artikel ahli waris pengganti dalam sistem hukum...

29
TEORI AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM KEWARISAN ISLAM OLEH DRS. ISAK MUNAWAR, MH I. PENDAHULUAN. Hukum kewarisan Islam, adalah sebagai salah satu sistem hukum yang norma dasarnya dibentuk sesuai sumbernya al-Qur’an dan al-Hadis, kedua sumber hukum tersebut, yang secara khusus menunjuk ketentuan-ketentuan hukum kewarisan, oleh cendekiawan muslim terdahulu diolah dan diramu serta dikontruksikan secara sitematika melalui ijtihad dengan manhaj tertentu dan terbentuklah Fiqh al-Mawarits yang berlaku bagi orang-orang muslim di dunia Arab pada khususnya dan di dunia Islam pada umumnya. Dengan demikian pembentukan Fiqh al-Mawarits tersebut telah lahir sejak zaman turunnya ayat-ayat al-Qur’an tentang kewarisan yang kemudian diinterpretasikan serta diimplementasikan oleh Rasulullah SAW sendiri dalam mengatur perpindahan kepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal pembentukan Fiqh al-Mawarits tidak banyak ditemukan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat, walaupun demikian apabila ada persoalan yang muncul ke permukaan, akan segera dilaporkan kepada Rasulullah dan kemudian diputuskan oleh Rasulullah sendiri, setiap orang pada waktu itu hanya bersikap mendengar dan menta’atinya saja (sami’naa wa ‘atha’naa). Pada masa selanjutnya, yaitu masa setelah Rasulullah meninggal dunia, baru bermunculan masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum kewarisan, yang terkadang menjadi polemic dalam masyarakat pada waktu itu, salah satu contoh misalnya pencakupan pengertian aulad terhadap cucu-cucu, masalah kalalah, masalah musyarakah antara saudara-saudara dengan kakek, antara saudara kandung dengan saudara seibu, masalah gharawain dan lain sebagainya. Dalam menghadapi masalah tersebut para shahabat terutama dalam kalangan shahabat besar Khulafa’ al-Rasyidin selain selalu berupaya memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an tentang kewarisan dan berupaya mengungkapkan hadits-hadits kauli yang pernah dinyatakan oleh Rasulullah maupun putusan-putusan yang telah dijadikan sebagai yurisprudensi melalui periwayatan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, para shabat juga tidak jarang melakukan ijtihad tersendiri yang diikuti oleh shahabat-shahabat yang lainnya, akan tetapi juga ijtihad tersebut sering berbeda dengan ijtihad shahabat yang lainnya yang berakibat terjadi conplik yang berkepanjangan.

Upload: dinhkien

Post on 15-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

TEORI AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM KEWARISAN ISLAM

OLEH

DRS. ISAK MUNAWAR, MH

I. PENDAHULUAN.

Hukum kewarisan Islam, adalah sebagai salah satu sistem hukum yang norma dasarnya dibentuk sesuai sumbernya al-Qur’an dan al-Hadis, kedua sumber hukum tersebut, yang secara khusus menunjuk ketentuan-ketentuan hukum kewarisan, oleh cendekiawan muslim terdahulu diolah dan diramu serta dikontruksikan secara sitematika melalui ijtihad dengan manhaj tertentu dan terbentuklah Fiqh al-Mawarits yang berlaku bagi orang-orang muslim di dunia Arab pada khususnya dan di dunia Islam pada umumnya.

Dengan demikian pembentukan Fiqh al-Mawarits tersebut telah lahir sejak zaman turunnya ayat-ayat al-Qur’an tentang kewarisan yang kemudian diinterpretasikan serta diimplementasikan oleh Rasulullah SAW sendiri dalam mengatur perpindahan kepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal pembentukan Fiqh al-Mawarits tidak banyak ditemukan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat, walaupun demikian apabila ada persoalan yang muncul ke permukaan, akan segera dilaporkan kepada Rasulullah dan kemudian diputuskan oleh Rasulullah sendiri, setiap orang pada waktu itu hanya bersikap mendengar dan menta’atinya saja (sami’naa wa ‘atha’naa).

Pada masa selanjutnya, yaitu masa setelah Rasulullah meninggal dunia, baru bermunculan masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum kewarisan, yang terkadang menjadi polemic dalam masyarakat pada waktu itu, salah satu contoh misalnya pencakupan pengertian aulad terhadap cucu-cucu, masalah kalalah, masalah musyarakah antara saudara-saudara dengan kakek, antara saudara kandung dengan saudara seibu, masalah gharawain dan lain sebagainya. Dalam menghadapi masalah tersebut para shahabat terutama dalam kalangan shahabat besar Khulafa’ al-Rasyidin selain selalu berupaya memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an tentang kewarisan dan berupaya mengungkapkan hadits-hadits kauli yang pernah dinyatakan oleh Rasulullah maupun putusan-putusan yang telah dijadikan sebagai yurisprudensi melalui periwayatan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, para shabat juga tidak jarang melakukan ijtihad tersendiri yang diikuti oleh shahabat-shahabat yang lainnya, akan tetapi juga ijtihad tersebut sering berbeda dengan ijtihad shahabat yang lainnya yang berakibat terjadi conplik yang berkepanjangan.

Page 2: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

2  

Ijtihad yang dilakukan ulama, baik dari kalangan shahabat, tabi’in maupun mujtahidin dalam mengisthinbatkan hukum adalah suatu upaya mengungkapkan norma norma dasar hukum yang berkaitan dengan kasus tertentu, sesuai dengan ilmu pengetahuan hukum yang dimilikinya, yang tidak jarang terpengaruh oleh miliu atau situasi dan kondisi system kemasyarakatan yang berlaku secara regional pada waktu itu, sehingga hukum yang tercipta dalam suatu situasi dan kondisi kemasyarakatan tertentu, terkadang dirasakan tidak mencerminkan keadilan dalam situasi dan kondisi kemasyarakatan yang lain.

Berbicara tentang ahli waris pengganti sebenarnya bukan persoalan baru, melainkan telah dibahas oleh ulama terdahulu dengan menggunakan istilah lain dan hanya berlaku bagi ahli waris tertentu saja yang berada pada peringkat (derajat) kedua setelah anak, ayah, ibu dan saudara-saudara pewaris. Dengan demikian keberadaan teori ahli waris pengganti adalah berada dalam ranah ijtihadiyah yang sangat memungkinkan menghasilkan norma hukum yang berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran yang lainnya, antara satu daerah atau Negara dengan daerah atau Negara yang lainnya.

Pembahasan teori ahli waris pengganti dalam artikel yang sangat singkat ini akan dicoba menggunakan metoda komperatif antara pendapat tokoh pertama yang mengungkapkan adanya teori ahli waris pengganti dalam system hukum kewarisan Islam, yaitu Prof. DR. Hazairin, SH dengan norma hukum yang dimuat dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dan fikih mawaris model Ahlu Sunnah wa Al-Jama’ah.

II. PEMBAHASAN.

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa pembahasan artikel ini didasarkan pada metoda komperatif antara ajaran hukum kewarisan yang diijtihadkan Hazairin dengan norma hukum yang dimuat dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam berdasarkan INPRES No. 1 Tahun 1991 dikaitkan dengan ajaran Fikih Waris Ahlu Sunnah wa Al-Jama’ah yang berkembang di Indonesia, baik keterkaitan secara langsung maupun tidak langsung.

2.1 Teori Ahli Waris Pengganti Menurut Hazairin.

Ide reposisi dan rekontruksi hukum kewarisan Islam, telah lama menjadi pembicaraan di kalangan ahli hukum Islam, paling tidak mulai dari pasca periode taklid dan dimulainya periode tajdid (pembaharuan hukum Islam) di dunia hukum Islam Internasional.

Yang menjadi persoalan besar dalam system kewarisan Islam sesuai ajaran ulama ahli sunnah wa al-jama’ah baik dari kalangan shahabat Nabi, maupun dari kalangan

Page 3: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

3  

ulama mujtahidin adalah tentang kewarisan terdapat sebagian ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, sama sekali tidak mendapatkan hak waris karena berjenis kelamin perempuan atau keturunan dari ahli waris yang berjenis kelamin perempuan, begitu pula keturunan yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, terutama cucu laki-laki dan perempuan keturunan anak laki-laki dan keturunan anak perempuan didiskriminasikan karena orang tuanya berjenis kelamin perempuan, menurut pemikiran Hazairin sesuai ketentuan Surat al-Nisa ayat 32 dan ayat 33 seharusnya dalam ketentuan hukum kewarisan yang dikehendaki al-Qur’an tidak ada diskriminasi itu, sebab menurut ayat al-Qur’an tersebut, masing-masing dari para laki-laki dan para perempuan tersebut dapat diwarisi oleh orang-orang yang memiliki hubungan nasab, baik secara bunuwwah, ubuwwah maupun ukhuwwah.

