analisis pelaksanaan clinical pathway di rumah sakit …repository.helvetia.ac.id/1624/3/tesis...

238
  ANALISIS PELAKSANAAN CLINICAL PATHWAY DI RUMAH SAKIT UMUM dr. FAUZIAH BIREUEN TAHUN 2018 TESIS NURLIAWATI 1602011259                PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT INSTITUT KESEHATAN HELVETIA MEDAN 2018

Upload: others

Post on 05-Feb-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  •  

     

    ANALISIS PELAKSANAAN CLINICAL PATHWAY DI RUMAH SAKIT UMUM dr. FAUZIAH BIREUEN

    TAHUN 2018

    TESIS

    NURLIAWATI 1602011259   

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

    PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

    INSTITUT KESEHATAN HELVETIA MEDAN

    2018

  •  

     

    ANALISIS PELAKSANAAN CLINICAL PATHWAY DI RUMAH SAKIT UMUM dr. FAUZIAH BIREUEN

    TAHUN 2018  

    TESIS

    Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memeroleh Gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M.K.M.)

    pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Rumah Sakit

    Fakultas Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia  

    Oleh:

    NURLIAWATI 1602011259

      

            

    PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

    INSTITUT KESEHATAN HELVETIA MEDAN

    2018

  •  

     

    Telah di uji pada tanggal: 11 April 2019

    PANITIA PENGUJI TESIS

    Ketua : Dr.dr. Arifah Devi Fitriani M.Kes Anggota : 1. dr. Jamaluddin, MARS 2. Dr. Ns. Asriwati, S.Pd, S.Kep, M.Kes 3. Dr. Nuraini, S.Pd, M.Kes

  •  

     

      

  •  

     

  •  

  •  

    ii 

    ABSTRAK

    ANALISIS PELAKSANAAN CLINICAL PATHWAY DI RUMAH SAKIT UMUM dr. FAUZIAH BIREUEN

    TAHUN 2018

    NURLIAWATI 1602011259

    Rumah Sakit sebagai salah satu instistusi kesehatan harus memberikan

    pelayanan kepada seluruh pasien tanpa mengurangi mutu pelayanan. Untuk memastikan hal tersebut maka perlu dibuatkan clinical Pathway. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hambatan serta kendala dalam pelaksanaan clinical pathway di RSUD dr. Fauziah Bireuen.

    Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan wawancara mendalam dengan Informan utama yaitu komite medik, komite mutu dan manajemen, sedangkan informan triangulasi yaitu case manager, dokter, perawat, farmasi dan nutrisionis.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan mengetahui tentang clinical pathway, pelayanan yang dirasakan pasien masih kurang, adanya sosialisasi tapi tidak maksimal, tidak ada pertemuan rutin dan pelatihan lanjutan, kekurangan tenaga farmasi dan obat-obatan yang tidak tercukupi, magement tidak menindak lanjuti setiap temuan yang ada.

    Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan baik, pelayanan masih kurang, komunikasi belum maksimal, kurang sumber daya manusia dan logistic farmasi dan ketidakpuasan terhadap mangemen sehingga menyebabkan berkurangnya tingkat kepatuhan dalam pelaksanaan clinical pathway. Disarankan kepada petugas kesehatan terkait agar  memberi asuhan sesuai dengan clinical pathway, untuk managemen agar merekrut tenaga farmasi, menyediakan anggaran untuk kebutuhan logistic farmasi, menindak lanjuti setiap temuan yang ada, melakukan monitoring evaluasi lebih lanjut dan berkala terhadap pelaksanaan clinical pathway sehingga dapat meningkatkan kualitas mutu pelayanan rumah sakit.

    Kata kunci : Pelaksanaan Clinical Pathway

       

     

  •  

    iii 

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan

    anugerah-Nya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal

    tesis yang berjudul “Analisis Pelaksanaan Clinical Pathway di Rumah Sakit

    Umum dr. Fauziah Bireuen Tahun 2018”.

    Proposal tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

    mendapatkan gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M.K.M.) pada Program

    Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia. Penulis

    menyadari sepenuhnya bahwa proposal tesis ini tidak dapat diselesaikan tanpa

    bantuan berbagai pihak, baik dukungan moril, materil dan sumbangan pemikiran.

    Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

    1. Dr. dr. Hj. Razia Begum Suroyo, M.Sc., M.Kes., selaku ketua Pembina

    Institut Helvetia Medan.

    2. Dr. dr. Arifah Devi Fitriani, M.Kes., selaku Ketua Yayasan Helvetia Medan

    sekaligus pembimbing 1 yang telah memberikan bimbingan dan mencurahkan

    waktu, perhatian, ide, dan motivasi selama penyusunan proposal tesis ini.

    3. Dr. H. Ismail Efendi, M.Si., selaku Rektor Institut Kesehatan Helvetia

    Medan.

    4. Dr. Ns. Asriwati, S.Pd, S.Kep, M.Kes,., selaku Dekan Fakultas Kesehatan

    Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia sekaligus dosen penguji yang telah

    meluangkan waktu untuk memberikan saran dan kritikan yang lebih

    membangun.

  •  

    iv 

    5. Anto, SKM, M.Kes, MM, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

    Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia

    6. dr. Jamaluddin, MARS, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan

    waktu dan memberikan pemikiran dalam membimbing penulis selama

    penyusunan tesis ini.

    7. Dr. Nuraini, S.Pd, M.Kes, selaku Dosen Penguji yang telah meluangkan

    waktu untuk memberikan saran dan kritikan yang lebih membangun.

    8. dr. Mukthar, MARS, selaku pimpinan RSUD dr.Fauziah Bireuen yang telah

    memberikan izin kepada penulis untuk melakukan rancangan penelitian di

    rumah sakit tersebut.

    9. Seluruh Dosen Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah

    mendidik dan mengajarkan berbagai ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

    10. Teristimewa kepada Suami dan Ibunda yang selalu memberikan pandangan,

    mendukung baik moril maupun materil, mendoakan dan selalu memotivasi

    penulis dalam penyelesaian tesis ini.

    Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan.

    Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

    Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan Hidayah-Nya atas segala

    kebaikan yang telah diberikan.

    Medan, Agustus 2018 Penulis,

    Nurliawati

  •  

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP

    Penulis bernama Nurliawati, lahir di Bireuen tanggal 02 Maret 1973,

    beragama islam. Orang tua penulis bernama Abdullah Hanafiah dan Chadijah,

    Anak ke 8 (delapan), beralamat di Desa Geulanggang Gampong, Kecamatan Kota

    Juang, Kabupaten Bireuen. Pada tahun 1980 -1986 penulis berpendidikan di SD

    Negri Simpang Nalan, tahun 1986 - 1989 penulis melanjutkan pendidikan di SMP

    Negri Plimbang, tahun 1989 - 1992 penulis melanjutkan pendidikan di  SMA

    Negri Darussalam, tahun 1992 - 2000 penulis melanjutkan pendidikan di

    Kedokteran Universitas Syiah Kuala, dan pada Tahun 2017 sampai dengan

    Selesai penulis melanjutkan pendidikan di S2 Magister Kesehatan Masyarakat

    Institut Helvetia Medan.

  •  

    vi 

    DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... iv DAFTAR ISI ........................................................................................................ v DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... vii DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

    1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2. Permasalahan .................................................................................. 11 1.3. Tujuan penelitian ............................................................................ 13 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 14

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 16

    2.1. Tinjauan Peneliti Terdahulu ............................................................. 16 2.2. Telaah Teori ..................................................................................... 24 2.3. Landasan teori ................................................................................. 41 2.4. Faktor- Faktor Yang Memengaruhi Pelaksanaan clinical pathway . 50

    2.4.1. Pengetahuan................................. .......................................... 50 2.4.2. Sikap .................................. .................................................. 53 2.4.3. Komunikasi .................................. ......................................... 55 2.4.4. Sumber daya ......................................................................... 60 2.4.5. Sarana dan prasarana .................................. ........................ 64 2.4.6. Kendala .................................. .............................................. 66 2.4.7. Evaluasi ................................................................................ 68

    2.3. Landasan teori ................................................................................ 70 2.4. Kerangka berfikir ............................................................................ 71

    BAB III METODE PENELITIAN...................................................................... 73 3.1. Desain Penelitian ............................................................................. 73

    3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 73 3.2.1. Lokasi Penelitian ................................................................... 73 3.2.2. Waktu Penelitian ................................................................... 73

    3.3. Populasi dan Sampel ........................................................................ 73 3.3.1. Subjek penelitian .................................................................. 73 3.3.2. Informan Penelitian ............................................................... 74

    3.4. Metode pengumpulan data .............................................................. 76 3.4.1. Jenis data ................................................................................ 76 3.4.2. Tehnik pengumpulan data ..................................................... 76

    3.5. Definisi operasional penelitian ........................................................ 77 3.6. Metode Analisa data ....................................................................... 77 3.7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data .............................................. 83

  •  

    vii 

    BAB IV HASIL PENELITIAN ............................................................................ 85

    4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ............................................................. 85 4.2. Gambaran Umum Proses Penelitian ................................................ 89

    4.3. Gambaran tentang pelaksanaan clinical pathway ............................ 90 4.4. Karakteristik Informan utama/ kunci ............................................... 90 4.5. Karakteristik Informan Pendukung .................................................. 93 4.6. Hasil Penelitian ................................................................................ 96 4.7. Impilkasi penelitian .......................................................................... 125 4.8. Keterbatasan penelitian .................................................................... 126 4.9. Pembahasan ...................................................................................... 128

    4.9.1. Pengetahun ............................................................................ 128 4.9.2. Sikap ...................................................................................... 132 4.9.3. Komunikasi ............................................................................ 134 4.9.4. Sumber daya ........................................................................... 137 4.9.5. Sarana prasarana .................................................................... 140 4.9.6. Kendala .................................................................................. 142 4.9.7 Evaluasi .................................................................................. 145

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 149 5.1. Kesimpulan ..................................................................................... 149 5.2 Saran ................................................................................................. 151

    DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

  •  

    viii 

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar Judul Halaman

    2.1. Kerangka teori ........................................................................... 70

    2.2. Kerangka berfikir ........................................................................ 72

    4.1. Peta Konsep Hasil Penelitian ..................................................... 127

  •  

    ix 

    DAFTAR TABEL

    Tabel Judul Halaman 4.1. Karakteristik Informan utama/kunci .................................................. 91 4.2. Karakteristik Informan Pendukung/ triagulasi ................................... 93

    4.3. Matrik Analisis Informan Kunci Tentang Pengetahuan Informan

    Terhadap Pelaksanaan clinical pathway di RSUD Fauziah Bireuen Tahun 2018 .......................................................................... 96

    4.4. Matrik Analisis Informan Triagulasi Tentang Pengetahuan

    Informan Terhadap Pelaksanaan clinical pathway di RSUD Fauziah Bireuen Tahun 2018 ............................................................. 98

