tentang ma'rifatullah 3
Post on 18-Jul-2015
496 Views
Preview:
TRANSCRIPT
2
Daftar Isi
Artikel 1 : Menelisik Anasir Diri .......................................................... 3
Artikel 2 : Apakah Diri Ini ? ................................................................. 4
Artikel 3 : Proses Mati Sebelum Mati ............................................... 30
Artikel 4 : Jasad, Nyawa, Ruh, dan Akal ............................................ 32
Artikel 5 : Menengok Kilasan Sandiwara Dzat .................................. 51
Artikel 6 : Bagaimana Kalau (Hati) Kita Buta dan Tuli ? .................... 76
Artikel 7 : Esensi Khalifatullah ........................................................ 148
Artikel 8 : Makrifatullah, Sulitkah ?? .............................................. 152
Artikel 9 : Kalung Yang Sudah Terpasang di Leher ......................... 155
Artikel 10 : Sang Wajibul Wujud ..................................................... 221
Artikel 11 : Sang Fana ..................................................................... 273
3
Artikel 1 :
Menelisik Anasir Diri1
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada
dalam kerugian, kecuali :
• Orang-orang yang beriman, dan
• Mengerjakan amal soleh, dan
• Nasihat menasihati supaya tetap menaati kebenaran, dan
• Nasihat menasihati pula supaya tetap berada dalam
kesabaran.
1 http://yusdeka.wordpress.com/2014/05/21/menelisik-anasir-diri-bagian-
1/
4
Artikel 2 :
Apakah Diri Ini ?
Sepenggal pertanyaan ini telah terlontar sejak Nabi Adam As.
diciptakan pertama kali oleh Allah. Saat itu, MALAIKAT mau-
pun golongan JIN yang duduknya sudah disejajarkan dengan
Malaikat, terheran-heran dengan bentuk Adam As ini, sehing-
ga akhirnya, berdasarkan itu, tergelarlah sebuah SANDIWARA
ALLAH terhadap DZAT-NYA sendiri, yang telah membawa :
• Adam As turun ke muka Bumi untuk mengemban tugas
khalifatullah, yang memang telah di taqdirkan untuk beliau
sandang.
• Malaikatpun akhirnya menjalankan taqdirnya sendiri pula
sebagai anasir yang sangat patuh dan tunduk kepada Allah,
seperti halnya
• Golongan JIN yang tadinya sejajar dengan malaikat, juga
menjalankan taqdirnya sebagai anasir yang selamya tidak
akan patuh kepada Allah, sehingga ia pun kemudian dijuluki
dengan sebagai IBLIS.
Di antara sesama umat manusiapun sebuah pertanyaan itu
tadi seperti tak habis-habis dibahas, diteliti, diseminarkan, dan
dikira-duga sejak berbilang zaman yang lalu sampai dengan
sekarang ini, sehingga di depan kitapun saat ini terhidang
beragam menu yang kesemuanya bercita rasa diri dengan
racikan bumbu penelisikan yang sangat berbeda-beda.
5
Ada cita rasa diri menurut racikan bumbu penelisikan :
• orang awam,
• orang agamis,
• orang atheis,
• orang sekuler,
yang variannya masing-masing sangat banyak sekali. Banyak
sekali, sehingga kitapun jadi bingung untuk mengenal diri kita
sendiri. Karena bingung, maka kitapun akhirnya banyak yang
salah dalam melangkah dan menempatkan diri di hadapan
Allah, apalagi di depan sesama manusia dan makhluk Allah
yang lainnya. Dan keadaan itulah yang telah menjadi penye-
bab dari penderitaan dan kepedihan kita yang seakan-akan
tidak habis-habisnya menghantui kita.
Anasir diri kita yang paling banyak racikan bumbu peneli-
sikannya adalah HATI, HEART, QALB. Mulai dari letaknya,
bentuknya, dan pembersihannya. Kemudian ada pula peneli-
sikan untuk RUH, JIWA, AKAL, PIKIRAN, BATIN, ROHANI, NYA-
WA, JASMANI, SANUBARI, NURANI, SUK-
MA, PERASAAN, ENERGI HIDUP, dan seba-
gainya yang ternyata racikan bumbunya
seringkali membuat kita meringis-ringis
“kepedasan”, karena saking berpilin-pilin-
nya. KUSUT.
Belum lagi kalau semuanya itu dihubungkan dengan masalah
MELIHAT, MENDENGAR, MERASA, BERPIKIR, BERSUARA dan
termasuk masalah SYURGA dan NERAKA, yang sungguh telah
6
menyita waktu kita, sehingga kitapun kehilangan waktu ter-
baik kita untuk mewujudkan fungsi kekhalifahan kita di muka
bumi ini. Padahal penelisikannya seringkali memakai ayat Al
Qur’an dan Al Ha-dist yang sama. Tapi hasilnya kok bisa
berbeda dengan sangat signifikan ? Oleh sebab itu, marilah
kita mencoba menerobos titik-titik kebingungan itu dengan
kembali berpikir sederhana terhadap beberapa ayat Al Qur’an
yang dengannya Allah me-nerangkan sendiri tentang diri kita
ini.
Saat Allah bercerita tentang ANASIR JASAD atau TUBUH kita,
maka SIFAT dari anasir tubuh kita itu adalah sama dengan
TANAH. Tanah yang dibentuk menjadi berbagai instrument
tubuh dengan qada dan qadarnya masing-masing. Instrumen
yang terpenting diantaranya adalah:
1. OTAK,
2. JANTUNG,
3. LEVER,
4. GINJAL,
5. ALAT-ALAT INDERA,
6. ALAT PEMBUANGAN SAMPAH,
dan
7. ALAT BERKEMBANG BIAK.
Alam JASAD atau TUBUH ini disebut juga ALAM FISIK. Alam
yang bisa di identifikasi dengan menggunakan alat pengindera
kita.
7
Al Mu’minuun 14
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami
jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha
Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”
ANASIR yang terkait kuat dengan JASAD ini adalah NYAWA.
Tanda-tanda kita masih bernyawa adalah adanya PERGE-
RAKAN dan PERTUMBUHAN saat kita masih berada di alam
rahim ibu kita, dan juga adanya NAFAS saat kita sudah berada
di LUAR alam rahim ibu kita. Sebagai orang yang HIDUP, kita
harus punya JASAD dan NYAWA. Tanpa Nyawa kita disebut
orang yang telah MATI.
Allah memberi tahu bahwa Allahlah yang menghidupkan tu-
buh kita itu dan Allah pulalah kelak yang akan mematikan
tubuh kita itu.
Yunus : 56
“Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan hanya
kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”
Setelah Allah MENYEMPURNAKAN anasir JASAD dan NYAWA
kita di alam rahim ibu kita, Allah kemudian memasukkan ana-
sir baru ke dalam jasad yang sudah diberi Nyawa itu, yaitu
anasir RUH. Allah tidak menjelaskan kepada kita tentang
8
anasir Ruh ini. Misalnya : Ia terbuat dari anasir apa, bentuknya
seperti apa, dan sebagainya. Ia tetap akan menjadi rahasia
Allah sepanjang masa. Hanya sedikit saja dari rahasia Ruh itu
yang diberitahukan kepada kita.
QS. Al Hijr (15 : 29).
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan
telah meniupkan ke dalamnya RuhKu, maka tunduklah kamu
kepadanya dengan bersujud.”
QS. Al Israa’ (17 : 85).
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ruh. Katakanlah:
“Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit.”
Sekarang kita sudah punya tiga anasir dari diri kita, yaitu
JASAD, NYAWA, dan RUH.
JASAD JASAD adalah Anasir FISIK dari diri kita, atau
bisa pula disebut sebagai anasir LAHIRIAH.
Sedang RUH adalah Anasir NON FISIK dari diri
kita, atau bisa pula disebut sebagai anasir
BATINIAH, atau ROHANI, atau ROHANIAH.
Jasad juga adalah alat pengembaraan kita di
alam LAHIRIAH, sedangkan RUH adalah alat
pengembaraan kita di alam RUHANIAH.
Sebagai alat, baik di alam lahiriah maupun di
9
alam ruhaniah, kedua-duanya (JASAD dan
RUH) tidak akan bisa kemana-mana kalau
tidak ada PILOT atau SOPIR yang
mengendalikannya. Siapakah Sang Pilot ini ?
NYAWA NYAWA adalah anasir yang menghidupkan
JASAD kita. Ia adalah anasir yang akan tetap
terhubung dengan Jasad sampai akhir dari
umur kita yang telah ditentukan. Bisa 1
tahun, 20 tahun, 50 tahun, bahkan 100
tahun. Tanda-tanda bahwa nyawa kita masih
dikandung badan adalah adanya gerak nafas
kita dan gerak denyut jantung kita. Nyawa
itulah yang menjadi pertanda bahwa jasad
kita masih hidup. Nyawa itu bergerak
bersama NAFAS kita. Kalau nafas kita sudah
berhenti, maka nyawa kitapun akan hilang.
MATI. Sedangkan RUH adalah anasir diri kita
yang tidak pernah mati. Ruh akan tetap
hidup walaupun Jasad kita sudah mati.
RUH RUH adalah diri kita dalam bentuk Anasir
Batin yang bisa berada bersama JASAD dan
NYAWA, dan bisa pula terpisah sebagai
Anasir yang berdiri sendiri. Ruh akan terpisah
dari Jasad dan Nyawa ketika kita TIDUR.
10
Nantinya, kalau kemudian Allah masih
berkenan, maka ketika kita bangun dari tidur
Ruh kita akan dikembalikan oleh Allah
kepada JASAD kita.
Tentang JASAD, NYAWA, hampir semua orang bisa memahami
dan menerima bahwa ia adalah CIPTAAN Allah. Hanya saja
tentang RUH, selama ini banyak orang yang ragu-ragu untuk
menyikapi apakah ia itu ciptaan Allah atau atau bukan. Sebab
Allah sendiri di dalam Al Qur’an juga menyebutkan RUH itu
sebagai MIN-RUHI (RUH-KU).
Maka sampai sekarang ada dua pendapat utama yang berke-
naan dengan RUH ini. Marilah kita lihat sejenak :
Pendapat
pertama
Ruh itu adalah murni ciptaan Allah seperti
juga dengan ciptaan-ciptaan Allah yang
lainnya.
Pendapat
kedua
Ruh itu adalah milik Allah sendiri yang
diberikan kepada manusia, sehingga dengan
begitu ada yang mengaku bahwa ia yang
hakiki adalah Ruh Allah.
Kedua pendapat ini sekilas seperti tidak ada titik temunya
sama sekali, sehingga tidak jarang pula terjadi pergesekan di
antara para pemegang pendapat yang satu dengan yang
11
lainnya. Padahal kalau kita lihat dengan memakai Kacamata
Makrifatullah, maka kebingungan itu akan segera sirna.
Tapi sebelum melihat hakekat kesemuanya itu, marilah seje-
nak kita terlebih dahulu melihat sebuah lagi anasir diri kita
yang nyaris saja tetap menjadi sebuah rahasia yang luput
menjadi perhatian kita. Yaitu Sang Sopir, Sang Pilot. Anasir
yang dikatakan oleh Allah di dalam surat As Sajdah ayat 7-9,
yang kemudian diperkuat oleh surat Al Qiyamah ayat 14.
As Sajdah ayat 7-9
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-
baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang
hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniup-
kan kepadanya RUH-NYA dan Dia menjadikan bagi kamu pen-
dengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur”.
Al Qiyamah, ayat 14
“Bahkan pada manusia itu di atas dirinya ada yang tahu
(BASHIRAH)”.
Sang Sopir adalah anasir yang bisa :
1. melihat,
2. mendengar,
3. berpikir, dan
4. merasakan.
12
Anasir ini bisa disebut dengan berbagai nama, misalnya:
1. HATI, atau
2. AKAL, atau
3. PIKIRAN, atau
4. HATI SANUBARI.
Pada anasir ini ada kemampuan yang membuat ia serba tahu
sehingga ia disebut juga sebagai bashirah, atau dalam bahasa
umum disebut sebagai :
1. MATA HATI, atau
2. MATA AKAL, atau
3. MATA PIKIRAN, atau
4. MATA SANUBARI.
Bashirah
Hati
Mata Hati
Akal
Mata Akal
Pikiran
Mata Pikiran
Sanubari
Mata Sanubari
13
Jadi Mata Hati itu melekat pada Hati. Bahwa:
1. Hati adalah untuk mengingat, berpikir, dan merasakan;
dan
2. Mata hati untuk melihat dan mendengar.
Untuk anasir keempat ini, Sang Pilot, mari kita sederhanakan
sebutannya sebagai PIKIRAN atau MIND saja. Pikiran ini tidak
terikat kepada JASAD maupun RUH. Ia bisa berada bersama
JASAD dan bisa pula bersama RUH saja. Ia adalah anasir yang
BEBAS. MERDEKA.
Tempo-
tempo Sang
Sopir bisa
berada di
alam
JASADI
• Ia bisa MENGETAHUI seluk beluk Alam
Lahiriah baik melalui pengembaraan
bersama FISIK maupun melalui
pencitraan Panca Indera Lahiriah, dan
• Ia bisa pula BERPIKIR dan MERASAKAN
suka-duka yang menimpa Jasad kita
melalui aktifitas OTAK lahiriah yang
berada di dalam kepala kita.
Pengungkapan suka dan duka itupun bisa
kita lakukan melalui SUARA yang akan
terdengar oleh telinga lahiriah kita.
Tempo-
tempo Sang
Pilot juga
Ruhani yang bisa ia selancari dengan
mengendarai kendaraan RUH :
• Pengembaraan di alam ruhani ini bisa
14
bisa berada
di alam
RUHANI
ia lakukan saat jasadnya TIDUR yang
wujudnya adalah perjalanan ke alam-
alam mimpi.
• Namun, tidak hanya melalui pintu
tidur, perjalanan ke alam ruhani ini
dapat pula ia lakukan apabila ia sudah
bisa memisahkan RUH dari JASAD
secara sadar, yang sering disebut
orang sebagai pengalaman OBE (out of
body experience), atau Perjalanan
Astral.
Namun, ada
satu lagi
perjalanan
yang bisa
dilakukan
oleh Sang
Pilot ini,
yaitu
Perjalanan
Ruhani
Perjalanan Ruhani yang terjadi dan
terlaksana HANYA dan HANYA dengan
sebab ia MENGINGATI ALLAH. Sungguh
Perjalanan Ruhani karena ia mengingati
Allah ini sangat-sangat berbeda dengan
Perjalanan Astral yang banyak dijajakan
oleh berbagai kalangan saat ini. Walau
keduanya adalah perjalanan Sang Pilot di
luar Alam JASADI untuk masuk ke Alam
Ruhani, tapi beda keduanya seperti
berbedanya langit dan bumi.
Kita sudah tahu bahwa untuk mendengar dan melihat di alam
jasmaniah kita membutuhkan MATA dan TELINGA. Akan tetapi
15
untuk melihat dan mendengar di alam ruhaniah kita membu-
tuhkan MATA HATI atau MATA RUHANI. Begitu juga untuk
berpikir dan merasakan di alam jasmaniah kita membutuhkan
OTAK yang ada di rongga kepala
kita. Sedangkan untuk berpikir dan
merasakan di alam ruhaniah kita
hanya membutuhkan satu alat sa-
ja, yaitu HATI yang juga berkorelasi
sangat erat dengan OTAK RUHANI kita. Ya…, hati yang berguna
untuk melihat dan mendengarkan serba serbi alam ruhaniah
itu ternyata bukanlah terletak di DADA kita. Tidak. Ia lebih
dekat kepada OTAK yang berada di dalam kepala kita.
Alam
Jasmaniah Alam Ruhaniah
Mendengar
dan Melihat
MATA dan
TELINGA
MATA HATI atau MATA
RUHANI
Berpikir dan
Merasakan
OTAK
HATI yang juga berkorelasi
sangat erat dengan OTAK
RUHANI
Hanya saja karena kita sudah terbiasa berkata bahwa hati kita
terletak di dalam dada kita, maka kita seakan-akan merasakan
hati kita itu memang adanya di dalam dada kita. Al Quran juga
seakan-akan mengiyakan bahwa hati itu terletak di dalam
16
dada kita, SUDUR. Dan kalau kita sedang marah, dada kita
seperti sempit dan nafas kita tersengal-sengal seperti kita
sedang naik ke langit yang tinggi. Akan tetapi keadaan dada
kita yang seperti itu hanyalah sekedar sebuah AKIBAT saja dari
keadaan Hati, atau AKAL, atau PIKIRAN kita yang berada di
dalam otak kita. Tapi kalau ada yang tetap tidak setuju tentang
letak hati ini yang ada di dalam kepala, ya tidak apa-apa.
Begitu juga untuk mengekspresikan keadaan alam Ruhani itu,
bisa kita lakukan dengan tanpa berkata-kata atau bersuara,
yang disebut sebagai BAHASA HATI, yang juga keberadaannya
bukanlah di dalam dada kita. Tapi di dalam PIKIRAN atau HATI
kita. Bahasa hati adalah sebuah bahasa yang tanpa aksara,
tanpa nada, dan tanpa suara. Seperti halnya bahasa seorang
bayi yang sedang tidur lelap. Tapi dalam tidurnya, ia bisa
tersenyum bahagia, yang bahagianya itu bisa pula menyebar
dan menular kepada orang-orang yang melihatnya. Kalau bagi
kita, orang dewasa, bahasa hati ini lebih dekat kepada bahasa
INGATAN.
Ketika shalat,
. . . agar shalat kita itu khusyuk,
. . . kita sebagai Sang PILOT haruslah mampu melakukan dan
menjaga sebuah sinkronisasi yang sangat intens dan istiqamah
antara aktifitas jasmaniah dan aktifitas rohaniah kita pada saat
yang bersamaan:
17
Mulut dan
lidah kita
mengucapkan bahasa LIDAH, dan
bahasa SIKAP tubuh kita yang berupa
puja-pujaan dan penghormatan kita
kepada Allah,
Sedangkan
hati kita
mengucapkan Bahasa HATI kita, berupa
INGATAN kita secara berketerusan
(istiqamah) kepada ALLAH yang kita
puja-puja dan hormati itu.
Bukan hanya itu, ketika :
Mata
lahiriah kita
melihat ke tempat sujud,
Mata hati
kita sudah
bisa pula
dengan
sangat tajam
memandang bahwa di sebalik tempat
sujud itu, bahkan juga di sebalik udara
yang kita hirup, yang wujud semata-
mata adalah kewujudan Dzat-Nya.
Mata
lahiriah
memandang tempat sujud,
18
Mata hati memandang Dzat-Nya yang tidak
terlihat oleh mata lahiriah kita.
Karena aktifitas ruhaniah dan jasmaniah kita saat shalat itu
sudah sinkron tertuju kepada Allah semata, Dzikrullah, di
mana :
Ucapan-
ucapan dan
sikap kita
adalah ucapan dan sikap yang
memuliakan Allah,
Hati kita senantiasa mengingati Allah, dan
Mata Hati
kita
tak lepas-lepas dari memandang Dzat-Nya
yang meliputi segala sesuatu,
Maka Allahpun kemudian berkenan memberikan respon-
respon-Nya ke dalam HATI kita dalam bentuk gegaran, gon-
cangan, atau benturan keras ke dalam HATI kita.
Gegaran itu bukanlah seperti adanya GETARAN atau VIBRASI
yang melanda dan memasuki tubuh kita, dan bukan pula
seperti hasil dari kita mengulang-ngulang (wiridan) mengucap-
kan kalimat-kalimat HIPNOSA tertentu, seperti :
1. aku bahagia,
19
2. aku tenteram,
3. aku tenang,
4. aku memakai POWER (bukan FORCE),
5. aku memaafkan,
6. aku melepaskan,
7. dan kalimat-kalimat HIPNOSA lainnya.
Bukan !!!
Boleh jadi tubuh kita tetap hanya diam. Boleh jadi lidah kita
juga hanya diam dalam sebuah sikap rukuk dan sujud yang sa-
ngat dalam. Akan tetapi HATI kita berkocak keras, seperti ber-
kocaknya lautan yang tengah dilanda oleh angin badai. Karena
ketika itu Mata Hati kita dikejutkan oleh KEWUJUDAN DZAT-
NYA yang mengisi setiap sudut RUANG, MATERI, dan WAKTU.
Dzat-Nya Yang Batin. Kemanapun Mata Hati kita memandang,
yang terpandang adalah Dzat-Nya yang Batin. Dzat-Nya yang
merupakan unsur awal, unsur azali, unsur azazi yang menza-
hirkan semua CIPTAAN, sehingga semua ciptaan bisa pula
disebut sebagai Dzat-Nya Yang Dzahir, yang bisa ter-pandang
oleh Mata Lahiriah kita. Makanya Allah dengan tegas bisa
berkata: “Akulah Yang Batin, dan Aku pulalah Yang Dzahir”.
Karena Yang Zhahir dan Yang Batin itu tak lain dan tak bukan
adalah Dzat-Nya sendiri. Dzat-Nya yang sedikit dari kese-
luruhan Dzat-Nya yang Maha Indah.
Pada saat-saat seperti itulah hati kita juga seperti disayat-
sayat yang menimbulkan bekas luka yang sangat dalam, se-
hingga setiap kali kita mengingati Allah, setiap kali kita menye-
20
but nama Allah, luka itu kembali merekah dan menganga
lebar. Keadaan hati yang seperti ini akan menyebabkan air
mata kita tak henti-hentinya keluar membanjiri kedua sudut
mata kita.
Untuk beberapa waktu, kita hanya bisa menangis dan me-
nangis. Bisa sehari, bisa pula dua atau lima hari. Itu semua
terjadi karena kita seperti menemukan kembali suasana alam
azali yang sudah lama kita tinggalkan dan lupakan. Sejak
berbilang tahun, kita sudah lupa pintu masuk ke alam azali itu.
Sebuah Alam yang saat itu kita sangat dekat dengan Allah,
sehingga kita bisa berbincang-bincang dengan Allah.
Yang mula pertama dijadikan oleh Allah ialah AKAL, MIND.
Maka Allah berfirman kepadanya, “Menghadaplah!”, lalu
menghadaplah dia. “Membelakanglah!”, lalu membelakanglah
dia (Imam Ghazali, Ihya Ulumiddin, Bk 1, 308 (1991): Diriwa-
yatkan At Tabarani dari Abi Amaman dengan isnad Dhaif.
Al-A’raf : 172
“Dan saat Tuhanmu mengeluarkan anak cucu Adam dari
tulang-tulang sulbi mereka, dan Dia jadikan mereka saksi atas
Nafs (anfus) mereka : ‘Bukankah Aku Tuhan kamu ?’ ; Mereka
berkata : ‘Betul ! kami menyaksikan.’ ; Hal ini agar kamu tidak
dapat berkata dihari kiamat : ‘Sungguh kami lalai dari perjan-
jian ini’.
Alam azali itu ternyata bisa kita masuki kembali saat kita hidup
21
di dunia ini dengan melalui PINTU MENGINGATI ALLAH, yang
salah satunya adalah melalui SHALAT. Pintu alam Azali itu
kembali dibuka oleh Allah ketika kita mengingat Allah. Karena
ketika kita mengingat Allah, maka Allahpun berkenan pula
mengingat kita. FADZKURUNI ADZKURKUM.
Sekarang kita sudah menjadi sederhana dalam menelisik
anasir diri kita. Bahwa ternyata anasir diri kita itu ada EMPAT
entity, yaitu :
• JASAD,
• NYAWA,
• RUH, dan
• AKAL (HATI).
Sementara bersama AKAL atau HATI itu ada pula : MATA AKAL
atau MATA HATI.
JASAD adalah tubuh Lahiriah kita, sedangkan RUH adalah
tubuh BATINIAH kita. NYAWA adalah pemberi kehidupan
terhadap JASAD. Jadi NYAWA dan JASAD akan selalu bersama
selama kita masih hidup. Namun nyawa itu TIDAK akan
memberikan kehidupan kepada RUH. Sebab RUH adalah anasir
yang selalu hidup dan tidak akan pernah mati.
Saat kita BANGUN dan SADAR, anasir JASAD, NYAWA, RUH,
dan PIKIRAN (AKAL atau HATI) kita berada dan berkumpul
menjadi satu di dalam JASAD kita. Dengan begitu, kita akan
bisa melakukan berbagai aktifitas kita di muka bumi ini. Kita
bebas pulang dan pergi ke berbagai pelosok dunia. Kita bisa
anasir diri kita
22
menikmati keindahan alam dengan menggunakan panca
indera. Kita bisa merasakan suka dan duka kehidupan. Kita
bisa berpikir dan berkarya membangun peradaban umat
manusia.
Saat kita TIDUR, anasir yang ada di dalam JASAD kita hanyalah
NYAWA saja. Keberadaan nya ditandai dengan NAFAS kita
yang bergerak keluar-masuk paru-paru kita, dan Jantung kita
yang berdetak dengan teratur. Sedangkan RUH + PIKIRAN
dipegang oleh ALLAH di alam RUHANI, sampai nanti kita diba-
ngun kembali (kalau Allah masih menakdirkan kita untuk
hidup). Pikiran yang bersama RUH di alam RUHANI ini bisa
pula disebut sebagai JIWA atau AN NAFS. Kalau kita bangun,
maka AN NAFS ini akan dikembalikan oleh Allah ke dalam
Jasad kita, sehingga kemudian kita bisa kembali menjalani
aktifitas keseharian kita.
Beberapa kemungkinan keberadaan keempat anasir diri kita
itu adalah:
JASAD + NYAWA + RUH +
AKAL, semuanya berada
di dalam jasad kita,
Maka kita disebut Si Sadar
dan bisa berkarya.
JASAD + NYAWA, ada di
dalam tubuh kita,
sedangkan RUH + AKAL
Maka kita disebut TIDUR
yang Lelap.
23
tengah kembali kepada
Allah,
JASAD + NYAWA, ada di
dalam tubuh kita,
sedangkan RUH + AKAL
tengah berkelana di
alam gaib, atau sedang
tersesat di suatu tempat,
Maka kita disebut sedang
BERMIMPI, atau OOBE, atau
TERSESAT tidak bisa pulang
kembali ke Jasad, atau bisa
pula COMA.
RUH sudah bersama
dengan JASAD dan
NYAWA kita, akan tetapi
AKAL kita masih
tertahan di luar JASAD
kita,
Maka kita disebut orang
yang hilang AKAL, GILA, atau
NGAHULEUNG. Kalau bagi
anak-anak, keadaan ini akan
berlangsung saat dia bangun
tidur dan itu terjadi untuk
beberapa waktu lamanya.
Satu atau dua menit. Kalau
bagi orang dewasa, keadaan
ini jelas sekali terlihat pada
Orang Gila.
AKAL sudah bersama
dengan JASAD dan
NYAWA kita, akan tetapi
Keadaan ini biasa
didapatkan oleh orang
dewasa yang disebut dengan
24
RUH masih tertahan di
luar JASAD kita
EUREUP-EUREUP atau
TINDIHAN. Walaupun
rasanya kita sudah berteriak
sekuat tenaga minta tolong,
akan tetapi karena RUH kita
belum ada di JASAD, maka
suara kita itu tidak akan
yang mendengarnya.
RUH + AKAL + NYAWA
sudah diambil kembali
oleh Allah. JASAD sudah
terbaring kaku. Saat
itulah akhir dari hidup
kita.
MATI.
Proses kematian ini diawali dengan RUH kita ditarik kembali
secara paksa oleh Allah dalam sebuah peristiwa sakaratul
maut.
Kalau selama hidup kita, kita tidak pernah
menyerahkan RUH kita itu secara sukarela dan
ridha kepada Allah, maka saat sakaratul maut itu
kita akan gelisah, nafas kita tersengal-sengal. Kita
sangat tersiksa sekali.
25
Kalaulah pada saat-saat yang genting itu TIDAK ada di antara
keluarga kita, yang paling afdal adalah anak kita, yang
membantu kita mengarahkan RUH kita kepada Allah dengan
sukarela, maka alangkah sengsaranya keadaan kita saat itu.
Akan tetapi kalau saat itu ada anak kita, atau saudara kita yang
sudah tahu jalan pulang, dan
dia mengantarkan kita untuk
pulang itu, maka tidak berapa
lama, nafas kita akan jadi
teratur, wajah kita akan tenang
dan damai. Dari ulu hati kita
akan mengalir ruh kita yang
rasanya dingin. Naik kekerong-
kongan, lalu masuk ke dalam kepala kita. Hitam bola mata kita
akan IKUT naik ke arah kening mengikuti perginya RUH kita
itu. Sang Ruh kemudian berputar ke arah belakang kepala kita
untuk kemudian berbalik dan keluar melalui KENING kita.
AKAL kita saat itu masih ada di JASAD kita. Kita masih bisa
mendengarkan suara-suara tangis dan pembicaraan orang-
orang yang ada di sekitar JASAD kita. Tetapi kita sudah tidak
bisa berkata apa-apa lagi. Sebab saat itu RUH kita sudah
meninggalkan JASAD kita untuk pulang kepada Allah.
Anak atau saudara kita yang mengantarkan kita saat itu kemu-
dian akan mendengarkan suara “KLEK”, yang merupakan per-
tanda bahwa saat itu AKAL sudah harus ikut dengan RUH
untuk kembali kepada Allah. AKAL + RUH, yang biasa disebut
dengan JIWA, akan mengalami prosesi untuk pulang ke Alam
26
Barzakh:
Al Mukminun (23):100
“Dan di hadapan mereka ada Alam Barzakh (yang mereka
tinggal tetap padanya) hingga hari mereka dibangkitkan
semula (pada hari kiamat)”.
Setelah RUH dan AKAL meninggalkan JASAD, maka tidak lama
kemudian NYAWA kitapun diambil oleh Allah. Kalau nyawa itu
diambil dari kepala kita, maka kepala kita akan bergerak untuk
terakhir kalinya. Kalau NYAWA itu diambil dari kaki kita, maka
kaki kitalah yang akan bergerak untuk terakhir kalinya. Lalu
setelah itu tinggallah JASAD kita yang kaku dan yang dengan
cepat akan membusuk.
Kalaulah saat kita sakaratul maut itu, kita hadapi dalam ke-
adaan di mana :
• kita tidak pernah sekalipun menyerahkan RUH kita dengan
sukarela kepada Allah dalam sebuah proses Dzikir seperti di
dalam Shalat ataupun Dzikir di luar Shalat, atau
• tidak ada pula anak dan saudara kita yang bisa menun-
jukkan jalan pulang dan mengantarkan kita untuk pulang
kembali kepada Allah,
sungguh saat itu kita sedang berada dalam keadaan nestapa
yang sangat mencekam.
27
Kita tidak pernah
sekalipun
menyerahkan RUH kita
dengan sukarela
kepada Allah dalam
sebuah proses Dzikir
seperti di dalam Shalat
ataupun Dzikir di luar
Shalat.
Kita sedang
berada dalam
keadaan
nestapa yang
sangat
mencekam
Tidak ada pula anak
dan saudara kita yang
bisa menunjukkan
jalan pulang dan
mengantarkan kita
untuk pulang kembali
kepada Allah.
28
Al An’aam (6): 93.
“Alangkah dahsyatnya sekira kamu melihat di waktu orang-
orang zalim (berada dalam tekanan sakaratul maut”.
Sebab, saat RUH kita sudah dipanggil oleh Allah,
Namun AKAL kita masih sibuk dengan semua yang
jadi miliknya saat hidup di dunia,
Maka Perjalanan RUH itu akan terhambat.
Saat itulah AKAL kita akan dimintakan pertanggungjawab-
annya terhadap apa-apa YANG SELAIN DARI ALLAH, yang
membuat kita BINDING (TERIKAT) selama kita hidup di dunia.
Kita akan ditanyai dan dimintakan pertanggungjawaban kita
tentang itu semua. Dan itu dahsyat sekali.
POSISI IDAMAN yang harus dilatih terus oleh orang-orang yang
beriman adalah JASAD + NYAWA ada di dalam tubuh kita, se-
dangkan RUH dan AKAL tengah berada dalam keadaan DZIKIR
kepada Allah (DZIKRULLAH), MENGINGATI ALLAH, misalnya di
dalam SHALAT, dan juga berketerusan di luar SHALAT.
29
POSISI IDAMAN
JASAD +
NYAWA
Ada di dalam tubuh kita
RUH dan
AKAL
Tengah berada dalam keadaan DZIKIR
kepada Allah (DZIKRULLAH),
MENGINGATI ALLAH, :
• di dalam SHALAT, dan juga
• berketerusan di luar SHALAT.
Posisi seperti inilah yang seharusnya kita asah dan kita lakukan
terus menerus (ISTIQAMAH). Oleh setiap orang yang beriman
kepada Allah.
30
Artikel 3 :
Proses Mati Sebelum Mati
Dalam kitab Madarijus Salikin hal ini diterangkan dengan
sangat jelas:
HR. Ibnu Majah, dari Abi Ayyub dan Al Hakim, dari Sa’ad bin
Abi Waqqash, sanadnya shahih.
Apabila kalian melaksanakan shalat maka shalatlah seperti
shalatnya orang yang hendak meninggalkan dunia.
Berdasarkan hadist di atas Imam Al Ghazali menegaskan pen-
tingnya ruhani terfokus kepada Allah saja dalam melaksa-
nakan setiap ibadah, seperti keadaan menjelang kematian. Ia
harus :
• meninggalkan dirinya,
• meninggalkan hawa nafsunya,
• meninggalkan urusan dunianya dalam menuju Allah.
Karena ia sedang berhadapan dengan Allah. Inilah yang
dimaksud oleh Rasulullah, “Al inabatu ila daril khulud wa tajafi
an daril ghurur wa tahabu lil mauti qabla nuzulil maut. Kem-
bali menuju perjalanan ke kampung abadi (akhirat) mening-
galkan kampung penuh tipuan (dunia) merasakan mati sebe-
lum mati” .
Untuk prakteknya silahkan lihat kembali artikel "Mengingati
Allah", kalau berkenan. Sebab kalau kita sudah terbiasa de-
ngan aktifitas seperti inilah nantinya yang akan mempermu-
31
dah kita saat menghadapi proses sakaratul maut bagi diri kita
sendiri, dan juga ketika kita mengantarkan orang tua atau
saudara kita yang sedang dalam keadaan sakaratul maut itu.
32
Artikel 4 :
Jasad, Nyawa, Ruh, dan Akal
Sekarang kita sudah menjadi sederhana saat menelisik diri
kita, bahwa diri kita ini paling tidak terdiri dari 4 anasir utama,
yaitu: JASAD, NYAWA, RUH, dan AKAL.
AKAL AKAL kadangkala kita sebut juga sebagai
PIKIRAN, atau HATI, atau SANUBARI. AKAL
ini juga punya MATA yang disebut dengan
MATA AKAL, atau MATA HATI, atau MATA
SANUBARI.
AKAL/HATI
dan MATA
AKAL /
MATA
HATI
AKAL/HATI dan MATA AKAL / MATA HATI
adalah anasir yang bisa melihat,
mendengar, merasakan, berpikir, dan
mengingat, sehingga HATI dan MATA HATI
ini boleh juga dikatakan sebagai anasir
yang serba tahu (BASHIRAH). Ia adalah
SANG PILOT, SANG SOPIR, SANG KUSIR,
SANG HAKIM, SANG PENGENDALI atas DUA
KENDARAAN yang difasilitasi oleh Allah
kepadanya, yaitu JASAD dan RUH.
NYAWA Sedangkan NYAWA adalah anasir yang
33
memberikan KEHIDUPAN kepada JASAD
sampai waktu yang telah ditentukan.
Kalau kita sudah paham tentang anasir-anasir diri kita ini, dan
kita sudah paham pula cara kerja dan taqdirnya masing-
masing, yang telah dibuatkan oleh Allah, maka kita sebenar-
nya sudah tidak perlu lagi ribet-ribet untuk memahami dan
bergumul setiap hari dengan istilah-istilah yang lainnya.
Misalnya:
• Pikiran Sadar (conscious mind),
• Pikiran Bawah Sadar (subconscious mind),
• Pikiran Tak Sadar (unconscious mind),
• Pikiran Super sadar (Supra conscious mind),
• Perasaan,
• Power,
• Force,
• Quantum ini dan itu (quantum-quantuman).
Lalu dari sana kita pasti selanjutnya akan dibawa ke dalam
dunia terapi-terapian, healing-healingan, power-poweran, dan
meditasi-meditasian. Misalnya, pemulihan jiwa, terapi ini dan
itu, metafisika ini dan itu, spiritualitas ini dan itu, hipnoterapy
ini dan itu, tenaga dalam ini dan itu, meditasi ini dan itu, dan
sebagainya. Dan ternyata kesemuanya itu hanyalah OBJEK
PIKIR yang akan menjadi objek PERMAINAN bagi AKAL atau
PIKIRAN, atau HATI belaka. Sang Pilot.
34
Objek Pikir itu, yang pada awalnya adalah alat
untuk bermain-main bagi Sang pilot. Akan tetapi,
tanpa disadari oleh Sang Pilot, dia sendiri malah
berbalik menjadi objek yang dipermainkan oleh
Objek Pikir itu selama dia masih bertahan di pintu
ingatan kepada objek-pikir itu.
Dan itu tidaklah aneh.
Sebab kesemuanya itu hanyalah proses biasa saja yang terjadi
secara otomatis ketika PIKIRAN atau AKAL masuk ke PINTU
INGATAN tentang salah satu dari Objek Pikir tersebut di atas.
Sekali kita masuk ke PINTU INGATAN tentang Objek Pikir itu,
maka AKAL atau PIKIRAN akan disambut oleh cabang dan
ranting dari Objek Pikir itu yang jumlahnya sangat banyak dan
bervariasi. Objek pikir itu akan menawan kita, memperbudak
kita. Objek pikir itu akan memaksa :
• Kita untuk mengagung-agungkannya,
• Kita akan dipaksa untuk menjajakannya ke sana ke mari,
• Kita dipaksa berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain,
• Kita tidak akan dibiarkannya untuk istirahat barang sesaat-
pun, bahkan
• Kita akan dikejarnya sampai kealam mimpi sekalipun.
Tanpa kita sadari, begitu kita terikat (binding) dengan sebuah
Objek Pikir yang selain dari Allah, maka saat itu juga objek
pikir itu akan menghalangi RUH kita untuk kembali kepada
Allah.
35
Ruh kita akan terpenjara di dalam Objek Pikir itu.
Dan itu sangatlah menyakitkan sekali, sehingga kita disebut
sebagai si Ruhani yang sakit. Tapi Sang RUH punya cara sendiri
untuk bisa terlepas dari penjara objek pikir kita itu. Ia
menggeliat, ya meronta, yang akibatnya akan berpengaruh
buruk terhadap JASAD kita. Rongga dada kita terasa sempit,
nafas kita tersengal-sengal, darah dan sistem hormonal kita
mengalir di luar takarannya yang normal, sehingga membuat
kita ambruk. SAKIT, atau bahkan bisa MATI.
Untuk menahan kita agar kita bisa terus menerus berada da-
lam Pintu Ingatan kepadanya, Objek pikir kita itu akan mem-
beri kita :
• Rasa Bisa,
• Rasa Memiliki,
• Rasa Tahu,
• Rasa Hebat,
• Rasa Senang,
• Rasa Diri.
• Aku…!
Ya… GUE banget begitu loh. Aku ada, Aku Wujud. Karena aku
ada, maka aku akan marah kepada siapun yang menolak aku.
Aku akan balik menghina orang-orang yang berani-beraninya
menghina aku itu. Aku akan hancurkan dia.
Objek pikir itu juga seperti ikut memberi NAFKAH kepada kita.
36
REZKI kita ikut mengalir melalui objek pikir kita itu. Hanya saja
karena umumnya kita adalah orang yang beragama, maka
objek pikir kita itu kemudian kita poles dengan berbagai istilah
dari agama yang kita anut. Kalau tidak maka kita seolah-olah
telah menjadi orang yang lebih hebat dari orang-orang yang
beragama tertentu. Tanpa kita sadari kita telah menciptakan
agama untuk diri kita sendiri, yaitu
agama objek pikir kita.
Sebaliknya, aku akan tersenyum sum-
ringah ketika orang mau mengikutiku.
Aku akan JAIM (Jaga image) dengan
senyuman dan tingkah lakuku yang menandakan bahwa itulah
aku. Aku ada nih…!. Bisik kita kepada mereka, di dalam hati
kita.
Bahkan karena kita merasa ADA, kita merasa WUJUD, maka
kita bisa sampai pada taraf ingin BERBENTURAN atau BERGA-
DUH dengan Allah. Karena begitu kita mengaku wujud, maka
saat itu akan ada dua wujud, yaitu kita yang mengaku wujud
dan Dzat Yang Wajibul Wujud. Saat itu hilanglah Tauhid kita
dengan seketika. Lalu kita “seakan-akan” ingin selalu ME-
NENTANG TAQDIR. Seakan-akan apa yang sudah Allah Taqdir-
kan untuk kita, itu tidak cocok untuk kita.
“Allah kok begitu ya ?, harusnya kan begini. Ya Allah mohon
ubah dong jadi begini…”, rengek kita menghiba-hiba.
“Kenapa…., kenapa…., kenapa… ya Allah”,
37
. . . protes kita hampir setiap hari.
Kalau setiap saat kita merasa bisa untuk menentukan taqdir
kita sendiri, karena kita ADA dan WUJUD untuk menetukan
taqdir kita itu, maka kita disebut sebagai orang yang berpa-
ham MUKTAZILAH atau QADARIYAH, Atau RASIONALIS. Biasa-
nya ungkapan yang kita pakai adalah: “Kita adalah apa yang
kita pikirkan. Kita bisa mengubah masa depan kita dengan
mengubah pikiran kita saat ini atas masa lalu yang telah kita
hadapi”. Jika dalam paham Rasionalis itu, kita poles dengan
istilah-istilah agama, maka kita disebut sebagai kaum RASIO-
NALIS-AGAMIS.
Kalau kita tetap merasa WUJUD,
namun pada saat yang sama kita
merasa tidak akan sanggup untuk
melawan Allah, maka kemudian
kita bersedia untuk tunduk,
menyerah dan takluk kepada
Allah, kita Pasrah saja kepada Allah, maka paham ini disebut
dengan paham JABARIYAH atau FATALIS, yang jika kita poles
dengan agama menjadi FATALIS-AGAMIS.
Paham jalan AMAN, yang paling banyak kita pakai, adalah
Paham ASY’ARIYAH, Pahan Jalan tengah. Dalam paham ini kita
TETAP merasa WUJUD. Cuma saja sesekali kita merasa bisa
meminjam pakai Paham Qadariyah kalau kita merasa bisa
mengubah taqdir kita, dan di lain waktu kita seperti berpegang
38
teguh pada Paham Jabariyah kalau kita merasa tidak bisa
mengubah taqdir kita. Dalam paham ini, kita seperti duduk di
atas PAGAR. Sesekali kita mencondongkan diri kita kepada
Paham Qadariyah, sesekali kita merebahkan diri kita kepada
Paham Jabariyah. Aman.
Tetapi,
. . . ada sebuah paham yang hanya dianut oleh
sedikit umat manusia.
Ya…, hanya sedikit manusia saja bersedia untuk masuk ke
dalam paham ini. Paham yang akan membuat kita menjadi
orang yang aneh dan ganjil. Orang yang hidup “dalam
kesendirian” di tengah-tengah keramaian. Karena di tengah
keramaian itu kita merasa tidak wujud sama sekali. Kita tidak
ada. Kita tidak wujud.
Paham itu adalah Paham Makrifatullah.
Bahwa, semua pembicaraan kita tentang JASAD, NYAWA,
RUH, HATI, dan MATA HATI seperti yang diterangkan di atas,
pada hakekatnya barulah berbicara tentang SIFAT-SIFAT dari
diri kita. Karena masih dalam tatanan SIFAT, maka boleh jadi
ada pendapat lain yang jauh lebih baik dari pendapat ini. Ya…,
nggak apa-apa. Namanya juga berbicara tentang SIFAT. Kita
belum sampai dalam membicarakan diri kita dari segi
39
HAKEKAT. Ya… Hakekat.
Kalau begitu, apa sih HAKEKAT dari semua anasir diri kita yang
telah kita bahas di atas ?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus mempertajam
pandangan Mata Hati kita dengan memakai Kacamata Mak-
rifatullah. Tidak bisa tidak…!. Sebab dengan memakai Kaca-
mata Makrifatullah ini, kita akan dikejutkan oleh kenyataan
bahwa :
. . . kita sebenarnya, hakekatnya,
TIDAKLAH WUJUD.
Karena kita sudah dapat memandang dengan Mata Hati kita,
yang sudah menjadi sangat tajam, bahwa yang boleh wujud
hanyalah SATU, yaitu Dzat Wajibul Wujud. Apapun yang selain
dari Dzat Yang Satu itu tidaklah wujud, karena semuanya
hanyalah semata-mata . . .
. . . penzahiran dari Dzat-Nya yang sedikit,
. . . sehingga dengan begitu,
. . . kita tidak sedikitpun berkeinginan
untuk mengaku ADA, untuk mengaku Wujud.
40
Bagaimana kita akan bisa mengaku wujud, sementara kita
hanyalah bagian kecil dari Dzat-Nya yang sedikit dari Dzat-Nya
Yang Maha Besar, dan Maha Agung. Inilah inti dari Tauhid.
Bahwa keempat anasir diri manusia itu, seperti juga ciptaan-
ciptaan yang lainnya, berada di dalam LAUHUL MAHFUZ, yang
dalam paham DZATIYAH dikatakan sebagai TEMPAT Allah
menciptakan seluruh Makhluk Ciptaan-Nya. Semua proses
penciptaan dan penghancuran makhluk yang berada di dalam
Lauhul Mahfuz itu adalah . . .
. . . AKTIFITAS ALLAH belaka terhadap sedikit dari
Dzat-Nya, yang besarnya tidak lebih dari sebesar
butiran pasir di padang pasir yang sangat luas,
atau setetes air masin di dalam samudera raya.
Tatkala itu,
. . . Allah berkata KUN kepada
Dzat-Nya yang sedikit itu,
. . . sehingga kemudian terzahirlah Rencana Induk (Lauhul
Mahfuz) dari semua ciptaan-Nya. Waktu kemudian mengan-
tarkan Rencana Induk itu untuk terzahir menjadi berbagai
ciptaan dan peristiwa-peristiwa dengan Qada dan Qadarnya
masing-masing. Proses penzahiran itu adalah bak sandiwara
belaka bagi Allah. Karena . . .
41
. . . semuanya adalah perbuatan Allah sendiri
terhadap sedikit dari Dzat-Nya yang telah Dia
isolasi dengan Tabir Nur dari keseluruhan
Dzat-Nya Yang Maha Indah.
Tabir Nur itu akan membatasi dan memelihara semua ciptaan-
Nya yang berada di dalam Lauhul Mahfuz itu dari kemusnahan
akibat terbakar hangus karena terpandang pada Kemulyaan
Keseluruhan Dzat-Nya Yang Maha Indah.
Yang dicerita-ceritakan oleh Allah di dalam Al Qur’an, hampir
semuanya berkenaan dengan serba-serbi dan perlakuan Allah
terhadap Dzat-Nya yang sedikit itu, yang berada di Lauhul
Mahfuz. Sebutlah ayat mana saja. Misalnya, ayat tentang
Syurga dan Neraka. Maka ayat tentang Syurga dan Neraka itu
tidak lain hanyalah cerita Allah tentang penzahiran dari Dzat-
Nya yang sedikit itu yang nantinya akan diperuntukkan-Nya
pula untuk Dzat-Nya yang sedikit itu yang terzahir menjadi
manusia, jin, iblis, dan malaikat. Insyaallah, kalau Allah ber-
kenan, tentang hal ini akan kita bahas tersendiri pada saatnya.
Sedangkan terhadap Dzat-Nya secara keseluruhan Dia hanya
berkata sangat sederhana, bahwa Dzat-Nya yang keseluruhan
itulah Dzat Yang Awwal. dan Dzat-Nya yang keseluruhan itu
pulalah nantinya Yang Akhir. Dzat Yang Maha Indah, Dzat Yang
Maha Agung. Dzat yang akan membakar hangus apapun juga
yang terpandang oleh-Nya.
42
Jadi SEMUA yang berkenaan dengan CIPTAAN, mestilah ber-
ada di dalam LAUHUL MAHFUZ. Tidak bisa tidak. Sebab apa-
pun juga yang di luar Lauhul Mahfuz, tetaplah Dia akan men-
jadi MISTERI yang ABADI Sepanjang Masa. Misteri yang tidak
sedikitpun disadari oleh para penganut :
• Paham Wihdatul Wujud,
• Paham Nur Muhammad, dan
• Paham Rabithah Mursyid.
Apalagi oleh orang-orang yang Mata Hatinya Buta dan Tuli.
Sedikit dari Dzat-Nya yang terkurung di Lauhul Mahuz itu bo-
leh kita sebut sebagai Dzat Yang Batin. Dzat yang tidak dapat
dilihat dengan mata. Dzat yang tidak dapat diumpamakan,
Dzat yang tidak ada rupa dan warna. Dzat yang tidak bisa
diserupakan dengan apapun juga. Sama halnya dengan Dzat-
Nya secara Keseluruhan yang ada di luar Lauhul Mahfuz. Ya…,
Dialah Dzat Yang Batin.
Dzat-Nya Yang Batin yang sedikit itu kemudian terkena kalimat
KUN dari-Nya, sehingga lalu dari Dzat Yang Batin itu terben-
tuklah Lauhul Mahfuz, atau Gambaran Besar, atau Rencana
Induk yang memuat skenario Allah yang sangat detail dan rinci
terhadap setiap makhluk yang akan Dia ciptakan sebagai
penzahiran dari Dzat-Nya Yang Batin itu. Salah empat dari
semua ciptaan-Nya itu adalah :
• JASAD,
• NYAWA,
• RUH, dan
43
• PIKIRAN,
yang masing-masingnya telah diberikan pula taqdir oleh Allah
untuk dijalaninya.
Dengan begitu, maka RUH, seperti juga JASAD, NYAWA, dan
PIKIRAN, dapat dikatakan sebagai CIPTAAN ALLAH. Karena ia
adalah anasir diri kita yang terkurung dan berada di dalam
ruang penciptaan atau Lauhul Mahfuz. Akan tetapi karena Ruh
kita itu adalah akibat penzahiran dari sedikit Dzat-Nya, maka
Allah berhak pula mengatakan bahwa RUH itu adalah Milik-
Nya.
“Itu RUH-KU”, kata Allah. Bahkan Allah berhak
mengatakan bahwa RUH itu adalah Dia sendiri.
Pengakuan Allah itu sama halnya dengan pengakuan kita
terhadap kuku tangan kita yang kita akui sebagai diri kita,
sebagai milik kita, sehingga kalau ada orang lain menyakiti
kuku kita itu, maka kita berhak untuk berkata: “Kenapa eng-
kau sakiti aku ?” Padahal yang mereka sakiti adalah kuku kita.
Akan tetapi RUH KITA ITU BUKANLAH ALLAH.
Karena ia hanyalah berasal dari Dzat-Nya yang sedikit saja.
Seperti juga kuku tidak bisa mengaku sebagai kita, misalnya si
Deka. Prinsip ini adalah sangat penting untuk kita ketahui,
karena banyak orang yang sudah berada pada kesadaran RUH
44
ini, kemudian malah menyatakan dirinya sebagai Allah. Seperti
yang terjadi pada orang-orang yang berpaham Wahdatul
Wujud.
Kalau kita paham tentang kepemilikan Allah terhadap Dzat-
Nya yang sedikit itu, yang kemudian dizahirkan-Nya menjadi
semua ciptaan, maka . . .
. . . kita tidak akan pernah lagi untuk menghina,
merusak, menghancurkan, atau bahkan hanya
sekedar untuk menyia-nyiakan sedikit dari
ciptaan-Nya yang lain yang diamanahkan-Nya
kepada kita, yang sebenarnya untuk
kita jaga, untuk kita kelola, dan untuk kita
manfaatkan dengan sangat lembut.
Dengan mengimani bawah JASAD, NYAWA, RUH, dan PIKIRAN
adalah ciptaan Allah dengan Taqdirnya masing-masing, maka
kita sudah tidak perlu takut-takut lagi untuk membahasnya
dalam hal fungsi dan aktifitasnya masing-masing. Kita akan
melihat SIFAT-SIFAT-NYA. Sebab kalau mengenai esensi atau
unsur dasarnya kita sudah tidak perlu membahasnya lagi.
Semuanya berasal dari Dzat-Nya yang sedikit. Ya…, hakekat
dari kesemuanya adalah Dzat-Nya sendiri. Dzat Yang Batin.
Dari Dzat Yang Batin itu terzahirlah sebuah Rencana Induk
45
(Lauhul Mahfuz) tentang perjalanan hidup seluruh makhluk
ciptaan-Nya, termasuk seluruh umat manusia. Proses penza-
hiran Dzat-Nya menjadi seluruh ciptaan-Nya itu mirip sekali
dengan proses kita membangun sebuah rumah dengan segala
isinya. Mari kita lihat :
1. Tahap Pertama, kita buat dulu rencana, gambaran menye-
luruh dari rumah yang akan kita bangun itu. Kita siapkan
gambar detailnya. Kita mengubah atau menzahirkan se-
suatu yang tadinya dalam bentuk batin, yang tidak terli-
hat, menjadi sebuah rencana yang sudah ada pola, ukur-
an, dan bentukmya. Padanannya adalah sama dengan
Lauhul Mahfuz yang dibuat oleh Allah. Hanya saja gambar
detail yang kita buat itu seringkali
ada saja hal-hal yang kita lupakan.
Sedangkan bagi Allah, semuanya
tidak ada yang terlupakan.
2. Tahap Kedua, dalam MASA tertentu, kita mulai menyiap-
kan SARANA atau INFRASTRUKTUR pembangunannya,
mulai dari tanah tempat berdirinya bangunan, pasir, se-
men, besi, atap, batu merah, kayu,
tegel, peralatan pertukangan, dan se-
bagainya. Kurun waktu bagi kita untuk
menyiapkan sarana dan prasarana itu
bisa dalam sebulan atau lebih.
Untuk kehidupan di langit dan di bumi ini, Allah juga me-
nyiapkan SARANA dan PRASARANA atau INFRASTRUKTUR
46
langit dan bumi itu terlebih dahulu, yang lamanya adalah
8 MASA atau 16 Milyar tahun. Dari 16 Milyar tahun itu, 2
MASA (4 Milyad tahun) dipakai Allah untuk menciptakan 7
lapis langit, dan 6 MASA (12 Milyar tahun) untuk
menciptakan bumi dan segala kelengkapannya. Untuk
satu MASA lamanya adalah 2 milyar tahun.
3. Tahap ketiga, setelah semua infrastruktur tersedia, dalam
waktu atau umur tertentu, SATU-PERSATU kita mulai
membangun fondasi, dinding, lantai, pintu, jendela. Ka-
mar, atap, kamar mandi, meja dan kur-si,
taman, dan sebagainya. Apa yang tadi-
nya hanya berupa GAMBAR atau REN-
CANA, kemudian kita wujudkan menjadi
bagian-bagian Rumah dalam WAKTU
yang tertentu.
Jadi, WAKTU atau UMURLAH yang menyebabkan gambar
fondasi bisa tercipta menjadi fondasi benaran. Misalnya dalam
waktu 1 bulan, maka terciptalah fondasi. Begitulah seterusnya
sehingga dalam waktu atau 6 bulan selesailah kita mem-
bangun sebuah rumah utuh dari sebuah rencana yang telah
kita buat sebelumnya. Hanya saja kita tidak punya rencana
tentang berapa lama UMUR rumah kita itu akan bertahan dan
kemudian ia hancur kembali menjadi unsur tanah, kayu, batu,
dan sebagainya.
Begitu jugalah Allah memperlakukan langit dan bumi beserta
segala makhluk yang ada di dalamnya. Khusus untuk tujuh
47
langit dan bumi, Allah memberikan tambahan UMUR kepada-
nya selama 12 Milyar tahun lagi, sebagai tempat untuk tum-
buhnya peradaban umat manusia berikut dengan semua pe-
ran-peran yang menyertainya. Semua Ciptaan yang terzhahir
itu dapat pula dikatakan sebagai perwujudan dari Dzat-Nya
yang Zhahir, sebelum semuanya kembali hancur luluh menjadi
Dzat-Nya Yang Batin (KIAMAT). Jadi ketika Allah berkata
bahwa Dialah Yang Zahir dan Dialah Yang batin, maka Dia
sebenarnya berkata terhadap Dzat-Nya yang terdapat di
dalam Lauhul Mahfuz. Bukan Dzat-Nya yang di luar Lauhul
Mahfuz.
Sekarang marilah kita sedikit lebih fokus terhadap perlakuan
Allah terhadap setiap anasir diri kita.
Allah memberi UMUR untuk kita yang akan menghubungkan
atau menyambungkan antara Rencana Induk Allah (Lauhul
Mahfuz) dengan terzahirnya kita menjadi Manusia. Misalnya,
untuk menzahirkan Rencana
Allah agar kita bisa terlahir
menjadi BAYI benaran, dari yang
sebelumnya hanya dalam
bentuk rencana induk itu, Alah
menakdirkan untuk berlang-
sung selama 9 bulan. Waktu se-
lama 9 bulan itu disebut sebagai
UMUR kita untuk menjadi bayi.
Kalau kita meninggal saat itu juga, maka selesailah tugas kita.
48
Lalu kita berjalan untuk kembali menjadi Dzat-Nya yang batin.