Salah satu contoh system hukum kewarisan Islam yang dipelopori ahli sunnah wa al-jama’ah itu adalah ahli waris terdiri dari mantan istri, ibu dan paman-paman yang terdiri dari saudara laki-laki kandung dari ayah pewaris dan saudara perempuan kandung dari ayah pewaris, lihat gambar berikut:

A B C

(P) D

Keterangan gambar:

1. (P) sebagai pewaris. 2. A adalah paman laki-laki pewaris. 3. B adalah paman perempuan pewaris. 4. C adalah ibu pewaris 5. D adalah mantan istri pewaris.

Bagian masing-masingnya adalah:

a. Mantan istri mendapat 1/4 bagian. 1/4 x 12 = 3 bagian… 3/12 harta warisan. b. Ibu mendapat 1/3 bagian. 1/3 x 12 = 4 bagian…. 4/12 harta warisan. c. Paman (saudara laki-laki kandung ayah) mendapatkan sisa, yaitu 12/12- 7/12 =

5/12.

Page 4: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

4  

d. Paman (‘ammah) atau saudara perempuan kandung ayah dimasukan dalam kotak dzaw al-arham, tidak dapat mewarisi bersama-sama saudaranya yang laki-laki.

Contoh lain misalnya ahli waris terdiri dari seorang ibu dan keturunan saudara laki-laki kandung yang terdiri dari satu orang anak laki-laki dari saudara kandung dan tiga anak perempuan dari saudara laki-laki kandung, lihat gambar berikut:

A

(P)

B C D E

Keterangan gambar :

1. (P) adalah pewaris. 2. A adalah ibu pewaris. 3. B adalah anak laki-laki dari saudara laki-laki pewaris. 4. C adalah anak perempuan dari saudara laki-laki pewaris. 5. D adalah anak perempuan dari saudara laki-laki pewaris. 6. E adalah anak perempuan dari saudara laki-laki pewaris.

Maka bagian masing-masingnya adalah:

a. Ibu mendapat 1/3 bagian dan. b. Satu orang anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung mendapatkan sisa yaitu 2/3

bagian. c. Tiga orang anak perempuan dari saudara laki-laki kandung dimasukan dalam kotak

dzaw al-arham, tidak dapat mewarisi bersama saudaranya itu.

Kasus lain misalnya ahli waris terdiri dari mantan istri, ibu, dua orang cucu laki-laki dari anak laki-laki dan lima orang cucu laki-laki dan perempuan dari anak perempuan, maka bagian masing-masing adalah:

a. Mantan istri mendapat 1/8 bagian. 1/8 x 24 = 3 bagian.. 3/24 harta warisan b. Ibu mendapat 1/6 bagian.bagian. 1/6 x 24 = 4 bagian.. 4/24 harta warisa, c. Dua orang cucu laki-laki dari anak laki-laki 24/24-7/24 = 17/24 harta warisan.

Page 5: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

5  

d. Lima orang cucu dari anak perempuan dimasukan ke dalam kotak dzaw al-arham, mereka tidak dapat mewarisi bersama saudaranya dari anak laki-laki itu.

Dari ketiga kasus tersebut sangat terlihat pada kasus pertama tentang paman-paman (saudara laki-laki kandung ayah dan saudara-saudara perempuan kandung ayah), kedua-duanya memiliki hubungan kekerabatan yang sama dengan pewaris, baik dari sisi derajatnya, arahnya maupun dari sisi kekuatan kekerabatannya, begitu pula pada kasus kedua anak-anak saudara laki-laki kandung (laki-laki dan perempuan), mereka memiliki hubungan kekerabatan yang sama dengan pewaris dari tiga sisi tersebut, begitu pula pada kasus yang ketiga. Sebagian dari mereka tidak mendapatkan hak waris karena berjenis kelamin perempuan. Atas kasus-kasus tersebut para ulama yang termasuk dalam kalangan mujadid banyak yang mereposisikan kembali system hukum kewarisan Islam model lama, dengan memberi hak kepada sebagian ahli waris dzaw al-arham ini melalui teori washiat wajibah, sebagaimana yang diberlakukan di Negara-negara Timur Tengah seperti Mesir, Syria, Tunisia, Maroko dan Pakistan walaupun dengan rincian yang berbeda-beda.1

Hazairin2 menyatakan keadaan seperti kasus-kasus tersebut bertentangan dengan fitrah yang ditanamkan Allah dalam sanu bari manusia, dan ketentuan hukum kewarisan yang mencerminkan ketidak adilan ini tidak mungkin berasal dari Hukum Allah Yang Maha Adil. Oleh karena itu Hazairin menawarkan teori yang lebih tuntas dan komperhensif untuk memasukan ahli waris dzaw al-arham sebagai bagian dari ahli waris yang sama-sama berhak mewarisi harta pewaris dalam keadaan bila mereka memungkinkan dapat tampil sebagai ahli waris, yaitu melalui teori ahli waris pengganti yang dinamakan Hazairin sebagai al-mawaly.

Ahli waris pengganti atau al-mawaly menurut Hazairin diistinbathkan dari Surat al-Nisa ayat 33 yang berbunyi “walikullin ja’alna mawaliya mimma taraka al-walidaani wa al-aqrabuun wa alladziina ‘aqadat aimaanukum fa’atuuhun nashibahum innallaha ‘ala kulli syai’in syahiida”

Ayat ini menurut Hazairin adalah merupakan rahmat yang sebesar-besarnya bagi ummat manusia, jika tidak ada rahmat tersebut, maka apakah lagi dasar hukum yang dapat disalurkan dari al-Qur’an untuk mendirikan hak kewarisan bagi lain-lain aqrabun yang tidak tersebut dalam ayat-ayat kewarisan dalam al-Qur’an seperti paman dan bibi, kakek dan nenek, cucu dan piut dan seterusnya.3

                                                            1 Abu Bakar, Artikel: Prof. DR. Hazairin, SH Dan Pemikiran Hukum Kewarisan Bilateral, 2007 h.

10 2 Prof. DR. Hazairin, SH, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quir’an dan Al-Hadits,

(Jakarta: Tintamas, 1982) halaman 29 3 Hazairin ibid.

Page 6: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

6  

Kemudian Hazairin mengilustrasikan ayat tersebut dengan pengertian “bagi mendiang anak, Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan ayah atau ibu dan bagi mendiang aqrabun Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan sesame aqrabunnya. Kalimat panjang ini bila dipendekan maka artinya bagi mendiang anak dan mendiang keluarga dekat Allah mengadakan mawali bagi harta peninggalan orang tua dan keluarga dekat. Kalimat ini pendek tapi kurang jelas, bila diperpendekan lagi maka artinya bagi setiap orang Allah mengadakan mawali bagi harta peninggalan orang tua dan keluarga dekat. Kalimat yang pendek ini tidak akan mengacaukan, jika orang langsung berfikir secara bertimbalan dalam setiap istilah kekeluargaan, yaitu pewaris orang tua, maka hubungan yang bertimbalan yang langsung bagi istilah itu adalah anak dan jika si pewaris keluarga dekat, maka hubungan bertimbalang langsung dengan istilah itu adalah keluarga dekat pula.

Kemudian Hazairin menyimpulkan substansi mawali itu bukan anak atau saudara itu yang menjadi ahli waris tetapi mawalinya, sehingga anak atau saudara itu mesti telah meninggal dunia terlebih dahulu dari si pewaris, sebab jika anak atau saudara itu masih hidup, maka dia sendiri yang menjadi ahli warisnya. Yang dimaksud dengan mengadakan mawali untuk si fulan. menurut Hazairin ialah bahwa bagian si fulan yang akan diperolehnya, seandainya dia hidup, dari harta peninggalan itu dibagikan kepada mawalinya itu, bukan sebagai ahli warisnya tetapi sebagai ahli waris ahli waris bagi ibunya atau ayahnya yang meninggalkan harta itu. Dari gambaran tersebut Hazairin menyimpulkan bahwa mawali adalah ahli waris karena pergantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan pewaris, ahli waris yang lain yang bukan mawali adalah karena tidak ada penghubung antara dia dengan pewaris. Selain itu yang menjadi mawali yang dikehendaki ayat al-Qur’an tersebut adalah baik yang berhubungan melalui kelahiran maupun yang berhubungan darah menyamping. Untuk menegaskan teorinya Hazairin memberikan gambaran sebagai berikut:

P

Keterangan : anak perempuan yang telah meniggal dunia.

Page 7: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

7  

Adalah pewaris.

Anak laki-laki masih hidup

anak laki-laki yang telah meninggal dunia

anak perempuan yang masih hidup.

Gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa pewearis (P) mempunyai enam orang anak , yaitu tiga orang anak perempuan A, B, dan C, tiga orang anak laki-laki D, E, F dan G. dari ketiga anak perempuan tersebut dua diantaranya, yaitu A dan C telah meninggal dunia mendahului pewarisnya A, juga meninggalkan ahli waris cucu laki-laki H dari anak perempuannya I yang juga telah meninggal dunia lebih dulu dari pada A selaku ibunya. C juga telah meninggal dunia lebih dulu dari pewaris (P), C sebelum meninggal dunia memiliki dua orang anak, satu orang anak perempuan bernama J dan seorang anak laki-laki bernama K, anak perempuan dari C yang bernama J selama dalam ikatan perkawinannya dengan suaminya mempunyai seorang anak perempuan yang bernama L, dan seorang anak laki-laki bernama M, M sebagai cucu laki-laki dari pewaris (P) telah meninggal dunia lebih dahulu dari pada pewaris (P). anak perempuan pewaris yang lainnya yaitu B, sekarang masih hidup mempunyai seorang anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki itu. Dari ketiga anak laki-laki pewaris tersebut yang masih hidup sampai pewaris meninggal dunia dua orang, yaitu E dan F, E mempunyai dua orang anak perempuan, yaitu N dan O, N yang sekarang masih hidup memiliki seorang anak laki-laki yang juga masih hidup bernama P sedangkan O lebih dahulu meninggal dunia dari pada pewaris dan ketika hidupnya mempunyai seorang anak perempuan yang sekarang juga masih hidup bernama Q. Dan F sebagai anak laki-laki pewaris yang sekarang masih hidup memiliki dua orang anak (cucu dari pewaris) seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang kedua-duanya telah meninggal dunia mendahului pewaris sebagai kakeknya.sedangkan D sebagai anak laki-laki pewaris telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, ketika ia masih hidup mempunyai dua orang anak (cucu dari pewaris) satu orang anak laki-laki yang sekarang masih hidup dan mempunyai seorang anak perempuan dan telah meninggal dunia, dan satu orang anak perempuan yang telah meninggal dunia mendahului pewaris, ketika ia masih hidup mempunyai seorang anak perempuan yang sampai sekarang masih hidup.4

Silsilah keturunan tersebut agar dapat lebih dipahami dengan dirincikan sebagai berikut:

                                                            4 Hazairin, ibid, halaman 23-26

Page 8: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

8  

Seorang pewaris bernama (P), mempunyai enam orang anak, yaitu tiga orang anak perempuan dan tiga orang anak laki-laki:

1. A anak perempuan pewaris lebih dahulu meninggal dunia dari pada pewaris dan ketika hidup mempunyai seorang anak perempuan yang bernama G dan juga telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, akan tetap ia meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki yang bernama H.

2. B anak perempuan pewaris yang sekarang masih hidup, ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama I (cucu dari pewaris). Dan I mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama J (cicit dari pewaris)

3. C anak perempuan pewaris telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, ia meninggalkan ahli waris dua orang anak, yaitu seorang anak perempuan yang masih hidup bernama K dan cucu laki-laki dari K yang bernama L, dan seorang anak laki-laki yang bernama M, M telah meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang anak, satu orang anak perempuan bernama N dan satu orang anak laki-laki O, kedua-duanya masih hidup.

4. D anak laki-laki pewaris yang telah meninggal dunia mendahului pewaris, ia meninggalkan ahli waris, dua orang anak, seorang anak laki-laki yang masih hidup bernama P dan P mempunyai anak perempuan yang bernama Q yang telah meninggal dunia mendahului pewaris, dan seorang anak perempuan yang telah meninggal dunia mendahului pewaris bernama S dengan meninggalkan ahli waris seorang anak perempuan yang masih hidup bernama R.

5. E anak laki-laki pewaris yang masih hidup, ia mempunyaik dua orang anak, satu orang anak perempuan juga masih hidup bernama W. dan W mempunyai seorang anak laki-laki juga masih hidup, dan satu orang anak perempuan bernama X telah meninggal dunia mendahulu pewaris dan ia meninggalkan ahli waris anak perempuan yang masih hidup.

6. F anak laki-laki pewaris yang sekarang masih hidup, mempunyai seorang anak laki-laki bernama Y danY ini mempunyai dua orang anak, satu orang anak perempuan bernama Z yang sekarang telah meninggal dunia, dan seorang anak laki-laki bernama A’ dan juga telah meninggal dunia.

Dari gambar tersebut menurut Hazairin (P) meninggalkan dua macam ahli waris, yaitu B, E, F sebagai anak yang berposisi dzaw al-qarabah dan beberapa aqrabun yang disebut mawali, yaitu H, K, N, O, P, dan R

Bagian masing-masing ahli waris pengganti atau mawali menurut Hazairin sesuai dengan jumlah bagian ahli waris yang digantinya dengan mempertimbangkan kedudukan mereka masing-masing dalam jurai dan selanjutnya atas kesamaan kedudukan, maka ahli waris pengganti laki-laki dengan ahli waris pengganti perempuan diperbandingkan dengan perbandingan 2 : 1.

Page 9: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

9  

Hazairin juga mengemukakan contoh mawali bagi orang tua pewaris, misalnya ahli waris terdiri dari duda, orang tua pihak ayah (kakek dan nenek) dan orang tua pihak ibu (kakek dan nenek) perhatikan gambar di bawah ini:

A B C D

(P) E

Keterangan gambar:

1. (P) sebagai pewaris, tidak meninggalkan ahli waris lain kecuali A, B, C, D dan E.

2. A dan B adalah kakek dan nenek pewaris dari pihak ayah yang berhak menggantikan posisi ayah sebagai ahli waris.

3. C dan D adalah nenek dan kakek dari pihak ibu yang berhak menggantikan posisi ibu sebagai ahli waris.

4. E adalah mantan suami (duda) pewaris.

Maka bagian masing-masingnya adalah :

a. Duda 1/2 bagian harta. b. Kakek dari pihak ibu bersama nenek pihak ibu sebagai mawali dari ibu yang berhak

atas 1/3, maka untuk kakek 2/3 x 1/3 = 2/9 bagian harta, untuk nenek 1/3 x 1/3 = 1/9 bagian harta.

c. Kakek dari pihak ayah bersama nenek dari pihak ayah sebagai mawali ayah yang berhak atas 1/6, maka untuk kakek mendapat 2/3 x 1/6 = 2/18 bagian harta dan untuk nenek 1/3 x 1/6 = 1/18

Penyelesaian kasus tersebut, berpola pada penyelesaian menurut Ibnu ‘Abas, hal mana bagian 1/6 untuk orang tua pihak ayah itu, karena posisi ayah dalam kasus ini akan menerima ‘ashabah atau sama dengan 1/6 dan hal ini merupakan konsekwensi hak kewarisan ‘ashabah, dan penerimaan orang tua pihak ibu mendapat bagian 1/3, karena ibu berposisi tidak ada keturunan pewaris atau saudara-saudara pewaris.5

                                                            5 Drs. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, cet. II, 1981) halaman 239

Page 10: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

10  

Sedangkan menurut mayoritas ulama 6 , penyelesaiannya tidak demikian, malainkan hak ibu dalam posisi tidak ada keturunan dan tidak ada saudara, ia mewarisi bersama ayah, duda atau janda, maka untuk ibu mendapat bagian 1/3 sisa setelah diambil oleh duda dan janda itu dan ayah mendapatkan sisanya. Oleh karena itu kasus tersebut bila diselesaikan menurut mayoritas ulama, kemudian bagian ayah dan ibu itu diberikan kepada orang tua masing-masingnya, maka masing-masing mendapat bagian :

a. Duda mendapat 1/2 bagian harta atau 9/18 bagian harta. b. Yang menjadi hak ibu 1/3 x 1/2 = 1/6, maka untuk kakek pihak ibu mendapat 2/3 x

1/6 = 2/18 bagian harta, untuk nenek pihak ibu 1/3 x 1/6 = 1/18 bagian harta. c. Yang menjadi hak ayah mendapat sisa, yaitu 2/6 atau 1/3, maka untuk kakek pihak

ayah mendapat 2/3 x 1/3 = 2/9 atau 4/18 bagian harta dan untuk nenek pihak ayah mendapat 1/3 x 1/3 = 1/9 atau 2/18 bagian harta

Teori al-mawali atau ahli waris pengganti tersebut, sebenarnya bukanlah soal baru dalam system hukum kewarisan, teori ini telah diakui dan diterapkan dalam hukum adat terutama dalam masyarakat yang bercorak bilateral, dalam KUHPerdata 7 teori ini disebut dengan plaatsvervuling, begitu pula dalam system kewarisan Islam konpensional telah diakui adanya penggantian kedudukan ahli waris, hanya saja teori ini tidak digunakan secara porporsional, hanya berlaku dalam kelompok ahli waris tertentu saja, misalnya yang menjadi dasar hak kewarisan cucu laki-laki dari anak laki-laki atau anak saudara laki-laki kandung, atau hak kewarisan kakek dari ayah, mereka menyatakan liana ibna al-ibni bi manzilah al-ibni, liana ibna al-akh bimanzilah al-akh, liana al-jad bimanzilah al-ab 8 bahasa sederhana dari dasar argumentasi ini tiada lain adalah ahli waris pengganti.

Teori ahli waris pengganti juga dapat dipandang sebagai pemecahan masalah keadilan dan menghindari diskriminatif terhadap kelompok ahli waris tertentu yang berjenis kelamin perempuan, sehingga dengan demikian kelompok ahli waris yang dinamakan dzaw al-arham dapat diangkat sebagai ahli waris yang sesungguhnya, selama mereka memungkinkan dapat ditampilkan sebagai ahli waris, karena tidak sama-sama mewarisi dengan orang-orang yang berada di atasnya atau tidak terdapat larangan syara’ yang menghalangi penerimaan hak kewarisan.

Pengelompokan ahli waris ke dalam dzaw al-arham oleh ulama-ulama terdahulu adalah merupakan hasil ijtihad mereka dalam suasana kemasyarakatan sebagaimana yang di klim Hazairin sebagai corak masyarakat patrilineal, sedangkan yang diinginkan al-Qur’an adalah masyarakat yang bercorak bilateral yang menjadi pondasi

                                                            6 Drs. Fatchur Rahman, ibid 7 KUHPerdata Pasal 841 sampai dengan Pasal 848 8 DR. Mushthafa Diba al-Bagha, Syarh ‘Ilm al-Mawarits Al-Rahbiyah Fi Ilm al-Faraidh, (Libanon

Dar Kitab Bairut, tt), halaman 80

Page 11: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

11  

terbentuknya system kewarisan yang bilateral pula. Hasil ijtihad ulama terdahulu dalam bidang hukum waris ini juga secara historis tidak semestinya dinafikan sebagai hukum waris yang keliru atau tidak mencerminkan keadilan, sebab hukum waris Islam yang adil pada masa itu adalah hukum waris yang bercorak sebagaimana adanya itu, hukum waris Islam yang terbentuk oleh kalangan ulama masa silam harus dipandang sebagai tolak ukur sejarah hukum yang meletakan batu pertama terbentuknya hukum waris Islam tersebut yang harus di dalami dan dikaji secara mendetil dan kemudian disempurnakan sesuai kehendak al-qur’an itu sendiri.

Ijtihad yang dilakukan Hazairin tentang istinbath hukum ahli waris pengganti dalam al-Qur’an pun juga bukan berarti tidak terdapat kelemahan, Hazairin mengistinbathkan ahli waris pengganti itu terutama melalui Surat al-Nisa ayat 33 yang berbunyi “walikullin ja’alna mawaliya mimma taraka al-walidaani wa al-aqrabuun wa alladziina ‘aqadat aimaanukum fa’atuuhun nashibahum innallaha ‘ala kulli syai’in syahiida” ayat ini diartikan Hazairin dengan pengertian “bagi mendiang anak, Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan ayah atau ibu dan bagi mendiang aqrabun Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan sesama aqrabunnya”. Ilustrasi yang digambarkan Hazairin tersebut terlihat tidak memperhatikan struktur gramatik kebahasaan yang telah disepakati ahli-ahli bahasa ‘Arab, selain itu Hazairin juga tidak memperhatikan syiaq al-kalam (hubungan paragraph susunan kalimat dengan susunan kalimat yang lainnya terutama susunan kalimat sebelumnya).

Potongan ayat wa likullin ja’alna mawalia oleh Hazairin diartikan bagi mendiang (almarhum) anak atau mendiang aqrabun Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris, yang berarti substansi likullin itu menurut Hazairin anak dan saudara-saudara atau kerabat-kerabaat yang telah meninggal dunia, arti yang demikian itu tidak terdapat satu pun qarenah yang mendukungnya.

Untuk lebih mendalami pengertian ayat tersebut, memerlukan perbandingan dengan ayat-ayat lain yang serupa, di antaranya:

1. “aamana al-Rasuul bimaa unzila ilaihi min Rabbihi wa al-mu’minuuna kullun ‘amana billah wa malaaikatihi..” al-Baqarah 285.

2. “wa al-rasikhuuna fi al-‘ilm yaquuluuna ‘aamanna bihi kullun min ‘indi Rabbinaa… Ali ‘Imran 7.

3. “wa in tushibhum hasanatun yaquuluu hadzihi min ‘indillah wa in tushibhum sayyi’atun yaquuluu hadzihi min ‘indika, qul kullun min ‘indillah..”al-Nisa’ 78

4. Likullin ‘ja’alnaa minkum syr’atan wa minhaaja” .. al-Maidah 48 5. “wa Zakariyya wa Yahya wa ‘Isa wa ilyana kullun min al-shalihiin”.. al-‘An’am 85. 6. “wamaa min dzaabbatin fi al-ardhi illa ‘ala Allahi rizquhaa wa ya’lamu

mustaqarruha wa mustauda’aha, kullun fi kitaabin mubiin”.. Hud 6

Page 12: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

12  

7. “wa sakhkhara al-syamsa wa al-qamar kullun yajrii li’ajalin musamma” al-Ra’du 2 8. “wa idza ‘an’amnaa ‘ala al-insaan ‘aradha wa naa’a bijanaabihi wa idza

massahu al-sarru kaana ‘ya’uusa qul kullun ya’malu ‘ala syaakilatihi” al-Isra’ 84 9. “wahua alladzi khalaqa allaila wa al-nahaara wa al-syamsa wa al-qamara kullun fi

falakin yasbahuun” al-Anbiya 33 10. “wa lahu man fi al-samaawati wa al-ardhi kullun lahu qanituuna al-Ruum 26

Dari kesepuluh ayat tersebut cukup menjadi perbandingan untuk mengetahui secara lebih mendalam pengertian ma’na ayat tersebut di atas, pada ayat-ayat tersebut, di dalamnya terdapat kalimat “kullun” menurut kaidah bahasa kalimat “kul” adalah salah satu kalimat yang talazum idhafat atau mesti bergabung dengan kalimat yang lain, sebagaimana kalimat “ba’dhun” dan kalimat yang lainnya. Oleh karena itu ketika kalimat “kul” tidak terdapat mudhaf ilaih atau kalimat yang disambungkannya, maka pada kalimat itu ada yang dibuang sebagai kalimat yang disambungkannya itu, dan kemudian digantikan dengan tanwin yang dinamakan tanwin iwadh yang menunjukan bahwa pada kalimat tersebut ada yang dibuang dengan tujuan ‘ijaz atau meringkas redaksi. Sesuatu yang dibuang itu yang seharusnya disambungkan dengan kalimat kul dan menjadi cakupan ma’na kul adalah sesuatu yang tidak keluar dari redaksi itu atau terdapat dalam redaksi sebelumnya sebagai qarenah atau tanda-tanda. Dalam contoh contoh tersebbut di atas misalnya pada ayat pertama kalimat yang dibuang adalah kalimat pengganti atau dlamir yang harus dikembalikan kepada orang-orang yang terdapat dalam redaksi sebelumnya. Oleh karena itu pengertian kullun dalam ayat tersebut adalah mereka semuanya, yaitu Rasul dan orang-orang mu’min9. pada ayat kedua pengertian kullun adalah semuanya itu 10 , yaitu ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat, pada ayat ketiga pengertian kullun 11 adalah segala sesuatu yang menimpa kamu, berupa kebaikan atau keburukan, pada ayat yang keempat pengertian kullun itu adalah bagi setiap ummat pengikut Taurat, Injil dan al-Qur’an sesuai qarenah yang berada pada ibarat ayat sebelumnya12, pada ayat kelima pengertian kullun adalah semua mereka, yaitu Zakariyya, Yahya, ‘Isa dan Ilyasa yang berada pada ibarat kalimat sebelumnya pada ayat tersebut13. Pada ayat keenam pengertian kullun adalah seluruh pengaturan rizki bagi binatang melata, penempatan kediamannya telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh al-mahfudh), pada ayat ketujuh pengertian kullun adalah masing-masing matahari dan bulan itu berjalan sesuai waktu yang ditentukan, pada ayat kedelapan pengertian kullun adalah tiap-tiap orang yang apabila diberikan kesenangan, ia berpaling dan sombong dan apabila ditimpakan kesusahan ia putus asa, pada ayat kesembilan pengertian kullun adalah masing-masing dari keduanya itu (matahari dan

                                                            9 Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz I halaman 736 10 Ibid juz II halaman 11 11 Ibid juz II halaman 362 12 Ibid juz III halaman 129 13 Ib id juz III halaman 299

Page 13: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

13  

bulan) beredar dalam garis edarnya, dan pengertian kullun pada ayat kesepuluh adalah semua yang ada di langit dan di bumi tunduk kepada-Nya.

