bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah · 1.1 latar belakang masalah sejak lahir setiap anak...

74
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition device, LAD) (Chomsky, 1964). Karena peranti itu, setiap anak mempunyai kemungkinan untuk mampu menguasai bahasa apa saja. Dengan peranti itu, setiap anak mampu mengolah masukan bahasa dari orang-orang yang ada di sekitarnya untuk kemudian diproduksi kembali menjadi tuturan yang mempunyai struktur yang khas sebagai bahasa anak. Bahasa yang dikuasai anak terdiri atas empat aspek keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek berbahasa tersebut dikuasai oleh anak secara bertahap sesuai dengan pola perkembangan masing-masing anak. Namun, kadang-kadang ada anak yang tidak menguasai semuanya, sebagaimana yang dialami oleh anak disleksia. Anak disleksia adalah anak yang mengalami kesulitan dalam belajar membaca meskipun memiliki tingkat kecerdasan rata-rata atau bahkan di atas rata-rata, mendapatkan pendidikan yang cukup, dan tidak memiliki cacat sensori (Shaywitz, 1998). Kemampuan membaca sebenarnya berkaitan erat dengan kemampuan berbahasa dan begitu juga kemampuan berbahasa berhubungan erat dengan kecerdasan. Seorang anak yang mempunyai tingkat kecerdasan rata-rata pada umumnya tidak ada kendala dalam belajar membaca. Namun pada kenyataannya,

Upload: truongmien

Post on 21-Jul-2019

242 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti

pemerolehan bahasa (language acquisition device, LAD) (Chomsky, 1964).

Karena peranti itu, setiap anak mempunyai kemungkinan untuk mampu

menguasai bahasa apa saja. Dengan peranti itu, setiap anak mampu mengolah

masukan bahasa dari orang-orang yang ada di sekitarnya untuk kemudian

diproduksi kembali menjadi tuturan yang mempunyai struktur yang khas sebagai

bahasa anak.

Bahasa yang dikuasai anak terdiri atas empat aspek keterampilan

berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek

berbahasa tersebut dikuasai oleh anak secara bertahap sesuai dengan pola

perkembangan masing-masing anak. Namun, kadang-kadang ada anak yang tidak

menguasai semuanya, sebagaimana yang dialami oleh anak disleksia. Anak

disleksia adalah anak yang mengalami kesulitan dalam belajar membaca

meskipun memiliki tingkat kecerdasan rata-rata atau bahkan di atas rata-rata,

mendapatkan pendidikan yang cukup, dan tidak memiliki cacat sensori

(Shaywitz, 1998).

Kemampuan membaca sebenarnya berkaitan erat dengan kemampuan

berbahasa dan begitu juga kemampuan berbahasa berhubungan erat dengan

kecerdasan. Seorang anak yang mempunyai tingkat kecerdasan rata-rata pada

umumnya tidak ada kendala dalam belajar membaca. Namun pada kenyataannya,

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

2

2

anak disleksia mengalami kesulitan dalam belajar membaca. Tingkat kemampuan

membacanya jauh di bawah rata-rata anak normal seusianya.

Dari sudut pandang neurologis, anak disleksia merupakan anak yang

mengalami kasus gangguan otak pada bagian kortek primer pengolah bahasa.

Kasus ini bisa disebabkan oleh faktor genetis dan dapat pula disebabkan oleh

cedera/luka pada bagian otak yang mengontrol cara untuk membaca dan menulis

(Fisher dan Fries, 2002:10).

Kasus disleksia sebenarnya bersumber dari masalah kesehatan sehingga

banyak menjadi ajang kajian bagi para ahli di bidang kesehatan atau kedokteran.

Namun, kasus disleksia sebenarnya bukanlah semata-mata merupakan masalah

kesehatan. Oleh karena itu, penanganannya memerlukan kajian yang bersifat

interdisipliner. Setidaknya ada empat bidang keahlian yang berkaitan langsung

dengan masalah disleksia, yaitu bidang kedokteran atau kesehatan, bidang

psikologi, bidang linguistik, dan bidang pendidikan.

Di bidang kedokteran atau kesehatan telah banyak dilakukan kajian

terutama untuk mencari sebab-sebab terjadinya kasus disleksia beserta cara

pengobatannya. Akan tetapi, hingga sekarang bidang kesehatan masih belum

dapat memberikan gambaran secara jelas sehingga kasus ini masih dianggap

sebagai wilayah abu-abu. Di bidang psikologi juga telah banyak dilakukan kajian

untuk menangani dampak psikologis terhadap diri penyandang disleksia. Hasil

pengamatan psikologi terhadap anak disleksia umumnya memberikan gambaran

sebagai pribadi yang pendiam, kurang percaya diri, dan emosional. Di bidang

pendidikan, khususnya di Indonesia, sudah mulai ada upaya-upaya secara praksis

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

3

3

dalam bentuk terapi dan teknik pembelajaran untuk membantu para penyandang

disleksia. Akan tetapi, upaya-upaya tersebut belum mendapatkan hasil secara

maksimal karena minimnya rujukan dari hasil kajian secara ilmiah yang dapat

dijadikan sebagai landasan dalam melakukan tindakan. Terkait dengan

permasalahan utama anak disleksia, yaitu mengalami kesulitan dalam belajar

membaca, dipandang sangat penting dilakukannya kajian terhadap karakteristik

bahasa anak disleksia beserta struktur sintaksisnya.

Disleksia merupakan gangguan keterampilan membaca dan menulis yang

berasal dari faktor neurologis (Morkena, 2017). Hal ini ditandai dengan kesulitan

dalam ketepatan dan kelancaran untuk mengenali kata-kata tertulis, serta

menguraikan dan mengeja kata-kata tersebut (The Dyslexia Association

International, 2002). Walaupun memiliki kecerdasan, pendidikan yang cukup, dan

latar belakang sosial ekonomi yang memadai untuk belajar membaca, anak

disleksia masih mengalami kesulitan terkait masalah ketepatan dan kelancaran

(APA, 2014; Shaywitz, Morris, dan Shaywitz, 2008; Snowling dan Hulme, 2012).

Hasil penelitian tentang persentase anak-anak disleksia menunjukkan

angka yang beragam. Morris, Shaywitz dan Shaywitz (2008) menunjukkan bahwa

17,5% anak telah mengalami keterlambatan dalam ketepatan membaca. Namun,

penelitian lain yang dilakukan Iglesias menyebutkan bahwa hasil tersebut

menurun sekitar 5%, terutama pada laki-laki (2000). Sementara itu, Renggiani

(2012) menyebutkan disleksia terjadi pada 10—14% dari jumlah populasi anak.

Dengan demikian, tepat kiranya simpulan penelitian Yilmas yang menyatakan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

4

4

bahwa masih banyak siswa di tingkat sekolah dasar yang mengalami kesulitan

membaca atau disleksia (2008).

Somad (2002:40) juga menyatakan bahwa anak disleksia banyak dijumpai

di sekolah reguler (SD), terutama di kelas 1, 2, dan 3. Meskipun demikian, berapa

jumlah yang sebenarnya belum dapat dipastikan. Jumlah mereka diperkirakan

antara 2% hingga 10% dari populasi. Mereka bisa diterima di sekolah reguler

karena kelainan yang mereka miliki tidak kasat mata sehingga keberadaan mereka

sering tidak disadari oleh lingkungannya, terutama oleh guru. Keberadaan anak

disleksia di kelas sering dianggap sebagai siswa yang berprestasi rendah

(underachievers) (Delphie, 2006:24).

Sebagian guru beranggapan anak disleksia sebagai anak yang mengalami

keterlambatan belajar, berprestasi rendah, pemalas, kurang konsentrasi, atau

nakal. Anggapan itu muncul karena guru kurang memahami karakteristik dan

penanganan anak disleksia sehingga upaya yang dilakukan oleh guru belum

sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan anak. Anak deisleksia

memerlukan program pembelajaran yang berbeda dengan memperhatikan

kemampuan dan kelemahan mereka (Delphie, 2006:1). Anggapan guru atau

tindakan guru yang kurang tepat justru akan dapat menambah parah kesulitan

belajar membaca yang dialami oleh anak disleksia. Oleh sebab itu, guru dituntut

mampu menyusun program pembelajaran yang sesuai dengan tingkat

perkembangan bahasa dan pola pikir anak-anak disleksia.

Salah satu penyebab masalah tersebut adalah kurang tersedianya referensi

atau rujukan tentang karakteristik bahasa anak disleksia. Memang, penelitian

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

5

5

terhadap bahasa anak (lebih-lebih terhadap bahasa anak disleksia) kurang

mendapatkan perhatian bila dibandingkan dengan bahasa orang dewasa. Hal itu

lebih banyak disebabkan oleh kendala-kendala metodologisnya daripada

kontribusinya. Menurut Allen dan Buren (1971:128), ada kesulitan dan

dibutuhkan kesabaran yang lebih dalam menguji bahasa anak karena anak

merupakan subjek yang sangat sulit untuk diuji (dites).

Anak disleksia dipandang sebagai anak yang mengalami gangguan

biologis (neurogenetis) yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan belajar

membaca dan mengeja meskipun sudah mendapatkan pendidikan yang cukup dan

mempunyai kecerdasan yang memadai (Snowling dalam Mercer, 1989:51). Lebih

jauh lagi, kesulitan yang dialami oleh anak disleksia tidak hanya dalam hal

membaca, tetapi juga dalam hal mengeja, menulis, memproduksi ujaran, dan

memahami/menginterpretasikan ujaran. Mereka mengalami kesulitan dalam

mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengalami keterlambatan

dalam perkembangan bahasa, dan hampir selalu bermasalah dalam mempelajari

sistem representasional yang berkenaan dengan waktu, arah, dan masa (Byrne,

1981:14). Mereka mengalami kesulitan mulai dari bidang fonologi, morfologi,

hingga sintaksis (Reggiani, 2012:10).

Berikut adalah beberapa contoh data yang diperoleh dari survei awal dari

Y sebagai subjek penelitian ini di usia 10 tahun.

(1) M : Ga, cepat pakai baju seragammu! Nanti terlambat.

(2) Y : Ya, Ma. Baju apa?

(3) M : Sekarang hari apa?

(4) Y : Hari…?!?! Selasa… eh… nggak tahu!

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

6

6

(5) M : Lho, bagaimana kamu ini! Sekarang kan hari Kamis.

Kalau Kamis, pakai seragam baju apa?

------------------

(6) L : Hayo, setelah lampu stopan di pertigaan itu kita belok ke

mana hayo..?

(7) Y : Kanan! (ternyata mobil belok ke kiri).

(8) L : Salah- salah…, salah-salah…! (sambil bernyanyi-nyanyi).

(9) Y : Lho…, betul kan Pa.., belok kanan?

(10) P : Ke kiri, Ga. Kita baru saja belok ke kiri.

------------------

(11) Y : Pa, dulu kita ke sini ya?

(12) P : Bukan dulu Ga, tapi kemarin.

(13) L : Iya ini, mesti keliru! Kemarin dibilang dulu, tadi

juga dibilang dulu. Capek deh…!

Berdasarkan percakapan di atas, tampak jelas subjek Y belum menguasai

konsep waktu (hari). Dia hapal dalam menyebutkan nama-nama hari dalam satu

minggu, tetapi tidak bisa menyebutkan sekarang hari apa (data 4). Konsep arah

juga belum dikuasai: dia bisa menunjukkan arah ke depan atau ke belakang, ke

atas atau ke bawah, tetapi tidak bisa menunjukkan arah ke kiri atau ke kanan

(data 7), ke barat atau ke timur, ke utara atau ke selatan. Terkait dengan masa, dia

bisa menyebutkan dengan benar untuk konsep besok, tetapi untuk konsep tadi,

kemarin, dan dulu, dia selalu menggunakan dulu (data 11).

Dalam kaitannya dengan masalah pemahaman atau penginterpretasian

ujaran, banyak hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa anak disleksia sering

mengalami kegagalan dalam memahami dan menjawab pertanyaan-pertanyaan

yang disampaikan kepada dirinya. Dalam tes pemahaman terhadap klausa relatif,

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

7

7

misalnya, mereka juga membuat lebih banyak kesalahan dalam menafsirkan

klausa bila dibandingkan dengan anak-anak normal seusia mereka (Sheldon,

1974, Hamburger dan Crain, 1982, Stein dkk., 1984, Smith dkk., 1989, dalam

Reggiani, 2012:15--16). Kenyataan ini sekaligus juga menunjukkan bahwa

perkembangan linguistik anak-anak disleksia “tidak semaju anak-anak normal

seusia mereka”. Dari sudut pandang pemerolehan bahasa, mereka mengalami

keterlambatan dalam pemerolehan kaidah-kaidah sintaksis sehingga penguasaan

keterampilan sintaksis mereka terlambat. Hal itu disebabkan perkembangan

kapasitas kerja memori dalam minda mereka tumbuh lambat secara bertahap

(Gathercole et al., 2004).

Satu hal penting yang perlu disampaikan di sini adalah bahwa jika

intervensi sejak dini, yaitu sejak usia kritis (4—12 tahun), diberikan dalam bentuk

terapi atau program pembelajaran secara linguistis yang benar dan memadai,

maka gangguan perkembangan bahasa pada anak disleksia tersebut mungkin akan

kecil dampaknya. Untuk itu, diperlukan penelitian yang komprehensif terhadap

karakteristik bahasa (tuturan) anak disleksia agar hasilnya dapat dijadikan sebagai

landasan bagi pemberian terapi atau program pembelajaran terhadap anak

disleksia. Karena sejauh ini belum ada penelitian yang membahas masalah

karakteristik bahasa anak disleksia beserta struktur sintaksisnya, penelitian ini

menjadi sangat penting untuk dilakukan.

Bila dilihat dari karakteristiknya, bahasa anak disleksia memiliki

fleksibilitas pola urutan kata/konstituen yang sangat longgar, baik dalam tataran

frasa maupun klausa, seperti yang tampak dalam data (15) dan (19) di bawah.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

8

8

Variasi pola urutan kata dalam tuturan anak disleksia sangat menarik untuk dikaji

karena hal itu mungkin dilatarbelakangi oleh belum dikuasainya kaidah-kaidah

sintaksis yang seharusnya sudah mereka kuasai atau memang mereka mempunyai

alasan tertentu dalam menggunakan pola urutan kata yang berbeda. Para peneliti

telah membuktikan adanya keterkaitan pola urutan kata dengan faktor pragmatik,

khususnya struktur informasi (lihat Lambrecht, 1996, Rodionova, 2001:1--5).

Dalam hal ini, topik dan fokus sebagai dua entitas informasi primer yang ada

dalam sebuah proposisi dianggap mempunyai peran yang sangat penting dalam

menentukan pola urutan kata dalam klausa/kalimat.

Berikut disajikan beberapa contoh data tentang pola urutan kata dari

subjek penelitian ini.

(14) M : Ga, kamu tahu dari mana kalau hotel ini ada kolam

renangnya?

(15) Y : Ditahui itu Pak Satpam.

(16) M : Kamu nanti renang dengan siapa?

(17) Y : Lion

(18) M : Mama tidak membawakan baju renang, lho.

(19) Y : Pakai ini saya (sambil memegang celananya).

Dari data (15) terlihat bahwa pola urut kata dalam frasa determiner berpola

Det + FN (itu Pak Satpam). Pola ini berbeda dengan pola kanonis urutan kata

dalam frasa determiner bI yang berpola FN + Det (Pak Satpam itu). Data (15) ini

juga menunjukkan bahwa subjek Y belum menguasai kaidah pembubuhan afiks

pada kata gabung (kata majemuk). Hal itu tampak dari penggunaan bentuk

penyederhanaan kata ditahui daripada bentukan yang seharusnya diberi tahu. Dari

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

9

9

data (19) juga terlihat bahwa pola urutan kata/konstituen dalam klausa tersebut

berpola PRED + SUBJ (Pakai ini saya). Hal ini berbeda dengan pola kanonis

urutan kata/konstituen kalimat bahasa Indonesia yang berpola SUBJ + PRED

(Saya pakai ini).