    4.5. Matrik Analisis Pengetahuan Tentang Pelaksanaan clinical

    Pathway di RSUD dr.Fauziah Bireuen Tahun 2018 .......................... 101 4.6. Matrik Analisis Informan triagulasi Tentang Sikap Terhadap

    Pelaksanaan Clinical pathwaydi RSUD Fauziah Bireuen Tahun 2018

    4.7. Matrik Analisis Informan Kunci Terkait komunikasi Informan

    Terhadap Pelaksanaan clinical pathway di RSUD Fauziah Bireuen Tahun 2018 .......................................................................... 104

    4.8. Matrik Analisis Informan Triagulasi Tentang komunikasi

    Informan Terhadap Pelaksanaan clinical pathway di RSUD Fauziah Bireuen Tahun 2018 ............................................................. 105

    4.7 Matrik Analisis Komunikasi Tentang Pelaksanaan Clinical

    Pathway di RSUD dr.Fauziah Bireuen .............................................. 107 4.8. Matrik Analisis Informan Kunci Terkait sumber daya di RSUD

    Fauziah Bireuen Tahun 2018 ............................................................. 108 4.9. Matrik Analisis Informan Triagulasi Terkait sumber daya di

    RSUD Fauziah Bireuen Tahun 2018 ................................................. 109 4.10. Matrik Analisis tentang Sumber Daya Terhadap Pelaksanaan

    clinical Pathway di RSUD dr.Fauziah Bireuen Tahun 2018 ............. 111

    102

  •  

    4.11. Matrik Analisis Informan Kunci tentang sarana prasarana terhadap pelaksanaan clinical pathway di RSUD Fauziah Bireuen Tahun 2018 ........................................................................................ 112

    4.12. Matrik Analisis Informan Triagulasi Terkait Sarana Prasarana

    Terhadap iPelaksanaan Clinical pathway di RSUD Fauziah Bireuen iTahun 2018 ....................................................................... 113

    4.13. Matrik Analisis Sarana Prasarana Terhadap Pelaksanaan

    Clinical Pathway di RSUD dr.Fauziah Bireuen Tahun 2018 ....... 115 4.14. Matrik Analisis Informan Kunci Terkait Kendala Informan

    Terhadap Pelaksanaan clinical pathway di RSUD Fauziah Bireuen Tahun 2018 ........................................................................ 116

    4.15. Matrik Analisis Informan Triagulasi Terkait Kendala Informan

    Terhadap Pelaksanaan clinical pathway di RSUD Fauziah Bireuen Tahun 2018 ........................................................................ 117

    4.16. Matrik Analisis Kendala terhadap Pelaksanaan Clinical Pathway

    di RSUD dr.Fauziah Bireuen .......................................................... 119 4.17. Matrik Analisis Informan Kunci Terkait Evaluasi Pelaksanaan

    clinical pathway di RSUD Fauziah Bireuen Tahun 2018 .............. 120 4.18. Matrik Analisis Informan Triagulasi Terkait Evaluasi clinical

    pathway di RSUD Fauziah Bireuen Tahun 2018 ........................... 122 4.20. Matrik Analisis Evaluasi terhadap Pelaksanaan Clinical

    Pathway di RSUD dr.Fauziah Bireuen ........................................... 124

  •  

    xi 

    DAFTAR LAMPIRAN 

    Lampiran Judul Halaman

    1 Draf wawancara ........................................................................ 155

    2 Hasil wawancara ...................................................................... 164

    3 Surat izin penelitian .................................................................. 207

    4 Surat balasan penelitian ............................................................ 208

    5 Dokumentasi ............................................................................. 209

     

  •  

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Clinical Pathway atau alur klinis adalah sebuah pedoman yang digunakan

    untuk melakukan tindakan klinis berbasis bukti pada fasilitas layanan kesehatan.

    Clinical Pathway dikenal juga dengan istilah lain seperti critical case pathway,

    integrated case pathway, coordinated case pathway atau anticipated recovery

    pathway dan dibuat dengan cara membaurkan pedoman klinik umum ke protokol

    lokal yang dapat diaplikasikan di fasilitas pelayanan kesehatan setempat. Manfaat

    yang diharapkan dari clinical pathways selain adanya peningkatan mutu

    pelayanan yang standar berdasarkan studi kedokteran berbasis bukti, adalah

    efektivitas biaya. Clinical Pathway dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk

    melakukan audit medis yang tujuannya berujung pada peningkatan mutu

    pelayanan (1).

    Clinical Pathway harus dimiliki oleh rumah sakit. Tidak hanya dokumen

    Clinical Pathway saja, implementasinya dalam pengendalian mutu dan biaya

    menjadi faktor yang penting. Proses pembuatan Clinical Pathway memerlukan

    kerja sama antar departemen yang baik seperti dari tim medis (dokter),

    keperawatan, farmasi dan nutrisionis. Perpaduan ini kemudian disesuaikan dengan

    algoritma atau panduan berbasis bukti dari organisasi Profesi dan literatur,

    Panduan Praktek Klinis (PPK), Panduan Asuhan Keperawatan (PAK), Panduan

    Asuhan Farmasi (PAKF) dan Panduan Asuhan Gizi (PAG) dan Daftar Standar

  •  

    Formularium untuk tindakan dan pengobatan. Formulir Clinical Pathway bukan

    merupakan bagian dari rekam medis akan tetapi merupakan piranti

    pengendalian mutu oleh tim mutu para komite medik, keperawatan dan profesi

    kesehatan lainnya di Rumah Sakit (1).

    Rumah sakit berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang aman,

    bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien

    sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. Tujuan yang paling utama dalam

    pelayanan kesehatan ialah menghasilkan outcome yang menguntungkan pasien,

    provider, dan masyarakat. Pencapaian outcome yang diinginkan sangat

    bergantung dari mutu pelayanan kesehatan/rumah sakit (2). Salah satu upaya

    penting yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan ialah pembuatan standar

    pelayanan. Saat ini sektor kesehatan melengkapi peraturan perundang-

    undangannya dengan disahkannya Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang

    Praktik Kedokteran (3).

    Permenkes No 1438 tahun 2010 mengatur standar pelayanan yang harus

    dijadikan acuan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan di Indonesia dalam

    bentuk PNPK (Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran) untuk tingkat nasional

    dan PPK (Panduan Praktik Klinis) untuk tingkat Rumah sakit Penyusunan PNPK

    yang berisi pernyataan yang sistematis, mutakhir, evidence-based untuk

    membantu dokter / pemberi jasa pelayanan lain dalam menangani pasien dengan

    kondisi tertentu. PNPK disusun oleh panel pakar (dari organisasi profesi,

    akademisi, klinis, pakar lain) di bawah koordinasi Kemenkes dan hasilnya

    disahkan oleh Menteri Kesehatan. Karena sifatnya yang canggih, mutakhir, maka

  •  

    PNPK harus diterjemahkan menjadi Panduan Praktik Klinis (PPK) oleh masih-

    masing fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan keadaan setempat. PPK

    disusun oleh Staf Medis fasilitas pelayanan kesehatan, dengan mengacu pada

    PNPK (bila ada), dan / atau sumber pustaka lain PPK dapat disertai perangkat

    pelaksanaan langkah demi langkah termasuk Clinical Pathway (CP), algoritma,

    SOP, standing orders PPK dan CP dibuat tidak untuk semua penyakit namun

    penyakit-penyakit yang merupakan penyebab utama kematian, berisiko tinggi,

    kasus tinggi dan biaya tinggi (4).

    Panduan praktik klinis merupakan istilah teknis sebagai pengganti standar

    prosedur operasional (SPO) dalam undang-undang praktik kedokteran 2004 dan

    undang-undang keperawatan yang merupakan istilah administratif. Penggantian

    ini perlu untuk menghindarkan kesalahpahaman yang mungkin terjadi, bahwa

    "standar" merupakan hal yang harus dilakukan pada semua keadaan. jadi secara

    teknis standar prosedur operasional (SPO) dibuat berupa Panduan Praktik Klinis

    (PPK) yang dapat berupa atau disertai dengan salah satu atau lebih: alur klinis

    (Clinical pathway), protokol, prosedur, algoritme, standing order (4).

    Para dokter melakukan praktik dengan panduan PPK tersebut untuk

    menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan, dan memberi penjelasan kepada

    pasien dan keluarganya tentang kemungkinan hasil pengobatan. Dalam tataran

    pelaksanaan, PPK mungkin memerlukan satu atau lebih perangkat untuk merinci

    panduan agar dapat dilakukan secara spesifik dalam bentuk alur klinis (clinical

    pathway), algoritme (diagram pengambilan keputusan cepat), protocol (panduan

  •  

    pelaksanaan tugas yang cukup kompleks), prosedur (panduan langkah-langkah

    tugas teknis), atau standing orders (instruksi tetap kepada perawat) (4).

    Clinical Pathway merupakan bagian penting dokumen dan alat dalam

    mewujudkan good clinical governance di rumah sakit. Di Indonesia, dokumen ini

    juga menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam Standar Akreditasi

    Rumah Sakit versi KARS 2012 (5). Menjadi pertanyaan besar dalam

    penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah-rumah sakit di Indonesia ialah

    bagaimana agar Clinical Pathway dapat berperan secara optimal dalam kendali

    mutu dan kendali biaya di rumah sakit serta bukan hanya sekedar dokumen kertas

    yang menjadi prasyarat akreditasi (6).

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tantawi tentang Clinical

    Pathway versus traditionl case plan for caring post operative children undergoing

    cardiothoracic surgery. Hasil penelitiannya menunjukkan setelah dilakukan

    penerapan Clinical Pathway terdapat perbaikan yang nyata terhadap pengetahuan

    dan kinerja dari hampir semua perawat. Para perawat dan dokter memperoleh

    pengetahuan yang baik tentang Clinical Pathway dan tingkat kepuasan pasien

    meningkat (6).

    Selain itu, menurut Kalalo dalam penelitiannya yang berjudul Analisis

    pelaksanaan Clinical Pathway di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manadom

    menyebutkan bahwa pihak manajemen harus mendukung pelaksanaan clinical

    pathway. Hal ini tampak dari adanya Surat Keputusan Direktur dan dalam

    pelaksanaannya sudah didukung dengan kebijakan operasional berupa prosedur

    tetap implementasi Clinical Pathway (7).

  •  

    Clinical Pathway bukan merupakan clinical Guidelines atau protocal,

    karena setiap kasus dalam Clinical Pathway dibuat berdasarkan standar prosedur

    dari setiap profesi yang mengacu pada standar pelayanan dari profesi masing-

    masing, disesuaikan dengan strata sarana pelayanan rumah sakit. Clinical

    Pathway dapat digunakan untuk prediksi lama hari dirawat dan biaya pelayanan

    kesehatan yang dibutuhkan sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber

    daya rumah sakit. Penyusunan Clinical Pathway dan perhitungan cost of case

    untuk kasus-kasus yang sering terjadi sangat diperlukan untuk pengendalian mutu

    dan biaya rumah sakit mengingat standar Akreditasi International Rumah Sakit

    (8).

