2 bab ii tinjauan pustaka - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/39371/3/bab ii.pdf · 2.1.4...
Post on 31-Mar-2019
242 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Semangka
Taksonomi
Gambar 2.1 Semangka
Kingdom : Plantae
Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Cucurbitales
Famili : Cucurbitaceae
Genus : Citrullus
Species : Citrullus lanatus
(Taxonomy Hierarchy of COL-China 2012)
Gambaran Umum
Tanaman semangka (Citrullus lanatus) adalah tanaman yang
berasal dari Afrika. Tanaman ini kemudian berkembang dengan pesat
ke berbagai negara baik di daerah tropis maupun subtropis, seperti:
7
Afrika Selatan, Cina, Jepang, dan Indonesia. Tanaman semangka
bersifat semusim, tergolong cepat berproduksi karena umurnya hanya
sampai 6 bulan (Puspitasari, 2014). Semangka cukup tahan akan
kekeringan terutama apabila telah memasuki masa pembentukan buah.
Tanaman semangka membutuhkan tanah yang cukup gembur, untuk
pertumbuhan yang optimal, seperti tanah dengan tekstur lempung
berpasir dan kaya bahan organik (Gunawan, 2014). Semangka
termasuk dalam keluarga buah labulabuan (Cucurbitaceae) dan
memiliki sekitar 750 jenis.
Tanaman ini merupakan tanaman semusim yang hidupnya
merambat dan memiliki anekaragam jenis seperti semangka merah,
semangka kuning, semangka biji dan semangka non biji (Ramadhani,
2014).
2.1.3 Morfologi dan Anatomi
Semangka merupakan tanaman terna semusim yang tumbuh
menjalar di atas tanah atau memanjat dengan sulur-sulur atau alat
pembelit. Batangnya lunak, bersegi dan berambut, dan panjangnya
mencapai 1,5-5 m. Sulur tumbuh dari ketiak daun, bercabang 2-3.
Daun berseling, bertangkai, helaian daun lebar dan berbulu, berbagi
menjari, dengan ujung runcing. Panjang daun berkisar 3-25 cm dengan
lebar 1,5-15 cm. Bagian tepi daun bergelombang, kadang bergigi tidak
teratur. Permukaan bawahnya berambut rapat pada tulangnya.
Semangka memiliki tiga jenis bunga, yaitu bunga jantan
(staminate), bunga betina (psitillate), dan bunga sempurna
8
(hermaphrodite). Namun demikian, umumnya semangka memiliki
bunga jantan dan bunga betina dengan proporsi 7:1. Bunga jantan
memiliki tangkai sepanjang 12-45 mm, mahkota bunga sepanjang 10-
25 mm, dan berwarna hijau kekuningan. Sementara bunga betina
memiliki bentuk tunggal dengan tangkai 45 mm, lima helai mahkota
bunga, dan berwarna kuning kehijauan. Bunga tersebut biasanya mekar
di pagi hari dan keluar dari ketiak daun.
Buah berbentuk bulat hingga memanjang dengan ukuran
oanjang 20-30 cm, diameter 15-20 cm, dan berat 4-20 kg. Kulit
buahnya tebal dan berdaging dan licin. Warna kulit buah bermacam-
macam, seperti hijau tua, kuning agak putih, atau hijau muda bergaris-
garis putih. Daging buah berwarna merah, merah muda (pink), jingga
(oranye), kuning, bahkan ada yang putih. Biji bentuk memanjang dan
pipih. Warnanya hitam, putih, kuning, atau cokelat kemerahan. Ada
juga semangka yang tak berbiji (seedless).
Semangka memiliki usia panen yang berbeda-beda. Semangka
yang sering kita makan dan kita temui rata-rata memiliki usia panen
sekitar 60 hari (Siregar, 2010).
Semangka memiliki 3 lapisan kulit. Bagian kulit buah yang
paling tebal dan berwarna putih disebut albedo. Albedo dapat disebut
sebagai lapisan tengah (mesokarp) buah semangka yang terletak di
antara epidermis luar (eksokarp) dan epidermis dalam (endokarp)
(Kalie, 1999).
9
2.1.4 Kandungan
Buah semangka memiliki berbagai kandungan di dalam nya,
tiap 100 gram buah semangka mengandung Air 91,45 gram, Energi 30
kcal, Protein 0,61 gram, Karbohidrat 7,55 gram, Serat total 0,4 gram,
dab Kadar gula total 6,2 gram (USDA Nutrient database, 2018).
