sembahyang dalam agama hindu, kristen, dan islam …
Post on 20-Nov-2021
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SEMBAHYANG DALAM AGAMA HINDU, KRISTEN, DAN ISLAM
MENURUT FRITHJOF SCHUON
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Fathimah Albatul Abidatunillah
NIM: 1111032100026
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Arab Indonesia
ا
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
س
ش
ص
ض
A
b
t
ts
j
ḥ
kh
d
dz
r
z
s
sy
ṣ
ḍ
ط
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
ه
ء
ي
ة
ṭ
ẓ
'
hg
f
q
k
l
m
n
w
g
'
y
h
Vokal Panjang
barA ansonodnr
Ā آ
Ī ٳى
ū أو
v
ABSTRAK
Fathimah Albatul A
1111032100026
Sembahyang dalam Agama Hindu, Kristen dan Islam menurut Frithjof Schuon
Manusia menyembah Tuhan dengan berbagai cara, akan tetapi tidak
semua orang benar-benar memahami apa makna dari tindakan yang dilakukannya.
Banyak orang menjalankan sembahyang tapi tidak benar-benar sembahyang; salat
tapi tidak benar-benar salat dan berdoa tanpa menghubungkan hatinya dengan Tuhan.
Sembahyang (Salat dan doa) menjadi sebuah tindakan yang dilakukan tanpa makna
dan karenanya kosong. Manusia tidak lagi merasa perlu memahami apa makna salat
dan mengapa kita perlu menghadap Tuhan beberapa kali dalam sehari dan bagaimana
seharusnya kita melakukannya di hadapan Tuhan.
Membicarakan tentang cara manusia menyembah Tuhan menjadi
tantangan tersendiri bagi penulis, karena bukan hanya berawal dari asumsi bahwa
eksistensi manusia mengharuskannya untuk melaksaanakan sembahyang, tetapi juga
bahwa setiap bentuk sembahyang yang dilaksanakan manusia berbeda-beda
tergantung pada ajaran agamanya masing-masing. Akan tetapi, pada kenyataannya
dalam berbagai perbedaan tersebut terdapat titik temu yang diungkapkan oleh Frithjof
Schuon.
Frithjof Schuon seorang sufi dan filsuf di abad 21, dalam berbagai
tulisannya menekankan tentang perlunya melaksanakan sembahyang sebagai bentuk
pertanggungjawaban kita atas kehidupan yang dianugerahkan Tuhan kepada kita.
Dalam hal ini, Schuon membagi sembahyang menjadi tiga yaitu sembahyang
personal (doa), sembahyang kanonis (sembahyang yang tata cara dan bacaannya
sudah ditentukan), dan sembahyang kalbu (meditasi dan menyebut nama Tuhan
berkali-kali).
Pada praktiknya, dari penelitian ini, penulis menemukan bahwa dalam
masing-masing agama terdapat ketiga bentuk sembahyang tersebut, misalnya dalam
Hindu terdapat doa, puja Trisandhya dan japa yoga; dalam Kristen ada doa, brevir
(liturgia horarum) dan Doa Yesus (Doa Bapa Kami) dan Salam Maria sebagai
sembahyang kalbu; sementara dalam Islam terdapat doa, salat dan zikir. Dengan
demikian teori Schuon tentang tiga kategori sembahyang memang terbukti. Dan
penulis yakin ketiga kategori sembahyang tersebut juga terdapat dalam ajaran agama-
agama lain selain yang telah diteliti oleh penulis.
vi
KATA PENGANTAR
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Alhamdulillah, segala puji hanyalah bagi Dia yang nama-Nya adalah obat dan
mengingat nama-Nya adalah penyembuh. Salawat dan salam senantiasa teriring untuk
Nabi Muhammad dan keluarganya.
Setelah melalui berbagai perjuangan dan pengorbanan, akhirnya penulisan skripsi ini
sampai di penghujung jalan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini;
1. Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, MA, selaku pembimbing penulis dalam
menyusun skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih banyak atas waktu
dan pikiran yang dicurahkan untuk membantu penulis menyelesaikan skripsi
ini. Dan penulis memohon maaf sekiranya ada yang kurang dalam skripsi ini.
2. Untuk Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin.
3. Untuk Dr. Media Zainul Bahri, MA dan Dra. Halimah Mahmudy, MA.,
selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Studi Agama-agama yang selalu terbuka,
gesit dan ramah menyambut kami para mahasiswa/i yang memiliki keperluan
macam-macam dengan jurusan tercinta.
4. Untuk seluruh jajaran guru besar dan dosen Fakultas Ushuluddin yang telah
memberikan ilmu dan bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Pimpinan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin beserta staf-stafnya yang telah berkenan meminjamkan
buku-buku kepada penulis.
6. Kepada kedua orang tua Bapak Slamet Mujiyono dan Ibu Sri Wastini, juga
alm Ibu Nurhayati, yang telah mendidik dan membimbing penulis hingga
berhasil menyelesaikan perjalanan ini.
vii
7. Kepada suami, Ali Ahmad, my sun, the love of my life, and the only one I
want to spend rest of my life with. You are the reason this writing done. Thank
you for the ideas, your time, your pouring love, your understanding, thank
your for everything. I’m more than grateful to have you in my life.
8. Kepada anak lelakiku, my bundle of joy, my east and west, my sonshine that
shining so bright. I love you beyond words, thank you for coming in my life
and complete me, complete us.
9. Adik-adik penulis Mahdiya, Sayyida dan Alifah yang selalu menyemangati
dan merindukan ... (Rumy).
10. Teman-teman seperjuangan hingga detik-detik terakhir yang berbagi suka dan
duka dalam proses penulisan ini, Noviah, Annisa Fachradiena, Uci, Enis,
Arip, Ashly, Bela, dan semua teman seperjuangan, penulis ucapkan terima
kasih atas kebersamaannya.
Tak lupa, penulis memohon maaf atas kekurangan dan kesalahan penulis selama
ini. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa, setulus hati penulis haturkan
permohonan maaf kepada pihak-pihak yang tersakiti oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa karena keterbatasan penetahuan dan kemampuan
penulis, hasil skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga skripsi ini
memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi siapa pun yang
membacanya.
Salam hangat,
Fathimah
viii
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan Pembimbing ...................................................................... i
Lembar Pengesahan Panitia Ujian ..................................................................... ii
Lembar Pernyataan Keaslian Skripsi ................................................................. iii
Pedoman Transliterasi ........................................................................................ iv
Abstrak ............................................................................................................... v
Kata Pengantar ................................................................................................... vi
Daftar Isi ............................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 6
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 6
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 7
E. Metodologi Penelitian ............................................................................ 8
F. Sistematika Penulisan ............................................................................. 13
BAB II RIWAYAT HIDUP FRITHJOF SCHUON
A. Sekilas Kehidupan Frithjof Schuon ..................................................... 17
B. Karya-karya Frithjof Schuon ................................................................ 22
BAB III PEMIKIRAN FRITHJOF SCHUON TENTANG SEMBAHYANG
A. Pengertian Sembahyang ....................................................................... 30
B. Kategori Sembahyang .......................................................................... 39
1. Sembahyang Personal .................................................................... 40
2. Sembahyang Kanonis .................................................................... 43
3. Sembahyang Kalbu ........................................................................ 45
2
ix
BAB IV SEMBAHYANG DALAM TRADISI HINDU, KRISTEN DAN ISLAM
A. Sembahyang dalam berbagai Agama .............................................. 54
1. Sembahyang dalam Tradisi Hindu .............................................. 54
2. Sembahyang dalam Agama Kristen ............................................ 64
3. Sembahyang dalam Agama Islam ............................................... 74
B. Komparasi ....................................................................................... 85
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 95
B. Saran-saran ............................................................................................. 99
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................100
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Spiritual realization is theoretically the easiest thing and in practice the most difficult thing there is. It is the easiest because it is enough to think of God. It is the most difficult
because human nature is forgetfulness of God.
[Frithjof Schuon]
Sembahyang merupakan komunikasi antara manusia dengan Tuhan.
Seseorang dapat mengomunikasikan kesedihannya, kebahagiaannya, ketakutannya,
kekhawatirannya kepada Tuhan Sang Pemilik Kehidupan. Sembahyang adalah
pertemuan antara manusia dengan Tuhan, yang melaluinya manusia menyadari
keberadaannya hanya bergantung pada kasih Tuhan. Sembahyang adalah ritual
pemujaan terhadap Sang Pemberi Kehidupan. Tradisi sembahyang berkembang dalam
berbagai agama dalam forma yang berbeda-beda.
Secara etimologis, sembahyang berasal dari kata sembah dan Hyang.
Dalam KBBI kata sembah1 memiliki dua arti: (1) pernyataan hormat dan khidmat
(dinyatakan dng cara menangkupkan kedua belah tangan atau menyusun jari sepuluh,
lalu mengangkatnya hingga ke bawah dagu atau dng menyentuhkan ibu jari ke hidung);
dan (2) kata atau perkataan yg ditujukan kpd orang yg dimuliakan. Dalam KBBI ini,
kata sembah berlaku umum tidak hanya bermakna pemujaan terhadap Tuhan
melainkan juga tindakan menghormati orang lain. Namun demikian, kata sembahan
berarti pujaan; yang disembah, sehingga bisa merujuk pada tuhan atau dewa yang
1 Tim Redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008, h. 1259.
2
posisinya lebih tinggi dibandingkan. Sementara kata Hyang dikenal dalam tradisi
berbagai bahasa yakni bahasa Melayu, Jawa, Kawi, Sunda, dan Bali. Hyang merujuk
pada suatu keberadaan spiritual tak kasat mata yang memiliki kekuatan supranatural.
Keberadaan spiritual ini dapat bersifat ilahiah atau roh leluhur.2
Sementara kata sembahyang dalam KBBI memiliki dua makna: (1) (dalam
Islam) salat, dan (2) permohonan (doa) kepada Tuhan. Arti kedua dari kata ini
permohonan (doa) kepada Tuhan menunjukkan bahwa kata sembahyang dapat berlaku
umum, tidak hanya terbatas digunakan oleh orang Islam untuk menggantikan kata
salat. Dan pada praktiknya dalam berbagai tradisi keberagamaan di Indonesia, kata
sembahyang merujuk pada upacara pemujaan Tuhan yang tidak terbatas dalam satu
agama saja, melainkan dalam berbagai tradisi agama. Seperti dalam agama Hindu,
Konghucu atau Kristen.
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan kata sembahyang sebagai
terjemahan dari kata prayer. Frithjof Schuon sendiri menggunakan kata prayer yang
merujuk pada peribadatan dan pemujaan yang dilakukan oleh manusia terhadap Tuhan
dalam forma yang berbeda-beda. Artinya tidak terbatas pada forma peribadatan suatu
agama tertentu. Prayer sendiri menurut Schuon terbagi menjadi tiga yaitu personal/
individual prayer, canonical prayer, dan prayer of the heart (yang di dalamnya
mencakup invokasi atau zikir dan meditasi).
Pembagian Schuon terhadap ketiga mode sembahyang tersebut tertulis
dalam salah satu Esai yang berjudul “Modes of Prayer,” yang dihimpun oleh James S.
2 Wikipedia bahasa Indonesia, yang diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Hyang, pada Rabu 14
Maret 2018 pukul 9:25 WIB.
3
Cutsinger dalam sebuah buku berjudul Prayer Fashions Mans: Frithjof Schuon on
Spiritual Life.
The most elementary mode of prayer--of contact between man and God--is no doubt prayer in the most ordinary sense of the word, for this is the direct expression of the individual, of his desires and fears, his hopes and gratitude. This prayer is however less perfect than canonical prayer which, for its part, has a universal character due to the fact that God is its author and that the subject, in reciting it, does so not as a particular individual, but in his capacity as man, the human species; also this prayer contains nothing which does not concern man--every man--and this is as much as to say it includes, 'eminently' or in addition, all possible individual prayers; it can even render them superfluous, and, in fact, the Revelations permit or recommend individual prayer, but do not impose it. Canonical prayer shows its universality and its timeless value by being very often expressed in the first person plural, and also by its preference for using a sacred or liturgical, and therefore symbolically universal, language, so that it is impossible for whoever recites it not to pray for all and in all.3
Schuon menegaskan bahwa elemen paling mendasar dalam hubungan
manusia dan Tuhan adalah sembahyang dalam makna yang paling sederhana, yaitu
ekspresi langsung seorang individu terkait dengan keinginan dan ketakutannya,
harapan dan syukurnya. Walaupun sembahyang personal ini tidak lebih sempurna
dibandingkan dengan sembahyang kanonis.
Schuon menjelaskan bahwa dalam sembahyang kanonis, seseorang
mengungkapkan segala hal yang terkait dengan kebutuhan individualnya. Dalam
sembahyang kanonis, Tuhan sendirilah penulisnya dan bahwa subjek yang
disampaikan dalam sembahyang tidak bersifat personal, melainkan manusia
sebagaimana adanya; dan dalam sembahyang ini tidak terkait apa pun yang tidak ada
hubungannya dengan manusia, sehingga sembahyang kanonis ini dapat disebut juga
sembahyangnya manusia.
3 Frithjof Schuon, “Modes of Prayer” dalam Prayer Fashion Man: Frithjof Schuon on Spiritual Life, ed.
James S. Cutsinger (Bloomington: World Wisdom, 2006), h.57.
4
Seyyed Hossein Nasr dalam sebuah tulisannya yang berjudul “The
Integration of the Soul” yang dibukukan dalam The Essential Seyyed Hossein Nasr,
menyebutkan tentang dua sembahyang dalam tradisi sufisme:
All devout Muslims pray five times a day. That is in itself a miraculous occurrence, to have so many hundreds of millions of people systematically breaking their daily routine of life—we call it life but it is really daydreaming—five times a day to stand before the Absolute, before the One. Those canonical prayers are the foundation of all other forms of prayer.4
Seyyed Hossein Nasr mengemukakan bahwa salat, dalam hal ini adalah
sembahyang kanonis dalam tradisi Islam, menjadi fondasi bagi seluruh forma
sembahyang. Salat diwajibkan dan ditentukan waktunya, sehingga manusia dituntut
ketaatannya pada Tuhan. Lima kali sehari umat Islam diwajibkan untuk menghentikan
aktivitas kehidupannya. Dan bahkan ketika manusia telah menghadapkan dirinya di
hadapan Tuhan lima kali sehari pun, jiwanya masih dapat jatuh pada kealpaan akan
Tuhan.
Forma lain dari sembahyang yang disebutkan Schuon adalah Prayer of the
Heart, sembahyang kalbu. Yang secara umum merupakan penyatuan dari dua aktivitas
zikir (invocation). Seyyed Hossein Nasr melanjutkan:
But the soul can fall into forgetfulness, even if it turns five times a day to God. So the Sufis try to expand the experience of prayer to what can be called, in its highest form, the prayer of the heart, whose practice, ideally, is to fill all times of the day and even the night when one is asleep, in perpetual prayer.5
Sembahyang kalbu merupakan bentuk tertinggi sembahyang, yang disebut
juga intisari sembahyang, yaitu zikir atau invocation/ remembrance. Yaitu penyebutan
4 Seyyed Hossein Nasr, “The Integration of The Soul” dalam The Essential Seyyed Hossein Nasr, ed.
William Chittick (Bloomington: World Wisdom, 2007), h.80 5 Seyyed Hossein Nasr, “The Integration of The Soul”, h.80
5
berulang-ulang Asma Tuhan, sehingga kita menyatu dengan nama tersebut. James
Cutsinger dalam Pendahuluan buku Prayer Fashions Man menyebutkan, sembahyang
ini merupakan puncak metode spritual yang diajarkan Schuon dan merupakan bentuk
sembahyang yang ia tekankan dalam berbagai tulisanya. Sebagaimana dua forma
sembahyang yang sebelumnya (sembahyang personal dan sembahyang kanonis),
sembahyang kalbu mengisyaratkan kemampuan khusus manusia untuk berbicara,
tetapi esensinya bukan terletak pada kesinambungan makna dari apa yang dikatakan,
melainkan fakta bahwa kata yang diucapkan mengabadikan sebuah penyingkapan
terhadap Nama Ilahi.
Pemikiran Schuon mewakili pemikiran para mistikus dari berbagai tradisi
agama bahwa peribadatan dengan Tuhan merupakan komunikasi antara manusia
dengan Tuhan dengan berbagai forma. Praktik peribadatan ini unik dalam setiap
agama, karena mengekspresikan nilai yang berbeda-beda. Tetapi sebagaimana yang
Schuon tekankan inti dari sembahyang adalah mengingat Tuhan.
Dalam agama Islam, kita mengenal doa, salat dan zikir sebagai metode
peribadatan manusia terhadap Tuhan. Dalam tradisi Katolik, dikenal Ibadah dan Misa
(liturgi) dan Doa Bapa Kami (Jesus Prayer), juga dalam tradisi Kristen Ortodoks
dikenal Hesychasm dan As-Sab’u ash-Shalawat (Sembahyang tujuh waktu). Dalam
tradisi Yahudi dipraktikkan yaitu morning prayer (shacharit), afternoon prayer
(minchah) dan evening prayer (arvith or maariv) dan juga Shema (invocation). Ada
juga Nembutsu dari Jodo Buddhisme (Pure Land Buddhism) dan berbagai bentuk
6
Japa-Yoga dalam tradisi Hinduisme, di mana Nama Rama dan Krishna ditemukan
dalam berbagai mantra invokasi.
Melihat beragam praktik sembahyang dalam berbagai tradisi keagamaan
tersebut, penulis tertarik untuk mengelaborasi lebih dalam lagi tentang kaitan antara
pembagian sembahyang menurut Frithjof Schuon dan korelasinya dengan praktik
sembahyang dijalankan oleh penganut Agama Islam, Kristen (untuk mendapatkan
gambaran utuhnya, penulis menekankan pada Kristen Ortodoks dan atau Katolik), dan
Hindu. Serta bagaimana titik temu dalam praktik sembahyang tersebut dilihat dari
kaca mata Schuon.
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimanakah sembahyang dalam pandangan Frithjof Schuon?
2. Bagaimanakah sembahyang dalam tradisi Kristen, Hindu, dan Islam
dalam pandangan Frithjof Schuon?
III. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan tersebut, tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Menganalisis praktik sembahyang dalam agama Islam, Kristen dan
Hindu berdasarkan pengertian sembahyang dari Frithjof Schuon dan
mengomparasikannya.
7
2. Memahami signifikansi dan relevansi pemikiran Schuon terhadap
spiritualitas kita di era modern ini.
IV. Tinjauan Pustaka
Setelah melakukan penelusuran terbatas terhadap tema yang diteliti ini,
penulis menemukan beberapa tulisan baik itu tesis, disertasi atau buku-buku yang
terkait dengan gagasan Frithjof Schuon di antaranya adalah:
1. Pemikiran Frithjof Schuon Tentang Makna Agama dalam Perspektif
Filsafat Agama, yang ditulis oleh Nazwar sebagai tesis pada Program Studi Ilmu
Filsafat, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada tahun 2014.
2. Kerukunan Antaragama Perspektif Filsafat Perenial: Rekonstruksi
Pemikiran Frithjof Schuon oleh Ngainun Naim (dosen STAIN Tulungagung).
Diterbitkan pada Jurnal Harmoni (Jurnal Multikultural & Multireligius) Vol 11, No. 4,
Oktober-Desember 2012.
3. Kesatuan Transenden Agama-Agama dalam Perspektif Tasawuf (Kritik
atas Pemikiran Frithjof Schuon) oleh Abdullah Muslich Rizal Maulana (Alumni Prodi
Ilmu Aqidah Fak. Ushuluddin Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor), diterbitkan
pada Jurnal Kalimah Vol. 12, No.2, September 2014.
4. Kajian Kritis Pemikiran Epistemologi Frithjof Schuon (1907–1998) oleh
Dinar Dewi Kania (Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor), diterbitkan pada Jurnal
Tsaqafah Vol 10, No. 1, Mei 2014.
Akan tetapi, hasil penelitian yang secara langsung berkaitan dengan
sembahyang menurut perspektif Frithjof Schuon belum berhasil penulis temukan.
8
V. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
A. Kualitatif
Jenis penelitian pada skripsi ini adalah penelitian kualitatif dengan
metode penjelasan deskriptif analitik. Bogdan dan Taylor mendefinisikan
penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.6
B. Deskriptif Analitik
Dalam menjelaskan hasil penelitian ini, penulis menggunakan
metode deskriptif analitik, yaitu mendeksipriskan mengenai
pemikiran-pemikiran Frithjof Schuon tentang sembahyang kemudian
menganalisis praktiknya dalam berbagai agama. Analisis lebih lanjut penulis
gunakan untuk mencari titik temu antara praktik-praktik sembahyang dalam
Agama Islam, Kristen dan Hindu berdasarkan pemikiran Frithjof Schuon.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah
pendekatan historis dan fenomenologis. Tulisan ini berupaya mengupas
tradisi ritual sembahyang dalam Agama Islam, Kristen dan Hindu untuk
memahami keunikan prosesi sembahyang pada masing-masing agama dan
keterhubungan manusia dengan Tuhan yang dituju dari prosesi sembahyang
6 Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung,: Remaja Rosdakarya, 2002), h.9.
9
tersebut. Selain itu, tulisan ini juga berupaya mencari titik temu ketiga agama
tersebut dalam kaitannya dengan prosesi atau tradisi sembahyangnya.
Pendekatan historis digunakan untuk menelusuri asal-usul dan
pertumbuhan ide-ide dan pranata-pranata keagamaan melalui
periode-periode perkembangan historis tertentu dan menilai peranan
kekuatan-kekuatan yang dimiliki agama untuk memperjuangkan
(mempertahankan) dirinya selama periode-periode tertentu.7 Frithjof Schuon
merupakan salah seorang tokoh utama dalam Filsafat Perenial, sebuah
cabang filsafat yang menitikberatkan pada ajaran tentang perenialisme
(ajaran abadi dan terus mengalir) tradisi pemikiran Ketuhanan. Karenanya
pandangan Schuon tidak pernal lepas dari gagasanyang telah hidup sejak
zaman dahulu.
Sementara itu metode fenomenologis adalah metode yang meneliti
apa yang nampak (phainomenon).8
Dengan menggunakan metode ini,
penulis menangguhkan untuk memberikan penilaian terhadap praktik
sembahyang dalam agama tertentu, melainkan mendeskripsikan dan mencari
keunikan sembahyang dalam tradisi tiga agama berdasarkan pada gagasan
Schuon tentang sembahyang. Kemudian dengan menggunakan pendapat
Schuon penulis mencari titik temu antaragama yang telah dideskripsikan.
3. Sumber data
Dalam menuliskan skripsi ini penulis menggunakan sumber data primer dan
7 Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama: Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga
Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h.16. 8 Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, h.25
10
sumber data sekunder. Sumber data primer adalah buku-buku atau tulisan-tulisan
yang langsung berkaitan dengan subjek yang penulis ambil yaitu sembahyang dalam
pandangan Frithjof Schuoan dan praktik-praktik sembahyang dalam agama Islam,
Kristen dan Hindu.
1. Primer
Sumber primer tulisan ini terutama adalah tulisan-tulisan Frithjof Schuon
tentang sembahyang, juga tulisan-tulisan Schuon terkait dengan praktik
sembahyang dalam beberapa agama. Sumber primer yang penulis gunakan
adalah Prayer Fashions Man: Frithjof Schuon on Spiritual Life, merupakan
himpunan tulisan Frithjof Schuon tentang sembahyang Dalam buku yang diedit
oleh Prof. James Cutsinger ini, Schuon menulis tentang sembahyang sebagai
sebuah komunikasi antara manusia dengan Tuhannya. Schuon menuliskan
bahwa semua sembahyang akan mengantarkan manusia pada Tuhan. Dan
sembahyang sebagai satu-satunya jalan agar manusia menjadi manusia
seutuhnya. Sebagaimana ia menuliskan, “sum ergo oro (I am: therefore I
pray)”.
Sumber lain yang digunakan dalam skripsi ini adalah The Fullness of God:
Frithjof Schuon on Christianity. Satu lagi kumpulan esai yang dikumpulkan dan
disunting oleh James S. Cutsinger. Buku ini memuat esai-esai yang terkait
dengan tradisi Kristiani seperti penjelasan tentang The Father, Kunci-kunci
untuk memahami Bibel, Bunda Maria, dan makna simbol salib.
11
The Fullness of God: Frithjof Schuon on Christianity. Satu lagi kumpulan
esai yang dikumpulkan dan disunting oleh James S. Cutsinger. Buku ini
memuat esai-esai yang terkait dengan tradisi Kristiani seperti penjelasan tentang
The Father, Kunci-kunci untuk memahami Bibel, Bunda Maria, dan makna
simbol salib.
Understanding Islam. Menurut Seyyed Hossein Nasr, buku ini merupakan
terpenting tentang Islam yang pernah ditulis oleh Frithjof Schuon di antara
semua buku yang ditulis oleh orang-orang Barat tentang Islam. Buku ini
merupakan buku yang dapat diterima secara luas oleh umat Muslim. Terbagi ke
dalam empat bab, buku ini membahas tentang Islam, Al-Quran, Penjelasan
tentang sunnah, Sang Nabi, dan Jalan (Spiritual).
Language of the Self: Essays on the Perennial Philosophy. Dua esai
berjudul The Vedanta dan A View of Yoga penulis jadikan sumber primer
dalam mengkaji pemikiran Schuon terkait dengan sembahyang dalam tradisi
Hindu.