Dari perbandingan sepuluh ayat al-Qur’an tersebut, maka substansi yang dicakup ma’na kullun adalah sesuatu yang terdapat dalam ibarat ayat itu atau pada ayat sebelumnya, oleh karena itu orang-orang yang dicakup dalam kalimat likullin pada Surat al-Nisa ayat 33 itu bukan sebagaimana yang ditafsirkan Hazairin, yaitu anak dan saudara-saudara atau kerabat-kerabat yang telah meninggal dunia, bila dipahami bahwa orang-orang yang tersimpul dalam kalimat kullun itu bertimbalan dengan ayat setelahnya mimma taraka al-walidaani wa al-aqrabuun. Hal ini juga tidak sesuai dengan tek ayat ini sebab yang dinyatakan meninggal itu bukanlah orang-orang yang tersimpul dalam kalimat kullun melainkan orang tua dan aqrabun itu, dengan demikian cara penafsiran ayat al-Qur’an tersebut yang dilakukan Hazairin adalah penafsiran yang tidak berpijak pada manhaj atau metoda tafsir yang dibenarkan.

Siapakah gerangan yang dicakup dalam kalimat likullin tersebut, menurut penulis qarenah yang paling dekat dengan ibarat ayat ini adalah ayat sebelumnya yaitu ayat 32 dari surat al-Nisa’. Pada kedua ayat ini mula-mula Allah melarang bersikap iri hati terhadap sebagian orang yang memiliki kelebihan mendapatkan karunia-Nya, karena kelebihan itu sesuai dengan usaha yang diupayakannya, bagi para laki-laki mesti mendapat bagian keuntungan dari segala yang diusahakannya begitu pula bagi para perempuan mesti mendapat bagian keuntungan dari segala sesuatu yang diusahakannya, kemudian agar usahanya itu mendapatkan keuntungan yang banyak, maka memohonlah kepada Allah agar diberikan sebagian dari karunia-Nya.

Dalam ayat ini Allah mengecam terhadap laki-laki dan perempuan yang malas bekerja dan malas berusaha mendapatkan rizqi, kemudian mereka iri hati terhadap orang-orang yang sukses dalam usahanya. Bila mereka para laki-laki dan para perempuan berkeinginan mendapatkan kesuksesan yang maksimal, mereka harus berusaha dengan gigih dan kemudian berdo’a, selain itu Allah juga menetapkan bagi para laki-laki dan bagi para perempuan itu sebagai generasi penerus yang akan mewarisi harta peninggalan orang tua dan kerabat-kerabat mereka dan orang-orang yang sepertjanjian. Dari tafsir ini sesuai perbandingan dengan kesepuluh ayat tersebut di atas, maka penulis yakin, sesuatu yang dicakup kalimat likullin itu adalah likulli imri’in minhum artinya setiap orang dari mereka para laki-laki dan para perempuan secara keseluruhan (yang ada pada ayat sebelumnya) ditetapkan statusnya sebagai ahli waris yang berhak menerima harta peninggalan orang tua dan kerabat-kerabatnya serta seperjanjiannya.

Selain itu Hazairin juga menafsirkan ja’alnaa mawaliya dengan pengertian bagi mendiang (almarhum) anak atau mendiang aqrabun Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris, panafsiran seperti ini juga adalah penafsiran melenceng dari tek ayat, sebab

Page 14: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

14  

Hazairin menduga kuat bahwa orang-orang yang dicakup dalam kalimat likullin itu berstatus sebagai pewaris, dan ahli warisnya mawali itu.

Kalimat mawalia adalah isim sifat yang berbentuk muntaha al-jumu yang bertimbangan dengan mafa’ila bentuk mufradnya maulin berwazan muf’ilun, yang artinya orang yang layak, orang yang pantas dan orang yang berhak14. Orang-orang yang layak atau orang-orang yang pantas atau orang-orang yang berhak dalam struktur rangkaian kalimat tersebut adalah sebagai subjek yang diakhirkan dari predikat yang terdapat dalam ayat sebelumnya yaitu para laki-laki dan para perempuan, kalimat ja’alna dalam ayat tersebut adalah suatu ketetapan yang diputuskan Allah dengan menetapkan status mawaliya terhadap para laki-laki dan para perempuan tersebut, dengan demikian pokok kalimat dari kedua ayat tersebut adalah lirrijaali wa linnisaa’i mawaaliy mimma taraka al-walidaani wa al-aqrabuun..artinya ditetapkan bagi para laki-laki dan bagi para perempuan sebagai orang yang berhak menerima dari harta peninggalan orang tua dan kerabat-kerabatnya.

Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya 15

والسدي ، قال ابن عباس ، ومجاهد ، وسعيد بن جبير ، وأبو صالح ، وقتادة ، وزيد بن أسلم ، وعن ابن . ورثة: أي } ولكل جعلنا موالي { : والضحاك ، ومقاتل بن حيان ، وغيرهم في قوله

والعرب تسمي ابن العم مولى ، كما قال الفضل بن : قال ابن جرير . أي عصبة: عباس في رواية :عباس كان مدفونا ال تظهرن لنا ما... مهال بني عمنا مهال موالينا

من تركة والديه وأقربيه من الميراث ، فتأويل } مما ترك الوالدان واألقربون { : ويعني بقوله : قال جعلنا عصبة يرثونه مما ترك والداه وأقربوه من ميراثهم -أيها الناس - ولكلكم : الكالم .له

Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa dengan masuknya ja’alnaa pada rangkaian kalimat tersebut, maka jumlahnya termasuk jumlah insya’iyah yang berasal dari af’al syuru’ yang kemudian dithalabiyahkan dalam rangkaian kalimat fa aatuuhum nashibahum. Wallahu ‘a’lam bi al-shawab.

Istinbath hukum untuk dijadikan dasar ahli waris pengganti menurut penulis adalah dengan cara generalisasi hubungan kekerabatan antara pewaris dengan ahli warisnya secara universal, sebagaimana yang dikehendaki al-Qur’an itu sendiri. Misalnya dalam surat al-Nisa ayat 11 Allah menyatakan yuushikum Allhu fi aulaadikum. Yang dimaksud aulad (anak) dalam ayat ini termasuk aulad al-aulad (cucu), hanya saja ketika aulad digunakan untuk cucu menurut ulama al-Syafi’iyah

                                                            14 Idris Al-Marbawy, Kamus Al-Marbawy, halaman 398 15 Tafsir Ibnu Katsir, juz II halaman 288

Page 15: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

15  

adalah mazajy ma’na pinjaman, sedangkan menurut ulama al-Hanafiyah ma’na syumul atau ma’na cakupannya, artinya yang dimaksud anak dalam ayat ini termasuk cucu, ulama juga memahami akhun termasuk anak-anaknya, memahami ayah termasuk kakek, dan memahami ibu termasuk nenek. Oleh karena itu apabila diperhatikan hubungan kekerabatan antara pewaris dengan ahli waris dalam kelompok nasabiyah, tidak terlepas darti tiga garis merah hubungan kekerabatan, dua kekerabatan hubungan secara vertical, dari atas ke bawah antara ayah atau ibu (orang tua) dengan anak, cucu, cicit dan seterusnya terdapat hubungan kekerabatan nasabiyah al-bunuwwah, dari bawah ke atas dari anak ke orang tua, kakek, nenek, piut dan seterusnya terdapat hubungan kekerabatan nasabiyah al-ubuwwah, sedangkan hubungan pewaris dengan ahli waris secara horizontal hanya satu garis kekerabatan nasabiyah, yaitu hubungan kekerabatan nasabiyah al-ukhuwwah antara pewaris dengan saudara-saudaranya termasuk anak-anaknya dalam semua jenjang, baik hubungan tersebut diikatkan melalui ayah-ibu (kandung), melalui ayah saja, melalui ibu saja, dan jenjang seterusnya yang dikitatkan melalui kakek-nenek (kandung), melalui kakek atau nenek saja dan seterusnya, sedangkan hubungan pewarisan bukan nasab dihubungkan melalui ikatan zaujiah atau perkawinan antara suami istri perhatikan gamgar di bawah ini :

A B C D

E F

G H

A’ I (P) C’ J B’

X Z

R K W

L

M

Keterangan gambar:

O N S 

Page 16: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

16  

1. Hubungan nasab bunuwwah antara pewaris dengan ahli waris adalah:

a. Antara (P) sebagai pewaris dengan K sebagai anak laki-laki, dengan L sebagai cucu perempuan dari anak laki-laki, dengan M sebagai cicit laki-laki dan dengan N, O, dan S sebagai anak dari cicit itu.

b. Antara (P) sebagai pewaris dengan R sebagai anak laki-laki. c. Antara (P) sebagai pewaris dengan W sebagai anak perempuan.

2. Hubungan nasab ubuwwah antara pewaris dengan ahli waris adalah :

a. Antara (P) sebagai pewaris dengan E sebagai ayah, dengan A sebagai kakek dari ayah dan dengan B sebagai nenek dari ayah.

b. Antara (P) sebagai pewaris dengan F sebagai ibu, dengan C sebagai kakek dari dari ibu dan dengan D sebagai nenek dari ibu..

3. Hubungan nasab ukhuwwah antara pewaris dengan ahli waris adalah”

a. Antara (P) sebagai pewaris dengan I dan J sebagai saudara laki-laki dan perempuan kandung, yang dihubungkan melalui E dan F (ayah-ibu) beserta anak-anaknya X dan Z.

b. Antara (P) sebagai pewaris dengan G sebagai paman yang dihubungkan melalui A dan B (kakek-nenek) dari ayah.

c. Antara (P) sebagai pewaris dengan H sebagai bibi yang dihubungkan melalui C dan D (kakek-nenek) dari ibu.

