d i s k u s i k o t a k a t a - kotakata.files.wordpress.com · petarung sejati, dengan taji...
Post on 02-Mar-2019
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
Sembahyang Makan Malam
Karya Hanna Fransisca
Ayam jantan yang dikebiri, yang oleh kodrat manusia
diganti nama menjadi jam kai, kini terbaring mati.
Tubuhnya gemuk. Barangkali dulu ia adalah calon
petarung sejati, dengan taji runcing setajam pisau. Tapi
atas nama doa tulus yang kelak diucapkan pada malam
imlek, pisau taji itu ditelikung berbulan-bulan. Lalu
berakhirlah nasibnya sampai di sini: pada malam imlek
saat jasad jam kai terbaring di dasar mangkuk tembaga, —
setelah direbus dengan berbagai aroma bumbu.
“Tuhanku yang adil, kenapa hidup terasa lama sekali?”
begitulah ia, lelaki karatan itu berbisik di depan jasad
harum jam kai aroma bumbu. Dan melihat mata ayam
kebiri itu seperti melihat nasibnya sendiri. Di luar bunyi
petasan jauh berdentum dan berderai. Suara langkah-
langkah berkebat di jalan, orang-orang yang bergegas
menuju vihara, dan sesekali celetukan gong xi… gong xi…
menguar di udara. Atau anak-anak berlarian. Atau
tambur dari arak-arakan barongsai. Atau barangkali ada
juga yang buru-buru menghindar hujan lantaran
2
menganggap hujan bukan berkah,—raungan truk lewat,
anak-anak muda bersenang dengan arak setelah
sembahyang, suara angin berdesis. Kota yang penuh
berkah! Mengalirlah doa. Menguaplah ribuan dupa.
Akan tetapi yang paling jelas dari semua berkah dan doa
itu: ia kini merasa semakin tua dan karatan. Duduk di
meja makan bundar, merasa hidup telah terlewati. Di
bawah lampion, di seberang altar dengan kertas-kertas
doa dan persembahan di depan foto leluhur, di bawah
aroma hio yang ia bakar barusan. Dua piring kosong,
dengan dua pasang sumpit tertata rapi. Satu piring
kosong untuk dirinya, dan satu piring kosong untuk
istrinya yang entah di mana.
Dikepung sunyi dan beragam menu mewah yang tak
setiap orang bisa. Bayangkanlah, dulu ia adalah lelaki
perkasa, tapi jangankan jam kai yang subur dan mahal,
bahkan telur ia tak selalu sanggup membeli. Anak
gadisnya anak semata wayang—tumbuh cantik, dan selalu
ia marah pada para pemuda yang selalu melirik
kecantikan anak gadisnya dengan berahi. Ia katakan
dengan tegas, di depan Cai Shen, Dewa Pemberi Rezeki:
“Berkahi anakku dengan jodoh lelaki yang kaya!” Lalu
istrinya (yang dulu cantik dan kemudian semakin buruk
3
lantaran mulai belajar memaki), menambahkan kata:
“Dan biarkan ia dipilih lelaki kaya dari Taiwan.”
***
Ia kini duduk di meja makan bundar sebagai lelaki tua
yang karatan. Matanya berserpih bening menatap dua
piring kosong yang tertata rapi dengan sepasang sumpit
di samping. Sebuah mangkuk sup teronggok sunyi
dengan sendok bebek menghadap langit-langit rumah,
seperti memanjatkan doa: “Tuhan, ada aroma kebaikan
apakah pada orang tua yang tengah dikepung makanan
ini?”
