makna leprosy dan pengalaman sehari- hari - sebuah eksplorasi di
Post on 30-Dec-2016
225 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
Original English version: Peters, R.M.H., Dadun, Lusli, M., Miranda-Galarza, B., van Brakel, W.H., Zweekhorst, M.B.M., Damayanti, R., Seda, F.S.S.E , Bunders J.F.G., Irwanto (2013), “The meaning of leprosy and everyday experiences: an exploration in Cirebon, indonesia.”, Journal of tropical medicine, doi:10.1155/2013/507034.
http://www.hindawi.com/journals/jtm/2013/507034/
Makna leprosy dan pengalaman sehari-hari - sebuah eksplorasi di Cirebon, Indonesia
Ruth M. H. Peters 1
Dadun 2, 3
Mimi Lusli 2
Beatriz Miranda-Galarza 1
Wim H. van Brakel 1
Marjolein B. M. Zweekhorst 1
Rita Damayanti 2, 3
Francisia S. S. E. Seda 2
Joske F. G. Bunders 1
Irwanto 2
1 Athena Institute, Faculty of Earth and Life Sciences, VU University Amsterdam, De Boelelaan 1085,
1081 HV Amsterdam, The Netherlands. Tel: +31 20 5987030, Email: secretariaat.athena.falw@vu.nl,
Website: www.athena-instituut.nl
2 Centre for Disability Studies, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Indonesia, Selo
Sumarjan Research Center (SSRC), Gedung H, 6th Floor, Cubicle E, Kampus FISIP UI, Depok, 16424,
Tel: + 62 21 78849720, Email: pkd.fisipui@gmail.com, website: www.puskadisabilitas.org
3 Center for Health Research, Faculty of Public Health, Universitas Indonesia, Gedung G, R. 211,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Kampus UI, Depok, 16424, Tel: +62 21 7270154, Email:
chrui@ui.ac.id, Website: www.chr-ui.org
Semua korespondensi harus ditujukkan kepada r.m.h.peters@vu.nl.
2
Abstrak
Jika kita ingin membuat pelayanan leprosy yang lebih efektif yang tampaknya sangat diperlukan di
Indoneia mengingat banyaknya kasus yang terdeteksi setiap tahunnya, maka sangatlah penting untuk
menilai arti dari leprosy dan pengalaman keseharian dari PAL dan tokoh-tokoh masyarakat. Namun,
tidak banyak diketahui dalam literature international mengenai pengalaman pasien leprosy yang
dirawat, baik yang sudah sembuh atau informasi penting lainnya. Tulisan ini menganalisa cerita
orang-orang dengan melaksanakan wawancara mendalam bersama 53 partisipan dan 20 diskusi grup
focus. Para partisipan telah diseleksi dengan beberapa alasan. Kami memberikan wawasan ke dalam
pengalaman orang-orang tersebut dan pemahaman mereka atas leprosy, menyorot aspek etiologic,
spiritualitas, agama, kulit yang semakin gelap dan dunia sihir. Kami juga memeriksa pengalaman
mereka dalam mencari perawatan dan focus pada dampak penyakit tersebut, khususnya pada orang
lanjut usia dan anak-anak. Pada kesimpulannya, bahwa Indonesia sangat jelas membutuhkan
implementasi pelayanan leprosy yang berkelanjutan. Keberagaman dalam pengalaman orang-orang
tersebut dengan leprosy membuktikan butuhnya pelayanan leprosy yang responsive untuk
memenuhi berbagai kebutuhan, termasuk mereka yang telah dinyatakan “telah sembuh” secara
formal.
3
Pembukaan
Dalam beberapa decade terakhir, berbagai usaha dalam bidang leprosy telah focus pada
menyembuhkan penyakitnya, mengendalikan penyebarannya dan mencegah terjadinya kecacatan
(impairment). Dari perspective global, hasil dari usaha tersebut tergolong mengesankan dan patut
dihargai jika melihat menurunnya jumlah kasus baru dan berkurangnya jumlah pasien dengan
impairment parah pada saat diagnosa [1]. Untuk beberapa Negara, termasuk diantaranya Indonesia,
gambaran ini tidak termasuk sesuatu yang patut diperhatikan. Sementara untuk implikasi diluar
cakupan medis seperti stigma yang masih memiliki banyak masalah [2–4].
Sepanjang sejarah, leprosy telah diasosiasikan dengan impairment [5–9]. Manifestasi dari stigma,
termasuk stigma dari diri sendiri, mengurung diri dan diskriminasi, walaupun telah menjadi lebih
halus dengan lebih sedikit kasus pengucilan, namun tetap merupakan kenyataan bagi PAL [10]. Untuk
membantu pelayanan leprosy agar menjadi lebih peka tehadap isu-isu mengenai stigma yang
berhubungan dengan leprosy, maka dibutuhkan pemahaman terhadap stigma dari sudut pandang
PAL dan keluarga mereka. Pandangan-pandangan dari tokoh masyarakat, tentangga, guru, pemuka
agama, dan Dinas Kesehatan, juga perlu dipertimbangkan. ‘The human face of leprosy’ diubah oleh
Gokhale dan Sohoni [11] pada tahun 1999 juga telah menitik beratkan kebutuhan terhadap kasus-
kasus seperti yang dimaksud tadi.
Beberapa studi mengenai leprosy telah dilaksanakan di Indonesia berfokus pada aspek biomedis [12–
14], factor resiko [15–17], penemuan kasus [18, 19] dan gender [20]. Walaupun studi mengenai
leprosy ini bernilai dalam bidang mereka sendiri, kami menilai ada kekurangan pengetahuan dalam
literature international yang sudah diterbitkan mengenai pengalaman orang-orang yang sedang
menjalani perawatan atau yang telah sembuh dan informasi penting lainnya yang berada di
Indonesia atau tempat lain.
Dengan demikian, Stigma Assessment and Reduction of Impact Project (SARI), yang mana studi ini
adalah bagian darinya, telah meutuskan untuk melaksanakan studi eksploratif mengenai pengalaman
dan persepsi, sebelum dimulainya proses partisipatif dalam mendesain dan mengimplementai
intervensi melawan stigma. Pertanyaan utama dari studi ini adalah: Bagaimana leprosy dipahami dan
dijalankan oleh PAL dan pemimpin setempat dan bagaimana dampak dari pemahaman dan
pengalaman leprosy tersebut terhadap pelayanan leprosy?
Tulisan ini berawal dari ikhtisar singkat dari pengendalian dan epidemiologi leprosy yang diikuti oleh
kerangka analitis yang singkat. Setelah metode dan material, tulisan ini menyorot wajah-wajah
4
manusia dibalik statistic dan mencoba untuk berlaku adil terhadap keberagaman pengalaman dan
nilai local dalam area studi. Sehubungan dengan ini, hasil yang kami dapat menunjukkan bahwa 5
tema utama yang muncul dari analisis adalah: i) memberikan arti terhadap leprosy, ii) etiologi, iii)
pencarian pengobatan, iv) memahami kesembuhan dan obat dan v) dampak dari leprosy. Pandangan
dan pengalaman PAL dan pemimpin setempat kemudian dibandingkan, menjelaskan bahwa hal
tersebut masih relevan dengan peningkatan pelayanan leprosy dan pengurangan stigma.
Ikhtisar singkat mengenai pengendalian leprosy dan epidemiologi di
Indonesia
Indonesia saat ini berada di 3 tingkat teratas untuk infeksi leprosy di dunia, setelah India dan Brazil
[1]. Dua belas, dari total tiga puluh empat, propinsi di Indonesia mempunyai tingkat penemuan kasus
baru sebesar 10/100,000 jiwa, sementara Papua Barat mempunyai tingkat diatas 100/100,000.
Indonesia mempunyai sejarah panjang dalam pengendalian leprosy. Pada tahun 1655, rumah sakit
leprosy pertama di bangun di teluk Jakarta dan lebih dari dua abad, jumlah rumah sakit meningkat
menjadi 45 [21]. Pada tahun 1932, kebijakan pengucilan wajib atas sebuah kasus leprosy telah
ditiadakan [21] dan beberapa implementasi program pengendalian tingkat nasional dijalankan. Pada
tahun 1969, pemerintah mulai untuk menggabungkan pengendalian leprosy ke dalam pelayanan
kesehatan umum [22]. Saat ini, rencana strategis kedua untuk Program Pengendalian Leprosy
Nasional (National Leprosy Control Programme / NLCP) 2011-2015 telah diimplementasikan [23].
Kita akan focus pada epidemiologi leprosy pada Kabupaten Cirebon, karena area ini adalah area riset
untuk studi ini, dan menaruh angka-angka dalam konteks jumlah dalam propinsi (Jawa Barat) dan
nasional. Tahun lalu, Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon melaporkan adanya 320 kasus leprosy baru
(15.2/100,000 population). Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1, jumlah kasus baru pada
tingkat nasional menunjukkan pola mendatar sampai dengan tahun 2010. Tahun lalu, Kementerian
Kesehatan Indonesia melaporkan sebanyak 23,000 kasus leprosy baru (9.5/100,000 jiwa); atau
meningkat sebesar 35% dibandingkan tahun 2010. Kami tidak mengetahui adanya perubahan pada
pelayanan leprosy yang mungkin menyebabkan peningkatan ini. Penjelasan dari peningkatan ini
dapat dijelaskan sebagian melalui ditemukannya jumlah kasus baru oleh NLCP, khususnya pada area
endemic tinggi dan daerah-daerah terpencil.
5
Gambar 1: Tren penemuan kasus baru selama 10 tahun di Indonesia, Jawa Barat, dan Cirebon pada
tahun 2002-2011 (data ini digabung dari [24, 25])
Pada kasus-kasus baru di Cirebon, 18 (5.6%) memiliki kecacatan fisik (juga disebut sebagai ‘kecacatan
tingkat 2’); persentase telah meningkat secara bertahap selama beberapa tahun namun menurun
sedikit pada tahun 2009. Tren sejenis ini dapat dilihat pada tingkat propinsi dan nasional pada
Gambar 2. Gambar tersebut menunjukkan adanya deteksi kasus yang terlambat, namun
pengurangan cukup banyak dan menunjukkan bahwa program pengendalian leprosy yang saat ini
dilaksanakan telah menunjukkan kemajuan.
Gambar 2: Tren 10 tahun untuk persentase kecacatan diantara kasus baru di Indonesia, West Java
and Cirebon in 2002-2011 (data ini digabung dari [24, 25])
0
5
10
15
20
25
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Ne
w c
ase
s d
ete
cte
d p
er
10
0,0
00
p
op
ula
tio
n
Indonesia
Province West Java
District Cirebon
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
% v
isib
le im
par
ime
nt
amo
ng
ne
w
case
s Indonesia
Province West Java
District Cirebon
6
Gambar 3 menunjukkan persentase yang bervariasi namun menurun atas jumlah kasus baru pada
anak-anak di Cirebon. Hal ini menunjukkan kemajuan berkurangnya penularan leprosy belakangan
ini.
Gambar 3: Tren 10 tahun atas persentase kasus baru pada anak-anak di Indonesia, Jawa Barat, dan
Cirebon pada tahun 2002-2011 (data ini digabung dari [24, 25])
Data persentase wanita diantara kasus baru yang terdaftar hanya tersedia dari tahun 2008 – 2011
pada tingkat nasional. Setelah peningkatan awal, angka tersebut menurun dari 39.8% pada 2009
(6,877 kasus) sampai 34.6% pada tahun 2011 (7,968 kasus).
Kerangka Analitis
Pengalaman orang yang terdampak leprosy dikonseptualisasikan dalam beragam cara. Konsep dari
pengucilan social, diskriminasi, dan stigma banyak digunakan. Khususnya dalam konsep stigma
beberapa kerangka konseptual yang telah dikembangkan [5, 26–31], banyak menggunakan karya
klasik Goffman mengenai ‘identitas rusak’ (spoiled indentity) [32] sebagai titik awal. Yang banyak
dipakai sebagai kerangka konseptual adalah karya Weiss [26]. Weiss memperluas Hidden Distress
Model karya Scambler [28] dan membedakan 6 tipe stigma; 3 dari pelaku stigma dan 3 dari para
penerima stigma itu sendiri. Para pelaku menunjukkan stigma diterima, didukung, dan berlaku – yang
terakhir biasa disebut dengan ‘diskriminasi’. Mereka yang menerima stigma menunjukkan stigma
yang telah diantisipasi (atau dirasakan), di internalisasikan (stigma diri sendiri), dan stigma yang
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
% c
hild
ren
am
on
g n
ew
cas
es
Indonesia
Province West Java
District Cirebon
7
dibuat-buat (di alami) [28, 33]. Agar dapat menggunakan hasil kami secara produktif dan, khususnya
berhubungan dengan pelayanan leprosy di masa mendatang dan intervensi, kami menggunakan
konseptualisasi Weiss jika memungkinkan.
Materi dan metode Area Studi
Kabupaten Cirebon1, terletak pada pantai utara Jawa Barat, dipilih sebagai area penelitian dan
implentasi proyek karena daerah ini memiliki angka kasus baru yang tinggi per tahunnya dan
memiliki, menurut pemuka setempat, lebih banyak stigma yang berhubungan dengan leprosy
dibanding Kabupaten lain. Pada tahun 2011, Cirebon memiliki 2,405,475 penduduk yang terdiri dari
40 kecamatan yang mana 10 diantaranya dipilih untuk studi eksploratif ini.
Tim Riset
Sebanyak enam asisten riset membantu empat peneliti utama dalam melakukan wawancara dan
diskusi group fokus. Asisten Riset semua berasal dari Cirebon dan mampu berbicara dalam bahasa
setepat 2. Beberapa asisten riset memiliki kecacatan atau telah mengalami leprosy. Mereka
menerima pelatihan untuk riset social (1 minggu) dan rehabilitai berbasis komunitas (3 minggu).
Selama pengumpulan data, kami mengadakan rapat dengan seluruh tim di kantor untuk berbagi
pengalaman, tantangan, perasaan, dan memancing pembelajaran. Rapat ini pada awalnya dilakukan
per hari dan kemudian dilakukan per minggu. Hal ini membantu pemahaman yang sama atas situasi
setempat, membangun hubungan yang kuat dengan peneliti, meningkatkan kemampuan riset dan
meningkatkan pendekatan.
Sampling dan seleksi
Puskesmas telah menyediakan detil kontak dari orang-orang yang terdampak leprosy. Asisten Riset
telah menjalankan peran yang penting dalam memperbarui daftar tersebut, mengidentifikasi calon
partisipan, dan mengundang mereka untuk bergabung dalam studi ini. Para partisipan telah dipilih
dengan beberapa alas an, berdasarkan karakteristik seperting usia, gender, agama dan peran mereka
dalam masyarakat.
1 Cirebon memiliki sejarah mendalam dan dikenal sebagai pusat kebudayaan. Kota ini telah menyerap
pengaruh budaya Hindu, Budha, Islam, Sunda, Jawa, Cina dan Belanda. Ini pula yang menjelaskan nama Cirebon (berasal dari kata Caruban) yang berarti ‘campuran’. 2 Sebanyak 4 bahasa dipakai di Cirebon; bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa cirebonan, dan bahasa nasional
Bahasa Indonesia.
8
Metode Pengumpulan Data
Untuk mengerti variasi pengalaman orang-orang yang tengah menjalani pengobatan leprosy atau
yang telah sembuh, kami melaksanakan wawancara pada bulan Juni dan Juli 2011. Setiap partisipan
di wawancara sebanyak tiga kali. Hal ini dilakukan untuk membangun kepercayaan dan membantu
partisipan merasa percaya diri untuk berbicara mengenai hal-hal yang mereka hadapi dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Total sebanyak 53 wawancara telah kami lakukan, 9 diantaranya
adalah dengan anak-anak. Wawancara dilakukan dengan dengan partisipan tunggal dan dengan
sepasang pewawancara. Wawancara dimulai dengan cara eksploratif, kemudian dilanjutkan ke
pertanyaan yang lebih mendalam. Topik-topik yang dibahas adalah: i) informasi umum, ii) kisah
hidup, iii) situasi ekonomi, iv) situasi sosial, v) situasi kesehatan, dan terakhir vi) leprosy. Juga,
berbagai teknik visualisasi digunakan. Sebagai contoh, kami menggunakan peta anggota tubuh untuk
mencari tahu persepsi dan pengetahuan implisit dari peserta mengenai badan mereka sendiri dan
hubungannya dengan penyakit tersebut. Hal ini memudahkan dalam menterjemahkan etiologic dari
leprosy. Foto-foto keluarga digunakan untuk membuka ruang intim yang kemudian diarahkan ke
dialog mengenai isu-isu keluarga. Selain itu, selama periode pengumpulan data, beberapa
wawancara juga dilakukan; hal ini juga dipertimbangkan selama analisis.
