laporan praktikum farmakologi nss
Post on 23-Dec-2015
126 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
ANESTESI UMUM
BLOK NEUROLOGY AND SPECIFIC SENSE SYSTEM
Asisten :
Suryo Adi Kusumo
G1A009
KELOMPOK 1
Indrasti Banjaransari G1A010020
Anna Rumaisyah A G1A010021
Mayunda Riani G1A010022
Ratih Paringgit G1A010023
Lutvi Aulia S G1A010024
Andrian Novatmiko G1A010025
Firda Sofia G1A010026
Khozatin Zuni F G1A010027
Oryzha Triliany G1A010028
Galuh Ajeng P G1A010029
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2013BAB I
PENDAHULUAN
A. Tujuan
1. Umum
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat menjelaskan
perbedaan potensi relatif dari beberapa obat anastesi umum.
2. Khusus
Setelah percobaan ini, mahasiswa dapat :
a. Menjelaskan stadium anastesi umum secara singkat.
b. Menjelaskan perbedaan beberapa obat anastesi umum dalam waktu
tertentu.
B. Definisi
1. Anastesi Umum :
Keadaan hilangnya kesadaran disertai analgesia, amnesia dan
seringkali diikuti dengan relaksasi otot-otot rangka.
2. Anastetik Umum :
Agen/ obat-obat yang dapat menimbulkan efek anastesi umum.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Istilah anestesia dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes yang
artinya tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
anestesia lokal, hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran, dan
anestesia umum, hilangnya rasa sakit disertai hilangnya kesadaran (Handoko,
2006).
Obat anestesi umum adalah obat atau agent yang dapat menyebabkan
terjadinya efek anesthesia umum yang ditandai dengan penurunan kesadaran
secara bertahap karena adanya depresi susunan saraf pusat. Menurut rute
pemberiannya, anestesi umum dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan anestesi
intravena. Keduanya berbeda dalam hal farmakodinamik maupun farmakokinetik
(Bagian Farmakologi Unsoed, 2011).
Tahap- tahap penurunan kesadaran dapat ditentukan dengan pengamatan
yang cermat terhadap tanda-tanda yang terjadi, terutama yang berhubungan
dengan koordinsi pusat saraf sirkulasi, respirasi, musculoskeletal dan fungsi-
fungsi otonom yang lain pada waktu- waktu tertentu. Beberapa anestetik umum
berbeda potensinya berdasar sifat farmasetika obat juga mempengaruhi potensi
anestesinya. Potensi anestetik yang kuat dapat disertai dengan potensi depresi
susunan saraf pusat yang kuat, sehingga perlu dilakukan pementauan yang ketat,
untuk menghindari turunnya derajat kesadaran sampai derajat kematian
(Katzung, 2002).
Sampai sekarang mekanisme terjadinya anestesia belum jelas, meskipun
dalam fisiologi susunan saraf pusat dan perifer terdapat kemajuan hebat. Oleh
karena itu, timbul berbagai teori berdasarkan sifat obat anestetik, yaitu :
1. Teori Koloid
Teori ini mengatakan bahwa dengan pemberian zat anestetik terjadi
penggumpalan sel yang menimbulkan anestesia yang bersifat reversibel
diikuti dengan proses pemulihan.
2. Teori Lipid
Teori ini mengatakan bahwa terdapat hubungan antara kelarutan zat
anestetik dalam lemak terhadap timbulnya anestesia. Makin larut zat
anestetiknya, makin kuat sifatnya.
3. Teori Adsorpsi dan Tegangan Permukaan
Teori ini menghubungkan potensi zat anestetik dengan kemampuan
menurunkan tegangan permukaan. Pengumpulan zat anestetik pada
permukaan sel menyebabkan proses metabolisme dan transmisi neural
terganggu sehingga timbul anestesia.
4. Teori Biokimia
Teori ini mengatakan bahwa pemberian zat anestetik dapat
menghambat pengambilan oksigen di otak melalui proses penghambatan
sistem fosforilasi oksidatif.
5. Teori Neurofisiologi
Teori ini menyatakan bahwa pemberian zat anestetik akan
menurunkan transmisi sinaps di ganglion cervicalis superior dan
menghambat formatio reticularis asenden untuk berfungsi menpertahankan
kesadaran.
