bab ii rehabilitasi bagi pecandu narkotika sebagai
Post on 11-Jan-2017
227 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA
SEBAGAI ALTERNATIF PEMIDANAAN
A. Pengaturan Tindak Pidana Narkotika
1. Pengaturan Hukum Tentang Rehabilitasi Terhadap Korban Penyalahguna Narkotika
Saat ini Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12 Oktober 2009, yang menggantikan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007
Nomor 67), karena sebagaimana pada bagian menimbang dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 huruf e dikemukakan bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang
dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh
jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan
generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara
sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan
memberantas tindak pidana tersebut.43
Apabila dikaitkan dengan beberapa ahli hukum tentang politik hukum khususnya, hukum
itu diberlakukan dalam bentuk undang-undang yang kemudian hari dalam penerapannya banyak
terdapat kendala, yang juga bersumber dari undang-undang dan politik hukum pemberlakuan
undang-undang. Beberapa ahli tersebut berpendapat bahwa politik hukum itu sendiri berbeda
dengan pendapat penerapan hukum oleh ahli hukum lainnya, sama halnya dengan pendapat ahli
Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan 153 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009, bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
43 Lihat UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bagian menimbang (e).
Universitas Sumatera Utara
hukum tentang apa itu hukum, pastilah menemukan jawaban yang berbeda antara yang satu
dengan yang lainya. Diantara pendapat tersebut adalah sebagai berikut, Satjipto Rahardjo
mengemukakan bahwa kalau kita melihat sub sistem politik dan sub sistem hukum, maka tampak
bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada
posisi yang lemah,44
Rouscoe Pound menyatakan tentang “law as a too of sosial engineering” sebagai
keinginan tentu wajar jika ada upaya untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan
masyarakat karena dengan fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi
kepentingan masyarakat akan menjadi relevan. Pendapat Rouscoe Pound ini benbanding terbalik
dengan pendapat Sutjipto Raharjo yang menyatakan bahwa hukumlah yang lebih berperan dalam
gerak langkah masyarakat kedepan. Apabila dikaitkan dengan undang-undang maka undang-
undang yang dibuat di dewan perwakilan rakyat haruslah benar-benar selayaknya dapat
memobilisasi masyarakat ke arah yang lebih baik. Apabila dihubungkan lagi dengan pendapat
Van Savigny mengatakan bahwa hukum selalu berkembang sesuai dengan berkembangnya
masyarakat, ini berarti bahwa hukum mau tidak mau menjadi dependent variable atas keadaan
politiknya. Van Savaiqni berpendapat bahwa hukum dan politik bukan tidak bisa di satukan satu
dengan yang lainnya, namun keduanya harus saling menyeimbangi satu dengan yang lainnya.
itulah pendapat Sutjipto Raharjo tentang politik dan hukum, bahwa menurut
Sutjipto Raharjo bahwa hukum akan lemah bila dihadapkan dengan politik, sehingga politik akan
selalu menang bila dihadapkan dengan hukum. Konsekuensinya adalah bahwa apabila hukum itu
adalah undang-undang, maka undang-undang yang akan dibuat oleh legislatif akan kuat aroma
politiknya, dibandingkan dengan manfaat undang-undang tersebut bagi tercapainya keadilan dan
kemakmuran rakyat.
45
44
http://ilmu hukum. umsb.ac.id, diakses tanggal 1 Maret 2013. 45 Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
Dilihat dari pandangan beberapa ahli ini dihubungkan dengan Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika adalah UU Narkotika yang disahkan pada 14 September 2009
merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pemerintah
menilai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tidak lagi dapat mencegah secara efektif tindak
pidana narkotika yang semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif,
serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Secara substansial, perubahan yang signifikan pada
UU No. 35 tahun 2009 dibandingkan dengan undang-undang terdahulu, adalah pada penekanan
pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan
BNN yang sangat besar.
Kalau kita lihat sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ini, ada tersirat
bahwa Undang-Undang ini dirubah karena terdapat kekurangan. Beberapa hal yang dapat kita
cermati tentang perubahan-perubahan subtansi antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 antara lain pada:46
1. Hal Pembatasan Penyimpanan
Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan golongan apapun,
namun hanya diperbolehkan terbatas pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek,
rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu
pengetahuan. Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan golongan
apapun.
46http://my.opera.com/Kurniawanwp97/blog/2010/07/12/mengkitisi-dan-memperbandingan-uu-no-35-2009-tentang-narkotika-dengan-undang diakses pada tanggal 1 Maret 2013.
Universitas Sumatera Utara
2. Hal Rehabilitasi dan Pengobatan
Pada Undang-Undang terdahulu, pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa
narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi
dengan bukti yang sah. Melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, kebebasan dan atas
kehendak sendiri untuk sembuh tidak lagi diberikan. Para pecandu mempunyai kewajiban
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, dimana para pecandu narkotika diwajibkan untuk
melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang
tua dan keluarga. Rehabiltasi medis dan sosial dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah
ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri.
3. Hal Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan yang diemban Badan Narkotika Nasional
(BNN)
Porsi besar bagi BNN47
47 http://id.wilkipedia.org/wiki/Badan-Narkotika-Nasional diakses pada tanggal 1 Maret 2013 “Badan
Narkotika Nasional (disingkat BNN) adalah sebuah lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, precursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. BNN dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab kepada presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dasar hukum BNN sebagai LPNK adalah Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010. Sebelumnya, BNN merupakan lembaga nonstruktural yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002, yang kemudian diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007.
diberikan oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 untuk
mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prekursor narkotika
merupakan salah satunya. Selain itu BNN juga dapat memantau, mengarahkan dan
meningkatkan kapasitas masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan
narkotika dengan cara memberdayakan anggota masyarakat. Selain dari pada itu, BNN diberi
kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran
narkotika, dan prekursor narkotika beserta dengan kewenangan yang dimiliki penyelidik dan
Universitas Sumatera Utara
penyidik seperti penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3 x 24 jam ditambah
penyadapan dalam hal melakukan kewenangannya dalam pemberantasan narkotika.
Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, maka di dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan48
4. Putusan Rehabiltasi bagi para pecandu Narkotika
(wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy) dan teknik penyerahan yang
diawasi (controlled delevery) serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Kata “dapat” pada pasal 103 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 digunakan
untuk menempatkan para pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah
untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi.
5. Peran Serta Masyarakat Diperlukan
Selain Polri , BNN dan Penegak Hukum lainnya, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
narkotika. Artinya masyarakat diberi wewenang seperti penyelidik dengan cara mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut.
48 Lihat Penjelasan Pasal 75 Undang-Undang No 35 Tahun 2009, “Penyadapan adalah kegiatan atau
serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik BNN atau Penyidik Kepolisian Republik Indonesia dengan cara menggunakan alat-alat elektronik sesuai dengan kemajuan teknologi terhadap pembicaraan dan/atau pengiriman pesan melalui telepon atau alat komunikasi elektronik lainnya. Penyadapan dimaksudkan untuk mengantisispasi perkembangan teknologi informasi yang digunakan oleh para pelaku tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika dalam mengembangkan jaringannya baik nasional maupun internasional karena perkembangan teknologi berpotensi dimanfaatkan oleh pelaku kriminal yang sangat menguntungkan mereka. Untuk melumpuhkan/memberantas jaringan atau sindikat narkotika maka sistem komunikasi telekomunikasi mereka harus biba ditembus oleh penyidik, termasuk melacak keberdaan jaringan tersebut.”
Universitas Sumatera Utara
Peran serta masyarakat yang terpayungi oleh UU ini memberikan legitimasi bagi masyarakat
untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan
oleh Undang-Undang.
6. Tidak Mementingkan Unsur Kesengajaan
Dalam Tindak Pidana narkotika penggunaan kata “setiap orang tanpa hak dan melawan
hukum” dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dengan tidak
memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak
mempunyai niat melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan,
ataupun ketidaktahuaan.
Hal ini berpotensi menjerat orang untuk dijadikan tersangka dalam tindak pidana
narkotika yang tidak sengaja, baik karena “dijebak” oleh orang lain maupun atas kekurang-
tahuan atas bentuk jenis narkotika yang ada maupun kondisi lain yang memungkinkan seperti:
menerima titipan barang dari orang lain untuk diantar ke suatu tempat dan tanpa
sepengetahuannya di dalam barang tersebut ada narkotika yang diselipkan, menerima paket dari
pos dan kondisi lainnya.
7. Penggunaan Sistem Pidana Minimal
Penggunaan sistem pidana minimal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
memperkuat asumsi bahwa UU tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat
yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim
dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan
kurang dari pidana minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Universitas Sumatera Utara
8. Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai.
Dalam Undang-undang pidana lain ada pembedaan punishment antara suatu tindak
pidana selesai dengan suatu tidak pidana tidak selesai (percobaan), sedangkan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan
pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena
perbuatan tersebut memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana
tersebut terjadi, namun tindak pidana tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan
antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang narkotika dapat dikelompokkan dari segi bentuk perbuatannya sebagai
berikut:
a. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika
b. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transito narkotika
c. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika
d. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika
e. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika
f. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika
g. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika
h. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika
i. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika
j. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu
k. Kejahatan yang menyangkut penyimpanan fungsi lembaga
l. Kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak di bawah umur
Universitas Sumatera Utara
m. Kejahatan yang menyangkut prekursor narkotika
n. Kejahatan yang menyangkut narkotika yang dilakukan oleh korporasi
o. Kejahatan yang menyangkut narkotika secara pemufakatan jahat
p. Kejahatan yang menyangkut penyamaran hasil dari tindak pidana narkotika
Pada dasarnya, pengedar narkotika dalam terminologis hukum dikategorikan sebagai
pelaku (daders) akan tetapi pengguna dapat dikategorikan baik sebagai pelaku dan/atau korban.
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pelaku penyalahguna
narkotika terbagi atas dua katagori yaitu pelaku sebagai “pengedar” dan / atau “pemakai”. Pada
Undang-undang Narkotika secara eksplisit tidak dijelaskan pengertian pengedar narkotika.
Secara implisit dan sempit dapat dikatakan bahwa, “pengedar narkotika” adalah orang yang
melakukan kegiatan penyaluran dan penyerahan narkotika. Akan tetapi, secara luas pengertian
“pengedar narkotika” tersebut juga dapat dilakukan dan berorientasi kepada dimensi penjual,
pembeli untuk mengedarkan, menyangkut, menyimpan, menguasai, menyediakan, melakukan
kegiatan mengekspor dan mengimpor narkotika. Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika maka “pengedar” diatur dalam pasal 111, 112, 113, 114, 115,
116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125.
Begitupula halnya terhadap pengguna narkotika. Hakikatnya pengguna adalah orang yang
menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir
dalam Undang undang Narkotika. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika maka pengguna diatur dalam pasal 116, 121, 126, 127, 128, 134.
Universitas Sumatera Utara
Terlupakannya korban tindak pidana tidak dapat dilepaskan dengan hukum pidana di
Indonesia yang bersumber dari hukum pidana neo-klasik yang notabene melahirkan hukum
pidana yang bersifat “daad–dader strafrecht”, yakni hukum pidana yang berorientasi pada
perbuatan dan pelaku.49
Double track system merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana,
yakni jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan.
Perhatian terhadap pelaku tindak pidana yang memperoleh perlindungan
berlebihan, dalam artian tidak seimbang dengan kepentingan korban, merupakan suatu gambaran
timpang sebagai akibat dalam hukum acara pidana di Indonesia, lebih mengedepankan “proses
hukum yang adil” atau yang lebih dikenal dengan sebutan “due process model”.
Pecandu narkotika merupakan “Self Victimizing Victims” yaitu mereka yang menjadi
korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Karena pecandu narkotika menderita
sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri.
Namun demikian korban penyalahgunaan narkotika itu sepatutnya mendapatkan perlindungan
agar korban tersebut dapat menjadi baik.
50
49 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm25-26 dan 62. 50 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm.24.
Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan
salah yang telah dilakukan seorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan
menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya pemberian pertolongan pada pelaku
agar ia berubah. Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan pada pembalasan sedangkan
sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau
perawatan si pelaku. Berdasarkan hal tersebut double track system dalam perumusan sanksi
terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah paling tepat, karena berdasarkan
victimologi bahwa pecandu narkotika adalah sebagai self victimizing victims yaitu korban sebagai
Universitas Sumatera Utara
pelaku, victimologi tetap menempatkan penyalahguna narkotika sebagai korban, meskipun dari
tindakan pidana/kejahatan yang dilakukannya sendiri.
Pembuktian penyalahguna narkotika merupakan korban narkotika sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, merupakan hal yang sulit,
karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan
pembuktian bahwa pengguna narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk,
diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Dalam
implementasinya Mahkamah Agung mengeluarkan terobosan dengan mengeluarkan Surat
Edaran (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 yang menjadi pegangan pertimbangan hakim dalam
memutus narkotika.
Oleh karena itu, maka pecandu narkotika yang juga sebagai korban patut untuk mendapat
perlindungan. Namun, karena pecandu narkotika juga sebagai pelaku tindak pidana/kejahatan
maka ia juga harus tetap dihukum, oleh karena hal inilah maka dikatakan bahwa double track
system dalam perumusan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah paling
tepat.
Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pecandu narkotika sebagai self victimizing victims
adalah dalam bentuk menjalani masa hukuman dalam penjara, sedangkan sanksi tindakan yang
diberikan kepada pecandu narkotika sebagai korban adalah berupa pengobatan dan/atau
perawatan yang diselenggarakan dalam bentuk fasilitas rehabilitasi. Sistem pelaksanaannya
adalah masa pengobatan dan/atau perawatan dihitung sebagai masa menjalani hukuman.
2. Pertangungiawaban Pidana dan Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pecandu Narkotika
Universitas Sumatera Utara
Dalam hukum pidana menurut beberapa ahli ada tiga persoalan yang mendasar. Saner,
berpendapat bahwa hal itu berkaitan dengan onrecht, schult, dan strafe. Sementara Packer
menyebut ketiga masalah itu berkenaan dengan crime, responsibility dan punishment.51 Menurut
Soedarto persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang itu dan pidana
yang diancamkan terhadap pelarangan larangan itu.52 Dengan kata lain, masalah mendasar dalam
hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan
pemidanaan.53
1. Kemampuan Bertanggungjawab
Berbicara mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang, maka harus diketahui
apakah dapat dimintanya pertanggungjawaban pelaku atas tindak pidana yang dilakukannya,
dimana ada beberapa unsur yang penting untuk dianalisis sehingga kita mengetahui secara jelas
apakah orang tersebut harus diminta pertanggungjawabannya atau tidak. Adapun unsur-unsur
tersebut terdiri dari unsur kesalahan, kemampuan bertanggungjawab, alasan penghapusan pidana.
Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi Prancis, pada masa itu
tidak hanya saja manusia yang dapat pertanggungjawaban pidana bahkan hewan atau benda mati
lainnya dapat dipertanggungjawabkan tindak pidananya. Seseorang tidak saja
mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya akan tetapi perbuatan orang lain
juga dapat dipertanggungjawabkan karena pada masa itu hukuman tidak hanya saja terbatas pada
pelaku meskipun mereka tidak melakukan tindak pidana. Hukuman yang dijatuhkan terhadap
51 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana
Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm.7. 52 Soedarto, Tentang Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Kertas Kerja, pada simponsium
Pembaharuan Hukum Pidana, (Semarang, 1980). 53 Chairul Huda, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
jenis-jenis perbuatan yang berbeda didasari oleh wewenang yang mutlak dari seorang hakim
untuk menentukan bentuk dan jumlah hukuman.
Seetelah revolusi Prancis pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dasar falsafah
kebebasan berkehendak yang disebut dengan teori tradisionalisme (mazhab taqlidi), kebebasan
berkehendak dimaksud bahwa seorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas dasar
pengetahuan dan pilihan, menurut teori ini seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan
dan membedakan mana yang dikatakan perbuatan baik dan mana perbuatan yang tidak baik.54
I… Use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally and other is legally subjected to the exaction.”
Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep “liability” dalam segi falsafah
hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe Pound menyatakan bahwa :
55
Pertanggungjawaban pidana diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar
pembalasan yang akan diterima pelaku dari seorang yang telah dirugikan,
56
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai “toeraken-baarheid”,
“criminal responsibility”, “criminal liability”, pertanggungjawaban pidana yang dimaksudkan
disini untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya
pidana atau tidak terhadap tindakan yang dilakukannya itu.
menurutnya bahwa
pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata
akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu
masyarakat.
57
54
http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04/kesalahan-dan-pertanggungjawaban-pidana.html, diakses tanggal 7 Maret 2013.
55 Roscoe Pound, “an introduction to the philosophy of law” dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar maju, 2000), hlm. 65
56 Romli Atmasasmita, Ibid. 57 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni, 1996), hlm.
245.
Universitas Sumatera Utara
Di dalam pertanggungjawaban pidana memerlukan syarat bahwa pembuat mampu
bertanggungjawab, karena tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia
tidak mampu bertanggungjawab. Simons menyatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab
adalah suatu keadaan psychis, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan,
baik dilihat dari sudut umum ataupun orangnya.58 Seseorang mampu bertanggungjawab jika
jiwanya sehat, yakni apabila:59
a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri
b. Mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan
hukum
c. Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut
Keadaan yang dapat menjadi alasan tidak dipertanggungjawabkannnya si pembuat atas
perbuatannya/syarat-syarat kemampuan bertanggungjawabnya secara negatif yakni:60
a. Penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat. Persaksian keadaan pribadi si pembuat
berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat pertumbuhannya atau terganggu karena
penyakit. Psikiater yang akan menyelidiki keadaan jiwa si pembuat tersebut pada saat
perbuatan dilakukan.
b. Adanya hubungan kausal antara keadaan jiwa si pembuat dengan perbuatannya, dalam
hal ini yang menentukan adanya hubungan kausal adalah hakim.
Di dalam hal kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan batin orang yang
melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi
dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan,yang mana keadaan jiwa orang yang
melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab
58 Loc.Cit. 59 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1994), hlm. 165 60 Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hlm. 95
Universitas Sumatera Utara
karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan
ukuran-ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat.61
Kemampuan bertanggungjawab juga dikemukakan oleh Van Hammel yang mengatakan
seseorang yang mampu bertanggungjawab harus memliki tiga syarat, yaitu: pertama, dapat
menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan; kedua, dapat menginsafi
bahwa perbuatannya dipandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat; ketiga, mampu untuk
menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.
62
Suatu perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan
pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan,
63
2. Kesalahan
yakni pertama,
pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang
dilakukan manusia lainnya. Kedua pendekatan ini yang melihat kejahatan sebagai perwujutan
dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.
Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatanya
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak di benarkan, hal tersebut belum
memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat,
yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (
subjective guilt).
61 Sutrisna, I Gusti Bagus, “ Penerapan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana (Tinjauan terhadap pasal
44 KUHP)”, dalam Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 78
62 Sutrisna, I Gusti Bagus, Ibid. hlm. 79 63 Andi Matalatta, “Santunan Bagi Korban” dalam J.E Sahetapy, “Victimologi Sebuah Bunga Rampai”
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hlm. 41-42
Universitas Sumatera Utara
Disini berlaku apa yang disebut dengan “TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN” (
keine strafe ohne schhuld atau geen straf zonder schuld ) atau NULLA POENA SINE CULPA (
“Culpa” di sini dalam arti luas meliputi kesengajaan). Dari apa yang telah di sebutkan di atas,
maka dapat di katakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur ialah :
1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat (Schuldfahigkeit atau
Zurechnungsfahigkeit) : artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal
2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatanya berupa kesengajaan (dolus) atau
keapaan (culpa) : ini di sebut bentuk-bentuk kesalahan.
3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Kalau ketiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau
mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa di pidana.64
Dalam pengertian tindak pidana termasuk pertanggungjawaban pidana .Tindakan pidana
hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang
yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal
ini tergantung pada “ apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai
kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana. “Tidak
Sekalipun kesalahan telah di
terima sebagai unsur yang menentukan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana, tetapi
mengenai bagaimana memaknai kesalahan masih terjadi saling perdebatan di kalangan para ahli.
Pemahaman yang berbeda mengenai makna kesalahan, dapat menyebabkan perbedaan dalam
penerapannya. Dengan kata lain, pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan
ruang lingkup pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.
64 Sudarto, Op.cit., hlm. 91.
Universitas Sumatera Utara
di pidana jika tidak ada kesalahan ( geen straf zonder schuld:actus non facit reum nisi mens sir
rea)”.
Namun lainya halnya dengan hukum pidana fisikal, yang tidak memakai kesalahan. Jadi
jika orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau di rampas.
Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer van het
materiele feit (fait materielle).65
Lebih lanjut Moeljatno menjelaskan bahwa orang yang tidak dapat dipersalahkan
melanggar sesuatu tindak pidana tidak mungkin di kenakan pidana, meskipun orang tersebut di
kenal buruk perangainya, kikir, tidak suka menolong orang lain,sangat ceroboh, selama dia tidak
melanggar larangan pidana.
66
Pengertian kesalahan berdasarkan pendapat-pendapat ahli hukum dapat dijabarkan
sebagai berikut:
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, sehingga meskipun perbuatannya
memenuhi rumusan delik dalam Undang- Undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut
belum memenuhi syarat penjatuhan pidana.
67
a. Mezger mengatakan bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar adanya
pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.
65 Dahulu atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu H.R.1916 Nederland ( Van Bammalen Arresten
strafrecht), hal itu di tiadakan.Demikan pula bagi delik-delik jenis overtradingen, berlaku asa tanpa kesalahn, tak mungkin di pidana.
66 Moeljatno, “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana”, Pidato Ilmiah. 67 Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hlm 88. Kesalahan dapat ditinjau dari 3
sisi yakni : a. Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban
dalam hukum pidana” di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang yang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.
b. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan c. Kesalahan dalam arti yang sempit adalah kealpaan
Universitas Sumatera Utara
b. Simons mengartikan kesalahan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum
pidana maka kesalahan tersebut berupa keadaan psychis dari si pembuat. Hubungannya
terhadap perbuatan itu dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychis perbuatannya dapat
dicelakan kepada si pembuat. Dengan demikian untuk adanya suatu kesalahan harus
diperhatikan dua hal di samping melakukan tindak pidana, yakni :
1. Adanya keadaan psychis (bathin) yang tertentu; dan
2. Adanya hubungan tertentu antara keadaan bathin tersebut dengan perbuatan yang di lakukan,
hingga menimbulkan celaaan tadi.
c. Van Hamel mengatakan bahwa kesalahan pada suatu delik merupakan pengertian
psychologis, hubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik
karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum.
d. Van Hattum berpendapat bahwa pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur
dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan
yang melawan hukum, meliputi semua hal.
e. Pompe mengatakan pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya biasanya
sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Bersifat melawan hukum itu adalah
perbuatannya yakni segi dalam, yang berkaitan dengan kehendak si pembuat adalah
kesalahan. Lebih rinci Pompe dalam pembahasannya mengenai kesalahan, mengatakan
bahwa dilihat dari kehendak, kesalahan itu merupakan bagian dalam dari kehendak pelaku,
sedangkan sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) merupakan bagian luar dari padanya.
Artinya kesalahan merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum yang seharusnya
dapat dihindari, yaitu penggangguan ketertiban hukum yang seharusnya dapat dihindarkan,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan sifat melawan hukum, merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum,
untuk kelakuan mana ia dicela.68
Seseorang dapat dinyatakan bersalah dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatan
pidana sehingga dapat dipidana apabila telah memenuhi unsur-unsur kesalahan dalam arti luas,
sekaligus sebagai unsur subjektif. Syarat pemidanaan tersebut meliputi:
a. Kesengajaan
Kesengajaaan (dolus/opzet) adalah merupakan bagian dari kesalahan (schuld).
Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan
(terlarang/keharusan) dibandingkan dengan culpa69. Kesengajaan ini biasanya suatu kondisi
dimana melaksanakan sesuatu perbuatan, yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau
bertindak sesuatu.70
Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori
pengetahuan atau membayangkan.
71
Ada dua istilah lagi yang berkaitan dengan ssengaja, yaitu “niat” (voorhomen) dan
dengan rencana terlebih dahulu (met voorberachterade). Dalam pasal 35 ayat 1 KUHP tentang
Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan,
manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia tidak mungkin dapat
menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau
membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan
karena suatu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih
dahulu telah dibuat. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si
pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu dia berbuat.
68 S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem-
Petehaem, 1986), hlm 163. 69 S.R.Sianturi, Op.Cit., hlm. 166. 70 Sathocid Kartanegara, Op Cit., hlm. 292. 71 Moelijatno, Op.Cit, hlm 171-176.
Universitas Sumatera Utara
percobaan dikatakan “percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman, bila maksud
sipembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu tidak jadi sampai selesai hanyalah
lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri”.
Antara niat dan kesengajaan dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan,
yang membedakan hanya selesai tidaknya perbuatan itu dilakukan. Tapi dasar untuk melakukan
perbuatan itu sama yakni sudah ada niat. Adapun pembagian jenis sengaja yang secara
tradisional dibagi menjadi tiga jenis, yaitu72
1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogemark)
:
2. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewustheid van zekerheid of
noodzakelijkheid)
3. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (opzet met
waarschlijkheidbewustzijn).
Menurut sifatnya ada dua jenis kesengajaan. Pertama, dolus malus yaitu dalam hal
seseorang melakukan suatu tindak pidana, tidak saja ia hanya menghendaki tindakannya itu
tetapi juga menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang oleh undang-undang dan diancam
dengan pidana. Kedua, kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu yaitu dalam hal
seseorang melakukan suatu tindak pidana tertentu, cukuplah jika menghendaki tindakannya itu
artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaannya dengan tindakannya, tidak diisyaratkan
apakah ia menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-
undang.73
Kesengajaan yang dianut oleh Hukum Pidana Indonesia adalah kesengajaan jenis kedua
yaitu kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu. Undang-undang hukum pidana
72 Sudarto, Op.Cit, hlm. 103-105. 73 Ibid, hal 171
Universitas Sumatera Utara
menentukan dapat dipidananya seseorang tidak tergantung dari keinsyafannya, apakah suatu
tindak pidana dilarang dan diancam dengan pidana karena hal tersebut akan memberikan beban
kepada para penegak hukum terutama hakim dalam membuktikannya. Sebagai imbalannya ialah
bahwa hanya tindakan tertentu (yang harus diatur dalam undang-undang) yang ditentukan
sebagai kejahatan, yang oleh setiap orang yang berpendidikan normal dapat mengetahui bahwa
tindakan tersebut bertentangan dengan ketertiban masyarakat atau kesusilaan74
Kesengajaan tanpa sifat tertentu di dalam praktik peradilan dan menurut doktrin dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis diantaranya: pertama, kesengajaan sebagai maksud (dolus
directus atau opzet als oogmerk) yang berarti terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu
adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan si pelaku, pada
delik formal diatur dalam Pasal 406 KUHP dan pada delik material diatur dalam Pasal 338
KUHP. Kedua, kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidesbewustzijn), yang
menjadi sandaran adalah seberapa jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan
akibat yang merupakan salah satu unsur dari pada suatu delik yang telah terjadi. Ketiga,
kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atou voorwaar delijk opzet)
merupakan kesengajaan dalam tingkat yang terendah dimana yang menjadi sandaran kesengajaan
ini adalah sejauh mana pengetahuan atau kesadaran si pelaku tentang tindak pidana dan akibat
terlarang yang mungkin terjadi serta termasuk juga kesadaran pelaku mengenai kemungkinan
terjadinya suatu tindakan dan akibat setelah melalui beberapa syarat-syarat tertentu
.
75
74 Ibid, hal 172 75 Ibid, hal 172
.
Universitas Sumatera Utara
b. Kelalaian (culpa)
Yang dimaksud dengan kelalaian adalah jika seseorang tidak bermaksud melanggar
larangan undang-undang, tetapi dia tidak mengindahkan larangan itu.Dia alpa, lalai, teledor
dalam melakukan perbuatan tersebut. Jadi, dalam kelalaiannya kurang mengindahkan larangan
sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal
menimbulkan keadaan yang dilarang.76
Selanjutnya dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kelalaian itu
mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh
hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
77
Dari uraian diatas sering dipandang bahwa bentuk kelalaian (culpa) terlalu ringan untuk
diancam dengan pidana, cukup dicari sarana lain dari pada pidana. Pidana dianggap hanya
sebagai obat terakhir (ultimatum remedium).
78
1. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) Kealpaan yang disadari terjadi apabila si pembuat
dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang
menyertai perbuatannya. Meskipun ia telah berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya
tidak timbul akibat itu.
Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat
dibedakan atas dua yaitu :
2. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) Kealpaan yang tidak disadari terjadi
apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu
76 http://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/pertanggungjawaban-pidana, diakses tanggal 8
Maret 2013. 77 Loc.Cit. 78 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm.128.
Universitas Sumatera Utara
akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat membayangkan atau
memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut.
Adapula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat ringannya, yang terdiri
dari :
1. Kealpaan berat (culpa lata). Kealpaan berat dalam bahasa Belanda disebut dengan merlijke
schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa kealpaan berat ini tersimpul dalam
”kejahatan karena kealpaan”, seperti dalam Pasal : 188, 359, 360 KUHP
2. Kealpaan ringan dalam bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld, para ahli tidak
menyatakan tidak dijumpai dalam jenis kejahatan oleh karena sifatnya yang ringan,
melainkan dapat terlihat didalam hal pelanggaran Buku III KUHP.
Dari ilmu pengetahuan hukum pidana diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau ciri-cirinya
adalah:79
1. Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan
ingatan/otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatannya sebaik-baiknya,
tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataan lain ia telah melakukan suatu tindakan (aktif
atau pasif) dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan.
2. Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya.
Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan
yang akan menimbulkan akibat itu, tetapi tindakan itu tidak diurungkan, atas tindakan
mana ia kemudian dicela, karena sifat melawan hukum.
MvT menjelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat80
1. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan
:
79 S. R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 192. 80 Ibid
Universitas Sumatera Utara
2. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan
3. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan
Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah suatu bentuk dari kesalahan. Kealpaan adalah
bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan, tetapi dapat pula dikatakan kealpaan
itu adalah kebalikan dari kesengajaan karena bila mana dalam kesengajaan sesuatu akibat yang
timbul itu dikehendaki pelaku, maka dalam kealpaan justru akibat itu tidak dikehendaki
walaupun pelaku dapat memperkirakan sebelumnya.81
1. Dilihat dari sudut kecerdasan atau ingatan pelaku, maka dapat dibagi atas
Pembagian bentuk kealpaan dapat diterangkan dari dua sudut yaitu:
82
a) Kealpaan yang berat (culpa lata), yang diisyaratkan adanya kekurangwaspadaan
(onvoorzichtigheid)
:
b) Kealpaan yang ringan (culpa levis), yeng diisyaratkan hasil perkiraan atau perbandingan
tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain dari golongan pelaku dan perbandingan
tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain yang terpandai dalam golongan pelaku.
2. Dilihat dari sudut kesadaran (bewustheid), dapat dibagi atas83
a) Kealpaan yang disadari (bewuste schuld), jika pelaku dapat
membayangkan/memperkirakan akan timbulnya suatu akibat, tetapi ketika ia melakukan
tindakannya dengan usaha pencegahan supaya tidak timbul akibat itu, namun akibat itu
timbul juga.
:
b) Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld), bila mana pelaku tidak dapat
memperkirakan akan timbulnya suatu akibat, tetapi seharusnya pelaku dapat
membayangkannya.
81 Ibid, hlm. 193 82 Ibid, hlm. 194 83 Ibid, hlm. 195
Universitas Sumatera Utara
c. Dapat dipertanggungjawabkan
Pompe menyatakan bahwa dapat dipertanggungjawabkan maksudnya adalah ia ada pada
suatu keadaan jiwa pembuat, yang memiliki cukup akal dan kemauan, oleh karena cukup mampu
untuk mengerti arti perbuatannya dan sesuai dengan pandangan itu menentukan kemauannya.
Kemampuan berfikir terdapat pada orang-orang normal dan oleh sebab itu kemampuan berfikir
dapat diduga pada si pembuat. Dengan kata lain dapat dipertanggungjawabkan perbuatan pidana
itu kepada pelaku apabila pelaku mempunyai kemampuan berpikir dan menginsyafi arti
perbuatannya.84
Berdasarkan pendapat tersebut maka, dapat disimpulkan bahwa kesalahan itu
mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana.
Pencelaan disini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan tetapi pencelaan berdasarkan hukum
yang berlaku
85
3. Alasan Penghapusan Pidana
.
Di dalam KUHPidana pembicaraan mengenai alasan penghapusan pidana dimuat dalam
Buku I Bab III tentang hal-hal yang menghapus atau memberatkan pengenaan pidana.
Sebagaimana diketahui bahwa KUHPidana yang berlaku saat ini secara umum dapat dibagi
menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu bagian umum yang terdapat dalam buku kesatu
(tentang peraturan umum) dan bagian khusus yang terdiri dari dua buku sebagaimana terdapat
dalam buku kedua (tentang kejahatan) dan buku ketiga (tentang pelanggaran). Alasan
penghapusan pidana disamping diatur dalam bagian umum buku kesatu KUHPidana (yang
berlaku secara umum) juga pengaturannya terdapat dalam bagian khusus buku kedua
84 Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. (Jakarta: Paradnya,
1996), hlm. 32 85 J.G Fleming, 1997 dalam E. Saefullah Wiradipraja, Tanggung Jawab Pengangkutan dalam Hukum
Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, (Yogyakarta: Liberty, 1989), hlm. 20
Universitas Sumatera Utara
KUHPidana (yang berlaku secara khusus bagi tindak pidana tertentu sebagaimana yang
dirumuskan dalam pasal tersebut).
Di dalam bagian pertama buku umum yang terdapat dalam buku kesatu (tentang
pengaturan umum) secara keseluruhan membahas tentang adanya alasan penghapusan pidana.
Ketidakmampuan bertanggungjawab sebenarnya merupakan alasan penghapusan kesalahan atau
alasan pemaaf. Menentukan keadaan dimana seseorang tidak mampu bertanggung jawab
sehingga ia tidak dipidana dapat dilakukan melalui metode berikut, yakni:86
a. Metode biologis yaitu suatu cara dengan mengurai atau meninjau jiwa seseorang yang
dilakukan oleh psikiater.
b. Metode psikologis yaitu dengan cara menunjukkan hubungan keadaan jiwa abnormal
dengan perbuatannya, yang dipentingkan dalam metode ini adalah akibat penyakit jiwa
dengan perbuatannya sehingga dikatakan tidak mampu bertanggungjawab dan tidak dapat
dipidana.
c. Metode gabungan dari kedua cara tersebut dengan menunjukkan keadaan jiwa dan
kemudian keadaan jiwa itu dinilai dengan perbuatannya untuk ditanyakan tidak mampu
bertanggung jawab.
Ilmu hukum pidana mengadakan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan
dapat dipidananya pembuat, penghapusan pidana ini menyangkut perbuatan atau pembuatnya,
sehingga dibedakan dalam dua jenis alasan penghapusan pidana (umum) yakni:
a. Alasan Pemaaf, yakni menyangkut pribadi si pembuat dalam arti bahwa orang ini tidak
dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat
dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya merupakian perbuatan pidana akan
tetapi pelakunya tidak dapat dipidana. Dalam Ketentuan Umum KUHPidana alasan
86 Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit, hlm. 36
Universitas Sumatera Utara
penghapusan pidana ini dirumuskan dalam Buku Kesatu Bab III. Adapun alasan pemaaf
yang terdapat pada KUHPidana adalah:
1) Pasal 44 mengenai tidak mampu bertanggungjawab karena tidak sempurna akal,
jiwanya atau terganggu karena sakit.
2) Pasal 48 karena daya paksa, daya paksa maksudnya adalah tidak dapat diharapkan
dari si pembuat untuk mengadakan perlawanan, maka daya paksa dapat dibedakan
dalam 2 hal yakni:87
a) Paksaan absolute, dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam, dalam hal
ini kekuasaan tersebut sama sekali tidak dapat ditahan.
b) Paksaan relatif, sebenarnya paksaan itu dapat ditahan tetapi dari orang yang di
dalam paksaan itu tidak dapat diharapkan bahwa ia akan mengadakan perlawanan.
3) Pasal 49 ayat (2) yakni pelampauan batas pembelaan darurat yang terdiri dari
beberapa syarat yaitu:88
a) Melampaui batas pembelaan yang diperlukan
b) Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang
hebat
c) Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan oleh adanya serangan, maka harus
ada hubungan kuasal antara keduanya
4) Pasal 51 ayat (2) yakni dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak
sah, namum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:89
a) Jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah
b) Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah
87 Fuad Usfa dan Togat, Pengantar Hukum Pidana, ( Malang, UMM Pers, 2004), hlm. 90 88 S.R Sianturi, Op.Cit, hlm. 293 89 Ibid, hlm. 298
Universitas Sumatera Utara
b. Alasan pembenar, yakni alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,
meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Alasan
pembenar yang terdapat dalam KUHPidana adalah pada:
1) Pasal 49 ayat (1) merupakan suatu pembelaan darurat atau terpaksa (noodweer) yang
memiliki syarat:
a) Adanya serangan. Tidak pada semua serangan dapat diadakan pembelaan
melainkan pada serangan yang bersifat seketika; langsung mengancam; melawan
hukum; sengaja ditujukan pada badan, perikesopanan, dan harta benda.
b) Adanya pembelaan yang perlu ditujukan terhadap serangan itu, dengan syarat:
pembelaan harus dan perlu diadakan; pembelaan harus menyangkut pembelaan
pada badan, perikesopanan dan harta benda.
2) Pasal 50 merupakan suatu perbuatan karena mejalankan suatu peraturan perundang-
undangan. Perundang-undangan di sini maksudya adalah tiap peraturan yang dibuat
oleh pemerintah, maka kewajiban/ tugas itu diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan. Ketentuan undang-undang yang dimaksud di sini bukan hanya undang-
undang dalam arti formil saja, tetapi juga setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh
suatu kekuasaan yang mempunyai wewenang mengeluarkan undang-undang menurut
undang-undang dasar dan ketentuan undang-undang. Kemudian, yang dimaksud
disini juga meliputi ketentuan atau peraturan yang berasal dari penguasa pembuat
undang-undang atau penguasa lain yang lebih rendah yang mempunyai wewenang
membuat peraturan yang berdasarkan undang-undang. Jadi seseorang yang
melaksanakan suatu ketentuan atau peraturan tersebut tidak dapat dipidana karena
Universitas Sumatera Utara
seseorang itu sedang melakukan kewajibannya yang dinyatakan sebagai “dalam
melaksanakan suatu ketentuan”.
3) Pasal 51 yakni melaksanakan perintah jabatan. Perintah jabatan di sini haruslah
perintah jabatan yang sah, dimana sah maksudnya adalah bila perintah tersebut
berdasar tugas, wewenang, atau kewajiban yang didasarkan pada suatu peraturan, dan
antara orang yang diperintah dengan orang yang memerintah harus ada hubungan
jabatan dan harus ada hubungan subordinansi, meskipun sifatnya sementata serta
tindakan tersebut tidak boleh melampaui batas kepatutan.
Pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana narkotika tidaklah berbeda dengan
pertanggungjawaban pidana pada umumnya. Mengenai pertanggungjawaban pidana tersebut
masih juga dikaitkan dengan beberapa unsur pertanggungjawaban pidana seperti unsur
kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dan alasan pengahapusan pidana.
Mengingat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, setiap pelaku tindak
pidana narkotika yang telah memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana, maka terhadap pelaku
tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban pidana dan dijatuhkan sanksi pidana.
Setelah dilakukan analisis yang lebih rinci terhadap Undang-Undang Tindak Pidana
Narkotika tersebut, ternyata terdapat suatu ketentuan pasal dimana seorang pelaku Tindak Pidana
Narkotika yang diklasifikasikan sebagai pecandu Narkotika yang telah memenuhi unsur
pertanggung jawaban pidana tidak semata-mata dapat dijatuhkan sanksi pidana. Hal ini
sebagaimapa diatur dalam Pasal 127 undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
yakni mengenai penyalahgunaan narkotika yang perbuatannya dilakukan untuk diri sendiri yang
ketentuannya meliputi :
Universitas Sumatera Utara
1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun;
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun.
2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 54, pasal 55 dan pasal 103.
3) Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti
sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna tersebut wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pengaturan khusus tentang rehabilitasi bagi pecandu narkotika juga diatur dalam pasal 54
sampai dengan pasal 59 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Pada pasal 54 disebutkan
bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika “wajib” menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis yang dimaksud adalah suatu proses kegiatan
pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika (Pasal 1
angka 16). Pada pasal 56 menjelaskan rehabilitasi medis dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk
oleh Menteri, namun tetap memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi
menyelenggarakan rehabilitasi setelah mendapat persetujuan dari menteri. Sedangkan rehabilitasi
sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial,
agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan
masyarakat (Pasal 1 angka 17). Rehabilitasi sosial dalam ketentuan ini termasuk melalui
Universitas Sumatera Utara
pendekatan keagamaan, tradisioanal , maupun pendekatan altematif lainnya. Tentang kewajiban
untuk melaporkan pecandu narkotika yang belum cukup umur, ataupun yang telah cukup umur
diatur pada pasal 55 yang menyebutkan bahwa orang tua, wali, maupun keluarga wajib untuk
melaporkan keluarganya yang menjadi pecandu narkotika kepada Pusat Kesehatan Masyarakat,
rumah sakit, dan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
Dalam ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang sudah mengatur
lebih luas dengan menerapakan proses rehabilitasi atau perawatan tersebut terhadap korban dari
penyalahgunaan narkotika, tidak hanya terhadap pelaku penyalahgtmaan narkotika atau sering
disebut pecandu narkotika saja. Dalam pasal 46 mewajibkan orang tua atau wali dari pecandu
narkotika yang belum cukup umur untuk melaporkan kepada pejabat yng ditunjuk oleh
pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan. Tentang kewajiban untuk
melaporkan pecandu narkotika yang belumcukup umur maupun pecandu yang telah cukup umur,
diatur dengan keputusan Menteri Kesehatan.
