ahli waris
TRANSCRIPT
AHLI WARIS
Pertanyaan :
Bisakah Meminta Warisan Ketika Ibu Masih Hidup?
Apakah seorang anak berhak meminta hak waris jika sang ibu masih hidup?
Jawaban :
Di Indonesia, sistem pewarisan menggunakan tiga sistem yaitu sistem hukum waris Islam, sistem hukum kewarisan
perdata barat dari Burgerlijk Wetboek (BW) atau umum dikenal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(“KUHPerdata”), dan sistem hukum adat. Saudara tidak menyebutkan keluarga yang dimaksud menggunakan sistem
hukum waris yang mana, berikut ini kami akan uraikan beberapa sistem hukum yang ada.
a. Sistem hukum waris Islam.
Kewarisan Islam di Indonesia merujuk pada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) sebagai dasar
hukumnya. Di dalam Pasal 171 KHI diatur pengertian pewaris, harta warisan, dan ahli waris, dan dapat
disimpulkan bahwa pewarisan hanya dapat dilakukan apabila pewaris telah meninggal dunia atau
dinyatakan meninggal dunia oleh Pengadilan. Jadi, menurut hukum Islam, seorang anak tidak berhak
menuntut harta waris bila ibunya masih hidup.
b. Sistem hukum waris perdata barat. Sistem hukum waris perdata barat berlaku untuk orang non muslim dan yang tidak menundukkan dirinya pada
hukum adat. Pada Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) dengan jelas disebutkan bahwa
pewarisan hanya terjadi karena kematian. Jadi, menurut BW, seorang anak sebagai ahli waris tidak berhak
menuntut harta waris kepada pewaris (ibunya) bila pewaris (ibunya) masih hidup. c. Sistem hukum waris adat.
Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya Hukum Adat Indonesia (hal.259), hukum adat waris di Indonesia
sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Sistem
kekeluargaan di Indonesia ada yang patrilineal, matrileineal dan parental.
Contoh hukum waris adat patrilineal adalah hukum adat Bali dimana ahli waris adalah anak laki-laki kandung,
kemudian berikutnya orang tua laki-laki, kemudian berikutnya saudara laki-laki yang mewaris setelah kematian
pewaris. Perempuan bukanlah ahli waris, sehingga istri hanya berhak atas harta bersama saja, sedangkan anak
perempuan tidak mewaris kecuali sudah diubah status hukumnya sebagai laki-laki melalui upacara adat karena
pewaris tidak punya anak laki-laki.
Contoh hukum waris adat matrilineal adalah Minangkabau. Dalam buku yang disusun oleh Mochtar Naim yang
berjudul Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau (hal. 122) disebutkan bahwa ahli waris
adalah anak perempuan atau kemenakan dari pewaris. Harta warisan dibagi dua yaitu pusako tinggi dan pusako
rendah. Harta pusako tinggi (tanah, sawah, ladang, atau rumah) harus diturunkan menurut adat yaitu ke garis
keturunan anak perempuan, sedangkan pusako rendah (harta hasil mata pencaharian) boleh diturunkan menurut
hukum Islam karena dalam adat Minangkabau dikenal prinsip: adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Jadi untuk pusako rendah digunakan hukum waris Islam.
Contoh hukum waris adat parental adalah hukum kewarisan adat Riau dimana anak laki-laki maupun anak
perempuan dapat mewaris dari ayahnya maupun ibunya.
Prinsip utama dari sistem waris adat adalah harus ada yang meninggal dunia. Soerjono Soekanto dalam
bukunya Hukum Adat Indonesia (hal.262) menegaskan bahwa bila seorang meninggal maka ahli waris adalah
anak-anak dari si peninggal harta. Walaupun beliau mengutip pendapat Soepomo (hal.259) bahwa proses
peralihan harta bisa dimulai sejak pewaris masih hidup, tetapi Soerjono Soekanto menegaskan (hal.270) bahwa
pengalihan harta dalam keluarga sendiri hanyalah bersifat sementara, itu pun biasanya hanya terjadi pada
keluarga dengan sistem patrilineal atau parental untuk anak laki-laki yang sudah dewasa tetapi tetap bukan
merupakan peristiwa pemberian harta warisan.
