bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum mengenai …eprints.umm.ac.id/39944/3/bab ii.pdf · b)...
Post on 11-May-2019
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
1. Dasar Hukum dan Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta
Tanah mengalami perubahan sehingga menjadi Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2016 dan sebagai ketentuan pelaksanaannya terdapat dalam
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat
Pembuat Akta Tanah diundangkan pada tanggal 5 Maret 1998, dibuat dengan
pertimbangan untuk menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah didalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria
dengan memerintahkan kepada Pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran
tanah. Dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut didalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
telah menetapkan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah diberikan
kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu
22
mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang akan
dijadikan dasar pendaftaran.
Selanjutnya diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2016 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah pada tanggal 22 Juni
2016, dibuat dengan pertimbangan untuk meningkatkan peranan Pejabat
Pembuat Akta Tanah serta untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat atas pendaftaran tanah, maka perlu melakukan perubahan
terhadap beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Perubahan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
dilakukan karena peraturan sebelumnya tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman sedangkan kehidupan berbangsa dan bernegara
semakin maju. Sehingga dengan majunya zaman, diperlukan adanya
perubahan dalam peraturan perundang-undangan untuk dapat meng-cover
kehidupan berbangsa dan berbangsa.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37
Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah, diundangkan
pada tanggal 16 Mei 2006 sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
23
Menurut Budi Harsono, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 Pasal 1 angka 1 disebutkan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai hak atas tanah atau
hak milik atas satuan rumah susun, dan akta pemberian kuasa untuk
membebankan Hak Tanggungan. Pejabat umum adalah orang yang diangkat
oleh instansi yang berwenang dengan tugas melayani masyarakat umum di
bidang atau kegiatan tertentu.20
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa,
“PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.”
Hak atas tanah merupakan wewenang yang diberikan kepada
pemegangnya untuk mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah
yang menjadi haknya. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada pemegang
hak atas tanah diberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang diatasnya
sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum
lain yang lebih tinggi.21
20 Boedi Harsono. 2003. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Cetakan Kesembilan. Jakarta. Penerbit Djambatan. Hal 72. 21 Jayadi Setiabudi. 2015. Pedoman Pengurusan Surat Tanah & Rumah Beserta
Perizinannya. Yogyakarta. Penerbit Buku Pintar. Hal. 19.
24
Hak milik atas satuan rumah susun bukan merupakan hak atas tanah
tetapi berkaitan dengan tanah. Hak milik atas satuan rumah susun terdapat
pengaturannya dalam perundangan tentang rumah susun. Rumah susun
adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan
yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional
dalam arah horizontal dan vertikal merupakan satuan-satuan yang masing-
masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama demikian
UURS untuk tempat yang dilengkapi dengan apa yang disebut “bagian-
bersama”, “tanah-bersama” dan “benda-bersama”. Bagian-bagian yang dapat
dimiliki dan digunakan secara terpisah tersebut diberi sebutan Satuan Rumah
Susun (SRS) yang harus mempunyai sarana penghubung ke jalan umum tanpa
menggangu dan tidak boleh melalui Satuan Rumah Susun (SRS) yang lain.22
Hak pemilikan atas satuan rumah susun bersifat perorangan dan
terpisah. Selain itu, hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan
juga meliputi hak pemilikan bersama atas apa yang disebut “bagian-
bersama”, “tanah-bersama” dan “benda-bersama”. Semuanya merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemilikan Satuan Rumah Susun
(SRS) yang bersangkutan.23
“Bagian-bersama” adalah bagian-bagian dari rumah susun yang
dimiliki bersama secara tidak terpisah oleh semua pemilik satuan rumah
susun dan diperuntukkan pemakaian bersama seperti: lift, tangga, lorong,
22 Boedi Harsomo. 2008. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Cetakan Keduabelas. Jakarta. Penerbut Djambatan. Hal. 348.
23 Ibid. Hal. 349.
25
pondasi, atap bangunan, ruang untuk umum dll. “Tanah-bersama” adalah
sebidang tanah tertentu diatas mana bangunan rumah susun yang
bersangkutan berdiri yang sudah pasti status hak, batas-batas dan luasnya.
Tanah tersebut bukan milik para satuan rumah susun yang ada di lantai dasar
namun merupakan hak bersama semua pemilik Satuan Rumah Susun (SRS)
dalam bangunan rumah susun tersebut. “Benda-bersama” adalah benda-
benda dan bangunan yang bukan merupakan bagian dari bangunan gedung
rumah susun yang bersangkutan tetapi berada diatas tanah bersama dan
diperuntukan bagi pemakaian bersama seperti, tempat ibadah, lapangan
parkir, pertamanan, dll. Benda-benda dan bangunan tersebut juga merupakan
milik-bersama yang tidak terpisah dari semua pemilik Satuan Rumah Susun
(SRS).24
Hak milik atas satuan rumah susun selain meliputi pemilikan atas
Satuan Rumah Susun (SRS) yang bersangkutan, juga pemilikan bersama atas
tanah-bersama, bagian-bersama, dan benda-bersama. Maka sertifikat hak
milik atas Satuan Rumah Susun (SRS) tersebut selain merupakan alat bukti
pemilikan satuan rumah susunnya, sekaligus juga merupakan alat bukti hak
bersama atas tanah-bersama, bagian-bersama, dan benda-bersama yang
bersangkutan sebesar nilai perbandingan proporsionalnya.25
24 Ibid. Hal. 350. 25 Ibid. Hal. 351.
26
2. Jenis-Jenis Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Pada Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah jo Pasal 1 ayat
(1) ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, telah membagi PPAT dalam 3 (tiga) kelompok yaitu:
a. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberikan
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
b. PPAT Sementara (PPATS) adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk
karena jabatannya untuk melaksanakan tugas pejabat pembuat akta tanah
dengan membuat akta pejabat pembuat akta tanah.
c. PPAT Khusus (PPATK) adalah pejabat badan pertanahan nasional yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas pejabat pembuat
akta tanah dengan membuat akta pejabat pembuat akta tanah tertentu
khusus dalam rangka pelaksanaan atau tugas pemerintah tertentu.
27
3. Tugas dan Wewenang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
PPAT bertugas melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,
yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah
yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum Pejabat
Pembuat Akta Tanah adalah sebagai berikut:
a. Jual beli
b. Tukar menukar
c. Hibah
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)
e. Pembagian hak bersama
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
g. Pemberian Hak Tanggungan
h. Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan
Dalam pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan sebagaimana dalam
UUPA, serta Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, maka peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah sangat
penting. Oleh karena itu, mereka dianggap telah mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang peraturan pendaftaran hak atas tanah dan peraturan-
peraturan pelaksana lainnya berkaitan tentang pendaftaran tanah.26
26 Yanly Gandawidjaja. 2002. Peran Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Sementara Dalam Proses Pendaftaran Tanah. Bandung. Universitas Katolik Parahyangan. Hal 5.
28
Selain itu, pada Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa,
“PPAT harus membuat satu buku daftar untuk semua akta yang telah dibuatnya. Diisi setiap hari kerja dan ditutup setiap akhir hari kerja dengan paraf PPAT yang bersangkutan. PPAT mengirimkan laporan bulanan mengenai akta tersebut dengan mengambil dari buku daftar akta PPAT untuk dilaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan berlaku selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.”
PPAT dapat pula membuat akta pemberian kuasa membebankan Hak
Tanggungan dan sebagai catatan Notaris juga berhak untuk membuat akta
pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan tersebut dengan formulir
yang sudah di bakukan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional. Namun
harus diperiksa dengan seksama bahwa pajak balik nama dan bea perolehan
hak telah dibayarkan oleh yang bersangkutan sebelum PPAT membuat akta
PPAT-nya.27
Dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009
Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
27 Didik Ariyanto. 2006. Pelaksanaan Fungsi Dan Kedudukan Camat Sebagai Pejabat
Pembuat Akta Tanah Sementara Di Kabupatn Gobrongan. Semarang. Tesis. PPS Universitas Diponegoro. Hal, 29-30.
29
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan,
“Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum mengenai Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.”
Akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, dan akta
pembagian hak bersama mengenai beberapa Hak Atas Tanah atau Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah
kerja seorang PPAT dan dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya
meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya
menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta. Akta tukar menukar dibuat oleh
PPAT sesuai dengan jumlah kabupaten/kota letak bidang tanah yang
dilakukan perbuatan hukumnya, untuk kemudian masing-masing akta PPAT
tersebut di daftarkan pada Kantor Pertanahan masing-masing.
4. Hak dan Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Pada Pasal 36 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2006 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Pejabat Pembuat Akta Tanah mengatakan, Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) mempunyai hak:
a) Cuti
30
b) Memperoleh uang jasa (honorarium) dari pembuatan akta dimana uang
jasa (honorium) PPAT dan PPAT Sementara, termasuk uang jasa
(honorarium) saksi tidak lebih dari 1% dari harga yang tercantum di dalam
akta.
c) Memperoleh informasi serta perkembangan peraturan perundang-
undangan pertanahan.
d) Memperoleh kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri sebelum
ditetapkannya keputusan pemberhentian sebagai PPAT.
Pada Pasal 37 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2006 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan, PPAT dapat melaksanakan
berbagai macam cuti yakni:
a. Cuti tahunan paling lama 2 (dua) minggu setiap tahun takwim (tahun
kalender).
b. Cuti sakit termasuk cuti melahirkan, untuk jangka waktu menurut
keterangan dari dokter yang berwenang.
c. Cuti karena alasan penting dapat diambil setiap kali diperlukan dengan
jangka waktu paling lama 9 (sembilan) bulan dalam setiap 3 (tiga) tahun
takwim.