2. Sekunder
Sumber data sekunder merupakan buku-buku dan tulisan-tulisan
yang tidak berkaitan secara langsung dengan pemikiran Schuon tentang
sembahyang maupun praktik sembahyang, tetapi memberikan gambaran
tambahan kepada penulis untuk melihat pemikiran Schuon secara lebih jelas
dan mendasar.
12
Pray Without Ceasing: The Way of the Invocation in World Religions.
Merupakan sebuah kumpulan esai yang ditulis oleh pemuka berbagai agama di
dunia, dikumpulkan dan diedit oleh Patrick Laude. Tulisan ini berupaya
menjawab secara esensial dan langsung, “mengapa dan bagaimana seseorang
seharusnya sembahyang?” Invocatory prayer merupakan ibadah tertinggi, di
mana Nama Tuhan memenuhi kehidupan seseorang. Dan tradisi ini tidak hanya
berkembang pada satu agama tertentu saja, melainkan dalam berbagai agama.
Tulisan-tulisan dalam buku ini, ditulis sendiri oleh para pelaku/ penganutnya,
sehingga menjadi salah satu rujukan utama dalam penelitian ini. Laude
mengumpulkan artikel-artikel dari berbagai tradisi, mulai dari Islam, Katholik,
Yahudi, Hindu, dan Buddha.
Introduction to the Studi of Hindu Doctrines. Buku ini ditulis oleh
Rene Guenon yang berisikan pengenalan terhadap filosofi dan tradisi dalam
Agama Hindu. Dalam buku ini terbagi ke dalam empat bagian, Bagian pertama
berupaya menjawab pertanyaan tentang perbedaan Timur dan Barat; bagian
kedua lebih spesifik pada karakteristik umum pemikiran Timur; dan bagian
ketiga menjelaskan tentang doktrin-doktrin daalm agama Hindu; dan bagian
terakhir berisikan interpretasi Barat terhadap pemikiran Timur.
Buku-buku lain yang digunakan sebagai sumber sekunder dalam
tulisan ini di antaranya adalah: The Essential Frithjof Schuon, Frithjof Schuon
Life and Teaching, Advise to the Serious Seeker: Meditations on the Teaching of
Frithjof Schuon. Ini merupakan buku yang ditulis oleh James Cutsinger
13
berdasarkan pemikiran-pemikiran Schuon. Buku ini ditulis berdasarkan
seringnya Cutsinger diminta memberikan petunjuk terkait dengan pencarian
spiritual seseorang.
VI. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun dengan menggunakan sistematika pembahasan
sebagaimana yang diwajibkan secara normatif dalam karya-karya ilmiah. Secara
keseluruhan penelitian ini terdiri atas lima bab. Pada bab pertama, bab pendahuluan,
dikemukakan tentang latar belakang topik kajian, signifikansi dan metodologi yang
akan diterapkan. Bab ini penting untuk melihat secara singkat kontur pembahasan
pada bab-bab selanjutnya.
Kemudian, pada bab kedua, akan diuraikan biografi Frithjof Schuon dan
sejarah pemikiran filosofisnya. Bagaimana kehidupan masa kecilnya hingga remaja
dan dewasa, latar belakang pemikiran yang mendalam tentang Tuhan dan agama.
Kemudian akan diuraikan juga tentang tokoh-tokoh yang memengaruhi pemikiran
Schuon dan peranannya dalam perkembangan spiritualitas di Eropa dan terutama di
Amerika, serta karya-karya Schuon yang memengaruhi pemikiran spiritualitas di era
modern.
Selanjutnya pada bab ketiga penulis membagi dalam dua sub bagian, yaitu
bagian A, akan diuraikan bagaimana pendapat Schuon tentang sembahyang. Dalam
bab ini, penulis akan menguraikan kedalaman pendapat Schuon tentang sembahyang,
serta dimensi-dimensi sembahyang. Juga bagaimana Schuon membagi sembahyang
14
dalam tiga kategori, sembahyang personal, sembahyang kanonis dan sembahyang
invokasi.
Dan pada bab tiga bagian B, berisi uraian teoritis tentang tulisan ini.
Setelah melihat bagaimana latar belakang pemikiran dan kehidupan Schuon, serta
bagaimana pemikiran Schuon tentang sembahyang. Maka penulis akan melihat
bagaimana penerapan sembahyang tersebut dalam berbagai tradisi agama. Penulis
akan mulai menganalisis dari agama Islam yang mana pembagian ketiganya tampak
cukup jelas yakni doa, salat dan dzikir. Kemudian penulis akan masuk ke agama
Kristen secara umum, artinya yang dibahas terutama adalah ajaran agama yang
mengikuti Kristus, sehingga mungkin bersinggungan dengan Katholik, Orthodoks,
Protestan, dan sebagainya. Penulis akan berusaha menjabarkan hasil analisis tentang
bagaimana prosesi liturgi dan peranan Doa Bapa Kami (Jesus Prayer) dalam tradisi
keagamaan Kristen. Serta praktik sembahyang tujuh waktu dan Hesychasm dalam
tradisi Krsiten Ortodoks. Selanjutnya penulis akan menganalisis praktik sembahyang
dalam tradisi Hindu. Agama tertua ini tentu saja memiliki titik temu dengan dua
ajaran agama yang sebelumnya, tetapi tentu saja memiliki ciri khasnya sendiri. Ada
puja dan yoga dalam ajaran agama Hindu. Yang akan penulis uraikan adalah
bagaimana makna puja itu dan kaitannya dengan sembahyang dalam pandangan
Schuon.
Dan pada bab empat, penulis akan menguraikan signifikansi pemikiran
Schuon terhadap spiritualitas manusia di era modern ini. Pertama adalah bagaimana
pemikiran Schuon dapat memberikan pengaruh terhadap hubungan antara manusia
15
dan Tuhan dan yang kedua adalah bagaimana pengaruhnya terhadap hubungan antara
manusia dan manusia.
Akhirnya, bab lima menutup seluruh rangkaian pembahasan pada bab-bab
sebelumnya. Dalam bab ini penulis akan berusaha menyimpulkan dari penjelasan
seluruh bab yang sebelumnya. Bab ini berisi kesimpulan dan masukan untuk kajian
selanjutnya. []
16
BAB II
HIDUP DAN KARYA-KARYA SCHUON
Dengan mempertimbangkan kedalaman penjelasan yang rinci tentang
metafisikanya dan fakta bahwa ia adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa
sophia perennis1 ada pada inti setiap agama, maka tampak aneh ketika kita hanya
mengetahui sangat sedikit tentang Frithjof Schuon. Namun, memang merupakan
karakternya dan juga bagian dari posisi intelektual dan spiritualnya untuk tetap
mengucilkan diri dan menjaga jarak dari keriuhan dunia. Karya-karyanya menggema
di Timur dan Barat, sementara ia sendiri menolak untuk mengajar atau memberikan
kuliah publik.2
Nama Frithjof Schuon mulai dikenal terutama setelah bukunya
Understanding Islam dan Transcendent Unity of Religion diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris.3 Walaupun kini, hampir semua tulisannya telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris. Buku Understanding Islam sendiri selain diterjemahkan ke
berbagai bahasa, juga menuai banyak pujian dari umat Islam selama bertahun-tahun.
Seyyed Hossein Nasr, menyebutkan bahwa karya Schuon ini merupakan, “most
1 Istilah sophia perennis atau philosophia perennis (Filsafat Perenial) merupakan totalitas kebenaran
primordial dan universal yang formulasinya tidak termasuk dalam sistem partikular mana pun (agama mana pun).
Schuon menegaskan dalam 2 Seyyed Hossein Nasr, “Who is Frithjof Shcuon” dalam The Essential Frithjof Schuon (Bloomington, Ind:
World Wisdom, 2005), h. 50 3 Harry Oldmeadow, “The Heart of the Religio Perennis: Frithjof Schuon on Esotericism”, h.3
17
important work on Islam and among the books written by a Westerner on Islam, [this
is] the one and most universally accepted by Muslims.”4
Martin Lings menulis sebuah ulasan tentang buku ini, juga menyatakan
bahwa dalam karyanya ini (Understanding Islam) Frithjof Schuon tidak memberikan
banyak deskripsi tentang Islam, ataupun mengapa Muslim meyakini Islam, yang
mana membuat karya ini benar-benar langka. Bahkan buku ini sangat kaya dengan
referensi dari berbagai agama, mulai dari Hinduisme dan Buddhisme, hingga ajaran
Kristen, dan hampir setiap kali membahas tentang doktrin atau praktik peribadatan
dalam Islam selalu diperluas dengan menyebutkan ajaran apa yang berhubungan
dengan doktrin atau praktik tersebut di agama-aga,a di Barat.5
Di samping itu, beberapa sarjana sudah merangkum dan menuliskan
biografi Frithjof Schuon, maka penulis akan mengompilasi dan menyunting
tulisan-tulisan tersebut agar sesuai dengan tujuan penulisan skripsi ini.6
Dalam penulisan biografi ini, penulis tidak akan terlalu detail menguraikan
tentang kehidupan Schuon. Setidaknya penulisan biografi ini dapat memberikan
gambaran historis tentang tulisan-tulisan Frithjof Schuon serta gambaran umum
4 Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h. 59
5 Martin Lings, “Book Review on Understanding Islam, by Frithjof Schuon” Source: Tomorrow (later
retitled Studies in Comparative Religion), Vol 12, No. 1. (Winter, 1964). World Wisdom, Inc. Dapat dibaca secara
daring di http://www.frithjofschuon.info 6 Ada beberapa buku yang secara khusus membahas tentang kehidupan dan pemikiran Frithjof Schuon,
di antaranya adalah:
1. Frithjof Schuon: LIfe and Teaching karya Jean-Baptise Aymard dan Patrick Laude.
2. Frithjof Schuon the Messenger of Perennial Philosophy karya Harry Oldmeadow
3. Frithjof Schuon and the Perennial Philosophy karya Michael Oren Fitzgerald
4. The Essential Frithjof Schuon yang dikumpulkan dan disunting oleh Seyyed Hossein Nasr.
Sumber utama yang penulis gunakan dalam penulisan biografi Frithjof Schuon adalah Frithjof Schuon: Life
and Teaching, Frithjof Schuon the Messenger of Perennial Philosophy dalam bab pertama “Frithjof Schuon: A
Sage for the Times” juga dalam esai-esai yang ditulis oleh Nasr tentang Schuon dalam bab Introduction dalam
buku The Essential Frithjof Schuon.
18
perjalanan intelektual dan spiritual Schuon agar dapat sedikit lebih memahami
karya-karyanya dan posisi intelektualnya.
* * *
A. Sekilas Biografi Frithjof Schuon
Frithjof Schuon, dilahirkan di Basle, Jerman. Ayahnya, Paul Schuon,
adalah seorang pemain biola dan seorang profesor di Basle Conservatory, merupakan
keturunan Swabian yang berdarah asli Jerman. Sementara ibunya, Margarete Boehler,
adalah keturunan Perancis. Kakaknya, Erich, menjadi seorang biarawan Trappist
dengan nama Father Gall dan menghabiskan waktunya di Notre Dame de Scourmont,
Belgia.
Schuon hidup di Basle dan bersekolah di kota tersebut hingga
meninggalnya sang ayah, yang setelahnya ibunya yang merupakan keturunan Alsatia
pindah ke Mulhouse, di mana Schuon diharuskan untuk menjadi warga negara
Perancis. Ia sebelumnya menerima pendidikan di Jerman, tetapi sekarang diharuskan
untuk diajar dengan pendidikan Perancis yang karenanya ia sangat menguasai kedua
bahasa tersebut di masa kecilnya. Di usia 16 tahun, ia harus meninggalkan sekolah
untuk membiayai hidupnya sebagai seorang desainer di Paris, memulai langkah
pertamanya di bidang seni yang senantiasa ia sukai sejak kecil meskipun ia tak pernah
mendapatkan pelatihan formal di bidang ini.
Sejak kecil Schuon juga telah sangat tertarik pada dunia Timur, pada
kidung-kidung mulia Bhagavad Gita, yang merupakan karya favoritnya di samping
19
Seribu Satu Malam.7 Ia juga memiliki kecondongan pada metafisika, ia membaca
Plato di samping Meister Ekchart bahkan ketika usianya masih sangat belia, dan ia
masih tinggal di Mulhouse, ia menemukan karya-karya Rene Guenon,8
yang
memantapkan intuisi intelektualnya dan memberikan dukungan terhadap
prinsip-prinsip metafisika yang mulai ia temukan.
Sejak usia belia Schuon sudah terpesona dengan kesenian tradisional,
khususnya yang berasal dari Jepang dan Timur Jauh. Dalam salah satu bukunya ia
bercerita tentang pertama kali ia melihat patung Buddha, sebuah patung tradisional
dari penjelmaan Spirit. Patung tersebut berada di sebuah museum etnografis. Terbuat
dari kayu yang sudah disepuh, diapit dua patung Bodhisattwas: Seishi dan Kwannon.
Di buku itu Schuon bercerita dengan cara yang tak biasa. Pengalaman tersebut ia
lukiskan dengan ungkapan “veni, vidi, victus sum”: aku datang, aku melihat, dan aku
menang.9
Seorang penulis melihat pentingnya intuisi estetika untuk menjabarkan
pemahaman Schuon yang luar biasa tentang berbagai struktur kemasyarakatan dan
keagamaan tradisional:
Hanya dengan melihat sebuah objek dari suatu peradaban tradisional, Schuon dapat merasakan--melalui semacam rangkaian “alchemic relation”--seluruh gagasan intelektual, spiritual, dan psikologis dari peradaban tersebut.10
7 Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h.51
8 Harry Oldmeadow, “Traditionalism and the Sophia Perennis”, h.203
9 Oldmeadow, “Traditionalism and the Sophia Perennis”, h.202
10 Oldmeadow, “Frithjof Schuon dan Religio Perennis di Timur dan Barat”, h.10 dimuat dalam Zine
Pondok Tradisi, Edisi X Juni MMXV, alih bahasa oleh Ali Ahmad.
20
Pernyataan tersebut mungkin terkesan berlebihan, tetapi bagi mereka yang
sudah membaca karya-karya Schuon, tidak akan meragukan karunia yang
digambarkan dalam pernyataan tersebut.
Schuon melakukan perjalanan ke Paris setelah mengabdikan diri di wajib
militer selama satu setengah tahun. Di Paris, ia tak hanya bekerja sebagai desainer
tetapi juga mulai mempelajari bahasa Arab di sebuah masjid di Paris. Ia juga terpapar
jauh lebih intens dari sebelumnya terhadap berbagai bentuk seni tradisional, terutama
dari Asia yang selalu ia kagumi sejak kecil.
Masa-masa ini sangat berpengaruh pada keakraban Schuon secara
intelektual dan artistik terhadap dunia tradisional dan diikuti dengan kunjungan
pertama Schuon ke Aljazair pada tahun 1932.11
Afrika Utara menjadi saksi bisu bagi
sedikit banyak pola kehidupan tradisionalnya yang utuh. Perjalanan ini menandai
pengalaman pertama Schuon terhadap kebudayaan tradisional dan juga kontak
langsung pertamanya dengan dunia Islam, yang membawanya mendapatkan ilmu dari
tangan pertama dan keintiman dengan tradisi Islam, termasuk Sufisme, di antaranya
sufi agung Syaikh al-‟Alawi yang ia temui. Pada perjalanan keduanya ke Afrika Utara
pada 1935, ia tidak hanya mengunjungi Aljazair, melainkan juga Maroko, sementara
pada tahun 1938 ia melakukan perjalanan ke Kairo di mana ia akhirnya bertemu
dengan Guenon, yang dengannya ia telah saling berkirim surat selama beberapa
tahun.
Pada tahun 1939 ia berhenti di Mesir lagi dalam perjalanannya ke India, ke
tanah yang selalu ia cintai dan spiritualitasnya telah menarik perhatiannya sejak masa
11
Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h.53
21
kanank-kanak. Sejenak setelah kedatangannya di India, Perang Dunia II pecah dan
memaksanya untuk segera kembali ke Perancis, di mana ia mulai mengabdi di wajib
militer. Setelah beberapa bulan berperang di sisi Perancis, ia ditangkap oleh pasukan
Jerman dan dipenjarakan. Ketika ia mengetahui bahwa pasukan Jerman berencana
menariknya masuk dalam jajaran pasukan Jerman karena latar belakang Alsatian yang
dimilikinya. Tetapi ketika tentara Nazi juga mengancam keturunan Alsatian di tentara
Jerman, ia lantas melarikan diri ke Swiss. Di negara ini ia dipenjara sebentar sampai
akhirnya diberikan suaka. Ia tinggal di kota Lausanne dan beberapa tahun kemudian
memtuuskan untuk menjadi warga negara Swiss.12
Selama beberapa tahun, Switzerland menjadi rumah bagi Schuon. Di sini
pada tahun 1949, ia menikahi seorang gadis keturunan Jerman-Swiss dengan latar
belakang pendidikan Perancis, Catherine Feer, yang di samping memiliki ketertarikan
terhadap agama dan metafisika, juga merupakan seorang pelukis berbakat. Di sini
pula lah ia menulis sebagian besar dari karya-karyanya dan ia dikunjungi oleh banyak
sarjana dan pemikir di bidang agama-agama terkenal dari Timur dan Barat. Di
samping melakukan perjalanan dari waktu ke waktu untuk mengunjungi keagungan
gunung-gunung di tanah ini, untuk menghirup udara segar di pagi hari, adakalanya ia
juga melakukan perjalanan ke negara lain. Perjalanan ini termasuk juga kunjungan
rutin ke Maroko, dan kunjungan ke Turki pada tahun 1968 di mana ia menghabiskan
beberapa waktu di Rumah Perawan Suci di Kusadasi dekat Ephesus.
Schuon dan Catherine sebelumnya telah menjalin persahabatan dengan
mengunjungi suku Indian di Paris dan Brussel pada tahun 1950-an. Pada kunjungan
12
Harry Oldmeadow, “Frihtjof Schuon dan Religio Perennis di Timur dan Barat”, h.12.
22
pertama mereka ke Amerika Utara di tahun 1959, keduanya secara resmi diadopsi ke
dalam keluarga Red Cloud dari suku Lakota, sebuah cabang marga Sioux yang
darinya lahir Black Elk “sang tabib” yang amat dihormati.13
Ketika ia dan istrinya menghabiskan dua periode bersama suku Indian
Amerika Utara, kecintaan Schuon kepada alam menjadi semakin dalam. Kecintaan itu
tertuang dalam banyak karyanya bagaikan bayang-bayang melodi yang sering
menghampiri. Lukisan-lukisan Schuon yang menggambarkan keindahan kehidupan
suku Indian sebagaimana penjelasan yang terperinci tentang ajaran tradisional mereka,
memperlihatkan hubungan khususnya dengan dunia spiritual Indian Amerika, sebuah
hubungan yang terutama dibangun dan terus diperluas selama perjalanan-perjalanan
ini.
Selain ke Amerika, Schuon juga mengunjungi Afrika Utara dan Timur
Tengah untuk menjalin silaturahmi dengan para pemuka tradisi agama-agama besar.
Awalnya ia hidup menyendiri di Swiss, tetapi kemudian menghabiskan masa
hidupnya di Amerika. Pada bulan Mei 1998, ajal menjemputnya.
B. Karya-karya Frithjof Schuon
Tulisan-tulisan yang meliputi pembahasan metafsika dan agama-agama,
seringkali dituliskan secara superfsial dan simplistis. Tetapi tidak dengan tulisan
Schuon. Meskipun meliputi tema yang luas, karya-karyanya justru membentuk
13
Untuk beberapa catatan tentang pengalaman pribadi Schuon bersama Plains Indian, lihat F.Schuon,
The Feathered Sun, Bag. 2&3. Schuon, Coomaraswamy, dan Joseph Epes Brown, dan seniman Paul Goble, adalah
tokoh-tokoh yang menjadi garda depan dalam upaya menjaga dan memelihara warisan spiritual Plains Indian
yang begitu berharga. Lihat R. LIpsey, Coomaraswamy: His Life and Works, h. 227-228.
23
korpus yang sangat mengagumkan.14
Misalnya, karya Schuon tentang tradisi agama
tertentu pasti diakui dan diapresiasi oleh para cendekiawan dan pemeluk tradisi
terkait.
Tulisan-tulisan Schuon sama sekali bukan sebuah “pengembangan” atau
“evolusi” pengetahuan, melainkan penegasan kembali prinsip-prinsip yang sama dari
beragam sudut pandang yang tepat untuk diterapkan pada berbagai fenomena yang
berbeda-beda. Sebab, Schuon bukan hanya mengetahui “tentang” berbagai
manifestasi agama dan tradisi sapiensial secara ensiklopedis, melainkan melalui cara
yang dapat kita sebut intuitif. Seyyed Hossein Nasr menuliskannya seperti ini:
If Guenon was the master expositor of metaphysical doctrines and Coomaraswamy the peerless scholar and connoisseur of Oriental art who began his exposition of metaphysics through recourse to the language of artistic forms, Schuon seems like the cosmic intellect itself impregnated by the energy of divine grace surveying the whole of the reality surrounding man and elucidating all the concerns of human existence in the light of sacred knowledge.15
Ada beberapa buku Schuon yang membahas tradisi Islam dan Kristen
secara khusus. Nasr yang merupakan seorang cendekiawan muslim terkemuka,
menulis tentang buku Understanding Islam:
Saya yakin karya Schuon ini adalah karya paling luar biasa yang pernah ditulis dalam bahasa Eropa, karya tentang mengapa umat muslim meyakini Islam dan mengapa Islam menawarkan umat manusia segala sesuatu yang dibutuhkannya
baik secara relijius maupun spiritual.16
14
Untuk bibliografi tulisan-tulisan Schuon yang lebih lengkap sampai tahun 1990, lihat Religion of the
Heart, disunting oleh S.H. Nasr dan W. Stoddart, h.299-327. 15
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (New York: State University of New York Press, 1989),
h.97. 16
Seyyed Hossein Nasr, “Introduction to the First Edition” dalam buku Ideals and Realities of Islam-New
Revised Edition (Chicago: ABC International Group, Inc, 2000) ,h.xxv.
24
Pujian Nasr bahkan lebih tinggi lagi ketika berkenaan dengan karya-karya
Schuon belakangan.17
Seluruh karya Schuon memang memiliki nuansa sufistik, tetapi ini bukan
berarti karyanya terbatas pada pusaka Islam. Dua karya utamanya fokus berbicara
tentang agama Hindu dan Buddha: Language of the Self (1959) dan In the Tracks of
Buddhism (1969). Ia juga sering merujuk spiritualitas Indian Merah, tradisi Cina, dan
agama Yahudi. Tulisan-tulisannya tentang pusaka spiritual Plains Indian, disatukan
dengan reproduksi beberapa lukisannya, sudah dikumpulkan dalam buku The
Feathered Sun: Plains Indians in Art and Philosophy (1990).
Fokus perhatian seluruh karya Schuon adalah mengafirmasi kembali
prinsip-prinsip metafisika tradisional dengan penjelasan dimensi esoteris agama
secara utuh. Selain itu, ia juga memasukkan forma-forma agama dan mitologi, serta
kritik terhadap pandangan modernisme yang mengabaikan prinsip-prinsip yang
memberikan informasi tentang seluruh kebijaksanaan tradisional. Secara umum kita
dapat melihat Schuon melalui karyanya yang pertama muncul dalam bahasa Inggris,
The Transcendent Unity of Religions (1953), sebuah karya yang membuat T. S. Eliot
bertutur,
Tidak pernah aku menemukan karya studi komparatif antara agama Oriental
dan Oksidental yang lebih mengesankan [dari karyanya]”.18
17
Lihat pendahuluan untuk buku F. Schuon: Dimensions of Islam dan Islam and the Perennial Philosophy,
juga tulisan Nasr tentang Schuon dalam buku The Essential Frithjof Schuon. Dalam buku terakhir, Nasr
menuliskan riwayat Schuon dan pandangannya tentang tulisan-tuisan Schuon secara rinci dan detail. Termasuk
sekilas memberikan komentar terahdap masing-masing karya Schuon. 18
Komentar dalam sampul belakang buku Transcendent Unitiy of Religion (Wheaton, IL: Quest Books
Theosophical Publishing House, 1984).
25
Spiritual Perspectives and Human Facts (1954) adalah kumpulan esai
aforistik yang meliputi pembahasan Vedanta dan seni sakral, serta tentang meditasi
kebajikan spiritual (spiritual virtues). Buku Gnosis: Divine Wisdom (1959), Logic and
Transcendence (1976) dan Esoterism as Principle and as Way (1981) sebagian
besarnya membahas prinsip-prinsip metafisika secara luas dan eksplisit. Beberapa
tahun lalu Schuon mengatakan bahwa Logic and Transcendence adalah karyanya
yang paling representatif dan inklusif. Mungkin saat ini pernyataan tersebut juga tepat
jika ditujukan untuk buku Esoterism as Principle and as Way, di mana penjelasan
Schuon yang paling seksama tentang karakter esoterisme dapat ditemukan di sana,18
dan untuk buku Survey of Metaphysics and Esoterism (1986) yang merupakan karya
luar biasa tentang sintesis metafisika.
Buku Stations of Wisdom (1961), sebagian besarnya dimaksudkan untuk
mengeksplorasi beberapa modalitas spiritual dan relijius. Tetapi selain itu buku
tersebut juga memuat “Orthodoxy and Intelectuality,” sebuah esai terpenting untuk
memahami posisi tradisionalis. Buku Light on the Ancient Worlds (1965) memuat
esai-esai yang membahas tentang “dialog” Hellenist Kristen, shamanisme,
monastisisme, dan religio perennis. Beberapa karya Schuon terakhir adalah To Have
a Center (1990), Roots of the Human Condition (1991), The Play of Masks (1992),
dan The Transfiguration of Man (1995).
Karya-karya Frithjof Schuon dikategorikan berdasarkan esensialitas,
universalitas, dan sifatnya yang komprehensif. Karya tersebut memiliki kualitas
esensial dalam pengertian bahwa dalam karya tersebut selalu menuju bagian inti dari
26
pembahasan dan hanya terkait dengan esensi apa pun subjek yang dibahas.
Membaca karya-karyanya seperti dibawa dalam sebuah perjalanan dari kulit menuju
inti, yang pada awalnya intelektual dan spiritual, dari lingkaran luar menuju titik
pusat lingkaran.
Tulisan-tulisannya bersifat universal, bukan hanya karena Intisari nirbentuk
itu universal, melainkan juga karena bahkan dalam level bentuk ia tidak membatasi
dirinya pada sebuah wilayah partikular, periode, atau wilayah tertentu semata.
Perspektifnya benar-benar universal dalam arti mencakup semua tatanan realitas dari
Ilahiah hingga mansia dan pada level dunia manusia sejauh kepercayaan ajaran
monoteisme Ibrahim dan warisan shamanic Shintoisme dan agama Indian Amerika
Utara.19
Karya Schuon juga sangat komprehensif dan mencakup keseluruhan dalam
arti bahwa dalam tulisannya secara praktis juga termasuk keseluruhan gunungan ilmu
pengetahuan yang dipahami dalam pengertian tradisional, mulai dari puncak
metafisikanya yang menyentuh permukaan langit yang luas hinga ruang-ruang
partikular seperti teologi formal, antropologi, psikologi, yang merupakan kaki gnung
lengkap dengan jalan setapaknya yang membawa dari kaki gunung ini menuju puncak
yang agung.
Di tengah-tengah abad segmentasi cabang-cabang partikular ilmu
pengetahuan dan perkembangbiakan informasi yang seringkali tidak saling
berhubungan yang membuat daya pandang untuk melihat keseluruhan yang utuh
tampak tidak mungkin bagi mereka yang memulai (perjalanan) dari bagian bukan dari
19
Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h. 60.
27
keseluruhan dan mereka yang tetap hanya mengakar pengetahuan dari tatanan empiris,
Schuon mendemonstrasikan/ menunjukkan dengan bukti nyata kemungkinan dari
pengetahuan yang mencakup semua. Pengetahuan ini mengakar, bagaimanapun,
bukan pada multiplisitas yang berserak di dunia indra tetapi pada kesatuan di tataran
intelek yang Schuon pahami ada pada pengertian tradisional dan sebagaimana yang
digunakan oleh Meister Eckhart.
Schuon di satu sisi adalah seorang metafisikawan, teolog, filosof
tradisional dan ahli logika, Ahli di bidang perbandingan agama, penyingkap seni dan
peradaban tradisional, ahli dalam ilmu tentang manusia dan masyarakat, guru spiritual
dan seorang kritikus dunia modern bukan hanya pada tataran praktis melainkan juga
aspek filosofis dan saintifik.
Pengetahuannya, lebih jauh lagi, mencakup Timur dan Barat, peradaban
kuno dan abad pertengahan sebaikdunia modern, literatur Jerman sebaik arca Hindu.
Dari sudut pandang ilmu pengetahuan ilmiah yang tajam dikombinasikan dengan
penetrasi metafisika, hampir tidak mungkin ditemukan kesatuan kontemporer dari
tulisan dengan sifat yang mencakup keseluruhan dan komprehensif yang sama dan
dikombinasikan dengan kedalaman yang luar biasa.
Sebagai hasil dari kualitas ini, untuk menambahkan esensialitas dan
universalitasnya yang mana mencirikan karya-karya Schuon, dapat dikatakan bahwa
karya ini menunjukkan sebuah model yang unik bukan hanya pada kesatuhan Prinsip
Ilahi, tetapi juga kesatuan dalam keragaman penerima pesan yang disampaikan dari
28
Prinsip Ilahi dalam forma agama dan peradaban dan budaya yang manifestasi dari
prinsip-prinsip tersebut.
Dalam banyak hal, karya-karya Schuon sebenarnya adalah elaborasi
prinsip-prinsip yang sudah dikemukakan oleh Guenon. Akan tetapi, guru spiritual
Schuon bukanlah Guenon, melainkan Syekh Ahmad Al-„Alawi, seorang suf dari
Aljazair dan pendiri tarekat „Alawiyyah. (Guenon memang tidak pernah menjadi
seorang guru spiritual atau mursyid).20
Tentang wali kontemporer ini Schuon pernah
menulis:
Pribadinya mewakili gagasan yang selama ratusan tahun telah menjadi jantung peradaban [Islam]. Bertemu dengan pribadi seperti itu, di pertengahan abad XX, seperti berhadap-hadapan dengan seorang manusia suci dari abad pertengahan atau dengan Leluhur bangsa Semit.21
Tidak dipungkiri bahwa fokus karya-karya Schuon terkait dengan agama,
baik itu studi agama ataupun agama itu sendiri. Dalam perspektif Schuon, kedua fokus
ini pada kenyataannya saling terkait satu sama lain, ia menuliskan,
for a world, in which the journey accross religious frontiers has already become a profound reality and where for many people the study of religions affects in one way or another their own participation in and understanding of religion in itself.22
Schuon sementara ia menerima dan dalam fakta menghormati dan
menghargai dalam arti paling sederhana terhadap berbagai perbedaan dalam
agama, yang merupakan kehendak Langit, menekankan baik kesatuan batin dari
20
Martin Lings, A sufi Saint of the Twentieth Centruy, dan M. Valsan, “Notes on the Syaikh al-’Alawi,
1869-1934.” Pernah disebutkan secara keliru bahwa Schuon adalah “murid” Guenon dan/ atau Coomaraswamy.
Misalnya, Lihat E.J. Sharpe, Comparative Religion, h.262, dan R. C. Zaehner, At Sundry Times, h.36, catatan kaki 2.
Dan perlu diingat bahwa “mengikuti Guenon bukan berarti mengikuti pribadinya, melainkan mengikuti cahaya
kebenaran tradisional _”; B.Kelly, “Notes on the Light of the Eastern Religions,” h.160-161. 21
Oldmeadow, “Frithjof Schuon dan Religio Perennis..”, h.11. 22
Lihat, Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h.5
29
keragaman ini maupun signifikansi keragaman itu sendiri. Berulangkali ia
menuliskan bagaimana masing-masing agama adalah Kebenaran, dan untuk hidup
di dalam agama secara utuh adalah dengan hidup dalam Kebenaran dan karenanya
dalam agama apa pun, dan bagaimana masing-masing agama adalah absolut bagi
mereka yang menghidupkan agama tersebut dan hanya Realitas Absolut yang ada
melampaui segala manifestasi dan partikularisasi Sang Absolut itu sendiri.
Keluasan Karya Schuon terutama sekali terfokus pada agama. Agama
bagi Schuon di sini adalah segala sesuatu yang mengikat manusia pada Tuhan.
Schuon menekankan pada keterkaitan terhadap Sang Asal baik dalam agama yang
sejalan dengan peradaban, struktur sosial, seni, dan kebudayaan. Ia juga
menekankan pada agama perenial, atau religio perennis, yang disebut juga agama
kalbu, yang terletak di pusat setiap agama partikular dan juga terletak pada pusat
dan merupakan substansi inti yang darinya manusia diciptakan. Jika manusia
mampu memasuki pusat dari keberadaannya sendiri, memasuki kerajaan batinnya,
ia akan mampu menjangkau religio perennis atau religio cordis.23
[ ]
23
Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h. 7
30
BAB III
SEMBAHYANG MENURUT FRITHJOF SCHUON
Prayer “Grandfather, hear my words, I talk to Thee:
Look down, take pity, not alon eon me But on my people,” prays a noble mind. In this a deeper meaning thou wilt find.
When thou invokest God, His Grace is thine,
But like the living sunlight it will shine For others too; the sacred, saving Sound
Will bless believing people all around.
A Sound that always in our heart should be; A wave of Bliss, Peace, Immortality.
~Frithjof Schuon
A. Sembahyang Menurut Frithjof Schuon
Frithjof Schuon tidak datang membawa gagasan baru tentang
ketuhanan maupun tentang sembahyang. Ia datang dengan menyadarkan kita atas
keberadaan ajaran-ajaran suci yang telah dipraktikkan oleh para leluhur kita dan
diajarkan secara turun-temurun. Ajaran ini adalah ajaran yang perenial,
terus-menerus berlansung sepanjang waktu, tidak tergerus oleh zaman dan tidak
terbatas oleh sekat ruang. Ajaran-ajaran ini menjadi jalan bagi manusia untuk
kembali kepada Tuhan.
Pemikiran utamanya tentang kesatuan transenden agama-agama
membawa udara segar bagi kontroversi keragaman dan keberagamaan di dunia.
Bahwa semua agama bersatu di wilayah transenden (batin) sementara di wilayah
lahiriyahnya agama berbeda-beda dan beraneka ragam. Perbedaan seseorang
dalam menyebut nama Tuhan, cara menyampaikan doa dan permohonan,
bersembahyang, dan berzikir tidak membuat satu agama dan lainnya berbeda
31
seutuhnya. Karena menurut Schuon berbagai perbedaan tersebut sebenarnya
berasal dari Tuhan dan terjadi hanya atas kehendak-Nya. Karenanya meskipun
dengan segala perbedaan tersebut, agama tetap dapat membawa manusia kepada
Tuhan.
Membicarakan tentang perbedaan dalam berbagai agama, selain
perbedaan mengenai konsep dan teori ketuhanan, berbeda pula cara manusia
mengekspresikan penyembahan dan ketaatannya kepada Tuhan. Bentuk dan tata
cara manusia menyembah Tuhan berbeda sesuai dengan firman Tuhan dalam kitab
suci yang dianutnya. Dalam agama Hindu yang disebut sebagai agama formal
tertua, melakukan puja atau penyembahan melalui kidung-kidung dan
tarian-tarian dalam waktu yang ditentukan dalam kitab suci. Dalam tradisi Yahudi
dan Islam, manusia diwajibkan menyembah Tuhan dalam waktu-waktu tertentu
dengan bentuk yang sudah ditentukan Tuhan dan diajarkan oleh pembawa wahyu
Ilahi, mulai dari salat hingga zikirnya. Sementara dalam tradisi Buddha, manusia
menyembah Tuhan dalam zikir tanpa putus, pembacaan doa sepanjang waktu.
Bagi Schuon sembahyang merupakan titik pusat utama eksistensi
manusia dalam kaitannya dengan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Melalui sembahyang komunikasi antar manusia dan Tuhan terbangun dan dengan
komunikasi yang aktif, manusia memiliki lebih banyak kesempatan untuk
mendekat kepada Tuhan. Dalam berbagai tulisannya Schuon menegaskan bahwa,
“Ketika seseorang belum menjalankan sembahyangnya, ia bukanlah manusia.”1
Dalam sebuah wawancara video pada tahun 1991 yang sudah
dikonfirmasi sendiri oleh Schuon, ketika ditanya tentang rangkuman filsafat
1 Michael Oren Fitzgerald, Frithjof Schuon Messenger of the Perennial Philosophy (Bloomington (Indiana):
World Wisdom, 2010), h.63.
32
pemikirannya dalam beberapa elemen, dan rekomendasi jalan untuk mengikuti
filsafatnya, Schuon memberikan penjelasan:
Essentialism, because I must focus everything on the essential. There are four elements that are essential: There is first discernment between the Absolute and the relative. Ātmā and Māyā, reality and illusion. Then prayer, because if one understands what is essential and what is Absolute, one wants to assimilate it; otherwise one is a hypocrite. In order to assimilate the truth of the Absolute one must pray. Now there are three types of prayer: first canonical prayer—in Christianity it is the Lord’s Prayer. Then free, personal prayer, like the Psalms in the Bible—the Psalms are David’s personal prayer with God. The third type of prayer is prayer of the heart—essential prayer, which is an act of contemplation in the innermost self. This is esoterism and I am interested in this. I say to people you must pray, always pray. You must have at least one canonical prayer every day and then you must talk to God; but you must always pray like St. Paul said in an epistle, “pray without ceasing”—this is “prayer of the heart”. The Eastern Church knows this practice very well—the Jesus Prayer—japa-yoga in Hinduism. This is the second thing.
The third thing is intrinsic morality: beauty of the soul; nobility; humility, which means objectivity toward oneself; charity, which is objectivity towards the neighbor; domination of oneself; generosity— this is beauty of the soul, this is intrinsic morality. The fourth dimension is beauty: beauty of forms, of surroundings, of dress, of comportment.2
Menurut Schuon sembahyang memiliki peran yang sangat penting,
sebagaimana yang Schuon sampaikan pada wawancara di atas, karena
sembahyang merupakan satu-satunya jalan bagi manusia untuk mendekat kepada
Tuhan. Sembahyang merupakan jalan bagi manusia untuk memahami Kebenaran
Sejati, yang melaluinya manusia memahami dan berjalan seiring dengan
Kehendak Ilahi.
Schuon menjelaskan dalam Prayer Fashions Man, “the essence of prayer is faith, hence certitude; man manifests it precisely by speech, or appeal, addressed to the Sovereign Good. Prayer, or invocation, equals certitude of God and of our spiritual vocation.”3
Dalam bukunya tersebut Schuon menjelaskan beberapa aspek yang
2 Michael Oren Fitzgerald, Frithjof Schuon: Messenger of the Perennial Philosophy (Bloomington: World
Wisdom, 2010), h.191 3 Frithjof Schuon, “Dimension of Prayer”, dalam buku Prayer Fashions Man: Frithjof Schuon on the
Spiritual Life (Bloomington: World Wisdom, 2005), h.2
33
menjadi dimensi sembahyang bagi manusia4. Pertama adalah bahwa secara de
facto kehidupan manusia selalu bergerak menuju zahir dan manuisa cenderung
pada kesenangan zahirnya, nafsunya. Di hadapan Tuhan, manusia harus
meninggalkan keduanya, karena pertama, Tuhan hadir dalam diri kita; dan kedua,
manusia semestinya mampu menemukan kesenangan di dalam dirinya, di luar
fenomena indrawi. Schuon membenarkan bahwa fenomena indrawi, dengan
segala kemulian dan simbolisme yang ada padanya memiliki kebajikan yang dapat
membawa kita ke dalam batin. Meskipun demikian, ketidakmelekatan (terhadap
dunia) tetaplah harus dicapai; karena, jika tidak, maka manusia sama sekali tidak
berhak mendekati hal-hal lahiriah dan hasrat seksual, yang dapat sangat
mematikan bagi manusia. Sebagaimana Sang Pencipta (karena
Ketransendenan-Nya) independen dari ciptaan, maka dalam pandangan Tuhan,
semestinya manusia pun independen dari dunia. Kehendak bebas adalah anugerah
bagi manusia; hanya manusia semata yang mampu menahan naluri dan nafsunya.
Vacare Deo.
Kedua, manusia mendapatkan anugerah berupa pikiran rasional dan
kemampuan berbicara, karena itu kedua dimensi ini harus diaktualisasikan selama
momen pertemuan dengan Tuhan, yang tidak lain adalah pada saat sembahyang
(doa, salat, meditasi, invokasi). Manusia dapat selamat bukan hanya karena
menjauhkan diri dari keburukan, tetapi juga dengan mengerjakan Kebaikan;
pekerjaan terbaik adalah pekerjaan yang di dalamnya Tuhan sebagai objek
4 Dimensi sembahyang yang dimaksudkan oleh Schuon adalah dimensi-dimensi dalam kehidupan
manusia yang dapat menjadi alasan bagi manusia untuk melakukan sembahyang di hadapan Tuhan. Mengingat berbagai karunia yang dicurahkan Tuhan dalam kehidupan kita, seyogyanya sembahyang memang menjadi jubah kita, menjadi baju bagi tubuh kita, sehingga kita layak menyandang gelar pesalat (orang yang selalu salat). Akan tetapi kenyataannya, kehidupan di era modern ini menjadi jurang pemisah yang sangat lebar bagi manusia untuk kembali pada Tuhan. Sehingga perlu orang-orang seperti Schuon yang menekankan dengan filosofis dan sekaligus menyingkapkan Kebenaran Ilahi tentang siapa kita, dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali. Allah, Allah, Allah.
34
utamanya dan kalbu atau hati nurani kita sebagai agennya. Pekerjaan itu adalah
zikrullah, “mengin;mngat Tuhan”.
Ketiga, setiap manusia mencari kebahagiaan; ini adalah fitrah manusia
lainnya. Di luar Tuhan tidak ada kebahagiaan yang sempurna; seluruh
kebahagiaan bumi membutuhkan berkah Langit. Sembahyang menempatkan kita
di tengah kehadiran Tuhan, di tengah Kebahagiaan sejati. Jika kita menyadari ini,
kita akan menemukan Kedamaian di dalamnya.
Keempat, dimensi sembahyang lainnya tumbuh dan berkembang dari
kenyataan bahwa di satu sisi manusia adalah makhluk fana dan di sisi lain
memiliki jiwa yang abadi; manusia harus melewati kematian, dan terutama ia
harus memberikan perhatiannya kepada Keabadian, yang berada di tangan Tuhan.
Dalam konteks ini, sembahyang akan mengundang kasih sayang. Dan
sembahyang adalah tanda keimanan.
Kelima, anugerah manusia paling utama adalah inteligensi yang
membuatnya mampu memahami pengetahuan metafisika; konsekuensinya,
kemampuan tersebut semestinya menentukan sebuah dimensi sembahyang, yang
kemudian bertepatan dengan meditasi. Subjek meditasi pertama adalah realitas
mutlak Prinsip Tertinggi, dan kemudian nonrealitas--atau realitas relatif--dunia
(yang memanifestasikan Prinsip Tertinggi tersebut).
Keenam, ada dimensi meditatif yang mengandung realitas mutlak
Prinsip dan ada dimensi sembahyang meditatif yang mgnandung non realitas.
Namun mengetahui bahwa “Brama adalah Realitas dan dunia adalah
penampakan” tidaklah cukup; penting juga untuk kita mengetahui bahwa “jiwa
tidaklah berbeda dari Brahma”. Kebenaran kedua ini mengingatkan kita bahwa
35
kita tidak hanya memiliki kapasitas inteligensi yang pada dasarnya mampu
mengalami penyatuan subjektif. Di satu sisi, ego terpisah dari Ketuhanan imanen
karena ego adalah manifestasi, bukan Prinsip. Di sisi lain, ego tidak lain selain
Yang Prinsip lantaran Yang Prinsip pasti memanifestasikan dirinya, sebagaimana
refleksi matahari di sebuah cermin bukanlah matahari. Namun meskipun demikian,
ego “bukanlah selain matahari” lantaran refleksi tersebut adalah cahaya surya dan
bukan yang lainnya.
Jika menyadari hal ini, manusia tidak akan berhenti berdiri di hadapan
Tuhan, yaitu Ia yang transenden sekaligus imanen; dan yang menentukan ruang
lingkup kesadaran kontemplatif kita dan misteri takdir spiritual kita bukanlah kita
melainkan Tuhan.
Schuon sangat menekankan peran sembahyang dalam kehidupan
manusia agar manusia dapat menjadi sebenar-benarnya manusia yang terhubung
kepada Tuhan dalam berbagai keadaan. Tuhan berada dalam hati orang mukmin5,
sebuah hadis mengonfirmasi pemikiran Schuon yang menekankan sembahyang
bagi setiap manusia agar mereka berada dalam kebahagiaan, “He who lives in
prayer has not lived in vain.”6
Dalam buku Prayer Fashions Man, bab “Prayer and the Integration of
the Psychic Elements,” schuon menyatakan, “Prayer could never be contrary to
the purest intellectuality7
; Schuon menegaskan bahwa intelek8
merupakan
5 Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr (Beirut: Muassah Al-Wafa, 1404 H) jil. 55, h. 39. 6 Fitzgerald, Messenger of the Perennial Philosophy h. 74 7 Tanpa mengontradiksikan sembahyang dengan kebenaran transenden apa pun, sembahyang memiliki
alasannya sendiri untuk ada dalam eksistensi manusia “Aku”. Dengan kata lain, manusia tidak pernah bisa untuk menjadi “Aku” dan karena sembahyang adalah tindakan spiritual dari “Aku”, sembahyang harus dilaksanakan selama individu tersebut ada. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengendalikan egonya. Frithjof Scuon, “Prayer and the Integration of the Psychic Elements”, Prayer Fashions Man, h.29.
8 Intelek dalam pandangan Schuon tidak sama dengan intelek yang seringkali digunakan dalam tradisi pemikiran modern yakni akal. Dalam pandangan Schuon, intelek adalah hati, kalbu. Yang dengannya manusia mempersepsi kebenaran tanpa perlu menganalisisnya. Pengetahuan tentang Tuhan yang hadir dalam kalbu
36
instrumen utama untuk memahami Tuhan.
Sembahyang tidak pernah bertolak belakang dengan intelektual yang
paling murni artinya dengan sembahyang manusia memahami bahasa kalbu.
Tuhan berkomunikasi kepada manusia melalui bahasa-bahasa yang seringkali
tidak dapat dipahami oleh manusia. Tuhan berbicara kepada manusia melalui
kalbu manusia, karenanya Yesus bersabda, “Kerajaan Tuhan dalam Hati orang
beriman”. Karena memang hanya manusia yang memiliki kemampuan untuk
mempersepsi Tuhan dengan akal dan hatinya.
Karenanya, Schuon menegaskan, “Sum Ergo Oro [I am: therefore I
pray]”. Aku ada [dan] karenanya aku sembahyang. Sembahyang memiliki peranan
eksistensial yang sangat mendasar menurut Schuon. Bahwa dengan sembahyang
manusia mengungkapkan keberadaannya dihadapan di dunia ini sangatlah
bergantung pada Tuhan. “The very fact of our existence is a prayer and compels
us to pray.”9
Menyarikan pemikiran Schuon, James Cutsinger menuliskan10
,
“mustahil bagi manusia untuk tidak melaksanakan sembahyang, karena eksistensi
manusia dibentuk dari kenyataan tentang sembahyang. Keberadaan manusia yang
paling mendalam bukan hanya terletak pada karakter dan kepribadiannya saja,
melainkan melalui jalan misterius terikat dengan benang-benang sembahyang
yang sesungguhnya, dan tanpa paksaan untuk dia melakukan doa-doanya, ia akan
menjadi “nirbentuk dan hampa”. Singkatnya, sembahyang membentuk manusia
dalam arti membuatnya nyata. Apa yang dimaksud dari pernyataan ini dan manusia. Schuon pernah menuliskan, “Intellect is divine, first because it is a knower--or because it it not a non-knower--and secondly because it reduces all phenomena to their Principle...” (“Is There Natural Mysticism” dalam buku Gnosis: Divine Wisdom). “Allah is known to Himself alone” Schuon mengutip ungkapan Sufi. Ungkapan ini tampaknya meniadakan manusia dari pengetahuan langsung dan total tentang Tuhan, pada kenyataannya menunjukkan sifat-sifat intelek murni yang misterius dan esensial; dan formulasi dari ungkapan semacam ini hanya dapat dipahami melaluihadis: “He who knows his soul knows his Lord.” (“Maya” dalam buku Light on the Ancient Worlds)
9 James S. Cutsinger, “Introduction”, Prayer Fashions Man, xvi. 10 James S. Cutsinger, Prayer Fashions Man, xvi.
37
bagaimana kita dapat mendapatkan pemahaman terbaik melalui pengalaman
pribadi kita untuk dapat menuntut sebuah hak, adalah pertanyaan-pertanyaan yang
perlu kita renungkan dalam meditasi kita.
Frithjof Schuon mengutip Yesus dalam “Dimension of Prayer”, “Man
must meet God with all that he is, for God is the Being of all, this is the meaning
of the Biblical injunction, to love God with all our strenght.11
” Manusia harus
berupaya menemui Tuhannya dengan segenap dirinya, sebab Tuhan adalah
Keberadaan bagi segalanya; inilah makna titah Injil; mencintai Tuhan dengan
segenap kekuatan kita.
Perjalanan manusia menuju Tuhan hanya dapat dicapai dengan
komunikasi yang intens dengan Tuhan. Dan sembahyang merupakan cara
berkomunikasi dengan Tuhan. Dan sebagaimana pemikir spiritualis lain, Schuon
sangat menekankan pentingnya sembahyang terutama dalam kehidupan spiritual
seseorang.
Di sisi lain, pernah dikatakan bahwa bentuk-bentuk peribadatan kepada
Tuhan merupakan pendukung, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa pendukung
tersebut pastilah berdiri sendiri dan tidak mungkin dan tidak bisa menjadi bagian
dari apa yang ditransmisikan. Karena tidak ada cahaya yang dapat merefleksikan
cahaya lainnya. Maka sembahyang harus merupakan komunikasi secara langsung
antara kita dengan Tuhan atau permohonan yang kita ajukan kepada Tuhan, dan
hanya pada satu kondisi bahwa sembahyang merupakan yang pertama kalinya dan
secara menyeluruh sesuatu dalam kemungkinan terdekatnya--yakni, yang
menerjemahkan dan mengekspresikan maksud dari seseorang--yang dapat
11 Ada beberapa ayat yang menegaskan agar manusia mencintai Tuhan dengan segenap hatinya, segenap
jiwanya, segenap kekuatannya dan segenap akal budinya yaitu dalam Alkitab: Matius 22:37; Deuteronomy(Ulangan) 6:5; Lukas 10:27; Markus 12:30;
38
menjadi pendukung bagi akal untuk melampaui bidang individual.
