bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah · 1.1 latar belakang masalah sejak lahir setiap anak...
Post on 21-Jul-2019
242 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti
pemerolehan bahasa (language acquisition device, LAD) (Chomsky, 1964).
Karena peranti itu, setiap anak mempunyai kemungkinan untuk mampu
menguasai bahasa apa saja. Dengan peranti itu, setiap anak mampu mengolah
masukan bahasa dari orang-orang yang ada di sekitarnya untuk kemudian
diproduksi kembali menjadi tuturan yang mempunyai struktur yang khas sebagai
bahasa anak.
Bahasa yang dikuasai anak terdiri atas empat aspek keterampilan
berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek
berbahasa tersebut dikuasai oleh anak secara bertahap sesuai dengan pola
perkembangan masing-masing anak. Namun, kadang-kadang ada anak yang tidak
menguasai semuanya, sebagaimana yang dialami oleh anak disleksia. Anak
disleksia adalah anak yang mengalami kesulitan dalam belajar membaca
meskipun memiliki tingkat kecerdasan rata-rata atau bahkan di atas rata-rata,
mendapatkan pendidikan yang cukup, dan tidak memiliki cacat sensori
(Shaywitz, 1998).
Kemampuan membaca sebenarnya berkaitan erat dengan kemampuan
berbahasa dan begitu juga kemampuan berbahasa berhubungan erat dengan
kecerdasan. Seorang anak yang mempunyai tingkat kecerdasan rata-rata pada
umumnya tidak ada kendala dalam belajar membaca. Namun pada kenyataannya,
2
2
anak disleksia mengalami kesulitan dalam belajar membaca. Tingkat kemampuan
membacanya jauh di bawah rata-rata anak normal seusianya.
Dari sudut pandang neurologis, anak disleksia merupakan anak yang
mengalami kasus gangguan otak pada bagian kortek primer pengolah bahasa.
Kasus ini bisa disebabkan oleh faktor genetis dan dapat pula disebabkan oleh
cedera/luka pada bagian otak yang mengontrol cara untuk membaca dan menulis
(Fisher dan Fries, 2002:10).
Kasus disleksia sebenarnya bersumber dari masalah kesehatan sehingga
banyak menjadi ajang kajian bagi para ahli di bidang kesehatan atau kedokteran.
Namun, kasus disleksia sebenarnya bukanlah semata-mata merupakan masalah
kesehatan. Oleh karena itu, penanganannya memerlukan kajian yang bersifat
interdisipliner. Setidaknya ada empat bidang keahlian yang berkaitan langsung
dengan masalah disleksia, yaitu bidang kedokteran atau kesehatan, bidang
psikologi, bidang linguistik, dan bidang pendidikan.
Di bidang kedokteran atau kesehatan telah banyak dilakukan kajian
terutama untuk mencari sebab-sebab terjadinya kasus disleksia beserta cara
pengobatannya. Akan tetapi, hingga sekarang bidang kesehatan masih belum
dapat memberikan gambaran secara jelas sehingga kasus ini masih dianggap
sebagai wilayah abu-abu. Di bidang psikologi juga telah banyak dilakukan kajian
untuk menangani dampak psikologis terhadap diri penyandang disleksia. Hasil
pengamatan psikologi terhadap anak disleksia umumnya memberikan gambaran
sebagai pribadi yang pendiam, kurang percaya diri, dan emosional. Di bidang
pendidikan, khususnya di Indonesia, sudah mulai ada upaya-upaya secara praksis
3
3
dalam bentuk terapi dan teknik pembelajaran untuk membantu para penyandang
disleksia. Akan tetapi, upaya-upaya tersebut belum mendapatkan hasil secara
maksimal karena minimnya rujukan dari hasil kajian secara ilmiah yang dapat
dijadikan sebagai landasan dalam melakukan tindakan. Terkait dengan
permasalahan utama anak disleksia, yaitu mengalami kesulitan dalam belajar
membaca, dipandang sangat penting dilakukannya kajian terhadap karakteristik
bahasa anak disleksia beserta struktur sintaksisnya.
Disleksia merupakan gangguan keterampilan membaca dan menulis yang
berasal dari faktor neurologis (Morkena, 2017). Hal ini ditandai dengan kesulitan
dalam ketepatan dan kelancaran untuk mengenali kata-kata tertulis, serta
menguraikan dan mengeja kata-kata tersebut (The Dyslexia Association
International, 2002). Walaupun memiliki kecerdasan, pendidikan yang cukup, dan
latar belakang sosial ekonomi yang memadai untuk belajar membaca, anak
disleksia masih mengalami kesulitan terkait masalah ketepatan dan kelancaran
(APA, 2014; Shaywitz, Morris, dan Shaywitz, 2008; Snowling dan Hulme, 2012).
Hasil penelitian tentang persentase anak-anak disleksia menunjukkan
angka yang beragam. Morris, Shaywitz dan Shaywitz (2008) menunjukkan bahwa
17,5% anak telah mengalami keterlambatan dalam ketepatan membaca. Namun,
penelitian lain yang dilakukan Iglesias menyebutkan bahwa hasil tersebut
menurun sekitar 5%, terutama pada laki-laki (2000). Sementara itu, Renggiani
(2012) menyebutkan disleksia terjadi pada 10—14% dari jumlah populasi anak.
Dengan demikian, tepat kiranya simpulan penelitian Yilmas yang menyatakan
4
4
bahwa masih banyak siswa di tingkat sekolah dasar yang mengalami kesulitan
membaca atau disleksia (2008).
Somad (2002:40) juga menyatakan bahwa anak disleksia banyak dijumpai
di sekolah reguler (SD), terutama di kelas 1, 2, dan 3. Meskipun demikian, berapa
jumlah yang sebenarnya belum dapat dipastikan. Jumlah mereka diperkirakan
antara 2% hingga 10% dari populasi. Mereka bisa diterima di sekolah reguler
karena kelainan yang mereka miliki tidak kasat mata sehingga keberadaan mereka
sering tidak disadari oleh lingkungannya, terutama oleh guru. Keberadaan anak
disleksia di kelas sering dianggap sebagai siswa yang berprestasi rendah
(underachievers) (Delphie, 2006:24).
Sebagian guru beranggapan anak disleksia sebagai anak yang mengalami
keterlambatan belajar, berprestasi rendah, pemalas, kurang konsentrasi, atau
nakal. Anggapan itu muncul karena guru kurang memahami karakteristik dan
penanganan anak disleksia sehingga upaya yang dilakukan oleh guru belum
sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan anak. Anak deisleksia
memerlukan program pembelajaran yang berbeda dengan memperhatikan
kemampuan dan kelemahan mereka (Delphie, 2006:1). Anggapan guru atau
tindakan guru yang kurang tepat justru akan dapat menambah parah kesulitan
belajar membaca yang dialami oleh anak disleksia. Oleh sebab itu, guru dituntut
mampu menyusun program pembelajaran yang sesuai dengan tingkat
perkembangan bahasa dan pola pikir anak-anak disleksia.
Salah satu penyebab masalah tersebut adalah kurang tersedianya referensi
atau rujukan tentang karakteristik bahasa anak disleksia. Memang, penelitian
5
5
terhadap bahasa anak (lebih-lebih terhadap bahasa anak disleksia) kurang
mendapatkan perhatian bila dibandingkan dengan bahasa orang dewasa. Hal itu
lebih banyak disebabkan oleh kendala-kendala metodologisnya daripada
kontribusinya. Menurut Allen dan Buren (1971:128), ada kesulitan dan
dibutuhkan kesabaran yang lebih dalam menguji bahasa anak karena anak
merupakan subjek yang sangat sulit untuk diuji (dites).
Anak disleksia dipandang sebagai anak yang mengalami gangguan
biologis (neurogenetis) yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan belajar
membaca dan mengeja meskipun sudah mendapatkan pendidikan yang cukup dan
mempunyai kecerdasan yang memadai (Snowling dalam Mercer, 1989:51). Lebih
jauh lagi, kesulitan yang dialami oleh anak disleksia tidak hanya dalam hal
membaca, tetapi juga dalam hal mengeja, menulis, memproduksi ujaran, dan
memahami/menginterpretasikan ujaran. Mereka mengalami kesulitan dalam
mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengalami keterlambatan
dalam perkembangan bahasa, dan hampir selalu bermasalah dalam mempelajari
sistem representasional yang berkenaan dengan waktu, arah, dan masa (Byrne,
1981:14). Mereka mengalami kesulitan mulai dari bidang fonologi, morfologi,
hingga sintaksis (Reggiani, 2012:10).
Berikut adalah beberapa contoh data yang diperoleh dari survei awal dari
Y sebagai subjek penelitian ini di usia 10 tahun.
(1) M : Ga, cepat pakai baju seragammu! Nanti terlambat.
(2) Y : Ya, Ma. Baju apa?
(3) M : Sekarang hari apa?
(4) Y : Hari…?!?! Selasa… eh… nggak tahu!
6
6
(5) M : Lho, bagaimana kamu ini! Sekarang kan hari Kamis.
Kalau Kamis, pakai seragam baju apa?
------------------
(6) L : Hayo, setelah lampu stopan di pertigaan itu kita belok ke
mana hayo..?
(7) Y : Kanan! (ternyata mobil belok ke kiri).
(8) L : Salah- salah…, salah-salah…! (sambil bernyanyi-nyanyi).
(9) Y : Lho…, betul kan Pa.., belok kanan?
(10) P : Ke kiri, Ga. Kita baru saja belok ke kiri.
------------------
(11) Y : Pa, dulu kita ke sini ya?
(12) P : Bukan dulu Ga, tapi kemarin.
(13) L : Iya ini, mesti keliru! Kemarin dibilang dulu, tadi
juga dibilang dulu. Capek deh…!
Berdasarkan percakapan di atas, tampak jelas subjek Y belum menguasai
konsep waktu (hari). Dia hapal dalam menyebutkan nama-nama hari dalam satu
minggu, tetapi tidak bisa menyebutkan sekarang hari apa (data 4). Konsep arah
juga belum dikuasai: dia bisa menunjukkan arah ke depan atau ke belakang, ke
atas atau ke bawah, tetapi tidak bisa menunjukkan arah ke kiri atau ke kanan
(data 7), ke barat atau ke timur, ke utara atau ke selatan. Terkait dengan masa, dia
bisa menyebutkan dengan benar untuk konsep besok, tetapi untuk konsep tadi,
kemarin, dan dulu, dia selalu menggunakan dulu (data 11).
Dalam kaitannya dengan masalah pemahaman atau penginterpretasian
ujaran, banyak hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa anak disleksia sering
mengalami kegagalan dalam memahami dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang disampaikan kepada dirinya. Dalam tes pemahaman terhadap klausa relatif,
7
7
misalnya, mereka juga membuat lebih banyak kesalahan dalam menafsirkan
klausa bila dibandingkan dengan anak-anak normal seusia mereka (Sheldon,
1974, Hamburger dan Crain, 1982, Stein dkk., 1984, Smith dkk., 1989, dalam
Reggiani, 2012:15--16). Kenyataan ini sekaligus juga menunjukkan bahwa
perkembangan linguistik anak-anak disleksia “tidak semaju anak-anak normal
seusia mereka”. Dari sudut pandang pemerolehan bahasa, mereka mengalami
keterlambatan dalam pemerolehan kaidah-kaidah sintaksis sehingga penguasaan
keterampilan sintaksis mereka terlambat. Hal itu disebabkan perkembangan
kapasitas kerja memori dalam minda mereka tumbuh lambat secara bertahap
(Gathercole et al., 2004).
Satu hal penting yang perlu disampaikan di sini adalah bahwa jika
intervensi sejak dini, yaitu sejak usia kritis (4—12 tahun), diberikan dalam bentuk
terapi atau program pembelajaran secara linguistis yang benar dan memadai,
maka gangguan perkembangan bahasa pada anak disleksia tersebut mungkin akan
kecil dampaknya. Untuk itu, diperlukan penelitian yang komprehensif terhadap
karakteristik bahasa (tuturan) anak disleksia agar hasilnya dapat dijadikan sebagai
landasan bagi pemberian terapi atau program pembelajaran terhadap anak
disleksia. Karena sejauh ini belum ada penelitian yang membahas masalah
karakteristik bahasa anak disleksia beserta struktur sintaksisnya, penelitian ini
menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Bila dilihat dari karakteristiknya, bahasa anak disleksia memiliki
fleksibilitas pola urutan kata/konstituen yang sangat longgar, baik dalam tataran
frasa maupun klausa, seperti yang tampak dalam data (15) dan (19) di bawah.
8
8
Variasi pola urutan kata dalam tuturan anak disleksia sangat menarik untuk dikaji
karena hal itu mungkin dilatarbelakangi oleh belum dikuasainya kaidah-kaidah
sintaksis yang seharusnya sudah mereka kuasai atau memang mereka mempunyai
alasan tertentu dalam menggunakan pola urutan kata yang berbeda. Para peneliti
telah membuktikan adanya keterkaitan pola urutan kata dengan faktor pragmatik,
khususnya struktur informasi (lihat Lambrecht, 1996, Rodionova, 2001:1--5).
Dalam hal ini, topik dan fokus sebagai dua entitas informasi primer yang ada
dalam sebuah proposisi dianggap mempunyai peran yang sangat penting dalam
menentukan pola urutan kata dalam klausa/kalimat.
Berikut disajikan beberapa contoh data tentang pola urutan kata dari
subjek penelitian ini.
(14) M : Ga, kamu tahu dari mana kalau hotel ini ada kolam
renangnya?
(15) Y : Ditahui itu Pak Satpam.
(16) M : Kamu nanti renang dengan siapa?
(17) Y : Lion
(18) M : Mama tidak membawakan baju renang, lho.
(19) Y : Pakai ini saya (sambil memegang celananya).
Dari data (15) terlihat bahwa pola urut kata dalam frasa determiner berpola
Det + FN (itu Pak Satpam). Pola ini berbeda dengan pola kanonis urutan kata
dalam frasa determiner bI yang berpola FN + Det (Pak Satpam itu). Data (15) ini
juga menunjukkan bahwa subjek Y belum menguasai kaidah pembubuhan afiks
pada kata gabung (kata majemuk). Hal itu tampak dari penggunaan bentuk
penyederhanaan kata ditahui daripada bentukan yang seharusnya diberi tahu. Dari
9
9
data (19) juga terlihat bahwa pola urutan kata/konstituen dalam klausa tersebut
berpola PRED + SUBJ (Pakai ini saya). Hal ini berbeda dengan pola kanonis
urutan kata/konstituen kalimat bahasa Indonesia yang berpola SUBJ + PRED
(Saya pakai ini).
Karakteristik lain yang cukup menonjol dalam bahasa anak disleksia
adalah klausa yang dihasilkannya sederhana, pendek-pendek, dan banyak
penghilangan/pelesapan sehingga diperlukan sejumlah informasi tambahan yang
bersifat situasional untuk dapat menangkap makna ujaran bahasa anak tersebut.
Menurut pandangan peneliti, fenomena bahasa dengan karakteristik seperti ini
dapat dijelaskan secara komprehensif melalui analisis struktur paralel berdasarkan
teori Tata Bahasa Leksikal Fungsional (TLF). Kata-kata yang tidak muncul dalam
str-k, seperti data (17), misalnya, akan tetap dapat dipetakan melalui str-f dan str-a
sehingga pemahaman/interpretasi terhadap klausa/kalimat tersebut tetap dapat
ditangkap dengan jelas. Oleh karena itu, teori TLF perlu diimplementasikan dalam
mengkaji permasalahan ini.