Tabel 2.1 Kandungan Mineral dan Vitamin pada semangka
Nutrient Unit Value per 100 g Calcium, Ca mg 7 Iron, Fe mg 0.24 Magnesium, Mg mg 10 Phosphorus, P mg 11 Potassium, K mg 112 Sodium, Na mg 1 Zinc, Zn mg 0.1 Vitamin C, total ascorbic acid mg 8.1 Thiamin mg 0.033 Riboflavin mg 0.021 Niacin mg 0.178 Vitamin B-6 mg 0.045 Folate, DFE µg 3 Vitamin B-12 µg 0 Vitamin A, RAE µg 28 Vitamin A, IU IU 569 Vitamin E (alpha-tocopherol) mg 0.05 Vitamin D (D2 + D3) µg 0 Vitamin D IU 0 Vitamin K (phylloquinone) µg 0.1
(USDA Nutrient database, 2018)
Kulit semangka sendiri mengandung saponin, alkaloid, tanin,
fenol, dan flavonoid (Johnson dkk, 2012). Kadar fenolat pada kulit
semangka sebesar 18,702 mg/g (Ismayati, 2013). Selain itu kulit
semangka juga mengandung karoten yang diduga juga berpengaruh
dalam aktivitas antifungal pada kulit semangka (Sholihah dkk, 2015).
10
Tabel 2.2 Perbandingan kandungan pada semangka
Saponin (mg/100g)
Alkaloid (mg/100g)
Tannin (mg/100g)
Phenol (mg/100g)
Flavonoids (mg/100g)
Carotene (μg/100g)
DWMP 3.08 0.35 0.18 0.06 3.20 57.25
DWMS 2.33 0.37 0.52 0.11 2.00 0.00
DWMR 2.93 1.42 1.15 0.45 2.63 169.58
FWMP 1.01 0.12 0.03 0.04 58.10 15.73
FWMS 1.15 0.16 0.40 0.05 40.16 0.00
FWMR 1.24 1.01 1.05 0.18 8.71 76.91
(Johnson dkk, 2012; Johnson dkk, 2013)
Keterangan: DWMP = dry water melon pulp; FWMP = fresh water melon pulp; DWMS = dry water melon seed; FWMS = fresh water melon seed; DWMR = dry water melon rind; FWMR = fresh water melon rind.
1. Saponin
Mekanisme kerja saponin sebagai antijamur adalah
menurunkan tegangan permukaan sehingga mengakibatkan
naiknya permeabilitas atau kebocoran sel dan mengakibatkan
senyawa intraseluler akan keluar. Senyawa ini berdifusi melalui
membran luar dan dinding sel yang rentan, lalu mengikat
membran sitoplasma dan mengganggu dan mengurangi
kestabilan itu. Hal ini menyebabkan sitoplasma bocor keluar
dari sel yang mengakibatkan kematian sel (Nuria dkk, 2009).
2. Alkaloid
Alkaloid mempunyai aktivitas antimikroba dengan
menghambat esterase, DNA, RNA polimerase, dan respirasi sel
serta berperan dalam interkalasi DNA. Sebagai antifungi,
alkaloid menyebabkan kerusakan membran sel. Alkaloid akan
11
berikatan kuat dengan ergosterol membentuk lubang yang
menyebabkan kebocoran membran sel yang berakibat
kerusakan yang tetap pada sel dan kematian sel pada jamur
(Bhaskara, 2012).
3. Fenol
Mekanisme senyawa fenol adalah dengan cara meracuni
protoplasma, mengendapkan protein sel mikroba, serta merusak
dan menembus dinding sel (Karta dan Burhannuddin, 2017).
Senyawa fenol juga mendenaturasi ikatan protein pada
membran sel sehingga membran sel lisis dan mungkin fenol
dapat menembus ke dalam inti sel. Masuknya fenol ke dalam
inti sel inilah yang menyebabkan jamur tidak berkembang
(Sulistyawati dan Mulyati, 2009).
4. Tanin
Tanin dapat menghambat sintesis kitin yang
digunakan untuk pembentukan dinding sel pada jamur dan
merusak membran sel sehingga pertumbuhan jamur terhambat
(Karta dan Burhannuddin, 2017). Tanin bersifat menciutkan
dan mengendapkan protein dari larutan dengan membentuk
senyawa yang tidak larut. Selain itu, tanin berperan dalam
sistem pertahanan tubuh dan mempunyai aktivitas antioksidan
serta antiseptik (Sulistyawati dan Mulyati, 2009).
12
5. Flavonoid
Flavonoid menyebabkan perubahan komponen organik
dan transport nutrisi yang akhirnya akan mengakibatkan
timbulnya efek toksik terhadap jamur (Agrawal, 2011).
6. Karoten
Salah satu karotenoid yang terkandung dalam semangka
adalah likopen. Likopen dapat menginduksi proses apoptosis
melalui peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) yang bisa
menyebabkan disfungsi mitokondria (Choi dan Lee, 2015).
2.2 Pelarut Ekstraksi
Kandungan senyawa aktif pada tumbuhan umumnya dalam bentuk
metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, steroid, tanin, saponin,
tripenoid, dan lain-lain. Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa
kimia yang mempunyai kemampuan bioaktifitas dan berfungsi sebagai
pelindung dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau
lingkungannya (Lathifah, 2008). Setiap metabolit tersebut memiliki
kepolaran yang berbeda-beda, untuk itu dalam memilih pelarut kita harus
sesuai dengan prinsip “like dissolve like”, yaitu senyawa polar cenderung
larut dalam pelarut polar dan senyawa non polar cenderung larut dalam
pelarut non polar (Harborne, 1987).
Pelarut polar yang biasa digunakan yaitu aquades, metanol, dan
etanol. Pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak senyawa alkaloid
kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino, dan
13
glikosida (Harborne, 1987). Selain itu triterpenoid dan flavonoid juga
memiliki sifat yang polar. Sedangkan pelarut non polar yang biasa
digunakan seperti kloroform dan petroleum eter. Senyawa yang bisa larut
dalam pelarut non polar misalnya steroid (Lathifah, 2008).
2.3 Candida albicans
Taksonomi
Gambar 2.3 Candida abicans. Budding yeast cells (blastoconidia),
hyphae, and pseudohyphae. 400×
(Mitchel, 2016)
Domain : Eukaryota
Phylum : Ascomycota
Class : Saccharomycetes
14
Order : Saccharomycetales
Family : Saccharomycetaceae
Genus : Candida
Species : C. albicans
2.3.1 Morfologi dan Identifikasi
Pada biakan, spesies Candida tumbuh sebagai sel ragi bertunas
dengan bentuk oval berukuran 3-6 μm. Spesies tersebut juga
membentuk pseudohifa. C. albicans bersifat dimorfik atau memiliki
dua bentuk, yaitu ragi bertunas dan hifa sejati. Pada medium agar
dalam 24 jam pada suhu 37 0C atau suhu ruangan, spesies Candida
menghasilkan koloni lunak berwarna krem dengan bau seperti ragi.
Pseudohifa tampak tumbuh terendam di bawah permukaan agar. Uji
morfologi yang dapat membedakan C. albicans dari spesies kandida
lain yaitu; Setelah diinkubasi dalam serum selama ± 90 menit dengan
suhu 37 0C, sel ragi C. albicans hifa sejati atau tubulus germinal akan
mulai terbentuk, dan pada medium yang kurang nutrisinya, C.
albicans menghasilkan klamidospora sferis yang besar. Uji asimilasi
dan fermentasi gula dapat digunakan untuk memperkuat identifikasi
dan menentukan spesies isolat Candida yang lebih sering, seperti
Candida tropicalis, Candida parapsilosis, Candida guilliermondii,
Candida kefyr, Candida krusei, dan Candida lusitaniae (Mitchel,
2016).
Pewarnaan Gram menunjukkan bahwa C. albicans merupakan
Gram positif. Candida memperbanyak diri dengan membentuk tunas
15
yang akan terus memanjang membentuk hifa semu. Pertumbuhan
optimum terjadi pada pH antara 2,5 – 7,5. Pertumbuhan lebih cepat
pada kondisi asam dibandingkan dengan pH normal atau alkali.
Candida dapat tumbuh pada suhu 37C dalam kondisi aerob dan
anaerob. Candida tumbuh baik pada media padat, tetapi kecepatan
pertumbuhannya lebih tinggi pada media cair. (Komariah, 2012).
Morfologi koloni C. albicans pada media padat SDA,
berbentuk bulat dengan permukaan licin, halus, sedikit cembung, dan
kadang pada koloni yang tua sedikit berlipat-lipat. Umur biakan
mempengaruhi besar kecil koloni. Warna koloni putih kekuningan dan
berbau asam seperti aroma tape (Tjampakasari, 2006).
Identifikasi spesies dapat dilakukan secara makroskopik dan
mikroskopik, secara makroskopik dapat dilakukan pada media
chromogenik (CHROMagar). Pada medium ini Candida spesies akan
membentuk warna koloni yang berbeda. C. albicans membentuk
koloni berwarna hijau (Komariah, 2012).
Identifikasi spesies secara mikroskopik morfologik dapat
dilakukan dengan menanam jamur pada medium tertentu, seperti agar
tepung jagung (corn-meal agar), agar tajin (rice-cream agar) + tween
80. Pada medium itu C. albicans membentuk klamidospora terminal
yaitu sel ragi berukuran besar berdinding tebal dan terletak diujung
hifa. Pada medium yang mengandung protein, misalnya putih telur,
serum atau plasma darah, pada suhu 37C selama 1-2 jam terjadi
pembentukan tubulus germinal dari blastospora. Karakteristik
16
pembentukan klamidospora dan tubulus germinal dapat digunakan
untuk membantu identifikasi (Komariah, 2012).
2.3.2 Struktur sel
a. Dinding
Dinding sel C. albicans berfungsi sebagai pelindung.
Beberapa obat antimikotik juga bertarget di dinding sel. Dinding
sel berperan pula dalam proses penempelan dan kolonisasi serta
bersifat antigenik. Fungsi utama dinding sel tersebut adalah
memberi bentuk pada sel dan melindungi sel ragi dari
lingkungannya. C. albicans mempunyai struktur dinding sel yang
kompleks, tebalnya 100 sampai 400 nm.
Komposisi primer terdiri dari glukan, manan dan khitin.
Jumlah manan dan protein sekitar 15,2-30 % dari berat kering
dinding sel, β-1,3-D-glukan dan β–1,6-D-glukan berjumlah sekitar
47-60 %, khitin ada 0,6-9 %, protein 6-25 % dan lipid 1-7 %.
Dalam bentuk ragi, kecambah dan miselium, komponen-komponen
ini menunjukkan proporsi yang serupa tetapi bentuk miselium
memiliki khitin tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan sel
ragi (Tjampakasari, 2006).
Gambar 2.2 Lapisan dinding sel jamur C. albicans
(Tjampakasari, 2006)
17
b. Membran sel
Membran sel C. albicans seperti sel eukariotik lainnya
terdiri dari lapisan fosfolipid ganda. Membran protein ini memiliki
aktifitas enzim seperti manan sintase, khitin sintase, glukan sintase,
ATPase dan protein yang mentransport fosfat. Membran sterol
yang terdapat pada dinding sel kemungkinan merupakan tempat
bekerjanya enzim-enzim yang berperan dalam sintesis dinding sel
sebagai target antimikotik.
c. Mitokondria
Mitokondria pada C. albicans merupakan pembangkit daya
sel. Dengan menggunakan energi yang diperoleh dari
penggabungan oksigen dengan molekul-molekul makanan, organel
ini memproduksi ATP.
d. Nukleus
Nukleus C. albicans merupakan organel paling menonjol
dalam sel. Semua DNA kromosom terkemas dalam serat-serat
kromatin disimpan dalam nukleus. Isi dari nukleus berhubungan
dengan sitosol melalui pori-pori yang terdapat pada nucleus.
e. Vakuola
Vakuola berperan dalam sistem pencernaan sel, sebagai
tempat penyimpanan lipid dan granula polifosfat.
18
f. Sitoplasma
Mikrotubul dan mikrofilamen berada dalam sitoplasma.
Pada C. albicans mikrofilamen berperan penting dalam
terbentuknya perpanjangan hifa (Tjampakasari, 2010).
2.3.3 Patogenesis dan Patologis
Kandidiasis kutaneous atau mukosa dibentuk oleh peningkatan
sensus lokal Candida dan kerusakan pada kulit atau epitel yang
memungkinkan invasi lokal oleh ragi dan pseudohyphae. Histologi lesi
kulit atau mukokutan ditandai oleh reaksi inflamasi yang bervariasi
dari abses pyogenic sampai granuloma kronis. Lesi tersebut
mengandung sel ragi dan pseudohyphae yang melimpah. Pemberian
antibiotik antibakteri spektrum luas sering meningkatkan jumlah
populasi endogen Candida dalam usus besar dan juga mukosa oral dan
vagina. Candidiasis sistemik terjadi saat Candida memasuki aliran
darah dan pertahanan inang fagosit bawaan tidak memadai untuk
menahan pertumbuhan dan penyebaran ragi. Ragi bisa masuk sirkulasi
dengan melintasi mukosa usus. Banyak kasus nosokomial disebabkan
oleh kontaminasi kateter intravena yang tinggal dengan Candida.
Setelah di sirkulasi, Candida dapat menginfeksi ginjal, menempel pada
katup jantung buatan palsu, atau menghasilkan infeksi candidal hampir
di mana saja (misalnya, artritis, meningitis, endophthalmitis).
Pertahanan inang kritis terhadap kandidiasis sistemik adalah saat
jumlah neutrofil fungsional yang memadai mampu memakan dan
membunuh sel ragi.
19
Seperti disebutkan di atas, sel Candida menguraikan
polisakarida, protein, dan glikoprotein yang tidak hanya merangsang
pertahanan inang namun memudahkan pelekatan dan invasi sel inang.
