adopsi hukum islam dalam sistem hukum...

318
i ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL (Studi Tentang UU.No.1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I Tentang Perkawinan) DISERTASI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Agama Islam Oleh : Abdul Wahab Abd Muhaimin Nim : 04300101010001 Promotor : Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM Prof. DR. H. Azyumardi Azra, MA KONSENTRASI : SYARIAH SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M / 1431 H

Upload: others

Post on 26-May-2020

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

i

ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM

HUKUM NASIONAL

(Studi Tentang UU.No.1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Buku I Tentang Perkawinan)

DISERTASI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Agama Islam

Oleh :

Abdul Wahab Abd Muhaimin

Nim : 04300101010001

Promotor :

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

Prof. DR. H. Azyumardi Azra, MA

KONSENTRASI : SYARIAH

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010 M / 1431 H

Page 2: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

ii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Abdul Wahab Abd Muhaimin

NIM : 04300101010001

Tempat / Tgl. Lahir : Poso, 17 Agustus 1950

Alamat : Kompleks UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jl. Ibnu Taimia III No. 108 Ciputat

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi yang berjudul :

“ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL” (Studi Tentang UU. No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Buku I Tentang Perkawinan)

Adalah benar karya asli saya kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan

sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya sepenuhnya

menjadi tanggung jawab saya yang dapat berakibat gelar kesarjanaan dibatalkan.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta :

Abdul Wahab Abd Muhaimin NIM : 04300101010001

ii

23 Juli 2010 M 11 Sya’ban 1431 H

Page 3: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

iii

NASIONALISASI HUKUM ISLAM

DI INDONESIA

(Studi Tentang UU.No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, KHI Buku I

Tentang Perkawinan Dan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama (HMPA)

Dalam Bidang Perkawinan)

DISERTASI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Agama Islam

Oleh :

Abdul Wahab Abd Muhaimin

Nim : 04300101010001

PROMOTOR :

Promotor I Promotor II

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

Prof. DR. H. Azyumardi Azra, MA

KONSENTRASI : SYARIAH

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2009 M / 1430 H

Page 4: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

iv

LEMBARAN PENGESAHAN

Disertasi Judul :

“ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM

NASIONAL” (Studi Tentang UU. No. 1 Tahun 1974 Dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I Tentang Perkawinan)”

Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

telah diperbaiki sesuai saran-saran Tim Penguji pada ujian disertasi terbuka

(Promosi Doktor).

Pada hari : Jum’at tanggal 23 bulan Juli tahun 2010.

Disahkan oleh Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 29 Juli 2010

Promotor / Penguji

Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA

Page 5: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

v

PERSETUJUAN PENGUJI

Disertasi Judul: “ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM

HUKUM NASIONAL” (Studi Tentang UU. No. 1 Tahun 1974 Dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I Tentang Perkawinan)”

Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

telah diperbaiki sesuai dengan saran-saran Tim Penguji pada ujian disertasi

terbuka (Promosi Doktor) pada hari : Jum’at tanggal 23 bulan Juli tahun 2010,

telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji.

Demikian persetujuan ini diberikan kepada yang bersangkutan untuk

digunakan sebagaimana mestinya.

Tim Penguji

Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA ( ).

( Ketua Sidang / Promotor / Penguji ) ( Tgl. ).

Prof.Dr.KH.Mohammad Amin Suma, SH,MA,MM ( ).

( Promotor / Penguji ) (Tgl. ).

Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA ( ).

( Penguji ) (Tgl. ).

Prof. Dr. Hj. Suriani, SH, MA ( ).

( Penguji ) (Tgl. ).

Prof. Dr. H. Suwito, MA ( ).

( Penguji ) (Tgl. ).

DR. H. Ujang Tholib, MA ( ).

( Sekretaris Sidang ) (Tgl. ).

Page 6: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

vi

ABSTRAK

Kesimpulan disertasi ini mempertegas, bahwa Materi UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I tentang Perkawinan, yang telah menjadi Hukum Nasional, diadopsi dari pokok-pokok ajaran Hukum Islam, dalam bidang perkawinan, yang meliputi dasar-dasar perkawinan dan hukumnya, seperti; peminangan, rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan, mahar, larangan perkawinan dan perkawinan yang dilarang, perjanjian perkawinan, kawin hamil (hamil di luar nikah), poligami dan syarat-syaratnya, hak dan kewajiban suami-istri, harta kekayaan dalam perkawinan (harta bersama/gono-gini dan harta bawaan), masa iddah bagi wanita yang dicerai (cerai hidup dan cerai mati), pemeliharaan anak dan perwaliannya, kedudukan anak dari hasil perkawinan yang sah dan dari luar perkawinan yang sah, putusnya perkawinan dan akibat hukumnya, rujuk dan masa berkabung.

Hukum Islam dalam bidang perkawinan dapat diterima dan diadopsi ke dalam sistem Hukum Nasional, karena sesuai dengan keyakinan Umat Islam dan budaya Indonesia, secara yuridis formal dan secara normatif telah ada dan tumbuh menjadi hukum yang hidup dan dilaksanakan/diamalkan oleh pemeluknya, di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebelum kemerdekaan RI, zaman penjajahan Belanda, dan masa pendudukan Jepang hingga kemerdekaan, kini dan masa yang akan datang, tetap langgeng dan lestari.

Penelitian ini menolak pendapat M. Insa, yang mengatakan, bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya pasal 3, ayat (1, 2) pasal 4, ayat (1, 2), pasal 5 ayat (1), pasal 9, 15 dan 24 tentang poligami, bertentangan dengan ajaran Islam.

Penelitian ini memperkuat temuan Busthannul Arifin, tentang Perlindungan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I tentang Perkawinan terhadap hak-hak perempuan dan menyamakan kedudukannya dengan laki-laki, kecuali dalam hal-hal yang bersifat fungsional/kodrati saja yang berbeda dan memperkuat temuan Muhammad Daud Ali, tentang keunggulan dan kelemahan isi/materi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Penelitian ini juga memperkuat tulisan Azyumardi Azra, yang mengatakan, bahwa penjabaran dan implementasi dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan sebuah pelembagaan Syariah di Indonesia. Demikian juga, penelitian ini memperkuat penelitian Abdurrahman, yang mengatakan, bahwa materi KHI Buku I tentang Perkawinan, identik dengan Hukum Islam.

Disertasi ini merupakan kajian kepustakaan (library research) menggunakan metode pendekatan Ilmu Usul Fikih, yaitu pendekatan kaidah kebahasaan dan pendekatan kaidah makna (maqasid al shari’ah) serta metode Ilmu Hukum. Data primer adalah kitab-kitab fikih dari berbagai mazhab, kitab-kitab usul fikih dan qawaid fiqiyah, UU No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I tentang Perkawinan, kitab-kitab atau sumber-sumber lainnya yang terkait dengan UU No. 1 Tahun 1974 dan

Page 7: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

vii

KHI Buku I tentang Perkawinan. Sedangkan data sekunder yang digunakan antara lain : Buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, karya Azyumardi Azra, buku Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia karya Busthanul Arifin, buku Hukum Islam dan Peradilan Agama, dan Pengantar Ilmu Hukum, dan Tata Hukum Islam di Indonesia, karya Muhammad Daud Ali, Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI tahun 2008, dan karya-karya lainnya yang relevan.

Wallahu a’lam.

Page 8: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

viii

11974

1

19743124125

191524

11974

11974

11974

Page 9: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

ix

11974

1718

71989

3200671989

2008

Page 10: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

x

ABSTRACT

This study affirms that the Marital Law Number 1 of 1974 and the Compilation of Islamic Law Book 1 on Marriage which have incorporated in the national legal system were adopted from the principles of Islamic law on marriage, including proposal, conditions of marriage, dowry, prohibitions of marriage, illicit marriage, contracts of marriage, marrying the pregnant, polygamy and its terms, rights and duties of the husband and wife, shared wealth in marriage, wait period for the divorcee, custody of children and guardianship, the status of a child in legal and illegal marriage, cutting-off marriage and its impacts, remarriage and mourning.

The acceptance of Islamic marital laws and their adoption by the national legal system are because of its conformity with the belief and culture of the Muslims in Indonesia. Judicially and normatively, Islamic laws had existed and developed as living laws and implemented by its adherents amid Indonesian people before the Independence of the Republic of Indonesia, namely from the invasion eias of the Dutch and the Japanese until the independence days and will be sustained to the future time.

This dissertation argues the opinion of M. Insa, which said mat the Marital Law Number 1 of 1974, especially Article 3 Item 1 and 2, Article 4 Item 1 and 2, Article 5 Item 1, and Articles 9, 15 and 24 including polygamy, is contradicted to the Islamic teachings.

This dissertation agrees with Busthanul Arifin's opinion on the Marital Law Number 1 of 1974 and the Compilation of Islamic Law Book 1 on Marriage that these laws protect the rights of women and put them in an equal position of men, except in the matters dealing with their different functions. It also agrees with what is reached by Muhammad Daud Ali about the privileges and defects of the content of the Marital Law Number 1 of 1974.

The study also strengthens the findings of Azyumardi Azra that say that the implementation of the Marital Law Number 1 of 1974 is considered as institutionalization of Islamic laws in Indonesia. Moreover, it accepts the argumentation of Abdurrahman, SH, MH that this Marital Law is identical with Islamic law.

This study is undergone by library research with the method of ushul al-fiqh, namely with an approach of linguistic rules, the objectives of Islamic law and legal sciences. The primary resources are books of Islamic jurisprudence and its schools, philosophy of Islamic law and its rules., the Marital Law Number 1 of 1974, the Compilation of Islamic Law Book 1 on Marriage and other references related to these laws. The secondary resources among others are Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII written by Azyumardi Azra, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia written by Bustanul

Page 11: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

xi

Arifin, books authored by Muhammad Daud Ali such as Pengantar Hukum Islam, Tata Hukum Islam di Indonesia; besides Law Number 7 of 1989 on Religious Court, Law Number 3 of 2006 on Amendment of Law Number 7 of 1989 on Religious Court and Regulations on Marriage issued by the Directorate General of the Guidance of the Muslim Societies of the Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia of 2008 and other relevant writings.

Page 12: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

xii

PEDOMAN TRANSLITERASI

I. KONSONAN

q = ق z = ز a = ا

k = ك s = س b = ب

l = ل sh = ش t = ت

m = م }s = ص th = ث

n = ن {d = ض j = ج

w = و {t = ط }h = ح

h = ھـ }z = ظ kh = خ

= ء ‘ = ع d = د

y = ي gh = غ dh = ذ

t-h = ة f = ف r = ر

Page 13: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

xiii

VOKAL PENDEK III. VOKAL PANJANG

= a ا = â

= i ي = î

= u و = û

IV. DIFTONG V. PEMBAURAN

al = ال aw = ـو

al-syams = الشمس ay = ـى

-wa al = وال

VI. PENGECUALIAN

Huruf Hamzah (ء) di awal kata ditulis dengan huruf vokal tanpa didahului tanda

(‘), seperti أمھات ditulis Ummahat, bukan ‘Ummahat.

Page 14: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

xiv

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Penyayang tak pandang sayang, Maha Pengasih

tak pilih kasih.

Alhamdulillah, berkat rahman dan rahim Allah SWT, serta taufiq dan

inayah-Nya, penulisan disertasi ini selesai, tidak melampaui jadual yang telah

ditetapkan, ini adalah karunia Ilahi yang telah memberi penulis; nikmat kesehatan

dan kekuatan, lahir batin sebagai modal utama, dalam menyelesaikan tugas berat

ini.

Salawat dan salam, penulis persembahkan kepada baginda Rasul,

junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, sebagai qudwah, uswah hasanah,

yang telah meletakan dasar-dasar petunjuk, menjadi contoh yang harus diteladani

oleh setiap insan untuk kemaslahatan dan keselamatan dunia dan akhirat di segala

lini kehidupan.

Disertasi ini selesai, selain usaha yang tidak mengenal lelah, penulis

menyadari bahwa terwujudnya menjadi suatu kenyataan, hal ini tidak terlepas dari

andil, bantuan, partisipasi dan kontribusi dari berbagai pihak, baik langsung

maupun tidak, moril maupun materil, yang tidak dapat disebutkan satu persatu

dan akan selalu dikenang, hingga di ujung usia, rasanya penulis tidak dapat

membalas segala jasa baik yang telah diberikan, hanya kepada Allah SWT jualah,

diserahkan untuk memberikan ganjaran pahala yang berlipat ganda.

Penghormatan dan penghargaan yang tiada hingga, serta ucapan banyak

terima kasih, penulis sampaikan kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA, sebagai Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan beasiswa kepada penulis pada

program S3, di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 15: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

xv

2. Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH,MA,MM., selaku Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai promotor

penulis dengan penuh keikhlasan, di tengah-tengah kesibukan beliau sehari-

hari, baik sebagai Dekan maupun tokoh nasional, ahli hukum Islam dan

hukum umum telah meluangkan waktu membimbing dan mengarahkan

penulis, walaupun dalam rangka perjalanan dakwah dan memberikan kuliah

ke daerah, di Pesawat terbang, beliau membaca dan mengoreksi disertasi

penulis, hingga disertasi ini selesai, tidak melampaui waktu yang telah

ditetapkan.

3. Bapak Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA, sebagai Direktur Sekolah Pasca

Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus promotor, yang telah

banyak memberi masukan untuk kesempurnaan disertasi ini dan telah

memberikan beasiswa kepada penulis pada masa studi program S2 dan S3

(di kala beliau Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

4. Bapak Prof. Dr. H. Suwito, MA, yang telah memberikan arahan kepada

penulis sejak awal penyusunan proposal disertasi ini.

5. Bapak Prof. Dr. H. Badri Yatim, MA (Alm), sebagai penguji proposal

disertasi, yang telah banyak memberi kritik dan arahan, terutama dalam

menetapkan judul disertasi yang baik dan terarah serta dinyatakan layak untuk

digarap/dikerjakan, namun dalam rangka penulis memburu waktu untuk

menyelesaikan disertasi ini, Allah SWT, berkehendak lain, promotor penulis

dipanggil pulang, oleh empunya dunia ini (khalik pencipta) Allah SWT,

Bapak Prof. Dr. H. Badri Yatim, MA, meninggal dunia

promotor penulis setelah kepergian Bapak Prof. Dr. H. Badri Yatim, MA

adalah Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Bapak Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA. Alhamdulillah Beliau bersedia

menjadi Promotor penulis.

Page 16: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

xvi

6. Bapak Dr. H. Fuad Jabali, MA, sebagai penguji proposal disertasi, yang telah

banyak memberikan arahan, hingga sampailah penulis pada judul permanen

disertasi yang layak untuk digarap/dikerjakan.

7. Bapak Dr. H. Yusuf Rahman, sebagai penguji proposal disertasi yang banyak

memberikan input, sehingga judul disertasi dapat diterima untuk

dikerjakan/digarap.

8. Para dosen dan guru besar di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mewakafkan dan

mentransfer ilmunya yang bermanfaat.

9. Bapak Promotor/Penguji; Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA,

MM., Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA., Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA.,

Prof. Dr. Suriani, SH, MA., Prof. Dr. H. Suwito, MA., yang telah menambah

imput dan perbaikan, bahkan perubahan, untuk kelaikan serta kesempurnaan

disetasi ini. جزاكم اهللا أحسن الجزاء

10. Bapak Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA (Dirjen Bimas Islam Departemen

Agama Republik Indonesia) yang telah memberikan data gugat cerai ( )

sepuluh tahun terahir (2000 s/d 2009) dari Depag RI, شكرا جزیال .

11. Segenap staf dan karyawan sekolah pasca sarjana Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta atas segala keramahan dan pelayanannya

yang baik selama penulis kuliah di sekolah pasca sarjana, hingga penulis

mengakhiri masa kuliah di sekolah pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang tercinta ini.

12. Akhy al Aziz Dr. H. Muhammad Hasbi, MA, sekali lagi terima kasih telah

membantu penulis, untuk mendapatkan data-data yang sangat berharga

“tentang gugat cerai (istri) yang terjadi di Indonesia selama 10 tahun terakhir”

(Depag RI dari tahun 2000 s/d 2005 dan Mahkamah Agung RI. dari tahun

2006 s/d 2009). شكرا جزیال, demikian juga ucapan terima kasih ini penulis

sampaikan kepada teman-teman seangkatan di sekolah Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 17: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

xvii

13. Bapak Pendiri Yayasan Pendidikan Islam Alkhairaat (Pesantren Alkhairaat)

Palu Sulawesi Tengah, al Allamah al Habib H.S. Idrus bin Salim al Jufri

(Guru Tua), yang telah merekrut penulis dari Ampana salah satu desa di

Kabupaten Tojo Una-Una (sebelumnya wilayah Kabupaten Poso), ke Ibu Kota

Propinsi Sulawesi Tengah Palu, untuk belajar di Pesantren Alkhairaat Pusat

Palu. Selama berbilang tahun penulis mendapat pendidikan dan pengajaran

langsung dari Beliau, selain pendidikan reguler (klasikal), hingga beliau

berpulang ke Rahmatullah, kenangan indah “monumental” yang tidak akan

dilupakan, juga terima kasih dan penghargaan yang tiada hingga kepada al

Habib H.S. Muhammad bin Idrus al Jufri (Alm), al Ustaz H.S. Abdillah bin

Muhammad al Jufri (Alm) dan al Ustaz H.S. Saggaf Muhammad al Jufri, MA.,

Ketua Utama PB Alkhairaat / Ketua Umum MUI Propinsi Sulawesi Tengah,

dan seluruh keluarga besar al Jufri.

14. Yang tercinta Ayah dan Bunda Abdul Muhaimin dan Siti Hani (Alm) yang

telah berjasa, memelihara, mendidik dan membesarkan, serta mendo’akan

penulis agar selalu sukses dalam menjalani kehidupan ini.

15. Yang tercinta قرینة حیاتى, Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tauhid Yanggo, MA dan

Putra semata wayang Syarif Hidayatullah, S.S.I., keduanya merupakan

inspirator dan motivator penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.

16. Akhir kalam sekali lagi kepada yang telah memberikan bantuan moril maupun

materil serta kontribusi positif dari berbagai bentuk hingga disertasi ini selesai

ditulis, dari relung hati yang paling dalam, penulis haturkan penghargaan dan

terima kasih yang tiada hingga, penulis tidak dapat membalas jasa baik yang

telah diberikan, hanya kepada Allah SWT jualah penulis mohonkan untuk

memberikan ganjaran pahala yang berlipat ganda.

ــر ــناظـالإذا ما تأملھ # لو أن للشكر شخصا یرىــرى لـك حتى ت ھ ت ل ث ـ مـ إنى امرؤل # ل شاكر تعلم

- Jika seandainya ucapan terima kasih itu bisa dilihat

- Saya akan berusaha agar ucapan terima kasih itu dapat dilihat

- Saya akan visualisasikan untukmu hingga engkau dapat melihatnya

- Engkau akan mengetahui bahwa sesungguhnya saya (penulis) adalah orang

yang berterima kasih.

Page 18: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

xviii

Semoga disertasi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membacanya.

Amin.

23 Juli 2010 M

Jakarta : 11 Sya’ban 1431 H

Penulis

Page 19: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

xix

DAFTAR ISI

Halaman Judul No. Halaman

Surat Pernyataan .......................................................................................... ii

Persetujuan dari Promotor ............................................................................ iii

Abstrak ........................................................................................................ ix

Pedoman Transliterasi .................................................................................. xv

Kata Pengantar ............................................................................................. xvii

Daftar Isi ...................................................................................................... xxi

BAB I : PENDAHULUAN .................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Permasalahan ...................................................................... 3

C. Tujuan Penelitian ................................................................ 4

D. Manfaat / Signifikansi Penelitian ......................................... 5

E. Kajian Pustaka .................................................................... 5

F. Metodologi Penelitian ......................................................... 10

G. Kerangka Teori ................................................................... 15

H. Sistematika Penulisan ......................................................... 15

BAB II : PERIODESASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA .............. 17

A. Hukum Islam di Indonesia Sebelum Pemerintahan Kolonial

Belanda ............................................................................... 18

B. Hukum Islam di Indonesia Zaman Penjajahan Belanda ....... 26

C. Hukum Islam di Indonesia Masa Pendudukan Jepang ......... 33

D. Hukum Islam di Indonesia Setelah Kemerdekaan ................ 36

E. Hukum Islam di Indonesia Setelah Menjadi Hukum

Nasional .............................................................................. 42

Page 20: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

xx

BAB III : HUKUM PERKAWINAN ISLAM DALAM UU NO. 1

TAHUN 1974 DAN KHI TENTANG PERKAWINAN ........... 48

A. Pengertian Hukum Perkawinan Islam .................................. 49

B. Hukum Fikih Islam Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan .................................................... 55

C. Hukum Fikih Islam Dalam KHI Buku I Tentang

Perkawinan ......................................................................... 152

D. Usaha Amandemen UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI Buku I

Tentang Perkawinan............................................................. 193

BAB IV : NASIONALISASI HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI

INDONESIA ............................................................................ 213

A. Pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan .......................................................................... 214

1. Latar Belakang dan Proses Pembentukan Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan .............. 214

2. Tantangan dan Respon Dalam Pembentukan dan

Penerapan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan ..................................................................... 223

B. Pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ..................... 231

1. Latar Belakang dan Proses Pembentukan Kompilasi

Hukum Islam (KHI) ....................................................... 231

2. Landasan dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam

(KHI) ............................................................................. 242

BAB V : EVALUASI PELAKSANAAN UU No. 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN ................................................... 245

A. Keunggulan dan Kelemahan UU No. 1 Tahun 1974 dan

KHI Tentang Perkawinan .................................................... 245

B. Dampak UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI Tentang

Perkawinan Terhadap NTCR ............................................... 257

Page 21: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

xxi

BAB VI : PENUTUP ................................................................................ 281

A. Kesimpulan ......................................................................... 281

B. Rekomendasi ...................................................................... 284

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 286

Page 22: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah :

Hukum Islam yang terdiri atas shariah dan fikih adalah sebagai

peraturan yang mengikat bagi semua orang yang beragama Islam tanpa

pengecualian. Namun sebagai warga Negara, setiap orang juga terikat oleh

peraturan-peraturan negara yang mengikat semua warganya, apalagi Indonesia

bukan Negara Islam dan juga mempunyai kebudayaan serta penduduknya

yang plural, dari suku dan bahasa, terutama Agama. Oleh karena itu setiap

peraturan yang dibuat oleh Pemerintah, atau atas dasar keinginan Rakyat,

harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau harus mendapat

respon positif dari Pemerintah.

Sedangkan pengertian hukum Islam dalam konteks kenegaraan

adalah segala peraturan yang berdasarkan Al Quran dan Sunnah Rasulullah

SAW. tentang perbuatan manusia mukallaf yang diyakini dan diakui berlaku

serta mengikat bagi seluruh umat Islam dengan mendapat pengakuan dan

persetujuan dari Negara, di mana ia diterapkan dan sudah dipositifkan menjadi

hukum Negara, atau telah menjadi hukum Nasional, seperti hukum Fikih

Islam dalam bidang perkawinan telah dimasukkan dalam Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 1 dan dalam Kompilasi Hukum Islam

(KHI)2 berdasarkan INPRES No. I Tahun 1991 untuk menjadi pedoman para

1 Undang-Undang Perkawinan disahkan oleh DPR pada tanggal 2 Januari 1974 –

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor I, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 3040 - setelah sebelumnya pada bulan Juli 1973 Pemerintah mengajukan RUU kepada DPR hasil pemilu 1971. Dalam proses pembahasannya, keterlibatan umat Islam yang berada di dalam maupun di luar DPR sangat tinggi, mengingat ada beberapa Pasal yang bertentangan dengan hukum perkawinan Islam. Namun akhirnya, permasalahan kontroversial yang bertentangan dengan hukum Islam dapat dihilangkan berkat tuntutan yang gigih dari umat Islam. Tuntutan ini wajar mengingat masyarakat Islam di Indonesia tidak hanya menjadi mayoritas tetapi sangat religus, karena itu tuntutan terhadap pemberlakuan hukum Islam bidang perkawinan sangat realistis dan proporsional sebagai konsekuensi dari penduduk mayoritas. Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Universitas Yarsi, 1999), 6, 7.

2 Kompilasi dalam Webster’s disebut compile artinya “mengumpulkan bahan-bahan yang tersedia ke dalam bentuk yang teratur, seperti dalam bentuk sebuah buku, mengumpul-kan berbagai macam data. Lewis Mulfored Adams dkk. (ed), Webster’syari’ah Word University Dictionary, (Washington DC: Publisher Company Inc, 1965), 213. Kata

1

Page 23: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

2

Hakim Pengadilan Agama di Indonesia dalam memeriksa, mengadili dan

memutuskan suatu perkara yang diajukan.3

Hukum Fikih Islam telah menjadi Hukum Nasional, karena telah

dimasukan ke dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI

berdasarkan INPRES No.I Tahun 1991.

Hukum Fikih Islam bisa diterima di Indonesia menjadi Hukum

Nasional, karena secara yuridis formal dan secara normatif, telah menjadi

hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Hukum fikih Islam di

samping sebagai entitas agama yang dianut oleh mayoritas penduduk

Indonesia, bahkan di beberapa daerah dari segi amaliahnya telah dilaksanakan

dan dianggap sakral. Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam sangat

erat dan telah lama berlangsung di Indonesia.4

kompilasi, nampaknya lebih dekat dengan kata compilation dalam bahasa Inggris yang artinya: “himpunan, kompilasi, himpunan Undang-Undang”. Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : Gramedia 2005), 132, atau berarti juga :karangan yang tersusun dari kutipan-kutipan buku lain”. Kaitannya dengan kodifikasi. Kompilasi tidak mesti berupa produk hukum yang mempunyai kepastian dan kesatuan hukum sebagaimana halnya sebuah kodifikasi. Karena itu, dalam konteks hukum, kompilasi merupakan sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau juga aturan hukum. Dalam pengertian ini, kompilasi berbeda dengan kodifikasi, namun secara substansial keduanya sama-sama sebagai produk hukum. Kompilasi dalam pengertian Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama Fikih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. Himpunan tersebut inilah yang dinamakan kompilasi, Lihat H. Abd Rahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika Presindo, 1992), 12 dan 14.

3 Buku I KHI memuat Hukum Perkawinan, buku II memuat Hukum Kewarisan dan Buku III memuat Hukum Perkawakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf.

4 Di beberapa daerah di Indonesia, Hukum Islam sudah dipegang teguh dan dijadikan landasan kehidupan masyarakatnya. Misalnya, di Minangkabau tercermin dalam pepatahnya :”Adat dan syara’ sanda menyanda, syara’ mengato adat memakai”. Menurut Hamka pepatah ini menunjukkan bahwa Hukum Adat dengan Hukum Islam sangat erat hubungannya. Dalam masyarakat muslim Gorontalo dapat dilihat dalam ungkapannya: “Adat hula-hulaa to syaraa, syaraa hula-hulaa to adati”. Artinya kurang lebih sama dengan ungkapan adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi adat”. Ungkapan ini menunjukkan eratnya hubungan Adat dengan Hukum Islam. Daud Ali mengutip ungkapan ini dari A. Gani Abdollah, 1087:89). Ungkapan yang dikutip Daud Ali Dari A. Gani Abdollah tersebut adalah dari Sulawesi Selatan, tetapi menurut penelitian penulis adalah dari Gorontalo karena dari bahasa Gorontalo. Selanjutnya berkenaan dengan masalah ini, hubungan adat dan Hukum Islam juga erat di Jawa. Ini mungkin disebabkan karena prinsip rukun dan sinkritisme agama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa, terutama di daerah Pedesaan. Lihat : Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 2005), 223.

Page 24: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

3

Berdasarkan ungkapan di atas, maka dapat ditolak ungkapan para

penulis buku-buku hukum yang ditulis oleh para penulis Barat/Belanda dan

mereka yang sepaham dengan penulis-penulis Belanda itu yang mengatakan

bahwa Hukum Adat dengan Hukum Islam di Indonesia, adalah dua unsur yang

bertentangan. Sebenarnya ungkapan mereka ini dinyatakan dengan sadar

sesuai dengan teori konflik yang mereka gunakan untuk memecah belah,

“devide et empra” mengadu domba rakyat Indonesia guna mengukuhkan

kekuasaan Belanda di Indonesia.5 Karena adanya kesesuaian Hukum Islam

dengan Hukum Adat itulah, khususnya dalam bidang perkawinan, sehingga

Hukum Fikih Islam dalam Bidang perkawinan bisa diterima menjadi Hukum

Nasional di Indonesia melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI

Buku I tentang Perkawinan.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan

sangat dibutuhkan untuk menjadi pedoman bagi masyarakat yang

memerlukannya, terutama bagi para Hakim Pengadilan Agama di Indonesia

dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan,

agar putusannya seragam dalam kasus yang sama. Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan yang materinya diadopsi dari

Hukum Islam dalam bidang perkawinan. Berdasarkan hal ini, maka penulis

ingin mengkaji sejauh mana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI

Buku I tentang Perkawinan yang telah diadopsi menjadi Hukum Nasional,

dengan Judul Disertasi : “ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM

HUKUM NASIONAL” (Studi Tentang UU. No. 1 Tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I Tentang Perkawinan).

B. Permasalahan :

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian disertasi

ini difokuskan pada pengkajian materi UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan, yang telah menjadi Hukum Nasional berdasarkan INPRES No. 1

Tahun 1991, yang materinya bersumber dari shari’ah dan fikih yang telah

5 Menurut Van Vollenhoven, Hukum Adat harus dipertahankan sebagai Hukum

Barat. Sebab, kalau Hukum Adat didesak oleh Hukum Barat, Hukum Islam yang akan berlaku. Ini tidak boleh terjadi di Hindia Belanda (Bustanul Arifin dalam Mukhtar Na’im, 1968 :171) – Lihat, Daud Ali, Hukum Islam…, 224.

Page 25: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

4

disesuaikan dengan kondisi di Indonesia untuk menjadi pedoman para hakim

Pengadilan Agama se Indonesia dalam penyelesaian kasus perkara yang

berkenaan dengan perkawinan.

Demikian pula, berhubung karena materi UU No. 1 Tahun 1974 dan

KHI tentang Perkawinan sangat banyak dan luas, maka kajian Disertasi ini

dibatasi hanya pada pembahasan tentang sebab diterimanya Hukum Islam

dalam bidang perkawinan sebagai Hukum Nasional di Indonesia dan kajian

pasal-pasal yang berkaitan dengan syari’ah dan fikih tentang Perkawinan, agar

diketahui sejauhmana Hukum Islam tersebut diadopsi dalam Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I tentang

Perkawinan, keunggulan serta kelemahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

dan KHI tentang Perkawinan serta dampak Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 dan KHI tersebut terhadap NTCR yang menyebabkan meningkatnya

gugatan cerai istri.

Dengan demikian, maka pertanyaan besar dalam penelitian ini

adalah:

1. Mengapa Hukum Fikih Islam dalam Bidang Perkawinan bisa diterima

sebagai Hukum Nasional di Indonesia” ?

2. Sejauh mana hukum Fikih Islam tentang Perkawinan diadopsi dalam

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan?

3. Apa keunggulan dan kelemahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

dan KHI tentang Perkawinan?

4. Bagaimanakah dampak UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan terhadap NTCR, terutama terhadap Gugatan Cerai Istri ?

C. Tujuan Penelitian :

Berkenaan dengan pokok masalah yang telah disebutkan di atas,

maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengungkap faktor penyebab Hukum Fikih Islam bisa diterima

sebagai Hukum Nasional di Indonesia.

2. Untuk mengungkap apa saja dari Hukum Islam tentang Perkawinan

diadopsi dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.

Page 26: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

5

3. Untuk mengungkap keunggulan dan kelemahan materi UU No. 1 Tahun

1974 dan KHI tentang Perkawinan.

4. Untuk mengungkap dampak UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan terhadap NTCR, terutama terhadap Gugatan Cerai Istri.

D. Manfaat/Signifikansi Penelitian

Adapun manfaat/Signifikansi penelitian ini diharapkan

1. Dapat menambah khazanah dan informasi tentang faktor penyebab dapat

diterima Hukum Islam sebagai Hukum Nasional, terutama kepada yang

hendak mengkaji UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.

2. Dapat menginformasikan tentang apa saja Hukum Islam tentang

Perkawinan diadopsi dalam sistem Hukum Nasional.

3. Dapat menginformasikan tentang Keunggulan dan Kelemahan materi UU

No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, kepada yang terkait agar

dapat memperbaiki kelemahannya.

4. Dapat menginformasikan dampak UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan terhadap NTCR, terutama terhadap Gugatan Cerai Istri.

E. Kajian Pustaka :

Berdasarkan penulusuran kepustakaan yang dapat penulis lakukan,

ditemukan beberapa kajian terdahulu, khususnya dalam bentuk hasil

penelitian disertasi dan tesis secara spesifik serumpun dengan judul yang

penulis angkat, namun objek kajiannya ada yang hampir sama dan adapula

beberapa kajian yang relatif jauh kaitannya dengan kajian penulis, tetapi

masih dalam lingkup keilmuan yang sama.

Di antara karya-karya tersebut adalah :

1. “Hukum Islam dalam Hukum Positif di Indonesia : Studi Kritis Hukum

Kewarisan menurut KHI”, oleh Suparman Usman (Disertasi PPs IAIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 1998).

Page 27: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

6

Dalam disertasi ini Suparman Usman menyoroti masalah kewarisan

yang terdapat dalam KHI dikaitkan dengan Hukum Positif. Walaupun

disertasi ini mengkaji materi KHI, tetapi hanya mengkaji materi hukum

kewarisan dan tidak mengkaji materi Hukum Perkawinan.

2. “Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia : Studi tentang KHI” oleh

Ramlan Yusuf Rangkuti (Disertasi PPs IAIN Jakarta, tahun 2003).

Disertasi ini walaupun mengkaji KHI, tetapi tidak membahas

masalah materi KHI tentang perkawinan. Kajiannya hanya terkait dengan

masalah putusan Peradilan Agama, Hakim dan kewenangannya.

3. “Modernitation, Tradition and Identity : The Kompilasi Hukum Islam and

Legal Practic of Indonesia Religius court” oleh Euis Nurlaelawati

(Disertasi di utrecth University Belanda, tahun 2005 dipromosikan

Nofember 2007).

Disertasi ini memfokuskan kajiannya pada intensitas penggunaan

Kompilasi Hukum Islam yang dilakukan oleh Hakim di PA dan PTA

dengan cara menganalisis beberapa putusannya terutama putusan tahun

2000-2005 setelah adanya KHI, dimana diperoleh data, bahwa Hakim PA

dan PTA masih ada yang tidak menggunakan KHI sebagai dasar

pertimbangan hukum ketika memutuskan perkara, terutama yang berkaitan

dengan hadanah dan itsbat nikah.

4. “Undang-Undang Nomor I tahun 1974 dan kaitannya dengan Perkawinan

antar orang yang berlainan Agama : Kajian Yuridis, Implementasi, dan

Problematika serta Kontribusi Hukum Islam dalam Pembangunan dan

Pembaharuan Hukum Nasional”. Oleh A. Chaeruddin (Disertasi PPS

IAIN Jakarta, Tahun 2000). Disertasi ini mengkaji materi UU Perkawinan,

tetapi hanya menitik beratkan kajiannya pada perkawinan beda agama.

Penulis Juga membahas perkawinan beda agama tetapi objek kajiannya

pada KHI, yang kajiannya bukan hanya berkenaan dengan perkawinan

beda agama tetapi mengkaji materi hukum perkawinan secara umum,

yang berkenaan dengan hukum Fikih Islam.

Page 28: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

7

5. “Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional : Mengurai Benang yang

Kusut. (Sebuah buku karya Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH, diterbitkan

oleh Mizan tahun 2001). Buku ini merupakan kumpulan dari makalah-

makalah serta ceramah-ceramah beliau yang oleh editor diramu

sedemikian rupa sehingga menjadi mozaik yang begitu indah. Buku ini

menghimpun beberapa isu penting sekitar kiat, strategi dan ulasan yang

menarik untuk melakukan transformasi hukum Islam ke hukum Nasional,

tetapi buku ini tidak berbicara tentang materi UU No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan atau hukum perkawinan Islam dalam KHI.

6. “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fikih Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan”. (sebuah buku karya Prof. Dr. Amir

Syarifuddin yang diterbitkan oleh Kencana Prenada Media Group). Buku

ini memaparkan dengan rinci berbagai muatan hukum dalam sebuah

ikatan perkawinan dengan pendekatan lintas mazhab fikih.

Buku ini merinci beberapa permasalahan hukum perkawinan

mulai dari etimologi sampai terminologi materi hukum, dasar hukum,

tujuan hukum dan hikmahnya, syarat rukunnya serta pelaksanaan serta

masalah yang timbul dari permasalahan. Tetapi pembahasan buku ini tidak

mengkaitkan dengan materi KHI tentang Hukum Perkawinan.

7. “Hukum Nikah (Talak, Rujuk, Hadanah dan Nafkah Kerabat) dalam

Naskah Mir’at al-Tullab Karya Abd al-Rauf Singkel) oleh Peunoh Daly

(Disertasi Pascasarjana IAIN Jakarta, tahun 1982). Disertasi ini hanya

menguraikan tentang hukum perkawinan khususnya dalam masalah talak,

rujuk, hadanah dan nafkah kerabat yang ada pada kitab Mir’at al-Tullab

karya Abd al-Rauf Singkel. Penelitian Peunoh Daly hanya terfokus pada

kitab Mir’at al-Tullab, pada wacana fikih munakahat saja, tanpa dikaitkan

dengan KHI sebagai hukum Negara yang mengatur masalah perkawinan.

8. Yayan Sopyan (2007), Transformasi Hukum Islam ke dalam Sistem

Hukum Nasional, mengkaji materi UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Dalam temuannya, materi UU No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan tersebut sejalan dengan Hukum Islam.

Page 29: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

8

Disertasi ini membahas kontribusi Hukum Islam pada Undang-

Undang Perkawinan, tidak membahas kontribusi Hukum Islam dalam KHI

Bidang Perkawinan.

Adapun buku-buku yang secara langsung ada kaitannya dengan

disertasi penulis adalah :

1. Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, mengakaji

sebagian materi Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan materi KHI

tentang Perkawinan. Dalam temuannya secara khusus, materi UU No. 1

tahun 1974 dan materi KHI tentang Perkawinan, membela dan melindungi

hak-hak perempuan. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang mengangkat

kedudukan perempuan dan menyamakan derajatnya dengan laki-laki.

2. Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, mengkaji isi

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaannya. Dalam

temuannya, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah memenuhi sebagian

besar tuntutan pokok yang telah lama diperjuangkan terutama oleh

pergerakan wanita Indonesia segala golongan. Namun masih perlu

penyempurnaannya.

3. Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 an

Institutionalization of the Shari’a for Social Changes, in Shari’a and

Politic in Modern Indonesia, mengkaji Hukum Perkawinan Indonesia

tahun 1974, suatu Lembaga Hukum Syari’ah untuk perubahan sosial,

terutama tentang Sejarah Pembentukan Undang-Undang Perkawinan

tersebut. Dalam temuannya bahwa penjabaran dan implementasi dari UU

No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan sebuah pelembagaan

shariah di Indonesia.

4. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, mengkaji materi dan

sistematika KHI. Dalam temuannya, kompilasi Hukum Islam Indonesia,

identik dengan Hukum Islam. Kelemahannya materi KHI, khususnya

mengenai hukum perkawinan banyak terjadi duplikasi dengan apa yang

diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, atau Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975, tetapi dalam KHI banyak juga hal-hal baru

ditemukan.

Page 30: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

9

Penelitian ini memperkuat temuan Busthanul Arifin tentang

Perlindungan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan terhadap

hak-hak perempuan dan menyamakan kedudukannya dengan laki-laki, kecuali

dalam hal-hal yang bersifat fungsional dan kodrati saja yang berbeda.

Perbedaannya dengan kajian penulis, penulis mengkaji semua pasal-pasal UU

No. 1 tahun 1974 dan pasal-pasal KHI tentang Perkawinan yang ada kaitannya

dengan Hukum Islam.

Penelitian ini juga memperkuat temuan Mohammad Daud Ali

tentang Keunggulan dan Kelemahan UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Undang-Undang tersebut telah memenuhi sebagian besar

tuntutan yang telah lama diperjuangkan, terutama oleh pergerakan wanita

Indonesia, namun masih perlu disempurnakan. Ia tidak membahas semua

Pasal dalam Undang-Undang tersebut dan tidak mengkajinya dari sisi Hukum

Islam. Perbedaannya dengan kajian penulis, penulis membahas semua Pasal

tersebut dari tinjauan Hukum Islam.

Penelitian ini juga memperkuat temuan Azyumardi Azra, bahwa

penjabaran dan implementasi dari UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan,

merupakan sebuah Pelembagaan Shariah di Indonesia.

Penelitian ini juga memperkuat penelitian Abdurrahman bahwa

materi KHI Buku I tentang Perkawinan itu identik dengan Hukum Islam. Ia

banyak mengkaji dari segi sistematikanya, baik buku KHI Buku I tentang

Perkawinan maupun Buku II tentang Waris, dan Buku III tentang Wakaf.

Menurutnya kelemahan KHI materinya banyak yang duplikasi dengan materi

UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan atau PP No. 9 Tahun 1975.

Perbedaannya dengan kajian penulis, penulis mengkaji materi KHI Buku I

tentang Perkawinan dari segi materi Hukum Islam yang terdapat dalam UU

No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.

Page 31: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

10

F. Metodologi Penelitian :

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research),

yang menggunakan sumber-sumber kepustakaan yang ada kaitannya dengan

masalah pokok penelitian.

Metode yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Pendekatan

Sehubungan dengan pokok permasalahan dalam disertasi berada

dalam ruang lingkup kajian Hukum Islam, maka pendekatan yang

dipergunakan adalah pendekatan ilmu usul fikih. Di dalam kajian usul fikih,

khususnya dalam memahami tujuan penetapan hukum-hukum syara’

menggunakan dua bentuk pendekatan yang saling berkaitan, yaitu:

pendekatan kaidah kebahasaan dan pendekatan kaidah makna (Maqasid al-

Shariah). Kedua bentuk pendekatan tersebut digunakan untuk memahami

berbagai istilah yang dikemukakan oleh para Ulama di dalam pengembangan

konsep-konsep pemikiran fikihnya, karena konsepnya digali dan bersumber

dari nash-nash Al Quran dan Sunnah, yang keduanya dalam bahasa Arab.

Dalam konteks ini, penggunaan pendekatan kaidah kebahasaan adalah sangat

relevan, karena melalui pendekatan ini dapat ditemukan penjelasan dan

keterangan serta ketentuan-ketentuan yang dapat digunakan untuk memahami

teks Shari’at secara benar, sesuai dengan pemahaman-pemahaman orang-

orang Arab yang kepada mereka teks-teks itu diturunkan. Sedangkan

pendekatan kaidah makna dipergunakan untuk menganalisa metode ijtihad

para Ulama, dalil-dalil yang digunakannya serta kesimpulan yang

dirumuskannya terhadap berbagai masalah dalam perkawinan, khususnya

dengan masalah perkawinan yang diadopsi dalam materi UU No. 1 Tahun

1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Perkawinan.

Contoh fikih yang di adopsi dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 34

ayat (1) dan Pasal 41 sub (b) dan (c), KHI tentang Perkawinan Pasal 80 ayat

(2) dan (4) tentang kewajiban suami memberi nafkah terhadap isteri dan anak,

bahwa suami berkewajiban memberikan segala sesuatu keperluan hidup

berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, menanggung nafkah, kiswah

Page 32: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

11

dan tempat tinggal bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya

pengobatan bagi isteri dan anak serta biaya pendidikan anak. Imam Shafi'i

mewajibkan kepada suami untuk memberikan nafkah kepada isteri dan

anaknya sesuai dengan kemampuannya, berdasarkan firman Allah dalam

Surah al-Nisa’ ayat 3 yang terdapat pada kata "أال تعولوا" yang berarti agar

kamu tidak mempunyai anak (keluarga) yang banyak. Demikianlah penafsiran

Imam Syafi'i dalam kitabnya “Ahkam Al Quran” yang merupakan kumpulan

dari pendapat-pendapatnya. Maksudnya "أال تعولوا" menurut Imam Shafi'i ialah

agar kalian (para suami) jangan sampai mempunyai anak (keluarga) yang

banyak yang menjadi tanggungan kalian, lebih dari tanggungan kalian jika

kalian hanya menikah dengan seorang isteri walaupun kalian diperbolehkan

menikah dengan lebih dari satu isteri (berpoligami)6.

Contoh lainnya, Pasal-Pasal digunakan oleh para Hakim di

Pengadilan Agama untuk memutuskan perkara gugat cerai antara lain sebagai

contoh adalah putusan Pengadilan Agama (PA) Selong Kabupaten Lombok

Timur No: 414/Pdt.6/2000/PA.Sel. tentang isteri (penggugat) menuntut cerai

dari suaminya (tergugat), karena tidak menunaikan kewajiban nafkahnya dan

nafkah kedua anak mereka. Setelah melalui beberapa kali sidang, majelis

Hakim mengabulkan gugatan isteri (penggugat) dan menceraikan penggugat

(isteri) dengan tergugat (suami). Putusan ini berdasarkan Pasal 80 ayat (2) dan

(4) KHI.7 Pasal yang dijadikan dasar oleh Hakim PA tersebut identik dengan

fikih Shafi’i tentang kewajiban suami memberikan nafkah kepada isteri

sebagaimana telah disebutkan di atas.

Di samping metode usul fikih dengan dua pendekatan yang telah

disebutkan di atas, juga digunakan metode ilmu hukum. Ilmu hukum

merupakan metodologi atau cara mempelajari hukum dengan pendekatan

6 Al-Shafi'i, al-Umm, (Bairut-Libnan : Dar al-Fikr, 1400 H/1980 M), Cet I,

Jilid V, 94. 7 Data gugat cerai tersebut di atas adalah diperoleh dari bapak Prof. DR. Bustanul

Arifin (Dosen M.K. Hukum Islam di Indonesia pada PPS/Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah), 2005.

Page 33: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

12

metode penafsiran hukum (interpretasi hukum), yaitu untuk menentukan arti

atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasarkan pada kaitannya8.

Ada beberapa metode penafsiran hukum, yaitu :

a. Interpretasi tata bahasa, yaitu cara penafsiran berdasarkan bunyi

ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada arti perkataan dalam

hubungan satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh

undang-undang.

b. Interpretasi sistematis, yaitu cara penafsiran dengan melihat susunan yang

berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya, baik dalam undang-

undang tersebut, maupun dengan undang-undang yang lain.

c. Interpretasi sahih, yaitu cara penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata

tersebut sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang itu

sendiri.

d. Interpretasi historis meliputi :

1). Sejarah hukumnya, yaitu cara penafsiran dengan menyelidiki sejarah

terjadinya hukum tersebut.

2). Sejarah undang-undang, yaitu penafsiran dengan menyelidiki

pembentukan undang-undang pada waktu membuat undang-undang.

e. Interpretasi ekstensif, yaitu cara penafsiran dengan memperluas arti kata-

kata dalam peraturan itu sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan.

f. Interpretasi nasional, yaitu cara penafsiran dengan memilih sesuai

tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku.

g. Interpretasi teologis (sosiologis), yaitu cara penafsiran dengan mengingat

maksud dan tujuan undang-undang.

h. Interpretasi restriktif, yaitu cara penafsiran dengan membatasi arti kata

dalam peraturan itu sendiri.

8 Hasanuddin AF., et.el., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Percetakan Pustaka al-

Husna Baru dan UIN Jakarta Press, 2004), cet I, 165.

Page 34: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

13

i. Interpretasi analogi, yaitu cara penafsiran pada peraturan hukum dengan

asas hukum, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat

dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.

j. Interpretasi A Contrario, yaitu sesuatu cara menafsirkan undang-undang

dengan mendasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang di

hadapi dengan soal yang diatur dalam pasal undang-undang tersebut.9

Metode ilmu hukum dan penafsirannya yang telah disebutkan di atas,

digunakan untuk menentukan hukum oleh Pemerintah dan Hakim,

khususnya bagi penulis untuk mengkaji dan meneliti UU No. 1 Tahun 1974

dan KHI tentang Perkawinan.

2. Sumber Data :

Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

b. Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku I tentang hukum perkawinan.

c. Kitab-kitab Fikih dari 4 (empat) mazhab dan selainnya, misalnya :

1) Hashiyah Radd al Muhtar ‘Ala al Durr al Mukhtar oleh Ibnu ‘Abidin

2) Al Mughny oleh Ibnu Qudamah

3) Al Umm oleh Imam Shafi’i

4) Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu oleh Wahbah al Zuhaily

5) Al Muhadhdhab oleh al Shairazy

6) Kifayah al Akhyar oleh Imam Taqiyuddin

7) Bidayah al Mujtahid oleh Ibnu Rushd

8) Al Fiqh ‘Ala al Madhahib al Arba’ah oleh Abd. Rahman al Jaziry.

9) Fiqh al Sunnah oleh al Sayid Sabiq

10) Qalyuby wa ‘Umairah oleh Jalaludin al Mahally

11) I’anah al Talibin oleh Muhammad al Malibary

d. Kitab-kitab usul fikih dan qawaid fiqhiyah, misalnya :

1) Usul Fikih oleh Muhammad Abu Zahrah

2) Al Mustasfa oleh Imam al Ghazali

3) Usul Fikih oleh Abd. Wahhab Khallaf

4) Al Ashbah wa al Nazair oleh Jalaluddin al Suyuty

9 Hasanuddin AF. et.el., Pengantar Ilmu Hukum, 166-167.

Page 35: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

14

e. Kitab-kitab Tafsir misalnya : Tafsir Ibnu Kathir, Tafsir al Manar, Tafsir al

Maraghy dan Tafsir Ayat Ahkam oleh al Sabuny

f. Kitab-kitab Hadis misalnya : Sahih al Bukhari, dan Sahih Muslim, Nail al

Autar oleh al Shaukany, Subul al Salam oleh Al San’any dan al Jami’ al

Saghir oleh Jalaluddin al Suyuty.

g. Buku-buku dan artikel-artikel, atau yang lainnya berkenaan dengan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.

Sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari literatur-literatur

berkaitan dengan persoalan penelitian (pembahasan disertasi), antara lain,

sebagai berikut :

1). Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung : Penerbit Mizan, 1994).

2). A. Hasyim (ed), Sirah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia,

(Bandung : Al Ma’arif, 1989).

3). Busthanul Arifin, Buku pelembagaan Hukum Islam di Indonesia (Akar

Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta, Gema Insani, 1996).

4). Amin Suma, Transformasi Shariah ke dalam Hukum Nasional, (Jakarta,

Departemen Kehakiman dan HAM, 2004).

5). Muhammad Daud Ali, Buku Hukum Islam dan Peradilan Agama

(Kumpulan Tulisan, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997).

6). Muhammad Daud Ali, Buku Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata

Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005).

7). Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama

Republik Indonesia, Buku Himpunan Peraturan Perundang-Undangan

Perkawinan, (Jakarta, Tahun 2009).

8). Karya-karya (buku, artikel dan lain-lain) yang relevan dengan pembahasan

disertasi.

3. Analisa Data

Peneliti menginventarisasi permasalahan-permasalahan yang menjadi

objek penelitian disertasi ini. Setelah terinventarisasi berdasarkan kelompok-

kelompok masalah, selanjutnya dilakukan penelusuran dan penelaan teks UU No.

Page 36: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

15

1 tentang 1974 dan KHI tentang Perkawinan dengan metode analisa materi (isi).

Setelah menganalisa data, dideskripsikan dalam satu uraian yang bersifat analisis

yang dialektis.

Dalam kajian dan pembahasan tentang Hukum Islam, materi UU No. 1

tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan serta pemikiran sendiri dan kutipan

pemikiran orang lain, dilakukan komparasi dengan pemikiran ulama/tokoh lain

yang relevan, kemudian menyimpulkan dan menuangkannya dengan bahasa

sendiri.

G. Kerangka Teori :

UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan telah menjadi

Hukum Nasional berdasarkan INPRES No. 1 Tahun 1991, yang secara umum

materinya diadopsi dari Hukum Islam bidang perkawinan, kemudian dilengkapi

dengan prosedur dan tata cara pelaksanaannya.

“Hukum Islam dalam bidang perkawinan, telah diadopsi dalam sistem

Hukum Nasional Indonesia”.

Materi UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dirinci dan disempurnakan dengan

KHI tentang Perkawinan sebagai pedoman para Hakim Agama di Indonesia dalam

melaksanakan tugasnya, bersumber dari shari’ah dan fikih di bidang perkawinan.

Shari’ah tidak berubah karena diambil dari nas Al Quran dan al Sunnah. Fikih adalah

pemahaman terhadap nas. Fikih dapat berubah karena perubahan waktu, tempat dan

keadaan. Ilmu fikih juga selalu berkembang karena menggunakan metode-metode

yang sangat memperhatikan kebutuhan dan keadilan bagi masyarakat. Di antara

metode-metode itu ialah maslahah mursalah, Istihsan, Istishab, ‘urf dan maqasid

al-shariah. Materi UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan laik untuk

dikaji dan diteliti.

H. Sistematika Penulisan

Disertasi terdiri dari 6 (enam) BAB, sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan : Terdiri atas Latar Belakang Masalah, Permasalahan,

Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kajian Pustaka Yang Relevan,

Metodologi Penelitian, Kerangka Teori dan Sistematika Penulisan.

Page 37: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

16

Bab II : Periodesasi Hukum Islam di Indonesia terdiri atas : Hukum Islam di

Indonesia sebelum Pemerintahan Kolonial Belanda, Hukum Islam di

Indonesia pada zaman Penjajahan Belanda, Hukum Islam di Indonesia

pada masa Pendudukan Jepang, Hukum Islam di Indonsia setelah

Kemerdekaan dan Hukum Islam di Indonesia setelah Menjadi Hukum

Nasional.

Bab III : Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, terdiri atas :

Pengertian Hukum Perkawinan Islam, Hukum Islam dalam UU No. 1

tahun 1974 dan Hukum Islam dalam KHI tentang Perkawinan dan

usaha Amandemen UU No. 1 Tahun 1974 dan usaha Peningkatan KHI

tentang Perkawinan menjadi RUU HMPA bidang Perkawinan.

Bab IV : Nasionalisasi Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, terdiri atas :

Pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Latar Belakang dan Proses Pembentukannya, Tantangan dan Respon

dalam Pembentukan dan Penerapannya, Pembentukan KHI, Latar

Belakang dan Proses Pembentukannya serta Landasan dan

Kedudukannya.

Bab V : Evaluasi pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, terdiri atas :

Pembahasan tentang Keunggulan dan Kelemahan Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 serta dampaknya terhadap NTCR dengan

meningkatnya Gugatan Cerai Istri.

Bab VI : Penutup Terdiri atas : Kesimpulan dan Rekomendasi.

Page 38: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

17

BAB II

PERIODESASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Sebelum pemerintahan Belanda, Hukum Islam telah dianut dan

dilaksanakan oleh para pemeluknya di Nusantara ini, telah hidup di

masyarakat dan menjadi norma serta sumber perilaku.

Kemudian pada zaman penjajahan Belanda, Hukum Islam tetap di

akui pada awalnya untuk diberlakukan kepada bumi putera yang bersengketa.

Namun pemerintah penjajah Belanda ini dengan memanfaatkan jasa Snouck

Hurgronye, berusaha menerapkan berbagai teori untuk merintangi kemajuan

Islam di tanah air. Salah satu teori yang populer adalah theory reseptie yang

berarti : “Hukum Islam berlaku apabila diterima, atau dikehendaki oleh

hukum adat”.

Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang memberlakukan

theory Receptie Snouck Hurgronye mendapat reaksi yang keras dari kalangan

umat Islam, yang berakumulasi pada perlawanan umat Islam untuk mengusir

penjajah dari tanah air Indonesia.

Di masa pendudukan Jepang, tidak ada perubahan berarti mengenai

Pengadilan Agama di tanah air sampai Jepang kalah.

Setelah Indonesia merdeka, pengaruh politik Pemerintah Penjajah

masih berbekas. Ini dapat dilihat dalam penetapan UUD 1945 dan Pancasila

sebagai dasar dan falsafah negara, umat Islam harus merelakan penghapusan

tujuh kata yang terdapat dalam rumusan Pancasila yang terdapat dalam

Piagam Jakarta, karena adanya desakan dari kalangan pihak Kristen. Tujuh

kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian diganti

dengan kata “Yang Maha Esa”.

Umat Islam Indonesia telah menerima Pancasila sebagai falsafah

bangsa dan ideologi Negara, karena sila-sila Pancasila tersebut tidak

17

Page 39: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

18

bertentangan dengan ajaran Islam. Walaupun konstitusi Negara RI itu Islami,

tetapi pelaksanaan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan di Indonesia

setelah Indonesia merdeka dalam periode 1945-1974, melalui Badan

Peradilan Agama tetap tidak berubah seperti sediakala. Baru tahun 1974

dengan disahkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, teori resepsi

kolonial itu menemui ajalnya, karena dengan terbentuknya UU No. 1 tahun

1974 setiap perkawinan harus dilaksanakan menurut hukum agama. Untuk

orang Islam, perkawinan baru dianggap sah kalau dilakukan menurut

perkawinan Islam.

A. Hukum Islam di Indonesia sebelum Pemerintahan Kolonial Belanda

Sebelum Islam masuk ke Indonesia, ada beragam tradisi dan budaya

adat dalam kehidupan masyarakat. Adat itu sendiri beraneka ragam sesuai

dengan etnis aslinya dan latar belakang budaya aslinya, keanekaragaman

kelompok etnik dan batasan budaya penduduk Indonesia. Perkawinan di

dalam hukum adat, pada beberapa tingkatan, akan berbeda-beda dalam hal

jenis kelompok, keluarga, komunitas dan personalnya. Sebagaimana Ter Haar

menyebutkan, perkawinan juga berarti kelompok kekerabatan yang

terorganisasi yang membentuk komunitas otonom tetap menjaganya, suku,

rumpun atau keluarga besar. Di dalam komunitas, perkawinan juga berarti

keluarga, individu memperluas barisannya di masa depan, dan ini

membuatnya sebagai sebuah masalah keluarga. Oleh karena itu, perkawinan

dan hukum perkawinan memiliki posisi yang sangat penting di dalam hukum

adat.1

Masa permulaan Islam masuk ke Indonesia membawa suatu

perubahan yang besar dan transformasi adat pribumi. Sebagaimana Nasution

dan Khatib berpendapat, adat dari komunitas yang terislamisasi memiliki

lebih banyak, atau sedikit elemen pengajaran Islam yang disatukan, terutama

aturan perkawinan dan bidang-bidang lain hukum keluarga. Karena proses

penggabungan hukum adat ini dengan ajaran Islam, hal ini tidak heran bahwa

kemudian kekuasaan British dan Belanda pertama kalinya menganggap bahwa

1 Lihat : Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 An

Institutionalization of the Shari’a for Social Changes, in Shari’a and Politic in Modern

Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003), 78.

Page 40: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

19

hukum adat pada dasarnya sama seperti ajaran Islam. Orang yang

bertanggung jawab dalam pendapat ini adalah Christian van den Berg,

seorang penasehat Belanda, yang menyebut opini ini sebagai theory reception

in complexu. Kemudian, Snouch Hurgronye menyebutkan, bahwa theory

receptie yang diusulkan bahwa hukum adat tidak sama dengan hukum Islam

dengan beberapa deviasi di dalamnya, tapi ini didasarkan pada cara hidup

orang Indonesia pribumi dan budaya. Dengan kata lain, adat tidak hanya

hukum Islam yang disatukan dengan budaya lokal, tapi juga mengandung

elemen tambahan lainnya yang sangat bervariasi sebagai satu gerakan dari

lokalitas orang Indonesia pada yang lainnya. Dengan kata lain, Hazairin

mengarahkan para sarjana hukum Indonesia, bahwa hukum adat sama seperti

hal yang lainnya, karena penyesuaian ajaran Islam. Walaupun ada

penyesuaian ajaran Islam, namun nampaknya hukum adat tetap menjaga

karakter yang berbeda yang membedakan dari ajaran Islam.2

Hukum Islam telah lama masuk dan berkembang di Indonesia jauh

sebelum kemerdekaan RI, karena hukum Islam masuk di Indonesia

sebenarnya bersamaan dengan masuknya Islam di Nusantara, yang dalam hal

ini terdapat perdebatan panjang antara para ahli sejarah dalam menentukan

tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya dan waktu kedatangannya.3

Salah satu pendapat menyebutkan, bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui

anak Benua India sekitar abad ke XII M dan berkembang pertama kali di

kawasan pantai Nusantara. Sedangkan pendapat lain mengatakan, bahwa

Islam sudah berkembang di Nusantara sekitar abad ke VII dan ke VIII M,

yang datang melalui Malabar, dan ada kemungkinan, bahwa Islam dibawa

langsung dari Semenanjung Arabia. Tetapi dalam seminar tentang masuknya

Islam ke Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 1969 dan 1978

disimpulkan, bahwa Islam datang langsung dari Arabia pada abad pertama

Hijriyah, atau abad ke VII M.4

Walaupun para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai kapan Islam

datang ke Indonesia, namun dapat dikatakan, bahwa setelah Islam datang ke

2 Lihat : Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 …, 78, 79.

3Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

Abad XVII dan XVIII, (Bandung : Penerbit Mizan, 1994), 2. 4 Lihat T.W. Arnold, The Preaching of Islam; A History of Propagethom of the

Muslim Faith, (London; Constable, 1913), 364, 365 – lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama

Timur Tengah…, 24-36 – dan lihat pula A. Hasjmi (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya

Islam di Indonesia, (Bandung : al Ma‟arif, 1989), 7.

Page 41: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

20

Indonesia, Hukum Islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluknya

di Nusantara ini, telah hidup di masyarakat dan menjadi norma dan sumber

perilaku.5

Hal ini dapat dilihat pada studi para pujangga yang hidup pada masa

itu mengenai hukum Islam dan peranannya dalam menyelesaikan perkara-

perkara yang muncul dalam masyarakat. Hasil studi dan karya ahli hukum

Islam Indonesia, dapat dilihat misalnya Miratut Tullab oleh Abdul Rauf

Singkel, Siratal Mustaqim oleh Nuruddin al Raniri, Sabilal Muhtadin oleh

Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari dan lain-lain.6

Menurut Jajat Burhanuddin, sebelum kedatangan orang-orang

Belanda pada tahun 1605 M, di Indonesia sudah berdiri sejumlah Kerajaan

Islam. Kerajaan-kerajaan itu lahir seiring dengan proses Islamisasi yang

dilakukan oleh para ulama yang merangkap sebagai saudagar di wilayah-

wilayah pesisir yang lambat laun wilayah-wilayah tersebut menjadi Kerajaan-

Kerajaan Islam.7 Kerajaan-kerajaan Islam tersebut berdiri di atas kerajaan

sebelumnya yang sudah ada, kemudian rajanya masuk Islam.8 Sebagai

wilayah pemerintahan Islam, yang diberlakukan pada Kerajaan-kerajaan Islam

awal itu, adalah Hukum Islam, khususnya Hukum Islam yang berdasarkan

pada Mazhab Shafi‟i.9

5 Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas rakyat Indonesia

adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat dan merupakan norma yang menjadi

sumber perilaku dan juga nilai moral yang menjiwai kehidupan masyarakat. Dengan

demikian, hukum Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hukum Nasional

Indonesia – lihat Ismail Sunny, Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, (Jakarta : Universitas

Muhammadiyah Jakarta, 1989), 5, 6 6 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), 209. 7 Jajat Burhanuddin, Transformasi Otoritas Keagamaan : Pengalaman Islam

Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 2003), 2, 3 – Lihat juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban

Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), cet II, 196. 8 Kerajaan-Kerajaan Islam berdiri di atas kerajaan-kerajaan yang sudah ada

sebelumnya, kemudian rajanya masuk Islam diistilahkan oleh Jajat Burhanuddin dengan

sebutan, Konversi raja ke Agama Islam – Lihat Jajat Burhanuddin, Transformasi Otoritas

Keagamaan… h. 3 9 Mazhab Shafi‟i adalah mazhab yang dibina oleh Imam Shafi‟i (150-204 H) / 767-

819 M) salah seorang dari Imam empat Imam Mujtahid besar yang dilahirkan di Ghazah dan

wafat di Mesir. Mazhab Syafi‟i berkembang ke seluruh pelosok negara-negara Islam di bawa

oleh murid-muridnya dan pengikut-pengikutnya dari satu negeri ke negeri lain, termasuk ke

Indonesia. Mazhab Shafi‟i sangat mengakar dan berkembang di Indonesia disebabkan

beberapa faktor, antara lain :

Page 42: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

21

Kerajaan Islam tertua di Nusantara adalah kerajaan Samudra Pasai

(Abad ke XIII M). Islamisasi ke Samudra Pasai dilaksanakan oleh salah

seorang Ulama dari Timur Tengah yang bernama Syaikh Ismail yang telah

mengislamkan Merah Raja Samudra Pasai, yang setelah masuk Islam,

berganti nama menjadi Malik al Soleh. Sejak saat itulah, Samudra Pasai

berkembang tidak hanya menjadi pusat kekuatan politik Islam, tetapi

sekaligus sebagai basis proses Islamisasi masyarakat Indonesia.10

Ketika Ibnu Batutah, 11

singgah di Samudra Pasai (Aceh dekat

Lho‟Seumawe sekarang) pada tahun 1345 M, ia mengagumi perkembangan

Islam di negeri itu. Ia mengagumi kemampuan Sultan al Malik al-Soleh

a. Setelah ada hubungan Indonesia dengan Makkah dan di antara kaum muslimin Indonesia

yang menunaikan ibadah haji, ada yang bermukim di sana dengan maksud belajar ilmu

agama. Guru-guru mereka adalah ulama-ulama yang bermazhab Shafi‟i dan setelah

kembali ke Indonesia mereka menyebarkannya.

b. Hijrahnya kaum muslimin dari Hadra Maut ke Indonesia adalah merupakan sebab yang

penting pula bagi tersiarnya Mazhab Shafi‟i di Indonesia, karena ulama dari Hadra Maut

adalah bermazhab Shafi‟i.

c. Pemerintah Kerajaan Islam di Indonesia mengesahkan dan menetapkan Mazhab Shafi‟i

menjadi haluan hukum di Indonesia. Keadaan ini diakui pula oleh pemerintah Hindia

Belanda, terbukti pada masa-masa akhir dari kekuasaan Belanda di Indonesia, Kantor-

Kantor Kepenghuluan dan Pengadilan Agama, hanya mempunyai kitab-kitab Fikih

Shafi‟iyah, seperti kitab al-Tuhfah, al-Majmu’, al-‘Umm dan lain-lain.

d. Para pegawai jawatan dahulu hanya terdiri dari ulama-ulama mazhab Shafi‟i, karena

belum ada yang lainnya – lihat: Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan

Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), 136. 10

Lihat Jajat Burhanuddin, Transformasi Otoritas Keagamaan, 3 11

Ibnu Batutah (703-779 H/1304-1377 M), nama lengkapnya Muhammad bin

Abdullah bin Ibrahim at Tanji, bergelar Syamsuddin bin Batutah. Ia dibesarkan dalam

keluarga yang taat memelihara tradisi Islam. Ia seorang ahli fiqih yang sebagian besar

(waktunya) menduduki jabatan Kadi (Hakim), yang berjasa memberikan data geografis dan

topografis penting serta menyumbangkan ilmu pengetahuan yang berharga mengenai budaya

setiap daerah dunia Islam yang dikunjunginya. Ia menyusun dan menulis buku pengalaman

perjalanannya dengan judul “Tuhfah al Nazar fi Gharaib al Ansar wa ‘Ajaib al Asfar

(Persembahan seorang pengamat tentang kata-kata asing dan perjalanan yang mengagumkan).

