analisis nalar hukum fatwa dsn fatwa al …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/analisis nalar hukum.pdf ·...

17
1 ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL HIWALAH BIL UJRAH DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Andi Triyanto Dosen Prodi Muamalah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang Abstraksi Terdapat sebuah adagium yang cukup terkenal dalam diskursus Ushul Al Fiqh, annushshuushu muntanahiya wa al waqi’u ghairu muntanahiya. Fiqh kemudian menjadi ilmu alat untuk menerjemahkan nash-nash guna merespon setiap kejadian yang selalu berkembang. Berkaitan dengan adagium tersebut muncul banyak pergolakan pemikiran, mengenai cara memahami nash baik Al Qur’an maupun Al Hadits, sebagai upaya pembumian nash yang ukhrawi dalam menanggapi permasalahan duniawi yang selalu berkembang. Konsekuensi dari hal tersebut muncul banyak perbedaan pendapat satu masalah yang sama dengan sumber rujukan yang sama. Dalam konteks fiqh, timbulnya mahzab-mahzab fiqhiyah merupakan sebuah bukti riil. Terkait dunia ekonomi, khususnya perdagangan ekspor impor dengan segala instrumen pendukungnya memerlukan landasan hukum yang dinamis namun tetap mengacu pada syariah, sehingga ada korelasi yang jelas antara agama dan muamalah. Tulisan ini mengupas hukum L/C Ekspor Impor yang disandarkan pada hiwalah bil ujrah dan wakalah bil ujrah. Kata Kunci: Fiqh Muamalah, Hiwalah, L/C Ekspor Impor. LATAR BELAKANG Bulan Maret 2007 Dewan Syariah Nasional (DSN) mengeluarkan fatwa terkait dengan kegiatan perdagangan ekspor impor luar negeri, yaitu: al hiwalah bil ujrah, wakalah bil ujrah untuk pengalihan piutang dalam ekspor, dan al hiwalah bil ujrah untuk pengalihan hutang dalam impor. Tujuannya adalah untuk mempermudah pelaku pasar internasional dalam melakukan transaksi ekspor impor dengan mengacu prinsip tolong menolong (ta’awun). Dibolehkannya praktik al hiwalah bil ujrah, merupakan terobosan dan wacana baru dalam dunia fiqh, karena al hiwalah dikenal sebagai bagian aqad tabarru, aqad yang ditujukan untuk menolong pihak lain, sehingga tidak dibenarkan meminta kompensasi dari transaksi al hiwalah. Ketika al hiwalah dipadukan dengan kata bil ujrah (dengan kompensasi) maka secara

Upload: ngodan

Post on 09-Feb-2018

229 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

1

ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN

FATWA AL HIWALAH BIL UJRAH DALAM PERDAGANGAN

INTERNASIONAL

Andi Triyanto

Dosen Prodi Muamalah Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Magelang

Abstraksi

Terdapat sebuah adagium yang cukup terkenal dalam diskursus Ushul Al

Fiqh, annushshuushu muntanahiya wa al waqi’u ghairu muntanahiya. Fiqh

kemudian menjadi ilmu alat untuk menerjemahkan nash-nash guna merespon

setiap kejadian yang selalu berkembang. Berkaitan dengan adagium tersebut

muncul banyak pergolakan pemikiran, mengenai cara memahami nash baik Al

Qur’an maupun Al Hadits, sebagai upaya pembumian nash yang ukhrawi dalam

menanggapi permasalahan duniawi yang selalu berkembang. Konsekuensi dari

hal tersebut muncul banyak perbedaan pendapat satu masalah yang sama dengan

sumber rujukan yang sama. Dalam konteks fiqh, timbulnya mahzab-mahzab

fiqhiyah merupakan sebuah bukti riil. Terkait dunia ekonomi, khususnya

perdagangan ekspor impor dengan segala instrumen pendukungnya memerlukan

landasan hukum yang dinamis namun tetap mengacu pada syariah, sehingga ada

korelasi yang jelas antara agama dan muamalah. Tulisan ini mengupas hukum

L/C Ekspor Impor yang disandarkan pada hiwalah bil ujrah dan wakalah bil

ujrah.

Kata Kunci: Fiqh Muamalah, Hiwalah, L/C Ekspor Impor.

LATAR BELAKANG

Bulan Maret 2007 Dewan Syariah

Nasional (DSN) mengeluarkan fatwa

terkait dengan kegiatan perdagangan

ekspor impor luar negeri, yaitu: al

hiwalah bil ujrah, wakalah bil ujrah

untuk pengalihan piutang dalam

ekspor, dan al hiwalah bil ujrah untuk

pengalihan hutang dalam impor.

Tujuannya adalah untuk mempermudah

pelaku pasar internasional dalam

melakukan transaksi ekspor impor

dengan mengacu prinsip tolong

menolong (ta’awun).

Dibolehkannya praktik al hiwalah

bil ujrah, merupakan terobosan dan

wacana baru dalam dunia fiqh, karena

al hiwalah dikenal sebagai bagian aqad

tabarru’, aqad yang ditujukan untuk

menolong pihak lain, sehingga tidak

dibenarkan meminta kompensasi dari

transaksi al hiwalah. Ketika al hiwalah

dipadukan dengan kata bil ujrah

(dengan kompensasi) maka secara

Page 2: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

2

hukum dan fakta akan menghilangkan

makna dan arti al hiwalah.

