referat sumbatan hidung - uti
Post on 19-Jan-2016
130 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hidung merupakan organ berbentuk piramid yang terdiri atas pangkal hidung
(bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela, dan
lubang hidung (nares anterior)1. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang
rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Rongga hidung dan kavum nasi
berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian
tengah menjadi kavum nasi kanan dan kiri1.
Sumbatan hidung merupakan salah satu keluhan utama pada penyakit atau kelainan
hidung1. Gejala sumbatan hidung meskipun bukan suatu gejala penyakit yang berat, tetapi
dapat menurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab sumbatan hidung
dapat bervariasi dari berbagai penyakit seperti polip hidung, rinitis alergi, rinitis
vasomotor, tumor hidung dan sinonasal, serta dapat disebabkan oleh kelainan anatomi
seperti deviasi septum nasi1,2. Di Brazil pada tahun 2004pernah dilaporkan insiden deviasi
septum nasi mencapai 60,3 % dengan keluhan sumbatan hidung sebanyak 59,9%2.
Di RSUP M. Djamil Padang, dari 40 orang pasien yang berobat ke poliklinik THT-
KL pada bulan Oktober 2011 hingga September 2012, ditemukan keluhan utama
terbanyak adalah hidung tersumbat 24 orang (68%), begitu juga pada pasien rinosinusitis
akut, dari 23 pasien ditemukan keluhan utama terbanyak adalah hidung tersumbat dan
ingus ditenggorok sebanyak 7 orang (47%). Pada pasien rinosinusitis dengan polip, dari
19 pasien didapatkan keluhan utama terbanyak adalah hidung tersumbat 17 orang (89%)3.
Sumbatan hidung dapat terjadi oleh beberapa faktor, oleh karena itu diperlukan
anamnesis yang teliti untuk mengetahui penyakit yang menyebabkan keluhan sumbatan
pada hidung ini1. Referat ini bertujuan untuk membahas penyebab-penyebab tersering
hidung tersumbat sampai ke penatalaksanaan hidung tersumbat seusai dengan
penyebabnya.
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai sumbatan hidung dan penyakit-penyakit yang dapat
menimbulkan gejala sumbatan hidung.
1
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui sumbatan hidung dan penyakit-
penyakit yang dapat menimbulkan gejala sumbatan hidung.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk
kepada berbagai literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:1
1. pangkal hidung (bridge),
2. batang hidung (dorsum nasi),
3. puncak hidung (hip),
4. ala nasi,
5. kolumela dan
6. lubang hidung (nares anterior).
Gambar 2.1. Anatomi Hidung Bagian Luar4
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1
1. tulang hidung (os nasalis),
2. prosesus frontalis os maksila dan
3. prosesus nasalis os frontal
3
Gambar 2.2. Anatomi Kerangka Hidung5
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu: 1
1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),
3. beberapa pasang kartilago alar minor dan
4. tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring1.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise1.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista
nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela1.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan
dinding lateral hidung licin, yang disebut agger nasi dan dibelakangnya terdapat konka-
konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung1.
4
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi
ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema
disebut juga rudimenter1.
Gambar 2.3 Anatomi Dinding Lateral Rongga Hidung5
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit
melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior1.
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior
merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding
superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung1.
5
Pendarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis
interna1.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna,
di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media1.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach.
Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering
menjadi sumber epistaksis terutama pada anak1.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial1.
Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus.
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila
melalui ganglion sfenopalatina1.
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima serabut-
serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor
dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatina terletak di
belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media1.
Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung1.
6
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium) yang
mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet1.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-
kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet1.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya
sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung1.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah
epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar
mukosa dan jaringan limfoid1.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler
dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid
vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada
bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan
mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan
demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang
mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini
dipengaruhi oleh saraf otonom1.
7
2.2 Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah: 1
1. Fungsi respirasi
Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik local.
Udara inpirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu
naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus1.
Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara
inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya1.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas1.
Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
dihidung oleh: 1
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir
Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan reflex bersin.
2. Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir
atau bila menarik napas dengan kuat1.
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa
manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis
strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal
dari cuka dan asam jawa1.
3. Fungsi fonetik
Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
8
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau (rinolalia)1.
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan konsonan
nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun
untuk aliran udara1.
4. Fungsi statik dan mekanik
Untuk meringankan beban kepala1.
5. Reflex nasal.
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung dan pankreas1.
2.3 Sistem Transpor Mukosilier
Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung
terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya yang terhirup bersama udara.
Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir.
Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa
submukosa1.
Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa, sedangkan pada bagian
permukaannya terdiri dari mukus yang lebih elastik dan lebih banyak mengandung
protein plasma seperti albumin, IgG, IgM, dan faktor komplemen. Sedangkan cairan
serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA
sekretorik (s-IgA)1.
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus berfungsi untuk pertahanan lokal yang
bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan
dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi di
dalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri1.
Pada sinus maksila, sistem transpor mukosilier menggerakkan sekret sepanjang
dinding anterior, medial, posterior, dan lateral serta atap rongga sinus membentuk
gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium sekret
9
akan lebih kental tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan
berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan melewati mukosa
yang rusak tersebut. Tetapi, jika sekret lebih kental maka sekret akan terhenti pada
mukosa yang mengalami defek1.
Gerakan sistem transpor mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral.
Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, lalu ke atap, dinding lateral, dan bagian
inferior dari dinding anterior dan posterior menuju resesus frontal. Gerakan spiral
menuju ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan pada sinus etmoid terjadi
gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika
ostiumnya terdapat pada salah satu dindingnya1.
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transpor mukosilier. Rute pertama
merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila, dan etmoid anterior. Sekret ini
biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid yang selanjutnya akan berjalan
menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior
menuju nasofaring melewati bagian antero-inferior orifisium tuba eustachius. Transpor
aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya
jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan1.
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang
bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior
orifisium tuba eustachius1.
Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung dengan sekret
rute pertama, yaitu di inferior dari tuba eustachius. Sekret pada septum akan berjalan
vertikal ke arah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian
inferior tuba eustachius1.
2.4 Penyakit yang dapat Menyebabkan Sumbatan Hidung
Penyebab sumbatan hidung dapat bervariasi dari berbagai penyakit seperti polip
hidung, rinitis alergi, rinitis vasomotor, rinosinusitis, tumor hidung dan sinonasal, serta
dapat disebabkan oleh kelainan anatomis seperti deviasi septum nasi1,2.
1.1.1. Polip Hidung
1.1.1.1. Definisi
Polip hidung adalah massa lunak yang bertangkai, yang mengandung banyak
cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, permukaannya licin,
yang terjadi akibat inflamasi mukosa1,6.
10
1.1.1.2. Etiologi dan Patogenesis
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi
saraf otonom serta predisposisi genetik. Berdasarkan teori Bernstein, polip nasi
disebabkan oleh terjadinya peribahan mukosa hidung akibat peradangan atau
aliran udara yang berturbulensi, terutama di daerah sempit kompleks ostio-
meatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan
pembentukan kelenjar baru, juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh
permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip1.
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor, terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan dilepaskannya sitokin-
sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema. Apabila proses terus
berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian
akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai1.
1.1.1.3. Gejala Klinis
Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung rasa tersumbat, dari yang
ringan hingga berat. Selain itu terdapat rinore mulai dari yang jernih hingga
purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin dapat disertai bersin-bersin, rasa nyeri
pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Apabila disertai infeksi
sekunder, mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder
yang dapat timbul berupa bernapas melalui mulut, suara sengau, halitosis,
gangguan tidur, dan penurunan kualitas hidup1.
Polip nasi juga dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah berupa
batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.
1.1.1.4. Klasifikasi
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997):1
1. Stadium 1
Polip masih terbatas di meatus medius.
2. Stadium 2
Polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum
memenuhi rongga hidung.
3. Stadium 3
Polip yang masif.
11
1.1.1.5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
1. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditanyakan gejala-gejala yang terjadi pada pasien
polip nasi. Selain itu juga harus ditanyakan adanya riwayat rinitis alergi, asma,
intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan1.
2. Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar
sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior, polip akan terlihat sebagai massa yang
berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan1.
Pada polip dengan stadium 1 dan 2 terkadang polip nasi tidak terlihat
dengan pemeriksaan rinoskopi anterior, namun akan tampak dengan
menggunakan nasoendoskopi1.
Makroskopis
Secara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan
permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan,
agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (tidak
terasa sakit bila ditekan/ditusuk). Warna polip yang pucat dikarenakan
mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Apabila
terjadi iritasi kronis atau proses peradangan, maka warna polip dapat berubah
menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat
menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat1.
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostio-meatal di
meatus medius dan sinus etmoid. Apabila diperiksa dengan endoskop,
mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Terdapat polip yang tumbuh
ke arah belakang dan membesar di nasofaring yang disebut polip koana. Polip
koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip
antro-koana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus
etmoid1.