Penelitian ini mengkaji masalah struktur sintaksis dalam tuturan anak
disleksia. Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian terhadap struktur sintaksis
dalam tuturan bI anak disleksia dengan menggunakan teori generatif belum
pernah dilakukan. Dengan demikian, jika dilihat dari implementasi teori, yakni
teori TLF sebagai salah satu teori generatif, penelitian ini dapat dikatakan
merupakan penelitian awal.
Penelitian yang dilakukan ini lebih berfokus pada aspek struktur sintaksis
klausa/kalimat dalam tuturan AD, baik terhadap karakteristik, variasi pola/unit
10
10
sintaksis, maupun struktur sintaksis klausa/kalimat yang meliputi struktur
konstituen (str-k), struktur fungsional (str-f), struktur semantis (str-s), dan struktur
argumen (str-a). Keempat struktur tersebut merupakan struktur paralel yang
terintegrasi dalam TLF (lihat Bresnan dan Kaplan, 1985; Bresnan, 2001;
Dalrymple, 2001; Arka, 1998, 2003). Dalam penelitian ini keempat struktur
tersebut dibahas. Akan tetapi, analisis dan pembahasannya lebih berfokus pada
dua struktur utama, yaitu str-k dan str-f.
Kajian ini didasarkan pada teori TLF sebagai teori pokok dan didukung
dengan teori linguistik umum. Penerapan teori ini diharapkan dapat memberikan
penjelasan yang komprehensif terhadap karakteristik bahasa anak disleksia,
variasi unit sintaksis, serta struktur sintaksis yang meliputi Str-k, Str-f, Str-s, dan
Str-a dalam tuturan anak disleksia.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan fenomena yang dikemukakan dalam latar belakang di atas,
permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan ke dalam beberapa bentuk
kalimat tanya seperti berikut.
1) Bagaimanakah karakteristik bahasa Indonesia dalam tuturan anak disleksia?
2) Bagaimanakah variasi unit sintaksis bahasa Indonesia dalam tuturan anak
disleksia?
3) Bagaimanakah struktur sintaksis bahasa Indonesia yang meliputi Str-k, Str-f,
Str-s. dan Str-a dalam tuturan anak disleksia?
11
11
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan:
1) memerikan dan menjelaskan karakteristik bahasa Indonesia dalam tuturan
anak disleksia;
2) memerikan dan menjelaskan variasi unit sintaksis bahasa Indonesia yang
muncul dalam tuturan anak disleksia;
3) memerikan dan menjelaskan struktur sintaksis bahasa Indonesia yang meliputi
str-k, str-f, str-s, dan str-a dalam tuturan anak disleksia.
1.4 Manfaat Penelitian
Sejalan dengan paparan sebelumnya, penelitian ini merupakan penelitian
di bidang sintaksis bahasa anak dengan fokus utama kajiannya pada struktur
sintaksis klausa/kalimat dalam tuturan anak disleksia. Penelitian ini secara
fungsional menyingkap fenomena karakteristik bahasa dan struktur sintaksis bI
yang dituturkan oleh anak penyandang disleksia. Terkait dengan hasil analisisnya,
penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik secara akademis (teoretis)
maupun secara praktis.
1.4.1 Manfaat Akademis
Sebagaimana yang telah dijelaskan di bagian latar belakang bahwa kajian
terhadap karakteristik dan struktur sintaksis bI anak belum banyak dilakukan.
Kalaupun ada, masih terbatas pada bI anak yang normal (bukan penyandang
disleksia) dan analisisnya pun masih menggunakan teori linguistik lama
12
12
(tradisional) dan struktural sehingga hasil yang diperoleh masih bersifat kepadaan
deskriptif (descriptive adequacy) dan belum sampai pada taraf kepadaan
penjelasan (explanative adequacy). Dengan menggunakan teori secara eklektis,
yakni teori linguistik umum dan TLF, secara akademis penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan yang berarti dan komprehensif dalam menguak
fenomena kompetensi linguistik anak penyandang disleksia. Selain itu, hasil
penelitian ini akan dapat menambah khazanah kepustakaan karakteristik dan
struktur sintaksis bahasa Indonesia anak (khususnya anak penyandang disleksia)
yang sampai saat ini dapat dikatakan masih langka.
1.4.2 Manfaat Praktis
Selain secara akademis sebagaimana disajikan pada bagian 1.4.1 di atas,
penelitian yang dilakukan ini diharapkan juga memberikan manfaat secara praktis.
Secara praktis, temuan terhadap karakteristik, variasi pola/unit sintaksis, dan
struktur sintaksis klausa/kalimat yang meliputi str-k, str-f, str-s, dan str-a dalam
tuturan anak disleksia dapat digunakan sebagai 1) substansi dasar bagi
pengembangan desain isi kurikulum pengajaran bI pada jenjang pendidikan anak
usia dini/usia kritis, khususnya bagi anak-anak disleksia, 2) masukan bagi usaha
penulisan buku ajar dan media ajar untuk jenjang pendidikan anak usia dini/usia
kritis, khususnya bagi anak-anak disleksia, dan 3) masukan bagi para guru atau
terapis pada jenjang pendidikan usia dini/ usia kritis, khususnya bagi anak-anak
disleksia, dalam hal memilih aspek-aspek bahasa sebagai alat komunikasi dalam
13
13
proses belajar-mengajar atau terapi agar bahasa yang digunakan oleh para guru
atau terapis sesuai dengan taraf perkembangan bahasa dan daya pikir anak.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mempunyai ruang lingkup masalah yang cukup luas, baik
yang berkaitan dengan disleksia itu sendiri maupun yang berkaitan dengan
fenomena tuturan (bahasa) anak disleksia. Banyak masalah yang dapat diteliti
terkait dengan disleksia, misalnya penyebab disleksia (cedera otak karena trauma
fisik atau kekurangan oksigen, faktor genetis, biokimia yang hilang, biokimia
yang merusak otak, dan sebagainya) dan penanganannya (pengobatan, terapi
perilaku, terapi wicara/bahasa, dan sebagainya). Masalah-masalah yang dapat
diteliti terkait dengan fenomena tuturan (bahasa) anak disleksia, misalnya
karakteristik tuturan (bahasa)-nya (defisit bunyi dalam tuturan anak disleksia,
penggunaan afiks dalam tuturan anak disleksia, pola urutan kata dalam tuturan
anak disleksia, struktur sintaksis dalam tuturan anak disleksia, dan sebagainya),
dan pembelajarannya (penerapan metode SAS dalam pembelajaran membaca dan
menulis pada anak disleksia, penggunaan media TIK dalam pembelajaran
membaca pada anak disleksia, dan sebagainya).
Ruang lingkup masalah penelitian yang demikian luas itu tentu saja tidak
mungkin dapat dijangkau dalam jangka waktu dan dengan kemampuan peneliti
yang terbatas. Oleh karena itu, peneliti membatasi penelitian ini pada aspek
karakteristik dan struktur sintaksis dalam tuturan anak disleksia. Kajian dengan
teori TLF yang didukung dengan teori linguistik umum ini difokuskan pada: (1)
14
14
karakteristik bahasa Indonesia (tuturan) anak disleksia; (2) variasi unit sintaksis
yang muncul dalam tuturan anak disleksia; dan (3) struktur sintaksis yang
meliputi Str-k, Str-f, Str-s, dan Str-a dalam tuturan anak disleksia. Penggunaan
teori TLF yang didukung dengan teori linguistik umum di sini dimaksudkan
sebagai landasan dalam mendeskripsikan dan menjelaskan berbagai fenomena
karakteristik dan struktur sintaksis bahasa Indonesia yang ditemukan dalam
tuturan anak disleksia.
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
Pada bab ini disajikan kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan model
penelitian. Pada kajian pustaka diperlihatkan beberapa hasil penelitian yang
relevan yang pernah dilakukan sebelumnya. Yang dimaksudkan dengan beberapa
penelitian yang relevan di sini adalah penelitian tentang disleksia dan penelitian-
penelitian (lintas bahasa) yang menerapkan teori Tata Bahasa Leksikal-Fungsional
(TLF) dan dapat memberikan kontribusi terhadap penelitian ini. Pada bagian
konsep ini diberikan batasan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini
yang merupakan abstraksi dan sintesis dari teori yang diterapkan yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti. Batasan istilah ini diberikan agar tercapai
pemahaman yang sama. Pada bagian landasan teori disampaikan penjelasan
mengenai teori yang diterapkan agar dapat dijadikan sebagai kerangka acuan
pemecahan masalah, yaitu teori TLF. Pada bagian model penelitian disampaikan
visualisasi bagan abstraksi alur pikir pelaksanaan penelitian.
2.1 Kajian Pustaka
Pada bagian kajian pustaka ini disampaikan beberapa hasil penelitian yang
pernah dilakukan yang relevan dengan penelitian ini. Relevansinya didasarkan
pada kesamaan objek penelitian, metode, dan teori yang diterapkan.
16
2.1.1 Kajian Terdahulu terhadap Tuturan Anak Disleksia
Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan subjek anak
disleksia. Penelitian-penelitian tersebut ada yang terkait dengan pemberian terapi
atau pembelajaran yang ditujukan untuk membantu anak-anak disleksia yang
mengalami kesulitan dalam belajar membaca, tetapi juga ada yang terkait dengan
kemampuan menginterpretasikan suatu kalimat pada anak-anak disleksia. Berikut
dipaparkan secara singkat penelitian-penelitian yang dimaksud.
Pertama, penelitian yang berjudul ―Remidial Membaca dengan Metode
Fernald bagi Anak Disleksia‖ oleh Imandala (2009). Penelitian terhadap siswa SD
yang menyandang disleksia ini menemukan bahwa siswa mengalami kesulitan
membedakan huruf vokal <a, i, u, e, o>; siswa mengalami kesulitan dalam
membedakan konsonan-konsonan yang mirip, misalnya kata <tedi> dibacanya
[tebi], kata <nenas> dibacanya [memas], dan kata <roti> dibacanya [toti]; serta
siswa menghilangkan morfem tertentu, misalnya, <ibu membeli roti> dibacanya
menjadi [ibu beli roti]. Lebih lanjut, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa
fenomena itu terjaditidak disebabkan oleh adanya keterbelakangan mental,
gangguan emosional, tunarungu, tunanetra, hambatan lingkungan, budaya, atau
ekonomi. Penelitian yang dilakukan oleh Imandala (2009) itu menggunakan dua
metode untuk mengatasi kesulitan membaca siswa disleksia tersebut, yakni
metode taktil-kinestetik dan metode visual-auditif-kinestetik-taktil.
Meskipun penelitian yang dilakukan oleh Imandala (2009) tersebut tidak
membicarakan masalah klausa/kalimat yang dihasilkan oleh anak-anak
penyandang disleksia, penelitian tersebut tetap memberikan kontribusi dalam
17
penelitian yang dilakukan ini. Kontribusi tersebut berupa (1) gambaran awal
tentang tuturan anak disleksia yang menggunakan bahasa Indonesia, dan (2)
sebagai penguat penelitian yang dilakukan mengingat bahwa penelitian terhadap
aspek sintaksis bahasa Indonesia bagi anak-anak penyandang disleksia belum
pernah dilakukan.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Ekwall & Shanker 1988 (dalam
Shodiq, 1996:6). Penelitian ini mengungkapkan bahwa ada beberapa simtom yang
berkaitan dengan kasus kesulitan belajar membaca berat (disleksia), yakni (1)
pembalikan huruf dan kata; misalnya, membalikkan huruf b dengan d atau p,
huruf u dengan n, kata kuda dengan daku, palu dengan lupa, tali dengan ilat, dan
satu dengan utas; (2) pengingatan pada kata mengalami kesulitan atau tidak
menentu (eratik); (3) membaca ulang oral (secara lisan) tidak bertambah baik
setelah diberi bimbingan; (4) membaca tanpa suara (dalam hati); (5)
ketidaksanggupan menyimpan informasi dalam memori sampai jangka waktu
diperlukan; (6) kesulitan dalam berkonsentrasi; (7) koordinasi motorik tangan-
mata lemah; (8) kesulitan pada pengurutan; (9) ketidaksanggupan bekerja secara
tepat; (10) penghilangan kata-kata atau frasa; (11) kekacauan berkaitan dengan
membaca secara lisan (oral), misalnya, tidak mampu membedakan antara d dan p;
(12) diskriminasi auditori lemah; (13) miskin dalam sintaksis (ilmu tata bahasa),
gagap, dan bicara terputus-putus; (14) prestasi belajar dalam berhitung lebih
tinggi dibandingkan dengan prestasi dalam membaca/mengeja; dan (15)
hiperaktivitas.
18
Penelitian yang dilakukan oleh Ekwall & Shanker (1988) cukup
komprehensif karena mencakup banyak aspek kebahasaan yang dialami oleh anak
disleksia. Akan tetapi, pada aspek sintaksis, penelitian tersebut baru menyinggung
sedikit persoalan, yakni masalah penghilangan kata-kata dan frasa yang dilakukan
oleh anak-anak penyandang disleksia. Dengan demikian, penelitian ini tetap
memberikan kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan ini, terutama sebagai
informasi awal tentang tuturan anak disleksia.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Wiki (2007). Penelitian ini
mengungkapkan bahwa kemampuan membaca erat kaitannya dengan kemampuan
berbahasa. Sementara itu, kemampuan berbahasa berhubungan erat dengan
intelegensi/kecerdasan. Anak disleksia memiliki kecerdasan rata-rata, bahkan ada
yang di atas rata-rata sehingga mereka itu cukup cerdas dan cukup lancar dalam
berbicara. Artinya, mereka ini seharusnya tidak memiliki kesulitan ketika belajar
membaca, tetapi kenyataannya meskipun mereka cerdas dan bicaranya cukup
lancar, mereka mengalami kesulitan belajar membaca. Tingkat kemampuan
membaca, menulis ekspresif, dan mengeja bagi anak-anak penyandang disleksia
berada di bawah rata-rata teman seusianya.
Wiki (2007) juga menegaskan bahwa pada saat membaca mereka
menunjukkan adanya tanda-tanda kesulitan membaca. Hal itu terlihat dari (1)
membaca lamban, turun naik intonasinya, dan kata-demi-kata; (2) sering menukar
huruf-huruf dan kata-kata yang mirip; (3) pengubahan huruf pada kata, misalnya,
baju menjadi baja dan batu menjadi bata; (4) kacau terhadap kata-kata yang
hanya sedikit berbeda susunannya, misalnya, bau, buah, batu, buta; (5) sering
19
menebak dan mengulangi kata-kata dan frasa; (6) menghilangkan sebagian huruf
(omission); (7) menambah huruf (addition); (8) terbalik huruf (reversal); (9) tidak
menguasai penggunaan tanda baca, misalnya, penggunaan tanda titik (.), tanda
koma (,), tanda tanya (?), tanda seru (!); dan (10) kesulitan dalam memahami isi
bacaan. Penelitian yang dilakukan oleh Wiki (2007) ini memberikan kontribusi
terhadap penelitian yang dilakukan, terutama terkait dengan pemahaman awal
tentang kemampuan anak-anak disleksia.
Keempat, penelitian yang berjudul ―Deficient Syntactic Control in Poor
Readers: Is Aweak Phoneticmemory Code Responsible‖ oleh Byrne (1981).
Penelitian ini menguji kemampuan menginterpretasikan makna berdasarkan
struktur kalimat yang menggunakan adjektiva sebagai inti predikat, klausa relatif,
dan pola urutan kata. Simpulan penelitian ini adalah bahwa anak-anak disleksia
menunjukkan level linguistik yang kurang matang bila dibandingkan dengan
anak-anak normal atau anak-anak disleksia menunjukkan keterlambatan
menguasai struktur sintaksis bila dibandingkan dengan anak-anak normal
seusianya.