Al Hiwalah merupakan fiqh yang

membahas secara rinci, rukun dan

syarat perpindahan hutang piutang

yang dilakukan seseorang dan tidak

menerima kompensasi. Kompensasi

dianggap menyalahi salah satu prinsip

pokok al hiwalah serta menjadikannya

tidak sesuai dengan hukum fiqh Islam

bahkan menjadi legitimasi praktik riba

jahiliyah.

DSN yang merupakan kumpulan

elit agama di tingkat nasional dan

selaku dewan/lembaga yang memiliki

wewenang untuk menentukan sesuai

atau tidaknya sebuah transaksi ekonomi

dengan syariah, tentu tidak akan

gegabah dalam memutuskan hukum

suatu masalah. Tujuan dikeluarkan

fatwa-fatwa tersebut adalah untuk

memberikan kemudahan bagi para

pelaku perdagangan ekspor impor.

Asumsi yang dibangun adalah bahwa

perdagangan ekspor impor

internasional secara tidak langsung

akan berdampak kepada kemakmuran

warga masyarakat dengan pertumbuhan

perekonomian negara dan pergerakan

jumlah cadangan devisa negara, yang

berarti tercapai kemakmuran negara,

dan indikator kemakmuran suatu

negara salah satunya ditunjukkan

dengan pertumbuhan ekonomi dalam

gerak neraca pembayaran internasional

negara tersebut (Suparmoko, 2001).

Berlatar belakang hal-hal tersebut

menjadi sangat penting dan strategis

untuk dilakukan kajjian mendalam

berkenaan dengan hukum perpindahan

hutang piutang dan konsep mashlahat

perspektif syariah. Analisis dilakukan

untuk mengetahui hukum sebenarnya

dari materi yang diangkat dan batasan-

batasan mashlahat yang harus dipenuhi

dalam menerapkan sebuah hukum.

Pemakalah mengangkat judul:

“Analisis Nalar Hukum Fatwa DSN

(Fatwa Al Hiwalah bi Al Ujrah dalam

Perdagangan Internasional)”.

FIQH MUAMALAH

Secara terminologi (istilah), fiqh

pada mulanya berarti pengetahuan

keagamaan yang mencakup seluruh

ajaran agama, baik berupa akidah,

akhlak, maupun amaliah (ibadah), yaitu

sama dengan arti syari’ah Islamiyah.

Kemudian fiqh merupakan bagian dari

syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan

tentang hukum syari’ah Islamiyah yang

berkaitan dengan perbuatan manusia

Page 3: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

3

yang telah dewasa dan berakal sehat

yang diambil dari dalil-dalil yang

terperinci. (Syafe’i, 2004). Sedangkan

yang dimaksud dengan hukum syara’

menurut Imam al-Ghazali adalah

ketetapan Allah yang berhubungan

pengalihan dengan perbuatan orang

mukallaf baik berupa iqtidha (tuntutan

perintah atau larangan), takhyir

(pilihan), maupun berupa wadh’i

(sebab akibat). (Karim et.al, 2002).

Khalaf (1997) mendefinisikan ilmu

fiqh adalah pengetahuan tentang

hukum-hukum syari'ah Islam mengenai

perbuatan manusia yang diambil dari

dalil-dalil secara detail atau kodifikasi

hukum-hukum syari'ah Islam tentang

perbuatan manusia yang diambil

berdasarkan dalil-dalil secara detail.

Ash Shiddieqy (2001) membagi

pembahasan fiqh menjadi empat

bagian, sehingga tiap bagian

dinamakan rubu' (seperempat), yaitu:

rubu' ibadat, rubu' muamalat, rubu'

munakahat, rubu' jinayat. Dahlan et al

(1996) menambahkan fiqh mu’amalah

mencakup hukum keluarga (al-ahwalu

asy-syakhsyiyah), hukum

privat/perdata/sipil (al-qanun al-

madani), hukum pidana (al-qanun al-

jaza’i), hukum politik (siyasah

syar’iyah) dan hukum internasional (al-

qanun ad-duali).

Fiqh menjadi jembatan penerjemah

syariah yang berwujud teks dengan

kehidupan yang selalu dinamis, untuk

mendapatkan kemashlahatan manusia.

Mashlahat adalah upaya mencari

keselamatan atau kemanfaatan dan

menghindari bahaya dari sesuatu. Abu

Hamid Al Ghazali mendefinisikan:

Maslahah is essentially an

expression for the acquisition of

benefit or the repulsion of injury or

harm, but that is not what we mean

by it, because acquisition of

benefits and the repulsion of harm

represent human goals, that is, the

welfare of humans through the

attainment of these goals. What we

mean by maslahah, however, is the

preservation of the Shari`ah’s

objectives

Dia juga menjelaskan maqasid

syari’ah, tujuan diterapkannya syari’ah

untuk mendapatkan mashlahat dengan

menjaga 5 (lima) hal:

The objective of the Shari`ah is to

promote the well-being of all

mankind, which lies in

safeguarding their faith (din), their

human self (nafs), their intellect

(`aql), their posterity (nasl) and

their wealth (maal). Whatever

ensures the safeguard of these five

serves public interest and is

desirable.

Page 4: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

4

Asy Syatiby menjelaskan

mashlahat harus memenuhi tiga

klasisikasi kategori; darurat, hajiyat,

dan tahsiniyat. Dalam Al Muwafaqat

dia menyebutkan prinsip mashlahat:

as a principle that concerns the

subsistence of human life, the

completion of one’s livelihood, and

the acquisition of what his/her

emotional and intellectual qualities

require of him/her in an absolute

sense. (Dusuki dan Abdullah:

2006).