Karakteristik lain yang cukup menonjol dalam bahasa anak disleksia

adalah klausa yang dihasilkannya sederhana, pendek-pendek, dan banyak

penghilangan/pelesapan sehingga diperlukan sejumlah informasi tambahan yang

bersifat situasional untuk dapat menangkap makna ujaran bahasa anak tersebut.

Menurut pandangan peneliti, fenomena bahasa dengan karakteristik seperti ini

dapat dijelaskan secara komprehensif melalui analisis struktur paralel berdasarkan

teori Tata Bahasa Leksikal Fungsional (TLF). Kata-kata yang tidak muncul dalam

str-k, seperti data (17), misalnya, akan tetap dapat dipetakan melalui str-f dan str-a

sehingga pemahaman/interpretasi terhadap klausa/kalimat tersebut tetap dapat

ditangkap dengan jelas. Oleh karena itu, teori TLF perlu diimplementasikan dalam

mengkaji permasalahan ini.

Penelitian ini mengkaji masalah struktur sintaksis dalam tuturan anak

disleksia. Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian terhadap struktur sintaksis

dalam tuturan bI anak disleksia dengan menggunakan teori generatif belum

pernah dilakukan. Dengan demikian, jika dilihat dari implementasi teori, yakni

teori TLF sebagai salah satu teori generatif, penelitian ini dapat dikatakan

merupakan penelitian awal.

Penelitian yang dilakukan ini lebih berfokus pada aspek struktur sintaksis

klausa/kalimat dalam tuturan AD, baik terhadap karakteristik, variasi pola/unit

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

10

10

sintaksis, maupun struktur sintaksis klausa/kalimat yang meliputi struktur

konstituen (str-k), struktur fungsional (str-f), struktur semantis (str-s), dan struktur

argumen (str-a). Keempat struktur tersebut merupakan struktur paralel yang

terintegrasi dalam TLF (lihat Bresnan dan Kaplan, 1985; Bresnan, 2001;

Dalrymple, 2001; Arka, 1998, 2003). Dalam penelitian ini keempat struktur

tersebut dibahas. Akan tetapi, analisis dan pembahasannya lebih berfokus pada

dua struktur utama, yaitu str-k dan str-f.

Kajian ini didasarkan pada teori TLF sebagai teori pokok dan didukung

dengan teori linguistik umum. Penerapan teori ini diharapkan dapat memberikan

penjelasan yang komprehensif terhadap karakteristik bahasa anak disleksia,

variasi unit sintaksis, serta struktur sintaksis yang meliputi Str-k, Str-f, Str-s, dan

Str-a dalam tuturan anak disleksia.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan fenomena yang dikemukakan dalam latar belakang di atas,

permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan ke dalam beberapa bentuk

kalimat tanya seperti berikut.

1) Bagaimanakah karakteristik bahasa Indonesia dalam tuturan anak disleksia?

2) Bagaimanakah variasi unit sintaksis bahasa Indonesia dalam tuturan anak

disleksia?

3) Bagaimanakah struktur sintaksis bahasa Indonesia yang meliputi Str-k, Str-f,

Str-s. dan Str-a dalam tuturan anak disleksia?

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

11

11

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan:

1) memerikan dan menjelaskan karakteristik bahasa Indonesia dalam tuturan

anak disleksia;

2) memerikan dan menjelaskan variasi unit sintaksis bahasa Indonesia yang

muncul dalam tuturan anak disleksia;

3) memerikan dan menjelaskan struktur sintaksis bahasa Indonesia yang meliputi

str-k, str-f, str-s, dan str-a dalam tuturan anak disleksia.

1.4 Manfaat Penelitian

Sejalan dengan paparan sebelumnya, penelitian ini merupakan penelitian

di bidang sintaksis bahasa anak dengan fokus utama kajiannya pada struktur

sintaksis klausa/kalimat dalam tuturan anak disleksia. Penelitian ini secara

fungsional menyingkap fenomena karakteristik bahasa dan struktur sintaksis bI

yang dituturkan oleh anak penyandang disleksia. Terkait dengan hasil analisisnya,

penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik secara akademis (teoretis)

maupun secara praktis.

1.4.1 Manfaat Akademis

Sebagaimana yang telah dijelaskan di bagian latar belakang bahwa kajian

terhadap karakteristik dan struktur sintaksis bI anak belum banyak dilakukan.

Kalaupun ada, masih terbatas pada bI anak yang normal (bukan penyandang

disleksia) dan analisisnya pun masih menggunakan teori linguistik lama

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

12

12

(tradisional) dan struktural sehingga hasil yang diperoleh masih bersifat kepadaan

deskriptif (descriptive adequacy) dan belum sampai pada taraf kepadaan

penjelasan (explanative adequacy). Dengan menggunakan teori secara eklektis,

yakni teori linguistik umum dan TLF, secara akademis penelitian ini diharapkan

dapat memberikan sumbangan yang berarti dan komprehensif dalam menguak

fenomena kompetensi linguistik anak penyandang disleksia. Selain itu, hasil

penelitian ini akan dapat menambah khazanah kepustakaan karakteristik dan

struktur sintaksis bahasa Indonesia anak (khususnya anak penyandang disleksia)

yang sampai saat ini dapat dikatakan masih langka.

1.4.2 Manfaat Praktis

Selain secara akademis sebagaimana disajikan pada bagian 1.4.1 di atas,

penelitian yang dilakukan ini diharapkan juga memberikan manfaat secara praktis.

Secara praktis, temuan terhadap karakteristik, variasi pola/unit sintaksis, dan

struktur sintaksis klausa/kalimat yang meliputi str-k, str-f, str-s, dan str-a dalam

tuturan anak disleksia dapat digunakan sebagai 1) substansi dasar bagi

pengembangan desain isi kurikulum pengajaran bI pada jenjang pendidikan anak

usia dini/usia kritis, khususnya bagi anak-anak disleksia, 2) masukan bagi usaha

penulisan buku ajar dan media ajar untuk jenjang pendidikan anak usia dini/usia

kritis, khususnya bagi anak-anak disleksia, dan 3) masukan bagi para guru atau

terapis pada jenjang pendidikan usia dini/ usia kritis, khususnya bagi anak-anak

disleksia, dalam hal memilih aspek-aspek bahasa sebagai alat komunikasi dalam

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

13

13

proses belajar-mengajar atau terapi agar bahasa yang digunakan oleh para guru

atau terapis sesuai dengan taraf perkembangan bahasa dan daya pikir anak.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mempunyai ruang lingkup masalah yang cukup luas, baik

yang berkaitan dengan disleksia itu sendiri maupun yang berkaitan dengan

fenomena tuturan (bahasa) anak disleksia. Banyak masalah yang dapat diteliti

terkait dengan disleksia, misalnya penyebab disleksia (cedera otak karena trauma

fisik atau kekurangan oksigen, faktor genetis, biokimia yang hilang, biokimia

yang merusak otak, dan sebagainya) dan penanganannya (pengobatan, terapi

perilaku, terapi wicara/bahasa, dan sebagainya). Masalah-masalah yang dapat

diteliti terkait dengan fenomena tuturan (bahasa) anak disleksia, misalnya

karakteristik tuturan (bahasa)-nya (defisit bunyi dalam tuturan anak disleksia,

penggunaan afiks dalam tuturan anak disleksia, pola urutan kata dalam tuturan

anak disleksia, struktur sintaksis dalam tuturan anak disleksia, dan sebagainya),

dan pembelajarannya (penerapan metode SAS dalam pembelajaran membaca dan

menulis pada anak disleksia, penggunaan media TIK dalam pembelajaran

membaca pada anak disleksia, dan sebagainya).

Ruang lingkup masalah penelitian yang demikian luas itu tentu saja tidak

mungkin dapat dijangkau dalam jangka waktu dan dengan kemampuan peneliti

yang terbatas. Oleh karena itu, peneliti membatasi penelitian ini pada aspek

karakteristik dan struktur sintaksis dalam tuturan anak disleksia. Kajian dengan

teori TLF yang didukung dengan teori linguistik umum ini difokuskan pada: (1)

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

14

14

karakteristik bahasa Indonesia (tuturan) anak disleksia; (2) variasi unit sintaksis

yang muncul dalam tuturan anak disleksia; dan (3) struktur sintaksis yang

meliputi Str-k, Str-f, Str-s, dan Str-a dalam tuturan anak disleksia. Penggunaan

teori TLF yang didukung dengan teori linguistik umum di sini dimaksudkan

sebagai landasan dalam mendeskripsikan dan menjelaskan berbagai fenomena

karakteristik dan struktur sintaksis bahasa Indonesia yang ditemukan dalam

tuturan anak disleksia.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

Pada bab ini disajikan kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan model

penelitian. Pada kajian pustaka diperlihatkan beberapa hasil penelitian yang

relevan yang pernah dilakukan sebelumnya. Yang dimaksudkan dengan beberapa

penelitian yang relevan di sini adalah penelitian tentang disleksia dan penelitian-

penelitian (lintas bahasa) yang menerapkan teori Tata Bahasa Leksikal-Fungsional

(TLF) dan dapat memberikan kontribusi terhadap penelitian ini. Pada bagian

konsep ini diberikan batasan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini

yang merupakan abstraksi dan sintesis dari teori yang diterapkan yang berkaitan

dengan masalah yang diteliti. Batasan istilah ini diberikan agar tercapai

pemahaman yang sama. Pada bagian landasan teori disampaikan penjelasan

mengenai teori yang diterapkan agar dapat dijadikan sebagai kerangka acuan

pemecahan masalah, yaitu teori TLF. Pada bagian model penelitian disampaikan

visualisasi bagan abstraksi alur pikir pelaksanaan penelitian.

2.1 Kajian Pustaka

Pada bagian kajian pustaka ini disampaikan beberapa hasil penelitian yang

pernah dilakukan yang relevan dengan penelitian ini. Relevansinya didasarkan

pada kesamaan objek penelitian, metode, dan teori yang diterapkan.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

16

2.1.1 Kajian Terdahulu terhadap Tuturan Anak Disleksia

Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan subjek anak

disleksia. Penelitian-penelitian tersebut ada yang terkait dengan pemberian terapi

atau pembelajaran yang ditujukan untuk membantu anak-anak disleksia yang

mengalami kesulitan dalam belajar membaca, tetapi juga ada yang terkait dengan

kemampuan menginterpretasikan suatu kalimat pada anak-anak disleksia. Berikut

dipaparkan secara singkat penelitian-penelitian yang dimaksud.

Pertama, penelitian yang berjudul ―Remidial Membaca dengan Metode

Fernald bagi Anak Disleksia‖ oleh Imandala (2009). Penelitian terhadap siswa SD

yang menyandang disleksia ini menemukan bahwa siswa mengalami kesulitan

membedakan huruf vokal <a, i, u, e, o>; siswa mengalami kesulitan dalam

membedakan konsonan-konsonan yang mirip, misalnya kata <tedi> dibacanya

[tebi], kata <nenas> dibacanya [memas], dan kata <roti> dibacanya [toti]; serta

siswa menghilangkan morfem tertentu, misalnya, <ibu membeli roti> dibacanya

menjadi [ibu beli roti]. Lebih lanjut, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa

fenomena itu terjaditidak disebabkan oleh adanya keterbelakangan mental,

gangguan emosional, tunarungu, tunanetra, hambatan lingkungan, budaya, atau

ekonomi. Penelitian yang dilakukan oleh Imandala (2009) itu menggunakan dua

metode untuk mengatasi kesulitan membaca siswa disleksia tersebut, yakni

metode taktil-kinestetik dan metode visual-auditif-kinestetik-taktil.

Meskipun penelitian yang dilakukan oleh Imandala (2009) tersebut tidak

membicarakan masalah klausa/kalimat yang dihasilkan oleh anak-anak

penyandang disleksia, penelitian tersebut tetap memberikan kontribusi dalam

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

17

penelitian yang dilakukan ini. Kontribusi tersebut berupa (1) gambaran awal

tentang tuturan anak disleksia yang menggunakan bahasa Indonesia, dan (2)

sebagai penguat penelitian yang dilakukan mengingat bahwa penelitian terhadap

aspek sintaksis bahasa Indonesia bagi anak-anak penyandang disleksia belum

pernah dilakukan.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Ekwall & Shanker 1988 (dalam

Shodiq, 1996:6). Penelitian ini mengungkapkan bahwa ada beberapa simtom yang

berkaitan dengan kasus kesulitan belajar membaca berat (disleksia), yakni (1)

pembalikan huruf dan kata; misalnya, membalikkan huruf b dengan d atau p,

huruf u dengan n, kata kuda dengan daku, palu dengan lupa, tali dengan ilat, dan

satu dengan utas; (2) pengingatan pada kata mengalami kesulitan atau tidak

menentu (eratik); (3) membaca ulang oral (secara lisan) tidak bertambah baik

setelah diberi bimbingan; (4) membaca tanpa suara (dalam hati); (5)

ketidaksanggupan menyimpan informasi dalam memori sampai jangka waktu

diperlukan; (6) kesulitan dalam berkonsentrasi; (7) koordinasi motorik tangan-

mata lemah; (8) kesulitan pada pengurutan; (9) ketidaksanggupan bekerja secara

tepat; (10) penghilangan kata-kata atau frasa; (11) kekacauan berkaitan dengan

membaca secara lisan (oral), misalnya, tidak mampu membedakan antara d dan p;

(12) diskriminasi auditori lemah; (13) miskin dalam sintaksis (ilmu tata bahasa),

gagap, dan bicara terputus-putus; (14) prestasi belajar dalam berhitung lebih

tinggi dibandingkan dengan prestasi dalam membaca/mengeja; dan (15)

hiperaktivitas.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

18

Penelitian yang dilakukan oleh Ekwall & Shanker (1988) cukup

komprehensif karena mencakup banyak aspek kebahasaan yang dialami oleh anak

disleksia. Akan tetapi, pada aspek sintaksis, penelitian tersebut baru menyinggung

sedikit persoalan, yakni masalah penghilangan kata-kata dan frasa yang dilakukan

oleh anak-anak penyandang disleksia. Dengan demikian, penelitian ini tetap

memberikan kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan ini, terutama sebagai

informasi awal tentang tuturan anak disleksia.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Wiki (2007). Penelitian ini

mengungkapkan bahwa kemampuan membaca erat kaitannya dengan kemampuan

berbahasa. Sementara itu, kemampuan berbahasa berhubungan erat dengan

intelegensi/kecerdasan. Anak disleksia memiliki kecerdasan rata-rata, bahkan ada

yang di atas rata-rata sehingga mereka itu cukup cerdas dan cukup lancar dalam

berbicara. Artinya, mereka ini seharusnya tidak memiliki kesulitan ketika belajar

membaca, tetapi kenyataannya meskipun mereka cerdas dan bicaranya cukup

lancar, mereka mengalami kesulitan belajar membaca. Tingkat kemampuan

membaca, menulis ekspresif, dan mengeja bagi anak-anak penyandang disleksia

berada di bawah rata-rata teman seusianya.

Wiki (2007) juga menegaskan bahwa pada saat membaca mereka

menunjukkan adanya tanda-tanda kesulitan membaca. Hal itu terlihat dari (1)

membaca lamban, turun naik intonasinya, dan kata-demi-kata; (2) sering menukar

huruf-huruf dan kata-kata yang mirip; (3) pengubahan huruf pada kata, misalnya,

baju menjadi baja dan batu menjadi bata; (4) kacau terhadap kata-kata yang

hanya sedikit berbeda susunannya, misalnya, bau, buah, batu, buta; (5) sering

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

19

menebak dan mengulangi kata-kata dan frasa; (6) menghilangkan sebagian huruf

(omission); (7) menambah huruf (addition); (8) terbalik huruf (reversal); (9) tidak

menguasai penggunaan tanda baca, misalnya, penggunaan tanda titik (.), tanda

koma (,), tanda tanya (?), tanda seru (!); dan (10) kesulitan dalam memahami isi

bacaan. Penelitian yang dilakukan oleh Wiki (2007) ini memberikan kontribusi

terhadap penelitian yang dilakukan, terutama terkait dengan pemahaman awal

tentang kemampuan anak-anak disleksia.