Karya ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti Perancis, Jerman dan Inggris. Buku

ini ditulisnya setelah mengembara tidak kurang dari 20 tahun. Ia terkenal sebagai petualang

dan penjelajah muslim yang memanfaatkan waktunya untuk melakukan perjalanan dan

kunjungan hampir seluruh wilayah Islam dizamannya, termasuk diantaranya adalah mampir di

Kerajaan Samudra Pasai di Pulau Sumatera.

Dalam buku pengalaman perjalanannya, Pulau Sumatera disebutnya dengan

“Pulau Jawa yang menghijau” (pada zaman pertengahan seluruh kepuluan Indonesia dan

Pilipina disebut Jawa). Ketika sampai di pelabuhan kerajaan Samudra Pasai, Ibnu Batutah

disambut oleh Amir (Panglima) Daulasah, Kadi Sharif Amir Sayyid Asy Shairazy, Tajuddin al

Ashbahani dan beberapa ahli fiqih atas perintah Sultan Mahmud Malik Zhahir (1326-1345 M)

yang memerintah pada saat itu. Menurutnya, Sultan adalah seorang penganut mazhab Shafi‟i –

Lihat : Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Intermasa, 1996), cet I, Jilid I,

202-204.

Page 43: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

22

(menurut Jajat Burhanuddin), atau al Malik al-Zahir (menurut Mohammad

Daud Ali), berdiskusi dengan dia tentang berbagai masalah Islam dan ilmu

fikih. Menurut pengembara Arab Muslim Maroko itu, selain sebagai seorang

raja, al Malik al Zahir yang menjadi Sultan Pasai ketika itu adalah juga

seorang fakih yang mahir tentang hukum Islam. Yang dianut di kerajaan Pasai

pada waktu itu adalah hukum Islam mazhab Shafi‟i. Menurut Hamka dari

Pasailah disebarkan paham Shafi‟i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di

Indonesia, bahkan setelah kerajaan Islam Malaka (1400-1500 M) para ahli

hukum Islam Malaka datang ke Samudra Pasai untuk meminta kata putus

mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat.12

Kerajaan Islam Samudra Pasai mempunyai kontribusi penting bagi

hukum Islam di Indonesia. Raja sebagai penguasa tunggal pada saat itu

melakukan intervensi terhadap implementasi hukum Islam dalam kehidupan

sehari-hari di masyarakat. Dalam implementasinya, kerajaan Samudra Pasai

melaksanakan hukum Islam dalam praktek yang sederhana, yaitu melalui

lembaga Ifta dan tahkim dengan berpedoman pada mazhab Shafi‟i sebagai

mazhab resmi kerajaan.13

Setelah kerajaan Samudra Pasai runtuh pada tahun 1524 M, di

wilayah yang sama, berdirilah kerajaan Islam baru, yaitu kerajaan Aceh

Darussalam (abad ke XVI) yang ditaklukkan Belanda pada abad ke XIX.14

Kerajaan Aceh Darussalam sama dengan kerajaan Samudra Pasai,

menerapkan syariat Islam sebagai hukum negara,15

tetapi institusi penerapan

shari‟at Islam di Aceh Darussalam nampaknya lebih maju dibanding dengan

yang telah diterapkan oleh kerajaan Samudra Pasai, karena penerapan hukum

Islam pada Kerajaan Aceh Darussalam di dukung oleh intervensi politik raja

saat itu yang sangat membantu dalam upaya penegakan hukum Islam16

dan

ulama menjadi bagian dari elit kekuasaan, karena para ulama senantiasa

mendampingi raja untuk memberi nasihat spiritual keagamaan dan sekaligus

12

Lihat Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2002), cet. II, 190. 13

Rifyal Ka‟bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi Jakarta,

1999), cet. I, 69. 14

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 208 – Lihat pula Basiq Jalil, Peradilan

Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 32. 15

Basiq Jalil, Peradilan Agama di Indonesia, 32. 16

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 208.

Page 44: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

23

melegitimasi praktek-praktek politik penguasa di tengah rakyatnya yang

sudah memeluk agama Islam. Ulama menempati jabatan kadi, atau penghulu,

bahkan sebagai shaikh al Islam di kerajaan Aceh. 17

Setelah berdiri kerajaan Pasai yang selanjutnya digantikan oleh

kerajaan Aceh Darussalam, berdiri pula sejumlah kerajaan Islam yang lainnya

di Nusantara, seperti kerajaan Demak, Mataram, Cirebon, Banten, Goa, Bone,

Ternate, Sumbawa, Kalimantan Selatan, Kutai, Pontianak, Surakarta,

Palembang dan sebagainya. Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara semuanya

memberikan legalitas kepada hukum Islam sebagai hukum negara.

Pada saat itu kerajaan-kerajaan Islam sebagaimana telah disebutkan

di atas yang memberlakukan hukum Islam fikih Shafi‟i, jika terdapat hukum

adat, maka hukum adat yang masih dilestarikan adalah hukum adat yang tidak

bertentangan dengan hukum Islam. Asimilasi hukum Islam dengan hukum

adat, ternyata berjalan secara damai dan akomodatif, sehingga antara satu

dengan yang lainnya saling menguatkan.18

Hal ini dapat dilihat dari sejumlah semboyan, atau petitih adat yang

menempatkan dalam masyarakat, seperti terlihat pada petitih adat

Minangkabau; Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” (Adat

bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah). Dari petitih adat tersebut,

tersirat bahwa masyarakat Minangkabau menempatkan Al Quran sebagai

dasar bagi pengaturan tingkah laku sosial dan sebagai sumber hukum yang

menjadi pedoman dalam berbagai segi kehidupan sosial. Dalam petitih lain

disebutkan pula “Adat dan syarak sanda menyanda, syarak mangato adat

mamakai” (Adat dan syarak saling menopang, syarak mengatakan adat

memakai). Ini berarti adat dan hukum Islam saling menguatkan. Adat yang

demikianlah yang disebut “Adat sebenar Adat”. Kasus-kasus seperti itu juga

dijumpai pada adat-adat masyarakat Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, Lampung dan

17

Lihat Jajat Burhanuddin, Transformasi Otoritas Keagamaan, 58 – Lihat Juga

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 167-177. 18

Adat, atau “urf menurut ajaran Islam dapat dijadikan dasar dalam menetapkan

hukum Islam jika tidak bertentangan dengan Al Quran dan al-Sunnah, atau tidak bertentangan

dengan maqasid al-Shari’ah (tujuan shariah), sebagaimana disebutkan dalam qaidah fiqhiyah

-adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”. Lihat Jalaluddin al Suyuti, Al“ العادة محكمة :

Ashbah wa al Nazair, (Beirut-Libnan: Dar al-Fikr, 1415 H / 1995 M), 64

Page 45: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

24

daerah-daerah lain di Nusantara yang mayoritas penduduknya memeluk

agama Islam.19

Ungkapan yang semakna terlihat pula pada pepatah adat

masyarakat Aceh “Hukum ngon adat hantou, lagee zat ngon sifeut” (Hukum

Islam dan adat tidak dapat dipisahkan, seperti hubungan zat dan sifat pada

suatu benda).20

Demikian itu menunjukkan, bahwa hukum Islam di pandang telah

menyatu dengan adat setempat, sehingga sulit untuk dibedakan mana yang

betul-betul adat dan mana yang betul-betul agama, karena keduanya telah

menyatu.

Abdul Ghani Abdullah mengatakan, bahwa ungkapan yang

memiliki makna yang sama terdapat pula dalam pepatah adat Sulawesi

Selatan “Adat hula hula to syarak, syarak hula hula to adat”, (Adat bersendi

syarak dan syarak bersendi adat).21

Tetapi menurut penelitian/ wawancara

penulis dengan seorang hakim Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Sulawesi

Utara yang berasal dari Gorontalo, bahwa pepatah adat tersebut, bukan

pepatah adat Sulawesi Selatan, melainkan pepatah adat daerah Gorontalo,

karena kata hula-hula dalam pepatah tersebut adalah bahasa Gorontalo, bukan

bahasa Makasar, atau bahasa Bugis. Dalam bahasa Gorontalo, hula-hula

artinya bersendikan.22

Busthanul Arifin mengatakan, agama Islam yang masuk ke

Indonesia pada abad-abad pertama hijriyah telah membawa sistem nilai-nilai

baru berupa akidah dan syariat. Ketika itu kondisi masyarakat Indonesia telah

tertata lengkap dengan sistem nilai yang berlaku berupa peraturan-peraturan

adat masyarakat setempat.23

19

Lihat Depag RI, Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia,

(Jakarta : CV. Ade Cahya, 1985), 5 20

Lihat Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta : Rajawali

Press, 1990), 89. 21

Lihat Abdul Ghani Abdullah, Badan Hukum Syarak Kesultanan Bima,

(Jakarta: Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, 1987), 89. 22

Wawancara penulis dengan Drs. H. Sofyan Lahilote, SH, hakim Pengadilan

Tinggi Agama Sulawesi Utara, yang berasal dari Gorontalo dan sangat mengetahui serta

lancar berbahasa Gorontalo, lewat telepon pada tanggal 31 Agustus 2008. 23

Busthanul Arifin, Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah,

Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 34

Page 46: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

25

Sesuai dengan hakikat dakwah Islamiyah, nilai-nilai Islam itu

diresapi dengan penuh kedamaian tanpa menghilangkan nilai-nilai Adat

setempat yang telah sesuai, atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai akidah

dan syari‟at Islam. Pertemuan kedua sistem nilai itu (adat dan Islam) berlaku

dengan wajar, tanpa adanya konflik antara kedua sistem nilai tersebut. Karena

itu, L.W.C. Van den Berg, seorang sarjana Belanda, berkesimpulan bahwa

pada awal-awal masa penjajahan Belanda, bagi orang Indonesia yang

beragama Islam berlaku motto “receptio in complexu” yang berarti orang-

orang muslim Indonesia menerima dan memberlakukan syariat secara

keseluruhan. Pada masa-masa itu (sampai 1 April 1937), Peradilan Agama

mempunyai kompetensi yang luas, yakni seluruh hukum sipil bagi perkara-

perkara yang diajukan, diputus menurut hukum Islam.24

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa sebelum zaman

penjajahan Belanda, hukum Islam dan hukum adat yang berlaku dalam

masyarakat muslim di Indonesia telah menyatu sehingga tidak dapat lagi

dibedakan. Kehidupan masyarakat muslim senantiasa berada dalam garis-

garis hukum Islam, yang dalam kehidupan sehari-hari telah menjadi adat

kebiasaan mereka, seperti dalam masalah berkeluarga, perekonomian dan

masalah-masalah muamalat serta dalam hubungan-hubungan sosial lainnya.

Hal ini dapat dilihat misalnya dalam perkawinan, di seluruh

masyarakat Muslim, kalau melaksanakan pernikahan, selalu sekaligus dengan

adat istiadat suatu daerah/suku di samping dilaksanakan berdasarkan aturan

yang telah ditetapkan dalam Hukum Islam. Sebagai contoh, perkawinan

masyarakat Gowa Sulawesi Selatan. Dalam pelaksanaan perkawinan, di antara

tahapan-tahapannya adalah, meminang, kalau sudah diterima, langsung

dibicarakan masalah waktu perkawinan, biaya perkawinanan dan mas kawin

sebagai pemberian pihak laki-laki terhadap perempuan. Besarnya mahar

tergantung tingkat sosial laki-laki yang akan memberikan dan perempuan

yang akan menerimanya. Pada waktu peminangan membawa sirih kecil, atau

sirih besar sesuai dengan adat yang berlaku di sana. Perkawinan dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan Hukum Islam, yaitu melalui akad Ijab Qabul, ada

wali dan saksi sesuai dengan mazhab Shafi‟i. Sebelum hari Akad Nikah, calon

24

Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia…, 34, 35.

Page 47: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

26

pengantin dimandikan dengan daun sirih dan dedaunan lainnya diiringi

dengan jampi-jampi untuk mengusir roh jahat. Setelah dimandikan, pakaian

mandi diserahkan kepada yang memandikannya sebagai ucapan terima kasih

kepadanya atas jasanya mengusir roh jahat. Tetapi pada waktu lain dilakukan

upacara barzanji dan khataman Al Quran. Pembacaan Al Quran dihadiri oleh

sang calon pengantin, sebagai simbol bahwa calon pengantin itu telah resmi

menyelesaikan bacaan Al Quran.25

Di sini nampak sekali bahwa Adat dan

Hukum Islam tidak dapat lagi dipisahkan. Di daerah-daerah lain juga

demikian, yang tentunya sesuai dengan adat setempat.

B. Hukum Islam di Indonesia Zaman Penjajahan Belanda

Penjajah yang pertama kali dari Eropa di Nusantara adalah Portugis

yang berlabuh di selat Malaka, kemudian melanjutkan pelayaran ke Maluku

yang tinggal dan menyebarkan agama Kristen Katolik di sana pada tahun

1552.26

Kemudian datang penjajah Belanda tahun 1596 bergabung dengan

Portugis, Inggris dan Spanyol untuk membawa keuntungan terutama dari

komoditas rempah-rempah di mana komoditas tersebut sangat laku di pasaran

Eropa. Ada tiga motivasi penjajahan bangsa Eropa ke Asia, yaitu : Gold

(mencari emas/kekayaan), Glory (mencari kemenangan/menaklukkan/

penjajahan), dan Gospel (menyebarkan ajaran Kristen).27

Pemerintah penjajah kerajaan Belanda mengesahkan berdirinya

perseroan yang mengatur perdagangan Belanda di Nusantara dengan

mendirikan Kompeni Dagang Hindia Belanda, atau Verenigde Oost Indische

Compagnie di singkat VOC.28

VOC didirikan pada bulan Maret 1602 M.

Ketika VOC menguasai wilayah Indonesia, Hukum Islam diakui

untuk diberlakukan kepada bumiputera yang bersengketa. Peraturan-peraturan

25

Lihat : Rahmah, Adat dan Upacara Perkawinan Suku Makassar, (Ujung

Pandang, Kanwil Depdikbud Propinsi Sulawesi Selatan, 1995), Cet. II, 29-44. 26

Hasbullah Bakri, Suatu Perbandingan Mengenai Penyiaran Kristen dan

Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 31 27

Lihat Yayan Sofyan, Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistem Hukum

Nasional, (Jakarta: Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2007), 67. 28

VOC adalah kependekan dari Verenigde Oost Indische Compagnie, yaitu suatu

perkumpulan dagang Belanda di Hindia Timur (Indonesia) yang didirikan tahun 1602 M.

Tujuannya adalah untuk menguasai perdagangan di Indonesia dan menjajah wilayah-wilayah

di Asia.

Page 48: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

27

mengenai hukum Islam dikumpulkan oleh VOC, yang dikenal dengan

compendium Friejer, yang memuat aturan-aturan hukum perkawinan dan

hukum kewarisan Islam. Compendium Friejer diakui dan dilaksanakan dalam

bentuk peraturan Resolutie der Indische Regeering, 25 Mei 1760 dan

kemudian dicabut secara berangsur-angsur oleh Belanda hingga tahun 1913.

Di samping itu VOC membuat pula kumpulan hukum perkawinan dan

kewarisan Islam untuk daerah-daerah Cirebon, Semarang dan Makassar

(untuk Bone dan Gowa) dan dalam bentuk Cirbonsch Rechtboek yang dibuat

atas usul P.C. Hosstlaar untuk wilayah Cirebon, Compendium der Voornaamst

Javaansche Wetten Maukeurig getrokken uit het Mohammedaanshee wetboek

mogharraer, yang dibuat untuk wilayah Landraad Semarang, Compendium

Indlandsche wetten bij de Hoven van Bone en Goa, yang disahkan untuk

daerah Makassar.29

Penerapan hukum Islam dalam menghadapi sengketa-sengketa

masyarakat dilakukan oleh lembaga Peradilan, yang pada waktu itu belum

memiliki keseragaman nama, masing-masing daerah memiliki nama

Pengadilan tersendiri, seperti di sementara daerah disebut Pengadilan

Serambi, karena sidang dilakukan di serambi masjid. Di Kalimantan,

Pengadilan Agama disebut Kerapatan Kadi. Di Sulawesi Selatan, Maluku dan

Irian disebut Majelis Syarak, atau Hakim Syarak. Di Sumatera disebut

Mahkamah Shariah/dan lain-lain.30

Apa yang dilakukan VOC itu diperkuat oleh penelitian Lodewijk

Williem Christian van den Berg (1845-1927), yang memperkuat pemikiran,

bahwa yang berlaku di Indonesia itu adalah hukum Islam. Ia menyebutkan

bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab ia telah memeluk

agama Islam, kendati dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-

penyimpangan. Teori demikian disebut oleh Van Den Berg dengan Receptie

in Complexu.31

29

Lihat Arso Sasroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di

Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 11, 12. 30

Lihat Depag RI, Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, h.

7 – Ichtianto SA, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Eddi

Rudiana Arief, et.al, (Peny). Hukum Islam di Indonesia : Perkembangan dan Pembentukan,

(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1991), 118. 31

Lihat Sayuti Thalib, Receptio a Contrario, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 6.

Page 49: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

28

Posisi hukum Islam di zaman VOC berlangsung selama lebih

kurang dua abad (sampai tahun 1800). Pelaksanaan hukum Islam dalam masa

ini berjalan sebagaimana mestinya.

Pada masa pemerintahan penjajahan Belanda, timbul usaha untuk

menghapuskan hukum Islam di Indonesia. Dengan berbagai upaya ditempuh

oleh Pemerintah Belanda agar Pengaruh Islam hilang dari sebagian besar

orang Indonesia.

Dengan memanfaatkan jasa Snouck Hurgronye (1857-1936)

sebagai penasihat hukum, Belanda berusaha menerapkan berbagai teori untuk

merintangi kemajuan Islam di tanah air. Salah satu teori yang populer adalah

theory reseptie yang berarti : “Hukum Islam berlaku apabila diterima, atau

dikehendaki oleh hukum adat”.32

Teori ini merupakan bantahan terhadap teori yang berlaku

sebelumnya, yaitu teori reseptie in complexu yang dikemukakan oleh LWC

Van Den Berg. Teori kemudian dikembangkan oleh C.Van Vollenhoven

dan Ter Haar Brn. Menurut teori ini yang berlaku di Indonesia bukanlah

hukum Islam, tetapi hukum adat asli suku-suku di Indonesia, kendati hukum

Islam telah banyak mempengaruhi hukum adat. Hukum Islam baru

mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh hukum adat.33

Konsep Snouck Hurgronye itulah yang selalu dimanfaatkan oleh

orang-orang yang berusaha merusak citra Islam di tanah air setelah masa

penjajahan Belanda, sehingga Hazairin (1905-1975) menyebutkan dengan

teori Iblis. Setelah Belanda menjajah Nusantara ini, perkembangan hukum

Islam dikendalikan dan sesudah tahun 1927, tatkala teori resepsi mendapat

landasan peraturan perundang-undangan (IS 1925-1929), menurut Hazairin,

perkembangan hukum Islam dihambat di tanah air.34

Berdasarkan teori Snouck Hurgronye itu, pemerintah Belanda

membentuk undang-undang Hindia Belanda, yang disebut wet op de

staatsinrichting van Nederlands-India, disingkat Indische Staatsregeling (IS)

32

Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya,

1991), X. 33

Lihat Sayuti Thalib, Receptio a Contrario, 11 34

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam…, 209, 210 – Lihat Hazairin, Tujuh

Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Tintamas, 1974), 101.

Page 50: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

29

yang diundangkan dalam stbl 1929:212. Dalam IS stbl 1929:212 secara tegas

dinyatakan bahwa hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia-

Belanda. Selanjutnya dalam pasal 134 ayat 2 disebutkan pula “dalam hal

terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh

hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya…”.

Di samping itu, pada pertengahan 1937 pemerintah Hindia-Belanda

mengemukakan pula suatu keinginan memindahkan wewenang mengatur

waris umat Islam dari Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri, dengan

alasan hukum Waris Islam belum diterima sepenuhnya oleh Hukum Adat.

Keinginan itu, kemudian dituangkan dalam stbl 1937:116.35

Di samping teori resepsinya, Snouck Hurgronye memberikan

nasihat kepada pemerintah Belanda yang terkenal dengan sebutan Islam

Policy. Inti dari nasihat tersebut adalah bidang ibadah diberikan kemerdekaan,

dalam bidang kemasyarakatan memanfaatkan adat istiadat yang berlaku dan

dalam bidang ke Tata Negaraan, semua kegiatan kepada fanatisme Islam dan

Pan Islam di larang.36

Menurut Snouck Hurgronye : “Musuh Kolonialisme bukanlah

Islam sebagai Agama, melainkan Islam sebagai Doktrin Politik.37

Teori

resepsi ini terasa sekali pengaruhnya sampai Indonesia merdeka. Hukum

Islam yang hidup di dalam masyarakat Islam ditekan menjadi rakyat

rendahan.

Hukum Barat diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan

kedatangan orang-orang Belanda untuk berdagang di Nusantara ini. Mula-

mula hanya diberlakukan bagi orang Belanda dan Eropa saja, tetapi kemudian

melalui berbagai upaya peraturan perundang-undangan (pernyataan berlaku,

penundukan dengan sukarela, pilihan hukum dan sebagainya), hukum Barat

itu dinyatakan berlaku juga bagi mereka yang disamakan dengan orang Eropa,

orang Timur Asing (terutama Cina) dan orang Indonesia. Sebagai hukum

golongan yang berkuasa pada waktu itu di Nusantara kita ini keadaan hukum

35

Lihat Ismail Sunny, Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, 5, 6 – Mahadi,

Peranan Pengadilan Agama di Indonesia, Dalam Pembinaan Administrasi Hukum dan

Peradilan Agama, Sejarah Peradilan Agama, (Jakarta: Proyek Pembinaan Administrasi

Hukum dan Peradilan Agama, 1982), 74, 75. 36

Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, 124. 37

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1986), 11

Page 51: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

30

Barat jauh lebih baik dan menguntungkan dari keadaan kedua sistem hukum

di atas.38

Hukum adat dan hukum Islam adalah hukum bagi orang-orang

Indonesia asli dan mereka yang disamakan dengan penduduk bumiputera.

Keadaan itu diatur oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu, sejak tahun 1854

sampai dengan mereka meninggalkan Indonesia pada tahun 1942.39

Pemerintah Belanda, yang mulai mengambil control pada seluruh

bagian kepulauan Indonesia dari tahun 1619 sampai ledakan perang dunia

kedua, pada awalnya tidak banyak perhatian pada aturan hukum di antara

pribumi. Kemudian mulailah diperkenalkan hukum Belanda; implementasinya

disesuaikan dengan kondisi lokal dan disuplementasi oleh hukum khusus serta

regulasi yang mudah diberlakukan pada pemerintahan Belanda (Dutch East

Indies). Ketika British mengambil alih kontrol East Indies antara tahun 1811-

1816, mereka juga mengimplementasikan suatu sistem hukum yang

memberlakukan hukum Islam sebagai identik dengan hukum adat pribumi,

terutama dengan mempekerjakan penghulu atau qadi ke pengadilan umum.

Setelah Belanda kembali ke kepulauan Indonesia, dengan regulasinya 1819

berkenaan dengan sipil dan prosedur kriminal untuk penduduk pribumi,

mereka tetap mempertahankan kondisi hukum. Jadi sampai dengan abad 19,

Belanda yang berkuasa melihat, bahwa hukum adat tersebut adalah pada

dasarnya hukum Islam. Namun, pada perkembangan berikutnya, Belanda

mengetahui perbedaan antara Shari‟ah dan Hukum Adat. Pada masa

perjuangan antara Islam dan Adat di seluruh Indonesia, pemerintahan Belanda

mengambil pihak adat dan cenderung untuk mempromosikan perkembangan

hukum adat agar dapat mengekang perkembangan Islam. Oleh karena itu,

mereka mulai merubah status quo hukum.40

Perubahan ini direfleksikan dalam kebijakan hukum administrasi

Kolonial Belanda yang mulai membuat suatu bentuk yang jelas pada tahun

1848 dengan mulai membuat sebuah kodifikasi hukum di Indonesia.

Pemerintahan Belanda juga memberlakukan sebuah Undang-Undang Sipil

(Burgerlijk Wetboek) dan Undang-Undang Komersial (Wetboek van

38

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam…, 210. 39

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam…, 210. 40

Lihat : Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 …, 79.

Page 52: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

31

Koophandel) bagi orang-orang Eropa di Indonesia yang kemudian

dikembangkan sebagai sebuah kelompok hukum yang berbeda agar mudah

diaplikasikan pada semua kelompok penduduk yang berbeda. Oleh karena itu

sejauh ini ada empat jenis hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia

selama pemerintahan Kolonial Belanda, sebagai berikut :

1. Hukum perkawinan Islam mengatur perkawinan di antara semua

masyarakat muslim Indonesia.

2. Undang-Undang Sipil mengatur perkawinan di antara orang yang

diarahkan pada hukum barat, orang Eropa dan Chinese.

3. Peraturan Setempat tahun 1933 untuk perkawinan orang-orang Kristen

Indonesia.

4. Hukum adat untuk perkawinan seseorang yang bukan Muslim maupun

non Kristen (berbeda dari satu dengan yang lain).41

Dengan lahirnya Staatsblad 1937 No. 116 Pasal 2 a ayat (1) yang

mulai berlaku tanggal 1 April 1937, maka kompetensi Peradilan Agama

semakin sempit dan terbatas.42

Wewenang Peradilan Agama hanya berkenaan

dengan Bidang Perkawinan. Kompetensi Peradilan Agama yang sudah sempit

dan terbatas ini masih dibatasi lagi dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Apabila perkawinan itu dilakukan menurut BW seperti suami istri dari

golongan Eropa, atau Cina yang beragama Islam.

2. Apabila perkawinan itu dilakukan menurut Peraturan Perkawinan

campuran Staatsblad 1898 No. 158 yaitu perkawinan orang-orang yang

tunduk pada hukum yang berlainan, diatur menurut hukum suaminya.

3. Apabila perkawinan itu dilakukan menurut Staatsblad 1933 No. 74

(Ordonansi nikah Indonesia Kristen, Jawa, Minahasa dan Ambon),

walaupun sesudah perkawinan mereka lalu keduanya atau salah satunya

masuk Islam.43

41

Lihat : Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 …, 79. 42

Kompetensi Peradilan Agama hanya mencakup bidang-bidang perselisihan

antara suami istri yang beragama Islam, perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk dan

perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan hakim

Agama (Islam), memberi putusan perceraian, menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak

yang digantungkan (ta’lik talak) sudah ada, perkara mahar (mas kawin) sudah termasuk

mut‟ah) dan perkara tentang keperluan kehidupan suami-istri yang wajib diadakan oleh suami.

– Lihat Depag RI, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga dan

Proses Pembentukan Undang-Undangnya, (Jakarta: Pembinaan badan Peradilan Agama

Islam, 2001), 16. 43

Depag RI, Peradilan Agama di Indonesia…, 17.

Page 53: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

32

Dengan diberlakukannya Staatsblad 1933 No. 74 terhadap

penduduk pribumi yang beragama Nasrani, jelas bahwa teori Receptie yang

diberlakukan terhadap orang Islam, dilaksanakan tidak adil dan tidak

konsisten, sebab tidak dapat diketahui dengan pasti apakah hukum agama

Nasrani itu sudah diterima dengan ikhlas dan menjadi hukum adat. Berarti

penggunaan theory Receptie oleh pemerintah Belanda dengan

mengenyampingkan hukum Islam dan memakai hukum adat bertujuan untuk

melemahkan kedudukan hukum Islam.44

Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang memberlakukan

theory Receptie Snouck mendapat reaksi yang keras dari kalangan umat Islam

ketika Pengadilan Negeri di Bandung memutuskan untuk memberi seluruh

bagian waris kepada seorang anak angkat dari ayah angkatnya dengan

mengesampingkan kemenakan laki-laki dan perempuan dari si waris.

Perhimpunan Penghulu dan pegawainya pada saat kongres yang

diselenggarakan di Surakarta tanggal 16 Mei 1937, dengan keras menyatakan

bahwa keputusan di Laandraad (Pengadilan Negeri) Bandung tersebut

bertentangan dengan hukum Islam. Pada tahun berikutnya, di Surabaya Majlis

Islam A‟la Indonesia (MIAI), dalam kapasitasnya sebagai payung dari

organisasi Islam memprotes Staatsblad No. 116 tahun 1937 dengan

mengatakan bahwa undang-undang tersebut adalah sebagai pemerkosaan

terhadap hukum Islam.45

Strategi dan kebijakan pemerintah penjajah Belanda mendapat

perlawanan yang keras dari bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Bagi umat Islam Indonesia memerangi penjajah Belanda merupakan jihad fi

sabilillah, apalagi penjajah Belanda tersebut kebetulan beragama Nasrani.

44

Usaha meredusir berlakunya hukum Islam melalui pembatasan wewenang

Peradilan Agama yakni melalui Staatsblad 1937 No. 116 di pengaruhi oleh semakin kuatnya

pendapat di kalangan politisi dan akademi Belanda yang menyatakan bahwa masalah

perkawinan dan warisan adalah masalah negara. Prof. H. J. Nanta Misalnya menulis dalam

surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Nourant tanggal 27 Juni 1937 menyatakan bahwa agama

Islam boleh dianggap sebagai negara dalam negara (in den staat), karena dalam pandangan

Barat, pengaturan dimensi hubungan horizontal antara manusia seperti perkawinan dan

warisan adalah sebagai masalah kewenangan negara, bukan kewenangan agama – lihat

Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Jakarta…., 17. 45

Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Press,

t.th), h. 20 – Z.A. Noeh, Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam di Indonesia, (Bandung:

al-Ma‟arif, 1980), h. 21. – Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di

Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), 37.

Page 54: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

33

Keadaan ini nampaknya membawa pengaruh negatif dan memperkeruh

hubungan antara pemeluk agama penduduk yang dijajah (Islam), dengan

pemeluk agama penjajah (Nasrani), dibanding dengan hubungan antara

pemeluk agama penduduk di jajah tersebut dengan agama lain diluar agama

penjajah seperti agama Hindu dan Buda.46

Perlawanan yang keras dari umat Islam Indonesia, tentu saja

Belanda sebagai penjajah berusaha untuk mempertahankan kepentingan dan

kelanggengan eksistensi mereka di Indonesia. Bagi Belanda, Islam merupakan

penghalang kepentingan mereka. Islam dipandang mereka sebagai ancaman

dan penghalang dalam melaksanakan kepentingan mereka, oleh sebab itu

harus dikekang dan diawasi dengan ketat. Akan tetapi umat Islam semakin

ditekan, semakin besar pula reaksi yang diberikan oleh mereka terhadap

penjajah Belanda. Strategi pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana

disarankan oleh Snouck Hurgronye ternyata tidak tepat, karena umat Islam

semakin dipisahkan, semakin merapatkan barisan dan semakin ditekan,

semakin besar pula reaksi dan perlawanan mereka terhadap pemerintah

penjajah Belanda tersebut. Umat Islam dalam melaksanakan kegiatan politik

sebagaimana yang diharapkan oleh Snouck itu, karena masalah politik

merupakan bagian dari ajaran Islam. Reaksi-reaksi umat Islam terhadap

perilaku pemerintah Hindia Belanda berakumulasi pada perlawanan umat

Islam untuk mengusir penjajah dari tanah air Indonesia.

C. Hukum Islam di Indonesia Masa Pendudukan Jepang (1942–1945)

Di masa pendudukan Jepang, tidak ada perubahan berarti mengenai

Pengadilan Agama di Tanah Air. Keadaan yang telah ada di masa

pemerintahan Belanda tetap dilanjutkan sampai Jepang kalah dalam perang

dunia kedua. Hanya dalam pemerintahan Jepang itu perlu dicatat ada beberapa

upaya, atau usaha mengenai Pengadilan Agama dan wewenangnya. Para

pemimpin nasionalis Islam Abikoesno Tjokro Soejoso menghendaki agar

kedudukan Pengadilan Agama lebih dikukuhkan dan wewenangnya

menyelesaikan sengketa warisan antara umat Islam dikembalikan seperti

46

Suparman Usman, Hukum Islam : Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum

Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 107.

Page 55: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

34

keadaan sebelum April 1937. Di samping itu, dipihak lain, pemimpin

Nasionalis sekuler seperti Sartono dan Soepomo menghendaki agar

Pengadilan Agama dihapuskan saja.47

Namun, bagaimanapun rintangan yang diletakkan, usaha para

pemimpin Islam untuk mengembalikan dan menampakkkan hukum Islam

dalam kedudukannya semula, terus dilakukan dalam berbagai kesempatan

yang terbuka.48

Peradilan Agama tetap dipertahankan eksistensinya dan tidak

mengalami perubahan kecuali mengganti nama menjadi Soo-rioo Hooim

untuk Pengadilan Agama dan Kaikioo Kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam

Tinggi. Hal ini diatur berdasarkan aturan peralihan pasal 3 Bala Tentara

Jepang (Osanu Seizu) tanggal 7 Maret 1942 No. I. Pada tanggal 29 April 1942

Pemerintahan Tentara Jepang Dai Nippon mengeluarkan undang-undang No.

14 tahun 1942 tentang Pengadilan Bala Tentara Jepang (Dai Nippon).49

Dalam Pasal I disebutkan, bahwa di Tanah Jawa dan Madura telah

diadakan “Gunsie Hookin” atau Pengadilan Pemerintahan Bala Tentara.

Dalam undang-undang ini tidak disebutkan tentang bentuk pengadilan

termasuk Pengadilan Agama untuk wilayah Indonesia diluar Jawa dan

Madura. Pasal 3 undang-undang ini menyebutkan bahwa untuk sementara

waktu Gunsie Hookin terdiri dari :

1. Tiho Hooin (Pengadilan Negeri)

2. Keizai Hooin (Hakim Polisi)

3. Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)

4. Gun Hooin (Pengadilan Kewedanaan)

5. Kiaikoyo Kootoo Hooin (Pengadilan Islam Tinggi)

6. Sooryo Hooin (Rapat Agama)50

47

Pemimpin nasionalis sekuler Sartono dalam sebuah suratnya kepada

pemerintah Jepang mengatakan, bahwa cukuplah segala perkara diserahkan kepada

Pengadilan biasa yang dapat meminta pertimbangan seorang ahli agama. Sedangkan

pemimpin Nasionalis sekuler Soepomo yang menjadi penasehat soal-soal hukum pemerintah

Jepang menentang pemulihan kembali wewenang Pengadilan Agama yang dikehendaki oleh

pemimpin-pemimpin Islam. Hal ini dikemukakannya melalui sebuah nasihat yang

disampaikannya kepada pemerintah Jepang – Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan

Peradilan Agama, 203, 204. 48

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 204 49

Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia…, 18 50

Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia…, 18.

Page 56: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

35

Ketika Badan Penyelidik usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

dibentuk pada tahun 1945 dan bersidang dalam masa penjajahan Jepang,

untuk merumuskan dasar Negara dan menentukan hukum dasar bagi Negara

Indonesia merdeka di kemudian hari, para pemimpin Islam yang menjadi

anggota badan tersebut terus berusaha mendudukkan hukum Islam dalam

negara Indonesia itu kelak. Setelah bertukar pikiran dalam musyawarah, para

pemimpin Indonesia, baik yang Islami, maupun yang sekuler, yang menjadi

perancang dan perumus Undang-Undang Dasar RI, yang kemudian terkenal

dengan UUD 1945 mencapai persetujuan yang dituangkan ke dalam suatu

piagam yang kelak terkenal dengan nama Piagam Jakarta yang diterima oleh

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai

Mukaddimah atau Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.51

Dinyatakan di

sana antara lain, bahwa negara “Berdasarkan kepada ketuhanan, dengan

kewajiban menjalankan shariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata

terakhir ini kemudian dihilangkan dari Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945 yang berasal dari Piagam Jakarta itu oleh Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia tanggal 18-8-1945 dengan imbalan tambahan kata

“Yang Maha Esa” pada perkataan Ketuhanan dalam Pembukaan itu sehingga

menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa dan dijadikan garis hukum dalam batang

tubuh UUD 1945 Pasal 29 ayat (1).52

Menurut catatan sejarah, tujuh kata yang dihilangkan itu, mulai

Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Soekarno yang ikut menandatangani

Piagam Jakarta, selaku Presiden RI/Panglima Tertinggi Angkatan perang,

menyatakan keyakinannya bahwa Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945,

menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan

konstitusi tersebut. Menurut Profesor Notonagoro ilmuan terkemuka dari

Universitas Gajah Mada, ini berarti, setelah tanggal 5 Juli 1959, kata-kata

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam UUD 1945 itu artinya adalah “(ber)

kesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar

kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kewajiban itu menurut Notonagoro

51

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 204. 52

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 204, 205.

Page 57: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

36

adalah kewajiban negara untuk memberikan kesempatan kepada Umat Islam

untuk beribadah melaksanakan hukum perkawinan, kewarisan, terutama yang

telah lama menjadi wewenang pengadilan agama dalam berbagai bentuk dan

nama, sejak agama Islam datang ke Nusantara kita ini dahulu.53

Dewan Pertimbangan Agung buatan Pemerintah Jepang dinyatakan

tidak dapat diberlakukan dengan menyerahnya tentara Jepang kepada sekutu,

kemudian Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai bangsa yang merdeka

dan berdaulat penuh pada tanggal 17 Agustus 1945.

D. Hukum Islam di Indonesia setelah Kemerdekaan

Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17

Agustus 1945, upaya untuk melakukan pembaruan hukum warisan kolonial

mulai dicanangkan walaupun dalam rangka menghindarkan kekosongan

hukum, hukum warisan kolonial itu untuk sementara masih tetap diberlakukan

(sesuai bunyi aturan Peralihan Pasal 2 dari UUD 1945; semua Badan Negara

dan Peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru

menurut Undang-Undang Dasar ini)”. Namun, karena Peraturan Perundang-

Undangan yang diberlakukan itu dibangun berdasarkan teori receptie itu maka

menurut Hazairin hal ini merugikan Umat Islam.54

Berkenaan dengan hal itu Hazairin, pakar hukum adat dan hukum

Islam, secara tegas menyatakan bahwa setelah Indonesia merdeka dan setelah

UUD 1945 dijadikan undang-undang dasar negara, kendati aturan peralihan

menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak

bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan

pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan theory receptie tidak berlaku

lagi, karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Theory receptie harus

exit (keluar, tidak diberlakukan, karena bertentangan dengan Al Quran dan

Sunnah Rasul.55

Pandangan Hazairin yang demikian biasa disebut theory

Receptie Exit.

53

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pengadilan Agama, 206, 207. 54

Lihat Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, 54, 55 55

Lihat Imam Saukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 81. – Lihat pula Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang

Hukum, 101.

Page 58: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

37

Setelah Indonesia merdeka pengaruh politik Pemerintah Penjajah

masih berbekas. Ini dapat dilihat dalam penetapan UUD 1945 dan Pancasila

sebagai Dasar dan Falsafah Negara. Umat Islam56

harus merelakan

penghapusan tujuh kata yang terdapat dalam rumusan Pancasila yang terdapat

dalam Piagam Jakarta.

Jika dilihat dari aspek perumusan dasar negara, hukum Islam di

Indonesia, yang dilakukan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia), yaitu para pemimpin Islam berusaha memulihkan

dan mendudukan hukum Islam dalam negara Indonesia merdeka itu. Dalam

tahapan awal, usaha para pemimpin Islam tersebut berhasil dengan lahirnya

Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri

negara, bahwa negara berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban

menjalankan shariat Islam bagi pemeluknya. Namun karena adanya desakan

dari kalangan pihak Kristen, tujuh kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan

UUD 1945, kemudian diganti dengan kata “Yang Maha Esa”57

Penggantian kata yang dimaksud, menurut Hazairin, mengandung

norma dan garis hukum yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, bahwa

negara Republik Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.58

Abd. Aziz Thaba mengatakan, bahwa beberapa cedekiawan

muslim seperti Fakhmi Ali, Bakhtiar Effendi dan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif

menganggap bahwa diterimanya idiologi negara Pancasila dan dihapuskannya

tujuh kata dalam Piagam Jakarta merupakan kekalahan politik Islam.59

BPUPKI diketuai oleh DR. Radjiman Wedyoningrat60

seorang

Kejawen yang pernah menjadi anggota Budi Utomo. Anggota BPUPKI terdiri

dari berbagai golongan, namun secara garis besar dapat dikelompokkan

56

Umat Islam adalah salah satu kelompok masyarakat yang mendapat legalitas

pengayoman secara hukum ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, umat Islam tidak dapat

dipisahkan dengan hukum Islam yang sesuai dengan keyakinannya. 57

Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet. I, 85. 58

Lihat Zainuddin Ali, Hukum Islam, 85. 59

Abd. Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta:

Gema Insani Press, 1996), 156. 60

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Grafiti

Pers, 1987), 30.

Page 59: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

38

menjadi dua kelompok besar yang saling berhadapan yaitu kelompok Islam

dan kelompok nasionalis sekuler.61

Kedua kelompok tersebut terlihat dalam perdebatan yang sangat

sengit ketika membahas ideology dan dasar negara yang akan didirikan.

Golongan Islam menghendaki terbentuknya negara Islam, sedangkan

kelompok Nasionalis sekuler menghendaki berdirinya Negara Sekuler. Untuk

menghindari perbedaan pendapat yang tajam antara kedua kelompok ini,

maka dibentuklah panitia sembilan yang terdiri dari lima golongan sekuler,

yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Subarjo, M. Yamin dan A.A.

Maramis. Sedangkan dari kelompok Islam adalah H. Agus Salim, KH. Wahid

Hasyim, Abikusno, M. Natsir Muhamad Roum, Sukiman, Prawoto

Mangkusasmito, Kasman Singadimedjo dan A. Kahar Muzakkir. Kelompok

ini percaya benar atas kesatuan Islam dan negara, bahwa Islam itu adalah

agama dan negara.62

Pandangan dasar bahwa Islam mencakup segala sesuatu,

termasuk persoalan negara dan politik merupakan salah satu jaringan

terpenting. Islam merupakan tatanan dan panduan nilai yang sempurna,

karenanya memiliki sistem dari teori tentang politik, ekonomi, negara dan

sebagainya. Pandangan ini bukan hanya pemikiran ilmuan Islam, karena Barat

pun seperti H. R. Gibb seperti yang dikutip oleh Bahtiar Effendy mengatakan,

bahwa Islam itu tidak hanya sistem teologi dan peribadatan. Tetapi Islam

lebih dari itu dan merupakan sistem kebudayaan yang komplit dan

sempurna.63

Sebenarnya sejak awal kemerdekaan Indonesia telah terlihat

adanya keinginan bangsa Indonesia untuk memiliki hukum Nasional yang

diwarnai dan dijiwai oleh Hukum Agama. Di samping itu, Hukum Islam

sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah

hukum yang telah hidup dalam masyarakat dan merupakan norma yang

menjadi sumber perilaku dan juga nilai moral yang menjiwai kehidupan

masyarakat. Dengan demikian, Hukum Islam merupakan bagian yang tidak

61

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional…, 30. 62

Lihat Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, (Jakarta: Ushul Press,

2005), 8. 63

Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, 8

Page 60: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

39

terpisahkan dari Hukum Nasional Indonesia.64

Ismail Sunny menyebutnya

dengan istilah “Hukum Islam ada dalam Hukum Nasional”. Dalam pengertian

bahwa Hukum Islam merupakan salah satu unsur dari unsur-unsur yang ada

dalam Hukum Nasional.65

Umat Islam Indonesia telah menerima Pancasila sebagai falsafah

bangsa dan ideology Negara, karena sila-sila Pancasila tersebut tidak

bertentangan dan terdapat kesesuaian dengan ajaran Islam. Di Negara

Indonesia yang berfalsafah Pancasila ini, umat Islam mempunyai kebebasan

untuk melaksanakan ajaran agamanya. Melalui jalan Siyasah hukum Islam

( dalam bidang tertentu telah terakomodasi dalam peraturan (سياسة شرعية

perundang-undangan, dengan demikian menjadi bagian dari hukum positif di

Indonesia yang berdasarkan Pancasila.66

Konstitusi negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila,

yaitu UUD 1945 dilihat dari naskah dan isinya adalah Islami. Demikian juga

pelaksanaan UUD 1945 tersebut sudah banyak yang Islami, baik itu yang

menyangkut institusi keagamaan, seperti dibentuknya Departemen Agama,

Peradilan Agama, MUI, MDI, maupun perundang-undangannya.

Walaupun konstitusi negara Republik Indonesia itu Islami, tetapi

pelaksanaan hukum perkawinan dan hukum kewarisan di Indonesia setelah

Indonesia merdeka dalam periode 1945-1974, melalui badan Peradilan Agama

di Indonesia tetap tidak berubah seperti sedia kala. Ini disebabkan karena teori

resepsi, kiat eksekusi dan tidak adanya satu kitab hukum mengenai

perkawinan dan kewarisan pada peradilan agama yang menjadi pegangan para

hakimnya. 67

Teori resepsi yang mendapat sandaran konstitusional dalam

indische staatsregeling (IS) pasal 132 ayat (2), setelah Indonesia merdeka,

mulai digugat, karena tidak sesuai dengan UUD 1945 sebagai penjabaran

Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertamanya.

Dengan ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar negara seperti dirumuskan

64

Lihat Ismail Sunny, Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, 5 65

Lihat Ismail Sunny, Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, 5-6. 66

Ahmad Sukardja, Hukum Islam dan Sistem Masyarakat di Indonesia, Makalah

dalam Seminar Nasional Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Serang: Fakultas Shariah IAIN

Sunan Gunung Djati Serang, 1977), 19. 67

Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 207.

Page 61: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

40

pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, teori resepsi yang bertentangan dengan

iman orang Islam itu, bertentangan pula dengan dua kalimat syahadat, karena

mengajak orang-orang Islam tidak mematuhi firman Allah yang tercantum

dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah.68

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17

Agustus 1945, sebuah perubahan substansial dilakukan. Administrasi

pengadilan Islam dan permasalahan-permasalahan mengenai perkawinan

muslim yang sebelumnya telah diadminister oleh Menteri Kehakiman, pindah

di bahwa juridiksi Menteri Agama. Perubahan ini diumumkan pada tahun

1946. sedangkan Menteri Agama mempertahankan struktur dan komposisi

pengadilan Islam, dalam waktu yang singkat setelah penetapannya. Menteri

mengumumkan Undang-Undang No. 22 tahun 1946, untuk menyatukan

administrasi perkawinan muslim dan perceraian di seluruh Indonesia di bawah

kontrol Menteri Agama. Undang-Undang ini menyebutkan bahwa untuk

selanjutnya semua perkawinan muslim, perceraian dan rekonsiliasi (nikah,

ruju, talak, atau NTR) akan dilakukan di bawah supervisi formal tersendiri

dari pegawai pencatat NTR yang diangkat oleh Menteri Agama atau

delegasinya. Kursi para pegawai pencatat NTR akan ditentukan oleh kantor

agama setempat (Jawatan Agama Daerah), yang kemudian menjadi Kantor

Urusan Agama secara langsung diawasi oleh Menteri Agama.69

Pemberlakuan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 diperdebatkan

di KNIP, dimana para nasionalis dan sekularis saling berlawanan. Perlawanan

mereka utamanya karena kekhawatiran terhadap Undang-Undang tersebut

akan memperkuat posisi penghulu dan para fungsionaris Islam lainnya dari

hukum Islam dengan negara baru. Namun Undang-Undang tersebut akhirnya

diluluskan di parlemen setelah tekanan kuat dari para pemimpin muslim.

Walaupun implementasi hukum ini belum dilaksanakan secara efektif

berkaitan dengan revolusi Indonesia, namun di pandang sebagai sebuah

kemenangan bagi muslim. Hukum ini membuat perbedaan antara muslim dan

non muslim menjadi jelas. Perbedaan krusial di antara Undang-Undang No.

22 tahun 1946 dan Undang-Undang lainnya berkenaan dengan prosedur

68

Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 207, 208. 69

Lihat : Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 …, 80.

Page 62: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

41

perkawinan, yang diberlakukan sebelumnya, adalah registrasi muslim tidak

perlu validitas perkawinan mereka, perceraian dan rekonsiliasi. Hal ini cukup

memadai bagi muslim untuk mendaftarkan diri di kantor setempat, Kantor

Urusan Agama daripada di Kantor Catatan Sipil yang kemudian hanya

melayani non-muslim dan di bawah jurisdiksi Menteri Kehakiman.70

Untuk implementasi Undang-Undang No. 22 1946, Menteri

Agama mengeluarkan instruksi No. 4 tahun 1946 Undang-Undang No. 32

tahun 1954, instruksi no.1 tahun 1955, dan dekrit no. 15 tahun 1955. Regulasi

ini mengharuskan para pencatat NTR melayani perkawinan, perceraian dan

poligami. Selain prosedur perkawinan yang diatur, dua regulasi terakhir juga

mengandung provisi tentang taklik talak yang telah lama menjadi kebiasaan di

Indonesia. Taklik talak merupakan kondisi dalam kontrak perkawinan,

pelanggaran yang memungkinkan istri untuk mengajukan perceraian.

Rumusan dan kondisi taklik talak telah distandarisasi oleh Menteri Agama,

dan telah dicetak dalam halaman terakhir dari akta nikah resmi. Segera setelah

akad nikah, suami harus mendeklarasikan pada wali istri dan saksi, bahwa ada

empat alasan yang mana istrinya bisa mengajukan perceraian terhadap

suaminya. Jika suami meninggalkan istri selama enam bulan berturut-turut,

jika dia secara fisik menganiayanya, atau jika dia tidak memberi nafkah dan

dia tidak menghiraukannya selama enam bulan berturut-turut, sedangkan istri

itu tidak rela.71

Melalui pasal peralihan UUD 1945 dan kuatnya tertanam teori

resepsi yang diajarkan di Perguruan Tinggi Hukum Belanda dahulu, baik di

Leiden, maupun di Batavia, apa yang telah ada dan berlaku di zaman Hindia

Belanda dahulu, tetap saja berlangsung dalam negara Indonesia merdeka,

kendatipun UUD 1945, atau peraturan dasarnya sudah berganti dan berbeda.

Baru tahun 1974, dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, teori resepsi itu menemui ajalnya dihantam “kalimat,

perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu”72

. Dengan demikian, maka dengan terbentuknya

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dengan perumusan

70

Lihat : Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 …, 81. 71

Lihat : Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 …, 81 72

Lihat : Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 208.

Page 63: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

42

Pasal 2 ayat (1) yang telah disebutkan di atas, setiap perkawinan harus

dilaksanakan menurut hukum agama. Untuk orang Islam, perkawinan baru

dianggap sah kalau dilakukan menurut hukum perkawinan Islam, walaupun

pelaksanaannya melalui putusan Pengadilan Agama masih harus dikukuhkan

oleh Pengadilan Negeri (Pengadilan Umum).

E. Hukum Islam di Indonesia setelah Menjadi Hukum Nasional

Setelah Indonesia merdeka, upaya pembaruan hukum banyak

diarahkan kepada perubahan hukum tertulis peninggalan kaum kolonial untuk

dijadikan Hukum Nasional73

dan Hukum Islam dijadikan sebagai salah satu

unsur hukum nasional yang berfungsi sebagai rujukan dalam pembentukan

hukum nasional tersebut. Setelah Indonesia merdeka, atas usul Menteri

Agama yang disetujui oleh Menteri Kehakiman, Pemerintah menyerahkan

Mahkamah Islam Tinggi dari Kementerian Kehakiman kepada Kementerian

Agama, melalui Penetapan Pemerintah No. 5-SD tanggal 25 Maret 1946 dan

pada tanggal 21 November 1946 telah disahkan dan diundangkan UU No. 22

tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Undang-Undang ini

hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Dengan keluarnya UU No. 22 tahun

1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, maka segera diambil

tindakan dengan jalan memisahkan urusan pendaftaran Nikah, Talak dan

Rujuk dari Pengadilan Agama. Penghulu kepala yang tadinya merangkap

Ketua Pengadilan Agama, tidak lagi mencampuri urusan Pengadilan dan oleh

sebab itu terbentuklah penghulu Kabupaten, yang diserahi urusan

kepenghuluan di samping Penghulu Hakim yang dikhususkan menangani

Pengadilan Agama saja dengan mendapat gaji dan tingkat serta kedudukan

sebagai penghulu kepala. Seluruh biaya tata usaha Pengadilan menjadi

73

Hukum Nasional Indonesia adalah kumpulan norma-norma hukum yang hidup

dalam masyarakat yang berasal dari unsur-unsur Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum

Barat, (Ilmu Hukum Umum). Lihat Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di

Indonesia, 52 – Lihat : Amin Suma, Transformasi Shari’ah ke Dalam Hukum Nasional di

Indonesia, Dalam Gagasan dan Pemikiran Tentang Pembaharuan Hukum Nasional, (Jakarta:

Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,

2004), 246.

Page 64: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

43

tanggungan Negara, sedangkan pegawai-pegawai panitera dibayar dengan gaji

tetap dan ongkos perkara harus disetorkan ke kas Negara.74

Meskipun telah diundangkan UU No. 32 tahun 1954 tentang

Penetapan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21

November 1946 No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan

Rujuk diseluruh daerah luar Jawa dan Madura, tetapi sesuai dengan bunyi

Undang-Undang ini, hanya mengatur tata cara pencatatan Nikah, Talak dan

Rujuk, tidak memuat materi perkawinan secara keseluruhan. Sehubungan

dengan ini, dilakukan berbagai upaya agar terbentuk UU yang memuat materi

yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan perkawinan. Upaya ini telah

menghasilkan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang hukum

perkawinan.75

Kemudian, pada tahun 1989 terbentuk pula Undang-Undang

Nomor 7 tahun 1989, yang populer dengan sebutan Undang-Undang Peradilan

Agama (UU-PA), yang mensejajarkan kedudukan Pengadilan Agama dengan

Pengadilan Umum dan menempatkan hukum Islam sebagai salah satu unsur

dalam Hukum Nasional, UU Peradilan Agama ini telah disempurnakan lagi

pada tahun 2006 dengan disahkannya UU Peradilan Agama yang

disempurnakan dan memperluas wewenangnya kepada mengadili dan

menyelesaikan kasus-kasus dan perkara-perkara yang berkenaan dengan

ekonomi syariah.76

Berdasarkan INPRES No. 1 tahun 1991 telah dilakukan

pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyangkut hukum keluarga, yang

terdiri atas hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Dalam usaha

Kompilasi Hukum Islam tersebut, kecenderungan kepada salah satu mazhab

74

Lihat : Basiq Jalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),

63-65 – Depag RI, Himpunan Perundang-Undangan Perkawinan, (Jakarta: Dirjen Bimas

Islam Depag RI, 2009), 4, 6, 14. 75

Dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menjadi

lebih jelas dan tidak dapat diragukan lagi, bahwa Hukum Islam bukan lagi berdasarkan teori

resepsi, tetapi persandaraan legalitas Hukum Islam itu telah pindah dari hukum adat kepada

hukum tertulis seperti dapat disalurkan dari Pasal 2 ayat 1 beserta penjelasannya (sesuai

dengan UUD 1945) – Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta,

2005), 13 76

Hukum Nasional diambilkan dari hukum adat yang mempunyai nilai yang

universal hukum Islam yang sesuai dengan kondisi sosial Indonsia dan hukum Barat yang

sudah dimodifikasi. Itulah yang dimaksud dengan “Hukum Nasional”. Oleh karena itu, UU

No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan INPRES No. I tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam (KHI) sudah merupakan bagian dari Hukum Nasional yang dicita-citakan sejak

lama. – Lihat Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum…, 271, 272.

Page 65: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

44

(khususnya mazhab Shafi‟i) mulai di kesampingkan, tetapi lebih ditekankan

kepada kemaslahatan, dan bahkan telah dilakukan suatu reformasi hukum.

Sebagai contoh, antara lain, dalam hukum kewarisan dinyatakan bahwa orang

tua/anak angkat berhak ikut menerima harta peninggalan anak/orang tua

angkatnya sebanyak 1/3 bagian sebagai wasiat wajibah yang berlaku pada

Undang-Undang Waris.77

Dalam hukum perkawinan, perkawinan hanya boleh

dilakukan oleh pria yang telah berusia 19 tahun dan wanita yang sudah

berusia dewasa 16 tahun,78

dan sebagainya.

Upaya demikian tentu bukan muncul begitu saja, tetapi telah

didahului oleh adanya kehendak masyarakat untuk mendapatkan landasan

hukum yang adil dalam masalah perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Di

sisi lain, sebelumya telah berkembang pula upaya reformulasi pemikiran fiqih

yang dilakukan sebagian organisasi Islam yang tidak mengikat diri dengan

salah satu mazhab tertentu. Menurut Nasrun Rusli, bersama itu, muncul pula

tokoh-tokoh fikih yang mengkhususkan upayanya membenahi fikih, seperti,

antara lain, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (w. 1975), guru besar hukum Islan

IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang merintis tumbuhnya fikih Indonesia,

yakni corak hukum Islam yang dibangun dalam tradisi („urf)79

Indonesia,

namun tetap berpijak pada sumber hukum yang asasi, yakni Al Quran dan

sunnah. Di sisi lain, Hazairin, guru besar hukum Islam dan hukum adat80

Universitas Indonesia, juga telah merintis tumbuhnya hukum kekeluargaan

dan kewarisan nasional, yang berpijak pada dasar-dasar Islam, namun tidak

mengabaikan sistem kehidupan yang tumbuh dan berlaku di Indonesia.81

Upaya-upaya pembaruan hukum Islam seperti demikian

diharapkan akan tumbuh dan berkembang hukum Islam yang kuat dan mampu

77

Lihat : KHI Buku II tentang Hukum Kewarisan Pasal 209 ayat (1) dan (2) 78

Lihat : UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) dan Lihat :

KHI Buku I tentang Perkawinan Pasal 15 ayat (1). 79

„Urf menurut istilah dalam Ushul Fikih adalah sesuatu yang tidak asing lagi

bagi satu masyarakat, karena telah menjadi adat kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan

mereka, baik berupa perkataan, maupun perbuatan – Lihat : Abd. Wahhab Khallaf, Usul Fiqh,

(Kuwait: Dar al Qalam, 1392 H / 1972 M), cet X, 89. 80

Menurut istilah Syara‟, tidak ada perbedaan antara „urf dan adat – Lihat : Abd.

Wahhab Khallaf, Usul Fiqh, (Kuwait : Dar al Qalam, 1392 H / 1972 M), cet X, 89. 81

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Shaukani dan Relevansinya Dengan

Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Disertasi PPS IAIN Jakarta, 1998), 281.

282.

Page 66: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

45

menjawab kebutuhan masyarakat. Hukum Islam yang demikian niscaya akan

dapat memberikan sumbangan yang besar bagi Hukum Nasional.82

Dengan disahkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan, hukum Islam memasuki fase baru, yaitu fase taqnin

(pengundangan). Ketentuan-ketentuan fikih Islam tentang perkawinan

ditransformasikan ke dalam Undang-Undang tersebut dengan modifikasi

disana-sini.83

Lalu pada tahun 1980-an, ketika akan membentuk Kompilasi

Hukum Islam tentang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, Munawir

Sjadzali, Menteri Agama ketika itu, memunculkan gagasan reaktualisasi

ajaran Islam. Gagasan tersebut sengaja dilontarkan dalam berbagai forum,

guna menggugah hati para ulama fikih di Indonesia (bahkan juga di luar

Indonesia) untuk mengkaji dan berpikir lagi tentang fikih. Salah satu contoh

yang ditampilkan Munawir adalah berkenaan dengan reaktualisasi dalam

hukum kewarisan, yakni kemungkinan dijadikannya hak anak laki-laki sama

dengan hak anak perempuan dalam menerima warisan ayahnya yang

meninggal. Kendati contoh yang dikemukakan Munawir tersebut tidak

diterima secara eksplisit dalam kompilasi, ternyata telah merangsang

cendekiawan dan ulama.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan suatu keberhasilan

yang besar bagi umat Islam Indonesia pada pemerintahan Orde Baru, karena

dengan lahirnya kompilasi tersebut, umat Islam Indonesia telah mempunyai

fikih yang seragam dalam masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan,

dan telah menjadi hukum positif yang harus dipatuhi oleh seluruh bangsa

Indonesia yang beragama Islam. Dengan lahirnya KHI ini diharapkan tidak

akan terjadi lagi kesimpang siuran keputusan pada lembaga-lembaga

Peradilan Agama, dimana sering terjadi adanya keputusan Pengadilan Agama

saling berbeda padahal kasusnya sama, yang menurut Abdul Gani Abdullah

82

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Shaukani…, 282. 83

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di

Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. III, 26.

Page 67: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

46

sekurang-kurangnya ada tiga hal perlu dicatat dengan keluarnya INPRES dan

SK tersebut :

1. Perintah menyebarluaskan KHI tidak lain adalah kewajiban masyarakat

Islam untuk memfungsikan eksplanasi ajaran Islam sepanjang mengenai

normatif sebagai hukum yang harus hidup dalam masyarakat.

2. Rumusan Hukum Islam dalam KHI berupaya mengakhiri persepsi ganda

dari keberlakukan Hukum Islam yang ditunjuk oleh pasal 2 ayat (1) UU

No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7 Tahun 1989 tentang

segi-segi Hukum Formalnya.

3. Menunjuk secara tegas wilayah keberlakukan KHI dengan sebutan

Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya, dalam

kedudukan sebagai pedoman penyelesaian masalah di tiga bidang hukum

dalam KHI.84

Walaupun KHI sudah menjadi Hukum Nasional85

di Indonesia

tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, instruksi Presiden tidak lagi

tercantum dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini

berdampak pada melemahnya kedudukan hukum materiil dalam KHI yang

masih dipergunakan oleh para Hakim Pengadilan Agama se-Indonesia dan

masyarakat yang memerlukannya. Atas dasar ini perlu KHI ditingkatkan

menjadi Undang-Undang. Berkenaan dengan ini. Pemerintah telah

mengajukan ke DPR RI RUU Hukum Materil Peradilan Agama (HMPA)

Bidang Perkawinan agar dapat disahkan menjadi Undang-Undang sebagai

pengganti kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Perkawinan.

84

Lihat : Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata

Hukum Indonesia,(Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 62. 85

Hukum Nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu

negara nasional tertentu. Dalam kasus Indonesia, hukum Nasional mungkin juga berarti

hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi

penduduk Indonesia, sebagai pengganti hukum kolonial dahulu – Mohammad Daud Ali,

Hukum Islam, 267.

Page 68: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

47

Pembahasan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI Buku I tentang

Perkawinan akan dibahas dalam pembahasan tersendiri pada Bab III.

Page 69: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

48

BAB III

HUKUM PERKAWINAN ISLAM DALAM UU NO. 1 TAHUN 1974

DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG PERKAWINAN

Hukum Perkawinan Islam adalah perkawinan yang didasarkan atas

hukum-hukum yang ditetapkan oleh Islam yang terkait dengan pernikahan

(Fiqh Munakahat). Materi Fiqh Munakahat sudah diadopsi ke dalam UU No.

1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, walaupun materi Fiqh Munakahat

yang diadopsi itu, tidak secara mendetail dimasukkan, karena hanya prinsip-

prinsip dan pokok-pokoknya saja, yang secara umum telah menggambarkan

materi Fiqh Munakahat. Perbedaan materi UU No. 1 tahun 1974 dan KHI

tentang Perkawinan dengan Fiqh Munakahat adalah sebagai berikut :

Pertama : UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan sepenuhnya

sudah mengikuti Fiqh Munakahat, bahkan banyak mengutip

langsung dari Al Quran dan Hadis. Contohnya: Ketentuan

tentang larangan perkawinan dan ketentuan tentang masa tunggu

(masa Iddah) bagi istri yang bercerai dari suaminya.

Kedua : Ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan

sama sekali tidak terdapat dalam Fiqh Munakahat, tetapi karena

bersifat administratif dan bukan substansial dapat ditambahkan

ke dalam Fiqh Munakahat. Contohnya, pencatatan perkawinan

dan pencegahan perkawinan.

Ketiga : Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan tidak terdapat dalam Fiqh Munakahat, karena

pertimbangan kemaslahatan dapat dikategorikan sebagai Hukum

Islam, karena tujuan Hukum Islam adalah untuk kemaslahatan.

Contohnya, ketentuan batas minimal umur pasangan yang akan

menikah dan harta bersama dalam perkawinan.

Keempat : Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan secara lahiriyah tidak sejalan dengan ketentuan Fiqh

48

Page 70: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

49

Munakahat, tetapi dengan menggunakan interpretasi dan mempertimbangkan

maslahat dapat dikategorikan sebagai Fikih, karena Fikih adalah hasil ijtihad,

yang antara lain ditetapkan berdasarkan maslahat. Contohnya : keharusan

perceraian di pengadilan dan keharusan izin berpoligami oleh pengadilan serta

perceraian harus didasarkan kepada alasan-alasan yang sudah ditentukan.

Dengan masuknya materi Fiqh Munakahat, prinsip-prinsip dan

pokok-pokoknya yang secara umum dapat dikategorikan sebagai Fiqh

Munakahat, ke dalam pasal UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan , ini menunjukkan, bahwa Hukum Islam bidang Perkawinan (Fiqh

Munakahat) telah diadopsi dalam sistem Hukum Nasional.

Hukum Islam bidang Perkawinan dapat diterima untuk menjadi

Hukum Nasional, karena sesuai dengan keyakinan umat Islam dan budaya

Indonesia, yang secara yuridis formal dan secara normatif telah menjadi

hukum yang hidup di masyarakat Indonesia. Hukum Islam, khususunya Fikih

Munakahat telah menyatu dengan Hukum Adat yang berlaku dalam

masyarakat Muslim di Indonesia sejak sebelum zaman penjajahan kolonial

Belanda, sehingga tidak dapat lagi dibedakan. Kehidupan masyarakat muslim

senantiasa berada dalam garis-garis Hukum Islam, yang dalam kehidupan

sehari-hari telah menjadi adat kebiasaan mereka, seperti dalam masalah

perkawinan dan keluarga, perekonomian dan masalah-masalah muamalat serta

dalam hubungan sosial lainnya. Kesemuanya itu menjadikan Hukum Islam

bidang Perkawinan dapat diterima menjadi Hukum Nasional.

A. Pengertian Hukum Perkawinan Islam. 1

Dalam bahasa Arab, perkawinan disebut dengan al-Nikah (النكاح)

yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.2 Sedangkan dalam istilah

1 Secara khusus pengertian Hukum Islam, syariah dan fikih telah dijelaskan pada

BAB I dari tulisan ini. 2 Lihat : Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (t.t., Dar al-Ma’arif, t.th), Jilid V, 4537,

dan lihat pula : A. W. al Munawwir, Kamus al-Munawwir, Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), cet. XIV, Edisi kedua, 46. Juga lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al Fikr, 1989), Jilid VII, 29.

Page 71: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

50

para Ulama Fikih mendefinisikannya dalam berbagai kitab Fikih, dimana

redaksinya berbeda-beda, tetapi substansinya sama, yaitu : nikah adalah akad

yang menghalalkan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.3 Abu

Zahrah menambahkan definisi nikah tersebut dengan kata-kata : saling tolong

dan mengakibatkan adanya hak dan kewajiban antara keduanya. 4

Para ulama dan pakar Indonesia telah memberikan pula definisi

perkawinan antara lain :

1. Menurut Ibrahim Hosen, nikah adalah akad yang diatur oleh agama untuk

memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan)

wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.5

2. Menurut Hazairin, perkawinan adalah hubungan seksual. Tidak ada nikah

(perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.6

3. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat

dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni,

kasih mengasihi, dan bahagia.7

Nampaknya definisi nikah/perkawinan yang dikemukakan Ibrahim

Hosen dan Hazairin sama dengan definisi yang dikemukakan oleh para Ulama

Fikih yang disebutkan dalam Kitab-Kitab Fikih. Tetapi definisi yang diberikan

oleh Sajuti Thalib itu nampaknya identik dengan definisi perkawinan yang

disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan .

3 Abd. Rahman al Jaziry, Kitab al Fiqh ‘Ala al Madhahib al Arba’ah, (t.t : Dar

Ihya’ al Turats al’Araby, 1986), Juz IV, 3 - Muhammad Syata al Malibary al Dimyathy, I’anah al Talibin, (t.t. : Dar Ihya’ al Kutub al ‘Arabiyah, t.th), 256. - Imam Taqiyuddin, Kifayah al Akhyar, (Bandung : al Ma’arif, t.th), Jilid II, 36. - Wahbah al Zuhaily, Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, 29.

4 Muhammad Abu Zahrah, al Ahwal al-Syakhsiyyah, (al-Qahirah: Dar al Fikr al’Araby), 19.

5 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), cet I, 116.

6 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, (Jakarta: Tinta Mas, 1961), 61

7 Mohamad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. I Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 2.

Page 72: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

51

Definisi tersebut juga agaknya identik dengan definisi perkawinan

yang dikemukakan oleh Tahir Mahmood yang mendefinisikan, bahwa

perkawinan adalah sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-

laki dan perempuan yang masing-masing menjadi suami dan istri dalam

rangka memperoleh kebahagiaan kehidupan dan membangun keluarga dalam

sinaran Ilahi. Teks ucapannya itu adalah sebagai berikut :

“Marriage in a relationship of body and soul between a man and

woman as husband and wife for the purpose of establishing a happy and

lasting family founded on belief in god Almighty”. 8

Di dalam perspektif Hukum Nasional, perkawinan didefinisikan

sebagai berikut :

1. Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.9

2. Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I tentang Perkawinan

Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat, atau mithaqan ghalizan10 untuk

menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.11

Dari definisi-definisi perkawinan yang telah disebutkan di atas, dapat

disimpulkan, bahwa definisi perkawinan menurut kitab-kitab fikih terkesan

menempatkan perempuan sebagai objek kenikmatan bagi laki-laki, karena

yang dilihat pada perempuan hanya dari aspek biologisnya. Kecuali

Muhammad Abu Zahrah, menambahkan kata tolong menolong dan

mengakibatkan adanya hak dan kewajiban di antara keduanya. Jadi di samping

masalah biologis, ia juga menambahkan kata-kata tersebut tadi.

8 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of

Law and Religion, 1987), 209. 9 Lihat UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1.

10 Mithaqan ghalizan berarti perjanjian yang kuat diambil dari firman Allah dalam surah al-Nisa’ 4 : 21, yaitu :

11 Lihat KHI pasal 2 buku I tentang Perkawinan.

Page 73: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

52

Sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1,

perkawinan tidak hanya dilihat sebagai hubungan jasmani belaka, tetapi juga

merupakan hubungan batin. Pergeseran ini mengesankan bahwa perkawinan

yang selama ini hanya sebatas ikatan jasmani ternyata juga mengandung aspek

yang lebih substansial dan berdimensi jangka panjang. Ikatan yang didasarkan

pada hubungan jasmani itu berdampak pada masa yang pendek, sedangkan

ikatan batin itu lebih jauh. Dimensi masa dalam definisi ini dieksplisitkan

dengan kata-kata bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.12

Kata-kata bahagia disebutkan dalam UU Perkawinan tersebut

sebagai tujuan perkawinan adalah dimaksudkan agar setiap manusia, laki-laki

dan perempuan dapat memperoleh kebahagiaan dalam perkawinan tidak hanya

dilihat dari sisi hukum formal, tetapi juga dilihat dari sifat sosial sebuah

perkawinan untuk membentuk keluarga.13

Untuk melengkapi kebahagiaan dalam perkawinan tersebut, dalam

definisi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan itu terdapat kata-kata kekal.

Ini mengesankan, bahwa perkawinan hanya sekali seumur hidup. Seakan-akan

pintu perceraian telah tertutup, tetapi penambahan kata-kata kekal ini

sebenarnya dimaksudkan untuk mempersulit perceraian, karena dalam Hadis

Nabi Muhammad SAW dikatakan : “perbuatan halal yang paling dibenci

Allah adalah al-talaq (perceraian)”.14, tetapi Hadis ini tidak menutup

perceraian, tetap membukanya kalau suami-istri tidak bisa lagi didamaikan,15

selama perceraian itu didukung oleh alasan-alasan yang dibenarkan oleh

Syariat Islam.

Dari definisi perkawinan yang disebutkan dalam UU No. 1 Tahun

1974 dan KHI tentang Perkawinan, menunjukkan bahwa pada perkawinan

12 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di

Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet III, 45, 46. 13 Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di

Indonesia, h. 46. 14 " Sesunggunya yang halal paling dibenci Allah adalah talak (HR. Abu Daud, Ibnu

Majah dan al-Hakim dari Ibnu Umar) : Lihat al Suyuty, al-Jami’ al-Saghir, (t.t : Dar al Kutub al’Ilmiah, t.t), Cet IV, Jilid I, 4

15 Q.S. al-Nisa/4 : 35 dan Q.S. al-Baqarah / 2 : 229.

Page 74: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

53

tersebut terdapat suatu kesepakatan, bahwa perkawinan di pandang sebagai

sebuah akad. Akad atau perikatan terjadi jika dua orang yang apabila

mempunyai kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam satu ketentuan

dan dinyatakan dengan kata-kata, atau sesuatu yang bisa dipahami demikian,

maka dengan itu terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan.16

Perikatan ini dalam bahasa fikih disebut dengan akad. Dengan demikian, maka

perkawinan dapat disebut sebagai perikatan atau akad.

Penegasan perkawinan sebagai sebuah akad/perikatan ini sangat

penting karena menyangkut relasi hubungan suami dan istri yang setara

sebagai dua subjek hukum yang berdiri dalam posisi yang sama, sering dalam

masyarakat, baik yang menganut kekerabatan bilateral, matrilinear terlebih

lagi partilinear, perkawinan tetap dipahami sebagai hubungan yang tidak

seimbang. Perkawinan dipahami sebagai hubungan antara subjek dengan

objek “atas” dan “bawah”, penguasa dengan yang dikuasai sering kali suami

ditempatkan pada posisi yang berkuasa dan istri sebagai pihak yang dikuasai.17

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa sebenarnya perkawinan

sebagai sebuah perikatan adalah ingin menggugat relasi yang tidak seimbang

ini. Perkawinan yang sejati harus didasari pemahaman akan posisi masing-

masing pihak yang sejajar tanpa ada yang merasa lebih tinggi, lebih berkuasa,

atau lebih berhak. Mereka harus menyadari bahwa yang mempersatukan

seorang laki-laki yang menjadi suami dan seorang wanita menjadi istri adalah

akad, karena dengan akad itulah yang menjadikan suami boleh berhubungan

badan dengan seorang wanita sebagai istri.18

Sehubungan dengan ini, Yahya Harahap mengatakan, bahwa

kedudukan suami istri dalam sebuah keluarga adalah seimbang. Keduanya

sederajat dan segala sesuatu yang muncul dalam perkawinan harus

16 Ahmad Kuzari, Perkawinan sebagai Sebuah Perikatan, (Jakarta: Rajawali Press,

1995), 1 17 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di

Indonesia, 48 18 Ahmad Kuzari, Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan, 1

Page 75: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

54

dirundingkan bersama, bahwa istri berhak mencapai kedudukan sosial di luar

lingkungan rumah tangga dan suami tidak dapat melarang hal tersebut.19

Oleh sebab itu Busthanul Arifin mengatakan, bahwa kedudukan

suami dan istri dalam perkawinan sebagaimana termuat dalam pasal 30-34 UU

Perkawinan adalah seimbang. Masing-masing mempunyai fungsi dan

tanggung jawab berbeda, tetapi dengan tujuan yang satu, yaitu tercapainya

kebahagiaan rumah tangga dan keluarga, atau terwujudnya rumah tangga dan

keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.20 Tidak itu saja, hubungan

kedudukan tersebut juga mengandung rasa keadilan, sekaligus sangat potensial

untuk dikembangkan dalam menghadapi perubahan-perubahan cepat yang

terjadi dalam masyarakat.21

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa definisi perkawinan

(nikah) yang disebutkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

tidak menjadikan tujuan perkawinan itu hanya semata-mata dalam konteks

biologis saja, seperti definisi yang dikemukakan para ulama fikih, yang

memberi kesan seakan-akan perkawinan itu dipahami sebagai hubungan

antara subjek dengan objek, suami ditempatkan pada posisi yang berkuasa dari

istri sebagai pihak yang dikuasai, tetapi menjadikan perkawinan itu sebagai

perikatan yang menyeimbangkan kedudukan istri dengan suami. Dalam

perkawinan Islam suami-istri adalah mitra sejajar, karena masing-masing

mempunyai hak-hak dan kewajiban, tidak ada yang lebih tinggi, atau lebih

rendah kedudukannya, tetapi saling tolong menolong dan saling melengkapi.

Suami sebagai kepala keluarga dan sebagai penanggung jawab utama nafkah

keluarga, karena istri sesuai dengan kodratnya, hamil, melahirkan dan

19 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975),

10 20 Lihat Q.S. al-Rum: 21 21 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar, Sejarah,

Hambatan dan Prospeksnya, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), 120.

Page 76: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

55

menyusui bayinya serta merawatnya.22 Dengan ini jelas bahwa definisi

perkawinan yang disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan sudah disesuaikan dengan budaya dan perkembangan masyarakat

Indonesia yang sesuai dengan ajaran Islam, hanya saja dalam definisi yang

dibuat oleh fuqaha’, kurang sesuai dengan maqasid al shariah. Hal ini

mungkin karena pengaruh budaya dan adat kebiasaan pada tempat fuqaha

berada.

Dengan demikian, maka hukum perkawinan Islam23 adalah

perkawinan yang didasarkan atas hukum-hukum yang ditetapkan oleh Islam.

B. Hukum Islam dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

1. Dasar Perkawinan

Dalam pembahasan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ini

dibahas juga sekaligus pasal-pasal yang terkait dengannya dalam KHI

tentang Perkawinan.24

Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan ayat 1 Kompiliasi

Hukum Islam di Indonesia tentang Hukum Perkawinan ayat (2)

mengandung beberapa unsur hukum Islam, antara lain :

a. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri. Ini berarti tidak dikenal adanya

perkawinan sejenis, yang diharamkan dalam Hukum Islam, baik

sesama pria (homo seksual), maupun sesama wanita (lesbian).25

Perkawinan sejenis juga tidak dibenarkan dalam budaya Indonesia.

22 Huzaimah T. Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Mawardi

Prima, 2001), 144, 145. 23 Hukum Perkawinan Islam biasa juga disebut dengan istilah fikih

Perkawinan Islam (Fikih Munakahat). 24 Untuk menghindari pengulangan pembahasan, maka dalam pembahasan UU

No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, juga dibahas pasal-pasal yang terkait dan substansinya sama dengan pasal-pasal pada KHI tentang Perkawinan.

25 Dalam ensiklopedi hukum Islam disebutkan bahwa homoseksual adalah keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama. Hubungan seks/kelamin dengan pasangan sejenis (pria dengan pria atau wanita dengan wanita) disebut homoseks.

Page 77: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

56

Para ulama fikih sepakat atas keharaman homoseks menurut

ketentuan shari'at. Homo seks merupakan perbuatan keji sebagaimana

jarimah zina. Keduanya termasuk dosa besar, dan merupakan

perbuatan yang merusak akhlak, tidak sesuai dengan fitrah manusia.

Bertentangan dengan syariat Islam, bertentangan dengan norma

susila, dan bertentangan dengan sunnatullah. Allah SWT menjadikan

manusia terdiri dari pria dan wanita adalah agar berpasang-pasangan

sebagai suami isteri untuk mendapatkan keturunan yang sah dan untuk

memperoleh ketenangan serta kasih sayang.26 Pasangan homoseks

dalam bentuk liwath termasuk dalam tindak pidana berat (dosa besar),

karena termasuk perbuatan keji yang merusak kepribadian, moral dan

agama serta bertentangan dengan tujuan perkawinan..27

Dalam Al Quran diterangkan, bahwa kaum Nabi Lut

melakukan hubungan seksual hanya kepada sesama laki-laki. Mereka

melepaskan syahwatnya hanya kepada sesama laki-laki dan tidak

berminat kepada perempuan sebagaimana ditawarkan oleh Nabi Luth,

tetapi mereka tetap melakukan perbuatan homoseksual, akhirnya Allah

memberikan hukuman kepada mereka dan memutarbalikan negeri

mereka, sehingga penduduk Sodom, termasuk isteri Nabi Lut tertanam

bersamaan dengan terbaliknya negeri itu. Yang tidak kena azab hanya

Pria yang melakukan homoseks (dalam bentuk liwath/sodomi), yakni

bersanggama dengan memasukan penis ke dalam anus pasangannya disebut pria homoseks. Lesbianisme adalah perihal cinta birahi antara sesama wanita. Wanita yang melakukan lesbianisme atau homoseks sesama wanita disebut lesbian atau wanita homoseks.

Dalam hukum Islam, homoseks sesama pria disebut liwat (liwat), kata yang akar kata sama dengan akar kata Luth. Perbuatan homoseks sesama pria itu disebut liwath, karena perbuatan tersebut pernah dilakukan oleh kaum yang durhaka kepada seruan Nabi Luth as. Kaum itu berdomisili di negeri Sodom (di sebelah timur Laut Mati atau di Yordania sekarang) dan karena itu di kalangan bangsa Barat yang beragama Kristen perbuatan demikian disebut sodomi.

Dalam berbagai referensi semua mengatakan, bahwa homoseksual adalah kebiasaan seorang laki-laki melampiaskan nafsu seksualnya pada sesamanya. Sedangkan lesbian adalah kebiasaan seorang perempuan melampiaskan nafsu seksualnya pada sesamanya. Lihat : Abd. Aziz Dahlan, et.al : Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar van Hoeven, 1996), cet V, 563. Lihat pula : Al Sayid al Sabiq, Fiqh al Sunnah, (al Qahirah: Dar al Kitab al Islamy - Dar al Hadith, t.th) jilid II, 362.

26 Lihat Q.S. al-Nahl : 72 dan al-Rum : 21. 27 Lihat Q.S. al-A’raf : 80 dan 81, al Shu’ara : 165, 166.

Page 78: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

57

Nabi Luth dan pengikut-pengikutnya yang saleh dan menjauhkan diri

dari perbuatan homoseks.

Ulama fikih sepakat mengharamkan homoseks selain

berdasarkan Al Quran dan Hadis, juga berdasarkan qaidah fiqhiyah

yang mengatakan, bahwa pada dasarnya hubungan seks adalah haram,

kecuali ada dalil yang membolehkannya : 28

Begitu pula ulama fikih sepakat mengharamkan perbuatan

lesbian,29 berdasarkan Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh

Ahmad, Muslim, Abu Daud dan al-Tirmidzy, bahwa haram laki-laki

melihat aurat laki-laki yang lain, begitu pula haram hukumnya wanita

melihat aurat wanita lain. Begitu pula haram bersentuhan antara laki-

laki dan antara wanita dalam sehelai selimut/kain : 30

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa seluruh ulama

Islam sepakat mengatakan, bahwa perbuatan homo dan lesbi haram

hukumnya, apakah itu berbentuk pasangan menikah atau tidak.31 Kalau

28

Artinya:"Hubungan seks pada dasarnya adalah haram, sehingga ada dalil (sebab-sebab yang jelas dan yakin tanpa keraguan) yang menghalalkannya, yakni adanya akad nikah ". Lihat: Jalaluddin Abd. Rahman al Suyuty, al Ashbah wa al Nazair, (Bairut-

Libnan: Dar al Fikr, 1995 M/1410 H), Jilid I, 45. 29 Al Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, 369. 30

Artinya: “Janganlah pria melihat aurat pria lain dan janganlah wanita melihat aurat wanita lain dan janganlah bersentuhan pria dengan pria lain di bawah sehelai selimut/kain, dan janganlah pula wanita bersentuhan dengan wanita lain di bawah sehelai selimut/kain". Lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, 369 lihat buku hadis.

31 Imam Nawawi al Bantani (w. 1314 H/1897 M) mengelompokkan homoseksual sesama pria ke dalam perbuatan zina berdasarkan firman Allah dalam surah al Mu’minun : 5-7 yang menerangkan, bahwa kebahagiaan seseorang tergantung pada pemeliharaan kemaluannya (kehormatan dirinya) dari berbagai macam penyalahgunaannya, agar tidak termasuk orang yang tercela dan melanggar ketentuan agama. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama mengatakan, bahwa pelaku homoseks harus dibunuh berdasarkan hadis Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, At Turmudhy, Ibnu Majah, al Hakim dan al Baihaqy :

Page 79: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

58

ada ungkapan atau pernyataan yang mengatakan bahwa homo dan lesbi

dibolehkan, itu bukan ajaran Al Quran dan Hadis dan bukan pula hasil

ijtihad ulama yang mumpuni dibidangnya. Itu hanya ungkapan dan

pernyataan dari kalangan liberal yang hanya berbekal sedikit

pengetahuan agama, yang belum mengkaji dengan baik ayat-ayat

Al Quran dan Hadis, sehingga mereka memberi fatwa yang menyesat-

kan, yaitu mengabsahkan perilaku homoseksual (homo dan lesbi).

Larangan homoseksual dan lesbian bukan hanya karena

merusak kemuliaan dan martabat kemanusiaan, tetapi resikonya lebih

besar lagi, yaitu dapat menimbulkan penyakit kanker kelamin

HIV/AIDS spilis, kanker dan lain. Oleh sebab itu kalau ada usaha

segelintir orang berupaya untuk merubah diktum UU No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita agar dibuang saja kata pria dengan

wanita, agar tidak terganjal perkawinan sejenis, itu adalah suatu upaya

yang bertentangan dengan ajaran agama Islam dan menyalahi

Sunnatullah.

b. Rumusan tentang perkawinan yang disebutkan dalam UU No. 1 Tahun

1974 dan KHI tentang Perkawinan tersebut dapat disimpulkan bahwa

kedudukan wanita dan pria yang memasuki gerbang perkawinan itu

adalah seimbang.32

Keluarga Islam terbentuk dalam keterpaduan antara

ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang

“Siapa saja yang menemukan orang yang melakukan homoseks maka bunuhlah pelakunya bersama pasangannya” (Lihat : Al Asqalany, Ibanah al Ahkam, (Bairut – Libnan: Dar al Fikr, 1424 H/2004 M), 78. Hukum bunuh ini tentu ini berdasarkan putusan Hakim setelah terpenuhi syarat-syarat dan pembuktiannya sedangkan pelaku lesbi ulama sepakat mengatakan bahwa sanksinya adalah ta’zir, yaitu hukuman pendidikan, yang jenis, berat dan ringannya diserahkan kepada kebijaksanaan Hakim.

32 Lihat Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 119.

Page 80: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

59

(rahmah).33 ia terdiri dari istri yang patuh dan setia, suami yang jujur

dan tulus, ayah yang penuh kasih dan ramah, ibu yang lemah lembut

dan berperasaan halus, putra putri yang patuh dan taat serta kerabat

yang saling membina silaturrahmi dan tolong menolong. Hal ini dapat

tercapai bila masing-masing anggota keluarga tersebut mengetahui hak

dan kewajibanya masing-masing.

c. Tujuan perkawinan yang membentuk keluarga sakinah, atau rumah

tangga bahagia tanpa batas waktu. Ini merupakan penegasan, bahwa

tidak adanya pernikahan untuk jangka tertentu, yang disebut sebagai

nikah mut’ah.34

Jumhur Ulama mengharamkan nikah mut’ah. Jika terjadi

akadnya, maka tidak sah akadnya itu.35

Nikah mut’ah haram hukumnya berdasarkan Q.S. Al-

Mu’minun : 5, 6 dan 7, dan Hadis Nabi Muhammad SAW yang

diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad

dan Ibnu Hibban dari Rabi’ bin Saburah dari ayahnya mengatakan

bahwa sesungguhnya nikah mut’ah itu pernah dibolehkan, kemudian

Allah mengharamkannya sampai hari kiamat. 36

Berdasarkan Ayat 5, 6 dan 7 surah al Mu’minun dan Hadis

Nabi SAW, bahwa dalam hukum fikih Islam diharamkan nikah

mut’ah. Jika telah terjadi, maka nikah itu tidak sah dan berdosa orang

33 Lihat q.s. al-Rum : 21. 34 Nikah mut’ah biasa juga disebut dengan nikah muaqqat (nikah

sementara). Nikah mut’ah adalah seorang laki-laki menikahi seorang perempuan untuk masa satu hari, atau seminggu atau sebulan. Dinamai nikah mut’ah karena seorang laki-laki menikahi seorang perempuan hanya dengan tujuan bersenang-senang saja sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam akad. Lihat : Al Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 35, wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, . 117.

35 Lihat : al Sayid Sabiq, Fikih al Sunnah, h. 35, wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuh, 117.

36

Artinya:“Bahwa sesungguhnya saya dahulu telah mengizinkan kepada kamu nikah mut’ah dan bahwa sesungguhnya ia (Allah) telah mengharamkan nikah mut’ah itu sampai hari kiamat…”. Lihat : Muhammad bin Ismail al-San’any, Subul al-Salam, (al Qahirah: Dar al Hadis, 2004 H / 1425 H), Jilid III, 171.

Page 81: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

60

yang melakukannya. Dalam adat istiadat Indonesia tidak terjadi nikah

mut’ah, sehingga pengharaman nikah mut’ah dalam hukum fikih Islam

itu dapat diterima oleh masyarakat Islam di Indonesia.

d. Pembentukan keluarga atau rumah tangga harus menaati syariat

Islam.37

Dalam pembentukan keluarga agar menjadi keluarga sakinah,

mawadah wa rahmah hendaklah mengikuti aturan-aturan yang telah

ditetapkan dalam ajaran hukum Islam, karena sahnya perkawinan,

tergantung pada ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing,

baik dalam masalah akad, rukun dan syaratnya, maupun yang

berkenaan dengan syarat-syarat lainnya seperti larangan menikah

dengan mahram dan lain-lain.38 Semua masalah, seperti rukun dan

syarat nikah dan lain-lain yang telah disebutkan dalam Fikih, telah

tercantum dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.

e. Perkawinan harus dilaksanakan di hadapan pejabat/pegawai pencatat

nikah (penghulu) sebagai pemenuhan kewajiban administratif

perkawinan, untuk menjadi bukti otentik pernikahan39

Pernikahan secara diam-diam, yang biasa juga disebut dengan

perkawinan di bawah tangan,40 atau tidak di hadapan pejabat/pegawai

pencatat nikah dan tidak disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang

saksi tidak mempunyai kekuatan hukum berdasarkan UU No. 1 Tahun

1974 dan KHI tentang Perkawinan.

37 Lihat : QS. Al Nisa : 23, UU No. 1 tahun 1974 Pasal 2 Ayat (1) dan

KHI tentang Perkawinan Pasal 4. 38 Lihat : MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta:

Depag RI, 2003), 163. 39 Lihat : UU No. 1 tahun 1974 Pasal 2 Ayat (2) dan KHI tentang

Perkawinan Pasal 1-7. 40 Nikah di bawah tangan adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun

dan syarat yang ditetapkan dalam fikih (hukum Islam), tetapi tanpa pencatatan resmi diinstansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, Lihat : MUI, Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI II, (Ponorogo: Panitia Ijtima’, 2006), 39.

Page 82: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

61

Dalam ketentuan umum Hukum Islam, syarat sah pernikahan

adalah adanya calon mempelai pria dan wanita, adanya dua orang

saksi, wali, ijab kabul serta mahar (mas kawin). 41

Perkawinan di bawah tangan/tidak dicatat oleh yang

berwenang seringkali menimbulkan madharat terhadap istri dan/atau

anak yang dilahirkan terkait dengan hak-hak mereka, seperti nafkah,

hak waris dan lain-lain. Oleh sebab itu MUI dalam ijtima’ ulama

Komisi Fatwa II di Ponorogo memutuskan bahwa pernikahan harus

dicatatkan secara resmi pada instansi yang berwenang, sebagai langkah

preventif untuk menolak dampak negatif / mudharat yang akan terjadi,

sebagai saddan li al dhari’ah.42

Dasar hukum penetapan rukun dan syarat sahnya perkawinan

adalah Al Quran dan Al-Sunnah. Kedua sumber hukum Islam ini telah

mengatur unsur dan syarat perkawinan relatif lebih rinci dibandingkan

dengan hukum Islam di bidang lainnya. Namun demikian, tidak ada

satu Ayat Al Quran dan Hadis pun yang secara eksplisit mewajibkan

pencatatan perkawinan. Hal ini berbeda dengan ketentuan transaksi

hutang-piutang yang diatur secara tegas agar dilakukan pencatatan.43

Untuk itu, para ahli hukum Islam kontemporer mencari dalil hukum

untuk menguatkan gagasannya, bahwa perkawinan wajib dicatat. Di

antara mereka ada yang mencoba menganalogikan akad perkawinan

dengan transaksi utang-piutang, seperti yang diatur dalam Surah al-

Baqarah: 282. Ada pula yang menjadikan Mashlahah Mursalah sebagai

landasan pendapatnya. Teori ini mengajarkan, bahwa apa yang tidak

diperintahkan secara eksplisit oleh Al Quran dan Hadis dapat dibuat

41 Lihat : MUI, Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI, II, 39, dan

Lihat pula : MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 163, 164. 42 Saddan li al Dzari’ah dalam istilah Usul Fikih adalah menutup jalan

yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan. Lihat Satria Effendi M. Zein, Usul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. I, 172. Lihat : MUI, Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI II, 39.

43 Lihat : Q.S. al Baqarah : 282.

Page 83: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

62

aturan yang mengharuskan berdasarkan kemaslahatan dan sekaligus

menghindari mudharat. Berdasarkan cara berfikir ini, pencatatan

perkawinan dapat diwajibkan demi menjaga kemaslahatan suami isteri

dan anak-anaknya.44

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu

upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi

martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi untuk

melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak. Menurut Ahmad Rafiq

bahwa melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta

nikah, dimana masing- masing suami-isteri mendapat salinannya,

apabila terjadi perselisihan atau percekcokan antara mereka atau salah

satu pihak melalaikan kewajiban dan tanggung jawabnya maka yang

lain dapat melakukan upaya hukum, guna mempertahankan atau

memperoleh hak masing-masing, karena dengan akta tersebut suami

isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka

lakukan.45

Secara umum para ulama Indonesia menyetujui ketentuan

pencatatan nikah pada lembaga yang berwenang yang disebutkan

dalam UU No.1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, tidak ada

reaksi terbuka atasnya, tetapi karena persyaratan pencatatan itu tidak

pernah disinggung dalam kitab-kitab fiqh, maka dalam

pelaksanaannya, masyarakat Islam Indonesia masih memiliki sikap

yang mendua. Misalnya, masih ada orang yang mempertanyakan

apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu dari segi agama menjadi

44 Fathurrahman Djamil, Konsekwensi Perkawinan di bawah Tangan

Terhadap Anak dan Harta Dalam Perspektif Hukum Islam, (Makalah yang disajikan pada diskusi ilmiah yang diselenggarakan oleh GTZ di hotel Meridien, Jakarta, 2007. 1, 2

45 Ahmad Rafiq, Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 107.

Page 84: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

63

tidak sah? Kecenderungan jawabannya ialah bahwa semua rukun dan

persyaratan perkawinan sebagaimana dikehendaki dalam kitab fiqh

sudah terpenuhi maka suatu perkawinan itu tetap sah. Sebagai

akibatnya ialah banyak orang melakukan kawin di bawah tangan yang

pada waktunya dapat mengacaukan proses-proses hukum yang akan

terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak hukum para pihak atau

anak yang dihasilkannya.46 Misalnya masalah warisan, nafkah istri dan

anak-anak, jika suami tidak bertanggung jawab, atau pembuatan akte

kelahiran anak yang memerlukan akte nikah.

Hal ini boleh jadi karena sebagian masyarakat muslim masih

ada yang memahami ketentuan perkawinan itu lebih menekankan

perspektif fikih, sehingga praktek kawin di bawah tangan tanpa

melibatkan petugas PPN menjadi subur. Keadaan ini semakin

diperparah dengan adanya oknum yang memanfaatkan "peluang" ini

untuk mencari keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan sisi dan

nilai keadilan yang merupakan misi utama sebuah perkawinan.

Konsekwensi Perkawinan yang tidak dicatat oleh Pemerintah.

Perkawinan yang tidak dicatat oleh pemerintah yaitu tidak

melalui KUA yang disebut dengan nikah di bawah tangan, akan

membawa dampak negatif, atau membawa akibat buruk terhadap anak,

harta, perempuan, dengan salah satu pasangan dari suami-isteri bila

terjadi perceraian, bahkan sejak terjadinya perkawinan.

Pencatatan perkawinan oleh pemerintah di samping

mempunyai kekuatan hukum, karena terdapat bukti bahwa telah terjadi

perkawinan, juga merupakan publikasi perkawinan. Dengan

diumumkannya pernikahan, maka tidak akan lahir prasangka buruk

terhadap sepasang lelaki dan perempuan yang dilihat sedang berduaan

46 M. Atho’ Mudzhar dan Khaeruddin Nasution (Editor), Hukum

Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 211.

Page 85: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

64

atau bermesraan. Juga akan hilang hak-hak masing-masing jika

seandainya terjadi perceraian, baik cerai mati, maupun cerai hidup

dengan talak, khulu' atau fasakh, bila tidak ada kejujuran di antara

pasangan yang bercerai.

Dengan pencatatan perkawinan oleh yang berwenang dari

pemerintah, hak anak yang dilahirkan akan menjadi jelas, karena dapat

diketahui siapa orang tuanya.

Menurut M. Quraish Shihab, bisa dibayangkan apa yang

terjadi jika suami meninggal dunia tanpa ada bukti tentang

pernikahannya dengan seorang perempuan. Ketika itu hak waris isteri

yang sah dan anaknya akan hilang. Bisa juga jika terjadi perceraian

hidup, sang suami mengingkari hak-hak isteri menyangkut nafkah atau

harta bersama mereka. Demikian agama menetapkan perlunya saksi

dalam terlaksananya pernikahan, atau paling sedikit adanya

pengumuman tentang pernikahan tersebut.47

Dalam hukum Islam (fiqh) tidak menyebutkan secara rinci

atau tersurat bahwa pencatatan perkawinan merupakan salah satu

syarat sahnya perkawinan, tetapi hanya menyebutkan ketentuan umum

bagi syarat sah perkawinan, yaitu adanya calon mempelai laki-laki dan

perempuan, adanya dua orang saksi. wali, ijab-kabul dan mahar.

Walau demikian. bukan berarti hukum Islam menafikan adanya

pencatatan perkawinan, karena pencatatan tersebut mendatangkan

mashlahat bagi masing-masing pasangan suami-isteri. harta bersama

dan anak dari hasil perkawinan. Tujuan dari Shari'at Islam

adalah mendatangkan mashlahat dan menghindarkan (مقاصد الشریعة)

bahaya Karena perkawinan yang tidak dicatat oleh pemerintah menimbulkan

madharat, kepada isteri, anak dan harta perkawinan/harta bersama,

maka pencatatan perkawinan oleh pemerintah menurut hukum Islam

47 M. Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 216.

Page 86: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

65

dapat dipandang sebagai masalah darurat. Ketentuan umum bagi

sahnya suatu perkawinan yang telah disebutkan di atas adalah hasil

ijtihad, karena tidak disebutkan secara rinci dalam Al Quran dan

Hadis. Hukum yang ditetapkan berdasarkan ijtihad dapat berubah

sesuai dengan kondisi, selama perubahan hukum itu untuk

kemashlahatan dan tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadis,

atau maqashid syari'ah. berdasarkan qaidah fiqhiyyah.

"Hukum dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan zaman". Atas dasar itulah sehingga MUI menyampaikan pernyataan

dan ajakan kepada umat Islam Indonesia, agar dalam melaksanakan

perkawinan, tetap berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum yang

telah ditetapkan oleh Negara, yaitu mengacu pada Undang-undang

Perkawinan No I. tahun 1974.48

Dalam Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia,

sangat jelas mengharuskan adanya pencatatan perkawinan demi

terjaminnya ketertiban dan mencegah terjadinya persengketaan tanpa

penyelesaian. Hal ini berlaku juga pada hampir di seluruh negara

berpenduduk mayoritas muslim.

Pada abad 20 salah satu fenomena yang muncul di dunia

Islam adalah adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (perkawinan,

perceraian dan warisan) di Negara-negara berpenduduk mayoritas

muslim. Turki misalnya melakukannya pada tahun 1956, Mesir 1920,

Iran 1931, Syiria 1953, Tunisia 1956, Pakistan 1961 dan Indonesia

1974.49

48 MUI, Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta : Depag RI, 2003), 163, 164. 49 M. Atho’ Muzdhar dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga di

Dunia Islam Modern, 1

Page 87: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

66

Adapun cara yang dipergunakan untuk pembaharuan itu

bermacam-macam. Ada yang bersifat kodifikasi. dan ada yang bersifat

pengaturan administrasi. Jika Undang-undang tentang hukum keluarga

di dunia Islam pada abad ke 20 itu kita cermati, sedikitnya ada 13

masalah yang mendapat perhatian, di antaranya adalah masalah

pendaftaran dan pencatatan perkawinan.50

Adapun 13 (Tiga belas) masalah tersebut adalah :

1. Pembatasan umur perkawinan

2. Masalah peranan wali

3. Masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan

4. Masalah maskawin dan biaya kawin

5. Masalah poligami

6. Masalah nafkah

7. Masalah talak dan cerai

8. Masalah hak-hak wanita yang dicerai

9. Masalah masa hamil dan akibat hukumnya

10. Masalah pemeliharaan anak

11. Masalah hak waris anak

12. Masalah wasiat

13. Masalah keabsahan dan pengelolaan wakaf keluarga.51

Salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan yang dapat

menghilangkan hak-haknya adalah nikah yang tidak dicatat, atau nikah

di bawah tangan. Pencatatan nikah memperkuat kesaksian dan

publikasi suatu pernikahan yang dianjurkan oleh syari'at Islam. Nabi

Muhammad SAW bersabda :

50 M. Atho’ Muzdhar dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga di

Dunia Islam Modern, 208, 209 51 M. Atho’ Muzdhar dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga di

Dunia Islam Modern, 209.

Page 88: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

67

52

Artinya:"Umumkan perkawinan dan jadikanlah akad nikah itu di masjid, serta pukullah rebana” (HR. at-Tirmidzi melalui Aisya ra)

Oleh karena itu pula, siapa yang diundang ke walimah al-'urs

(pesta pernikahan), maka ia sangat dianjurkan untuk menghadirinya.

Jika dia tidak berpuasa, maka hendaklah dia makan dan bila berpuasa

cukup mengahadirinya saja.

Ini bukan saja untuk menampakkan kegembiraan dengan

terjalinnya hubungan pernikahan itu, tetapi juga untuk menjadi saksi,

sehingga dapat menampik sekian banyak isu negatif yang boleh jadi

muncul, atau penganiayaan yang dapat terjadi atas salah satu pasangan.

Sering terjadi hubungan seks di luar pernikahan dengan dalih nikah

sirri atau nikah di bawah tangan. Meskipun nikah di bawah tangan itu

kelihatannya serupa dengan perkawinan yang dicatat, tetapi pada

hakikatnya ia tidak sejalan dengan perkawinan yang sah menurut

ketentuan yang telah ditetapkan oleh agama dan negara.

Berhubungan dengan banyaknya madharat yang ditimbulkan

oleh perkawinan di bawah tangan, maka perkawinan harus dicatat oleh

pejabat yang berwenang yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dalam

hal ini adalah KUA.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pencatatan

nikah pada pejabat/pegawai pencatat nikah, dapat difikihkan dan dapat

digolongkan sebagai salah satu bentuk hukum fikih Islam kontemporer

dan hukum fikih Indonesia, karena hal ini demi kemaslahatan bagi

orang-orang yang melakukan akad dan anak-anaknya. Tujuan syariat

Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Menurut Imam al Ghazali,

bahwa pada prinsipnya, mashlahah adalah mengambil manfaat dan

52 Jalaluddin al Suyuty, al Jami’ al Saghir, (Bairut – Libnan; Dar al Kutub al Ilmiyah, t.th.), Jilid II,. 47, 48.

Page 89: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

68

menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan

syara’.53 Secara terminologi, terdapat beberapa definisi maslahah yang

dikemukakan oleh ulama Usul Fikih, tetapi semua definisi yang

mereka kemukakan mengandung esensi yang sama.54

f. Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami, akan tetapi

tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami,55 selama hukum

agamanya mengizinkannya.56

Hukum Islam pada dasarnya menganut prinsip monogami,57

karena bagi orang yang hendak menikah lebih dari satu, disyaratkan

agar dapat berbuat adil dan mampu membiayai para istri dan anak-

anaknya.58

Menurut Mahmud Shaltut Mantan Shekh al-Azhar di Mesir,

hukum poligami adalah mubah, yakni dibolehkan selama tidak

dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para isteri. Jika

terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya

penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa

yang dikhawatirkan itu, dianjurkan agar mencukupkan beristeri satu

orang saja. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kebolehan

berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan ketiadaan

kekhawatiran "akan terjadinya penganiayaan59 yaitu penganiayaan

terhadap para isteri dan anak-anaknya,60 karena beban nafkah

53 Al Ghazali, al Mustasfa Fi Ilm al Usul, (Bairut: Dar al Kutub al

Ilmiyyah, 1983), Jilid I, 286. 54 Nasrun Haroen, Usul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), cet

III, 114. 55 Poligami ialah mengawini beberapa lawan jenis di waktu yang

bersamaan. Berpoligami, menjalankan (melakukan) poligami. Poligami, sama dengan poligini, yaitu mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama – Lihat : Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pusataka, 1988), cet. I, 693.

56 Pembahasan tentang poligami dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat pada pasal 3, 4 dan 5.

57 Monogami adalah system yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu – Lihat : Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 591.

58 Lihat q.s. al-Nisa/4 : 3. 59 Prof. DR. Mahmud Shaltut, Islam Aqidah wa Shari’ah, (Mesir: Dar al-

Qalam, 1966), cet. III, 269. 60 Lihat : Al-Shafi’i, Ahkam Al-Qu’an, (Beirut-Libnan: Dar al-Kutub al-

Islamiyyah, 1400 H / 1980 M), jilid I, 180

Page 90: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

69

bertambah, akibatnya suami berbuat zalim dan tidak adil kepada para istri

dan anak-anaknya.

Zamahshari dalam kitabnya tafsir al-Kashshaf mengatakan,

bahwa poligami menurut syari'at Islam adalah merupakan suatu rukhshah

(kelonggaran) ketika darurat. Sama halnya dengan rukhshah bagi musafir

dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa ramadhan ketika dalam

perjalanan. Darurat yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan tabiat laki-

laki dari segi kecendrungannya untuk bergaul lebih dari seorang isteri.

Kecenderungan yang ada pada diri seseorang laki-laki itulah seandainya

syari'at Islam tidak memberikan kelonggaran berpoligami, niscaya akan

membawa kepada perzinaan, oleh sebab itu poligami diperbolehkan dalam

Islam.61

Dasar hukum poligami disebutkan dalam surah al-Nisa' ayat 362

Dalam ayat ini disebutkan, bahwa para wali yatim boleh mengawini

perempuan yatim asuhannya dengan syarat harus adil,63 yaitu harus

memberi mas kawin kepadanya sebagaimana ia mengawini wanita lain.

61 Muhammad al-Bahy, al-Islam wa Tijah al-Mar’ah al-Mu’ashirah, (Mesir:

Maktabah Wahbah, 1978), 42. 62

)3( Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, (Saudi Arabia: Khadim al-Haramain al-Sharifain, t.th), 115

63 Adil menurut istilah para fuqaha adalah meninggalkan dosa-dosa besar, tidak terus menerus melakukan dosa kecil dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang buruk seperti makan dan kencing di jalan. Ada pula yang mengatakan, bahwa adil adalah netral dan konsisten serta cenderung kepada yang hak / kebenaran. Lihat : Al Jurjani, al-Ta’rifat, (Bairut-Libnan: Dar al-Kutub al ‘Ilmiyah, 1424 H / 2003 M), cet. II, 150.

Page 91: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

70

Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ketika ditanya oleh Urwah bin al-

Zubair RA mengenai maksud ayat 3 surah al-Nisa itu, 64

Sehubungan dengan maksud tersebut, Shekh Muhammad Abduh

mengatakan : Haram berpoligami, bagi seseorang yang merasa khawatir

akan tidak berlaku adil65

Jadi maksud ayat 3 surah al-Nisa’ itu, boleh kamu mengawini

perempuan yatim dalam asuhanmu dengan syarat adil. Bila tidak dapat

demikian, hendaklah kamu memilih perempuan yang lain saja. Sebab

perempuan selain perempuan yatim yang dalam asuhanmu banyak

jumlahnya dan kamu boleh kawin sampai empat isteri dengan syarat

mampu berbuat adil. Bila dengan kawin empat kamu tidak dapat berbuat

adil, maka kawinlah seorang perempuan saja,66 yaitu kawin monogami.

Nabi Muhammad SAW. selama menikah dengan Khadijah

tidak berpoligami. Beliau monogami selama ± 27 tahun. Setelah

meninggal Khadijah dan pada waktu itu setelah hijrah ke Madinah terjadi

peperangan melawan orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin,

banyak janda para Shuhada’. Beliau poligami dengan janda-janda

pahlawan Islam yang gugur dalam peperangan demi menghibur mereka.

Adapula di antara isteri beliau yang berjumlah 9 orang itu, adalah kawin

karena politik atau dakwah seperti Juwairiyah puteri dari pimpinan orang

kafir yang dalam peperangan ia ditawan oleh kaum muslimin, lalu ia

masuk Islam, kemudian dibebaskan oleh Nabi dan dinikahinya. Setelah

Nabi menikahinya, keluarga dan kaumnya semua masuk Islam. Jadi Nabi

berpoligami hanya untuk menghibur janda para Shuhada’ dan kawin karena

politik dan dakwah. Hal ini dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW

mempunyai 9 isteri, semuanya janda kecuali Aishah yang gadis.67 Allah

SWT memperbolehkan poligami dengan syarat harus adil. Mengenai

64 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1990), 16. 65 Muhammad al-Bahy, al Islam wa Tijah al Mar’ah al Mu’asirah,, 45 66 Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam

Kontemporer, (Bandung: Angkasa, 2005), cet. I, 150. 67 Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam

Kontemporer, 150.

Page 92: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

71

keadilan ini, bila dikaitkan dengan firman Allah dalam surah an-Nisa' ayat

129,68 yang mengatakan bahwa para suami tidak akan bisa berlaku adil

terhadap para istrinya,

Karena itu janganlah para suami terlalu cenderung kepada yang

mereka cintai, sehingga mereka biarkan yang lain terkatung-katung",

menunjukkan bahwa poligami dibolehkan sesuai dengan syarat yang telah

dikemukakan di atas yaitu mampu berlaku adil. Dengan demikian, antara

ayat 3 dan ayat 129 surah an-Nisa’ tidak terdapat pertentangan. Keadilan

yang dimaksud pada ayat 3 tersebut adalah keadilan lahiriyah yang dapat

dikerjakan oleh manusia, bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang.

Adil yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang seperti tercantum

dalam ayat 129 surah an-Nisa’ itu adalah adil dalam cinta dan kasih

sayang, atau adil hati dan jima.69

Ini memang logis, adil yang semacam ini jarang terjadi, sebab

gairah untuk memberikan nafkah batin tidak selalu ada. Asalkan perbuatan

itu tidak disengaja, maka itu tidak berdosa.

Meskipun poligami dibolehkan dalam Islam, tetapi hanya dalam

keadaan terpaksa atau darurat. Muhammad Rashid Rida mencantumkan

beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain:

1) Isteri mandul

2) Isteri mempunyai penyakit dapat menghalangi suaminya memberikan

nafkah batin.

3) Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa, sehingga isterinya

haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat serong.

68

Artinya: “sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu,

walaupun kamu ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

69 Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, 152.

Page 93: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

72

4) Bila suatu daerah yang jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-

laki sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita

yang berbuat serong.70

Islam membolehkan adanya poligami dengan syarat adil, bukan

untuk menghidup suburkan tirani dan dominasi kaum laki-laki dan

perbudakan atas perempuan, tetapi sebagai jalan keluar dari kesulitan yang

dialami oleh keluarga.71 Sehubungan dengan ini Mutahhari mengatakan,

bahwa poligami bukan penghancuran perkawinan, tetapi merupakan

sumber perlindungan bagi monogami, karena dengan diperbolehkannya

poligami, maka berbagai bentuk penyelewengan laki-laki (suami) dengan

affair-affair cinta terselubung yang akan mengancam perkawinan dapat

diatasi.72

Kalau suami tidak berlaku adil kepada istrinya, berarti ia tidak

mu’asharah bi al-Ma’ruf kepada istrinya, sebagaimana diperintahkan

Allah dalam Al Quran surah al-Nisa’ ayat 19.

70 Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (al-Qahirah: t.p., t.th), Jilid IV, 350 71 Isnawati Rais, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: BALITBANG,

2006), 125 72 Surah An-Nisa Ayat 19 yaitu :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Page 94: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

73

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kalau beristri lebih

dari satu (berpoligami), menurut Hukum Islam, harus memenuhi berbagai

persyaratan, baik formal,73 maupun materiil,74 demi mewujudkan

kemaslahatan rumah tangga dan kebahagian keluarga. Dengan demikian

maka ketentuan untuk berpoligami yang disebutkan dalam UU No. 1

tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan adalah diadopsi dari ketentuan

Shariah dan Hukum Islam.

2. Syarat-syarat Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan terdapat pada pasal 6 s/d pasal 12.

Berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan disebutkan juga dalam

KHI Buku I tentang perkawinan, tetapi dalam KHI Buku I tentang

Perkawinan tersebut digabungkan dengan rukun, dengan topik : “Rukun75

dan Syarat76 perkawinan” yaitu terdapat pada pasal 14 s/d pasal 29.

73 Syarat formal adalah keharusan suami yang hendak berpoligami itu mengikuti

prosedural yang ditentukan oleh UU No. I Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. Karena mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan atau peraturan lainnya yang ditetapkan oleh penguasa/pemerintah wajib hukumya di samping mematuhi perintah Allah dan Rasulnya, sebagaimana diperintahkannya dalam q.s. al-Nisa’/4 : 59 dan ketentuan qaidah fiqhiyah yang mengatakan :

“Keputusan/ketetapan pemerintah itu mengikat untuk dilaksanakan dan menghilangkan perbedaan pendapat”.

74 Syarat meteriil adalah kondisi ekonomi dan kemampuan suami yang hendak berpoligami itu secara fisik untuk melaksanakan kewajiban dan fungsi sebagai kepala keluarga. Kewajiban tersebut meliputi bidang yang cukup luas, mencakup penyediaan rumah tempat tinggal (Sukna), nafkah/biaya hidup setiap hari, pakaian (kiswah), perabot rumah tangga dan termausk pula biaya pengobatan para istri dan anak-anaknya. Di samping itu, suami juga mempunyai kemampuan untuk berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya, yang pada umumnya sulit dipenuhi dalam arti yang sebenarnya, terutama adil dalam cinta dan kasih sayang.

75 Rukun dalam istilah fikih adalah sesuatu menjadi sempurna dengan adanya rukun itu dan dia masuk dalam bagian sesuatu itu, seperti membaca fatihah dalam salat. Tidak sah salat tanpa baca fatihah, karena membaca fatihah termasuk salah satu rukun salat – Lihat : Ali al Jurjany al Ta’rifat, (Bairut-Libnan: Dar al Kutub al Islamiyah, 2003 H / 1424 H), cet. II, 115.

76 Syarat dalam istilah fikih adalah adanya sesuatu tergantung dengannya syarat itu, tetapi tidak termasuk dalam sesuatu itu, seperti berwudu’ sebagai syarat sahnya salat, tetapi tidak masuk dalam bagian salat – Lihat : Al Jurjany, al-Ta’rifat, 129.

Page 95: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

74

Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius di

kalangan para ahli fikih yang mengakibatkan timbulnya perbedaan

pendapat dalam menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang

tidak, bahkan dalam hal menentukan mana yang masuk rukun dan mana

yang masuk syarat, sebagian ulama memasukkan rukun sebagai syarat dan

adapula di antara mereka memasukkan syarat sebagain rukun. Hal ini

dapat dilihat pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada BAB

II, tidak memasukkan dalam BAB ini masalah rukun perkawinan, tetapi

hanya menyebutkannya sebagai syarat-syarat perkawinan, berbeda dengan

KHI Buku I tentang Perkawinan, menyebutkan rukun dan syarat

perkawinan secara bersamaan, pada hal substansinya sama.

Berkenaan dengan perbedaan pendapat di kalangan fuqaha dalam

menentukan rukun dan syarat nikah dapat dilihat pada pendapat mereka

tentang “ijab dan qabul” ketika akad nikah. Al Sayid Sabiq menyimpulkan

pendapat para fuqaha, bahwa rukun nikah terdiri dari “ijab dan kabul”.77

Abd. Rahman al Jaziry mengatakan, bahwa termasuk rukun dalam akad

nikah adalah “ijab dan kabul” tidak sah nikah tanpa “ijab dan kabul”.78

Menurut ulama Hanafiyah, rukun nikah, hanya “ijab dan kabul”. Menurut

jumhur ulama rukun nikah ada empat, yaitu : sighah (ijab dan kabul), istri

dan calon suami serta wali.79

Menurut ulama shafi’iyah, syarat nikah/perkawinan adalah sighah

(ijab dan kabul), wali, calon suami istri dan saksi. Sedangkan rukunnya

ada lima yaitu : calon suami istri, wali, dua orang saksi dan sighah (ijab

kabul). Menurut ulama Malikiyah, rukun nikah ada lima, yakni wali,

mahar, calon suami-istri dan sighah (ijab kabul).80

77 Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 29. 78 Abd. Rahman al Jaziry, Kitab al Fiqh ‘Ala al-Madhahib al-Arba’ah, 12. 79 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar

al-Fikr, 1409 H/1989 M), cet. III, Jilid VII, 36. 80 Abd. Rahman al Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘Ala al Madhahib al-Arba’ah, 12-13.

Page 96: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

75

Dari pendapat para fuqaha yang telah disebutkan di atas, jelas

kelihatan bahwa para fuqahah itu bukan hanya berbeda pendapat dalam

menggunakan kata rukun dan syarat, tetapi juga berbeda dalam

perinciannya. Ulama shafi’iyah menjadikan dua orang saksi sebagai rukun

nikah/perkawinan, sedangkan ulama Malikiyah tidak menjadikan saksi

sebagai rukun, karena menurut Malikiyyah sah nikah tanpa saksi jika saksi

berhalangan hadir, yang penting akad nikah yang dilaksanakan itu

diumumkan sebelum terjadi dukhul (percampuran) antara suami-istri.81

Perbedaan pendapat fuqaha dalam memposisikan apa yang disebut

rukun dan apa yang disebut syarat, juga kelihatan dalam UU No. 1 tahun

1974 dan KHI tentang Perkawinan.

Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak disebutkan

sighah ijab qabul dalam syarat perkawinan dan tidak pula dalam rukun

perkawinan, karena dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

tersebut tidak menyebutkan rukun perkawinan, padahal menurut Wahbah

al-Zuhaily, fuqaha sepakat mengatakan, bahwa sighah ijab qabul adalah

salah satu rukun nikah, karena dengan shighat itu terjalin ikatan antara satu

dengan yang lainnya dari dua orang yang melakukan akad.82

Mengingat perkawinan pada dasarnya merupakan ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri berdasarkan

akad nikah, maka perlu dipersyaratkan adanya persetujuan kedua calon

mempelai. Wahbah al Zuhaily mengatakan bahwa persetujuan kedua

mempelai termasuk salah satu syarat nikah.83 Hal ini telah diadopsi oleh

81 Alasan Imam Malik dalam pendapatnya, bahwa sah nikah tanpa saksi bila

saksi berhalangan, yang penting diumumkan sebelum dukhul adalah hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Ahmad disahihkan oleh Al Hakimdari Amir bin Abdillah bin Zubair dari ayahnya :

“Umumkan/publikasikan akad nikah” (lihat : Al-San’any, Subul al-Salam (al-Qahirah: Dar al Hadis, 1425 H / 2004M), Jilid III, 159.

82 Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, 36. 83 Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, 36.

Page 97: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

76

UU No. 1 tahun 1974 pada pasal 6 ayat (1), dan KHI tentang Perkawinan

pada pasal 16 ayat (1).

Selanjutnya berkenaan dengan pembatasan usia bagi yang hendak

menikah, minimum 19 tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon

istri, menurut UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan,84 hal ini

guna kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.

Dalam hal syarat batas usia minimum tidak terpenuhi, maka untuk

berlangsungnya perkawinan harus terlebih dahulu memperoleh dispensasi

dari pengadilan.

Pada dasarnya, hukum fikih Islam tidak memberikan batasan usia

minimal pernikahan secara definitif. Usia kelayakan pernikahan adalah

usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyah85 al ada’ wa al wujub),

sebagai ketentuan Sinn al rushd (usia dewasa)86.

MUI telah memfatwakan berkenaan dengan perkawinan di bawah

umur sebagai berikut :

a. Pernikahan usia dini hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya

syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika mengakibatkan mudharat.

b. Kedewasaan usia merupakan salah satu indikator bagi tercapainya

tujuan pernikahan, yaitu kemaslahatan hidup berumah tangga dan

bermasyarakat serta jaminan keamanan bagi kehamilan.

c. Guna merealisasikan kemaslahatan, ketentuan perkawinan

dikembalikan pada standardisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam

UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai pedoman.87

84 Lihat UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat (1), dan KHI

tentang Perkawinan pasal 15 ayat (1). 85 Ahliyah adalah ibarat tentang kelayakan seseorang untuk menerima hak, atau

memikul kewajiban. Jadi Ahliyah al Ada’ adalah kelayakan/kecakapan berbuat. Sedangkan Ahliyah al wujub adalah kelayakan/kecakapan menerima hak – Lihat : Ali al Jurjany, Al-Ta’rifat, 43

86 Lihat : q.s. al-Nisa’ / 4 : 6 87 MUI, Hasil-hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III, (Padang

Panjang: Tim Materi Ijtima’ Ulama, 1430 H/2009 M), 16, 17

Page 98: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

77

Adapun dampak perkawinan dini, atau di bawah umur,88 hasil

penelitian menunjukkan, bahwa perkawinan dari pasangan yang belum

mencapai tingkat kedewasaan fisik dan mental merupakan salah satu

faktor penyebab kegagalan perkawinan.89 Di samping itu perkawinan di

bawah umur ini membawa pengaruh yang amat besar terhadap kesehatan

ibu dan anak, seperti tingginya angka kematian ibu, bayi dan anak serta

kecacatan mental. Perkawinan di bawah umur/perkawinan dini banyak

mengalami kegagalan dalam membina rumah tangga menuju keluarga

bahagia dan sejahtera. Hal ini disebabkan suami dan istri yang masih

berusia muda, segi emosi anaknya lebih menonjol dibandingkan dengan

pemikiran dan pertimbangan akalnya yang sehat. Kondisi kejiwaan yang

demikian itu mengakibatkan kekurang-mampuan dalam pengendalian diri,

kesulitan dalam mewujudkan saling pengertian yang mengakibatkan

terjadinya konflik antara suami istri yang mereka sendiri belum dapat

mengatasinya, sehingga menimbulkan akibat yang lebih fatal, yaitu

terjadinya perceraian.90

Jika perkawinan itu telah menghasilkan keturunan, maka akibatnya

tidak hanya menimpa suami atau istri, tetapi juga menimpa anak-anak dan

putusnya hubungan kekeluargaan dari dua keluarga besar yang sudah

terjalin dengan perkawinan.

88 Perkawinan di bawah umur, ialah perkawinan yang terjadi pada pasangan

yang belum mencapai tingkat kedewasaan fisik dan mental. Kematangan fisik pada umumnya terjadi pada umur 17 tahun. Kematangan emosional pada umur 21 tahun. Kematangan berfikir pada umur 16-18 tahun – Lihat : MUI dan UNICEF, Ajaran Islam dan Penanggulangan Perkawinan Usia Muda, (Jakarta: Dewan Pimpinan MUI, 1411 H/ 1991 M), 49.

89 Lihat MUI dan UNICEF, Ajaran Islam dan Penanggulangan Perkawinan Usia Muda, 49.

90 Pada dasarnya agama Islam mencegah terjadinya perceraian walaupun perceraian itu dibolehkan sebagai salah satu jalan penyelesaian dari kemelut rumah tangga yang tidak teratasi. Nabi Muhammad SAW menegaskan dalam sabdanya :

“”

“Halal yang paling dibenci Allah ialah talak (perceraian), (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan al Hakim dari Ibnu Umar) – Lihat : Jalaluddin al-Suyuti, al Jami’ al Saghir, 4.

Page 99: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

78

Dengan adanya perceraian itu, anak-anak terombang-ambing oleh

perilaku ayah dari ibunya yang tidak lagi rukun dalam merawat dan

membina mereka dalam suatu keluarga yang damai dan sejahtera. Mereka

kehilangan kasih sayang, kehilangan tempat mengadu dan berlindung.

Sebaliknya perkawinan usia dewasa, dimana suami dan istri telah

mempunyai kedewasaan jasmani dan rohani, kematangan fisik dan mental,

pemikiran dan pertimbangan yang sehat lebih menonjol dari pada

emosionalnya. Kondisi ini memungkinkan suami dan istri mempunyai

kemampuan untuk memelihara dan membina rumah tangga melalui

musyawarah dan saling pengertian. Itulah sebabnya, kedewasaan jasmani

dan rohani mutlak diperlukan untuk memasuki gerbang perkawinan

sebagai cikal bakal bagi terbentuknya keluarga sakinah,91 mawaddah92 wa

rahmah,93 keluarga bahagia dan sejahtera, yang menjadi tujuan

perkawinan. Oleh sebab itu ketentuan umur minimalnya, boleh menikah

yang disebutkan dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan

tidak bertentangan dengan hukum fikih Islam dan ini sudah menjadi

hukum fikih Indonesia, karena dalam fikih Islam tidak menetapkan batas

91 Kata al Sakinah berarti ketenangan – lihat : al Majma’ al Lughah al Arabiyah,

al Mu’jam al Wasit, (Mishr: Dar al Ma’arif, 1392 H / 1972 M), jilid I, h. 440- Menurut M. Quraish Shihab, bahwa kata “sakinah” tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan ketenangan dan ketentraman setelah sebelumnya ada gejolak, apapun bentuk gejolak tersebut. Cinta yang bergejolak didalam hati dan diliputi oleh ketidak pastian, yang mengantar kepada kecemasan akan membuahkan sakinah atau ketenangan dan ketentraman hati bila dilanjutkan dengan perkawinan-lihat : M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 80,81

92 Kata Mawadah menurut M. Quraish Shihab, adalah cinta plus yang sejati, karena di dalam hati yang mencintai bersemai mawaddah tidak bagimemutuskan hubungan, seperti yang terjadi pada yang bercinta. Ini disebabkan oleh karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir danbatin yang mungkin datang dari pasangannya-lihat : M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran, 88,89

93 Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidak berdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberlakukan pemberdayaan. Karena itu dalam keluarga, masing-masing suami istri akan sungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya.-lihat : M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran, 91.

Page 100: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

79

usia minimal untuk menikah bagi pria dan wanita, tetapi dari sisi maslahat

menurut Usul fikih, hal ini sesuai dengan maqasid al shari’ah”.

Mengenai larangan perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan disebutkan dalam pasal 8 sebagai berikut : Perkawinan

dilarang antara dua orang yang :

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke

atas (vertikal).

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

seorang saudara dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan

saudara neneknya (horizontal).

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak

tiri.

d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan saudara

susuan, dan bibi/paman susuan.

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan

dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku, dilarang kawin.

Larangan perkawinan ini disebutkan pula dalam KHI tentang

perkawinan pasal 70. sub D dan pasal 7 sub B, dengan istilah batalnya

perkawinan dalam Bab XI, sama dengan istilah dalam UU No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan.

Berkenaan dengan larangan perkawinan tersebut dinyatakan dalam

QS. al-Nisa’ : 23, 24.94

94

Page 101: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

80

Perempuan yang dilarang untuk dinikahi menurut fikih Islam

disebut mahram.95

Tidak semua wanita boleh dikawini oleh seorang pria, tetapi

syarat wanita yang boleh dikawini hendaklah dia bukan orang yang haram

bagi pria yang akan mengawininya, baik haramnya untuk selamanya96

ataupun untuk sementara97.

Adapun wanita-wanita yang haram selamanya dinikahi

disebabkan karena nasab, karena perkawinan dan karena susuan. Hal ini

sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Nisa : 23

1) Perempuan yang haram untuk dinikahi karena nasab, yaitu :

Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang

perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Demikian (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

95 Mahram ialah orang perempuan atau laki-laki masih termasuk sanak dekat sehingga tidak boleh menikah di antaranya. Mahram juga berarti orang laki-laki yang dianggap dapat melindungi wanita yang akan melakukan ibadah haji, suami, anak laki-laki, dan sebagainya. Lihat : Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,h. 543 – Lihat pula : Majma’ al-Lughah al’Arabiyyah, Al Mu’jam al Wasit,(Misr: Dar al Ma’arif, 1392 / 1972 M), jilid I, 169.

96 Wanita yang haram selamanya dinikahi, yaitu perempuan yang tidak boleh dikawini oleh pria sepanjang masa. Lihat : Wahbah al Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuhu, 130.

97 Wanita yang haram sementara, yaitu wanita yang tidak boleh dikawini selama waktu tertentu dan dalam keadaan tertentu. Bilaman keadaannya sudah berubah haram sementaranya hilang dan menjadi halal untuk dinikahi. Lihat Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 61.

Page 102: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

81

a) Ibu98 kandung

b) Anak perempuan99

c) Saudara perempuan100

d) Bibi dari pihak ayah101

e) Bibi dari pihak ibu102

f) Anak perempuan saudara laki-laki

g) Anak perempuan saudara perempuan103

2) Perempuan yang haram selamanya karena perkawinan :

a) Ibu istri,104

Haramnya menikahinya ini tidak disyaratkan adanya persetubuhan

atau tidak, tetapi semata-mata karena telah terjadi perkawinan.

b) Anak tiri105

Berdasarkan firman Allah dalam QS. al-Nisa : 23.106

98 Yang dimaksud dengan ibu yaitu perempuan yang melahirkan kamu.

Termasuk dalam pengertian ibu yaitu ibu sendiri, ibunya ibu, neneknya ibu, ibunya bapak, neneknya bapak dan terus ke atas.

99 Anak perempuan maksudnya semua anak perempuan yang kau lahirkan atau cucu perempuan dan terus ke bawah. Termasuk dalam pengertian anak perempuan yaitu anak perempuan anak kandungmu dan anak-anak perempuannya.

100 Saudara perempuan maksudnya semua perempuan yang lahir dari ibu bapak kamu atau dari salah satunya.

101 Bibi dari pihak ayah maksudnya semua perempuan yang jadi saudara ayahmu atau datukmu baik yang lahir dari kakek dan nenekmu maupun dari salah satunya. Adakalanya bibi perempuan dari pihak ibu yaitu saudara perempuan bapaknya ibu kamu.

102 Bibi dari pihak ibu maksudnya semua perempuan yang menjadi saudara ibu kamu dari nenek dan kakek kamu salah satunya. Terkadang ada juga saudara perempuan ayah yaitu saudara perempuan dari ibunya ayahmu.