Untuk memahami perspektif komunitas, kami melakukan sebanyak 20 focus group discussions
(FGDs). Peserta adalah para tetangga dari PAL, komunitas dan pemuka agama, ibu dari PAL, guru dan
petugas kesehatan. Setiap FGD diikuti oleh sebanyak 4-12 peserta. FGD dilakukan pada bulan Juni
dan Juli, Oktober dan November 2011. Sebagian besar FGD dilaksanakan di kantor SARI namun, jika
dirasa diperlukan, kami melaksanakannya di ruang rapat Dinas Kesehatan Kabupaten atau hotel
setempat. Setiap FGD dirancang sedikit berbeda namun dengan tujuan yang sama: untuk
mengumpulkan informasi situasi dari PAL dan keluarga mereka di Kabupaten Cirebon. Tema umum
yang dipakai adalah: i) memahami leprosy, ii) stigma dalam komunitas, iii) isu-isu utama dalam
komunitas, iv) strategi terkini dan v) rekomendasi strategi untuk mengurangi stigma. Kami
menggunakan sebuah peta komunitas untuk memvisualisasikan teknik agar dapat menjelajahi
masalah utama yang mempengaruhi komunita mereka secara umum dan secara spesifik, yang
berhubungan dengan leprosy dan hubungan di antara mereka.
Hasil yang ditampilkan dibawah adalah berdasarkan wawancara dan FGD yang disebut diatas, namun
tidak mewakili sebuah analisa komplit dari data yang ada. Semua wawancara dan FGD telah direkam,
ditranskripkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Transkrip tersebut dimasukkan dan
dianalisa dalam QSR NVivo 9. Pertama, data diberi kode dan catatan mengenai tema, cluster, dan
9
pola-pola. Untuk mengatur, membandingkan, meringkaskan dan terakhir, untuk membuat sebuah
kesimpulan, maka kami membuat beberapa model.
Pertimbangan etis
Perizinan untuk melakukan studi disetujui oleh beberapa badan pemerintahan terkait. Perizinan
tertulis diberikan dari beberapa subjek studi individual. Kami juga memberikan insentif untuk biaya
perjalanan, penghasilan harian partisipan kami ganti dan/atau souvenir sederhana (t-shirt, mug)
terkadang diberikan kepada para peserta sebagai rasa terima kasih.
Hasil
Memberi makna terhadap leprosy
Dua istilah, lepra dan kusta3, banyak digunakan oleh informan kami untuk istilah leprosy. Hal ini
banyak membuat para partisipan cukup bingung. Beberapa partisipan percaya kalau dua istilah
tersebut bermakna sama, sementara yang lain menandakan keduanya berdasarkan tingkat
keparahan dari penyakit tersebut. Beberapa partisipan memiliki opini bahwa ada beberapa tipe
leprosy. Beberapa dari mereka menghubungkannya ke diabete; salah satu pemuka setempat bahkan
mengatakan bahwa diabetes dan leprosy adalah hal yang sama (FGD 2 community leaders).
Leprosy, sebagai masalah kesehatan dipahami dalam cara yang berbeda-beda dan digambarkan oleh
berbagai jawaban dari pertanyaan: ‘Apakah penyakit leprosy itu?’ Partisipan umumnya memberi
respon bahwa tidak tahu apa leprosy itu dan beberapa bahkan bertanya kembali ke pewawancara.
Contohnya, mereka mengatakan: ‘Saya mau bertanya… Apakah benar bahwa penyakit leprosy itu
menurun ke anak kita’ (FGD 2 community leaders) atau ‘Saya dengar bahwa semua jari pasien
leprosy akan putus. Apakah itu benar?’ (Interview 7: female, age 36).
Ketika partisipan berbagi pemahaman mereka tentang leprosy, mereka sering mendengar bahwa itu
adalah penyakit kulit, mereka menekankan bahwa leprosy adalah menular dan kecacatan pada
tangan dan kaki. Mereka menggambarkan karakteristik leprosy sebagai berikut ‘bintik-bintik merah
atay putih’, ‘muka jadi merah’, ‘benjolan’, ‘kuping bengkak’, ‘Urat ini… keras’, ‘kita tidak bisa
merasakan apa-apa kalau dicubit’, ‘merasa sedikit terbuka’, ‘memar’, ‘kulit menjadi copot’, ‘tangan
3 In the four languages spoken in Cirebon there are two words to describe leprosy; kusta and lepra. The first is
derived from India where leprosy most probably originates from. The name “Kushtha” was derived from “Kushnati” which is believed to mean “eating away” in Sanskrit [51]. The second word lepra, is derived from the Greek word Λέπρα [léprā or lepros] and was used by physicians to refer to a scaly skin disease [4].
10
bengkok’ dan ‘fungsi tubuh yang rusak permanen’. Gejala-gejala tambahan yang sering disebut oleh
mereka yang terkena leprosy adalah ‘panas’, ‘gatal’ dan ‘sakit’. Seorang guru membandingkan
leprosy seperti mangga yang matang:
Saya rasa lukanya menjadi matang seperti buah. Panunya sudah matang menurut sata; itu
seperti bintik hitam pada mangga yang matang (FGD 6 teachers)
Menariknya, terkadang konsep malu dan tidak percaya diri adalah indikasi gejala dari munculnya
leprosy itu sendiri, seperti yang dijelaskan pada kutipan dibawah ini.
Yang saya tahu soal leprosy: muka menjad pucat, menjadi menutup diri, dan tidak mau
bergabung (menjalankan) aktifitas mereka (Wawancara 13: pria umur 62)
Saya tidak malu dan saya tidak merasa rendah kepercayaan diri, berarti saya tidak sakit
leprosy kan? (wawancara informal 1: pria)
Apa yang terlihat jelas dalam hal karakteristik kulit yang menjadi hitam ada efek dari terapi berbagai
pengobatan. Orang-orang yang terkena leprosy mengatakan bahwa kulit mereka menjadi hitam lah
yang menjadi merasa rendah kepercayaan diri dan bukan leprosy-nya itu sendiri. Selain itu, kulit yang
semakin gelap menyebabkan teman-teman dan tetangga untuk bertanya dan membuat orang yang
terkena leprosy menjadi tidak nyaman. Satu partisipan berbohong dalam sebuah wawancara kerja
bahwa dia suka bermain laying-layang dan karenanya kulitnya menjadi gelap. Sebagai catatan,
umumnya di Indonesia, kulit putih sering dianggap lebih bersih atau lebih cantik daripada kulit gelap
sebagaimana digambarkan oleh sebuah respon dari seorang ibu yang anaknya terkena leprosy.
Saya kaget karena kulit dia (putranya) menjadi hitam. Tadinya dia sangat putih namun dia
menjadi hitam… dia sangat hitam, sangat hitam. (Wawancara 3: wanita umur 45)
Etiologi
Ide-ide yang dilaporkan dalam etiologic adalah bermacam-macam. Pertama, partisipan berpikir
bahwa penyakit menular dapat menyebar melalui kontak langsung dengan si pasien. Hal ini juga
menunjukkan bahwa dalam persepsi mereka, menhirup udara yang sama, berjabat tangan, memakan
makanan yang disiapkan oleh si pasien, membawa jenazah si pasien atau menggunakan barang-
barang pribadi si pasien seperti gelas, handuk, dan baju, dapat menularkan penyakit tersebut.