Melihat ketentuan pasal 127 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika maka
seorang pecandu narkotika dapat dijatuhkan sanksi pidana berupa pidana penjara dan sanksi
tindakan berupa rehabilitasi. Hal ini bila dikaitkan dengan sistem pertanggungjawaban pidana.
Sanksi pidana penjara dapat dijatuhkan kepada pecandu narkotika apabila pecandu narkotika
tersebut telah memenuhi unsur kesalahan, unsur dapat dipertanggungjawabkan, dan tidak
terpenuhinya unsur alasan penghapusan pidana.
Mengenai sanksi tindakan berupa rehabilitasi yang dijatuhkan kepada pecandu narkotika,
bila dikaitkan dengan sistem pertanggungjawaban pidana maka pecandu narkotika sebenamya
Universitas Sumatera Utara
telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, tetapi dalam kenyataannya beberapa
kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika sering divonis oleh hakim dengan
penjatuhan sanksi berupa pemberian rehabilitasi. Mengenai alasan mengapa sanksi berupa
pemberian rehabilitasi tersebut dijatuhkan oleh Hakim, hal ini berdasarkan atas keyakinan hakim
terhadap bukti atau fakta-fakta dipersidangan dan dapat diperkuat lagi dengan adanya surat
keterangan dokter berupa uji laboratorium yang menerangkan sebagai pecandu narkotika.
Adapun pertimbangan yang dapat disimpulkan dalam menjatuhkan sanksi berupa
rehabilitasi karena menganggap pecandu narkotika itu sebagai korban kejahatan penyalahgunaan
narkotika dan menganggap seorang pecandu lebih cocok dijatuhkan vonis sanksi rehabilitasi
yang akan memberikan perawatan serta pembinaan yang bersifat mendidik dan memperbaiki
fisik dan mental dari para pecandu sehingga mereka dapat kembali hidup normal di dalam
masayarakat. Hal ini didasarkan pada pendapat Ezzet Abdul Fateh menyatakan bahwa
penyalahguna narkotika dimasukkan ke dalam tipologi “false victims”, yaitu mereka yang
menjadi korban karena dirinya sendiri, begitu pula Stefhen Schafer menyatakan bahwa mereka
ini dimasukkan sebagai “self victimizing victims”, yaitu korban dari kejahatan yang dilakukan
oleh sendiri. Menurut Sellin dan Wolfgang, korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika
merupakan “mutual victimization”, yaitu menjadi korban kejahatan, juga sebagai pelaku
kejahatan itu sendiri.90
Dengan adanya pasal-pasal yang mengatur mengenai penerapan rehabilitasi terhadap
pecandu narkotika tersebut secara jelas, maka seharusnya aparat penegak hukum khususnya para
hakim dalam memutus perkara terhadap pecandu narkotika dapat mernberikan ancaman putusan
berupa penerapan rehabilitasi yang bertujuan untuk meperbaiki kesehatan dari pecandu narkotika
dengan memutus mereka untuk menjalani perawatan dan rehabilitasi pada panti-panti rehabilitasi
90 Ediwarman, Op.Cit, hlm.12
Universitas Sumatera Utara
yang ada. Menghukum mereka di penjara bukan jalan keluar yang tepat, justru menambah
masalah terutama bagi mereka yang pada awalnya hanya sebagai pecandu narkotika seiring
waktu berjalan, mereka dapat belajar di dalam sel penjara pada para narapidana yang berasal dari
golongan kejahatan selain narkotika, dimana hal ini sering disebut “sekolah kriminalitas”.
B. Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika
1. Dasar Pemidanaan dan Penjatuhan Pidana
Pembahasan mengenai pidana dalam hukum pidana tidak akan habisnya mengingat justru
aspek pidana merupakan bagian yang terpenting dari suatu undang-undang hukum pidana.
Masalah pidana sering dijadikan tolak ukur sampai seberapa jauh tingkat peradapan bangsa yang
bersangkutan. Pemidanaan91
Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut sistem single track system, yakni sistem
sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana. Berkaitan dengan itu Sudarto menyatakan bahwa
aliran klasik tentang pidana bersifat retributif dan repsresif terhadap tindak pidana.
agar dapat dipahami lebih mendalam maka harus diketahui dasar
dari pemidanaan yang dimulai dari aliran klasik.
92
91 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), hlm. 73-75. Menurut J.D. Mabbott, pemidanaan adalah sebuah persoalan yang murni kukum (purely legal matter). J.D. Mabbott memandang seorang “penjahat” sebagai seorang yang telah melanggar hukum, bukan orang jahat. Sebagai seorang retributivis, Mabbott memandang pemidanaan merupakan akibat wajar yang disebabkan bukan dari hukum tetapi dari pelanggaran hukum.artinya jahat atai tidak jahat, bila seseoarng telah bersalah melanggar hukum maka orang itu harus dipidana. Menurut Ted Honderich, berpendapat pemidanaan memuat 3 (tiga) unsur, yaitu:
Aliran ini
muncul pada abad XVIII yang berpaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak
manusia yang menekankan kepada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum
1. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan.
2. Setiap pemidanaan harus dating dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai haasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa.
3. Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya pada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya.
92 Ibid, hlm. 76 Lihat Sudarto, Suatu Dilemma Dalam Pembharuan Sistem Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 21 Desember 1974.
Universitas Sumatera Utara
pidana perbuatan ( daad-strafrecht), Karenanya, sistem pidana dan pemidanaan aliran klasik ini
sangat menekankan pemidanaan terhadap perbuatan, bukan pada pelakunya. Sistem pemidanaan
ditetapkan secara pasti (the definite sentence). Artinya penetapan sanksi dalam undang-undang
tidak dipakai sistem peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan
jiwa si pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukan terdahulu maupun keadaan-keadaan khusus
dari perbuatan/kejahatan yang dilakukan.93
Aliran klasik ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
94
Pada abad XIX lahirlah aliran modern yang mencari sebab kejahatan dengan memakai
metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati atau mempengaruhi penjahat secara
positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Bertolak belakang dengan paham aliran klasik, aliran
modern memandang kebebasan kehendak manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan
lingkungannya sehingga tidak dapat dipersalahkan dan dipidana. Andaipun digunakan istilah
pidana, menurut aliran modern ini harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku. Karenanya
aliran ini bertitik tolak dari pandangan determinisme dan menghendaki adanya individualisasi
pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi terhadap pelaku kejahatan.
a. Definisi hukum dari kejahatan;
b. Pidana harus sesuai dengan kejahatannya;
c. Doktrin kebebasan berkehendak;
d. Pidana mati untuk beberapa tindak pidana;
e. Tidak ada riset empiris; dan
f. Pidana yang ditentukan secara pasti.
95
93 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit. hlm.25-26 dan 62. 94 http://www.doktorsetyoutomo.files.wordpress.com./sistem pemidanaan diakses tanggal 14 Maret 2013. 95 Ibid, hlm.64.
Universitas Sumatera Utara
Aliran modern memiliki ciri-ciri sebagai berikut :96
Dalam perkembangannya muncullah aliran neo-klasik yang juga menitikberatkan
konsepsinya kepada kebebasan kehendak manusia (doctrine of free will). Aliran ini telah
berkembang selama abad XIX yang mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan
individual terhadap pelaku tindak pidana. Aliran neo-klasik menyatakan dengan tegas bahwa
konsep keadilan sosial berdasarkan hukum, tidak realistis dan bahkan tidak adil.
a. Menolak definisi hukum dari kejahatan;
b. Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana;
c. Doktrin determinisme;
d. Penghapusan pidana mati;
e. Riset empiris; dan
f. Pidana yang tidak ditentukan secara pasti.
97 Aliran ini
berpangkal dari aliran klasik yang dalam perkembangannya kemudian dipengaruhi aliran
modern. Ciri dari aliran ini yang relevan dengan prinsip individualisasi pidana adalah modifikasi
dari doktrin kebebasan berkehendak dan doktrin pertanggungjawaban pidana. Beberapa
modifikasinya antara lain, diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan (mitigating
circumstances) baik fisikal, lingkungan maupun mental, termasuk keadaan-keadaan lain yang
dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseoarang pada waktu terjadinya kejahatan. Juga
diperkenankan (expert testimony) untuk menentukan derajat pertanggungjawaban pidana.98
a. Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas personal);
Bertitik tolak dari konsepsi-konsepsi kedua aliran hukum pidana yang tersebut diatas,
lahirlah ide individualisasi pidana yang memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
96 Log.Cit. 97 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 26. 98 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit. hlm. 65-66.
Universitas Sumatera Utara
b. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas “tiada pidana tanpa
kesalahan);
c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristisk dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada
kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat
ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian)
dalam pelaksanaannya.99
2. Tujuan Pemidanaan
Di Indonesia sendiri, hukum positif belum pernah merumuskan tentang tujuan
pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang
bersifat teoritis. Tujuan pemidanaan bila dilihat dari pendapat beberapa sarjana seperti menurut
Wirjono Prodjodikoro, yaitu :
a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti
orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah
melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale
preventif), atau
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi
orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.100
Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana perlindungan
masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek
psikologi untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Meskipun pidana
99Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Adytia Bakti, 1996),
hlm. 43. 100 http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-jenis-jenis-dan-tujuan.html diakses tanggal 14
Maret 2013.
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu nestapa tetapi tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.
P.A.F. Lamintang menyatakan pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang
tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :
a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri,
b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan, dan
c. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-
kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat
diperbaiki lagi.101
a. Teori absolut atau teori pembalasan
Dari kerangka pemikiran di atas, melahirkan beberapa teori tentang tujuan pemidanaan.
Pada bagian ini penulis akan menguraikan teori tersebut sebagai berikut:
Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana
sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan
kejahatan. Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Seperti
dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana menurut teori absolut ialah
untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedang pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder.
Tuntutan Imanuel Kant dalam bukunya Filosophy of Law,102
101 Loc.Cit. 102 E. Utrecht, Op.Cit. hlm.157.
bahwa pidana tidak pernah
dilaksanakan semata-mata sebagi sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi
si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat. Tapi dalam semua hal harus dikenakan hanya
karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Setiap orang seharusnya
Universitas Sumatera Utara
menerima ganjaran seperti perbuatannya dan perasaan balas dendam tidk boleh tetap ada pada
anggota masyarakat. Itu sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan.
Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut:
Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatn itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.103
Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan
objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku sedangkan
pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar.
Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana dikemukaka
oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari
teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya
berpegang pada “pidana untuk pidana” hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.
Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina si pelaku kejahatan.
104
Karl O. Cristiansen memngungkapkan ciri dari teori retributif, yaitu:
Berat ringannya pidana bukan merupakan ukuran untuk menyatakan narapidana sadar
atau tidak. Pidana yang berat bukanlah jaminan untuk membuat terdakwa menjadi sadar,
mungkin juga akan lebih jahat. Pidana ringan pun terkadang merangsang narapidana untuk
melakukan tindak pidana kembali. Oleh karena itu usaha untuk menyadarkan narapidana harus
dihubungkan dengan berbagai faktor, misalnya apakah pelaku tindak pidana itu memiliki
lapangan kerja atau tidak. Apabila pelaku tindak pidana itu tidak mempunyai pekerjaan, maka
masalahnya akan tetap menjai lingkaran setan, artinya begitu selesai menjalani pidana ada
kecenderungan untuk melakukan tindak pidana kembali.
105
103 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hlm.26. 104 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rinneka Cipta, 1994), hlm.31.
Universitas Sumatera Utara
a. Tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan; b. Pembalasan merupakan tujuan utam, tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain,
misalnya kesejahteraan rakyat; c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana; d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat; e. Pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk
memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali pelanggar.
Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori absolut ini, Romli Atmasasmita
mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut:106
1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil
bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak
dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini
disebut vindicative.
2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota
masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau
memperoleh keberuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima
ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness.
3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu
pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliaran retributif ini disebut
proportionality.
Dilihat dari sejarahnya mungkin teori ini dipandang tepat pada zamannya. Akan tetapi
dalam konteks perkembangan masyarakat yang semakin beradab, maka sulit untuk menjelaskan
bahwa seseoarang dipidana hanya karena orang telah melakukan kejahatan. Meskipun rasa
dendam ada pada setiap diri manusia dan kelompok masyarakat akan tetapi pemikiran yang
105 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm 17. 106 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995),
hlm. 83-84.
Universitas Sumatera Utara
rasional jelas tidak bijak untuk mengikuti tuntutan balas dendam. Justru tugas pemikir untuk
mengarahkan perasaan dendam pada tindakan yang lebih bermartabat dan bermanfaat.
b. Teori relatif atau teori tujuan
Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap
teori absolut. Secara garis besar tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar
pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu:107
1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de maatschaappelijke orde);
2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan (het herstel van het doer de misdaad onstane maatschaappelijke nadeel);
3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader); 4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger); 5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).
Muladi dan Barda Nawawi Arief mengemukakan pendapat tentang teori ini, bahwa:
Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ni adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).108
107 Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana,
(Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995), hlm. 12. 108 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm.16.
Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam
masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku
kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban
umum.
Universitas Sumatera Utara
Filosof Inggris Jeremy Bantham (1748-1832), merupakan tokoh yang pendapatnya dapat
dijadikan landasan dari teori ini. Menurut Jeremy Bantham bahwa manusia merupakan makhluk
yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh
karena itu suatu pidana harus ditetapkan pada tiap kejahatan sedemikian rupa sehingga
kesusahan akan lebih berat dari pada kesenganan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Mengenai
tujuantujuan dari pidana adalah:109
Mengenai prevensi umum dan khusus tersebut, E. Utrecht menuliskan sebagai berikut:
“prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar
sedangkan prevensi khusus bertujuan menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak
melanggar”.
1. mencegah semua pelanggaran;
2. mencegah pelanggaran yang paling jahat;
3. menekan kejahatan;
4. menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya.
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi dua yaitu:
a) prevensi umum (generale preventie),
b) prevensi khusus (speciale preventie).