103 Anak perempuan saudara laki-laki yaitu anak perempuan saudaramu laki-laki baik sekandung maupun tiri. Termasuk juga dalam pengertian ini anak perempuannya saudara perempuan.

Penjelasan catatan kaki No. 88 s/d 93 lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 62, 63.

104 Yang termasuk dengan ibu istri, neneknya daripihak ibu, atau daripihak ayah dan terus keatas. Inilah yang dimaksud dalam surah An-Nisa’ : 23 وأمھا ت نسائكم" ” dari ibu-ibu istrimu (Q.S. al-Nisa : 23)

105 Yang dimaksud dengan anak tiri yang haram dinikahi adalah perempuan yang ibunya sudah digauli. Termasuk dalam pengertian ini anak perempuan dari anak perempuan tirinya, cucu-cucu perempuannya dan terus ke bawah, karena mereka termasuk dalam pengertian anak perempuan dari istrinya.

106

Page 103: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

82

Anak tiri perempuanmu maksudnya anak istri kamu dari

perkawinanya dengan laki-laki lain. Anak tiri ini dinamakan oleh

Al Quran sebagai “Rabibah” karena laki-laki tadi mendidik dan

memelihara sebagaimana ia mendidik dan memelihara anaknya

sendiri.107 Sedangkan firman Allah dalam surah al Nisa’ : 23 yang

menyebutkan :

“yang dalam pemeliharaanmu”, adalah menerangkan

kebiasaan yang berlaku dari anak tiri yaitu biasanya ia ikut ke

rumah bapak tirinya, dan bukan berarti ayat tersebut menunjukkan

pembatasan bahwa anak tiri yang tidak ikut diurus oleh bapak

tirinya lalu boleh dikawini olehnya sesudah bercerai dengan

ibunya. Tetapi menurut Mazhab Zahiri ayat tersebut sebagai

pembatasan. Jadi anak tiri yang tidak ikut diurus oleh ayah tirinya

boleh dikawininya. Pendapat seperti ini diriwayatkan juga dari

beberapa orang sahabat,108 berdasarkan riwayat Anas bin Malik,

bahwa ia pernah bertanya kepada Ali bin Abi Talib tentang makna

firman Allah surah al Nisa’ : 23 :

“Dan anak-anak tirimu perempuan yang ada dalam tangan kamu”.

Lalu katanya : apakah ia ada dalam asuhannya?. Larangan tersebut

berlaku jika anak tirimu perempuan ada dalam asuhanmu.

Artinya:”Dan anak tiri perempuan kamu yang dalam pemeliharaanmu, dari istri

yang telah kamu gauli, jika kau belum menggauli mereka, maka tidaklah salah bagimu kawin dengannya”.

107 Lihat : Majma’ al Lughah al’Arabiyah, al Mu’jam al Wasit, 321. Lihat pula : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa adilatuhu, 133.

108 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, 133.

Page 104: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

83

Jumhur Ulama menolak pendapat ini, karena Hadis ini daif, yang

diriwayatkan oleh Ibrahim bin ‘Ubaid dari Anas bin Malik dari Ali

bin Abi Talib.

Ibrahim ini tidak dikenal. Sedang kebanyakan ulama menolak dan

memperselisihkannya.109

c) Istri anak kandung,110 sebagaimana firman Allah :

“Dan istri-istri anak kandung kamu”. (Q.S al-Nisa : 23)

d) Ibu tiri.

Diharamkan anak mengawini ibu tirinya111 karena

perkawinannya dengan ayahnya, sekalipun belum pernah

digaulinya.

Kawin dengan ibu tiri ini oleh Allah diterangkan

keburukannya dalam semua segi. Allah menyebut perbuatan

tersebut termasuk dengan perbuatan keji (فاحشة) mengisyaratkan

pada keburukannya menurut akal, juga disebutkan Allah sebagai

perbuatan yang keji (ومقتا), menunjukkan tingkat keburukannya

menurut agama. Sedangkan firman Allah yang mengatakan bahwa

menikahi ibu tiri adalah “jalan yang paling buruk” (وساء سبیال),

menunjukkan tingkat keburukannya menurut adat.112

Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Muhammad bin Ka’ab,

bahwa pada zaman jahiliyah jika seseorang meninggal dunia, lalu

109 Lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, 64. 110 Yang termasuk mahram dari istri anak kandung adalah istri

cucunya, dan seterusnya ke bawah. 111 Q.S. al Nisa’ : 22

Artinya:"Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau, sungguh perbuatan ini sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

112 Lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, jilid II, 64, 65.

Page 105: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

84

meninggalkan istrinya, maka anaknya yang laki-laki jika ia mau, ia

lebih berhak untuk mengawininya, asalkan saja bukan ibu

kandungnya, atau jika ia mau, perempuan tadi (istri ayahnya)

dikawinkan dengan orang lain yang ia kehendaki.113

Tatkala Abu Qais bin Aslat meninggal, anaknya (Qais)

yang sudah beristeri menikahi bekas isteri bapaknya, dan tidak mau

memberikan belanja kepadanya serta memberikan hak waris sedikit

pun kepadanya. Lalu perempuan tadi datang kepada Nabi,

menceriterakan kepada beliau kejadian tersebut. Maka beliau

bersabda: Pulanglah, barangkali Allah akan menurunkan sesuatu

wahyu-Nya mengenai urusanmu. Lalu turunlah ayat 22 surah al-

Nisa’ : 114

Muhammad Shahrur dalam menafsirkan ayat 22 dan 23

surah al Nisa’ tersebut, ia mengatakan, bahwa keharaman menikahi

beberapa al aqarib, dalam keadaan apapun dan dengan alasan

apapun, perempuan-perempuan yang disebutkan dalam ayat 22 dan

23 al Nisa’ itu tidak boleh dinikahi. Ayat-ayat tersebut hanya

menunjuk pada batas minimal perempuan-perempuan yang tidak

boleh dinikahi. Artinya diluar itu bisa ditambahkan beberapa

kelompok perempuan yang tidak boleh dinikahi, seperti anak

perempuan, atau laki-laki dari bibi, atau paman karena alasan

tertentu meski tidak disebutkan dalam ayat tersebut.115

113 Al Sabuny, Rawai’ al Bayan, Tafsir Ayat al Ahkam, (Damsyiq:

Maktabah al Ghazaly, 1400 H/1980 M), jilid I, 449 114

Artinya:"Dan janganlah kamu kawin dengan ibu-ibu tiri kamu kecuali yang sudah terjadi di masa lalu karena ia merupakan perbuatan yang keji dan dibenci dan jalan yang paling buruk.

Lihat : Al Sabuny, Rawai’ al Bayan, Tafsir Ayat al Ahkam, jilid I, h. 449 dan- lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, h. 65.

115 Muhammad Syahrur, Al Kitab wa Al-Quran, Qira’ah Mu’asirah, (The Book and the Qur’an, Modern Reading), Damaskus : …, 453.

Page 106: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

85

Penafsiran Muhammad Sahrur tersebut berbeda dengan

penafsiran para ulama, karena mereka membatasi perempuan yang

tidak boleh dinikahi itu hanya pada yang disebutkan oleh Al Quran

dan ditambah dengan yang disebutkan oleh Hadis, bahwa tidak

boleh memadu antara seorang perempuan dengan bibinya dari

sebelah ayah dan ibu.116 Penafsiran Muhammad Shahrur tersebut

bertentangan dengan Al Quran dan Hadis.

Ulama Hanafiyah berpendapat, seseorang yang berzina de-

ngan perempuan atau menyentuhnya atau menciumnya, atau

melihat kemaluannya dengan bernafsu, maka haramlah baginya

kawin dengan ibu perempuan tersebut atau dengan anak-anaknya.

Begitu juga bagi perempuan tersebut haram kawin dengan

bapaknya laki-laki tadi atau anak-anaknya.117

Sebab menurut mereka haram kawin karena perzinaan

dikiaskan dengan haram karena perkawinan, dan disamakan

dengan hukum ini segala perbuatan-perbuatan yang ada

hubungannya dengan bersetubuh (seperti: pegang atau cium) dan

perbuatan-perbuatan yang mendorong untuk bersetubuh (seperti:

melihat dan sebagainya). Meskipun seorang laki-laki berzina

dengan ibu mertuanya atau dengan anak perempuan tirinya, maka

haramlah baginya untuk kawin dengan mereka selama-lamanya.

Tetapi Jumhur Ulama' berpendapat, bahwa Zina tidak

dapat menyebabkan haram sebagaimana dengan haramnya karena

perkawinan.118

116 Berkenaan dengan hal tersebut, Rasulullah bersabda :

“Tidak boleh dimadu antara seorang perempuan dengan bibinya dari sebelah ayah dan ibunya. (HR. al Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah).

117 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy Wa Adillatuhu, jilid VII, 133.

118 Alasan-alasan mereka sebagai berikut : Firman Allah:

Artinya : “Dan dihalalkan bagi kamu selain daripada itu”.

Page 107: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

86

3) Perempuan yang haram dinikahi selamanya karena susuan.

Diharamkan kawin karena susuan sebagaimana haramnya

karena nasab. Yang haram karena nasab: Ibu, anak perempuan, saudara

perempuan.119 bibi dari ayah, bibi dari ibu, anak perempuan dari saudara

laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan.120

Menurut ayat ini ibu-susu sama dengan ibu kandung.

Diharamkan bagi laki-laki yang disusui, kawin dengan ibu-susunya dan

dengan semua perempuan yang haram dikawininya dari pihak ibu-

kandung.

Yang haram dikawininya menurut ayat 23 surah al-Nisa :

Ayat ini menerangkan tentang perempuan-perempuan yang dihalalkan setelah disebutkan perempuan-perempuan yang diharamkan dan di sini tidak disebutkan bahwa zina merupakan salah satu sebab haramnya mengawini perempuan. Riwayat dari Aishah dan Ibnu Umar :

Artinya: ”Bahwa Nabi pernah ditanya tentang laki-laki yang telah berzina

dengan perempuan, kemudian ia ingin mengawini perempuan tersebut atau anak perempuannya. Maka sabdanya: "Barang haram tidak mengharamkan yang halal, dan yang mengharamkan perkawinan itu hanyalah karena perkawinan." (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi dari Ibnu Umar dan ‘Aishah). Hukum-hukum perkawinan yang diceritakan oleh para sahabat itu adalah yang perlu-perlu, sedangkan zina telah meluas, dan tentu agama tidak boleh berdiam diri saja, tetapi nyatanya tidak ada ayat Al Quran atau Sunnah, atau Hadis Sahabat yang memberikan penjelasan, padahal masa mereka masih dekat dengan zaman Jahiliyah dimana perbuatan zina meluas di kalangan mereka. Sekiranya ada salah seorang Sahabat yang faham bahwa masalah haram kawin karena perzinaan disebutkan di dalam shari'at atau ada sebab dan hikmah hukum yang menunjukkan demikian tentulah para Sahabat akan menanyakan hal itu kepada Nabi saw., dan akan banyak pula keinginan untuk meriwayatkan hal-hal yang bisa mengganggu mereka ini Secara hukum perempuan yang dizinai tidaklah dapat masuk dalam pengertian firash (tempat tidur), karena itu tidak dapat digolongkan pada haram karena perkawinan sebagaimana halnya kalau perempuan dicium tanpa maksud birahi. Lihat : Jalaluddin al Suyuty, al Jami’ al Saghir, jilid II, 204

119 Diriwayatkan oleh Ahmad, al Bukhary, Muslim, Abu Daud, al Nasa’i dan Ibnu Majah dari Aisyah, Rasulullah bersabda :

Artinya : “Diharamkan kawin dari susuan sebagaimana diharamkan kawin dari senasab” - Lihat : Jalaluddin al Suyuty, al Jami’ al Saghir, jilid I, 205

120 Lihat : Q.S. al-Nisa’ : 23.

Page 108: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

87

a) Ibu-susu, karena ia telah menyusuinya maka dianggap sebagai ibu

dari yang menyusu.

b) Ibu dari yang menyusui, sebab ia merupakan neneknya.

c) Ibu dari bapak-susunya, karena ia merupakan neneknya juga.

d) Saudara perempuan dari ibu-susunya, karena menjadi bibi susunya.

e) Saudara perempuan bapak-susunya, karena menjadi bibi susunya.

f) Cucu perempuan ibu-susunya, karena mereka menjadi anak

perempuan saudara laki-laki dan perempuan sesusuan dengannya.

g) Saudara perempuan sesusuan baik yang sebapak atau seibu atau

sekandung.

4) Perempuan yang haram di nikahi untuk sementara.

Adapun perempuan-perempuan yang haram (dilarang)

dinikahi untuk sementara, yaitu :

a) Memadu dua orang perempuan bersaudara.121

Diharamkan memadu antara dua perempuan bersaudara kandung

atau antara seorang perempuan dengan bibi dari ayahnya, atau

seorang perempuan dengan bibi dari ibunya.122

b) Istri orang lain atau mantan istri orang lain yang sedang menjalani

masa iddah.123

Diharamkan atas seorang laki-laki muslim mengawini istri orang

lain, atau mantan istri orang lain yang sedang iddah, karena

memelihara hak suaminya.124

121 Q.S. al Nisa’ : 23 122 Al Bukhary dan Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah berkenaan

dengan masalah tersebut : )أن النبي صلى اهللا علیھ وسلم نھى أن یجمع بین المرأة وعمتھا وبین المرأة وخالتھا(

Artinya : (Sesungguhnya Nabi SAW melarang memadu seorang perempuan dengan bibi dari ayahnya, atau dengan bibi dari ibunya). Lihat : Al San’any, Subul Al Salam, jilid III, 124.

123 Lihat : Q.S al-Baqarah : 228. Dalam UU Perkawinan Pasal 11 disebutkan, bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Masalah ini juga di sebutkan KHI Buku I Bidang Perkawinan pada pasal 151.

124 Lihat : Q.S. al-Nisa’ : 24

Page 109: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

88

c) Perempuan yang ditalak tiga kali

Perempuan yang telah ditalak tiga kali tidak halal bagi suaminya

pertama, sebelum ia dikawini oleh laki-laki lain125 dengan

perkawinan yang sah, kemudian cerai dengan suami yang kedua itu

karena sudah tidak dapat lagi didamaikan.

d) Orang yang sedang ihram

Orang yang sedang ihram, laki-laki atau perempuan haram (dilarang)

kawin, baik dilakukannya sendiri, atau diwakilkan dan dikuasakan

kepada orang lain. Kawinnya orang yang sedang ihram tidak sah126,

berdasarkan Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidhy

dari Usman bin Affan mengatakna bahwa, orang yang ihram tidak

boleh kawin dan mengawinkan.127

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak

disebutkan larangan menikah atau menikahkan bagi orang yang sedang

Ihram, laki-laki atau perempuan. Tetapi larangan untuk menikahi

perempuan istri orang lain, atau mantan istri orang lain yang sedang

menjalani masa ‘iddah disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan pada pasal 9 dan 11, sedangkan larangan bagi suami yang

pertama untuk menikahi mantan istrinya yang telah ditalak tiga sebelum

menikah dengan nikah yang sah dengan laki-laki lain disebutkan pada

pasal 10.

Larangan menikah dan menikahkan (menjadi wali) bagi orang yang

sedang dalam ihram haji atau umrah, disebutkan dalam KHI tentang

Perkawinan, pasal 54 ayat (1) dan (2).

3. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan

125 Q.S. al Baqarah : 230

126 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, 81. 127 Hadis tersebut adalah sebagai berikut :

“Orang yang ihram tidak boleh kawin dan mengawinkan” lihat : al San’any, Subul al Salam, jilid III, 168.

Page 110: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

89

Dalam fikih Islam tidak dikenal istilah pencegahan perkawinan.

Pencegahan perkawinan yang disebutkan dalam UU No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan Pasal 13 s/d pasal 21 merupakan fikih Indonesia,

karena pasal-pasal tersebut adalah hasil ijtihad para Ulama Indonesia

dengan pertimbangan maslahat. Ijtihad dan pertimbangan dari para ulama

Indonesia ini sesuai dengan tujuan shariat Islam (مقاصد الشریعة), karena

tujuan shariat Islam adalah untuk kemaslahatan, baik bagi perorangan,

maupun bagi kelompok, atau masyarakat. Hal ini merupakan sebuah upaya

efektif untuk menghindarkan terjadinya perkawinan yang terlarang karena

melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama.128 Pencegahan

perkawinan disebutkan juga dalam KHI buku I tentang perkawinan dari

pasal 60 s/d pasal 69, tetapi dalam KHI tentang Perkawinan tersebut

dikaitkan dengan perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan

perundang-undangan.129

Selanjutnya berkenaan dengan pembatalan perkawinan

disebutkan dalam UU No. 1 tahun 1974 pada pasal 22 s/d pasal 28, dan

KHI tentang perkawinan pasal 70 s/d pasal 76, hanya saja dalam UU No. 1

Tahun 1974 masalah pembatalan perkawinan tidak disebutkan secara rinci

seperti dalam KHI tentang Perkawinan.

Di dalam hukum fikih Islam pembatalan perkawinan disebabkan

karena, nikah al fasid130 dan nikah al batil131. kedua istilah tersebut,

meskipun berbeda tetapi hukumnya sama.

128 Christian Kohler menyatakan, bahwa Undang-undang Perkawinan No. I

Tahun 1974 memberikan peluang besar bagi mereka yang dapat menuntut pencegahan perkawinan, mencakup semua orang yang merasa berkepentingan. Lihat : J. Prins, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta Graha Indonesia, 1982), 51.

129 Lihat KHI Buku I tentang perkawinan Pasal 60. 130 Kata “fasid” menurut bahasa diambil dari akar kata “fasad” yang berarti

rusak dan batal. Lihat : Majma’ al Lughah al ‘Arabiyah, al Mu’jam al Wasit, Jilid II, h. 688. Sedangkan makna fasid menurut fuqaha (para ahli fikih) adalah sesuatu yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi tidak terpenuhi pada sifatnya, “fasid” adalah sinonim dari “batil” menurut Imam Shafi’i, lihat : Ali al Jurjany, al Ta’rifat, 168.

131 Kata “batil” menurut bahasa terambil dari akar kata “butlan” yang berarti hilang atau batal. Menurut istilah fuqaha adalah sesuatu yang tidak sah, sedangkan

Page 111: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

90

Menurut Abd. Rahman al Jaziry, nikah fasid adalah nikah yang

tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya. Sedangkan, nikah

bathil adalah nikah yang tidak terpenuhi rukunnya. Hukum nikah fasid dan

nikah batil hukumnya sama-sama tidak sah.132

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan,

nikah fasid dan nikah batil dimasukkan dalam pasal-pasal tentang

pembatalan perkawinan bukan pada pasal-pasal tentang pencegahan

perkawinan, karena tata pencegahan perkawinan lebih tepat digunakan

sebelum perkawinan berlangsung. Sedangkan kata pembatalan perkawinan

menunjukkan bahwa perkawinan telah berlangsung, lalu ditemukan

adanya pelanggaran ketentuan-ketentuan, baik syarat, atau rukun, maupun

perundang-undangan. Walaupun pencegahan dan pembatalan itu berbeda

maknanya, tetapi akibat hukumnya sama, yaitu tidak sahnya suatu

perkawinan.133

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 22

dikatakan, bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.134

Di antara syarat-syarat sahnya perkawinan adalah adanya wali

dan saksi dalam akad nikah.135 Jika tidak ada wali dan saksi, maka nikah

tidak sah. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

menurut istilah Ahli Usul Fikih, batil adalah sesuatu yang tidak sesuai tuntutan shar’i pada yang disyariatkannya, misalnya tidak terpenuhi salah satu rukunnya di antara rukun-rukun atau salah satu syarat di antara syarat-syaratnya, maka shari’ menghukumkannya tidak sah.

Lihat : Majma’ al Lughah al ‘Arabiyah, al Mu’jam al Wasit, Jilid I, 61 dan lihat pula : Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh, (Kuwait: Dar al Qalam, 1392 H/ 1972 M, cet. X, 125.

132 Abd. Rahman al Jaziry, Kitab al Fiqh ‘Ala al Madhahib al Arba’ah, 118. 133 Lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 52, 53 dan 61. 134 Dalam KHI tentang Perkawinan Pasal 14, disebutkan bahwa untuk

melaksanakan perkawinan harus ada : a. Calon suami; b. Calon istri; c. Wali nikah; d. Dua orang saksi; dan e. Ijab dan kabul.

135 Lihat : KHI tentang perkawinan pasal 14, 25, sedangkan dalam UUP No. 1 / 1974 mengenai wali dan saksi tidak disebutkan dalam syarat-syarat perkawinan.

Page 112: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

91

Menurut Ibnu Rushd dalam Bidayah al-Mujtahid, bahwa ulama

berbeda pendapat tentang hukum nikah tanpa wali136, atau akad nikah yang

ijabnya diucapkan sendiri oleh wanita yang akan menikah atau

mewakilkannya kepada seorang wanita. Mereka terbagi kepada empat

pendapat (mazhab).

Pertama: Pendapat Jumhur Ulama, Shafi'i, Malik dalam riwayat

Ashhab dan Ahmad bin Hanbal, bahwa tidak sah nikah tanpa wali

didasarkan pada argumentasi dalam Q.S. al Nur : 32, al Baqarah : 221 dan

232.137 dan Hadis Nabi SAW.

136 Menurut bahasa kata wali berasal dari bahasa Arab yang kata dasarnya

adalah, waliya-yaly, atau walayah, yang berarti “Nusrah” (pertolongan), mahabbah (cinta) dan “sultah” (kekuasaan dan kemampuan).

Lihat : Ibnu Manzhur, Lisan al Arab, h. 287, 407 dan 408. Lihat pula : Muhammad bin Ya’qub Fairuz Abady, al Qamus al Muhit, (Bairut : Dar al Fikr, 1995), 1209.

Sedangkan menurut istilah fikih, al walayah adalah kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang terhadap urusan orang lain tanpa tergantung pada izinnya. Lihat : Ahmad al Hashry, al Walayah, wa al Wasayah fi al Fiqh al Islamy al Ahwal al Syakhsiyyah, (Bairut: Dar al Jil, t.th.), h.1 dan lihat pula : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy Wa Adillatuhu, 29.

Dari pengertian di atas, baik pengertian menurut bahasa, maupun pengertian menurut istilah fikih, dapat disimpulkan, bahwa al Walayah (perwalian) adalah suatu bentuk perlindungan dengan penghargaan penuh atas dasar rasa tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan atas tidak kekuasaan atau ketidak mampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas hartanya atau hal yang berkaitan dengan dirinya.

Dimaksudkan dengan “al walayah” (perwalian) dalam pembahasan ini adalah perwalian dalam pernikahan.

137 1) Q.S al-Nur: 32

Artinya:"Nikahkanlah orang-orang yang tidak bersuami (tidak beristeri) daripadamu... ".

2) Q.S al-Baqarah: 221

Artinya:"...Janganlah Kamu menikahkan orang-orang musyrik sehingga mereka beriman ...".

3) Q.S al-Baqarah : 232

Artinya:"(Wahai para suami) apabila kamu menceraikan isteri-isterimu kemudian selesai masa iddah mereka, maka janganlah kamu (wahai para wali) menghalangi mereka untuk menikah dengan laki-laki lain...".

Page 113: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

92

Ayat 32 al-Nur ditujukan kepada wali. Mereka diminta untuk

menikahkan orang-orang yang belum bersuami atau orang-orang yang

belum beristeri. Ini menunjukan bahwa urusan pernikahan diserahkan

kepada wali.

Ayat 221 al-Baqarah juga ditujukan kepada wali, supaya mereka

tidak menikahkan wanita-wanita Islam kepada orang-orang musyrik,

karena seandainya wanita itu mempunyai hak secara langsung menikahkan

dirinya tanpa wali, maka tidak ada artinya khitab ayat yang ditujukan

kepada wali dan yang seharusnya ditujukan kepada wanita, karena akad

nikah adalah urusan wali, maka larangan tersebut ditujukan kepada wali,

bukan kepada wanita, ini menunjukan bahwa urusan nikah terletak pada

kekuasaan seorang wali dan kalau tidak demikian, tentulah larangan

tersebut tidak ditujukan kepada wali. Atas dasar ini jelas bahwa, khitab

larangan menikahkan orang-orang musyrik tidak ditujukan kepada seluruh

kaum Muslimin sebagai pensyariatan umum, karena bertentangan dengan

syarat taklif dan perbuatan yang ditaklifkan tersebut hendaknya dapat

dikerjakan. Tidak mungkin seseorang mencegah wanita yang bukan dalam

kekuasannya untuk menikah dengan orang musyrik.

Oleh sebab itu tidak tepatlah pendapat Ibnu Rusyd yang

disebutkan dalam naskah bukunya Bidayah al-Mujtahid ketika

mengomentari ayat 221 al-Baqarah di atas, ia mengatakan bahwa ayat

tersebut lebih tepat jika ditujukan kepada Ulil Amri (Penguasa) kaum

Muslimin atau kepada seluruh kaum Muslimin dari pada terhadap wali.138

Ayat 232 al-Baqarah merupakan satu-satunya ayat yang

menunjukan kekuatan adanya wali. Kalau wali tidak diperlukan, tentulah

larangan ayat itu tidak ada artinya dan tidak ada gunanya mencegah para

wali menggunakan haknya dalam melakukan 'adhal. Kontekstual ayat ini

138 Ibnu Rushd, Bidayah Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtasid, (al-Qahirah;

Matba’ah al-Fajalah al-Jadidah, 1974 M/1394 H), Jilid II, 12.

Page 114: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

93

berkenaan dengan Ma'qil bin Yasar yang telah menikahkan saudara

perempuannya, kemudian diceraikan oleh suaminya dan ditinggalkannya

sampai selesai masa iddahnya kemudian ia ingin menikahinya lagi. Ma'qil

marah dan bersumpah tidak ingin menikahkannya.139peristiwa ini

disebutkan dalam Hadis Nabi saw.140

Jadi kalau sekiranya saudara perempuan Ma'qil berhak

menikahkan dirinya, maka tidak akan turun ayat yang mencela perbuatan

Ma'qil. Selanjutnya jika ayat tersebut tidak menunjukkan kekuasaan wali,

maka tentu saja Rasulullah SAW. tidak menyuruh Ma'qil untuk membayar

kafarat atas sumpahnya dan tidak memerintahkan Ma'qil supaya

menikahkan saudaranya itu.141

Berkenaan dengan masalah wali ini, jumhur ulama juga

beragumen dengan Hadis antara lain riwayat al Bukhary dari Urwah bin

Zubair, 142 yang menunjukkan cara nikah yang terjadi pada zaman

139 Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al’Azim (al-Qahirah : Maktabah al-

Taufiqiyah, t.t.), Jilid I, 282. 140

Artinya : "Berkata Ma'qil bin Yasar: Aku mengawinkan saudara perempuanku

kepada seorang laki-laki, beberapa lama kemudian ditalaknya. Setelah habis masa iddahnya, laki-laki itu kembali melamarnya, lalu aku berkata kepadanya : Saya telah kawinkan engkau dan telah memuliakan engkau kemudian engkau talak padanya, kemudian engkau datang meminangnya (lagi), tidak, demi Allah dia tidak akan kembali lagi kepadamu selama-lamanya. Laki-laki itu tidak menghiraukan dengan ucapannya itu dan perempuan mantan isterinya ingin kembali dengannya. Maka turunlah ayat ini, dan kemudian aku (Ma'qil) bertanya kembali kepada Rasulullah apa yang mesti aku perbuat ya Rasulullah ? Kemudian Rasul menjawab kawinkanlah dia". (HR. al-Bukhari, Abu Daud dan al-Tirmidzy).

141 Lihat : Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Hadis No. 4165, 4735, 4914, 4915. 142

Artinya:"Dari 'Urwah bin Zubair : Telah berkata 'Aishah : Bahwasanya nikah di zaman Jahiliyah ada empat macam, satu dari padanya, ialah nikah orang seperti sekarang, yaitu laki-laki datang kepada seseorang meminang perempuan yang berada

Page 115: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

94

Jahiliyah dan diterima oleh Islam yaitu seorang laki-laki meminang

perempuan kepada bapaknya atau walinya lalu walinya tersebut

menikahkannya. Cara nikah yang terjadi zaman Jahiliyah dan diterima

oleh Islam yaitu seorang laki-laki meminang perempuan kepada bapaknya,

atau walinya yang lain itu menikahkannya.

Jumhur Ulama juga berargumen pada Hadis Abi Musa yang pada

zahirnya menafikan akad nikah yang berlangsung tanpa wali,143 yaitu tidak

ada suatu pernikahan dalam kenyataan di masyarakat yang dilakukan tanpa

wali. Menurut Shafi’i yang dimaksud dengan "Tidak ada nikah kecuali

oleh wali" ialah tidak sah suatu pemikahan kecuali oleh wali. Karena

menurutnya bahwa suatu perkara yang ditiadakan oleh shara' dengan

perantaraan ال nafiyah itu haruslah dipandang bahwa yang ditiadakannya

adalah "sahnya". Sedangkan Abu Hanifah berpendirian bahwa sesuatu

perkara yang ditiadakan oleh syara dengan perantaraan ال nafiyah harus

dipandang bahwa yang ditiadakannya adalah "Sempurnanya". Jadi

penafian menurut Shafi’i adalah penafian keabsahan pernikahan kecuali

oleh wali. Tafsiran ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Abu

Hanifah. Beliau mengatakan bahwa penafian tersebut adalah penafian

kesempurnaan. Artinya pernikahan tanpa wali tersebut tetap sah, meskipun

tidak sempurna.144

Selain dari argumen Hadis yang telah disebutkan, jumhur Ulama

berargumen.145 146

dalam kekuasaannya atau anaknya, lalu ia tentukan mas kawinnya, kemudian ia menikahkannya" . (HR. al-Bukhari).

143

Artinya:"Dari Abi Musa berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW :Tidak

sah nikah, melainkan dengan wali". (HR. Abu Dawud, al-Tirmidhi, dan Ahmad). 144 Muhammad Abd Rauf al-Munawy, Fath al-Qadir Sarh al-Jami’ al-Saghir

Min Ahadith Li Bashir al-Nadhir, (Bairut; Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1994 M/1415H), Cet. I, Jilid VI, 566.

145

Page 116: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

95

Pada Hadis ‘Aishah yang menerangkan bahwa aqad yang

berlangsung tanpa izin wali adalah batal hukumnya dan perempuan yang

tidak mempunyai wali disebabkan karena berselisih dengan wali, atau

karena wali ghaib atau memang karena tidak ada walinya, maka dalam

keadaan tersebut yang menjadi wali adalah Sultan atau Wali Hakim.

Perkataan "Tanpa izin wali, maka nikahnya batal", yang

disebutkan dalam Hadis, tidak ada mafhum mukhalafahnya yaitu aqad

nikah dengan izin wali hukumnya sah, karena dalam Hadis itu telah

diterangkan sebab terjadinya pernikahan tanpa izin wali, yaitu disebabkan

adanya perselisihan antara wali dengan anak perempuannya. Hal mana

dalam keadaan seperti itu, Hakimlah yang menjadi Walinya. Dengan

demikian tidak ada mafhum mukhalafahnya, balikan yang ada adalah

mafhum muwafaqahnya yaitu pernikahan tanpa izin wali disebabkan

adanya perselisihan dengan walinya, maka pernikahan tersebut tidak sah

hukumnya, apalagi dalam keadaan tidak ada perselisihan (walaupun

dengan izin wali) aqad nikah tersebut tidak sah.

Seandainya Hadis tersebut mengandung mafhum mukhalafah

dengan arti bahwa aqad nikah dengan izin wali sah hukumnya, maka jika

demikian mafhum perkataan "Dengan izin wali" mempunyai kemungkinan

Artinya:"Dari 'Aishah r.a berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda:

Perempuan mana saja jika menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal (3x)..., jika mereka (para wali) berselisih, maka Hakim itu jadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali". (HR. Abu Dawud, al-Tirmidhi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Sunan, Hadis No. 1784; al-Tirmidhi., Sunan, Hadis No. 1021; Ibnu Majah, Sunan., Hadis No. 1869; Ahmad, Musnad Hadis No. 23074, Ulama Hanafiyah menilai cacat Hadis ini karena menurut mereka: Hadis ini diriwayatkan oleh Sulaiman bin Musa dari al-Zuhri. Ketika, al-Zuhri ditanyakan tentang Sulaiman beliau menyatakan tidak mengenalnya. Orang yang meriwayatkan kritikan ini juga ialah Isma'il bin 'Illiyah al-Qadi dari Ibn Juraij, perawi dari Sulaiman. bahwa dia pernah menanyakan al-Zuhri tentang Hadis ini, tetapi beliau menyatakan bahwa dia tidak mengetahuinya. Namun keterangan ini dibantah dengan alasan bahwa tidak seharusnya karena kelupaan al-Zuhri tentang keadaan Sulaiman bin Musa itu menjadikan dia diragukan. Lebih-lebih al-Zuhri sudah memuji kebaikan Sulaiman. Dengan demikian Hadis ini adalah Sahih. Lihat al-Suyuty, al-Jami al-Saghir, Jilid I, 457 - Al-Hakim, al-Mustadrak, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990) Jilid II. 182 - Al-Munawy, Jilid III, 185.

Page 117: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

96

pengertian bahwa aqad nikah tersebut dapat dilakukan oleh laki-laki lain,

perempuan lain atau dirinya sendiri.

Aqad nikah yang dilakukan oleh perempuan lain atau oleh

perempuan itu sendiri, jelaslah tidak mungkin, karena bertentangan

dengan mantuq Hadis Abu Hurairah yang akan dijelaskan nanti pada dalil

bagian berikutnya. Jadi arti yang mungkin adalah aqad nikah yang

dilakukan oleh laki-laki lain atau yang populer disebut juga "Wakil Wali".

Tegasnya Hadis tersebut tidak membenarkan ijab aqad nikah yang

diucapkan oleh perempuan secara mutlak.

Selanjutnya jumhur Ulama berargumen pada Hadis riwayat ibnu

Majah147 dari Abi Hurairah yang mengatakan bahwa perempuan tidak

mempunyai kekuasaan untuk menikahkan dirinya dan menikahkan orang

lain. Tidak ada wewenang baginya dalam pernikahan, baik ijab maupun

qabul. Perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dengan seizin

walinya atau tidak. Dia tidak boleh mengawinkan orang lain sebagai wali

147

Artinya : “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda :"Tidak boleh perempuan mengawinkan perempuan dan tidak boleh ia kawinkan dirinya, karena yang mengawinkan dirinya ialah perempuan yang berzina". (HR. Ibnu Majah).

Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Sunan, Hadis No. 1872. Menurut riwayat Al-Baihaqi bahwa perkataan "Perempuan yang berzina adalah yang menikahkan dirinya sendiri", adalah mauquf, karena bukan termasuk sabda Rasul SAW. tetapi adalah ucapan Abu Hurairah dengan ucapannya sebagai berikut:

Artinya : "Kami mengatakan bahwa wanita yang menikahkan dirinya ialah wanita yang berzina".

Bagi golongan yang mendukung wajibnya wali, bahwa Hadis ini menjelaskan perempuan yang menikahkan dirinya sendiri adalah perempuan berzina. Ucapan ini baik termasuk dalam sabda Nabi SAW atau tidak, namun segi kekuatan hukumnya tidak ada perubahan, karena kalau termasuk sabda Nabi SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Maka ucapan ini adalah nash dan bukan ucapan Abu Hurairah, maka sekurang-kurangnya ia ialah adalah ijma' Sahabat, yang tidak dianggap sebagai Hadis marfu. Al Albany mengomentari Hadis ini "Sahih duna jumlati al-zanniyah". Lihat lebih lengkap penjelasan Hadis ini, Al-Baihaqi, Sunan, Jilid 1, 110; al Albany, Sahih Ibnu Majah, Jilid 2. 139.

Page 118: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

97

atau sebagai wakilnya, dan juga tidak boleh menerima pernikahan sebagai

wali atau sebagai wakil.

Berdasarkan Hadis-Hadis yang telah disebutkan, dapat dipahami

bahwa, seorang perempuan tidak boleh menyelenggarakan akad nikahnya

sendiri dengan calon suaminya tanpa seizin walinya, yaitu ayahnya. Jika

ayahnya tidak ada atau sudah meninggal, maka yang berhak menjadi Wali

adalah Kakek, Saudara Laki-laki, Saudara Laki-laki Paman dan seterusnya

dari Pihak Ayah berurutan atau Hakim.

Menurut Imam Shafi’i jika tidak ada wali qarib (dekat), berarti ke

wali yang jauh. Jika tidak ada pula, beralih kepada wali Hakim.148

Syariat Islam datang untuk menyelamatkan perempuan dari segala

kejahatan dan ketidak adilan. Ia datang untuk menjaga kehormatan wanita

dan keluarganya. Oleh karena itu, ia mengharuskan adanya wali dalam

pernikahan, adanya persetujuannya dalam pernikahan dan atas

pengetahuannya. Karena seorang perempuan meskipun sudah baligh dan

dewasa, seringkali ditipu dan diperdaya oleh laki-laki yang tidak sesuai

dengannya atau kemungkinan salah menilai ternyata laki-laki tersebut

kurang baik akhlaknya.

Kedua, Abu Hanifah, Zufar, Sha'by dan al-Zuhry berpendapat,

jika wanita menikahkan dirinya sendiri dengan laki-laki yang sekufu', dan

dewasa serta cerdas, atau oleh wanita lain sebagai wakilnya, itu

dibolehkan (sah nikahnya),149 dengan berargumentasi pada ayat-ayat Al

Quran dan Hadis. Adapun alasan Abu Hanifah dan yang sependapat

dengannya dari Al Quran adalah.150 Firman Allah dalam surah al-Baqarah

230, 232 dan 234.

148 Lihat : Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, jilid II, 10,11 149 Lihat : Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, jilid II, 7 150 1). Q.S. al-Baqarah : 230

Page 119: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

98

Dalam pandangan Abu Hanifah dan yang sependapat dengannya,

bahwa semua ayat yang disebutkan mengarahkan khitabah (obyek

pembicaraan) pernikahan kepada perempuan. Ini berarti mempunyai

konsekuensi bahwa perempuan dapat melakukan akad nikah sendiri tanpa

tergantung kepada izin dan persetujuan siapapun. Sebab jika tidak,

penisbahan nikah kepada perempuan dalam ayat-ayat di atas tidak punya

arti apa-apa.

Pendapat ini dibantah oleh al-San'any dengan argumentasi bahwa

penyandaran kata nikah kepada mereka perempuan dalam beberapa ayat

seperti dalam surat al-Baqarah : 230, "Hingga ia kawin dengan yang lain",

maksudnya adalah pernikahan dengan diakad oleh walinya. Karena

seandainya Rasulullah SAW. memahami bahwa perempuan boleh

menikahkan dirinya sendiri, maka sungguh beliau telah memerintahkan

kepada perempuan setelah turun ayat tersebut untuk menikahkan dirinya

sendiri dan pasti Rasulullah sudah menjelaskan kepada Ma'qil bahwa dia

tidak mempunyai hak menjadi wali terhadap saudara perempuannya itu,

Artinya : "Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua),

maka perempuan itu tidak halal baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain...".

Perkataan حتى تنكح زوجا غیره terdapat kata kerja Tankiha yang artinya menikah, pelakunya adalah wanita (mantan isteri). Pekerjaan mana dalam isnad haqiqi semestinya dikerjakan langsung oleh pelaku aslinya lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, jilid II, 277).

2) Q.S. al-Baqarah : 232

Artinya: "Apabila kamu mentalak isteri-isterimu lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suami-suaminya ".

Perkataan أن ینكحن أزواحھن terdapat kata kerja "Yankihna" yang artinya menikah, pelakunya adalah wanita- wanita (mantan isteri).

3) Q.S. al-Baqarah : 234

Artinya:" .Kemudian apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka dengan baik.".

Perkataan نفسھنأفیما فعلن فى "fa'alna" yang artinya mengerjakan atau berbuat, pelakunya adalah wanita-wanita (Lihat : Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, jilid II, 7).

Page 120: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

99

dan niscaya Rasulullah SAW. tidak membolehkan pembatalan sumpahnya

serta kafaratnya.151

Seandainya tidak ada jalan lain bagi para wali untuk menjadi wali

bagi perempuan itu, maka sungguh Allah SWT sudah menjelaskan dengan

penjelasan yang sejelas-jelasnya. Bahkan mengulangi perintah kepada para

wali dalam beberapa ayat yang lain. Sehingga dapat dipahami bahwa tidak

ada satu huruf pun yang memberikan pengertian bahwa perempuan boleh

menikahkan dirinya sendiri.152

Alasan Abu Hanifah dan yang sependapat dengannya antara lain

adalah hadis Ibnu Abbas153 yang mengatakan, bahwa janda lebih berhak

terhadap dirinya dari walinya, dipahami oleh golongan Abu Hanifah

sebagai justifikasi tekstual bahwa wanita boleh melangsungkan akad nikah

sendiri sebab dia lebih berhak terhadap dirinya, dibanding walinya.

Menurut Abu Hanifah, ini adalah penegasan eksplisit dari Hadis "Wali

tidak memiliki kekuasaan atas perempuan janda", adalah nakirah yang

jatuhnya sesudah nafi, hal mana menfaedahkan umum. Hal umum ini

termasuk yang berhubungan dengan memilih suami dan juga pelaksanaan

akad, ini adalah hak perempuan janda. Adapun perempuan yang masih

gadis, karena mereka belum terbiasa bergaul dengan laki-laki dan juga

didukung oleh sifat malunya yang membuat ia berat untuk berterus terang

untuk menyatakan persetujuannya apalagi secara langsung melaksanakan

akad nikahnya, maka dipandang cukup menyatakan persetujuannya dengan

diamnya. Namun hal ini tidaklah berarti mencabut haknya untuk

151 Al-San’any, Subul al-Salam, Jilid III, 120. 152 Al-San’any, Subul al-Salam, jilid III, 120 153

Lihat Muslim. Sahih Muslim, Hadis No. 2546; Abu Dawud, Sunan Abu Daud, Hadis No. 1795. 1796: al-Nasa'i Sunan al-Nasai, Hadis No. 3212: Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Hadis No. 1860; Ahmad, Musnad, Hadis No. 1790, 2055.

Artinya: “Dari Ibnu 'Abbas berkata : "Nabi SAW bersabda : perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta persetujuannya tentang dirinya, dan tanda persetujuannya adalah dengan diamnya". (H.R. Muslim, Abu Dawud, al-Nasa'i, Ibn Majah dan Ahmad).

Page 121: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

100

melakukan akad secara langsung. Karena antara gadis dewasa sebenarnya

sama dengan janda. Kesamaannya terletak pada sisi kedewasaannya. Jadi

bukan pada status gadis atau jandanya. Kedewasaan seseorang

memungkinkan dirinya untuk menyampaikan secara eksplisit tentang

sesuatu yang ada dalam hati atau pikirannya. la juga dapat mengerjakan

sesuatu secara terbuka, tidak malu-malu. Oleh karena hal ini, maka gadis

dewasa dapat disamakan dengan perempuan janda.154

Sedangkan Imam Nawawi mengomentari Hadis di atas

maksudnya adalah bahwa perempuan lebih berhak atas dirinya dan

walinya juga berhak atas dirinya. Namun haknya lebih besar dan

menentukan dari pada walinya. Apabila walinya ingin menikahkan dia

dengan seorang pelamar yang menurutnya cocok, tetapi ternyata dia

menolak, maka sang wali tidak boleh memaksanya nikah. Di lain pihak,

bila dia menikah dengan seseorang yang dikehendakinya tapi walinya

tidak setuju, maka si wali akan diminta untuk menyetujui pernikahannya.

Jika tetap tidak setuju, maka Hakim akan mengizinkannya untuk menikah

tanpa persetujuan walinya.155 Dengan demikian maka haknya diutamakan.

Lebih jelas Hadis di atas berkenaan dengan masalah nikah.

Dengan demikian perempuan janda lebih berhak menentukan calon

pasangan hidupnya dari pada walinya, selanjutnya janda tersebut tidak

boleh dinikahkan sebelum diajak bermusyawarah dan seorang gadis tidak

boleh dinikahkan sebelum dimintai izinnya. Wali tetap mempunyai hak

terhadap keluarganya yang janda tetapi hak janda itu lebih dominan, atau

janda itu lebih berhak menentukan perkawinannya.

Menurut Zahir Hadis ini bahwa musawarah dan meminta

persetujuannya dilakukan sebelum pernikahan dan juga dikaitkan dengan

beberapa Hadis-Hadis tentang kasus kawin paksa yang dilakukan oleh

154 Mahmud Shaltut dan Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Fiqh,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 117. 155 Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, (Bairut: Dar Ihyā al-Turāth al-'Araby.

1392 H), Cet. Ke III. 576.

Page 122: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

101

seorang wali.156 Hal ini menunjukkan bahwa wali boleh menikahkan anak

perempuannya, tetapi boleh tidaknya pernikahan tersebut tergantung

kepada persetujuannya.

Selanjutnya Abu Hanifah beralasan dengan Hadis riwayat al

Nasai yang mengatakan, bahwa dalam perkawinan Ummu Salamah

dengan Rasulullah tidak dihadiri oleh walinya dan wali tidak ada yang

berhak membantah atas perkawinan yang sekufu tersebut, karena akad itu

tidak tergantung kepada wali.157

Dalam riwayat ini, ada ungkapan, bahwa Ummu Salamah

memerintahkan anaknya yang bernama Umar untuk mengawinkannya

kepada Rasulullah SAW. Demikian juga riwayat yang menyatakan bahwa

beliau sendiri yang memerintahkan Umar tersebut untuk menikahkan

ibunya. Masing-masing riwayat tersebut diperselisihkan kesahihannya;

karena tambahan ini dipandang tidak sah oleh ahli Hadis, karena Umar

pada saat itu belum dewasa, yaitu masih berumur sekitar empat tahun.

Pendapat tersebut dapat dijawab, bahwa riwayat tentang pernikahan Rasul

dengan Ummu Salamah, mengandung ihtimal bahwa pernikahan

tersebut tidak dilangsungkan oleh wali dan mengandung ihtimal pula

bahwa Nabi sendiri menggunakan wilayah 'Ammah-nya, karena ketika

itu wali Ummu Salamah sedang dalam keadaan gaib (tidak di

156

"Dari Khansa' binti Khizam al-Ansariyyah melaporkan bahwa sesungguhnya ayahnya telah memaksa menikahkannya sedang dia seorang janda, padahal dia tidak mau, lalu datang kepada Rasulullah SAW. dan langsung dinyatakan beliau bahwa pernikahan tersebut tidak sah”. (H.R. al-Bukhari, Abu Dawud, al-Nasa’i dan Ahmad).

157

Artinya : Dari Ummu Salamah, bahwasanya tatkala Rasulullah SAW. mengutus orang meminang dia, ia berkata: "Tidak ada seorangpun waliku yang menjadi saksi", lalu dia berkata: "Tidak seorangpun wali baik yang hadir maupun tidak hadir, tidak suka kepada yang demikian". (H.R. al-Nasa'i dan Ahmad).

Al-Nasa’i, Sunan al Nasai, Hadis No. 3202.

Page 123: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

102

tempat). Menurut satu riwayat, pernikahan tersebut dilakukan oleh wali

Ummu Salamah, yaitu anak kandungnya bernama Umar. Menurut riwayat

lain, Umar ketika itu belum dewasa, tetapi peristiwa itu dapat dianggap

khususiyyah bagi Rasul.

Selanjutnya Abu Hanifah berargumen dengan hadis Ummu

Habibah158 yang menjelaskan bahwa raja Habashah menikahkan Ummu

Habibah dengan Rasulullah SAW, padahal ia bukan walinya. Namun bagi

golongan yang mewajibkan wali bahwa Hadis-Hadis di atas dianggap

sebagai Khususiyyah bagi Nabi SAW dan mengandung ihtimal pula bahwa

Nabi sendiri menggunakan hak walayah 'ammahnya.

Pemikiran lain yang menjadi pertimbangan adalah tujuan

perkawinan. Tujuan perkawinan memiliki dua sisi: yaitu primer dan

sekunder. Tujuan primer (utama) adalah hanya dimiliki oleh perempuan

yang bersangkutan tanpa campur tangan pihak wali dari sebuah

pernikahan, misalnya adalah hubungan seksual, pemberian nafkah, rumah

tempat tinggal, dan hak-hak lainnya yang diperoleh perempuan

sehubungan dengan aqad nikah. Sedangkan tujuan sekunder adalah

hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. Si wali ikut serta dalam

hubungan tersebut, sehingga wajar jika ia mencampurinya. Tujuan primer

adalah menjadi hak perempuan sendiri, sehingga ia yang memegang

peranan dan pihak yang menentukan, sedangkan tujuan sekunder bisa

melibatkan hubungan antara perempuan itu dengan keluarganya.159

158 Hadis dari Ummu Habibah

Artinya: "Dari Ummu Habibah bahwa ia pernah jadi isteri 'Ubaidillah bin Jahsy, kemudian ia meninggal, dia adalah salah seorang yang berhijrah ke Habasyah, lalu raja Habashah al-Najashi menikahkannya dengan Nabi SAW. (H.R. Abu Dawud, al-Nasa'i dan Ahmad).

Abu Daud, Sunan, Hadis No. 1786; al-Nasa’i, Sunan, Hadis No. 3298; Ahmad. Musnad, Hadis No. 26148.

159 Mahmud Shaltut, dan Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab Dalam Fiqh, 117.

Page 124: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

103

Abu Hanifah juga mengajukan argumentasi rasional bahwa

perempuan dewasa dianggap memiliki kemampuan untuk melakukan

tindakan-tindakan hukum yang berhubungan dengan transaksi-transaksi

keuangan, seperti perdagangan dan sebagainya. Ini merupakan pandangan

yang disepakati para ulama. Oleh sebab itu, adalah logis jika ia juga dapat

melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan urusan pribadinya160,

yaitu urusan akad nikahnya sendiri. Sebab tidak ada alasan untuk

membedakan antara akad nikah dengan akad jual beli atau urusan yang

lain. Tetapi menurut as-San'any qiyas semacam ini adalah qiyas yang

bathil, karena qiyas itu harus disertai oleh nash Al Quran ataupun

Hadis.161

Jika dicermati pendapat tersebut, maka tidaklah sama antara akad

nikah dengan akad jual beli. Sebab akad jual beli atau akad-akad yang lain,

ada yang menjadi obyeknya yaitu berupa barang, harta atau dalam bentuk

lainnya. Sementara dalam akad nikah tidak ada obyek dalam transaksi

tersebut. Namun yang ada berupa transaksi kerjasama, untuk sama-sama

membangun mahligai rumah tangga, yang akhirnya melahirkan tanggung

jawab dan pemenuhan antara hak dan kewajiban. Di samping itu pula

dampak positif dan negatif dari akad jual beli atau kemaslahatan hanya

akan berpengaruh kepada diri perempuan itu sendiri. Sedangkan kalau

akad nikah tidak demikian halnya. Pengaruh dari akad nikah tersebut tidak

hanya kepada diri perempuan itu sendiri, tapi lebih luas kepada tatanan

lainnya, baik kehormatan dirinya, keluarganya dan masyarakat serta lebih

luas akan berpengaruh kepada keturunan yang akan dilahirkannya.

Ketiga, Pendapat Daud al-Zahiry, bahwa akad nikah tanpa wali

hukumnya sah bagi janda dan tidak sah bagi gadis, dengan argumentasi

bahwa Rasulullah bersabda :

“Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta persetujuannya tentang dirinya,

160 Abd Rahman al-Jaziry. al-Fiqh 'Ala al-Madhahib al-'Arba'ah, jilid III, 50 161 Al-San’any, Subul al Salam, Jilid III. 117.

Page 125: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

104

dan tanda persetujuannya adalah dengan diamnya". (H.R. Muslim, Abu Dawud, al-Nasa'i, Ibnu Majah dan Ahmad dari Ibnu Abbas.162

Hadis ini membedakan antara status janda dengan perawan.

Janda dapat menikah tanpa wali karena lebih berhak dari walinya.

Sedangkan bagi perawan tidak boleh langsung menikahkan dirinya sendiri,

karena akad nikahnya harus dilangsungkan oleh walinya atas izinnya.

Disebutkan, bahwa janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya,

bukan berarti bahwa tidak ada hak wali terhadap perempuan janda dalam

perwaliannya, sehingga gugur hak wali untuk menikahkannya, tetapi wali

tidak boleh memaksanya nikah, karena dia sudah berpengalaman ketika

nikah dengan suami sebelumnya, ia mengerti mana suami yang sesuai dan

baik serta sejalan dengannya, sehingga ia dapat rukun dengan suami

barunya.

Keempat, Pendapat Imam Malik dari riwayat Ibnu al-Qasim,

bahwa kedudukan wali dalam pernikahan hanya Sunnat, bukan sebagai

syarat sahnya nikah, tetapi hanya sebagai syarat kesempurnaan nikah,

dengan argumentasi bahwa Imam Malik berpendapat, bahwa dapat saling

mewarisi antara suami isteri yang menikah tanpa wali, boleh bagi wanita

yang bukan bangsawan menunjuk seorang laki-laki yang bukan walinya

untuk menikahkannya dan janda disunatkan mengajukan kepada walinya

untuk menikahkannya. Jadi wali dalam pernikahan menurut pendapat ini,

hanya sebagai syarat sempurnanya nikah, bukan syarat sahnya nikah.163

Pendapat ini tidak mengemukakan dalil dari Al Quran atau Hadis.

162

Muslim, Sahih Muslim, Hadis No. 2546 - Abu Daud, Sunan Abu Daud, Hadis No. 1795. 1796 - Al-Nasa'i, Sunan al-Nasa’i, Hadis No. 3212 - Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Hadis No. I860 - Ahmad. Musnad, No. 1790, 2055.

163 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid III, 7

Page 126: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

105

Adapun sebab perbedaan pendapat para ulama dalam

masalah kedudukan hukum wali dalam pernikahan adalah :

1) Tidak terdapat ketegasan di dalam Al Quran tentang sah atau tidak

sahnya akad nikah tanpa wali.

2) Tidak terdapat satupun Hadis mutawatir yang mengandung

dalalah qat'iyah tentang sah atau tidak sahnya akad nikah tanpa wali.

Demikian juga, tidak terdapat Hadis ahad yang disepakati kesahihannya

yang mengandung dalalah qat'iyah tentang sah atau tidak sahnya akad

nikali tanpa wali.

3) Mazhab Hanafi mengutamakan qiyas dari pada Hadis ahad, sedangkan

Mazhab Shafi’i mengutamakan Hadis ahad dari pada qiyas. Menurut

Mazhab Hanafi, wanita dalam bidang muamalah sama haknya dengan

laki-laki, yang oleh karenanya, mereka qiyaskan akad nikah kepada

akad jual beli (transaksi). Sedang Imam Shafi’i berpegang pada Hadis

ahad yang berhubungan dengan sabab nuzul ayat 232 surah al-Baqarah,

yaitu :

"...Maka jangan kamu menghalangi mereka menikah (lagi) dengan calon(mantan) suaminya... "164

4) Mazhab Hanafi berpendirian bahwa suatu perkara yang ditiadakan oleh

syara' dengan perantaraan (ال) nafiyah, harus dipandang bahwa

ditiadakannya itu adalah " Sempurnanya ", sedang menurut Mazhab

Shafi’i bahwa suatu perkara yang ditiadakan oleh syara' dengan ال

nafiyah itu harus dipandang bahwa yang ditiadakannya adalah "sahnya".

Jadi, Hadis yang mengatakan, "Tidak ada nikah melainkan dengan

wali" Mazhab Hanafi menafsirkan dengan "Tidak sempurnanya nikah",

sedang Mazhab Shafi’i menafsirkannya dengan "Tidaksahnya nikah".

Pendapat yang Rajih dan Relevan

164 Q.s. al-Baqarah : 232

Artinya: … maka jangan kamu halangi mereka menikah lagi dengan calon suami mereka…

Page 127: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

106

Setelah memaparkan pendapat-pendapat para ulama fiqh

disertai dalil-dalil masing-masing dari mereka dan menganalisanya,

nampak bahwa pendapat jumhur ulama (Imam Shafi’i dan yang

sependapat dengannya) yang mengatakan, bahwa nikah tanpa wali

hukumnya tidak sah, itulah pendapat yang rajih/yang kuat dan relevan,

karena dalil-dalil dan argumentasi mereka lebih kuat dan lebih relevan,

bahkan sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No. I Tahun 1974,

Kompilasi Hukum Islam tentang Perkawinan dan RUU HMPA bidang

Perkawinan serta adat kebiasaan ('urf) yang berlaku di Indonesia. Juga

pendapat ini lebih ihtiyat (lebih hati-hati).

Pendapat Jumhur ulama ini dipandang lebih relevan karena

ditopang dengan pertimbangan rasio di samping pertimbangan

berdasarkan nash-nash Al Quran dan Hadis. Pada umumnya tujuan

pernikahan adalah untuk membentuk masyarakat rumah tangga.

Masyarakat rumah tangga tidak dapat dibina dengan sempurna

jika tidak mempunyai tali ikatan yang kuat antara keluarga pihak suami

dan keluarga pihak isteri. Wanita kurang cakap dalam memilih calon

suaminya, karena wanita adalah manusia yang cepat merasa dan sering

terpengaruh oleh perasaan (emosional), sedangkan cinta adalah buta.

Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran akan terjadi salah pilih.

Jika kurang teliti, bukan saja bisa terpilih laki-laki yang tidak bermoral,

tetapi mungkin saja terjadi, bahwa laki-laki yang dipilihnya adalah

orang yang mempunyai sejarah buruk terhadap keluarga wanita itu

sendiri. Agar tidak sampai terjadi hal yang demikian dan hal-hal lainnya

yang tidak diinginkan, agama menghendaki adanya wali dalam

pernikahan dan melarang wanita menikahkan dirinya sendiri.

Page 128: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

107

Selanjutnya berkenaan dengan saksi165 sebagai salah satu

syarat sahnya suatu perkawinan, ulama juga berbeda pendapat, apakah

saksi tersebut merupakan syarat kelengkapan nikah, atau merupakan

syarat sah ketika dilaksanakan akad nikah. Perbedaan pendapat ini

terbagi kepada dua Mazhab :

a. Menurut Jumhur ulama, termasuk Imam Abu Hanifah dan Imam

Shafi'i, saksi merupakan syarat sah nikah. Karena itu, tidak sah

nikah tanpa kehadiran saksi-saksi.166 Mereka berargumentasi dengan

dalil Hadis167 dan Ratio. Dalam Hadis dikatakan, bahwa tidak sah

nikah tanpa Wali dan tanpa adanya dua orang saksi yang adil. Hadis

ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi dari ‘Imran bin al-

165 Saksi menurut bahasa adalah kata benda dalam bahasa Indonesia berarti

: orang yang melihat atau mengetahui . Lihat : W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), Cet. IX, 852, 853.

Kalau dalam bahasa Arab kata saksi disebut : شاھد (shahid), yaitu orang yang mengetahui, yang menerangkan apa yang diketahuinya. Jama’nya adalah "شھداء" dan "شھود" , akar kata dari "الشھادة" , yang berarti kabar yang pasti. Lihat : Ibnu Manzur, Lisan Al Arab, 225.

Sedangkan menurut istilah dalam Fikih saksi menurut Muhammad

Salam Madkur, Ibnu al Hammam dan al Mahally adalah pemberitaan yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak (kebenaran) atas orang lain. Lihat : Muhammad Salam Madkur, al Qada Fi al Islam, (al Qahirah : Dar al Nahdah al ‘Arabiyyah, 1964), 83 – Ibnu al Hammam, Sharh Fath al Qadir, (t.t. : Mustafa al Baby al Halaby, 1970), Jilid VII, h. 415 – Jalaluddin al Mahally, Qalyuby Wa ‘Umairah, (Riyad: Dar Ihya al Kutub al ‘Arabiyah, t.th.), Jilid IV, h. 318).

Dari pengertian saksi atau kesaksian di atas dapat disimpulkan, bahwa kehadiran saksi-saksi dalam suatu peristiwa sangatlah diperlukan, hal ini dimaksudkan untuk mengindari munculnya fitnah dikemudian hari terhadap suatu peristiwa yang pernah terjadi dengan adanya saksi yang menyaksikan kebenaran peristiwa tersebut, maka keabsahannya dapat dipertanggung jawabkan di hadapan hukum.

166 Lihat : Ibnu Rushd, Bidayah al-Mujtahid, jilid II, 13. 167

1) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqy dari Imran bin al-Hushain dan Aishah

Artinya :"Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil".

2) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dari Ibnu Abbas ra.:

Artinya: "Perempuan-perempuan tuna susila ialah mereka yang menikahkan diri mereka tanpa keterangan (tanpa ada saksi). (HR. al-Tirmidzi dari Ibnu Abbas)

Page 129: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

108

Husain dan Aishah. Sedangkan dalam riwayat al-Turmudzy dari

Ibnu Abbas, bahwa perempuan tuna susila adalah menikahkan

dirinya tanpa ada saksi.

Jelas, Hadis ini menghendaki adanya saksi-saksi ketika

akad nikah. Menurut ratio bahwa akad nikah merupakan tali

hubungan kekeluargaan yang seyogyanya menjadi perhatian

sepenuhnya dari agama. Untuk menjaga kesucian akad tersebut wajarlah

disyari'atkan adanya saksi ketika berlangsungnya akad nikah tersebut.

Dengan demikian, terhindarlah kemungkinan adanya tuduhan-

tuduhan berlaku serong terhadap orang yang sudah menjadi suami isteri,

atau adanya keingkaran tentang telah terjadinya sesuatu akad nikah, yang

akan merugikan terhadap diri anak yang dilahirkan dari akad nikah

tersebut, atau menyulitkan dalam soal kewarisan.

b. Menurut Imam Malik, saksi hanya sebagai syarat kelengkapan yang

diperintahkan ketika hendak menggauli isteri (دخول), bukan syarat sah akad

nikah.168 Oleh sebab itu kesaksian boleh dilaksanakan dengan cara

pemberitahuan, asalkan dapat diketahui oleh orang lain sebelum suami

menggauli isterinya. Imam Malik dalam pendapatnya ini berargumentasi

dengan dalil Hadis dan Ratio.

Dalam riwayat al Tirmidhi dari Aishah dikatakan, bahwa Nabi

memerintahkan agar disiarkan akad nikah dan diadakan di masjid serta

ditabuhkan gendang. 169

Hadis ini jelas menunjukkan bahwa pemberitahuan tentang

berlangsungnya akad nikah boleh dengan jalan apa saja yang antara lain

168 Lihat : Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 13. 169 Jalaluddin al Suyuty, al Jami’ al Saghir, 48.

Artinya: "Beritahukanlah (siarkanlah) akad nikah itu dan adakan di masjid serta tabuhlah gendang

Page 130: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

109

dengan memukul gendang. Menurut ratio bahwa yang dituju oleh akad

nikah adalah halalnya persetubuhan. Persetubuhan yang diharamkan

adalah dengan jalan zina, yaitu dilakukan dengan cara rahasia karena takut

diketahui orang. Persetubuhan yang dilakukan dengan jalan nikah adalah

persetubuhan yang halal. Oleh karenanya, perlu diketahui oleh orang lain

dengan jalan pemberitahuan minimal sebelum terjadinya persetubuhan

sesudah berlangsungnya akad nikah. Dengan demikian, saksi dalam akad

nikah hukumnya sunnah.170

Dari kedua pendapat yang telah dikemukan, menurut penulis,

pendapat yang terkuat, atau yang relevan adalah pendapat jumhur ulama

yang memandang saksi dalam pernikahan sebagai syarat sahnya

perkawinan, dengan pertimbangan sebagai berikut :

1) Fungsi akad nikah itu memberikan kedudukan suami terhadap keluarga

isteri sebagaimana memberikan kedudukan isteri terhadap keluarga

suami dengan berlakunya hukum Hurmah al Musaharah. Hal ini

menunjukkan bahwa akad nikah itu perlulah diketahui oleh orang

lain sebagai pembuktian.

2) Untuk memiliki suatu benda, antara lain dengan jalan warisan; dan di

antara sebab untuk mendapat harta warisan ialah adanya akad nikah

walaupun belum terjadi persetubuhan. Ini menunjukkan bahwa akad

nikah itu perlu diketahui oleh orang lain sebagai pembuktian.

3) Di antara sebab untuk mendapatkan harta warisan ialah adanya

hubungan kekerabatan. Untuk menilai sah atau tidaknya hubungan

kekerabatan tersebut adalah bergantung pada adanya akad nikah, yang

oleh karenanya perlu diketahui oleh orang lain sebagai pembuktian.

170 Lihat : Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta :

Pustaka Firdaus, 2003), Cet. I, Jilid I, 260, 261.

Page 131: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

110

Menurut Ibrahim Hosen, saksi dalam akad nikah wajib hukumnya,

atas dasar Sadd al Dhari’ah ( ریعةذال سد ) demi menutup pintu

mafsadah/persengketaan. Dengan kata lain, nikah tanpa saksi sah

hukumnya, tetapi berdosa karena meninggalkannya.171 Dari uraian yang

telah dikemukakan di atas, penulis berpendapat, bahwa dalam akad

nikah diperlukan adanya saksi, tidak melihat apakah saksi itu sebagai

syarat sah nikah atau sebagai syarat kelengkapannya, untuk kehati-hatian

karena masalah pemikahan adalah sesuatu yang sakral dan (احتیاطا)

akibatnya sangat fatal jika seandainya benar pendapat yang mengatakan

tidak sah nikah tanpa saksi. Kalau nikah itu tidak sah, maka seorang laki-

laki dan seorang perempuan yang telah menikah tidak halal mereka

bergaul. Kalau mereka tetap bergaul, maka mereka dianggap berzina.

Kalau seandainya benar bahwa Hadis-Hadis yang menghendaki adanya

saksi dalam akad nikah itu da'if, tetapi banyak Hadis-Hadis yang

mengatakan bahwa tidak sah nikah tanpa saksi. Kalau demikian

keadaanya, maka Hadis-Hadis itu dapat saling menguatkan satu sama lain,

yang oleh karenanya, Hadis itu dapat dijadikan hujjah. Wallahu A'lam.

Ketentuan ini telah diadopsi oleh Kompilasi Hukum Islam tentang

Perkawinan pada pasal 14. Dengan demikian berarti hukum fikih Islam

sudah menjadi Hukum Nasional.

3. Perjanjian Perkawinan :

Dalam UU No. 1 Tahun 1974, perjanjian perkawinan disebutkan

pada pasal 29, dan dalam KHI tentang perkawinan disebutkan pada pasal

45 s/d pasal 52.