4. Hubungan ikatan zaujiyah antara (P) sebagai pewaris dengan C’ sebagai mantan istri atau I dengan A’ dan antara J dan B’

Hubungan nasab bunuwwah, ubuwwah dan ukhuwwah didasarkan kepada al-Qur’an Surat Al-Nisa’ ayat 11 dan ayat 12 sebagai berikut:

Page 17: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

17  

11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

12. dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi

Page 18: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

18  

mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Redaksi aulad dalam ayat pertama di atas menggambarkan hubungan antara orang tua (ayah dan ibu) dengan seluruh keturunannya dengan perikatan nasab bunuwwah yang terdiri dari anak (laki-laki dan perempuan) serta keturunan dari anak itu, yaitu cucu dan cicit baik laki-laki maupun perempuan, baik melalui jalur anak laki-laki maupun melalui jalur anak perempuan. Setiap orang yang diikat melalui perikatan bunuwwah ini berhak tampil sebagai ahli waris selama tidak ada orang lain yang berada dalam satu jalur dan berada di atasnya. Redaksi abawain dalam ayat tersebut menggambarkan hubungan vertikal antara anak-anak dengan seluruh para leluhurnya dengan perikatan nasab ubuwwah yang terdiri dari ayah dan ibu, kakek dan nenek pihak ayah dan seterusnya ke atas dan kakek dan nenek pihak ibu dan seterusnya ke atas. Setiap orang yang diikat melalui peikatan ubuwwah ini berhak tampil sebagai ahli waris selama tidak ada orang yang berada dalam satu jalur dan berada di bahawahnya. Redaksi ikhwah dalam ayat tersebut menggambarkan hubungan nasab dengan perikatan ukhuwwah secara menyamping antara seseorang sebagai pewaris dengan orang lain sebagai saudaranya, yang terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan yang dihubungkan melalui ayah-ibu disebut dengan saudara kandung, melalui ayah disebut dengan saudara seayah dan memalui ibu disebut dengan saudara seibu, yang dihubungkan dengan orang tua pihak ayah disebut dengan ‘ammun atau ‘ammatun yang meliputi kandung se ayah dan se ibu, dan yang dibungkan dengan orang tua pihak ibu disebut dengan khallun atau khallatun, yang meliputi kandung se ayah dan seibu. Setiap orang yang terikat dengan ikatan ukhuwwah ini berhak tampil sebagai ahli waris selama tidak ada orang lain yang berada pada jalur yang sama, hubungannya lebih dekat dan lebih kuat dengan pewaris.

Untuk mengkualifikasikan ahli waris yang lebih berhak tampil dari ketiga perikatan nasab tersebut, berpatokan kepada penyeleksian berdasarkan garis keutamaan, garis penderajatan dan kekuatan kekerabatan antara seorang ahli waris dengan pewarisnya. Garis keutamaan adalah suatu garis, dimana menurut hukum diharuskan ada kelompok ahli waris yang didahulukan dari kelompok yang lainnya, kelompok nasab bunuwwah harus didahulukan dari pada kelompok ubuwwah dan ukhuwwah, kelomok ubuwwah harus didahulukan dari pada kelompok ukhuwwah. Yang dimaksud penderajatan adalah penyeleksian ahli waris yang lebih berhak ditampilkan didasarkan pada jauh dekatnya hubungan ahli waris dengan pewarisnya, orang yang berada pada derajat pertama lebih berhak tampil sebagai ahli waris dari pada orang yang berada pada derajat kedua dan seterusnya. Sedangkan yang dimaksud kekuatan kekerabatan adalah mepeleksian ahli waris berdasarkan keeratan hubungan kekerabatan, misalnya saudara laki-laki kandung lebih erat hubungan kekerabatannya dari pada saudara laki-laki se ayah, oleh karena itu saudara laki-laki seayah terhijab hak kewarisannya oleh saudara laki-laki kandung, karena diantara mereka berada pada kelompok yang berbeda, maka mereka tidak dapat menerima ‘ashabah secara bersama-sama.

Page 19: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

19  

2.2 Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasa Hukum Islam.

Ahli waris pengganti yang dikonsepsikan Hazairin tersebut adalah merupakan reposisi pembaharuan hukum Islam dalam bidang kewarisan, saya selaku praktisi hukum memberikan apresiasi yang sangat mendalam terhadap upaya beliau yang sangat gigih, untuk mengungkapkan misteri hukum waris Islam yang dirasakan adanya ganjalan pada sebagian ajarannya yang nampaknya menurut pengamatan Hazairin tidak memenuhi aspek keadilan dan diskriminasi. Banyak kasus terjadi di masyarakat Islam Indonesia seorang hanya mempunyai keturunan waris seorang diri, yaitu cucu dari anak perempuannya yang telah meninggal dunia lebih dulu, dan ia mempunyai adik dan kakaknya sebagai calon ahli warisnya, ia menyadari bahwa cucunya itu tidak akan mendapatkan hak waris sedikitpun dari harta yang selama hidup dikumpulkannya, agar cucu ini memiliki seluruh harta kekayaannya, kemudian orang itu menghibahkan seluruh hartanya kepada cucu tersebut. Sikap orang tersebut dapat dibaca sebagai sikap ketidak setujuan terhadap hukum waris Islam yang menyingkirkan cucu itu dari hak kewarisan. Padahal apabila cucu ini ditampilkan sebagai ahli waris pengganti yang menggantikan ibunya itu, mungkin orang tersebut tidak akan bersikap seperti itu.

Ada satu kasus tetangga yang sangat mengganggu pikiran saya, seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris anak-anak paman kandung pewaris, terdiri dari tiga anak laki-laki paman, dan seorang anak perempuan paman, kondisi dari keempat anak paman ini berbeda sangat jauh, 3 orang anak lak-laki paman adalah termasuk orang yang berhasil dari sisi ekonomi, sementara anak perempuan dari paman itu sangat miskin, ia seorang janda ditinggal mati suaminya, tidak memiliki kekayaan selain sebuah rumah panggung kira-kira 3 x 4 M2 yang sudah lapuk, ketika pembagian waris dilakukan yang dipimpin oleh ustad setempat, satu orang anak perempuan paman ini hanya duduk termenung saja tanpa mendapatkan apapun, karena ia dzaw al-arham, sementara ketiga anak kali-laki paman itu berpesta pora mendapatkan harta warisan yang cukup banyak. Anak perempuan paman ini mengadu kepada saya dan ia bertanya, kenapa saya tidak mendapatkan sedikitpun dari harta warisan itu, padahal saya membutuhkan untuk makan sehari-hari katanya. Pada waktu itu saya tidak dapat menjawab sedikitpun, atas pertanyaannya, hanya yang ada dalam pikiran saya waktu itu adalah “inilah suatu kedhaliman yang nyata, dan hal ini tidak mungkin bersumber dari ketentuan hukum Allah yang Maha Adil”. Kasus tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Page 20: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

20  

(P)

Keterangan gambar:

1. Adalah pewaris, tidak ada ahli waris lain kecuali keempat anak paman tersebut, karena semuanya telah meninggal dunia lebih dulu.

2. Adalah anak laki-laki paman. 3. Adalah anak perempuan paman.

Keempat anak paman itu semuanya memiliki hubungan kekerabatan yang sama dengan pewaris, baik kekuatan kekerabatannya, jauh dekatnya (derajat) dan arahnya sama-sama berada dalam garis kekerabatan ukhuwwah dalam dua tingkat, seharusnya bila digunakan teori ahli waris pengganti, keempat anak paman ini menggantikan kedudukan paman yang menerima ‘ashabah, yang dalam kasus ini menerima seluruh harta keponakannya, kemudian dibagikan kepada mereka dengan perbandingan 2 : 1, sehingga untuk satu orang anak laki-laki paman mendapat 2/5 bagian dari harta peninggalan dan untuk satu orang anak perempuan paman mendapat 1/5 bagian harta peninggalan.

Teori ahli waris pengganti tersebut, kenyataannya dapat diterima oleh semua ulama Indonesia secara aklamasi dengan sedikit perombakan tentang besaran yang menjadi hak kewarisan ahli waris pengganti itu dan lahirlah ketentuan Pasal 185 yang terdiri dari dua ayat, yaitu:

1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada sipewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.

2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Ketentuan hukum yang dimuat dalam Pasal 185 tersebut, paling tidak terdapat empat bagian garis hukum yang harus di garis bawahi, yaitu siapa saja ahli waris yang dapat digantikan kedudukannya itu, siapa saja yang menjadi ahli waris pengganti itu,

Page 21: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

21  

apakah cara penggantian kedudukan ahli waris itu bersifat imperative atau fakultatif (alternative), dan derajat yang bagimana yang dikehendaki ketentuan trersebut.

Menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KHI sebagaimana tersebut di atas ahli waris yang diganti itu adalah ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari si pewaris. Ahli waris dalam ayat tersebut nampaknya sangat jelas adalah seluruh ahli waris posisinya dapat digantikan apabila ia lebih dahulu meninggal dunia dari pewaris, akan tetapi sesuai teori hukum kewarisan secara logis terdapat ahli waris yang posisinya tidak dapat digantikan, karena keadaan dari ahli waris itu sendiri, hal ini terjadi dalam hubungan pewaris dengan ahli warisnya melalui jalur al-zaujiah atau perkawinan antara suami dengan istri, karena adanya saling mewarisi antara suami istri itu apabila diantara suami istri itu ada yang meninggal dunia lebih dahulu dari yang lainnya, suami meninggal dunia lebih dahulu dari pada istrinya, maka istri menjadi ahli warisnya dan apabila istri meninggal dunia lebih dahulu dari suami, maka suami yang menjadi ahli warisnya. Oleh karena itu dalam kasus suami istri tidak mungkin diterapkan teori ahli waris pengganti. Dengan demikian ahli waris yang dapat digantikan posisinya adalah hanya berlaku dalam hubungan kekerabatan nasabiyah saja, yaitu hubungan bunuwwah (keturunan pewaris), ubuwwah (orang tua pewaris, yaitu ayah dan ibu, kakek dan nenek dari dua jurusan) dan ukhuwwah (saudara-saudara pewaris, baik yang dihubungkan melalui ayah-ibu atau kandung, melalui ayah saja maupun melalui ibu saja, atau dihubungkan melalui kakek-nenek pihak ayah, melalui kakek pihak ayah, melalui nenek pihak ibu, dihibungkan melalui kakek-nenek pihak ibu, melalui kakek pihak ibu dan melalui nenek pihak ibu).

Menurut ketentuan pasal tersebut, yang menyatakan “dapat digantikan oleh anaknya”. Dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa orang-orang yang dapat ditampilkan sebagai ahli waris pengganti itu adalah keturunan-keturunan dari ahli waris itu, tidak berlaku bagi para leluhur pewaris, dengan demikian ahli waris pengganti dalam ketentuan ini hanya yang berada dalam jalur hubungan bunuwwah dan ukhuwwah saja, sebab suatu hal yang tidak mungkin adanya ahli waris pengganti dari keturunan ubuwwah, sebab ketika orang tua meninggal dunia keturunan dari orang tua itu telah ditampilkan sebagai ahli waris. Apabila ketentuan orang-orang yang berhak menjadi ahli waris pengganti itu hanya pada tahap keturunan, yang berarti tidak berlaku untuk jalur hubungan nasab ubuwwah, tetap saja akan terjadi ketidak adilan dan diskriminasi. Pada jalur ubuwwah itu juga sebenarnya terdapat ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan kewarisannya, akan tetapi ahli wari pengganti dalam jalur ini bukanlan keturunanya, melainkan para orang tua yang berada pada garis vertical ke atas, yaitu kakek dan nenek dalam seluruh tingkatan. Oleh karena itu bila ayah lebih dahulu meninggal dunia maka yang menduduki posisi ayah itu adalah kakek dan nenek pewaris dari ayahnya itu, bila ia dapat ditampillkan sebagai ahli waris, begitu pula ibu pewaris dapat digantikan oleh kakek dan nenek dari pihak ibu itu. Dengan dasar seperti ini juga akan menghapus istilah kakek atau nenek ghair shahih, dan

Page 22: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

22  

patokan hak kewarisannya bukanlah pada dasar ghair shahih itu melainkan selama mereka tidak terdinding oleh orang tua pewaris yang sejalur dengan mereka dan hubungannya lebih dekat dengan pewaris.

Kata “dapat” dalam ayat tersebut menunjukan bahwa pemuatan teori ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam, nampaknya tidak digeneralisasikan sebagai sebuah teori yang berlaku secara menyeluruh dan komperhensif, sebab dengan adanya kata “dapat” berkonsekwensi penggunaan teori ahli waris pengganti itu bersifat fakultatif (alternative) atau bukan suatu keharusan untuk dilaksanakan, pelaksanaannya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan disesuaikan dengan karakteristik kasus itu sendiri.

Selain itu, yang perlu mendapatkan perhatian dari ketentuan hukum tersebut adalah adanya batasan bagian hak kewarisan ahli waris pengganti yang dimuat pada ayat (2) pasal tersebut, yaitu “Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti” ketentuan ini adalah suatu ketentuan yang bersifat multi tafsir, karena dalam system kewarisan Islam penyeleksian ahli waris dijaring melalui teori kekuatan kekerabatan, tingkatan atau derajat kekerabatan dan arah (jihat) kekerabatan itu.

Derajat dalam teori hukum waris adalah suatu hubungan kekerabatan nasab antara pewaris dengan ahli waris, dilihat dari jauh dekatnya hubungan itu, atau juga dapat dinyatakan tingkatan hubungan antara pewaris dengan ahli waris, derajat paling tinggi adalah hubungan kewarisan yang langsung antara pewaris dengan ahli waris atau keterikatan hubungan itu tidak diikatkan melalui yang lain. Derajat kedua adalah hubungan ahli waris dengan pewaris yang diikatkan melalui satu orang yang lain. Derajat ketiga adalah hubungan ahli waris dengan pewaris yang diikatkan melalui dua orang yang lain. Derajat keempat adalah hubungan ahli waris dengan pewaris yang diikatkan melalui tiga orang yang lain. Derajat kelima hubungan ahli waris dengan pewaris yang diikatkan melalui empat orang. Derajat keenam adalah hubungan ahli waris dengan pewaris yang diikatkan melalui lima orang yang lain dan seterusnya. Contoh penderajatan dalam hubungan kekerabatan, baik yang dihubungkan dengan nasab garis vertical, maupun garis horizontal, sebagaimana dapat dilihat gambar berikut:

Page 23: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

23  

A B

C D E F G H

I J K

L M N O

P Q R S T U

V W X Y A’ B’ C’ D’

E’ F’ G’ H’ I’

J’ K’

Keterangan gambar:

1. Jenis kelamin laki-laki, dan jenis kelamin perempuan. 2. M sebagai pewaris. 3. Pewaris mempunyai anak tiga orang, dua orang laki-laki Q dan T, satu anak

perempuan S. 4. Pewaris mempunyai cucu enam orang, yaitu V, X, anak laki-laki dari Q, dan Y, A’,

B’ anak dari S, dan D’ anak dari T.

Page 24: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

24  

5. Pewaris mempunyai lima orang cicit, yaitu E’ anak dari V, dan F’ anak dari Y, dan G’ anak dari A’ dan H” dan I’ anak dari B’

6. Pewaris mempunyai dua orang anak dari cicit, yaitu J’ dan K’ 7. Pewaris lahir dari orang tua, ayah J dan ibu K. 8. Saudara kandung pewaris adalah N dan O. 9. E dan F adalah kakek dan nenek pewaris dari pihak ayah, 10. G dan H adalah kakek dan nenek pewaris dari pihak ibu. 11. I adalah satu orang paman pewaris (saudara kandung ayah pewaris). 12. A dan B buyut pewaris dari ayah. 13. C dan D adalah saudara-saudara dari kakeknya ayah pewaris.

Dari gambar tersebut dapat diketahui orang-orang (ahli waris) yang menduduki derajat yang sama adalah:

A. Derajat pertama adalah derajat paling tinggi, yaitu hubungan kekerabatan nasabiyah antara pewaris dengan ahli waris secara langsung atau tidak diikatkan dengan orang lain, yang dalam hal ini adalah anak-anak Q, S, dan T ayah dan ibu pewaris yaitu J dan K.

B. Derajat kedua adalah hubungan ahli waris dengan pewaris diikatkan dengan satu orang yang lain, yaitu enam orang cucu-cucu pewaris, yaitu V, X, Y, A’, B’ C’ dan D’ mereka hubungannya dengan pewaris karena adanya keterikatan dengan anak-anak pewaris, yang sederajat dengan mereka ini adalah saudara-saudara pewaris, yaitu N dan O dan kakek- nenek baik dari ayah maupun dari ibu, yaitu E, F dan G, H yang hubungannya dengan pewaris diikat oleh ayah dan ibu.

C. Derajat ketiga adalah hubungan ahli waris dengan pewaris diikatkan dengan dua orang yang lain, yaitu A dan B hubungannya dengan pewaris diikat dengan E-F dan J-K (ayah-ibu dan kakek-nenek) pewaris. Yang mendudiki posisi derajat yang sama adalah I paman pewaris yang dihubungkan melalui orang yang sama, lima orang cicit yang dihubunghkan dengan pewaris melalui cucu dan anak.

