pengaruh gel lidah buaya ( terhadap jumlah sel …repository.ub.ac.id/181/1/dhanisa aulia...
Post on 19-Oct-2020
26 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
PENGARUH GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP JUMLAH
SEL MAST PADA JARINGAN PERIODONTAL GIGI TIKUS PUTIH (Rattus
norvegicus) STRAIN WISTAR PASCA AVULSI
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
Dhanisa Aulia Fanany
NIM. 135070401111034
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
SKRIPSI
PENGARUH GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP JUMLAH
SEL MAST PADA JARINGAN PERIODONTAL GIGI TIKUS PUTIH (Rattus
norvegicus) STRAIN WISTAR PASCA AVULSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
Dhanisa Aulia Fanany
NIM: 135070401111034
Menyetujui untuk diuji:
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Dr. dr. Nurdiana., M.Kes drg. Delvi Fitriani, M.Kes
NIP. 19551015 198603 2 001 NIK. 200902 701208 2 001
-
iii
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI
PENGARUH GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP JUMLAH SEL
MAST PADA JARINGAN PERIODONTAL GIGI TIKUS PUTIH (Rattus
norvegicus) STRAIN WISTAR PASCA AVULSI
Oleh
Dhanisa Aulia Fanany
NIM. 135070401111034
Telah diuji pada
Hari : Jum’at
Tanggal : 5 Mei 2017
Penguji I
R. Setyohadi, drg., M.S
NIP.19580212 198503 1 003
Penguji II/ Pembimbing I Penguji III/ Pembimbing II
Dr. dr. Nurdiana., M.Kes drg. Delvi Fitriani, M.Kes
NIP. 19551015 198603 2 001 NIK. 200902 701208 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Brawijaya
R. Setyohadi, drg., M.S
NIP.19580212 198503 1 003
-
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“Pengaruh Gel Lidah Buaya (Aloe vera) terhadap Jumlah Sel Mast pada Jaringan
Periodontal Gigi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Strain Wistar Pasca Avulsi”.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga sehubungan
dengan selesainya skripsi ini kepada :
1. drg. R. Setyohadi, MS selaku dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Brawijaya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menuntut ilmu
di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Brawijaya,
2. drg. Kartika Andari Wulan, Sp.Pros selaku Ketua Program Studi Sarjana
Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Brawijaya yang telah
membimbing dalam fase pre klinik di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Brawijaya,
3. Dr. dr. Nurdiana., M.Kes selaku pembimbing pertama yang dengan sabar
membimbing dan senantiasa memberi semangat sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini,
4. drg. Delvi Fitriani, M.Kes selaku pembimbing kedua yang dengan sabar
membimbing dan senantiasa memberi semangat sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini,
5. drg. Yuli Nugraeni, Sp.KG selaku dosen FKG UB yang telah memberikan
gagasan penelitian ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini,
-
v
6. Kedua orang tua, Eko Nanang Agus Widodo dan Nur Qomariyah, serta adik
penulis, Rizal Bagus Prayogo yang tidak pernah lelah memberikan
dukungan, semangat dan do’a kepada penulis,
7. Sahabatku, khususnya Karina Fedela Putri, Ayu Ramayani Zulkarnain, Anita
Silvia Arief, Daning Kusuma Wati, Muhammad Nur Fadilah, Faizal
Liestyandhi, Esty Setya Lisyani, terima kasih atas semangat dan inspirasi
yang membangun,
8. Sahabatku semenjak SMA, Bellinda, Viska Yolanda, Fadilia Rinarwastu,
Maghfira Chairani, R. A. Putri Husadaning Tyas, Nadia Farah Fadhila terima
kasih atas semangat dan inspirasi yang membangun,
9. Teman-teman PDG 2013 yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu,
terimakasih atas kebersamaan selama ini,
10. Segenap anggota Tim Pengelola Skripsi FKG UB,
11. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis membuka diri untuk segala saran dan kritik yang membangun.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi umat khususnya
untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Kedokteran Gigi.
Malang, 28 April 2017
Penulis
-
vi
ABSTRAK
Fanany, Dhanisa, Aulia. 2017. Pengaruh Gel Lidah Buaya (Aloe vera) terhadap Jumlah Sel Mast pada Jaringan Periodontal Gigi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Strain Wistar Pasca Avulsi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Brawijaya. Pembimbing : (1) Dr. dr. Nurdiana, M.Kes (2) drg. Delvi Fitriani, M.Kes.
Avulsi gigi adalah keluarnya seluruh gigi dari soket akibat trauma dan
menyebabkan rusaknya ligamen periodontal. Ligamen periodontal yang rusak dapat mengakibatkan rusaknya sel-sel yang menyusun ligamen tersebut diantaranya sel mast. Sel mast akan teraktivasi apabila sedang terjadi inflamasi. Terapi yang digunakan adalah dengan cara melakukan replantasi. Replantasi ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi normal gigi serta mencegah resorbsi akar. Penggunaan gel lidah buaya bisa menjadi salah satu alternatif pengobatan karena mengandung acemannan yang berperan dalam sistem imunitas tubuh, anti-inflamasi dan dapat menurunkan jumlah sel mast dalam proses penyembuhan. Jenis penelitian yang digunakan adalah Eksperimental laboratoris dengan desain Randomized Post-Test Only Control Group Design. Sampel dipilih menggunakan teknik Simple Random Sampling kemudian dibagi menjadi kelompok perlakuan yang diberi gel lidah buaya kedalam soket setelah dilakukan pencabutan gigi (P1,P2,P3) kemudian dilakukan replantasi, dan kelompok kontrol dilakukan pencabutan gigi dan langsung dilakukan replantasi (K1,K2,K3). Variabel yang diteliti adalah jumlah sel mast ada jaringan periodontal gigi yang diukur dengan sediaan HPA dengan teknik Immunohistokimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah sel mast pada kelompok perlakuan. Analisis data menggunakan One Way Anova menunjukan bahwa perubahan jumlah sel mast pada setiap perlakuan berbeda secara bermakna (p
-
vii
ABSTRACT
Fanany, Dhanisa, Aulia. 2017. Effect of Aloe vera gel on Mast Cell count in Periodontal Tissue of White Rat (Rattus Norvegicus) Strain wistar post-avulsion.Thesis. Faculty of Dentistry, University of Brawijaya. Advisor: (1) Dr. dr. Nurdiana., M.Kes (2) drg. Delvi Fitriani, M.Kes
Dental Avulsion is the discharge of all tooth from the socket due to trauma
and causes damage to the periodontal ligament. Damaged periodontal ligaments can cause damage to the cells that make up the ligaments such as mast cells. Mast cells will be activated in the event of inflammation. The therapy used is by doing replantation. This replantation aims to restore normal tooth function and prevent root resorption. The use of Aloe vera gel can be one alternative treatment because it contains acemannan role in immune system, anti-inflammatory and can reduce the number of mast cells in the healing process. The type of research used was experimental laboratory with Randomized Post-Test design only control group design. The samples were selected using Simple Random Sampling technique and then divided into treatment group with Aloe vera gel into socket after tooth extraction (P1, P2, P3) and then replantation, and control group performed tooth extraction and replantation (K1, K2, K3 ). The variables studied were the number of mast cells in dental periodontal tissue as measured by HPA preparations by immunohistochemical techniques. The results showed that there was a decrease in the number of mast cells in the treatment group. Analysis of data using One Way Anova showed that the change of mast cell count at each treatment was significantly different (p
-
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................... i
Halaman Persetujuan ........................................................................................ ii
Halaman Pengesahan ....................................................................................... iii
Kata Pengantar ................................................................................................. iv
Abstrak .............................................................................................................. vi
Abstract ............................................................................................................ vii
Daftar Isi .......................................................................................................... viii
Daftar Tabel ...................................................................................................... xii
Daftar Gambar ................................................................................................. xiii
Daftar Lampiran .............................................................................................. xiv
Daftar Singkatan .............................................................................................. xv
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 4
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................................. 4
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 4
1.4.1 Manfaat Akademik ...................................................................................... 4
1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5
2.1 Avulsi ............................................................................................................. 5
2.1.1 Definisi Avulsi ............................................................................................. 5
2.1.2 Etiologi Avulsi ............................................................................................. 5
2.1.3 Perawatan Avulsi ........................................................................................ 6
2.1.4 Penatalaksanaan Avulsi .............................................................................. 7
2.2 Replantasi ...................................................................................................... 8
2.2.1 Definisi Replantasi ...................................................................................... 8
2.2.2 Syarat-syarat Replantasi ............................................................................. 9
2.2.3 Indikasi dan Kontraindikasi Replantasi ...................................................... 10
2.2.4 Indikator Keberhasilan Replantasi ............................................................. 11
2.3 Penyembuhan Luka ..................................................................................... 11
2.3.1 Fase Penyembuhan Luka ......................................................................... 11
-
ix
2.3.1.1 Fase Inflamasi ....................................................................................... 11
2.3.1.2 Fase Proliferasi ...................................................................................... 13
2.3.1.3 Fase Maturasi ........................................................................................ 15
2.3.2 Faktor Penghambat Penyembuhan Luka .................................................. 18
2.4 Sel Mast ....................................................................................................... 19
2.4.1 Definisi Sel Mast ....................................................................................... 19
2.4.2 Peran Sel Mast ......................................................................................... 20
2.4.3 Aktivasi Sel Mast....................................................................................... 22
2.4.4 Mediator Kimia yang dilepaskan ............................................................... 24
2.5 Lidah Buaya (Aloe vera) .............................................................................. 26
2.5.1 Definisi Lidah Buaya (Aloe vera) .............................................................. 26
2.5.2 Jenis dan Taksonomi Lidah Buaya (Aloe vera) ........................................ 27
2.5.3 Morfologi Lidah Buaya (Aloe vera) ........................................................... 28
2.5.4 Kandungan Lidah Buaya (Aloe vera) ........................................................ 29
2.5.4.1 Acemannan ............................................................................................ 34
2.5.5 Lidah Buaya (Aloe vera) sebagai Imunomodulator ................................... 35
2.5.6 Peran Lidah Buaya (Aloe vera) dalam Penyembuhan Luka ...................... 36
2.6 Anatomi Gigi Tikus ....................................................................................... 38
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS .............................................. 41
3.1 Kerangka Teori Penelitian ............................................................................ 41
3.2 Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 43
BAB 4 METODE PENELITIAN .......................................................................... 44
4.1 Rancangan Penelitian .................................................................................. 44
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 44
4.3 Sampel Penelitian ........................................................................................ 44
4.4 Penentuan Besar Sampel ............................................................................ 45
4.4.1 Jumlah Sampel ......................................................................................... 46
4.5 Variabel dan Definisi Operasional ................................................................ 47
4.5.1 Variabel Penelitian .................................................................................... 47
4.5.1.1 Variabel Bebas ...................................................................................... 47
4.5.1.2 Variabel Tergantung .............................................................................. 47
4.5.1.3 Variabel Terkendali ................................................................................ 47
4.5.2 Definisi Operasional .................................................................................. 48
4.5.2.1 Gel Lidah Buaya (Aloe vera) ................................................................. 48
-
x
4.5.2.2 Sel Mast ................................................................................................. 48
4.6 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................................ 48
4.6.1 Alat dan Bahan untuk pemeliharaan dan perlakuan hewan coba .............. 48
4.6.2 Alat dan Bahan untuk pembiusan hewan coba ......................................... 49
4.6.3 Alat dan Bahan untuk pencabutan gigi hewan coba .................................. 49
4.6.4 Alat dan Bahan untuk perlakuan hewan coba ........................................... 49
4.6.5 Alat dan Bahan untuk pembuatan gel lidah buaya (aloe vera) .................. 49
4.6.6 Alat dan Bahan pengambilan jaringan dan pembuatan preparat ............... 50
4.6.7 Alat dan Bahan untuk Immunohistokimia .................................................. 50
4.7 Cara Kerja ................................................................................................... 51
4.7.1 Ethical Clearance ................................................................................... 51
4.7.2 Persiapan Hewan Coba .......................................................................... 51
4.7.3 Pembuatan Gel Lidah Buaya (Aloe vera) .............................................. 51
4.7.4 Anestesi pada Rattus norvegicus ........................................................... 52
4.7.5 Pencabutan Gigi pada Tikus ................................................................... 53
4.7.6 Prosedur perlakuan ................................................................................. 53
4.7.7 Perawatan Tikus pasca Pencabutan ....................................................... 53
4.7.8 Sacrifies pada Tikus ................................................................................ 54
4.7.9 Prosedur Pembuatan Sediaan Parafin Blok ............................................ 55
4.7.10 Proses Deparafinisasi ............................................................................. 55
4.7.11 Immunohistokimia ................................................................................... 55
4.8 Analisa Statistik ........................................................................................... 56
4.9 Alur Penelitian .............................................................................................. 59
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA ......................................... 60
5.1 Hasil Penelitian ............................................................................................ 60
5.2 Analisis Data ................................................................................................ 65
5.2.1 Uji Normalitas Data ................................................................................... 65
5.2.2 Uji Homogenitas Data ............................................................................... 66
5.2.3 Uji Oneway ANOVA .................................................................................. 66
5.2.4 Uji Post Hoc Turkey .................................................................................. 67
5.2.5 Uji Korelasi Pearson ................................................................................. 68
BAB 6 PEMBAHASAN ..................................................................................... 70
BAB 7 PENUTUP .............................................................................................. 76
7.1 Kesimpulan .................................................................................................. 76
-
xi
7.2 Saran ........................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 78
LAMPIRAN ........................................................................................................ 84
-
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Growth factors, sitokin dan molekul biologis aktif dalam penyembuhan luka .................................................................................................... 17
Tabel 2.2 Human Mast Cell Mediators ............................................................... 25
Tabel 2.3 Ringkasan komposisi dari Aloe vera ................................................. 30
Tabel 2.4 Komponen kimia lidah buaya berdasarkan manfaatnya ..................... 32
Tabel 2.5 Komponen bioaktif yang terkandung pada Aloe vera L ...................... 34
Tabel 5.1 Rata-rata Jumlah Sel Mast Tikus Wistar dengan teknik Immunohistokimia dan pembesaran mikroskop 400x sebanyak lima lapang pandang ................................................................................. 64
Tabel 5.2 Uji Post-Hoc Tukey ............................................................................ 67
-
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambar intraoral gigi yang mengalami avulsi ................................... 5
Gambar 2.2 Fase Inflamasi ................................................................................ 12
Gambar 2.3 Fase Proliferasi .............................................................................. 14
Gambar 2.4 Fase Maturasi (Remodeling) .......................................................... 16
Gambar 2.5 Sel Mast ......................................................................................... 20
Gambar 2.6 Lidah Buaya (Aloe vera) ................................................................ 28
Gambar 2.7 Anatomi Gigi Tikus ......................................................................... 40
Gambar 4.1 Tikus jantan Rattus norvegicus galur wistar ................................... 45
Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian ..................................................................... 59
Gambar 5.1 Perbandingan Gambaran Histologi Sel Mast Kedua Kelompok pada Hari ke-1 dengan teknik Immunohistokimia dan Perbesaran 400x.. ............................................................................................ 61
Gambar 5.2 Perbandingan Gambaran Histologi Sel Mast Kedua Kelompok pada Hari ke-3 dengan teknik Immunohistokimia dan Perbesaran 400x.. ............................................................................................ 62
Gambar 5.3 Perbandingan Gambaran Histologi Sel Mast Kedua Kelompok pada Hari ke-7 dengan teknik Immunohistokimia dan Perbesaran 400x.. ............................................................................................ 63
Gambar 5.4 Diagram Rata-rata Jumlah Sel Mast............................................... 64
-
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Penyataan Keaslian Tulisan ............................................................ 84
Lampiran 2 Ethical Clearance ............................................................................ 85
Lampiran 3 Hasil Uji Statistik ............................................................................. 86
Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian................................................................... 91
Lampiran 5 Surat Determinasi Lidah Buaya ....................................................... 94
-
xv
DAFTAR SINGKATAN
ADCC = Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity
ANOVA = Analysis of Variance
AMP = Adenosina Monofosfat
APC = Antigen Presenting Cell
DAB = Diaminobenzidine
FGF = Fibroblas Growth Factor
GMP = Guanosin Monofosfat
GTR = Guided Tissue Regeneration
HBSS = Hanks Balanced Storage Medium
IFN- ɣ = Interferon-ɣ
IgE = Imunoglobulin E
IL-1 = Interleukin -1
IL-3 = Interleukin -3
IL-4 = Interleukin -4
IL-6 = Interleukin -6
IL-8 = Interleukin -8
LPS = Lipopolisakarida
MHC = Major Histocompability Complex
PDGF = Platelet-derived Growth Factor
PMN = Poly Morpho Nuclear
SRS-A = Slow Reacting Substance of Anphylaxis
TGF-β = Transforming Growth Factor-β
TNF-a = Tumor Necrosis Factor –a
VEGF = Vascular Endothelial Growth Factor
-
ABSTRAK
Fanany, Dhanisa, Aulia. 2017. Pengaruh Gel Lidah Buaya (Aloe vera) terhadap Jumlah Sel Mast pada Jaringan Periodontal Gigi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Strain Wistar Pasca Avulsi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Brawijaya. Pembimbing : (1) Dr. dr. Nurdiana, M.Kes (2) drg. Delvi Fitriani, M.Kes.
Avulsi gigi adalah keluarnya seluruh gigi dari soket akibat trauma dan
menyebabkan rusaknya ligamen periodontal. Ligamen periodontal yang rusak dapat mengakibatkan rusaknya sel-sel yang menyusun ligamen tersebut diantaranya sel mast. Sel mast akan teraktivasi apabila sedang terjadi inflamasi. Terapi yang digunakan adalah dengan cara melakukan replantasi. Replantasi ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi normal gigi serta mencegah resorbsi akar. Penggunaan gel lidah buaya bisa menjadi salah satu alternatif pengobatan karena mengandung acemannan yang berperan dalam sistem imunitas tubuh, anti-inflamasi dan dapat menurunkan jumlah sel mast dalam proses penyembuhan. Jenis penelitian yang digunakan adalah Eksperimental laboratoris dengan desain Randomized Post-Test Only Control Group Design. Sampel dipilih menggunakan teknik Simple Random Sampling kemudian dibagi menjadi kelompok perlakuan yang diberi gel lidah buaya kedalam soket setelah dilakukan pencabutan gigi (P1,P2,P3) kemudian dilakukan replantasi, dan kelompok kontrol dilakukan pencabutan gigi dan langsung dilakukan replantasi (K1,K2,K3). Variabel yang diteliti adalah jumlah sel mast ada jaringan periodontal gigi yang diukur dengan sediaan HPA dengan teknik Immunohistokimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah sel mast pada kelompok perlakuan. Analisis data menggunakan One Way Anova menunjukan bahwa perubahan jumlah sel mast pada setiap perlakuan berbeda secara bermakna (p
-
ABSTRACT
Fanany, Dhanisa, Aulia. 2017. Effect of Aloe vera gel on Mast Cell count in Periodontal Tissue of White Rat (Rattus Norvegicus) Strain wistar post-avulsion.Thesis. Faculty of Dentistry, University of Brawijaya. Advisor: (1) Dr. dr. Nurdiana., M.Kes (2) drg. Delvi Fitriani, M.Kes
Dental Avulsion is the discharge of all tooth from the socket due to trauma
and causes damage to the periodontal ligament. Damaged periodontal ligaments can cause damage to the cells that make up the ligaments such as mast cells. Mast cells will be activated in the event of inflammation. The therapy used is by doing replantation. This replantation aims to restore normal tooth function and prevent root resorption. The use of Aloe vera gel can be one alternative treatment because it contains acemannan role in immune system, anti-inflammatory and can reduce the number of mast cells in the healing process. The type of research used was experimental laboratory with Randomized Post-Test design only control group design. The samples were selected using Simple Random Sampling technique and then divided into treatment group with Aloe vera gel into socket after tooth extraction (P1, P2, P3) and then replantation, and control group performed tooth extraction and replantation (K1, K2, K3 ). The variables studied were the number of mast cells in dental periodontal tissue as measured by HPA preparations by immunohistochemical techniques. The results showed that there was a decrease in the number of mast cells in the treatment group. Analysis of data using One Way Anova showed that the change of mast cell count at each treatment was significantly different (p
-
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera traumatik merupakan hal yang sering terjadi pada anak-anak,
baik pada gigi sulung maupun gigi tetap. Menurut penelitian, cedera pada gigi
tetap terjadi pada usia 8 sampai 12 tahun (Welbury, 2003). Cedera yang terjadi
pada anak laki-laki 2 kali lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan.
Kebanyakan cedera yang terjadi disebabkan oleh karena anak terjatuh pada saat
bermain dan berlari, mengikuti kegiatan olahraga, atau saat terjadi kecelakaan
motor ataupun mobil (McTigue, 2001).
