitas Aktiva
Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, menggolongkan
kolektifitas kredit dengan empat kriteria, yaitu :
1. Kriteria kredit lancar :
a. Tidak terdapat tunggakan, baik angsuran pokok maupun bunganya.
b. Terdapat tunggakan angsuran pokok ataupun tunggakan bunga, tetapi belum
melampaui 1 bulan bagi kredit yang masa angsurannya kurang dari 1 bulan, atau
belum melampaui 3 bulan bagi kredit yang masa angsurannya 2 bulanan sampai 3
bulanan, atau belum melampaui 6 bulan bagi kredit yang masa angsurannya 4
bulanan atau lebih.
2. Kriteria kredit kurang lancar :
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok yang melampaui 1 bulan dan belum
melampaui 2 bulan bagi kredit yang masa angsurannya kurang dari 1 bulan, atau
melampaui 3 bulan dan belum melampaui 6 bulan bagi kredit yang masa
angsurannya 2 bulanan atau 3 bulanan, atau melampaui 6 bulan dan belum
melampaui 12 bulan bagi kredit yang masa angsurannya 6 bulanan atau lebih.
b. Terdapat tunggakan bunga yang melampaui 3 bulan bagi kredit yang masa
angsurannya kurang dari 1 bulan, atau melampaui 3 bulan dan belum melampaui 6
bulan bagi kredit yang masa angsurannya lebih dari 1 bulan.
3. Kriteria kredit diragukan :
Apabila suatu kredit tidak memenuhi kriteria lancar dan kurang lancar, yang
berdasarkan penilaian dapat disimpulkan bahwa kredit masih dapat diselamatkan dan
agunannya bernilai sekurang-kurangnya 75% dari utang peminjam termasuk
bunganya, atau kredit tidak dapat diselamatkan tetapi agunannya masih bernilai
sekurang-kurangnya 100% dari utang peminjam.
4. Kriteria kredit macet :
Apabila suatu kredit tidak memenuhi kriteria lancar, kurang lancar dan diragukan, atau
memenuhi criteria diragukan, tetapi dalam jangka waktu 21 bulan sejak digolongkan
diragukan belum ada pelunasan atau usaha penyelamatan kredit. (H.R. Daeng Naja,
Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung : 2005, halaman
304-305). 147
H.R. Daeng Naja, Op.Cit, halaman 293.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
59
melindungi dana nasabah yang telah dipercayakan padanya dan karena itu
tidak mengherankan apabila pihak bank kreditur kemudian menerapkan
berbagai persyaratan yang dapat dinilai lebih menguntungkan pihak bank
dalam suatu perjanjian kredit. Selain itu, kehati-hatian ditujukan pada
keamanan dan kesehatan lembaga keuangan dalam kaitannya dengan
perlindungan nasabah ketika institusi tersebut bangkrut.148
Keharusan kehati-hatian dalam pemberian kredit bank merupakan
amanat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
yang menegaskan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian,
dimana dalam penjelasannya dipertegas bahwa prinsip kehati-hatian harus
dipegang teguh.
Untuk itu terdapat 4 (empat) hal pokok yang harus diperhatikan dalam
pemberian kredit, yaitu :149
a) Kepercayaan, yaitu, setiap pelepasan kredit dilandasi oleh keyakinan
bahwa kredit tersebut akan dapat dibayar kembali oleh debiturnya sesuai
dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan;
b) Waktu, yaitu, antara pelepasan kredit oleh bank dan pembayaran kembali
oleh debitur tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan tetapi ada
tenggang waktunya;
c) Resiko, yaitu, setiap pelepasan kredit jenis apapun akan terkandung resiko
di dalamnya yang sangat dipengaruhi oleh perbandingan lurus jangka
waktu lamanya pemberian kredit; dan
d) Prestasi, yaitu, pada saat terjadinya kesepakatan antara bank dan debitur
mengenai suatu pemberian kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi
suatu prestasi atau kontra prestasi. Prestasi yang wajib dilakukan oleh
debitur bukan hanya melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
148
Ibid, halaman 294. 149
Ibid, halaman 124.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
60
tetapi juga prestasi wajib melakukan pembayaran bunga sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.150
Mengenai prinsip-prinsip penilaian pemberian kredit tersebut selalu
dimanifestasikan pihak kreditur bank sebagai suatu syarat baku yang terkesan
sebagai klausula151
baku eksonerasi atau eksemsi atau undue influence dalam
suatu perjanjian baku/standar/adhesi. Dalam hal demikian, perjanjian
baku/standar/adhesi dimaknai sebagai perjanjian yang hampir seluruh
klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain
pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, yang belum dibakukan hanyalah
beberapa hal misalnya menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat,
waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari obyek yang
diperjanjikan.152
Untuk membedakan apakah suatu perjanjian kredit bank merupakan
perjanjian baku atau tidak maka sebagai pembeda adalah karakteristik
perjanjian itu sendiri. Mengenai karakteristik perjanjian baku telah
dirumuskan Sudaryatmo sebagai berikut :153
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisinya dapat lebih
kuat.
2. Pihak yang menjadi debitur sama sekali tidak turut menentukan isi
perjanjian.
3. Bentuknya tertulis.
4. Telah terlebih dahulu dipersiapkan secara massal.
Berdasarkan karakteristik tersebut, maka perjanjian baku bukan hanya
sekedar format klausulanya saja yang telah dibakukan dalam bentuk tertulis,
akan tetapi juga membatasi partisipasi pihak nasabah debitur dalam
merumuskan klausula perjanjian. Artinya, dalam perjanjian baku telah terjadi
pembatasan hak kebebasan berkontrak dari nasabah debitur.
150
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cetakan keenam,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Januari 2011, halaman 56. 151
Kesepakatan yang dibuat dan dinyatakan secara tertulis disebut sebagai
klausula. (Sunu Widi Purwoko, Op.Cit, halaman 11). 152
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 74. 153
Lukman Santoso AZ, Op.Cit, halaman 71.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
61
Perjanjian baku/standar/adhesi dianggap memaksakan pihak lain yang
posisinya lemah untuk menerima syarat-syarat baku yang disiapkan pihak
yang berposisi kuat. Dalam keadaan demikian, perjanjian baku dianggap berat
sebelah karena perjanjian itu hanya atau terutama mencantumkan hak pihak
bank saja tanpa mencantumkan kewajiban pihak bank, sebaliknya hanya atau
terutama mencantumkan kewajiban pihak debitur saja tanpa menyebutkan
hak debitur.154
Munir Fuady mengemukakan faktor-faktor penyebab perjanjian baku
menjadi tidak seimbang, yaitu :155
1. Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak
untuk melakukan tawar-menawar, sehingga pihak yang kepadanya
disodorkan perjanjian tidak banyak kesempatan untuk mengetahui isi
perjanjian tersebut.
2. Karena penyusunan perjanjian yang sepihak, pihak penyedia dokumen
biasanya memiliki cukup banyak waktu untuk memikirkan klausula-
klausula dalam dokumen tersebut, bahkan mungkin saja sudah
berkonsultasi dengan ahli, atau dokumen tersebut justeru dibuat oleh ahli
sedangkan debitur tidak banyak kesempatan untuk memahami dokumen
tersebut dan seringkali tidak familiar dengan klausula-klausula tersebut.
3. Pihak yang kepadanya disodorkan perjanjian baku menempati kedudukan
yang sangat tertekan, sehingga hanya dapat bersikap take it or leave it.
Meskipun demikian, kehadiran bentuk perjanjian baku/standar/adhesi
dalam praktik perbankan sesungguhnya ditujukan untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan masyarakat itu sendiri.156
Digunakannya perjanjian
baku/standar/adhesi dalam praktek perbankan secara khusus disebabkan oleh
:157
1. Makin banyak perusahaan-perusahaan yang dalam transaksi bisnisnya
sehari-hari menggunakan perjanjian-perjanjian baku.
154
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 79. 155
Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 324. 156
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 78. 157
Ibid, halaman 131.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
62
2. Makin banyaknya penduduk Indonesia yang dalam kehidupannya sehari-
hari sangat membutuhkan jasa-jasa yang ditawarkan oleh perusahaan-
perusahaan tersebut di atas, pada umumnya para konsumen yang
kedudukannya lemah berhadapan dengan perusahaan-perusahaan yang
kuat dan karena itu kedudukan konsumen yang lemah perlu dilindungi.
3. Makin banyaknya perusahaan-perusahaan asing yang bertransaksi dengan
perusahaan-perusahaan Indonesia menggunakan perjanjian-perjanjian
baku yang biasanya digunakan di negara asalnya.
Alasan lainnya, disatu sisi perjanjian baku menjadikan waktu
dibuatnya perjanjian kredit menjadi lebih efisien dan dipandang efektif karena
menghemat hal-hal yang perlu dinegosiasikan.
Sebagai perjanjian yang melibatkan kepercayaan sebagai modal
utama, maka setiap nasabah debitur maupun bank ketika melakukan
perjanjian kredit harus memaknai fungsi perjanjian kredit dalam pemberian,
pengelolaan dan penatalaksanaan kredit tersebut, yaitu dalam fungsi sebagai
perjanjian pokok, sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan
kewajiban diantara kreditur dan debitur, dan sebagai alat untuk melakukan
monitoring kredit.158
Selain itu, perjanjian kredit juga berfungsi sebagai agen
pembaharuan untuk meningkatkan kegairahan berusaha dan pemerataan
pendapatan dan fungsi sebagai bank komersil untuk peningkatan ekonomi dan
perdagangan.159
Dengan fungsi tersebut diharapkan setiap pihak mampu
menunjukkan transparansi dan akuntabilitas dalam melakukan perjanjian
kredit.
Berdasarkan fungsi tersebut, melalui perjanjian kredit diharapkan
dapat memberikan manfaat berupa :160
a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat pelunasan
dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu untuk membayar
kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
158
Hermansyah, Op.Cit, halaman 72. 159
H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit
Perbankan, Op.Cit, halaman 114. 160
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 286.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
63
b. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai
usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau
proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat
dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian
dapat diperkecil.
c. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya,
khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat
yang telah disetujui agar debitur dan/atau pihak ketiga yang ikut menjamin
tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.
Mengingat pentingnya fungsi dan manfaat dari suatu perjanjian kredit,
maka dalam suatu perjanjian kredit perlu dimuatkan hak dan kewajiban para
pihak secara terang dan dapat dimengerti tanpa dilakukan penafsiran. Dengan
merujuk kepada Pasal 1 c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967, dapat
disimpulkan adanya kewajiban pokok penerima kredit (debitur) adalah untuk
mengembalikan uang kredit setelah jangka waktu tertentu dengan bunga
tertentu yang telah ditetapkan.161
Lebih lanjut Hazniel Harun mengemukakan bahwa selain kewajiban
berdasarkan Pasal 1 c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967, terdapat pula
kewajiban debitur, yaitu :162
1. Kewajiban membayar utang pokok pada saat batas waktu yang ditentukan
dalam perjanjian kredit berakhir yang besarnya sesuai dengan jumlah yang
disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian kredit tersebut.
2. Kewajiban membayar biaya yang diperlukan guna persiapan pembuatan
perjanjian kredit bank, misalnya, biaya meterai, provisi bank, biaya
pembuatan akta hipotik, biaya notaris, premi asuransi, dan sebagainya.
3. Kewajiban membayar bunga163
kredit sebagai kontra prestasi penggunaan
uang oleh nasabah yaitu :
a. Bunga moratoir, yaitu bunga yang harus dibayar karena debitur lalai
membayar utangnya.
161
H.M. Nazniel Harun, Aspek-Aspek Hukum Perdata Dalam Pemberian Kredit
Perbankan, Op.Cit, halaman 19. 162
Ibid, halaman 19-23. 163
Berdasarkan Pasal 1246 KUH Perdata, bunga ialah keuntungan yang
sedianya harus dinikmati.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
64
b. Bunga yang diperjanjikan atas peminjaman uang dimana besarnya
bunga yang diperjanjikan dapat melampaui besarnya bunga yang
berlaku menurut undang-undang dan bentuk bunga yang diperjanjikan
haruslah tertuang secara tertulis.
c. Bunga yang tidak diperjanjikan, yaitu bunga yang tidak wajib dibayar,
tetapi apabila dibayar maka sebesar bunga moratoir. Pembayaran itu
dianggap sebagai telah diperjanjikan. Berdasarkan Pasal 1766 KUH
Perdata, tidak ada hak menuntut pada kreditur tentang bunga yang
tidak diperjanjikan.
d. Bunga Berganda/Compound Interest/Bunga Majemuk, dimana
besarnya diserahkan kepada kehendak bebas para pihak dalam
perjanjian. Jenis bunga ini menurut Pasal 1251 KUH Perdata dapat
ditagih dan dapat pula menghasilkan bunga dengan syarat :
1. Bunga berganda yang harus dibayar itu hanya untuk jangka waktu
satu tahun.
2. Bunga berganda hanya dapat dikenakan atas ijin pengadilan atau
karena adanya persetujuan khusus para pihak.
Dalam praktik perjanjian kredit bank, penentuan besarnya bunga
kredit tidak diserahkan kepada kehendak bebas para pihak akan tetapi
ditetapkan oleh bank. Penetapan besarnya bunga kredit oleh bank haruslah
dilakukan sedemikian rupa sehingga lebih tinggi dari biaya dana rata-rata
yang harus dibayarkan oleh bank kepada para nasabah debiturnya dimana
selisih antara bunga kredit dan rata-rata biaya dana (giro, deposito dan
tabungan), atau yang dikenal dengan istilah spread atau margin harus cukup
untuk menutup overhead cost dari bank yang bersangkutan disamping masih
harus mampu menghasilkan dana cadangan bagi penyelesaian kredit macer
dan menghasilkan laba untuk bank yang bersangkutan.164
Meskipun
demikian, dengan ruang negosiasi yang tersedia, dapat dibenarkan untuk
164
Sutan Remy Sjahdeini, Kredit Sindikasi Proses pembentukan dan Aspek
Hukum : Bab XI Perjanjian Kredit Sindikasi, sebagaimana termuat dalam Reading
Material Hukum Perbankan 1 yang dikumpulkan oleh Yunus Husen dan Zulkarnain
Sitompul, Op.Cit, halaman 127.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
65
disepakati besarnya bunga kredit bank, yang tentunya tetap memperhatikan
kelayakan suku bunga pinjaman.
Mengenai sistem perhitungan bunga kredit, Thomas Suyatno, dkk
mengemukakan 3 (tiga) golongan terpenting cara-cara perhitungan bunga
kredit sebagai berikut :165
1. Sliding rate, yaitu suatu rumus pembebanan bunga terhadap nilai pokok
pinjaman akan semakin menurun dari bulan ke bulan, sesuai dengan
menurunnya pokok pinjaman sebagai akibat adanya pembayaran cicilan
pokok pinjaman.
2. Flate rate, yaitu suatu rumus pembebanan bunga terhadap nilai pokok
jaminan akan tetapi dari satu periode ke periode lainnya, walaupun pokok
pinjaman menurun sebagai akibat adanya pembayaran cicilan pokok
pinjaman.
3. Floating rate, yaitu suatu cara penentuan bunga yang besarnya tidak
ditetapkan untuk suatu jangka waktu, namun diambangkan sesuai dengan
perkembangan tingkat bunga yang ada di pasar uang.
Mengenai jenis suku bunga mana yang diterapkan dalam suatu
perjanjian kredit haruslah diterangkan secara jelas dalam perjanjian kredit dan
debitur sesuai dengan haknya harus mendapat penjelasan mengenai jenis
bunga kredit yang diterapkan secara detail.
Apabila dicermati dalam KUH Perdata, tidak didapati pencantuman
klausula-klausula apa yang harus dituangkan dalam suatu perjanjian kredit.
Bahkan lembaga perjanjian kredit tidak dikenal dalam KUH Perdata.
Kebanyakan ahli berpendapat bahwa perjanjian kredit merupakan kekhususan
dari perjanjian pinjam meminjam.
Menurut Sunu Widi Purwoko, pada intinya suatu perjanjian kredit
harus memuat klausula-klausula berupa :166
a. Klausula-klausula yang lahir karena kesepakatan langsung kreditur dan
debitur;
165
H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit
Perbankan, Op.Cit, halaman 110. 166
Sunu Widi Purwoko, Op.Cit, halaman 12.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
66
b. Klausula-klausula standar yang berlaku di tempat kreditur dan disetujui
oleh kreditur dan debitur untuk masuk dalam perjanjian kredit.
Pendapat Sunu Widi Purwoko tersebut mengandung 2 (dua) hal yang
menurut peneliti adalah penting, yaitu :
a. Pemberian ruang negosiasi terbatas dalam perjanjian kredit atas hal-hal
yang tidak diatur sebagai klausula standar.
b. Pemilihan atas klausula-klausula standar apa saja yang ingin dimasukkan
sebagai klausula perjanjian kredit.
Dalam praktik, ruang negosiasi diberikan kreditur kepada calon
nasabah debitur hanya sebatas pemilihan atas jangka waktu pemberian kredit
yang sudah disusun dalam tabel, meliputi jangka waktu pengembalian kredit,
besaran kredit yang dapat disalurkan beserta rincian angsuran per bulan,
termasuk besaran angsuran pokok dan besaran angsuran bunga, juga atas
jaminan yang dipandang memiliki nilai sebanding dengan jumlah kredit yang
akan disalurkan. Sedangkan mengenai klausula-klausula standar, biasanya
tidak diberikan ruang negosiasi kecuali terhadap calon nasabah debitur
berkekuatan ekonomis kuat. Bagi calon nasabah debitur berkekuatan
ekonomis lemah, umumnya diperhadapkan pada pilihan take it or leave it.
Menurut Rachmadi Usman, idealnya suatu perjanjian kredit bank
minimal memuat klausula-klausula yang berhubungan dengan :167
1. Ketentuan mengenai fasilitas kredit yang diberikan, diantaranya tentang
jumlah maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk
kredit, dan batas izin tarik.
2. Suku bunga dan biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian
kredit, diantaranya bea meterai, provisi/commitment fee dan denda
kelebihan tarik.
3. Kuasa bank untuk melakukan pembebasan atas rekening giro dan/atau
rekening kredit penerima kredit untuk bunga denda kelebihan tarik dan
bunga tunggakan serta segala macam biaya yang timbul karena dan untuk
pelaksanaan hal-hal yang ditentukan yang menjadi beban penerima
kredit.
167
Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 334.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
67
4. Representation and warranties, yaitu pernyataan dari penerima kredit
atas pembebanan segala harta kekayaan penerima kredit menjadi jaminan
guna pelunasan kredit.
5. Conditions precedent, yaitu tentang syarat-syarat tangguh yang harus
dipenuhi terlebih dahulu oleh penerima kredit agar dapat menarik kredit
untuk pertama kalinya.
6. Agunan kredit dan asuransi barang-barang agunan.
7. Affirmative and negative covenant, yaitu kewajiban-kewajiban dan
pembatasan tindakan penerima kredit selama masih berlakunya penerima
kredit.
8. Tindakan-tindakan bank dalam rangka pengawasan dan penyelamatan
kredit.
9. Event of default/wanprestasi/cidera janji/trigger clauses/opeisbaar
clause, yaitu tindakan-tindakan bank sewaktu-waktu dapat mengakhiri
perjanjian kredit dan untuk seketika akan menagih semua utang beserta
bunga dan biaya lainnya yang timbul.
10. Pilihan domisili/forum/hukum apabila terjadi pertikaian di dalam
penyelesaian kredit dan nasabah penerima kredit.
11. Ketentuan mulai berlakunya perjanjian kredit dan penandatangan
perjanjian kredit.
Khusus mengenai klausa bunga kredit, dalam perjanjian kredit
biasanya ditetapkan perhitungan bunga kredit dihitung dari hari ke hari
terhadap outstanding kredit, juga ditetapkan pula secara spesifik saat bunga
itu harus dibayar (umumnya dibayar setiap bulan pada tanggal tertentu).168
Selanjutnya mengenai format perjanjian, KUH Perdata tidak
mensyaratkan format perjanjian sebagai syarat sahnya suatu perjanjian.
Apabila dicermati ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, ketentuan
tersebut hanya mencantumkan syarat kesepakatan para pihak secara sah
168
Sutan Remy Sjahdeini, Kredit Sindikasi Proses pembentukan dan Aspek
Hukum : Bab XI Perjanjian Kredit Sindikasi, sebagaimana termuat dalam Reading
Material Hukum Perbankan 1 yang dikumpulkan oleh Yunus Husen dan Zulkarnain
Sitompul, Op.Cit, halaman 128.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
68
dalam perjanjian sebagai syarat mengikatnya suatu perjanjian dan berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak.
Syarat kesepakatan para pihak tersebut, dalam hasil rumusan
pertemuan ilmiah tentang Perkembangan Hukum Kontrak Dalam Praktek
Bisnis di Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 22 Februari
1993, dirumuskan bahwa : perjumpaan kehendak antara kedua belah pihak
dalam perjanjian baku dapat dicapai dengan “diterimanya dokumen
perjanjian” yang disebut dalam perjanjian baku tersebut oleh pelanggan atau
nasabah, tanpa ada protes sewaktu menerima atau setelah beberapa lama
dengan waktu yang cukup untuk membaca perjanjian waktu terbatas.169
Meskipun Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tidak mensyaratkan
perlunya format perjanjian sebagai syarat sahnya perjanjian, namun format
perjanjian tetap menjadi bagian yang penting karena menjadi tempat
penuangan kesepakatan para pihak.170
Dalam format perjanjian akan
dituangkan klausula-klausula yang mengikat para pihak berdasarkan
kebijaksanaan yang diterapkan bank atas kredit tersebut dan juga sesuai
dengan jenis kreditnya. Karena itu tidaklah mengherankan apabila format
perjanjian masing-masing bank berbeda sebab format perjanjian itu sendiri
dipengaruhi oleh perbedaan jenis-jenis kredit dan juga dipengaruhi oleh
kebijaksanaan perkreditan yang ditentukan masing-masing bank secara
mandiri.171
Menurut H.M. Hazniel Harun, pada intinya format perjanjian kredit
bank terdiri atas 5 (lima) bagian, yaitu :172
- Bagian pertama isinya adalah para pihak yang tersangkut dalam perjanjian
tersebut beserta besarnya jumlah kredit dan lamanya jangka waktu kredit
beserta sewa modal dan provisi atas kredit tersebut.
169
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Pertemuan
Ilmiah Tentang Perkembangan Hukum Kontrak dalam Bisnis Di Indonesia, 1994, hal.83. 170
Sunu Widi Purwoko, Op.Cit, halaman 14. 171
H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit
Perbankan, Op.Cit, halaman 113. 172
H.M. Nazniel Harun, Aspek-Aspek Hukum Perdata Dalam Pemberian Kredit
Perbankan, Op.Cit, halaman 30.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
69
- Bagian kedua memuat ketentuan umum yang isinya adalah ketentuan-
ketentuan mengenai barang jaminan yang sifatnya adalah barang tak
bergerak.
- Bagian ketiga memuat ketentuan mengenai barang yang digadaikan
kepada bank (barang bergerak) dan gadai efek-efek.
- Bagian keempat memuat mengenai memindahkan piutang atas nama orang
(cessie).
- Bagian kelima memuat mengenai hal-hal lain/Pasal tambahan.
Dari sudut pandang yang berbeda, H.P. Panggabean mengelompokkan
format perjanjian kredit atas 3 (tiga) bagian, yaitu :173
1. Bagian pokok, berisi peminjaman uang, penentuan bunga, masa waktu dan
peruntukan kredit.
2. Bagian tambahan, berisi syarat-syarat peminjaman uang.
3. Bagian khusus, berisi syarat-syarat eksonerasi.
Apabila dibandingkan pengelompokan format perjanjian kredit
menurut H.P. Panggabean dengan pengelompokkan format kredit menurut
H.M. Haziel Harun, terlihat bahwa H.P. Panggabean ingin menonjolkan
terdapatnya bagian khusus yang berisi syarat-syarat eksonerasi dalam
perjanjian kredit perbankan.
Syarat-syarat eksonerasi yang acap kali termuat dalam perjanjian baku
antara lain dalam bentuk pembebasan sama sekali dari tanggung jawab yang
harus dipikul oleh pihak kreditur apabila terjadi wanprestasi, dapat pula
berbentuk pembatasan jumlah ganti rugi yang dapat dituntut oleh debitur,
dapat pula berbentuk pembatasan waktu bagi orang yang dirugikan untuk
dapat mengajukan gugatan atau ganti rugi.174
Penulis Engels juga memaparkan bahwa secara umum syarat-syarat
eksonerasi dituangkan dalam tiga bentuk yuridis, yaitu :175
173
H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit
Perbankan, Op.Cit, halaman 112. 174
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 85. 175
H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit
Perbankan, Op.Cit, halaman 85-86.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
70
a. Bentuk bahwa tanggung jawab untuk akibat hukum karena tidak atau
kurang baik memenuhi kewajiban-kewajiban, dikurangi atau dihapuskan
(misalnya ganti kerugian dalam hal ingkar janji).
b. Bentuk bahwa kewajiban-kewajiban sendiri, yang biasanya dibebankan
pada pihak untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan (misalnya
perluasan pengertian keadaan darurat).
c. Bentuk bahwa kewajiban-kewajiban dicipta (syarat-syarat pembebasan-
vrijwaring bedigen); salah satu pihak dibebankan dengan kewajiban untuk
memikul tanggung jawab pihak lain yang mungkin ada untuk kerugian
yang diderita oleh pihak ketiga.
Klausula eksonerasi ini akan membatasi tanggung jawab pihak apabila
dikemudian hari terdapat gugatan dari pihak lain, karena wanprestasi.176
Selain modus di atas, menurut Munir Fuady, klausula eksonerasi
dalam perjanjian kredit juga dapat berwujud sebagai berikut :177
1. Dicetak dengan huruf kecil.
2. Bahasa yang tidak jelas artinya.
3. Tulisan yang kurang jelas dan susah dibaca.
4. Kalimat kompleks.
5. Bahkan, ada perjanjian baku yang tidak berwujud (seperti perjanjian
tersamar).
6. Kalimat ditempatkan pada tempat-tempat yang kemungkinan besar tidak
dibacakan oleh satu pihak.
Secara umum isi model perjanjian kredit yang berlaku di bank-bank
umum tidak mencantumkan suatu ketentuan yang memberikan perlindungan
bagi nasabah debitur. Bahkan dalam proses pra negosiasi maupun pada proses
penandatanganan perjanjian kredit pihak bank lebih menekankan syarat-
syarat yuridis dan/atau syarat-syarat ekonomis yang harus dipenuhi debitur.178
176
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 337. 177
Ibid, halaman 325. 178
H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit
Perbankan, Op.Cit, halaman 116.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
71
Bahkan pihak debitur berada dalam kedudukan yang tidak seimbang dalam
negosiasi mendapatkan fasilitas kredit bank.179
Klausula-klausula yang memberatkan pihak nasabah debitur tersebut
merupakan pelanggaran atas pelarangan pencantuman klausula tertentu dalam
perjanjian kredit sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat 1 g Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai berikut :180
a. Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan kemudian secara sepihak oleh bank,
baik mengenai penetapan bunga, biaya, ongkos, denda kurs, termasuk
pemberlakuan ketentuan yang sudah ada maupun yang akan berlaku
dikemudian hari.
b. Persyaratan-persyaratan dan atau tindakan-tindakan dan atau bukti-bukti
yang secara sepihak ditetapkan oleh bank.
c. Ketentuan-ketentuan yang mempunyai pengertian sangat luas, misalnya
kata-kata “termasuk tetapi tidak terbatas pada”.
Kedudukan yang tidak seimbang menjadikan pihak yang memiliki
posisi tawar yang lebih kuat dapat menekan pihak yang posisi tawarnya lebih
lemah yaitu memaksakan isi kontrak sesuai keinginannya yang merugikan
pihak dengan posisi tawar yang lebih lemah tersebut. Idealnya, para pihak
dalam kontrak harus memiliki posisi tawar yang seimbang dimana kebebasan
berkontrak yang sebenarnya akan eksis jika para pihak memiliki
keseimbangan secara ekonomi dan sosial.181
Ketidakseimbangan kedudukan para pihak tersebut dapat dilihat pada
ketentuan yang memihak pada kepentingan bank, yaitu :182
1. Ketentuan yang memberikan kewenangan bagi bank melaksanakan isi
model perjanjian kredit, antara lain :
- Menghentikan hubungan perjanjian secara sepihak.
- Menghentikan pencairan dana meskipun plafon kredit belum ditarik
seluruhnya.
- Menentukan sendiri barang jaminan.
179
Ibid, halaman 119. 180
Try Widiyono, Op.Cit, halaman 73. 181
Ridwan Khairandy, Op.Cit, halaman 123. 182
H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit
Perbankan, Op.Cit, halaman 117.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
72
- Menjual sendiri barang jaminan.
2. Ketentuan yang membebani debitur melaksanakan isi model perjanjian
kredit, antara lain :
- Mengurus barang jaminan.
- Memikul berbagai jenis biaya-biaya sehubungan penggunaan fasilitas
kredit.
Dengan model perjanjian kredit tersebut yang memberikan
perlindungan dominan kepada kepentingan bank, sudah tentu tidak
memberikan keseimbangan dalam perjanjian kredit. Isi model perjanjian
kredit yang lebih memihak pada perlindungan kepentingan kreditur jelas
memberikan ketidakadilan bagi pihak debitur, padahal dapat saja terjadi
kesalahan bersama dalam pelaksanaan perjanjian kredit, atau justeru
kesalahan tersebut bersumber dari pihak bank selaku kreditur.
Atas kesalahan bersama dalam pelaksanaan perjanjian kredit, idealnya
ditanggung secara bersama-sama. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1887K/Pdt/1986 yang menyatakan :
sesuai asas keadilan adalah adil bila resiko yang timbul akibat kesalahan
bersama ditanggung secara bersama. Dengan demikian, perlindungan
kepentingan haruslah disepakati secara berimbang yang dituangkan dalam
perjanjian kredit.183
Meskipun secara umum klausula yang termuat dalam perjanjian kredit
bank dianggap tidak mengindahkan unsur keseimbangan perlindungan
kepentingan para pihak, bahkan dianggap tidak adil bagi debitur, namun
apabila ditilik dari kepentingan pihak bank guna melindungi dana
nasabahnya, dapat dimaklumi apabila pihak bank menerapkan syarat yang
ketat seolah-olah memihak pada kepentingan pihak bank.
Upaya pihak bank melindungi dana nasabah dapat dilihat dari klausula
yang lazim termuat dalam perjanjian kredit sebagai berikut :
183
Mahkamah Agung RI, Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam
Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 1969 – 2001, diterbitkan tahun 2002.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
73
Selama debitur masih memiliki kewajiban membayar kepada kreditur,
maka tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari kreditur, debitur
dilarang :
a. Memperoleh pinjaman baru atau mengakibatkan debitur menjadi
berutang baik secara langsung maupun tidak langsung.
b. Meminjamkan uang termasuk tetapi tidak terbatas kepada
perusahaan afiliasinya, kecuali untuk utang dagang.
c. Membubarkan debitur atau memohon debitur agar dinyatakan pailit
atau melakukan perubahan atas bidang usaha.184
Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa tidak dapat dianggap
bertentangan dengan ketertiban umum dan keadilan apabila di dalam
perjanjian kredit dimuat klausul yang dimaksudkan justeru untuk
mempertahankan atau melindungi eksistensi bank atau bertujuan untuk
melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang moneter, misalnya :
1. Berdasarkan pertimbangan demi menghindari keadaan likuid yang dapat
membahayakan eksistensi bank atau membahayakan kepentingan para
nasabah penyimpan dana mengingat pada saat itu bank sudah diambang
keadaan yang likuid, dengan tidak perlu memberitahukan terlebih dahulu
kepada nasabah debitur, bank berhak untuk menolak penarikan kredit yang
masih dalam batas izin tariknya.
2. Bank tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang diderita
oleh nasabah debitur yang diakibatkan oleh penolakan penarikan kredit
itu.185
Di sisi lainnya, ketika perjanjian kredit telah ditandatangani dan dana
telah dikucurkan justru terjadi pergantian kekuatan kedudukan para pihak
dimana pihak bank menjadi pihak yang lebih lemah ketimbang nasabah
debitur terutama jika nasabah debitur melakukan cidera janji atau dalam
keadaan kredit macet. Kedudukan itu akan terus dialami pihak bank selama
tagihan terhadap debitur belum dapat dilunasi.186
Karena itu, suatu perjanjian
kredit haruslah memperhitungkan keadaan-keadaan debitur dan kreditur
184
Sunu Widi Purwoko, Op.Cit, halaman 13. 185
Sutan Remy Sjahdeini, Ibid, halaman 202. 186
H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit
Perbankan, Op.Cit, halaman 128.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
74
selama proses pembuatan perjanjian kredit maupun setelah dikucurkannya
dana kredit.