6. Teori fisika
Terdapat hubungan potensi anestesia dengan aktivitas termodinamik
dan ukuran molekul zat anestetik tersebut (Handoko, 2006).
B. Jenis Anestesi Umum
Obat anestetik umum dibagi menjadi 3 golongan menurut bentuk fisiknya,
yaitu anastetik gas, anastetik menguap (volatil), serta anastetik parenteral (iv).
Berikut contoh obat dari masing-masing golongan obat tersebut (Katzung, 2002):
1. Anastetik gas :
Nitrogen monooksida (N2O), Siklopropan
2. Anastetik menguap (volatil) :
Eter, Enfluran, Isofluran, Halotan, Metoksifluran, Etil klorida, Trikloretilen,
Fluroksen.
3. Anastetik parenteral (iv) :
Barbiturat : Natrium Tiopental, Natrium Metoheksital, Natrium Tiamilal.
Ketamin, Droperidol dan Fentanil, Diazepam, Etomidat, Propofol.
Anestesi umum dibagi kedalam dua kelompok yaitu:
1. Anastesi intravena (IV)
Pemakaian obat anestesia intravena dilaksanakan untuk induksi
anestesia, induksi dan pemeliharaaan anestesia bedah singkat, suplementasi
hipnosis pada anestesia atau analgesia lokal, dan sedasi pada beberapa
tindakan medik (Handoko, 2006)
a. Barbiturat
Seperti anestesi inhalasi, barbiturat dapat menghilangkan kesadaran
dengan blokade sistem stimulasi di formatio reticularis (Handoko, 2006)
b. Ketamin
Ketamin adalah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar
dan relatif aman. Ketamin mempunyai sifat anestetik dan kataleptik dengan
kerja singkat. Sifat anelgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi
lemah untuk sistem visceral. Tidak menyebabkan relaksasi otot lurik,
bahkan kadang-kadang tonus sedikit meninggi (Handoko, 2006)
c. Droperidol dan Fentanil
Fentanil dan droperidol tersedia dalam kombinasi tetap dan digunakan
untuk menimbulkan analgesia neuroleptik dan anestesia neuroleptik
(Handoko, 2006)
d. Diazepam
Obat ini dapat menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang
disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesik. Obat
ini juga tidak menimbulkan potensiasi terhadap efek penghambat
neuromuskular dan efek analgesik obat narkotik. Diazepam figunakan
untuk menimbulkan sedasi basal pada anestesia regional, endoskopi, dan
prosedur dental, serta untuk induksi anestesia pada penderita penyakit
kardiovaskular (Handoko, 2006)
Anestetik ideal adalah (Katzung, 2002):
1) Cepat menghasilkan hypnosis
2) Mempunai efek analgesia
3) Menimbulkan amnesia pasca anesthesia
4) Dampak burujnya mudah dihilangkan dengan antagonisnya
5) Cepat dieliminasi dari tubuh
6) Pengaruh farmokinetiknya tidak dipengaruhi oleh disfungsi organ.
2. Anastesi inhalasi
Merupakan anastesi yang diinduksi melalui system pernafasan.contoh sediana
yang ada adalah isofluran, desfluran, sevofluran, dan dinitrogen oksida. Obat obat
tersebut berifat folatil atau mudah menguap.bentuk anestesi inhalasi ideal adalah
Berbau enak dan tidak merangsang selaput lendir, Mula kerja cepat dan tidak
terdapat efek samping, Sadar kembali tanpa ada efek samping, Melemaskan otot-
otot, Tidak menambah perdarahan kapiler selama waktu pembedahan (Katzung,
2002).
a. Farmakokinetika
Kedalaman anestesi ditentukan dari kadar anestetik di dalam sistem syaraf
pusat. Kecepatan mencapai kadar di dalam jaringan otak yang efektif
(kecepatan induksi anestesi) tergantung pada berbagai faktor farmakokinetika
yang mempengaruhi ambilan dan distribusi anestetika. Faktor – faktor ini
menetukan perbedaan kecepatan transfer anestetika inhalasi dari paru – paru
ke dalam darah dan dari darah ke otak serta jaringan – jaringan lain. Faktor ini
pula nantinya akan mempengaruhi kecepatan pemulihan dari keadaan
anestesia. Kecepatan suatu anestetika mencapai otak tergantung pada sifat
kelarutan dari anestetika tersebut, kadarnya dalam udara yang dihirup,
kecepatan ventilasi paru, aliran darah ke paru, dan perbedaan konsentrasi
anestetika antara darah arteri dan campuran darah vena (tekanan parsial)
(Masters, 2002).