Cedera traumatik gigi meliputi patahnya enamel gigi, dentin dengan ada
tidaknya keterlibatan pulpa, fraktur mahkota, fraktur akar, perubahan letak gigi
dan avulsi (Carranza, 2002). Avulsi didefinisikan sebagai keluarnya seluruh gigi
dari soket akibat trauma. Gigi yang keluar dari soketnya akibat trauma
menyebabkan ligamen periodontal terputus dan suplai darah ke jaringan pulpa
terputus, sehingga pulpa gigi mengalami nekrosis dan ligamen periodontal rusak
parah (Cohenca, 2004). Ligamen periodontal yang rusak juga mengakibatkan
rusaknya sel-sel yang menyusun ligamen tersebut. Elemen seluler yang terdapat
pada ligamen periodontal adalah fibroblas, sementoblas, sementoklas, osteoblas,
osteoklas, sisa sel epitel Malassez, sel mast, sel makrofag dan sel-sel endothelial
(Carranza, 2002).
Sel mast dapat ditemukan di semua jaringan di rongga mulut termasuk
pulpa gigi (Walsh et al., 2003). Sel mast merupakan salah satu agen terpenting
-
2
penyebab respon inflamasi seperti alergi dan anafilaksis (Effendi, 2003). Sel
mast yang teraktivasi dapat memproduksi histamin serta berbagai macam
mediator inflamatori misalnya leukotrien, prostaglandin, protease dan beberapa
sitokin pro inflamatori dan kemotaktik misalnya tumor necrosis factor (TNF)-a dan
interleukin (IL)-6, IL-4, IL-3, IL-8 (Kalesnikoff et al, 2008).
Setelah terjadi cedera, tingkat respon inflamasi semakin meningkat.
Dalam kasus avulsi, terjadi respon awal yaitu perekrutan trombosit,
vasokonstriksi dan pembentukan clot. Setelah hemostasis awal telah dicapai,
pembuluh darah lokal bereaksi dengan melebarkan dan menjadi lebih permeabel
terhadap produk darah untuk perekrutan sel fagosit. Eksudat, seperti protein
plasma, antibodi dikirim ke daerah yang akan terjadi inflamasi. Terjadi pelepasan
histamin dari sirkulasi sel mast yang akan memperpanjang permeabilitas
pembuluh darah melalui kontraksi sel endotel vaskular. Bersamaan dengan kinin,
fibrinolitik, siklooksigenase dan lipoksigenase sistem diaktifkan untuk memulai
respon penyembuhan (Beck, 2010). Sel-sel tersebut akan mempertahankan
kelangsungan hidupnya, yang memungkinkan penyembuhan dengan cara
meregenerasi sel-sel tersebut ketika dilakukan penanaman kembali ke dalam
soketnya (replantasi) (Trope, 2011).
Penanganan untuk kasus avulsi adalah dengan cara melakukan
replantasi secepat mungkin. Replantasi gigi avulsi bertujuan untuk
mengembalikan fungsi normal gigi serta mencegah terjadinya ankilosis dan
resorbsi akar. Replantasi segera, sebelum 30 menit gigi avulsi tersebut berada di
luar soket, menjanjikan penyembuhan dan reformasi ligamen periodontal sampai
90% (Sri Kuswandari, 2004). Apabila lebih dari 30 menit, sel-sel permukaan akar
mengering dan mati, dan kelangsungan hidup ligamen periodontal terganggu.
-
3
Maka dari itu, diperlukan regenerasi ligamen periodontal untuk menjaga ligamen
periodontal supaya tetap hidup (Kenny et al, 2003). Regenerasi ligamen
periodontal dapat menggunakan teknik Guided tissue regeneration (GTR) yang
diaplikasikan pada rongga mulut. Guided tissue regeneration (GTR) adalah salah
satu cara perlakuan rekayasa jaringan in vitro rekonstruksi dengan menggunakan
membran sebagai barrier, sehingga mencegah tumbuhnya jaringan lainnya
(Corbella et al, 2016).
Lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu tanaman yang mempunyai
daya adaptasi tinggi. Aloe vera telah lama dijuluki sebagai tanaman obat, bahkan
master healing plant, (tanaman penyembuh utama). Gel Aloe vera memiliki
aktivitas sebagai antibakteri, antijamur, peningkat aliran darah ke daerah yang
terluka dan penstimulasi fibroblas yang bertanggung jawab untuk penyembuhan
luka (Rieuwpassa, 2011). Ekstrak berupa gel mengandung zat aktif
monosakarida dan polisakarida (terutama dalam bentuk mannose) yang disebut
acemannan (acetylated mannose), mempunyai efek pada sistem imunitas tubuh
hewan. Acemannan sebagai anti virus, anti bakteri, anti jamur, anti inflamasi,
dapat menghancurkan sel tumor, dan dapat menghambat pembentukan histamin,
serta meningkatkan daya tahan tubuh (Wiedosari, 2007).
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang pengaruh gel lidah buaya (Aloe vera) terhadap jumlah sel mast pada
jaringan periodontal gigi tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar pasca avulsi.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah gel lidah buaya (aloe vera) dapat menurunkan jumlah sel mast
pada jaringan periodontal gigi tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar pasca
avulsi?
-
4
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh gel lidah buaya (Aloe vera) terhadap jumlah
sel mast pada jaringan periodontal gigi tikus putih (Rattus norvegicus) strain
wistar pasca avulsi.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui jumlah sel mast pada jaringan periodontal gigi tikus
putih (Rattus norvegicus) strain wistar pasca avulsi pada hari ke 1, 3 dan 7.
b. Untuk mengetahui jumlah sel mast pada jaringan periodontal gigi tikus
putih (Rattus norvegicus) strain wistar pasca avulsi yang sudah diberi gel
lidah buaya (Aloe vera) pada hari ke 1, 3 dan 7.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik
Menambah ilmu pengetahuan tentang pengaruh gel lidah buaya (Aloe
vera) terhadap jumlah sel mast pada jaringan periodontal gigi tikus putih (Rattus
norvegicus) strain wistar pasca avulsi.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan
dan menjelaskan pengaruh gel lidah buaya (Aloe vera) terhadap jumlah sel mast
pada jaringan periodontal gigi tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar pasca
avulsi.
-
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Avulsi
2.1.1 Definisi
Gigi avulsi menurut Tsukiboshi (2000) adalah lepasnya gigi secara utuh
dari tulang alveolar dengan hilangnya suplai aliran darah pulpa secara
menyeluruh. Mekanisme keluarnya gigi dari soket dapat terjadi karena dampak
kekuatan frontal yang menyebabkan avulsi dengan kerusakan pulpa dan ligamen
periodontal (Andreasen dan Andreasen, 2007). Avulsi gigi yang merupakan
kelas V Ellis dan Davey adalah lepasnya gigi dari soket alveolar secara utuh
akibat trauma injuri. Ada kemungkinan terjadi, ligamen periodontal putus dan
tulang alveolus patah (Torabinejad, 2002; Fauzia, 2008).
Gambar 2.1 Gambar intraoral gigi yang mengalami avulsi (Prabakar, 2009)
2.1.2 Etiologi
Faktor etiologi utama yang menyebabkan terjadinya avulsi adalah karena
terjadinya kecelakaan lalu lintas, luka karena peralatan dalam industri atau
pertanian, dan pada pasien dengan luka tembak ringan. Penyebab trauma gigi
pada anak-anak yang paling sering adalah karena jatuh saat bermain, baik diluar
maupun di dalam rumah dan saat berolahraga (Riyanti, 2010).
-
6
Trauma gigi anterior dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung.
Trauma gigi secara langsung terjadi ketika benda keras langsung mengenai gigi,
sedangkan trauma gigi secara tidak langsung terjadi ketika benturan pada dagu
menyebabkan gigi rahang bawah membentur gigi rahang atas dengan kekuatan
atau tekanan besar dan secara tiba-tiba (Riyanti, 2010).
Menurut suatu penelitian prevalensi tertinggi trauma gigi anterior pada
anak-anak terjadi antara usia 13 tahun karena pada usia tersebut, anak
mempunyai kebebasan serta ruang gerak yang cukup luas sehingga sering
terjatuh dari tempat tidur, kereta dorong, atau kursi yang tinggi. Beberapa
penyebab trauma yang paling sering terjadi pada periode dewasa karena adanya
peningkatan aktifitas fisik mereka. Beberapa penyebab trauma yang paling sering
terjadi adalah kecelakaan di tempat bermain, bersepeda, sepak bola, kecelakaan
lalu lintas, lomba lari dan bermain sepatu roda (Riyanti, 2010).
2.1.3 Perawatan
Perawatan untuk avulsi gigi adalah dengan melakukan replantasi.
Sebelum melakukan replantasi, sebaiknya soket dicuci dengan larutan saline
supaya tetap bersih (Berman, 2007). Keberhasilan replantasi tergantung pada
tenggang waktu antara terjadinya avulsi dengan replantasi, luas kerusakan
ligamen periodontium, derajat kerusakan alveolar, dan efektivitas stabilisasi.
Faktor waktu sangat menentukan keberhasilan replantasi. Keberhasilan itu dapat
dicapai apabila pengembalian gigi pada tempatnya dilakukan tidak lebih dari 30
menit sesudah terjadi cedera. Jika lebih dari 2 jam, maka resorbsi akar hampir
tidak terhindarkan lagi. Bila avulsi pada gigi terjadi dalam waktu kurang dari 30
menit, perawatan jangka pendek yang dapat dilakukan adalah dengan
pengembalian gigi yang avulsi serta mengembalikan stabilisasi gigi tersebut
-
7
namun bila lebih dari 30 menit maka perawatan saluran akar dan splinting harus
dilakukan (Stefanac, 2007).
Dalam keadaan darurat replantasi sering dilakukan oleh orang
nonprofesional, misalnya memasukkan gigi kembali yang dilakukan oleh orang
tua atau teman pasien. Secara biologis kondisi ligamen periodontium dan
sementum sangat rawan jika dikaitkan dengan perlekatan kembali. Apabila
ligamen periodontium mengalami cedera atau ada sementum yang terbuka,
kemungkinan besar akan terjadi ankilosis (fusi antara tulang dan sementum).
Perbaikan suplai vaskular pulpa tidak dimungkinkan lagi, tetapi masih ada
kesempatan jika apeks dalam keadaan terbuka. Selain itu, pemeriksaan klinis
dan radiografis dapat dilakukan untuk mendeteksi nekrosis pulpa pada gigi yang
ditanam kembali karena dapat menyebabkan terjadinya radang dan mengganggu
perlekatan kembali atau dapat menimbulkan lesi periodontal atau periapikal
(Walton, 2008).
Kondisi yang cocok untuk replantasi lebih sering ditemukan pada anak-
anak, tetapi untuk gigi sulung sebaiknya tidak dilakukan replantasi. Kehilangan
gigi sulung prematur biasanya bukan hal yang serius. Selain itu, jika dilakukan
replantasi gigi bisa menyebabkan resiko merusak gigi permanen penggantinya
(Walton, 2008).