Dalam perspektif ekonomi Islam,

sebuah kemashlahatan dianggap

berhasil ketika tercapai dan terpenuhi

kebahagian spiritual dan material yang

harus terpadu di dalamnya al-tawazun,

al-ikhtiyar, dan al-ikhsan. Dalam

cakupan masyarakat Abu Yusuf dalam

Majid (2003) menjelaskan kata

maslahah ‘ammah adalah sebuah

konsep upaya menyejahterakan

masyarakat dengan melalui mekanisme

metode keseimbangan (al-tawazun),

kehendak bebas (al-ikhtiyar), keadilan

(al-’adalah) dan ikhsan (al-ikhsan)

yang selanjutnya disatukan dalam satu

kesatuan sistem yang dapat

dikategorikan menjadi sebuah nilai

etika.

FIQH AL HIWALAH

Asyur (1995) menjelaskan masalah

hutang piutang menjadi bagian dari

fiqh muamalah, lebih khusus masalah

perpindahannya dibahas dalam fiqh al

hiwalah atau fiqh al hawalah, maka

penyebutan al-hiwalah menunjukkan

istilah fiqh Islam mengenai hukum

perpindahan hutang. Sabiq (2000)

menjelaskan al-hiwalah berasal dari

kata tahwiil yang berarti berpindah. Al-

Hiwalah adalah pemindahan hutang

dari tanggungan seorang pemindah

(muhil) menjadi tanggungan orang lain

yang menerimanya (muhal 'alaihi).

Al-Husaini dalam Rifa'i (1978)

menjelaskan arti hawalah secara

bahasa berarti pindah. Menurut istilah

pindahnya hutang dari tanggungan

seseorang kepada orang lain. Menurut

Al-Jazairi (2003) adalah pemindahan

hutang dari penghutang satu kepada

penghutang lainnya. Dalam pengertian

A mempunyai piutang kepada B, dan C

mempunyai piutang kepada A dengan

besar nominal yang sama, maka A

memindahkan haknya kepada C untuk

menagih piutang kepada B.

Hassan (1998) menyatakan al-

hiwalah sebagai penyerahan, yaitu

seorang A berhutang kepada B

kemudian dengan salah satu sebab A

Page 5: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

5

mengatur agar hutangnya dibayar oleh

C. Hassan juga memberikan keterangan

tambahan mengenai dibolehkannya

tanggung menanggung pada hutang,

amanat, denda, kafarat, dan

sebangsanya, tetapi tidak ada pada

hukum badan, yaitu tidak

dibolehkannya menanggung badan

orang lain, maksudnya adalah

penanggungan badan dalam arti fisik,

misalnya menggantikan seseorang

untuk diqishash. Hal ini lain dengan

kafalah, bolehnya penjaminan atas diri

orang lain (Suhendi, 2002). An

Nabhani dalam Wachid (2002) bagus

sekali menjelaskan fiqh penjaminan

dalam fiqh dhaman untuk menjelaskan

hukum asuransi.

Dibolehkannya al-hiwalah

merupakan ijma ulama. Aqad ini

dibolehkan pada hutang yang tidak

berbentuk barang/benda karena al-

hiwalah adalah perpindahan hutang.

Oleh karena itu, harus pada uang atau

kewajiban finansial. Mayoritas ulama,

selain mahdzab Hanafi, menyebut

rukun al-hiwalah ada enam, yaitu:

1. Muhil, yaitu pihak yang berhutang

dan memiliki kewajiban kepada

muhal.

2. Muhal atau Muhtal, yaitu pihak yang

berpiutang dan pengalih piutang.

3. Muhal 'alaihi atau Muhtal 'alaihi,

yaitu pihak penerima pengalihan

piutang.

4. Muhal bih atau Muhtal bih, yaitu

hutang muhil kepada muhal atau

muhtal.

5. Utang muhal 'alaihi kepada muhil.

6. Shighat, yaitu ijab qabul dalam

transaksi al-hiwalah yang terjadi.

Para ulama mahdzab Hanafi

menetapkan rukun al-hiwalah sebagai

berikut:

1. Ijab atau penawaran dari muhil.

Misalnya muhil berkata kepada

muhal: "saya hawalahkan atau

pindahkan piutangmu kepada

fulan."

2. Qabul atau penerimaan dari muhal

(orang yang menghutangkan) dan

muhal 'alaihi (orang yang

menanggung hutang). Misalnya

muhal dan muhal 'alaihi masing-

masing berkata: "saya terima," atau

"saya rela" (Az-Zuhaily dalam

Antonio, 1999/2001).

FACTORING

Factoring adalah suatu perusahaan

yang melasanakan transaksi

Page 6: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

6

pengambilalihan hutang piutang pihak

tertentu dengan mendapatkan

kompensasi, perusahaan ini juga

dikenal dengan anjak piutang. Hal ini

dilakukan ketika ada perusahaan yang

mengalihkan hutang atau piutang

dengan cara menjual piutang yang

dimiliki kepada perusahaan factoring

untuk memenuhi kebutuhan uang

dengan segera.

