tinjauan hukum islam tentang akad upah jasa …repository.radenintan.ac.id › 7438 › 1 ›...
TRANSCRIPT
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG AKAD UPAH JASA PENITIPAN
MOTOR SISTEM HARIAN
(Studi Pada Jasa Penitipan Motor Rajawali di Jalan Alamsyah Ratu
Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Dalam Ilmu Syariah
Oleh :
ENILA SARI
NPM : 1521030352
Program Studi : Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
TAHUN 1440/2019 M
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG AKAD UPAH JASA PENITIPAN
MOTOR SISTEM HARIAN
(Studi Pada Jasa Penitipan Motor Rajawali di Jalan Alamsyah Ratu
Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Dalam Ilmu Syariah
Oleh :
ENILA SARI
NPM : 1521030352
Program Studi : Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)
Pembimbing I: Dr. Hj. Zuhraini, M.H
Pembimbing II : Khoiruddin, M.S.I
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
TAHUN 1440/2019 M
iii
ABSTRAK
Akad berarti perjanjian atau yang mengikat dan bisa diartikan juga sebagai
suatu yang menghubungkan kehendak satu pihak dengan pihak lain dalam
bentuk yang telah disepakati atau suatu yang sengaja dilakukan oleh kedua belah
pihak berdasarkan persetujuan masing-masing. Upah atau ijarah berarti jasa,
sewa, imbalan dan bisa diartikan sebagai mengambil manfaat tenaga orang lain
dengan jalan memberi ganti atau imbalan menurut syarat-syarat tertentu. Upah
dimasukkan dalam kaidah sewa-menyewa, dimana melibatkan mu’jir dan
mus’tajir (penyewa dan menyewakan). Sedangkan wadi’ah berarti titipan,
meninggalkan atau kepercayaan wadi’ah juga dapat diartikan sebagai pemberian
mandat untuk menjaga sebuah barang yang dimiliki atau barang yang secara
khusus dimiliki seseorang, dengan cara-cara tertentu. Jasa penitipan motor
merupakan usaha yang menyediakan tempat parkir khusus bagi pengendara motor
yang ingin menitipkan kendaraan mereka beberapa waktu. Sistem pembayaran
dilakukan sesudah kendaraan yang dititipkan diambil oleh pemiliknya.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana akad
pengupahan pada jasa penitipan motor sistem harian di Jalan Alamsyah Ratu
Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan dan bagaimana pandangan hukum
Islam tentang akad pengupahan pada jasa penitipan motor sistem harian di Jalan
Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui akad pengupahan pada jasa penitipan motor sistem
harian di Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan serta
untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang akad pengupahan pada jasa
penitipan motor sistem harian di Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena
Lampung Selatan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan
menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian
ini menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Metode analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif dengan
pendekatan induktif. Sistem pengambilan sampel menggunakan sampel acak
(random sampling).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa akad upah jasa penitipan motor
sistem harian di Jalan Alamsyah Ratuprawiranegara Hajimena Lampung Selatan
dalam prakteknya dilakukan dengan sistem upah pembayaran harian, pembayaran
dilakukan setelah kendaraan tersebut diambil oleh pemiliknya. Namun, apabila
motor yang dititipkan itu menginap atau melewati batas hari penitipan maka akan
dikenakan tambahan harga dalam perharinya dan berlaku kelipatannya. Akad
pengupahan pada jasa penitipan motor tersebut adalah sah, karena kebiasaaan
yang berulang-ulang terjadi dimasyarakat bisa dijadikan suatu hukum. Namun,
pada hakikatnya akad haruslah dihormati dan tidak boleh menyalahi salah satu
dari hukum-hukum syariat, perjanjiannya harus berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak.
vii
MOTTO
إن الله يأمركم أن ت ؤدوا األمانات إل أهلها وإذا حكمتم ب ي الناس أن تكموا بال عا يعظكم به إن يعا بصرياإن الله نعم الله كان س
Artinya:“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat”.1
1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Pustaka Agung
Harapan, 2006), h. 69.
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini di persembahkan dan didedikasikan sebagai bentuk ungkapan
rasa syukur dan terima kasih yang mendalam kepada:
1. Ibuku tercinta, Ibu Sri Lestari dan Ayahku Suyatno, terima kasih atas cinta,
kasih sayang, pengorbanan, dukungan, motivasi serta do’anya yang selalu
membangkitkan dan menguatkanku dalam menuntut ilmu.
2. Kakakku Parwoko S.E, Adik-adikku Neli Julista Sari, M. Arno Ramadhana
dan Elsa Putri Balqis yang tiada hentinya memberikan dukungan baik materi
maupun spiritual, memberikan contoh sikap teladan dan disiplin serta
mengajarkan penulis akan arti hidup untuk mencapai kesuksesan dan berkat
inspirasi yang diberikan sehingga penulisan ini dapat diselesaikan dengan
baik.
3. Almamaterku UIN Raden Intan Lampung yang kubanggakan.
ix
RIWAYAT HIDUP
Nama Enila Sari, lahir di Kotabumi, pada tanggal 28 Maret 1997, anak
kedua dari lima bersaudara pasangan Ayah Suyatno dan Ibu Sri Lestari.
Riwayat pendidikan sebagai berikut:
1. Pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 06 Tanjung Harapan, Kecamatan
Kotabumi Selatan, Kabupaten Lampung Utara 2006.
2. Melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di SMP Kemala Bhayangkari,
Kecamatan Kotabumi Selatan, Kabupaten Lampung Utara 2012.
3. Pada tahun 2009 melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas SMA Kemala
Bhayangkari, Kecamatan Kotabumi Selatan, Kabupaten Lampung Utara
2015.
4. Kemudian pada tahun 2015 meneruskan pendidikan S1 di Fakultas Syari’ah
UIN Raden Intan Lampung pada prodi Hukum Ekonomi Syariah
(Muamalah).
x
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan izin Allah SWT, puji syukur kupanjatkan atas segala
nikmat-nikmat yang telah dikaruniakan kepada saya, baik nikmat kesehatan, ilmu,
semangat dan petunjuk sehingga skripsi dengan judul Tinjauan Hukum Islam
Tentang Upah Jasa Penitipan Motor Sistem Harian (Studi Pada Jasa Penitipan
Motor Rajawali di Jalan Alamsyah Ratuprawiranegara, Hajimena, Lampung
Selatan) dapat diselesaikan. Dan shalawat berserta salam disampaikan kepada
Rasulullah SAW, para keluarganya, sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir
zaman.
Skripsi ini ditulis dan diselesaikan sebagai salah satu persyaratan
menyelesaikan studi pada program Strata Satu (S1) Jurusan Muamalah Fakultas
Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H) dalam Ilmu Syari’ah.
Atas bantuan semua pihak yang membantu baik bantuan materil dan
immateril dalam proses penyelesaian skripsi ini, tak lupa dihaturkan terima kasih
sedalam-dalamnya. Secara rinci ungkapan terima kasih disampaikan kepada:
1. Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M. Ag, selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Raden Intan Lampung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menimba ilmu di kampus tercinta ini;
2. Dr. H. Khairuddin, M.H selaku Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam
Negeri Raden Intan Lampung yang senantiasa tanggap terhadap kesulitan-
kesulitan mahasiswa;
xi
3. Khoiruddin, M.S.I dan Juhrotul Khulwah, M.Si selaku ketua dan sekretaris
prodi Muamalah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung;
4. Dr. Hj. Zuhraini, M.H selaku pembimbing I dan bapak Khoiruddin, M.S.I
selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk
membimbing penulis serta memberikan arahan demi selesainya skripsi ini;
5. Bapak/Ibu Dosen dan segenap sivitas akademika Fakultas Syari’ah UIN
Raden Intan Lampung;
6. Kepala perpustakaan pusat UIN Raden Intan Lampung dan Fakultas Syari’ah
serta segenap pengelola perpustakaan yang telah memberikan informasi, data,
referensi dan lain-lain;
7. Rekan-rekan seperjuangan dalam menuntut ilmu keluarga besar Muamalah F
Angkatan 2015;
8. Sahabat-sahabatku Sartika Tri Rahmadhini, Tri Maulidiah, Yulisa Safitri;
9. Rekan-rekan KKN 259 di Pekon Pandan Sari Selatan, Kec. Sukoharjo Kab.
Pringsewu;
10. Almamater tercinta UIN Raden Intan Lampung;
Semoga Allah S.W.T memberikan balasan yang berlipat ganda kepada
semuanya. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
dikarenakan keterbatasan, kemampuan dan referensi yang penulis miliki. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan masukan dan saran-saran guna melengkapi
skripsi ini.
xii
Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat menjadi sumbangan yang cukup
berarti dalam pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-
ilmu dibidang hukum dan keislaman.
Bandar Lampung, 17 April 2019
Penulis,
Enila Sari
NPM. 1521030352
xiii
DAFTAR ISI
COVER LUAR.............................................................................................i
COVER DALAM ......................................................................................... ii
ABSTRAK ................................................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN ........................................................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN..................................................................... v
PENGESAHAN ........................................................................................... vi
MOTTO ...................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ...................................................................................... viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................... ix
KATA PENGANTAR .................................................................................. x
DAFTAR ISI .............................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul ................................................................................. 1
B. Alasan Memilih Judul ........................................................................ 2
C. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 3
D. Rumusan Masalah .............................................................................. 9
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................... 9
F. Metode Penelitian............................................................................. 10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Akad
1. Pengertian Akad ......................................................................... 19
2. Pembentukan Akad .................................................................... 21
B. Wadi’ah ............................................................................................ 36
1. Pengertian Wadi’ah .................................................................... 36
2. Dasar Hukum Wadi’ah ............................................................... 39
3. Rukun dan Syarat Wadi’ah ........................................................ 41
4. Kewajiban Menerima Wadi’ah .................................................. 43
5. Hukum Menerima Wadi’ah........................................................ 45
xiv
6. Rusak dan Hilangnya Wadi’ah................................................... 46
C. Ijarah ................................................................................................ 48
1. Pengertian Ijarah ........................................................................ 48
2. Dasar Hukum Ijarah ................................................................... 51
3. Rukun dan Syarat Ijarah ............................................................. 59
4. Macam–macam Ijarah ................................................................ 63
5. Pembayaran Ijarah ...................................................................... 65
6. Berakhirnya Ijarah ...................................................................... 66
BAB III PENYAJIAN DATA LAPANGAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................ 69
1. Sejarah Jasa Penitipan Motor Rajawali ...................................... 69
2. Kepengurusan Pada Jasa Penitipan Motor Rajawali .................. 72
B. Praktek Penitipan dan Akad Upah Pada Jasa Penitipan
Motor Rajawali di Jalan Alamsyah Ratuprawiranegara Hajimena
Lampung Selatan .............................................................................. 73
BAB IV ANALISIS DATA
A. Praktek Penitipan dan Akad Upah Jasa Penitipan Motor
Rajawali di Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena
Lampung Selatan .............................................................................. 80
B. Tinjauan Hukum Islam Tentang Akad Upah Jasa Penitipan
Motor Rajawali di Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena
Lampung Selatan .............................................................................. 82
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 87
B. Saran-saran ....................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul
Adapun judul skripsi ini adalah tinjauan hukum Islam tentang akad upah
jasa penitipan motor sistem harian (studi pada jasa penitipan motor rajawali di
Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan). Untuk itu
diuraikan pengertian dari istilah–istilah judul tersebut sebagai berikut:
1. Tinjauan merupakan meninjau, melihat sesuatu yang sangat jauh dari tempat
yang tinggi (datang, pergi) melihat–lihat (menengok; memeriksa; mengamati;
dan sebagainya).1 Sedangkan yang dimaksud dengan tujuan tinjauan dalam
judul ini adalah meninjau lebih jauh tentang bagaimana pandangan hukum
Islam mengenai praktek dalam Jasa Penitipan Motor Rajawali Studi Pada Jasa
Penitipan Motor di Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena Lampung
Selatan.
2. Hukum Islam merupakan tuntunan dan tuntutan, tata aturan yang harus ditaati
dan diikuti oleh manusia sebagai perwujudan pengamalan Al-Qur’an dan As-
sunnah serta ijma sahabat.2 Hukum Islam dalam hal ini lebih spesifik pada
hukum Islam yang mengatur hubungan antar sesama manusia, yakni Fiqh
Muamalah.
3. Akad merupakan menghubungkan suatu kehendak sesuatu pihak dengan pihak
lain dalam suatu bentuk yang telah disepakati atau suatu yang sengaja
dilakukan oleh kedua belah pihak berdasarkan persetujuan masing-masing.
1 Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Amalia, 2005), h. 336.
2 Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 51.
2
4. Upah jasa penitipan motor merupakan hak pekerja yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari kegiatan menyewakan
parkir khusus untuk pengendara motor yang ingin menitipkan kendaraan
beberapa waktu menurut suatu perjanjian kerja.3
5. Sistem harian merupakan bayaran yang diberikan kepada karyawan hanya
untuk hasil kerja harian, apabila yang bersangkutan masuk kerja.4 Dalam upah-
mengupah ini diberlakukan perhari, artinya jika di hari tersebut pemilik barang
tidak mengambil barangnya sampai batas waktu yang telah ditentukan/barang
menginap ditempat penitipan, maka akan dikenakan tarif kembali sesuai
dengan apa yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak yang
berakad.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa maksud
judul penelitian ini adalah akad upah jasa penitipan motor sistem harian di Jalan
Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan ditinjau dari segi
hukum Islam.
B. Alasan Memilih Judul
1. Alasan obyektif yaitu sikap lebih pasti serta diyakini keabsahannya dan juga
memadukan suatu pemikiran, asumsi dengan disertai data dan fakta. Maka dari
itu penulis tertarik ingin mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam
mengenai hukum akad upah jasa penitipan motor sistem harian.
3 https;//peluangusaharumahan.info
4 https://www.kamusbesar.com/upah-harian
3
2. Alasan subyektif yaitu sikap yang lebih condong kepada berfikir secara relatif,
didasari dengan hasil menduga–duga ditekankan kepada perasaan atau selera
orang saja, dilihat dari segi bahasa, judul skripsi ini sesuai dengan disiplin ilmu
yang penulis pelajari dibidang Muamalah Fakultas Syariah UIN Raden Intan
Lampung.
C. Latar Belakang Masalah
Muamalah merupakan suatu bentuk aturan dan diciptakan Allah SWT guna
mengatur hubungan manusia dengan makhluk yang lain dalam kehidupan ini,
demi memperoleh semua keperluan dan keinginan dengan cara paling baik
diantaranya yaitu sistem kerja sama pengupahan.5 Ini semua bertujuan guna
memperoleh kerjasama saling untung di semua pihak. Dalam usaha ini, manusia
dituntut haruslah adil dalam melakukan suatu bentuk muamalah apapun itu. Demi
mendapatkan keadilan inilah diharuskan adanya akad (ijab dan qabul) yang
mengikat diantara keduanya supaya tidak terjadi perselisihan diantara kedua belah
pihak.
Dalam dunia usaha, akad usaha itu menduduki posisi yang amat penting,
karena perjanjian itulah yang membatasi hubungan antara dua pihak yang terlibat
dalam pengelolaan usaha, dan yang akan mengikat hubungan itu di masa sekarang
dan di masa yang akan datang, dan karena dasar hubungan itu adalah pelaksanaan
apa yang menjadi orientasi kedua orang yang melakukan perjanjian, dijelaskan
dalam perjanjian oleh keduanya, kecualibila menghalalkan yang haram atau
5 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h.2.
4
mengharamkan yang halal, atau mengandung unsur pelanggaran terhadap hukum-
hukum Allah.6
Akad adalah bagian dari macam-macam tasharruf, yang dimaksud dengan
tasharruf ialah segala yang keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan
syara’ menetapkan beberapa haknya.7
Tasharruf terbagi dua, yaitu tasharruf fi‟il dan tasharruf qauli: Tasharruf
fi‟il ialah usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan badannya, selain lidah
misalnya memanfaatkan tanah yang tandus, menerima barang dalam jual beli,
merusakkan barang orang lain.
Tasharruf qauli ialah tasharruf yang keluar dari lidah manusia atau sesuatu
yang dibentuk dari dua ucapan kedua belah pihak yang saling bertalian.8
Perkataan ‘aqdu mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila
seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji
tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang
pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji (‘ahdu) dari dua orang yang
mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain disebut (‘aqad).9
Upah atau ijarah menjadi salah satu hal yang paling penting di dalam suatu
transaksi ketenagakerjaan sendiri, karena tujuan orang bekerja yakni untuk
mendapat upah dan digunakan guna memenuhi semua kebutuhan hidup.