2.1.4 Penatalaksanaan
Gigi avulsi adalah salah satu kasus trauma dental yang memerlukan
perawatan darurat. Penanganan yang tepat akan mempengaruhi prognosisnya.
Ketika terjadi avulsi pada gigi, kita dapat melakukan hal berikut ini (Anderson,
2012) :
a. Menenangkan anak yang bersangkutan.
-
8
b. Mencari gigi yang lepas dan memegang pada bagian mahkotanya, tanpa
menyentuh bagian akar.
c. Mencuci dibawah air mengalir jika gigi kotor tanpa digosok dengan tujuan agar
tetap lembab dalam waktu maksimal 10 detik dan meletakkan kembali gigi ke
soketnya. Ketika gigi sudah diposisi semula, saputangan di gigit untuk
menjaga agar gigi tetap ditempatnya.
d. Jika tidak memungkinkan untuk mereposisi giginya, gigi yang avulsi diletakkan
ke dalam segelas susu atau tempat penyimpanan lain dan membawa anak ke
klinik gawat darurat. Gigi juga bisa diletakkan di dalam mulut antara pipi dan
gusi jika anak dalam keadaan sadar, sehingga tidak ditelan. Memberi instruksi
kepada anak untuk meludah disuatu wadah kemudian letakkan gigi di wadah
tersebut. Hindari pemakaian air sebagai tempat penyimpanannya.
e. Lebih baik menggunakan Hanks Balanced Storage Medium (HBSS atau
saline).
f. Mencari perawatan dental secepatnya. Jika bisa bertemu dokter gigi dalam
waktu 30 menit, maka prognosisnya baik. Jika lebih dari waktu tersebut, maka
prognosis pada giginya akan berkurang 60-80%. Golden periode untuk
melakukan reposisi gigi adalah 2 jam. Jika perawatan replantasi dilakukan
lebih dari 2 jam, maka gigi menjadi non vital dan dilakukan perawatan
selanjutnya yaitu endodonti setelah gigi difiksasi.
2.2 Replantasi
2.2.1 Definisi
Istilah replantasi ini diartikan sebagai menempatkan kembali gigi pada
soketnya, dengan tujuan mencapai pengikatan kembali bila gigi telah terlepas
-
9
sama sekali dari soketnya karena kecelakaan (McDonald, Avery, & Dean, 2004).
Replantasi atau reimplantasi merupakan suatu tidakan dibidang kedokteran gigi
yang merujuk pada pemasangan insersi dan fiksasi sementara gigi yang
mengalami avulsi, baik sebagian atau keseluruhan akibat suatu trauma.
Replantasi merupakan perawatan pilihan untuk penanganan gigi avulsi, yang
bertujuan untuk mengembalikan fungsi fisiologis. Replantasi adalah insersi gigi
ke dalam soketnya setelah avulsi menyeluruh yang disebabkan oleh injuri
traumatik. Luksasi total atau avulsi gigi dirawat dengan replantasi/penanaman
kembali. Istilah ini diartikan sebagai menempatkan kembali gigi pada soketnya,
dengan tujuan mencapai pengikatan kembali bila gigi, telah terlepas sama sekali
dari soketnya karena kecelakaan, kondisi ini paling cocok untuk replantasi lebih
sering ditemukan pada anak-anak (Walton, 2008).
2.2.2 Syarat-syarat Replantasi
Syarat replantasi antara lain (Dalimunthe, 2003) :
a. Gigi yang avulsi sebaiknya sehat, tidak terdapat karies yang luas, untuk
mencegah kerusakan ligamen periodontal.
b. Tulang alveolar harus tetap utuh agar dapat menahan gigi, tidak ada fraktur
atau penyakit jaringan periodontal.
c. Gigi yang avulsi sebaiknya berada pada posisi yang baik dalam lengkungnya
tanpa kelainan orthodonti. Gigi yang berjejal atau berada pada posisi lingual
atau bukal yang terkunci tidak baik untuk dilakukan replantasi.
d. Lamanya gigi di luar mulut harus dipertimbangkan. Gigi yang sudah lebih dari
dua jam berada di luar mulut dapat menyebabkan mudahnya terjadi resorpsi
akar dan sebaiknya dipertimbangkan sebagai gigi dengan resiko yang buruk.
-
10
e. Cara penyimpanan gigi yang avulsi sebelum replantasi sangat mempengaruhi
kesuksesan perawatan. Hal ini berhubungan dengan pencegahan terhadap
terjadinya dehidrasi sisa ligamen periodontal pada akar gigi setelah keluar dari
soket sampai menuju tempat praktek dokter gigi.
2.2.3 Indikasi dan Kontraindikasi Replantasi
Dalam setiap tindakan perawatan tidak hanya didasarkan pada kasus-
kasus avulsi gigi, akan tetapi juga didasarkan pada pemeriksaan subjektif dan
pemeriksaan objektif. Pertimbangan suatu perawatan merupakan hal yang
penting dilakukan untuk mengetahui perlu atau tidaknya dalam melakukan suatu
tindakan, ini dilakukan agar mencapai suatu prognosis yang baik dalam setiap
tindakan yang akan dikerjakan (Andersen, 2012).
Indikasi replantasi adalah sebagai berikut (Walton, 2008) :
a. Keadaan jaringan periodontalnya masih baik seperti tulang alveolar masih baik
dan soket alveolar dalam keadaan baik.
b. Tenggang waktu antara terjadinya trauma dengan pelaksanaan perawatan
adalah 15-30 menit, lebih dari 2 jam kemungkinan besar akan terjadi
komplikasi yaitu resorbsi dari akar gigi dan gigi akan menjadi non vital, kecuali
sebelum direplantasi gigi tersebut dirawat endodontik terlebih dahulu.
Kontraindikasi replantasi adalah sebagai berikut (Walton, 2008) :
a. Kondisi medis yang tidak mendukung (gangguan imun, anomali jantung
kongenital berat, diabetes tidak tekontrol)
b. Memiliki penyakit periodontal yang telah mengenai furkasi atau gigi goyang,
gigi permanen dimana foramen apikal sudah menyempit, terjadi fraktur akar.
c. Gigi yang terlalu lama diluar soket, lebih dari 2 jam karena akan
mempengaruhi prognosa.
-
11
d. Pada gigi sulung oleh karena koagulum yang terbentuk akan mengganggu
benih gigi tetap
2.2.4 Indikator Keberhasilan Replantasi
Prognosis pada gigi permanen bergantung pada formasi dari
pembentukan akar dan waktu kering extraoral. Gigi mempunyai prognosis yang
sangat baik jika direplantasi segera. Jika gigi tidak bisa direplantasi dalam waktu
5 menit, gigi tersebut harus disimpan dalam sebuah media yang membantu
menjaga vitalitas dari fiber periodontal ligamen (Nikoui, Kenny, & Barrett, 2003).
Keberhasilan replantasi pada gigi yang mengalami avulsi tergantung pada
tenggang waktu antara kejadian avulsi dengan replantasi, luas keusakan
ligamentum periodontal, derajat kerusakan alveolar, dan efektifitas stabilisasi.
Replantasi dapat di katakan berhasil apabila dalam kontrol berkala terlihat
perbaikan yang nyata (setelah 2 minggu) antara lain (Simanjutak, 2000) :
a. Keadaan jaringan periodontal baik seperti gigi tidak goyang, warna gingiva
normal
b. Tidak ada keluhan sakit spontan dan perkusi cenderung berkurang
2.3 Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka adalah respon tubuh terhadap berbagai cedera
dengan proses pemulihan yang kompleks dan dinamis yang menghasilkan
pemulihan anatomi dan fungsi secara terus menerus (Joyce M. Black, 2006).
2.3.1 Fase Penyembuhan Luka
2.3.1.1 Fase inflamasi (lag phase)
Pada fase inflamasi terjadi proses hemostasis yang cepat dan dimulainya
suatu siklus regenerasi jaringan (Lorenz, Longaker, 2006). Fase inflamasi
-
12
dimulai segera setelah cidera sampai hari ke-5 pasca cidera. Tujuan utama fase
ini adalah hemostasis, hilangnya jaringan yang mati dan pencegahan kolonisasi
maupun infeksi oleh agen mikrobial patogen (Gurtner, 2007).
Gambar 2.2 Fase inflamasi (Diambil dari Gurtner, 2007. Grabb and Smith’s Plastic Surgery. 6th
ed.)
Komponen jaringan yang mengalami cidera, meliputi fibrillar collagen dan
tissue factor, akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan mencegah
perdarahan lebih lanjut pada fase ini (gambar 2.2). Pembuluh darah yang cidera
mengakibatkan termobilisasinya berbagai elemen darah ke lokasi luka. Agregasi
platelet akan membentuk plak pada pembuluh darah yang cidera. Selama proses
ini berlangsung, platelet akan mengalami degranulasi dan melepaskan beberapa
growth factor, seperti platelet-derived growth factor (PDGF) dan transforming
growth factor-β (TGF-β). Hasil akhir kaskade koagulasi jalur intrinsik dan
ekstrinsik adalah konversi fibrinogen menjadi fibrin (Gurtner, 2007).
Berbagai mediator inflamasi yakni prostaglandin, interleukin-1 (IL-1),
tumor necrotizing factor (TNF), C5a, dan produk degradasi bakteri seperti
lipopolisakarida (LPS) akan menarik sel netrofil sehingga menginfiltrasi matriks
fibrin dan mengisi kavitas luka. Migrasi netrofil ke luka juga dimungkinkan karena
peningkatan permeabilitas kapiler akibat terlepasnya serotonin dan histamin oleh
mast cell dan jaringan ikat. Netrofil pada umumnya akan ditemukan pada 2 hari
pertama dan berperan penting untuk memfagositosis jaringan mati dan
-
13
mencegah infeksi. Keberadaan netrofil yang berkepanjangan merupakan
penyebab utama terjadinya konversi dari luka akut menjadi luka kronis yang tak
kunjung sembuh (Regan, Barbul, 2004; Gurtner, 2007).
Limfosit dan mast cell merupakan sel terakhir yang bergerak menuju luka
dan dapat ditemukan pada hari ke-5 sampai ke-7 pasca cidera. Peran keduanya
masih belum jelas hingga saat ini (Gurtner, 2007). Fase ini disebut juga lag
phase atau fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit, belum
ada tensile strength, di mana pertautan luka hanya dipertahankan oleh fibrin dan
fibronektin (Regan, Barbul, 2004).