b. Farmakodinamika
Anestetika inhalasi secara spontan menekan dan membangkitkan
aktivitas neuron berbagai area di dalam otak. Sasaran utama dari berbagai
anestetika umum ini adalah reseptor GABAA-kanal klorida, yaitu suatu
mediator utama dari transmisi sinaps inhibitorik. Reseptor tersebut merupakan
susunan pentametrik dari lima protein yang berasal dari beberapa subkelas
polipeptida (Masters, 2002).
c. Anastetik Gas
Anastesi gas umumnya dapat memiliki potensi yang rendah sehingga
hanya digunakan untuk induksi dan operasi yang ringan. Anastesi gas tidaklah
mudah larut di dalam darah sehingga tekanan parsial dalam darah cepat
meningkat. Batas keamanan antara efek anastesia dan efek letal cukup besar.
Obat anastetik gas ini dapat dibagi menjadi nitrogen monoksida dan
siklopropan (S & Elysabeth, 2007).
1) Nitrogen monoksida
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa dan lebih berat dari udara. Nitrogen monoksida
biasanya disimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam tabung
baja. Tekanan penguapan pada suhu kamar yaitu kerang lebih 50
atmosfer. Anestetik ini selalu digunakan dalam campuran dengan
oksigen. Nitrogen monoksida sukar larut dalam darah, diekskresi dalam
bentuk utuh melalui paru-paru dan sebagian kecil melalui kulit. Gas ini
tidak mudah terbakar tetapi dapat dikombinasikan dengan zat anastetik
yang mudah terbakar akan memudahkan terjadinya ledakan misalnya
campuran eter dan nitrogen monoksida (S & Elysabeth, 2007).
Potensi anastetik nitrogen monoksida kurang kuat tetapi stadium
induksi dilewati dengan cepat karena kelarutannya yang buruk dalam
darah. Perbandingan nitrogen monoksida dan oksigen yaitu 85:15 pada
stadium induksi dapat dilewati dengan cepat. Untuk mempertahankan
anatesia biasanya digunakan perbandingan nitrogen monoksida dan
oksigen sebesar 70:30 tetapi bila digunakan nitrogen monoksida 65%
tanpa medikasi preanastetik penderita tidak dapat mencapai stadium
eksitasi. Relaksasi otot kurang baik sehingga untuk mendapatkan
relaksasi yang cukup sering ditambahkan obat pelumpuh otot (S &
Elysabeth, 2007).
Nitrogen monoksida mempunyai efek analgesic yang baik
dengan inhalasi 20% nitrogen monoksida dalam oksigen efeknya seperti
efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek analgesic
maksimum yaitu kurang lebih 35%. Gas ini sering digunakan pada partus
yaitu dengan pemberian 100%. Nitrogen monoksida pada waktu kontraksi
uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi kekuatan kontraksi
dan 100% oksigen pada waktu relaksasi untuk mencegah terjadinya
hipoksia (S & Elysabeth, 2007).
Kadar nitrogen monoksida 80% hanya sedikit mendepresi
kontraktilitas otot jantung sehingga peredaran darah tidak terganggu. Efek
pada pernapasan belum diselidiki secara mendalam, dikatakan induksi
dengan pentotal dan inhalasi nitrogen monoksida menyebabkan
berkurangnya responspernapasan terhadap karbon dioksda. Pada anastesia
yang lama, nitrogen monoksidadapat menyebabkan mual, muntah dan
lambat sadar. Gejala sisa hanya terjadi bila ada hipoksia atau alkalosis
karena hiperventilasi (S & Elysabeth, 2007).
2)Siklopropan
Siklopropan merupakan anastetik gas yang kuat, berbau spesifik,
tidak berwarna, lebih berat daripada udara dan disimpan dalam bentuk
cairan bertekanan tinggi. Gas ini mudah terbakar dan meledak sehingga
digunakan dengan close method. Siklopropan relative tidak larut dalam
darah sehingga menginduksi dengan cepat yaitu sekitar 2-3 menit.
Stadium pembedahan tingkat 1 dapat dicapai dengan kadar 7-10%
volume, tingkat 2 dicapai dengan kadar 10-20% volume, tingkat 3 dicapai
dengan kadar 20-35% volume dan tingkat 4 dicapai dengan kadar 35-50%
volume. Sedangkan pemberian dengan kadar 1% volume dapat
menimbulkan analgesia tanpa hilangnya kesadaran. Untuk mencegah
delirium yang terkadang timbul maka diberikan pentotal secara intravena
sebelum inhalasi siklopropan (S & Elysabeth, 2007).
Siklopropan tidak menghambat kontraktilitas otot jantung, curah
jantung dan tekanan arteri tetap atau sedikit meningkat sehingga
siklopropan merupakan anastetik terpilih pada penderita syok.
Siklopropan dapat menimbulkan aritmia jantung yaitu fibrilasi atrium,
bradikardi sinus, ekstrasistol atrium, ritme atrioventrikular dan ritme
begimi. Pemberian atropine IV dapat menimbulkan ekstrasistol ventrikel
karena efek katekolamin menjadi lebih dominan (S & Elysabeth, 2007).
Aliran darah kulit ditinggikan oleh siklopropan sehingga mudah
terjadi perdarahan waktu operasi. Siklopropan tidak menimbulkan
hambatan terhadap sambungan saraf otot. Setelah waktu pemulihan sering
timbul rasa mual, muntah dan delirium. Absorpsi dan ekskresi
siklopropan melali paru. Hanya 0,5% dimetabolisme dalam badan dan
diekskresi dalam bentuk karbon dioksida dan air. Siklopropan dapat
digunakan pada setiap macam operasi. Untuk mendapatkan efek analgesic
digunakan 1-2% siklopropan dengan oksigen. Untuk mencapai induksi
siklopropan digunakan 25-50% dengan oksigen sedangkan untuk dosis
penunjang digunakan 10-20% (S & Elysabeth, 2007).
d. Obat Anestesia yang mudah menguap
1) Dietil Eter
Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Status anestesi umum pada
dasarnya mencakup analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran,
terhambatnya refleks sensoris dan otonomik, serta dalam banyak kasus
relaksasi otot. Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya
tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan. Hanya
eter yang memiliki trias anestesia (analgesia, hipnosis, dan relaksasi otot).
Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka
trias anestesi diperoleh dengan menggabungkan perbagai macam obat.
Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran). Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik,
NSAID tertentu. Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas
otot (muscle relaxant) (Katzung, 2002).
Eter yang terpenting adalah etil eter yang dalam kehidupan sehari-
hari maupun dalam perdagangan disebut eter. Kegunaan utama eter
adalah sebagai pelarut dan obat bius (anestesi) pada operasi. Etil eter
adalah obat bius yang diberikan melalui pernapasan, seperti halnya
kloroform atau siklopropana. Eter merupakan cairan tidak berwarna,
mudah menguap, berbau khas mengiritasi saluran napas, mudah
terbakar/meledak, dan dapat terurai oleh udara serta cahaya. Salah satu
sifat eter mudah terurai oleh udara dan cahaya hal tersebut berkaitan
dengan konsentrasi anestesi dalam udara. Konsentrasi anestesika inhalasi
yang dihirup mempunyai efek langsung pada tekanan di dalam darah
arteri. Menurut hukum fick, meningkatnya konsentrasi anestesi yang
dihirup akan meningkatkan kecepatan induksi anestesi dengan jalan
meningkatkan kecepatan transfer di dalam darah (Katzung, 2002).