Penelitian yang dilakukan oleh Byrne (1981) itu cukup menarik dan
memberikan kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan. Antara penelitian
Byrne dan penelitian yang dilakukan ini memiliki kemiripan. Kemiripan tersebut
terletak pada bidang kajian (sintaksis). Selain itu, penelitian tersebut memberikan
inspirasi terhadap penelitian yang dilakukan ini, yakni pemicu untuk dilakukan
penelitian yang tidak hanya mengkaji pemakaian adjektiva, tetapi juga pemakaian
kata-kata yang lain sebagai inti predikat.
20
Kelima, penelitian yang berjudul ―Grammatical Knowledge of Third
Grade Good and Poor Readers‖ oleh Waltzman dan Cairns (2000). Penelitian ini
menguji kemampuan menginterpretasikan ekspresi pronomina berdasarkan
prinsip-prinsip gramatikal terhadap 63 anak usia 9 tahun dengan rincian 41 anak
normal dan 22 anak disleksia. Teknik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
meminta anak mencocokkan 28 kalimat yang diujarkan dengan gambar yang
sesuai yang telah disediakan. Teori yang digunakan adalah teori ikatan dan teori
kontrol. Hasil penelitian ini adalah anak-anak disleksia membuat lebih banyak
kesalahan bila dibandingkan dengan anak-anak normal seusia mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh Waltzman dan Cairns tersebut memberikan
kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan ini. Ada tiga kontribusi penelitian
tersebut, yakni (1) sebagai informasi awal, (2) sama-sama mengkaji bidang
sintaksis, tetapi teori yang digunakan berbeda, dan (3) metode penelitian tersebut
memperkaya penelitian yang dilakukan ini.
Keenam, penelitian yang berjudul ―Language Deficits in Dyslexic
Children: Speech Perception, Phonology, and Morphology” oleh Joanisse dan
Manis (2000). Penelitian ini menunjukkan bahwa penderita disleksia memiliki
kemampuan untuk memersepsi tuturan. Penelitian ini juga menyajikan bahwa ada
perbedaan yang besar antara tipe-tipe fonologis dan nonfonologis penderita
disleksia. Pada subtipe fonologis ditemukan bahwa pola standar membaca bagi
penderita disleksia lemah, yang berbeda dengan anak-anak normal seusianya. Hal
ini terkait pula dengan aspek morfologi, yakni adanya kelambatan dalam
menghubungkan kata-kata. Penelitian yang dilakukan oleh Joanisse dan Manis
21
(2000) itu, meskipun tidak membahas aspek sintaksis, tetap memberikan
kontribusi dalam penelitian ini, terutama terkait dengan pemahaman terhadap
bahasa penderita disleksia.
Ketujuh, penelitian yang berjudul ―A Psycholinguistic Study on Language
Disorder of a Dyslexic Character in the Movie “Like Stars on Earth‖ oleh Aini
(2010). Penelitian ini merupakan penelitian kasus, yakni menjadikan Ishaan
sebagai objek penelitian. Karakter disleksia Ishaan memperlihatkan bahwa ia
memiliki tiga kesulitan belajar. Ishaan tidak dapat menggunakan lima elemen
persepsi visual dan auditoris secata sempurna. Dalam kegiatan membaca, Ishaan
menggunakan empat elemen, yakni relasi spasial, diskriminasi visual, rekognisi
objek, dan kesadaran fonologis. Selanjutnya, dalam menulis, Ishaan menggunakan
satu elemen persepsi visual (diskriminasi visual) dan tidak satu pun menggunakan
persepsi auditoris. Dari segi aritmemik (menghitung), Ishaan tidak satu pun
menggunakan persepsi auditoris. Berdasarkan kondisi Ishaan tersebut, orang
tuanya (Nikum) menerapkan metode Gilingham dan Stillman, serta beberapa
varian pembelajaran untuk mengatasi kesulitan belajar Ishaan. Akhirnya, Ishaan
dapat membaca, menulis, dan berhitung seperti anak normal yang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Aini tersebut memiliki relevansi dengan
penelitian ini. Relevansi tersebut berupa: (1) gambaran umum tentang kasus
penderita disleksia, (2) penderita disleksia dapat dibantu dengan menggunakan
metode-metode tertentu dan menerapkan berbagai variasi pembelajaran, serta (3)
pada kajian sintaksis apakah kalimat yang diproduksi oleh anak penderita
disleksia sama dengan anak yang lain. Hal ini perlu untuk dibuktikan.
22
Kedelapan, penelitian yang berjudul ―Meaning and Dyslexia: A Study on
Pronouns, Aspect, and Quantification‖ oleh Fiorin (2010). Penelitian ini juga
menguji kemampuan menginterpretasikan kalimat-kalimat yang taksa/ambigu
pada anak-anak disleksia yang berusia 9—19 tahun. Temuan penelitian ini
menunjukkan bahwa 50% kalimat yang diujikan diinterpretasikan salah oleh
anak-anak disleksia.
Penelitian yang dilakukan oleh Fiorin (2010) tersebut memberikan
kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan, yakni (1) memiliki kesamaan
bidang kajian (sama-sama sintaksis), meskipun penelitian Fiorin terletak pada
aspek pemahaman (reseptif), sedangkan penelitian yang dilakukan ini terletak
pada aspek produktif, dan (2) memberikan kontribusi terhadap pemahaman akan
bahasa anak disleksia—terkait dengan kaidah-kaidah yang dikuasai oleh anak;
sebab, baik reseptif maupun produktif, terkait pada kaidah-kaidah gramatika,
termasuk di dalamnya gramatika-sintaksis.
Kesembilan, penelitian yang berjudul ―Dyslexia and the Acquisition of
Syntax Passive and Control‖ oleh Reggiani (2012). Penelitian ini memperlihatkan
bahwa anak-anak penderita disleksia (usia 5—9 tahun) gagal dalam pemahaman
pasif nonaksi. Selain itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk
kesalahan sintaksis yang dilakukan oleh anak-anak penderita disleksia pada usia
tersebut memiliki kesamaan. Selanjutnya, penelitian ini menyimpulkan bahwa
pemerolehan pasif dan kontrol (sintaksis) dilakukan melalui integrasi sintaktis dan
informasi leksikal.
23
Penelitian yang dilakukan oleh Reggiani (2012) tersebut memberikan
kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan ini, terutama terkait dengan
informasi awal tentang penguasaan kaidah-kaidah sintaksis yang dimiliki oleh
anak-anak disleksia yang tercermin dari kemampuan mereka dalam memahami
tuturan (kalimat).
Kesepuluh, penelitian yang berjudul ―Elementary Teacher Candidates'
Level Of Knowledge On Dyslexia (Case Of Pamukkale University)‖ oleh Yurdakal
dan Kirmizi (2015). Studi ini bertujuan mengidentifikasi dan mengevaluasi
tingkat calon guru SD untuk pengetahuan, pandangan, dan opininya tentang anak
disleksia. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa pengetahuan calon guru
tentang anak disleksia sebagian besar benar dan di beberapa titik salah. Selain itu,
calon guru mengetahui masalah akademik, sosial, dan perilaku pada anak
disleksia, tetapi mereka tidak bisa menghasilkan solusi praktis untuk masalah ini.
Mereka tidak mengambil kursus yang berhubungan dengan disleksia dan tidak
menghadiri seminar. Meskipun para guru merasa memiliki pengetahuan yang
cukup dalam mengatasi kesulitan membaca dan kebanyakan dari mereka juga
merasa tidak membutuhkan pelatihan-layanan, hasil praktik mengajar dan
evaluasinya menunjukkan bahwa para guru perlu mengambil pelatihan in-service.
Penelitian yang dilakukan oleh Yurdakal dan Kirmizi (2015) tersebut
memberikan kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan ini, terutama terkait
dengan informasi awal tentang persepsi dan sudut pandang guru terkait anak
disleksia.
24
Kesebelas, penelitian yang berjudul ―Pengaruh Permainan Scrabble
terhadap Peningkatan Kemampuan Membaca Anak Disleksia‖ oleh Saadah dan
Hidayah (2013). Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh permainan
scrabble terhadap peningkatan kemampuan membaca anak disleksia. Metode
penelitian yang digunakan adalah single-case experimental design dengan pola
desain A-B-A dan data dianalisis dengan metode visual Conservative Dual-
Criterion. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan
membaca lebih efektif pada subjek yang mendapatkan permainan scrabble.
Penelitian yang dilakukan oleh Saadah dan Hidayah (2013) tersebut
memiliki relevansi dengan penelitian ini. Kajian yang mereka lakukan
memberikan gambaran awal tentang pentingnya metode dan media (scrabble)
yang menyenangkan terhadap peningkatan kemampuan membaca anak disleksia.
Kedua belas, penelitian yang berjudul ―Pengaruh Stimulasi Visual untuk
Meningkatkan Kemampuan Membaca pada Anak Disleksia‖ oleh Kawuryan dan
Raharjo (2012). Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi
tingkat calon guru SD mengenai pengetahuan, pandangan, dan opininya tentang
disleksia. Selain itu, penelitian ini bertujuan meneliti pengaruh stimulasi visual
untuk meningkatkan kemampuan membaca pada anak disleksia.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara
pre test dan post test kemampuan membaca anak disleksia pada siswa SD.
Kemampuan membaca siswa disleksia menunjukkan peningkatan setelah
diberikan stimulasi visual. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian perlakuan
25
khusus berupa stimulasi visual terhadap para siswa yang mengalami disleksia
mempunyai pengaruh terhadap kemampuan membaca.
Penelitian yang dilakukan oleh Kawuryan dan Raharjo (2012) tersebut
memiliki relevansi dengan penelitian ini yaitu memberikan gambaran awal
tentang kemampuan membaca anak disleksia serta menginspirasi untuk meneliti
lebih jauh tentang variabel–variabel yang dapat memengaruhi kemampuan
membaca pada anak disleksia.
2.1.2 Kajian Terdahulu yang Menggunakan Teori Leksikal Fungsional
Telah banyak peneliti yang mengimplementasikan teori TLF dalam
penelitiannya. Namun, sejauh penelusuran pustaka oleh peneliti, belum ada
peneliti yang mengimplementasikannya ke dalam tuturan anak penyandang
disleksia. Oleh karena itu, pada bagian ini disajikan beberapa penelitian yang
menggunakan teori TLF yang memiliki kemiripan arah dan pola dengan penelitian
ini dengan harapan bisa digunakan sebagai bahan pembanding.
Penelitian yang telah menggunakan teori TLF di antaranya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Arka (1998). Penelitian terhadap bahasa Bali
dengan judul ―From Morphosyntax to Pragmatics in Balinese: A Lexical –
Functional Approach‖ meneliti aspek morfosintaksis dan pragmatik bahasa Bali
secara komprehensif. Dengan paradigma teori TLF, struktur paralel seperti yang
terdapat pada teori TLF, yaitu str-a, str-sem, str-k, str-f, dan str-prag dibahas
secara detail. Penelitian Arka (1998) tersebut sangat bermanfaat sebagai bahan
pembanding penelitian yang dilakukan ini, terutama model analisisnya.
26
Hasil penelitian Sawardi (2000) tentang ―Argumen Kompleks pada Verba
Kontrol dalam Bahasa Lio‖ menyebutkan bahwa struktur kalimat bahasa Lio
adalah SVO (dalam bentuk AV). Struktur kalimat tersebut beralternasi dengan
struktur SOV (dalam bentuk OV). Disimpulkannya bahwa bahasa Lio tidak
memiliki alternasi aktif-pasif. Penelitian Sawardi (2000) terhadap bahasa Lio ini
memiliki kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan ini, yaitu dalam hal proses
pengkajiannya karena ada kemiripan bidang kajian, yaitu struktur argumen.
Penelitian Sedeng (2000) tentang ―Predikat Kompleks dan Relasi
Gramatikal Bahasa Sikka‖ menyimpulkan bahwa dilihat dari str-fnya, predikat
kompleks bahasa Sikka dapat dikategorikan ke dalam monoklausal, biklausal, dan
struktur dengan argumen kompleks X-COMP dan X-ADJUNCT. Penelitian
Sedeng (2000) terhadap bahasa Sikka ini ada kesamaan dengan penelitian yang
dilakukan karena salah satu aspek inti yang diteliti, yaitu mengenai str-fnya. Oleh
karena itu, dalam menganalisis data struktur sintaksis tuturan anak disleksia,
terutama yang berkaitan dengan str-f, temuan Sedeng (2000) tersebut dapat
dirujuk sebagai bahan pembanding.
Yudha (2000) yang melakukan penelitian dengan judul ―Fungsi
Gramatikal Argumen Inti dan Sistem Terpilah Bahasa Kolana‖ menyimpulkan
bahwa klausa intransitif bahasa Kolana selalu memiliki struktur kanonik dan tidak
dapat diinversikan. ―S‖ sebagai satu-satunya argumen inti pada klausa instransitif
selalu menduduki posisi SUBJ gramatikal. Temuan lain, bahasa Kolana tidak
memiliki cara atau upaya dalam mengubah klausa intransitif menjadi klausa
transitif. Struktur dasar klausa bahasa Kolana adalah SOV dan dapat beralternasi
27
menjadi OSV pada verba yang bermarkah. SUBJ sebagai salah satu argumen inti
pada klausa transitif selalu diduduki oleh argumen yang secara semantis berperan
sebagai agen. Adapun OBJ sebagai inti kedua dapat diisi oleh argumen yang
mempunyai peran semantis lainnya: sebagai pasien, benefaktif, ataupun penerima
(receipient). Penelitian Yudha ini mempunyai kemiripan dengan penelitian yang
dilakukan, yaitu sama-sama mengkaji struktur argumen dengan teori TLF. Model
analisisnya, terutama terhadap struktur argumen, bermanfaat sebagai bahan
pembanding.
Mekarini (2001) dalam penelitiannya tentang ―Diatesis dan Pengikatan
Bahasa Dawan‖ mengemukakan bahwa bahasa Dawan memiliki tiga macam
diatesis, yaitu diatesis aktif, diatesis objektif, dan diatesis pasif. Salah satu aspek
yang dikaji dalam penelitian struktur sintaksis tuturan anak disleksia ini adalah
konstruksi aktif dan pasif. Oleh karena itu, pembahasan mengenai diatesis dalam
temuan Makarini tersebut dapat dirujuk-silang sebagai pembanding.
Penelitian lain yang menerapkan teori TLF adalah yang dilakukan oleh
Cosmas (2008) yang berjudul ―Klausa Bahasa Rongga: Sebuah Analisis Leksikal
Fungsional‖. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa secara kanonis bahasa
Rongga termasuk bahasa yang bertata urut OV dengan variasi SVO dan VOS.
Dari aspek fungsi gramatikal, bahasa Rongga mempunyai fungsi gramatikal inti,
yaitu SUBJ, OBJ, OBJө dan non-inti yang meliputi OBL, KOMP, dan ADJUNG.
Dalam bahasa Rongga, PRED dapat diisi oleh kategori verba ataupun nonverba.
PRED verba bisa berupa verba sederhana dan verba kompleks, terutama
serialisasi. Secara morfologis, bahasa Rongga tidak mempunyai strategi khusus
28
dalam mengubah valensi verba karena tidak memiliki sarana morfologis untuk itu.
Alternasi-alternasi struktur klausa tidak berdampak pada munculnya perubahan
valensi. Strategi yang diandalkan untuk mengubah valensi dalam bahasa ini
adalah melalui mekanisme pengausatifan, pengaplikatifan, dan peresultatifan.
Dalam bahasa Rongga, agen hanya bisa dipetakan ke fungsi SUBJ dan OBL.
Secara struktural, bahasa Rongga memiliki alternasi struktur, seperti pasivisasi,
kausativisasi, dan alternasi pragmatis. Konstruksi pasif dalam bahasa Rongga
adalah pasif sintaktis. Kausatif bahasa Rongga terdiri atas dua tipe, yaitu tipe A
dan tipe B. Secara sintaktis, kausatif tipe A menghasilkan monoklausal, yang
terdiri atas dua fungsi inti, yaitu SUBJ dan OBJ. Sementara itu, kausatif tipe B
menghasilkan biklausal, yang terdiri atas dua fungsi inti, yakni SUBJ dan OBJ,
serta fungsi noninti berupa XKOMP. Kausatif tipe A memiliki tata urut SUBJ-
PRED-OBJ, sedangkan kausatif tipe B dengan tata urut SUBJ-PRED-OBJ-
XKOMP. Penelitian Cosmas ini besar manfaatnya bagi penelitian ini. Metode dan
teknik kajiannya dalam menganalisis struktur paralel sintaksis dapat dijadikan
sebagai bahan rujuk silang.
Penelitian terbaru yang menerapkan teori TLF dilakukan oleh Yudha
(2011) dalam disertasinya yang berjudul ―Struktur dan Fungsi Gramatikal Bahasa
Lio‖. Dalam simpulan analisisnya Yudha mengatakan bahwa bahasa Lio memiliki
fungsi gramatikal inti SUBJ, OBJ, OBJө dan fungsi gramatikal noninti OBL,
KOMP, dan ADJUNG. Fungsi SUBJ bahasa Lio tidak bisa direlatifkan, tidak bisa
dikontrol, tidak bisa raising, dan tidak bisa disisipi adverbia. SUBJ bisa definit
dan tidak definit. Secara kanonis, SUBJ selalu muncul pada posisi praverba
29
sebagai konstituen inti, sedangkan OBJ muncul pada posisi posverba. Dalam
struktur nonkanonis, SUBJ muncul pada akhir klausa dan verba muncul pada awal
klausa. Tata urut bahasa Lio adalah SVO, VOS, dan OSV. Fungsi PRED bahasa
Lio dapat terdiri atas verba tunggal dan kompleks. Selain itu, perubahan valensi
dalam bahasa Lio dapat dilakukan melalui pengausatifan, pengaplikatifan, dan
peresultatifan. Dalam struktur kausatif, terdapat dua argumen inti yang
dibutuhkan verba, yaitu aktor dan pasien (undergoer). Bahasa Lio tidak memiliki
konstruksi pasif karena tidak memiliki pemarkah morfologis dan sintaktis
sehingga bersifat pengedepanan OBJ menjadi pasien fokus. Berdasarkan tipologi
pemarkahan, bahasa Lio tergolong bahasa akusatif yang memperlakukan A sama
dengan S (S/A) dan berbeda dengan P. Penelitian Yudha ini besar manfaatnya
bagi penelitian ini. Teknik kajian dan prosedur analisisnya dalam menerapkan
teori TLF dan Teori Pemetaan Leksikal dapat dijadikan sebagai bahan
pembanding.
Metode, teknik, dan prosedur analisis, serta temuan para peneliti terhadap
bahasa-bahasa nusantara yang menggunakan teori TLF tersebut akan sangat
bermanfaat bagi peneliti dalam melakukan penelitian terhadap struktur sintaksis
tuturan anak disleksia.
Berikutnya adalah penelitian yang berjudul ―Phrase Structure in a
Computational Model of Child Language Acquisition‖ oleh Gaylard (1995).
Penelitian ini mendeskripsikan model komputasional pemerolehan bahasa anak
yang didapat secara berulang. Model ini tidak berangkat dari tata bahasa,
leksikon, atau segmentasi. Penelitian ini menggambarkan bahwa produk awal
30
pemerolehan bahasa adalah leksikon yang diuraikan dari tuturan dan dari
keadaan-terbatas tata bahasa. Leksikal-leksikal yang diperoleh dijadikan pemandu
untuk melihat pemerolehan leksikal. Penelitian ini menggunakan Tata Bahasa
Leksikal Fungsional (TLF). Untuk itu, penelitian ini memberikan kontribusi
terhadap penelitian yang dilakukan, terutama terkait dengan penggunaan teori
TLF.
2.2 Konsep
Agar tercapai kesamaan pemahaman terhadap beberapa istilah teknis
linguistik yang digunakan dalam tulisan ini, pada bagian ini dikemukakan
beberapa konsep utama yang digunakan dalam penelitian ini. Beberapa konsep
tersebut meliputi struktur sintaksis, klausa/kalimat, struktur konstituen (str-k),
struktur fungsional (str-f), struktur argumen (str-a), struktur semantik (str-s), dan
struktur informasi (si).
2.2.1 Struktur Sintaksis
Istilah struktur dalam disertasi ini merujuk pada keterkaitan hubungan
antarkonstituen dalam membangun sebuah makna satuan lingual yang utuh. Jadi,
struktur sintaksis dapat didefinisikan sebagai jalinan/keterkaitan hubungan
antarkonstituen untuk membangun makna yang utuh dalam sebuah satuan lingual
pada tataran sintaksis, yakni frasa, klausa, atau kalimat.
31
2.2.2 Klausa/Kalimat
Dalam konstruksi sintaksis, klausa dan kalimat sering dipandang sebagai
dua istilah yang berbeda. Namun, tidak jarang kedua istilah itu juga dipandang
sebagai dua istilah yang sama. Alwi dkk. (2000: 311—313) mendefinisikan klausa
sebagai konstruksi sintaksis yang terdiri atas subjek dan predikat, tanpa
memperhitungkan intonasi atau pungtuasi akhir. Verhaar (1996:162)
mendefinisikan klausa sebagai kalimat yang terdiri atas sebuah verba atau frasa
verbal, disertai satu atau lebih konstituen yang secara sintaktis berhubungan
dengan verba tersebut. Menurut Lapoliwa (1990:19), istilah klausa dipakai untuk
merujuk pada satuan konstruksi dalam kalimat yang mempunyai struktur
predikasi. Oleh karena itu, dia mendefinisikan klausa sebagai kalimat tunggal
tanpa intonasi.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut jelas bahwa jika dilihat dari segi
konstruksinya, baik klausa maupun kalimat, sama-sama merupakan konstruksi
sintaksis yang minimal terdiri atas subjek (SUBJ) dan predikat (PRED), baik
disertai objek (OBJ), komplemen/pelengkap (PEL), dan keterangan/adjung (ADJ)
maupun tidak. Jadi, di sini konstruksi klausa sama dengan konstruksi kalimat
tunggal.
Namun, secara hierarki, klausa merupakan bagian dari konstruksi kalimat.
Klausa merupakan unsur pembentuk konstruksi kalimat. Kalimat dapat dibentuk
oleh satu, dua, atau lebih klausa. Jumlah klausa dalam kalimat dapat ditentukan
dari jumlah PRED yang ada dalam kalimat tersebut. Oleh karena itu, konsep
32
klausa dan kalimat dalam penelitian ini tidak dibedakan hanya dalam pengertian
kalimat tunggal.
2.2.3 Struktur Konstituen
Struktur konstituen (Str-k) merupakan struktur yang berfungsi untuk
mengatur hubungan ekspresi tata urut kata yang lebih nyata (Alsina, 1996:16;
Dalrymple, 2001:7; Arka, 20003:73;). Struktur konstituen mengatur urutan kata
dan bagaimana kata-kata itu berkombinasi dalam membentuk frasa. Dalam
pandangan TLF, setiap struktur klausa atau kalimat dibentuk berdasarkan kaidah
struktur frasa. Kaidah struktur frasa inilah yang mengatur berbagai kemungkinan
tata urut kata secara linier dan hierarki, dalam setiap klausa atau kalimat. Kaidah
struktur frasa mengikuti kaidah yang bersifat universal dalam teori X-bar, yang
berpandangan bahwa setiap struktur selalu mempunyai pusat (head) sehingga
selalu bersifat endosentris (Alsina, 1996:17; Arka, 2003:73).
2.2.4 Struktur Fungsional
Struktur fungsional (Str-f) adalah struktur yang mengatur relasi gramatikal
(dan semantis) yang dianggap lebih konsisten dan berisi properti yang bersifat
agak ajeg secara lintas bahasa (Dalrymple, 2001:7; Arka, 2003:73). Yang
dimaksud relasi gramatikal di sini adalah relasi fungsi sintaksis, yaitu relasi
SUBJ(ek), OBJ(jek), OBL(ik). Dalam pandangan TLF, fungsi gramatikal
dikaitkan dengan konsepsi bahwa relasi gramatikal (seperti SUBJ, OBJ, dan
sebagainya) dapat dimodelkan dengan struktur matriks dengan relasi gramatikal
33
dan informasi lainnya yang membentuk pasangan atribut dan nilai dalam struktur
formal, yang disebut struktur fungsional (Alsina, 1996:18; Bresnan, 2001:47;
Arka, 2003:61).
2.2.5 Struktur Semantis
Struktur semantis (Str-s) merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kandungan semantis bentuk linguistik, khususnya verba sebagai
predikator. Komponen-komponen makna yang bersesuaian secara sintaktis
diungkapkan dalam pengertian leksikal (Arka, 1998:197). Dalam hal ini, str-s
terdiri atas unit-unit semantis yang terstruktur dari kompleksitas yang berbeda.
Str-s memiliki peringkat yang membatasi prominansi relatif di antara argumen
(Arka, 1998:200—201).
2.2.6 Struktur Argumen
Struktur argumen (Str-a) didefinisikan sebagai struktur tengahan atau
struktur antara yang di dalamnya terkandung informasi mengenai valensi verba
(misalnya, verba berargumen satu, verba berargumen dua, verba berargumen
tiga), keintian argumen (misalnya, argumen inti dan argumen noninti), dan
prominensi suatu argumen (misalnya, argumen inti mengalahkan noninti), dalam
rangkaian inti dan noninti, prominensinya menggambarkan prominensi semantik
(Alsina, 1996; Arka, 2003).
2.2.7 Struktur Informasi
34
Konsep struktur informasi (Si) dalam penelitian ini merujuk pada pendapat
Lambrecht (1994:5) yang menyatakan bahwa struktur informasi merupakan
bagian dari tata bahasa kalimat yang di dalamnya terdapat proposisi sebagai
representasi konseptual dari keadaan, yang berpasangan dengan struktur leksiko-
gramatikal dalam kaitannya dengan keadaan mental pelibat tutur yang
menggunakan dan menafsirkan struktur tersebut sebagai unit informasi dalam
konteks wacana tertentu.
2.2.8 Anak Disleksia
Anak disleksia (AD) adalah anak yang mengalami kesulitan dalam belajar
membaca meskipun memiliki tingkat kecerdasan rata-rata atau bahkan di atas
rata-rata, mendapatkan pendidikan yang cukup, dan tidak memiliki cacat sensori
Selain itu, mereka juga mengalami kesulitan dalam mempelajari komponen-
komponen kata dan kalimat, sistem representasional waktu dan arah, serta mengalami
keterlambatan dalam perkembangan bahasa. (Byrne, 1981:14). Mereka mengalami
kesulitan mulai dari bidang fonologi, morfologi, hingga sintaksis (Reggiani,
2012:10).
2. 3 Karangka Teori
Penelitian struktur sintaksis dalam tuturan anak disleksia ini menggunakan
teori Tata Bahasa Leksikal Fungsional (=TLF) (Lexical Functional Grammar).
TLF dirancang pada tahun 1970, tetapi baru dikembangkan pada tahun 1982 oleh
Ronald M. Kaplan dan Joan Bresnan. TLF merupakan teori linguistik formal yang
35
berfokus pada bidang sintaksis. TLF termasuk tata bahasa generatif
nontransformasional yang berbasis pada leksikon. Sebagai bagian dari teori
generatif, TLF juga mengacu pada konsep dasar teori generatif yang memandang
bahwa tata bahasa terdiri atas seperangkat modul, prinsip-prinsip tertentu, dan
kendala-kendala tertentu yang membentuk suatu mekanisme yang mampu
menghasilkan ekspresi bahasa yang tidak terbatas jumlahnya (Arka, 2003:60-61).
Teori TLF berbasiskan pada entri leksikal dengan asumsi dasar bahwa
suatu unsur yang digabungkan dengan unsur lain dalam membentuk suatu
konstruksi sangat bergantung pada unsur leksikal (Kaplan dan Bresnan dalam
Dalrymple dkk., ed., 1995: 30-31). Ini berarti unsur leksikal merupakan unsur
penentu dalam membangun suatu konstruksi kebahasaan, terutama konstruksi
kalimat. Secara garis besar, model TLF dapat disajikan dalam bentuk bagan
berikut (Simson, 1991).
Leksikon:
Penyelipan leksikal
Kata
Struktur linier/berhierarki
Struktur konstituen Struktur fungsional
Pembentukan kata
Entri leksikal
Kaidah struktur frasa
Interpretasi semantik Ekspresi fonetis
36
Bagan 2.1. Model Tata Bahasa Leksikal Fungsional
Berdasarkan bagan di atas dapat dinyatakan bahwa dalam TLF leksikon
merupakan komponen utama. Leksikon menyimpan berbagai informasi, baik
morfologis, gramatika, maupun semantis, yang sangat penting dalam menentukan
berbagai operasi leksikal gramatikal suatu ekspresi bahasa. Leksikon mempunyai
peran penting, tidak hanya menyampaikan informasi yang tidak bisa diprediksi,
tetapi juga menjadi tempat berbagai kaidah leksikal yang memungkinkan
terjadinya operasi leksikal pembentukan kata (afiksasi dan devivasi) itu dilakukan,
termasuk bagaimana argumen dipetakan ke dalam fungsi gramatikal. Jadi,
leksikon juga merupakan tempat berbagai proses operasi beraturan yang
menentukan konstruksi sintaksis.
Dalam pandangan TLF, di dalam suatu konstruksi klausa/kalimat terdapat
beberapa lapisan struktur, yaitu str-k, str-f, str-a, dan str-s. Masing-masing lapisan
struktur tersebut dapat direpresentasikan sendiri-sendiri dan dapat pula
dikorespondensikan secara paralel.
2.3.1 Struktur Konstituen dan Kaidah Struktur Frasa
Penyajian pengelompokan dan pengurutan kata-kata secara hierarkis
dalam frasa disebut struktur konstituen (str-k). Kaidah struktur frasa menentukan
berbagai kemungkinan tata urut kata secara linier dan hierarkis dalam membentuk
str-k. Dalam teori X-bar, kaidah struktur frasa mengikuti prinsip-prinsip yang
bersifat universal, yakni setiap frasa dipandang selalu memiliki struktur yang
37
bersifat endosentris. Ini berarti setiap struktur frasa selalu memiliki komponen
yang menjadi inti. Hal ini dapat digambarkan seperti diagram 2.1 berikut.
Diagram 2.1 Proyeksi X-bar
Pada diagram 2.1. di atas, X melambangkan kata untuk kategori apa pun,
yang dipahami sebagai tingkat kosong (Xo). X merupakan inti struktur dan
diproyeksikan (dapat diperluas dengan unit-unit lain selain X) menjadi unit yang
lebih luas secara bertingkat (hierarkis). Disetujui terdapat dua tingkat, yakni
tingkat maksimal yang dilambangkan dengan FX (maksudnya Frasa X) dan
tingkat antara yang dilambangkan dengan X‘ (yang dibaca X-bar). Unit-unit
perluasan yang membentuk struktur bertingkat ditunjukkan oleh FY dan FZ.