Sel punca mesenkim akan bermigrasi ke luka, membentuk sel baru untuk
regenerasi jaringan baik tulang, kartilago, jaringan fibrosa, pembuluh darah,
maupun jaringan lain. Fibroblas akan bermigrasi ke luka dan mulai berproliferasi
menghasilkan matriks ekstraseluler. Sel endotel pembuluh darah di daerah
sekitar luka akan berproliferasi membentuk kapiler baru untuk mencapai daerah
luka. Ini akan menandai dimulainya proses angiogenesis. Pada akhir fase
inflamasi, mulai terbentuk jaringan granulasi yang berwarna kemerahan, lunak
dan granuler. Jaringan granulasi adalah suatu jaringan kaya vaskuler, berumur
pendek, kaya fibroblas, kapiler dan sel radang tetapi tidak mengandung ujung
saraf (Anderson, 2005).
2.3.1.2 Fase proliferasi (fibroplasi, regenerasi)
Fase proliferasi berlangsung mulai hari ke-4 hingga hari ke-21 pasca
cidera. Keratinosit yang berada pada tepi luka sesungguhnya telah mulai bekerja
beberapa jam pasca cidera, menginduksi terjadinya reepitelialisasi. Pada fase ini
matriks fibrin yang didominasi oleh platelet dan makrofag secara gradual
digantikan oleh jaringan granulasi yang tersusun dari kumpulan fibroblas,
-
14
makrofag dan sel endotel yang membentuk matriks ekstraseluler dan
neovaskular (gambar 2.3) (Gurtner, 2007).
Gambar 2.3 Fase proliferasi (Diambil dari Gurtner, 2007. Grabb and Smith’s Plastic Surgery. 6th
ed.)
Faktor setempat seperti growth factor, sitokin, hormon, nutrisi, pH dan
tekanan oksigen sekitar menjadi perantara dalam proses diferensiasi sel punca
(Anderson, 2005). Regresi jaringan desmosom antar keratinosit mengakibatkan
terlepasnya keratinosit untuk bermigrasi ke daerah luka. Keratinosit juga
bermigrasi secara aktif karena terbentuknya filamen aktin di dalam sitoplasma
keratinosit. Keratinosit bermigrasi akibat interaksinya dengan protein sekretori
seperti fibronektin, vitronektin dan kolagen tipe I melalui perantara integrin
spesifik di antara matriks temporer. Matriks temporer ini akan digantikan secara
bertahap oleh jaringan granulasi yang kaya akan fibroblas, makrofag dan sel
endotel. Sel tersebut akan membentuk matriks ekstraseluler dan pembuluh darah
baru. Jaringan granulasi umumnya mulai dibentuk pada hari ke-4 setelah cidera
(Lorenz, Longaker, 2006).
Fibroblas merupakan sel utama selama fase ini dimana ia menyediakan
kerangka untuk migrasi keratinosit. Makrofag juga akan menghasilkan growth
factor seperti PDGF dan TGF-β yang akan menginduksi fibroblas untuk
berploriferasi, migrasi dan membentuk matriks ekstraseluler. Matriks temporer ini
secara bertahap akan digantikan oleh kolagen tipe III. Sel endotel akan
-
15
membentuk pembuluh darah baru dengan bantuan protein sekretori VEGF, FGF
dan TSP-1. Pembentukan pembuluh darah baru dan jaringan granulasi
merupakan tanda penting fase proliferasi karena ketiadaannya pembuluh darah
baru dan atau jaringan granulasi merupakan tanda dari gangguan penyembuhan
luka. Setelah kolagen mulai menggantikan matriks temporer, fase proliferasi
mulai berhenti dan fase remodeling mulai berjalan (Gurtner, 2007).
Faktor proangiogenik yang diproduksi makrofag seperti vascular
endothelial growth factor (VEGF), fibroblas growth factor (FGF)-2, angiopoietin-1
dan thrombospondin akan menstimulasi sel endotel membentuk neovaskular
melalui proses angiogenesis. Hal yang menarik dari fase proliferasi ini adalah
bahwa pada suatu titik tertentu, seluruh proses yang telah dijabarkan di atas
harus dihentikan. Fibroblas akan segera menghilang segera setelah matriks
kolagen mengisi kavitas luka dan pembentukan neovaskular akan menurun
melalui proses apoptosis. Kegagalan regulasi pada tahap inilah yang hingga saat
ini dianggap sebagai penyebab terjadinya kelainan fibrosis seperti jaringan parut
hipertrofik (Gurtner, 2007).
2.3.1.3 Fase maturasi (remodeling)
Fase ketiga dan terakhir adalah fase remodeling. Selama fase ini jaringan
baru yang terbentuk akan disusun sedemikian rupa seperti jaringan asalnya.
Fase maturasi ini berlangsung mulai hari ke-21 hingga sekitar 1 tahun. Fase ini
segera dimulai segera setelah kavitas luka terisi oleh jaringan granulasi dan
proses reepitelialisasi usai. Perubahan yang terjadi adalah penurunan
kepadatan sel dan vaskularisasi, pembuangan matriks temporer yang berlebihan
dan penataan serat kolagen sepanjang garis luka untuk meningkatkan kekuatan
-
16
jaringan baru. Fase akhir penyembuhan luka ini dapat berlangsung selama
bertahun-tahun (gambar 2.4) (Gurtner, 2007).
Gambar 2.4 Fase remodeling (Diambil dari Gurtner, 2007.Grabb and Smth’s Plastic Surgery. 6th
ed)
Kontraksi dari luka dan remodeling kolagen terjadi pada fase ini.
Kontraksi luka terjadi akibat aktivitas miofibroblas, yakni fibroblas yang
mengandung komponen mikrofilamen aktin intraselular. Kolagen tipe III pada
fase ini secara gradual digantikan oleh kolagen tipe I dengan bantuan matrix
metalloproteinase (MMP) yang disekresi oleh fibroblas, makrofag dan sel
endotel. Sekitar 80% kolagen pada kulit adalah kolagen tipe I yang
memungkinkan terjadinya tensile strength pada kulit (Gurtner, 2007).
Keseimbangan antara proses sintesis dan degradasi kolagen terjadi pada
fase ini. Kolagen yang berlebihan didegradasi oleh enzim kolagenase dan
kemudian diserap. Sisanya akan mengerut sesuai tegangan yang ada. Hasil
akhir dari fase ini berupa jaringan parut yang pucat, tipis, lemas dan mudah
digerakkan dari dasarnya (Bisono, Pusponegoro, 2007).
Kolagen awalnya tersusun secara tidak beraturan, sehingga
membutuhkan lysyl hydroxylase untuk mengubah lisin menjadi hidroksilisin yang
dianggap bertanggung jawab terhadap terjadinya cross-linking antar kolagen.
Cross-linking inilah yang menyebabkan terjadinya tensile strength sehingga luka
tidak mudah terkoyak lagi. Tensile strength akan bertambah secara cepat dalam
-
17
6 minggu pertama, kemudian akan bertambah perlahan selama 1-2 tahun. Pada
umumnya tensile strength pada kulit dan fascia tidak akan pernah mencapai
100%, namun hanya sekitar 80% dari normal (Schultz, 2007).
Metaloproteinase matriks yang disekresi oleh makrofag, fibroblas dan sel
endotel akan mendegradasi kolagen tipe III. Kekuatan jaringan parut bekas luka
akan semakin meningkat akibat berubahnya tipe kolagen dan terjadinya cross-
linking jaringan kolagen. Pada akhir fase remodeling, jaringan baru hanya akan
mencapai 70% kekuatan jaringan awal (Gurtner, 2007).
Berbagai mediator atau sitokin yang turut berperan pada penyembuhan
luka dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Growth factors, sitokin dan molekul biologis aktif dalam penyembuhan luka
Nama Singkatan Sumber Deskripsi
Vascular endothelial growth factor
VEGF Sel endotel Memicu angiogenesis
Fibroblast growth factor-2
FGF-2 Makrofag, sel mast, sel endotel, limfosit T
Memicu angiogenesis, menstimulasi migrasi dan pertumbuhan sel endotel
Keratinocyte growth factor
KGF Fibroblas Mengontrol pertumbuhan dan maturasi keratinosit, menginduksi sekresi epitel dan growth factor lain
Epidermal growth factor
EGF Platelet, makrofag
Menstimulasi sekresi kolagenase oleh fibroblas untuk remodeling matriks
Transforming growth factor-
TGF- Platelet, makrofag, sel T, dan B, hepatosit, timosit, plasenta
Memicu angiogenesis, sebagai chemoattractant, menginduksi
ekspresi molekul adesi dan memicu molekul pro inflamasi yang menstimulasi migrasi leukosit dan fibroblast
Tumor necrotizing
factor-
TNF-
Makrofag, sel T dan B, natural killer (NK) cells
Menginduksi sintesa MMP, meregulasi marginasi dan sitotoksisitas leukosit PMN
-
18
Granulocyte colony-stimulating factor
G-CSF Sel stroma, fibroblas, sel endotel, limfosit
Menstimulasi proliferasi, survival, maturasi dan aktivasi granulosit
Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
GM-CSF Makrofag, sel stroma, fibroblas, sel endotel, limfosit
Menstimulasi proliferasi, survival, maturasi dan aktivasi granulosit dan makrofag, menginduksi granulopolesis
Interferon- IFN- Makrofag, sel B dan T, fibroblas, sel epitel
Aktivasi makrofag, menghambat proliferasi fibroblast
Interleukin-1 IL-1 Makrofag, keratinosit, sl endotel, limfosit, fibroblas, osteoblas
Peptida pro inflamasi, menginduksi kemotaksis leukosit PMN, fibroblas, keratinosit, mengaktivasi leukosit PMN
Interleukin-4 IL-4 Sel T, basofil, sel mast, sel stroma sumsum tulang
Mengaktivasi proliferasi fibroblas, menginduksi sintesa kolagen dan proteoglikan
Interleukin-8 IL-8 Monosit, netrofil, fibroblas, sel endotel, keratinosit, sel T
Mengaktivasi leukosit PMN dan makrofag untuk memulai kemotaksis, menginduksi marginasi dan maturasi keratinosit
Endothelial nitric oxide synthase
eNOS Sel endotel, neuron
Sintesis nitric oxide pada sel endotel
Inducible nitric oxide synthase
iNOS Netrofil, sel endotel
Sintesis nitric oxide oleh makrofag dan keratinosit basal
(Diambil dari Gurtner, 2007. Grabb and Smth’s Plastic Surgery. 6th ed)
2.3.2 Faktor Penghambat Penyembuhan Luka
Terdapat 2 (dua) faktor yang dapat menghambat penyembuhan yaitu :
a. Faktor Umum
Sintesis kolagen teganggu pada keadaan defisiensi vitamin C, zinc atau
protein (khususnya asam amino yang mengandung sulfur) (Lawler, 2007). Status
gizi pasien mempengaruhi proses penyembuhan. Pada pasien yang sangat
-
19
kekurangan gizi, penyembuhan luka tidak optimal. Penyembuhan luka juga
terhambat karena adanya benda asing atau jaringn nekrotik di dalam luka,
adanya infeksi pada luka, dan immobilisasi status pendekatan tepi luka yang
tidak sempurna.
b. Faktor Lokal
Faktor lokal seperti suplai darah buruk, infeksi persisten, retensi benda
asing dan pengulangan trauma atau pergerakan setempat (Lawler, 2007). Luka
dengan suplai darah yang buruk sembuh dengan lambat. Tepian luka yang
sedang tumbuh merupakan suatu daerah yang aktivitas metaboliknya sangat
tinggi. Dalam hal ini, hipoksia menghalangi mitosis dalam sel-sel epitel dan
fibroblas yang bermigrasi, sintesa kolagen, dan kemampuan makrofag untuk
menghancurkan bakteri yang tercerna. Pasien yang mengalami kerusakan atau
depresi sum-sum tulang (misal: akibat penyakit keganasan atau efek samping
obat-obatan) tidak mampu memproduksi eksudat selular dengan fungsi normal
dan sebagai akibatnya adalah rentan terhadap infeksi berat. Reaksi peradangan
secara normal juga kurang efektif pada pasien imunodefisiensi karena fungsi
leukosit dibantu oleh antibodi tertentu.
