alooo
TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
ACUTE LUNG OEDEMA (ALO) dan CENTRAL VENOUS PRESSURE (CVP)
Di R. 5 CVCU RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG
30 Juni – 5 Juli 2014
Oleh:
MA’RIFATUL KISABANA
NIM. 105070201111004
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014
1. Definisi
- Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang
terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang
tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler
(edem paru non kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan
secara cepaat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara
progresif dan mengakibatkan hipoksia (Harun dan Sally, 2009)
- Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar ke
ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli yang terjadi secara akut. Pada
keadaan normal cairan intravaskuler merembes ke jaringan interstisial melalui kapiler
endotelium dalam jumlah yang sedikit sekali, kemudian cairan ini akan mengalir ke
pembuluh limfe menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke dalam sirkulasi (Flick,
2000; Hollenberg, 2003).
2. Etiologi dan Faktor Resiko
a. Ketidakseimbangan Starling Forces
1) Peningkatan tekanan kapiler paru
Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral).
Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi
ventrikel kiri.
Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan
tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
2) Penurunan tekanan onkotik plasma
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing
enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
3) Peningkatan tekanan negatif intersisial
Pengambilan terlalu cepat pneumotoraks atau efusi pleura (unilateral).
Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas
akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
4) Peningkatan tekanan onkotik intersisial
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
b. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress
Syndrome)
1) Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
2) Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).
3) Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-
naphthyl thiourea).
4) Aspirasi asam lambung.
5) Pneumonitis radiasi akut.
6) Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
7) Disseminated Intravascular Coagulation.
8) Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
9) Shock lung oleh karena trauma di luar toraks.
10) Pankreatitis perdarahan akut.
c. Insufisiensi Limfatik
1) Post Lung Transplant
2) Lymphangitic Carcinomatosis
3) Fibrosing Lymphangitis (silicosis)
d. Tak diketahui/tak jelas
1) High Altitude Pulmonary Edema
2) Neurogenic Pulmonary Edema
3) Narcotic overdose
4) Pulmonary embolism
5) Eclampsia
6) Post Cardioversion.
7) Post Anesthesia
8) Post Cardiopulmonary Bypass.
(Harun & Sally, 2009)
Klasifikasi ALO:
a. Edema paru kardiogenik
Yaitu edema paru yang disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskuler.
Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya
deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah
pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang
disuplai oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan
tidak mampu memompa darah lagi seperti biasa.
Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli
diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh
infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek
racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati
menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu
mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah
lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu
mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal
inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).
Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk
mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau
tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan
darah mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru.
Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot
ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.
(Harun dan Sally, 2009).
b. Edema paru non kardiogenik
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung
tetapi paru itu sendiri. Edema paru non-kardiogenik disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan
protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus. Cairan edema paru
nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih
permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma. Banyaknya
cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak adanya
cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara aktif
mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung injury dimana
terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk
menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al, 2005). Non-cardiogenic pulmonary
edema umumnya disebabkan oleh hal berikut:
a. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menjurus pada alveoli yang
bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
b. Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah,
trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok
kokain, atau radiasi pada paru-paru.
c. Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat
menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat
pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut,
dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
d. High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan
yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10.000 feet.
e. Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure
yang parah, atau operasi otak dapat berakibat pada akumulasi cairan di paru-
paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
f. Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-
expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru
mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru
(pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini
dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh
(unilateral pulmonary edema).
g. Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary
edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat
menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin
menyebabkan pulmonary edema.
h. Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary
edema mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah
berjalan ke paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau
transfusion-related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau
eclampsia pada wanita-wanita hamil.
FAKTOR RISIKO
Penyebab paling umum dari edema paru adalah gagal jantung. Tapi tidak setiap kasus
adalah karena masalah jantung. Beberapa faktor risiko edema paru meliputi: (umm.edu)
Tekanan darah tinggi
Diabetes
Penyakit jantung koroner atau katup
Kegemukan
Cedera sistem saraf
Infeksi
3. Patofisiologi
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui
celah kecil antara sel endotel kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke
ruang alveolar intertisial pada keadaan normal tidak dapat masuk ke ruang alveolar hal
ini disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika
cairan memasuki ruang intertisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang
peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh sistem limfatik ke sirkulasi.
Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik
yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan
tekanan hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradient tekanan onkotik
protein.
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan
tekanan hidrostatik yang cepat dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan filtrasi
cairan transvascular. (Gambar 1B). Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal
biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVED) dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan
tekanan ventrikel kiri (18 – 25 mmHG) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan
ruang ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih ti
nggi (>25) maka cairan edema akan menembus epitel paru,membanjiri alveolus.
Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses
sebagai berikut :
- Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan
oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
- Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal
sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel
kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi
ventrikel kiri.
- Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi
jantung
Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostati k maka
sebaliknya, edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke
dalam intersisial paru dan alveolus. Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar
protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeable untuk dilewati oleh
protein plasma. Akumulasi cairan edema ditentukan oleh keseimbangan antara
kecepatan filtrasi cairan ke dalam paru dan kecepatan cairan tersebut dikeluarkan dari
alveoli dan intersisial.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium (Simadibrata,
2000):
a. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan
pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya
ronkhi pada saat inpsirasi karena terbukanya saluran nafas yang tertutup saat
inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal
(garis kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial, akan
lebih memperkecil saluran nafas kecil, terutama di daerah basal oleh karena
pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi reflex bronkhokonstriksi. Sering terdengar
takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi
takipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi
right to left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapsia, tetapi
pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia.
Pada leadaan ini morphin harus digunakan dengan hati-hati
Cara membedakan ALO kardiogenik dan ALO non kardiogenik
ALO kardiogenik ALO non kardiogenikAnamnesis
Acute cardiac event (+) JarangPenemuan Klinis
PeriferS3 gallop/kardiomegali
JVPRonki
Dingin (low flow state)(+)
MeningkatBasah
Hangat (high flow meter)
Nadi kuat(-)
Tak meningkatKering
Tanda penyakit dasarLaboratorium
EKGFoto toraks
ENzim kardiakPCWP
Shunt intra pulmonerProtein cairan edema
Iskemia/infarkDIstribusi perihiler
Bisa meningkat> 18 mmHg
Sedikit< 0.5
Biasanya normalDistribusi periferBiasanya normal
< 18 mmHgHebat> 0.7
Keterangan:JVP: jugular venous pressurePCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure(Harun dan Nasution,2006)
5. Pemeriksaan Diagnostik
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa
kemiripan.
- Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya
riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung
kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi
pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang
menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang
akan tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
- Pemeriksaan Fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau
tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat
mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit
membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan
fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar
dibutuhkan pada saat inspirasi, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan
(pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar
ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan
jantung dapat ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer,
akral dingin dengan sianosis (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edema
paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah rutin,
fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim jantung
(CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan prekursornya Pro
BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada
kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan denganpulmonary artery
occlusion pressure, left ventricular end-diastolic pressure dan left ventricular ejection
fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml
akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan
sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010). Richard dkk
melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure
(Pasquate et al, 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin
untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi
gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro
BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari
penyakit lainnya (AHA, 2009).
- Pemeriksaan Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel
vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis
kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran
ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler <
60 mm pada foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan
lebar pedikel vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan
vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan
diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax
terlentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter
vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan
menggambarkan adanya overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
- Garis kerley A (gambar 2.6) merupakan garis linear panjang yang membentang dari
perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara
limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan
arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang
menggambarkan adanya edema septum interlobular. Garis kerley C berupa garis
pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya
karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah (Koga dan Fujimoto, 2009).
- Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik
dan edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain
bahwa edema tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru
meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan
spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi
film (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Tabel 1. Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik
(dikutip dari Lorraineet al, 2005)
Gambar 5. Ilustrasi Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik
(dikutip dari Cremers et al, 2010)
NO. Gambaran Radiologi Edema Kardiogenik Edema Non Kardiogenik
1 Ukuran Jantung Normal atau membesar Biasanya Normal
2 Lebar pedikel Vaskuler Normal atau melebar Biasanya normal
3 Distribusi Vaskuler Seimbang Normal/seimbang
4 Distribusi Edema rata / Sentral Patchy atau perifer
5 Efusi pleura Ada Biasanya tidak ada
6 Penebalan Peribronkial Ada Biasanya tidak ada
7 Garis septal Ada Biasanya tidak ada
8 Air bronchogram Tidak selalu ada Selalu ada
Gambar 6. Gambaran Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik
(dikutip dari Koga dan Fujimoto, 2009)
- Ekokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri.
Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat
dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru (Maria, 2010).
- EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau
infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran
ekg biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema
paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukkan gambaran
gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan
membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu.
Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan yang
dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari
tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau
ketokolamin (Harun dan Sally, 2009).
Gambar 7. Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik dan Non
Kardiogenik(dikutip dari Lorraine et al, 2005)
6. Penatalaksanaan
Gambar 8. Algoritma Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik
(dikutip dari ESC, 2012)
Penatalaksanaan:
- Posisi ½ duduk.
- Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
- Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
- Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
- Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10
menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena
mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
- Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai
dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90
mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama
dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
- Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
- Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
- Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit
atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
- Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
- Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan
oksigen.
- Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel / corda tendinae.
Rekomendasi Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari ESC,
2012)
7. Asuhan Keperawatan
PENGKAJIAN
Identitas :
Umur: Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan
remaja/dewasa muda
Riwayat Masuk: Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas,
cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran
kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma.
Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik tanda klinik mungkin
menyertai klien
Riwayat Penyakit Dahulu: Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik
seperti sepsis, pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital
bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien
Pemeriksaan fisik
- Sistem Integumen
Subyektif :
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi
sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
- Sistem Pulmonal
Subyektif : Sesak nafas, dada tertekan
Obyektif :Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat,
terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
- Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi,
kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
- Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
- Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan
penggunaan otot aksesoris pernafasan
- Sistem genitourinaria
Subyektif : -
Obyektif : produksi urine menurun/normal,
- Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
- Studi Laboratorik
Hb : menurun/normal
Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar
karbon darah meningkat/normal
- Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal
Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas miokard
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat
bantu nafas
c. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
Intervensi Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas miokardial
(penurunan).
