kaidah-kaidah mengenal bidah
Post on 24-Jul-2015
39 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KAIDAH-KAIDAH MENGENAL BID’AH
Pada dasarnya bid‟ah menurut syariat harus memiliki 3 kriteria, dan sesuatu tidak dapat
disebut bid‟ah tanpa terpenuhi 3 kriteria tersebut.
Adapun kriteria tersebut adalah:
1. AL-IHDATS (Mendatangkan perkara baru yang dibuat/dikarang)
2. Perkara baru tersebut disandarkannya kepada perkara agama
3. Tidak adanya sandaran perkara baru tersebut pada pokok/asal syariat baik khusus
maupun umum
1) Al-Ihdats adalah mendatangkan suatu perkara baru yang dibuat-buat/dikarang tanpa
yang mendahuluinya baik mutlak maupun tinjauan satu sisi.
Dalilnya:
ا م دا ا يف ن ها ـم ه م ـم ا م ن يف م ا م م ا م ام نــــــــ ا يف ا م ن م م م ن“Siapa yang mengadakan perkara baru pada urusan kami ini yang perkara itu bukan
termasuk darinya, maka perkara itu tertolak”.(HR. Bukhari Muslim)
Kriteria ini memasukkan semua yang dibuat-buat baik yang tercela maupun yang
terpuji baik urusan agama maupun selainnya. Ihdats bisa ada pada agama bisa pula
urusan duniawi.
2) Disandarkan ihdats pada urusan agama
Dalilnya:
ا م ن يف م ا م م ــــييف“Pada urusan kami ini”
Kriteria ini mengeluarkan urusan baru yang tidak didasarkan kepada agama (contoh
naik mobil, pakai baju batik, handphone, naik pesawat, pakai sendok makan dan
lain sebagainya. Demikian pula kemaksiatan-kemaksiatan bentuk baru, kecuali kalau
dilakukan dalam rangka niat taat kepada Allah atau dapat mengantarkan kepada
sangkaan bahwa hal itu termasuk urusan agama
3) Tidak adanya sandaran bagi perkara baru yang diadakan ini pada dalil syar‟i baik
dengan cara penyandaran khusus maupun umum.
Dalilnya:
م اام نـا يف ن ها“Perkara itu bukan termasuk darinya”
Dan dalil lainnya yaitu:
ا م دا ا م م ن يفا م ن ه م ا ـم ه م ـم ا م يف ما م م الاام ن م ن“Siapa yang beramal dengan suatu amalan yang urusan (agama) kami tidak berjalan
diatasnya maka amalan tersebut tertolak”. (HR. Muslim)
Kriteria ini mengeluarkan segala perkara baru yang berkaitan dengan agama tetapi
memiliki dalil syar‟i baik secara umum maupun khusus.
Seperti pengumpulan Al-Qur‟an oleh para sahabat berlandaskan dalil umum yaitu
surat:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr:9)
Catatan: mengumpulkan Al-Qur‟an adalah bahagian memelihara
Dan berlandaskan dalil syar‟iy bersifat khusus yaitu diadakannya shalat tarwih secara
berjamaah pada zaman Umar bin Khattab dan lain-lain.
Suatu amalan bid‟ah tidak lepas dari 3 hal:
1. Pendekatan diri kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan
2. Keluar dari aturan agama/syariat
3. Mengantarkan ke bid‟ah atau membuka jalan ke bid‟ah
Adapun yang termasuk bid‟ah karena melakukan sesuatu yang tidak disyariatkan
yaitu:
Kaidah pertama
Setiap ibadah yang berlandaskan hadits maudhu‟ (palsu) yang disandarkan kepada
Rasulullah Shollallahu „Alaihi Wa „Ala Alihi Wa Sallam maka itu adalah Bid‟ah.
Contoh:
Hadits-hadits maudhu (palsu) dan dhaif jiddan yang berkenaan dengan keutamaan
surah-surah Al-Qur‟an, menuntut ilmu, keutamaan puasa, doa-doa wudhu, adzan
dan iqamat menguburkan mayit, penggunaan bedug sebelum adzan, tawasul yang
bid‟ah.
Kaidah kedua
Setiap amalan yang berlandaskan pendapat semata dan hawa nafsu maka itu adalah
bid‟ah.
Contoh:
Ahli shufi yang berpegang pada mimpi-mimpi dan kejadian luar biasa, berdzikir
dengan „Allah Allah‟, atau dhamir „Huwa Huwa‟, berdoa kepada para malaikat,
nabi, orang shaleh.