Selain itu, oleh karena perjanjian kredit bank dan perumusan klausula-
klausula di dalamnya sangat tergantung dari kebutuhan calon nasabah debitur
secara pribadi dan bank harus dapat mengantisipasinya secara cepat, maka
perumusan klausula perjanjian kredit bank harus dapat dinegosiasikan oleh
kedua belah pihak dan perundang-undangan harus menentukan batasan-
batasan klausul yang boleh maupun yang dilarang dicantumkan dalam
perjanjian kredit sebagai kaidah hukum yang sifatnya mengatur (aanvullend,
optional) saja.187
Artinya, perjanjian kredit bank tidak sepenuhnya merupakan
perjanjian baku.188
Sebagaimana dikemukakan di atas, faktor utama munculnya klausula
eksonerasi dalam perjanjian kredit karena tidak adanya ruang negosiasi.
Ketiadaan ruang negosiasi sudah tentu merupakan pengekangan atas
kebebasan berkontrak yang meliputi :189
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian;
3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang
akan dibuatnya;
4. Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian;
5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional (aanvullend, optional).
Kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan yang absolut tetapi harus
dimaknai sebagai kebebasan dari kesewenang-wenangan atau dari
pembatasan yang tidak beralasan, dan bukan berarti kekebalan terhadap
tindakan pengaturan demi melindungi kepentingan masyarakat.
187
Pendapat Johanes Ibrahim sebagaimana dikutip oleh Djoni S. Gazali dan
Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 327. 188
Ibid. 189
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 54.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
75
Dalam kebebasan berkontrak maka masing-masing pihak harus saling
menghargai kepentingan pihak mitra perjanjian dan menghindari pemaksaan
kehendak. Sedapat mungkin klausula yang tercantum dalam formulir
perjanjian dapat diubah atas kehendak bersama kedua belah pihak dan karena
itu formulir perjanjian haruslah dipandang sebagai draft perjanjian kredit.
Draft tersebut harus dapat di-review untuk disesuaikan dengan status hukum
debitur, jenis kredit, jaminan yang diagunkan, dan isi lainnya dari offering
letter kepada calon debitur.190
Kesepakatan para pihak atas klausula yang diperjanjikan merupakan
tanda lahirnya suatu perjanjian kredit. Perjanjian kredit dianggap telah lahir
dan mengikat kreditur dan debitur terhitung semenjak tercapainya secara sah
kesepakatan kreditur dan debitur, antara lain mengenai jumlah uang yang
akan diutangkan kreditur, jangka waktu pembayaran utang, bunga utang dan
jaminan utang yang mulai mengikat sejak tanggal ditandatanganinya
perjanjian kredit tersebut.191
Kesepakatan para pihak mengenai klausula perjanjian, dalam praktik
selalu ditandai dalam bentuk pemarafan pada setiap lembaran perjanjian
kredit. Hal ini bertujuan bahwa dengan telah diparaf atau ditandatangani
setiap lembaran formulir perjanjian kredit menunjukkan persetujuan para
pihak akan isi dari setiap lembaran formulir perjanjian kredit dimana
perjanjian tersebut telah dilandaskan pada kesepakatan bersama tanpa ada
paksaan, penipuan, atau kekhilafan. Jika tidak diparaf, dapat dijadikan alasan
dikemudian hari oleh salah satu pihak untuk mempertanyakan keabsahan isi
perjanjian.192
Pemarafan tersebut hanyalah suatu kebiasaan dalam praktik
perjanjian kredit di bank dan bukan suatu perintah undang-undang. Meskipun
demikian, lazimnya pemarafan tersebut dianggap sebagai bukti kesepakatan.
Terhadap asumsi mengenai pemarafan tersebut, dapat diajukan tiga
pertanyaan, yaitu :193
190
Sunu Widi Purwoko, Op.Cit, halaman 35. 191
Ibid, halaman 10. 192
Ibid, halaman 37. 193
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 89.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
76
1. Apakah ada kewajiban hukum bagi seseorang untuk membaca dan
memahami satu per satu syarat-syarat dari suatu perjanjian baku dimana
yang bersangkutan menjadi pihak ?
2. Apakah akibatnya apabila yang bersangkutan tidak membaca (dengan
demikian tidak pernah memahami) isi perjanjian baku tersebut dan
kemudian ternyata ada ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat dari
perjanjian baku itu, yang secara tidak adil sangat memberatkan dan
merugikan pihaknya ?
3. Apakah akibatnya apabila yang bersangkutan memang telah membacanya
tetapi ternyata tidak memahami isi perjanjian itu, karena sifatnya yang
sangat teknis bagi seorang awam, dan ternyata isinya banyak mengandung
klausula-klausula yang memberatkan yang secara tidak adil telah sangat
merugikan pihaknya ?
Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, Sutan Remy Sjahdeini sampai
pada kesimpulan bahwa pada umumnya tidak mungkin bagi pengadilan
membebaskan pihak-pihak yang telah membubuhkan tanda tangannya pada
perjanjian yang dimaksud dari keterikatannya terhadap perjanjian itu kecuali
apabila terdapat fraud, misrepresentation atau plea of non est factum.
Menurut Calamari dan Perillo, bahwa tak mungkin akan ada seorangpun yang
dapat mempercayai suatu dokumen yang telah ditandatangani apabila pihak
yang lain dapat menghindarkan diri dari transaksi yang bersangkutan dengan
hanya mengemukakan bahwa pihaknya belum pernah membaca atau tidak
memahami tulisan dalam dokumen tersebut.194
Menurut penulis, asumsi demikian tidak dapat diberlakukan untuk
semua perjanjian kredit. Hanya perjanjian kredit yang memberi ruang
negosiasi yang cukup saja yang dapat diterapkan asumsi demikian.
Sedangkan bagi perjanjian kredit bank yang pada umumnya mengandung
klausula baku yang sulit dinegosiasikan tidak dapat disamakan atau terikat
dengan asumsi demikian, karena diparafnya atau ditandatanganinya
perjanjian kredit belum tentu berlandaskan pada kesepakatan bersama
194
Ibid, halaman 91.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
77
melainkan bisa saja berdasarkan keterpaksaan pihak calon nasabah debitur
yang berada dalam tekanan ekonomi maupun tekanan kejiwaan.
Perjanjian kredit baku yang tidak dapat dinegosiasikan merupakan
perjanjian kredit yang didasarkan atas kehendak satu pihak saja yaitu pihak
bank. Karena itu, untuk menilai apakah suatu perjanjian kredit bank
didasarkan atas kehendak bersama atau kehendak sepihak, hakim dapat
mencermatinya dari indikasi sebagai berikut :195
a. Adanya syarat-syarat yang diperjanjikan, yang sebenarnya tidak masuk
akal atau yang tidak patut atau yang bertentangan dengan perikemanusiaan
(onredelijke contractsvoorwaarden atau unfair contract term).
b. Tampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan
(dwang positie).
c. Apabila terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan-pilihan
lain kecuali mengadakan perjanjian a quo dengan syarat-syarat yang
memberatkan.
d. Nilai dari hasil perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau
dibandingkan dengan prestasi timbal balik daripada bank.
Sebagaimana perjanjian pada umumnya, terhadap perjanjian kredit
yang tidak memenuhi syarat Pasal 1320 KUH Perdata wajib dan atau dapat
berakibat batal demi hukum atau dibatalkan.
Terhadap perjanjian kredit yang tidak memenuhi syarat subyektif,
yaitu terdapatnya kesepakatan sepihak dalam perjanjian kredit, atau
terdapatnya fraud, misrepresentation atau plea of non est factum dalam
perjanjian kredit, atau terdapatnya klausula baku yang memberatkan salah
satu pihak, atau terdapatnya kesepakatan yang tidak wajar dan bertentangan
dengan hukum, kepatutan, ketelitian, kehati-hatian, kesusilaan, dan keadilan
dan atau terjadi kesalahan pihak yang membuat perjanjian kredit atau pihak
yang membuat perjanjian kredit tidak cakap hukum, atau pihak yang
membuat perjanjian kredit tidak berwenang secara hukum, maka perjanjian
kredit tersebut dapat dibatalkan apabila salah satu pihak menginginkannya.
195
Pendapat Setiawan sebagaimana dikutip oleh H.P. Panggabean, Praktik
Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Op.Cit, halaman 94.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
78
Untuk itu dapat dicermati kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor : 3909K/Pdt/1994 yang menyatakan : Tidak adanya kata
sepakat mengenai jumlah utang dan barang jaminan dalam perjanjian kredit
adalah cacat hukum dan karenanya tidak sah.196
Sebagai pembanding, dapat
pula dilihat kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor :
1721K/Pdt/1996 yang menyatakan : Apa yang telah disepakati oleh debitur
dalam perjanjian kredit wajib dipenuhi dan peranan kantor akuntan
dibenarkan Mahkamah Agung.197
Terhadap perjanjian kredit yang tidak memenuhi syarat obyektif, yaitu
mengenai suatu sebab tertentu yang tidak bernilai ekonomis atau yang tidak
dapat ditaksir harganya, dan atau terhadap sesuatu sebab yang dilarang oleh
hukum, kepatutan, ketelitian, kehati-hatian, kesusilaan, maka perjanjian kredit
tersebut wajib dinyatakan batal demi hukum jika pihak yang dirugikan
memintakan pembatalannya kepada hakim. Batal demi hukum dapat
diartikan bahwa dari semula tidak pernah disepakati suatu perjanjian dan
tidak pernah timbul perikatan diantara para pihak.198
Selain pembatalan perjanjian kredit karena tidak memenuhi syarat
Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian kredit juga dapat menjadi batal
oleh karena salah satu pihak ingkar janji, cidera janji atau melakukan
wanprestasi. Untuk dinyatakan terdapatnya ingkar janji, cidera janji atau
melakukan wanprestasi, maka pihak yang merasa dirugikan dapat
mengajukan gugatan wanprestasi kepada hakim untuk diadili persengketaan
diantara mereka.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, pemberian kredit begitu penting
dan memberikan multi manfaat bagi masyarakat. Meskipun demikian,
pemberian kredit tidak terlepas dari dampak-dampak negatif diantaranya
sebagai berikut :199
1. Bisa membuat masyarakat menjadi konsumtif, karena kemudahan-
kemudahan dalam pemberian kredit.
196
Mahkamah Agung RI, Op.Cit. 197
Ibid. 198
Sunu Widi Purwoko, Op.Cit, halaman 8. 199
H.M. Nazniel Harun, Aspek-Aspek Hukum Perdata Dalam Pemberian Kredit
Perbankan,Op.Cit, halaman 14.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
79
2. Bisa menambah laju inflasi dimana peredaran uang secara fiktif akan
semakin cepat yang mengakibatkan permintaan suatu barang semakin
meningkat cepat yang mengakibatkan naiknya harga barang sedangkan
jumlah uang dimasyarakat tidak bertambah.
3. Bisa juga membahayakan kesehatan bank dimana semakin tingginya kredit
dikucurkan bank maka semakin tinggi pula resiko yang dihadapi bank.
Dampak negatif tersebut pada umumnya tidak diperhitungkan oleh
calon nasabah debitur. Bagi calon nasabah debitur yang difikirkan adalah
bagaimana caranya memperoleh kredit untuk mengatasi kebutuhan dananya.
Keadaan calon nasabah debitur yang demikian seringkali dimanfaatkan oleh
kreditur untuk menekan kejiwaan calon nasabah debitur. Disisi lainnya,
terkadang nasabah debitur “nakal” menjadikan keadaan kebutuhan ekonomi
mendesak sebagai alasan adanya paksaan dalam menyepakati perjanjian
kredit.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
80
BAB 3
KEDUDUKAN ASAS KESEIMBANGAN
DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal200
dengan mendasarkannya pada prinsip saling percaya untuk menepati janji.
Perjanjian yang didasarkan pada prinsip saling percaya tidak cukup hanya
dilakukan secara lisan dan karena itu dibutuhkan wadah untuk menuangkan
perjanjian secara tertulis.
Perjanjian tertulis (kontrak) memiliki arti penting bagi para pihak yaitu :201
a. Sebagai wadah bagi para pihak dalam menuangkan hak dan kewajiban
masing-masing (bertukar konsesi dan kepentingan).
b. Sebagai bingkai aturan main.
c. Sebagai alat bukti adanya hubungan hukum.
d. Menjamin kepastian hukum.
e. Menunjang iklim bisnis yang konduktif (win-win solution, efisiensi-profit).
Sangat berartinya perjanjian tertulis bagi para pihak telah mendorong para
pihak menaruh harapan yang besar pada diberlakukannya perjanjian tertulis dalam
fungsi dan peranannya yaitu :202
a. Wajib untuk dilaksanakan (memaksa) serta memberikan perlindungan
terhadap suatu pengharapan yang wajar.
b. Berupaya mencegah terjadinya suatu penambahan kekayaan secara tidak adil.
c. Bertujuan untuk mencegah terjadinya kerugian tertentu dalam hubungan
kontraktual.
Berdasarkan fungsi dan peranan di atas, maka perjanjian tertulis dapat
digunakan para pihak untuk mengawasi tindakan pihak lainnya agar taat dan
tunduk pada isi perjanjian. Ketidaktaatan salah satu pihak pada isi perjanjian akan
merugikan kepentingan pihak lainnya.
200
Subekti, Hukum Perjanjian, Op.Cit, halaman 1. 201
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, halaman 100. 202
P.S. Atiyah dalam Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, halaman 98.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
81
Ketidaktaatan pada isi perjanjian yang berpengaruh pada kerugian yang
dialami pihak terugi mencerminkan bahwa perjanjian merupakan alat yang
digunakan para pihak untuk mencapai tujuan. Hal ini karena masing-masing pihak
dalam perjanjian memiliki kepentingan dimana kepentingan tersebut tidak dapat
dicapai secara sendiri-sendiri dan memerlukan perjanjian untuk memenuhi
kepentingannya. Dengan demikian dalam perjanjian terdapat hubungan saling
ketergantungan kepentingan.
Kepentingan para pihak dalam perjanjian kredit bank dapat dideskripsikan
dalam bentuk kepentingan pihak nasabah debitur untuk memperoleh pinjaman
modal yang besar dan kepentingan bank kreditur untuk memperoleh keuntungan
yang besar dari bunga kredit yang ditariknya atas modal yang dipinjamkan kepada
nasabah debitur. Kepentingan nasabah debitur dan bank kreditur tersebut tidak
akan terpenuhi apabila tidak dilakukan perjanjian kredit diantara mereka. Dalam
hubungan ketergantungan, apabila bank kreditur tidak memenuhi prestasinya
maka akan mendatangkan kerugian bagi nasabah debitur, demikian sebaliknya.
Hubungan saling ketergantungan diantara bank kreditur dengan nasabah
debitur dalam memenuhi kepentingannya, mengharuskan penyelarasan
kepentingan-kepentingan para pihak agar kepentingan salah satu pihak tidak
mendominasi kepentingan pihak lainnya. Hal ini penting mengingat jika
terjadinya dominasi kepentingan maka kepentingan pihak terdominasi tidak akan
terpenuhi dan dengan demikian tujuan diilakukannya perjanjian yaitu agar
bersama-sama dapat memenuhi kepentingannya tidak akan terwujud. Dengan
demikian kepentingan pihak yang berposisi lebih tinggi tidak boleh mendominasi
kepentingan pihak lainnya dan harus diseimbangkan sebagaimana dimaksudkan
Roscoe Pound bahwa hukum itu keseimbangan kepentingan. Hukum tidaklah
menciptakan kepuasan tetapi hanya memberi legitimasi atas kepentingan manusia
untuk mencapai kepuasan tersebut dalam keseimbangan.203
Berpijak pada pengertian hukum menurut Roscoe Pound tersebut, jika
diterapkan dalam perjanjian kredit bank, maka keadaan tidak terdapatnya
keseimbangan kepentingan pihak bank kreditur dengan pihak nasabah debitur
203
Lihat pendapat Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y.
Hage sebagaimana telah dikemukakan dalam bab 1 bagian kerangka teori penelitian ini.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
82
dalam perjanjian kredit bank menunjukkan tidak terdapatnya hukum dalam
perjanjian kredit tersebut dan karena itu perjanjian kredit bank yang demikian
tidak memenuhi syarat pemberlakuan sebagai undang-undang bagi para pihak dan
tidak dapat memaksa para pihak untuk tunduk pada perjanjian kredit bank
tersebut. Perjanjian kredit bank yang tidak berlaku sebagai hukum tidak memiliki
kekuatan hukum dan karena itu harus dibatalkan.
Perjanjian kredit bank merupakan perjanjian pendahuluan yang bersifat
konsensuil sedangkan penyerahan uangnya bersifat riil.204
Perjanjian kredit bank
disebut sebagai perjanjian pendahuluan karena perjanjian kredit bank merupakan
awal dari suatu transaksi perkreditan bank, sedangkan bersifat konsensuil karena
perjanjian kredit bank pada umumnya didasarkan pada konsensus atau
kesepakatan para pihak yang dilandasi kepercayaan para pihak satu sama lainnya.
Dalam keadaan demikian meskipun perjanjian kredit bank telah disetujui namun
nasabah debitur tidak dapat dengan segera mencairkan pinjamannya sebab antara
kesepakatan dan penyerahan uang terdapat waktu tunggu yang menangguhkan
kesempurnaan perjanjian kredit bank.205
Produk perkreditan bank adalah salah satu bentuk implementasi fungsi
intermediasi bank. Pada intinya, fungsi intermediasi bank berhubungan dengan
keberadaan bank sebagai lembaga penghimpun dana nasabah dan sekaligus
menyalurkannya guna memperoleh sejumlah bunga, imbalan atau bagi hasil.
Dalam menyalurkan dana nasabah melalui produk perkreditan, pihak bank
melakukannya dengan cara mengadakan perikatan dengan nasabah debitur yang
memerlukan dana melalui lembaga perjanjian kredit bank.
Perjanjian kredit bank206
adalah perjanjian antara bank sebagai kreditur
dengan nasabah sebagai debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang
204
Lukman Santoso AZ, Op.Cit, halaman 60. 205
Ibid, halaman 61. 206
Salah satu hal yang membedakan perjanjian kredit bank dengan perjanjian
kredit lainnya adalah obyek perjanjian kredit. Obyek dalam perjanjian kredit bank
bukanlah barang dalam arti harafiah melainkan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan uang, sehingga yang dimaksudkan “memberikan sesuatu” sesuai
Pasal 1234 KUH Perdata sebagai obyek perjanjian, dalam konteks perjanjian kredit bank
diartikan sebagai memberikan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan uang.
Uang atau tagihan sebagai obyek kredit bank berkaitan dengan fungsi intermediasi bank
sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
83
dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah debitur untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga, imbalan atau
pembagian hasil keuntungan. Hakekatnya, perjanjian kredit bank merupakan
perhubungan hukum antara kreditur dengan debitur berdasarkan atas suatu janji
untuk melakukan prestasi dan masing-masing pihak berhak menuntut pelaksanaan
prestasi yang dijanjikan.207
Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik unsur-unsur perjanjian kredit
bank sebagai berikut :
1. Subyek perjanjian kredit adalah bank selaku kreditur dan nasabah selaku
debitur.
2. Obyek perjanjian kredit adalah uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan uang.
3. Dalam perjanjian kredit terkandung hak dan kewajiban.
4. Adanya batasan waktu tertentu yang disepakati untuk pelunasan utang.
Unsur “subyek perjanjian kredit” berkaitan dengan syarat kecakapan
bertindak secara hukum dan syarat kewenangan bertindak oleh hukum. Syarat
kecakapan bertindak berkaitan dengan kedewasaan, keadaan kejiwaan dan
kemampuan bertindak, sedangkan syarat kewenangan bertindak berkaitan dengan
keadaan-keadaan tertentu sebagai bentuk larangan bertindak oleh hukum. Tentang
syarat subyek hukum ini yang bertindak sebagai pihak kreditur adalah bank
sedangkan sebagai pihak debitur adalah nasabah.
Berkaitan dengan unsur “hak dan kewajiban” yang harus termuat dalam
perjanjian kredit bank, terkandung hak pihak bank untuk menerima pelunasan
utang dengan sejumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan dan
kewajiban pihak bank untuk menyediakan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan uang sebagai utang. Pembebanan kewajiban kepada bank
untuk menyediakan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan uang,
disebabkan kedudukan yang dimiliki oleh bank sebagai :208
a. Pencipta uang (uang kartal dan uang giral),
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Lihat Undang-Undang RI nomor
10 Tahun 1998 tentang Perbankan.) 207
Bandingkan dengan Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, halaman 7. 208
Lukman Santoso AZ, Op.Cit, halaman 32.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
84
b. Penyalur simpanan-simpanan dari masyarakat, dan
c. Badan yang berfungsi sebagai perantara dalam menerima dan membayar
transaksi dagang di dalam negeri maupun di luar negeri.
Hak dan kewajiban pihak bank berlaku kebalikannya bagi pihak nasabah
debitur. Hak dan kewajiban masing-masing pihak akan saling mempengaruhi
pemenuhan prestasi dalam perjanjian kredit bank dan memberikan hak tagih209
pada masing-masing pihak terhadap pihak lainnya untuk memenuhi prestasinya.
Penggunaan hak tagih berkaitan dengan batasan waktu tertentu yang
disepakati untuk pelunasan utang, yaitu berkaitan dengan jatuh tempo untuk
menentukan batasan waktu maksimal debitur mengembalikan utangnya dan
sebagai titik awal dapat dilakukannya penagihan apabila debitur lalai
melaksanakan kewajibannya atau sebagai patokan pemberitahuan kepada debitur
mengenai akan jatuh temponya suatu tagihan. Hak tagih merupakan sarana yang
diberikan KUH Perdata untuk menyeimbangkan pelaksanaan perjanjian.
Dalam praktik perbankan di Indonesia, umumnya perjanjian kredit yang
digunakan berbentuk baku atau standar atau adhesi yang sifatnya membatasi asas
kebebasan. Pembatasan asas kebebasan berkontrak ini sangat berkaitan dengan
kepentingan umum sehingga diperlukan pengaturannya dalam undang-undang
atau setidak-tidaknya diawasi oleh pemerintah.210
Menurut Hondius, suatu perjanjian baku biasanya mengandung syarat-
syarat baku berupa syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa
perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tertentu, tanpa
merundingkan lebih dulu isinya.211
Dengan demikian suatu perjanjian baku dapat
mengandung klausula eksonerasi yang dianggap sebagai klausula yang berat
sebelah dan tidak adil sebab mengucilkan hak pihak nasabah debitur dan lebih
melindungi hak bank kreditur.
209
Penagihan dapat diartikan sebagai pemberitahuan oleh pihak berhak kepada
pihak berwajib bahwa pihak pertama ingin supaya pihak kedua melaksanakan janji, yaitu
dengan segera atau pada suatu waktu yang disebutkan dalam perjanjian itu. (Wirjono
Prodjodikoro, Op.Cit, halaman.50). 210
Mariam Darus Badrulzaman, Kerangka Dasar Hukum Perjanjanjian
(Kontrak), sebagaimana terangkum dalam Hukum Kontrak di Indonesia (Seri Dasar
Hukum Ekonomi 5) yang diterbitkan oleh ELIPS, 1998, halaman 1. 211
Purwahid Patrick, Perjanjian Baku dan Penyalahgunaan Keadaan,
sebagaimana terangkum dalam Hukum Kontrak di Indonesia (Seri Dasar Hukum
Ekonomi 5) yang diterbitkan oleh ELIPS, 1998, halaman 146.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
85
Memang disatu sisi terlihat bahwa klausula eksonerasi adalah klausula
yang tidak adil bagi penerima pinjaman atau nasabah debitur. Namun disisi
lainnya, pencantuman klausula secara sepihak memberikan keuntungan bagi
pemberi pinjaman atau kreditur dalam melindungi modal kreditur dari
ketidaksungguhan debitur melaksanakan isi perjanjian. Fakta yang perlu
diperhitungkan, dalam keadaan suatu perjanjian telah ditetapkan maka kreditur
berada dalam posisi yang lemah dan debitur berada dalam posisi yang kuat, sebab
ketergantungan pihak kreditur kepada debitur dalam hal pengembalian pinjaman
sangatlah tinggi.
Dengan demikian, meskipun klausula eksonerasi dianggap sebagai faktor
yang mempengaruhi ketidakseimbangan perjanjian kredit bank, namun kita masih
perlu mencerna maksud dari para pihak (khususnya pihak bank kreditur)
mencantumkan klausula eksonerasi tersebut. Walaupun terbaca secara kasat mata
klausula tersebut sebagai klausula eksonerasi akan tetapi tidak dapat secara serta
merta kita menggolongkannya sebagai klausula eksonerasi. Sebab itu, penilaian
atas klausula perjanjian kredit bank untuk menggolongkannya apakah tergolong
sebagai klausula eksonerasi selain dari segi pertentangan dengan hukum juga
patut dicermati dari segi kelayakan atau kepatutan.
Umumnya perjanjian kredit bank yang mengandung klausula eksonerasi
adalah perjanjian kredit yang tidak seimbang. Hubungan atau keadaan yang tidak
seimbang dalam perjanjian kredit bank menjadikan ketentuan dalam perjanjian
kredit bank tersebut menjadi tidak patut atau tidak adil. Ketidakpatutan atau
ketidakadilan yang terjadi pada suatu hubungan para pihak yang tidak seimbang
dinamakan undue influence, sedangkan ketidakpatutan atau ketidakadilan terjadi
pada suatu keadaan (bukan hubungan) yang tidak seimbang dinamakan
unconscionability.212
Terhadap hubungan atau keadaan ketidakseimbangan dalam perjanjian
kredit bank, diperlukan kehadiran asas keseimbangan untuk menyeimbangkan
kepentingan para pihak yang terikat pada perjanjian kredit tersebut. Dalam hal ini,
asas keseimbangan adalah keadaan hening atau keselarasan karena dari pelbagai
212
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta : 1996, halaman 113.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
86
gaya yang bekerja tidak satupun mendominasi yang lainnya atau karena tidak satu
elemen menguasai yang lainnya.213
Daya kerja asas keseimbangan yang optimal akan menyeimbangkan
kepentingan pihak-pihak, memberikan hukum yang ideal bagi para pihak dan
memberikan keadilan dalam perjanjian kredit bank. Karena itu perjanjian kredit
bank haruslah diuji keseimbangannya dimana untuk menguji apakah suatu
perjanjian kredit bank telah seimbang ataukah tidak dapat dilakukan dengan
memperhatikan 3 (tiga) aspek penguji asas keseimbangan, yaitu :214
1. Perbuatannya sendiri atau pelaku individual.
2. Isi kontrak.
3. Pelaksanaan dari apa yang telah disepakati.
Hal yang selalu dikedepankan berkaitan dengan keseimbangan dalam
menyusun perjanjian kredit bank adalah kebebasan berkontrak para pihak dalam
menetapkan klausula perjanjian. Tentang kebebasan berkontrak, Ridwan
Khairandy mengemukakan bahwa pada dasarnya kebebasan berkontrak dapat
dimaknai dalam dua segi yaitu makna kebebasan berkontrak yang positif dimana
para pihak memiliki kebebasan untuk membuat kontrak yang mengikat yang
mencerminkan kehendak bebas para pihak, dan kebebasan berkontrak dalam
makna negatif yaitu para pihak bebas dari suatu kewajiban sepanjang kontrak
yang mengikat itu tidak mengatur.215
Kebebasan berkontrak memiliki ruang lingkup berupa kebebasan
melakukan perjanjian dengan siapa saja dan mengenai apa saja yang tidak
bertentangan dengan hukum, kepatutan dan kesusilaan serta ruang lingkup
kewajiban tunduk pada apa yang diperjanjikan. Ruang lingkup tersebut bertalian
dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat dari suatu
perjanjian. Ruang lingkup tersebut adalah sesuai dengan Article 1.1 UNIDROIT
yang berbunyi : “The parties are free to enter into a contract and to determine its
content”.216
213
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, halaman 5. 214
Herlien Budiono, Op.Cit, halaman 334. 215
Ridwan Khairandy, Op.Cit, halaman 42-43. 216
UNIDROIT, Principles of International Commercial Contract, Rome :1994,
page 7.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
87
Azas kebebasan berkontrak217
berpangkal pada kedudukan kedua belah
pihak yang sama kuatnya, sedang kenyataannya seringkali tidaklah demikian.218
Kedudukan para pihak yang tidak seimbang yakni tidak sama kuat kedudukannya
atau tidak mempunyai bargaining position yang sama telah mempengaruhi daya
kerja asas kebebasan berkontrak sehingga menimbulkan ketimpangan-
ketimpangan dan ketidakadilan pengaturan kewajiban para pihak.219
Mengenai hal
tersebut P.S. Atiyah mengemukakan bahwa “contracts sometimes contain clauses
under which one party may vary the duty of the other party.”220
Pada umumnya ketidakseimbangan terjadi apabila para pihak berada
dalam kekuatan ekonomi yang berbeda. Pihak ekonomi lemah seolah-olah dipaksa
untuk menerima kehendak pihak ekonomi kuat. Ketidakseimbangan keadaan
ekonomi tersebut mempengaruhi kejiwaan pihak ekonomi lemah sehingga merasa
tertekan. Dalam keadaan tertekan pihak ekonomi lemah dipaksa untuk membuat
keputusan take it or leave it. Tekanan tersebut memicu ketidakbebasan
mengikatkan diri dalam perjanjian kredit bank.
Keadaan tidak bebasnya salah satu pihak dalam melakukan perjanjian
kredit bank merupakan keadaan yang bertentangan dengan asas kebebasan
berkontrak. Dalam asas kebebasan berkontrak, individu diberikan kebebasan
untuk membuat perjanjian seluas-luasnya sepanjang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum.221
217
Asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract di negara common law
dikenal dengan istilah Laissez Faire yang pengertiannya diterangkan oleh Jessel M.R
dalam kasus “Printing and Numerial Registering Co. vs Sampson” (1875) LR 19 Eq. 462
pada 465, yaitu men of full age and understanding shall have the utmost liberty of
contracting and that contracts which are freely and voluntarily entered into shall be held
sacred end enforced by the courts….. you are not lightly to interfere with this freedom of
contract ( setiap orang dewasa yang waras mempunyai hak kebebasan berkontrak
sepenuhnya dan kontrak-kontrak yang dibuat secara bebas dan atas kemauan sendiri,
adalah dianggap mulia/kudus dan harus dilaksanakan oleh pengadilan….. dan kebebasan
berkontrak ini tidak boleh dicampuri sedikitpun). Lihat Hardijan Rusli, Op.Cit, halaman
38. 218
R. Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perikatan, Arbitrase dan
Peradilan, Alumni, Bandung, 1992, halaman 5. 219
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 55. 220
P.S. Atiyah, Promises, Morals, And Law, Op.Cit, page 149. 221
Ridwan Khairandy, Op.Cit, halaman 91.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
88
Asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan isi perjanjian yaitu
kebebasan untuk menentukan apa yang hendak diperjanjikan.222
Isi perjanjian
kredit adalah penyataan kehendak para pihak berdasarkan kesepakatan. Jadi untuk
mengetahui kehendak para pihak yang disepakati mengenai suatu perjanjian kredit
dapat dilihat dari isi perjanjian kredit.
Kehendak atau maksud para pihak tersebut ada yang dinyatakan secara
terang dan ada yang dinyatakan secara samar-samar. Dinyatakan secara terang
artinya dengan membaca isi kontrak kita sudah langsung mengetahui secara jelas
maksud atau kehendak para pihak. Sedangkan yang dimaksud dengan dinyatakan
secara samar-samar adalah kehendak para pihak baru diketahui setelah melalui
penafsiran ataupun mencermati keadaan-keadaan disekitar pembuatan perjanjian
tersebut. Apapun bentuk pernyataan kehendak atau maksud para pihak, idealnya
maksud atau kehendak tersebut haruslah dapat dimengerti oleh masing-masing
mitra pihak dan juga dapat difahami oleh pihak ketiga.
Isi perjanjian kredit bank sebagai pernyataan kehendak para pihak tidak
boleh bertentangan dengan hukum, kepatutan dan kesusilaan. Kehendak para
pihak yang bertentangan dengan hukum atau menyinggung secara negatif
kepatutan dan kesusilaan adalah kehendak yang mempengaruhi
ketidakseimbangan suatu perjanjian. Suatu perjanjian yang seimbang adalah
perjanjian yang sesuai dengan hukum, kepatutan dan kesusilaan.
Dengan demikian kebebasan berkontrak haruslah dimaknai sebagai
kebebasan yang bertanggung jawab dalam arti bebas membuat perjanjian
sepanjang tidak merugikan pihak lainnya. Hal ini penting mengingat perjanjian itu
sendiri memerlukan keseimbangan pengaturan dan perlindungan kepentingan
masing-masing pihak. Artinya, kebebasan berkontrak dibatasi oleh kewajiban
menghormati kepentingan pihak lainnya dalam ikatan perjanjian.