Akan tetapi kalau UMUR kita masih ada, dan panjang pula,
maka kita akan diantarkan oleh WAKTU atau UMUR kita itu
untuk menjalani TAQDIR kita yang berikutnya, yang penuh
suka ataupun duka, menjadi anak-anak, terus remaja, dewasa,
tua lalu mati.
Rencana Allah terhadap kita
tidak hanya berhenti sampai
kita meninggal itu saja. Allah
ternyata masih punya rencana
lain yang harus kita jalani se-
telah kita meninggalkan alam
dunia ini dan kemudian me-
masuki kembali alam akhirat.
Alam yang dulu, di saat-saat awal penciptaan kita, pernah kita
diami.
Sungguh, kita memang adalah berasal dari Dzat-Nya Yang Ba-
tin lalu TERZAHIR menjadi Dzat-Nya Yang Zahir untuk kemu-
dian kita kembali menjadi Dzat-Nya Yang Batin.
• Dari-Dzat-Nya terzahirlah JASAD
• Dari Dzat-Nya terzahirlah NYAWA
• Dari Dzat-Nya terzahirlah RUH
• Dari Dzat-Nya terzahirlah PIKIRAN (Akal, atau Hati, dan juga
Mata Akal, atau Mata Hati).
Masing-masing terzahir dengan TAQDIRNYA sendiri-sendiri.
49
Allahlah yang berbuat sekehendak-Nya, semena-
mena, dan bersandiwara terhadap sedikit dari
Dzat-Nya. Dan sandiwara itu tergelar tanpa henti
di atas panggung sandiwara yang sangat besar
yang disebut dengan Lahul Mahfuz. Kita masing-
masing adalah AKTOR dari sekian banyak aktor
yang terlibat di dalam sandiwara Allah itu.
Dia tidak akan ditanya atas semua perbuatan-Nya itu. Sungguh
celaka kita yang berani-berani berkata: “Mengapa ? Ada apa ?
Dan seharusnya ?”, kepada-Nya ketika kita menghadapi ber-
bagai duka dan nestapa, atau kita berbangga-bangga diri ke-
tika kita mendapatkan suka dan cita selama kita menjalani
peran kita di dalam sandiwara Allah itu.
Bagi kita peran itu bukanlah sandiwara.
Kita akan digiring untuk memerankan
peran kita dengan total.
Setiap skenario yang telah dibuatkan khusus untuk kita di
dalam sandiwara itu, mau tidak mau, terpaksa ataupun redha,
harus kita jalani. Kalau kita harus sakit, maka sakitnya terasa
betul oleh kita. Kalau kita harus berdarah-darah, maka
darahnya akan mengalir keluar dari pembuluh darah kita.
Kalau kita harus mati, maka matinya tidak bisa diundur walau
50
sedetikpun. Kalau kita harus senang, maka senangnya
benaran. Kalau peran itu mengharuskan kita untuk susah,
maka susahnya juga benaran, sampai kita ampun-ampunan.
Sampai di sini, selesailah topik “Menelisik
Anasir Diri”. Selan-jutnya, INSYAALLAH, kita
akan lanjutkan pembahasan yang lebih
dalam melalui artIkel “MENENGOK KILASAN
SANDIWARA DZAT2”.
2 http://yusdeka.wordpress.com/2014/06/06/menengok-kilasan-
sandiwara-dzat-bagian-1/
51
Artikel 5 :
Menengok Kilasan Sandiwara Dzat3
Dari beberapa artikel terdahulu, secara berangsur-angsur, kita
telah mulai memahami bahwa :
Pada awalnya hanya Allah saja yang Wujud. Diri-
Nya disebut Dzat Yang Maha Indah.
Al Hadid (57 / 3) :
“Dialah (Dzat) Yang Awal.”
Segala sesuatu, selain Dzat Yang Maha Indah ini, belum ada.
“Tidak ada” juga tidak wujud pada saat awal itu, termasuk
“kosongpun” juga tidak wujud. Yang Wujud hanyalah Dzat-Nya
semata-mata. Karena kalau saat awal itu ada pula “tidak ada
atau kosong”, maka lunturlah TAUHID kita. Karena saat Awal
itu akan ada DUA wujud yang Ada, yaitu Wujud Allah dan ada
pula wujud “tiada” atau “kosong.”
3 http ://yusdeka.wordpress.com/2014/06/06/menengok-kilasan-
sandiwara-dzat-bagian-1/
52
Kemudian Dia Bersabda :
1. “KUN” kepada sedikit dari Dzat-Nya,
yang besarnya tidak lebih dari
sebutir pasir di padang pasir, atau
Sedikit dari
Dzat-Nya
setetes air asin di dalam samudera.
Dzat Yang sedikit itu kemudian
ditirai oleh 70 tirai cahaya terhadap
Dzat-Nya Yang Maha Indah.
Ditirai Oleh 70
Tirai Cahaya
Sehingga Dzat-Nya yang sedikit itu kemudian berubah
menjadi sebuah Ruang Tertutup yang nanti akan
berfungsi sebagai tempat terselenggaranya Pertunjukan
atau Pagelaran Sandiwara Allah terhadap sedikit dari
Dzat-Nya itu, yang akan diubah-suaikan atau dijadikan-
Nya menjadi berba-gai bentuk CIPTAAN dengan peran
yang PERANAN tententu pula. Panggung Sandiwara,
tempat Allah bermain-main dan bersenda gurau dengan
CIPTAAN-Nya itu, disebut LAUHUL MAHFUZ.
2. “KUN”, maka Dzat-Nya yang sedikit
itu kemudian menjadi BATIN dari
semua bakal ciptaan yang akan
diciptakan oleh Allah melalui Dzat-
Nya yang sedikit itu. Sehingga Dzat-
Dzat-Nya yang
sedikit itu
kemudian
menjadi BATIN
Nya yang sedikit itu boleh pula disebut-NYa sebagai
Dzat-Nya Yang Batin. Al Qur’an kemudian mengatakan :”
Dialah (Dzat) Yang Batin.”
53
3. Dari Dzat Yang Batin, kemudian ter-
zahir menjadi Lauhul Mahfuz, yang
merupakan sebuah Skenario Induk
dari Sandiwara Kehidupan yang
akan dilakoni oleh Seluruh Ciptaan-
Nya. Skenario itu sangatlah detail
dan sempurna sekali. Tidak ada satu
skenariopun, walau untuk peran se-
kecil apapun, yang Dia lupakan. Se-
mua tertulis dan terencana dengan
rapi. Sebutlah peran sebuah atom,
sebuah sel, sebuah molekul, atau
seorang manusia, sebuah bintang,
selapis langit, dan sebagainya, maka
Dari Dzat Yang
Batin,
kemudian
terzahir
menjadi
Lauhul
Mahfuz, yang
merupakan
sebuah
Skenario Induk
dari Sandiwara
Kehidupan
TAKDIR untuk masing-masing-masingnya sudah di tulis di
dalam Buku Rencana Induk atau Lauhul Mahfuz itu.
4. Kemudian dari Dzat Yang Batin itu
terzahir WAKTU, UMUR, dan TEM-
PAT, yang boleh dikatakan sebagai
QADA dan QADAR dari berbagai
ciptaan.
a. WAKTU akan mengantarkan
saat awal terzahirnya sebuah
ciptaan yang akan memerankan
peranan tertentu, seperti apa
yang sudah ditulis dan
Dzat Yang
Batin itu
terzahir
WAKTU,
UMUR, dan
TEMPAT, yang
boleh
dikatakan
54
direncanakan oleh Allah di
dalam Lauhul Mahfuz.
b. UMUR akan menentukan
berapa lama ciptaan itu akan
menjalankan peranannya.
sebagai QADA
dan QADAR
dari berbagai
ciptaan.
c. Dan TEMPAT akan mendukung agar ciptaan itu bisa
berlakon dengan sangat sempurna sesuai dengan
SKENARIO atau Qada dan Qadarnya masing-masing.
Qada dan Qadar itu TIDAK akan pernah berubah. Ia
sudah ditetapkan oleh Allah dengan sangat RIGID.
Al A’raaf (7 / 183) :
“Sungguh rencana-Ku amatlah teguh.”
Al Ahzab (33 / 62) :
“Kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada Sun-
nah Allah.”
Tidak ada seorangpun yang bisa mengubah Qada dan Qadar
atau TAKDIR yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya.
Takdir kita masing-masing sudah digantungkan
oleh Allah pada LEHER kita untuk kita jalani.
Waktu, Umur, dan Tempat akan mengantarkan kita untuk
menjalankan peran kita sesuai dengan takdir kita itu, yang bisa
disebut sebagai AMALAN kita. Amalan kita itu akan persis
55
sama dengan catatan takdir kita itu. Nanti diakhirat, kita itu
akan melihat buku catatan amal kita itu dengan sangat jelas,
bahwa amalan kita tidak melenceng sedikitpun dari buku ca-
tatan takdir kita yang telah ditetapkan Allah buat kita. Tidak
ada perubahan sedikitpun dari renca-
na awal takdir kita dengan penza-
hirannya. Semuanya SAMA. Kita tidak
punya pilihan dalam hal ini.
Al Isra (17 / 13) :
“Tiap-tiap manusia itu telah Kami kalungkan catatan amal
perbuatannya pada lehernya.”
Dari Dzat Yang Batin, pada Waktu yang telah ditentukan, ter-
zahirlah berbagai ciptaan, termasuk kita, yang akan menja-
lankan perannya pada tempat dan umur yang tertentu sesuai
dengan takdir yang telah ditentukan. Semua ciptaan yang ter-
zahir itu disebut sebagai Dzat-Nya Yang Zahir. “Dialah (Dzat)
Yang Zahir.”
Karena semuanya adalah Dzat-Nya sendiri, yang berasal dari
sedikit Dzat-Nya, maka oleh sebab itu Allah berhak untuk me-
negaskannya di dalam Al Qur’an bahwa :
Al Hadid (57 / 3) :
“Dia-lah (Dzat) Yang Zahir, dan Dialah (Dzat) Yang Batin.”
Umur akan mengantarkan kita untuk menjalankan peran kita
56
di alam dunia dan di alam akhirat. Untuk menjalankan peran
kita itu, Allah telah memfasilitasi kita dengan empat anasir diri
kita, yaitu : JASAD, NYAWA, RUH, dan AKAL, yang telah kita
bahas dalam artikel “Menelisik Anasir Diri”4.
Sekarang marilah kita menengok secara sekilas tentang bagai-
mana Jasad, Nyawa, Ruh dan Akal ini menjalankan peranannya
dalam Lakonan Sandiwara Dzat :
Lakonan Sandiwara Dzat
• Panggungnya adalah Lauhul Mahfuz,
• Arena permainannya adalah Bumi dan Langit. Bumi
menggambarkan Alam Dunia, dan Langit
menggambarkan Alam Akhirat.
• Sedangkan Para Pelakon Utamanya adalah kita umat
Manusia, Jin, dan para Malaikat.
• Dekorasi panggungnya adalah Bulan, Matahari, dan
Bintang-bintang.
• Peran pembantunya adalah berbagai Hewan dan
Tumbuhan.
Kalau tentang Arena Permainan (Bumi dan Langit), Dekorasi
Panggung (Bulan, Matahari, dan Bintang-bintang), Pemeran
Pembantu (Hewan dan Tumbuhan), bagi orang yang TIDAK
4 http ://yusdeka.wordpress.com/2014/05/21/menelisik-anasir-diri-bagian-
1/
57
BERIMAN akan terlihat semuanya itu seperti BEREVOLUSI de-
ngan sendirinya. Seakan-akan mereka punya kecerdasan sen-
diri untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan segala kesu-
litan dan tantangan yang disediakan oleh alam. Yang kelihatan
oleh mereka adalah SIFAT yang berubah-ubah, BENTUK yang
bergerak-gerak, TINGKAH yang meliuk-liuk. Mereka TERHIJAB
oleh SIFAT untuk menyadari HAKEKAT. Makanya mereka dise-
but sebagai kaum MATERIALISTIS.
Akan tetapi . . .
. . . bagi orang yang sudah memakai Kacamata
Makrifatullah, semua Sifat yang berubah, Bentuk
yang bergerak, dan Tingkah yang meliuk itu, sudah
direncanakan sejak awal sabda KUN oleh Allah di
dalam Lauhul Mahfuz.
Qada dan Qadarnya sudah ditetapkan oleh Allah sesuai
dengan Waktu yang telah ditentukan. Ketika mulai waktu ber-
jalan, maka segala sifat, bentuk, dan tingkah dari semua Pe-
meran Sandiwara Dzat itupun ikut pula berubah. Karena WAK-
TU adalah JEMBATAN PENGHUBUNG antara Rencana Induk
(Lauhul Mahfuz) dengan Penzahiran atas Rencana Induk
tersebut menjadi segala Sifat, Bentuk, danTingkah dari semua
Ciptaan.
“KUN”, Dzat-Nya yang sedikit (Dzat Yang Batin) diberi Qada
58
dan Qadar oleh Allah, Lalu dari Dzat-Nya itu terzahir menjadi
Rencana Induk (Lauhul Mahfuz). Lalu Dzat-Nya itu diberikan-
Nya pula Waktu dan Umur, sehingga kemudian dari Dzat-Nya
itu terzahirlah Semua Ciptaan-Nya (Dzat Yang Zahir).
Dengan memakai Kacamata Makrifatullah, kita bisa mema-
dang dengan Mata Hati kita bahwa . . .
. . . ternyata ADA Allah yang mengatur SEDIKIT
dari Dzat-Nya yang sudah Dia kurung di dalam
Lauhul Mahfuz dengan 70 Tabir Cahaya, sehingga
dari Dzat-Nya yang sedikit itu terzahir
menjadi SEMUA Ciptaan.
Dia Maha Menciptakan semua makhluk-Nya
melalui Dzat-Nya yang sedikit.
Bukan hanya itu, DI DALAM Lauhul Mahfuz itu;
• Dia Maha Mengetahui semua sifat, bentuk, dan tingkah
dari semua Ciptaan itu. Karena Dia memang Maha Melihat,
Maha Mendengar, Maha Mengawasi MELALUI Dzat-Nya
yang sedikit itu.
• Dia Maha Berkuasa, Maha Mengatur, Maha Menggerakkan,
dan Maha Berkehendak terhadap semua Ciptaan-Nya
MELALUI Dzat-Nya yang sedikit itu.
• Dia Maha Mengaktualisasikan 99 Nama-nama-Nya Yang
Maha Indah terhadap semua Ciptaannya MELALUI Dzat-
Nya Yang sedikit itu.
59
Sedangkan DI LUAR Lauhul Mahfuz, semuanya
akan Hangus dan Musnah “terbakar” oleh
Keagungan Dzat-Nya Yang Maha Indah.
Dan, untuk menjadi SAKSI atas semua Kehebatan-Nya itu, ma-
ka Allahpun kemudian menciptakan Manusia, Jin, dan Malai-
kat yang akan menjalankan perannya masing-masing. Peran-
peran itu sudah kita bahas pula di lain artikel sebelumnya.
Namun secara garis besar peran-peran itu bisa dibagi dua,
yaitu :
• Ada peran-peran yang menggambarkan siapa yang BISA
untuk bersaksi terhadap Allah, dan
• Ada pula peran-peran yang memperlihatkan siapa yang
TIDAK BISA untuk bersaksi tentang Allah.
Dan tentu saja untuk setiap peran itu ada pula AKIBAT atau
HASIL yang akan diperoleh oleh setiap pemeran dari peran-
peran itu di setiap perputaran waktu.
• Malaikat ditakdirkan untuk bisa bersaksi sepanjang masa.
• Iblis yang tadinya adalah makhluk Jin yang tingkatannya
sudah sama dengan Malaikat, ditakdirkan pula semenjak
ada Adam sampai dengan akhir masa menjadi makhluk-Nya
yang tidak bisa lagi bersaksi terhadap Allah.
• Sedangkan manusia, ada yang ditakdirkan bisa bersaksi
bulat selama hidupnya, seperti Nabi-nabi, Rasul-rasul, dan
orang-orang shaleh; ada yang lebih banyak bisa bersaksi
dibandingkan dengan kelupaan; ada yang lebih banyak
60
lupanya dibandingkan dengan kesaksiannya; dan ada yang
lupanya berketerusan kepada Allah (kafir).
Hanya orang-orang yang sudah bersaksi secara bulatlah yang
akan bisa BERIMAN yang BULAT pula kepada Allah. Untuk
pembuktiannya, akan mengharuskan kita pula untuk BERIMAN
kepada TAKDIR Allah, yang alangkah sulitnya untuk diimani,
kecuali kalau hanya ucapan dibibir saja. Untuk bisa percaya
kepada Allah dan kepada Takdir-Nya dengan bulat, maka di
sinilah dibutuhkan pengenalan kita yang utuh tentang Allah,
Makrifatullah ! Karena dengan ilmu makrifatullah inilah kita bi-
sa melihat bahwa semua ciptaan ternyata adalah penzahiran
dan perlakuan Allah terhadap sedikit dari Dzat-Nya sendiri.
Sehingga dengan begitu kita bisa mengerti dengan mudah
bahwa Nabi Adam dan Hawa memang sudah seharusnya ke-
luar dari Syurga, karena takdir Beliau memang sudah ditetap-
kan sebagai Khalifah untuk membangun Bumi yang sudah di-
siapkan oleh Allah sebelumnya. Iblispun sudah takdirnya pula
untuk menjadi makhluk yang akan selalu berkubang dengan
angkara murka, sebagaimana juga Malaikat yang harus men-
jalani takdirnya sebagai makhluk yang akan selalu menyucikan
Allah. Dan Allah sudah menakdirkan pula ketiga macam makh-
luk ini (Manusia, Jin, dan Malaikat) untuk saling berinteraksi
dalam Sandiwara Dzat sampai Akhir Umur dari semua Ciptaan.
Akhirul Kalam, semua ciptaan kembali MUSNAH dan kembali
menjadi Dzat-Nya. Sehingga Dialah Yang Akhir. Dengan begitu
lengkaplah ayat 3 dari Surat Al Hadid berikut ini :
61
Al Hadid (57 / 3) :
“Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir, dan Yang Bathin,
dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
• Yang Awal adalah Dzat-Nya Keseluruhan Yang Maha Indah.
• Yang Akhir adalah Dzat-Nya Keseluruhan yang Maha Indah.
• Yang Zahir adalah Dzat-Nya yang sedikit, yang TERZAHIR
dalam bentuk semua Ciptaan.
• Yang Batin adalah Dzat-Nya yang sedikit, yang menjadi
Unsur AZASI dari semua Ciptaan.
• Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu yang Terjadi di
dalam Lauhul Mahfuz, di mana Dia Bersandiwara dengan
Dzat-Nya yang sedikit, yang dikurung-Nya dengan 70 Tabir
Cahaya di dalam Lauhul Mahfuz itu.
• Yang Zahir adalah Dzat-Nya, Yang Bathin juga adalah Dzat-
Nya. Dzat-Nya yang sedikit.
Dzat-Nya Yang Zahir akan terlihat oleh PANCA INDERA kita
sebagai SIFAT dari semua Ciptaan, Dzat-Nya Yang Batin akan
terlihat oleh MATA HATI kita sebagai HAKEKAT dari semua Cip-
taan. Kalau sudah begitu maka HATI kita akan mantap untuk
Bermakrifat kepada Allah. MAKRIFATULLAH. Bahwa segala
Sifat dan Hakekat itu hanyalah bercerita tentang SEDIKIT dari
Dzat-Nya, yang besarnya tak lebih dari sebesar sebutir pasir di
padang pasir yang sangat luas, atau setetes air masin di
tengah-tengah samudera, terhadap KESELURUHAN Dzat-Nya
Yang Maha Indah.
62
Wahai sahabat, masihkah kita bisa mengaku ?
• Tidakkah lidah kita ini menjadi KELU saat kita mengingat
Kemahabesaran dan Keagungan Allah kita ?
• Tidakkah kita menjadi MALU untuk menghina sesama cip-
taan ini ?
• Tidakkah kita menjadi SUNGKAN untuk menyiksa sesama
ciptaan ini ?
• Tidakkah kita menjadi TERGETAR saat kita menyakiti se-
sama ciptaan ini ?
• Tidakkah kita menjadi TIDAK ENAK HATI saat kita meng-
hancurkan sesama ciptaan ini ?
• Bukankah kita ini sama-sama Dzat-Nya Yang Zahir ?
• Bukankah kita ini sama-sama berasal dari Unsur Asazi yang
sama, yaitu Dzat-Nya Yang Batin ?
• Dan, bukankah hakekatnya kita semua ini adalah SATU,
yaitu Dzat-Nya Yang sedikit ?
• Dzat-Nya yang Sedikit, yang TIDAK TERPISAH dari Dzat-Nya
Keseluruhan.
• Seperti tidak terpisahnya jari tangan kita dengan diri kita.
• Seperti tidak terpisahnya Belalai dari diri Gajah.
• Seperti tidak terpisahnya setetes air masin dari Samudera.
Sehingga,
• Saat kita menghina sesama ciptaan, Allah berhak untuk
berkata : “Kenapa engkau hina Aku ?”
• Saat kita menyiksa sesama ciptaan, Allah berhak untuk
berkata : “Kenapa engkau siksa Aku ?”
• Saat kita menyakiti sesama ciptaan, Allah berhak untuk
63
berkata : “Kenapa engkau sakiti Aku ?”
• Saat kita menghancurkan sesama ciptaan, Allah berhak
untuk berkata : “Kenapa engkau hancurkan Aku ?”
• Sebaliknya.
• Tatkala kita bisa menabur kebaikan bagi sesama, Allah akan
memperkenalkan, menyanjung, dan membangga-bangga-
kan kita kepada para Malaikat dan Jin.
• Saat kita saling berbagi rezki, Allahpun memperkenalkan
kita sebagai : “Abdur Razak.”
• Lain kali kita disanjung-Nya sebagai Abdul Hadi, Abdul
Salam, Abdul Rahman, Abdul Rahim, dan sebagainya.
• Tapi, perkataan serta sanjungan Allah ini hanya akan bisa
“didengar” oleh orang-orang Allah. Orang-orang yang selalu
berkata : “Cukuplah Allah bagiku….” Dan itu sangatlah
menggetarkan sekali.
Dan yang terpenting di atas semua itu adalah bahwa SEGA-
LANYA sudah ditakdirkan oleh Allah untuk terjadi. Namun,
BAGI ALLAH, semuanya itu hanyalah SANDIWARA
BELAKA. Sandiwara atas Dzat-Nya sendiri.
Sedangkan . . .
BAGI KITA, peran yang kita sandang dalam
sandiwara itu haruslah kita jalani dengan
BERSUNGGUH-SUNGGUH.
64
Peran yang membuat kita kadang-kadang merasa kembang-
kempis, tunggang-langgang, luluh-lantak, kacau-balau, lintang-
pukang, dan bahkan hancur-lebur, MATI; adakalanya kita bisa
bercengar-cengir, cengengesan, cekikikan, bahkan sampai
mati ketawa; tempo-tempo kita bisa merasa haru-biru, riang-
gembira, asyik-masyuk, dan sebagainya. Dan kesemuanya itu
adalah peristiwa SUNGGUHAN.
Salah satu Sandiwara Dzat yang sedang berlangsung di Indo-
nesia saat ini adalah proses PILPRES 2014-2019. Mari kita lihat
Pilpres ini dengan memakai Kacamata Makrifatullah.
“KUN”, lalu dari Dzat-Nya yang sedikit terzahirlah sebuah
RENCANA BESAR yang sangat
sempurna (Lauhul Mahfuz) ten-
tang sebuah Sandiwara Kolosal
yang kelak para pemainnya ada-
lah semua CIPTAAN. Setiap cipta-
an itu telah dibuatkan oleh Allah
TAKDIRNYA masing-masing. Tepat
SATU TAKDIR untuk setiap cipta-
an. Walaupun terlihat Lautan Kemunginan Takdir di depan
mata kita, namun tetap hanya satu Takdir yang cocok untuk
kita.
Takdir inilah nantinya yang akan mengawal agar setiap ciptaan
itu menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan apa-apa
yang telah ditetapkan untuknya. Takdir itu tidak akan pernah
saling tertukar. Masing-masing tidak akan bisa keluar dari
65
takdirnya itu.
Kemudian Allah menciptakan WAKTU yang akan menjemba-
tani antara rencana Allah dengan penzahiran dari Rencana-
Nya itu di TEMPAT-TEMPAT tertentu. Dari situlah kemudian
terbentuk episode-episode kehidupan yang salah satunya
adalah episode PILPRES Indonesia 2014-2019 yang sedang kita
jalani.
Siapa Presiden kita untuk 2014-2019 itu, sebenarnya sudah
TERTULIS dengan sangat terang benderang di LAUHUL
MAHFUZ. Tapi bagi kita saat ini, misalnya pada tanggal 10 Juni
2014, Presiden itu masih berupa Rencana yang belum terzahir.
Untuk penzahiran Presiden itu, di samping diberi waktu :
• Allahpun MENGILHAMKAN kepada sekian ratus juta pendu-
duk Indonesia untuk membuat aturan-aturan dan kesepa-
katan-kesepakatan. ILHAM itu ada ILHAM FUJUR dan
adapula ILHAM TAQWA.
• Allah mengilhamkan kepada rakyat Indonesia untuk mem-
bentuk kelompok-kelompok yang telah selesai melakukan
proses Pemilu Legistaltif. Kemudian waktulah yang akan
mengantarkan orang-orang yang telah diberi ilham itu
untuk terzahir menjadi koalisi partai-partai peserta pemilu
yang akan mengusung CAPRES/CAWAPRES untuk dipilih
oleh rakyat dalam sebuah PILPRES. Allah kemudian mengil-
hamkan kepada sekian banyak orang untuk mengangkat
PRABOWO/HATTA dan JOKOWI/JK untuk menjadi Capres/
66
Cawapres yang akan dipilih dalam sebuah Pilpres nantinya.
• Pada waktunya, Allah mengilhamkan KEFUJURAN kepada
orang-orang yang takdirnya adalah untuk menjalankan
peran sebagai teman IBLIS. Allah mengilhamkan kepada
mereka cara untuk fitnah-memfitnah, mencaci-maki, ber-
bohong, dan aktifitas lain yang akan menimbulkan keka-
cauan. Lalu semua perkataan, perbuatan, dan taktik untuk
terzahirnya perilaku kefujuran itu, akan mereka lakukan
dengan sepenuh tenaga, waktu, uang, dan pikiran. Black
campaign, intimidasi, pembunuhan karakter, dan kampa-
nye negatif lainnya adalah sebuah kenicayaan saja di te-
ngah-tengah guyuran ilham fujur itu memasuki hati
mereka.
• Namun, pada waktu yang bersamaan, Allah mengilhamkan
pula tentang KETAQWAAN kepada orang-orang yang me-
mang sudah ditakdirkan oleh Allah untuk menjalankan
peran sebagai orang-orang yang berteman dengan para
Malaikat. Allah mengilhamkan kepada mereka tentang
kebaikan, kejujuran, keharmonian, kebahagiaan, dan seba-
gainya. Dari pikiran mereka kemudian keluarlah perkataan,
perbuatan, dan taktik yang akan menunjukkan bahwa
mereka adalah orang-orang yang bertaqwa.
Boleh jadi pada masing-masing Capres/Cawapres itu orang
yang menjalankan kedua macam PERAN itu ada. Makanya
akan ramai sekali. Mereka tidak akan bisa keluar dari peran
yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk mereka seperti itu.
67
Dalam sebuah debat di Teve, Allah kemudian mengilhamkan
kepada masing-masing Capres/Cawapres itu untuk saling ber-
tukar kata dan kalimat. Untuk kata-kata dan kalimat-kalimat
itu ada pula RASA yang terasa oleh mereka maupun oleh pen-
dukungnya masing-masing. Sehingga mereka bisa berkata
“YES, pilihan gue banget”, atau “terpojok lu, kalah lu dengan
Capres/Cawapres gue ! Dan mereka bisa pulang ke rumah
dengan sebuah mimpi bahwa calon merekalah yang akan
menjadi Presiden/Wakil Presiden dalam waktu dekat.
Semua orang di Indonesia akan menjalankan perannya ma-
sing-masing, sesuai dengan takdirnya, dalam proses Pilpres
itu. Ada yang mendukung dan mengelu-elukan calon tertentu,
ada yang menolak dan menjelek-jelekkan calon yang lain, ada
yang masih ragu-ragu, dan ada pula yang tidak peduli dengan
proses itu. Semuanya itu akan berperilaku sesuai dengan
ILHAM yang telah diberikan oleh Allah agar mereka bisa
menjalankan tugasnya tepat pada waktunya.
Demikianlah, dalam sudut pandangan Kacamata Makrifatullah,
Mata Hati kita akan melihat bahwa apa yang sedang dialami
oleh bangsa Indonesia saat ini,
PILPRES, tak lain hanyalah sebuah Episode Kecil
saja dari sebuah Sandiwara Dzat Yang Maha
Dahsyat. Sandiwara yang dilakukan oleh Allah
terhadap sedikit dari Dzat-Nya yang sangat kecil.
68
Eposide Kecil itu hanyalah bak sebuah Pagelaran Wayang Kulit
yang pelakonnya adalah kita semua, Bangsa Indonesia. Kita
masing-masing hanyalah sebuah wayang kulit yang secara
ZAHIR terlihat bergerak, berbicara, dan beraktifitas, sesuai
dengan peran kita sendiri, di antara wayang-wayang yang
lainnya. Episode Kecil itu ramai dan riuh rendah sekali. Akan
tetapi yang bergerak, berbicara dan beraktifitas itu ternyata
adalah SANG DALANG.
Kalau kita hanyalah sebuah wayang saja, lalu SIAPAKAH SANG
DALANG, yang membuat si wayang seperti bisa berbicara,
bergerak, dan beraktifitas itu ?
Untuk mengetahui Sang Dalang ini, ada beberapa alternative
pemahaman yang tersedia :
• Pemahaman yang paling banyak
dipakai orang adalah bahwa Sang
Dalang itu adalah ALLAH sendiri. Akan
tetapi paham seperti ini akan segera
Sang Dalang
itu adalah
ALLAH sendiri
membawa kita dengan sangat cepat menuju Paham
Wahdatul Wujud. Sehingga kalau kita mengakui bahwa
Allahlah yang mengge-rakkan kita setiap saat, maka itu
sama saja dengan membawa diri kita untuk lambat laun
mengatakan bahwa Allah adalah saya, atau saya adalah
Allah. Untuk lebih memahami paham ini, silahkan lihat
kembali artikel mengenai Paham Wahdatul wujud.
69
• Ada juga yang memahami bahwa
Sang Dalang itu adalah Ruh yang
ditiupkan oleh Allah ke dalam diri
kita. Dalam paham ini, Ruh-lah yang
menyebabkan kita bisa bergerak,
melihat, mendengar, berbicara,
Sang Dalang
itu adalah Ruh
yang ditiupkan
oleh Allah ke
dalam diri kita.
merasa dan beraktifitas. Itu betul. Akan tetapi kalau kita
memakai paham ini untuk memaknai Sang Dalang, maka
kita akan kesulitan untuk memahami siapa yang mengge-
rakkan binatang, tumbuh-tumbuhan, dan bintang-bintang
yang bertebaran sampai keujung langit. Masak yang men-
jadi Sang Dalang untuk diri kita BERBEDA dengan Sang Da-
lang untuk Alam semesta ? Padahal hanya ada SATU Da-
langlah yang melakukan seluruh aktivitas yang terzahir di
dalam Panggung Pagelaran Wayang Kulit itu.
Jadi dengan memahami bahwa Sang Dalang adalah Ruh, maka
dapatlah dikatakan itu masih kurang tepat. Sebab Ruh
hanyalah salah satu dari empat anasir diri kita yang terdiri dari
JASAD, NYAWA, AKAL, dan RUH. Dan keempat anasir diri kita
itu merupakan penzahiran dari DZAT-NYA yang sedikit.
Oleh sebab itu, untuk bisa memahami siapa Sang Dalang ini
dengan clear, kita harus kembali memakai Kacamata Makri-
fatullah dalam memandang Pegalaran Wayang Kulit itu. Bah-
wa HAKEKATNYA :
• Sang Dalang-lah yang bergerak, melihat, mendengar, mera-
sa, berbicara, dan beraktifitas.
70
• Sedangkan kita sebagai Sang Wayang hanyalah SIFAT-SIFAT
yang terzahir dari apa-apa yang dilakukan oleh Sang Da-
lang.
• Dan di belakang sang Dalang adalah SANG PENANGGAP.
Yaitu orang yang meminta Sang Dalang untuk memainkan
lakonan tertentu, episode tertentu, atau cuplikan tertentu
dari sebuah cerita besar Pewayangan. Sang Dalang hanya-
lah pihak yang Patuh dalam menjalankan perintah Sang Pe-
nanggap. Di belakang Sang Penanggap sudah tidak ada sia-
pa-siapa lagi.
Sang
Penanggap
Sang
Dalang
Sang
Wayang
Maka dengan begitu kita berhenti untuk berpikir lebih lanjut.
Berhenti berpikir itu namanya adalah kita telah
BERMAKRIFAT.
Jadi dengan bergerak . . .
. . . dari Sifat kepada Hakekat untuk kemudian
Bermakrifat,
. . . maka kita akan mudah untuk memahami bahwa . . .
71
. . . kita, sebagai CIPTAAN, hanyalah semata-mata
WAYANG-WAYANG yang tidak bisa berbuat apa-
apa. Tidak bisa melihat, mendengar, merasa,
berbicara, dan beraktifitas.
Benar-benar tidak bisa apa-apa. Sebab pada Hakekatnya
semua itu dilakukan oleh Sang Dalang. Lalu melalui Sang
Dalanglah mengalir semua keinginan Sang Penanggap dalam
Pagelaran Wayang itu. Sang Dalang tidak bisa bermain-main
dan keluar dari pakem yang telah ditetapkan untuknya oleh
Sang Penang-gap.
Dengan begitu, maka kita akan bisa memahami bahwa . . .
. . . Sang Dalang itu adalah DZAT-NYA Yang Sedikit,
yang terkurung oleh 70 Tirai Nur,
di dalam Lauhul Mahfuzdari Keagungan
Keseluruhan DZAT-NYA Yang Maha Indah.
Karena dari Dzat-Nya yang sedikit itulah terzahir semua
aktifitas dari semua Ciptaan. Dan Perlakuan Allah terhadap
sedikit dari Dzat-Nya itulah yang menyebabkan aktifnya semua
Ciptaan-Nya.
Cuma saja bedanya dengan Pagelaran Wayang adalah :
• Ciptaan itu (wayang-wayang) adalah Dzat-Nya yang Zahir.
72
• Dzat-Nya Yang Zahir itu berasal dari Dzat-Nya Yang Batin
(Sang Dalang), yang merupakan sedikit Dzat-Nya dari
keseluruhan Dzat-Nya Yang Maha Indah (Sang Penanggap).
Jadi . . .
. . . semua yang ada di dalam Panggung Pagelaran
Wayang itu tak lain dan tak bukan adalah
perlakuan Allah sendiri terhadap Dzat-Nya sendiri
pula yang telah dikurung-Nya
di dalam Lauhul Mahfuz.
Keadaan ini terjadi mirip seperti kita memperlakukan tangan
kita mulai dari pergelangan tangan sampai ke ujung-ujung jari.
Kita BATASI arena permainan kita hanyalah sampai sebatas
pergelangan tangan kita ke bawah saja. Kita gerak-gerakan
masing-masing jari tangan kita menjadi 5 karakter sifat yang
saling bermain-main satu sama lainnya.
Nah, mulai dari pergelangan tangan sampai
dengan ke ujung-ujung jari itulah yang bisa
disebut sebagai sedikit dari diri kita (Sang
Dalang) bila dibandingkan dengan keseluruhan diri kita (Sang
Penanggap). Sedangkan jari-jari tangan kita yang ber-gerak,
berbicara dan beraktifitas bisa kita sebut sebagai Sang
Wayang. Kita kurung jari-jari tangan itu di dalam di dalam
arena permaian yang besarnya hanya sebatas pergelangan
tangan kita saja yang boleh diartikan sebagai Lauhul Mahfuz.
73
Jari-jari tangan kita itu tidak pernah bisa mewakili diri kita
secara keseluruhan, sehingga dengan begitu dapatlah kita
umpamakan bahwa Dzat-Nya yang sedikit itupun TIDAK akan
pernah bisa mewakil Keseluruhan Dzat-Nya Yang Maha Indah,
sehingga dengan begitu tidak akan ada Wahdatul Wujud.
Kalau sudah memahami ini, maka barulah kita akan bisa me-
mahami ayat Al Qur’an yang berbunyi :
Al Anfal (8 / 17) :
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh
mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan
bukan kamu yang melempar ketika engkau melempar, tapi
Allahlah yang melempar.”
Sebenarnya Allah-lah yang berkehendak dan beraktifitas kepa-
da semua ciptaan-Nya MELALUI Dzat-Nya yang sedikit. Sehing-
ga dari Dzat-Nya yang sedikit itulah kemudian terjadi semua
aktifitas yang dilakukan oleh semua CIPTAAN. Sehingga lidah
kitapun jadi KELU untuk MENGAKU-NGAKU.
Kita hanya menjadi Wayang,
menjadi KOSONG,
menjadi NOL.
Dengan begitu tidak akan ada Wahdatul Wujud. Bagaimana
akan menjadi Wahdatul Wujud, wong semuanya itu terjadi ha-
74
nya pada SEDIKIT dari Dzat-Nya saja kok ? Bukan pada kese-
luruhan Dzat-Nya Yang Maha Agung, Yang Maha Indah, Yang
Maha Tinggi, Yang Maha Segalanya.
Inilah pandangan MATA HATI bagi orang-orang yang sudah
tidak buta terhadap HAL atau KEADAAN yang sebenarnya (HA-
KEKAT).
Sehingga kita bisa RIDHO terhadap apa-apa yang
datang dan pergi menyinggahi kita. Artinya tidak
ada lagi PERTANYAAN-PERTANYAAN yang
terlontar dari mulut kita, yang akan menghalangi
kita untuk beriman kepada Rukun Iman yang ke-6.
Beriman TOTAL kepada Qada dan Qadar Allah tanpa reserve.
• Tidak ada lagi tanya KENAPA.
• Tidak ada juga kata SEHARUSNYA.
• Tidak ada pula kata KALAU dan ANDAIKATA.
• Yang ada hanyalah :
• Punya MATA pakailah untuk memandang,
• Punya TELINGA pakailah untuk mendengar,
• Punya TANGAN tepuk-tepuklah bertalu-talu.
• Buatlah diri TIDAK TAHU.
• Telanlah PAHIT ataupun MANIS.
• Namun MULUT tetap Diam.
• Diam tak berbicara.
• Diam tak mengeluh.
75
• Diam dalam tangis ataupun tawa.
• Diam untuk menjadi LAKON.
• Diam dalam menjalankan PERAN.
• Diam untuk menjadi PESURUH SEJATI.
Sampai di sini selesailah artikel Menengok Kilasan Sandiwara
Dzat. Insyaallah, kalau Allah mengizinkan, kita akan lanjutkan
dalam artikel lainnya yaitu “Bagaimana Kalau Kita Buta”5.
5 http ://yusdeka.wordpress.com/2014/08/21/bagaimana-kalau-hati-kita-
buta-dan-tuli-bagian-1/
76
Artikel 6 :
Bagaimana Kalau (Hati) Kita Buta dan Tuli ?6
Apa yang akan terjadi kalau . . .
. . . kita tidak berhasil berada dalam posisi sebuah
Wayang terhadap Dalang,
. . . yang dalam Kacamata Makrifatullah adalah SERUPA
dengan posisi Semua Ciptaan terhadap Perlakuan dan Per-
buatan Allah terhadap sedikit dari Dzat-Nya ?
Jawabannya adalah . . .
. . . kita akan berada pada sebuah keadaan yang
membuat kita identik dengan
orang yang BUTA dan sekaligus TULI.
Karena kita tidak mampu untuk untuk memandang dan men-
dengarkan KEBENARAN yang sebenar-benarnya Kebenaran
atau HAKIKAT.
Kita hanya akan bermain di tataran SIFAT saja.
6 http ://yusdeka.wordpress.com/2014/08/21/bagaimana-kalau-hati-kita-
buta-dan-tuli-bagian-1/
77
Kalau kita selalu bercerita hanya tentang sifat dan sifat saja,
maka artinya kita hanya akan bercerita tentang semua alam
ciptaan ini dengan hanya memakai SETENGAH dari diri kita
sendiri, yaitu diri kita dari sisi LAHIRIAH saja. Kita hanya akan
bercerita tentang apa-apa yang bisa kita telisik dengan Panca
Indera kita saja. Makanya yang akan ketemu oleh kita adalah
istilah-istilah :
• EVOLUSI,
• Materi dan Energi,
• dualitas Partikel dan Gelombang,
dengan perilaku dan sifat-sifatnya masing-masing yang keli-
hatan bak Lautan Kemungkinan saja.
Dengan hanya memakai setengah diri kita seperti itu,
. . . kita akan luput untuk memahami tentang
SANG PENYEBAB dari terzahirnya
semua sifat-sifat itu, . . .
. . . yang alangkah sempurnanya. Saking sempurnanya Sang
Penyebab itu berbuat dan berperilaku, sehingga . . .
. . . kita seakan-akan bisa
melupakan-Nya sama sekali.
Sang Penyebab telah menirai Diri-Nya dengan sangat sempur-
na melalui tirai sifat-sifat-Nya yang terzahir pada semua
78
ciptaan-Nya.
Kita lalu akan melihat bahwa . . .
. . . semua tumbuhan, binatang, dan manusia
seakan-akan berevolusi dengan sendirinya . . .
. . . untuk menyesuaikan dirinya terhadap tantangan-tantang-
an yang diberikan oleh alam pada waktu-waktu tertentu.
Pemikiran seperti inilah yang coba diformulasikan oleh DAR-
WIN, yang terkenal dengan TEORI EVOLUSI-nya. Sehingga kita
diajak oleh Darwin untuk tidak
malu-malu mengatakan bahwa kita
ini adalah keturunan MONYET yang
telah berevolusi menjadi MA-
NUSIA. Sementara monyetnya sen-
diri masih ada dan hidup berdam-
pingan di hutan sebelah kita.
Begitu juga kalau kita melihat tingkah polah :
• Materi dan Energi,
• Dualitas cahaya dalam bentuk Partikel dan Gelombang,
• Bintang-bintang dengan garis edarnya,
• dan lain-lain sebagainya,
semuanya seperti menari dan berlenggang lenggok dengan
sendirinya di depan mata kita membentuk keindahan yang sa-
ngat mencengangkan. Dan sekali lagi kita akan melupakan
Sang Penyebab dari semua kejadian dan peristiwa itu. Kitapun
79
telah menjadi orang yang materialisitis.
Sebab hanya dan hanya dengan memakai setengah diri kita
yang lainnya sajalah kita akan bisa memandang dengan utuh
tentang Sang Penyebab dari terzahirnya semua sifat-sifat itu.
Dan setengah diri kita itu adalah diri kita yang bersifat
RUHANI, yaitu AKAL atau HATI.
Kalau Akal / Hati kita ini tidak hidup, MATI,
maka kita dikatakan sebagai
orang yang Buta dan Tuli secara hakiki.
Ya… kita seketika itu juga akan berubah menjadi orang yang
BUTA dan TULI. Tapi yang buta itu bukanlah mata kita, dan
yang tuli itu bukan pula telinga kita.
Yang buta dan tuli itu adalah HATI/AKAL kita.
Sebab, walaupun mata kita masih bisa melihat, telinga kita
masih bisa mendengar, tapi hati/akal kita tetap tertutup mati
(tercover) untuk memandang alam HAKIKAT dan MAKRIFAT.
Sehingga tatkala kita berkata-kata
kepada orang lain, kita seperti si bisu
dan si buta yang sedang bercerita
tentang BESARNYA seekor GAJAH de-
ngan hanya memegang ekor gajah,
atau belalainya, atau kupingnya, atau
80
kakinya saja. Tepatnya, kita akan terjerembab untuk selalu
bercerita tentang segala hal tentang SIFAT-SIFAT.
Padahal . . .
. . . kalau kita buta, tuli, dan bisu selama kita
hidup di dunia ini, maka seperti itu pulalah kita
akan hidup kelak di akherat.
Buta, tuli, dan bisu di dunia saja sangatlah tidak enak, apalagi
kalau buta, tuli dan bisu itu terjadi di akhirat kelak. Sungguh
tak terbayangkan sengsaranya.
Sebab . . .
. . . kalau kita jadi SI BUTA di dunia ini, maka
kita akan segera ditangkap dan disandera
oleh berbagai SIFAT
yang ingin menjadikan dirinya sebagai diri kita.
Sifat-sifat itu, apa saja, akan memaksa kita untuk berkata
“aku” kepada siapapun, saat kapanpun, di manapun kita ber-
ada, dan ke manapun kita pergi.
Sifat-sifat itu menyelinap masuk ke dalam otak kita melalui
mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit kita. SEKALI sifat-sifat itu
masuk ke dalam PIKIRAN kita, maka ia akan menetap di sana
membentuk PINTU-PINTU INGATAN yang akan selalu melam-
81
bai-lambai kepada kita untuk kita buka dan masuki di lain
waktu.
Begitu pintu ingatan terhadap sebuah SIFAT kita buka dan kita
masuki, maka ingatan kita akan dipe-
gang dengan sangat kuat oleh sifat itu.
Ingatan kita akan terikat seperti seekor
ikan yang terikat pada sebilah mata
pancing. Semakin kita menggeliat dan
melawan untuk melupakan sifat itu, kita malah akan semakin
tersangkut erat dalam cengkraman sifat itu.
• Kadangkala kita dipaksa oleh sifat itu untuk merasakan
sakit dan capek yang sangat luar biasa.
• Namun di lain waktu kita diiming-imingi oleh sifat itu
dengan rasa nikmat, senang, dan bahagia.
Sampai akhirnya kita akan mengikuti apa saja maunya sifat itu
terhadap diri kita. Lalu hari-hari kita akan disibukkan untuk
membesar-besarkan sifat itu. Kita puja, kita jajakan, kita
sebut-sebut kehebatan sifat itu dengan harapan orang lain
juga mau mengingat-ingat sifat itu setiap saat, seperti yang
kita lakukan.
Karena hati kita buta dan tuli, maka kita akan diperlihatkan
bahwa sifat itu seperti punya KUASA. Sifat itu kita anggap bisa
menentukan masa depan kita. Contoh yang sangat populer
saat ini, tentang kuasa sifat ini, adalah . . .
82
. . . anggapan segelintir orang bahwa GETARAN
atau VIBRASI PIKIRAN dan PERASAAN yang kita
pancarkan bisa mempengaruhi MASA DEPAN
yang akan kita alami dan lalui.
Pertanyaannya nanti adalah bagaimana posisi dari Rukun Iman
yang keenam, percaya kepada takdir baik dan buruk yang
berasal dari Allah. Sebab kalau kita bisa menentukan takdir
dan nasib kita, maka kita sebenarnya telah menciptakan
Rukun Iman yang ketujuh, yaitu kita bebas mengatur masa
depan kita dengan mengatur-atur vibrasi atau getaran yang
berasal dari pengaturan pikiran kita.
Dengan berbagai cara, kita akan diperlihatkan bahwa seakan-
akan vibrasi pikiran dan perasaan (emosi) yang kita pancarkan
akan bisa mempengaruhi perolehan kita di masa depan. Maka
kita akan diperkenalkan dengan konsep POWER dan FORCE ala
David R. Hawkins yang memang sedang mendunia.
Bahwa kalau kalau kita bisa menggunakan
getaran pikiran dan emosi
dengan energi tingkat tinggi, maka kita disebut
sedang menggunakan POWER.
Sebaliknya kalau kita lebih banyak menggunakan
getaran pikiran dan emosi energi tingkat rendah,
83
kita disebut sedang menggunakan FORCE.
• Kalau kita lebih banyak mengalami emosi negatif seperti
rasa minder, rasa bersalah, ketakutan dan depresi, marah
dan sombong, maka kita disebut . . .
. . . orang yang sedang menggunakan getaran
pikiran dan perasaan pada level FORCE dalam
menjalani kehidupan kita.
Hati kita digambarkan sebagai hati yang sempit dan sedang
sakit.
• Sebaliknya kalau kita bisa meningkatkan getaran pikiran
dan perasaan kita sampai ketahapan emosi positif seperti
kerelaan, penerimaan, cinta kasih, suka cita, kedamaian,
apalagi sampai ketahap mendapatkan pencerahan, maka
kita disebut . . .
. . . sedang berada pada wilayah getaran pikiran
dan perasaan pada level POWER.
Di mana keadaan hati kita saat itu digambarkan sebagai
hati yang lapang dan sehat.
Sebenarnya keadaan level perasaan atau emosi kita dalam
istilah Power dan Force ini tidak ada yang baru sama sekali.
84
Dari dulu ya begitu-begitu juga adanya. Dalam bahasa agama
Islam bisa dipadankan dengan istilah :
• Taqwa untuk Power dan
• Fujur untuk Force.
Yang dibicarakan adalah SYMPTON atau GEJALA-GEJALA apa
yang ada di dalam perasaan kita ketika pikiran atau hati kita
tengah berhadapan dengan sebuah objek pikir tertentu. De-
ngan mengetahui sympton itu, kita seperti sudah bisa mera-
malkan atau memperkirakan bagaimana arah jalan kehidupan
yang akan kita jalani esok-esok hari, ketika sympton tersebut
sedang ada di dalam diri kita. Jadi dengan begitu kita sedang
memperbincangkan masalah umat manusia sepanjang masa
saja sebenarnya.
Masalah utama kitakan bukan terletak pada pengenalan symp-
ton-sympton itu. Hampir semua orang, baik yang beragama
ataupun bukan, sudah tahu dengan sympton-sympton itu.
Akan tetapi . . .
. . . bagaimana caranya agar kita bisa keluar dari
hidup dalam keadaan sympton Force atau Fujur
itu untuk kemudian bisa masuk ke dalam hidup
dengan keadaan sympton Power atau Taqwa.
Inilah yang telah menjadi pencarian panjang umat manusia
sepanjang zaman.
Hanya saja karena kebanyakan kita saat ini benar-benar se-
85
dang Barat-Minded, ditambah lagi dengan telah terjadinya
distorsi yang sangat hebat dalam pengajaran agama-agama,
terutama agama Islam yang notabene adalah agama yang sa-
ngat mutakhir, maka hampir saja praktek-praktek ibadah da-
lam agama Islam ditinggalkan oleh banyak umat islam sendiri.
Begitu juga sebenarnya yang terjadi dengan ibadah-ibadah
pada umat agama yang lainnya, tak terkecuali.
Banyak juga orang sekarang yang
sedang berbondong-bondong
mengikuti gerak langkah pemikir-
an tentang getaran Power, getaran
Force, NLP, Hypnotis dan Hypno-
terapi, serta beberapa varian pe-
mikiran lainnya. Walaupun nama-
nya berbeda-beda, namun ada sa-
tu kesamaan di dalam prakteknya, yaitu . . .
. . . semuanya berkenaan dengan bagaimana kita
mengelola cara berpikir kita dengan mengubah-
ubah OBJEK PIKIR kita, baik dengan usaha kita
sendiri ataupun dengan bantuan orang lain,
sehingga EMOSI kita juga bisa berubah-ubah
sesuai dengan Rasa dari Objek Pikir
yang sedang kita pikirkan itu.
Kalau tadinya emosi kita hanya berganti-ganti dari satu emosi
86
negatif ke emosi negatif lainnya saja, seperti rasa minder, lalu
ke rasa bersalah, kemudian ke ketakutan dan depresi, lalu ke
marah dan sombong, setelah kita mengubah objek pikir kita
kepada sebuah Objek Pikir yang bisa memberikan kita rasa te-
nang dan bahagia, maka emosi kita akan bisa ikut-ikutan ber-
ubah menjadi emosi positif seperti kerelaan, penerimaan, cin-
ta kasih, suka cita, kedamaian, bahkan sampai kita merasa
mendapatkan pencerahan.
Jadi di sinilah menurut mereka kunci untuk mendapatkan per-
ubahan-perubahan emosi kita itu, yaitu cukup hanya dengan
cara mengubah-ubah objek pikir kita dari satu objek pikir ke-
pada objek pikir yang lainnya, sehingga kita seperti bisa mene-
mukan takdir kita sendiri yang katanya seperti lautan kemung-
kinan atau lautan kira-kira. Ah… masak sih Allah Yang Maha
Bijaksana, Maha Hebat hanya mempunyai kekuatan sebatas
kemungkinan atau kira-kira, yang akhirnya . . .
. . . akan sangat tergantung dari usaha kita atau
pola pikiran kita ?
Ya ndaklah ! Insyaallah hal ini akan kita bahas lebih dalam
dalam artikel “Kalung Yang Sudah Terpasang di Leher7”,
mohon bersabar.
7 http://yusdeka.wordpress.com/2014/09/24/kalung-yang-sudah-
terpasang-dileher/
87
Misalnya, ketika objek pikir kita adalah masalah-masalah yang
sedang kita hadapi, yang menyebabkan kita dilanda oleh emo-
si negatif, untuk mengubahnya, kita cukup hanya mengubah
objek pikir kita kepada sesuatu yang pernah menggembirakan
dan menyenangkan kita. Dan benar saja, tidak lama kemudian
emosi kita seperti bisa berubah menjadi emosi positif. Kalau
objek pikir kita itu pernah membuat kita bahagia, maka kita
seperti bisa kembali merasakan rasa
bahagia itu. Kalau objek pikir itu suatu
saat dahulu pernah membawa kita
kepada kete-nangan, maka kitapun
seperti dapat kembali merasakan kete-
nangan itu dengan hanya mengingat
objek pikir itu kembali di saat ini. Wa-laupun kadarnya
mungkin sedikit lebih rendah dari ketenangan yang kita ra-
sakan sebelumnya.
Untuk mencapai keadaan seperti itu, nyaris sama sekali tidak
membutuhkan hal-hal yang berkenaan dengan praktek-prak-
tek agama islam yang kita anut, atau agama apapun juga.
Tidak perlu juga menyebut-nyebut nama Allah sekalipun. Bah-
kan menyebut nama Allah atau tidak, keadaannya akan sama
saja. Ini yang aneh !
Seakan-akan dampak dari agama Islam yang kita
anut ini sedikit sekali, kalau tidak mau dikatakan
tidak ada sama sekali.
88
Ini yang sangat mengkhawatirkan sebenarnya.
Hanya saja untuk menimbulkan kesan bahwa kita adalah
orang yang beragama sejak kecil, maka muncullah pencam-
puradukan praktek-praktek agama dengan praktek-praktek
non-agama seperti menggabungkan SHALAT dengan TAICHI,
sehingga shalat kitapun berubah menjadi shalat yang lemah
gemulai seperti sedang berlatih taichi. Lalu saat shalat itu kita
sedang MENGINGAT SIAPA ? Mengingat GETARAN atau aliran
energi taichikah atau mengingat Allahkah ?
Bisa pula kita bermain-main dengan getaran (vibrasi) dari ber-
bagai objek pikir yang sedang kita pikirkan. Kita cukup memi-
kirkan sebuah objek pikir tertentu, baik itu gambar, konsep,
angka, tulisan, huruf, kata-kata, warna,
atau bisa pula kita masuk ke dalam spek-
trum suara atau bunyi tertentu dengan
cara kita mendengarkannya disertai se-
buah NIAT atau keyakinan kita bahwa itu
adalah bermanfaat, maka otak kita akan
meresponnya dengan sangat menakjub-
kan. Kita akan merasakan bahwa semua permainan itu adalah
sebuah KENYATAAN. Real dan terasa ada. Sekeresi hormon-
hormon kita akan terpengaruh, bentuk dari butiran-butiran
darah kita juga berubah-ubah, yang menyebabkan kita bisa
berayun dari satu perasaan ke perasaan yang lainnya.
Permainan seperti inilah memang yang sedang menggejala di
seluruh dunia. Sebutlah apa saja, seperti :
89
• Hipnosis dan Hipnoterapi.
• NLP.
• Ho’oponopono.
• Sedona Method.
• Quantum macam-macam.
• Berbagai macam zikir (wirid).
• Ketawa-ketiwi, lompat-lompat,
goyang-goyang, angguk-angguk,
geleng-geleng.
• Tarik ulur nafas (termasuk zikir
nafas), meditasi cakra.
• Meditasi penelurusan getaran-getaran di dalam tubuh
sendiri maupun di alam sekitar.
• Pengolahan energi, aura, tenaga dalam.
• Jimat-jimat, wafak-wafak, rajah, dan sebagainya.
Sangat banyak sekali, sebanyak apa saja yang BISA dan PER-
NAH kita pikirkan, lihat dan bayangkan, rasakan, dan dengar-
kan. Atau dengan sebuah kata yang sederhana “Apa-apa yang
bisa kita INGAT (REMEMBER, DZIKR).”
Tapi, adakah pengaruhnya ? Ada !
Pengaruhnya untuk ketenangan pikiran dan
perasaan akan terjadi dengan sangat meyakinkan.
90
Ada menangisnya, ada rasa nyaman, ada rasa
bahagia, ada rasa tenang, dan
ada pula ilmu-ilmu yang luar biasa
yang membuat hati kita terasa berbunga-bunga.
Seringkali ujung-unjungnya adalah hal-hal yang berhubungan
dengan alam metafisika dan kesehatan yang katanya adalah
pengobatan secara alaternatif, atau bahasa kerennya pengo-
batan dan olah ilmu secara spiritual. Sangat mengasyikkan
sekali. Tentu saja juga ada rasa marahnya, rasa militansinya,
rasa heroiknya, dan emosi-emosi lainnya.
Dan karena ada pengaruh seperti inilah yang menyebab-
kan . . .
. . . kita mengira bahwa apa yang kita lakukan
adalah BENAR adanya.
Apalagi kalau itu sudah kita tambah-tambahi dengan berbagai
terminologi agama, potongan-potongan ayat Al Qur’an dan Al
Hadist, atau dengan hanya sekedar bahasa arab tertentu, kita
akan terlihat semakin agamis dan meyakinkan. Lalu kita akan
tetap berada dalam keyakinan kita itu sampai ada hal-hal lain
yang lebih baik kita temukan selama dalam perjalanan hidup
kita. Dan tentu saja itu sangat ramai dan riuh rendah sekali.
Sejak lahir sampai dengan saat sekarang, kita telah menumpuk
91
dan membangun berbagai macam ingatan dari berbagai ma-
cam objek pikir. Ingatan itu akan tersimpan dengan baik di
dalam pusat ingatan kita. Tumpukan dan bangunan ingatan
kita itu akan selalu bertambah sampai dengan saat kita kelak
meninggal dunia. Setiap ingatan itu akan mempunyai rasa
masing-masing. Jadi kita bisa merasakan sesuatu RASA yang
berbeda ketika kita mengingat sebuah objek pikir dibandingan
dengan objek pikir yang lainnya.
Rasa-rasa, atau emosi itu bisa dibedakan menjadi 6 bentuk
dasar, yaitu :
• Bahagia (happiness),
• Sedih (sadness),
• Takut (fear),
• Marah (angger),
• Kaget atau heran (surprise), dan
• Jijik (disgust).
Pada suatu saat, kita bisa merasakan salah satu dari rasa-rasa
itu, atau bisa pula gabungan dari dua rasa-rasa dasar itu
sekaligus, misalnya heran dan sekaligus bahagia, Jijik dan
sekaligus Takut. Kalau kita tidak bisa merasakan rasa-rasa di
atas, maka kita disebut sebagai orang yang bermuka datar
(neutral).
Yang menarik tentang ingatan ini adalah, bahwa kita bisa
kembali mengingat-ingat berbagai ingatan itu di lain waktu,
dan sekaligus kita bisa pula merasakan kembali RASA dari
ingatan itu. Caranya hanya sederhana saja, yaitu kita masuk
92
kembali ke dalam ingatan itu melalui Pintu Ingatan yang di
dalamnya ada objek pikir yang bisa kita ingat (remember,
dzikiri). Jadi setiap kita mengubah ingatan kita tentang sebuah
objek pikir, maka sekaligus kita bisa pula mengubah rasa yang
kita rasakan.
Kalau kita tertahan (binding) pada sebuah ingatan, yang tentu
saja berhubungan dengan sebuah objek pikir tertentu, dalam
waktu yang lama, maka kita juga pasti akan terpenjara dalam
waktu yang lama di dalam emosi atau rasa dari ingatan kita
itu. Misalnya :
• Ketika kita ingin bertahan dalam waktu yang lama dalam
ingatan tentang objek pikir yang menimbulkan emosi
positif (senang dan bahagia), maka kita disebut sedang
MENCINTAI objek pikir itu.
• Sebaliknya ketika kita tertahan cukup lama dalam meng-
ingat sebuah objek pikir yang menimbulkan emosi negatif
(sedih, takut, marah, dan jijik), maka kita disebut sedang
MEMBENCI objek pikir itu. Membenci dalam waktu yang
lama itu bisa disebut juga sebagai TRAUMA.
Sedangkan emosi yang menyebabkan kita merasa surprise
(heran, kaget), adalah bentuk emosi yang bisa memperkuat
emosi positif ataupun emosi negatif yang sedang kita rasakan.
Misalnya, ketika kita sedang merasa bahagia saat kita meng-
ingat sebuah objek pikir dan kemudian kita diberikan ha-diah-
hadiah yang mengagetkan kita, maka kita bisa mencintai objek
pikir kita itu lebih dari rasa cinta kita yang sebelum-sebelum-
93
nya. Kaget itu juga bisa memperkuat rasa benci kita terhadap
sebuah objek pikir yang sedang kita pikirkan, sehingga kita
semakin trauma dengan objek pikir kita itu.
Hal yang sederhana begini lalu menjadi sangat beragam dan
rumit ketika kita mencoba membahasnya dengan teori-teori
psikologi yang memang penuh tafsiran subjektif, sehingga
lahirlah berbagai ilmu seperti yang telah disebutkan di atas.
Padahal intinya hanyalah . . .
. . . bagaimana agar kita bisa keluar dari emosi
negatif akibat kita sedang memikirkan sebuah
objek pikir tertentu untuk kemudian berubah
sehingga kita bisa merasakan emosi positif.
Objek pikir yang kita ingat itu bisa bermacam-macam, mulai
dari keluarga kita (anak, istri, bapak, ibu, saudara), sampai
kepada benda-benda kepemilikan kita yang lainnya, seperti :
harta, ilmu, jabatan, emas dan perak, dan sebaginya. Dan kita
ingin agar semua objek pikir kepemilikan kita itu menjadikan
kita merasa senang dan bahagia. Kalaupun suatu ketika kita
merasakan emosi negatif terhadap objek pikir itu, kita ingin
agar emosi negatif kita itu berubah men-jadi emosi positif.
Misalnya, dengan mengingat seekor ku-cing, apalagi kalau
berdekatan langsung dengan kucing tersebut, kita merasa
takut atau jijik. Kita terlihat seperti membenci atau bahkan
trauma kepada kucing tersebut. Karena emosi negatif itu
94
sangat melelahkan, ma-ka kita ingin agar
ketika kita melihat ku-cing atau
mengingat kucing itu, kita bisa merasa
senang. Jadi objek pikirnya masih tetap
sama, yaitu kucing, akan tetapi pe-rasaan
atau emosi yang kita rasakan bisa berubah dari takut dan jijik
menjadi senang.
Nah, khan bagaimana cara merubah perasaan atau emosi kita
terhadap sebuah objek pikir ini saja yang menjadi masalah kita
saat ini sebenarnya. Dan ini ternyata bisa menjadi ladang bis-
nis yang sangat menggiurkan, sehingga bermunculan berbagai
terapi dan ilmu-ilmu yang larisnya bak kacang goreng.
Salah satu ilmu yang sering dipakai orang adalah melalui . . .
. . . teknik mengubah-ubah objek pikir kita,
ditambah dengan memberikan suatu stimulasi
tertentu pada bagian tubuh kita yang tertentu,
yang bisa disebut sebagai ANCHOR (jangkar) dari
perasaan yang kita miliki.
Misalnya, kalau kita takut atau jijik
kepada kucing maka kita bisa mengubah
perasaan takut kita kepada kucing itu
menjadi senang dengan cara mem-
permainmain-kan otak kita. Sebab ternyata otak kita ini
95
memang sangat mudah dan senang dipermainkan. Kita ber-
main-main atau kejadian betulan tentang sebuah objek pikir
tidaklah terlalu masalah bagi otak kita. Otak kita akan meres-
ponnya nyaris SAMA saja, yaitu dengan menksekresikan hor-
mon yang sama antara main-main atau kejadian betulan itu.
Yang pen-ting objek pikirnya harus sama.
Kita bisa melakukannya dengan mengingat kucing di satu saat,
dan di waktu yang lain kita meng-ingat satu objek pikir lainnya
yang bisa membuat kita merasa senang atau lucu. Kita lakukan
itu secara bergantian. Dua objek pikir yang berbeda itu harus
kita jangkarkan dengan dua bagian tertentu dari tubuh kita.
Yang paling mudah adalah kedua tangan kita, atau bisa pula
titik-titik lainnya, yang biasa dipakai da-
lam terapi EFT atau SEFT (setelah ditam-
bah dengan embel-embel agama).
Dalam permainan otak ini sebenarnya ki-
ta tidak perlu menghipnosis orang yang
akan kita ubah rasa traumanya. Hipnosis itukan hanya untuk
memfokuskan dia kepada sebuah objek pikir saja pada satu
saat, sehingga kita lebih mudah untuk menggiring objek
pikirnya sesuka hati kita.
Setelah dia fokus dengan sebuah objek pikir, ataupun dia ber-
ada dalam pengaruh hipnotis kita, maka mulailah kita jangkar
ingatannya kepada kucing yang menimbulkan rasa takut dan
jijik itu dengan tangan kanannya. Setiap kali kita ingatkan
dengan kucing, dia akan memberikan respon ketakutan. Lalu
96
kita asosiasikan ingatannya akan kucing dan rasa takutnya
yang muncul itu dengan menjangkar di ta-ngan kanannya. Jadi
ingatan kepada kucing, rasa takut dan gerakan tangan ta-ngan
kanan yang berfungsi sebagai jang-kar itu telah membentuk
sebuah kesatuan di dalam memorinya.
Kemudian kita minta dia mengubah rasa atau emosinya men-
jadi emosi enak, nyaman, atau bisa pula
aneh dan lucu, de-ngan cara ia kita
menyuruhnya untuk mengingat sesuatu
yang membawanya bisa merasa enak atau
lucu, yang mem-buat dia bisa tersenyum
atau tertawa. Lebih baik dia sendiri yang
menentukan objek pikirnya itu. Misalnya
dia merasa lucu dengan kareakter film UPIN dan IPIN. Lalu kita
minta dia mengingat UPIN dan IPIN, ketika itu pasti dia akan
tersenyum atau me-rasa lucu.
Kemudian ingatan UPIN-IPIN dan
rasa lucunya itu kita aso-siasikan
dengan tangan kirinya. Jadi ingatan
UPIN-IPIN dan rasa lucunya itu
sudah terjangkar di tangan kiri-nya.
Sekarang dengan beberapa kali
permainan dan pemindahan objek pikir dan jangkar itu,
dengan sedikit kejutan, kita ubah atau balikkan jangkar dari
objek pikir semula. Tiba-tiba kita ubah jangkar ingatan kucing,
yang tadinya di tangan kanan, menjadi di tangan kirinya, dan
97
jangkar ingatan kepada UPIN dan IPIN di tangan kanannya.
Lalu kita kembali melakukan pengulangan-pengulangan de-
ngan mengangkat dan menurunkan tangan kirinya yang tadi-
nya adalah jangkar untuk rasa enak, aneh, dan lucu (jangkar
untuk ingatan UPIN dan IPIN). Akan tetapi sekarang tangan
kirinya itu sudah kita balikkan menjadi jangkar untuk ingatan
kepada kucing. Dan di sinilah anehnya otak ini. Ia akan bisa
kita tipu. Ketika ia kita ingatkan kepada kucing, tetapi yang
kita angkat adalah tangan kirinya, yang terasosiasi dengan rasa
enak, aneh dan lucu, maka rasa yang dia rasakan sekarang
telah berubah menjadi rasa enak, aneh, dan lucu. Jadi setiap
kita ingatkan dengan kucing, maka sekarang ia akan merasa
enak, aneh, atau lucu. Proses itu bisa kita ulang-ulang bebe-
rapa kali, sehingga perubahan itu bisa menetap. Lalu kita su-
ruh dia buka mata, dan insyaallah kalau ada kucing didekatnya
saat itu, rasa takut atau traumanya bisa berkurang, atau
bahkan hilang sama sekali.
Ini baru satu cara, masih banyak cara-cara lain yang bisa kita
pakai kok. Inikan hanya proses psikologi biasa saja sebenarnya,
atau bisa meningkat sedikit kepada psikologi transpersonal.
Khan ini yang banyak ditawarkan oleh para ahlinya sekarang
ini kepada semua lapisan masyarakat. Dan, karena hasilnya
seperti bombastis begitu, ditambah penayangan yang masif di
program televisi-televisi, maka seakan-akan . . .
98
. . . pamornya jauh mengalahkan
DO’A dan SHALAT,
yang keduanya dilaksanakan dalam keadaan
INGAT ALLAH (Dzikrullah), sebagai sarana dan cara
kita untuk
meminta pertolongan kepada Allah
sesuai dengan tuntunan Al Qur’an.
Kalaupun ada do’a-do’a dan ayat-ayat Al Qur’an yang dibaca-
kan saat proses terapinya, itupun tak lebih dari PEMANIS KATA
saja kok. Karena objek INGATANNYA tidak ada perubahan apa-
apa, bukan kepada Allah.
Dan penghancuran keunggulan do’a dan shalat yang lebih
dahsyat adalah adanya istilah-istilah yang selalu didengung-
dengungkan orang bahwa : ini metoda xyz modern kok, tidak
ada ada hubungannya dengan agama, bukan magic dan bukan
sihir, semua orang bisa, ini adalah murni kekuatan pikiran,
tidak ada hubungan dengan syetan dan jin. Kalaupun ada
disentuhkan dengan do’a dan shalat tapi itu hanyalah prioritas
nomor sekian saja dari bawah, alias tidak begitu penting.
Sehingga . . .
. . . ketika punya masalah,
99
kita umat Islam sudah sangat
jarang yang melakukan
shalat sunnah dan berdo’a
secara pribadi kepada Allah,
kecuali untuk hal yang wajib-wajib dan
beberapa yang sunah-sunah saja.
Makanya yang ramai adalah acara-acara :
• pengajian,
• dzikir massal,
• shalawatan ramai-ramai,
• terapi-terapian,
• ngaji sambil curhat-curhatan, dan
• ngaji sambil lawak-lawakan, dan
• tentu saja seminar dan pelatihan ilmu-ilmu yang katanya
modern seperti di atas.
Karena memang pada hal-hal yang demikian itu ada rasanya,
dan seperti ada pula pengaruhnya bagi kita menuju kepada
hal-hal yang lebih baik, lalu kita menganggapnya sudah benar.
Dan kitapun bertahan di sana.
Akibatnya yang tidak kita sadari adalah, bahwa . . .
. . . kita BISA INGAT kepada berbagai objek pikir
dengan sangat mudahnya, dan kita bisa pula
100
mengubah-ubah emosi kita dengan hanya
mengubah-ubah objek pikir kita itu.
Akan tetapi kita nyaris AMNESIA dan DIMENSIA
(lupa ingatan) ketika kita ingin
MENGINGAT ALLAH (DZIKRULLAH).
Ya,
. . . kita LUPA
tentang
bagaimana caranya agar kita bisa untuk
mengingat Allah
saat berdo’a maupun ketika shalat.
Nantinya, amnesia dan dimensia kepada Allah inilah yang
menjadi ciri utama dari hati kita yang telah buta dan tuli
kepada Allah.
Boleh dikatakan lupa dan tidak ingat kepada Allah ini telah
menjadi penyakit kronis bagi umat islam sejak lebih dari 1400
tahun yang lalu. Empat abad setelah Rasulullah wafat, umat
islam mulai LUPA cara-cara untuk MENGINGAT Allah. Sejak itu
muncullah cara-cara baru dalam mengingat Allah yang
katanya :
• Harus melalui hati atau jantung kita yang terletak di dalam
101
dada kita. Untuk itu kita juga harus mencari MURSYID yang
akan mengajari kita. Kalau tidak pakai Mursyid, jangan
harap kita akan bisa melakukannya.
• Sebagian lagi mengatakan bahwa mengingat Allah itu baru
bisa kita lakukan melalui detak jantung kita yang dalam hal
ini ada yang menyebutnya sebagai Lathaif Qalb.
Dan satu hal yang pasti bahwa semua cara-cara baru itu
alangkah sulitnya, kalau tidak mau dikatakan tidak mungkin
bagi kita untuk bisa mengingat Allah dengan mudah.
Karena kita amnesia dan dimensia kepada Allah,
• walaupun nama Allah kita sebut-sebut dalam shalat dan
do’a kita,
• bahkan kita wiridkan pula sampai ribuan bahkan ratusan
ribu kali,
• tapi kita tetap TIDAK bisa lagi mengingati Allah, kecuali
hanya SEDIKIT sekali.
Kendatipun sudah kita latih dan olah dengan berbagai metoda
modern terkini sekalipun, amnesia dan dimensia kita kepada
Allah itu nampaknya masih saja belum bisa terobati.
Yang kita dapatkan dalam latihan-latihan itu hanyalah SEKE-
DAR SUNATULLAH tentang hubungan kerja antara otak atau
PIKIRAN dan PERASAAN kita saja. Bahwa kalau kita ingat akan
sesuatu objek pikir, maka objek pikir itu akan menimbulkan
rasa tertentu bagi kita. Hubungan fitrah antara pikiran dan
emosi saja sebenarnya. Bahwa kalau kita mengubah objek
102
pikir yang kita pikirkan, maka rasa kitapun akan ikut berubah
pula mengikuti rasa dari objek pikir kita itu. Karena ada rasa
dan hasilnya, maka kita menganggap bahwa kita sudah berada
pada jalur yang benar. Apalagi kalau dalam melaksanakannya
kita sudah menukuk-menambahinya dengan berbagai ayat-
ayat Al Qur’an dan Al Hadist. Kita menjadi semakin sumringah
dan mantap dengan cara kita itu.
Akan tetapi, tanpa kita sadari,
. . . kita telah kehilangan sebuah fitrah tertinggi
yang diberikan oleh Allah khusus kepada umat
manusia, yaitu fitrah untuk merasakan
KETERHUBUNGAN kita dengan Allah.
Rasa terhubung itu melebihi rasa keterhubungan kita dengan
orang tua kita, terutama dengan ibu kita. Sebab secara fitrah
kita semua memang butuh SATU alamat tertinggi untuk men-
jadi tempat kita bersandar ketika kita mempunyai masalah,
maupun tempat kita menumpahkan segala kegembiraan yang
kita rasakan. Sebesar dan serumit apapun masalah yang
muncul di hadapan kita, atau sebesar apapun kegembiran
meluap-luap yang kita rasakan, ketika kita berucap “Innalillahi
wa inna ilaihi raji’uun”, maka sangat terasa sekali kita seperti
terbebas dari masalah ataupun kegembiraan tersebut.
103
Permasalahan dan kegembiraan kita itu seperti
diambil kembali oleh Allah, sehingga beban kita
seketika itu juga menjadi hilang lenyap tak
berbekas.
Betapa tidak, masalah-masalah yang kita hadapi ataupun ke-
beruntungan yang kita dapatkan itu tak lain dan tak bukan
hanyalah bentuk penzahiran dari ketetapan-ketetapan dan
takdir-takdir Allah saja terhadap sedikit Dzat-Nya. Sementara
kita sendiri juga adalah penzahiran dari sedikit Dzat-Nya pula.
Takdir dan ketetapan itu telah ditetapkan oleh Allah semenjak
sabda “KUN” untuk pertama kalinya tersabda. Jauh sebelum
semua ciptaan terzahir dari sedikit Dzat-Nya Yang Batin.
Dengan begitu, maka kita telah terbebas dari segala sebab dan
penyebab, kita terbebas dari segala akibat dan pertanggung-
jawaban. Kita tidak lagi punya pengakuan-pengakuan. Karena
saat itu kita sudah menyadari bahwa kita adalah TIDAK
WUJUD. Yang Wujud adalah DZAT ALLAH YANG SEDIKIT yang
TERKURUNG di dalam Lauhul Mahfuz, yang menjadi HAKIKAT
dari semua CIPTAAN. Dzat-Nya yang sedikit, yang semata pa-
tuh dan tunduk kepada segala KEHENDAK, KETETAPAN, TAK-
DIR dari KESELURUHAN DZAT ALLAH Yang Maha Indah dan
Maha Suci dari segala persepsi dan prasangka kita.
Jadi, dalam hal ini, Allah telah berhasil kita dudukkan pada
Posisi-Nya yang sebenarnya. Bahwa Dialah alamat terakhir
104
bagi kita untuk mengembalikan semua permasalahan ataupun
keberuntungan yang kita lalui ataupun kita dapatkan setiap
saat. Bukan alamat yang lain.
Sebab kalau tidak begitu,
. . . kita akan capek dan lelah untuk mencari dan
mencari tempat bergantung dan tempat
bersandar palsu yang sangat beragam sekali.
Bisa saja kita seperti seorang anak kecil yang ditinggal pergi
oleh ibu dan bapak kita di hutan yang
banyak binatangnya. Lalu, misalnya, kita
dibesarkan oleh sekumpulan kera, seperti
Tarzan, sampai kita dewasa. Sehingga ke-
mudian kera itulah yang kita anggap seba-
gai orang tua kita yang bisa melindungi
dan membantu kita untuk keluar dari
segala permasalahan kita.
Kalau kita tidak mampu menemukan alamat atau tempat kita
bersandar yang tertinggi, yaitu Allah, maka kita akan mudah
sekali merasa stress, kalut, galau, sakit jiwa, dan bahkan bisa
sampai akhirnya bunuh diri. Dan sebenarnya untuk orang-
orang yang seperti inilah ilmu-ilmu yang telah diterangkan di
atas bisa terpakai dengan nyaman.
• Getaran atau Vibrasi,
• Hypnoterapi,
105
• NLP,
• Ilmu Hikmah,
• dan sebagainya itupun,
tanpa kita sadari, telah berubah menjadi tuhan-tuhan kita
yang baru, yang kita besar-besarkan dan sebut-sebut (wirid-
kan) setiap saat. Dan anehnya, dalam keadaan seperti itu, kita
masih berani mengatakan bahwa Tuhan kita yang sebenarnya
adalah Allah. Aneh sekali memang.
Padahal, keadaan seperti inilah yang menyebabkan semua
ibadah yang kita lakukan menjadi kehilangan nilainya di ha-
dapan Allah. Serajin apapun kita beribadah dan setinggi apa-
pun intensitasnya, Allah tidak akan melihatnya.
Karena ALLAH ternyata TIDAK melihat kepada
apa yang kita baca dan apa yang kita lakukan.
Allah melihat kepada INGATAN kita saat kita
melakukan sebuah aktifitas,
. . . misalnya shalat, berdo’a, atau memanggil-manggil Nama-
Nya dalam sebuah dzikir. Kalau kita INGAT kepada Allah, maka
Allah memastikan bahwa Dia juga akan INGAT kepada kita.
“FADZKURUNI-ADZKURKUM, ingatlah Aku maka Aku akan
ingat kamu”, kata Allah dengan tegas.
Makanya, saat shalat, kita diwajibkan oleh Allah untuk meng-
ingat Allah sejak dari awal sampai akhir shalat, “aqimishshalati
106
lidzikri...” Lalu selesai shalat, kita kembali diwajib Allah untuk
mengingat Allah saat apapun juga. Apakah itu saat berdiri,
saat duduk, ataupun saat tiduran, bahkan saat kita berdagang
atau bekerja sekalipun. Artinya, di dalam waktu-waktu shalat
dan di segala aktifitas kita diluar shalat atau di antara waktu-
waktu shalat, kita diwajibkan pula oleh Allah untuk tetap dan
selalu mengingat Allah. DZIKRULLAH, tetap mengingat Allah.
Seperti yang dicontohkan oleh Nabi. Beliau mengingat Allah 24
jam : “Mataku tidur namun hatiku tidak”, Sahih Bukhari Vol 4.
495; Aishah Rha berkata yang bermaksud
: Rasulullah (SAW) mengingat Allah swt
sepenuh masa, Sunan Abu Dawud Vol 1,
5.
Mengingat Allah (dzikrullah) secara terus
menerus ini tentu saja ini ada maksud dan buahnya yang akan
kita petik. Tidak mungkin tidak ada. Pasti ada maksudnya dan
ada pula buah-nya yang akan kita dapatkan..!
Untuk mengetahui apa maksud Allah yang seperti mewajibkan
kita untuk mengingat-Nya setiap saat, kita buka saja Al Qur’an.
“Waman ya’syu ‘andzikrirrahmaan nuqayyidh lahuu syai-
thaanan fahualahuu qariinun”, (Adz Dzukhruf 36). Ternyata
kalau kita lupa dan tidak ingat kepada Allah Yang Maha Penya-
yang (walau hanya sebentar saja), seketika itu juga Allah me-
ngirimkan syetan kepada kita. Syetan itulah yang akan menjadi
teman karib kita sejak saat itu.
Keberadaan syetan di samping kita inilah kemudian yang akan
107
menutup PINTU INGATAN kita kepada Allah. Tertutupnya
pintu ingatan kita kepada Allah itu akan semakin kuat dan
kokoh dari waktu ke waktu. Begitu kuatnya syetan menutup
pi-ntu ingatan kita kepada Allah, sehingga hati kita sudah
seperti tertutup mati untuk bisa menerima dan merasakan
berbagai respon atau balasan Allah terhadap apa-apa yang
kita lakukan, kerjakan, dan ucapkan, hatta di dalam do’a dan
shalat sekalipun.
Sebaliknya, pintu ingatan kita kepada apapun juga YANG SE-
LAIN ALLAH dengan sangat mudah BISA kita buka dan masuki.
Misalnya, pintu ingatan kita untuk mencuri, berzina atau men-
dekati zina, minum arak, narkoba, kenakalan, judi, kriminal,
obat-obatan terlarang, korupsi, mencuri, berbohong, dan
sebagainya. Semuanya dengan sangat
mudah bisa kita masuki. Lalu, sekali kita
sudah memasuki pintu-pintu itu, maka
kita tinggal setarikan nafas saja lagi un-
tuk melakukan perbuatan-perbuatan ne-
gatif itu tanpa bisa kita cegah. Lagi, lagi,
dan lagi !
Kita juga dengan sangat mudah membuka pintu ingatan kita
untuk bisa marah, menangis, geram, takut, marah, dan seba-
gainya. Begitu pintu ingatan kita kepada apapun yang selain
Allah itu kita buka, kita ingat-ingat objek pikir itu, kita sebut-
sebut objek pikir itu, maka syetan segera mengganjalkan atau
menopangkan kakinya kepintu yang sudah terbuka itu, sehing-
108
ga dengan sekuat apapun daya dan upaya yang kita lakukan
untuk menutup kembali pintu itu, kita akan mengalami ke-
sulitan, kalau tidak mau dikatakan tidak akan pernah berhasil.
Keadaan pintu ingatan kita yang tetap terbuka, karena diganjal
oleh iblis, inilah yang membuat kita seperti sulit untuk bisa
keluar dari sebuah perbuatan fujur, fasik, jahat. Karena, begitu
pintu ingatan untuk itu kita buka, apalagi kalau perbuatan itu
sampai kita lakukan, maka nyeess, langsung pula ada rasanya.
• Ada rasa Bahagia (Happiness),
• Kadang Sedih (Sadness),
• Bisa pula Takut (Fear),
• Marah (Anger),
• Kaget atau Heran (Surprise),
• Dan Jijik (Disgust).
Misalnya, kita bisa merasa senang dan bahagia
ketika kita bisa membuat orang lain SUSAH dan
MENDERITA. Amerika Serikat, tidak akan mau
membela-belain mengirimkan tentaranya untuk
menghancurkan negara lain dan membunuhi
penduduk negara lain itu kalau tidak ada ingatan
dari Presiden dan Parlemen negara itu untuk
membunuhi orang dan menghancurkan sebuah negara. Dan di
sana pasti ada rasa menang dan rasa bangga atas apa-apa
yang telah mereka lakukan itu.
Hal yang sama juga berlaku ketika kita memikirkan atau
109
bahkan sampai melakukan sebuah aktifitas atau perbuatan
yang sekilas kelihatan sangat baik dan bagus, akan tetapi ka-
rena perbuatan yang kita pikirkan dan lakukan itu tidak kita
LANDASI dengan proses INGAT kita kepada Allah, maka apa-
apa yang kita pikirkan atau kita lakukan itu, secara menge-
jutkan, akan membuat kita merasa ADA dan merasa HEBAT.
Kita merasa EXIST dan merasa BISA. Rasa ada dan hebat inilah
yang membuat kita enggan untuk melepaskan atau tidak
mengaku memiliki sebuah pikiran atau perbuatan yang telah
kita punyai itu. Karena rasa memiliki itu nikmat sekali rasanya.
Nikmatnya pengakuan. Dan inilah yang akan menutup Hati
kita secara perlahan-lahan, karena ada syetan yang sedang
mendompleng rasa hebat dan sombong yang ada di dalam
hati kita itu.
Kalau hati kita sudah ditutup oleh Allah dengan mengirimkan
syetan ke dalamnya, maka kita tidak akan pernah bisa lagi
untuk mendapatkan BUAH dari DZIKRULLAH itu, yaitu SIKAP
IHSAN kita kepada Allah. Padahal . . .
. . . Sikap Ihsan adalah buah yang PASTI dari
proses mengingat Allah yang kita lakukan secara
terus menerus.
Sebab sikap Ihsan inilah yang akan menyebabkan HATI kita
bisa MERASAKAN bahwa Allah melihat kita. Rasa Ihsan itu
110
muncul karena Mata Hati kita sudah bisa melihat bahwa :8
“Wujud yang paling terang dan nyata ialah Allah Ta’ala, dan
ini menghendaki kepada Makrifatullah.”
Karena Mata Hati kita sudah bisa selalu kita tumpukan secara
terus menerus untuk ingatan kepada Kemahasucian dan
Kemahaindahan Dzat Allah, maka sebenarnya Allahlah yang
membalas ingatan kita itu dengan memberikan RASA IHSAN ke
dalam Hati kita.
• Tiba-tiba Allah akan merasakan kepada kita bahwa “Se-
sungguhnya Dia Maha Melihat, (Al Mulk 19).
• Di lain waktu kita dibawa oleh Allah untuk merasakan
bahwa “Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa-apa yang ka-
mu kerjakan, (Al Baqarah 110, At Taghabun 2); atau
• Memahami “Yang Melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk
sembahyang), dan
• (Melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-
orang yang sujud, (Al Syuara 218-219).”
Kita sering punya pengalaman tentang rasa ihsan ini kalau kita
berhadapan dengan objek pikir yang selain Allah, misalnya
ihsan kita kepada program Piala Dunia Sepak Bola (PDSB). Ma-
ka selama acara PDSB itu, pintu ingatan kita yang selalu ter-
buka adalah pintu PDSB. Selama itu, pintu ingatan kita kepada
objek pikir yang lain seperti tertutup. “Kehadiran” PDSB itu
8 Imam Al Ghazali, Ihya Ulumudin, Buku 7, 478, 1981.
111
terasa sekali bagi kita. Apalagi kalau yang sedang bermain saat
itu adalah kesebelasan yang kita favoritkan. Hasilnya yang sa-
ngat jelas terlihat adalah bahwa kita bisa berlama-lama
menonton acara PDSB itu. Kalau acaranya
di waktu sepertiga malam terakhir, ia se-
ringkali mengalahkan shalat tahajud kita.
Kalaupun kita shalat tahajud saat itu, maka
shalat kita akan diburu-buru oleh acara
PDSB yang sedang tayang bersamaan
dengan shalat tahajud kita itu.
Begitu pulalah . . .
. . . kalau kita sudah dapat merasakan rasa IHSAN
kepada Allah. Semuanya akan kita kalahkan untuk
Allah. Inilah buah yang sangat ranum dari
KEIMANAN kita kepada Allah.
Di sini kita bukan lagi hanya sekedar bisa percaya (beriman)
saja kepada Allah. Tapi keadaannya sudah jauh lebih dalam
lagi, yaitu HATI kita sudah bisa merasakan bahwa :
HATI kita sudah bisa merasakan bahwa :
• Allah selalu melihat setiap perbuatan kita,
112
• Allah setiap saat selalu mendengarkan kata-
kata kita (baik yang sudah terucap ataupun
yang belum),
• Allah selalu mengawasi segala seluk beluk
pikiran kita.
Dia sedang memandang kita, Dia sedang
mendengarkan kita, Dia sedang mengamati kita.
Semua itu Dia lakukan melalui DZAT-NYA yang
meliputi kita. Karena memang Dzat-Nya Maha
Meliputi segala sesuatu,
• kita dikeliling dari segala arah oleh Dzat-Nya,
• kita di dalam genggaman Dzat-Nya,
• kita berada dalam pelukan Dzat-Nya.
Kita juga seperti sedang berada di dalam sebuah ruangan yang
dikelilingi oleh KACA SATU ARAH yang mengarah kepada kita,
sementara kita tidak bisa melihat keluar.
Kita jadi begitu transparan di hadapan Dzat Allah,
sehingga kita merasa tidak bisa sedikitpun
bersembunyi ataupun lari dari Penglihatan,
Pengawasan, dan Pendengaran-Nya.
113
Dari keadaan seperti inilah kemudian muncul rasa tidak keti-
dakberkutikan kita kepada Allah. MATA HATI kita jadi TER-
KONCI untuk selalu ingin memandang kepada Kemahaindah-
an dan Kemahasucian Dzat Allah. Kita benar-benar merasa ti-
dak berharga di hadapan Allah. Makanya, ketika kita memang-
gil Nama-Nya, sehingga saat itu muncullah NATIJAH demi
NATIJAH yang menggetarkan hati kita. Natijah itu bisa berupa
Riqqah dalam bentuk rasa yang sangat dingin yang terasa
mengalir ke dalam dada kita, atau bisa pula berupa Ilham yang
jelas terhadap suatu permasalahan, atau rasa tenteram yang
diturunkan ke dalam ruang dada kita, dan sebagainya.
Al Anfal (8 / 2) :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka
yang apabila disebut Nama Allah, GEMETARLAH HATI mere-
ka.”
RASA dari ayat-ayat IHSAN tersebut di atas, yang diturunkan
oleh Allah ke dalam HATI kita, akan membuat HATI kita :
• Bergetar, gemetar, dan bergegar.
• Kulit kitapun merinding, bulu roma kita berdiri.
• Airmata kita berdesakan, berpacu, dan berloncatan keluar
dari sudut-sudut mata kita.
• Kita menangis dan tergetar dari dalam.
Rasa ihsan kepada adanya syetan atau jin saja yang kita yakini
ada di sekitar kita, terutama di sekitar kuburan dan rumah
kosong, akan membuat kita merinding dan merasa dingin di
114
tengkuk kita. Masak sih rasa ihsan kepada Allah tidak ada
rasanya sama sekali ? Khan kelewatan sekali kita ini di hadap-
an Allah. Padahal kalau rasa ihsan kita itu adalah kepada Allah,
tentu saja rasanya sangat jauh beda dengan rasa ihsan kepada
syetan atau jin yang memang sudah sangat ditakuti oleh ba-
nyak orang.
Akibat dari bergetar dan bergegarnya hati kita itu, karena rasa
ihsan kepada Allah itu, seketika itu juga hati kita, yang tadinya
keras dan membatu, menjadi pecah dan hancur berkeping
keping. Hati kita yang tadinya membatu berubah menjadi cair
seperti cairnya batu es. Hati kita dibersihkan dari dalam se-
hingga hati kita itu menjadi bersih seperti
hati bayi yang baru lahir. Hati kita yang tadi-
nya buta dan tuli akan berubah menjadi Hati
yang terang benderang dan bercahaya. Hati
kita berubah menjadi hidup, cair, dan lem-
but. Hati yang dapat mengerti dan merasakan respon atau
jawaban-jawaban Allah terhadap apa-apa yang kita lakukan
dan ucapkan kepada-Nya.
Tetapi gemetarnya hati kita karena kita menyebut Nama Allah
dalam SIKAP IHSAN itu akan sangat BERBEDA sekali dengan
ketar-ketarnya tubuh kita karena dialiri oleh ‘GETARAN” atau
VIBRASI akibat dari gerakan EMOSI kita. Di dalam latihan pa-
trap dan dalam proses dzikir di sebuah tarekat dulu, saya lama
sekali terjebak dalam getaran-getaran tubuh karena vibrasi
emosi ini, sehingga dulu itu saya nyaris tidak bisa sedikitpun
115
merasakan rasa IHSAN seperti hal di atas.
Buah yang lainnya dari ingatan kita kepada Allah itu adalah
qulub atau hati kita akan menjadi tenteram. Karena Allah juga
sudah memastikan dan menegaskan bahwa :
HANYA dan HANYA dengan mengingat Allahlah
hati kita akan menjadi TENTERAM.
Allah langsunglah yang memasukkan
ketenteraman itu ke dalam hati kita.
Ketenteraman ini akan berlanjut dan diperkuat lagi ketika kita
melakukan shalat yang berikutnya. Ketenteraman itu mene-
tap, dalam, dan melembutkan hati. Ketenteraman yang mem-
punyai unsur kehidupan. Karena kita memang sedang meng-
ingat Allah, Dzat Yang Maha Indah, Dzat Yang Maha Hidup.
Artinya . . .
. . . ketenteraman macam apapun juga yang
BUKAN berasal dari proses INGAT kita kepada
Allah, maka ketenteraman itu adalah
ketenteraman yang palsu, ketenteraman yang
menipu, ketenteraman yang hanya bisa bertahan
dalam waktu yang singkat saja.
Hati kita yang sudah TENTERAM, ditambah dengan munculnya
116
rasa IHSAN kita kepada Allah, ditambah lagi dengan dapatnya
kita MERASAKAN balasan-balasan atau RESPON Allah yang tak
henti-hentinya dari ucapan dan ibadah kita, secara mengejut-
kan itu akan memberikan dampak yang sangat kuat kepada
kita untuk lebih bersemangat dalam melakukan ibadah-ibadah
sunnah, apalagi ibadah yang wajib. Kita jadi terangsang untuk
melaksanakan amalan-amalan tambahan tanpa kita perlu
memaksa-maksakan diri. Semua itu kita lakukan seperti tanpa
lagi mengharapkan pahala ini dan ganjaran itu dari Allah.
Sebab ternyata semua pahala dan ganjaran itu sudah otomatis
saja diberikan oleh Allah kepada kita. Bahkan :
. . . adakalanya ganjaran dan pahala itu sudah
diberikan terlebih dahulu oleh Allah kepada kita,
. . . sehingga kita merasa begitu malunya kepada Allah kalau
kita masih berpaling dari-Nya. Ada sebuah kerinduan yang
amat sangat, yang kadangkala diiringi dengan sedu sedan dan
lelehan air mata yang tidak bisa kita bendung, ketika kita
melakukan shalat, terutama Shalat Tahajud. Kadangkala dalam
shalat wajibpun suasana itu muncul,
terutama kalau shalat wajib itu kita
lakukan dengan kualitas seperti Shalat
Tahajud itu.
Kerinduan itu seperti menekan jiwa
kita. Sedu-sedan dan rintihan kita
117
muncul karena rasa rindu dan cinta kepada Allah. Air mata kita
keluar dan melelah KHUSUS untuk Allah. Yaa… KHUSUS UN-
TUK ALLAH, bukan untuk yang lain atau hal-hal yang lainnya.
Keadaan seperti inilah barangkali yang menye-babkan Dada
Rasulullah terdengar seperti air bejana yang mendidih saat-
saat Beliau Shalat Tahajud dimalam hari.
Keadaan seperti inilah yang membuat . . .
. . . kita ingin berlama-lama dengan Allah. Kita
tidak ingin cepat-cepat menyelesaikan shalat kita.
Saat rukuk dan sujud, kita enggan untuk cepat-cepat meng-
angkat kepala kita. Saat do’a iftirasy, kita duduk agak lama se-
tiap ada jawaban-jawaban Allah turun menjawab do’a-do’a
kita itu.
Begitu juga ketika kita membaca do’a iftitah,
membaca Al Fatihah, dan membaca Tahiyat,
setiap Allah menurunkan
sambutan atau respon-Nya kita tidak ingin cepat-
cepat untuk menyelesaikan prosesi shalat kita itu
sebelum ada RASA SELESAINYA.
Sebab setiap respon itu ada rasa mulainya, dan ada pula rasa
selesainya. Kalau sudah selesai, ya sudah, kita lanjutkan
118
gerakan dan bacaan shalat kita untuk yang selanjutnya. Kalau
tidak ada respon sama sekali, ya… itu tandanya shalat kita
tidak diterima oleh Allah, dan itu sangatlah menyakitkan
sekali. Rasanya seperti layangan putus. Kita akan kelimpungan
dan merasa serba salah. Karena saat itu terasa betul kita se-
perti ditinggalkan oleh Allah. Kita bisa merasakan saat ibu kita
kecewa kepada kita. Nah rasanya mirip itu.
Di dalam buku-buku tasawuf kita sering pula membaca istilah-
istilah, CINTA, RINDU, TAKUT, MALU, TAWADHU, TAWAKAL,
SABAR, RIDHA, SYUKUR, SAKINAH, dan lain-lain sebagainya.
Dulu saya kira itu adalah istilah-istilah yang harus kita hafal
yang kemudian kita paksa-paksakan untuk menjalaninya. Teta-
pi ternyata kesemua itu adalah . . .
. . . perubahan-perubahan suasana di dalam HATI
kita yang silih berganti yang diturunkan oleh Allah
ke dalam hati kita akibat kita ISTIQAMAH dalam
MENGINGAT ALLAH (Dzikrullah).
Artinya semua itu adalah proses ADZKURKUM dan JAWAB-
JAWABAN ALLAH terhadap FADZKURINI dan IBADAH-IBADAH
yang kita lakukan kepada Allah.
Apalagi kalau ibadah itu kita tambahi dengan ibadah-ibadah
sunnah yang sering dianggap sepele oleh sebagian besar umat
Islam. Hasilnya sungguh sangat mencengangkan. Itu sesuai se-
kali dengan yang dikatakan Allah dalam sebuah Hadist Qudsi :
119
“There is NO OTHER WAY for you to get CLOSE TO ME other
than by doing the non-obligatory worships in addition to obli-
gatory worships and this will eventually earn you MY
AFFECTION.” Artinya . . .
. . . TIDAK ADA JALAN LAIN yang bisa mendekat
kita kepada Allah kecuali dengan
melakukan ibadah-ibadah Sunnah
di samping ibadah-ibadah Wajib.”
Tegas sekali Allah di dalam Hadist Qudsi itu. “TIDAK ADA CARA
LAIN !” Tapi nampaknya hanya segelintir umat islam saja yang
ditakdirkan untuk mempercayainya dan mendapatkan suasa-
nanya sekaligus. Yaitu suasana rasa DEKAT, DIKASIHI, dan
DISAYANGI oleh ALLAH Ta’ala. Inilah pesan-pesan universal
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, Nabi dan Rasul
Sebelum Beliau, Sahabat Nabi, Tabi’iin, Tabi’ittabi’in, para Arif
Billah, dan beberapa Wali Allah yang mengikuti jalan Nabi-
Nabi. Walau banyak yang tidak percaya, tapi Beliau-beliau itu
tetap menyampaikan risalah Allah dengan penuh semangat,
tak kenal lelah sampai tetes darah terakhir. Karena memang
Beliau-beliau hanyalah para penyampai belaka. Sedangkan ha-
silnya sudah dikalungkan di setiap leher umat manusia sesuai
dengan takdirnya masing-masing, yang telah ditetapkan oleh
Allah sejak Sabda “KUN” pertama kali menggelegar.
Dan yang paling menakjubkan adalah, di antara agama-agama
120
yang ada, hanya Islamlah yang layak untuk disebut sebagai
agama paling “up-to-the-minute.” Karena Islamlah satu-
satunya agama yang memberikan Guidance yang memenuhi
kriteria “state-of-the-art” tentang bagaimana cara-cara kita
berhubungan dan berinteraksi dengan Allah, dengan sesama
umat manusia, dan dengan alam semesta. Bahkan . . .
. . . Islam jugalah yang mengajarkan umat manusia
tentang JALAN KELUAR yang sangat MUDAH dan
sangat MUJARAB dari segala permasalahan hidup
yang kita alami, sekeras, sehebat, dan sedahsyat
apapun juga.
Yaitu sebuah pencapaian keadaan rohani kita yang diwakili
oleh ungkapan kalimat “INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RA-
JI’UUN”, yang lebih dari hanya sekedar ucapan di bibir saja.
Makna dari kalimat ini, insyaallah, akan kita bahas pada pada
artikel yang lain nantinya.
Sebab ternyata sekarang ini banyak di antara kita yang men-
cari dan melakukan CARA-CARA LAIN yang tujuannya hanya
untuk :
• mendapatkan KETENANGAN,
• ditambah dengan sedikit KEBAHAGIAAN di sana-sini,
• dan diberikan pula sedikit KEHEBATAN di atas orang rata-
rata.
Dan kesemuanya itu kita dapatkan pula di tengah-tengah
121
beban dan persoalan-persoalan yang membebani hidup kita.
Tentu saja itu akan terasa sekali asyiknya. Tapi sayang
tujuannya hanya di situ-situ saja. Untuk :
• Mencari
TENANG,
tapi tenangnya seperti kita sedang
berhadapan dengan tembok.
• Mencari
Bahagia,
tapi bahagianya hanya sekedar membuat
kita sumringah dan terkekeh-kekeh.
• serta
mencari
Hebat,
tapi hebatnya hanya untuk sekedar bisa
untuk bermain-mainan dan berkata-kata
saja.
Dan yang pasti, kesemuanya itu akan membawa kita dalam
alam kesendirian yang semakin pekat.
Ya, KESENDIRIAN. Kita akan masuk ke alam eksistensi keakuan
yang sangat pekat, yang bermuara pada keangkuhan dan
kesombongan kita. “Aku bisa ini dan itu, aku mempunyai ini
dan itu, aku memiliki ini dan itu, dan berbagai pengakuan kita
yang lainnya.” Karena saat itu kita memang merasa serba bisa,
sehingga kita merasa tidak butuh siapa-siapa lagi, kecuali
orang-orang yang mengerti dan membutuhkan keberadaan
kita, dan orang-orang yang bisa memperkuat eksistensi diri
kita. Bahkan, disadari atau tidak, kita juga seperti tidak lagi
membutuhkan Allah sedikitpun, walaupun saat kita sudah
tidak berkutik dalam menghadapi berbagai nestapa kehidup-
an. Saat itu kita malah mencari orang-orang yang kita anggap
lebih hebat dari kita dan bahkan bisa menandingi Allah untuk
menyelesaikan masalah-masalah kita.
122
Oleh karena itu, pada tingkatan keangkuhan yang sangat
EKSTRIM, kita dengan sangat mudahnya bisa terperosok
kepada pengakuan bahwa kita adalah sepadan dengan Allah.
Kita adalah perwujudan Allah, Kita dan Allah berada dalam
sebuah kesatuan eksistensi. Kalau tidak kitanya yang tidak
ada, ya Allahnya yang tidak ada. Misalnya “aku tidak ada, yang
ada adalah Allah”, atau “Allah tidak ada, yang ada adalah aku.”
Atau bisa pula kalimat-kalimat pengakuan lainnya yang menyi-
ratkan paham WAHDATUL WUJUD, HULUL, FANA BILLAH, dan
sebagainya.
Ciri-ciri dari kesendirian kita itu mudah saja kok untuk kita
kenali, yaitu saat kita shalat, kita seperti sedang berkata-kata,
rukuk, sujud, menyembah, dan berdoa di hadapan DINDING
TEMBOK yang mati dan dingin.
Kadang-kadang kita bisa juga sih
mendapatkan ketenangan di dalam
shalat itu, terutama kalau saat
shalat itu kita barengi pula dengan
pengaturan nafas kita, atau kita merasa-rasakan getaran
energi yang ada di sekeliling kita. Akan tetapi akibatnya saat
itu kita tidak akan mendapatkan respon atau sambutan
sedikitpun dari Allah Yang Maha Hidup atas semua aktifitas
kita di dalam shalat itu. Ya, kita melakukan shalat seperti
orang yang sedang ngelindur di siang bolong, atau kita seperti
sedang berlatih TAICHI atau MEDITASI ENERGY-ENERGY di
dalam shalat.
123
Jadi di dalam shalat yang benar itu, yang akan kita
dapatkan bukanlah HANYA sekedar RASA TENANG
saja. Tidak. Tapi kita akan mendapatkan rasa
tenang dan tenteram yang ada komunikasi dua
arah (dialog) antara kita dengan Allah.
Sebab kalau hanya sekedar untuk mendapatkan rasa tenang
dan tenteram saja sih, dengan beberapa teknik meditasi dan
olah nafas saja kita sudah akan bisa mendapatkannya. Kita
tidak perlu capek-capek lagi memaksa-maksakan diri untuk
melakukan shalat maupun ibadah-ibadah lainnya.
Karena di dalam shalat yang ada komunikasinya,
antara hamba dan Tuhannya, akan ada rasanya.
• Kadang-kadang kita diberi rasa senang dan
bahagia oleh Allah, yang rasanya melebihi rasa
senang dan bahagia kepada apapun juga yang
pernah kita rasakan di dalam hidup kita.
• Di lain waktu, kadangkala kita diberi pula oleh
Allah rasa takut kepada-Nya, yang rasanya
melebihi rasa takut kita kepada siapapun juga
yang pernah kita rasakan selama ini.
Perubahan-perubahan rasa inilah yang akan membuat air
124
mata kita jatuh berderai-derai, menyebabkan suara kita ter-
isak lirih, dan menimbulkan sedu-sedan yang sangat meng-
herankan. Tapi semuanya itu tetap tidak sampai menggon-
cangkan tubuh atau badan kita.
Sebab rasa yang muncul itu ternyata bukanlah berada di
dalam dada kita, tapi rasa itu berada jauh di dalam JIWA
(NAFS) kita. Bagi yang berkenan, silahkan lihat kembali uraian
terdahulu tentang jiwa ini. Singkatnya adalah, bahwa tananan
jiwa ini adalah pada dimensi RUH dan AQAL /HATI kita. Di
mana RUH dan AQAL/HATI itu, dua-duanya sudah sudah bisa
“terlepas” dari pengaruh JASAD. Makanya rasa-rasa itu, walau-
pun sangat kuat, namun sudah tidak mempengaruhi JASAD
kita lagi.
Keadaan seperti ini disebut NATIJAH yang diberikan oleh Allah
kepada kita yang akan berdampak kepada HATI kita. Hati kita
akan menjadi tenang, tenteram, bercahaya, dan . . .
. . . menimbulkan pula berbagai pengalaman
rohani yang tak eloklah untuk dibicara-bicarakan.
Kalau dulu, karena rasa-rasa itu saya hasilkan dari proses olah
emosional, maka tubuh saya sampai tergoncang-goncang,
bahkan sampai berguling-gulingan seperti anak kecil umur tiga
tahun, yang karena kesal, sampai berguling-guling dan meng-
hentak-hentak tanah sambil menangis ataupun berteriak-
teriak. Tapi ya nggak apa-apa. Itu adalah sejarah masa lalu
125
saja.
Nanti,
. . . Allah pulalah yang akan menurunkan ke dalam
Jiwa kita rasa Cinta kepada Rasulullah tanpa kita
harus terjebak kepada upaya dan prosesi
pengkultusan terhadap Beliau.
Sebab ternyata kalau kita mencintai Rasulullah dengan do-
rongan hawa nafsu atau emosi kita sendiri, maka kita akan
terjebak pada ritual-ritual yang kental sekali dengan aroma
pengkultusan terhadap Beliau dan juga terhadap Ahlul Bait.
Karena kita mendasarinya dengan emosi kita, maka proses
pembangkitan emosi kita agar kita bisa “ekstasis” dalam men-
cintai Beliau dan dalam beribadah juga harus memakai prose-
si-prosesi yang sangat emosional sekali. Itulah sebabnya ada
kelompok-kelompok yang harus memulai aktifitas ibadah me-
reka dengan memaki-maki Para Sahabat Rasulullah, atau
mengingat-ngingat penderitaan cucu Nabi Hasan dan Husein
Ra., atau bahkan ada yang sampai harus menyakiti dan
melukai diri mereka sendiri terlebih dahulu. Kalau ini yang kita
lakukan, karena ada proses menangisnya, ada ekstasisnya,
maka kita akan sangat sulit sekali untuk bisa keluar dari
cengkraman kelompok ini di kemudian hari. Sulit sekali ! Dan
akhirnya kita, tanpa berpikir panjang lagi, akan mengikuti saja
apa-apa yang diperintahkan oleh petinggi kelompok itu.
126
• Iblis telah DITAKDIRKAN oleh Allah menjadi makhluk yang
hatinya buta dan tuli yang ciri utamanya adalah kesom-
bongannya di hadapan Allah terhadap ketetapan atau
AF’AL Allah. Oleh karena itu, iapun haruslah menjalankan
KESOMBONGANNYA itu terhadap Nabi Adam AS secara
total dan tanpa reserve ketika Allah telah menetapkan pula
bagi Diri-Nya sendiri untuk menciptakan Adam AS dari
unsur atau saripati tanah.
• Sebaliknya, Malaikat telah DITAKDIRKAN pula oleh Allah
menjadi makhluk yang rela untuk kehilangan kesombong-
annya di hadapan Allah, sehingga iapun harus pula menja-
lankan takdir Allah bagi dirinya untuk menjadi makhluk
yang hatinya sudah menjadi TAJAM dan WASPADA melihat
HAKEKAT dari penciptaan Nabi Adam AS, sehingga iapun
rela untuk sujud kepada Adam AS.
• Sedangkan Adam AS., juga telah DITAKDIRKAN oleh Allah
menjadi makhluk yang harus menghuni dan memakmurkan
Bumi yang memang telah disiapkan untuknya selama mil-
yaran tahun. Oleh sebab itu, iapun haruslah keluar dari
alam syurgawi melalui sebuah DRAMA yang telah dijalan-
kan dengan sangat sempurna oleh para pemeran utama-
nya, yaitu Adam AS, Iblis, dan Malaikat.
Kelak bagi anak keturunan Adam AS, merekapun telah ditak-
dirkan pula oleh Allah untuk bisa memakai kesombongan atas
diri mereka terhadap sesama mereka, seperti yang dulu dila-
kukan oleh iblis terhadap Adam AS, atau mereka bisa pula
127
menjadi makhluk yang rela kehilangan kesombongan atas
dirinya ter-hadap sesama mereka seperti yang dilakukan oleh
Malaikat terhadap Adam AS.
Hanya saja untuk Adam AS dan keturunannya, Allah telah
MENAKDIRKAN pula baginya ada senjata baru yang sangat-
sangat hebat yang bisa dipakai oleh Adam AS dan keturun-
annya kelak untuk menjadi diri-diri yang sombong, melebihi
kesombongan iblis. Yaitu kemampuannya untuk memahami
berbagai ILMU dan NAMA-NAMA. Alam ilmu dan nama-nama
inilah salah satu penyebab yang sangat kuat, yang bisa mem-
buat HATI kita menjadi Buta dan Tuli dari INGAT kepada Allah
(dzikrullah).
Kesombongan iblis kepada Adam AS hanya terhadap satu hal
saja, yaitu tentang anasir dirinya yang tercipta dari API, yang
dia kira lebih baik dari anasir diri Adam AS
yang tercipta dari TANAH. Akan tetapi dengan
senjata ILMU dan NAMA-NAMA tersebut,
umat manusia telah ditakdirkan pula oleh
Allah untuk bisa menjadi sombong melebihi
kesombongan iblis, atau bisa pula menjadi
tidak sombong melebih ketidaksombongan
Malaikat.
• Maksud dari kesombongan manusia yang bisa melebihi
kesombongan iblis itu adalah : dengan ilmu dan nama-
nama itu, tidak saja manusia itu bisa menjadi sombong
terhadap sesamanya (misalnya dalam hal SARA= SUKU,
128
AGAMA, RAS, ANTAR GOLONGAN), akan tetapi ia juga bisa
menghancurkan dan merusak terhadap bumi, tumbuh-
tumbuhan, hewan-hewan, dan bahkan saling berbunuhan
antar sesamanya. Dan semuanya itu dilakukannya dalam
keadaan hatinya yang sedang buta dan tuli dari mengingat
Allah.
• Sedangkan maksud dari ketidaksombongan manusia yang
bisa melebihi ketidaksombongan malaikat itu adalah : bah-
wa ILMU dan NAMA-NAMA itu sudah TIDAK lagi membuat-
nya sombong atau bersikap SARA terhadap sesamanya,
HATINYA juga sudah menjadi terang-benderang untuk bisa
selalu mengingat Allah (dzikrullah), dan dari TANGAN dan
LIDAHNYA lahir pula PERADABAN yang baharu dari zaman
ke zaman. Inilah sebenarnya fungsi kekhalifahan yang su-
dah ditakdirkan oleh Allah untuk dijalankan oleh setiap
manusia.
Keberadaan Adam, Malaikat, Iblis, ilmu-ilmu, dan nama-nama
itulah yang kemudian akan meramaikan sandiwara atau pela-
konan drama kehidupan yang skrip atau skenarionya sudah
TERTULIS di dalam LAUHUL MAHFUZ, sebuah kitab yang sa-
ngat lengkap dan sempurna. Kitab yang di dalamnya memuat
KETETAPAN dan RENCANA-RENCANA ALLAH yang TIDAK akan
pernah BERUBAH sedikitpun.
Ketetapan dan rencana Allah itu bukanlah sebuah LAUTAN
KEMUNGKINAN atau SAMUDERA KETIDAKPASTIAN seperti
anggapan kebanyakan orang. BUKAN ! Ketetapan dan Rencana
129
Allah itu SANGATLAH PASTI, KOKOH, KUAT, dan TAK TERGO-
YAHKAN. Ia berisikan dan memuat tentang segala hal, segala
keadaan, segala sebab dan akibat, peristiwa-peristiwa, ukur-
an-ukuran, dan hukum-hukum yang akan dialami, dilalui,
dijalankan, dihadapi, dirasakan oleh Aktor dan Pelakon dalam
panggung sandiwara kehidupan itu.