Pendapat lain diberikan oleh Iman Sudiyat dalam bukunya Hukum Adat Sketsa Asas (hal.158-160). Pemberian
dari orang tua kepada anak adalah suatu “pembekalan” untuk membentuk keluarga sendiri, tetapi setelah orang
tua meninggal harta yang telah diberikan akan diperhitungkan kembali sebagai harta peninggalan. Pemberian
tanah kepada anak yang akan kawin merupakan suatu pengoperan wajar dalam lingkungan kerabat.
Penelitian mengenai pewarisan menurut hukum adat ini pernah ditulis oleh Ni Luh Putu Asthy Rosmilawati
(2008) yang berjudul Hak Waris Janda atas Harta Peninggalan Suami yang mengambil objek penelitian dari
sistem waris adat Bali. Dalam isi penelitiannya, ia mengutip pendapat Hilman Hadikusuma dalam bukunya
Hukum Waris Adat (hal.95-100) yang disarikan sebagai berikut: Pewarisan dalam hukum waris adat dapat terjadi pada saat pewaris masih hidup dengan tiga cara:
a. Penerusan atau pengalihan: saat pewaris masih hidup ada kalanya ia sudah melakukan pengalihan atas
jabatan adat atau harta kekayaan kepada ahli waris, terutama pada anak laki-laki tertua menurut prinsip
patrilineal, kepada anak perempuan tertua menurut prinsip matrilineal, atau kepada anak tertua laki-laki
atau anak tertua perempuan menurut prinsip parental. Biasanya dilakukan karena orang tua telah berusia
lanjut dan anak tersebut telah mantap berumah tangga. b. Penunjukan: pewaris menunjuk ahli waris atas hak atau harta tertentu. Tetapi penguasaan dan pemilikannya
baru berpindah sepenuhnya setelah pewaris meninggal dunia. Sebelum pewaris meninggal ia masih berhak
menguasai harta tersebut tetapi pengurusan, pemanfaatan, dan penikmatan hasil sudah berada pada ahli
waris. c. Pesan atau wasiat: biasanya dilakukan karena pewaris sudah sakit parah atau hendak bepergian jauh
sehingga ia berpesan untuk anak dan hartanya. Pesan atau wasiat dari orang tua kepada ahli warisketika
hidupnya itu biasanya harus diucapkan dengan terang dandisaksikan oleh para ahli waris, anggota keluarga,
tetangga danpara tetua desa.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa dalam sistem waris adat dimungkinkan seorang pewaris
menyerahkan hak warisnya kepada ahli waris saat masih hidup, akan tetapi, secara hukum kepemilikan atas
harta baru akan berpindah sepenuhnya setelah pewaris meninggal dunia.
Jadi, berdasarkan sistem hukum waris Islam dan sistem hukum waris perdata barat (BW), seorang anak tidak dapat
menuntut hak waris dari orang tuanya (dalam hal ini ibu) bila orang tuanya masih hidup karena pewarisan kepada
ahli waris hanya akan terjadi setelah pewaris meninggal dunia. Sedangkan menurut sistem waris adat dimungkinkan
pengalihan harta waris kepada ahli waris saat pewaris masih hidup tetapi status hukum harta tersebut baru benar-
benar berpindah setelah pewaris meninggal dunia.
Di sisi lain, jika yang Anda maksud adalah bisakah harta mendiang ayah dibagikan padahal ibu masih hidup, simak
penjelasannya dalam artikel Pembagian Harta Warisan Ayah, Ketika Ibu Masih Hidup.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)(Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847); 2. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.