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam terdapat
perbaikan curah jantung
Indikator: “cardiopulmonary status”
Indikator Severe Deviation
(1)
Substantial Deviation
(2)
Moderate Deviation
(3)
Mild Deviation
(4)
No Deviation
(5)1. TD2. Edema paru3. Kelelahan 4. Sianosis5. Ritme
jantung
Intervensi
Indikator IntervensiCardiac Care
5 1. Auskultasi suara jantung3,5 2. Pastikan level aktivitas yang tidak mempengaruhi kerja jantung
yang berat 3 3. Tingkatkan secara bertahap aktivitas ketika kondisi klien stabil,
misal aktivitas ringan yang disertai masa istirahat 1 4. Monitor TTV secara teratur5 5. Monitor kardiovaskuler status3 6. Atur periode aktifitas dengan istirahat untuk menghindari
kelelahan.2,4 7. Lakukan penilaian konprehensif sirkulasi perifer (edema, CRT,
warna, temperature dan nadi perifer)3,5 8. Instrusikan pasien dan keluarga tentang pembatasan dan
progres aktifitas klien
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat
bantu nafas
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan pola
nafas klien efektif.
Indikator: “ Respiratory Status”
Indikator Severe Deviation
(1)
Substantial Deviation
(2)
Moderate Deviation
(3)
Mild Deviation
(4)
No Deviation
(5)1. RR (16-24
x/menit)2. Irama respirasi3. Kedalaman
inspirasi4. Wheezing5. Pursed- Lips
breathing6. Menggunakan
otot bantu pernapasan
7. Dyspnea pada saat aktivitas ringan
8. Banyak mengeluarkan Sputum
9. Batuk
Intervensi
Indikator Intervensi“ Respiratory Monitoring”
1,2,3 1. Monitor RR, irama, kedalaman dan usaha bernafas.6 2. Catat pergerakan dada, lihat kesimetrisan, menggunakan otot
bantu pernafasan dan retraksi otot intercostae dan supracalavicular.
4 3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan seperti wheezing
9 4. Catat serangan , karakteristik dan batuk.7 5. Monitor dyspnea dan aktivitas yang meningkatkan terjadinya
dyspnea.“ Airway Management”
8 6. Dorong mengeluarkan sputum/skret pada saat batuk.7 7. Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi dyspnea dan
usaha pernafasannya dengan menaikkan tempat tidur dengan posisi semi fowler.
“ Ventilation Assistence”5 8. Ajarkan teknik bernapas dengan bibir yang benar yaitu
bernapas dengan bibir yang dirapatkan (pursed-lips breathing).9. Monitor adanya kelelahan penggunaan otot bantu napas
10. Jaga pemberian terapi oksigen sesuai dengan yang diresepkan.
3. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan
ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat sesuai dengan indikator
Indikator: “Respiratory Status : Gas Exchange”
Severe Deviation
(1)
Substantial Deviation
(2)
Moderate Deviation
(3)
Mild Deviation (4)
No Deviation
(5)1. Tekanan
parsial O2 di pembuluh darah arteri ( PaO2)
2. Tekanan parsial CO₂ di pembuluh darah arteri (PaCO2)
3. pH arteri4. Saturasi
oksigen5. Pemeriksaan
Rontgent Thoraks
6. Keseimbangan ventilasi- perfusi
7. Kelemahan 8. Sianosis
Intervensi
Indikator Intervensi“ Respiratory Monitoring”
4,6 1. Monitor kecepatan, irama dan kedalaman usaha pernafasan4, 6 2. Catat pergerakan dada, lihat kesimetrisan, menggunakan otot
bantu pernafasan dan retraksi otot intercostae dan supracalavicular.
4, 6 3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan seperti wheezing
6,7 4. Catat serangan , karakteristik dan batuk.4, 7 5. Monitorpola napas misal: bradypnea, takipnea, hiperventilasi4 6. Auskultasi suara napas, catat penurunan atau ketiadaan
ventilasi &suara tambahan4 7. Catat perubahan SaO2 dan perubahan nilai Blood Gas Arteri7 8. Monitor peningkatan kelemahan dan ansietas5 9. Monitor hasil pemeriksaan Rontgen dada1,2,3,4,6,7,8 10. Instruksikan resusitasi yang akan diberikan
DAFTAR PUSTAKA
Bulecheck, Gloria M., Butcer, Howard K., Dochterman S. Mc Closkey. 2012. Nursing
Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Lowa Mosby Elsavier
Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant. (Online).
Tersedia:Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-x-ray-heart-
failure.html. (24 November 2012)
Nanda International. 2012. Nursing Diagnosis: Definition & Classifications 2012-2014.
Jakarta: EGC
Hudak & Gallo. 2005. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC
Jhonshon, Marion. 2012. Nursing Outcomes Classification (NOC). New Jersey: Upper
Saddler River
ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2012. European Heart Journal (2012) 33, 1787–1847
doi:10.1093/eurheartj/ehs104
Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-1653
Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96
Simadibrata M, Setiati S, Alwi, Maryantono, Gani RA, Mansjoer. 2000. Pedoman
Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta