bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan teoritis 1. talasemia
Post on 30-Oct-2021
11 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis
1. Talasemia
Kata talasemia berasal dari kombinasi kata Yunani thalassa (laut) dan haima
(darah).Talasemia adalah kelainan kuantitatif hemoglobin yang ditandai oleh
pembuatan hemoglobin yang tidak mencukupi akibat kurang atau tidak ada
pembentukan satu atau lebih rantai polipeptida globin. Ragaman hemoglobin
adalah kelainan terkait mutu akibat urutan asam amino yang abnormal terdapat di
salah satu atau lebih rantai polipeptida globin (Soehita, 2015). Sindrom-sindrom
talasemia ditandai dengan penurunan kecepatan produksi rantai globin. Sindrom
ini diklasifikasikan berdasarkan rantai globin yang terkena: talasemia-alfa, yang
produksi rantai alfanya menurun, dan talasemia-beta, yang produksi rantai betanya
menurun. Keduanya adalah sindrom talasemia yang paling sering dijumpai dan
juga terjadi dalam distribusi geografik yang sangat mirip dengan distribusi
geografik malaria (Sacher, 2004).
Sumber : https://fokusjabar.co.id/2016
Gambar 2.1 Penderita Talasemia
Talasemia merupakan anemia hemolitik herediter yang disebabkan oleh defek
genetik pada pembentukan rantai globin. Pada talasemia, hemoglobin mengalami
penghancuran (hemolisis) karena adanya gangguan sintesis rantai hemoglobin
atau rantai globin. Hemoglobin orang dewasa terdiri dari HbA yang merupakan
98% dari seluruh hemoglobinya.HbA2 tidak lebih dari 2% dan HbF 3%. Pada
7
bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobin (95%). Pada
talasemia kelainan genetik terdapat pada pembentukan rantai globin yang salah
sehingga eritrosit lebih cepat lisis. Hal ini menyebabkan penderita harus menjalani
tranfusi darah seumur hidup (Ridho dkk, 2019)
Talasemia ditandai dengan kelainan kuantitatif sintesis rantai globin.
Talasemia klasik ditandai oleh kurangnya sintesis rantai globin atau penurunan
jumlah rantai globin, namun beberapa hemoglobinopati juga mengalami penuruan
sintesis rantai globin dan dengan demikian tampak sebagai talasemia. Mutasi
genetik pada talasemia berupa ketiadaan produksi mRNA dan gen yang terlibat,
produksi mRNA nonfungsional, atau produksi mRNA yang tidak stabil yang
terdegradasi prematur, menyebabkan penurunan sintesis rantai globin yang terlibat
(Kiswari, 2014).
2. Etiologi (Mekanisme Penurunan Talasemia)
Talasemia dapat diturunkan pada anak dengan Talasemia mayor dapat lahir
dari perkawinan antara kedua orang tua yang dua-duanya pembawa sifat. Seorang
pembawa sifat Talasemia secara kasat mata tampak sehat (tidak bergejala),
hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan darah dan analisis hemoglobin.
Berdasarkan Hukum Mendel mekanisme penurunan Talasemia ke generasi
berikutnya dapat kita lihat pada gambar. Penyakit Talasemia Mayor yang berat
mulai terlihat ketika anak pada usia dini, dengan gejala pucat karena anemia,
lemas, tidak nafsu makan, sukar tidur. Kelahiran pasien Talasemia mayor dapat
dihindari dengan mencegah perkawinan antara dua orang pembawa sifat
Talasemia. Pada pasangan orang tua yang salah satunya pembawa gen Talasemia
Minor, berisiko mempunyai anak pasien Talasemia Minor 50%. Pasangan tersebut
tidak akan mempunyai anak dengan Talasemia Mayor, tetapi jika kedua orang
tuanya membawa gen Talasemia Minor (pembawa sifat) maka mereka dapat
kemungkinan 50% anaknya Talasemia Minor, 25% sehat, dan 25% sisanya
dengan Talasemia Mayor (Kemenkes, 2017).
8
3. Epidemiologi Talasemia
a. Distribusi Frekuensi berdasarkan usia
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Syarifurnama Dewi
(2009) yaitu, pada kelompok usia 6-15 tahun sebesar 65,8%. Pada hasil penelitian
karakteristik penderita talasemia mayor oleh Harvina Sawitri (2018)
menunjukkan rata-rata usia penderita 9,82 tahun (SD ± 3,44), dan pada penelitian
Tisha Lazuana (2014) didapatkan hasil karakteristik pasien talasemia mayor rata-
rata usia 9,82 tahun (SD ± 3,44),
b. Distribusi Frekuensi berdasarkan Jenis kelamin
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Syarifurnama Dewi
(2009) yaitu, pada jenis kelamin laki-laki sebesar 63,3% dan perempuan 36,7%.
Penelitian oleh Tisha Lazuana (2014) didapatkan hasil karakteristik pasien
talasemia mayor sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (50,5%) dan perempuan
(49,5%), dan hasil penelitian oleh Harvina Sawitri (2018) menunjukkan penderita
dengan jenis kelamin laki-laki (54%) lebih banyak dibandingkan dengan
penderita talasemia dengan jenis kelamin perempuan (46%).
c. Distribusi Frekuensi berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Syarifurnama Dewi (2009) bahwa
distribusi frekuensi penderita pendidikan antara penderita talasemia yang belum
sekolah dan SD/Sederajat tidak jauh berbeda masing-masing sebesar 45% dan
43,2%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jane Ruby (2015) distribusi
frekuensi penderita talasemia berdasarkan pendidikan adalah SD sebanyak 27
orang (38,0%) dan terendah adalah akademi/perguruan tinggi sebanyak 4 orang
(5,6%).
d. Distribusi Frekuensi berdasarkan Suku
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syarifurnama Dewi (2009)
distribusi frekuensi penderita talasemia berdasarkan suku terbesar adalah suku
Jawa (59%), Aceh (18,3%), Melayu (7,5%), Batak (5%), Minang (4,2%), lainnya
(4,2%), dan Tionghoa (1,7%). Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan
oleh Jane Ruby (2015) distribusi frekuensi penderita talasemia berdasarkan suku
adalah suku Jawa sebanyak 45 orang (64,8%), diikuti dengan suku Batak
9
sebanyak 10 orang (14,1%), suku Aceh sebanyak 6 orang (8,5%), suku Melayu
sebanyak 5 orang (7%), dan terendah adalah lainnya sebanyak 4 orang (5,6%).
e. Distribusi Frekuensi berdasarkan Jenis Talasemia
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tisha Lazuana (2014) jenis
talasemia paling banyak yaitu talasemia-beta dibandingkan dengan talasemia-alfa
f. Distribusi Frekuensi berdasarkan Agama
Berdasarkan penelitian Syarifurnama Dewi (2009) berdasarkan agama
tertinggi adalah agama islam sebesar (89.2%), sama halnya dengan penelitan yang
dilakukan oleh Tisha Lazuana (2014) distribusi frekuensi tertinggi berdasarkan
agama sebesar islam sebesar 88,5%.
Talasemia ditemukan secara terbatas didaerah Mediterania, tetapi sekarang ini
sudah ditemukan diseluruh dunia. Saat ini talasemia diidentifikasi sudah
ditemukan didaerah Eropa Selatan dari Portugal ke Spanyol, Italia, dan Yunani,
serta beberapa kasus di negara-negara Eropa Tengah dan sebagian di negara bekas
Uni Soviet. Talasemia juga ditemukan di daerah Asia Tengah seperti Iran,
Pakistan, India, Bangladesh, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Cina Selatan,
sama halnya juga dinegara-negara Pantai Utara Afrika dan Amerika Selatan.
Migrasi populasi dan perkawinan antar suku bangsa menjadikan talasemia
ditemukan dibelahan dunia, termasuk Eropa Utara, dimana talasemia sebelumnya
tidak ditemukan hingga menjadi masalah kesehatan utama bagi penduduknya
(Dewi, 2009).
Carrier talasemia ditemukan diseluruh dunia, tetapi talasemia pada umumnya
terdapat pada penduduk di Asia Tenggara (Vietnam, Laos, Thailand, Singapapura,
Filiphina, Kamboja, Malaysia, Burma, dan Indonesia), China, India bagian
selatan, Afrika, Mediterania, Yunani, dan Italia.Thalasemia alpha ditemukan
dalam jumlah besar di Asia Tenggara (Thailand, Semenanjung Melayu, dan
Indonesia), Mediterania, dan Afrika Barat.Talasemia beta mempunyai distribusi
yang luas didunia ini. Sering ditemukan didaerah sekitar Mediterania dan
beberapa bagian dari Timur Tengah, India, Pakistan, dan Asia Tenggara didaerah-
daerah ini frekuensi pembawa gen thalasemia bervariasi antara 2 dan 30% (Dewi,
2009).
10
Sumber :https://id.m.wikipedia.org/wiki/talasemia
Gambar 2.2 Mekanisme Pewarisan Penyakit Talasemia.
4. Patofisiologi
Penyebab anemia bisa bersifat primer dan sekunder.Penyebab primer adalah
berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai
penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena
defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskuler yang
mengakibatkan hemodilusi dan destruksi eritrosit oleh system retikuloendotelial
dalam limfa dan hati. Penelitian biomolekuler menunjukan adanya mutasi DNA
pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang.
Terjadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfuse berulang,
peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif,
anemia kronis serta proses hemolisis. Pada keadaan normal disintesis hemoglobin
A (adult : A1) yang tediri dari 2 rantai alfa dan dua rantai beta. Kadarnya
mencapai lebih kurang 95% dari seluruh hemoglobin. Sisanya terdiri dari
hemoglobin A2 yang mempunyai 2 rantai alfa dari 2 rantai delta sedangkan
kadarnya tidak lebih dari 2% pada keadaan normal. Hemoglobin F (foetal) setelah
lahir senantiasa menurun dan pada usia 6 bulan mencapai kadar seperti orang
dewasa, yaitu tidak lebih dari 4%, pada keadaan normal. Hemoglobin F terdiri
dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gamma. Pada talasemia, satu atau lebih dari satu
11
rantai globin kurang diproduksi sehingga terdapat kelebihan rantai globin karena
tidak ada pasangan dalam proses pembentukan hemoglobin normal orang dewasa
(HbA). Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai akan mengendap pada dinding
eritrosit. Keadaan ini menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan eritrosit
memberikan gambaran anemia hipokrom, mikrositer. Pada talasemia beta
produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan
produksi HbA2 dan atau HbF tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai
beta dan justru memproduksi lebih banyak dari pada keadan normal, mungkin
sebagai usaha kompensasi. Eritropoesis didalam susunan tulang bekerja sangat
giat, dapat mencapai 5 kali lipat dari nilai normal, begitu juga apabila ada
eritropoesis ekstra medular hati dan limfa. Destruksi eritrosit dan prekusornya
dalam sumsum tulang adalah luas (eritropoesis tidak efektif) dan masa hidup
eritrosit memendek dan terjadi hemolisis (Desmawati, 2013).
5. Klasifikasi Talasemia
Berdasarkan sintesis rantai globinnya talasemia dikelompokkan menjadi 2
yaitu talasemia alfa dan talasemia beta (Tarwoto, 2008). Secara klinis talasemia
dibagi dalam 2 golongan yaitu, talasemia mayor dan talasemia minor (Desmawati,
2013).
a. Talasemia Mayor
Umumnya diketahui sejak bayi, dengan gejala antara lain : tampak pucat,
lemah, lesu, sering sakit, kadang disertai perut yang membuncit. Pasien ini
membutuhkan transfusi darah terus menerus seumur hidupnya, setiap 2-4 minggu
sekali.
b. Talasemia Intermedia
Biasanya baru terdiagnosis pada anak yang lebih besar, dan biasanya tidak
membutuhkan transfusi darah rutin.
c. Talasemia minor/trait/pembawa sifat
Biasanya tidak bergejala, tampak normal, namun pada pemeriksaan darah
dapat ditemukan kadar Hb yang sedikit dibawah normal (Kemenkes, 2018).
12
1. Talasemia-
Sindrom talasemia biasanya disebabkan oleh delesi gen. secara normal
terdapat empat buah gen globin- , oleh sebab itu beratnya penyakit secara klinis
dapat digolongkan menurut jumlah gen yang tidak ada atau tidak aktif. Tidak
adanya keempat gen akan menekan sintesis rantai- seluruhnya dan karena rantai
esensial dalam hemoglobin fetus dan dewasa, keadaan ini tidak sesuai untuk
hidup sehingga menyebabkan kematian in utero (hidrops fetalis). Delesi tiga gen
menyebabkan anemia mikrositik hipokrom yang cukup berat (hemoglobin 7-11
g/dl) disertai spelenomegali. Keadaan ini dikenal sebagai penyakit Hb H karena
hemoglobin H ( ) dapat dideteksi dalam eritrosit.
a. Carrier Talasemia Alfa Silent (gangguan pada 1 rantai globin alfa)
Bentuknya heterozigot karier talasemia (- / ). Memiliki gambaran darah
yang abnormal, tetapi dengan Hb elektroforese normal. Saat lahir 50% kasus
memilki Hb Bart’s 1-3%, tapi tidak adanya Hb Bart’s tidak menyingkirkan
diagnosa ini.
b. Carrier Talasemia Alfa (trait/gangguan pada 2 rantai globin alfa)
Karier talasemia alfa bisa berasal dari talasemia o(- ) atau talasemi (- /-
). Biasanya asimtomatis, didapatkan anemia hipokromik ringan dengan
penurunan MCH dan MCV yang bermakna.Hb elektroforesis normal dan pasien
hanya bisa didiagnosis dengan analisis DNA. Pada masa neonates didapatkan Hb
Bart’s 5-10%, tapi tidak didapatkan HbH pada masa dewasa. Kadang bisa
didapatkan inklusi pada eritrosit karier talasemia .
c. HbH Disease (gangguan pada 3 rantai globin alfa)
Ditandai dengan anemia dan splenomegali sedang. Memiliki variasi klinis,
beberapa tergantung transfusi, sedangkan sebagian besar bisa tumbuh normal
tanpa transfusi. Gambaran darah tepi khas talasemia dengan perubahan eritrosit,
dengan HbH bervariaasi, sedikit Hb Bart’s dan HbA2 rendah sampai sedang. HbH
bisa diketahui dengan bantuan brilian cresil blue yang akan menyebabkan
pengendapan dan pembentukan badan inklusi, setelah splenektomi bentukan ini
makin banyak pada eritrosit (Permono dkk, 2012).
13
d. Talasemia Alfa Mayor ( ) (gangguan pada 4 rantai globin alfa)
Sindrom hidrops Hb Bart’s ini biasanya terjadi dalam rahim. Bila hidup
hanya dalam waktu pendek. Gambaran klinisnya adalah hidrops fetalis dengan
edem permagna dan hepatosplegnomegali. Kadar Hb 6-8 g/dl dengan erirosit
hipokromik dan beberapa berinti. Kadar Hb Bart’s 80%, sisanya Hb Portland.
Kelainan ini sering disertai toksemia gravidarum, perdarahan postpartum dan
masalah karena karena hipertrofi plasenta. Pemeriksaan otopsi memperlihatkan
peningkatan kelainan bawaaan. Beberapa bayi, berhasil diselamatkan dengan
transfusi tukar dan transfusi berulang. Pertumbuhan dan perkembangan bisa
mencapai normal (Permono dkk, 2012).
2. Talasemia Beta (β)
Sel normal memiliki dua gen globin β. Thalasemia β merupakan kondisi yang
disebabkan mutasi pada satu atau kedua gen globin β, yang menyebabkan
penurunan kecepatan, atau bahkan ketiadaan total, sintesis globin β (Bain, 2018).
a. Talasemia Beta Trait (Minor)
Pada jenis ini, penderita memiliki satu gen normal dan satu gen yang
bermutasi. Penderita mungkin mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel
darah merah yang mengecil (mikrositer) (Kiswari, 2014).
b. Talasemia Beta Intermedia
Istilah” talasemia β intermedia” mengacu pada kelompok genetik heterogen
yang kondisi gejalanya bervariasi dari ringan sampai berat. Secara definisi,
ketahanan tanpa transfuse darah masih memungkinkan meskipun, pada kondisi
lebih berat, kualitas hidup akan buruk jika tidak ditransfusi. Talasemia β
intermedia disebabkan talasemia β heterozigot dengan faktor yang memperburuk
atau warisan dua gen talasemia β tapi dengan faktor yang memperbaiki. Di Asia
Tenggara, pewarisan bersamaan talasemia β dan hemoglobin E merupakan
penyebab utama talasemia β intermedia (Bain, 2018).
c. Talasemia Beta Mayor (Cooley’s Anemia)
Keadaan ini ditemukan pada rata-rata satu dari empat anak jika kedua orang
tua adalah pembawa talasemia β (β
) yang disintesis. Rantai berlebih
berpresipitasi dalam eritroblas dan eritrosit matang, menyebabkan erritropoiesis
14
inefektif dan hemolisis yang berat, yang khas untuk penyakit ini. Tidak seperti
talasemia , sebagian besar lesi genetik adalah mutasi titik dan bukan delesi gen.
mutasi ini dapat terjadi didalam kompleks gen tersebut atau di regio promoter atau
penguat. Talasemia mayor sering kali merupakan akibat pewarisan dua mutasi
yang berbeda, masing-masing mempengaruhi sintesis globin β (heterozigot ganda)
(Hoffbrand, 2013).
Sumber :https://labcito.co.id/mengenal-penyakit-talasemia/
Gambar 2.3 Sel Darah Thalasemia
e. Gambaran Klinis dan Diagnosis
1). Gambaran Klinis
Gejala klinis talasemia telah terlihat sejak anak baru berumur kurang dari 1
tahun, yaitu lemah, terlihat pucat, perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur,
berat badan kurang, tidak dapat hidup tanpa transfusi. Gejala khasnya adalah
bentuk muka mongoloid yaitu hidung pesek, tanpa pangkal hidung, jarak antara
kedua mata lebar, tulang dahi juga lebar, keadaan kuning pucat pada kulit, jika
sering ditransfusi, kulitnya menjadi kelabu karena penimbunan besi (Desmawati,
2013).
2). Diagnosis
Diagnosis dari talasemia diketahui dengan melakukan beberapa pemeriksaan
darah, seperti:
a). FBC (Full Blood Count)
Pemeriksaan ini akan memberikan informasi mengenai berapa jumlah sel darah
merah yang ada, berapa jumlah hemoglobin yang ada di sel darah merah, dan
ukuran serta bentuk dari sel darah merah.
15
b). Sediaan Darah Apus
Pada pemeriksaan ini, darah akan diperiksa dengan mikroskop untuk melihat
jumlah dan bentuk dari sel darah merah, sel darah putih, dan platelet. Selain itu,
dapat juga dievaluasi bentuk darah, kepucatan darah, maturasi darah.
c). Iron Study
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui segala aspek penggunaan dan
penyimpanan zat besi dalam tubuh.Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk
membedakan apakah penyakit disebabkan oleh anemia defisiensi besi biasa atau
talasemia.
d). Haemoglobinopathy evaluation
Pemeriksaan ini untuk mengetahui tipe dan jumlah relatif hemoglobin yang ada
dalam darah.
e). Analisis DNA
Analisis DNA ini untuk mengetahui adanya mutasi pada gen yang memproduksi
rantai alpha dan beta. Pemeriksaan ini merupakan tes yang paling efektif untuk
mendiagnosis keadaan karier pada talasemia (Kiswari, 2014).
6. Pengobatan Talasemia
1). Transfusi Sel Darah Merah
Pemberian transfusi sel darah merah yang teratur, mengurangi komplikasi
anemia dan eritropoiesis yang tidak efektif, membantu pertumbuhan dan
perkembangan selama masa anak-anak dan memperpanjang ketahanan hidup pada
talasemia mayor. Keputusan untuk memulai program transfusi didasarkan pada
kadar hemoglobin < 6g/dl dalam interval 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut,
yang berhubungan dengan pertumbuhan yang terganggu, pembesaran limpa dan
atau ekspansi sumsum tulang. Penentuan berbasis molekuler dari talasemia β yang
berat jarang dapat memperkirakan kebutuhan transfusi yang teratur.Sebelum
dilakukan transfusi pertama, status besi dan folat pasien harus diukur, vaksin
hepatitis B dan diberikan fenotif sel darah merah secara lengkap ditentukan
,sehingga alloimunisasi yang timbul dapat dideteksi (Permono, 2012). Pemberian
transfusi darah bagi penyandang talasemia seumur hidup, rata-rata sebulan
sekali, kemudian untuk mengeluarkan kelebihan besi dalam tubuh akibat
16
transfusi darah rutin dan anemia kronik maka diberikan obat kelasi besi.
Berdasarkan rekomendasi PHTDI Indonesia transfusi darah rutin untuk pasien
anak diberikan pada kadar Hb pretranfusi 9-10 gr %, dengan target Hb pasca
transfusi antara 12-13 gr%. Hal ini bertujuan agar anak Talasemia mayor dapat
tumbuh dan berkembang sesuai anak normal lainnya (Kemenkes, 2017).
2). Terapi Pengikat Besi dengan Deferoksamin
Absorpsi deferoksamin secara oral buruk. Ekskresi besi setelah pemberian
jangka pendek deferoksamin secara intramuscular, intravena, dan subkutan
pertama kali dilaporkan awal tahun1960. Setelah lebih dari dua dekade,
pemberian jangka panjang intramusskular dilaporkan menimbulkan akumulasi
besi secara perlahan dan penghambatan fibrosis hati pada pasien yang mendapat
transfusi, bila deferoksamin diberikan efektif melalui infus 24 jam dan selanjutnya
12 jam. Bersamaan dengan studi ini diijinkan pemberian infus deferoksamin
subkutan selama satu malam menggunakan pompa portable yang dapat dibawa
kerumah sebagai metode standar pemberian deferoksamin saat ini (Permono dkk,
2012).
Saat ini di Indonesia tersedia 3 jenis obat obat pengikat besi (iron cehlators).
Ketiga obat tersebut adalah:
a). Desferrioxamine (DFO) yang diberikan secara subkutan
b). Deferriprone (DFP),
c). Deferasirox (DFX) yang dapat diberikan secara oral.
Obat kelasi besi ini baru diberikan jika;
a). Kadar feritiin serum ≥ 1000 ng/dL
b). Kadar saturasi transferin (serum iron/total iron binding capacity = SI/TIBC) ≥
75%
c). Adanya tumpukan besi di jantung yang diukur dengan menggunakan pemeriksaan
MRI T2< 20 ms
d). Telah menerima transfuse darah > 10x
e). Telah menerima darah sebanyak ± 3 liter (Kemenkes, 2017).
17
3). Transplantasi Sumsum Tulang (TST)
Pengobatan talasemia β yang berat dengan transplantasi sumsum tulang
pertama kali dilaporkan lebih dari satu dekade yang lain, sebagai alternatif dari
pelaksanaan klinis standar dan saat ini diterima dalam pengobatan talasemia β.
Meskipun penyembuhan pasien talasemia β adalah dengan TST, prosedur yang
optimal untuk seleksi pasien, waktu yang tepat untuk transplantasi dan regimen
yang harus dipersiapkan masih belum ditentukan dengan jelas hingga saat ini.
4). Splenektomi
Sebagian besar pasien β talasemia yang berat akan mengalami pembesaran
limpa yang bermakna dan peningkatan kebutuhan sel darah merah setiap tahunnya
pada decade pertama kehidupan. Meskipun hipersplenissme kadang-kadang dapat
dihindari dengan transfuse lebih awal dan teratur, namun banyak pasien yang
memerlukan splenektomi. Splenektomi dapat menurunkan kebutuhan sel darah
merah sampai 30% pada pasien indeks transfusinya (dihitung dari penambahan
PRC yang diberikan selama setaun dibagi berat badan dalam kg pada pertengahan
tahun) melebihi 200 ml/kg/tahun. Karena adanya risiko infeksi, splenoktomi
sebaiknya ditunda hingga usia 5 tahun. Sedikitnya 2-3 minggu sebelum dilakukan
splenoktomi, pasien sebaiknya di vaksinasi pneumococcal dan haemophlus
influenzae type B sehari setelah operasi diberi penisilin profilaksis.Bila anak alergi
dapat diganti dengan eritromisin (Permono dkk, 2012).
5). Obat-obat suportif dan makanan
Di samping transfusi darah, kepada pasien diberikan obat-obat seperti asam
folat, vitamin E sebagai antioksidan,serta micro dan makroelental lainnya seperti
kalsium,zinc dan pengobatan khusus lainnya untuk mencegah atau sebagai terapi
dari komplikasi yang timbul.Makanan yang perlu dihindari adalah makanan yang
banyak mengandung zat besi seperti daging merah dan hati. Sangat dianjurkan
untuk banyak mengkonsumsi makanan dairy products seperti susu, keju, gandum
(Kemenkes, 2017).
18
g. Pencegahan Talasemia ada 3 jenis yaitu:
1). Pencegahan Primer Talasemia
a). Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)
Pengetahuan mengenai penyakit talasemia memegang peranan yang sangat
penting dalam program pencegahan talasemia di masyarakat. Edukasi tentang
penyakit talasemia yang bersifat genetik dan diturunkan, serta kasus ”carier” nya
di masyarakat. Pendidikan genetika sebaiknya mulai dini diajarkan di sekolah-
sekolah, demikian pula pengetahuan tentang gejala awal talasemia. Pengetahuan
ini juga sangat penting bagi pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan
(calon pengantin) perlu mendapatkan pengetahuan tentang penyakit-penyakit
yang dapat diturunkan sehingga timbul awarenes (mawas diri) pada calon
pasangan tersebut. Jika pernikahan tetap dilanjutkan, mereka diinformasikan
kemungkinan mendapat anak dengan talasemia dan pilihan yang dapat
dilakukan untuk menghindarinya.
2). Pencegahan sekunder talasemia meliputi:
a). Skrining
Skrining atau penjaringan talasemia ditujukan untuk menjaring individu
dengan “carier” atau penyandang talasemia pada suatu populasi, idealnya
dilakukan sebelum memiliki anak. Target utama skrining adalah penemuan
talasemia minor/trait/pembawa sifat Talasemia β dan Hb- E.
Skrining dapat dilakukan di sekolah, klinik dokter keluarga, klinik keluarga
berencana, klinik antenatal, saat pranikah, terutama di daerah yang berisiko
tinggi (thalassemia belt/sabuk talasemia).
Prosedur skrining talasemia :
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis talasemia meliputi
pemeriksaan darah tepi lengkap (CBC), khususnya Hb, nilai eritrosit rerata seperti
MCV, MCH, MCHC, dan RDW. Selain itu perlu dievaluasi sediaan apus darah
tepi, badan inklusi HbH dan analisis hemoglobin yang meliputi pemeriksaan
elektroforesis Hb, kadar HbA2, HbF. Selain itu diperlukan pemeriksaan cadangan
besi tubuh berupa pemeriksaan feritin atau serum iron (SI) / total iron binding
capacity (TIBC).
19
Di beberapa daerah endemik, perlu dilakukan screening test (uji saring) untuk
mendiagnosis anemia hipokrom mikrositik sebagai gangguan talasemia minor
dengan anemia defisiensi besi. Dimana pada pemeriksaan darah lengkap yang
terdiri dari: hemoglobin rendah; MCV, MCH, dan MCHC rendah. RDW yang
lebar dan MCV yang rendah merupakan salah satu skrining defisiensi besi (NP,
2015).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sotianingsih (2018) dengan
metode Pengambilan sampel darah dilakukan di kabupaten Merangin Jambi.
Dilakukan pembuatan hapusan darah dan pengambilan sampel darah vena di vena
mediana cubiti sebanyak 3 ml. Darah ditampung dalam tabung vakum dengan
antikoagulan EDTA. Hapusan darah difiksasi dengan methanol di tempat
sedangkan pewarnaan Giemsa dilakukan di Jambi. Sampel darah vena dimasukan
dalam cool box berisi ice pack suhu 4-80 C. Pemeriksaan parameter hematologi
untuk skrining thalassemia terdiri dari perhitungan darah lengkap (Complete
Blood Count/CBC), hapusan darah (blood smear), dan analisis Hb. Perhitungan
darah lengkap diukur dengan menggunakan hematology analyzer Sysmex Xs-800i
untuk mengetahui nilai MCV, MCH, MCHC, RDW, RBC. Hapusan darah
menggunakan pewarna Wright-Giemsa. Analisis Hb menggunakan elektroforesa
dari Sebia. Analisis hasil pemeriksaan hematologi untuk menentukan pembawa
sifat talasemia α dan β pada populasi Suku Anak Dalam berdasarkan kriteria
sebagai berikut:
a. Talasemia alfa bila Hb normal/ rendah dengan MCV dan MCH rendah, HbA2 >
3.5%.
b. Talasemia beta bila Hb normal/ rendah dengan MCV dan MCH rendah, HbA2 <
3.5%.
Data yang diperoleh merupakan hasil ukur, berupa hasil hematologi, r, MCV,
MCH, MCHC, RBC SD, hasil pembacaan hapusan darah tepi, HbA dan HbA2,
Setelah dilakukan perhitungan karakteristik responden dengan SPSS 24, Masing-
masing data lain di analisis untuk mengetahui mean, minimal dan maksimal.
Masing-masing data juga dibandingkan nilai rujukan sehingga bisa dibandingkan
dengan kriteria yang ada dan ditarik kesimpulan (Sotianingsih, 2018)
20
b). Deteksi dini
Deteksi dini kasus talasemia mayor dan intermedia adalah kegiatan
pemeriksaan klinis dan darah pada individu atau pasien yang dicurigai sebagai
pasien talasemia.
3). Pencegahan tersier
Bagi penyandang talasemia adalah mencegah agar tidak timbul komplikasi
yang makin memperberat kondisi kesehatannya.Misalnya dalam tatalaksana
transfusi darah diupayakan agar tidak terjadi penumpukan zat besi yang
berlebihan dan jika terjadi penumpukan zat besi maka terapi kelasi besi harus
dikuasai oleh petugas kesehatan di rumah sakit dengan baik untuk mencegah
terjadinya kerusakan hati dan ginjal (Kemenkes, 2017).
B. Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah penderita talasemia.
top related