bab ii undang-undang dasar 1945 sebagai supreme …...menurut hans nawiasky, ialah norma yang...
Post on 06-Nov-2020
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
UNDANG-UNDANG DASAR 1945 SEBAGAI SUPREME LAW DI
INDONESIA
Sebelum melangkah ke dalam analisis mengenai Constitutional Review oleh MA
melalui kasus konkrit, adalah penting kiranya menurut penulis untuk terlebih dahulu
memberikan pemahaman mengenai „UUD 1945 sebagai Supreme Law di Indonesia‟,
sebagai dasar pijakan dalam mendukung analisis tersebut yang akan dibahas pada bab
berikutnya.
Adapun metode yang diambil dalam penulisan bab ini ialah menggunakan
pendekatan konseptual sehingga dengan demikian, pemahaman, prinsip serta asas
Supreme Law adalah fokus utama penulis dalam memberikan pengertian atau
pemahaman bahwa UUD 1945 merupakan Supreme Law di Indonesia, sehingga pada
hakikatnya, merupakan kewajiban untuk seluruh lembaga negara di Indonesia
mematuhi UUD 1945 dan tidak ada peraturan yang akan bertentangan dengan UUD
1945 itu sendiri.
Oleh karena itu, untuk tercapainya tujuan penulisan pada Bab ini, maka
sistematika pembahasan disusun sebagai berikut. Pertama, akan membahas mengenai
konstitusi sebagai Supreme Law; Kedua, akan membahas UUD 1945 sebagai dasar
bernegara di Indonesia.
A. Konstitusi sebagai Supreme Law.
Sebelum mengetahui bagaimana suatu konstitusi dikatakan Supreme Law,
baiknya terlebih dahulu kita mengetahui apa makna dan arti dari Supreme Law itu
sendiri. Kata Supreme Law sendiri terdiri dari 2 suku kata yaitu “Supreme” dan
“Law”, makna dari kata “Supreme” itu sendiri menurut West‟s Legal Thesaurus
Dictionary merupakan kata sifat, Superior to all other things. see predominant,
primary, best1, yang berarti sesuatu yang bersifat terutama, paling berkuasa, dasar,
pokok, dan paling unggul dari semua hal lainnya.
Sementara itu “Law” sendiri secara gramatikal biasa kita mengartikan sebagai
hukum secara luas, namun menurut Oxford Dictionary Of Law, ”Law” memiliki arti
the enforceable body of rules that govern any society2, tetapi West‟s Legal Thesaurus
Dictionary juga memiliki arti sendiri yaitu a rule of action or conduct prescribed by a
controlling authority and having binding force; that which must be obeyed3, pada
dasarnya kedua arti diatas mengatakan “Law” adalah suatu aturan yang mengatur
tingkah laku masyarakat yang bersifat mengikat dan harus dipatuhi. Menurut
Soedjono Dirdjosisworo sendiri “Law” memiliki makna suatu sistem kaidah, sistem
yang merupakan suatu pemikiran bulat yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
1 William Statsky, “West‟s LEGAL Thesaurus Dictionary”, West Publishing, United States, 1996, Hal.
731. 2 “Oxford Dictionary Of Law”, Oxford University Press, New York, 1997, Hal. 259.
3 William Statsky, Op.Cit, Hal. 449.
berhubungan, dan kaidah adalah ketentuan tentang baik buruk perilaku manusia di
tengah pergaulan hidup, dengan menentukan perangkat-perangkat aturan yang
bersifat perintah dan anjuran serta larangan-larangan, jadi bisa disimpulkan “Law”
merupakan suatu kumpulan kaidah yang mengatur tingkah laku manusia dalam
pergaulan di hidupnya yang dimana diantara kaidah-kaidah tersebut saling
berhubungan4.
Sedangkan menurut para ahli, norma tertinggi atau Supreme Law menurut Hans
Nawiasky, ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau
Undang-Undang Dasar dari suatu negara, termasuk norma pengubahannya5.
Jadi bisa disimpulkan “Supreme Law” memiliki arti hukum atau aturan tertinggi,
yang paling dasar, pokok dan bersifat mengikat secara menyeluruh serta paling
unggul dari aturan lainnya, atau lebih sederhananya hukum atau norma atau aturan
tertinggi di suatu negara.