110
109 Ibid, hlm. 30-31. 110 E. Utrecht, Op.Cit, hlm. 157.
Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan
ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan
anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. Sedangkan teori prevensi
khusus menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar narapidana jangan mengulangi
perbuatannya lagi. Dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki
narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna.
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa karakteristik dari teori relatif atau teori
utilitarian, yaitu:
a. tujuan pidana adalah pencegahan (prevensi); b. pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih
tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal
karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; d. pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan. e. pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur
pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.111
Sistem hukum pidana Indonesia boleh dikatakan dekat dengan teori tujuan ini. Hal ini
terbukti dengan perkembangan teori pemasyarakatan dan sistem pemasyarakatan yang kemudian
Selanjut Muladi dan Arief mengatakan bahwa teori relatif (teori tujuan) berporos pada
tiga tujuan utama pemidanan, yaitu: preventif, deterrence, dan reformatif. Teori ini diadopsi di
Indonesia dan dijadikan dasar teori pemasyarakatan. Namun ternyata teori pemasyarakatan
banyak juga kelemahannya. Karena latar belakang pelaku kejahatan dan jenis kejahatan yang
beragam.
Dari uraian di atas, teori tujuan ini juga tidak terlepas dari beberapa kelemahan.
Berkenaan dengan pandangan Jeremy Bantham, bahwa manusia merupakan makhluk yang
rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Perlu
dipersoalkan, karena kejahatan dilakukan dengan motif yang beragam. Tidak semua kejahatan
dapat dilakukan dengan rasional, dalam melakukan kejahatan tidak jarang manusia melakukan
tidak atas dasar rasionya tapi lebih pada dorongan emosional yang kuat sehingga mengalahkan
rasionya. Ini artinya dari sisi motif kejahatan dapat diklasifikasikan atas kejahatan dengan motif
rasional dan kejahatan dengan motif emosional.
111 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm.17.
Universitas Sumatera Utara
diimplementasikan dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan. Dari rumusan
rancangan KUHP112
c. Teori Gabungan (Integratif)
juga terlihat kedekatan gagasan tersebut dengan teori relatif.
Kendati demikian pemidanaan dengan tujuan membina penjahat menjadi pentobat, juga
sulit dilakukan tanpa dilakukan dengan pendekatan individualisasi pidana. Contoh sederhana
adalah apakah bisa disamakan peminaan terhadap pencuri ayam yang mencuri karena lapar,
koruptor yang rakus, dan pecandu narkoba serta pembunuh yang membunuh karena sakit hati.
Gambaran ini mengidikasikan bahwa teori tujuan juga tidak dapat untuk memberikan landasan
secara utuh tentang perlunya pidana.
Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat
juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini
menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar
pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan
yaitu:113
1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.
2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.
112 Pasal 54 RUU KUHP Tahun 2005:
(1) Pemidanaan bertujuan: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan
rasa damai dalam masyarakat; d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana, dan memaafkan terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. 113 Koeswadji, Op.Cit, hlm. 11-12.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu,
namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu
sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Demikian juga halnya dengan
pidana penjara merupakan sarana untuk memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang
berguna di masyarakat.
Teori integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:114
Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap
masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh
juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan
sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan
untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.
a. Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.
b. Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.
c. Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara kedua hal di atas.
115
Dalam konteks itulah Muladi mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap
cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis, dan yuridis filosofis dengan
dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan,
keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan kerusakan
individual ataupun masyarakat. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk
memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Perangkat
114 Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di
Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm.24. 115 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit. hlm. 22.
Universitas Sumatera Utara
tujuan pemidanaan tersebut adalah: (a) pencegahan (umum dan khusus), (b) perlindungan
masyarakat, (c) memelihara solidaritas masyarakat, (d) pengimbalan/pengimbangan.116
Melihat tujuan pemidanaan di atas, Sahetapy mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan
tersebut sangat penting, karena hakim harus merenungkan aspek pidana/pemidanaan dalam
kerangka tujuan pemidanaan tersebut dengan memperhatikan bukan saja rasa keadilan dalam
kalbu masyarakat, melainkan harus mampu menganalisis relasi timbal balik antara si pelaku
dengan si korban.
Berlandaskan hasil pengkajian terhadap ketiga teori tujuan pemidanaan itu, pada akhirnya
Muladi memunculkan konsep tujuan pemidanaan yang disebut sebagai tujuan pidana yang
integratif (kemanusian dalam sistem pancasila). Teori tujuan integratif tersebut berangkat dari
asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap kesimbangan, keselarasan dan
keserasian dalam kehidupan masyarakat yang menimbulakan kerusakan individual dan
masyarakat, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang
diakibatkan oleh tindak pidana.
117
Sehubungan dengan tujuan pidana, Andi Hamzah mengemukakan tiga R dan satu D,
yakni:
Dari beberapa pendapat ahli hukum pidana mengenai tujuan pidana dan pemidanaan
sebagaimana disebutkan di atas, kesemuanya menunjukkan bahwa tujuan pidana dan
pemidanaan itu tidaklah tunggal, misalnya untuk pembalasan semata, atau untuk pencegahan
saja. Penulis sependapat bahwa tujuan pidana dan pemidanaan itu meliputi beberapa tujuan
secara yang memiliki tujuan yang sejalan satu dengan lainnya.
118
116 Ibid, hlm. 61. 117 J. E. Sahetapy, Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Majalah Hukum, Tahun VII,
Nomor 3, Juli 1989, hlm. 22. 118 Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
Reformation, Restraint, dan Restribution, serta Deterrence. Reformasi berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat, juga tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat, berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar hukum karena telah melakukan kejahatan. Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual, maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan karena melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Teori gabungan pada hakekatnya lahir dari ketidakpuasan terhadap gagasan teori
pembalasan maupun unsur-unsur yang positif dari kedua teori tersebut yang kemudian dijadikan
titik tolak dari teori gabungan. Teori ini berusaha untuk menciptakan keseimbangan antara unsur
pembalasan dengan tujuan memperbaiki pelaku kejahatan. Meskipun dimulai dengan menekan
kekurangan dari teori pembalasan.
Dari uraian diatas, teori gabungan atau integratif pada dasarnya menganut tujuan pidana
dan pemidanaan itu tidak tunggal. Sehingga dalam penerapannya teori ini menganut sistem dua
jalur (double track system), sistem yang didalamnya terdapat sanksi pidana dan sanksi tindakan.
d. Teori Treatment
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat
bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada
perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk member
tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagi
pengganti dari penghukuman. Argumen aliaran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku
kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan
perbaikan (rehabilitation).119
119 Mahmud Mulyadi, Op.cit, hlm 79.
Universitas Sumatera Utara
Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casre Lobroso (1835-1909),
Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofolo (1852-1934). Mereka menggunakan
pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut
pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan
kejahatannya. Aliran positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh perkembangan
filsafat empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam ajaran Locke dan Hume, teori
Darwin tentang “biological determinisme”, teori sociological positivism dari Comte dan teori
ekonomi Karl Marx.120
Menjelang akhir abad ke-18, perkembangan yang penting dari ilmu sosial mempengaruhi
pemikiran tentang kejahatan. August Comte (1798-1857) seorang sosiolog berkebangsaan
Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial
melalui bukunya yang berjudul “Cours de Philosophie Positive” atau ”Course in Positive
Philosophy”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan bahwa “There could be
no real knowledge of sosial phenomena unless it was based on a positivist (scientific) approach”.
Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu juga dipengaruhi oleh Charles Drawin (1809-1892)
dengan teori evolusinya. Lombroso menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untuk
menjelaskan hubungan antara kejahatn dengan bentuk tubuh manusia. Lombroso menerbitkan
bukunya yang berjudul “L’uomo Delinquente” atau ”The Criminal Man” pada tahun 1876, yang
menandai bahwa terjadinya transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang
(philosopis) ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan metode ilmiah. Lombroso dengan
teorinya born criminal menyatakan bahwa ada suatu kekhasan tertentu yang disebutnya Atavistic
120 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Stigmata yang membedakan manusia criminal dengan yang bukan criminal, yang dapat dilihat
dari bentuk fisik seseorang.121
Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah
untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan.
Aliaran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan
kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempuyai kehendak bebas dan
dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan.
Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus
diberikan perlakuan (treatment) untuk re-sosialisasi dan perbaikan si pelaku.
122
1. Rejected legal definition of crime;
Secara lebih rinci, Reid mengemukakan cirri-ciri aliaran positif ini sebagai berikut:
2. Let the punishment fit the criminal; 3. Doctrin of determinism; 4. Abolition of death penalty; 5. Empirical research, inductive method; 6. Indeterminate sentence.123
Gerber dan McAnany menyatakan bahwa munculnya paham rehabilitasions dalam ilmu
pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi penjara. Melalui pendekatan kemanusiaan maka
paham ini melihat bahwa sistem pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak adanya
kepastian nasib seseorang. Berdasarkan pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi berusaha
membuat jelas dan melahirkan suatu dorongan untuk memperbaiki pelaku kejahatan sebai tema
sentral mengenyampingkan semua tujuan lain dari pemidanaan. Jadi gerakan rehabilitionist
121 Ibid, hlm. 80. 122 Ibid. 123 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
merupakan paham yang menentang sistem pemidanaan pada masa lalu, baik untuk tujuan
retributif, maupun tujuan deterrence.124
Basis utama aliran ini adalah konsepsinya bahwa kejahatan disebabkan oleh multi faktor
yang menyangkut kehidupan natural manusia di dunia ini, antara lain faktor biologis dan faktor
lingkungan sosial. Oleh karena itu aliran positif bersandarkan paham indeterminisme yang
mengakui bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas (free will) karena dibatasi oleh
faktor-faktor tadi. Dalam hal penjatuhan pidana, aliran ini menganut sistem “indefinite sentence”,
yaitu pidana yang dijatuhkan tidaka ditentukan secara pasti karena setiap pelaku kejahatan
mempunyai kebutuhan yang berbeda. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Lambroso, bahwa
penerapan pidana yang sama pada semua pelaku kejahatan, merupakan suatu kebodohan karena
setiap pelaku mempunyai kebutuhan yang berbeda.
125
Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas dari orang
yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit bahwa dalam
kenyataannya perbuatan seseoarng itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis,
maupun faktor-faktor lingkungan. Bentuk pertanggungjawaban sipembuat lebih bersifat tindakan
(treatment) untuk melindungi kepentingan masyarakat.
126
Jadi aliran ini menolak pandangan adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang
subjektif. Aliran positif melihat kejahatan tidak dari sudut pandang perbuatannya, melainkan
pelakunya sendiri yang harus dilihat dan didekati secara nyata dan persuasive. Tujuan
pendekatan kepada pelaku ini adalah untuk mempengaruhi pelaku kejahatan secara positif
sepanjang masih dapat dibina dan diperbaiki.
127
124 Ibid, hlm. 80-81. 125 Ibid, hlm.81. 126 Ibid. 127 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang dipelopori oleh
aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam
kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial dan perlindungan sosial
menjadi suatu standar dalam menjustifikasi suatu perbuatan, daripada pertanggungjawaban
moaral dan keadilan. Aliran positif menolak setiap dasar pemikiran aliran hukum pidana klasik
dan menurut aliran ini masyarakat perlu mengganti standar hukum, pertanggungjawaban moral
dan kehendak bebas (free will) dengan treatment dan perhatian digeser dari perbuatan ke
pelakunya.128
Paham rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam perjalanannya tidak semulus yang
diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai kritikan. Kritikan pertama ditujukan pada
kenyataannya bahwa hanya sedikit Negara yang mempunyai fasilitas untuk menerapkan program
rehabilitasi pada tingkat dan kebijakan yang menekankan penggunaan tindakan untuk
memperbaiki (treatment) atas nama penahanan.
129
Kritikan kedua, adanya tuduhan yang serius bahwa pendekatan yang digunakan oleh
paham rehabilitasi adalah pendekatan yang mengundang tirani individu dan penolakan hak asasi
manusia. Misalnya dalam hal proses pelaksanaan rehabilitasi ini tidak seseorang pun yang dapat
memprediksi berapa lama pengobatan akan berlangsung ketika seorang tahanan segera
diserahkan kepada dokter untuk disembuhkan atau diobati sebelum tahanan dibebaskan. Dalam
hal ini juga sulit untuk mengontrol otonomi keputusan dokter. Menurut Lewis sebagaimana yang
ditemukan oleh Gerber McAnany bahwa sebagian besar metode treatment yang dilakukan
dengan penuh kebaikan dan atas nama kemanusiaan, namun akhirnya tidak terkontrol.
130
128 Ibid. 129 Ibid. 130 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian diatas, maka Lewis dan pengkritik lainnya menyatakan bahwa
rehabilitasi bukanlah tujuan yang valid dari masyarakat, namun adanya penegasan bahwa harus
ada fundamental untuk member dukungan dan pemahaman justifikasi pemidanaan ini juga harus
disertai denganadanya pembatasan yang jelas, mana pelaku-pelaku kejahatan yang dapat
dipaksakan dan mana yang tidak bisa menjalani pemidanaan tersebut demi kebaikan mereka.
Jadi pembatasan ini dimaksudkan untuk emalkuakan pemilahan terhadap pelaku kejahatan dalam
suatu klasifikasi tertentu sehingga pemidanaan yang dijalankan sesuai untuk kebaikan pelaku
tersebut.131
Pembatasan ini juga dimaksudkan supaya program yang dijalankan bukanlah program uji
coba, sebagimana yang dikemukakan oleh Silving bahwa orang-orang jahat bukanlah kelinci
percobaan (even “bad people’ are not by the same token experimental rabbits). Suatu usaha
memformulasikan prinsip pembatas ini dikemukakan oleh Morris yaitu penguasaan atas
kehidupan pelaku kejahatan tidak diperlakukan berlebihan, bilamana perbaikan pelaku tersebut
tidak menjadi pertimbangan dan tujuan dari pemidanaan.