Untuk dapat melaksanakan cuti tahunan dan cuti karena alasan penting,
atas PPAT yang baru diangkat dan PPAT yang diangkat kembali harus sudah
31
membuka kantor PPAT-nya minimal 3 (tiga) tahun disertai dengan
persetujuan. Permohonan persetujuan untuk melaksanakan cuti diajukan
secara tertulis oleh PPAT yang bersangkutan kepada pejabat yang berwenang
memberi persetujuan cuti.
Pada Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan, Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) dilarang meninggalkan kantornya lebih dari 6 (enam) hari
kerja berturut-turut kecuali dalam rangka menjalankan cuti. Permohonan cuti
dapat diajukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang yakni:
a) Kepala kantor pertanahan kabupaten/kotamadya setempat untuk
permohonan cuti kurang dari 3 (tiga) bulan.
b) Kepala kantor wilayah badan pertanahan nasional propinsi untuk
permohonan cuti lebih dari 3 (tiga) bulan tetapi kurang dari 6 (enam)
bulan.
c) Menteri untuk permohonan cuti lebih dari 6 (enam) bulan.
Permohonan cuti harus mencantumkan lamanya cuti, tanggal mulai
pelaksanaan dan berakhirnya cuti, alasan pengambilan cuti, daftar cuti yang
telah dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahun terakhir dan alamat selama
menjalankan cuti. Dalam hal PPAT menjalankan cuti, maka permohonan cuti
dapat disertai dengan usul pengangkatan PPAT Pengganti, kecuali di daerah
kerja tersebut sudah terdapat PPAT lain yang diangkat oleh Kepala Badan.
Permohonan usul pengangkatan PPAT Pengganti dengan melampirkan
32
beberapa syarat.28 PPAT Pengganti yang diusulkan harus memenuhi beberapa
persyaratan yakni:
a. Telah lulus program pendidikan kenotariatan dan telah menjadi pegawai
kantor PPAT paling sedikit selama 1 (satu) tahun;
b. Telah lulus program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh
Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang
agraria/pertanahan
Sebelum melaksanakan cuti, PPAT wajib menutup Buku Daftar Akta
dan melaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat dan selama cuti
yang bersangkutan tidak perlu membuat laporan bulanan. Pejabat yang
berwenang memberikan persetujuan cuti wajib memberikan persetujuannya
mengenai permohonan cuti yang sesuai dengan pelaksanaan cuti.
Dalam Pasal 39 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta
Tanah mengatakan,
“Penolakan pemberian persetujuan cuti hanya dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang apabila jumlah PPAT di daerah kerja PPAT yang bersangkutan tidak lebih dari 50% (lima puluh persen) dari formasi PPAT, sedangkan pemberian cuti di khawatirkan akan menghambat pelayanan kepada masyarakat.”
28 Lihat Pasal 38 ayat (4) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah
33
Penolakan atau persetujuan cuti harus diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterimanya permohonan
persetujuan cuti dengan ketentuan bahwa dalam hal penolakan cuti, maka
pemberitahuannya harus disertai alasan penolakan tersebut. Dalam hal
penolakan atau persetujuan tersebut tidak dikeluarkan dalam tenggang waktu
7 hari, maka cuti tersebut dianggap sudah disetujui sepanjang cuti tersebut
sesuai dengan syarat pelaksanaan cuti.
Persetujuan untuk menjalankan cuti PPAT diberikan dengan keputusan
pejabat yang berwenang yang dibuat sesuai dalam Lampiran V.29 Dalam hal
pengajuan permohonan persetujuan cuti disertai usul pangangkatan PPAT
Pengganti maka, pangangkatan PPAT Pengganti dilakukan sekaligus dalam
keputusan persetujuan cuti. Keputusan ijin pelaksanaan cuti serta
pengangkatan PPAT Pengganti disampaikan kepada PPAT yang
bersangkutan atau kuasanya dan kepada PPAT Pengganti serta salinannya
disampaikan kepada Pejabat yang berwenang memberi ijin cuti lainnya dan
Bupati/Walikota yang bersangkutan.
PPAT Pengganti melaksanakan tugas jabatannya sebagai pengganti
PPAT yang menjalankan cuti setelah diterbitkan keputusan atas usul
pengangkatan dan setelah yang bersangkutan mengangkat sumpah jabatan.
Dalam hal PPAT Pengganti adalah orang yang pernah melaksanakan tugas
29 Lihat Lampiran V: Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2006 tanggal 16-5-2006 tentang ketentuan tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah; Lembar Bentuk Keputusan Persetujuan Cuti PPAT.
34
jabatan sebagai PPAT Pengganti untuk PPAT yang sama di daerah kerja yang
sama, maka dalam melaksanakan tugas jabatannya yang bersangkutan tidak
perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT. Sebelum melaksanakan tugasnya
PPAT Pengganti wajib menerima protokol PPAT. Dalam hal PPAT yang
melaksanakan cuti berhalangan untuk menyerahkan protokol PPAT kepada
PPAT Pengganti, maka serah terima protokol PPAT dilakukan oleh kuasa
dari PPAT kepada PPAT Pengganti dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang
saksi. Dalam hal PPAT yang digantikan meninggal dunia sebelum
berakhirnya masa cuti dan telah ditunjuk PPAT Pengganti maka kewenangan
PPAT Pengganti tersebut dengan sendirinya akan berakhir. Dalam
menjalankan tugas jabatannya, ketentuan yang berlaku pada PPAT berlaku
pula terhadap PPAT Pengganti. PPAT Pengganti bertanggung jawab secara
pribadi atas pelaksanaan tugas jabatannya.
PPAT wajib melaporkan berakhirnya pelaksanaan cuti kepada Kepala
Kantor Pertanahan setempat paling lambat 1 (satu) minggu setelah jangka
waktu cutinya habis dan melaksanakan kembali tugas jabatannya. Sebelum
masa cutinya habis, PPAT dapat mengakhiri masa cutinya dan melaksanakan
tugas jabatannya kembali. Dalam hal PPAT yang selesai menjalani cuti
melaksanakan kembali tugas jabatan PPAT setelah menerima protokol dari
PPAT Pengganti. PPAT yang dalam waktu 2 (dua) bulan setelah berakhirnya
cuti sesuai dengan persetujuan cuti tidak melaksanakan tugasnya kembali
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai PPAT.
35
Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai kewajiban untuk
mengirimkan daftar laporan akta-akta PPAT setiap awal bulan kepada Badan
pertanahan Nasional Propinsi/Daerah, Kepala Perpajakan dan Kantor Pajak
Bumi dan Bangunan. Selain itu PPAT berkewajiban membuat papan nama,
daftar akta dan menjilid derta warkah pendukung akta. Pejabat Pembuat Akta
Tanah Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki kewajiban sebagai berikut:
a) Menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
b) Mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT.
c) Menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada
Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan setempat paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya.
d) Menyerahkan protokol PPAT dalam hal PPAT yang berhenti menjabat
kepada PPAT di daerah kerjanya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan.
e) Membebaskan uang jasa kepada orang yang tidak mampu, yang
dibuktikan secara sah.
f) Membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang melaksanakan cuti
atau hari libur resmi dengan jam kerja sesuai jam kerja Kantor Pertanahan
setempat.
g) Berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan pengangkatan PPAT.
36
h) Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf dan
teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Bupati/
Walikota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang
wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu
1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan.
i) Melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan sumpah jabatan.
j) Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan
ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan.
k) Sebelum mengikuti ujian PPAT, yang bersangkutan wajib mengikuti
pendidikan dan pelatihan PPAT yang diselenggarakan oleh Badan
Pertanahan Nasional yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan
organisasi profesi PPAT.
l) Bagi calon PPAT yang akan diangkat sebagai PPAT, sebelum
melaksanakan tugasnya wajib mengikuti pembekalan teknis pertanahan
yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan organisasi
profesi PPAT.
m) Bagi PPAT yang merangkap jabatan maka, wajib mengajukan
permohonan berhenti kepada Kepala Badan.
n) PPAT yang sudah mengangkat sumpah wajib menandatangani surat
pernyataan kesanggupan pelaksanaan jabatan PPAT sesuai dengan
keputusan pengangkatannya.
37
o) Sebelum melakukan cuti, PPAT wajib menutup Buku Daftar Akta dan
melaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat dan selama cuti
yang bersangkutan tidak perlu membuat laporan bulanan.
p) Sebelum pembuatan akta mengenai perbuatan hukum, PPAT wajib
melakukan pemeriksaan kesesuaian/keabsahan sertipikat dan catatan lain
pada Kantor Pertanahan setempat dengan menjelaskan maksud dan
tujuannya.
q) PPAT wajib membuat daftar akta dengan menggunakan 1 (satu) buku
daftar akta untuk semua jenis akta yang dibuatnya, yang di dalamnya
dicantumkan secara urut nomor semua akta yang dibuat serta data lain
yang berkaitan dengan pembuatan akta, dengan kolom-kolom sesuai
Lampiran IX.30
r) Dalam hal PPAT menjalankan cuti, diberhentikan untuk sementara atau
berhenti dari jabatannya, maka pada hari terakhir jabatannya itu PPAT
yang bersangkutan wajib menutup daftar akta dengan garis merah dan
tanda tangan serta nama jelas dengan catatan di atas tanda tangan.
s) Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi PPAT dan/atau PPAT
Sementara wajib dibentuk organisas i dengan menyusun 1 (satu) kode etik
profesi PPAT yang berlaku secara nasional untuk ditaati semua anggota.