2) Chloroform
Nama lainnya yaitu trichloromathane, methane tricloride,
tricloroform, methy trichloride, dan formyl trichloride atau dengan
formula molekulnya adalah CHCl3. Chloroform sanagt baik dan cepat
diabsorbsi, dimetabolis, dan dieliminasi oleh hewan mamalia ataupun
manusia baik melalui oral, inhalation, atau dermal exposure. Pada
manusia dosis tunggal cloroform secara oral adalah 0,5 dan 50-52% dapat
diserap oleh tubuh dan melalui proses metabolisme diubah menjadi
karbondioksida. Level puncak dalam darah adalah hingga 1,5 jam dan
memiliki waktu paruh 13 sampai dengan 90 menit. Chloroform dosis
tunggal secara inhalasi adalah 5mg dan terserap dlaam tubuh hingga 80%
(Watts, 2004).
Secara umum, kloroform memunculkan gejala-gejala yang sama
keracunan pada manusia seperti di laboratorium hewan. Kloroform
digunakan di masa lalu untuk menginduksi (besar exposure 24-73 g/m3
udara) dan pada anstesi medis (besar exposure 12-48 g/m3 udara).
Namun, praktek ini dihentikan karena menyebabkan kematian karena
pernapasan, aritmia jantung, dan gagal jantung. Pemberian chloroform
dapat menyebabkan anestesi, mual, histeris, muntah, ikterik, koma
hepatikum, dan kerusakan hati. Pada autopsi ditemukan hati nekrosis dan
degenari sel. Selain itu ditemukan juga renal tubular necrosisi hingga
menimbulkan gagal ginjal (Watts, 2004).
3) Alkohol
Merupakan preparat yang paling cepat menimbulkan efek anestesi
pada praktikum dibandingkan dengan kloroform dan eter. Alkohol
merupakan depresan sistem saraf pusat. Pada kadar dalam darah yang
tinggi alkohol menyebabkan koma, depresi pernapasan dan kematian.
Alkohol mempengaruhi sejumlah besar protein membran yang berperan
dalam tranduksi sinyal, termasuk reseptor-reseptor neurotransmiter
berbagai amine, asam amino dan opioid, enzim-enzim seperti Na/k
ATPase dan beberapa kanal ion Ca2+. Pada jantung akan mempengaruhi
kontraktilitas miolkard, sedangkan pada otot polos akan menyebabkan
vasodilatasi dan relaksasi langsung otot polos yang disebabkan oleh
metabolitnya, yaitu asetildehid. Efek farmakodinamik tersebutlah yang
kemungkinan menyebabkan alkohol lebih cepat menimbulkan efek
anestesi (Watts, 2004).
Penggunaan alkohol akan berpengaruh pada sistem saraf pusat,
kardiovaskuler dan gastrointestinal terutama pada penggunaan kronik.
Pengaruh alkohol pada sistem gastrointestinal yaitu dapat menyebabkan
kerusakan hati, dapat meningkatkan sekresi lambung dan pankreas serta
merubah rintangan mukosa, sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya
gastritis dan pankreatitis. Pengaruh pada sistem saraf yaitu akan
menyebabkan neurotoksisitas dan dapat terjadi defisit neurologi dan
merusak ketajaman visus. Pada sistem kardiovaskuler alkohol akan
menyebabkan kardiomiopati dan menghambat proliferasi semua elemen
seluler di dalam sumsum tulang, serta mengganggu keseimbangan cairan
dan elektrolit (Watts, 2004).
Dalam Katzung 2002 menyatakan terdapat satu jenis anestesi
umum selain anestesi intravena dan anestesi inhalasi yaitu anestesi
berimbang. Anestesi Berimbang adalah memakai anestesi inhalasi dan
intravena. Anestesi intravena biasanya dipergunakan sebagai induksi
anestesi dan selanjutnya digunakan anestesi inhalasi sebagai relaksan otot.