C. albicans menghasilkan famili agglutinin-like sequence (ALS)
surface glikoprotein, beberapa di antaranya adalah adhesins yang
mengikat reseptor membran sel inang dan menengahi keterikatan pada
sel epitel atau endotel. Mekanisme pertahanan inang termasuk pola
pengenalan reseptor (misalnya, lectins, Toll-like receptors,
macrophage mannose receptor) yang mengikat pola molekuler terkait
athogen. Contoh kunci adalah sel inang sel induk, dectin-1, yang
mengikat β-1,3-glukan C. albicans dan jamur lainnya untuk
merangsang respons inflamasi yang kuat. Respon ini ditandai dengan
produksi sitokin, terutama tumor necrosis factor-α, interferon-g, and
granulocyte colony-stimulating factor, yang mengaktifkan sel efektor
anti-fungal, neutrofil, dan monosit. Selain itu, pengikatan β-glukan ke
dectin 1 pada sel dendritik menginduksi limfosit Th17, yang
mensekresikan interleukin-17. Th17 lymphocytes berbeda dengan sel
T dan B. Mereka diaktifkan oleh mekanisme pertahanan bawaan,
biasanya mukosa serta respon imun adaptif.
Selain keluarga delapan gen adhesi ALS, banyak faktor
virulensi lainnya telah diidentifikasi pada C. albicans dan spesies
Candida lainnya. Ini termasuk 10 proteinase aspartil yang disekresikan
(SAP) yang mampu mendegradasi selaput sel inang dan
menghancurkan imunoglobulin. Faktor virulensi lainnya adalah
20
phospholipase (PLB1), yang disekresikan oleh ragi dan pseudohyphae.
Selain itu, pada berbagai permukaan biologis dan prostetik, akumulasi
ragi dan pseudohyphae dengan mudah membentuk biofilm. Biofilm
jamur dilindungi oleh bahan matriks ekstraselular yang menahan
penetrasi melalui respon imun inang dan obat antijamur (Mitchel,
2016).
2.3.4 Manifestasi Klinis
Kandidiasis adalah infeeksi jamur yang disebabkan oleh
spesies Candida dengan patogen utama C. albicans. Jamur ini terdapat
di rongga mulut, pencernaan, dan vagina sebagai normal flora. Dalam
situasi tertentu dapat berkembang dan menghasilkan kondisi patologis
(Nelwan, 2014).
1. Kandidiasis Oral
Infeksi ini sering ditemukan pada anak-anak, usia lanjut,
dan pasisen dengan sistem imun yang tidak adekuat. Kandidiasis
pseudomembran muncul dengan plak putih pada epitel yang
terinfeksi dan dapat lepas dengan mudah. Gambaran bercak-bercak
putih yang menyebar ini dinamakan “thrush”. Pada beberapa
individu plak tersebut tidak muncul tetapi permukaan mukosa
terlihat sangat kemerahan (kandidiasis eritematus akut), yang juga
dikenal sebagai kandidiasis oral atopik akut. Pada pasien dengan
perubahan inflamatorik dan dengan perubahan inflamatorik dan
dengan ketidaknyamanan pada rongga mulut akibat gigi palsu,
eritema persisiten dikaitkan dengan kandida yang merupakan
21
penyebab yang umum ditemukan (kandidiasis eritematus kronik).
Pada perokok, kandidiasis kronik dapat mempunyai gambaran
tambahan seperti plak putih yang irguler, yang tidak mudah lepas,
dan pada beberapa pasien dapat menjadi karsinoma oral. Pada
beberapa pasien dengan infeksi kronik kandidiasis oral,
gambarannya dapat berubah menjadi bberbenjol-benjol
(kandidiasis kronik nodular). Perubahan-perubahan di atas, dapat
muncul bersamaan dengan angular cheilitis, yaitu sudut bibir yang
kering dan pecah-pecah. Kandidiasis esofageal dapat muncul
dengan nyeri retrosternal swaktu menelan, dan kadang-kadang
tanpa gejala.
2. Kandidiasis Vaginal
Kandidiasis vagina dapat muncul pada wanita hamil dan
orang diabetes, salah satu ciri kandidiasis vagina biasanya tidak
disertai kelainan penyerta lain. Sistem imun tidak memengaruhi
munculnya kondisi ini, namun ada laporan memperlihatkan infeksi
vagina yang persisten pada beberapa wanita dengan AIDS.
Gambaran klins utama kandidiasis vagina mirip dengan
yang ditemukan pada mukosa rongga mulut, yang terbanyak
ditemukan adalah dalam bentuk akut (pseudomembranosa atau
eritematosa). Gejala dan tipe akut bervariasi dari cairan yang
kental, rasa gatal, dan dispareunia. Kandidiasis sekunder ditemuan
dengan adanya infeksi lain seperti pemfigoid, lichen planus, atau
sindrom Behcet.