30 Lihat Lampiran IX: Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
38
5. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun
1998 menyatakan bahwa, akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah
dilaksanakan perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun.31 Akta PPAT merupakan alat bukti surat
akta yang terdiri atas tanggal dan diberi tanda tangan yang menurut peristiwa-
peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang digunakan dalam
pembuktian. Akta yang dibuat oleh PPAT yang diberi wewenang membuat
akta-akta merupakan akta otentik.32 Dalam melaksanakan tugasnya PPAT
menerapkan prinsip kehati-hatian guna meminimalisir terjadinya gugat
menggugat dikemudian hari.
Prinsip prudential regulation (peraturan atau prinsip kehati-hatian)
pada dasarnya bertolak dari prinsip prudence (hati-hati atau kebijaksanaan).
Black’s Law Dictionary memberikan uraian tentang “prudence” sebagai
berikut:
“Carefulnees, precaution, attentiveness and good judgment, as applied to action or of care reconduct. That degree of care required by the exigencies or circumstanceunder which it is to be exercised. This trem, in the language of the law, is commonly associated with care and diligence ad constrasted with negligence.”
31 Made Anggara Giri. 2013. Pelaksanaan Peralihan Hak Milik Atas Tanah Karena Jual Beli
Di Hadapan Camat Sebagai PPAT Sementara Setelah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Di Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung. Lampung. Jurnal. Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Hal, 8.
32 Djoko Poernomo. 2006. Kedudukan dan Fungsi Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah. Surabaya. Tesis. PPS Universitas Airlangga. Hal. 8.
39
Teori keutamaan moral yang dikemukakan oleh Adam Smith
membahas prudence sebagai:
“That careful and laborious and circumspect state of mind, ever watchful and ever attebtive to the most distance consequences of every action, could not be theing pleasant or agrecable for its own sake, but upon account of its tendency to procure the greatest goods and to keep off the greatest evils.”
“Sikap pandang sangat berhati-hati, sangat waspada dan penuh
perhatian terhadap konsekuensi yang paling jauh, dari setiap tindakan, tidak dapat menjadi suatu hal yang menyenangkan atau dapat disetujui demi kepentingan sendiri, tetapi atas tanggung jawab tentang kecenderungan untuk memperoleh kebaikan yang paling besar dan untuk menghindari kejahatan yang paling besar.”
Penjelasan lebih lanjut dari teori prudence yang dikembangkan oleh
Adam Smith dapat ditemukan bahwa prundence adalah:
“Keadaan batin yang waspada, jeli dan sangat hati-hati, selalu penuh perhatian terhadap konsekuensi-konsekuensi yang paling jauh dari setiap tindakan untuk memperoleh kebaikan yang paling besar dan untuk menghindari kejahatan yang paling besar.”
Dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya
menghasilkan surat tanda bukti hak berupa sertifikat. Kepemilikan hak atas
tanah yang selama ini belum mempunyai sertifikat dari Kantor Pertanahan,
melainkan hanya berdasar pada bukti kepemilikan hak yang teradministrasi
dari desa seperti Letter C, dapat segera melakukan pendaftrannnya ke Kantor
Pertanahan terkait agar segera memperoleh sertifikat Kepemilikan Hak Atas
Tanah. Dalam melakukan pengurusan tanah yang masih Letter C, maka
secara hati-hati PPAT memperhatikan pengurusan di Kelurahan/Desa, serta
pengurusan di Kantor Pertanahan agar tidak mengalami permasalahan di
40
kemudian hari. Selain itu, dalam pengurusan pendaftaran tanah yang masih
Letter C, PPAT menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka menjaga
harkat dan martabat jabatan PPAT, serta menerapkan hal-hal yang ditentukan
oleh Undang-Undang. Prinsip kehati-hatian PPAT ini sangat diperlukan
karena mendukung kualitas kerja dalam pembuatan akta dan pelayanan
masyarakat.33
Sebuah akta PPAT dikatakan sah apabila akta yang dibuat oleh para
pihak harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam perundang-
undangan. Namun apabila syarat kesepakatan dan kecakapan tidak terpenuhi
maka, akta yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalannya melalui
Pengadilan. Apabila objek tertentu dan kausa halal tidak terpenuhi maka, akta
yang dibuat batal demi hukum. Ini berarti bahwa akta tersebut dianggap tidak
ada.34
PPAT melaksanakan tugas pembuatan akta di kantornya dengan
dihadiri oleh para pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan atau
kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan. PPAT dapat membuat akta
di luar kantornya hanya apabila salah satu pihak dalam perbuatan hukum atau
kuasanya tidak dapat datang di kantor PPAT karena alasan yang sah, dengan
ketentuan pada saat pembuatan aktanya para pihak harus hadir dihadapan
PPAT di tempat pembuatan akta yang disepakati.
33 Hendry Dwicahyo Wanda dan Rusdianto Sesung. 2018. Prinsip Kehati-Hatian Pejabat
Pembuat Akta Tanah Dalam Pengurusan Peralihan Tanah Letter C. Jurnal. Surabaya. Universitas Narotama Suarabaya. Hal, 459-462.
34 Salim HS. 2016. Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Cetakan Ke 1. Jakarta. Penerbit PT.Raja Grafindo Persada. Hal. 68.
41
Akta PPAT dibuat dengan mengisi blanko akta yang tersedia secara
lengkap sesuai petunjuk pengisiannya. Pengisian blanko akta dalam rangka
pembuatan akta PPAT harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan
data yang benar serta didukung dengan dokumen sesuai peraturan perundang-
undangan. Pembuatan akta PPAT dilakukan dengan menghadirkan 2 (dua)
orang saksi yang akan memberi kesaksiannya.
Sebelum pembuatan akta mengenai perbuatan hukum tertentu, PPAT
wajib melakukan pemeriksaan kesesuaian/keabsahan sertipikat dan catatan
lain pada Kantor Pertanahan setempat dengan menjelaskan maksud dan
tujuannya. PPAT dapat saja menolak pembuatan akta, yang tidak didasari
data formil. PPAT tidak diperbolehkan membuat akta atas sebagian bidang
tanah yang sudah terdaftar atau tanah milik adat, sebelum diukur oleh Kantor
Pertanahan dan diberikan Nomor Identifikasi Bidang Tanah (NIB). Dalam
pembuatan akta, PPAT wajib mencantumkan NIB dan atau nomor hak atas
tanah, nomor Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB,
penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan keadaan lapangan. Setiap
pembuatan akta, PPAT bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan
tugas dan jabatannya.
6. Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhetian Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT)
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri. PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu, untuk melayani
42
masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup
terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam
pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat lain sebagai
PPAT Sementara atau PPAT Khusus. Syarat seseorang dapat diangkat
menjadi PPAT setelah mengalami perubahan adalah:
a. Warga Negara Indonesia.
b. Berusia paling rendah 22 (dua puluh dua) tahun.
c. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat
oleh Instansi Kepolisian setempat.
d. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
e. Sehat jasmani dan rohani.
f. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan atau
lulusan program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
agraria/pertanahan.
g. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan.
h. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai
karyawan pada kantor PPAT paling sedikit 1 (satu) tahun, setelah lulus
pendidikan kenotariatan.
43
i. PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris di tempat kedudukan
Notaris. Namun PPAT dilarang merangkap jabatan atau profesi tertentu.
PPAT yang diangkat oleh Kepala Badan, yang bersangkutan harus lulus
ujian PPAT yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Dimana
ujian tersebut diselenggarakan untuk mengisi formasi PPAT di
kabupaten/kota yang formasi PPAT-nya belum terpenuhi. Untuk dapat
mengikuti ujian PPAT, yang bersangkutan berusia paling kurang 22 (dua
puluh dua) tahun dan wajib mendaftar pada panitia pelaksana ujian Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia dengan melengkapi persyaratan.35
Calon PPAT yang telah lulus ujian PPAT dapat mengajukan
permohonan pengangkatan sebagai PPAT kepada Kepala Badan sesuai
Lampiran I.36 Permohonan pengangkatan sebagai PPAT, dilengkapi dengan
berbagai persyaratan tentunya. Setelah memberikan surat permohonan maka
Kepala Badan menerbitkan Keputusan Pengangkatan PPAT.
Keputusan pengangkatan PPAT diberikan kepada yang bersangkutan
setelah selesai pelaksanaan pembekalan tehnis pertanahan. Tembusan
keputusan pengangkatan PPAT disampaikan kepada pemangku kepentingan.
Untuk keperluan pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan PPAT, setelah
menerima keputusan pengangkatan, calon PPAT wajib melapor kepada
35 Lihat Pasal 14 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
36 Lihat Lampiran I: Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tanggal 16-5-2006 tentang ketentuan tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah; Lembar Bentuk Surat Permohonan Pengangkatan Sebagai PPAT.
44
Kepala Kantor Pertanahan setempat paling lambat 3 (tiga) bulan. Apabila
calon PPAT tidak melapor dalam jangka waktu tersebut, maka keputusan
pengangkatan PPAT yang bersangkutan dibatalkan demi hukum. Maka
setelah itu, PPAT sebelum menjalankan jabatannya wajib mengangkat
sumpah jabatan PPAT di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
PPAT dapat mengajukan permohonan pindah ke daerah kerja lain
setelah yang bersangkutan mengajukan permohonan berhenti sebagai PPAT
di daerah kerja semula dengan ketentuan masih tersedia formasi di
kabupaten/kota tujuan. Permohonan pindah ke daerah kerja lain dapat
diajukan dalam rangka penyesuaian dengan kedudukannya sebagai Notaris,
bagi PPAT yang merangkap jabatan sebagai Notaris.