Keempat, penelitian yang berjudul ―Deficient Syntactic Control in Poor

Readers: Is Aweak Phoneticmemory Code Responsible‖ oleh Byrne (1981).

Penelitian ini menguji kemampuan menginterpretasikan makna berdasarkan

struktur kalimat yang menggunakan adjektiva sebagai inti predikat, klausa relatif,

dan pola urutan kata. Simpulan penelitian ini adalah bahwa anak-anak disleksia

menunjukkan level linguistik yang kurang matang bila dibandingkan dengan

anak-anak normal atau anak-anak disleksia menunjukkan keterlambatan

menguasai struktur sintaksis bila dibandingkan dengan anak-anak normal

seusianya.

Penelitian yang dilakukan oleh Byrne (1981) itu cukup menarik dan

memberikan kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan. Antara penelitian

Byrne dan penelitian yang dilakukan ini memiliki kemiripan. Kemiripan tersebut

terletak pada bidang kajian (sintaksis). Selain itu, penelitian tersebut memberikan

inspirasi terhadap penelitian yang dilakukan ini, yakni pemicu untuk dilakukan

penelitian yang tidak hanya mengkaji pemakaian adjektiva, tetapi juga pemakaian

kata-kata yang lain sebagai inti predikat.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

20

Kelima, penelitian yang berjudul ―Grammatical Knowledge of Third

Grade Good and Poor Readers‖ oleh Waltzman dan Cairns (2000). Penelitian ini

menguji kemampuan menginterpretasikan ekspresi pronomina berdasarkan

prinsip-prinsip gramatikal terhadap 63 anak usia 9 tahun dengan rincian 41 anak

normal dan 22 anak disleksia. Teknik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

meminta anak mencocokkan 28 kalimat yang diujarkan dengan gambar yang

sesuai yang telah disediakan. Teori yang digunakan adalah teori ikatan dan teori

kontrol. Hasil penelitian ini adalah anak-anak disleksia membuat lebih banyak

kesalahan bila dibandingkan dengan anak-anak normal seusia mereka.

Penelitian yang dilakukan oleh Waltzman dan Cairns tersebut memberikan

kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan ini. Ada tiga kontribusi penelitian

tersebut, yakni (1) sebagai informasi awal, (2) sama-sama mengkaji bidang

sintaksis, tetapi teori yang digunakan berbeda, dan (3) metode penelitian tersebut

memperkaya penelitian yang dilakukan ini.

Keenam, penelitian yang berjudul ―Language Deficits in Dyslexic

Children: Speech Perception, Phonology, and Morphology” oleh Joanisse dan

Manis (2000). Penelitian ini menunjukkan bahwa penderita disleksia memiliki

kemampuan untuk memersepsi tuturan. Penelitian ini juga menyajikan bahwa ada

perbedaan yang besar antara tipe-tipe fonologis dan nonfonologis penderita

disleksia. Pada subtipe fonologis ditemukan bahwa pola standar membaca bagi

penderita disleksia lemah, yang berbeda dengan anak-anak normal seusianya. Hal

ini terkait pula dengan aspek morfologi, yakni adanya kelambatan dalam

menghubungkan kata-kata. Penelitian yang dilakukan oleh Joanisse dan Manis

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

21

(2000) itu, meskipun tidak membahas aspek sintaksis, tetap memberikan

kontribusi dalam penelitian ini, terutama terkait dengan pemahaman terhadap

bahasa penderita disleksia.

Ketujuh, penelitian yang berjudul ―A Psycholinguistic Study on Language

Disorder of a Dyslexic Character in the Movie “Like Stars on Earth‖ oleh Aini

(2010). Penelitian ini merupakan penelitian kasus, yakni menjadikan Ishaan

sebagai objek penelitian. Karakter disleksia Ishaan memperlihatkan bahwa ia

memiliki tiga kesulitan belajar. Ishaan tidak dapat menggunakan lima elemen

persepsi visual dan auditoris secata sempurna. Dalam kegiatan membaca, Ishaan

menggunakan empat elemen, yakni relasi spasial, diskriminasi visual, rekognisi

objek, dan kesadaran fonologis. Selanjutnya, dalam menulis, Ishaan menggunakan

satu elemen persepsi visual (diskriminasi visual) dan tidak satu pun menggunakan

persepsi auditoris. Dari segi aritmemik (menghitung), Ishaan tidak satu pun

menggunakan persepsi auditoris. Berdasarkan kondisi Ishaan tersebut, orang

tuanya (Nikum) menerapkan metode Gilingham dan Stillman, serta beberapa

varian pembelajaran untuk mengatasi kesulitan belajar Ishaan. Akhirnya, Ishaan

dapat membaca, menulis, dan berhitung seperti anak normal yang lain.

Penelitian yang dilakukan oleh Aini tersebut memiliki relevansi dengan

penelitian ini. Relevansi tersebut berupa: (1) gambaran umum tentang kasus

penderita disleksia, (2) penderita disleksia dapat dibantu dengan menggunakan

metode-metode tertentu dan menerapkan berbagai variasi pembelajaran, serta (3)

pada kajian sintaksis apakah kalimat yang diproduksi oleh anak penderita

disleksia sama dengan anak yang lain. Hal ini perlu untuk dibuktikan.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

22

Kedelapan, penelitian yang berjudul ―Meaning and Dyslexia: A Study on

Pronouns, Aspect, and Quantification‖ oleh Fiorin (2010). Penelitian ini juga

menguji kemampuan menginterpretasikan kalimat-kalimat yang taksa/ambigu

pada anak-anak disleksia yang berusia 9—19 tahun. Temuan penelitian ini

menunjukkan bahwa 50% kalimat yang diujikan diinterpretasikan salah oleh

anak-anak disleksia.

Penelitian yang dilakukan oleh Fiorin (2010) tersebut memberikan

kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan, yakni (1) memiliki kesamaan

bidang kajian (sama-sama sintaksis), meskipun penelitian Fiorin terletak pada

aspek pemahaman (reseptif), sedangkan penelitian yang dilakukan ini terletak

pada aspek produktif, dan (2) memberikan kontribusi terhadap pemahaman akan

bahasa anak disleksia—terkait dengan kaidah-kaidah yang dikuasai oleh anak;

sebab, baik reseptif maupun produktif, terkait pada kaidah-kaidah gramatika,

termasuk di dalamnya gramatika-sintaksis.

Kesembilan, penelitian yang berjudul ―Dyslexia and the Acquisition of

Syntax Passive and Control‖ oleh Reggiani (2012). Penelitian ini memperlihatkan

bahwa anak-anak penderita disleksia (usia 5—9 tahun) gagal dalam pemahaman

pasif nonaksi. Selain itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk

kesalahan sintaksis yang dilakukan oleh anak-anak penderita disleksia pada usia

tersebut memiliki kesamaan. Selanjutnya, penelitian ini menyimpulkan bahwa

pemerolehan pasif dan kontrol (sintaksis) dilakukan melalui integrasi sintaktis dan

informasi leksikal.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

23

Penelitian yang dilakukan oleh Reggiani (2012) tersebut memberikan

kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan ini, terutama terkait dengan

informasi awal tentang penguasaan kaidah-kaidah sintaksis yang dimiliki oleh

anak-anak disleksia yang tercermin dari kemampuan mereka dalam memahami

tuturan (kalimat).

Kesepuluh, penelitian yang berjudul ―Elementary Teacher Candidates'

Level Of Knowledge On Dyslexia (Case Of Pamukkale University)‖ oleh Yurdakal

dan Kirmizi (2015). Studi ini bertujuan mengidentifikasi dan mengevaluasi

tingkat calon guru SD untuk pengetahuan, pandangan, dan opininya tentang anak

disleksia. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa pengetahuan calon guru

tentang anak disleksia sebagian besar benar dan di beberapa titik salah. Selain itu,

calon guru mengetahui masalah akademik, sosial, dan perilaku pada anak

disleksia, tetapi mereka tidak bisa menghasilkan solusi praktis untuk masalah ini.

Mereka tidak mengambil kursus yang berhubungan dengan disleksia dan tidak

menghadiri seminar. Meskipun para guru merasa memiliki pengetahuan yang

cukup dalam mengatasi kesulitan membaca dan kebanyakan dari mereka juga

merasa tidak membutuhkan pelatihan-layanan, hasil praktik mengajar dan

evaluasinya menunjukkan bahwa para guru perlu mengambil pelatihan in-service.

Penelitian yang dilakukan oleh Yurdakal dan Kirmizi (2015) tersebut

memberikan kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan ini, terutama terkait

dengan informasi awal tentang persepsi dan sudut pandang guru terkait anak

disleksia.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

24

Kesebelas, penelitian yang berjudul ―Pengaruh Permainan Scrabble

terhadap Peningkatan Kemampuan Membaca Anak Disleksia‖ oleh Saadah dan

Hidayah (2013). Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh permainan

scrabble terhadap peningkatan kemampuan membaca anak disleksia. Metode

penelitian yang digunakan adalah single-case experimental design dengan pola

desain A-B-A dan data dianalisis dengan metode visual Conservative Dual-

Criterion. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan

membaca lebih efektif pada subjek yang mendapatkan permainan scrabble.

Penelitian yang dilakukan oleh Saadah dan Hidayah (2013) tersebut

memiliki relevansi dengan penelitian ini. Kajian yang mereka lakukan

memberikan gambaran awal tentang pentingnya metode dan media (scrabble)

yang menyenangkan terhadap peningkatan kemampuan membaca anak disleksia.

Kedua belas, penelitian yang berjudul ―Pengaruh Stimulasi Visual untuk

Meningkatkan Kemampuan Membaca pada Anak Disleksia‖ oleh Kawuryan dan

Raharjo (2012). Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi

tingkat calon guru SD mengenai pengetahuan, pandangan, dan opininya tentang

disleksia. Selain itu, penelitian ini bertujuan meneliti pengaruh stimulasi visual

untuk meningkatkan kemampuan membaca pada anak disleksia.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara

pre test dan post test kemampuan membaca anak disleksia pada siswa SD.

Kemampuan membaca siswa disleksia menunjukkan peningkatan setelah

diberikan stimulasi visual. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian perlakuan

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

25

khusus berupa stimulasi visual terhadap para siswa yang mengalami disleksia

mempunyai pengaruh terhadap kemampuan membaca.

Penelitian yang dilakukan oleh Kawuryan dan Raharjo (2012) tersebut

memiliki relevansi dengan penelitian ini yaitu memberikan gambaran awal

tentang kemampuan membaca anak disleksia serta menginspirasi untuk meneliti

lebih jauh tentang variabel–variabel yang dapat memengaruhi kemampuan

membaca pada anak disleksia.

2.1.2 Kajian Terdahulu yang Menggunakan Teori Leksikal Fungsional

Telah banyak peneliti yang mengimplementasikan teori TLF dalam

penelitiannya. Namun, sejauh penelusuran pustaka oleh peneliti, belum ada

peneliti yang mengimplementasikannya ke dalam tuturan anak penyandang

disleksia. Oleh karena itu, pada bagian ini disajikan beberapa penelitian yang

menggunakan teori TLF yang memiliki kemiripan arah dan pola dengan penelitian

ini dengan harapan bisa digunakan sebagai bahan pembanding.

Penelitian yang telah menggunakan teori TLF di antaranya adalah

penelitian yang dilakukan oleh Arka (1998). Penelitian terhadap bahasa Bali

dengan judul ―From Morphosyntax to Pragmatics in Balinese: A Lexical –

Functional Approach‖ meneliti aspek morfosintaksis dan pragmatik bahasa Bali

secara komprehensif. Dengan paradigma teori TLF, struktur paralel seperti yang

terdapat pada teori TLF, yaitu str-a, str-sem, str-k, str-f, dan str-prag dibahas

secara detail. Penelitian Arka (1998) tersebut sangat bermanfaat sebagai bahan

pembanding penelitian yang dilakukan ini, terutama model analisisnya.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

26

Hasil penelitian Sawardi (2000) tentang ―Argumen Kompleks pada Verba

Kontrol dalam Bahasa Lio‖ menyebutkan bahwa struktur kalimat bahasa Lio

adalah SVO (dalam bentuk AV). Struktur kalimat tersebut beralternasi dengan

struktur SOV (dalam bentuk OV). Disimpulkannya bahwa bahasa Lio tidak

memiliki alternasi aktif-pasif. Penelitian Sawardi (2000) terhadap bahasa Lio ini

memiliki kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan ini, yaitu dalam hal proses

pengkajiannya karena ada kemiripan bidang kajian, yaitu struktur argumen.

Penelitian Sedeng (2000) tentang ―Predikat Kompleks dan Relasi

Gramatikal Bahasa Sikka‖ menyimpulkan bahwa dilihat dari str-fnya, predikat

kompleks bahasa Sikka dapat dikategorikan ke dalam monoklausal, biklausal, dan

struktur dengan argumen kompleks X-COMP dan X-ADJUNCT. Penelitian

Sedeng (2000) terhadap bahasa Sikka ini ada kesamaan dengan penelitian yang

dilakukan karena salah satu aspek inti yang diteliti, yaitu mengenai str-fnya. Oleh

karena itu, dalam menganalisis data struktur sintaksis tuturan anak disleksia,

terutama yang berkaitan dengan str-f, temuan Sedeng (2000) tersebut dapat

dirujuk sebagai bahan pembanding.

Yudha (2000) yang melakukan penelitian dengan judul ―Fungsi

Gramatikal Argumen Inti dan Sistem Terpilah Bahasa Kolana‖ menyimpulkan

bahwa klausa intransitif bahasa Kolana selalu memiliki struktur kanonik dan tidak

dapat diinversikan. ―S‖ sebagai satu-satunya argumen inti pada klausa instransitif

selalu menduduki posisi SUBJ gramatikal. Temuan lain, bahasa Kolana tidak

memiliki cara atau upaya dalam mengubah klausa intransitif menjadi klausa

transitif. Struktur dasar klausa bahasa Kolana adalah SOV dan dapat beralternasi

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

27

menjadi OSV pada verba yang bermarkah. SUBJ sebagai salah satu argumen inti

pada klausa transitif selalu diduduki oleh argumen yang secara semantis berperan

sebagai agen. Adapun OBJ sebagai inti kedua dapat diisi oleh argumen yang

mempunyai peran semantis lainnya: sebagai pasien, benefaktif, ataupun penerima

(receipient). Penelitian Yudha ini mempunyai kemiripan dengan penelitian yang

dilakukan, yaitu sama-sama mengkaji struktur argumen dengan teori TLF. Model

analisisnya, terutama terhadap struktur argumen, bermanfaat sebagai bahan

pembanding.

Mekarini (2001) dalam penelitiannya tentang ―Diatesis dan Pengikatan

Bahasa Dawan‖ mengemukakan bahwa bahasa Dawan memiliki tiga macam

diatesis, yaitu diatesis aktif, diatesis objektif, dan diatesis pasif. Salah satu aspek

yang dikaji dalam penelitian struktur sintaksis tuturan anak disleksia ini adalah

konstruksi aktif dan pasif. Oleh karena itu, pembahasan mengenai diatesis dalam

temuan Makarini tersebut dapat dirujuk-silang sebagai pembanding.

Penelitian lain yang menerapkan teori TLF adalah yang dilakukan oleh

Cosmas (2008) yang berjudul ―Klausa Bahasa Rongga: Sebuah Analisis Leksikal

Fungsional‖. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa secara kanonis bahasa

Rongga termasuk bahasa yang bertata urut OV dengan variasi SVO dan VOS.

Dari aspek fungsi gramatikal, bahasa Rongga mempunyai fungsi gramatikal inti,

yaitu SUBJ, OBJ, OBJө dan non-inti yang meliputi OBL, KOMP, dan ADJUNG.

Dalam bahasa Rongga, PRED dapat diisi oleh kategori verba ataupun nonverba.

PRED verba bisa berupa verba sederhana dan verba kompleks, terutama

serialisasi. Secara morfologis, bahasa Rongga tidak mempunyai strategi khusus

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

28

dalam mengubah valensi verba karena tidak memiliki sarana morfologis untuk itu.

Alternasi-alternasi struktur klausa tidak berdampak pada munculnya perubahan

valensi. Strategi yang diandalkan untuk mengubah valensi dalam bahasa ini

adalah melalui mekanisme pengausatifan, pengaplikatifan, dan peresultatifan.

Dalam bahasa Rongga, agen hanya bisa dipetakan ke fungsi SUBJ dan OBL.

Secara struktural, bahasa Rongga memiliki alternasi struktur, seperti pasivisasi,

kausativisasi, dan alternasi pragmatis. Konstruksi pasif dalam bahasa Rongga

adalah pasif sintaktis. Kausatif bahasa Rongga terdiri atas dua tipe, yaitu tipe A

dan tipe B. Secara sintaktis, kausatif tipe A menghasilkan monoklausal, yang

terdiri atas dua fungsi inti, yaitu SUBJ dan OBJ. Sementara itu, kausatif tipe B

menghasilkan biklausal, yang terdiri atas dua fungsi inti, yakni SUBJ dan OBJ,

serta fungsi noninti berupa XKOMP. Kausatif tipe A memiliki tata urut SUBJ-

PRED-OBJ, sedangkan kausatif tipe B dengan tata urut SUBJ-PRED-OBJ-

XKOMP. Penelitian Cosmas ini besar manfaatnya bagi penelitian ini. Metode dan

teknik kajiannya dalam menganalisis struktur paralel sintaksis dapat dijadikan

sebagai bahan rujuk silang.

Penelitian terbaru yang menerapkan teori TLF dilakukan oleh Yudha

(2011) dalam disertasinya yang berjudul ―Struktur dan Fungsi Gramatikal Bahasa

Lio‖. Dalam simpulan analisisnya Yudha mengatakan bahwa bahasa Lio memiliki

fungsi gramatikal inti SUBJ, OBJ, OBJө dan fungsi gramatikal noninti OBL,

KOMP, dan ADJUNG. Fungsi SUBJ bahasa Lio tidak bisa direlatifkan, tidak bisa

dikontrol, tidak bisa raising, dan tidak bisa disisipi adverbia. SUBJ bisa definit

dan tidak definit. Secara kanonis, SUBJ selalu muncul pada posisi praverba

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

29

sebagai konstituen inti, sedangkan OBJ muncul pada posisi posverba. Dalam

struktur nonkanonis, SUBJ muncul pada akhir klausa dan verba muncul pada awal

klausa. Tata urut bahasa Lio adalah SVO, VOS, dan OSV. Fungsi PRED bahasa

Lio dapat terdiri atas verba tunggal dan kompleks. Selain itu, perubahan valensi

dalam bahasa Lio dapat dilakukan melalui pengausatifan, pengaplikatifan, dan

peresultatifan. Dalam struktur kausatif, terdapat dua argumen inti yang

dibutuhkan verba, yaitu aktor dan pasien (undergoer). Bahasa Lio tidak memiliki

konstruksi pasif karena tidak memiliki pemarkah morfologis dan sintaktis

sehingga bersifat pengedepanan OBJ menjadi pasien fokus. Berdasarkan tipologi

pemarkahan, bahasa Lio tergolong bahasa akusatif yang memperlakukan A sama

dengan S (S/A) dan berbeda dengan P. Penelitian Yudha ini besar manfaatnya

bagi penelitian ini. Teknik kajian dan prosedur analisisnya dalam menerapkan

teori TLF dan Teori Pemetaan Leksikal dapat dijadikan sebagai bahan

pembanding.

Metode, teknik, dan prosedur analisis, serta temuan para peneliti terhadap

bahasa-bahasa nusantara yang menggunakan teori TLF tersebut akan sangat

bermanfaat bagi peneliti dalam melakukan penelitian terhadap struktur sintaksis

tuturan anak disleksia.

Berikutnya adalah penelitian yang berjudul ―Phrase Structure in a

Computational Model of Child Language Acquisition‖ oleh Gaylard (1995).

Penelitian ini mendeskripsikan model komputasional pemerolehan bahasa anak

yang didapat secara berulang. Model ini tidak berangkat dari tata bahasa,

leksikon, atau segmentasi. Penelitian ini menggambarkan bahwa produk awal

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

30

pemerolehan bahasa adalah leksikon yang diuraikan dari tuturan dan dari

keadaan-terbatas tata bahasa. Leksikal-leksikal yang diperoleh dijadikan pemandu

untuk melihat pemerolehan leksikal. Penelitian ini menggunakan Tata Bahasa

Leksikal Fungsional (TLF). Untuk itu, penelitian ini memberikan kontribusi

terhadap penelitian yang dilakukan, terutama terkait dengan penggunaan teori

TLF.

2.2 Konsep

Agar tercapai kesamaan pemahaman terhadap beberapa istilah teknis

linguistik yang digunakan dalam tulisan ini, pada bagian ini dikemukakan

beberapa konsep utama yang digunakan dalam penelitian ini. Beberapa konsep

tersebut meliputi struktur sintaksis, klausa/kalimat, struktur konstituen (str-k),

struktur fungsional (str-f), struktur argumen (str-a), struktur semantik (str-s), dan

struktur informasi (si).

2.2.1 Struktur Sintaksis

Istilah struktur dalam disertasi ini merujuk pada keterkaitan hubungan

antarkonstituen dalam membangun sebuah makna satuan lingual yang utuh. Jadi,

struktur sintaksis dapat didefinisikan sebagai jalinan/keterkaitan hubungan

antarkonstituen untuk membangun makna yang utuh dalam sebuah satuan lingual

pada tataran sintaksis, yakni frasa, klausa, atau kalimat.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

31

2.2.2 Klausa/Kalimat

Dalam konstruksi sintaksis, klausa dan kalimat sering dipandang sebagai

dua istilah yang berbeda. Namun, tidak jarang kedua istilah itu juga dipandang

sebagai dua istilah yang sama. Alwi dkk. (2000: 311—313) mendefinisikan klausa

sebagai konstruksi sintaksis yang terdiri atas subjek dan predikat, tanpa

memperhitungkan intonasi atau pungtuasi akhir. Verhaar (1996:162)

mendefinisikan klausa sebagai kalimat yang terdiri atas sebuah verba atau frasa

verbal, disertai satu atau lebih konstituen yang secara sintaktis berhubungan

dengan verba tersebut. Menurut Lapoliwa (1990:19), istilah klausa dipakai untuk

merujuk pada satuan konstruksi dalam kalimat yang mempunyai struktur

predikasi. Oleh karena itu, dia mendefinisikan klausa sebagai kalimat tunggal

tanpa intonasi.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut jelas bahwa jika dilihat dari segi

konstruksinya, baik klausa maupun kalimat, sama-sama merupakan konstruksi

sintaksis yang minimal terdiri atas subjek (SUBJ) dan predikat (PRED), baik

disertai objek (OBJ), komplemen/pelengkap (PEL), dan keterangan/adjung (ADJ)

maupun tidak. Jadi, di sini konstruksi klausa sama dengan konstruksi kalimat

tunggal.

Namun, secara hierarki, klausa merupakan bagian dari konstruksi kalimat.

Klausa merupakan unsur pembentuk konstruksi kalimat. Kalimat dapat dibentuk

oleh satu, dua, atau lebih klausa. Jumlah klausa dalam kalimat dapat ditentukan

dari jumlah PRED yang ada dalam kalimat tersebut. Oleh karena itu, konsep

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

32

klausa dan kalimat dalam penelitian ini tidak dibedakan hanya dalam pengertian

kalimat tunggal.

2.2.3 Struktur Konstituen

Struktur konstituen (Str-k) merupakan struktur yang berfungsi untuk

mengatur hubungan ekspresi tata urut kata yang lebih nyata (Alsina, 1996:16;

Dalrymple, 2001:7; Arka, 20003:73;). Struktur konstituen mengatur urutan kata

dan bagaimana kata-kata itu berkombinasi dalam membentuk frasa. Dalam

pandangan TLF, setiap struktur klausa atau kalimat dibentuk berdasarkan kaidah

struktur frasa. Kaidah struktur frasa inilah yang mengatur berbagai kemungkinan

tata urut kata secara linier dan hierarki, dalam setiap klausa atau kalimat. Kaidah

struktur frasa mengikuti kaidah yang bersifat universal dalam teori X-bar, yang

berpandangan bahwa setiap struktur selalu mempunyai pusat (head) sehingga

selalu bersifat endosentris (Alsina, 1996:17; Arka, 2003:73).

2.2.4 Struktur Fungsional

Struktur fungsional (Str-f) adalah struktur yang mengatur relasi gramatikal

(dan semantis) yang dianggap lebih konsisten dan berisi properti yang bersifat

agak ajeg secara lintas bahasa (Dalrymple, 2001:7; Arka, 2003:73). Yang

dimaksud relasi gramatikal di sini adalah relasi fungsi sintaksis, yaitu relasi

SUBJ(ek), OBJ(jek), OBL(ik). Dalam pandangan TLF, fungsi gramatikal

dikaitkan dengan konsepsi bahwa relasi gramatikal (seperti SUBJ, OBJ, dan

sebagainya) dapat dimodelkan dengan struktur matriks dengan relasi gramatikal

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

33

dan informasi lainnya yang membentuk pasangan atribut dan nilai dalam struktur

formal, yang disebut struktur fungsional (Alsina, 1996:18; Bresnan, 2001:47;

Arka, 2003:61).

2.2.5 Struktur Semantis

Struktur semantis (Str-s) merupakan istilah yang digunakan untuk

menggambarkan kandungan semantis bentuk linguistik, khususnya verba sebagai

predikator. Komponen-komponen makna yang bersesuaian secara sintaktis

diungkapkan dalam pengertian leksikal (Arka, 1998:197). Dalam hal ini, str-s

terdiri atas unit-unit semantis yang terstruktur dari kompleksitas yang berbeda.

Str-s memiliki peringkat yang membatasi prominansi relatif di antara argumen

(Arka, 1998:200—201).

2.2.6 Struktur Argumen

Struktur argumen (Str-a) didefinisikan sebagai struktur tengahan atau

struktur antara yang di dalamnya terkandung informasi mengenai valensi verba

(misalnya, verba berargumen satu, verba berargumen dua, verba berargumen

tiga), keintian argumen (misalnya, argumen inti dan argumen noninti), dan

prominensi suatu argumen (misalnya, argumen inti mengalahkan noninti), dalam

rangkaian inti dan noninti, prominensinya menggambarkan prominensi semantik

(Alsina, 1996; Arka, 2003).

2.2.7 Struktur Informasi

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

34

Konsep struktur informasi (Si) dalam penelitian ini merujuk pada pendapat

Lambrecht (1994:5) yang menyatakan bahwa struktur informasi merupakan

bagian dari tata bahasa kalimat yang di dalamnya terdapat proposisi sebagai

representasi konseptual dari keadaan, yang berpasangan dengan struktur leksiko-

gramatikal dalam kaitannya dengan keadaan mental pelibat tutur yang

menggunakan dan menafsirkan struktur tersebut sebagai unit informasi dalam

konteks wacana tertentu.

2.2.8 Anak Disleksia

Anak disleksia (AD) adalah anak yang mengalami kesulitan dalam belajar

membaca meskipun memiliki tingkat kecerdasan rata-rata atau bahkan di atas

rata-rata, mendapatkan pendidikan yang cukup, dan tidak memiliki cacat sensori

Selain itu, mereka juga mengalami kesulitan dalam mempelajari komponen-

komponen kata dan kalimat, sistem representasional waktu dan arah, serta mengalami

keterlambatan dalam perkembangan bahasa. (Byrne, 1981:14). Mereka mengalami

kesulitan mulai dari bidang fonologi, morfologi, hingga sintaksis (Reggiani,

2012:10).

2. 3 Karangka Teori

Penelitian struktur sintaksis dalam tuturan anak disleksia ini menggunakan

teori Tata Bahasa Leksikal Fungsional (=TLF) (Lexical Functional Grammar).

TLF dirancang pada tahun 1970, tetapi baru dikembangkan pada tahun 1982 oleh

Ronald M. Kaplan dan Joan Bresnan. TLF merupakan teori linguistik formal yang

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

35

berfokus pada bidang sintaksis. TLF termasuk tata bahasa generatif

nontransformasional yang berbasis pada leksikon. Sebagai bagian dari teori

generatif, TLF juga mengacu pada konsep dasar teori generatif yang memandang

bahwa tata bahasa terdiri atas seperangkat modul, prinsip-prinsip tertentu, dan

kendala-kendala tertentu yang membentuk suatu mekanisme yang mampu

menghasilkan ekspresi bahasa yang tidak terbatas jumlahnya (Arka, 2003:60-61).

Teori TLF berbasiskan pada entri leksikal dengan asumsi dasar bahwa

suatu unsur yang digabungkan dengan unsur lain dalam membentuk suatu

konstruksi sangat bergantung pada unsur leksikal (Kaplan dan Bresnan dalam

Dalrymple dkk., ed., 1995: 30-31). Ini berarti unsur leksikal merupakan unsur

penentu dalam membangun suatu konstruksi kebahasaan, terutama konstruksi

kalimat. Secara garis besar, model TLF dapat disajikan dalam bentuk bagan

berikut (Simson, 1991).

Leksikon:

Penyelipan leksikal

Kata

Struktur linier/berhierarki

Struktur konstituen Struktur fungsional

Pembentukan kata

Entri leksikal

Kaidah struktur frasa

Interpretasi semantik Ekspresi fonetis

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

36

Bagan 2.1. Model Tata Bahasa Leksikal Fungsional

Berdasarkan bagan di atas dapat dinyatakan bahwa dalam TLF leksikon

merupakan komponen utama. Leksikon menyimpan berbagai informasi, baik

morfologis, gramatika, maupun semantis, yang sangat penting dalam menentukan

berbagai operasi leksikal gramatikal suatu ekspresi bahasa. Leksikon mempunyai

peran penting, tidak hanya menyampaikan informasi yang tidak bisa diprediksi,

tetapi juga menjadi tempat berbagai kaidah leksikal yang memungkinkan

terjadinya operasi leksikal pembentukan kata (afiksasi dan devivasi) itu dilakukan,

termasuk bagaimana argumen dipetakan ke dalam fungsi gramatikal. Jadi,

leksikon juga merupakan tempat berbagai proses operasi beraturan yang

menentukan konstruksi sintaksis.

Dalam pandangan TLF, di dalam suatu konstruksi klausa/kalimat terdapat

beberapa lapisan struktur, yaitu str-k, str-f, str-a, dan str-s. Masing-masing lapisan

struktur tersebut dapat direpresentasikan sendiri-sendiri dan dapat pula

dikorespondensikan secara paralel.

2.3.1 Struktur Konstituen dan Kaidah Struktur Frasa

Penyajian pengelompokan dan pengurutan kata-kata secara hierarkis

dalam frasa disebut struktur konstituen (str-k). Kaidah struktur frasa menentukan

berbagai kemungkinan tata urut kata secara linier dan hierarkis dalam membentuk

str-k. Dalam teori X-bar, kaidah struktur frasa mengikuti prinsip-prinsip yang

bersifat universal, yakni setiap frasa dipandang selalu memiliki struktur yang

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

37

bersifat endosentris. Ini berarti setiap struktur frasa selalu memiliki komponen

yang menjadi inti. Hal ini dapat digambarkan seperti diagram 2.1 berikut.

Diagram 2.1 Proyeksi X-bar

Pada diagram 2.1. di atas, X melambangkan kata untuk kategori apa pun,

yang dipahami sebagai tingkat kosong (Xo). X merupakan inti struktur dan

diproyeksikan (dapat diperluas dengan unit-unit lain selain X) menjadi unit yang

lebih luas secara bertingkat (hierarkis). Disetujui terdapat dua tingkat, yakni

tingkat maksimal yang dilambangkan dengan FX (maksudnya Frasa X) dan

tingkat antara yang dilambangkan dengan X‘ (yang dibaca X-bar). Unit-unit

perluasan yang membentuk struktur bertingkat ditunjukkan oleh FY dan FZ.

Perluasan FY ke arah kiri dan perluasan FZ ke arah kanan meskipun secara

teoretis keduanya bisa ke kiri atau ke kanan.

Dalam hal ini, X melambangkan kategori gramatikal (KG) yang terdiri

atas dua kategori, yakni (1) kategori leksikal yang meliputi nomina (N), verba

FY

FX

X‘

X FZ

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

38

(V), adjektiva (A), preposisi (P), dan Adverbia (ADV); dan (2) kategori

fungsional, yang meliputi determiner (D) dan infleksional (I).

Berdasarkan prinsip X-bar tersebut, dapat diperoleh proyeksi dengan

kategori yang berbeda-beda, misalnya dengan kategori leksikal N akan didapatkan

N‘ dan FN, dengan kategori leksikal D akan didapatkan D‘ dan FD, dan

seterusnya.

Teori TLF dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa terdapat keberagaman

ekspresi lahir (misalnya, tata urut dan kompleksitas morfologi) bahasa-bahasa di

dunia pada satu sisi dan kesamaan pada sisi yang lain. Struktur konstituen (str-k)

merupakan struktur dari bentuk ekspresi lahir, sedangkan struktur fungsional (str-

f) merupakan sistem dari penghubung peran-peran yang terdapat dalam ekspresi

lahir. Oleh karena itu, dalam teori TLF, tata bahasa dikonsepsikan sebagai suatu

sistem yang terdiri atas struktur paralel, yaitu struktur konstituen (str-k) dan

struktur fungsional (str-f). Str-k mengandung informasi tentang dominasi

(dominance), tata urut (precedence), dan relasi kontituen (constituen relation);

sedangkan str-f mengandung informasi fungsional sintaksis mengenai nosi, seperti

struktur argumen sintaksis dan adjung. Jadi, dalam str-f terlihat gabungan nama-

nama fungsi gramatikal, bentuk-bentuk semantis, dan simbol-simbol khusus

(Kaplan dan Bresnan dalam Dalrymple dkk., ed., 1995:31).

Untuk memberikan gambaran lebih jelas, kalimat bahasa Inggris Burhan

sees Sandra dapat dibuatkan str-k seperti yang tampak pada diagram pohon 2.2

berikut.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

39

Diagram 2.2 Struktur Konstituen

2.3.2 Struktur Fungsional dan Korespondensinya dengan Str-k

Dalam TLF, str-f merupakan struktur yang menyatakan representasi

semantis-gramatikal yang dimodelkan dengan matriks fungsi yang mengandung

pasangan atribut dan nilai (value). Kaidahnya, setiap atribut hanya boleh memiliki

sebuah nilai. Terdapat tiga nilai (value) primitif, yakni (1) simbol-simbol

sederhana (simple symbols), (2) bentuk-bentuk semantis yang menguasai proses

interpretasi semantis, dan (3) bagian struktur fungsional, sejumlah urutan

( ↑ PRED) =‘BURHAN‘

( ↑ NUMBER) =SING

( ↑ PERSON) = 3

( ↑ PRED)=‘SEE<(↑SUBJ)(↑OBJ)>‘

( ↑ TENSE) = PRESENT ( ↑ NUMBER) =SING

( ↑ PRED) =‘SANDRA‘

( ↑ PERSON) = 3

Sandra sees Burhan

FI

V‘

FV

I‘

V

FN

N

N‘

FN

N

N‘

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

40

pasangan yang menggambarkan kerumitan fungsi internal yang berlapis-lapis

(Dalrymple, 1993:100; Kaplan dan Bresnan, 1995:32).

Agar dihasilkan kondisi str-f yang baik/berterima (well-formedness

condition), terdapat tiga prinsip/kendala utama yang perlu diperhatikan dalam

menyusun str-f, yakni (1) keunikan atau konsistensi (uniqueness or consistency),

(2) kelengkapan (completeness), dan (3) koherensi (coherence).

Sebuah str-f dapat dinyatakan memenuhi syarat keunikan atau konsistensi

(uniqueness or consistency) apabila setiap atribut yang terdapat di dalamnya

hanya memiliki sebuah nilai (value). Sebuah str-f dapat dinyatakan memenuhi

syarat kelengkapan (completeness) apabila mengandung semua fungsi gramatikal

yang disubkategorisasi oleh predikat kalimat. Sebagai contoh, sebuah str-f dari

kalimat dengan predikat ekatransitif dapat dinyatakan tidak lengkap apabila hanya

atribut fungsi SUBJ saja atau fungsi OBJ saja yang diisi. Kemudian, sebuah str-f

dapat dinyatakan memenuhi syarat koherensi (coherence) apabila semua argumen

yang ada dalam str-f tersebut benar-benar merupakan argumen dari predikat

kalimat yang ada dalam str-f tersebut dan yang satu dengan yang lainnya

mempunyai hubungan yang koheren. Syarat koherensi meminta str-f tidak boleh

berisi fungsi yang melebihi dari yang ada di subkategorisasinya. Dengan kata lain,

sebuah str-f dari kalimat dengan verba intransitif akan menjadi tidak koheren

apabila dalam str-fnya terdapat OBJ (Arka, 2003:70). Sebagai contoh, kalimat

bahasa Inggris *The girl donated termasuk kalimat yang tidak lengkap

(incomplete) karena verba donate menguasai tiga fungsi gramatikal, yakni SUBJ,

OBJ, dan OBLGO. Sebaliknya, kalimat *The girl donated the school the book

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

41

adalah tidak lengkap dan tidak koheren karena kalimat itu kehilangan OBLGO dan

tidak menguasai OBJT (the school). Akan lebih tepat jika verba donate pada

kalimat tersebut diganti dengan verba dwitransitif give yang menguasai tiga fungsi

gramatikal, yaitu SUBJ, OBJ, dan OBJT.

Untuk selanjutnya, dalam membuat diagram str-f akan lebih mudah

dilakukan apabila didahului dengan pembuatan entri leksikal dan diagram str-k.

Berikut diilustrasikan str-f yang didahului entri leksikal dan str-k.

(2) Alin ambil krupuk itu.

a) Entri leksikal:

Aku N (↑PRED) = ‗PRO‘

(↑NUM) = TG

(↑PERSON) = 1

ambil V (↑PRED) = ‘AMBIL < (↑SUBJ) (↑OBJ) >‘

krupuk N (↑PRED) = ‗KRUPUK‘

itu D (↑DET) = +

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

42

b) Str-k

Diagram 2.3 Struktur Konstituen

Representasi str-k di atas dapat dilengkapi dengan notasi tanda panah naik-

turun (metavariabel) untuk menunjukkan arah aliran informasi fungsional dalam

setiap simpul. Selain itu, metavariabel tersebut juga dapat digunakan untuk

menggambarkan fungsi gramatikal yang diproyeksikan oleh frasa. Representasi

str-k dengan metavariabel fungsional dapat dilihat pada diagram pohon 2.4

berikut.

itu Aku ambil krupuk

FI

V‘

FV

I‘

V FD

D‘

D FN

FN

N

N‘

N‘

N

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

43

c) Str-k dengan metavariabel fungsional

Diagram 2.4 Struktur Konstituen dengan Metavariabel Fungsional

krupuk

Aku ambil itu

N

↑=↓

FN

↑=↓

D

↑=↓

N‘

↑=↓

krupuk

D‘

↑=↓

FD

(↑OBJ)=↓

FI

FN

(↑SUBJ)=↓

N

↑=↓

N‘

↑=↓

V‘

↑=↓

FV

↑=↓

I‘

↑=↓

V

↑=↓

krupuk

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

44

Tanda panah dapat dibuat dalam bentuk sederhana ↑ = ↓, tetapi dapat pula

dilengkapi dengan fungsi gramatikal, misalnya ( ↑SUBJ) = ↓. Tanda panah naik

turun menyatakan dua hal penting, yaitu (i) aliran informasi pada str-k, dan (ii)

korespondensi atau pemetaan antara str-k dengan str-f. Tanda itu mempunyai efek

informasi dua arah. Misalnya, tanda ↑ = ↓ pada simpul I‘ pada diagram 2.4 di

atas mempunyai arti ‘informasi yang ada pada simpul I‘ ini sama dengan

informasi yang ada pada simpul atasnya‘, atau sebaliknya, ‗informasi dari simpul

atasan I‘ adalah sama dengan informasi yang dibawa oleh simpul I‘ itu sendiri‘.

Tanda ↑=↓ itu juga menyatakan bahwa informasi yang dibawa oleh verba yang

diproyeksikan ke FV kemudian diproyeksikan lagi ke I‘ diteruskan ke atas

melampaui batas proyeksi maksimal kategori, yakni melampaui batas frasa.

Demikian juga tanda (↑SUBJ) =↓ pada simpul FN mempunyai arti

‗informasi yang dibawa oleh simpul FN adalah informasi mengenai SUBJ dari

simpul atasannya, atau simpul atasan FN (yaitu FI = klausa/kalimat) mempunyai

SUBJ dan informasi SUBJ ini adalah informasi yang dibawa oleh FN.

Selanjutnya, informasi FN ini datangnya dari simpul bawahannya, yaitu secara

berturut-turut dari N‘ dan N.

Deskripsi str-k dengan notasi metavariabel di atas dapat disederhanakan

dengan menghilangkan simpul bar yang kosong semata-mata untuk kepentingan

efisiensi penulisan (lihat Dalrymple, 2001). Oleh karena itu, str-k yang terdapat

pada 2.4 di atas dapat disederhanakan menjadi 2.5 berikut.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

45

d) Str-k dan korespondensinya dengan str-f

Diagram 2.5 Korespondensi Struktur Konstituen dan Struktur Fungsional

krupuk

FV

ƒi‘ = ƒƒv

V‘

ƒƒv = ƒv‘

krupuk

g

h

i

I‘

ƒƒi = ƒi‘

V

ƒv‘ = ƒv

N

ƒn‘ = ƒn

FN

(ƒƒi SUBJ)= ƒƒn

Aku ambil itu

N

ƒn‘ = ƒn

FN

ƒd‘ = ƒƒn

D

ƒd‘ = ƒd

N‘

ƒƒn = ƒn‘

krupuk

D‘

ƒƒd = ƒd‘

FD

(ƒv‘ OBJ)= ƒƒd

FI

N‘

ƒƒn = ƒn‘

krupuk

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

46

PRED PRO

SUBJ h NUM TG

PERS 1

g PRED ‗ambil <(SUBJ)(OBJ)>‘

PRED ‗KRUPUK‘

OBJ i DEF +

Diagram 2.6 Struktur Fungsional

Dalam diagram str-k pada 2.5 di atas digunakan notasi ƒ yang diikuti nama

kategori pada simpul di atasnya untuk menggantikan tanda panah naik dan notasi

ƒ yang diikuti nama kategori dirinya sendiri untuk menggantikan tanda panah

turun. Dalam hal ini, notasi ƒ digunakan untuk memperjelas makna dari

metavariabel tanda panah naik-turun, di samping itu, juga untuk menunjukkan

korespondensi str-k dengan str-f. Korespondensi yang ditunjukkan dengan fungsi

g dalam str-k di atas menyatakan bahwa semua fungsi ƒƒi, ƒƒv, ƒv‘, dan ƒv

mengacu pada str-f secara keseluruhan. Semua fungsi yang terdapat dalam FN di

sebelah kiri dan di bawahnya, yang diberi notasi h, semuanya mengacu pada

fungsi SUBJ. Adapun semua fungsi yang terdapat dalam FD di sebelah kanan dan

di bawahnya, yang diberi notasi i, semuanya mengacu pada fungsi OBJ.

Str-f pada diagram 2.6 di atas menunjukkan adanya sebuah PRED dan dua

buah fungsi gramatikal inti, yaitu SUBJ dan OBJ. SUBJ dan OBJ merupakan

atribut fungsi gramatikal, sedangkan PRED menandai atribut semantis. Setiap

atribut mempunyai nilai (value): atribut SUBJ mempunyai nilai berupa str-f, yang

ditandai dengan notasi h; atribut PRED mempunyai nilai berupa subkategorisasi

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

47

ambil <SUBJ, OBJ>; dan atribut OBJ mempunyai nilai berupa str-f, yang ditandai

dengan notasi i. Str-f dalam lapisan kedua, yaitu h dan i, juga mempunyai atribut

tersendiri. Dalam h terdapat tiga atribut, yaitu PRED dengan nilai PRO; atribut

NUM dengan nilai TG; dan atribut PERS dengan nilai 1. Dalam i terdapat dua

atribut dengan nilai masing-masing, yaitu atribut PRED dengan nilai KRUPUK

dan atribut DEF dengan nilai plus (+) yang bermakna ketakrifan.

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

48

2.4 Model Kerangka Kerja Teoretis Penelitian

Berdasarkan fenomena bahasa yang dikaji, rumusan masalah, dan

kerangka teori yang digunakan, model penelitian ini dapat divisualisasikan dalam

bentuk bagan abstraksi seperti berikut.

Bagan 2.2 Model Kerangka Kerja Teoretis Penelitian

Lingu-

istik

Umum

Temuan penelitian

Deskripsi dan analisis

struktur konstituen

Deskripsi dan analisis

struktur fungsional

Tata Bahasa

Leksikal

Fungsional

(TLF)

Deskripsi dan analisis

variasi unit sintaksis

Deskripsi dan analisis

karakteristik bahasa AD

Analisis

struktur

sintaksis

Kalimat AD

Landasan Filosofis

Metode Teori

Observasi

Alat perekam

Alat pencatat

Alat pancing

Anak-anak

Diseleksia

Informasi ortu & guru

Tulisan AD

Tes IQ AD

Tuturan AD Data

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

49

Cara kerja model penelitian pada bagan 2.2 di atas dapat dijelaskan dari

tiga paradigma dalam melaksanakan penelitian di bidang humaniora, yakni

ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Secara singkat, ketiga paradigma dalam

penelitian itu dapat diuraikan sebagai berikut.

1) Ontologis

Aspek ontologis terkait dengan fenomena kebahasaan yang diteliti sebagai objek

penelitian, yakni struktur sintaksis bahasa Indonesia dalam tuturan AD yang

kemudian dituangkan dalam rumusan masalah penelitian.

2) Epistemologis

Paradigma ini memperlihatkan keterkaitan antara masalah yang merupakan objek

penelitian dengan pengetahuan yang tersedia, misalnya penerapan teori yang

digunakan untuk memecahkan masalah yakni fenomena karakteristik bahasa AD,

variasi unit sintaksis dalam tuturan AD, dan struktur sintaksis yang meliputi

struktur konstituen dan struktur fungsional dalam tuturan AD.

3) Aksiologis

Aspek aksiologis terkait dengan temuan penelitian yang diharapkan dapat

memberikan manfaat teoretis untuk pengembangan teori dan manfaat praktis bagi

para pemangku kepentingan, misalnya para orang tua yang memiliki anak

disleksia, para guru atau terapis anak disleksia, para penulis buku ajar, para

pengembang media pembelajaran, dan para pengembangan desain isi kurikulum

pengajaran bI pada jenjang pendidikan anak usia dini/usia kritis, khususnya bagi

anak-anak disleksia.