12
Mikroskopis
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa
hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang
lembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eusinofil, neutrofil dan
makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan
kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia
epitel karena sering terkena aaliran udara, menjadi epitel transisional, kubik
atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi1.
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2,
yaitu polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik1.
3. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam
sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan CT Scan sangat
bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal
apakah ada kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal.
CT Scan terutama diindikasikan pada pasien dengan polip yang gagal diobati
dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi1.
1.1.1.6. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan
keluhan-keluhan, mencegah komplikasi, dan mencegah rekurensi polip1.
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi, disebut juga
dengan polipektomi medikamentosa. Dapat diberikan topikal atau sistemik. Pada
polip tipe eosinofilik memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan
kortikosteroid intranasal dibandingkan tipe neutrofilik1.
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip
yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi
polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi lokal,
emoidektomi intranasal atau emoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi
Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Namun, apabila tersedia fasilitas endoskop,
maka penatalaksanaan yang terbaik adalah dengan melakukan tindakan BSEF
(Bedah Sinus Endoskopi Fungsional)1.
13
1.1.2. Rinitis Alergi
1.1.1.1. Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986)1.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE1.
1.1.1.2. Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien
yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara
jelas memiliki peran penting. Pada 20 – 30% semua populasi dan pada 10 – 15%
anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4
kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi
yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang
respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi1.
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk
bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu
binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain1.
1.1.1.3. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam1.
14
Gambar 2.4 Reaksi Alergi1
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung1.
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti
interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi
Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5,
dan IL 131.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E
(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)1.
15
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1)1.
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung1.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic
Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major Basic Protein (MBP),
dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi1.
1.1.1.4. Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu: 1
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang
mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen)
dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau rino
konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan
mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjangt ahun (perenial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus,tanpa variasi
musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering
16
adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar
rumah (outdoor). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur.
Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya
disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan.
Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan
golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih
sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 1
1. Intermiten (kadang-kadang)
Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi : 1
1. Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
1.1.1.5. Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala
rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat
kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik,
yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap
patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama
17
merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin1.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis
alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-
kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien1.
Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan
gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner1.
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena
gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute.
Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic
crease1.
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic
tongue)1.
1.1.1.6. Penatalaksanaan
Terapi yang paling ideal dan utama pada rinitis alergi adalah dengan
menghindari kontak (avoidance) dengan allergen penyebabnya (seperti tungau
debu, bulu binatang) dan bahan iritan (seperti asap tembakau)1,7. Tujuan
tatalaksana pada rinitis alergi adalah untuk menghilangkan gejala yang timbul7.
18
Medikamentosa
1. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini
pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral1.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai
efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar
darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak
mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP
minimal (non-sedatif)1.
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta
efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut
keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan
repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel,
henti jantung dan bahkan kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran).
Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan
levosetirisin1.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk
beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa1.
2. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor1.
19
3. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung
akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid,
flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal
bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung,
mencegah pengeluaran protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas
limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung
tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat
dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan
mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator
dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses
inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit.
Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis1.
4. Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan1.
Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat1.
Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG
blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum
dilakukan yaitu intradermal dan sublingual1.
\
20
Gambar 2.5 Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO
Initiative ARIA 2001 (dewasa)1
21
1.1.3. Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya
infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid) dan pajanan
obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-blocker, aspirin, klorpromazin, dan obat
topikal hidung dekongestan1.
Kelainan ini memiliki gejala yang mirip dengan rinitis alergi, namun gejala yang
dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi
pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang disertai
dengan gejala mata1. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran edema
mukos hidung, konka merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini
perlu dibedakan dari rinitis alergi. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol- benjol
(hipertrofi). Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
rhinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinofilia pada sekret hidung, namun dalam
jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif, kadar IgE spesifik tidak meningkat1.
Gejala hidung tersumbat pada rhinitis umumnya memberikan respon yang baik
dengan terapi glukokortikosteroid topical dan vasokonstriktor oral.