Istilah perjanjian perkawinan dalam hukum positif tersebut dalam

hukum fikih Islam dikenal dengan istilah, ijab172 kabul173 yang disertai

171 Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan, 262, 263. 172 Ijab adalah ucapan tanda penyerahan dari pihak yang menyerahkan dalam

suatu perjanjian (kontrak, jual beli), kata-kata yang diucapkan oleh wali mempelai perempuan pada waktu menikahkan mempelai perempuan, penawaran ketika membeli. Lihat : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 320.

173 Qabul berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Indonesia sudah baku, sehingga istilah qabul ini sudah ditulis dengan kabul, yaitu ucapan tanda setuju (terima)

Page 132: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

111

dengan syarat “(صیغة العقد المقترنة بالشرط),174 atau, syarat-syarat yang

disyaratkan dalam perkawinan ( رطة فى الزواجتالشروط المش ).175 Apabila dalam

ijab qabul diiringi dengan suatu syarat176 baik syarat itu masih termasuk

dalam rangkaian perkawinan, atau menyalahi hukum perkawinan, atau

mengandung manfaat yang akan diterima oleh istri, atau mengandung

syarat yang dilarang oleh agama, maka masing-masing syarat tersebut

mempunyai ketentuan hukum tersendiri.

a. Syarat yang wajib dipenuhi yaitu, yang termasuk dalam rangkaian

dan tujuan perkawinan dan tidak mengandung hal-hal yang menyalahi

hukum Allah dan Rasulnya. Syarat yang wajib dipenuhi itu misalnya

menggauli istrinya dengan baik,177 memberi nafkah178 dan tempat

tinggal yang layak179, tidak mengurangi hak-haknya dan memberikan

bagian kepadanya sama dengan istri-istrinya yang lain dan lain-lain.180

b. Syarat yang tidak wajib dipenuhi

Di antara syarat yang tidak wajib dipenuhi tetapi aqad nikahnya

sah, yaitu syarat yang menyalahi hukum perkawinan, seperti: tidak

memberi belanja, tidak mau bersetubuh atau kawin tanpa mahar atau

memisahkan diri dari isterinya atau istrinya yang harus memberikan

nafkah atau memberi sesuatu hadiah kepada suaminya atau dalam

seminggu hanya tinggal bersama semalam atau hanya mau tinggal

dengan isterinya di siang hari, tidak di malam harinya dan lain-lain.

Syarat-syarat ini semuanya batal dengan sendirinya, sebab

menyalahi hukum-hukum perkawinan, dan mengandung hal-hal yang

dari pihak yang menerima dalam suatu perjanjian, atau kontrak. Dalam akad nikah, kabul adalah wali mempelai perempuan mengucapkan ijab dan mempelai laki-laki mengucapkan kabul. Kabul juga berarti meluluskan, atau memperkenankan permintaan. Lihat : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 372.

174 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, 43 175 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy Wa Adillatuh, 53.

176 Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, istilah syarat yang disyaratkan dalam perkawinan disebut dengan istilah perjanjian perkawinan, tetapi substansinya sama walaupun istilahnya berbeda.

177 Lihat : Q.S. al Nisa’ : 19, al Baqarah : 233. 178 Lihat : Q.S. al Nisa’ : 34. 179 Lihat : Q.S. al Talaq : 6. 180 Lihat : Q.S. al Nisa’ : 34.

Page 133: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

112

mengurangi hak-hak suami-isteri sebelum ijab qabul, karena itu tidak

sah sebagaimana kalau seorang bermazhab Shafi’i yang mengurangi

hak-hak barang Shuf'ahnya sebelum dijual.

Adapun akadnya sendiri tetap sah, karena syarat-syarat tadi

berada di luar ijab kabul, yang menyebutnya tidak berguna dan tidak

disebutnya pun tidaklah merugikan. Karena itu aqadnya tidak batal,

sebagaimana kalau diisyaratkan mahar yang haram waktu ijab kabul.

Sebab pernikahan seperti ini tetap sah, sekalipun tidak disebut apa

yang nanti harus jadi maskawinnya. Jadi ijab kabul dengan adanya

syarat yang batal itu tetap sah.181

c. Syarat-syarat yang hanya untuk istri manfaatnya.

Di antara syarat-syarat yang guna dan faedahnya untuk

perempuannya saja, seperti: suaminya tidak boleh menyuruh dia ke

luar dari rumah atau kampung halamannya, tidak mau pergi

bersamanya, atau tidak mau dimadu dan lain sebagainya.

Segolongan Ulama' berpendapat nikahnya tetap sah dan syarat-

syarat tersebut tidak berlaku suaminya tidak harus memenuhinya.

Sedangkan segolongan Ulama lain berpendapat wajib dipenuhi apa

yang sudah disyaratkan kepada isterinya, dan jika tidak dipenuhi maka

isterinya berhak minta fasakh.182

181 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, jilid II, 44. 182 Pendapat pertama merupakan pendapat Abu Hanifah, Shafi’i dan

sebagian besar ‘Ulama. Alasan mereka sebagai berikut : 1) Rasulullah pernah bersabda :

Orang Islam itu terikat dengan syarat mereka kecuali kalau syarat tadi menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal. Mereka mengatakan: Syarat yang mengharamkan yang halal tersebut di atas tadi yaitu: bermadu, melarang keluar rumah dan pergi bersama yang kesemuanya ini dihalalkan oleh agama.

2) Sabda Rasulullah :

Tiap-tiap syarat yang tidak ada di dalam kitab Allah adalah batal, sekalipun ada seratus syarat. (HR. al Bazzar dan al Tabarany dari Ibnu Abbas).

Page 134: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

113

Ibnu Qudamah menguatkan pendapat ini dan melemahkan

pendapat yang pertama. Katanya : Adapun pendapat yang kami dengar

dari para Sahabat setahu kami tidak ada yang berlainan di zaman

mereka itu, bahkan sudah menjadi ijma'. Rasulullah pun bersabda:

"Setiap syarat yang tidak ada di dalam agama Allah adalah batal,

sekalipun ada seratus syarat." Maksud-nya, syarat yang tidak ada

dalam hukum Allah dan agamanya. Padahal masalah ini (perjanjian

dalam perkawinan) hukumnya boleh, orang yang menolak pendapat

tersebut haruslah memberikan dalil-dalilnya.183

Mereka mengatakan: syarat di atas tak ada di dalam kitab Allah karena memang tidak ada ketentuannya dalam agama. Syarat-syarat tersebut tidak mengandung kemaslahatan dalam perkawinan dan tidak pula termasuk dalam rangkaiannya.

Pendapat kedua adalah pendapat umar bin Khaththab, Sa’ad bin Abi Waqqas, Mu’awiyah, ‘Amru bin ‘As, ‘Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Tawus, Auza’iy, Ishaq dan ulama Hanabilah.

Alasan mereka sebagai berikut : 1) Firman Allah :

1

Wahai orang-orang yang beriman! Sempurnakan janjimu (al-Maidah: 1) 2) Sabda Rasulullah saw.:

Orang Islam itu terikat oleh syarat-syarat (perjanjian) mereka. (HR. Abu Daud dan al- Hakim dari Abu Hurairah).

3) Hadis al Bukhari, Muslim dan lain-lain yang diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Rasulullah saw. bersabda :

Perjanjian yang paling patut ditunaikan yaitu yang menjadikan halalnya hubungan kelamin bagi kamu.

4) Diriwayatkan oleh Atsram, pernah seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan dengan janji tetap tinggal di rumahnya, kemudian suaminya bermaksud mengajaknya pindah, lalu mereka (keluarganya) mengadukannya kepada ‘Umar bin Khattab, maka ‘Umar memutuskan: perempuan itu berhak atas janji suaminya. (Di sini hak suami atas isteri batal karena ada perjanjian).

5) Karena janji-janji yang diberikan oleh suami kepada perempuannya mengandung manfaat dan maksud, yang asalkan maksudnya tadi tidak menghalangi perkawinan maka sah hukumnya, sebagaimana kalau perempuan mensyaratkan agar suaminya mau membayar maharnya lebih tinggi.

Lihat : Jalaluddin al Suyuty, al Jami’ al Saghir, Jiid II, 93 - Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, h. 44, 45 – Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy ...., 53 s/d 60 – al San’any, Subul al Salam, 59 – Al Shaukany, Nail al Autar, (t.t.; Al Maktabah al Taufiqiyyah, t.th), jilid VI, 142.

183 Lihat : Ibnu Qudamah; al Mughny, (Al Riyad: Maktabah al Riyad al Hadithah, t.th.), Jilid VI, h. 548 – Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy..., 57, 58.

Page 135: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

114

Kalau mereka berkata bahwa perjanjian seperti di atas itu,

berarti mengharamkan yang halal, maka kami jawab: bukan

mengharamkan yang halal, akan tetapi maksudnya untuk memberikan

kepada perempuan hak meminta fasakh bilamana si suami tidak dapat

memenuhi persyaratan yang diterimanya. Jika mereka berkata bahwa hal

itu tidak ada maslahatnya, maka kami jawab: hal itu tidak benar, bahkan

hal itu merupakan suatu kemaslahatan bagi perempuannya, karena apa

yang bisa menjadi suatu maslahat bagi satu pihak yang mengadakan

aqad berarti pula menjadi suatu maslahat di dalam akadnya.184

Ibnu Rushd berkata: Sebab perbedaan pendapat mereka ini ialah

karena mempertentangkan dalil yang umum dengan yang khusus. Adapun

dalil yang umum yaitu Hadis 'Aishah, yang Nabi pernah berkhutbah

kepada orang banyak di mana beliau bersabda bahwa, setiap syarat yang

tidak ada dalam syara’, adalah batal, sekalipun 100 syarat.185

Dalil yang khusus yaitu hadis 'Uqbah bin 'Amir yang Rasulullah

pernah bersabda, bahwa syarat yang patut dipenuhi adalah yang

menjadikan halalnya hubungan kelamin.186

Kedua Hadis ini sahih dan kedua-duanya diriwayatkan oleh al

Bukhari dan Muslim, tetapi menurut para ahli Usul Fikih yang masyhur

terpakai ialah memenangkan dalil yang khusus dari umum, yaitu dalam hal

ini memenuhi janji-janji yang diadakan dalam perkawinan.187

184 Lihat : Ibnu Qudamah; Al Mughny, Jilid VI, h. 549. 185

Artinya : “Setiap syarat yang tidak ada di dalam agama Allah adalah batal, sekalipun ada seratus syarat”.

186

Artinya : “Syarat (perjanjian) yang paling patut ditunaikan adalah yang menjadikan halalnya hubungan kelamin bagi kamu”.

187 Ibnu Rusd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah Al Muqtasid, 58 Ibnu Rusd (Cordova, 1126 – Marzakech, Maroko, 1198), adalah Abu Al

Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, seorang dokter, ahli hukum, dan tokoh filosof yang paling menonjol pada perkembangan filsafat Islam (700-1200). Di barat dia dikenal dengan nama Averoes. Dia berasal dari lingkungan keluarga yang besar sekali

Page 136: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

115

Pendapat Ibnu Taimiyah 188

Bagi orang yang sehat akal, apabila mengadakan perjanjian, yang

perjanjian itu mengandung kebaikan bagi tujuan yang hendak dicapainya,

tidaklah ia akan mau mundur atau mengkhianatinya. Seperti batas waktu

pinjam-meminjam barang, membayar harga barang-barang tertentu yang

terjadi di beberapa tempat, menjelaskan keadaan barang-barang yang

dijual belikan dan keterampilan tertentu yang disyaratkan kepada salah

seorang dari suami-isteri. Tergantung syarat-syarat tertentu itu berguna

daripada dibiarkan tanpa syarat, atau bahkan lebih berguna lagi daripada

kalau tidak diberi syarat sama sekali.189

d. Syarat-syarat yang dilarang agama

Ada syarat-syarat yang oleh agama di larang dan diharamkan

untuk menepatinya, yaitu perempuan yang mensyaratkan kepada suaminya

agar menthalak madunya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang seseorang laki-laki

meminang pinangan saudaranya atau membeli barang yang akan dibeli

saudaranya dan perempuan yang minta madunya ditalak agar dia dapat

mengambil sepenuhnya piring atau bejana bagian saudaranya, padahal

perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Ia pernah menduduki beberapa jabatan, antara lain sebagai qadhy (hakim) di Sevilla dan sebagai qady al qudat (hakim agung) di Cordoba. Sejak kecil ia telah mempelajari Al Qur’an, lalu mepelajari ilmu-ilmu keislaman, seperti tafsir, Hadis, fikih dan sastra Arab. Kemudian ia mendalami matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan ilmu kedokteran. Oleh karena itu, ia terkenal ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Lihat : Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. III, Jilid II, 165.

188 Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad (Harran, Turki 10 Rabiul awal 611/22 Januari 1263 – Damascus, 20 Zulkaidah 728/26 atau 27 September 1328). Seorang pemikir Islam terkemuka dan tokoh pembaharu abad ke-8 H/ke 14 M, berasal dari keluarga cendekiawan, lingkungan yang cinta ilmu. Ayahnya Shihabuddin Abdul Hakim, adalah seorang yang ahli Hadis dan Islam terkenal di Damascus yang mengajar di berbagai sekolah terkemuka di kota itu. Kakeknya Syekh Majduddin Abd. Salam, juga adalah seorang ulama ternama. Mereka semua adalah pemuka-pemuka dalam Mazhab Hanbali dan kuat berpegang pada ajaran salaf (yang terdahulu).

189 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, jilid II, 46.

Page 137: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

116

rejekinya itu sudah ada dalam ketetapan Allah. (H.R. al Bukhari dan

Muslim).

Dalam lafaz lain riwayat al-Bukhari dan Muslim dikatakan,

Nabi melarang perempuan mensyaratkan madunya ditalak.190Larangan

Hadis, tersebut menunjukkan batalnya perbuatan yang dilarang, oleh

karena perempuan ini mensyaratkan kepada suaminya untuk menceraikan

madunya, menggugurkan haknya memadu dan hak madunya, maka

syaratnya tidak sah sebagaimana kalau ia mensyaratkan kepada suaminya

agar membatalkan jual-belinya.

Ibnu al-Qayyim191 tentang masalah ini menjawab, ada yang

berkata: perbedaan antara kedua hal di atas. Karena minta agar madunya

diceraikannya berarti merugikan perempuan lain, menyakitkan hatinya,

merusak rumah-tangganya, memberikan kesempatan kepada musuh-musuh

untuk menghinanya, karena dia ditinggalkan untuk kawin dengan orang

lain. Karena itulah agama membedakan hukum kedua hal tersebut dan

mengkiaskan yang pertama kepada yang kedua dalam perkara ini

hukumnya batal.192

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam ijab qabul

yang diiringi suatu perjanjian menurut hukum fikih Islam, mempunyai

syarat-syarat. Syarat-syarat itu ada yang wajib dipenuhi, ada yang tidak

190 Teks Hadis tersebut adalah:

Lihat: Al Shaukany, Nail al Autar, h. 142 – Wahbah al Zuhaily al-Fiqh al-Islamy…..., h. 59.

191 Ibnu Qayyim al Jauziyah (Damascus, Suriah: 691 H/1292 M), Ahli Fikih kenamaan dalam Mazhab Hambali, Nama aslinya adalah Shamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakar. Ayahnya, Abi Bakar, adalah seorang ulama besar dan kurator (qayyim) pada madrasah al Jauziah di Damascus. Dari jabatan ayahnya inilah sebutan Ibnu Qayyim al Jauziah diambil. Ia berpendirian bahwa pintu ijtihad tetap terbuka. Lihat dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 164.

192 Lihat : Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, 47.

Page 138: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

117

wajib dipenuhi, ada syarat-syarat yang hanya untuk istri manfaatnya dan

adanya syarat-syarat yang dilarang agama. Masing-masing syarat tersebut

mempunyai ketentuan hukum.

Syarat-syarat yang dibuat untuk mengiringi ijab kabul dalam

akad perkawinan ini, dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan”.193

Perjanjian perkawinan yang disebutkan dalam hukum positif

(hukum nasional) ini identik substansinya (materinya) dengan syarat-syarat

yang disebutkan dalam hukum fikih Islam, yang mengikuti ijab qabul

ketika akad nikah. Ini menunjukkan, bahwa hukum fikih Islam sudah

menjadi hukum Nasional.

Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon

suami dengan calon istri pada waktu atau sebelum perkawinan

dilangsungkan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat nikah

dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.194

Tetapi perlu diketahui bahwa perjanjian perkawinan ini, tidak

boleh bertentangan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh

Syari’at atau fikih Islam.

4. Hak dan Kewajiban Suami-Istri dalam Perkawinan

Berkenaan dengan hak dan kewajiban suami-istri disebutkan

dalam UU No. 1 Tahun 1974 pada Pasal 30 s/d Pasal 34, dan dalam KHI

tentang Perkawinan pada Pasal 77 dan Pasal 78.

Dalam hukum fikih Islam, jika akad nikah telah sah dan berlaku,

maka ia akan menimbulkan akibat hukum dan dengan demikian akan

193 Lihat : UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 29 dan KHI tentang Perkawinan Pasal

45. 194 Gatot Supramono, Segi-segi Hubungan Luar Nikah, (Jakarta : Djambatan,

1998), 39.

Page 139: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

118

menimbulkan pula hak dan kewajiban selaku suami istri.195 Hak dan

kewajiban ini ada tiga macam, yaitu :

a. Hak istri atas suami

b. Hak suami atas istri

c. Hak bersama

Jika suami-istri masing-masing melaksanakan kewajibannya dan

memperhatikan tanggung jawabnya akan terwujudlah ketenteraman dan

ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan suami istri tersebut.196

a. Hak bersama suami-istri :

1) Halal pergaulan suami-istri dan melakukan hubungan seksual. Hak

ini dihalalkan bagi suami-istri secara timbal balik. Tidak boleh

dilakukan secara sepihak saja.

2) Haram melakukan perkawinan, baik suami, maupun istri dengan

saudaranya masing-masing.197

3) Dengan adanya ikatan perkawinan, maka kedua belah pihak (suami

istri) saling mewarisi apabila salah seorang di antara keduanya

telah meninggal meskipun belum melakukan hubungan seksual.

4) Sahnya menasabkan anak kepada suami.

5) Kedua pihak wajib mu’asyarah bil ma’ruf (bertingkah laku dengan

baik) agar dapat melahirkan kemesraan dan kedamaian (QS. Al-

Nisa (4) : 19).198

b. Hak istri terhadap suaminya (kewajiban suami terhadap istrinya)

1) Hak kebendaan, yaitu mahar199 dan nafkah200

195 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 134 196 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, h. 134, dan lihat : Wahbah al Zuhaily, al

Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, 327. 197 Sebab diharamkan perkawinan suami, atau istri kepada saudara masing-

masing, karena saudara-saudara masing itu telah menjadi mahram bagi masing-masing suami-istri – Lihat Q.S. al-Nisa / 4 : 23.

198 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, 134 – Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, 342.

Page 140: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

119

2) Hak rohaniyah, misalnya berlaku adil jika suami berpoligami dan

tidak boleh membahayakan istri.201

c. Hak suami terhadap istrinya (kewajiban istri terhadap suami)

1) Istri hendaklah taat kepada suami dalam melaksanakan urusan

rumah tangga selama suami menjalankan ketentuan-ketentuan

Islam yang berhubungan dengan kehidupan suami istri. (QS. Al-

Nisa 4 : 34).

2) Istri hendaklah mengurus dan menjaga rumah tangga, termasuk

mengasuh anak bersama suami dan mengurus harta rumah

tangga.202

Rumah tangga yang aman dan damai adalah gabungan di antara

tegapnya laki-laki dan halusnya perempuan. Laki-laki sebagai penanggung

jawab utama nafkah rumah tangga, dan perempuan mengurus rumah

tangga. Namun Islam membolehkan perempuan membantu suaminya

dalam mencari nafkah dengan izin, atau persetujuan suaminya, sepanjang

tidak mengganggu tugasnya sebagai istri dan ibu rumah tangga.

Penggabungan laki-laki dan perempuanlah yang mendatangkan

keturunan. Dari kasih sayang ibu dan ayah, dibentuk jiwa anak-anak kelak

akan tiba gilirannya, mereka juga akan mendirikan rumah tangga dan

melanjutkan keturunan.203

Meskipun fungsi antara suami dan istri dalam rumah tangga

berbeda, namun fungsi mereka masing-masing sama-sama penting dan

199 Kewajiban suami memberikan mahar kepada istri; lihat Q.S. al-Nisa’ (4) :

4. 200 Kewajiban suami memberikan nafkah kepada istri lihat Q.S. al-Baqarah

(2) : 233, al Talaq (65) : 6, al Nisa (4) : 34 dan lain-lain. Nafkah meliputi makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan lain-lain.

201 Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 134, 135. 202 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam

Kontemporer, (Bandung: Angkasa, 2005), 134, 135. 203 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, …, 134, 138.

Page 141: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

120

semuanya dibutuhkan, karena saling melengkapi dan saling

menyempurnakan.

Di dalam perkawinan, suami berkedudukan sebagai pemimpin

keluarga dan bertanggung jawab atas kesejahteraan. Rumah tangganya204

tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga menurut hukum fikih Islam

adalah menjaga, membela memberi nafkah bertindak sebagai wali dan

sebagainya. Sedangkan istri bertugas memelihara rumah tangga, hamil,

melahirkan dan mengasuh anak serta menjadi tempat berteduhnya suami,

guna mendapatkan sakinah dan ketenangan ketika datang dari kerja yang

dalam keadaan lelah.205 Jika suami istri telah melaksanakan fungsi masing-

masing sesuai dengan kodratnya dan saling pengertian, saling

menghormati dan saling tolong menolong dalam pelaksanaan tugas

masing-masing, maka terbentuklah keluarga sakinah206 mawaddah207 wa

rahmah208, keluarga bahagia dan sejahtera yang diridai Allah SWT.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa materi UU No. 1

tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan sama dan sesuai dengan

ketentuan-ketentuan hukum fikih Islam. Hal ini dapat dilihat sebagai

berikut :

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

pasal 1, perkawinan adalah :

204 Q.S. al-Nisa’ (4) : 34. 205 Lihat Q.S. al-Rum : 21 206 Keluarga sakinah adalah keluarga yang tenang dan tenteram. Lihat : M.

Quraish Shihab (ed), Ensiklopedia Al-Qur’an, 864, 865. 207 Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak

buruk. Ia adalah cinta penjaga sejati, berbeda dengan cinta (محبة), karena cinta itu bisa pudar atau putus. Mawwaddah bukan hanya sekedar cinta, tetapi mawaddah adalah cinta plus. Lihat M. Quraish Shihab, Pengantin al-Qur’an, (Jakarta : lentera Hati, 2007), 88.

208 Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul dalam hati akibat meyaksikan ketidak berdayaan sehingga yang bersangkutan terdorong untuk melakukan pemberdayaan. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami istri, akan sungguh-sungguh, bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya – Lihat : M. Quraish Shihab : Pengantin Al-Quran, 91.

Page 142: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

121

“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sedangkan dalam KHI tentang Perkawinan, pasal 2 disebutkan,

bahwa perkawinan adalah :

“Akad yang sangat kuat atau Mithaqan Ghalizan untuk menaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Mengenai tujuan perkawinan dalam KHI Buku I tentang

perkawinan pasal 3 dirumuskan sebagai berikut :

“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.

Hampir sama isinya dengan pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 dan

KHI tentang Perkawinan.

Dari rumusan-rumusan Hukum Nasional di atas dapat

disimpulkan bahwa kedudukan wanita dan pria yang memasuki gerbang

perkawinan itu adalah seimbang. Kedudukan itu tetap adanya setelah

perkawinan seperti dirumuskan oleh pasal 79 KHI tentang Perkawinan,

yaitu :

(1) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga

(2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama

dalam masyarakat.

(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Sedangkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

merumuskan kedudukan suami dan istri dalam hubungan perkawinan pada

pasal 30 s/d pasal 34.

Menurut Busthanul Arifin rumusan di atas sangat jelas mengenai

keseimbangan kedudukan suami-istri dengan masing-masing mempunyai

fungsi dan tanggung jawab yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang satu,

Page 143: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

122

yaitu tercapainya kebahagiaan rumah tangga atau keluarga (UU No. 1

tahun 1974 tentang Perkawinan), atau terwujudnya rumah tangga dan

keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (KHI Buku I tentang

Perkawinan). Rumusan fungsi dan tanggung jawab suami-istri itu memang

sangat unik dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan

sebelumnya209.

Rumusan di atas menurut Busthanul Arifin, juga menentukan

dengan jelas bahwa hubungan dan kedudukan suami-istri dalam

perkawinan, adalah suatu hubungan yang mengandung rasa keadilan,

sekaligus sangat potensial untuk dikembangkan menghadapi perubahan-

perubahan cepat yang terjadi dalam masyarakat.210

Keseimbangan fungsi dan kedudukan suami istri itu adalah untuk

satu tujuan, yaitu untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi

dasar dari susunan masyarakat.211 Keseimbangan kedudukan suami istri

itu, tidak terbatas dalam rumah tangga saja, akan tetapi juga dalam

hubungan dengan masyarakat, dan secara khusus, masing-masing pihak

berhak untuk melakukan perbuatan hukum212

Berkenaan dengan rumusan-rumusan di atas, Sayuti Thalib

mengatakan, bahwa setidaknya ada lima hal yang sangat penting :

Pertama, pergaulan hidup suami istri yang baik dan tenteram

dengan rasa cinta mencintai serta santun menyantuni. Artinya, masing-

masing pihak wajib mewujudkan pergaulan yang ma’ruf di dalam rumah

tangga, ataupun keluarga (masyarakat).

209 Lihat : Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 120. 210 Lihat : Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 120. 211 Diadopsi UU No. 1 Tahun 1974 pasal 30 dan KHI tentang Perkawinan Pasal

79. 212 Diadopsi UU No. 1 Tahun 1974 pasal 31 dan KHI tentang Perkawinan Pasal

79.

Page 144: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

123

Kedua, suami memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai

kepala keluarga dan istri juga memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai

ibu rumah tangga.

Ketiga, rumah kediaman disediakan suami dan suami istri wajib

tinggal dalam satu kediaman tersebut. Pada dasarnya suami wajib

menyediakan tempat tinggal yang tetap, namun dalam kasus-kasus tertentu

rumah kediaman tersebut dapat diwujudkan secara bersama-sama.

Keempat, belanja kehidupan menjadi tanggung jawab suami

sedangkan istri wajib membantu suami mencukupi biaya hidup tersebut.

Kelima, si istri bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan

membelanjakan biaya rumah tangga yang diusahakan suaminya dengan

cara-cara yang benar, wajar dan dapat dipertanggung jawabkan.213

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa apa yang menjadi

kewajiban suami, menjadi hak istri, begitu pula sebaliknya. Dengan

demikian jelas sekali, bahwa hukum fikih Islam dan hukum positif di

Indonesia dalam masalah perkawinan, semuanya mensejajarkan

kedudukan wanita sebagai istri dengan pria sebagai suami. Keduanya

adalah mitra sejajar dalam rumah tangga. Kalau ada perbedaan antara

mereka dalam hak dan kewajiban, itu bukan sebagai sesuatu yang

bertentangan, tetapi sebagai sesuatu yang saling melengkapi dan saling

menyempurnakan, karena kodrat masing-masing. Materi hukum positif di

Indonesia dalam masalah perkawinan adalah diadopsi dari hukum fikih

Islam. Ini menunjukkan bahwa hukum fikih Islam tentang perkawinan,

khususnya dalam masalah hak dan kewajiban suami istri, telah menjadi

Hukum Nasional di Indonesia.

5. Harta Bersama dalam Perkawinan

213 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam,

(Jakarta : UI Press, 1982), 73-78.

Page 145: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

124

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengenai harta

bersama214 diatur dalam Pasal 35 s/d Pasal 37, dan dalam KHI tentang

Perkawinan di atur dalam Pasal 85 s/d Pasal 97.

Bersamaan dengan harta bersama / harta kekayaan dalam

perkawinan diatur pula mengenai harta bawaan215 masing-masing dari

suami dan istri, harta bawaan tidak termasuk harta bersama.

Dalam pasal-pasal tersebut tidak ditentukan siapa yang

mendapatkan harta bersama itu, apakah istri atau suami yang

mendapatkannya. Dengan demikian, berarti semua harta kekayaan yang

diperoleh selama perkawinan, adalah merupakan harta bersama.

Islam tidak mengatur kepemilikan harta secara komunal, kecuali

dalam bentuk serikat usaha dagang (shirkah).

Masalah harta bersama suami-istri, belum dijumpai dalam kitab-

kitab fikih klasik. Uraiannya masih terkait dengan konsep kewajiban

mencari nafkah kepada suami dan istri menjadi ibu rumah tangga.216

Tampaknya para ulama fikih mengabaikan masalah harta bersama, atau

harta kekayaan yang diperoleh dalam perkawinan, sehingga terkesan,

bahwa peran istri dalam rumah tangga hanya mengurus suami serta anak-

anaknya tanpa ada peran dalam finansialnya.217 Padahal pekerjaan istri di

rumah sebagai ibu rumah tangga mengatur dan mengerjakan berbagai

urusannya, termasuk mengurus anak-anaknya, itu berimbang dengan

214 Harta bersama adalah harta yang diperoleh secara bersama di dalam

perkawinan – Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 290. 215 Harta bawaan adalah harta benda yang dibawa ketika menikah harta

bawaan ini, terbagi dua, harta bawaan suami dan harta bawaan istri. Harta bawaan suami di sebut, “binatoh” dan harta bawaan istri disebut “dapean”. Lihat Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 299

216 Lihat : Q.S. al Nisa’ : 34 217 Dalam Al Quran Ali ‘Imran : 195, al Nisa’ : 124, al Nahl : 97, dan Ghofir :

40, dapat dijadikan dasar kesetaraan jender, karena ayat-ayat tersebut mengisyarakatkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan, bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan prempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal – lihat Amiur Nuruddin, dan Azhari Ahmad Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 204.

Page 146: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

125

pekerjaan suami bahkan mungkin lebih berat hanya saja pekerjaan suami

itu mendapatkan uang, sedangkan pekerjaan istri di rumah tidak

mendatangkan uang.218 Seharusnya dapat dianggap sebagai suatu

kerjasama yang harmonis, yang saling melengkapi dan saling tolong

menolong dalam membina rumah tangga. Demikian pula halnya jika

suami istri itu sama-sama bekerja di luar rumah mereka bersama-sama

memikul beban dalam rumah tangga dan selalu kerjasama. Sebenarnya

harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan, dapat dikatakna

sebagai harta syirkah (perkongsian), karena setelah selesai akad nikah,

maka mulai pada saat itu urusan rumah tangga dipikul bersama, dengan

pembagian tugas sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing

sehingga harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan dapat

dikatakan sebagai harta bersama.219

Oleh sebab itu wajarlah masalah harta bersama ini diatur dalam

UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. Hal ini sesuai dengan

kondisi sosial masyarakat Indonesia, terutama dalam fungsi suami-istri.

Oleh sebab itu masalah dan ketentuan harta bersama tersebut, adalah

sebagai fikih Indonesia.

Menurut Busthanul Arifin, bahwa UU No. 1 tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan menetapkan setengah dari

harta bersama adalah milik istri, manakala terjadi cerai mati, atau cerai

hidup. Dasar pemikirannya adalah, kurang tepat mengukur bagian istri

dengan nilai saham istri dalam mengumpulkan harta bersama itu. Apalagi

kalau saham istri itu dinilai dengan keharusan hasil usaha yang nyata

218 Ulama fikih klasik belum membahas masalah harta bersama dalam kitab-

kitab fikih, agaknya terkait oleh situasi dan kondisi masyarakat pada masa ulama fikih tersebut mencetuskan ijtihadnya – Lihat Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 122

219 Walaupun dalam kitab-kitab fikih klasik belum diatur tentang harta bersama, namun karena kemaslahatannya terhadap keutuhan rumah tangga dapat dibuktikan, dan berdampak kepada kesamaan hak dan kewajiban suami istri, maka hukum positif di Indonesia tentang perkawinan mengesahkan keberadaan harta bersama dan menjadi salah satu wewenang pengadilan agama.

Page 147: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

126

seperti halnya suami. Pada hal fungsi dan kedudukan suami istri telah

ditegaskan seimbang. Perkawinan dalam Islam disebut “mithaqan

ghalizan”, perjanjian hukum yang kokoh220.

Selanjutnya Busthanul Arifin mengatakan, bahwa kenyataan

yang sulit dipungkiri adalah sekulum senyum istri yang menyambut sang

suami pulang dari pekerjaan mencari nafkah telah merupakan modal yang

tidak ternilai dalam menumbuhkan semangat kerja sang suami. Apakah itu

belum, atau tidak merupakan saham sang istri yang tidak dapat dinilai

dengan uang dan harta221

Penulis sependapat dengan pandangan Busthanul Arifin yang

mengatakan, bahwa setengah dari harta bersama adalah milik istri,

manakala terjadi cerai mati, atau cerai hidup dengan alasan-alasan yang

telah dikemukakannya, bahwa fungsi dan kedudukan suami-istri dalam

rumah tangga itu seimbang. Hanya saja penulis tidak sependapat dengan

Busthanul Arifin yang mengatakan, aneh kalau pembagian harta bersama

diukur dengan ukuran kongsi dalam perdagangan.222

Penulis berpendapat, bahwa kedudukan istri dalam perkawinan,

selain seperti yang telah dikemukakan oleh Busthanul Arifin di atas dapat

pula dikatakan bagaikan orang berkongsi saham pada harta bersama,

karena begitu terjadi akad nikah, maka pada saat itu juga suami istri telah

memikul bersama urusan rumah tangga sesuai dengan hak dan kewajiban

masing-masing.

6. Putusnya Perkawinan serta Akibatnya.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 38,

perkawinan dapat putus karena : a kematian b. perceraian dan c.

keputusan pengadilan.

220 Lihat : Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 123. 221 Lihat Bustahul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 123. 222 Lihat Bustahul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 123.

Page 148: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

127

Putusnya perkawinan yang disebutkan dalam UU No. 1 tahun

1974 tentang Perkawinan tersebut, juga disebutkan dalam KHI buku 1

tentang perkawinan pada Pasal 113. 223

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan BAB VIII

masalah putusnya perkawinan serta akibatnya disatukan pada Pasal 38 s/d

Pasal 40, sedangkan dalam KHI Buku I tentang perkawinan, dipisahkan

Pasal-Pasal tentang putusnya perkawinan dengan akibat putusnya

perkawinan. Putusnya perkawinan disebutkan pada Bab XVI yaitu pada

pasal 113 s/d pasal 148.”akibat putusnya hubungan perkawinan”

disebutkan pada Bab XVII, yaitu pada pasal 149 s/d pasal 162.

Putusnya perkawinan serta akibatnya yang disebutkan dalam

hukum Islam Indonesia (UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan), sama dengan pembahasan hukum fikih Islam tentang

putusnya perkawian dan akibatnya. Berbeda hanya dalam urutan

penyebutan putusnya perkawinan. Dalam Hukum Islam, pembahasan

tentang talak dan yang terkait dengannya didahulukan dari pada

pembahasan tentang kematian dan putusan pengadilan.224

Putusnya perkawinan karena perceraian dalam hukum fikih

Islam dapat terjadi karena talak, khulu, fasakh dan putusan pengadilan.

a. Perceraian karena talak :

Dalam fikih Islam pengertian talak225 didefinisikan oleh para

ulama fikih, antara lain sebagai berikut :

1) Menurut Taqiyuddin, talak adalah melepaskan ikatan nikah.226

223 Putusnya perkawinan, baik dari segi Hukum Fikih Islam, maupun secara

tehnis pelaksanaannya, dalam UU No. 1 Tahun 1974 terdapat pada Pasal 38 s/d Pasal 40, dan dalam KHI tentang Perkawinan terdapat pada Pasal 113 s/d Pasal 148.

224 Lihat : Kitab-kitab fikih, seperti al Nawawy, al Majmu’, Sharh al Muhadhdhab, Imam Taqiyuddin, Kifayah al Akhyar, Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtasid, wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, dan lain-lain.

225 Talak berasal dari bahasa Arab yaitu, “al Talaq” yang berarti melepaskan atau meninggalkan. Juga berarti perempuan terlepas dari ikatan perkawinan dengan suaminya, atau melepaskan ikatan. Lihat : Majma’ al Lughah al ‘Arabiyah, al Mu’jam al Wasit, Jilid II, 563 – Al Jurjany, al Ta’rifat, 144.

Page 149: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

128

2) Menurut Abd. Rahman al-Jaziry, talak adalah melepaskan ikatan

dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.227

3) Menurut al Sayid Sabiq, talak adalah melepaskan ikatan

perkawinan dan mengakhirinya.228

4) Sedangkan menurut al Jurjany, talak adalah menghilangkan

kepemilikan nikah.229

Dari pengertian talak yang telah dikemukakan di atas, dapat

disimpulkan, bahwa talak merupakan sebuah institusi yang digunakan

untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian berarti

ikatan perkawinan dapat diputus. Tata caranya telah diatur dalam

hukum fikih Islam dan telah diadopsi dalam hukum positif di

Indonesia, melalui UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.

Sebenarnya Islam menginginkan langgengnya kehidupan

perkawinan. Akad nikah diadakan, adalah untuk selamanya dan

seterusnya hingga diputuskan oleh kematian, agar suami istri bersama-

sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung,

rumah tangga sakinah, mawaddah wa rahmah, menikmati kasih

sayang dan dapat memelihara anak-anaknya, hidup dalam

pertumbuhan yang baik dan berkualitas. Oleh sebab itu ikatan

perkawinan disebut dengan ikatan yang kokoh (میثاقا غلیظا).230 Karena

itu ikatan suami istri yang kuat dan kokoh itu, tidak sepatutnya

dirusakkan, atau diputuskan. Memutuskan ikatan perkawinan dibenci

oleh Islam, karena menghilangkan kemaslahatan antara suami istri. Hal

226 Taqiyuddin, Kifayah al Akhyar, (Bandung : Al Ma’arif, t.t), Jilid II,

84. 227 Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh’ala al Madhahib al Arba’ah, Jilid III,

h. 278. 228 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 206. 229 Al Jurjany, al Ta’rifat, 144. 230 Lihat Q.S. al-Nisa (4) : 21.

Page 150: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

129

ini disebutkan dalam Hadis Nabi SAW, bahwa perbuatan halal yang

sangat dibenci Allah adalah talak.231

Talak itu dibenci bila tidak ada suatu alasan yang benar untuk

melakukannya. Menurut al Sayid Sabiq hal ini disebabkan karena

bercerai itu dianggap kufur terhadap nikmat Allah. Sedangkan kawin

adalah suatu nikmat dan kufur terhadap nikmat adalah haram. Jadi

tidak halal bercerai (melakukan talak), kecuali karena darurat.232

Jika suami istri sudah tidak lagi saling mencintai, tidak lagi

saling menyayangi, tidak lagi saling menghormati dan saling tidak

mempercayai, sudah tidak saling setia, terus menerus cekcok dan tidak

bisa lagi didamaikan, maka wajarlah mereka bercerai, karena keadaan

mereka dalam rumah tangga tidak sesuai lagi dengan tujuan

disyariatkannya perkawinan seperti yang telah disebutkan di atas. Jadi

pada prinsipnya, Islam tidak memberi peluang untuk terjadinya

perceraian, kecuali pada hal-hal yang darurat.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39

ayat (2) dikatakan, bahwa untuk melakukan perceraian harus ada

cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup

rukun sebagai suami istri.233

Adapun hal-hal yang kemungkinan dapat memicu terjadinya

perceraian, antara lain :

a) Terjadinya nushuz234 dari pihak istri, atau dari pihak suami

231 Hadis yang dimaksud dalam uraian di atas, adalah :

““)(

“Perbuatan halal paling dibenci Allah ‘Azza wa Jalla adalah talak” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan al Hakim dari Ibnu Umar). Lihat : Al Suyuti, al Jami’ al Saghir, Jilid I, 5.

232 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, 207. 233 Sehubungan dengan masalah tersebut, lihat pula KHI Buku I tentang

perkawinan pasal 116. 234 Nushuz adalah pembangkangan yang dilakukan oleh istri terhadap

suaminya, atau suami acuh dan tidak peduli kepada istrinya, tidak memberi nafkah lahir batin, melakukan kekerasan terhadap istri dan lain-lain Lihat : Departemen Agama RI, Al Quran dan Tafsirnya, Jilid II, 273.

Page 151: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

130

(1) Nushuz dari pihak istri terhadap suami.

Nushuz istri bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah,

penyelewenangan dan hal-hal yang dapat mengganggu

keharmonisan rumah tangga. Al Quran memberi tuntunan kepada

suami untuk mengatasi nushuz istri agar tidak terjadi perceraian,

sebagaimana firman Allah dalam surah al-Nisa’ (4) : 34235 memberikan

opsi kepada suami, yaitu :

(a) Suami memberi nasihat kepada istri dengan cara yang ma’ruf agar

ia segera sadar terhadap kekeliruan yang dilakukannya.

(b) Pisah ranjang, Sebagian Ulama mengartikan kata نھفاھجرو , dengan

makna “hendaklah bekot/tidak bicara kepada istri selama tiga

hari236. Cara ini dilakukan sebagai hukuman psikologis bagi istri

dan dalam kesendirianya, atau tidak ngomong dengannya selama

tiga hari itu, ia dapat mengoreksi dirinya dari kesalahan-kesalahan

yang dilakukannya.

(c) Kalau dengan dua cara yang telah disebutkan di atas tidak berhasil,

maka langkah yang ketiga dilaksanakan oleh suami adalah

235 Q.s. Al-Nisa’ (4) : 34 menerangkan cara mengatasi nushuz istri yaitu:

Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagain dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nushuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

236 Menurut wahbah al Zuhaily, jika terjadi nushuz istri, maka hendaklah suami pisah ranjang dengan istrinya yang nusyuz itu, karena menurut riwayat al Bukhary dan Muslim dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW pernah melakukannya kepada istri-istrinya selama sebulan. Bekot/tidak bicara dengan istri yang nushuz maksimal tiga hari, tidak boleh lewat dari tiga hari karena Rasulullah SAW mengharamkan bekot/tidak bicara atau orang Islam lebih dari tiga hari. Lihat wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamiy wa adillatuh, 339.

Page 152: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

131

memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya, yaitu dengan

pukulan yang tidak memberi bekas, atau tidak menyakiti.237

Nushuz istri tersebut telah dimasukkan dalam KHI tentang perkawinan

pada pasal 80, 84.

(2) Nushuz suami terhadap istri.

Kemungkinan Nushuz ternyata ada juga datang dari suami.238 Selama

ini sering disalah pahami, bahwa nushuz hanya datang dari pihak istri

saja. Padahal Al-Quran, juga menyebutkan adanya nusyuz dari suami

seperti yang terlihat dalam Al Quran surah al-Nisa’ ayat 128.239

Nushuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari

pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri,240 baik nafkah

lahir maupun nafkah batin.

237 Sebagain orang mengatakan bahwa perintah Allah dalam q.s. al-Nisa’

(4) : 34 ini merupakan tindak kekerasan terhadap istri dan melanggar HAM. Anggapan tersebut tidak benar, karena pada dasarnya Islam melarang untuk memukul istri. Allah membolehkan memukul itu, karena darurat, dengan pukulan yang tidak keras dan tidak mencederai, atau tidak menyakiti, dengan tujuan untuk mendidik dan kemaslahatan serta kelanggengan rumah tangga istri tersebut. Jika pukulan itu menyakiti, atau mencederainya, maka Islam tidak memperbolehkannya, bahkan mengharamkannya. Memukul itu merupakan tahap terakhir dari proses mendidik dan memperbaiki akhlak istri. Lihat : Huzaemah Tahido Yanggo, Al Quran Kitab Suci Aktual Sepanjang Zaman, Dalam Jurnal Misykat, (Jakarta : Pasca Sarjana IIQ, 2008), vol. I, No. 2, 10.

238 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), 270, Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), 93.

239 Q.S. al Nisa’ ayat 128.

Artinya : “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[358], dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nushuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

240 Nushuz suami terhadap istri disebutkan oleh Q.S. al-Nisa’ (4) : 128, tetapi dalam KHI tentang Perkawinan dan UU No. 1 tahun 1974 belum dimasukkan. Demikian pula nushuz istri terhadap suami belum dimasukkan dalam UU

Page 153: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

132

Berkenaan dengan tugas suami terhadap istri tersebut

berangkat dari Hadis Nabi SAW, dinyatakan antara lain adalah :

(a) Memberi sandang dan pangan kepada istri

(b) Tidak memukul wajah jika terjadi nushuz istri

(c) Tidak mengolok-olok dengan mengucapkan hal-hal yang

dibenci/tidak disukai istri

(d) Tidak menjauhi istri, atau berpisah dengannya, kecuali di dalam

rumah.241

Sebenarnya kewajiban suami terhadap istri sudah dijelaskan

dalam Al Quran, misalnya dalam surah al-Nisa’ : 34, al-Baqarah : 233

dan lain-lain, kemudian dipertegas lagi oleh Hadis Nabi SAW, bahwa

suami harus memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan

dilarang menyakitinya, baik lahir, maupun batin, fisik dan mental. Jika

hal ini terjadi, dapat dikatakan sebagai satu bentuk nushuz suami

kepada istri.

Jika suami melalaikan kewajibannya dan sudah diingatkan

berulangkali oleh istrinya, tetapi tidak ada perubahan, maka Al Quran

menganjurkan kepada istri untuk melakukan perdamaian dan agar

lebih sabar dalam menghadapi suaminya serta merelakan hak-haknya

dikurangi untuk sementara waktu, agar perceraian tidak terjadi.242

Perkawinan, tetapi telah dimasukkan dalam KHI Buku I tentang perkawinan pada pasal 84.

241 Adapun Hadis yang berkenaan dengan tugas dan kewajiban suami terhadap istri adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah dari Mu’awiyah al Quraish, bahwasannya Nabi SAW ditanya oleh seorang laki-laki tentang apa hak perempuan (istri) dari suaminya? Rasulullah menjawab :

“Engkau beri makan padanya (istri) jika engkau makan, engkau beri ia pakaian jika engkau memakai pakaian, jangan engkau mengolok-oloknya (mengucapkan hal-hal yang tidak sukai) dan jangan engkau menjauhinya /berpisah tempat tidur dengannya, kecuali di dalam rumah Lihat: Al Shaukany, Nail al Autar, Jilid VI, 211.

242 Lihat : Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 211.

Page 154: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

133

Inilah ayat yang menurut Sayuti Thalib yang dijadikan dasar

untuk merumuskan tata cara dan syarat-syarat bagi ta’lik talak sebagai

bentuk perjanjian perkawinan. Maksudnya untuk mengantisipasi dan

sekaligus sebagai cara untuk menyelesaikan masalah apabila suami

melakukan nushuz.243

Sedangkan Abd Manan mengatakan bahwa ta’lik talak

menurut Mahmud Shaltut adalah jalan yang terbaik untuk melindungi

kaum wanita dari perbuatan tidak baik dari pihak suami. Sekiranya

seorang suami telah mengadakan perjanjian ta’lik talak ketika akad

nikah dilaksanakan dan bentuk perjanjian itu telah disepakati bersama,

maka perjanjian ta’lik talak dianggap sah untuk semua bentuk ta’lik.

Apabila suami melanggar perjanjian yang telah disepakati itu, maka

istri dapat meminta cerai kepada Hakim yang ditunjuk oleh pihak yang

berwenang.244

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa ternyata nushuz

tidak hanya terjadi dari pihak istri, tetapi dapat pula datang dari suami

sebagaimana disebutkan pada ayat 128 surat al-Nisa’. Nushuz suami

belum dimasukkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan.

b) Terjadinya shiqaq (percekcokan/persengketaan)

Terjadinya shiqaq terus menerus antara suami-istri dalam

suatu rumah tangga, dapat memicu terjadinya perceraian, atau

putusnya perkawinan. Hal ini disebabkan, misalnya kesulitan ekonomi,

suami atau istri selingkuh, atau tidak melaksanakan kewajiban,

sehingga suami-istri sering bertengkar.

243 Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata

Islam di Indonesia, 211, 212. 244 Abd. Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan

Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 2001), 278.

Page 155: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

134

Untuk mengatasi perselisihan dan pertengkaran yang terus

menerus antara suami-istri, Al Quran memberikan jalan ke luar, yaitu

pada surah al-Nisa (4) : 35,245 agar hendaklah diutus seorang hakam

(juru damai) dari keluarga suami dan seorang hakam (juru damai) dari

keluarga istri. Kedua hakam itu dikirim oleh yang berwajib, atau oleh

suami-istri, atau oleh keluarga suami-istri.246 Menurut al Maraghy,

perintah mengutus dua orang Hakam yang disebutkan dalam ayat

tersebut bersifat wajib.247

Dua orang hakam itu sebaiknya seorang dari keluarga suami

dan seorang dari keluarga istri, dan boleh dari orang lain. Tugas

Hakam itu ialah untuk mengetahui persoalan perselisihan yang terjadi

dan sebab-sebabnya kemudian berusaha mendamaikan keduanya.

Tugas serupa itu tepat dilaksanakan oleh orang yang bijaksana,

meskipun bukan dari keluarga suami istri yang mungkin lebih

mengetahui rahasia persengketaan itu dan lebih mudah bagi keduanya

untuk menyelesaikannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari

terjadinya perceraian.248

Jika usaha kedua orang hakam dalam mencari islah antara

kedua suami-istri yang bersengketa pada tahap pertama tidak berhasil,

maka diusahakan lagi penunjukan dua hakam yang sifatnya sebagai

245 Shiqaq berarti perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua

orang Hakam (juru damai), seorang Hakam dari pihak suami dan seorang Hakam dari pihak istri – Lihat : al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 264

Q.S. Al-Nisa’: 35 :

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

246 Depag RI, Al Quran dan Tafsirnya, 155. 247 Ahmad Mustafa al Maraghy, Tafsir al Maraghy, (Bairut: Dar al Fikr,

1365 H), Jilid II, 31. 248 Depag RI, Al Quran dan Tafsirnya, 155.

Page 156: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

135

wakil dari suami istri yang bersengketa dalam batas-batas kekuasaan

yang diberikan kepadanya. Kalaupun ini belum berhasil, maka untuk

ketiga kalinya dicari lagi dua orang hakam yang akan mengambil

keputusan, dan keputusan itu mengikat.249

Dengan demikian, berarti kedudukan Hakam sangat penting

untuk menangani kasus-kasus sengketa/cekcok antara suami istri agar

tidak terjadi perceraian antara mereka.250

c) Salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau selingkuh.

Jika salah satu pihak dari suami-istri berbuat zina, atau

berselingkuh, maka hal ini dapat memicu kepada pertengkaran, karena

dapat menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya. Cara

menyelesaikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang

didakwakan dengan cara li’an.251 Li’an sesungguhnya telah memasuki

gerbang putusnya perkawinan dan bahkan untuk selama-lamanya.

Karena akibat li’an adalah terjadinya talaq bain kubra.252

249 Depag RI, Al Quran dan Tafsirnya, 155. 250 Masalah hakam (juru damai) yang ditunjuk dari masing-masing 1

orang dari pihak suami dan istri, dimana kedua hakam inilah yang ditugaskan untuk mendamaikan suami-istri jika terjadi cekcok di antara keduanya, sebelum perkaranya diajukan ke Pengadilan Agama belum disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. Kalau suami-istri dapat berdamai melalui kedua hakam tersebut, maka suami-istri itu tidak perlu lagi ke Pengadilan Agama.

251 Li’an diambil dari akar kata la’nan yang berarti menjauhkan diri dari kebaikan. Orang yang melakukan, li’an disebut “la’ana” yang berarti suami meli’an istrinya untuk membebaskan diriya dari sanksi terhadap tuduhannya atas istrinya berzina. Lihat : Majma’al Lughah al’Arabiyah, al-Mu’jam al Wasit, Jilid II, 829. Sedangkan makna, Li’an menurut istilah adalah suami yang menuduh istrinya berzina tanpa dapat menghadirkan empat orang saksi, lalu ia bersumpah empat kali, yang menyatakan bahwa ia benar dalam tuduhannya. Kemudian pada kelima kalinya ia mengucapkan, bahwa ia akan dilaknat oleh Allah kalau tuduhannya itu dusta. Lalu istri yang menyanggah tuduhan tersebut bersumpah pula empat kali, bahwa suaminya tela berdusta. Kemudian pada kelima kalinya ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat Allah kalau ternyata ucapan suaminya itu benar (Lihat Q.S. Al-Nur : 6-9). Lihat Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, 270.

252 Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, 270. Talak Ba’in ada dua macam : Talak Bain Sughra, yaitu talak yang kurang dari tiga kali talak dan boleh suami kembali kepada istrinya dengan akad nikah dan mahar baru. Talak Bain Kubra adalah talak tiga kali. Suami tidak boleh merujuk kepada istrinya lagi, kecuali setelah istrinya tersebut kawin dengan laki-laki lain dalam arti kawin yang sebenarnya dan pernah disetubuhi tanpa ada niat kawin tahlil, yaitu kawin rekayasa

Page 157: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

136

Terjadinya li’an adalah ketika suami menuduh istrinya

berzina, tetapi ia tidak dapat mengajukan empat orang saksi yang dapat

menguatkan kebenaran tuduhannya itu, atau suami tidak mengakui

kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya. Li’an harus dilakukan

di depan hakim (di Pengadilan).

Berkenaan dengan li’an tersebut, hukum dan tata caranya

telah diadopsi dalam KHI Tentang Perkawinan pada Pasal 125, 126,

127 dan Pasal 128. Tetapi dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan masalah li’an belum dimasukkan dalam UU tersebut.

b. Putusnya Perkawinan Karena Khulu’253

Kehidupan suami-istri hanya bisa tegak, kalau berada dalam

ketenangan, kasih sayang, pergaulan yang baik, dan masing-masing pihak

menjalankan kewajibannya dengan baik. Tetapi adakalanya terjadi suami

membenci istri, atau istri membenci suaminya. Kebencian itu kadang-

kadang semakin besar, perpecahan semakin dahsyat, penyelesaiannya

menjadi sulit, kesabaran menjadi hilang, sehingga hilang lenyaplah

ketenangan, kecintaan, kasih sayang dan kemauan melaksanakan

kewajiban yang menjadi sendi-sendi kehidupan keluarga. Sehingga

kehidupan suami-istri tidak dapat berdamai lagi, akhirnya rumah tangga

tidak dapat lagi dipertahankan.

Pada saat-saat seperti ini, Islam memberikan jalan keluar yang

terpaksa harus dilaksanakan. Jika kebencian terjadi dari pihak suami, maka

ditangannya terletak talak254. Jika kebencian terjadi dari pihak istri, maka

untuk menghalalkan suami pertama untuk kembali kepadanya. Lihat Al Sayid Sabiq : Fiqh al Sunnah, 237, 238.

253 Khulu’ menurut bahasa adalah seorang laki-laki menjatuhkan talak kepada istrinya dengan pembayaran tebusan darinya. Lihat Majma’ al Lughah al ‘Arabiyah, al Mu’jam al Wasit, Jilid I, h. 250. Sedangkan Khulu’ menurut istilah dalam fikih adalah perempuan (istri) membayar tebusan agar ia di talak oleh suaminya, Lihat : Ibnu Rushd Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtasid, Jilid II, 50.

254 Dasar hukum talak adalah Q.S. al Baqarah : 229.

Page 158: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

137

Islam membolehkannya untuk menebus dirinya dengan jalan khulu’.255

yaitu mengembalikan mahar kepada suaminya, guna mengakhiri ikatan

sebagai suami-istri.

Jumhur ulama, di antaranya adalah para Imam Mazhab empat,

berpendapat jika suami menceraikan istrinya dengan cara khulu’, berarti

istri telah berkuasa atas dirinya dan perkaranya sepenuhnya terserah dia

dan tidak ada lagi hak suami terhadapnya, karena istri telah mengeluarkan

hartanya untuk melepaskan dirinya dari ikatan suami istri. Kalau suami

tetap dianggap berhak ruju’, maka tidak ada artinya tebusan istri terhadap

suaminya itu, sekalipun kemudian mantan suaminya mengembalikan lagi

barang tebusan (‘iwad) dari istri sesudah terjadi khulu’ dan mantan istri itu

menerimanya. Namun mantan suami hukumnya tidak boleh ruju’ dalam

masa iddahnya, karena dengan khulu’ tersebut telah terjadi talaq ba’in.256

Diriwayatkan dari Ibnu Mussayyab dan Zuhry, bahwa jika

mantan suami, hendak merujuk kembali maka ia harus mengembalikan

tebusan yang diambil dari istrinya dalam masa iddahnya dan hendaklah

disaksikan oleh orang lain ruju’nya itu.257

Mantan suami boleh mengawini kembali istri yang

mengkhulu’nya dalam masa ‘iddahnya, asalkan mantan istrinya itu setuju

dan dilakukan dengan akad nikah yang baru.258

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.

255 Dasar hukum khulu’ adalah Q.S. al-Baqarah : 229.

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, Jika kamu (Wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum Allah maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”.

256 Al-Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 258. 257 Al-Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 258. 258 Al-Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 258.

Page 159: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

138

Khulu’ boleh dilakukan pada waktu istri dalam keadaan suci,

atau dalam keadaan haid, tidak terikat dengan waktu, karena tidak ada

penjelasan dari Al Quran yang menetapkan waktunya secara khusus.259

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, belum disebutkan

masalah perceraian dengan cara khulu (cerai gugat), hanya disebut dengan

istilah gugatan pada Pasal 40, tetapi dalam KHI tentang Perkawinan telah

disebutkan pada Pasal 119, dan 124, tata caranya disebutkan pada Pasal

148, dan akibatnya disebutkan pada Pasal 161.

c. Putusnya Perkawinan karena Fasakh260 dan putusan pengadilan.

Fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi

pada akad nikah, atau karena hal-hal lain datang kemudian yang

membatalkan kelangsungan perkawinan.

Contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam

akad perkawinan:

1) Setelah akad nikah ternyata isterinya adalah saudara

sesusuan.261 Hal ini disebutkan pula dalam KHI Buku I tentang

Perkawinan pada Pasal 70 sub (a), dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan Pasal 8 sub (d).

2) Suami-isteri masih kecil diakadkan oleh selain ayah atau datuknya,

kemudian setelah dia dewasa maka ia berhak untuk meneruskan

259 Lihat : Q.S. al-Baqarah : 229. 260 Memfasakh akad nikah, berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan

pertalian antara suami-istri. Fasakh tidak termasuk dalam bilangan talak. Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid 7, 510.

261 Menikah dengan saudara sesusuan hukumnya haram. Lihat : Q.S. al-Nisa : 23. Lihat pula : Ibnu Hajar al ‘Asqalany, Ibanah al Ahkam Sharh Bulugh al Maram, (Bairut: Libnan : Dar al Fikr, 1424 H – 2004 M), cet. I, Jilid III, 447, Hadis Nabi mengatakan :

“Diharamkan (menikah) dengan yang sesusuan sebagaimana diharamkan (menikah) dengan yang senasab”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Page 160: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

139

ikatan perkawinannya dahulu itu atau mengakhirinya.262 Ini disebut

khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami-isteri, maka

hal ini disebut fasakh akad. Contoh fasakh karena hal-hal mendatang

setelah akad.

3) Bila salah seorang dari suami-isteri murtad dari Islam dan tidak mau

kembali sama sekali. Maka akadnya fasakh (batal) disebabkan

kemurtadan yang terjadi belakangan ini.

4) Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi isteri tetap dalam

kekafirannya, yaitu tetap jadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh).263

Beda halnya kalau isteri orang ahli kitab, maka akadnya tetap shah

seperti semula. Sebab akad perkawinan dengan isteri ahli kitab dari

semulanya dipandang sah. Ulama berbeda pendapat dalam menentukan

hukum laki-laki Muslim menikahi wanita ahli kitab.264

Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengan talak,

Sebab talak ada talak raj’i dan ba'in. Talak raj’i tidak mengakhiri

ikatan suami-isteri dengan seketika. sedangkan, ba'in mengakhirinya

seketika itu juga. Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang terjadi

belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi,

ia mengakhiri ikatan perkawinan seketika itu. Selain itu, pisahnya

suami-isteri karena talak dapat mengurangi bilangan talak. Jika suami

mentalak isterinya dengan talaq raj'i, lalu ruju' lagi semasa iddahnya,

atau akad lagi sehabis iddahnya, dengan akad baru, maka perbuatannya

dihitung satu kali talak, dan ia masih ada kesempatan melakukan talak

dua kali lagi.

262 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 268 – Wahbah al Zuhaily, al Fiqh

al Islamy wa Adillatuhu, 348. 263 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, 349. 264 Jumhur Ulama membolehkan pernikahan laki-laki Muslim dengan

wanita Ahli Kitab. Dalam KHI Buku I tentang perkawinan laki-laki atau wanita yang beragama Islam tidak sah menikah dengan non Muslim. Lihat KHI Buku I tentang Perkawinan pasal 61 RUU HMPA Bidang Perkawinan pasal 57.

Page 161: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

140

Adapun pisahnya suami-isteri karena fasakh, maka hal ini

tidak berarti mengurangi bilangan talak, sekalipun terjadinya fasakh

karena khiyar baligh, kemudian kedua orang suami-isteri tersebut

kawin dengan akad baru lagi, maka suami tetap punya kesempatan tiga

kali talak.265

Ahli fikih golongan Hanafi ingin membuat rumusan umum

guna membedakan pengertian pisahnya suami-isteri sebab talak dan

sebab fasakh. Kata mereka: "Pisahnya suami-isteri karena suami dan

sama sekali tidak ada pengaruh isteri disebut talak. Setiap perpisahan

suami-isteri karena isteri, bukan karena suami, atau karena suami,

tetapi dengan pengaruh dari isteri disebut khulu’.266

Jika kondisi penyebab fasakh jelas, maka tidak perlu kepada

putusan Pengadilan seperti terbukti bahwa antara suami-isteri masih

saudara sesusuan, dalam keadaan seperti ini kedua suami-isteri wajib

memfasakh akad nikahnya dengan kemauannya sendiri.267

Jika kondisi penyebab fasakh masih samar-samar, maka perlu

diajukan ke Pengadilan dan bergantung kepada putusan tersebut.

Seperti fasakh karena isteri musyrik tidak mau masuk Islam, sedang

suaminya telah masuk Islam. Sebab mungkin saja isteri musyrik

tersebut mau masuk Islam (setelah berada di Pengadilan) sehingga

dengan demikian akad nikahnya tidak perlu difasakh.

Imam Malik, Shafi’i dan Ahmad membolehkan perceraian

dengan putusan pengadilan,268 jika istri menuntutnya, karena tidak

265 Lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 269.

266 Lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 125 267 Lihat : Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 126 268 Yang dimaksud dengan Pengadilan adalah Pengadilan Agama, Lihat :

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 63 Ayat 1 sub (a).

Page 162: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

141

diberi nafkah269 oleh suaminya, sedangkan suaminya itu tidak

mempunyai simpanan harta.270

Adapun alasan mereka adalah sebagai berikut :

a) Suami berkewajiban memelihara istrinya dengan baik atau

menceraikannya dengan baik. (QS. al-Baqarah : 220 dan 231)

b) Hadis Nabi SAW yang mengatakan, bahwa tidak boleh berbuat

mudharat kepada orang lain, atau membahayakannya.271

Bahaya yang paling besar bagi seorang istri adalah tidak diberi

nafkah. Karena itu, alasan tidak diberikan nafkah, maka Pengadilan

hendaklah menyelamatkannya dari bahaya ini.

c) Jika diakui bahwa Pengadilan boleh menetapkan perceraian karena

cacat suami, maka karena alasan nafkah dapat dikatakan lebih

membahayakan dan menyakitkan isteri daripada cacad tersebut.

Jadi alasan tidak diberi nafkah lebih utama untuk menetapkan

perceraian tersebut.

Golongan Hanafi berpendapat bahwa tidak boleh Pengadilan

menetapkan perceraian karena alasan nafkah, baik karena tidak mau

memberinya, atau karena dalam keadaan sulit ekonomi dan tidak

mampu.272 Karena kewajiban memberikan nafkah hanya sesuai dengan

kemampuan suami berdasarkan firman Allah dalam surah al Talaq

ayat : 7.273

269 Yang dimaksud dengan nafkah dalam masalah ini, adalah nafkah

pokok (primer) seperti : makan, pakaian, rumah tempat tinggal walaupun sangat sederhana sesuai dengan kemampuan suami dan lain-lain yang dibutuhkan oleh keluarga.

270 Lihat Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 246 271

Artinya : “Tidak boleh membahayakan dan membalas dengan bahaya”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).

272 Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 247

Page 163: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

142

Selain beralasan dengan ayat 7 al Talaq, golongan Hanafi

berasalan pula bahwa : para Sahabat ada yang kaya ada yang miskin.

Tidak pernah diriwayatkan adanya seorang Sahabatpun yang pernah

diceraikan oleh Nabi s.a.w. dari isterinya, karena kemelaratan dan

kemiskinannya sehingga tidak dapat memberi nafkah. Begitu pula

Nabi s.a.w. pernah dimintai oleh para isterinya apa yang tidak mampu

beliau berikan. Lalu beliau tinggalkan istri-isterinya selama sebulan

sebagai hukuman kepada mereka.274

Jika isteri boleh dihukum, karena menuntut apa yang tidak

kuasa suami memberinya, maka dipandang lebih besar kezalimannya

menuntut perceraian di saat suami dalam kesulitan nafkah. Para Ulama

berkata: Jika suami yang mampu tidak memberi nafkah isterinya

dipandang zalim, maka cara mengatasi kezaliman ini dengan menjual

hartanya yang ada untuk dibayarkan kepada istrinya sebagai nafkah,

atau suami dipenjara sampai mau membayar nafkah. Tidak boleh

menjatuhkan talak dalam mengatasi kezaliman ini, selama cara lain

masih bisa. Sekalipun tidak mau memberi nafkah itu suatu kezaliman,

tetapi karena alasan ini Pengadilan belum boleh menjatuhkan talak

sebab talak adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah275

walaupun talak itu haknya. Karena itu, bagaimana hendak dibenarkan

Pengadilan menjatuhkan talak padahal dia bukan pemegang haknya,

dan bukan pula talak jalan satu-satunya untuk mengatasi kezaliman.276

Artinya:”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut

kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.