6 Shalah Ash-Shawi dan Abdullah Al-Mushlih, “Fikih Ekonomi Keuangan Islam”,
(Jakarta: Darul Haq, 2004). 7 Ibid., h. 43.
8 Ibid.
9 Ibid., h. 45.
5
Pemberian upah dengan seadil-adilnya bisa memicu semangat kerja sehingga
pekerjaan yang dilakukan para buruh/pekerja menjadi lebih baik.10
Sederhananya transaksi sendiri diartikan sebagai suatu bentuk peralihan hak
dan kepemilikan dari satu pihak kepada pihak lain. Dengan adanya suatu
kehendak dari kedua belah pihak sendiri, maka peralihan ini juga dilakukan
dalam suatu perjanjian kerja. Tentang hak ataupun harta yang beralih dapat
berwujud materinya dan berikut dengan manfaat yang terdapat didalamnya, atau
hanya jasa/manfaatnya saja. Bila transaksi berlaku antara harta di satu pihak dan
jasa/manfaat di dua pihak lain, muamalah ini disebut sewa-menyewa atau upah-
mengupah.11
Pada prinsipnya orang bekerja untuk mendapatkan imbalan atau upah dari
yang diusahakan dan masing-masing tidak akan rugi sedikitpun bagi dirinya.
Sehingga tercipta suatu rasa adil bagi mereka masing-masing.
Dalam Q.S Al-Jatsiyah ayat [22], Allah berfirman:
س با كسبتأ وهمأ زى كل ن فأ ق ولتجأ ض بالأ رأ ماوات والأ وخلق الله الس
ل يظألمون
Artinya:“Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan
agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka
tidak akan dirugikan.12
10
Heidjrahman dan Suad Husnan, Manajemen Personalia, (Yogyakarta: BPFE, 2005)
h.14-22. 11
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, Bogor: Kencana, 2003, h. 191. 12
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahan (Bandung : Diponegoro, 2014), h.
500.
6
Ayat ini menerangkan bahwasannya Allah menciptakan umat manusia
dengan haq dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan suatu tujuan yang haq,
yakni penuh hikmah dan aturan, tujuannya agar segala bukti tentang ketuhanan
dan kemahakuasaan Allah semakin terlihat jelas, juga akan adanya balasan yang
adil untuk setiap jiwa yang bernyawa, yakni manusia, sesuai dengan amal baik
maupun jahat, yang telah dia kerjakan dan mereka juga menerima balasan itu
tidak akan salah arah dalam hari penentuan nanti, yang baik mendapatkan balasan
yang baik, begitu pula sebaliknya.13
Syarat upah sudah ditentukan sedemikian rupa sehingga upah menjadi adil
dan tidak merugikan salah satu pihak, baik itu majikan/pemilik usaha maupun
buruh/pekerja, agar terciptanya keadilan sosial. Akibat yang timbul sendiri yaitu
ketentuan ini karena sistem pengupahan buruh/pekerja haruslah sesuai dengan
yang telah ditentukan.14
Upah harus ditetapkan berdasarkan pekerjaan nya, oleh
sebab itu segalanya harus sesuai dengan apa yang telah dikerjakan itu sendiri.
Menurut ajaran Islam upah sendiri diberikan segera setelah pekerjaan selesai.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
طوا الجي اهلل صلىعنأ عبأداهلل بأن عمر, قال:قال رسولهلل عليأه وسلم: أعأ ف عرقه ره ق بأل أنأ ي أجأ
15
13
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 361. 14
Ibnu Hajar Alasqolani, Bulughul Maram Min Adilatil Ahkam, (Jakarta: Daarun Nasyir
Al-Misyriyyah, t.th), h. 188. 15
Al-Hafid Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram (Ibnu Hajar AlAsqalani), cet 1,
Pustaka Amani, (Jakarta: 1995) h. 361.
7
Artinya:“Dari Ibnu Umar Radliyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Berikanlah kepada pekerja upahnya
sebelum mengering keringatnya."(HR. Ibnu Majah, Shahih).
Hadits ini juga menjelaskan mengenai ketentuan pembayaran upah terhadap
orang yang telah berkerja atau dengan kata lain sudah melakukan kewajiban yang
telah ditetapkan secara bersama-sama. Dalam pembayaran, sebaiknya dibayarkan
sebelum kering keringatnya atau setelah pekerjaan itu selesai dikerjakan.
Berkembangnya muamalah yang dikerjakan manusia hingga saat ini sesuai
dengan perkembangan, kebutuhan dan pengetahuan manusia. Oleh sebab inilah,
dapat ditemukan dalam semua kalangan bentuk muamalah yang beragam ini, yang
manfaatnya untuk melakukan interaksi sosial demi memenuhi kebutuhan masing-
masing pihak.16
Dalam hukum Islam muamalah dikenal dengan upah (ijarah) dan titipan
(wadi‟ah). Pengertian upah (ijarah) yakni akad mengambil manfaat dengan
konpensasi/bonus.17
Objek ijarah haruslah jelas bentuk dan diketahui manfaatnya
secara jelas, dapat diserahterimakan secara langsung, saat dimanfaatkan tidak ada
pertentangan di dalam hukum syara‟.18
Sedangkan titipan (wadi‟ah) yakni barang
yang dititipi, ditinggalkan dan diletakkan ditempat pihak lain dengan tujuan
dijaga. Barang itu menjadi tanggung jawab bagi pihak yang telah dititipi barang
16
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 8. 17
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terj. Nor Hasanuddin dari “Fiqhus Sunnah”, Jilid 4
(Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), h. 201. 18
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual (Semarang: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 184.
8
tersebut.19
Kesimpulannya yakni wadi‟ah merupakan barang titipan yang dititipi
seseorang kepada pihak lain atau orang ketiga untuk dijaga dan dirawat dengan
semestinya.
Berdasarkan praktek lapangan yang terjadi pada Jasa Penitipan Motor
Rajawali di Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan
tersebut dilakukan dengan meninggalkan atau meletakkan motor kepada seorang
karyawan pada jasa penitipan untuk dapat memelihara, menjaga dan merawat
barang titipan tersebut dari kerusakan atau kehilangan. Apabila orang yang dititipi
motor tersebut dapat menjaga barang titipan tersebut dengan baik, maka akan
memperoleh upah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan pada jasa penitipan
motor tersebut.
Bisnis penitipan motor merupakan usaha yang menyediakan tempat parkir
khusus bagi pengendara motor yang ingin menitipkan kendaraan mereka beberapa
waktu. Sistem pembayaran bisa dilakukan sebelum atau sesudah kendaraan yang
dititipkan diambil oleh pemiliknya. Bisnis ini memiliki peluang yang sangat baik
bagi pemilik usaha untuk menarik konsumen agar dapat menyewa tempat untuk
menitipkan motor, penitip yang kebetulan kebanyakan adalah pegawai kantor
yang mau tidak mau harus pulang pergi untuk menggunakan transportasi lain
seperti bis atau travel ke tempat kerja diluar daerah domisili pegawai kantor harus
menitipkan motornya pada jasa penitipan motor tersebut.20
19
Abdurahman al-Jaziri, al-Fiqih „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, (Digital Library, al-
Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), III/106. 20
https://peluangusaharumahan.info/melirik-peluang-usaha-jasa-penitipan-motor
9
Jasa penitipan motor rajawali yang berada di Jalan Alamsyah Ratu
Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan ini dibuka pukul 05.00-22.00 WIB
untuk hari senin sampai jum’at, sedangkan sabtu dan minggu dibuka pukul 05.00-
21.00 WIB. Untuk tarif dikenakan dari Rp. 3000,- untuk siang hari, apabila motor
menginap atau melewati waktu yang telah ditentukan, maka akan dikenakan tarif
kembali Rp.5000,- apabila motor tidak diambil hingga tempat penitipan motor
tutup. Syarat dalam penitipan motor adalah hanya mengambil karcis yang
diberikan oleh pihak jasa penitipan motor dan karcis diserahkan kembali saat
motor hendak diambil.
Dari pemaparan di atas tentang akad upah jasa penitipan motor menarik
untuk diteliti dengan judul: “Tinjauan Hukum Islam Tentang Akad Upah Jasa
Penitipan Motor Sistem Harian” (Studi Pada Jasa Penitipan Motor Rajawali
di Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan).
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana praktek dan akad pengupahan pada jasa penitipan motor sistem
harian di Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena Lampung
Selatan?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang praktek dan akad pengupahan
pada jasa penitipan motor sistem harian di Jalan Alamsyah Ratu
Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan?
10
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui praktek dan akad pengupahan pada jasa
penitipan motor sistem harian di Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara
Hajimena Lampung Selatan?
b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang praktek dan
akad pengupahan pada jasa penitipan motor sistem harian di Jalan
Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan?
2. Kegunaan Penelitian
Ada beberapa kegunaan hasil penelitian ini yakni dari aspek teoritis dan
praktis, yaitu:
a. Kegunaan secara teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan bagi masyarakat sekaligus penerapan
terkait pandangan hukum Islam tentang praktek dan akad pengupahan
jasa penitipan motor sistem harian di Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara
Hajimena Lampung Selatan. Hasil dari penelitian juga diharapkannya
ditemukan kepastian hukum mengenai praktek dan akad pengupahan
pada jasa penitipan motor sistem harian sehingga dapat memberikan
pemahaman yang baru bagi penulis dan masyarakat serta para mahasiswa
syariah.
11
b. Kegunaan secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman hukum
supaya tidak terjadi penyimpangan–penyimpangan peraturan yang
berlaku dalam hukum Islam yang berkenaan dengan kemaslahatan umum
terkait akad upah–mengupah jasa penitipan motor sistem harian di Jalan
Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan ataupun yang
terjadi di tempat–tempat lainnya. Penelitian ini diharapkan berguna bagi
masyarakat untuk lebih teliti dalam transaksi secara baik dan benar yang
sesuai syariat Islam dan juga dapat memberikan sumbangan pemikiran
atau masukan tentang akad upah–mengupah di bidang ilmu hukum Islam
khususnya bagi fakultas syariah.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research)
yaitu penelitian yang objeknya mengenai gejala–gejala atau peristiwa–
peristiwa yang terjadi pada kelompok masyarakat. Sehingga penelitian
ini juga bisa disebut penelitian kasus/study kasus (case study) dengan
pendekatan deskriptif–kualitatif.21
Jenis penelitian ini digunakan untuk
meneliti pelaksanaan akad upah–mengupah di Jalan Alamsyah Ratu
Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan.
21
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, CetakanKe21 (Bandung: Alfabeta Cv, 2015),
h. 6.
12
b. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat Deskriptif analitis, yaitu penelitian yang
bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis data yang ada untuk
menarik kesimpulan dan status hukum dari pokok masalah judul.22
2. Data dan Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini:
a. Sumber data primer
Data yang diperoleh langsung dari responden atau obyek yang
diteliti atau ada hubungannya dengan objek yang diteliti.23
Dalam hal ini
data primer yang diperoleh peneliti bersumber dari pemilik jasa penitipan
motor yaitu dengan memberikan penjelasan berupa wawancara serta
memberikan dokumen–dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Sumber data sekunder
Data sekunder merupakan bahan–bahan yang menjelaskan sumber
data primer yaitu seperti hasil penelitian, pendapat para pakar yang
mendukung tema pembahasan atau hasil dari karya ilmiah.24
Data
sekunder diperoleh dari buku-buku yang mempunyai relevansi dengan
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini.
22
Ibid., h. 89. 23
Soerjono Soekanto, Pengantar Ilmu Ekonomi (Jakarta: UI Press, 2008), h. 12. 24
Ibid., h. 15.
13
3. Populasi dan sampel
a. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terjadi atas: objek atau
subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh penelitian untuk dipelajari kemudian ditarik
kesimpulan.25
Adapun populasi dalam penelitian ini berjumlah 154
orang, terdiri dari 150 orang penitip motor yang dihitung rata–rata
perhari dan 1 orang pemilik jasa penitipan motor serta 3 orang karyawan.
b. Sampel
Sampel adalah bagian pokok dari populasi yang diambil dengan
cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu jelas dan lengkap
dan dapat dianggap mewakili populasi. Berdasarkan buku Dr. Suharsimi
Arikunto yang menyebutkan apabila subyeknya kurang dari 100 orang
lebih baik diambil semua, jika subyeknya lebih dari 100 orang maka
diambil antara 10%-15% atau 20%-25% atau lebih.26
Oleh karena itu
berdasarkan penentuan jumlah sampel yang dijelaskan, penulis
mengambil sampel sebanyak 10% dari jumlah populasi yang ada. Sampel
dalam penelitian ini adalah berjumlah 154 X 10% = 15.4, digenapkan
menjadi 15. Jadi, sampel dalam penelitian ini adalah 15 orang. Terdiri
dari 11 penitip motor, 1 pemilik, dan 3 karyawan. Sistem pengambilan
sampel menggunakan random sampling. Sampel acak (random sampling)
25
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, CetakanKe20 (Bandung:
Alfabeta, 2014), h. 80. 26
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendidikan Praktis (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998), h. 80.
14
ialah suatu sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit
penelitian dari suatu populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk
dipiih sebagai sampel. 27
4. Pengumpulan Data
Penyusunan dan pengumpulan data merupakan suatu yang sangat
penting. Oleh karena, data harus dikumpulkan secara akurat, relevan, dan
komprehensif bagi persoalan yang diteliti.28
Metode pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Observasi
Metode observasi yaitu aktivitas pencatatan fenomena yang
dilakukan secara sistematis.29
Dalam hal ini, penulis mengadakan
pengamatan terhadap kondisi wilayah penelitian secara langsung serta
mencatat peristiwa–peristiwa yang berkaitan dengan objek penelitian.
Observasi dilakukan di tempat jasa penitipan motor sistem harian di
Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan.
Untuk mencari data yang berkaitan dengan praktek upah–mengupah
jasa penitipan motor sistem harian, mengamati langsung objek
penelitian, mengatahui suasana pada jasa penitipan motor di jasa
penitipan motor sistem harian di Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara
Hajimena Lampung Selatan.
27
Triyono, Penataran Analisis Data Penelitian bagi Dosen PTS Kopertis XI,
Kalimantan, 2003. 28
Sugiono, Op.Cit., h. 83. 29
Djam’an satori dan Aan Komariah, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta,
2010), h. 105.
15
b. Wawancara
Metode wawancara yaitu mendapatkan informasi dengan cara
bertanya langsung kepada responden.30
Wawancara perlu dilakukan
sebagai upaya penggalian data dari narasumber untuk mendapatkan
informasi atau data secara langsung dan lebih akurat dari orang–orang
yang berkompeten (berkaitan atau berkepentingan) terhadap akad
upah-mengupah pada jasa penitipan motor sistem harian di Jalan
Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan.
Dalam wawancara peneliti mendapat informasi dari penitip motor
pada jasa penitipan motor, karyawan jasa penitipan motor dan pemilik
pada jasa penitipan motor rajawali di Jalan Alamsyah Ratuprawiranegara
Hajimena Lampung Selatan.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data apabila observasi
yang dikumpulkan bersumber dari dokumen seperti buku, jurnal, surat
kabar, majalah, notulen rapat dan sebagainya.31
Metode ini merupakan
suatu cara untuk mendapatkan data-data dengan mendata arsip
dokumentasi yang ada ditempat atau objek yang sedang diteliti.
30
Hermawan Warsito, Pengantar Metodeologi Penelitian (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1995), h. 71. 31
Ibid., h. 23.
16
5. Pengolahan Data
a. Tahap Pemeriksaan Data
Pemeriksaan data atau editing adalah pengecekan atau pengoreksian
data yang telah dikumpulkan, karena kemungkinan data yang sudah masuk
terkumpul itu tidak logis dan meragukan.32
Tujuannya yaitu untuk
menghilangkan kesalahan–kesalahan yang terdapat pada pencatatan
dilapangan dan bersifat koreksi. Sehingga kekurangannya dapat dilengkapi
dan diperbaiki.
b. Tahap Sistematika Data
Sistematika data bertujuan menetapkan data menurut kerangka
sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah, dengan cara melakukan
pengelompokkan data yang telah diedit dan kemudian diberi tanda
menurut kategori-kategori dan urutan masalah.33
6. Analisis Data
Analisis data ini menggunakan metode penalaran induktif, yaitu
menganalisis data atau fakta-fakta yang ada dilapangan kemudian ditarik ke
teori yang bersifat umum seperti yang terdapat dalam al-Qur’an, as-Sunnah,
Fiqh dan hukum Islam. Metode induktif yaitu metode yang mempelajari suatu
gejala yang khusus untuk mendapatkan kaidah-kaidah yang berlaku
32
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004), h. 48. 33
Ibid., h. 50.
17
dilapangan yang lebih umum mengenai fenomena yang diselidiki.34
Metode
ini digunakan dalam membuat kesimpulan tentang berbagai hal yang
berkenaan dengan sistem dan akad pengupahan pada jasa penitipan motor.
Hasil analisisnya dituangkan dalam bab-bab yang telah dirumuskan dalam
sistematika pembahasan dalam penelitian ini.
34
Sutrisno Hadi, Metode Research, Jilid I (Yogyakarta: Yayasan Penerbit, Fakultas
Psikologi UGM, 1981), h.36.
19
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Akad
Menurut segi etimologi, akad antara lain berarti:1
يا ام معنو يا من جانب اومن لربط ب ي اطراف الشىء سواء اكان حس
جاني
Artinya:“Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan
secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi”.
Menurut terminologi ulama fiqh, akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara
umum dan secara khusus:
1. Pengertian Umum
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan
pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi‟iyah,
Malikiyah, dan Hanabilah, yaitu:2
فردة كالو فف واالب راء كل ما عن م اهلرء على فعلو سواء صدربارادة من
والطالق واليمي ام احتاج إ ل ارادت ي خالنشائو كاالب يع واالتار والت و
كيل والرىن
1
Wahbah Al-Juhaili, AlFiqh Al-Islami wa Adilatuh, juz IV, Damsyik, Dar Al-Fikr, 1989,
hlm. 80.
2 Lihat, Ibnu Taimiyyah, Nazhariyah Al-Aqdi, hlm. 18-21,78.
20
Artinya:“Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu
yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual
beli, perwakilan dan gadai”.
2. Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqh, antara
lain:
ارتباط اليجاب بقب و ل على و جو مشروع ي ثبت أث ره ف ملو
Artinya:“Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan
syara‟ yang berdampak pada objeknya”.
حل ت علق كالم احد العاقدين با الخر
شرعا وجو يظهر اث ره فامل
Artinya:“Pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya
secara syara‟ pada segi yang berdampak pada obyeknya.”
Contoh ijab adalah pernyataan seorang penjual, “saya telah menjual
barang ini kepadamu”. atau “saya serahkan barang ini kepadamu. “contoh
qabul, “saya beli barangmu” atau “saya terima barangmu”.
Dengan demikian, ijab qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan
untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad diantara dua orang atau
lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan
syara‟. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau
perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak
didasarkan pada keridhaan dan syariat Islam.
21
B. Pembentukan Akad
1. Rukun Akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul.
Adapun orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang
terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.3
Ulama selain Hanafiyah4 berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun
yaitu:
a. Orang yang akad („aqid), contoh: penjual dan pembeli.
b. Sesuatu yang diakadkan (maqud alaih), contoh: harga atau yang
dihargakan.
c. Shighat, yaitu ijab dan qabul.
Para ulama bersepakat bahwa perjanjian itu terlaksana dengan pelafazhan
perjanjian tersebut. Namun, mereka berbeda pendapat apakah perjanjian itu
terlaksana hanya dengan serah terima barang, yakni hanya dengan perbuatan
tanpa ucapan. Namun, yang benar adalah pendapat yang menyatakan itu sah.5
Dalam melafazhkan perjanjian (shighat akad) itu disyaratkan berlangsung
pada satu (majelis). Kemudian ijab itu tetap tidak mengalami perubahan hingga
datang qabul dari pihak lain, serta tidak muncul sikap menolak atau sikap tidak
menerima dari pihak yang lain.6
3 Ibid., juz IV/V.
4 Ad-Dasuki., Syarh Al-Kabir Ii Ad-Dardir wa Hasiyyatuh, juz III, hlm. 2.
5 Shalah Ash-Shawi dan Abdullah Al-Muslih, Op. Cit., h. 64.
6 Ibid.
22
2. Definisi Ijab dan Qabul
Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah7 adalah penetapan perbuatan
tertentu yang menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik
yang menyerahkan maupun yang menerima, sedangkan qabul adalah orang
yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan
keridhaan atas ucapan orang pertama.
Berbeda dengan pendapat diatas, ulama selain Hanafiyah8 berpendapat
bahwa ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan
barang, baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan qabul adalah
pernyataan dari orang yang menerima barang. Pendapat ini merupakan
pengertian umum dipahami orang bahwa ijab adalah ucapan dari orang yang
menyerahkan barang (penjual dalam jual beli), sedangkan qabul adalah
pernyataan dari penerima barang.
3. Unsur-unsur Akad
Unsur-unsur akad adalah sesuatu yang merupakan pembentukan adanya
akad, yaitu sebagai berikut:
a. Shighat Akad
Shighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad
yang menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya
suatu akad. Hal itu dapat diketahui dengan ucapan, perbuatan, isyarat dan
tulisan. Sighat tersebut bisa disebut ijab dan qabul.
7
Ibn Abidin, Op. Cit., hlm. 4-6.
8 Ad-Dasuki., Op. Cit., juz 3 hlm.3.
23
1. Metode (uslub) shighat Ijab dan Qabul
Uslub-uslub shighat dalam akad dapat diungkapkan dengan
beberapa cara, yaitu sebagai berikut ini:
a. Akad dengan Lafazh (Ucapan)
Shighat dengan ucapan adalah shighat akad yang paling banyak
digunakan orang sebab paling mudah digunakan dan cepat dipahami.
Tentu saja, kedua pihak harus mengerti ucapan masing-masing serta
menunjukkan keridhaannya.
1. Isi lafazh
Sighat akad dengan ucapan tidak disyaratkan untuk menyebutkan
barang yang dijadikan objek-objek akad, baik dalam jual beli,
hibah, sewa-menyewa dan lain-lain. Hal itu disepakati oleh
jumhur ulama, kecuali dalam akad pernikahan. Diantara para
ulama terdapat perbedaan pendapat dalam sighat akad
pernikahan sebab pernikahan dianggap sangat suci dan penting.
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah9 berpendapat bahwa
shighat akad dalam pernikahan dibolehkan dengan shighat apa
saja, seperti menikahkan, menjadikan, menghibahkan dan lain-
lain dengan syarat setiap mengucapkan kalimat tersebut diikuti
dalam hati bahwa maksudnya adalah pernikahan.
9
Ibnu Abidin., Op. Cit., juz II hlm. 368.
24
Ulama Hanabilah dan Syafi‟iyah10
berpendapat bahwa
shighat akad dalam pernikahan tidak sah, kecuali menggunakan
kata nakaha dan zawaja atau yang semakna dengannya bagi
yang memahami bahasa Arab. Namun, bagi orang-orang yang
tidak memahami bahasa Arab, mereka dapat menggunakan kata
yang sama maksudnya dengan kata naqaha dan zawaja.
Golongan ini beralasan antara lain bahwa pernikahan adalah
akad yang sarat dengan nilai-nilai ibadah (ta‟abbudi). Selain itu,
dalam Al-Qur‟an pun tidak ditemukan kata-kata lainnya untuk
urusan pernikahan, kecuali kedua kata diatas.
2. Lafazh shighat dan kata kerja dalam shighat
Para ulama sepakat bahwa fi‟il madi (kata kerja yang
menunjukkan waktu lewat) boleh digunakan dalam akad karena
merupakan kata kerja yang paling mendekati maksud akad.
Mereka pun sepakat membolehkan penggunaan fi‟il
mudhari (kata kerja yang menunjukkan waktu sedang atau akan
datang). Tentu saja dalam hati harus diiringi niat bahwa akad
tersebut dilakukan ketika itu. Oleh karena itu, akad dianggap
tidak sah jika menggunakan fi‟il mudhari yang ditujukan untuk
masa yang akan datang.
10
Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, juz III. Hlm. 139.
25
Selain itu, mereka juga membolehkan penggunaan jumlah
ismiyah (kalimat yang didalamnya terdiri atas kata barang,
seperti mub‟tada dan khabar) dalam shighat akad.
Mengenai shighat akad dengan menggunakan fi‟il amar
(kata kerja menunjukkan perintah) diantara para ulama terjadi
perbedaan pendapat.
Ulama Hanafiyah11
tidak membolehkan akad dengan fi‟il
amr, kecuali dalam pernikahan. Adapun jumhur ulama12
membolehkannya, baik dalam jual beli atau hal-hal lainnya,
sebab yang terpenting menurut mereka adalah landasan
pengucapannya, yaitu keridhaan.
Adapun mengenai shighat akad dengan kalimat tanya,
semua ulama sepakat untuk tidak membolehkannya.
b. Akad dengan perbuatan
Dalam akad, terkadang tidak digunakan ucapan, tetapi cukup
dengan perbuatan yang menunjukan saling meridhai, misalnya
penjual memberikan barang dan pembeli memberikan uang. Hal ini
sangat umum terjadi di zaman sekarang.
Dalam menanggapi persoalan ini, diantara para ulama berbeda
pendapat, yaitu:
11
Alaudin Al-Kasyani., Badai‟ Ash-Shanai‟ fi Tartib Asy-Syarai‟, juz V. hlm. 133.
12 Ad-Dasuqy, Op. Cit., hlm. Juz III. Hlm. 3.
26
1. Ulama Hanafiyah13
dan Hanabilah14
membolehkan akad
dengan perbuatan terhadap barang-barang yang sudah sangat
diketahui secara umum oleh manusia. Jika belum diketahui
secara umum, akad seperti itu dianggap batal.
2. Madzhab Imam Maliki15
dan pendapat awal Imam Ahmad
membolehkan akad dengan perbuatan jika jelas menunjukkan
kerelaan baik barang tersebut diketahui secara umum atau
tidak, kecuali dalam pernikahan.
3. Ulama Syafi‟iyah, Syi‟ah dan Zhahiriyyah16
berpendapat
bahwa akad dengan perbuatan tidak dibenarkan karena tidak
ada petunjuk yang kuat terhadap akad tersebut. Selain itu,
keridhaan adalah sesuatu yang samar, yang tidak dapat
diketahui, kecuali dengan ucapan. Hanya saja, golongan ini
membolehkan ucapan, baik secara sharih dan kinayah. Jika
terpaksa boleh pula dengan isyarat atau tulisan.
c. Akad yang tidak memerlukan persambungan tempat
Telah dijelaskan bahwa semua ijab dan qabul harus berada dalam
satu tempat, baik kedua pihak hadir dalam tempat yang sama atau
berada pada tempat yang berbeda. Akan tetapi, ada tiga akad yang
tidak memerlukan persyaratan tersebut, yaitu:
13
Al-Kasani, Op. Cit., juz V, hlm. 134.
14 Ghayah Al-Muntaha, juz II , hlm. 134.
15 Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, juz. II. Hlm. 161.
16 Muhammad Asy-Syarbini, Op. Cit., juz II, hlm. 3 dst., Ibnu Hajm, Al-Muhalla, juz.
VIII. hlm. 404.
27
1. Wasiat yang harus dilakukan setelah orang yang berwasiat
meninggal.
2. Penitipan keturunan keluarga dengan cara berwasiat kepada
orang lain untuk memelihara keturunannya setelah ia
meninggal.
3. Perwakilan seperti mewakilkan kepada orang yang tidak ada
ditempat yang mewakilkan.
d. Pembatalan Ijab
Ijab dianggap batal dalam hal-hal berikut ini:
1. Pengucap ijab menarik pernyataannya sebelum qabul.
2. Adanya penolakan dari salah satu yang akad.
3. Berakhirnya tempat akad, yakni kedua belah pihak yang akan
berpisah.
4. Pengucap ijab tidak menguasai lagi hidupnya, seperti meninggal,
gila, dan lain-lain sebelum adanya qabul.
5. Rusaknya sesuatu yang sedang dijadikan akad, seperti butanya
hewan yang akan dijual atau terkelupasnya kulit anggur dan lain-
lain.
b. Al-Aqid (Orang yang Akad)
Al-Aqid ialah orang yang melakukan akad. Keberadaannya sangat
penting sebab tidak dapat dikatakan akad jika tidak ada aqid. Begitu pula
tidak akan terjadi ijab dan qabul tanpa adanya aqid.
28
Secara umum, aqid disyaratkan harus ahli dan memiliki
kemampuan untuk melakukan akad atau mampu menjadi pengganti orang
lain jika ia menjadi wakil.
Ulama Malikiyah17
dan Hanafiyah mensyaratkan aqid harus
berakal, yakni mummayiz, anak yang agak besar yang pembicaraannya dan
jawaban yang dilontarkannya dapat dipahami, serta berumur minimal 7
tahun. Oleh karena itu, dipandang tidak sah suatu akad yang dilakukan
oleh anak kecil yang belum mummayiz, orang gila dan lain-lain.
Diantara akad yang dipandang sah dilakukan oleh anak mumayyiz
menurut pandangan ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah:
1. Tasharruf (aktivitas atas barang) yang bermanfaat bagi dirinya
secara murni, yakni suatu akad tentang kepemilikan sesuatu yang
tidak memerlukan qabul, seperti berburu, menerima hibah dan
lain-lain.
2. Tasharruf yang mengandung kemudharatan secara murni, yakni
pengeluaran barang miliknya tanpa memerlukan qabul, seperti
hibah, memberikan pinjaman dan lain-lain.
3. Tasharruf, yang berada antara manfaat dan mudharat, yakni akad
yang berdampak kepada untung dan rugi. Tasharruf ini tidak dapat
dilakukan oleh anak-anak mummayiz, tanpa seizing walinya.
17
Ibn Abidin, Op. Cit., juz IV. hlm. 5.
29
4. Syarat-syarat Akad
Berdasarkan unsur akad yang telah dibahas diatas, ada beberapa macam
syarat akad, yaitu syarat terjadinya akad, syarat sah, syarat memberikan dan
syarat keharusan (lujum).
A. Syarat Terjadinya Akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk
terjadinya akad secara syara‟. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad akan
menjadi batal. Syarat ini terbagi atas dua bagian:
1. Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad.
2. Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad dan tidak
disyaratkan pada bagian lainnya.
B. Syarat Sah Akad
Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara‟ untuk
menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak.
Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama Hanafiyah
mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual beli
yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur
kemudharatan dan syarat-syarat jual belli rusak (fasid).18
5. Syarat Pelaksanaan Akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas
beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara‟.
18 Ibn Abidin, Op. Cit., juz IV, hlm. 6.
30
Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai
dengan ketetapan syara‟, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya,
maupun sebagai penggantian (menjadi wakil seseorang).
Dalam hal ini, disyaratkan antara lain:
1. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika
dijadikan, maka akan sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
2. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain.
6. Syarat Kepastian Hukum (Luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam jual beli
adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual beli, khiyar syarat, khiyar aib dan
lain-lain. Jika luzum tampak maka akad batal atau dikembalikan.
7. Dampak Akad
Setiap akad dipastikan memiliki dua dampak, yaitu umum dan khusus
diantara yaitu:
1. Dampak Khusus
Dampak khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam
pelaksanaan suatu akad atau maksud utama dilaksanakannya suatu akad
seperti pemindahan kepemilikan dalam jual beli, hibah, wakaf, upah dan
lain-lain.
2. Dampak Umum
Segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad
baik dari segi hukum maupun hasil.
31
8. Pembagian dan Sifat Akad
Akad dibagi menjadi beberapa macam, yang setiap macamnya sangat
bergantung pada sudut pandangnya. Diantara bagian akad yang terpenting
adalah berikut ini:
1. Berdasarkan Ketentuan Syara‟
a. Akad Sahih
Akad sahih adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang
telah ditetapkan oleh syara‟. Dalam istilah ulama Hanafiyah akad sahih
adalah akad yang memenuhi ketentuan syariat pada asal dan sifatnya.
b. Akad Tidak Sahih
Akad tidak sahih adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan
syaratnya. Dengan demikian, akad ini tidak berdampak hukum atau
tidak sah. Jumhur ulama selain Hanafiyaah menetapkan bahwa akad
yang batil atau fasid termasuk golongan ini, sedangkan ulama
Hanafiyah membedakan antara fasid dan batal.
Menurut ulama Hanafiyah, akad batal adalah akad yang tidak
memenuhi rukun atau tidak ada barang yang diakadkan seperti akad
yang dilakukan oleh salah seorang yang bukan golongan ahli akad,
seperti gila dan lain-lain. Adapun akad fasid adalah yang memenuhi
persyaratan dan rukun, tetapi dilarang syara‟, seperti menjual barang
yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulkan percekcokan.
32
2. Berdasarkan Penamaannya
1. Akad yang telah dinamai syara‟, seperti jual beli, hibah, gadai dan lain-
lain.