Kedudukan Supreme Law di suatu negara menurut Hans Nawiasky merupakan
sebuah norma tertinggi di suatu negara, atau disebut norma fundamental negara
(Staatsfundamentalnorm), ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan
konstitusi atau Undang-Undang Dasar dari suatu negara, termasuk norma
pengubahnya. Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi
berlakunya suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Selain hal itu norma dasar
4 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, Hal.36-37.
5 Farida Maria Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, Hal. 46.
sebagaimana yang disebutkan bersifat „pre-supposed‟ dan tidak dapat ditelusuri lebih
lanjut dasar berlakunya, sehingga kita perlu menerimanya sebagai sesuatu yang tidak
dapat diperdebatkan lagi, ini diperlakukan untuk tidak menggoyahkan lapis-lapis
bangunan tata hukum yang pada akhirnya menggantungkan atau mendasarkan diri
kepadanya. Di dalam suatu negara norma dasar ini disebut juga
Staatsfundamentalnorm. Staatsfundamentalnorm suatu negara merupakan landasan
dasar filosofisnya yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara
lebih lanjut6.
Jika berangkat dari teori Hans Kelsen serta pendapat dari Jimly Asshiddiqie
maka, makna dari Supreme Law ialah aturan tersebut merupakan aturan fundamental
di suatu negara, kaidah dasar dari suatu tata hukum nasional, aturan yang yang
merupakan norma tertinggi dalam suatu negara ini adalah norma yang tidak dibentuk
oleh suatu norma yang lebih tinggi tetapi pre-supposed atau ditetapkan terlebih
dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan suatu norma yang
menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum dibawahnya lalu berisi asas-asas
hukum bersifat abstrak, bersifat umum.
Adolf Merkl juga berpendapat mengenai kedudukan Supreme Law di suatu
negara sangat mempengaruhi peraturan-peraturan dibawahnya, karena ia menyatakan
bahwa norma hukum itu mempunyai masa berlalu yang relatif sebab masa berlalunya
tergantung pada norma hukum diatasnya, apabila norma hukum yang berada
6 Ibid, Hal.46-47.
diatasnya dicabut atau dihapus maka norma hukum yang berada di bawahnya tercabut
atau terhapus pula7.
Lalu ada teori yang mengatakan tatanan hukum bukanlah sebuah sistem norma
terkoordinir yang berkedudukan sama, melainkan sebuah hierarki norma hukum
dengan berbagai jenjang. Kesatuannya diwujudkan oleh kaitan yang tercipta dari
fakta bahwa keabsahan suatu norma, yang diciptakan sesuai dengan norma lain,
bersandar pada norma yang lain itu, yang penciptaannya pada gilirannya ditentukan
oleh norma yang ketiga. Ini merupakan regresi yang pada akhirnya berujung pada
norma dasar yang diandaikan keberadaannya. Karena itu, norma dasar ini merupakan
alasan tertinggi bagi keabsahan norma, norma yang satu diciptakan sesuai dengan
yang lain, dan demikian terbentuklah sebuah tatanan hukum dalam struktur
hierarkisnya8.
Supreme Law, sebagai norma tertinggi di suatu negara dapat menentukan
penciptaan suatu norma yang lebih rendah dan dapat menentukan muatan dari norma
lebih rendah tersebut, norma tertinggi di suatu negara pun mempunyai kedudukan
untuk menentukan organ, yakni individunya, siapa yang harus menciptakan norma
yang lebih rendah, sebab sebuah norma yang penciptaannya tidak ditetapkan oleh
norma yang lebih tinggi tidak bisa dianggap sebagai norma yang diciptakan dalam
tatanan hukum dan tidak bisa menjadi bagian darinya, dan seorang individu tidak bisa
7 Tanto Lailam, Teori & Hukum Perundang-Undangan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2017, Hal. 13.
8 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Terj. Raisul Muttaqien, (Bandung: Nusa Media, 2008), hal. 259.
dianggap sebagai sebuah organ komunitas hukum (fungsinya tidak bisa diatributkan
kepada masyarakat), kecuali bila ia telah ditunjuk oleh sebuah norma dari tatanan
hukum, yakni kecuali jika dia telah diberi wewenang oleh norma yang lebih tinggi itu
untuk menjalankan fungsinya9.