Permohonan pengangkatan kembali PPAT yang berhenti, diajukan
kepada Kepala Badan oleh yang bersangkutan sesuai dalam Lampiran IIIa
dan Lampiran IIIb.37 Dengan memberikan tembusan kepada Kepala Kantor
Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan di daerah kerja semula dan daerah
kerja tujuan, dengan melengkapi berbagai persyaratan.38 Permohonan
pengangkatan kembali karena berhenti atas permintaan sendiri dengan
maksud untuk pindah daerah kerja lain dapat diajukan setelah PPAT yang
bersangkutan melaksanakan tugasnya kurang lebih 3 (tiga) tahun.
37 Lihat Lampiran IIIa dan Lampiran IIIb: Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tanggal 16-5-2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemrintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
38 Lihat Pasal 23 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
45
Dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah mengatakan bahwa, PPAT dapat
berhenti menjabat apabila:
1) Telah meninggal dunia
2) Telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun atau diberhentikan oleh
Menteri sesuai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Ketentuan usia tersebut dapat diperpanjang paling lama 2 (dua) tahun
sampai dengan usia 67 (enam puluh tujuh) tahun dengan
mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan.
3) Diberhentikan oleh Menteri
Mengenai pemberhentian, PPAT yang diberhentikan oleh Menteri
terdiri atas:
a. Diberhentikan dengan hormat karena:
1) Permintaan sendiri.
2) Tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan
badan atau kesehatan.
3) Jiwanya.
4) Merangkap jabatan.
5) Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
6) Berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih dan 3 (tiga)
tahun.
46
b. Diberhentikan dengan tidak hormat karena:
1) Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT.
2) Dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
c. Diberhentikan sementara karena:
1) Sedang dalam pemeriksaan pengadilan sebagai terdakwa suatu
perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau
penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat.
2) Tidak melaksanakan jabatan PPAT secara nyata untuk jangka waktu
60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah.
3) Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT.
4) Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas
sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di kabupaten/kota yang
lain daripada tempat kedudukan sebagai PPAT.
5) Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang.
6) Berada di bawah pengampuan; dan/atau
7) Melakukan perbuatan tercela.
PPAT yang berhenti dari jabatannya tidak berwenang membuat akta
PPAT sejak tanggal terjadinya peristiwa pemberhentian PPAT. PPAT yang
47
diberhentikan dari jabatannya tidak berwenang membuat akta PPAT sejak
tanggal berlakunya keputusan pemberhentian yang bersangkutan.
PPAT yang berhenti dari jabatannya, wajib menyerahkan protokol
PPATnya kepada PPAT, PPAT Sementara atau kepada Kepala Kantor
Pertanahan kecuali karena pemberhentian sementara. Penyerahan protokol
PPAT yang berhenti menjabat bukan karena meninggal dunia diberikan
kepada PPAT lain yang ditentukan oleh PPAT yang berhenti menjabat
tersebut dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal berhenti PPAT yang
bersangkutan atau apabila menurut pemberitahuan dari PPAT yang
bersangkutan tidak ada yang ditentukan olehnya, ditunjuk oleh Kepala Kantor
Pertanahan dalam waktu 7 hari sejak tanggal penunjukannya tersebut.
Dalam hal PPAT berhenti karena meninggal dunia, maka ahli warisnya
wajib menyerahkan protokol PPAT kepada PPAT yang telah ditunjuk oleh
Kepala Kantor Wilayah dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah
penunjukan tersebut. Serah terima protokol PPAT dituangkan dalam Berita
Acara Serah Terima Protokol PPAT yang diketahui/disaksikan oleh Kepala
Kantor Pertanahan atau dalam hal Kepala Kantor Pertanahan berhalangan
secara sah, oleh petugas yang ditunjuknya. PPAT yang ditunjuk oleh Kepala
Kantor Pertanahan atau Kepala Kantor Wilayah sebagai penerima protokol,
wajib menerima protokol PPAT yang bersangkutan. PPAT wajib
menurunkan papan nama PPAT-nya pada hari yang bersangkutan berhenti
dari jabatan PPAT.
48
7. Daerah Kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Daerah kerja PPAT sebelum adanya perubahan adalah satu wilayah
kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Namun setelah terdapat perubahan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat
Pembuat Akta Tanah pada Pasal 12 sehingga mengatur daerah kerja PPAT
adalah satu wilayah provinsi. PPAT mempunyai tempat kedudukan di
kabupaten/kota di provinsi yang menjadi bagian dari daerah kerja.
PPAT dapat berpindah tempat kedudukan dan daerah kerja. PPAT yang
akan berpindah alamat kantor yang masih dalam kabupaten/kota tempat
kedudukan PPAT, wajib melaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan
kabupaten/kota tempat kedudukan PPAT. Dalam hal PPAT akan berpindah
tempat kedudukan ke kabupaten/kota pada daerah kerja yang sama atau
berpindah daerah kerja, wajib mengajukan permohonan perpindahan tempat
kedudukan atau daerah kerja kepada Menteri.
Dalam hal terjadi pemekaran kabupaten/kota yang mengakibatkan
terjadinya perubahan tempat kedudukan PPAT, maka tempat kedudukan
PPAT tetap sesuai dengan tempat kedudukan yang tercantum dalam
keputusan pengangkatan PPAT atau PPAT yang bersangkutan mengajukan
permohonan pindah tempat kedudukan yang sesuai. Dalam hal terjadi
pemekaran provinsi yang mengakibatkan terjadinya perubahan daerah kerja
PPAT, maka daerah kerja PPAT tetap sesuai dengan daerah kerja yang
tercantum dalam keputusan pengangkatan PPAT atau PPAT yang
49
bersangkutan mengajukan permohonan pindah daerah kerja secara tertulis.
Permohonan tersebut diserahkan kepada Menteri mengenai perubahan tempat
kedudukan PPAT atau daerah kerja PPAT. Dalam masa peralihan selama 90
hari PPAT yang bersangkutan berwenang membuat akta mengenai Hak Atas
Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di kedudukan
yang lama.
8. Formasi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat
Akta Tanah bahwasannya sebelum adanya perubahan masih terdapat
pembagian formasi dalam suatu daerahnya dibuktikan dengan adanya
peraturan perundang-undangan yang terakhir kali di undangkan yakni,
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006 tentang
Penetapan Formasi Pejabat Pembuat Akta Tanah. Namun setelah dibuat
perubahannya, pada pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Pejabat Pembuat Akta Tanah berkaitan dengan pembagian formasi PPAT
telah di hapuskan.
B. Kajian Mengenai Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Sementara
1. Camat Dalam Sistem Pemerintahan di Daerah
50
a. Dasar Hukum dan Pengertian Camat
Camat diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah yang telah diundangkan pada tanggal 15 Oktober
2004, dibuat dengan mempertimbangkan bahwa dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan
daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan
daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek
hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah,
potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan
global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada
daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan
otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Camat diatur juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2008 tentang Kecamatan dan diundangkan pada tanggal 28 Februari 2008.
51
Diundangkannya Peraturan Pemerintah ini dibuat dengan pertimbangan,
sebagaimana sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat (1) dan ayat (7)
Undang-Undang Nomor 2004 tentang Pemerintah Daerah, mengenai
kecamatan sehingga perlu memberikan pedoman dalam pembentukan dan
penyelenggaraan urusan pemerintahan di Kecamatan. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka perlu ditetapkannya Peraturan Pemerintah
tentang Kecamatan.
Pada Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008
tentang Kecamatan menyatakan bahwasannya,
“Camat atau sebutan lain adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerja kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan.”
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2008 tentang Kecamatan Pasal 14, menyatakan bahwa Kecamatan
merupakan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis
kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh
Camat. Camat berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada
bupati/walikota.39
Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah Pasal 126 ayat (2) menyatakan,
39 Jesie Grace Runtu. 2013. Gaya Kepemimpinan Camat Dalam Peningkatan Pelayanan
Publik Di Kecamatan Tenga Kabupaten Minahasa Selatan. Medan. Jurnal. Volume 5 Nomor 1. Universitas Sam Ratulangi. Hal. 2.
52
“Kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati atau Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah.”
Camat diangkat oleh Bupati atau Walikota atas usul sekretaris
daerah kabupaten/kota dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menguasai
pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
b. Kedudukan Camat
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang
Kecamatan menyatakan,
“Camat berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah.”
c. Tugas dan Wewenang Camat
Pada Pasal 126 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, dalam menjalankan tugas-tugasnya Camat
dibantu oleh perangkat Kecamatan dan bertanggung jawab kepada
Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota. Dimana
perangkat kecamatan bertanggung jawab pada Camat. Camat memiliki
tugas umum sebagai berikut:40
1) Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat, meliputi;
40 Lihat Pasal 15 ayat (1) s.d Pasal 22 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2008 tentang Kecamatan.
53
a) Mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam
perencanaan pembangunan lingkup kecamatan dalam forum
musyawarah perencanaan pembangunan di desa/kelurahan dan
kecamatan.
b) Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap keseluruhan unit
kerja baik pemerintah maupun swasta yang mempunyai program
kerja dan kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja
kecamatan.
c) Melakukan evaluasi terhadap berbagai kegiatan pemberdayaan
masyarakat di wilayah kecamatan baik yang dilakukan oleh unit
kerja pemerintah maupun swasta.
d) Melakukan tugas-tugas lain di bidang pemberdayaan masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
e) Melaporkan pelaksanaan tugas pemberdayaan masyarakat di
wilayah kerja kecamatan kepada bupati/walikota dengan tembusan
kepada satuan kerja perangkat daerah yang membidangi urusan
pemberdayaan masyarakat.
2) Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman, dan
ketertiban umum, meliputi;
a) Melakukan koordinasi dengan kepolisian Negara Republik
Indonesia dan/atau Tentara Nasional Indonesia mengenai program
dan kegiatan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum di
wilayah kecamatan.
54
b) Melakukan koordinasi dengan pemuka agama yang berada di
wilayah kerja kecamatan untuk mewujudkan ketenteraman dan
ketertiban umum masyarakat di wilayah kecamatan; dan
c) Melaporkan pelaksanaan pembinaan ketenteraman dan ketertiban
kepada bupati/walikota.
3) Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-
undangan, meliputi;
a) Melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang
tugas dan fungsinya di bidang penerapan peraturan perundang-
undangan.
b) Melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang
tugas dan fungsinya di bidang penegakan peraturan perundang-
undangan dan/ atau kepolisian.
c) Melaporkan pelaksanaan penerapan dan penegakan peraturan
perundang-undangan di wilayah kecamatan kepada Bupati/walikota.
4) Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum, meliputi;
a) Melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah atau
instansi vertikal yang tugas dan fungsinya di bidang pemeliharaan
prasarana dan fasilitas pelayanan umum.
b) Melakukan koordinasi dengan pihak swasta dalam pelaksanaan
pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.
55
c) Melaporkan pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas
pelayanan umum di wilayah kecamatan kepada Bupati/walikota.
5) Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat
kecamatan, meliputi;
a) Melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah atau
instansi vertikal yang tugas dan fungsinya dibidang penyelenggaraan
kegiatan pemerintah.
b) Melakukan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dengan satuan
kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di bidang
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.
c) Melakukan evaluasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di
tingkat kecamatan.
d) Melaporkan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat
kecamatan kepada Bupati/Walikota.
6) Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan,
meliputi;
a) Memberikan bimbingan, supervisi, fasilitasi dan konsultasi
pelaksanaan administrasi desa dan atau kelurahan.
b) Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Kepala Desa dan
atau Lurah.
c) Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Kepala Desa dan
atau Lurah.
56
d) Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat desa dan
atau kelurahan.
e) Melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan atau
kelurahan di tingkat kecamatan.
f) Melaporkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan desa dan atau kelurahan di tingkat
kecamatan kepada Bupati atau Walikota.
7) Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup
tugasnya, dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa
atau kelurahan.
a) Melakukan perencanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di
kecamatan.
b) Melakukan percepatan pencapaian standar pelayanan minimal di
wilayahnya.
c) Melakukan pembinaaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
pelayanan kepada masyarakat di kecamatan.
d) Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan kepada
masyarakat di wilayah kecamatan.
e) Melaporkan pelaksanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di
wilayah kecamatan kepada bupati atau walikota.
Selain itu kewenangan Camat adalah untuk melaksanakan
kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk
menangani sebagian urusan otonomi daerah, yang meliputi aspek:
57
a. Perizinan
b. Rekomendasi
c. Koordinasi
d. Pembinaan
e. Pengawasan
f. Fasilitasi
g. Penetapan
h. Penyelenggaraan dan Kewenangan lain yang dilimpahkan.
Pelimpahan sebagian wewenang bupati/walikota kepada Camat
berdasarkan kriteria eksternalitas dan efisiensi. Yang dimaksud dengan
”eksternalitas” adalah kriteria pelimpahan urusan pemerintahan dengan
memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan
suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat
internal kecamatan, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi
kewenangan camat. Sedangkan dengan ”efisiensi” adalah kriteria
pelimpahan urusan pemerintahan dengan memperhatikan daya guna
tertinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan dilingkup kecamatan. Apabila urusan pemerintahan lebih
berdayaguna ditangani oleh kecamatan, maka urusan tersebut menjadi
kewenangan Camat.
58
d. Persyaratan Camat
Camat diangkat oleh bupati/walikota atas usul sekretaris daerah
kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan
teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pengetahuan teknis pemerintahan meliputi:
1) Menguasai bidang ilmu pemerintahan dibuktikan dengan ijazah
diploma/sarjana pemerintahan.
2) Pernah bertugas di desa, kelurahan, atau kecamatan paling singkat 2
(dua) tahun.
Pegawai negeri sipil yang akan diangkat menjadi Camat dan tidak
memenuhi syarat tersebut diatas wajib mengikuti pendidikan teknis
pemerintahan yang dibuktikan dengan sertifikat. Pelaksanaan pendidikan
teknis pemerintahan diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
e. Pendidikan Teknis Pemerintahan Bagi Camat
Pendidikan teknis pemerintahan Camat diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Pelaksanaan
Pendidikan Teknis Pemerintahan Bagi Calon Camat, yang diundangkan
pada tanggal 7 Juli 2009, dengan pertimbangan bahwa untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2008 tentang Kecamatan. Pendidikan Teknis Pemerintahan bagi
Calon Camat yang selanjutnya disebut Diklat Camat adalah pendidikan
yang bersifat teknis yang diselenggarakan untuk meningkatkan
59
pengetahuan dan keterampilan dibidang pemerintahan guna mendukung
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan di Kecamatan. Diklat Camat
dimaksudkan untuk mewujudkan penyelenggara pemerintahan daerah
yang profesional. Diklat Camat bertujuan untuk:
a. Meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk
melaksanakan tugas Camat yang dilandasi dengan kepribadian dan
etika pegawai negeri sipil.
b. Memantapkan sikap dan semangat pengabdian Camat yang berorientasi
pada pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.
c. Membentuk Camat yang mampu berperan sebagai pembaharu dan
perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
d. Membentuk/mempersiapkan Camat yang mampu berperan sebagai
mediator, motivator, dan fasilitator pemerintah dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Sasaran Diklat Camat untuk terciptanya kesamaan pola pikir, pola
tindak, dan keselarasan untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah
dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan. Bagi Camat yang ingin
mengikuti pendidikan teknis ini harus memenuhi persyaratan.
a) Pegawai Negeri Sipil yang akan diangkat menjadi Camat tetapi tidak
memiliki ijazah Diploma/Sarjana pemerintahan dan belum bertugas di
desa, kelurahan dan kecamatan paling singkat 2 (dua) tahun.
b) Pernah atau sedang menduduki jabatan struktural eselon IV.
60
c) Diusulkan oleh Bupati/Walikota kepada Menteri Dalam Negeri dengan
tembusan kepada Gubernur.
Dalam penyelenggaraannya, Badan Pendidikan dan Pelatihan
Departemen Dalam Negeri sebagai penanggung jawab dalam pelaksanaan
Diklat Camat. Pelaksana Diklat Camat meliputi:
a. Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri;
b. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri
Regional; dan/atau
c. Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi.
Pelaksanaan Diklat Camat dapat bekerjasama dengan lembaga diklat
pemerintah lainnya. Pelaksana Diklat Camat Badan Pendidikan dan
Pelatihan Provinsi, melaksanakan Diklat Camat setelah mendapatkan
persetujuan Menteri Dalam Negeri dengan waktu pelaksanaan Diklat
Camat selama 600 jam pelajaran.
f. Tata Kerja dan Hubungan Camat
Camat melakukan koordinasi dengan kecamatan disekitarnya.
Camat mengoordinasikan unit kerja di wilayah kerja kecamatan dalam
rangka penyelenggaraan kegiatan pemerintahan untuk meningkatkan
kinerja kecamatan. Camat melakukan koordinasi dengan satuan kerja
perangkat daerah di lingkungan pemerintah kabupaten/kota dalam rangka
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di kecamatan.
61
Hubungan kerja kecamatan dengan perangkat daerah
kabupaten/kota bersifat koordinasi teknis fungsional dan teknis
operasional. Hubungan kerja kecamatan dengan instansi vertikal di
wilayah kerjanya, bersifat koordinasi teknis fungsional. Hubungan kerja
kecamatan dengan swasta, lembaga swadaya masyarakat, partai politik,
dan organisasi kemasyarakatan lainnya di wilayah kerja kecamatan
bersifat koordinasi dan fasilitasi.
g. Pembinaan dan Pengawasan Camat
Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan
Kecamatan dilaksanakan oleh bupati/walikota sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Setiap tahun pemerintah kabupaten/kota melakukan
evaluasi terhadap kinerja kecamatan yang mencakup:
1) Penyelenggaraan sebagian wewenang bupati/walikota yang
dilimpahkan untuk melaksanakan sebagian urusan otonomi daerah.
2) Penyelenggaraan tugas umum pemerintahan.
3) Penyelenggaraan tugas lainnya yang ditugaskan kepada camat.
Hasil evaluasi disampaikan oleh bupati/walikota kepada gubernur dengan
tembusan kepada Menteri Dalam Negeri. Pelaksanaan evaluasi
berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri.
62
h. Pendanaan Tugas Camat
Pendanaan tugas Camat dalam penyelenggaraan tugas umum
pemerintahan dan pelaksanaan sebagian wewenang bupati/walikota yang
dilimpahkan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) kabupaten/kota. Pembentukan, penghapusan dan penggabungan
kecamatan dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah
kabupaten/kota.
2. Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara
a. Dasar Hukum dan Pengertian Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) Sementara
Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Selain itu diatur juga dalam
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diundangkan pada
tanggal 26 Oktober 2009, mana kala peraturan sebelumnya terdapat
kendala dalam rangka pemenuhan kebutuhan PPAT.
63
Dasar hukum pengangkatan Camat sebagai PPAT Sementara dapat
dilihat dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah jo. Pasal 18 ayat (1)
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah jo. Pasal
2 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pelimpahan Wewenang
Pengangkatan dan Pemberhentian Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta
Tanah yang menyebutkan bahwa, Menteri dapat menunjuk Camat atau
Kepala Desa sebagai PPAT Sementara untuk melayani pembuatan akta di
daerah yang belum cukup terdapat PPAT sebagai PPAT Sementara”.41
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara adalah pejabat
pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas
PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat
PPAT.42
41 A.A Mahendra. 2001. Tugas dan Wewenang Jabatan PPAT Sementara. Jakarta. Pustaka
Ilmu. Hal. 7. 42 Lihat Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah jo. Pasal 1 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
64
b. Tugas dan Wewenang Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) Sementara
PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan
hukum sebagaimana dimaksud pada tugas pokok tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Jual beli
b. Tukar menukar
c. Hibah
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)
e. Pembagian hak bersama
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas tanah Hak Milik
g. Pemberian Hak Tanggungan
h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan
PPAT Sementara mempunyai kewenangan membuat akta tanah
yang merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum mengenai
Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dengan daerah
kerja di dalam wilayah kerja jabatannya.
Camat yang menjabat PPAT Sementara sebagai pejabat umum yang
diberi wewenang untuk membuat akta-akta dalam peralihan hak atas tanah
65
akta pembebanan, surat kuasa pembebanan, hak tanggungan. Selain tugas
tersebut Camat sebagai PPAT Sementara juga bertugas membantu Kepala
Kantor Pertanahan Nasional dalam melaksanakan pendaftaran tanah
dengan membuat akta-akta tertentu sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan atau bangunan
yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran tanah.43
c. Hak dan Kewajiban Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Sementara
PPAT mempunyai hak untuk cuti, memperoleh uang jasa
(honorium) dari pembuatan akta dalam peraturan pemerintah, memperoleh
informasi serta perkembangan peraturan perundang-undangan pertanahan
dan memperoleh kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri sebelum
ditetapkannya keputusan pemberhentian sebagai PPAT.
Camat sebagai PPAT Sementara yang sedang menjalankan cuti
dilarang membuat akata PPAT, sekaligus tidak dapat dijadikan sebagai
dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Apabila larangan
mengenai pembuatan akta oleh pejabat yang sedang menjalankan cuti
tersebut dilanggar, maka sebagai akibat hukumnya menjadi tanggung
jawab pribadi dari pembuat akta yang bersangkutan.
43 Heru Joko Supeno. 2014. Efektifitas Pasal 101 Peraturan Menteri Negara Agraria No
3/1997 Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Oleh PPAT Sementara (Studi Di Kabupaten Trenggalek). Malang. Jurnal. Fakultas Hukum. Universitas Brawijaya. Hal. 4.
66
Camat sebagai PPAT Sementara dalam Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki kewajiban sebagai berikut:
1) Menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2) Mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT.
3) Menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada
Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan setempat paling lambat tanggal
10 bulan berikutnya.
4) Membebaskan uang jasa kepada orang yang tidak mampu, yang
dibuktikan secara sah.
5) Membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang melaksanakan cuti
atau hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam
kerja Kantor Pertanahan setempat.
6) Berkantor hanya di kantor Camat sebagai PPAT Sementara dalam
wilayah penunjukannya.
7) Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf
dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah,
Bupati/ Walikota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor
67
Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang
bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah
jabatan.
8) Melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan sumpah
jabatan.
9) Sebelum Camat dan/atau Kepala Desa ditunjuk sebagai PPAT
Sementara, yang bersangkutan wajib mengikuti pendidikan dan
pelatihan yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama
dengan organisasi profesi PPAT. Namun penunjukan tersebut
dikecualikan bagi Camat dan/atau Kepala Desa yang akan ditunjuk
sebagai PPAT Sementara, apabila di daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan terdapat PPAT.
10) Untuk keperluan penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara yang
bersangkutan wajib mengajukan permohonan penunjukan sebagai
PPAT Sementara kepada Kepala Badan dengan melampirkan salinan
atau fotocopy keputusan pengangkatan sebagai Camat melalui Kepala
Kantor Wilayah.
11) Bagi Camat dan/atau Kepala Desa yang telah ditunjuk sebagai PPAT
Sementara sebelum melaksanakan tugasnya wajib mengikuti
pembekalan teknis pertanahan yang diselenggarakan oleh Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang penyelenggaraannya
dapat bekerja sama dengan organisasi profesi PPAT.
68
12) Untuk keperluan pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai
PPAT Sementara, setelah menerima keputusan penunjukan Camat
dan/atau Kepala Desa yang bersangkutan wajib melapor kepada Kepala
Kantor Pertanahan setempat paling lambat 3 (tiga) bulan. Apabila tidak
melapor dalam jangka waktu tersebut maka, keputusan penunjukan
sebagai PPAT Sementara yang bersangkutan batal demi hukum.
13) PPAT Sementara yang sudah mengangkat sumpah wajib
menandatangani surat pernyataan kesanggupan pelaksanaan jabatan
PPAT sesuai dengan keputusan pengangkatannya.
14) PPAT Sementara yang berhenti sebagai PPAT Sementara harus
menyerahkan protokol kepada PPAT Sementara yang
menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan.
d. Daerah Kerja Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Sementara
Pada Pasal 5 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat
Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa,
“Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjuknnya.”
69
Kedudukan Camat yang menjabat sebagai PPAT dengan tempat
kedudukan diluar daerah kerjanya sebagai PPAT, berhenti dengan
sendirinya sebagai PPAT sejak 6 bulan saat berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT.44
e. Formasi Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara
Pada Pasal 9 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta
Tanah menyatakan bahwasannya, Formasi atau kebutuhan dan penunjukan
PPAT Sementara ditetapkan oleh Kepala Badan dengan
mempertimbangkan beberapa faktor, yakni:
1) Jumlah kecamatan di daerah kabupaten/kota yang bersangkutan;
2) Tingkat perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun;
3) Tingkat perkembangan ekonomi daerah yang bersangkutan;
4) Jumlah permohonan untuk dapat diangkat sebagai PPAT di daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan;
44 Iga Gangga Santi Dewi. 2010. Peran Camat Selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Dalam Jual Beli Tanah. Volume 5, Nomor 2. Jurnal. Fakultas Hukum. Universitas Diponegoro. Hal. 122.
70
5) Jumlah PPAT yang sudah ada pada setiap daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan;
6) lain-lain faktor yang dianggap penting oleh Kepala Badan.
Dalam hal di daerah kabupaten/kota yang telah ditetapkan oleh
Kepala Badan PPATnya telah terpenuhi dengan pertimbangan tersebut,
maka terhadap Camat yang baru dilantik tidak lagi ditunjuk sebagai PPAT,
kecuali jumlah PPAT yang telah ada berkurang dari jumlah formasi yang
telah ditetapkan atau formasinya diadakan perubahan. Formasi PPAT
Sementara yang telah ditetapkan, dapat ditinjau kembali oleh Kepala
Badan apabila terdapat perubahan berdasarkan pertimbangan tersebut.
f. Penunjukan dan Pemberhentian Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) Sementara
Penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara tersebut tidak serta
merta secara otomatis Camat tersebut diangkat sebagai PPAT Sementara,
tetapi yang bersangkutan harus mengajukan permohonan penunjukan
sebagai PPAT Sementara yang ditujukan kepada Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 19 ayat (3)
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006
Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT yang menyebutkan bahwa, untuk
keperluan penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara sebagaimana
dimaksud pada Pasal 19 ayat (1) yang bersangkutan wajib mengajukan
71
permohonan penunjukan sebagai PPAT Sementara kepada Kepala BPN
dengan melampirkan salinan atau fotocopy keputusan pengangkatan
sebagai Camat melalui kepala Kantor Wilayah. Bagi Camat yang telah
ditunjuk sebagai PPAT Sementara sebelum melaksanakan tugasnya
wajib mengikuti pembekalan teknis pertanahan yang diselenggarakan
oleh BPN RI yang penyelenggaraannya dapat bekerjasama organisasi
profesi PPAT. Keputusan penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara
diberikan kepada yang bersangkutan setelah selesai pelaksanaan
pembekalan teknis pertanahan, dan untuk keperluan pelantikan dan
pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT Sementara, setelah
menerima keputusan penunjukkan sebagai PPAT Sementara, Camat
yang bersangkutan wajib melapor kepada Kepala Kantor Pertanahan
setempat paling lama 3 (tiga) bulan. Apabila Camat yang telah ditunjuk
sebagai PPAT Sementara tidak melapor kepada Kepala Kantor
Pertanahan sebagaimana waktu yang telah ditentukan di atas, maka
keputusan penunjukan sebagai PPAT Sementara yang bersangkutan batal
demi hukum.45
Keputusan penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara ditetapkan
oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang
pelaksanaannya di delegasikan kepada Kepala Kantor Wilayah, yang
dilakukan dalam hal di daerah kebupaten/kota sebagai wilayah kerjanya
45 Khairuddin Ahmad. 2009. PPAT Sebagai Pejabat Khusus di Bidang Pertanahan. Jakarta.
Penerbit Media Ilmu. Hal. 23.