2. Akad yang belum dinamai syara‟, tetapi disesuaikan dengan
perkembangan zaman.
3. Berdasarkan Maksud dan Tujuan Akad
1. Kepemilikan.
2. Menghilangkan kepemilikan.
3. Kemutlakan, yaitu seseorang mewakilkan secara mutlak kepada
wakilnya.
4. Perikatan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktivitas, seperti
orang gila.
5. Penjagaan.
4. Berdasarkan Zatnya
1. Barang yang berwujud (al-„ain)
2. Barang tidak berwujud (ghair al-„ain)
9. Sifat-sifat Akad
Segala bentuk tasharuf (aktivitas kamu) termasuk akad memiliki dua
keadaan umum.19
19
M. Hasbi Ash-Shiddieqie, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang, PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997, hlm. 93.
33
1. Akad Tanpa Syarat (Akad Munjiz)
Akad munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang, tanpa
memberi batasan dengan suatu syarat. Akad seperti ini dihargai syara‟
sehingga menimbulkan dampak hukum.
2. Akad Bersyarat (Akad Ghair Munjiz)
Akad ghair munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang dan
dikaitkan dengan sesuatu, yakni apabila syarat atau kaitan itu tidak ada,
akad pun tidak jadi, baik dikaitkaan dengan wujud sesuatu tersebut atau
ditangguhkan pelaksanaannya.
3. Syarat Idhafah
Maknanya menyandarkan kepada suatu masa yang akan datang
atau idhafah mustaqbul, ialah:
Zaman mustaqbal ini adakalanya malhudh dapat dirasakan sendiri
atau terpahami sendiri dari akad, seperti pada wasiat. Wasiat memberi
pengertian bahwa wasiat itu berlaku sesudah yang berwasiat wafat.
10. Akhir Akad
Akad dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa
adanya izin dalam akad mauquf (ditangguhkan).
Akad dengan pembatalan terkadangg dihilangkan dari asalnya, seperti
pada masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang, seperti
pembatalan dalam sewa-menyewa dan pinjam-meminjam yang telah
disepakati slama 5 bulan, tetapi sebelum sampai lima bulan telah dibatalkan.
34
Pada akad ghair lazim yang kedua pihak dapat membatalkan akad,
pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan barang perwakilan dan
lain-lain atau yang ghair lazim pada satu pihak dan lazim pada pihak lainnya
seperti gadai. Orang yang menerima gadai dibolehkan membatalkan akad
walaupun tanpa sepengetahuan orang yang menggadaikan barang.
Adapun pembatalan pada akad lazim, terdapat dalam beberapa hal
berikut:
a. Ketika akad rusak
b. Adanya khiyar
c. Pembatalan akad
d. Tidak mungkin melaksanakan akad
e. Masa akad berakhir.
Pelaksanaan terhadap perjanjian usaha terkadang menemui berbagai
cacat yang bisa menghilangkan keridhaan satu pihak, atau membuat cacat
obyek perjanjian, sehingga pihak yang merasa dirugikan bisa membatalkan
perjanjian tersebut. Diantaracacat-cacat tersebut adalah:20
1. Intimidasi, yakni memaksa pihak lain terhadap ucapan atau perbuatan yang
tidak disukainya, melalui gertakan dan ancaman.
2. Kekeliruan, yakni berkaitan dengan objek akad. Seperti orang yang
membeli perhiasan berlian, ternyata yang didapatinya perhiasan terbuat
dari kaca.
20
Shalah Ash-Shawi dan Abdullah Al-Muslim, Op. Cit., h. 67.
35
3. Manipulasi harga, yakni terjadinya kekurangan pada salah satu barang
barter atau kompensasi, atau terjadinya tukar-menukar yang tidak adil (dan
diketahui salah satu pihak).21
21
Ibid., h. 68.
36
B. Wadi’ah
1. Pengertian Wadi’ah
Secara bahasa wadi‟ah berarti titipan, meninggalkan atau kepercayaan.22
Kata wadi‟ah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada
pemiliknya untuk dipelihara. Akad wadi‟ah merupakan suatu akad yang bersifat
tolong-menolong antara sesama manusia.
Barang titipan dikenal dalam bahasa fiqh dengan al-wadi‟ah, menurut
bahasa al-wadi‟ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya
dijaganya (Ma Wudi‟a „inda Ghair Malikihi Layahfadzahu), berarti bahwa al-
wadi‟ah ialah memberikan. Makna yang kedua al-wadi‟ah dari segi bahasa ialah
menerima, seperti seseorang berkata, “awada‟tuhu” artinya aku menerima harta
tersebut darinya (Qabiltu Minhu Dzalika al-Mal Liyakuna Wadi‟ah “Indi). Secara
bahasa al-wadi‟ah memiliki dua makna, yaitu memberikan harta untuk dijaganya
dan pada penerimaannya (I‟tha‟u al-Mal Liyahfadzahu wa fi Qabulihi).23
Menurut
Malikiyah al-wadi‟ah memiliki dua arti, arti yang pertama ialah:
24 عبا رةعن ت و كيل على مردحفظا لمال
Artinya: "Ibarah perkawinan untuk pemelihara harta secara mujarad”.
Arti yang kedua ialah:
يئ المملو ك الذ ى يصخ ن قلو إل المودع عبا رة عن ن قل مردحفظ الش25
22
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Arab Indonesia Al-Ashri, (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika), h. 2007-2008. 23
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh „Ala Mazahib al-„Arabah, tahun 1969, h. 248. 24 Ibid., h.245.
37
Artinya:“Ibarah pemindahan pemeliharaan sesuatu yang dimiliki secara
mujarad yang sah dipindahkan kepada penerima titipan”.
Demikian pula, wadi‟ah dapat didefinisikan dengan arti lain yaitu
pemberian suatu mandat/kepercayaan untuk dapat memelihara suatu barang orang
lain atau barang yang khusus dimiliki oleh seseorang, dengan cara-cara tertentu
pula. Oleh sebab itu, diizinkan agar menitipkan kulit bangkai yang sudah
disucikan, ataupun seekor anjing yang sudah terlatih untuk dapat berburu ataupun
dapat berjaga-jaga, tidak diperbolehkan menitipkan baju yang sedang terbang
ditiup angin, hal ini masuk kedalam golongan harta barang yang mubazir (tidak
ada suatu kekhususan agar dimiliki), yang bertolakbelakang dengan prinsip-
prinsip wadi‟ah.26
Secara komulatif, wadi‟ah mempunyai dua arti, arti yang pertama yakni
pernyataan dari orang yang sudah memberi kuasa ataupun mewakili pihak lainnya
agar dapat memelihara atau menjaga harta barang orang tersebut. Arti yang kedua
yakni, suatu harta barang yang dititipi seseorang kepada pihak lainnya dengan
maksud agar harta barang tersebut dapat dipelihara dan dijaga oleh orang yang
dititipi.27
Wadi‟ah juga dapat dimaknai sebagai titipan dari satu pihak ke pihak
lainnya, baik individu, kelompok ataupun suatu badan hukum, dengan maksud
25
Ibid., h. 248.
26 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), h. 173.
27
Ahmad Hassan Ridwan, BMT & Bank Islam Instrumen Lembaga Keuangan Syariah,
(Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 14 .
38
agar dapat dijaga, dipelihara sebagaimana semestinya dan dikembalikan lagi
kapanpun penyimpan menghendaki keinginannya tersebut. Esensi dibuatnya
perjanjian itu sendiri yaitu untuk menjaga dengan baik keamanan barang tersebut
dari kerusakan, pencurian, dan keburukan lainnya. Arti kata “barang” disini yaitu
sesuatu yang berharga seperti uang, dokumen, surat berharga dan barang lainnya
yang dinilai berharga dari pandangan Islam.28
Wadi‟ah hakikatnya memiliki fungsi sebagai penitipan barang saja, karena
di masa Rasulullah SAW dahulu tujuan wadi‟ah hanya seperti itu, akan tetapi
dapat ditemukan beberapa kasus membolehkan dana titipan diinvestasikan,
syaratnya bahwasannya dana yang dipergunakan untuk wadi‟ah dikembalikan
utuh kepada pemiliknya. Demikian, wadi‟ah mempunyai arti teknikal yaitu harta
barang yang dititipkan kepada orang lain dengan tujuan disimpan, tujuannya agar
dana tersebut tidak digunakan oleh yang menerima kepercayaan tersebut. Jika
pihak yang menyimpan menggunakan harta barang tersebut, maka keuntungan
yang diperoleh dapat dimanfaatkan oleh penyimpan. Namun, bila terjadi kerugian
maka penyimpan bertanggung jawab penuh agar mengganti kerugian tersebut.29
Dalam akad tabarru‟ pihak terkait yang memiliki itikad baik tidak berhak
mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lain. Timbal baik yang didapatkan
dari akad tabarru‟ ialah dari Allah SWT, bukan manusia. Demikian, bagi pihak
yang berbuat baik itu boleh meminta kepada counter part-nya untuk sekedar
menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkan olehnya untuk dapat melakukan
28
Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), h. 20.
29 Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 24.
39
akad tabarru‟ itu. Akan tetapi ia tidak dipeprkenankan sedikitpun mengambil
keuntungan dari akad tabarru‟tersebut.30
Dengan demikian, akad tabarru‟ ialah akad yang melakukan kebaikan dan
mengharap suatu imbalan dari Allah SWT saja, bukan dari manusia. Oleh sebab
itu, akad tabarru‟ esensinya adalah mencari keuntungan komersil. Akibatnya,
apabila akad tabarru‟ dilakukan dengan mengambil keuntungan komersil, maka
ini bukanlah termasuk akad tabarru‟ lagi, namun ia termasuk akad ijarah. Apabila
ia ingin tetap menjadi akad tabarru‟, maka ia tidak boleh mengambil manfaat
(keuntungan komersil) dari akad tabarru‟. Tentulah ia tidak berkewajiban
menanggung biaya yang timbul dari pelaksanaan akad tabarru‟. Artinya ia boleh
meminta pengganti biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan akad tabarru‟.31
2. Dasar Hukum Wadi’ah
Dasar hukum dibolehkannya akad wadi‟ah diantaranya adalah:
a. Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah 283:
فا ن أ من ب عضكم ب عضا ف ليذ الذى اؤتن اما ن تو وليتق اهلل ربو
Artinya:“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya dan bertaqwalah
kepada Allah sebagai tuhannya”. (QS. Al-Baqarah: 283).32
30
Nofinawati, Akad dan Produk Perbankan Syariah dalam Fitrah, Vol. 08, No. 2, Eds.
Juli-Desember 2014, h. 221-222.
31
Ibid. 32
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya Special for Woman, (Bandung:
Sygma Examedia Arkanleema, 2008), h. 49.
40
Pihak yang menerima barang titipan tidak wajib menjamin, kecuali jika
tidak melakukan kerja seperti yang semestinya atau berbuat jinayah terhadap
barang titipan.
Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh
Imam Dar al-Quthni dan riwayat Arar bin Syu‟aib dari bapaknya, dari kakeknya
bahwa Nabi SAW bersabda:
33من أودع ودي عة فال ضمان عليو
Artinya:“Siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin”.
(HR. Daruquthni).
حت ت ؤديو على اليدما أخذت 34
Artinya:“Wajib atas tangan yang mengambil bertanggung jawab terhadap
barang yang diambilnya, sehingga dia mengembalikannya kepada
pemiliknya”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
35أد األمانة إل من ائ تمنك وال تن من خانك
Artinya:“Dari Abu Hurairah ra. Berkata, Rasulullah Saw. bersabda Tunaikanlah
amanah orang yang mempercayakan kepadamu dan janganlah engkau
33
Mardani, Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.
195. 34
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shieddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum 7,
(Semarang: PT Pusaka Rizki Putra, 2001), h. 221. 35
Sulaiman bin al-Asy‟ats bin Syaddad bin „Amr al-Azadi Abu Daud, Sunan Abu Daud,
(Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), X/383, hadits nomor 3537;
lihat juga Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dahak al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi
(Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), V/192 hadits nomor 1311.
41
khianati orang yang menghianati”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Al-Irwaa‟).
Berdasarkan ayat dan hadits tersebut, para ulama fiqh bersepakat
mengatakan bahwasannya hukum wadi‟ah (titipan) boleh dan disunahkan dalam
rangka saling tolong-menolong antar sesama. Dengan demikian, Ibnu Qudamah
(541-620 H/1147-1223 M), pakar fiqh Hanbali, menyatakan bahwa sejak masa
Rasulullah SAW sampai dengan saat ini, akad wadi‟ah telah menjadi ijma‟ „amali
(konsesus dalam praktek) untuk umat Islam dan tidak ada seorang ulama fiqh pun
yang mengingkarinya.36
Landasan dari ijma‟ yakni kesepakatan ulama. Para ulama bersepakat
tentang dibolehkannya wadi‟ah, alasannya masyarakat membutuhkan akad
wadi‟ah.37
Adanya wadi‟ah sangat membantu manusia agar saling membantu
dalam menjaga harta yang juga menjadi tujuan agama. Di Indonesia, akad
wadi‟ah mendapatkan legitimasi dalam KHES ayat 370-390.
3. Rukun dan Syarat Wadi’ah
Menurut Hanafiyah rukun al-wadi‟ah ada satu, yakni ijab dan qabul,
sedangkan yang lainnya termasuk syarat dan tidak termasuk rukun.38
Menurut
Hanafiyah dalam shigat ijab dianggap sah jika ijab tersebut dilakukan dengan
perkataan yang jelas (sharih) ataupun dengan perkataan samaran (kinayah). Hal
ini berlaku juga untuk qabul, disyaratkan bagi yang menitipkan dan yang dititipi
36
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama), h. 246. 37
Yahya bin Syarf al Nawawi, al-Majmu, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-
Isdar al-Sani, 2005), XIV/173. 38
Abdurrahman al-Jaziri, Op.Cit., h. 250.
42
barang ialah mukalaf, tidak sah apabila yang menitipkan dan yang menerima
barang titipan ialah orang gila atau anak yang belum dewasa (shabiy).39
Mayoritas para ulama berpendapat sebagaimana kalangan Syafi‟iyah, jika
rukun wadi‟ah ada empat, yakni pihak-pihak yang berakad, barang yang dititipi,
ijab dan qabul. Pihak yang menitipkan dan menerima titipan harus orang yang
cakap hukum.40
Berkaitan dengan syarat sighah, penerimaan atau kabul dapat
berupa jawaban atau isyarat dengan diam.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 370 menyebutkan rukun
wadi‟ah adalah:
a. Muwaddi‟ (Penitip)
b. Mustauda‟ (Penerima Titipan)
c. Wadi‟ah bih (Harta Titipan)
d. Aqad (Perjanjian).
Setiap rukun di atas memiliki syarat, pendapat kalangan Hanafiyah, pihak
berakad haruslah yang berakal, karenanya apabila akad wadi‟ah dilakukan oleh
orang tidak berakal hukumnya tidak sah. Akan tetapi, didalam akad wadi‟ah tidak
disyaratkan baligh bagi pihak yang melakukan akad.41
Berkaitan dengan ijab dan
qabul, syarat yang harus dipenuhi ialah ijab dan qabul haruslah dengan ucapan
atau tindakan, baik eksplisit maupun implisit.42
39
Ibid., h. 251-252. 40
Yahya bin Syarf al-Nawawi, Raudatul Talibin wa „Umdah al-Muftin, (Digital Library,
al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), II/429. 41
Ilaudin Abu Bakar Mas‟ud al-Kasani, Badai‟ al-Sanai...,I/29 dan XIV/98. 42
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqih..., III/108.
43
Menurut Syafi‟iyah wadi‟ah memiliki tiga rukun, yaitu:
a. Barang yang dititipkan, syarat yang dititipkan ialah barang tersebut dapat
dimiliki menurut syara‟.
b. Orang yang menitipkan dan yang menerima titipan, disyaratkan keua belah
pihak haruslah sudah baligh, berakal, serta syarat lain yang sesuai dengan syarat-
syarat berwakil.
c. Shigat ijab dan wadi‟ah, qabul disyaratkan pada ijab kabul ini dimengerti oleh
kedua belah pihak, baik dengan jelas maupun sunat.43
4. Kewajiban Menerima Wadi’ah
Pihak yang menerima titipan memiliki kewajiban yang terikat agar
menjaga barang titipan. Kewajiban ini juga mengikat dan dibebankan kepada
pihak keluarga penerima titipan, artinya mereka mempunyai kewajiban juga
menjaga barang tersebut.44
Menurut Imam Syafi‟i yang berkewajiban menjaga barang tersebut hanya
penerima titipan. Imam al-Nawawi menerangkan bahwa orang yang menerima
titipan dia wajib menjaganya, diharamkan menerima titipan jika seseorang tidak
mampu menjaga barang titipan tersebut.45
Sementara orang yang mampu menjaga
barang titipan baginya dianjurkan untuk menerimanya. Jika tidak ada yang
43
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta: al-Tahairriyah , 1976), h. 315. 44
Illaudin Abu Bakar Mas‟ud al-Kassani, Bada‟i al-Sanai‟...,I/29 dan XIV/101; baca juga
Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Akmaluddin, Al-„Inayah...,XII/209. 45
Yahya bin Syarf al-Nawawi, Raudatul Talibin...,II/429; Yahya bin Syarf al-Nawawi,
al-Majmu‟...,XIV/174.
44
mampu menerima beban tersebut, maka diwajibkan bagi yang sanggup dan dapat
menerimanya saja.46
Tanggung jawab menyimpan wadi‟ah ialah amanah. Syarat wadi‟ah
diantaranya sebagai berikut:
1.Diasingkan dari barang-barang milik orang lain, yaitu tidak dicampur antara
barang yang disimpan supaya dapat diketahui mana diantaranya milik orang-orang
tertentu.
2. Tidak digunakan.
3. Tidak dikenakan upah bagi penjaganya.
Pemilik barang boleh mengenakan syarat tertentu berkaitan dengan
keselamatan barang wadi‟ah nya. Sekiranya yang punya barang ghaib, hilang,
atau tidak dapat diketahui dimana berada, masih hidup atau sudah meninggal,
maka simpanan wadi‟ah itu diteruskan hingga ternyata pemilik barang masih
hidup atau sudah meninggal. Apabila ternyata kematiannya maka barang itu
hendaklah diserahkan kepada waris untuk dibagikan mengikuti aturan.47
Apabila wadi‟ah yang dijaga sebagaimana dijelaskan di atas hilang, rusak
atau musnah bukan karena kelalaian orang yang menyimpan, maka ia tidak
diwajibkan mengganti. Namun, apabila tidak dijaga sebagaimana mestinya maka
hal keadaan tanggung jawab menyimpannya berubah dari amanah kepada
dammah yang bermakna ia wajib diganti apabila hilang, rusak atau musnah.48
46
Zakariya bin Muhammad bin Zakariya al-Ansari, Asna al-Matalib, (Digital Library,
al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), XIV/81. 47
Ibid. 48
Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking..., h. 409.
45
Sekiranya ia membuat perjanjian wadi‟ah dengan orang lain dengan izin
maka hendaklah tanggung jawab menyimpan yang pertama kepada orang yang
menyimpan yang kedua. Jika orang yang menyimpannya meninggal dunia maka
berpindahlah tanggung jawab wadi‟ah itu kepada ahli waris sehingga selesai
barang itu diserahkan kembali kepada yang punya.49
Semua pembelanjaan atas
barang wadi‟ah seperti makan dan minum, jika wadi‟ah itu dari jenis binatang
adalah ditanggung oleh yang punya wadi‟ah. Akan tetapi, jika orang yang
menyimpan menggunakan wadi‟ah itu untuk kepentingannya maka pembelanjaan
itu ditanggung olehnya. Orang yang menyimpan tidak boleh membuat perjanjian
wadi‟ah dengan orang lain atas barang yang disimpan tanpa izin dari punya
barang.
5. Hukum Menerima Barang Titipan
Dijelaskan oleh Sulaiman Rasyid50
bahwa hukum menerima barang titipan
ada empat macam, yaitu:
a. Wajib, diwajibkan menerima barang-barang titipan bagi seseorang yang
percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga barang-barang
tersebut, sementara orang lain tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya
untuk memelihara barang-barang tersebut.
b. Sunat, disunatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya
bahwa dia sanggup menjaga barang-barang yang dititipkan kepadanya.
Wadi‟ah adalah salah satu bentuk tolong-menolong yang diperintahkan oleh
Allah dalam Al-qur‟an, tolong-menolong secara umum hukumnya sunnat. Hal
49
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer ,CetakanKe1, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2016), h. 186. 50
Ibid., h. 315.
46
ini dianggap sunnat menerima barang titipan ketika ada orang lain yang pantas
pula untuk menerima titipan.
c. Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu
menjaga barang-barang titipan, tetapi dia kurang yakin (ragu) pada
kemampuannya, maka bagi orang seperti ini dimakruhkan menerima barang-
barang titipan sebab titipan dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap yang
menitipkan dengan cara merusak barang-barang titipan atau
menghilangkannya.
d. Haram, apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara
barang-barang titipan. Bagi orang seperti ini diharamkan menerima barang-
barang sebab dengan menerima barang-barang titipan, berarti memberikan
kesempatan (peluang) kepada kerusakan atau hilangnya barang-barang titipan
sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan.
6. Rusak dan Hilangnya Wadi’ah
Menurut Ibnu Taimiyah apabila seseorang yang memelihara barang-
barang titipan mengaku bahwa barang-barang titipan ada yang mencuri, sementara
hartanya yang ia kelola tidak ada yang mencuri, maka orang yang menerima
barang-barang titipan tersebut wajib menggantinya. Pendapat Ibnu Taimiyah ini
berdasarkan pada asar bahwa Umar r.a. pernah meminta jaminan dari Anas bin
Malik r.a. ketika barang titipannya yang ada pada Anas r.a. sendiri masih ada.51
Jika orang yang menerima titipan mengaku bahwa barang-barang titipan
telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya, maka ucapannya harus
51
Ibid., h. 185.
47
disertai dengan sumpah supaya perkataannya itu kuat kedudukannya menurut
hukum, namun Ibnu al-Munzir berpendapat bahwa orang tersebut di atas sudah
dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah.52
Bila seseorang menerima barang-barang titipan, sudah sangat lama
waktunya, sehingga ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemilik barang-
barang titipan tersebut dan sudah berusaha mencarinya dengan cara yang wajar,
namun tidak dapat diperoleh keterangan yang jelas, maka barang-barang titipan
tersebut dapat digunakan untuk kepentingan agama Islam, dengan mendahulukan
hal-hal yang paling penting diantara masalah-masalah yang penting.53
Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat barang-
barang titipan milik orang lain, ternyata barang-barang titipan tersebut tidak dapat
ditemukan, maka ini merupakan utang bagi yang menerima titipan dan wajib
dibayar oleh para ahli warisnya. Jika terdapat surat dengan tulisannya sendiri,
yang berisi adanya pengakuan barang-barang titipan, maka surat tersebut
dijadikan pegangan karena tulisan dianggap sama dengan perkataan apabila
tulisan tersebut ditulis oleh dirinya sendiri.54
52
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cetakan Ke10, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2016),
h.184-185. 53
Ibid., h. 315. 54
Ibid., h. 185.
48
C. Ijarah
1. Pengertian Ijarah
Menurut bahasa (etimologi), upah yakni imbalan atau pengganti.
Sedangkan secara istilah (terminologi), upah yakni mengambil manfaat dari
tenaga orang lain dengan cara memberi ganti atau imbalan dan harus memenuhi
syarat-syarat tertentu.55
Akad ijarah (sewa) akad untuk memperoleh manfaat dan disertai dengan
bayaran. Ijarah yakni bentuk jual beli manfaat, agar memperoleh imbalan. Praktik
akad ijarah dalam transaksi keuangan Islam menggunakan landasan hukum dari
Alquran dan Hadits Nabi SAW. Hal ini merujuk kepada pendapat mayoritas
ulama memperbolehkan akad ijarah dengan dalil Alquran, Sunnah dan Ijma‟.
Kemudian akad ijarah ini digunakan dalam penerbitan Sukuk ijarah di Pasar
Modal Indonesia, berdasarkan:
Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada hari Kamis,
tanggal 8 Muharram 1412 H/13 April 2000. 56
Upah diklasifikasikan dalam kaidah sewa-menyewa, dimana melibatkan
mu‟jir dan mus‟tajir (penyewa dan menyewakan). Pengusaha dianggap sebagai
pihak penyewa sedangkan pekerja dianggap sebagai pihak yang menyewakan. Hal
55
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 229. 56 Eka Nuraini Rachmawati dan Ab Mumin bin Ab Ghani, “Akad Jual Beli Dalam
Perspektif Fikih dan Praktiknya di Pasar Modal Indonesia, Jurnal Al Adalah, Vol. XII, No. 4
2015, (Bandar Lampung Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung, 2015), h. 788 (on-line),
tersedia di http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/214 (23 Mei 2019), dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
49
ini bisa dilihat antara pengusaha dan karyawan yang terdapat kontrak kerja
kesepakatan-kesepakatan.57
Ijarah menurut Helmi Karim dalam bukunya yang berjudul fiqh
Muamalah, lafazh ijarah mempunyai pengertian umum yang meliputi upah atas
pemanfaatan suatu barang atau imbalan suatu kegiatan, atau upah karena
melakukan suatu aktifitas.58
Dengan demikian yang dimaksud upah ialah memberikan imbalan sebagai
bayaran kepada seseorang yang telah diperintah untuk mengerjakan suatu
pekerjaan dan bayaran itu diberikan menurut perjanjian yang disepakati oleh
kedua belah pihak.
Upah–mengupah atau Al–Ijarah berasal dari kata al–ajru yang arti
menurut bahasanya ialah al–„iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah
ganti dan upah.59
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda–beda mendefinisikan
ijarah, antara lain ialah sebagai berikut:60
a. Menurut Hanafiyah bahwa Al- Ijarah ialah:
فعة معلومة مقصودة من العي المستأ جرة بعوض 61عقد يفيد تليك من
57
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, CetakanKe17, (Bandung: Sinar Baru 1990), h. 303. 58
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 29 59
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers , 2016), h. 114. 60
Ibid. 61
Lihat Fiqh „Ala Madzahib al-Arba‟ah, h.94.
50
“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja
dari suatu zat yang disewa dengan imbalan”.
b. Menurut Malikiyah bahwa ijarah ialah:
قوالن ن فعة اآلدمى و ب عض امل عاقد على من 62 تسمية الت
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk
sebagian yang dapat dipindahkan”.
c. Menurut Muhammad Al-Syarbini al-Khatib bahwa ijarah ialah:
فعة بعوض بشروط ت 63 ليك من
“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat”.
d. Menurut Syaikh Syihab al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud
dengan ijarah adalah:
فعة معلومة مقصودة قابلة ل لبدل واإلباحة بعوض وضعا عقد على من
“Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan
membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu.”
e. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa ijarah ialah:
ة مدودة اي تليكها بعوض عقد موضوعة المبادلة على م يء بد فعة الش ن
62
Ibid., h. 97. 63
Al-Khatib, Al-Iqna, h. 70
51
64فهي ب يع المنافع
“Akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu
pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.”
Landasan Ijma‟nya ialah semua umat bersepakat, tidak ada seorang ulama
pun yang membantah kesepakatan (ijma‟) ini, sekalipun ada beberapa orang
diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.65
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah
ialah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah, sewa-menyewa ialah:
ب يع المنافع
“Menjual manfaat”
dan upah mengupah ialah:
ب يع القوة
2. Dasar Hukum Ijarah
Hukum asal dari upah-mengupah ialah mubah (boleh). Pemberian upah
hukumnya mubah, tetapi bila hal itu sudah menyangkut hak seseorang sebagai
mata pencaharian berarti wajib.66
Sumber hukum dalam Islam yang dipakai
dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi ialah dengan
64
Lihat Peng. Fiqh Muamalah, h. 85-86. 65
Lihat Fiqh al-Sunnah, h. 18. 66
Suhendi, Op.Cit., h. 184.
52
menggunakan Al-qur‟an dan Sunah Nabi, disamping masih banyak lagi sumber
hukum yang dapat digunakan. Al-qur‟an sebagai sumber hukum dasar yang
menjadi pijakannya. Adapun sumber atau dasar hukum pengupahan menurut
hukum Islam yaitu:
a. Al-Qur’an
Para ulama fiqh mengatakan bahwa yang menjadi dasar
dibolehkannya akad al-ijarah adalah firman Allah dalam surat az-Zukhruf,
43: 32 yang berbunyi:
1. Q.S. At-Taubah (9): 105
لم ٱلغيب ۥفسي رى ٱللو عملكم ورسولو وقل ٱعملوا وٱلمؤمنون وست ردون إل ع دة ف ي نبئكم با كنتم ت عملون ه وٱلش
Artinya:“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya
serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu
akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang
ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan.”67
Dalam menafsirkan At Taubah (9): 105 ini, Quraish Shihab
menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah: “Bekerjalah Kamu, demi
karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat, baik
untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat
yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”. Tafsir dari melihat
dalam keterangan di atas ialah menilai dan memberi ganjaran terhadap amal-
67
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro,
2000), h. 150.
53
amal itu. Sebutan lain daripada ganjaran ialah imbalan atau upah atau
compensation.68
2. Q.S. An-Nahl (16): 97
ہزين لنجو ۃطيب ۃحيو ہ يي من ف لنح مؤو ہو کر اوانثيمنعمل صالا منذ ملون ا يع سن ما کانو باح م ہر ماج
Artinya:“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”69
Siapa saja yang berbuat kebajikan di dunia, baik laki-laki maupun
wanita, didorong oleh kekuatan iman dengan segala yang mesti diimani,
maka Kami tentu akan memberikan kehidupan yang baik pada mereka di
dunia, suatu kehidupan yang tidak kenal kesengsaraan, penuh rasa lega,
kerelaan, kesabaran dalam menerima cobaan hidup dan dipenuhi oleh rasa
syukur atas nikmat Allah. Dan di akhirat nanti, Kami akan memberikan
balasan pada mereka berupa pahala baik yang berlipat ganda atas perbuatan
mereka di dunia. Dalam menafsirkan Q.S. An Nahl (16): 97 ini, Quraish
Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah: “Barang siapa yang
mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun
perempuan, sedang dia mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas
dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan kami
68
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Kesan dan Keserasian AlQur‟an, Vol.5, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 237. 69
Departemen Agama RI, Op.Cit., h. 222.
54
berikan kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia ini dan
sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada mereka semua di dunia dan
di akherat dengan pahala yang lebih baik dan berlipat ganda dari apa yang
telah mereka kerjakan“. Tafsir dari balasan dalam keterangan di atas
merupakan balasan di dunia dan di akherat. Ayat ini menegaskan bahwa
balasan atau imbalan bagi mereka yang beramal saleh adalah imbalan dunia
dan imbalan akherat.70
3. Q.S. Al-Ahqaf (46): 19
ولي وف ي هم أعماهلم وىم ال يظلمون ولكل درجات ماعملوا
Artinya:“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah
mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan)
pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.”71
Dalam menafsirkan Q.S. Al-Ahqaf (46): 19, Quraish Shihab dalam
kitabnya Tafsir Al-Misbah: “Masing-masing orang, Muslim dan kafir, akan
mendapat kedudukan yang sesuai dengan apa yang ia lakukan. Itu semua agar
Allah menunjukkan keadilan-Nya kepada mereka dan memenuhi balasan amal
perbuatan mereka, tanpa dicurangi sedikit pun, karena mereka berhak
menerima balasan yang telah ditentukan untuknya.
70
Shihab, Op.Cit., h. 717. 71
Departemen Agama RI, Op.Cit., h. 402.
55
4. Q.S. Al-Kahfi (18): 30
لحت انا ال نض ن امنو ان الذی سن عمال اح ر من ع اج و عملوا الص
Artinya:“Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah
Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
mengerjakan amalan (nya) dengan yang baik.”72
Dalam menafsirkan Q.S. Al-Kahfi (18): 30, Quraish Shihab
menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah: “Sesungguhnya mereka
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan membuktikan keimanan
mereka dengan beramal saleh sesuai dengan tuntutan-tuntutan-Nya, tentulah
kami sesuai dengan keagungan Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala
orang-orang yang baik amalnya. Ayat ini menegaskan balasan terhadap
pekerjaan yang telah dilakukan manusia, pasti Allah balas dengan adil.
b. Al-Hadits
1. Hadits Riwayat Abd ar-Razzaq
را ف لي علمو أجره ...73 من استأجر أجي
Artinya: “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah
upahnya...”
72
Ibid., h. 237. 73
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Abdul Rosyad Siddiq, “Terjemahan
Lengkap Bulughul Maram”, (Jakarta: Media Eka Sarana, Cet kedua, 2009), h. 413.
56
2. Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Daud
واقي من الزرع وماسعد بالم ها، ف ن هاكنا نكري األرض با على الس اء من
نا رسول اهلل صلى اهلل عليو وآلو وسلم عن ذلك وأمرنا أن نكري ها بذىب
أو فضة
Artinya:“Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil
pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal
tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan
emas atau perak.”