Pada dasarnya ada 2 bentuk Supreme Law, atau hukum tertinggi yang diterapkan
di berbagai negara, menurut Hans Nawiasky, pertama ada Staatsfundamentalnorm
adalah landasan dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi
pengaturan negara lebih lanjut, tidak tertulis, dan merupakan pemikiran ideologis
suatu negara, berisi cita-cita suatu negara ke depannya. Yang kedua merupakan
Staatsgrundgesetz, atau norma dasar negara, adalah aturan aturan yang masih bersifat
pokok dan merupakan aturan aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga
merupakan norma hukum tunggal, menurut Hans Nawiasky, merupakan suatu aturan
dasar negara dapat dituangkan dalam dokumen negara10
, atau biasa kita kenal dengan
nama konstitusi.
Konstitusi merupakan peraturan yang biasa disandingkan dengan Supreme Law
atau aturan tertinggi, biasa disandingkan dengan Supreme Law, karena konstitusi
berkedudukan sebagai hukum dasar negara (staatsgrundgesetz) yang dijadikan
pegangan dalam penyelenggaraan negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar
tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis11
,
9 Ibid.
10 Farida Maria Indrati, Op.Cit, Hal. 48.
11 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.78
karena merupakan hukum tertinggi di suatu negara maka akan mengikat ke negara
tersebut dan sudah sewajibnya lembaga lembaga negara di dalamnya serta
masyarakat berlaku dan menjalankan sesuai yang diatur dalam konstitusinya.
Konstitusi juga mengatur penciptaan norma-norma umum (peraturan perundang-
undangan) juga dapat menentukan isi dari peraturan perundang-undangan mendatang
konstitusi positif sering melakukan hal ini dengan memasukan atau mencabut muatan
tertentu12
. Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi
serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber
legitimasi atau landasan otorisasi bentuk bentuk hukum atau peraturan perundang-
undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, agar
peraturan-peraturan yang berlaku tingkatannya berada di bawah Undang-Undang
Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. Atas dasar logika demikian
itulah, Supreme Court AS menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk
menafsirkan dan menguji materi peraturan produk legislatif (judicial review) terhadap
materi konstitusi, meskipun konstitusi AS tidak secara eksplisit memberikan
kewenangan demikian kepada Supreme Court13
.
12
Hans Kelsen, Op.Cit, hal. 246. 13 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, Hal. 19
Kedudukan konstitusi dicermati dari hierarki norma, dapat dirujuk pendapat
Hans Nawiasky, ajarannya mengenai “Die Theorue vom stufenaufbau” dalam
bukunya, ada 4 tingkatan norma hukum, yaitu:
a. Staatsfundamentalnorm (Pokok-pokok kaidah fundamental negara atau norma
dasar negara);
b. Staatsgrundgesetz (norma konstitusi);
c. Formellgesetz (norma undang-undang);
d. Verodnung dan autonomie satzungen (aturan pelaksanaan atau aturan
otonom).
Berdasarkan pandangan itu, jelas konstitusi kedudukannya merupakan ”norma
tingkatan kedua “ di bawah “pokok-pokok kaidah fundamental negara”, karena itu
ketentuan pasal-pasal dalam UUD 1945 tentu tidak boleh bertentangan demgan
“pokok-pokok kaidah fundamental negara”14
. Kemudian karena UUD 1945 termasuk
dalam kelompok Staatsgrundgesetz, sedangkan peraturan perundang-undangan
dibawah UUD 1945 termasuk kelompok Formellgesetz yang posisi hirarkinya
dibawah Staatsgrundgesetz, maka tidak boleh ada peraturan perundang-undangan
dibawah UUD 1945 bertentangan dengan UUD 1945.
