tinjauan hukum islam terhadap pengikraran...
Post on 30-Jul-2019
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PENGIKRARAN KEMBALI TANAH WAKAF
(Studi Kasus Tanah Wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh
Kabupaten Grobogan)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh:
MUHAMMAD SYAH ROFIUDDIN
0 7 2 1 1 1 0 3 2
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
ii
DRS. H. AHMAD GHAZALI, M.S.I.
Jln. Suburan Barat 171 RT. 05/II Mranggen
Demak
AFIF NOOR, S.AG., S.H., M.H.
Bangetayu Ragency No. 16 RT. 09/I Genuk
Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp. : 4 (empat) eks.
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Muhammad Syah Rofiuddin
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini
saya kirimkan naskah Saudara:
Nama : Muhammad Syah Rofiuddin
Nomor Induk : 072111032
Jurusan : Ahwal Al-Syakhsiyah
Judul : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengikraran
Kembali Tanah Wakaf
(Studi Kasus Tanah Wakaf Mushola An-Nur Desa
Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan)
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi Saudara tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan.
Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Ahmad Ghazali, M.S.I. Afif Noor, S.Ag., S.H., M.H.
NIP. 19530524 199303 1 001 NIP. 19760615 200501 1 005
iii
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH Jl.Prof. Dr. Hamka, Kampus III Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN
Skripsi Saudara : Muhammad Syah Rofiuddin
NIM : 072111032
Judul : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengikraran
Kembali Tanah Wakaf
(Studi Kasus Tanah Wakaf Mushola An-Nur Desa
Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan)
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat
cumlaude / baik / cukup, pada tanggal:
28 Juni 2012
dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata 1 tahun
akademik 2011/2012
Semarang, 28 Juni 2012
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Achmad Arief Budiman, M.Ag Afif Noor, S.Ag., S.H., M.H.
NIP. 19691031 199503 1 002 NIP. 19760615 200501 1 005
Penguji I Penguji II
Drs. Slamet Hambali, M.S.I. Rupi’i, M.Ag.
NIP. 19540805 198003 1 005 NIP.19730702 199803 1 002
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Ahmad Ghazali, M.S.I. Afif Noor, S.Ag., S.H., M.H.
NIP. 19530524 199303 1 001 NIP. 19760615 200501 1 005
iv
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi
materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain
atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak
berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang
dijadikan bahan rujukan.
Semarang, Juni 2012
Deklarator,
Muhammad Syah Rofiuddin
NIM. 072111032
v
ABSTRAK
Wakaf merupakan bagian hukum Islam yang mendapatkan pengaturan
secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sejak Islam
masuk di Indonesia, tata cara perwakafan cukup dilakukan berdasarkan ketentuan
fiqh yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik. Menurut pendapat Imam Al-
Syafi’i, Malik, dan Ahmad, wakaf dianggap sah dengan adanya lafadz atau sighat
walaupun tidak ditetapkan oleh hakim. Namun dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia, wakaf dianggap sah apabila pihak yang mewakafkan
mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nadzir di hadapan
PPAIW yang kemudian menuangkannya dalam bentuk ikrar wakaf dan disaksikan
oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi dengan melengkapi syarat-syarat
administratif yang di antaranya adalah menyerahkan surat-surat tanda bukti
kepemilikan harta benda. Terdapat kasus pengikraran kembali tehadap tanah
wakaf yang terjadi di Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan yang
dilakukan oleh salah satu ahli waris wakif.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan (1)
bagaimana proses pengikraran kembali tanah wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh
Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan?, (2) bagaimana pandangan hukum Islam
terhadap pengikraran kmbali tanah wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh
Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan?
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif, yaitu
penelitian yang bermaksud memahami fenomena-fenomena yang menghasilkan
analisis dan tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau kuantifikasi
lainnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), yaitu
suatu penelitian yang meneliti obyek di lapangan untuk mendapatkan data dan
gambaran yang jelas dan konkrit tentang hal-hal yang berhubungan dengan
permasalahan yang diteliti. Data lapangan diperoleh secara langsung melalui
interview dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan: Pertama, dilihat dari proses pengikraran
kembali terhadap tanah wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh
Kabupaten Grobogan merupakan bentuk kesadaran wakif dan ahliwaris wakif
bahwa antara nilai ibadah wakaf (aspek vertikal) dengan nilai kemanusiaan (aspek
horizontal) harus berjalan berdampingan. Dilihat dari sudut wakif, wakaf
dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah yang terhindar dari sombong dan riya.
Sementara dari sudut administrasi wakaf dilakukan untuk menegakkan tertib
administrasi dan menjamin kepastian hukum serta pelestarian benda wakaf agar
pendayagunaannya dapat dilakukan secara maksimal dan terhindar dari upaya
pemindahan kepemilikan. Kedua, hukum Islam memandang bahwa pengikraran
kembali terhadap tanah wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh
Kabupaten Grobogan adalah tidak sah, karena adanya penghalang yaitu unsur
paksaan dan hak orang lain. Namun pengikraran kembali tersebut boleh dilakukan
demi mendapatkan suatu kemaslahatan umum dan menolak adanya kamadharatan
yang mungkin terjadi.
vi
KATA PENGANTAR
Tidak ada ungkapan hati yang lebih berharga dari rasa syukur penulis
kepada Allah SWT atas taufiq, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul: TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PENGIKRARAN KEMBALI TANAH WAKAF (Studi Kasus
Tanah Wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten
Grobogan). Shalawat serta salam penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad
SAW.
Dalam susunan skripsi ini sudah barang tentu terdapat banyak kekurangan
atau kelemahan, tetapi itulah hasil ikhtiar yang telah penulis lakukan dalam
menyusun skripsi ini. Penulis juga menyadari bahwa usaha penyusunan skripsi ini
dapat terlaksana hingga selesai karena bantuan dari berbagai pihak, baik dalam
bentuk materi, saran, koreksi, motifasi, maupun do’a. Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih secara tulus dan mendalam kepada:
1. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang.
2. Ibu Anthin Lathifah, M. Ag. dan Ibu Nur Hidayati Setyani, S.H., M.H. selaku
ketua jurusan dan sekretaris jurusan Al-Ahwal Al- Syakhsiyah Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
3. Bapak Drs. H. Ahmad Ghozali, M.S.I dan Bapak Afif Noor, S.Ag., S.H.,
M.H. selaku Dosen Pembimbing I dan II yang telah bersedia meluangkan
vii
waktu, tenaga serta pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan
kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang
telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis serta staf dan
karyawan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah
memberikan fasilitas pelayanannya.
5. Ayah dan Ibu tercinta yang selalu memberikan dukungan, baik secara
materiil, moril, maupun spirituil.
6. Teman-teman yang telah dan selalu memberikan warna yang indah dalam
kehidupan penulis.
Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis maupun pembaca. Akhir kata, penulis berdoa semoga Allah SWT akan
membalas segala kebaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
baik materi maupun moril kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semarang, 6 Juni 2012
Penulis,
Muhammad Syah Rofiuddin
NIM: 072111032
viii
MOTTO
“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu
nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”1
(Q.S. Ali Imran: 92)
1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Penerbit J-ART , h. 63
ix
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan skripsi ini sepenuhnya untuk orang-orang yang
memberi arti dalam perjalanan hudupku:
1. Ayah dan Ibu tercinta yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat
kepadaku.
2. Adik-adikku tersayang yang selalu memberikan kecerian dalam kehidupanku.
3. Teman-teman se-Himpunan yang telah memberikan semangat perjuangan
(Yakin-Usaha-Sampai).
4. Teman-taman kos 41 yang telah menemaniku hidup di Semarang
5. Semua pihak yang telah ikut serta membantu dalam menyelesaikan tugas
akhir ini.
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul ……………………………………………………………... i
Halaman Persetujuan Pembimbing ………………………………………. ii
Halaman Pengesahan ……………………………………………………… iii
Halaman Deklarasi ………………………………………………………… iv
Abstrak ……………………………………………………………………... v
Kata Pengantar .............................................................................................. vi
Halaman Motto .............................................................................................. viii
Halaman Persembahan ................................................................................. ix
Daftar Isi ……………………………………………………………………. x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………... 6
D. Telaah Pustaka ……………………………………………. 7
E. Metode Penelitian ………………………………………… 11
F. Sistematika Penulisan …………………………………….. 14
BAB II : KONSEP UMUM TENTANG WAKAF
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf ……………………. 17
B. Rukun dan Syarat Sah Wakaf ……………………………. 22
C. Macam-Macam Wakaf …………………………………… 32
xi
BAB III : PENGIKRARAN KEMBALI TANAH WAKAF
MUSHOLA AN-NUR DESA BOLOH KECAMATAN
TOROH KABUPATEN GROBOGAN
A. Gambaran Umum Tentang Wakaf Mushola An-Nur Desa
Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan ………….. 34
1. Profil Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten
Grobogan ……………………………………………... 34
2. Sejarah Berdirinya Mushola An-Nur Desa Boloh
Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan ……………... 39
3. Tanah Wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh
Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan ……………... 40
B. Pengikraran Kembali Tanah Wakaf Mushola An-Nur Desa
Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan ………….. 41
1. Proses Pengikraran Kembali Tanah Wakaf Mushola
An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten
Grobogan ……………………………………………... 41
2. Ketentuan Hukum Islam Terhadap Pengikraran
Kembali Tanah Wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh
Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan ……………... 43
xii
BAB IV : ANALISIS PENGIKRARAN KEMBALI TANAH
WAKAF MUSHOLA AN-NUR DESA BOLOH
KECAMATAN TOROH KABUPATEN GROBOGAN
A. Analisis Proses Pengikraran Kembali Tanah Wakaf
Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh
Kabupaten Grobogan ……………………………………... 48
B. Analisis Ketentuan Hukum Islam Terhadap Pengikraran
Kembali Tanah Wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh
Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan …………………. 54
BAB V : PENUTUP
A. Simpulan ………………………………………………….. 67
B. Saran-Saran ………………………………………………. 68
C. Penutup …………………………………………………… 68
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wakaf adalah salah satu bagian hukum Islam yang mendapat
pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan
demikian wakaf merupakan salah satu lembaga hukum Islam yang telah
menjadi hukum positif di Indonesia.
Wakaf sebagai bagian dari hukum Islam di samping berfungsi sebagai
ibadah kepada Allah, wakaf juga berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai
ibadah, wakaf diharapkan menjadi bekal bagi kehidupan wakif (pemberi
wakaf) di hari akhir, karena pahalanya akan terus menerus mengalir selama
harta wakaf tersebut dimanfaatkan. Sebagaimana dalam hadis Nabi SAW:
حدثىب حى ثه اة قتجة عىى اثه سعد اثه حجر قبلا حدثىب اسمعل اثه
وسلم قال إذا لى اهلل عليعه ابي ريرة ان رسول اهلل ص جعفر عه العالء عه اث
او علم يىتفع ب, او جارية صدقةاال مه ةاوقطع عى عمل إال مه ثالث مات االوسان
1 سلم. رواي مولد صالح يدعو ل
Artinya: Telah mengabarkan pada kami dari Yahya bin Ayub dan
QutaibahYa’ni bin Sa’id dan Ibn Hujrin dari Ismail ibn Ja’far dari
Al-Ala’ dari bapaknya dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah
SAW, telah bersabda: apabila mati anak Adam, putuslah amalnya,
kecuali tiga (perkara): shadaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat
atau anak shalih yang mendoakannya.
Hadis di atas bermakna bahwa amal anak Adam (manusia) yang telah
mati itu terputus pembaharuan pahalanya, kecuali di dalam ketiga perkara
1 Imam Abi Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim
Jilid 3, Beirut, Libanon: Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah, 1992, h.73
2
tersebut, karena ketiganya berasal dari satu nasabnya, yaitu anaknya, ilmu
yang ditinggalkannya, dan shadaqah jariyahnya itu senantiasa berasal dari
usahanya.2 Para ulama’ membelokkan arti shadaqah jariyah kepada wakaf,
bukan kepada semacam mewasiatkan kemanfaatan-kemanfaatan yang
mubah.3
Jelaslah bagi kita bahwa wakaf bukan hanya sedekah biasa, tetapi
lebih besar ganjaran dan manfaatnya terhadap diri yang berwakaf itu sendiri
karena ganjaran wakaf itu terus mengalir selama barang wakaf tersebut masih
berguna. Oleh karenanya syariat Islam melarang untuk menjual, mewariskan,
ataupun menghibahkan benda wakaf tersebut. Hal ini sebagaimana yang
diriwayatkan dalam sebuah hadis Rasulullah SAW:
عه اثه عمر حدثىب حى ثه حى التمم أخجروب سلم ثه اخضر عه اثه عن عه وبفع
ستأمري فب, فقبل: صلى اهلل علي وسلمالىج ىقبل: اصبة عمر ارضب ثخجر, فبت
فمب تأمروى رسل اهلل, او اصجت ارضب ثخجر لم اصت مبال قط اوفس عىدي مى ب
قبل )ان شئت حجست اصلب تصدقت ثب( قبل: فتصدق ثب عمر: او الجبع ث؟
ى, ف ف الفقراء, ف القرث عمرفتصدق قبل: اصلب, ال رث, ال ت,
الرقبة, ف سجل اهلل اثه السجل, الضف, ال جىبح على مه لب ان أكل مىب
4 رواي مسلم .فغرمتمل بطعم صدقاثبلمعرف,
Artinya: “Telah mengabarkan pada kami dari Yahya bin Yahya Al-Tamim
dari Sulaim bin Ahdhar dari Ibn Aun dari Nafi’ dari Ibn Umar, ia
berkata: Umar ra. mendapat sebidang tanah di Khaibar kemudian ia
menghadap Nabi saw. untuk meminta petunjuk tentang
pemanfaatannya. Umar berkata: Wahai Rasulullah, saya mendapat
sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah saya dapatkan harta
lain yang lebih berharga darinya. Apa saran engkau tentang hal ini?
Beliau bersabda: Jika kamu suka, kamu bisa mewakafkan asetnya
2 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 4, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, hlm. 423
3 Aliy As’ad, Terjamah Fathul Mu’in jilid 2, Kudus: Menara Kudus, hlm. 344
4 Imam Abi Husain Muslim bin Al-Hajaj, Op Cit., h.1255
3
dan bersedekah dengan hasilnya. Maka Umar bersedekah dengan
hasilnya atas dasar asetnya tidak boleh dijual, dibeli, diwarisi atau
dihibahkan. Umar bersedekah kepada fakir-miskin, kerabat, untuk
memerdekakan budak, jihad di jalan Allah, ibnu sabil serta tamu.