274 Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 247 275 Hadis berkenaan dengan hal tersebut di atas adalah :

Lihat : Jalaluddin al Suyuty, al Jami’ al Saghir, 5. 276 Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 247

Page 164: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

143

Demikianlah, jika suami mampu memberi nafkah. Tetapi jika

ia seorang miskin, maka tidaklah ia dikatakan berbuat zalim, kalau

tidak memberikan nafkah kepada isterinya. Sebab Allah tidak

memaksa seseorang lebih dari apa yang ia berikan kepadanya.277

Imam Malik berpendapat, istri berhak meminta kepada

Pengadilan agar menjatuhkan talak, jika ia beranggapan suaminya

telah berbuat membahayakan dirinya sehingga tidak sanggup lagi

untuk melangsungkan pergaulan suami isteri, seperti: Karena suka

memukul atau menyakiti dengan cara apapun yang tidak dapat dia

tanggung lagi, atau dengan memakinya atau memaksa dia

mengucapkan atau berbuat mungkar.278

Jika tuduhan di depan Pengadilan terbukti dengan keterangan

istri atau karena pengakuan suami, sedangkan hubungan suami istri

tidak dapat lagi diteruskan karena perbuatan yang menyakitkan oleh

suami dan Pengadilan tidak mampu mendamaikan mereka, maka boleh

dijatuhkan talak bain279 kepada istrinya.280

Jika istri tidak dapat mengajukan bukti, atau suami tidak

mengakui tuduhan yang dihadapkan kepadanya, maka tuduhannya

batal.

Jika terjadi pengaduan berulang kali oleh isteri, dan ia minta

untuk dijatuhkannya talak, tetapi Pengadilan belum dapat memperoleh

kebenaran tuduhannya, maka Pengadilan dapat mengajukan dua orang

penengah dengan syarat kedua duanya adalah laki-laki yang adil dan

277 Lihat : Q.S. al Talaq : 7. 278 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII,

527, 528. 279 Talak bain yaitu talak yang ketiga kalinya, talak sebelum istri digauli

dan talak dengan tebusan oleh istri kepada suaminya. 280 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII,

528.

Page 165: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

144

cakap, punya pengetahuan tentang diri kedua suami istri tersebut dan

mampu untuk mendamaikan mereka berdua.281

Selanjutnya berkenaan dengan kepergian suami (suami

mafqud) pengadilan dapat menjatuhkan talak karena kepergian suami

itu meninggalkan istri. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Ahmad

Imam Malik menganggap sebagai talak bain, sedang Imam Ahmad

menganggap sebagai fasakh.282

Hal ini guna melepaskan isteri daripada kesusahan yang

dideritanya. Karena itu isteri berhak menuntut pemisahan, jika suami

pergi meninggalkannya, sekalipun suami punya harta sebagai

pembayar nafkahnya, dengan syarat:

1) Perginya suami dari isterinya tanpa ada alasan yang dapat diterima.

2) Perginya dengan maksud menyusahkan isteri.

3) Perginya ke luar negeri dari negeri tempat tinggalnya.

4) Lebih dari satu tahun, dan isteri merasa dibuat susah.283

Jika kepergian suami dari istrinya dengan alasan yang dapat

diterima seperti untuk menuntut ilmu atau berdagang, atau sebagai

pegawai bertugas di luar daerah atau tentara yang bertugas di tempat

yang jauh, maka dalam keadaan yang seperti ini isteri tidak dibenarkan

untuk minta cerai (talak). Begitu pula halnya kalau perginya suami

hanya dalam negeri tempat kediamannya sendiri, kecuali Ulama

Malikiyah tidak membedakan antara Mafqud karena alasan menuntut

ilmu dan lainnya.284

281 Berkenaan dengan dua orang Hakam untuk mendamaikan suami-istri

yang cekcok, lihat Q.S. al-Nisa’ : 35. 282 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII,

532, 533. 283 Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 250 284 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII,

533.

Page 166: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

145

Isteri juga berhak minta talak karena kesusahan yang

dialaminya. Sebab suami jauh daripadanya, bukan pergi

meninggalkannya. 285

Dalam tempo lewat setahun harus ternyata adanya kesusahan

(bahaya) bagi isteri dan ia merasakan perasaan hampa (liar)

sehingga khawatir dirinya akan terjerumus ke dalam perbuatan yang

diharamkan Allah.

Penentuan jangka setahun ini adalah pendapat Malik. Tapi

ada yang berpendapat tiga tahun.286

Ahmad berpendapat, bahwa jangka paling pendek isteri

dibolehkan menuntut pemisahan adalah setelah berlalu enam bulan.

Karena selama enam bulan itu merupakan jarak waktu perempuan

sanggup bersabar ditinggalkan pergi oleh suaminya, jawaban Hafsah

atas pertanyaan Khalifah Umar.287

Termasuk dalam soal pemisahan ini menurut Malik dan

Ahmad ialah pemisahan karena suami dipenjarakan. Sebab dengan ia

dipenjarakan akan mengakibatkan isteri susah, karena jauh dari

suaminya. Bila suami diputus hukum penjara tiga tahun atau lebih

putusannya sudah mendapat kekuatan hukum dan diberlakukan kepada

suami, lalu berjalan setahun atau lebih suami menjalaninya sejak hari

diputuskannya, maka istri berhak menuntut talak kepada Pengadilan,

karena ia mengalami kesusahan akibat jauhnya ia dari suaminya. Jika

hal kesusahan itu terbukti, maka Pengadilan dapat menjatuhkan sekali

talak, ba'in. Demikianlah pendapat Malik.288 Tetapi menurut Ahmad

dipandang fasakh.289 Ibnu Taimiyyah berkata: Begitu pula dengan

285 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 533. 286 Tahun yang dimaksud dalam ungkapan di atas adalah tahun Hijriyah. 287 Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 250 288 Lihat: Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII,

h. 535 – dan Ibnu Qudamah, al Mughny, Jilid VII, 488. 289 Lihat: Ibnu Qudamah, al Mughny, Jilid VII, 488

Page 167: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

146

isteri yang suaminya tertawan, dipenjara dan lain sebagainya, dimana

isteri tidak dapat berhubungan badan dengannya. Hal ini sama dengan

suami yang hilang. Demikianlah pendapat Ijma'290

Jika putus perkawinan karena perceraian, sedangkan suami

istri mempunyai anak di bawa umur, maka ayah dan ibu tetap

berkewajiban memelihara dan mendidik anak, yang dalam istilah

hukum fikih Islam disebut Hadanah (حضانة)291

Pengarang kitab al-Ikhtiyar, mengenai hal tersebut,

mengatakan, "Ketika anak masih kecil lemah untuk memperhatikan

segala kemaslahatan dirinya, maka Allah menjadikan untuk tugas

tersebut orang yang akan membimbing dan mengurusnya. Sehingga

nafkah anak, urusan harta kekayaan dan berbagai macam transaksi

(akad) diserahkan kepada laki-laki (suami), sebab mereka lebih kuat

dan lebih mampu dalam hal tersebut. Sedang urusan pendidikan,

pengurusan, dan perawatan diserahakan kepada wanita (istri) sebab

mereka lebih sayang dan lebih lembut serta lebih mampu untuk

memberikan pendidikan dan pengasuhan ketimbang laki-laki. Sungguh

Allah telah memberikan kepada mereka rasa cinta kasih dan sayang,

kemampuan, kesabaran dan ketabahan. Itulah karunia Allah SWT

terhadap makhluknya, tetapi sayang, kebanyakan manusia tidak

mengetahui dan menyadarinya. Tetapi tugas-tugas yang nampak

seperti itu tidak menjadi sasaran utama. Yang jelas, bahwa wilayah

otoritas mengajari dan mendidik anak diserahkan kepada wali yang

menguasai diri si anak selama anak tersebut masih dalam masa

290 Al Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 251 291 Lihat: Ibnu Manzur, Lisan al Arab, Jilid I, 911.

Page 168: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

147

pengasuhan dan selama ia masih ada dalam tanggungan pengasuh serta

pendidiknya. 292

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa masalah

Hadanah adalah masalah menjaga, memelihara, mengasuh, memimpin,

mendidik dan mengatur segala hal anak yang belum dapat menjaga,

mengatur dan mengurus dirinya sendiri.

Pembicaraan berkenaan dengan masalah Hadanah ini terjadi

apabila dua orang suami isteri bercerai sedangkan keduanya

mempunyai anak yang belum mumayyiz (belum menguasai

kemaslahatan dirinya), maka istrilah yang lebih berhak untuk mendidik

dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya,

berdasarkan Hadis Nabi yang mengatakan kepada seorang perempuan

yang mengadukan persoalannya kepada beliau, bahwa suaminya

hendak mengambil anaknya yang masih bayi (masih kecil) darinya,

lalu Rasulullah berkata kepadanya “Engkau lebih berhak mengasuhnya

selama engkau belum menikah”293 selama ibunya belum menikah

sedangkan nafkah dan biayanya menjadi tanggung jawab suami.294

Orang Yang Berhak Melaksanakan Hidanah :

a) Hak mengasuh dan mendidik (hidanah) itu ditetapkan bagi kaum

wanita kemudian setelah itu baru kaum pria. Wanita yang pertama

292 Ibnu Abidin, Hasiyah Radd al Muhtar ‘ala al Dur al Mukhtar, Sharh

Tanwir al Absar, (Mesir: Mustafa al Baby al Halaby, 1386 H / 1966 M), cet. II, Jilid III, h. 159.

293 Hadis tersebut adalah :

Sesungguhnya seorang perempuan berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya anak ini, perutku tempatnya, dan susuku merupakan air minum segar baginya dan pangkuanku menjadi rumah tempat bernaung baginya. Ayahnya telah menceraikanku dan hendak mengambil anak ini dariku, lalu Rasulullah berkata : “Engkau lebih berhak terhadap anak itu selama engkau belum menikah” (HR. Abu Daud dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘As dan ditashih oleh al Hakim - Abu Daud, Sunan Abu Daud, (t.t., al Sa’adah, t.th.), Jilid II. 707, 708.

294 Lihat Q.S. al Talaq : 6

Page 169: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

148

yang paling berhak untuk hal tersebut adalah sang ibu. Sebab ia

lebih sayang dan lebih lembut/halus terhadap anak kecil ketimbang

yang lainnya. Oleh karena ia memang spesialis untuk memenuhi

kebutuhan dan kemaslahatan anak-anak.295

b) Jika anak tidak mempunyai ibu yang berhak. untuk mengasuh dan

mendidiknya di rumah, baik karena ia tidak berhak atau tidak

mempunyai kriteria untuk mengasuh/mendidik, atau menikah dengan

yang bukan mahram, atau telah meninggal dunia, maka neneknya (ibu

dari ibunya) lebih berhak daripada siapa pun, sampai ke atas (garis

keturunannya). Sebab ia yang menyertai ibu (bagi anaknya) dalam hal

melahirkan dan mendapatkan warisan.

Yang mengikuti pendapat tersebut adalah Imam Shafi’i

dalam Qaul Jadidnya, Imam Ahmad dalam satu riwayat darinya, Imam

Malik, dan Imam Abu Hanifah.296

Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayat yang kedua,

menentang pendapat tersebut. la mengatakan, bahwa sebenarnya ibu

295

Hal tersebut diperkuat dengan dalil-dalil berikut ini :

Pertama, firman Allah SWT, "Dan para ibu

hendaklah menyusui anak-anaknya", (Q.S al-Baqarah/233). Kedua, Hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari

kakeknya Abdullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anaku ini, perutku adalah tempatnya, air susu (tetek)ku minumannya, dan pangkuanku menjadi tempat teduhnya. Sesungguhnya ayahnya telah mentalakku, seraya menginginkan untuk mengambil anak tersebut dariku". Maka bersabda Rasulullah SAW kepadanya, "Engkau lebih berhak dengannya selama engkau belum menikah"?

Ketiga, apa yang diriwayatkan dari Umar bin Khathab ra. bahwa ia pernah mentalak isterinya, yakni, Ummu 'Asim. Umar ingin mengambil Ashim puteranya itu darinya. Tetapi isterinya tidak mau memberikannya. Lalu mereka mendatangi Abu Bakar ra dan ia ketika itu adalah seorang khalifah. Abu Bakar ra berkata, "Usapannya, pangkuannya, dan anginnya, lebih baik baginya daripada kamu, sampai anak itu menjadi dewasa. Setelah dewasa, ia akan memilih untuk dirinya

Hadis tersebut teksnya adalah : أنت أحق بھ مالم تنكحي diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, disahkan oleh Imam Hakim. Lihat Sunan Abu Daud,Juz II, h. 707-708, Subul al-Salam, Juz III, h. 227, dan kitab Nayl al-‘Autar, Juz VI, 369.

296 Lihat Kitab al-Majmu’, Juz XVII, h. 167; Sharh Fath al-Qadir, Juz III, 315; Hashiyah al-Dasuqi, Juz II, 527; Al-Mughny wa al-Sharh al-Kabir, Juz IX, 298.

Page 170: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

149

(nenek) dari ayah lebih berhak untuk mengasuh dan mendidik anak

daripada ibu (nenek) dari ibunya. Sebab bergantung kepada 'asabah di

samping mempunyai kesamaan dengan wanita lainnya dalam hal

melahirkan, sehingga ia wajib didahulukan.297

Tetapi nampaknya pendapat yang paling shahih adalah yang

dikemukakan oleh jumhur ulama, sebab nenek dari ibu itu lebih dekat

kepada anak dan lebih sayang daripada nenek dari ayah (ibunya sang

ayah).

c) Yang berhak mengurus hidanah mengasuh dan mendidik di rumah

setelah ibunya dan neneknya dari ibunya, adalah ayahnya. Hal ini

berdasarkan pertimbangan berikut:

Memperhatikan anak dengan penuh rasa cinta dan kasih

sayang hanya dapat dilakukan oleh kedua orang tua. Tidak seorang pun

dari kcrabat yang dapat menandingi mereka dalam hal itu. Apalagi,

peran sang ayah dan kewaliannya itu tidak akan terputus meski tetap

berlakunya hidanah yang dilakukan ibu dan atau neneknya. Sang anak

tetap di bawah kewalian atau bimbingan dan tanggungan, serta

jaminan sang ayah. Ayahlah yang berhak dan wajib menafkahi anak.298

Ia pula yang akan memperhatikan segala perjalanan hidupnya. Jika

salah satu dari keduanya ibu dan nenek tidak ada, maka sempurnalah

bagi ayah kewaliannya.299 Ia pun wajib mengurus hidanah anaknya

dengan mencarikan dan memilihkan wanita yang mempunyai

kelengkapan kualifikasi untuk mengasuh dan mendidik serta

mengasihi anaknya dari kerabat dekat atau kerabat jauh jika tidak ada

kerabat dekat. Oleh karena itu, ayah lebih berhak untuk mengasuh dan

mendidik anaknya setelah ibunya dan neneknya tidak ada atau tidak

297 Ibnu Qudamah, Al Mughny wa al-Sharh al-Kabir, Juz IX : 309. 298 Lihat: Q.S. al Talaq : 6 299 Lihat: Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh ‘ala al Madhahib al Arba’ah,

Jilid IV, 594

Page 171: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

150

berfungsi. Ayah mesti memilih wanita yang akan melakukan apa saja

demi kemaslahatan anak-anaknya. Tentu saja ia pun selalu mengawasi

mereka dan menjaganya. Sang ayah harus memilih wanita yang akan

mengasuh dan mendidik anaknya itu adalah wanita yang mempunyai

karakter dan sifat-sifat terpuji. la mesti seorang wanita yang memenuhi

kualifikasi seorang hidanah, wanita yang tepat untuk mengasuh dan

mendidik anak, sehingga la tidak membahayakan anak dan tidak

menelantarkannya.300

Selanjutnya jika Ibu, nenek dan ayah sudah tidak ada, atau

ada tetapi tidak memenuhi syarat atau kualifikasi seorang hidanah

(pengasuh), sedangkan orang yang berhak melakukan hidanah terdapat

kesamaan derajat di antara dua orang yang memenuhi kualifikasi,

maka yang melakukan hidanah adalah orang yang dekat hubungannya

dengan anak, seperti antara dua saudara perempuan yang sekandung,

atau kedua saudara perempuan dari ibu, dari ayah, atau antara dua uwa

(perempuan), atau antara dua bibi, atau di antara saudara yang banyak,

ataupun di antara para paman pun demikian.301 Sedang masing-masing

mereka itu menuntut untuk melakukan hidanah. Bibi dari pihak ibu

didahulukan dari bibi pihak ayah jika ia memenuhi syarat hadanah.

Dalam kondisi demikian, menurat Imam Abu Hanifah yang

harus didahulukan "adalah orang yang paling saleh.302 Sedang menurut

Imam Malik dipilih orang yang paling memiliki kemampuan untuk

merawat dan menjaga dan yang paling sayang kepada anak tersebut.303

Jika pada salah satu di antara keduanya ada yang hanya mempunyai

300 Lihat: Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, (Jakarta : Al Mawardi

Prima, 2004), cet. I, 117, 118. 301 Lihat : Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh ‘ala al Madhahib al Arba’ah,

Jilid IV, 595. 302 Lihat : Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh ‘ala al Madhahib al Arba’ah,

Jilid IV, 594 303 Lihat : Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh ‘ala al Madhahib al Arba’ah,

Jilid IV, 595

Page 172: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

151

siyanah (kemampuan memelihara) saja, maka lebih baik dan yang

lebih kuat dalam penilaian adalah mendahulukan yang mempunyai

shafaqah atau rasa sayang tetapi juga masih memilih benih-benih

siyanah. Jika tidak demikian (karakteristiknya), maka hendaklah

didahulukan yang mempunyai kemampuan memelihara/melindungi,

jika kita akan melakukan bahaya yang paling ringan.304

Jika tidak ada orang yang paling saleh/cocok dengan karakter

seperti itu, maka langkah yang ditempuh menjadikan orang yang

paling wara' saleh dan teliti mengenai halal dan haram; yang paling

berhak untuk melaksanakan hidanah. Sebab jila kualifikasi demikian

itu dipenuhi, pasti ia akan dapat dipercaya untuk mengemban tugas

yang dibebankan kepadanya. Tetapi, jika sifat demikian itu tidak

terpenuhi, maka pilihlah orang yang paling tua. Sedang ulama Mazhab

Maliki, tidak menetapkan derajat kewara'an sebagai salah satu

kualifikasi. Mungkin sebabnya adalah mereka justeru mensyaratkan

terhadap orang yang akan mengasuh dan mendidik anak itu

mempunyai sifat amanah (dapat dipercaya) dalam mengamalkan

agama. Sedang mereka pun menjadikan derajat berikutnya adalah

orang yang paling tua umurnya.305

Adapun yang berhak menentukan siapa yang paling berhak

melakukan hidanah pada orang-orang yang memiliki kualifikasi

sama adalah Qadi (Hakim).306

Putusnya perkawinan dan akibatnya, baik terjadi karena talak,

khulu’, li’an, fasakh dan putusan Pengadilan menurut hukum fikih

Islam yang telah disebutkan dan diuraikan di atas, telah diadopsi dalam

UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 38 s/d pasal 41

dan pasal 50 s/d pasal 54 tentang perwalian, walaupun tidak semua,

304 Lihat : Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, 118, 119. 305 Lihat : Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh ‘ala al Madhahib al Arba’ah,

Jilid IV, 595, 596. 306 Lihat : Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, 119.

Page 173: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

152

atau tidak mendetail disebutkan seperti dalam hukum fikih Islam.307

Demikian pula masalah putus perkawinan dan akibatnya tersebut, juga

telah diadopsi dalam KHI tentang perkawinan pada pasal 113 s/d pasal

128, pasal 156 dan pasal 98 tentang pemeliharaan anak.

Dengan masuknya hal-hal yang berkenaan dengan putusnya

perkawinan dan akibatnya yang terdapat dalam Hukum Islam ke dalam

UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, berarti hukum

fikih Islam telah menjadi Hukum Nasional. Perbedaannya, kalau dalam

Hukum Fikih Islam (Fikih Munakahat) disebutkan dengan mendetail.

Sebaliknya dalam Hukum Nasional sudah dilengkapi dengan teknis

pelaksanaannya dan tambahan masalah-masalah yang sesuai dengan

kondisi di Indonesia karena Maslahah.

Secara rinci perbedaan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan dengan Hukum Fikih Islam tentang Perkawinan adalah sebagai

berikut :

(1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan telah

mengikuti Fikih Munakahat, bahkan banyak mengutip langsung dari Al

Quran dan Hadis. Contohnya, ketentuan tentang larangan perkawinan dan

masa tunggu (‘Iddah) bagi istri yang bercerai dari suaminya.

(2) Ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan

KHI tentang Perkawinan sama sekali tidak terdapat dalam Fikih

Munakahat, tetapi karena bersifat administratif dan bukan substansial

dapat ditambahkan ke dalam Fikih. Contohnya, pencatatan perkawinan

dan pencegahannya.

307 Masalah suami mafqud (tidak ada berita tentang keberadaannya),

substansinya belum dimasukkan secara rinci dalam KHI Buku I tentang Perkawinan, RUU HMPA Bidang Perkawinan. Misalnya suami yang mafqud itu berapa lama ditunggu oleh istri, baru boleh ia menikah dengan orang lain, bagaimana penyelesaiannya jika ternyata setelah istrinya menikah, suami yang mafqud datang, dan lain-lain sedangkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, belum disebutkan sama sekali.

Page 174: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

153

(3) Ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan tidak terdapat dalam Fikih Munakahat, karena pertimbangan

kemaslahatan dapat diterima. Contohnya, batas minimal umur pasangan

yang akan menikah dan harta bersama dalam perkawinan.

(4) Ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan secara lahiriyah tidak sejalan dengan ketentuan Fikih

Munakahat, akan tetapi dengan menggunakan reintepretasi dan

pertimbangan maslahat, dapat diterima dalam Hukum Fikih. Contohnya,

keharusan perceraian di Pengadilan Agama dan keharusan izin poligami

oleh Pengadilan Agama serta perceraian harus didasarkan kepada alasan-

alasan yang sudah ditentukan.

C. Hukum Fikih Islam dalam KHI Buku I tentang Perkawinan

Dalam pembahasan Hukum Fikih Islam tentang Munakahat dalam

KHI Buku I tentang Perkawinan ini, tidak lagi di bahas pasal-pasal yang sama

substansinya dengan pasal-pasal yang disebutkan dalam UU No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, karena ketika membahas Hukum Fikih Islam

tentang perkawinan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan tersebut, telah dibahas juga pasal-pasal yang terdapat dalam KHI

Buku I tentang Perkawinan yang sama materi, atau substansinya untuk

menghindari pengulangan pembahasan. Demikian pula dalam kajian ini tidak

membahas pasal-pasal yang hanya bersifat teknis dalam pelaksanaan

perkawinan.

1. Ketentuan Umum

Pasal I KHI tentang Perkawinan dalam ketentuan umum memuat

istilah-istilah yang menjadi inti pembahasan dalam KHI tentang

Perkawinan tersebut. Istilah-istilah dalam KHI tentang perkawinan ini,

adalah istilah-istilah yang terdapat dalam Hukum Fikih Islam yang

Page 175: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

154

merupakan definisi-definisi yang berkenaan dengan hukum perkawinan

Islam.

Istilah-istilah tersebut adalah definisi dari peminangan (khitbah),308

Wali Hakim,309 Akad Nikah,310 Mahar,311 Ta’lik Talak,312 Harta Kekayaan

dalam Perkawinan,313

308 Peminangan (khitbah) adalah pernyataan keinginan seorang laki-laki kepada

seorang perempuan tertentu atau kepada walinya untuk menikahinya. Lihat: Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu,jilid VII, 10.

309 Wali Hakim adalah wali dari penguasa/yang berwenang untuk menikahkan perempuan yang tidak mempunyai wali nasab atau yang mewakilinya. Lihat: Al-Shan’any, Subul al Salam, Jilid III, 161.

310 Akad Nikah adalah ijab yang diucapkan oleh wali perempuan atau wakilnya dan qabul yang diucapkan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya yang disaksikan oleh dua orang saksi. Lihat: Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 29, 33 dan 49.

311 Mahar adalah pemberian suami kepada istri ketika menikah, sebagai pemberian yang tidak disertai harapan menerima imbalan apapun dan tanpa ada tawar menawar, dimana pemberian tersebut menjadi milik istri untuk selama-lamanya dan tidak boleh diusik sedikitpun kecuali atas kerelaannya. Lihat : Q.S. al-Nisa’/4 : 4.

312 Ta’liq Talak adalah perjanjian yang diucapkan oleh mempelai laki-laki setelah akad nikah yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, jika yang diucapkannya itu terjadi, maka terjadilah talak. Lihat: Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 222, 223.

313 Harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, baik diperoleh sendiri-sendiri, maupun diperoleh bersama suami istri, yang dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan sebagai harta bersama, dimana bila terjadi perceraian karena kematian salah satu pihak, akan menjadi harta warisan setelah dibagi dua. Harta bawaan tidak termasuk dalam harta perkawinan.

Page 176: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

155

Pemeliharaan anak (Hadanah),314 Perwalian,315 Khulu’316 dan Mut’ah317

Istilah-istilah tersebut akan ditemukan dalam kajian terhadap pasal-

pasal dalam KHI Bidang Perkawinan.

2. Peminangan

Tujuan perkawinan sebagaimana diisyaratkan dalam Al Quran dan

Hadis, serta Undang-Undang dapat diwujudkan dengan baik dan sempurna

jika perkawinan tersebut sejak proses pendahuluannya berjalan sesuai

dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan agama. Di antara proses

yang akan dilalui itu adalah peminangan (khitbah). Peminangan ini

bertujuan untuk mengenal karakter dan pribadi seorang perempuan,

sebelum menjadi istri,318 karena seorang istri sangat besar perannya dalam

keluarga. Istri merupakan tempat penenang bagi suaminya, sekutu

hidupnya, pengatur rumah tangganya, sebagai ibu dari anak-anaknya,

tempat tambatan hatinya dan lain-lain.

Dalam KHI tentang perkawinan, masalah peminangan diapresiasi

secara detail, yaitu terdapat pada Pasal 11 s/d Pasal 13. Di dalam UU No.

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah peminangan tidak

dicantumkan, karena peminangan mungkin dianggap tidak dapat disebut

314 Pemeliharaan anak (Hadanah) adalah usaha mendidik anak yang dilakukan

oleh orang yang mempunyai hak mengasuh, atau mendidik orang yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri dengan apa yang bermaslahat baginya dan memeliharanya dari apa yang membahayakannya, meskipun orang tersebut telah dewasa. Lihat: Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, 101.

315 Perwalian adalah suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum, baik terhadap manusia, maupun terhadap harta. Lihat: Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu ,Jilid VII, 746.

316 Khulu’ adalah istri memisahkan diri dari suaminya dengan pembayaran iwadh (tebusan). Lihat: Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 252.

317 Mut’ah adalah pemberian mantan suami kepada mantan istri yang dicerai talak berupa benda, atau uang dan lainnya. Lihat: Q.S. al-Baqarah/2 : 241.

Catatan: Istilah-istilah dalam hukum fikih Islam tersebut telah dicantumkan dalam KHI tentang perkawinan pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1.

318 Lihat: Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 20.

Page 177: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

156

sebagai peristiwa hukum319. Tetapi sebenarnya, kalau dikaji masalah

syarat perkawinan yang terdapat pada Pasal 6 dan 7 UU No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan itu, secara implisit telah mengatur masalah

peminangan tersebut, yaitu bahwa salah satu syarat perkawinan adalah

adanya persetujuan kedua calon mempelai.

Menurut Yahya Harahap Pasal 6 dan 7 tersebut mengisyaratkan

untuk terjadinya persetujuan bersama mengharuskan adanya peminangan,

atau lamaran yang artinya bisa kenal-kenalan atau saling mengenal.320

Kenal mengenal antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan yang tidak ada hubungan mahram, harus ditemani oleh

mahram dari perempuan, karena menyendiri, atau berdua-duaan dengan

tunangan, hukumnya haram menurut Hukum Islam, berdasarkan Hadis

Rasulullah SAW, bahwa dilarang keras seorang laki-laki dengan seorang

perempuan yang bukan mahramnya berdua-duaan tanpa mahramnya.321

Para fuqaha sepakat mengatakan, bahwa tidak boleh lelaki

peminang melihat calonnya berdua-duaan di tempat sepi dari pandangan

umum, karena duduk berdua-duaan antara lelaki dan perempuan yag

bukan muhrimnya dilarang oleh agama Islam.

Menurut Yusuf al Qaradawy : seorang laki-laki di zaman kita

sekarang ini, boleh melihat perempuan yang hendak dipinangnya dengan

pakaian yang boleh dilihat oleh ayah dan saudara-saudaranya serta

mahram-mahramnya dan si laki-laki boleh pergi bersama wanita tersebut

319 Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di

Indonesia, 90. 320 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading Co,

1975), 35. 321Hadis tentang larangan berdua-duaan antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan yang bukan mahramnya adalah :

“Jangan sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan dengan perempuan kecuali ada mahram bersamanya”. (HR. al-Bukhary dan Muslim dari Ibnu Abbas). Lihat: Al-Nawawy, Riyadu al-Salihin,(Beirut: Dar al Fikr, 1414 H/1994 M, 197.

Page 178: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

157

dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang dari mahramnya

dengan pakaian yang menurut ukuran Syara’ ke tempat yang boleh

dikunjungi untuk mengetahui kecerdikannya, perasaannya dan

kepribadiannya.322

Jadi dengan saling berkenalan, maka terjadilah saling mengetahui

dan mengenal sifat, bakat, identitas, keistimewaan dan kelebihan serta

kekurangannya memahami keadaan yang sewajarnya, mengenal suara

hatinya dan cita-cita masa depannya.323

Pada pelaksanaan peminangan ini boleh pula diwakilkan kepada

seorang yang betul-betul tahu dan jujur, punya kepribadian yang moderat

untuk mengetahui watak dan akhlak yang akan dipinang sehingga tidak

memihak dan memuji-muji atau mencelanya berlebih-lebihan, sebab

akhlak adalah sebagai landasan yang kuat setelah agama untuk menunjang

perkawinan.

Adapun tempat-tempat yang boleh dilihat dari calon istri, menurut

Jumhur ulama dibatasi pada wajah dan dua tapak tangan. Wajah

melambangkan kecantikan atau sebaliknya dan tangan menunjuk

kesuburan badan.324

Dalam hal melihat ini, bukan saja berlaku bagi calon suami, tetapi

juga berlaku bagi calon istri.

Mengenai waktu melihat calon suami atau istri itu dilakukan

sebelum meminang karena jika setelah meminang kemudian membatalkan,

322 Yusuf al Qaradawy, Al Halal wa al Haram fi al Islam, (Bairut: al Maktabah al

Islamiyah li al Tiba’ah wa al Nashr, 1967), cet. IV, 147. 323 Dalam Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al Nasai, Ibnu Majah dan al

Tirmidzi dari al Mughirah bin Syu’bah, disebutkan bahwa al Mughirah meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah SAW berkata kepadanya :

.

“Sudahkah kau lihat dia?” Ia menjawab, “Belum”, Sabda Nabi, “Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng”, -- Al San’any, Subul al Salam, Jilid III, 154.

324 Al-Qalyuby wa ‘Umairah, Hashiyatani, (t.t : Dar al Fikr, t.th), Jilid II, 208.

Page 179: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

158

maka akan melukai hatinya, tetapi jika dilakukan sebelum meminang,

maka tidak ada masalah kalau tidak dilanjutkan (tidak meminang).325

Sebenarnya melihat perempuan yang bukan mahram menurut

hukum asalnya adalah haram, dibolehkan hanya karena ada sesuatu hajat

atau dalam keadaan darurat, oleh sebab itu, melihat perempuan yang akan

dipinang dibolehkan sekedar yang perlu saja yaitu pada wajah dan telapak

tangan sebagaimana pendapat jumhur Ulama.326 Tetapi kalau diamati

realitas masyarakat sekarang ini kaum wanita tidak lagi tinggal di rumah

seperti wanita pada zaman dahulu. Kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi mempengaruhi wanita melibatkan diri dengan aktivitas-aktivitas

di luar rumah. Pergaulan antara laki-laki dan wanita di sekolah-sekolah, di

universitas-universitas, di kantor-kantor, perusahaan-perusahaan dan lain-

lain, sudah menjadi masalah yang biasa. Wanita mengenal lelaki dan

sebaliknya malah saling berbincang, bertukar pendapat di rapat-rapat, di

konfrensi-konfrensi sebagai delegasi di peringkat nasional dan

international, adalah suatu hal yang tidak dapat dielakkan lagi. Di samping

itu, pakaian wanita kebanyakan tidak lagi melambangkan ajaran Islam,

malah sulit untuk menemuinya di zaman sekarang.327 Dalam menghadapi

masyarakat yang serba komplek ini, sebaiknya diambil jalan penyelesaian

325 Al-Qalyuby wa ‘Umairah, Hashiyatani, 208. 326 Ibn Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 3 Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batas dan tempat yang boleh dilihat

oleh pelamar terhadap perempuan yang dilamar karena perbedaan pandangan mereka

dalam menafsirkan ayat 31 surah al Nur yaitu : artinya :

“perempuan-perempuan tidak boleh menampakkan auratnya, kecuali yang biasa nampak” Apa yang dimaksud dengan yang biasa nampak, apakah yang dimaksud dengannya adalah wajah dan telapak tangan seperti batas aurat perempuan waktu salat, atau yang dimaksud dengannya adalah nampak yang tidak sengaja sehingga seluruh badan perempuan di luar salat jika yang berhadapan dengan bukan mahramnya, atau hanya wajahnya saja, karena telapak tangan dianggapnya sebagai bagian dari tubuh perempuan, atau mengkiaskan telapak kaki dengan wajah dibolehkan dibuka karena ( ) padahal wajah itu biasa menjadikan laki-laki tergoda melihatnya, sehingga telapak

kaki itu boleh dibuka, atau boleh dilihat oleh orang laki-laki yang bukan mahramnya – Lihat : Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Jakarta : al Mawardi Prima, 2001), Cet. I, 21.

327 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2005), Cet. I, 120.

Page 180: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

159

yang tidak terlalu ekstrim dan tidak terlalu mudah, yaitu boleh melihat

perempuan yang di pinang jika di dampingi oleh orang tuanya, atau

mahramnya yang lain, atau teman-teman wanita yang bisa dipercayai, asal

saja dalam keadaan berpakaian yang menutup auratnya yang dianjurkan

oleh agama. Dengan hal ini lelaki itu dapat mengetahui ukuran mentalitas,

perasaan dan kepribadian wanita yang ingin dia pinang dan begitu juga

sebaliknya, bagi wanita dapat mengenali lelaki yang bakal menjadi

pasangan hidupnya. Sebaiknya cara inilah yang dilakukan sesuai dengan

tuntutan keadaan masyarakat Islam hari ini bagi para remaja Islam.

Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi

syarat sebagai berikut :

a. Tidak dalam pinangan orang lain

b. Pada waktu dipinang tidak ada penghalang shar’i yang melarang

dilangsungkannya pernikahan.

c. Perempuan itu tidak dalam masa iddah, karena talak raj’i, atau talak

bain, atau sedang iddah karena kematian suaminya.328

a. Hukum Meminang Pinangan Orang Lain

Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti

menyerang hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah

hubungan kekeluargaan dan mengganggu ketenteraman.

Dasar keharaman meminang pinangan orang lain adalah Hadis

Nabi SAW.329diriwayatkan Ibnu Umar dari al Bukhari dan Muslim, bahwa

328 Lihat KHI tentang Perkawinan pasal 39 s/d pasal 44, dan UU No. 1 tahun

1974 tentang Perkawinan Pasal 8 s/d 11. 329 Hadis yang dimaksud adalah :

“Janganlah seseorang dari kalian meminang pinangan saudaramu, sehingga peminang sebelumnya meninggakannya atau mengizinkannya”. (HR. al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar). Lihat: al-San’any, Subul al Salam, Jilid III, 155.

Adapun yang dimaksudkan dengan saudaramu adalah saudara sesama Muslim, karena orang-orang yang beriman itu bersaudara (Q.S. al-Hujurat/49 : 10).

Page 181: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

160

Rasulullah SAW melarang meminang pinangan orang lain sebelum

peminang pertama meninggalkannya atau mengizinkannya.

Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana

perempuan itu telah menerima pinangan pertama dan walinya dengan

terang-terangan mengizinkannya, bila izin itu memang diperlukan. Tetapi

kalau pinangan semula ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau

karena laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain sudah

meminangnya atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak,

atau laki-laki pertama mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya,

maka yang demikian itu diperbolehkan.330

Jika pinangan laki-laki pertama sudah diterima namun wanita

tersebut menerima pinangan laki-laki kedua kemudian menikah

dengannya, maka hukumnya berdosa tetapi pernikahannya sah, sebab yang

dilarang adalah meminangnya, sedang meminang itu bukan merupakan

salah satu syarat sahnya nikah. Karena itu, pernikahannya tidak boleh

difasakh walaupun meminangnya itu merupakan tindakan pelanggaran.

Imam Abu Daud berkata, “Pernikahannya dengan peminang kedua harus

dibatalkan, baik sesudah maupun sebelum persetubuhan.331

Ibnu Qasim berpendapat bahwa, yang dimaksud larangan tersebut

adalah jika seorang yang baik (Saleh) meminang di atas pinangan orang

Saleh pula. Sedangkan apabila peminang pertama tidak baik, sedang

peminang kedua adalah baik, maka pinangan semacam itu dibolehkan.

Adapun mengenai waktu pelaksanaan pernikahan, maka para

fuqaha berpendapat waktunya adalah ketika masing-masing pihak

(peminang dan yang dipinang) sudah cenderung satu dengan lainnya, dan

bukan pada waktu awal waktu peminangan.332 Pendapat ini didasarkan

330 Lihat Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid ..., Jilid II, 2. 331 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid, Jilid II, 2. 332 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid …, Jilid II, 2

Page 182: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

161

Hadis Fatimah binti Qais r.a.333 yang melaporkan halnya kepada

Rasulullah SAW, bahwa ia telah dipinang oleh dua orang laki, yaitu Abu

Jahm bin Hudhaifah dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, tetapi Rasulullah

menyuruhnya, agar menikah dengan Usamah, karena Abu Jahm suka

memukul, sedangkan Mu’awiyah adalah orang miskin.

b. Hukum Meminang Perempuan yang dilarang oleh Shara’

Menikahinya

Meminang perempuan yang dilarang oleh shara’ menikahinya

haram hukumnya, karena perempuan tersebut dilarang menikahinya

berdasarkan Al-Quran.334

c. Hukum Meminang Perempuan dalam Masa ‘Iddah

Meminang mantan istri orang lain yang sedang dalam masa

‘iddah, baik karena kematian suaminya, karena cerai raj’i maupun

ba’in, maka hukumnya haram.

Jika perempuan yang sedang iddah karena talak raj’i maka ia

haram dipinang karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan

suaminya itu masih berhak merujuknya kembali sewaktu-waktu ia

suka. Jika perempuan yang sedang ‘iddah karena talak raj’i, maka ia

haram dipinang secara terang-terangan335 karena mantan suaminya

masih tetap mempunyai hak terhadap dirinya, juga masih mempunyai

hak untuk menikahinya dengan akad baru. Jika ada laki-laki lain

meminangnya di masa ‘iddahnya, berarti ia melanggar hak mantan

suaminya.

333 Hadis Fatimah binti Qais r.a. :

Artinya : Fatimah datang kepada Nabi SAW kemudian ia menceriterakan kepada beliau bahwa Abu Jahm bin Hudhaifah dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan telah meminangnya. Maka Nabi SAW bersabda : “Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah mengangkat tongkatnya dari orang-orang perempuan (suka memukul). Adapun Muawiyah adalah orang miskin yang tidak berharta, tetapi nikahlah kamu dengan Usamah”. HR. Al Jama’ah (sekelompok ahli Hadis, kecuali al Bukhari). Lihat : al Shaukany, Nail al Autar, Jilid VI, 108.

334 Q.s. al Nisa’/4 : 23. 335 Qalyuby wa Umairah, Hashiyatani, Jilid III, 213

Page 183: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

162

Perempuan yang sedang ‘iddah karena kematian suaminya,

maka ia boleh dipinang secara sindiran336 selama masa iddah, karena

hubungan suami istri di sini telah terputus sehingga hak suami

terhadap istrinya hilang sama sekali. Sekalipun demikian, dilarang

meminang dia secara terang-terangan, untuk menjaga agar perempuan

itu tidak terganggu dan tercemar oleh para tetangganya serta menjaga

perasaan anggota keluarga si mati dan para ahli warisnya.337

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum

meminang dengan terang-terangan kepada mantan istri orang lain

ketika masa ‘iddahnya adalah haram. Kalau meminang dengan

sindiran kepada perempuan yang sedang iddah kematian itu

dibolehkan. Akan tetapi kepada perempuan yang sedang ‘iddah karena

talak raj’i 338 dan bain339 hukumnya haram.

Telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, bahwa pinangan

merupakan langkah pendahuluan sebelum akad nikah. Sering kali

sesudah peminangan diikuti dengan pemberian macam-macam hadiah

dan pemberian-pemberian lainnya, guna memperkokoh hubungan yang

336 Secara sindiran ialah seorang yang mengucapkan kata-kata tersuratnya

berlainan dengan yang tersiratnya. Misalnya seorang laki-laki berkata kepada perempuan yang sedang dalam masa Iddah kematian suaminya, saya ingin menikah, atau saya mengharapkan sekali agar Allah memudahkan jalan bagiku untuk memperoleh istri yang salihah. Kata-kata itu diucapkannya kepada perempuan yang sedang masa iddah kematian itu. Termasuk dalam kategori meminang dengan sindiran adalah memberikan hadiah kepada perempuan yang sedang dalam masa iddah kematian, atau memuji dirinya dengan menyebutkan jasa baiknya atau kata-kata sindiran yang lainnya yang mengarah kepada peminangan. Lihat : al Qalyuby wa ‘Umairah, Hashiyatani, Jilid III, 213, 214.

337 Q.S. al-Baqarah / 2 : 235. 338 Talak Raj’i adalah talak satu, atau talak dua, akibatnya suami masih

boleh ruju’/kembali kepada mantan istrinya, jika sudah selesai masah iddah, tetapi belum ruju’, maka jika kembali lagi kepada mantan istrinya itu, harus dengan akad yang baru.

339 Talak Bain terbagi dua. Bain Sughra dan Bain Kubra. Bain sughra adalah talak akibat khulu’ atau talak sebelum dukhul (belum bergaul suami istri). Hukumnya boleh kembali kepada mantan istri dengan nikah yang baru. Sedangkan talak bain Kubra adalah talak yang sudah tiga kali dijatuhkan. Hukumnya haram bagi suami menikah lagi dengan mantan istrinya, kecuali mantan istrinya itu telah dinikahi oleh laki-laki lain dengan nikah yang sesungguhnya, kemudian cerai karena tidak ada kecocokan.

Page 184: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

163

masih baru itu. Akan tetapi terkadang terjadi, salah satu pihak, baik

dari pihak laki-laki, atau dari pihak perempuan, atau dari kedua pihak

membatalkan rencana pernikahan.

Bila terjadi pembatalan pinangan, belum menimbulkan akibat

hukum,340 tetapi secara moral hal ini tentu membawa akibat yang tidak

baik. Walaupun belum membawa akibat hukum, tetapi telah membawa

akibat moral. Moral yang dimaksud tidak hanya berdasarkan agama,

tetapi juga menyangkut norma-norma susila dan tradisi (adat) yang

berkembang, oleh sebab itu peminangan tidak boleh dianggap remeh

atau dipandang sepele, tetapi ia harus dilihat sebagai bagian ajaran

Islam yang utuh tentang perkawinan.341

Sebenarnya pinangan itu semata-mata baru merupakan

perjanjian hendak melakukan akad nikah, bukan berarti sudah terjadi

akad nikah. Membatalkannya adalah menjadi hak dari masing-masing

pihak yang telah mengikat perjanjian. Orang yang mengingkari

janjinya, Islam tidak menjatuhkan hukuman materiil terhadapnya

sekalipun perbuatan ini dipandang amat tercela dan salah satu sifat

kemunafikan, kecuali ada alasan-alasan yang benar yang menjadi

sebab tidak dipatuhinya perjanjian itu.342

Adapun pemberian-pemberian dari peminang kepada yang

dipinang, jika pinangan dibatalkan dari pihak yang dipinang, secara

hukum pemberian-pemberian itu kalau dianggap hibah343 maka tidak

boleh diminta kembali, karena merupakan suatu derma sukarela dan

tidak bersifat sebagai penggantian dari sesuatu. Oleh sebab itu barang

yang dihibahkan sudah menjadi milik yang dipinang dan ia boleh

340 Belum menimbulkan akibat hukum maksudnya, bahwa peminangan yang

terjadi belum menimbulkan hak dan kewajiban, tetapi dapat membawa akibat moral. Lihat : KHI tentang Perkawinan pasal 13 ayat (1).

341 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 93.

342 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 26, 27. 343 Berdasarkan Hadis Nabi SAW :

“Tidak halal bagi seseorang yang telah memberikan sesuatu, atau menghibahkan sesuatu lalu meminta kembali barangnya, kecuali ayah terhadap anaknya”, (HR. Abu Daud, al Tirmidhi, al Nasa’i dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas). Lihat: al San’any, Subul al Salam,, Jilid III, 122.

Page 185: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

164

menggunakannya dan tidak boleh diminta kembali oleh peminang. Tetapi

bila pemberian-pemberian itu hanya sebagai hadiah atau sebagai imbalan

dari sesuatu yang akan diterimanya dari penerima pemberian, tetapi

kemudian tidak dipenuhi, maka pemberiannya boleh diminta kembali344.

Jadi bila perkawinan dibatalkan oleh yang dipinang, maka pihak peminang

berhak meminta kembali barang-barang yang telah diberikannya.345

Hal-hal yang berkenaan dengan peminangan dan hukum-hukum

yang berkenaan dengannya, substansinya telah diadopsi dalam KHI

tentang perkawinan pada pasal 11 s/d 13. Perbedaan hukum fikih Islam

dan aturan-aturan yang di dalam KHI tersebut agak lebih sederhana,

walaupun demikian, dengan diaturnya masalah peminangan di dalam KHI

tentang perkawinan, maka semangat yang dikandung oleh hukum fikih

Islam dapat dikembalikan. Dengan masuknya hukum peminangan menurut

fikih, ke dalam KHI tentang perkawinan, berarti masalah peminangan

dalam hukum Islam telah menjadi Hukum Nasional.

3. Mahar

Masalah mahar346 disebutkan dalam KHI tentang perkawinan pada

pasal 30 s/d Pasal 38.

Dalam hukum fikih Islam, kewajiban mahar atas laki-laki di

berikan kepada calon istrinya berdasarkan Al Quran347 dan Hadis Rasul

SAW.348

344 Berdasarkan Hadis Nabi SAW

“Siapa memberikan hibah, maka dia masih tetap lebih berhak terhadap barangnya, selama belum mendapatkan imbalannya”. (HR. al Hakim dan al Baihaqy dari Ibnu Umar), Lihat : al Suyuty, al Jami’ al Saghir, Jilid II, 183.

345 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, h. 27 dan al San’any, Subul al Salam, Jilid III, 122.

346 Mahar menurut bahasa adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah, mas kawin. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 542.

Sedangkan menurut istilah dalam fikih Islam, mahar adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Lihat : Mahmud Shaltut, Al Islam Aqidah wa Shari’ah, (al Qahirah, Dar al Qalam, 1966), 160.

347 Q.S. al-Nisa / 4 : 4. 348 Hadis Rasul SAW yang berkenaan dengan kewajiban mahar adalah :

“Carilah mahar, meskipun hanya sebuah cincin dari besi” (HR. Ahmad, al Bukhari, Muslim dan Abu Daud dari Sahl bin Sa’ad. Lihat: Al Suyuty, al Jami’ al Saghir, Jilid I, 62.

Page 186: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

165

Dalam ayat 4 surah al-Nisa jelas sekali, bahwa Islam sangat

memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan

memberi hak kepadanya, di antaranya adalah hak untuk menerima mahar.

Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada

wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang

lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh

suaminya sendiri, kecuali dengan kerelaan istri.

Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu

muslihat lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan

tidak disalahkan. Akan tetapi. Bila istri dalam memberikan maharnya

karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya.349

Mahar yang diberikan kepada calon istri, harus memenuhi syarat

sebagai berikut :

a. Harta/benda yang berharga

Tidak sah mahar dengan yang tidak memiliki harga walaupun sedikit,

tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi, apabila

mahar sedikit tetapi memiliki nilai, maka tetap sah.350

b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat

Tidak sah mahar dengan khamr, babi, atau darah, karena semua itu

haram dan tidak berharga.351

c. Barangnya bukan barang ghasab

Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa

seizinnya,352 namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena

berniat untuk mengembalikan kelak.

Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab, adalah tidak

sah, tetapi akadnya tetap sah.353

349 Q.S. al Nisa / 4 : 20 dan 21. 350 Lihat : Qalyuby wa ‘Umairah, Hashiyatany, Jilid III, 76. 351 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII,

259, 260. 352 Al Jurjany, al Ta’rifat, 164 353 Lihat : Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII,

265.

Page 187: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

166

d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya

Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas

keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.

Islam tidak menetapkan berapa banyak yang harus diberikan

kepada calon istri. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara sesama

manusia. Ada orang yang kaya, adapula yang miskin, ada yang lapang

dan ada pula yang disempitkan rezekinya. Di samping itu, setiap

masyarakat mempunyai adat dan kebiasaan yang berbeda. Oleh karena

itu, masalah mahar diserahkan berdasarkan kemampuan masing-

masing orang sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku di

masyarakat. Bahkan, Islam membolehkan memberi mahar dengan apa

saja, asalkan bermanfaat, misalnya cincin besi, segantang kurma, atau

mengajarkan Al Quran, dan sebagainya atas kesepakatan kedua belah

pihak.354

Mengenai besarnya mahar, fuqaha sepakat bahwa mahar itu

tidak ada batasnya, apakah sedikit atau banyak.355 Namun mereka

berbeda pendapat tentang batasan paling sedikitnya.

Imam Shafi’i, Ahmad, Ishak, Abu Saur, dan Fuqaha Madinah

dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batasan

rendahnya. Segala sesuatu yang mempunyai harga bagi sesuatu yang

lain dapat dijadikan sebagai mahar.356

Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada

batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan

bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau

perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding

berat emas dan perak tersebut.357

354 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 54 355 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 135 356 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid…, Jilid II, 14 357 Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh ‘ala al Madhahib al Arba’ah, Jilid IV,

h. 96.

Page 188: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

167

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu

adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham,

ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.358

Perbedaan pendapat tersebut disebabkan dua hal, yaitu :

Pertama, ketidak jelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya

sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan pegangan

adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti

halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai suatu ibadah, yang

sudah ada ketentuannya.

Kedua, adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya

pembatasan mahar, dengan mafhum Hadis yang tidak menghendaki adanya

pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti

pernikahan itu ibadah, sedang ibadah itu sudah ada ketentuannya.359

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kadar mahar tidak ada

batasnya. Karena Nabi SAW telah memerintahkan dalam Hadisnya:

“carilah mahar walau hanya sebentuk cincin besi”360. Ucapan Nabi ini

merupakan dalil, bahwa mahar itu tidak ada batasan rendahnya. Jika ada

batasan terendahnya, tentu beliau akan menjelaskannya, karena tidak boleh

melambatkan penjelasan pada saat dibutuhkan.

Selanjutnya berkenaan dengan pemberian mahar, pelaksanaannya

bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan, atau disesuaikan dengan

keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh

diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian

358 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid…, Jilid II, h. 14 – Abd. Rahman al Jaziry,

al Fiqh ‘ala al Madzahib al Arba’ah, Jilid IV, 96 359 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 14. 360 Teks Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al Bukhari, Muslim dan Abu

Daud dari Sahl bin Sa’ad.

Page 189: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

168

dan hutang sebagian yang lainnya. Kalau mahar dihutang, disunahkan

membayar sebagiannya361

Menurut Abu Hanifah, suami tidak berhak mencampuri istrinya

baik dalam keadaan suka maupun duka, walaupun maharnya diberikan

secara berangsur, karena sebelumnya dia telah menyetujuinya. Dengan

demikian, hak suami tidak gugur. Akan tetapi kalau maharnya kontan

semuanya atau sebagian, maka suami tidak boleh mencampurinya sebelum

dibayarkan maharnya yang telah dijanjikan itu. Istri berhak menolak

dicampurinya sehingga suami melunasi dahulu pembayaran mahar yang

telah disepakatinya.362

Dari beberapa pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa

pembayaran mahar bisa diberikan langsung ketika terjadi akad nikah dan

bisa diberikan dengan cara berutang.363 Akan tetapi, yang lebih baik,

bahkan disunahkan apabila akan diangsur. Sebaiknya diberikan langsung

sebagian lebih dulu, sedangkan kekurangannya dilakukan secara

berangsur-angsur.

Dalam hal penundaan pembayaran mahar (dihutang), terdapat dua

perbedaan di kalangan ahli fikih, segolongan ahli fikih berpendapat bahwa

mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara dihutang keseluruhan.

Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda

361 Dalam Hadis SAW disebutkan sebagai berikut :

.

“Dari Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi SAW melarang Ali mengumpuli Fatimah

sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Lalu ia menjawab, saya tidak memiliki apa-

apa. Maka Rasulullah berkata : “dimanakah baju besi huthamiyahmu?” lalu ia

memberikannya kepada Fatimah” (HR. Abu Daud, al Nasa’i dan al Hakim, dan disahkan

olehnya). Lihat: al Shan’any, Nail al Autar, Jilid 6, 173. 362 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid III, 139, 140. 363 Al Shairazy, al Muhadhdhab, (Semarang: Maktabah wa Matba’ah Taha Putra,

t.th.), Jilid II, 59.

Page 190: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

169

pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di

muka manakala akan menggauli istri. Ini adalah pendapat Imam Malik.364

Di antara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur)

ada yang membolehkan hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah

ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik. Ada juga yang

membolehkannya karena kematian atau perceraian. Ini adalah pendapat

Al-Auza’i.365

Perbedaan pendapat tersebut karena apakah pernikahan itu dapat

disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan, atau tidak dapat

disamakan dengannya.

Bagi fuqaha yang mengatakan dapat disamakan dengan jual beli,

mereka berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya

kematian atau perceraian. Sedang yang mengatakan tidak dapat disamakan

dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan membayar mahar

itu tidak boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah.366

Masalah jenis barang yang dapat digunakan untuk mahar, bisa

berupa sesuatu yang dapat dimiliki atau diambil manfaatnya, juga dapat

dijadikan pengganti atau ditukarkan.

Adapun mengenai macam-macamnya, ulama fikih sepakat bahwa

mahar itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :

a. Mahar Musamma

Yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan

besarnya ketika akad nikah.

Ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar

musamma harus diberikan secara penuh apabila :

364 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 16 365 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 16 366 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 17

Page 191: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

170

1) Telah bercampur (bersenggama)367

2) Apabila salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut

ijma’.

Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami

telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan

sebab-sebab tertentu, seperti : ternyata istrinya mahram sendiri atau

dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.368

Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib

dibayar setengahnya.369

b. Mahar Mithil (sepadan)

Yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya, pada saat

sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian,

mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita

(bibi, bude, anak perempuan bibi/bude), apabila tidak ada mahar mithil

itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.

Mahar mithil juga terjadi apabila dalam keadaan sebagai

berikut:

1) Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad

nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau

meninggal sebelum bercampur.

2) Kalau mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah

bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.370

Kemudian ulama berbeda pendapat dalam hal jika istri

menuntut penentuan mahar dan jika suami meninggal sebelum ia

menentukan mahar.

367 Lihat: Q.S. al Nisa / 4 : 20, 21. 368 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 141. 369 Lihat : Q.S. al Baqarah / 2 : 237. 370 Lihat : Q.S. al Baqarah / 2 : 236.

Page 192: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

171

a. Jika Istri Menuntut Penentuan Mahar

Apabila istri menuntut penentuan mahar bagi dirinya, maka

golongan fuqaha berpendapat bahwa ia berhak memperoleh mahar

mitsil. Akan tetapi, jika suami menceriakan istrinya sesudah

memberikan ketentuan mahar, maka segolongan fuqaha mengatakan

bahwa istri memperoleh separoh mahar. Segolongan lainnya

mengatakan bahwa istri tidak memperoleh suatu apapun, karena dasar

penentuan mahar tidak terdapat pada waktu akad nikah dilaksanakan.

Demikian pendapat Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya.

Imam Malik dan pengikutnya mengatakan bahwa suami boleh

memilih salah satu dari tiga hal, yaitu: ia boleh menceraikan istrinya

tanpa menentukan mahar, atau menentukan jumlah mahar sebagaimana

yang dituntut oleh istri, atau menentukan mahar mithil dan istri harus

mau menerimanya.371

Perbedaan pendapat antara fuqaha yang mewajibkan mahar

mithil atas suami tanpa memberikan pilihan, jika ia menceraikan

istrinya sesudah menentukan mahar dengan pendapat fuqaha yang

tidak mewajibkan demikian adalah perbedaan mereka dalam

memahami mafhum dari surat al-Baqarah : 236 yang mengatakan tidak

ada dosa jika menjatuhkan talak pada istri sebelum digauli dan belum

ditentukan maharnya dan hendaklah memberikan mut’ah (pesangon)

sesuai dengan kemampuan suami kepada mantan istri.

Perbedaan tersebut apakah ayat itu diartikan dengan keumuman

terhapusnya mahar, baik talak tersebut karena persengketaan antara

suami istri tentang penentuan mahar, ataupun talak tersebut

disebabkan bukan oleh persengketaan. Demikian pula, apakah dari

peniadaan halangan (dosa) itu dapat dipahamkan hapusnya sama

sekali, atau tidak dapat dipahamkan demikian.

371 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 20.

Page 193: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

172

Ayat tersebut memberikan kemungkinan bahwa yang lebih

jelas adalah kemungkinan terhapusnya mahar sama sekali, berdasarkan

firman Allah Q.S. al-Baqarah / 2 : 236

Bagi fuqaha yang mewajibkan pemberian harta sebagai

mut’ah372 dan setengah mahar bagi istri jika suami menceraikan istri

sebelum menggaulinya pada selain nikah tafwid,373 juga mewajibkan

mahar mithil pada nikah tafwid, maka sudah seharusnya fuqaha

tersebut juga mewajibkan separoh mahar mithil mut’ah pada nikah

tafwid. Hal itu karena mafhum ayat tersebut, tidak menyebut-nyebut

masalah penghapusan mahar pada nikah tafwid, melainkan hanya

membicarakan kebolehan menceraikan sebelum menentukan mahar

dan jika nikah tafwid mewajibkan adanya mahar mithil. Jika mahar itu

dituntut, maka seharusnya pula jika terjadi perceraian, mahar tersebut

juga harus diberikan separoh sebagaimana mahar yang telah

ditentukan juga harus separoh. Itulah sebabnya Imam Malik

berpendapat bahwa pada nikah tafwid tidak diwajibkan mahar mithil,

jika pada suami terdapat hak memilih.

b. Jika Suami Meninggal sebelum Menentukan Mahar

Apabila suami meninggal dunia sebelum menentukan mahar,

dan belum menggauli istrinya, Imam Malik dengan para pengikutnya

serta al-Auza’i berpendapat bahwa, istri tidak memperoleh mahar

tetapi memperoleh mut’ah dan warisan. Imam Abu Hanifah

berpendapat bahwa, istri memperoleh mahar mithil dan warisan.

Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud.

Kedua pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Syafi’i. Tetapi yang

372 Mut’ah adalah pemberian suami yang menjatuhkan talak kepada

istrinya sebagai pesangon, karena belum ditentukan maharnya dan belum pernah disenggamai. Pesangon ini berbeda sesuai dengan kaya atau miskin mantan suami itu. Lihat: al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 143.

373 Nikah tafwid adalah nikah yang dilakukan tanpa menyebutkan mahar. Lihat : Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid..., Jilid II, 19.

Page 194: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

173

dijadikan pegangan di kalangan pengikutnya adalah pendapat Imam

Malik374

Perbedaan itu disebabkan oleh adanya pertentangan antara

Qiyas dan Hadis375 yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang

mengatakan, bahwa istri memperoleh mahar mithil tanpa pengurangan

atau berlebihan dan baginya wajib beriddah dan berhak mendapat

warisan.

Segi pertentangan Qiyas dengan Hadis tersebut adalah bahwa

mahar merupakan pengganti. Karena mahar tersebut belum diterima

maka pengganti tersebut tidak diwajibkan karena disamakan dengan

jual beli.

Mengenai hal ini, al-Muzani mengatakan dari Imam Shafi’i,

bahwa Hadis tersebut sahih, maka tidak ada alasan yang bisa dijadikan

pegangan di hadapan Hadis.376

Selanjutnya jika mahar berupa benda dan belum sempat

diterima oleh istri, maka suami wajib menggantinya, seperti yang

terjadi pada jual beli. Dalam qaul qadim377 Imam Shafi’i dikatakan,

374 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 20. 375 H.R. Abu Daud, al Nasa’i dan al Tirmidhi :

Artinya : Mengenai masalah ini aku mengatakan dengan pendapatku. Jika benar, maka itu dari Allah. Dan jika salah, maka itu dari aku sendiri. Yaitu bahwa istri memperoleh mahar seperti mahar wanita dari golongannya (mahar mithil), tanpa pengurangan atau berlebihan, dan atasnya beriddah dan memperoleh warisan. Lalu berdirilah Ma’qil bin Yasar al-Ashja’i dan berkata : “Aku bersaksi bahwa dalam masalah ini engkau benar-benar telah menghukumi dengan keputusan Rasulullah SAW terhadap Furu’ binti Wasyiq”. (HR. Abu Daud, dan al Tirmidhi dan ia mengganggapnya sahih). Lihat Ibnu Rushd : Bidayah al Mujtahid…., Jilid II, 20.

376 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid…,jilid II, 20. 377 Qaul Qadim Imam Shafi’i adalah hasil ijtihadnya ketika ia masih

berdomisili di Iraq. Qaul qadim Imam Shafi’i dihimpun dalam kitabnya “al Hujjah”

Page 195: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

174

mahar yang bendanya rusak atau hilang harus diganti dengan benda yang

sama atau benda yang serupa dengannya, seperti barang yang di ghasab378

kalau tidak ditemukan benda yang sama, atau yang sejenis dengan mahar

yang rusak atau hilang itu, boleh diganti dengan harganya yang lebih

banyak dari harga ketika akad, disamakan dengan harga ketika rusak atau

hilangnya mahar tersebut. Sedangkan dalam qaul jadid379 Imam Shafi’i

berkata, dikembalikan kepada mahar mithil, karena ia hanya sebagai

pengganti barang yang sudah ditetapkan, tetapi rusak sebelum diterima.380

Materi Hukum Fikih Islam tentang mahar dan hukumnya,

ternyata sudah diadopsi dalam KHI tentang perkawinan, yang terdapat

pada Pasal 30 s/d Pasal 38. Bahkan masalah “mut’ah” yang wajib

diberikan oleh mantan suami kepada mantan istri karena menjatuhkan

talak sebelum menetapkan mahar bagi istri ba’da al dukhul, juga telah

diadopsi dalam KHI tentang perkawinan itu, pada Pasal 158 s/d Pasal

160 . Masalah mahar dan hukumnya tersebut, telah disebutkan dengan

detail dalam KHI tentang perkawinan. Dengan demikian, maka ketentuan

mahar dalam hukum fikih Islam telah menjadi Hukum Nasional di

Indonesia.

Lihat: Huazaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madhab, (Jakarta : Logos, 2003), cet. III, 124-126.

378 Ghasab adalah mengambil harta yang berharga tanpa izin pemiliknya : Lihat: Al Jurjany, al Ta’rifat, (Bairut : Libnan : Dar al Kutub al ‘ilmiyah, 2003 M / 1424 H), cet. II, 164.

379 Qaul Jadid Imam Shafi’i adalah hasil ijtihadnya ketika ia sudah berdomisili di Mesir. Qaul Jadid Imam Shafi’i dihimpun dalam kitabnya “al Umm” sebagian ijtihadnya di Iraq berubah setelah tinggal di Mesir. Hal ini disebabkan kondisi di Mesir dan setelah bertemu dengan para ulama Mesir, di sana ia menemukan sebagian Hadis yang tidak ditemukannya di Iraq. Lihat: Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 124-126.

380 Lihat: Al Shairazy, al Muhadhdhab fi Fiqh al Imam al Shafi’i, (Semarang: Maktabah wa Matba’ah Thaha Putra, t.th), Jilid II, 57.

Page 196: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

175

4. Kawin Hamil 381

Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak

dicantumkan masalah “kawin hamil”, tetapi dalam KHI tentang

perkawinan dicantumkan pada pasal 53, tetapi dengan judul “Perkawinan

Perempuan Hamil Karena Zina”. Substansinya sama, hanya berbeda pada

redaksi judul.

Dalam hukum fikih Islam berkenaan dengan hukum menikahi

wanita yang berzina, atau pezina, ulama berbeda pendapat dalam

menetapkan hukumnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan

titik pandang mereka terhadap pemahaman kalimat larangan menikahi

wanita yang berzina, atau pezina yang disebutkan dalam Q.S. Al-Nur / 24 :

3, yang mengatakan, bahwa : ”Pezina laki-laki tidak boleh menikah

kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik, dan

pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki,

atau dengan laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi

orang-orang mukmin”.382

Ibnu Rusyd mengatakan, apakah larangan Allah dalam ayat 3 al

Nur itu yaitu kata الینكحھا tidak menikahi wanita pezina, menunjukkan

celaan atau haram?.

Jumhur ulama membolehkan untuk menikahinya383 dan

memahami larangan dalam ayat itu menunjukkan celaan saja,384 yang

381 Kawin hamil maksudnya, seorang perempuan menikah, tetapi telah hamil

duluan sebelum menikah, atau biasa juga disebut dengan hamil di luar nikah. 382 Teks Q.S. al Nur / 24 : 3

383 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid…, Jilid II, h. 30. 384 Alasan jumhur Ulama membolehkannya adalah Hadis yang diriwayatkan

oleh Abu Daud dan al Nasa’i dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW mengenai istrinya yang berzina. Nabi SAW berkata kepadanya :

“Talaklah ia, laki-laki itu mengatakan : saya sangat mencintainya. Nabi SAW berkata (lagi) kepadanya : “Maka tahanlah ia (tidak usah engkau menceraikannya”) – Lihat : al Shaukany, Nail al Autar, Jilid VI. h.145.