Ketetapan dan rencana Allah itu tidak bisa diubah. Ia akan
mematahkan dugaan-dugaan kebanyakan orang selama ini,
yang menyangka bahwa ketetapan dan rencana Allah itu bisa
kita ubah-ubah dan kita pengaruhi-pengaruhi dengan meng-
ubah-ubah pikiran dan perasaan kita. Padahal anggapan
mereka itu semata-mata hanyalah karena hati mereka sedang
buta dan tuli untuk menyadari bahwa perubahan-perubahan
perasaan dan pikiran mereka itupun, sebenarnya juga sudah
tertulis di dalam Lauhul Mahfuz. Kapan dan kepada objek pikir
apa perubahan-perubahan pikiran dan perasaan mereka itu
terjadi, dan apa pula perubahan-perubahan yang akan mereka
alami setelah itu, sebenarnya kesemuanya itu sudah tertulis
dengan lengkap di dalam lembaran-lembaran Lauhul Mahfuz.
Tidak ada satupun yang baru dan berubah dari rencana yang
telah ditetapkan untuk mereka.
Karena sudah ditetapkan, maka itu pulalah yang terjadi dan
terzahir. Setiap aktor dan pelakon dalam sandiwara itu akan
menjalankan TEPAT SATU PERAN yang hanya cocok untuk diri-
nya sendiri. Peran untuk seorang aktor tidak akan pernah ter-
tukar dengan peran-peran lain, yang hanya cocok di jalankan
130
oleh aktor dan pelakon yang lainnya pula.
Tidak ada satupun yang terlupakan di dalam ketetapan dan
rencana Allah itu, walau itu untuk keperluan peran sebuah
atom ataupun lakonan materi-materi yang lebih kecil lagi dari
atom. Misalnya untuk energi-energi, untuk quanta-quanta,
untuk cahaya, dan bahkan untuk apapun juga yang saat ini
belum dibukakan rahasianya oleh Allah kepada kita.
DI BALIK setiap ketetapan dan rencana-Nya itu,
sebagai perwujudan dari
KEMAHABIJAKSANAANNYA, Allah juga telah
menyiapkan berbagai HIKMAH dalam bentuk
ILMU-ILMU BARU
di balik semua ketetapan-Nya.
Dengan hikmah itu, setiap aktor dan pelakon yang bermain di
dalam panggung sandiwara kehidupan itu akan menjadi lebih
mudah dan sempurna dalam menjalankan peran dan lakon-
annya masing-masing. Peran yang tanpa cacat. Peran yang
tidak bisa ditolak, Peran yang, mau tidak mau, rela ataupun
tidak, harus dijalankan oleh semua pemain dalam sandiwara
kehidupan itu.
• Kalau kita sudah DITAKDIRKAN untuk memerankan kebu-
rukan dan kejahatan, maka keburukan dan kejahatan itu
akan kita lakukan dengan mudah, bersungguh-sungguh,
dan sangat sempurna sekali.
131
• Kalau kita sudah DITETAPKAN pula untuk menjalankan
kebaikan, maka kebaikan itupun akan kita lakukan dengan
sangat sempurna.
Begitu juga untuk peran-peran kita yang lain, misalnya, peran
si ragu-ragu, si pencuri, si pembunuh, si pemadat, si pemalas,
si pemabuk, si pelacur, si kafir, si munafik, si fasik, si sombong,
si cengengesan, si sabar, si khusyu, si beriman, si rajin, si
pandai, si pioner, dan peran-peran lainnya, akan kita melaku-
kannya dengan sama sempurnanya.
Kisah dan serba serbi peran para pemain sandiwara itulah
yang menjadi SEBAGIAN BESAR kisah yang diceritakan dan
diberitahukan oleh Allah kepada kita di dalam Al Qur’an,
maupun kisah perjalanan hidup mereka dengan Nabi Muham-
mad SAW di dalam Al Hadist.
Oleh sebab itu, seyogyanya tugas kita masing-masing hanyalah
untuk bercermin bagi diri kita sendiri atas peran-peran yang
sedang kita jalankan, untuk kemudian kita banding-banding-
kan dengan ayat-ayat Al Qur’an dan Al Hadist itu, sehingga
kitapun bisa tahu persis posisi diri kita dari waktu ke waktu.
Nanti kita akan bisa melihat apakah kita ini sedang menja-
lankan peran diri yang bersyukur ataukah sedang menjadi diri
yang kufur terhadap nikmat Allah.
Ya, tugas kita sebenarnya bukanlah untuk melihat cermin diri
para pemeran sandiwara yang lainnya dan menghakimi
mereka dengan ayat-ayat Al Qur’an dan Al Hadist itu. Sebab
132
aktor yang lain itupun sebenarnya sedang menjalankan peran-
nya sendiri pula, yang ciri-cirinya pastilah sesuai dengan salah
satu dari ayat al Qur’an atau Al Hadist yang tertentu. Me-
rekapun sama dengan kita. Sama-sama tidak bisa keluar dari
KETETAPAN yang telah ditetapkan untuk kita masing-masing
untuk kita perankan.
Ketetapan Allah itulah nantinya yang akan melahirkan ber-
bagai SIFAT yang akan bisa kita LIHAT, DENGARKAN, RASAKAN,
BAUI, dan RESAPI melalui Panca Indera kita. Tepatnya, apapun
cita-rasa yang sedang kita alami atau rasakan, maka pada
hakekatnya kesemua itu adalah KETETAPAN ALLAH semata.
Dan itu adalah yang TERBAIK buat kita. Menerima segala
keadaan sebagai hal yang terbaik bagi kita itulah yang jadi
masalah utama kita selama ini. Tantang hal menerima
ketetapan Allah ini, nanti akan kita bahas lebih lanjut dalam
bahasan : Kalung Yang Sudah Terpasang Dileher.
Cita-rasa dari sifat-sifat itu dapat pula kita NIKMATI kembali
secara berulang-ulang walaupun hanya dengan cara meng-
ingat-ingatnya kembali di lain waktu melalui pintu INGATAN
kita. Dengan mengingat-ingat kembali berbagai sifat-sifat
itulah kemudian yang akan menghasilkan bermacam ILMU dan
Nama-nama yang menyebabkan kita mempunyai rasa mem-
ilikinya. Rasa yang seakan-akan memperkuat eksistensi kita di
tengah-tengah masyarakat. Rasa berilmu, rasa mengetahui,
rasa bisa.
133
Ya,
. . . gara-gara hati kita jadi terpaku kepada SIFAT-
SIFAT yang telah berubah wujud di hadapan kita
menjadi berbagai ILMU dan Nama-nama, maka
ingatan kita kepada Allahpun lama-lama menjadi
tertutup. Kita nyaris lupa total kepada Allah.
Karena semua Sifat itu kelihatan begitu sempurnanya berting-
kah laku di hadapan kita. Kita bisa memperkirakan kejadian ini
dan itu di masa depan dengan sangat baik. Kita malah seakan-
akan bisa mempengaruhi masa depan kita, orang lain, maupun
kejadian-kejadian di masa yang akan datang dengan hanya
memberikan STIMULUS tertentu melalui tangan, kata-kata,
ataupun hanya sekedar melalui pikirkan kita saja.
Lalu dengan ilmu dan nama-nama itulah kita kemudian dikenal
orang dan mengenal orang lain. Kalau kita ingin mengetahui
tentang ilmu ini dan itu, maka si anu dan si anilah ahlinya.
Ketika kita berhadapan dengan nama-nama tertentu, maka
ingatan kita harus kita alihkan kepada si EX atau si YE.
Misalnya,
• Untuk Hipnoteraphy dan Hipnotis, si A lah ahlinya.
• Untuk Gendam, si B.
• Untuk ilmu Metafisika dan Supranatural, si C.
• Untuk Quantum Vibration, si R.
134
• Untuk Powerfull Prayer (Spirituality), Provocative Therapy,
Energy Therapy (EFT), Loving Kindness Therapy, Cognitive
Therapy (NLP), Behavioral Therapy, Logotheraphy, Psycho-
analisa, Self Hypnosis (Ericksonian), Sugesty & Affirmation,
Visualization, Gestalt Therapy, Meditation, Sedona Method,
dan sebagainya, maka ahlinya adalah si A, B, C, D, E, F, . . .,
X, Y, dan si Z.
Semua kehebatan dari ilmu dan nama-nama itu
kemudian membuat HATI kita BUTA dan TULI dari
mengingati Allah
Sang Pemilik Ilmu dan Nama-nama itu.
Pertanyaannya yang sangat menggelitik adalah, kenapa ilmu-
ilmu dan nama-nama itu bisa hebat dan ada hasilnya dengan
sangat meyakinkan ? Semuanya seperti sudah bisa berjalan
dengan sendirinya, dan ia seperti bisa pula kita pengaruh-
pengaruhi. Seakan-akan peran Allah sudah tidak diperlukan
lagi di dalamnya.
Untuk menjawabnya, mau tidak mau kita harus kembali
memasuki Alam Hakekat yang sangat menakjubkan. Buat
sejenak, kita akan melampaui, melewati, menembus, dan
bahkan meninggalkan :
• alam ilmu-ilmu dan nama-nama,
• alam energi dan materi,
• alam getaran dan gelombang,
135
• alam fractal,
• alam informasi,
untuk kemudian kita masuk ke ALAM ESSENSI. Kita akan
“berjalan” meninggalkan semua Alam Sifat menuju Alam
Esensi. Alam yang menjadi DASAR atau INTI dari semua Ilmu,
nama-nama, dan semua CIPTAAN. Alam yang menjadi UNSUR
ASAS dari semua SIFAT-SIFAT. Alam ESSENSI itu adalah DZAT-
NYA…. Ya…DZAT-NYA.
Bahwa essensi dari Semua Ciptaan itu adalah SEDIKIT dari
Dzat-Nya yang besarnya hanyalah seukuran sebutir pasir di
tengah padang pasir yang sangat luas, atau setetes air masin
di tengah samudera raya dibandingkan dengan KESELURUHAN
Dzat-Nya Yang Maha Suci dan Maha Indah.
Allah berkenan menciptakan seluruh Alam Ciptaan, alam Ilmu,
dan Alam Nama-nama dari Sedikit Dzat-Nya sendiri, yang ter-
lebih dahulu “dikenai-Nya” dengan SABDA KUN. Allah lalu me-
ngurung Dzat-Nya Yang Sedikit itu di dalam sebuah Panggung
Pagelaran Kehidupan (Lauhul Mahfuz) yang dilindungi-Nya
dengan 70 lapis Tirai Nur, agar panggung dan para pemain di
dalam sandiwara kehidupan itu tidak musnah terbakar akibat
terpandang kepada Keagungan dan Kesucian Keseluruhan
Dzat yang Maha Indah.
Dari sedikit sedikit Dzat-Nya yang sudah terkena sabda Kun
itulah kemudian, sesuai dengan TAKDIR atau KETETAPANNYA
masing-msing, terzahir seluruh Ciptaan, termasuk semua Ilmu
dan Nama-nama. Dzat-Nya Yang sedikit itu kemudian menjadi
136
HAKEKAT dari semua Ciptaan, Ilmu, dan Nama-mana. Ia
menjadi BATHIN dari semua Makhluk yang tergelar. Bahwa di
sebalik semua makhluk, apapun juga, ada sedikit Dzat-Nya
yang menjadi essensi (batin, hakekat) dari semua makhluk itu.
Sudahlah sedikit Dzat-Nya sendiri yang dilibatkan-Nya, ditam-
bah lagi dengan kesempurnaan Rencana dan Ketetapan-Nya
terhadap TAKDIR untuk menjadi apa, siapa, bagaimana, dan di
mana Dzat-Nya itu akan terzahir dengan diantar oleh Waktu
atau Masa, maka tentu saja Penzahiran Dzat-Nya itu akan
menjadi Sangat sempurna pula. Tidak bisa tidak. Kalau tidak
sempurna, maka pastilah itu bukan Allah. Sebab Allah adalah
Dzat Yang Maha Sempurna dalam segala hal.
Sekarang dengan berdasarkan ILMU HAKEKAT ini, marilah kita
pandang dengan MATA LAHIRIAH dan MATA HATI kita WUJUD
yang eksist (ada) di dalam Lauhul Mahfuz itu. Yang Bathin
adalah Dzat-Nya, Yang Zahir membentuk Sifat-Sifat (semua
Ciptaan, Ilmu, dan Nama-nama), mau tidak mau, itu juga
adalah Dzat-Nya juga. Makanya Allah berhak berkata : Akulah
Yang Bathin, dan Akulah Yang Dzahir. Karena yang Dzahir dan
Yang Batin itu adalah Dzat-Nya sendiri.
Artinya,
. . . saat Mata Lahiriah kita memandang Sifat-sifat,
. . . kita sudah tahu bahwa yang terpadang itu sebenarnya
137
adalah Dzat-Nya juga, yaitu Dzat-Nya Yang Dzahir. Sedangkan
DI SEBALIK semua sifat itu,
. . . Mata Hati kita juga sudah bisa pula
memandang keberadaan Dzat-Nya Yang Batin.
Mata hati kita sudah menjadi sangat tajam dan awas. Sehingga
kitapun jadi tergigit lidah dan malu untuk mengaku-ngaku ada
ilmu dan nama-nama yang bisa
menjadi hak kita, milik kita, dan
atribut kita.
Kita juga tidak sanggup lagi untuk
mengatakan aku, walaupun dalam
bentuk aku kecil, yang sedang
berhadapan dengan Aku Besar seperti anggapan kebanyakan
spiritualis selama ini. Sebab ternyata aku kecil itu tidak pernah
wujud sejak dari awal sampai akhir kelak. Yang wujud semata-
mata hanyalah Dzat-Nya. Sehingga dengan begitu lunturlah
paham Wahdatul Wujud, Hulul, Ittihad, Baqa Fillah, dan
paham-paham lain, yang mempersyaratkan ada dua wujud
yang ingin menjadi satu. Aku kecil yang ingin bersatu dengan
Aku besar, sehingga pada suatu waktu sang aku kecil seakan-
akan bisa merasa menjadi Aku besar.
138
Karena kita sudah tidak mengaku-ngaku wujud,
. . . yang nyata-nyata wujud ternyata adalah
Dzat-Nya semata-mata,
. . . maka saat itulah hati kita akan menjadi lunak, lembut, dan
cair. Kita akan dikejutkan oleh suatu kenyataan bahwa Allah
ternyata sangat Pengasih dan Penyayang kepada Dzat-Nya
sendiri, jauh lebih besar dari kasih dan sayang seorang ibu
kepada anaknya. Kenyataan seperti inilah yang . . .
. . . membuat kita ingin berlama-lama merasakan
kasih dan sayang-Nya itu di dalam Shalat, di dalam
Do’a, di dalam I’tikaf, di dalam Tahanus,
. . . sehingga hati kita semakin lama semakin cair, semakin
lunak, bahkan semakin hancur berkeping-keping. Sehingga
saat itu kitapun segera BERMAKRIFAT kepada Allah. Kita akan
selalu INGAT kepada Allah Sang empunya DZAT.
Dengan begitu, kita akan semakin mudah pula mendapatkan
NATIJAH, RIQQAH, JAWABAN-JAWABAN ALLAH kepada kita,
yang tak ubahnya seperti hantaman dan pukulan yang sangat
lembut di dalam hati kita. Hantaman dan pukulan yang
membuat kulit kita menggigil, sel-sel tubuh kita menggelepar,
mata kita meleleh, hati dan mata hati kita bercahaya.
139
Keadaan seperti inilah tujuan yang sebenarnya dari proses
TAZKIYATUNNAFS, proses penyucian diri untuk menjadi diri
yang tidak lagi mengaku wujud. Sebab Yang Wujud ternyata
adalah Dzat semata-mata.
Kalau sudah begitu, maka setiap kali HATI kita mengingati
Allah, maka MATA HATI kita akan melihat Dzat-Nya yang tidak
bisa diserupakan dengan apapun juga. Tidak ada rupa, tidak
ada umpama, tidak ada huruf, tidak ada warna, tidak ada
ejaan. KOSONG. Kemudian kita tinggal MENUMPUKAN pan-
dangan Mata Hati kita saja lagi secara terus menerus pada
INGATAN KEPADA ALLAH itu. Sehingga Mata Hati kita akan
selalu melihat kekosongan secara terus menerus, sementara
ingatan kita kepada Allah juga akan TETAP bertahan secara
terus menerus.
Agar kita tidak terjebak ke dalam paham Wahdatul Wujud,
yang menyatakan bahwa disebalik semua ciptaan ini adalah
Allah SWT, yang nantinya bisa berujung pada ungkapan :
bahwa hakikat alam ciptaan (makhluk) ini adalah Allah, dan
Allah adalah alam, atau aku adalah Allah, Dia adalah aku, aku
adalah Dia, atau ungkapan HULUL, ITTIHAD, BAQA FILLAH, dan
ungkapan lainnya yang sejenis, maka kita lakukan proses
penafian DUA tahap, yaitu :
• Tahap Pertama, kita nafikan wujud semua ciptaan, semua
sifat, semua ilmu, dan nama-nama, kemudian
• Kita isbatkan bahwa wujud yang nyata di sebalik semua itu
adalah Dzat-Nya yang sedikit.
140
Laa maujud illa Dzatillah, tidak ada sifat-sifat yang wujud,
tidak ada ciptaan yang wujud, tidak ada ilmu-ilmu dan nama-
nama yang wujud, kecuali hanya wujud yang nyata, yaitu Dzat-
Nya yang sedikit, the Secondary Essense. Dzat-Nya yang
berada di dalam Lauhul Mahfuz yang lindungan oleh 70 Tirai
Nur. Mata hati kita nampak pada yang Kosong.
Pada penafian tahap pertama ini, kita akan mulai dikejutkan
dan disadarkan bahwa di dalam Lauhul Mahfuz, tempat di
mana pargelaran kehidupan semua makhluk terselenggara,
tidak hanya ada ciptaan, ilmu, dan nama-nama, yang bisa kita
eksplorasi dengan panca indera kita, atau Dzat Yang Dzahir,
akan tetapi juga ada Dzat Yang Bathin, Dzat yang tidak bisa
dilihat dengan mata, akan tapi bisa kita LIHAT dengan MATA
HATI dan kita IMANI dengan HATI kita.
Pada posisi ini, setiap kali mata kita memandang pada Yang
Dzahir, maka mata hati kita sekaligus juga sudah tajam dan
bisa melihat pada Yang Bathin. Keduanya terlihat saling penga-
ruh-mempengaruhi. Hubungan antara Yang Dzahir dan Yang
Bathin itu diikat oleh sebuah TALI yang sangat kuat, yaitu
berupa KETETAPAN atau TAQDIR yang tidak akan pernah
berubah.
Pada SAAT YANG SAMA ada Yang Dzahir berubah menjadi
Yang Bathin, dan ada pula Yang Bathin berubah menjadi Yang
Dzahir. Pada detik yang sama, ada yang mati berubah menjadi
yang hidup, dan ada pula yang hidup berubah menjadi yang
mati. Pada waktu yang BERSAMAAN, mulai pada sel yang
141
terkecil (mikro kosmos), sampai dengan di alam semesta raya
(makro kosmos), terjadi proses bersamaan pula antara
penzahiran dan penghancuran. Sangat sibuk sekali. Dan
kesemuanya itu terjadi dengan secara OTOMATIS, seperti
yang terjadi di dalam sebuah pabrik otomatis. Misalnya di
dalam pabrik mobil, atau pabrik minuman kaleng, atau di
pabrik lainnya. Semua bahan dan alat yang terlibat di dalam
pabrik itu bekerja dengan kadar dan ukurannya masing-
masing.
Begitulah, dengan adanya KETETAPAN atau TAQDIR itu, Semua
Yang Dzahir (in the Universe) juga seperti bisa bergerak de-
ngan sendirinya, bisa tercipta dengan sendirinya, dan bisa pula
hancur dengan sendirinya. Kita sendiripun bebas-bebas saja
dalam berkeinginan ini dan itu. Seakan-akan tidak ada SE-
SUATU yang mengatur-atur dan mencipta-ciptakan semua-
nya.
Kalaupun kita bisa melihat seperti ada SESUATU yang MEME-
GANG benda-benda di alam semesta raya ini, agar semuanya
bergerak secara teratur, mereka hanya bisa menyebutnya
sebagai Gaya Grafitasi dan beberapa gaya lainnya. Ya, hanya
GAYA, tidak lebih. Sehingga dengan begitu, banyaklah orang
yang berkesimpulan bahwa sebenarnya TIDAK ada Allah, tidak
ada syurga, dan tidak ada pula kehidupan akhirat sama sekali.
Seperti ini pulalah yang terlihat oleh STEPHEN HAWKING
sehingga diapun berkesimpulan : “We are each free to believe
what we want and it is my view that the simplest explanation
142
is there is no God. No one created the universe and no one
directs our fate. This leads me to a profound realization, there
is probably no heaven, and no afterlife either. We have this
one life to appreciate the GRAND DESIGN of the universe, and
for that I am extremely grateful.”
Walaupun Stephen Hawking seperti
tidak percaya dengan Allah, tidak
percaya adanya syurga, tidak per-
caya pada kehidupan sesudah mati,
akan tetapi di akhir kalimatnya dia masih mengakui bahwa
mau tidak mau dia tetap menghargai Grand Design dari alam
semesta ini, dan dia juga mengucapkan terima kasih yang
sangat dalam untuk kehidupan yang telah dia lalui. Hanya saja
kalau the Universe itu adalah itu sebuah Grand Design, lalu
siapa yang mendesignnya ??? Dan kalau dia ingin berterima
kasih, lalu kepada siapa dia akan berterima kasih ? Di sinilah
dia menjadi buntu.
Stephen Hawking dan orang-orang yang sependapat dengan-
nya boleh jadi baru sampai pada sepenggalan jalan. Dia baru
berbicara tentang apa-apa yang ADA dan TERJADI DI DALAM
tatanan SEBUTIR PASIR di tengah-tengah padang pasir, atau
pada SETETES AIR MASIN di dalam lautan luas. Walaupun yang
dia bicara-bicarakan itu adalah the Universe, Alam Semesta,
yang sekilas kelihatannya memang sudah sangat besar sekali,
seperti tanpa batas, akan tetapi itu tetap tidak ada apa-apanya
di bandingkan dengan Kemahaindahan Dzat yang MEMEGANG
143
the Universe itu. Kehebatan-Nya yang bak kedahsyatan Pa-
dang Pasir terhadap sebutir pasir, atau keperkasaan Samudera
Raya terhadap setetes air masin.
� Sedangkan DI ATAS the Universe itu masih ada TUJUH LAPIS
LANGIT yang tak terperikan besarnya.
� Di atas tujuh lapis langit itu masih ada Kerajaan Allah yang
disebut dengan Sidratul Muntaha.
� Di atas Sidratul Muntaha itu masih ada lagi Lapisan Air yang
sangat Masif.
� Di atas Lapisan Air itu masih ada pula Lapisan ARASY Allah
yang besarnya tak terkirakan.
� Dan di atas lapisan Arasy yang sangat luas itupun masih ada
lagi 70 Tirai Nur, yang menirai semua yang ada di bawah
Tirai Nur itu dari hancur-musnah dan terbakar hangus
karena terpandang oleh Dzat-Nya Yang Maha Sangat Suci,
Yang Maha Indah.
� Ya, DI ATAS 70 lapis Tirai Nur itulah bersemayam DZAT yang
sudah TIDAK bisa disebutkan dengan sebutan apapun juga,
yang menamakan Diri-Nya sendiri dengan ALLAH. The Pri-
mary Essense. Dzat yang membuat kita DIPAKSA untuk
BERHENTI berpikir, berwacana, dan berpersepsi. Kita dipak-
sa untuk berhenti menggunakan panca indera kita. Mata
kita seperti sudah buta, telinga kita seakan sudah tuli, hi-
dung kita bak sudah buntu, lidah dan kulit kita seumpama
144
sudah mati rasa. MATI sebelum mati. Kalau tidak berhenti,
maka kita akan tersiksa dengan sendirinya.
Sebab untuk Dzat Yang Maha Suci itu, hanya tersisa satu
ruangan lagi yang tersedia, yaitu RUANGAN IMAN. Tidak ada
ruangan lain. Dan Ruangan Iman itu adanya adalah di dalam
HATI atau AKAL kita. Hati atau Akal kitalah yang bisa memuat
Dzat Yang Maha Indah itu dengan cara kita mengimani-Nya.
Bukan memikirkan-Nya. Sebab kalau kita memikirkan-Nya ma-
ka jadilah kita tersesat ke mana-mana. Misalnya : kita mengira
satu di dalam tiga atau ramai, tiga atau ramai didalam satu;
kita berucap Dia adalah Aku, aku adalah Dia, dan sebagainya.
Iman inilah barangkali yang belum dimiliki oleh Stephen
Hawking dan orang-orang materialistis lainnya, sehingga
mereka berani berkata begitu.
Kalau kita sudah bersedia berhenti untuk berpikir, bahwa . . .
. . . hanya Allah sajalah alamat terakhir kita
dalam berpikir dan tempat berhenti kita
dalam segala hal,
. . . maka dengan segera kita akan masuk menjadi golongan
orang-orang yang BERMAKRIFATULLAH.
Oleh sebab itu marilah kita tuntaskan prosesi penafian tahap
kedua, yaitu untuk menafikan Tirai Nur, menafikan Lauhul
Mahfuz, untuk kemudian melakukan pengisbatan yang ter-
145
akhir, Laa Maujud Illallah, Laa Maujud Illallah, Bahwa tidak ada
wujud Tirai Nur, tidak ada Wujud Lauhul Mahfuz, tidak ada
wujud the Secondary Essense. Wujud yang ada hanyalah
SATU, yaitu semata-mata Dzat Yang Maha Indah. The Primary
Essense. Ya, yang exist semata-mata hanyalah Dzat saja. Dzat
yang menamakan Diri-Nya dengan Allah.
Dzat-Nya yang sedikit, the Secondary Essense, ternyata adalah
sebagian kecil saja dari Dzat-Nya Keseluruhan, the Primary
Essense. Ini ibarat belalai terhadap gajah, ibarat kuku terha-
dap seluruh tubuh kita, ibarat sebutir pasir terhadap padang
pasir, ibarat setetes air masin terhadap lautan. Begitu kita
menyebut nama Allah, maka Ingatan kita sudah benar-benar
langsung tertuju kepada Allah. Tidak ada lagi ingatan kita
kepada yang lain.
Tapi ingat, belalai tidak bisa mengatakan dia adalah gajah,
kuku tidak bisa mengatakan dia adalah tubuh, sebutir pasir
tidak bisa mengatakan dirinya adalah padang pasir, setetes air
masin tidak bisa mengatakan dirinya adalah lautan, the
secondary essense tidak bisa mengatakan dia adalah the
Primary Essense. Mereka tidak wujud. Dan untuk itu mereka
tidak perlu berkata ke mana-mana : ”Aku tidak wujud lho, aku
tidak wujud ! Tidak perlu begitu. Sebab dengan berkata
begitu, sebenarnya mereka masih wujud. Karena mereka
masih mengaku-ngaku. Diam sajalah.
Sebaliknya gajah bisa mengatakan bahwa belalai itu adalah
dia, tubuh bisa mengatakan bahwa kuku itu adalah dia, pa-
146
dang pasir bisa mengatakan bahwa sebutir pasir itu adalah
dia, lautan bisa mengaku bahwa setetes air masin itu adalah
dia. Ya, the Primary Essense bisa mengaku bahwa the second-
ary essense itu adalah Dia.
Allahpun berhak berkata bahwa Dzat-Nya yang sedikit itu
(Dzat Yang Bathin), yang berada di Lauhul Mahfuz, adalah Dia.
Dan Allah juga berhak berkata bahwa penzahiran Dzat-Nya
yang sedikit yang menjadi semua ciptaan, ilmu, dan nama-
nama (Dzat Yang Dzahir) adalah Dia. Sehingga Allah bisa
berkata : “Akulah Yang Bathin, Akulah Yang Dzahir. Yang mem-
bunuh bukan kamu (ya Muhammad), tapi Aku. Yang melem-
par bukan kamu ( ya Muhammad), tapi Aku !”
Nah, Allah inilah yang akan selalu kita INGAT-INGAT di dalam
HATI atau AKAL kita pada semua kesempatan. Apakah itu saat
berdiri, saat duduk, saat berbaring, di dalam shalat, diluar
shalat, ketika bekerja, ketika berkarya, atau ketika berdagang.
SETIAP SAAT. Agar kita tidak lupa lagi, maka kita TUMPUKAN
Mata Hati kita pada ingatan kepada Allah itu. Mata hati kita
akan terpandang pada kekosongan. Tidak ada rupa, tidak ada
umpama, tidak ada huruf, tidak ada warna, tidak ada ejaan.
Keadaan seperti inilah yang disebut sebagai keadaan awal di
dalam shalat, atau TAKBIRATUL IHRAM. Ketika kita mengu-
capkan Allahu Akbar, ucapan kita itu akan seirama dengan
ingatan di dalam Hati kita yang sedang ingat kepada Allah, dan
pandangan Mata Hati kiita yang sedang memandang kepada
Dzat yang tidak bisa diserupakan dengan apapun juga. The
147
Primary Essense. Kosong. Dan ketika itulah Allah akan mem-
balas ingatan kita itu dengan memberikan tanda-tanda keber-
adaan-Nya kepada kita melalui Hati atau Akal kita. Sungguh
“FADZKURUNI ADZKURUKUM” adalah sepotong ayat Al Qur’an
yang bukan sembarangan ayat. Ini adalah ayat yang sangat
luar biasa. Tapi kenyataan ayat itu HANYA akan bisa dirasakan
oleh orang-orang yang BERIMAN saja. Beriman karena sudah
bermakrifatullah. Dan itu akan bisa dirasakan kapanpun juga,
sepanjang zaman.
Sampai di sini, selesailah Artikel : “Bagaimana Kalau (Hati) Kita
Buta dan Tuli9.” Sungguh Setiap huruf, kata, dan kalimat hanya
bisa tertuang dan tertulis karena sudah ada IZIN atau KETE-
TAPAN dari ALLAH semata. Bagi sahabat dan pembaca yang
bisa mengerti ataupun tidak, itu juga adalah ketetapan Allah.
Bagi yang telah ditetapkan oleh Allah untuk bisa mengerti,
bersyukurlah, karena insyaallah Allah akan menambah pe-
ngertian kita di lain waktu. Sebaliknya, bagi yang belum bisa
mengerti, bersabarlah, karena di dalam ketidakmengertian
kita itu tetap akan ada hikmah yang bisa kita petik.
9 http://yusdeka.wordpress.com/2014/08/21/bagaimana-kalau-hati-kita-
buta-dan-tuli-bagian-1/
148
Artikel 7 :
Esensi Khalifatullah10
Orang yang belum SELESAI dalam beragama, Ia tidak akan
mampu untuk memikul tugas Khalifatullah di muka bumi ini.
Karena :
• Ia hanya akan disibukkan secara terus menerus untuk
mencari Siapa Tuhannya dan kadangkala sampai bertengkar
pula tentang cara-cara untuk berhadap-hadapan dengan
Tu-hannya;
• Ia akan selalu sibuk untuk menelisik tentang orang macam
Apakah Nabi-Nya;
• Ia akan sibuk untuk menelisik tentang ESENSI jati dirinya;
dan
• Ia akan selalu sibuk pula untuk mencari-cari orang lain yang
akan dijadikannya sebagai Objek untuk dihakiminya dan
diajarinya demi pelampiasan EGONYA.
Dia akan selalu bergaduh dan dan bertengkar dengan orang
lain, dengan pikiran dan dirinya sendiri, bahkan dengan Tu-
hannya sekalipun.
Dia akan selalu berkata dan menyalah-nyalahkan : “Kenapa ?”
“Seharusnya !” “Kalau !” Dan tentu saja “Ini Aku dan ini Milik-
ku ! Sehingga Ia lupa untuk IQRA’, MEMBACA HIKMAH dari
10 http ://yusdeka.wordpress.com/2014/06/19/esensi-khalifatullah/
149
setiap ciptaan, kejadian, dan peristiwa. Sebab Allah ternyata
telah menyembunyikan Hikmah yang sangat dahsyat di balik
setiap apa yang Dia Ciptakan dan Zahirkan yang berasal dari
sedikit Dzat-Nya sendiri.
Karena ia luput dalam membaca hikmah itu, maka Iapun akan
luput pula untuk mendapatkan ILMU dan KEMANFAATAN
yang TERBARUKAN yang KEMASLAHATANNYA bisa ia dan
orang lain rasakan di zaman di mana dia berada saat ini mau-
pun di masa yang akan yang akan dinikmati oleh anak ketu-
runannya.
Dan inilah tugas yang TIDAK bisa dipikul oleh SEMUA Makhluk
Allah, kecuali oleh kita umat MANUSIA. Karena kita memang
telah diperlengkapi oleh Allah dengan AKAL/HATI (MIND) yang
sungguh teramat SEMPURNA, agar kita mampu untuk menja-
lankan fungsi KEKHALIFAHAN kita di muka bumi ini.
Sebab ternyata fungsi Khalifatullah itu :
• Bukanlah hanya sekedar untuk bisa membantu
yang lemah dan yang miskin,
• Bukan hanya sekedar untuk bisa berbuat baik
bagi sesama, bukan hanya sekedar untuk bisa
mengajari orang lain agar bisa shalat-mengaji
dan ibadah-ibadah lainnya, dan
150
• Bukan pula untuk sekedar bisa mengajarkan
kepada orang lain tentang ilmu-ilmu yang telah
tua, basi, dan tidak terpakai lagi di zaman
sekarang, terutama untuk ilmu-ilmu Alamiah.
Tidak seperti itu ternyata.
Sebab, Subhanallah ! Ternyata tugas kekhalifahan itu sungguh
sangat Agung dan sangat Mulia, yang hanya akan bisa diker-
jakan dan dijalankan oleh umat manusia yang sekelas dan se-
kaliber ULUL ALBAB.
Yaitu :
���� Orang yang selalu bisa BERINTERAKSI dengan
Allah, baik saat berdiri, duduk, maupun
tiduran. Kemudian dengan AKAL/ HATINYA Ia
mampu untuk MEMBACA HIKMAH atau
PENGA-JARAN ALLAH, yang disembunyikan
oleh Allah di sebalik semua ciptaan-Nya,
semua kejadian dan peristiwa yang di-
Zahirkan-Nya tak henti-hentinya.
151
� Lalu ia bersedia mewakili Allah untuk
merumuskannya menjadi sebuah ILMU dan
merealisasikannya dalam bentuk sebuah
KEMANFAATAN yang bisa dinikmati dan
dirasakan oleh orang lain.
���� Lalu Ia akan semakin dalam untuk tunduk dan
berserah dalam berinteraksi dengan Allah.
Karena Mata Hatinya sudah sangat tajam
untuk memandang bahwa Tidak ada satupun
dari ciptaan, peristiwa, dan kejadian yang
diZahirkan oleh Allah secara sia-sia. Mata
Hatinya sudah mampu memandang
kemahasucian Allah yang TERBEBAS dan
TERHINDAR dari kesemberonoan dan
kelemahan perencanaan. Lalu akhirnya Ia
duduk bersimpuh dalam sebuah do’a yang
lembut agar Ilmu yang telah Ia baca dan
ungkapkan itu tidak menjadi SIKSAAN bagi
dirinya sendiri maupun bagi orang lain, tidak
hanya di dunia ini tetapi juga di akhirat kelak.
152
Artikel 8 :
Makrifatullah, Sulitkah ??11
Pandangan TYPICAL dari hampir seluruh umat Islam terhadap
Makrifatullah. Seakan-akan . . .
Makrifatullah itu adalah sebuah JENJANG atau
MAQAM keilmuan yang sangat WAH, yang tidak
sembarangan orang bisa mendapatkannya.
Inilah DISTORSI ILMU yang sangat parah yang telah terjadi
dalam mempelajari ISLAM akibat dari praktek :
• tasawuf-tarekat dan
• juga tasawuf-wali-wali,
dibandingkan dengan praktek tasawuf-jalan Nabi-Nabi.
Dalam ajaran tasawuf-jalan Nabi-Nabi,
. . . makrifatullah adalah pelajaran yang PALING
DASAR, yang akan menjadi PONDASI bagi
siapapun juga, SEMUA ORANG,
dalam kehidupan BER-SYARIAH
yang akan kita amalkan dan dirikan di atasnya.
11 http ://yusdeka.wordpress.com/2014/06/24/makrifataullah-sulitkah/
153
Sedangkan dalam ajaran tasawuf-tarekat dan tasawuf-wali-
wali,
. . . makrifatullah adalah sebuah puncak MENARA
GADING ILMU, yang hanya bisa dicapai oleh
segelintir orang-orang khusus,
. . . yang telah menjalani berbagai cara yang mungkin hanya
bisa diamalkan dengan mudah oleh kurang dari 1% dari kese-
luruhan umat Islam. Oleh sebab itu, BERSEGERALAH bermakri-
fatullah, mengenal Allah, karena kita akan menyembah Allah
dalam shalat, kita akan berihsan kepada-Nya dalam setiap
saat.
Karena . . .
. . . Makrifatullah adalah Ilmu yang PALING DASAR
yang kita butuhkan untuk hidup bertuhankan
Allah.
Makrifatullah bukanlah ilmu yang baru akan bisa kita dapatkan
setelah 20 tahun berdzikir (wirid). Bukan. Bahkan Anak TK / SD
sekalipun bisa diajarkan untuk bermakrifatullah. Sebab makri-
fatullah adalah ilmu yang wajib kita punyai kalau kita ingin
menjadi orang yang beriman kepada Allah.
154
Makrifatullah adalah ilmu dasar yang harus kita
punyai agar kita bisa menjalankan Syariat dengan
tanpa beban.
Karena syariat tak lain adalah pengamalan dan penghayatan
tentang berhakekat dan bermakrifat.
155
Artikel 9 :
Kalung Yang Sudah Terpasang di Leher12
A. Mudahnya Mengaku Beriman dan Sulitnya Menjalani
Hidup Sesuai Dengan Sikap Seorang Yang Beriman
Iman atau percaya adalah sebuah kata yang sangat
mudah untuk kita ucapkan. Misalnya : kita dengan mudah
berkata bahwa kita sudah beriman :
• kepada Allah,
• kepada Malaikat,
• kepada Kitab-kitab Allah,
• kepada Nabi dan Rasul Allah,
• kepada hari akhir, serta
• kepada takdir baik dan buruk.
Namun ternyata . . .
. . . banyak di antara kita yang sangat sulit
untuk menjalani hidup ini dengan sikap yang
sesuai dengan sikap seorang yang beriman,
. . . terutama untuk beriman kepada rukun iman yang ke-
6, yaitu :
12 http ://yusdeka.wordpress.com/2014/09/24/kalung-yang-sudah-
terpasang-di leher/
156
• kita tidak hanya harus percaya kepada adanya takdir
yang baik dan yang buruk, akan tetapi
• kita juga diharuskan untuk beriman bahwa keduanya
itu berasal dari Allah.
Kita seringkali diberi contoh tentang perilaku makhluk
yang gagal dalam mengimani rukun iman yang ke-6 ini
adalah seperti apa yang dilakukan oleh Iblis kepada Allah
terhadap penciptaan Adam AS. Iblis memperlihatkan
ketidakpercayaannya atas AF’AL atau Perbuatan Allah
yang berkenan untuk menciptakan Nabi Adam AS, se-
hingga diapun berani membantah Allah dengan sombong-
nya. Dia tidak mau memenuhi perintah Allah untuk sujud
kepada Adam. Iblis telah berlaku sombong kepada Nabi
Adam AS yang hanya tercipta dari tanah yang menurutnya
lebih rendah dan hina dari dirinya yang ter-cipta dari dari
api. Sehingga akhirnya diapun terpaksa keluar dari syurga
karena ketidakpatuhannya itu. Dan kelak ia pun akan
dimasukkan pula ke dalam neraka.
Dalam perjalanannya, Nabi Adam AS pun akhirnya harus
keluar pula dari syurga. Namun selama ini kita lebih
banyak diberitahu atau belajar bahwa keluarnya Nabi
Adam AS dari syurga itu adalah karena Beliau telah gagal
menghadapi godaan Iblis yang selalu menggoda Beliau
untuk memakan buah khuldi yang memang sebelumnya
sudah dilarang oleh Allah untuk Beliau makan.
Di dalam banyak pengajian, kita juga sering diberitahu
157
bahwa hanya satu jenis makhluk saja akhirnya yang
berhasil untuk mengimani AF’AL atau Perbuatan Allah
atas penciptaan Nabi Adam AS, yaitu malaikat. Sehingga
malaikatpun bisa tetap menjadi makhluk langit yang
kebaikannya menjadi dambaan bagi umat manusia.
Bukankah kita sering berkata bahwa kita ingin mempunyai
kualitas diri yang sebersih dan sesuci malaikat ?
Dengan cara belajar seperti itu, kita akhirnya berkesim-
pulan bahwa :
• Iblis keluar Allah dari syurga dan kelak akan dimasuk-
kan-Nya ke dalam neraka kelak adalah karena kesom-
bongan dan kedurhakaan iblis kepada Allah.
• Begitu juga, kita menganggap bahwa keluarnya Nabi
Adam AS dari syurga adalah karena kegagalan Beliau
dalam menghadapi godaan iblis.
• Dan sebaliknya, keberhasilan Malaikat untuk tetap
menjadi makhluk langit adalah karena kepatuhannya
kepada Allah.
Lalu kitapun kemudian diperintahkan untuk bisa menjadi
kuat dan tidak tergoyahkan dalam menghadapi godaan
iblis yang ternyata tetap berlanjut sampai ke masa kita
sekarang dan ke zaman anak cucu kita kelak. Kalau kita
kuat menghadapinya, maka kita merasa seakan-akan itu
adalah sebagai hasil usaha keras kita yang dibarengi
dengan ibadah-ibadah yang kita lakukan dengan Se-
mangat Empat Lima dan ditambah lagi dengan do’a-do’a
158
perlindungan yang selalu kita panjatkan kepada Allah.
Dengan paradigma berpikir seperti itu, telah melahirkan
beragam sikap kita dalam menghadapi berbagai proble-
matika kehidupan yang kita hadapi. Pada kesempatan ini
kita akan membahas beberapa paradigma itu, berikut
dengan contoh-contoh perbuatan apa yang mungkin akan
kita lakukan jika kita mengikuti salah satu paradigma
berpikir itu.
a. Ada ungkapan : “Apapun kebaikan yang saya lakukan,
katakan, dan alami, itu semata-amat adalah dari Allah
SWT, sedangkan apapun keburukan yang saya
lakukan, katakan, dan alami itu adalah semata-mata
karena kebodohan saya sendiri.” Kalimat itu seakan-
akan sangat bagus sekali. Beberapa khatib Jum’at dan
penceramah agama seringkali mengucapkannya
dengan mudah.
Dengan ucapan kalimat itu, kita seakan-
akan terlihat sudah menjadi orang yang
sangat rendah hati dan tidak sombong.
b. Begitu juga kalau terjadi sebuah bencana alam di
tempat kita berada, dengan gagah berani kita segera
akan berkata bahwa bencana alam itu adalah semata-
mata karena kesalahan kita sendiri. Kita mengatakan
bahwa Allah telah menghukum kita karena kita telah
159
menjadi orang yang jahil dan tidak mematuhi
perintah Allah.
Ketika di suatu tempat terjadi bencana gempa yang
kadangkala bisa pula diikuti oleh hantaman gelom-
bang tsunami, dan membunuh ribuan bahkan ratusan
ribu jiwa, dengan mudahnya kita seakan-akan telah
berubah menjadi HAKIM terhadap masyarakat yang
jadi korban, atau menjadi Jaksa terhadap Allah SWT.
Kepada korban bencana kita seringkali berkata : “Itu
terjadi karena masyarakat di daerah yang terkena
bencana tersebut sudah terlalu banyak berbuat dosa
dan maksiat kepada Allah, sehingga Allahpun meng-
hukum mereka karena perbuatan mereka itu.
Ungkapan kalimat kita di atas sekilas memang seperti
sangat sesuai dengan ayat Al Qur’an yang artinya :
• “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut dise-
babkan karena perbuatan tangan manusia, Allah
menghendaki agar mereka merasakan sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kem-
bali (ke jalan yang benar)”, QS Ar-Rum (30//41).
• “Dan apa saja musibah yang menimpamu maka itu
disebabkan oleh perbuatan dosamu sendiri, dan
Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-
kesalahanmu)”, QS Asy-Syuura (42/30).
• “Dan bila dikatakan kepada mereka, “janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumi.” Mereka
160
menjawab, “sesungguhnya kami adalah orang-
orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah,
sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan
tapi mereka tidak sadar”, QS Al-Baqarah (2/11-12).
Atau hadist-hadist :
• Apabila kemaksiatan telah merajalela pada
umatku, maka Allah azza wa jalla akan meratakan
mereka dengan adzab dari sisi-Nya.” (Lihat :
ash-Shohihah no. 137)
• “Apabila perzinaan dan transaksi riba telah merata
pada suatu negeri maka Allah azza wa jalla meng-
izinkan negeri itu untuk dihancurkan.” (ad-Da`wa
ad-Dawa`, hlm. 70)
• “Tidaklah bumi ini diguncang melainkan karena
maksiat yang dikerjakan di atasnya.” (ad-Da` wa
ad-Dawa`, hlm. 74)
Dengan berpedoman ayat-ayat dan hadist-hadis di
atas, lalu kita ikut-ikutan mengambil kesimpulan sen-
diri bahwa . . .
. . . kerusakan yang timbul itu memang
disebabkan tidak lain oleh
perbuatan manusia sendiri.
Kerusakan itu dapat terjadi dalam bentuk kerusakan
lingkungan dan bencana alam yang bisa digolongkan
161
sebagai kerusakan fisik, dan dapat pula dilihat dalam
bentuk kerusakan moral yang ditandai dengan dia-
baikannya aturan hukum dan aturan Allah. Sehingga
dengan sebab itu, maka Allah kemudian menurunkan
bencana kepada kita.
Akan tetapi, nanti kita akan memandang masalah
yang berkenaan dengan ayat-ayat dan hadist-hadist
di atas melalui sebuah paradigma berpikir yang lain,
yaitu paradigma berpikir orang-orang yang sudah
bermakrifatullah. Paradigma yang akan membawa
kita untuk beriman TOTAL kepada Rukun Iman yang
keenam, bahwa yang Baik dan yang Jahat keduanya
datang dari Allah.
Sebab kalau kita gagal dalam mengimani Rukun Iman
yang keenam ini, kita akan seringkali bertindak
seperti seorang JAKSA yang sedang menginterogasi
Allah : “Ya Allah, KENAPA terjadi gempa dan tsunami
di daerah ini ? Khan penduduknya banyak yang baik
dan suka beribadah ? Khan harusnya begini dan be-
gitu ? Khan SEHARUSNYA daerah yang terkena gempa
dan tsunami itu adalah di Eropa, Amerika, atau Cina
sana, yang penduduknya banyak yang suka berbuat
maksiat !” Kalimat-kalimat yang mirip dengan yang
diucapkan oleh Iblis kepada Allah ketika Allah men-
ciptakan Nabi Adam AS. Artinya :
162
. . . kalimat-kalimat itu sebenarnya adalah
kalimat yang akan diucapkan oleh orang
yang belum beriman kepada Allah. BELUM.
Dengan berkata seperti di atas, maka sebenarnya kita
telah membuat rukun iman yang baru, Rukun Iman
yang ke-7. Padahal rukun iman ke-6 mensyaratkan
bahwa :
. . . yang BAIK maupun yang BURUK yang
kita lakukan, kita katakan, dan kita alami,
semuanya itu adalah berasal dari Allah,
. . . karena Allah memang telah menakdirkan kita
untuk melakukan sebuah perbuatan, mengatakan
suatu perkataan itu, dan menerima sebuah keadaan
yang kita alami. Ya, yang BAIK dan yang BURUK,
keduanya adalah berasal dari Allah.
c. Ketika terjadi musibah atau bencana di suatu tempat,
seperti wabah penyakit menular, gempa bumi, tsu-
nami, kebakaran hebat, kemarau panjang, banjir, dan
sebagainya, maka kita dengan mudahnya mengung-
kapkan tanda-tanda keberadaan kita kepada orang
lain.
Ketika kemarau panjang terjadi, kemudian kita
163
berdo’a atau Shalat Istisqa beramai-ramai, lalu tak
lama kemudian benar saja hujan turun dengan deras-
nya, maka kita akan mudah sekali berkata, “Al-
hamdulillah do’a dan shalat istisqa kita berhasil
dikabulkan oleh Allah.” Seakan-akan hujan yang turun
itu adalah hasil dari do’a dan shalat yang kita lakukan.
Atau bisa pula dalam bentuk ungkapan pengkultusan
kita terhadap seseorang yang dengan mudahnya kita
ucapkan, misalnya, jika Pak XYZ datang ke suatu
daerah maka di daerah itu akan segera turun hujan.
Sehingga musim kering akan segera berakhir, asap
dan debu pekat yang menyelimuti bumi karena keba-
karan hutan (misalnya) akan segera hilang lenyap.
Di suatu musim penghujan, setiap hari hujan turun
dengan derasnya, kemudian ada yang ingin menga-
dakan acara kenduri perkawinan, lalu ada orang
tertentu (pawang hujan) yang dimintakan petolong-
annya untuk menunda atau menahan agar hujan
tidak turun. Ketika hujan benar-benar tidak turun,
maka kita akan berkata, hebat ya pawangnya. Se-
akan-akan tidak turunnya hujan itu adalah karena
usaha dari si pawang.
Sehingga muncul keraguan orang terhadap
seberapa besar kekuasaan Allah untuk
164
menurunkan hujan.
Untuk bagian ini, sungguh sangat banyak sekali hal-
hal yang bisa kita pakai untuk menunjukkan keber-
adaan kita kepada orang lain. Mulai dari ilmu yang
bisa diilmiahkan, sampai dengan ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan batin manusia.
d. Ketika dikatakan bahwa :
• “Tak seorangpun daripada kamu kecuali SUDAH
DITETAPKAN tempatnya di SYURGA atau NERAKA
!” Terjemahan Sunan Ibnu Majah Bk. 1, 66 (1992).
• Dan juga bahwa “tiap-tiap manusia itu telah Kami
tetapkan amal perbuatannya sebagaimana tetap-
nya kalung pada lehernya”, Al Israa (17) : 13.
• Ditambah lagi dengan : “Semuanya akan dipermu-
dahkan untuk yang mana telah ditentukan untuk-
nya”, Terjemahan Sahih Al Bukhari Bk. 8, 402
(1987).
Maka kita dengan gagah berani kita seringkali berkata
: “Kalau begitu di mana dong KEADILAN Allah ?” Kalau
saya diciptakan Allah hanya untuk kelak masuk ke
neraka juga akhirnya, dan dipermudah pula untuk
berbuat jahat atau maksiat, khan lebih baik saya tidak
diciptakan oleh Allah. Mana KEADILAN Allah ?”
Oleh sebab itu, seringkali kita umat Islam ini MATI
165
LANGKAH untuk menjawab pertanyaan yang datang
dari seorang non-muslim seperti berikut : “Saya
adalah seorang yang terlahir di keluarga Kristen,
misalnya, dari kecil saya sudah diajarkan untuk
menjadi seorang kristen, ibadah saya secara Kristen,
hidup saya secara Kristen, saya juga tidak pernah
berbuat jahat atau maksiat, saya tidak pernah
menyakiti orang lain. Akan tetapi menurut agamamu
saya ini tetap akan masuk neraka kelak. Lalu keadilan
Allah mu di mana ?”
Karena kita mati langkah, kemudian orang non-
muslim itu menyampaikan kehebatan kasih sayang
Tuhan di dalam agama mereka, maka tidak sedikit
umat islam yang akhirnya berpindah agama menjadi
non-muslim.
Jawaban tentang pertanyaan “Mana keadilan Allah ?”
ini insyaallah akan kita bahas pada saatnya.
e. Kita juga sering mendengar ungkapan-ungkapan :
“Berusaha dong, jangan pasrah saja, jangan ngimpi
saja, jangan hanya berdo’a saja, jangan hanya ber-
pangku tangan saja, hayo ihktiar sana ! Khan Allah
juga sudah berfirman dalam surat QS. Ar-Ra’du
(13/11) : “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah
keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah
keadaan diri mereka sendiri.” Jelas sekali ayatnya.
Akan tetapi pada lanjutan ayat yang sama, Allah juga
166
mengingatkan bahwa : “Dan apabila Allah menghen-
daki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada
yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.”
Di ayat lain Allah juga berkata : “Dan Tuhanmu ber-
firman, “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuper-
kenankan bagimu.” (QS Al-Mu’min 60).
Pada kesempatan lain, Rasulullahpun pernah bersab-
da :
• “Sesungguhnya Tuhanku berkata padaku : Wahai
Muhammad, sesungguhnya Aku kalau sudah me-
nentukan sesuatu maka tiada seorangpun yang
sanggup menolaknya”, HR Muslim.
• “Tidak ada yang mampu menolak takdir Allah
kecuali do’a”, HR Tarmidzi.
• “Siapa saja yang ingin dimudahkan rezqinya, dan
dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menyam-
bung silaturrahim”, HR Bukhari.
Kemudian ditambah lagi dengan ayat-ayat yang ber-
kenaan dengan hubungan antara taqwa dan tawakkal
dengan jalan keluar dari permasalahan kita dan
kemudahan rezki yang sudah sangat familiar di
telinga kita : “Barangsiapa yang bertaqwa kepada
Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan pe-
nyelesaian. Dan memberinya rezeki dari arah yang
tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang berta-
167
wakkal kepada Allah nescaya Allah akan mencu-
kupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaaq : 2-3).
KEKELIRUAN dalam memahami rangkaian ayat-ayat Al
Qur’an dan Al Hadist di atas ternyata telah memecah
belah umat Islam menjadi beberapa paham atau
paradigma berpikir dalam menghadapi berbagai
MASALAH KEHIDUPAN yang kelihatannya seperti
saling bertolak belakang satu sama lainnya.
Di satu sisi extrim ada pemikiran QADARIYAH, di sisi
extrim yang lain ada pula filsafat JABARIYAH, dan
pada posisi pertengahan ada Paham ASY’ARIYAH.
Pecahan dari paham-paham di ataspun kemudian
bermunculah, seperti : MU’TAZILAH (yang merupakan
pecahan pemikiran Qadariyah); JAHMIYAH, NAJJA-
RIYAH, DHIRARIYAH (yang merupakan varian dari
filsafat Jabariyah); SYI’AH, Sunni, Wahabi, dan
sebagainya.
Walaupun masih ada satu paradigma berpikir lainnya
yang dianut oleh sebagian besar umat Islam, yaitu
Paham AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH, namun
persentuhan paham ini dengan paham-paham yang
lainnya tetap tidak dapat dihindarkan. Sehingga
akhirnya hampir saja kita umat islam ini menjadi
umat yang tidak mampu lagi untuk beriman secara
UTUH kepada Rukun Iman ke-6. Yaitu percaya kepada
TAQDIR (QADA, QADAR), bahwa yang baik maupun
168
yang buruk, keduanya berasal dari Allah.
Iman kita menjadi sangat lemah untuk mempercayai
Rukun Iman ke-6 ini, walaupun kita sudah tahu ada
ayat Allah yang berkata : “Maka Dia mengilhamkan
kepadanya (jiwa) jalan kejahatan dan ketaqwaan”,
(asy-Syams (91) : 8, sehingga hanya dengan sebab
ilham itulah kita semua akan bisa menjadi orang jahat
atau orang yang bertaqwa.
PERSAMAAN UTAMA dalam hal SIKAP dari semua
paham di atas, adalah adanya anggapan bahwa KITA
sebagai manusia adalah WUJUD. Karena kita merasa
ada, maka kita merasa berhak pula untuk mengaku
bahwa kita merasa bisa pula untuk menentukan
SIKAP kita sendiri ketika kita berhadapan dengan
KEKUATAN dan KEKUASAAN ALLAH. Perbedaan SIKAP
ketika menghadapi Kekuatan dan Kekuasaan Allah
inilah yang menjadi PERBEDAAN UTAMA dari paham-
paham di atas. KECUALI kalau kita mengikuti SIKAP
seperti yang diperlihatkan oleh Nabi Muhammad
SAW, para salafus shaleh, dan beberapa penerus
Beliau yang amanah.
Mari kita lihat perbedaan-perbedaan SIKAP dari para
penganut paham-paham tersebut.
169
a. Qadariyah
Jika kita BERPAHAM QADARIYAH (PQ), di sam-
ping kita beranggapan bahwa : “KITA adalah
WUJUD, kita juga punya KEMAMPUAN, KUASA,
QUDRAH, untuk melakukan sesuatu, bahkan un-
tuk menentukan masa depan kita sendiri, sesuai
dengan apa yang kita kehendaki. Kita menggang-
gap bahwa hasil apapun yang kita dapatkan, itu
nyaris tanpa campur tangan Allah sedikitpun. Kita
bebas. FREE WILL dan FREE ACT. What we think,
we become. Paham Qadariyah ini bisa pula dise-
but sebagai paham RASIONALIS.
Di sini kita jadi tidak percaya lagi kepada taqdir.
Kita mengingkari iman kita kepada qadha dan
qadar. Kita akan menganggap bahwa Allah BE-
LUM selesai dalam membuat rencana. Allah BE-
LUM SEMPURNA merencana, Allah tidak menen-
tukan dan tidak mengetahui suatu perkara sebe-
lum perkara itu terjadi. Untuk terjadinya sebuah
perkara, kita mempunyai andil di dalamnya.