3. Hadits Riwayat Ibnu Majah
عن عبداهلل بن عمر, قال:قال رسوالهلل صلى اللو عليو وسلم: أعطوا األجي
ف عرقو 74 أجره ق بل أن ي
Artinya:“Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Berikanlah kepada
pekerja upahnya sebelum mengering keringatnya."
4. Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim
75احتجم واعط الجام أجره أن رسول هلل صلى هلل عليو وسلم
74
Al-Hafid Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram (Ibnu Hajar AlAsqalani), cet 1,
(Jakarta: Pustaka Amani , 1995), h. 361. 75
Achmad Sunarto dkk, Terjemah Shahih Bukhari, Jilid 7, (Semarang: CV. Assyifa,
1993), h. 483.
57
Artinya:Bahwa Rasululah SAW bersabda:“Berbekamlah kamu, kemudian
berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.”
c. Ijma
Umat Islam pada masa sahabat telah berijma‟ bahwa ijarah dibolehkan
sebab bermanfaat bagi manusia. Segala sesuatu yang dapat mendatangkan
manfaat, maka pekerjaan itu menjadi baik dan halal. Para ulama tak
seorangpun yang membantah kesepakatan ijma‟ ini. Sebagaimana
diungkapkan Sayyid Sabiq: “Dan atas disyari‟atkannnya sewa-menyewa
umat Islam telah sepakat, dan tidak dianggap (serius) pendapat orang yang
berbeda dengan kesepakatan ijma‟ para ulama ini”, karena Al-Ijarah
merupakan akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barang itu sendiri.76
Dasar hukum Ijarah/Upah dalam Al-Ijma adalah sebagai berikut: “Umat
Islam pada masa sahabat telah berijma bahwa ijarah dibolehkan sebab
bermanfaat bagi manusia.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan
Nasa‟i dari Said Ibn Bi Waqash) dan dalam bukunya Hendi Suhendi diambil
dari Fiqh As-Sunnah bahwa landasan ijma ialah semua umat bersepakat, tidak
ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan ijma ini, sekalipun ada
beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak
dianggap.77
76
Sayyid Sabiq, Op.Cit., h. 18. 77
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 124.
58
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid, juga mengatakan bahwa
“Sesungguhnya sewa-menyewa itu diperbolehkan oleh seluruh fuqaha negeri
besar dan fuqaha masa pertama”.78
Al-ijarah merupakan “Akad pemindahan
hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
d. Dasar hukum Undang-undang
Upah merupakan salah satu hak normatif buruh. Upah yang diterima oleh
buruh merupakan bentuk prestasi dari pengusaha ketika buruh itu sendiri
telah memberikan prestasi pula kepada pengusaha yakni suatu pekerjaan yang
telah dilakukan.
Bab 1 Pasal 1 angka 30 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menegaskan:
“Upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/jasa yang telah atau
akan dilakukan.”79
Tujuan pemerintah mengatur upah dan pengupahan pekerja/buruh ialah
untuk melindungi pekerja dari kesewenang-wenangan pengusaha dalam
pemberian upah. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pekerja menerima
78
Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid juz 2, (Semarang: Maktabah .Usaha Keluarga, 2011),
h.165. 79
Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
59
upah dari pemberi kerja secara adil dan tidak merugikan salah satu pihak dan
dilindungi oleh undang-undang. Peran pemerintah dalam hal ini yaitu
menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja atau buruh agar
dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja maupun keluarganya.
Berdasarkan uraian tentang dasar hukum atau dalil-dalil syara‟ dan juga
dasar perundang-undangan yang berkenaan dengan masalah pengupahan (al-
Ijarah) sebagaimana telah diuraikan di atas, maka tidak ada lagi keraguan
tentang kebolehan mengadakan transaksi sewa-menyewa atau upah-
mengupah, dengan kata lain sewa-menyewa atau upah-mengupah
diperbolehkan dalam hukum Islam maupun perundang-undangan apabila
bernilai secara syar‟i dan tidak merugikan pihak pekerja/buruh.
3. Rukun dan Syarat Ijarah
a. Rukun Upah-mengupah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab
(ungkapan menyewakan) dan qabul persetujuan terhadap sewa-menyewa.
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al-ijarah itu ada empat,
yaitu orang yang berakad, sewa/imbalan, manfaat dan sighat (ijab dan qabul).
Ulama hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan
manfaat, termasuk syarat-syarat al-ijarah, bukan rukun-rukunnya.80
Rukun-rukun dan syarat-syarat ijarah sebagai berikut:81
1. Mu‟jir dan Musta‟jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa
atau upah-mengupah. Mu‟jir yakni yang memberikan upah dan
80
Wahbah az-Zuhaili, Op.Cit., h. 626-627. 81
Suhendi, Op.Cit., h. 117.
60
menyewakan, musta‟jir yakni orang yang menerima upah untuk
melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu, diisyaratkan pada mu‟jir
dan musta‟jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf
(mengendalikan harta), dan saling meridhai.
2. Shighat, yaitu ijab kabul antara mu‟jir dan musta‟jir, ijab kabul sewa-
menyewa dan upah-mengupah.
3. Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik
dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah.
4. Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-
mengupah.
b. Syarat-syarat Ijarah
Sebagai sebuah transaksi umum, al-ijarah baru dianggap sah apabila telah
memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana yang berlaku secara umum
dalam transaksi lainnya. Adapun syarat-syarat akad ijarah sebagai berikut:82
1. Untuk kedua orang yang berakad (al-muta‟aqidain), menurut ulama
Syafi‟iyah dan Hanabilah, disyaratkan telah baligh dan berakal. Oleh
sebab itu, apabila orang yang belum atau tidak berakal, seperti anak kecil
dan orang gila, menyewakan harta mereka atau diri mereka atau diri
mereka (sebagai buruh), menurut mereka al-ijarahnya tidak sah. Akan
tetapi, ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang
yang berakad itu tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah
mumayyiz pun boleh melakukan akad al-ijarah. Namun, mereka
82
Ibnu‟ Abidin, Op.Cit., h. 196.
61
mengatakan apabila seorang anak yatim yang mumayyiz melakukan akad
al-ijarah terhadap harta atau dirinya maka akad itu baru dianggap sah
apabila disetujui oleh walinya.83
2. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk
melakukan akad al-ijarah. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa
melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah.
3. Manfaat yang menjadi obyek al-ijarah harus diketahui secara sempurna,
sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari. Apabila manfaat
yang akan menjadi obyek al-ijarah itu tidak jelas, maka akadnya tidak
sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis
manfaatnya, dan penjelasan berapa lama manfaat ditangan penyewa.84
4. Obyek al-ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung
dan tidak bercacat. Oleh sebab itu para ulama fiqh sepakat menyatakan
bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan
dimanfaatkan langsung oleh penyewa.
5. Obyek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara‟. Oleh sebab itu,
para ulama fiqh sepakat menyatakan tidak boleh menyewa seseorang
untuk mengajarkan ilmu sihir, menyewa seseorang untuk membunuh
orang lain (pembunuh bayaran), dan orang Islam tidak boleh
menyewakan rumah kepada orang non muslim untuk dijadikan tempat
ibadah mereka. Menurut mereka obyek sewa-menyewa dalam contoh di
83
Lihat Ibnu „Abidin, Radd al-Muhtar ‟ala ad-Durr al-Mukhtar, Jilid V, h, 300; Asy-
Syarbaini al-Khatib, Mugni al-Muhtaj, Jilid II, h. 322; dan al-Bahuti, Kasysyaf al-Qina‟ Jilid III,
h. 523. 84
Asy-Syarbini al-Khatib, Loc.Cit.
62
atas termasuk maksiat, sedangkan kaidah fiqh menyatakan sewa-
menyewa dalam masalah maksiat tidak boleh.85
6. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya,
menyewa orang untuk melaksanakan shalat untuk diri penyewa dan
menyewa orang yang belum haji untuk menggantikan haji penyewa. Para
ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sewa-menyewa seperti ini tidak
sah, karena shalat dan haji merupakan kewajiban bagi orang yang
disewa. Terkait dengan masalah ini juga, para ulama fiqh berbeda
pendapat dalam hal menyewa/menggaji seseorang untuk jadi mu‟azin
(yang bertugas mengumandangkan azan pada setiap waktu disuatu
masjid), menggaji imam shalat, dan menggaji seseorang yang
mengajarkan al-Qur‟an. Ulama Hanafiyah86
dan Hanabilah87
mengatakan
tidak boleh atau haram hukumnya menggaji seseorang menjadi mu‟azin,
imam shalat, dan guru yang akan mengajarkan al-qur‟an, karena
pekerjaan seperti ini, menurut mereka, termasuk pekerjaan taat (dalam
rangka mendekatkan diri pada Allah) dan terhadap perbuatan taat
seseorang tidak boleh menerima gaji.
7. Obyek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti
rumah, mobil, dan hewan tunggangan. Oleh sebab itu, tidak boleh
dilakukan akad sewa-menyewa terhadap sebatang pohon yang akan
85
Imam al-Kasani, al-Bada‟i‟u ash-Shana‟i‟u, Jilid VI, h. 185.
86 Ibnu Qudamah, tokoh fiqh Hanbali, menilai hadits ini sebagai hadits al-mudhtharib,
salah satu bentuk hadits yang bernilai dha‟if. Lihat Ibnu Qudamah, al-Mugni, Jilid V, h. 383-385.
87
Ibnu Qudamah, Ibid,; Kamal ibn al-Hummam, Fath al-Qadir Syarh al-Hidayah, Jilid
VIII, h. 45; Ibnu Rushd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Jilid II, h. 242; dan asy-
Syarbaini al-Khatihib, Mugni al-Muhtaj, Jilid II, h. 322.
63
dimanfaatkan penyewa sebagai penjemur kain cucian, karena akad pohon
bukan dimaksudkan untuk penjemur cucian.
8. Upah/sewa dalam akad al-ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang
bernilai harta. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa
khamar dan babi tidak boleh menjadi upah dalam akad al-ijarah, karena
kedua barang itu tidak bernilai harta dalam Islam.
9. Ulama Hanafiyah mengatakan upah/sewa itu tidak sejenis dengan manfaat
yang disewa.88
Misalnya, dalam sewa-menyewa rumah. Jika sewa rumah
dibayar dengan penyewaan kebun, menurut mereka al-ijarah seperti ini
dibolehkan. Apabila sewa rumah itu dilakukan dengan cara
mempertukarkan rumah, seperti Munaf menyewakan pula rumahnya
pada Munaf, sebagai sewa; sedangkan dari segi kualitas dan kuantitas
tidak berbeda. Sewa-menyewa seperti ini, menurut mereka tidak sah.
Akan tetapi, jumhur ulama tidak menyetujui syarat ini, karena menurut
mereka antara sewa dengan manfaat yang disewakan boleh sejenis,
seperti yang dikemukakan ulama Hanafiyah di atas.89
4. Macam-macam Ijarah
Dilihat dari segi obyeknya, akad al-ijarah dibagi para ulama fiqh kepada
dua macam, yaitu: yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan (jasa). Al-
ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya ialah sewa-menyewa rumah, toko,
kendaraan, pakaian dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang
88
Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Muhalla, Jilid IX, h. 182.
89
Lihat Ibnu Qudamah, al-Mugni, Jilid V, h. 372 dan seterusnya.
64
dibolehkan syara‟ untuk dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan
boleh dijadikan obyek sewa-menyewa.90
Al-ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara memperkerjakan
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah seperti ini, menurut para
ulama fiqh, hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh
bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan tukang sepatu. Al-ijarah seperti seperti
ini ada yang bersifat pribadi, seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga,
dan yang bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual
jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik, dan
tukang jahit. Kedua bentuk al-ijarah terhadap pekerjaan ini (buruh, tukang, dan
pembantu), menurut para ulama fiqh, hukumnya boleh.91
Apabila orang yang dipekerjakan itu bersifat pribadi, maka seluruh
pekerjaan yang ditentukan untuk dikerjakan menjadi tanggungjawabnya. Akan
tetapi, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila obyek yang
dikerjakannya itu rusak ditangannya, bukan karena kelalaian dan kesengajaan,
maka ia tidak boleh dituntut ganti rugi.
Penjual jasa untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang jahit dan
tukang kasur, apabila melakukan suatu kesalahan sehingga kasur orang yang
diperbaikinya rusak atau pakaian yang dijahit penjahit itu rusak, maka para ulama
fiqh berbeda pendapat dalam masalah ganti rugi terhadap kerusakan itu. Imam
Abu Hanifah, Zufar ibn Huzail, ulama Hanabilah dan Syafi‟iyah, berpendapat
90 Imam al-Kasani, al-Bada‟I ash-Shana‟I‟u, Jilid VI, h. 187 dan seterusnya.
91
Ibnu „Abidin, Op. Cit., h. 202.
65
bahwa apabila kerusakan itu bukan karena unsur kesengajaan dan kelalaian
tukang sepatu atau tukang jahit itu, maka ia tidak dituntut ganti rugi barang yang
rusak itu.92
Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syabaini, keduanya
sahabat Abu Hanifah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad ibn Hanbal
berpendapat bahwa penjual jasa untuk kepentingan umum bertanggungjawab atas
kerusakan barang yang sedang ia kerjakan, baik dengan sengaja maupun tidak,
kecuali kerusakan itu diluar batas kemampuannya untuk menghindari, seperti
banjir besar atau kebakaran. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa apabila sifat
pekerjaan itu membekas pada barang yang dikerjakan, seperti clean & laundry,
juru masak, dan buruh angkat (kuli), maka baik sengaja maupun tidak sengaja,
segala kerusakan yang terjadi menjadi tanggungjawab mereka dan wajib diganti.93
5. Pembayaran Ijarah
Jika ijarah itu suatu pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upahnya pada
waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah
berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan
penangguhannya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara
berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Menurut Imam Syafi‟i dan
Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika mu‟jir
menyerahkan zat barang yang disewa kepada musta‟jir, ia berhak menerima
bayarannya karena penyewa (musta‟jir) sudah menerima kegunaan.94
Hak menerima upah bagi musta‟jir yakni sebagai berikut:
92 Imam al-Kasani, Op.Cit., h. 188; Ibnu Qudamah, al-Mugni bi Syarh al-Kabir, Jilid V,
h. 580; dan asy-Syarbaini al-Khathib, Mugni al-Muhtaj, Jilid II, h. 337.
93 Ibnu Qudamah, Op.Cit., h. 272-277.
94 Abdul Rahman Ghazali, dkk. Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 280.
66
a. Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, maka berikanlah upah sebelum
keringat pekerja kering.
b. Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali
bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan
mengalir selama penyewaan berlangsung.
6. Berakhirnya Ijarah
Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir apabila:95
a. Obyek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang
dijahitkan hilang.
b. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir.
Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan
kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang,
maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh
seluruh ulama fiqh.
c. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad,
karena akad al-ijarah, menurut mereka tidak boleh diwariskan.
Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarah tidak batal dengan
wafatnya salah seorang yang berakad, karena manfaat, menurut mereka
boleh diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat
kedua belah pihak yang berakad.
d. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti
rumah yang disewakan disita Negara terkait utang yang banyak, maka
95
Ibnu „Abidin, Radd al-Muhtar „ala ad-Durr al-Mukhtar, Jilid V, h. 203.
67
al-ijarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad al-ijarah itu,
menurut ulama Hanafiyah ialah salah satu pihak jatuh muflis, dan
berpindah tempatnya penyewa, misalnya seseorang digaji untuk
menggali sumur disuatu desa, sebelum sumur itu selesai, penduduk desa
itu pindah ke desa lain. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, uzur yang
boleh membatalkan akad al-ijarah itu hanyalah apabila obyeknya
mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang,
seperti kebakaran dan dilanda banjir.
69
BAB III
LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian
1. Sejarah Berdirinya Jasa Penitipan Motor Rajawali, di Jalan Alamsyah
Ratu Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan
Jasa Penitipan Motor Rajawali di Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara
Hajimena Lampung Selatan adalah usaha yang menyediakan tempat parkir
khusus bagi pengendara motor yang ingin menitipkan kendaraan mereka
beberapa waktu. Sistem pembayaran bisa dilakukan setelah kendaraan yang
dititipkan tersebut diambil oleh pemiliknya. Bisnis ini memiliki peluang yang
sangat baik bagi pemilik usaha untuk menarik konsumen agar dapat menyewa
tempat untuk menitipkan motor, penitip yang kebetulan kebanyakan adalah
pegawai kantor yang mau tidak mau harus pulang pergi untuk menggunakan
transportasi lain seperti bis atau travel ke tempat kerja diluar daerah domisili
pegawai kantor harus menitipkan motornya pada jasa penitipan motor tersebut.