(Katzung, 2002)
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
1. Alat
a. 3 buah beaker glass 1000 cc
b. Kapas
c. Kertas selofan
d. Spuit tuberkulin
e. Jarum suntik
2. Bahan
a. Chloroform
b. Etanol 95%
c. Eter
3. Hewan Coba
3 Binatang percobaan : Tikus Putih
4
B. Rencana Kerja
Tutup dengan kertas selofan
AChloroform
BEtanol 95%
CEter
Tetesi kertas selofan dengan obat anastesi inhalasi sesuai label beaker glass
Chloroform Etanol 95% Eter 0,25 cc 0,25 cc 0,25 cc
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PERCOBAAN
Anestik
Umum
Waktu
Permulaan
Eksitasi Anestesi Kematian Jmlh
W I W I W I
Ether 13.58 14.09 6 mnt 14.15 - - -
Chloroform 13.58 13.59 1 mnt 14.00 9 mnt 14.09 -
Alkohol 95% 13.58 14.11 - - - - -
Keterangan : W : Waktu
I : Interval
Jmlh : Jumlah
B. PEMBAHASAN
1. Ether
Tikus putih yang diberikan ether mengalami eksitasi pada jam 14.09,
ini ditandai dengan tikus putih gelisah karena depresi pernapasan, tidak mau
diam dan mencari-cari udara selain di tabung. Interval stadium eksitasi 6
menit kemudian mengalami stadium anestesi yaitu pada jam 14.15. Stadium
anestesi ditandai dengan tikus putih diam, tidak bergerak sama sekali hanya
bernafas. Sedangkan, tikus putih tersebut tidak dilanjutkan sampai mengalami
kematian karena tikus putih yang diberi kloroform mengalami kematian
terlebih dahulu. Hasil praktikum menunjukkan ether lebih kuat sifat
anestesinya dari pada alkhohol 95% dan lebih lemah sifat anestesinya
daripada kloroform.
Tidak didapatkan urin yang menunjukkan kesesuaiannya dengan teori
bahwa eter dapat menyebabkan konstriksi pembuluh darah di ginjal sehingga
menurunkan laju filtrasi di glomerulus. Eter dapat menyebabkan iritasi saluran
napas dan merangsang sekresi kelenjar bronkus. Penggunaan eter pada sistem
tertutup dalam kombinasi dengan oksigen atau N2O tidak dianjurkan pada
pembedahan dengan tindakan kauterisasi sebab ada bahaya timbulnya ledakan
(Setiabudy, 2008).
2. Chloroform
Tikus putih yang diberikan chloroform mengalami eksitasi pada jam
13.59,ini ditandai dengan tikus putih gelisah karena depresi
pernapasan,tidak mau diam dan mencari-cari udara selain di tabung.
Interval stadium eksitasi 1 menit kemudian mengalami stadium anestesi
yaitu pada jam 14.00. Stadium anestesi ini ditandai dengan tikus putih
diam,tidak bergerak sama sekali hanya bernafas. Sedangkan tikus putih
tersebut tidak dilanjutkan sampai mengalami kematian terlebih dahulu.
Chloroform menyebabkan rasa terbakar pada saluran tubuh yang dilewati,
seperti dalam hal ini karena melalui inhalasi maka ada rasa terbakar pada
saluran inhalasi sehingga tikus terlihat sangat gelisah. Chloroform sangat
mudah menguap, dan chloroform ini juga dapat menembus sawar darah
otak dalam waktu singkat karena sifatnya yang larut dalam lemak (City
Plastic, 2009).
Beberapa efek cepat dari chloroform yang dapat dilihat pada tikus
percobaan adalah mengantuk, lemas, depresi akibat sifat kerjanya yang
mengiritasi pernafasan dan mengganggu sistem saraf pusat.. Efeknya
yang dapat merusak hepar, jantung, dan ginjal dan diikuti dengan
kehilangan kesadaran dan reflek terlihat dengan melemahnya reflek otot
dari otot rangka sampai otot bantu pernafasan (City Plastic, 2009).
Dengan uraian pembahasan chloroform di atas, menunjukkan kerja
chloroform yang cepat efek nya dibandingkan eter dan alcohol 95 % .
3. Alkohol 95 %
Tikus putih yang diberikan alcohol 95% mengalami eksitasi pada jam
13.44,ini ditandai dengan tikus putih gelisah karena depresi
pernapasan,tidak mau diam dan mencari-cari udara selain di tabung.