    Case manager merupakan suatu peran kolaborasi mengenai asesmen,

    perencanaan, fasilitasi, koordinasi asuhan, evaluasi dan advokasi untuk opsi

    pelayanan bagi kebutuhan pasien dan keluarganya yang komprehensif, melalui

    komunikasi dan sumberdaya yang tersedia sehingga memberi hasil (outcome)

    yang bermutu dengan biaya efektif. Case manager ini dapat dijabat oleh dokter

    umum atau perawat senior yang bertugas memantau proses kepatuhan pada

    setiap kasus diruangan dan akan berkonsultasi dengan semua PPA (Petugas

    Pemberi Asuhan) apabila ditemukan masalah dalam penanganan kasus. Case

    manager memantau dengan mengisi cek list dalam Clinical Pathway dari awal

    sampai pasien pulang (1).

    Rumah Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen merupakan rumah sakit regional

    untuk wilayah utara dan tengah Aceh, berkomitmen untuk meningkatkan mutu

    pelayanan, salah satu upayanya dengan mengimplementasikan clinical pathway.

  •  

    Clinical Pathway Rumah sakit Umum dr. Fauziah Bireuen sejak Agustus 2016

    sudah mulai diterapkan uji coba sebanyak tiga Clinical Pathway yaitu stroke

    iskemik, demam tipoid, demam Berdarah. Kemudian Januari sampai dengan Juni

    2017 sudah menerapkan 5 Clinical Pathway prioritas yaitu apendisitis akut,

    demam tipoid, stroke iskemik, hernia ingunialis, demam berdarah dan pada Juli

    2017 ada penambahan 2 Clinical Pathway lagi yaitu bronko pneumoni dan

    eklamsi preeklamsi.

    Pada tahun 2018 terdapat 25 Clinical Pathway yang sudah dibuat, akan

    tetapi yang berjalan sampai Maret 2018 sebanyak 17 Clinical Pathway yaitu

    deman thypoid, demam thypoid anak, apendisitis, stroke iskemik, hernia

    ingunialis, preeklamsi berat dan eklamsia, DBD, kejang demam, diare akut, TB

    paru, pneumonia, bronkopneumonia, pendarahan pasca persalinan, BPH, ulkus

    kornea, katarak dan sinusitis kronik dengan menetapkan 5 Clinical Pathway

    prioritas yaitu apendisitis, demam thypoid, stroke iskemik, TB paru dan

    Pneumonia. Proses pelaksanaan untuk Clinical Pathway di Rumah Sakit Umum

    dr. Fauziah Bireuen di mulai dengan pembentukan kebijakan dari manajemen

    yang terdiri dari tim penyusun (komite medik, komite mutu, dokter spesialis,

    dokter umum, apoteker, nutrisionis dan perawat) kemudian manajemen juga

    membuat kebijakan tentang penetapan Clinical Pathway. Masing-masing

    Kelompok Staf Medis (KSM) ditugaskan untuk membuat 5 Clinical Pathway

    dengan criteria yang dipilih high volume, high cost, high risk dan pada kelompok

    pasien yang diprediksi tinggi. Formulir Clinical Pathway yang sudah diisi dan

    selesai dikumpulkan di Komite Medik untuk ditelaah secara berkala. Semua PPK

  •  

    dan Clinical Pathway yang telah dibuat dan disahkan Rumah Sakit harus ada di

    masing masing unit pelayanan Rumah Sakit (untuk menjadi acuan) .

    Di Rumah Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen evaluasi Clinical Pathway

    dilakukan secara manual oleh komite medis dan komite PMKP dengan cara

    mengaudit berkas rekam medis dan membandingkan catatan perawatan pasien

    dengan clinical pathway, selanjutnya ada 6 parameter yang dinilai yaitu

    kesesuaian lama rawatan, kesesuaian penggunaan obat, kesesuaian pemeriksaan

    penunjang, kesesuaian asuhan keperawatan, kesesuaian asuhan gizi dan

    kesesuaian asuhan farmasi. Permasalahan dari pelaksanaan Clinical Pathway di

    rumah sakit tersebut adalah kurangnya tingkat kepatuhan petugas kesehatan

    seperti dokter, perawat, farmasi dan nutrisionis dalam menjalankan asuhan yang

    sesuai dengan format clinical pathway (1).

    Berdasarkan hasil laporan evaluasi terhadap Clinical Pathway prioritas

    yaitu stroke iskemik, appendicitis akut, demam typoid, TB paru dan pneumonia

    Clinical Pathway di Rumah Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen bulan Januari

    sampai dengan Juni 2018 didapatkan bahwa tinggi ketidaksesuian pelayanan yang

    diberikan dengan Clinical Pathway yang menyebabkan munculnya varians. Pada

    semua kasus diterapkan Clinical Pathway masih didapatkan ketidaksesuaian

    untuk semua parameter yang di nilai.

    Ketidaksesusian lama hari rawat masih tinggi dijumpai pada kasus stroke

    iskemik, appendicitis akut, demam typoid, TB paru dan pneumonia.

    Ketidaksesuaian penggunaan obat juga masih dijumpai pada kelima kasus

    tersebut. Begitu juga dengan pemeriksaan penunjang medis masih dijumpai

  •  

    adanya ketidaksesuain Clinical Pathway pada kasus stroke iskemik. Pada kasus

    TB paru dan stroke iskemik terdapat ketidaksesuain Clinical Pathway dan asuhan

    keperawatan. Tingkat kepatuhan masih juga rendah terhadap asuhan gizi, dimana

    asuhan gizi seharusnya berkolaborasi dengan Dokter Penanggung Jawab

    Pelayanan (DPJP), malah ada pasien yang sama sekali tidak dilakukan asuhan

    gizi.

    Ketidaksesuain Clinical Pathway yang sangat tinggi dijumpai pada asuhan

    farmasi, hanya beberapa pasien pada kasus stroke iskemik dan demam thypoid

    yang ada dilakukan asuhan farmasi. Sedangkan pada kasus appendicitis akut, TB

    paru dan pneumonia sama sekali tidak ada asuhan farmasi. Seharusnya asuhan

    farmasi dilakukan pada hari pertama untuk rekonsilasi obat dan telaah resep

    dilakukan setiap hari.

    Berdasarkan prinsip dalam penyusunan Clinical Pathway harus memenuhi

    standar, seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus secara terintegrasi dan

    berorientasi fokus terhadap pasien serta berkesinambungan. Melibatkan seluruh

    profesi yang terlibat dalam pelayanan rumah sakit terhadap pasien. Dalam batasan

    waktu yang telah ditentukan sesuai dengan keadaan perjalanan penyakit pasien

    dan dicatat dalam bentuk periode harian. Mencatat seluruh kegiatan pelayanan

    yang diberikan kepada pasien secara terintegrasi dan berkesinambungan ke dalam

    dokumen rekam medis. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan Clinical

    Pathway dicatat sebagai varians dan dilakukan kajian analisis dalam bentuk audit.

    Varians tersebut dipergunakan sebagai salah satu parameter dalam rangka

    mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan. Oleh karena itu, agar tidak

  •  

    meningkatnya persentase varian terhadap pelayanan, maka petugas kesehatan

    yang terlibat seperti dokter, nutrisionis, farmasi dan perawat dan lain-lainnya

    harus patuh terhadap penerapan Clinical Pathway tersebut.

    Dalam pembentukan hasil audit dilakukan dengan perencanaan dan

    implementasi terdiri dari menentukan topik, menetapkan tujuan dan menetapkan

    standar. Penentuan topik diambil berdasarkan kasus penyakit terbanyak dalam

    implementasi Clinical Pathway yaitu stroke iskemik. Penentuan topik audit ini

    berdasarkan kondisi atau praktik tertentu yang menjadi prioritas dan memiliki

    jumlah kasus terbanyak. Setelah ditetapkan topik kemudian tahap selanjutnya

    adalah menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam proses audit ini. Tujuan

    dibentuk agar proses audit sukses dan tetap fokus. Berdasarkan hasil wawancara

    dengan komite medik didapatkan bahwa tujuan yang ingin dicapai yaitu menilai

    kelengkapan pengisian clinical pathway, menilai kepatuhan Dokter Penanggung

    Jawab Pelayanan (DPJP), Perawat Penanggung Jawab Pelayanan (PPJP), Gizi dan

    Farmasi terhadap clinical pathway dan menilai kesesuaian lama hari rawat pasien

    terhadap Clinical Pathway. Tahap selanjutnya adalah menetapkan kriteria dan

    standar penilaian. Kriteria penilaian disesuaikan berdasarkan pada tujuan. Kriteria

    dibuat dalam bentuk pernyataan dan standar dalam bentuk target atau persentase.

    Dampak dari kurangnya pelaksanaan Clinical Pathway dapat mengakibat

    kurangnya kualitas pelayanan dan meningkatnya cost karena pasien di rawat

    dalam jangka waktu lebih lama serta pelayanan yang kurang efektif dan efisien.

    Meningkatnya cost merupakan suatu kerugian dari rumah sakit karena harus

    mengeluarkan biaya perawatan pasien diluar ketentuan tarif. Tarif pada rumah

  • 10 

     

    sakit umumnya mempunyai cost-recovery (pemulihan biaya rendah diberlakukan

    pada kelas pelayanan bawah) maka hal tersebut merupakan sesuatu yang layak,

    sehingga terjadi subsidi pemerintah bagi masyarakat menengah kebawah untuk

    menggunakan pelayanan rumah sakit. Akan tetapi, apabila tingkat rawatan atau

    kesembuhan pasien lama akibat pelayanan yang kurang efektif yang tidak sesuai

    dengan clinical pathway, maka akan meningkatnya biaya perawatan pasien

    sehingga tidak sesuai dengan tarif yang telah di subsidi oleh pemerintah.

    Begitu pula dengan kualitas pelayanan yang merupakan indikator kinerja

    bagi penyelenggara pelayanan kesehatan. Institusi kesehatan akan semakin maju

    jika kualitas pelayanan dapat dipertahankan. Untuk mempertahankan suatu

    kualitas pelayanan, pihak rumah sakit dituntut selalu menjaga kepercayaan

    konsumen dengan memperhatikan secara cermat kebutuhan konsumen sebagai

    upaya untuk memenuhi keinginan dan harapan atas pelayanan yang diberikan.

    Konsumen dalam hal ini pasien tidak hanya mengharapkan pelayanan medik dan

    keperawatan tetapi juga mengharapkan kenyamanan. Dengan demikian perlu

    adanya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit.

    Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dapat dilakukan dari berbagai

    aspek pelayanan seperti penerapan Clinical Pathway sesuai dengan prosedur dan

    ketentuan yang berlaku. Selain itu, Pelayanan yang berkualitas harus dijaga

    dengan melakukan evaluasi secara terus menerus, agar diketahui kekurangan dan

    kelemahan dari jasa pelayanan yang diberikan, serta dibuat tindak lanjut sesuai

    prioritas permasalahannya.

  • 11 

     

    Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengambil judul

    “Analisis Pelaksanaan Clinical Pathway di Rumah Sakit Umum dr. Fauziah

    Bireuen Tahun 2018”.

    1.2. Permasalahan

    Permasalahan dalam penelitian ini ada beberapa faktor yang memengaruhi

    pelaksanaan Clinical Pathway di Rumah Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen Tahun

    2018 yaitu pengetahuan, komunikasi, sumber daya, sarana dan prasarana.

    Berdasarkan survey awal penulis di Rumah Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen di

    dapatkan data bahwa pada bulan Januari sampai dengan Juni 2018 terdapat

    ketidaksesuaian lama hari rawat pada kasus stroke iskemik ada 86 pasien dari 178

    pasien. Yang jumlah hari rawatnya lebih lama dengan yang ditetapkan di Clinical

    Pathway. Pada kasus appendicitis ada 9 pasien dari 39 pasien yang tidak sesuai

    jumlah hari rawatnya. Ketidaksesuaian jumlah hari rawat juga dijumpai pada

    kasus demam thypoid sebanyak 23 pasien dan 54 pasien. Begitu juga pada kasus

    TB paru ada 22 pasien dari 41 pasien dan pneumonia masih ada 15 pasien dari 37

    pasien yang lama hari rawatnya tidak sesuai dengan Clinical Pathway.

    Ketidaksesuaian (varian) untuk hari rawat yang paling tinggi dijumpai pada kasus

    stroke iskemik.

    Ketidaksesuaian Clinical Pathway terhadap penggunaan obat juga masih

    didapati pada semua kasus. Pada kasus stroke iskemik ada 65 pasien yang

    pengguna obatnya di luar clinical patway. Pada kasus TB paru ada 21 pasien dan

    pada kasus pneumonia ketidaksesuaian pemberian obat sebanyak 13 pasien.

    Ketidaksesuaian (varian) penggunaan obat dijumpai pada kasus stroke iskemik.

  • 12 

     

    Pada pemeriksa penunjang juga masih di jumpai kasus yang tidak sesuai

    dengan seperti yang telah ditetapkan dalam clinical patway yaitu pada kasus

    stroke iskemik, ada pemeriksaan penunjang yang seharusnya dilakukan tetapi

    tidak dilakukan. Ada pemeriksaan yang tidak perlu dilakukan tetapi dilakukan

    sehingga menimbulkan varians.

    Selain itu, ketidaksesuaian Clinical Pathway terhadap asuhan keperawatan

    juga dijumpai pada kasus stroke iskemik, TB paru dan pneumonia. Terutama pada

    kasus TB paru ada 2 pasien yang tidak sesuai. Ketidaksesuaian Clinical Pathway

    juga dijumpai pada asuhan gizi. Pada kasus stroke iskemik ada 64 pasien yang

    tidak dilakukan asuhan gizi. Untuk kasus appendicitis akut ada 16 pasien dari 39

    pasien. Begitu juga pada kasus demam thypoid ada 23 pasien dan pada kasus TB

    paru ada 29 pasien.

    Sedangkan ketidaksesuaian Clinical Pathway terhadap asuhan farmasi

    masih sangat tinggi, dimana hampir semua kasus sangat jarang dilakukan asuhan

    farmasi. Pada kasus stroke iskemik ada 150 orang pasien yang tidak dilakukan

    asuhan farmasi , 47 pasien pada kasus demam thypoid serta pada kasus TB dan

    pneumonia sama sekali tidak dilakukan asuhan farmasi.

    Sistem evaluasi pelaksanaan Clinical Pathway dilakukan tiap 4 bulan

    (audit dengan komite medik) dan laporan hasil pelaksanaan tiap tahun di

    sampaikan untuk direktur. Evaluasi yang dilakukan meliputi adanya varian dari

    indikator mutu yang sudah di tetapkan oleh masing-masing Clinical Pathway per 

    Staf Medis Fungsional (SMF). Selain itu, varian yang didapatkan pada evaluasi

  • 13 

     

    Clinical Pathway dilakukan analisis dan rencana tindak lanjut, serta pelaporan

    perbaikan kembali.

    1.3. Tujuan Penelitian

    1.3.1. Tujuan Umum

    Berdasarkan latar belakang diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk

    mengetahui analisis pelaksanaan Clinical Pathway di Rumah Sakit Umum dr.

    Fauziah Bireuen Tahun 2018

    1.3.2. Tujuan Khusus

    1. Untuk mengetahui evaluasi Clinical Pathway oleh komite medik di Rumah

    Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen Tahun 2018

    2. Untuk mengetahui evaluasi Clinical Pathway oleh komite mutu di Rumah

    Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen Tahun 2018

    3. Untuk mengetahui verifikasi Clinical Pathway oleh case manager di Rumah

    Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen Tahun 2018

    4. Untuk mengetahui pelaksanaan Clinical Pathway oleh dokter di Rumah

    Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen Tahun 2018

    5. Untuk mengetahui pelaksanaan Clinical Pathway oleh perawat di Rumah

    Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen Tahun 2018

    6. Untuk mengetahui pelaksanaan Clinical Pathway oleh farmasi di Rumah

    Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen Tahun 2018

    7. Untuk mengetahui pelaksanaan Clinical Pathway oleh nutrisionis di Rumah

    Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen Tahun 2018

  • 14 

     

    8. Untuk mengetahui intervensi pelaksanaan Clinical Pathway oleh

    manajemen di Rumah Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen Tahun 2018

    9. Untuk mengetahui penerimaan pelayanan Clinical Pathway terhadap pasien

    di Rumah Sakit Umum dr. Fauziah Bireuen Tahun 2018

    1.4. Manfaat penelitian

    1.4.1. Bagi komite medik

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi komite

    medik agar dapat menyusun strategi untuk mencapai efektivitas pelayanan

    1.4.2. Bagi komite mutu

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi komite

    mutu sebagai bahan untuk meningkat mutu pelayanan dan perkiraan

    prosedur-prosedur apa saja yang akan dilakukan.

    1.4.3. Bagi case manager

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi case

    manager agar menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan data dari

    proses pelayanan sehingga penyedia layanan dapat mempelajari seberapa

    sering dan mengapa pasien tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai

    dengan standar selama perawatan.

    1.4.4. Bagi dokter

    Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dokter dalam

    menerapkan standar pelayanan Clinical Pathway sehingga dapat

    mengurangi varian dalam pelayanan klinis

  • 15 

     

    1.4.5. Bagi perawat

    Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan perawat dalam

    menerapkan standar pelayanan Clinical Pathway sehingga dapat

    mengurangi varian dalam pelayanan klinis

    1.4.6. Bagi farmasi

    Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan farmasi dalam

    menerapkan standar pelayanan Clinical Pathway sehingga dapat

    mengurangi varian dalam pelayanan klinis

    1.4.7. Bagi nutrisionis

    Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan nutrisionis dalam

    menerapkan standar pelayanan Clinical Pathway sehingga dapat

    mengurangi varian dalam pelayanan klinis

    1.4.8. Bagi manajemen

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

    manajemen sebagai bahan untuk dokumentasi, analisis dan evaluasi serta

    tindak lanjut.

    1.4.9. Bagi pasien

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

    kesesuaian prosedur terhadap pelaksanaan Clinical Pathway di RSUD

    dr.Fauziah Bireuen.

  • 16 

     

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Tinjauan Peneliti Terdahulu

    1) Flora P. Kalalo, “Analisis pelaksanaan Clinical Pathway di RSUP Prof. Dr.

    R.D.K Kandou Manado”, dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa

    penyusunan clinical pathway secara teknis ialah dari masing-masing

    kelompok staf medis (KSM) yang disesuaikan dengan Pedoman Praktik

    Klinis (PPK) yang ada dan dikoordinasi oleh komite medik. Prioritas

    pemilihan clinical pathway berdasarkan jumlah kasus yang banyak (high

    volume), mempunyai risiko tinggi (high risk) serta cenderung memerlukan

    biaya tinggi/banyak sumber daya (high cost), Clinical pathway telah

    diterapkan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado sejak tahun 2015

    sebagaimana standar akreditasi rumah sakit berdasarkan Permenkes Nomor

    12 tahun 2012 tentang akreditasi rumah sakit. Clinical

    pathway di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou terdiri dari 5 jenis yaitu clinical

    pathway Dengue Shock Syndrome (DSS) pada bagian anak, Penyakit Dalam

    dengan Penyakit Ginjal Kronik (PGK), Obstetri Ginekologi dengan

    Preeklampsia Berat, Bedah dengan penyakit Benign Prostat Hipertrophy

    (BPH) dan Kardiologi dengan Miokard Infark Akut (MCI) tanpa komplikasi

    dan Pengawasan pelaksanaan clinical pathway dilakukan oleh penanggung

    jawab/manajemen rumah sakit dan Komite PMKP (Peningkatan Mutu dan

  • 17 

     

    Keselamatan Pasien). Pengawasan dilakukan secara berkala dan

    berkelanjutan setiap 3 bulan (7).

    2) Kriswanto Widyo, ”Clinical Pathway dalam pelayanan stroke akut: apakah

    pathway memperbaiki proses pelayanan?”, dari hasil penelitian dapat

    disimpulkan bahwa Clinical pathway merupakan salah satu perangkat yang

    digunakan untuk memperbaiki proses pelayanan. Clinical pathway yang

    dibuat sebagai daftar tilik akan berfungsi sebagai reminder,

    dan merupakan perpanjangan tangan sebuah standar pelayanan medik. Hasil

    uji coba menunjukkan pathway memperbaiki proses pelayanan stroke.

    Penelitian lebih lanjut sedang berjalan untuk menilai efektivitas pathway

    dalam memperbaiki luaran stroke (9).

    3) Widyanita,A “Evaluasi Implementasi Clinical Pathway Appendicitis Akut

    Pada Unit Rawat Inap Bagian Bedah Di RSUD Panembahan Senopati Bantul

    (Studi Kasus)”, dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa formulir

    clinical pathway appendicitis akut yang dinilai adalah benar sebuah clinical

    pathway menurut standar penilaian ICPAT, namun belum memenuhi kriteria

    yang baik. Rumah sakit ikut berperan dalam pelaksanaan clinical pathway.