D. Derajat keempat adalah hubungan ahli waris dengan pewaris diikatkan dengan tiga orang yang lain, yaitu ahli waris C dan D saudara-saudara kakek pewaris yang dihubungkan dengan pewaris melalui A-B (buyut), E-F ( kakek nenek) dan J-K (ayah ibu). Yang menduduki posisi derajat yang sama adalah J’ dan K’ yang dihubungkan dengan pewaris melalui cicit, cucu dan anak.

Dari gambaran tersebut, dapat diketahui hubungan kekerabatan dari setiap arah (bunuwwah, ubuwwah dan ukhuwwah), tenyata pada satu kasus tertentu akan berkumpul pada derajat yang sama. Sedangkan menurut teori keutamaan hukum kewarisan Islam walaupun mereka menduduki posisi derajat yang sama tetap saja memiliki garis keutamaan yang berbeda, karena arah bunuwwah lebih diutamakan dari pada ubuwwah dan ukhuwwah, dan arah ubuwwah diutamakan dari pada ukhuwwah. Dengan demikian yang dimaksud “sederajat” dalam ketentuan tersebut hanya dapat

Page 25: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

25  

diposisikan dalam arah yang sama dengan ahli waris yang diganti itu dengan ketentuan apabila ahli waris itu seluruhnya ahli waris pengganti, maka mereka mendapatkan hak waris sesuai dengan bagian hak waris yang diganti.

Contoh-contoh kasus ahli waris pengganti diantaranya, ahli waris terdiri dari ibu, mantan istri, satu orang anak perempuan, satu orang cucu perempuan dari anak laki-laki dan satu orang cucu perempuan dari anak perempuan, lihat gambar berikut:

A B

C D

E F G H I

J K

keterangan gambar:

1. A adalah ayah pewaris telah meninggal dunia lebih dahulu. 2. B adalah ibu pewaris. 3. C sebagai pewaris. 4. D mantan istri pewaris. 5. E suami F anak perempuan pewaris keduanya telah menininggal dunia. 6. G anak perempuan pewaris. 7. H anak laki-laki pewaris mempunyai istri I dan mempunyai seorang anak

perempuan K

Maka bagian masing-masingnya adalah:

1. Mantan istri mendapat 1/8 bagian. 1/8 x 24 = 3…3/24 harta atau 9/72 harta 2. Ibu mendapat 1/6 bagian. 1/6 x 24 = 4… 4/24 harta atau 12/72 harta. 3. Satu orang anak perempuan 1/2. X 24 = 12/24 harta atau 36/72 harta

Page 26: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

26  

4. Satu orang cucu perempuan dari anak laki-laki, seharusnya mendapatkan sisa harta bersama-sama dengan cucu perempuan dari anak perempuan dengan perbandingan 2 : 1, untuk satu orang cucu perempuan dari anak laki-laki adalah 2/3 x 5/24 = 10/72 harta dan untuk satu cucu perempuan dari anak perempuan mendapat 1/3 x 5/24 = 5/72

Pada kasus tersebut ahli waris pengganti tidak memungkinkan diberikan bagian maksimum yang sama dengan anak perempuan, selain derajatnya berbeda juga akan berakibat menghabiskan harta untuk dzaw al-furudh, sedangkan bila diperhitungkan dengan cara ‘ashabah antara satu anak perempuan, satu orang cucu perempuan dari anak laki-laki dan satu orang cucu perempuan dari anak perempuan, maka bagian cucu perempuan dari anak laki-laki akan melebihi bagian anak perempuan itu dan dalam hal ini tidak diperkenankan sesuai ketentuan tersebut di atas.

Contoh lain misalnya, ahli waris terdiri dari kakek dan nenek dari pihak ayah, kakek dan nenek dari pihak ibu, satu orang anak laki-laki, dua orang cucu dari anak perempuan, laki-laki dan perempuan, lihat gambar berikut:

A B C D

E

G H F

Keterangan gambar:

1. A dan B adalah nenek dan kakek pihak ibu pewaris. 2. C dan D adalah nenek dan kakek pihak ayah pewaris. 3. E adalah pewaris. 4. F anak laki-laki pewaris. 5. G cucu perempuan dari anak perempuan pewaris. 6. H cucu laki-laki dari anak perempuan pewaris.

Page 27: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

27  

Maka bagian masing-masing ahli waris tersebut adalah :

1. kakek dari ayah 2/3 x 1/6 = 2/18 atau 6/54 harta. 2. nenek dari ayah 1/3 x 1/6 = 1/18 atau 3/54 harta. 3. kakek dari ibu 2/3 x 1/6 = 2/18 atau 6/54 harta. 4. nenek dari ibu 1/3 x 1/6 = 1/18 atau 3/54 harta 5. anak laki-laki dan cucu-cucu mendapatkan sisa 18/18 – 6/18 = 12/18, 6. untuk anak laki-laki 2/3 x 12/18 = 24/54 bagian harta. 7. untuk dua orang cucu perempuan mendapat 1/3 x 12/18 = 12/54 harta

Contoh kasus yang lain misalnya ahli waris terdiri dari dua orang saudara laki-laki kandung pewaris (A dan B), satu orang saudara perempuan seibu (C), dua orang cucu perempuan dari anak laki-laki (D dan E), tiga orang cucu perempuan dari anak perempuan (F, G dan H), perhatikan gambar di bawah ini:

Maka bagian masing-masingnya adalah :

1. saudara-saudara pewaris terhijab karena belum kalalah. 2. untuk D mendapat 1/2 x 2/3 = 2/6 atau 6/18 bagian harta. 3. untuk E mendapat 1/2 x 2/3 = 2/6 atau 6/18 bagian harta. 4. untuk F mendapat 1/3 x 1/3 = 1/9 atau 2/18 bagian harta. 5. untuk G mendapat 1/3 x 1/3 = 1/9 atau 2/18 bagian harta. 6. untuk H mendapat 1/3 x 1/3 = 1/9 atau 2/18 bagian harta.

Contoh kasus yang lain misalnya, ahli waris terdiri dari dua orang anak perempuan dari saudara laki-laki, ibu dan mantan istri. maka bagian masing-masingnya adalah:

Page 28: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

28  

1. mantan istri 1/4 bagian atau 3/12 bagian harta. 2. ibu 1/6 bagian atau 2/12 bagian harta . 3. dua orang anak perempuan dari saudara laki-laki mendapat sisa 12/12 – 5/12 = 7/12

III KESIMPULAN

Dari hal-hal yang telah yang telah diuraikan tersebut di atas, penulis menyimpulkan sebagai bertikut:

1. Teori ahli waris pengganti adalah sebagai salah satu teori yang dapat dijadikan dasar hukum untuk mendudukan para kerabat nasabiyah sebagai ahli waris yang berada dalam derajat kedua, ketiga dan seterusnya yang tersingkir dari struktur kewarisan.

2. Istinbath hukum teori ahli waris pengganti yang tepat adalah melalui universalitas garis keturunan, bunuwwah, ubuwwah dan ukhuwwah.

3. Pergantian kedudukan sebagai ahli waris, dari ahli waris yang diganti yang telah meninggal dunia lebih dahulu adalah merupakan ranah ijtihadiyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat, untuk mencapai kemashlahatan, yang didalamnya mencerminkan keadilan dan kepastian hukum, bagi masyarakat muslim Indonesia harus tetap berpegang pada ijma’ ulama Indonesia yang dimuat dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dengan tanpa batasan apapun dan harus diberlakukan secara general.

4. Apabila teori ahli waris penganti yang dimuat pada Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, dibatasi hanya berlaku untuk cucu saja, maka rekontruksi hukum waris Islam tetap saja akan menimbulkan ketidak adilan pada posisi kasus-kasus tertentu.

5. Bagian ahli waris pengganti disesuaikan dengan bagian ahli waris yang diganti, dengan batasan tidak melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dalam satu arah dengan ahli waris yang diganti.

IV DAFTAR PUSTAKA

1. DR. Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu (Bairut: Dar Al-Fikr, Cet. III, 1989) Juz VIII.

2. DR. Mushthafa Dib al-Bagha, Syarah Ilm Al-Warits Al-Rahbiyah Fi Ilm Al-Faraidh, (Bairut Libanon, Dar Katib wa kitab, tth)

3. Prof. DR. Hazairin, SH, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an Dan Al-Hadits, (Jakarta, Tintamas, 1982)

4. Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (‘Alam Al-‘Arabi: Daar Al-Fatah, Jilid III, tth)

Page 29: ARTIKEL AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM …web.pa-sumber.go.id/images/gambar/01_artikel.pdfkepemilikan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal ... berupaya

29  

5. Drs. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung, Al-Ma’arif, Cet. II 1981). 6. Abu Al-Fidaa Isma’il bin ‘Umr bin Katsiir Al-Quraisyi Al-Damsyiqy, Tafsir Al-

Qur’an al-‘Adhim Al-Syahir bi Tafsir Ibnu Katsir, (Dar Thayyibah Linasyir wa Al-Tauzi’, Cet. II, 1999).

7. Prof. R. Subekti, SH & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, cet. XXIV, 2002).

8. INTRUKSI PRESIDENT No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.