22
3. Kandidiasis Intertigo
Kulit hanya terlibat secara tidak langsung pada infeksi
vagina dimana terdapat penyebaran infeksi ke daerah vulva dan
perineum. Dalam kasus ini, bercak kemerahan dilipat paha dan
pada permukaan atas daerah paha dapat muncul, bersamaan dngan
pustul dan papul satelit. Hal yang sama dapat muncul di tempat
lain seperti di bawah lipatan payudana dan disekililing umbilikus.
4. Kandidiasis Interdigital
Infeksi jari kaki atau kaki karena kandida lebih umum
dijumpai pada negara dengan iklim panas. Lesi berupa bercak putih
dengan kulit yang terasa basah, yang biasanya terkikis secara
superfisial. Kandida dapat menjadi penyebab sekunder pada
dermatofitosis interdigital. Lesi antara sela jari dapat sering dilihat
pada wanita dan dihubungkan terhadap kegiatan mencuci dan
memasak berulang. Hal ini lebih umum ditemukan pada orang
dengan kegemukan.
5. Kandidiasis pada kuku
Paronikia adalah infeksi akut dan kronis pada lipat kuku
yang disebabkan spesies Kandida seperti C. albicans atau Candida
parapsilosis. Hal ini sangat umum ditemukn di daerah tropis.
Infeksi ini muncul pada pasien yang sering melakukan kegiatan
yang berhubungan dengan air atau dengan pekerjaan memasak.
Gejala tambahan lain adalah membengkaknya lipatan kuku, nyeri,
pus yang keluar secara intermiten, dan onikolisis pada batas lateral
23
kuku. Penyebab lain paronikia adalah stafilokokus dan infeksi
kuman gram negatif (Nelwan, 2014).
2.3.5 Pengobatan Kandidiasis
Pedoman pengobatan kandidiasis oleh Infectious Diseases Society of
America adalah sebagai berikut:
IDSA merekomendasikan echinocandin sebagai pengobatan lini
pertama untuk candidemia (caspofungin: dosis pemuatan 70 mg,
kemudian 50 mg per hari; micafungin: 100 mg per hari;
anidulafungin: dosis pemuatan 200 mg, kemudian 100 mg per
hari), bukan flukonazol, sebagai echinocandins membunuh, bukan
menghambat, patogen ini.
Flukonazol, dosis intravena atau oral, 800 mg (12 mg / kg),
kemudian 400 mg (6 mg / kg) setiap hari merupakan alternatif
yang dapat diterima untuk echinocandin sebagai terapi awal pada
pasien terpilih, termasuk mereka yang tidak sakit kritis dan yang
dianggap tidak mungkin terkena spesies Candida yang tahan
terhadap flukonazol.
Pada pasien neutropenia, formulasi lipid amfoterisin B, 3-5 mg / kg
sehari, merupakan alternatif yang efektif namun kurang menarik
karena berpotensi toksisitas.
Flukonazol dapat digunakan pada pasien berisiko tinggi di ICU
dewasa dengan tingkat tinggi (> 5%) kandidiasis invasif.
24
Pemandian harian pasien ICU dengan chlorhexidine, yang telah
terbukti dapat menurunkan kejadian infeksi aliran darah termasuk
candidemia, dapat dipertimbangkan.
Panduan yang diperbarui juga menganjurkan konsultasi dengan
spesialis penyakit menular untuk identifikasi awal strain Candida
yang berbeda, pengobatan antijamur yang optimal, dan hasil pasien
yang lebih baik.
Pedoman tersebut menganjurkan pengujian untuk kerentanan azole
pada isolat Candida yang relevan secara klinis. Pengujian untuk
kerentanan echinocandin harus dipertimbangkan pada pasien yang
telah menjalani pengobatan sebelumnya dengan echinocandin.
Kandidiasis harus dipertimbangkan pada pasien yang memburuk
tanpa sebab yang jelas, memiliki demam yang tidak dapat
dijelaskan, memiliki jumlah sel darah putih yang meningkat, baru
saja menjalani operasi perut, atau memiliki kateter vena sentral.
Lepaskan kateter sedini mungkin pada pasien dengan candidemia
jika kateter adalah sumber yang diduga dan dapat dilepas dengan
aman. Perangkat intravaskular lainnya juga harus dilepas.
Untuk kandidiasis neonatal, amfoterisin B deoksikolat 1 mg / kg
sehari direkomendasikan untuk neonatus dengan kandidiasis
diseminata.
Tusukan lumbal dan pemeriksaan retina dilatasi direkomendasikan
pada neonatus dengan kultur serum atau urine yang positif untuk
spesies Candida.
25
Terapi antijamur empiris harus dipertimbangkan pada pasien
dengan bukti klinis infeksi intra-abdomen dan faktor risiko
kandidiasis yang signifikan, termasuk operasi perut baru-baru ini,
kebocoran anastomotor, atau pankreatitis nekrosis (Pappas dkk,
2016).