2.4 Sel Mast
2.4.1 Definisi
Sel mast ditemukan oleh Ehrlich dan dinamakan sel mast karena
sitoplasmanya penuh dengan granula. Sel ini tersebar luas dalam jaringan ikat,
berkelompok kecil-kecil dekat dengan pembuluh darah. Sel mast Ø ± 12 um,
berbentuk lonjong, tidak teratur dan kadang-kadang memiliki pseudopodia
pendek, menunjukan mobilitasnya yang lambat. Inti sel berbentuk bulat, relatif
-
20
kecil dan berwarna basophil/kebiruan, sering tertutup granula sitoplasma.
Sitoplasma sel mast mengandung ribosom bebas, mitokondria dan glikogen,
sementara itu pada permukaan sel ada tonjolan-tonjolan yang tumpul dan tidak
beraturan yang merupakan reseptor untuk immunoglobulin pada waktu sel mast
terangsang oleh suatu antigen. Sel mast mempunyai jumlah reseptor IgE
sebesar 300000 – 400000/sel. Sel mast ditemukan hanya pada jaringan
penyambung, umur beberapa bulan hingga tahun, dapat regranulasi, granula
mengandung prostaglandin, pelepasan mediator kimia dipengaruhi oleh sodium
kromoglikat. (Junqueira, 2005).
Gambar 2.5 Sel Mast (Abbas dan Litchman, 2003 Cellular and Molecular Immunology.)
2.4.2 Peran Sel Mast
Sitoplasma sel mengandung granula yang kasar dan basofilik. Banyak
terdapat di jaringan penyambung, akan tetapi sering tidak nampak karena
granulanya yang spesifik sangat mudah larut dalam air. Oleh karena itu, jaringan
haruslah difiksasi dengan alkohol dan digunakan pewarnaan anyline, misalnya
biru toluidin. Mungkin cara terbaik untuk melihat sel ini adalah dengan teknik
fluorosen, dimana granulanya akan bersinar dengan warna oranye terang. Sel ini
banyak dijumpai pada jaringan perivaskular. Sel mast berasal dari jaringan dan
bukan dari darah (bukan hematogen). Fungsi sel memproduksi suatu asam
mukopolisakarida, heparin dan histamin. Selain itu juga mengandung serotonin
-
21
dalam jumlah yang kecil. Pada spesies tertentu, misalnya tikus sel mast
berhubungan dengan reaksi anafilaktik (Sudiono dkk., 2003). Pada radang akut
sel ini sangat aktif, dan dengan keaktifan sel mast, granulanya akan hilang
sehingga sel ini tidak nampak lagi. Pada saat hancur, akan dilepaskan histamin
dan serotonin dan akan menyebabkan bermacam-macam perubahan pada
endotel pembuluh darah. Permeabilitas kapiler ditingkatkan oleh histamin,
serotonin, bradikinin, sistim pembekuan dan komplemen dibawah pengaruh
faktor Hageman dan SRS-A. Larutan mediator dapat mencapai jaringan karena
meningkatnya permeabilitas kapiler dengan gejala klinis berupa edema
(Baratawidjaya, 2006).
Fagosit yang mula-mula ke luar dari dinding pembuluh darah adalah
leukosit polimorfonuklear yang menyerang dan mencerna bakteri dengan cara
fagositosis. Disusul datangnya monosit (makrofag) sebagai petugas pembersih,
mencerna leukosit polimorfonuklir dan sel jaringan yang telah mati akibat toksin
bakteri. Pada radang kronik makrofag juga ikut mencerna bakteri. Plasma darah
setelah melewati dinding pembuluh darah yang permeabel sifatnya berubah
disebut limfe radang. Leukosit dan limfe radang secara bersama membentuk
eksudat radang yang menimbulkan pembengkakan pada jaringan. Rasa sakit
disebabkan tertekannya serabut syaraf akibat pembengkakan jaringan. Selain itu
rasa sakit disebabkan bradikinin dan prostaglandin (Baratawidjaya, 2006).
-
22
2.4.3 Aktivasi Sel Mast
Ada 4 tipe reaksi hipersensitivitas menurut Gell & Coombs (Munasir,
2008), yaitu :
a. Tipe I : Mastosit mengikat Ig E melalui reseptor Fc. Ikatan antara antigen
dan Ig E tersebut akan menimbulkan degranulasi mastosit yang melepas
mediator.
b. Tipe II : Antibodi dibentuk terhadap antigen yang merupakan bagian sel
pejamu. Kompleks antigen dan antibodi yang terbentuk akan menimbulkan
respon sitoksik sel K (sebagai efektor ADCC) dan atau sel melalui aktivitas
komplemen.
c. Tipe III : Kompleks imun diendapkan di dalam jaringan. Komplemen
diaktifkan, sel polimorfonuklear dikerahkan ke tempat kompleks.
d. Tipe IV : Sel T yang disensitisasi melepas limfokin akibat pemaparan ulang
dengan antigen yang sama. Limfokin mengerahkan dan mengaktifkan
makrofag yang selanjutnya melepas mediator serta menimbulkan respons
inflamasi.
Sel mast dan basofil berkaitan erat dengan reaksi hipersensitivitas tipe I.
Reaksi hipersensitivitas tipe I dimulai dengan ikatan antara antigen oleh minimal
2 molekul Ig E pada permukaan sel mast. Ig E melekat pada reseptor spesifik
berafinitas tinggi yang disebut FceRI. Ada 2 macam molekul FceR, yang
berafinitas tinggi terhadap Ig E yaitu FceRI, dan FceRI yang afinitasnya lebih
rendah. Sel mast dan basofil mempunyai reseptor berafinitas tinggi FceRI.
Walaupun konsentrasi Ig E di dalam serum sangat rendah dibandingkan dengan
Ig lain (< 1 g/ml), tetapi sudah mencukupi untuk mengikat reseptor ini. Sel-sel lain
termasuk limfosit, netrofil, trombosit, monosit, eosinofil dan sel dendritik juga
-
23
mempunyai reseptor terhadap Ig E sehingga juga dapat mengikat Ig E, tetapi
dengan afinitas yang lebih rendah. Fungsi dari reseptor berafinitas rendah ini
tidak jelas (Munasir, 2008).
Sel mast diaktifkan apabila terjadi cross linking atau bridging dari molekul
FceRI oleh ikatan antigen dengan Ig E yang menempati molekul tersebut.
Pengaktifan sel mast menghasilkan reaksi biologik sebagai berikut :
a. Terjadi sekresi sel mast, zat-zat yang telah terbentuk dan disimpan dalam
granula akan dilepaskan keluar secara eksositosis/degranulasi.
b. Sel mast mensintesa lipid mediator secara enzimatik dari precursor yang
tersimpan di dalam membran sel.
c. Sel mast membentuk dan mensekresi sitokin.
d. Pada proses degranulasi sel mast terjadi pelepasan mediator kimia yang
berkaitan dengan manifestasi klinik alergi.
Interaksi Ig E dengan alergen pada permukaan sel mast mengakibatkan
aktivasi enzym proesterase (E) menjadi enzym esterase aktif (E). Enzym ini
mengakibatkan agregasi mikrotubuli dalam sitoplasma sel mast mendekati
membran sel mast. Mikrotubuli ini berfungsi sebagai saluran tempat keluarnya
mediator yang akan dilepaskan oleh sel mast. Pelepasan mediator ini
berlangsung bila terjadi influks ion Ca2+ ekstraselular ke dalam sel mast. Influks
Ca2+ ini mengakibatkan membran sel mast tidak stabil sehingga mudah ditembus
oleh mediator kimia. Proses degranulasi sel mast dapat terjadi akibat reaksi
alergen dengan Ig E dan akibat gangguan keseimbangan saraf otonom (Munasir,
2008).
Degranulasi sel mast juga tergantung dari kadar siklik AMP (cAMP) dan
siklik GMP (cGMP) pada sitoplasma sel mast yang dalam keadaan normal selalu
-
24
seimbang. Siklik AMP bersifat menghambat proliferasi dan pembentukan
mikrotubuli, sedangkan cGMP bersifat menekan efek cAMP. Bila konsentrasi
cGMP lebih tinggi dari konsentrasi cAMP, maka efek cAMP akan ditekan.
Keadaan ini memudahkan terjadinya proliferasi mikrotubuli yang pada akhirnya
memudahkan terjadinya degranulasi sel mast. Rangsangan reseptor agonis b2
akan meningkatkan kadar cAMP, sedang rangsangan reseptor alfa akan
menurunkan kadar cAMP. Peningkatan cAMP menimbulkan bronkodilatasi,
sedang penurunan cAMP dan peningkatan cGMP menimbulkan bronkokonstriksi.
Faktor- faktor lain yang dapat mengaktifkan mastosit yaitu hipoksia, obat opioid,
antibiotik, kontras, pelemas otot. Panas, sinar matahari, dingin, dan tekanan
merupakan rangsangan fisis yang juga mengaktifkan sel mast. (Munasir, 2008).
2.4.4 Mediator Kimia yang dilepaskan Sel Mast
Banyak mediator kimia dari reaksi hipersensitivitas tipe I yang dikeluarkan
pada waktu aktivasi sel mast dan basofil. Ada 2 kategori mediator yang
dilepaskan:
a. Mediator yang telah dibentuk sebelumnya (preformed) dan dikeluarkan pada
waktu aktivasi, termasuk biogenic amine dan makromolekul di dalam granula.
