supervisi akademik
Post on 14-Dec-2014
7.288 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
30
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hakikat Mutu Mengajar Guru
2.1.1 Pengertian Mutu
Banyak ahli yang mengemukakan tentang mutu, seperti yang
dikemukakan oleh Edward Sallis (dalam Riyadi 2006 : 33) mutu adalah sebuah
filsosofis dan metodologis yang membantu institusi untuk merencanakan
perubahan dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal
yang berlebihan. Sudarwan Danim (2007 : 53) mutu mengandung makna derajat
keunggulan suatu produk atau hasil kerja, baik berupa barang dan jasa. Sedangkan
dalam dunia pendidikan barang dan jasa itu bermakna dapat dilihat dan tidak
dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1991 : 677) menyatakan mutu adalah (ukuran), baik buruk suatu benda; taraf
atau derajat (kepandaian, kecerdasan, dsb) kualitas. Selanjutnya Lalu Sumayang
(2003 : 322) menyatakan quality (mutu) adalah tingkat dimana rancangan
spesifikasi sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan fungsi dan
penggunaannya, disamping itu quality adalah tingkat di mana sebuah produk
barang dan jasa sesuai dengan rancangan spesifikasinya.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa mutu
(quality ) adalah sebuah filsosofis dan metodologis, tentang (ukuran) dan tingkat
baik buruk suatu benda, yang membantu institusi untuk merencanakan perubahan
dan mengatur agenda rancangan spesifikasi sebuah produk barang dan jasa sesuai
31
dengan fungsi dan penggunaannya agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan
eksternal yang berlebihan
Dalam pandangan Zamroni (2007 : 2) dikatakan bahwa :
Peningkatan mutu sekolah adalah suatu proses yang sistematis yang terus menerus meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan dengan itu, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien.
Sedangkan sifat mutu pendidikan menurut Nurdin (dalam Jurnal
Admistrasi Pendidikan ; 102) dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 2.1
Sifat Mutu Pendidikan
Kepercayaan (Reliability)
Keterjaminan (Assurance)
Penampilan (Tangibility)
Kepemerhatian (Emapthy)
Ketanggapan (Responsiveness)
Jujur Aman Tepat waktu Tersedia
Kompeten Percaya diri Meyakinkan Objektif
Bersih Sehat Buatan baik Teratur dan rapih Berpakaian rapih dan harmonis Cantin (indah)
Penuh perhatian terhadap pelanggan Melayani dengan ramah dan menarik Memahami aspirasi pelanggan Berkomunikasi dengan baik dan benar Bersikap penuh simpati
Tanggap terhadap kebutuhan pelanggan Cepat memberi responsi terhadap permitaan pelanggan Cepat memperhatikan dan mengatasi keluhan pelanggan
Peningkatan mutu berkaitan dengan target yang harus dicapai, proses
untuk mencapai dan faktor-faktor yang terkait. Dalam peningkatan mutu ada dua
aspek yang perlu mendapat perhatian, yakni aspek kualitas hasil dan aspek proses
mencapai hasil tersebut.
Aspek pertama menguraikan apa TQM. TQM didefinisikan sebagai sebuah
pendekatan dalam menjalankan usaha yang berupaya memaksimumkan daya
saing melalui penyempurnaan secara terus-menerus atas produk, jasa, manusia,
proses, dan lingkungan organisasi.
32
Aspek kedua menyangkut cara mencapainya dan berkaitan dengan sepuluh
karakteristik. Menurut Ety Rochaety, dkk, (2005 :97) TQM terdiri atas :
(a) focus pada pelanggan (internal & eksternal), (b) berorientasi pada kualitas, (c) menggunakan pendekatan ilmiah, (d) memiliki komitmen jangka panjang, (e) kerja sama tim, (f) menyempurnakan kualitas secara berkesinambungan, (g) pendidikan dan pelatihan, (h) menerapkan kebebasan yang terkendali, (i) memiliki kesatuan tujuan, (j) melibatkan dan memberdayakan karyawan.
Edward Sallis ( 2006 :73 ) menyatakan bahwa :
Total Quality Management (TQM) Pendidikan adalah sebuah filsosofis tentang perbaikan secara terus- menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan para pelanggannya saat ini dan untuk masa yang akan datang.
Di sisi lain, Zamroni memandang bahwa peningkatan mutu dengan model
TQM, dimana sekolah menekankan pada peran kultur sekolah dalam kerangka
model The Total Quality Management (TQM). Teori ini menjelaskan bahwa mutu
sekolah mencakup tiga kemampuan, yaitu : kemampuan akademik, sosial, dan
moral. (Zamroni , 2007 : 6)
Menurut teori ini, mutu sekolah ditentukan oleh tiga variabel, yakni kultur
sekolah, proses belajar mengajar, dan realitas sekolah. Kultur sekolah merupakan
nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, upacara-upacara, slogan-slogan, dan berbagai
perilaku yang telah lama terbentuk di sekolah dan diteruskan dari satu angkatan ke
angkatan berikutnya, baik secara sadar maupun tidak. Kultur ini diyakini
mempengaruhi perilaku seluruh komponen sekolah, yaitu : guru, kepala sekolah,
staf administrasi, siswa, dan juga orang tua siswa. Kultur yang kondusif bagi
peningkatan mutu akan mendorong perilaku warga kearah peningkatan mutu
33
sekolah, sebaliknya kultur yang tidak kondusif akan menghambat upaya menuju
peningkatan mutu sekolah.
2.1.2 Pengertian Mengajar
Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab
moral yang cukup berat. Berhasilnya pendidikan pada siswa sangat bergantung
pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Zamroni
(2000:74) mengatakan “guru adalah kreator proses belajar mengajar”. Ia adalah
orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa
yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas-
batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Dengan demikian dapat
dikemukakan bahwa orientasi pengajaran dalam konteks belajar mengajar
diarahkan untuk pengembangan aktivitas siswa dalam belajar.
Gambaran aktivitas itu tercermin dari adanya usaha yang dilakukan
guru dalam kegiatan proses belajar mengajar yang memungkinkan siswa aktif
belajar. Oleh karena itu mengajar tidak hanya sekedar menyampaikan informasi
yang sudah jadi dengan menuntut jawaban verbal melainkan suatu upaya
integratif ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Dalam konteks ini guru tidak
hanya sebagai penyampai informasi tetapi juga bertindak sebagai director and
facilitator of learning.
Nasution (1982:8) mengemukakan kegiatan mengajar diartikan sebagai
segenap aktivitas kompleks yang dilakukan guru dalam mengorganisasi atau
mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak
sehingga terjadi proses belajar. Dengan demikian proses dan keberhasilan belajar
34
siswa turut ditentukan oleh peran yang dibawakan guru selama interaksi proses
belajar mengajar berlangsung.
Usman (1994:3) mengemukakan bahwa :
Mengajar pada prinsipnya adalah membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan terjadinya proses belajar.
Pengertian ini mengandung makna bahwa guru dituntut untuk dapat
berperan sebagai organisator kegiatan belajar siswa dan juga hendaknya mampu
memanfaatkan lingkungan, baik ada di kelas maupun yang ada di luar kelas, yang
menunjang terhadap kegiatan belajar mengajar.Burton (dalam Usman, 1994:3)
menegaskan “teaching is the guidance of learning activities”.
Hamalik (2001:44-53) mengemukakan bahwa :
Mengajar dapat diartikan sebagai (1) menyampaikan pengetahuan kepada siswa, (2) mewariskan kebudayaan kepada generasi muda, (3) usaha mengorganisasi lingkungan sehingga menciptakan kondisi belajar bagi siswa, (4) memberikan bimbingan belajar kepada murid, (5) kegiatan mempersiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang baik, (6) suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari.
Tardif (dalam Adrian, 2004) mendefinisikan, bahwa :
Mengajar adalah any action performed by an individual (the teacher) with the intention of facilitating learning in another individual (the learner), yang berarti mengajar adalah perbuatan yang dilakukan seseorang (dalam hal ini pendidik) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain (dalam hal ini peserta didik) melakukan kegiatan belajar.
Biggs (dalam Adrian, 2004) seorang pakar psikologi membagi konsep
mengajar menjadi tiga macam pengertian yaitu :
(1) Pengertian Kuantitatif. Mengajar diartikan sebagai the transmission of knowledge, yakni penularan pengetahuan. Dalam hal ini guru hanya perlu menguasai pengetahuan bidang studinya dan menyampaikan kepada siswa
35
dengan sebaik-baiknya. Masalah berhasil atau tidaknya siswa bukan tanggung jawab pengajar.
(2) Pengertian institusional. Mengajar berarti the efficient orchestration of teaching skills, yakni penataan segala kemampuan mengajar secara efisien. Dalam hal ini guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar terhadap siswa yang memiliki berbagai macam tipe belajar serta berbeda bakat, kemampuan dan kebutuhannya.
(3) Pengertian kualitatif. Mengajar diartikan sebagai the facilitation of learning, yaitu upaya membantu memudahkan kegiatan belajar siswa mencari makna dan pemahamannya sendiri. Burton (dalam Sagala, 2003:61) mengemukakan mengajar adalah upaya
memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar
terjadi proses belajar.
Berdasarkan definisi-definisi mengajar dari para pakar di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa mengajar adalah aktivitas kompleks yang dilakukan guru
dalam menyampaikan pengetahuan kepada siswa, sehingga terjadi proses belajar.
Aktivitas kompleks yang dimaksud antara lain adalah (1) mengatur kegiatan
belajar siswa, (2) memanfaatkan lingkungan, baik ada di kelas maupun yang ada
di luar kelas, dan (3) memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan
kepada siswa.
2.1.3. Pengertian Guru
Di abad sekarang ini, yaitu era globalisasi dimana semuanya serba digital,
akses informasi sangat cepat dan persaingan hidup semakin ketat, semua bangsa
berusaha untuk meningkatkan sumber daya manusia. Hanya manusia yang
mempunyai sumber daya unggul yang dapat bersaing dan mempertahankan diri
dari dampak persaingan global. Termasuk juga didalam dunia pendidikan, yang
juga memerlukan sosok seorang pendidik yang mempunyai sumber daya unggul,
36
dapat bersaing dan mempertahankan diri dari dampak persaingan global yang
ketat saat ini sehingga mempunyai peranan utama dalam pembentukan harkat dan
martabat manusia. Dalam hal ini sosok seorang pendidik yang dimaksud adalah
Guru. Menurut Makmun, S.A (2003) :
Guru ialah orang dewasa (yang karena jabatannya secara formal) selalu mengusahakan terciptanya situasi yang tepat (mengajar) sehingga memungkinkan terjadinya proses pengalaman belajar (learning experiences) pada diri siswa, dengan mengerahkan segala sumber (learning resources) dan menggunakan strategi belajar mengajar (teaching learning strategy) yang tepat (appropriate).