72
masih tersedia formasi PPAT. Keputusan penunjukannya di tandatangani
oleh Kepala Kantor Wilayah atas nama Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia. Keputusan pengangkatan PPAT
ditetapkan oleh Kepala Badan dan berlaku sejak tanggal pelantikan
PPAT Sementara yang dilaksanakan oleh Kepala Badan Pertanahan
Kabupaten/Kota dengan mengangkat sumpah jabatan PPAT di
hadapannya dan di dampingi oleh rohaniawan.46
Camat diangkat sebagai PPAT Sementara sepanjang Camat
tersebut menjabat sebagai Camat bukan sepanjang kalau formasi PPAT-
nya tiba-tiba tertutup atau terpenuhi, cukup tidak cukup begitu Camat
diangkat sepanjang masa jabatannya masih berlaku ia tetap boleh
menjadi PPAT Sementara. Persoalan didalam perjalanannya itu Camat
sebagai PPAT Smentara tidak berhenti meskipun formasi PPAT pada
suatu daerah telah cukup. Perkataan sementara hanya diartikan pada
waktu pengangkatan, kalau pada waktu pengangkatan formasinya
memang memenuhi syarat maka Camat tidak akan diangkat sebagai
PPAT Sementara, tetapi didalam perjalanannya sekali dia diangkat
meskipun formasinya terpenuhi dia tidak gugur sampai selesai
jabatannya.47
PPAT Sementara berhenti melaksanakan tugas PPAT apabila tidak
memegang jabatan sebagai PPAT Sementara yang mana ditunjuk dengan
46 Abdul Mukmin, Op.cit. Hal. 56-57. 47 Gusti Surya Hadi Saputra. 2014. Batasan Waktu Sementara Terhadap Camat Sebagai
Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara. Surabaya. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. Vol. 3 No.1. Fakultas Hukum. Universitas Surabaya. Hal,1.
73
melihat formasi PPAT dalam suatu daerah maka, tidak perlu di buatkan
surat pemberhentiannya. PPAT Sementara berhenti melaksanakan tugas
PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan atau diberhentikan oleh
pejabat di bidang pertanahan sesuai dengan kewenangannya.
PPAT Sementara yang berhenti dari jabatannya, wajib
menyerahkan protokol PPAT-nya kepada PPAT Sementara atau kepada
Kepala Kantor Pertanahan kecuali karena pemberhentian sementara.
Penyerahan protokol PPAT Sementara yang berhenti menjabat dilakukan
kepada PPAT Sementara yang menjabat berikutnya di kecamatan yang
bersangkutan, atau apabila Camat di kecamatan tersebut tidak ditunjuk
lagi sebagai PPAT Sementara, kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk
selanjutnya diserahkan kepada PPAT yang berkantor di kecamatan yang
bersangkutan yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pertanahan.
C. Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT)
1. Dasar Hukum dan Pengertian Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah telah dilakukan beberapa
perubahan, terakhir diatur dan ditetapkan dalam Keputusan Menteri Agraria
dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor: 112.KEP-4/IV/2017 tentang Pengesahan Kode Etik Ikatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah pada tanggal 27 April 2017.
Pada Pasal 1 angka 2 Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
menjelaskan bahwasannya, Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah
74
merupakan seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan
berdasarkan keputusan Kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang
berlaku bagi serta wajib ditaati oleh anggota perkumpulan IPPAT dan semua
orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai PPAT, termasuk di dalamnya
para PPAT Pengganti.
2. Ruang lingkup berlakunya Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Pada pasal 2 Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
menyatakan bahwa, Kode etik ini berlaku bagi seluruh PPAT dan bagi PPAT
pengganti, baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan (khusus bagi yang
melaksanakan tugas jabatan PPAT) ataupun dalam kehidupan sehari-hari.
3. Kepengurusan Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Dalam kepengurusannya, Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
terdiri dari;
a. Pembina PPAT adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional beserta jajarannya.
b. Pengurus Pusat adalah Pengurus Perkumpulan/Organisasi IPPAT pada
tingkat Nasional yang mempunyai tugas, kewajiban serta kewenangan
untuk mewakili dan bertindak atas nama perkumpulan, baik di luar
maupun di muka Pengadilan.
75
c. Pengurus Daerah adalah Pengurus Perkumpulan IPPAT pada tingkat
Daerah yang meliputi wilayah kepengurusan tempat kedudukan dan/atau
tempat tinggal anggota perkumpulan IPPAT.
d. Pengurus Wilayah yakni Pengurus Wilayah adalah Pengurus Perkumpulan
IPPAT pada tingkat Wilayah yang meliputi wilayah kepengurusan tempat
kedudukan dan/atau tempat tinggal anggota perkumpulan IPPAT.
e. Majelis Kehormatan yakni Majelis Kehormatan adalah suatu badan atau
lembaga yang mandiri dan bebas dari keberpihakan dalam perkumpulan
IPPAT yang mempunyai tugas dan/atau kewajiban untuk melakukan
pembinaan, pengawasan dan penertiban maupun pembenahan, serta
mempunyai kewenangan untuk memanggil, memeriksa dan menjatuhkan
putusan, sanksi atau hukuman kepada anggota perkumpulan IPPAT yang
melakukan pelanggaran Kode Etik.
f. Majelis Kehormatan Pusat yakni Majelis Kehormatan Pusat adalah
Majelis Kehormatan pada tingkat nasional dari perkumpulan IPPAT yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengawasan,
penertiban dan pembenahan, demikian pula untuk memeriksa, memutus
dan menjatuhkan sanksi atau hukuman kepada anggota perkumpulan
IPPAT pada tingkat banding dan terakhir serta bersifat final.
g. Majelis Kehormatan Daerah yakni Majelis Kehormatan Daerah adalah
Majelis Kehormatan pada tingkat Daerah dari perkumpulan IPPAT yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengawasan,
penertiban dan pembenahan, demikian pula untuk memeriksa, memutus
76
dan menjatuhkan sanksi atau hukuman kepada anggota perkumpulan
IPPAT pada tingkat pertama.
4. Kewajiban dan Larangan Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Berdasarkan Pasal 1 angka 12 menyatakan bahwasannya kewajiban
Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah adalah sikap, perilaku dan
perbuatan atau tindakan berupa apapun oleh anggota perkumpulan IPPAT
untuk menjaga dan memelihara citra serta wibawa dan menjunjung tinggi
keluhuran harkat dan martabat jabatan PPAT. Dalam rangka untuk
melaksanakan tugas jabatan para PPAT serta PPAT Pengganti ataupun dalam
kehidupan sehari-hari, setiap PPAT diwajibkan untuk:
a. Berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan
PPAT.
b. Menjunjung tinggi dasar negara dan hukum yang berlaku serta bertindak
sesuai dengan makna sumpah jabatan dan kode etik.
c. Berbahasa Indonesia secara baik dan benar.
d. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara.
e. Memiliki perilaku profesional dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan
nasional, khususnya di bidang hukum.
f. Bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur, dan tidak
berpihak.
g. Memberi pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang
memerlukan jasanya.
77
h. Memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang memerlukan
jasanya dengan maksud agar masyarakat menyadari dan menghayati hak
dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat.
i. Memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang tidak atau kurang
mampu secara cuma-cuma.
j. Bersikap saling menghormati, menghargai serta mempercayai dalam
suasana kekeluargaan dengan sesama rekan sejawat.
k. Menjaga dan membela kehormatan serta nama baik korps PPAT atas dasar
rasa solidaritas dan sikap tolong menolong secara konstruktif.
l. Bersikap ramah terhadap setiap pejabat dan mereka yang ada hubungannya
dengan pelaksanaan tugas jabatannya.
m. Menetapkan suatu kantor, dan kantor tersebut merupakan satu-satunya
kantor bagi PPAT yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan
sehari-hari.
n. Melakukan registrasi, memperbaharui profil PPAT, dan melakukan
pemutakhiran data PPAT lainnya di Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahaan Nasional.
o. Dalam hal seorang PPAT menghadapi dan/atau menemukan suatu akta
yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat
kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka
PPAT tersebut wajib:
1) Memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas
kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui,
78
melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan
terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut.
2) Segera setelah berhubungan dengan rekan sejawat yang membuat akta
tersebut, maka kepada klien yang bersangkutan sedapat mungkin
dijelaskan mengenai hal-hal yang salah dan cara memperbaikinya.
p. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai
kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain:
a) Peraturan Perundang-undangan yang mengatur Jabatan PPAT;
b) Isi Sumpah Jabatan;
c) Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ataupun keputusan-
keputusan lain yang telah ditetapkan oleh Perkumpulan IPPAT, antara
lain:
1) Membayar iuran,
2) Membayar uang duka manakala ada seorang PPAT atau mantan
PPAT meninggal dunia,
3) Mentaati ketentuan tentang tarif serta kesepakatan yang dibuat oleh
dan mengikat setiap anggota perkumpulan IPPAT.
d) Ketentuan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan kewajiban
PPAT.
Sebagaimana dalam Pasal 1 angka 13 Kode Etik Ikatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah mengatakan, Larangan adalah sikap, perilaku dan
perbuatan atau tindakan berupa apapun yang harus ditinggalkan (tidak boleh
dilakukan) oleh anggota perkumpulan IPPAT yang dapat atau setidak-
79
tidaknya dikhawatirkan dapat menurunkan citra serta wibawa lembaga PPAT
ataupun keluhuran harkat dan martabat jabatan PPAT. Setiap PPAT, baik
dalam rangka melaksanakan tugas jabatan maupun dalam kehidupan sehari-
hari, dilarang:
1) Membuka/mempunyai kantor cabang atau kantor perwakilan.
2) Secara langsung mengikutsertakan atau menggunakan perantara-perantara
dengan mendasarkan pada kondisi-kondisi tertentu.
3) Mempergunakan media massa yang bersifat promosi.