Tidak dosa bagi orang yang mengurusnya memakan sebagian
hasilnya dengan cara yang baik atau untuk memberi makan seorang
teman tanpa menyimpannya.
Hadis di atas menerangkan bahwa Umar menyedekahkan manfaatnya
dengan syarat tanah itu tidak akan dijual, tidak diberikan, dan tidak juga
diwariskan. Tanah itu diwakafkan untuk orang-orang fakir, kaum kerabat,
memerdekakan hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Tidak ada
halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya
dengan cara yang ma’ruf dan juga memakannya tanpa menganggap bahwa itu
tanahnya sendiri.5 Demikian halnya dalam Undang-Undang RI Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf, menyatakan bahwa “harta benda wakaf yang
sudah diwakafkan dilarang dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual,
diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya”.6
Adapun suatu benda itu dapat dinyatakan sah dan berlaku sebagai
benda wakaf, apabila melalui salah satu dari dua perkara. Pertama, dengan
perbuatan yang menunjukkan hal tersebut, seperti jika seseorang membangun
masjid dan mengumandangkan adzan. Semua itu tidak memerlukan
keputusan hakim. Kedua, dengan ucapan, baik itu dengan tegas (sharih)
ataupun dengan tersembunyi (kinayah).7 Namun Al-Imam Al-Syafi’i
berpendapat bahwa wakaf itu suatu ibadat yang disyariatkan dan telah berlaku
5 Sayyid Sabiq, Op. Cit.,hlm. 426
6 Pasal 40 Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
7 Sayyid Sabiq, Op. Cit.,hlm. 427
4
dengan sebutan lafad.8 Artinya bahwa dengan perbuatan saja tidaklah cukup,
bahkan belum dikatakan sebagai wakaf apabila tidak disertai dengan ucapan.
Apabila seseorang yang berwakaf melakukan sesuatu yang
menunjukkan makna wakaf atau mengucapkan dengan menggunakan kata-
kata wakaf, maka wakaf menjadi suatu keharusan dengan syarat orang yang
berwakaf adalah orang yang sah dalam tindakannya. Menurut pendapat Imam
Al-Syafi’i, Malik, dan Ahmad, wakaf dianggap sah dengan adanya lafadz
atau sighat walaupun tidak ditetapkan oleh hakim.9 Jika wakaf telah berlaku,
maka tidak boleh dijual, dihibahkan, diwariskan, dan diperlakukan dengan
sesuatu yang dapat menghilangkan kewakafannya.10
Wakaf sebagai bagian dari hukum Islam yang telah menjadi hukum
positif di Indonesia, maka untuk menghindari terjadinya sesuatu yang dapat
menghilangkan kewakafannya disusunlah aturan-aturan tentang wakaf. Salah
satunya dalam Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa “Pihak-pihak yang
mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada
Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud
8 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan
Antar Mazhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm.146 9 Al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqh Empat
Mazhab,Terj. Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah, Bandung: Hasyimi, 2010, h. 306 10
Sayyid Sabiq, Loc. Cit.
5
dalam pasal 215 ayat (6),11
yang kemudian menuangkannya dalam bentuk
ikrar wakaf dengan disaksikan sekurang-kurangnya 2 orang saksi”.12
Terdapat sebuah kasus perwakafan yang terjadi di Desa Boloh
Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan yang perwakafannya dilakukan
dengan ikrar wakaf sebanyak dua kali oleh orang yang berbeda terhadap
benda yang sama. Hal itu terjadi karena setelah ikrar oleh orang pertama yang
hanya dilakukan secara lisan atau menurut fiqh, bukti kepemilikan terhadap
benda wakaf tersebut telah berpindah nama dari orang pertama kepada orang
kedua. Sehingga demi mendapatkan pengakuan negara terhadap benda wakaf
tersebut orang kedua mengikrarkan kembali benda wakaf tersebut dihadapan
PPAIW.
Berdasarkan dari uraian singkat di atas, penulis tertarik untuk
mengkaji dan menganalisis kasus di atas dalam sebuah skripsi yang berjudul:
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGIKRARAN
KEMBALI TANAH WAKAF (Studi Kasus Tanah Wakaf Mushola An-
Nur Desa Boloh Kec. Toroh Kab. Grobogan).
11
KHI Pasal 215 ayat (6) menyebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petugas pemerintah yang diangkat berdasarkan
peraturan-peraturan yang berlaku, berkewajiban menerima ikrar dan wakaf dan
menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan 12
Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam Pasal 218 ayat (1), Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 2000, hlm. 101
6
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, maka penulis merumuskan beberapa masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pengikraran kembali tanah wakaf Mushola An-Nur
Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pengikraran kembali tanah
wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten
Grobogan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang ada, tujuan yang ingin
dicapai oleh penulis dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui proses pengikraran kembali tanah wakaf Mushola
An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan
b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap pengikraran
kembali tanah wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh
Kabupaten Grobogan
7
2. Manfaat Penelitian
Dalam skripsi ini, penulis berharap agar karya ini dapat
memberikan manfaat untuk:
a. Secara teoritis, menambah wawasan keilmuan dan keagamaan dalam
masalah yang berhubungan dengan ikrar wakaf.
b. Secara praktis, memberikan kontribusi pemikiran sebagai bahan
pelengkap dan penyempurna bagi studi selanjutnya, khususnya
mengenai pengikraran wakaf.
D. Telaah Pustaka
Telaah pustaka merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam
suatu penelitian. Telaah pustaka ini berfungsi untuk menjelaskan kedudukan
atau posisi penelitian dari penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan.
Selain itu, telaah pustaka dapat menghindarkan peneliti dari pengulangan atau
duplikasi penelitian yang sudah pernah dilakukan. Berikut ini adalah
bebarapa hasil pemikiran yang berhubungan dengan skripsi yang penulis
bahas:
1. Skripsi yang ditulis oleh Syamsul Huda, berjudul “Tata Cara Ikrar Wakaf
Studi Komparasi Fiqh Klasik dan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf” (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga,
2009). Salah satu usaha reformasi hukum yang dilaksanakan adalah
adanya pembaharuan dalam sistem pewakafan terutama dalam hal tata
cara ikrar wakaf. Ikrar wakaf dan sertifikat tanah wakaf sangat
8
mempengaruhi terhadap benda wakaf untuk menghindari hilangnya atau
penyalahgunaan harta wakaf dari tujuan semula yang menjadi obyek
persengketaan para pihak yang berkepentingan. Ketidakjelasan status
benda wakaf sehingga harta wakaf tidak dikelola secara baik dan benar
karena disebabkan tidak adanya bukti tertulis. Di dalam fiqh klasik,
perihal tata cara ikrar wakaf juga dijelaskan mengenai statemen agar
tercapainya perwakafan, akan tetapi permasalahannya berbeda dengan
tempat, situasi, dan kondisi perkembangan masyarakat pada saat ini
sehingga tidak relevan digunakan pada masa seperti sekarang ini. Hal ini
mengakibatkan banyak aset wakaf yang disalah gunakan, terbengkalai,
dan pindah tangan, padahal wakaf adalah amanah yang harus
disampaikan pada tujuannya sebagai amal jariyah wakif.
2. Skripsi yang ditulis oleh Inna Nurul Khalifah, berjudul “Analisis Faktor-
Faktor Penyebab Wakaf di Bawah Tangan Tahun 2001-2005 (Studi
Kasus di Kecamatan Jepon Kabupaten Blora)”, (Semarang: Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo, 2007). Wakaf di bawah tangan mempunyai
pengertian bahwa secara legal formal (fikih) Islam dapat dinyatakan sah.
hal ini didasarkan pada alasan bahwa pada saat pelaksanaan wakaf di
bawah tangan semacam itu, semua syarat dan rukun wakaf yang telah
ditentukan telah terpenuhi. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
dilakukanya wakaf di bawah tangan adalah kebiasaan (tradisi) lisan
dalam masyarakat, kurangnya pendidikan dan pemahaman tentang
9
pentingnya pencatatan demi kuatnya hukum atas tanah wakaf dan
mahalnya biaya sertifikasi tanah wakaf.
3. Skripsi yang ditulis oleh Ali Maghfur, berjudul “Kesadaran Hukum
Masyarakat dalam Sertifikasi Tanah Wakaf (Studi Kasus di Wilayah
KUA Ngaliyan Kota Semarang)”, (Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo, 2008). Pengetahuan dan pemahaman hukum masyarakat
tentang hukum sertifikasi tanah wakaf dipengaruhi oleh: pertama,
masyarakat tidak pernah secara nyata memperoleh pendidikan tentang
peraturan secara tertulis, khususnya masalah sertifikasi tanah wakaf.
Kedua, pensertifikatan tanah wakaf merupakan masalah yang jarang
terjadi, umumnya hanya pada masyarakat yang melakukan tindakan
hukum terhadap tanah wakaf. Ketiga, hukum sertifikasi tanah merupakan
berada pada hukum perdata sehingga peranan hukum dan perundang-
undangan tidak tampak jika tidak ada perkara yang diangkat. Sikap dan
pola perikelakuan masyarakat dalam hal ini merupakan sikap dan pola
perikelakuan yang berdasar pada hukum Islam yang selama ini menjadi
kebiasaan dalam melakukan perbuatan dan di sisi lain sikap dan pola
perikelakuan masyarakat merupakan sikap instrumental yang merupakan
sikap mempertimbangkan untung dan rugi suatu kaidah hukum.
4. Skripsi yang ditulis oleh Khasbuna, berjudul “Analisis hukum Islam
Tentang Pemaksaan Wakaf Jama’ah (Wakaf Khair) untuk Pembangunan
Masjid Al-Muttaqin Desa Rengas Pendawa Kec. Larangan Kab. Brebes”,
(Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2008). Proses pembelian
10
tanah yang dijadikan wakaf jama’ah di Desa Rengas Pendawa Kec.
Larangan Kab. Brebes menggunakan angket dan voting. Berdasarkan
hasilnya diketahui bahwa masyarakat tidak setuju mengingat harga yang
terlalu tinggi. Namun demi kemaslahatan bersama akhirnya proses
pembelian tanah tetap dilakukan. Hasil penelitian tersebut menghasilkan
bahwa menurut hukum Islam proses pelaksanaan wakaf jama’ah di Desa
Rengas Pendawa Kec. Larangan Kab. Brebes adalah sah menimbang
bahwa pelaksanaan wakaf jama’ah tersebut dilaksanakan untuk
kepentingan bersama, merujuk pada suatu maslahah amah, yaitu suatu
yang mengandung nilai manfaat dilihat dari kepentingan umat manusia
dan tiadanya nilai madharat yang terkandung di dalamnya, baik yang
dihasilkan dari kegiatan jalbul manfa’ah (mendapat manfaat) maupun
kegiatan daful mafsadah (menghindari kerusakan).
Dari beberapa telaah pustaka yang penulis lakukan di atas, menurut
penulis penelitian yang dilakukan oleh penulis berbeda dengan penelitian-
penelitian yang telah ada dan dilakukan sebelumnya. Maka dalam skripsi ini,
secara garis besar penulis akan memfokuskan pada pembahasan tentang
pengikraran kembali tanah wakaf serta relevansinya dengan fiqh dan
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
11
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan suatu metode
guna memperoleh data-data tertentu sebagai suatu cara pendekatan ilmiah
agar diperoleh suatu hasil yang baik, sehingga dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
Adapun metode penelitian yang akan digunakan penulis dalam
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif, yaitu
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena-fenomena yang
menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur
analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.13
Adapun jenis penelitian
ini adalah penelitian lapangan (field research), yaitu suatu penelitian
yang meneliti obyek di lapangan untuk mendapatkan data dan gambaran
yang jelas dan konkrit tentang hal-hal yang berhubungan dengan
permasalahan yang diteliti.14
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif
dengan pendekatan sosiologis. Dalam penelitian ini akan dideskripsikan
secara rinci dan sistematis mengenai permasalahan yang ada dalam
pengikraran kembali tanah wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh
Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan. Kemudian deskripsi ini akan
dianalisis menurut hukum Islam.
13
Anselm Straus, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Surabaya: PT. Bina Ilmu
Offset, 1997, hlm. 11 14
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Press, 1992, hlm. 18
12
2. Sumber Data
Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah subjek
dari mana data dapat diperoleh.15
Ada dua bentuk sumber data dalam
penelitian ini yang akan dijadikan penulis sebagai bahan informasi data
yang dibutuhkan dalam penelitian. Sumber data tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Data Primer
Data primer merupakan data pokok yang berkaitan dan diperoleh
secara langsung dari obyek penelitian. Sedangkan sumber data
primer adalah sumber data yang memberikan data penelitian secara
langsung.16
Sumber data primer yang digunakan penulis adalah data
yang diperoleh dari hasil wawancara (interview) terhadap nadzir, ahli
waris wakif, pengurus takmir Mushola An-Nur Desa Boloh
Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan, dan atau yang lainnya yang
berkaitan dengan obyek yang diteliti, yaitu tentang pengikraran
kembali tanah wakaf mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh
Kabupaten Grobogan. Selain data yang diperoleh dari interview,
penulis juga menggunakan data primer yang berupa dokumen yang
berkaitan dengan penelitian ini. Adapun dokumen tersebut adalah
15
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:
Rineka Cipta, 2006, hlm. 129 16
Joko P. Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 1991, hlm. 87-88
13
akta ikrar wakaf dan sertifikat tanah wakaf Mushola An-Nur Desa
Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan jenis data yang dapat dijadikan sebagai
pendukung data pokok. Data sekunder dapat diartikan sebagai
sumber data yang memberikan informasi atau data tambahan yang
dapat memperkuat data pokok.17
Data sekunder akan diperoleh dari
karya-karya atau tulisan-tulisan lain yang membahas permasalahan
yang dapat digunakan penulis untuk membandingkan atau
melengkapi data pokok.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan prosedur yang sistematik dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam penulisan skripsi ini,
penulis melakukan pengumpulan data melalui beberapa metode, antara
lain:
a. Metode Wawancara (interview)
Wawancara merupakan percakapan antara dua orang atau lebih dan
berlangsung antara nara sumber dan pewawancara. Tujuan dari
wawancara ini adalah untuk mendapatkan data dari informan yang
terkait dengan pengikraran kembali tanah wakaf mushola An-Nur
17
Sumardi Suryabrata, Op.Cit., hlm. 85
14
Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan. Wawancara ini
akan dilakukan oleh peneliti kepada nadzir, ahli waris wakif,
pengurus takmir Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh
Kabupaten Grobogan, dan atau yang lainnya.
b. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal yang
berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, dan lain
sebagainya.18
Dokumen yang akan dipenulis teliti adalah akta ikrar
wakaf dan sertifikat tanah wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh
Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan.
4. Metode Analisis Data
Analisis yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode analisis dengan
mendeskripsikan suatu situasi tertentu yang bersifat faktual secara
sistematis dan akurat.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran-gambaran yang jelas serta
mempermudah dalam pembahasan, maka penulis membuat sistematika
sebagai berikut:
18
Suharsimi Arikunto, Op. Cit, hlm. 231
15
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II : KONSEP UMUM TENTANG WAKAF
Pada bab ini membahas tentang pengertian dan dasar hukum
wakaf, rukun dan syarat sah wakaf, macam-macam wakaf.
BAB III : PENGIKRARAN KEMBALI TANAH WAKAF MUSHOLA
AN-NUR DESA BOLOH KECAMATAN TOROH
KABUPATEN GROBOGAN
Dalam bab ini penulis akan menggambarkan secara singkat
tentang gambaran umum tentang wakaf Mushola An-Nur Desa
Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan yang berisi
tentang profil Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten
Grobogan, sejarah berdirinya Mushola An-Nur Desa Boloh
Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan, proses pengikraran
kembali tanah wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan
Toroh Kabupaten Grobogan, dan ketentuan hukum Islam
terhadap pengikraran kembali tanah wakaf Mushola An-Nur
Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan.
16
BAB IV : ANALISIS PENGIKRARAN KEMBALI TANAH WAKAF
MUSHOLA AN-NUR DESA BOLOH KECAMATAN TOROH
KABUPATEN GROBOGAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang analisis
terhadap pengikraran kembali tanah wakaf Mushola An-Nur
Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan, serta
analisis ketentuan hukum Islam terhadap pengikraran kembali
tanah wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh
Kabupaten Grobogan
BAB V : PENUTUP
Bab ini merupakan bab akhir yang menyajikan kesimpulan dari
pembahasan pada bab-bab sebelumnya, saran-saran, dan diakhiri
dengan penutup.
17
BAB II
KONSEP UMUM TENTANG DAN WAKAF
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf
Wakaf berasal dari bahasa Arab al-waqf bentuk masdar dari waqofa -
yaqifu – waqfan yang artinya berdiri atau berhenti.1 Kata al-waqf mempunyai
makna yang sama dengan al-habs bentuk masdar dari habasa - yahbisu -
habsan yang artinya menahan.2 Maksud menahan di sini adalah yang
berkenaan dengan harta dalam pandangan hukum Islam.3
Sedangkan menurut peristilahan syara’, dalam fiqh klasik ulama‟
berbeda redaksi dalam memberikan rumusan. Dalam Fiqhus Sunnah, Sayyid
Sabiq mendefinisikan wakaf adalah menahan harta dan memberikan
manfaatnya di jalan Allah.4 Berbeda halnya dengan Syaikh Zainuddin bin
Abdul Aziz al-Malibariy dalam Fathul Mu’in yang menyebutkan bahwa
wakaf adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan dalam keadaan
barangnya masih tetap dengan cara memutus kepemilikan asal, untuk
diserahkan buat keperluan yang mubah dan berarah.5 Demikian halnya dalam
Fiqh Lima Mazhab, Muhammad Jawad Mughniyah menyebutkan bahwa
wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan
1 Mahmud Junus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsir Al-Qur‟an, 1973, h. 505 2 Ibid, h. 96
3 Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: Ciputat Press, 2005, h.7
4 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 4, Terj. Fiqhus Sunnah, Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2006, h. 423 5 Aliy As‟ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid 2, Kudus: Menera Kudus, tth, h. 344
18
menahan pemilikan asal (tahbisul asli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku
untuk umum.6
Selain definisi yang terdapat dalam fiqh klasik, di Negara Indonesia
juga terdapat rumusan wakaf sebagaimana terdapat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 yang menyatakan bahwa;
“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.7
Selain seperti yang terdapat dalam PP. No. 28 Tahun 1977, persoalan
wakaf telah diatur pula dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Definisi wakaf
tidak lagi dikhususkan pada tanah milik sebagaimana yang terdapat dalam PP.
No. 28 Tahun 1977. KHI menyebutkan dalam buku III tentang Hukum
Perwakafan dinyatakan;
“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.8
Batasan yang terdapat dalam PP. No. 28 Tahun 1977 dan KHI
terdapat dua perbedaan, yaitu; pertama, dalam PP. No. 28 Tahun 1977 hanya
dikhususkan pada tanah milik, sedangkan KHI umum sifatnya tidak
mengkhususkan terhadap benda tertentu asalkan benda tersebut bersifat kekal,
tahan lama, dan melembagakannya untuk selama-lamanya. Kedua, hanya
perbedaan redaksionalnya saja. Sedangkan menurut Undang-Undang R.I.
6 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Terj. Al-Fiqh „ala Madzahib
Al-Khomsah, Jakarta: Basrie Press, 1994, h. 383 7 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik
pasal 1 ayat (1) 8 Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (1)
19
Nomor 41 Tahun 2004 definisi wakaf tidak hanya dapat melembagakannya
untuk selama-lamanya, tetapi juga dapat melembagakannya dalam jangka
waktu tertentu. UU. RI. No. 41 Tahun 2004 menyatakan bahwa;
“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.9
Dasar hukum wakaf sebagai lembaga yang diatur dalam ajaran Islam
tidak dijumpai secara tersurat dalam Al-Qur‟an. Namun demikian, terdapat
ayat-ayat yang memberi petunjuk dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum
wakaf. Ayat-ayat tersebut antara lain:
1. Q.S. Al-Baqarah [2]: 267
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah
kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.10
9 Undang-Undang R.I. Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pasal 1 ayat (1)
10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Penerbit J-ART , h.
46
20
2. Q.S. Ali Imran [3]: 92
Artinya:“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang
kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka
Sesungguhnya Allah mengetahuinya”.11
3. Q.S. Al-Hajj [22]: 77
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan, agar kamu
beruntung”.12
Secara eksplisit dalam Al-Qur‟an tidak ditemukan dengan tegas dan
jelas mengenai wakaf. Al-Qur‟an hanya menyebutkan dalam artian umum,
bukan khusus menggunakan kata-kata wakaf. Para ulama‟ fiqh menjadikan
ayat-ayat umum tersebut sebagai dasar wakaf dalam Islam seperti ayat-ayat
yang berbicara tentang sedekah, infaq dan amal jariyah. Para ulama‟
menafsirkannya bahwa wakaf sudah tercakup di dalam cakupan ayat
tersebut.13
11
Ibid, h. 63 12
Ibid, h. 342 13
Abdul Halim, Op Cit, h. 49
21
Meskipun Al-Qur‟an hanya menyebutkan wakaf secara umum, namun
dalam hadis menyebutkan wakaf secara umum dan khusus. Hadis tersebut
antara lain;
1. Hadis Nabi SAW:
حدثىب حى ثه اة قتجة عىى اثه سعد اثه حجر قبلا حدثىب اسمعل اثه
لى اهلل عىه سسى الل عه ابي ريرة ان رسول اهلل جعفر عه العالء عه اث
إذا ملت االوسلن اوقطع عى عمى إال مه ثالثة اال مه لداة جلرية اس عى يىتفع
14 . رساي مسى ب, اس سلد لللح يدعو ل
Artinya: Telah mengabarkan pada kami dari Yahya bin Ayub dan
QutaibahYa‟ni bin Sa‟id dan Ibn Hujrin dari Ismail ibn Ja‟far
dari Al-Ala‟ dari bapaknya dari Abu Hurairah, bahwasanya
Rasulullah SAW, telah bersabda: apabila mati anak Adam,
putuslah amalnya, kecuali tiga (perkara): shadaqah jariyah atau
ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakannya.
2. Hadis Nabi SAW:
حدثىب حى ثه حى التمم أخجروب سلم ثه اخضر عه اثه عن عه وبفع عه اثه
ستأمري فب, لى اهلل عىه سسى عمر قبل: اصبة عمر ارضب ثخجر, فبتى الىج
فقبل: برسل اهلل, او اصجت ارضب ثخجر لم اصت مبال قط اوفس عىدي مى
تصدقت ثب( قبل: فتصدق ثب عمر: فمب تأمروى ث؟ قبل )ان شئت حجست اصلب
او الجبع اصلب, ال رث, ال ت, قبل: فتصدق عمر ف الفقراء, ف
القرثى, ف الرقبة, ف سجل اهلل اثه السجل, الضف, ال جىبح على مه لب
15 رساي مسى ان أكل مىب ثبلمعرف, اطعم صدقب غرمتمل ف.
Artinya: “Telah mengabarkan pada kami dari Yahya bin Yahya Al-
Tamim dari Sulaim bin Ahdhar dari Ibn Aun dari Nafi‟ dari Ibn
Umar, ia berkata: Umar ra. mendapat sebidang tanah di Khaibar
kemudian ia menghadap Nabi saw. untuk meminta petunjuk
tentang pemanfaatannya. Umar berkata: Wahai Rasulullah, saya
14
Imam Abi Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim
Jilid 3, Beirut, Libanon: Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah, 1992, h.73 15
Imam Abi Husain Muslim bin Al-Hajaj, Op Cit., h.1255
22
mendapat sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah saya
dapatkan harta lain yang lebih berharga darinya. Apa saran
engkau tentang hal ini? Beliau bersabda: Jika kamu suka, kamu
bisa mewakafkan asetnya dan bersedekah dengan hasilnya.
Maka Umar bersedekah dengan hasilnya atas dasar asetnya tidak
boleh dijual, dibeli, diwarisi atau dihibahkan. Umar bersedekah
kepada fakir-miskin, kerabat, untuk memerdekakan budak, jihad
di jalan Allah, ibnu sabil serta tamu. Tidak dosa bagi orang yang
mengurusnya memakan sebagian hasilnya dengan cara yang
baik atau untuk memberi makan seorang teman tanpa
menyimpannya.
B. Rukun dan Syarat Sah Wakaf
Rukun adalah sesuatu yang merupakan sendi utama dan unsur pokok
dalam pembentukan suatu hal.16
Tanpa rukun sesuatu itu tidak akan tegak
berdiri. Begitu pula syarat-syarat yang menentukan sah atau tidaknya suatu
wakaf.
Khusus mengenai jumlah rukun wakaf terdapat pebedaan pendapat
antara madzab Hanafi dan jumhur fuqaha. Menurut ulama‟ madzab Hanafi
rukun wakaf itu hanya ada satu, yaitu akad yang berupa ijab (pernyataan
wakif). Sedangkan menurut jumhur ulama‟ dari madzab Syafi‟i, Maliki, dan
Hanbali berpendapat rukun wakaf itu ada empat, yaitu adanya wakif (orang
yang berwakaf), maukuf alaih (orang yang menerima wakaf), maukuf (benda
yang diwakafkan), dan sighat.17
Berbeda pula dalam perundang-undangan di
Indonesia, yang menyatakan ada 6 (enam) unsur wakaf, yaitu wakif, nadzir,
16
Said Agil Husain Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Pena
Madani, 2004, h. 134 17
Abdul Halim, Op Cit, h. 16
23
harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf, dan jangka
waktu tertentu.18
1. Wakif (orang yang berwakaf)
Menurut sebagian besar ulama‟, seorang wakif harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Suatu perwakafan sah dan dapat dilaksanakan
apabila wakif mempunyai kecakapan untuk melakukan tindakan
tabarru’, yaitu melepaskan hak milik tanpa mengharapkan imbalan
material.19
Orang yang cakap melakukan tindakan tabarru’ ini artinya
sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa atau
dipaksa, telah mencapai umur balig, dan wakif adalah benar-benar
pemilik harta yang diwakafkan.20
Oleh karenanya orang yang gila, anak-
anak, orang yang dipaksa atau terpaksa, wakafnya tidak sah.21
Pasal 215 ayat (2) KHI menyebutkan bahwa “wakif adalah orang
atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda
miliknya”.22
Syarat-syaratnya sebagaimana dikemukakan dalam pasal
217 adalah;
(1) Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang
telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak
terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atau kehendak sendiri
dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas
namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.23
18
Undang-Undang R.I. Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pasal 6 19
Said Agil Husain Al-Munawar, Op Cit, h.135 20
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Cet. Ke-3, 1998, h. 493 21
Ibid, h. 494 22
Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (2) 23
Kompilasi Hukum Islam pasal 217 ayat (1) dan (2)
24
2. Maukuf Alaih (orang yang menerima wakaf)
Rukun wakaf yang ke dua adalah muakuf alaih (orang yang
menerima wakaf). Maukuf alaih ialah orang yang menerima barang yang
diwakafkan. Bagi Maukuf alaih disyaratkan harus hadir sewaktu
penyerahan wakaf, harus ahli untuk memiliki harta yang diwakafkan,
tidak durhaka terhadap Allah dan harus jelas tidak dikeragui
kebenarannya.24
Kehadiran maukuf alaih sewaktu terjadinya ikrar wakaf adalah
karena dalam pandangan ulama-ulama fiqh, tidak sah wakaf kepada
orang yang belum jelas orangnya atau kepada orang yang belum lahir
(masih dalam kandungan). Kemudian maukuf alaih disyaratkan pula ahli
untuk memiliki (menerima) harta, maksudnya maukuf alaih bisa
mempertanggungjawabkan atau memelihara harta wakaf itu dan melihat
wakaf sebagai amanah dari Allah yang harus dijaga, disyaratkan pula
maukuf alaih bukanlah orang yang pendurhaka dan suka berbuat maksiat
melawan hukum Allah.25
Dalam perundang-undangan di Indonesia, istilah maukuf alaih
lebih dikenal dengan istilah nadzir. Nadzir ialah pihak yang menerima
harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai
dengan peruntukannya.26
Adapun persyaratan sebagai nadzir dijelaskan
24
Abdul Halim, Op Cit, h. 18 25
Ibid, h 18-19 26
Undang-Undang R.I. Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pasal 1 ayat (4)
25
dalam Undang-Undang R.I. Nomor 41 Tahun 2004 Tentang wakaf pada
pasal 9 dan 10;
Pasal 9
Nadzir meliputi:
a. Perseorangan
b. Organisasi; atau
c. Badan hukum
Pasal 10
(1) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a hanya
dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Beragama Islam;
c. Dewasa;
d. Amanah;
e. Mampu secara jasmani dan rohani; dan
f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
(2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf b hanya
dapan menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan:
a. Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan
nadzir perseoragan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1);
dan
b. Organisasi yang bergerak dibidang social, pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
(3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf c hanya
dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan:
a. Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan
nadzir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
c. Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang social,
pendidikan, kemasyrakatan, dan/keagamaan Islam.27
3. Maukuf (benda yang diwakafkan)
Salah satu unsur terpenting dalam wakaf adalah benda yang
diwakafkan. Tanpa ada benda wakaf, maka wakaf tidak akan pernah
27
Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 9 dan 10
26
terealisasi. Dalam mewakafkan harta, agar dianggap sah, maka harus
memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a. Benda yang diwakafkan itu harus memiliki nilai (harga).