Transaksi hutang piutang sangat

memungkinkan terjadi pengalihan,

terutama dalam upaya pemenuhan

kebutuhan dana liquid. Take offer

hutang piutang dalam dunia

perekonomian kontemporer, dipandang

memiliki nilai ekonomis, dalam arti

dijadikan sarana investasi. Investasi

yang berarti, sebuah bentuk usaha

pengembangan harta dari iddle money

yang dimiliki kemudian dikelola dalam

wadah sebuah perusahaan untuk

mendapatkan keuntungan yang

berlipat. Factoring atau anjak piutang

sebagai sebuah perusahaan yang

menjual jasa take offer hutang piutang,

akan mendapatkan kompensasi dari

jasa take offer yang telah dilakukan.

Income yang diterima oleh perusahaan

anjak piutang dianggap sebagai

kompensasi manajemen yang baik dan

analisis yang tajam untuk minimalisasi

resiko, non performing loan (NPL)

yang ditanggungnya.

Nilai nominal pengalihan lebih

besar dari nilai nominal pengalihan

maka kreditur akan mencatatnya

sebagai pendapatan pengalihan, dan

sebaliknya ketika nilai nominal

pengalihan lebih kecil dari nilai

nominal piutang maka kreditur akan

mencatatnya sebagai beban pengalihan.

Pendapatan pengalihan dan beban

pengalihan tersebut didapatkan dari

perhitungan pengalihan factoring,

bukan pengalihan pada nominal

piutang. Hal ini yang menyebabkan

kedudukan piutang berbunga dan tidak

berbunga sama, karena pembebanan

kompensasi yang diberikan kepada

pihak factoring tidak didasarkan pada

nominal piutang namun pada aktivitas

pengalihan itu sendiri.

Harahap (2001) mendefinisikan

sebagai sebuah perjanjian pengalihan

kewajiban (piutang) dari nasabah

(pihak I) kepada bank (pihak II) dan

nasabah lain (pihak III), yaitu pihak I

meminta pihak II membayar piutang

yang dimilikinya di pihak III, yang

disebabkan transaksi jual beli atau

transaksi yang lain, dan ketika jatuh

Page 7: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

7

tempo pihak III membayar hutangnya

kepada pihak II, pihak II mendapat

keuntungan dari selisih pembelian

hutang dengan nominal hutang yang

dia terima.

LETTER OF CREDITS EKSPOR

IMPOR

Perdagangan ekspor impor

merupakan transaksi jual beli lintas

negara untuk memenuhi kebutuhan,

Arbi (1998) menjelaskan impor adalah

kegiatan memasukkan barang ke dalam

daerah pabean (UU 10/95 Pasal 1 butir

13). Ekspor adalah kegiatan

mengeluarkann barang dari daerah

pabean (UU 10/95 Pasal 1 butir 14).

Adapun pengertian Daerah Pabean

Indonesia adalah wilayah RI yang

meliputi wilayah darat, perairan dan

ruang udara di atasnya, serta tempat-

tempat tertentu di Zona Ekonomi

Ekslusif dan landasan continental

(Arbi, 2003).

Hubungan yang terjalin masing-

masing negara tersebut secara ideal

adalah saling menguntungkan di bidang

ekonomi yang merupakan cita-cita

globalisasi ekonomi. Pada

perkembangannya globalisasi ekonomi

membuka tantangan yang menuntut

kompentisi di antara pengusaha. Di

tingkat internasional, terbentuk

kelompok APEC, AFTA untuk Asia

Tenggara, NAFTA untuk Wilayah

Lautan Atlantik bagian utara. Tahun

1970-an berlangsung perundingan

GATT, yang akhirnya pada tahun 1995

menjadi WTO (World Trade

Organisation atau Organisasi

Perdagangan Dunia). Secara konkret,

globalisasi ekonomi bertujuan

terbentuk semakin menyatunya unit-

unit ekonomi di dunia ke dalam satu

unit ekonomi dunia, Sukirno (1985)

menjelaskan peran ekspor dalam

pembangunan ekonomi selain memiliki

peran mendukung juga memiliki

potensi menghambat dengan

industrialisasi. Menurutnya ada 3 (tiga)

hal penting dalam industri yang harus

diperhatikan, yaitu: modal, bahan

mentah dan tenaga kerja. Maka seluruh

regulasi pemerintah harus

memperhatikan ketiganya untuk

menopang keberhasilan ekspor impor

negara.

Kelancaran transaksi level

internasional tersebut didukung

fasilitas yang diberikan oleh dunia

perbankan dengan istilah letter of

credits (L/C). Bank yang memberikan

Page 8: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

8

layanan L/C kepada nasabah berarti

memberikan jaminan untuk membayar

sejumlah nominal tertentu kepada

pihak lain atas permintaan nasabah

dalam transaksi jual beli. Bank dalam

hal ini menjadi penengah untuk

menutup resiko kecurangan transaksi

jual beli jarak jauh. Berikut mekanisme

L/C dalam transaksi ekspor impor

(Dahlan, 1999):

Keterangan:

1. Penandatanganan kontrak jual beli

barang ekspor impor

2. Permohonan L/C oleh importer

disertai dengan jaminan

3. Permintaan pembukuan L/C oleh

Issuing Bank kepada Advising

Bank

4. Pemberitahuan kepada eksportir

mengenai L/C dan jaminan

pembayaran

5. Pengiriman barang kepada

importir

6. Penyerahan dan verifikasi

dokumen ekspor terhadap

kesesuaian nilai L/C

7. Penyerahan dokumen dan

permintaan pembayaran L/C

kepada Issuing Bank.