Artinya Allah baru mengetahui sebuah perkara
ada setelah perkara itu terjadi. Kita jadi meyakini
bahwa semua manusia mempunyai kekuatan
untuk menentukan nasibnya tanpa ada intervensi
dari Allah SWT. Bahkan untuk men-dapatkan sur-
ga dan neraka sekalipun, itu adalah atas kehen-
170
dak kita sendiri, bukan karena taqdir dari Allah.
Ternyata Paham Qadariyah ini masih berkem-
bang sampai sekarang, walau dalam penyam-
paiannnya dipoles dengan kata-kata modern atau
istilah-istilah masa kini. Misalnya ungkapan-
ungkapan :
a) “Hidup ini adalah permainan GETARAN PI-
KIRAN DAN PERASAAN manusia belaka. Kita
BISA mengubah Nasib kita hanya dengan
mengubah pola-pola Getaran Pikiran dan
terutama Perasaan kita dengan cara kita
MENGAKSES getaran perasaan tertentu yang
menyebabkan keberhasilan”, kata salah
seorang PAKARNYA di setiap kesempatan.
b) “Kita BISA MENGUBAH NASIB dengan mela-
kukan REPROGRAM ALAM BAWAH SADAR.
Ketika kita menghadapi berbagai kemelut
kehidupan, kita sering kali merasa tak ber-
daya, semua jalan terasa buntu, kita me-rasa
menjadi korban, yang pada akhirnya kita me-
rasa putus asa. Padahal sebenarnya kita
tidak perlu menjadi korban. Percaya atau
tidak, sebenarnya kita dapat mencip-takan
sendiri semua yang kita inginkan. Itu melalui
reprograming alam bawah sadar kita”
171
c) “Untuk proses itu kita hanya perlu melaku-
kan proyeksi-proyeksi mental yang pakem-
nya adalah sebagai berikut :
1- Kita masuk ke gerbang Alam Bawah
Sadar melalui kondisi otak Gelombang
Alpha (8-13,9 Hz), Untuk itu kita cukup
hanya dengan mendengarkan suara-
suara digital tertentu, atau melakukan
aneka meditasi.
2- Kita menggambarkan bayangan mental
dengan visualisasi, menciptakan ide, ba-
yang mental, atau gambaran yang kita
inginkan, atau bisa pula dengan mema-
sukkan pemahaman-pemahaman ten-
tang kata-kata seperti :
a) tercerahkan, kedamaian, sukacita,
cinta, penerimaan, rela untuk Po-
wer, atau
b) berani, bangga, marah, ambisi, ta-
kut, depresi, minder, dan lain-lain,
untuk Force.
3- Afirmasi atau self talk, dengan mengu-
capkan kata-kata tersebut atau mantra
tertentu secara berulang-ulang, sampai
muncul keyakinan kita terhadap apa
yang kita inginkan bahwa apa yang kita
kehendaki itu pasti terlaksana. Sehingga
172
keinginan kita itu terekam kuat dia alam
bawah sadar kita.
4- Tambahkan emosi atau perasaan yang
menyenangkan, bahwa kita bisa menim-
bulkan rasa senang seakan-akan keingin-
an kita itu sudah terwujud. Karena Alam
Bawah Sadar memang TELAH DIDEFINI-
SIKAN TERLEBIH sebagai alam yang tidak
bisa membedakan antara kenya-taan
atau khayalan.
5- Lakukan hal itu secara terus menerus
secara dan tekun. Tapi ingat, semuanya
memerlukan proses dan waktu yang cu-
kup untuk terwujud menjadi realitas
yang kita harapkan.” Akhirnya kita di-
minta untuk melupakannya, dan me-
nunggu.
“Mari, marilah, beramai-ramai, jangan sampai
ketinggalan, karena kesempatan sangat terba-
tas”, kata kita dengan penuh antusias. Atau bisa
pula dengan memakai kalimat-kalimat hip-nosa
lainnya : “Bagi yang sakit ingin sehat, atau yang
miskin ingin kaya, atau yang nelangsa ingin ba-
hagia, atau yang lemah dan lebay ingin sakti, atau
yang ini ingin itu, maka bergabunglah dengan
kami. Sebab kami adalah ahli di bidang tersebut.
Kalau tidak percaya, lihatlah kesaksian pesohor
173
negeri ini yang sudah membuktikan kehebatan
teknik yang kami tawarkan”, kata berbagai iklan
di media cetak dan media sosial dengan sangat
instens.
Nantinya, yang akan membedakan teknik dari
trainer yang satu dengan trainer yang lain hanya-
lah kulit-kulitnya saja. Sebenarnya isi dari semua
teknik itu adalah sebelas dua belas saja.
Tapi ada sebuah pertanyaan yang patut kita
renung-renungkan dengan seksama : “Bagaimana
kita akan bisa BERUCAP, misalnya, mencintai,
bahagia, tenteram, kalau saat mengucapkan
kata-kata itu kita sedang TIDAK merasakan RASA
mencintai, bahagia, dan tenteram itu ? Bukankah
dengan begitu sebenarnya kita sedang MENIPU
diri kita sendiri ?? Yang kemudian diperhalus de-
ngan memakai istilah menghipnosa diri sendiri
(self hypnotis).
Saat kita mencari RASA mencintai, kebahagiaan,
dan ketenteraman itu dengan menghipnosa otak
kita sendiri, di dalam Kitab Madarijus Shalihin
disebutkan bahwa :
a. Kita barulah sampai pada posisi NAFS AWAL
(nafas pertama).
b. Di atas peringkat Nafs Awal ini ada NAFS
TSANI (nafas kedua), yaitu orang-orang yang
174
mendapatkan kebahagiaan dan ketenteram-
an jiwa dengan cara ia menjalankan pe-
rintah-perintah Allah di dalam Al Qur’an dan
Al Hadist, seperti ia membaca Al Qur’an,
shalat, dzikir-dzikir dalam bentuk wiridan,
dan sebagainya.
c. Sedangkan di atas Nafas Tsani ada peringkat
NAFS TSALIS (Nafas ketiga), yaitu peringkat
bagi orang-orang yang sudah beriman total
kepada Rukun Iman keenam. Ia juga sudah
berhasil untuk kembali bersikap seperti sikap
seorang bayi.
Untuk pasal ini, silahkan baca buku “Menemukan
Khusyuk Yang Hilang”, buah pena Ustads Abu
Sangkan.
Kalaupun kita masih tetap bersikeras untuk
menghipnosa otak kita dengan cara-cara seperti
itu, baik dengan ataupun tanpa bantuan orang
lain, maka rasa mencintai, bahagia, dan tenteram
yang akan kita rasakan itu hanyalah SEBATAS rasa
mencintai, bahagia, dan tenteram yang SUDAH
ada tersimpan di dalam memory kita. Tidak lebih
dari itu.
Artinya rasa mencintai, bahagia, dan tenteram itu
hanya akan kita rasakan pada saat terapi hipnosa
itu sedang dilakukan saja. Sedangkan untuk
175
masa-masa setelah itu, pengaruh rasanya sudah
nyaris menjadi hilang kembali, nol besar. Karena
otak kita memang sudah bosan dengan rasa-rasa
yang sudah pernah ada itu.
Itulah yang menyebabkan kita seperti orang yang
tidak pernah henti-hentinya berusaha dan ber-
usaha ke sana-ke mari untuk mencari rasa men-
cintai, bahagia, dan tenteram. Kita sibuk dengan
latihan ini latihan itu, kita sibuk terus dari semi-
nar ini ke seminar itu. Dan itupun nyaris tidak
menghasilkan perubahan apa-apa di dalam diri
kita.
Dan begitu jugalah yang terjadi di masa sekarang
ini. Pengkinian dari Filsafat Qadariyah ini kemu-
dian telah menjelma menjadi Gerakan Zaman
Baru (New Age Movement) yang merupakan
sebuah gerakan PEMASALAN agama-agama PA-
GANISME di antara umat penganut agama-agama
LANGIT (Islam, Kristen, Yahudi).
PAGAN adalah sebutan untuk para pengikut se-
buah kepercayaan/praktik spiritual dalam pe-
nyembahan terhadap berhala. Pagan pada zaman
kuno percaya bahwa terdapat lebih dari satu
dewa dan dewi. Untuk menyembahnya mereka
menyembah patung. Contohnya seperti yang
dilakukan oleh bangsa Mesir Kuno, Yunani Kuno,
176
Romawi Kuno, dan lain-lain.
Para paganis zaman dulu percaya bahwa semua
yang ada di sekitar mereka adalah suci, karena ia
merupakan bagian dari dewa dan dewi. Contoh-
nya, mereka percaya bahwa batu dan pohon
adalah bagian dari dewa dan dewi, sehingga ia
punya keramat, tetapi mereka berkata bahwa
mereka tidak menyembah pohon itu. Air yang
telah diberikan kalimat-kalimat positif akan
mempunyai power untuk penyembuhan berbagai
penyakit.
Gerakan Zaman Baru (NAM) ini berkonsentrasi
penuh kepada tiga aktifitas, yaitu :
• Pertama, penyebaran PEMIKIRAN paganisme
yang MENAFIKAN adanya Tuhan, apalagi ke-
kuasaan-Nya;
• Kedua, menyebarluaskan SPIRITUALISME tan-
pa Tuhan dalam bentuk meditasi-meditasi un-
tuk mendapatkan kebahagiaan dan ketenang-
an; dan
• Ketiga, menjamurkan PELATIHAN-PELATIHAN
dan MOTIVASI PENGEMBANGAN DIRI yang
induk ilmunya bermuara pada ilmu NLP dan
HIPNOTIS.
Dalam pelaksanaannya, kemudian terjadilah
PENCAMPUR ADUKAN praktek-praktek dari ber-
177
bagai agama dengan meditasi, NLP dan HIPNOTIS
yang di sana-sini memang telah dibungkus de-
ngan istilah-istilah ilmiah. Kalau dia beragama
Islam, maka muncullah sebuah metoda baru
dalam beribadah, misalnya ada . . .
. . . Dzikir atau shalat ala
NLP atau HIPNOTIS.
Dan hebatnya, metoda itupun menawarkan pula
acara bertangis-tangisan, yang biasanya diakhiri
dengan sedikit rasa tenang dan bahagia, dalam
berdzikir, shalat, haji, dan ibadah-ibadah lainnya.
Namun semua aktifitas itu kita lakukan
nyaris dengan TANPA RASA IHSAN
kepada Allah.
Tanda-tandanya gampang saja kok dilihat. Yaitu,
seberapa lama kita bisa MENGINGATI ALLAH
(Dzikrullah) saat kita melakukan ibadah kita,
misalnya di dalam shalat.
Kalau kita hanya bisa sedikit atau
sebentar saja mengingati Allah, kita
malah lebih banyak ingat kepada diri
178
kita sendiri dan alam semesta dengan
berbagai macam fenomenanya . . .
. . . maka menurut Al Qur’an :
. . . shalat kita itu masih termasuk ke
dalam taraf shalat orang yang
MUNAFIK . . .13
Sebab, kalau kita sudah kecemplung ke dalam
salah satu saja dari aktifitas NAM itu, apalagi
kalau ketiga-tiganya sekaligus, maka kita me-
mang akan segera saja menjadi manusia baru
yang SANGAT MENGAGUNGKAN DIRI KITA SEN-
DIRI (UJUB) dan ALAM SEMESTA. Kita lalu akan
menjadikan keduanya sebagai berhala kita yang
baru. Kita dan alam semesta telah berubah men-
jadi tuhan kecil dan tuhan besar yang saling
berinteraksi satu sama lain dalam sebuah kepa-
duan. WAHDATUL WUJUD.
Kita akan dibawa untuk meyakini bawah antara
kita dan alam semesta mempunyai hubungan
yang sangat erat.
13 Lihat QS An-Nisaa : 142.
179
• Diri kita adalah Alam Kecil (micro cosmos) dan
• Alam Semesta adalah Alam Besar (Macro Cos-
mos).
Apabila kita mempunyai keinginan
atau impian yang sangat kuat (strong
will), kita cukup hanya menyampaikan
keinginan kita itu kepada Alam
Semesta sambil saat itu kita mengakses
perasaan senang dan bahagia.
Selanjutnya Alam Semesta akan
MERESPON dan MEMBANTU kita untuk
mewujudkan segala keinginan atau
impian kita itu. Kita menganggap
bahwa semua pengkabulan itu tidak
ada sedikitpun hubungannya dengan
Allah.
Kalaupun kita masih mempercayai Allah, itupun
hanyalah seadanya saja. Nggak ngefek.
Artinya kita akan selalu mengagung-agungkan
diri kita sendiri dan memberi nama-nama KEREN
untuk diri kita, yang menggambarkan kehebatan
dan keluarbiasaan kita. Kita akan menganggap
bahwa hanya keinginan, pikiran, dan gagasan-
180
gagasan kita semata-matalah yang akan menjadi
unsur penentu utama atas keberhasilan kita saat
sekarang maupun di masa-masa yang akan
datang. Dan ternyata dagangan seperti itu laku
keras di tanah air kita saat ini.
Di kekinian zaman, kefahaman Qadariyah ini bisa
pula kita lihat dalam proses Pemilu Pilpres RI
beberapa waktu yang lalu, dan yang paling segar
adalah dalam sidang paripurna DPR baru-baru ini
untuk menentukan cara PILKADA apakah lang-
sung atau tidak langsung. Paham Qadariyah ini
terlihat dengan jelas terpakai baik oleh pihak
yang menang maupun oleh yang kalah. Sebab
semua pihak beranggapan bahwa hanya dengan
memilih pihaknya atau memakai konsepnyalah
Indonesia ini akan bisa menjadi negara yang maju
dan jaya di tengah-tengah kancah pergaulan
Global.
Semua pihak seperti merasa punya hak dan me-
rasa bisa, semuanya merasa seperti punya peran
dan jasa, semuanya seperti punya alasan-alasan,
semuanya seperti punya pembenaran-pembe-
naran.
• Bagi pihak yang merasa menang dan juga bagi
siapa-siapa yang merasa ikut andil dalam
mendapatkan kemenangan itu, maka mereka
181
akan berjalan dengan penuh rasa sumringah
dan hati yang berbunga-bunga. Semuanya su-
dah seperti merasa di tangan. Kekuasan, ja-
batan, dan mungkin uang, serasa sudah me-
lambai-lambai di pelupuk mata mereka. Dan
itu terasa sekali asyiknya, terutama pada saat-
saat awal mereka menikmati keme-nangan
itu.
• Akan tetapi bagi pihak yang merasa kalah dan
pihak-pihak yang terlibat di dalam kekalahan
itu, maka mereka akan tertunduk dengan se-
gudang rasa ketidakpuasan. Mereka tidak
akan tinggal diam. The game has not been
finished yet, the battle will be continued over
and over again.
Padahal kedua-duanya, baik yang menang mau-
pun yang kalah, hanyalah babak-babak dalam
PERMAINAN POLITIK saja. Biasa-biasa saja. Mere-
ka saling mengklaim bahwa mereka dan para
pendukungnya masing-masing sedang bertindak
ATAS NAMA RAKYAT. Yang menolak PILKADA
Tidak Langsung mengaku menolaknya atas nama
rakyat. Yang berhasil menggolkan Pilkada Tidak
Langsung juga mengaku bertindak atas nama
rakyat. Tapi entah rakyat yang mana yang me-
reka wakili. Sebab yang mereka lakukan sebe-
182
narnya hanyalah membela KEWUJUDAN diri
mereka masing-masing.
Dan memang begitulah kehidupan ini berjalan.
Setelah sebuah masalah selesai, maka masalah
berikutnya sudah menunggu dengan pasti untuk
kita selesaikan. Panas dan dingin, siang dan
malam, akan tetap muncul secara silih berganti.
• Andaikan dalam sebuah kaum
SEMUA penduduknya sudah
beriman, sudah baik, sudah bahagia,
sudah tenteram, dan sudah hidup
dengan penuh cinta kasih, maka
Allah segera akan mengutus kaum
yang lain, yang penduduknya hidup
penuh dengan tipu daya, maksiat,
dan kefasikan.
• Begitupun sebaliknya, ketika suatu
kaum sudah hidup penuh dengan
kemaksiatan, tipu daya, dan
kefasikan, maka Allah segera pula
akan mengutus kaum lain yang
hidupnya penuh dengan keimanan,
183
ketenteram, dan cinta kasih.
Selalu begitu. Karena dengan cara itulah Allah
akan memperlihatkan kemahahebatan-Nya dan
kemahasempurnaan-Nya. Begitulah cara Allah
mengajari kita tentang kebaikan dan keburukan.
Duaarr, peristiwa baik dan buruk itu langsung
tergelar di hadapan kita. Dan itu adalah PELAJAR-
AN, sehingga dari situ akan ada SEGELINTIR
orang-orang yang bisa melihat hikmah dari setiap
kejadian dan peristiwa yang tergelar itu. Mereka
itulah orang-orang yang akan berkata : “Sungguh
tidak sia-sia Engkau menciptakan semua ini ya
Allah, Maha Suci Engkau, Peliharalah kami dari
siksaan api neraka.”
Lalu, merekapun mengulum seuntai SENYUM,
Senyuman Makrifatullah yang penuh misteri.
2. Jabariyah
Kalau kita memegang Filsafat JABARIYAH, lain lagi
aktifitas yang akan kita lakukan. Sebenarnya kita
masih mengaku WUJUD. Kita masih merasa ADA. Tapi
kita merasa sudah tidak bisa berkutik lagi untuk
melawan ALLAH yang tak terlawan. Karena kita
merasa sudah tidak sanggup untuk melawan Allah,
maka barulah kita bersedia untuk tunduk, menyerah
184
dan takluk kepada Allah. Kita baru bisa menyerah
karena kita sudah kehabisan cara untuk berhadapan
dengan Kemahaperkasaan Allah.
Menyerahnya kita itupun terjadi setelah sekian lama
kita bertanya dan bertanya tentang sesuatu hal yang
buruk yang datang menimpa kita; “Kenapa ini ? Ada
apa ini ? Andaikan saja”, keluh kita. Tapi pada kenya-
taannya mau tidak mau kita harus tetap menyerah.
Akhirnya baru kita bisa menerima bahwa sesuatu itu
adalah TAKDIR dari Allah. Namun dengan begitu,
hanya kelihatannya saja kita sudah menyerah kepada
Allah, akan tetapi penyerahan itu kita lakukan seperti
orang yang sedang ngambek dengan Allah. Di sini
seakan-akan kita sendirilah yang MEMUTUSKAN
untuk menyerah kepada Allah.
“Kalau Allah sudah taqdirkan saya begini dan begitu
ya sudah, mau apa lagi, saya menyerah saja, saya
pasrah saja”, kata kita sambil merungut. Lalu kita
ngambek tidak mau melakukan apa-apa. Untuk ma-
kanpun rasanya kita ingin menunggu saja sampai ma-
kanan itu masuk sendiri ke mulut kita. Paham seperti
ini disebut juga sebagai Paham FATALIS atau PRE-
DESTINATION.
Dalam paham ini, karena kita merasa masih WUJUD,
maka apapun yang kita lakukan dalam kehidupan ini
pada akhirnya adalah sebuah KETERPAKSAAN belaka.
185
Karena paham ini memang sudah menganggap bah-
wa segala perbuatan yang kita lakukan telah diten-
tukan oleh qadha’ dan qadar Allah. Kita tinggal hanya
menjalankan qadha dan qadar Allah itu. Hanya saja
karena kita merasa masih WUJUD, maka kita ME-
NOLAK UNTUK BERTANGGUNG JAWAB atas apa-apa
yang sudah kita lakukan. “Toh Allah sendiri yang su-
dah menakdirkan saya berbuat ini dan itu, maka
tanggung jawabnya tentulah di tangan Allah”, kata
kita dengan pongahnya.
3. Asy’ariyah
Kalau kita memakai Paham ASY’ARIYAH di dalam
hidup kita, maka kita seperti berjalan di sebuah
pematang di tengah hamparan sawah yang sangat
luas. Di sebelah kiri kita terbentang sikap bagi orang-
orang yang berpaham Qadariyah dan di sebelah
kanan kita terletak sikap bagi orang-orang yang
berpaham Jabariayah.
Dalam Paham Asy’ariyah ini, kita tetap masih merasa
WUJUD, tapi kita seperti berada di posisi perte-
ngahan. Posisi aman. Posisi jalan tengah kata orang.
Karena kita MASIH ADA (WUJUD), maka sesekali kita
merasa PUNYA KUASA untuk mengubah masa depan
kita (Qadariyah), dan pada kesempatan lain kita
merasa seperti TIDAK BERKUTIK sama sekali dalam
menghadapi Takdir Allah dalam bentuk hantaman
186
gelombang kehidupan (Jabariyah).
Jadi dalam paham Asy’ariyah ini, kadang-kadang kita
menganggap bahwa Allah punya kekuasaan penuh
dalam mengatur takdir seluruh makhluk-Nya, tapi
dalam beberapa hal, walaupun kita percaya kepada
Takdir Allah, kita tetap beranggapan bahwa kitapun
punya ANDIL tersendiri dalam menentukan jalan
hidup kita maupun hidup orang lain.
Apa dampak dari pengakuan-pengakuan kita atas kewu-
judan kita seperti di atas ?
a. Dampak pertama seperti yang terlihat di atas adalah,
. . . kita akan selalu
bergaduh dengan Allah.
Karena dengan pengakuan akan kewujudan kita itu,
maka saat itu akan ada dua kewujudan yang Wujud,
yaitu Allah dan kita. Dengan begitu maka RUNTUH-
LAH Tauhid kita. Sebab kita telah menyekutukan Allah
dengan kewujudan diri kita sendiri. Akibatnya kita
akan seringkali bertanya kenapa dan mengucapkan
pengandaian kepada Allah. “Kenapa ? Andaikan !”,
protes kita kepada Allah.
Dengan Allah saja kita bisa bergaduh,
187
apalagi dengan sesama manusia. Kita akan
sangat mudah sekali bergaduh dengan
sesama. Apa saja bisa menjadi masalah di
antara kita.
Demontrasi, memaki, menghina, merusak, atau pe-
rang kata dan kalimat akan muncul seperti tak habis-
habisnya.
b. Dampak berikutnya adalah . . .
. . . penderitaan yang sangat dahsyat
yang akan kita alami.
Sangat dahsyat ! Mari kita lihat.
B. Yang Mengaku Wujud dan Yang Menderita
Dari beberapa kemungkinan filsafat hidup yang bisa kita
pakai seperti di atas, walaupun kelihatannya berbeda-
beda antara satu dengan yang lainnya, akan tetapi . . .
. . . ada SATU hal yang SAMA dari semua
macam filsafat hidup itu, yaitu ADANYA
PENGAKUAN atas KEWUJUDAN kita.
Karena mengaku wujud, maka akan ada pula PENDE-
188
RITAAN yang mengikuti pengakuan kita itu. Penderitaan
itu mungkin bisa diwakili oleh sebuah kata, yaitu RASA
PEDIH. Kepedihan.
Sedangkan perbedaan-perbedaan yang terlihat, itu lebih
banyak hanyalah dalam hal SUDUT PANDANG kita masing-
masing saja terhadap permasalah yang kita atau orang
lain hadapi. Berbeda sudut pandang, maka akan berbeda
pula sikap kita.
Akan tetapi, walaupun sikap kita bisa berbeda, namun
rasa memiliki kita akan sama saja. Makanya kemudian
muncul berbagai kelompok dan golongan yang masing-
masing kelompok dan golongan itu saling mengakui wujud
keberadaannya. Kita akan mengaku bawah kita sendirilah
yang shoheh, yang afdal, yang betul, yang lurus, yang
paling mantap dan yang paling sesuai dengan tokoh
panutan kita.
Karena kita merasa WUJUD, maka berbagai hal, keadaan,
atribut-atribut, atau bahkan hanya sekedar pikiran-pikiran
dan pendapat-pendapat akan silih berganti datang
mengerubuti kita untuk kita AKUI sebagai MILIK kita.
Sehingga jadilah “Ini milikku, itu milikku, semua milikku !”
Karena sesuatu sudah berubah menjadi milik kita, maka
sesuatu itu kemudian minta PERHATIAN, PEMELIHARAAN,
dan PENJAGAAN kita terhadapnya, dari usaha-usaha
orang lain yang ingin pula memilikinya dan merebutnya
189
dari tangan kita. Ya, kita menjadi selalu waspada kalau-
kalau milik kita itu nanti diambil alih oleh orang lain
dengan paksa. Atau paling tidak kita akan menjaganya
agar orang lain tidak MEREMEHKAN milik kita itu. Sebab
kita akan mempertahankannya dengan sekuat tenaga,
seakan-akan milik kita itu telah berubah fungsi menjadi
suatu kehormatan bagi kita, menjadi harga diri kita. Harga
mati.
Tidak hanya itu, apa-apa yang kita miliki itu akan selalu
meminta kita untuk MEMUPUK, MENINGGIKAN, MENU-
KUK dan MENAMBAHNYA dengan cara kita selalu menye-
but-nyebutnya, mengiklan-iklankannya, membesar-besar-
kannya kepada siapapun juga dalam setiap kesempatan.
Kalau itu tidak kita lakukan, ia TIDAK akan memberikan
lagi rasa senang, rasa bangga, dan rasa nikmat MENGAKU
kepada kita. Kita akan merasakan hidup kita ini menjadi
HAMBAR. Dan, ini yang paling penting,
. . . kita merasa tidak akan punya REZKI dari
tempat lain untuk menjalani kehidupan kita.
Dan dari sinilah POKOK PERMASALAHAN semua umat
manusia bermula. Dari sini pulalah titik awal dari pende-
ritaan kita bermula. Kita akan BERTENGKAR dan BERGA-
DUH dengan Allah. Karena saat kita mengaku wujud itu,
otomatis akan ada DUA kewujudan, yaitu :
190
• KITA yang merasa atau mengaku wujud, dan
• ALLAH DZAT WAJUBUL WUJUD.
Saat itu juga RUNTUHLAH TAUHID KITA.
Karena kita telah MENYEKUTUKAN ALLAH
dengan diri kita sendiri.
Kita juga akan bertengkar dan bergaduh dengan orang
lain, karena . . .
. . . kita seperti tidak rela dengan adanya
kewujudan orang lain muncul di hadapan kita.
Ya, ada kita yang wujud dan ada pula orang lain yang
wujud. Tambah lunturlah Tauhid kita. Karena ada wujud
lain, maka kita akan berusaha sekuat tenaga membunuh
kewujudan orang lain itu agar hanya ATRIBUT-ATRIBUT
diri kita saja yang wujud.
Contoh paling gress dari pergaduhan ini yang bisa kita
lihat adalah saat pemilihan unsur pimpinan DPR-RI baru-
baru ini. Pihak yang merasa kewujudannya tidak diakui,
akan merengsek ke depan, akan berteriak-teriak, akan
menunjuk-nunjuk, akan mengepalkan tangan sambil
giginya gemeretak.
Di samping kita merasa wujud, kitapun akan hidup bersa-
191
ma dengan iblis. Kita akan beresonansi dengan iblis. Kita
akan terlempar ke tempat di mana iblis juga sedang ber-
ada dengan pengakuan-pengakuan akan kewujudannya
sampai hari kiamat :
• “Aku lebih baik dari dia (Adam), Engkau ciptakan aku
dari api, sedangkan dia (Adam) Engkau ciptakan dari
tanah”, Al A’raf (7) :12
• “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia”, Al
Hijir (15) :33
• “Apakah aku harus bersujud kepada orang yang Engkau
ciptakan dari tanah ?”, Al Israa (17) :61
Iblispun akan selalu mengingat-ingatkan kita
setiap saat akan kewujudan kita. Dia akan
mengingatkan kita bahwa kita punya hak dan
kedaulatan terhadap berbagai atribut
kepemilikan kita.
Dia akan menggoda kita untuk selalu memupuk ego kita
dari waktu ke waktu, bahwa kita lebih baik dari siapapun
juga, bahwa kita harus mempertahankan semua kepemi-
likan kita dengan semangat empat lima.
Kemudian kitapun akan terikat, terpaut, terperangkan di
dalam berbagai pengakuan : “Ini ilmuku, ilmumu mana ?
Ilmuku lebih hebat dari ilmumu; ini anakku, anakmu
mana ? Anakku hebat, hebat anakmu mana ? Dan juga
192
untuk atribut-aitribut kepemilikan kita yang lainnya,
seperti : istriku, rumahku, kudaku, mobil dan motorku,
jabatanku, uangku, pikiranku, pendapatku, dan lain-lain
sebagainya.”
KETERIKATAN kita kepada apa-apa yang kita miliki itu
sedemikian kuatnya sehingga kita akan selalu INGAT
kepadanya, yang dalam istilah orang sekarang disebut
sebagai KEMELEKATAN atau BINDING. Akibatnya, apabila
kita punya MASALAH dengan kepemilikan kita itu, kita
akan SULIT untuk MEMAAFKAN dan MELUPAKAN. Kita
sulit untuk memaafkan PENYEBAB permasalahan, dan kita
sulit pula untuk MELUPAKAN peristiwa-peristiwa.
Karena kita tidak bisa melupakan dan memaafkannya,
maka kita seperti berada di jalan yang BUNTU. Mundur
tidak bisa, maju juga tidak bisa. Mau ke kiri tidak bisa,
mau ke kanan juga tidak bisa. Kita INGAT TERUS kepada
sesuatu yang seharusnya sudah kita lupakan dan kita
maafkan. Sesuatu yang sudah terjadi pada waktu yang
lalu, atau yang baru hanya sekedar di dalam angan-angan
kita saja. Kita tidak punya JALAN atau PINTU untuk keluar
dari ingatan-ingatan yang menyandera kita itu. Walhasil,
akhirnya kita akan berada dalam keadaan BINGUNG,
GALAU, BIMBANG, GELISAH, WAS-WAS, PANIK, CEMAS,
RESAH, GUGUP, BUNCAH, SENEWEN, HILANG AKAL,
MARAH, dan sebagainya.
Ya, BUNTU, semua JALAN KELUAR seperti sudah TERTU-
193
TUP RAPAT. Dan itu rasanya sangatlah tidak sedap. PEDIH
sekali. Nafas kita memburu, tekanan darah kita terpacu,
adrenalin kita membanjiri aliran darah kita, mata kita
membelalak, suara kita menggelegar, muka kita merah
padam, gigi kita gemeretak, tangan kita terkepal, lutut
kita gemetar.
Tiba-tiba… BRAKKKK, pintu yang tertutup rapat itupun
hancur kita dobrak, itu terjadi karena saking tidak kuatnya
kita menghadapi gejala fisik dan psikis yang sedang
melanda kita. Lalu kitapun memaki, berteriak, melabrak,
memukul, dan tahu-tahu di depan kita sudah ada saja
tubuh orang lain yang terbujur kaku, terkapar bersimbah
darah, atau bahkan mati.
Apakah dengan begitu kita bisa selesai dengan perma-
salahan kita ? Ternyata tidak !
Untuk sejenak mungkin kita akan menyesal dengan apa-
apa yang telah kita lakukan. Namun tidak berapa lama
kemudian iblis kembali akan menjalankan perannya, yang
tak pernah berhenti sebagai SI PENGGODA, agar kita ja-
ngan pernah lupa akan kewujudan kita. Ya, agar kita
setiap saat tetap menampakkan tanda-tanda kewujudan
kita. Dengan perasaan sumringah kita akan diajak untuk
berkata : “Hai ini aku lho, aku lagi ini nih, awas ini milikku
lho, ini hakku….” Dan setiap kali pengakuan ini terucap, ia
juga akan menambah buntu jalan yang akan kita lalui.
Buntu lagi, meledak, dan buntu lagi ! TOMAT BALI (Tobat
194
dan Kumat Kembali), kata orang sekarang.
Untuk memahami betapa dahsyatnya permasalahan yang
muncul akibat dari pengakuan akan kewujudan kita ini,
marilah kita lihat beberapa contoh seperti berikut ini :
a. Misalnya, dulu dalam sebuah peperangan, pernah
terjadi pembunuhan yang sangat sadis terhadap cucu
Rasulullah, Al Husein Ra. Peristiwa itu terjadi di
Padang Karbala. Saat itu Pasukan Al Husein hanya
berjumlah 72 orang (32 pasukan berkuda dan 40
pasukan berjalan kaki) yang harus menghadapi ribuan
Tentara Yazid (dalam riwayat ada yang menyebut
angka 4.000 dan ada yang menyebut 40.000. Tetapi
yang lebih pas, para Ulama sepakat bahwa Tentara
Yazid yang mengepung Al Husein jumlahnya ribuan).
Lalu (dari berbagai riwayat) Al Husein Ra syahid di
Karbala, Iraq dengan 33 luka tusukan dan 34 luka
sayatan. Kepala beliau ditancapkan di ujung tombak
dan di arak sampai ke Damaskus. Tentu saja hal ini
membuat para pendukung yang mencintai Al Husein
Ra sangat bersedih dan terpukul. Mereka tidak bisa
MEMAAFKAN pihak :
• Yazid bin Muawiyah,
• Ubaidillah bin Ziyad,
• Umar bin Sa’ad,
• Seluruh Pasukan Ibnu Ziyad, dan
195
• Penduduk Kufah yang dianggap menghianati Al
Husein.
Mereka juga tidak bisa MELUPAKAN peristiwa pem-
bunuhan itu Al Husein Ra dalam waktu yang sangat
lama.
Alih-alih bisa MELUPAKAN kejadian itu dan MEMAAF-
KAN orang-orang yang membunuh Al Husein Ra,
sekelompok orang malah dengan sengaja mempe-
ringati tanggal kejadian itu di setiap tahunnya. Pada
saat acara peringatan itu mereka melakukan dua
macam ritual, yaitu pertama, ceramah dan pidato-
pidato yang isinya memaki-maki dan melaknat para
Sahabat dan golongan yang mereka anggap punya
andil dalam pembunuhan Al Husein Ra itu. Dan ke-
dua, mereka melukai diri mereka sendiri sampai
berdarah-darah yang tujuannya adalah untuk ikut
merasakan dan mengingat-ingat penderitaan Al Hu-
sein Ra saat kejadian itu terjadi. Mereka berteriak-
teriak histeris dan menangis dengan hebatnya. Semua
itu ada RASANYA.
Dengan adanya RASA itu tadi, mereka jadinya akan
selalu memelihara dendam dan sakit hati itu secara
terus menerus, bahkan akan mereka wariskan sampai
ke anak cucunya. Mereka akan memupuk rasa seba-
gai orang yang DIZALIMI, DISAKITI. Mereka meme-
lihara rasa telah menjadi KORBAN dari pihak lain.
196
Akhirnya mereka akan berjalan ke mana-mana di
muka bumi ini dengan beban dendam yang nampak-
nya tak akan pernah berkesudahan. Marah, benci,
dan merusak orang lain (jika ada kesempatan) adalah
cita-cita mereka yang terpendam dilubuk hati mereka
yang paling dalam.
Keadaan inilah satu penyebab yang membuat kawa-
san Timur Tengah selalu bergolak sejak zaman dahulu
sampai sekarang. Silih berganti terjadi pergantian
penguasa yang faktor pembedanya yang utama ada-
lah paham-paham seperti di atas. Itu ditambah lagi
dengan faktor dendam turun-temurun bangsa Yahudi
terhadap bangsa Arab. Maka semakin sempurnalah
gonjang ganjing kehidupan di negara-negara Arab dan
Palestine sampai sekarang.
b. Hal yang sama juga diperlihatkan oleh dua bangsa
besar di dunia modern saat ini, yaitu bangsa Cina dan
bangsa Korea terhadap bangsa Jepang yang pernah
mereka anggap sebagai penjajah di kedua negara itu .
1. SETIAP tanggal 18 September, masyarakat China
memperingati Insiden Mukden yang menjadi sa-
lah satu titik dalam sejarah yang membuat hu-
bungan antara China dan Jepang terganjal hingga
hari ini.
Insiden itu menandai masa-masa kelam dalam
197
sejarah panjang China, yang harus ”takluk” ber-
ulang kali pada Kekaisaran Jepang di periode ak-
hir abad ke-19 hingga akhir Perang Dunia II. Insi-
den Mukden menjadi tonggak sejarah penting
”penghinaan” Jepang terhadap China, di sam-
ping tragedi Pemerkosaan Nanking, Desember
1937.
Dalam Pengadilan Kejahatan Perang di Tokyo
disebutkan, 42.000 orang dibunuh di dalam kota
Nanking, ibu kota China waktu itu, dan 100.000
orang dibunuh di sekitar kota. Sebagian besar
perempuan dewasa dan anak diperkosa, lalu
dibunuh dengan dirusak organ seksualnya.
2. Sedangkan di Korea Selatan, setelah mengalah-
kan Dinasti Qing Cina pada Perang Sino-Jepang
Pertama (1894–96), Kekaisaran Jepang mendu-
duki Kekaisaran Korea (1897–1910) yang dipim-
pin oleh Kaisar Gojong. Satu dekade kemudian,
saat mengalahkan Kekaisaran Rusia pada Perang
Rusia-Jepang (1904–05), Jepang menjadikan Ko-
rea sebagai protektoratnya melalui Perjanjian
Eulsa di tahun 1905, kemudian menganeksasinya
melalui Perjanjian Aneksasi Jepang-Korea di ta-
hun 1910.
Dendam ini tidak bisa dilupakan oleh Bangsa Korea
maupun Cina. Bahkan kunjungan pimpinan Jepang ke
198
Kuil Yasakuni tempat dikuburnya beberapa tentara
Jepang yang pernah menjajah Cina dan Korea, sudah
cukup untuk membuat bangsa Cina dan Korea seperti
kebakaran jenggot. China dan Korea, akan meneriak-
kan protes karena bagi mereka penghuni Yasukuni
adalah penjahat perang. Mengunjungi Yasukuni ber-
arti menghormati penjahat perang. Inilah kesadaran
kolektif yang terpatri di dalam pikiran rakyat China
dan Korea. Mereka tidak akan pernah MEMAAFKAN
dan MELUPAKANNYA. TIDAAAK.
C. Tentang Melupakan dan Memaafkan
Dengan memahami permasalah-permasalahan seperti di
atas, kita mulai bisa melihat, walau secara samar, dari
mana pokok permasalahan kita ini bermula. Bahwa . . .
. . . semuanya bermula
ketika kita tidak mampu untuk
MELUPAKAN dan MEMAAFKAN,
• Baik untuk hal-hal yang sudah terjadi di
masa lalu (the PAST),
• Maupun untuk hal-hal yang belum terjadi
atau masih berada di dalam angan-angan
dan mimpi kita (the FUTURE).
Dengan cepat ada yang mulai berkata-kata : “Ya, kita
199
harus bisa hidup di waktu sekarang, NOW. Kita harus
melupakan masa lalu kita (THE PAST) ataupun masa
depan kita yang belum terjadi (THE FUTURE). Kita fokus
terhadap apa-apa yang kita hadapi sekarang ini saja
(NOW). Kita lihat masa lalu dan masa depan itu secara
sekilas saja, kemudian kita lupakan dan kita maafkan.
Itulah The Power of Now”, katanya dengan penuh se-
mangat.
“Mudah sekali memang untuk mengatakannya, tapi dalam
pelaksanaannya ternyata tidak mudah”, kata kita.
“Pernyataan kamu bahwa “itu tidak mudah” itulah salah
satu penyebab yang membuat kamu tidak bisa. Kita bisa
kalau kita berkata “bisa dan mau””, kata mereka dengan
penuh semangat. Sama persis dengan apa yang dikatakan
oleh orang-orang yang berfaham Qadariyah yang
sekarang ternyata telah bermetamorfosis menjadi Paham
the New Age Movement (NAM).
Benarkah dengan cara-cara yang banyak diseminarkan
orang saat ini kita benar-benar telah bisa melupakan dan
memaafkan masa lalu kita yang kelam dan masa depan
kita yang belum pasti yang selalu menghantui kita ?
Proses Melepaskan, kata mereka.
Untuk sejenak kita memang seperti bisa melupakan dan
memaafkan masalah-masalah yang sedang kita hadapi,
tapi itu kita lakukan dengan jalan kita mengalihkan
200
perhatian atau ingatan kita kepada hal-hal lain yang sudah
ada di dalam ingatan kita. Sebab melupakan dan memaaf-
kan itu hanyalah masalah PINDAH INGATAN atau PINDAH
OBJEK PIKIR saja kok.
Kalau tidak percaya, mari kita coba. Kalau kita SEDANG
MARAH kepada seseorang :
ALIHKAN saja OBJEK PIKIR atau INGATAN kita kepada
sesuatu yang pernah membuat kita bahagia, misalnya
pemandangan di sebuah pantai atau puncak pegunungan.
Kita hanya perlu membuka kembali pintu ingatan kita
tentang pantai atau puncak pegunungan yang pernah kita
kunjungi. Dan untuk mengingat itu kita tidak perlu ber-
konsentrasi apapun. Kita cukup hanya mengingat sekilas
tempat itu di dalam otak kita, seperti kita mengingat
orang tua kita.
a. Begitu kita berhasil memasuki pintu ingatan tentang
pantai atau pegunungan itu, dengan seketika kita
TELAH LUPA dengan MARAH kita. Lalu sekelebat
muncullah perasaan senang dan bahagia yang dulu
pernah kita alami. Rasa bahagia ini muncul seiring
dengan mengalirnya hormon Endorphine, Oxytocin,
Serotinin, dan Dopamin dengan deras ke dalam otak
kita. Tapi rasa senang itu hanya berlangsung sebentar
saja. Kemudian ingatan kita akan kembali mengingat
apa yang telah membuat kita MARAH yang tadinya
telah kita tinggalkan buat beberap waktu.
201
b. Hormon-hormon kebahagian ini juga bisa kita rang-
sang untuk keluar dengan cara kita MENGINGAT atau
MELAKU-KAN beragam aktifitas, misalnya : olah raga,
makan coklat, seks, makan cabe rawit, berbuat ko-
nyol dan lucu, tetawa terbahak-bahak, merangsang
alat indera, tersenyum, makan ginseng, menangis,
terpapar sinar UV di pagi hari, pijat, berpikiran positif,
hidup bersosialisasi atau berkelompok, mengatur-
ngatur nafas, menggoyangkan badan ke kiri dan ke
kanan, mengangguk-angguk dan menggeleng-geleng-
kan kepala, meloncat-loncat, bermain-main dengan
getaran atau vibrasi, mengolah cakra-cakra, mera-sa-
rasakan energi-energi, atau membaca cerita seperti
Cersil Kho Ping Hoo, dan sebagainya.
Semua hal di atas adalah sebagian kecil dari pintu-pintu
INGATAN yang pernah kita bangun di dalam otak kita di
masa lalu. Kalau kita belum pernah membangun atau
mengalaminya di masa lalu, maka pintu ingatan yang akan
kita masuki hanyalah sebatas ANGAN-ANGAN atau
IMPIAN belaka. Walaupun begitu, kita tetap akan bisa
memasuki pintu angan-angan itu dengan mudahnya.
Begitu kita memasuki pintu ingatan tentang
suatu Objek Pikir tertentu, maka kita akan
LUPA dengan objek pikir yang lain.
202
Dan kalau kita bisa menahan ingatan kita hanya kepada
SATU objek pikir saja dalam waktu yang lama, maka kita
bisa disebut sebagai orang yang sedang KASMARAN, atau
orang yang sedang memendam DENDAM kepada objek
pikir itu.
Kalau kita berusaha mendapatkan kebahagian dengan
cara-cara seperti di atas, maka kebahagian yang kita
dapatkan itu hanyalah . . .
. . . kebahagian yang sekelas “AIR LIUR” yang
menetes ketika kita melihat semacam
masakan yang enak-enak saja. Kebahagian
karena sekresi hormonal belaka.
Makanya kalau ada sebuah pelatihan, seminar, pengajian,
dzikir, atau acara apa sajalah namanya, yang di dalamnya
ada aktifitas yang mengeluarkan AIR MATA, INGUS dan
kadang-kadang MADZI seperti BERTANGIS-TANGISAN,
atau TERTAWA NGAKAK sepanjang acara berlangsung,
maka acara seperti itulah yang banyak kita kejar. Walau
untuk itu kita harus mengeluarkan bayaran yang tinggi
dan menempuh jarak yang jauh.
Jadi,
. . . ketika pikiran kita buntu, karena berbagai
203
masalah yang menimpa kita, lalu kita berusaha
untuk melupakan masalah-masalah kita itu
dengan cara kita masuk ke salah satu pintu-
pintu ingatan seperti di atas, maka kita
berharap agar masalah-masalah kita itu bisa
selesai, walau itu akan bertahan hanya dalam
waktu yang singkat saja.
Buat sesaat mungkin permasalahan kita itu memang bisa
hilang, akan tetapi tidak berapa lama kemudian masalah
kita itu akan muncul kembali dengan sangat cepat. Karena
dengan cara artificial seperti itu, kita hanya sedang
berpindah ingatan dari suatu benda ke benda yang lain
untuk sementara waktu saja. Dari satu materi ke materi
lain saja. Atau dalam istilah Ilmu Marifatullah, kita
berpindah dari mengingat satu SIFAT kepada SIFAT yang
lain. Silih berganti. Inilah yang membuat kita capek, lelah,
tidak bisa melupakan, dan tidak bisa memaafkan. Karena
kita akan tidak berkesudahan berhadapan dengan SIFAT,
SIFAT, dan SIFAT ! Sehingga . . .
. . . ke manapun kita pergi dan di manapun kita
berada, kita akan selalu berjalan dengan
pundak yang penuh dengan beban
permasalahan kita.
204
Buktinya mudah sekali kok mengenalinya. Begitu kita
membaca tulisan orang lain, mendengarkan kata-kata
orang lain, mendengar nama orang lain disebut, dada kita
seperti kena hantam palu. Karena dada kita seketika itu
juga terasa menjadi sempit. Lalu preet, kita akan mem-
bully orang tersebut, terutama di media sosial.
Yang aneh adalah,
. . . kita (khususnya umat Islam), sebenarnya
punya SENJATA PAMUNGKAS yang sangat
ampuh agar kita dengan sangat mudah BISA
MELUPAKAN dan MEMAAFKAN seluruh
problematika hidup yang sedang dan yang
akan kita hadapi. Senjata itu begitu
sederhananya, sehingga nyaris kita lupakan
dan kita anggap enteng.
Itulah barangkali yang menyebabkan kita sudah TIDAK
pernah lagi memakai senjata pamungkas itu sedari ratus-
an tahun yang lalu sampai dengan sekarang. Padahal,
tanpa senjata pamungkas ini, boleh saja kita berkata
bahwa kita sudah memaafkan, akan tetapi kita tidak akan
pernah bisa benar-benar memaafkan, apalagi melupakan
hal-hal yang telah membuat kita menderita. Akibatnya,
Ya, seperti sekarang inilah jadinya POTRET kehidupan
umat Islam, baik di Indonesia maupun di negara-negara
205
lain, di tengah-tengah pergaulan bangsa-bangsa di seluruh
dunia. “Menyedihkan”, kata kita. Tapi nanti akan kita lihat
benarkah menyedihkan ?
Senjata Pamungkas itu adalah . . .
Senjata pamungkas itu adalah DZIKRULLAH.
Ya, MENGINGATI ALLAH.
Hanya dengan mengingati Allahlah, dengan seketika itu
juga kita akan LUPA kepada apapun juga yang selain dari
Allah. Sebab Kalau kita INGAT kepada Allah, maka Allah
sudah menjamin bahwa Dia juga akan INGAT kepada kita.
FADZKURUNI, ADZKURKUM ! Ingatan kita akan bertemu
dengan Ingatan Allah. Makanya di dalam Shalat kita harus
selalu Mengingat Allah. Saat berdiri ingat Allah, saat rukuk
ingat Allah, saat sujud ingat Allah. Begitu juga di luar
shalat, apakah itu saat berdiri, saat duduk, saat berbaring,
saat dalam perdagangan dan jual beli, maupun saat dalam
perjalanan tugas atau kegiatan kita sehari-hari. Ingatan
kita seperti dikunci oleh Allah sendiri agar kita tidak
berpaling lagi dari ingat kepada Allah. Hanya Ingat kepada
Allah saja.
Sebab Rasulullah juga begitu. Beliau berkata :
• “Mataku tidur namun hatiku tidak”, Sahih Bukhari Vol
4. 495;
• Aishah Rha berkata yang bermaksud : “Rasulullah
206
(SAW) mengingat Allah swt sepenuh masa”, Sunan Abu
Dawud Vol 1, 5. Artinya Beliau mengingat Allah selama
24 jam.
Dan dalam hal DZIKRULLAH ini pulalah sebagian besar
umat Islam kini sedang BERMASALAH BERAT. Karena :
. . . PINTU untuk Dzikrullah itu ternyata
memerlukan kacamata MAKRIFATULLAH
untuk memasukinya. Tidak bisa tidak.
Dan untuk itu :
. . . sudah sangat jarang sekali ada ulama yang
mampu dan mau menerangkannya secara
terang benderang.
Alhamdulillah saya telah diperkenankan oleh Allah untuk
menjumpai seorang “arif billah” yang bisa untuk itu.
Sebab banyak memang kita yang sudah membaca tentang
pentingnya Makrifatullah, namun kita tidak sampai masuk
ke dalam Makrifatullah itu sendiri. Misalnya :
a. Jumhur Ulama Khalaf (lama) dan Shalaf (baru) meya-
kini bahwa :
207
Awaluddin Makrifatullah, permulaan dari
agama adalah Mengenal Allah.
b. Al Ghazali dalam Minhajul Abidin, 24 (1997) menga-
takan : “Wajib bagimu mengenali dahulu siapa yang
harus disembah, setelah itu baru engkau menyem-
bah-Nya”
c. Dalam Shahih Muslim Buku 1, 28 (1998), Rasulullah
berkata : “Engkau akan datang kepada suatu kaum
Ahli Kitab. Karena itu, hendaklah yang pertama-tama
engkau serukan kepada mereka ialah beriman kepada
Allah Azza wa Jallah. Apabila mereka telah mengenal
Allah (makrifatullah), maka beritahulah mereka
bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima
waktu sehari semalam”
d. Sayid Sabiq dalam Aqidah Islam, 30 (1998) menga-
takan : “Makrifat kepada Allah Ta’ala itulah yang me-
rupakan asas atau fundamen yang di atasnya didiri-
kan segala kehidupan kerohanian.”
Akan tetapi, karena kita tidak mengikuti ASAS atau FUN-
DAMEN tersebut dengan baik dan benar, di mana ujug-
ujug kita sudah diajarkan untuk shalat, berdzikir, ber-doa,
dan menjalankan berbagai syariat Islam yang lainnya.
Sehingga kitapun jadi keteteran dibuatnya. Kita ngos-
ngosan. Kita berlari kian kemari mencari sesuatu yang
208
sebenarnya tak perlu dicari. Kita mengira bahwa NLP,
Hipnotis, dan Vibration, yang merupakan kepanjangan ta-
ngan dari the New Age Movement (NAM), dapat menye-
lesaikan semua permasalahan kita.
Ada memang yang telah mencoba memasuki asas Makri-
fatullah ini dengan jalan dzikir-dzikir tertentu. Akan tetapi
jalan itu alangkah sulit dan berbelitnya untuk dilalui oleh
orang awam seperti kebanyakan kita. Barangkali jalan
dzikir ini hanya cocok buat satu atau dua orang saja yang
sudah berperingkat sebagai seorang Mursyid.
Dan yang tak kalah mengkhawatirkan dalam perjalanan
dzikir itu adalah, tahu-tahu kita sudah terperosok saja ke
dalam paham WAHDATUL WUJUD, atau NUR MUHAM-
MAD, atau FANA BILLAH, SYATAHAT, ITTIHAD, HULUL,
BAQA-BILLAH, dan sebagainya. Silahkan lihat kembali
artikel-artikel sebelumnya tentang Makrifatullah.
Atau paling tidak kita akan melakukan Pengkultusan yang
sangat berlebihan terhadap Mursyid atau Guru kita.
Bukankah kita seringkali membaca atau mendengar kali-
mat-kalimat seperti berikut ini terucap :
a. “Kita hanyalah seonggok daging yang pasif, dalam arti
digerakkan, dihidupkan, dilihatkan, diberikan, ditam-
pakkan, dihidupkan, dimatikan, dijalankan, diangkat,
dijatuhkan, disholatkan, dirukukkan, diwudhukan, di-
takbirkan, dibacakan, dan seterusnya oleh Allah.
209
Mampukah kita untuk rukuk kalau yang ‘Maha’ tidak
memberikan kemampuan seonggok daging ini untuk
rukuk, tidak memberikan tenaga, tidak memberikan
napas yang keluar masuk, tidak memberikan akal,
tidak memberikan bacaan dan doa, tidak memberikan
apa-apa terhadap si seonggok daging tersebut (mayat
berjalan) ? Besi yang panas sudah menjadi api, tiada
perbedaan lagi antara besi dan api !”
b. “Masuklah ke dalam keadaan TIADA. NAFIKAN diri
kita dan ISBATKAN Allah dalam diri kita. Hiduplah
bersama Allah. Biarkan Allah bertajalli ke dalam jiwa
kita. Hilangkan kehendak diri kita agar Allah meng-
gantinya dengan Kehendak-Nya. Kosongkan Jiwa kita
agar ditempati oleh Allah. Rasakan tubuh kita berada
dalam kendali Allah. Biarkan tubuh kita lerem. Dalam
Lerem, dengarkanlah petunjuk-Nya yang halus di
dalam jiwa kita berupa ILHAM”
Sekilas ungkapan-ungkapan di atas terlihat sangat SUFIS-
TIK sekali. Terlihat sudah sangat merendahkan diri kita di
hadapan Allah. Misalnya : Besi yang panas sudah menjadi
api, tiada perbedaan lagi antara besi dan api ! Kehendak
kita digantikan oleh Kehendak Allah !
Akan tetapi, kalimat-kalimat itu pulalah nantinya yang
akan memunculkan cikal bakal Paham Wahdatul Wujud
dan Paham Baqa-Fana Billah, yang umurnya sudah sangat
panjang. Sejak zaman-zaman tasawuf jalan Wali-wali
210
mulai berkembang menyalahi tasawuf jalan Nabi-nabi.
Paham yang ternyata malah MENJAUHKAN umat Islam
dari KETAUHIDAN kepada Allah.
Lhaa, kok bisa ? Iya begitu !
Lihatlah.
Bukankah dalam kalimat-kalimat di atas ada
DUA WUJUD yang sedang saling
BERINTERAKSI ? Ada kita yang MERASA RELA
untuk dikenai aksi oleh Allah untuk
disujudkan, dirukukkan, dan sebagainya.
Ada besi yang merasa rela untuk dipanaskan oleh Api. Ada
jiwa dan badan kita yang kita relakan untuk diisi oleh Ke-
hendak dan Kemauan Allah. Kalau ada DUA KEWUJUDAN,
bukankan itu menandakan bahwa kita telah kehilangan
KETAUHIDAN kita. Sebab :
. . . TAUHID mensyaratkan bahwa HANYA
BOLEH ADA SATU KEWUJUDAN saja YANG
WUJUD. Yaitu DZAT WAJIBUL WUJUD.
Wujud yang lain FANA, TIDAK ADA.
“Semua yang ada di bumi akan FANA, Yang Kekal adalah
Wajah Tuhanmu (DZAT) yang mempunyai Kebesaran dan
211
Kemuliaan”, Ar Rahman 26-27
Sebab, kalau ada DUA wujud, kita dan Allah, maka entah
kenapa, kita segera saja ingin menyatukan tindakan kita
dengan tindakan Allah. Dua menjadi satu, “aku menjadi
Aku”, “aku menjadi Dia.” Sehingga kalau kita merasa
sudah mencapai LEVEL ini . . .
. . . kita merasa berhak untuk menghakimi,
memarahi, dan memaki-maki orang lain. Atau
bahkan kita merasa BERHAK pula untuk
MENGAJARI orang lain tentang sebuah ILMU.
Kita katakan, bahwa tanpa kita, maka orang lain tidak
akan pernah bisa mendapatkan Ilmu ini dan Ilmu itu.
Karena kita sudah MENGAKU bahwa diri kita sudah FANA,
maka . . .
. . . perbuatan kita dalam menghakimi,
memarahi, dan memaki orang lain itu kita
katakan karena Allah sendirilah yang marah,
memaki, dan menghakiminya.
Ketika kita memarahi orang, dengan
tenangnya kita bisa berkata :
212
“Saya marah kepadamu tadi bukan atas
kehendak saya sendiri, tapi itu karena
Kehendak Allah. Allah yang marah, Allah yang
tidak suka, Allah yang menjauhi kamu.”
Dan orang yang kita marahi itu akan terlihat menjadi
nelangsa sekali.
Bagi kita yang dimarahi, dimaki, dan dihakimi, karena kita
memang dianggap masih awam dan bodoh, alangkah
takutnya kita saat itu. Kita takut setengah mati kepada
syech, atau mursyid, atau guru kita. Sebab kita merasa
saat itu sedang berhadapan dengan seseorang yang sudah
fana. Di mana :
• Pikirannya sudah kita anggap sebagai pikiran Allah,
• Kelakuannya sudah kita anggap sebagai kelakukan
Allah,
• Ucapannya sudah kita anggap sebagai ucapan Allah.
Kita hanya bisa menerima saja kemarahan, makian dan
penghakimannya itu tanpa reserve. Kita menjadi takut
sekali dengan kata-katanya yang terucap. Karena dia
sudah kita anggap sebagai seorang Wali yang sedang
MAJDZUB. Di mana kata-katanya adalah kata yang berbisa
dan bertuah.