Namun, perspektif ini tidak dimiliki oleh semua partisipan karena beberapa masih merasa bahwa
11
leprosy tidak menular. Partisipan juga menghubungkan pentingnya darah atau tipe darah yang sama,
adalah syarat utama dalam menularkan penyakit. Tiga kutipan terkait:
Ibu: Saya tadinya tidak kena (leprosy) tapi saya tertular dari tetangga.
Interviewer: Owh, begitu.
Mother: Iya, itu salah saya. Dia selalu main ke rumah saya, jadi saya tertular penyakitnya.
(FGD 4 ibu dari anak-anak dengan leprosy)
Guru: Bahkan di lebaran kami tidak berjabat tangan
Pewawancara: Jadi ketemu pasien leprosy, dan kamu tahu kalau dia sakit leprosy, kamu tidak
akan menjabat tangan mereka walau mereka mengulurkan tangan mereka?
Guru: Tidak juga. Yah, biasanya mereka mengurung diri di rumah… mereka sudah mengerti
(FGD 6 guru)
Leprosy itu seperti… seperti yang saya derita. Ini tidak terlihat seperti menular. Jika iya, maka
anak-anak saya pasti akan tertular. (Interview 9: pria usia 36)
Kategori lain adalah alasan biologis seperti keturunan: beberapa percaya bahwa ini adalah
penyebabnya karena mereka telah melihat anggota keluarga yang lain juga menderita leproy.
Beberapa dari mereka menyebut melalui ‘menyusui anak’, berasal dari obeservasi bahwa kulit si bayi
dapat menjadi hitam jika si ibu sedang dalam pengobatan. Kategori ketiga dari penyebab
berhubungan dengan kondisi kebersihan yang buruk seperti berenang di sungai yang kotor. Keempat
berhubungan dengan ‘penjelasan logis’ yang terkait dengan aktifitas tertentu. Misalnya, karena
beberapa orang yang terkena leprosy adalah peternak kambing, buruh bangunan atau sehabis makan
ayam, mereka membuat hubungan antara hewan ternak, semen, atau makan ayam sebagai
penyebab penularan leprosy. Kategoru akhir terhubung dengan aspek supranatural dan moral
kehidupan. Banyak orang yang terkena leprosy percaya bahwa penyakit tersebut adalah cobaan dari
Tuhan. Orang-orang percaya bahwa Tuhan menyebabkan bakteria masuk kedalam tubuh mereka,
namun dengan tujuan agar mereka tabah dan lebih beriman. Namun sebaliknya, alasan moral
dihubungkan dengan prilaku manusia sebagai penyebab menularnya penyakit. Beberapa pemuka
setempat berpendapat bahwa leprosy adalah hukuman dari Tuhan. Sebagai contoh yang spesifik,
adalah jika seseorang berhubungan dengan seorang wanita yang sedang haid. Takdir juga disebut,
contohnya yang disebut oleh seorang guru yang bilang bahwa dia tahu ada orang yang meninggal
karena leprosy, namun juga menjelaskan bahwa kematian itu sudah ditakdirkan dan oleh karena itu
leprosy adalah takdir. Beberapa kasus, orang-orang percaya bahwa sihir juga menjadi penyebab.
Pemikiran-pemikiran dalam etiologic ini tidak berdiri sendiri: orang-orang percaya bahwa ada takdir
Tuhan namun pada saat yang sama mereka tahu bahwa ada penjelasa ilmiah dari penyakit ini.
Sebuah kutipan dibawah menjelaskan pendapat ini:
12
Saya rasa penyakit adalah takdir. Namun ada penyebab dari penyakit itu. (FGD 5 pemuka
agama)
Mencari pengobatan: sudut pandang pada diagnose dan pengobatan
Sebagian besar partisipan yang terkena leprosy telah berkonsultasi di puskesmas soal penyakit
mereka. Beberapa mencatat bahwa mereka memiliki rintangan untuk datang ke puskesmas. Dua
partisipan, contohnya, membutuhkan perawatn medis namun tidak punya uang untuk ongkos
transportasi dari rumah mereka ke puskesmas.
Di Puskesmas, beberapa dokter atau petugas leprosy tidak langsung mendiagnosa bahwa itu adalah
leprosy namun mereka sering menyebut bahwa itu adalah ‘kadas’, ‘biang keringat’, atau ‘penyakit
jamur kulit’. Ketika penyakit tidak sembuh-sembuh, partisipan kembali ke puskesmas dan akhirnya di
diagnosa leprosy. Selain itu, petugas leprosy mengatakan bahwa orang-orang yang terkena leprosy
terkadang menganggap remeh tingkat keparahan gejala mereka seperti hanya menganggap bahwa
itu hanya nanah dan kemudian mereka menunda-nunda pergi ke puskesmas. (FGD 20 Petugas
Leprosy).
Beberapa dokter dan petugas leprosy mendiagnosa penyakit itu dengan benar, namun memutuskan
untuk tidak memberitahu diagnose tersebut dengan si pasien. Hal ini terjadi, contohnya, dengan
seorang wanita berusia 29 tahun (wawancara 43). Selama konsultasi, dokter bilang bahwa dia
terkena penyakit kulit namun walaupun dia bertanya, dokter tersebut tidak ingin menjelaskan lebih
dalam lagi ke si pasien namun menyarankan si pasien untuk meminum obat gratis setiap hari selama
satu tahun dan mengambilnya setiap bulan di puskesmas. Beberapa petugas leprosy memutuskan
untuk memberitahu diagnosanya namun biasanya partisipan menyembunyikan hal itu dari tetangga,
teman, dan keluarga – beberapa kasus bahkan menyembunyikannya dari suami/istri mereka. Mereka
juga meminta petugas leprosy untuk merahasiakan hal tersebut. Namun, ini tidak berarti bahwa
orang-orang di sekeliling mereka tidak mengetahui hal ini.
Pertemuan awal dengan dokter atau petugas leprosy dengan pasien yang baru di diagnosa, adalah
penting. Sikap menstigma dan prilaku dokter dan petugas leprosy dalam berdampak luar biasa pada
orang yang terkena leprosy seperti yang digambarkan pada kutipan pertama. Kutipan kedua adalah
dari seorang pekerja leprosy yang menyebutkan bahwa beberapa petugas leprosy justru takut
tertular.
Saat petugas leprosy tidak mau menjabat tangan saya, saya merasa kalau leprosy tidak dapat
sembuh dan orang-orang akan menjauhi saya (wawancara informal 2: pria)
13
Petugas leprosy masih merasa takut, gugup …, sebenarnya banyak [petugas leprosy] yang
merasa begitu … (FGD 12 Petugas leprosy).
Puskemas melaksanakan prosedur tertentu yang termasuk survey kontak (mencari kasus baru) dan
sosialisasi (membangun kesadaran) ketika sebuah kasus leprosy baru ditemukan. Pentingnya gambar-
gambar dan bahasa daerah yang tepat juga sangat penting bagi petugas leprosy. Kutipan lain
menggambarkan prosedur ini:
Jika kita menemukan pasien leprosy, kami biasanya datang ke rumah mereka dan memberi
pengertian ke mereka atau keluarganya dan juga masyarakat sekitar … Dijelaskan mengenai
apa itu leprosy dan bagaimana mengobatinya …kami biasanya melakukan ini di lapangan …
(FGD 12 petugas leprosy)
Seorang wanita lanjut usia (wawancara 18: usia 74), tetap merasa kecewa dengan prosedur
sosialisasi dari petugas leprosy karena membuat tetangga justru lebih takut dan pada akhirnya
menjauhi dia. Sebaliknya, beberapa orang yang terkena leprosy merasa mereka terbantu oleh
program kunjungan ini (wawancara 1: pria usia 20, wawancara 45: pria usia 21, wawancara 3: wanita
usia 45). Mereka mengatakan bahwa mereka dikunjungi secara rutin oleh petugas leprosy yang
memberikan konseling untuk meningkatkan kepercayaan diri dan untuk memberikan informasi ke
keluarga mereka yang mendukung mereka dalam kegiatan sehari-hari dan aktifitas komunitas.