8. Issuing Bank memberitahukan

kedatangan dokumen dan meminta

pelunasan.

KERANGKA BERPIKIR

Analisis terhadap fatwa DSN

tentang perdagangan ekspor impor

dengan menggunakan hukum fiqh al

hiwalah bi al ujrah dapat dilakukan

dengan menggunakan kerangka

berpikir sebagai berikut:

Keterangan:

1. Membandingkan untuk mencari

kesamaan praktik transaksi

perpindahan hutang piutang dalam

perusahaan anjak piutang

Factoring Perdag Exim

Fatwa DSN

Al Hiwalah Bi Al Ujrah

Fiqh Al Hiwalah

1

2

3

Simpulan

4

Bank Importir

(Issuing Bank)

Bank Koresponden

(Advising Bank)

Importir Eksportir

2 8

5

3

7

4 6

1

Page 9: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

9

(factoring) dengan letter of credits

dalam perdagangan ekspor impor

2. Menjabarkan fatwa DSN tentang

perdagangan ekspor impor setelah

mengambil simpulan bahwa ada

kesamaan praktik factoring dan

letter of credits

3. Menilai fatwa DSN tentang

perdagangan ekspor impor dengan

merujuk fiqh al hiwalah dan

analisis nalar hukum terhadap fatwa

tersebut

4. Memberi simpulan dari analisis

yang telah dilakukan.

PEMBAHASAN

1. Perbandingan praktik take offer

hutang piutang dalam factoring

dan perdagangan ekspor impor

Perbandingan dilakukan

berdasarkan rukun yang harus

dipenuhi dalam masing-masing

transaksi, dapat dilihat dalam tabel

sebagai berikut:

Factoring Letter of

Credits

1. Kreditur,

sebagai pihak

yang

berpiutang

kemudian

mengalihkan

1. Eksportir,

sebagai pihak

kreditur yang

berpiutang

kemudian

mengalihkan

piutangnya piutangnya

2. Factoring,

sebagai

pembeli

piutang dan

berhak

menerima

pelunasan

hutang pada

saat jatuh

tempo

2. Issuing Bank,

sebagai

pembeli

piutang dan

berhak

menerima

pelunasan

hutang pada

saat jatuh

tempo

3. Debitur,

sebagai pihak

yang

berhutang dan

mempunyai

kewajiban

melunasi

hutang

tersebut pada

saat jatuh

tempo

3. Importir,

sebagai pihak

yang

berhutang dan

mempunyai

kewajiban

melunasi

hutang

tersebut pada

saat jatuh

tempo

4. Surat piutang,

yang

merupakan

obyek

transaksi

4. Transaksi

Ekspor Impor,

yang

merupakan

obyek

transaksi

5. Kesepakatan

transaksi

pengalihan

hutang

piutang

5. Kesepakatan

transaksi

pengalihan

hutang piutang

Berdasarkan perbandingan

tersebut di atas dapat ditarik

simpulan bahwa praktik factoring

Page 10: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

10

dengan L/C sama-sama dapat

dihukumi dengan fiqh al hiwalah,

berdasarkan terpenuhinya rukun al

hiwalah.

2. Fatwa DSN tentang perdagangan

ekspor impor

Fatwa DSN terkait dengan

perdagangan ekspor impor terdiri

dari al hiwalah bil ujrah, wakalah

bil ujrah untuk pengalihan piutang

dalam ekspor, dan al hiwalah bil

ujrah untuk pengalihan hutang

dalam impor. Berdasarkan

perbandingan pada poin pertama,

kesesuaian dengan praktik factoring

adalah pihak Indonesia sebagai

pihak eksportir. Sedangkan ketika

Indonesia sebagai pihak Importir

maka lebih tepat disandarkan pada

fiqh dhaman atau wakalah bi al

ujrah.

3. Analisis

Pelaksanaan factoring dan L/C

diperbolehkan apabila memenuhi

prinsip dan syarat al-hiwalah. Secara

rinci dijelaskan dalam poin-poin

sebagai berikut:

Berdasarkan rukun, factoring dan

L/C sudah memenuhi kriteria al-

hiwalah, dengan perbandingan sebagai

berikut:

1.Kreditur, sebagai pihak yang

berpiutang kemudian mengalihkan

piutangnya, adalah muhal dalam al-

hiwalah.

2.Factoring atau Issuing Bank, sebagai

pembeli piutang dan berhak

menerima pelunasan hutang pada saat

jatuh tempo, adalah muhal 'alaihi

dalam al-hiwalah.

3.Debitur atau Importir, sebagai pihak

yang berhutang dan mempunyai

kewajiban melunasi hutang tersebut

pada saat jatuh tempo, adalah muhil

dalam al-hiwalah.

4.Surat piutang atau Transaksi Ekspor

Impor, yang merupakan obyek

transaksi, muhal bih dalam al-

hiwalah.

5.Kesepakatan transaksi, sighat (ijab

qabul) dalam al-hiwalah.

Tidak adanya hutang muhal 'alaihi

kepada muhil baik dalam factoring

maupun L/C seperti halnya rukun al-

hiwalah yang disebutkan fuqaha selain

madzab Hanafi, tidak menjadikan

factoring dilarang. Madzab Hanafi

membolehkan hal tersebut dan

memasukkannya dalam jenis Al-

Hiwalah Al-Muthlaqah, yang dalam

praktiknya al-hiwalah ini tidak

mengaitkan hutang piutang antara

muhil dan muhal 'alaihi (Az Zulaily

dalam Antonio, 1999). Sebagian ulama

berpendapat al-hiwalah ini termasuk

kafalah mahdhah (jaminan). Sehingga

dapat ditarik kesimpulan factoring

tidak bermasalah dalam syari'ah dari

sisi rukun yang harus dipenuhi.