Yang tidak kalah serunya adalah, ketika kita mengajari
213
orang lain, kita berkata kepadanya bahwa Allah sendirilah
yang mengajarinya melalui lidah kita. Lidah kita hanya
digerakkan oleh Allah untuk berkata-kata kepadanya. Kita
hanya mengikuti saja apa-apa yang sudah disusupkan oleh
Allah kepada lidah kita untuk dia.
Apalagi kalau sekali, dua kali, dan bahkan berkali-kali
ucapan kita dan doa-doa kita terbukti dan makbul menja-
di peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian. Alangkah
semakin takut, kagum, dan tunduknya orang lain kepada
kita, terutama bagi orang-orang yang telah menganggap
diri kita sebagai gurunya. Pengkultusan terhadap kitapun
jadi semakin tidak terelakkan.
Bagi kita yang sedang berada pada posisi orang yang
mengkultuskan seorang guru, maka setiap ajaran guru
kita itu akan kita jaga seperti kita sedang menjaga sehelai
kaca yang sangat tipis. Kita takut kalau-kalau kaca itu
pecah dan berantakan. Guru kita itu akan kita puji, akan
kita sanjung-sanjung. Seakan-akan tanpa guru kita itu kita
tidak akan mendapatkan ilmu dan pengajaran apa-apa.
Kita akan merendah-rendahkan diri kita kepadanya. Kita
mengkultuskan guru kita hampir-hampir saja sampai
kepada maqam maksum. Beliau kita anggap bebas dari
kesalahan ucap dan tindakan.
Nanti pada suatu saat, insyaallah kita akan masuk kepada
paradigma tentang guru yang dipaksa oleh Allah untuk
menyampaikan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah
214
sendiri.
Lalu bagaimana sebenarnya kedudukan ayat Al Qur’an
yang berbunyi : “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu
yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang
membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar
ketika engkau melempar, tapi Allahlah yang melempar”,
Al Anfal (8/17). Padahal saat itu jelas-jelas Nabi Muham-
mad SAW terlihat membunuh dan memanah musuh
Beliau dengan tangan Beliau sendiri dalam sebuah pepe-
rangan. Ayat ini juga sangat terkenal untuk dipakai seba-
gai pembenaran atas tindakan kita yang dianggap MAJ-
DZUB seperti di atas.
Lalu bagaimana pula kedudukan ayat Al Qur’an yang
bercerita tentang perkataan Nabi Khidir kepada Nabi
Musa As :
• “Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas
sesuatu, sedangkan engkau belum mempunyai penge-
tahuan yang cukup tentang hal itu ?”, Al Kahfi (18) : 68.
• “Dia berkata : “Inilah perpisahan antara aku dengan
engkau”, Al Kahfi (18) : 78.
• “Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sen-
diri”, Al Kahfi (18) : 82.
Sehingga akhirnya Nabi Musa As pun harus berpisah
dengan Nabi Khidir.
Sungguh menarik sekali. Namun karena saking menarik-
nya, untuk melengkapi pasal kewujudan ini, kita sebaiknya
215
membahasnya lebih dalam Artikel berikutnya, “Sang
Wajibul Wujud.14
” Di dalam artikel tersebut kita akan
memandang kewujudan yang sebenar-benarnya wujud
dengan memakai kacamata Makrifatullah. Bukan dengan
memakai kacamata Qadariyah, Jabariyah, Asy’ariyah, dan
kacamata-kacamata lainnya.
Insyaallah dengan memakai kacamata Makrifatullah itu,
kita akan lebih JERNIH dalam melihat makna dari ayat-
ayat Al Qur’an dan Al hadist berikut ini :
• “Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan)
amal perbuatannya di lehernya. Dan pada Hari Kiamat
Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan
terbuka. Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri
pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu” (Al Isra’
(17/13-14).
• “Tak seorangpun daripada kamu kecuali sudah dite-
tapkan tempatnya di syurga atau di neraka”, Ter-
jemahan Sunan Ibnu Majah Buk.1, 66 (1992)
• “Semuanya akan dipermudah untuk yang mana telah
ditentukan untuknya”, Terjemahan Sahih Al Bukhari Bk.
8, 402 (1987)
• “Orang-orang golongan bahagia, mereka akan diper-
mudah untuk melakukan amalnya orang-orang baha-
gia. Adapun golongan orang celaka, dia pasti akan
14 http://yusdeka.wordpress.com/2014/10/10/sang-wajubul-wujud/
216
mengarah pada amalnya orang-orang celaka”, ter-
jemahan Shahih Muslim Bk.4, 575 (1994), Terjemahan
Shahih Bukhari Bk. 8, 402 (1987).
• “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut dise-
babkan karena perbuatan tangan manusia, Allah meng-
hendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar)”, QS Ar-Rum (30) : 41.
• “Dan apa saja musibah yang menimpamu maka itu
disebabkan oleh perbuatan dosamu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan-
mu)”, QS Asy-Syuura : 30-
• “Dan bila dikatakan kepada mereka, “janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi.” Mereka men-
jawab, “sesungguhnya kami adalah orang-orang yang
mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya me-
rekalah yang berbuat kerusakan tapi mereka tidak sa-
dar”, QS Al-Baqarah (2) : 11-12.
• “Apabila kemaksiatan telah merajalela pada umatku,
maka Allah azza wa jalla akan meratakan mereka de-
ngan adzab dari sisi-Nya.” (Lihat : ash-Shohihah no.
137)
• “Apabila perzinaan dan transaksi riba telah merata
pada suatu negeri maka Allah azza wa jalla meng-
izinkan negeri itu untuk dihancurkan.” (ad-Da` wa
ad-Dawa`, hlm. 70)
• “Tidaklah bumi ini diguncang melainkan karena mak-
217
siat yang dikerjakan di atasnya.” (ad-Da`wa ad-Dawa`,
hlm. 74)
• “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan
suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri
mereka sendiri”, QS. Ar-Ra’du (13) : 11 .
Di mana, semua ayat Al Qur’an dan Al Hadist di atas insya
Allah akan menuntun kita untuk memahami Pasal TAQ-
DIR.
Kita pada akhirnya akan percaya bahwa TAQDIR YANG
BAIK dan YANG BURUK, kedua-duanya adalan KETETAPAN
yang BERASAL dari ALLAH. Inilah RUKUN IMAN KE-ENAM
yang sangat sulit sekali untuk kita pahami kalau kita tidak
memakai kacamata Makrifatullah. Kita nyaris tidak ber-
iman lagi terhadap rukun iman keenam ini. Dan keti-
dakberimanan kita kepada rukun iman keenam ini pulalah
yang menyebabkan kita punya MASALAH BESAR dalam
MENGINGATI ALLAH setiap saat. Bagaimana kita akan bisa
mengingat sesuatu yang tidak kita imani.
Kalau kita tidak bisa mengingati Allah (dzikrullah) di setiap
saat, maka kita akan bermasalah besar pula dalam
bersikap IHSAN kepada Allah. Gagal dalam berihsan, maka
gagal pulalah kelengkapan dan kesempurnaan kita dalam
beragama. Karena Agama Islam ditegakkan di atas TIGA
PILAR yang tidak boleh satupun yang tidak ada. Ketiga-
tiganya Wajib Ada, yaitu :
• ISLAM,
218
• IMAN, DAN
• IHSAN.
Dalam mengamalkan ketiga pilar agama Islam itu . . .
. . . kita membutuhkan INGATAN kita yang
HANYA TERTUJU kepada Allah semata-mata,
sehingga kita bisa MELUPAKAN dan
MEMAAFKAN semua masalah kita dan segala
penyebab-penyebabnya.
Lupa kepada permasalahan-permasalahan,
. . . maka kitapun akan hidup penuh dengan
KETENTERAMAN.
Hanya orang yang sudah tenteram inilah yang . . .
. . . dipanggil oleh Allah untuk memasuki alam
kehidupan syurgawi bersama-sama dengan
Nabi-Nabi dan hamba-hamba Allah lainnya
yang telah diberi-Nya Rahmat.
Dan untuk bisa mengingati Allah (dzikrullah) berlama-
lama, maka kita akan membutuhkan Kacamata Makri-
fatullah sebagai anak kunci untuk membuka pintu INGAT-
219
AN kita kepada Allah. Kalau pintu itu sudah terbuka, maka
kita tinggal ISTIQAMAH di dalamnya.
Jadi . . .
. . . Makrifatullah itu bukanlah AKHIR dari
perjalanan Kerohanian kita, tapi Ia adalah
AWAL dari perjalanan Kerohanian kita. Dari
bermakrifatullah itulah kita akan bisa Beriman
dan Berihsan kepada Allah. Lalu dalam
keadaan kita beriman dan berihsan kepada
Allah itu pulalah kita akan bisa menjalankan
syariat Islam dengan tanpa beban sedikitpun.
Yang ada adalah kegembiraan kita dalam beragama. Wa-
laupun kadangkala kita tiba-tiba menangis, tapi tangis kita
itu adalah tangis bahagia karena kita melihat kebenaran :
“Engkau melihat mata mereka mencucurkan air mata
disebabkan kebenaran yang mereka ketahui, sambil
mereka berkata : Wahai Tuhan kami, kami beriman,
oleh sebab itu tetapkanlah kami bersama-sama
orang-orang yang menjadi saksi”, Al Maidah (5/83).
Jadi menangisnya mereka itu bukan lagi karena proses
HIPNOSA PIKIRAN atau sekelas tangisan sekresi hormonal
dan tetesan air liur seperti yang telah kita bahas di bagian
220
terdahulu. Akan tetapi mereka menangis karena mereka
telah MENGETAHUI KEBENARAN seperti halnya orang-
orang terdahulu yang juga telah menjadi saksi atas KEBE-
NARAN itu.
Sampai di sini, berakhirlah artikel Kalung Yang Sudah Ter-
pasang di Leher15
yang masih merupakan awal atau pem-
buka kata tentang pembahasan masalah TAQDIR.
15 http://yusdeka.wordpress.com/2014/09/24/kalung-yang-sudah-
terpasang-di leher/
221
Artikel 10 :16
Sang Wajibul Wujud
Pada artikel terdahulu, kita sudah membahas tentang . . .
. . . bagaimana menyakitkan dan melelahkan diri
kita sendiri kalau kita masih MERASA WUJUD di
samping kewujudan Allah. Kita jadi berpecah
belah, kita selalu bertengkar, dan kita tidak bisa
untuk MEMAAFKAN dan MELUPAKAN. Dan akibat
yang paling parah adalah kita tidak bisa lagi
MENGINGAT ALLAH (Dzikrulllah) dalam setiap
amalan syariat yang kita lakukan maupun dalam
kegiatan sehari-hari.
Karena kita tidak bisa mengingati Allah, maka kita akan segera
berteman AKRAB dengan syaitan.
Mau percaya atau tidak dengan ayat Al Qur’an berikut ini
silahkan:
• “Barang siapa yang berpaling dari INGAT kepada Yang
Maha Rahman, maka Kami buat atau kirimkan atasnya
syaitan sebagai teman setianya”, Az Zukhruf (43): 36.
• “Dan sungguh syaitan itu akan menghalang-halangi mereka
16 http://yusdeka.wordpress.com/2014/10/10/sang-wajubul-wujud/
222
dari jalan yang benar, sedang mereka menyangka bahwa
mereka mendapat petunjuk”, Az Zukhruf (43): 37.
Karena kita merasa wujud pula di samping kewujudan Allah,
maka seketika itu juga lunturlah Tauhid kita. Kita menyekutu-
kan Allah dengan kewujudan diri kita sendiri. Tidak cukup
hanya itu, saat kita merasa wujud, ternyata kita juga akan me-
lihat orang lain yang ada di sekitar kita sebagai wujud yang ha-
rus berada di bawah kekuasaan dan kehebatan kita. Karena
kalau kita wujud, maka kita akan segera merasa lebih berkua-
sa dan lebih merasa hebat dari orang lain. Seperti juga Iblis
menyekutukan Allah dengan dirinya sendiri dan merasa lebih
hebat dari Allah dan Adam melalui perkataaannya yang sangat
masyhur: “Ana khairu minhu, wujudku lebih baik dari wujud
Adam, maka aku tidak akan pernah mau sujud kepada Adam
sampai hari yang telah Engkau Janjikan”.
1. “Ya sudah, kalau begitu saya mengaku tidak wujud saja.
Laa maujud illallah, laa maujud illallah.”, kata kita dengan
penuh semangat.
2. Lalu tak berapa lama kemudian terlontarlah kata-kata
seperti berikut ini dari mulut kita dengan sangat mudah-
nya :
a. “Aku nggak ada, yang ada adalah Allah”
b. “Bukan aku yang rukuk kok, tapi Allah yang meru-
kukkanku, aku hanyalah seonggok daging yang pasif,
Allahlah yang menggerakkanku, yang menghidup-
kanku, yang membuatku melihat dan mendengar.
Allahlah yang menyolatkanku, yang menakbirkanku,
223
yang membacakanku, dsb”
c. “Hilangkan kehendak kita agar Allah menggantinya
dengan Kehendak-Nya. Rasakan tubuh kita berada
dalam kendali Allah”.
Tapi lihatlah dengan penuh kewaspadaan. Dengan perkataan-
perkataan kita seperti itu,
. . . tidakkah kita sebenarnya sedang
MENGKERDILKAN ALLAH hanya sebatas pada apa-
apa yang sedang kita kerjakan, yang kita katakan,
atau apa-apa yang sedang terjadi pada diri kita ?
Bukankah Allah Maha Besar, Maha Suci ?
Memangnya kita ini siapa ? Sampai-sampai Allah harus MENG-
AMBIL ALIH semua aktifitas kita menjadi Aktifitas-Nya. Di
sinilah penyebab utama munculnya orang-orang yang menga-
ku dan mengatasnamakan Allah terhadap apa-apa yang mere-
ka lakukan. Akan tetapi sebenarnya mereka sedang memper-
lihatan kewujudan mereka sendiri. Dan dari sini pulalah ber-
mulanya Paham Wahdatul Wujud dengan semua variannya.
Lalu bagaimana donk hubungannya dengan :
1. Perkataan Allah di dalam Al Qur’an : “Maka (yang sebe-
narnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan
tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu
yang melempar ketika engkau melempar, tapi Allahlah
224
yang melempar”, Al Anfal (8) : 17.
2. Dan Al Hadist Qudsi: “Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka
Aku mengumumkan perang terhadapnya dari-Ku. Tidak
ada yang paling Aku cintai dari seorang hamba kecuali
beribadah kepada-Ku dengan sesuatu yang telah Aku wa-
jibkan kepadanya. Adapun jika hamba-Ku selalu melak-
sanakan perbuatan sunah, niscaya Aku akan mencintanya.
Jika Aku telah mencintainya, maka (Aku) menjadi pen-
dengarannya yang dia mendengar dengannya, (Aku) men-
jadi penglihatan yang dia melihat dengannya, menjadi
tangan yang dia memukul dengannya, menjadi kaki yang
dia berjalan dengannya. Jika dia memohon kepada-Ku,
niscaya akan Aku berikan dan jika dia minta ampun ke-
pada-Ku, niscaya akan Aku ampuni, dan jika dia minta per-
lindungan kepada-Ku, niscaya akan Aku lindungi.”
“Bukankah esensi dari ayat Al Qur’an, Hadist Qudsi di atas
sama dengan kalimat-kalimat yang terdahulu di atas ?”, kata
kita dengan penuh semangat.
Ya bedalah !
Kata-kata pertama yang di atas, KITA sendirilah yang MENGU-
CAPKANNYA, kita sendirilah yang MENETAPKANNYA. Sedang-
kan pada ayat Al Qur’an dan Hadist Qudsi di atas ALLAH SEN-
DIRI yang MENETAPKANNYA. Ya pasti beda donk !
• Yang pertama adalah pengakuan dan penetapan dari kita.
• sedang yang kedua adalah Pengakuan dan Penetapan dari
225
Allah. Karena memang Allah berhak untuk berkata apa saja
atas Perlakuan-Nya terhadap Dzat-Nya.
Fakta seperti inilah nampaknya yang banyak dilupakan oleh
para sufi penempuh jalan tarekat dan jalan wali-wali, sehingga
seringkali kita mendengar dan membaca ucapan-ucapan SYA-
TAHAT yang menyangka bahwa makhluk adalah Allah, Allah
adalah makhluk. Alam adalah Allah, Allah adalah alam. Dia
adalah aku, aku adalah Dia.
Apalagi oleh orang-orang yang hanya mengandalkan pikiran-
nya semata, mereka akan mudah sekali berkata: “Alam semes-
ta akan mendukung apa-apa yang kita pikirkan. Kita bisa
mengubah kehidupan kita dengan cara kita mengubah Vibrasi
kita, sebab kehidupan ini hanyalah permainan vibrasi saja, dan
sebagainya”. Akhirnya kita jadi keblinger sendiri.
“Lalu bagaimana donk yang sebenarnya, hakikinya ?”, kata kita
yang mulai sedikit penasaran. Untuk itu mari kita pakai kaca-
mata baru kita yang bisa memandang sampai ke Hakekat dari
Semua Ciptaan ini, Kacamata Makri-
fatullah.
A. Pintu Makrifatullah - Jalan Wali-
Wali dan Mursyid
Banyak paradigma yang mena-
warkan untuk kita bisa masuk kepada Alam Makrifatullah.
Salah satu paradigma yang sangat terkenal saat ini adalah
226
SYARIAT – TAREKAT – HAKIKAT – MAKRIFAT. Bahwa
orang-orang yang masih berkutat pada pelaksanaan
syariat saja dianggap masih berada pada tatanan kulit-
kulit saja dalam beribadah. Dengan syariat saja kita
dianggap tidak akan pernah sampai kepada Makrifatullah.
Hanya dengan melalui jalan Tarekatlah satu-satunya cara
agar kita baru bisa bermakrifat. Tarekat adalah sebuah
jalan yang sangat eksklusif yang dengannya kita baru bisa
mencapai makam Makrifatullah. Jadi tanpa tarekat kita
dianggap tidak akan pernah bisa sampai bermakrifat
kepada Allah.
Seperti yang sudah kita bahas dalam artikel terdahulu,
tarekat ini baru muncul 300 – 400 tahun setelah wafatnya
Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya belum ada, walaupun
dalam silsilah tarekat itu dikatakan awalnya sampai juga
kepada Rasulullah SAW. Kemudian tarekat ini pecah men-
jadi dua cabang besar periwayatan. Yaitu riwayat yang
berasal :
• dari tangan Khalifah Abu Bakar Siddiq Ra dan
• yang dari tangan Ali bin Abi Thalib Ra.
Dari dua cabang inilah kemudian yang membentuk tare-
kat-tarekat antara yang satu dengan yang lain berbeda
dalam praktek dzikirnya. Dari dua cabang ini bermuncul-
anlah beragam Tarekat yang kemudian dinamakan de-
ngan orang yang membawa atau mengembangkannya.
Para pengembang atau pembawa ajaran Tarekat ini dise-
227
but sebagai Wali-wali, Mursyid yang Kamil Mukamil, Kha-
lifah, atau Syech, yang tanpa mengikuti cara-cara mereka
kita tidak akan pernah bisa memasuki maqam Makri-
fatullah. Makanya kedudukan wali ini sangat susah sekali
bagi orang awam untuk mencarinya, apalagi untuk men-
capainya.
1. Dzikir
Antara satu tarekat dengan tarekat yang lainnya ber-
beda dalam hal :
• CARA berdzikir,
• LAFAZ dzikir,
• HITUNG jumlah dzikir,
• dan OBJEK PIKIR dalam berdzikirnya.
Umumnya cara berdzikirnya terbagi dalam tiga cara,
yaitu :
• Dzikir Jahar,
• Dzikir Qalb,
• dan Dzikir Sirr.
Lafaz Dzikir biasanya adalah : “Laa Ilaaha Illallah,”
atau “Allah-Allah-Allah,” atau “Huu Allah,” atau “Huu
Haq,” atau “Huu,” dan sebagainya. Objek Pikir yang
harus kita ingat-ingat selama kita berdzikir itu bia-
sanya adalah HURUF ALLAH, lathaif-lathaif (cakra),
denyut jantung, aliran keluar-masuk nafas, dan lain-
lain.
228
Dan yang tak kalah pentingnya adalah, pada awal kita
mau berdzikir itu, kita harus mengingat dan memba-
yangkan Wajah Guru Mursyid kita, dan juga menye-
but Silsilah dari guru-guru kita sampai ke Rasulullah
Saw. Proses ini disebut sebagai RABITAH MURSYID.
Yang dimaksud dengan BERDZIKIR di sini adalah
MENGUCAPKAN atau MELAFAZKAN kalimat-kalimat
dzikir seperti di atas secara BERULANG-ULANG dalam
JUMLAH TERTENTU baik secara JAHAR (bersuara)
ataupun secara SIRR (tidak bersuara) yang dilakukan
pada POSISI TUBUH tertentu seperti berbaring, duduk
tawaruk, berdiri, berjalan, ataupun bergerak dan
berputar-putar.
Pada awalnya, tubuh kita akan bergetar secara tidak
beraturan, kita bisa menangis dan kadangkala sampai
berteriak histeris, dan bahkan sampai terjatuh dan
berguling-guling. Tubuh, kaki dan tangan kita bisa
pula seperti diangkat dan dibentur-benturkan ke ta-
nah. Akan tetapi pada tahapan berikutnya tubuh kita
akan mulai diam, seakan-akan sudah berada pada se-
buah frekuensi getaran tertentu. Kalaupun kadangka-
la tubuh kita masih bergerak-gerak, cuma gerakannya
sudah seperti seirama dengan gerak sebuah getaran
yang ada di alam tempat di mana kita berada. Lalu
tubuh kita diam.
229
2. Objek Pikir
a. OBJEK PIKIR kita adalah QALB
Kalau OBJEK PIKIR kita adalah QALB (yang dalam
hal ini adalah JANTUNG), atau LATHAIF-LATHAIF
mulai dari yang terletak di wilayah dada sampai
ke ujung kepala dan juga seluruh tubuh, tidak
berapa lama kemudian akan ada seperti aliran
ENERGI yang bergerak ke atas dari bawah perut
kita. Perut kita seperti berkontraksi untuk meng-
eluarkan sebentuk energi. Begitu energi itu naik
ke atas dengan cepat, ia mendorong dada kita
bergerak secara bergelombang dan aliran udara-
nya menyentuh pita suara kita. Tanpa kita senga-
ja akan ke luar kata-kata “Huu,” yang keluarnya
seperti kita sedang “mengedan” saat kita (maaf)
buang air besar.
b. OBJEK PIKIR kita adalah Alam Semesta
Kalau OBJEK PIKIR kita adalah alam semesta, ma-
ka energi yang muncul dari bawah pusar itu se-
perti akan melambungkan kita naik ke alam-alam
yang lebih tinggi menuju ke langit. Kepala kita
bisa terdongak ke atas, atau tubuh kita seperti
jinjit (tumit kita terangkat) dan kita berdiri pada
bagian ujung kaki kita. Tubuh kita seperti ingin
naik ke atas, dan itu bisa terjadi secara berulang-
230
ulang. Energi itu juga mendorong pita suara kita
untuk mengucapkan “Huu, Huu, Huu,” atau kita
bisa pula “Huu. Allah, Huu. Allah.”
c. OBJEK PIKIR kita adalah ke Luar Masuknya Nafas
Kita
Kalau OBJEK PIKIR kita adalah ke luar masuknya
nafas kita, hal yang sama dengan yang di atas
juga akan terjadi. Energi dari bawah pusar kita
akan naik mengikuti aliran ke luar masuknya
nafas kita itu. Sehingga kita bisa berkonsentrasi
pada satu objek pikir saja, yaitu ke luar masuknya
nafas kita. Pada suatu saat, ucapan “Huu,” atau
“Huu. Allah” itu juga akan ke luar dari mulut kita
seperti otomatis begitu saja.
3. Metamorfosis Menjadi Alam
Kalau semua fenomena getaran energi di atas sudah
reda. Kita akan terdiam. Tubuh kita akan rileks. Ge-
taran tubuh kita terasa sudah seirama dengan getar-
an-getaran yang ada di alam tempat di mana kita
berada. Makanya tubuh kita seakan-akan sudah men-
jadi alam itu sendiri.
Alam adalah diri kita, diri kita adalah alam.
Di sini kita sampai kepada pencapaian pintu hakekat
231
bahwa hakekat diri kita adalah sama dengan alam
semesta. Tidak ada perbedaan antara kita dengan
alam semesta. Kita bisa merasakan bahwa diri kita
adalah seluas dan sebesar alam semesta. Luas dan
besar sekali.
4. Mengikuti Aliran Energi Alam
Kalau kita ingin meningkatkan lagi getaran tubuh kita
ini ke tingkat yang lebih halus, maka kita bisa me-
lakukannya dengan cara kita bergerak mengikuti
aliran energi alam. Bahwa di alam ini ada aliran energi
yang sedang aktif bergerak menggerakkan alam se-
mesta dan materi-materi yang ada di dalamnya. Kita
bisa melakukannya dengan menambahkan HIPNOSA
bahwa energi itu adalah milik Allah, atau bisa pula
tidak ada hipnosa sama sekali.
Karena kita sudah merasa bahwa tubuh kita sudah
menjadi alam, maka sekarang kita bisa melatih bahwa
alam bergerak mengikuti gerak yang ada di alam itu.
Kita tunggu gerak itu, dan kalau gerak itu sudah te-
rasa ada maka kita ikuti gerak itu. Tubuh kita akan
bergerak ke sana ke mari dengan sangat ringannya.
Gerakan-gerakan kita kadangkala tidak beraturan, ka-
dangkala bisa pula gerak berputar-putar seperti ga-
sing, atau seperti tarian sufi. Selama kita mengikuti
gerakan itu, pada saat-saat tertentu kembali seperti
ada aliran energi yang mendorong pita suara kita
232
untuk berkata-kata atau berucap-ucap kata tertentu.
Seakan-akan ucapan-ucapan kita itu adalah ucapan
yang bukan dari diri kita. Tapi ucapan yang dituntun,
kata kita. Dan hanya tinggal selangkah lagi saja kita
untuk berkata-kata seperti yang diucapkan oleh orang
yang berpahaman Wahdatul Wujud dengan berbagai
variannya.
Kalau kita berkata-kata pada stage ini, maka biasanya
kita mengatakan bahwa gerakan kita adalah gerakan
Allah, kata-kata kita adalah kata-kata Allah, dan
sebagainya
Berbagai Aliran SILAT juga melakukan hal ini dengan
cara yang sedikit berbeda di sana sini. Yang penting di
sini adalah kita mau bergerak mengikuti Aliran Energi
yang sedang kita rasa-rasakan sedang bergerak di
alam semesta. Tujuannyalah nantinya yang akan
membedakan kita satu sama yang lainnya.
B. Datangnya Ilham Tentang Makrifatullah dan Ilmu-Ilmu
Lainnya
Akhirnya setelah beberapa lama, biasanya berjam-jam.
Tubuh kita terasa sangat rileks sekali, dan badan kita rasa-
nya sangat luas sekali. Saat itulah dianggap waktu yang
pas bagi kita untuk duduk diam menunggu ILHAM. Kita
mengharapkan adanya ILHAM tentang makrifatullah dan
ilmu-ilmu lainnya. Makanya kalau sudah sampai pada
233
posisi seperti ini, banyak pula kita yang kemudian beralih
profesi menjadi dukun, atau orang “pintar”, atau orang
sakti, atau orang hebat, atau paling tidak orang yang akan
dimintai perto-longan oleh orang lain ketika mereka
punya masalah. Therapis atau lebih hebat lagi SANG
GURU kata orang sekarang. Kita mengaku sendiri atau
dianggap orang lain menjadi seseorang yang tahu tentang
hal-hal yang gaib.
C. Penyimpangan
Hanya saja IMAM GHAZALI ternyata sudah mencium juga
gelagat yang kurang bagus untuk hal di atas. Beliau
berkata bahwa :17
“Di tengah-tengah perjuangan ini,
• tabiat menjadi rusak,
• akal menjadi kacau dan
• badanpun sakit.
Apabila latihan dan pendidikan nafsu tidak men-
dahului datangnya hakikat segala ilmu, maka . . .
. . . akan merajalela khayalan-khayalan
yang merusakkan, di mana nafsu akan
puas dengan kahayalan-khayalan tadi
17 Keajaiban Hati, 47 (1979)
234
pada waktu yang lama sehingga habislah
umurnya, padahal apa yang dikhayalkan
itu belum pula diperoleh.
Banyak orang sufi yang menempuh jalan ini ke-
mudian ia senantiasa berada pada satu khayalan
dalam masa 20 tahun. Dan apabila dari dulunya ia
sudah mempunyai suatu ilmu yang kukuh tentu
terbukalah baginya segi kepalsuan khayalan tadi
seketika.”
Makanya ada kesan bahwa pelajaran Hakekat dan
Makrifat melalui Jalan Tarekat ataupun jalan-jalan lainnya
yang berkembang belakangan ini . . .
. . . akan memakan waktu sampai
PULUHAN tahun agar kita bisa bermakrifat.
Dan paling tidak saya sendiri sudah membuktikan ke-
benaran ungkapan Al Ghazali ini selama belasan tahun.
Akan tetapi, Allah adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Dia ternyata tidak akan membiarkan umat Is-
lam ini untuk berlama-lama berada dalam taraf kebi-
ngungan yang sudah berusia ratusan tahun ini. Dengan
cara Allah sendiri yang seringkali tidak masuk dalam logika
berpikir kita, tahu-tahu sekarang sudah terbentang saja
235
paradigma berpikir yang meneruskan kembali pelajaran
tasawuf jalan Nabi-Nabi dan Para Sahabat Beliau. Percaya
atau tidak, ya terserah saja. Yang pasti . . .
. . . Allah akan menuntun siapa yang
dikehendaki-Nya untuk menjadi percaya.
Paradigma berpikir jalan Nabi dan Para Sahabat Beliau ini
ternyata memakai pola :
• Mengajarkan Makrifatullah terlebih dahulu, sehingga
sampai kita bisa beriman kepada Allah.
• Setelah kita beriman, maka barulah kita diajarkan
untuk melaksanakan ibadah-ibadah, atau syariat yang
lainnya.
D. Jalan Nabi-Nabi
Untuk memasuki Pintu Makrifatullah dengan cara jalan
Nabi-nabi ini, mau tidak mau kita akan berhubungan
dengan Allah. Dialah Tuhan kita. Ya, Nama Tuhan kita
adalah Allah. Dia sendirilah yang telah menamakan Diri-
Nya dengan Allah. “Sesungguhnya Akulah Allah, tidak ada
Tuhan selain Aku; sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat
untuk mengingati Aku”, (QS: Thaha 14). Walaupun Allah
juga menamakan Diri-Nya dengan nama-nama yang Lain
seperti Ar Rahman, Ar Rahim, Al Quddus, sampai dengan
99 Nama-nama-Nya yang lain, namun Nama-nama itu
tetap HANYA mengacu kepada Allah saja. Tidak kepada
236
yang lain selain dari Allah.
DIRI Allah dipanggil Dzat. Hal ini didasari oleh:
• “Sesungguhnya Allah itu Dzat Yang Maha Indah”,
Terjemahan Shahih Muslim, Bk. 4, 570 (1994).
• “Demi Dzat yang tiada Tuhan selain Dia”, Terjemahan
Shahih Muslim, Bk. 1, 95 (1994).
• “Aku memohon kepada-Mu wahai Dzat yang memutus-
kan segala perkara”, Terjemahan Sunan At Tirmidzi
Bk.5, 335 (1993).
• “(Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka
sembahlah Dia”, Yunus (10): 3.
• Maka (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu
yang sebenarnya, maka tidak ada sesudah itu melain-
kan kesesatan”, Yunus (10):32.
Makanya kalau kita menyebut Nama ALLAH, tiada lain
yang kita MAKSUD adalah Dzat YANG MAHA INDAH. Dzat
yang sama dengan yang dimaksudkan oleh seluruh Nabi-
Nabi dan Rasul-Rasul, Para Sahabat, Tabiin, Tabiit Tabiin,
dan orang-orang yang menerusi Beliau semua.
Oleh sebab itu, kalau ada umat dari agama atau keper-
cayaan lain yang ingin memakai ALLAH pula untuk me-
namakan Tuhan dalam agama dan kepercayaan mereka,
maka mereka sepatutnya tahu dasar-dasar ilmu tentang
Allah ini. Makrifatullah. Kalau mereka tetap ngotot untuk
memakai Allah dalam menamakan Tuhan mereka, maka
tidak apa kita beritahu mereka dengan cara yang bijak.
237
Allah TIDAK SAMA dengan The God untuk istilah Tuhan
dalam Bahasa Inggris. Sebab The God maknanya adalah
SATU berhala yang paling. (The God) dari berhala-berhala
lain yang ada (gods). Allah bukanlah AL – ILAH yang ter, di
antara banyak ilah ilah ilah (berhala) yang lainnya, yang
sebanding dengan THE – GOD di antara banyak god, god,
god yang lainnya. Bukan.
Allah bukan nama untuk sebuah berhala yang ter . . . (the
ultimate) dari berhala-berhala yang lain. Allah bukan
berasal dari kata AL dan LAH. Bukan ! Allah adalah satu
nama UTUH yang hanya KHUSUS buat Nama Tuhan Se-
mesta Alam. ALLAH adalah NAMA yang hanya berhak di
sandang oleh ALLAH sendiri. Dan Nama Itupun Allah sen-
diri yang menetapkannya untuk Diri-Nya Sendiri.
Untuk itulah diperlukan MAKRIFATULLAH, Pengenalan ter-
hadap Allah. Itu gunanya adalah agar kita tidak salah ALA-
MAT ketika kita mengucapkan kata ALLAH; agar kita tidak
salah ARAH dalam MENYEMBAH-RUKUK-SUJUD; agar kita
tidak salah ALAMAT ketika kita berdoa; agar kita tidak
salah TUJUAN ketika kita memanggil-manggil nama-Nya;
agar kita tidak salah ARAH dalam perjalanan pulang kita,
agar kita tidak salah dalam hal MENGINGAT-INGAT dan
MENGGADANG-GADANGKAN.
Jadi Makrifatullah benar-benar adalah sebuah TITIK
AWAL, FONDASI, ASAS, di mana kehidupan kerohanian
kita bermula. Kalau fondasinya ini lemah, apalagi salah,
238
maka lemah dan salah pulalah kita dalam kehidupan kero-
hanian kita. Dan akibatnya adalah penderitaan bagi diri
kita sendiri.
Seperti telah disebutkan di atas, Diri ALLAH disebut Dzat.
Dzat ini bagi Allah adalah adalah sama seperti Jasad pada
manusia. Jadi Diri Allah disebut Dzat, sedangkan diri
manusia disebut JASAD. Hanya saja bagaimana RUPA dari
Dzat itu tidak dapat kita ketahui. RUPA Dzat tidak dapat
kita umpamakan. RUPA Dzat tidak dapat kita rupa-
rupakan. RUPA Dzat tidak dapat kita pikirkan. RUPA Dzat
tidak dapat kita lamunkan. RUPA Dzat tidak dapat kita
kira-kira.
RUPA Dzat tidak bisa kita lihat dengan MATA. Apapun
yang terpadang kepada Dzat ia akan Hangus TERBAKAR,
dan MUSNAH kembali menjadi Dzat. Karena Dzat itu
sangat AGUNG, sangat KUAT, sangat PERKASA. Semakin
dekat kepada Dzat, maka semakin terasa kedahsyatan
Dzat itu. Misalnya, atom, karena saking kecilnya, dan de-
kat dengan Dzat, maka kedahsyatannya telah melahir-kan
BOM ATOM. NUKLIR yang lebih dekat lagi kepada Dzat,
maka kedahsyatannya telah menghasilkan BOM NUKLIR.
Makanya kalau ada di antara kita yang ingin melihat Dzat
dengan mata kita, atau ingin mendekati Dzat dengan
tubuh kita, maka pastilah mata kita akan buta, tubuh kita
akan hancur. Ketika Nabi Musa AS ingin melihat Allah
dengan mata Beliau, maka Beliau pun pingsan, bukit Thur-
239
sina pun hancur luluh, tidak kuat memandang Keagungan
Dzat yang saat itupun barulah “Tajallai” Nya saja. Beliau
belum melihat Dzat yang sebenarnya. Sebab apapun yang
terpandang kepada Dzat, ia akan musnah, seperti mus-
nahnya atom dan nuklir membentuk energi yang sangat
besar, kuat, dan menghancurkan.
Dzat juga tidak bisa dibahas dan dipersepsikan. Sejarah
membuktikan bahwa umat Nasrani telah mencoba untuk
membahas Dzat atau Diri Allah. Maka mereka ke luar
dengan paham TRINITAS, yang sebenarnya bagi para umat
Nasrani sendiri sulit untuk dipahami.
Membahas Dzat itu jugalah penyebab dari munculnya
orang-orang yang menyembah matahari, ruh-ruh leluhur,
pohon-pohon besar, batu-batu tertentu, kuburan kera-
mat, bahkan pemuka-pemuka agama yang mereka anggap
keramat dan hebat.
Sebagian umat Islampun ada pula yang mencoba untuk
membahas dan mempersepsikan Dzat atau Diri Allah ini,
sehingga mereka ke luar dengan Paham Wahdatul Wujud,
Nur Muhammad yang telah membawa umat ke dalam
masa kebingungan yang sangat panjang dan lama. Aku
adalah Dia, Dia adalah aku. SATU dalam banyak, banyak
dalam SATU. Itu barulah beberapa konsep yang kitapun
sekarang bingung sendiri dibuatnya.
Apalagi kalau kita tidak paham dengan Makrifatullah ini,
240
maka kita dengan sangat mudah bisa menjadi orang
ATHEIS. Betapa tidak, apapun yang ada di alam semesta
ini seperti sudah berjalan dengan sendirinya, berubah
dengan sendirinya, berproses dengan sendirinya, sudah
teratur dengan sendirinya. Sebuah SISTEM yang sedang
berjalan, yang alangkah sempurnanya.
Inilah yang membuat Steven Hawking
berkesimpulan bahwa Tuhan tidak ada.
Oleh sebab itu, sekarang mari kita mulai membuka pintu
Makrifat ini dengan bersungguh-sungguh :
1. Awalnya
Pada awalnya, AWAL YANG TIADA AWAL, Yang ADA
semata-mata hanyalah Dzat Yang Maha Indah, Dzat
Yang Maha Agung. Dzat semata wayang. Tidak ada
sesuatu apapun YANG LAIN selain dari Dzat. Tidak ada
KEKOSONGAN, tidak ada pula KETIADAAAN. Yang ada
hanyalah Dzat.
Kalau di samping Dzat ada pula kekosongan atau
ketiadaan, atau ada pula SESUATU dalam bentuk apa
saja yang selain dari Dzat, maka Dzat itu bukanlah
Dzat Yang Maha Indah dan Yang Maha Agung.
Kalau kita masih bersikeras mengatakan bahwa di
samping Dzat ada pula KEKOSONGAN atau KETIADA-
241
AN, atau SESUATU yang lain, maka saat itu juga kita
telah jatuh ke jurang KEMUSYRIKAN. Kita telah men-
jadi SYIRIK. Tauhid kita telah Runtuh. Karena kita
masih melihat ada DUA KEWUJUDAN. Ada Dzat dan
ada pula KEKOSONGAN, atau Ada Dzat dan ada pula
KETIADAAN, atau ada Dzat dan ada pula SESUATU
yang lain, walau sekecil apapun juga.
Sedangkan TAUHID menghendaki atau mengisyarat-
kan hanya ada SATU saja KEWUJUDAN yang WUJUD,
yaitu Dzat Yang Maha Indah, Dzat Yang awalnya tiada
Awal. TIDAK ada wujud apapun di samping Dzat Yang
Maha Indah itu, baik itu berupa KEKOSONGAN, KETIA-
DAAN, ataupun SESUATU yang lain dalam bentuk
apapun.
Dzat Yang Maha Indah itu menamakan sendiri Diri-
Nya sendiri dengan nama “ALLAH”. Tidak ada SESIAPA
atau APAPUN juga yang boleh kita namakan dengan
nama Allah ini. Kalau ada seseorang yang menyebut
dirinya dengan sebutan Allah pula, maka pastilah ia
akan dimatikan. Kalau ada sesuatu yang selain Allah
yang kita jadikan sebagai Allah, maka pastilah kita
akan disiksa, dipedihkan, dan bahkan dihancurkan-
Nya.
ALLAH adalah NAMA untuk Dzat Yang Maha Indah.
Dzat adalah sebutan untuk DIRI ALLAH, seperti halnya
juga JASAD untuk sebutan bagi DIRI KITA. Jadi kalau
242
kita menyebut nama Allah, maka yang kita maksud itu
adalah nama untuk Dzat Yang Maha Indah, atau
selanjutnya bisa kita singkat saja dengan Dzat.
Bagaimana RUPA Dzat, tidak ada seorangpun yang
tahu. Kita sudah bahas sebelumnya bahwa barang
siapa yang mencoba untuk merupa-rupakan RUPA
Dzat, memikirkan-mikirkan RUPA Dzat, mengumpa-
ma-umpamakan RUPA Dzat, membayang-bayangkan
RUPA Dzat, maka yang akan kita temukan adalah ke-
sesatan, kejahilan, dan kebodohan. Konsep Trinitas,
Wahdatul Wujud, Nur Muhammad, adalah sedikit
contoh hasil dari usaha umat manusia untuk memba-
has RUPA Dzat.
Konsep ini penting sekali untuk kita ketahui, karena
kita memang diperintahkan oleh Allah untuk selalu
MENGINGATI ALLAH (DZIKRULLAH). “FADZAKURUNI,
INGATLAH AKU.”, kata Allah. Lalu apa-Nya yang akan
ingat ? Masalah Dzikrullah ini akan kita perdalam lagi
pada bagian berikutnya.
Sekarang mari ita lanjutkan pembahasan kita tentang
masalah kewujudan ini.
2. Allah Berkehendak
Lalu Allah Berkehendak untuk Menciptakan Makhluk-
Nya. Akan tetapi, karena saat itu tidak ada apa-apa
243
selain dari Dzat- atau Diri-Nya sendiri, maka dari
manakah bahan dasar yang dipakai-Nya untuk men-
ciptakan Makhluk-Nya itu ? Mau mengambil dari
TIADA, ketiadaan itu tidak ada. Mau mengambil dari
yang kosong, kekosongan itupun tidak ada. Mau
mengambil dari sesuatu, sesuatu itupun tidak ada.
Yang ada hanya semata-mata Diri-Nya sendiri. Dzat.
Maka satu-satunya cara agar Dia bisa menciptakan
makhluk-Nya adalah dengan memakai Dzat-Nya sen-
diri. Allah WAJIB menciptakan semua ciptaan itu dari
DIRI-Nya Sendiri. Karena tidak ada apapun juga selain
dari Diri-Nya sendiri. Dzat.
Jadi Dzat adalah Sang Wajibul Wujud bagi terjadinya
semua proses penciptaan makhluk-Nya. Dzat yang
Wajib Kewujudan-Nya. Dzat yang tidak bisa tidak ada.
Dzat yang WAJIB ADA. Sebab Dzat itu akan menjadi
unsur awal dari terciptanya seluruh Ciptaan. Kalau
Dzat ini tidak ada, maka pasti tidak akan ada pula
ciptaan.
Dzat disebut juga sebagai HAKIKAT dari
semua Ciptaan. Ketika mata kita melihat
semua Ciptaan, maka kita sudah tahu
bahwa Hakikat sebenarnya dari
244
Ciptaan itu adalah Dzat, tanpa kita harus
tahu bagaimana Rupa dari Dzat itu.
“Lha, kalau begitu sama saja donk dengan Paham
Wahdatul Wujud ? Dzat itukan Allah juga ? Jadi boleh
donk dikatakan bahwa semua makhluk ini berasal dari
Allah. Inna lillahi wa inna ilahi rajiuun, aku berasal
dari Allah dan kepada Allahlah aku akan kembali”,
kata kita penuh semangat.
Kalau dilihat sepintas lalu sih, kalimat pengungkapan-
nya memang kelihatannya hampir sama saja dengan
Paham Wahdatul Wujud. Tapi akan sangat berbeda
MAKNANYA atau HAKEKATNYA.
Kalau kita mengatakan bahwa Dzat yang
terzahir menjadi semua ciptaan itu
BUKANLAH KESELURUHAN dari Dzat-NYA.
Akan tetapi yang menjadi SELURUH
CIPTAAN itu hanyalah
SEDIKIT saja dari Dzat-Nya.
Ya, Firman “KUN” itu HANYA ditujukan-Nya kepada
SEDIKIT dari Dzat-NYA yang besarnya tidak lebih dari
sebesar sebutir pasir dibandingkan dengan padang
pasir yang sangat luas, atau seukuran setetes air asin
245
di tengah-tengah samudera raya. Atau menurut
ilmuan masa kini, seukuran PARTIKEL yang mereka se-
but sebagai PARTIKEL TUHAN (HIGG BOSSON) di ke-
luasan the Universe. Di mana Higg Bosson ini adalah
sebuah partikel yang ukurannya sangat kecil sekali,
yang keberadaannya sangat sulit sekali untuk ditang-
kap atau dibuktikan keberadaannya secara “kasat
mata” atau “kasat peralatan ilmiah”.
Akan tetapi, walaupun Dzat itu sangat kecil, namun
itu adalah Bagian dari Dzat-Nya sendiri. Tidak ada
perbedaan antara Dzat Yang Keseluruhan, Yang Maha
Indah, dengan Dzat Yang sedikit itu. Ia Tetap bisa
disebut sebagai Dzat. Bedanya hanyalah dalam hal
MAGNITUDE-NYA saja.
Kalau mau diumpamakan . . .
. . . hubungan antara Dzat dengan Dzat
yang sedikit itu adalah ibarat gajah dengan
ekor gajah. Dzat adalah TUBUH GAJAH,
dan Dzat yang sedikit adalah EKOR GAJAH.
Jadi ekor gajah adalah sebagian kecil dari
gajah. Ekor gajah bukanlah gajah. Ekor
tidak akan bisa bergerak kalau gajah tidak
menggerakkan ekornya itu.
246
Ekor gajah TIDAK bisa mengatakan bahwa dia adalah
gajah. Sebaliknya, gajah BISA berkata bahwa ekornya
itu adalah dia. Dzat yang sedikit tidak bisa berkata
bahwa ia adalah Allah. Sebaliknya, Allah bisa berkata
bahwa Dzat yang sedikit itu adalah Dia. Allah berhak
berkata bahwa Dialah yang menggerakkan Dzat yang
sedikit itu.
Oleh sebab itu, Makhluk TIDAK BISA berkata-kata dan
mengakui bahwa ia adalah Allah, perkataannya ada-
lah perkataan Allah, tindakannya adalah tindakan
Allah, gerakannya adalah gerakan Allah. TIDAK BISA.
Sebab kalau kita berkata seperti itu, kita ibarat orang
buta yang berkata bahwa kita sedang memegang
gajah ketika kita sebenarnya sedang memegang ekor
gajah.
Sebaliknya Allah BISA mengakui bahwa perkataan
makhluk-Nya adalah perkataan-Nya, tindakan makh-
luk-Nya adalah tindakan-Nya, gerakan makhluk-Nya
adalah gerakan-Nya. Sebab semua makhluk-Nya se-
benarnya adalah TIADA. Semua makhluk itu adalah
sebagian yang sangat sedikit dari Dzat-Nya Sendiri,
sebagian yang sangat kecil dari DIRI-NYA sendiri.
Saat makhluk-Nya membunuh atau
memukul, Allah berhak mengatakan
247
bahwa yang membunuh dan yang
memukul itu adalah Dia Sendiri. “Aku yang
memukul, Aku yang membunuh, bukan
kamu.” Sebaliknya makhluk-Nya yang
membunuh dan yang memukul itu TIDAK
berhak, tidak boleh sama sekali untuk
berkata: “Yang membunuh adalah Allah,
yang memukul adalah Allah, bukan aku.”.
Paradigma Ini adalah bagian yang sangat penting
sekali agar kita terhindar dari Paham Wahdatul Wu-
jud atau Paham Nur Muhammad.
Dzat-Nya Yang Indah Magnitude-Nya adalah MAHA,
MAHA ABSOLUT ! Dan Dzat-Nya yang Yang Maha
Indah ini boleh juga . . .
. . . disebut juga sebagai
THE PRIMARY ESSENSE (TPE).
Dzat Yang penuh rahasia. Rahasia di atas rahasia, di
atas rahasia, di atas rahasia.
DI DALAM Liputan Dzat-Nya Yang Maha Indah itu ada
SEDIKIT Dzat-Nya yang AKAN dikenai-Nya dengan
Firman “KUN”. Dzat yang sedikit itu KECIL SEKALI di
248
bandingkan dengan TPE. Ia seumpama kecilnya
sebutir pasir yang berada di tengah-tengah padang
pasir, atau setetes air asin di dalam samudera luas,
atau yang lebih dahsyat lagi adalah seukuran the
HIGG BOSSON PARTIKEL yang sangat kecil diban-
dingkan dengan The Universe (alam Semesta Raya).
Agar lebih memudahkan kita,
. . . Dzat-Nya Yang sedikit ini kita sebut saja
sebagai THE SECONDARY ESSENSE (TSE).
Namun TSE ini tetap tidak terpisah dari TPE. Dimana
TSE adalah ibarat ekor gajah terhadap gajah. Ketika
gajah berkata “aku adalah gajah”, maka yang dimak-
sudkan oleh gajah itu adalah badannya berikut de-
ngan ekornya sekaligus. Satu.
Begitu juga, ketika Allah berkata Aku, maka Diri-Nya
yang Dia maksudkan Aku Itu adalah TPE dan TSE
sekaligus. Sebab kedua-duanya adalah Dzat-Nya sen-
diri. SATU.
Akan tetapi ketika kita ingin bercerita tentang makh-
luk dan berkata-kata sebagai makhluk, maka magni-
tude pembicaraan kita hanyalah berkisar sampai pada
TSE saja, yaitu Dzat-Nya yang sedikit, Dzat-Nya yang
sangat kecil.
249
Ya,
. . . hanya di dalam TSE yang sangat kecil
ini sajalah terjadinya semua perubahan,
pergolakan, penciptaan, penghancuran,
kesenangan, penderitaan, kepatuhan,
kedurhakaan, dan segala apapun juga yang
berkenaan dengan ciptaan.
Sedangkan apa dan bagaimana yang terjadi pada TPE
kita tidak mengetahuinya sedikitpun juga. TPE itu
sungguh SANGAT SUCI dari segala persepsi-persepsi
kita.
“KUN !”, maka Firman-Nya itupun Dia tujukan kepada
TSE :
1) Saat itu juga bermulalah Ruang dan Waktu.
RUANG menyediakan tempat untuk semua Cipta-
annya BERADA, dan WAKTU akan mengan-tarkan
semua Ciptaan untuk TERZAHIR. Untuk Penzahir-
an semua ciptaan itu, TSE menjadi Unsur Dasar,
Unsur Azali, HAKEKAT yang akan terzhahir men-
jadi semua Ciptaan, termasuk Ruang dan Waktu.
2) Dari TSE terciptalah TABIR 70 CAHAYA, Arasy-Nya
Yang Sangat Agung, lapisan Air Yang sangat
Masiv, dan Sidratul Muntaha.
3) Dari TSE itu pulalah, setelah peristiwa Dentuman
250
Besar (the big bang), tercipta Tujuh Lapis Langit,
Bumi, dan segala kelengkapan di antara kedua-
nya.
Sekarang mari kita lihat ada berapakah KEWUJUDAN
Yang WUJUD :
1) The Primary Essense adalah Dzat-Nya,
2) The Secondary Essense juga adalah Dzat-Nya, tapi
Dzat-Nya yang sedikit, yang berada di dalam
liputan TPE.
Selubung 70 Cahaya dan semua ciptaan-Nya yang
berada di dalam TSE adalah Wujud dalam beragam
bentuk dan rupa. Kita memang melihat dengan mata
kita sendiri bahwa ada beragam Wujud yang ada di
hadapan kita. BANYAK. Akan tetapi, kalau kita melihat
semua ciptaan itu dengan mata hati kita, maka kita
akan melihat bahwa . . .
. . . hakekat dari semuanya itu tak lain dan
tak bukan adalah Dzat juga, walau hanya
sedikit dari Dzat Yang Keseluruhan.
Jadi Kewujudan yang Wujud semata-mata hanyalah
Dzat. Dzat-Nya kabeh (semua).
Alhamdulillah, dengan begitu ketauhidan kita masih
TETAP UTUH. Sebab kita masih bisa melihat bah-
251
wa . . .
. . . hanya ada SATU KEWUJUDAN yang
Wujud, yaitu Dzat. Makanya Dzat kita
sebut juga sebagai SANG WAJIBUL WUJUD.
Dzat Yang Wajib Ada. SATU.
Jadi untuk mengetahui HAKEKAT dari semua ciptaan
ini, kita tidak perlu bersulit-sulit diri dan berlama-
lama lagi dalam mencarinya.
Kita bisa dengan MUDAH memasuki Alam
Hakekat itu melalui PINTU ILMU, yaitu
Ilmu Mengenal Allah, Makrifatullah.
Kita memakai ilmu makrifatullah ini ketika kita meli-
hat semua ciptaan, sehingga mata hati kita bisa men-
jadi sangat tajam untuk melihat bahwa di sebalik se-
mua ciptaan itu ternyata adalah Dzat-Nya semata-
mata. Ya, Makrifatullah adalah kacamata kita dalam
memandang Alam Hakekat. Dan dari sinilah kita seha-
rusnya memulai kehidupan kerohanian kita, misalnya
shalat dan mengingati Allah.
3. The Primary Essense, Dzat Yang Maha Indah
Di dalam serial TV “Cosmos A Spacetime Odyssey”
252
dikatakan bahwa sebelum terjadinya Dentuman Besar
(the big bang), yang mereka katakan sebagai awal
bagi terciptanya Ruang dan Waktu, tidak ada sesuatu-
pun yang bisa kita ketahui. Tidak ada data dan tidak
ada informasi yang akan bisa menggantarkan kita
untuk mengetahuinya.
Menurut mereka, the big bang itu sendiripun barulah
awal dari terciptanya THE UNIVERSE yang memuat
milyaran gugus bintang termasuk bumi dan matahari.
Namun di dalam serial TV itu belum bisa mereka
ungkapkan tentang peristiwa penciptaan :
1) 70 lapis tirai Nur,
2) Arasy Allah,
3) Lapisan Air Yang Masiv,
4) Sidratul Muntaha, dan
5) Tujuh Lapis langit.
Seperti yang diceritakan oleh Al Qur’an dan Al Hadist.
Ilmu Pengetahuan baru sampai kepada kesimpulan
sementara bahwa The big bang adalah proses awal
terciptanya alam semesta berupa bintang-bintang,
termasuk bumi dan matahari serta apa-apa yang ada
di antaranya. Padahal the big bang menurut Al Qur’an
adalah lebih dahsyat lagi, yaitu proses Awal Tercip-
tanya 7 Lapis Langit dan Bumi berikut dengan bin-
tang-bintang (the Universe) yang merupakan keleng-
kapan infrastruktur di antara Langit dan Bumi.
253
The big bang menurut Al Qur’an adalah ketika Langit
dan bumi yang tadinya padu, kemudian dipisahkan
oleh Allah menjadi langit dan bumi. “Dan apakah
orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasa-
nya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah
suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara ke-
duanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu
yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman?” (QS Al-Anbiya’ : 30)
Ilmu pengetahuan juga belum berhasil mengungkap-
kan secara ILMIAH bahwa sebelum peristiwa the big
bang itu terjadi, saat itu SUDAH ada pula terbentang
Kerajaan Allah yang disebut Sidratul Muntaha, tem-
pat di mana Para Malaikat SANGAT SIBUK membaca
KALAM ALLAH dan SELALU MENYUCIKAN ALLAH
setiap saat.
Sidratul Muntaha itu sudah dibungkus pula oleh Allah
dengan Lapisan Air Yang Sangat Masiv agar Keagung-
an Arasy Allah tidak membakar dan menghangus-
kannya. Dan di atas Lapisan Air yang Masiv itulah
Arasy Allah Yang Maha Besar dan Maha Dahsyat ber-
ada. Arasy itu membungkus pula semua yang ada di
dalamnya. Membungkus Lapisan Air, Sidratul Munta-
ha, 7 lapis langit dan bumi serta apa-apa yang ada di
antara keduanya.
Tidak ada satu makhlukpun yang bisa keluar menem-
254
bus Arasy Allah tersebut, termasuk Malaikat Jibril
sekalipun. Jibril berkata bahwa kalau Ia keluar dari
Arasy dan berjumpa dengan Tirai Nur yang pertama
saja, ia akan hangus terbakar oleh kehebatan Tirai
Nur yang pertama itu. Padahal Tirai Nur itu ada 70
tirai jumlahnya.
Hanya seorang manusia mulia saja yang
pernah diberi ijin oleh Allah untuk
menembus “Puncak” Arasy tersebut agar
Beliau bisa berkata-kata langsung dengan
Allah, yaitu Rasulullah Muhammad SAW.
Itupun hanya dengan satu tujuan yaitu untuk men-
jemput SYARIAT SHALAT. Sungguh agung sekali sya-
riat shalat itu sebenarnya, terutama bagi yang sudah
diberi tahu dan yang sudah merasakannya. Agung
dan Indah sekali.