Beberapa partisipan mencari bantuan selain Puskesmas. Beberapa dating ke klinik umum, yang
banyak dilakukan oleh para partisipan. Beberapa dari mereka langsung datang ke rumah sakit yang
biasanya dibantu oleh kepala desa. Selain itu, beberapa partisipan datang ke dukun yang mereka
anggap bisa bertindak sebagai tabib, media spiritual dan tukang sihir. Alasannya adalah mereka
biasanya penarasan, percaya bahwa penyebab leprosy adalah sihir dan aksesibilitas. Seorang
partisipan tidak merasa menerima manfaat dari dukun seperti yang digambarkan oleh kutipan
berikut ini.
Beberapa teman menyarankan saya untuk pergi ke dukun… ada tetangga saya… dia bawa saya ke dukun… saya lupa namanya, dia tidak menyelesaikan masalah atau menyembuhkan penyakit saya tapi dia minta uang terus. Setelah itu saya tidak mau dating ke dukun lagi (Wawancara 18: wanita 74)
Beberapa partisipan menyangkal bahwa mereka terkena leproy dan sangat kuat merasakan hal ini;
dengan demikian mereka juga menolak untuk mencari pengobatan. Salah satu pemimpin setempat
menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena mereka merasa malu dan takut dari respon negative dari
masyarakat sebagaimana dijelaskan dalam kutipan dibawah ini:
Berdasarkan pengalaman saya, seseorang yang terkena penyakit (leprosy) dan sampai saat ini
dia masih menyangkal kalau itu leprosy. Dia diminta untuk pergi ke rumah sakit namun dia
14
menolah. Dan suatu hari datang petugas leprosy ke rumahnya namun dia masih
menyangkalnya (FGD 20 petugas Leprosy)
Salah satu orang yang terkena leprosy terus menyangkal walaupun jari-jarinya sudah putus.
Dia tidak mau mencari pengobatan. Dia merasa sangat malu. (FGD 2 Pemimpin setempat)
Jika seseorang terkena leprosy, kata orang, mereka menolah untuk minum obat. Saya pernah
bertanya …“apakah kamu sudah memeriksakannya ke puskesmas?” dan dia menjawab,
“Tidak mau. Orang-orang pasti melihat saya.” Dia merasa sangat malu. … Walaupun dia tidak
yakin bahwa dia terkena leprosy … Dia mulai menutup diri dari tetangga walaupun mereka
tidak tahu saat itu. … (FGD 2 Pemimpin setempat)
Memahami pengobatan dan sembuh
Kata-kata yang berbeda digunakan oleh orang yang terkena leprosy untuk menjelaskan bahwa
mereka ‘sudah sembuh’,’sudah diobati’, atau ‘sudah dibersihkan’. Beberapa partisipan menekankan
pentingnya Tuhan dalam penyakit ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, namun Tuhan juga
penting dalam kesembuhan mereka seperti yang dikutip dibawah ini.
Setiap penyakit ada obatnya dan tergantung rahmat Tuhan (wawancara 28: wanita 20)
Ya, jika Tuhan mendengar doa saya dan dikabulkan, maka saya akan sembuh (Wawancara 29:
pria usia 36)
Beberapa orang yang terkena kusta jelas mengindikasikan bahwa setelah dinyatakan ‘sembuh’ tetap
merasa tidak yakin. Contohnya, mereka ingin opini kedua dan tetap mengawasi kondisi tubuh
mereka dan keluarga mereka. Uniknya, ada wawancara dimana partisipan yang tidak memiliki
kecacatan pada awalnya mengatakan telah sembuh dan beberapa saat kemudian, ketika ditanya apa
harapan mereka di masa mendatang, mereka menjawab bahwa mereka ingin sembuh.
Dampak dari hidup dengan leprosy
Leprosy membuat penderitanya menderita bintik-bintik, luka, kulit hitam dan terkadang hilangnya
indera perasa dan kecacatan fisik. Akibat dari ini, beberapa partisipan merasa tubuh mereka telah
‘rusak’. Juga, beberapa partisipan mengalami reaksi leprosy setelah dinyatakan sembuh berupa rasa
sakit, kram dan/atau parestesia yang terus membuat mereka merasa sedih. Semua dampak fisik ini
mengganggu hidup mereka dan juga mempengaruhi emosi, dan situasi ekonomi-sosial mereka.
Kesedihan, frustau, hilangnya rasa percaya diri, merendahkan kemampuan diri sendiri, stress dan
putus asa adalah beberapa emosi yang dirasakan akibat leprosy. Beberapa orang yang terkena
leprosy mengatakan bahwa mereka sempat berpikir untuk bunuh diri. Seorang guru
menggambarkannya seperti berikut :
15
Jika mereka punya semangat tinggi untuk sembuh, berobat, mereka akan hidup lebih lama …
Tapi jika tetap menurung diri dan tidak mau keluar, mereka mungkin bisa depresi dan
meninggal… karena depresi (FGD 6 Guru)
Kami mencatat bahwa hubungn antra mengurung diri dan dikucilkan oleh masyarakat. Beberapa
orang yang terkena leprosy menjadi pendiam, pemalu, dan tidak percaya diri dan mengurung diri,
namun di saat yang lain, beberapa anggota keluarga dan tetangga juga mengucilkan mereka. Pemuka
setempat mempunyai pandangan berbeda tentang apa yang menyebabkan pengucilan ini:
Sama halnya dengan orang yang terkena penyakit ini. Masyarakat tidak mengucilkan
penderita namun penderita sendiri yang mengucilkan diri mereka sendiri dari masyarakat.
Banyak penderita leprosy cenderung berlaku seperti itu (FGD 6 Guru)
Pewawancara: Apakah semua masyarakat mengucilkan penderita?
Community leader: Yah, betul. Penderita biasanya dikucilkan dan saya merasa sedih tentang
itu (FGD 2 Community leaders)
Kami mencoba untuk mengerti alasan dari pengucilan tersebut. Kami mendengar contoh yang cukup
mengagetkan tentang pengucilan: seorang anak hidup, makan, dan makan di ruang terpisah,
pasangan suami-istri yang tidak tidur bersama lagi dan ibu yang menjauh dari anaknya. Namun,
sering ada alasan perlindungan dan perawatan yang digambarkan pada kutipan dibawah ini:
Pewawancara: Apa yang akan anda lakukan jika anda sendiri terkena kusta?
Woman: Saya akan mengurung diri… Ya, karena saya tidak ingin menularkannya ke anak-
anakku (Wawancara 7: wanita usia 36)
Situasi ekonomi dari penderita dan keluarganya mulai rusak. Beberapa partisipan secara fisik tidak
mampu bekerja seperti sedia kala membuat furniture. Beberapa dari mereka yang bekerja sebagai
Petugas Kebersihan rumah sakit dipecat karena leprosy. Sementara ada yang mengundurkan diri dari
pekerjaan karena desakan keluarga. Sementara masyarakat todak mau lagi beli di warung dan toko
penderita leprosy karena takut terltular dari barang-barang yang telah disentuh oleh penderita atau
masakan yang disiapkan oleh penderita. Seorang pemuka setempat mengatakan bahwa para petani
juga banyak terkena leprosy karena mereka banyak bekerja dengan kaki mereka terendam lumpur
dan masyarakat takut tertular mereka. Status sosio-ekonomi dari keluarga ini mempengaruhi
aktifitas lain seperti pendidikan.
Dampak ini dapat bertahan dalam waktu yang lama, bahkan setelah mereka dinyatakan sembuh.
Seorang partisipan (Pewawancara 35 Wanita usia 41) yang telah mengalami kecacatan karena
leprosy mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat melihat dia sebatas tubuh saja dan bukan
manusia seutuhnya. Namun, beberapa partiipan ada yang tidak memiliki tanda-tanda yang terlihat
16
mata dalam waktu yang lama. Beberapa dari mereka merasa malu dan tidak semangat dalam
melakukan aktifitas social.