Benda yang ada nilainya adalah benda yang dimiliki oleh orang dan
dapat digunakan secara hukum (sah) dalam keadaan normal maupun
keadaan tertentu, seperti benda bergerak (uang, buku, dll.) dan benda
tidak bergerak (tanah). Benda yang tidak dimiliki oleh manusia tidak
bisa dikatakan sebagai benda yang bernilai karena benda tersebut
tidak dapat dimanfaatkan, baik dalam keadaan normal maupun
keadaan tertentu, seperti burung yang terbang di angkasa, ikan yang
berada di laut, dan lain sebagainya.28
b. Benda yang diwakafkan harus jelas wujudnya dan pasti batas-
batasnya.
Fuqaha mengharuskan syarat sahnya harta wakaf adalah harus
diketahui secara pasti dan tidak mengandung sengketa.29
Syarat ini
dimaksudkan untuk menghindari perselisihan dan permasalahan
yang mungkin terjadi dikemudian hari setelah harta tersebut
diwakafkan.30
Dengan kata lain, persyaratan ini bertujuan untuk
memberikan kepastian hukum dan kepastian hak bagi yang
menerima untuk memanfaatkan benda wakaf tersebut.
28
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Terj. Ahkam Al-Waqf fi
Al-Syari‟ah Al-Islamiyah, Jakarta: Dompet Duafa Republika dan IIMaN Press, 2004, h. 248 29
Ibid., h. 249 30
Said Agil Husain Al-Munawar, Op Cit, h.137
27
c. Harta yang diwakafkan harus benar-benar kepunyaan wakif secara
sempurna (bebas dari segala beban)
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan fuqaha bahwa wakaf tidak
sah kecuali jika wakaf itu berasal dari harta pemilik wakaf sendiri.
Sebab, wakaf merupakan satu tindakan yang menyebabkan
terbebasnya suatu kepemilikan menjadi harta wakaf.31
Menurut
golongan Hanafiyyah, seseorang boleh mewakafkan harta orang lain
dengan syarat pemilik harta yang bersangkutan mengizinkannya.32
d. Benda yang diwakafkan harus kekal.
Pada umumnya para ulama‟ berpendapat bahwa benda yang
diwakafkan zatnya kekal yang memungkinkan dapat dimanfaatkan
secara terus menerus, seperti benda tidak bergerak. Namun demikian
Imam Malik dan golongan Syi‟ah Imamiah menyatakan bahwa
wakaf itu boleh dibatasi waktunya.33
Menurut golongan Hanafiyyah,
benda bergerak juga dapat diwakafkan dalam beberapa hal;
1) Keadaan harta bergerak mengikuti benda tidak bergerak;
a) Barang tersebut mempunyai hubungan dengan sifat diam
ditempat dan tetap, misalnya bangunan dan pohon.
b) Benda bergerak yang dipergunakan untuk membantu benda
tidak bergerak, misalnya alat untuk membajak.
31
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Op Cit, h. 251 32
Said Agil Husain Al-Munawar, Op Cit, h. 138 33
Ibid, h. 139
28
2) Kebolehan wakaf benda bergerak itu berdasarkan asal yang
dibolehkan wakaf senjata dan binatang-binatang yang digunakan
untuk perang.
3) Wakaf benda bergerak itu mendatangkan pengetahuan, misalnya
kitab-kitab dan mushaf.34
Dalam pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
dikemukakan bahwa harta benda wakaf adalah harta benda yang
memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta
mempunyai nilai ekonomi menurut syari‟ah yang diwakafkan oleh
wakif.35
Lebih lanjut penjelasan mengenai harta benda wakaf diatur
dalam pasal 15 dan 16 UU No. 41 Tahun 2004 yang menyatakan
bahwa;
Pasal 15
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan
dikuasai oleh wakif secara sah.
Pasal 16
(1) Harta benda wakaf terdiri dari:
a. Benda tidak bergerak; dan
b. Benda bergerak
(2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi:
a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun
yang belum terdaftar;
b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
34
Ibid, h. 139-140 35
Undang-Undang RI. Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pasal 1 ayat (5)
29
c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan
syari‟ah dn peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari‟ah
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi,
meliputi:
a. Uang;
b. Logam mulia;
c. Surat berharga;
d. Kendaraan;
e. Hak atas kekayaan intelektual;
f. Hak sewa; dan
g. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari‟ah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.36
Benda wakaf menurut para fuqaha dan hukum positif pada
prinsipnya adalah sama, yaitu kemestian benda wakaf itu bermanfaat dan
bernilai ekonomis, dalam arti sesuatu yang dapat diperjual belikan; tahan
lama, baik bendanya maupun manfaatnya; dan manfaatnya dapat diambil
oleh si penerima wakaf.37
4. Sighat
Sighat ialah pernyataan kehendak dari wakif yang dilahirkan
dengan jelas tentang benda yang akan diwakafkan, kepada siapa
diwakafkan dan untuk apa dimanfaatkan.38
Misalnya menggunakan kata
“aku wakafkan tanah milikku ini untuk orang miskin selama-lamanya;
36
Undang-Undang RI. Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pasal 15 dan 16 37
Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia; Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan
perkembangannya, Bandung: Yayasan PIARA, 1997, h. 57 38
Adijani Al-Albij, Perwakafan Tanah di Indonesia; Dalam Teori dan Praktek,
Jakarta: Rajawali, 1989, h.31
30
atau diwakafkan kepada Allah ta‟ala atau untuk tujuan kebaikan”, atau
menggunakan kalimat semakna lainnya.
Sighat disyaratkan diucapkan dengan ucapan yang menunjukkan
maksud akad dari orang yang mampu berbicara, karena kepemilikan
dalam akad wakaf tergantung kepada proses perpindahannya untuk orang
yang menerima wakaf melalui ucapan qabul. Wakaf merupakan
penghapusan hak milik dengan niat mendekatkan diri kepada Allah,
maka tidak sah tanpa ada ucapan sedangkan dia mampu.39
Para ulama‟ mazhab membedakan antara wakaf yang mu’ayyan
(untuk orang tertentu) dengan wakaf yang ghairu mu’ayyan (untuk
kepentingan umum). Mazhab empat sepakat apabila wakafnya ghairu
mu’ayyan, maka sighatnya cukup dengan ijab dan tidak memerlukan
qabul. Sedangkan apabila wakafnya mu’ayyan, golongan Hanafiyyah dan
Hanabilah berpendapat sama seperti wakaf ghairu mu’ayyan, yaitu cukup
dengan ijab dan tidak memerlukan adanya qabul. Sedangkan golongan
Malikiyyah, Syafi‟iyah, dan sebagian dari golongan Hanbilah
berpendapat jika maukuf alaihnya mu’ayyan maka harus dengan ijab dan
qabul.40
Dalam perundang-undangan di Indonesia, wakaf tidak dinyatakan
dengan sighat yang berupa ijab sebagaimana yang dikemukakan oleh
para ulama‟, tetapi menggunakan sebuah pernyataan yang berupa ikrar.
Sebagaimana yang termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),
39
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat; Sistem Transaksi Dalam Fiqh
Islam, Jakarta: Amzah, 2010, h. 407 40
Said Agil Husain Al-Munawar, Op Cit, h. 146
31
ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda
miliknya.41
Pengertian tersebut kemudian diperjelas lagi dalam Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang menyatakan bahwa
ikrar adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan
dan/atau tulisan kepada nadzir untuk mewakafkan harta benda
miliknya.42
Ikrar wakaf merupakan tindakan hukum yang bersifat deklaratif
(sepihak), untuk itu tidak diperlukan adanya qabul (penerimaan) dari
orang yang menikmati manfaat wakaf tersebut.43
Demi tertib hukum dan
administrasi guna menghindari penyalahgunaan benda wakaf, pemerintah
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perwakafan. Sebagaimana dalam KHI pasal 218 dinyatakan bahwa;
(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara
jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf sebagaimana dalam pasal 215 ayat (6), yang kemudian
menuangkannya dalam bentuk ikrar wakaf, dengan disaksikan oleh
sekurang-kurangnya 2 orang saksi.
(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud
dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan Menteri Agama.44
Untuk dapat melakukan ikrar wakaf, maka wakif harus
melengkapi syarat-syarat administratif sebagaimana yang termaktub
dalam KHI pasal 223 ayat (4);
41
Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 ayat (3) 42
Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 1 ayat (3) 43
Ahmad Rofiq, Op Cit, h. 497 44
Kompilasi Hukum Islam Pasal 218 ayat (1) dan (2)
32
Dalam melaksanakan ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang
mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut
dalam pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a. Tanda bukti kepemilikan harta benda;
b. Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka
harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat
oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak
bergerak dimaksud;
c. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda
tidak bergerak yang bersangkutan.45
C. Macam-Macam Wakaf
Wakaf secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu wakaf ahli
(keluarga) dan wakaf khairi (umum).
1. Wakaf ahli (keluarga) adalah wakaf yang tujuannya membantu keluarga
dari wakif.46
Jadi dalam wakaf ahli terkandung makna pengembangan
aset wakaf yang pada suatu saat nanti manfaatnya bisa dirasakan oleh
generasi yang akan datang, terutama kalangan tertentu yang berhak atas
wakaf tersebut.47
Sehingga wakaf ahli memiliki keuntungan, yakni dapat
menghindari penggunaan harta oleh ahli waris secara boros dan
menghindarkan dari kemungkinan pemusnahan harta secara cepat atau
tidak terkendali yang berarti menghindarkan keluarga agar tidak jatuh
miskin. Dengan pemberian manfaat atau hasil dari wakaf tersebut, pihak
mustahik akan terpelihara dan harta tersebut tetap utuh, sehingga mampu
melahirkan produktifitas dan menjamin kesejahteraan keluarga yang
45
Kompilasi Hukum Islam pasal 223 ayat (4) 46
Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008, h. 14 47
Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Terj. Al-Waqf Al-Islami, Jakarta:
KHALIFA, 2004, h. 111
33
merupakan tiang penyangga utama berdirinya suatu masyarakat dan
negara yang bahagia.48
2. Wakaf khairi (umum) adalah wakaf yang tujuannya memberi manfaat
bagi masyarakat umum.49
Seperti masjid, mushala, madrasah, pondok
pesantren, perguruan tinggi, dan lain sebagainya. Wakaf umum ini
sejalan dengan perintah agama yang secara tegas menganjurkan untuk
menafkahkan sebagian kekayaan umat Islam, untuk kepentingan umum
yang lebih besar dan mempunyai nilai pahala jariah yang tinggi.50
Artinya, meskipun wakif telah meninggal dunia, ia akan tetap
mendapatkan pahala dari wakaf tersebut sepanjang benda wakaf tersebut
masih dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
48
Juhaya S. Praja, Op Cit, h. 31 49
Jaih Mubarok, Loc Cit. 50
Ahmad Rofiq, Op Cit, h. 492
34
BAB III
PENGIKRARAN KEMBALI TANAH WAKAF MUSHOLA AN-NUR
DESA BOLOH KECAMATAN TOROH KABUPATEN GROBOGAN
A. Gambaran Umum Tentang Wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh
Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan
1. Profil Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan
a. Letak Geografis dan Kepadatan Penduduk
Desa Boloh merupakan salah satu desa dari 16 (enam belas)
desa yang berada di wilayah Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan
Jawa Tengah. Luas wilayahnya 852 Ha yang menurut penggunaannya
terbagi menjadi: pemukiman 176 Ha, persawahan 231 Ha,
Perkebunan187 Ha, kuburan 2 Ha, pekarangan 164 Ha, dan prasarana
umum lainnya seluas 92 Ha.1
Batas-batas daerah atau wilayah Desa Boloh Kec. Toroh
adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kandangan Kec.
Purwodadi
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Genengsari Kec. Toroh
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tunggak Kec. Toroh, dan
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Plosoharjo Kec. Toroh.2
1 Data Arsip Pemerintah Desa Boloh Kecamatan Toroh, Februari 2012
2 Ibid.
35
Wilayah Desa Boloh terbagi menjadi 6 (enam) dukuh, yaitu: Pejaren,
Boloh I, Boloh II, Kaluan, Kayen, dan Tlogo Mulyo. Desa Boloh
sampai dengan bulan Februari 2012 memiliki jumlah penduduk
sebanyak 2.668 KK atau 8.356 jiwa yang terdiri dari laki-laki 4.262
jiwa dan perempuan 4.094 jiwa.3
Tabel I
Jumlah Penduduk Menurut Usia dan Jenis Kelamin4
No. Kelompok Umur Jumlah Penduduk
Laki-laki Perempuan Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
0-4
5-9
10-14
15-19
20-24
25-29
30-39
40-49
50-59
60-74
75+
323
341
321
329
347
305
683
469
454
462
228
299
297
294
298
279
286
665
465
480
495
236
622
638
615
627
626
591
1.348
934
934
957
464
Jumlah Keseluruhan 4.262 4.094 8.356
b. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Sebagai salah satu desa bagian timur dari Kecamatan Toroh,
Desa Boloh merupakan sebuah desa yang cukup maju dibanding desa-
desa lainnya, karena di desa inilah pusat kegiatan perekonomian dari
beberapa desa sekitar (seperti: Tunggak, Kenteng, Ngrandah,
Plosoharjo, dll). Di Desa Boloh ini terdapat salah satu dari tiga pasar
tradisional yang digunakan oleh beberapa desa sekitarnya untuk
3 Ibid.
4 Ibid.
36
melakukan kegiatan ekonomi. Selain itu, di desa ini sudah terdapat
klinik dokter umum, puskesmas, koperasi, kantor unit BRI, pertokoan,
dan lain-lain. Namun demikian sektor pertanian masih tetap menjadi
sektor utama penunjang perekonomian di desa.5
Pertanian di Desa Boloh mampu mencapai tiga kali panen
dalam satu tahun. Hasil pertaniannya antara lain: padi, jagung,
kedelai, tembakau, ketela pohon, kacang tanah, dan lain-lain.