132
e. Teori Sosial Defence
Sosial Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II dengan tokoh
terkenalnya adalah Fillipo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi
Perlindungan Masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan sosial defence ini
(setelah kongres ke-2 tahun 1949) terpecah menjadi dua aliran, ayitu aliran yang radikal
(ekstrim) dan aliran yang moderat (reformis).133
Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatica, yang salah satu
tulisannya berjudul “The fight against punishment” (La Lotta Contra La Pena). Gramatica
131 Ibid. 132 Ibid. 133 Ibid, hlm. 88.
Universitas Sumatera Utara
berpendapat bahwa: ”Hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada
sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu
kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.”134
1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi
perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana.
Pandangan moderat dipertahankan oleh Marc Ancel (Perancis) yang menamakan
alirannya sebagai “Defence Sosiale Nouvelle” atau ”New Sosial Defence” atau “Perlindungan
Sosial Baru”. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu
seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan
bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu,
peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi
suatu sistem hukum. beberapa konsep pandangan moderat:
2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai
hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri;
3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan
teknis-teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap
legisme dari aliran klasik.135
Aliran moderat ini juga lahir sebagai jawaban terhadap kegagalan aliran positif dengan
paham rehabilisionisnya. Gerber dan McAnany menyatakan bahwa munculnya paham
rehabilitasionis dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi penjara.
136
134 Ibid. 135 Ibid. 136 Mahmud Mulyadi, Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan Dalam Penegakan Hukum Pidana
Indonesia, Karya Ilmiah, (Medan: USURevository, 2006), hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
Melalui pendekatan kemanusiaan, maka paham ini melihat bahwa sistem pemidanaan
pada masa lampau menyebabkan tidak adanya kepastian nasib seseorang. Berdasarkan
pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi berusaha membuat jelas dan melahirkan suatu
dorongan untuk memperbaiki pelaku kejahatan sebagai tema sentral mengenyampingkan semua
tujuan lain dari pemidanaan. Jadi gerakan rehabilitionist merupakan paham yang menetang
sistem pemidanaan pada masa lalu, baik tujuan retributif maupun tujuan deterrence.137
Packer juga mengingatkan bahwa penggunaan sanksi pidana secara sembarangan/tidak
pandang bulu/menyamaratakan dan digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan
sarana pidana itu menjadi suatu “pengancam yang utama” (prime threatener).
Pelaku tindak pidana yang terkait dengan narkoba, dapat berupa orang perorangan dan
dapat pula dilakukan oleh korporasi atau kelompok. Lazimnya, kejahatan ini dilakukan oleh
lebih dari satu orang. Oleh karena itu sangat tepat apabila undang-undang telah memisahkan
antara pengedar dan pengguna. Namun perbedaan ini memang harus benar-benar dicermati agar
sanksi pidana tidak salah sasaran.
138 Sejalan dengan
hal tersebut Jeremy Bentham berpendapat janganlah hukum pidana dikenakan/digunakan apabila
groundless, needless, unprofitable or inefficacous.139
137 Loc.cit. 138 Herbert L. Packer, The Limits of the Criminals Sanctions, (California, Stanford University Press, 1968),
hlm. 87. 139 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.
39.
Hal ini ditinjau berdasarkan kebijakan
hukum pidana yang pada hakekatnya merupakan suatu “usaha untuk mewujudkan perturan
perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum)
dan masa mendatang (ius constituendum). Konsekuensi logisnya kebijakan hukum pidana identik
dengan penal reform dalam arti sempit. Sebab, sebagai suatu sistem, hukum pidana terdiri dari
Universitas Sumatera Utara
budaya (cultural), struktur (structural), dan substansi (substantive) hukum.140 Dikaji dari
presfektif politik hukum maka politik hukum pidana berusaha membuat dan merumuskan
perundang-undangan pidana yang baik. Menurut Marc Ancel maka penal policy merupakan
“Ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif yang
dirumuskan secara lebih baik”. Peraturan hukum positif disini diartikan sebagai peraturan
peerundang-undangan hukum pidana. Karena itu istilah penal policy menurut Ancel, sama
dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.141
1. Korban kejahatan konvensional adalah korban yang diakibatkan oleh tindak pidana biasa atau
kejahatan biasa misalnya, pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan lain-lain;
Dari sisi kriminologi kejahatan narkoba termasuk dalam pengertian crime without victim,
yang artinya bukan tidak ada korban dalam terjadinya suatu kejahatan tetapi adalah bahwa
korban adalah si pelaku itu sendiri. Kongres PBB ketujuh telah mengelompokkan macam-macam
korban sebagai berikut:
2. Korban non-konvensional adalah korban kejahatan yang diakibatkan oleh tindak pidana berat
seperti terorisme, pembajakan, perdagangan narkotika secara tidak sah, kejahatan terorganisir
dan kejahatan computer;
3. Korban kejahatan akibat penyalahgunaan kekuasaan (illegal abuses of power) terhadap hak
asasi manusia alat penguasa termasuk penangkapan serta penahanan yang melanggar hukum
dan lain sebagainya.
Stephen Schafer mengemukakan adanya beberapa tipologi korban, yaitu:142
140 Lawrence M. Friedman, Legal Culture and Sosial Development, (New Jersey: Prentice Hall Inc, 1977),
hlm. 6-7. 141 Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 2. 142 Made Darma Weda, Kriminologi, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.90.
Universitas Sumatera Utara
1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan terjadinya
korban, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam hal ini tanggungjawab sepenuhnya
terletak pada pelaku.
2. Provocative Victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban,
misalnya kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.
3. Participating Victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat tetapi dengan sikapnya justru
mendorong dirinya menjadi korban.
4. Biologically weak Victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan atau potensi
untuk menjadi korban, misalnya orang tua renta, anak-anak dan orang yang tidak mampu
berbuat apa-apa.
5. Sosially Weak Victims, Yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang
menyebabkan mereka menjadi korban, misalnya korban perdagangan perempuan, dan
sebagainya.
6. Self Victimizing Victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang
dilakukannya sendiri, pengguna obat bius, judi, aborsi dan prostitusi.
Berdasarkan pada pendapat Wolfgang tersebut di atas, maka terhadap pelaku kejahatan
narkoba harus mendapatkan perhatian khusus. Kategorisasi pelaku: pengedar, produsen, serta
pemakai, benar-benar mendapatkan perhatian mengingat treatment harus diberikan kepada
mereka yang terbukti sebagai pemakai awal, pengguna, ataupun pecandu. Sedangkan pidana
maksimal (seumur hidup atau mati) sangat sesuai dikenakan terhadap mereka yang berperan
sebagai produsen atau pengedar lintas Negara.
Dengan mengkaji uraian diatas penentuan sanksi pidana bagi pecandu narkotika harus
juga melihat pecandu itu sebagai korban. Sehingga hakim dalam memutuskan putusannya tepat
Universitas Sumatera Utara
sasaran. Hakim dalam menentukan pilihan pidana dikatakan tepat dan adil tergantung landasan
filsafat dalam pemidanaan. Landasan filsafat berbeda dengan dasar pembenar dalam penjatuhan
pidana, karena dasar pembenar (justification) pemidanaan menjadi bagian dari filsafat
pemidanaan yang diikuti. Ada dua pandangan filsafat pemidanaan yang berpengaruh dalam
penjatuhan pidana, yaitu falsafat pemidanaan yang berlandaskan pada keadilan retributif dan
falsafah pemidanaan yang berdasarkan pada falsafah restoratif. Praktek yang terjadi dalam
pemidanaan sebagaimana yang diatur dalam KUHP bersendikan pada falsafah retributive atau
pembalasan, maka penjatuhan pidana ditujukan untuk menderitakan pelanggar, terlepas apakah
penderitaan tersebut berhubungan dengan penderitaan korban atau tidak. Keadilan diukur dengan
penderitaan pelanggar, maka kelayakan dalam penjatuhan pidana menjadi ukuran dalam
penjatuhan pidana.
Penyalahgunaan narkotika merupakan persoalan yang cukup kompleks mulai dari proses
hukum hingga proses pemulihan korbannya. Persoalan hukum karena terkait dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di satu sisi pelanggaran terhadap Undang-
Undang tersebut merupakan tindak pidana dan di sisi lain korban ketergantungan terhadap
narkotika wajib menjalani pengobatan dan perawatan (rehabilitasi). Mengacu pada teori
Ultilitarian, teori Sosial Defance, teori Rehabilitasi, dalam kaitannya dengan pembinaan pelaku
kejahatan, penegakan hukum terhadap tindak pidana atau kejahatan di Indonesia khususnya
dalam hal pemidanaan, merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat menghukum
pelaku kejahatan sehingga dapat memberikan efek jera.
Perlindungan atas harkat dan martabat seorang tersangka, terdakwa maupun terpidana
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Acara Pidana
(KUHAP) merupakan tujuan utama. Disinilah terletak perbedaan fundamental antara undang-
Universitas Sumatera Utara
undang ini dengan HIR. Dalam HIR tujuan utama justru lebih untuk mencapai ketertiban dan
kepastian hukum tanpa mempersoalkan lagi secara khusus sejauh mana peraturan yang ada dapat
memberikan perlindungan atas harkat dan martabat tersangka, terdakwa, dan terpidana.
Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
memandang perlu adanya pengawasan dan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana diatur
dalam Pasal 54 ayat (1) dan pasal 55 ayat (1), (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan sebagai berikut :
Pasal 54 ayat (1) :
“Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa”.
Pasal 55 ayat(1) dan (2) :
(1) Ketua pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemakai atau pecandu narkoba dalam perspektif hukum merupakan seorang pelaku
pidana. Namun bila dicermati dengan lebih seksama, bahwa sebenarnya mereka merupakan
korban dari sindikat atau matarantai peredaran dan perdagangan narkoba. Pecandu merupakan
pangsa pasar utama sebagai ’pelanggan tetap’. Secara psikologis, mereka sulit melepaskan diri
dari ketergantungan, walaupun mungkin, sebenarnya mereka ingin lepas dari jeratan narkoba
yang membelitnya. Pecandu memerlukan penanganan yang berbeda dalam proses
pemidanaannya. Berdasarkan pandangan tersebut, maka penghukumannya pun perlu dilakukan
pemisahan, dengan pola penanganan, pembinaan, dan perlakuan yang berbeda pula.
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan pidana terhadap penyalahgunaan narkoba dengan diterapkan treatment berupa
rehabilitasi merupakan langkah maju, mengingat rehabilitasilah yang diperlukan terhadap
pengguna yang telah kecanduan. Herbert L. Packer yang berpendapat bahwa tingkatan atau
derajat ketidakenakan atau kekejaman bukanlah ciri yang membedakan “punishment” dan
“treatment”.143
Sedangkan “punishment” menurut H.L. Packer, pembenarannya didasarkan pada satu atau
dua tujuan sebagai berikut:
Perbedaan antara “punishment” (pidana) dan “treatment” (tindakan perlakuan)
harus dilihat dari tujuannya, seberapa jauh peranan dari perbuatan si pelaku terhadap adanya
pidana atau tindakan perlakuan. Menurut H.L. Packer, tujuan utama dari treatment adalah untuk
memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan
pada perbuatannya yang telah lalu atau akan yang datang, akan tetapi pada tujuan untuk
memberikan pertolongan kepadanya. Jadi, dasar pembenaran dari “treatment’ adalah pada
pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan atau mungkin menjadi lebih baik. Dengan
demikian tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan orang yang bersangkutan.
144
Undang-Undang narkotika memberi peluang dilakuannya rehabilitasi bagi penyalahguna
narkoba. Mengingat pelaku penyalahgunaan narkoba adalah golongan masyarakat usia muda dan
masih memiliki waktu yang panjang dalam mengarungi kehidupan, maka rehabilitasi merupakan
salah satu jalan terbaik bagi para pengguna narkoba.
a. Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan
yang salah (the prevention of crime or undersired conduct or offending conduct);
b. Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar (the
deserved inliction of suffering on evildoers/retribution for perceived wrong doing).
143 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm.5. 144 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
3. Kondisi Pecandu Narkotika Sehingga Diperlukan Upaya Rehabilitasi
Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan seseorang itu mengalami kecanduan
karena narkoba mengandung efek pecandu yang sangat kuat. Kondisi badan pecandu narkoba
sangat lemah dan kehilangan kemampuan untuk menangkal penyakit. Penyakit yang ditimbulkan
adalah kerusakan sel-sel, hepatitis, sipilis, dan AIDS. Dengan melihat kondisi dari pecandu
narkotika inilah maka dianggap perlu dilaksanakannya rehabilitasi.
Banyak orang memandang rehabilitasi dengan sebelah mata, mereka kurang menganggap
penting peranan sebuah Pusat Rehabilitasi. Para korban penyalahguna Narkoba dikirim ke Pusat
Rehabilitasi dalam keadaan terpaksa atau sudah dalam kondisi yang sangat parah. Banyak
keluarga kurang menyadari bahwa semakin parah kondisi seorang pecandu akan semakin
mempersulit proses recovery-nya, selain itu juga akan membutuhkan waktu pemulihan yang
lebih lama. Adapun alasan mengapa seorang pecandu perlu segera datang ke Pusat Rehabilitasi
Penyalahguna Narkoba adalah sebagai berikut:145
145 http://sekarmawar1.wordpress.com/2012/02/02/sepuluh-alasan-mengapa-pecandu-perlu-datang-ke-
rehabilitasi/ diakses tanggal 26 Maret 2013.
1. Datang ke rehabilitasi secara nyata dapat menyelamatkan hidup.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa efek narkoba bisa merusak organ-organ penting di dalam
tubuh. Penyakit HIV/AIDS, hepatitis, kerusakan otak, jantung, paru-paru, dan lain-lain selalu
mengancam para pemakai narkoba. Penyakit kecanduan, bila tidak segera diatasi maka ujung-
ujungnya adalah kematian. Belum lagi dampak sosial yang diakibatkan oleh perilaku pemakai
Narkoba, banyak keluarga yang mengalami kehancuran, baik fisik maupun mental. Tempat yang
paling tepat bagi seorang pecandu adalah Pusat Rehabilitasi, oleh karena itu sangatlah tepat bila
keluarga segera mengirimkan si Pecandu itu Pusat Rehabilitasi demi menyelamatkan hidupnya
dan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Universitas Sumatera Utara
2. Datang ke rehabilitasi berarti masuk ke dalam jaringan baru dan bertemu dengan
orang-orang yang lebih positif.