Tentang hal tersebut, John Stuart Mill mengemukakan sebagai berikut :
That principle is, that the sole end for which mankind are warranted,
individually or collectively, in interfering with the liberty of action of any of
their number, is self protecton. That the only purpose for which power can
be right fully exercised over any member of a civilized community, against
his will, is to prevent harm to others. His own good, either physical or
222
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.Cit, halaman 52.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
89
moral, is not a sufficient warrant. He can not rightfully be courpelled to do
for bear because it will be better for him to do so, because it will make him
happier, because in the options of others, to do so would be wise, or even
right. These are good reasons for remonstrating with him, but not for
compelling him or visiting him with any evil in case he do otherwise. To
justify that, the conduct form which it is desired to deter him, must be
calculated to produce evil to someone else. The only part of the conduct of
any one, for with concern others. In the part which merely concern himself,
his independence is, of right, absolute. Over himself, over his own body and
mind, the individual is sovereign.223
Adanya kedudukan dan/atau posisi tawar yang tidak seimbang dalam
perjanjian kredit adalah bertentangan dengan tujuan hukum yaitu keadilan karena
perjanjian dibentuk sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan para pihak
sebagai bentuk pertukaran kepentingan yang adil.224
Berkaitan dengan itu, Agus Yudha Hernoko mengemukakan bahwa
seringkali terjadi kesalahan persepsi mengenai eksistensi kontrak yang pada
akhirrnya menjebak dan menyesatkan penilaian obyektif, khususnya mengenai
pertanyaan “apakah suatu perjanjian kontrak itu seimbang atau tidak seimbang
berat sebelah.”225
Lebih lanjut Agus Yudha Hernoko berpendapat bahwa kesesatan tersebut
karena hanya bergelut pada perbedaan status masing-masing pihak yang
berkontrak (barat-timur, asing-domestik, nasabah-bank, produsen-konsumen).
Pandangan tersebut tidak seluruhnya salah, namun akan lebih fair dan obyektif
apabila menilai keberadaan suatu kontrak terutama dengan mencermati
substansinya, serta kategori kontrak yang bersangkutan (kontrak konsumen atau
kontrak komersial).226
Pandangan yang fair dan obyektif atas suatu perjanjian harus
diinterpretasikan secara luas sebagai berikut :227
1. Lebih mengarahkan pada keseimbangan posisi para pihak, dimana para pihak
diberi muatan keseimbangan.
223
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 30. 224
Teguh Wicaksono Saputra, Op.Cit, halaman 76. 225
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, halaman 4. 226
Ibid, halaman.4-5. 227
Ibid, halaman 83-84.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
90
2. Kesamaan pembagian hak dan kewajiban dalam hubungan kontraktual
seolah-olah tanpa memerhatikan proses yang berlangsung dalam penentuan
hasil akhir pembagian tersebut.
3. Keseimbangan seolah sekadar merupakan hasil akhir dari sebuah proses.
4. Intervensi negara merupakan instrument memaksa dan mengikat agar
terwujud keseimbangan posisi para pihak.
5. Keseimbangan posisi para pihak hanya dapat dicapai pada syarat dan kondisi
yang sama (ceteris paribus).
Cakupan interpretasi perjanjian dalam hubungannya dengan keseimbangan
perjanjian di atas memperlihatkan bahwa keseimbangan suatu perjanjian tidak
semata-mata mutlak ditentukan oleh keseimbangan kedudukan para pihak saja
tetapi juga mencakup keseimbangan aspek-aspek lainnya yang turut
mempengaruhi terciptanya keseimbangan suatu perjanjian khususnya aspek
internal dari para pihak yaitu aspek itikad baik.
Aspek itikad baik menjadi penting diketengahkan dalam melengkapi
kajian keseimbangan dalam perjanjian kredit bank, dengan asumsi bahwa
perbedaan kedudukan para pihak dalam perjanjian kredit bank tidak mutlak
menjadikan perjanjian kredit bank menjadi berat sebelah dan merugikan salah satu
pihak apabila masing-masing pihak memiliki itikad baik untuk tunduk pada
perjanjian kredit yang dibuatnya. Dalam hal ini Setiawan berpendapat bahwa asas
kebebasan berkontrak kini setidak-tidaknya tidak lagi tampil dalam bentuknya
yang utuh antara lain disebabkan pengaruh pensyaratan itikad baik pada masa pra
perjanjian (pre-contractual fase), masa pembuatan perjanjian maupun masa
pelaksanaan perjanjian.228
Itikad baik merupakan asas yang wajib ditaati para pihak sehingga tercipta
kesepakatan yang murni (fair) dalam suatu perjanjian. Kewajiban beritikad baik
dalam perjanjian telah diketengahkan dalam Restatement (Second) of Contract
228
Selain pengaruh asas itikad baik, tidak utuhnya lagi pemberlakuan asas
kebebasan berkontrak juga dipengaruhi oleh pengaruh ajaran tentang penyalahgunaan
keadaan (misbruik van omstandigheden ataupun undue influence), juga dipengaruhi
semakin banyaknya perjanjian yang dibuat dalam bentuk baku dan pengaruh
bertambahnya peraturan-peraturan di bidang hukum ekonomi yang merupakan
“mandatory rules of a public law nature”. Lihat Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan
Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 2008, halaman 179.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
91
Chapter 9 Topic 2 Section 205 yang menyatakan : Every contract imposes upon
each party a duty of good faith and fair dealing in its performance and its
enforcement.229
Demikian pula termuat dalam U.C.C section 1-203 yang
menyatakan “Every contract or duty within this Act imposes an obligation of good
faith in its performance or enforcement”.230
Asas itikad baik pada saat menyusun suatu perjanjian diartikan sebagai
kejujuran, yaitu orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya
kepada pihak lawan yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu
yang buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan.231
Pengertian tersebut sesuai dengan Section 1-201 (19) of the U.C.C yang
memberikan pengertian itikad baik sebagai : as honesty in fact in the conduct or
transaction concerned.232
Itikad baik yang terdapat pada saat menyusun perjanjian akan menghindari
timbulnya perbuatan melawan hukum dalam perjanjian dan itikad baik yang
diterapkan dalam melaksanakan perjanjian akan menghindari lahirnya wanprestasi
atau ingkar janji atau cidera janji dari suatu perjanjian.233
Itikad baik pihak bank selaku kreditur dapat pula dilihat dari perbuatan
bank kreditur yang tidak sewenang-wenang menetapkan besaran kredit, akan
tetapi besaran kredit ditetapkan setelah melalui proses analisa terlebih dahulu
dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi dan rekam kelakuan calon nasabah
debitur sebelum pengajuan kredit, pada saat pengajuan kredit maupun
kemungkinannya setelah kredit dikucurkan,
Besaran pinjaman kredit uang yang dikucurkan disesuaikan dengan
kemampuan nasabah debitur mengembalikan pinjaman, artinya, kepada nasabah
229
Robert E. Scott, Douglas L. Leslie, Contract Law and Theory Selected
Provisions : Restatement of Contract and Uniform Commercial Code (Secondary
Materials), Contemporary Legal Eduction Series, The Michie Company Law Publisher,
Virginia : 1988, page 21. 230
Gordon D. Schaber, Claude D. Rohwer, Contracts, St. Paul, Minn West
Publishing Co, 1990, page 174. 231
R, Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Op.Cit, halaman 24. 232
Gordon D. Schaber, Claude D. Rohwer, Op.Cit, page 177. 233
Wanprestasi dapat berwujud tiga macam, yaitu :1. Pihak berwajib sama
sekali tidak melaksanakan janji, 2. Pihak berwajib terlambat dalam melaksanakannya, dan
3. Pihak berwajib melaksanakannya, tetapi tidak secara yang semestinya dan atau tidak
dengan sebaik-baiknya (Lihat Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, halaman 49).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
92
debitur yang dinilai berekonomi lemah hendaknya diberikan kredit dalam jumlah
yang rendah, sesuai dengan kemampuan pengembalian, sedangkan bagi nasabah
debitur yang berekonomi kuat dapat diberikan pinjaman kredit dalam jumlah uang
yang besar.
Pemberian pinjaman yang tidak memperhitungkan kemampuan nasabah
debitur dalam mengembalikan pinjaman akan menyebabkan kredit macet yang
sangat merugikan pihak bank secara ekonomi dan menghilangkan kepercayaan
nasabah kreditur maupun masyarakat kepada bank secara moral. Karena itu,
sebelum bank menentukan besaran pinjaman yang dapat dikucurkan, hal utama
yang selalu harus dipertimbangkan pihak bank adalah keselamatan dana nasabah
kreditur.
Dalam praktik, bank sering memberikan pinjaman kredit yang tidak
mempertimbangkan kemampuan nasabah mengembalikan pinjaman dengan cara
membiarkan calon nasabah debitur memanipulasi data agunan atau jaminan atau
keadaan ekonomi nasabah debitur. Hal ini dapat terjadi karena pihak bank lebih
mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan resiko bagi pihak calon nasabah
debitur.
Tindakan bank memberikan pinjaman kredit yang tidak
mempertimbangkan kemampuan nasabah dan hanya berorientasi pada keuntungan
yang ingin diraihnya saja menujukkan itikad buruk yang dimiliki oleh pihak bank.
Dengan demikian, asas itikad baik berkaitan dengan penerapan kepatutan dan
kelayakan dalam perjanjian.
Berdasarkan pengalaman penulis, terdapat fakta dalam praktik pemberian
kredit berupa perbuatan bank kreditur memberikan pinjaman kredit tanpa
mempertimbangkan kemampuan nasabah debitur mengembalikan pinjamannya.
Hal tersebut dilakukan bank kreditur dengan cara membiarkan calon nasabah
debitur memanipulasi data agunan atau jaminan atau keadaan ekonomi nasabah
debitur sehingga terbaca dalam data bank bahwa calon nasabah debitur memiliki
agunan atau jaminan yang memadai untuk memperoleh pinjaman modal yang
besar.
Perbuatan pihak bank seperti fakta tersebut menunjukkan pihak bank
memiliki itikad buruk dalam melakukan perjanjian kredit oleh karena pihak bank
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
93
lebih mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan resiko kemampuan pihak
calon nasabah debitur mengembalikan pinjaman.
Dalam pelaksanaan perjanjian, itikad baik diartikan sebagai kepatutan
yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam hal
melaksanakan apa yang telah dijanjikan.234
Itikad baik pada waktu melaksanakan
hak-hak dan kewajiban yang timbul dari suatu hubungan hukum atau perjanjian
tidak lain dari pada itikad baik pada waktu melaksanakan hubungan hukum atau
perjanjian yang telah dibuat tersebut. Karena itu itikad baik sebenarnya terletak
pada hati sanubari manusia yang tercermin pada perbuatan-perbuatan nyata
pelaksanaan perjanjian yang akan memberikan ukuran objektif tentang ada
tidaknya itikad baik itu.235
Asas itikad baik mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak
dalam membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya tetapi dibatasi
oleh itikad baiknya.236
Apabila para pihak sama-sama beritikad baik dalam
mengikatkan diri dalam suatu perjanjian maka dalam pelaksanaannya akan
berjalan sebagaimana diharapkan dan tujuan perjanjian dapat tercapai. Lain
halnya apabila salah satu pihak beritikad buruk dalam mengikatkan diri dalam
suatu perjanjian, biasanya perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan
sebagaimana yang dicitakan dan tujuan perjanjian tidak akan tercapai.
Hal yang perlu diwaspadai, dapat saja terjadi pada saat mengikatkan diri
dalam suatu perjanjian para pihak sama-sama beritikad baik namun dalam
pelaksanaannya barulah muncul itikad buruk. Hal ini sangat mempengaruhi
pelaksanaan perjanjian dan tujuan perjanjian tidak akan tercapai dan jelas
melahirkan wanprestasi.
Pelaku perjanjian yang beritikad buruk adalah pelaku perjanjian yang
“nakal” baik sejak awal berniat “nakal” maupun setelah perjanjian tersebut
berjalan barulah timbul niat untuk berbuat “nakal”. Perbuatan pelaku perjanjian
yang “nakal” sudah tentu mengganggu keseimbangan dalam pelaksanaan
perjanjian. Hak dan kewajiban tidak akan berjalan sebagaimana mestinya dan
sudah tentu pelaksanaan perjanjian tidak seimbang lagi.
234
R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Op.Cit, halaman 25. 235
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 343. 236
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 55.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
94
Terhadap perbuatan pelaku perjanjian yang “nakal”, pihak yang merasa
dirugikan dapat memintakan pembatalan perjanjian dengan alasan salah satu pihak
wanprestasi atau ingkar janji atau cidera janji. Permintaan pembatalan perjanjian
dapat dilakukan melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Jika permintaan
pembatalan perjanjian dilakukan melalui jalur litigasi, maka pihak yang merasa
dirugikan dapat mengajukan gugatan wanprestasi atau ingkar janji atau cidera
janji yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan dan selanjutnya Ketua Pengadilan
akan menunjuk majelis hakim untuk mengadilinya.
Selain itu, dapat saja terjadi dalam masa pelaksanaan perjanjian kredit
bank, muncul suatu “keadaan tertentu” yang tidak sebagaimana biasanya sehingga
menyebabkan tidak ada keseimbangan perolehan keuntungan dari perjanjian
kredit tersebut. Keadaan tertentu dapat berupa hanya salah satu pihak memperoleh
keuntungan dan pihak lainnya mengalami kerugian sehingga tidak lagi terdapat
keseimbangan dalam pelaksanaan perjanjian kredit bank.
Perjanjian kredit bank dianggap adil bila kedua belah pihak sebagai akibat
dari perjanjian berada dalam posisi yang lebih menguntungkan dibanding sebelum
perjanjian dibuat.237
Dengan demikian, tidak menjadi persoalan berapa besar
keuntungan yang diperoleh kedua belah pihak atau perimbangan keuntungan yang
diperoleh. Intinya, terdapat keuntungan yang diperoleh masing-masing pihak dan
adanya kepuasan masing-masing pihak atas keuntungan yang diperolehnya.
Dalam hal demikian, keseimbangan tidak mutlak harus dilandasi perhitungan
untung-rugi dalam artian materiil, namun dari prinsip keseimbangan juga dapat
dimengerti dalam artian tercapai atau terpenuhinya semua tujuan dari kontrak,
khususnya tercapainya eksistensi imateriil (immateriele zinjsmogelijkheid).238
Keseimbangan dalam perjanjian kredit bank juga dapat dimaknai sebagai
adanya hubungan timbal balik yang harmonis dalam bentuk masing-masing pihak
melakukan prestasi (yang berimbang atau sepadan) terhadap pihak lainnya.239
Prestasi dari pihak nasabah debitur merupakan kontra prestasi atas prestasi yang
diberikan pihak bank kreditur. Kontra prestasi yang diberikan haruslah sesuai
dengan yang diharapkan pemberi prestasi. Apabila kontra prestasi tersebut sesuai
237
Herlien Budiono, Op.Cit, halaman 351. 238
Ibid, halaman 349. 239
Ibid, halaman 339.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
95
dengan harapan pemberi prestasi maka akan dirasakan adil dan terdapat
keseimbangan dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Sebaliknya, apabila pihak
nasabah debitur tidak mengembalikan pinjaman atau utangnya maka tidak ada
keseimbangan dalam pelaksanaan perjanjian kredit bank.
Dalam perjanjian kredit bank, penting untuk mendudukkan para pihak
pada posisi yang berimbang karena hakekatnya masing-masing pihak dalam suatu
perjanjian terikat dalam hubungan yang saling membutuhkan. Perjanjian sebagai
proses mata rantai hubungan para pihak harus dibangun berdasarkan pemahaman
keadilan yang dilandasi atas pengakuan hak para pihak yang termanifestasi dalam
pemberian peluang dan kesempatan yang sama dalam pertukaran kepentingan.240
Terhadap hal tersebut, Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa
asas keseimbangan sebagai kelanjutan dari asas persamaan241
memberikan hak
kepada kreditur untuk menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, dan
juga memberikan kewajiban kepada kreditur untuk memikul beban melaksanakan
perjanjian itu dengan itikad baik. Dalam keadaan kedudukan kreditur yang kuat
diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, menjadikan
kedudukan kreditur dan debitur seimbang.242
Keseimbangan dalam perjanjian kredit bank dapat dicapai dengan
meningkatkan perlindungan terhadap konsumen karena posisi produsen lebih kuat
dibandingkan dengan konsumen243
yaitu dengan cara menegakkan hak-hak
konsumen.244
Perlindungan terhadap pihak yang lemah secara ekonomis dapat dilakukan
dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para pihak untuk
menegosiasikan kepentingan mereka. Tentunya perlindungan terhadap kedudukan
pihak ekomoni lemah dilakukan dengan tetap mengingat kepentingan pihak yang
kuat ekonominya dalam melindungi keselamatan modalnya. Salah satu
240
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, halaman 89. 241
Asas persamaan menempatkan para pihak di dalam kesamaan derajat dimana
masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua
pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan (Mariam Darus
Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.Cit, halaman 42). 242
Ibid, halaman 43. 243
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, halaman 28. 244
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di
Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 102.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
96
manifestasi perlindungan terhadap pihak berkedudukan lemah adalah penyediaan
sarana negosiasi dalam perjanjian.
Pentingnya negosiasi karena pada hakekatnya suatu perjanjian adalah
kesepakatan dimana masing-masing pihak menyatakan haknya untuk mencapai
cita-cita dalam perjanjian dan kewajibannya untuk saling melindungi hak pihak
lainnya. Dalam tahap ini, itikad baik merupakan kewajiban untuk
memberitahukan atau menjelaskan dan meneliti fakta materiil bagi para pihak
yang berkaitan dengan pokok yang dinegosiasikan itu.245
Proses negosiasi adalah proses penawaran dan penerimaan. Dalam proses
negosiasi, pihak nasabah debitur memiliki hak untuk didengar berupa pertanyaan
tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk perkreditan bank apabila
informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai ataukah berupa
pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan produk,
atau yang berupa pernyataan/pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan kepentingan konsumen.246
Atas penawaran yang diajukan dalam
negosiasi, apabila penawaran tersebut diterima oleh pihak lainnya maka terjadi
kesepakatan dan bila kesepakatan telah terjadi maka terjadilah perjanjian.247
Perjanjian tersebut tidak diletakkan pada beban satu pihak, atau berupa
beban yang berlebihan atau tidak sepadan yang menguntungkan pihak lainnya,
tidak juga suatu perjanjian yang sangat merugikan pihak ketiga atau masyarakat
pada umumnya.248
Sebab itu bargaining power yang seimbang sangat menunjang
tercapainya kesepakatan yang sah sebab suatu kesepakatan tanpa bargaining
power yang seimbang menjadi tidak sah karena merupakan kesepakatan atas
kehendak sepihak. Kesepakatan sepihak menunjukkan tidak ada keadilan dalam
kesepakatan tersebut dan menghasilkan butir-butir klausul yang berat sebelah.
245
Budi Untung, Hukum dan Etika Bisnis, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2012,
halaman 182. 246
Ahmadi Miru, Op.Cit, halaman 107. 247
Penawaran tidak selamanya menghasilkan kesepakatan. Penawaran yang
tidak mencapai kesepakatan dapat disebabkan dalam hal : 1. Penawaran ditolak pada saat
penawaran diajukan, 2. Berlakunya suatu jangka waktu tertentu, dan 3. Si penawar
menarik kembali penawarannya (H.P.Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik
van Omstandigheden) Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai
Perkembangan Hukum di Belanda dan Indonesia), Op.Cit, halaman 20.) 248
Budi Untung, Op.Cit, halaman 101.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
97
Kedudukan para pihak saat bernegosiasi sangat dipengaruhi bargaining
power para pihak. Jika bargaining power tidak seimbang maka suatu perjanjian
dapat menjurus atau menjadi unconscionable dalam konsep common law.249
Karena itu, hak dan kewajiban masing-masing pihak haruslah disusun secara
seimbang dalam kedudukan masing-masing pihak yang seimbang.250
Perbedaan
posisi para pihak ketika perjanjian kredit diadakan yaitu tidak memberikan
kesempatan kepada debitur untuk melakukan real bargaining dengan kreditur
memberikan ketidakseimbangan para pihak.251
Z. Asikin Kusumah Atmadja mengemukakan bahwa tolok ukur ada atau
tidak adanya bargaining power yang seimbang dalam suatu perjanjian adalah
mencakup keadaan yang tidak dapat dimasukkan dalam itikad baik, patut dan adil
atau bertentangan dengan ketertiban umum.252
Untuk itu dalam memberikan
keseimbangan dalam perjanjian kredit bank, asas keseimbangan memegang
peranan penting yang sifatnya alternatif yaitu :253
1. Mendayagunakan asas keseimbangan sebagai pelengkap, memberikannya
peran subsider untuk mengisi kekosongan-kekosongan yang tidak tercakup
oleh aturan ataupun asas-asas hukum lainnya, atau
2. Memfungsikan asas keseimbangan sebagai asas pokok keempat yang mandiri
dari hukum kontrak Indonesia.
Mengenai alternatif pertama, apabila asas keseimbangan hanyalah sebagai
pelengkap maka asas keseimbangan bukanlah asas pokok dalam suatu perjanjian.
Asas keseimbangan dengan sendirinya tercapai apabila ketiga asas lainnya dalam
hukum kontrak yaitu konsensualisme, kekuatan mengikat dan kebebasan
berkontrak telah difungsikan dengan baik dalam suatu perjanjian. Dalam keadaan
demikian, maka asas keseimbangan hanyalah menjadi pelengkap sebab dengan
berfungsi secara baik asas konsensualisme, kekuatan mengikat dan kebebasan
249
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 204. 250
Pengertian keseimbangan-seimbang atau evenwichtig-evenwichting (Belanda)
atau equality-equal-equilibrium (Inggris) bermakna leksikal sama, sebanding menunjuk
pada suatu keadaan, posisi, derajat, berat dan lain-lain. (Kamus Besar Bahasa Indonesia
sebagaimana dikutip Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, halaman 26). 251
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.Cit, halaman 52. 252
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 207. 253
Herlien Budiono, Op.Cit, halaman 359.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
98
berkontrak maka dengan sendirinya telah terjadi keseimbangan dalam suatu
perjanjian.
Hal berbeda terjadi dengan alternatif kedua dimana asas keseimbangan
ditempatkan sederajat dengan asas konsensualisme, kekuatan mengikat dan
kebebasan berkontrak yang berdiri secara mandiri dan merupakan asas pokok
dalam suatu perjanjian. Artinya, meskipun asas konsensualisme, kekuatan
mengikat dan kebebasan berkontrak telah difungsikan dengan baik namun belum
tentu suatu perjanjian telah menjadi seimbang. Suatu perjanjian kredit bank akan
seimbang apabila memenuhi syarat asas konsensualime, kekuatan mengikat,
kebebasan berkontrak dan asas keseimbangan.
Tentang peranan asas keseimbangan tersebut, Herlien Budiono
berpendapat bahwa konsep-konsep konsensualisme, kekuatan mengikat,
kebebasan berkontrak dan keseimbangan sarat dengan pengharapan normatif
perihal pengembanan ideal dari suatu peran sosial, selaras dengan aturan-aturan
sosial yang diterapkan oleh tradisi, norma-norma serta sejarah masyarakat yang
bersangkutan.254
Dengan demikian untuk menilai apakah suatu perjanjian telah
seimbang tidak saja dinilai dari hukum positif tetapi harus pula dilihat apakah
perjanjian tersebut telah adil bagi masyarakat ataukah tidak.
Berkaitan dengan daya kerja asas keseimbangan, Agus Yudha Hernoko
berpendapat bahwa asas keseimbangan mempunyai daya kerja baik pada proses
pembentukan maupun pelaksanaan kontrak.255
Dalam keadaan terjadinya
ketidakseimbangan baik pada saat pembentukan/penyusunan perjanjian, isi
perjanjian maupun pelaksanaan perjanjian, asas keseimbangan hadir dengan
menawarkan suatu pertanggungjawaban umum pemberlakuan keragaman norma
serta juga untuk menilai dan menetapkan apakah terjadi keterikatan perjanjian
yang adil.256
Ketidakseimbangan kedudukan para pihak dalam membuat kesepakatan
maupun menyusun klausula perjanjian kredit bank, menjadikan kesepakatan
senyatanya tidak terwujud dan jika lahir kesepakatan maka kesepakatan tersebut
lahir atas dasar keterpaksaan. Lahirnya kesepakatan atas dasar keterpaksaan
254
Ibid, halaman 377. 255
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, halaman 82. 256
Herlien Budiono, Op.Cit, halaman 358.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
99
menjadikan perjanjian kredit bank menjadi tidak seimbang oleh karena
kesepakatan yang dibuat tidak berdasarkan kebebasan membuat kesepakatan atau
merupakan kesepakatan terpaksa atau kesepakatan sepihak. Keadaan tidak bebas
membuat kesepakatan atau kesepakatan yang dibuat dalam keadaan terpaksa atau
kesepakatan atas dasar kemauan sepihak bukanlah kesepakatan yang dimaksudkan
dalam Pasal 1338 KUH Perdata, sebab hakekatnya kesepakatan adalah
perjumpaan kehendak kedua belah pihak secara bebas dan leluasa.
Kesepakatan dalam perjanjian kredit bank akan terwujud apabila terdapat
kepercayaan diantara para pihak mengenai kesungguhan pihak lainnya
mengikatkan diri dalam perjanjian, kejujuran, keterusterangan dan itikad baik.
Kepercayaan tersebut lebih ditujukan pada keyakinan bahwa pihak lainnya akan
memenuhi prestasinya secara optimal.257
Dengan lahirnya kepercayaan maka tidak
akan ada keraguan untuk menyepakati suatu perjanjian. Dalam hal ini Subekti
berpendapat bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan
perjanjian itu (dan dengan demikian perikatan yang ditimbulkan karenanya) sudah
dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus sebagaimana di atas pada
detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik yang
lain yang terkemudian atau yang sebelumnya.258
Kesepakatan para pihak dalam perjanjian menimbulkan kekuatan mengikat
perjanjian sebagaimana layaknya undang-undang,259
dan berlaku sebagai tuntutan
kepastian hukum bahwa orang yang hidup dalam masyarakat yang teratur harus
dipegang perkataannya atau ucapannya.260
Tidak ada alasan bagi para pihak untuk
melanggar isi perjanjian tersebut, selayaknya kewajiban tunduk pada undang-
undang tanpa pengecualian.
Terhadap kondisi ketidakseimbangan dalam perjanjian kredit bank, Sutan
Remy Sjahdeini berpendapat bahwa ketidakseimbangan bargaining position
sering melahirkan perjanjian yang berat sebelah atau timpang, tidak adil dan
257
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, halaman 121. 258
H.P.Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden)
Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum
di Belanda dan Indonesia), Op.Cit, halaman 18. 259
Lihat Pasal 1338 KUH Perdata. 260
H.P.Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden)
Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum
di Belanda dan Indonesia), Op.Cit, halaman 19.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
100
melanggar aturan-aturan kepatutan, untuk itu negara perlu campur tangan untuk
melindungi pihak yang lemah.261
Campur tangan negara memberikan perlindungan hukum yang seimbang
dapat dilihat dalam bentuk terbitnya Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Kehadiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen ini untuk memberikan keseimbangan atau
kesetaraan perlindungan antara konsumen (nasabah debitur) dengan produsen
(bank kreditur) sesuai dengan asas kebebasan berkontrak.262
Menurut Ahmadi
Miru, hal ini menunjukkan fungsi hukum sebagai sarana yang menyeimbangkan
kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat sebagaimana yang
dikemukakan oleh Roscoe Pound.263
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen tersebut secara tegas mengatur pelarangan pencantuman klausula yang
tidak seimbang, yaitu :264
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen.
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa.
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya.
261
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 9. 262
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung
Jawab Produk), Panta Rei, Bogor, Desember 2005, halaman 114. 263
Ahmadi Miru, Op.Cit, halaman 70. 264
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, Op.Cit.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
101
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen
atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
undang-undang ini.
Adanya pelarangan pencantuman klausula baku dalam keadaan-keadaan
tertentu menunjukkan 2 (dua) hal, yaitu :
1. Klausula baku sering disalahgunakan dan menjadi penyebab tidak
seimbangnya isi suatu perjanjian.
2. Klausula baku tidak absolut dilarang, dapat digunakan dalam perjanjian
asalkan memenuhi keadaan-keadaan yang disyaratkan undang-undang.
Memang sekilas terlihat bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan perlindungan hukum yang
seimbang diantara pelaku usaha dengan konsumen. Hal tersebut dapat difahami
oleh karena kehadiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen adalah untuk melindungi konsumen dari berbagai
tindakan kesewenang-wenangan pelaku usaha dalam menetapkan berbagai
persyaratan yang sudah tidak seimbang.
Adanya pengaturan tentang perlindungan konsumen terutama pada
peraturan yang berkaitan dengan klausula baku, sedikit banyak menyadarkan
masyarakat bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak yang
sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian itu.265
Karena itu, kehadiran
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditujukan
untuk menyeimbangkan neraca kedudukan pelaku usaha dan konsumen dalam
hubungan perjanjian. Dengan kedudukan neraca yang seimbang niscaya
memberikan keadilan bagi para pihak.
Daya kerja asas keseimbangan mempunyai makna imperatif yang
memaksa para pihak tunduk dengan tujuan akan dicapai keseimbangan hak dan
265
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 358.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
102
kewajiban para pihak.266
Kewajiban memberikan perlindungan tersebut bukan
hanya kewajiban pemerintah semata akan tetapi juga sebagai kewajiban pihak
berekonomi kuat. Pemberian perlindungan oleh pihak berekonomi kuat kepada
pihak berekonomi lemah menunjukkan adanya itikad baik pihak berekonomi kuat
dalam menyusun suatu perjanjian. Demikian pula pihak berekonomi lemah juga
memiliki kewajiban memberi perlindungan terhadap pihak berekonomi kuat
dalam hal turut melindungi keselamatan modal pihak berekonomi kuat yang
dikucurkan padanya. Pentingnya keseimbangan hak dan kewajiban setiap pihak
dalam perjanjian menjadikan keseimbangan tersebut merupakan asas267
hukum
dalam suatu perjanjian.
Asas keseimbangan dalam perjanjian kredit bank juga dapat diterapkan
dalam tataran penentuan bunga kredit bank. Pada perjanjian kredit bank telah
ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman harus disertai bunga, imbalan atau
pembagian hasil.268
Pencantuman klausula bunga kredit secara tegas dalam
perjanjian kredit bank dimaksudkan untuk memberikan kepastian mengenai hak
bank membebankan bunga yang disepakati bersama atas pinjaman kredit uang.269
Atas pembebanan bunga, dalam perjanjian kredit bank sering ditemukan
klausula baku dalam hal penetapan dan perhitungan bunga kredit yang merugikan
nasabah debitur, yaitu “penetapan dan perhitungan bunga bank dilakukan oleh
bank”. Klausula tersebut secara formil merupakan kesepakatan kreditur dan
debitur, meskipun secara materiil kesepakatan tersebut adalah kesepakatan karena
keterpaksaan atau ketidakpahaman pihak nasabah debitur. Keadaan keterpaksaan
266
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, halaman 82. 267
Tentang pengertian asas-prinsip, Nieuwenhuis menunjukkan dua cara yang
dapat digunakan sebagai pendekatan atas pengertian asas-prinsip yaitu, pertama, adalah
dalam “makna global (globale betekenis)”, yakni asas dimengerti sebagai sifat yang
penting (belangrijke eigenschap), dan kedua, adalah dalam konteks yang sangat khusus
sebagai dasar pembenaran (ter rechtvaardiging) dari aturan-aturan maupun putusan-
putusan. (Herlien Budiono, Op.Cit, halaman 76). 268
Johannes Ibrahim, Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya
Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Refika Aditama, Bandung, April 2004, halaman
26. 269
Ibid, halaman 45.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
103
menyetujui penetapan dan perhitungan bunga kredit bank sering dibawa oleh
pihak nasabah debitur ke pengadilan sebagai persoalan.270
Pengenaan bunga dalam transaksi bank tersebut dipengaruhi oleh fungsi
utama bank sebagai lembaga intermediasi dimana bank berlomba-lomba menarik
minat masyarakat untuk menyimpan dananya di bank melalui pemberian bunga
simpanan dan menyalurkan dana nasabah terhimpun melalui produk kredit dengan
pembebanan bunga kredit. Karena itu, bunga bank merupakan keuntungan yang
ditarik bank dari nasabah debitur yang digunakan bank untuk memberikan bunga
atas tabungan, giro, deposito nasabah kreditur, membayarkan head cost bank dan
selebihnya merupakan keuntungan bersih bank. Keuntungan bersih bank
digunakan untuk membiayai gaji karyawan dan juga sebagai tambahan modal
bank.
Korelasi tersebut memiliki pengaruh terhadap besar kecilnya bunga bank.
Pemberian bunga simpanan yang besar menjadikan bank bertindak menerapkan
bunga kredit yang semakin besar pula. Karena bank berlomba-lomba
menghimpun dana masyarakat dengan menggunakan metode pemberian bunga
simpanan yang besar maka nasabah debitur akan semakin dirugikan oleh karena
bank akan mengambil kebijakan untuk memberikan bunga kredit yang besar pula
terhadap nasabah debitur. Dalam hal ini bank menerapkan strategi agar penerapan
bunga kredit yang besar tidak dirasakan langsung menekan nasabah debitur,
sehingga tingkat kredit bank tetap terjaga. Semakin naiknya minat kredit pada
bank akan semakin meningkatkan pendapatan bank tersebut.