    Peralatan yang diperlukan sudah tersedia berdasarkan standar yang ditetapkan

    oleh petugas di bangsal melati, meskipun ada beberapa alat yang kurang

    ataupun rusak. Jumlah dokter spesialis dan tenaga keperawatan di bangsal

    bedah saat ini masingmasing kurang 1 orang (10).

    4) Maria Yulita Meo, “Pengembangan Sistem Informasi Manajemen

    Keperawatan Dengan Integrated Clinical Pathway Untuk Meningkatkan

  • 18 

     

    Kualitas Pelayanan,” dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Clinical

    pathway merupakan rencana kolaboratif asuhan pasien yang mensyaratkan

    kerjasama antar dokter, perawat, staf klinis, dan staf penunjang Alat

    dokumentasi primer yang merupakan bagian dari keseluruhan proses

    dokumentasi asuhan dan untuk mengoperasionalkannya terintegrasi dalam

    sistem informasi manjemen. Clinical pathway dapat digunakan untuk

    memberikan pelayanan keperawatan professional, dengan menghemat waktu

    dan tenaga (11).

    5) Rizaldy Taslim Pinzon, “Implementasi Clinical Pathway Hernia Inguinalis

    Lateralis Reponibilis Dewasa di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta”, dari

    hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Clinical Pathway bermanfaat untuk

    memperbaiki indikator proses pelayanan terkait hernia di RS Bethesda. Tidak

    ada perbedaan yang bermakna dalam hal biaya pada implementasi CP hernia

    (12).

    6) Ratih Sari Wardani,“Analisis Perancangan Sistem Clinical Pathway Untuk

    Penatalaksanaan Kasus Tuberculosis,” hasil penelitian dapat disimpulkan

    bahwa penelitian ini menghasilkan rancangan database terdiri dari 18 tabel

    antara lain : tabel Pasien. Dokter, desa, kec, kab_kota, prop, obat, Kunjungan,

    Anamnesa, Vital sign, Fisik, Pemeriksaan, Intensif, Resep1, Lanjutan,

    Resep2, Outcome1 dan Outcome2 (13).

    7) Indriana Sari, “Evaluasi Implementasi Clinical Pathway Krisis Hipertensi Di

    Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Bantu” hasil penelitian dapat

    disimpulkan bahwa berdasarkan aspek input, formulir clinical pathway krisis

  • 19 

     

    hipertensi yang dinilai adalah benar sebuah clinical pathway dan sudah

    memenuhi kategori yang baik, rumah sakit telah menujukkan peran yang

    memenuhi kategori baik, jumlah sumber daya manusia untuk dokter

    spesialias telah melebihi standar sedangkan untuk tenaga keperawatan

    khususnya bangsal al-arof masih belum memenuhi standar, serta ada

    beberapa peralatan keperawatan yang masih kurang jumlahnya dan juga

    mengalami kerusakan. Berdasarkan aspek proses, dokumentasi clinical

    pathway di bangsal sudah dimasukkan kedalam rekam medis dengan tingkat

    kepatuhan yaitu hanya sebesar 28,57% dikarenakan seperti belum terbiasa,

    kurangnya kesadaran, keterbatasan waktu, dan lupa, pengembangan clinical

    pathway telah melibatkan tim clinical pathway, komite medik, ksm perawat,

    farmasi dan profesi lainnya, namun belum optimal, proses implementasi

    clinical pathway masih terhambat karena masih belum adanya training atau

    pelatihan khusus terkait clinical pathway namun untuk tingkat kepatuha

    implementasi dari isi clinical pathway sudah mencapai 71,93%, proses

    pemeliharaan clinical pathway dilakukan setiap tiga bulan sekali dan masih

    belum mampu menghasilkan umpan balik yang optimal. Dan untuk aspek

    output¸ kepatuhan melengkapi isi clinical pathway sebesar 0% (14).

    8) Rahmah, “Pengaruh Penerapan Sebelum Dan Sesudah Adanya Clinical

    Pathway Kasus Typhoid Triwulan I Tahun 2016 di Rumah Sakit Islam Sultan

    Agung Semarang” hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Berdasarkan

    dokumen rekam medis tahun 2013 terdapat perbedaan tindakan penunjang

    diagnosis dengan clinical pathway yang sudah diterapkan sejak 2014.

  • 20 

     

    Pengisian clinical pathway hanya dilakukan oleh perawat ruangan, dokter

    umum atau ruangan dan Dokter Penanggung Jawab Pasien, biaya yang

    dikeluarkan sesuai biaya yang ditetapkan INA DRG’s. Rumah sakit

    sebaiknya membuat standar prosedur operasional tentang clinical pathway,

    mensosialisasikan penerapan clinical pathway pada kasus penyakit yang lain,

    mensosialisasikan isi kebijakan clinical pathway kepada seluruh petugas

    rekam medis, menata clinical pathway yang ada di assembling menurut

    kelompok penyakit dan diurutkan sesuai tanggal pasien keluar (10).

    9) Fitria Eka Resti Wijayanti, “Analisis Clinical Pathway Dengan BPJS Antara

    Rs Negeri dan RS Swasta” dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa

    clinical pathway dengan BPJS di RS Negeri dan RS Swasta, dapat

    dikemukakan beberapa simpulan sebagai berikut: Clinical pathway telah

    diterapkan di Rumah Sakit Dr Moewardi dan Rumah Sakit PKU

    Muhammadiyah Surakarta. Penerapan dilakukan sebagaimana standar

    akreditas rumah sakit berdasarkan Permenkes Nomor 012 tahun 2012

    Tentang Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan Format Clinical pathway harus

    memperhatikan komponen yang harus dicakup sebagaimana defnisi dari

    Clinical pathway. Kendala yang ditemukan dari hasil pengawasan terhadap

    pelaksanaan clinical pathway adalah kepatuhan dokter penanggungjawab

    pasien terhadap clinical pathway masih kurang, karena masing-masing dokter

    memiliki kecenderungan penanganan sesuai pengalaman klinis (16).

    10) Maria Yulita, “Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Keperawatan

    Dengan Integrated Clinical Pathway Untuk Meningkatkan Kualitas

  • 21 

     

    Pelayanan,” dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Clinical care

    pathway merupakan rencana kolaboratif asuhan pasien yang mensyaratkan

    kerjasama antar dokter, perawat, staf klinis, dan staf penunjang. Alat

    dokumentasi primer yang merupakan bagian dari keseluruhan proses

    dokumentasi asuhan dan untuk mengoperasionalkannya terintegrasi dalam

    sistem informasi manjemen. Clinical pathway dapat digunakan untuk

    memberikan pelayanan keperawatan professional, dengan menghemat waktu

    dan tenaga (10).

    11) Susi, “Clinical Pathway dan cost of treatment stroke berdasarkan diagnosis

    related groups di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittingi tahun 2015,” dari

    hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa clinical pathway stroke terdiri dan 5

    tahap yaitu : pendaftaran, penegakkan diagnosa, terapi, pulang dan rawat

    jalan. Tahap terapi terdiri dari visite dokter, pemeriksaan penunjang,

    konsultasi dokter, Asuhan keperawatan, tindakan, rehabilitasi medik, intake

    makanan rendah garam dan intake obat-obatan. Banyaknya variasi obat pada

    stroke berhubungan dengan adanya penyakit penyerta dan penyulit (18).

    12) Siti Nurfaidah, “Peranan Budaya Organisasi Rumah Sakit Dalam Kesiapan

    Penerapan Clinical Pathway (Studi Kasus di Instalasi Gawat Darurat Rumah

    Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang Jawa Timur),” dari hasil penelitian

    dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi dominan di IGD RSSA yang

    ditemukan adalah clan-hierarchy-siaga dengan pola kepemimpinan

    adhocracy. Keadaan yang belum medukung penerapan CP antara lain

    lemahnya evidence based, komitmen dokter, kepemimpinan klinis, dukungan

  • 22 

     

    manajemen klinis, integrasi pemanfaatan data, serta standar pencapaian mutu

    yang belum jelas. Meskipun demikian terdapat beberapa kondisi yang

    mendukung kesiapan penerapan diantaranya sudah terciptanya sistem

    monitoring, fasilitasi komunikasi, perawat dan sumberdaya meliputi sarana

    dan alat-alat kecuali dana. Budaya clan berperan menciptakan kebersamaan,

    kerjasama tim yang mengarah pada integrasi dan partisipasi yang mendukung

    penerapan CP namun sikap permissive telah melemahkan pencapaian standar

    klinis, dan pengembangan individu. Budaya hierarchy membentuk

    kedisiplinan melalui monitoring pelayanan yang kontinyu tetapi disisi lain

    menciptakan hambatan komunikasi dan integrasi antar dokter. Hambatan

    penerapan CP juga disebabkan kurangnya dukungan dari manajemen RS, dan

    belum optimalnya pemanfaatan informasi tehnologi dalam monitoring dan

    feedback pelayanan medik (19).

    13) Diah Indriani, “Sistem Pendukung Keputusan Klinis Untuk Efisiensi Dalam

    Pelaksanaan INA-CBGs,” dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa

    Perencanaan tindakan medis dapat digunakan sebagai data untuk perencanaan

    biayapelayanan kesehatan. Kegunaan ini belum dimanfaatkan secara

    maksimal oleh manajemen rumah sakit.Sikap terhadap penggunaan aplikasi

    dan kegunaan aplikasi merupakan variabel yang dominanmempengaruhi

    minat klinisi menggunakan aplikasi pendukung keputusan klinis (20).

    14) Muzzamil, “Analisis Variasi Pengelolaan Appendicitis AcutSa di Rumah

    Sakit Wava Husada Malang,” dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa

    Antibiotika diberikan karena walaupun metode asepsis menyusun clinical

  • 23 

     

    pathway RSWH sehingga format yang dan tehnik operasi selalu diperbaiki,

    komplikasi pasca dihasilkan sesuai dengan kondisi rumah sakit, bisa operasi

    seperti infeksi dan intra abdominal masih sering dilaksanakan dan sesuai

    dengan kebijakan manajemen. terjadi. Komplikasi pasca operasi ini angka

    kejadiannnya Beberapa hal pokok format clinical pathway appendicitis bisa

    diturunkan dengan pemberian antibiotika yang sesuai acuta di RSWH adalah:

    masa perawatan, kelas perawatan. Antibiotika yang cukup efektif untuk

    mencegah gejala dan pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang, timbulnya

    infeksi pada operasi abdominal adalah obat-obatan dan nutrisi. ceftriaxon dan

    cefotaxim, tapi ceftriaxon lebih efektif Masa perawatan yang direncanakan

    adalah 4 hari sesuai terhadap kuman Staphilococcus aureus dan waktu

    paruhnya lebih panjang sehingga lebih diutamakan jika dengan penanganan

    pasien appendicitis acuta tanpa komplikasi yaitu 3 sampai 4 hari. Stud

    pustaka dibandingkan dengan cefotaxim. Obat simtomatis hanya diberikan

    apabila pasien membutuhkan dan yang menunjukkan bahwa masa rawat inap

    pasien menjadi pilihan adalah ketorolac dan ranitidine (22).