Untuk hal itupun Rasulullah SAW masih tetap di
lindungi oleh 70 Lapis Cahaya yang akan melindungi
diri Beliau, termasuk semua ciptaan, dari hangus ter-
bakar karena terpandang kepada Keagungan dan
Keindahan Dzat. 70 tabir Nur itupun entah berapa
pula besarnya dan luasnya. Tidak terbayangkan.
Begitu juga, tidak ada informasi apapun yang bisa kita
255
dapatkan tentang berapa lama 70 Lapis Nur, Arasy
Allah Yang Agung, Lapisan Air Yang Masiv, dan Sid-
ratul Muntaha itu TERCIPTA. Entah berapa lama.
Tidak ada satuan waktupun yang bisa mengukurnya.
Yang lebih tidak ada informasi lagi untuk
kita adalah, berapa lama sejak SABDA KUN
pertama kalinya di sabdakan oleh ALLAH
baru kemudian terbentuknya 70 Lapis Nur,
Arasy Allah Yang Agung, Lapisan Air Yang
Masiv, dan Sidratul Muntaha.
Tentu ini lebih tidak terukur lagi dimensi waktunya.
Dengan rentang waktu yang tidak terukur seperti itu,
tentu saja berapa besarnya ruang yang tercipta itu
jadi tidak terukur pula. Measureless. Namun Ini baru-
lah Ruang tempat di mana Allah akan MENCIPTAKAN
semua CIPTAANNYA. Ruang yang disebut dengan
LAUHUL MAHFUZ.
Apalagi tentang The Primary Essense, tentu ia lebih
tak terdefinisikan lagi. Oleh karena sudah tidak ada
satupun lagi yang bisa kita lakukan untuk membahas
The Primary Essense ini, maka di sinilah perhentian
terakhir kita untuk BERLOGIKA, BERPRASANGKA, BER-
PERSEPSI, BERIMAGINASI. Di sinilah ujung akhir di
256
mana kita tinggal hanya bermakrifat saja kepada
Allah. Makrifatullah.
4. The Secondary Essense, Dzat Yang Sedikit
Karena tidak banyak yang bisa kita KETAHUI dan kita
GALI dari The Primary Essense, maka sekarang mari-
lah kita hanya memusatkan perhatian kita kepada The
Secondary Essense saja, Dzat Yang Sedikit. Sebab
Allah ternyata telah berkenan membukakan RAHA-
SIA-Nya kepada kita tentang The Secondary Essense,
yang telah Dikenai-Nya dengan Firman “Kun”.
Rahasia itu dibukakan Allah di dalam kitab-kitab-Nya
yang diturunkan-Nya kepada Nabi-Nabi dan Rasul-
Rasul-Nya sesuai dengan zamannya masing-masing.
Yang tujuannya adalah untuk memberi KABAR gem-
bira dan BEKAL kepada seluruh umat Manusia dan Jin
untuk bisa kembali mengenal Allah dan mengabdi
kepada-Nya.
Rahasia terkini dari TSE itu ternyata berada di dalam
Al Qur’an dan pada apa-apa yang dijelaskan dan dija-
lankan oleh Nabi Muhammad SAW yang terangkum
di dalam berbagai Hadist. Boleh dikatakan HAMPIR
semua ayat Al Qur’an dan Al Hadist bercerita tentang
PERLAKUAN ALLAH terhadap The Secondary Essense
melalui KETETAPAN-KETETAPAN yang telah ditetap-
kan-Nya terlebih dahulu sejak Firman Kun.
257
Sekarang mari kita lihat tentang TSE ini.
Begitu Allah berfirman KUN kepada Sedikit Dzat-Nya,
The Secondary Essense, maka saat itu pulalah BER-
AWAL semua Proses PENCIPTAAN. Inilah Titik Awal
terciptanya Ruang dan Waktu untuk tempat terza-
hirnya semua Ciptaan. Oleh sebab itu TSE ini boleh
juga disebut sebagai Dzat YANG AWAL, yang dari-Nya
berawal semua ciptaan. Ketika Allah berkata, “Akulah
Yang Awal”, maka yang Dia maksudkan itu adalah
Dzat-Nya Yang sedikit, yang menjadi Awal dari semua
Ciptaan. Sebab Dzat yang keseluruhan, The Primary
Essense, TIDAK BERAWAL.
Karena sifat dari TSE ini sama persis dengan TPE, tidak
bisa dilihat dengan mata, tidak bisa di umpama-
umpamakan, tidak bisa dipikirkan, maka . . .
. . . TSE ini bisa juga disebut sebagai
Dzat YANG BATHIN.
Saat Allah berkata “Akulah Yang Batin”, maka yang
dimaksudkan-Nya adalah TSE yang menjadi Bathin
dari semua Ciptaan. Atau TSE itu bisa pula disebut se-
bagai Dzat yang menjadi HAKEKAT dari semua Cip-
taan.
Dari Dzat-Nya Yang sedikit, TSE, itu kemudian TER-
258
ZAHIR menjadi semua Ciptaan-Nya. Kenapa di sini ada
kata TERZAHIR ? Bukan DIZAHIRKAN ? Seakan-akan
penzahiran semua ciptaan-Nya itu sudah terjadi seca-
ra OTOMATIS. Seakan-akan Allah sudah tidak melaku-
kan apa-apa lagi untuk MENZAHIRKAN semua Cipta-
an-Nya.
Subhanallah, ternyata dalam kata TERZAHIR inilah
terletak salah satu RAHASIA yang telah lama dan
banyak kita ABAIKAN oleh umat manusia selama ini,
yaitu RAHASIA TAQDIR. RAHASIA KETETAPAN ALLAH !
Bahwa ternyata terhadap TSE itu, Allah sudah PUNYA
RENCANA INDUK YANG MAHA SEMPURNA dan MAHA
LENGKAP terhadap semua ciptaan-Nya. Rencana yang
sudah ditulis-Nya sejak Firman “KUN”.
Rencana yang MAHA BIJAKSANA. Rencana yang di
dalamnya TIDAK ada satu peristiwapun yang LUPUT
dan TERLUPAKAN. Tidak luput walau sebutir partikel-
pun. Tidak luput walau satu hurufpun, apalagi kali-
mat-kalimat. Tidak luput walau satu benih pikiranpun.
Tidak luput sebuah gerakan sekecil apapun, walau
gerakan Sirr yang sangat rahasia di dalam hati kita.
1) Rencana itu TIDAK akan BERUBAH lagi dari awal
sampai akhir.
2) Rencana yang tak akan TERTUKAR antara satu hal
dengan hal yang lain.
3) Rencana yang tak akan bisa DITAMBAHI-TAM-
259
BAHI atau DIKURANG-KURANGI.
4) Rencana yang SANGAT KOKOH dan SANGAT TE-
GUH.
5) Rencana yang sangat RINCI dan DETAIL.
6) Rencana yang SELALU mengandung HIKMAH,
MANFAAT, FAEDAH, dan PEMBELAJARAN untuk
setiap hal yang terzahir.
7) Rencana yang segala sesuatunya sudah DIUKUR
dan DITIMBANG dengan sangat TELITI.
8) Rencana yang sudah berisikan HUKUM-HUKUM,
DALIL-DALIL, dan RUMUS-RUMUS.
9) Rencana yang segala sesuatunya sudah diten-
tukan WAKTU, UMUR, dan TEMPAT bagi peristi-
wa-peristiwa untuk terzahir.
10) Rencana yang sudah dilengkapi dengan IJIN-IJIN
untuk terzahirnya setiap peristiwa.
Dan Allah menamakan Rencana Induk-Nya itu sebagai
LAUHUL MAHFUZ. Kitab Rencana Induk Yang MAHA
LENGKAP.
Begitu Allah berfirman KUN, maka saat itu pulalah
Tombol Kehidupan mulai dinyalakan. Rencana Induk
sudah tergelar dan siap untuk berjalan dengan sangat
rapi dan sangat sempurna. Ada PROSES PENCIPTAAN
(PENZHAHIRAN) dan ada pula PROSES PENGHAN-
CURAN (PEMBATHINAN), yang kesemuanya itu me-
ngandung BAHAN PENGAJARAN (HIKMAH) bagi se-
260
luruh umat manusia.
Dari Dzat menjadi Sifat lalu menjadi Dzat kembali, ke-
mudian menjadi Sifat kembali untuk menjalani kehi-
dupan yang sebenarnya di Alam Akhirat sampai wak-
tu yang telah ditentukan. Dari Bathin menjadi Zahir
kemudian menjadi Bathin kembali untuk menunggu
Zahir kembali di Alam Akhirat sampai waktu yang
telah ditetapkan. Dari mati lalu dihidupkan kemudian
dimatikan kembali untuk menunggu dihidupkan kem-
bali di Alam Akhirat sampai waktu yang telah diten-
tukan.
BAHAN BAKU yang akan terpakai dan diolah di dalam
proses penciptaan dan penghancuran itupun sudah
disiapkan oleh Allah sendiri, yaitu sedikit dari Dzat-
Nya. Itinerary dan jangka waktunya juga sudah
tertata dengan sangat apik, sehingga peristiwa-peris-
tiwa yang terjadi tidak akan melenceng walau hanya
sedetikpun.
FITRAH Dzat (atau hukum Universal) pun berjalan
dengan sangat patuh terhadap apa yang sudah
DITETAPKAN. Tidak akan perubahan terhadap Fitrah
yang telah Allah tetapkan dengan sangat Bijaksana.
Hukum Getaran (Vibration), Hukum Fisika Quantum,
dan Hukum Tarik Menarik, adalah beberapa hukum di
antara hukum-hukum universal lainnya yang telah
DITETAPKAN pula oleh Allah untuk terzahir. Insyaallah
261
kita akan membahas pula tentang hukum-hukum ini
pada kesempatan yang akan datang.
“KUN”, maka sejak saat itu bergeraklah Sang Waktu
untuk mengantarkan Dzat menggarungi gelombang
kehidupan menuju TITIK AKHIR yang telah ditentukan.
Semuanya kemudian bergerak secara OTOMATIS,
seperti pergerakan sebuah program komputer, atau
gerakan mesin-mesin secara otomatis di dalam se-
buah pabrik otomotif modern. Gerakan yang tidak
akan pernah berhenti sebelum Kehidupan mencapai
Titik Akhirnya.
Saat mencapai titik akhir, semua ciptaan akan kem-
bali MUSNAH, Alhasil kembali kepada Asal, yaitu Dzat.
Oleh sebab itu Allahpun berhak pula untuk berkata
bahwa DIALAH YANG AKHIR, “Akulah Yang Awal dan
Aku pulalah Yang Akhir”.
Dan yang Allah maksudkan dengan Dialah Yang Awal
dan Yang Akhir itu adalah Dzat-Nya yang sedikit, The
Secondary Essense, yang menjadi Awal dan Akhir dari
semua ciptaan-Nya. Bukan terhadap Dzat-Nya Yang
keseluruhan yang Maha Indah, The Primary Essense.
Karena Dzat-Nya yang Keseluruhan itu TIDAK BER-
AWAL dan TIDAK BERAKHIR. ABADI, dan RAHASIA.
262
5. Lauhul Mahfuz
Kita sudah mengetahui bahwa tentang Lauhul Mahfuz
ini, yang merupakan penzahiran dari The Secondary
Essense, kita sudah kehilangan semua satuan ukuran,
dimensi waktu, ungkapan kata-kata dan angka-angka
untuk menjabarkannya, mempersepsikannya, atau
menjelaskannya, apalagi untuk menjelaskan tentang
The Primary Essense.
Kita juga sudah punya ilmu bahwa, walaupun Lauhul
Mahfuz ini besarnya tidak terukur, namun Al Hadist
dan Injil Gospel Barnabas memberikan sedikit gam-
baran tentang ukurannya. Rasulullah SAW di dalam Al
Hadist menyatakan: “Seperti bulan purnama (di wak-
tu malam) tetapi itu hanya kecil saja. Allah lebih Mu-
lai dan lebih Besar dari itu”, Sunan Abu Dawud vol 3:
1324 (1990). Injil Gospel menyatakan bahwa ukuran-
nya hanyalah seumpama ukuran sebutir pasir di
padang pasir, atau setetes air asin di dalam samudera
raya, terhadap The Primary Essense.
Tapi yang SANGAT PENTING untuk kita pahami dalam
pembedaan istilah TPE dan TSE ini adalah bahwa saat
itu kita memandang Dzat dari sudut pandang MAKH-
LUK, BUKAN dari sudut pandang ALLAH. Sebab kalau
dari sudut pandang Allah, tidak ada pembedaan sama
sekali antara TPE dan TSE. Itu adalah Dzat atau DIRI
Allah sendiri. Sebaliknya, kalau kita memandang Dzat
263
dari sudut pandang MAKHLUK, maka untuk semua
makhluk, Dzat yang kita maksudkan itu hanyalah TSE
saja, sehingga kita bisa terhindar dari Paham Wah-
datul Wujud atau Paham Nur Muhammad. Tentu saja
inipun hanya untuk yang mau saja. Kalau tidak mau
ya ndak apa-apa.
Karena TSE itu saking kecilnya, maka Allah menyata-
kan bahwa Dia adalah Maha Kecil, Maha Halus. Al
Lathif. Ketika Allah berkata “Akulah AL LATHIF, maka
yang dimaksudkan-Nya adalah agar kita memperhati-
kan TSE, Dzat Yang Sedikit. Begitu juga ketika Allah
berkata bahwa Dia Maha Meliputi segala sesuatu,
maka yang Dia maksudkan adalah agar kita memper-
hatikan TSE. Bahwa Dzat Yang Sedikit itulah yang me-
liputi semua ciptaan. Sebab Allah adalah Maha Besar,
sedangkan Dzat-Nya (Diri-Nya) yang terzhahir menja-
di semua ciptaan dan meliputi semua ciptaan itu ada-
lah Sangat Kecil, Sangat Sedikit, Sangat Halus. Al La-
thif.
Jadi sekarang kita dapat membayangkan bahwa
Lauhul Mahfuz yang sudah sedemikian penuh misteri
dan tak terungkapkan kebesarannya, itupun masih
belum ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan
Kemahabesaran The Primary Essense. Bandingannya
adalah seperti sebutir pasir di padang pasir, atau
setetes air air di lautan. Kecil sekali.
264
Oleh sebab itu, The Primary Essense, akan tetap
menjadi RAHASIA di atas RAHASIA. MAHA RAHASIA.
Tidak ada sesiapa yang akan bisa menguak Kemahara-
hasiaan-Nya itu, walau Nabi-Nabi, Rasul-Rasul, dan
Malaikat sekalipun. Hanya Dia sendirilah Yang Tahu
tentang Diri-Nya.
Kalau ada di antara kita yang berani-berani mem-
bahasnya, merupakannya, mengimaginasikannya,
maka sejak itulah bermula KEJAHILAN bagi kita.
PASTI.
Walaupun begitu, di dalam Al Qur’an ternyata Allah
masih berkenan juga membukakan SEDIKIT Rahasia
tentang Dzat Yang Maha Indah itu. Bahwa:
• Dzat itu Maha Tinggi, Tak Terbatas, Namun kita
tidak perlu melihat-lihat-Nya dengan menengadah
“keatas”.
• Dzat itu Maha Besar, Tak Terbatas, Namun kita ti-
dak perlu menjangkau-jangkau-Nya dengan tangan
kita.
• Dzat itu Maha Luas, Tak Terbatas, Namun kita ti-
dak perlu merasa-rasakan keluasan-Nya dengan
perasaan kita.
• Dzat itu TIDAK BERAWAL
• Dzat itu TIDAK BERAKHIR.
• Dzat itu TIDAK SAMA dengan apapun juga.
• Dzat itu MAHA SUCI (dari segala Persepsi dan Pe-
265
mikiran-Pemikiran).
Sangat sedikit sekali memang yang bisa kita ketahui
tentang Dzat Yang Maha Indah. Maka :
• Barang siapa yang telah dibuat tajam MATA HATI-
NYA oleh Allah untuk memahami rahasia-rahasia-
Nya itu, alangkah beruntungnya dia. Ia akan DIRA-
SAKAN oleh Allah akan KeMaha Tinggian-Nya, akan
Kemahabesaran-Nya, akan Kemahaluasan-Nya.
Rasa yang akan ditambahi-Nya dari waktu ke wak-
tu dan dari hari ke hari. Rasa-rasa yang akan selalu
baru, rasa yang belum pernah kita rasakan sebe-
lum-sebelumnya.
• Akan tetapi barang siapa yang dibutakan MATA
HATINYA oleh Allah untuk memahami rahasia-
rahasia-Nya itu, maka baginya adalah kerugian
yang amat sangat. Ia akan berjalan seperti orang
buta dan tuli. Ia akan hidup seperti orang yang
sedang berhadapan dengan tembok dan dinding
batu, yang tidak memberikan rasa apa-apa, kecuali
kehambaran. Ia akan berjalan tertatih-tatih kele-
lahan dan kecapekan. Ia akan dihantui oleh keta-
kutan dan kekhawatiran sepanjang hidupnya, bah-
kan di alam mimpi sekalipun.
266
6. Dzat-KETETAPAN-PERANAN
Berbagai Ciptaan dan Peristiwa-peristiwa sudah dapat
DIPASTIKAN akan TERZAHIR karena . . .
. . . adanya INTERAKSI yang MAHA KUAT
antara TSE yang merupakan UNSUR DASAR
pembentuk dari SEMUA Ciptaan dengan
LAUHUL MAHFUZ yang merupakan
KETETAPAN yang harus DILALUI oleh
MASING-MASING Ciptaan itu.
Sekarang mari kita lebih tajamkan lagi pandangan
Mata Hati kita dengan TETAP memakai kacamata
makrifatullah.
Hubungan antara TSE dan Lauhul Mahfuz ini sangat
kuat. Keduanya TIDAK bisa dipisahkan sama sekali,
ibarat tidak terpisahkannya KERETA API dengan RAIL
ROAD, atau sebuah MOBIL dengan JALAN RAYA.
Kereta api tidak akan jalan kalau tidak ada rail. Mobil
tidak akan jalan kalau tidak ada jalan raya yang akan
dilaluinya.
Dzat tidak akan Zhahir menjadi ciptaan kalau tidak
ada Lauhul Mahfuz atau Ketetapan yang mendahu-
luinya. Begitu juga Dzat akan memastikan bahwa
Ciptaan itu akan Terzahir mengikuti KETETAPAN yang
267
telah rencanakan Allah sejak Firman KUN.
DEMI MASA, lalu mulailah Ciptaan-Nya Terzahir satu
persatu, sesuai dengan Waktu yang telah ditentukan.
Setiap ciptaan akan menjalani ketetapan demi kete-
tapan yang sudah di sandangkan dan dikalungkan “DI
LEHERNYA” masing-masing. Semuanya akan berjalan
seperti sebuah PROSES yang terjadi di dalam SISTEM
sebuah pabrik mobil OTOMATIS. Setiap bagian HA-
NYA akan menjalankan tugas-tugas yang sudah dite-
tapkan untuknya.
• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahir 70 Lapisan
Cahaya.
• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahir Arasy.
• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahir Lapisan Air di
bawah Arasy.
• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahir Sidratul Mun-
taha.
• Demi Masa, BUM, lalu dari Dzat terzahir 7 lapis
langit, Bumi dengan segala kelengkapannya.
• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahir apa-apa yang
ada di antara langit dan bumi.
• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahir, laut, gunung,
hewan, tumbuhan.
• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahirlah Malaikat, Jin,
dan Manusia.
• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahirlah, terzahirlah,
268
terzahirlah.
MASA mengantarkan Dzat untuk TERZAHIR menjadi
suatu CIPTAAN tertentu pada WAKTU yang telah
DITETAPKAN dan untuk PERAN yang juga sudah
DITETAPKAN pula untuknya.
Oleh sebab itu marilah sekarang kita melihat dengan
mata hati kita dengan lebih tajam lagi.
• 70 lapis Tirai Cahaya adalah Dzat yang sedang
menjalankan peranan.
• Arasy adalah Dzat yang sedang menjalankan pe-
ranan.
• Lapisan Air dibawah Arasy adalah Dzat yang se-
dang menjalankan peranan.
• Sidratul Muntaha adalah Dzat yang sedang menja-
lankan peranan.
• 7 lapis langit dan bumi adalah Dzat yang sedang
menjalankan peranan.
• Milyaran gugus bintang adalah Dzat yang sedang
menjalankan peranan.
• Malaikat adalah Dzat yang sedang menjalankan
peranan.
• Jin adalah Dzat yang sedang menjalankan peranan.
• Iblis adalah Dzat yang sedang menjalankan pe-
ranan.
• Manusia adalah Dzat yang sedang menjalankan
peranan.
269
• Hewan adalah Dzat yang sedang menjalankan
peranan.
• Tumbuhan adalah Dzat yang sedang menjalankan
peranan.
Semua yang terzahir itu mempunyai peranan yang
berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
Berbeda dalam hal rupa, warna, ukuran. Ramai dalam
hal nama-nama dan sebutan-sebutan. Karena berbe-
da-beda dan ramai, maka peranan itu kemudian bisa
disebut sebagai SIFAT. Jadi kalau kita berbicara
tentang SIFAT-SIFAT, maka pastilah ia akan ramai,
riuh-rendah, dan berbeda-beda.
Dengan cara melihat yang sama kita akan bisa
memahami bahwa apa yang dikemukakan oleh para
SCIENTIST masa kini tentang The Hig Bosson (Partikel
Tuhan), Fenomena Fisika Quantum, keajaiban Vibrasi,
Energi, dan kehebatan berbagai hukum yang disebut
orang sebagai The Universal Law, semuanya itu ha-
nyalah sebatas SIFAT-SIFAT BELAKA. Ciptaan Belaka.
Ia bukanlah Dzat. Sebab RUPA dari Dzat tidak bisa
diserupakan dan diumpamakan dengan apapun juga.
Sekarang lengkap sudah perjalanan yang kita lalui.
Kita sudah melihat bahwa dari Dzat terzahir menjadi
Ciptaan-ciptaan yang mempunyai peranan masing-
masing. Ciptaan dengan berbagai peran itu dapat
pula kita sebut sebagai SIFAT, yang sangat beragam.
270
Jadi dari Dzat sudah terzahir menjadi SIFAT.
Kalau sudah begitu, mari kita lihat ada berapa Kewu-
judankah yang ada sekarang :
• Wujud Yang pertama adalah The Primasry Essense
(TPE).
• Wujud Yang kedua adalah The Secondary Essense
(TSE).
Tetapi, baik TPE maupun TSE kedua-duanya adalah
SATU KEWUJUDAN, yaitu Dzat. Tidak ada perbedaan
antara TPE dan TSE itu. Sama-sama tidak bisa dirupa-
kan dan diumpamakan. Kita membagi-baginya hanya
untuk menegaskan bahwa yang menjadi semua cipta-
an itu hanyalah sedikit saja dari Dzat-nya, Bukan Dzat-
Nya secara Keseluruhan.
Wujud yang berikutnya adalah SIFAT dalam BENTUK
atau RUPA berbagai Ciptaan-Nya. Ciptaan itu Zhahir,
artinya bisa teraba dengan panca indera kita, maka
Sifat atau Ciptaan itu kemudian disebut juga oleh
Allah sebagai Dzat-Nya Yang ZHAHIR. “Akulah Yang
Zhahir itu”, kata Allah.
Karena TSE ini tidak bisa kita raba dengan panca
indera kita, maka Ia juga disebut sebagai Dzat Yang
Bathin. Makanya Allah BERHAK menamai Dirinya juga
sebagai AZ ZHAHIR dan AL BATHIN. Akulah Yang
Zhahir dan Akulah Yang Bathin. Jadi, baik Yang Zhahir
271
maupun Yang Bathin, kedua-duanya dapat pula dise-
but sebagai Dzat juga.
AZ ZHAHIR dan AL BATHIN itu adalah ibarat DUA MU-
KA uang koin. Baik gambar maupun angka, keduanya
tetap hanya satu uang koin saja. Jadi Yang Zhahir
maupun yang Bathin, ya keduanya adalah Dzat juga,
The Secondary Essense. Kalau begitu, TPE adalah
Dzat, TSE adalah Dzat, SIFAT-SIFAT Yang Zhahir mau-
pun Yang Bathin juga adalah Dzat.
Untuk lebih meyakinkan diri kita, Lihatlah kembali
dengan Mata Hati Yang sangat Tajam. Bukankan pe-
main yang sedang memainkan peranan SETIAP SAAT
sebenarnya HANYA SATU PEMERAN ! Yaitu Dzat. Dan
Itupun hanya Dzat Yang sedikit saja. Lihatlah lagi. Se-
makin tajam ! Bukankah pada SAAT YANG SAMA, Dzat
itu memainkan SEMUA peranan SEKALIGUS dan SE-
RENTAK untuk semua Peran Yang telah DITETAPKAN
untuk terzahir pada waktu-waktu tertentu ? Dan,
Dzat Yang sedikit itu dipermain-mainkan oleh Sang
Pemilik Dzat, Yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala, seperti
seekor gajah mempermain-mainkan ekornya.
Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah.
Dengan begitu, kita sudah bisa memandang bahwa
Wujud yang sebenar-benar Wujud adalah Dzat. Ya.
Dzat. Tidak ada yang lain. Alhamdulillah, kita masih
272
berada pada PAHAM Ketauhidan yang “on the track”.
Tauhid kita masih utuh dan bulat. Bahwa Tiada Kewu-
judan kecuali hanya Kewujudan Dzat semata-mata.
Ya, Yang Wujud Hanya SATU, yaitu Dzat yang WA-
JIBUL WUJUD. Sedangkan Wujud yang lain ? TIDAK
ADA. FANA ! Yang Kekal abadi adalah Wajah (Dzat)
Allah.
“Semua yang ada di bumi akan FANA, Yang Kekal
adalah Wajah Tuhanmu yang mempunyai Kebe-
saran dan Kemuliaan”, Ar Rahman 26-27
Lalu kita akan mengaku apa lagikah ? Masihkah ada-
kah ruang bagi kita untuk mengaku WUJUD ? Apalagi
untuk mengakui bahwa kita MEMILIKI apa-apa yang
ada pada diri kita dan pada kehidupan kita.
Ya, masihkah kita bisa mengaku WUJUD dan menga-
ku MEMILIKI apa-apa ? Sebab antara WUJUD dan ME-
MILIKI memang sangat berkaitan erat satu sama lain-
nya. Begitu kita merasa wujud, maka kita pasti akan
merasa memiliki. Sampai di sini, tampaknya sudah
pantas kita memutus artikel Sang Wajibul Wujud ini,
untuk kemudian kita lanjutkan membahas serba-ser-
ba tentang makhluk ciptaan dalam artikel berikutnya
“ Sang Fana.18
”.
18 http://yusdeka.wordpress.com/2014/10/26/sang-fana-bagian-1/
273
Artikel 11 :
Sang Fana19
Dengan memakai kacamata makrifatullah, mata hati kita telah
melihat dengan terang benderang
bahwa Allah adalah Dzat Wajibul
Wujud. Lalu dari Sedikit Dzat-Nya
(The Secondary Essense) terzahirlah
SEMUA CIPTAAN. Dengan memakai
kacamata yang sama, sekarang mari kita buktikan pula bahwa
kita sebagai salah satu dari ciptaan Allah sebenarnya adalah
tidak wujud. Kita adalah SANG FANA.
1. Mari kita lihat tangan kita. Tangan kita hanyalah sifat, ia
berbeda dengan tangan monyet hanya dalam hal sifat-
sifatnya saja. Ketika kita mencoba mengakui bahwa
tangan itu adalah tangan kita. Allah akan membantahnya
bahwa tangan kita itu adalah Dzat-Nya Yang Zhahir.
2. Mari kita lihat tubuh kita. Tubuh kita hanya berbeda
dalam sifat-sifat saja dengan tubuh binatang. Kita juga
tidak bisa mengakui bahwa tubuh ini adalah tubuh kita,
karena tubuh kita adalah Dzat-Nya Yang Zhahir.
3. Mari kita lihat panca indera kita. Mata, telinga, hidung,
lidah, kulit kita hanyalah sifat-sifat yang berbeda dengan
19 http://yusdeka.wordpress.com/2014/10/26/sang-fana-bagian-1/
274
panca indera binatang. Semua panca indera kita juga
adalah Dzat-Nya yang Zhahir.
4. Mari kita lihat penglihatan, pendengaran, dan perasaan
kita. Penglihatan, pendengaran, perasaan kita itu ada
karena ada HATI atau AKAL kita yang halus. Hati yang
halus itu bukanlah lever dan bukan pula jantung. Ia juga
hanyalah sifat-sifat saja yang sangat berbeda dengan yang
ada pada binatang. Ia juga tidak bisa kita akui sebagai
milik kita. Sebab ia juga adalah Dzat-Nya Yang Zhahir.
5. Begitu juga dengan ruh kita, Ia juga adalah Dzat-Nya Yang
Zhahir. Kita tidak bisa mengatakan bahwa Ruh itu adalah
Ruh kita. Tentang ruh ini dulu saya takut mengatakan
bahwa ruh itu adalah Ciptaan Allah. Akan tetapi dengan
kacamata makrifatullah sekarang jelas sekali terlihat
bahwa ruh itu juga adalah Ciptaan Allah karena ia berada
di dalam Lauhul Mahfuz. Semua yang ada di dalam Lauhul
Mahfuz adalah ciptaan. Tidak bisa tidak. Sebab ruh adalah
juga penzhahiran dari Dzat-Nya yang sedikit, seperti juga
ciptaan-ciptaan-Nya yang lain.
Lalu bagainmana dengan Al Qur’an ? Apakah ia ciptaan atau
bukan ? Silahkan para pembaca jawab sendiri. Saya sendiri
sudah punya jawabannya untuk saya sendiri.
Untuk mengetahui diri kita lebih dalam lagi, mari kita melihat
lebih tajam lagi tentang diri kita. Tapi sebelumnya kita pakai
dulu kacamata makrifatullah pada mata hati kita. Bukan pada
275
mata lahiriah kita. Dengan memakai kacamata makrifatullah
ini, mata hati kita akan menjadi SANGAT TAJAM. Ia akan
sanggup menembus semua SIFAT-SIFAT yang bentuk zahirnya
adalah Alam Ciptaan. Bahkan ia dapat menembus sampai ke
Neraka JAHIM sekalipun.
QS. At Takatsur (102/6).
“Niscaya kamu benar-benar akan melihat Neraka Jahim.”
Mari kita lihat diri kita sendiri dari ujung kaki sampai ke ujung
rambut :
• Kuku kaki kita adalah Dzat yang sedang mengambil peran-
an.
• Kaki kita adalah Dzat yang sedang mengambil peranan.
• Tubuh kita adalah Dzat yang sedang menjalankan peranan.
• Tangan kita adalah Dzat yang sedang menjalankan peranan.
• Panca indera kita adalah Dzat yang sedang menjalankan
peranan.
• Kepala kita adalah Dzat yang sedang menjalankan peranan.
• Rambut dan bulu-bulu kita adalah Dzat yang sedang
mengambil peranan.
• Otak kita adalah Dzat yang sedang mengambil peranan.
• Jantung kita adalah Dzat yang sedang mengambil peranan.
• Lambung kita adalah Dzat yang seang mengambil peranana.
• Lever kita adalah Dzat yang sedang mengambil pernana.
• Usus kita adalah Dzat yang sedang mengambil peranan.
• Pembuluh darah kita adalah Dzat yang sedang mengambil
276
peranan.
• Darah merah dan darah putih adalah Dzat yang sedang
mengambil peranan.
• Semua enzim, dan hormon-hormon kita adalah Dzat yang
sedang menjalankan peranan.
• Sel-sel tubuh kita adalah Dzat yang sedang mengambil
peranan.
• Penglihatan kita adalah Dzat yang seang mengambil pe-
ranan.
• Pendengaran kita adalah Dzat yang sedang mengambil pe-
ranan.
• Perasaan kita adalah Dzat yang sedang mengambil pe-
ranan.
• Nafas kita adalah Dzat yang sedang mengambil peranan
• Ruh kita adalah Dzat yang sedang mengambil peranan.
• Hati kita adalah Dzat yang sedang menjalankan peranan.
• Mata Hati kita adalah Dzat yang sedang menjalankan
peranan.
• Suara kita adalah Dzat yang sedang mengambil peranan.
• Perkataan kita adalah Dzat yang sedang mengambil peran-
an.
• Tindakan kita adalah Dzat yang sedang menjalankan pe-
ranan.
Sekarang mari kita lihat pula PIKIRAN kita. Bangun tidur, kita
masih belum mempunyai pikiran apa-apa. Pikiran kita seperti
kosong begitu saja. Dzat memastikan bahwa kita akan berpikir
277
tentang apa-apa yang telah tertulis di Lauhul Mahfuz untuk
kita pikirkan. Dzat akan memastikan pikiran itu mengalir ke
dalam otak kita. Tiba-tiba saja berbagai pikiran seperti menye-
lusup begitu saja ke dalam otak kita. Kita mengatakan bahwa
kitalah yang berpikir, padahal Dzatlah yang memastikan pikir-
an itu lahir dari keadaan tidak berpikir. Pikiran itu diberikan
oleh Allah melalui Dzat-Nya ke dalam otak kita. Sehingga
jadilah kita merasa bahwa kitalah yang berpikir. Padahal Dzat-
lah yang memastikan pikiran itu masuk ke dalam AKAL atau
HATI kita.
Dzat juga memastikan akan ada hormon-hormon dan enzim
yang keluar mengikuti pikiran kita. Dzat akan memastikan ter-
jadinya rasa-rasa atas pikiran itu. Dzat akan memastikan tin-
dakan atau aktifitas yang akan kita lakukan akan sesuai
dengan apa yang sudah tertulis di dalam Lauhul Mahfuz. Dzat
akan memastikan, memastikan.
Jadi Dzat yang ada di dalam tubuh kita akan memastikan
bahwa semua bagian dari badan kita akan menjalankan atau
memerankan peranan seperti yang telah dituliskan di dalam
Lauhul Mahfuz untuk kita jalankan atau perankan. Kalau tidak
dituliskan, maka kita tidak akan melakukan apa-apa, karena
Dzat tidak melakukan reaksi apa-apa. Sebab Dzat itu sangat
patuh kepada ketetapan-ketetapan Allah.
Saat kita berbicara ataupun menulis, Dzat yang ada di dalam
diri kita akan memastikan bahwa pembicaraan atau tulisan
kita itu akan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan di dalam
278
Lauhul Mahfuz untuk kita bicarakan atau tuliskan. Dzat me-
mastikan setiap kalimat, kata, dan huruf yang kita ucapkan
atau tuliskan adalah kalimat-kalimat, kata-kata, dan huruf-
huruf yang sudah DITETAPKAN di dalam Lauhul Mahfuz untuk
kita ucapkan atau tuliskan.
Kalau semua yang ada pada diri kita, apa-apa yang kita
lakukan, pikirkan, dan rasakan adalah semata-mata Aktifitas
Dzat yang sedang menjalankan peranan mengikuti ketetapan
yang telah dituliskan di dalam Lauhul Mahfuz sejak masa KUN,
lalu apa lagi yang bisa kita akui sekarang sebagai diri kita,
sebagai wujud kita ? Bukankah yang sedang menjalankan
peranan itu adalah Dzat ? Lalu kita mana ?
Kita ternyata tidak ada, kita tidak wujud,
kita Nol, Zero.
Yang wujud adalah Dzat. Ya, ternyata tidak ada satupun yang
bisa kita akui sebagai kita. Aku. Sebab setiap kali kita ingin
berkata aku, maka Allah membantahnya dengan sangat pasti:
“Itu adalah Dzat-Ku, itu adalah sebagian dari Diri-Ku, itu
adalah penzhahiran Dzat-KU yang mengikuti Ketetapan-KU”.
Pantaslah Imam Al Ghazali pernah berkata: “Orang yang me-
ngenal dirinya dan mengenal Tuhannya, niscaya sudah pasti ia
279
mengenal bahwa ia tiada mempunyai wujud bagi dirinya”20
.
Kalau kita tidak wujud, masih adakah milik kita ? Tentu saja
kalau kita tidak wujud, kita tidak punya apa-apa lagi yang bisa
kita akui sebagai milik kita. Begitu kita mau mengakui sesuatu
sebagai milik kita, mata hati kita segera saja melihat bahwa di
sebalik sesuatu itu ada Dzat yang sedang menjalani dan Kete-
tapan Allah untuk menjadi peranan. Lidah kita jadi tergigit un-
tuk mengaku-ngaku. Tapi untuk sampai ke sana kita akan
memerlukan Makrifatullah.
Akan tetapi, kalau kita ingin tahu bagaimana rasanya seandai-
nya kita ingin mengaku wujud, maka Allah sudah memberikan
contoh yang sangat dramatis seperti yang dirasakan oleh iblis
ketika Nabi Adam AS diciptakan. Dzat memastikan bahwa iblis
akan mengikuti Ketetapan Allah yang telah menakdirnya untuk
menjadi mahluk yang ingkar dan kufur kepada Allah.
Ia akan menjadi contoh bagi umat manusia tentang bagai-
mana jadinya kalau ada di antara umat manusia yang sudah
ditetapkan oleh Allah pula untuk mengaku wujud. Keada-
annya, rasanya, tersiksanya, sakitnya pun akan sama dengan
apa-apa yang dirasakan oleh Iblis.
Iblis hanya mengaku wujud terhadap dirinya yang dia lihat
terbuat dari api. Karena ia mengaku wujud, maka ia segera
saja akan membandingkan dirinya dengan diri Nabi Adam AS
20 Ihya Ulumudin, Bk 7, 427 (1981)
280
yang dia lihat hanya terbuat dari tanah. Ia hanya melihat sifat.
Ia hanya akan membandingkan sifat. Ia merasa api lebih baik
dari tanah. Ia mengira api lebih mulia dari tanah. Ia memang
sudah ditetapkan oleh Allah untuk menjadi makhluk yang akan
selalu mengaku dirinya wujud. Ia akan selalu menghina tanah.
Ia akan selalu membenci tanah. Ia tidak dapat menghindar
dari ketetapan untuk dirinya. Ia akan selalu menjadi contoh
bagi umat manusia jika manusia itu mengaku wujud pula.
Sebagai pembanding, Allah telah menetapkan pula ada makh-
luk yang bersikap secara bertolak belakang dengan iblis. Allah
telah menakdir malaikat untuk menjadi contoh bagi umat
manusia tentang sebuah pertobatan, sebuah penyadaran, se-
buah insight. Awalnya malaikat juga seperti ingin mengaku
wujud karena aktifitasnya. Maklumlah bahwa ia adalah makh-
luk yang tercipta dari Cahaya dan selalu pula beribadah dan
menyucikan Allah.
Buat sejenak malaikat melihat sifat dari diri Adam AS yang
tercipta dari tanah, yang dia kira akan selalu menumpahkan
darah. Boleh jadi sebelum Nabi Adam AS diciptakan oleh Allah
saat itu sudah ada pula hidup makhluk lain yang mirip dengan
Nabi Adam As. Makhluk itu selalu menumpahkan darah bagi
sesamanya. Mereka selalu bunuh-bunuhan antar sesamanya.
Buat sesaat malaikat juga terpaku melihat kepada diri Adam
AS. Ia mengira dan berpersepsi bahwa Nabi Adam akan sama
saja dengan makhluk yang sudah ada itu. Nabi Adam AS dan
keturunannya kelak pastilah sama dengan makhluk yang selalu
281
menumpahkan darah antar sesamanya itu. Lalu ia bertanya-
tanya, “Kenapa pula Allah harus menciptakan Adam padahal
saat ini sudah ada dia yang selalu bertasbih menyucikan Allah
?
Ia mencoba membandingkan sifatnya dengan sifat yang akan
disandang oleh Adam dan keturunannya kelak. Ia mengira
sifatnyalah yang akan lebih baik dari sifat Nabi Adam dalam
hal beribadah kepada Allah. Dzat memastikan bahwa malaikat
pasti akan mengikuti ketetapan Allah yang telah menakdir-
kannya untuk menjadi makhluk yang ragu-ragu pada saat
awal-awal penciptaan Adam. Namun dengan sebuah proses
yang sangat indah, di mana malaikat ditunjukan tentang ke-
hebatan Nabi Adam dalam hal Ilmu pengetahuan, maka
akhirnya malaikat luruh pengakuannya. Ia tidak mengakui lagi
akan kewujudan dirinya.
Begitu ia menyadari akan ketidakwujudan dirinya, maka se-
ketika itu pula iapun tidak melihat akan kewujudan diri Adam
AS. Malaikat sudah beranjak dari melihat sifat untuk melihat
hakekat. Bahwa Adam AS ternyata semata-mata hanyalah
penzhahiran Dzat mengikuti ketetapan Allah. Lalu Malaikatpun
sadar bahwa Dzat itu adalah sebagian kecil saja dari Diri Allah
yang Maha Besar dan Maha Indah. Ia telah bermakrifat
kepada Allah. Malaikat langsung tersungkur sujud kepada
Allah. Dzat memastikan bahwa malaikat harus menjalani
ketetapan Allah untuknya. Bahwa ia telah ditetapkan oleh
Allah menjadi makhluk-Nya yang bertobat, yang tersadar dari
282
kesalahannya.
Sementara Adam AS juga sudah ditetapkan oleh Allah untuk
menghuni bumi yang sudah disiapkan terlebih dahulu oleh
Allah untuk dihuni oleh Adam AS dan keturunannya. Mau
tidak mau Adam AS harus keluar dari “Tanah Syurga”. Dzat
memastikan Adam AS akan keluar dari tanah syurga itu untuk
menjalani ketetapannya sebagai Khalifah Allah di muka bumi.
Proses keluarnya Nabi Adam dari syurga itu sudah ditetapkan
oleh Allah dan harus terjadi. Kalau beliau tidak keluar dari
Jannah, maka siapa yanga akan mengelola bumi yang telah
diciptakan oleh Allah dalam jangka waktu jutaan tahun ?
Adam AS dan keturunannya kelak akan menjalani kehidupan
di muka bumi itu dengan dua kualitas sikap pula. Ada
keturunan beliau yang hidupnya sekualitas dengan iblis dan
ada pula yang sekualitas dengan malaikat. Tapi umat manusia
punya keistimewaan bahwa mereka bisa berpindah dari hidup
yang sekualitas dengan iblis menjadi hidup yang sekualitas
dengan malaikat melalui pintu taubat. Begitu pula mereka bisa
berpindah dari kehidupan yang sekualitas dengan malaikat
menjadi hidup yang sekualitas dengan iblis yang durhaka
melalui pintu murtad. Tapi pintu kepatuhan, atau pintu
murtad, ataupun pintu taubat itupun sudah ditetapkan siapa-
siapa yang akan melaluinya. Dzat memastikan ketetapan Allah
itu pasti akan terlaksana.
Oleh sebab itu masihkah kita punya pilihan, free will and free
act di dalam hidup kita ?
283
Kalau kita tidak wujud, apa pula yang akan bisa
kita pilih dengan bebas ? Tidak ada.
Kita tidak punya pilihan tentang siapa kita dan apa-apa yang
akan kita lakukan atau akan kita lalui. Semuanya sudah diatur
dan ditetapkan sejak Firman KUN. Kita hanya tinggal menjalani
kehidupan ini seperti kita menjalani sebuah drama (soap
opera) ciptaan komputer, seperti yang dikatakan oleh Stephen
Hawking. Karena semua sifat yang tergelar di hadapan kita
memang sudah sedemikan sempurnanya berjalan.
Stephen Hawking sempat berkata: “Karena adanya hukum
seperti gravitasi, tata surya dapat dan akan membentuk
dirinya sendiri. Penciptaan spontan adalah alasannya menga-
pa sekarang ada ‘sesuatu’ dan bukannya kehampaan, menga-
pa alam semesta ada dan kita ada. Tidak perlu memohon
kepada Tuhan untuk memulai segalanya dan menggerakkan
alam semesta.” (The Grand Design 2010).
Ternyata memang kita sudah tidak punya pilihan untuk ber-
keinginan, berkehendak, dan beraktifitas. Semuanya sudah
ting-gal berjalan secara otomatis mengikuti hukum-hukum
atau fitrah yang sudah ditetapkan, sehingga Stephen Hawking
sampai mengira bahwa Allah itu tidak ada. Sebab untuk kita
bisa berkeinginan, berkehendak, dan beraktifitas itupun sudah
ditetapkan oleh Allah, di mana Allah mengirimkan ilham,
benih-benih pikiran berupa kebaikan dan keburukan kepada
setiap manusia melalui Dzat-NYA sendiri, TSE.
284
Dan ini yang hebat, bahwa ilham atau benih-benih pikiran
itupun sudah tertulis di dalam Lauhul Mahfuz dengan sangat
sempurna, dan tidak ada yang terlupakan. TSE (Dzat) me-
mastikan ilham itu akan terzhahir menjadi segala keinginan,
kehendak, dan aktifitas seluruh manusia yang mengikuti
Ketetapan-Nya.
Ilham itu juga pastilah menimbulkan ilmu.
• Ilham fujur akan membawa kita untuk mengerti ilmu ten-
tang berbagai perbuatan buruk.
• Sedangkan ilham taqwa akan membawa kita untuk me-
mahami ilmu tentang berbagai perbuatan baik.
Waktu akan mengantarkan kita untuk berbuat baik atau buruk
seperti yang sudah ditetapkan untuk kita lakukan. Dzat
memastikan bahwa kita akan melakukan perbuatan baik atau
buruk itu tepat pada waktunya.
Makanya :
. . . bagi orang yang mata hatinya sudah tajam,
ketika ia melihat seseorang berbicara,
berkeinginan, berkehendak, marah, benci, senang,
dan tindakan-tindakan lainnya di depannya, maka
ia hanya akan tersenyum saja, senyum makrifat.
Mulutnya tetap diam terkunci. Ia tidak akan menilai, tidak
memutuskan, tidak menghakimi. Bagaimana ia akan mau
285
menilai, memutuskan, atau menghakimi kalau ia sudah tidak
wujud ?
Karena ia sudah dapat melihat bahwa di sebalik
semua tindakan seseorang itu sebenarnya, pada
hakekatnya, adalah Allah sendiri bertindak
melalui Dzat-Nya yang sedikit.
Lalu dari Dzat-Nya itupun kemudian terzhahir menjadi per-
buatan seseorang dan juga perbuatan semua manusia, ter-
masuk ciptaan Allah yang lainnya, pada saat yang bersamaan.
Serentak.
Tetapi, walau ia sudah dapat melihat dengan sangat tajam
bahwa semua akitifitas makhluk apapun juga di alam semesta
ciptaan ini adalah Aktifitas atau Kesibukan Allah melalui Dzat-
Nya, namun ia tidak akan pernah berkata bahwa ketika ia
bertindak, berbicara, beraktifitas itu, yang melakukannya ada-
lah Allah, seperti ungkapan orang-orang yang menganut pa-
ham Wahdatul Wujud. Ia tidak pernah berkata begitu. Karena
ia sadar betul bahwa ia tidak wujud. Yang wujud adalah Dzat
Allah. Mulutnya sudah terkunci rapat, sehingga tidak ada lagi
pengakuan-pengakuan yang lahir dari mulutnya.
Ia hanya diam, ia hanya senyum dengan senyuman makrifat,
dan ia menjadi serba tidak tahu. Sehingga Ia seringkali diang-
gap oleh orang lain sebagai orang yang aneh. Bagaimana tidak
akan aneh ?
286
Rasulullah diludahi orang, disiram air kotor, dicaci
dan dimaki, dan bahkan mau dibunuh, Beliau
hanya diam dan tersenyum. Sebab Beliau sudah
melihat bahwa
di sebalik apa-apa yang dilakukan orang lain
terhadap Beliau itu sebenarnya adalah
Perlakuan Allah terhadap Dzat-Nya.
Beliau berperangpun hanya karena memang sudah diperintah-
kan oleh Allah untuk berperang.
Bahkan agar Beliau tidak ragu-ragu untuk membunuh, mema-
nah, dan meleparkan senjata kepada musuh-musuh yang ada
di hadapan Beliau, Allah berfirman :
QS Al Anfal (8/17).
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh me-
reka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bu-
kan kamu yang melempar ketika engkau melempar, tapi
Allahlah yang melempar.”
Sehingga Beliaupun berperang dengan tanpa beban sedikit-
pun.
Begitu juga dengan Khidir AS yang dianggap aneh oleh Musa,
keanehan Uwais Al Qarni di hadapan sahabat Nabi, dan kea-
287
nehan-keanehan orang-orang Allah yang lainnya yang mung-
kin saja ada salah satunya di antara para pembaca sekalian.
Semuanya mereka lakukan karena mereka sudah tidak lagi
mengaku Wujud. Fana.
Lalu kita kemudian akan bertanya-tanya tentang ayat-ayat
Allah yang sangat populer disampaikan kepada kita ketika kita
akan membahas taqdir, diantaranya :
• Ar-Ra’du (13/11) : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengu-
bah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah ke-
adaan diri mereka sendiri.”
• Al-Mu’min (40/60) : “Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo`alah
kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.”
Dengan berbekal dua ayat ini, kita merasa seakan-akan masih
punya sedikit ruang untuk mengatur hidup kita agar keluar
dari taqdir yang sedang kita hadapi saat ini.
Bagaimana ini ? Untuk itu, agar kita menjadi paham, mari kita
pakai kacamata makrifatullah kita kembali. Untuk menguak
tabir membaca Takdir.
Menguak Tirai Taqdir
Dengan berbekal kacamata Makrifatullah, sedikit banyaknya
kita sudah mulai bisa memahami kenapa kita begitu sulitnya
untuk beriman kepada Rukun Iman ke-enam, yaitu beriman
kepada Baik dan Buruknya Taqdir, yang keduanya berasal dari
Allah.
288
Ternyata penyebab utamanya adalah karena adanya kesalah-
an paradigma berpikir kita tentang diri kita sendiri. Bahwa kita
merasa wujud. Karena kita merasa wujud maka kitapun
merasa seperti memiliki kehidupan kita. Sehingga kita sulit
untuk menerima kenyataan bahwa apapun juga ternyata
sudah ditetapkan oleh Allah untuk kita jalani sejak Firman
KUN. Kita hanya tinggal menjalankan saja apa-apa yang sudah
ditetapkan untuk kita masing-masing.
An Nur (24/54).
“Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibe-
bankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah se-
mata-mata apa yang dibebankan kepada kamu.”
Kekeliruan umum kita selama ini dalam memahami Taqdir ini
barangkali sama dengan kekeliruan-kekeliruan yang telah saya
buat selama ini. Kesalahan yang saya perbuat sebelum saya
mengenal Ilmu Makrifatullah Jalan Nabi-Nabi ini.
Di sini saya tidak berani berkata kita. Sebab boleh jadi ini ha-
nya kekeliruan saya pribadi saja. Bukan kesalahan para sa-
habat yang lain. Saya sendirilah yang saat itu belum memakai
kacamata Makrifatullah Jalan Nabi-Nabi seperti yang saya
pakai sekarang ini. Jadi kekeliruan yang saya maksudkan itu
adalah keliru jika dilihat dari Sudut Pandang atau Paradigma
berpikir Ilmu Makrifatullah.
1. Kesalahan pertama, saya mengira saat Allah pertama kali
289
berfirman “KUN” itu, Allah berfirman kepada SESUATU
yang BELUM ADA. Sesuatu KETIADAAN atau KEKOSONG-
AN. Saya kira Allah berfirman KUN kepada ketiadaan atau
kekosongan itu, lalu FAYAKUN. Dari ketiadaan dan keko-
songan itu kemudian terciptalah Makhluk-Nya satu per-
satu.
Karena saya merasa diciptakan dari tiada, berasal dari
kekosongan, maka saya ingin kembali mencari kekosong-
an, saya berusaha “berjalan dan kembali” untuk menjadi
tiada. Dan itu saya lakukan dengan berbagai cara, terma-
suk berbagai metoda meditasi, dzikir (lafal), dan teknik-
teknik lainnya yang memang mengajarkan tentang keko-
songan, terutama kekosongan di dalam pikiran. Mengo-
songkan pikiran. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak
berpikir.
Kalau ada yang bertanya kepada saya: “Kamu mau kem-
bali ke mana ? Walaupun saya menjawabnya saya: “Ingin
kembali kepada Allah”, namun jawaban saya itu ternyata
tidak serta merta mencerminkan hal yang sebenarnya.
Kembali kepada Allah itu saya kira bisa saya lakukan de-
ngan mencoba-coba menjalankan sebuah rasa yang ber-
asal dari dalam dada saya berupa sebuah getaran halus.
Getaran itu saya tujukan keatas menuju ketinggian. Se-
akan-akan dengan begitu saya menjawabnya: “Saya mau
menuju ke kekosongan, saya ingin kembali ke keko-
songan”.
290
Karena saya “mengingat” (DZIKIR) pada kekosongan, wa-
laupun saya menyebut-nyebut nama Allah, ternyata ada
yang ikut menemani saya, sebutlah itu iblis, syetan, atau
jin. Sebab ada memang ayat yang mengatakan bahwa:
“Waman ya’syu ‘andzikrirrahmaan nuqayyidh lahuu
syaithaanan fahualahuu qariinun, Dan barangsiapa yang
berpaling dari INGAT kepada Yang Maha Rahman (ALLAH),
Kami akan mengirimkan syetan sebagai teman akrabnya,
(Adz Dzukhruf 36). Dan dengan begitu, tahu-tahu saya
sudah dekat saja dengan alam perdukunan, alam getaran
(vibrasi), dan alam kesaktian, yang lama-kelamaan ternya-
ta malah menjauhkan saya dari Allah. Salah satu ciri-
cirinya yang sangat kentara adalah, waktu itu saya sangat
sulit sekali untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunnah
seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Ketika saya punya masalah, dulu itu saya malah mela-
kukan “XYZ” yang sebenarnya sama dengan bermeditasi.
Dan itu bisa puluhan menit bahkan sampai jam-jaman. Tu-
juannya adalah agar masalah saya selesai, agar saya sem-
buh dari sakit, atau tujuan-tujuan lainnya.
Padahal Nabi mencontohkan, kalau kita punya
masalah, kita lakukan saja shalat dua rakaat,
maka Allah akan memberikan kita tuntunan-
tuntunan kepada kita agar kita bisa
menghadapi masalah kita itu tanpa masalah.
291
Padahal pada saat itu saya juga masih mengaku bahwa
saya adalah umat Nabi Muhammad Saw. Umat yang akan
mencontoh perilaku, sikap, dan tauladan dari Nabi
Muhammad Saw. Tapi yang saya lakukan sangat berbeda
dengan yang Beliau lakukan. Aneh sekali memang.
2. Kesalahan kedua, saya juga mengira bahwa . . .
. . . sabda KUN itu difirmankan Allah BERKALI-
KALI sejak dari pertama kali sampai dengan
sekarang ini dan pada zaman yang akan
datang.
Setiap kali Allah ingin menciptakan Makhluk-Nya, maka
setiap kali itu pula Allah berfirman KUN kepada sesuatu
yang boleh kita sebuat sebagai PARTIKEL atau ENERGI.
Begitu Allah berkata KUN kepada partikel atau ENERGI itu,
maka dari partikel atau ENERGI itu kemudian terciptalah
suatu ciptaan. Dengan begitu, saya mengira bahwa fir-
man Kun Itu berlangsung setiap saat, dari dulu, sampai
saat ini, dan di masa-masa yang akan datang. Kun ini, Kun
itu, Kun, Kun, lalu Fayakun, saat itu juga terjadilah ini, itu,
ciptaan, ciptaan !
Padahal itu hanya terjadi SATU kali saja.
292
Oleh sebab itu saya merasa dapat mempengaruhi Allah
dalam menciptakan peristiwa-peristiwa. Dan itupun saya
cukup hanya dengan BERPIKIR atau MERASAKAN tentang
sesuatu yang saya inginkan itu sudah terjadi. Tetapi sebe-
narnya saya juga agak ragu-ragu apakah saya yang berpi-
kir dan merasakan itu atau saya hanya dikenai oleh pikiran
dan perasaan itu. Makanya, kadangkala saya merasa
bahwa begitu saya berpikir dan merasakan, maka terja-
dilah peristiwa seperti yang saya pikirkan dan rasakan itu.
Pada lain kali saya tidak memikirkan dan merasakannya,
tapi tiba-tiba seperti ada pikiran dan perasaan yang da-
tang kepada saya, lalu pertistiwa yang terpikirkan dan
terasakan itupun terjadi pula. Walaupun itu baru hanya
untuk hal-hal yang sederhana saja, dan itupun tidak selalu
pula terjadi. Tapi itu cukuplah untuk membuat sedikit ke-
sombongan muncul di dalam hati saya. Sehingga sayapun
sering berman-main dengan pikiran-pikiran dan perasaan-
perasaan itu. Hebat begitu kesannya.
3. Kesalahan ketiga,
. . . saya tidak BULAT DAN UTUH dalam
mempercayai TAQDIR yang merupakan Rukun
Iman keenam.
Bahwa Taqdir baik dan buruk keduanya berasal dari Allah.
Tanpa saya sadari saya telah menciptakan Rukun Iman ke-
293
7, yaitu dengan mengatakan: “Apa-apa yang baik yang
saya lakukankan atau ucapkan adalah dari Allah, sedang-
kan semua yang buruk dan keliru yang saya lakukan atau
ucapkan adalah dari diri saya sendiri”.