Perluasan FY ke arah kiri dan perluasan FZ ke arah kanan meskipun secara
teoretis keduanya bisa ke kiri atau ke kanan.
Dalam hal ini, X melambangkan kategori gramatikal (KG) yang terdiri
atas dua kategori, yakni (1) kategori leksikal yang meliputi nomina (N), verba
FY
FX
X‘
X FZ
38
(V), adjektiva (A), preposisi (P), dan Adverbia (ADV); dan (2) kategori
fungsional, yang meliputi determiner (D) dan infleksional (I).
Berdasarkan prinsip X-bar tersebut, dapat diperoleh proyeksi dengan
kategori yang berbeda-beda, misalnya dengan kategori leksikal N akan didapatkan
N‘ dan FN, dengan kategori leksikal D akan didapatkan D‘ dan FD, dan
seterusnya.
Teori TLF dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa terdapat keberagaman
ekspresi lahir (misalnya, tata urut dan kompleksitas morfologi) bahasa-bahasa di
dunia pada satu sisi dan kesamaan pada sisi yang lain. Struktur konstituen (str-k)
merupakan struktur dari bentuk ekspresi lahir, sedangkan struktur fungsional (str-
f) merupakan sistem dari penghubung peran-peran yang terdapat dalam ekspresi
lahir. Oleh karena itu, dalam teori TLF, tata bahasa dikonsepsikan sebagai suatu
sistem yang terdiri atas struktur paralel, yaitu struktur konstituen (str-k) dan
struktur fungsional (str-f). Str-k mengandung informasi tentang dominasi
(dominance), tata urut (precedence), dan relasi kontituen (constituen relation);
sedangkan str-f mengandung informasi fungsional sintaksis mengenai nosi, seperti
struktur argumen sintaksis dan adjung. Jadi, dalam str-f terlihat gabungan nama-
nama fungsi gramatikal, bentuk-bentuk semantis, dan simbol-simbol khusus
(Kaplan dan Bresnan dalam Dalrymple dkk., ed., 1995:31).
Untuk memberikan gambaran lebih jelas, kalimat bahasa Inggris Burhan
sees Sandra dapat dibuatkan str-k seperti yang tampak pada diagram pohon 2.2
berikut.
39
Diagram 2.2 Struktur Konstituen
2.3.2 Struktur Fungsional dan Korespondensinya dengan Str-k
Dalam TLF, str-f merupakan struktur yang menyatakan representasi
semantis-gramatikal yang dimodelkan dengan matriks fungsi yang mengandung
pasangan atribut dan nilai (value). Kaidahnya, setiap atribut hanya boleh memiliki
sebuah nilai. Terdapat tiga nilai (value) primitif, yakni (1) simbol-simbol
sederhana (simple symbols), (2) bentuk-bentuk semantis yang menguasai proses
interpretasi semantis, dan (3) bagian struktur fungsional, sejumlah urutan
( ↑ PRED) =‘BURHAN‘
( ↑ NUMBER) =SING
( ↑ PERSON) = 3
( ↑ PRED)=‘SEE<(↑SUBJ)(↑OBJ)>‘
( ↑ TENSE) = PRESENT ( ↑ NUMBER) =SING
( ↑ PRED) =‘SANDRA‘
( ↑ PERSON) = 3
Sandra sees Burhan
FI
V‘
FV
I‘
V
FN
N
N‘
FN
N
N‘
40
pasangan yang menggambarkan kerumitan fungsi internal yang berlapis-lapis
(Dalrymple, 1993:100; Kaplan dan Bresnan, 1995:32).
Agar dihasilkan kondisi str-f yang baik/berterima (well-formedness
condition), terdapat tiga prinsip/kendala utama yang perlu diperhatikan dalam
menyusun str-f, yakni (1) keunikan atau konsistensi (uniqueness or consistency),
(2) kelengkapan (completeness), dan (3) koherensi (coherence).
Sebuah str-f dapat dinyatakan memenuhi syarat keunikan atau konsistensi
(uniqueness or consistency) apabila setiap atribut yang terdapat di dalamnya
hanya memiliki sebuah nilai (value). Sebuah str-f dapat dinyatakan memenuhi
syarat kelengkapan (completeness) apabila mengandung semua fungsi gramatikal
yang disubkategorisasi oleh predikat kalimat. Sebagai contoh, sebuah str-f dari
kalimat dengan predikat ekatransitif dapat dinyatakan tidak lengkap apabila hanya
atribut fungsi SUBJ saja atau fungsi OBJ saja yang diisi. Kemudian, sebuah str-f
dapat dinyatakan memenuhi syarat koherensi (coherence) apabila semua argumen
yang ada dalam str-f tersebut benar-benar merupakan argumen dari predikat
kalimat yang ada dalam str-f tersebut dan yang satu dengan yang lainnya
mempunyai hubungan yang koheren. Syarat koherensi meminta str-f tidak boleh
berisi fungsi yang melebihi dari yang ada di subkategorisasinya. Dengan kata lain,
sebuah str-f dari kalimat dengan verba intransitif akan menjadi tidak koheren
apabila dalam str-fnya terdapat OBJ (Arka, 2003:70). Sebagai contoh, kalimat
bahasa Inggris *The girl donated termasuk kalimat yang tidak lengkap
(incomplete) karena verba donate menguasai tiga fungsi gramatikal, yakni SUBJ,
OBJ, dan OBLGO. Sebaliknya, kalimat *The girl donated the school the book
41
adalah tidak lengkap dan tidak koheren karena kalimat itu kehilangan OBLGO dan
tidak menguasai OBJT (the school). Akan lebih tepat jika verba donate pada
kalimat tersebut diganti dengan verba dwitransitif give yang menguasai tiga fungsi
gramatikal, yaitu SUBJ, OBJ, dan OBJT.
Untuk selanjutnya, dalam membuat diagram str-f akan lebih mudah
dilakukan apabila didahului dengan pembuatan entri leksikal dan diagram str-k.
Berikut diilustrasikan str-f yang didahului entri leksikal dan str-k.
(2) Alin ambil krupuk itu.
a) Entri leksikal:
Aku N (↑PRED) = ‗PRO‘
(↑NUM) = TG
(↑PERSON) = 1
ambil V (↑PRED) = ‘AMBIL < (↑SUBJ) (↑OBJ) >‘
krupuk N (↑PRED) = ‗KRUPUK‘
itu D (↑DET) = +
42
b) Str-k
Diagram 2.3 Struktur Konstituen
Representasi str-k di atas dapat dilengkapi dengan notasi tanda panah naik-
turun (metavariabel) untuk menunjukkan arah aliran informasi fungsional dalam
setiap simpul. Selain itu, metavariabel tersebut juga dapat digunakan untuk
menggambarkan fungsi gramatikal yang diproyeksikan oleh frasa. Representasi
str-k dengan metavariabel fungsional dapat dilihat pada diagram pohon 2.4
berikut.
itu Aku ambil krupuk
FI
V‘
FV
I‘
V FD
D‘
D FN
FN
N
N‘
N‘
N
43
c) Str-k dengan metavariabel fungsional
Diagram 2.4 Struktur Konstituen dengan Metavariabel Fungsional
krupuk
Aku ambil itu
N
↑=↓
FN
↑=↓
D
↑=↓
N‘
↑=↓
krupuk
D‘
↑=↓
FD
(↑OBJ)=↓
FI
FN
(↑SUBJ)=↓
N
↑=↓
N‘
↑=↓
V‘
↑=↓
FV
↑=↓
I‘
↑=↓
V
↑=↓
krupuk
44
Tanda panah dapat dibuat dalam bentuk sederhana ↑ = ↓, tetapi dapat pula
dilengkapi dengan fungsi gramatikal, misalnya ( ↑SUBJ) = ↓. Tanda panah naik
turun menyatakan dua hal penting, yaitu (i) aliran informasi pada str-k, dan (ii)
korespondensi atau pemetaan antara str-k dengan str-f. Tanda itu mempunyai efek
informasi dua arah. Misalnya, tanda ↑ = ↓ pada simpul I‘ pada diagram 2.4 di
atas mempunyai arti ‘informasi yang ada pada simpul I‘ ini sama dengan
informasi yang ada pada simpul atasnya‘, atau sebaliknya, ‗informasi dari simpul
atasan I‘ adalah sama dengan informasi yang dibawa oleh simpul I‘ itu sendiri‘.
Tanda ↑=↓ itu juga menyatakan bahwa informasi yang dibawa oleh verba yang
diproyeksikan ke FV kemudian diproyeksikan lagi ke I‘ diteruskan ke atas
melampaui batas proyeksi maksimal kategori, yakni melampaui batas frasa.
Demikian juga tanda (↑SUBJ) =↓ pada simpul FN mempunyai arti
‗informasi yang dibawa oleh simpul FN adalah informasi mengenai SUBJ dari
simpul atasannya, atau simpul atasan FN (yaitu FI = klausa/kalimat) mempunyai
SUBJ dan informasi SUBJ ini adalah informasi yang dibawa oleh FN.
Selanjutnya, informasi FN ini datangnya dari simpul bawahannya, yaitu secara
berturut-turut dari N‘ dan N.
Deskripsi str-k dengan notasi metavariabel di atas dapat disederhanakan
dengan menghilangkan simpul bar yang kosong semata-mata untuk kepentingan
efisiensi penulisan (lihat Dalrymple, 2001). Oleh karena itu, str-k yang terdapat
pada 2.4 di atas dapat disederhanakan menjadi 2.5 berikut.
45
d) Str-k dan korespondensinya dengan str-f
Diagram 2.5 Korespondensi Struktur Konstituen dan Struktur Fungsional
krupuk
FV
ƒi‘ = ƒƒv
V‘
ƒƒv = ƒv‘
krupuk
g
h
i
I‘
ƒƒi = ƒi‘
V
ƒv‘ = ƒv
N
ƒn‘ = ƒn
FN
(ƒƒi SUBJ)= ƒƒn
Aku ambil itu
N
ƒn‘ = ƒn
FN
ƒd‘ = ƒƒn
D
ƒd‘ = ƒd
N‘
ƒƒn = ƒn‘
krupuk
D‘
ƒƒd = ƒd‘
FD
(ƒv‘ OBJ)= ƒƒd
FI
N‘
ƒƒn = ƒn‘
krupuk
46
PRED PRO
SUBJ h NUM TG
PERS 1
g PRED ‗ambil <(SUBJ)(OBJ)>‘
PRED ‗KRUPUK‘
OBJ i DEF +
Diagram 2.6 Struktur Fungsional
Dalam diagram str-k pada 2.5 di atas digunakan notasi ƒ yang diikuti nama
kategori pada simpul di atasnya untuk menggantikan tanda panah naik dan notasi
ƒ yang diikuti nama kategori dirinya sendiri untuk menggantikan tanda panah
turun. Dalam hal ini, notasi ƒ digunakan untuk memperjelas makna dari
metavariabel tanda panah naik-turun, di samping itu, juga untuk menunjukkan
korespondensi str-k dengan str-f. Korespondensi yang ditunjukkan dengan fungsi
g dalam str-k di atas menyatakan bahwa semua fungsi ƒƒi, ƒƒv, ƒv‘, dan ƒv
mengacu pada str-f secara keseluruhan. Semua fungsi yang terdapat dalam FN di
sebelah kiri dan di bawahnya, yang diberi notasi h, semuanya mengacu pada
fungsi SUBJ. Adapun semua fungsi yang terdapat dalam FD di sebelah kanan dan
di bawahnya, yang diberi notasi i, semuanya mengacu pada fungsi OBJ.
Str-f pada diagram 2.6 di atas menunjukkan adanya sebuah PRED dan dua
buah fungsi gramatikal inti, yaitu SUBJ dan OBJ. SUBJ dan OBJ merupakan
atribut fungsi gramatikal, sedangkan PRED menandai atribut semantis. Setiap
atribut mempunyai nilai (value): atribut SUBJ mempunyai nilai berupa str-f, yang
ditandai dengan notasi h; atribut PRED mempunyai nilai berupa subkategorisasi
47
ambil <SUBJ, OBJ>; dan atribut OBJ mempunyai nilai berupa str-f, yang ditandai
dengan notasi i. Str-f dalam lapisan kedua, yaitu h dan i, juga mempunyai atribut
tersendiri. Dalam h terdapat tiga atribut, yaitu PRED dengan nilai PRO; atribut
NUM dengan nilai TG; dan atribut PERS dengan nilai 1. Dalam i terdapat dua
atribut dengan nilai masing-masing, yaitu atribut PRED dengan nilai KRUPUK
dan atribut DEF dengan nilai plus (+) yang bermakna ketakrifan.
48
2.4 Model Kerangka Kerja Teoretis Penelitian
Berdasarkan fenomena bahasa yang dikaji, rumusan masalah, dan
kerangka teori yang digunakan, model penelitian ini dapat divisualisasikan dalam
bentuk bagan abstraksi seperti berikut.
Bagan 2.2 Model Kerangka Kerja Teoretis Penelitian
Lingu-
istik
Umum
Temuan penelitian
Deskripsi dan analisis
struktur konstituen
Deskripsi dan analisis
struktur fungsional
Tata Bahasa
Leksikal
Fungsional
(TLF)
Deskripsi dan analisis
variasi unit sintaksis
Deskripsi dan analisis
karakteristik bahasa AD
Analisis
struktur
sintaksis
Kalimat AD
Landasan Filosofis
Metode Teori
Observasi
Alat perekam
Alat pencatat
Alat pancing
Anak-anak
Diseleksia
Informasi ortu & guru
Tulisan AD
Tes IQ AD
Tuturan AD Data
49
Cara kerja model penelitian pada bagan 2.2 di atas dapat dijelaskan dari
tiga paradigma dalam melaksanakan penelitian di bidang humaniora, yakni
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Secara singkat, ketiga paradigma dalam
penelitian itu dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Ontologis
Aspek ontologis terkait dengan fenomena kebahasaan yang diteliti sebagai objek
penelitian, yakni struktur sintaksis bahasa Indonesia dalam tuturan AD yang
kemudian dituangkan dalam rumusan masalah penelitian.
2) Epistemologis
Paradigma ini memperlihatkan keterkaitan antara masalah yang merupakan objek
penelitian dengan pengetahuan yang tersedia, misalnya penerapan teori yang
digunakan untuk memecahkan masalah yakni fenomena karakteristik bahasa AD,
variasi unit sintaksis dalam tuturan AD, dan struktur sintaksis yang meliputi
struktur konstituen dan struktur fungsional dalam tuturan AD.
3) Aksiologis
Aspek aksiologis terkait dengan temuan penelitian yang diharapkan dapat
memberikan manfaat teoretis untuk pengembangan teori dan manfaat praktis bagi
para pemangku kepentingan, misalnya para orang tua yang memiliki anak
disleksia, para guru atau terapis anak disleksia, para penulis buku ajar, para
pengembang media pembelajaran, dan para pengembangan desain isi kurikulum
pengajaran bI pada jenjang pendidikan anak usia dini/usia kritis, khususnya bagi
anak-anak disleksia.
50
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dirancang dalam bentuk penelitian deskriptif-kualitatif.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pospositivisme fenomenologi
interpretatif dengan model naturalistik (Muhadjir, 2002:17, 148—151). Dipilihnya
pendekatan ini didasarkan pada pertimbangan keunggulannya, yaitu mampu
memberikan deskripsi yang mendalam tentang realitas dan fenomena penggunaan
bahasa seperti apa adanya, natural, tidak parsial, dan tidak artifisial. Dengan
pendekatan ini, diharapkan deskripsi yang dihasilkan dapat memberikan gambaran
secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai data, sifat-sifat, serta hubungan
fenomena-fenomena yang akan diteliti (Sudaryanto, 1993; bdk. Djajasudarma, 1993:
3; Alwasilah, 2003:95; Moleong, 2008:5).