Bertahun ia membayangkan anak gadisnya agar lekas
tumbuh dewasa. Ia iri pada kebahagiaan keluarga yang
memiliki menantu. Menantu yang kelak menghormati
martabat leluhur, yang setiap malam imlek akan
bertandang ke rumah mertua dengan membawa
seekor jam kai dan sepasang kaki babi. Adakah makanan
yang lebih mewah dari itu? Bagi doa orang miskin, jam
kai dan kaki babi adalah surga. Tentu saja, doa orang
miskin yang memiliki gadis paling cantik di kota, dengan
begitu mudah dikabulkan Cai Shen, Dewa Pemberi
Rezeki. Lalu bidadari kecilnya, malaikat yang tumbuh
dinaungi kecantikan dan kelembutan Dewi Kwam Im,
4
yang seringkali naik di punggungnya sambil menghitung-
hitung panu; tiba-tiba menjelma dewasa. Dilamar lelaki
gemuk dengan perut buncit menyimpan sejarah
kekayaan. Para tetangga, kerabat, dan saudara-saudara
berdatangan, memuji-muji jodoh itu sebagai: “Mukjizat
dari doa-doa para leluhur.” Menantu baru yang dipuji
sebagai mukjizat dari doa para leluhur, meninggalkan
kaki babi, uang-uang buat membeli daging (dan kelak
mengirimnya pada setiap malam imlek, —selama
bertahun-tahun), lalu pergi membawa bidadari cantiknya
menuju Taiwan. Tak pernah pulang, berkabar pulang,
atau pun menyebut kata “pulang” dalam surat-suratnya.
Ketika ia mulai rindu setengah putus asa lalu berdoa di
hadapan Dewa Bumi, ia mengatakan begini: “Istriku dan
aku telah menukar anak gadisku dengan kaki babi.
Apakah yang harus aku lakukan untuk menebusnya,
duhai Dewa Bumi?” Istrinya, yang belakangan mulai
gemuk lantaran kiriman-kiriman rutin setiap bulan (dan
mulai sombong dengan gelang-gelang dari menantu, lalu
belajar sedikit demi sedikit untuk mulai memaki),
mendengar doa itu. Lalu memutuskan nasibnya sendiri:
pergi menyusul anak gadisnya ke Taiwan.
Tahun berganti tahun. Dan atas pertimbangan firasat
yang makin tumpul dan dungu, ia selalu melengkapi
5
sajian meja makannya dengan ikan malas. Ikan malas
(entah atas kodrat apa dengan nama ikan malas) yang
dimasak tim ala Hongkong, untuk doa-doa ‘meminta
lebih’ pada malam imlek. ‘Xin Nian Kuai Le! Nian-nian
you yu…’ begitulah kalimat doa diucapkan dengan
menggeleng-gelengkan kepala saat tiba kata “yu” berkali-
kali. “Yu” berarti ikan dan “yu” yang ke dua berarti lebih,
menjadi mantra wajib. Maka bergeleng-gelenglah ia,
setiap tahun, bergeleng-geleng dengan cepat seperti
pemabuk yang tidak percaya mendapati dirinya tiba-tiba
kaya dengan memenangkan lotre. Semakin pedih dan
rindu kepada anak dan istrinya, semakin cepat kepalanya
bergeleng ke kiri kanan sambil melafalkan kata “yu,
yu” dengan penuh putus asa.
Doa dan mantra lewat ikan malas untuk meminta lebih.
Lebih untuk apa? Pada kelaziman yang wajar, kata
“lebih” adalah menunjuk pada rezeki, tapi ia ingin
membaliknya menjadi lebih pada nasib! Sebab ia sudah
lebih, dan bertahun menebus lebih dengan kerinduan
yang pahit. Lihatlah ia yang lebih, dengan kepungan
sembahyang makan malam di meja: Sembilan macam
menu yang terhidang di depan, dan tidak mungkin
dihabiskan sendirian.
6
Sembilan, adalah juga angka keramat yang dipercaya
membawa keabadian. Tapi benarkah ia ingin abadi?
Benarkah ia ingin abadi dengan kemewahan seperti
sekarang ini? Setiap bulan menantu lelakinya selalu
memberi lebih. Tapi setiap bulan itu pula, anak gadisnya
selalu terbayang tengah melempari wajahnya dengan kaki
babi.