Prinsip al-hiwalah, memfokuskan

pembahasan mengenai obyek

perpindahan piutang. Konsekuensi

paling logis dari factoring yang

diterima oleh kreditur:

Page 11: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

11

1. Selaku pihak pengalihpiutang akan

menerima dana kas lebih segera

dari tanggal jatuh tempo yang

sudah ditetapkan dan disepakati.

Adapun L/C berarti mendapat

jaminan pembayaran dari pihak

importir.

2. Menerima nominal yang berbeda

dari nominal piutang yang

dimilikinya pada saat jatuh tempo,

dan memiliki kecenderungan

menerima nominal lebih rendah

yang seharusnya diterima pada saat

jatuh tempo. Dalam praktik L/C

dibebani mengeluarkan biaya

administrasi untuk pengurusan

penyerahan dan verifikasi dokumen

oleh Advising Bank.

Kedua konsekuensi tersebut juga

merupakan konsekuensi yang akan

ditemui oleh muhal, selaku pihak

pengalih piutang dalam transaksi al-

hiwalah, dalam hal ini akan diterima

oleh muhal:

1. Kepastian menerima pelunasan

piutang oleh muhal 'alaihi, dalam

hal ini factoring.

2. Dalam hal muhal bih sebagai obyek

al-hiwalah, yaitu hutang muhil

kepada muhal harus jelas, yaitu

sudah diketahui jumlahnya dan

tetap dalam tanggungan dalam arti

jelas pihak muhal dan muhil

sebagaimana pendapat Diibul

Bigha (Sunarto dan Multazam:

1984). Apabila menanggung hutang

yang tidak diketahui (jumlahnya)

dan belum tetap maka al-hiwalah

tidak sah. Pendapat tersebut juga

merupakan pendapat Syafi'i.

Keadaan hutang harus diketahui,

baik barang yang dihutang ataupun

sifat-sifatnya dan harganya

demikian pendapat Al-Husaini

(Rifa’i et all: 1978). Meski Malik,

Ahmad, dan Abu Hanifah tetap

menyatakan sah al-hiwalah yang

tidak jelas kadarnya, sedangkan

Syafi'i dan Ibn Rusyd al-hiwalah

sah jika dipenuhi syarat kejelasan

baik kadar maupun sifat

(Abdurrahman dan Abdullah:

1990).

3. Al-Hiwalah hanya terjadi pada

hutang piutang emas dan dirham

sebagaimana pendapat Ibn Rusyd

yang juga menyebutkan perbedaan

di kalangan fuqaha pada jenis

makanan, kemudian hanya pada

jenis hutang piutang finansial tidak

pada jenis barang atau benda

seperti disebutkan Wahbah Az-

Zuhaily (Antonio: 1999 dan 2001).

4. Sebagaimana telah disebutkan Al-

Jazairi muhal bih harus sama

sejenis, waktu pelaksanaan, besar

dan sifat (Bahri: 2003). Ibn Rusyd

juga menambahkan kesejenisan

muhal bih merupakan syarat yang

harus dipenuhi. Kemudian Malik

menambahkan waktu pelaksanaan

yang sama karena jika berbeda

akan terjadi jual beli hutang.

Dari keempat hal yang

dikemukakan di atas factoring dan L/C

akan menyelisihi salah satu syarat yang

dikemukakan beberapa fuqaha seperti

Malik, Al-Jazairi, Ibn Rusyd yaitu

sama kadar, sifat, jenis dan jangka

waktu hutang. Hal ini terlihat ketika

dalam factoring kreditur menerima

nominal yang berbeda dari nominal

piutang yang dimilikinya pada saat

jatuh tempo, dan untuk L/C dibebani

biaya administrasi sehingga

menjadikan secara nominal haknya

berkurang. Dalam transaksi baik

factoring maupun L/C terdapat

perbedaan nominal muhal bih, padahal

dalam al-hiwalah, muhal bih harus

sama, perbedaan diantara keduanya

Page 12: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

12

memunculkan riba yang diharamkan,

Malik berpendapat hal tersebut

mengeluarkan pembahasan dari

perpindahan hutang piutang menjadi

jual beli hutang.

Persetujuan pelaku al-hiwalah,

dalam factoring pemegang kuasa

dilakukannya transaksi adalah kreditur

(muhal), sedangkan dalam L/C inisiator

dari pihak importer debitur (muhil).

Kreditur berhak menentukan kepada

siapa dia hendak memindahkan

piutangnya, termasuk tanpa harus

meminta ijin kepada debitur (muhil).

Pemberitahuan kepada debitur hanya

sebatas pemberitahuan berpindahnya

hak tagih dari kreditur kepada

pemegang wesel (muhal 'alaihi).

Adapun dalam L/C dengan debitur

mengajukan L/C kepada Issuing Bank

maka berpindahlah kewajibannya

kepada Issuing Bank setelah dia

menerima barang dari eksportir.

Sedangkan dalam al-hiwalah ulama

mahdzab Hanafi mengharuskan adanya

kerelaan dari muhal'alaihi, sebab

dialah yang harus menanggung al-

hiwalah tersebut dan menunaikannya.