    15) Hanevi Djasri,”Peran Clinical Pathways dalam Sistem Jaminan Sosial

    Nasional Bidang Kesehatan,” dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa

    Efektifitas clinical pathways tersebut baru dapat diperoleh jika pathway

    disusun berdasarkan strategi yang dikendalikan oleh pemimpin (leader

    driven‐strategy), sebab jika tidak akan mengalami berbagai hambatan seperti: Anggota tim yang menjalankan pathway hanya sedikit, hal ini timbul karena

    pathway belum dianggap sebagai suatu yang penting bagi organisasi; Masing‐

  • 24 

     

    masing bagian akan menyusun pathwaynya sendiri, sehingga hasilnya tidak

    akan optimal, hal ini timbul jika pemimpin tidak mempertimbangkan pathway

    dan perencanaan multidisiplin; Pathway tidak menjadi bagian dalam

    pelayanan klinis sehari‐hari, ini terutama terjadi jika pembuatan pathway tidak dipikirkan dengan sungguh‐sungguh, termasuk cara dokumentasinya, maka pathway hanya akan menjadi beban tambahan dalam proses pelayanan.

    Berdasarkan hal ini maka RS yang akan menggunakan clinical pathways

    sebagai alat kendali mutu harus benar‐benar merencanakan, menyusun, menerapkan dan mengevaluasi clinical pathway secara sistematis (22).

    2.2. Telaah Teori

    2.2.1. Pengertian Clinical pahtway

    Clinical pahtway adalah sebuah pedoman yang digunakan untuk

    melakukan tindakan klinis berbasis bukti pada fasilitas layanan kesehatan.

    Clinical Pathway atau juga dikenal dengan nama lain seperti: Critical care

    pathway, Integrated care pathway, Coordinated care pathway, caremaps, atau

    Anticipated recovery pathway, adalah sebuah rencana yang menyediakan secara

    detail setiap tahap penting dari pelayanan kesehatan, bagi sebagian besar pasien

    dengan masalah klinis (diagnosis atau prosedur) tertentu, berikut dengan hasil

    yang diharapkan. Clinical Pathway memberikan cara bagaimana mengembangkan

    dan mengimplementasikan pedoman klinik (clinical guideline/best practice) yang

    ada kedalam protokol lokal (yang dapat dilakukan) (23).

    Clinical Pathway juga menyediakan cara untuk mengidentifikasi alasan

    mengapa terjadi sebuah variasi (pelayanan tidak sesuai dengan standar yang telah

  • 25 

     

    ditentukan) yang tidak dapat diidentifikasi melalui audit klinik. Hal tersebut

    dimungkinkan karena Clinical Pathway juga merupakan alat dokumentasi primer

    yang menjadi bagian dari keseluruhan proses dokumentasi pelayanan dari

    penerimaan hingga pemulangan pasien. Dengan kata lain, Clinical Pathway

    menyediakan standar pelayanan minimal dan memastikan bahwa pelayanan

    tersebut tidak terlupakan dan dilaksanakan tepat waktu (23).

    2.2.2. Tujuan Clinical Pathway

    Meningatkan mutu pelayanan pada keadaan klinis dan lingkungan tertentu

    bekerja sama dengan tim multidisiplin.

    1. Mengurangi jumlah intervensi yang tidak perlu atau berbahaya

    2. Memberikan opsi pengobatan dan perawatan terbaik dengan keuntungan

    maksimal

    3. Menghindari terjadinya medication eror secara dini

    4. Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil

    5. Memberikan tata laksana asuhan dengan biaya yang memadai

    6. Mengurangi beban dokumentasi klinik

    7. Meningikatkan kepuasan pasien melalui peningkatan edukasi kepada pasien

    (misalnya dengan menyediakan informasi yang lebih tepat tentang rencana

    pelayanan) (23).

    2.2.3. Peran Clinical Pathways

  • 26 

     

    Secara umum Clinical Pathway berperan untuk meningkatkan kualitas

    pelayanan dari awal sampai akhir dengan meningkatkan risk adjusted patient

    outcome, mempromosikan keselamatan pasien, meningkatkan kepuasan

    pasien,dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya. Secara khusus

    implementasi Clinical Pathway juga berperan untuk :

    1. Memilih pelayanan kesehatan terbaik ketika muncul banyak variasi dalam

    pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan terhadap pasien

    2. Menetapkan standar mengenai lamanya hari perawatan, prosedur

    pemeriksaan klinik dan jenis penalataksanaannya

    3. Menilai hubungan antara berbagai tahap dalam proses pelayanan untuk dan

    mengkoordinasikannya agar dapat memberikan pelayanan yang lebih cepat

    4. Memberikan pedoman kepada seluruh staf rumah sakit untuk melihat dan

    mengerti mengenai variasi yang timbul dalam proses pelayanan

    5. Menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan data dari proses

    pelayanan sehingga penyedia layanan dapat mempelajari seberapa sering dan

    mengapa pasien tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar

    selama perawatan

    6. Menurunkan beban dokumentasi dokter dan pasien

    7. Meningkatkan kepuasan pasien dengan memberikan edukasi mengenai

    rencana perawatan pasien (23).

    Manfaat yang didapatkan dengan adanya Clinical Pathway antara lain adalah :

    1. Dapat menggabungkan pedoman klinis ke dalam suatu dokumen resmi

    sehingga dapat bertindak sebagai pengingat bagi profesional kesehatan

  • 27 

     

    2. Menggaris bawahi standar yang tegas yang akan dijumpai dalam pathway

    pelayanan pasien yang dapat diperiksa secara mudah dari dokumen yang ada

    3. Bersifat multidisiplin sehingga dapat meningkatkan komunikasi antar profesi

    yang berbeda sehingga dapat menghilangkan duplikasi yang tidak diperlukan

    dari dokumen informasi yang tersimpan

    4. Dapat mengurangi variasi dalam pelayanan klinis

    5. Dapat meningkatkan dokumentasi dalam riwayat kesehatan

    2.2.4. Clinical Pathway Sebagai Alat Kendali Mutu Pelayanan Kesehatan

    Efektifitas dari penggunaan Clinical Pathway sebagai salah satu alat

    kendali mutu masih dalam perdebatan. Namun demikian di Amerika Serikat

    hampir 80% RS menggunakan Clinical Pathway untuk beberapa indikator.

    Terdapat berbagai penelitian mengenai efektifitas Clinical Pathway namun

    hasilnya masih tidak konsisten karena berbagai bias penelitian. Beberapa

    penelitian yang menunjukan efektifitas Clinical Pathway adalah sebagai berikut:

    1. Menghemat penggunaan sarana, meningkatkan luaran klinis, meningkatkan

    kepuasan pasien, dan praktisi klinis, serta menurunkan biaya perawatan.

    2. Penurunan length of stay dan penurunan biaya perawatan

    3. Memfasilitasi early discharge, meningkatkan indeks kualitas hidup

    4. Menurunnya length of stay, meningkatnya clinical outcome, meningkatkan

    economic outcome, mengurangi tindakan yang tidak diperlukan.

    Efektifitas Clinical Pathway tersebut baru dapat diperoleh jika pathway

    disusun berdasarkan strategi yang dikendalikan oleh pemimpin (leader driven‐strategy), sebab jika tidak akan mengalami berbagai hambatan seperti: Anggota

  • 28 

     

    tim yang menjalankan pathway hanya sedikit, hal ini timbul karena pathway

    belum dianggap sebagai suatu yang penting bagi organisasi; Masing‐masing bagian akan menyusun pathwaynya sendiri, sehingga hasilnya tidak akan optimal,

    hal ini timbul jika pemimpin tidak mempertimbangkan pathway dan perencanaan

    multidisiplin; Pathway tidak menjadi bagian dalam pelayanan klinis sehari‐hari, ini terutama terjadi jika pembuatan pathway tidak dipikirkan dengan sungguh‐sungguh, termasuk cara dokumentasinya, maka pathway hanya akan menjadi

    beban tambahan dalam proses pelayanan. Berdasarkan hal ini maka RS yang akan

    menggunakan Clinical Pathways sebagai alat kendali mutu harus benar‐benar merencanakan, menyusun, menerapkan dan mengevaluasi Clinical Pathways

    secara sistematis (23).

    2.2.5. Format Clinical Pathway

    Clinical Pathway adalah dokumen tertulis. Terdapat berbagai jenis format

    Clinical Pathway yang tergantung pada jenis penyakit atau masalah serta

    kesepakatan para profesional. Namun pada umumnya format Clinical Pathway

    berupa tabel yang kolomnya merupakan waktu (hari, jam), sedangkan barisnya

    merupakan observasi/ pemeriksaan/tindakan/intervensi yang diperlukan. Format

    Clinical Pathway dapat amat rumit dan rinci (misalnya pemberian obat setiap 6

    jam dengan dosis tertentu; bila ini melibatkan banyak obat maka menjadi amat

    rumit). Sebagian apa yang harus diisi dapat merupakan check-list, namun tetap

    harus diberikan ruang untuk menuliskan hal-hal yang perlu dicatat.

    Ruang yang tersedia untuk mencatat hal-hal yang diperlukan juga dapat

    amat terbatas, lebih-lebih format yang sama diisi oleh semua profesi yang terlibat

  • 29 

     

    dalam perawatan, karena sifat multidisiplin Clinical Pathway. Profesi yang

    terlibat berkontribusi memberikan asuhan yaitu asuhan medik, asuhan

    keperawatan, asuhan gizi serta asuhan kefarmasian (24).