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

50

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dirancang dalam bentuk penelitian deskriptif-kualitatif.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pospositivisme fenomenologi

interpretatif dengan model naturalistik (Muhadjir, 2002:17, 148—151). Dipilihnya

pendekatan ini didasarkan pada pertimbangan keunggulannya, yaitu mampu

memberikan deskripsi yang mendalam tentang realitas dan fenomena penggunaan

bahasa seperti apa adanya, natural, tidak parsial, dan tidak artifisial. Dengan

pendekatan ini, diharapkan deskripsi yang dihasilkan dapat memberikan gambaran

secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai data, sifat-sifat, serta hubungan

fenomena-fenomena yang akan diteliti (Sudaryanto, 1993; bdk. Djajasudarma, 1993:

3; Alwasilah, 2003:95; Moleong, 2008:5).

Hal tersebut sejalan dengan pandangan Larsen-Freeman dan Long (1991: 12)

yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif mempunyai delapan paradigma dengan

ciri-ciri sebagai berikut: (1) berhubungan dengan upaya memahami tingkah laku

manusia dengan data manusianya sendiri. Penelitian jenis ini menjadikan peneliti

sebagai sumber data; (2) pengamatannya dilakukan secara alamiah tanpa pemberian

perlakuan apa-apa (uncontrolled observation); (3) berupaya memerikan semua data

yang diperoleh dari sumber data; (4) cenderung menarik simpulan secara induktif; (5)

lebih berorientasi pada proses; (6) datanya amat kaya sehingga dapat ditafsirkan

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

51

sesuai dengan kacamata yang dipakai oleh peneliti (interpretatif); (7) tidak dapat

digeneralisasikan; dan (8) simpulan yang diambil bersifat realistis dinamis.

Pendekatan kualitatif yang dilandasi oleh filsafat fenomenologis dalam

penelitian ini berasumsi bahwa struktur sintaksis tuturan anak disleksia merupakan

suatu fenomena. Dalam pandangan filsafat fenomenologis, keberadaan (ontologi)

segala hal (fenomena) di dunia ini tidak cukup hanya diteliti dari apa yang tampak

secara fisik, tetapi harus melingkupi apa yang ada di balik yang tampak secara fisik

tersebut. Baik fenomena yang bersifat fisik maupun fenomena nonfisik, harus

dipandang sebagai sesuatu yang bersifat holistik dan natural (Moleong, 2008:15, bdk.

Muhadjir, 2002:12). Berlandaskan pada prinsip filsafat fenomenologis tersebut,

penelitian ini mengkaji realitas struktur sintaksis tuturan anak disleksia, tidak hanya

berupa yang tampak secara fisik, yaitu berupa unit-unit sintaksis beserta struktur

konstituennya, tetapi juga melingkupi yang nonfisik berupa struktur fungsional,

struktur argumen, dan struktur semantisnya. Dengan demikian, akan diperoleh

deskripsi dan eksplanasi yang komprehensif mengenai struktur sintaksis bahasa

Indonesia pada tuturan anak disleksia.

3.2 Lokasi Penelitian

BI menjadi bahasa yang paling pesat perkembangannya, menjadi bahasa

terpenting di wilayah Indonesia, dan dewasa ini menjadi bahasa dengan jumlah

penutur pertama terbanyak di antara bahasa-bahasa lain di Indonesia. Oleh karena itu,

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

52

bI menjadi pusat perhatian para ahli bahasa sehingga menjadi salah satu bahasa

rumpun Austronesia yang paling banyak dikaji secara intensif dewasa ini (lih. Arka

2010; Musgrave 2001; Myhill, 1988; Purwo, 1989; Macdonald dan Dardjowidjojo

2001).

Wilayah pakai bahasa Indonesia tersebar luas di seluruh Indonesia. Persebaran

wilayah pakai yang cukup luas seperti itu memunculkan berbagai ragam/dialek

bahasa Indonesia. Di berbagai wilayah kota dan hunian baru di pinggiran kota,

umumnya bI telah digunakan sebagai bahasa pertama. Hal ini sangat dimungkinkan

mengingat secara umum kota-kota di Indonesia bersifat heterogen.

Fenomena pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama juga terjadi di

lokasi penelitian ini, tempat tinggal anak-anak penyandang disleksia yang menjadi

subjek penelitian ini, tepatnya di wilayah Babatan-Lakarsantri dan Karangan-Wiyung

Surabaya serta di wilayah Perum Kota Baru Driyorejo, Gresik, Jawa Timur.

3.3 Jenis Data, Sumber Data, dan Subjek Penelitian

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua,

yakni data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diambil

secara langsung dari sumber data (Marzuki, 1986: 55). Sebaliknya, data sekunder

diambil dari buku-buku dan penelitian-penelitian yang telah ada. Data sekunder ini

hanya digunakan sebagai data tambahan/bandingan dalam proses analisis data tatkala

Page 53: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

53

dalam data primer tidak ditemukan sehingga eksplanasi data primer yang sedang

dianalisis mendapatkan penjelasan secara memadai.

Data primer dalam penelitian ini diambil dari tuturan yang digunakan oleh

anak disleksia secara natural. Dipilihnya data tuturan anak yang berupa bahasa lisan

ini memiliki dua alasan. Pertama, anak disleksia yang menjadi subjek penelitian ini

baru mampu memproduksi bahasa lisan dan belum mampu memproduksi bahasa

tulis. Tulisan yang mereka buat baru dalam tahap menyalin huruf sehingga belum

dapat dipandang sebagai bahasa tulis mereka. Kedua, sejalan dengan pendapat

Verhaar (1996:3) yang memandang bahwa objek utama linguistik adalah bahasa

lisan, sedangkan bahasa tulis merupakan objek sekunder. Pendapat yang kedua ini

mendapat perhatian khusus untuk mengkaji bahasa anak disleksia agar diperoleh hasil

yang komprehensif.

Jika klasifikasi yang dibuat oleh Botha (1981: 67) diikuti, data penelitian ini

dapat digolongkan ke dalam data informan. Dikatakan demikian karena penelitian ini

menggunakan parole sebagai sumber data, yaitu pemakaian konkret bahasa Indonesia

oleh anak-anak disleksia (Sudaryanto, 1993:15). Dengan data ini dapat diperoleh

korpus data berupa tuturan anak disleksia yang dikumpulkan melalui teknik rekam,

catat, dan pancing.

Yang menjadi subjek penelitian ini adalah sembilan anak penyandang

disleksia yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan, yakni (1) mempunyai

kemampuan berbicara secara lancar, kurang lancar, dan tidak lancar, (2)

Page 54: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

54

menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, dan (3) rentang usia mereka

antara 8 hingga 10 tahun. Penetapan usia ini didasarkan pada Hipotesis Usia Kritis,

yaitu rentang usia anak dalam taraf perkembangan paling peka untuk belajar bahasa

(Lenneberg dalam Dardjowidjojo, 2000:58 dan Dardjowidjojo, 2003:218). Mereka

sedang menjalani les privat belajar membaca dan menulis. Mereka bersekolah di

tingkat SD kelas 2, 3 dan 4, baik di SD reguler, yakni SD Insan Mulya Kota Baru

Driyorejo Gresik dan SD Al Fatah Karangan Surabaya, maupun di SD inklusi, yakni

SDN Cangkir Driyorejo Gresik dan SDN Babatan V Surabaya.

Tidak semua anak yang mengalami gangguan berbahasa dapat dimasukkan ke

dalam kelompok anak disleksia. Terdapat beberapa jenis kelompok anak

berkebutuhan khusus (ABK) yang juga mengalami gangguan berbahasa, tetapi tidak

dapat disebut sebagai anak disleksia, misalnya anak down syndrome, tunagrahita

(retardancy mental), autis, dan lain-lain.

Untuk mengidentifikasi anak disleksia tidaklah mudah, terutama di Indonesia,

karena belum ada profesi/lembaga yang dengan terang-terangan menyatakan diri

dapat menentukan seseorang mengalami disleksia atau tidak. Pengidentifikasian anak

disleksia setidaknya melibatkan dua pihak secara langsung, yaitu pihak guru dan

psikolog. Guru dapat mengidentifikasi anak-anak yang mengalami disleksia melalui

tiga tahap, yakni (1) tahap pemantauan kemajuan belajar anak, (2) penilaian

keterampilan anak (membaca dan menulis), dan (3) penilaian komprehensif tentang

kemajuan belajar dan keterampilan anak (Rose, 2009:46). Guru, sebagai pihak

Page 55: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

55

pertama, yang dapat menentukan apakah seorang anak mengalami kesulitan dalam

belajar membaca dan menulis atau tidak. Kesulitan yang dialami anak disleksia dalam

belajar membaca mempunyai kekhasan. Kekhasannya tampak, misalnya, dari

kesalahan-kesalahan yang dilakukan pada saat membaca huruf-huruf tertentu. Dari

kekhasan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh mereka itu, guru dapat berasumsi

bahwa anak tersebut mengalami disleksia. Asumsi tersebut tidak dapat dibuktikan

oleh guru secara langsung karena penyebab kesulitan yang dialami anak banyak

ragamnya. Untuk itu, guru perlu bekerja sama dengan psikolog, terutama dalam

menentukan tingkat kecerdasan si anak. Setelah tingkat kecerdasan anak tersebut

diketahui, psikolog dapat memastikan bahwa anak tersebut mengalami disleksia atau

tidak. Persoalan tidak berhenti hanya sampai di sini. Idealnya, setelah diketahui anak

tersebut mengalami disleksia, masalah anak tersebut perlu ditangani oleh dokter,

terutama dalam hal terapi neorologis.

Dalam penelitian ini, penetapan anak disleksia sebagai sampel penelitian

didasarkan pada dua hal. Pertama, informasi yang berasal dari guru terkait dengan

kesulitan yang dialami oleh anak pada saat belajar membaca dan menulis. Anak-anak

yang mengalami kesulitan tersebut didata guru dan selanjutnya diasumsikan

mengalami disleksia. Kedua, anak-anak yang didata oleh guru tersebut diberi tes

intelegensi oleh psikolog. Dalam hal ini peneliti bekerja sama dengan dua orang

psikolog, yakni Ibu Elvira, S. Psi. yang membuka Biro Psikologi “Persona Prima” di

Jalan Ngagel Timur 7 Surabaya, dan Ibu Lilik Suprapti, S. Psi. dari Biro Psikologi

Page 56: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

56

“Joko S. & Rekan RSU Dr. Soetomo Surabaya”. Hasil tes intelegensi tersebut

menjadi penentu terakhir untuk menetapkan seorang anak mengalami disleksia atau

tidak. Anak-anak yang memiliki tingkat intelegensi normal atau di atas rata-rata dan

tidak cacat sensori, tetapi mengalami kesulitan dalam belajar membaca dan menulis

ditetapkan sebagai anak penyandang disleksia dan dijadikan subjek penelitian ini.

3.4 Instrumen Penelitian

Untuk menjaring data diperlukan instrumen penelitian. Yang dimaksud

dengan instrumen penelitian di sini adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh

peneliti untuk mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih lengkap, cermat, dan

sistematis sehingga mudah diolah (Arikunto, 1998:151).

Telah dijelaskan di depan bahwa jenis penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif. Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrumen pengumpul data utama

adalah peran serta peneliti itu sendiri. Dengan demikian, ketika menghadapi

kenyataan-kenyataan yang tidak diinginkan di lapangan, peneliti dapat melakukan

penyesuaian. Sebagai contoh, bagaimana peneliti harus bersikap tenang dan

bersahabat saat menghadapi beberapa subjek penelitian yang cenderung mempunyai

sifat agak pemalu dan emosional. Agar tetap mendapatkan data yang dibutuhkan,

peneliti dilengkapi dengan panduan simak, panduan teknik pancing, alat perekam,

dan alat tulis.

Page 57: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

57

Panduan simak digunakan untuk mengamati dan mencatat performansi bahasa

alamiah yang diujarkan oleh anak. Panduan teknik pancing berisi daftar pancingan

yang berupa alternatif-alternatif yang diberikan kepada anak disleksia yang menjadi

subjek penelitian. Alternatif-alternatif yang dimaksud berupa permainan anak-anak,

gambar yang menarik minat anak, dan/atau daftar tanyaan lisan yang digunakan

apabila peneliti mengalami kesulitan mendapatkan data tuturan yang diperlukan. Alat

perekam yang digunakan adalah alat perekam suara (Sony audio recorder),

digunakan untuk merekam tuturan subjek penelitian saat melakukan percakapan.

Adapun alat tulis pena dan kertas digunakan untuk mencatat tuturan subjek penelitian

yang tidak mungkin diambil melalui perekaman.

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Data merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian. Data dapat

diperoleh melalui teknik-teknik tertentu sebagai upaya untuk memudahkan

pengumpulan data di lapangan. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dan

diinterpretasikan.

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan teknik-

teknik tertentu. Teknik pengumpulan data harus disesuaikan dengan data yang ingin

diperoleh. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode simak dan metode

cakap. Penggunaan kedua metode ini dimaksudkan untuk saling melengkapi dan

menunjang satu sama lain. Sesuai dengan namanya, metode simak merupakan suatu

Page 58: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

58

metode dalam penyediaan data yang dilakukan dengan cara menyimak penggunaan

bahasa, dalam hal ini, menyimak tuturan anak disleksia. Sebaliknya, metode cakap

merupakan metode pengambilan data yang dilakukan dengan cara mengadakan

percakapan (Sudaryanto, 1993: 132—133).

Metode simak merupakan metode pemerolehan data yang dilakukan dengan

cara menyimak penggunaan bahasa. Metode ini menawarkan teknik dasar yang

berupa teknik sadap. Teknik sadap disebut sebagai teknik dasar karena pada

hakikatnya penyimakan dilakukan dalam bentuk penyadapan. Dengan kata lain,

untuk memperoleh data seorang peneliti harus menyadap penggunaan bahasa yang

dituturkan oleh subjek penelitian sebagai sumber data.

Secara operasional, teknik sadap tersebut dilakukan dengan cara menyadap

pembicaraan sumber data melalui alat perekam suara. Agar tidak tampak sedang

direkam, alat perekam diletakkan di dalam saku atau disembunyikan di tempat yang

tidak diketahui oleh sumber data. Metode simak dengan teknik sadap ini setara

dengan metode observasi dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Metode ini memiliki

teknik lanjutan, yakni teknik simak bebas cakap (TSBC) dan teknik simak libat cakap

(TSLC).

Dalam TSBC, peneliti sama sekali tidak berperan dalam pembicaraan. Peneliti

hanya sebagai pemerhati, hanya menyimak pembicaraan yang terjadi antarsumber

data dan lawan bicaranya. Peneliti tidak ikut melibatkan diri dalam proses

pembicaraan. Teknik ini sama dengan teknik observasi nonpartisipasi.

Page 59: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

59

Dalam pelaksanaannya, peneliti hanya mendengarkan pembicaraan anak

disleksia dengan gurunya, dengan temannya, atau dengan orang tuanya. Pada

kesempatan lain, peneliti hanya menitipkan alat perekam suara pada guru untuk

mendokumentasikan pembicaraan. Setelah rekaman didapat, peneliti

mentransliterasikannya pada kartu data.

Dalam TSLC, peneliti melakukan penyadapan dengan cara berpartisipasi

sambil menyimak. Peneliti terlibat langsung dalam pembicaraan dengan sumber data,

memancing sumber data agar memunculkan data yang diperlukan. Proses ini

dilakukan dengan sengaja dan dirancang sedemikian rupa agar data yang didapat

tetap berupa data yang alami.

Untuk melengkapi data yang diperoleh melalui metode simak digunakan

metode cakap dengan teknik pancing. Teknik ini dilaksanakan ketika subjek

penelitian sebagai sumber data enggan berbicara sehingga kata-kata yang

dituturkannya sangat sedikit. Peneliti berusaha mendekati subjek penelitian dengan

memberikan beberapa pertanyaan tentang hal-hal yang disukainya atau dengan

bercerita. Teknik ini juga diterapkan dengan media permainan, gambar, dan daftar

tanyaan tertentu sebagai upaya untuk melakukan elisitasi data secara mendalam.