2.3.6 Diagnosis Laboratorium
1. Pemeriksaan Langsung dengan Larutan KOH
Pemeriksaan langsung dengan Larutan KOH dapat berhasil
bila jumlah jamur cukup banyak. Keuntungan pemeriksaan ini
dapat dilakukan dengan cara sederhana, dan terlihat hubungan
antara jumlah dan bentuk jamur dengan reaksi jaringan.
Pemeriksaan langsung harus segera dilakukan setelah bahan klinis
diperoleh sebab C. albicans berkembang cepat dalam suhu kamar
sehingga dapat memberikan gambaran yang tidak sesuai dengan
keadaan klinis. Gambaran pseudohifa pada sediaan langsung/apus
dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan kultur, merupakan pilihan
untuk menegakkan diagnosis kandidiasis superfisial (Mutiawati,
2016)
Gambar 2.3 Pseudohifa pada pewarnaan KOH
(Mutiawati, 2016)
26
2. Pemeriksaan Kultur
Media kultur yang dipakai untuk biakan C. albicans adalah
Sabouraud Dextrose Agar (SDA) dengan atau tanpa antibiotik.
Pemeriksaan kultur dilakukan dengan mengambil sampel cairan
atau kerokan sampel pada tempat infeksi, kemudian diperiksa
secara berturutan menggunakan Sabouraud Dextrose Broth (SDB)
kemudian Sabouraud’s dextrose agar plate. Pemeriksaan kultur
darah sangat berguna untuk endokarditis kandidiasis dan sepsis.
Kultur sering tidak memberikan hasil yang positif pada bentuk
penyakit diseminata lainnya. SDB berguna untuk membedakan C.
albicans dengan spesies jamur lain seperti Cryptococcus,
Hasenula, Malaesezzia. Pemeriksaan ini juga berguna mendeteksi
jamur kontaminan untuk produk farmasi. Pembuatan SDB dapat
ditempat dalam tabung atau plate dan diinkubasi pada suhu 37oC
selama 24-48 jam, setelah 3 hari tampak koloni C. albicans
sebesar kepala jarum pentul, 1-2 hari kemudian koloni dapat dilihat
dengan jelas. Koloni C. albicans berwarna putih kekuningan,
menimbul di atas permukaan media, mempunyai permukaan yang
pada permulaan halus dan licin dan dapat agak keriput dengan bau
ragi yang khas. Pertumbuhan pada SDB baru dapat dilihat setelah
4-6 minggu, sebelum dilaporkan sebagai hasil negatif. Jamur
dimurnikan dengan mengambil koloni yang terpisah, kemudian
ditanam seujung jarum biakan pada media yang baru untuk
selanjutnya dilakukan identifikasi jamur (Mutiawati, 2016)
27
Gambar 2.4 Pertumbuhan C. albicans pada SDB (kiri) dan pada SDA (kanan)
(Mutiawati, 2016)
3. Germinating tube test
Germinating blastospores/germ tube terlihat berbentuk
bulat lonjong seperti tabung memanjang dari yeast cells (Reynolds-
Braude phenomenon) pada serum manusia yang ke dalamnya
disuntikkan koloni yang diduga sebagai strain Kandida ke dalam
tabung kecil dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 2-3 jam. Germ
tube terbentuk dalam dua jam setelah proses inkubasi. Bagian
ujung yang menempel pada yeast cells terlihat adanya
pengerutan/pengecilan (tidak ada konstriksi).
Germinating tube test, dilakukan dengan cara:
– Ambil pembenihan C. albicans dengan ose dan masukkan
kedalam tabung yang berisi serum mamalia.
– Inkubasikan pada 37oC selama 2-3 jam.
– Ambil kultur di dalam serum tersebut menggunakan ose
dan letakkan pada gelas obyek, tutup dengan gelas
28
penutup. Periksa di bawah mikroskop menggunakan lensa
obyektif perbesaran 40x.
– Carilah bentukan khas C. albicans yaitu bentuk sel yeast
dengan pseudohypha (Mutiawati, 2016).
Gambar 2.5 Germ tube mulai terbentuk dari hifa sejati (anak panah)
(Mutiawati, 2016)
2.4 Uji Kepekaan Terhadap Antimikroba in vitro
Uji kepekaan terhadap antimikroba adalah uji terhadap kemampuan
suatu animikroba untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang tumbuh
secara invitro atau penentuan bakteri penyebab penyakit yang kemungkinan
menunjukkan resistensi terhadap suatu antimikroba, sehingga antimikroba
tersebut berpotensi dipilih sebagai pengobatan (Soleha, 2015).
a. Metode Dilusi
Metode ini digunakan untuk menentukan KHM (Kadar Hambat
Minimal) dan KBM (Kadar Bunuh Minimal) dari obat antimikroba
(Dzen dkk, 2003). Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar
berbeda yang menurun secara bertahap, baik dengan media cair
maupun padat (Mitchel, 2016).