    Isi format Clinical Pathway, sebagai berikut:

    I. Judul Clinical Pathway

    II. Identitas Pasien

    1. Nama Pasien

    2. Tanggal Lahir

    3. Berat badan

    4. Tinggi badan

    5. Nomor rekam medik

    6. Diagnose awal

    7. Kode ICD 10

    8. Rencana rawatan

    9. Aktivitas pelayanan

    10. Ruang rawat

    11. Tanggal/ Jam masuk

    12. Lama rawatan

    III. Isi Clinical Pathway

    1. Penilaian dan pemantauan medis

    a. Assesmen awal

    b. Assesmen lanjutan

    2. Penilaian dan pemantauan keperawatan

  • 30 

     

    a. Assesmen awal

    b. Assesmen lanjutan

    3. Pemeriksaan penunjang

    4. Tindakan

    5. Obat-obatan

    6. Nutrisi

    7. Konsultasi

    8. Farmasi

    9. Hasil (outcome)

    10. Pendidikan/ rencana pemulangan

    11. Varians

    IV. Penanggung Jawab

    1. Nama bidan /perawat

    2. Nama Dokter Penanggung Jawab Pelayanan

    3. Nama pelaksana Verifikasi

    Cara pengisian Clinical Pathway :

    1. Rumah Sakit membuat Clinical Pathway sesuai dengan kebutuhan dan

    kondisi setempat

    2. Clinical Pathway berlaku pada saat ditegakkan diagnosa

    3. Catatan yang ada didalam Rekam Medis dimasukkan pada formulir Clinical

    Pathway dengan cara di checklist (√)

  • 31 

     

    4. Catatan yang didalam Rekam Medis tetapi tidak terdapat didalam format

    formulir Clinical Pathway dicatat didalam Varians yang mengisi Clinical

    Pathway adalah Pelaksana Verifikasi

    5. Pelaksana Verifikasi adalah petugas yang diangkat bisa Case Manager atau

    Kepala Ruangan

    6. Apabila pasien pulang Clinical Pathway diberikan kepada Komite

    Medis/Komite Mutu Rumah Sakit

    7. Format dalam Clinical Pathway pada kolom kegiatan :

    A. Judul Clinical Pathway Sudah Baku

    B. Identitas Pasien Sudah Baku

    C. Isi Clinical Pathway

    1) Kegiatan Sudah Baku

    2) Uraian Kegiatan: disesuaikan dengan PPK, PAK, PAG, PAKf serta tipe

    dan kondisi Rumah Sakit

    3) Hari penyakit dan Hari rawat sesuai dengan PPK

    4) Keterangan menguraikan Uraian kegiatan bila diperlukan.

    5) Varians

    6) Clinical Pathway ditandatangani oleh Dokter Penanggung Jawab

    Pelayanan (13).

    2.2.5.1. Algoritme

  • 32 

     

    Algoritme merupakan format tertulis berupa flowchart dari pohon

    pengambilan keputusan. Dengan format ini dapat dilihat secara cepat apa yang

    harus dilakukan pada situasi tertentu. Algoritme merupakan panduan yang efektif

    dalam beberapa keadaan klinis tertentu misalnya di ruang gawat darurat atau

    Instalasi Gawat Darurat. Bila staf dihadapkan pada situasi yang darurat, dengan

    menggunakan algoritme ia dapat melakukan tindakan yang cepat untuk

    memberikan pertolongan (24).

    2.2.5.2. Protokol

    Protokol merupakan panduan tata laksana untuk kondisi atau situasi

    tertentu yang cukup kompleks. Misalnya dalam Panduan Praktik Klinis (PPK)

    disebutkan bila pasien mengalami atau terancam mengalami gagal napas dengan

    kriteria tertentu perlu dilakukan pemasangan ventilasi mekanik. Untuk ini

    diperlukan panduan berupa protokol, bagaimana melakukan pemasangan ventilasi

    mekanik, dari pemasangan endotracheal tube, mengatur konsentrasi oksigen,

    kecepatan pernapasan, bagaimana pemantauannya, apa yang harus diperhatikan,

    pemeriksaan berkala apa yang harus dilakukan, dan seterusnya. Dalam protokol

    harus termasuk siapa yang dapat melaksanakan, komplikasi yang mungkin timbul

    dan cara pencegahan atau mengatasinya, kapan suatu intervensi harus dihentikan,

    dan seterusnya (24).

    2.2.5.3. Prosedur

    Prosedur merupakan uraian langkah-demi-langkah untuk melaksanakan

    tugas teknis tertentu. Prosedur dapat dilakukan oleh perawat (misalnya cara

    memotong dan mengikat talipusat bayi baru lahir, merawat luka, suctioning,

  • 33 

     

    pemasangan pipa nasogastrik), atau oleh dokter (misalnya pungsi lumbal atau

    biopsi sumsum tulang) (24).

    2.2.5.4. Standing orders

    Standing orders adalah suatu kegiatan kolaborasi yang terdiri dari tindakan

    delegasi atau mandat dokter kepada perawat yang telah diatur dalam Undang-

    Undang Keperawatan. Standing orders dapat diberikan oleh dokter pada pasien

    tertentu, atau secara umum dengan persetujuan Komite Medis. Contoh: perawatan

    pasca bedah tertentu, pemberian antipiretik untuk demam, pemberian anti kejang

    per rektal untuk pasien kejang, defibrilasi untuk aritmia tertentu (24). 

    2.2.6. Standar Penyusunan Clinical Pathway

    Clinical pathway adalah sebuah proses yang melibatkan multidisiplin yang

    berfokus pada perawatan pasien dengan diagnosis atau prosedur tertentu secara

    berkelanjutan, tepaT waktu untuk mendapatkan hasil terbaik yang telah

    ditentukan, dengan sumber daya yang ada. Dengan adanya clinical pathway maka

    RS akan memiliki perencanaan dalam merawat pasien sehingga diharapkan

    pelayanan menjadi lebih efektif, terjaga mutunya dengan biaya yang terkendali.

    Dengan demikian, keberadaan clinical pathway menjadi sangat penting bagi

    rumah sakit di Indonesia. Standar Penyusunan Clinical Pathway:

    1. Tahap awal

    a. Pemilihan diagnosis atau prosedur berdasarkan

    − Rata-rata lama hari rawat

    − Kasus dengan frekuensi terbanyak

    − Kasus dengan biaya perawatan tinggi

  • 34 

     

    − Kasus denga resiko besar

    − Kasus-kasus yang menarik

    − Variasi dalam perawatan pasien sehingga membutuhkan suatu standar

    b. Harus ada komitmen dan dukungan dari manajemen dan tenaga medis serta

    tenaga kesehatan lainnya yang terkait dengan perawatan pasien tersebut

    c. Menyusun tim yang terdiri dari berbagai disiplin sesuai dengan pelayanan yang

    dibutuhkan oleh pasien selama perawatan (tenaga medis dan tenaga kesehatan

    lainnya)

    d. Tim harus menyusun waktu dikembangkannya clinical pathway dan waktu

    implementasi

    2. Telaah dokumen dan benchmarking

    Kegiatan ini dilakukan dengan mengumpulkan literatur terkait diagnosis,

    prosedur, dan karakteristik pasien, dan bila ada protokol atau panduan

    pelayanan medik yangtelah disusun baik dari dalam maupun luar negeri.

    3. Evaluasi perawatan pasien yang ada saat ini

    a. Evaluasi dilakukan melalui pemetaan proses perawatan pasien dari data yang

    ada (rekam medis) mulai dari saat masuk hingga keluar dari rumah sakit.

    b. Menyusun alur perawatan secara utuh bagi perawatan pasien berdasarkan

    pemetaan proses perawatan di atas. Staf klinik harus terlibat dalam penyusunan

    alur perawatan.

    4. Pengembangan Clinical pathway

    a. Menyampaikan temuan dan alur perawatan yang dihasilkan dari pemetaan data

  • 35 

     

    kepada seluruh anggota tim, diantaranya lama hari rawat dan hal-hal penting

    yang harus masuk dalam clinical pathway

    b. Membuat konsensus terhadap detil kegiatan/intervensi/pemeriksaan pasien

    yang masuk dalam clinical pathway

    c. Menyusun target dari kegiatan perawatan (biasanya per hari atau per tahapan

    perawatan)

    5. Pengukuran Outcome

    a. Outcome diperlukan untuk mengukur kemajuan atau keberhasilan perawatan

    pasien misal lama hari rawat, ukuran tertentu sesuai dengan diagnosis pasien,

    kepuasan pasien dan lain-lain

    b. Harus pula dipertimbangkan bagaimana pengumpulan data outcome dan variasi

    nya. Sebaiknya pengumpulan data dilakukan dari data rutin rumah sakit.

    c. Variasi antara yang diharapkan atau kegiatan yang telah direncakan dengan

    kondisi lapangan harus didokumentasikan. Variasi dapat terjadi karena

    perjalanan penyakit, adanya komplikasi dan penyakit penyerta. Variasi dapat

    menjadi titik tolak untuk memperbaiki clinical pathway dan meningkatkan

    kualitas layanan kesehatan.

    6. Dokumentasi inter disiplin

    7. Edukasi kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan terkait clinical pathway,

    pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pasien, dan pengukuran outcome

    8. Edukasi kepada pasien

    9. Implementasi clinical pathway

    Perlu adanya kerangka waktu implementasi dan evaluasi secara rutin untuk

  • 36 

     

    mendapatkan umpan balik atas pelaksanaan clinical pathway. Sebaiknya

    disusun jadwal pertemuan per bulan di awal pelaksanaan dan selanjutnya dapat

    dilakukan pertemuan rutin untuk memantau outcome/indikator.

    10. Monitoring dan evaluasi clinical pathway

    Tim mengkaji pelaksanaan clinical pathway dan melakukan revisi sesuai

    dengan perkembangan teknologi medis dan juga karakteristik pasien (24).

    2.2.7. Indikator-Indikator Penyusunan Clinical Pathway

    Clinical pathway adalah sebuah pemetaan mengenai tindakan klinis untuk

    diagnosis tertentu dalam waktu tertentu, yang mendokumentasikan clinical

    practice terbaik dan bukan hanya clinical practice sekarang. Clinical pathway

    yang diterapkan dengan baik dapat menjadi “alat” kendali mutu pelayanan

    kesehatan RS. Di sisi yang lain, dalam era JKN yang dilaksanakan oleh BPJS

    Kesehatan kini, penerapan clinical pathway dapat menjadi salah satu upaya

    kendali biaya. Biaya yang dikeluarkan dari pemberi pelayanan kepada pasien

    dapat dihitung berdasarkan clinical pathway dan dibandingkan dengan tarif INA

    CBG’s yang telah ditetapkan. Sehingga, jika biaya pelayanan yang diberikan

    kepada pasien melebihi tarif INA CBG’s yang telah diterapkan maka rumah sakit

    dapat segera mengupayakan efisisensi, tanpa perlu melakukan Fraud.

    Clinical pathway masih merupakan hal yang baru bagi sebagian besar

    rumah sakit di Indonesia. Indikator dalam membuat clinical pathway :

    1. Topik

    Topik yang dipilih terutama yang bersifat high volume, high cost, high risk dan

    problem prone. Dapat pula dipilih kasus-kasus yang mempunyai gap yang

  • 37 

     

    besar antara biaya yang dikeluarkan dengan tarif INA CBG’s yang telah

    ditetapkan.

    2. Koordinator (penasehat multidisiplin)

    Kordinator utama bertugas sebagai fasilitator, sehingga tidaklah harus

    memahami clinical pathway secara konten. Sebelum menunjuk koordinator,

    terlebih dahulu dikumpulkan anggota yang berasal dari berbagai disiplin yang

    terlibat dalam pemberi pelayanan pasien. Tim multidisiplin tersebut wajib

    menyampaikan item-item pelayanan yang diberikan kepada pasien berdasarkan

    SPO kepada masing-masing tim profesi dan mengikuti rangkaian rapat dalam

    kelanjutan membuat clinical pathway.