Karena itu, dalam pandangan ini, al-

hiwalah tidak sah bila muhal 'alaihi

tidak rela menerimanya.

Ulama lain berpendapat hanya

mensyaratkan kerelaan muhil saja

dalam al-hiwalah, sedangkan bagi

muhal dan muhal 'alaihi dianggap tidak

perlu. Rela atau tidak, kedua pihak ini

wajib menerima al-hiwalah yang

dilaksanakan oleh muhil. Ash

Shiddieqy (2001) menyatakan muhal

tidak wajib menerima al-hiwalah jika

muhil meminta. Daud dan Abu Hanifah

berpendapat wajib menerima, Syafi'i

menyatakan harus menerima. Ketika

muhil menawarkan al-hiwalah,

menurut muhal tidak wajib menerima

apabila ternyata muhal 'alaihi adalah

musuhnya, tetapi Al-Ishthakhriy tidak

wajib secara mutlak bagi muhal untuk

menerimanya. Sebagian lagi

mengutamakan persetujuan muhal dan

muhal 'alaihi. Malik berpendapat

perlunya persetujuan muhal tanpa harus

muhal 'alaihi, sedangkan Daud justru

perlunya persetujuan muhal 'alaihi

tanpa harus persetujuan dari muhal.

Dari sisi persetujuan pelaku al-

hiwalah, transaksi factoring tidak

menyelisihi salah satu pendapat fuqaha

berkaitan dengan masalah persetujuan

tersebut, karena memang terjadi

banyak sekali perbedaan di kalangan

fuqaha tentang masalah ini.

Pasca al-hiwalah, kreditur dalam

factoring juga mempunyai hak mutlak

untuk menentukan sikap setelah terjadi

transaksi, dalam hal

kebertanggungjawaban terhadap

pelunasan piutang yang telah

dialihkannya. Meski bebas menentukan

sikap, kebanyakan kreditur akan

bertanggung jawab terhadap pelunasan

piutang wesel, apabila ternyata debitur

tidak menunaikan kewajibannya pada

saat jatuh tempo wesel kepada

pemegang wesel. Untuk itu dikenal

istilah hutang tidak pasti (contingent

liabilities), berfungsi untuk

menginformasikan kreditur

bertanggungjawab terhadap piutang

yang sudah dialihkan, ketika muncul

masalah dikemudian hari. Adapun

dalam L/C pelanggaran atas hal ini,

akan berakibat penuntutan dalam

bidang hukum.

Adapun dalam al-hiwalah mengenai

masalah ini juga banyak sekali terdapat

perbedaan pendapat di kalangan

fuqaha. Syafi'i dan Ahmad berpendapat

Page 13: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

13

muhal tidak boleh menarik kewajiban

kepada muhil kembali jika tidak ada

pembahasan di awal. Al-Husaini,

Diibul Bigha dan Daud menyatakan

kewajiban muhil selesai setelah

terjadinya al-hiwalah, demikian juga

pendapat Ibn Rusyd, adapun Zufar

berpendapat muhil masih mempunyai

kewajiban, dan pendapat beliau lah

yang paling mendekati jika dijadikan

rujukan dalam factoring pasca

transaksi. Abu Hanifah membolehkan

menarik kembali muhil, jika muhal

'alaihi berlepas tangan karena pailit,

atau mengingkari tanggungjawabnya

sekalipun tidak ada saksi, senada

dengan pendapat beliau adalah Syuraih,

dan Utsman Al-Butti.

SIMPULAN

Al-Hiwalah adalah ilmu fiqh yang

mengatur masalah perpindahan hutang

piutang. Factoring dan L/C yang

merupakan transaksi perpindahan

piutang masuk dalam pembahasan al-

hiwalah, karena di dalamnya diatur

hukum fiqh bagi pihak yang berhutang,

pihak yang berpiutang, obyek hutang

piutang, pihak yang menanggung

pengalihan hutang piutang, dan juga

seluruh prinsip yang harus dipenuhi

dalam bertransaksi memindahkan

hutang maupun piutang.

Transaksi perpindahan hutang

piutang bisa dilakukan melalui

transaksi anjak piutang (factoring) dan

dalam perdagangan ekspor impor

melalui L/C. Factoring adalah

pengalihan piutang atau tagihan jangka

pendek suatu perusahaan dengan

kompensasi tertentu, sedangkan dalam

L/C kompensasi merupakan rewards

dalam penjaminan yang dilakukan bank

terhadap nasabahnya. Factoring tidak

dapat dipraktikkan dalam Islam ketika

nominal piutang yang dipindahkan

dengan besarnya nominal yang akan

diterima penanggung pengalihan

hutang berbeda, perbedaan tersebut

masuk kategori riba dalam kacamata

al-hiwalah, tentu hal ini juga melekat

pada praktik L/C meski dengan istilah

beban administrasi.

Baik hutang piutang yang

berbunga maupun tidak berbunga tidak

bisa dipraktikkan menurut fiqh Islam,

hal ini dikarenakan adanya perbedaan

nominal yang akan diterima ketika

terjadi transaksi pengalihan, dan unsur

riba terkandung dalam perbedaan

nominal hutang dengan nominal

perpindahan hutang tersebut.