Efek alkohol 95% terhadap tikus percobaan paling lambat dari bahan
uji lainnya. Hal ini dapat terjadi karena efek alkohol terhadap sistem saraf
pusat yang lebih lambat dibandingkan bahan yang diuji lainnya. Walaupun
alkohol memiliki efek pada sistem saraf pusat yang membahayakan,
alkohol atau etanol itu sendiri bukan merupakan obat yang poten yang
dapat digunakan untuk memberikan efek pada sistem saraf pusat. Ambang
efek alkohol secara umum tidak muncul hingga konsentrasi etanol realtif
tinggi di dalam darah. Konsentrasi dapat dicapai di dalam darah sebesar 5-
10 mmol/L. Jika asupan alkohol tinggi dalam satu waktu saja, efek sistem
saraf pusat dapat tercapai (Katzung, 2002).
C. APLIKASI KLINIS
1. Insomnia
Kadang-kadang suatu sedatif hipnotika dinyatakan lebih baik
daripada sedatif hipnotika lainnya dalam mengatasi gangguan tidur,
berdasarkan kerja yang berbeda pada arsitektur tidur. Benzodiazepine
menerunkan tidur REM dan gelombang lambat sesuai dengan dosis, meski
penurunan ini tidak sebesar yang disebabkan oleh barbiturate. Zolpidem
kurang mampu mempengaruhi pola tidur jika dibandingkan dengan
benzodiazepine. Obat yang dipilih haruslah obat yang menyebabkan tidur
dengan cepat (memperpendek mula tidur) dan lama tidur yang cukup,
dengan efek “hangover” yang minimum, misalnya rasa kantuk, disforia,
depresi mental, atau depresi motorik pada keesokan harinya. Obat-obat
lama seperti chloral hydrate, secobarbital, dan pentobarbital masih
digunakan, tetapi pada umumnya benzodiazepine lebih disukai pasien
(Katzung, 2002).
2. Generalized Anxiety Disorder
Generalized anxiety disorder atau kecemasan yang berlebihan tanpa
alasan atas kejadian-kejadian dalam kehidupan ini biasanya ditangani
dengan obat-obatan, biasanya dalam hubungannya dengan psikoterapi.
Benzodiazepine tetap merupakan obat yang paling umum digunakan untuk
penananganan keadaan-keadaan kecemasan, termasuk gangguan
kecemasan umum. Karena gejala-gejala kecemasan dapat disembuhkan
dengan banyak jenis benzodiazepine, maka tidaklah selalu mudah untuk
memperlihatkan keunggulan satu obat atas obat lainnya. Namun demikian,
alpazolam terutama efektif pada penanganan penderita gangguan panik dan
agorafobia, dan dalam hal ini lebih selektif dibandingkan terhadap
benzodiazepine lainnya (Katzung, 2002).
3. Nyeri Ginjal Akut & Kolik Bilier
Keadaan akut pada nyeri gagal ginjal dan kolik bilier yang parah
seringkali memerlukan agonis opioid yang kuat untuk menghilangkan
nyeri. Namun, obat dapat menimbulkan peningkatan tonus otot polos yang
kemudian dapat menimbulkan peningkatan paradoksal pada nyeri sekunder
akibat peningkatan spasme. Peningkatan dosis opioid biasanya berhasil
memberikan efek analgesi yang kuat (Katzung, 2002).
BAB V
KESIMPULAN
Dari hasil praktikum dapat di simpulkan sebagai berikut :
1. Efek anestesi blok terjadi hanya pada sebagian atau hanya pada saraf tunggal
yang mempersarafi daerah tertentu saja, sedangkan pada katak yang dilakukan
anestesi spinal, berpengaruh secara luas, dalam artian mampu menganestesi
seluruh tubuh.
2. Etil Kloride membentuk efek pendinginan pada permukaan kulit dengan cara
menguap secara cepat dan mengganggu kemampuan tubuh untuk merasakan sakit.
Hal ini terjadi karena dingin mengurangi kecepatan hantaran saraf dari serat C dan
serat A-delta.
3. Berbagai obat anestesi lokal dapat memberikan efek hilang rasa raba dan nyeri
pada daerah tertentu dari tubuh.