Sedangkan menurut Nurokhman (2008) bahwa:
Guru adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Sekaligus, guru akan berperan sebagai model bagi anak didik. Kebesaran jiwa, wawasan, dan pengetahuan guru atas perkembangan masyarakatnya akan mengantarkan para siswa untuk dapat berpikir melewati batas-batas kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada
tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu
pendidikan harus dimulai dari aspek guru dan tenaga kependidikan lainnya yang
menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu
manajemen pendidikan yang professional.
Dalam hal ini, profesionalisme seorang guru sangat dibutuhkan dan
menjadi tuntutan dari setiap pekerjaan yang dilakukannya. Pekerjaaan sebagai
guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak
didiknya, sedangkan kemampuan dirinya mengalami stagnasi. Guru yang
profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan professional.
37
Guru yang bermutu dapat diukur dengan lima indikator, yaitu: pertama,
kemampuan profesional (professional capacity), sebagaimana terukur dari ijazah,
jenjang pendidikan, jabatan dan golongan, serta pelatihan. Kedua, upaya
profesional (professional efforts), sebagaimana terukur dari kegiatan mengajar,
pengabdian dan penelitian. Ketiga, waktu yang dicurahkan untuk kegiatan
profesional (teacher’s time), sebagaimana terukur dari masa jabatan, pengalaman
mengajar serta lainnya. Keempat, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya
(link and match), sebagaimana terukur dari mata pelajaran yang diampu, apakah
telah sesuai dengan spesialisasinya atau tidak, serta kelima, tingkat kesejahteraan
(prosperiousity) sebagaimana terukur dari upah, honor atau penghasilan rutinnya.
Tingkat kesejahteraan yang rendah bisa mendorong seorang pendidik untuk
melakukan kerja sambilan, dan bilamana kerja sambilan ini sukses, bisa jadi
profesi mengajarnya berubah menjadi sambilan.
Guru yang profesional amat berarti bagi pembentukan sekolah unggulan.
Guru profesional memiliki pengalaman mengajar, kapasitas intelektual, moral,
keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggungjawab, wawasan kependidikan yang luas,
kemampuan manajerial, trampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional dalam
memahami potensi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik,
mampu mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki
kemampuan meneliti dan mengembangkan kurikulum.
Implementasi kemampuan profesional guru mutlak diperlukan sejalan
diberlakukannya otonomi daerah, khsususnya bidang pendidikan. Kemampuan
profesional guru akan terwujud apabila guru memiliki kesadaran dan komitmen
38
yang tinggi dalam mengelola interaksi belajar-mengajar pada tataran mikro, dan
memiliki kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan pada tataran
makro.
Paradigma metodologi pendidikan saat ini disadari atau tidak telah
mengalami suatu pergeseran dari behaviourisme ke konstruktivisme yang
menuntut guru dilapangan harus mempunyai syarat dan kompetensi untuk dapat
melakukan suatu perubahan dalam melaksanakan proses pembelajaran dikelas.
Guru dituntut lebih kreatif, inovatif, tidak merasa sebagai teacher center,
menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar tetapi juga sebagai subjek
belajar dan pada akhirnya bermuara pada proses pembelajaran yang
menyenangkan, bergembira, dan demokratis yang menghargai setiap pendapat
sehingga pada akhirnya substansi pembelajaran benar-benar dihayati.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, pembelajaran menurut pandangan
konstruktivisme adalah:
Pembelajaran dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pembelajaran bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi Pembelajaran itu dan membentuk makna melalui pengalaman nyata. (Depdiknas,2003:11)
Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran
diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student
Center). Guru dituntut untuk menciptakan suasana belajar sedemikian rupa,
sehingga siswa bekerja sama secara gotong royong (cooperative learning)
39
2.1.4. Mutu Mengajar Guru
Untuk menciptakan situasi pembelajaran yang diharapkan seoarang guru
harus mempunyai syarat-syarat apa yang diperlukan dalam mengajar dan
membangun pembelajaran siswa agar efektif dikelas, saling bekerjasama dalam
belajar sehingga tercipta suasana yang menyenangkan dan saling menghargai
(demokratis) , diantaranya :
1. Guru harus lebih banyak menggunakan metode pada waktu mengajar, variasi metode mengakibatkan penyajian bahan lebih menarik perhatian siswa, mudah diterima siswa, sehingga kelas menjadi hidup, metode pelajaran yang selalu sama (monoton) akan membosankan siswa.
2. Menumbuhkan motivasi, hal ini sangat berperan pada kemajuan, perkembangan siswa. Selanjutnya melalui proses belajar, bila motivasi guru tepat dan mengenai sasaran akan meningkatkan kegiatan belajar, dengan tujuan yang jelas maka siswa akan belajar lebih tekun, giat dan lebih bersemangat. (Slamet ,1987 :92)
Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, kegiatan belajar-mengajar
merupakan fungsi pokok dan usaha yang paling strategis guna mewujudkan tujuan
institusional yang diemban oleh lembaga tersebut.
Dalam rangka pelaksanaan fungsi dan tugas institusional itu, guru
mempunyai kedudukan sebagai figur sentral. Di tangan para gurulah terletak
kemungkinan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan di sekolah,
serta di tangan mereka pulalah bergantungnya masa depan karier para siswa yang
menjadi tumpuan harapan para orangtuanya. Dalam menunaikan perannya yang
maha penting itu, para guru mempunyai tugas-tugas pokok antara lain bahwa ia
harus mampu dan cakap dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi
kegiatan belajar-mengajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Majid, A (2005:91)
bahwa ada tiga komponen dalam melakukan pembelajaran, yaitu :
40
a. Merencanakan Pembelajaran (input). Proses belajar mengajar perlu direncanakan agar dalam pelaksanaannya pembelajaran berlangsung dengan baik dan dapat mencapai hasil yang diharapkan. Setiap perencanaan selalu berkenaan dengan pemikiran tentang apa yang akan dilakukan. Perencanaan program belajar mengajar memperkirakan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan pada waktu melaksanakan pembelajaran. Unsur-unsur utama yang harus ada dalam perencanaan pengajaran, yaitu: (1) tujuan yang hendak dicapai, berupa bentuk-bentuk tingkah laku apa yang diinginkan untuk dimiliki siswa setelah terjadinya proses belajar mengajar, (2) bahan pelajaran atau isi pelajaran yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan, (3) metode dan teknik yang digunakan, yaitu bagaimana proses belajar mengajar yang akan diciptakan guru agar siswa mencapai tujuan, dan (4) penilaian, yakni bagaimana menciptakan dan menggunakan alat untuk mengetahui tujuan tercapai atau tidak.
b. Melaksanakan Pembelajaran (Proses). Pembelajaran atau proses belajar mengajar adalah proses yang diatur dengan tahapan-tahapan tertentu, agar pelaksanaannya mencapai hasil yang diharapkan. Tahapan-tahapan kegiatan pembelajaran mengikuti prosedur memulai pelajaran, mengelola kegiatan belajar mengajar, mengorganisasikan waktu, siswa, dan fasilitas belajar, melaksanakan penilaian proses dan hasil pelajaran, dan mengakhiri pelajaran.
c. Mengevaluasi Pembelajaran (Output). Penilaian merupakan usaha untuk memperoleh informasi tentang perolehan belajar siswa secara menyeluruh, baik pengetahuan, konsep, sikap, nilai, maupun proses. Hal ini dapat digunakan oleh guru sebagai balikan maupun keputusan yang sangat diperlukan dalam menentukan strategi mengajar yang tepat maupun dalam memperbaiki proses belajar mengajar. Untuk maksud tersebut guru perlu mengadakan penilaian, baik terhadap proses maupun terhadap hasil belajar. Secara skematik interrelasi antara ke tiga komponen dasar tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar : 2.1 Interrelasi prosen belajar mengajar
GURU
Mengajar
SISWA Belajar TUJUAN
RENCANA/ EVALUASI
41
Terjadinyaperilaku belajar pada pihak siswa dan perilaku mengajar pada
pada pihak guru tidak berlangsung dari satu arah, melainkan terjadi secara timbal
balik, dimana kedua pihak berperan dan berbuat secara aktif di dalam suatu
kerangka kerja dan dengan menggunakan cara dan kerangka berpikir yang
seyogyanya dipahami dan disepakati bersama. Tujuan interaksi belajar pada pihak
siswa, mengajar pada pihak guru, merupakan titik temu dan bersifat mengikat
serta mengarahkan aktifitas dari kedua belah pihak. Dengan demikian, criteria
keberhasilan dari rangkaian keseluruhan (proses) interaksi belajar mengajar
tersebut hendaknya ditimbang atau dievaluasikan pada tercpai atau tidaknya
tujuan tersebut. Tujuan dapat tercapai dari setiap proses belajar mengajar dapat
dilihat pada ada tidaknya perubahan-perubahan yang diharapkan terjadi pada
perilaku dan pribadi siswa. Guru dapat dikatakan mengajarnya berhasil kalau
perubahan yang diharapkannya, terjadi pada perilaku dan pribadi siswanya. Begitu
pula dengan siswa dapat dikatakan belajarnya berhasil kalau ia telah mengalami
perubahan-perubahan setelah menjalani proses belajar tersebut pada perilaku dan
probadinya seperti yang diharapkan gurunya dan siswa sendiri.
Apabila memperhatikan hal tersebut, maka dalam konteks proses belajar
mengajar, terutama dalam kaitannya dengan ketiga komponen yang utama itu,
minimal ada tiga hal yang hendaknya dipahami oleh guru yaitu tentang ;
a) Hakikat atau konsep dasar serta terjadinya perilaku belajar pada diri siswa;
b) Kriteria dan cara merumuskan tujuan belajar mengajar dalam bentuk yang
operasional yang dapat dipandang sebagai manifestasi hasil perilaku
42
belajar siswa yang secara langsung dapat diamati dan dapat dievaluasi atau
diukur;
c) Karakteristik utama, termasuk segi-segi kebaikan dan kelemahannya, dari
beberapa model strategi belajar mengajar yang umum, serta kriteria yang
dapat digunakan untuk memilihnya bagi keperluan penggunanannya.