4) Melakukan tindakan-tindakan yang pada hakikatnya mengiklankan diri
antara lain:
a) Memasang iklan dalam surat kabar, majalah berkala atau terbitan
perdana suatu kantor, perusahaan, biro jasa, biro iklan, baik berupa
pemuatan nama, alamat, nomor telepon, maupun berupa ucapan-ucapan
selamat, dukungan, dan sumbangan.
b) Uang atau apapun, pensponsoran kegiatan apapun, baik sosial,
kemanusiaan, olah raga dan dalam bentuk apapun, pemuatan dalam
buku-buku yang disediakan untuk pemasangan iklan dan/atau promosi
pemasaran.
c) Mengirim karangan bunga atas kejadian apapun dan kepada siapapun
yang dengan itu nama anggota perkumpulan IPPAT terpampang kepada
umum, baik umum terbatas maupun umum tak terbatas.
d) Mengirim orang-orang selaku “salesman” ke berbagai tempat/lokasi
untuk mengumpulkan klien dalam rangka pembuatan akta; dan
80
e) Tindakan berupa pemasangan iklan untuk keperluan pemasaran atau
propaganda lainnya.
5) Memasang papan nama dengan cara dan/atau bentuk di luar batas-batas
kewajaran dan/atau memasang papan nama di beberapa tempat di luar
lingkungan kantor PPAT yang bersangkutan.
6) Mengadakan usaha-usaha yang menjurus ke arah timbulnya persaingan
yang tidak sehat dengan sesama rekan PPAT, baik langsung maupun tidak
langsung, termasuk antara lain pada penetapan jumlah biaya pembuatan
akta.
7) Melakukan perbuatan ataupun persaingan yang merugikan sesama rekan
PPAT, baik moral maupun material ataupun melakukan usaha-usaha untuk
mencari keuntungan bagi dirinya semata-mata.
8) Mengajukan permohonan, baik lisan maupun tertulis kepada instansi,
perusahaan, lembaga ataupun perseorangan untuk ditetapkan sebagai
PPAT dari instansi, perusahaan atau lembaga tersebut, dengan atau tanpa
disertai pemberian insentif tertentu, termasuk antara lain pada penurunan
tarif yang jumlahnya/besarnya lebih rendah dari tarif yang dibayar oleh
instansi, perusahaan, lembaga ataupun perseorangan kepada PPAT
tersebut.
9) Menerima/memenuhi permintaan dari seseorang untuk membuat akta yang
rancangannya telah disiapkan oleh PPAT lain, kecuali telah mendapat izin
dari PPAT pembuat rancangan.
81
10) Berusaha atau berupaya agar seseorang berpindah dari PPAT lain
kepadanya dengan jalan apapun, baik upaya itu ditujukan langsung kepada
klien yang bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain.
11) Menempatkan pegawai atau asisten PPAT di satu atau beberapa tempat di
luar kantor PPAT yang bersangkutan, baik di kantor cabang yang sengaja
dan khusus dibuka untuk keperluan itu maupun di dalam kantor instansi
atau lembaga/klien PPAT yang bersangkutan, di mana pegawai/asisten
tersebut bertugas untuk menerima klien-klien yang akan membuat akta,
baik klien itu dari dalam dan/atau dari luar instansi/lembaga itu, kemudian
pegawai/asisten tersebut membuat akta-akta itu, membacakannya atau
tidak membacakannya kepada klien dan menyuruh klien yang
bersangkutan menandatanganinya di tempat pegawai/asisten itu berkantor
di instansi atau lembaga tersebut, untuk kemudian akta-akta tersebut
dikumpulkan untuk ditandatangani PPAT yang bersangkutan di kantor
atau di rumahnya.
12) Mengirim minuta kepada klien-klien untuk ditandatangani oleh klien-klien
tersebut.
13) Menjelek-jelekkan dan/atau mempersalahkan rekan PPAT dan/atau akta
yang dibuat olehnya.
14) Menahan berkas seseorang dengan maksud untuk “memaksa” orang itu
agar membuat akta pada PPAT yang menahan berkas tersebut.
82
15) Menjadi alat orang atau pihak lain untuk semata-mata menandatangani
akta buatan orang lain sebagai akta yang dibuat oleh/di hadapan PPAT
yang bersangkutan.
16) Membujuk dan/atau memaksa klien dengan cara atau dalam bentuk apapun
untuk membuat akta padanya ataupun untuk pindah dari PPAT lain.
17) Membentuk kelompok di dalam tubuh IPPAT (tidak merupakan salah satu
seksi dari Perkumpulan IPPAT) dengan tujuan untuk melayani
kepentingan suatu instansi atau lembaga secara khusus/eksklusif, apalagi
menutup kemungkinan bagi PPAT lain untuk memberikan pelayanan.
18) Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai
pelanggaran terhadap Kode Etik PPAT, antara lain pada pelanggaran-
pelanggaran terhadap:
a) Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Jabatan PPAT dan ketentuan
perundang-undangan lainnya yang terkait dengan tugas pokok PPAT.
b) Isi Sumpah Jabatan.
c) Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah
Tangga dan/atau keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi
IPPAT tidak boleh dilakukan oleh anggota perkumpulan IPPAT.
5. Pelanggaran Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Pada Pasal 1 angka 11 Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah menyatakan bahwasannya, Pelanggaran adalah semua jenis
perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh anggota perkumpulan IPPAT
83
yang dapat menurunkan keluhuran harkat dan martabat jabatan PPAT,
sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Kode Etik. Terdapat hal-hal
yang dikecualikan dalam kewajiban dan larangan, maka hal-hal tersebut di
bawah ini merupakan pengecualian yang tidak termasuk pelanggaran,
yaitu:
a. Pengiriman kartu pribadi dari anggota perkumpulan IPPAT yang berisi
ucapan selamat pada kesempatan-kesempatan ulang tahun, kelahiran
anak, keagamaan, adat atau ucapan ikut berduka cita dan lain
sebagainya yang bersifat pribadi.
b. Pemuatan nama anggota perkumpulan IPPAT oleh perusahaan
telekomunikasi atau badan yang ditugasinya dalam lembaran kuning
dari buku telepon yang disusun menurut kelompok-kelompok jenis
usaha, tanpa pemuatan nama anggota perkumpulan IPPAT dalam box-
box iklan lembaran kuning buku telepon itu.
c. Pemuatan nama anggota perkumpulan IPPAT dalam buku petunjuk
faksimili dan/atau teleks.
d. Menggunakan kalimat, pasal, rumusan-rumusan yang terdapat dalam
akta yang dibuat oleh atau di hadapan anggota perkumpulan IPPAT
lain, dengan syarat (turunan dari) akta tersebut sudah selesai dibuat dan
telah menjadi milik klien.
e. Memperbincangkan pelaksanaan tugasnya dengan rekan sejawat
bilamana dianggap perlu.
84
6. Sanksi Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Pada Pasal 1 angka 14 Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah menyatakan bahwasannya sanksi merupakan Sanksi adalah suatu
hukuman sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin
anggota perkumpulan IPPAT dalam menegakkan Kode Etik ini. Sanksi
yang dikenakan terhadap anggota perkumpulan IPPAT yang melakukan
pelanggaran Kode Etik dapat berupa:
a. Teguran.
b. Peringatan.
c. Schorsing dari keanggotaan perkumpulan IPPAT.
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT.
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan
IPPAT.
Penjatuhan sanksi-sanksi terhadap anggota perkumpulan IPPAT
yang melakukan pelanggaran Kode Etik disesuaikan dengan frekuensi dan
kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota perkumpulan IPPAT
tersebut. Penjatuhan sanksi akan berakibat pada penjatuhan sanksi yang
akan diberikan kemudian oleh Pembina PPAT.
7. Efektivitas Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Efektivitas dalam Kode Etik yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor: 112.KEP-4/IV/2017, dapat dikatakan bahwasannya dalam
85
implementasi kode etik, lembaga profesi yang dalam hal ini adalah IPPAT
memiliki peranan penting. Selain domain kewenangan dalam
menformulasikan Kode etik PPAT juga menjamin implementasi penegakan
kode etik tersebut.
Dalam praktik pelaksanaan dan penindakan, kewenangan kode etik
PPAT ada pada lembaga Majelis Kehormatan. Keberadaan Majelis
Kehormatan merupakan wujud kemandirian lembaga profesi yang nantinya
dalam menjalankan kewenangan penegakan kode etik dengan mengambil
tindakan atas segala bentuk penyimpangan secara etika yang dilakukan oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hal ini tentunya penting mengingat peraturan
etika tanpa penegakan etika yang jelas akan membuat tidak akan berfungsinya
sistem etika yang akan dibangun.
Sehingga, apabila terjadi penyimpangan maka peran organisasi profesi
dapat melakukan tindakan hukum. Bentuk sanksi yang demikian sifatnya
berjenjang dengan melihat dari pertimbangan atas tindakan pelanggaran etika
yang dilakukan disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang
dilakukan anggota tersebut. Subtansi etika yang utama sebenarnya adalah
mengenai jaminan kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat
sehingga optimalisasi dibutuhkan disini.
Dalam mengoptimalkan peran penegakan etika, peran dan kontribusi
tersebutlah yang dapat menjamin penegakan etika pastinya dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jika kemudian
peran dan optimalisasi penegakan etika dapat diformulasikan melalui
86
dukungan masyarakat, maka sudah jadi pada tahap selanjutnya kedudukan
PPAT dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum dapat maksimal
bagi kepentingan masyarakat.
Disisi lain, bagi PPAT secara personal, perlu pemahaman hukum dan
etika yang utuh menjadi salah satu alternative yang tepat agar PPAT tidak
terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran etika.48
48 Soegianto. Kode Etik dan Penegakannya Bagi PPAT. Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Jawa Tengah. https://pengwilippatjateng.org. Diakses pada tanggal 21 Desember 2017.
top related