1.1.4. Sinusitis
1.1.4.1. Definisi
Inflamasi mukosa sinus paranasal yang umumnya disertai atau dipicu oleh
rinitis, sehingga sering disebut rinosinusitis1. Umumnya sinusitis dipicu oleh
rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis1. Rinosinsitis didefinisikan sebagai
inflamasi pada hidung dan sinus paranasal yang dikarakteristikkan dengan dua
atau lebih gejala, dimana salah satunya haruslah berupa sumbatan hidung/
obstruksi/ keluarnya sekret hidung (anterior/ posterior nasal drip), selain itu
adanya nyeri wajah atau nyeri tekan pada wajah, penurunan ketajaman penghidu8.
1.1.4.2. Etiologi
Etiologi dan predisposisi pada sinusitis antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita haamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan
imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener1.
22
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin
dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama kelamaan menyebabkan
perubahan mukosa dan merusak silia1.
1.1.4.3. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosilier di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi
antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan1.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjdi
edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat, sehingga terjadi tekanan negatif di dalam rongga
sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini
bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bakterial dan biasanya dapat sembuh
dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Namun, bila kondisi ini menetap, sekret
yang terkumpul dalam sinus akan menjadi media yang baik untuk tumbuhnya dan
multiplikasi bakteri. Pada kondisi ini sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut
rinosinusitis akut bakterial dan membutuhkan terapi antibiotik1.
Apabila terapi tidak berhasil dan inflamasi berlanjut,akan terjadi hipoksia dan
bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak dan ini merupakan
rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi
kronik, yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan
ini mungkin dibutuhkan tindakan operasi1.
1.1.4.4. Gejala Klinis
Keluhan utama rinosinusitis akut adalah hidung tersumbat yang disertai nyeri/
rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok
(post nasal drip). Dapat juga disertai dengan gejala sistemik seperti demam dan
lesu1. Menurut kriteria EPOS, rinosinusitis dikarakteristikkan dengan dua atau
lebih gejala, salah satunya haruslah sumbataan hidung/ obstruksi/ sekret hidung
(anterior/ posterior nasal drip), selain itu nyeri wajah/ nyeri tekan pada wajah,
penurunan atau kehilangan penghidu. Dan berdasarkan temuan endoskopik dapat
juga ditandai dengan polip hidung, sekret yang mukopurulen secara primer dari
meatus media dan atau udem/ obstruksi mukosa secara primer pada meatus media
23
dan atau perubahan pada CT Scan yaitu perubahan mukosa pada KOM dan atau
sinus8.
1.1.4.5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis akan didapatkan gejala-gejala yang
dikeluhkan penderita1.
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan naso-endoskopi. Pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan
untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khasnya adalah adanya pus di
meatus media (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di
meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid)1.
Pada rinosinusitis akut, mukosa akan edem dan hiperemis. Pada anak sering
terdapat pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius1.
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi Waters, PA, dan lateral umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Pada kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. CT
scan sinus merupakan gold standard pada diagnosis sinusitis karena mampu
menilai anatomi hidung dan sinus1.
1.1.4.6. Penatalaksanaan
Tujuan terapi sinusitis adalah:
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik.
Medikamentosa
Prinsip pengobaatan adalah dengan membuka sumbatan pada KOM sehingga
drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami1.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan
penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman telah resisten atau memproduksi beta-
laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin
generasi ke-2. Pada sinusitis, antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun
24
gejala klinis sudah hilang1. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai
dengan kuman gram dan anaerob.
Selain dekingestan oral dan topikal, jika perlu juga dapat diberikan analgetik,
mukolitik, steroid oral/ topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau
pemanasan(diatermi). Bila ada alergi berat, diberikan antihistamin generasi ke-2.
Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan yang berat1.
Tindakan Operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/ FESS) merupakan operasi terkini
untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya untuk dilakukan
operasi adalah sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat;
sinusitis kronik disertai disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip
ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur1.
1.1.5. Deviasi Septum Nasi
1.1.1.1. Definisi
Deviasi septum nasi didefinisikan sebagai bentuk septum yang tidak lurus di
tengah sehingga membentuk deviasi ke salah satu rongga hidung atau kedua
rongga hidung yang mengakibatkan penyempitan pada rongga hidung2.
Bentuk septum nasi normal ialah lurus di tengah rongga hidung, namun pada
orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garus tengah. Deviasi
septum nasi yang ringan tidak akan mengganggu, namun pada septum deviasi
yang cukup berar dalap menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung1.
1.1.1.2. Etiologi
Penyebab deviasi septum nasi yang tersering adalah trauma. Trauma yang
terjadi dapat berupa fraktur fasial, fraktur nasal, fraktur septum, atau akibat
trauma saat lahir1,2. Penyebab lainnya adalah ketidakseimbangan pertumbuhan.
Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, sedangkan batas superior dan inferior
telah menetap, sehingga terjadilah deviasi pada septum nasi1.
25
1.1.1.3. Klasifikasi
Deviasi septum nasi dibagi Mladina atas beberapa klasifikasi berdasarkan
letak deviasi (Gambar 2), yaitu2,9,10:
1. Tipe I. Benjolan unilateral, tidak meluas sepanjang kavum nasi, tidak kontak
dengan dinding lateral hidung yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II. Deviasi vertikal anterior. Deviasi kontak dengan katup hidung,
menyebabkan gangguan fungsi.
3. Tipe III. Deviasi vertikal, posterior. Deviasi dekat kepala konka media / area
osteomeatal.
4. Tipe IV. Disebut juga tipe S dimana septum bagian posterior dan anterior
berada pada sisi yang berbeda. Tipe ini merupakan kombinasi dari tipe II dan
III.
5. Tipe V. Tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain
masih normal.
6. Tipe VI. Tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII. Kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.
Gambar 2.6 Klasifikasi Septum Nasi menurut Mladina10
26
Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya
keluhan yaitu10:
1. Ringan : deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada
bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
2. Sedang : deviasi kurang dari setengah rongga hidung tetapi ada sedikit
bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
3. Berat : deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral
hidung
1.1.1.4. Pemeriksaan Fisik Deviasi Septum Nasi
Deviasi septum nasi dapat terlihat dengan mudah pada pemeriksaan rinoskopi
anterior. Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk
menilai deviasi septum bagian posterior atau untuk melihat robekan mukosa2.
1.1.1.5. Gejala Klinis
Keluhan yang paling sering dikeluhkan pada pasien dengan deviasi septum
nasi adalah sumbatan hidung, baik unilateral maupun bilateral, hal ini
dikarenakan pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada sisi
sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi sebagai akibat mekanisme kompensasi1,2.
Keluhan lainnya dapat berupa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu
penciuman dapat terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis1,2.
1.1.1.6. Penatalaksanaan
Bila tidak ada gejala atau keluhan yang sangat ringan, tidak perlu dilakukan
tindakan koreksi septum. Sedangkan pada pasien dengan keluhan yang nyat,
terdapat 2 jenis tindakan operatif yaitu reseksi submukosa dan septoplasti1.
1. Reseksi Submukosa
Pada operasi ini muko-perikondrium dan mukoperiostium kedua sisi
dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang
rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan
mukoperiostium sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah1.
27
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadinya
hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung oleh karena
bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat1.
2. Septoplasti
Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian
yang berlebihan yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah
komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti
terjadinya perforasi septum dan hidung pelana1.
1.1.6. Hematoma Septum
Sebagai akibat trauma, pembuluh darah submukosa akan pecah dan darah
akan berkumpul di antara perikondrium dan tulang rawan septum1. Apabila terjadi
fraktur tulang rawan, maka darah akan masuk ke sisi lain, sehingga dapat terbentuk
hematoma septum bilateral. Adanya kumpulan darah di sub-perikondrium akan
mengancam vitalitas tulang rawan yang hidupnya tergantung dari nutris
perikondrium1.
Gejala klinik
Gejala yang menonjol pada hematoma septum adalah sumbatan hidung dan
rasa nyeri1.
Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan unilateral atau bilateral pada
septum bagian depan, berbentuk bulat, licin, dan berwarna merah. Pembengkakan
dapat meluas sampai ke dinding lateral hidung, sehingga mengakibatkan obstruksi
total1.
Terapi
Drenase yang segera dilakukan dapat mencegah terjadinya nekrosis tulang
rawan. Dilakukan pungsi, dan kemudian dilanjutkan dengan insisi pada bagian
hematomayang paling menonjol. Bila tulang rawan masih utuh, dilakukan insisi
bilateral. Setelah insisi, dipasang tampon untuk menekan perikondrium ke arah tulang
rawan di bawahnya1.
Antibiotika harus diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder1.
Komplikasi
Komplikasi hematoma septum yang mungkin terjadi adalah abses septum dan
deformitas hidung luar seperti hidung pelana (saddle nose)1.
28
1.1.7. Abses Septum
Definisi
Abses septum nasi adalah pus yang terkumpul di antaraa tulang rawan dengan
mukoperikondrium atau tulang septum dengan mukoperiosteum yang melapisinya11.
Abses septum kebanyakan disebabkan oleh trauma yang kadang-kadang tidak
disadari oleh pasien. Seringkali didahului oleh hematoma septum yang kemudian
terinfeksi kuman dan menjadi abses1.