Lingkungan sekitar sangat mempengaruhi perilaku seorang pecandu. Lingkungan atau
teman yang negatif (negatif peer) menjadi salah satu pemicu seorang menggunakan narkoba.
Untuk menghilangkan kecanduan, seseorang sebaiknya dipisahkan dari lingkungan yang
mendorong dia untuk terjerumus dalam pemakaian narkoba. Pusat Rehabilitasi merupakan suatu
komunitas dimana disitu tinggal orang-orang yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu terbebas
dari belenggu narkoba. Mereka saling membantu untuk mengatasi permasalahan masing-masing,
sesuai dengan mottonya “Man helping man to help himself.” Lingkungan dan teman yang lebih
positif tersebut diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku para pecandu narkoba.
3. Datang ke rehabilitasi membuka jendela kesempatan untuk tetap bersih dan sadar
(clean and sober).
Di dalam Pusat Rehabilitasi dikenal dengan istilah ‘abstinentia’ yang berarti putus obat.
Begitu masuk rehabilitasi, seorang resident samasekali tidak boleh mengkonsumsi narkoba. Hal
itu tercantum dalam tiga aturan utama (Cardinal Rules) yaitu: pertama, No Drugs (Dilarang
memakai Narkoba); kedua, No Sex (dilarang berhubungan sexual secara sembarangan); ketiga,
No Violence (dilarang berbuat kekerasan). Oleh karena itu, memasuki rehabilitasi membuat
seseorang berkesempatan untuk tetap bersih (dari obat-obatan terlarang) dan sadar (waras/tidak
mabuk). Pembiasaan yang lama disertai dengan proses penyadaran diri ini memungkinkan
seorang pecandu tetap bisa menjaga kebersihan dan kewarasannya (clean and sober) dengan
tidak mengkonsumsi narkoba lagi setelah keluar dari pusat rehabilitasi.
4. Datang ke rehabilitasi dapat mengatur pemulihan yang sukses untuk jangka panjang.
Universitas Sumatera Utara
Pusat Rehabilitasi mempunyai suatu program pemulihan untuk jangka waktu yang cukup
lama. Dalam komunitas terapeutik (Therapeutic Community) sejumlah aturan ditetapkan agar
seorang resident benar-benar bisa fokus dalam menjalani pemulihan. Di tahap primary seorang
harus mengikuti program pemulihan selama 6 (enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun,
setelah itu baru menginjak ke tahap Re-entry dan Aftercare. Dengan program-program tersebut
diharapkan seorang pecandu dapat benar-benar pulih bukan hanya untuk sementara, melainkan
untuk jangka waktu yang lama, sehingga mereka benar-benar dapat hidup baik di tengah
keluarga maupun masyarakat sesuai dengan norma-norma yang ada.
5. Datang ke rehabilitasi dapat memberikan kembali banyak sukacita kecil dalam hidup.
Seorang pecandu biasanya mempunyai kebiasaan malas bekerja dan tidak peduli dengan
lingkungan sekitarnya. Pusat rehabilitasi mengajarkan hal-hal sederhana yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari, mulai bangun tidur hingga tidur kembali. Mereka dilatih untuk peka dan
memperhatikan hal-hal kecil di sekitarnya. Mereka berlatih mengurus diri sendiri dan anggota
komunitas secara benar, dengan demikian mereka sendirilah yang menciptakan suasana dalam
lingkungan rumah tersebut. Bila dikerjakan dengan baik, hal-hal kecil ini dapat mendatangkan
sukacita bersama.
6. Datang ke rehabilitasi dapat membuat kesehatan secara holistik lebih baik.
Masalah kesehatan sering dilalaikan oleh seorang pecandu, selama menjadi pecandu
hidup mereka tidak teratur, banyak yang kemudian mengalami gangguan kesehatan. Efek dari
penyalahgunaan obat juga mempengaruhi kesehatan mereka, berbagai penyakit diderita oleh para
pecandu seperti HIV/AIDS, lever, ginjal, paru-paru,dan lain sebagainya. Pusat rehabilitasi
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi standar kesehatan. Mereka diajarkan untuk
hidup tertib, bersih, berolahraga, serta mengkonsumsi makanan yang sehat. Secara medis mereka
Universitas Sumatera Utara
juga diharuskan untuk cek kesehatan di laboratorium atau rumah sakit. Kehidupan semacam itu
membuat seorang resident dapat memiliki kesehatan yang lebih baik secara holistik .
7. Datang ke rehabilitasi dapat menghemat banyak uang untuk jangka panjang.
Tidak diragukan lagi bahwa seorang pecandu terbiasa menghabiskan uang dalam jumlah
yang besar untuk membeli narkoba dan mengikuti gaya hidup lingkungan mereka. Tidak jarang
mereka mengambil harta keluarga secara paksa dan menghabiskannya untuk berfoya-foya.
Mereka tidak bisa mengelola keuangan secara baik, karena ulahnya banyak keluarga yang
kehilangan harta benda dengan sia-sia. Dengan masuk ke rehabilitasi diharapkan seorang sembuh
dari kecanduannya dan tidak mengkonsumsi obat lagi, selain itu perilaku mereka diharapkan
akan menjadi lebih baik, mampu bersikap jujur termasuk dalam hal pengelolaan keuangan.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa datang ke pusat rehabilitasi akan menghemat banyak
uang untuk jangka panjang.
8. Pergi ke rehabilitasi memberi kesempatan untuk membangun kembali relasi dalam
kehidupan.
Salah satu alasan mengapa seorang pecandu mengkonsumsi Narkoba adalah mereka tidak
bisa mengatasi masalah dalam kehidupannya. Relasi dengan keluarga biasanya juga terganggu,
masyarakat cenderung memberi stigma buruk bagi mereka. Relasi yang rusak ini diakibatkan
oleh perilaku serta pandangan yang salah dalam diri mereka. Selama menjalani rehabilitasi
mereka diajak untuk memperbaiki hubungan khususnya dengan keluarga mereka. Mengampuni
adalah sikap yang sangat tepat untuk membangun kembali relasi dalam kehidupan. Beberapa
session dalam rehabilitasi memberi kesempatan bagi para pecandu dan keluarganya untuk
mengadakan sebuah rekonsiliasi.
9. Datang ke rehabilitasi dapat membantu mengembalikan kehidupan rohani.
Universitas Sumatera Utara
Kehidupan spiritual seorang pecandu biasanya mengalami kekeringan. Kekecewaan dan
kegagalan dalam hidup membuat mereka goyah. Mereka sulit apabila diajak untuk berdoa,
kegiatan spiritual hanya sebatas luarnya saja, tidak muncul dari hatinya. Di pusat rehabilitasi
yang berbasis therapeutic community terdapat empat struktur program, yaitu behaviour (tingkah
laku), emotional/psikological (psikologis), spiritual (kerohanian), dan vocational/survival
(ketrampilan). Spiritual memegang peran yang cukup penting dalam proses rehabilitasi. Setiap
hari tidak pernah lepas dari kegiatan yang bersifat spiritual. Therapeutik Community bersifat
universal, perpedaan kepercayaan bukan merupakan suatu masalah, mereka selalu diajak untuk
percaya pada kekuatan yang berasal dari “The Highest Power” (Yang Mahakuasa).
10. Datang ke rehabilitasi dapat membawa kembali kehidupan yang sejati.
Seorang pecandu mempunyai kehidupan yang semu. Kenikmatan atau kebahagiaan yang
dirasakan hanya bersifat sementara, mereka lari dari kenyataan hidup, dan bersembunyi dibalik
pengaruh obat-obatan. Di dalam pusat rehabilitasi mereka diputuskan dari kehidupan yang semu
tersebut. Betapapun sakitnya mereka harus berusaha untuk berani menghadapi realita kehidupan.
Memang hal itu tidak mudah untuk dilakukan, namun dengan bantuan para konselor serta teman-
teman yang senasib, mereka diharapkan mampu untuk kembali ke kehidupan yang normal.
Dalam rehabilitasi perilaku mereka dibentuk kembali, emosi diatur, diberi bekal spiritual, serta
dilatih ketrampilan untuk bertahan dalam hidup. Sangat nyata bahwa dengan mendatangi pusat
rehabilitasi seseorang dipulihkan baik secara biologis, psikologis, spiritual dan lingkungan sosial.
Semua itu memungkinkan untuk meraih kehidupan yang telah hilang dan kembali kepada
kehidupan yang sejati.
4. Pengaturan Hukum Tentang Rehabilitasi Terhadap Penyalahgunaan Narkotika
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, pengedar narkotika dalam terminologis hukum dikatagorikan sebagai
pelaku (daders) akan tetapi pengguna dapat dikatagorikan baik sebagai pelaku dan/ atau korban.
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hakikatnya pengguna adalah
orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintesis maupun semi
sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan
dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang Narkotika. Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika maka pengguna diatur dalam pasal 116, 121,126,127, 128, 134.
Terlupakannya korban tindak pidana tidak dapat dilepaskan dengan hukum pidana di
Indonesia yang bersumber dari hukum pidana neo-klasik yang notabene melahirkan hukum
pidana yang bersifat “daad–dader strafrecht”, yakni hukum pidana yang berorientasi pada
perbuatan dan pelaku. Perhatian terhadap pelaku tindak pidana yang memperoleh perlindungan
berlebihan, dalam artian tidak seimbang dengan kepentingan korban, merupakan suatu gambaran
timpang sebagai akibat dalam hukum acara pidana di Indonesia, lebih mengedepankan “proses
hukum yang adil” atau yang lebih dikenal dengan sebutan “due process model”.
Pecandu narkotika merupakan “Self Victimizing Victims” yaitu mereka yang menjadi
korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Karena pecandu narkotika menderita
sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri.
Namun demikian korban penyalahgunaan narkotika itu sepatutnya mendapatkan perlindungan
agar korban tersebut dapat menjadi baik.
Double track system merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana,
yakni jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan
salah yang telah dilakukan seorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan
Universitas Sumatera Utara
menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya pemberian pertolongan pada pelaku
agar ia berubah. Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan pada pembalasan sedangkan
sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau
perawatan si pelaku.
Berdasarkan hal tersebut double track system dalam perumusan sanksi terhadap tindak
pidana penyalahgunaan narkotika adalah paling tepat, karena berdasarkan victimologi bahwa
pecandu narkotika adalah sebagai self victimizing victims yaitu korban sebagai pelaku,
victimologi tetap menempatkan penyalahguna narkotika sebagai korban, meskipun dari tindakan
pidana/ kejahatan yang dilakukannya sendiri.
Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pecandu narkotika sebagai self victimizing victims
adalah dalam bentuk menjalani masa hukuman dalam penjara, sedangkan sanksi tindakan yang
diberikan kepada pecandu narkotika sebagai korban adalah berupa pengobatan dan/atau
perawatan yang diselenggarakan dalam bentuk fasilitas rehabilitasi. Sistem pelaksanaannya
adalah masa pengobatan dan/atau perawatan dihitung sebagai masa menjalani hukuman.
Peraturan yang berkaitan dengan narkotika sebenarnya sudah mengandung double track
system. Hal ini terlihat dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah
mengatur mengenai perawatan (treatment) dan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika, yang
disebut dengan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dan berdasarkan psalal 54 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 jelas ditegaskan bahwa undang-undang ini pada prinsipnya
memang mengayomi dan memperhatikan kondisi pecandu narkotika karena dalam pasal ini
“mewajibkan” pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika untuk menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kata “wajib” dalam pasal tersebut tentunya
Universitas Sumatera Utara
mengandung makna bahwa pecandu dipaksa oleh pemerintah untuk menjalankan rehabilitasi
dengan biaya yang ditanggung pemerintah.
Oleh karena itu, maka pecandu narkotika yang juga sebagai korban patut untuk mendapat
perlindungan. Namun, karena pecandu narkotika juga sebagai pelaku tindak pidana/kejahatan
maka ia juga harus tetap dihukum, oleh karena hal inilah maka dikatakan bahwa double track
system dalam perumusan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah paling
tepat.
Tentang rehabilitasi bagi pengguna atau pecandu, dapat dilihat dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 yakni terdapat dalam Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 dan
Pasal 103. Di dalam Pasal 103 UU Narkotika, menyebutkan hakim yang memeriksa perkara
pecandu narkoba dapat melakukan dua hal. Pertama, hakim dapat memutuskan untuk
memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pecandu
narkoba tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkoba. Kedua, hakim dapat
menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan,
apabila pecandu narkoba tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkoba.
Undang-Undang Narkotika, juga memberikan landasan hukum kemungkinan pengguna
narkotika tidak dipidana, sebagaimana diatur Pasal 128 ayat (2) dan (3) UU Narkotika,
memberikan jaminan tidak dituntut pidana dengan kriteria sebagai berikut:
a). Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana;
b). Pecandu narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2)
yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit
dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
Universitas Sumatera Utara
Dilihat dari ketentuan tersebut, jelas bahwa pengguna narkoba adalah tidak dipidana,
karena pengguna narkoba terutama yang ada dalam tahap kecanduan telah didudukan sebagai
korban yang sepatutnya direhabilitasi, baik secara medis maupun sosial.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Nakotika pasal 103
dikategorikan dua macam kemungkinan status hukum dari pengguna atau pecandu narkotika
yang diproses sampai ke pengadilan, yaitu:
1. Terhadap mereka yang menjadi pengguna atau pecandu narkotika akibat dari kesalahannya
sendiri, maka pengadilan dapat memutus/memvonis untuk menjalani pengobatan dan/atau
perawatan yang diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103 ayat 1 sub a),
sedangkan biaya pengobatan dan perawatan sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab
negara, sebab pengobatan dan perawatan tersebut merupakan bagian dari masa menjalani
hukuman (pasal 103 ayat 1 sub a)
2. Terhadap mereka yang menjadi pengguna atau pecandu narkotika bukan akibat
kesalahannya, kerana dipaksa, dibujuk atau hal lain diluar kemampuannya maka penetapan
untuk menjalani pengobatan atau rehabilitasi bukan merupakan vonis atau hukuman dan
dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan kepada pecandu narkotika tersebut,
walaupun tidak terbukti bersalah tetapi wajib menjalani pengobatan dan perawatan yang
biayanya selama dalam status tahanan menjadi beban Negara terkecuali tahanan kota dan
tahanan rumah (pasal 103 ayat 1 sub b).