Mediator ini dilepaskan segera setelah sel mast teraktivasi (1–30 menit), dan
menimbulkan respon segera.
b. Mediator yang baru disintesa pada waktu aktivasi (newly synthesized),
termasuk lipid mediator dan sitokin. Mediator ini dilepaskan 24 jam setelah sel
mast teraktivasi, dengan demikian reaksi hipersensitivitas tipe IV/ delayed lipid
mediator dan sitokin. Mediator ini diplepaskan 24 jam setelah sel mast
teraktivasi, dengan demikian reaksi hipersensititas tipe IV/ delayed
-
25
hipersensitivity merupakan kelanjutan dari reaksi hipersensitivitas tipe I.
(Munasir, 2008)
Mediator yang dihasilkan mastosit dan basofil menimbulkan gejala alergi,
sehingga kedua sel ini disebut juga sel mediator. Sel mast penuh terisi oleh
bahan vasoaktif yang mempunyai kapasitas untuk mempengaruhi mikro-sirkulasi
dan menyebabkan perubahan permeabilitas kapiler. Selain itu, mediator ini dapat
mempengaruhi mobilitas sel keluar masuk jaringan (kemotaksis), mempengaruhi
sistem saraf dengan menimbulkan potensiasi serat saraf lokal, dan dapat pula
merangsang kontraksi otot polos saluran nafas. Jadi apabila produk sel mast ini
dilepaskan secara massal, akan terjadi reaksi immediate type hipersensitivity
yang hebat yang dapat menimbulkan kematian dalam beberapa saat. Reaksi
seperti ini dikenal dengan reaksi anafilaksis. Mekanisme kerja sebenarnya
didalam tubuh dikaitkan dengan fungsi biologik sel mast sukar untuk
didefinisikan, karena banyak mediator yang diproduksi oleh sel lain dan terjadi
banyak interaksi dengan sel – sel yang lain (Abbas, 2004).
Tabel 2.2 Human Mast Cell Mediators Preformed and eluted Preformed & granule
associated
Newly synthesized
Histamin
Chemotactic fc
Superoxide
Aryl sulfatase A
IL 3,4,5,6 & 8
Interferon g, TNF a
Heparin – Chondroitin
sulfate
Tryptase
Chymase
Carboxypeptidase
Superoxide dismutase
Leukotrien / SRSA
PAF
Prostaglandin
( Sumber : Giorgia, 2012. Mast cell : an emerging partner in immune interaction )
-
26
2.5 Lidah Buaya (Aloe vera)
2.5.1 Definisi
Aloe vera merupakan salah satu jenis obat-obatan popular asli Afrika,
yang termasuk golongan Liliaceae. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi sekarang ini, memperluas pemanfaatan khasiat Aloe vera.
Pemanfaatan Aloe vera kini tidak hanya terbatas pada tanaman hias saja tetapi
juga sebagai obat dan bahan baku pada industri kosmetika (Kusmawati, 2009).
Lidah buaya adalah tanaman yang semua bagian tumbuhannya
bermanfaat, pelepah lidah buaya dapat dikelompokan menjadi 3 bagian yang
dapat digunakan untuk pengobatan antara lain; daun, keseluruhan daunnya
dapat digunakan baik secara langsung atau dalam bentuk ekstrak, kemudian
eksudat, adalah getah yang keluar dari dalam saat dilakukan pemotongan,
eksudat ini berbentuk kental berwarna kuning dan rasanya pahit. Kemudian gel,
adalah bagian yang berlendir yang diperoleh dengan cara menyayat bagian
dalam daun. Di dalam gel lidah buaya ini dipercaya mengandung berbagai zat
aktif dan enzim yang sangat berguna untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Karena kandungan zat aktif dan enzim inilah maka sifat gel ini sangat sensitif
terhadap suhu, udara dan cahaya, serta sangat mudah teroksidasi sehingga
mudah berubah warna menjadi kuning hingga coklat (Furnawanthi, 2004).
Aloe vera telah lama dijuluki sebagai tanaman obat, bahkan master
healing plant, (tanaman penyembuh utama). Gel Aloe vera memiliki aktivitas
sebagai antibakteri, antijamur, peningkat aliran darah ke daerah yang terluka dan
penstimulasi fibroblast yang bertanggung jawab untuk penyembuhan luka.
Publikasi pada American Pediatric Medical Association menunjukan bahwa
pemberian gel Aloe vera pada hewan coba, baik engan cara diminum ataupun
-
27
dioles pada permukaan kulit, dapat mempercepat penyembuhan luka
(Rieuwpassa, 2011).
2.5.2 Jenis dan taksonomi Aloe vera
Terdapat lebih dari 350 jenis Aloe vera yang termasuk dalam suku
liliaceae. Disamping itu tidak sedikit Aloe vera yang merupakan hasil persilangan.
Ada tiga jenis Aloe vera yang dibudidayakan secara komersial di dunia, yakni
Curacao Aloe atau Aloe vera (Aloe Berbadensis Miller), Cape Aloe atau Aloe
Ferox Miller, dan Socotrine Aloe yang salah satunya adalah Aloe Perryi Baker
(Furnawanthi, 2007). Aloe vera yang banyak dimanfaatkan adalah spesies Aloe
Barbadensis Miller yang ditemukan oleh Philip Miller, seorang pakar botani yang
berasal dari Inggris, pada tahun 1768. Aloe berbadensis Miller mempunyai
beberapa keunggulan, diantaranya tahan hama, ukurannya lebih panjang, yakni
dapat mencapai 121 cm, berat perbatangnya dapat mencapai 4 kg, dan
mengandung 75 nutrisi. Disamping itu, Aloe vera ini aman dikonsumsi, karena
mengandung zat polisakarida (terutama glukomannan) yang bekerja sama
dengan asam amino esensial dan sekunder serta bagian enzim. Aloe
barbadensis Miller mempunyai nama sinonim yang binomial yakni Aloe vera dan
Aloe vulgaris. Klasifikasi lidah buaya adalah sebagai berikut (Banvard dan Elaine,
2003) :
Kingdom : Plantae
Filum : Anthophyta
Kelas : Monocotyledonae
Sub kelas : Liliidae
Ordo : Liliales
Famili : Aloeaceae
-
28
Genus : Aloe
Spesies : Barbadensis
Jenis yang banyak dikembangkan di Asia termasuk Indonesia, adalah
Aloe chinensis Baker, yang berasal dari Cina, tetapi bukan tanaman asli Cina.
Jenis ini di Indonesia sudah ditanam secara komersial di Kalimantan Barat dan
lebih dikenal dengan nama lidah buaya Pontianak, yang dideskripsikan oleh
Baker pada tahun 1877 (Furnawanthi, 2007).
2.5.3 Morfologi Aloe Vera
Gambar 2.6 Lidah buaya (aloe vera) (Jatnika dan Saptoningsih, 2009 Meraup laba dari lidah buaya)
a. Akar
Tanaman lidah buaya berakar serabut pendek dan tumbuh menyebar di
batang bagian bawah tanaman (tumbuh kearah samping). Akibatnya, tanaman
mudah tumbang karena akar tidak cukup kuat menahan beban daun lidah buaya
yang cukup berat. Panjang akarnya mencapai 30-40 cm (Jatnika dan
Saptoningsih, 2009).
b. Batang
Umumnya batang lidah buaya tidak terlalu besar dan relative pendek
(sekitar 10 cm). Penampakan batang tidak terlihat jelas karena tertutup oleh
pelepah daun. Jika pelepah daun lidah buaya telah dipotong (dipanen) beberapa
kali, batang akan tampak dengan jelas (Jatnika dan Saptoningsih, 2009).
-
29
c. Daun
Letak daun lidah buaya berhadap-hadapan dan mempunyai bentuk yang
sama, yakni daun tebal dengan ujung yang runcing mengarah ke atas. Daun
memiliki duri yang terletak di tepi daun. Setiap jenis lidah buaya yang satu dan
yang lain memiliki penampakan fisik daun yang berbeda (Jatnika dan
Saptoningsih, 2009).
d. Bunga
Bunga lidah buaya memiliki warna bervariasi, berkelamin dua (bisexual)
dengan ukuran panjang 50-70 mm. Bunga ini berbentuk seperti lonceng, terletak
di ujung atau suatu tangkai yang keluar dari ketiak daun dan bercabang. Panjang
tangkai 50-100 cm dan bertekstur cukup keras serta tidak mudah patah. Bunga
lidah buaya mampu bertahan 1-2 minggu. Setelah itu, bunga akan rontok dan
tangkainya mongering (Jatnika dan Saptoningsih, 2009).
e. Biji
Biji dihasilkan dari bunga yang telah mengalami penyerbukan.
Penyerbukan biasanya dilakukan oleh burung atau serangga lainnya. Namun,
jenis Aloe barbadensis dan Aloe chinensis tidak membentuk biji atau tidak
mengalami penyerbukan. Kegagalan ini diduga disebabkan oleh serbuk sari steril
(pollen sterility) dan ketidaksesuaian diri (self incompatibility). Karena itu, kedua
jenis tanaman ini berkembang biak secara vegetative melalui anakan (Jatnika
dan Saptoningsih, 2009).
2.5.4 Kandungan Aloe vera
Tanaman lidah buaya mengandung 99-99,5 % air, dengan pH rata-rata
4,5, yang mengandung Acemannan. Acemannan adalah fraksi karbohidrat
terbanyak di dalam gel, merupakan polimer mannose rantai panjang yang larut
-
30
dalam air, berguna untuk mempercepat penyembuhan, memodulasi fungsi imun
(mengaktivasi makrofag dan produksi sitokin), antineoplastik dan antivirus
(Wiedosari, 2007).
Kandungan dan fungsi dari zat aktif yang terdapat pada tanaman lidah
buaya menurut Fumawanthi (2004) antara lain adalah Lignin mempunyai
kemampuan penyerapan yang tinggi sehingga memudahkan peresapan gel ke
dalam kulit atau mukosa; Saponin mampu membersihkan dan bersifat antiseptik,
serta bahan pencuci yang baik; Anthraguinone sebagai bahan laksatif,
penghilang rasa sakit, mengurangi racun, dan sebagai antibiotik; Acemannan
sebagai anti virus, anti bakteri, anti jamur, dan dapat meghancurkan sel tumor,
serta meningkatkan daya tahan tubuh; Enzim Bradykinase dan Karbiksipeptidase
sebagai anti inflamasi, anti alergi, dan dapat mengurangi rasa sakit;
Glukomannan dan Mukopolysakarida memberikan efek imunomodulasi; Tannin
dan Aloctin A sebagai anti inflamasi; Salisilat menghilangkan rasa sakit dan anti
inflamasi; Asam Amino sebagai bahan untuk pertumbuhan dan perbaikan, serta
sebagai sumber energy. Lidah buaya menyediakan 20 asam amino dari 22 asam
amino yang dibutuhkan oleh tubuh; Mineral yang memberikan ketahanan tubuh
terhadap penyakit; Vitamin A, B1, B2, B6, B12, C, E dan asam folat sebagai
bahan penting untuk menjalankan fungsi tubuh secara normal dan sehat.