    3. Pemain Kunci

    Pemain kunci adalah siapa saja yang terlibat dalam pelayanan yang diberikan

    kepada pasien. Misal, pemain kunci dalam pemberian pelayanan kepada pasien

    Appendicits Akut tanpa komplikasi adalah dokter umum, dokter spesialis

    bedah, dokter spesialis anastesi, perawat, dan ahli gizi.

    4. Kunjungan Lapangan

    Setelah menentukan anggota dalam penyusunan clinical pathway, maka

    selanjutnya dilakukan kunjungan lapangan untuk mencari pedoman praktik

    klinis (PPK), misalnya dalam bentuk SPO atau SPM dan SAK (Standar Asuhan

    Keperawatan). Kunjungan lapangan dilakukan agar dapat menilai sejauh mana

    pelayanan yang didapatkan oleh pasien. Juga menilai hambatan yang terjadi di

    bangsal dalam menjalankan SPO atau SPM sehingga dapat dibuat rekomendasi

    dalam menyusun clinical pathway. Dalam mengumpulkan informasi sebanyak-

  • 38 

     

    banyaknya, dapat pula dilakukan dengan melakukan benchmarking terhadap

    penerapan clinical pathway di tempat lain. Perlu diingat bahwa, clinical

    pathway untuk kasus dengan diagnosis yang sama yang diterapkan di rumah

    sakit lain belum tentu dapat serta-merta diterapkan di rumah sakit kita. Hasil

    benchmarking perlu dipadukan dengan kemampuan manajerial dan SDM RS

    serta kondisi-kondisi lain yang terkait.

    5. Literatur

    Dalam mencari literatur dapat mencari best practice dalam skala nasional yaitu

    PNPK, ataupun sumber-sumber guideline/ jurnal penelitian internasional dan

    disesuaikan dengan kemampuan masing-masing rumah sakit. Evidence Based

    Medicine diperlukan bilamana PNPK belum/ tidak dikeluarkan oleh organisasi

    profesi ybs.

    6. Customer Focus Group

    Langkah ini bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelanggan

    disesuaikan dengan kemampuan rumah sakit sehingga, kesenjangan antara

    harapan dan pelayanan yang didapatkan pasien dapat diketahui dan dapat

    diperbaiki.

    7. Telaah Pedoman Praktik Klinis (PPK)

    Langkah awal dalam tahap ini adalah melakukan revisi PPK (SPM dan SAK),

    namun jika sebelumnya rumah sakit belum mempunyai PPK, maka PPK harus

    dibuat, karena tidak ada clinical pathway tanpa adanya PPK. Berdasarkan

    Permenkes. No 1438 tahun 2010, clinical pathway bersifat sebagai pelengkap

    PPK. Menurut Permenkes tersebut, PPK harus di-review setiap 2 tahun sekali,

  • 39 

     

    sehingga secara tidak langsung pembuatan clinical pathway dapat

    meningkatkan kepatuhan review PPK.

    8. Analisis casemix

    Dalam pengembangan clinical pathway, perlu dilakukan mengumpulkan

    aktivitas-aktivitas untuk dikaitkan dengan besarnya biaya, untuk mencegah

    adanya Fraud. Dalam hal ini perlu dilakukan identifikasi LoS suatu diagnosis,

    biaya per-kasus, penggunanan obat apakah sudah sesuai dengan formularium

    nasional, maupun tes penunjang diagnostik suatu penyakit.

    9. Menetapkan Desain Clinical Pathway serta Pengukuran Proses dan Outcome

    Dalam menetapkan desain, hal yang terpenting adalah beberapa informasi yang

    harus ada dalam clinical pathway, yaitu kolom pencatatan informasi tambahan,

    variasi, kolom tanda tangan, serta kolom verifikasi dari bagian rekam medis.

    Kemudian, ditetapkanlah item-item aktivitas dari masing-masing penyakit

    sesuai dengan literatur yang telah dipilih dan disesuaikan dengan keadaan

    rumah sakit. Item aktivias ini sebaiknya mudah dimengerti, sehingga

    meningkatkan kepatuhan dalam menjalankannya.

    10.Sosialisasi dan Edukasi

    Tahap terakhir dalam membuat clinical pathway adalah, melakukan sosialisasi

    dan edukasi kepada para pengguna, dalam hal ini berbagai profesi yang

    berhubungan langsung pada pasien. Dalam tahap awal dapat dilakukan uji coba

    penerapan clinical pathway yang telah disusun guna mendapatkan feedback

    untuk mendapatkan bentuk yang user friendly serta konten yang sesuai dengan

    kondisi di lapangan dalam rangka mencapai kepatuhan penerapan clinical

  • 40 

     

    pathway yang lebih optimal. Sosialisasi clinical pathway ini harus dilakukan

    intensif minimal selam 6 bulan.

    Perlu ditekankan bahwa clinical pathway adalah “alat.” Efektifitas dalam kendali

    mutu dan kendali biaya amat tergantung pada user yang menerapkannya.

    Sehingga, perlu disusun strategi sedemikian rupa agar alat tersebut diterapkan

    sebagaimana mestinya dalam kepatuhan maupun ketepatan penggunaannya (24).

    2.2.8. Prinsip dalam pelaksanaan Clinical Pathway

    Dalam menyusun clinical pathway terdapat prinsip-prinsip yang harus dipenuhi

    antara lain:

    a. Kriteria penyakit yang dapat dibuat clinical pathway adalah penyakit atau

    kondisi klinis yang bersifat multidisiplin, dan perjalanan klinisnya dapat

    diprediksi.

    b. Untuk menetapkan jenis penyakit yang akan dibuat clinical pathway

    disesuaikan dengan PPK medis yang dimiliki rumah sakit karena clinical

    pathway disusun untuk menerjemahkan PPK medis, prosedur tindakan atau

    algoritma, panduan gizi, asuhan keperawatan, dan panduan farmasi yang telah

    dibuat.

    c. Ditetapkan kriteria inklusi dan ekslusi yang jelas bagi penyakit apapun yang

    akan dibuat clinical pathway. Apabila pasien sudah dirawat dengan clinical

    pathway namun mengalami komplikasi atau terdapat ko-morbiditas tertentu

    maka pasien tersebut harus dikeluarkan dari clinical pathway dan dirawat

    dengan perawatan biasa.

  • 41 

     

    d. Format clinical pathway berupa tabel yang kolomnya merupakan waktu (hari,

    jam), sedangkan barisnya merupakan observasi/ pemeriksaan/ tindakan/

    intervensi yang diperlukan (24).

    2.2.9. Langkah-langkah pelaksanaan Clinical Pathway

    Adapun langkah-langkah pelaksanaan Clinical Pathway :

    a. Seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus secara terpadu, integrasi

    dan berfokus terhadap pasien (patient focused care) serta bekesinambungan

    (continuing of care)

    b. Melibatkan seluruh profesi (dokter, perawat, bidan, piñata, laboratories dan

    farmasis)

    c. Dalam batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan keadaan perjalanan

    penyakit pasien dicatat dalam bentuk periode harian (untuk kasus rawat inap)

    atau jam (untuk gawat darurat di IGD)

    d. Pencatatan Clinical Pathway seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan

    kepada pasien secara terpadu dan berkesinambungan tersebut dalam bentuk

    dokumen yang merupakan bagian dari rekam medis.

    e. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan Clinical Pathway dicatat

    sebagai varians dan dilakukan kajian analisa dalam bentuk audit (24).

    2.3. Implementasi

    2.3.1. Pengertian Implementasi

    Konsep implementasi semakin marak dibicarakan seiring dengan

    banyaknya pakar yang memberikan kontribusi pemikiran tentang implementasi

  • 42 

     

    kebijakan sebagai salah satu tahap dari proses kebijakan. Wahab dan beberapa

    penulis menempatkan tahap implementasi kebijakan pada posisi yang berbeda,

    namun pada prinsipnya setiap kebijakan public selalu ditindaklanjuti dengan

    implementasi kebijakan (25).

    Implementasi dianggap sebagai wujud utama dan tahap yang sangat

    menentukan dalam proses kebijakan. Pandangan tersebut dikuatkan dengan

    pernyataan Edwards III bahwa tanpa implementasi yang efektif keputusan

    pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi kebijakan

    merupakan aktivitas yang terlihat seStelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari

    suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output

    atau outcomes bagi masyarakat (25).

    Menurut Purwanto dan Sulistyastuti, “implementasi intinya adalah

    kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output)

    yang dilakukan oleh para implementor kepada kelompok sasaran (target group)

    sebagai upaya untuk mewujudkan kebijakan”. Menurut Agustino, “implementasi

    merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan

    suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu

    hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri” (25).

    Ripley dan Franklin (dalam Winarno) menyatakan bahwa implementasi

    adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan

    otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang

    nyata (tangible output). Implementasi mencakup tindakan-tindakan oleh sebagai

    aktor, khususnya para birokrat yang dimaksudkan untuk membuat program

  • 43 

     

    berjalan. Grindle (dalam Winarno), memberikan pandangannya tentang

    implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi

    adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan

    kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah.

    Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier menjelaskan makna

    implementasi, “Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam

    bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintahperintah atau

    keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.

    Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi,

    menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai

    cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya” (25).

    Kesulitan dalam proses implementasi kebijakan dapat kita lihat dari

    pernyataan seorang ahli studi kebijakan Eugne Bardach melukiskan kerumitan

    dalam proses implementasi menyatakan pernyataan sebagai berikut : “Adalah

    cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya

    bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-

    slogan yang kedenganrannya mengenakan bagi telinga pemimpin dan para

    pemilih yang mendengarkannya. dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya

    dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka anggap klien”

    (22). Dari berbagai defenisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa implementasi

    adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh berbagai aktor pelaksana

    kebijakan dengan sarana-sarana pendukung berdasarkan aturan-aturan yang telah

    ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

  • 44 

     

    2.3.2 Teori-Teori Implementasi

    Ada beberapa teori implementasi di antaranya:

    a. Model Implementasi oleh Goerge C. Edward III

    Model implementasi kebijakan yang berspektif top down dikembangkan

    oleh George C. Edward III. Secara teoritis khususnya, menurut teori George C.

    Edwards III (dalam Agustino), the are for critical factories to policy

    implementation they are : “communication (komunikasi), resources (sumber

    daya), suggestion (sarana prasarana), and bureaucratic structure (struktur

    birokrasi)”. Ke empat faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan karena

    antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang erat. Tujuan kita adalah

    meningkatkan pemahaman tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan

    pengertian dengan cara membreakdown (diturunkan) melalui eksplanasi

    implementasi kedalam komponen prinsip. Implementasi kebijakan adalah suatu

    proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori dari

    faktor-fa