Orang lanjut usia dan anak-anak adalah sub-kelompok yang penting namun sering dilupakan. Orang
lanjut usia yang terkena leproy merasa sedih karena tidak adanya perhatian yang dicurahkan untuk
mereka. Situasi ini sering diperparah dengan tidak adanya anggota keluarga mereka karena telah
meninggal atau meninggalkan mereka setelah leprosy mulai. Lebih lagi, masalah-maslah seperti
kesepian, ketergantungan kepada orang lain, masalah kesehatan lainnya, dan terkadang situasi
finansial yang parah sering muncul selama wawancara kami dengan penderita lanjut usia.
Sekolah sangat dihargai di masyarakat Indonesia, namun dengan besarnya anak-anak terkena leprosy
membuat mereka berhenti sekolah sementara atau permanen. Berebapa alasan untuk berhenti
sekolah disebutkan dan ini dapat dikategorikan sebagai perasaaan i) malu, tidak percaya diri, dan
minder, ii) teman-teman mengolok merek dan menjauhi mereka dan iii) takut dihina.
Beberapa responden mengatakan bahwa tidak mungkin untuk terus sedih atau bahagia; ada waktu
bahagia ditemani oleh seseorang dan ada waktu yang tidak bagu. ‘Leprosy telah membuat kami
kuat’, jawab salah satu dari mereka. Ketika penyakit telah disembuhkan, masih ada perasaan menjadi
kuat untuk menghadapi masalah. Beberapa partisipan telah menunjukkan bahwa mereka menjadi
lebih kuat dari agama mereka. Agama dan spiritualitas disebut para responden sebagai cara mencari
kesehatan dan perlindungan dan cara ikhlas terhadap situasi mereka. Banyak juga anggota keluarga,
teman dan tetangga yang tidak takut tertulat dan mendukung mereka yang terkena leprosy,
contohnya:
Pewawancara: Dukungan dalam bentuk apa yang diberikan suami anda kepada diri anda?
Wanita: … Hmm seperti ini: jangan merasa sedih dan hilang semangat… kamu tidak sendiri
(FGD 18 People affected)
Diskusi
Penemuan terkait makna leprosy menunjukkan kebingungan mengenai konsep kusta dan lepra dan
pengetahuan umum dari penyakit, penyebabnya dan cara penularannya. Lebih lanjut lagi, gambaran
dan pemahaman mengenai leprosy sudah diinternalisasi dan yang baru muncul, memberikan rasa
takut. Pemahaman bahwa leprosy adalah penyakit gampang menular, seperti dengan menyentuh
barang-barang milik si penderita, adalah sangat mengkhawatirkan. Dengan demikian, meningkatkan
pengetahuan leprosy kepada para penderita, masyarakat dan petugas kesehatan tetap menjadi
tujuan utama dari pelayanan leprosy, dan walaupun itu bukan satu-satunya jawaban untuk stigma,
17
hal itu tetap merupakan prasyarat yang penting [34–36]. Beberapa inisiatif mencoba menyampaikan
hal ini seperti Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation) telah mengindikasikan pesan
kunci kepada masyarakat umum dan para penderita [37].
Sebagai tambahan, pentingnya kulit yang menghitam, sebuah efek samping sementara yang tidak
bisa dihindari MDT component clofazimine, harus diperhatikan. Studi ini mengindikasikan bahwa
terkadang membawa orang untuk ditanya bisa membuat situasi tidak nyaman. Hal ini mempengaruhi
ide mereka tentang kecantikan dan kebersihan mereka sendiri atau orang laon. Sebuah studi di Brasil
menunjukkan ada hubungan antara kulit gelap dengan ide rasis lewat kutipan ilustratif ini:
‘Sebelumnya, aku hanya terkena leprosy. Tapi kini aku menjadi penderita leprosy berkulit hitam’ [38].
Studi juga telah menggambarkan dampak negative dari menghitamnya kulit kepada keinginan
mengkonsumsi obat. Topik ini belum dipelajari dengan baik, namun tampaknya menjadi subyek yang
penting untuk meningkatkan pelayanan leprosy.
Beberapa tantangan muncul dalam pencarian obat, mengenali gejala, membuat diagnose yang tepat,
berbagi diagnose kepada pasien dan perawatannya. Kekuasaan dan pengaruh dari pekerja leprosy
cukup terlihat dan justru itu memiliki dampak merusak dari segala sikap menstigma yang datang dari
mereka atau orang yang mereka rawat. White menggambarkan ini sebagai ‘iatrogenic stigma’ atau
stigma yang datang dari pertemuan pasien dengan petugas kesehatan [39]. Disini terdapat
kesempatan besar untuk peningkatan pelayanan leprosy untuk memberi contoh melalui pelatihan.
Karena kekuasaan mereka adalah konsep yang dinamis maka dapat digunakan dalam tata cara yang
positif sebagaimana yang sudah dipraktekkan beberapa petugas kesehatan yang lain.
Sedikit responden mengangkat aspek sihir sebagai penyebab leprosy dan oleh karenanya muncul
peran dukun. Hal ini juga ditemukkan di Negara lain seperti Nepal, Nigeria, Sudan [20, 40]. Dalam
konteks Indonesia, maka wajar untuk menganggap mereka sebagai pemangku kepentingan tang
relevan dan berharga dalam pelayanan leproy, namun masih banyak riset diperlukan mengenai
pengetahuan, pandangan, dan pendekatan mereka.
Tema ‘spiritualitas dan agama’ terus muncul. Hal ini tampaknya membantu orang yang terkena
leprosy dan komunitas untuk memberi makna (contoh: sebuah tantangan dan hukuman) dari sebuah
leprosy, dan juga untuk memberikan strategi untuk mengatasi penyakit ini. Agama telah terbukti
memainkan peranan besar mengenai stigma dalam penyakit HIV/AIDS [41, 42]. Tema ini memberikan
kesempatan untuk pelayanan leprosy, namun harus memberikan pertanyaan tentang peran pemuka
agama dan apa peran yang bisa mereka lakukan di masa mendatang. Riset lebih lanjut dibutuhkan
yang mengarah ke pertanyaan ini secara spesifik.
18
Hal ini jelas bahwa menurut pengalaman hidup partisipan, leprosy adalah penyakit yang
menimbulkan perasaan dan pengalaman yang termasuk stigma [43]. Pada posisi yang di stigma,
mudah untuk mengenali stigma yang diperkirakan, di internalisasikan dan stigma yang berlaku dari
narasi para partisipan. Contohnya, 3 hal dapat dilihat pada alasan untuk berhenti sekolah: i) malu,
tidak percaya diri, dan minder (di internalisasikan), ii) teman-teman mengolok mereka dan menjauhi
mereka (diberlakukan) dan iii) rasa takut akan hinaan (di antisipasi). Stigma yang diterima, di dukung,
dan diberlakukan yang dilakukan oleh pemberi stigma juga banyak ditemui. Beberapa orang
tampaknya menganggap rasa malu dan rendah diri sebagai gejala-gejala dari leprosy itu sendiri. Hal
ini dapat dilihat pada kuatnya ikatan antara leprosy dan stigma. Penting untuk memperhatikan
bahwa stigma mempunyai dampak yang awet terhadap penderita yang dinyatakan sehat
berdasarkan standard WHO, bahkan pada penderita tanpa kecatatan atau tanda-tanda visual lainnya,
karena ada jutaan orang di dunia ini dengan status tersebut. Selain fakta bahwa konsep terkini dari
stigma telah terdiri dari berbagai aspek, namun tetap penting bagi pekerja leprosy atau di pusat
rehabilitasi untuk mempelajari beragam pengalaman orang-orang. Pelayanan leprosy perlu lebih
responsive terhadap berbagai pengalaman dan kebutuhan penderita yang masih dalam perawatan
dan mereka yang telah sembuh.
Hubungan dua arah antara kecacatan dan kemiskinan yang bisa menjadi lingkar setan, telah banyak
dijelaskan [44, 45] dan muncul dalam narasi-narasi kami. Keterlambatan pengobatan yang
dikarenakan kemiskinan meningkatkan resiko luka dan kecacatan, yang mana data kami
menunjukkan bahwa leprosy memberikan dampak negative terhadap sosio-ekonomi keluarga
penderita, sebagaimana telah dijelaskan dalam studi-studi lainnya [46–48]. Hal ini adalah poin
penting yang perlu diatasi pelayanan leprosy.