Page 197: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

176

sebaiknya ditinggalkan. Sebagian ulama mengatakan, bahwa larangan

dalam ayat itu menunjukkan haram, oleh sebab itu haram hukumnya

menikahi wanita pezina.385

Menurut al Sayid Sabiq boleh menikahi wanita pezina dengan

catatan, bahwa mereka harus bertaubat terlebih dahulu, karena Allah akan

menerima taubat hambanya dan memasukkannya ke dalam kalangan

hamba-hambanya yang saleh.386 Sesuai dengan firman Allah dalam surah

al Furqan/25 : 68 s/d 71.

Yusuf al-Qaradawi berpendapat tidak boleh mengawini wanita

lacur. Ia mengemukakan peristiwa di masa Nabi SAW Murthad bin

Murthad meminta izin kepada Nabi SAW untuk mengawini wanita lacur.

Nabi SAW berpaling darinya, sehingga diturunkan ayat az-zani la

yankihu...”(Surah al-Nur ayat 3). Nabi membaca ayat itu kepadanya seraya

berkata “kamu jangan menikahinya”.387

Al-Qaradawi selanjutnya mengemukakan alasan bahwa Allah

hanya membolehkan mengawini wanita yang baik-baik dari kalangan

Islam dan Ahli Kitab. Dengan demikian yang halal dikawini oleh laki-laki

ialah wanita yang baik-baik (muhsanat), sebagaimana disebut dalam surat

al-Nisa’ ayat 24.388 Menurut al-Qaradawi, ayat az zani la yankihu...(al-Nur

ayat 3) disebutkan setelah ayat yang menyatakan hukuman jilid.

Menurutnya hukuman ini adalah hukuman badaniah. Adapun hukum

adabiah (moral) ialah pengharaman mengawini pezina.389

Pendapat al-Qaradawi ini cukup tegas, namun ia masih

memberikan jalan keluarnya, yaitu bila mereka telah bertaubat, boleh

385 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid …, Jilid II, 30. 386 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 20. 387 Yusuf al Qaradawy, al Halal wa al Haram fi al Islam, (Bairut: Maktabah al

Islam, 1978), 181. 388 Yusuf al Qaradawy, al Halal wa al Haram fi al Islam, 181. 389 Yusuf al Qaradawy, al Halal wa al Haram fi al Islam, 181.

Page 198: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

177

dinikahi, dan untuk mengetahui kesucian rahimnya, mereka harus

melampaui haid sekurang-kurangnya satu kali.

Dengan demikian sebaiknya tidak menikahi wanita lacur selama

ia tidak bertaubat. Alasan jumhur yang mengatakan boleh, yang

berdasarkan kepada Hadis bahwa ketika datang seorang laki-laki

menyampaikan, bahwa istrinya berbuat serong, lalu Rasulullah

mengatakan, ceraikan dia, tetapi laki-laki itu mengatakan, bahwa ia

mencintainya, lalu Rasulullah mengatakan, jangan ceraikan dia.390 Kalau

suami sangat mencintainya mereka tak perlu bercerai. Karena ia tentu akan

menjaga istrinya untuk tidak mengulangi perbuatannya.

Ditinjau dari sudut kesehatan, menikahi wanita lacur cukup

berbahaya, karena dapat menularkan penyakit kelamin, HIV/AIDS. Oleh

karena itu tepat sekali pendapat ulama yang mengatakan haram menikahi

wanita lacur, kecuali mereka telah bertaubat, sembuh dan telah steril.

Untuk masa sekarang ini barangkali perlu ditambah satu syarat

lagi, yaitu ke dokter, apakah wanita itu benar-benar telah bebas dari

penyakit kelamin atau mengidap penyakit HIV/AIDS atau belum.

Walaupun ia sudah lama tidak melacur, dan sudah bertaubat, belum tentu

penyakitnya telah sembuh.

Islam menganjurkan nikah dan melarang mendekati perbuatan

zina untuk menjaga kesejahteraan masyarakat, karena zina merupakan

sumber kehancuran.391 Menurut dokter ahli penyakit kulit dan kelamin,

zina merupakan sumber penularan penyakit sifilis392 gonore393 dan

390 Lihat: Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, 30. 391 Lihat: Q.S. al Isra’ : 32. 392 Sifilis ialah penyakit infeksi yang disebabkan oleh treponema pallidum,

sangat kronis dan sejak semula bersifat sistemik. Pada perjalannnya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai rasa laten dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. Lihat : Adhi Djuanda, “Sfilis”, dalam Mawarli Harahap, ed, Penyakit menular seksual, (Jakarta: PT. Gramedia, 1984), 12.

393 Gonore adalah penyakit kelamin, yang pada pria permulaannya keluar nanah dari orifisium uretra eksterna dan pada wanita biasanya tanpa gejala, hanya kadang-kadang nanah keluar dari introitus vagina. Lihat: Utama Wijaya, “gonore”,

Page 199: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

178

sejenisnya, yang sangat membahayakan. Bila seseorang lelaki berzina

dengan seorang WTS, kemudian berhubungan dengan istrinya, maka besar

kemungkinan istri akan tertular penyakit sifilis atau gonore.394

Di Negara-negara yang sudah maju, di mana agama tidak begitu

berperan dalam kehidupan masyarakat. Penularan penyakit ini cukup

tinggi. Menurut laporan dari WHO tahun 1982, sebagaimana dikutip

Adhi Djuanda, ternyata penderita penyakit sifilis di Venezuela, Polandia

Kuba cukup tinggi. Sedangkan negara-negara lain seperti Amerika Serikat,

Denmark, Republik Demokrasi jerman dan Hongkong lebih rendah.395

Selanjutnya berkenaan dengan hukum nikah wanita hamil dari

zina dengan pria yang menghamilinya, para ulama sependapat

mengatakan, bahwa pria pezina, halal menikahi waita pezina pasangannya

itu.396 Dengan demikian, maka perkawinan antara pria dengan wanita yang

dihamilinya adalah sah. Mereka boleh melakukan hubungan suami istri,

tanpa menunggu kelahiran anak yang dikandung wanita itu, karena status

mereka sama-sama sebagai pezina.397

Al Shafi’i mengatakan bahwa bila seseorang berzina dengan

seorang wanita, tidak diharamkan mereka menikah.398

Dalam surah al Nisa’/4 : 24 berkenaan dengan wanita-wanita

yang haram dinikahi (محرمات), tidak dimasukkan dalam kategori salah satu

dari wanita yang haram dinikahi, wanita yang hamil diluar nikah.

Dalam Penyakit Menular Seksual, 54, Beliau adalah dokter ahli penyakit kulit dan kelamin pada rumah sakit Gatot Subroto, Jakarta. Lihat : Mawarli Harahap “Sifilis”, dalam Penyakit Menular Seksual. 3.

394 Adhi Djuanda : “Sifilis, Dalam Penyakit Menular Seksual, 1 395 Adhi Djuanda : “Sifilis, Dalam Penyakit Menular Seksual, 12. Adhi

Djuanda adalah dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.

396 Al Shairazy, al Muhadhdhab, Jilid II, 43. 397 Lihat: Q.S. al Nur / 34 : 3. 398 Lihat: Firman Allah Q.S. al Nisa’/4 : 24

“…dan dihalalkan bagimu selain yang demikian…”

Page 200: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

179

pula berdasarkan Hadis Nabi SAW yang mengatakan, bahwa yang haram

itu tidak mengharamkan yang halal.399

Ini bukanlah berarti bahwa seseorang yang menghamili wanita

kemudian melaksanakan aqad nikah, masalahnya telah selesai. Sama

sekali tidak. Karena mereka telah berdosa melanggar hukum Tuhan, maka

mereka wajib bertaubat. Yaitu taubah nasuha, dengan istighfar, menyesali

dan menjauhkan diri dari dosa, dan keduanya memulai hidup yang bersih,

tanpa dosa. 400 Sesungguhnya Allah Ta’ala akan menerima taubat hamba-

Nya selama belum dalam sakarat.401

Selanjutnya berkenaan dengan nasab anak dari hasil perbuatan

zina, pada dasarnya nasabnya dihubungkan dengan ibunya, sesuai dengan

Hadis Nabi SAW, bahwa “Anak itu dinasabkan kepada ibunya, sedangkan

laki-laki pezina tidak memiliki hubungan apa-apa”. (HR. sekelompok

ulama Hadis, kecuali Abu Daud dari Abu Hurairah).402

Perlu diketahui bahwa kata al-Hajar yang dimaksudkan dalam

Hadis ini ialah al-khaibah, artinya sesuatu yang tak ada nilainya. Ada

sekelompok ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan al-

Hajar adalah rajam. Ibn Athir berkata bahwa hal ini benar, karena tidak

semua pezina dihukum rajam.403

Menurut Wahbah al Zuhaily nasab anak ditentukan dengan

penetapan batas waktu kelahiran anak dihitung sejak terjadinya akad

399 Rasulullah bersabda :

Lihat : al Syaukany, Nail al Autar, Jilid VI, 145. 400 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 85. 401 Rasulullah bersabda :

“Sesungguhnya Allah SWT menerima tobat hambanya selama belum sakarat maut, (HR. Ahmad, al Tirmidhi dan Ibnu Majah dan Ibnu Umar) – al Suyuty, al Jami’ al Saghir, Jilid I, 77.

402 403 Lihat : Ibnu Atsir, Nihayah fi Gharib al Hadith wa al Athar, (t.t. : Dar al

Fikr, 1979), Jilid III, 343.

Page 201: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

180

nikah, karena kehamilan seseorang itu agaknya sulit diketahui oleh orang

lain. Yang lebih mengetahui adalah si wanita yang hamil itu sendiri.

Menurutnya bila bayi itu lahir setelah enam bulan dihitung sejak akad

nikah, maka bayi itu dinasabkan kepada suami. Kalau kurang dari enam

bulan dinasabkan kepada ibunya. Kecuali bila suami mengatakan, bahwa

anak yang dikandung istrinya itu adalah anaknya dan tidak mengatakan,

bahwa anak itu dari hubungan zina istrinya. Pengakuan ini, menetapkan

nasab kepada si suami berdasarkan akad nikah yang lalu, karena orang

Islam dianjurkan untuk berbuat baik dan menutup aib.404

Sedangkan status hukum anak yang lahir sebagai hasil pembuahan

suami istri yang sah diluar cara alami dan dilahirkan oleh istri tersebut

belum disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI

tentang Perkawinan sebagaimana disebutkan oleh para Ulama fikih.405

Adapun perkawinan orang yang tidak berzina dengan perempuan

yang berzina, sekelompok ulama mengatakan, misalnya Hasan Bashri,

bahwa zina dapat menfasakh nikah. Sedangkan jumhur Ulama mengatakan

boleh, atau sah hukum perkawinan pria bukan pezina dengan wanita

pezina.406

Berkenaan dengan hukum menikahi wanita yang hamil diluar

nikah oleh pria yang bukan menghamilinya Ulama berbeda pendapat

dalam menetapkan hukumnya.

a. Imam Abu Hanifah, ulama Shafi’iyah dan Muhammad (murid Abu

Hanifah) mengatakan boleh bagi pria yang bukan berzina menikahi

wanita hamil diluar nikah, sah nikahnya, tetapi tidak boleh

404 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuh, Jilid VII, 148. 405 Anak yang lahir dari hasil pembuahan suami istri yang sah dikenal dengan

istilah bayi tabung. Bayi yang lahir dari perkawinan yang sah tidak melalui cara alami dibenarkan oleh Hukum Fikih Islam jika dilakukan ketika suami istri masih rukun, atau belum cerai, cerai hidup atau cerai mati. Lihat Mahmud Shaltut, al Fatawa, (al Qahirah: Dar al Shuruq, 1400 H/1980 M), cet. X, 327, 328.

406 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuh, Jilid VII, 148, 149

Page 202: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

181

menggaulinya sebelum lahir anak yang dikandung perempuan yang

berzina itu, menurut Abu Hanifah,407 dan boleh menggaulinya menurut

ulama Shafi’iyah.408 Mereka beralasan :

1) Wanita yang hamil di luar nikah tidak termasuk kategori wanita-wanita

“Muharramat” yang haram dinikahi,409 oleh sebab itu sah nikahnya

dan tidak perlu tajdid nikah bila wanita itu telah melahirkan.

2) Tidak ada pengharaman terhadap hasil/benih zina, karena anak hasil

dari zina tidak dinasabkan dengannya berdasarkan Hadis yang

diriwayatkan oleh mayoritas Ulama Hadis, kecuali Abu Daud dari Abi

Hurairah, bahwa anak itu dinasabkan kepada ibunya.410

Berdasarkan ini, maka menurut Abu Hanifah tidak ada larangan

untuk membolehkannya. Yang dilarang hanya menggaulinya sebelum

melahirkan anak hasil zina yang dikandungnya.411 Demikian menurut

ulama Hanafiyah sedangkan ulama Shafi’iyah boleh menggaulinya dalam

keadaan hamil,412 karena nikahnya sah. Kalau nikahnya sah, maka sah pula

menggaulinya. Tidak ada masa iddah bagi wanita yang hamil di luar nikah.

Maka iddahnya hanya berlaku bagi wanita yang sudah menikah kemudian

talak. Sedangkan Abu Yusuf dan Zufar dan murid Abu Hanifah

mengatakan tidak boleh kawin dengan wanita hamil dari zina, karena

407 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 149. 408 Al Shairazy, al Muhadhdhab, Jilid II, 43. 409 Lihat Q.S. al Nisa’ / 4 : 24. 410 Hadis (الولد للفراش) lihat : al Shaukany, Nail al Autar, Jilid VI, 279. 411 Dasar larangan menggauli wanita hamil luar nikah yang telah dinikahi itu

adalah Hadis yang diriwayatkan oleh al Tirmidhy dari Ruwaifi yang diriwayatkan juga oleh Abu Daud, adalah

“Siapa yang beriman kepada Allah, dan hari akhir, maka jangan sekali-kali ia menyirami tanaman orang lain”. (maksudnya mencampuri wanita hamil dari zina) Lihat : al Suyuty, al Jami’ al Saghir, Jilid II, 179.

412 Ulama Shafi’iyah beralasan dengan : Q.S. al Nisa’ / 4 : 24 dan hadis

“Yang haram tidak mengharamkan yang halal” (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Umar) – Lihat : al Shaukany, Nail al Autar, Jilid VI, 145.

Page 203: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

182

kehamilannya itu menghalangi persetubuhan, oleh sebab itu akadnya juga

dilarang.413

b. Ulama Malikiyah dan Hanabilah tidak boleh seorang pria yang tidak

berzina menikahi wanita hamil dari zina sebelum habis iddahnya, yaitu

melahirkan anaknya. Bahkan ulama Hanabilah menambahkan lagi dengan

syarat bertobat dari wanita hamil tersebut. Alasannya sama dengan alasan

yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Muhammad, yaitu Hadis

tidak boleh menggauli wanita hamil dari zina, dan Hadis shahih yang

mengatakan, tidak boleh menggauli wanita hamil, hingga ia melahirkan.414

Ini adalah pendapat Imam Malik415

Sedangkan syarat kebolehan menikahi wanita hamil tersebut,

menurut ulama Hanabilah harus bertobat sebelum menikahinya adalah

firman Allah dalam Surah al-Nur/24 : 3 bahwa diharamkan menikahi

wanita yang berzina. Ulama yang selainnya tidak mensyaratkan tobat bagi

wanita tersebut sebelum menikahinya.416

Substansi atau ketentuan-ketentuan tentang kawin hamil dan

kedudukan anak yang disebutkan dalam hukum fikih Islam yang telah

diuraikan di atas, sudah diadopsi dalam KHI tentang perkawinan pada

Pasal 53. Kedudukan anak disebutkan dalam KHI pada pasal 99 s/d Pasal

103. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berkenaan dengan

status anak tercantum pada Pasal 42 s/d Pasal 44, tetapi berkenaan dengan

kawin hamil belum dicantumkan.

Dengan demikian masalah nikah hamil dan akibat hukumnya sudah

masuk dalam Hukum Nasional, karena semua materi hukum yang tertera

dalam Hukum Fikih Islam berkenaan dengan kawin hamil serta status anak

telah tercantum dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.

413 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 149,150. 414 Teks Hadis tersebut di atas adalah : 415 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 150. 416 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 150.

Page 204: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

183

5. Waktu Tunggu (Masa Iddah)417 dan Masa Berkabung

Jika putus perkawinan, baik akibat talak, khulu’, fasakh dan li’an,

maka wajib berlaku waktu tunggu (masa iddah) bagi wanita yang putus

perkawinannya itu.

Masa tunggu (masa iddah) disebutkan dalam KHI tentang

perkawinan pada Pasal 153 s/d Pasal 155. Sedangkan masa berkabung bagi

wanita yang iddah cerai mati disebutkan pada Pasal 170. Tetapi UU No. 1

tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyebutkan masa iddah, masa

berkabung bagi wanita yang cerai mati.

Dalam hukum fikih Islam Iddah wajib hukumnya.418 Iddah terbagi

kepada beberapa macam :

a. ‘Iddah wanita yang ditalak

Iddah wanita yang ditalak terdiri dari :

1) Wanita yang telah dicampuri dan belum putus haid. Iddahnya tiga

kali suci, atau tiga kali haid, yang dalam Al Quran disebut

tiga quru’419. Dalam menetapkan makna quru’, ulama ”ثالثة قروء“

berbeda pendapat, sebagian fuqaha berpendapat bahwa quru’ itu

artinya suci, yaitu masa di antara dua haid. Fuqaha lain

berpendapat bahwa quru’ itu ialah haid itu sendiri. Fuqaha yang

berpendapat bahwa quru’ adalah suci, dari kalangan fuqaha

Anshar, seperti Imam Malik, Imam Shafi’i, dan mayoritas fuqaha

417 Iddah menurut bahasa berarti kadar, atau jumlah yang dihitung. Iddah wanita

yang ditalak dan yang meninggal suaminya adalah suatu masa yang ditetapkan oleh syara’ yang dilakukan oleh wanita, tidak menikah setelah ditalak, atau suaminya meninggal – Lihat : Majma’ al Lughah al Arabiyah, al Mu’jam al Wasit, Jilid II, h. 587. Sedangkan pengertian iddah menurut istilah dalam fikih adalah nama dari waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati, atau diceraikan oleh suaminya, yang sebelum habis masa iddahnya itu, dilarang untuk menikah – Lihat : Abd. Rahman al Jaziry, al Fiqh ‘Ala al Madhahib al ‘Arba’ah, Jilid IV, 513 s/d 518.

418 Lihat : Q.S. al Baqarah / 2 : 228. 419 Lihat Q.S. al Baqarah / 2 : 228.

Page 205: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

184

Madinah, juga Abu Saur, sedangkan dari kalangan sahabat antara

lain ; Ibnu Umar, Zaid bin Sabit, dan Aishah ra.420

Adapun fuqaha yang berpendapat bahwa quru’ adalah haid,

terdiri dari Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, al-Auza’i, Ibnu Abi

Laila. Dari kalangan Sahabat antara lain : Ali ra, Umar bin Khattab

ra, Ibnu Mas’ud ra, dan Abu Musa al-Ash’ari ra.421

Alasan terkuat yang dijadikan pegangan oleh para fuqaha

yang berpendapat, bahwa quru’ itu berarti suci, adalah Hadis Ibnu

Umar dari sekelompok Ulama Hadis, kecuali al Bukhary

bahwasannya ia menalak istrinya dalam keadaan haid, lalu umar

bin Khaththab menyampaikan hal itu kepda Rasulullah SAW,

maka Rasulullah memberi tahu kepada Umar untuk memberitahu

putranya yang bernama Abdullah agar menyuruhnya rujuk kepada

istrinya sampai ia haid, kemudian suci, kemudian haid lagi,

kemudian menceraikannya jika mau, sebelum ia menyentuhnya.

Demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah untuk

menceraikan istri.422

Kata-kata Nabi SAW, itulah ‘iddah yang diperintahkan

oleh Allah untuk menceraikan istri, merupakan dalil yang jelas

bahwa ‘iddah adalah suci, agar talak dapat bersambung dengan

‘iddah. Tetapi, kata-kata Nabi SAW, tersebut dapat pula diartikan

bahwa masa ‘iddah adalah masa menghadapi ‘iddah, agar quru’

tidak terbagi-bagi dengan adanya talak di masa haid.

Alasan fuqaha golongan kedua adalah bahwa iddah itu

diadakan untuk mengetahui kosongnya rahim (tidak hamilnya)

wanita yang ditalak. Sedang kosongnya rahim hanya dapat

420 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid..., Jili 67. 421 Lihat Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid…, Jilid II, 67. 422 Teks hadis yang dimaksud, yaitu :

Lihat : al Shaukany, Nail al Autar, Jilid VI, 221.

Page 206: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

185

diketahui dengan haid, bukan dengan masa suci. Oleh karena itu,

‘iddah wanita yang sudah monopouse adalah ukuran hari (yakni

tiga bulan). Jadi, haid merupakan sebab adanya ‘iddah dengan

qur’un. Oleh karena itu, qur’un harus diartikan haid.

Selanjutnya Fuqaha yang mengatakan bahwa qur’un adalah

masa suci mengemukakan alasan bahwa yang menjadi pedoman

bagi kosongnya rahim seorang wanita adalah masa perpindahan

dari suci, kepada haid. Oleh karena itu, tidak ada artinya untuk

berpegang pada haid yang terakhir. Jika demikian halnya, maka

bilangan tiga yang disyaratkan harus lengkap adalah masa-masa

suci di antara dua haid.423

Kedua golongan ini mempunyai alasan-alasan yang banyak.

Akan tetapi dari segi akal alasan ulama Hanafiyah lebih jelas.

Alasan jumhur ulama dari segi riwayat lebih kuat.

2) Wanita yang ditalak yang telah dicampuri dan tidak haid (yang

belum baligh atau sudah monopouse).

Wanita yang tidak haid, baik yang sudah putus haid, atau belum

haid, jika ditalak, maka masa iddahnya tiga bulan.424

3) Wanita yang ditalak atau cerai mati belum digauli.

Tidak ada masa ‘iddah bagi perempuan yang ditalak dan belum

digauli.425 Tetapi bagi perempuan yang belum pernah digauli, jika

ditinggal mati oleh suaminya, maka ia harus beriddah seperti

iddahnya orang yang sudah digauli, tiga kali suci, atau tiga kali

haid426 karena ia berhak mendapat warisan dari suaminya.

423 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid…, Jilid II, 67, 68. 424 Q.S. Al Talaq / 65 : 4 425 Q.S. Al Ahzab / 33 : 49 426 Q.S. Al Baqarah / 2 : 234

Page 207: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

186

b. ‘Iddah wanita yang ditalak dalam keadaan hamil

Jika wanita diceraikan dalam keadaan hamil, maka masa

iddahnya batasannya sampai melahirkan.427

Perceraian wanita yang sedang hamil terdiri dari cerai hidup

dan cerai mati. Masa ‘iddah keduanya adalah sampai melahirkan,

berdasarkan Hadis Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh al Bukhary dari

al Miswar bin Mahzamah, bahwa Subai’ah al Aslamiyah melahirkan

anaknya setelah meninggal suaminya, beberapa malam, lalu ia datang

kepada Nabi Muhammad SAW meminta izin agar ia menikah, lalu

Rasulullah mengizinkannya, maka menikahilah ia428 pendapat ini juga

didasarkan pada Ayat 4 al-Talaq yang mengatakan bahwa ‘iddah

wanita hamil adalah sampai melahirkan, baik cerai hidup, maupun

cerai mati. Ini adalah pendapat jumhur Ulama dari kalangan Sahabat

dan Ulama lainnya. Tetapi Mazhab al Hadawiyah dan selain mereka di

riwayatkan dari Ali, bahwa masa ‘iddah wanita hamil cerai mati adalah

mengambil masa yang terpanjang (بأبعد األجلین).429 Jika wanita hamil itu

kehamilannya ketika meninggal suaminya sudah hamil tua, maka

‘iddah wanita tersebut, mengambil waktu yang terpanjang, yaitu empat

bulan 10 hari430. Jika kehamilannya masih hamil muda maka

‘iddahnya sampai melahirkan431

c. Iddah wanita yang cerai mati

Wanita yang cerai mati jika ia tidak hamil, maka ‘iddahnya

empat bulan sepuluh hari,432 seperti masa ‘iddah wanita yang ditalak

dan tidak hamil, lalu suaminya meninggal.

427 Q.S. al Talaq / 65 : 4 428 Teks Hadis yang dimaksud dalam uraian di atas yaitu :

Lihat : al San’any : Subul al Salam, Jilid III, 264. 429 Lihat : Al San’any : Subul al Salam, Jilid III, 266. 430 Q.S. al-Baqarah / 2 : 234. 431 Q.S. al-Talaq / 65 : 4. 432 Q.S. al-Baqarah / 2 : 234.

Page 208: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

187

d. ‘Iddah wanita berhaid, tetapi tidak haid

Jika wanita yang ditalak seorang yang berhaid, kemudian ia

tidak haid seperti biasanya, dan tidak ketahuan apa sebabnya, maka

‘iddahnya setahun.433 Ia menahan diri selama sembilan bulan, agar

dapat diketahui, kebersihan kandungannya.

e. ‘Iddah wanita istihadah434

Wanita istihadah seperti halnya perempuan haid. Kemudian

kalau ia punya kebiasaan tersendiri maka hendaklah ia memperhatikan

kebiasaannya dalam soal haid dan bersihnya. Jika talak lewat tiga kali

haid, maka habislah ‘iddahnya. Jika ia putus haid, maka ‘iddahnya

habis dalam tiga bulan.

f. ‘Iddah wanita dalam perkawinan yang tidak sah

Seorang laki-laki yang menyetubuhi perempuan secara syubhat

(keliru tak sengaja) maka perempuannya wajib menjalani ‘iddah.

Karena persetubuhan secara syubhat sama hukumnya dengan

persetubuhan dalam perkawinan yang sah soal nasabnya.

Dalam hal ini sama dengan persetubuhan dalam aqad

perkawinan yang sah tentang kewajiban ‘iddahnya. Juga wajib iddah

dalam perkawinan yang batal, bila memang telah terjadi persetubuhan.

Perempuan yang berzina tak wajib ‘iddah. Sebab iddah

gunanya untuk menjaga keturunan. Sedang orang yang berzina tidak

dibebani pertalian nasab. Demikianlah pendapat golongan Hanafi,

Shafi’i dan Tsauri. Begitu pula pendapat Abu Bakar dan Umar. Tetapi

Malik dan Ahmad berpendapat wajib ‘iddah.435

433 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 280, 281. 434 Istihadah adalah darah yang keluar dari wanita lebih dari hari yang

maksimal hari haid. Misalnya menurut Imam Shafi’i haid maksimal 15 hari. Lebih dari 15 hari, maka termasuk darah istihadah.

435 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 282.

Page 209: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

188

g. ‘Iddah wanita yang ditalak suami dalam keadaan sakit keras

Talak orang yang sakit keras yaitu seorang yang sakit keras

menjatuhkan talak kepada istrinya dengan talaq ba’in sedang istrinya

tidak rela, lalu ia mati sewaktu masa ‘iddah istrinya.

Dalam keadaan seperti ini perbuatannya dianggap melarikan

diri atau menghalangi warisan. Oleh sebab itu Imam Malik berkata :

perempuan yang mendapat warisan walaupun ia (suaminya) mati

setelah habis ‘iddah dan setelah kawin dengan laki-laki lain.436

Tetapi Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa dalam

hal seperti ini hukumnya berbeda yaitu ‘iddahnya lebih lama dari dua

masa ‘iddah di atas, yaitu iddah talak dan ‘iddah kematian suami.437

Jika ‘iddah talak yang lebih lama, maka ‘iddah inilah yang

dipakai. Jika iddah kematian suami yang lebih lama maka ‘iddah inilah

yang dipakai. Maksudnya jika selesainya ‘iddah tiga kali haid lebih

lama daripada 4 bulan 10 hari, maka ‘iddah inilah yang dipakai. Tetapi

jika masa 4 bulan 10 hari ini lebih lama dari masa tiga kali haid, maka

‘iddah inilah yang dipakai.438

Hal ini dimaksudkan agar perempuannya tidak terhalang

mendapatkan hak waris dari suaminya yang ingin mengabaikan bagian

waris istrinya dengan jalan talak. Tetapi menurut Abu Yusuf, dan

Shafi’i dalam salah satu qaulnya yang lebih kuat, bahwa perempuan

tersebut tidak mendapatkan warisan, seperti halnya dengan perempuan

yang dijatuhi talaq ba’in dengan sah.439

Alasannya, karena ikatan suami istri telah habis dengan adanya

talak sebelum kematian suami. Sehingga sebab memperoleh warisan

436 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 647. 437 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 646. 438 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 283. 439 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 647.

Page 210: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

189

telah hilang. Tentang dugaan adanya niat melepaskan diri dari

memberikan warisan kepada istrinya itu tidak dapat dijadikan dasar

hukum.

Sebab pada pokoknya hukum itu berdasarkan keadaan

lahiriahnya, bukan kepada maksud-maksud yang masih

tersembunyi.440

Para ulama sepakat bahwa kalau suami mentalak ba’in istrinya

ketika sakit, kemudian istrinya mati maka suami itu tidak dapat

warisan apa-apa.

Begitu pula perubahan iddah dari ‘iddah haid kepada ‘iddah

beberapa bulan bagi perempuan yang mengalami sekali haid atau dua

kali haid lalu putus haidnya, maka di saat ini ia wajib ber’iddah tiga

bulan.

Sebab ia tak mungkin menjalani ‘iddah haid dengan sempurna,

karena telah putus haidnya. Tapi yang mungkin ialah ia mulai dengan

‘iddah beberapa bulan dengan sempurna. ‘Iddah beberapa bulan ini

sebagai ganti dari ‘iddah haidnya itu.

h. ‘Iddah wanita yang hilang suaminya.

Jika seorang wanita hilang suaminya dan tidak diketahui

dimana suaminya itu berada, apakah ia telah meninggal, atau masih

hidup, maka wajib atasnya menunggu empat tahun lamanya. Sesudah

itu jika suaminya belum juga ketahuan dimana keberadaannya, maka

hendaklah wanita tersebut ber’iddah lagi empat bulan sepuluh hari441

Ketentuan iddah seperti ini berdasarkan Hadis Nabi SAW yang

diriwayatkan oleh Malik dan Shafi’i dari Umar bin Khattab, bahwa

Rasulullah SAW bersabda : “Bagi wanita yang kehilangan suaminya

dan ia tidak mengetahui dimana dia berada, sesungguhnya wanita itu

440 Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 283. 441 Al San’any, Subul al Salam, Jilid III, 279.

Page 211: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

190

wajib menunggu empat tahun, kemudian hendaklah ia beriddah empat

bulan sepuluh hari, barulah ia boleh menikah”. 442

Sebelum habis masa ‘iddah, haram hukumnya bagi wanita itu

menikah.443 Seorang wanita yang telah dicerai oleh suaminya, dilarang

melakukan perkawinan dengan lelaki lain selama masa yang ditentukan

oleh syariat. Masa yang ditentukan oleh syariat ini dimaksudkan untuk

memberi kesempatan kepada suami dan istri untuk berpikir, apakah

perkawinan tersebut masih dapat dilanjutkan dengan cara ruju’ (kembali),

jika perceraian itu terjadi pada talak raj’i (talak satu dan dua), atau

perceraian itu lebih baik bagi keduanya.444

Wanita dalam menjalani masa ‘iddah mempunyai hak dan

kewajiban, yaitu :

1) Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan,

maupun melalui sindiran. Tetapi bagi wanita yang sedang dalam

iddah kematian suami, boleh dilakukan pinangan terhadapnya dengan

cara sindiran.445

2) Dilarang keluar rumah. Jumhur ulama selain Mazhab Shafi’i sepakat

mengatakan, bahwa wanita yang sedang menjalani masa iddah

dilarang keluar rumah apabila tidak ada keperluan yang mendesak,

seperti untuk keperluan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari

dan juga kebutuhan anak-anaknya jika suaminya tidak

meninggalkan harta. Dalam hal ini ia boleh keluar rumah, untuk

berkarir atau bekerja untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.446

3) Selama dalam masa ‘iddah, berhak untuk tinggal di rumah

suaminya.447

442 Teks Hadis itu :

Lihat : Al San’any, Subul al Salam, Jilid III, 279. 443 Lihat : Q.S. Al Baqarah / 2 : 235. 444 Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam,

(Jakarta,: UI Press, 1986), 122. 445 Q.S. al Baqarah / 2 : 234. 446 Lihat : Q.S. al Baqarah / 2 : 240, al Thalaq / 65 : 1.

Page 212: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

191

4) Wajib ber’ihdad448 tidak bersolek dan mempercantik diri selama

‘iddah empat bulan sepuluh hari.

5) Wanita yang masih berada dalam ‘iddah talak raj’i terlebih lagi yang

sedang hamil, berhak mendapatkan nafkah lahir dari suaminya. Bagi

wanita yang ditinggal mati suaminya tentu tidak lagi mendapatkan

apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap tinggal di

rumah suaminya sampai berakhirnya masa ‘iddah.

6) Wanita yang berada dalam ‘iddah talak raj’i berhak mendapatkan

harta waris dari suaminya yang meninggal, sedangkan wanita yang

ditalak tiga, tidak berhak mendapatkannya.449

Adapun hikmah adanya ‘iddah adalah sebagai berikut :

1) Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga

tidak tercampur antara keturunan seorang dengan yang lain.

2) Memberi kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk

kembali kepada kehidupan semula, jika mereka menganggap hal

tersebut baik.

3) Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpunkan

orang-orang arif mengkaji masalahnya, dan memberikan tempo

berpikir panjang. Jika tidak diberi kesempatan demikian, maka tidak

ubahnya seperti anak-anak kecil bermain, sebentar disusun, sebentar

lagi dirusaknya.

4) Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami

istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya.

447 Lihat : Q.S. Al Talaq / 65 : 1. 448 Ihdad berasal dari kata ahadda dan terkadang bisa juga disebut al-hidad

yang diambil dari kata hadda. Secara etimologi bermakna al-man’u (larangan). Dalam istilah ihdad bermakna meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata dan minyak wangi. Ada juga yang mendefinisikannya dengan menahan diri dari mempercantik diri atau bersolek. Lihat, Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Jilid VII, 659. Lihat juga masalah yang cukup menarik menyangkut ihdad wanita karir dalam, Hafiz Ansary “Ihdad Wanita Karir” dalam, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Ansary (ed), (Jakarta: Firdaus, 2002), 11-34.

449 Lihat: al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 286.

Page 213: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

192

Jika terjadi sesuatu yang mengharuskan putusnya ikatan tersebut

maka untuk mewujudkan tetap terjaganya kelanggengan harus diberi

tempo beberapa saat memikirkannya dan memperhatikan apa

kerugiannya.

Dapat disimpulkan, bahwa hikmah iddah adalah sebagai berikut :

1) ‘Iddah adalah masa berpikir untuk kembali lagi atau berpisah.

2) Waktu iddah baik bagi pihak ketiga untuk usaha merujuk kembali.

3) Masa penyelesaian segala masalah bila masih ada masalah dan akan

tetap berpisah.

4) Masa peralihan untuk menentukan hidup baru.

5) Sebagai waktu berkabung bila suaminya meninggal.

6) Masa untuk menentukan kosong tidaknya rahim istri dari suami.450

7) Sebagai hukum ta’abbudy.

Bila terjadi perceraian, bagi laki-laki tidak wajib ber’iddah.

Tidak ada nas dari Al-Quran, atau dari Hadis yang mewajibkannya.

Tetapi sekalipun tidak ada nas memberikan ketentuan adanya masa

‘iddah bagi laki-laki tetapi secara moral tidak berarti bahwa mereka

dengan bebas memutuskan untuk menikah lagi ketika istrinya meninggal,

tanpa ada pertimbangan etis dan kearifan atas kematian istrinya.451 Bila

istrinya meninggal dunia, kemudian segera melaksanakan pernikahan, hal

ini sesungguhnya bertentangan dengan etika budaya masyarakat yang

selama ini khususnya di Indonesia, dipegang sebagai salah satu alat

kontrol dan kritik sosial.

Sebenarnya masyarakat kita telah memiliki hukum adat dan

ketentuan sosial yaitu kesepakatan nilai dan kepantasan, yang juga tidak

kalah pentingnya bagi makhluk yang berbudaya. Karena demikian

adanya, prinsip moralitas kultur yang dapat menjadi piranti penyokong

450 Lihat: al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II, 277. 451 Lihat Huzaemah Tahido Yanggo, Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum

Islam, (Jakarta: Adelina, 2005), 32.

Page 214: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

193

hubungan harmonis antara pihak keluarga istri yang meninggal dengan suami

yang ditinggalkan, hendaknya dijadikan pertimbangan berharga dalam

memutuskan langkah selanjutnya. Apalagi, dalam konteks hubungan sosial

kemasyarakatan, pada tingkat yang mutlak Allah SWT, telah memberikan

pijakan bagi hambaNya, agar berperilaku toleran, arif dan bijak yang dapat

menjadi penopang terciptanya kedamaian dan kesantunan.

Ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum yang berkenaan dengan masa

iddah perempuan, cerai mati atau cerai hidup dan kewajiban berkabung bagi

wanita yang cerai mati telah diadopsi dalam KHI tentang perkawinan, pada

Pasal 153 s/d Pasal 155. Sedangkan kewajiban berkabung bagi wanita

terdapat pada Pasal 170. Meskipun ketentuan masalah “Iddah menurut hukum

fikih Islam telah dimuat dalam KHI bidang perkawinan, tetapi setelah diteliti

ternyata ketentuan-ketentuan tentang iddah dalam hukum fikih Islam belum

semuanya tercantum dalam KHI tersebut. Namun demikian, sudah dapat

dijadikan pedoman oleh para Hakim Pengadilan Agama dalam menetapkan

kasus-kasus berkenaan dengan ‘iddah dan ihdad.

Dengan demikian, berarti ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum

yang berkenaan dengan masalah ‘iddah yang disebutkan dalam hukum fikih

Islam berkenaan dengan fikih munakahat tersebut, telah menjadi Hukum

Nasional. Materi, atau ketentuan-ketentuan KHI tentang perkawinan sama

dengan yang telah berlaku di kalangan masyarakat Islam di Indonesia. Dengan

adanya kesesuaian hukum-hukum dalam perkawinan yang berlaku di

masyarakat Islam Indonesia, maka tidak ada masalah dalam menerapkan

Hukum Nasional tentang perkawinan kepada orang-orang Islam yang

berperkara di Pengadilan Agama. Perbedaan fikih munakahat dengan KHI

tentang Perkawinan, dalam KHI meskipun telah dilengkapi dengan masalah

prosedur dan teknis dalam pelaksanaan dan penyelesaian perkara, tetapi belum

terinci sedangkan fikih munakahat pembahasannya lebih rinci.

Page 215: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

194

Demikianlah pembahasan Hukum Fikih Islam yang berkenaan dengan

fikih Munakahat yang terdapat dalam KHI Tentang Perkawinan.

Pembahasannya tidak mengikuti sistematika dan urutan pasal-pasal yang

terdapat dalam KHI tersebut, karena ketika membahas suatu masalah dalam

suatu pasal, jika terkait masalahnya dengan pasal lain, sudah sekaligus dibahas

materinya, untuk menghindari pengulangan bahasan452.

D. Usaha Amandemen UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan

UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dapat dikategorikan sebagai

Undang-Undang yang Islami, karena kandungan UU Perkawinan tersebut

sesuai dengan Hukum Perkawinan Islam. Sebagian besar substansi UU

Perkawinan itu bersumber dari Al Quran dan Hadis Nabi saw serta pendapat

para Ulama Fikih. Sebagian kecil substansinya merupakan hasil ijtihad para

ulama dan cendekiawan muslim Indonesia.

Menurut Azyumardi Azra, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974 merupakan bagian dari kodifikasi hukum perkawinan Islam. Semua

pasal-pasalnya sejalan dengan shariah. Oleh karena itu penyebaran dan

implementasi dari UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, merupakan sebuah

pelembagaan shariah di Indonesia.453

Umat Islam berupaya untuk menjadikan Hukum Islam menjadi hukum

yang diakui negara. Sejak Indonesia belum merdeka sampai sekarang, umat

Islam menginginkan agar Hukum Islam menjadi Hukum yang berlaku di

Indonesia. Namun, setelah UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan lahir

dan berlaku untuk seluruh warga Indonesia, sebagian umat Islam tidak

konsisten dengan apa yang diinginkan. Di satu sisi memperjuangkan UU

Perkawinan agar sesuai dengan Hukum Islam, tetapi di sisi lain, masih

452 Sebagai contoh, ketika membahas waktu tunggu (masa ‘iddah) dibahas juga

masalah mut’ah. 453 Lihat: Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Law of 1974 An

Institutionalization of the Shari’a for Social Changes, in Shari’a and Politic in Modern Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003), 85.

Page 216: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

195

mengingkari UU Perkawinan ini sebagai bagian internal dari Hukum

Perkawinan Islam. Sebagian umat Islam masih berpegang pada doktrin Fikih,

dari mengikuti UU Perkawinan, seperti dalam masalah pencatatan

perkawinan, poligami dan perceraian, sehingga masih banyak masyarakat

yang melakukan nikah di bawah tangan tanpa adanya pencatatan dari yang

berwenang, poligami liar dan menceraikan istri secara liar, tidak melalui

pengadilan agama. Semua itu dianggap sebagai tindakan yang wajar, karena

Fikih membolehkan, walaupun hal itu bertentangan dengan UU Perkawinan.

Sedangkan sebagian masyarakat yang lainnya, bahkan ada juga dari kalangan

umat Islam, menganggap bahwa UU Perkawinan tersebut diskriminasi antara

laki-laki dan perempuan (bias gender) serta melanggar HAM dan lain-lain.

Atas dasar semua itu, maka muncullah usaha sebagian masyarakat

untuk mengamandemen UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut.

Dalam usaha untuk mengamandemen UU No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan, diberbagai media terdapat pendapat pro dan kontra. Pendapat

yang pro amandemen UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, giat

melaksanakan berbagai seminar, lokakarya dan lain-lain bahkan menulis dan

mempublikasikan untuk mendapatkan masukan-masukan yang dapat

menunjang dan memperkuat pandangan mereka untuk mengamandemen UU

No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut.

Pendapat yang pro dan kontra serta mengusulkan amandemen UU

Perkawinan, antara lain :

1. Menteri Pemberdayaan Perempuan dalam kata sambutannya yang

berjudul: “Undang-Undang Perkawinan Dalam Perspektif Gender”,

mengatakan dalam sambutannya, bahwa meskipun pasal 27 UUD 1945

menjamin kesamaan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara di

hadapan hukum, baik laki-laki maupun perempuan, namun masih banyak

dijumpai materi hukum yang diskriminatif terhadap perempuan dan tidak

berkeadilan jender. Materi hukum itu antara lain : UU Ketenagakerjaan,

Page 217: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

196

UU Kesehatan, UU Kewarganegaraan, UU Pajak dan Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

UU Perkawinan ini oleh banyak pihak dilihat sebagai instrumen

hukum yang turut mengukuhkan pembagian dan pembakuan peran

perempuan yang berdasarkan jenis kelamin dan stereotype perempuan

sebagai ibu rumah tangga yang wajib mengatur urusan rumah tangga,

sementara laki-laki sebagai kepala keluarga yang wajib melindungi istri

dan memberikan keperluan hidup rumah tangga. Meskipun Undang-

Undang ini secara substantif menetapkan hak dan kewajiban yang sama

kepada perempuan dan laki-laki untuk melakukan tindakan hukum,

pengelolaan rumah tangga, kegiatan kemasyarakatan, pengelolaan harta

bersama dan pemeliharaan anak, namun disisi yang lain hanya ibu (istri)

dan keluarganya yang memiliki hubungan perdata dengan anak di luar

kawin.454

Perjuangan untuk meletakkan dasar-dasar hukum perlindungan

terhadap perempuan adalah merupakan komitmen bersama komponen

bangsa. Perjuangan itu tidak akan lepas dari konteks dan tuntutan sejarah

perjuangan perempuan, terutama perlindungan perempuan dalam

perkawinan. Kita sadari bahwa setiap babakan sejarah mempunyai

dinamika dan tuntutan kebutuhan yang berbeda. Semua itu telah direspon

secara positif oleh gerakan dan organisasi perempuan dari masa ke masa.

UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah bukti dari

perjuangan dan kegigihan kaum perempuan pada era pasca pemilu 1971,

banyak anggota masyarakat termasuk organisasi perempuan yang

mendesak anggota DPR untuk memperjuangkan RUU Perkawinan.

Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 29

454 Sambutan Menteri Agama Pemberdayaan Perempuan Khafifah Indar

Parawansa, disampaikan dalam Workshop Studi Kebijakan Dalam Rangka Penyajian dan Perbaikan UU Perkawinan yang bias Jender, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Wanita IAIN Jakarta, 27 September 2000 di Jakarta, h. 4.

Page 218: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

197

Januari 1972 mendesak agar cepat diputuskannya UU Perkawinan karena

makin dirasakan mendesaknya keperluan untuk itu, di samping

perkembangan dimasyarakat yang sangat cepat dan dalam praktek

kehidupan norma-norma perkawinan selalu mengikuti perkembangan

tersebut. Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia

(BMOIWI) pada tanggal 22 Februari 1972 telah mendesak kepada

pemerintah agar segera mengajukan RUU Perkawinan untuk disahkan.

Desakan itu tidak lain karena banyaknya kasus kawin paksa dan

perkawinan di bawah umur yang sangat merugikan perempuan.455

Dengan terus menjaga semangat untuk melindungi kepentingan

perempuan dan merespon dinamika dan berbagai persoalan yang dihadapi

oleh perempuan sekarang ini menuntut untuk melihat kembali UU

Perkawinan dan Peraturan Pemerintah (PP) yang terkait dengannya.

Perlunya merevisi dan melihat kembali ini didasarkan pada masih kuatnya

sistem patriarkhi yang mengharuskan negara untuk menghapuskan

diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan, termasuk

menghapuskan perilaku, tradisi dan nilai-nilai budaya dan praktek-praktek

yang mendiskriminasikan perempuan telah menjadi kewajiban negara

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2,3,4 dan 5 konvensi

pengapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW)

yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984.

Atas dasar berbagai pertimbangan, permasalahan dan tuntutan yang

ada saat ini maka UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia

harus segera direvisi, agar proses domestikasi peran perempuan tidak akan

berlanjut. Salah satu pasal yang menjadi sumber persoalan adalah rumusan

Pasal 2 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah

jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-

455 Lihat : Menteri Pemberdayaan Perempuan, UU Perkawinan Dalam Perspektif

Jender, 4, 5.

Page 219: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

198

masing Ketentuan ini justru dijadikan dasar dilakukannya perkawinan di

bawah tangan yang berakibat sangat tidak terlindungi kaum perempuan baik

istri pertama maupun istri kedua dan anak-anak yang dilahirkannya. Pasal

ini juga menimbulkan persoalan bagi para penganut kepercayaan.456

Revisi tidak hanya melihat pasal demi pasal, tetapi harus pula

memperhatikan paradigma dan definisi perkawinan. Anggitan bahwa

perkawinan merupakan 'aqdul milki berimplikasi pada penguasaan laki-

laki atas istrinya sebagai hak miliknya mengukuhkan sikap patriarkhi dan

dominasi suami atas istrinya, akhirnya dapat menafikan eksistensi

perempuan sebagai dirinya yang independen untuk menentukan perannya

di ranah domestik, publik dan sosialnya. Anggapan ini pula kiranya yang

kemudian mendomestisikasi peran perempuan sebagai ibu rumah tangga

dan suami sebagai kepala keluarga.

Paradigma di atas harusnya dilihat kembali bahwa ikatan

perkawinan adalah sebuah 'aqdul ibahah sebuah akad yang hanya

memberikan kewenangan secara sah bagi laki-laki untuk halal menggauli

istrinya, bukan memilikinya. Ini berimplikasi pada posisi perempuan

setara dengan laki-laki sebagai suaminya, ia masih mempunyai dirinya dan

dapat menentukan kepentingannya dengan bargaining position yang setara

antara suami dan istri.457

Perubahan paradigma dan cara pandang yang berkesetaraan dan

berkeadilan jender mau tidak mau mengharuskan kita untuk melihat

kembali / dan merevisi UU Perkawinan. Tentunya ini akan berimplikasi

pada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengikutinya, baik itu PP Nomor 10

Tahun 1983 maupun PP Nomor 45 Tahun 1990 yang masih sangat

diskriminatif terhadap perempuan. Pada Pasal 4 ayat (2) PP-Nomor 45

456 Lihat: Menteri Pemberdayaan Perempuan, UU Perkawinan Dalam Perspektif

Jender, 5, 6. 457 Lihat: Menteri Pemberdayaan Perempuan, UU Perkawinan Dalam Perspektif

Jender, 5, 6.

Page 220: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

199

dengan sangat jelas mendiskriminasikan perempuan yakni dengan

memberikan sangsi administratif berupa pemecatan bagi perempuan

pegawai negeri yang menjadi istri kedua, ketiga dan keempat. Sebaliknya

bagi laki-laki pegawai negeri selain diberikan ijin poligami jika syaratnya

terpenuhi juga tidak terkena sangsi pemecatan.

Sebagai langkah legal reform, maka perlindungan kepentingan

perempuan inilah yang menjadi tujuan utama dilakukannya revisi terhadap

berbagai undang-undang dan peraturan yang diskriminatif, termasuk

di dalamnya UU Nomor 1 tahun 1974, agar sistem hukum yang berlaku

dapat mengakomodasi kepentingan dan perlindungan terhadap perempuan,

sehingga cita-cita kesetaraan dan keadilan yang dilindungi undang-undang

dapat tercapai di negara Indonesia tercinta ini. 458

2. KOWANI sebagai Federasi dari 77 organisasi Wanita di tingkat Nasional

mengajukan Usulan Penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dengan alasan, antara lain, bahwa UU Perkawinan sangat

diskriminatif terhadap wanita dan kurang adanya kesetaraan jender,

padahal perkawinan adalah merupakan kebutuhan hidup manusia dalam

melangsungkan kehidupannya, sanksi hukum sangat lemah (tidak tegas),

kurang sesuai dengan Hak Asasi Manusia dan Perkawinan berasaskan

monogami dengan pengecualian yang amat ketat, oleh sebab itu perlu

penyempurnaan/amandemen beberapa pasal UU Perkawinan terhadap

rumusan dan PP dari UU Perkawinan, di samping perlu adanya

pemahaman dan konsensus yang sama.459

3. Ahmad Sukardja, sebagai pemakalah pada acara diskusi panel yang

dilaksanakan oleh PUSKUM-HAM IAIN Jakarta tentang upaya

458 Lihat: Menteri Pemberdayaan Perempuan, UU Perkawinan Dalam Perspektif

Jender, 6, 7. 459 KOWANI, Upaya Penyempurnaan UU No.1 tahun 1974 Tentang

Perkawinan, Makalah disampaikan pada Diskusi Panel, “Meninjau UU Perkawinan Dalam Perspektif HAM dan Syariat Islam, yang diselenggarakan oleh PUSKUM-HAM IAIN Jakarta, Tanggal 16 November 2000 di Jakarta.

Page 221: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

200

penyempurnaan UU Perkawinan tersebut, menerima sebagian saran

KOWANI dan menolak sebagian yang lainnya, sebagai berikut : 460

a. Naskah/rancangan untuk penyempurnaan UU Perkawinan yang

disampaikan KOWANI merupakan bahan berharga bagi peninjauan

dan pembahasan kembali isi dan redaksi UU Perkawinan.

b. KOWANI tampak menempatkan diri dan menerima UU Perkawinan

yang religius. Hal ini terkesan pada penerimaan KOWANI atas pasal 1

UU Perkawinan dan Pasal 2 Ayat 1 dengan modifikasi penggabungan

dua ayat menjadi satu. Kata "wajib" tidak perlu ditulis, atau

dipindahkan tempatnya dan rumusannya menjadi: "Perkawinan wajib

dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku".

c. Untuk memelihara konsistensi sikap menerima secara keseluruhan UU

Perkawinan yang religius, rumusan pada Pasal-Pasalnya perlu seperti

itu juga.

d. Terhadap rumusan Pasal 3 (2) Rancangan KOWANI (selanjutnya

ditulis R. KOWANI) diajukan rumusan sebagai berikut :

"(2) Pengadilan hanya dapat mengeluarkan penetapan kepada seorang

suami untuk beristri lebih dari seorang apabila diperbolehkan oleh

agamanya dan melalui musyawarah keluarga, yang bersangkutan

mendapat persetujuan dari istri dan anaknya yang telah dewasa"

Dasarnya:

1) "Musyawarah keluarga" bisa memperketat kemungkinan lerjadinya

poligami, tetapi tidak menutup.

2) Rumusan tersebut memperbaiki R.KOWANI yang secara harfiah

bertentangan dengan Al Quran (kalimat R.KOWANI "...dan

460 LIhat: Ahmad Sukardja, Tanggapan Atas Rancangan Perubahan UU

Perkawinan yang diajukan KOWANI Bidang Hukum dan HAM (Makalah), tanggal 16 Nopember 2000 di IAIN Jakarta.

Page 222: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

201

maksimum hanya beristri kedua" bertentangan dengan Al Quran

yang membolehkan (Q.S. Al-Nisa’/4:3)

e. Pasal 4 (2) huruf c R.KOWANI diubah menjadi: "c. mendapat

persetujuan istri dan anak yang sudah dewasa dalam musyawarah

keluarga yang dituangkan secara tertulis."

f. Pasal 31 (3) R.KOWANI terlalu memberatkan istri dan tidak sesuai

dengan prinsip agama. Diusulkan, rumusan pasal 31 (3) tetap tidak

diubah.

g. Pasal 43 (l) UU Perkawinan tidak diubah.

h. Rumusan-rumusan lain dalam R.KOWANI yang cukup banyak

agaknya dapat dipertimbangkan untuk diterima.

i. Rumusan KOWANI tentang sanksi: ,

1) Sanksi/ancaman hukuman dapat memperkuat pelaksanaan isi

aturan UU Perkawinan

2) Hukuman yang terkait dengan kebendaan (seperti nafkah, biaya

pendidikan) sebaiknya bukan pidana kurungan, tetapi denda yang

signifikan.461

4. Yohannes Sardadi Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta

mengatakan, bahwa harus diakui bahwa UU Perkawinan sebagai UU

Nasional yang mengatur perkawinan mempunyai beberapa kelebihan :

Undang-Undang ini berhasil mensyaratkan sahnya perkawinan

apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-

masing. UU Perkawinan menjamin kebebasan seseorang untuk

memberikan persetujuan ketika akan menikah. Walaupun sempat

mendapat beragam pendapat, UU Perkawinan berhasil menetapkan

461 Lihat: Ahmad Sukardja, Tanggapan Atas Rancangan Perubahan UU

Perkawinan yang diajukan KOWANI…

Page 223: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

202

monogami sebagai salah satu asas perkawinan. Bahkan kelebihan lain

masih dapat diperpanjang.

Terlepas dari beberapa kelebihan di atas, UU Perkawinan

masih mengandung beberapa hal yang dalam pelaksanaannya sering

menimbulkan masalah, yang memerlukan penyelesaian. Beberapa

permasalahan yang dimaksud, antara lain :

a. Masalah Pencatatan Perkawinan

Hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan. Untuk

menjamin ketertiban dan kepastian hukum, maka perkawinan perlu

bahkan harus dicatatkan. Pencatatan perkawinan menjadi penting

bukan hanya demi tertib administrasi pemerintahan (negara) akan

tetapi juga sebagai alat/cara untuk menjamin kepastian hukum.

Pencatatan perkawinan bukan hanya akan bermanfaat bagi

pemerintah (negara) akan tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat.

Munculnya perkawinan di bawah tangan akan menyulitkan bukan

hanya bagi pemerintah (negara) akan tetapi juga menyulitkan

masyarakat. Demi menjaga ketertiban dan kepastian hukum, maka

pencatatan perkawinan menjadi hal yang perlu diwajibkan.

Berkenaan dengan pencatatan perkawinan ini, yang harus

dilakukan adalah menciptakan mekanisme pencatatan yang tidak

berbelit-belit (birokratis, murah dan cepat).462

b. Masalah poligami dan Perceraian

Orang mengikatkan diri dalam suatu perkawinan dengan

harapan masing-masing pihak mempunyai komitmen dengan

pasangannya. Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan mensyaratkan bahwa

laki-laki yang akan mempunyai istri lebih dari satu harus mampu

462 Lihat: Yohanes Sardadi, Tinjauan UU Perkawinan Dari Perspektif HAM,

Makalah yang disampaikan pada Diskusi Panel, “Meninjau UU Perkawinan Perspektif HAM dan Shariat Islam” oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000, 10-12.

Page 224: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

203

menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka. Ada jaminan

bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka.

Bagaimana Hakim Pengadilan dapat mengukur sekaligus

menilai soal jaminan keadilan, merupakan pekerjaan yang tidak

mudah.

Akibat adanya poligami jelas akan membawa kesengsaraan dan

perlakuan tidak adil bagi isteri dan anak-anak. Di samping itu poligami

dikuatirkan akan membawa dampak kepada perilaku sosial khususnya

kaum laki-laki untuk mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-

banyaknya agar dapat beristeri lebih dari satu. Semangat untuk

berpoligami dikuatirkan akan membawa budaya korupsi dan jalan

pintas lainnya demi mendapatkan isteri lebih dari satu orang.

Jalan keluar yang dapat dilakukan dari masalah poligami ini adalah

memperketat atau mempersulit terjadinya poligami. Misalnya :

1) Suami hanya dapat beristeri maksimal dua orang463

2) Untuk dapat melakukan poligami harus ada perjanjian tertulis dari

isteri pertama dan anak-anaknya.

3) Isteri dan anak dimungkinkan menggugat di Pengadilan apabila si

Bapak tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga dan tidak

mampu bersikap adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

4) Alasan poligami karena isteri tidak dapat melahirkan keturunan

harus dipandang sebagai alasan yang tidak manusiawi.

Perceraian merupakan kepedihan yang tidak diharapkan terjadi

oleh suami isteri. UU Perkawinan telah mengatur bahwa perceraian

hanya diperkenankan apabila syarat-syarat yang telah ditentukan

dipenuhi dan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Hal ini telah

secara jelas diatur dalam Pasal 39 UU Perkawinan. Karena perceraian

463 Usulan bahwa suami hanya dapat beristri maksimal dua orang,

bertentangan dengan Q.S. al-Nisa’/4:3.

Page 225: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

204

cenderung menimbulkan masalah, maka dalam rangka memperketat

dan mempersulit terjadinya perceraian, seyogyanya alasan-alasan

sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975

dimasukkan dalam rumusan pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan.464

c. Masalah Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama harus diakui merupakan persoalan

yang sensitif, sehingga dapat mengundang perdebatan yang berlarut-

larut. Meskipun demikian, karena kita sebagai bangsa telah sepakat

menetapkan Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaanya,

maka masalah perkawinan beda agamapun hendaknya juga mendapat

jaminan dan perlindungan secara hukum.

UU Perkawinan merupakan UU yang mengatur perkawinan

secara nasional sehingga UU tersebut harus menjamin dan melindungi

semua lapisan masyarakat tanpa membedakan ras, suku, golongan

termasuk di dalamnya agama berkaitan dengan masalah perkawinan.465

Sebagai bangsa yang pluralistis maka kemungkinan adanya

perkawinan beda agama tidak mungkin dicegah (bahkan ada

kemungkinan secara kuantitas bertambah). Tidak terakomodasinya

perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan akan menyebabkan

anggota masyarakat yang akan menikah beda agama cenderung akan

melakukan perkawinan di bawah tangan atau melangsungkan

perkawinan di luar negeri. Masalah seperti ini hendaknya segera

mendapat jalan keluar. 466

464 Lihat: Lihat : Yohanes Sardadi, Tinjauan UU Perkawinan Dari

Perspektif HAM…, 12-14. 465 Lihat: Lihat : Yohanes Sardadi, Tinjauan UU Perkawinan Dari

Perspektif HAM…, 15, 16. 466 Usulan Yohanes agar dibolehkan perkawinan beda agama dalam UU

Perkaiwnan, akan menimbulkan protes dari kalangan Umat Islam, karena bertentangan dengan ajaran Al Quran dan Sunnah serta kesepakatan para ulama.

Page 226: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

205

Perbedaan pendapat mengenai perkawinan beda agama dapat

beraneka ragam. Namun demikian, soal agama merupakan pemberian

Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian yang bisa dan harus dilakukan

negara adalah menjamin dan melindungi semua agama. Dalam kerangka

berpikir demikian, maka upaya pemecahan masalah perkawinan beda

agama merupakan usaha yang perlu dihargai.

Jalan keluar yang dapat dilakukan barangkali tidak harus merubah

rumusan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, melainkan perlu dirumuskan

dalam peraturan pelaksanaan UU Perkawinan.467

5. Menurut Azyumardi Azra, ketika UU No. 1 tahun 1974 diumumkan pada

tanggal 2 Januari 1974 dan diimplementasikan pada tanggal 1 Oktober

1974, banyak ahli hukum Indonesia skeptis tentang pengaruhnya pada

peningkatan perubahan sosial di Indonesia.

Mereka menganggap Undang-Undang Perkawinan yang baru

kurang jelas yang mana mereka memandang sebagai halangan yang krusial

dalam implementasinya untuk berhasil. Bahkan beberapa dari mereka

memprediksikan bahwa UU Perkawinan tersebut akan gagal dalam

merubah praktek perkawinan di antara penduduk. Ke skeptismean

terutama berhubungan dengan kontroversi sebelumnya pada pengumuman

UU tersebut. Ketika rancangan undang-undang tersebut direvisi diluluskan

oleh parlemen, hal ini sebaliknya orang-orang kristen merasa kuatir

tentang hal ini. Sebagaimana Katz dan Katz jelaskan, terutama

mengganggu mereka apa yang mereka lihat adalah suatu kecenderungan

dalam UU Perkawinan yang baru tersebut bagi negara tidak hanya untuk

membolehkan tapi memerlukan aplikasi hukum agama, setidaknya dalam

perkawinan. Hal ini yang mereka rasakan adalah antitesis pada kebebasan

agama yang benar; malahan mereka akan menyukai UU tersebut untuk

467 Lihat: Yohanes Sardadi, Tinjauan UU Perkawinan Dari Perspektif HAM…,

16.

Page 227: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

206

memberikan kemungkinan suatu perkawinan sesuai dengan hukum

sekuler.

Skeptisme dan prediksi suram di atas, jauh dari perkembangan

nyata setelah UU yang baru tersebut ditegakkan selama beberapa waktu.

Katz dan Katz yang mengunjungi kembali Indonesia hampir dua tahun

setelah implementasi UU baru tersebut, menyimpulkan bahwa hal ini

berhasil secara dramatis mempengaruhi masyarakat Indonesia.

Keberhasilan hukum baru tersebut tentunya merupakan pencapaian

kebanyakan goal yang dinyatakan dalam pengumuman dan implementasi

hukum tersebut. Goal ini termasuk penciptaan keluarga yang stabil,

pengawasan pertumbuhan populasi, kontrol perceraian, dan poligami,

persamaan hak dan status wanita, dan terakhir bukan terakhir, kesatuan

dari bangsa melalui penyatuan hukum tersebut.468

Selanjutnya Azyumardi Azra mengatakan, bahwa Islam di

Indonesia memiliki karakteristiknya sendiri yang relatif berbeda dari

warga muslim di Timur Tengah, keragaman budaya kelompok etnis yang

ada dan sistem sosial di kepulauan ini. Islam pada tingkatan tertentu harus

lembut dan menyesuaikan pada situasi setempat. Selama beberapa abad,

keyakinan pribumi dan praktek adat bercampur ke dalam ajaran Islam.

Sejarah Islam di Indonesia, merupakan sebuah sejarah perjuangan yang

terus menerus untuk Islamisasi masyarakat Indonesia, yang memberikan

tekanan dan perselisihan antara muslim dan penduduk Indonesia.

Perselisihan selama kepatuhan dari rancangan undang-undang perkawinan

yang dijelaskan di atas seharusnya dipahami dalam kerangka seperti itu.

Meskipun penduduk muslim terbesar, Indonesia tidak negara Islam

karena Islam secara formal tidak dideklarasikan sebagai agama negara.

Namun, dalam hukum legislasinya dalam pengimplementasi kebijakannya,

pemerintah harus sesuai dengan ajaran Islam dan pendapat muslim ke

468 Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Low of 1974…, 88.

Page 228: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

207

dalam pertimbangan yang krusial; sebaliknya pemerintah akan

menghadapi lawan yang kuat dari mayoritas dari penduduknya, yang akan

membawa legislasinya dan kebijakannya gagal seluruhnya. Sejarah

keberhasilan Undang-Undang perkawinan yang baru cukup terkait dengan

fakta-fakta bahwa rancangan tersebut telah diamandemen hampir secara

lengkap agar sejalan dengan doktrin syariah. Setelah desakan dari semua

pihak yang berkepentingan terutama ulama dan para pemimpin muslim

lainnya bahwa tidak ada perubahan substansif terjadi dalam UU

perkawinan muslim, penduduk muslim secara umum tidak ragu-ragu

untuk mengikuti ketetapan UU Perkawinan yang baru tersebut. Oleh

karena itu, UU yang baru (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan),

pada akhirnya menerima dukungan kuat dari semua level masyarakat,

yang sebaliknya membawa perubahan sosial di negara ini.469

6. M. Tahir Azhary, mengatakan bahwa :

Negara Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka

memerlukan hukum perkawinan nasional yang sesuai dengan kebutuhan

hukum masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Setelah

mengalami proses yang panjang, lahirlah UU No. 1 Tahun 1974. Salah

satu benang hijau yang dijumpai dalam undang-undang itu adalah

runtuhnya teori receptie yang menafikan existensi hukum Islam di

Indonesia dan sejak saat itu paham sekularisme dalam bidang perkawinan

telah ditinggalkan khususnya ketentuan Pasal 24 BW.