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam bab 2, secara teori tingkat bunga
kredit dapat ditetapkan oleh bank dengan 3 (tiga) cara, yaitu bunga menurun yang
disebut sliding rate of interest, bunga mengambang (floating) yang disebut
floating rate of interest dan bunga yang ditetapkan secara tetap (fixed) yang
disebut fixed rate of interest. Sliding rate of interest adalah pembebanan bunga
terhadap nilai pokok pinjaman akan menurun dari bulan ke bulan seturut
menurunnya pokok pinjaman sebagai akibat pembayaran cicilan pokok
270
R. Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perikatan, Arbitrase dan
Peradilan, Op.Cit, halaman 20.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
104
pinjaman.271
Floating rate of interest adalah tingkat bunga yang berfluktuasi
dengan mengacu kepada tingkat bunga dasar yang bersangkutan, yang disebut
based lending rate atau prime rate, atau mengacu kepada tingkat bunga yang
terjadi di pasar uang antar bank, sehingga tingkat bunga tersebut berubah-ubah
sejalan dengan perubahan tingkat bunga yang menjadi acuannya dan tidak dapat
ditentukan periodiknya.272
Sedangkan fixed rate of interest adalah tingkat bunga
yang ditetapkan berlaku tetap sepanjang kredit itu masih outstanding. Apabila
tingkat bunga ditetapkan sebesar 24% per annum, maka tingkat bunga tersebut
yang akan selalu dibebankan kepada outstanding pinjaman selama pinjaman itu
masih outstanding.273
Bank-bank di Indonesia pada umumnya menetapkan bunga kredit kepada
nasabahnya dengan cara fixed rate of interest. Melalui penerapan fixed rate of
interest maka suku bunga berlaku tetap dan tidak lagi bergantung kepada pasar.
Resikonya, ketika suku bunga kredit pasar menurun maka merupakan keuntungan
bagi nasabah debitur dan kerugian bagi bank, sedangkan ketika suku bunga kredit
pasar meningkat maka merupakan kerugian bagi nasabah debitur dan keuntungan
bagi bank.
Penerapan fixed rate of interest dalam perjanjian kredit menutup
kemungkinan terjadinya perubahan suku bunga kredit. Dengan demikian maka
dalam perjanjian kredit tidak perlu dicantumkan klausula “perubahan suku bunga
kredit” karena seharusnya suku bunga kredit yang diperjanjikan tidak mungkin
berubah melalui penerapan fixed rate of interest. Faktanya, dalam beberapa
perkara yang nantinya akan dianalisis dalam bab 4 menunjukkan keadaan
terjadinya perubahan suku bunga kredit. Hal ini terjadi karena meskipun
menganut fixed rate of interest namun terbuka lagi kemungkinan perubahan suku
bunga kredit melalui pencantuman klausula “penetapan dan perhitungan bunga
bank dilakukan oleh bank” yang membuka peluang penetapan dan perhitungan
bunga secara sewenang-wenang oleh bank.
271
Sutan Remy Sjahdeini, Kredit Sindikasi Proses pembentukan dan Aspek
Hukum : Bab XI Perjanjian Kredit Sindikasi, sebagaimana termuat dalam Reading
Material Hukum Perbankan 1 yang dikumpulkan oleh Yunus Husen dan Zulkarnain
Sitompul, Op.Cit, halaman 27. 272
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 253. 273
Ibid, halaman 256.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
105
Sebelum deregulasi perbankan pada tanggal 1 Juni 1983, besarnya bunga
kredit ditentukan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral, yang besarnya
bervariasi menurut sektor kreditnya.274
Penentuan bunga kredit oleh Bank
Indonesia menjadikan penerapan bunga kredit di setiap bank dalam berbagai
sektor kredit adalah sama. Dari segi perlindungan konsumen, hal tersebut amatlah
baik sebab menghindari kesewenang-wenangan bank menerapkan bunga kredit
yang memberatkan nasabah debitur. Namun hal tersebut kuranglah baik apabila
dipandang dari sudut kesehatan bank yang tentunya mempengaruhi moneter
negara.
Melalui deregulasi perbankan ini, pihak bank diberikan kebebasan untuk
menentukan suku bunga kredit. Akibatnya suku bunga kredit di setiap sektor
perkreditan masing-masing bank berbeda. Bank bersaing menerapkan sebesar-
besarnya bunga simpanan dengan menjaga keseimbangan terhadap bunga kredit.
Akibatnya, nasabah baik kreditur maupun debitur, memperoleh perlakuan suku
bunga yang berbeda-beda disetiap bank.
Meskipun bank diberikan kebebasan menentukan suku bunga sendiri
namun kebebasan tersebut bukan tanpa batas sebab pemerintahlah yang
menetapkan batas suku bunga kredit maksimal sebagai pedoman penetapan bunga
kredit oleh masing-masing bank dengan tujuan menjaga kestabilan persaingan
perbankan.
Penetapan bunga kredit oleh bank yang melampaui suku bunga yang
ditetapkan oleh bank negara dan melampaui batas kepatutan dan kelayakan
dianggap bertentangan dengan itikad baik karena bank memiliki itikad
menerapkan prinsip meraih keuntungan dengan cara pembebanan bunga kredit
secara tidak wajar. Hal ini merupakan pengingkaran atas hakekat perjanjian
sebagai kesepakatan untuk melaksanakan perjanjian kredit secara rasional dan
patut dalam mencapai harapan para pihak.275
Seharusnya dalam posisi yang lebih
kuat, bank dapat memperhatikan posisi nasabah debitur yang lebih lemah dengan
melakukan penyesuaian - penyesuaian penerapan suku bunga kredit yang patut
dan layak termasuk menghidupkan kembali lembaga negosiasi untuk
274
Ibid, halaman 248. 275
Budi Untung, Op.Cit, halaman 106.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
106
mendengarkan pendapat nasabah debitur. Dengan demikian maka kebebasan dan
kesetaraan akan kesempatan yang fair dapat terpenuhi.276
Pengalaman penulis ketika melakukan perjanjian kredit di bank, pihak
bank tidak memberikan informasi menyeluruh dan mendetail tentang perhitungan
angsuran kredit maupun jenis bunga yang dipakai dalam kredit tersebut termasuk
cara perhitungan bunga. Kalaupun informasi diberikan, pemberian informasi
tersebut dilakukan secara tergesa-gesa seolah-olah tidak iklas memberikan
informasi yang memadai terkait klausula bunga kredit bank padahal informasi
yang memadai terkait perjanjian kredit merupakan hak bagi calon nasabah debitur
selaku konsumen. Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap
konsumen mengenai suatu produk agar konsumen tidak salah terhadap gambaran
mengenai produk tersebut.277
Disinilah asas keseimbangan diharapkan berperan
sesuai dengan kepatutan dan kelayakan.
Melalui putusan hakim diharapkan ketidakseimbangan dalam perjanjian
kredit bank dapat diseimbangkan untuk memberikan rasa keadilan kepada
masyarakat termasuk pihak bank kreditur dan pihak nasabah debitur. Menurut
Ahmadi Miru, jika pengadilan menemukan kontrak atau klausula kontrak yang
tidak adil maka pengadilan dapat menolak untuk melaksanakannya, atau
melaksanakannya tanpa klausul yang tidak adil.278
Dalam berbagai kasus, penetapan bunga kredit yang melebihi batas
maksimal oleh pengadilan dibatalkan sebab tidak sesuai dengan Pasal 18 ayat 1
huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang menyatakan :279
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
Selanjutnya pengadilan menyesuaikan bunga kredit dengan suku bunga kredit
yang berlaku secara umum sesuai dengan kepatutan dan kelayakan.
276
John Rawls, A Theory of Justice (Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Maret
2011, halaman 104. 277
Ahmadi Miru, Op.Cit, halaman 112. 278
Ibid, halaman 133. 279
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, Op.Cit.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
107
Selain pembebanan bunga kredit yang dapat berubah sewaktu-waktu itu,
dalam praktik, bank menerapkan perhitungan bunga berganda yang bertentangan
dengan Pasal 1251 KUH Perdata. Bunga berganda disebut juga bunga majemuk
atau bunga atas bunga adalah pembebanan bunga atas tunggakan pembayaran
angsuran kredit yang dikenakan atas bunga yang belum dibayarkan. Keadaan
pembebanan bunga berganda ini kerapkali menyebabkan kredit macet oleh karena
membengkaknya jumlah utang yang harus dibayar bahkan melebihi tunggakan
pokok utang.
Secara regulasi, ketentuan Pasal 1251 KUH Perdata memperkenankan
dianutnya sistem bunga berganda yang diatur sebagai berikut :
“Bunga dari uang pokok yang dapat ditagih dapat pula menghasilkan
bunga, baik karena suatu permintaan di muka pengadilan, maupun karena
persetujuan khusus, asal saja permintaan atau persetujuan tersebut
mengenai bunga yang harus dibayar untuk satu tahun.”
Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) hal dalam
Pasal 1251 KUH Perdata yang harus diperhatikan sebagai syarat pembebanan
bunga berganda, yaitu :280
a. Bunga yang dapat dibebani bunga harus merupakan bunga dari uang pokok
(pinjaman pokok). Dengan demikian bunga atas bunga yang berasal dari
bunga tidak dibenarkan.
b. Bunga hanya dapat dibebankan atas bunga yang harus dibayar untuk satu
tahun. Dengan demikian, bunga atas bunga yang dihitung bulanan, apalagi
harian, tidak dibenarkan.
c. Harus telah diperjanjikan secara khusus sebelumnya. Apabila tidak telah
diperjanjikan sebelumnya, maka pembebanannya hanya mungkin berdasarkan
keputusan pengadilan.
Dalam praktik perbankan di Indonesia, penerapan bunga berganda sering
tidak dituangkan sebagai klausula dalam perjanjian kredit bank. Barangkali karena
biasa diterapkan dalam kredit perbankan maka dianggap sudah menjadi kebiasaan
280
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 261.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
108
praktik yang dibenarkan. Dengan tidak dimuatnya syarat bunga berganda dalam
perjanjian kredit bank membuat perjanjian kredit bank tersebut tidak terang.
Selain tidak termuat dalam perjanjian kredit bank, pembebanan bunga
berganda di Indonesia ternyata tidak berjalan sesuai ketentuan Pasal 1251 KUH
Perdata, dimana pihak bank kreditur membebankan bunga berganda per bulan
terhitung saat terjadinya tunggakan pembayaran kredit, bukan per tahun
sebagaimana diamanatkan Pasal 1251 KUH Perdata. Juga tidak terdapat dasar
hukum tertulis yang membenarkan pembebanan bunga berganda secara bulanan
baik melalui perjanjian kredit maupun keputusan pengadilan, sehingga
pembebanan bunga berganda yang dipraktekkan perbankan Indonesia hanya
berdasarkan kebiasaan saja dan sangat memberatkan nasabah debitur.
Pembebanan bunga berganda adalah perbuatan yang tidak memberikan
keseimbangan perlakuan pada kreditur dan debitur. Ketidakseimbangan tersebut
menjadikan tidak ada keadilan dalam perjanjian kredit bank sebab terjadi
dominasi kepentingan pihak bank kreditur atas kepentingan pihak nasabah
debitur. Lagi pula bunga berganda yang diterapkan tersebut tidak diperjanjikan
sehingga semakin mempertegas terdapatnya ketidakseimbangan dalam
pelaksanaan perjanjian kredit bank sebagai ketidakadilan. Dalam hal ini John
Rawls berpendapat, dengan memberikan keadilan kepada mereka yang sebagai
balasannya dapat memberikan keadilan, prinsip saling timbal balik dipenuhi pada
tingkat tertingginya.281
Berpijak pada pendapat John Rawls tersebut, kesetaraan atau
keseimbangan dalam perjanjian kredit bank akan terwujud apabila pihak kreditur
maupun debitur saling memberikan keadilan sesuai perjanjian yang sah dan patut.
Pembebanan bunga berganda yang memberatkan nasabah debitur merupakan
pelanggaran terhadap keseimbangan kepentingan dalam perjanjian kredit bank
dan bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang menyatakan :282
Pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak
dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
281
John Rawls, Op.Cit, halaman 664. 282
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, Op.Cit.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
109
Pengenaan bunga berganda dapat diartikan sebagai denda atas bunga
karena keterlambatan pembayaran pinjaman, sehingga bunga berganda dapat
dipersamakan sebagai bunga terselubung. Dalam hal ini kiranya diperhatikan
kepentingan pihak bank kreditur yang melihat ketepatan waktu dalam pelunasan
utang sebagai hal yang sangat penting bagi pihak bank kreditur dalam rangka
perputaran modal. Semakin sering modal diputarkan maka pihak bank kreditur
akan semakin besar meraup keuntungan. Karena itu, pihak bank kreditur sulit
bertoleransi dengan keterlambatan mengembalikan pinjaman dan sebagai cara
agar pihak bank kreditur tidak dirugikan karena keterlambatan nasabah debitur
mengembalikan pinjaman adalah melakukan pengenaan denda bukan hanya atas
perbuatan keterlambatan pengembalian pinjaman tetapi juga atas bunga kredit. Di
sisi lainnya, nasabah debitur seolah-olah diberatkan dengan pengenaan denda
apalagi jika jumlah denda yang dijatuhkan melebihi angsuran pokok pinjaman
atau melebihi bunga yang seharusnya dibayarkan nasabah debitur apabila tidak
terlambat melunasi utang.
Tentang hal ini, Mahkamah Agung RI dalam Putusannya Nomor : 2027
K/Pdt./1984 tanggal 23 April 1986 dalam perkara antara PT. Merchant Investment
Corporation (PT. Merincorp) melawan Widodo Sukarno telah memutuskan bahwa
denda (penalty) yang telah diperjanjikan oleh para pihak atas keterlambatan
pembayaran pokok pinjaman pada hakekatnya merupakan suatu bunga
terselubung, maka berdasarkan asas keadilan hal tersebut tidak dapat dibenarkan.
Selanjutnya, dengan menelusuri pertimbangan hukumnya dapat ditemukan bahwa
denda tersebut dianggap bunga terselubung karena jumlahnya terlalu besar
sehingga secara asas keadilan tidak dibenarkan.
Dari putusan Mahkamah Agung tersebut, dapat ditarik 2 (dua) kesimpulan,
yaitu :
1. Denda yang besar dan tidak sesuai dengan keadilan adalah bunga terselubung.
2. Pengadilan berwenang mengintervensi dan meluruskan isi kesepakatan para
pihak apabila dinilai tidak sesuai dengan asas keadilan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, suatu perjanjian kredit bank hendaknya
dilandaskan pada asas kemitraan dimana antara bank kreditur dengan nasabah
debitur merupakan mitra usaha yang saling membutuhkan. Keadaan saling
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
110
membutuhkan berarti nasabah debitur tidak dapat berkembang usahanya tanpa
bank kreditur dan sebaliknya bank kreditur juga tidak dapat berkembang usahanya
tanpa nasabah debitur. Hubungan antara bank kreditur dengan nasabah debitur
dalam kemitraan usaha dapat disepadankan sebagai simbiosis mutualisma yang
saling menguntungkan. Dalam hubungan kemitraan usaha maka kedua belah
pihak haruslah memiliki kekuatan negosiasi yang seimbang.283
Akibat hukum dari ketidakseimbangan dalam perjanjian kredit bank dapat
mengakibatkan perjanjian kredit tersebut dapat dibatalkan atau menjadi batal demi
hukum. Dibatalkannya perjanjian kredit bank dapat diartikan dalam dua makna,
yaitu : 1) perjanjian kredit bank itu dibatalkan secara utuh, dan 2) pembatalan
hanya atas klausula perjanjian kredit bank yang mengandung eksonerasi saja.
KUH Perdata tidak memberikan rujukan tegas mengenai maksud dari
batalnya suatu perjanjian. Ketidakjelasan tersebut memberikan kewenangan bagi
hakim untuk menafsirkan maksud “batalnya suatu perjanjian”, akibatnya
penafsiran hakim menjadi berbeda-beda.
Dari berbagai literatur, secara umum pengertian batal ditujukan untuk
keadaan batalnya suatu perjanjian secara utuh, dan dalam berbagai kasus, batalnya
perjanjian kredit diarahkan pada batalnya klausula yang memberatkan nasabah
debitur saja. Dalam hal ini, penulis lebih sependapat pada praktik peradilan, yaitu
batalnya perjanjian kredit harus dimaknai sebagai batalnya klausula perjanjian
kredit yang mengandung eksonerasi saja.
Dibatalkannya klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit bank,
menjadikan perjanjian kredit tersebut tetap berlaku dan pembatalan hanya
sepanjang klausula eksonerasi saja. Konsekuensinya, utang nasabah debitur tetap
ada dan nasabah debitur tetap diwajibkan melakukan pelunasan utang berdasarkan
hukum, kepatutan, dan kelayakan. Misalnya, klausula bunga kredit yang tinggi
dibatalkan oleh hakim dan oleh hakim menetapkan besaran bunga kredit baru
yang sesuai dengan hukum, kepatutan, dan kelayakan.
Tentunya dengan hanya dilakukan pembatalan atas klausula eksonerasi
maka tujuan perjanjian kredit bank dapat diarahkan kembali pada tujuan awal
yaitu masing-masing pihak memperoleh keuntungan atas perjanjian kredit bank
283
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, halaman 214.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
111
tersebut. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa pihak-pihak yang terikat dalam
suatu perjanjian kredit bank adalah pihak-pihak yang saling membutuhkan dan
karena itu harus saling melengkapi.
Untuk itu perlu diciptakan iklim perjanjian kredit bank yang baik dan
bersahabat, menghindari adanya tekanan dan paksaan dan mengedepankan
negosiasi sebagai kebebasan melindungi kepentingan masing-masing dan mencari
keseimbangan kepentingan. Kesepakatan yang lahir dari keseimbangan
kepentingan adalah hukum yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.
Penerapan keadaan yang demikian merupakan pengaplikasian asas keseimbangan
dalam perjanjian kredit bank.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
112
BAB 4
ASAS KESEIMBANGAN PERJANJIAN KREDIT BANK
DALAM PUTUSAN HAKIM
4.1. PENCANTUMAN KLAUSULA “PENETAPAN DAN PERHITUNGAN
BUNGA BANK DILAKUKAN OLEH BANK” DALAM PERJANJIAN
KREDIT
Kajian atas pencantuman klausula “Penetapan dan Perhitungan Bunga
Bank Dilakukan Oleh Bank” dalam perjanjian kredit, ditampilkan penulis
dalam bentuk analisa terhadap putusan-putusan hakim terkait dimana hasil
analisis akan memberikan jawaban apakah pencantuman klausula tersebut
melanggar asas keseimbangan ataukah tidak. Untuk itu, berikut penulis
menyajikan 3 (tiga) buah putusan sebagai berikut :
4.1.1. Putusan Nomor : 3956 K/Pdt/2000 jo. Nomor :
628/Pdt/1999/PT.Sby jo. Nomor : 37/Pdt.G/1998/PN.GS.
Kasus Posisi :
Putusan Nomor : 37/Pdt.G/1998/PN.GS adalah putusan yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri GS atas gugatan perbuatan
melawan hukum yang diajukan SG dan AK selaku Penggugat kepada
Bank X selaku Tergugat dan Kepala Kantor Badan Y selaku Turut
Tergugat.
Dalam posita gugatannya, para penggugat mendalilkan bahwa
para penggugat dengan tergugat pada tanggal 2 Mei 1996 telah
menandatangani perjanjian kredit sebagaimana tertuang dalam Akta
Nomor : 2 dihadapan notaris YP dengan syarat pembebanan bunga
sebesar 21% per tahun dan juga agunan berupa sebidang tanah
bersertifikat hak milik Nomor 41/desa Randuagung, kecamatan
Kebomas, kabupaten Gresik di jalan Wahidin Sudirohusodo No. 123
Gresik.
Berdasarkan perjanjian kredit tersebut para penggugat telah
menerima fasilitas kredit sejumlah Rp.1.850.000.000,- (satu miliar
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
113
delapan ratus lima puluh juta rupiah) dan atas utang tersebut para
penggugat telah membayar sebesar Rp.540.000.000,- (lima ratus
empat puluh juta rupiah).
Para penggugat juga mendalilkan telah terjadi penyalahgunaan
keadaan dalam pembuatan perjanjian kredit tersebut dimana para
penggugat menyetujui perjanjian kredit tersebut dengan terpaksa
karena membutuhkan modal. Selain itu, dalam pelaksanaan perjanjian
tergugat telah menaikkan suku bunga kredit dari 21% menjadi 69%
tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada para penggugat.
Atas gugatan tersebut, tergugat telah mengajukan eksepsinya
dengan alasan bahwa gugatan penggugat kabur (obscuur libel) karena
tidak jelas posita dan petitumnya, tidak benar dalil gugatan yang
menyatakan telah terjadi penyalahgunaan keadaan karena penggugat
telah mengakui berutang pada tergugat, dan gugatan tersebut hanya
didasarkan pada itikad buruk untuk menunda pelaksanaan eksekusi
hipotik (vide putusan PN halaman 17).
Terhadap eksepsi tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa
alasan eksepsi yang dikemukakan tergugat telah termasuk dalam
materi pokok perkara sehingga eksepsi tergugat tidak cukup beralasan
dan harus dinyatakan ditolak (vide putusan PN halaman 18).
Selain eksepsi, tergugat juga mengajukan jawabannya atas
gugatan, halmana tergugat membenarkan dalil para penggugat
mengenai adanya utang para penggugat pada tergugat berdasarkan
Akta Nomor 2 dengan segala persyaratan yang telah dikemukakan
para penggugat dan untuk itu para penggugat telah memperoleh
fasilitas kredit sebesar Rp. Rp.1.850.000.000,- (satu miliar delapan
ratus lima puluh juta rupiah). Atas fasilitas kredit tersebut, para
penggugat telah membayarkan kewajibannya sebesar
Rp.540.000.000,- (lima ratus empat puluh juta rupiah).
Selebihnya, tergugat membenarkan adanya kenaikan suku
bunga kredit dimana hal tersebut sesuai dengan perjanjian kredit yaitu
penerapan suku bunga secara “fariable” sehingga perbuatan tergugat
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
114
menaikkan suku bunga kredit bukan penyalahgunaan keadaan
melainkan perbuatan melaksanakan isi perjanjian.
Terhadap jawaban tersebut, penggugat dalam repliknya
menyatakan tetap pada gugatannya, demikian pula tergugat dalam
dupliknya menyatakan tetap pada jawabannya.
Atas gugatan tersebut dan setelah mempertimbangkan fakta
persidangan, majelis hakim telah menjatuhkan putusan berupa
mengabulkan gugatan para penggugat untuk sebagian dan menyatakan
tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan
penyalahgunaan keadaan dalam penentuan kenaikan bunga.
Selanjutnya Majelis Hakim telah membatalkan dan menyatakan tidak
sah kenaikan bunga yang dibebankan oleh tergugat pada penggugat,
dan dikembalikan pada keadaan bunga awal yaitu sebesar 21% (dua
puluh satu persen) per tahun (vide amar putusan PN halaman 25-26).
Majelis hakim berpendapat bahwa perbuatan Tergugat
menaikkan suku bunga kredit dalam keadaan krisis moneter adalah
perbuatan yang dilakukan sesuka hatinya, tanpa mengindahkan
norma-norma kepatutan, keadilan serta kelayakan dalam masyarakat,
dimana debitur saat-saat krisis ekonomi juga mengalami kemunduran
dalam usahanya (vide putusan PN hal.24).
Selanjutnya majelis hakim juga mempertimbangkan perihal
perbuatan tergugat tidak memberitahukan adanya kenaikan suku
bunga kredit kepada para penggugat sebagai berikut : merupakan
kebiasaan di dunia perbankan setiap kenaikan suku bunga haruslah
diberitahukan pada para debitur, sehingga debitur tahu pasti mengenai
berapa pinjamannya, dan sejak kapan kenaikan tersebut diperlakukan,
ini sangat penting dalam rangka debitur berhak atas pengkontrolan
pinjaman serta bunganya apa sudah sesuai dengan ketentuan dan
kelayakan (vide putusan PN halaman 24).
Atas putusan Pengadilan Negeri GS tersebut, para penggugat
maupun tergugat mengajukan banding dimana permohonan banding
tersebut kemudian dicabut kembali oleh kedua belah pihak.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
115
Berdasarkan permohonan pencabutan banding tersebut,
Pengadilan Tinggi Sby melalui Penetapan Nomor : 628/Pdt/1999/PT.
Sby tanggal 4 Maret 2000 telah mengabulkan permohonan pencabutan
banding dan memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi untuk
mencoret permohonan banding tersebut dari daftar register untuk
perkara-perkara perdata serta mengirimkan kembali berkas perkaranya
kepada Pengadilan Negeri GS untuk diberitahukan kepada kedua
belah pihak yang beperkara. Juga kepada para penggugat-
pembanding/terbanding dan tergugat-terbanding/pembanding
dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat banding
masing-masing separuh.
Dalam pertimbangan hukumnya, Pengadilan Tinggi Sby
berpendapat bahwa : tidak ada alasan lagi bagi Pengadilan Tinggi Sby
untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut dalam tingkat
banding karena permohonan banding tersebut telah dicabut (vide
putusan PT halaman 2).
Atas penetapan Pengadilan Tinggi Sby tersebut, penggugat
prinsipal telah mengajukan permohonan kasasi dengan alasan bahwa
permohonan pencabutan banding tersebut tidak atas sepengetahuan
dan persetujuan penggugat prinsipal dan karena itu memohon kepada
Mahkamah Agung untuk memeriksa dan memutus perkaranya.
Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor : 3956
K/Pdt/2000 tanggal 23 Desember 2003 telah menolak permohonan
kasasi tersebut dengan alasan bahwa Pengadilan Tinggi tidak salah
menerapkan hukum, karena perkara tersebut oleh pemohon banding
telah dicabut, dengan demikian Mahkamah Agung tidak berwenang
untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut (vide putusan MA
halaman 12). Selanjutnya Mahkamah Agung juga mempertimbangkan
bahwa karena perkara tersebut oleh pemohon banding telah dicabut
maka pemohon kasasi tidak ada relevansinya lagi untuk mengajukan
keberatan atas putusan judex factie (Pengadilan Negeri) mengenai
materi pokok perkara (vide putusan MA halaman 12).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
116
Analisis Kasus :
Perjanjian kredit dalam perkara tersebut dituangkan dalam
bentuk tertulis berupa akta notaris. Akta notaris adalah akta otentik284
yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu dan tidak
disangkal keabsahannya. Perjanjian kredit tersebut telah digunakan
sebagai alat bukti surat dalam persidangan (bukti surat T-1).
Dalam perjanjian kredit tersebut termuat klausula yang
berbunyi : jumlah bunga setiap saat bisa berubah sesuai ketentuan
bank (vide putusan hal.24). Pencantuman klausula tersebut
menunjukkan bahwa suku bunga yang diterapkan dalam perjanjian
kredit tersebut menganut sistem floating rate of interest.285
Selain itu,
ternyata ditentukan pula bahwa suku bunga yang berlaku sebesar 21 %
per tahun yang menunjukkan diberlakukan pula sistem fixed rate of
interest.286
Menurut penulis, seharusnya pihak bank konsisten dalam
menerapkan sistem perhitungan bunga kredit, tentu dengan segala
konsekuensinya. Jika diterapkan sistem fixed rate of interest maka
pihak bank harus mempertimbangkan kepentingan para pihak dalam
hal keadaan moneter negara menjadi labil, demikian pula jika
284
Pasal 165 HIR menyebutkan bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang
telah dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang berwenang untuk itu,
memberikan diantara para pihak yang sekalian ahli warisnya serta semua orang yang
memperoleh hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diterangkan di
dalamnya, bahkan juga tentang apa yang termuat disitu sebagai suatu penuturan belaka;
namun mengenai yang terakhir ini hanyalah sekedar yang dituturkan itu ada
hubungannya, langsung dengan pokok isi akta. Bandingkan dengan Pasal 285 RBg. 285
Floating rate of interest adalah tingkat bunga yang berfluktuasi dengan
mengacu kepada tingkat bunga dasar yang bersangkutan yang disebut base lending rate
atau prime rate atau mengacu kepada tingkat bunga yang terjadi di pasar uang antar bank
atau mengacu kepada external rate seperti discount rate dari bank sentral. Tingkat bunga
tersebut berubah-ubah sejalan dengan perubahan tingkat bunga yang menjadi acuannya.
System tersebut berbeda dengan fixed rate of interest. Lihat Sutan Remy Sjahdeini,
Kredit Sindikasi Proses pembentukan dan Aspek Hukum : Bab XI Perjanjian Kredit
Sindikasi, sebagaimana termuat dalam Reading Material Hukum Perbankan 1 yang
dikumpulkan oleh Yunus Husen dan Zulkarnain Sitompul, Op.Cit, halaman 129-130. 286
Bank-bank di Indonesia pada umumnya menetapkan bunga kredit kepada
nasabahnya dengan menggunakan system fixed rate of interest. (Lihat Sutan Remy
Sjahdeini, Kredit Sindikasi Proses pembentukan dan Aspek Hukum : Bab XI Perjanjian
Kredit Sindikasi, sebagaimana termuat dalam Reading Material Hukum Perbankan 1
yang dikumpulkan oleh Yunus Husen dan Zulkarnain Sitompul, Ibid, halaman 129-132).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
117
menerapkan sistem floating rate of interest, pihak bank juga harus
mempertimbangkan kepentingan para pihak dalam hal kondisi
moneter negara stabil.
Kewajiban mempertimbangkan kemungkinan keadaan moneter
negara tersebut haruslah disampaikan pihak bank kepada calon
nasabah debitur dengan menunjukkan segala konsekuensinya melalui
penjelasan yang mendetail. Perubahan kondisi moneter negara287
dari
stabil menjadi labil merupakan resiko yang harus ditanggung kedua
belah pihak sebagai konsekuensi menerapkan sistem perhitungan
bunga kredit.288
Di sisi lainnya, karena suatu perjanjian dilandaskan pada
kesepakatan para pihak, dimana unsur sepakat memegang peranan
penting,289
maka tetap terbuka kemungkinan bagi para pihak
memperbaharui isi perjanjian berdasarkan kesepakatan bersama.
287
Perubahan sistem moneter negara tidak terlepas dari peranan Bank Indonesia
dalam memelihara nilai rupiah. Dalam hal ini, untuk mencapai dan memelihara kestabilan
rupiah, Bank Indonesia perlu ditopang dengan tiga pilar utama yaitu :
a. Kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian.
b. Sistem pembayaran yang cepat dan tepat.
c. Sistem perbankan dan keuangan yang sehat.
Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia berwenang
menetapkan sasaran moneter dan melakukan pengendalian moneter sebagai berikut :
a. Melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang ditetapkan.
b. Mengelola cadangan devisa untuk memenuhi kewajiban luar negeri.
c. Memelihara keseimbangan neraca pembayaran.
d. Memelihara pinjaman luar negeri.
Untuk mencapai sasaran-sasaran moneter tersebut, Bank Indonesia menjalankan
fungsinya sebagai lender of the resort, yaitu membantu mengatasi mismatch yang
disebabkan oleh resiko kredit atau resiko pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, resiko
manajemen dan resiko pasar. (Lihat Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan :
Bab 2 Sistem Keuangan Indonesia, Reading Material Hukum Perbankan 2 yang
dikumpulkan oleh Yunus Husain dan Zulkarnain Sitompul, Op.Cit, halaman 33-34). 288
Suku bunga biasanya mengandung suatu fungsi kompensasi atas suatu resiko
keuangan yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk (Lihat Tarek El – Diwany, Op.Cit,
halaman 34). 289
Secara a contralio, putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 3909 K/Pdt/1994
tanggal 7 Mei 1997 yang menyatakan : tidak adanya kata sepakat antara penggugat dan
tergugat, baik atas jumlah utang dan barang jaminannya antara lain perjanjian kredit
adalah merupakan cacat hukum, menurut Pasal 1320 BW, perjanjian tersebut tidak sah (,
dapat ditafsir bahwa perjanjian yang sah adalah perjanjian yang didasarkan pada kata
sepakat para pihak sebagai syarat yang diatur Pasal 1320 KUH Perdata (Mahkamah
Agung RI, Op.Cit, halaman 132).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
118
Dalam hal terjadi perubahan kondisi moneter negara dari
keadaan stabil menjadi labil, para pihak dapat saja melakukan
negosiasi ulang sistem perhitungan bunga kredit maupun besaran
bunga kredit yang diterapkan dalam bentuk pembaharuan perjanjian
kredit bank.