Dilihat dari jumlah angkatan kerjanya, Desa Boloh memiliki
angkatan kerja (usia 18-56 tahun) sebanyak 4.310 orang dan 1.634
orang tercatat masih sekolah dan tidak bekerja. Dilihat dari struktur
mata pencariannya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel II
Mata Pencarian Penduduk (Usia 18-56 Tahun)6
No. Jenis Pekerjaan Jumlah Penduduk
1. Petani 2.070 Orang
2. Buruh Tani 2.088 Orang
3. Pegawai Negeri Sipil (PNS) 85 Orang
4. TNI 4 Orang
5. POLRI 3 Orang
6. Dukun/Para Normal 2 Orang
7. Guru Swasta 3 Orang
8. Notaris 1 Orang
9. Jasa Konsultan Manajemen & Teknis 1 Orang
10. Seniman 5 Orang
11. Buruh Migran 12 Orang
12. Wiraswasta lain 36 Orang
5 Desa Boloh , http://id.m.wikipedia.org/wiki/Boloh_Toroh_Grobogan¸diakses pada
12 Maret 2012. 6 Data Arsip Pemerintah Desa Boloh Kecamatan Toroh, Februari 2012
37
c. Kondisi Pendidikan dan Keagamaan Masyarakat
Kondisi pendidikan penduduk Desa Boloh berdasarkan data
yang diperoleh penulis dari data arsip di Balai Desa Boloh hanya
separuh dari keseluruhan penduduk desa dengan mayoritas penduduk
tidak sekolah dan tidak lulus SD. Berikut adalah data riwayat
pendidikan penduduk Desa Boloh:
Tabel III
Pendidikan Penduduk7
No. Riwayat Pendidikan Jumlah
L P
1. Usia 3-6 Th belum masuk TK/PG 124 130
2. Usia 3-6 Th sedang masuk TK/PG 59 50
3. Usia 7-18 Th tidak pernah sekolah 60 58
4. Usia 7-18 Th sedang sekolah 84 76
5. Usia 18-56 Th tidak pernah sekolah 905 1.120
6. Usia 18-56 Th pernah SD tapi tidak tamat 517 493
7. Tamat SD/Sederajat 23 14
8. Usia 12-56 Th tidak tamat SLTP 7 4
9. Usia 18-56 Th tidak tamat SLTA 9 6
10. Tamat SMP/SLTA/Sederajat 329 227
11. Tamat SMA/SLTA/Sederajat 23 37
12. Tamat D1 75 58
13. Tamat D2 - -
14. Tamat D3 2 1
15. Tamat S1 48 30
16. Tamat S2 3 3
17. Tamat S3 2 -
18. Tamat SLB A - -
19. Tamat SLB B 1 -
20. Tamat SLB C - -
Jumlah 2.271 2.307
7 Ibid.
38
Tabel IV
Sarana dan Prasarana Pendidikan8
No. Jenis Sarana Pendidikan Jumlah
1. Play Group 1 buah
2. TK 4 buah
3. SD 4 buah
4. SMP 1 buah
5. MTs 1 buah
6. SMA 1 buah
Dari segi keagamaan, penduduk Desa Boloh mayoritas adalah
beragama Islam. Prosentasenya adalah 99,9% penganut agama Islam
dan sisanya 0,1% penganut agama Kristen dan Katolik. Kondisi
keagamaan penduduk Desa Boloh dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel V
Keagamaan Penduduk9
No. Jenis Agama Laki-laki Perempuan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Islam
Kriten
Katholik
Hindu
Budha
Konghucu
Lainnya
4.258
4
3
-
-
-
-
4.090
4
3
-
-
-
-
Tabel VI
Sarana dan Prasarana Peribadatan10
No. Jenis Sarana Peribadatan Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
Masjid
Mushola/Surau/Langgar
Gereja Kristen
Gereja Katholik
Wihara
7 buah
31 buah
-
-
-
8 Ibid
9 Ibid
10 Ibid
39
6.
7.
Pura
Klenteng
-
-
2. Sejarah Berdirinya Mushola An-Nur Desa Boloh
Mushola An-Nur merupakan salah satu dari 31 mushola yang
terdapat di Desa Boloh Kecamatan Toroh. Sebelum dibangun di Dukuh
Pejaren, semula mushola ini merupakan benda wakaf dari seseorang dan
telah berdiri di Dukuh Kayen Desa Boloh Kecamatan Toroh yang
kemudian dipindah di Dukuh Geri Desa Kandangan Kecamatan
Purwodadi hingga kemudian dipindah lagi ke Dukuh Pejaren Desa Boloh.
Perpindahan ini dikarenakan meninggalnya wakif atau pengelola wakaf
yang terdahulu.11
Awal berdirinya di Dukuh Pejaren, mushola ini menempati lahan
milik Mbah Kasban (mertua H. Munasir) dan kemudian dipindahkan ke
lahan milik H. Munasir sekitar pada tahun 1956.12
Sejak tahun 1956
sampai sekarang mushola tersebut tidak lagi berpindah tempat.
Mulai sejak berdirinya pada tahun 1956 sampai sekarang, mushola
An-Nur ini sempat mengalami renovasi sebanyak 3 (tiga) kali. Pertama
kali mushola An-Nur direnovasi pada tahun 1973, karena mushola An-
Nur yang pada saat itu masih bermodel panggung dengan ketinggian satu
meter tiba-tiba lantainya ambrol saat digunakan untuk berjamaah sholat
11
Hasil wawan cara dengan Bapak Nur Khalis (ahli waris H. Munasir sekaligus
Nadzir dan ketua Takmir Mushola An-Nur Desa Boloh) pada tanggal 7 Maret 2012 12
Ibid.
40
tarawih. Setelah kejadian tersebut bangunan mushola tersebut
panggungnya diperpendek, yaitu dengan ketinggian setengah meter.13
Sekitar tahun 1980 mushola ini direnovasi untuk kedua kalinya,
yaitu dengan menghilangkan model panggungnya dan menggunakan
pondasi dengan dinding tembok setengah badan. Kemudian pada tahun
2003 direnovasi lagi untuk ketiga kalinya secara permanen dengan
dinding tembok seluruhnya.14
3. Tanah Wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh
Tanah wakaf Mushola An-Nur sebelumnya merupakan tanah
keras (tanah pekarangan) yang terletak di RT. 005 RW.001 Dukuh
Pejaren Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan. Tanah
wakaf tersebut mempunyai luas 199,12 m2, dengan panjang 13,5 m
2 dan
lebar 14,75 m2. Tanah wakaf ini memiliki batas-batas:
Sebelah Timur berbatasan dengan tanah/rumah milik Sri Fathonah
Sebelah Barat berbatasan dengan jalan raya
Sebelah Utara berbatasan dengan jalan kampung (lorong/gang)
Sebelah Selatan berbatasan dengan tanah/rumah milik Hidayatur
Rohmah 15
13
Ibid. 14
Ibid. 15
Akta Ikrar Wakaf dan Sertifikat (Tanda Bukti Tanah Wakaf) Tanah Wakaf
Mushola An-Nur Desa Boloh No. 11.10.04.15.9.00448
41
B. Pengikraran Kembali Tanah Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan
Toroh Kabupaten Grobogan
1. Proses Pengikraran Kembali Tanah Wakaf Mushola An-Nur Desa
Boloh
Tanah mushola An-Nur Desa Boloh secara resmi diwakafkan pada
tahun 1985. Wakaf tersebut diikrarkan oleh H. Munasir sebagai pemilik
tanah dihadapan anak-anaknya dengan menunjuk Bapak Nur Kholis
sebagai pengelola atau nadhirnya.16
Namun pada saat pewakafan tanah
tersebut tidak langsung disertifikatkan, karena pada saat itu sertifikat
dianggap tidak terlalu penting.17
Pada tahun 1993, H. Munasir berangkat menunaikan rukun Islam
yang kelima, yaitu ibadah haji. Sebelum keberangkatannya ke tanah suci
Makah, ia membagikan atau menghibahkan sebagian tanah yang dimiliki
kepada beberapa anaknya. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa ia
khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama menunaikan
ibadah haji, misalnya tidak bisa kembali ke kampung halaman karena
mengingat usia H. Munasir yang sudah tua.18
Pada saat pembagian atau penghibahan tanah tersebut, ada salah
satu anak beliau yang tidak mendapatkan bagian yang sama dengan yang
lain, yaitu yang bernama Hidayatur Rohmah hanya mendapatkan
separuhnya saja. Hal itu dikarenakan separuh bagian yang seharusnya
16
Hasil wawancara dengan Bapak Nur Khalis (ahli waris H. Munasir sekaligus
Nadzir dan ketua Takmir Mushola An-Nur Desa Boloh) pada tanggal 7 Maret 2012 17
Hasil wawancara dengan Ibu Hidayatur Rohmah (ahli waris H. Munasir) pada
tanggal 8 Maret 2012 18
Ibid.
42
didapat sebelumnya telah diwakafkan untuk kepentingan mushola. Dalam
pembagian tanah tersebut karena dirasa tidak adil, maka H. Munasir
sempat akan menarik kembali ikrar wakaf tanah tersebut. Namun hal
tersebut tidak jadi dilakukan karena Bapak Nur Kholis sebagai anaknya
mengingatkan beliau bahwa tanah yang telah diikrar wakafkan tidak dapat
ditarik kembali. Tidak jadinya ditarik kembali ikrar wakafnya, maka H.
Munasir memberikan sebidang sawah seluas 1/8 bahu19
kepada anaknya
yang bernama Hidayatur Rohmah sebagai ganti dari separuh bagian yang
belum didapatkan tersebut, namun dengan membayarnya separuh harga,
yaitu Rp. 1.200.000,00.20
Sekitar tahun 1999, ada pemutihan sertifikat tanah milik. Pada
saat itu tanah yang semula atas nama H. Munasir kemudian diatas
namakan beberapa anaknya karena sebelumnya tanah tersebut telah
dipecah dan dibagikan kepada beberapa anaknya. Disaat itulah, tanpa
sengaja ternyata tanah yang telah diwakafkan untuk keperluan mushola
tersebut ikut tersertifikatkan menjadi tanah milik salah satu anaknya yang
bernama Hidayatur Rohmah. Mengetahui hal tersebut H. Munasir
membiarkan saja dan tidak mempermasalahkannya.21
Namun sebagian
anak beliau tidak setuju apabila tanah tersebut dibiarkan menjadi hak
19
Kata bahu atau bau berasal dari kata bahasa Belanda “bouw” yang berarti
garapan, dalam agraria adalah satuan luas lahan yang dipakai di beberapa tempat di Indonesia
terutama di Jawa. Ukuran bahu berfariasi, namun kebanyakan adalah 0,70 hingga 0,74 hektar
(7000-7400 meter persegi) dan adapula yang menyamakan dengan 0,80 hektar. Lihat dalam
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Bahu_(agraria) 20
Hasil wawancara dengan Bapak Nur Khalis (ahli waris H. Munasir sekaligus
Nadzir, dan ketua Takmir Mushola An-Nur Desa Boloh) pada tanggal 7 Maret 2012 21
Hasil wawancara dengan Ibu Hidayatur Rohmah (ahli waris H. Munasir) pada
tanggal 8 Maret 2012
43
milik pribadi. Maka pihak yang tidak setuju meminta agar tanah tersebut
dikembalikan menjadi tanah wakaf dengan mensertifikatkan tanah wakaf
tersebut karena mengingat bahwa tanah wakaf mushola tersebut sempat
akan ditarik kembali ikrar wakafnya.22
Sehingga pada 29 Januari 2003 dan bersamaan dengan
direnovasinya bangunan mushola An-Nur, tanah tersebut dikembalikan
menjadi tanah wakaf dengan mensertifikatkan menurut administrasi
hukum positif yang berlaku. Sebelumnya karena tanah tersebut telah
bersertifikat atas nama Hidayatur Rohmah, maka Ibu Hidayatur Rohmah
yang berikrar atas nama wakif dihadapan PPAIW.23
2. Ketentuan Hukum Islam teradap Pengikraran Kembali Tanah
Wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh
Penulis menggunakan istilah hukum Islam di sini untuk menyebut
hukum yang dalam hal ini berupa fiqh klasik dan hukum positif Islam di
Indonesia yang berupa peraturan perundang-undangan. Hal ini karena
dalam permasalahan hukum wakaf disamping bagian dari pembahasan
dalam fiqh klasik, Pemerintah Indonesia juga telah menjadikan wakaf
sebagai salah satu hukum Islam yang mendapatkan pengaturan secara
khusus dalam perangkat undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Dengan kata lain, wakaf merupakan salah satu lembaga hukum Islam
22
Hasil wawancara dengan Bapak Nur Khalis (ahli waris H. Munasir sekaligus
Nadzir, dan ketua Takmir Mushola An-Nur Desa Boloh) pada tanggal 7 Maret 2012 23
Ibid.
44
yang secara kongkrit berhubungan erat dengan peraturan yang berlaku di
Indonesia.24
Ikrar wakaf merupakan pernyataan kehendak dari wakif untuk
mewakafkan benda miliknya.25
Begitu pentingnya suatu pernyataan dalam
hukum wakaf sehingga ulama’ madzab Hanafi menyatakan bahwa rukun
wakaf itu hanya ada satu, yaitu akad yang berupa ijab (pernyataan
wakif).26
Karena wakaf merupakan penghapusan hak milik dengan niat
mendekatkan diri kepada Allah, maka tidak sah tanpa ada ucapan
sedangkan dia mampu.27
Menurut pendapat Al-Imam Al-Syafi’i, Malik dan Ahmad, wakaf
dianggap telah terlaksana dengan adanya lafadz atau sigat, walaupun tidak
ditetapkan oleh hakim.28
Dengan demikian, hak milik yang semula berada
pada wakif telah hilang atau berpindah dengan terjadinya lafadz,
walaupun benda tersebut masih berada dalam kekuasaan wakif.
Pernyataan wakaf harus dinyatakan dengan tegas, misalnya dengan
menggunakan kata “aku mewakafkan” atau “aku menahan” atau kalimat
semakna lainnya.29
24
Said Agil Husain Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta:
PENAMADANI, 2004, h. 123-124 25
Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 ayat (3) 26
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: Ciputat Press, 2005, h.