Hal tersebut sejalan dengan pandangan Larsen-Freeman dan Long (1991: 12)
yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif mempunyai delapan paradigma dengan
ciri-ciri sebagai berikut: (1) berhubungan dengan upaya memahami tingkah laku
manusia dengan data manusianya sendiri. Penelitian jenis ini menjadikan peneliti
sebagai sumber data; (2) pengamatannya dilakukan secara alamiah tanpa pemberian
perlakuan apa-apa (uncontrolled observation); (3) berupaya memerikan semua data
yang diperoleh dari sumber data; (4) cenderung menarik simpulan secara induktif; (5)
lebih berorientasi pada proses; (6) datanya amat kaya sehingga dapat ditafsirkan
51
sesuai dengan kacamata yang dipakai oleh peneliti (interpretatif); (7) tidak dapat
digeneralisasikan; dan (8) simpulan yang diambil bersifat realistis dinamis.
Pendekatan kualitatif yang dilandasi oleh filsafat fenomenologis dalam
penelitian ini berasumsi bahwa struktur sintaksis tuturan anak disleksia merupakan
suatu fenomena. Dalam pandangan filsafat fenomenologis, keberadaan (ontologi)
segala hal (fenomena) di dunia ini tidak cukup hanya diteliti dari apa yang tampak
secara fisik, tetapi harus melingkupi apa yang ada di balik yang tampak secara fisik
tersebut. Baik fenomena yang bersifat fisik maupun fenomena nonfisik, harus
dipandang sebagai sesuatu yang bersifat holistik dan natural (Moleong, 2008:15, bdk.
Muhadjir, 2002:12). Berlandaskan pada prinsip filsafat fenomenologis tersebut,
penelitian ini mengkaji realitas struktur sintaksis tuturan anak disleksia, tidak hanya
berupa yang tampak secara fisik, yaitu berupa unit-unit sintaksis beserta struktur
konstituennya, tetapi juga melingkupi yang nonfisik berupa struktur fungsional,
struktur argumen, dan struktur semantisnya. Dengan demikian, akan diperoleh
deskripsi dan eksplanasi yang komprehensif mengenai struktur sintaksis bahasa
Indonesia pada tuturan anak disleksia.
3.2 Lokasi Penelitian
BI menjadi bahasa yang paling pesat perkembangannya, menjadi bahasa
terpenting di wilayah Indonesia, dan dewasa ini menjadi bahasa dengan jumlah
penutur pertama terbanyak di antara bahasa-bahasa lain di Indonesia. Oleh karena itu,
52
bI menjadi pusat perhatian para ahli bahasa sehingga menjadi salah satu bahasa
rumpun Austronesia yang paling banyak dikaji secara intensif dewasa ini (lih. Arka
2010; Musgrave 2001; Myhill, 1988; Purwo, 1989; Macdonald dan Dardjowidjojo
2001).
Wilayah pakai bahasa Indonesia tersebar luas di seluruh Indonesia. Persebaran
wilayah pakai yang cukup luas seperti itu memunculkan berbagai ragam/dialek
bahasa Indonesia. Di berbagai wilayah kota dan hunian baru di pinggiran kota,
umumnya bI telah digunakan sebagai bahasa pertama. Hal ini sangat dimungkinkan
mengingat secara umum kota-kota di Indonesia bersifat heterogen.
Fenomena pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama juga terjadi di
lokasi penelitian ini, tempat tinggal anak-anak penyandang disleksia yang menjadi
subjek penelitian ini, tepatnya di wilayah Babatan-Lakarsantri dan Karangan-Wiyung
Surabaya serta di wilayah Perum Kota Baru Driyorejo, Gresik, Jawa Timur.
3.3 Jenis Data, Sumber Data, dan Subjek Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua,
yakni data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diambil
secara langsung dari sumber data (Marzuki, 1986: 55). Sebaliknya, data sekunder
diambil dari buku-buku dan penelitian-penelitian yang telah ada. Data sekunder ini
hanya digunakan sebagai data tambahan/bandingan dalam proses analisis data tatkala
53
dalam data primer tidak ditemukan sehingga eksplanasi data primer yang sedang
dianalisis mendapatkan penjelasan secara memadai.
Data primer dalam penelitian ini diambil dari tuturan yang digunakan oleh
anak disleksia secara natural. Dipilihnya data tuturan anak yang berupa bahasa lisan
ini memiliki dua alasan. Pertama, anak disleksia yang menjadi subjek penelitian ini
baru mampu memproduksi bahasa lisan dan belum mampu memproduksi bahasa
tulis. Tulisan yang mereka buat baru dalam tahap menyalin huruf sehingga belum
dapat dipandang sebagai bahasa tulis mereka. Kedua, sejalan dengan pendapat
Verhaar (1996:3) yang memandang bahwa objek utama linguistik adalah bahasa
lisan, sedangkan bahasa tulis merupakan objek sekunder. Pendapat yang kedua ini
mendapat perhatian khusus untuk mengkaji bahasa anak disleksia agar diperoleh hasil
yang komprehensif.
Jika klasifikasi yang dibuat oleh Botha (1981: 67) diikuti, data penelitian ini
dapat digolongkan ke dalam data informan. Dikatakan demikian karena penelitian ini
menggunakan parole sebagai sumber data, yaitu pemakaian konkret bahasa Indonesia
oleh anak-anak disleksia (Sudaryanto, 1993:15). Dengan data ini dapat diperoleh
korpus data berupa tuturan anak disleksia yang dikumpulkan melalui teknik rekam,
catat, dan pancing.
Yang menjadi subjek penelitian ini adalah sembilan anak penyandang
disleksia yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan, yakni (1) mempunyai
kemampuan berbicara secara lancar, kurang lancar, dan tidak lancar, (2)
54
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, dan (3) rentang usia mereka
antara 8 hingga 10 tahun. Penetapan usia ini didasarkan pada Hipotesis Usia Kritis,
yaitu rentang usia anak dalam taraf perkembangan paling peka untuk belajar bahasa
(Lenneberg dalam Dardjowidjojo, 2000:58 dan Dardjowidjojo, 2003:218). Mereka
sedang menjalani les privat belajar membaca dan menulis. Mereka bersekolah di
tingkat SD kelas 2, 3 dan 4, baik di SD reguler, yakni SD Insan Mulya Kota Baru
Driyorejo Gresik dan SD Al Fatah Karangan Surabaya, maupun di SD inklusi, yakni
SDN Cangkir Driyorejo Gresik dan SDN Babatan V Surabaya.
Tidak semua anak yang mengalami gangguan berbahasa dapat dimasukkan ke
dalam kelompok anak disleksia. Terdapat beberapa jenis kelompok anak
berkebutuhan khusus (ABK) yang juga mengalami gangguan berbahasa, tetapi tidak
dapat disebut sebagai anak disleksia, misalnya anak down syndrome, tunagrahita
(retardancy mental), autis, dan lain-lain.
Untuk mengidentifikasi anak disleksia tidaklah mudah, terutama di Indonesia,
karena belum ada profesi/lembaga yang dengan terang-terangan menyatakan diri
dapat menentukan seseorang mengalami disleksia atau tidak. Pengidentifikasian anak
disleksia setidaknya melibatkan dua pihak secara langsung, yaitu pihak guru dan
psikolog. Guru dapat mengidentifikasi anak-anak yang mengalami disleksia melalui
tiga tahap, yakni (1) tahap pemantauan kemajuan belajar anak, (2) penilaian
keterampilan anak (membaca dan menulis), dan (3) penilaian komprehensif tentang
kemajuan belajar dan keterampilan anak (Rose, 2009:46). Guru, sebagai pihak
55
pertama, yang dapat menentukan apakah seorang anak mengalami kesulitan dalam
belajar membaca dan menulis atau tidak. Kesulitan yang dialami anak disleksia dalam
belajar membaca mempunyai kekhasan. Kekhasannya tampak, misalnya, dari
kesalahan-kesalahan yang dilakukan pada saat membaca huruf-huruf tertentu. Dari
kekhasan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh mereka itu, guru dapat berasumsi
bahwa anak tersebut mengalami disleksia. Asumsi tersebut tidak dapat dibuktikan
oleh guru secara langsung karena penyebab kesulitan yang dialami anak banyak
ragamnya. Untuk itu, guru perlu bekerja sama dengan psikolog, terutama dalam
menentukan tingkat kecerdasan si anak. Setelah tingkat kecerdasan anak tersebut
diketahui, psikolog dapat memastikan bahwa anak tersebut mengalami disleksia atau
tidak. Persoalan tidak berhenti hanya sampai di sini. Idealnya, setelah diketahui anak
tersebut mengalami disleksia, masalah anak tersebut perlu ditangani oleh dokter,
terutama dalam hal terapi neorologis.
Dalam penelitian ini, penetapan anak disleksia sebagai sampel penelitian
didasarkan pada dua hal. Pertama, informasi yang berasal dari guru terkait dengan
kesulitan yang dialami oleh anak pada saat belajar membaca dan menulis. Anak-anak
yang mengalami kesulitan tersebut didata guru dan selanjutnya diasumsikan
mengalami disleksia. Kedua, anak-anak yang didata oleh guru tersebut diberi tes
intelegensi oleh psikolog. Dalam hal ini peneliti bekerja sama dengan dua orang
psikolog, yakni Ibu Elvira, S. Psi. yang membuka Biro Psikologi “Persona Prima” di
Jalan Ngagel Timur 7 Surabaya, dan Ibu Lilik Suprapti, S. Psi. dari Biro Psikologi
56
“Joko S. & Rekan RSU Dr. Soetomo Surabaya”. Hasil tes intelegensi tersebut
menjadi penentu terakhir untuk menetapkan seorang anak mengalami disleksia atau
tidak. Anak-anak yang memiliki tingkat intelegensi normal atau di atas rata-rata dan
tidak cacat sensori, tetapi mengalami kesulitan dalam belajar membaca dan menulis
ditetapkan sebagai anak penyandang disleksia dan dijadikan subjek penelitian ini.
3.4 Instrumen Penelitian
Untuk menjaring data diperlukan instrumen penelitian. Yang dimaksud
dengan instrumen penelitian di sini adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh
peneliti untuk mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih lengkap, cermat, dan
sistematis sehingga mudah diolah (Arikunto, 1998:151).
Telah dijelaskan di depan bahwa jenis penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif. Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrumen pengumpul data utama
adalah peran serta peneliti itu sendiri. Dengan demikian, ketika menghadapi
kenyataan-kenyataan yang tidak diinginkan di lapangan, peneliti dapat melakukan
penyesuaian. Sebagai contoh, bagaimana peneliti harus bersikap tenang dan
bersahabat saat menghadapi beberapa subjek penelitian yang cenderung mempunyai
sifat agak pemalu dan emosional. Agar tetap mendapatkan data yang dibutuhkan,
peneliti dilengkapi dengan panduan simak, panduan teknik pancing, alat perekam,
dan alat tulis.
57
Panduan simak digunakan untuk mengamati dan mencatat performansi bahasa
alamiah yang diujarkan oleh anak. Panduan teknik pancing berisi daftar pancingan
yang berupa alternatif-alternatif yang diberikan kepada anak disleksia yang menjadi
subjek penelitian. Alternatif-alternatif yang dimaksud berupa permainan anak-anak,
gambar yang menarik minat anak, dan/atau daftar tanyaan lisan yang digunakan
apabila peneliti mengalami kesulitan mendapatkan data tuturan yang diperlukan. Alat
perekam yang digunakan adalah alat perekam suara (Sony audio recorder),
digunakan untuk merekam tuturan subjek penelitian saat melakukan percakapan.
Adapun alat tulis pena dan kertas digunakan untuk mencatat tuturan subjek penelitian
yang tidak mungkin diambil melalui perekaman.
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Data merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian. Data dapat
diperoleh melalui teknik-teknik tertentu sebagai upaya untuk memudahkan
pengumpulan data di lapangan. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dan
diinterpretasikan.
Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan teknik-
teknik tertentu. Teknik pengumpulan data harus disesuaikan dengan data yang ingin
diperoleh. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode simak dan metode
cakap. Penggunaan kedua metode ini dimaksudkan untuk saling melengkapi dan
menunjang satu sama lain. Sesuai dengan namanya, metode simak merupakan suatu
58
metode dalam penyediaan data yang dilakukan dengan cara menyimak penggunaan
bahasa, dalam hal ini, menyimak tuturan anak disleksia. Sebaliknya, metode cakap
merupakan metode pengambilan data yang dilakukan dengan cara mengadakan
percakapan (Sudaryanto, 1993: 132—133).
Metode simak merupakan metode pemerolehan data yang dilakukan dengan
cara menyimak penggunaan bahasa. Metode ini menawarkan teknik dasar yang
berupa teknik sadap. Teknik sadap disebut sebagai teknik dasar karena pada
hakikatnya penyimakan dilakukan dalam bentuk penyadapan. Dengan kata lain,
untuk memperoleh data seorang peneliti harus menyadap penggunaan bahasa yang
dituturkan oleh subjek penelitian sebagai sumber data.
Secara operasional, teknik sadap tersebut dilakukan dengan cara menyadap
pembicaraan sumber data melalui alat perekam suara. Agar tidak tampak sedang
direkam, alat perekam diletakkan di dalam saku atau disembunyikan di tempat yang
tidak diketahui oleh sumber data. Metode simak dengan teknik sadap ini setara
dengan metode observasi dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Metode ini memiliki
teknik lanjutan, yakni teknik simak bebas cakap (TSBC) dan teknik simak libat cakap
(TSLC).
Dalam TSBC, peneliti sama sekali tidak berperan dalam pembicaraan. Peneliti
hanya sebagai pemerhati, hanya menyimak pembicaraan yang terjadi antarsumber
data dan lawan bicaranya. Peneliti tidak ikut melibatkan diri dalam proses
pembicaraan. Teknik ini sama dengan teknik observasi nonpartisipasi.
59
Dalam pelaksanaannya, peneliti hanya mendengarkan pembicaraan anak
disleksia dengan gurunya, dengan temannya, atau dengan orang tuanya. Pada
kesempatan lain, peneliti hanya menitipkan alat perekam suara pada guru untuk
mendokumentasikan pembicaraan. Setelah rekaman didapat, peneliti
mentransliterasikannya pada kartu data.
Dalam TSLC, peneliti melakukan penyadapan dengan cara berpartisipasi
sambil menyimak. Peneliti terlibat langsung dalam pembicaraan dengan sumber data,
memancing sumber data agar memunculkan data yang diperlukan. Proses ini
dilakukan dengan sengaja dan dirancang sedemikian rupa agar data yang didapat
tetap berupa data yang alami.
Untuk melengkapi data yang diperoleh melalui metode simak digunakan
metode cakap dengan teknik pancing. Teknik ini dilaksanakan ketika subjek
penelitian sebagai sumber data enggan berbicara sehingga kata-kata yang
dituturkannya sangat sedikit. Peneliti berusaha mendekati subjek penelitian dengan
memberikan beberapa pertanyaan tentang hal-hal yang disukainya atau dengan
bercerita. Teknik ini juga diterapkan dengan media permainan, gambar, dan daftar
tanyaan tertentu sebagai upaya untuk melakukan elisitasi data secara mendalam.