Gejala
Gejala abses septum adalah hidung tersumbat progresif yang disertain dengan rasa
nyeri berat terutama terasa di puncak hidung1.
Pemeriksaan
Pemeriksaan lebih baik tanpa menggunakan spekulum hidung. Tampak
pembengkakan septum yang berbentuk bulat dengan permukaan licin1.
Penatalaksanaan
Abses septum harus segera diobati sebagai kasus gawat darurat, karena dapat
terjadi komplikasi yang berat, yaitu dalam waktu yang tidak lama dapat menyebabkan
nekrosis tulang rawan septum1.
Terapinya dengan melakukan insisi dan drenase nanah serta diberikan
antibiotika dosis tinggi. Untuk gejala demam, dapat diberikan analgetik1.
Untuk mencegah terjadinya deformitas hidung, bila sudah ada destruksi tulang
rawan perlu dilakukan rekonstruksi septum1.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi berupa destruksi tulang rawan septum yang
dapaat menyebabkan perforasi septum atau hidung pelana (saddle nose). Juga dapat
menyebabkan komplikasi ke intrakranial atau septikemia1. Infeksi intrakranial dapat
berupa meningitis, abses otak, dan empiema subaraknoid11.
2.5 Pemeriksaan pada Jalan Napas
1. Spatula lidah
Spatula lidah merupakan pemeriksaan sederhana dan dapat dilakukan apabila
tidak ada alat lain yang tersedia, yaitu dengan cara meletakkan spatula di depan
hidung dan meminta pasien untuk bernapas biasa sambil menutup mulut.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan apakah terdapat sumbatan hidung.
29
2. Nasal Inspiratory Peak Flowmetry (NIPF)
NIPF merupakan alat untuk mengukur aliran udara hidung saat inspirasi. NIPF
terdiri dari tiga bagian yaitu face mask, konektor, dan tabung silinder yang berisi
diafragma yang bergerak apabila terdapat aliran udara. Alat ini memiliki skala 30-
370 l/ menit. Sebelum melakukan pemeriksaan, pasien terlebih dahulu melakukan
adaptasi terhadap suhu ruangan selama 20 menit2.
Alat ini digunakan dengan meletakkan “face mask” menutupi hidung dan
mulut. Udara inspirasi dihirup melalui hidung dengan memastikan bahwa mulut
tertutup. Pemeriksaan dilakukan sebanyak 3 kali dengan hasil tertinggi yang
didapat akan dipakai2.
Tabel 2.1. Nilai Sumbatan Hidung pada NIPF2
Derajat Sumbatan Hasil NIPF Hidung
Obstruksi hidung berat < 50
Obstruksi hidung sedang 50-80
Obstruksi hidung ringan 80-120
Tidak ada obstruksi >120
DAFTAR PUSTAKA
30
1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam.
2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
2. Budiman BJ, Asyari A. Pengukuran Sumbatan Hidung pada Deviasi Septum Nasi.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2012
3. Budiman BJ, Asyari A, Rosalinda R, Azani S. Profil Rinosinusitis di Poliklinik THT
RSUP DR. M. Djamil Padang. 2013. Diakses dari
http://bestaribudiman.blogspot.com/2013_03_01_archive.html pada tanggal 12
Agustus 2014.
4. Hani N. Bagian-bagian Hidung (Indera Pencium). 2013. Diunduh dari
http://hanysundara88.blogspot.com/2013/09/hidungindera-pencium-anatomi-
hidung.html pada tanggal 14 Agustus 2014.
5. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Jilid 1 Edisi 22 hlm. 086, 088.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Mudasir, Azis A, Punagi AQ. Analisis Kadar Malondialdehid (MDA) Plasma
Penderita Polip Hidung Berdasarkan Dominasi Sel Inflamasi pada Pemeriksaan
Histopatologi. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. 2011.
7. Small P, Kim H. Allergic Rhinitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2011, 7
(Suppl 1) 53.
8. Fokkens WJ, Lurd VJ, Mullol J, Bachert C., et al. European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinology Official Journal of the Europeah
and International Societies.
9. Budiman BJ, Azami S. Rinosinusitis Kronis dengan Variasi Anatomi Kavum Nasi.
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas Padang. 2012
10. Jin RH, Lee YJ. New description method and calssification system for septal
deviation. J Rhinol 2007; 14(1): 27-31
11. Budiman BJ, Prijadi J. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Septum Nasi. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2013; 2 (1)
31
top related