16 27
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat; Sistem Transaksi Dalam Fiqh
Islam, Jakarta: Amzah, 2010, h. 407 28
Al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqh Empat
Mazhab,Terj. Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah, Bandung: Hasyimi, 2010, h. 306 29
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Cet. Ke-3, 1998, h. 497
45
Dalam kasus pengikraran kembali tanah wakaf yang terjadi di
Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan tersebut telah jelas
bahwa benda wakaf tersebut seharusnya telah berlaku secara sah dengan
terjadinya ikrar wakaf yang pertama menurut ketentuan hukum Islam
secara fiqh. Hal ini di dasarkan bahwa H. Munasir telah mengikrarkan
tanahnya untuk dijadikan sebagai wakaf. Namun menurut hukum positif
Indonesia, ikrar wakaf H. Munasir belum dianggap sebagai perbuatan
perwakafan, karena tidak dilakukan menurut peraturan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hukum positif Indonesia untuk dapat melakukan
perwakafan, pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya
secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf yang kemudian menuangkannya dalam bentuk ikrar wakaf,
dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi.30
Untuk dapat
melakukan ikrar wakaf, maka wakif harus melengkapi syarat-syarat
administratif sebagaimana yang termaktub dalam KHI pasal 223 ayat (4);
Dalam melaksanakan ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang
mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut
dalam pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a. Tanda bukti kepemilikan harta benda;
b. Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka
harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat
oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak
bergerak dimaksud;
c. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda
tidak bergerak yang bersangkutan.31
30
Lihat Pasal 218 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam 31
Pasal 223 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam
46
Adanya peraturan perundang-undangan yang mengatakan
sebagaimana di atas, maka secara hukum positif Indonesia H. Munasir
tidak dapat melakukan tindakan perwakafan tanah miliknya. Hal itu
dikarenakan bukti kepemilikan tanah yang sebelumnya atas namanya
telah berpindah atas nama salah satu anaknya yang bernama Hiayatur
Rohmah. Terjadinya perpindahan bukti kepemilikan tersebut secara
hukum seharusnya tidak diperbolehkan, mengingat bahwa benda yang
telah diwakafkan secara hukum tidak boleh dijual, dihibahkan,
diwariskan, atau perpindahan kepemilikan dalam bentuk yang lainnya.
Terjadinya perpindahan bukti kepemilikan tersebut, secara tidak
langsung telah menimbulkan adanya kehawatiran dari beberapa pihak jika
suatu saat nanti terjadi pengingkaran terhadap tanah yang telah
diwakafkan tersebut. Sehingga atas desakan beberapa pihak, tanah
tersebut diikrar wakafkan kembali oleh Hidayatur Rohmah di hadapan
PPAIW guna mendapatkan kepastian hukum di Indonesia.
Terjadinya pengikraran kembali tanah wakaf tersebut secara nyata
telah melahirkan dualisme hukum yang saling bertentangan, yakni
menurut fiqh dan hukum positif Indonesia. Menurut fiqh status wakif
berada pada H. Munasir, sedangkan menurut hukum positif Indonesia
status wakif berada pada anaknya yang bernama Hidayatur Rohmah.
Dalam pengikraran kembali tanah wakaf Mushola An-Nur,
menurut hukum positif Indonesia secara sah adalah yang dilakukan oleh
Hidayatur Rohmah. Namun keabsahan tersebut hanyalah menurut
47
administrasi pencatatannya saja. Sedangkan ikrar wakafnya adalah tidak
sah atau batal demi hukum. Hal ini sejalan dengan salah satu kaidah:
32ما ثبت بالشرع مقدم على ما ثبت بالشرط
Artinya: “Sesuatu yang ditetapkan dengan syara’ itu didahulukan atas sesuatu
yang ditetapkan dengan syarat”
Kaidah di atas menunjukkan bahwa dalam kasus pengikraran
kembali terhadap tanah wakaf Mushola An-Nur adalah sah ikrar wakaf
yang pertama, karena telah sesuai berdasarkan ketentuan syara’.
Sedangkan ikrar wakaf yang kedua adalah tidak sah, karena hanya
dilakukan sebagai syarat kelengkapan administrasi negara.
Selain itu juga, tidak sahnya ikrar yang kedua ini didasarkan pada
terhalangnya akad wakaf dalam wilayah muamalah. Terhalangnya akad
ini karena adanya unsur paksaan (ikrah) dan hak orang lain (haqqul
ghair).33
Secara substansi bukti kepemilikan tanah tersebut masih berada
pada H. Munasir dan bukti kepemilikan benda tersebut yang berada pada
Hidayatur Rohmah hanyalah pinjam nama.
32
Moh. Adib Bisri, Terjemah Al Faraidul Bahiyah; Risalah Qawa’id Fiqh, Kudus:
Menara Kudus, 1977, h. 59 33
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999, h. 53
48
BAB IV
ANALISIS PENGIKRARAN KEMBALI TANAH WAKAF MUSHOLA AN-
NUR DESA BOLOH KECAMATAN TOROH KABUPATEN GROBOGAN
A. Analisis Proses Pengikraran Kembali Tanah Wakaf Mushola An-Nur
Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan
Dari data yang telah disajikan di Bab III penulis telah memaparkan
tentang proses pengikraran kembali tanah wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh
Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan. Pengikraran wakaf yang dilakukan
sebanyak dua kali oleh orang yang berbeda terhadap benda yang sama. Yaitu
tanah Mushola An-Nur Desa Boloh yang diikrar wakafkan hanya secara lisan
oleh orang pertama dan ikrar wakaf menurut hukum positif Indonesia dilakukan
oleh orang kedua. Pengikraran tersebut dikarenakan telah berpindahnya bukti
kepemilikan benda wakaf dari orang pertama kepada orang kedua setelah
terjadinya ikrar wakaf yang pertama.
Ikrar wakaf merupakan pernyataan kehendak dari wakif untuk
mewakafkan benda miliknya.1 Begitu pentingnya suatu pernyataan dalam
hukum wakaf sehingga ulama’ madzab Hanafi menyatakan bahwa rukun
wakaf itu hanya ada satu, yaitu akad yang berupa ijab (pernyataan wakif).2
Karena wakaf merupakan penghapusan hak milik dengan niat mendekatkan
diri kepada Allah, maka tidak sah tanpa ada ucapan sedangkan dia mampu.3
1 Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 ayat (3)
2 Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: Ciputat Press, 2005, h. 16
3 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat; Sistem Transaksi Dalam Fiqh
Islam, Jakarta: Amzah, 2010, h. 407
49
Pentingnya akad dalam hukum wakaf karena wakaf termasuk dalam
wilayah muamalah, yaitu seseorang yang mewakafkan harta bendanya
dilakukan secara horizontal dan pemenuhan kebutuhan akan fasilitas umum
umat Islam. Di samping wilayah muamalah, wakaf juga termasuk dalam
wilayah ibadah, yaitu seseorang yang mewakafkan benda miliknya untuk
mendekatkan diri kepada Allah agar mendapat ridha-Nya.
Wakaf dalam wilayah ibadah diyakini umat Islam sebagai kegiatan
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Salah satu prinsip dalam beribadah
adalah istikhfa’ (dilakukan secara sembunyi-sembunyi).4 Prinsip ini tidak
lepas dari pemahaman ulama’ yang mengatakan bahwa wakaf adalah bagian
dari sedekah (shadaqah jariyah). Muhammad Daud Ali menjelaskan
sebagaimana dikutip oleh Jaih Mubarok bahwa sedekah secara fiqhiyah
dibedakan menjadi dua, yaitu sedekah yang hukumnya wajib dan sedekah
yang hukumnya sunah.5 Sedekah yang hukumnya wajib misalnya zakat,
sedangkan sedekah yang hukumnya sunah misalnya wakaf.
Prinsip istikhfa’ dalam beribadah ini di dasarkan pada dua dasar
hukum, yaitu:
1. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]: 271
Artinya: “Jika kamu Menampakkan sedekah(mu), Maka itu adalah baik
sekali. dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan
4 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008, h. 38
5 Ibid.
50
kepada orang-orang fakir, Maka Menyembunyikan itu lebih baik
bagimu. dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian
kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.6
2. Hadis riwayat Abu Hurairah:
حدثى زهير تي حرب وهحود تي الوثى. جويعا عي يحيى القطاى. قال زهير:
حدثا يحيى تي سعيد عي عثيداهلل. أخثرى خثية تي عثد الرحوي عي حفص تي
صلى اهلل عليو سلن, لال )سثعح يظلين اهلل فى عاصن, عي أتى هريرج, عي الثى
يم ال ظل إال ظلو: اإلهام العادل شاب نشأ تعثادج اهلل رجل للثو هعلك فى ظلو
الوساجد رجالى ذحاتا فى اهلل, اجروعا عليو ذفرلا عليو رجل دعرو اهرأج ذاخ
ذعلن هنصة جوال, فمال: إنى أخاف اهلل رجل ذصدق تصدلح فأخفاىا حرى ال
7خاليا, ففاضد عيناه( راه هسلنيوينو ها ذنفك شوالو رجل ذكر اهلل
Artinya: “Telah mengabarkan pada kami Zuhair bin Harbi dan
Muhammad bin Al-Musanna bersama denganYahya Al-Qattani.
Zuhair berkata: telah mengabarkan pada kami Yahya bin Sa’id
dari Ubaidillah dari Khubaib bin Abdirrohman dari Hafsin bin
Asim, dari Abi Hurairah dari Nabi saw. bersabda: Ada tujuh
golongan yang bakal dinaungi oleh Allah di bawah naungan-
Nya, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya,
yaitu: Pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dengan ibadah
kepada Allah (selalu beribadah), seseorang yang hatinya
bergantung kepada mesjid (selalu melakukan salat jamaah di
dalamnya), dua orang yang saling mengasihi di jalan Allah,
keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seorang yang
diajak perempuan berkedudukan dan cantik (untuk berzina), tapi
ia mengatakan: Aku takut kepada Allah, seseorang yang
memberikan sedekah kemudian merahasiakannya sampai tangan
kanannya tidak tahu apa yang dikeluarkan tangan kirinya dan
seseorang yang berzikir (mengingat) Allah dalam kesendirian,
lalu meneteskan air mata dari kedua matanya.” (H.R. Muslim)
6 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tejemahnya, Bandung: CV. Penerbit J-ART,
2004, h. 47 7 Imam Abi Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim
Jilid 2, Beirut, Libanon: Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah, 1992, h. 815
51
Dua dasar itulah yang dijadikan alasan bahwa wakaf sebaiknya
dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal itu yang menunjukkan keikhlasan
dan terhindar dari sifat riya (ingin dipuji oleh orang lain karena telah
melakukan perbuatan baik).
Sedekah yang dilakukan dengan riya, sedekah yang sering disebut-
sebut dengan menyinggung perasaan orang lain adalah suatu sedekah orang
yang telah beriman, sama-sama pahalanya batal di sisi Allah. Hal itu
dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]: 267
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya
karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang
di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu
menjadilah dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai
sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.8
Inilah yang dijadikan dasar dalam ikrar wakaf pertama terhadap tanah
Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan yang
dilakukan oleh H. Munasir yang mewakafkan tanahnya hanya secara lisan
8 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tejemahnya, Op Cit, h. 46
52
dengan diketahui pihak internal keluarga saja, tanpa diketahui oleh pihak luar
dan tanpa ada usaha pengadministrasiannya. Pelaksanaan wakaf semacam itu
cukup didasarkan atas adanya rasa keikhlasan seseorang yang menyerahkan
wakaf (wakif) karena ibadah kepada Allah semata sehingga dirasa lebih dapat
mencegah diri dari sifat riya (ingin dipuji oleh orang lain kerena telah
melakukan suatu perbuatan baik).
Pelaksanaan wakaf seperti itu, di satu sisi memiliki kelebihan yaitu
pelaksanaan wakaf terasa lebih mudah karena tiada prosedur dan tatacara
yang rumit dan berbelit-belit, tetapi disisi lain juga memiliki kelemahan yaitu
sebagai akibat dari pelaksanaan wakaf dengan tidak adanya
pengadministrasian, maka hal ini dapat mengancam kekekalan dan keabadian
benda wakaf tersebut, karena keberadaannya tidak dilindungi oleh alat bukti
yang kuat. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan H. Munasir yang sempat
akan menarik kembali tanah yang telah diwakafkan. Hal itu dikarenakan H.
Munasir merasa adanya ketidak adilannya dalam pembagian tanah kepada
beberapa anaknya secara tidak merata. Namun penarikan tanah wakaf dapat
dicegah meskipun bukti kepemilikan tanah tersebut telah berpindah tangan
kepada salah satu anaknya.
Dalam sejarah Islam, pada masa Nabi dan Shahabat perwakafan
secara administratif belum dikenal. Namun dalam urusan muamalah, Al-
Qur’an menganjurkan untuk dicatat dan disaksikan oleh dua orang saksi laki-
53
laki.9 Ayat Al-Qur’an yang bermakna umum itu, juga berarti Islam
menghendaki masalah wakaf dengan tertulis atau memakai administrasi serta
saksi karena masalah wakaf juga termasuk muamalah yang diatur oleh
Allah.10
Oleh karena itu lahirnya peraturan wakaf di Indonesia seperti PP No.
28 Tahun 1977, KHI Buku III, dan UU No. 41 Tahun 2004 dapat dikatakan
sebagai implementasi terhadap ayat Allah SWT, sehingga wakaf dalam
konteks muamalah di Indonesia, keberadaan wakif, nadzir, saksi, dan PPAIW
merupakan sebuah keniscayaan demi menjamin kepastian hukum dan
pelestarian benda wakaf agar pendayagunaannya dapat dilakukan secara
maksimal dan optimal.
Atas dasar itulah dilakukan pengikraran kembali terhadap benda
wakaf yang dilakukan oleh Hidayatur Rohmah yang sebelumnya telah
diikrarkan oleh orang tuanya, yakni H. Munasir. Terjadinya ikrar wakaf yang
kedua tersebut merupakan hasil desakan beberapa saudara Hidayatur
Rohmah, yang menginginkan benda wakaf tersebut dicatatkan menurut
administrasi negara. Hal ini dilakukan demi menjamin adanya kepastian
hukum dan pelestarian tanah wakaf tersebut guna menghindari adanya
kemungkinan terjadinya pengingkaran terhadap benda wakaf tersebut.