Kedudukan Konstitusi sebagai Supreme Law, aturan tertinggi di suatu negara
dijelaskan kembali oleh Thomas Paine yaitu “a constitution is not the act of a
government, but of a people constituting a government, and a government without a
constitution is power without right”, yang pada intinya ingin mengatakan konstitusi
bukan tindakan dari pemerintah, tetapi dari orang-orang yang membentuk
14
Dewa Gede Atmaja, Hukum Konstitusi,Setara Press, Malang, 2010, Hal. 65.
pemerintahan, sedangkan pemerintahan tanpa konstitusi adalah kekuatan tanpa hak,
lalu diperjelas lagi “a constitution is a thing antecedent to a government, and a
government is only is only the creature of a constitution”, yang sama pada intinya
mengatakan bahwa konstitusi mendahului pemerintah, pemerintahlah yang diatur
oleh konstitusi, tidak sebaliknya15
.
Kemudian dalam materi muatan konstitusi, yang dianggap sebagai Supreme Law,
atau aturan tertinggi, memiliki materi muatan yang berbeda dengan peraturan
perundang-undangan lainnya. menurut Steenbeek bahwa ada tiga hal pokok yang
menjadi materi muatan konstitusi, yaitu;
a. Adanya jaminan terhadap hak hak asasi manusia dan warga negara;
b. Diterapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental;
c. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat
fundamental16
;
Berbeda lagi pendapat mengenai materi muatan sebuah konstitusi, Ernest A
Young berpendapat bahwa konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara harus
memperkuat pengaturan hukum tertentu terhadap perubahan, Di AS, sebaliknya
kesulitan mengubah konstitusi kanonis menetapkan hukum pengaturan yang dibuat
oleh dokumen itu sangat berbeda dari yang lain pengaturan, yang dapat diubah
dengan cara "biasa", lalu Ernest A Young juga berpendapat penguatan hukum
15
Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, Hal. 7 16
Dewa Gede Atmaja, Hukum Konstitusi,Setara Press, Malang, 2010, Hal.69
terhadap perubahan itu dilakukan karena konstitusi tidak dapat diubah oleh politik
biasa, karena dianggap sebagai warisan abadi dari nenek moyang kita17
Konstitusi yang merupakan salah satu bentuk dari Supreme Law, yang
merupakan aturan tertinggi di berbagai negara, menurut C.F Strong merumuskan
pengertian konstitusi memuat prinsip prinsip pengaturan kekuasaan, yaitu kekuasaan
pemerintah, hak-hak yang diperintah, dan hubungan antara keduanya. Menurut Jimly
Asshiddiqie, ciri atau karakteristik terpenting dan tugas utama dari konstitusi di suatu
negara merupakan pengaturan dan pembatasan kekuasaan, sehingga kemungkinan
kesewenang-wenangan kekuasaan dapat dikendalikan dan diminimalkan18
. Menurut
Wirjono Prodjodikoro, berpendapat mengapa konstitusi merupakan hukum tertinggi
dan dasar, “Supreme Law Of The Land” karena konstitusi sendiri memiliki pengertian
“Constituer” yang berarti membentuk, jadi konstitusi mengandung arti pembentukan,
dalam hal ini yang dibentuk adalah suatu negara, maka konstitusi mengandung
permulaan dari segala macam peraturan pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk
menegakan bangunan besar yang bernama negara19
.
Teori Kelsen menjelaskan juga perbedaan konsep konstitusi formal dan
konstitusi material, menurut kelsen konstitusi menjadi dua arti yakni arti formal dan
arti material. Konstutusi dalam arti formal adalah suatu dokumen resmi, seperangkat
norma hukum yang dapat dirubah hanya di bawah pengawasan ketentuan-ketentuan
17
Ernest Young, “The Constitution Outside The Constitution”, Yale Law Journal 408, 2007, Hal. 426. 18
C. Anwar, Teori dan Hukum Konstitusi, Intrans Publishing, Malang, 2011, Hal. 20 19
Rukmana Amanwinata, “Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan
Berkumpul dalam Pasal 28 UUD 1945”, Disertasi, Universitas Padjajaran, Bandung 1996, hlm 48.