Negosiasi ulang merupakan tahapan yang mendahului
penyesuaian perjanjian sebagai upaya pemulihan keseimbangan sebab
dalam asas keseimbangan sudah terkandung kewajiban melakukan
negosiasi ulang yang dibebankan kepada para pihak dalam rangka
menemukan pengaturan yang menguntungkan kedua belah pihak.290
Negosiasi ulang dapat ditempuh dengan cara pihak bank
terlebih dahulu menetapkan besaran bunga kredit baru dan diikuti
dengan kewajiban memberitahukan kepada nasabah debitur tentang
perubahan suku bunga kredit. Selanjutnya pihak bank harus
menyiapkan ruang bagi nasabah debitur untuk melakukan negosiasi
bunga kredit. Dalam negosiasi tersebut diharapkan pihak nasabah
debitur dapat mengemukakan kondisi riilnya berkaitan dengan
perubahan moneter negara sebagai bahan bagi pihak bank
mempertimbangkan kemungkinan meninjau kembali bunga kredit
yang telah ditetapkannya. Penentuan besaran bunga kredit baru harus
didasarkan pada kajian yang mendalam dan obyektif dengan tetap
mempertimbangkan perlindungan atas kepentingan masing-masing
pihak secara berimbang.
Pemberian ruang negosiasi ini diperlukan sebab kondisi tidak
menentunya keadaan moneter negara bukan hanya menyulitkan pihak
bank tetapi juga telah menyulitkan nasabah debitur. Dengan ruang
negosiasi ulang, diharapkan para pihak dapat menyepakati bunga
kredit baru dengan kemungkinan kembali memberlakukan bunga
kredit awal apabila moneter negara telah stabil maupun kemungkinan
penerapan bunga kredit baru mengikuti suku bunga kredit yang
290
Herlien Budiono, Op.Cit, halaman 489.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
119
ditetapkan oleh bank pemerintah ketika keadaan moneter negara telah
pulih.
Selain itu, dengan diberikannya ruang negosiasi ulang maka
pihak bank kreditur telah menunjukkannya jati dirinya sebagai bank
milik bangsa Indonesia dimana bangsa Indonesia selalu
mengedepankan nilai-nilai musyawarah untuk mencapai mufakat
dalam setiap pengambilan keputusan atau kebijakan.
Perbuatan tergugat menutup ruang negosiasi ulang merupakan
perbuatan yang melanggar asas fairness dimana oleh karena suatu
perjanjian dibuat untuk kepentingan semua pihak, maka perjanjian
tersebut harus dibuat dengan mengindahkan dan memperhatikan
kepentingan dari pihak-pihak yang tersangkut.291
Dalam konsep
kewajaran (fairness), bank harus senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh stakeholders berdasarkan asas kesetaraan dan
kewajaran (equal treatment) dan bank harus memberikan kesempatan
kepada seluruh stakeholders untuk memberikan masukan dan
menyampaikan pendapat bagi kepentingan bank serta mempunyai
akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip keterbukaan.292
Dalam perkara tersebut, keadaan tidak menentunya moneter
negara telah dimanfaatkan tergugat (bank X) untuk meraup
keuntungan yang sebesar-besarnya melalui penetapan perubahan
kenaikan bunga kredit sepihak secara signifikan yang tidak sesuai
dengan kepatutan dan kelayakan. Perbuatan tergugat tersebut
merupakan perbuatan sengaja berlaku curang dengan memanfaatkan
kelemahan perjanjian kredit. Hal ini dapat dilihat dari dalil posita
gugatan angka 10 (vide putusan Pengadilan Negeri hal.5) dimana para
penggugat menyatakan bahwa tergugat tidak pernah memberitahukan
291
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI,
Pengkajian Masalah Hukum Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta, Juli 2004,
halaman 25. 292
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI,
Analisa dan Evaluasi Hukum tentang Perubahan Undang-Undang Perbankan (UU
Nomor 7/1992 Jo UU nomor 10/1998), Jakarta, 2007, halaman 46.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
120
adanya kenaikan bunga kredit. Disamping itu, para penggugat juga
telah mengajukan bukti P-1, P-2 dan P-6 berupa surat yang ditujukan
pada pimpinan bank X untuk meminta salinan akta-akta rekening
koran dan pemberitahuan tentang kenaikan bunga kredit, bukti-bukti
surat tersebut tidak dibantah oleh tergugat (vide putusan Pengadilan
Negeri hal.21).
Fakta persidangan tersebut memperlihatkan bahwa tergugat
tidak pernah memberitahukan adanya kenaikan bunga kredit kepada
para penggugat. Dengan tidak diberitahukannya perubahan bunga
kredit menjadikan tidak adanya ruang bernegosiasi. Hal tersebut
menunjukkan bahwa tergugat (bank X) tidak melindungi kepentingan
para penggugat atau memberikan perlindungan atas keseimbangan
kepentingan para pihak. Selain itu tergugat telah memanfaatkan
keadaan moneter negara yang labil untuk meraup keuntungan sepihak.
Dari perspektif perlindungan konsumen, pencantuman klausula
“penetapan dan perhitungan bunga bank oleh bank” merupakan
klausula yang memberikan kemungkinan terjadinya perubahan bunga
kredit bank dimana mewajibkan penggugat selaku nasabah debitur dan
tergugat selaku bank kreditur untuk tunduk pada keadaan masa
mendatang yang tidak pasti. Dengan kewenangan menetapkan suku
bunga baru berada pada pihak bank kreditur (tergugat) maka tergugat
dalam menetapkan bunga kredit baru akan terlebih dahulu memastikan
keuntungan yang akan diperolehnya dari penerapan bunga kredit baru.
Kewenangan tersebut bersifat subyektif dimana dalam keadaan
tertentu pihak tergugat dapat saja mengorbankan kepentingan pihak
penggugat.
Pencantuman klausula yang mewajibkan para pihak tunduk
pada keadaan yang tidak pasti adalah bertentangan dengan Pasal 18
ayat 1 g huruf a Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang secara tegas melarang pencantuman
klausula dalam bentuk : ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
kemudian secara sepihak oleh bank, baik mengenai penetapan bunga,
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
121
biaya, ongkos, denda kurs, termasuk pemberlakuan ketentuan yang
sudah ada maupun yang akan berlaku dikemudian hari.293
Larangan mencantumkan klausula yang sifatnya mewajibkan
para pihak tunduk pada keadaan yang tidak pasti, dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan bagi nasabah debitur sekaligus menjaga
keseimbangan penempatan kepentingan masing-masing pihak dalam
perjanjian kredit bank. Hal ini menjadi penting sebab suatu
kesepakatan yang diambil dalam perjanjian kredit bank haruslah
didasarkan pada kejelasan hal yang disepakati termasuk pemahaman
yang komprehensif atas apa yang akan disepakati, sehingga
kesepakatan tersebut merupakan kesepakatan atas apa yang
dimengerti.
Hal menarik lainnya yang perlu untuk dikaji adalah ditemukan
fakta hukum berupa tidak tercantumnya kewajiban pihak bank
kreditur memberitahukan perubahan suku bunga kredit kepada
nasabah debitur dalam perjanjian kredit bank tersebut.
Menurut penulis, dengan tidak mensyaratkan pemberitahuan
perubahan suku bunga kepada nasabah debitur maka klausula tersebut
menjadi tidak terang. Pencantuman klausula yang tidak terang
memberikan berbagai penafsiran dimana masing-masing pihak akan
menafsirkan sesuai dengan kepentingannya, dalam hal ini para
penggugat menafsirkan bahwa perubahan bunga kredit wajib
diberitahukan kepada penggugat selaku nasabah debitur, sedangkan
tergugat selaku kreditur menafsirkannya bahwa tidak ada kewajiban
dari klausula perjanjian yang mewajibkan setiap perubahan bunga
kredit harus disampaikan atau diberitahukan kepada nasabah debitur.
Pencantuman klausula multi tafsir tersebut merupakan celah
yang menguntungkan pihak bank kreditur untuk bertindak sewenang-
wenang dalam menentukan bunga kredit maupun dalam membatasi
293 Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Op.Cit.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
122
hak nasabah debitur memperoleh informasi memadai atas penetapan
perubahan suku bunga kredit.
Klausula multi tafsir tersebut merupakan klausula eksonerasi
yang membatasi tanggung jawab bank kreditur atas kerugian yang
dialami nasabah debitur karena pembebanan sepihak bunga kredit
tanpa memperhatikan kepatutan dan kelayakan. Dengan klausula yang
demikian, pihak bank kreditur akan berlindung dalam argumentasi
bahwa kewenangan menentukan bunga kredit adalah kewenangan
bank kreditur dan tidak terdapat kewajiban bank kreditur untuk
memberitahukannya kepada nasabah debitur.
Dalam perkara tersebut, meskipun tidak dicantumkan secara
tegas kewajiban memberitahukan kepada nasabah debitur mengenai
kenaikan bunga kredit, namun sesuai dengan kebiasaan dalam praktek
perbankan merupakan kewajiban pihak bank kreditur memberitahukan
kenaikan bunga kredit kepada nasabah debitur.
Selanjutnya, dikarenakan dalam perjanjian kredit tersebut
terjadi perubahan suku bunga yang tidak sesuai dengan norma-norma
kepatutan, keadilan serta kelayakan dalam masyarakat, majelis hakim
telah membatalkan perjanjian kredit bank tersebut sepanjang klausula
suku bunga yang bertentangan dengan norma-norma kepatutan,
keadilan serta kelayakan dalam masyarakat dan mengembalikan bunga
kredit pada suku bunga yang diperjanjikan yaitu 21 % per tahun
sebagai suatu kelayakan dan kepatutan.
Penulis berpendapat bahwa majelis hakim mengartikan
kepatutan dan kelayakan dalam hal bunga adalah bunga sebagaimana
yang diperjanjikan.294
Selanjutnya majelis hakim tidak
mempertimbangkan apakah suku bunga awal yang diperjanjikan
tersebut telah memenuhi kepatutan dan kelayakan ataukah tidak.
Apabila majelis hakim sampai pada pertimbangan kepatutan
dan kelayakan bunga kredit awal maka terdapat 2 (dua) kemungkinan
294
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 289 K/Sip/1972 tanggal 22 Juli 1972
mengandung kaidah hukum bahwa besarnya suku bunga pinjaman adalah sebagaimana
yang telah diperjanjikan bersama (Mahkamah Agung RI, Op.Cit, halaman 25).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
123
yang dapat diputuskan majelis hakim yaitu pertama, bunga kredit
awal telah patut dan layak dan kedua, bunga kredit awal tidak patut
dan layak sehingga perlu disesuaikan dengan kepatutan dan
kelayakan. Meskipun bunga kredit awal dipandang telah patut dan
layak, seharusnya majelis hakim juga memaparkan argumentasi
hukumnya yang mendasari pendapatnya bahwa bunga kredit awal
telah patut dan layak.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, terurai bahwa perjanjian
kredit antara para penggugat dengan tergugat sesuai Akta Nomor : 2,
tidak memberikan kepastian hukum dalam penerapan sistem
perhitungan bunga kredit dan terjadi penghilangan hak nasabah
debitur untuk memperoleh informasi memadai mengenai perubahan
bunga kredit.
Keadaan demikian merupakan penyalahgunaan keadaan
dimana tergugat (bank X) menghindarkan dirinya dari keadaan yang
merugikan usahanya dengan mengorbankan kepentingan pihak
nasabah debitur. Perbuatan tergugat tersebut telah menjadikan tidak
terdapat keseimbangan kepentingan dalam perjanjian kredit bank
khususnya terhadap perubahan bunga kredit bank. Ketiadaan
keseimbangan kepentingan tersebut telah diseimbangkan oleh majelis
hakim dengan membatalkan perubahan bunga kredit atas dasar
kepatutan dan kelayakan.
4.1.2. Putusan Nomor : 1530 K/Pdt/2011 Jo. Nomor : 448/Pdt/2010/PT.
Smg Jo. Nomor : 11/Pdt.G/2010/PN.Jpr.
Kasus Posisi :
Putusan Nomor : 11/Pdt.G/2010/PN.Jpr adalah putusan yang
dijatuhkan Pengadilan Negeri Jpr atas gugatan perbuatan melawan
hukum yang diajukan oleh SW selaku Penggugat terhadap PT.Bank Y
sebagai Tergugat I dan Pemerintah RI Cq. Menteri Z Cq. Dirjen Z1
Cq. Kanwil Z2, selaku Tergugat II.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
124
Dalam posita gugatannya, penggugat mendalilkan bahwa
antara penggugat dengan tergugat terdapat perikatan yang lahir dari
perjanjian kredit tertanggal 7 Nopember 2000 Nomor : 388/KC-
I/II/2000 sebagaimana tertuang dalam akta notaris ZR, perjanjian
kredit mana disertai agunan berupa :
a. Sebidang tanah dan bangunan, sertifikat Hak Milik nomor 1678
yang terletak di desa Ngabul, kecamatan Tahunan, kabupaten
Jepara.
b. Sebidang tanah dan bangunan, sertifikat Hak Milik nomor 714
yang terletak di desa Ngabul, kecamatan Tahunan, kabupaten
Jepara.
c. Sebidang tanah dan bangunan, sertifikat Hak Milik nomor 2624
yang terletak di desa Ngabul, kecamatan Tahunan, kabupaten
Jepara.
d. Sebidang tanah dan bangunan, sertifikat Hak Milik nomor 3146
yang terletak di desa Ngabul, kecamatan Tahunan, kabupaten
Jepara.
Berdasarkan perjanjian kredit tersebut, penggugat telah
memperoleh fasilitas kredit sebesar Rp.450.000.000,- (empat ratus
lima puluh juta rupiah) dengan posisi baki debet per Pebruari 2010
sebesar Rp.440.000.000,- (empat ratus empat puluh juta rupiah) yang
menunjukkan keadaan terakhir tunggakan pokok pinjaman penggugat
pada tergugat di luar bunga, administrasi dan denda/penalty adalah
sebesar Rp.440.000.000,- (empat ratus empat puluh juta rupiah).
Selanjutnya penggugat mendalilkan bahwa terdapat
kejanggalan dalam perhitungan tunggakan kredit yang dilakukan oleh
tergugat. Menurut penggugat, sesuai surat peringatan pertama
tergugat I Nomor : B.373-KC/VIII/KRD/02/2009 tanggal 03 Pebruari
2009, tunggakan kredit penggugat sebesar Rp.453.314.581,- dengan
perincian tunggakan pokok kredit sebesar Rp.440.000.000,- dan
tunggakan bunga sebesar Rp.13.314.518,-. Selanjutnya dalam surat
peringatan kedua Nomor : B.2241-KC/XIII/KRD/07/2009 tanggal 15
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
125
Juli 2009, tunggakan penggugat telah berjumlah Rp.506.491.655,-
(lima ratus enam juta empat ratus sembilan puluh satu ribu enam ratus
lima puluh lima rupiah), dengan perincian tunggakan pokok kredit
sebesar Rp.440.000.000,-, tunggakan bunga sebesar Rp.37.848.773,-
dan penalty sebesar Rp.28.632.882,-. Perhitungan tunggakan kredit
semakin terasa janggal dengan munculnya lagi surat peringatan kedua
Nomor : B.2367-KC/VIII/KRD/07/2009 tertanggal 29 Juli 2009
dimana tunggakan kredit penggugat diperhitungkan sebesar
Rp.515.540.382,- (lima ratus lima belas juta lima ratus empat puluh
ribu tiga ratus delapan puluh dua rupiah), dengan perincian tunggakan
pokok kredit sebesar Rp.440.000.000,-, tunggakan bunga, administrasi
dan denda sebesar Rp.75.540.382,-.
Atas kejanggalan perhitungan tunggakan kredit tersebut,
penggugat dengan itikad baik telah mengkomunikasikannya pada
tergugat. Penggugat juga telah meminta agar diberikan kelonggaran
waktu pelunasan tunggakan kredit, dengan harapan agar tergugat
memaklumi keadaan ekonomi penggugat setelah ditinggal suaminya.
Selain itu penggugat juga beralasan bahwa tergugat belum
memberikan rincian tunggakan kredit yang disinyalir penggugat
terdapat kejanggalan. Selanjutnya penggugat menawarkan solusi
untuk pembayaran total kewajiban menunggu tiga tahun lagi dengan
pertimbangan akan mendapatkan uang dari hasil perpanjangan kontrak
gudang penggugat.
Menurut penggugat, penawaran solusi tersebut tidak
diindahkan tergugat malahan tergugat melakukan pelelangan atas
agunan tanpa sepengetahuan penggugat dengan harga lelang jauh di
bawah harga pasar.
Atas gugatan tersebut, tergugat telah mengajukan jawaban
halmana tergugat membenarkan terdapatnya perikatan berdasarkan
perjanjian kredit diantara penggugat dengan tergugat berdasarkan
Surat Perjanjian Kredit Nomor 388/KC-1/11/2000 tanggal 07
November 2000 yang dilegalisasi oleh notaris DS Nomor :
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
126
8245/L/XI/2000. Tergugat juga membenarkan dalil adanya agunan
yang diberikan penggugat kepada tergugat sebagaimana bentuk dan
jenisnya telah diutarakan penggugat.
Selanjutnya, tergugat juga membenarkan adanya pemberian
fasilitas kredit yang diberikan tergugat kepada penggugat dengan
keadaan akhir utang tergugat sebesar Rp.450.000.000,00 dengan
tanggal jatuh tempo adalah 03 Maret 2009.
Menurut tergugat, dengan itikad baik tergugat telah
memberikan kesempatan yang cukup kepada penggugat untuk
melunasi pinjaman kreditnya yaitu terhitung sejak addendum
perpanjangan dan suplesi kredit terakhir tanggal 6 Maret 2006 hingga
tanggal jatuh tempo 03 Maret 2009, bahkan tergugat telah
memberikan 3 (tiga) kali surat teguran kepada penggugat sebagaimana
telah diakui penggugat beserta rincian tunggakannya, akan tetapi
penggugat tidak melunasi pinjaman kreditnya.
Selanjutnya tergugat mendalilkan bahwa dikarenakan
penggugat tidak juga melunasi pinjaman kreditnya maka sesuai
dengan perjanjian kredit, tergugat melakukan pelelangan atas agunan
melalui lembaga yang berwenang dimana pelelangan tersebut
dilakukan sesuai dengan prosedur lelang dan hasilnya obyek lelang
tidak laku terjual. Karena itu tidak benar tergugat melakukan
perbuatan melawan hukum, justeru penggugat yang melakukan
wanprestasi.
Tergugat juga menyatakan bahwa perhitungan utang
penggugat haruslah tetap dihitung sesuai dengan perjanjian kredit
berupa total pinjaman pokok, bunga, denda dan beban lainnya
sejumlah Rp.515.540.382,- (lima ratus lima belas juta lima ratus
empat puluh ribu tiga ratus delapan puluh dua rupiah).
Terhadap jawaban tersebut, penggugat dalam repliknya
menyatakan tetap pada gugatannya, demikian pula tergugat dalam
dupliknya menyatakan tetap pada jawabannya.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
127
Atas gugatan tersebut, majelis hakim tingkat pertama telah
menjatuhkan putusan berupa menolak gugatan penggugat seluruhnya
dengan pertimbangan bahwa perjanjian kredit antara penggugat
dengan tergugat telah memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana
Pasal 1320 KUH Perdata sehingga harus diberlakukan sebagai
undang-undang diantara kedua belah pihak sesuai Pasal 1338 KUH
Perdata (vide putusan Pengadilan Negeri halaman 26). Juga
dipertimbangkan bahwa meskipun penggugat telah mengajukan
permohonan perpanjangan jangka waktu kredit akan tetapi
permohonan tersebut belum dikabulkan tergugat sehingga tunggakan
utang penggugat tetap ada sebagaimana jumlah yang ditentukan yaitu
sudah selayaknya adalah utang pokok, denda dan biaya administrasi
lainnya sesuai kesepakatan para pihak sebagaimana tercantum dalam
surat perjanjian kredit (vide putusan Pengadilan Negeri halaman 26).
Terhadap pelaksanaan lelang, majelis hakim tingkat pertama
berpendapat bahwa harga limit telah didasarkan pada penilaian yang
benar dan dapat dipertanggungjawabkan yaitu tergugat I telah
melakukan penilaian terhadap barang yang akan dilelang dan
diperkuat dengan surat keterangan dari desa setempat, sehingga proses
lelang tersebut telah melalui prosedur hukum yang berlaku (vide
putusan Pengadilan Negeri halaman 27).
Atas putusan pengadilan tingkat pertama tersebut, penggugat
mengajukan banding. Dalam putusannya bernomor :
448/Pdt/2010/PT.Smg tanggal 25 Januari 2011, majelis hakim tingkat
banding telah menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama dengan
pertimbangan bahwa majelis hakim tingkat banding sependapat
dengan pertimbangan hukum majelis hakim tingkat pertama (vide
putusan PT halaman 4). Selanjutnya majelis hakim tingkat banding
mengambilalih seluruh pertimbangan hukum pengadilan negeri
tingkat pertama menjadi bagian pertimbangan hukum majelis hakim
tingkat banding (vide putusan PT halaman 5).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
128
Terhadap putusan pengadilan tingkat banding tersebut,
penggugat/pembanding telah mengajukan permohonan kasasi
berdasarkan Akte Permohonan Kasasi Nomor : 11/Pdt.G/2010/Pn.Jpr
Jo 448/Pdt/2010/PT.Smg tanggal 23 Februari 2011 disertai memori
kasasi yang diserahkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut
pada tanggal 7 Maret 2011.
Atas permohonan kasasi tersebut, majelis hakim tingkat kasasi
dalam putusannya telah menolak permohonan kasasi tersebut dengan
pertimbangan bahwa mengenai penilaian hasil pembuktian yang
bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, halmana tidak dapat
dipertimbangkan pada pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena
pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya
kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang
berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila
pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang
Nomor 5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Lagi
pula ternyata putusan judex factie tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau undang-undang (vide putusan MA halaman 10).
Analisis Kasus :
Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata mengatur bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Perlu digarisbawahi bahwa pemberlakuan
suatu perjanjian sebagai undang-undang bagi para pihak hanyalah atas
perjanjian yang sah menurut Pasal 1320 KUH Perdata yaitu atas
terpenuhinya syarat subyektif dan syarat obyektif suatu perjanjian.
Perkembangan selanjutnya, seturut dengan pengakuan misbruik van
omstadigheden sebagai alasan pembatalan perjanjian di negeri
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
129
Belanda, akhir-akhir ini peradilan Indonesia dalam praktiknya juga
menjadikan “penyalahgunaan keadaan” sebagai alasan batalnya suatu
perjanjian.295
Praktik peradilan yang telah mengadopsi ajaran
penyalahgunaan keadaan sebagai alasan baru pembatalan perjanjian
meskipun belum diatur dalam hukum positif, menunjukkan bahwa
hakim tidak lagi berlaku sebagai corong undang-undang akan tetapi
berparadigma progresif dalam menyelesaikan perkara yang diajukan
kepadanya. Hakim hanya diperkenankan memutus perkara sesuai
bunyi undang-undang apabila diyakininya bahwa bunyi undang-
undang tersebut relevan diterapkan dalam perkara tersebut karena
masih sesuai dengan perkembangan zaman. Jika hakim meyakini
bahwa suatu aturan hukum telah usang dan tidak dapat lagi diterapkan
dalam suatu perkara maka harus dianggap bahwa perkara tersebut
tidak ada hukumnya dan karena itu hakim harus menggali dan
menemukan hukum.
Sesuai dengan fokus kajian, maka atas putusan perkara
tersebut, penulis akan mengkaji tentang ketidakjelasan perhitungan
tunggakan bunga kredit disertai penerapan sistem bunga dalam
perjanjian kredit bank.
Hasil pencermatan penulis atas dalil gugatan penggugat,
terlihat besaran tunggakan bunga penggugat sebesar Rp.43.403.752,-
(empat puluh tiga juta empat ratus tiga ribu tujuh ratus lima puluh dua
rupiah) dengan rincian perkembangan tunggakan bunga sebagai
berikut :
- Pada tanggal 03 Pebruari 2009 bunga sebesar Rp.13.314.581,-
- Pada tanggal 15 Juli 2009 bunga sebesar Rp.37.848.773,-
- Pada tanggal 29 Juli 2009 bunga sebesar Rp.43.403.752,-
295
Ajaran misbruik van omstadigheden sudah menjelma menjadi ketentuan
undang-undang di dalam Nieuw Burgelijk Wetboek, undang-undang mana berlaku di
Nederland terhitung 1 Januari 1992 (Lihat H.P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan
(Misbruik van Omstadigheden) sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian
(Berbagai Perkembangan hukum di Belanda dan di Indonesia)), Op.Cit, halaman 3).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
130
Dari rincian di atas terlihat telah terjadi peningkatan tunggakan
bunga yang cukup signifikan, bahkan dalam 14 hari (15 Juli 2009
hingga 29 Juli 2009) terjadi peningkatan bunga sebesar Rp.5.554.979,-
(lima juta lima ratus lima puluh empat ribu sembilan ratus tujuh puluh
sembilan rupiah).
Apabila bunga per 29 Juli 2009 dirata-ratakan dengan jumlah
hari per 03 Pebruari 2009 hingga 29 Juli 2009 untuk mengetahui
bunga harian, maka suku bunga harian per periodeisasi 03 Pebruari
2009 hingga 29 Juli 2009 akan berbeda dengan suku bunga harian
periode 15 Juli 2009 hingga 29 Juli 2009 (14 hari). Artinya dalam
perjanjian kedit tersebut sistem bunga yang dibebankan adalah bunga
berbunga296
atau bunga berganda.297
Sesuai dengan Pasal 1251 KUH Perdata, bunga berganda
hanya diperkenankan untuk perhitungan tunggakan utang dan bunga
selama 1 (satu) tahun. Jika dicermati periodeisasi tunggakan utang dan
bunga, yaitu terhitung saat mulai macetnya angsuran utang
(8 Nopember 2008) hingga peringatan ketiga tanggal 29 Juli 2009
maka rentang waktu tersebut belum mencukupi masa 1 (satu) tahun
dan karena itu berdasarkan Pasal 1251 KUH Perdata belum dapat
diterapkan bunga berganda. Selain itu, penerapan bunga berganda
haruslah atas keputusan pengadilan maupun atas persetujuan khusus
para pihak dan tidak dapat diterapkan sepihak oleh tergugat I.
Penerapan bunga berganda yang dilakukan tergugat I hanya
didasarkan pada kebiasaan dalam dunia perbankan dimana jika dilihat
296
Dari banyak jenis skema bunga yang berlaku di dalam sistem keuangan
modern, dapat dibuat pembedaan antara bunga sederhana sebagai konsep pembebanan
bunga hanya dilakukan atas pokok utang saja, dan bunga berbunga yaitu konsep
pembebanan bunga dilakukan pada jumlah pokok dan bunga dalam interval waktu
tertentu (Tarek El Diwany, Op.Cit, halaman 13). 297
Untuk kredit bank, bukan saja bunga berganda sering tidak diperjanjikan di
dalam perjanjian kredit, tetapi juga bunga dibebankan atas bunga yang dipungut bulanan
serta bunga dibebankan bukan atas bunga yang berasal dari pinjaman pokok saja, tetapi
juga terhadap bunga yang berasal dari bunga. (Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Kredit
Sindikasi Proses pembentukan dan Aspek Hukum : Bab XI Perjanjian Kredit Sindikasi,
sebagaimana termuat dalam Reading Material Hukum Perbankan 1 yang dikumpulkan
oleh Yunus Husen dan Zulkarnain Sitompul, Op.Cit, halaman 136).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
131
dari segi keseimbangan kepentingan kreditur dan debitur maka
perbuatan tergugat I tersebut telah menyebabkan ketidakadilan bagi
penggugat selaku nasabah debitur.
Penerapan suku bunga berganda atas tunggakan kredit
penggugat yang tidak memenuhi syarat hukum sangat memberatkan
penggugat selaku nasabah debitur. Dengan demikian penerapan bunga
berganda oleh tergugat I terhadap kredit penggugat adalah
bertentangan dengan hukum, kepatutan dan kelayakan. Apalagi,
selain bunga berganda, tergugat I juga membebankan denda terhadap
penggugat selaku nasabah debitur dimana sesuai dengan putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 2027 K/Pdt/1984 tanggal 23 April 1986,
denda (penalty) merupakan bunga terselubung. Dengan penerapan
bunga berganda dan sekaligus juga denda, tentu memberikan
keuntungan berganda bagi tergugat I dan merugikan penggugat selaku
nasabah debitur sehingga tidak terdapat keseimbangan dalam
perjanjian kredit tersebut.
Permintaan/tuntutan penggugat agar tergugat I memberikan
rincian perhitungan bunga kredit dimana tergugat I tidak pernah
memenuhinya telah membatasi hak penggugat untuk memperoleh
infomasi yang memadai. Dengan tidak diberikannya rincian
perhitungan bunga kredit mengindikasikan terdapatnya “persoalan”
dalam menetapkan bunga atas kredit penggugat. Persoalan tersebut
dapat diarahkan pada berbagai penafsiran termasuk kemungkinan
telah terjadinya perubahan suku bunga kredit secara tidak wajar tanpa
pemberitahuan kepada penggugat selaku nasabah debitur.
Dalam putusan tersebut majelis hakim tidak
mempertimbangkan tuntutan penggugat agar tergugat I memberikan
rincian perhitungan bunga kredit. Menurut penulis, tuntutan tersebut
seharusnya dipertimbangkan dalam putusan hakim karena inti
persengketaan adalah kejanggalan dalam perhitungan bunga kredit
yang mempengaruhi besaran tunggakan kredit penggugat. Selain itu,
dengan mempertimbangkan tuntutan penggugat agar diberikan rincian
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
132
perhitungan bunga kredit maka majelis hakim telah turut menegakkan
hak penggugat untuk memperoleh informasi yang memadai dan
menghilangkan penafsiran mengenai “persoalan” dalam perhitungan
bunga kredit.
Dalil penggugat yang mensinyalir terdapatnya kejanggalan
perhitungan bunga kredit penting untuk dipertimbangkan karena dalil
tersebut berhubungan dengan petitum kedua gugatan yaitu :
menyatakan jumlah kewajiban utang yang mesti dibayar penggugat
kepada tergugat I sejumlah Rp.440.000.000,- (empat ratus empat
puluh juta rupiah), dimana apabila terbukti adanya kecurangan
tergugat I dalam menghitung bunga, maka akan berpengaruh pada
jumlah utang yang harus dibayar penggugat sebagai kewajiban
penggugat.
Menurut penulis, majelis hakim tidak sepenuhnya
mempertimbangkan dalil penggugat dengan memberikan
pertimbangan hukum yang cukup. Pertimbangan yang diberikan
majelis hakim bahwa tunggakan bunga penggugat dihitung sesuai
dengan yang tercantum dalam perjanjian, tidak menjawab dalil
penggugat mengenai kejanggalan dalam perhitungan bunga kredit.
Setidak-tidaknya putusan tersebut harus dapat memberikan kepuasan
bagi kedua belah pihak, dimana kepuasan bagi penggugat apabila
putusan itu mampu menjelaskan cara perhitungan bunga dan
tunggakannya yang sesuai dengan hukum.
Selanjutnya, dengan mencermati adanya itikad baik penggugat
melunasi pinjamannya dan ketidakmampuannya secara ekonomis
membayar utangnya sesuai tunggakan pinjaman pokok, bunga dan
denda, majelis hakim dapat saja memerintahkan melalui putusannya
agar pihak tergugat melakukan restrukturisasi kredit yang dapat
dilakukan dalam bentuk penurunan suku bunga kredit, perpanjangan
jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan bunga kredit,
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
133
pengurangan tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas kredit dan
atau konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.298
Atas terdapatnya penerapan bunga berganda dalam perjanjian
kredit tersebut sebagai kebiasaan dalam praktik perbankan, menurut
peneliti dalam kaitan dengan restrukturisasi kredit lebih tepat
diterapkan restrukturisasi kredit dalam bentuk pengurangan tunggakan
bunga kredit, yaitu dengan terlebih dahulu ditunjukkan adanya
penerapan bunga berganda yang bertentangan dengan ketentuan Pasal
1251 KUH Perdata dalam perjanjian kredit tersebut. Hal tersebut
dirasa lebih tepat dalam menjawab petitum penggugat.
Putusan majelis hakim yang menolak gugatan penggugat
dengan alasan perjanjian kredit tersebut telah memenuhi syarat sahnya
perjanjian menunjukkan bahwa majelis hakim melihat keseimbangan
perjanjian kredit tersebut dalam tahap keabsahan perjanjian dan tidak
menjangkau tataran pemenuhan atau pelaksanaan perjanjian.
Mengenai sikap majelis hakim tingkat kasasi yang menolak
permohonan kasasi karena alasan kasasi tidak menjadi domain judex
jurist, menurut peneliti telah tepat sebab sebagai judex jurist
Mahkamah Agung hanya melihat apakah telah benar penerapan
hukum atas perkara tersebut ataukah tidak dan Mahkamah Agung
tidak memeriksa fakta perkara kecuali dalam hal terdapatnya
perbedaan fakta antara putusan pengadilan tingkat pertama dengan
putusan pengadilan tingkat banding.
4.1.3. Putusan Nomor : 3431 K/Pdt/1985 Jo. Nomor : 523/1983/Pdt/PT.
Smg Jo. Nomor : 12/G/1983/Pdt.Bla.
