aritmia
DESCRIPTION
farmakoterapiTRANSCRIPT
DESKRIPSI PENYAKIT
A. Pendahuluan
Jantung dapat diibaratkan sebagai suatu organ dengan empat rongga. Di sebelah kanan,
darah masuk dari pembuluh tubuh ke dalam serambi (atrium), dipompa ke bilik kanan
(ventrikel), dan lalu ke paru-paru, darah yang kaya oksigen dikembalikan ke serambi kiri,
yang memompanya ke dalam bilik kiri dan seterusnya melalui aorta ke semua organ tubuh
(sirkulasi besar).
Kontraksi myocard diatur oleh aliran listrik kecil. Di dinding serambi kanan terdapat suatu
“pacemeker” alami (simpul sinus), yang secara teratur melepaskan arus listrik kecil. Sel-sel
pacemaker ini berbeda dengan sel myocard yang memperlihatkan depolarisasi spontan,
lambat pada waktu diastole (Fase 4) disebabkan karena arus positif masuk yang dilakukan
oleh alirn kalsium. Impuls ini menjalar melalui kedua serambi, tetapi tidak bisa mencapai
bilik, karena antara kedua serambi dan kedua bilik terdpat suatu lapisan isolasi. Impuls
dapat melalui batas ini ke bilik hanya di satu tempat, yakni di simpul AV (atrio-ventikuler). Di
sini arus ditahan sekadar sampai bilik terisi penuh dengan darah secara optimal, sehingga
dicapai fungsi pompa yang seefisien mungkin. Impuls lalu menjalar dengan cepat melalui
saraf-saraf Bundle dari HIS ke kedua bilik. Dengan demikian, setiap kali sesudah serambi
menguncup, segera (setelah ca 0,18 sekon) balik akan berkontraksi. Ritme normal terletak
antara 70 dan 80 denyut per menit.
B. Definisi
Aritmia didefinisikan sebagai hilangnya ritme jantung terutama ketidakaturan pada detak
jantung, meliputi kondisi yang disebabkan ketidaknormalan laju, keteraturan, atau urutan
aktivasi jantung.
C. Penyebab Aritmia
Sebagian besar aritmia terjadi karena abrasi pembentukan impuls (otomatisitas yang
abnormal) atau dari konduksi impuls yang mempunyai kelainan.
1. Otomatisitas yang abnormal : nodus SA menunjukan kecepatan depolarisasi fase 4
tercepat dan karena itu, memperlihatkan pengeluaran arus dengan kecepatan lebih tinggi
dibandingkan yang terjadi pada sel-sel pacemeker sebagai otomataisitas. Karena itu,
nodus SA menetapkan gerakan kontraksi myocard, dan pecemeker laten didepolarisasi
oleh impuls-impuls yang datang dari nodus SA. Tetapi, jika sisi jantung selain dari nodus
SA menunjukan otomatisasi tempat itupun dapat menghasilkan stimuli yang kompetitif,
sehingga terjadi aritmia. Otomatisasi abnormal dapat juga terjadi jika sel-sel myocard
rusak misalnya karena hipoksia atau gangguan keseimbangan kalium. Sel-sel ini dapat
sebagai depolarisasi tetap serjadilama diastole dan karena itu, dapat mencapai nilai
ambang letusan lebih awal daripada sel normal. Loncatan otomatik abnormal dapat
terjadi.
2. Efek obat pada otomatisitas : sebagian besar obat-obat antiaritmia menekan otomatisitas
(1) dengan mengurangi kecuraman depolarisasi Fase 4 (diastolik) dan/atau (2)
meningkatkan nilai ambang lepasan terhadap voltse negatif yang lebihh rendah. Obat-
obat ini menyebabkan penurunan loncatan frekuensi, suatu efek yang lebih nyata pada
sel-sel pada pacemeker yang ektopik daripada sel-sel normal.
3. Abnormalitas pada konduksi impuls : impuls-impuls dari pusat-pusat pacemeker yang
lebih tinggi biasanya berjalan ke bawah saluran yang membagi menjadi dua cabang
untuk mengaktifkan seluruh permukaan ventrikel. Suatu fenomena yang disebut reentry
dapat terjadi jika blokade satu arah disebabkan oleh kerusakan myocard atau periode
refrakter yang terpanjang menimbulkan saluran konduksi yang abnormal. Reentry adalah
penyebab paling sering untuk aritmia dan dapat terjadi pada segala tingkat sistem
konduksi jantung.