Apabila ketiga komponen pembelajaran tersebut dilakukan dengan baik
oleh guru, maka bisa dikatakan seorang guru memiliki mutu yang baik dalam
melakukan pembelajarannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mutu mengajar
guru adalah seperangkat perilaku yang ditunjukkan oleh guru pada saat menjalankan
tugas dan kewajibannya dalam bidang pengajaran yang dapat memuaskan kebutuhan
siswa sehingga menghasilkan pendidikan yang baik.
Menurut Supriadi (1999:98), untuk menjadi professional, seorang guru
dituntut memiliki lima hal, yakni:
a. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
b. Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
c. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.
d. Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.
e. Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98).
Dalam konteks yang aplikatif, kemampuan professional guru dapat
diwujudkan dalam penguasaan sepuluh kompetensi guru, yang meliputi:
43
1. Menguasai bahan, meliputi: a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, b) menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi.
2. Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan pembelajaran, b) mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c) melaksanakan program belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik.
3. Mengelola kelas, meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b) menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.
4. Penggunaan media atau sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan media, b) membuat alat bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan.
5. Menguasai landasan-landasan pendidikan. 6. Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar. 7 .Menilai prestasi siswa untukkepentingan pelajaran. 8. Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a)
mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling, b) menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling.
9. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah. 10. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna
keperluan pengajaran (Suryasubrata 1997:4-5). 2.1.5. Faktor-Faktor Dominan dalam Peningkatan Mutu Mengajar Guru di
Sekolah
Selanjutnya untuk meningkatkan mutu sekolah seperti yang disarankan
oleh Sudarwan Danim (2007 : 56), yaitu dengan melibatkan lima faktor yang
dominan :
1. Kepemimpinan Kepala sekolah; kepala sekolah harus memiliki dan memahami visi kerja secara jelas, mampu dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang tinggi, tekun dan tabah dalam bekerja, memberikan layanan yang optimal, dan disiplin kerja yang kuat.
2. Siswa; pendekatan yang harus dilakukan adalah “anak sebagai pusat “ sehingga kompetensi dan kemampuan siswa dapat digali sehingga sekolah dapat menginventarisir kekuatan yang ada pada siswa
3. Guru; pelibatan guru secara maksimal, dengan meningkatkan kompetensi dan profesi kerja guru dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya serta pelatihan sehingga hasil dari kegiatan tersebut diterapkan disekolah.
4. Kurikulum; adanya kurikulum yang ajeg/tetap tetapi dinamis, dapat memungkinkan dan memudahkan standar mutu yang diharapkan sehingga goals (tujuan) dapat dicapai secara maksimal;
44
5. Jaringan Kerjasama; jaringan kerjasama tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan masyarakat semata (orang tua dan masyarakat) tetapi dengan organisasi lain, seperti perusahaan/instansi sehingga output dari sekolah dapat terserap didalam dunia kerja
Berdasarkan pendapat diatas, perubahan paradigma harus dilakukan secara
bersama-sama antara pimpinan dan karyawan sehingga mereka mempunyai
langkah dan strategi yang sama yaitu menciptakan mutu di lingkungan kerja
khususnya lingkungan kerja pendidikan. Pimpinan dan karyawan harus menjadi
satu tim yang utuh (teamwork) yang saling membutuhkan dan saling mengisi
kekurangan yang ada sehingga target (goals) akan tercipta dengan baik.
2.1.6. Strategi Meningkatkan Kualitas Guru dalam Proses Belajar Mengajar
Setiap kali berada pada masa akhir tahun pelajaran pada tiap-tiap lembaga
pendidikan (sekolah) perhatian masyarakat akan tertuju kepada betapa masih
rendahnya kualitas pendidikan sekolah baik pada tingkat SD, SMP, maupun SMA.
Ini ditunjukkan dengan rendahnya hasil nilai ujian akhir nasional (NUAN).
Rendahnya nilai akan selalu dikaitkan dengan rendahnya mutu guru dan
rendahnya kualitas pendidikan guru. Oleh karena itu, dalam rangka untuk
meningkatkan kualitas pendidikan sasaran sentral yang harus dibenahi adalah
kualitas guru dan kualitas pendidikan guru. Berbagai usaha untuk meningkatkan
kualitas guru dan pendidikan guru telah dilaksanakan dengan berbagai bentuk.
Misalnya, dengan dikembangkannya tiga bentuk sekolah, yaitu sekolah formal
mandiri dengan istilah sekolah bertaraf internasional (SBI), sekolah formal
standar dengan istilah sekolah standar nasional (SSN), dan sekolah formal reguler.
Pengajaran dengan sistem contextual teaching learning (CTL), pemanfaatan
45
laboratorium baik IPA maupun bahasa, program sertifikasi guru dalam jabatan,
serta pelatihan guru melalui program Corporate Social Responsibility (CSR)
Telkom-Republika. Yaitu, guru tak saja harus pandai tetapi juga kreatif. Usaha-
usaha tersebut adalah untuk mencapai hasil yang maksimal dan memuaskan.
Dalam hal ini guru harus terampil melakukan usaha-usaha untuk perbaikan
mengajar selanjutnya berdasarkan pengalaman yang diperoleh. Guru harus mau
mencari model-model mengajar yang lebih produktif, lebih sesuai dengan kondisi
siswa, mau berusaha untuk menguasai bahan pelajaran. Guru juga harus terampil
mengajar, diskusi dengan rekan guru lain, memahami perilaku anak didiknya,
menyediakan dan mengupayakan sumber dan alat bantu mengajar dan mau
melakukan analisis hasil proses belajar agar ditemukan kelemahan siswa dalam
proses belajarnya.
Atas dasar itu, maka profesionalisasi guru memegang peranan yang sangat
penting. Kemampuan dasar atau kompetensi guru mutlak diperlukan, sebagaimana
profesi lainnya. Secara umum kemampuan guru yang paling utama adalah sebagai
berikut:
1. Menguasai bidang keilmuan yang diajarkannya.
2. Terampil melaksanakan proses pengajaran sehingga mampu mendidik dan
mengajar siswa.
3. Sikap positif terhadap profesi guru serta senantiasa mau meningkatkan
kemampuan yang berkenaan dengan tugas profesinya.
Di sinilah pentingnya kompetensi profesional guru dalam mewujudkan
dan melaksanakan kurikulum, sehingga niat dan harapan dalam kurikulum dapat
46
dikuasai dan dimiliki oleh anak didik. Kompetensi profesional guru pada
hakikatnya menggambarkan kemampuan yang dituntut dari tugas dan tanggung
jawabnya.
2.1.7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Belajar Mengajar
Secara fundamental Loree (dalam Makmun, S.A ; 2003) menegaskan
bahwa keefektivan perilaku belajar itu dipengaruhi oleh empat hal, yaitu :
a) Adanya motivasi (drives), siswa harus menghendaki sesuatu (the learner must want something)
b) Adanya perhatian dan mengetahui sasaran (cue), siswa harus memperhatikan sesuatu (the learner must notice something)
c) Adanya usaha (response), siswa harus melakukan sesuatu (the learner must do something)
d) Adanya evaluasi dan pemantapan hasil (reinforcement), siswa harus memperoleh sesuatu (the learner must get something)
Dari keempat hal tersebut Loree mengembalikan kepada tiga komponen
utama dari proses belajar mengajar (yang harus diperhatikan oleh setiap guru yang
bertugas merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi PBM) ialah komponen-
komponen stimulus, organismic, dan response.
2.2. Supervisi Akademik Kepala Sekolah.
2.2.1. Pengertian Supervisi Akademik
Komariah, A (2009 ; 61) mengemukakan bahwa :
Supervisi akademik adalah bantuan supervisor kepada supervisie/guruuntuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga diperoleh penampilan mengajar yang prima yang dilandasi kompetensi, komitmen, dan motivasi yang kuat untuk menjadikan pendidikan lebih berkualitas.
Tujuan utama supervisi akademik adalah untuk meningkatkan kemampuan
profesional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran melalui pengajaran
yang baik. Supervisi akademik diantaranya dilakukan oleh kepala sekolah, karena
47
hal ini merupakan salah satu tugas kepala sekolah sebagai supervisor yaitu
mensupervisi pekerjaan yang dilakukan oleh staf. Salah satu bagian pokok dalam
supervisi tersebut adalah mensupervisi guru dalam melaksanakan kegiatan
pembelajaran. Dan memang kegiatan utama sekolah adalah menyelenggarakan
pembelajaran. Jadi wajar jika tugas kepala sekolah dalam mensupervisi guru
mengajar sangat penting.
2.2.2. Tahapan Yang Perlu Ditempuh Kepala Sekolah Dalam Melaksanakan
Supervisi Akademik
Terdapat tiga tahap dalam melakukan supervisi akademik :
a. Tahap pertemuan awal.
Langkah yanag perlu dilakukan dalam tahap ini adalah :
1) Kepala sekolah menciptakan suasana yang akrab dengan guru, sehingga
terjadi suasana kolegial. Dengan kondisi itu diharapkan guru dapat
mengutarakan pendapatnya secara terbuka.
2) Kepala sekolah dengan guru membahas rencana pembelajaran yang dibuat
guru untuk menyepakati aspek mana yang menjadi fokus perhatian
supervisi, serta menyempurnakan rencan pembelajaran tersebut.
3) Kepala sekolah bersama guru menyusun instrumen observasi yang akan
digunakan, atau memakai instrumen yang telah ada, termasuk bagaimana
cara menggunakan dan menyimpulkannya.
b. Tahap observasi kelas.
Pada tahap ini guru mengajar di kelas, di laboratorium atau di lapangan, dengan
menerapkan keterampilan yang disepakati bersama. Kepala sekolah melakukan
48
observasi dengan menggunakan instrumen yang telah disepakati. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam observasi, yaitu :
1) Kepala sekolah menempati tempat yang telah disepakati bersama.
2) Catatan observasi harus rinci dan lengkap.
3) Observasi harus terfokus pada aspek yang telah disepakati.
4) Dalam hal tertentu, kepala sekolah perlu membuat komentar yang sifatnya
tepisah dengan hasil observasi.