***
Ia yang perkasa, istrinya yang muda, anak gadis yang
lincah dan jelita, menunggu angpao dari majikan untuk
pakaian dan sepatu baru. Dengan angpao yang tidak
seberapa, ia membeli tiga helai pakaian murah, tiga
pasang sandal jepit, dan mendayung sepeda angin
menuju warung makan. Dengan sepiring mie panjang
untuk doa panjang umur, lalu tiga butir telur rebus
untuk membayangkan aroma ayam, mereka singgah dan
berlinangan khusuk di bawah kebahagiaan atap
kelenteng kecil. Tanpa nyala lilin, tanpa minyak, tanpa
jubah Pak Kung, tanpa membakar ‘uang sembahyang
emas’ dan ‘uang sembahyang perak’. Betapa Dewa Bumi
tiba-tiba menurunkan kebahagiaan malam yang tak
pernah bisa terlupakan. Betapa Dewa Pemberi Rezeki
telah memaafkan doa-doa yang telah diucapkan: “Wahai
Engkau, Dewa Pemberi Rezeki, maafkan keluarga kami
7
tidak dapat bersujud dihadapan-Mu dengan
‘mengirimkan’ Engkau uang sembahyang, membakarkan
dupa wangi, menuangkan minyak, dan menyalakan lilin.
Sebab mana mungkin kami menyediakan semuanya,
sedangkan Engkau tak pernah memberinya?”
Nyala lilin untuk terang jalan hidup. Tapi lilin di hati,
adakah ia akan mati? Dengan aroma dupa sepanjang
kota, lampion-lampion yang menyala dari setiap beranda,
gelak tawa dan sapaan gong xi… gong xi…., suara tambur
yang bersahut-sahut lamat dan jauh, dari rumah-rumah
terang yang menyala, dari kelenteng-kelenteng yang
dilewati dengan sukacita. Sepeda angin dikayuh, sepeda
angin menuju rumah malam, menuju sembahyang
makan malam. ‘Makanlah Siau Ling, mie panjang supaya
kelak engkau berumur panjang,’ ia berdoa untuk
anaknya. “Makanlah Xie Ling, mie panjang supaya umur
kita dipanjangkan, dan kita bisa tetap bersama,” ia
berdoa untuk dirinya dan istrinya. “Kita makan telur ini
untuk kesejahteraan, dan kelak hidup yang lebih.”
Hidup yang lebih baik. Ia kini bisa membakar uang
sembahyang sebanyak yang ia inginkan. Hidup yang
lebih baik. Ia bisa berdoa di hadapan sembilan menu
untuk menyenangkan para Dewa pada malam imlek.
Hidup yang lebih baik?! Ia ingin istri dan anaknya
8
kembali berkumpul. Ia ingin waktu kembali diputar ke
masa lalu. Ia ingin mati saat ini. Ia ingin berteriak:
“Persetan kalian, semua orang di kota ini, yang telah
membujuk para ibu untuk menyerahkan anak-anak
gadisnya, pada lelaki-lelaki dari Taiwan!”
***
Chai Shen dao! Cai Shen dao! Cai Shen dao wo de jia men
kou! Lirik syair lagu yang meneriakkan bahwa
Dewa Rezeki telah datang! Dewa Rezeki telah datang!
Dewa Rezeki tiba di depan rumahmu! Alunan lagu itu
begitu manis di telinga. Kekosongan makin terasa di
antara kerlap-kerlip lampu, kehampaan seperti lampion
di depan rumahnya yang doyong ke kiri dan doyong ke
kanan. Udara berubah sangat dingin. Bunyi petasan yang
diyakini dapat mengusir roh-roh jahat, kini meletup di
dadanya seperti balon udara yang terbakar.
Tidak ada siapa-siapa di meja makan, kecuali hidangan
mewah dan dirinya yang memandang dengan sepi. Ia
tidak meneruskan makan malamnya, —begitulah yang
memang selalu ia lakukan bertahun-tahun. Ia akan
menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam,
kemudian duduk di beranda rumah. Matanya akan terus
memandang, ke jalan raya, ke kejauhan, ke batas
9
pandang sejauh ia memandang. Ia selalu berharap ada
dua perempuan berjalan ke arahnya, barangkali dua
perempuan itu turun dari langit, memeluknya erat dan
mengucapkan, “gong xi… gong xi….”