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif sehingga data yang terkumpul
dianalisis dan disajikan secara kualitatif pula. Proses analisis data dilakukan dengan
60
mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan
satuan uraian dasar tertentu. Agar sejalan dengan urutan permasalahan yang telah
ditetapkan, analisis data dalam penelitian ini diatur dengan tahapan sebagai berikut.
1) Pengidentifikasian Data
Pada tahap awal ini, kegiatan yang dilakukan peneliti adalah
pengidentifikasian data. Pengidentifikasian data dilakukan dengan cara
mentranskripsikan hasil rekaman menjadi data tulis. Dalam hal ini, data masih
diklasifikasikan berdasarkan masing-masing subjek penelitian. Untuk selanjutnya,
data hasil transkripsi dijadikan satu dengan data yang sudah dalam bentuk tulisan atau
catatan. Data yang telah diperoleh tersebut kemudian diperiksa kembali
kelengkapannya.
2) Penyeleksian Data
Tidak semua data yang terkumpul digunakan dalam penelitian ini. Setelah
semua data diidentifikasi, peneliti menyeleksinya kembali. Dalam data yang
terkumpul kadang-kadang ada bahasa Jawa (sebagai bahasa ibu) yang muncul dalam
tuturan subjek penelitian, baik dalam bentuk kata maupun kalimat. Karena data
tersebut bukanlah data yang dicari, di luar ruang lingkup permasalahan penelitian ini,
data seperti itu tidak digunakan. Dengan demikian, terkumpullah data yang terseleksi
untuk keperluan penelitian ini.
3) Pengodean Data
61
Untuk mempermudah proses analisis data, semua data yang telah terseleksi
tersebut diberi kode. Pemberian kode didasarkan pada subjek, jenis permasalahan,
dan urutan kemunculannya. Sebagai contoh, kode Y/FV/01 mempunyai arti, Y
menunjukkan kode nama subjek yang diteliti, FV menunjukkan jenis permasalahan
frasa verbal, dan 01 menunjukkan urutan kemunculan dalam kelompok data frasa
tersebut.
4) Pengklasifikasian Data
Setelah diberi kode, data diklasifikasikan sejalan dengan rumusan masalah
yang telah ditetapkan. Pengklasifikasian dibuat berdasarkan setiap fenomena yang
muncul dan dilakukan pada masing-masing subjek.
5) Penganalisisan Data
Pada tahap ini, data kemudian dianalisis sesuai dengan setiap fenomena yang
muncul dengan menggunakan metode agih, yaitu metode analisis yang menjadikan
bagian dari fenomena bahasa yang diteliti sebagai alat penentu analisis (Sudaryanto,
1993: 14—15). Dalam pelaksanaannya, metode agih (distributional method) ini
dilakukan dengan teknik dasar bagi unsur langsung (BUL) untuk membagi satuan-
satuan lingual dalam kalimat yang dianalisis berdasarkan unsur langsungnya. Teknik
BUL ini kemudian dibantu dengan teknik-teknik khusus sebagai teknik lanjutannya.
Teknik-teknik khusus yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a) Teknik Pelesapan (delesi)
62
Teknik pelesapan digunakan untuk mengetahui kadar keintian suatu konstituen
dalam kalimat yang dianalisis. Bila suatu konstituen yang dilesapkan berpengaruh
terhadap ketidakberterimaan suatu konstruksi maka kadar keintian konstituen tersebut
tinggi. Sebaliknya, bila suatu konstituen yang dilesapkan tidak berpengaruh terhadap
keberterimaan suatu konstruksi maka kadar keintian konstituen tersebut rendah.
b) Teknik Penggantian (substitusi)
Teknik penggantian dinyatakan dalam bentuk mengganti konstituen tertentu
dengan konstituen lain dalam suatu konstruksi. Teknik ini digunakan untuk
mengetahui kesamaan atau perbedaan kategori suatu konstituen dalam kalimat.
Semakin tinggi kadar kesamaan masing-masing konstituen tersebut berarti semakin
saling berpeluang untuk bisa saling menggantikan.
c) Teknik Perubahan Wujud (parafrasa)
Teknik ini digunakan untuk menentukan satuan makna konstituen (peran
semantis) argumen dalam kalimat.
d) Teknik Pemutarbalikan (permutasi)
Teknik ini dilakukan dengan cara memindahposisikan unsur atau konstituen
tertentu dalam suatu kalimat. Teknik ini digunakan untuk mengetahui kadar
ketegaran unsur atau konstituen tersebut dalam suatu konstruksi. Bila dapat
dipindahposisikan, kadar ketegarannya rendah.
e) Teknik Perluasan (ekspansi)
63
Teknik ini direalisasikan dalam bentuk perluasan leksikon atau frasa, bisa ke
depan atau ke belakang. Teknik ini digunakan untuk menentukan kadar kesinoniman
satuan lingual atau kesamaan informasinya.
Berbagai metode dan teknik analisis tersebut diupayakan dapat menghasilkan
gambaran, penjelasan, dan temuan yang komprehensif mengenai objek yang diteliti.
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Dalam menyajikan hasil analisis data, ada dua metode yang dapat digunakan,
yaitu metode formal dan informal. Metode formal adalah metode yang menggunakan
tanda-tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993:145; Mahsun, 2005:116).
Beberapa tanda yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tanda asterik (*), tanda
kurung biasa ( ( ) ), tanda kurung siku ( [ ] ), tanda kurung kurawal ( { } ), tanda
panah datar ( ), tanda anak panah naik (↑) yang disebut metavariabel MOTHER,
tanda anak panah turun ( ↓ ) yang disebut metavariabel EGO. Tanda equasi
fungsional ( ↓ = ↑ ) digunakan dalam skema fungsional yang disebut metavariabel.
Tanda teta ( ᴓ ) digunakan untuk simbol peran semantis teta, dan tanda kosong ( Ө )
untuk kosong (zero). Lambang-lambang yang digunakan meliputi lambang dengan
menggunakan huruf, yaitu SUBJ, OBJ, OBL, KOMP, dan sebagainya untuk simbol
sintaksis. Sebagian besar tanda-tanda dan lambang-lambang tersebut direalisasikan
dalam bagan str-k, str-f, str-a, dan str-s.
Selain metode formal, dalam penelitian ini juga digunakan metode informal.
Metode informal adalah metode penyajian hasil analisis data dengan menggunakan
64
kata-kata biasa atau kalimat biasa (Sudaryanto, 1993:1). Dalam penelitian ini metode
informal digunakan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan setiap fenomena yang
menjadi objek kajian dalam bentuk uraian kata-kata sehingga menjadi deskripsi dan
eksplanasi yang komprehensif dari temuan penelitian ini.
xiii
ABSTRACT (buku ringkasan)
Dyslexic children (DC) are children who have difficulty in learning to read, despite having
adequate intelligence, education, and learning time to read. In addition, they also have difficulty
in learning the components of words and sentences, representational systems of time and
direction, and experiencing delays in language development. As kids suffering from language
deficits, dyslexic children have unique linguistic characterisitics which can be observed from the
aspects of its syntactic structure. This research aims to describe and explain (1) the characteristics
of Indonesian language in the DC speech; (2) the variation of syntactic unit in the DC speech; (3)
the constituent structure of Indonesian language in the DC speech; and (4) the functional structure
of Indonesian language in the DC speech. The research is designed in the form of descriptive-
qualitative with phenomenological approach using lexical-functional grammar theory (LFG).
This research is in Gresik and Surabaya region. The data of this research are in the form of
clauses /sentences which are spoken by the DC naturally. Data collection was done by doing
observation, recording, noticing, and elicitation technique. Research subjects were nine DC aged
8-10 years with Indonesian as first language (critical period).
The research findings suggest that children with dyslexia tend to produce short sentences,
and ellipsis, as well as demonstrate inaccurate use of function words and word order. In some
cases, certain syntactic structures commonly used by normal children of the same age were not
found in dyslexic children’s utterances. This indicates that dyslexic childen have not yet acquired all syntactic structures, particularly complex ones.
Although there are several variations of syntactic units, most of the sentences produced by DC
are incomplete sentences (59.61%) and only 40.54% are complete sentences. The basic sentence
patterns that appear in the DC speech consist of NP + VP (38.66%), NP1 + NP2 (26.66%), NP + AP
(23.55%), NP + PP (5.78%), and NP + NuP (4.88%). The SUBJ argument in predefined non-verb and
intransitive verbs is generally in the left position of the predicate (canonical), but there are also those
in the right predicate position (non-canonical). Structures with predicates that appear before the SUBJ
argument are pragmatically marked structure, which are structures that emphasize or topicalize the
predicate.
Constituent structure (c-str) in the DC speech is composed of seven types of categories,
namely VP, NP, DP, AP, IP, AdvP, and PP. Based on the projected development of the core into its
maximum projection, it can be stated that the constituent structure in each of the above categories is
quite simple. Based on its internal structure, the sentences produced by DC are generally simple
sentences and have a low degree of complexity. For the DC, the complexity of the sentence structure
is not only determined by the number of clauses or propositions contained in the sentence, but is also
influenced by the type of verb that becomes the central element of the sentence (related to the number
of arguments, the fewer the argument becomes simpler), the sequence of words / constituents in the
sentence (ie. the canonical order is simpler than noncanonical), and the embedding depth in the
sentence. The complexity of the sentence structure has important implications in the process of
understanding and producing sentences for the DC.
The analysis of the functional structure (f-str) shows that the sentence structure in the DC
speech is constructed by the argument and non-argument functions which include the functions of
SUBJ, OBJ, OBJT, COMP, and ADJ. The function of OBL just occurs in the passive sentences. The f-
str of the DC sentences is composed from lexical entries and c-str. For the one-argument sentence, f-
str denotes the predicate (PRED) that requires one function of the core argument, SUBJ. For the two-
argument sentence, f-str denotes the predicate (PRED) requires two functions of the core argument,
SUBJ and OBJ. For the three-argument sentence, f-str denotes the predicate (PRED) requires three
functions of the core argument, ie SUBJ, OBJ, and OBJT, which is manifested in the form of a linear
structure. For a sentence with passive verbs, f-srt denotes a PRED that requires a function of the core
argument SUBJ, and one non-core argument, that is OBL, wich is the occasional ambiguity of active-
passive construction still occurs.
xiv
Key words: syntactic structure, bahasa Indonesia, dyslexic children
xv
ABSTRACT
Dyslexic children (DC) are children who have difficulty in learning to read, despite having
adequate intelligence, education, and learning time to read. In addition, they also have difficulty
in learning the components of words and sentences, representational systems of time and
direction, and experiencing delays in language development. As kids suffering from language
deficits, dyslexic children have unique linguistic characterisitics which can be observed from the
aspects of its syntactic structure. This research aims to describe and explain (1) the characteristics
of Indonesian language in the DC speech; (2) the variation of syntactic unit in the DC speech; (3)
the constituent structure of Indonesian language in the DC speech; and (4) the functional structure
of Indonesian language in the DC speech. The research is designed in the form of descriptive-
qualitative with phenomenological approach using lexical-functional grammar theory (LFG).
This research is in Gresik and Surabaya region. The data of this research are in the form of
clauses /sentences which are spoken by the DC naturally. Data collection is done by doing
observation, recording, noticing, and elicitation technique. Research subjects were nine DC aged
8-10 years with Indonesian as first language (critical period).
The research findings suggest that children with dyslexia tend to produce short sentences,
and ellipsis, as well as demonstrate inaccurate use of function words and word order. In some
cases, certain syntactic structures commonly used by normal children of the same age were not
found in dyslexic children’s utterances. This indicates that dyslexic childen have not yet acquired all syntactic structures, particularly complex ones.
Although there are several variations of syntactic units, most of the sentences produced by DC
are incomplete sentences (59.61%) and only 40.54% are complete sentences. The basic sentence
patterns that appear in the DC speech consist of NP + VP (38.66%), NP1 + NP2 (26.66%), NP + AP
(23.55%), NP + PP (5.78%), and NP + NuP (4.88%). The SUBJ argument in predefined non-verb and
intransitive verbs is generally in the left position of the predicate (canonical), but there are also those
in the right predicate position (non-canonical). Structures with predicates that appear before the SUBJ
argument are pragmatically marked structure, which are structures that emphasize or topicalize the
predicate.
Constituent structure (c-str) in the AD speech is composed of seven types of categories,
namely VP, NP, DP, AP, IP, AdvP, and PP. Based on the projected development of the core into its
maximum projection, it can be stated that the constituent structure in each of the above categories is
quite simple. Based on its internal structure, the sentences produced by DC are generally simple
sentences and have a low degree of complexity. For the DC, the complexity of the sentence structure
is not only determined by the number of clauses or propositions contained in the sentence, but is also
influenced by the type of verb that becomes the central element of the sentence (related to the number
of arguments, the fewer the argument becomes simpler), the sequence of words / constituents in the
sentence (ie. the canonical order is simpler than noncanonical), and the embedding depth in the
sentence. The complexity of the sentence structure has important implications in the process of
understanding and producing sentences for the DC.
The analysis of the functional structure (f-str) shows that the sentence structure in the DC
speech is constructed by the argument and non-argument functions which include the functions of
SUBJ, OBJ, OBJT, COMP, and ADJ. The function of OBL was not be produced. The str-f of the DC
sentences is composed from lexical entries and c-str. For the one-argument sentence, f-str denotes the
predicate (PRED) that requires one function of the core argument, SUBJ. For the two-argument
sentence, f-str denotes the predicate (PRED) requires two functions of the core argument, SUBJ and
OBJ. For the three-argument sentence, f-str denotes the predicate (PRED) requires three functions of
the core argument, ie SUBJ, OBJ, and OBJT, which is manifested in the form of a linear structure. For
a sentence with passive verbs, f-srt denotes a PRED that requires a function of the core argument
SUBJ, and one non-core argument, that is ADJ, wich is the occasional ambiguity of active-passive
construction still occurs.
Key words: syntactic structure, bahasa Indonesia, dyslexic children
xii
ABSTRAK
Anak disleksia (AD) merupakan anak yang mengalami kesulitan dalam belajar membaca,
meskipun tidak memiliki cacat sensori dan memiliki kecerdasan, pendidikan, dan waktu belajar
yang cukup. Selain itu, mereka juga mengalami kesulitan dalam mempelajari komponen-
komponen kata dan kalimat, sistem representasional waktu dan arah, serta mengalami
keterlambatan dalam perkembangan bahasa. Sebagai anak yang mengalami defisit bahasa, AD
memiliki karakteristik bahasa yang khas yang dapat diamati dari aspek struktur sintaksisnya.
Penelitian ini bertujuan memerikan dan menjelaskan (1) karakteristik bahasa Indonesia dalam
tuturan AD; (2) variasi unit sintaksis dalam tuturan AD; dan (3) struktur sintaksis bahasa
Indonesia yang meliputi str-k, str-f, str-a, dan str-s dalam tuturan AD. Penelitian yang dirancang
dalam bentuk deskriptif-kualitatif dengan pendekatan fenomenologis ini menggunakan teori tata
bahasa leksikal fungsional (TLF).
Lokasi penelitian berada di wilayah Gresik dan Surabaya. Data penelitian berupa
klausa/kalimat yang dituturkan oleh AD secara natural. Pengumpulan data dilakukan melalui
observasi, rekam, catat, dan pancing. Subjek penelitian adalah sembilan AD dengan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama, mereka berusia 8—10 tahun (usia kritis).
Hasil penelitian menunjukkan AD cenderung memproduksi kalimat yang pendek-pendek,
banyak pelesapan, dan kadang-kadang salah dalam kata tugas dan pola urut kata. Dalam kasus
tertentu, terdapat struktur kalimat yang biasa diproduksi oleh anak normal seusia mereka, tetapi
tidak ditemukan dalam tuturan AD. Hal ini mengindikasikan bahwa AD belum menguasai semua
kaidah struktur kalimat bahasa Indonesia, terutama struktur kompleks.