Dari ketentuan diatas dapat dilihat adanya kewenangan penuh para hakim unuk dapat
memutus/memvonis pecandu narkotika itu dengan penjara atau rehabilitasi. Namun hakim sering
kesulitan menentukan seseoarng itu pecandu atau bukan dan inilah yang menjadi kendala dalam
penerapan rehabilitasi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Pembuktian penyalahguna narkotika merupakan korban narkotika sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, merupakan hal yang sulit,
karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan
pembuktian bahwa pengguna narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk,
diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Dalam
implementasinya Mahkamah Agung mengeluarkan terobosan dengan mengeluarkan Surat
Edaran (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 yang menjadi pegangan pertimbangan hakim dalam
memutus narkotika.
Pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tersebut, ada petunjuk yang
perlu dipertimbangkan hakim dalam menerapkan pembidanaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 103 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang hanya
dapat dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana sebagai berikut:146
a. Terdakwa pada saat ditangkap dalam kondisi tertangkap tangan
b. Pada saat tertangkap tangan, hanya ditemukan barang bukti narkotika pemakaian 1 (satu) hari edngan perincian sebagai berikut: 1. Kelompok metaphetamine (shabu) : 1 gram 2. Kelompok MDMA (ekstasi) : 2,4 gram = 8 butir 3. Kelompok heroin : 1,8 gram 4. Kelompok kokain : 1,8 gram 5. Kelompok ganja : 5 gram 6. Daun koka : 5 gram 7. Meskalin : 5 gram 8. Kelompok psilosybin : 3 gram 9. Kelompok LSD (dilysergic acid diethylamide) : 2 gram 10. Kelompok PCP (phencyclidine) : 3 gram 11. Kelompok fentanil : 1 gram 12. Kelompok metadon : 0,5 gram 13. Kelompok morfin : 1,8 gram 14. Kelompok petidin : 0,96 gram 15. Kelompok kodein : 7,2 gram 16. Kelompok bufrenorfin : 32 mg
c. Ada surat uji Laboratorium yang menyatakan terdakwa menggunakan narkotika
146 SEMA Nomor 4 Tahun 2010.
Universitas Sumatera Utara
d. Ada surat keterangan dari dokter jiwa maupun psikiater yang ditunjuk oleh hakim yang menerangkan terdakwa adalah seorang pecandu
e. Terdakwa tidak merangkap sebagai pengedar atau produsen
Selain itu ketentuan dikeluarkan SEMA ini juga karena umumnya pengambilan kebijakan
di Indonesia saat ini masih menganut sistem public security dan belum pada tahap public health.
Artinya, upaya yang dilakukan di Indonesia saat ini masih dominan terhadap bidang
pemberantasan penyalahgunaan narkoba, atau belum memfokuskan pada upaya merehabilitasi
pecandu dari aspek medis dan sosial. Keberadaan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 merupakan
rujukan untuk membedakan terdakwa sebagai penyalahguna/pecandu atau sebagai
pengedar/bandar dengan standar minimal barang bukti yang didapatkan. Barang bukti hanyalah
salah satu alat bukti, sedangkan pembuktian minimal ada 2 alat bukti, bila di dalam proses
peradilan terbukti adanya tindak peredaran yang dilakukan terdakwa meskipun barang bukti
narkoba yang dimiliki di bawah minimal tentu saja sah bila hakim menjatuhkan vonis sebagai
pengedar/bandar.
Ketentuan hukum lainnya dalam menempatkan korban pengguna narkoba di tempat
rehabilitasi medis dan sosial juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011
Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Berdasarkan peraturan pemerintah
tersebut memberikan jaminan kepada pecandu dan/atau korban penyalahgunaan narkoba untuk
mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial. Dengan ketentuan tersebut dunia peradilan di Indonesia sebetulnya telah membuka mata
tentang hakikat dari pecandu narkoba dalam konteks ilmu hukum khususnya viktimologi.
Sesuatu yang sangat sulit dilegitimasi selama ini, sehingga selama “perang terhadap narkoba”
dikumandangkan oleh pemerintah Indonesia, pecandu narkoba selalu ditempatkan sebagai
kriminal, maka hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan perlakuan khusus,
Universitas Sumatera Utara
dalam hal ini rehabilitasi menjadi hilang. Tantangan ke depan justru berada dalam pundak hakim
untuk berani memutus atau menetapkan vonis rehabilitasi terhadap pecandu dan melakukan
terobosan hukum serta penemuan hukum yang tidak hanya mengacu pada undang-undang saja,
tetapi lebih pada nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat. Tantangan
lain bagi pembuat kebijakan adalah apakah kekuatan surat edaran dari aspek yuridis formal
mampu mendekriminalsiasi pecandu kerena dari beberapa sumber menyebutkan negara yang
mendukung dekriminalisasi secara de jure mencabut semua peraturan yang menghukum para
pengguna dan dalam penanganannya tidak memenjarakan, menuntut ataupun melakukan
penangkapan kepada pengguna.
Dengan menelaah ketentuan di atas, institusi dan penegak hukum di Indonesia sebaiknya
mulai memilih jalur alternatif yakni memberikan vonis rehabilitasi bagi pengguna narkoba.
Vonis pidana dengan pemenjaraan terhadap korban pengguna narkoba bukan solusi efektif
karena pengguna narkoba merupakan korban dari kejahatan peredaran gelap narkoba.
5. Bentuk-Bentuk Rehabilitasi
Saat ini semua aturan tentang narkotika telah memuat tentang ketentuan pelaksanaan
rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika pasal 54 menguraikan kedua jenis rehabilitasi yaitu rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.147
Terapi dan rehabilitasi sarana, program pelayanan serta rangkaian proses yang diberikan
kepada pecandu agar terlepas dari ketergantungan akan narkoba sampai mereka dapat hidup
bebas tanpa narkoba. Terdapat banyak fasilitas terapi dan rehabilitasi penyalahgunaan narkoba di
147 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 1 ayat 16, rehabilitasi medis adalah
suatu proses kegiatan pengobatan terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Pasal 1 ayat 17, rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
sekitar kita. Akan tetapi, tidak ada satu program pun yang cocok untuk semua jenis pecandu,
sebab proses penyembuhan sangat bersifat individual. Berbagai macam program terapi dan
rehabilitasi yang tersedia adalah sebagai berikut:148
1. Rawat Inap
a. Rawat inap adalah perawatan inap di rumah sakit khusus (Rumah Sakit Ketergantungan
Obat), rumah Sakit Jiwa, atau di Rumah Sakit Umum. Terapi ini sering disebut terapi primer
(primary treatment).
b. Lama terapi bervariasi, dapat berlangsung hingga 4-6 minggu atau mungkin lebih tergantung
metode terapi yang digunakan, bahkan mungkin program rehabilitasinya hingga mencapai 2
tahun.
c. Pelayanan dilakukan oleh tim profesional multidisplin, terdiri atas: psikiater, dokter
umum, psikolog, pekerja sosial, perawat juga peer counselor (konselor sebaya).
2. Rawat jalan
a. Di rumah sakit (khusus dan umum) bagian rawat jalan, klinik maupun puskesmas. Biasanya
berlangsung 2-3 jam selama 10 minggu dengan frekuensi 3-4 kali seminggu.
b. Program rawat jalan memiliki lebih sedikit komponen program dibandingkan rawat inap.
c. Day program atau program terapi siang hari, klien tetap tinggal di rumahnya dan terapi
dilakukan pada siang hari sehingga tidak mengganggu aktivitas sekolah, perkuliahan maupun
bekerja.
148 http://www.bnn.go.id, diakses tanggal 17 Maret 2013.
Universitas Sumatera Utara
3. Panti Rehabilitasi
Ada beberapa jenis sarana rehabilitasi, yaitu: rehabilitasi sosial, rehabilitasi spiritual dan
rehabilitasi psikososial. Ada yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Beberapa
diantaranya menerapkan konsep theraupetic community (TC) adalah kumpulan komunitas
mantan pecandu dimana mereka satu sama lain saling membantu untuk pulih dan tetap berhenti
dari obat-obatan. Yang antara lain sebagai berikut:
a. Menggunakan tenaga peer counselor (mantan pemakai yang pulih, terpilih dan terlatih)
dengan 1-2 orang konselor professional.
b. Program dapat bersifat primer atau sekunder, program berlangsung 3 bulan hingga 2 tahun
dengan penekanan pada proses sosialisasi.
c. Beberapa TC mensyaratkan pecandu terpisah sama sekali dari dunia sekitarnya. Tetapi ada
juga yang tidak, terapi yang biasanya dilakukan bersifat konfrontatif.
d. TC hampir mirip seperti asrama, dimana terdapat jadwal harian tetap dan anggotanya
memelihara dan mengelola fasilitas tersebut.
4. Half way house (rumah pendampingan)
a. Sebagai sarana transisi dari proses terapi dan rehabilitasi ke lingkungan sosial, dimana mantan
pecandu tinggal bersama dibantu oleh pengawas yang berasal dari tenaga profesional,
biasanya terdiri dari 20 orang pecandu dan mereka bertanggung jawab memelihara tempat
tinggal seperti belanja, memasak, membersihkan rumah, dan lain-lain. Tujuannya agar timbul
rasa tanggung jawab pada mantan pecandu, disiplin dan mampu bersosialisasi dengan dunia
luar. Program ini belum banyak diterapkan di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
b. Jenis perawatan ini cocok bagi pecandu yang tidak memperoleh banyak kemajuan selama
terapi primer, bagi mereka yang tidak mendapatkan akses ke rumah sakit/pusat rehabilitasi
dan bagi mereka yang belum dapat dipulangkan ke lingkungan tempat tinggalnya.
Rehabilitasi bagi pecandu narkoba juga memiliki tahap-tahap. Adapun tahap-tahap yang
dimaksud adalah sebagai berikut:149
Untuk setiap tahap rehabilitasi diperlukan pengawasan dan evaluasi secara terus menerus
terhadap proses pemulihan seorang pecandu. Dalam hal penanganan pecandu narkoba di
Indonesia terdapat beberapa metode terapi dan rehabilitasi yang digunakan yaitu :
1. Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi), tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatannya
baik fisik dan mental oleh dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu
diberikan obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang ia derita. Pemberian
obat tergantung dari jenis narkoba dan berat ringanya gejala putus zat. Dalam hal ini dokter
butuh kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna memdeteksi gejala kecanduan narkoba
tersebut.
2. Tahap rehabilitasi nonmedis, tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi. Di Indonesia
sudah di bangun tempat-tempat rehabilitasi, sebagai contoh di bawah BNN adalah tempat
rehabilitasi di daerah Lido (Kampus Unitra), Baddoka (Makassar), dan Samarinda. Di tempat
rehabilitasi ini, pecandu menjalani berbagai program diantaranya program therapeutic
communities (TC), 12 steps (dua belas langkah, pendekatan keagamaan, dan lain-lain.
3. Tahap bina lanjut (after care), tahap ini pecandu diberikan kegiatan sesuai dengan minat dan
bakat untuk mengisi kegiatan sehari-hari, pecandu dapat kembali ke sekolah atau tempat kerja
namun tetap berada di bawah pengawasan.
150
149
http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2012/08/24/514/tahap-tahap-pemulihan-pecandu-narkoba, diakses tanggal 17 Maret 2013.
Universitas Sumatera Utara
1. Cold turkey; artinya seorang pecandu langsung menghentikan penggunaan narkoba/zat adiktif.
Metode ini merupakan metode tertua, dengan mengurung pecandu dalam masa putus obat
tanpa memberikan obat-obatan. Setelah gejala putus obat hilang, pecandu dikeluarkan dan
diikutsertakan dalam sesi konseling (rehabilitasi nonmedis). Metode ini banyak digunakan
oleh beberapa panti rehabilitasi dengan pendekatan keagamaan dalam fase detoksifikasinya.
2. Metode alternatif
3. Terapi substitusi opioda; hanya digunakan untuk pasien-pasien ketergantungan heroin
(opioda). Untuk pengguna opioda hard core addict (pengguna opioda yang telah bertahun-
tahun menggunakan opioda suntikan), pecandu biasanya mengalami kekambuhan kronis
sehingga perlu berulang kali menjalani terapi ketergantungan. Kebutuhan heroin (narkotika
ilegal) diganti (substitusi) dengan narkotika legal. Beberapa obat yang sering digunakan
adalah kodein, bufrenorphin, metadone, dan nalrekson. Obat-obatan ini digunakan sebagai
obat detoksifikasi, dan diberikan dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan pecandu,
kemudian secara bertahap dosisnya diturunkan. Keempat obat ini telah banyak beredar di
Indonesia dan perlu adanya kontrol penggunaan untuk menghindari adanya
penyimpangan/penyalahgunaan obat-obatan ini yang akan berdampak fatal.
4. Therapeutic community (TC); metode ini mulai digunakan pada akhir 1950 di Amerika
Serikat. Tujuan utamanya adalah menolong pecandu agar mampu kembali ke tengah
masyarakat dan dapat kembali menjalani kehidupan yang produktif. Program TC, merupakan
program yang disebut Drug Free Self Help Program. program ini mempunyai sembilan
elemen yaitu partisipasi aktif, feedback dari keanggotaan, role modeling, format kolektif
untuk perubahan pribadi, sharing norma dan nilai-nilai, struktur dan sistem, komunikasi
terbuka, hubungan kelompok dan penggunaan terminologi unik. Aktivitas dalam TC akan
150 Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
menolong peserta belajar mengenal dirinya melalui lima area pengembangan kepribadian,
yaitu manajemen perilaku, emosi/psikologis, intelektual dan spiritual, vocasional dan
pendidikan, keterampilan untuk bertahan bersih dari narkoba.
5. Metode 12 steps; di Amerika Serikat, jika seseorang kedapatan mabuk atau menyalahgunakan
narkoba, pengadilan akan memberikan hukuman untuk mengikuti program 12 langkah.
Pecandu yang mengikuti program ini dimotivasi untuk mengimplementasikan ke 12 langkah
ini dalam kehidupan sehari-hari.
Universitas Sumatera Utara
top related