Singkawang, Februari 2010
Cerpen ini pernah diterbitkan di harian Suara Merdeka, 21 Februari 2010. Disalin dari http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/ entertainmen/2010/02/25/1708/Sembahyang-Makan-Malam.
10
Imlek yang Terbalik
Oleh Andika Fahrizal
Pembaca awam seperti saya sebenarnya bingung ketika
disuguhkan cerpen “Sembahyang Makan Malam” karya
Hanna Fransisca. Apalagi saya tidak mengerti sama sekali
tentang kebudayaan Cina. Namun, saya melakukan
sedikit riset tentang budaya Cina untuk lebih memahami
cerpen ini. Jika kita baca cerpen nya tadi, tokoh ayah ini
sepertinya menyesali permintaannya pada dewa untuk
memiliki seorang menantu yang kaya raya. Setelah
dikabulkan permintaannya, si ayah justru merasa
kesepian setelah anak nya yang cantik seperti Dewi
Kwam Im itu pergi bersama suaminya ke Taiwan.
Kemudian istrinya pun pergi entah ke mana. Tinggallah
ia sendiri pada malam imlek yang “meriah” dikelilingi
makanan mewah dan tanpa menyalakan petasan. Hal ini
menunjukkan bahwa yang dialami sang ayah pada
malam imlek berbeda dengan malam imlek orang
kebanyakan.
Ada berapa tradisi yang saya temukan pada malam imlek.
Pertama, menyalakan petasan; kedua, mengunjungi
orang tua; ketiga, makan malam bersama keluarga.
11
Makanan makanan yang disajikan pada malam imlek
biasaya adalah babi, ikan, dan ayam. Orang Cina
memakan hewan ini dengan tujuan agar terhindar dari
sifat hewan-hewan tersebut. Babi melambangkan hewan
yang malas, ikan dilambangkan jahat karena sisiknya
seperti ular. Tetapi pada cerpen ini sang ayah justru
melakukan tradisi yang berkebalikan dari tiga tradisi di
atas.
Sebagai keturunan Cina, Hanna Fransisca pasti paham
tentang tradisi dan budayanya. Tidak perlu melakukan
riset terlebih dahulu seperti yang saya lakukan di atas.
Tetapi penulis cerpen ini menceritakan sebuah malam
imlek yang sedih bukan bahagia. Maka timbul
pertanyaan saya, apakah penulis sengaja memancing
pembaca untuk tahu tentang kebudayaannya dengan
membuat cerpen seperti ini?
12
Doa yang Disesalkan
Oleh Tosan Aji Prakoso
Di awal cerpen digambarkan ayam jantan sebagai
hidangan ayam jantan sembahyang. Dulunya, ayam
tersebut memliki kehidupan yang sempurna sebagai
seekor ayam, lalu di akhir hayatnya menjadi hidangan
mewah yang bergelimangan bumbu-bumbu. Seandainya
si ayam bisa berpikir, inikah yang dia inginkan?
Setelah kita simak keseluruhan cerpen, tidakkah kita
menerka, si ayam pada awal cerita ini memiliki kesamaan
nasib seperti tokoh utama dalam cerpen? Biarpun hanya
sebagai hidangan, adakah hubungan lebih lanjut ayam
ini terhadap ide cerita? Atau bisa jadi, dari ayam lah
pencetus ide cerpen?
Dalam cerpen “Sembahyang Makan Malam” ini nuansa
chinese dan agama Buddha dituliskan dengan intensitas
tinggi. Memang setting suasana tidak ditekankan di sini
sebab setting tempat tidak disebutkan tersurat, berada di
lokasi antah berantah di luar Taiwan. Namun
seandainya boleh menebak, setting sepertinya berada di
Singkawang, dimana cerpen ini ditulis.