Tabel 2.3 Ringkasan komposisi dari Aloe vera
Kelas Komposisi Kegunaan
Antrakuinon /
anthrone
Aloe-emodin, asam-aloetic,
anthranol, barbaloin, isobarbaloin,
emodin, ester dari asam cinnamic.
Aloin dan emodin
berfungsi sebagai
analgesic, antibakteri
dan antivirus.
Karbohidrat Mannan murni, mannan
terasetilasi, glukomanan asetat,
Mengandung
glikoprotein dengan
-
31
glukan galactomannan, glukan,
galactogalacturan,
arabinogalactan, zat
pecticgalactoglucoarabinomannan,
xylan, selulosa.
sifat anti alergi, disebut
alprogen dan senyawa
anti-inflamasi.
Chromones 8-C-glusoly-(2’-O-cinnamoly)
-7-O-methylaloediol A,
8-C-glucosyl-(S)-aloesol,
8-C-glucosyl-7-O-methylaloediol A,
8-C-glucosyl-7-0-methylaloediol,
8-C-glucosyl-noreuhenin,
isoaloeresin D, isorabaichromone,
neoalosin A.
Mengandung zat anti-
inflamasi terbaru.
Enzim Alkali fosfatase, amilase,
bradikinase, Carboxypeptidase,
katalase, Siklooksidase,
siklooksigenase, lipase, oksidase,
fosfoenolpiruvat, karboksilase,
superoksida dismutase.
Bradikinase membantu
mengurangi inflamasi
berlebihan bila
diaplikasikan pada kulit
secara topical,
sementara zat lain
membantu dalam
pemecahan gula dan
lemak.
Komposisi
inorganic
Kalsium, klorin, kromium, tembaga,
besi, magnesium, mangan, kalium,
fosfor, sodium, seng.
Zat tersebut sangat
penting dalam berbagai
sistem enzim pada jalur
metabolism yang
berbeda dan beberapa
antioksidan.
Protein Lektin dan substansi mirip lektin Juga mengandung
asam salisilat yang
memiliki anti-inflamasi
dan sifat antibakteri.
Lignin, sebagai zat
-
32
inert, ketika
dimasukkan dalam
persiapan topical,
meningkatkan efek
penetrasi bahan lain
kedalam kulit. Saponin
yang merupakan zat
sabun sekitar 3% dari
gel berfungsi sebagai
pembersih dan
antiseptik.
Vitamin Vitamin A, B12, C, E, kolim dan
asam folat
Vitamin A, C, E,
berfungsi sebagai anti
oksidan yang
menangkal radikal
bebas
Hormon Auksin dan giberelin Membantu dalam
penyembuhan luka dan
sebagai anti-inflamasi
Sumber : Mogaddhasi S, Verma SK. Aloe vera their chemicals composition and applications: A review. International journal of biological and medical research. 2011: P.468
Lidah buaya memiliki cairan bening seperti jeli dan cairan berwarna
kekuningan yang mengandung aloin. Cairan ini berasal dari lateks yang terdapat
di bagian luar kulit lidah buaya. Cairan yang mengandung aloin ini banyak
dimanfaatkan sebagai obat pencahar komersial. Daging lidah buaya
mengandung lebih dari 200 komponen kimia dan nutrisi alami yang secara
bersinergi dan menghasilkan khasiat tertentu. Berikut ini merupakan komponen
kimia yang terkandung dalam lidah buaya.
Tabel 2.4 Komponen kimia lidah buaya berdasarkan manfaatnya
Zat Manfaat
Lignin Memiliki kemampuan penyerapan yang tinggi
-
33
yang memudahkan peresapan gel ke kulit
sehingga mampu melindungi kulit dari
dehidrasi dan menjaga kelembapan kulit.
Saponin - Memiliki kemampuan membersihkan
(aspetik)
- Sebagai bahan pencuci yang sangat baik
Komplek antharaquinon
aloin, barbaloin, iso-
barbaloin, anthranol, aloe
emodin, anthracene, aloetic
acid, asam sinamat, asam
krisophanat, eterat oil, dan
resistanol
- Bahan laksatif
- Penghilang rasa sakit
- Mengurangi racun
- Senyawa antibakteri
- Mempunyai kandungan antibiotic
Kalium dan Natrium - Memelihara kekencangan muka dan otot
tubuh
- Regulasi dan metabolism tubuh dan
penting dalam pengaturan impuls saraf
Kalsium Membantu pembentukan dan regenerasi
tulang
Seng (Zn) Bermanfaat bagi kesehatan saluran air
kencing
Asam folat Bermanfaat bagi kesehatan kulit dan rambut
Vitamin A Berfungsi untuk oksigenasi jaringan tubuh,
terutama kulit dan kuku
Vitamin B1, B2, B6, B12, C,
E, Niacinamida, dan Kolin
Berfungsi untuk menjalankan fungsi tubuh
secara normal dan sehat
Enzim oksidase, amylase,
katalase, lipase, dan
protease
- Mengatur berbagai proses kimia dalam
tubuh
- Menyembuhkan luka dalam dan luar
Enzim protease bekerja
sama dengan glukomannan
Penghilang rasa nyeri saat luka
Asam krisofan Mendorong penyembuhan kulit yang
mengalami kerusakan
-
34
Mono dan polisakarida
(Selulosa, glukosa,
mannose, dan aldopentosa)
- Memenuhi kebutuhan metabolism tubuh
- Berfungsi untuk memproduksi
mukopolisakarida
Salisilat
Mukopolysakarida
- Anti inflamasi dan menghilangkan rasa
sakit
- Memberi efek imonomodulasi
Tennin, Aloctin A Sebagai anti inflamasi
Indometasin Mengurangi edema
Asam Amino Untuk pertumbuhan dan perbaikan serta
sebagai sumber energy. Aloe vera
menyediakan 20 dari 22 asam amino yang
dibutuhkan tubuh
Mineral Memberikan ketahanan tubuh terhadap
penyakit dan berinteraksi dengan vitamin
untuk fungsi tubuh
( Sumber : Jatnika dan Saptoningsih, 2009. Meraup laba dari lidah buaya )
Tabel 2.5 Komponen bioaktif yang terkandung pada Aloe vera L.
Komponen Bioaktif Fungsionalitas
Acemannan Anti-inflammatory, wound healing, anti-kanker, anti virus, UV sunburn
Glikoprotein Anti-diabetes, anti-kanker
Aloe emodin Anti-kanker, anti-mikroba
Lectin Anti-inflammatory, wound healing, anti-kanker
Barbaloin dan komponen fenolik
Anti-mikroba
Alomicin Anti-kanker
(Sumber : Kismaryanti, 2007. Aplikasi Gel Lidah Buaya (Aloe vera L.) sebagai Edible Coating pada Pengawetan Tomat)
2.5.4.1 Acemannan
Menurut Basseti, lidah buaya (Aloe vera) terdiri dari berbagai macam
senyawa yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, gula
kompleks (di antaranya acemannan), berada di dalam gel daun dan memiliki
-
35
kemampuan untuk merangsang kekebalan. Kelompok kedua, antrakuinon, yang
terkandung di bagian terluar dari kulit yang dapat berfungsi sebagai pencahar
yang kuat (Bassetti A, 2005).
Lidah buaya mengandung acemannan. Acemannan adalah karbohidrat
kompleks yang memiliki rantai sangat panjang. Acemannan yang terkandung
dalam lidah buaya mempunyai aktivitas antiinflamasi imunosupresi serta
antioksidan karena menghambat aktivitas mediator inflamasi yaitu bradykinin
(Yagi A., 2003).
Acemannan (Acetylated mannosa) merupakan salah satu komponen
polisakarida yang memiliki aktifitas antimikroba dengan kemampuannya
menstimulasi leukosit fagositik. Acemannan mampu untuk memulihkan dan
meningkatkan kekebalan tubuh dengan merangsang produksi makrofag dan
meningkatkan aktifitas limfosit T. Acemannan juga menghasilkan agen kekebalan
tubuh seperti interferon dan interleukin yang membantu dalam menghancurkan
virus, bakteri, dan sel-sel tumor (Kathuria, 2011).
2.5.5 Aloe vera sebagai Imunomodulator
Dari penelitian diketahui, apabila acemannan diinkubasi bersama
suspense monosit, respon limfosit T akan meningkat terhadap lektin dan akan
meningkatkan sekresi IL-1. Selanjutnya diketahui bahwa, acemannan
merupakan fraksi karbohidrat yang diisolasi dari gel daun Aloe vera dapat
menstimulasi makrofag cell line RAW 264, menyebabkan peningkatan produksi
sitokin IL-6 dan TNF-a, pelepasan nitrit oksida, ekspresi molekul permukaan dan
perubahan morfologi dari sel makrofag (Wiedosari, 2007).
Sebagai imunodulator, Aloe vera dapat meningkatkan aktivitas anti-
kanker pada pengobatan menggunakan melatonin. Acemannan meningkatkan
-
36
aktivitas makrofag dari sistem imun sistemik terutama dalam darah dan limoa
serta meningkatkan produksi NO makrofag. Fraksi karbohidrat dari gel Aloe vera
(acemannan) dapat meningkatkan produksi IL-12 dan maturasi dari sel dendritic
sehingga sel dendritic sebagai antigen presenting cell (APC) dapat meningkatkan
ekspresi molekul major histocompability complex (MHC) kelas II, dengan
demikian fungsi limfosit ThCD4+ menjadi optimal.(Wiedosari, 2007).
2.5.6 Peran Lidah Buaya dalam Penyembuhan Luka
Lidah buaya memiliki sistem penghambat yang menghalangi rasa sakit
dan peradangan serta sistem stimulasi yang meningkatkan penyembuhan luka.
Pengujian laboratorium independen tentang lidah buaya menunjukkan aktivitas
lidah buaya dalam modulasi antibodi dan kekebalan seluler (Davis, 2006).
Topikal steroid biasanya digunakan untuk memblokir peradangan akut dan
kronis. Mereka menurunkan edema dengan mengurangi permeabilitas kapiler,
vasodilatasi dan menstabilkan membran lisosom. Lidah buaya (Aloe vera) dapat
merangsang pertumbuhan fibroblas untuk meningkatkan penyembuhan luka dan
menghalangi penyebaran infeksi. Penelitian menunjukkan bahwa hanya sekitar
1% dari steroid dapat menembus stratum korneum kulit, dan 99% terbuang. Data
penelitian ini menunjukkan bahwa lidah buaya dapat
top related