29
Metode dilusi dengan menggunakan media cair menggunakan
satu seri tabung reaksi yang diisi media cair dan sejumlah tertentu sel
mikroba yang diuji. Masing-masing tabung kemudian diisi dengan
obat yang telah diencerkan pada berbagi macam pengenceran dalam
satuan µg/ml (Soleha, 2015). Selanjutnya, seri tabung diinkubasi pada
suhu 37℃ selama 18-24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan pada
tabung baik secara visual atau menggunakan alat. Konsentrasi terendah
obat pada tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai
tampak jernih (tidak ada pertumbuhan mikroba) adalah KHM dari
obat. Selanjutnya biakan dari semua tabung yang jernih diinokulasikan
pada media agar padat, diinkubasikan dan diamati ada tidaknya koloni
mikroba yang tumbuh pada keesokan harinya. Konsentrasi terendah
obat pada biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak adanya
pertumbuhan koloni mikroba adalah KBM dari obat terhadap bakteri
uji (Dzen dkk, 2003).
Dasar penentuan Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar
Bunuh Minimal (KBM) adalah dimana KHM merupakan konsenterasi
terendah antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
dengan melihat kekeruhan pada pembiakan cair dan KBM ditentukan
konsentrasi terendah antimikroba yang dapat membunuh 99,9% bakteri
yang telah diinkubasi (Soleha, 2015).
30
b. Metode Difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi
agar (Mitchel, 2016). Prinsip dari metode difusi agar/cakram adalah
obat dijenuhkan ke dalam kertas saring (cakram kertas) yang kemudian
ditanam pada media perbenihan agar padat yang telah dicampur
dengan mikroba uji, kemudian diinkubasi pada suhu 37℃ selama 18-
24 jam. Selanjutnya amati adanya zona jernih disekitar cakram kertas
yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan kuman (Dzen dkk,
2003).
Untuk mengevaluasi hasil uji kepekaan tersebut, dapat
dilakukan dua cara, yaitu :
Cara Kirby Bauer, yaitu dengan membandingkan diameter
dari area jernih (zona hambat) disekitar cakram dengan
tabel standar yang dibuat oleh NCCLS (National
Committee for Clinical Laboratory Standard), sehingga
dapat diketahui kriteria sensitif, sensitif intermediet, dan
resisten.
Cara Joan-Stokes, yaitu dengan membandingkan diameter
zona hambat bakteri kontrol yang sudah diketahui
kepekaanya terhadap obat tersebut dengan isolat bakteri
yang diuji (Dzen dkk, 2003).
Selain faktor antara obat dan organisme (misalnya kemampuan
difusi dan sifat media, ukuran molekular, dan stabilitas obat), metode
difusi agar dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan kimia. Meskipun
31
demikian, standardisasi faktor tersebut memungkinkan melakukan uji
kepekaan yang baik (Mitchel, 2016).
2.5 Hasil Penelitian yang Sudah Dilakukan
2.5.1 Ekstrak Kulit Semangka dan Trichophyton mentagrophytes
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sholihah dkk (2015),
ekstrak kulit semangka terbukti memiliki efek antifungi terhadap
Trichophyton mentagrophytes. Pada penelitian ini kulit buah semangka
diproses menjadi ekstrak segar dan kering dengan konsentrasi 5%, 10%,
dan 20%. Ekstrak kering dilarutkan dengan 3 pelarut yang berbeda,
yaitu: aquabides, aquabides panas yang dipanaskan, dan etil alkohol.
Tabel 2.3 Hasil penelitian oleh Sholihah dkk (2015)
Perlakuan Diameter zona hambat (mm)
Ekstrak kering Semangka
5 % A 15,2 10 % A 11,4 20 % A 18,4 5 % AP 17,9
10 % AP 17,6 20 % AP 36,8 5 % ALK 0
10 % ALK 0 20 % ALK 7,6
Ekstrak segar Semangka
40 % 0 80 % 0
Kontrol + 19,5 - 0
Keterangan: A = Aquabides AP = Aquabides Panas ALK = Alkohol
Aktivitas antifungi diuji dengan metode kertas cakram. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh ekstrak kering memiliki
aktivitas antifungi terhadap Trichophyton mentagrophytes. Aktivitas
32
antifungi tertinggi pada semangka dihasilkan oleh ekstrak kulit
semangka 20% dengan pelarut aquabides panas dengan zona hambat
36,8 mm.
top related