By this we mean that prayer cannot be replaced by impersonal and abstract meditation, for the immediate objectives of the two are different; but this is not to say that meditation cannot be integrated, in suitable ways, into prayer, or that the formulas of revealed prayers do not include a universal meaning.12
Terkait dengan meditasi, Schuon menjelaskan:
Another mode of orison is meditation; contact between man and God here becomes contact between intelligence and Truth, or relative truths contemplated in view of the Absolute.13
Berat bagi penulis untuk melebih-lebihkan pentingnya sembahyang
dalam perspektif Schuon. Sebagaimana yang sudah dikenal oleh banyak sarjana,
perspektif ini, melampaui semuanya, intelektual, dan sebagaimana adanya,
bertujuan yang pertama dan utama pada eksposisi kebenaran dalam berbagai
levelnya; tetapi doktrin ini tidak bermaksud untuk berada dalam gagasan yang
terpisah dari yang lain: karena, “ini seumpama gagasan kebenaran membalas
dendamnya sendiri, kepada siapa pun yang membatasi dirinya untuk memikirkan
mereka (kebenaran).‟14
Gagasan bermaksud untuk dipahami dengan mendalam,
mereka seharusnya „melepaskan tindakan interiorisasi kehendak‟.
Di Abad Pertengahan, seorang yang salih dapat bersembahyang di
lingkungan yang segala sesuatunya memiliki spirit yang homogen yang
terinspirasi oleh intelegensi supernatural; ia juga dapat bersembahyang di hadapan
tembok kosong. Ia memiliki sebuah pilihan antara bahasa kebenaran dari forma
mulia dan keheningan dari bebatuan yang kasar; dan untungnya dia tidak
memiliki pilihan yang lain.15
12 Schuon, Prayer Fashions Man, h. 30. 13 Schuon, Prayer Fashions Man, h.59. 14 Reza Shah Kazemi, “Frithjof Schuon and Prayer,” h.92 lihat juga spiritual perspective and human facts,
Faber & Faber, 1954, h.11 15 Schuon, Spiritual Perspective and Human Facts (Bloomington: World Wisdom, 2007) h. 28-29
39
Schuon menegaskan bahwa kehidupan spiritual di Abad Pertengahan
jauh lebih mudah diaplikasikan dibandingkan era modern ini. Di mana zaman
dahulu keyakinan manusia terhadap Tuhan menempati posisi yang sentral dalam
berbagai aspek kehidupan. Manusia membicarakan tentang Tuhan dengan cara
yang lebih intens dibandingkan masa kini, ketika materialisme mencerabut
kesadaran manusia dari Sang Akar. Manusia kini berada dalam era kegelapan,
sebagimana dalam keyakinan Hindu Kali Yuga, sehingga upaya manusia untuk
berkomunikasi dengan Tuhan pun mengalami pergeseran.
Dalam sebuah wawancara di tahun 1996, ketika ditanya tentang
pesannya kepada manusia secara umum, Schuon menjawab, “Prayer. To be a
human means to be connected with God. Life has no meaning without this. Prayer,
and also beauty, of course; for we live among forms and not in a cloud. Beauty of
soul first and then beauty of symbols around us.”16
Schuon seringkali mengutip
perintah St. Paul, “to pray without ceasing”.17 Untuk sembahyang tanpa putus.
Manusia dianugerahi dengan intelligen, kehendak dan kemampuan berbicara: dan
kemampuan-kemampuan ini diaktualisasikan untuk pertemuan dengan Tuhan.
Schuon membedakan tiga jenis sembahyang, yang masing-masing integral
terhadap kehidupan spiritual: personal, kanonis dan invokatif.18
B. Kategori Sembahyang
LXXII Three things are sacred to me: firstly Truth;
Then, in its wake, primordial prayer; And then virtue — nobility of soul which,
In God, walks all the paths of beauty.19
16 Harry Oldmeadow, Frithjof Schuon and the Perennial Philosophy, h. 305 17 I Thesalonians 5:17 18 Oldmeadow, Frithjof Schuon and the Perennial Philosophy, h. 305 19 Schuon, World Wheel, “Sixth Collection” LXXII, h.111
40
Seperti yang telah disinggung berkali-kali, Schuon membagi
sembahyang dalam tiga derajat, yaitu sembahyang personal, sembahyang kanonis
dan sembahyang kalbu atau hati yang merupakan sembahyang paling mulia. Yang
masing-masingnya dapat dibedakan melalui subjek20
yang melakukan
sembahyang: dalam sembahyang personal, subjeknya adalah orang per orang atau
individu tertentu; sembahyang kanonis, subjeknya adalah manusia seutuhnya,
tidak membawa kepentingan individu tertentu; dan dalam sembahyang kalbu,
subjeknya adalah manusia dan Tuhan, manusia melalui instrumen yang
dianugerahkan kepadanya, Intelek, dan Tuhan sebagai subjek satu-satunya dalam
sembahyang invokatif.21
1. Sembahyang Personal (Doa)
Bentuk pertemuan dengan Tuhan yang paling mendasar adalah melalui
sembahyang dalam pengertian yang paling umum, yakni sembahyang personal
atau doa. Karena doa merupakan ekspresi individu yang langsung, atas hasrat dan
ketakutannya, harapan dan syukurnya. Sembahyang personal ini, tidak lebih
sempurna dibandingkan sembahyang kanonis, yang memiliki karakter universal
dengan fakta bahwa Tuhan adalah penulisnya dan bahwa subjek yang dibawakan
tidak bersifat individu partikular, melainkan manusia sebagai manusia--manusia
seutuhnya, species manusia; juga dalam doa ini tidak terkandung apa pun yang
tidak terkait dengan manusia--setiap manusia--dan kurang lebih dikatakan bahwa
termasuk juga, dengan lebih baik atau sebagai tambahan, seluruh doa individual
yang mungkin.
20 Dalam pengategorian subjek sembahyang ini, dalam beberapa kesempatan, Schuon menyebutkan
empat subjek sembahyang untuk empat derajat sembahyang yakni sembahyang personal, kanonis, meditatif dan invokatif, sementara dalam kesempatan yang lain, Schuon membagi menjadi tiga, personal, kanonis, dan sembahyang kalbu. Penulis menekankan pada pembagian tiga jenis sembahyang, sementara meditatif dan invokatif berada dalam naungan sembahyang kalbu.
21 Reza Shah Kazhemi, Frithjof Schuon and Prayer, h.96
41
Sembahyang personal bersifat subjektif, permohonan personal yang
diajukan oleh seorang individu, ditujukan pada Tuhan Personal. Seorang individu
berbicara secara langsung dan tulus, berdasarkan situasi subjektifnya, kepada
Tuhan; bisa saja termasuk, tetapi tidak harus selalu berupa permohonan. Terkait
sembahyang personal ini, Harry Oldmeadow menyebutkan, sembahyang ini
adalah aktif dalam memurnikan jiwa, karena..22
Sembahyang mampu melonggarkan ikatan-ikatan (kepenatan) fisik... Mencairkan pembekuan hati, dan mengeringkan berbagai macam racun tersembunyi; melalui sembahyang kita dapat mengadukan di hadapan Tuhan segala macam kesulitan, kegagalan, dan ketegangan jiwa kita, yang mengisyaratkan bahwa jiwa harus rendah hati dan jujur, dan penyingkapan ini, kita bawa ke hadapan Sang Absolut, memiliki kekuatan untuk menghidupkan kembali keseimbangan dan memulihkan kedamaian--dengan kata lain, membukakan pintu rahmat bagi kita.23
Schuon menyatakan bahwa bentuk sembahyang personal ini juga
memiliki aturannya sendiri, meskipun aturan tersebut tidak ditetapkan secara
formal, sebagaimana dalam kasus sembahyang kanonis. Aturan-aturan ini
memiliki berbagai syarat untuk tetap menjaga integritas sembahyang ini, karena
“tidaklah cukup bagi seseorang untuk merumuskan permohonannya, ia juga harus
mengungkapkan rasa terima kasihnya, kepasrahannya, penyesalahannya,
resolusinya dan pujian.”24
“..for the prayer of an individual must be implicitly that
of the collectivity and even that of the entire world.”25
Karakter personal dari sembahyang non-kanonis tidak menunjukkan
bahwa sembahyang ini bebas dari aturan, karena jiwa manusia--seperti yang
ditunjukkan dalam kitab Mazmur--selalu sama dalam kesengsaraan dan
kegembiraan, dan karenanya dalam kewajibannya di hadapan Tuhan; tidaklah
22 Harry Oldmeadow, Virtue and Prayer h.305 23 Schuon, Prayer Fashions Man, h.57-58 24 Schuon, Stations of Wisdom, 1995, h.121 25 Schuon, Roots of the Human Condition, h.43
42
cukup bagi seseorang merumuskan permohonannya semata, ia juga harus
mengungkapkan rasa terima kasihnya, kepasrahannya, penyesalannya, perbaikan
diri dan pujian terhadap Tuhan. Dalam permohonannya, seseorang manusia
meminta petunjuk dan pertolongan Tuhan; bahwa ini merupakan sesuatu yang
diizinkan Tuhan dan merupkaan Norma universal.
Rasa syukur merupakan kesadaran bahwa setiap kebaikan dalam
kehidupan (favor of destiny) dalam kehidupan merupakan berkah yang bisa saja
tidak Tuhan berikan kepada kita; dan meskipun manusia selalu memiliki sesuatu
untuk diminta, sama benarnya dengan mengatakan setidaknya selalu ada alasan
untuk bersyukur, yang tanpanya tidak ada sembahyang yang mungkin dilakukan.
Kepasrahan merupakan penerimaan terhadap kemungkinan adanya permohonan
yang tidak terpenuhi; sementara penyesalanm, permohonan maaf,
mengimplikasikan kesadaran terhadap apa pun yang menempatkan kita
berlawanan dengan Kehendak Ilahi; sementara resolusi merupakan keinginan
untuk memperbaiki diri dari pelanggaran hukum yang kita lakukan; karena
kelemahan kita tidak seharusnya membuat kita lupa bahwa kita bebas;26 dan
terakhir pujian terhadap Tuhan tidak hanya bermakna bahwa kita merelasikan
setiap nilai (yang ada di sekitar kita) tehradap Sang Maha Segalanya, tetapi kita
juga melihat setiap ujian yang kita alami di dunia ini benar-benar layak untuk
menempa jiwa kita dan berguna bagi kehidupan kita, atau dalam kaitannya dengan
kematian dan keberkahan. Permohonan merupakan elemen paling utama dalam
sembahyang karena kita tidak dapat melakukan apa pun tanpa pertolongan Tuhan;
sementara perbaikan diri tidak menawarkan garansi apa pun jika kita tidak
26 Secara logis, penyesalan dan resolusi tidak terpisahkan, tetapi penyesalan dapat dirasakan tanpa ada
upaya perbaikan diri, dan ini merupakan keputusasaan, sebagaimana bisa juga perbaikan diri dilakukan tanpa adanya penyesalan, dan ini melibatkan harga diri, kecuali keberadaannya dibersamai oleh kebijaksanaan.
43
memohon pertolongan Tuhan ini.
2. Sembahyang Kanonis (Upacara & Salat)
I was asked how one should speak to God; I said: canonical prayer
Is universal nourishment; then read the Psalms; And invoke God, before whose Light ye stand —
All else is contained therein. God Himself speaks in the deepest folds of thy heart.”
27
Sembahyang kanonis adalah sembahyang yang dibentuk oleh tradisi,
dituliskan dalam litrugis dan karenanya, “secara simbolis merupakan bahasa
universal”, dan wajib bagi seluruh penganutnya. Bentuk sembahyang ini tidak
melibatkan orang per orang sebagai individu tetapi manusia sebagai manusia itu
sendiri, kolektivitas manusia, menuju Tuhan. Sembahyang ini adalah alasan
mengapa „bacaan‟ dalam sembahyang menggunakan kata ganti orang pertama
jamak, “Bapa kami, Tuhan kami”, sebagai contoh. Manusia beribadah kepada
Tuhan, dalam sembahyang kanonis, dengan dan untuk semua.
Harry Oldmeadow mengutip Frithjof Schuon dalam bukunya bahwa,
sembahyang kanonis, “tirelessly recall truths which man needs if he is not to
become lost.”28
Sebagaimana perkataan orang bijak bahwa manusia adalah
tempatnya salah dan lupa, untuk manusia tetap teringat dan terikat dengan Tuhan
maka kita perlu melaksanakan sembahyang yang diperintahkan oleh Tuhan. Untuk
selalu mengingat siapa kita sebenarnya, dari mana kita berasal dan ke mana kita
akan kembali. Senantiasa mengingat Dia, Kebenaran Sejati.
Dan karena sembahyang kanonis berakar dari Wahyu, “Canonical
prayer is not only a human discourse; it is also divine, which means that besides
27 Frithjof Schuon, World Wheel, “Sixth Collection” LXIV, h.108 28 Harry Oldmeadow, Prayer and Virtue, h. 306
44
its literal value it has a sacramental import. It is on our level, yet at the same time
beyond us.”29
Dimensi universal dari sembahyang kanonis ini dapat dibedakan dalam
penggunaannya terhadap orang pertama jamak, sebagaiman dalam Shema
Yahudi,30
“Dengarlah, Hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa.”
(Ulangan 6:4); dan dalam sembahyang Kristen (Doa Yesus): “Bapa kami yang di
sorga, . . . Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya, dan
ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang
bersalah kepada kami” (matius 6:9, 11-13; Lukas 11:2-4); dan dalam al-Fatihah
umat muslim, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada
Engkaulah kami mohon pertolongan; Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Surat
Al-Fatihah (Pembuka) [1]:4-5).31
Schuon mencatat bahwa Doa yesus dalam
Kristen diperkenalkan dalam Gospel dengan bentuk, “ketika kalian sembahyang,
katakanlah” (Lukas 11:2), Secara tidak langsung menyatakan bahwa sembahyang
kanonis dalam suatu agama, jauh dari sekadar saran atau pilihan, melainkan
kewajiban yang benar-benar wajib bagi seluruh pemeluknya yang beriman dan
harus diperlakukan sebagai sebuah kewajiban dalam upaya spiritual setiap orang.
Canonical prayer shows its universality and timeless value by being expressed very often in the first person plural and also by its preference for using a sacred or liturgical and therefore symbolically universal language, so that it is impossible for whoever recites it not to pray for all and in all.32
Sembahyang kanonis menunjukkan universalitasnya dan nilai yang tak
29 Schuon, Prayer Fashions Man, “Appendix: A Sampling of Letters and Previously Unpublished Materials”,
h. 197 (Kalimat ini terdapat dalam surat dari Frihtjof Schuon untuk seorang pengagum Hindu. Bagian lain dari surat ini telah diterbitkan terlebih dahulu dalam “Invocation of the Divine Name”, Kalyana-Kalpataru, 25:10, October 1961).
30 James S. Cutsinger, “Introduction” dalam buku Prayer Fashions Man, h.xxi 31 James S. Cutsinger menjelaskan hal ini dalam Prayer Fashions Man bab “Introduction” dengan sangat
hati-hati. Dengan menukil ayat-ayat dari kitab suci, menunjukkan bahwa sembahyang kanonis memang merupakan ajaran dari kitab yang diturunkan Tuhan kepada umatnya.
32 Frithjof Schuon, Prayer Fashions Man, h.57
45
lekang waktu dengan seringkali diekspresikan sebagai orang pertama jamak dan
juga preferensinya dalam menggunakan bahasa universal sakral atau liturgikal dan
karenanya simbolis, sehingga sangat tidak mungkin bagi siapa pun yang
menjalankannya untuk tidak sembahyang secara penuh dan menyeluruh.
3. Sembahyang Kalbu (Prayer of the Heart)
CXXXIII The Name of God is the prayer of the heart —
As Bernard said: I love because I love. Then comes petitionary prayer, and then thanksgiving —
Blessed the man who, timelessly, stands before the Most High.33
Sembahyang yang ketiga dan yang paling mulia adalah sembahyang
kalbu. Schuon merujuknya dengan beberapa nama yang bervariasi, seperti
sembahyang quintessential, sembahyang kalbu, sembahyang ejaculatory, dan
sembahyang invokasi. Sembahyang ini merupakan puncak metode sembahyang
yang mungkin dilakukan oleh seseorang. Dalam sembahyang ini terangkum dua
hal yaitu meditasi atau memusatkan pikiran kita selama waktu tertentu kepada
Tuhan, dan invokasi, merapalkan nama Tuhan berulang kali sehingga kita
menyatu dengan apa yang kita ucapkan.
Berbagai penelitian di bidang psikologi dan kesehatan menyebutkan
bahwa segala sesuatu yang kita lakukan berulang-ulang dipelajari oleh tubuh dan
otak kita dan menjadi bagian dari diri kita. Demikian halnya dengan invokasi atau
berzikir, penyebutan nama Tuhan yang berulang-ulang membawa kita terus
mendekat kepada Tuhan. Mendekat di sini bukan dalam pengertian spasial, satu
atau dua langkah lebih dekat kepada sesuatu, melainkan kesadaran kita lebih dekat
dengan Tuhan dan Tuhan tidak pernah lepas dari pikiran kita.
33 Frithjof Schuon, World of Wheels, Fourth Collection, CXXXIII, h.43
46
Ada dua aktivitas yang termasuk dalam sembahyang kalbu ini, yakni
meditasi atau tafakur dan invokasi atau zikir.
Sembahyang kalbu Ini merupakan puncak metode spiritual yang
diajarkannya dan bentuk sembahyang yang ia tekankan dalam karya-karyanya.
Sebagaimana kedua mode sembahyang sebelumnya, sembahyang kalbu
mengisyaratkan karunia khusus tentang--yang Schuon sebut
dengan--“kemampuan berbicara” yang didapatkan manusia, akan tetapi nilai
esensialnya bukan terletak pada ketidaksinambungan makna antara apa yang
dikatakan, melainkan pada fakta bahwa kata-kata tersebut mengabadikan sebuah
ketersingkapan Nama Ilahi. Nama Ilahi kemudian berperan sebagai kendaraan
atau pengejawantahan Keilahiahan. Bahkan sebagaimana roti dan anggur dalam
Ekaristi merupakan “Kehadiran Nyata” Kristus, demikian halnya Nama Tuhan
dipahami sebagai Tuhan Sendiri.34
Dalam beberapa kesempatan Schuon mengutip santo Hindu
Ramakrishna (1834-1886), “Tuhan identik dengan Nama-Nya”35 tetapi gagasan
esensial yang sama dapat ditemukan di seluruh agama-agama dunia, termasuk
tradisi yang sangat beragam seperti Yahudi, yang dalam upayanya menghormati
kesucian Tuhan diperlukan tetragrammaton sakral--empat konsonan Ibrani
(ditransliterasikan sebagai YHWH) dari Nama Tuhan yang diberikan Tuhan
kepada Musa di Puncak Sinai (eksodus 3:14)--tidak pernah disebutkan dengan
keras kecuali oleh Rabi tertinggi di hari Yom Kippur, dan di sekte Buddha Joddho
Shinshu, kemanjuran invokasi didasarkan pada sumpah Buddha Amida bahwa
siapa pun yang mengulang namanya akan mendapatkan berkah dari Tanah
34 Schuon, Prayer Fashions Man, h.xxii 35 Schuon, Prayer Fashions Man, , h. 60.
47
Murni-nya (Pure Land). “Mengapa berbicara dalam jarak?” Tanya Santo Gregory
dari Sinai, merujuk pada berkah Nama Ilahi. “Sembahyang adalah Tuhan, yang
menyelesaikan segala sesuatu untuk siapa pun.”36
Disebut juga zikir atau sembahyang invokasi, menghubungkan
manusia untuk menyingkap Asma Tuhan, diucapkan berulang-ulang oleh manusia
tetapi dilafalkan oleh Tuhan sendiri; “invokasi manusia hanyalah efek lahiriah dari
yang eternal dan invokasi batiniah oleh Tuhan.”37
Meister Eckhart: “God is the
Word which pronounce itself.”38
sebagaimana Ramakrisna: “Tuhan identik dengan
Nama-Nya.”39
Nama Ilahi, dilafalkan secara ritual, sebagai “secara misterius
dikenal diidentifikasikan dengan Keilahian.”40
Sebagaimana Schuon jelaskan
dalam karya utamanya:
It is in the Divine Name that there takes place the mysterious meeting of the created and the Uncreate, the contingent and the Absolute, the finite and the Infinite. The Divine Name is thus a manifestation of the Supreme Principle, or to speak still more plainly, it is the Supreme Principle manifesting Itself.41
Jadi, bertolak belakang dengan dua jenis sembahyang tadi, subjek atau
pelaku invokasi ini yang utamanya bukanlah manusia--ini bukanlah manusia
secara invdividual maupun manusia secara umum yang memprakarsai tindakan
ini--tetapi lebih kepada tindakan ilahi, dan karena alasan inilah Schuon
menghormati sembahyang invokasi sebagai sembahyang yang paling lengkap dan
paling sempurna. Dan yang patut diperhatikan contoh dari praktis ini termasuk
36 Schuon, Prayer Fashions Man, h.xxii merupakan catatan kaki yang diberikan oleh James Cutsinger
dalam tulisannya “Introduction” untuk buku ini. Di sini Cutsinger mengutip G.E.H Palmer, Philip Serrad dan Kallistos Ware. “Commandments and Doctrines”, dalam buku The Philokalia, (London: Faber and Faber, 1995), Vol IV, h.238.
37 Prayer Fashions Man, “Modes of Prayer” h.61 38 Ini merupakan kata-kata dari Meister Eckhart yang dikutip oleh Whital Perry (editor) dalam buku A
Treasury of Traditional Wisdom, 1005. 39 Schuon, Prayer Fashions Man, h.60 40 Frithjof Schuon, “Universality and Particular Nature of the Christian Religion”, Transcendent Unitiy of
Religions, (Wheaton, IL: Theosopical Publishing House, cetakan kedua 2005), h. 145. 41 Schuon, Transcendent Unity of Religions, h.145. In similar vein, Gershom Scholem, considering the
Kabbalism of Abraham Abulafia, writes that the Name of God is “something absolute, because it reflects the hidden meaning and the totality of existence” (Major Trends in Jewish Mysticism, 133).
48
Doa Yesus dalam tradisi Kristen, metode zikir dalam tradisi Islam, nembutsu
dalam tradisi Jodo Shinshu (Pure Land Buddhism), dan berbagai bentuk
jappa-yoga dalam Hinduisme, di mana nama Krishna dan Rama dapat ditemukan
di antara berbagai mantra yang dirapalkan. “Building as it were on the two “lower
dimensions” of prayer, invocation gives “solidity” to the spiritual life, providing
seekers of every aptitude with that greatest of boons, which is to have arrived at
the goal even while one is still in the midst of the journey.”42
Melalui nama Ilahi manusia sebagai yang dicipta bertemu dengan Yang
Tak Tercipta, yang pada saat bersamaan adalah Yang Maha Mencipta; yang relatif
dengan yang Mutlak, yang terbatas dengan Yang Nirbatas. Nama Ilahi karenanya
adalah manifestasi prinsip-prinsip tertinggi, atau sederhananya, prinsip-prinsip
tertinggi memanifestasikan Diri-Nya sendiri.
Aktualisasi dari kesadaran tentang Yang Mutlak, Zikir mengingat
Tuhan, yang merupakan sembahyang dalam makna terdalamnya, adalah “..already
a death and a meeting with God and places us already in Eternity; it is already
something of Paradise and even, in its mysterious and “uncreated” quintessence,
something of God. Quintessential prayer brings about an escape from the world
and from life, and thereby confers a new Divine sap upon the veil of appearances
and the current of forms.”43
Sembahyang Kalbu mengaktualisasikan dan mengekspresikan
kesadaran kita terhadap Yang Mutlak dan karenanya, “perpetuates in the soul and
fixes in the heart, so that it penetrates the whole being and at the same time
42 James S. Cutsinger, “Introduction” dalam Prayer Fashions Man, h.xxii. 43 Schuon, “Man and Certainty”, Logic and Transcendence, h. 265.
49
transmutes and absorbs it.”44
Sembahyang ini merupakan sembahyang tertinggi
dan paling mulia. Sebagaimana James Cutsinger menegaskan, bentuk sembahyang
inti ini adalah puncak metode spiritual yang [Schuon] ajarakan dan bentuk
sembahyang ditekankan Schuon dalam tulisan-tulisannya baik yang
dipublikasikan maupuan yang tidak.”45
Schuon mengekspresikan dengan puitis kekuatan penyelamatan dari
Nama Ilahi dalam kata-kata berikut:
“One must enclose oneself in the Divine Name as in a shelter during a tempest. One must also invoke it as if the Name were a miraculous sword during a battle, and thus vanquish the enemies we carry within ourselves. At other moments it is necessary to rest in the divine Name and be perfectly content with it and to give oneself up to it with profound recollectedness, as if in a marvelously beautiful sanctuary full of blessings. And at still other times, one must cling to the divine Name as if it were a rope thrown to a drowning man; it is necessary to call upon God so that He tears us and may save us; we must be aware of our distress and of God’s infinite Mercy.”46
Nama Ilahi adalah tempat berlindung ketika badai terjadi, atau pedang
yang menakjubkan dalam sebuah pertandingan dan karenanya kita berhasil
menaklukkan musuh dengan membawa pedang tersebut. Di lain kesempatan,
sangatlah penting untuk merasa tenang di dalam nama Ilahi untuk merasa
benar-benar cukup (content) dengannya dan memberikan diri kita sepenuhnya
Dalam sebuah suratnya kepada Leo Schaya47
, Schuon menekankan
44 Schuon, Prayer Fashions Man, h. 62. 45 Cutsinger, “Introduction”, Prayer Fashions Man, h. xxi. 46 Schuon, “A Sampling of Letter and Other Previously Unpublished Materials”, Prayer Fashions Man, h.