Dengan terjadinya pengikraran kembali terhadap tanah wakaf
Mushola An-Nur ini berarti benda yang telah diwakafkan secara administrasi
negara telah mendapatkan suatu kepastian hukum menurut hukum positif
Indonesia. Dengan dituangkannya ikrar wakaf tersebut dalam bentuk Akta
9 Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]: 282, Lihat dalam Departemen Agama, Al-Qur’an
dan Tejemahnya, Bandung: CV. Penerbit J-ART, 2004, h. 49 10
Abdul Halim, Op Cit., h. 104
54
Ikrar Wakaf oleh PPAIW setidaknya telah menghilangkan adanya
kehawatiran apabila suatu saat terjadi pengingkaran terhadap benda wakaf
tersebut. Meskipun dalam AIW tersebut yang bertindak sebagai wakif adalah
Hidayatur Rohmah dan bukan H. Munasir.
Terjadinya pengikraran kembali terhadap tanah wakaf Mushola An-
Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh merupakan upaya yang dilakukan oleh
ahli waris wakif demi menjamin kelanggengan tanah wakaf tersebut. Hal ini
juga merupakan bentuk kesadaran wakif, nadzir, dan ahli waris wakif bahwa
antara nilai ibadah wakaf (aspek vertikal) dengan nilai kemanusiaan wakaf
(aspek horizontal) harus berjalan seimbang. Oleh karenanya praktek
perwakafan selain dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah dan
menghindarkan diri dari sifat sombong dan riya, juga harus tertib administrasi
guna mendapatkan kepastian hukum yang dapat menjamin kelanggengan
harta benda wakaf sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
B. Analisis Ketentuan Hukum Islam terhadap Pengikraran Kembali Tanah
Wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten
Grobogan
Konsep Islam sebagai agama (al-din), yang bersumber dari Al-
Qur’an, meliputi pengaturan semua aspek kehidupan manusia, baik
pengaturan hubungan manusia dengan Tuhannya, yakni hubungan makhluk
dengan khalik (habl min Allah), maupun pengaturan hubungan antar makhluk
55
(habl min al-Nas).11
Konsep Din al-Islam mencakup hukum tentang sistem
keyakinan (ahkam i’tiqadiyah), hukum yang berhubungan dengan pengaturan
ucapan, perbuatan dan hubungan antara manusia (ahkam ‘amaliyah) dan
hukum yang berhubungan dengan keutamaan, kesempurnaan dan keindahan
bagi diri manusia (ahkam khuluqiyah). Esensi kandungan Din al-Islam, tidak
hanya mengatur masalah ibadah ritual saja, yaitu ibadah dalam bentuk
pengaturan hubungan manusia dengan Tuhannya, namun juga mengatur
kepentingan hubungan manusia dalam hidup kemasyarakatannya, seperti
masalah kehidupan rumah tangga, pendidikan, ekonomi, ketatanegaraan,
politik, dan hukum.12
Hukum Islam merupakan sistem hukum yang bersumber dari wahyu
agama, sehingga istilah hukum Islam secara jelas mencerminkan konsep yang
jauh berbeda dengan konsep, sifat, dan fungsi hukum biasa.13
Secara teologis,
hukum Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiyah sekaligus
bersifat transenden. Akan tetapi dilihat dari perspektif sosiologis, hukum
Islam merupakan fenomena peradaban, kultural, dan realitas sosial dalam
kehidupan manusia. Dalam realitas sosialnya, hukum Islam tidak saja sekedar
sejumlah aturan yang bersifat menzaman dan menjagat raya (universal),
tetapi juga mengejawantahkan diri dalam institusi-institusi sosial yang
dipengaruhi oleh situasi dan dinamika ruang dan waktu, sehingga hukum
Islam yang bersifat transeden dan universal tersebut pada tingkat sosial tidak
11
Suparman Usman, Hukum Islam; Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, h.12 12
Ibid, h. 13 13
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah; Implikasinya pada Perkembangan
Hukum Islam, Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2000, h. 45
56
dapat menghindarkan diri dari sebuah kenyataan, yakni perubahan yang
menjadi karakter dasar kehidupan sosial.14
Wakaf merupakan bagian dari hukum Islam yang tidak luput dari
perubahan yang menjadi karakter dasar kehidupan sosial tersebut. Hukum
wakaf ini bersumber dari Al-Qur’an dan hadis Nabi, namun sangat sedikit
sekali hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber
tersebut sehingga ajaran wakaf ini diletakkan pada wilayah yang bersifat
ijtihadi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf,
syarat, peruntukan, dan lain-lain. Oleh karenanya, ketika suatu hukum
(ajaran) Islam yang masuk dalam wilayah ijtihadi, maka hal tersebut menjadi
sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru, dinamis, dan
fururistik (berorientasi pada masa depan).15
Oleh karenanya wakaf merupakan
sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan zaman.
Setiap permasalahan menurut pandangan Islam tentu ada hukumnya.
Hanya kebanyakan masalah, terutama masalah dalam wilayah muamalah
tidak ditetapkan secara terinci hukumnya. Bahkan tidak sedikit masalah-
masalah seperti wakaf secara teknis pelaksanaannya tidak ada nasnya dalam
Al-Qur’an dan Sunnah. Bukan karena kealpaan atau kelengahan dari syari’,
yakni Allah dan Rasul-Nya. Sebab masalah perwakafan semacam itu dapat
berubah dan berkembang dengan cepat sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan kemajuan zaman. Oleh karena itu, Islam cukup memberikan
14
Ibid, h. 45-46 15
Departemen Agama, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Jakarta:
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, h. 59
57
pedoman pokok dan prinsip-prinsipnya saja, sedangkan pengaturannya
diserahkan kepada ulil amri, yakni pemerintah, ulama’ atau ahlul hilli wal
aqdi (orang-orang yang mampu menganalisa dan menyimpulkan masalah).16
Wakaf sebagai produk ijtihad menjadikan wakaf tidak lepas dari
perhatian para ulama. Berdasarkan perspektif historis dapat dilihat bahwa
para ulama’ fiqh kita terdahulu dengan mengambil petunjuk dari prinsip-
prinsip dasar Al-Qur’an dan Sunnah Nabi telah mampu mengembangkan
suatu sistem hukum yang luar biasa. Namun sebagus apapun rumusan-
rumusan hukum para fuqaha generasi terdahulu, kesemuanya adalah hasil
interpretasi yang tidak bersifat final dan memang tidak pernah dimaksudkan
oleh para pembina madzhab sebagai sifat final.17
Secara teknis, pelaksanaan wakaf menurut para ulama’ secara sah
dilakukan apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya. Salah satu rukun
wakaf tesebut adalah dengan adanya sighat, yakni pernyataan kehendak dari
wakif yang dilahirkan dengan jelas tentang benda yang akan diwakafkan,
kepada siapa diwakafkan dan untuk apa dimanfaatkan.18
Menurut pendapat
Al-Imam Al-Syafi’i, Malik dan Ahmad, wakaf dianggap telah terlaksana
dengan adanya lafadz atau sighat, walaupun tidak ditetapkan oleh hakim.19
Berdasarkan pendapat para ulama yang telah tersebar dalam kitab-
kitab fiqh klasik, tata cara perwakafan cukup dengan adanya sighat atau akad
16
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, Cet. Ke-2 Jakarta: CV. HAJI
MASAGUNG, 1990, h. 128 17
Musahadi HAM, Op Cit, h. 73-74 18
Adijani Al-Albij, Perwakafan Tanah di Indonesia; Dalam Teori dan Praktek,
Jakarta: Rajawali, 1989, h.31 19
Al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqh Empat
Mazhab,Terj. Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah, Bandung: Hasyimi, 2010, h. 306
58
dari wakif. Pelaksanaan wakaf seperti ini sebagaimana yang telah dilakukan
oleh H. Munasir yang hanya dilakukan secara lisan tanpa adanya
pengadministrasian menurut hukum positif Indonesia. Namun hal ini
membawa konsekuensi bahwa kekekalan dan keabadian tanah wakaf tersebut
kemungkinan akan terganggu dan terancam, karena keberadaannya tidak
dilindungi atau didukung oleh bukti yang kuat.
Untuk generasi pertama selama wakif masih hidup, kemungkinan
terjadinya masalah masih bisa diatasi, tetapi apabila wakif telah meninggal
dunia, permasalahan akan menjadi lain. Timbulnya interest seseorang untuk
memiliki tanah wakaf tersebut sangat mungkin terjadi, misalnya setelah wakif
meninggal dunia, ahli waris tidak mengakui adanya wakaf karena tidak
adanya bukti-bukti perwakafan.
Kasus perpindahan bukti kepemilikan tanah wakaf dari H. Munasir
kepada salah satu anaknya yang bernama Hidayatur Rohmah merupakan
sebuah indikasi kemungkinan adanya pengingkaran terhadap tanah wakaf,
karena tidak adanya bukti-bukti perwakafan terhadap tanah wakaf. Ketika
suatu saat Hidayatur Rohmah telah meninggal dunia, interest (ketertarikan)
dari ahli warisnya untuk memiliki tanah wakaf tersebut sangat mungkin
terjadi dengan menggap tanah tersebut sebagai harta waris yang harus dibagi.
Atas dasar kehawatiran yang mungkin terjadi di kemudian hari, maka
beberapa ahli waris H. Munasir yang lain (saudara-saudara Hidayatur
Rohmah) mendesak agar tanah wakaf tersebut didaftarkan (dicatatkan)
menurut administrasi negara. Sehingga pada tahun 29 Januari 2003,
59
Hidayatur Rohmah mendaftarkan tanah wakaf tersebut dengan mengikrarkan
wakaf terhadap tanah dihadapan PPAIW.20
Dengan terjadinya pengikraran
kembali terhadap tanah wakaf tersebut, secara hukum jelas melahirkan
adanya dualisme hukum, yaitu antara fiqh dan hukum positif Indonesia.
Sejak Islam datang ke Indonesia, pengaturan wakaf tunduk pada
hukum Islam. Tata cara perwakafan tanah cukup dilakukan berdasarkan
ketentuan-ketentuan fiqh yang terdapat dalam kitab-kitab kuning. Namun,
dengan terbentuknya pemerintahan di bawah kekuasaan Belanda pada waktu
itu, setiap perwakafan tanah harus diketahui oleh negara.21
Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda, tidak dapat dipungkiri
bahwa setelah kemerdekaannya, Indonesia masih menjalankan hukum
warisan Belanda (hukum positif). Sebagai akibatnya, wakaf sebagai bagian
dari hukum Islam yang semula hanya dilakukan berdasarkan ketentuan-
ketentuan fiqh juga harus dilakukan menurut peraturan perundang-undangan
di Indonesia. Oleh karena itu berlakunya peraturan tentang wakaf di
Indonesia seperti PP No. 28 Tahun 1977, KHI Buku III, dan UU No. 41
Tahun 2004 adalah sebuah keniscayaan demi menjamin kepastian hukum dan
pelestarian tanah wakaf agar pendayagunaannya dapat dilakukan secara
maksimal dan optimal.
Pemberlakuan perwakafan secara administratif menurut hukum positif
ini juga merupakan interpretasi pemerintah dalam urusan muamalah dalam
Islam sebagaimana Al-Qur’an yang menganjurkan untuk dicatat dan
20
Lihat dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW) Tanah Wakaf Mushola An-Nur. 21
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset,
h. 9
60
disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki.22
Ayat Al-Qur’an yang bermakna
umum itu, juga berarti Islam menghendaki masalah wakaf dengan tertulis
atau memakai administrasi serta saksi karena masalah wakaf juga termasuk
muamalah yang diatur oleh Allah.23
Meskipun dalam sejarah Islam praktek
perwakafan secara administratif belum dikenal.
Pengikraran kembali terhadap tanah wakaf Mushola An-Nur secara
hukum memang telah melahirkan dualisme hukum yang saling bertentangan.
Hal ini dikarenakan adanya perbedaan konsep pelaksanaan perwakafan
menurut fiqh dan hukum positif Indonesia. Secara fiqh, seseorang dapat
melakukan wakaf terhadap benda miliknya meskipun tidak mempunyai bukti
tertulis terhadap kepemilikan benda tersebut. Namun menurut hukum positif
Indonesia, bukti tertulis terhadap kepemilikan suatu benda adalah syarat
administratif yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melakukan
perwakafan.24
Dengan demikian, pengikraran kembali terhadap tanah wakaf
Mushola An-Nur yang dilakukan oleh Hidayatur Rohmah tidak dapat
dihindarkan. Terjadinya pengikraran kembali tanah wakaf ini di dasarkan
pada beberapa alasan, antara lain:
1. Setelah terjadinya ikrar wakaf oleh H. Munasir terhadap tanah Mushola
An-Nur, H. Munasir sempat akan menarik lagi tanah yang telah
22
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]: 282, Lihat dalam Departemen Agama, Al-
Qur’an dan Tejemahnya, Bandung: CV. Penerbit J-ART, 2004, h. 49 23
Abdul Halim, Op Cit., h. 104 24
Lihat dalam Pasal 223 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam
61
diwakafkan dan sempat akan diberikan kapada salah satu anaknya yang
bernama Hidayatur Rohmah. Namun hal tersebut tidak jadi dilakukan.
2. Bukti kepemilikan tanah wakaf tersebut telah beralih kepemilikan dari H.
Munasir kepada salah satu anaknya yang bernama Hidayatur Rohmah
setelah terjadinya ikrar wakaf oleh H. Munasir.
3. Adanya desakan dari pihak ketiga agar tanah wakaf tersebut dicatatkan
menurut administrasi negara. Hal itu dikarenakan tidak adanya bukti-
bukti perwakafan terhadap tanah tersebut, sehingga timbul kehawatiran
ketika suatu saat Hidayatur Rohmah sudah tidak ada (telah meninggal
dunia), kemungkinan timbul interest (ketertarikan) dari ahli warisnya
untuk memiliki tanah wakaf tersebut dengan menggap tanah tersebut
sebagai harta waris yang harus dibagi. Sehingga diperlukan adanya suatu
kepastian hukum yang menjamin kekekalan tanah wakaf tersebut.
4. Dalam pengikraran wakaf tanah Mushola An-Nur secara administrasi
negara bisa saja dilakukan oleh H. Munasir, yakni dengan cara
pemindahan bukti kepemilikan tanah tersebut dari Hidayatur Rohmah
kembali ke H. Munasir. Namun hal itu akan menjadi sesuatu yang agak
berlebihan, karena dengan dilakukannya perpindahan kembali bukti
kepemilikan kepada H. Munasir akan menyita banyak tenaga, pikiran dan
biaya untuk sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu prinsipil. Mengingat
bahwa secara substansi perwakafan adalah kekekalan benda wakaf dan
manfaatnya yang berlaku untuk kesejahteraan umum guna keperluan
ibadah. Adapun perwakafan secara administrasi hanya sebagai pelengkap
62
guna menjamin kepastian hukum dan pelestarian tanah wakaf agar
pendayagunaannya dapat dilakukan secara maksimal dan optimal.