Kaidah ketiga
Jika rasulullah shollallahu „Alaihi Wa „Ala Alihi Wa Sallam meninggalkan suatu
ibadah yang ada, padahal faktor dan sebab yang menuntut untuk dikerjakannya ada,
sementara faktor penghalangnya tidak ada, maka melaksanakan ibadaha tersebut
adalah bid‟ah
Contoh:
Melafazkan niat shalat, adzan di kuburan, shalat setelah sa‟i.
Kaidah keempat
Semua ibadah yang tidak dilakukan oleh As-Salaf Ash-Sholeh dari kalangan
shahabat, tabi‟in dan tabi‟ut tabi‟in atau mereka tidak menukilnya (tidak
meriwayatkannya) atau tidak menukilnya dalam kitab-kitab mereka atau tidak pernah
menyinggung masalah tersebut dalam majelis-majelis mereka, maka jenis ibadah itu
adalah bid‟ah dengan syarat faktor penuntut untuk mengerjakan ibadah itu ada dan
faktor penghalangnya tidak ada.
Contoh:
Shalat Raghaa‟ib, adzan di masjid di sisi mimbar, shalawat sebelum adzan, sujud
setelah salam yang bukan sujud sahwi, shalat 2 rakaat setelah keluar dari kamar
mandi, shalat dua rakaat setelah shalat subuh (tanpa sebab)
Kaidah kelima
Setiap ibadah yang bertentangan dengan kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syari‟at
ini, maka itu adalah bid‟ah.
Contoh:
Adzan pada Idul Fitri/Adha, menshalati jenazah di tempat pemandiannya.
Kaidah keenam
Setiap taqarrub kepada Allah dengan adat kebiasaan atau mu‟amalat dari sisi yang
tidak diakui oleh syari‟ (Pembuat Syari‟at), maka itu adalah bid‟ah. (Al-I‟tishom
2/79-82)
Contoh:
Bertakarrub kepada Allah dengan diam, tidak memakan roti atau daging, berdiri di
bawah terik matahari dengan tidak berteduh (dengan niat ibadah).
Kaidah ketujuh
Semua taqarrub kepada Allah dengan mengamalkan sesuatu yang dilarang oleh
Allah Subhanahu Wa Ta‟ala adalah bid‟ah.
Contoh:
Takarrub kepada Allah dengan mendengarkan alat-alat musik atau berdansa.
Kaidah kedelapan
Setiap ibadah yang di dalam syari‟at berdasarkan bentuk (dibatasi dengan tata cara)
tertentu, maka menambah bentuk (tata cara) ini adalah bid‟ah.
Contoh:
1. Menyalahi waktu seperti berkurban pada tanggal 1 Dzulhijjah, aqiqah nanti
nenek-nenek.
2. Menyalahi tempat seperti hajji di bawakaraeng, i‟tikaf bukan di masjid.
3. Menyalahi jenis berkurban dengan ayam, kuda.
4. Menyalahi jumlah bilangan, menambah rakaat shalat wajib (contoh: shalat subuh
3 rakaat).
5. Menyalahi tata cara seperti memulai wudhu dengan kedua kaki.
Kaidah kesembilan
Setiap ibadah mutlak yang telah tetap dalam syari‟at dengan dalil umum, maka
membatasi kemutlakan ibadah ini dengan waktu dan semacamnya sehingga
memberikan anggapan bahwa pembatasan inilah yang diinginkan oleh syari‟at tanpa
ada dalil umum yang menunjukkan terhadap pembatasan ini, maka dia adalah
bid‟ah.
Contoh:
Berjabat tangan setiap selesai shalat lima waktu, mengaji dan shalawat sebelum
masuk waktu shalat, shalat malam khusus nisfu sya‟ban, puasa khusus 27 Rajab.
Kaidah kesepuluh
Ghuluw (berlebih-lebihan) dalam ibadah dengan menambah padanya melebihi
ukuran yang telah disyari‟atkan, demikian pula tasyaddud (menyusahkan diri) serta
tanaththu‟ (memberatkan diri) dalam pelaksanaan ibadah tersebut maka itu adalah
bid‟ah.
Contoh:
Melaksanakan Qiyamul Lail semalam suntuk dan tidak mau tidur, puasa sepanjang
tahun, puasa 24 jam selama 3 hari, melontar jumrah dengan batu besar, beristinja
dengan berlebihan, berwudhu berlebihan.
Kaidah kesebelas
Setiap keyakinan, pendapat dan ilmu yang bertentangan dengan nash-nash al-kitab
dan as-sunnah atau menyelisihi konsensus salaful ummah maka itu adalah bid‟ah.