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif sehingga data yang terkumpul

dianalisis dan disajikan secara kualitatif pula. Proses analisis data dilakukan dengan

Page 60: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

60

mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan

satuan uraian dasar tertentu. Agar sejalan dengan urutan permasalahan yang telah

ditetapkan, analisis data dalam penelitian ini diatur dengan tahapan sebagai berikut.

1) Pengidentifikasian Data

Pada tahap awal ini, kegiatan yang dilakukan peneliti adalah

pengidentifikasian data. Pengidentifikasian data dilakukan dengan cara

mentranskripsikan hasil rekaman menjadi data tulis. Dalam hal ini, data masih

diklasifikasikan berdasarkan masing-masing subjek penelitian. Untuk selanjutnya,

data hasil transkripsi dijadikan satu dengan data yang sudah dalam bentuk tulisan atau

catatan. Data yang telah diperoleh tersebut kemudian diperiksa kembali

kelengkapannya.

2) Penyeleksian Data

Tidak semua data yang terkumpul digunakan dalam penelitian ini. Setelah

semua data diidentifikasi, peneliti menyeleksinya kembali. Dalam data yang

terkumpul kadang-kadang ada bahasa Jawa (sebagai bahasa ibu) yang muncul dalam

tuturan subjek penelitian, baik dalam bentuk kata maupun kalimat. Karena data

tersebut bukanlah data yang dicari, di luar ruang lingkup permasalahan penelitian ini,

data seperti itu tidak digunakan. Dengan demikian, terkumpullah data yang terseleksi

untuk keperluan penelitian ini.

3) Pengodean Data

Page 61: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

61

Untuk mempermudah proses analisis data, semua data yang telah terseleksi

tersebut diberi kode. Pemberian kode didasarkan pada subjek, jenis permasalahan,

dan urutan kemunculannya. Sebagai contoh, kode Y/FV/01 mempunyai arti, Y

menunjukkan kode nama subjek yang diteliti, FV menunjukkan jenis permasalahan

frasa verbal, dan 01 menunjukkan urutan kemunculan dalam kelompok data frasa

tersebut.

4) Pengklasifikasian Data

Setelah diberi kode, data diklasifikasikan sejalan dengan rumusan masalah

yang telah ditetapkan. Pengklasifikasian dibuat berdasarkan setiap fenomena yang

muncul dan dilakukan pada masing-masing subjek.

5) Penganalisisan Data

Pada tahap ini, data kemudian dianalisis sesuai dengan setiap fenomena yang

muncul dengan menggunakan metode agih, yaitu metode analisis yang menjadikan

bagian dari fenomena bahasa yang diteliti sebagai alat penentu analisis (Sudaryanto,

1993: 14—15). Dalam pelaksanaannya, metode agih (distributional method) ini

dilakukan dengan teknik dasar bagi unsur langsung (BUL) untuk membagi satuan-

satuan lingual dalam kalimat yang dianalisis berdasarkan unsur langsungnya. Teknik

BUL ini kemudian dibantu dengan teknik-teknik khusus sebagai teknik lanjutannya.

Teknik-teknik khusus yang dimaksud adalah sebagai berikut.

a) Teknik Pelesapan (delesi)

Page 62: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

62

Teknik pelesapan digunakan untuk mengetahui kadar keintian suatu konstituen

dalam kalimat yang dianalisis. Bila suatu konstituen yang dilesapkan berpengaruh

terhadap ketidakberterimaan suatu konstruksi maka kadar keintian konstituen tersebut

tinggi. Sebaliknya, bila suatu konstituen yang dilesapkan tidak berpengaruh terhadap

keberterimaan suatu konstruksi maka kadar keintian konstituen tersebut rendah.

b) Teknik Penggantian (substitusi)

Teknik penggantian dinyatakan dalam bentuk mengganti konstituen tertentu

dengan konstituen lain dalam suatu konstruksi. Teknik ini digunakan untuk

mengetahui kesamaan atau perbedaan kategori suatu konstituen dalam kalimat.

Semakin tinggi kadar kesamaan masing-masing konstituen tersebut berarti semakin

saling berpeluang untuk bisa saling menggantikan.

c) Teknik Perubahan Wujud (parafrasa)

Teknik ini digunakan untuk menentukan satuan makna konstituen (peran

semantis) argumen dalam kalimat.

d) Teknik Pemutarbalikan (permutasi)

Teknik ini dilakukan dengan cara memindahposisikan unsur atau konstituen

tertentu dalam suatu kalimat. Teknik ini digunakan untuk mengetahui kadar

ketegaran unsur atau konstituen tersebut dalam suatu konstruksi. Bila dapat

dipindahposisikan, kadar ketegarannya rendah.

e) Teknik Perluasan (ekspansi)

Page 63: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

63

Teknik ini direalisasikan dalam bentuk perluasan leksikon atau frasa, bisa ke

depan atau ke belakang. Teknik ini digunakan untuk menentukan kadar kesinoniman

satuan lingual atau kesamaan informasinya.

Berbagai metode dan teknik analisis tersebut diupayakan dapat menghasilkan

gambaran, penjelasan, dan temuan yang komprehensif mengenai objek yang diteliti.

3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Dalam menyajikan hasil analisis data, ada dua metode yang dapat digunakan,

yaitu metode formal dan informal. Metode formal adalah metode yang menggunakan

tanda-tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993:145; Mahsun, 2005:116).

Beberapa tanda yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tanda asterik (*), tanda

kurung biasa ( ( ) ), tanda kurung siku ( [ ] ), tanda kurung kurawal ( { } ), tanda

panah datar ( ), tanda anak panah naik (↑) yang disebut metavariabel MOTHER,

tanda anak panah turun ( ↓ ) yang disebut metavariabel EGO. Tanda equasi

fungsional ( ↓ = ↑ ) digunakan dalam skema fungsional yang disebut metavariabel.

Tanda teta ( ᴓ ) digunakan untuk simbol peran semantis teta, dan tanda kosong ( Ө )

untuk kosong (zero). Lambang-lambang yang digunakan meliputi lambang dengan

menggunakan huruf, yaitu SUBJ, OBJ, OBL, KOMP, dan sebagainya untuk simbol

sintaksis. Sebagian besar tanda-tanda dan lambang-lambang tersebut direalisasikan

dalam bagan str-k, str-f, str-a, dan str-s.

Selain metode formal, dalam penelitian ini juga digunakan metode informal.

Metode informal adalah metode penyajian hasil analisis data dengan menggunakan

Page 64: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

64

kata-kata biasa atau kalimat biasa (Sudaryanto, 1993:1). Dalam penelitian ini metode

informal digunakan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan setiap fenomena yang

menjadi objek kajian dalam bentuk uraian kata-kata sehingga menjadi deskripsi dan

eksplanasi yang komprehensif dari temuan penelitian ini.

Page 65: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

xiii

ABSTRACT (buku ringkasan)

Dyslexic children (DC) are children who have difficulty in learning to read, despite having

adequate intelligence, education, and learning time to read. In addition, they also have difficulty

in learning the components of words and sentences, representational systems of time and

direction, and experiencing delays in language development. As kids suffering from language

deficits, dyslexic children have unique linguistic characterisitics which can be observed from the

aspects of its syntactic structure. This research aims to describe and explain (1) the characteristics

of Indonesian language in the DC speech; (2) the variation of syntactic unit in the DC speech; (3)

the constituent structure of Indonesian language in the DC speech; and (4) the functional structure

of Indonesian language in the DC speech. The research is designed in the form of descriptive-

qualitative with phenomenological approach using lexical-functional grammar theory (LFG).

This research is in Gresik and Surabaya region. The data of this research are in the form of

clauses /sentences which are spoken by the DC naturally. Data collection was done by doing

observation, recording, noticing, and elicitation technique. Research subjects were nine DC aged

8-10 years with Indonesian as first language (critical period).

The research findings suggest that children with dyslexia tend to produce short sentences,

and ellipsis, as well as demonstrate inaccurate use of function words and word order. In some

cases, certain syntactic structures commonly used by normal children of the same age were not

found in dyslexic children’s utterances. This indicates that dyslexic childen have not yet acquired all syntactic structures, particularly complex ones.

Although there are several variations of syntactic units, most of the sentences produced by DC

are incomplete sentences (59.61%) and only 40.54% are complete sentences. The basic sentence

patterns that appear in the DC speech consist of NP + VP (38.66%), NP1 + NP2 (26.66%), NP + AP

(23.55%), NP + PP (5.78%), and NP + NuP (4.88%). The SUBJ argument in predefined non-verb and

intransitive verbs is generally in the left position of the predicate (canonical), but there are also those

in the right predicate position (non-canonical). Structures with predicates that appear before the SUBJ

argument are pragmatically marked structure, which are structures that emphasize or topicalize the

predicate.

Constituent structure (c-str) in the DC speech is composed of seven types of categories,

namely VP, NP, DP, AP, IP, AdvP, and PP. Based on the projected development of the core into its

maximum projection, it can be stated that the constituent structure in each of the above categories is

quite simple. Based on its internal structure, the sentences produced by DC are generally simple

sentences and have a low degree of complexity. For the DC, the complexity of the sentence structure

is not only determined by the number of clauses or propositions contained in the sentence, but is also

influenced by the type of verb that becomes the central element of the sentence (related to the number

of arguments, the fewer the argument becomes simpler), the sequence of words / constituents in the

sentence (ie. the canonical order is simpler than noncanonical), and the embedding depth in the

sentence. The complexity of the sentence structure has important implications in the process of

understanding and producing sentences for the DC.

The analysis of the functional structure (f-str) shows that the sentence structure in the DC

speech is constructed by the argument and non-argument functions which include the functions of

SUBJ, OBJ, OBJT, COMP, and ADJ. The function of OBL just occurs in the passive sentences. The f-

str of the DC sentences is composed from lexical entries and c-str. For the one-argument sentence, f-

str denotes the predicate (PRED) that requires one function of the core argument, SUBJ. For the two-

argument sentence, f-str denotes the predicate (PRED) requires two functions of the core argument,

SUBJ and OBJ. For the three-argument sentence, f-str denotes the predicate (PRED) requires three

functions of the core argument, ie SUBJ, OBJ, and OBJT, which is manifested in the form of a linear

structure. For a sentence with passive verbs, f-srt denotes a PRED that requires a function of the core

argument SUBJ, and one non-core argument, that is OBL, wich is the occasional ambiguity of active-

passive construction still occurs.

Page 66: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

xiv

Key words: syntactic structure, bahasa Indonesia, dyslexic children

Page 67: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

xv

ABSTRACT

Dyslexic children (DC) are children who have difficulty in learning to read, despite having

adequate intelligence, education, and learning time to read. In addition, they also have difficulty

in learning the components of words and sentences, representational systems of time and

direction, and experiencing delays in language development. As kids suffering from language

deficits, dyslexic children have unique linguistic characterisitics which can be observed from the

aspects of its syntactic structure. This research aims to describe and explain (1) the characteristics

of Indonesian language in the DC speech; (2) the variation of syntactic unit in the DC speech; (3)

the constituent structure of Indonesian language in the DC speech; and (4) the functional structure

of Indonesian language in the DC speech. The research is designed in the form of descriptive-

qualitative with phenomenological approach using lexical-functional grammar theory (LFG).

This research is in Gresik and Surabaya region. The data of this research are in the form of

clauses /sentences which are spoken by the DC naturally. Data collection is done by doing

observation, recording, noticing, and elicitation technique. Research subjects were nine DC aged

8-10 years with Indonesian as first language (critical period).

The research findings suggest that children with dyslexia tend to produce short sentences,

and ellipsis, as well as demonstrate inaccurate use of function words and word order. In some

cases, certain syntactic structures commonly used by normal children of the same age were not

found in dyslexic children’s utterances. This indicates that dyslexic childen have not yet acquired all syntactic structures, particularly complex ones.

Although there are several variations of syntactic units, most of the sentences produced by DC

are incomplete sentences (59.61%) and only 40.54% are complete sentences. The basic sentence

patterns that appear in the DC speech consist of NP + VP (38.66%), NP1 + NP2 (26.66%), NP + AP

(23.55%), NP + PP (5.78%), and NP + NuP (4.88%). The SUBJ argument in predefined non-verb and

intransitive verbs is generally in the left position of the predicate (canonical), but there are also those

in the right predicate position (non-canonical). Structures with predicates that appear before the SUBJ

argument are pragmatically marked structure, which are structures that emphasize or topicalize the

predicate.

Constituent structure (c-str) in the AD speech is composed of seven types of categories,

namely VP, NP, DP, AP, IP, AdvP, and PP. Based on the projected development of the core into its

maximum projection, it can be stated that the constituent structure in each of the above categories is

quite simple. Based on its internal structure, the sentences produced by DC are generally simple

sentences and have a low degree of complexity. For the DC, the complexity of the sentence structure

is not only determined by the number of clauses or propositions contained in the sentence, but is also

influenced by the type of verb that becomes the central element of the sentence (related to the number

of arguments, the fewer the argument becomes simpler), the sequence of words / constituents in the

sentence (ie. the canonical order is simpler than noncanonical), and the embedding depth in the

sentence. The complexity of the sentence structure has important implications in the process of

understanding and producing sentences for the DC.

The analysis of the functional structure (f-str) shows that the sentence structure in the DC

speech is constructed by the argument and non-argument functions which include the functions of

SUBJ, OBJ, OBJT, COMP, and ADJ. The function of OBL was not be produced. The str-f of the DC

sentences is composed from lexical entries and c-str. For the one-argument sentence, f-str denotes the

predicate (PRED) that requires one function of the core argument, SUBJ. For the two-argument

sentence, f-str denotes the predicate (PRED) requires two functions of the core argument, SUBJ and

OBJ. For the three-argument sentence, f-str denotes the predicate (PRED) requires three functions of

the core argument, ie SUBJ, OBJ, and OBJT, which is manifested in the form of a linear structure. For

a sentence with passive verbs, f-srt denotes a PRED that requires a function of the core argument

SUBJ, and one non-core argument, that is ADJ, wich is the occasional ambiguity of active-passive

construction still occurs.

Key words: syntactic structure, bahasa Indonesia, dyslexic children

Page 68: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

xii

ABSTRAK

Anak disleksia (AD) merupakan anak yang mengalami kesulitan dalam belajar membaca,

meskipun tidak memiliki cacat sensori dan memiliki kecerdasan, pendidikan, dan waktu belajar

yang cukup. Selain itu, mereka juga mengalami kesulitan dalam mempelajari komponen-

komponen kata dan kalimat, sistem representasional waktu dan arah, serta mengalami

keterlambatan dalam perkembangan bahasa. Sebagai anak yang mengalami defisit bahasa, AD

memiliki karakteristik bahasa yang khas yang dapat diamati dari aspek struktur sintaksisnya.

Penelitian ini bertujuan memerikan dan menjelaskan (1) karakteristik bahasa Indonesia dalam

tuturan AD; (2) variasi unit sintaksis dalam tuturan AD; dan (3) struktur sintaksis bahasa

Indonesia yang meliputi str-k, str-f, str-a, dan str-s dalam tuturan AD. Penelitian yang dirancang

dalam bentuk deskriptif-kualitatif dengan pendekatan fenomenologis ini menggunakan teori tata

bahasa leksikal fungsional (TLF).

Lokasi penelitian berada di wilayah Gresik dan Surabaya. Data penelitian berupa

klausa/kalimat yang dituturkan oleh AD secara natural. Pengumpulan data dilakukan melalui

observasi, rekam, catat, dan pancing. Subjek penelitian adalah sembilan AD dengan bahasa

Indonesia sebagai bahasa pertama, mereka berusia 8—10 tahun (usia kritis).

Hasil penelitian menunjukkan AD cenderung memproduksi kalimat yang pendek-pendek,

banyak pelesapan, dan kadang-kadang salah dalam kata tugas dan pola urut kata. Dalam kasus

tertentu, terdapat struktur kalimat yang biasa diproduksi oleh anak normal seusia mereka, tetapi

tidak ditemukan dalam tuturan AD. Hal ini mengindikasikan bahwa AD belum menguasai semua

kaidah struktur kalimat bahasa Indonesia, terutama struktur kompleks.

Penelitian ini menemukan beberapa variasi unit sintaksis dalam tuturan AD. Sebagian

besar berupa kalimat tak lengkap (59,61%) dan hanya 40,54% yang berupa kalimat lengkap. Pola

kalimat dasar yang muncul pada tuturan AD terdiri atas FN+FV (38,66%), FN1+FN2 (26,66%),

FN+FA (23,55%), FN+FP (5,78%), dan FN+FNum (4,88%). Argumen SUBJ pada kalimat berpredikat

non-verba dan verba intransitif pada umumnya berada di posisi kiri predikat (kanonis), tetapi ada

juga yang berada di posisi kanan predikat (nonkanonis). Struktur dengan predikat yang muncul

sebelum argumen SUBJ merupakan struktur bermarkah pragmatik (pragmatically marked), yaitu

struktur yang memberikan penekanan atau topikalisasi pada predikat.

Struktur konstituen dalam tuturan AD dibangun oleh tujuh jenis kategori, yakni FV, FN, FD,

FA, FI, FADV, dan FP. Berdasarkan perkembangan proyeksi dari inti ke dalam proyeksi

maksimalnya dapat dinyatakan bahwa struktur konstituen pada masing-masing kategori di atas

tergolong sederhana. Dari struktur internalnya, kalimat yang diproduksi oleh AD pada umumnya

berupa kalimat sederhana dan memiliki derajat kompleksitas yang rendah. Bagi AD, kompleksitas

struktur kalimat tidak hanya ditentukan oleh jumlah klausa atau proposisi yang terkandung dalam

kalimat, tetapi juga dipengaruhi oleh jenis verba yang menjadi unsur pusat kalimat (terkait

dengan jumlah argumennya, semakin sedikit argumen semakin sederhana), pola urut

kata/konstituen dalam kalimat (yakni urutan kanonik lebih sederhana daripada nonkanonik), dan

kedalaman sematan (embedding) dalam kalimat. Kompleksitas struktur kalimat memiliki implikasi

penting dalam proses pemahaman dan produksi kalimat bagi AD.

Page 69: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

xiii

Analisis terhadap str-f menunjukkan bahwa struktur kalimat dalam tuturan AD disusun

oleh fungsi argumen dan non-argumen yang meliputi fungsi SUBJ, OBJ, OBJ, KOMP, dan ADJ.

Fungsi OBL hanya muncul dalam kalimat pasif. Analisis str-f kalimat-kalimat AD dijabarkan ke

dalam entri leksikal, str-k, dan baru ke str-f. Untuk kalimat berargumen satu, str-f menunjukkan

predikat (PRED) membutuhkan satu fungsi argumen inti, yakni SUBJ. Untuk kalimat berargumen

dua, str-f menunjukkan predikat (PRED) membutuhkan dua fungsi argumen inti, yakni SUBJ dan

OBJ. Untuk kalimat berargumen tiga, str-f menunjukkan PRED memerlukan tiga fungsi argumen

inti, yakni SUBJ, OBJ, dan OBJ, yang dalam tuturan AD diwujudkan dalam bentuk struktur linier.

Untuk kalimat dengan predikat verba pasif, srf-f memperlihatkan adanya PRED yang

membutuhkan satu fungsi argumen inti yakni SUBJ, dan satu argumen non-inti yakni OBL, yang

kadang-kadang kerancuan konstruksi aktif-pasif masih terjadi.

Kata kunci: struktur sintaksis, bahasa Indonesia, anak disleksia

Page 70: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

xiv

ABSTRAK

Anak disleksia (AD) merupakan anak yang mengalami kesulitan dalam belajar membaca,

meskipun tidak memiliki cacat sensori dan memiliki kecerdasan, pendidikan, dan waktu belajar

yang cukup. Selain itu, mereka juga mengalami kesulitan dalam mempelajari komponen-

komponen kata dan kalimat, sistem representasional waktu dan arah, serta mengalami

keterlambatan dalam perkembangan bahasa. Sebagai anak yang mengalami defisit bahasa, AD

memiliki karakteristik bahasa yang khas yang dapat diamati dari aspek struktur sintaksisnya.

Penelitian ini bertujuan memerikan dan menjelaskan (1) karakteristik bahasa Indonesia dalam

tuturan AD; (2) variasi unit sintaksis dalam tuturan AD; dan (3) struktur sintaksis bahasa

Indonesia yang meliputi str-k, str-f, str-a, dan str-s dalam tuturan AD. Penelitian yang dirancang

dalam bentuk deskriptif-kualitatif dengan pendekatan fenomenologis ini menggunakan teori tata

bahasa leksikal fungsional (TLF).

Lokasi penelitian berada di wilayah Gresik dan Surabaya. Data penelitian berupa

klausa/kalimat yang dituturkan oleh AD secara natural. Pengumpulan data dilakukan melalui

observasi, rekam, catat, dan pancing. Subjek penelitian adalah sembilan AD dengan bahasa

Indonesia sebagai bahasa pertama, mereka berusia 8—10 tahun (usia kritis).

Hasil penelitian menunjukkan AD cenderung memproduksi kalimat yang pendek-pendek,

banyak pelesapan, dan kadang-kadang salah dalam kata tugas dan pola urut kata. Dalam kasus

tertentu, terdapat struktur kalimat yang biasa diproduksi oleh anak normal seusia mereka, tetapi

tidak ditemukan dalam tuturan AD. Hal ini mengindikasikan bahwa AD belum menguasai semua

kaidah struktur kalimat bahasa Indonesia, terutama struktur kompleks.

Penelitian ini menemukan beberapa variasi unit sintaksis dalam tuturan AD. Sebagian besar

berupa kalimat tak lengkap (59,61%) dan hanya 40,54% yang berupa kalimat lengkap. Pola

kalimat dasar yang muncul pada tuturan AD terdiri atas FN+FV (38,66%), FN1+FN2 (26,66%),

FN+FA (23,55%), FN+FP (5,78%), dan FN+FNum (4,88%). Argumen SUBJ pada kalimat

berpredikat non-verba dan verba intransitif pada umumnya berada di posisi kiri predikat (kanonis),

tetapi ada juga yang berada di posisi kanan predikat (nonkanonis). Struktur dengan predikat yang

muncul sebelum argumen SUBJ merupakan struktur bermarkah pragmatik (pragmatically marked),

yaitu struktur yang memberikan penekanan atau topikalisasi pada predikat.

Struktur konstituen dalam tuturan AD dibangun oleh tujuh jenis kategori, yakni FV, FN,

FD, FA, FI, FADV, dan FP. Berdasarkan perkembangan proyeksi dari inti ke dalam proyeksi

maksimalnya dapat dinyatakan bahwa struktur konstituen pada masing-masing kategori di atas

tergolong sederhana. Dari struktur internalnya, kalimat yang diproduksi oleh AD pada umumnya

berupa kalimat sederhana dan memiliki derajat kompleksitas yang rendah. Bagi AD, kompleksitas

struktur kalimat tidak hanya ditentukan oleh jumlah klausa atau proposisi yang terkandung dalam

kalimat, tetapi juga dipengaruhi oleh jenis verba yang menjadi unsur pusat kalimat (terkait dengan

jumlah argumennya, semakin sedikit argumen semakin sederhana), pola urut kata/konstituen dalam

kalimat (yakni urutan kanonik lebih sederhana daripada nonkanonik), dan kedalaman sematan

(embedding) dalam kalimat. Kompleksitas struktur kalimat memiliki implikasi penting dalam

proses pemahaman dan produksi kalimat bagi AD.

Analisis terhadap str-f menunjukkan bahwa struktur kalimat dalam tuturan AD disusun

oleh fungsi argumen dan non-argumen yang meliputi fungsi SUBJ, OBJ, OBL, KOMP, dan

ADJ. Analisis str-f kalimat-kalimat AD dijabarkan ke dalam entri leksikal, str-k, dan baru ke

str-f. Untuk kalimat berargumen satu, str-f menunjukkan predikat (PRED) membutuhkan satu

fungsi argumen inti, yakni SUBJ. Untuk kalimat berargumen dua, str-f menunjukkan predikat

(PRED) membutuhkan dua fungsi argumen inti, yakni SUBJ dan OBJ. Untuk kalimat

berargumen tiga, str-f menunjukkan PRED memerlukan tiga fungsi argumen inti, yakni SUBJ,

OBJ, dan OBJ, yang diwujudkan dalam bentuk struktur linier. Untuk kalimat dengan predikat

verba pasif, srf-f memperlihatkan adanya PRED yang membutuhkan satu fungsi argumen inti

Page 71: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

xv

yakni SUBJ, dan satu argumen non-inti yakni OBL, yang kadang-kadang kerancuan

konstruksi aktif-pasif masih terjadi. Kata kunci: struktur sintaksis, bahasa Indonesia, anak disleksia

Page 72: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

xxx

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM .................................................................................... i

PRASYARAT GELAR ............................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ........................................................ iv

PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................. v

UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................... vi

ABSTRAK ................................................................................................. xii

ABSTRACT ................................................................................................. xiii

RINGKASAN DISERTASI ...................................................................... ivx

DAFTAR ISI ............................................................................................. xxx

DAFTAR TABEL, GAMBAR, DAN BAGAN ....................................... xxxiii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xxxix

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1

1.2 Permasalahan ........................................................................................ 10

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 11

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 11

1.4.1 Manfaat Akademis ............................................................................. 11

1.4.2 Manfaat Praktis ................................................................................... 12

1.5 Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN ..................................................... 15

2.1 Kajian Pustaka ...................................................................................... 15

2.1.1 Kajian Terdahulu terhadap Tuturan Anak Disleksia ......................... 16

2.1.2 Kajian Terdahulu yang Menggunakan Teori Leksikal Fungsional ... 25

2.2 Konsep .................................................................................................. 30

2.2.1 Klausa/Kalimat .................................................................................. 30

2.2.2 Struktur Konstituen (Str-k) ............................................................... 31

2.2.3 Struktur Fungsional ( Str-f) ............................................................... 32

2.2.4 Struktur Semantis (Str-s) ................................................................... 32

2.2.5 Struktur Argument (Str-a) ................................................................. 33

2.3.6 Anak Disleksia .................................................................................. 33

2.3 Kerangka Teori .................................................................................... 33

2.3.1 Struktur Konstituen dan Kaidah Struktur Frasa ................................ 35

2.3.2 Struktur Fungsional dan Korespondensinya dengan Str-k..……….. 38

2.4 Model Kerangka Kerja Teoretis Penelitian ………………………….. 47

BAB III METODE PENELITIAN ……………………………….......... 48

3.1 Rancangan Penelitian …………………………………………….…... 48

3.2 Lokasi Penelitian ………………..……………………………….…… 49

3.3 Jenis Data, Sumber Data, dan Subjek Penelitian ……………….……. 50

3.4 Instrumen Penelitian …………………………………………….…… 54

Page 73: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

xxxi

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data …………………………..…. 55

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ………………………..…….….… 57

3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data …..…….………... 61

BAB IV KARAKTERISTIK BAHASA INDONESIA DALAM

TUTURAN ANAK DISLEKSIA……….................................... 62

4.1 Pengantar …………………………………………………………....... 62

4.2 Gambaran Umum Anak Disleksia ……………………………………. 62

4.3 Karakteristik Bahasa Indonesia dalam Tuturan Anak Disleksia …....... 79

4.3.1 Gejala Nonverbal …………………………………………………... 79

4.3.2 Gejala Idiosinkrasi dalam Tuturan Anak Disleksia……………..…. 81

4.4 Temuan Baru Penelitian .............................................……………..…. 88

BAB V VARIASI UNIT SINTAKSIS DALAM TUTURAN ANAK

DISLEKSIA .................................................................................. 91

5.1 Pengantar ............................................................................................... 91

5.2 Pengertian Struktur Klausa atau Kalimat .............................................. 91

5.3 Variasi Struktur Kalimat dalam Tuturan Anak Disleksia ..................... 93

5.3.1 Kalimat Lengkap dalam Tuturan Anak Disleksia .............................. 94

5.3.1.1 Kalimat Dasar dalam Tuturan Anak Disleksia ................................ 94

5.3.1.2 Kalimat Derivasi dalam Tuturan Anak Disleksia ............................ 118

5.3.2 Kalimat Tak Lengkap dalam Tuturan Anak Disleksia ...…................ 127

5.4 Gradasi Kompleksitas Struktur Kalimat dalam Tuturan Anak Disleksia 137

5.5 Temuan Baru Penelitian ........................................................................ 148

BAB VI STRUKTUR KONSTITUEN BAHASA INDONESIA

DALAM TUTURAN ANAK DISLEKSIA ............................... 152

6.1 Pengantar ……………………………………………….……………... 152

6.2 Kategori Struktur Konstituen ………………………………................ 153

6.3 Struktur Konstituen yang Ditemukan dalam Tuturan Anak Disleksia .. 153

6.3.1 Frasa Verbal …………………………………….………………….... 156

6.3.1.1 Frasa verbal yang dibentuk oleh sebuah verba ................................. 156

6.3.1.2 Frasa verbal yang dibentuk oleh verba diikuti frasa adverbial ......... 160

6.3.1.3 Frasa verbal yang dibentuk oleh verba diikuti frasa preposisional .. 165

6.3.1.4 Frasa verbal yang dibentuk oleh verba diikuti frasa nominal ......... 165

6.3.1.5 Frasa verbal yang dibentuk oleh verba diikuti frasa nominal dan

frasa preposisional .......................................................................... 170

6.3.1.6 Frasa verbal yang dibentuk oleh verba diikuti dua frasa nominal ... 173

6.3.2 Frasa Nominal dan Frasa Determiner ................................................ 180

6.3.3 Frasa Adjektival .................................................................................. 195

6.3.4 Frasa Infleksional ............................................................................... 199

6.3.5 Frasa Adverbial …………………………………………………...... 205

6.3.6 Frasa Preposisional ……………………………………………..…... 208

6.4 Temuan Baru Penelitian ........................................................................ 214

Page 74: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah · 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak lahir setiap anak normal telah dilengkapi dengan suatu peranti pemerolehan bahasa (language acquisition

xxxii

BAB VII STRUKTUR FUNGSI GRAMATIKAL DALAM TUTURAN

ANAK DISLEKSIA .................................................................. 217

7.1 Pengantar .............................................................................................. 217

7.2 Pengertian dan Klasifikasi Fungsi Gramatikal ……………………….. 217

7.3 Fungsi Argumen dan Nonargumen dalam Tuturan Anak Desleksia .... 218

7.3.1 Subjek ……………………………………………………………… 219

7.3.2 Objek dan Objek Teta ….…………………………………......…… 226

7.3.3 Oblik ………………………………………....………………….…. 230

7.3.4 Komplemen ……………………………………………………….. 233

7.3.5 Adjung ………….……………………............................................. 235

7.4 Struktur Fungsional dan Korespondensinya dengan Struktur

Konstituen dalam Tuturan Anak Diseleksia menurut TLF………....... 238

7.5 Temuan Baru Penelitian ....................................................................... 278

BAB VIII RANGKUMAN TEMUAN PENELITIAN ........................... 281

8.1 Gambaran Umum Anak Disleksia dan Karakteristik Bahasanya ......... 281

8.2 Variasi Unit Sintaksis dalam Tuturan Anak Disleksia ......................... 283

8.3 Struktur Konstituen Bahasa Indonesia dalam Tuturan Anak Disleksia 286

8.4 Struktur Fungsional Bahasa Indonesia dalam Tuturan Anak Disleksia 288

BAB IX SIMPULAN DAN REKOMENDASI....................................... 291

9.1 Simpulan ............................................................................................... 291

9.2 Rekomendasi ......................................................................................... 296

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 298

LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................... 307