13
Tradisi dan budaya yang digambarkan dalam cerpen ini
mengizinkan kita mengingat-ingat kembali bagaimana
manusia hidup bersama harapan dan doa-doa. Setiap
umat beragama tentu memenuhi geraknya dengan
harapan dan doa lewat caranya masing-masing. Dalam
cerpen ini hal tersebut muncul secara unik dan khas.
Sebagai contoh, permintaan lelaki dengan lantang
kepada Dewa Pemberi Rezeki agar anaknya dijodohkan
dengan lelaki kaya. Keinginan yang sungguh-sungguh
tampak boleh dikatakan dengan yakin dan tegas, seolah
menerima apa pun konsekuensinya. Lalu doa dan
mantra lewat ikan malas, jumlah hidangan yang
berjumlah sembilan dipercaya membawa keabadian, mie
panjang untuk doa panjang umur, membakar uang
sembahyang, dan sebagainya, merupakan contoh
bagaimana manusia berharap dan berdoa demi
keinginannya.
Kemudian, permintaan tokoh lelaki pada Dewa Pemberi
Rezeki dikabulkan. Bagai mukjizat, seorang lelaki kaya
dari Taiwan (persis seperti permintaan istri si lelaki)
datang meminang anak mereka. Anak mereka yang
cantik itu dibawa ke Taiwan, dan orang tuanya yang
ditinggal dijanjikan uang-uang, kaki babi, begitu
seterusnya akan selalu dikirimkan. Namun sayang sekali,
14
bukan kesenangan yang didapat seperti yang diharapkan,
namun kerinduan. Lalu beban itu bertambah lagi ketika
istri Lelaki menyusul anak gadisnya ke Taiwan.
Demikian tahun berganti tahun, sampai sampai lelaki
tak lagi tahu bagaimana cara berdoa dan berharap. Lelaki
menggunakan doa meminta rezeki, meskipun yang ia
inginkan sebetulnya nasib baik, karena rezeki baik sudah
berhamburan di hadapannya. Salah satu hikmah yang
bisa kita ambil adalah, sudah benarkah apa yang kita
harap? Apa yang kita harapkan dalam segala gerak kita
pada umumnya, dan doa pada khususnya?
Usaha untuk menggambarkan seseorang yang bernasib
sama seperti ayam hidangan saya kira adalah gagasan
utamanya. Namun darimana kah kiranya ide tersebut
berawal? Dari ayam hidangan kah? Tokoh nyata kah?
Atau berangkat dari lingkungan yang begitu gigih
mengharapkan sesuatu yang duniawi?
Sering terdengar, ide bisa datang dari mana saja. Itu
benar, apabila kita bersedia memanfaatkan ide tersebut
untuk menulis tentang apa saja. Bila tidak, ide biasanya
muncul dari topik yang sudah kita kuasai, atau dengan
kata lain, informasi tentang suatu topik sudah banyak
kita miliki. Tidak memiliki informasi yang cukup, bisa
dilanjutkan dengan riset.
15
Ide muncul dari kepekaan penulis. Penulis biasanya
menyadari hal menarik yang orang awam seringkali tidak
pedulikan. Apa yang menarik dari orang tua kesepian
yang duduk di beranda rumah dan merokok? Apa
menariknya ayam hidangan ini? Atau tidakkah orang-
orang tampak terlalu ngotot dengan keinginannya
kepada Tuhan?
Dengan hal biasa seperti itu, ide bisa didapatkan.
Ungkapkan alternatif kenyataan dan pertanyaan menarik
untuk hal biasa. Misalnya pertanyaan seperti, orang tua
kesepian ini bergelimangan harta, mengapa tidak
bahagia? Adakah hal yang lebih diinginkannya? Ayam ini
begitu berisi, apa ayam ini jagoan di masa hidupnya? Jika
iya dan akhirnya hanya jadi hidangan, adakah manusia
yang bernasib serupa seperti ayam ini? Orang yang
ngotot dengan keinginannya ini, bagaimana jika Dewa
mengabulkannya? Apa hidupnya berubah jadi lebih baik,
atau kah buruk? Jika buruk, menyesalkah dia dengan
permohonannya?
top related