Penelitian ini menemukan beberapa variasi unit sintaksis dalam tuturan AD. Sebagian
besar berupa kalimat tak lengkap (59,61%) dan hanya 40,54% yang berupa kalimat lengkap. Pola
kalimat dasar yang muncul pada tuturan AD terdiri atas FN+FV (38,66%), FN1+FN2 (26,66%),
FN+FA (23,55%), FN+FP (5,78%), dan FN+FNum (4,88%). Argumen SUBJ pada kalimat berpredikat
non-verba dan verba intransitif pada umumnya berada di posisi kiri predikat (kanonis), tetapi ada
juga yang berada di posisi kanan predikat (nonkanonis). Struktur dengan predikat yang muncul
sebelum argumen SUBJ merupakan struktur bermarkah pragmatik (pragmatically marked), yaitu
struktur yang memberikan penekanan atau topikalisasi pada predikat.
Struktur konstituen dalam tuturan AD dibangun oleh tujuh jenis kategori, yakni FV, FN, FD,
FA, FI, FADV, dan FP. Berdasarkan perkembangan proyeksi dari inti ke dalam proyeksi
maksimalnya dapat dinyatakan bahwa struktur konstituen pada masing-masing kategori di atas
tergolong sederhana. Dari struktur internalnya, kalimat yang diproduksi oleh AD pada umumnya
berupa kalimat sederhana dan memiliki derajat kompleksitas yang rendah. Bagi AD, kompleksitas
struktur kalimat tidak hanya ditentukan oleh jumlah klausa atau proposisi yang terkandung dalam
kalimat, tetapi juga dipengaruhi oleh jenis verba yang menjadi unsur pusat kalimat (terkait
dengan jumlah argumennya, semakin sedikit argumen semakin sederhana), pola urut
kata/konstituen dalam kalimat (yakni urutan kanonik lebih sederhana daripada nonkanonik), dan
kedalaman sematan (embedding) dalam kalimat. Kompleksitas struktur kalimat memiliki implikasi
penting dalam proses pemahaman dan produksi kalimat bagi AD.
xiii
Analisis terhadap str-f menunjukkan bahwa struktur kalimat dalam tuturan AD disusun
oleh fungsi argumen dan non-argumen yang meliputi fungsi SUBJ, OBJ, OBJ, KOMP, dan ADJ.
Fungsi OBL hanya muncul dalam kalimat pasif. Analisis str-f kalimat-kalimat AD dijabarkan ke
dalam entri leksikal, str-k, dan baru ke str-f. Untuk kalimat berargumen satu, str-f menunjukkan
predikat (PRED) membutuhkan satu fungsi argumen inti, yakni SUBJ. Untuk kalimat berargumen
dua, str-f menunjukkan predikat (PRED) membutuhkan dua fungsi argumen inti, yakni SUBJ dan
OBJ. Untuk kalimat berargumen tiga, str-f menunjukkan PRED memerlukan tiga fungsi argumen
inti, yakni SUBJ, OBJ, dan OBJ, yang dalam tuturan AD diwujudkan dalam bentuk struktur linier.
Untuk kalimat dengan predikat verba pasif, srf-f memperlihatkan adanya PRED yang
membutuhkan satu fungsi argumen inti yakni SUBJ, dan satu argumen non-inti yakni OBL, yang
kadang-kadang kerancuan konstruksi aktif-pasif masih terjadi.
Kata kunci: struktur sintaksis, bahasa Indonesia, anak disleksia
xiv
ABSTRAK
Anak disleksia (AD) merupakan anak yang mengalami kesulitan dalam belajar membaca,
meskipun tidak memiliki cacat sensori dan memiliki kecerdasan, pendidikan, dan waktu belajar
yang cukup. Selain itu, mereka juga mengalami kesulitan dalam mempelajari komponen-
komponen kata dan kalimat, sistem representasional waktu dan arah, serta mengalami
keterlambatan dalam perkembangan bahasa. Sebagai anak yang mengalami defisit bahasa, AD
memiliki karakteristik bahasa yang khas yang dapat diamati dari aspek struktur sintaksisnya.
Penelitian ini bertujuan memerikan dan menjelaskan (1) karakteristik bahasa Indonesia dalam
tuturan AD; (2) variasi unit sintaksis dalam tuturan AD; dan (3) struktur sintaksis bahasa
Indonesia yang meliputi str-k, str-f, str-a, dan str-s dalam tuturan AD. Penelitian yang dirancang
dalam bentuk deskriptif-kualitatif dengan pendekatan fenomenologis ini menggunakan teori tata
bahasa leksikal fungsional (TLF).
Lokasi penelitian berada di wilayah Gresik dan Surabaya. Data penelitian berupa
klausa/kalimat yang dituturkan oleh AD secara natural. Pengumpulan data dilakukan melalui
observasi, rekam, catat, dan pancing. Subjek penelitian adalah sembilan AD dengan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama, mereka berusia 8—10 tahun (usia kritis).
Hasil penelitian menunjukkan AD cenderung memproduksi kalimat yang pendek-pendek,
banyak pelesapan, dan kadang-kadang salah dalam kata tugas dan pola urut kata. Dalam kasus
tertentu, terdapat struktur kalimat yang biasa diproduksi oleh anak normal seusia mereka, tetapi
tidak ditemukan dalam tuturan AD. Hal ini mengindikasikan bahwa AD belum menguasai semua
kaidah struktur kalimat bahasa Indonesia, terutama struktur kompleks.
Penelitian ini menemukan beberapa variasi unit sintaksis dalam tuturan AD. Sebagian besar
berupa kalimat tak lengkap (59,61%) dan hanya 40,54% yang berupa kalimat lengkap. Pola
kalimat dasar yang muncul pada tuturan AD terdiri atas FN+FV (38,66%), FN1+FN2 (26,66%),
FN+FA (23,55%), FN+FP (5,78%), dan FN+FNum (4,88%). Argumen SUBJ pada kalimat
berpredikat non-verba dan verba intransitif pada umumnya berada di posisi kiri predikat (kanonis),
tetapi ada juga yang berada di posisi kanan predikat (nonkanonis). Struktur dengan predikat yang
muncul sebelum argumen SUBJ merupakan struktur bermarkah pragmatik (pragmatically marked),
yaitu struktur yang memberikan penekanan atau topikalisasi pada predikat.
Struktur konstituen dalam tuturan AD dibangun oleh tujuh jenis kategori, yakni FV, FN,
FD, FA, FI, FADV, dan FP. Berdasarkan perkembangan proyeksi dari inti ke dalam proyeksi
maksimalnya dapat dinyatakan bahwa struktur konstituen pada masing-masing kategori di atas
tergolong sederhana. Dari struktur internalnya, kalimat yang diproduksi oleh AD pada umumnya
berupa kalimat sederhana dan memiliki derajat kompleksitas yang rendah. Bagi AD, kompleksitas
struktur kalimat tidak hanya ditentukan oleh jumlah klausa atau proposisi yang terkandung dalam
kalimat, tetapi juga dipengaruhi oleh jenis verba yang menjadi unsur pusat kalimat (terkait dengan
jumlah argumennya, semakin sedikit argumen semakin sederhana), pola urut kata/konstituen dalam
kalimat (yakni urutan kanonik lebih sederhana daripada nonkanonik), dan kedalaman sematan
(embedding) dalam kalimat. Kompleksitas struktur kalimat memiliki implikasi penting dalam
proses pemahaman dan produksi kalimat bagi AD.
Analisis terhadap str-f menunjukkan bahwa struktur kalimat dalam tuturan AD disusun
oleh fungsi argumen dan non-argumen yang meliputi fungsi SUBJ, OBJ, OBL, KOMP, dan
ADJ. Analisis str-f kalimat-kalimat AD dijabarkan ke dalam entri leksikal, str-k, dan baru ke
str-f. Untuk kalimat berargumen satu, str-f menunjukkan predikat (PRED) membutuhkan satu
fungsi argumen inti, yakni SUBJ. Untuk kalimat berargumen dua, str-f menunjukkan predikat
(PRED) membutuhkan dua fungsi argumen inti, yakni SUBJ dan OBJ. Untuk kalimat
berargumen tiga, str-f menunjukkan PRED memerlukan tiga fungsi argumen inti, yakni SUBJ,
OBJ, dan OBJ, yang diwujudkan dalam bentuk struktur linier. Untuk kalimat dengan predikat
verba pasif, srf-f memperlihatkan adanya PRED yang membutuhkan satu fungsi argumen inti
xv
yakni SUBJ, dan satu argumen non-inti yakni OBL, yang kadang-kadang kerancuan
konstruksi aktif-pasif masih terjadi. Kata kunci: struktur sintaksis, bahasa Indonesia, anak disleksia
xxx
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM .................................................................................... i
PRASYARAT GELAR ............................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ........................................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................. v
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................. xii
ABSTRACT ................................................................................................. xiii
RINGKASAN DISERTASI ...................................................................... ivx
DAFTAR ISI ............................................................................................. xxx
DAFTAR TABEL, GAMBAR, DAN BAGAN ....................................... xxxiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xxxix
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
1.2 Permasalahan ........................................................................................ 10
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 11
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 11
1.4.1 Manfaat Akademis ............................................................................. 11
1.4.2 Manfaat Praktis ................................................................................... 12
1.5 Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN ..................................................... 15
2.1 Kajian Pustaka ...................................................................................... 15
2.1.1 Kajian Terdahulu terhadap Tuturan Anak Disleksia ......................... 16
2.1.2 Kajian Terdahulu yang Menggunakan Teori Leksikal Fungsional ... 25
2.2 Konsep .................................................................................................. 30
2.2.1 Klausa/Kalimat .................................................................................. 30
2.2.2 Struktur Konstituen (Str-k) ............................................................... 31
2.2.3 Struktur Fungsional ( Str-f) ............................................................... 32
2.2.4 Struktur Semantis (Str-s) ................................................................... 32
2.2.5 Struktur Argument (Str-a) ................................................................. 33
2.3.6 Anak Disleksia .................................................................................. 33
2.3 Kerangka Teori .................................................................................... 33
2.3.1 Struktur Konstituen dan Kaidah Struktur Frasa ................................ 35
2.3.2 Struktur Fungsional dan Korespondensinya dengan Str-k..……….. 38
2.4 Model Kerangka Kerja Teoretis Penelitian ………………………….. 47
BAB III METODE PENELITIAN ……………………………….......... 48
3.1 Rancangan Penelitian …………………………………………….…... 48
3.2 Lokasi Penelitian ………………..……………………………….…… 49
3.3 Jenis Data, Sumber Data, dan Subjek Penelitian ……………….……. 50
3.4 Instrumen Penelitian …………………………………………….…… 54
xxxi
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data …………………………..…. 55
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ………………………..…….….… 57
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data …..…….………... 61
BAB IV KARAKTERISTIK BAHASA INDONESIA DALAM
TUTURAN ANAK DISLEKSIA……….................................... 62
4.1 Pengantar …………………………………………………………....... 62
4.2 Gambaran Umum Anak Disleksia ……………………………………. 62
4.3 Karakteristik Bahasa Indonesia dalam Tuturan Anak Disleksia …....... 79
4.3.1 Gejala Nonverbal …………………………………………………... 79
4.3.2 Gejala Idiosinkrasi dalam Tuturan Anak Disleksia……………..…. 81
4.4 Temuan Baru Penelitian .............................................……………..…. 88
BAB V VARIASI UNIT SINTAKSIS DALAM TUTURAN ANAK
DISLEKSIA .................................................................................. 91
5.1 Pengantar ............................................................................................... 91
5.2 Pengertian Struktur Klausa atau Kalimat .............................................. 91
5.3 Variasi Struktur Kalimat dalam Tuturan Anak Disleksia ..................... 93
5.3.1 Kalimat Lengkap dalam Tuturan Anak Disleksia .............................. 94
5.3.1.1 Kalimat Dasar dalam Tuturan Anak Disleksia ................................ 94
5.3.1.2 Kalimat Derivasi dalam Tuturan Anak Disleksia ............................ 118
5.3.2 Kalimat Tak Lengkap dalam Tuturan Anak Disleksia ...…................ 127
5.4 Gradasi Kompleksitas Struktur Kalimat dalam Tuturan Anak Disleksia 137
5.5 Temuan Baru Penelitian ........................................................................ 148
BAB VI STRUKTUR KONSTITUEN BAHASA INDONESIA
DALAM TUTURAN ANAK DISLEKSIA ............................... 152
6.1 Pengantar ……………………………………………….……………... 152
6.2 Kategori Struktur Konstituen ………………………………................ 153
6.3 Struktur Konstituen yang Ditemukan dalam Tuturan Anak Disleksia .. 153
6.3.1 Frasa Verbal …………………………………….………………….... 156
6.3.1.1 Frasa verbal yang dibentuk oleh sebuah verba ................................. 156
6.3.1.2 Frasa verbal yang dibentuk oleh verba diikuti frasa adverbial ......... 160
6.3.1.3 Frasa verbal yang dibentuk oleh verba diikuti frasa preposisional .. 165
6.3.1.4 Frasa verbal yang dibentuk oleh verba diikuti frasa nominal ......... 165
6.3.1.5 Frasa verbal yang dibentuk oleh verba diikuti frasa nominal dan
frasa preposisional .......................................................................... 170
6.3.1.6 Frasa verbal yang dibentuk oleh verba diikuti dua frasa nominal ... 173
6.3.2 Frasa Nominal dan Frasa Determiner ................................................ 180
6.3.3 Frasa Adjektival .................................................................................. 195
6.3.4 Frasa Infleksional ............................................................................... 199
6.3.5 Frasa Adverbial …………………………………………………...... 205
6.3.6 Frasa Preposisional ……………………………………………..…... 208
6.4 Temuan Baru Penelitian ........................................................................ 214
xxxii
BAB VII STRUKTUR FUNGSI GRAMATIKAL DALAM TUTURAN
ANAK DISLEKSIA .................................................................. 217
7.1 Pengantar .............................................................................................. 217
7.2 Pengertian dan Klasifikasi Fungsi Gramatikal ……………………….. 217
7.3 Fungsi Argumen dan Nonargumen dalam Tuturan Anak Desleksia .... 218
7.3.1 Subjek ……………………………………………………………… 219
7.3.2 Objek dan Objek Teta ….…………………………………......…… 226
7.3.3 Oblik ………………………………………....………………….…. 230
7.3.4 Komplemen ……………………………………………………….. 233
7.3.5 Adjung ………….……………………............................................. 235
7.4 Struktur Fungsional dan Korespondensinya dengan Struktur
Konstituen dalam Tuturan Anak Diseleksia menurut TLF………....... 238
7.5 Temuan Baru Penelitian ....................................................................... 278
BAB VIII RANGKUMAN TEMUAN PENELITIAN ........................... 281
8.1 Gambaran Umum Anak Disleksia dan Karakteristik Bahasanya ......... 281
8.2 Variasi Unit Sintaksis dalam Tuturan Anak Disleksia ......................... 283
8.3 Struktur Konstituen Bahasa Indonesia dalam Tuturan Anak Disleksia 286
8.4 Struktur Fungsional Bahasa Indonesia dalam Tuturan Anak Disleksia 288
BAB IX SIMPULAN DAN REKOMENDASI....................................... 291
9.1 Simpulan ............................................................................................... 291
9.2 Rekomendasi ......................................................................................... 296
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 298
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................... 307
top related