Pengikraran kembali tanah wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh
Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan menurut hukum Islam, sebagai
kelangsungan suatu hukum taklifi25
memiliki kaitan terhadap tiga hal, yaitu:
sabab (sebab), syarat, dan mani’ (penghalang). Bila sesuatu perbuatan
dituntut ada sebabnya, juga telah memenuhi syarat-syaratnya dan telah
terhindar dari segala mani’ (penghalang), maka perbuatan itu dinyatakan
sudah memenuhi ketentuan hukum. Ditinjau dari segi hasil suatu perbuatan
hukum dalam hubungannya terhadap tiga hal di atas, para ahli memasukkan
ke dalam hukum wadh’i26
tiga hal lagi, yaitu: shah, fasid, dan batal.27
Pengikraran kembali terhadap tanah wakaf Mushola An-Nur Desa
Boloh adalah sah menurut hukum positif Indonesia, karena dilakukan sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku. Namun menurut hukum Islam
sebagai kelangsungan hukum taklifi pengikraran kembali terhadap tanah
wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh adalah batal atau fasid karena adanya
mani’ (penghalang). Terhalangnya akad ini karena adanya unsur ikrah
25
Hukum taklilifi adalah hukum yang berhubungan dengan tingkah laku mukalaf
dalam bentuk tuntunan dan pemberian pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Lihat Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 1,Cet. 4, Jakarta: Kencana, 2009, h. 394 26
Hukum wadh’i merupakan titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu yang
berkaitan dengan hukum-hukum taklifi. Lihat Ibid. 27
Fasid dan batal merupakan kebalikan dari shah. Kedua istilah ini menurut jumhur
ulama’ mempunyai arti yang sama baik dalam bidang ibadah maupun muamalah, tetapi
menurut ulama’ hanafiyah kedua istilah ini mempunyai makna yang berbeda dalam bidang
muamalah, yakni fasid terdapat kekurangan atau kesalahan dalam syarat suatu akad,
sedangkan batal terdapat kekurangan atau kesalahan rukun akad. Lihat Ibid. h.411-412
63
(paksaan) dan haqqul ghair (hak orang lain)28
, karena pelaksanaan ikrar
wakaf yang kedua ini merupakan hasil desakan (paksaan) dari pihak ketiga,
bukan atas kehendak sendiri. Selain itu juga kepemilikan tanah tersebut
bukanlah milik Hidayatur Rohmah dan bukti kepemilikan tanah tersebut yang
berada pada Hidayatur Rohmah hanyalah pinjam nama. Oleh karenanya,
seharusnya dalam pengikraran kembali tersebut Hidayatur Rohmah tidaklah
bertindak sebagai wakif, tetapi sebagai kuasa dari wakif (H. Munasir) dengan
menyatakan benda yang akan diikrar wakafkan adalah bukan miliknya dan
bukti kepemilikan yang berada atas namanya hanyalah pinjam nama.
Namun, dalam peraturan hukum positif Indonesia tentang syarat
administrasi perwakafan tidak diatur tentang bukti kepemilikan yang diatas
namakan orang lain boleh diwakafkan oleh pemilik asli. Demi mendapatkan
kepastian hukum dan pelestarian wakaf tanah Mushola An-Nur Desa Boloh,
pengikraran kembali terhadap tanah wakaf tersebut oleh Hidayatur Rohmah
mengharuskan untuk dilakukan demi mendapatkan kemaslahatan.
Secara umum, tujuan Pencipta hukum (syari’) dalam menetapkan
hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta
kebahagiaan manusia seluruhnya, baik kehidupan dunia maupun kehidupan
akhirat kelak.29
Tujuan hukum Islam yang demikian itu dapat dipahami antara
lain dalam firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]: 201-202
28
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999, h. 53 29
Suparman Usman, Op Cit, h. 67
64
.
Artinya: “Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan Kami,
berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
peliharalah Kami dari siksa neraka". mereka Itulah orang-orang yang
mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah
sangat cepat perhitungan-Nya.”30
Tujuan hukum Islam sebagaimana di atas, dapat dirinci kepada lima
tujuan yang disebut al-maqasid al-khamsah atau al-kulliyat al-khamsah. Lima
tujuan itu adalah memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara harta, dan memelihara keturunan. Cara pencapaiannya adalah
dengan menarik kemaslahatan, baik itu dengan cara menarik kamanfaatannya
atau dengan cara menolak kemadharatan.31
Memperhatikan kemaslahatan masyarakat dalam urusan muamalah,
seperti terjadinya pengikraran kembali terhadap tanah wakaf Mushola An-
Nur Desa Boloh merupakan dasar asasi dalam pembinaan hukum. Pembinaan
hukum (syari’) menerangkan illat hukum yang disyari’atkannya agar hukum-
hukum itu berkisar sekitar illatnya, dan untuk mengingatkan kita kepada
keharusan memelihara kemaslahatan dan tidak membeku pada praturan
hukum yang telah ada. Namun jika kemaslahatan-kemaslahatan itu
bertentangan satu sama lain, maka didahulukan maslahat umum atas maslahat
30
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tejemahnya, Op. Cit., h. 32 31
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syari’ah, Jakarta: AMZAH, 2009, h.
xv
65
khusus dan diharuskan kita menolak kemadharatan yang lebih besar dengan
jalan mengerjakan kemadharatan yang lebih kecil. 32
Dengan demikian terjadinya pengikraran kembali terhadap tanah
wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh secara hukum adalah boleh dilakukan.
Kebolehan ini demi mewujudkan suatu kemaslahatan umum agar tidak
menimbulkan suatu kemadharatan yang mungkin terjadi. Hal ini sejalan
dengan kaidah fiqhiyah yang menyatakan bahwa:
33الضرر يسال
Artinya: “Madharat itu dapat dihapus”.
34درء الوفاسد هقدم على جلة الوصالح
Artinya: “Menolak kerusakan itu didahulukan daripada menarik kebaikan”.
Kaidah di atas merupakan sebagian dari kaidah-kaidah pokok.
Kepadanya kembali sebagian besar dari masalah-masalah fiqh dan dari
padanya diistinbathkan berbagai hukum.35
Salah satunya adalah kasus
terjadinya pengikraran kembali terhadap tanah wakaf Mushola An-Nur
tersebut dilakukan demi mendapatkan kepastian hukum atau pengakuan dari
negara. Tidak adanya kepastian hukum atau pengakuan negara merupakan
sebuah kemadharatan yang dapat menimbulkan kerusakan, yakni dengan
tidak adanya kepastian hukum memungkinkan terjadinya pengingkaran
32
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h 79-
80 33
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007, h. 9 34
Ibid, h. 11 35
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam jilid II, Jakarta: Bulan Bintang,
1981, h. 109
66
terhadap tanah wakaf tersebut. Oleh karenanya pengikraran kembali terhadap
tanah wakaf Mushola An-Nur yang dilakukan oleh Hidayatur Rohmah ini
demi menolak adanya kerusakan yang mungkin timbul dikemudian hari.
67
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari seluruh uraian, pembahasan, serta analisis yang telah penulis
paparkan dalam sripsi ini, maka sebagai akhir dari kajian ini penulis
simpulkan sebagai berikut:
1. Proses pengikraran kembali terhadap tanah wakaf Mushola An-Nur Desa
Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan merupakan bentuk
kesadaran wakif dan ahli waris wakif bahwa antara nilai ibadah wakaf
(aspek vertikal) dengan nilai kemanusiaan wakaf (aspek horizontal) harus
berjalan seimbang. Dari sudut wakif, wakaf dilakukan untuk
mendapatkan ridha Allah yang terhindar dari sombong dan riya.
Sementara dari sudut nadzir dan PPAIW, administrasi wakaf dilakukan
untuk menegakkan tertib administrasi dan menjamin kepastian hukum
serta menjamin kelanggengannya sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
2. Hukum Islam memandang bahwa pengikraran kembali terhadap tanah
wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten
Grobogan adalah tidak sah karena adanya penghalang yaitu unsur
paksaan dan hak orang lain. Namun pengikraran kembali tersebut boleh
dilakukan demi mendapatkan suatu kemaslahatan umum dan menolak
adanya kamadharatan yang mungkin terjadi.
68
B. Saran-Saran
Dari pembahasan secara menyeluruh terhadap permasalahan
pengikraran kembali tanah wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan
Toroh Kabupaten Grobogan, maka penulis memberikan saran-saran sebagai
berikut:
1. Perlunya peningkatan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat luas
terhadap pentingnya pelaksanaan wakaf secara administratif guna
melestarikan dan mengembangkan manfaat harta agama tersebut.
2. Perlunya peningkatan kerja sama antara pemerintah dengan para alim
ulama, pemuka masyarakat dan para ahli lainnya dalam rangka
mengadakan penyuluhan dan penerangan tentang peraturan perundang-
undangan perwakafan tanah, baik melalui ceramah-ceramah, khutbah-
khutbah, pengajian-pengajian, maupun yang lainnya.
3. Perlunya memberi peluang terhadap pengikraran wakaf dengan bukti
kepemilikan yang diatas namakan orang lain (pinjam nama) sebagai
syarat administrasi pelaksanaan perwakafan.
C. Penutup
Dalam susunan skripsi ini sangat mungkin terdapat kekurangan atau
kelemahan, tetapi itulah hasil ikhtiar maksimal yang telah penulis lakukan
dalam menyusun skripsi ini. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran
yang positif dari para pembaca, sebagai masukan yang berharga.
DAFTAR PUSTAKA
Akta Ikrar Wakaf (AIW) Tanah Wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan
Toroh Kabupaten Grobogan, 2003
Alabij, Adijani, Perwakafan Tanah di Indonesia; Dalam Teori dan Praktek,
Jakarta: Rajawali, 1989
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:
Rineka Cipta, 2006
As’ad, Aliy, Terjemah Fathul Mu’in Jilid 2, Kudus: Menara Kudus, tth
Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Fiqh Muamalat; Sistem Transaksi Dalam Fiqh
Islam, Jakarta: Amzah, 2010
Bisri, Moh. Adib, Terjamah Al-Faraidul Bahiyah; Risalah Qawa’id Fiqh, Kudus:
Menara Kudus, 1977
Data Arsip Pemerintah Desa Boloh Kecamatan Toroh, Februari 2012
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tejemahnya, Bandung: CV. Penerbit J-ART,
2004
__________, Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam, Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
2000
__________, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat
Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003
__________, Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Wakaf, Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam, 2006
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.3 – cet.4,
Jakarta: Balai Pustaka, 2007
Dimasyqi, Al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman, Fiqh Empat Mazhab,Terj.
Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah, Bandung: Hasyimi, 2010
Djazuli, A., Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007
Djunaidi, Achmad dan Al-Asyhar, Thobieb, Menuju Era Wakaf Produktif Sebuah
Upaya Progresif Untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta: Mitra Abadi
Pers, 2006
Halim, Abdul, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: Ciputat Press, 2005
HAM, Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah; Implikasinya pada Perkembangan
Hukum Islam, Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2000
Huda, Syamsul, Tata Cara Ikrar Wakaf Studi Komparasi Fiqh Klasik dan
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Skripsi S1
Fakultas Syari’ah, Yogyakarta, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga,
2009).
Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain, Maqashid Syari’ah, Jakarta: AMZAH, 2009
Junus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1973
Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf, Terj. Ahkam Al-Waqf fi Al-
Syari’ah Al-Islamiyah, Jakarta: Dompet Duafa Republika dan IIMaN
Press, 2004
Khalifah, Inna Nurul, Analisis Faktor-Faktor Penyebab Wakaf di Bawah Tangan
Tahun 2001-2005 (Studi Kasus di Kecamatan Jepon Kabupaten
Blora), Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Semarang, Perpustakaan IAIN
Walisongo, 2007
Khasbuna, Analisis hukum Islam Tentang Pemaksaan Wakaf Jama’ah (Wakaf
Khair) untuk Pembangunan Masjid Al-Muttaqin Desa Rengas
Pendawa Kec. Larangan Kab. Brebes, Skripsi S1 Fakultas Syari’ah,
Semarang, Perpustakaan IAIN Walisongo, 2008
Maghfur, Ali, Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Sertifikasi Tanah Wakaf
(Studi Kasus di Wilayah KUA Ngaliyan Kota Semarang)”, Skripsi S1
Fakultas Syari’ah, Semarang, Perpustakaan IAIN Walisongo, 2008
Mubarok, Jaih, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, Terj. Al-Fiqh ‘ala Madzahib
Al-Khomsah, Jakarta: Basrie Press, 1994
Naisaburi, Imam Abi Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusyairi, Shahih Muslim
Jilid 2, Beirut, Libanon: Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah, 1992
___________, Shahih Muslim Jilid 3, Beirut, Libanon: Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah,
1992
Munawar, Said Agil Husain, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta:
PENAMADANI, 2004
Praja, Juhaya S., Perwakafan di Indonesia; Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan
perkembangannya, Bandung: Yayasan PIARA, 1997
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Cet. Ke-3, 1998
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah Jilid 4, Terj. Fiqhus Sunnah, Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2006
Sertifikat (Tanda Bukti Tanah Wakaf) Tanah Wakaf Mushola An-Nur Desa
Boloh No. 11.10.04.15.9.00448
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1999
__________, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
__________, Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001
__________, Pengantar Hukum Islam jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1981
Sayuti, Imam Jalaluddin, Al-Jaami’ Ash-Shaghiir, Berut: Darul Kitab Al-
Alamiyah, 2009
Straus, Anselm, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Surabaya: PT. Bina Ilmu
Offset, 1997
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Press, 1992
Subagyo, Joko P., Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 1991
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh jilid 1,Cet. ke- 4, Jakarta: Kencana, 2009
Usman, Rachmadi, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2009
Usman, Suparman, Hukum Islam; Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Qahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, Terj. Al-Waqf Al-Islami, Jakarta:
KHALIFA, 2004
Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Hukum Syariah, Cet. ke-2 Jakarta: CV. HAJI
MASAGUNG, 1990
Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Hasil Wawancara dengan Bapak Ahmad Nur Khalis (7 Maret 2012)
Hasil Wawancara dengan Ibu Hidayatur Rohmah (8 Maret 2012)
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Boloh_Toroh_Grobogan
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Bahu_(agraria)
top related