Kasus Posisi :
Putusan Nomor : 12/G/1983/Pdt.Bla adalah putusan yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Bla atas gugatan wanprestasi yang
298
Lihat M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kreditt Perbankan
Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, halaman 92-93.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
134
diajukan oleh SS sebagai penggugat terhadap Ny.B dan RB sebagai
tergugat-tergugat.
Dalam posita gugatan, penggugat mendalilkan bahwa pada
tanggal 10 Pebruari 1982 para tergugat telah meminjam uang kepada
penggugat sebesar Rp.540.000,- (lima ratus empat puluh ribu rupiah)
dengan janji lisan akan dikembalikan pada tanggal 10 Agustus 1982.
Pinjaman tersebut disertai pembebanan bunga sebesar 10% setiap
bulannya hingga para tergugat mengembalikan keseluruhan pokok
pinjaman. Atas pinjaman tersebut tergugat telah memberikan jaminan
berupa surat keterangan pensiunan atas nama RB dan hak milik tanah
beralamat di Blok Kidangan Jepon, namun telah diambil kembali oleh
menantu para tergugat.
Selanjutnya penggugat mendalilkan bahwa para tergugat tidak
memenuhi perjanjian mengenai pinjaman maupun bunganya meskipun
telah berulang kali ditagih oleh penggugat.
Terhadap gugatan tersebut, para tergugat telah mengajukan
jawabannya dimana para tergugat mengakui adanya pinjaman tersebut
disertai bunga dimana pinjaman tersebut telah jatuh tempo. Para
tergugat juga menyatakan telah membayar bunga pinjaman sebanyak
10 (sepuluh) kali terhitung sejak Maret 1982 hingga Desember 1982
dengan total Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah), sedangkan
mengenai pokok pinjaman, diakui para tergugat belum dikembalikan
karena usaha dagangnya macet. Para tergugat juga menyatakan pernah
meminta kepada penggugat untuk mengembalikan uang pinjaman
secara mengangsur akan tetapi ditolak penggugat.
Atas jawaban tersebut, penggugat mengajukan replik yang
pada pokoknya membenarkan jawaban tergugat yaitu penggugat
pernah menerima pembayaran bunga pinjaman sebesar Rp.400.000,-
(empat ratus ribu rupiah), sedangkan pokok pinjaman belum
dikembalikan para tergugat dimana terhadap replik tersebut para
tergugat membenarkannya dan selanjutnya tidak mengajukan duplik.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
135
Terhadap gugatan tersebut, majelis hakim tingkat pertama
dalam putusannya Nomor : 12/G/1983/Pdt.Bla tanggal 23 Juni 1983
telah mengabulkan gugat penggugat untuk sebagian berupa
menghukum tergugat untuk membayar hutang pokok sejumlah
Rp.540.000,- (lima ratus empat puluh ribu rupiah) serta menghukum
pula tergugat untuk membayar bunga dari pinjaman pokok 4 % tiap
bulan semenjak perkara masuk di Pengadilan sampai perkara ini
mempunyai kekuatan pasti (vide putusan PN halaman 7). Dalam
pertimbangan hukumnya, majelis hakim tingkat pertama berpendapat
bahwa para tergugat telah melakukan ingkar janji (wanprestasi) atas
perjanjian peminjaman uang (vide putusan PN halaman 6).
Majelis hakim tingkat tingkat pertama juga
mempertimbangkan perihal telah dibayarkannya bunga pinjaman
sebanyak Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah) sebagai pelaksanaan
perjanjian dan juga mempertimbangkan keadaan uang pokok
pinjaman yang belum dikembalikan sebagai utang para tergugat (vide
putusan PN halaman 6).
Atas putusan majelis hakim tingkat pertama tersebut, para
tergugat mengajukan banding berdasarkan permohonan pernyataan
banding tanggal 5 Juli 1983 disertai memori banding tanggal 1
Agustus 1983 dimana dalam putusannya Nomor :
523/1983/Pdt/PT.Smg tanggal 11 Pebruari 1985, majelis hakim
tingkat banding menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim tingkat
banding menyatakan sependapat dengan pertimbangan hukum majelis
hakim tingkat pertama dimana pengadilan tingkat pertama dalam
putusan tersebut atas dasar serta pertimbangan-pertimbangan yang
diuraikan di dalamnya sudah tepat dan benar dan oleh pengadilan
tinggi dijadikan sebagai pertimbangannya sendiri, oleh karenanya
putusan tersebut harus dikuatkan (vide putusan PT halaman 3).
Atas putusan tingkat banding tersebut, para
tergugat/pembanding mengajukan permohonan kasasi berdasarkan
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
136
Akte Permohonan Kasasi Nomor : 12/Pdt/1983/PN.Bla tanggal 10
April 1985 disertai memori kasasi yang diserahkan ke kepaniteraan
Pengadilan Negeri Bla pada tanggal 16 April 1985.
Dalam memori kasasi, pada pokoknya para
tergugat/pembanding/pemohon kasasi mengemukakan alasan
mengajukan kasasi sebagai berikut : bahwa judex factie salah
menerapkan hukum, karena memang tergugat mengakui telah
berhutang kepada penggugat, tetapi karena tergugat tidak berdagang
lagi, dengan apa hutang tersebut akan dibayar sebab tempat tinggal
saja masih mengontrak.
Atas alasan kasasi tersebut, majelis hakim tingkat kasasi
menyatakan keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan (vide putusan
MA halaman 4) dengan pertimbangan bahwa mengenai penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan,
halmana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam
tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya
berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam
pelaksanaan hukum (vide putusan MA halaman 4).
Selanjutnya, majelis hakim tingkan kasasi berpendapat bahwa
terlepas dari keberatan kasasi tersebut, Mahkamah Agung berdasarkan
alasan sendiri membatalkan putusan Pengadilan Tinggi yang
menguatkan putusan Pengadilan Negeri dan kemudian mengadili
sendiri dengan menjatuhkan putusan berupa mengabulkan gugatan
penggugat untuk sebagian dan menghukum para tergugat secara
tanggung renteng untuk membayar utangnya sebanyak Rp.194.000
(seratus sembilan puluh empat ribu rupiah) secara sekaligus.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim tingkat kasasi
berpendapat bahwa “jika diperhatikan pinjam meminjam antara kedua
belah pihak maka bunga ditetapkan 10% hal ini adalah terlampau
tinggi bahkan bertentangan dengan kepatutan dan keadilan mengingat
tergugat II adalah purnawirawan dan tidak mempunyai penghasilan
yang lain. Disamping itu ketentuan dalam perjanjian untuk
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
137
menyerahkan buku pembayaran pensiun sebagai jaminan juga
bertentangan dengan kepatutan dan keadilan. Ternyata pula tergugat-
tergugat telah membayar bunga sebanyak Rp.400.000,-“ (vide putusan
MA halaman 4-5).
Majelis hakim tingkat kasasi dengan menggunakan dasar ex
aquo et bono kemudian menentukan bunga yang patut dan adil adalah
1 % per bulan sedangkan bunga yang telah dibayar dan diterima oleh
penggugat sebesar Rp.400.000,- harus dianggap sebagai pembayaran
pokok pinjaman, sehingga sisa yang harus dibayar lagi oleh para
tergugat sebagai sisa pokok pinjaman adalah Rp.140.000,- + bunga
Rp.54.000,- = Rp.194.000,- (vide putusan MA halaman 5).
Analisis Kasus :
Putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat
banding dalam perkara tersebut memiliki kesamaan pertimbangan
baik atas fakta maupun hukumnya dimana majelis hakim tingkat
banding telah sependapat dengan pertimbangan hukum majelis hakim
tingkat pertama dan telah mengambil alih pertimbangan hukum
tersebut menjadi pertimbangan hukum dalam putusan tingkat banding.
Sebab itu, analisis terhadap pertimbangan hukum majelis hakim
tingkat pertama haruslah dibaca pula sebagai analisis terhadap
pertimbangan hukum majelis hakim tingkat banding.
Putusan majelis hakim tingkat pertama yang mengabulkan
gugatan penggugat dan memerintahkan agar para tergugat harus
mengembalikan seluruh pokok pinjaman disertai sisa bunga yang
belum dibayarkan adalah sikap majelis hakim menerapkan ketentuan
Pasal 1338 KUH Perdata. Artinya, majelis hakim tingkat pertama
menjadikan perjanjian antara penggugat dengan tergugat sebagai
hukum yang wajib dipatuhi para pihak sesuai apa yang telah
disepakati diantara mereka.
Dalam hal ini majelis hakim tidak melihat pada kepatutan dan
kelayakan suku bunga yang diperjanjikan sebesar 10% per bulan
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
138
tersebut dan juga tidak mempertimbangkan keadaan tergugat yang
mengalami kesulitan membayarkan utangnya. Bahkan majelis hakim
tidak mempertimbangkan itikad baik tergugat meminta tambahan
waktu untuk melunasi utangnya.
Apabila dicermati ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata,
terkandung syarat agar dapat diberlakukannya perjanjian dalam daya
ikat sebagai undang-undang hanyalah perjanjian yang sah menurut
hukum yaitu yang memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Berkaitan dengan besaran bunga pinjaman, seharusnya majelis
hakim tingkat pertama mempertimbangkannya dalam syarat “sebab
yang halal” yaitu mempertimbangkan apakah suku bunga pinjaman
sebesar 10% per bulan yang diberlakukan hingga tergugat mampu
mengembalikan pinjaman pokok adalah besaran bunga yang patut dan
layak ataukah tidak. Tentang hal ini ternyata tidak dipertimbangkan
majelis hakim tingkat pertama maupun tingkat banding.
Bahkan sesuai amar putusan, majelis hakim tingkat pertama
juga menjatuhkan sanksi kepada tergugat berupa kewajiban tergugat
membayarkan bunga dari pinjaman pokok sebesar 4 % tiap bulan
terhitung sejak perkara masuk di pengadilan sampai mempunyai
kekuatan pasti.
Berkaitan dengan bunga moratoir, majelis hakim tingkat
pertama dalam menjatuhkan bunga moratoir tidak memuat dalam
pertimbangan hukumnya alasan dijatuhkannya bunga moratoir
maupun alasan penentuan besaran bunga moratoir sebesar 4 % tiap
bulan. Seharusnya, majelis hakim tingkat pertama menyampaikan
pendapat hukumnya atas pembebanan bunga moratoir disertai
argumentasi hukum mengenai penentuan bunga moratoir sebesar 4 %.
Penyampaian argumentasi hukum yang jelas dan terstruktur
bertujuan memberikan nilai kepastian hukum dalam putusan hakim
sehingga tidak menimbulkan pertanyaan atau penafsiran atas putusan
hakim. Hal ini penting sebab dalam perkara tersebut terdapat
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
139
perbedaan antara denda/penalti bunga yang dijatuhkan majelis hakim
tingkat pertama dengan yang dipetitumkan penggugat.
Lain halnya dengan putusan majelis hakim tingkat pertama
yang diperkuat majelis hakim tingkat banding, dalam putusan tingkat
kasasi, meskipun majelis hakim tingkat kasasi menolak permohonan
kasasi atas dasar materi yang dikasasikan tidak menjadi domain
pemeriksaan kasasi, akan tetapi majelis hakim tingkat kasasi dengan
menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk memberikan
keadilan dan kepastian hukum berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, secara ex officio telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri
maupun Pengadilan Tinggi dan kemudian mengadili sendiri bukan
didasarkan pada alasan permohonan kasasi.
Majelis hakim tingkat kasasi telah mengangkat keadaan
kemampuan para pihak dalam memenuhi perjanjian sebagai hal yang
harus dipertimbangkan dalam putusan hakim. Sikap majelis hakim
tingkat kasasi tersebut dapat pula dimaknai bahwa dalam
mencantumkan klausula-klausula perjanjian haruslah
mempertimbangkan kemampuan para pihak melaksanakan klausula-
klausula tersebut sehingga perjanjian yang dibuat mereka adalah
perjanjian yang hidup dan dapat dilaksanakan.
Hal lain yang dapat ditarik dari sikap majelis hakim tingkat
kasasi tersebut adalah dalam hal penentuan besaran suku bunga
pinjaman ataupun kredit harus disesuaikan dengan kepatutan dan
kelayakan yang didasarkan pada kemampuan debitur membayarkan
utangnya disertai bunga dan suku bunga kredit yang ditetapkan bank
pemerintah pada saat perjanjian dibuat.299
299
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1253 K/Sip/1973 tanggal 14 Oktober
1976 memuat kaidah hukum : bunga yang diperjanjikan sebesar 20% sebulan atas
pertimbangan perikemanusiaan dan keadilan, bunga yang dikabulkan adalah 3 % sebulan,
sesuai dengan pinjaman pada bank-bank negara pada saat perjanjian berlangsung. Juga
dapat dilihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1067 K/Pdt/1996 tanggal 9 Maret
2000 yang memberikan barometer mengenai kepatutan dan kelayakan suku bunga tidak
hanya didasarkan pada kemampuan pihak berutang melunasi pinjamannya tetapi juga
harus diperhatikan suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Pemerintah.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
140
Berdasarkan alasan kepatutan dan kelayakan, Mahkamah
Agung secara ex officio kemudian memutuskan bunga yang patut dan
layak dalam perkara a quo adalah 1 % per bulan yang harus dibayar
selama 10 bulan.
Penentuan bunga pinjaman yang patut dan layak sebesar 1%
per bulan tersebut tidak dapat diterapkan secara kaku dalam semua
perjanjian pinjam meminjam uang maupun perjanjian kredit bank
sebab kepatutan dan kelayakan yang dimaksudkan adalah kepatutan
dan kelayakan menurut kondisi dan keadaan masyarakat pada saat
perjanjian tersebut dibuat dimana kondisi dan keadaan masyarakat
selalu berkembang.
Sebagai perbandingan dapat dilihat putusan Mahkamah Agung
RI Nomor 1067 K/Pdt/1996 tanggal 9 Maret 2000 dalam perkara
antara Singgih melawan Paul Boernadi Koesnadinata, dimana
Mahkamah Agung berpendapat bahwa : walaupun sudah diperjanjikan
dan disepakati oleh kedua belah pihak bahwa peminjam wajib
membayar bunga sebesar 2,5 % setiap bulan, namun bunga tersebut
patut disesuaikan dengan bunga yang berlaku di Bank Pemerintah
yaitu sebesar 18 % setahun.
Penentuan bunga sebesar 18 % setahun sebagai bunga yang
layak dan patut dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1067
K/Pdt/1996 tersebut jika diperhitungkan sebagai bunga per bulan
adalah sebesar 1,5 % dimana lebih tinggi dari kepatutan dan
kelayakan bunga per bulan yang diputuskan Mahkamah Agung dalam
putusan Nomor : 3431 K/Pdt/1985.
Penggunaan alasan kepatutan dan kelayakan juga dapat
ditemukan dalam putusan Mahkamah Agung lainnya, misalnya,
putusan Mahkamah Agung Nomor : 3333 K/Pdt/2000 dalam perkara
antara Antonius Ibau selaku Pemohon Kasasi, dahulu
Penggugat/Terbanding melawan PT. Bunas Finance Indonesia dan PT.
Bunas Finance Indonesia Tbk Samarinda selaku Para Termohon
Kasasi, dahulu Para Tergugat/Pembanding, terdapat kaidah hukum :
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
141
Oleh karena Pemohon Kasasi/Penggugat asal telah melakukan
pembayaran cicilan sebanyak 11 (sebelas) kali sebesar
Rp.39.259.500,- (tiga puluh sembilan juta dua ratus lima puluh
sembilan ribu lima ratus rupiah) sedangkan tunggakan
pembayaran 3 (tiga) kali maka sesuai putusan Mahkamah Agung
RI No. 935 K/Pdt/1985 adalah bertentangan dengan kepatutan dan
keadilan apabila hak Pemohon Kasasi/Penggugat asal atas
kendaraan mobil Izusu Panther tersebut dinyatakan lenyap hanya
disebabkan adanya keterlambatan atau kesulitan pembayaran
tanpa mempertimbangkan angsuran-angsuran yang sudah
dibayar.300
Berdasarkan uraian di atas, perjanjian pinjam meminjam uang
ataupun perjanjian kredit yang membebankan bunga pinjaman,
haruslah sesuai dengan asas kepatutan dan kelayakan. Dengan
demikian putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 289 K/Sip/1972
tanggal 22 Juli 1972 yang menyatakan : besarnya suku bunga
pinjaman adalah sebagaimana yang telah diperjanjikan bersama,
tidak dapat diterapkan secara mutlak dalam setiap perkara perjanjian
pinjam meminjam uang maupun dalam perjanjian kredit bank dan
hanya berlaku apabila bunga yang diperjanjikan tersebut memenuhi
asas kepatutan dan kelayakan.
Fakta lainnya yang dipertimbangkan majelis hakim tingkat
kasasi adalah perbuatan para tergugat telah membayar bunga sebanyak
Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah). Menurut penulis, fakta bahwa
para tergugat telah membayar bunga sebanyak Rp.400.000,- (empat
ratus ribu rupiah) menunjukkan adanya itikad baik301
dari para
tergugat untuk tunduk pada perjanjian yang dibuatnya.
300
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 3333 K/Pdt/2000 tanggal 31 Maret 2004
halaman 10. 301
Menurut Schut, itikad baik haruslah dikaitkan dengan fungsi kepatutan dan
keadilan berupa :
1. Fungsi memperjelas/menjernihkan peraturan.
2. Fungsi membatasi/mengoreksi peraturan.
3. Fungsi memperluas/menambah peraturan.
4. Fungsi menerapkan/memberlakukan peraturan.
(Lihat Henry Pandapotan Panggabean, Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-
Putusan Hukum Perikatan, Op.Cit, halaman 94).
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
142
Itikad baik para tergugat dapat pula disimpulkan dari dalil
jawaban para tergugat (vide halaman 3 putusan PN Bla), dimana para
tergugat pernah meminta kepada penggugat untuk mengembalikan
uang pinjaman pokoknya secara mengangsur, tetapi ditolak oleh
penggugat. Dalil jawaban tersebut ternyata tidak disangkal penggugat
sehingga menunjukkan bahwa dalil jawaban tersebut adalah benar.
Tentang itikad baik, Mahkamah Agung dalam putusan yang
lain, yaitu atas putusan Nomor : 3333 K/Pdt/2000 dalam perkara
antara Antonius Ibau selaku Pemohon Kasasi, dahulu
Penggugat/Terbanding melawan PT. Bunas Finance Indonesia dan PT.
Bunas Finance Indonesia Tbk Samarinda selaku Para Termohon
Kasasi, dahulu Para Tergugat/Pembanding, berpendapat bahwa :
perjanjian baku yang dibuat tersebut memanfaatkan
ketidakberdayaan salah satu pihak (dalam hal ini pihak debitur)
yaitu Pemohon Kasasi/Penggugat asal maka ketentuan-ketentuan
yang memanfaatkan kelemahan debitur yaitu Pemohon
Kasasi/Penggugat asal dalam perjanjian tersebut merupakan
ketentuan yang tidak beritikad baik sehingga ketentuan tersebut
sepatutnya dikesampingkan.302
Putusan Mahkamah Agung dalam perkara tersebut
memberikan penegasan bahwa tugas hakim bukan sekedar
memberikan kepastian hukum tetapi juga harus memberikan manfaat
dan keadilan bagi pencari keadilan maupun masyarakat pada
umumnya. Melalui putusan Mahkamah Agung tersebut, majelis hakim
302
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 3333 K/Pdt/2000 tanggal 31 Maret 2004
halaman 10. Putusan tersebut dijatuhkan dalam perkara antara Antonius Ibau selaku
Pemohon Kasasi, dahulu Penggugat/Terbanding melawan PT. Bunas Finance Indonesia
dan PT. Bunas Finance Indonesia Tbk. Samarinda dengan pokok perkara adalah :
- Antara Penggugat dengan para Tergugat telah melakukan perjanjian pembiayaan
konsumen nomor : 1100322 tanggal 3 Nopember 1997 atas 1 (satu) unit mobil Izusu
Panther warna abu-abu, tahun 1997.
- Mobil tersebut telah ditarik oleh para Tergugat secara paksa dan tanpa sepengetahuan
Penggugat oleh karena menunggak pembayaran selama 3 kali angsuran.
- Penggugat sudah beritikad baik untuk melunasi tunggakan tersebut berikut dendanya
tetapi tergugat tidak member kesempatan.
- Perbuatan para tergugat tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan kerugian bagi penggugat baik kerugian materiil maupun kerugian
immaterial.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
143
tingkat kasasi telah meniadakan kesewenang-wenangan
penggugat/termohon kasasi yang memanfaatkan kelemahan ekonomis
tergugat/pemohon kasasi dan menempatkan kembali kepentingan para
pihak pada kedudukan yang seimbang.
Berdasarkan analisis atas ketiga putusan lembaga yudikatif di atas,
terlihat bahwa hakim dalam memutus perkara mengenai pembebanan bunga
dalam perjanjian pinjam meminjam uang ataupun kredit telah memperhatikan
asas keseimbangan kepentingan para pihak meskipun dalam perkara-perkara
tertentu belum menjangkau tataran pemenuhan / pelaksanaan perjanjian.
Kaidah-kaidah hukum dalam putusan hakim harus dilihat kasus per
kasus sebab setiap kasus memiliki karakteristiknya tersendiri. Misalnya,
terhadap kasus dimana nasabah debitur dipandang “nakal” yaitu sengaja
memanfaatkan keadaan tidak menentu moneter negara untuk membatalkan
perjanjian kredit padahal nasabah debitur tersebut memiliki kemampuan yang
baik untuk membayarkan utang, maka kaidah hukum yang mewajibkan para
pihak tunduk pada klausula perjanjian dapat digunakan untuk menyelamatkan
perjanjian kredit bank sehingga tetap memberikan keseimbangan keuntungan
bagi para pihak.
Terhadap pencantuman klausula “Penetapan dan Perhitungan Bunga
Bank Dilakukan Oleh Bank” dalam perjanjian kredit, penulis berpendapat
bahwa pencantuman klausula tersebut telah memberikan ketidakpastian
mengenai sistem perhitungan bunga kredit yang digunakan dalam suatu
perjanjian. Hal ini jelas bertentangan dengan asas kepastian dimana perjanjian
kredit bank haruslah memuat klausula yang terang dan jelas dan tidak
menimbulkan penafsiran. Atas perjanjian kredit bank dimana nasabah debitur
tidak mengetahui secara isi dan maksud dari perjanjian yang dibuat, maka
perjanjian tersebut dapat dibatalkan.303
Pencantuman klausula tersebut dalam praktik perkreditan bank
digunakan pihak bank untuk secara sewenang-wenang menetapkan suku
bunga kredit tanpa mempertimbangkan keadaan nasabah debitur. Selain itu,
303
Try Widiyono, Op.Cit, halaman 21.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
144
klausula tersebut juga dijadikan benteng bagi pihak bank untuk menghindari
pertanggungjawaban atas perlakuan sewenang-wenang dalam menetapkan
suku bunga kredit yang tidak patut dan tidak layak.
Selanjutnya, pencantuman klausula tersebut juga telah dilarang oleh
ketentuan Pasal 18 ayat 1 huruf g Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen sebagai pelarangan atas pencantuman
klausula yang : menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya.304
Larangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen tersebut ditujukan untuk melindungi
kepentingan konsumen/nasabah debitur sekaligus termasuk didalamnya
adalah pemberian perlindungan atas keseimbangan para pihak dalam
perjanjian kredit bank.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, telah jelas terurai
bahwa pencantuman klausula “penetapan dan perhitungan bunga bank
dilakukan oleh bank” dalam perjanjian kredit bank adalah melanggar asas
keseimbangan sepanjang tidak mencantumkan klausula dengan kewajiban
memberitahukan kepada nasabah debitur dan juga klasula yang menjamin
negosiasi ulang atas perubahan suku bunga kredit.
4.2. PERANAN HAKIM DALAM MEMULIHKAN KESEIMBANGAN
PERJANJIAN KREDIT BANK
Dalam perkara perdata, proses beperkara dimulai ketika penggugat
atau kuasa hukumnya mendaftarkan perkaranya di kepaniteraan pengadilan.
Proses beperkara ini akan berakhir seturut dijatuhkannya putusan berkekuatan
hukum tetap dan finalnya adalah eksekusi putusan hakim. Deskripsi alur
beperkara tersebut menunjukkan betapa pentingnya putusan hakim dalam
304 Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Op.Cit.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
145
persengketaan para pihak, tentu dengan harapan terciptanya keadilan,
kepastian dan kemanfaatan hukum.
Putusan hakim adalah mahkota hakim yang menunjukkan
kewibawaan dan integritas hakim. Karena itu, setiap putusan hakim harus
mengandung 3 (tiga) unsur pertimbangan hukum secara proporsional, yaitu
:305
1. Unsur kepastian hukum (rechtssicherkeit) yang memberi jaminan bahwa
hukum itu dijalankan sehingga yang berhak menurut hukum dapat
memperoleh haknya dan bahwa putusan seperti itu juga dapat diterapkan
untuk jenis perkara yang sama.
2. Unsur kemanfaatan (zweckmassigkeit), bahwa isi putusan itu tidak hanya
bermanfaat bagi pihak berperkara tetapi juga bagi masyarakat luas.
Masyarakat berkepentingan atas putusan hakim itu karena masyarakat
menginginkan adanya keseimbangan tatanan dalam masyarakat.
3. Unsur keadilan (gerechtigkeit), yang memberi keadilan bagi pihak yang
bersangkutan; kalaupun pihak lawan menilainya tidak adil masyarakat
harus dapat menerimanya sebagai adil. Asas hukum yang berbunyi : lex
dura sed tamen scripta, mengartikan hukum itu kejam tetapi begitulah
bunyinya. Dalam hal terjadi konflik antar keadilan dan kepastian hukum
serta kemanfaatan, unsur keadilanlah yang seharusnya didahulukan.
Menurut Bernard Arif Sidharta, kewibawaan putusan hakim tersebut
berguna untuk :306
1. Mempersiapkan putusan hukum pada tataran mikro dan makro;
2. Menunjukkan apa hukumnya tentang hal tertentu dan merekomendasikan
interpretasi terhadap aturan yang tidak jelas (penemuan hukum);
3. Mengeliminasi kontradiksi yang tampak dalam tata hukum;
4. Kritik dan menyarankan amandemen terhadap perundang-undangan yang
ada;
5. Pembentukan perundang-undangan yang baru;
305
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, Januari 2000, halaman 90. 306
Abdullah, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Program Pascasarjana
Universitas Sunan Giri, Sidoarjo, 2008, halaman 38.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
146
6. Analisis kritis terhadap putusan hakim untuk pembinaan yurisprudensi.
Secara struktur, putusan hakim terdiri atas kepala putusan,
pertimbangan atau konsiderans dan amar putusan sebagai kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Untuk mengetahui argumentasi hukum dari hakim, dapat
melihatnya pada bagian pertimbangan atau konsiderans.
Pertimbangan atau konsiderans putusan terdiri dari pertimbangan
tentang duduknya perkara yaitu memuat kembali fakta-fakta hukum yang
ditemukan dalam persidangan dan bagian pertimbangan tentang hukumnya
yang berisi landasan hukum, penafsiran hukum, teori hukum, kaidah hukum
dan pendapat hukum dari hakim. Pertimbangan hukum memuat penalaran
hukum yang didalamnya berisi teori-teori hukum sebagai landasan
argumentasi hukum hakim.307
Dengan demikian, tepatlah pendapat
Taliziduhu Ndraha bahwa isi dari putusan hakim akan mencerminkan sikap
dan perilaku hakim dalam memilih nilai-nilai apa yang dijadikan dasar dan
pertimbangan untuk menentukan putusan yang dibuat secara benar dan
adil.308
Harifin A. Tumpa mengemukakan bahwa yang lebih penting dari alur
proses beperkara adalah apakah putusan hakim telah memberikan nilai hukum
dan keadilan.309
Artinya, putusan hakim itu sendiri haruslah memuat landasan
hukum, argumentasi hukum dan penalaran hukum sehingga tersaji nilai-nilai
hukum sebagai pisau pemutus perkara. Kalaupun hukum yang tersedia tidak
dapat digunakan sebagai landasan yuridis memutus perkara, maka hakim
harus dapat menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang
lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis
untuk memutus perkara yang diadilinya.310
Nilai hukum yang digunakan
307
Kegiatan ilmiah yang termasuk dalam penalaran hukum antara lain : logika
hukum, argumentasi hukum dan discourse hukum. Penalaran hukum dapat membantu kita
untuk memahami putusan pengadilan melalui pemahaman logika hukum serta pola piker
yang digunakan hakim. (Ibid, halaman 29). 308
Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum
Progresif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Mei 2012, halaman 41. 309
Harifin A. Tumpa, Menguak Roh Keadilan Dalam Putusan Hakim Perdata,
Tanjung Agung, Jakarta, 2012, halaman 19. 310
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, halaman 26.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
147
hakim haruslah nilai hukum yang tepat sehingga putusan hakim dirasakan
sebagai putusan yang berkeadilan.
Roh keadilan tidak semata-mata hanya berada dalam putusan hakim,
tetapi juga merupakan roh yang hidup dalam hubungan perikatan subyek
hukum. Misalnya, dalam perikatan yang lahir diantara nasabah debitur
dengan pihak bank kreditur karena perjanjian kredit bank, roh keadilan akan
dirasakan oleh para pihak apabila perjanjian tersebut menjunjung tinggi asas
kebebasan berkontrak, asas itikad baik dan asas keseimbangan. Dalam hal ini
David Palfreman memberikan catatan sebagai berikut :
The fact that a bank becomes its customer’s debtor when money is paid
in means that the money immediately becomes the property of the bank
and the bank can use it in its own business – primarily lending to other
customers – until such time as its customer asks for the debt to be
repaid.311
Keadilan akan terdapat dalam perikatan nasabah debitur dengan bank
kreditur apabila perikatan tersebut dilandasi oleh itikad baik dimana itikad
baik merupakan landasan utama para pihak dalam membuat dan
melaksanakan perjanjian kredit.312
Berkaitan dengan itu, nilai moral memiliki andil yang sangat besar
dalam membentuk itikad baik para pihak, yaitu dalam bentuk :313
1. Kemampuan mengerti dan bertindak berdasarkan rasa keadilan dan dengan
itu didorong untuk mengusahakan kerja sosial;
2. Kemampuan membentuk, merevisi dan secara rasional mengusahakan
terwujudnya konsep baik yang mendorong semua orang yang
mengusahakan terpenuhinya nilai-nilai manfaat dalam dirinya.
Ketiadaan keadilan dalam perjanjian kredit bank mencerminkan
ketiadaan keseimbangan kepentingan dalam perjanjian kredit itu. Karena itu
pencari keadilan yang merasa dirugikan akibat ketidakseimbangan tersebut
menaruh harapan kepada hakim sebagai benteng terakhir yang diharapkan
311
David Palfreman, Law Relating To Banking Services, Fourth Edition, Pitman
Publishing, London, 1993, page 4. 312
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 342. 313
Penggolongan kemampuan moral tersebut dikemukakan oleh John Rawls
sebagaimana dikutip oleh Abdullah, Op.Cit, halaman 132.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
148
mampu memulihkan keseimbangan perjanjian kredit sehingga perjanjian
kredit itu dirasakan adil bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.314
Tidaklah salah jika hakim diidentikkan sebagai benteng terakhir
pencari keadilan, sebab sebelum ditempuhnya jalur litigasi, pencari keadilan
biasanya dan dalam keadaan tertentu menempuh jalur non litigasi dalam
menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka. Bahkan berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi,
hakim sebelum mengadili perkara perdata diwajibkan memberikan
kesempatan kepada para pihak untuk melakukan mediasi dengan perantaraan
mediator bersertifikat baik yang dipilih sendiri oleh para pihak maupun atas
penunjukan majelis hakim dengan tujuan tercapainya perdamaian sebagai
win-win solution. Dengan demikian peranan hakim bukan saja mengadili
perkara tetapi juga mengusahakan tercapainya perdamaian diantara para
pihak beperkara.
Berkaitan dengan itu, Henry P. Panggabean telah merumuskan
peranan hakim dalam 2 (dua) bidang yaitu :315
1. Bidang non litigasi berupa berbagai tindakan hakim (in casu selaku Ketua
Pengadilan) menangani berbagai masalah yang berkaitan dengan
pelaksanaan perjanjian kredit bank. Misalnya, penyampaian somasi,
penyitaan barang jaminan, aanmaning, sita eksekusi, pelelangan dan
pengosongan; tindakan pencegahan seperti legalisasi dan waarmerking
tergolong bidang ini. Tindakan hakim ini dilakukan tanpa didahului
persidangan.