(Jami‟ Bayanil „Ilmi wa Fadhlihi 2/1052, Darut Ta‟arudh 1/208-209, I‟lamul
Muwaqqi‟in 1/67, Al-I‟tishom 1/101-106, Fadhlu „Ilmi As-Salaf „Ala „Ilmi Al-
Khalaf 39-44 dan Ahkamul Jana‟ iz 242).
Contoh:
Mengingkari azab kubur, shirath, mizan, ru‟yatullah di hari akhir, menolak hadits lalat
jika jatuh ke dalam makanan dicelupkan keseluruhan sayapnya, membatasi
pengambilan dalil hanya dengan Al-Qur‟an, meninggalkan hadits ahad.
Kaidah keduabelas
Keyakinan-keyakinan yang tidak ada di dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah serta tidak
didapatkan dari shahabat dan tabi‟in adalah bid‟ah. (Ahkamul Jana‟iz:242).
Contoh:
Tarekat Sufi, menekuni ilmu kalam, menolak sifat-sifat Allah.
Kaidah ketigabelas
Permusuhan, berbantah-bantahan dan perdebatan dalam agama adalah bid‟ah.
Kaidah keempatbelas
Mengharuskan manusia untuk melakukan suatu adat dan mu‟amalah serta menjadikan
hal itu seperti syari‟at yang tidak boleh diselisihi dan seperti agama yang tidak boleh
ditentang adalah bid‟ah.
Kaidah kelimabelas
Keluar menentang aturan-aturan agama yang sudah tetap dan merubah hukum-hukum
syari‟at yang telah ditentukan batasannya adalah bid‟ah. (Lihat Talbis Iblis 16-17
dan Al-I‟tishom 2/86).
Kaidah keenambelas
Menyerupai orang-orang kafir dalam hal-hal yang khusus bagi mereka, baik berupa
ibadah, adat kebiasaan atau keduanya, maka itu adalah bid‟ah. (Ahkamul Jana‟iz
242).
Kaidah ketujuhbelas
Menyerupai orang-orang kafir dalam hal-hal yang mereka ada-adakan yang bukan
bagian dalam agama mereka, baik berupa ibadah, adat atau keduanya (maka hal
itu) adalah bid‟ah. (lihat Al-Amru bil Ittiba‟:151)
Kaidah kedelapanbelas
Melakukan suatu amalan-amalan Jahiliyah yang tidak disyari‟atkan di dalam Islam
adalah bid‟ah.
Kaidah kesembilanbelas
Bila sesuatu yang dituntut berdasarkan syariat dikerjakan dengan cara yang
menimbulkan anggapan hal yang berbeda dengan kenyataannya (apa yang
sebenarnya), maka hal itu adalah bid‟ah.
Kaidah keduapuluh
Jika sesuatu yang dalam syari‟at hukumnya boleh lalu dikerjakan dengan keyakinan
bahwa dalam syariat hukumnya dituntut (baik tuntutan wajib maupun sunnah) maka
hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bid‟ah. (lihat Al-I‟tishom 1/346-347;
2/109)
Kaidah keduapuluhsatu
Jika perbuatan maksiat dilakukan dengan cara yang spesifik (khusus) oleh para
ulama yang menjadi panutan dimana maksiat ini masyhurnya (terkenalnya) dari
mereka, sehingga orang yang mengingkari mereka tidak lagi dihiraukan (diperhatikan)
karena orang-orang awam sudah meyakini bahwa maksiat ini adalah termasuk ajaran
agama, maka hal seperti ini dikategorikan sebagai bid‟ah. (lihat Al-I‟tishom 2/94-
102).
Kaidah keduapuluhdua
Jika perbuatan maksiat dilakukan oleh orang-orang awam sehingga berkembang dan
tersebar di kalangan mereka, sementara para ulama yang menjadi panutan tidak
mengingkarinya padahal mereka mampu mengingkarinya sehingga hal itu menimbulkan
keyakinan orang-orang awam bahwa perbuatan maksiat tersebut tidak dilarang, maka
itu termasuk bid‟ah.
Kaidah keduapuluhtiga
Segala sesuatu yang terjadi/timbul akibat pelaksanaan hal-hal bid‟ah muhdatsah di
dalam agama baik berupa hal-hal yang sifatnya ibadah maupun adat, maka hal itu
dapat digolongkan sebagai bid‟ah, sebab sesuatu yang dibangun di atas muhdats
adalah muhdats pula. (lihat Al-I‟tishom 2/19).
top related