4. Efek obat-obat pada kelainan konduksi : obat-obat antiaritmia menghambat reentry
dengan memperlambat konduksi atau meningkatkan periode refrakter yang diperlukan
untuk mengubah hambatan tidak searah menjadi blok dua arah.
D. Patofisiologi
1. Aritmia Supraventrikular
1. Fibrilasi Atrium atau Flutter Atrium
Fibrilasi atrium dikarakterisasi dengan kecepatan yang ekstrim (400 sampai 600
denyut/menit) dan terjadi ketidakteraturan aktivasi atrium. Selain itu, pada fibrilasi atrium
juga terjadi kehilangan kontraksi atrium, dan impuls supraventrikular masuk ke sistem
konduksi atrioventrikular (AV) pada berbagai tingkatan, yang menyebabkan aktivasi
ventrikular tak teratur dan ketidakteraturan denyut (120 sampai 180 denyut/menit).
Flutter atrium dikarakterisasi oleh aktivasi atrium yang ceepat (270 – 330 denyut
atrium/menit) namun teratur. Respon ventrikular umumnya memiliki pola biasa dan
denyutnya 300 denyut/menit. Aritmia tersebut tidak sesering fibrilasi atrium, tetapi
memiliki faktor penyebab, konsekuensi, dan terapi obat yang sama.
Mekanisme utama fibrilasi atrium dan fluter atrium adalah reentry, umumnya
berhubungan dengan penyakit jantung organik yang menyebabkan distensi atrium
(misal : iskemia atau infrak, penyakit jantung hipertensif, gangguan katup jantung).
Gangguan lain yang berhubungan adalah embolus pulmonari akut dan penyakit paru-paru
kronik hasilnya merupakan hipertensi pulmonar dan cor pulmonale serta tingginya tonus
adrenergik, seperti tirotoksikosis, reaksi putus obat dari alkohol, sepsis, aktivitas fisik
berlebihan.
1. Takikardia Supraventrikular Paroksismal yang disebabkan Reentry
Takikardia Supraventrikular Parosimal (PSVT) muncul karena
mekanisme reentrant termasuk aritmia yang disebabkan oleh reentrynodus
AV, reentry yang melibatkan jalur AV anomali, reentry nodus sinoatrium (SA),
dan reentry intra-atrium.
1. Takikardia Atrium Otomatik
Takikardia atrium otomatik seperti takikardia atrium multifokal tampaknya berasal dari
fokus supraventrikular yang memiliki sifat otomatik meningkat. Beberapa penyakit pulmonar
menjadi penyebab gangguan pada 60 sampai 80% penderita.
1. Aritmia Ventrikular
a. Kompleks Vertikular Prematur (Premature Verticular Complexes, PVC)
PVC merupakan gangguan ritme ventrikular yang umum terjadi pada penderita dengan atau
tanpa penyakit jantung dan diperoleh secara eksperimental otomatis abnormal, aktivitas
pemicu, atau mekanismereentrant.
b. Takikardia Ventrikular (VT)
VT diklasifikasikan oleh tiga atau lebih PVC secara bersamaan yang terjadi pada
kecepatan lebih dari 100 denyut/menit. Hal ini umum terjadi pada infrak miokardinal (MI)
akut. Kasus lainya adalah beberapa kelainan elektrolit (misal : hipokalemia),
hipokalsemia, dan toksisitas digitalis. Penyakit kronik yang berulang kali terjadi/sering
biasanya berhubungan dengan adanya penyakit jantung organik yang menyebabkannya
(kardiomiopati akibat dilatasi idiopati atau MI jauh dengan aneurisma vertikel kiri.
VT yang berlanjut memerlukan terapi untuk mengembalikan kestabilan ritme yang
berlangsung relatif lama (biasanya lebih dari 30 detik). VT yang tidak terus-menerus
berakhir sendiri setelah durasi pendek (biasanya kurang dari 30 detik). VT yang terus-
menerus mengacu pada VT yang terjadi lebih sering dari ritme sinus, oleh karena itu VT
menjadi ritme yang dominan. Olahraga dapat menginduksi VT yang terjadi selama tonus
simpatetik tinggi (misal : energi fisik yang tinggi). VT monoformik memiliki konfigurasi
QRS yang konsisten sedangkan VT poliformik memiliki kompleks QRS yang beragam.
Torsades de point (TdP) adalah VT poliformik yang kompleks QRSnya terjadi sepanjang
sumbu pusat.
c. Proaritmia Ventrikular
Proaritmia merupakan perkembangan aritmia baru yang signifikan (misal: VT, fibrilasi
ventrikular, atau TdP) atau aritmia yang lebih parah dari yang sebelumnya. Proaritmia ini
memiliki mekanisme yang sama dengan aritmia lain atau perubahan substrat yang
mendasarinya karena obat antiaritmia.
d. Takikardia Monomorfik Ventrikular Tanpa Jeda
Walaupun proaritmia yang terikat dengan obat tipe Ic pada awalnya diperkirakan terjadi
dalam beberapa hari saat dimulainya pemakaian obat, resiko akan selalu ada selama terapi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penderita pada tipe proaritmia ini adalah aritmia
ventrikular, penyakit jantung iskemia, kelemahan fungsi ventrikular kiri.
e. Torsades De Pointes (TdP)
TdP merupakan bentuk cepat dari VT polimorfik yang berhubungan dengan tertundanya
repolarisasi ventrikular karena blokade konduktansi kalium. TdP dapat berupaturunan atau
dapatan. Bentuk dapatan berhubungan dengan banyak kondisi klinik dan obat, terutama
tipe blocker Ia dan III Ikr . TdP karena kinidin atau sinkop kinidin terjadi pada 4 – 8 %
penderita yang diterapi obat ini.
f. Fibrilasi Ventrikular (VF)
VF merupakan kekacauan elektrik pada ventrikel, yang menyebabkan tidak adanya curah
jantung dan kolaps kardiovaskular secara tiba-tiba. Kematian jantung mendadak umumnya
terjadi pada penderita dengan iskemia jantung dan miokardial primer yang berhubungan
dengan disfusi ventrikel kiri. VF yang berhubungan dengan MI akut dapat diklasifikasikan
sebagai berikut (1) primer (MI yang tidak disertai dan tidak behubungan dengan gagal
jantung) atau (2) sekunder (MI disertai gagal jantung)
1. Bradiaritmia
Bradiaritmia sinus asimtomatik (denyut jantung kurang dari 60 denyut/menit) umum
terjadi pada anak muda dan individu aktif secara fisik. Beberapa penderita dengan
disfungsi nodus sinus (sindrom sinus) disebabkan oleh penyakit jantung organik dan
proses penuaan normal, gangguan fungsi nodus SA. Nodus sinus biasanya representasi
dari penyakit konduksi yang menyebar, yang dapat disertai blok AV dan takikardia
paroksimal, seperti fibrilasi atrium. Pergantian bradiaritmia dan takiaritmia disebut
sebagai sindrom taki-bradi.
Blok AV atau konduksi AV yang tertunda dapat terjadi di beberapa area sistem konduksi
AV. Blok AV dapat ditemukan pada pasien tanpa penyakit jantung yang mendasarinya
(misal : atlet terlatih) atau selama tidur saat tonus vegal tinggi. Kelainan dapat terjadi
sesaat bila penyebabnya bersifat reversible (misal : miokarditis, iskemia miokardial,
setekah operasi jantung, selama terapi obat). B blocker, digitalis, atau antagonis kalsium
dapat menyebabkan blok AV terutama pada area nodus AV. Antiaritmia tipe I dapat
memperburuk penundaan konduksi di bawah level nodus AV. Blok AV dapat ireversible
jika penyebabnya adalah MI akut, penyekit degeneratif yang jarang, penyakit miokardinal
primer, atau kondisi kongenital.
D. Manifestasi Klinik
Trakikardia supraventrikular dapat menyebabkan manivestasi klinik yng beragam mulai
dari tidak ada gejala hingga palpitasi minor dan atau denyut yang tidak umum dan gejala
yang mengancam jiwa. Penderita dapat mengalami pusing atu pingsan akut ; gejala gagal
jantung; nyeri dada angina; atau lebih seringnya adalah sesak nafas atau sensasi tekanan
atu tercekik selama periode takikardia.
Fibrilasi dan flutter atrium termanifestasi oleh secara keseluruhan gejala yang
berhubungan dengan takikardia supraventrikular, tapi sinkop merupakan gejala yang
tidak umum terjadi. Komplikasi tambahan dari fibrilasi atrium adalah ambolisasi arteri
sebagai hasil dari statis atrium dan trombus dinding yang tidak melekat kuat, yang
berakibat pada komplikasi yang membahayakan: stroke emboli. Penderita fibrilasi atrium
dengan stenosis mitral atau gagal jantung sistolik parah secara khusus beresiko tinggi
terkena embolisme sereberal.
PVC pada umumnya tidak menimbulkan gejala atau hanya palpitasi ringan. Manifestasi
VT sangat bervariasi mulai dari tidak bergejala sama sekali hingga kolaps hemodinamik.
Konsekuensi proaritmia mulai dari tidak bergejala hingga memburuk sampai kematian
mendadak. VT dapat terjadi karena kolaps hemodinamik, pingsan, dan henti jantung.
Penderita dengan bradiaritmia mengalami gejala yang dikuti juga dengan hipotensi
seperti pusing, pingsan, kelelahan, dan kebingungan. Jika terjadi disfngsi ventrikel kiri
maka gejala gagal jantung kongestif dapat memburuk.
II. TERAPI
A. Tujuan Terapi
Hasil yang diharapkan tergantung dari jenis aritmianya. Sebagai contoh, tujuan akhir
penanganan fibrilasi atau flutter atrium adalah mengembalikan ritme sinus, mencegah
komplikasi tromboemboli, dan mencegah kejadian berulang.
B. Pendekatan Umum
Penggunaan obat-obatan antiaritmia di Amerika Serikat menurun karena beberapa
penelitian menunjukan peningkatan kematian pada beberapa situasi klinis, kesadaran
proaritmia sebagai suatu efek samping yang signifikan, dan kemajuan teknologi terapi non-
obat seperti ablsi dan cardioverter-defibrilator internal.
1. Fibrilasi Atrium atau Flutter Atrium
Banyak metode yang tersedia untuk mengembalikan ritme sinus, pencegahan
komplikasitromboemboli, dan mencegah terjadinya aritmia kembali; tetapi pemilihan
terapi tergantung, sebagiannya, pada onset dan keparahan gejala.
Jika gejalanya parah dan onset cepat, penderita memerlukandirect-current
cardioversion (DCC) untuk mengubah ritme sinus secepatnya.
Jika gejalanya dapat ditoleransi, obat yang memperlambat konduksi dan meningkatkan
refaktori nodus AV sebaiknya digunakan sebagai terapi utama. Beberapa klinisi lebih
memilih antagonis kalsium (verapamil atau diltiazem) intravena. Jika kondisi adrenergik
tinggi merupakan faktor penyebab, β-blocker (misal, propanolol, esmolol) intravena
sangat efektif dan dapat dijadikan pertimbangan awal. Tipe antiaritmia Ia dan III
sebaiknya tidak diberikan di awal karena meningkatkan respon ventrikular secara
paradoks saat tidak adanya obat yang memperlambat kondisi nodus AV. Pemakaian
digoksin dalam terapi masih dipertanyakan karena biasnya tidak efektif karena onsetnya
lambat.
Setelah penanganan dengan obat yang memblok nodus AV dan kemudian penurunan
respon ventrikular, penderita seharusnya dievaluasi terhadap kemungkinan kembalinya
ritme sinus jika fibrilasi atrium berlanjut.
Jika ritme sinus kembali, antikoagulan sebaiknya dimulai sebelum cardioversion karena
kembalinya kontraksi atrium meningkatkan resiko tromboemboli. Rekomendasi utama
saat ini adalah warfarin (international normalized ratio (INR) 2 sampai 3) kurang-
kurangnya 3 minggu sebelum cardioversion dilanjutkan setidaknya 1 bulan setelah
cardioversion efektif.
Antikoagulan tidak begitu penting untuk penderita dengan fibrilasi atrium yang kurang dari
48 jam dan tidak adanya tombus parah pada ekokardiografi transesofagus (transesophageal
echocardiography, TEE).
Setelah antikoagulasi awal atau TEE, metode untuk mengembalikan ritme sinus pada
penderita fibrilasi atau fluntter atrium adalah cardioversion farmakologi dan DCC. Secara
garis besar konsensus international merekomendasikan DCC sebagai pilihan untuk
dipertimbangkan. DCC cepat dan lebih sering berhasil, tetapi memerlukan sedasi atau
anestesi pendahuluan dan memiliki resiko kesilkomplikasi serius seperti henti sinus atau
aritmia ventrikular. Walaupun senyawa tipe Ia, Ic, dan III telah menunjukan keefktifan,
ada bukti yang menunjkan bahwa khasiat hanya untuk tipe III murni pemblok Ik (contoh,
ibutilid, dofetilid) obat-obat tipe Ic (contoh, flekainid, propafenon). Keuntungan dari terapi
obat awal adalah bahwa obat efektif dapat ditentukan pada kasus yang memerlukan
terapi jangka pqnjang. Kerugiannya adalah efek samping yang signifikan seperti TdP
karena obat, interaksi antar obat, dan laju cardioversion yang rendah obat dibandingkan
dengan DCC.