Selain itu, jasa penitipan motor rajawali ini juga menyediakan jasa
penitipan untuk sepeda bagi anak sekolah yang ingin menitipkan sepedanya ke
jasa penitipan motor rajawali, sepeda tersebut diletakkan bersamaan dengan
motor yang lain. Ide menjual jasa seperti ini muncul ketika adanya peluang
pasar dengan menciptakan sedikit rasa ulet dan telaten. Karena umumnya ide
seperti ini dihasilkan pula dari kejelian melihat adanya peluang besar jika
membuka jasa penitipan motor bagi para pekerja yang tidak lain kebanyakan
adalah pegawai negeri sipil dan karyawan swasta. Alasan mereka menitipkan
70
motornya karena tempat kerja mereka yang berada diluar kota Bandar
Lampung, sehingga mengharuskan mereka untuk naik kendaraan lain untuk
dapat sampai ke tempat kerja yang kebetulan semuanya berada diluar kota
Bandar Lampung.
Sebelum usaha jasa penitipan motor ini berdiri kurang lebih 3 tahun
terakhir ini, sekitar tahun 2009 pemilik lahan ruko yang sama pun mendirikan
usaha grosir sembako namun tutup dikarenakan kurangnya konsumen akibat
persaingan usaha yang sama ditempat tersebut, lalu membuka warung internet
(warnet) pada tahun 2012 dan sepi peminat mungkin karena lokasi yang kurang
strategis dan kembali lagi karena persaingan usaha yang ketat, pada tahun 2014
membuka usaha rumah makan namun kembali ditutup kembali dan pada
akhirnya pada tahun 2016 berdirilah usaha jasa penitipan motor rajawali yang
hingga saat ini masih berdiri.1
Terbukti dengan adanya jasa penitipan motor ini para pemilik motorpun
sangat senang karena tidak perlu repot dan bingung saat ingin pergi bekerja
sebelum menaiki bis. Para pegawai negeri sipil dan karyawan swasta pun tidak
perlu khawatir dengan keamanan motor mereka karena ada yang menjaga
motor mereka sampai mereka pulang dari bekerja bahkan motor pun bisa
diambil kapanpun penitip motor ingin mengambil motornya dengan harga yang
relatif murah.2
1 Holida, Wawancara Langsung, Pengurus Jasa Penitipan Motor Rajawali, Tanggal 28
Maret 2019 2 Uswatun Hasanah, Wawancara Langsung, Penitip Motor Pada Jasa Penitipan Motor
Rajawali, Tanggal 28 Maret 2019
71
Menurut keterangan salah satu pengurus jasa penitipan motor rajawali
tersebut, tepatnya sejak didirikannya jasa penitipan motor rajawali pada tahun
2016. Seiring dengan ide membuka usaha ini, yaitu berdasarkan kejelian
melihat adanya peluang usaha dan memanfaatkan lahan yang ada agar
digunakan untuk menyewakan lahan sebagai tempat penitipan motor,
beruntungnya lagi dikarenakan letak lahan yang strategis untuk membuka
usaha jasa penitipan motor ini yaitu tepat didepan jasa penitipan motor ini biasa
digunakan oleh para penumpang menunggu angkutan umum baik itu ojek,
becak, angkot, travel dan bis karena memang disitulah tempat yang biasa
digunakan oleh pengendara angkutan umum untuk mencari penumpang, jadi
tidak sulit bagi penikmat jasa penitipan motor ini untuk berjalan kaki lagi atau
menunggu angkutan umum terlalu lama lagi dikarenakan tepat sekali didepan
jasa penitipan motor tersebutlah angkutan umum lalu lalang dan jumlahnya
sangat banyak.3 Angkutan umum ini ada yang menuju pasar Hajimena dan ke
luar kota Bandar Lampung lainnya seperti Pringsewu, Kotabumi, Bandar Jaya,
Tanggamus, Gunung Sugih dan daerah lainnya.
Dalam menjalankan bisnisnya, berbagai bentuk usaha ditempuh oleh oleh
pemilik jasa penitipan motor agar dapat diterima oleh masyarakat banyak.
Dewasa ini banyak sekali bentuk usaha dan persaingan usaha yang masing-
masing memiliki karakteristik yang berbeda sehingga memunculkan ide bagi
para wirausaha untuk dapat mengembangkan dan memanfaatkan apa yang ada,
3 Zainal, Wawancara Langsung, Pengurus Jasa Penitipan Motor Rajawali, Tanggal 28
Maret 2019
72
hal inilah yang menjadikan jasa penitipan motor rajawali ini ada hingga saat
ini.
Secara geografis wilayah Jasa Penitipan Motor Rajawali ini berada di
Jalan Alamsyah Ratuprawiranegara Hajimena Lampung Selatan mempunyai
batas-batas sebagai berikut:
a) Sebelah utara : Tempat pemberhentian angkutan umum
b) Sebelah selatan : Rumah penduduk
c) Sebelah timur : Terminal induk rajabasa
d) Sebelah barat : Holland bakery
2. Kepengurusan Pada Jasa Penitipan Motor Rajawali
Jasa penitipan motor rajawali yang didirikan 3 (tiga) tahun lalu ini
mempunyai 3 (tiga) pengurus yang memegang tugas dan fungsinya masing-
masing. Meskipun tidak ada struktur kepengurusan secara tertulis di jasa penitipan
motor rajawali ini, namun dapat dipahami jika masing-masing pihak yang terlibat
dalam usaha ini memiliki hak dan tanggung jawab masing-masing. Adapun
pembagian kerjanya adalah:
a) Mizia : Pemilik
b) Holida : Kasir
c) Rohman : Penjaga CCTV
d) Zainal : Pengurus keluar masuknya motor titipan
Bapak Mizia selaku pemilik tentu memiliki kekuasaan tertinggi dalam
mengambil kebijakan di jasa penitipan motor ini. Begitu pula dengan para
73
pekerjanya yang memiliki perannya masing-masing harus menunjukkan
kemampuan kerja dan kedisiplinan yang baik pada jasa penitipan motor ini. Selain
itu perlu adanya komunikasi yang baik antar pekerja dengan pemilik maupun
pekerja dengan pekerja yang lain. Selain untuk kelancaran usaha, hal tersebut
dapat menicptakan suasana kekeluargaan yang baik dalam lingkungan kerja.
B. Praktek Penitipan dan Akad Upah Pada Jasa Penitipan Motor Rajawali
di Jalan Alamsyah Ratuprawiranegara Hajimena Lampung Selatan
Data penelitian ini diperoleh dari observasi, dokumentasi dan wawancara
yang merupakan data penunjang dalam penelitian ini. Untuk mendapatkan
informasi yang berkaitan dengan penelitian, penulis memilih informan yang
berkaitan langsung dengan pemilik, pengurus dan penitip kendaraan.
Dalam jasa penitipan motor rajawali sistem yang digunakan adalah dengan
sistem harian. Praktik pelaksanaannya bagi penitip motor adalah yang ingin
menitipkan motornya pada jasa penitipan motor rajawali di jalan Alamsyah Ratu
Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan dapat langsung datang ke jasa
penitipan motor rajawali ini. Jasa penitipan motor ini buka dari pukul 05-22.00
WIB untuk hari senin sampai dengan hari jum’at, sedangkan sabtu dan minggu
dibuka pukul 05.00-21.00 WIB.
Bagi yang ingin menitipkan kendaraannya harus membayar uang sejumlah
Rp.3000,- setelah kendaraan akan diambil dan jika kendaraan menginap pada jasa
penitipan motor ini makan dikenakan tarif tambahan yaitu sebesar Rp.5000,-
perhari dan berlaku kelipatannya. Penitip motor hanya wajib menunjukkan karcis
saja saat hendak mengambil kendaraan yang dititipi kembali. Kendaraan yang
74
menginap biasanya akan dicatat tanggal mulai masuknya kendaraan hingga saat
kendaraan akan diambil oleh pemiliknya, biasanya pihak jasa penitipan motor
mencatat ini di setiap spion motor yang menginap menggunakan spidol untuk
menghindari akan adanya kekeliruan penghitungan oleh pemilik motor. Lain lagi
halnya bagi sepeda yang menitip, dikarenakan pihak jasa penitipan motor rajawali
tidak mematok harga yang spesifik, untuk masalah pembayaran pihak jasa
penitipan motor rajawali mengambil kebijakan agar anak sekolah yang menitipkan
sepedanya untuk dapat membayar seikhlasnya saja.4
Tata cara pembayaran disini biasa dilakukan setelah kendaraan akan
diambil pemiliknya, kendaraan motor yang biasa menitipkan motor disini berkisar
antara 140 sampai dengan 170 kendaraan perharinya. Lahan parkir motor yang
lumayan luas dan juga tingkat ini memudahkan motor untuk dapat keluar masuk
dengan cepat, karena tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk memarkirkan atau
mengambil kembali kendaraan titipan tersebut.
Apabila terjadi kehilangan merupakan tanggungjawab sepenuhnya
ditanggung oleh pihak jasa penitipan motor tersebut, baik itu kerusakan apapun
dan juga apabila terjadi kehilangan seperti helm dan motor. Namun sepanjang jasa
penitipan motor rajawali ini berdiri belum pernah ada laporan kehilangan motor
sekalipun, yang banyak terjadi justru kehilangan helm, jika terjadi kehilangan
helm ini biasanya pihak jasa penitipan motor biasanya mengganti uang
sepenuhnya sesuai harga helm tersebut, tetapi dengan melihat bukti dari CCTV
4 Rohman, Wawancara Langsung, Pengurus Jasa Penitipan Motor Rajawali, Tanggal 28
Maret 2019
75
terlebih dahulu supaya tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Untuk kerusakan
yang biasa terjadi biasanya seperti motor lecet dan spion motor biasanya banyak
yang terlepas, ini juga merupakan tanggungjawab dari pihak jasa penitipan motor
itu sendiri. Jasa penitipan motor ini memiliki 4 (empat) kamera CCTV yang
terpasang diluar 1 (satu), dilantai atas 1 (satu), lantai bawah 1 (satu) dan tempat
kasir 1 (satu).5
Alasan penitip motor menitipkan kendaraan nya dikarenakan beberapa
faktor diantaranya karena bekerja diluar kabupaten/kota sehingga mengharuskan
para penitip motor itu sendiri untuk transit lagi dengan menggunakan angkutan
umum lain, biaya ongkos yang relatif mahal dan lambat jika harus menggunakan
angkutan umum lagi dari rumah menuju tempat pemberhentian bis, kendaraan
aman dijaga pada jasa penitipan motor tersebut, jika pulang kerja sedikit terlambat
tidak khawatir dan bingung akan naik apa kerumah maka para penitip lebih
memilih untuk dapat menitipkan motornya pada jasa penitipan tersebut dan yang
paling banyak berasumsi untuk alasan mereka menitipkan motor adalah karena
tidak ribet dan biaya yang relatif murah.6
Hal yang sama pula dikemukakan dengan penitip motor lainnya yaitu
saudara Roby Ishak yang notabane nya adalah seorang karyawan swasta dan
berdomisili di daerah way kandis Bandar Lampung harus menitipkan kendaraan
nya karena dia bekerja di Kota Metro, dia harus menitipkan kendaraan nya di jasa
5 Mizia, Wawancara Langsung, Pemilik Jasa Penitipan Motor Rajawali, Tanggal 28
Maret 2019 6 Irvansyah, Wawancara Langsung, Penitip Jasa Penitipan Motor Rajawali, Tanggal 28
Maret 2019
76
penitipan motor rajawali dan pergi bekerja ke kota Metro dengan menggunakan
kendaraan umum yaitu bis.7
Jika menurut saudara Indra Jaya alasan dirinya menitipkan motor tersebut
adalah sama yaitu karena dia bekerja di luar Kota Bandar Lampung, yakni di
Pemda Lampung Tengah, hal inilah yang menyebabkan dia menitipkan motornya
di jasa penitipan motor rajawali, beliau berdomisili di way halim Bandar
Lampung, supaya lebih hemat pula tandasnya, sehingga beliau lebih memilih
menitipkan kendaraannya ditempat tersebut.8
Menurut Yulisa Safitri seorang mahasiswa yang sering menitipkan
motornya pada jasa penitipan motor rajawali karena dirinya mengaku sering
pulang ke kampung halaman nya yang terletak di daerah Kotabumi Lampung
Utara, karena alasan keamanan dan supaya tidak perlu repot-repot antar jemput
dari lokasi kos yang berada didaerah sukarame menuju tempat pemberhentian bis
saja yang menjadikan dirinya salah satu pelanggan dalam menitipkan motor.9
Menurut Aida Fetra yang bekerja di Pemda Lampung Utara dan
berdomisili di Tanjung Senang Kota Bandar Lampung ini mengaku dirinya sudah
lama menjadi pelanggan setia pada jasa penitipan motor ini karena alasan tidak
7 Roby Ishak, Wawancara Langsung, Penitip Jasa Penitipan Motor Rajawali, Tanggal 28
Maret 2019 8 Indra Jaya, Wawancara Langsung, Penitip Jasa Penitipan Motor Rajawali, Tanggal 28
Maret 2019 9 Yulisa Safitri, Wawancara Langsung, Penitip Jasa Penitipan Motor Rajawali, Tanggal
28 Maret 2019
77
adanya yang mengantar jemput ke bundaran radin intan untuk selanjutnya naik
kendaraan umum lagi. 10
Menurut Kadek Bagus Dewangga yang memiliki kampung halaman dari
Seputih Raman Lampung Tengah ini mengaku sering menitipkan motornya disaat
hendak pulang kampung saja, selebihnya dia tidak pernah menitipkan motornya
dengan alasan apapun. Dirinya mengaku sering sekali menitipkan motornya
karena sudah percaya kepada pihak jasa penitipan motor tersebut.11
Menurut Intan Pratiwi yang berdomisili di Kemiling Kota Bandar
Lampung ini memiliki alasan seperti kebanyakan yang lain yaitu karena dirinya
sering pulang ke kampung halaman nya di daerah Menggala, sehingga mau tidak
mau harus menitipkan kendaraan nya pada jasa penitipan motor rajawali.12
Menurut Angga Yudistira seorang ASN yang berdomisili di Kemiling
Kota Bandar Lampung lebih memilih menitipkan motornya pada jasa penitipan
motor karena tempat kerja nya yang jauh yaitu di Pemda Kota Pringsewu
sehingga ia harus naik angkutan umum untuk dapat sampai ke Pringsewu, jika
naik motor dikhawatirkan terjadi apa-apa diperjalanan, sehingga dirinya lebih
mempercayakan angkutan umum untuk dapat sampai ke tempat kerjanya itu.13
10
Aida Fetra, Wawancara Langsung, Penitip Jasa Penitipan Motor Rajawali, Tanggal 28
Maret 2019
11
Kadek Bagus Dewangga, Wawancara Langsung, Penitip Jasa Penitipan Motor
Rajawali, Tanggal 28 Maret 2019
12
Intan Pratiwi, Wawancara Langsung, Penitip Jasa Penitipan Motor Rajawali, Tanggal
28 Maret 2019
13
Angga Yudistira, Wawancara Langsung, Penitip Jasa Penitipan Motor Rajawali,
Tanggal 28 Maret 2019
78
Menurut Irma Sondang seorang staf Puskesmas Wates Lampung Tengah
yang berdomisili di Sukarame Kota Bandar Lampung harus menitipkan motornya
karena tempat kerja yang jauh tersebut mengharuskan nya untuk naik angkutan
umum bis supaya sampai ke tempat kerja nya tepat waktu.14
Menurut Halima Turahma seorang PNS yang berdomisili di Kedaton
Bandar Lampung harus menitipkan motornya karena alasan jarak tempat kerja
yang jauh sehingga memaksanya untuk transit menggunakan angkutan umum
yang lainnya.15
14
Irma Sondang, Wawancara Langsung, Penitip Jasa Penitipan Motor Rajawali,
Tanggal 28 Maret 2019
15
Halima Turahma, Wawancara Langsung, Penitip Jasa Penitipan Motor Rajawali,
Tanggal 28 Maret 2019
80
BAB IV
ANALISA DATA
A. Praktek Penitipan dan Akad Upah Jasa Penitipan Motor Rajawali di
Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena Lampung Selatan
Berdasarkan hasil yang didapatkan dilapangan seperti yang telah
dipaparkan pada BAB III laporan hasil penelitian, serta merujuk pada BAB II
sebagai landasan teori. Upah merupakan hal yang paling utama dalam transaksi
ketenagakerjaan, karena tujuan orang bekerja adalah untuk mendapatkan upah
yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemberian upah
yang adil dan setimpal akan memicu motivasi kerja yang tinggi sehingga
kinerja para buruh/pekerja menjadi lebih baik. Upah jasa penitipan motor
merupakan hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari usaha yang menyediakan tempat parkir khusus bagi
pengendara motor yang ingin menitipkan kendaraan beberapa waktu menurut
suatu perjanjian kerja.