khusus yang tujuannya untuk mebuat perubahan-perubahan itu lebih sulit. Konstitusi
dalam arti material terdiri atas peraturan-peraturan yang mengatur pembentukan
norma-norma yang bersifat umum, khususnya pembentukan undang-undang. Dalam
proses diskursus hukum tata negara yang lazim di Amerika Serikat, proses
formalisasi konstitusi dikonsepsikan dengan entrenchment. Yang dimaksud dengan
entrenchment adalah to entrench certain legal arrangements against change. Hal ini
berarti, dengan entrenchment, untuk mengubah konstitusi tidak dapat dilakukan
dengan mekanisme atau prosedur biasa seperti layaknya pada legislasi atau undang-
undang biasa, tetapi harus berdasarkan ketentuan tentang perubahan konstitusi yang
dimuat di dalam konstitusi sendiri, dengan syarat syarat atau kriteria perubahan
khusus. Entrenchment hanya dimungkinkan jika bentuk konstitusi tersebut adalah
undang-undang dasar (UUD)20
Dengan demikian, mengapa konstitusi biasa disejajarkan dengan Supreme Law,
atau aturan tertinggi di suatu negara, selain merupakan aturan dasar bernegara, dan
memiliki materi muatan yang berisi norma fundamental negara, konstitusi merupakan
sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan
perundang-undangan lainnya kemudian, UUD 1945 yang adalah konstitusi Indonesia
merupakan salah satu konstitusi formal karena itu UUD 1945 merupakan Supreme
Law dan menjadi dasar untuk bernegara.
20
Titon Slamet Kurnia, Op.Cit, Hal.13-14.
B. UUD 1945 sebagai Dasar Bernegara di Indonesia
Indonesia sendiri memiliki konstitusi yang telah melalui proses formalisasi,
sehingga sekarang memiliki UUD 1945, yang dimana UUD 1945 merupakan aturan
dasar, tertinggi di Indonesia, dan merupakan salah satu contoh konstitusi formal.
Dalam tonggak sejarah bangsa Indonesia, pada saat proklamasi kemerdekaan
Indonesia diucapkan oleh Bung Karno atas nama rakyat di pegangsaan timur 56 pada
tanggal 17 agustus 1945 pukul 10 pagi, atas kemerdekaan yang telah di proklamirkan,
maka disusun dan ditetapkanlah kemerdekaan itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia dalam rapat tanggal 18 dan 19 agustus, jadi sehari sesudah saat
proklamasi UUD 1945 benar-benar disusun atas kemerdekaan yang berdaulat. Pada
tanggal 19 agustus disidang penutup konstitusi pertama mulai dijalankan, dengan
memilih Bung Karno sebagai Presiden dan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden,
kedua-duanya menurut UUD 1945 yang telah disahkan. Istilah hukum Undang-
Undang Dasar pertama kalinya dipakai dengan resmi dalam bahasa Indonesia dalam
konstitusi Republik Indonesia. Adapun dasar-dasar hukum Republik Indonesia
menurut UUD 1945 memang sesuai dengan syarat syarat keperibadian dan peradaban
bangsa Indonesia dan Pola ketatanegaraan Republik Indonesia disusun menurut dasar,
syarat-syarat dan filsafah negara seperti dirumuskan dalam UUD, dalam naskah
persiapan UUD 1945 juga telah menetapkan bahwa UUD 1945 jadi Undang-Undang
Dasar tetap bagi Negara Republik Indonesia.21
UUD 1945 adalah asas-asas dasar dan aturan hukum mengenai bangunan negara,
semua asas-asas dasar, asas-asas hukum, aturan-aturan dasar, dan norma hukum yang
memberikan bentuk kepada pemerintahan negara untuk mengatur hubungan antara
negara dan warga negara dan yang mengakui beberapa hak dasar warga negara22
.
Dalam UUD 1945 telah terjadi Konstituering atau penuangan Pancasila sebagai
groundnorm ke dalam UUD 1945 secara konstitusional. Proses ini menjadikan
Pancasila berkedudukan sebagai sumber hukum negara Republik Indonesia.
Walaupun nama Pancasila tidak tercantum dalam Pembukaan dan Batang Tubuh
UUD 1945, akan tetapi sudah merupakan pendapat umum atau “doktrin umum”
bahwa dasar negara yang lima sila itu adalah Pancasila, dan bahwa pancasila itu juga
ideologi nasional bangsa dan negara Indonesia. Pendapat demikian menunjukan
bahwa Pembukaan UUD 1945, normanya berkedudukan sebagai “pokok-pokok
kaidah fundamental negara”, “groundnorm” atau norma dasar sedangkan “Batang
Tubuh UUD 1945” (pasal – pasal) berkedudukan sebagai norma “grundgestz” atau
“norma konstitusi”23
.