5) Jika ada chupan atau perilaku guru yang dirasa mengganggu proses
pembelajaran, kepala sekolah perlu mencatatnya.
c. Tahap pertemuan umpan bailk.
Pada tahap ini hasil observasi didiskusikan secara terbuka antara kepala
sekolah dengan guru. Beberapa hal yang perlu dilakukan kepala sekolah dalam
pertemuan balikan, antara lain :
1) Kepala sekolah memberikan penguatan terhadap penampilan guru, agar
tercipta suasana yang akrab dan terbuka.
2) Kepala sekolah mengajak guru menelaah tujuan pembelajaran kemudian
aspek pembelajaran yang menjadi fokus perhatian dlam supervisi.
3) Menanyakan perasaan guru tentang jalannya pelajaran. Sebaiknya
pertanyaan diawali dari aspek yang dianggap berhasil, baru dilanjutkan
dengan aspek yang dianggap kurang berhasil. Kepala sekolah jangan
memberikan penilaian dan biarkan guru menyampaikan pendapatnya.
49
4) Kepala sekolah menunjukkan data hasil observasi yang telah dianalisis dan
diinterprestasikan. Beri kesempatan guru untuk mencermati data tersebut,
kemudian menganalisisnya.
5) Kepala sekolah menanyakan kepada guru bagaimana pendapatnya terhadap
data hasil observasi dan analisisnya. Dilanjutkan dengan mendiskusikan
secara trebuka tentang hasil observasi tersebut. Dalam diskusi harus
dihindari kesan menyalahkan. Usahakan agar guru menemukan sendiri
kekurangtannya.
6) Secara bersama menentukan rencana pembelajaran berikutnya, termasuk
kepala sekolah memberikan dorongan moral bahwa guru mampu
memperbaiki kekurangannya.
2.2.3. Konsep Ideal Supervisi
2.2.3.1. Peranan Supervisor Pengajaran
Supervisor pengajaran, tentu memiliki peran berbeda dengan “pengawas”.
Supervisor, lebih berperan sebagai “gurunya guru” yang siap membantu kesulitan
guru dalam mengajar. Supervisor pengajaran bukanlah seorang pengawas yang
hanya mencari-cari kesalahan guru.
Oliva (1984) mengemukakan peran supervisor yang utama, ada empat hal,
yaitu:
(a) sebagai koordinator, berperan mengkoordinasikan program-program dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja guru dalam pembelajaran dan harus membuat laporan mengenai pelaksanaan programnya;
(b) sebagai konsultan, supervisor harus memiliki kemampuan sebagai spesialis dalam masalah kurikulum, metodologi pembelajaran, dan pengembangan staf, sehingga supervisor dapat membantu guru baik secara individual maupun kelompok;
50
(c) sebagai pemimpin kelompok (group leader), supervisor harus memiliki kemampuan me-mimpin, memahami dinamika kelompok, dan menciptakan berbagai ben-tuk kegiatan kelompok; dan
(d) sebagai evaluator, supervisor harus dapat memberikan bantuan pada guru untuk dapat mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran dan kurikulum, serta harus mampu membantu mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi guru, membantu melakukan penelitian dan pengembangan dalam pembelajaran dan sebagainya.
2.2.3.2. Kompetensi Supervisor
Untuk dapat melaksanakan peran-peran di atas, supervisor harus
memiliki beberapa kompetensi dan kemampuan pokok, yaitu :
Berkaitan dengan substantive aspects of professional development, meliputi pemahaman dan pemilikan guru terhadap tujuan pengajaran, persepsi guru terhadap peserta didik, pengetahuan guru tentang materi, dan penguasaan guru terhadap teknik mengajar. Kedua berkaitan dengan professional development competency areas, yaitu agar para guru mengetahui bagaimana mengerja-kan tugas (know how to do), dapat mengerjakan (can do), mau mengerja-kan (will do) serta mau mengembangkan profesionalnya (will grow). (Ba-fadal, 1992: 10-11).
Berkaitan dengan hakikat pengajaran, supervisor harus memahami
keterkaitan berbagai variabel yang berpengaruh. Pertama, adalah faktor-faktor
organisasional, terutama budaya organisasi dan keberadaan tenaga profesional
lainnya dalam lembaga pendidikan. Kedua, berkaitan dengan pribadi guru,
menyangkut pengetahuan guru, kemampuan membuat perencanaan dan mengambil
keputusan, motivasi kerja, tahapan perkembangan atau kematangan, dan
keterampilan guru. Ketiga, berkaitan dengan support system dalam pengajaran,
yaitu kurikulum, berbagai buku teks, serta ujian-ujian. Terakhir, adalah siswa
sendiri yang keberadaannya di dalam kelas sangat bervariasi.
Dalam hal adult development, supervisor harus mengetahui tahapan
perkembangan dan kematangan kerja seorang guru, tahapan perkembangan moral,
51
tahapan pengembangan profesional, serta berbagai prinsip dan teknik
pembelajaran orang dewasa.
Supervisor harus mengetahui ukuran kemajuan dan keefektifan sebuah
sekolah. Hal ini merupakan muara dari kegiatan yang dilakukan bersama para guru
dan kepala sekolah. Selain berkaitan dengan pembelajaran di dalam kelas,
supervisor juga harus siap membantu kepala sekolah dalam bidang manajerial
secara umum.
2.2.3.3. Teknik-teknik Supervisi
Dengan bekal kompetensi di atas, supervisor diharapkan dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik. Dalam pelaksanaan supervisi terdapat
berbagai teknik dan pendekatan yang dapat diterapkan oleh supervisor.
Teknik supervisi, dapat dilakukan secara individual maupun kelompok.
Neagley, Ross, Evans dan Dean (1980) mengidentifikasi berbagai teknik
supervisi individual meliputi kegiatan di dalam dan di luar kelas. Aktivitas
supervisi individual yang dilakukan di dalam ruang kelas, antara lain:
(a) kunjungan dan observasi kelas,
(b) supervisi dengan tujuan untuk mengetahui kompetensi,
(c) supervisi klinis, dan
(d) perbincangan supervisor dengan guru.
Secara individual, program supervisi di luar ruang kelas dalam arti
pengembangan profesional guru secara umum, antara lain berupa:
(a) mengambil matakuliah di perguruan tinggi,
(b) keterlibatan dalam evaluasi,
52
(c) konferensi dan kegiatan profesi lainnya,
(d) pemilihan buku teks dan bahan-bahan pembelajaran lainnya,
(e) membaca jurnal/bacaan profesi,
(f) menulis artikel mengenai profesi,
(g) pemilihan guru/staf profesional,
(h) pertemuan informal supervisor dengan guru, dan
(i) berbagai bentuk pengalaman lain yang memungkinkan peningkatan profesional
guru.
Berbagai kegiatan supervisi yang dilakukan secara kelompok, antara lain :
(a) orientasi bagi guru baru,
(b) ujicoba di kelas atau penelitian tindakan kelas,
(c) pelatihan sensitivitas,
(d) pertemuan guru yang efektif,
(e) melakukan teknik Delphi untuk mengambil keputusan mengenai perbaikan
pengajaran/sekolah,
(f) mengunjungi guru lain yang profesional,
(g) pengembangan instrument ujian secara bersama, dan
(h) pusat kegiatan guru.
Dalam kegiatan supervisi kelompok tersebut, tentu saja peran supervisor
yang menonjol adalah sebagai koordinator dan group leader. Sementara itu dalam
kegiatan supervisi individual, supervisor lebih berperan sebagai konsultan.
Berbagai bentuk kegiatan atau taknik supervisi tersebut tentunya sangat
tergantung pada inisiatif supervisor.
53
2.2.3.4. Dialog Profesional Dalam Supervisi
Salah satu upaya peningkatan profesional guru adalah melalui supervisi
pengajaran. Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib
dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan Dalam melaksanakan supervisi
akademik, kepala sekolah melakukan dialog antara kepala sekolah dengan guru.
Menurut Komariah, A (2008 ; 2) bahwa :
Dialog supervisi adalah suatu metode utama untuk menggugah dan meningkatkan profesionalisme guru. Essensinya adalah komunikasi yang efektif antara supervisor dngan supervisee. Menemukan aspek pekerjaan seorang pengawas tdak mlibatkan komunikasi akan menjadi kesulitan yang tinggi. Bagaimana mungkin seorang supervisor dapat menyampaikan pesan-pesan inovainya tanpa ada dialog-dialog yang efektif.
2.2.3.5 Tujuan Supervisi Akademik
Pelaksanaan supervisi pengajaran perlu dilakukan secara sistematis oleh
kepala sekolah bertujuan memberikan pembinaan kepada guru-guru agar dapat
melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien. Hal tersebut karena proses
belajar-mengajar yang dilaksanakan guru merupakan inti dari proses pendidikan
secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar
mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru
dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi
edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu kegiatan supervisi ini
dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.
Secara umum tujuan supervisi akademik adalah :
(1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi belajar-mengajar, (2) mengendalikan penyelenggaraan bidang teknis edukatif di sekolah sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan,
54
(3) menjamin agar kegiatan sekolalah berlangsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga segala sesuatunya berjalan lancar dan diperoleh hasilyangoptimal,
(4) menilai keberhasilan sekolah dalam pelaksanaan tugasnya, dan (5) memberikan bimbingan langsung untuk memperbaiki kesalahan,
kekurangan dan kekilafan serta membantu memecahkan masalah yang dihadapi sekolah sehingga dapat dicegah kesalahan dan penyimpangan yang lebih jauh (Suprihatin,1989:305).
Tujuan supervisi adalah memberikan layanan dan bantuan untuk
meningkatkan kualitas mengajar guru di kelas yang pada gilirannya untuk
meningkatkan kualitas belajar siswa. Bukan saja memperbaiki kemampuan
mengajar tetapi juga mengembangkan potensi kualitas guru (Sahertian, 2000:19).
Permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan
pendidikan dasar adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat
otokrat dan korektif menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang
menciptakan situasi dan relasi di mana guru-guru merasa aman dan diterima
sebagai subjek yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu, supervisi harus
dilaksanakan berdasarkan data, fakta yang objektif (Sahertian, 2000:20).
Supandi (1986:252), menyatakan bahwa ada dua hal yang mendasari
pentingnya supervisi dalam proses pendidikan :
a. kurikulum merupakan gejala kemajuan pendidikan. Perkembangan tersebut sering menimbulkan perubahan struktur maupun fungsi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum tersebut memerlukan penyesuaian yang terus-menerus dengan keadaan nyata di lapangan. Hal ini berarti bahwa guru-guru senantiasa harus berusaha mengembangkan kreativitasnya agar daya upaya pendidikan berdasarkan kurikulum dapat terlaksana secara baik. Namun demikian, upaya tersebut tidak selamanya berjalan mulus. Banyak hal sering menghambat, yaitu tidak lengkapnya informasi yang diterima, keadaan sekolah yang tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum, masyarakat yang tidak mau membantu, keterampilan menerapkan metode yang masih harus ditingkatkan dan bahkan proses memecahkan masalah belum terkuasai. Dengan demikian, guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan kebijakan pendidikan di tingkat paling mendasar memerlukan bantuan-bantuan khusus
55
dalam memenuhi tuntutan pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum.
b.Pengembangan personel, pegawai atau karyawan senantiasa merupakan upaya yang terus-menerus dalam suatu organisasi. Pengembangan personal dapat dilaksanakan secara formal dan informal. Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan melalui penataran, tugas belajar, loka karya dan sejenisnya. Sedangkan pengembangan informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan dilaksanakan secara mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui berbagai kegiatan seperti kegiatan ilmiah, percobaan suatu metode mengajar, dan lain sebagainya.
Kegiatan supervisi akademik merupakan kegiatan yang wajib
dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi
dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan
pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar yang
dilaksakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan
guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu
proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar
hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai
tujuan tertentu. Oleh karena kegiatan supervisi dipandang perlu untuk
memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.
Secara umum ada 2 (dua) kegiatan yang termasuk dalam kategori supevisi
akademik, yakni:
a. Supervisi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru.
Secara rutin dan terjadwal Kepala Sekolah melaksanakan kegiatan
supervisi akademik kepada guru-guru dengan harapan agar guru mampu
memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam prosesnya, kepala
sekolah memantau secara langsung ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain
kegiatan pembelajaran dalam bentuk Rencana Pembelajaran kemudian kepala
56
sekolah mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru. Saat kegiatan
supervisi berlangsung, kepala sekolah menggunakan lembar observasi yang sudah
dibakukan, yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri atas
APKG 1 (untuk menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2
(untuk menilai pelaksanaan proses pembelajaran) yang dilakukan guru.
Contoh Format Supervisi Akademik Kepala Sekolah. (Terlampir)
Setiap pelaksanaan program pendidikan memerlukan adanya pengawasan
atau supervisi. Supervisi sebagai fungsi administrasi penddidikan berarti aktivitas-
aktivitas untuk menentukan kondisi-kondisi atau syarat-syarat esensial yang akan
menjamin tercapainya tujuan-tujuan pendidikan (Purwanto, 2002 : 20). Supervisi
sebagai salah satu fungsi pokok dalam administrasi pendidikan menuntut
keterlibatan berbagai pihak. Selain pengawas baik tingkat kabupaten maupun
tingkat kecamatan juga kepala sekolah di tingkat sekolah.
Pada tingkat sekolah, kepala sekolah dalam menjalankan fungsinya
sebagai supervisor dituntut dari dirinya suatu kompetensi dan atau kemampuan
yang memungkinkannya dapat atau mampu meneliti, mencari dan menentukan
syarat-syarat yang diperlukan bagi upaya mencapai kemajuan sekolahnya. Dengan
demikian diharapkan berbagai tujuan pendidikan pada tingkat sekolah tersebut
dapat dicapai secara maksimal.
Untuk mencapai tujuan pendidikan di tingkat sekolah (hasil) secara
maksimal tergantung pada kemampuan atau mutu mengajar guru dalam proses
belajar mengajarnya (teaching learning process) dan kompetensi atau kemampuan
kepala sekolah dalam melakukan supervisi. Suhardan, D (2006) terdapat hubungan
57
yang signifikan antara supervisi yang dilakukan kepala sekolah, kemampuan
mengajar guru dalam proses belajar mengajar dan hasil belajar yang maksimal,
sebagaimana gambar model di bawah ini :
Gambar 2.1. Hubungan supervisi dengan kemampuan mengajar guru.
Suatu pengajaran sangat tergantung pada kemampuan mengajar guru,
maka kegiatan supervisi menaruh perhatian utama pada peningkatan kemampuan
profesional guru, yang pada gilirannya akan meningkatkan mutu proses mengajar
guru.
Kepala sekolah sebagai supervisor diharapkan dapat membina guru dalam
mengidentifikasi atau merumuskan masalah yang dihadapi guru dan mampu
menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi, bahkan kepala sekolah
hendaknya menjadi partner guru dan memiliki tempat untuk mengemukakan
masalahnya. Dirjen Dikdasmen (1996 : 6) dalam buku petunjuk administrasi
sekolah menengah umum, yang menjadi garapan kepala sekolah selaku supervisor
adalah sebagai berikut :
Hasil belajar
Perilaku
superevisi/Pembinaan
Profesional
Perilaku mengajar
Perlaku belajar
58
1. Menyusun program supervisi, 2. Melaksanakan supervisi PBM, 3. Melaksanakan supervisi TU, 4. Melaksanakan supervisi terhadap petugas BK, 5. Melaksanakan supervisi pada petugas perpustakaan, 6. Melaksanakan supervisi terhadap OSIS, 7. Melaksanakan supervisi terhadap K 6 (Keamanan, Kebersihan, Ketertiban,
Keindahan, Kekeluargaan, Kerindangan, dan Kesehatan), 8. Melaksanakan supervisi pada kegiatan ekstrakurikuler.
Dengan demikian supervisi yang dilakukan kepala sekolah akan lebih
bermakna jika dapat mewujudkan hubungan yang harmonis/akrab antara kepala
sekolah, guru dan pegawai lainnya bukanlah sebaliknya sikap kepala sekolah
dalam melakukan supervisi hanya memaksakan kehendak, menakut-nakuti guru,
sehingga dapat melumpuhkan kreativitas guru dan pegawai lainnya. Oleh karena
itu perlu dicari alternative bentuk-bentuk tindakan supervisi yang ideal.
b. Supervisi yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan
guru-guru untuk meningkatkan kinerja.
Kegiatan supervisi ini dilakukan oleh Pengawas Sekolah. Hal-hal yang
diamati pengawas sekolah ketika melakukan kegiatan supervisi untuk memantau
kinerja kepala sekolah, di antaranya administrasi sekolah, meliputi:
1) Bidang Akademik, mencakup kegiatan:
(1) menyusun program tahunan dan semester,
(2) mengatur jadwal pelajaran,
(3) mengatur pelaksanaan penyusunan model satuan pembelajaran,
(4) menentkannormakenaikankelas,
(5) menentukannorma penilaian,
(6) mengaturpelaksanaanevaluasibelajar,
59
(7) meningkatkan perbaikan mengajar,
(8) mengaturkegiatankelasapabilagurutidakhadir,dan
(9) mengaturdisiplindantatatertibkelas.
2) Bidang Kesiswaan, mencakup kegiatan:
(1) mengatur pelaksanaanpenerimaansiswabaru berdasarkan peraturan
penerimaan siswa baru,
(2) mengelola layanan bimbingan dan konseling,
(3) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran siswa, dan
(4) mengatur dan mengelola kegiatan ekstrakurikuler.
3) Bidang Personalia, mencakup kegiatan:
(1) mengatur pembagian tugas guru,
(2) mengajukan kenaikan pangkat, gaji, dan mutasi guru,
(3) mengatur program kesejahteraan guru,
(4) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran guru, dan
(5) mencatat masalah atau keluhan-keluhan guru.
4) Bidang Keuangan, mencakup kegiatan:
(1) menyiapkan rencana anggaran dan belanja sekolah,
(2) mencari sumber dana untuk kegiatan sekolah,
(3) mengalokasikan dana untuk kegiatan sekolah, dan
(4) mempertanggungjawab-kan keuangan sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
5) Bidang Sarana dan Prasarana, mencakup kegiatan:
(1) penyediaan dan seleksi buku pegangan guru,
60
(2) layanan perpustakaan dan laboratorium,
(3) penggunaan alat peraga,
(4) kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah,
(5) keindahan dan kebersihan kelas, dan
(6) perbaikan kelengkapan kelas.
6) Bidang Hubungan Masyarakat, mencakup kegiatan:
(1) kerjasama sekolah dengan orangtua siswa,
(2) kerjasama sekolah dengan Komite Sekolah,
(3) kerjasama sekolah dengan lembaga-lembaga terkait, dan
(4) kerjasama sekolah dengan masyarakat sekitar. (Depdiknas 1997).
Sedangkan ketika mensupervisi guru, hal-hal yang dipantau pengawas juga
terkait dengan administrasi pembelajaran yang harus dikerjakan guru, diantaranya:
a. Penggunaan program semester
b. Penggunaan rencana pembelajaran
c. Penyusunan rencana harian
d. Program dan pelaksanaan evaluasi
e. Kumpulan soal
f. Buku pekerjaan siswa
g. Buku daftar nilai
h. Buku analisis hasil evaluasi
i. Buku program perbaikan dan pengayaan
j. Buku program Bimbingan dan Konseling
k. Buku pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler
61
2.2.4. Faktor-Faktor Keberhasilan Supervisi Akademik
Menurut Suhardan, D (2006) salah satu faktor pendukung keberhasilan
dalam melaksanakan supervisi adalah perilaku supervisor sendiri. Supervisi yang
berhasil adalah mereka yang dapat melaksanakan tugasnya berkenaan dengan diri
“supervisee” (orang yang disupervisi). Ia memiliki sifat-sifat kepribadian yang
diterima dalam pergaulan sesama kerabat kerja. Ia memiliki sifat-sifat yang sesuai
dengan profesi supervisor dan ia dapat menjaga kode etik pekerjaannya.
Purwanto (dalam Sam, 2005 : 84) faktor keberhasilan supervisi sangat
dipengaruhi oleh :
(1) lingkungan masyarakat tempat sekolah itu berada, (2) besar kecilnya sekolah, (3) tingkatan dan jenis sekolah, (4) keadaan guru-guru dan pegawai yang ada, dan (5) kecakapan dan keahlian supervisor.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kunci
keberhasilan kepala sekolah selaku supervisor di sekolahnya adalah
mengusahakan peningkatan kemampuan para guru dan stafnya untuk secara
bersama-sama mengembangkan situasi belajar mengajar yang kondusif.
Peningkatan ini hanya akan dapat dicapai melalui peran komunikasi yang lebih
efektif antara supervisor dengan yang disupervisi.
2.2.5. Prinsip-Prinsip Supervisi.
Kepala sekolah dalam melaksanakan supervisi harus memperhatikan
prinsip-prinsip supervisi. Menurut Suhardan, D (2006) prinsip-prinsip supervisi
yang perlu diterapkan kepala sekolah adalah sebagai berikut :
1. Ilmiah (scientific) berarti :
62
a.Sistematis, berarti dilaksanakan secara teratur, berencana dan berkesinambungan.
b. Objektif, artinya data yang didapat berdasarkan hasil observasi nyata. Kegiatan-kegiatan perbaikan atau pengembangan berdasarkan hasil kajian kebutuhan-kebutuhan guru atau kekurangan-kekurangan guru, bukan berdasarkan tafsiran pribadi.
c. Menggunakan alat (instrument) yang dapat memberikan informasi sebagai umpan balik untuk mengadakan penilaian terhadap proses belajar mengajar.
2. Demokratis. Menjunjung tinggi azas musyawarah, memiliki jiwa kekeluargaan yang kuat
serta sanggup menerima pendapat orang lain. 3. Kooperatif.
Maksudnya kerja sama seluruh staf dalam kegiatan pengumpulan data, analisa data dan perbaikan serta pengembangan proses belajar mengajar hendaknya dilakukan dengan cara kerjasama seluruh staf sekolah.
4. Konstruksi dan kreatif. Membina inisiatif guru dan mendorong guru untuk aktif menciptakan suasana dimana tiap orang merasa aman dan bebas mengembangkan potensi-potensinya. Supervisor perlu menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip di atas. Sikap supervisor yang memaksakan kehendak, menakut-nakuti guru, yang melumpuhkan kreativitas anggota staf perlu diubah. Sikap korektif yang mencari-cari kesalahan harus diganti dengan sikap kreatif dimana setiap orang mau dan mampu menumbuhkan dan mengembangkan kreativitasnya untuk perbaikan pengajaran.
2.2.6. Supervisi Klinis
2.2.6.1. Pengertian supervisi klinis.
Supervisi klinis adalah supervisi yang difokuskan pada perbaikan
pembelajaran melalui siklus yang sistematis mulai dari tahap perencanaan,
pengamatan dan analisis yang intesif terhadap penampilan pembelajarannya
dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran.
2.2.6.2 Perlunya supervisi klinis.
Beberapa alasan mengapa supervisi klinis diperlukan, diantaranya:
63
1. Tidak ada balikan dari orang yang kompeten sejauhmana praktik
profesional telah memenuhi standar kompetensi dan kode etik
2. Ketinggalan iptek dalam proses pembelajaran
3. Kehilangan identitas profesi
4. Kejenuhan profesional (bornout)
5. Pelanggaran kode etik yang akut
6. Mengulang kekeliruan secara masif
7. Erosi pengetahuan yang sudah didapat dari pendidikan prajabatan (PT)
8. Siswa dirugikan, tidak mendapatkan layanan sebagaimana mestinya
9. Rendahnya apresiasi dan kepercayaan masyarakat dan pemberi pekerjaan
2.2.6.3. Tujuan supervisi klinis.
Secara umum tujuan supervisi klinis untuk :
1. Menciptakan kesadaran guru tentang tanggung jawabnya terhadap
pelaksanaan kualitas proses pembelajaran.
2. Membantu guru untuk senantiasa memperbaiki dan meningkatkan kualitas
proses pembelajaran.
3. Membantu guru untuk mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang
muncul dalam proses pembelajaran
4. Membantu guru untuk dapat menemukan cara pemecahan maslah yang
ditemukan dalam proses pembelajaran
5. Membantu guru untuk mengembangkan sikap positif dalam
mengembangkan diri secara berkelanjutan.
2.2.6.4. Karakteristik supervisi klinis,
64
Supervisi klinis memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Perbaikan dalam pembelajaran mengharuskan guru mempelajari
keterampilan intelektual dan bertingkah laku berdasarkan keterampilan
tersebut.
2. Fungsi utama supervisor adalah menginformasikan beberapa keterampilan,
seperti: (1) keterampilan menganalisis proses pembelajaran berdasarkan
hasil pengamatan, (2) keterampilan mengembangkan kurikulum, terutama
bahan pembelajaran, (3) keterampilan dalam proses pembelajaran.
3. Fokus supervisi klinis adalah: (1) perbaikan proses pembelajaran, (2)
keterampilan penampilan pembelajaran yang memiliki arti bagi
keberhasilan mencapai tujuan pembelajaran dan memungkinkan untuk
dilaksanakan, dan (3) didasarkan atas kesepakatan bersama dan
pengalaman masa lampau.
2.2.6.5. Prinsip-prinsip dalam supervisi klinis.
Beberapa prinsip yang menjadi landasan bagi pelaksanaan supervisi klinis,
adalah:
1. Hubungan antara supervisor dengan guru, kepala sekolah dengan guru,
guru dengan mahasiswa PPL adalah mitra kerja yang bersahabat dan
pebuh tanggung jawab.
2. Diskusi atau pengkajian balikan bersifat demokratis dan didasarkan pada
data hasil pengamatan.
3. Bersifat interaktif, terbuka, obyektif dan tiidak bersifat menyalahkan.
4. Pelaksanaan keputusan ditetapkan atas kesepakatan bersama.
65
5. Hasil tidak untuk disebarluaskan
6. Sasaran supervisi terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru, dan tetap
berada di ruang lingkup pembelajaran.
7. Prosedur pelaksanaan berupa siklus, mulai dari tahap perencanaan, tahap
pelaksanaan (pengamatan) dan tahap siklus balikan.
2.2.6.6. Prosedur supervisi klinis.
Pelaksanaan supervisi klinis berlangsung dalam suatu siklus yang terdiri
dari tiga tahap berikut :
1. Tahap perencanaan awal. Pada tahap ini beberapa hal yang harus
diperhatikan adalah: (1) menciptakan suasana yang intim dan terbuka, (2)
mengkaji rencana pembelajaran yang meliputi tujuan, metode, waktu,
media, evaluasi hasil belajar, dan lain-lain yang terkait dengan
pembelajaran, (3) menentukan fokus obsevasi, (4) menentukan alat bantu
(instrumen) observasi, dan (5) menentukan teknik pelaksanaan obeservasi.
2. Tahap pelaksanaan observasi. Pada tahap ini beberapa hal yang harus
diperhatikan, antara lain: (1) harus luwes, (2) tidak mengganggu proses
pembelajaran, (3) tidak bersifat menilai, (4) mencatat dan merekam hal-hal
yang terjadi dalam proses pembelajaran sesuai kesepakatan bersama, dan
(5) menentukan teknik pelaksanaan observasi.
3. Tahap akhir (diskusi balikan). Pada tahap ini beberapa hal yang harus
diperhatikan antara lain: (1) memberi penguatan; (2) mengulas kembali
tujuan pembelajaran; (3) mengulas kembali hal-hal yang telah disepakati
bersama, (4) mengkaji data hasil pengamatan, (5) tidak bersifat
66
menyalahkan, (6) data hasil pengamatan tidak disebarluaskan, (7)
penyimpulan, (8) hindari saran secara langsung, dan (9) merumuskan
kembali kesepakatan-kesepakatan sebagai tindak lanjut proses perbaikan
2.3. Budaya Sekolah
2.3.1 Pengertian Budaya Organisasi
William Ouchi (1981: 41) mendefinisikan budaya organisasi sebagai
“simbol, upacara, dan mitos yang mengkomunikasikan nilai-nilai dan keyakinan
mendasar dari organisasi tersebut kepada pegawainya.” Jay Lorsk (1954:84),
sebaliknya, menggunakan budaya sebagai “keyakinan manajemen puncak yang
disebarkan di suatu perusahaan mengenai cara mereka mengelola dirinya sendiri
dan pegawai lain dan cara mereka seharusnya melakukan bisnis.” Henry
Mintzberg (1989: 98) mengacu budaya sebagai ideologi organisasi, atau “tradisi
dan keyakinan organisasi yang membedakannya dari organisasi lain dan
menanamkan kehidupan tertentu ke dalam kerangka strukturnya.” Alan Wilkins
dan Kerry Patterson (1985: 265) menyatakan bahwa “budaya merupakan suatu
ungkapan kebutuhan terdalam manusia, sebagai cara memperkaya pengalaman
mereka dengan makna.” Stephen Robbins (1998: 595) mendefinisikan budaya
organisasi sebagai “sistem yang makna bersamanya dianut oleh semua anggota
yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya. Jerald
Greenberg dan Robert Baron (1997: 471) menggambarkan budaya organisasi
sebagai “kerangka kognitif yang terdiri dari sikap, nilai, norma perilaku, dan
harapan bersama antara anggota organisasi. Namun, Edgar Schein (1992, 1999)
menyatakan bahwa budaya hendaknya dipertahankan untuk suatu “tingkat yang
67
lebih dalam mengenai asumsi dasar, nilai, dan keyakinan” sehingga menjadi milik
bersama dan dianggap sebagai modal organisasi untuk terus berhasil.
Dengan demikian, budaya organisasi umumnya didefinisikan sebagai
orientasi bersama yang dianut unit dan memberinya identitas tertentu. Tapi
muncul ketidak-sepakatan mengenai apa yang di-share-kan norma, nilai, filsafat,
perspektif, keyakinan, harapan, sikap, mitos, atau upacara. Masalah lain dalam
menentukan intensitas orientasi bersama dari anggota organisasi. Apakah
organisasi memiliki satu budaya dasar atau banyak budaya ? Lebih lanjut orang
masih tidak sepakat mengenai masalah apakah budaya organisasi itu bersifat sadar
dan jelas atau tidak-sadar dan samar.
2.3.2. Tataran Budaya Organisasi
Salah satu cara memulai menguraikan beberapa masalah definisi adalah
dengan memandang budaya pada tataran yang berlainan. Budaya diwujudkan
dalam norma, nilai-bersama, asumsi dasar, yang masing-masing muncul pada
tataran yang berbeda kedalaman dan abstraksinya.
2.3.2.1. Budaya sebagai Norma Bersama
Perspektif yang cukup konkret, sebagian palsu, mengenai budaya itu
muncul saat norma perilaku digunakan sebagai elemen dasar budaya. Norma
umumnya merupakan harapan tak-tertulis atau informal yang muncul di bawah
permukaan pengalaman. Norma secara langsung mempengaruhi perilaku. Norma
lebih tampak ketimbang nilai dan asumsi yang tak-diucapkan (tacit); akibatnya
norma memberikan cara yang jelas dalam membantu kita memahami aspek-aspek
budaya kehidupan organisasi.
68
2.3.2.2. Budaya sebagai Nilai Bersama
Pada tataran abstraksi menengah, budaya didefinisikan sebagai nilai
bersama. Nilai merupakan konsep mengenai apa yang diinginkan. Nilai
merupakan refleksi dari asumsi budaya yang paling dasar, dan terletak pada level
analisis selanjutnya. Bila kita meminta orang untuk menjelaskan mengapa mereka
berperilaku seperti itu, kita mungkin bisa mulai menemukan nilai-nilai utama dari
organisasi.
2.3.2.3. Budaya sebagai Asumsi Tacit
Pada level yang terdalam, budaya merupakan perwujudan kolektif dari
asumsi tacit. Bila anggota organisasi berbagi pandangan mengenai dunia
sekitarnya dan tempat mereka dalam dunia tersebut, maka budaya muncul.
Artinya, pola asumsi dasar telah ditemukan, diketemukan, atau dikembangkan
oleh organisasi saat organisasi itu belajar mengatasi masalah adaptasi eksternal
dan integrasi internal. Dengan demikian, asumsi tacit merupakan premis-premis
abstrak mengenai hakikat hubungan manusia, sifat manusia, kebenaran,
kenyataan, dan lingkungan.
Definisi yang paling meresap dari budaya itu menekankan pada tataran
yang paling dalam dari hakikat manusia atau setidaknya mengacu pada ideologi,
keyakinan, dan nilai bersama. Di sini, pengembangan konsep budaya organisasi
berharga dalam memandang dan mempelajari budaya pada semua (ketiga) level di
atas tersebut.
69
2.3.3. Fungsi Budaya
Robbins (1991) meringkas sejumlah fungsi penting yang dilakukan oleh
budaya organisasi:
1. Budaya memiliki fungsi menentukan-batas; budaya menciptakan perbedaan antara organisasi.
2. Budaya memberikan identitas bagi organisasi 3. Budaya memudahkan pengembangan komitmen pada kelompok 4. Budaya meningkatkan stabilitas dalam sistem sosial. 5. Budaya merupakan perekat sosial yang mengikat organisasi; budaya
memberikan standar perilaku yang sesuai.
2.3.4. Jenis Budaya
Cameron dan Quinn (1999) menyebutkan beberapa jenis budaya:
1. Budaya hierarki didefinisikan dengan penekanan pada stabilitas, kontrol, integrasi, dan fokus internal. tujuan organisasi ini adalah menghasilkan barang dan jasa secara efisien sesuai dengan tradisi model birokrasi klasik dari Weber (lihat Bab 3). Efisiensi, stabilitas, prediktabilitas dan harmoni adalah nilai inti.
2. Budaya pasar didefinisikan dengan penekanan pada stabilitas, perbedaan, dan fokus eksternal. Tujuan jenis organisasi ini adalah merespon dengan cepat terhadap perubahan dalam lingkungan sehingga tidak kehilangan keunggulan kompetitif. Kompetisi, efektivitas, pencapaian tujuan, dan kemenangan merupakan nilai inti.
3. Budaya kaum (clan) didefinisikan dengan penekanan pada fleksibilitas, keleluasaan, integrasi, dan fokus internal. jenis organisasi ini merupakan suatu team atau organisasi kekeluargaan. Kerjasama, kohesi, partisipasi, dan loyalitas merupakan nilai utama.
4. Budaya adhocracy didefinisikan dengan penekanan pada fleksibilitas, keleluasaan, perbedaan, dan fokus eksternal. tujuan jenis organisasi ini adalah untuk mengembangkan produk dan layanan baru dan inovatif. Kreativitas, pengambilan risiko, perubahan, dan pertumbuhan merupakan nilai itu. Kepemimpinannya bersifat visioner dan inovatif.
2.3.5. Elemen-Elemen dalam Budaya
Pada intinya setiap budaya organisasi merupakan sejumlah nilai bersama.
Ada tujuh elemen utama yang membentuk budaya organisasi pada umumnya.
70
1. Inovasi: tingkat pegawai diharapkan untuk kreatif dan bisa mengambil risiko
2. Stabilitas: tingkat fokus aktivitas pada status quo ketimbang pada perubahan
3. Perhatian pada detail: tingkat perhatian pada ketepatan dan detail
4. Orientasi outcome: tingkat penekanan manajemen pada hasil
5. Orientasi orang: tingkat putusan manajemen yang berkaitan dengan individu
6. Orientasi team: tingkat penekanan pada kerjasama dan kerjateam.
7. Keagresifan: tingkat pegawai diharapkan untuk berkompetensi
2.3.6. Budaya Sekolah
Sekolah yang efektif memiliki budaya yang kuat dengan karakteristik
sebagai berikut:
1. Nilai bersama dan konsensus pada kekeluargaan.
2. Kepala sekolah sebagai tokoh yang mewujudkan nilai inti.
3. Ritual tertentu yang mewujudkan keyakinan bersama secara luas.
4. Pegawai sebagai tokoh situasional
5. Ritual alkulturasi dan pembaharuan budaya.
6. Ritual penting untuk merayakan dan mengubah nilai inti.
7. Keseimbangan antara inovasi dan tradisi dan antara otonomi dan kontrol
8. Partisipasi yang luas dalam ritual budaya.
Budaya dalam konteks organisasi disebut dengan budaya organisasi
(organizational culture). Dalam konteks perusahaan, diistilahkan dengan budaya
perusahaan (corporate culture), dan pada lembaga pendidikan/sekolah disebut
dengan budaya sekolah (school culture). Tentu saja berbeda dengan kajian budaya
antropologi sosial atau organisasi perusahaan, dalam organisasi sekolah fokusnya
71
pada perilaku, sehingga memunculkan kajian perilaku organisasi (organizational
behavior).
Sebagaimana diketahui, dalam suatu organisasi di samping terdapat hal-hal
yang bersifat hard juga ada yang sifatnya soft.
Aspek-aspek termasuk hard antara lain adalah: struktur organisasi, aturan-aturan, kebijakan, teknologi, dan keuangan. Hal- hal tersebut dapat diukur, dikuantifikasikan serta dikontrol dengan relatif mudah. Sedangkan hal-hal yang soft adalah yang terkait dengan the human side of organizational (aspek manusiawi dalam organisasi), meliputi nilai-nilai, keyakinan, budaya, serta norma-norma perilaku. (Owens, 1995: 81).
Pada latar sekolah, budaya organisasi sebagai pola nilai-nilai, norma-
norma, sikap, persepsi, pikiran-pikiran atau ide-ide, perilaku yang dibentuk dalam
perjalanan panjang sekolah dan diyakini oleh warga sekolah serta berfungsi
sebagai suatu pedoman dalam memecahkan masalah-masalah di sekolah
(Zamroni, 2003; Nasution, 1987). Karena dipengaruhi oleh visi dan misi serta
tujuan, maka budaya sekolah bersifat unik. Walaupun sekolah itu sejenis, namun
budayanya akan berbeda. Karena itu budaya sekolah disebut juga dengan sifat-
sifat internal sekolah yang dapat membedakannya antara satu sekolah dengan
lainnya.
Asumsi semula, kultur suatu bangsa diduga sebagai faktor penentu kualitas
sekolah, namun berbagai penelitian menemukan bahwa pengaruh kultur bangsa
terhadap prestasi pendidikan tidak sebesar yang diduga selama ini. Bukti terakhir
dari hasil The Third International Math and Science Study (TIMSS) menunjukkan
bahwa siswa dari Jepang dan Belgia sama-sama menempati ranking atas untuk
mata pelajaran Matematika, padahal kultur kedua negara tersebut berbeda.
Saatnyalah sekarang pengelola pendidikan lebih memfokuskan kultur sekolah
72
sebagai faktor penentu prestasi sekolah. Ajakan Sergiovanni (1995) terhadap
sekolah-sekolah Amerika pada waktu itu dengan statement: "Building The
Charakter of Your School Culture”.
Perlu kita sambut. Pendekatan konvensional peningkatan mutu pendidikan
melalui penataran guru, penyediaan buku, pengadaan alat laboratorium, dan
perbaikan gedung, tidak secara meyakinkan dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa. Bahkan beberapa penelitian yang berhasil di-review oleh Suryadi (1994)
menyimpulkan bahwa penataran guru yang dilakukan selama ini sangat kecil,
bahkan hampir tidak signifikan dampaknya terhadap prestasi belajar murid,
apalagi jika diukur dari perbandingan biaya dan manfaat (efisiensi). Yang lebih
penting sebenarnya jangan terlalu banyak membebani guru pada tugas-tugas
administratif seperti kegiatan pembuatan laporan tahunan/tengah tahunan, rapat
koperasi, mewakili sekolah dalam rapat panitia porseni, membuat isian blanko
data guru dll, sehingga menyita waktu produktif guru, sedangkan persiapan
mengajar, membaca buku dan sumber-sumber bacaan terabaikan.
Studi-studi tentang budaya sekolah yang di lansir oleh Zamroni (2003)
menemukan bahwa :
Kultur yang "sehat" memiliki korelasi yang tinggi terhadap (a) prestasi dan motivasi siswa untuk berprestasi, (b) sikap dan motivasi kerja guru, dan (c) produktivitas dan kepuasan kerja guru. Analisis kultur sekolah sebaiknya dilihat sebagai bagian suatu kesatuan sekolah yang utuh. Artinya, budaya sekolah dapat dijelaskan melalui pola nilai-nilai, sikap, pikiran-pikiran, dan perilaku warga sekolah yang tercermin pada (a) motivasi berprestasi, (b) penghargaan yang tinggi terhadap prestasi warga sekolah, (c) pemahaman terhadap tujuan sekolah, (d) visi organisasi yang kuat, (e) partisipasi orang tua siswa, (f) kerjasama yang padu diantara warga sekolah.
73
Budaya sekolah adalah satu elemen sekolah yang teramat penting dan
nyata, tetapi sangat sulit untuk mendefinisikannya. Pemahaman terhadap budaya
sekolah merupakan salah satu faktor penting dalam struktur reformasi dan
kebijakan pendidikan di mana pun. Karena, apa pun jenis perubahan yang
diinginkan dalam suatu sistem pendidikan pasti akan mengalami resistensi.
Karena itu perlu dilakukan pendefinisian yang bijak tentang budaya sekolah,
sehingga mudah memahami makna budaya sekolah dalam konteks peningkatan
mutu pendidikan di Indonesia. Deal dan Peterson (1999), mengemukakan bahwa :
Budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas.
Budaya sekolah (school culture) dan proses belajar-mengajar, seperti air
dan ikan, adalah sebuah keniscayaan dan takdir yang tidak bisa dipisahkan karena
keduanya merupakan entitas yang berbeda. Keduanya memberi arti banyak dalam
menentukan perspektif dan ragam tindakan pengajaran. Guru dalam konteks
budaya dapat memengaruhi setiap aspek dari proses belajar-mengajar. Karena itu,
penting dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan budaya sekolah, seperti
definisi, efek budaya sekolah terhadap keseluruhan performansi guru dan siswa,
dan implikasinya terhadap kebijakan UN dalam konteks budaya sekolah.
Menemukan budaya sekolah bayangkan anda memasuki sebuah sekolah,
hal apa kira-kira yang akan anda lihat dan dengar? Sulit atau mudah memasuki
lingkungan sekolah tersebut. Bagaimana cara guru dan siswa menyapa Anda.
Bagaimana dengan pengaturan ruang administrasi dan papan demo keterampilan
74
siswa ditata dan ditampilkan, serta ruang kelas dibentuk. Bagaimana suasana
belajar-mengajar berlangsung, dan yang tidak kalah pentingnya, bagaimana
kondisi kamar kecil (toilet) sekolah. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan
pertanyaan budaya. Sebab, sekolah sedang berusaha memberikan impresi terhadap
tamu dan pengunjung lainnya bahwa inilah kami, inilah budaya sekolah kami.
Jika budaya kita definisikan sebagai seperangkat norma, nilai,
kepercayaan, dan tradisi yang berlangsung dari waktu ke waktu, budaya sekolah
adalah satu set ekspektasi dan asumsi dari norma, nilai, dan tradisi yang secara
diam-diam mengarahkan seluruh aktivitas personel sekolah (Peterson, 1998).
Karena budaya sekolah bukan suatu entitas statis, maka proses pembentukan
norma, nilai, dan tradisi sekolah akan terus berlangsung melalui interaksi dan
refleksi terhadap kehidupan dan dunia secara umum (Finnan, 2000). Dalam
bahasa Hollins (1996), sebagai agen perubahan, 'sekolah dibentuk oleh praktik
dan nilai budaya serta merefleksikan norma-norma dari masyarakat saat mereka
masih sedang dikembangkan'. Atau, seperti hidrogen yang merupakan elemen
utama air, maka nilai-nilai dalam masyarakat juga merupakan bagian utama dari
budaya sekolah. Tata kelola dan kepemimpinan (leadership) dari pengelola
pendidikan dan sekolah juga dapat membentuk budaya sekolah. Dalam konteks
ini, kebijakan yang dibuat oleh otoritas pendidikan secara langsung juga dapat
memengaruhi budaya sekolah yang sedang dan akan berlangsung. Birokrasi,
dengan demikian, dapat menjadi penghambat dan sekaligus stimulus yang
konstruktif terhadap keberlangsungan sebuah budaya sekolah yang ingin dan akan
dikembangkan oleh komunitas sekolah (Goodlad, 1984; Donahoe, 1997;
75
McLaren, 1999). Efek budaya sekolah Budaya dari setiap sekolah bisa jadi
memiliki efek positif terhadap proses belajar-mengajar atau sebaliknya memiliki
efek negatif serta menghalangi berfungsinya sebuah sekolah. Hanson dan Childs
(1998) menggambarkan sekolah dengan suatu iklim sekolah yang positif sebagai
'suatu wadah tempat siswa dan guru saling berbagi dan mereka menggunakan
ketulusan hati dalam proses belajar. Jika norma-norma dasar pembelajaran seperti
pertemanan, kegembiraan dalam proses belajar yang menyenangkan (fun and
enjoy learning), manajemen yang terbuka, aturan yang ditegakkan, serta visi-misi
sekolah yang terdistribusi dengan baik dalam segenap benak komunitas sekolah,
maka sekolah tersebut dapat dikatakan memiliki ciri-ciri budaya sekolah yang
positif. Sebaliknya, sebuah sekolah dapat dicirikan memiliki budaya sekolah yang
negatif jika tidak memiliki indikator tadi serta adanya penolakan dari guru dan
manajemen sekolah untuk melakukan praktik pembelajaran yang berpusat pada
kebutuhan dasar siswa; diayomi dan dilayani sesuai bakat dan minatnya (Peterson
dan Deal, 1998). Terlepas dari apakah positif atau negatif sebuah budaya sekolah,
pengenalan terhadap 'perubahan budaya belajar' guru dan siswa harus terus
menjadi perhatian seluruh komunitas sekolah. Menurut Sarason (1996), adalah
sulit untuk menentukan sifat alami suatu budaya karena kita sendiri memiliki nilai
dan tradisi serta kebiasaan yang selalu terbawa ke dalam budaya sekolah. Karena
itu, cara pandang kita terhadap nilai-nilai keagamaan, tradisi, kebijakan otoritas
pendidikan, kurikulum, dan metodologi pengajaran akan menempati setiap ruang
dan relung pikiran siswa dalam proses belajar. Bentuk perubahan apa pun yang
akan datang dan ditawarkan kepada komunitas sekolah akan selalu mendapatkan
76
perlawanan dari guru dan siswa, secara tersembunyi maupun terang-terangan.
Contoh paling gamblang bagaimana budaya sekolah berlaku dan diterapkan si
sekolah-sekolah kita dapat dilihat dari bagaimana sekolah memposisikan diri
mereka terhadap kebijakan ujian nasional yang sedang diselenggarakan
pemerintah saat ini. Garis dasar untuk perubahan sekolah adalah bahwa supaya
perubahan apa pun yang akan datang dan diusulkan otoritas pendidikan harus
disesuaikan dengan budaya sekolah.
2.4. Hasil Penelitian Sebelumnya yang Relevan
Untuk memberikan gambaran yang lebih tegas dalam pembahasan
mengenai pengaruh supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah
terhadap mutu mengajar guru, maka pada bagian ini penulis kemukakan beberapa
hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan topik yang dibahas, yaitu :
2.4.1 Djailani A. R. Dalam penelitiannya yang berjudul : ”Pengaruh supervisi
kepala sekolah terhadap kemampuan mengajar guru SMA Negeri di
Kotamadya Banda Aceh” menyimpulkan bahwa :
a. Menurut persepsi guru, supervisi yang diberikan Kepala Sekolah kepada
mereka berada pada kategori sedang.
b. Secara kualitatif kemampuan mengajar guru dapat dikategorikan pada
tingkat sedang.
c. Hubungan fungsional antara supervisi Kepala Sekolah dengan
kemampuan mengajar guru mempunyai arah positif dan signifikan.
77
d. Terdapat korelasi positif antara supervisi Kepala Sekolah dengan
kemampuan mengajar guru pada seluruh SMA Negeri di Kotamadya
Banda Aceh.
2.4.2 Penelitian yang dilakukan oleh Aas Hasanah (2008) tentang “Produktivitas
Manajemen Sekolah (Studi Kontribusi Perilaku Kepemimpinan Kepala
Sekolah, Budaya Sekolah, dan kinerja Guru terhadap Produktivitas
Sekolah Menengah Pertama di Kota Bandung)” ditemukan bahwa : ada
pengaruh yang signifikan antara perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah,
budaya sekolah dan kinerja guru secara simultan berkontribusi signifikan
terhadap produktivitas sekolah sebesar 58,3% dan sisanya 41,7%
ditentukan oleh variabel lain.
2.4.3 Hasil Penelitian Arif Rahman tentang ”Hubungan Pengaruh Antara
Budaya Organisasi dengan Kualitas Kinerja Dosen” :
a. Hasil analisis ditemukan bahwa terdapat hubungan yang berarti dan
positif antara budaya organisasi dengan kualitas kinerja dosen FPTK
IKIP Bandung sebesar 0,4316 dengan faktor penentu sebesar 18,63%,
artinya kualitas kinerja dosen FPTK IKIP Bandung ditentukan sebesar
18,63% oleh budaya organisasinya atau sebaliknya. Gambaran
karakteristik budaya organisasi FPTK IKIP Bandung menunjukkan
bahwa budaya organisasi FPTK IKIP Bandung ada dalam kategori
tinggi.
b. Penciptaan Budaya organisasi yang baik memberikan implikasi pada
bagaimana kepemimpinan fakultas mampu mengelola potensi-potensi
78
dari berbagai kelompok informal agar tidak dipandang sebagai
penghambat birokrasi, tetapi sumber daya yang dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan organisasi.
2.4.4 Moh. Uzer Usman (1989) mendeskripsikan hasil kajiannya bahwa
keterampilan guru dalam mengajar menimbulkan serangkaian kegiatan
antara guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung
dalam situasi edukatif, sehingga meningkatkan mutu pembelajaran.
2.4.5 Sururi (2008) dalam penelitiannya tentang ; Pengaruh Akreditasi Sekolah
Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan di SMK se-Kota Bandung
menyimpulkan bahwa secara umum peningkatan mutu pendidikan pada
Sekolah Menengah Kejuruan dari hasil uji kecenderungan dengan
menggunakan WMS (Weighted Means Score), menunjukkan kategori
sangat baik yaitu sebesar 4.48. Hal ini diidentifikasi melalui indikator
mutu pembelajaran, mutu lulusan, mutu guru, mutu fasilitas belajar, serta
perubahan citra/image. Oleh karena itu pihak sekolah bila ingin
meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari peningkatan
pembelajaran, kualitas lulusan, kualitas guru, fasilitas pembelajaran dan
meningkatkan citra/image terhadap sekolah.
top related