Page 14: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

14

Perbedaan nominal inilah yang

menjadikan piutang wesel baik

berbunga maupun tidak berbunga tidak

bisa diterapkan dalam akuntansi Islam,

karena di dalam al-hiwalah telah

menjadi syarat yang tidak ada

perbedaan pendapat (khilaf) di

kalangan fuqaha seperti Malik, Al-

Jazairi, dan Ibn Rusyd mengenai harus

samanya kadar, sifat, jenis, dan jangka

waktu hutang (disaat masih terdapat

khilaf syarat-syarat yang lain).

Perbedaan tersebut menjadikan

transaksi yang terjadi bukan sebagai

pengalihan hutang piutang namun jual

beli hutang piutang.

Simpulan dari analisis pembahasan

di atas merupakan satu pendapat dan

penawaran wacana, kita memahami

hukum berdasarkan pendekatan teks

nash. Adapun nalar hukum dan

pendekatan yang berbeda membuka

peluang untuk simpulan yang berbeda.

Berikut pendekatan masalah yang dapat

ditawarkan:

1. Apakah hukum perdagangan antar

negara dipengaruhi oleh basis

agama masing-masing negara?

2. Seberapa besar mashlahat dan

madharat apabila perdagangan luar

negeri dilaksanakan dengan tidak

menggunakan jasa L/C perbankan?

3. Tidak pantaskah Issuing Bank

menerima reward untuk jasa yang

telah dilakukannya dengan

menjamin bahwa pihak importir

akan membayar hutangnya kepada

eksportir?

Jawaban dari minimal 3 (tiga)

pertanyaan tersebut akan menghasilkan

simpulan yang berbeda dengan

simpulan pertama. Wallaahu a’lam

bishawab.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M.A dan Abdullah,

Haris A. (penerjemah),

Terjemah Bidayatul Mujtahid

Ibnu Rusyd (3), Penerbit Asy-

Syifa', Semarang, 1990

Abu Bakar Al-Husaini, Taqyuddin

Muhammad, Khulashah

Kifayatul Akhyar diterjemahkan

oleh Rifa'i et all, Toha Putra,

Semarang, 1978

Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Minhajul

Muslim diterjemahkan oleh

Bahri Fadhli ,Darul Falah,

Jakarta, 2003

Al-Maidani Abu Bakar, Perbedaan

Antara Jual Beli dan Riba

Page 15: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

15

Shalih Fauzan Al-Fauzan,

Pustaka At-Tibyan, Solo, 2002

An Nabhani, Taqiyuddin,

“Membangun Sistem Ekonomi

Alternatif Perspektif Islam

diterjemahkan oleh Maghfur

Wachid, Risalah Gusti,

Surabaya, 2002

Antonio Syafi'i, Bank Syari'ah Dari

Teori ke Praktik, Gema Insani

Pres, Jakarta, 2001

----------------, Bank Syari'ah Wacana

Ulama dan Cendekiawan, Bank

Indonesia dan Tazkia Institute,

Jakarta, 1999

Arbi, Syarif, Petunjuk Praktis

Perdagangan Luar Negeri Seri

Ekspor, BPFE UGM,

Yogyakarta, 1998

----------------, Petunjuk Praktis

Perdagangan Luar Negeri Seri

Impor, BPFE UGM,

Yogyakarta, 2003

Ash Shiddieqy Muhammad Hasbi,

Hukum-Hukum Fiqh Islam

Tinjauan Antar Mazhab,

Pustaka Rizki Putra, Semarang,

2001

Diibul Bigha, Mustofa, Fiqih Mahzab

Syafi'i (Terjemah At-Tahdzib)

diterjemahkan oleh Sunarto,

Adlchiyah, dan Multazam,

Bintang Pelajar, Surabaya, 1984

Hassan A., Tarjamah Bulughul Maram

Ibn Hajar Al-Atsqalani, CV.

Diponegoro, Bandung, 1998

Isa Asyur, Ahmad, Fiqh Islam Praktis

Bab Muamalah diterjemahkan

oleh Zahwan AbdulHamid,

Pustaka Mantiq, Solo, 1995

Karim, Adiwarman et all, Aplikasi

Konsep Syariah Untuk

Lembaga Keuangan Syariah,

Yayasan BMT Network,

Ungaran, 2002

Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushulul

Fiqh diterjemahkan oleh Helmy

Masdar, Gema Risalah Press,

Bandung, 1997

Sabiq, Sayyid, “Fiqh As Sunnah

(terjemahan)”, Al Ma’rif,

Bandung, 2000

Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga

Keuangan, Lembaga Penerbitan

FE UGM, Yogyakarta, 1999

Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah,

RajaGrafindo Persada, Jakarta,

2005.

Sukirno, Sadono, Ekonomi

Pembangunan Proses,

Masalah, dan Dasar

Page 16: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum

16

Kebijaksanaan, Lembaga

Penerbitan FE UI, Jakarta, 1985

Suparmoko, Pengantar Ekonomika

Makro, BPFE UGM,

Yogyakarta, 2000

Syukur, Sarmin dan Rodhiyah, Luluk

(penerjemah), RohmatulUmmah

Berbagai Masalah Hukum

Islam, Al-Ikhlas, Surabaya,

1993

Zulkifli, Sunarto, Panduan Praktis

Transaksi Perbankan Syari'ah,

Zikrul Hakim, Jakarta, 2004

Page 17: ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL …fai.ummgl.ac.id/fai-jurnal/Analisis Nalar Hukum.pdf · berkenaan dengan hukum perpindahan hutang piutang dan konsep mashlahat ... hukum