4. Setiap obat anestesi memiliki kecepatan dan kekuatan anestesi yang berbeda.
Evaluasi
1. Stadium Anestesi umum terbagi 4 yaitu :
a. Stadium I ( Analgesia), stadium analgesia di mulai sejak saat pemberian
anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak lagi
merasakan nyeri (analgesia), tetapi masih tetap sadar dan dapat mengikuti
perintah. Pada stadium ini dapat dilakukan tindakan pembedahan ringan
seperti mencabut gigi dan biopsy kelenjar.
b. Stadium II (eksitasi), stadium in di mulai sejak hilangnya kesadaran sampai
munculnya pernapasan yang teratur yang merupakan tanda dimulainya
stadium pembedahan. Pada stadium ini pasien tampak mengalami delirium
dan eksitasi dengan gerakan-gerakan di luar kehendak. Pernapasan tidak
teratur, kadang-kadang apnea dan hiperpnea, tonus otot rangka meninggi,
pasiennya meronta-ronta, kadang sampai mengalami inkontinensia , dan
muntah. Ini terjadi karena hambatan pada pusat inhibisi. Pada stadium ini
dapat terjadi kematian, maka stadium ini harus diusahakan cepat dilalui.
c. Stadium III (anesthesia), stadium III ini dimulai dengan timbulnya kembali
pernapsan yang teratur dan berlangsung sampai pernapasan spontan hilang.
Keempat tingkat dalam stadium pembedahan ini dibedakan dari perubahan
pada gerakan bola mata, reflex bulu mata dan konjungtiva, tonus otot, dan
lebar pupil yang menggambarkan semakin dalamnya pembiusan.
Tingkat 1 : pernapasan teratur, spontan, dan seimbang antara
pernapasan dada dan perut, gerakan bola mata terjadi di luar
kehendak, miosis, sedangkan tonus otot rangka masih ada.
Tingkat 2 : pernapasan teratur tetapi frekuensinya lebih kecil, bola
mata tidak bergerak, pupil mata melebar, otot rangka mulai melemas,
dan refleks laring hilang sehingga pada tingkat ini dapat dilakukan
Tingkat 3 : pernapasan perut lebih nyata dari pernapasan dada
karena otot interkostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna,
pupil lebih lebar tetapi belum maksimal
Tingkat 4 : pernapasan perut lebih sempurna karena otot
interkostal lumpuh total, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat
lebar dan reflex cahaya hilang. Pembiusan hendaknya jangan sampai
ke tingkat 4 ini sebab pasien akan mudah sekali masuk dalam
stadium IV.
d. Stadium IV ( depresi medulla oblongata), stadium ini dimulai dengan
melemahnya pernapasan perut dibanding dengan stadium III tingakt 4,
tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah kolaps, dan jantung
berhenti berdenyut. Keadaan ini dapat segera disusul kematian, kelumpuhan
napas di sini tidak dapat diatasi dengan pernapsan buatan, bila tidak didukung
oleh alat bantu napas dan sirkulasi.
2. faktor yang mempengaruhi dalam anestesi umum adalah tekanan parsial, kelarutan
anestetik dalam darah, kadar anestetik dalam udara inspirasi, ventilasi paru, kecepatan
aliran darah paru
3
DAFTAR PUSTAKA
Bagian Farmakologi. (2011). Petunjuk Praktikum Farmakologi Blok NSS.
Purwokerto : Universitas Jenderal Soedirman.
City Plastics. 2009. Material Safety Data Sheet, Chloroform.
http://www.cityplastics.com.au/pdf/chloroform%20msds.pdf. Diakses tanggal
19 Maret 2013
Handoko, Tony. 2006. Anestetik Umum dalam Farmakologi dan Terapi. Jakarta :
FKUI
Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 2 Edisi 8. Jakarta :
Salemba Medika.
Masters, Susan B. 2002. AlkohoL dalam : Farmakologi Dasar dan Klinik Bertram G.
Katzung Buku 2. Edisi delapan. Jakarta : Salemba Medika.
Neal, M. J. (2002). General Anasthesia. In Medical Pharmacology at a Glance.
London: Kings College London The Rayne Institute.
Setabudy, Rianto. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
S, Z. D., & Elysabeth. (2007). Anastetik Umum dalam Farmakologi dan Terapi.
Jakarta: FKUI
Watts, Petter. 2004. Chloroform. United Nations Environment Programme, the
International Labour Organization, and the World Health Organization, and
produced within the framework of the Inter-Organization Programme for the
Sound Management of Chemicals. WHO: Geneva
top related