2. Bidang litigasi berupa pemutusan sengketa melalui putusan hakim.
Peranan hakim yang dimaksudkan penulis dalam penulisan tesis ini
adalah peranan hakim dalam bidang litigasi yaitu dalam pelaksanaan tugas
pokoknya menerima, memeriksa dan memutus perkara yang dihadapkan
314
Dalam sistem common law, negara memberikan wewenang kepada hakim
untuk membatalkan perjanjian yang dianggap tidak memenuhi keadilan,, terutama bila
klausula yang dimuat secara tidak wajar yang sangat merugikan bagi pihak lainnya, sebab
pada umumnya perjanjian baku menimbulkan hubungan hukum yang berat dan keadaan
tidak seimbang (berat sebelah, tidak adil, timpang). Lihat Djoni S. Gazali dan Rachmadi
Usman, Op.Cit, halaman 355. 315
H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) dalam
Perjanjian Kredit Bank, Op.Cit, halaman 87.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
149
padanya. Dengan demikian, kajian ini tidak menyentuh bidang non litigasi
sebagai tugas administratif Ketua Pengadilan Negeri.
Dalam menjalankan peranan dibidang litigasi guna memberikan
keadilan, hakim harus diberikan kebebasan untuk mengadili perkara yang
dihadapkan padanya yaitu kebebasan yang diberikan oleh hukum untuk
mengadili sesuai dengan keyakinannya tanpa dipengaruhi oleh siapapun,
bebas memutuskan perkara berdasarkan pikiran dan hati nuraninya serta
bebas dari campur tangan pihak ekstra yudisial.316
Kebebasan yang diberikan tersebut adalah kebebasan bertanggung
jawab yaitu kebebasan dalam keterikatan koridor hukum dan kode etik hakim.
Dengan demikian, putusan hakim dalam bentuk menciptakan sesuatu yang
tidak/belum diatur undang-undang harus dimaknai bahwa putusan hakim
tersebut tidak didasarkan pada pendapat hakim semata dan rasa keadilan yang
subyektif,317
akan tetapi telah diarahkan pada penyesuaian dengan nilai-nilai
kepatutan dan kelayakan yang hidup dalam masyarakat.
Untuk itu Mahkamah Agung RI dalam Surat Edaran Nomor 10 Tahun
2005 tanggal 27 Juni 2005 tentang Bimbingan dan Petunjuk Pimpinan
Pengadilan Terhadap Hakim/Majelis Hakim Dalam Menangani Perkara telah
memberikan petunjuk mengenai bentuk kebebasan hakim dalam
melaksanakan tugas peradilan, dimana angka 5 butir (2) kedua menyatakan :
atas permintaan hakim/hakim-hakim yang bersangkutan atau atas inisiatif dari
Ketua atau dari pimpinan pengadilan atasannya secara umum atau dalam
perkara tertentu – terutama dalam perkara-perkara yang penting, berat atau
sukar dapat diminta/diberi bimbingan yang bersifat nasehat-nasehat atau
petunjuk-petunjuk umum dalam menjalankan tugas tersebut kepada/oleh
Ketua atau pimpinan peradilan atasannya yang bersangkutan yang semuanya
secara serius harus dinilai sebagai bahan-bahan pertimbangan untuk
menyelenggarakan peradilan secara seksama dan sewajarnya.
316
Syamsudin, Op.Cit, halaman 226. 317
Z. Asikin Kusumah Atmadja, Hakim Yang Kreatif Untuk Menyelenggarakan
Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Indonesia Yang Sedang Membangun, Makalah
yang disampaikan dalam Rakernas Mahkamah Agung RI di Jakarta pada tanggal 13-14
Maret 1987, halaman 3.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
150
Pertimbangan, masukan ataupun nasehat sebagai bimbingan yang
dimaksudkan SEMA RI Nomor 10 Tahun 2005 tersebut diberikan dengan
tetap memperhatikan kebebasan dan tanggung jawab hakim dalam
menjalankan tugasnya, baik dalam penyelenggaraan peradilan, penilaian
kebenaran/pembuktian, penerapan hukumnya, maupun penilaian keadilannya
dan tidak boleh diperintah atau diberi tekanan secara apapun dan oleh
siapapun (vide SEMA angka 5 butir (2) kesatu) dan tidak mengurangi
kebebasan hakim (vide SEMA angka 4).
Sesuai SEMA RI Nomor 10 Tahun 2005 tersebut, maka prinsip
kebebasan hakim haruslah berada dalam kerangka prinsip kebebasan lembaga
peradilan (vide SEMA angka 3 huruf b) sebab meskipun putusan
hakim/majelis secara filosofis adalah bersifat individual, namun secara
administratif adalah bersifat kelembagaan, karena setelah putusan itu
diucapkan maka putusan itu menjadi putusan pengadilan (lembaga), yang
berarti telah terjadi deindividualisasi (vide SEMA angka 3 butir d).
Ketua Muda Bidang Perdata dalam pengarahan tidak tertulis pada
bulan Juli 1994 di Bandung, memberikan gambaran kebebasan hakim
sebagai berikut :318
1. Kebebasan eksternal, yaitu :
- Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya.
- Bebas dari paksaan pihak manapun.
- Bebas dari derektiva atau rekomendasi dari pihak ekstra yudisial,
kecuali hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang.
2. Kebebasan internal, yaitu :
- Bebas melakukan penafsiran.
- Bebas mencari atau menggali dasar-dasar atau azas-azas hukum
sebagai landasan menyelesaikan perkara.
Gambaran kebebasan ekseternal hakim juga dikemukakan oleh
Gerhard Robbes, yaitu :319
1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.
318
Harifin A. Tumpa, Op.Cit, halaman 83-84. 319
Ahmad Rifai, Op.Cit, halaman 104.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
151
2. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim.
3. Tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan
tugas dan fungsi yudisialnya.
Selain itu, gambaran kebebasan internal hakim juga dikemukakan oleh
Henry Pandapotan Panggabean bahwa kebebasan hakim adalah kebebasan
untuk :320
a. Menafsirkan serta menerapkan peraturan hukum yang berlaku sebagai the
living law; dan
b. Menemukan hukum bagi bidang-bidang yang belum ada peraturan
hukumnya (aspek res cottidiane).
Dalam Cetak Biru Mahkamah Agung juga memberikan arah
kemandirian kekuasaan kehakiman dalam bentuk kemandirian institusional
sebagai mandiri dan harus bebas dari intervensi oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dan bentuk kemandirian fungsional dimana hakim
dalam memutus perkara harus didasarkan pada fakta dan dasar hukum yang
diketahuinya, serta bebas dari pengaruh, tekanan, atau ancaman, baik
langsung ataupun tidak langsung, dari manapun dan dengan alasan apapun
juga.321
Mencermati makna kebebasan hakim tersebut, maka tepatlah pendapat
Artidjo Alkostar bahwa peran dan tugas hakim bukan hanya sekedar pembaca
deretan huruf dalam undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif,
melainkan dalam putusannya memikul tanggung jawab menjadi suara akal
sehat dan mengartikulasikan sukma keadilan dalam kompleksitas dan
dinamika kehidupan masyarakat.322
Selanjutnya perlu dipertegas bahwa kebebasan hakim melakukan
penafsiran hanya diperbolehkan dalam hal aturan atau hukum positif tidak
memberikan kejelasan dan/atau atas suatu perjanjian terkandung klausula
320
Henry Pandapotan Panggabean, Op.Cit, halaman 205. 321 Mahkamah Agung RI, Cetak Biru, halaman 11. 322
Syamsudin, Op.Cit, halaman 257.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
152
multi tafsir,323
dengan cara diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan
disesuaikan dengan peristiwanya untuk diterapkan pada peristiwanya itu.324
Terdapatnya ketidakjelasan arti dalam hukum positif ataupun
terdapatnya klausula multi tafsir dalam perjanjian merupakan akibat dari
konflik hukum yang terjadi dalam perjanjian tersebut, antara lain :325
1. Konflik antara undang-undang yang lama dan yang baru.
2. Konflik antara peraturan perundang-undangan yang berbeda tingkatannya.
3. Konflik antara undang-undang dengan putusan pengadilan.
4. Konflik antara undang-undang dan hukum kebiasaan.
Berkaitan dengan terdapatnya konflik hukum tersebut, H.R. Purwoto
S. Gandasubrata, SH (Mantan Ketua Mahkamah Agung) memberikan solusi
agar hakim dalam perkara yang diadilinya haruslah bersikap sebagai berikut
:326
a. Dalam kasus yang hukumnya atau undang-undangnya yang sudah jelas,
tinggal menerapkan saja hukumnya (hakim menjadi terompet undang-
undang).
b. Dalam kasus yang hukum atau undang-undangnya tidak atau belum jelas
maka hakim akan menafsirkan hukum atau undang-undang melalui cara-
cara atau metode penafsiran yang lazim berlaku dalam ilmu hukum.
c. Dalam kasus dimana terjadi pelanggaran/penerapan hukum yang
bertentangan dengan hukum/undang-undang yang berlaku maka hakim
akan menggunakan hak menguji (toetsingrecht atau judicial review).
d. Dalam kasus yang belum ada undang-undang/hukum yang mengaturnya,
maka hakim harus menemukan hukumnya dengan menggali dan mengikuti
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
323
Thomas E. Davitt mengemukakan pendapatnya tentang nilai-nilai yang tidak
jelas bahwa nilai-nilai tersebut dikonstruk dari penalaran-penalaran yang minim saja,
tidak universal dan sifatnya tak lebih dari sekedar umum saja, dimiliki bersama, sering
dan sesekali, dimana masih terus diuji dan dikaji berdasarkan konstruksi-nilai yang lebih
rasional. (Thomas E. Davitt sebagaimana diterjemahkan oleh Yudi Santoso, S.Fil, Nilai-
Nilai Dasar Di Dalam Hukum Menganalisa Implikasi-Implikasi Legal-Etik Psikologi &
Antropologi bagi Lahirnya Hukum, PalMall, Yogyakarta, 2012, halaman 78). 324
Ahmad Rifai, Op.Cit, halaman 25. 325
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, halaman 26. 326
Harifin A. Tumpa, Op.Cit, halaman 92-94.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
153
Pendapat H.R. Purwoto S. Gandasubrata, SH tersebut identik dengan
pendapat Mariam Darus Badrulzaman yang mengemukakan beberapa
pedoman penafsiran perjanjian sebagai berikut :327
a. Jika kata-kata perjanjian jelas tidak diperkenankan untuk menyimpang.
b. Hal-hal yang menurut kebiasaan selama diperjanjikan dianggap
dimasukkan ke dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.
c. Semua janji yang dibuat dalam perjanjian harus diartikan hubungan satu
sama lain. Setiap janji harus ditafsirkan dalam perjanjian seluruhnya.
d. Jika ada keragu-raguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang
yang telah meminta diperjanjikan suatu hal dan untuk keuntungan orang
yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.
e. Meskipun luasnya arti kata-kata dalam suatu perjanjian yang disusun,
perjanjian itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan oleh
kedua belah pihak sewaktu membuat perjanjian.
Mengenai penafsiran hukum oleh hakim, Setiawan berpendapat bahwa
penafsiran hakim juga harus digunakan dalam suatu peraturan perundang-
undangan yang sudah jelas bunyinya, namun tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman.328
Nilai hukum yang tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman merupakan nilai tertinggal yang mengakibatkan
ketidakseimbangan nilai.329
Karena itu, penafsiran harus dilakukan apabila
hakim berpendapat dengan keyakinan bahwa ketentuan sudah usang dan tidak
sesuai dengan perubahan dan kemajuan zaman.330
Dengan demikian, sebelum
tiba pada kesimpulan bahwa suatu hukum telah/belum/tidak jelas, hakim
haruslah melakukan penafsiran mengenai relevansi hukum yang digunakan
dengan kasus yang diadilinya.
Pedoman penafsiran perjanjian dapat pula dicermati dalam Bab Kedua
Bagian Keempat KUH Perdata tentang penafsiran suatu perjanjian, khususnya
Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351 KUH Perdata. Selain itu, sesuai dengan
asas sense clair, penafsiran yang dilakukan hakim haruslah dikonstruksi
327
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.Cit, halaman 29. 328
Setiawan, Op.Cit, halaman 458. 329
Syamsudin, Op.Cit, halaman 43. 330
Henry Pandapotan Panggabean, Peranan Mahkamah Agung Melalui
Putusan-Putusan Hukum Perikatan, Op.Cit, halaman 96.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
154
untuk tidak keluar dari maksud dibentuknya hukum/undang-
undang/perjanjian tersebut. Hakim haruslah terlebih dahulu mengetahui roh
dari suatu hukum/undang-undang/perjanjian sebelum dilakukannya
penafsiran atas klausula yang tidak jelas atau multitafsir dengan
memperhatikan subtilitas inteligendi (ketepatan pemahaman), subtilitas
explicandi (ketepatan penjabaran), dan substilitas aplicandi (ketepatan
penerapan).331
Sebagaimana telah dikemukakan diperlukannya penafsiran hukum
karena tidak ada kejelasan nilai332
dalam hukum. Dalam hal ini Thomas E.
Davitt telah membedakan kejelasan nilai dalam hukum atas absolut jelas
dengan sendirinya, artinya jelas untuk semua orang dan relatif saja, artinya
jelas untuk kebanyakan orang.333
Pendapat Thomas E. Davitt tersebut
didasarkan pada pemikiran bahwa sangatlah sulit suatu bunyi aturan/hukum
dimaknai “sama” dalam persepsi semua orang.
Dalam literatur lain, untuk menunjukkan kejelasan nilai dalam hukum,
Syamsudin menggunakan istilah nilai subyektif yang disebut juga sebagai
nilai ekstrinsik, misalnya nilai ekstrinsik sesuatu barang berbeda menurut
seseorang dibanding dengan orang lain dan nilai obyektif sebagai sesuatu
yang mengandung nilai bagi setiap orang.334
Berdasarkan peristilahan penggolongan nilai menurut Thomas E.
Davitt dan Syamsudin tersebut, dapat disamakan bahwa nilai absolute jelas
dengan sendirinya yang dimaksud Thomas E. Davitt itulah yang
dimaksudkan Syamsudin sebagai nilai obyektif, sedangkan nilai relatif saja
itulah yang dimaksudkan sebagai nilai subyektif.
Setiawan berpendapat bahwa untuk menyatakan telah jelas suatu
klausula perjanjian sangatlah sulit sebab jelas bagi salah satu pihak belum
331
Syamsudin, Op.Cit, halaman 74. 332
Sathe mendefinisikan nilai sebagai basic assumption about what ideal are
desirable or worth striving for. Hosfstede mendefinisikan nilai sebagai a broad tendency
to prefer certain states of affairs over other. Danandjaja berpendapat bahwa nilai adalah
pengertian-pengertian (conceptions) yang dihayati seseorang mengenai sesuatu yang
lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang
lebih benar atau kurang benar (Syamsudin, Op.Cit, halaman 37-38). 333
Thomas E. Davit sebagaimana diterjemahkan oleh Yudi Santoso, S.Fil,
Op.Cit, halaman 75. 334
Syamsudin, Op.Cit, halaman 38.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
155
tentu jelas bagi pihak lain. Karena itu yang dimaksudkan dengan “jelas”
adalah yang memberikan sedikit kemungkinan untuk dilakukan penafsiran
yang berbeda.335
Thomas E. Davitt juga mengemukakan bahwa yang paling jelas
dengan sendirinya (yang berjenis absolut) adalah pertimbangan atas nilai-nilai
tertentu yang dilakukan semua orang tanpa sebuah proses penalaranpun.
Kemudian yang cukup jelas dengan sendirinya bagi kebanyakan orang (yang
berjenis relatif) adalah pertimbangan-nilai yang dibentuk dari sejumlah kecil
penalaran. Ini semua adalah konstruk dasar yang buktinya akan
memperlihatkan dibentuk oleh semua orang dengan sedikit perkecualian.336
Terhadap nilai, Paulus Wahana berpendapat bahwa pada intinya nilai-nilai
memiliki peran mengarahkan dan memberi daya tarik pada manusia dalam
membentuk dirinya melalui tindakan-tindakannya.337
Berdasarkan uraian di atas maka titik tolak pemahaman terhadap
hukum tidak sekedar rumusan hitam putih yang ditetapkan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan tetapi juga harus diarahkan pada hubungan
antara hukum dengan faktor-faktor non hukum lainnya terutama faktor nilai
dan sikap serta pandangan masyarakat.338
B. Arief Sidharta mengemukakan
bahwa kegiatan menginterpretasikan tersebut tidak hanya dilakukan terhadap
teks yuridis, tetapi juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah
hukum yang bersangkutan (misalnya menetapkan fakta-fakta yang relevan
dan makna yuridisnya).339
Dengan demikian dalam melakukan penafsiran atas klausula multi
tafsir hakim harus menghubungkan makna kata-kata dalam perjanjian dengan
keadaan non hukum guna mencari tahu maksud para pihak mencantumkan
klausula tersebut dalam perjanjian, dimana hakim harus melewati suatu
ungkapan pikiran yang kurang jelas menuju ke yang lebih jelas, yaitu dari
335
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1994,
halaman 68. 336
Dirangkum dari Thomas E. Davit sebagaimana diterjemahkan oleh Yudi
Santoso, S.Fil, Op.Cit, halaman 76-77. 337
Syamsudin, Op.Cit, halaman 41. 338
Ibid, halaman 54. 339
Ibid, halaman 60.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
156
bentuk pemikiran yang kurang jelas menjadi bentuk pikiran yang lebih
jelas.340
Kejelasan interpretasi akan berfungsi sebagai rekonstruksi gagasan
yang tersembunyi di balik aturan hukum.341
Pemahaman atas penafsiran hukum tersebut sesuai dengan ketentuan
Pasal 1343 KUH Perdata yang mengatur bahwa : jika kata-kata suatu
perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilihnya
menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, dari
pada dipegang teguh arti kata menurut huruf. Ketentuan tersebut dipertegas
lagi dalam Pasal 1350 KUH Perdata bahwa : betapa luaspun pengertian kata-
kata yang digunakan untuk menyusun suatu perjanjian, perjanjian itu hanya
meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan kedua belah pihak sewaktu
membuat perjanjian.
Berdasarkan regulasi tersebut, penafsiran tidak hanya didasarkan
semata-mata atas kata-kata yang tertuang dalam suatu perjanjian, akan tetapi
haruslah dilihat kesesuaian kata-kata dalam klausula tersebut dengan maksud
para pihak yang sebenarnya. Mahkamah Agung RI dalam putusannya Nomor
: 1245 K/Sip/1974 tanggal 9 Nopember 1976 berpendapat bahwa :
pelaksanaan suatu perjanjian dan tafsiran suatu perjanjian, tidak dapat
didasarkan semata-mata atas kata dalam perjanjian tersebut in casu
berdasarkan sifat dari pada bangunan lantai atas (loods) maka hal ini
merupakan suatu “bestendig en gebruikelijk beding” terhadap Pasal X dari
perjanjian antara penggugat dan tergugat I (ps 1347 jo ps 1339 KUH Perdata).
Untuk itu Sudikno Mertokusumo telah memberikan model-model
penafsiran yang dapat digunakan hakim, sebagai berikut :342
a. Metode penafsiran yang terdiri dari :
1. Interpretasi gramatikal.
2. Interpretasi sistematis.
3. Interpretasi historis; dan
4. Interpretasi teologis.
b. Metode komparatif.
340
Ibid, halaman 57. 341
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, halaman 66. 342
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, halaman 82.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
157
c. Metode antisipatif/futuristis.
d. Metode per analogium (analogi).
Tentunya mengenai jenis penafsiran apa yang digunakan disesuaikan
dengan kebutuhan dan teknik masing-masing hakim mendekatkan arti
penafsiran dengan arti sebenarnya.343
Untuk menginterprentir yang tepat
haruslah dilakukan dengan cara yang tidak bersifat sepihak, yaitu dengan
tidak mempergunakan salah satu metode interpretasi saja akan tetapi
melakukan penafsiran dari berbagai sudut.344
Selanjutnya B. Arief Sidharta telah mengemukakan 6 (enam) langkah
utama dalam proses penalaran hukum dalam proses pembuatan putusan
hakim, yaitu :345
1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta)
kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil
terjadi.
2. Menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber hukum yang
relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam
peristilahan yuridis (legal term).
3. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk
kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum
itu (the policies underlying those rule), sehingga dihasilkan suatu struktur
(peta) aturan yang konheren.
4. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus.
5. Mencari alternatif penyelesaian yang mungkin.
6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian
diformulasikan sebagai putusan akhir.
Dalam menjalankan tugas utamanya untuk memberikan penyelesaian
definitif terhadap konflik atau sengketa yang dihadapkan padanya secara
343
Putusan Mahkamah Agun RI Nomor : 220 PK/Pdt/1986 tanggal 16
Desember 1986 mengemukakan kaidah hukum bahwa setiap tafsiran yang berlainan
dapat dikatakan merupakan perbedaan pendapat, akan tetapi tidak semua tafsiran dapat
dianggap sebagai suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata karena hanya
dapat ditentukan secara kasus demi kasus saja (Mahkamah Agung RI, Op.Cit, hal.100). 344
H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid 1, CV. Rajawali,
Jakarta, 1983, halaman 16. 345
Syamsudin, Op.Cit, halaman 86-87.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
158
imparsial, obyektif, adil dan manusiawi,346
hakim akan menentukan peristiwa
hukum apakah yang menguasai persengketaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan, selanjutnya hakim akan menentukan hukum apakah yang
berlaku bagi perkara yang diperhadapkan padanya.347
Dalam hal ini oleh
hakim hukum tersebut harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan
diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwa hukumnya baru diterapkan pada
peristiwa hukum tersebut.348
Dalam memberikan keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat, hakim juga kadang-kadang dituntut untuk melakukan
konstruksi hukum maupun terkadang dituntut untuk melakukan penemuan
hukum (rechtsviding).349
Untuk itu, hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan dituntut menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat, dan karena itu hakim harus terjun ke tengah-tengah
masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.350
Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman yang menyatakan : hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat.351
Lebih lanjut penjelasan atas Pasal 5
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
tersebut menyatakan : dalam masyarakat yang asli menganut hukum tidak
tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan
perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang nyata-nyata ada di
kalangan rakyat atau masyarakat.352
Selanjutnya dalam hal hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis
tidak dapat menampilkan aturan-aturan mengenai kasus yang dihadapi hakim
346 Artikel : Sebuah Catatan Tentang Hakim oleh B.Arief Sidharta dalam
Buletin Komisi Yudisial Vol. VI No.3. Desember 2011-Januari 2012, halaman 26. 347
Harifin A. Tumpa, Op.Cit, halaman 103. 348
Syamsudin, Op.Cit, halaman 80. 349
Setiawan, Op.Cit, halaman 458. 350
Artikel : Mendambakan Sosok Hakim Progresif, oleh M. Purwadi, dalam
Buletin Komisi Yudisial Vol. VI No.3, Desember 2011-Januari 2012, halaman 36. 351
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, UU RI No.48 Tahun 2009, Op.Cit. 352
Ibid.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
159
(terjadinya kekosongan hukum), maka hakim dapat menggunakan analogi
ataupun argumentum a contrario ataupun penghalusan hukum
(rechtsvervijning), atau kalau cara-cara tersebut belum dapat menemukan
hukumnya maka ia akan menciptakan hukum (Rechts Schepping atau Judge
Made Law)353
dengan cara berikhtiar, berwawasan hukum, melakukan
penafsiran, melakukan perbandingan, menggali nilai-nilai yang hidup di
masyarakat seperti hukum adat dan kebiasaan.354
Dengan demikian, putusan
hakim tidak semata-mata bersifat legalistik yakni hanya sekedar menjadi
corong undang-undang (la bouche de la loi), dan juga tidak sekedar
memenuhi formalitas hukum atau sekedar memelihara ketertiban saja.355
Dalam pengambilan putusan (ex ante) baik berupa penerapan hukum
maupun penemuan hukum, maka pada tahap pertama sebelum pengambilan
putusan (ex ante) hakim harus melakukan proses mencari dan berpikir dengan
mempertimbangkan berbagai argument pro kontra yang disampaikan para
pihak dalam persidangan kemudian ditentukan mana yang paling tepat, yang
sesuai dengan hukum dan keadilan hukum. Selanjutnya pada tahap yang
kedua setelah pengambilan putusan (ex post) hakim memberikan
pertimbangan dan argumentasi subtansial dengan cara menyusun suatu
penalaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan.356
Dalam putusan hakim, tahap pertama tersebut dapat dicermati dalam
bagian rumusan fakta persidangan (tentang duduknya perkara) hingga uraian
pokok persengketaan menurut hakim. Sedangkan tahap kedua dapat dicermati
dalam bagian pertimbangan hukumnya (tentang hukumnya).
Dalam hal ini hakim tidak sekedar memutus menurut hukum, akan
tetapi putusan-putusannya harus mengandung rasa keadilan yang tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat,357
sebagaimana harapan Roscoe Pound
353
Harifin A. Tumpa, Op.Cit, halaman 92. 354
H. Andi Abu Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in
Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Yang Akurat Dalam
Menggapai Kebenaran Bermuatan Keadilan, Yarsif Watampone, Jakarta, 2006, halaman
41-42. 355
Ahmad Rifai, Op.Cit, halaman 137. 356
Syamsudin, Op.Cit, halaman 61. 357
Harifin A. Tumpa, Op.Cit, halaman 92.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
160
untuk melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang bisa diberikannya
kepada masyarakat.358
Putusan hakim yang mengandung rasa keadilan adalah putusan yang
mengakomodir nilai-nilai kepatutan dan kelayakan sebagai ketertiban umum.
Untuk itu Ridwan Khairandy berpendapat, karena lembaga kepatutan dan
keadilan merupakan ketertiban umum (van openbare orde), maka apabila
kepatutan dan keadilan tidak ada dalam perjanjian yang bersangkutan,
pengadilan dapat merubah isi perjanjian itu di luar apa yang secara tegas telah
diperjanjikan.359
Hal tersebut sesuai dengan fungsi kepatutan (aequitas) yaitu
hanya memberikan koreksi apakah subyek dalam situasi dan keadaan
(omstandigheden) tertentu patut memperoleh haknya atau kewajibannya
dengan maksud untuk meluweskan pengenaan keadilan dan zakelijke.360
Keadilan putusan hakim sebagai keadilan hukum merupakan
pemenuhan atas kebutuhan rohaniah dalam tata hubungan masyarakat.
Dikatakan demikian sebab masyarakat memiliki gambaran tentang mana yang
patut dan tidak patut, mana yang benar dan yang salah kendatipun dalam
masyarakat tersebut tidak ada hukum tertulisnya. Sebab itu hakim dalam
memberikan keadilan bagi masyarakat harus mempertimbangkan faktor-
faktor faktual yang secara realistik turut menentukan terbentuknya opini dan
persepsi.361
Dengan demikian, setidak-tidaknya putusan hakim yang berkeadilan
harus memenuhi prinsip-prinsip keadilan, yaitu :362
1. Setiap orang harus mempunyai hak yang sama terhadap kebebasan dasar
yang sangat luas yang sesuai dengan kebebasan yang sama untuk orang
lain.
2. Ketidaksesuaian sosial dan ekonomi harus diatur sehingga :
358
H. Andi Abu Ayyub Saleh, Op.Cit, halaman 60. 359
Ridwan Kahirandy, Op.Cit, halaman 295. 360
H. Andi Abu Ayyub Saleh, Op.Cit, halaman 65. 361
Tulisan M. Fauzan berjudul Pesan Keadilan Dibalik Teks Hukum Yang
Terlupakan (Refleksi Atas Kegelisahan Prof. Asikin) dalam Varia Peradilan, Majalah
Hukum Tahun XXVI No. 299 Oktober 2010, halaman 37. 362
Prinsip-prinsip keadilan tersebut dikemukakan oleh Jhon Rawls melalui buku
a theory of justice (1988 : 3-8) sebagaimana dikutip oleh Henry Pandapotan Panggabean,
Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan Hukum Perikatan, Op.Cit, halaman
91.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
161
a. Bisa diharapkan menguntungkan semuanya.
b. Dikaitkan dengan posisi jabatan yang terbuka untuk semuanya.
Dalam hal ini, untuk memberikan keadilan maka hakim perlu
meyakinkan bahwa semua pihak maupun keadaan disekitarnya telah
dipertimbangkan dan tidak seorangpun diberi preferensi pada dasar yang
tidak relevan.363
Hakimpun dapat mengganti nilai-nilai hukum yang ada
dengan nilai-nilai hukum baru yang ditemukan dalam masyarakat, juga hakim
melalui putusan-putusannya dapat menyatakan suatu aturan hukum yang
sebenarnya tidak berlaku menjadi berlaku demi mengisi kekosongan
hukum.364
Dalam hubungannya dengan perjanjian kredit bank, hakim dapat
memerintahkan agar penentuan besaran bunga kredit harus dinegosiasikan.
Hal tersebut sebagai bagian dari penerapan asas kebebasan berkontrak dalam
perjanjian kredit bank sebab pada kenyataannya, dalam praktik pihak bank
tidak memberikan ruang negosiasi dalam penentuan bunga kredit. Sebagai
pihak yang lemah secara ekonomis, pihak nasabah debitur terpaksa
menyepakati besaran suku bunga yang dibebankan meskipun dirasakan
memberatkannya.
Tentang hal ini, Z. Asikin Kusumah Atmadja berpendapat, apabila
dalam perjanjian tersebut pihak debitur berada dalam keadaan tertekan
(dwang positie) ataupun terdapat keadaan dimana debitur tidak ada pilihan
lain selain menyetujui syarat perjanjian yang memberatkan atapun juga
terdapat keadaan dimana nilai dan hasil perjanjian tersebut sangat tidak
seimbang apabila dibandingkan dengan prestasi timbal balik dari para pihak,
maka hakim wajib meneliti apakah in concreto terjadi penyalahgunaan
kekuasaan ekonomis.365
Pendapat tersebut sesuai pula dengan putusan Mahkamah Agung
Nomor : 3641 K/Pdt/2001 tanggal 11 September 2002 dalam perkara antara
Made Oka Masagung melawan PT. Bank Artha Graha, Notaris Koesbiono
363
Abdullah, Op.Cit, halaman 129. 364
Harifin A. Tumpa, Op.Cit, halaman 97. 365
Z. Asikin Kusumah Atmadja, Beberapa Yurisprudensi Perdata Yang Penting
Serta Hubungan Ketentuan Hukum Acara, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1991, halaman
349.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
162
Sarmanhandi, SH, Sugiarto Kusuma, PT. Binajaya Padukreasi dan PT.
Gunung Agung, PT. Gunung Agung Investment berpendapat bahwa : dalam
hal azas kebebasan berkontrak hakim berwenang untuk meneliti dan
menyatakan bahwa kedudukan para pihak berada dalam yang tidak seimbang,
sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas menyatakan kehendaknya.
Selain menggunakan asas kebebasan berkontrak, hakim dapat pula
menggunakan asas itikad baik, kepatutan dan kebiasaan serta penyalahgunaan
keadaan sebagai tolok ukur untuk mengawasi klausula perjanjian.366
Dalam
hal ini Sudaryanto berpendapat bahwa para hakim diharapkan dapat
menggunakan asas atau lembaga itikad baik, kepatutan dan kebiasaan serta
penyalahgunaan keadaan sebagai indikator untuk mengawasi perjanjian
baku.367
Hakim berkuasa untuk menyimpang dari perjanjian bila pelaksanaan
perjanjian bertentangan dengan kepatutan dan keadilan. Hakim dapat
mencegah pelaksanaan atau pemenuhan perjanjian yang amat melanggar rasa
keadilan.368
Dalam KUH Perdata, kewenangan hakim mengawasi perjanjian
merupakan interpretasi atas ketentuan Pasal 1338 ayat (3) yaitu perjanjian
dilaksanakan dengan itikad baik. Bunyi regulasi tersebut dapat
diinterpretasikan dalam bentuk pelaksanaan perjanjian itu tidak boleh
melanggar kepatutan dan keadilan dimana hakim berwenang mengawasi
pelaksanaan perjanjian. Interpretasi tersebut adalah tepat sebab hakim
merupakan lembaga yang khusus dibentuk untuk memberikan kepastian,
kemanfaatan dan keadilan hukum.
Mengenai asas patut, Koesnoe dengan mengutip pendapat Hazairin
mengemukakan bahwa asas patut atau pantas pada tataran moral dan
sekaligus pada tataran akal sehat terarah pada penilaian suatu tindakan atau
situasi faktual tertentu. Dengan kata lain, patut mencakup, baik elemen moral,
yakni berkenaan dengan penilaian baik atau buruk maupun elemen akal sehat,
366
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.Cit, halaman 56. 367
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit, halaman 356. 368
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung,
2009, halaman 77.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
163
yakni penilaian yang berkesesuaian dengan hukum-hukum logika.369
Ajaran
kepatutan, dari akar kata patut, memberi penekanan pada ajaran yang
memberikan pedoman cara berperilaku berhadapan dengan orang, baik
dihormati maupun kurang dihormati. Ajaran kepatutan pada dasarnya hendak
melindungi atau menjauhkan manusia dari tindakan-tindakan yang dapat
menempatkannya dalam situasi malu (kehilangan muka).370
Asas kepatutan
disini berkaitan dengan isi perjanjian karena melalui asas ini ukuran tentang
hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.371
Menurut Z. Asikin Kusumah Atmadja, apabila dalam suatu perjanjian
terdapat syarat yang diperjanjikan yang tidak masuk akal atau yang tidak
patut atau yang bertentangan dengan perikemanusiaan (onredelijke
contractsvoorwaarden atau unfair contractterms) maka hakim wajib
memeriksa dan meneliti in concreto faktor-faktor apa yang bersifat tidak
masuk akal, tidak patut atau tidak berperikemanusiaan tersebut.372
Hal
tersebut penting sebab kewajiban kreditur dan debitur bukan hanya
ditentukan semata-mata apa yang tertulis dalam perjanjian, tetapi juga
mencakup kepatutan dan kelayakan pada perbuatan hukum yang dilakukan.373
Untuk itu, sebagai pedoman bagi hakim dalam mencermati
keseimbangan suatu perjanjian, Z. Asikin Kusumah Atmadja mengemukakan
3 (tiga) langkah, yaitu :374
- Pertama, makna dari isi perjanjian yang disepakati harus diitentukan dulu
karena kata-kata yang membentuk rumusan pernyataan kehendak sering
tidak jelas. Apakah makna dari isi perjanjian tersebut mengandung syarat-
syarat yang tidak masuk akal, tidak patut, bertentangan dengan
perikemanusiaan atau akan memberikan hasil yang tidak seimbang dengan
prestasi yang timbal balik.