Walaupun lebih banyak pengalaman negative daripada positif, namun pengalaman positif sangat
berharga karena dapat membantu untuk menahan dan mungkin menghentikan stereotype dan
asumsi-asumsi mengenai leprosy. Leprosy biasa dinilai sebagai perkiraan paradox dari sebuah
perkembang pribadi. Pengalaman positif adalah, sepahaman kami, jarang dijelakan dalam literature
sains. Pengecualian khusus kepada STEP Project yang secara aktif mengubah imej penderita leprosy
menjadi agen perubahan yang positif [49, 50]. Untungnya, masih banyak pihak-pihak dalam literature
sains seperti otobiografi (yang terkadang di romantisir) dan kumpulan publikasi yang menghargai
dan menginspirasi (penderita)4.
4 Seperti Quest for Dignity: Personal Victories Over Leprosy/Hansen's Disease oleh International Association for
Integration Dignity and Economic Advancement 1997, Dignity Regained oleh Sasakawa Foundation, No
footprints in the sand: a memoir of Kalaupapa oleh Nalaielua dan Squint: my journey with leprosy oleh Ramirez.
19
Terakhir, sub-kelompok yang memerlukan perhatian khusus adalah para lanjut usia dan anak-anak,
dan juga perempuan dan keluarga. Sedikit yang menulis mengenai kelompok ini dan kebutuhan
mereka. Kami berharap dapat mengangkat sub-kelompok ini lebih detil dalam publikasi lainnya,
namun juga menganjurkan pihak lain untuk lebih dulu mengambil topic ini.
Kesimpulan
Kebutuhan yang berlanjut untuk sebuah implementasi pelayanan leprosy di Indonesia sangat jelas,
dengan fokus kepada deteksi awal kasus-kasus baru dan akses merata bagi perempuan. Kami
menekankan bahwa pengalaman penderita leprosy, mereka yang masih pengobatan dan mereka
yang sudah menyelesaikan pengobatan serta mereka yang telah dinyatakan sembuh, adalah
beragam dan lebih dari hanya sekedar leprosy sebagai sebuah kondisi penyakit atau penyakit
menular. Sebagian besar responden dengan jelas menghubungkan stereotype yang ada mengenai
penyakit leprosy dengan stigma social dan diskrimnasi yang terkait.
Pelayanan leprosy terus diperlukan dan harus diperkuat untuk menghadapi beragam kebutuhan para
penderita, termasuk beberapa dari mereka yang telah dinyatakan ‘sembuh’. Juga, studi ini
menekankan kepada pekerjaan yang harus diselesaikan yaitu meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran. Pekerja kesehatan perly pemahaman yang lebih baik mengenai kekuasaan mereka dan
juga prilaku stigmatisasi. Intervensi khusus diperlukan untuk mengurangi stigma dalam pelayanan
kesehatan. Dampak dari menghitamnya kulit secara sementara karena clofazimine tidak dapat
dianggap remeh. Beberapa pemangku kepentingan dalam masyarakat seperti pemuka agama dan
tabib, perlu lebih terlibat dalam usaha melawan stigma. Dampak dari leprosy pada situasi sosio-
ekonomi tidak boleh dianggap remeh. Ada beberapa bukti bahwa interevensi untuk meningkatkan
status sosio ekonomi cukup membantu dalam melawan stigma. Hal ini sedang diuji oleh SARI Project.
Gambaran positif, pengalaman dan panutan harus digunakan untuk meruntuhkan seterotipe yang
menggambarkan bahwa penderita leprosy itu menyedihkan dan menjijikan. Perhatian khusus perlu
kepada kelompok tertentu seperti anak-anak, lanjut usia dan keluarga dan wanita.
Pelayanan leprosy harus memperhatikan makna yang luas serta pengalaman penderita leprosy dan
pemuka setempat dalam masyarakat. Studi ini menunjukkan bahwa hal ini dapat membuka petunjuk-
petunjuk penting untuk membuat pelayanan leproy lebih efektif dan pantas.
20
Terima Kasih
Sebagai penulis, kami ingin berterima kasih kepada semua partisipan studi ini dalam berbagi kisah
pribadi mereka. Kami sangat berterima kasih kepada asisten riset dan administrator SARI project:
Mujib, Siti, Oni, Christine, Hassan, Hadi, Rohman, Ulum, Harry, Solihin, Yando dan Yanty. Kami ingin
memberikan rasa terima kasih kami kepada Bapak Rahardjo, Nanang Ruhyana, Hassanul, Eka
Aprilianto (Dinas Kesehatan Kabupaten), Agus Salim (Dinas Kesehatan Provinsi) dan Dr. Cristina
Widaningrum dan Ade Irma (subdit Kusta Kemenkes) untuk dukungan mereka dan data yang
dsediakan oleh mereka. Juga, kami ingin berterima kasih kepada Subdit Kusta dan Dinas Kesehatan
Provinsi untuk memfasilitasi studi ini.
Studi ini di dukung oleh program hibah dari Netherlands Leprosy Relief (NLR), Sasakawa dan
American Leprosy Missions (ALM).
21
Daftar Pustaka
[1] WHO, “Global leprosy situation, 2012,” Weekly epidemiological record, vol. 87, no. 34, pp. 317–328, 2012.
[2] B. Ebenso, A. Fashona, M. Ayuba, M. Idah, G. Adeyemi, and S. S-Fada, “Impact of socio-economic rehabilitation on leprosy stigma in Northern Nigeria: findings of a retrospective study,” Asia Pacific Disability Rehabilitation Journal, vol. 18, no. 2, pp. 98–119, 2007.
[3] S. A. M. Stevelink, W. H. van Brakel, and V. Augustine, “Stigma and social participation in Southern India: differences and commonalities among persons affected by leprosy and persons living with HIV/AIDS,” Psychology, Health & Medicine, vol. 16, no. 6, pp. 695–707, Dec. 2011.
[4] B. H. Bennett, D. L. Parker, and M. Robson, “Leprosy: steps along the journey of eradication,” Public Health Reports, vol. 123, no. 2, pp. 198–205, 2008.
[5] M. L. Heijnders, “The dynamics of stigma in leprosy,” International Journal of Leprosy and other Mycobacterial Diseases, vol. 72, no. 4, pp. 437–47, Dec. 2004.
[6] O. K. Skinsnes, “Leprosy in society III. The relationship of the social to the medical pathology of leprosy,” Leprosy review, vol. 35, pp. 175–81, 1964.
[7] J. Rafferty, “Curing the stigma of leprosy,” Leprosy review, vol. 76, no. 2, pp. 119–26, Jun. 2005.
[8] W. H. Jopling, “Leprosy stigma,” Leprosy review, vol. 62, no. 1, pp. 1–12, 1991.
[9] W. H. van Brakel, “Measuring Leprosy Stigma—A Preliminary Review of the Leprosy Literature,” International Journal of Leprosy and Other Mycobacterial Diseases, vol. 71, no. 3, pp. 190–197, 2003.
[10] W. H. van Brakel, B. Sihombing, and H. Djarir, “Disability in people affected by leprosy: the role of impairment, activity, social participation, stigma and discrimination,” Global Health Action, vol. 5, 2012.
[11] S. D. Gokhale and N. Sohoni, Human face of leprosy. Pune: Ameya Prakashan, 1999.
[12] M. Hatta, S. M. van Beers, B. Madjid, A. Djumadi, M. Y. de Wit, and P. R. Klatser, “Distribution and persistence of Mycobacterium leprae nasal carriage among a population in which leprosy is endemic in Indonesia,” Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, vol. 89, pp. 381–385, 1995.
[13] M. Matsuoka, T. Budiawan, K. S. Aye, K. Kyaw, E. V. Tan, E. D. Cruz, R. Gelber, P. Saunderson, V. Balagon, and V. Pannikar, “The frequency of drug resistance mutations in Mycobacterium leprae isolates in untreated and relapsed leprosy patients from Myanmar, Indonesia and the Philippines,” Leprosy review, vol. 78, no. 4, pp. 343–52, Dec. 2007.