21
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid ke 2, Hal 15-17. 22
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hal.113 23
Ibid, Hal. 68
Materi muatan UUD 1945 juga tidak boleh bertentangan dengan Pembukaan
UUD 1945 yang intinya mengandung nilai-nilai Pancasila. Konsekuensinya
Pembukaan UUD 1945 dapat dijadikan dasar evaluasi dalam Judicial Review atas
materi muatan undang-undang24
. Namun begitu pula peraturan di bawah UUD 1945
karena telah terjadi Konstituering dalam UUD 1945 tersebut, maka sudah sewajarnya
tidak ada peraturan di bawah UUD 1945 bertentangan dengan UUD 1945.
Karena konstitusi itu sendiri merupakan hukum yang dianggap paling tinggi
tingkatannya, tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk mencapai dan
mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap tertinggi itu adalah: (i)
keadilan; (ii) ketertiban; dan (iii) perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan
atau kebebasan dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama, sebagaimana
dirumuskan sebagai tujuan bernegara oleh para pendiri negara (the founding fathers
and mothers). Seperti yang termaktub dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945
mengenai tujuan bernegara Indonesia. Keempat tujuan itu adalah: (i) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia; (ii) memajukan kesejahteraan
umum; (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban
dunia (berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial)25
. Jadi
sudah jelas bahwa dalam UUD 1945 sudah tercantum tujuan negara Indonesia, maka
24
Dewa Gede Atmaja, Op.Cit, Hal.69 25
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, Hal.
119.
dari itu sesudah kewajiban seluruh lembaga negara turut andil dalam mewujudkan
tujuan negara itu pula.
UUD 1945, sebagai dasar bernegara di Indonesia, dianggap sebagai konstitusi
atau aturan tertinggi di Indonesia, jika di kaitkan dengan teori-teori di atas bahwa
sebagai konstitusi dalam poin a dinyatakan “Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia dan warga negara”, dalam Pasal 28A-J UUD 1945, telah dinyatakan jelas
mengenai hak asasi manusia dari hak untuk hidup dan mempertahankan
kehidupannya, membentuk keluarga hingga pengakuan atas hak kebebasan orang
lain, lalu di poin b “Diterapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental”, dalam bab-bab di UUD 1945 telah menyusun susunan ketatanegaraan
dari bentuk dan kedaulatan hingga lembaga-lembaga yang ada di negara Indonesia
secara jelas, seperti pada Bab III UUD 1945 ialah mengenai kekuasan pemerintahan
negara, di Pasal 4 ayat 1 jelas mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan, lalu di ayat 2 dalam melakukan kewajibannya
Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden, bisa kita ambil kesimpulan bahwa
UUD 1945 telah mengatur susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental, dengan
mengatur siapa pemegang kekuasaan pemerintahan di negara Indonesia.
Kemudian di poin terakhir, aturan yang dianggap tertinggi dan menjadi dasar
negara harus memuat “Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang
bersifat fundamental”, contoh dalam UUD 1945 Pasal 22C dan D mengatur mengenai
tugas dan batasan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di Pasal 22D Ayat (1)
menyatakan DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemerkaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam serta sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang no. 11 tahun 2011 mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan, jelas menyebutkan bahwa UUD 1945 merupakan
hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan, dengan demikian dapat
membuktikan UUD 1945 merupakan sumber, sebuah dasar peraturan bagi peraturan
peraturan yang lain dalam negara Indonesia. Hirarki peraturan perundang-undangan
dalam pasal 7 menyebutkan:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi;
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
Dari susunan hirarki diatas, posisi UUD 1945 diatas peraturan perundang
undangan yang lain, dengan begitu bisa dikatakan bahwa peraturan perundang-
undangan yang lain tidak bisa bertentangan dengan UUD 1945 yang merupakan
peraturan tertinggi di Indonesia. Karena demikian apabila ada peraturan perundang-
undangan yang bertentangan dengan UUD 1945 itu sendiri, untuk menegakkan UUD
1945 sebagai konstitusi di Indonesia dapat dilakukan pengujian konstitusional undang
undang (constitutional review), atau pengujian peraturan perundang-undangan
terhadap UUD 1945. UUD 1945 sendiri telah membagi kewenangan menguji
peraturan perundang-undangan Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 mengatur kewenangan
MA yaitu melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah Undang-
Undang, terhadap Undang-Undang,
Sedangkan di Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 mengatur kewenangan MK yaitu
melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Tidak hanya
itu saja, UUD 1945 sendiri pun telah mengatur dasar-dasar amandemen UUD itu
sendiri tidak diatur dengan peraturan lebih tinggi lagi, dari siapa yang menguji hingga
apa yang tidak boleh diubah, seperti pada Pasal 5 di Bab XVI mengenai perubahan
Undang-Undang Dasar, khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
C. Prinsip Departementalisme pada UUD 1945
UUD 1945 yang merupakan Supreme Law Of the Land, membuat setiap lembaga
negara mempunyai kewenangan untuk menafsirkan konstitusi atau mengesampingkan
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi dalam rangka
menjunjung supremasi konstitusi, karena demikian, demi menjunjung asas supremasi
konstitusi tersebut, dikenal lah sebuah prinsip yaitu prinsip Departementalisme.