369
Herlien Budiono, Op.Cit, halaman 243. 370
Ibid. 371
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.Cit, halaman 44. 372
Z. Asikin Kusumah Atmadja, Beberapa Yurisprudensi Perdata Yang Penting
Serta Hubungan Ketentuan Hukum Acara, Op.Cit, halaman 349. 373
Pendapat Yohanes Sogar Simamora dalam Djoni S. Gazali dan Rachmadi
Usman, Op.Cit, halaman 342. 374
Disadur dari Z. Asikin Kusumah Atmadja, Beberapa Yurisprudensi Perdata
Yang Penting Serta Hubungan Ketentuan Hukum Acara, Op.Cit, halaman 350.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
164
- Kedua, kalau ternyata isi yang disepakati mengandung syarat-syarat yang
tidak masuk akal, tidak patut dan sebagainya, kemudian haruslah diteliti
apakah perjanjian tersebut dapat dikatakan terjadi secara sepihak karena
kedudukan para pihak sangat tidak seimbang. Disini terselubung
kemungkinan adanya penyalahgunaan kekuasaan ekonomis, sebab kalau
kekuasaan ekonomis tidak disalahgunakan maka kedudukan para pihak
relatif seimbang.
- Ketiga, kalau ternyata bahwa ketidakseimbangan antara para pihak adalah
sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan perjanjian tersebut bersifat
sepihak, masih harus diteliti apakah ada alasan-alasan tertentu atau alasan-
alasan khusus yang membenarkan keadaan para pihak yang tidak
seimbang tersebut.
Ketika hakim mengadili suatu perkara berkaitan dengan penerapan
besaran bunga kredit, hakim haruslah mencermati, apakah bunga kredit
tersebut ditentukan para pihak atas kehendak bersama, apakah alasan para
pihak mencantumkan sistem dan besaran bunga kredit tersebut, apakah para
pihak secara sukarela tunduk pada klausul bunga kredit tersebut, kemudian
dengan menggunakan asas keseimbangan hakim akan menakar apakah bunga
yang diterapkan dalam perjanjian kredit tersebut telah patut dan layak ataukah
tidak.
Dalam hal ditemukan tidak terdapatnya keseimbangan kepentingan
dalam penentuan bunga kredit, hakim dengan kekuasannya dapat
membatalkan perjanjian kredit tersebut. Suatu perjanjian kredit yang
dibatalkan merupakan ancaman berat bagi bank, apalagi dalam hal putusan
hakim menyatakan perjanjian kredit batal demi hukum, bank akan mengalami
kesulitan, sebab uang yang telah disalurkan kepada nasabah tersebut tidak
mungkin dapat ditarik dengan seketika dan sekaligus.375
Selain itu,
dikabulkannya gugatan nasabah debitur memberikan citra buruk bank dimata
masyarakat. Buruknya citra bank akan mempengaruhi kepercayaan
375
Try Widiyono, Op.Cit, halaman 74.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
165
masyarakat terhadap bank.376
Karena itu sebelum memberikan putusannya,
hakim haruslah mempertimbangkan terlebih dahulu apakah perjanjian
tersebut-meskipun bersifat sepihak- perlu dinyatakan batal/dibatalkan atau
tidak. Apakah pengaruh pembatalan tersebut tidak justeru merugikan bagi
masyarakat, ataukah hal tersebut merupakan suatu problema yang
pemecahannya harus diserahkan kepada pembuat undang-undang ?377
Mengenai bentuk pembatalan perjanjian kredit yang tepat, di kalangan
praktisi masih menjadi bahan perdebatan, apakah berupa pembatalan
perjanjian kredit secara utuh ataukah sebatas pembatalan klausula eksonerasi
saja. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja mengemukakan bahwa selama
dan sepanjang causa yang tidak halal tidak berkaitan langsung dengan obyek
perjanjian yang merupakan suatu kebendaan yang terikat dengan prestasi
yang merupakan unsur esensialia dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak,
maka perjanjian tidak batal demi hukum, melainkan hanya batal terhadap
klausula yang memuat ketentuan yang bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum tersebut.378
Dalam hal ini penulis berpendapat, karena tujuan dari intervensi
hakim adalah melindungi para pihak melalui menyeimbangkan kepentingan
para pihak dalam suatu perjanjian kredit, maka lebih tepat hakim hanya
membatalkan klausula eksonerasi saja yaitu klausula yang mengganggu
keseimbangan kepentingan para pihak dalam perjanjian kredit tersebut. Hal
ini sesuai pula dengan pendapat Z. Asikin Kusumah Atmadja dalam
menjawab pertanyaan Ketua Pengadilan Tinggi Jambi yang menyatakan :
kapan hakim dalam suatu perkara dapat membatalkan perjanjian dan kapan
376
Hal yang harus dijaga agar industri perbankan tetap eksis adalah
menciptakan landasan utama hubungan antara bank dengan masyarakat berdasarkan pada
prinsip kepercayaan fiduciary relationship yang diperlukan dalam hubungan timbal balik.
Lihat Try Widiyono, Op.Cit, halaman 13. 377
Z. Asikin Kusumah Atmadja, Beberapa Yurisprudensi Perdata Yang Penting
Serta Hubungan Ketentuan Hukum Acara, Op.Cit, halaman 350-351. 378
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan Perikatan
Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Februari 2003, halaman
57.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
166
hakim tidak perlu membatalkan sudah cukup untuk menserasikan suku bunga
saja, harus dilihat secara kasus demi kasus.379
Dengan demikian, apabila didapati bunga kredit tidak patut dan tidak
layak, hakim berwenang untuk menyesuaikan bunga kredit sesuai dengan
kepatutan dan kelayakan sehingga perjanjian kredit tersebut menjadi
seimbang. Pengenaan bunga kredit yang patut dan layak oleh Hakim
merupakan pengamalan atas nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dalam
memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan.
Dalam hal ini Subekti berpendapat bahwa terhadap bunga yang melebihi
batas dan dituntut lewat pengadilan, maka hakim harus menguranginya
sampai batas yang diperbolehkan.380
Pendapat yang sama juga dapat dilihat
dalam putusan Mahkamah Agung Nomor : 3917 K/Pdt/1986 yang
menyatakan bahwa hakim berwenang menurunkan bunga yang jumlahnya
dinilai terlalu tinggi sehingga sesuai dengan rasa keadilan.381
Dengan memperhatikan kepentingan masing-masing pihak yaitu
kepentingan pihak bank selaku kreditur dan kepentingan pihak nasabah
selaku debitur, hakim diharapkan memberikan keadilan bagi masing-masing
pihak dengan cara menyesuaikan bunga kredit sesuai kepatutan dan
kelayakan. Artinya, hakim menempatkan asas keseimbangan dalam perjanjian
kredit sebagai asas-asas hukum yang dilandaskan pada nilai-nilai (warden),
norma (normen), dan ideologi yang terkonkretisasi ke dalam hukum dengan
cara menstimulasi dan mengaktifkan aturan-aturan serta keputusan-keputusan
hukum yang ada pada tataran hukum positif.382
Dari beberapa putusan hakim sebagaimana telah dianalisis pada bab 4
sub bab 4.1.1, sub bab 4.1.2, dan sub bab 4.1.3, terlihat hakim telah
menggunakan alasan kepatutan dan kelayakan sebagai alasan memulihkan
keseimbangan bunga kredit dalam perjanjian kredit bank. Berbagai putusan
379
Z. Asikin Kusumah Atmadja, Beberapa Yurisprudensi Perdata Yang Penting
Serta Hubungan Ketentuan Hukum Acara, Op.Cit, halaman 357. 380
R. Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perikatan, Arbitrase dan
Peradilan, Op.Cit, halaman 21. 381
Henry Pandapotan Panggabean, Peranan Mahkamah Agung Melalui
Putusan-Putusan Hukum Perikatan, Op.Cit, halaman 285.. 382
Herlien Budiono, Op.Cit, halaman 152.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
167
hakim yang mengembalikan dan atau menyesuaikan bunga kredit berdasarkan
asas kepatutan dimaksudkan untuk menempatkan bunga kredit sesuai dengan
keadaan patut dan layak yaitu menentukan bunga kredit berdasarkan suku
bunga kredit yang dikeluarkan bank pemerintah dan berdasarkan penilaian
atas kemampuan nasabah debitur.
Dengan asas keseimbangan hakim menempatkan kembali bunga
kredit sesuai kepatutan dan kelayakan sebagai keadilan bagi bank maupun
bagi nasabah debitur. Bunga kredit bank yang memberatkan pihak nasabah
debitur dan menjadikan perjanjian kredit menjadi tidak seimbang harus
dipulihkan keseimbangannya oleh hakim. Juga dalam menyesuaikan suku
bunga kredit hakim harus memperhatikan kepentingan bank dalam
kedudukan sebagai lembaga keuangan yang bekerja dengan uang simpanan
masyarakat. Dalam hal ini, hakim harus turut melindungi keselamatan dana
masyarakat yang ada pada bank dari kerugian.383
Penempatan besaran bunga kredit pada posisi yang patut adalah sesuai
dengan prinsip saling menguntungkan sebagai etik perbankan yaitu bank
memberikan kredit karena akan memperoleh keuntungan dari hasil pinjaman
dan nasabah debitur menerima kredit dengan tujuan pinjaman tersebut
digunakan disektor produksi untuk memperoleh keuntungan.384
Kewenangan hakim dalam memulihkan keseimbangan perjanjian
kredit dapat pula dilihat dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1329
K/Pdt/2001, tanggal 18 Juli 2008 antara Suwito selaku Penggugat /Terlawan
/Terbanding/Termohon Kasasi melawan Haji Salehuddin Razak dan Ny.
Hajjah Noorhayati,385
dimana Mahkamah Agung memberikan pendapat
dalam pertimbangan hukumnya bahwa meskipun pengenaan denda sebesar
Rp.500.000,- per hari diperjanjikan antara Penggugat dengan para tergugat,
namun bagi tergugat sebagai debitur yang lebih lemah kedudukan
383
Pendapat Ari Purwadi yang dikutip oleh Djoni S. Gazali dan Rachmadi
Usman, Op.Cit, halaman 351. 384
O.P. Simorangkir, Etik Dan Moral Perbankan, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1983,
halaman 70. 385
Resume perkara tersebut disadur dari H.P.Panggabean, Penyalahgunaan
Keadaan (Misbruik Van omstadigheden) Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan
Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum Di Belanda dan Indonesia), Op.Cit,
halaman 146-150.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
168
ekonomisnya, pengenaan denda tersebut adalah terlalu tinggi dan karena
keterlambatan pelunasan utang tersebut, tergugat patut dikenakan denda
sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung sebesar 6% setahun. Dalam putusan
lainnya, Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor : 275 K/Pdt/1995 juga
memberikan kaidah hukum yang berbunyi : denda keterlambatan pembayaran
uang sewa ditetapkan hakim sesuai keadilan.386
Berbagai yurisprudensi di Indonesia yang memberikan kewenangan
kepada hakim untuk memulihkan keseimbangan perjanjian kredit bank juga
nampak dalam kewenangan hakim mencampuri perjanjian di negara common
law, halmana pengadilan (equity) akan mencampuri suatu perjanjian bila
terdapat bukti tentang :387
1. Adanya hubungan yang relevan; dan
2. Transaksi itu tidak adil/patut (unfair).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka masuknya hakim meninjau,
mencermati dan menilai isi perjanjian kredit bank serta memberikan putusan
memulihkan keseimbangan perjanjian kredit bank adalah secara ex officio
karena jabatannya maupun karena amanat undang-undang. Upaya hakim
memulihkan keseimbangan perjanjian kredit bank merupakan pelaksanaan
fungsi dan peran hakim sebagai pengatur keseimbangan antara berbagai
konflik kepentingan yang terjadi di dalamnya.388
Selain itu, ikut berperannya hakim memulihkan keseimbangan
perjanjian kredit bank merupakan pengejewantahan atas Visi Badan
Peradilan sebagaimana dirumuskan Pimpinan Mahkamah Agung pada tanggal
10 September 2009 yaitu “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia Yang
Agung” khususnya dalam perwujudan melaksanakan fungsi kekuasaan
kehakiman secara independen, efektif dan berkeadilan dengan cara memutus
perkara perjanjian kredit bank secara efektif guna menegakkan hukum dan
386
Henry Pandapotan Panggabean, Peranan Mahkamah Agung Melalui
Putusan-Putusan Hukum Perikatan, Op.Cit, halaman 261. 387
Pendapat tersebut dikemukakan oleh Lord Scarman dalam kasus National
Westminter Bank plc vs Morgan p1985]]] 1 AC 686 pada 707. Lihat Hardijan Rusli,
Op.Cit, halaman 114. 388
H. Andi Abu Ayyub Saleh, Op.Cit, halaman 72.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
169
keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan didasari keagungan,
keluhuran dan kemuliaan institusi.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
170
BAB 5
PENUTUP
5.1. KESIMPULAN
Dari hal-hal yang telah penulis kemukakan pada bagian-bagian
sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, pencantuman klausula “Penetapan dan Perhitungan Bunga
Bank Dilakukan Oleh Bank” dalam perjanjian kredit bank telah melanggar
asas keseimbangan perjanjian kredit sebab memberikan ketidakpastian
mengenai sistem perhitungan bunga kredit yang digunakan dalam suatu
perjanjian sebab memberikan kemungkinan dianutnya floating rate of interest
sekaligus menganut fixed rate of interest. Ketidakpastian tersebut
bertentangan dengan asas kepastian yang harus terdapat dalam perjanjian
kredit bank dimana harus memuat klausula yang terang dan jelas sehingga
tidak menimbulkan penafsiran. Ketidakpastian yang tercipta karena
pencantuman klausula tersebut telah dimanfaatkan bank untuk secara
sewenang-wenang menetapkan suku bunga kredit tanpa mempertimbangkan
keadaan nasabah debitur ataupun keadaan suku bunga kredit yang ditetapkan
bank pemerintah sebagai barometer suku bunga kredit yang patut dan layak
termasuk menutup ruang negosiasi ulang atas perubahan suku bunga kredit.
Selain itu, pihak bank juga telah menjadikan klausula tersebut sebagai
benteng untuk menghindari pertanggungjawaban atas perlakuan sewenang-
wenangnya dalam menetapkan suku bunga kredit yang tidak patut dan tidak
layak. Pemanfaatan klausula tersebut untuk menetapkan suku bunga kredit
yang tidak patut dan tidak layak telah melanggar asas keseimbangan dalam
perjanjian kredit bank dimana telah memberikan keuntungan sepihak bagi
pihak bank dan merugikan kepentingan pihak nasabah debitur. Artinya,
pencantuman klausula tersebut telah memberikan ketidakseimbangan atas
kepentingan para pihak dalam perjanjian kredit bank bukan hanya pada
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
171
tataran keabsahan perjanjian tetapi juga pada tataran pemenuhan atau
pelaksanaan perjanjian kredit bank.
Kedua, atas ketidakseimbangan tersebut hakim dituntut untuk
berperan memulihkan keseimbangan perjanjian kredit bank melalui putusan-
putusannya. Masuknya hakim mengintervensi perjanjian kredit bank
didasarkan pada jabatannya sebagai hakim (ex officio) yang harus
memberikan kepastian, kemanfaatan dan terlebih lagi keadilan hukum bagi
pihak beperkara termasuk bagi masyarakat dan juga oleh karena amanat
Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
dimana hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat untuk menegakkan hukum dan memberikan
keadilan. Karena itu, hakim haruslah diberikan kebebasan secara
bertanggungjawab dalam mengadili perkara yang diperhadapkan padanya
termasuk dalam hal menafsirkan isi perjanjian maupun menemukan hukum.
Dalam menafsirkan isi perjanjian hakim melakukannya dengan menggunakan
berbagai metode penafsiran yang dikonstruksi dalam bingkai asas sense clair
sehingga penafsiran tersebut tidak menyimpang dari roh suatu perjanjian
sebagaimana maksud senyatanya dari para pihak yang terikat dalam
perjanjian kredit bank. Penafsiran yang sesuai dengan maksud para pihak
adalah sesuai amanat Pasal 1343 KUH Perdata untuk mencari tahu maksud
para pihak apabila kata-kata yang tertuang dalam perjanjian tersebut tidak
jelas. Selanjutnya mengenai penemuan hukum, hakim barulah boleh
melakukan penemuan hukum apabila tidak ada hukum yang mengatur
perbuatan tersebut atau dalam hal suatu hukum telah usang. Penemuan hukum
dilakukan hakim dengan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat sehingga hukum baru tersebut merupakan manifestasi dari nilai-
nilai masyarakat itu sendiri. Untuk itu, dalam memulihkan keseimbangan
bunga kredit bank, maka hakim baik melalui penafsiran maupun penemuan
hukum haruslah menempatkan suku bunga kredit bank sebagai suku bunga
kredit yang patut dan layak dengan memperhatikan kemampuan nasabah
debitur dan suku bunga kredit yang ditetapkan bank pemerintah.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
172
5.2. SARAN - SARAN
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut, dalam rangka
mengefektifkan asas keseimbangan dalam perjanjian kredit bank maupun
mengoptimalkan peranan hakim dalam memulihkan keseimbangan perjanjian
kredit bank, peneliti dapat menyampaikan saran-saran sebagai berikut :
Pertama, pencantuman klausula “Penetapan dan Perhitungan Bunga
Bank Dilakukan Oleh Bank” haruslah diikuti dengan pencantuman klausula
yang mewajibkan pihak bank memberitahukan perubahan bunga kredit
tersebut kepada nasabah debitur dan pencantuman klausula yang mewajibkan
pihak bank memberikan kesempatan yang luas untuk dilakukan negosiasi
ulang berkaitan dengan perubahan suku bunga kredit. Hal ini adalah penting
mengingat pada umumnya perubahan suku bunga kredit yaitu naiknya suku
bunga kredit terjadi akibat keadaan moneter negara yang mengalami inflasi.
Keadaan demikian bukan hanya dirasakan oleh pihak bank tetapi juga
dirasakan oleh nasabah debitur. Karena itu, apabila kenaikan suku bunga
kredit tidak melibatkan nasabah debitur dalam negosiasi maka keuntungan
akan dinikmati secara sepihak oleh pihak bank dan disisi lainnya pihak
nasabah debitur menderita kerugian. Hal ini tidak sesuai dengan motivasi
awal dilakukannya perjanjian kredit yaitu keinginan para pihak untuk
bersama-sama memperoleh manfaat/keuntungan dari perjanjian kredit
tersebut. Pentingnya ruang negosiasi ulang adalah juga untuk mencegah
terjadinya kredit macet yang bukan saja merugikan pihak nasabah debitur
tetapi juga dapat merugikan pihak bank. Karena itu, kehadiran ruang
negosiasi ulang sebenarnya ditujukan untuk tetap menjaga agar tujuan
perjanjian kredit yaitu manfaat/keuntungan tetap dirasakan kedua belah pihak
sekaligus menghindari kerugian yang dapat diperoleh kedua belah pihak.
Selain itu, oleh karena asas keseimbangan berkaitan dengan itikad baik pada
tataran pembuatan dan pemenuhan perjanjian, maka perlu dilakukan revisi
atas Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata dengan memuat ketentuan bahwa suatu
perjanjian harus dibuat dengan itikad baik dan dilaksanakan dengan itikad
baik pula. Juga dimuat dalam regulasi berbentuk undang-undang mengenai
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
173
barometer mengukur kepatutan dan kelayakan dalam penentuan bunga kredit
bank berupa memperhatikan kemampuan ekonomis nasabah debitur dan
memperhatikan pula suku bunga kredit yang dikeluarkan bank pemerintah.
Kedua, dalam mengadili perkara tentang keseimbangan perjanjian
kredit bank, hakim haruslah memperhatikan maksud diajukannya gugatan
dimana pada umumnya, penggugat menghendaki perjanjian kredit yang
terbukti tidak seimbang agar dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum.
Hakim tidak boleh secara serta merta membatalkan perjanjian kredit yang
tidak seimbang tersebut dan karena itu hakim dengan kearifannya dapat
memulihkan keseimbangan dengan cara membatalkan klausula besaran
ataupun sistem penentuan bunga kredit yang mengganggu keseimbangan
perjanjian kredit tersebut dan merubahnya sesuai dengan nilai-nilai kepatutan
dan kelayakan. Dalam hal ini meskipun yang dipetitumkan adalah
membatalkan perjanjian kredit, namun putusan hakim yang hanya
membatalkan klausula eksonerasi mengenai kewenangan bank secara sepihak
merubah suku bunga kredit oleh karena tidak dicantumkan sebagai klausul
mengenai pemberian ruang negosiasi ulang suku bunga kredit, bukan
merupakan ultra petita sebab ditujukan untuk memberikan keadilan bagi para
pihak melalui pemulihan keseimbangan dalam perjanjian kredit bank tersebut.
Karena itu, bagi nasabah debitur maupun bank kreditur agar tidak serta merta
meminta pembatalan perjanjian kredit dan untuk itu para pihak sebaiknya
mempetitumkan solusi yang dapat memulihkan keseimbangan perjanjian
kredit bank.
Berbagai saran yang berkaitan dengan pengaturan khusus dalam
regulasi baik berbentuk revisi KUH Perdata maupun bentuk undang-undang
khusus terkait, dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum yang
berpengaruh pada keseragaman pemahaman mengenai ruang lingkup
penerapan asas itikad baik, kedudukan asas keseimbangan dalam perjanjian,
maupun ketegasan peranan hakim dalam mengawasi dan memulihkan
perjanjian. Meskipun dalam berbagai yurisprudensi telah dimuat kaidah
hukum mengenai hal-hal tersebut maupun setelah dilakukan penafsiran
ditemukan bahwa hal-hal tersebut telah termasuk dalam pemaknaan berbagai
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
174
regulasi, namun belum memberikan ketegasan sebagai kepastian hukum.
Untuk itu pencantuman berbagai saran sebagai pelengkap
kelemahan/kekosongan hukum positif tersebut dipandang dapat membentuk
kesamaan pandangan hakim dalam mengadili perkara serupa yang bermuara
pada kepastian hukum.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
175
DAFTAR REFERENSI
A. Buku :
Abdullah, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Program Pascasarjana
Universitas Sunan Giri, Sidoarjo, 2008.
Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum, Gadja Mada University Press,
Yogyakarta, 2006.
Atiyah, P. S., Promisses, Morals, And Law, Clarendon Press Oxford, New
York, 1981.
Atmadja, Z. Asikin Kusumah, Beberapa Yurisprudensi Perdata Yang Penting
Serta Hubungan Ketentuan Hukum Acara, Mahkamah Agung
RI, Jakarta, 1991.
AZ, Lukman Santoso, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Pustaka
Yustisia, Yogyakarta, 2011.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Pertemuan
Ilmiah Tentang Perkembangan Hukum Kontrak dalam Bisnis Di
Indonesia, 1994.
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI,
Pengkajian Masalah Hukum Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam
Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta, Juli 2004.
________________________, Analisa dan Evaluasi Hukum tentang
Perubahan Undang-Undang Perbankan (UU Nomor 7/1992 Jo
UU nomor 10/1998), Jakarta, 2007.
Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya
di Indonesia. Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum
dan Pendidikan Hukum (Kumpulan Pidato-Pidato Pengukuhan),
Alumni, Bandung, 1981.
________________________, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan
Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993.
________________________, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
176
Bahsan, M., Hukum Jaminan dan Jaminan Kreditt Perbankan Indonesia, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.
Beatson, Jack and Daniel Friedman (editor), Good Faith and Fault in
Contract Law, Clarendon Press Oxford, New York, 1995.
Budiono, Herlien, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia
Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia,
PT. Citra Aditia Bakti, Bandung, 2006.
Burght, Gr. Van der, Buku Tentang Perikatan Dalam Teori dan
Yurisprudensi, Cv. Mandar Maju, Bandung, 2012.
Craswell, Richard dan Alan Schwartz (editor) Foundations of Contract Law,
Oxford University Press, New York, 1994.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Edisi Revisi), PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996.
Davitt, Thomas E., Nilai-Nilai Dasar Di Dalam Hukum Menganalisa
Implikasi-Implikasi Legal-Etik Psikologi & Antropologi bagi
Lahirnya Hukum, PalMall, Yogyakarta, 2012.
El – Diwaby, Tarek, The Problem With Interest (Sistem Bunga dan
Permasalahannya), diterjemahkan oleh Amdiar Amir, Akbar
Media Eka Sarana, Jakarta, Juni 2003.
ELIPS, Hukum Kontrak di Indonesia (Seri Dasar Hukum Ekonomi 5), 1998.
Erawati Elly dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan
Perjanjian, PT. Gramedia, Jakarta, 2010.
Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Bagian
Kedua, Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2003.
Gazali, Djoni S. dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinar Grafika,
Jakarta,2010.
Gunawan, Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Harun, H.M.Hazniel, Hukum Perjanjian Kredit Bank, Tritura‟66, Jakarta,
1991.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
177
________________________, Aspek-Aspek Hukum Perdata Dalam
Pemberian Kredit Perbankan, IND-HILL-CO, Jakarta, 1995.
Hasanudin, Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di
Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cetakan keenam,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Januari 2011.
Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam
Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2010.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yayasan Kanisius,
Yogyakarta, 1982.
Ibrahim, Johannes, Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya
Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Refika Aditama,
Bandung, April 2004.
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta (editor), Metode Penelitian Hukum
Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
Jakarta, 2011.
Khairandy, Ridwan, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Pascasarjana
FH-UI, Jakarta, 2003.
Mahkamah Agung RI, Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam
Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 1969 – 2001,
2002.
_________________________, Cetak Biru.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2010.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, Januari 2000.
Miru, Ahmadi dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal
1233 sampai 1456 BW, PT. Rajagrafondo Persada, Jakarta,
2008.
Miru, Ahmadi, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di
Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
178
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan Perikatan
Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
Februari 2003.
Naja, H.R. Daeng, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bhakti,
Bandung ,2005.
Palferman, David, Law Relating To Banking Services, Fourth Edition, Pitman
Publishing, London, 1993.
Panggabean, Henry Pandapotan, Peranan Mahkamah Agung Melalui
Putusan-Putusan Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2008.
Panggabean, H.P., Praktik Standard Contract Dalam Perjanjian Kredit
Perbankan, Alumni, Bandung, 2012.
________________________, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van
Omstandigheden) Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan
Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda dan
Indonesia), Edisi Revisi Kedua, Liberty Yogyakarta, 2010.
Pound, Roscoe, Tugas Hukum, Bhratara, Jakarta, 1965.
________________________, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara Karya
Aksara, Jakarta, 1982.
Prodjodikoro, Wiryono, Azaz-azaz Hukum Perjanjian, Penerbit : Mandar
Maju, Bandung, 2000.
Purwoko, Sunu Widi, Catatan Hukum Seputar Perjanjian Kredit dan
Jaminan, Nine Seasons Communication, Jakarta, 2011.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, 1985.
Rawls, John, A Theory of Justice (Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara), Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, Maret 2011.
Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Rusli, Hardijan, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta : 1996.
Saleh, H. Andi Abu Ayyub, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in
Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
179
(Rechtsvinding) Yang Akurat Dalam Menggapai Kebenaran
Bermuatan Keadilan, Yarsif Watampone, Jakarta, 2006.
Sari, Elsi Kartika dan Advendi Simanungsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi
Kedua,PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008.
Schaber, Gordon D., Claude D. Rohwer, Contracts, St. Paul, Minn West
Publishing Co, 1990.
Scott, Robert E., Douglas L. Leslie, Contract Law and Theory Selected
Provisions : Restatement of Contract and Uniform Commercial
Code (Secondary Materials), Contemporary Legal Eduction
Series, The Michie Company Law Publisher, Virginia : 1988.
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni,
Bandung, 2008.
Setiawan, R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1994.
Siahaan, N.H.T., Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung
Jawab Produk), Panta Rei, Bogor, Desember 2005.
Simorangkir, O.P., Etik Dan Moral Perbankan, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1983.
Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di
Indonesia, PT. Pustaka Utama Graffiti, Jakarta, Agustus 2009.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, UI Press,
Jakarta, 2006.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2010.
Subekti, R., Kumpulan Karangan Hukum Perikatan, Arbitrase dan
Peradilan, Alumni, Bandung, 1992.
________________________, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1995.
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media,
Jakarta, 2005.
Sumantri Mertodipuro dan Moh. Radjab (Penerjemah), Sosiologi Hukum,
Bhratara, Jakarta, 1996.
Sunggono, Bambang, Pengantar Hukum Perbankan, CV. Mandar Maju,
Bandung, 1995.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
180
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung,
2009.
Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum
Progresif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Mei 2012.
Tanya, Bernard L., Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta
Publishing, Yogyakarta : 2010.
Tumpa, Harifin A., Menguak Roh Keadilan Dalam Putusan Hakim Perdata,
Tanjung Agung, Jakarta, 2012.
Untung, Budi, Hukum dan Etika Bisnis, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2012.
Vollmar, H.F.A., Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid 1, CV. Rajawali,
Jakarta, 1983.
Widiyono, Try, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di
Indonesia Simpanan, Jasa & Kredit, Ghalia Indonesia, Bogor,
Mei 2006.
Widjanarto, Hukum Dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia, Edisi II Cetakan
II, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995.
Widyadharma, Ignatius Ridwan, Hukum Sekitar Perjanjian Kredit, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro,1997.
B. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-undangan :
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, UU RI No.8 Tahun 1999, LN RI
Tahun 1999 No. 42 TLN RI No. 3821.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, UU RI No.48 Tahun 2009, Lembaran
Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5076.
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
181
Perbankan, UU RI No.10 Tahun 1998, LN RI Tahun 1998 No.
182 TLN RI No. 3790.
UNIDROIT, Principles of International Commercial Contract, Rome :1994.
C. Makalah / Buletin :
Buletin Komisi Yudisial Vol. VI No.3, Desember 2011-Januari 2012.
Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXVI No. 299 Oktober 2010.
Atmadja, Z. Asikin Kusumah, Hakim Yang Kreatif Untuk Menyelenggarakan
Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Indonesia Yang Sedang
Membangun, Makalah, Rakernas Mahkamah Agung RI, Jakarta,
13-14 Maret 1987.
D. Tesis, Disertasi, dan Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan :
Artianty, Dewi Tenty Septi, Tesis, Tinjauan hukum atas Klausula Baku
dalam Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Stasiun Pengisian
Bahan Bakar Minyak untuk Umum (SPBU) Dihubungkan
dengan Asas Kebebasan Berkontrak, Program Pasca Sarjana,
Universitas Indonesia, Jakarta, 2006.
Husen, Yunus dan Zulkarnain Sitompul (Editor), Reading Material Hukum
Perbankan 1, Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Jakarta.
Kamello, Tan, Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui
Hubungan Antara Bank dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 2006.
Saputra, Teguh Wicaksono, Tesis, Penerapan Asas Keseimbangan dan Asas
Kebebasan Berkontrak Dalam Putusan Pengadilan, Program
Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Indonesia, Juli 2011.
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
i
LAMPIRAN 1
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
ii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
iii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
iv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
v
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
vi
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
vii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
viii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
ix
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
x
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xi
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xiii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xiv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xvi
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xvii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xviii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xix
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xx
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxi
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxiii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxiv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxvi
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxvii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxviii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxix
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxx
LAMPIRAN 2
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxxi
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxxii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxxiii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxxiv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxxv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxxvi
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxxvii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxxviii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xxxix
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xl
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xli
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xlii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xliii
LAMPIRAN 3
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xliv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xlv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xlvi
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xlvii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xlviii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xlix
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
l
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
li
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
liii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
liv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lvi
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lvii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lviii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lix
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lx
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxi
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxiii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxiv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxvi
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxvii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxviii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxix
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxx
LAMPIRAN 4
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxi
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxiii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxiv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxvi
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxvii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxviii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxix
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxx
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxxi
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxxii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxxiii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxxiv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxxv
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxxvi
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxxvii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxxviii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
lxxxix
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xc
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xci
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013
xcii
Asas keseimbangan..., Amin Imanuel Bureni, FH UI, 2013