Saya dulu juga percaya bahwa saya masih bisa mengubah
taqdir yang akan saya jalani melalui do’a-do’a yang saya
ucapkan dengan intens dan berpikiran positif. Saya mera-
sa bahwa dengan berdo’a dan berpikir positif atau baik,
maka kehidupan saya juga akan menjadi baik dan positif
pula. Saya juga merasa bisa ini dan itu karena saya me-
mang telah berusaha dengan maksimal.
Saya mengira seakan-akan Allah belum lengkap dan be-
lum sempurna dalam merencanakan TAQDIR semua Cip-
taan-Nya, sehingga Dia masih memerlukan peran saya un-
tuk menentukan taqdir saya sendiri. Hanya tentang mati,
jodoh, dan rezki saja mungkin saya percaya bahwa itu
sudah ditetapkan. Sedangkan untuk hal-hal yang lain saya
merasa taqdir itu masih bisa saya intervensi dengan
usaha-usaha-usaha dan usaha sekuat tenaga.
Begitu saya ditimpa sebuah masalah, maka hal pertama
yang saya lakukan adalah bertanya tentang “Kenapa harus
saya yang mengalaminya ? Kenapa tidak orang lain yang
mengalaminya yang ibadahnya tidak seperti saya ?”.
Kalau melihat ada bencana atau musibah yang menimpa
orang lain yang saya kenal dengan baik, maka saya
294
berkata. “Kasihan ya dia, coba kalau itu tidak terjadi pada
dirinya, khan dia bisa begini dan begitu?”. Seakan-akan
saya menganggap Allah TIDAK Bijaksana terhadap apa-apa
yang telah Dia TETAPKAN dan RENCANAKAN.
Walaupun akhirnya saya bisa pasrah, tapi pasrahnya itu
terjadi karena saya menghipnosa pikiran saya sendiri un-
tuk bisa menjadi tenang, pasrah, dan melupakan segala
permasalahan saya itu.
Dari tiga kesalahan ini, ternyata dampaknya banyak dan besar
sekali bagi saya. Di antaranya, saya keliru dalam memaknai
HAKEKAT dari semua ciptaan ini, termasuk hakekat diri saya
sendiri. Saya keliru tentang diri (nafs), akal, hati, aku, ruh, dan
sebagainya. Sehingga sayapun tersasar ke sana ke mari men-
cari jalan untuk memahami hakekat diri saya ini. Jalan ini saya
ikuti, jalan itu saya lalui, aliran ini saya coba, cara ini saya
praktekkan, ilmu ini saya tuntut. Tarekat, kesaktian, getaran,
dan sebagainya saya coba satu persatu. Jalan yang sangat
panjang dan melelahkan sekali.
Keliru dalam berhakekat ini,
ternyata telah membawa saya
keliru pula dalam bermakrifat kepada Allah.
Hampir-hampir saja saya bersikap seperti mengikuti paradig-
ma berpikir paham Wahdatul Wujud. Ciri-ciri yang paling
kentara tentang Paham Wahdatul Wujud ini kalau dilihat dari
295
sudut pandang Ilmu Makrifatullah adalah tentang makna
ALLAH MELIPUTI SEGALA SESUATU. Sehingga dengan enak dan
longgarnya saya berkata bahwa Allah adalah INI dan ada di
sini. Saya juga seperti ingin merasa-rasakan bahwa Allah ada
di dalam hati saya, dan lain-lain sebagainya.
Sebab ada memang ayat Al Qur’an dalam Surat Al Fusshilat: 54
yang menyatakan bahwa “INNAHU bikullisyaiin muhith, Allah
meliputi segala sesuatu”. Bahwa Allah meliputi alam semesta
dan semua ciptaan termasuk diri saya sendiri. Sehingga saya
MERASA bisa menyentuh-nyentuh dan merasa tersambung
dengan Allah di dalam Shalat saya. Bukankah paham yang
seperti ini sangat dekat dengan paham Wahdatul Wujud yang
menyatakan bahwa ALLAH SENDIRI yang meliputi semua Alam
Ciptaan-Nya.
Saya mengira Allah meliputi Alam dengan Dirinya sendiri, se-
perti air yang meliputi TISSU atau SPONSE yang direndam ke
dalam air. Seluruh pori-pori Tissu atau Sponse itu diliputi oleh
air. Pergerakan dan tingkah laku Tissu atau Sponse itu adalah
gerak dan tingkah laku air itu sendiri.
Membingungkan sekali upaya-upaya yang harus saya tempuh
untuk mencapai posisi sebagai SPONSE atau TISSU itu. Misal-
nya,
1. Membuat tubuh saya berputar bak “gasing” dalam waktu
yang lama, seperti yang dipakai juga dalam tarian sufi pa-
da tarekat tertentu.
2. Bisa pula dengan mengikuti aliran getaran yang bisa mem-
296
bawa tubuh saya bergerak ke sana - ke mari dengan tanpa
daya dan upaya (effortless) seperti gerakan Taichi.
Dengan begitu saya mengira bahwa saya saat itu sudah
mengikuti Kehendak Allah. Pokoknya dengan getaran itu saya
seperti serba bisa.
Begitu juga pemaknaan tentang hadist: “Bumi dan langit tidak
dapat memuatku. Namun aku termuat dalam hati hamba-Ku
yang beriman.” Dan hati itu saya anggap ada di dalam dada
saya. Sehingga di dalam shalat atau dzikir jahar maupun sirr
saya sibuk sekali merasa-rasakan rasa kedekatan dengan Allah
yang saya anggap seharusnya sudah ada di dalam hati (dada)
saya, karena saya memang merasa bahwa saya sudah beru-
saha sekuat tenaga untuk beribadah maupun melakukan prak-
tek-praktek Tadzkiyatunnafs yang sangat berat.
Oleh sebab itu, Alhamdulillah, saya sangat bersyukur sekali
kepada Allah. Bahwa Allah telah berkenan menakdirkan saya
untuk bisa mereguk sebuah Ilmu yang sangat langka seperti di
atas kepada seorang Arif Billah, sehingga saya bisa melihat
dengan terang benderang segala kebingungan dan kesalahan-
kesalahan saya selama ini.
Ternyata, dengan memasuki pintu makrifatullah ini, tirai yang
menutupi kepahaman saya tentang Taqdir selama ini jadi
terangkat. Taqdir itu sudah menjadi sangat terang benderang,
“clean and clear”. Bahwa . . .
297
. . . di sebalik Taqdir yang terjadi pada setiap
makhluk itu ternyata ada sedikit Dzat Allah (TSE)
yang sedang menjalankan KETETAPAN Allah. Dzat
ini memastikan ketetapan-ketepan Allah itu
terlaksana atau terzhahir menjadi PERANAN-
PERANAN yang sangat beragam yang berlaku
secara SERENTAK atau KOLOSAL dalam WAKTU
yang BERSAMAAN.
Dalam waktu yang bersamaan, Dzat (TSE) yang TUNGGAL
terzhahir menjadi berbagai macam peran mulai dari peran di
tingkat partikel, atom, manusia, bintang, tumbuhan, bumi,
matahari, bintang-bintang, malaikat, sampai dengan peran
Arasy Allah yang agung. Semuanya itu berjalan, berproses, dan
berubah secara BERSAMAAN. Pada saat yang sama, semua
terzahir, berubah, berproses secara SERENTAK dan KOLOSAL.
Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini saya mengajak kepada
siapapun juga, yang Allah telah berkenan pula untuknya . . .
. . . agar ia bisa memahami taqdir ini, untuk
melihat apapun juga dengan memakai kacamata
makrifatullah pula. Pakailah kacamata
makrifatullah ini kapanpun dan di manapun juga
kita berada, sehingga kita benar-benar akan
298
TERLEPAS TOTAL (DETACH) terhadap berbagai
masalah kehidupan yang kita hadapi.
Di sini saya akan kembali menggunakan kata “kita” dalam
mengulasnya.
Sekarang lihatlah dengan mata hati kita, ke manapun kita
melihat dan apapun peristiwa yang kita lihat, maka mata hati
kita sudah bisa melihat dengan tajam bahwa di situ ada Dzat
yang sedang menjalankan PERANAN sesuatu dengan KETE-
TAPAN Allah. Dan pada semua peran yang terzhahir itu ada
hikmah, manfaat, atau pembelajaran yang terkandung di
dalamnya untuk kita ambil dan manfaatkan.
Sehingga dengan begitu, kita juga akan bisa melihat bahwa
apapun juga kekeliruan yang saya lakukan dulu, itupun
ternyata adalah sebuah ketetapan yang telah ditetapkan oleh
Allah sejak Firman KUN. Dzat memastikan kekeliruan saya itu
untuk terzhahir mengikuti ketetapan Allah pada waktu yang
telah ditentukan. Dan di dalam kekeliruan saya itu terdapat
pula hikmah yang manfaatnya sungguh tidak terkirakan
besarnya, paling tidak pembelajaran buat saya sendiri.
Dan Dzat pulalah yang akan memastikan bahwa pada saatnya
saya akan keluar dari kesalahan itu dengan cara-cara yang
seakan-akan itu adalah sebuah kebetulan. Pada saatnya satu
persatu terzhahir, terjadi, dan terlaksana. Tiba-tiba ini, tiba-
tiba itu.
299
• Tiba-tiba saja mata saya terbaca pada sebuah nama.
• Tiba-tiba saya ingin melihat lebih lama nama itu.
• Tiba-tiba saya jadi begitu betah mendengarkan nama itu
berbicara di sebuah situs.
• Tiba-tiba saya sudah tiba saja di hadapan beliau.
• Tiba-tiba saya sudah bertemu muka saja dengan beliau
dalam sebuah seminar. Entah bagaimana, apa-apa yang
beliau sampaikan itu begitu mudahnya saya pahami.
Seakan-akan saya dipermudah untuk memahaminya.
Padahal bahasa beliau banyak juga yang tidak saya pahami.
• Tiba-tiba saja saya sudah dibukakan oleh beliau pintu
tentang makrifatullah, sebuah pintu yang sudah dicari-cari
semua umat manusia sejak ratusan tahun yang lalu.
• Tiba-tiba saya diberitahu beliau mana yang hati dan mana
yang mata hati.
• Tiba-tiba saya sudah menjadi lebih mudah saja untuk bisa
mengingat Allah (dzikrullah).
• Tiba-tiba saja terjadi sebuah perubahan yang sangat besar
dalam pemahaman-pemahaman saya tentang kehidupan,
seakan-akan begitu sebuah pintu ilmu dibuka, maka pintu-
pintu ilmu yang lainnya akan segera terbuka pula. Salah
satu pintu ilmu itu adalah ilmu tentang memahami TAQDIR,
termasuk memahami dalil-dalil Qur’ani dan haditsinya,
yang dulu begitu sulit untuk saya pahami.
Bahwa, secara pandangan mata lahiriah, semuanya itu seperti
terjadi dengan KEBETULAN saja. Semua itu seperti tidak saya
300
rencanakan sama sekali. Tiba-tiba hari ini terjadi, besok ter-
jadi, besok-besoknya terjadi. Akan tetapi kalau kita meman-
dang dengan pandangan kacamata makrifatullah, maka kita
akan dikejutkan oleh sebuah kenyataan bahwa . . .
. . . tidak ada satupun yang terjadi secara
kebetulan. TIDAK ADA. Semuanya sudah TERTERA
di dalam lembaran-lembaran KITAB
PERENCANAAN yang Maha Lengkap, LAUHUL
MAHFUZ, yang setiap lembarannya hanya tinggal
menunggu SAAT demi SAAT PENZHAHIRAN saja
lagi.
Yang sangat HEBATNYA lagi adalah, lembaran-lembaran kitab
itu telah MEMUAT KETETAPAN yang akan TERJADI dan
TERLAKSANA atas SEMUA MAKHLUK atau CIPTAAN untuk
SATU SAAT TERTENTU secara BERSAMAAN.
Untuk lebih memudahkan kita dalam memahami pengertian
ini, marilah kita lihat :
• Ilmu POHON KEPUTUSAN (DECISION TREE), atau
• Ilmu PEMETAAN PIKIRAN (MIND MAPING).
Walaupun cabang-cabang untuk kita dengan cabang untuk
orang lain kadangkala terlihat seperti bersinggungan dan
berdekatan, namun cabang untuk kita yang akan kita jalani
tidak akan pernah tertukar dengan cabang yang akan dijalani
301
oleh orang lain. Setiap cabangnya memuat ketetapan yang
akan dijalani tepat oleh satu ciptaan pada waktu yang telah
ditetapkan..
Misalnya, waktu yang kita lalui sebagai seorang manusia di
bumi ini, akan bermula saat kita dilahirkan dari rahim ibu kita,
dan akan berakhir pada saat kita nanti mati. Ukuran waktu kita
di bumi ini adalah dalam satuan detik, menit, jam, hari, dan
tahun. Maka pada detik yang sama, lebih dari 6 milyar
manusia di seluruh dunia akan menjalani taqdirnya masing-
masing secara serentak.
Pada detik yang sama, ada yang lahir, ada yang meninggal, ada
yang sakit, ada yang sembuh dari sakit, ada yang tertawa, ada
yang menangis, ada yang terlahir cacat, ada yang lahir normal,
ada yang meninggal karena kecelakaan, ada yang meninggal
tertembak dalam sebuah peperangan, dan sebagainya. Pada
detik yang berikutnya lain lagi yang akan terjadi. Semuanya
terjadi secara serentak.
Begitu juga peristiwa dan kejadian yang terjadi di dunia
binatang, tumbuhan, benda cair, benda padat, dan gas, di
udara, di dunia di luar gaya grafitasi bumi, di bulan, di
matahari, di galaksi, di the Universe, di Sidratul Muntaha, di
Arasy, dan sebagainya. Secara serentak semuanya terzhahir
pada waktu-waktu yang telah ditentukan secara bersamaan.
Dzat memastikan semuanya itu akan terzhahir tanpa penge-
cualian. Dan juga, Dzat yang berperan untuk terzhahirnya
302
kesemuanya itu hanyalah sedikit saja dari Dzat ALLAH Yang
Maha Indah. Artinya semua kehebatan dan kesempurnaan hu-
kum yang terlihat di Alam semesta ini hanya terjadi di dalam
Dzat yang sedikit itu. Di dalam The Secondary Essense (TSE).
Semua itu sudah terencana dengan sangat rapi. Maha rapi
malah.
Untuk lebih memahami bagaimana Taqdir ini berkerja, marilah
sejenak kita melihat peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi di
Indonesia saat ini. Misalnya peristiwa Pak Jokowi-JK dalam
meraih tiket menuju Kursi Indonesia 1 dan 2.
• Pak Jokowi menjadi presiden RI yang ke-7, sebenarnya juga
adalah penzhahiran dari Dzat yang sedang menjalankan
peran. Pak Prabowo yang kalah dalam Pilpres baru-baru ini
juga adalah penzhahiran dari Dzat yang sedang menjalan-
kan peran pula. Dzat memastikan Pak Jokowilah yang akan
menang dan Pak Prabowo yang akan kalah. Para pendu-
kung Pak Jokowi maupun para pendukung Pak Prabowo
juga adalah penzhahiran dari Dzat yang sedang menja-
lankan peran, sehingga mereka masing-masing pasti akan
memilih dan mendukung Pak Jokowi atau Pak Prabowo
semaksimal mungkin, habis-habisan, sesuai dengan kete-
tapan yang harus mereka jalani masing-masing.
• Para pelaksana pemilu seperti KPU, Pengawas Pemilu, KPK,
dan MK, semuanya juga adalah penzhahiran Dzat yang
sedang menjalankan peran sesuai dengan ketetapan untuk
303
mereka yang akan memudahkan jalan bagi Pak Jokowi
untuk menjadi Presiden.
• Dzat memastikan setiap pemeran akan melakukan peran-
annya yang sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan.
Dzat memastikan ada yang marah dan ada yang dimarahi,
ada yang memfitnah dan ada yang difitnah, ada yang
menganiaya dan ada yang dianiaya, ada yang dihukum dan
ada yang menghukum, bahkan kalau perlu ada yang
membunuh dan adapula yang dibunuh, ada yang diadili dan
ada yang mengadili. Dan setiap pemeran itu tidak bisa
keluar dari peran yang telah ditetapkan untuknya.
• Dzat juga memastikan adanya para pendukung Pak Jokowi
yang akan menyalurkan syahwat kesenangannya karena
merasa menang dengan berbagai macam acara seakan-
akan mereka sendirilah yang telah menjadi Presiden.
Mereka merasa bebas dan merdeka untuk berbuat apa
saja, paling tidak saat hari pelantikan Pak Jokowi sebagai
Presiden. Mereka merasa berkuasa pula. Mereka merasa
memiliki apa saja yang ada didekat mereka. Dan tentu saja
ada pula lawannya, yaitu para penentang yang tidak me-
nyukai acara-acara seperti itu. Mereka akan menghina,
menjelekkan, dan bahkan mengumpat dan mencaci acara-
acara tersebut.
• Dzat akan memastikan bahwa semua peran akan dimu-
dahkan untuk terjadi dan terlaksana kalau itu memang
sudah ditetapkan untuk terjadi dan terlaksana. Sebaliknya,
304
Dzat juga memastikan bahwa peran yang sudah ditetapkan
untuk SUSAH dan SULIT akan benar-benar menjadi susah,
sulit, dan berliku-liku.
• Pemilihan Menteri Kabinet yang berliku-liku juga sudah
dipastikan oleh Dzat untuk terjadi seperti itu. Semua tidak
ada pilihan. Ada yang protes, ada yang memuji, ada yang
kecewa, ada yang membully, semuanya sudah dipastikan
untuk terjadi karena ada Dzat yang memastikan semua itu
terzahir.
• Pertarungan KIH dan KMP di parlemen pun memang harus
untuk terjadi. Karena kedua kubu tidak bisa keluar dari
peran atau taqdir yang telah disandangkan di leher masing-
masing pendukungnya. Kata-kata yang jatuh menjatuhkan,
plintir-plintiran, bahkan banting-bantingan kursi dan
mejapun memang harus terjadi. Adanya fakta bahwa
muncul pula DPR Tandingan dengan ketua-ketuanya,
itupun sebenarnya adalah penzhahiran peranan dari Dzat
belaka. Karena semua itu sudah dituliskan dan ditetapkan
untuk terjadi. Dzat memastikan semua itu untuk terjadi
tanpa ada yang bisa menolaknya.
• Dalam lima tahun mendatang, Dzat juga akan memastikan
hasil yang akan dicapai oleh Pak Jokowi-JK dalam
pemerintahan Beliau. Kalau sudah ditetapkan untuk gagal
maka kegagalan itu akan dimudahkan oleh Dzat untuk
terjadi. Sebaliknya kalau sudah ditetapkan untuk berhasil
dengan gemilang, maka keberhasilan itu juga akan
305
dipermudah pula oleh Dzat untuk terjadi.
• Begitu juga, jika pemerintahan Beliau sudah ditaqdirkan
untuk menjadi pemerintahan yang penuh DAGELAN, SAN-
DIWARA, atau sebaliknya bisa pula menjadi pemerintahan
yang SERIUS dan BERSUNGGUH-SUNGGUH dalam mengu-
rus kepentingan Rakyat Indonesia, maka Dzat memastikan
setiap orang akan menjalani peran dagelan, atau peran
sandiwara, atau peran serius dan bersungguh-sungguh itu
untuk terjadi.
• Nanti, dalam perjalanan waktu, cobalah lihat dengan tajam,
bahwa berhasil atau tidaknya Pak Jokowi-JK dan para
mentri Kabinet menjalankan pemerintahan, sebenarnya itu
bukanlah disebabkan oleh karena kehebatan atau tidak
hebatnya Pak Jokowi-JK dan para Menteri Beliau. Bukan.
Akan tetapi Dzatlah yang memastikan atas keberhasilan
atau ketidakberhasilan itu untuk terjadi karena memang itu
sudah ditetapkan untuk berhasil ataupun tidak berhasil.
• Orang boleh saja terpesona buat sesaat dengan perilaku
yang ditunjukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu
Susi Pudjiastuti. Banyak orang yang kesemsem dengan apa-
apa yang beliau lakukan. Mereka menyanjung dan memuji
Ibu Susi melebihi Menteri-menteri yang lainnya. Namun
tidak kalah punya banyaknya orang-orang yang meman-
dang rendah beliau karena beliau hanya berijazah SMP,
perokok pula, dan tidak menyukai protokoler yang berbelit-
belit. Namun tidak banyak yang bisa melihat bahwa Dzatlah
306
yang memastikan beliau untuk bisa menjadi Menteri. Dan
Dzat pulalah yang menyebabkan beliau mempunyai
karakter seperti itu. Beliau tidak punya pilihan untuk
menjalani apa-apa yang telah ditetapkan untuk beliau.
• Begitu juga, kegagalan Pak Prabowo-Hatta dalam mendu-
duki Kursi RI-1 dan 2, itu bukanlah karena Pak Prabowo dan
Pak Hatta serta pada pendukung beliau tidak hebat. Tidak
begitu. Dzatlah yang memastikan kegagalan itu terjadi
karena itu memang sudah ditetapkan untuk gagal.
• Bagaimana para Anggota DPR, DPD, MPR mendapatkan
kedudukannya, berperilaku, berkata-kata, dan bertindak,
semuanya juga hanyalah cermin dari penzharian Dzat
dalam menjalani KETETAPAN Allah belaka. Mereka semua
tidak ada pilihan. Mereka pasti menjalankannya tanpa bisa
menolaknya. Sebab saat itu yang terjadi hanyalah
permainan Dzat saja. Allah sedang bermain-main, dengan
Dzat-Nya sendiri. Sedikit dari Dzat-Nya. Seperti kita sedang
bermain-main dengan jari-jari tangan kita. Jempol kita
memukul jari manis kita. Kelingking dijentik oleh si jari
telunjuk. Dan seterusnya.
Dan kesemuanya itu adalah bahan pelajaran yang SARAT
mengandung HIKMAH, MANFAAT, dan FAEDAH, bagi para
ULUL ALBAB. Yaitu orang-orang yang mampu melihat bahwa
di sebalik semua yang terjadi dialam semesta ini mereka
melihat Dzat dan Ketetapan Allah yang sedang berinteraksi.
Mereka bisa melihat semua interaksi itu dengan mata hati
307
mereka baik saat berdiri, saat duduk, maupun saat berbaring.
Mereka bisa pula mereguk hikmat dari peristiwa-peristiwa itu.
Dari situ para Ulul Albab itu bisa belajar tentang watak-watak
manusia. Mereka dapat pula melihat bahwa selama antar
sesama manusia masih saling bertengkar dan berkelahi satu
sama lain, maka tidak akan ada pula terbentuk hal-hal yang
akan menyejahterakan rakyat. Tidak ada. Sebab energi orang-
orang itu hanya akan habis untuk bertengkar dan berkelahi.
Seperti juga dengan apa-apa yang telah diperlihatkan oleh
umat islam sejak ratusan tahun yang lalu, sehingga hampir
saja umat islam ini kehilangan wibawanya di dalam kancah
pergaulan dunia.
Dari pembelajaran itulah para Ulul Albab itu dimatangkan
pemahamannya oleh Allah tentang Kemahabesaran Allah
sendiri, sehingga akhirnya keimanan mereka akan semakin
tumbuh dan berkembang dengan kuat. Sebab ke manapun
mata mereka melihat, mata hati mereka dikejutkan dengan
kenyataan bahwa kewujudan yang wujud hanyalah SATU,
yaitu Dzat. Allahlah yang sedang bermain-main dengan sedikit
dari Dzat-nya sehingga dari Dzat-Nya itu terzhahirlah Drama
Kehidupan yang akan terus berjalan secara otomatis sejak
pertama kali Firman KUN difirmankan oleh Allah.
Firman KUN itu menggetarkan Dzat-Nya yang sedikit (TSE)
secara terus menerus sampai dengan Akhir Zaman, sehingga
getaran Firman Kun itu menzhahirkan berbagai ciptaan di
alam semesta raya ini. Sehingga sebenarnya alam semesta
308
yang kelihatannya begitu luas dan penuh dengan berbagai
ciptaan, fenomena, dan hukum-hukum, hanya dimainkan oleh
SATU pemain tunggal saja, SATU pelakon tunggal saja, yaitu
sedikit dari Dzat-Nya sendiri.
Untuk lebih memudahkan lagi pemahaman kita, marilah kita
melihat kesemuanya itu seperti kita sedang melihat sebuah
permainan sepak bola. Ada Kiper, ada pemain, ada wasit, ada
penjaga garis, ada bola, ada rumput, ada gawang, ada
penonton. Semuanya berperan dengan peran dan sikapnya
masing-masing. Dan dengan memakai kacamata makrifatullah
kita ternyata akan bisa melihat bahwa kesemuanya itu
dimainkan oleh satu wujud saja, yaitu Dzat.
Ya, Dzatlah yang menjadi kiper, Dzat pulalah yang menjadi
pemain, wasit, penjaga garis, bola, rumput, gawang, dan
puluhan ribu penonton lainnya. Dzatlah yang menjadi Dalang
Tunggal dari Pelakonan Sandiwara Kehidupan itu. Dzatlah yang
memainkan peranan tentang siapa yang akan menang dan
yang kalah, siapa yang senang dan siapa yang sedih. Semua itu
Tak ubahnya seperti pertunjukan Wayang.
Tetapi Penontonnya hanya Tunggal, yaitu Allah
sendiri. dan Pemainnya juga Tunggal, Yaitu Dzat-
Nya sendiri, yang sedikit.
Itu tak ubahnya seperti kita sedang bermain-main dengan ta-
ngan kita sendiri. Jari-jari tangan kitalah yang menjalankan
309
peran A, peran B, peran C, peran D, peran E. Kuku-kuku tangan
kitalah yang menjalankan peran X,W,Z. Persendian jari-jari
tangan kitalah yang meliuk-liuk menjalankan perannya ma-
sing-masing. Semuanya berperan secara serentak.
Bedanya dengan pertunjukan wayang kulit hanyalah dalam hal
kolosalitas pergerakan pemainnya saja. Dalam pertunjukan
wayang kulit, para wayangnya bergerak satu persatu, sedang-
kan dalam pertunjukan Wayang Kehidupan, para wayangnya
hidup dan bergerak secara serentak semuanya. Kolosal sekali.
Kemudian, mari kita layangkan pula padangan mata kita kepa-
da peristiwa-peristiwa di sekeliling kita. Misalnya, gempa bu-
mi, banjir, kebakaran, kecelakaan (mobil, kereta api, pesawat,
kapal laut), gedung runtuh, sakit, kematian, dan sebagainya.
Tanpa memakai kacamata makrifatullah kita akan
melihat semua hal di atas itu sebagai sebuah
bencana, atau sebagai hukuman Allah terhadap
suatu kaum yang tidak patuh kepada Allah, atau
sebagai ujian dari Allah untuk menguji iman umat
manusia.
Ketika peristiwa itu terjadi, kitalah yang dengan gagah berani
berkata untuk menyalahkan orang-orang-orang yang ada
disekitar tempat bencana itu terjadi. Kita sendirilah yang
menetapkan hubungan sebab dan akibat ini sesuka hati kita.
310
Misalnya, bencana itu terjadi karena penduduk di daerah itu
sudah banyak yang bermaksiat, banyak yang tidak shalat,
banyak riba, dan sebagainya. Bahkan untuk menguatkan
penetapan kita itu, disana sini kita menambahkan pula
beberapa dasar-dasar ayat Al Qur’an atau Al Hadist.
Dengan begitu kita jadi sibuk menghakimi, menyalahkan, dan
mencari-cari kambing hitam dari peristiwa-peristiwa itu.
Sehingga akhirnya kita menjadi LUPUT dari MELIHAT HIKMAH
atau FAEDAH dari semua persitiwa itu. Yang melihatnya
adalah orang lain, sehingga mereka menemukan berbagai
paralatan dan teknologi canggih yang akan menjinakkan
“bencana-bencana” itu. Dengan alat itu, dampak bencanannya
diperkecil, korbannya bisa diminimalkan, keru-sakannya bisa
dilokalisir. Sementara kita hanya bisa membeli dan membeli
alat-alat itu untuk kita gunakan di tempat kita. Kita hampir
tidak pernah mencip-takan sendiri alat-alat yang akan
bermanfaat untuk kehidupan kita.
Akan tetapi kalau kita memakai kacamata makrifatullah dalam
memandang peristiwa-peristiwa itu, kita akan tercengang
melihatnya bahwa . . .
. . . semua peristiwa itu terjadi
karena memang ia harus terjadi.
Mata hati kita sudah bisa melihat bahwa Dzatlah yang
memastikan semua itu terjadi mengikuti ketetapan yang telah
311
ditetapkan oleh Allah. Dan Dzat juga memastikan bahwa
peristiwa-peristiwa itu memuat HIKMAH di dalamnya, yang
akan berguna dan berman-faat bagi kita dalam menjalani kehi-
dupan kita. Pasti.
Dengan memakai kacamata makrifatullah, kita akan dapat
pula melihat bahwa . . .
. . . apapun perbuatan orang-orang yang ada di
sekitar kita, apakah itu anak kita, istri atau suami
kita, ibu dan bapak kita, saudara kita, handai
taulan kita, ataupun orang lain yang tidak punya
hubungan keluarga dengan kita, maka kita akan
dapat melihat dengan mata hati kita, bahwa
semuanya itu adalah Dzat yang sedang mengambil
peranan sesuai dengan ketetapan Allah yang telah
dikalungkan di leher mereka masing-masing.
Mereka tidak punya pilihan, mereka tidak bisa menghindar,
mereka harus menjalaninya. Karena Dzat memastikan itu
untuk terjadi sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan.
Kita akan mudah menerima keberadaan kita yang sudah dite-
tapkan oleh Allah untuk menjalani peran sebagai orang Islam
dari sejak lahir, makanya kita dilahirkan dalam keluarga islam,
mendapat pendidikan secara Islam, dan beribadah sesuai
dengan syariah Islam. Kita akan dihalangi oleh Dzat untuk
312
beribadah secara agama lain.
Kita akan mudah pula menerima bahwa ada pula beberapa
orang yang di tengah-tengah jalan hidupnya sudah ditetapkan
oleh Allah untuk berpindah agama menjadi agama lain, maka
Dzat memastikan pindah agamanya itu akan terjadi. Dzat
memastikan peristiwa-peristiwa pendukungnya juga akan
terjadi. Misalnya melalui perkawinannya, pergaulannya,
pendidikannya, atau tiba-tiba saja ia ingin berubah agama.
Kita akan sangat cair melihat ada pula orang-orang yang telah
ditetapkan oleh Allah untuk berperan sebagai pemuka agama
tertentu seperti : Ustadz, Kyai, Pandita, Bikkhu, Empu, Resi,
Biarawan, Pastor, Uskup, Pendeta, Rabi, dan sebagainya. Dzat
memastikan peran-peran itu terzhahir, tanpa ada yang bisa
menghalang-halanginya. Mereka akan terlahir, berpengetahu-
an, beribadah, berdakwah, dan berperilaku sesuai dengan
agamanya masing-masing pula. Tidak ada yang bisa meno-
laknya. Tidak ada masalah antara kita dengan mereka, karena
mereka juga sedang menjalankan taqdir mereka, seperti kita
juga sedang menjalankan taqdir kita.
Adakalanya mereka bisa membenci kita, atau mereka bisa
berbuat makar kepada kita, atau mereka bisa menyakiti kita,
atau bahkan bisa memerangi kita. Itupun mereka lakukan
karena sudah dituliskan untuk terjadi. Kita melawan atau
tidakpun sudah dituliskan pula dengan lengkap. Dzat akan
memastikan apa-apa yang sudah dituliskan itu untuk terjadi.
313
Jadi, peperangan di Palestine, di Labanon, di Irak,
fenomena ISIS, kegaduhan umat beragama di
Myanmar, dan lain-lain, semuanya itu memang
sudah seharusnya saja terjadi. Karena semua itu
sudah ditulis di Lauhul Mahfuz untuk terjadi. Dzat
akan memastikan semua itu untuk terjadi.
Masalahnya bagi kita adalah,
. . . apakah kita dalam melihat semua pergolakan
itu kita sudah ditaqdirkan atau belum oleh Allah
untuk bisa menerimanya dengan sikap yang
seharusnya ?
Sikap bermakrifatullah. Sikap Fana, sikap tidak mengaku-
ngaku. Kalau sudah, maka kita akan diam, tidak bergaduh, dan
tidak bergeming melihat Dzat yang sedang bermain-main. Kita
hanya akan berkata: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. What will
be will be.
Akan tetapi kalau belum, maka kita akan protes, akan geram,
bahkan akan melaknat pihak-pihak yag tidak kita sukai. Kita
sendiri juga tidak tahu, entah apa hak kita untuk bisa melak-
nat-laknat seperti itu. Tiba-tiba saja kita berbuat seperti itu
tanpa kita bisa melawannya. Dan karena kita sudah ditaq-
dirkan untuk merasa masih ada, maka kitapun akan mera-
314
sakan rasa sakit akibat dari keberadaan kita itu.
Di dalam sebuah perusahaan, tidak ada pula yang bisa meno-
lak bahwa memang ada orang yang sudah ditaqdirkan untuk
menjadi Direktur, GM, Manager, ataupun operator. Seseorang
yang menjadi Direktur bukanlah karena kehebatannya sehing-
ga dia bisa menjadi Direktur. Begitu juga yang menjadi opera-
tor bukanlah karena kebodohannya sehingga ia hanya bisa
menjadi operator. Tidak begitu. Tapi Dzatlah yang memastikan
bahwa seseorang harus menjadi Direktur atau Operator sesuai
dengan apa yang sudah ditetapkan oleh Allah untuknya di
Lauhul Mahfuz.
Begitu juga, siapapun yang sakit, yang menderita, yang
dirawat di rumah sakit, bahkan bagi yang sampai meninggal,
semuanya juga tidak ada hubungannya dengan sial atau ti-
daknya kita. Semua sudah dituliskan dan ditetapkan sejak Fir-
man Kun di dalam Kitab Yang Sangat Sempurna. Dzat memas-
tikan apa-apa yang kita alami itu Tidak meleset sedikitpun dari
KETETAPAN yang telah ditulikan untuk kita lalui.
Kalau kita ataupun ada saudara kita meninggal, maka itu sebe-
narnya hanyalah peristiwa kembalinya Sifat menjadi Hakekat
saja. Dari Ciptaan kembali menjadi Dzat. Dari Dzat Yang Dzahir
kembali menjadi Dzat Yang Bathin. Tidak ada urusannya
dengan kita. Karena kita sebenarnya memang tidak wujud.
Yang wujud adalah Dzat.
315
Dan Allah bermain-main dengan
sedikit dari Dzat-Nya sesuka-Nya.
Kalau suatu saat rumah kita dirusak orang atau harta kita
dicuri oleh orang lain, maka yang melakukan perusakan atau
pencurian itupun hanyalah penzhahiran Dzat yang memang
sudah ditakdirkan untuk merusak atau mencuri. Beda kita
dengan si perusak atau si pencuri itupun hanyalah dalam hal
KETETAPAN yang harus kita dan dia jalani. Kita sudah
ditakdirkan sebagai orang yang dirusak atau dicuri dan dia
sudah ditetapkan pula sebagai orang yang merusak atau
mencuri. Kita masing-masing tidak bisa menghindar dari
ketetapan itu. Dzat yang ada pada diri kita dan Dzat yang ada
pada diri si perusak atau si pencuri akan memastikan semua
itu akan terjadi.
Oleh sebab itu,
. . . apapun tindakan orang lain terhadap kita,
apakah itu menyenangkan kita, membahagiakan
kita, ataupun menyakitkan kita, membuat kita
menderita dan tersiksa, dalam pandangan
kacamata makrifatullah, itu semua adalah karena
memang itu sudah seharusnya terjadi.
Karena itu sudah dituliskan untuk kita hadapi tepat pada
316
waktunya. Dzat memastikan itu akan terjadi pada kita.
Kalau pandangan mata hati kita sudah tajam seperti ini, saat
kita melihat atau mengalami bencana apapun juga, kita tidak
akan merasa menjadi korban lagi, kita tidak akan merasa jadi
orang yang teraniaya lagi. Bagaimana kita akan merasa
menjadi korban dan merasa teraniaya, wong kita sudah tidak
wujud. Sebab ternyata yang terlibat dan yang terkena bencana
itu semata-mata adalah Dzat saja. Allah sedang bermain-main
dengan sedikit dari Dzat-Nya.
Akan tetapi kalau kita merasa dan mengaku wujud, maka saat
itulah kita akan mulai bermasalah. Kita akan merasa menjadi
korban, kita merasa menjadi objek penderita, sehingga kita-
pun akan protes ke mana-mana, termasuk kepada Allah. Kita
akan memberontak. Kita tidak akan menerima. Kita akan ba-
nyak berkata tentang: kenapa, andai kata, seharusnya, kok be-
gitu, duh kasihan, dan kata-kata lainnya yang menggambarkan
ketidakmenerimaan kita terhadap apa-apa yamh kita alami.
Dan untuk ketidakmenerimaan kita inilah yang disebutkan
oleh Allah sebagai SIKSAAN buat kita.
Nah, ketetapan-ketetapan inilah yang disebut sebagai TAKDIR
yang akan dijalani oleh setiap ciptaan. Takdir itulah yang akan
membawa Dzat menjalankan peranannya. Sedangkan Dzat
memastikan Takdir itu untuk Terlaksana.
Lalu bagaimana hubungan takdir ini dengan ayat:
• “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu
317
kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka
sendiri.”, QS. Ar-Ra’du (13): 11.
• “Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya
akan Kuperke-nankan bagimu..” (QS Al-Mu’min 60).
Hubungan antara TAQDIR dengan ayat-ayat di atas sebenar-
nya sudah menjadi sangat sederhana sekali. Bahwa yang harus
kita UBAH itu ternyata hanyalah PARADIGMA berpikir kita
saja. Walaupun peristiwa-peristiwa yang kita alami itu tetap
sama dan berulang-ulang dari waktu ke waktu, namun dengan
paradigma berpikir kita yang berbeda, maka kita benar-benar
akan berbeda pula dalam menyikapinya. Paradigma berpikir
itupun cuma DUA macam saja, yaitu apakah kita akan
mengaku WUJUD atau sebaliknya kita akan mengaku TIDAK
WUJUD.
• Kalau kita tidak wujud, maka kita akan bisa memandang
bahwa apapun taqdir yang datang menimpa kita, maka kita
akan bisa MENERIMA bahwa itulah yang terbaik buat kita.
Karena itu datangnya dari Allah Yang Maha Bijaksana. Lalu
Allah akan membacakan kepada kita Hikmah dari taqdir
yang kita lalui itu, dan kita bisa menggunakannya untuk
mengubah kehidupan kita kepada yang lebih baik.
• Sebaliknya, kalau kita merasa wujud, maka kita akan sering
menilai bahwa Allah TIDAK bijaksana ketika kita mengalami
taqdir yang menurut prasangka kita adalah tidak baik,
sehingga kita diluputkan oleh Allah dari membaca Hikmah
di sebalik taqdir yang sedang kita alami itu. Akhirnya kita
318
TIDAK akan mengalami perubahan apa-apa untuk bisa
hidup dalam keadaan yang lebih baik.
Agar kita bisa merasa TIDAK WUJUD,
. . . maka pandanglah segala sesuatunya, segala
kejadian dan peristiwa, dari sudut pandang Orang
Luar.
Kita seakan-akan hanyalah “orang luar” yang sedang meman-
dang Ada Yang sedang Beraktifitas, Ada Yang sedang Sibuk
mengatur-atur sedikit dari Diri-Nya sendiri untuk menciptakan
berbagai Kehidupan. Yaitu PERLAKUAN Allah terhadap Dzat-
Nya. Sehingga mulut kita mau tidak mau akan terkunci dan
tertutup rapat untuk berbicara. Kita jadi tidak sanggup untuk
berbicara dan mengaku-ngaku lagi bahwa kita ikut pula berpe-
ran dalam menentukan apa-apa yang terjadi di dalam proses
kehidupan itu. Sebab . . .
. . . ternyata kita tidak punya peran apa-apa,
karena kita memang tidak memiliki apa-apa, dan
itu karena kita bukanlah siapa-siapa.
Kita ini ternyata hanyalah sedikit-sedikit-sedikit dan sedikit
dari sedikit Dzat-Nya. Artinya, Allahlah yang telah berkenan
untuk menciptakan atau mewujudkan kita dari Dzat-Nya. Dan
Allah pulalah yang telah berkenan memberi kita kekuatan-Nya
319
melalui Dzat-Nya, Allahlah yang telah berkenan memberikan
kita penglihatan-Nya melalui Dzat-Nya, Allahlah yang telah
berkenan memberikan kita pendengaran-Nya melalui Dzat-
Nya, Allahlah yang memberikan kita pikiran-Nya melalui Dzat-
Nya, Allahlah yang memberikan kita perasaan-Nya melalui
Dzat-Nya, Allahlah yang telah berkenan memberikan kita
kehidupan-Nya melalui Dzat-Nya.
Ya, Semuanya hanyalah karena perkenan Allah belaka melalui
Dzat-Nya. Dan dari Dzat-Nya itulah semuanya akan terzhahir,
termasuk melalui diri kita masing-masing sesuai dengan apa-
apa yang telah Ditetapkan-Nya untuk kita.
Dengan begitu, maka kita akan menjadi sangat jelas melihat
bahwa . . .
. . . pemain atau seniman yang sedang bermain
hanyalah SATU, yaitu Dzat.
Sehingga memang sudah sepantasnyalah kita untuk sering-
sering berkata: Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun, dari Dzat
kembali kepada Dzat; laa haula wala quwwataa illa billah,
hanya Dzatlah yang kuat. Dan itu kita lakukan TANPA kita me-
rasa telah menjadi Allah. Kita akan terhindar dari Paham Wah-
datul Wujud. Sebab kita tetap hanyalah semata-mata Sang
Fana saja. Tidak Wujud. Sehingga kita bisa DETACH, terpisah,
terlepas dari segala permasalahan, termasuk permasalahan
dengan diri kita sendiri.
320
Dan inilah sebenarnya makna atau maksud hakiki dari perja-
lanan Isra’ dan Mi’raj Rasulullah Saw yang tidak banyak dike-
tahui oleh Umat Islam. Di dalam proses itulah akhirnya Allah-
pun berkenan menurunkan Syariat Shalat untuk Orang-orang
YANG BERIMAN, yang tujuannya adalah agar supaya kita bisa
MERASAKAN bagaimana rasanya menjadi seorang Hamba
Allah. Hamba yang bisa merasakan bahwa di dalam shalat itu,
Allah sendirilah sebenarnya yang sedang menggerakkan Dzat-
Nya untuk menyembah dan memuja Diri-Nya sendiri, yang
penzhahirannya adalah dalam bentuk PERGERAKAN milyaran
umat manusia yang bergelombang-gelombang mendirikan
shalat di setiap pelosok bumi.
Lihatlah dengan memakai kacamata makrifatullah.
Allahu akbar.
Allahu akbar.
Allahu akbar.
Maka yang sebenarnya terjadi adalah sedikit dari Dzat Allahlah
yang sedang DIGERAKKAN oleh Allah untuk membesarkan Diri-
Nya Sendiri. Dzat Allah lah yang sedang membesarkan Allah.
Dan itu akan berdampak sangat hebat sekali terhadap
keimanan kita kepada Allah. Sebab kadangkala, sebagai hasil
dari kita melaksanakan shalat dan ibadah-ibadah sunnah yang
lainnya,
• Allah akan berkenan mengenalkan Diri-Nya kepada kita
321
bahwa Dia adalah AL JALAL (Maha Indah, Maha Bagus dan
Maha Sempurna), dan
• kadangkala Dia mengenalkan Diri-Nya kepada kita sebagai
AL JAMAL (Maha Perkasa).
Dan keadaan itu sangatlah mengharu birukan perasaan kita.
Kita jadi harap-harap cemas. Karena Allah mengenalkan dan
memberitahukan Siapa diri-Nya itu secara bergelombang,
mengalun, dan silih berganti. Bahkan kadangkala Allah juga
tidak memberikan kita rasa apa-apa, sehingga kita merasa
tercekat. Sungguh terasa sekali hidupnya interaksi kita dengan
Allah. Sehingga kita tidak ingin melupakan-Nya barang se-
saatpun. Dzikrullah.
Akan tetapi,
. . . kalau kita memandangnya dari sisi kita, dari
sudut pandang kita sendiri, artinya kita merasa
bahwa kita adalah wujud, maka kitalah yang
terlihat sedang membacanya.
Kitalah yang seakan-akan sedang membesarkan Allah. Dan,
pastilah Kemahabesaran Allah tidak akan sama dengan apa
yang kita kira. Inilah yang menyebabkan ucapan kita itu
seperti tidak ada pengaruh apa-apa terhadap keimanan kita
kepada Allah. Hambar, garing, kering, dan tidak berkesan apa-
apa.
322
Sebab, kalau kita mengaku wujud, maka kita akan menjadi
sibuk sekali menjaga kewujudan kita. Tiba-tiba kita akan se-
gera saja merasa memiliki. Kalau kita sudah merasa memiliki,
maka kita akan mati-matian untuk menjaga milik kita itu agar
jangan hilang dari tangan kita, agar milik kita itu tidak di
ganggu oleh orang lain.
Kalau kita bisa mempertahankan milik kita, maka kita akan
merasa sebagai si pemenang. Kita akan merasa bangga, se-
nang, dan berbunga-bunga. Kita akan pamer tentang kekuatan
dan keberhasilan kita itu kepada orang lain dengan harapan
akan ada orang lain yang memuji-muji kita. Semakin banyak
orang yang memuji kita, maka kita akan semakin merasa besar
kepala dan merasa hebat. Kalau tidak ada yang memuji kita,
bahkan sebaliknya ada yang mencela kita, maka kita akan
marah dan benci kepadanya.
Akan tetapi kalau kita tidak berhasil mempertahan milik kita,
maka kita akan merasa menjadi korban, menjadi orang yang
dizalimi, menjadi orang yang teraniaya. Dan kita akan pergi ke
mana-mana mencerita-ceritakan keteraniayaan kita itu
dengan harapan agar ada orang yang bersimpati kepada kita.
Kalau tidak ada yang simpati, maka kita semakin merasa tidak
berharga, merasa menjadi orang yang tidak berguna. Kita akan
duduk di dalam ruang penyiksaan.
Kalau kita merasa WUJUD, maka ada tiga hal yang bisa kita
lakukan.
323
• Kita akan berpaham QADARIYAH, di mana kita merasa
berkuasa untuk mengubah taqdir kita.
• Atau berpaham JABARIYAH, di mana kita berasa tidak kuasa
mengubah taqdir kita.
• Atau menjadi berpaham ASY’ARIYAH, di mana kita kadang-
kadang merasa bisa mengubah taqdir kita, kadang-kadang
kita merasa tidak bisa mengubah taqdir kita. Ibarat dalam
permainan JUNGKAT-JUNGKIT, Qadariyah berada pada
ujung yang satu, sedangkan Jabariyah berada pada ujung
yang kedua, dan Asy’ariyah berada pada titik tumpuan di
tengah-tengahnya. Enaknya kalau kita berpaham Asy’ariyah
adalah, sesekali kita bisa berpaham Qadariyah, dan sekali-
sekali kita bisa pula berpaham Jabariyah. Namun semuanya
itu ada rasa enak dan tak enaknya yang datang silih
berganti.
Akan tetapi kalau kita sudah TIDAK WUJUD, ya selesai sudah.
Kita tidak akan bisa lagi mengaku. Kita tidak bisa mengaku
bahwa kita bisa mengubah taqdir ataupun tidak bisa. Kita ti-
dak akan mengaku memiliki. Bagaimana akan mengaku, kalau
kita tidak wujud. Kalau tidak wujud, maka tidak ada milik.
Kalau tidak ada milik maka tidak akan ada pula
beban untuk mempertahankan milik kita itu.
Kalau tidak ada beban,
324
maka tidak akan ada pula masalah-masalah.
Walaupun kita dihadapkan dengan berbagai masalah yang se-
berat apapun juga, walaupun pada kenyataannya rasa sakit-
nya sampai menusuk tajam di ulu hati kita, dan air mata kita
jatuh bercucuran menahan sakit dan pedih itu, namun kita
tetap hanya akan diam.
Kita hanya AKAN DIAM. Mulut kita akan terkunci
rapat, lidah kita menjadi bisu dan kelu. Bahkan
kita hanya akan TERSENYUM dengan senyuman
Makrifatullah.
Sebab sebenarnya itu tidak ada urusan apa-apa dengan kita,
wong semuanya itu hanyalah permainan Allah dengan Dzat-
Nya sendiri. Kita sudah tidak ada, FANA.
Pantas saja Syeihk Abdul Qadir Jilani pernah berkata: “Pada
hakekatnya tidak ada pelaku atau penggerak atau yang men-
diamkan kecuali Allah SWT. Tidak ada baik dan tidak ada jahat,
tidak ada rugi, tidak ada untung dan tidak ada faedah, tidak
ada anugerah dan tidak ada sekatan, tidak terbuka dan tidak
tertutup, tidak ada mati dan tidak ada hidup, tidak ada mulia
dan tidak ada hina, tidak ada kaya dan tidak ada kaya, bahkan
segala-galanya adalah di dalam tangan Allah”, Futh Gaib
(1990).
325
Semuanya adalah perbuatan Allah terhadap sedikit dari Dzat-
Nya. Dan itupun tidak terbatas hanya pada diri kita saja.
Benda-benda, binatang, tumbuhan, batu, pasir, meja kursi,
dinding rumah, mobil, motor, HP, dan sebagainya, semuanya
itu sebenarnya juga adalah penzhahiran dari Dzat-Nya yang
sedikit.
Nah, sekarang kita tinggal melihat saja tentang taqdir yang
mana yang sedang kita jalani saat ini.
Apakah kita sedang di taqdirkan oleh Allah untuk
merasa Wujud, atau sedang ditaqdirkan untuk
merasa Tidak Wujud. Dan sedang mengarah ke
mana pula kita dituntun oleh Allah saat ini.
Apakah kita sedang di tahan Allah untuk tetap
menjadi Wujud, atau kita sudah dituntun Allah
mengarah untuk menjadi Tidak Wujud.
Makanya ketika kita berpakaian IHRAM, kita dilarang untuk
bergunjing, berkata kotor, bertengkar, membunuh binatang,
mematahkan ranting pohon, dan perbuatan tidak terpuji
lainnya. Subhanallah, inilah ternyata makna rahasia dari
larangan-larangan ketika kita berpakaian IHRAM. Bahwa :
. . . semua yang ada di sekeliling kita ternyata
hakekatnya adalah Dzat semata-mata.
326
Sehingga tidak ada hak kita untuk berlaku tidak
baik kepada apapun dan siapapun juga.
Suatu saat saya pernah memraktekkan pengajaran Sang Arif
Billah untuk berkata-kata dengan rumah, kursi, pintu, tum-
buhan, pohon, dan binatang yang bertemu di jalan, bahkan
sampai kepada mobil dan kendaraan. Mata saya melihat
benda-benda itu, hati saya mengingat Allah, mata hati saya
melihat Dzat di sebalik semua benda-benda itu, dan lidah saya
mengucapkan salam kepada mereka, saya mengucapkan teri-
ma kasih kepada mereka. Dan rasanya saya seperti sedang
berjalan dan bersahabat dengan mereka semua. Aneh sekali
memang. Terasa sekali bahwa saya dengan mereka hake-
katnya sama saja, yaitu bagian dari Dzat Allah yang sedikit.
Nah, berubah atau tidaknya PARADIGMA kita itupun sebenar-
nya sudah ditetapkan sejak dari Firman KUN untuk kita lalui
tepat pada waktunya. Namun, adakalanya dengan keterangan
seperti apapun juga, paradigma kita tidak akan berubah sedi-
kitpun dari paradigma lama yang telah kita anut. Akan tetapi
adakalanya hanya dengan sebab yang sangat sederhana, tiba-
tiba saja paradigma kita sudah berubah saja dengan cara yang
sangat mencengangkan.
Begitu juga dengan do’a-do’a yang kita sampaikan kepada
Allah. Semuanya sudah dituliskan sejak Firman Kun. Kapan
wak-tunya kita akan berdo’a, masalah apa yang sedang kita
hadapi, kalimat-kalimat apa yang akan kita ucapkan di dalam
327
do’a itu, apakah kita akan menangis atau tidak di dalam
berdo’a itu, dan bagaimana pula hasil dari do’a-do’a kita itu,
semuanya sudah tertulis di Lauhul Mahfuz. Dzat yang berada
di dalam diri kita, di lidah kita, di pita suara kita, di dalam otak
kita, di nafas kita akan memastikan bahwa do’a itu akan kita
ucapkan sesuai dengan waktu dan apa-apa yang sudah DI-
TETAPKAN.
Sebaliknya kalau kita sudah ditetapkan oleh Allah untuk tidak
berdo’a, maka tidak akan ada sepatah do’apun yang akan ter-
ucap dari lidah kita. Seberat apapun masalah kita, tidak ada
sebutir bibit pikiranpun muncul di dalam pikiran kita untuk
berdo’a. Walaupun sudah ada orang lain yang menyuruh kita
untuk berdo’a, kalau tidak ada ketetapan Allah bahwa kita
akan berdo’a, maka Dzat akan memastikan kita untuk tidak
berdo’a.
Jadi dari sudut pandang dengan menggunakan kacamata
makrifatullah ini,
. . . kita ini benar-benar sudah tidak wujud. FANA.
Yang Wujud adalah Sang Wajibul Wujud, yaitu Dzat. Kita su-
dah meninggalkan alam SIFAT-SIFAT untuk kemudian duduk di
dalam alam HAKEKAT.
Al-Qamar (54/49).
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut
328
takdir.”
“Setiap orang akan dimudahkan kepada sesuatu yang dia
telah ditakdirkan untuknya.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Sekarang terpulanglah kepada taqdir kita masing-masing, se-
dang di mana kita saat ini “didudukkan” oleh Allah untuk ber-
iman kepada Rukun Iman yang ke-enam ini. Percaya kepada
TAQDIR BAIK dan BURUK, yang keduanya berasal dari ALLAH.
Sebab beriman kepada rukun iman yang ke-enam inilah salah
satu SYARAT UTAMA agar kita bisa mendapatkan IHLAM TAQ-
WA dari Allah. Kalau tidak, maka kita akan selalu saja diberi-
kan ILHAM FUJUR oleh Allah.
Sampai di sini, pembahasan tentang Sang Wajibul Wujud dan
Sang Fana ini sudah pantas pula untuk kita akhiri. Semoga kita-
pun bisa memahami tentang Taqdir ini dengan lebih baik dari
sebelum-sebelumnya. Sekarang kita hanya tinggal untuk
ISTIQAMAH saja dalam menyikapinya dalam aktifitas Dzi-
krullah.
Ketika MATA kita melihat SIFAT dalam bentuk semua Ciptaan,
MATA HATI bisa melihat kepada HAKEKAT dari semua ciptaan,
yaitu Dzat, lalu HATI kita pertahankan untuk tetap BERMAK-
RIFAT dan mengingati Allah. Dari SIFAT kita ke HAKEKAT untuk
kemudian BERMAKRIFAT.
Lalu setelah itu kita tinggal menjalankan
329
SYARIAT dan KEHIDUPAN tanpa kita terlalu
terpengaruh lagi dengan segala permasalahan
yang menghadang di depan mata kita.
Masalah tetap ada dan muncul silih berganti menimpa kita.
Namun karena kita sudah tidak ada, maka masalah itu malah
seperti mengantarkan dan mengangkat kita ketempat yang
sangat mencengangkan. Di mana proses itu bisa kita lakukan
tanpa proses yang bertele-tele dan tanpa memakan waktu
bertahun-tahun pula, seperti kalau kita memasukinya melalui
pintu praktek-praktek TAREKAT.
Kita juga tidak perlu untuk menghindar dari kehidupan dunia
ini seperti dalam dunia kerahiban. Kita tidak perlu untuk hidup
di puncak-puncak gunung, di goa-goa, atau ditempat-tempat
sunyi dan terpencil dari peradaban. Kita tidak perlu untuk me-
nyiksa-nyiksa FISIK kita terlebih dahulu dalam bentuk latihan-
latihan yang akan menguras ketahanan fisik, mental, dan pikir-
an kita.
Kita bisa melakukannya sebagai orang biasa-biasa saja. Kita
bisa hidup seperti orang biasa. Kita bisa bertindak seperti
orang biasa. Kita bisa bekerja seperti orang biasa. Namun dari
tangan kita bisa bermunculan hal-hal yang akan berguna bagi
kita dalam menjalani kehidupan di zaman kita saat ini, atau
untuk anak cucu kita kelak.
Insyaallah pada kesempatan berikutnya, kita akan membahas
330
tentang: kalau kita ini sebenarnya adalah sang Fana, apa donk
tugas kita sampai-sampai Allah berkenan mengutus kita ke
muka bumi ini. Insyaallah kita akan masuk lebih dalam kepada
pembahasan tentang “Innalillahi wa inna ilahi raaji’uun”, atau
pembahasan tentang “Alam Ilmu”, atau tentang “Alam
Kekhalifahan.” Subhanallah, entah yang mana dulu yang akan
kita bahas. Semuanya begitu menarik, dan pintu-pintunya
sedang DIBUKAKAN oleh Allah untuk kita masuki.
Semoga Allah terus berkenan untuk memberikan kepahaman
kepada kita bersama.
Akhirul kalam.
Asyhadualla ilahaillallah, wa asyhaduanna Muhammadan
Rasulullah.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad.
Wallahu a’lam.
Selesai.
top related