Setelah menganalisa data-data yang telah dikemukakan pada BAB II,
penulis merasa adanya kesenjangan antara teori dan praktik yang terjadi,
bahwa praktek upah jasa penitipan motor sistem harian di Jalan Alamsyah
Ratuprawiranegara Hajimena Lampung Selatan terdapat pelanggaran dalam
perjanjiannya.
Menurut hasil wawancara dengan penitip motor di Jalan Alamsyah
Ratuprawiranegara Hajimena Lampung Selatan, bahwa upah jasa penitipan
motor sistem harian tidak ada akad atau perjanjian diawal. Dalam prakteknya
perjanjian tersebut tidak sesuai antara teori dan praktek. Diawal penitipan
81
motor tidak ada akad apa pun tentang harga dan sistem upah-mengupah dan
adanya tambahan tarif harian pada jasa penitipan motor tersebut.
Sebagian kecil penitip motor merasa dirugikan karena tidak adanya
pemberitahuan atau konfirmasi terlebih dahulu dari pihak pengurus jasa
penitipan motor tersebut jika adanya penambahan harga apabila motor tersebut
menginap. Umumnya mereka (penitip motor) tidak mengetahui bahwa
penitipan motor tersebut menggunakan tambahan harga dalam perharinya
apabila motor dititipi lebih dari sehari. Penitip motor tersebut kebanyakan
awalnya tidak tahu mengenai hal ini, tetapi karena kebetulan yang menitipi
motor tersebut adalah orang-orang lama dan itu-itu saja, biasanya mereka
akan tahu mengenai hal ini, tetapi bagi orang yang baru dan tidak melihat
adanya peraturan daftar harga dan jam buka yang tertera pada jasa penitipan
motor tersebut tidak akan tahu mengenai hal ini diakibatkan tidak adanya akad
apapun mengenai hal ini.
Adapun proses akad upah-mengupah sendiri dilakukan setelah motor
tersebut diambil oleh pemilik motor dengan menunjukkan karcis tanda penitip
motor. Pada transaksi antara pengurus dan penitip dalam upah-mengupah ini
tidak memberikan informasi yang jelas terkait adanya penambahan harga pada
tiap motor yang menginap dan pengurus jasa penitipan motor berasumsi bahwa
semua penitip motor sudah mengetahui tentang adanya tambahan harga pada
jasa penitipan motor ini. Menurut penulis, hal ini berakibat adanya kerugian
disalah satu pihak karena ketidaktahuan dari pihak penitip motor tentang
tambahan harga tersebut. Adapun penentuan upah sendiri diukur dari lamanya
82
motor menginap, jika hanya 1 (satu) hari terhitung dari pukul 05.00-22.00
maka dikenakan tarif Rp.3000,- tetapi jika melewati jam waktu tutupnya akan
dihitung 2 (dua) hari yang berarti akan dihitung Rp.5000,- perharinya. Dengan
demikian, semakin bertambah hari menitip motor maka semakin berlipat tarif
yang dikenakan.
Namun, kebiasaan yang terjadi di masyarakat secara berulang-ulang
tersebut bisa dijadikan suatu hukum. Seperti praktek yang terjadi di jasa
penitipan motor rajawali ini, walaupun harga penitipan motor sudah tertera di
dinding, akan tetapi tetap tidak tertera harga yang dikenakan kembali apabila
motor tersebut menginap dan tidak ada pemberitahuan atau konfirmasi apapun
sebelumnya, bisa dibilang tidak ada perjanjian apapun diawal sebelum motor
tersebut dititipkan.
B. Tinjauan Hukum Islam Tentang Akad Upah Jasa Penitipan Motor
Rajawali di Jalan Alamsyah Ratu Prawiranegara Hajimena Lampung
Selatan
Hukum merupakan peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis, yang pada dasarnya berlaku dan diakui sebagai peraturan
yang harus ditaati oleh setiap orang atau masyarakat yang tunduk pada suatu
hukum tertentu juga.
Hukum dan masyarakat merupakan dua sisi yang saling menyatu.
Hukum yang didasarkan pada suatu filsafat dan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat dijunjung tinggi dan dijadikan landasan hidup oleh masyarakat
dimana hukum itu berlaku. Bagi masyarakat muslim hukum yang dipandang
83
mampu memenuhi cita rasa keadilan adalah hukum Islam. Namun demikian,
persepsi masyarakat sendiri tentang hukum Islam sangatlah bervariatif.
Hukum Islam dikembangkan dengan sangat menghargai penggunaan
akal untuk melakukan ijtihad dengan tetap menghargai dan bahkan
mengadopsi nilai-nilai lokal. Keterlibatan akal pikiran manusia dalam
menjabarkan hukum-hukum menyebabkan aturan-aturan yang terdapat dalam
hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dan cara pandang manusia,
baik secara pribadi maupun sosial. Namun tidak semua cara pandang manusia
dapat diwujudkan menjadi hukum Islam. Cara pandang memenuhi sejumlah
persyaratan tertentu agar satu pemikiran dapat diterima sebagai sebuah tradisi
hukum.
Berdasarkan masalah yang ditemukan dilapangan dan merujuk pada
teori akad, upah dan titipan dalam penelitian ini bahwa akad upah jasa
penitipan motor sistem harian di Jalan Alamsyah Ratuprawiranegara Hajimena
Lampung Selatan yang dilakukan antara pihak jasa penitipan motor rajawali
dengan penitip motor tidak sesuai dengan tuntunan hukum Islam karena tidak
memenuhi rukun Ijarah yaitu sighat akad (ijab kabul) dan zat akad (nafs al-
‘aqd), yaitu adanya keridhaan dari kedua belah pihak.
Menurut ulama Hanafiyah rukun ijarah itu sendiri harus memenuhi ijab
dan qabul. Sedangkan menurut Jumhur ulama rukun ijarah diantaranya adalah:
a. Aqid (orang yang berakad)
b. Sigat Akad (orang yang berakad)
c. Ujrah (upah)
84
d. Manfaat
Dalam praktek dan akad upah jasa penitipan motor rajawali, hak untuk
mendapatkan informasi yang benar dan kejelasan akad kurang terealisasi
dengan baik karena pihak dari jasa penitipan motor tidak melakukan akad
apapun sebelumnya karena objek yang menjadi permasalahan adalah upah
penitipan motor yang bertambah apabila motor menginap dan berlaku
kelipatannya dalam setiap harinya. Jelas adanya unsur kemudharatan bagi
pihak penitip motor, kemudharatan yang dimaksud adalah kerugian akibat
tidak adanya akad apapun diawal. Seharusnya akad dilakukan diawal supaya
tidak adanya pihak yang merasa dirugikan mengenai hal ini.
Dalam penetapan upah atau imbalan, Islam tidak memberikan
ketentuan secara eksplisit, akan tetapi penerapannya dapat dilakukan melalui
pemahaman dan pemaknaan terhadap Al-Qur’an dan Hadits yang diwujudkan
dalam nilai-nilai universal seperti prinsip keadilan, kelayakan dan kebajikan
diantaranya ialah asas kelayakan yang artinya muamalat dilaksanakan dengan
memelihara keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur
pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa akad upah jasa
penitipan motor sistem harian di jalan Alamsyah Ratuprawiranegara Hajimena
Lampung Selatan belum dibenarkan oleh Hukum Islam yang berkaitan dengan
pembahasan ditemukan beberapa kesalahan yaitu: pihak jasa penitipan motor
melanggar tuntunan hukum Islam karena tidak melakukan akad dalam bentuk
apapun dalam prakteknya. Hal ini menyebabkan kemudharatan (kerugian) pada
85
pihak penitip motor dan hal ini tidak sesuai dengan hukum Islam. Karena
sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 58 dapat diketahui
bahwa salah satu prinsip dalam melakukan segala kegiatan ekonomi menurut
hukum Islam adalah prinsip kerelaan (suka sama suka).
Jika dilihat dari teori wadi’ah bahwa hukumnya boleh dan disunahkan
dalam rangka saling tolong-menolong antarsesama manusia. Menurut
Hanafiyah dalam sighat ijab dianggap sah apabila ijab tersebut dilakukan
dengan perkataan yang jelas (sharih) maupun dengan perkataan samaran
(kinayah). Artinya, suatu kebiasaan yang biasa terjadi di masyarakat secara
terus-menerus dan berulang-ulang bisa dijadikan suatu hukum dan dalam hal
ini, akad upah pada jasa penitipan motor ini adalah sah, karena telah memenuhi
syarat dan rukun yang ada dalam hukum Islam.
Ulama bersepakat mengenai diperbolehkannya wadi’ah, karena
umumnya masyarakat sangat membutuhkan akad wadi’ah. Adanya wadi’ah
sangat membantu manusia untuk saling membantu dalam menjaga harta yang
juga menjadi tujuan agama.
Berdasarkan prinsip tersebut bahwa segala kegiatan ekonomi haruslah
menggunakan akad yaitu ijab dan kabul supaya memberikan kejelasan bagi
kedua belah pihak yang berakad. Kegiatan ekonomi yang terdapat unsur
paksaan dilarang untuk dilakukan.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya tentang hal-hal
yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini dan menganalisa
data-data yang diperoleh pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini akan
ditarik kesimpulan berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan pada
bab sebelumnya. Adapun kesimpulan dari pembahasan ini adalah sebagai
berikut:
1. Praktek dan akad pengupahan pada jasa penitipan motor sistem harian di
Jalan Alamsyah Ratuprawiranegara Hajimena Lampung Selatan dilakukan
dengan sistem harian, pembayaran yang bisa dilakukan setelah kendaraan
yang dititipkan tersebut diambil oleh pemiliknya. Jasa penitipan motor ini
buka dari pukul 05.00-22.00 WIB untuk hari senin sampai dengan hari
jumat, sedangkan sabtu dan minggu dibuka pukul 05.00-21.00 WIB. Dalam
perharinya motor yang dititipkan tersebut dikenakan tarif Rp. 3000,-
sedangkan jika motor tersebut menginap atau telah melewati batas hari
penitipan maka akan dikenakan tarif tambahan yaitu Rp. 5000,- perhari dan
berlaku kelipatannya. Namun, dalam prakteknya pihak jasa penitipan motor
tersebut tidak memberikan keterangan apapun mengenai harga ataupun hal-
hal terkait dengan sistem upah yang ada pada jasa penitipan motor tersebut.
2. Dalam pandangan hukum Islam praktek dan akad pengupahan pada jasa
penitipan motor sistem harian di Jalan Alamsyah Ratuprawiranegara
88
Hajimena Lampung Selatan adalah sah. Karena, suatu kebiasaan yang biasa
terjadi di masyarakat secara terus-menerus dan berulang-ulang bisa
dijadikan suatu hukum dan dalam hal ini, akad upah pada jasa penitipan
motor ini adalah sah, karena telah memenuhi syarat dan rukun yang ada
dalam hukum Islam. Namun, sebaiknya segala sesuatu baiknya ada akad
terlebih dahulu yang mengikat diantara keduanya sebelum adanya suatu
transaksi dalam bentuk apapun itu.
Dalam hukum Islam akad haruslah ditepati dan dihormati. Tidak boleh
menyalahi salah satu dari hukum-hukum syariat, perjanjiannya harus
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, tidak boleh mencurangi salah
satu pihak. Agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
B. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka dalam
penulisan ini disampaikan beberapa saran yang mungkin bermanfaat bagi
para pihak yang terlibat, khususnya penitip motor (konsumen) yaitu:
1. Untuk mengantisipasi resiko yang terjadi selama penitipan motor
berlangsung, hendaknya dibuatlah dulu perjanjian atau hanya sekedar
tahu lebih dalam tentang bagaimana sistem yang ada pada jasa penitipan
motor tersebut dan disarankan membawa saksi sebagai bukti apabila
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan setiap individu harus
menanamkan kesadaran akan hak dan kewajibannya.
89
2. Sebaiknya penitip motor (konsumen) menghindari bentuk transaksi
apapun bila tanpa didasari akad yang jelas untuk meminimalisir adanya
pihak yang dirugikan dalam hal ini.
3. Kedua belah pihak seharusnya memiliki kesadaran yang tinggi mengenai
pentingnya akad ini dalam suatu perjanjian apapun bentuknya, jika
terjadi kerugian seperti kerusakan ataupun kehilangan bisa dilakukan
kebijakan yang adil dan tidak merugikan siapapun dalam hal ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Al-Fauzar Saleh, Fikih Sehari-hari (Jakarta: Gema Insani Press, 2005)
Al-Jaziri Abdurahman, Al-Fikih ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Digital Library,
al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005)
Al-Majmu, Yahya bin Syarf al-Nawawi (Digital Library, al-Maktabah al-
Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005)
Ali Zainuddin, Hukum Perbankan Syari’ah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008)
Anwar Dessy, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Amalia, 2005)
Arifin Arviyan dan Veithzal, Islamic Banking: Sebuah Teori, Konsep dan Aplikasi
(Jakarta: Bumi Aksara, 2016)
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta:
Rineka Cipta, 1998)
Ash-Shawi Shalah dan Abdullah al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam,
(Jakarta: Darul Haq, 2004)
Ash-Shieddiqy Tengku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadits-hadits Hukum 7
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001)
Dahlan Abdul Aziz, dkk. (Ed), Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2003)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Diponegoro,
2014)
Ghazali Abdul Rahman, dkk. Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana, 2012)
Hadi Sutrisno, Metode Research (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi UGM, 1981)
Hajar Al-Asqalani Al-Hafidh Ibnu Bulughul Maram min Adilatil Ahkam,
Penerjemah: Achmad Sunarto (Jakarta: Pustaka Amani, 1995)
Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)
Husnan Suad dan Heidjrahman, Manajemen Personalia (Yogyakarta: BPFE,
2005)
https://id.wikipedia.org/wiki/sepeda_motor. diakses tanggal 31 Desember 2018
Karim Helmi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997)
Komariah Aaan dan Djam’an Satori, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung:
Alfabeta, 2010)
Mardani, Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syariah (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
Mas’adi Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual (Semarang: PT Raja Grafindo
Persada, 2002)
Muhammad Abdul Kadir, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004)
Muhdlor Ahmad Zuhdi dan Atabik Ali, Kamus Arab Indonesia Al-Hadits
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika)
Mustofa Imam, Fiqh Muamalah Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2016)
Novinawati, Akad dan Produk Perbankan Syariah dalam Fitrah. Eds Juli-
Desember, 2014
Quraish Shihab M., Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
Rasyid Sulaiman, Fiqh Islam (Jakarta: al-Tahairriyah, 1976)
Ridwan Ahmad Hasan, BMT dan Bank Islam Instrumen Lembaga Keuangan
Syariah (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004)
Rusyd Ibnu, Bidayah al-Mujtahid (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, 2011)
Sabiq Sayid, Fiqh Sunnah (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006)
Saebani Beni Ahmad, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
Soerjono Soekanto, Pengantar Ilmu Ekonomi (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2016)
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2005)
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif-Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2014)
Suharto Achmad, dkk, Terjemah Shahih Bukhari (Semarang: CV Assyifa, 1993)
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010)
Sulaiman bin al-Asy’ats, Hadits Sunan al-Turmudzi (Digital Library al-Maktabah
al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005)
Syafei Rachmat, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001)
Syarifuddin Amir, Garis-garis Besar Fiqh (Bogor: Kencana, 2003)
Triyono, Penataran Analisis Data Penelitian bagi Dosen PTS Kopertis XI, (Kalimantan :
2003)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan
Warsito Hermawan, Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1995)
Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah (Jakarta:
PT Gramedia Widia Sarana Indonesia, 2008)
Jurnal
Eka Nuraini Rachmawati dan Ab Mumin bin Ab Ghani, “Akad Jual Beli Dalam
Perspektif Fikih dan Praktiknya di Pasar Modal Indonesia, Jurnal Al-
Adalah, Vol. XII, No. 4 2015, (Bandar Lampung, Fakultas Syariah UIN
Raden Intan Lampung, 2015), h. 788 (on-line), tersedia di
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/214 (23 Mei
2019), dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Website
https://id.wikipedia.org/wiki/sepeda_motor diakses tanggal 31 Desember 2018