188 47 Leo Schaya lahir di Swiss, ia merupakan seorang keturunan Yahudi. Sejak masa mudanya ia
mengabdikan dirinya untuk mempelajari doktrin-doktrin metafisika di TImur dan di Barat, terutama karya-karya neo-Platonisme, Sufisme dan Advaita Vedanta. Bersama dengan beberapa tradisionalis/ perenialis, Schaya dikenal atas pemahamannya atas beberapa konsep metafisika yang sulit dan kemampuanya merangkum dan menginterpretasikan kebijaksanaan kuno dan abad pertengahan untuk pembaca di era modern ini. Sebagai sesama perenialis Schuon dan Schaya membangun hubungan yang baik, hal ini terlihat dari diskusi mendalam yang mereka lakukan melalui surat-suratnya.
Beberapa buku yang ditulis oleh Leo Schaya adalah: Sufism: Love and Wisdom (World Wisdom, 2006); The Universal Meaning of Kabbalah (Fons Vitae; Tra edition, 2004); dan Seeing God Everywhere (contributed Essay) (World Wisdom, 2004). Dan masih ada buku-buku lain yang ditulis dalam bahasa Perancis.
50
tentang menyebutkan berulang-ulang Nama Ilahi, Sembahyang Kalbu, atau jalan
ke “dalam” untuk selanjutnya lebih muncul dibandingkan sebelum-sebelumnya
sejalan metode spiritual yang semakin cocok dengan waktu kita. Enam tema
meditasi merupakan ajaran Schuon yang membedakannya dengan guru-guru
spiritual sebelumnya, sehingga ia berhak menyandang gelar
Manusia bersembahyang dan sembahyang menjadi pakaian baginya.48
Orang-orang suci itu sendiri menjadi sembahyang, pertemuan antara bumi dan
Langit; ia karenanya mengandung alam semesta, dan alam semesta
bersembahyang bersamanya. Ia ada di mana-mana, di mana alam sembahyang,
dan ia bersembahyang bersama alam dan di dalam alam: di puncaknya, yang
menyentuh kehampaan dan keabadian, dalam sebuah bunga, tersebar wewangian,
dalam keriangan nyanyian seekor burung.
Ia yang hidup dalam sembahyang tidak hidup sia-sia.
Sementara Schuon menekankan bahwa nilai sembahyang kalbu dalam
makna spiritualnya dapat sesuai dengan era modern ini, meskipun demikian ia
tetap menekankan untuk mengikuti prinsip-prinsip tradisional bahwa, “ia yang
berzikir harus memiliki hak terdapat sebuah metode ini, yakni ia harus
menerimanya dari seorang guru spiritual yang juga menerima hak terhadap
metode tersebut, yang mengisyaratkan adanya pembaiatan yang ditransmisikan
secara reguler sepanjang abad sejak turunnya Wahyu.49
Ritual menzikirkan nama Ilahi, “bukanlah sebuah praktik tanpa
pengawasan atau otoritas dari seorang guru spiritual (baik syaikh dalam tradisi
sufi maupun guru dalam tradisi Hindu) dari garis silsilah reguler maupun ortodoks;
48 Schuon, “The Spiritual Virtues”, Spiritual Perspectives and Human Facts (h. 228 49 Michael Oren Fitzgerald, Frithjof Schuon Messenger of Perennial Philosophy, h.50. Lihat juga Frithjof
Schuon, Eye of the Heart, “Microcosm and Symbol”, h.52.
51
jika kondisi ini tidak dipenuhi, orang yang membabi-buta yang menyerahkan
dirinya untuk mencoba masuk dalam tatanan ini membuka dirinya terhadap reaksi
penolakan yang sangat serius, seperti ketidakseimbangan mental atau kematian,
hal ini terutama dikarenakan kurangnya kualifikasi.”50
Schuon menulis sebuah puisi tentang sembahyang, yang berjudul
“Condition51
”, sebagai berikut:
It has been said that the Supreme Name saves us,
Despite the crushing weight of our sins;
True! However, to a base human being
The invocation of the Name is of no avail.
God does not hasten with miraculous powers;
Only noble souls does He make holy.
One should approach the Name with awe:
“Ye should not give what is sacred to dogs.”
Be simple before God — He hears you. But also:
Be of noble mind! The way of Heaven requires it.
50 Michael Oren Fitzgerald, Frithjof Schuon Messenger of Perennial Philosophy, h.50 51
Telah dikatakan bahwa Nama Yang Agung menyelamatkan kita, Tak pandang beratnya dosa yang kita lakukan; Benar! Bagaimanapun, bagi seorang manusia biasa Zikir Sang Nama tidak pernah gagal; Tuhan tidak dapat dipercepat dengan kekuatan keajaiban; Hanya jiwa-jiwa yang mulia yang dibuat-Nya suci Kita harus mendekati Sang Nama dengan penuhi khidmat “Kalian tidak seharusnya memberikan yang sakral kepada anjing” Sederhanalah di hadapan Tuhan--Dia mendengarmu. Tetapi juga: Jadilah mulia dalam pikiranmu! Jalan Langit menghendakinya.
52
Terdapat beberapa analogi antara meditasi dan sembahyang individu
(doa) yang manusia memformulasikan pikirannya secara spontan di kedua kasus
tersebut; perbedaannya, yang lebih penting adalah bahwa meditasi itu objektif
dan intelektual--kecuali itu adalah sebuah pertanyaan yang imajinatif, bahkan
yang sentimental sekalipun, refleksi kehidupan kita, meskipun ini bukan yang
dimaksud di sini--sementara doa itu subjektif dan volitive. Dalam meditasi,
tujuannya adalah ilmu pengetahuan, karenanya adalah sebuah realitas yang
secara prinsip melampaui ego itu sendiri; pikiran kita adalah subjek, yang secara
tegas, inteligensi impersonal, maka manusia dan Tuhan pada saat yang sama,
inteligensi murni menjadi titik persimpangan antara akal manusia dan Intelek
Ilahi.”
There is a certain outward analogy between meditation and individual
prayer in that man formulates his thought spontaneously in both cases;
the difference, which is infinitely more important, is that meditation is
objective and intellectual—unless it is a question of imaginative, even
sentimental, reflections, which are not what we have in mind
here—whereas prayer is subjective and volitive. In meditation, the aim is
knowledge, hence a reality that in principle goes beyond the ego as such;
the thinking subject is then, strictly speaking, the impersonal intelligence,
thus man and God at the same time, pure intelligence being the point of
intersection between human reason and the divine Intellect.”52
Meditasi merupakan pertemuan antara manusia dengan tuhan yang
menjadi pertemuan antara intelek dan Kebenaran, atau kebenaran-kebenaran
relatif yang dikontemplasikan dalam gambaran Yang Absolut. Terdapat beberapa
analogi terkait dengan meditasi dan sembahyang individu, yang dengannya
manusia memformulasikan pemikirannya secara spontan dalam dua kasus
52 Schuon, Prayer Fashions Man, h.59
53
tersebut; perbedaannya, yang secara tidak terbatas lebih penting, adalah bahwa
meditasi bersifat objektif dan intelektual--kecuali kita bermeditasi tentang
pertanyaan imajinatif, bahkan sentimental dan refleksi diri, bukanlah sesuatu
yang dimaksud di sini--sementara doa lebih bersifat subjektif dan berisi
permohonan. Dalam meditasi, tujuannya adalah pengetahuan, sementara sebuah
realitas yang pada prinsipnya melampaui ego itu sendiri; pikiran ini adalah
subjek itu sendiri, yang sebenarnya, inteligensi impersonal, bagi manusia dan
Tuhan pada saat yang bersamaan, intelegensi murni merupakan titik
persimpangan antara akal manusia dan intelek Ilahi.[]
54
BAB IV
SEMBAHYANG DALAM TRADISI HINDU, KRISTEN DAN ISLAM
A. Sembahyang dalam berbagai Agama
Setelah penulis membahas pemikiran Schuon dalam bab sebelumnya,
penulis melakukan studi terhadap tiga agama mainstream di Indonesia, yakni Agama
Hindu, Kristen dan Islam untuk membuktikan apakah teori sembahyang Schuon
memang nyata praktiknya dalam ketiga agama tersebut.
Alasan penulis memilih ketiga agama ini adalah karena agama Hindu
merupakan agama tertua di dunia yang tidak masuk dalam klasifikasi agama samawi
atau agama lain, menarik untuk dibandingkan praktiknya dengan agama Kristen dan
Islam yang memiliki kemiripan dalam berbagai ajaran dan strukturnya, di samping
keduanya berasal dari silsilah yang sama, Nabi Ibrahim.
Sementara pemilihan agama Kristen sendiri banyak yang berseloroh
bahwa umat Kristen tidak melaksanakan salat, seperti yang dilakukan umat Muslim,
padahal dalam berbagai literatur dituliskan bahwa Yesus melaksanakan salat
sepanjang hari pada waktu-waktu tertentu, sebagaimana yang dilakukan umat Yahudi
pada masa itu. Pernyataan ini bahkan diamini oleh penganut Kristen Ortodoks sendiri,
yang meskipun mereka melaksanakan salat, mereka seringkali mendengar ungkapan
orang-orang yang menganggap bahwa dalam ajaran Kristen tidak ada kewajiban
beribadah setiap hari. Maka penulis ingin meluruskan anggapan ini sekaligus
menggunakan pemikiran Schuon untuk menganalisisnya.
55
1. Sembahyang dalam tradisi Hindu
The entire message of the Upanishads, of the Brahma-Sūtras of Bādarāyana, and fi nally of Shankara, may be condensed into the following words: ‘Brahman alone is real; the world is illusion, Māyā; the soul is not other than Brahman.’1
Dalam tradisi hindu dikenal tiga macam pemujaan terhadap Tuhan yaitu
Puja, Prarthana (doa), Japa dan Mantra. Prarthana yaitu doa yang dilakukan kapan
saja, oleh siapa saja dan di mana saja, tanpa ada aturan yang baku dan tidak terbatas
pada permasalahan tertentu saja. Prarthana ini bersifat subjektif, sesuai dengan
kondisi jiwa seseorang yang memanjatkan doa. Kedua adalah puja atau sembahyang.
Puja (sembahyang) ini ada dua macam, ada puja yang dilaksanakan sendiri atau
dilakukan berkelompok dan kolosal pada waktu-waktu tertentu. Dalam
pelaksanaannya seseorang yang melakukan puja harus melakukan hal-hal tertentu
yang diwajibkan dan membaca mantra-mantra yang memang dianjurkan. Japa adala
penyebutan nama suci Tuhan atau mantra berulang-ulang, baik dihitung dengan biji
genitiri atau japamala, maupun tidak terbatas. Tujuannya menuju mendekatkan diri
dengan Tuhan.2 Mantra adalah doa yang diucapkan dengan kata-kata yang sudah
baku yang diambil dari Kitab Weda. Tujuannya jelas, cara pengucapannya pun baku,
meski iramanya dapat mengikuti kebiasaan setempat.3
Ada beberapa macam doa (prarthana), sembahyang dan puja yang
dilakukan setiap hari atau dalam beberapa hari suci dalam tradisi Hindu. Prarthana
berarti doa atau pencarian. Makna kata prarthana secara umum adalah untuk
1 Frithjof Schuon, “David, Shankara, Honen” dalam buku To Have a Center, h. 135.
2 Svami Veda Bharati, Mantra Inisiasi, Meditasi & Yoga, (Surabaya: Paramita: 2002), h. 103.
3 Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, “Berdoa dan Sembahyang Bersama” artikel dimuat pada situs:
https://www.posbali.id/berdoa-dan-sembahyang-bersama/ diakses pada Selasa, 26 Juni 2018 pukul 11:01
56
memohon, untuk meminta atau mencari sesuatu dengan sopan dengan perasaan penuh
penghormatan dan kepasrahan. Dalam Veda, doa bersinonim dengan mantra,
nyanyian atau mantra religius, yang digunakan berkomunikasi dengan Tuhan,
mengekspresikan ketundukan mereka atau memohon agar keinginan mereka terkabul.
Dalam kitab-kitab Purana dan epos semacam Ramayana dan Mahabharata,
ditekankan melalui berbagai contoh bahwa Tuhan tidak pernah gagal tidak merespon
panggilan tulus dari para makhluknya.4
Salah satu ciri orang beragama adalah melakukan pemujaan pada Tuhan.
Bagi umat Hindu Bali, pemujaan itu disebut sembahyang. Meskipun sembahyang
merupakan ciri umum dari seorang yang beragama, tetapi motif orang melakukan
sembahyang tidaklah sama, juga cara orang bersembahyang yang berbeda-beda.
Tetapi tujuan tertinggi dari sembahyang adalah sama, yaitu mencapai persatuan dan
kesatuan dengan Tuhan.5
Makna sembahyang dalam agama Hindu menurut Ketut Wiana adalah,
melakukan pemujaan serta penghormatan kepada dewa atau Tuhan Yang Mahaesa
atau kepada sesuatu yang suci. Dalam sembahyang dikandung juga pengertian
menaklukkan diri serta menghamba kepada yang disembah. Dalam agama Hindu
sembahyang merupakan wujud nyata kegiatan beragama dengan tujuan untuk
menghormat, memohon, menyerahkan diri, menyatukan diri, menghamba kepada
Tuhan sebagai yang maha suci juga kepada yang sudah mencapai status Dewa Pitara
4
Sembayang Menurut Umat Hindu (Dharma wacana) diakses dari situs: https://hindualukta.blogspot.com/2015/04/pengertian-sembayang-menurut-umat-hindu.html pada Selasa, 26 Juni 2018 pukul 14.27 WIB.
5 Drs. I. Ketut Wiana, M.Ag, “Memahami Filosofi Sembahyang” dalam buku Sembahyang menurut
Hindu (Surabaya: Paramita, 2006), h. 5
57
atau Siddha Dewata dan kepada para Maha Rsi yang telah memiliki kesucian itu
sendiri.6
Kitab Weda merupakan kitab suci yang menjadi sumber utama tentang
ilmu pengetahuan, selain itu juga memuat tentang tata cara melakukan sembahyang.
Jalan menuju Tuhan melalui sembahyang ini disebut dengan Bhakti Yoga. Namun,
meskipun sembahyang itu tergolong dalam jalan Bhakti Yoga dan secara ilmu
pengethauan diuraikan dalam kelompok isi Weda yang tergolong Upasana, namun
dalam sembahyang bukan berarti yoga-yoga lain terlepas sama sekali.
Sri Krsna7 pernah bersabda kepada Arjuna sebagai: “manmana bhava
madbhakto madyaji mam namaskuru mam evaisyai yuktvaivan atmanan
matparayanah.”(Bhagawad Gita, IX.34) yang artinya: “Pusatkanlah pikiranmu
kepada-Ku, berbhakti kepada-Ku, sembahlah Aku, sujudlah kepada-Ku. Setelah
melakukan disiplin pada dirimu sendiri dan Aku sebagai tujuang engkau akan datang
kepada-Ku.
Pelaksanaan sembahyang dapat dibagi atas dua bagian yaitu: Sembahyang
yang dilakukan sehari-hari dan sembahyang yang dilakukan sewaktu-waktu dalam
6 Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h.37
7 Krisna atau Kresna atau Krsna, adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria
berkulit gelap atau biru tua, memakai pakaian berupa dhoti berwarna kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan salah satu kaki ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari Kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri. Dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai kepribadian Tuhan Yang Mahaesa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita Mahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti dan berwiawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani. (Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Kresna)
Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h.39.
58
hubungannya dengan upacara tertentu. Sembahyang yang dilakukan sehari-hari
disebut dengan Trisandhya. Tri berarti tiga dan sandhya artinya sembhayang, maka tri
sandhya ini adalah sembahyang yang dilakukan tiga kali dalam satu hari yaitu pada
pagi hari, siang hari dan malam hari. Trisandhya ini menggunakan mantra yang
disebut dengan mantra puja Trisandhya.
Sedangkan sembahyang lain dilakukan pada waktu-waktu yang berkaitan
dengan upacara tertentu seperti pada saat hari raya Galungan, Kuningan, Saraaswati,
Pagerwesi, dan lain-lainnya bagi masyarakat Hindu di Bali. Pada umat Hindu di
Tengger, Jawa Timur, misalnya pada upacara Kesodo.
Persembahyangan bisa dilaksanakan dengan mengacu pada dua sumber
yaitu: sastra drsta dan desa drsta.8 Desa drsta artinya kebiasaan dari tempat ke tempat.
Karena itu seringkali cara sembahyang tampak berbeda-beda di suatu tempat dengan
tempat yang lain. Namun, intinya tetap sama, menyembah Tuhan Yang Mahaesa dan
segala manifestasinya.
Pada saat sembahyang Trisandhya, kita membaca mantra gayatri yang
sebaiknya diucapkan pada waktu subuh, tengah hari dan senja hari saat “Sandhya
Kalam” yaitu pertemuan antara waktu malam dan waktu pagi, pagi dan sore, serta
sore dan malam hari. Waktu-waktu tersebut sangat berguna untuk latihan rohani.9
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam melakukan sembahyang.
1. “Asuci laksana” artinya badan maupun diri orang hendaknya bersih,
8 Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h.53.
9 Drs K.M.Suhardana, Pedoman Sembahyang Umat Hindu, dimuat pada situs:
https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/pedoman-sembahyang-umat-hindu/469298156426169/ diakses pada hari Selasa, tanggal 26 Juni 2018 pukul 11.28 WIB.
59
karena akan memengaruhi pikiran juga.
2. sikap badan yang disebut asana, boleh memakai padmasana (duduk
bersila), bajrasana (duduk bersimpuh) sesuai dengan tempat sembahyang itu sendiri.
3. Pranayama yaitu mengatur jalan napas. Menarik napas (puraka),
menahan (kumbaka) dan mengeluarkan (recaka) dengan perbandingan 1:4:2. Pada
saat melakukan puraka dan kumbaka disertai dengan ucapan “Ang” dalam hati, dan
pada saat melakukan recaka disertai ucapan “Ah” dalam hati. Pranayama sangat
berguna untuk melemaskan badan dan menenangkan pikiran.
4. “Kara sodana” yaitu menyucikan tangan karena tangan akan dipakai
untuk menyembah. Mantra yang dipakai ialah Om sudhamam swaha (tangan kanan)
dan Om hati sudhamam swaha (tangan kiri) yang artinya, “Ya Tuhan, disucikanlah
tangan hamba”.
5. “Puspa sodana” artinya penyucian bunga dengan puja dan mantra, “Om
puspa danta ya namah” artinya, “Ya Tuhan, sujud padamu Siwa.
6. Menyembah dengan mencakupkan kedua belah tangan, angkat naik ke
atas sampai ujung jari lewat ubun-ubun disertai dengan mantra sesuai dengan jenis
sembahyang itu sendiri. Pikiran diarahkan dan dipusatkan kepada Tuhan. Tapi, tidak
semua orang dapat mengarahkan dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan. Tuhan
bersifat Mahagaib, tidak terbayangkan oleh manusia, karenanya ada di luar daya
khayal dan jangkauan manusia. Maka, dalam hal ini timbullah yang disebut “murti
puja” yaitu memuja atau menyembah Tuhan dengan sarana wujud-wujud tertentu
yang merupakan simbol-simbol Tuhan. Seperti: area, gambar, aksara, dan
60
sebagainya.10
Mantra yang dibaca dalam sembahyang Trisandhya ini adalah mantra
gayatri yaitu sebagai berikut11
:
Om bhur bhuvah svah, tat savitur varenyam, bhargo devasya dhimahi,
Dhyo yo nah praccodayat (Artinya: Om adalah bhur swah. Kita memusatkan pikiran
pada kecemerlangan dan kemuliaan Sang Hyang Widhi, semoga ia berikan semangat
pikiran kita).
Om Narayana evedam sarvam, Yad bhutam yac ca bhavyam, niskalanko
niranjano nirvikalpo, nirakhyatah suddho deva eko, Narayana na dvityo ‟sti kascit
(artinya: Om Narayana adalah semua ini, apa yang telah ada dan apa yang akan ada
bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan,
sucilah dewa Narayana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua).
Om tvam sivah tvam mahadevah, isvarah paramesvarah, brahma visnusca
rudrasca, purusah parikirtitah (Artinya: Om engkau dipanggil Siwa, Mahadewa,
Iswara, Prameswara, Brahma, Wisnu, Rudra dan Purusa)
Om papoham papakarmaham, papatma papasambhavah, trahi mam
pundarikaksah, sabahyabhyantarah sucih (Artinya: Om hamba ini papa, perbuatan
hamba papa, diri hamba ini papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Sang
Hyang Widhi, sucikanlah jiwa dan raga hamba).
Om ksamasva mam mahadevah, sarvaprani hitankarah, mam moca sarva
papebhyah, palayasva sadasiva (artinya: Om ampunilah hamba Sang Hyang Widhi,
10
Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h. 54. 11
Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h.120. Lihat juga Drs. K. M Suhardana, Pedoman Sembahyang Umat Hindu, (Surabaya: Paramita, 2004), h. 35-37.
61
yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk, bebaskanlah hamba dari
segala dosa, lindungilah oh Sang Hyang Widhi).
Om ksantavah kayiko dosah, ksantavyo vaciko mama, ksantavyo manaso
dosah, tat pramadat ksamasva mam (artinya: Om ampunilah dosa anggota badan
hamba, ampunilah dosa hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba
dari kelahiran hamba).
Om santih santih santih Om (artinya: Om, damai, damai, damai, Om).
Puja Trisandhya merupakan rangkuman dari enam bait mantra Kitab Catur
Wedah Sirah dan Kitab Wedaparikrama. Bait pertama disebut Gayatri Mantra sesuai
dengan nama iramanya yaitu gayatri chandra. Mantra ini berasal dari kitab Rg Weda
III.62.10. Namun kata bhur bhuwah swah yang disebut Mahavyahrti tidak ada pada
mantra ini. Tambahan kata itu terdapat pada kitab Yajur Weda putih 36.3. Gayatri
Mantra adalah mantra yang paling mulia di antara semua mantra. Ia bersifat universal
yang dinyanyikan oleh semua orang yang beragama Hindu.12
Kemudian Ketut Wiana menjelaskan makna dari mantra Trisandhya yang
dibaca pada sembahyang Trisandhya setiap harinya. Mantra ini ditujukan kepada
Tuhan yang imanen dan transenden yang bergelar “sawita” yang berarti, “Dia yang
melahirkan segala.” Ia mengandung tiga bagian penting, yaitu:
1. Pujian kepada Tuhan
2. Meditasi
3. Doa permohonan
Pertama-tama Tuhan dipuji dan dimuliakan. Kemudian Dia dijadikan
12
Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h.121.
62
obyek meditasi dan akhirnya permohonan dipanjatkan kepada-Nya untuk membangun
dan menguatkan intelek, kemampuan membedakan (wiweka) antara baik dan buruk
dalam diri manusia. Gayatri dianggap sebagai Wedasara atau intisari dari Weda, Ia
adalah ibu mantra yang sangat dimuliakan dan diikrarkan.
Bait kedua adalah salah satu petikan dari mantra Catur Weda Sirah yang
dapat disebut Narayanastawa, isinya memuja, memuja Tuhan yang suci tak ternoda,
Ia yang tunggal adanya. Bait ketiga adalah petikan mantra dari Siwastawa dalam
kitab Weda Parikrama. Di sini pemuja menyebut Ia Yang Tunggal itu Siwa,
Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, dan sebagainya.
Bait keempat, kelima, dan keenam disebut mantra “pengaksama” yang
dipetik dari kitab Weda Parikrama juga. Pada bait keempat pemuja mengatakan
kelemahan dan kehinaan dirinya serta selanjutnya ia mohon agar dibersihkan dari
segala noda. Demikian pula pada bait kelima dan keenam, pada pokoknya mohon
ampun atas segala kepapaan dan kelalaian, kepada Tuhan penyelamat segala
makhluk.
Demikianlah sembahyang kanonis dalam tradisi Hindu yakni sembahyang
Trisandhya. Sementara itu Sembahyang Kalbu yang dilakukan umat Hindu adalah
meditasi dan japa yoga. Sebenarnya hampir dalam setiap sembahyang umat Hindu
melakukan japa yoga dengan mengulang-ulang mantra tertentu. Seperti Gayatri
Mantra yang dapat diulang hingga bilangan tertentu tergantung yang diajarkan oleh
guru spiritualnya.
Japa bukan hanya pengulangan mantra secara mekanis dari sebuah mantra
63
yang kita pilih. Ilmu mantra diddasarkan pada mengerti getaran suara yang terutama
berpusat pada berbagai letak kundalini dan tidak bisa ditangkap tanpa melakukan
inisiasi. tujuan utama dari japa adalah untuk menuju kesunyian yang paling tinggi.
Seseorang pertama kali menyerap tingkatan artikulasi (vaikhari) wicara ke dalam
tingkatan mental (madhyama) . Kemudian seseorang mendiamkan bahkan tingkatan
mental itu (madhyama). Kemudian seseorang mendiamkan tingkatan itu dan
memasuki keberadaan pasyanti, getaran wahyu. Dengan cara itu seseorang itu
mungkin menjadi saluran dari wahyu. Dari sana seseorang masuk ke dalam
penyerapan tertinggi dalam para, yang transenden, yang adalah pengetahuan yang
terdapat dalam prinsip ilahi. Seorang guru yang telah dilatih dalam Tradisi Himalaya
mengarahkan siswanya ke dalam tingkatan yang lebih jauh lagi dan lebih sempurna
melalui sembilan tahapan latihan mantra utama seperti yang diajarkan dalam sistem
tantra.13
Lebih jauh lagi, Swami Veda Bharati menjelaskan, beberapa variasi dari
latihan seperti berikut ini:
A. Belajar mantra dengan kesadaran dari aliran pernafasan.
B. Latihan mantra sambil melakukan tugas seperti memasak atau
membaca atau menulis.
C. Mendengarkan mantra seseorang dalam pikiran atau dalam anahata
cakra.
D. Berlatih mantra dengan pernafasasn mantra.
E. Memunculkan mantra ke dalam titik bija yang diberikan dalam cakra,
13
Swami Vida Bharati, Mantra, Inisiasi, Meditasi & Yoga (Surabaya: Paramita, 2002), h. 103-105.
64
dan kemudian memperhatikan mantra itu muncul dari sana lagi.
F. Membawa mantra itu ke dalam ruangan kesunyian dan memperhatikan
mantra itu muncul dari kesunyian.
G. Memunculkan mantra ke dalam suara dalam Gua Lebah, bhramara
guha, dan kemudian lagi memperhatikan pemunculannya lagi.
H. Menggunakan mantra itu dalam pemujaan kuil dalam diri kita (manasa
puja).
I. Merenungkan arti sebuah mantra, dan menyetukan renungan itu dengan:
a) Manana, atau perenungan Vedanta dari mahavakya, dan
b) Dialog internal, secara khusus sebuah pemurnian diri.
c) Menggunakan mantra sebagai pengalaman seorang bhakti, dari
pengabdian dan doa dalam hati sehingga memunculkan jalan bhakti-yoga, japa-yoga
dan dhyana-yoga.
Terdapat banyak metode lain dalam penggunaan mantra yang perlu
diajarkan oleh seorang guru yang berpengalaman yang tidak hanya mengajarkan cara
tetapi juga membimbing pikiran muridnya dan energi-energi melalui kekuatannya
sendiri, sehingga ia menginisiasi dalam sebuah latihan.
2. Sembahyang dalam Agama Kristen
Untuk memperjelas penelitian ini, penulis mengambil contoh sembahyang
dari dua aliran dalam Kristen, yakni Kristen Ortodoks dan Katolik.
Sembahyang personal atau doa dalam tradisi Kristen baik itu Katolik
maupun Kristen Ortodoks dianjurkan dilakukan setiap melakukan kegiatan apa pun,
65
misalnya ketika akan makan, akan melakukan perjalanan, dan akan tidur, seseorang
dianjurkan untuk menyampaikan syukurnya kepada Tuhan. Sebenarnya ungkapan apa
saja yang akan disampaikan dan bagaimana cara kita menyampaikannya, tidak diatur
dengan baku. Melainkan menggunakan pedoman dari kitab Mazmur: bahwa ketika
kita memanjatkan doa sebaiknya kita mengungkapkan ungkapan syukur, pujian
kehadirat Tuhan, penyesalan atas kesalahan kita, upaya perbaikan diri baru diikuti
dengan permohonan kita. Akan tetapi karena sembahyang personal ini sifatnya
subjektif, tidak ada hukum dalam menyampaikan kegelisahan kita terhadap Tuhan,
hanya saja, setidaknya lakukan dengan cara yang baik.
Secara khusus dalam Kristen Ortodoks memiliki pembahasan tentang doa
hening, bahwa ketika sepanjang hari seseorang telah mengeluarkan kata-kata, ada
baiknya ia melakukan doa hening ketika hanya batinnya yang berbicara dengan
Tuhan. Perihal doa hening ini, diajarkan juga oleh Yesus dalam: Matius 14:23, “Dan
setelah orang banyak itu disuruhnya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa
seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian disitu”.14
Lebih lanjut lagi
ditegaskan tentang berdoa hening ini sebagai berikut:
“Berdoa dengan berdiam diri, dimana hati yang lebih banyak
berkomunikasi dengan penuh cinta kepada Sang Mempelai Laki-laki guna mencapai
tujuan pemanunggalan denganNya sudah lama dikenal dalam tradisi monastisisme
(kerahiban) Gereja Orthodox sebagai kesinambungan tanpa putus dengan Gereja Para
Rasul dan Gereja Purba itu sendiri. Akhir-akhir ini gereja-gereja Protestan mulai
14
Fr. Kyrillos Junan SL, “Doa dan Shalat dalam Kristen”, tulisan ini dimuat dalam salah satu situs rujukan Ortodoks Indonesia: http://monachoscorner.weebly.com/doa--sholat-kristen.html diakses pada 21 Maret 2018 pukul 20.42 WIB.
66
melihat nilai doa ini, misalnya dengan meditasi dan kontemplasi yang dikembangkan
mulai tahun 1960-an oleh komunitas biara Protestan Taize di Perancis dan beberapa
komunitas biara Protestan lainnya.”15
Menurut Kristen Ortodoks, bukan berarti berdoa harus berdiam diri atau
bermeditasi semata, melainkan doa seharusnya juga dapat dilakukan dalam suasana
ramai, di setiap tempat kita harus memanjatkan doa kita kepada Tuhan. Dan dalam
berdoa bukan hanya melalui pikiran, tetapi juga melalui penghayatan dan perenungan
serta menerjemahkannya dalam kehiudupan sehari-hari. Sehingga tujuan utama doa,
bukanlah meminta kepada Tuhan, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran bahwa akan
keberadaan Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Tidak banyak orang mengetahui tentan sembahyang kanonis yang
dilaksanakan oleh umat Kristiani. Selain karena hal itu biasanya dilakukan di
biara-biara dan seminari, juga karena tidak diwajibkan bagi semua orang, melainkan
dianjurkan bagi setiap orang yang berkehendak. Dalam tradisi Katolik seringkali
disebut dengan Brevir atau Liturgia Horarum (liturgi waktu), sementara dalam tradisi
Kristen Ortodoks seringkali disebut salat (tzelot--dalam bahasa Aramaik). Baik Brevir
maupun Salat (Tzelot, Tselota16
) dilaksanakan setiap hari pada waktu-waktu yang
telah ditentukan.
Dalam ajaran Katolik, ibadah harian merupakan terjemahan dari kata
15
Fr. Kyrillos Junan SL, “Doa dan Shalat dalam Kristen”, tulisan ini dimuat dalam salah satu situs rujukan Kristen Ortodoks Indonesia: http://monachoscorner.weebly.com/doa--sholat-kristen.html diakses pada 21 Maret 2018 pukul 20.42 WIB.
16 Zaenul Arifin, “Menuju Dialog Islam dan Kristen”, dimuat pada Jurnal Walisongo, volume 20, Nomor 1,
Mei 2012, h. 128. Zaenul Arifin mengutip Arthur Jefferey yang menyatakan bahwa kata-kata Arab dalam al-Quran yang berasal dari bahasa Suryani/ Aram/ Syriac di antaranya adalah: Allah, salat, Isa, Almasih, al-dajjal, subhanallah, yang ternyata paralel dengan bentuk Suryani: alaha, stelota, ‘isha, meshiha, daggala, tehila, subh alaha.
67
Liturgia Horarum secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi Liturgi Waktu17
yang
dikenal pula dengan nama-nama lain seperti: Ofisi Ilahi (Officium Divinum) dan doa
Brevir. Ibadah harian memiliki sejarah yang panjang dimulai dari tradisi Judaisme
hingga kemudian dipraktikkan dalam tradisi Katolik.
Brevir ini berawal dari tradisi Yahudi yang diperintahkan Tuhan untuk
menyucikan Tuhan pada waktu pagi, siang, dan malam. Dalam kitab Kel. 29:38-3918
,
Bil. 28:3-819
, 1Raj 18:3620
tentang kurban pagi dan petang. Umat Yahudi melakukan
penyucian ini dnegan cara mempersembahkan kurban sembelihan pada pagi dan
petang hari. Dan praktik ini terus dilakukan hingga masa kehidupan Yesus. Pada masa
pembuangan di Babilon, praktik menyucikan waktu dengan kurban sembelihan
digantikan dengan mempersembahkan pujian kepada Tuhan.
Jejak-jejak tradisi penyucian waktu ini dengan mudah kita temukan dalam
perjanjian lama, terutama dalam “kitab doa” yaitu kitab Mazmur. Misalnya:
a. Mazmur 5:4 Tuhan, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada
17
Pengertian ini diambil dari situs http://gemaliturgi.blogspot.com/2012/04/tentang-ibadat-harian-dan-ibadat.html diakses pada 21 Maret 2018 pukul 10.29
18 Keluaran 29: 38-39 “38. Inilah yang harus kau olah di atas mezbah itu: dua anak domba berumur
setahun, tetap tiap-tiap hari; 39. Domba yang satu haruslah kau olah pada waktu pagi dan domba yang lain kau olah pada waktu senja.”
19 Bilangan 28:3-8 “3.Katakanlah kepada mereka: inilah korban api-apian yang harus kamu
persembahkan kepada Tuhan: dua ekor domba berumur satu tahun yang tidak bercela setiap hari sebagai korban bakaran yang tetap; 4. Domba yang satu haruslah kau olah pada waktu pagi, domba yang lain haruslah kau olah pada waktu senja; 5. Juga seper sepuluh efa tepung yang terbaik untuk korban sajian, diolah dengan seperempat hin minyak tumbuk; 6. Itulah korban bakaran yang tetap yang diolah pertama kali di atas gunung Sinai menjadi bau yang menyenangkan, suatu korban api-apian bagi Tuhan; 7. Dan korban curahannya ialah seperempat hin untuk setiap domba; curahkanlah minuman yang memabukkan sebagai korban curahan bagi Tuhan di tempat kudus; 8. Dan domba yang lain haruslah kau olah pada waktu senja; sama seperti korban sajian pada waktu pagi dan sama seperti korban curahannya haruslah engkau mengolahnya sebagai korban api-apian yang baunya menyenangkan bagi Tuhan.”
20 1 Raja-Raja 18: 36 “Kemudian pada waktu mempersembahkan korban petang, tampillah nabi Elia dan
berkata: Ya, Tuhan, Allah Abraham, Ishak dan Israel, pada hari ini biarlah diketahui orang, bahwa Engkaulah Allah, di tengah-tengah Israel dan bawa aku ini hamba-Mu dan bahwa atas firman-Mulah aku melakukan segala perkara ini.”
68
waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu.
b. Mazmur 88:14 “Tetapi aku ini, Ya Tuhan, kepada-Mu aku berteriak
minta tolong, dan pada waktu pagi doaku datang ke hadapan-Mu (Mazmur ini dipakai
dalam ibadah Penutup hari Jumat).
c. Mazmur 119:164 “Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau,
karena hukum-hukum-Mu yang adil.
d. Mazmur 141:2 “Biarlah doaku adalah bagi-Mu, seperti persembahan
ukupan, dan tangaku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang.
Praktik penyucian waktu dengan membacakan pujian kepada Tuhan ini
sangat berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, sehingga di tempat-tempat umum dan
pusat kota, terdapat lonceng yang mengingatkan orang-orang untuk bersembahyang
atau beristirahat, lonceng tersebut dibunyikan pada pukul enam pagi, sembilan pagi,
satu siang, tiga sore dan enam sore. Praktik ini sejalan dengan kebiasaan berdoa pada
jam-jam tertentu yang diperintahkan oleh Alkitab (Dan 6:10; 6:1321
).
Aktivitas berdoa di jam tertentu dilanjutkan pada kehidupan Yesus dan
umat Kristen perdana, di antaranya dapat dilihat dalam Kitab Suci (Luk3:21-22; 6:12;
9:18, 28-29; 11:1; 22:32; Mat 4:19; 15:36; 19:13 dst). Doa Harian pada jam tertentu
(Penyucian Waktu) ini terus berlanjut, dan berisikan elemen yang hampir sama
dengan apa yan gdilakukan oleh Umat Yahudi: Mengulang atau menyanyikan
Mazmur, membaca Kitab Suci, dan pada kemudian hari ditambahkan dengan Madah
21
Daniel 6:10 “Demi didengar Daniel, bahwa surat perintah itu telah dibuat, pergilah ia ke rumahnya. Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya.”
Daniel 6:13 “Lalu kata mereka kepada raja: “Daniel, salah seorang buangan dari Yehuda, tidak mengindahkan tuanku,” “Ya raja, aku tidak mengindahkan larangan yang tuanku keluarkan, tetapi tiga kali sehari ia mengucapkan doanya.””
69
Kemuliaan serta doa-doa lainnya. Hampir semua Bapa Gerjea baik di Timur (St.
Yohanes Krisostomos) maupun di Barat (St. Hieronimus), St. Agustinus dari Hippo
dalam aturan hidup di biara menganjurkan kepada para Rahib dan rabbi/rubiah untuk
bertekun dengan setia dalam doa pada jam-jam dan waktu yang telah ditentukan.
Pada perkembangannya doa Ibadah Harian mengalami perkembangan
dalam kehidupan umat Kristen. Pada abad ke-4, praktik Ibadah Harian telah
mendapatkan bentuk yang lebih pasti, terutama dengan penyusunan buku sederhana
yang disebut brevir. Brevir ini lahyang kemudian dikenal luas hingga masa Konsili
Trente22
. Brevir terus mengalami revisi di masa pongifikal: Paus Pius V, Paus
Clement VIII, Paus Urban VIII, Paus Pius X, Paus Pius XII, dan Paus Yohanes XXIII
di tahun 1960.
Pada perkembangannya sejak akhir abad kelima hingga Konsili Vatikan II,
Doa Ibadah Harian terdiri dari:
1. Matutinum: Ibadah tengah malam (Vigile)
2. Laudes: Dilakukan saat fajar menyingsing (pukul 03.00)
3. Primus: Doa awal pagi (pukul 06.00)
4. Tertia: Doa di awal siang hari (pukul 09.00)
22
Konsili Trente atau Konsili Trento adalah konsili Ekumenis Gereja Katolik Roma ke-19 yang diadakan di Trento, Italia. Dilaksanakan selama tiga periode antara tanggal 13 Desember 1545 dan Tanggal 4 Desember 1563 sebagai jawaban terhadap gerakan Reformasi Protestan. Selain meneguhkan kembali Kanon Kitab Suci yang terdiri dari 73 Kitab (46 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru sebagaimana yang telah ditetapkan sejak tahun 382), Gereja Katolik menetapkan definisi ajaran-ajaran pokok yang penting lainnya, di antaranya: bahwa iman tidak terpisahkan dari kasih, tentang kehendak bebas pada manusia meskipun mereka membawa dosa lahir, juga tentang menekankan bahwa transubstansiasi (roti dan anggur sebagai pengganti daging dan darah Kristus) sebagai simbol nyata kehadiran yesus dalam Ekaristi. (lihat: http://www.katolisitas.org/beberapa-point-penting-yang-ditetapkan-oleh-konsili-trente/ dan https://en.wikipedia.org/wiki/Special:Search?search=http%3A%2F%2Fwww.katolisitas.org%2Fbeberapa-point-penting-yang-ditetapkan-oleh-konsili-trente%2F&sourceid=Mozilla-search&searchToken=bcyvetmc9chnf56i7z0pmnosa.
70
5. Sexta: Doa tengah hari (pukul 12.00)
6. Nona: Doa setelah tengah hari (pukul 15.00)
7. Vesper: Doa sore (pukul 18.00)
8. Completorium: Doa penutup hari (pukul 21.00)
Konsili Vatikan II melakukan penyederhanaan pada Ibadah Harian dan
membuatnya lebih mudah digunakan oleh umat awam dengan harapan Ibadah Harian
menjadi doa bagi seluruh anggota Gereja. Konsili Vatikan II menggabungkan doa
Primus ke dalam doa Laudes, dan mengubah doa Matutinum menjadi Ibadah bacaan
yang boleh didoakan pada waktu kapan pun. Konsili juga melakukan penataan ulang
sehingga mazmur-mazmur didoakan selama empat minggu (sebelumnya hanya satu
minggu). Brevir kini lebih dikenal sebagai Ibadah Harian (Liturgia Horanum) yang
dibagi dalam empat tingkat sesuai dengan kalender Liturgi.
Masa I: Adven dan Natal
Masa II: Pra Paskah dan Trihari Suci serta Masa Maskah
Masa III: Minggu biasa 1-17
Masa IV: Minggu biasa 18-34
Saat ini, praktik Ibadah Harian dalam Gereja Katolik meliputi:
1. Ibadah Matutinum
2. Ibadah Laudes
3. Ibadah Siang (Tertia, Sextia, Nona)
4. Ibadah Vesper
5. Ibadah Completorium.
71
Dalam Gereja Ortodoks ada dua bentuk Sembahyang Harian, yaitu yang
mengikuti cara Nabi Daniel: Tiga Kali sehari (Dan. 6:11-12, Mzm. 55:18), atau juga
mengikuti pola yang dikatakan oleh Nabi Daud: ”Tujuh kali dalam sehari aku
memuji-muji Engkau…” (Mazmur 119:164). Sembahyang tiga kali itu terdiri dari:
Pagi, Tengah-Hari, dan Sore Hari (Mazmur 55:18). Waktu-waktu Sembahyang itu
sendiri sudah dimulai sejak zaman Nabi Musa. Allah memerintahkan agar Imam
Harun mempersembahkan korban binatang dan korban dupa pada “Waktu Pagi” dan
“Waktu Senja” (Kel. 29:38-39, 30:7-8).
Dalam Gereja Ortodoks, salat (tselota) dilakukan tujuh kali sehari23
, yaitu:
1. Salat jam pertama (Sembahyang singsing Fajar, Orthos, Prima, Sholatus
Sa‟atul Awwal, Sholatus Shakhar). Merupakan ibadah pagi yang dilaksanakan antara
pukul 5.00-06.00 pagi. Berdasarkan Keluaran 29:38-41 berkenaan dengan ibadah
korban pagi dan petang, yang dihayati sebagai peringatan lahirnya Sang Sabda yang
menjelma menjadi Sang Terang Dunia (Yoh.8:1224
)
2. Salat jam ketiga (sembahyang Tercia, Sholatus Sa‟atus Tsalits).
Merupakan sembahyang yang dilaksanakan pada pukul 09.00-12.00 atau pada waktu
dhuha dalam tradisi Islam. Termaktub dalam Kitab Kisah Para Rasul 2:1&1525
.
Dalam salat ini manusia diingatkan agar mempunyai tekad an kerinduan untuk
menyalib dan memerangi hawa nafsu kita sendiri agar rahmat Allah dan Roh Kudus
23
Fr. Kryllos Junan SL, “Doa dan Sholat Kristen” dimuat pada monachoscorner.weebly.com/doa--sholat-kristen.html diakses pada 21 Maret 2018 pukul 20.42 WIB.
24 Yohanes 8:12 “Maka Yesus berkata pula kepada orang banyak: “Akulah terang dunia, barang siapa
mengikuti Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.” 25
Kisah Para Rasul 2:1 “Ketika Tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul di satu tempat.” Kisah Para Rasul 2:15 “Orang-orang ini tidak mabuk seperti yang kamu sangka, karena hari baru pukul
sembilan”
72
melimpah dalam hidup.
3. Salat jam keenam (Sembahyang Sexta, Sholatus Sa‟atus Sadis).
Merupakan salat yang dilaksanakan pada waktu tengah hari sekitar pukul 12.00
sampai 13.00. Salat ini termaktub dalam Alkitab Kis 10:926
dan mempunyai makna
sebagai peringatan akan penderitaan Kristus di atas salib (Luk.23:44-4527
) dan
pencuri yang disalib bersama-sama Kristus bertobat. Dengan jam keenam ini,
diharapkan kita pun akan seperti pencuri tersebut yang selalu ingat untuk bertaubat
dan memohon rahmat Ilahi agar mampu mencapai tujuan hidup yaitu masuk dalam
Kerajaan Allah.
4. Salat jam kesembilan (Sembahyang Nona, Sholatus Sa‟atus Tis‟ah).
Termaktub dalam Kis3:128
, dilaksanakan pada pukul 15.00-16.00. Salat ini dilakukan
untuk mengingatkan saat Kristus menghembuskan napas terakhir di tiang salib
(Mrk.15:34-3829
), sekaligus mengingatkan bahwa kematian Kristus di atas salib
adalah untuk menebus dosa-dosa, agar manusia dapa tmerasakan rahmat Ilahi.
5. Salat Senja (Sembahyang Hesperinos, Vesperus, Vespers, Sholatul
Ghurub). Dilaksanakan pada waktu maghrib dalam tradisi Islam, yaitu kira-kira pukul
26
Kisah Para Rasul 10:9 “Keesokan harinya, ketika ketiga orang itu berada dalam perjalanan dan sudah dekat kota Yope, kira-kira pukul dua belas tengah hari, naiklah Petrus ke atas rumah untuk berdoa.”
27 Lukas 23:44 “Ketika itu hari sudah kira-kira jam dua belas, lalu kegelapan meliputi seluruh daerah itu
sampai jam tiga Lukas 23:45 “sebab matahari tidak bersinar. Dan tabir Bait Suci terbelah dua.” 28
Kisah Para Rasul 3:1 “Pada suatu hari menjelang waktu sembahyang, yaitu pukul tiga petang, naiklah Petrus dan Yohanes ke Bait Allah.”
29 Markus 15:34-38 “34. Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eloi, Eloi, lama
sabakhtani?” yang berarti, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?; 35. Mendengar itu beberapa orang di yang berdiri di situ berkata, “Lihat, Ia memanggil Elia.; 36. Maka datanglah seorang dengan bunga karang, mencelupkannya ke dalam anggur asam lalu mencucukkannya pada sebatang buluh dan memberi Ysus minum serta berkata, “Baiklah kita tunggu dan melihat apakah Elia datang untuk menurunkan Dia.”; 37. Lalu berserulah Yesus dengan suara nyaring yang menyerahkan nyawa-Nya; 38. Ketka itu tabir Bait Suci telah terbelah dua dari atas sampai ke bawah.”
73
18.00. Sama seperti salat jam pertama, sembahyagn ini dilatarbelakangi oleh ibadah
kurban pagi dan petang yang terdapat dalam Kitab Keluaran 29-38-41. Makna dan
tujuan salat ini adalah untuk memperingati ketika Kristus berada dalam kubur dan
bangkit pada esok harinya, seperti matahari tergenam dalam kegelapan untuk terbit
keesokan pagi.
6. Salat Purna Bujana, Sembahyang Apodipnon, solat tidur, Competorium,
Sholatul Naum. Termaktub dalam Mzm4:930
. Salat ini mempunyai makna untuk
mengingatkan bahwa pada saat malam seperti inilah Kristus tergeletak dalam kuburan
dan tidur yang dilakukan itu adalah gambaran dari kematian itu.
7. Salat tengah malam (Sembahyang Ratri Madya, Agrypnia, Matinus,
Vigil, Salat lail, Salat Satar). Termaktub dalam Kis.16:2531
. Salat ini dilaksanakan
pada waktu yang sama dengan salat tahajjud dalam Islam. Salat tengah malam ini
mengandung pengertian bahwa Kristus akan datang di tengah malam, maka dengan
demikian orang-orang beriman hendaknya selalu berjaga-jaga untuk menghidupkan
imannya bahkan ketika tidur.
Salat tujuh kali sehari ini dikenal dengan Salat Nabi Daud. Dan sebelum
melaksanakan salat, umat Kristen bersuci terlebih dahulu dengna membasuh telapak
tangan, membasuh wajah dan kepala, membasuh tungkai kaki dan seluruh kaki,
seperti yang tertulis dalam Kitab Mazmur 26:1-12. Sementara Kiblat waktu salat
adalah menghadap ke arah Timur, menghadap ke Yerusalem32
.
30
Mazmur 4:9 “Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, Ya Tuhan, yang membiarkan aku diam dengan aman”.
31 Kisah Para Rasul 16:25 “Tetapi kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan
puji-pujian kepada Allah dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka.” 32
Zaenul Arifin, “Menuju Dialog Islam-Kristen”, h.128
74
Di samping brevir (liturgia horarum) dan sembahyang tujuh waktu
sebagai sembahyang kanonis dalam tradisi Kristen. Terdapat juga zikir atau doa kalbu
yang disebut dengan Doa Yesus dalam tradisi Ortodoks dan Salam Maria dalam
tradisi Katolik.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa dalam ada doa hening
menempati peranan yang sangat penting dalam tradisi Ortodoks, maka hesykhastis
atau berdoa tanpa putus menjadi salah satu caranya. Doa yang dibaca secara
berulang-ulang adalah, “Tuhan yesus Kristus, Putera Allah kasihanilah aku orang
berdosa ini.” Doa ini dapat diperpendek dengan, “Kyrie Iesou Khriste, eleyson me”,
atau “Kyrie eleyson”.33
Bahkan dapat diperpendek dengan menyebut “Yesus” saja.
Doa ini seharusnya diulang dengan hening, dengan tidak tergesa-gesa, selain itu
sebaiknya kita mengatur nafas mengikuti rumusan doa ini.
Terkait dengan doa ini, umat Ortodoks mengutip ITes5:17 “Berdoalah tak
kunjung putus (pray without ceasing) dan Luk 21:36 “Waspadalah dan berdoalah tak
henti-hentinya.” Doa Yesus ini mampu merupakan doa yang paling tinggi karena
dengan membaca doa ini seseorang dapat mencapai keadaan paling murni. Tujuan
dari membaca Doa Yesus ini adalah untuk mencapai “apatheia” ketiadaan pathos atau
“ketiadaan pamrih-pamrih kehendak hawa nafsu”34
Nama Yesus merupakan sarana
yang bisa membawa seseorang kepada Yesus sendiri.
33 Fr. Kyrillos Junan SL, “Doa dan Shalat dalam Kristen”, tulisan ini dimuat dalam salah satu situs rujukan
Kristen Ortodoks Indonesia: http://monachoscorner.weebly.com/doa--sholat-kristen.html diakses pada 21 Maret 2018 pukul 20.42 WIB.
34 Fr. Kyrillos Junan SL, “Doa dan Shalat dalam Kristen”, tulisan ini dimuat dalam salah satu situs rujukan Kristen Ortodoks Indonesia: http://monachoscorner.weebly.com/doa--sholat-kristen.html diakses pada 21 Maret 2018 pukul 20.42 WIB.
75
Sembahyang dalam Agama Islam
Dalam tradisi Islam, doa sebagai sembahyang personal menempati posisi
yang sangat penting, terutama dalam kehidupan sosial. Meskipun doa personal ini
bersifat subjekti dan disesuaikan dengan kebutuhan individu masing-masing, ada
beberapa waktu atau kesempatan tertentu ketika doa dibaca bersama-sama dan
menjadi semacam “upacara”keagamaan tertentu. Misalnya, ketika ada seorang
muslim yang meninggal dunia, dilaksanakan pembacaan QS Yasin dan tahlil untuk
mengiringi kepergian orang yang meninggal tersebut.
Beberapa keutamaan berdoa juga termaktub dalam Alquran seperti yang
dikutip oleh Imam Ghazali dalam bukunya “Rahasia Zikir dan Doa”35
:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang
Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan oran gyang berdoa
apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku...”
(QS Al-Baqarah 186).
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan dengan suara yang
lembut. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS
Al-A‟raf:55)
“Dan tuhanmu telah berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akau
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
menyembah-Ku, mereka akan masuk Neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS
Al-Mu‟min:60)
35
Imam Abu Hamid al-Ghazali, Rahasia Zikir dan Doa diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir, (Jakarta: Mizan, 2014) h.55.
76
Sehingga membaca doa pun menjadi ciri khas seorang muslim, mengutip
kebiasaan masyarakat Islam di Indonesia memberikan hafalan doa-doa kepada
anak-anak usia dini. Meskipun doa personal ini terkait dengan kebutuhan individu
atau subjektif manusia, pada praktiknya di Indonesia doa-doa personal dibakukan
dalam bentuk-bentuk tertentu sehingga semua orang mengenal doa yang sama.
Padahal titik tekan doa personal, menurut Schuon, adalah keterhubungan kita dengan
Tuhan dalam setiap aktivitas kita. Tanpa bermaksud melemahkan peran hafalan
doa-doa sehari-hari, tetapi yang perlu dibangun adalah kesadaran kita untuk
memanggil, menyeru dan menyampaikan kepada Tuhan bahwa kita akan melakukan
sesuatu. Dengan demikian, pikiran dan perasaan kita terhubung dengan Tuhan dalam
setiap aktivitas kita.
Misalnya doa ketika bangun tidur: “alhamdulillahi al-ladzi ahyana
ba‟dama amatana wa ilaihi an-nusyur.” (Segala puji bagi Allah yang telah
menghidupkan kembali kami setelah Dia mematikan kami, kepada-Nyalah kami
semua akan dikumpulkan).36
Doa tersebut baik, dalam arti berisikan permohonan yang baik. Namun,
apakah jiwa kita terkait dengan Tuhan dalam doa-doa yang dibakukan bentuknya
tersebut? Apakah kita merasa perlu “memanggil” Tuhan ketika kita hendak tidur,
ketika kita bangun tidur dan ketika kita melakukan aktivitas lainnya? Dan dapatkah
jiwa kita memanggil Tuhan dengan cara yang sama dengan doa tersebut
memanggil-Nya? Untuk pertanyaan pertama, jawbannya bisa iya dan bisa tidak.
Pertanyaan kedua merupakan titik tekan fungsi doa personal ini. Bahwa kita
36
Al-Ghazali, Rahasia Zikir dan Doa, h. 174.
77
melakukan doa personal ketika kita benar-benar merasa perlu mengungkapkan
sesuatu kepada Tuhan dan ungkapan tersebut datang dari lubuk hati yang paling
dalam.
Dalam tradisi Islam syiah banyak sekali doa para imam yang kemudian
dibaca sebagai amalan bagi penganutnya. Pembacaan ini tidaklah salah, karena
doa-doa yang dibacakan adalah permohonan yang baik, disampaikan dengan cara
yang baik, mengingat doa-doa tersebut berasal dari orang-orang suci yang terhubung
secara langsung dengan Nabi Muhammad. Misalnya saja yang disampaikan dalam
doa kumayl:
“Allahumma inni as`aluka birahmatika al-lati wasi‟at kulla syai`in, wa
biquwwatika al-lati qaharta biha kulla syai`in, wa khadha‟a laha kullu syai`in,
wadalla laha kullu syai`in...” Yang artinya: “Ya, Allah aku bermohon kepada-Mu
dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, dengan kekuatanmu yang
dengannya Engkau taklukkan segala sesuatu, dan karenanya merunduk segala sesuatu,
dan karenanya merendah segala sesuatu..”
Doa ini awalnya adalah doa personal Ali bin Abi Thalib yang diajarkan
kepada Kumayl bin Ziyad Nakha‟i. Doa ini terkenal dengan kata-katanya yang sangat
indah. Menunjukkan ketidakberdayaan manusia di hadapan Tuhan. Menunjukkan
penulisnya adalah orang yang sangat paham posisinya di hadapan Tuhan. Akan tetapi
membacanya tidak menjadi esensi doa personal menurut Schuon. Karena ketika
membacanya, belum tentu kondisi jiwa kita berada pada titik yang sama dengan jiwa
Ali Zainal Abidin ketika membacanya.
78
Sembahyang kanonis dalam tradisi Islam adalah salat. Salat adalah salah
satu dari rukun Islam. Salat dilihat dari arti linguistikny aadalah doa, tetapi apabila
dilihat dari istilah syar‟i-nya ialah suatu upekerjaan dan ucapan yang didahului
dengan takbir dan diakhiri dengan salam.37
Para ulama Islam membicarakan dua cara istimewa dalam melakukan
persembahyangan38
:
A. Kebiasaan dilakukan oleh seseorang baik dalam keadaan duduk
maupun berbaring ataupun berdiri. Cara yang demikian ini dinamakan doa. Doa ini
berarti memohon.
B. Perbuatan ibadah yang disertai dengan gerakan jasmani tertentu dan
diwajibkan pembacaan ayat-ayat al-Quran, cara melakukannya adalah tersimpul
dalam ruku, sujud, dan pembacaan ayat-ayat suci. Dan inilah yang dinamakan salat
(sembahyang). Sembahyang itu adalah wajib hukumnya dan adapula yang sunah.
Sembahyang yang wajib dilakukan (fardhu), telah ditentukan waktunya lima kali
dalam sehari.
Sembahyang diwajibkan Allah atas kita di waktu Rasulullah berisra‟ dan
mi‟raj dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa. Dalam peristiwa ini, Rasulullah
mendapat perintah untuk mendirikan sembahyang, mengutip al-Quran (QS Al-Isra‟:1).
Kejadian Isra‟ Mi‟raj terjadi padatahun pertama Hijrah Rasulullah dari Makkah ke
Madinah. Perintah Allah untuk melakukan sembahyang itu adalah dengan perantara
37
Syarif Hidayatullah Husain, Salat dalam Mazhab Ahlulbait: Kajian Al-Quran, Hadis, Fatwa dan Ilmiah, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007), h.87
38 Dr. Mohammad Mahmoud Ghali, “Sembahjang” Al-Salat, diterjemahkan oleh Dr. FuadMohd.
Fachruddin, (Pengawas penerbitan Mohd. Tawfiq Oweida, Sekretaris Umum Madjelis Qadadar Street, Cairo, U.A.R). Diterbitkan oleh Majelis Tinggi Urusan Agama Islam, h. 7-8
79
Rasulullah (QS Ibrahim: 31)
Rasulullah memerintahkan dengan keras supaya sembahyang dilakukan
pada waktunya. Banyak hadis beliau yang menegaskan tentang hal ini, di antaranya
hadis terakhir yang beliau ucapkan pada saat salat beliau: “Peliharalah sembahyang!
Peliharalah sembahyang! Kamu akan menjaga kesolidariten mu selama kamu
menegakkannya.39
Dalam hadis yang lain rasulullah menjelaskan: “Peliharalah sembahyang!
Peliharalah Sembahyang! Barangsiapa yang meninggalkan sembahyang dengan
sengaja karena ia tak mengakui sembahyang itu satu ibadah yang wajib, maka ia itu
adalah seorang kafir (tidak beriman)”40
Syarat sahnya sembahyang:
1. Kebersihan (suci dari najis) badan, pakaian dan tempat sembahyang.
2. Menutup anggota badan yang ditentukan
3. Menghadap kiblat
4. Niat
5. Ketertiban dalam melakukan ibadah tersebut sesuai ajaran syariat
6. Khusyu
Rukun Salat lima waktu:
1. Niat,
2. Takbiratul ihram
39
Mahmooud Ghali, Sembahjang Al-Salat, h. 12 40
Mahmooud Ghali, Sembahjang Al-Salat, h. 12.
80
3. Berdiri,
4. Membaca fatihah
5. Rukuk
6. Bangkit dari ruku
7. I‟tidal
8. Sujud
9. Bangkit dari sujud
10. Duduk antara dua sujud
11. Tumakninah
12. Duduk tasyahud akhir
13. Tasyahud akhir
14. Salam akhir salat
15. Tertib rukun
Niat dalam wajib lima waktu:
Yang dinamakan niat adalah: hati menegaskan akan melakukan ibadah,
karena hendak mendekatkan diri kepada Allah satu-satunya. Jadi niat ialah suatu niat
yang tegas. Bila seseorang mengucapkan niat tetapi tidak hendak salat dalam hatinya,
maka dia tidak dinamakan orang salat.41
dalam mazhab ahlulbait (ja‟fari) salat dalam sehari semalam sejak awal
41
Drs. H. Kahar Masyhur, Salat Wajib: Menurut Mazhab yang Empat. Jakarta: Rineka Cipta, 1995, h. 199.
81
ditetapkannya (selain malam-malam Ramadahan) adalah 51 rakaat42
. Berbeda dengan
anggapan oleh kebanyakan orang, bahwa pada saat penetapan salat terjadi tawar
menawar (dalam jumlah rakaat) antara Nabi Muhammad dan Allah swt.
Sebagai sembahyang kanonis, salat ini memiliki bentuk baku yang
syarat-syaratnya harus dipenuhi. Walaupun beberapa ulama memiliki perbedaan,
tetapi perbedaan tersebut bukanlah bersifat mayor atau inti.
Sembahyang kalbu dalam tradisi Islam disebut dengan zikir. Zikir adalah
memanggil Nama Tuhan berulang-ulang. Kata zikir dari segi bahasa berasal bahasa
Arab zakara, yang berarti, menyebut, mengingat, dan memberi nasihat. Atau
mengingat sesuatu di dalam hati atau menyebutnya dengan lidah.43
Menurut
Abdullah „Abbas al-Nadwi, kata zikir mempunyai arti sebutan (mention), ingatan
(remembrance/ recollection), peringatan (reminder admonition), doa (invocation),
nama baik (reputation), dan kemasyuran (renown).44
Dalam Islam, semua nama Allah--Asma‟ul Husna--dapat kita zikirkan.
Akan tetapi dalam tarekat-tarekat Islam, biasanya menzikirkan laa ilaha illaLlah,
dengan formulasi yang berbeda.
Beberapa bentuk zikir Allah dalam al-Quran:
1. Menyebut nama Allah dengan lidah yang lazim disebut dengan zikir
jahr atau zikir lisan.
2. Mengingat atau menghadirkan Allah di dalam kalbu yang lazim disebut
42
17 Rakaat yang difardhukan dan 34 rakaat yang disunnahkan. 43
Dr. H. M. Hamdan Rasyid, M.Ag, Konsep Zikir Menurut Al-Quran dan Urgensinya bagi Masyarakat Modern: Suatu Kajian Tafsir Tematik dengan Pendekatan Sufistik (Jakarta: Insan Cemerlang, TT) h.25.
44 Rasyid, Konsep Zikir menurut Al-Quran, h. 25.
82
zikir khafi, zikir sirri atau zikir qalbi. Sebagaimana termaktub dalam al-Quran QS
al-A‟raf ayat 205. “Dan berzikirlah dengan menyebut (nama) TUhanmu dalam hatimu
dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di
waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”45
3. Mengingat hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Allah.
4. Melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya.
5. Mengingat berbagai macam ni‟mat Allah.
Di antara praktik spiritual yang diadopsi oleh Tarekat Qadiriyah adalah
zikir (terutama melantunkan asma‟ Allah berulang-ulang). Dalam pelaksanaannya
terdapat berbagai tingkatan penekanan dan intensitas. Ada zikir yang terdiri atas satu,
dua, tiga, dan empat. Zikir dengan satu gerakan dilaksanakan dengan
mengulang-ulang asma Allah melalui tarikan napas panjang yang kuat, seakan dihela
dari tempat yang tinggi, diikuti penekanan dari jantung dan tenggorokan kemudian
dihentikan hingga napas kembali normal. Hal ini harus diulang secara konsisten
untuk waktu yang lama.46
Zikir dengan dua gerakan dilakukan dengan duduk dalam posisi salat,
kemudian melantunkan asma‟ Allah di dada sebelah kanan, lalu di jantung, dan
kesemuanya dilakukan berulang-ulang dengan intensitas tinggi. Hal ini dianggap
efektif untuk meningkatkan konsentrasi dan menghilangkan rasa gelisah dan pikiran
yang kacau. Zikir dengan tiga gerakan dilakukan dengan duduk bersila dan
45
Rasyid, Konsep Zikir menurut al-Quran, h.76 46
Amsal Bahtiar, “Tarekat Qadiriyah”, dalam buku Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarata: Prenada Media, 2004), h. 44 lihat juga Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi, h. 32
83
mengulang pembacaan asma Allah di bagian dada sebelah kanan, kemudian sebelah
kiri dan akhirnya di jantung. Ksemuanya ini dilakukan dengan intensitas lebih tinggi
dan pengulangan lebih sering. Sementara itu, zikir empat gerakan dilakukan dengan
duduk bersila, dengan mengucapkan asma Allah berulang-ulang di dada sebelah
kanan, kemudian di sebelah kiri, lalu di tarik ke arah jantung dan terakhir dibaca di
depan dada. Cara terakhir ini diharapkan dapat dilakukan lebih kuat dan lebih lama.
Praktik zikir ini dapat dilakukan bersama-sama dibaca dengan keras atau
perlahan, sambil duduk membentuk lingkaran setelah salat pada waktu subuh maupun
malam hari. Jika seorang pengikut sanggup melantunkan asma‟ Allah empat ribu kali
setiap harinya tanpa putus selama dua bulan, dapat diharapkan bahwa dirinya telah
memiliki kualitas untuk meraup pengalaman spiritual tertentu.
Setelah melakukan zikir, tarekat menganjurkan untuk melakukan apa yang
disebut sebagai pas-i anfas, yakni mengatur napas sedemikian rupa sehingga dalam
proses menarik dan menghembuskan napas asma‟ Allah bersirkulasi dalam tubuh
secara otomatis. Kemudian ini diikuti dengan muraqabah atau kontemplasi.
Dianjurkan untuk berkonsentrasi pada sejumlah ayat al-Quran atau pun sifat-sifat
Ilahiah tertentu hingga sungguh-sungguh terserap ke dalam kontemplasi.47
Beberapa praktik yang dikembangkan oleh pengikut dari generasi
berikutnya mengadopsi pengaruh lokal dan tidak dapat dipahami dengan merujuk
pada ide dan anjuran autentik sang Wali. Contohnya, para pengikut Tarekat Qadiriyah
di Afrika Utara sering disebut sebagai para gilani, telah mengembangkan praktik
khalwat dengan aturan-aturan yang sangat khusus. Alang-alang ditancapkan di
47
Bahtiar, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, h. 45.
84
tumpukan batu, para wanita menyampirkan kain-kain di situ, kemduian bensin dan
styrax disulut. Baik pria maupun wanita melakukan jenis khalwat ini dan memohon
agar keinginan mereka terpenuhi.
Seiring dengan timbulnya praktik yang tidak tepat tersebut, muncul pula
pengultusan secara berlebihan di antara kelompok-kelompok ekstrem. Untuk
mempertahankan pandangannya, mereka mengulang ucapan Syaikh Abd al Qadir
Jilani, “seluruh berada di kakiku.”48
padahal kata-kata atersebut--saat diucapkan
beliau merujuk pada suatu kondisi kebahagiaan spiritual yang ekstrem, suatu ekspresi
sang Syaikh, tanpa implikasi lainnya. Namun para pengagumnya di kemudian hari
membuat tulisan untuk membela posisinya demi memantapkan keunggulan posisinya
di dalam hierarki spiritual. Bahkan, ulama yang sangat kritis dan berhati-hati
sekalipun, semacam Syaikh „Abd al-Haqq Muhaddits dari Delhi, melukiskan sang
Syaikh dalam nuansa yang dipinjamg dari hagiologi yang dilebih-lebihkan tersebut.
Kebesaran Syaikh „Abd al-Qadir Jilani tidaklah bersandar pada keajaiban yang telah
dilakukannya, tetapi pada eksistensi kesadaran Ilahiah yang tumbuh dalam dirinya
dan dedikasinya untuk mengagungkan mistisisme Islam yang ideal, yakni menyadari
eksistensi Tuhan, menunjukkan manusia pada jalan menuju-Nya, dan menghidangkan
kebahagiaan bagi hati-hati yang terluka dan jiwa-jiwa yang gelisah.49
Zikir adalah kunci dan sekaligus menempati posisi yang amat penting
dalam tradisi tarekat, termasuk Tarekat Qadiriyah karena zikir bagaikan anak kunci
yang mampu membuka pintu gerbang dunia spiritual yang tidak terbatas. Apabila
48
Bahtiar, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, h. 45. 49
Bahtiar, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, h. 45.
85
pintu hati telah terbuka, muncullah dari dalamnya pikiran-pikiran yang arif untuk
membuka mata hati. Ketika mata hati telah terbuka, maka tampaklah sifat-sifat Allah
melalui mata hati itu. Kemudian, mata hati akan melihat refleksi (bayangan) kasih
sayang, kelembutan, keindahan, dan kebaikan Allah, dalam cermin hati yang bersih
dan berkilauan.50
Membaca zikir atau wirid asma‟ Allah merupakan cara dalam pembersihan
diri untuk mencapai sifat Allah, yakni bersifat dengan sifat-sifat-Nya yang mulia
sehingga dapat mencapai derajat insan kamil.
B. Komparasi
Sebagai seorang tokoh filsafat perenial, Schuon menekankan tesisnya pada
transcendent unity of religion, bahwa semua agama bersatu di wilayah transenden
atau esoteris atau wilayah batin, dan berbeda-beda dalam wilayah eksoteris atau
lahiriyahnya. Perbedaan ini merupakah rahmah dari Tuhan sehingga dengan berbagai
cara manusia dapat mencapai Tuhan.
Demikian cara manusia menyembah Tuhan, masing-masing agama
memiliki caranya sendiri dalam membimbing manusia mengungkapkan
ketundukannya pada Tuhan. Karena saya adalah seorang perempuan yang memiliki
berbagai hambatan dalam menjalani hari-hari saya maka saya berkomunikasi sebagai
seroang perempuan tertentu dengan profesi tertentu dengan kesulitan-kesulitan yang
saya hadapi, kebahagiaan yang saya temui setiap hari dan sebagainya. Doa personal
dalam tradisi agama Kristen, Hindu dan Islam menempati peranan yang cukup
50
Bahtiar, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, h. 46, lihat juga Abdul Madjid Hj. Khatib, Rahasia Sufi Syaikh Abd al-Qadir Jilani (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), Cet. V, h. 73)
86
penting. Dalam Islam ada waktu-waktu yang dianjurkan untuk berdoa kepada Tuhan,
yakni setelah salat, ketika sedang dirundung duka, dan sebagainya. Selain itu ada
anjuran untuk membaca doa tertentu setiap melakukan kegiatan. Misalnya doa makan,
doa tidur, doa bangun tidur, doa memakai pakaian, doa dalam perjalanan dan
sebagainya. Dalam tradisi Kristen, doa-doa ini tidak dibakukan maka seseorang bebas
menyatakan apa pun kepada Tuhan, kapan pun ia menginginkannya. Dengan cara
yang ia kehendaki dengan bahasa yang dia inginkan. Dengan demikian, seringkali
hubungan dan keakraban dengan Tuhan terbangun lebih dalam.
Meskipun demikian, Schuon mengutip kitab Mazmur, bahwa meskipun
sembahyang personal ini bebas dari berbagai aturan, ada adab-adab yang harus
dipenuhi, yaitu bahwa doa ini harus mengungkapkan syukur, pujian terhadap Tuhan,
permohonan maaf atas kesalahan dan kekeliruan, atas kekurangan kita yang tidak
dapat memenuhi Kehendak Ilahi. Adab-adab ini tidak wajib dipenuhi dan merupakan
upaya manusia untuk bersikap sopan dihadapan Tuhan. Melalui doa seseorang
berbicara dengan cara yang paling jujur tentang perasaannya, kondisinya,
ketakutannya kepada Tuhan. Bahkan dengan menyampaikan doa pula manusia dapat
mendapatkan ketenangan untuk melaksanakan sembahyang-sembahyang lainnya.
Sementara sembahyang kanonis menunjukkan seberapa kita tunduk pada
aturan Tuhan. Bahwa sebagai manusia, sembahyang tidaklah terelakkan dalam
eksistensi kita. Sembahyang bukanlah pilihan untuk dilakukan atau tidak
dilakukan--meskipun pada kenyataannya Tuhan tetap mengizinkan manusia
memilih--tetapi memang merupakan cara kita untuk menunjukkan keberadaan kita.
87
Dengan melaksanakan sembahyang kanonis, manusia lepas dari “keakuannya” atau
subjektivitas yang ia miliki dan ia ungkapkan dalam doa-doanya. Manusia lebur
dalam kemanusiaan dan ia tidak ada bedanya dengan orang lainnya ketika
melaksanakan salat. Maka dengan sembahyang kanonislah manusia belajar
memahami esensi menjadi manusia.
Perbedaan yang paling mencolok antara praktik sembahyang dalam tradisi
Islam, Kristen, dan Hindu adalah bahwa dalam tradisi selain Islam, sembahyang
kanonis sifatnya adalah anjuran, bukan kewajiban. Sementara dalam Islam salat
merupakan kewajiban bagi seluruh umat manusia, tanpa kecuali. Salat, puja
Trisandhya, sembahyang tujuh waktu, dan Brevir--terlepas dari bentuknya yang
berbeda-beda--merupakan upaya seseorang melepaskan diri dari “keakuannya” dan
menyatu dalam kemanusiaan.
Schuon menyatakan bahwa universalitas dan nilai nirwaktu dari
sembahyang kanonis menjadi sebuah keniscayaan bagi pelaku sembahyang ini untuk
bersembahyang dengan totalitas, bahwa ayat-ayat Ilahi yang dibaca ketika
melaksanakan sembahyang kanonis menunjukkan sakralitas sembahyang ini. Karena
sembahyang kanonis ini sifatnya sakral dan menempati posisi yang penting dalam
berbagai tradisi agama, seseorang seharusnya mempersiapkan diri sebelum
menjalankan ibadah ini. Yaitu harus bersuci terlebih dahulu, menyucikan pikiran,
badan, pakaian, dan tempat ibadahnya; kemudian memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dan melaksanakan dalam urutan yang telah diatur. Hal ini tentu saja
dipraktikkan dalam berbagai agama, baik itu Hindu, Kristen maupun Islam seperti
88
yang sudah penulis jelaskan di atas.
Terkait dengan sembahyang kalbu Schuon menuliskan sebuah puisi yang
berjudul “The Name51
”:
Thy Name is wine and honey, melody That shapes our sacred way and destiny. Who is the Speaker and who is the Word? Where is the song Eternity has heard? The liberating Word comes from the sky Of Grace and Mercy; and we wonder why Such gift can be; the truth is not so far: Thy Name is That Which is, and what we are.
Dan hanya dengan menyebut nama-Nya berulang kali kita akan
benar-benar sampai pada Dia. Menurut Schuon alasan yang paling tepat dalam
menyebut nama Ilahi adalah untuk mengingat-Nya: yang tidak lain adalah kesadaran
terhadap Sang Maha Absolut. Nama Ilahi mengaktualisasikan kesadaran ini, dan pada
akhirnya abadi dan terus-menerus berkembang dalam jiwa seseorang dan juga
memiliki posisi yang tetap dalam hati manusia, jadi Nama Ilahi menembus
keseluruhan keberadaan dan pada saat yang sama diserap oleh manusia. Kesadaran
terhadap Sang Maha Absolut merupakan hak istimewa intelegensi manusia dan juga
tujuan akhir dari intelek.
Perjalanan sembahyang manusia mengalami berbagai perubahan bentuk
sesuai dengan ruang dan waktu tradisi yang ada tetapi tetap menuju pada satu tujuan.
Dalam tradisi Hindu dalam setiap doa, puja, dan japa nama-nama Tuhan
diulang-ulang sebagai mantra. Pengulangan mantra tidak signifikan dilakukan hanya
pada japa melainkan juga pada ketika berdoa dan menjalankan puja. Akan tetapi,
51 Schuon, Prayer Fashion Man, h.76.
89
tentu saja dalam japa yoga, pengulangan nama Tuhan ini dilakukan lebih intensif,
didahuli dengan inisiasi (baiat) yang menunjukkan berkat yang didapatkan tidak putus
dari guru-gurunya hingga sampai ke Tuhan.
Selain doa, puja dan japa yoga secara umum, perjalanan spiritual
seseorang dalam Hindu terbagi menjadi setidaknya empat cabang, yaitu karma yoga,
bhakti yoga, jnana yoga, dan raja yoga. Doa, puja dan japa yoga seringkali masuk
dalam kategori bhakti yoga. Jalan spiritual melalui doa dan pemujaan terhadap Tuhan.
Sementara dalam karma yoga, ketika seseorang menuju Tuhan melalui jalan
kemanusiaan dan cinta kasih kepada sesama, mungkin definisi tentang sembahyang
dan praktiknya pun berbeda lagi. Sayangnya, dalam skripsi ini penulis tidak
mengelaborasi secara mendetail tentang masing-masing jalan spiritual dalam tradisi
Hindu, melainkan hanya menekankan pada bentuk sembahyang kanonis yang umum
berlaku sejalan dengan pemikiran Frithjof Schuon.
Dalam jnana yoga yang merupakan jalan ilmu pengetahuan, sebagaimana
jalan ma‟rifat dalam tradisi Islam. Menekankan bahwa selain melatih diri kita dengan
berbagai kebiasaan sembahyang, sehingga sembahyang menjadi pakaian bagi kita dan
kita tidak terpisahkan dari sembahyang, juga penting untuk kita mempelajari berbagai
ilmu pengetahuan yang mengantarkan kita pada Tuhan. Terutama adalah ilmu
Ketuhanan. Akan tetapi, hanya melalui sembahyang yang diperintahkan oleh Tuhan,
manusia memohon pertolongan untuk dapat mencapai apa pun tujuan manusia dalam
hidup ini. Dan segala sesuatu tidak akan bisa diraih tanpa pertolongan Langit.
Tentang sembahyang kalbu dalam tradisi Hindu, Schuon menulis:
The Hindu who invokes Shri Rama abandons his own existence for that of his
90
Lord: it is as if he were asleep and Rama were watching and acting for him; he sleeps in Shri Rama, in the divine form of him who is invoked, who takes on all the burdens of the life of the devotee and in the end brings him back into this divine and immutable form itself. The doctrine of Rama is contained in the Râmâyana: the myth retraces the destiny of the soul (Sita) ravished by passion and ignorance (Ravana) and exiled in matter, at the confines of the cosmos (Lanka). Every soul devoted to Shri Rama is identified with Sita, the heroine who is carried off, then rescued.38 Radha, the eternal spouse of Krishna, gives rise to the same symbolism; and he who says Krishna expresses the wisdom hidden in the Mahâbhârata and expounded in the Bhagavad Gîtâ, which is its synthesis and flower.52
Siapa pun yang menzikirkan nama Shri Rama lebur dalam eksistensi
Rama dan menjadi seperti jiwa Sita bagi Rama. Sita, dalam Epos Ramayana, adalah
istri Rama yang diculik oleh Rahwana (simbol kebodohan dan hawa nafsu) dan
kemudian berhasil diselamatkan oleh Rama. Jiwa manusia seperti Sita, yang dikuasai
oleh kebodohan dan hawa nafsu, karenanya dengan menyebutkan nama Rama
berulang-ulang dapat menyelamatkan manusia dari kebodohan tersebut. Artinya
hanya dengan bergantung pada Tuhan manusia dapat terbebaskan dari penderitaan
dunia. Sebagaimana Sita yang menjadi simbol bagi jiwa-jiwa manusia, Radha,
kekasih abadi Krishna pun menjadi simbol bagi jiwa-jiwa yang “hilang” dan ingin
kembali pada Kemurnian Ilahi. Maka sebagaimana Radha yang menyebut nama
Krishna berulang-ulang untuk memenuhi kerinduannya, jiwa manusia yang
merindukan Tuhannya pun demikian.
Tradisi Kristen, Katolik dan Islam, terdapat banyak kemiripan dalam
bentuk sembahyangnya. Tanpa menyebut salat dalam Ortodoks dan Islam yang selain
penyebutannya sama, juga cara menjalankannya sama yaitu dengan berdiri, membaca
doa, ruku‟ dan sujud. Akan tetapi perbedaannya terletak pada detail jumlah rakaat dan
52 Schuon, Prayer Fashions Man, h.73.
91
cara penghitungan rakaat yang dilakukan. Selain itu perbedaannya juga terletak pada
dalam Islam setiap orang yang sudah memenuhi syarat syariat untuk melaksanakan
ibadah (Islam, baligh, berakal, sehat jasmani dan rohani), akan tetapi dalam Gereja
Ortodoks, tidak diwajibkan bagi semua orang, melainkan boleh dilaksanakan bila
setiap orang mau menjalankannya. Akan tetapi yang menjalankan sembahyang tujuh
kali sehari ini dalam Ortodoks hanya biarawan dan biarawati. Umat awam boleh ikut
menjalankan sembahyang 3 kali sehari.
Nama ilahi bermakna bahwa pada satu kondisi partikular tertentu, karena
nama-nama ini merupakan bagian dari bahasa ilahi, dan universal, dan karena nama
ini merujuk pada Prinsip yang Agung, menzikirkan nama Ilahi adalah mengucapkan
sebuah doktrin:
Divine Names have meanings that are at once particular, since they belong to a revealed language, and universal, since they refer to the supreme Principle. To invoke a Divinity is to enunciate a doctrine: he who says “Jesus” says implicitly that “Christ is God”, which means that God “descended” in order that man might “ascend”53
Masing-masing kategori sembahyang yang disebutkan oleh Schuon
dipraktikkan dalam masing-masing agama meskipun ketentuannya berbeda-beda.
Artinya, bahwa dalam setiap agama, doa, sembahyang kanonis dan sembahyang
kalbu memang memiliki peran yang penting dalam spiritualitas seseorang.
Dalam tradisi Islam, terdapat berbagai metode melakukan zikir. Metode
ini berkembang dalam berbagai tradisi tarekat. Contoh yang penulis sebutkan di atas
adalah praktik zikir menurut Tarekat Qadiriyah, Naqsabandiyah yang sempat
berkembang di Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Selain itu
53 Schuon, Prayer Fashions Man, h. 70
92
masih banyak lagi tarekat lain yang mempraktikkan berbagai metode zikir yang
berbeda, misalnya tarekat Syadziliyah, Tarekat Naqsabandiyah Haqqani, dll. Setiap
tarekat memiliki silsilah keilmuan yang sampai pada Nabi Muhammad dan karenanya
ini merupakan bukti berkat Allah menyertai perkembangan tarekat-tarekat ini.
Tentang zikir dalam tradisi Islam, Schuon menuliskan bahwa doktrin
ketuhanan dalam Islam adalah kesatuan (tauhid); dan karena Tuhan itu Satu, maka
kita harus memahami bahwa Tuhan adalah Sang Maha Mutlak dan tidak ada yang
lain selain yang Mutlak. Siapa yang menyebut Allah, artinya menyatakan bahwa,
“there is no Truth or Absolute but the one Turth, the one Absolute.”--sebagai
parafrase terhadap pernyataan syahadah, “la ilaha illa „Llah”.54
Atau dalam
pernyataan veda, “The world is maya (illusion), Brahma is the real.”
Dan berulangkali dikatakan bahwa Islam tidak memandang manusia dari
karakter kejatuhan dan hawa nafsunya, melainkan pada kesadaran ketuhanan dan
karakter dasar kemanusiaan kita, yang karenanya adalah yang membedakan kita dari
hewan, yaitu, intelegensi yang obektif dan secara prinsip tidak terbatas. Dan menurut
Schuon tujuan dari diciptakannya intelegensi manusia adalah untuk mencapai
kesadaran terhadap Sang Maha Absolut, “his salvation being the remembrance of
God.”
Konsekuensinya, secara sederhana adalah fakta bahwa kita manusia,
mewajibkan kita untuk “menjadi Satu”; kita tidak punya pilihan, kita tidak bisa
menuntut nasib kita mengubah kita menjadi burung atau bunga; kita dikutuk untuk
menuju Sang Nirbatas (Infinite).
54 Schuon, Prayer Fashions Man, h. 70.
93
Selain dalam ketiga agama tersebut, dalam artikel “Modes of Prayer”, Schuon juga
menuliskan tentang zikir dalam tradisi Buddhisme. Yaitu pada sekte Jodo Shinsu, menzikirkan
nama Buddha Amitabha akan membawa manusia dibangkitkan kembali dalam Tanah Murni
(Pure Land). Menzikirkan nama Buddha Amitabha atau yang dikenal dengan Nembutsu
(Jepang) atau Nian-fo (Cina) merupakan ritual berzikir yang dilakukan pada waktu-waktu
tertentu sebagai latihan, untuk kemudian terus dizikirkan tanpa putus sepanjang hari dan
sepanjang kehidupan sang hamba. Ini sejalan dengan sumpah Buddha Amitabha untuk
menyelamatkan orang-orang yang menyebut nama-Nya sebagai doktrin penyelamatan. Mereka
yang melaksanakan Nembutsu akan memasuki lingkaran cahaya Ampunan; ia akan
menemukan keamanan dalam cahaya yang diberkahi oleh Nama Ilahi; ia akan ditarik ke dalam
penyerahan diri yang sempurna dan juga rasa syukur yang sempurna. Ajaran Amida Buddha
termaktub dalam tiga kata ini: kemurnian, zikir (invocation) dan iman.
Dalam tulisan ini penulis berupaya menunjukkan kepada pembaca
sekalian bahwa pemikiran Schuon memiliki relevansi bagi keberagamaan kita dewasa
ini, yaitu untuk memandang perbedaan dalam berbagai agama sebagai rahmat. Bahwa
melalui keunikan dalam cara manusia menyembah Tuhan berdasarkan ajaran
agamanya masing-masing, ada tujuan yang sama di balik perbedaan tersebut.
Pemikiran Schuon tentang tiga kategori sembahyang ini merupakan titik temu dari
perbedaan cara beribadah tersebut. Bahwa meskipun kita berdoa dengan menyebut
nama Ganesha, Krishna, Siwa , Allah, YHWH, Yesus; ketika kita berdoa dengan
membawa kebutuhan subjektif kita, maka doa tersebut adalah doa personal. Yang
dengannya kita membangun hubungan yang sangat personal dengan Tuhan.
Sementara sembahyang kanonis menempati perannya sendiri dalam
94
peribadatan manusia, yaitu agar kita dapat mulai menanggalkan keakuan dan bersatu
dalam kemanusiaan. Bahwa ketika kita menjalankan salat atau puja atau brevir, kita
tidak sedang menyampaikan permhonan personal kita, “Aku” lebur dalam “Kami”.
Sehingga dalam salat kita, tidak ada permasalahan personal yang kita hadirkan di
hadapan Tuhan.
Sembahyang kalbu, bagi Schuon, merupakan sembahyang paling esensial.
Karena inti dari setiap sembahyang yang lain, inti dari kita berdoa adalah untuk
mengingat Tuhan, demikian halnya salat atau sembahyang kanonis bertujuan sebagai
sarana zikrullah (mengingat Allah), maka tidak heran jika Schuon menekankan
tentang pentingnya sembahyang kalbu. Selain itu Schuon juga menjelaskan bahwa
Nama Ilahi adalah penyelamat bagi jiwa manusia yang “dikuasai” oleh hawa nafsu
dan kebodohan. Hanya melalui Nama Ilahi manusia dapat mendapatkan pertolongan
dari Langi. [ ]
95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini penulis mendapatkan kesimpulan bahwa
sembahyang menempati peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia
dalam pandangan Schuon. Karena pentingya, Schuon menyatakan “Sum ergo Oro: I
am: therefore I pray.” Schuon menyandarkan eksistensi manusia pada sembahyang,
yang dengan demikian manusia baru dapat menunjukkan keberadaannya melalui
sembahyang.
“Spiritual realization is theoretically the easiest thing and in practice the most
difficult thing there is. It is the easiest because it is enough to think of God. It is the most
difficult because human nature is forgetfulness of God.” Pernyataan Schuon ini sangatlah
dalam maknanya. Karena sifat dasar manusia itu melupakan Tuhan, maka manusia perlu
pengingat konstan untuk tetap “ingat” kepada Tuhan. Dan Tuhan memahami hal tersebut,
maka Tuhan membuat aturan-aturan yang melaluinya manusia dapat secara konssiten
mengingat Tuhan. Dan aturan tersebut adalah sembahyang.
Sembahyang adalah pengikat antara manusia dengan Tuhan, yang melaluinya
manusia dapat berkomunikasi dengan Tuhan, baik itu mengungkapkan keluh kesah dan
kegelisahannya, juga menyampaikan betapa ia bergembira dalam kehidupan ini melalui yang
disebut Schuon sebagai sembahyang personal atau doa. Tuhan juga melepaskan manusia dari
“Keakuan” pribadinya melalui sembahyang kanonis, yang melaluinya seseorang tidak lagi
menyatakan permohonan pribadi, melainkan ia menjadi bagian dari kemanusiaan secara
96
96
umum. Tidak ada lagi “Aku” personal yang dapat mengklaim bahwa ini salat saya, ini adalah
ibadah saya, “Aku” lebur dalam salat dan karenanya salat lebih tinggi dibandingkan dengan
doa.
Yang terakhir adalah sembahyang kalbu, yang di dalamnya termasuk pula zikir,
hesychasm, salam Maria, Doa Yesus, Nembutsu, Om mani padme Hum, japa yoga, dan
sebagainya. Inti dari sembahyang ini adalah menyebut Nama Tuhan berulang kali sehingga
kita dapat merasakan Nama-Nya dalam seluruh tubuh kita, termasuk dalam pikiran kita dan
kita lebur dalam Nama Ilahi. Banyak sekali karya-karya mistikus baik itu para sufi maupun
mistikus dalam berbagai tradisi agama menyatakan bahwa Tuhan identik dengan nama-Nya.
Karenanya menyebut Nama Tuhan adalah menyebut Hakikat-Nya. Dengan menyebut Nama
Tuhan manusia dapat sampai pada kebahagiaan sejati. Schuon juga memasukkan meditasi
sebagai bagian dari sembahyang kalbu. Sebenarnya meditasi merupakan perantara bagi jiwa
untuk masuk pada alam yang lebih dalam lagi. Karena jiwa dan pikiran manusia seringkali
berkelana ke berbagai hal, sehingga sukar untuk fokus pada satu hal, apalagi ketika hal
tersebut adalah hal abstrak yang tidak dapat dipersepsi oleh panca indra. Maka meditasi
menjadi awal yang baik untuk memulai berzikir atau mengulang-ulang Nama Tuhan. Dalam
Islam meditasi disebut dengan tafakur; dalam Hindu dikenal dengan istilah meditasi atau
samadhi, demikian halnya dalam tradisi Buddha; yang tujuannya adalah sama, memfokuskan
pikiran pada satu titik yaitu Tuhan, baik itu diperantarai dengan melihat Nama Tuhan, atau
atribut-atribut keagamaan tertentu yang bisa mengantarkan pikiran manusia untuk fokus pada
Tuhan.
Dalam tulisan-tulisannya Schuon menekankan pada thesis utamanya
tentang Transcendent Unity of Religions, bahwa semua agama bertemu pada satu titik
di level transenden atau pada ajaran esoterisnya (ajaran tasawuf dan mistisismenya),
97
97
sementara pada level eksoteris atau ajaran syariahnya, agama berbeda-beda. Dengan
demikian perbedaan ini adalah rahmah, karena melalui perbedaan yang ada, manusia
menuju pada satu titik yang sama. Dalam berbagai tradisi agama sembahyang
personal atau doa menjadi cara-cara manusia mengungkapkan syukurnya dalam
berbagai kondisi kehidupannya. Dalam Islam, sembahyang personal seringkali
dibakukan dalam bentuk-bentuk tertentu untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad,
tetapi hal itu sebenarnya bukanlah kewajiban, melainkan menjadi bentuk-bentuk yang
dianjurkan semata. Hal ini menjadi kebaikan bagi sebagian orang yang memang ingin,
tetapi tidak bisa disamaratakan untuk semua orang. Ada orang-orang tertentu yang
merasa lebih bebas mengungkapkan keinginannya dalam bahasanya sendiri, ada
orang-orang yang merasa lebih akrab dengan Tuhan jika ia berbicara dengan
bahasanya bukan bahasa Arab yang kurang dikuasainya, dsb. Dalam tradisi Kristen,
pembakuan berbagai aturan tidak terlalu kaku, seseorang merasa lebih bebas
mengungkapkan apa pun di hadapan Tuhan, tidak terbatas pada bahasa maupun
bacaan tertentu saja, dengan demikian manusia dapat merasa lebih akrab dengan
Tuhan, karena berkomunikasi dengan Tuhan melalui cara-cara yang sangat personal,
dan masing-masing orang memiliki caranya sendiri-sendiri.
Sementara manusia dituntut ketaatannya dalam sembahyang kanonis,
bahwa dalam kondisi apa pun manusia harus melaksanakan sembahyang di hadapan
Tuhan dengan memenuhi syarat-syarat dan aturan-aturan yang telah ditetapkan.
Dalam tradisi Kristen Ortodoks, sembahyang kanonis dipraktikkan melalui
sembahyang tujuh waktu, yakni dilaksanakan pada tengah malam, dini hari ketika
98
98
orang-orang terlelap, pagi hari seusai matahari terbit, pada pagi menjelang siang, pada
siang hari, sore hari, pada saat matahari terbenam dan malam hari. Berbeda dengan
Islam yang melaksanakan sembahyang kanonis atau salat lima kali sehari saja.
Praktik sembahyang kanonis ini dalam tradisi agama Hindu dan Kristen menjadi
upaya untuk menyucikan waktu dengan mengingat Tuhan, dengan kembali pada
Tuhan.
Sementara sembahyang kalbu hendaknya menjadi bagian dari tarikan
napas manusia. Zikir yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu merupakan latihan
bagi jiwa manusia untuk senantiasa berzikir sepanjang waktu. Seperti kata St.
Aquinas, “to pray without ceasing.” Sembahyang yang ideal dilakukan sepanjang
waktu sehingga tiada satu detik pun terlewati tanpa kita menyebut Nama-Nya.
Schuon sangat menekankan pentingnya sembahyang kalbu ini. Karena
memang eksistensi manusia benar-benar tergantung pada kemurahan Ilahi, dan hanya
dengan mengingatnya manusia dapat benar-benar menyadarinya. Sembahyang kalbu
merupakan sembahyang yang paling esensial, kemudian diikuti dengan sembahyang
kanonis dan sembahyang personal. Sembahyang kalbu meskipun bukan kewajiban
sebagai umat Islam, tetapi tetap menempati peranan penting dalam Al-Quran.
Misalnya dalam QS Al-Ankabut:45 Allah berfirman, “...wa la zikrullahi akbar...”
(Dan berzikir kepada Allah itu lebih agung). Dan karenanya zikir tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan umat Islam. Tujuan dari setiap sembahyang adalah
mengingat Allah, berkomunikasi dengan Allah. Karenanya baik doa maupun salat
merupakan bagian dari zikrullah, tidak cukup hanya bibir kita yang bergetar karena
99
99
nama Allah, melainkan kalbu kita juga harus bergetar dengan menyebut Nama-Nya
tanpa putus.
B. Saran
Saran penulis bagi penelitian selanjutnya, adalah agar bisa dielaborasi
lebih dalam lagi pada masing-masing aspek sembahyang dalam tradisi agama-agama.
Bukan sekadar menitikberatkan pada praktik sembahyangnya saja tetapi juga pada
filosofi maupun aspek mistisismenya (tasawuf). Selain itu bisa juga menekankan pada
sembahyang kalbu dalam tradisi agama tertentu seperti Hesychasm dalam tradisi
Kristen Ortodoks atau Nembutsu dalam tradisi Jodo Buddhisme.
Selain itu berbagai praktik sembahyang dalam berbagai agama dapat
dijadikan bahan penelitian, misalnya praktik sembahyang dalam sekte Hindu tertentu.
Sebagaimana yang kita tahu hindu terbagi dalam berbagai jalan, bisa diteliti lebih
jauh bagaimana sembahyang dalam pandangan penganut karma yoga atau jnana yoga,
dan lain sebagainya. Dalam Islam sendiri, praktik sembahyang dalam beberapa sekte
Islam bisa jadi berbeda disesuaikan penafsiran mereka terhadap ayat al-Quran itu
sendiri. Misalnya dalam Syiah Ismailiyah melaksanakan salat dalam waktu yang
berbeda dengan aliran Islam yang lain, dll.
Pendalaman terhadap praktik-praktik sembahyang dalam berbagai agama
dapat terus dilakukan mengingat setiap agama berkembang, ke arah yang lebih baik.
Artinya bukan dalam hal perubahan terhadap berbagai bentuk sembahyagnnya
melainkan agama berkembang ke segala penjuru dunia dengan cepatnya
100
100
perkembangan teknologi dan informasi. Sebelumnya di Indonesia tidak ada aliran
Jodo Buddhisme, misalnya, beberapa tahun ke depan bisa jadi sudah ada; atau tarekat
tertentu yang sebelumnya tidak berkembang di Indonesia, kini bisa jadi terus
berkembang. [ ]
101
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam Abu Hamid. Rahasia Zikir dan Doa diterjemahkan oleh
Muhammad al-Baqir. 2014. Jakarta: Mizan.
Arifin, Zaenul. “Menuju Dialog Islam dan Kristen” dimuat pada Jurnal
Walisongo, Volume 20, Nomor 2, Mei 2012.
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama: Dari Era Teosofi Indonesia
(1901-1940) hingga Masa Reformasi. 2015. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Bahtiar, Amsal. “Tarekat Qadiriyah” dalam buku Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia ed. Sri Mulyati. 2004. Jakarta: Prenada Media.
Bharati, Svami Veda. Mantra, Inisiasi, Meditasi & Yoga. 2002. Surabaya:
Paramita.
Chittick, William & Seyyed Hossein Nasr (ed). The essential Seyyed Hossein
Nasr. 2007. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.
Cutsinger, James S. Advice to The Serious Seeker: Meditations on the Teaching of
Frithjof Schuon. 1997. Albany: State University of New York Press.
Fitzgerald, Michael Oren, Frithjof Schuon Messenger of the Perennial
Philosophy. 2010. Bloomington (Indiana): World Wisdom.
Ghali, Dr. Mohammad Mahmoud. Sembahjang al-Salat diterjemahkan oleh Dr.
Fuad Mohd. Fachruddin. TT. Diterbitkan oleh Majelis Tinggi Urusan
Agama Islam.
Guenon, Rene. Introduction to the Study of Hindu Doctrines. 1945. London:
Luzac & Co.
Husain, Syarif Hidayatullah. Salat dalam Mazhab Ahlulbait: Kajian Al-Quran,
Hadis, Fatwa dan Ilmiah. 2007. Jakarta: Penerbit Lentera.
102
Kazhemi, Reza Shah, “Frithjof Schuon and Prayer” dimuat dalam Jurnal Sophia
4.2, Winter 1998.
Laude, Patrick. Pray Without Ceasing: The Way of Invocation in World Religions.
2006. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.
Masyhur, Dr. H. Kahar. Salat Wajib: Menurut Mazhab yang Empat. 1995.
Jakarta: Rineka Cipta.
Nasr, Seyyed Hossein (ed). The Essential Frithjof Schuon. 2005. Bloomington
(Indiana): World Wisdom Inc.
Nasr, Seyyed Hossein. “Introduction to the first edition” dalam buku Ideals and
Realities of Islam- New Revised Edition. 2000. Chicago: ABC
International Group, Inc.
Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. 1989. New York: State
University of New York Press.
Oldmeadow, Harry, “Traditionalism and the Sophia Perennis” dalam buku
Journeys East: 20th Century Western Encounters with Eastern
Religious Traditions. 2004. Bloomington (Indiana): World Wisdom.
Rasyid, Hamdan, Dr. H. M. Konsep Zikir Menurut Al-Quran dan Urgensinya bagi
Masyarakat Modern: Suatu Kajian Tafsir Tematik dengan pendekatan
Sufistik. TT. Jakarta: Insan Cemerlang.
Schuon, Frithjof. “The Vedanta” dan “The View of Yoga” dalam buku Language
of the Self. 2003. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.
Schuon, Frithjof. Prayer Fashions Man: Frithjof Schuon on Spiritual Life, ed.
James S. Cutsinger. 2005. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.
Schuon, Frithjof. Understanding Islam. 1998. Bloomington (Indiana): World
Wisdom Inc.
Schuon, Frithjof. The Fullness of God: Frithjof Schuon on Christianity, ed. James
S. Cutsinger. 2004. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.
103
Schuon, Frithjof. Transfiguration of Man. 1993. Bloomington (Indiana): World
Wisdom Inc.
Schuon, Frithjof. Treasure of Buddhism. 1993. Bloomington (Indiana): World
Wisdom Inc.
Schuon, Frithjof. World Wheel. Volume IV-VII. 2006. Bloomington (Indiana):
World Wisdom Inc.
Shah-Kazemi, Reza. “Frithjof Schuon and Prayer”, an article that was initially
published in Sophia 4,2. 1998.
Schuon, Frithjof. “The Play of Masks,” dari buku dengan judul yang sama Play of
Masks. 1992. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.
Schuon, Frithjof. “Christian Gnosis,” from The Essential Sophia edited by Seyyed
Hossein Nasr & Katherine O’Brien. 2006. Bloomington (Indiana):
World Wisdom Inc.
Tim Redaksi KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa.
Wiana, I Ketut, Drs, M.Ag. Sembahyang menurut Hindu. 2006. Surabaya:
Paramita.
top related