The American College of Chest Physician Consensus Conference untuk terapi
antitrombotik merekomendasikan pananganan warfarin kronik (INR 2 sampai 3, target
2,5) untuk semua psien dengan fibrilasi atrium yang memiliki resiko tinggi stroke (yang
memakai katup jantung prostetik, penyakit katup jantung rematik, riwayat tromboemboli,
usia diatas 75 tahun, disfungsi vertikel kiri, atau hipertensi). Mereka yang memiliki resiko
kecil (contohnya, usia krang ari 65 tahun tanpa penyakit kardiovaskular atau fibrilasi
atrium murni (lone atrial fibrillation) seharusnya mendapatkan aspirin 325 mg/hari.
Warfarin atau aspirin sebaiknya diteruskan hingga ritme sinus tetap terjaga setidaknya
selama 4 minggu. Tetapi antitrombotik sebaiknya diteruskan pada penderita dengan
fibrilasi atrium permanen atau terjadinya paroksisma kembali.
Fibrilasi atrium biasanya terjadi kembali setelah cardioversion awal karena kebanyakan
penderita memiliki tipe penyakit jantung atau paru-paru yang ireverrsible. Sebuah
metaanalisis menyatakan bahwa quinidin menjaga ritme sinus lebih baik dibandingkan
plasebo; meskipun 50% penderita mengalami fibrilasi atrium kembali selama setahun,
dan yang terpenting, quinidin meningkatkan kematian kemungkinan melalui proaritmia.
Obat anti aritmia tipe Ic (contoh, flekainidin, propafenon) dan tipe III (contoh, amiodaron,
sotalol, dofetilid). Karenanya, obat antiaritmia ini sebaiknya diberikan untuk penderita
dengan fibrilasi atrium paroksimal terdokumentasi yang berkaitan dengan gejala yang
tidak dapat ditoleransi. Dosis kecil amidaron lebih disukai oleh kebanyakan penderita.
1. Takikardia Supraventrikulan Paroksimal
Pilihan antara metode farmakologi dan non-farmakologi untuk menangani PSVT
tergantung pada keparahan gejala. DCC sinkron adalah pilihan terapi jika gejalanya cukup
parah (contoh, pingsan, nyeri angina di dada, gagal jantung parah). Metode non-obat
yang meningkatkan tonus vagal pada nodus AV (contoh, unilateral carotid sinus massage,
Valsalva maneuver) dapat digunakan untuk gejala ringan hingga sedang. Jika metode ini
gagal, terapi obat merupakan pilihan selanjutnya.
Pilihan diantara obat-obat didasarkan pada kompleks QRS. Obat-obatan terbagi menjadi
tiga kategori besar yaitu: (1) langsung atau tidak langsung meningkatkan tonus vagal
pada nodus AV (contoh, digoksin); (2) menekan konduksi melalui jaringan lambat yang
tergantung kalsium (contoh, adenosin, β-blocker, blocker saluran kalsium); dan (3)
menekan konduksi melalui jaringan cepat yang tergantung natrium (contoh, quinidin,
prokainamid, disopiramid, flekainid).
Adenosin telah direkomendasikan sebagai obat pilihan pertama bagi penderita dengan
PSVT karena durasi kerjanya yang pendek tidak akan memperlama kompromi
hemodinamik pada penderita dengan kompleks QRS lebar yang sebetulnya memiliki VT
daripada PSVT.
Setelah PSVT akut berakhir, tetapi pencegahan jangka panjang diindikasikan jika penyakit
tersebut membutuhkan pengobatan atau penyakit sering terjadi walaupun hanya berupa
gejala. Beberapa uji antiaritmia dapat dievaluasi dalam kondisi ambulatory melalui rekam
ambulatory ECG (monitor Holter) atau transmisi telefonik ritme jantung (monitor kejadian)
atau melalui teknik elektrofisiologi invasif dilaboratorium.