Prinsip departementalisme merupakan prinsip yang memberikan tiga cabang
pemerintahan memiliki otoritas independen untuk menafsirkan Konstitusi26
, lalu ada
pengertian lain bahwa departementalisme merupakan sebuah prinsip bahwa setiap
cabang atau departemen pemerintah harus menafsirkan konstitusi itu sendiri, tanpa
interpretasi cabang lain yang mengikat, karena konstitusi merupakan hukum tertinggi
dan berisi aspirasi dari seluruh rakyat, maka orang-orang dari suatu pemerintahan
wajib mengambil “kontrol aktif dan berkelanjutan atas interpretasi dan penegakan
hukum konstitusional"27
. Prinsip departementalisme bertitik berat pada konstitusi
yang merupakan hukum tertinggi, wajib untuk diterapkan, dan menjadi acuan dalam
menegakkan hukum. Karena konstitusi merupakan hukum tertinggi, setiap cabang
kekuasaan wajib menginterpretasi konstitusi dalam rangka menjunjung supremasi
konstitusi, mengaitkan semua Undang-Undang kepada konstitusi, menjamin
konstitusi berjalan dengan baik.
Prinsip departementalisme menghendaki setiap hakim serta lembaga-lembaga
lain untuk tidak menjadi corong Undang-Undang semata, tidak hanya menelan bulat-
bulat kata-kata dari Undang-Undang, melainkan mencari hukum sampai ke dasar,
yang dimana hukum dasar tersebut terdapat pada konstitusi28
. Dalam prinsip
26
Richard Junior, “Judicial Supremacy, Departementalism, and the Rule Of Law in a Populist Age”,
Texas Law Review. Vol 96. Issue 3, Oktober 2004, Hal. 1031. 27
Ibid, Hal. 1032. 28
Titon Slamet Kurnia, “Peradilan Konstitusional Oleh Mahkamah Agung Melalui Kasus Konkret”,
Jurnal Konstitusi, Volume 16, Nomor 1, Maret 2019, Hal 63.
departementalisme tidak dianutnya suatu lembaga sebagai penafsir tunggal konstitusi,
semua lembaga pemerintahan dapat menafsirkan konstitusi29
.
Jadi dalam menjunjung supremasi konstitusi, dalam UUD 1945 menganut prinsip
departementalisme, yang memungkinkan setiap lembaga negara menafsirkan
konstitusi, dengan mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan konstitusi, dalam prinsip departementalisme ini tidak
dikehendaki pandangan “hanya ada satu lembaga tunggal dalam menafsirkan
konstitusi” namun setiap lembaga pemerintahan mempunyai kewenangan
menafsirkan konstitusi dan asas praduga konstitusional seyogianya tidak berlaku bagi
MA.
29
Radian Salman, “JUDICIAL ACTIVISM OR SELF-RESTRAINT: SOME INSIGHT INTO THE
INDONESIAN CONSTITUTIONAL COURT”, Yuridika, Volume 33 No. 1, Januari 2018, Hal 20
top related