22
[14] M. Hatta, M. Makino, Ratnawati, Mashudi, Yadi, M. Sabir, N. Tandirogang, L. M. M. Rusyati, M. Kai, Y. Fukutomi, Y. Miyamoto, T. Mukai, and Y. Maeda, “Detection of serum antibodies to M. leprae major membrane protein-II in leprosy patients from Indonesia,” Leprosy review, vol. 80, no. 4, pp. 402–9, Dec. 2009.
[15] S. M. van Beers, M. Hatta, and P. R. Klatser, “Patient contact is the major determinant in incident leprosy: Implications for future control,” International Journal of Leprosy and other Mycobacterial Diseases, vol. 67, no. 2, pp. 119–128, 1999.
[16] M. I. Bakker, M. Hatta, A. Kwenang, P. Van Mosseveld, W. R. Faber, P. R. Klatser, and L. Oskam, “Risk factors for developing leprosy - a population-based cohort study in Indonesia,” Leprosy review, vol. 77, no. 1, pp. 48–61, Mar. 2006.
[17] M. I. Bakker, L. May, M. Hatta, A. Kwenang, P. R. Klatser, L. Oskam, and J. J. Houwing-Duistermaat, “Genetic, household and spatial clustering of leprosy on an island in Indonesia: a population-based study,” BMC Medical Genetics, vol. 6, p. 40, Jan. 2005.
[18] A. A. Louhenapessy and B. Zuiderhoek, “A practical method of active case finding and epidemiological assessment: its origin and application in the leprosy control project in Indonesia,” International Journal of Leprosy, vol. 65, no. 4, pp. 487–91, Dec. 1997.
[19] P. A. M. Schreuder, D. S. Liben, S. Wahjuni, J. van den Broek, and R. De Soldenhoff, “A comparison of Rapid Village Survey and Leprosy Elimination Campaign, detection methods in two districts of East Java, Indonesia, 1997/1998 and 1999/2000,” Leprosy review, vol. 73, no. 4, pp. 366–75, Dec. 2002.
[20] C. M. Varkevisser, P. Lever, O. Alubo, K. Burathoki, C. Idawani, T. M. A. Moreira, P. Patrobas, and M. Yulizar, “Gender and leprosy: case studies in Indonesia, Nigeria, Nepal and Brazil.,” Leprosy review, vol. 80, no. 1, pp. 65–76, Mar. 2009.
[21] M. Susila, “Public health development in Indonesia,” in Public health progress in the Pacific: geographical background and regional development, J. A. R. Miles, Ed. Helmstedt: Dr. Wolf Tietze GeoWissenschaftliche GmbH, 1984, pp. 5–24.
[22] Y. Hasibuan, “Leprosy elimination campaign Indonesia,” in Human face of leprosy, S. D. Gokhale and N. Sohoni, Eds. Pune: Ameya Prakashan, 1999, p. 67.
[23] Ministry of Health Indonesia, “National Leprosy Control Programme, Sudit Kusta Ministry of Health, Government of The Republic of Indonesia, Jakarta,” 2011.
[24] District Health Office Cirebon, “Annual Leprosy Statistics Cirebon 2011,” 2012.
[25] Ministry of Health Indonesia, “Annual Leprosy Statistics Indonesia 2011,” 2012.
[26] M. G. Weiss, “Stigma and the social burden of neglected tropical diseases,” PLoS neglected tropical diseases, vol. 2, no. 5, p. 237, Jan. 2008.
[27] B. G. Link and J. C. Phelan, “Conceptualizing stigma,” Annual review of Sociology, vol. 27, pp. 363–85, 2001.
23
[28] G. Scambler, “Stigma and disease: changing paradigms,” Lancet, vol. 352, pp. 1054–1055, 1998.
[29] G. Joachim and S. Acorn, “Stigma of visible and invisible chronic conditions,” Journal of Advanced Nursing, vol. 32, no. 1, pp. 243–8, Jul. 2000.
[30] P. W. Corrigan, F. E. Markowitz, and A. C. Watson, “Structural levels of mental illness stigma and discrimination,” Schizophrenia bulletin, vol. 30, no. 3, pp. 481–91, Jan. 2004.
[31] E. E. Jones, Social stigma: The psychology of marked relationships. New York: WH Freeman, 1984.
[32] E. Goffman, Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity. New York: Simon & Schuster, Inc., 1963.
[33] A. Jacoby, “Felt versus enacted stigma: a concept revisited. Evidence from a study of people with epilepsy in remission,” Social Science & Medicine, no. 38, pp. 269–274, 1994.
[34] M. Heijnders and S. Van Der Meij, “The fight against stigma: an overview of stigma-reduction strategies and interventions,” Psychology, Health & Medicine, vol. 11, no. 3, pp. 353–63, Aug. 2006.
[35] H. Cross, M. Heijnders, and A. Dalal, “Interventions for Stigma Reduction–Part 2: Practical Applications,” Disability, CBR & Inclusive Development, vol. 22, no. 3, pp. 71–80, 2012.
[36] G. Thornicroft, E. Brohan, A. Kassam, and E. Lewis-Holmes, “Reducing stigma and discrimination: Candidate interventions,” International Journal of Mental Health Systems, vol. 2, no. 1, p. 3, Jan. 2008.
[37] WHO, “Enhanced global strategy for further reducing the disease burden due to leprosy: 2011-2015,” Leprosy review, vol. 80, no. 4, pp. 353–4, Dec. 2009.
[38] M. K. Nations, G. V. Lira, and A. M. Catrib, “Stigma, deforming metaphors and patients’ moral experience of multibacillary leprosy in Sobral, Ceará State, Brazil,” Cadernos de Saúde Publica, vol. 25, no. 6, pp. 1215–1224, 2009.
[39] C. White, “Iatrogenic stigma in outpatient treatment for Hansen’s disease (leprosy) in Brazil,” Health Education Research, vol. 23, no. 1, pp. 25–39, 2008.
[40] L. A. el Hassan, E. H. Khalil, and A. M. El-Hassan, “Socio-cultural aspects of leprosy among the Masalit and Hawsa tribes in the Sudan,” Leprosy review, vol. 73, no. 1, pp. 20–8, Mar. 2002.
[41] J. Zou, Y. Yamanaka, M. John, M. Watt, J. Ostermann, and N. Thielman, “Religion and HIV in Tanzania: influence of religious beliefs on HIV stigma, disclosure, and treatment attitudes,” BMC public health, vol. 9, p. 75, Jan. 2009.
[42] S. Cotton, C. M. Puchalski, S. N. Sherman, J. M. Mrus, A. H. Peterman, J. Feinberg, K. I. Pargament, A. C. Justice, A. C. Leonard, and J. Tsevat, “Spirituality and religion in patients with HIV/AIDS,” Journal of General Internal Medicine, vol. 21 Suppl 5, pp. S5–13, Dec. 2006.
24
[43] M. G. Weiss, J. Ramakrishna, and D. Somma, “Health-related stigma: rethinking concepts and interventions,” Psychology, Health & Medicine, vol. 11, no. 3, pp. 277–87, Aug. 2006.
[44] R. Yeo, “Disability, poverty and the new development agenda,” 2005.
[45] WHO, “The world report on disability,” Jul. 2011.
[46] A. Kumar and M. Anbalagan, “Socio-economic experiences of leprosy patients,” Leprosy in India, vol. 55, no. 2, pp. 314–321, 1983.
[47] S. Mitra, A. Posarac, and B. Vick, “Disability and Poverty in Developing Countries: A Multidimensional Study,” World Development, vol. 41, pp. 1–18, Jul. 2013.
[48] H. Calcraft, “An annotated bibliography on leprosy,” Asia Pacific Disability Rehabilitation Journal, vol. 17, no. 2, pp. 17–33, 2006.
[49] H. Cross and R. Choudhary, “STEP: an intervention to address the issue of stigma related to leprosy in Southern Nepal,” Leprosy review, vol. 76, no. 4, pp. 316–24, Dec. 2005.
[50] H. Cross and R. Choudhary, “Self care: a catalyst for community development,” Asia Pacific Disability Rehabilitation Journal, vol. 16, no. 2, pp. 100–114, 2005.
[51] S. J. Yawalkar, “Leprosy for Medical Practitioners and Paramedical Workers,” Basle, 2009.
top related