Penggunaan aritmia kronik pada usia muda, kecuali pasien sehat, masih bermasalah
karena kemungkinan perlunya medikasi harian sepanjang hayat, toleransi yang uruk, efek
samping yang parah, dan seringnya pengurangan khasiat.
Ablasi kateter transkutan menggunakan arus radiofrekuensi pada substrat PSVT
sebaiknya dipertimbangkan pada beberapa penderita yang sebelumnya telah
direkomendasikan untuk terapi kronik antiaritmia. Hal ini sangat efektif untuk
penyembuhan, jarang sekali terjadi komplikasi, terhindar dari kebutuhan untuk terapi
obat antiaritmia kronik, dan ekonomis.
3. Takikardia Atrium Otomatis
Faktor-faktor pemicu dapat diperiksa dengan memastikam oksigenasi dan ventilasi yang
tepat serta memeriksa ketidakseimbangan asam-basa atau elektrolit.
Jika takikardia muncul, maka dibutuhkan terapi tambahan yang ditentukan berdasarkan
gejalanya. Penderita dengan takikardai atrium yang tidak bergejala dan relatif relatif
lambat respon ventrikularnya basanya tidak membutuhkan terapi obat.
Pada penderita yang memiliki gejala, trapi medis dapat digunakan untuk mengontrol
respon ventrikular atau untuk merubah ritme sinus. Antagonis kalsium (contoh, loperamil)
dipertimbangkan sebagai terapi obat tahap awal untuk menurunkan respon ventrikular.
Obat tipe I contoh: prokainamid, quinidin hanya sesekali saja efektif untuk
mengembalikan ritme sinus. DCC tidak efektif, dan B-blockers biasanya kontraindikasi
karena adanya penykit pulmonar secara bersamaan atau gagal jantung tak terkompesasi.
4. Kompleks Prematur Ventrikular
Pada individu yang tampak sehat, terapi obat tidak terlalu penting karena PVC yang tidak
disertai dengan penyakit janung tidak beresiko. Pada penderita aritmia dengan faktor resiko
kematian (contoh : MI, disfungsi ventrikel kiri, PVC kompleks) terapi obat kronik sebaiknya
dibatasi pada B-blockers, karena hanya obat inilah yang terbukti dapat mencegah kematian
pada penderita.
5. Takikardia Ventrikular Akut
Jika terjadi gejala yang cukup parah, DCC sebaiknya digunakan untuk mengembalikan
ritme sinus dengan cepat. Faktor-faktor pemicunya harus segera dikoreksi bila
mmungkinkan. Jika VT merupakan kejadian elektrik yang terisolasi dengan faktor pemula
sesaat (contoh iskemia miokardial akut, toksisitas digitalis), maka tidak perlu terapi
antiaritmia jangka panjang setelah faktor pencetusnya dikoreksi.
Penderita tanpa gejala dengan gejala ringan dapat ditangani pada tahap awal dengan
obat antiaritmia. Amiodaron intravena biasanya digunakan sebagai tahap awal pada
situasi ini. Prokainamid dan lidokain yang diberikan secara iv dapat menjadi alternatif
yang cocok. Jika lidokain tidak berhasil mengobati takikardia, maka prokainamid secara iv
(dosis loading dan infus) dapat dicoba. DCC sebaiknya ditempuh atau dimasukan kabel
pacu trans vena jika status penderita memburuk, terjadi degenerasi dari VT menjadi VF,
atau terapi obat gagal.
6. Takikardia vantrikular belanjut
Penderita dengan VT berlanjut kronik dan berulang memiliki resiko kematian tinggi; trial-
and-error untuk menemukan terapi yang efektif tidak diperkenankan, baik uji
elektrofisiologi atau pengawasan serial Holter dengan uji obat tidaklah ideal. Temuan ini
serta profil efek samping dari obat antiaritmia menyebabkan jatuhnya pilihan pada
pendekatan non-obat.
Automatic Implantable cardioveter defibrillator (ICD) merupakan metode yang cukup
efektif untuk mencegah kematian mendadak karena kejadian ulang VT atau VF. Hal ini
menghasilkan survival keseluruhan 3 tahun lebih baik dari pada terapi antiaritmia kronik
dengan amiodaron, obat yang dikenal paling efektif.
Penderita dengan ektopi ventrikular kompleks sebaiknya tidak menerima obat antiaritmia
tipe I atau III
7. Takikardia ventrikular tidak berlanjut
Pendekatan NVST merupakan hal yang kontroversial. Penderita dengan gejala yang
berkepanjangan membutuhkan obat, tetapi kebanyakan penderita tidak menunjukan gejala.
Penderita dengan NVST dan penyakit koroner beresiko mengalami kematian mendadak,
terutama jika para penderita tersebut mengidap VT berlanjut setelah simulasi terprogram.
Oleh karena itu, pasien ini sebaiknya menjalani studi elektrofisiologi dan diberikan terapi
pencegahan disertai dengan ICD atau amiodron secara empirik jika VT/VF berlanjut tersebut
dapat diinduksi.
8. Proaritmia
Proaritmia ini tidak dapat ditangani dengan cardioversion atau pacu berlebih. Beberapa
klinisi telah berhasil dengan lidokain iv (berkompetisi untik reseptor saluran natrium) atau
natrium bikarbonat (melawan blokade belebih saluran natrium)
9. Torsades de pointers
Untuk penyakit akut, kebanyakan penderita memerlukan dan merespon DCC, akan tetapi,
Tdp cenderung bersifat paroksimal dan sering berulang secara cepat setelah kejutan
lawan (countershock).
Magnesium sulfat iv dipertimbangkan sebagai pilihan obat untuk mencegah terjadinya
Tdp. Jika tidak efktif stategi untuk meningkatkan laju jantung dan memperpendek
repolarisasi sebaiknya dilakukan (contoh : pace transvena temporer pada 105 sampai 120
denyut nadi/menit atau pacu jantung farmakologi dengan menggunakan isoproterol atau
infus epineprin). Obat yang memperpanjang inteval QT sebaiknya dihentikan saja dan
faktor yang memperburuk (contoh : hipokalemia) diperbaiki. Obat yang memperpanjang
repolarisasi (contoh prokainamid iv) kontraindikasi. Lidokain biasanya tidak efektif.
10. Fibrilais ventrikular
VF (dengan atau tanpa iskemia miokardial) seharusnya ditangani berdasarkan rekomendasi
The American Heart Association untuk mendukung keja jantung agar lebih baik. Setelah
resusitasi yang berhasil, obat antiaritmia harus dilanjutkan hingga ritme penderita dan
status secara keselurhan stabil. Antiaritmia jangka panjang atau implantasi ICD dapat
dilanjutkan atau tidak.
11. Bradiaritmia
Penanganan disfungsi nodus sinus melibatkan eliinasi bradikardia simptomatik dan
kemungkinan penanganan trakikardia bergantian seperti fibrilasi atrium. Bradiaritmia
sinus tidak bergejala biasanya tidak memerlukan intervensi pengobatan.
Secara umum, pilihan terapi jangka panjang untuk penderita dengan gejala yang
signifikan adalah pacu ventrikular permanen.
Obat-obatan yang umumnya dipakai untuk menangani takikardia seharusnya digunakan
dengan perhatian, bila tidak ada pacu jantung yang berfungsi.
Hipersensitivitas sinus karotid dengan gejala sebaiknya juga ditangani dengan terapi
pacu jantung permanen. Pasien yang tetap menunjukkan gejala bisa mendapat
keuntungan dari penambahan stimulamn a-adrenergik seperti midodrin, kadang kala
dengan b-blocker untuk memaksimalakan stimulasi a-simpatik.
Sinkop vasovagal biasanya berhasil ditangani dengan b-blocker oral untuk menginhibisi
arus simpatik yang menyebabkan kontraksi ventrikel kuat dan mendahului onset
hipotensi dan bradikardia. Obat lain dipakai dengan (dengan atau tanpa b-blocker)
termasuk antikolinergik (koyo scopolamin, disopiranid), agonis a-adrenergik (midorin),
analog adenosim (teofilin, dipiridamol) dan inhibitor reuptake serotonin selektif (sertaline,
fluksetin).
12. Blok atrioventrikular
Pilihan terakhir pengobatan akut bradikardia akut dengan gejala atau blok AV adalah
pacu temporer melalui kawat transvena atau pada kondisi darurat, dengan pemandu
traskutan. Atropin 0,5 sampai 1mg secara intravena seharusnya diberikan sebagai begitu
pemandu pacu dipasngkan. Infus epinfrin atau dopamin dapat digunakan jika pemberian
atropin gagal. Obat-obat ini tidak akan membantu jika blok AV dibawah nodus AV (moblitz
II atau AV blok trifasikular).
Blok AV simptomatik kronik membutuhkan pemasangan pacu jantung permanen.
Penderita tanpa gejala sewaktu-waktu dapat diikuti secara dekat tanpa membutuhkan
pacu jantung.
III. TERAPI FARMAKOLOGI
Klasifikasi Obat Antiaritmia
Obat yang memiliki aktivitas antiaritmia dengan cara merubah konduksi secara langsung
melalui beberapa jalan. Obat tersebut dapat menekan impuls otomatis dari sel pacu
jantung abnormal dengan menurunkan kemiringan fase 4 depolarisasi dan/atau
meningkatkan potensi aksi. Obat ini dapat merubah karakteristik konduksi dari jalur
masuk reentrant.
Sitem klasifikasi yang sering digunakan adalah yang diusulkan oleh Vaughan Williams.
obat tipe Ia menurunkan kecepatan konduksi, memperlambat refraktori dan menurunkan
impuls otomatis dari jaringan konduksi yang tergantung natrium (normal atau sakit). Tipe
Ia ini merupakan antiaritmia dengan spektrum yang luas. Efektif untuk supraventrikular
dan aritmia ventrikular.
Walaupun dikategorikan terpisah obat tipe Ib ini kemungkinan berlaku seperti tipe Ia,
kecuali pada tipe Ib lebih efektif pada aritmia ventrikular dari pada supraventrikular.
Tipe Ic dapat memperlambat kecepatan konduksi tapi tidak berpengaruh pada sifat
refraktorinya. Walaupun tipe ini efektif untuk aritmia ventrikular dan supraventrikular.
Penggunanan untuk artimia ventrikular diibatasi karena dapat mengakibatkan proaritmia.
Pada umumnya obat tipe I dapat dakatakan sebagai blocker saluran natrium. Prinsip
reseptor antiaritmia saluran natrium merupakan kombinasi obat aditif (contoh : quinidin
dan mexiletin) dan antagonis (contoh : flekainidin dan lidokain), sama potensialnya
dengan antidot untuk blokade saluran natrium (contoh natrium bikarbonst, propanolol).
Obat yang termasuk tipe II adalah antagonis b-adrenergik; mekanisme yang relefan
secara klinis berasal dari kerja antiadrenerjiknya. B-blocker sangat berguna untuk
takikardia yang jaringan nodusnya otomatis abnormal atau merupakan bagian dari suatu
loop reentrant. Obat ini dapat membantu memperlambat respon ventrikular pada
takikardia atrium (contoh, fibrilasi atrium) melalui efek di nodus AV.
Obat tipe III secara spesifik memperlambat refraktori pada serabut atrium dan
ventrikular, ke dalam golongan ini termasuk obat ini sangat berbeda yang juga memiliki
effek umum yaitu menunda repolarisasi dengan memblok saluran kalium.
Bretylium memperlambat repolarisasi melalui penghambatan konduktasi kalium yang
tidak bergantung pada sistem syaraf simpatetik, meningkatkan ambang VF dan
tampaknya memiliki efek antifibrilasi selektif tapi tidak takikardi. Bretylium efektif pada
VF tetapi umumnya menjadi tidak efektif pada VT.
Sebaiknya, amiodaron dan sotalol efektif pada kebanyakan takikardia. Amiodaron
menunjukan karakteristik elektrofisiologi yang konsisten dengan masing-masing tipe obat
antiaritmia. Tipe obat tersebut adalah penghambatan saluran natrium yang memiliki
kinetik on-off kinetics relatif cepat, memiliki kerja pemblokan-b non selektif, blokade
saluran kalium dan mempunyai aktivitas antagonis kalsium rendah. Efek yang
mengesankan dan redahnya potensial proaritmia dari amiodaron telah menantang
anggapan bahwa blokade saluran ion selektif lebih disukao. Sotalol merupakan inhibitor
yang potensi pergerakan keluarnya kalium selama repolarisasi dan juga memiliki kerja
pemblokan-b ibutilid dan dofetilid memblok komponen cepat dari delayed potassium
rectifier current.
Obat tipe IV menginhibisi masuknya kalsium ke dalam sel yang dapat memperlambat
konduksi, memperlambat refaktori dan menurunkan otomatisitas nodus SA dan AV.
Antagonis saluran kalsium efektif untuk takikardia otomatis atau reetrant yang berasal
dari atau menggunakan nodus SA atau AV.
Dosis umum antiaritmia intravena (iv) dan efek samping umum ditampilkan pada
tabel 7.2