Struktur dan Substansi UU perkawinan didasarkan pada landasan

dasar filsafat negara yaitu Pancasila dan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila

pertama) sebagai titik puncaknya. Oleh karena itu UU No. 1 tahun 1974

telah meletakkan suatu ketentuan yang sangat fundamental dengan

pengakuan terhadap existensi hukum agama khususnya dalam bidang

perkawinan. Ketentuan tersebut dirumuskan dalam Pasal 2 (1) UU

Perkawinan 1974 : " Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

469 Azyumardi Azra, The Indonesian Marriage Low of 1974…, 90.

Page 229: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

208

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Artinya

validitas (sahnya) suatu perkawinan didasarkan kepada hukum agama para

mempelai yaitu bagi yang beragama Islam harus melakukan perkawinan

sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan Islam. Bagi

mereka yang beragama lain menurut kententuan agama mereka masing-

masing.470

Dalam makalahanya pada seminar UU Perkawinan Tahir Azhary

memberikan penjelasan pasal-pasal UU Perkawinan tersebut, antara lain :

Tentang poligami, bahwa dalam penelitian yang dilakukan oleh

Eduard von Hartmann seperti dikutip oleh Robert dinyatakan bahwa laki-

laki mempunyai naluri cenderung kepada poligami dan sebaliknya wanita

mempunyai naluri cenderung kepada monogami.

Dengan demikian menurut akal sehat, seorang laki-laki yang

melakukan poligami dapat diterima, sebaliknya seorang wanita yang

melakukan poliandri tidak mungkin diterima. Masalah pelaksanaan

poligami telah diatur dengan baik dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974

pada Pasal 3, 4 dan Pasal 5. Tentang Poligami ini diatur lebih lanjut dalam

PP No. 9 tahun 1975 pada Bab VIII (Pasal 40 s/d 44).

Pendapat J. Prins yang menyatakan bahwa UU No. 1 tahun 1974

telah melahirkan pembatasan terhadap poligami dan pelaksanaan talak,

dengan tegas ditolak oleh Taher Azhary karena UU No. 1 tahun 1974

tersebut sangat bermanfaat untuk mengatur dan menertibkan masalah cerai

dan poligami di Indonesia.471

Selanjutnya Taher Azhary mengatakan bahwa dalam hukum Islam

dan Undang undang Perkawinan di Indonesia pelaku perkawinan itu

470 Tahir Azhary, UU No. 1 / 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan

Pelaksanaannya, Suatu Analisis Dalam Perspektif Hukum Islam, Makalah yang disampaikan pada acara seminar tentang usul amandemen UU Perkawinan yang dilaksanakan oleh MUI, 2000 di Jakarta, 1.

471 Lihat : Taher Azhary, UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya…, 4, 5.

Page 230: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

209

adalah seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Penulis selalu

menegaskan dalam setiap kesempatan perkuliahan bahwa yang dimaksud

dengan adanya kedua mempelai dalam rukun perkawinan itu adalah

seorang laki-laki asli dan seorang perempuan asli, artinya hukum Islam

menolak rekayasa atau operasi kelamin. Hukum penggantian kelamin

dinyatakan haram oleh Lajnah Bahsul Masa'il N.U. berdasarkan Al

Quran surah al-Nisa’:119.472

Dengan demikian hukum Islam melarang perkawinan antara

sesama laki-laki atau sesama perempuan.473 Dalam kesimpulan

makalahnya Taher Azhary mengatakan, bahwa Undang-Undang

Perkawinan di Indonesia adalah merupakan satu peraturan perundangan

yang sah dan diterima oleh bangsa Indonesia melalui Dewan Perwakilan

Rakyat. Prof. Hazairin menyatakan dalam perspektif hukum Islam,

Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut adalah itjihad Bangsa

Indonesia melalui wakil-wakilnya di DPR.

Dalam praktek selama lebih dari seperempat abad. Undang-

.undang Perkawinan tersebut telah berperan sangat penting dalam

kehidupan sosial di Indonesia artinya kebutuhan hukum dalam masyarakat

Indonesia telah dipenuhi dengan kehadiran Undang-undang tersebut.

Berdasarkan kesimpulan itu, maka Undang undang Perkawinan No. 1

Tahun 1974 beserta perangkat peraturan pelaksanaannya wajib

dipertahankan karena :

1) Kecuali sudah merupakan hukum positif Undang-undang Perkawinan

itu juga adalah hukum yang hidup dimasyarakat (living law).

2) Undang-undang Perkawinan tersebut sangat sesuai dengan hukum

agama dan dasar negara Pancasila serta UUD 1945.

472 Lihat: Rifiyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yasri,

199), 184, 185. 473 Taher Azhary, UU No.1/1974 Tentang Perkawinan…, 6.

Page 231: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

210

3) Undang-undang Perkawinan tersebut mengandung asas keadilan,

proteksi terhadap kaum wanita dan sesuai dengan kebutuhan hukum

Bangsa Indonesia.474

7. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menanggapi surat Menteri Agama

Pemberdayaan Perempuan RI No. B.23/Men.PP/III/2003 tertanggal 27

Maret 2003 perihal usulan penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan sebagaimana surat-suratnya sebelumnya yang disampaikan

kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, juga kepada Presiden

Republik Indonesia, menyatakan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

tetap tidak menerima (menolak) usulan perubahan UU No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan dengan pertimbangan sebagai berikut :

a. Menurut MUI, seandainya UU tersebut direvisi, akan menimbulkan

mudharat yang lebih besar, karena akan membuka peluang bukan

hanya perubahan yang diusulkan saja yang akan diubah, tetapi

dikhawatirkan akan mengubah pasal-pasal lain yang sudah menjadi

konsensus Nasional.

b. Sesuai dengan hasil MUNAS MUI tahun 2000 diperkuat lagi pada

RAKERNAS MUI tahun 2001, ditetapkan bahwa Majelis Ulama

Indonesia tetap tidak dapat menerima (menolak) segala upaya yang

dilakukan untuk mengubah UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

c. Kasus-kasus pernikahan yang sering terjadi seperti perkawinan sirri,

ataupun perkawinan di bawah tangan menurut MUI adalah kesalahan

oknum petugas, bukan karena undang-undangnya. Untuk itu

diperlukan upaya penyadaran masyarakat dan penegakan hukum bagi

aparat pelaksanaannya.475

474 Taher Azhary, UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan…, 7. 475 Surat Penolakan MUI terhadap Usulan Menteri Pemberdayaan Perempuan RI

tentang Penyempurnaan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, No. B-120/MUI/V/2003 tertanggal 5 Rabiul Awal 1424 H/7 Mei 2003 M.

Page 232: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

211

Itulah beberapa pendapat yang pro dan kontra terhadap amandemen

UU Perkawinan. Penulis sependapat dengan pandangan yang mengatakan,

bahwa UU Perkawinan tersebut tetap dipertahankan dan tidak perlu

diamandemen, karena sesuai dengan Hukum Perkawinan Islam yang

bersumber dari Al Quran dan Sunnah Nabi saw serta pendapat para ulama.

Hanya sebagian kecil substansinya merupakan hasil ijtihad para ulama

Indonesia dan cendekiawan muslim Indonesia. Oleh sebab itu penulis juga

sependapat dengan Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa UU No. 1 tahun

1974 merupakan bagian dari kodifikasi Hukum Perkawinan Islam, karena

semua pasal-pasalnya sejalan dengan syariah. Oleh sebab itu penyebaran dan

implementasi dari UU Perkawinan merupakan sebuah pelembagaan syariah di

Indonesia sebagaimana telah disebutkan pada awal pembahasan ini. Pendapat

Azyumardi Azra ini identik dengan pendapat Taher Azhary, bahwa UU

Perkawinan tersebut sangat sesuai dengan hukum agama dan dasar negara

Pancasila serta UUD 1945, oleh sebab itu wajib dieprtahankan. Bahkan

Majelis Ulama Indonesia mengatakan bahwa amandemen/revisi UU No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, mudharat yang lebih besar, karena akan

membuka peluang, bukan hanya perubahan yang diusulkan saja yang akan

diubah, tetapi dikhawatirkan akan mengubah pasal-pasal lain yang sudah

menjadi konsensus Nasional. Oleh sebab itu UU perkawinan tersebut tetap

dipertahankan dan menolak usulan-usulan amandemen/revisi terhadapnya.

Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan, maka penulis

berpendapat, bahwa tidak perlu mengamandemen UU No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan tersebut, tetapi sebagai jalan keluar untuk mengakomodir

pendapat-pendapat yang mengusulkan amandemen/revisi itu, adalah dengan

meningkatkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Perkawinan menjadi

RUU Hukum Materiil Peradilan Agama (HMPA) tentang Perkawinan, karena

materi KHI itu adalah merupakan penyebaran dan penyempurnaan UU

Perkawinan. Pengaturan dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut masih

bersifat umum, karena berlaku untuk semua warga negara, sedangkan

Page 233: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

212

penyelesaian sengketa perkawinan yang terjadi antara orang-orang beragama

Islam memerlukan aturan yang lebih khusus.

Untuk melengkapi kekurangan yang terdapat dalam hukum materiil di

bidang Perkawinan. Badan Peradilan Agama berpedoman kepada ketentuan

yang tercantum dalam KHI bidang Perkawinan yang ditetapkan berdasarkan

INPRES No. I Tahun 1991. Pemberlakukan suatu Kompilasi yang hanya

berdasarkan suatu instruksi Presiden di pandang sebagai kebijakan sementara

untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) sambil menunggu

berlakunya suatu hukum materiil berdasarkan undang-undang, karena tidak

memiliki kekuatan hukum tetap yang masuk dalam jenis peraturan perundang-

undangan. Keabsahan INPRES masih terbatas pada diktum isntruksinya, yakni

terbatas hanya pada orang atau instansi yang diberikan isntruksi tersebut,

dalam hal ini Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI. Dengan demikian

keberadaanya tidak dapat dijadikan sebagai hukum positif tertulis yang

mengikat dan memaksa seluruh warga negara, sebagaimana halnya UU

Perkawinan dan peraturan perundang-undangan lainnya.476

Dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, Instruksi Presiden tidak lagi tercantum dalam

jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini berdampak pada

melemahnya kedudukan hukum materiil dalam KHI meskipun masih

dipergunakan hakim pada Badan Peradilan Agama dan masyarakat yang

memerlukannya.477 Keadaan demikian perlu ditindak lanjuti dengan kebijakan

perundang-undangan agar hukum materiil di bidang perkawinan yang

tercantum dalam KHI ditetapkan dengan UU. Kebijakan perundang-undangan

476 Salah satu konsederan menimbang (huruf b) INPRES tersebut disebutkan bahwa,

KHI tersebut dalam huruf (a) oleh instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukan dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah dibidang tersebut. Adanya diktum ini menegaskan bahwa, posisi KHI hanya sebagai pedoman, bukan sebagai ketetapan/kitab hukum yang "dapat" digunakan bukan yang "harus" digunakan. Karena itu, ia bersifat tawaran alternatif dan bukan bersifat memaksa.

477 Tim Penyusun Naskah Akademik RUU HPA, Naskah Akademik HMPA, (Jakarta: Depag RI, 2007), 10

Page 234: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

213

seperti itu telah dilakukan terhadap hukum materiil di bidang waqaf yang

terdapat dalam KHI menjadi UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan

Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.478

Jika hukum materiil dibidang perkawinan ini diatur dengan undang-

undang, maka kedudukan Badan Pengadilan Agama makin lengkap, karena

pelaksanaan wewenangnya dalam memeriksa, memutuskan dan

menyelesaikan perkara di bidang perkawinan tidak lagi berdasarkan instruksi

Presiden melainkan dengan Undang-Undang. Oleh sebab itu perlu segera

disahkan RUU Hukum Materil Peradilan Agama (HMPA) tentang Perkawinan

untuk menjadi UU Bidang Perkawinan. RUU HMPA yang diajukan untuk

menjadi Undang-Undang adalah untuk melengkapi ketentuan yang telah ada

dalam Undang-Undang Perkawinan dan mengisi berbagai kekosongan hukum

(rechtsvacuum). Jadi kehadiran RUU HMPA dibidang perkawinan bersifat

komplementer terhadap Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya. Jika akan disidangkan, diharapkan

DPR RI mengundang beragai pihak yang dipandang perlu untuk memberi

masukan-masukan dan usul-usul untuk kelengkapan RUU HMPA tentang

Perkawinan tersebut. Masukan-masukan dan usul-usul itu tentu dapat diterima

selama tidak bertentangan dengan ajaran Hukum Islam.

478 Menurut Wahyu Widiana mantan Direktur Pembinaan Peradilan Agama Depag

RI, dan sekarang sebagai salah seorang Hakim Agung dan salah seorang tokoh yang sangat peduli terhadap pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia terus mengusahakan agar KHI ini dapat menjadi undang-undang, sehingga statusnya menajdi kuat sebagai pegangan dalam melaksanakan Hukum Islam di Indonesia. Namun situasi politik pada saat itu belum memungkinkan. Hasil usaha maksimal adalah diterbitkannya instruksi Presiden Nomor I Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991, dengan mana Presiden menginstruksikan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI tersebut agar dipergunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Menteri Agama dengan Keputusan No. 154 Tahun 1991, tanggal 22 Juli, menetapkan tentang pelaksanaan INPRES No. 1/1991 dan menunjuk Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji - kini BIPH - Untuk mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri ini dalam bidang tugasnya masing-masing. Lihat Wahyu Widiana, Aktualisasi KHI di Peradilan Agama dan Upaya Menjadikannya Sebagai Undang-Undang (Makalah), Jakarta, 2

Page 235: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

213

BAB IV

NASIONALISASI HUKUM PERKAWINAN ISLAM

DI INDONESIA

Setelah Indonesia merdeka, upaya pembaharuan hukum banyak

diarahkan kepada perubahan hukum tertulis peninggalan kolonial untuk

dijadikan Hukum Nasional. Hukum Islam dijadikan sebagai salah satu unsur

hukum Nasional yang berfungsi sebagai rujukan dalam pembentukan hukum

nasional tersebut. Upaya ini telah menghasilkan terbentuknya UU No. 1 tahun

1974 tentang Hukum Perkawinan. Dengan diundangkannya UU No. 1 tahun

1974 tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara Republik

Indonesia, maka hukum perkawinan Islam sudah menjadi bagian dari hukum

nasional, karena pada tanggal 2 Januari 1974 sudah masuk dalam lembaran

Negara. Setelah UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan, maka

hukum Fikih Islam telah memasuki fase baru yang disebut fase Taqnin (fase

pengundangan).

Walaupun UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah disahkan,

tetapi pelaksanaannya melalui putusan Pengadilan Agama masih harus

dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Tetapi dengan terbentuknya UU No. 7

tahun 1989 Pengadilan Agama sudah disejajarkan dengan Pengadilan Negeri,

sehingga putusan Pengadilan Agama tersebut tidak lagi dikukuhkan oleh

Pengadilan Negeri. Kemudian, walaupun telah diundangkan UU No. 7 tahun

1987 yang mensejajarkan Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri,

ternyata dalam implementasi hukum Islam di Indonesia masih bermasalah,

karena tidak adanya keseragaman para hakim Peradilan Agama dalam

menetapkan hukum terhadap persoalan-persoalan hukum perkawinan yang

mereka hadapi sering terjadi perbedaan putusan antara satu Peradilan Agama

dengan Peradilan Agama yang lainnya, yang dapat mengurangi wibawa

Peradilan Agama. Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi Hukum

213

Page 236: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

214

Islam yang sama. Dari realitas ini, keinginan untuk menyusun “Kitab Hukum

Islam” dalam bentuk kompilasi dirasakan semakin mendesak. Penyusunan

kompilasi ini bukan saja didasarkan pada kebutuhan adanya keseragaman

referensi keputusan hukum di Peradilan Agama Indonesia, tetapi juga

disandarkan pada keharusan terpenuhinya perangkat-perangkat sebuah

Peradilan, yaitu kitab Materi Hukum Islam yang digunakan di Lembaga

Peradilan tersebut. Itulah yang mendorong pembentukan Kompilasi Hukum

Islam (KHI) dengan berdasarkan Perundang-Undangan, seperti UU No. 22

tahun 1946, UU No. 32 tahun 1954, UU No. 1 tahun 1974, PP No. 9 tahun

1975 dan PP No. 28 tahun 1977.

Dengan terbentuknya KHI, Fikih Islam, khususnya Fikih

Munakahat yang selama ini tidak dipandang sebagai hukum positif walaupun

orang-orang Islam telah melaksanakannya sejak masuknya Islam ke Indonesia,

telah ditransformasikan menjadi hukum positif, atau sebagai hukum Nasional

yang berlaku dan mengikat bagi seluruh umat Islam di Indonesia, melalui

Instruksi Presiden (INPRES) No. 1 tahun 1991 yang ditujukan kepada Menteri

Agama untuk menyebarluaskannya

A. Pembentukan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

1. Latar Belakang dan Proses Pembentukan UU No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan

Lahirnya Undang-Undang Perkawinan yang berlaku bagi semua

warga negara Republik Indonesia tanggal 2 Januari 19741 sebagian besar

telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah

dikumandangkan sejak kongres perempuan Indonesia pertama tahun 1928

yang kemudian susul-menyusul di kedepankan dalam kesempatan-

kesempatan lainnya berupa harapan perbaikan kedudukan wanita dalam

1 Yang dimaksud dengan Undang-Undang Perkawinan dalam pembahasan ini,

ialah segala sesuatu dalam bentuk aturan yang dapat dijadikan petunjuk oleh umat Islam

dalam masalah perkawinan dan dijadikan pedoman oleh Hakim di Lembaga Peradilan

Agama dalam memeriksa, menyelesaikan dan memutuskan perkara-perkara yang

berkenaan dengan perkawinan.

Page 237: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

215

perkawinan. Perbaikan yang didambakan itu terutama diperuntukkan bagi

golongan “Indonesia Asli” yang beragama Islam yang hak dan

kewajibannya dalam perkawinan tidak diatur dalam hukum yang tertulis.2

Hukum perkawinan orang Indonesia asli yang beragama Islam yang

tercantum dalam kitab-kitab fikih Islam, menurut sistem hukum di tanah

air kita tidak dapat digolongkan ke dalam kategori “hukum tertulis”,

karena tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan.3

Menurut Mohammad Daud Ali, masalah-masalah yang menjadi

pusat perhatian pergerakan wanita pada waktu itu adalah soal-soal : 1.

perkawinan paksa, 2. poligami dan 3. talak yang sewenang-wenang.4

Di antara isu yang perlu ditampung oleh pemerintah dalam

merumuskan draft undang-undang perkawinan adalah pembinaan hukum

nasional dengan melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional,

masalah kependudukan, hak asasi manusia, pengayoman terhadap

martabat wanita dan pembinaan kesejahteraan keluarga, sebagaimana

disebutkan dalam risalah sidang pleno DPR tanggal 30 Agustus 1973. 5

Isu yang paling menarik dalam pembinaan keluarga adalah

menahan jumlah perceraian. TB. Hamzah dari Fraksi ABRI memaparkan

data perkawinan pada 1970 yang berasal dari Departemen Agama (Kantor

Urusan Agama dan Pengadilan Agama), dari 859.061 perkawinan, yang

melakukan perceraian sebanyak 298.290 dan hanya 11.294 yang

melakukan rujuk. Dari data itu dapat dipastikan, bahwa dari sekian banyak

rakyat Indonesia yang melangsungkan perkawinan, lebih dari 30%,

berakhir dengan perceraian dan hanya 3% yang rujuk. Hamzah

2 Hukum tertulis lazim disebut sebagai hukum perundang-undangan. Hukum

tertulis telah menjadi tanda dari hukum modern yang harus mengatur serta melayani

kehidupan modern – Hasanuddin AF (et.al), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Pustaka

Al-Husna Baru, 2004), 7. 3 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta : Raja

Grafindo Persada, 2002), cet. II, 21. 4 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 21.

5 Risalah sidang Pleno DPR tanggal 17 September 1973, Pandangan Umum

Fraksi ABRI.

Page 238: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

216

memberikan contoh sebagaimana dikutip oleh Yayan Sopyan, 4 wilayah

saja:6

Contoh, kasus pernikahan, perceraian, dan rujuk pada 4 (empat)

propinsi di Indonesia tahun 1970

No DAERAH NIKAH CERAI RUJUK

1. Aceh 6,190 1,462 114

2. Kalimantan 7,856 2.224 123

3. Jawa Barat 223.457 81.428 2.893

4. Jawa Timur 265.859 107.533 4.084

Data yang disebutkan di atas belum ditambah dengan data yang

berasal dari masyarakat yang melakukan perkawinan dan perceraian lain,

yang tidak tercatat. Kalau ditambahkan datanya dengan data dari

Departemen Agama tentu lebih banyak lagi jumlah orang-orang yang

melakukan perkawinan dan perceraian.

Selanjutnya berkenaan dengan isu hak-hak perempuan, yang paling

gigih memperjuangkannya adalah KOWANI. Pada tanggal 19 dan 24

februari 1973 pimpinan DPR mengadakan hearing dengan tokoh-tokoh

KOWANI. Dalam pertemuan tesebut tercapai konsensus pada beberapa

hal, yaitu:

a. Adanya kata sepakat dari calon suami istri untuk mencegah kawin

paksa.

b. Ditetapkannya batas umur minimum untuk kawin, dengan

meningkatkan kepentingan Nasional Keluarga Berencana, diusulkan

21 tahun untuk pria dengan alasan, bahwa pada umur itu pria sudah

dapat berdiri sendiri dan dapat mencari nafkah, sementara untuk

wanita ditetapkan usia 18 tahun.

c. Perkawinan berdasarkan monogami dengan pengecualian yang sangat

ketat.

d. Persamaan hak dalam mengajukan perceraian antara suami istri.

6 Lihat : Yayan Sopyan : Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistem Hukum

Nasional, (Disertasi SPS Jakarta, 2007), 178.

Page 239: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

217

e. Pembagian harta benda bersama secara adil pada perceraian7.

Pembangunan hukum tersebut menjadi tugas Departemen

Kehakiman, karena itu Departemen Kehakiman membentuk sebuah tim

untuk merumuskan draft RUU perkawinan, kemudian diajukan ke DPR

untuk dibahas.

Sebenarnya usaha untuk perbaikan sistem perkawinan oleh

pemerintah Indonesia sudah dimulai sejak setelah Indonesia merdeka,

dengan dikeluarkannya undang-undang pada tahun 1946 tentang

pencatatan nikah, talak dan Rujuk (NTR). Setelah itu disusul dengan

beberapa peraturan Menteri Agama mengenai wali hakim dan tata cara

pemeriksaan perkara fasid nikah, talak dan rujuk di Pengadilan Agama

namum demikian, dengan langkah-langkah itu perbaikan yang dituntut

belumlah terpenuhi, karena undang-undang dan peraturan itu hanyalah

mengenai saat-saat perkawinan belaka, tidak mengenai hukum materilnya,

yakni undang-undang yang mengatur perkawinan itu sendiri8.

Pada tahun 1950 Pemerintah Republik Indonesia telah berusaha

memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kefasihan hukum dalam

masalah perkawinan. Dengan jalan, membentuk panitia penyelidikan

peraturan hukum perkawinan, talak, dan rujuk yang ditugaskan meninjau

kembali segala peraturan mengenai perkawinan dan menyusun rencana

UU perkawinan yang dikehendaki zaman. Kepanitian itu dibentuk

berdasarkan surat penetapan Menteri Agama No. B/4299 tanggal 1

Oktober 1950 yang di ketuai oleh Mr. Teuku Moh. Hasan, tetapi panitia

ini tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, karena banyak hambatan

dan tantangan di dalam melaksanakan tugas9. Kemudian panitia membuat

rancangan undang-undang perkawinan (RUUP) sebagai suatu peraturan

umum yang berlaku untuk seluruh warga Negara dengan tidak

membedakan golongan, agama dan suku bangsa, di samping membuat

peraturan-peraturan khusus untuk masing-masing golongan. Panitia

7 Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan, (Jakarta:

Yayasan Idayu, 1981), 17 8 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pengadilan Agama, 21

9 Abd. Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta :

Kencana Prenada Media Group, 2006), 3

Page 240: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

218

berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi dalam hukum perkawinan, namun

usaha ini tidak dapat berjalan dengan lancar, karena di dalam kepanitian

terhadap berbagai aliran10

. Pada tanggal 1 Desember 1951 Panitia

menyampaikan RUU Perkawinan, sebagai peraturan umum tentang

perkawinan yang mengatur beberapa hal penting, antara lain, bahwa

perkawinan didasarkan atas kemauan kedua belah pihak dan adanya

pembatasan umur, yaitu bagi pria umur minimal, 18 tahun dan bagi

perempuan umur minimal 15 tahun, sedangkan dalam berpoligami

dibolehkan menurut ajaran agama dengan syarat harus dapat berlaku adil,

yang dinyatakan dihadapan pegawai pencatatan nikah dan harus mampu

membiayai kebutuhan hidup lebih dari satu rumah tangga dan istri, atau

istri-istri tidak berkeberatan, di samping pengaturan harta benda dan

syarat-syarat perceraian11

Selanjutnya menurut Maria Ulfa Subadio, bahwa dalam rapat

panitia bulan Mei 1953 diputuskan sebagai berikut :

1) Menyusun RUU pokok yang pendek saja dan berlaku untuk umum

dengan tidak menyinggung agama.

2) Menyusun RUU organik yang mengatur perkawinan-perkawinan

menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Katolik

dan Protestan.

3) Menyusun RUU untuk golongan yang tidak termasuk salah satu

golongan agama tersebut.12

Dalam bulan April 1954, panitia menyampaikan RUU tentang

perkawinan umat Islam kepada Menteri Agama. Namun respon yang

diberikan Departemen Agama sangat lambat, karena baru pada tahun 1957

Menteri Agama mengajukan RUU tentang Perkawinan Umat Islam kepada

10

Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistem Hukum

Nasional, (Disertasi pada SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), 171 11

Lihat Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan,

15 12

Lihat Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan,

16

Page 241: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

219

Kabinet, tetapi masih menunggu amandemen-amandemen baru, sehingga

pada permulaan tahun 1958 belum terdengar apa-apa dari pemerintah.13

Nyonya Soemarni (anggota DPR) dan pergerakan perempuan

mengajukan usul inisiatif RUU kepada DPR yang merupakan peraturan

umum untuk seluruh warga negara dengan tidak membedakan golongan

dan suku bangsa. Ada beberapa prinsip yang diajukan oleh Ny. Soemarni

dan kawan-kawan, antara lain adalah :

1) Setiap warga Negara berhak kawin menurut agamanya masing-masing.

2) Yang menjadi dasar perkawinan adalah monogamy.

3) Setiap perkawinan harus berdasarkan persetujuan kedua pengantin.

4) Batas usia minimal melangsungkan perkawinan adalah 18 tahun bagi

laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan.14

RUU usulan Soemarni ini, terdiri dari 4 Bab dan 32 Pasal,

dilengkapi dengan penjelasannya. Adapun yang melatar belakangi

Soemarni membuat RUU inisatif itu adalah peristiwa yang menimpa

dirinya yang menjadi sorotan banyak pihak dimana ia sebagai seorang

Muslimah menikah dengan Madeloe seorang Perwira Polisi yang

beragama Kristen. Perkawinan itu ditentang oleh masyarakat.15

Menurut Maria Ulfa Subadio, setelah ada usulan inisiatif dari

Soemarni itu, barulah pemerintah mengajukan RUU Perkawinan Islam

kepada DPR. Dalam RUU itu, poligami diperbolehkan dengan syarat-

syarat tertentu yaitu persetujuan lebih dahulu dari istri, atau istri-istri,

harus berlaku adil dan dapat menghidupi lebih dari satu keluarga.16

RUU

ini juga mendapat perhatian yang cukup besar di kalangan anggota DPR

dan masyarakat. Namun disesalkan, bahwa banyak juga anggota DPR

yang sungguh-sungguh membela poligami tanpa syarat, karena poligami

bukan saja dilaksanakan oleh orang awam, tetapi juga para pemimpin

bangsa melakukannya, dimana pada tahun 1955 Soekarno melakukan

13

Lihat Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan,

16 14

Lihat : Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam…, 172, 173 15

Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam…, 173 16

Lihat Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan,

17

Page 242: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

220

poligami dengan Ny. Hartini, yang menuai protes yang keras khususnya

dari kalangan perempuan. Tidak kurang dari 11 organisasi wanita yang

memprotes dan memberikan pernyataan keras atas perkawinan Soekarno

dengan Ny. Hartini ini.17

17

Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinannya, h.

17. Dalam situs : www.indolaw.com disebutkan, bahwa adapun surat pernyataan

organisasi-organisasi wanita terhadap perkawinan Presiden Soekarno dengan Ny. Hartini,

adalah sebagai berikut :

Pernjataan organisasi-organisasi wanita terhadap perkawinan Presiden dengan

Nj. Hartini : Oleh karena masjarakat Indonesia telah dihadapkan kepada sesuatu

kenjataan, jaitu perkawinan Ir. Soekarno – Presiden Republik Indonesia – dengan Nj.

Hartini jang didjalankan semasa djabatannja tanpa pemberitahuan lebih dahulu kepada

Pemerintah dan masjarakat, sedangkan pada saat ini belum ada suatu peraturan resmi

mengenai perkawinan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia,

Berpendapat :

I. Perkawinan Ir. Soekarno-Presiden Republik Indonesia – dengan Nj. Hartini adalah

urusan Sdr. Ir. Soekarno pribadi jang harus ditanggungnja dengan segala

konsekwensinja.

Menghendaki :

II. a). Segala kunjungan dan perdjalanan resmi P.J.M. Presiden Republik Indonesia

tidak disertai oleh Ny. Hartini.

b). Segala kundjungan dan perdjalanan Sdr. Ir. Soekarno dengan Nj. Hartini adalah

kundjungan dan perdjalanan tidak resmi (incognito) dan tidak dianggap

diperlakukan sebagai kundjungan dan perdjalanan P.J.M. Presiden Republik

Indonesia.

c). Nj. Hartini tidak diperkenankan melaksanakan tugas-tugas kemasjarakatan (social

functions) jang menjadi kewadjiban Ibu Negara.

d). Segala penghormatan resmi tidak diberikan pada Nj. Hartini.

e). Belanja rumah-tangga Nj. Hartini tidak dibebankan pada Negara.

f). Istana-istana dan tempat-tempat kediaman resmi tidak didiami oleh Nj. Hartini.

Menjatakan :

III. Dalam keadaan bagaimanapun djuga, organisasi-organisasi Wanita Indonesia tidak

dapat menerima Nj. Hartini sebagai Ibu Negara, karena tidak memenuhi sjarat-sjarat

jang dikehendaki masjarakat dari seorang Ibu Negara.

Menjimpulkan :

IV. Berdasarkan pernjataan-pernjataan tersebut di atas organisasi-organisasi Wanita

Indonesia menuntut supaja soal-soal mengenai perkawinan Sdr. Ir. Soekarno-

Presiden R.I. dengan Nj. Hartini diatur dalam peraturan chusus dalam waktu jang se-

singkat-singkatnja.

Djakarta, 21 Oktober 1955.

1. Wanita Katolik

2. Istri Sedar

3. Bhajangkari

4. Persit

5. P.W.K.J

6. Sehati

7. Ikatan Perawat Wanita Indonesia

Page 243: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

221

RUU Perkawinan tersebut telah diajukan oleh pemerintah ke

DPR dan telah dibahas dalam sidang DPR antara tahun 1958-1959, tetapi

pemerintah tidak berhasil menjadikannya sebagai Undang-Undang. Antara

tahun 1967-1970, DPR-GR telah juga membahas Rencana Undang-

Undang Perkawinan, tetapi nasib RUU ini pun sama saja dengan nasib

RUU sebelumnya. Setelah Pemilihan Umum tahun 1971, Ikatan Sarjana

Wanita Indonesia (ISWI) memperjuangkan kembali UU Perkawinan untuk

diberlakukan kepada seluruh warga Negara Indonesia. Kemudian Badan

Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal

22 Februari 1972, juga mendesak pemerintah agar mengajukan kembali

RUU tentang Perkawinan yang dulu dikembalikan DPR kepada

pemerintah, agar dibahas kembali oleh DPR RI. Demikian pula Himpunan

Mahasiswa Indonesia (HMI) membicarakan kembali tentang perkawinan

umat Islam Indonesia dalam acara Sarasehan yang dilaksanakan pada

tanggal 11 Februari 1973 di Jakarta dan mengharapkan agar pemerintah

segera mengajukan kembali RUU tentang perkawinan kepada DPR RI

untuk dibahas kembali dan dilaksanakan sebagai UU yang diberlakukan

untuk seluruh warga negara Indonesia.18

Pada bulan Juli 1973, Pemerintah

Republik Indonesia kembali mengajukan sebuah RUU yang terkenal

dengan Rencana Undang-Undang Perkawinan kepada DPR-RI dan setelah

mendapat banyak sekali tanggapan pro dan kontra mengenai beberapa

bagian penting materi RUUP tersebut, baik di dalam DPR, maupun di

dalam masyarakat, akhirnya dicapailah suatu Konsensus yang membawa

pengaruh pada sidang-sidang selanjutnya, sehingga tercapai juga kata

mufakat di antara para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.19

Setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat,

Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Perkawinan pada tanggal 2

Januari 1974 dalam Lembaran Negara yang kebetulan nomor dan tahunnya

8. Perwari

9. P.J.K.T

10. J.K.A.L

11. Pertiwi 18

Abd. Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 4 19

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 22

Page 244: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

222

sama dengan nomor dan tahun Undang-Undang Perkawinan tersebut,

yakni Nomor 1 Tahun 1974. Pada tanggal 1 April 1975, setelah 1 tahun 3

bulan Undang-Undang Perkawinan itu diundangkan, lahir Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang memuat Peraturan, Pelaksanaan

Undang-Undang Perkawinan tersebut. Dengan demikian, mulai tanggal 1

Oktober 1975 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

itu telah dapat berjalan secara efektif.20

Walaupun Undang-Undang Perkawinan ini adalah hasil

kompromi antara Fraksi-fraksi di DPR, akan tetapi tentu tidak sepenuhnya

memuaskan semua golongan, pasti ada kekurangan-kekurangannya.

Namun dengan adanya Undang-Undang Perkawinan tersebut,

tuntutan pokok yang telah lama diperjuangkan, terutama oleh Pergerakan

Wanita Indonesia, sebagian besar telah terpenuhi, karena Undang-Undang

Perkawinan tersebut mempunyai ciri khas, yaitu berkenaan dengan

asasnya, tujuannya dan sifatnya yang mengangkat harkat dan derajat serta

kedudukan kaum wanita Indonesia.21

Undang-Undang No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan itu telah mensejajarkan wanita dengan pria dalam

perkawinan sebagaimana dalam ketentuan Hukum Islam, bahwa wanita

adalah mitra pria dan pria adalah mitra wanita, wanita dalam perkawinan

adalah mitra sejajar dengan pria. Wanita dan pria mempunyai derajat yang

sama sebagai manusia ciptaan Allah, yang membedakan keduanya

hanyalah kualitas ketakwaannya kepada Allah.22

Menurut Muhammad Daud Ali, kejadian wanita dan pria relatif

berlainan dan fungsi masing-masing dalam keluarga dan masyarakat

berbeda, maka hak dan kewajiban wanita dibandingkan dengan pria dalam

beberapa hal tertentu sama, dalam beberapa hal yang lain berbeda.

Perbedaan hak dan kewajiban yang merupakan konsekuensi perbedaan

kodrat dan fungsi antara pria dan wanita itu tidak boleh dijadikan dasar

untuk mengadakan diskriminasi antara pria dengan wanita.23

20

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 22, 23 21

Lihat : Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 117, 118 22

Lihat : Q.S. al Hujurat / 43 : 13. 23

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, 36

Page 245: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

223

Annie Besant berkata bahwa dalam hal penghargaan yang

diberikan kepada wanita, Hukum Islam jauh melebihi Hukum-Hukum

Barat. Ketentuan Al-Quran tentang wanita jauh lebih adil dan liberal dari

Hukum Barat.24

2. Tantangan dan Respon dalam Pembentukan dan Penerapan UU

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Ketika pemerintah mengajukan RUU Perkawinan tanggal 16

Agustus 1973 timbul pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia

terhadap RUU perkawinan tersebut. Mereka terbagi kepada tiga kelompok.

a. Kelompok Perempuan :

Sejak tahun 1928 karena perempuan telah mulai berusaha dan

mengupayakan agar ada Undang-Undang Perkawinan yang berpihak

pada kepentingan-kepentingan perempuan seperti masalah kesetaraan

gender, hak-hak reproduksi perempuan, keadilan terhadap perempuan

dalam perkawinan, kawin liar dan pencegahan terhadap kawin paksa.

Mereka beranggapan bahwa fikih yang diaplikasikan selama ini di

masyarakat Islam bersifat diskriminasi dan merugikan kaum

perempuan. Tokoh-tokoh perempuan dari kelompok perempuan ini

antara lain Maria Ulfa Subadio, SH, Nani Suwondo dan dr. Tetty Noor

dan Nelly Adam Malik.25

b. Kelompok Pemerintah :

Kelompok ini didukung oleh mayoritas anggota DPR, yang

terdiri dari Golkar yang tokohnya antara lain adalah Prof. Sunandar,

Sukowati dan dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang tokohnya

adalah Drs. Gregorins Soegiarto serta Fraksi dari ABRI. Kelompok ini

memperjuangkan agar tercipta univikasi dan kodifikasi hukum, yang

diharapkan dengannya akan lahir Undang-Undang yang bisa dijadikan

pedoman dan rujukan bagi seluruh warga Indonesia.26

24

Annie Besant, The Life and Teachings of Muhammad, (Madras: t.p.,

1932), 26. 25

Lihat Amak FZ, Proses Pembentukan UU Perkawinan, (Bandung: Bulan

Bintang, t.th.), 14. 26

Lihat Amak FZ, Proses Pembentukan UU Perkawinan, 84.

Page 246: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

224

Idiologi yang dibawa oleh kelompok pemerintah ini adalah

ideology sekuler, karena pembuat draft RUU Perkawinan tersebut

adalah Departemen Kehakiman yang mayoritas dari mereka itu adalah

sarjana hukum yang berpendidikan Belanda.

c. Kelompok Umat Islam :

Kelompok ini didominasi para ulama. Mereka beranggapan

bahwa RUU perkawinan yang diajukan pemerintah itu sangat

bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan ada yang

beranggapan, bahwa Undang-Undang tersebut mengkristenkan

Indonesia,27

karena materinya mengandung ideology yang

bertentangan dengan hukum Islam, yakni ideology yang dianut negara-

negara Barat yang materialistis dan individulistis, yang dikhawatirkan

akan mengikis budaya bangsa dan dapat menghancurkan tatanan

budaya yang sudah mapan.

Kamal Hasan mengatakan, bahwa semua ulama, baik dari

kalangan tradisional, maupun modernis, dari Aceh sampai Jawa Timur

menolak RUU tersebut.28

Menurut Kamal Hasan, setidaknya ada 11 pasal yang

dipandang bertentangan dengan ajaran Islam (fikih munakahat), yaitu

pasal 1, ayat 1, pasal 3 ayat 2, pasal 7 ayat 1, pasal 8 ayat c, pasal 10

ayat 2, pasal 11 ayat 2, pasal 12, pasal 13 ayat 1 dan 2, pasal 37, pasal

46 ayat c dan d, pasal 62 ayat 2 dan ayat 9.29

Di lembaga legislatif, FPP adalah fraksi yang keras menentang

RUU tersebut, karena bertentangan dengan fikih Islam.30

Anggota DPR dari kubu Islam hanya berjumlah 94 orang, yaitu

dari Fraksi Persatuan.31

Sedangkan anggota DPR dari Fraksi Golkar

27

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di

Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. III, 23. 28

Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia; Respons Cendekiawan Muslim,

(Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), 190. 29

Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia; …, 192, 197 30

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di

Indonesia, h. 23. – Lihat pula Syamsuddin Haris, PPP dan Orde Baru, (Jakarta:

Gramedia Widiasarana, 1991), 10. 31

Fraksi Persatuan adalah merupakan koalisi kekuatan Islam yang terdiri

dari Nu 58 orang, PARMUSI 24 orang, PSII 10 orang dan dari PERTI 2 orang.

Page 247: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

225

berjumlah 261 orang, ABRI 75 orang dan Partai Demokrasi Indonesia

(PDI) 30 orang,32

sebagai kubu yang mendukung ide pemerintah untuk

menciptakan univikasi dan kodifikasi hukum sebagai pedoman dan

rujukan bagi seluruh warga Indonesia.

Walaupun anggota DPR hanya berjumlah 94 orang, yakni

hanya dari Fraksi Persatuan, tetapi mereka didukung oleh semua

lapisan masyarakat Islam mereka menyuarakan aksi protes, terutama

dari kalangan ulama, mahasiswa dan pelajar.

Adapun ulama yang menentang keras antara lain adalah

Hamka, Yusuf Hasyim dan Bisri Sjamsuri, Protes itu melalui media

massa, mimbar-mimbar dan aksi turun ke jalan, hingga mencapai

antiklimaksnya, yakni dengan terjadinya peristiwa Sya‟ban 1973 yang

cukup memanaskan atmosfir perpolitikan Indonesia pada waktu itu

dengan didudukinya gedung DPR/MPR oleh masa umat Islam

beberapa jam. Pada hal waktu itu sedang di gelar sidang DPR. Massa

merangsek ke dalam gedung, bukan saja duduk dibalkon yang

disediakan untuk pengunjung, tetapi membludak hingga ke ruang

sidang, bahkan massa menduduki tempat duduk para anggota legislatif.

Masa sudah tidak dapat dikendalikan dan mengacaukan persidangan.

Akhirnya para anggota legislatif meninggalkan sidang. Di dalam

gedung DPR massa melakukan orasi-orasi, bahkan salah seorang tokoh

Kemudian partai-partai ini melakukan fusi dengan mengikatkan diri menjadi Partai

Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973. Latar belakang fusi ini

adalah karena hasil pemilu tahun 1971 bagi pemerintah merupakan salah satu

legitimasi ke arah fusi partai, sebab segera partai dominan yakni Golkar yang

memperoleh 62,8% suara, telah dibentuk. Bagi partai-partai Islam, pemilu tahun

1971 merupakan, pengalaman pahit mengingat untuk pertama kalinya isu “politik”

dihadapkan dengan isu “non politik”, yakni “pembangunan” melalui slogan : “politik

no, pembangunan, yes” yang dilontarkan Golkar. Kenyataan itulah yang menjadikan

problematik PPP dalam pemilu-pemilu berikutnya. Politisi Islam kehilangan slogan,

kecuali bersifat sentimen keagaman. Oleh karena itu, fusi menjadi momentum

tersendiri bagi partai-partai Islam untuk merapatkan barisan. Namun identitas

keislamana perlu diteruskan, kendati kata “Islam” tidak lagi menjadi jati diri partai.

Aktivitas negara dengan pembangunanya merapatkan barisan. Namun identitas ke

Islaman perlu diteruskan, kendati kata, “Islam” tidak lagi menjadi jati diri partai.

Aktivitas negara dengan pembangunanya menempatkan PPP pada posisi marginal

dalam konteks politik Orde Baru. Namun demikian, sikap kritis partai terhadap

kebijakan pemerintah, khususnya yang bersinggungan langsung dengan identitas

Islam. Lihat Syamsuddin Haris, PPP dan Orde Baru, 10. 32

Lihat Syamsuddin Haris, PPP dan Orde Baru, 10.

Page 248: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

226

mahasiswa yang memobilisasi massa dan melakukan demo serta orasi

adalah Zulkarnaen Djabbar. Zulkarnaen menurut hasil wawancara

pribadi Yayan Sopyan dengan Kafrawi Ridwan, bukan saja berdemo

tapi naik ke atas meja sidang dan mengibar-ngibarkan bendera.33

Melihat umat Islam menentang dan menolak keras, ABRI tidak

ingin ada kekacauan di kalangan masyarakat, maka konsep RUU

Perkawinan yang digodok di DPR itu, atas perintah Presiden,

disesuaikan dengan tuntunan umat Islam. Melalui lobying-lobying

antara tokoh-tokoh Islam dengan pemerintah, akhirnya RUU tersebut

diterima oleh kalangan Islam dengan mencoret pasal-pasal yang

bertentangan dengan ajaran Islam.34

Di sini nampak jelas bagaimana

upaya PPP untuk mempertahankan eksistensi hukum Islam.35

Agar

pembahasannya berjalan lancar, maka dicapai suatu kesepakatan antara

Fraksi PPP dan Fraksi ABRI yang isinya :

1) Hukum Agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi, atau

diubah.

2) Sebagai konsekuensi dari pada poin 1, maka alat-alat

pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau diubah. Tegasnya UU

No. 22 Tahun 1946 dan UU No. 14 Tahun 1970 dijamin

kelangsungannya.

3) Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin

disesuaikan dengan undang-undang ini, dihilangkan (didrop).

4) Pasal 2 ayat (1) dari rancangan Undang-Undang ini disetujui untuk

dirumuskan sebagai berikut :

a) Ayat (1) : Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

33

Lihat: Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam…, 198, 199. 34

Amiur Nuruddin dan Azhari Ahmad Tarigan, Hukum Perdata Islam

Indonesia, 24. 35

Fraksi PPP Mengutus 6 orang juru bicara, yaitu Ischak Moro, H. Asmah

Syahroni, H.A. Balya Umar, H. Moh. Saleh, H. Amir Iskandar, Teuku M. Soleh dan

K.H. Kodratullah sebagai juru bicara fraksi untuk menyampaikan Pandangan dan

tanggapan terhadap RUU perkawinan di DPR pada tanggal 18 September 1973, yang

dihadiri oleh 370 orang anggota legislatif dari keseluruhan anggota yang berjumlah

460 orang. Lihat Marwan Saridjo, Jabatan untuk umat. Kesaksian Kolega dan Para

Sahabat, 70 tahun Kafrawi Ridwan, (Jakarta: Media Citra, 2002), XV.

Page 249: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

227

b) Ayat (2) : Tiap-tiap perkawinan wajib dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5) Mengenai perceraian dan poligami diusahakan perlu ketentuan-

ketentuan guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.36

Dalam kesepakatan tersebut nampak jelas, betapa kuatnya

posisi FPP sebagai wakil Umat Islam dalam memperjuangkan agar UU

Perkawinan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Adapun pasal-

pasal yang dicoret tersebut adalah Pasal 11 mengenai sistem parental

dan perkawinan antar agama. Pasal 13 mengenai pertunangan. Pasal 14

mengenai tata cara gugatan perkawinan dan Pasal 62 mengenai

pengangkatan anak.37

Setelah melalui protes dan lobying-lobying dan kerja keras dari

PPP dan dukungan dari masyarakat Islam, akhirnya pasal-pasal yang

dianggap bertentangan dengan ajaran Islam itu dihapuskan.

Kemudian setelah melakukan rapat yang berulang-ulang,

akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973 melalui fraksi-fraksi DPR,

RUU Perkawinan tersebut disetujui untuk disahkan. Pada tanggal 2

Januari 1974 RUU tentang perkawinan disahkan DPR menjadi UU No.

1 tahun 1974 tentang undang-undang perkawinan yang selanjutnya

berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.38

Secara umum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan tersebut memiliki beberapa prinsip. Prinsip-prinsip ini

merupakan azas bagi terjaminnya cita-cita luhur dari perkawinan. Dari

Undang-Undang ini diharapkan agar supaya pelaksanaan perkawinan

dapat lebih sempurna dari masa yang sebelumnya.39

Adapun prinsip-prinsip dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan tersebut antara lain adalah :

36

Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 24 – Lihat juga Rachmadi Usman, Perkembangan

Hukum Perdata, dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Grafiti, 2003), 196. 37

Abdullah Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru,

(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 261. 38

Rachmadi Usman, Perkembangan Hukum Perdata, Dalam Dimensi

Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia, 198. 39

Lihat: Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam,…, 216, 217.

Page 250: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

228

1) Asas sukarela, karena perkawinan tersebut harus didasarkan atas

cinta yang tulus dan suci dari kedua belah pihak suami-istri, harus

didasarkan atas persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak

(mempelai), tanpa ada paksaan40

atau ada orang yang

menghalanginya, kecuali perkawinan dengan mahram, atau

perkawinan sejenis dan beda agama.

2) Asas partisipasi keluarga, karena kepribadian bangsa Indonesia

masih menganut sistem keluarga besar. Perkawinan bukan semata-

mata mengawinkan dua orang mempelai yang berlainan jenis,

tetapi juga mengawinkan keluarga besar. Dengan prinsip ini

diharapkan dapat memperluas dan memperkuat jalinan silaturrahmi

antara kedua keluarga besar. Oleh sebab itu perkawinan kedua

mempelai harus dilaksanakan oleh Wali41

perempuan dan

persetujuan serta restu dari kedua keluarga besar, demi keutuhan

dan rukunnya keluarga, yang dengan adanya perhatian dari kedua

keluarga tersebut, pasangan pengantin baru dapat dibimbing untuk

membina keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah yang diridhai

Allah.

3) Asas mempersulit perceraian.

Perceraian adalah sesuatu yang tidak disenangi42

oleh siapapun, ia

hanya sebagai pintu darurat (emergency) seperti pintu darurat

dalam pesawat. Walaupun pintu darurat disiapkan, tetapi tidak

boleh dibuka kecuali dalam keadaan darurat.

40

Al Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, (Al Qahirah : Dar al Kitab al Islami –

Dar al Hadits, t.th), Jilid II, 115. 41

Rasulullah SAW bersabda berkenaan dengan masalah wali tersebut :

“Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil” (HR. Al

Tabarany, dan al Baihaqy dari Abi Musa, „Imran dan Aishah) – Lihat: al Suyuty, al

Jami’ al Saghir, (Bairut – Libnan: Dar al Kutub al Islamiyah, t.th.), cet. IV, Jilid II,

204. 42

“Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak” (HR. Abu

Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar) – Al Suyuty, al Jami’ al Saghir, Jilid I, 5.

Page 251: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

229

Perceraian tanpa kendali akan merugikan kedua belah

pihak, terutama anak-anak, yang dapat menjadikan akan

bertambahnya problem anak nakal.43

4) Asas poligami dibatasi dengan ketat

Asas perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan tersebut adalah monogamy. Seorang suami hanya

diperkenankan untuk memiliki seorang istri, kecuali istri tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, atau istri

cacat badan atau mengidap penyakit yang tidak dapat

disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan.44

Selain itu,

juga disyaratkan bila suami hendak poligami hendaklah mendapat

persetujuan dari istri atau istri-istri dan mempunyai kemampuan

untuk membiayai istri atau istri-istri dan anak-anaknya serta

mampu berbuat adil kepada mereka.45

Kalau perkawinan poligami itu tidak mengikuti syarat yang

telah ditetapkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, maka

perkawinan poligami itu dinyatakan tidak sah dan batal demi

hukum. Perkawinannya dianggap tidak ada, bahkan pelakunya

harus dikenakan sanksi.

5) Asas kematangan jasmani dan rohani bagi mempelai

Calon suami istri harus telah matang jasmani dan rohaninya

untuk melangsungkan perkawinan, agar dapat memenuhi tujuan

perkawinan yang luhur, yaitu bahagia, sejahtera dan mendapat

ketentraman yang baik, berkualitas dan sehat.46

kedewasaan yang

matang diharapkan dapat menyelesaikan problematika rumah

tangga dengan nalar yang baik dan berpikir dewasa. Dari sudut

ketentraman, kematangan bagi para mempelai yang akan menikah,

terutama bagi mempelai perempuan, sangatlah penting, karena hal

43

Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di

Indonesia, 36. 44

Lihat: UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 4. 45

Lihat: UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 5. 46

Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di

Indonesia, 36.

Page 252: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

230

ini berkenaan dengan kematangan alat reproduksi dan kematangan

jiwa dalam mengasuh anaknya dan mendidiknya bersama suami.

Oleh sebab itu dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan itu

ditetapkan usia dibolehkan untuk menikah adalah 19 tahun bagi

laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.47

Namun dalam keadaan darurat, perkawinan di bawah umur

dimungkinkan setelah memperoleh dispensasi dari Peradilan

Agama atas permintaan orang tua.48

6) Asas Perlindungan terhadap perempuan dan anak.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

perempuan memperoleh kedudukan dan perhatian yang baik dan

strategis, karena hampir semua hal-hal yang diperjuangkan oleh

organisasi–organisasi perempuan dan kaum perempuan pada

umumya telah diakomodir.

Kalau sebelum ada undang-undang perkawinan ini, nasib

perempuan dan anak sering diabaikan oleh suami atau ayahnya,

laki-laki menggunakan hak cerai dengan semena-mena, akibatnya

perempuan dan anaklah yang paling banyak menderita. Akibat

perceraian seperti itu, di samping merupakan suatu pukulan batin

dan moril bagi perempuan, juga memberatkan beban hidupnya, ia

harus mencari nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya, karena

bekas suaminya meninggalkannya begitu saja.49

Dalam kasus poligami,50

perempuan dan anak paling

banyak menderita dan ditelantarkan oleh suami yang berpoligami,

baik sebagai istri pertama, maupun sebagai istri kedua atau yang

lainnya, walaupun tidak semua laki-laki yang berpoligami

berperilaku tidak bertanggung jawab terhadap istri dan anaknya,

47

Lihat: UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7. 48

Lihat: UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 6. 49

Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di

Indonesia, 39. 50

Dalam Hukum Islam, poligami paling banyak, mengawini empat

orang istri dengan syarat, bahwa suami yang akan berpoligami itu, mampu

berbuat adil dan mampu menafkahi istri-istrinya dan anak-anaknya. Kalau tidak

demikian, maka ia cukup memiliki satu orang istri saja. – Lihat: Q.S. al Nisa‟/4 :

3.

Page 253: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

231

tetapi pada umumnya tidak bertanggung jawab dan tidak berlaku adil terhadap

istri dan anak-anaknya.51

Dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

ini, dampak-dampak negatif seperti yang telah disebutkan, dapat diatasi, atau

dihilangkan, atau minimal dapat dikurangi.

Setelah UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan,

maka fikih Islam memasuki fase baru dengan apa yang disebut sebagai fase

“Taqnin” (fase pengundangan). Ketentuan-ketentuan fiqih Islam tentang

perkawinan banyak sekali ditransformasikan ke dalam Undang-Undang

tersebut. Dengan masuknya ketentuan Fikih Islam dalam Undang-Undang

Perkawinan, maka fikih Islam bidang perkawinan telah menjadi Hukum

Nasional, karena sudah dicatat dalam lembaran negara, dalam arti fikih Islam

telah menjadi Hukum Nasional.

B. Pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

1. Latar Belakang dan Proses Pembentukan KHI

Walaupun umat Islam Indonesia telah berhasil melalui Menteri

Agama dan para ulama dalam menggolkan RUU PA menjadi Undang-

Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, bukan berarti bahwa semua

persoalan yang berkaitan dengan implementasi hukum Islam di Indonesia

menjadi selesai, karena ternyata persoalan krusial yang dihadapi adalah

tidak adanya keseragaman para hakim Peradilan Agama dalam

menetapkan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi.

Sering terjadi perbedaan putusan antara satu Peradilan Agama dengan

51

Para ulama Fikih hanya membatasi adil itu kepada hal yang bersifat Zahir,

seperti adil dalam memberi nafkah, adil dalam giliran tidur, adil dalam giliran bepergian

dan lain-lain yang bersifat Zahir. Mereka menafsirkan ayat 129 Surah al Nisa‟ yang

mengatakan, bahwa manusia tidak akan bisa berlaku adil terhadap para istrinya, itu yang

dimaksudkan adalah adil hati, cinta dan kasih sayang yang sifatnya batiniyah, dengan

berdalih pada hadis Nabi yang mengatakan :

“Ya Allah, inilah bentuk penggiliranku yang dapat aku lakukan. Maka janganlah

engkau menyalahkanku dalam hal yang aku tidak mampu melakukannya”.

Page 254: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

232

Peradilan Agama yang lainnya dalam masalah yang sama,52

yang dapat

mengurangi wibawa Peradilan Agama. Hal ini disebabkan tidak

tersedianya kitab Materi Hukum Islam yang sama. Meskipun telah

ditetapkan 13 kitab fikih yang kesemuanya dalam mazhab Syafi‟i yang

dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara, akan tetapi tetap

menimbulkan persoalan, yaitu tidak adanya keseragaman putusan hukum,

karena dalam kitab-kitab fikih tersebut juga terdapat perbedaan pendapat

(ikhtilaf), walaupun dalam satu mazhab (mazhab Syafi‟i).53

Setelah diundangkan PP No. 45/1957 tentang pembentukan

PA/Mahkamah Shari‟ah diluar Jawa dan Madura, kepala biro PA dan

Departemen Agama segera mengeluarkan surat edaran No. B/1/735

tanggal 15 Februari 1958 yang menganjurkan penggunaan 13 (tiga belas)

macam kitab fikih sebagai pedoman.54

Ketiga Belas kitab fiqh tersebut

adalah : al-Bajuri, Fat al Mu’in berikut Sharahnya, Sharqawi ‘ala al

Tahrir, al Mahalli, Fath al-Wahhab, Tuhfah, Targhib al-Mushtaq,

Qawanin Shar’iyyah lisayyid Usman bin Yahya, Qawanin lisayyid

Sodaqah Dakhlan, Shamsuri fil Faraid, Bughyat al-Mastarshidin, al-Fiqh

‘ala al Madhahib al-‘arba’ah dan Mughny al Muhtaj.55

Menurut Sudirman Tebba penggunaan kitab-kitab fikih tersebut

dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama itu dianggap terlalu

banyak kelemahan, antara lain karena buku rujukan pengadilan agama itu

dianggap terlalu banyak, disamping judul bukunya saja ada 13 buah, juga

52

Karena belum ada KHI, selain tidak seragamnya keputusan hukum untuk

masalah yang sama, juga bahkan dijadikan alat politik untuk memukul orang lain yang

dianggap tidak sepaham, padahal fikih itu semestinya membawa rahmat, bukan menjadi

penyebab perpecahan, - Lihat : Hasan Basry, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar

Ulama, No. 104, Tahun X April 1986, 60. 53

Lihat Dirjen Bimbaga Islam, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam

di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama R.I., 1991/1992), 139. 54

Dadan Muttaqien, et.al, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam

Dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 1999), cet II, 53. 55

Sudirman Tebba (ed), Perkembangan Kontemporer Hukum Islam di Asia

Tenggara, (Bandung: Mizan, 1993), cet. I, 21

Page 255: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

233

antara judul buku itu ada yang terdiri dari beberapa jilid, akibatnya

penggunaannya terasa tidak praktis.56

Dengan banyaknya kitab fikih yang dianjurkan oleh Departemen

Agama maupun PA, masih sangat mungkin sekali terjadi perbedaan

putusan dalam wilayah PA, dikarenakan para hakim bebas menafsirkan

ataupun memilih hukum apa yang akan dijatuhkan disebabkan banyaknya

rujukan.57

Menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, berangkat

dari realitas ini, keinginan untuk menyusun “kitab hukum Islam” dalam

bentuk kompilasi dirasakan semakin mendesak. Penyusunan kompilasi ini

bukan saja didasarkan pada kebutuhan adanya keseragaman referensi

keputusan hukum di PA di Indonesia, tetapi juga disandarkan pada

keharusan terpenuhinya perangkat-perangkat sebuah Peradilan, yaitu kitab

materi hukum Islam yang digunakan di lembaga Peradilan tersebut.58

Sehubungan dengan masalah tersebut, Munawir Sjadzali

mengatakan, bahwa ada keanehan Indonesia berkenaan dengan

implementasi hukum Islam. Peradilan Agama telah berusia sangat lama,

namun hakimnya tidak memiliki buku standard yang dapat dijadikan

rujukan yang sama seperti halnya KUHP. Ini berakibat jika para hakim

Agama menghadapi kasus yang harus diadili, maka rujukannya adalah

berbagai kitab fikih tanpa suatu standarisasi atau keseragaman. Akibat

lanjutannya secara praktis, kasus yang sama dapat lahir keputusan yang

berbeda jika ditangani hakim yang berbeda.59

Berkenaan dengan masalah ini maka tampillah Busthanul Arifin

dengan gagasan perlunya membuat kompilasi Hukum Islam. Gagasan-

gagasannya didasari pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut ini.

56

Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat

Pembinaan Badan Peradilan Agama, 2000), 128. 57

Masrain Basran, Kompilasi Hukum Islam Mimbar Ulama, No. 105, Tahun

X, Mei 1986, 8, 9. 58

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di

Indonesia, 29. 59

Lihat Munawir Sjadzali, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam,

(Yogyakarta : UII Press, 1999), 2

Page 256: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

234

a. Untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada, antara

lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak

hukum maupun oleh masyarakat.

b. Persepsi yang tidak seragam tentang Fikih akan dan sudah

menyebabkan hal-hal :

1) Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum

Islam itu (man anzala Allahu)

2) Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syariat itu

(tanfiziyah) dan

3) Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-

jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar

1945 dan perundangan lainnya.60

Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga negara, hukum Islam

diberlakukan:

1) Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri

2) Di kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan nama Majallah al

Ahkam al „Adliyyah

3) Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang.61

Gagasan Busthanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim

Pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) tanggal 25

Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 yang ditanda

tangani di Yogyakarta oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri

Agama.62

Proyek yang didasarkan SKB ini kemudian dinamakan proyek

“Pengembangan Hukum Islam melalui Yurisprudensi” atau proyek

“Kompilasi Hukum Islam”. Tujuan proyek ini adalah mengkompilasikan

aturan hukum Islam yang mencakup wilayah muamalah dan yurisdiksi

60

Masrain Basran, Kompilasi Hukum Islam Mimbar Ulama, No. 105, Tahun

X, Mei 1986, h. 7. – Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 133. 61

Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum

Nasional; Mengenang 65 Tahun Prof. DR. H. Busthanul Arifin, SH, (Jakarta: Gema

Insani Press, 1996), 11-12 62

Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 135.

Page 257: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

235

Peradilan Agama ke dalam tiga kitab : (a) Kitab Perkawinan, (b). Kitab

Waris (c) Kitab Wakaf, Sadaqah, Hibah dan Baitul Mal.63

Dengan lahirnya SKB64

tersebut usaha selanjutnya adalah

membentuk panitia dari proyek tersebut yang personil diambil dari para

pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Pada waktu itu

terpilihlah Busthanul Arifin sebagai ketua dari proyek tersebut.65

Setelah

Busthanul Arifin membentuk kepanitiaan, maka beliau langsung memulai

pelaksanaan proyek KHI itu dengan perencanaan dan pertimbangan yang

matang.

Suatu kompilasi menurut Busthanul Arifin tidak mungkin

berlaku hanya dibuat dan diberikan dari atas (Pemerintah, Mahkamah

Agung) saja, tanpa keikut sertaan para ulama. Para ulama masih tetap

memegang peranan menentukan dalam hal-hal keagamaan, karenanya

dalam hal hukum Islam para ulama fiqh tetaplah memegang peranan yang

menentukan, dan dalam perencanaan dan pelaksanaan KHI faktor ulama,

umara, dan zuama haruslah benar-benar tergabung.66

63

Sudirman Tebba (ed), Perkembangan Kontemporer Hukum Islam di Asia

Tenggara, 63 64

Dasar Hukum dan alasan-alasan lain yang menjadi landasan Surat

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama adalah bahwa

Peradilan Agama adalah salah satu dari lingkungan Peradilan yang merupakan kekuasaan

Kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung RI, menurut ketentuan UUD 1945

Pasal 24 dan UU No. 14/1970 sebagai UU organiknya.

Repelita IV Bab Hukum, telah menggariskan keharusan penyempurnaan

Badan-Badan Peradilan, termasuk Peradilan Agama. KHI ini adalah dalam rangka

penyempurnaan Badan-badan Peradilan Agama tersebut, khususnya di bidang Hukum

terapan (hukum Materiil).

Hukum Terapan bagi Peradilan Agama ditentukan oleh UU No. I/1974,

Staadtsblad 1882, PP. 45/1957 dan sebagainya, adalah Hukum Islam. Selama ini Hukum

Islam itu hanya dapat diketahui dari kitab-kitab Fiqih, yang umum dipakai umat Islam di

Indonesia. Pernah ditetapkan oleh Departemen Agama 13 kitab Fikih yang dianjurkan

dipakai sebagai pedoman bagi hakim-hakim Peradilan Agama dalam menangani perkara-

perkara yang diajukan ke persidangan. (Lihat: Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia, 128)

Dalam rangka penyempurnaan Peradilan Agama menjadi aparat kekuasaan

kehakiman dan untuk lebih meningkatkan kepastian dan keadilan hukum dalam putusan-

putusan Peradilan Agama, maka di rasa kebutuhan untuk menyusun KHI yang ditulis

dalam Bahasa Hukum Indonesia, maka lahirlah keputusan bersama dari Ketua Mahkamah

Agung dan Menteri Agama yang menunjuk panitia untuk itu dan diberi jangka waktu

bertugas selama 2 tahun – Lihat Busthanul Arifin, Laporan Tentang Pelaksanaan KHI,

(Makalah), 1987, 1, 2. 65

Komposisi Personalia dalam Proyek tersebut untuk lengkapnya, Lihat:

Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 135 s/d 138. 66

Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema

Insani Press, 1996), cet. I, 58.

Page 258: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

236

Selain itu menurutnya masih ada beberapa faktor lain yang harus

dipertimbangkan secara matang dan perencanaan dan pelaksanaan KHI.

Faktor-faktor itu antara lain adalah : faktor sejarah hukum Islam, faktor

psikologi umat Islam dan faktor kitab-kitab fiqh dari mazhab-mazhab yang

memang merupakan amal dan jasa para ulama mujtahid dahulu, terakhir

dipertimbangkan pula faktor putusan-putusan PA di Indonesia sejak masa

paling awal, karena memang faktor ini tidak boleh diabaikan sama sekali.

Peradilan Agama telah ada sejak lebih dari seratus tahun yang lalu dan selama

masa itu telah memberikan putusan-putusan hukum yang merupakan hukum

yang hidup dan dihayati oleh kaum muslimin di Indonesia.67

Setelah mempertimbangkan faktor-faktor di atas, maka penyusunan

Kompilasi Hukum Islam ditempuh melalui empat jalur pengumpulan data.68

Keempat jalur pengumpulan data dalam penyusunan KHI tersebut adalah

sebagai berikut :

1) Jalur Kitab-Kitab Fikih

Jalur ini dimulai dengan menelaah atau mengkaji kitab-kitab fikih yang

berpengaruh di Indonesia dan dunia Islam, yang selama itu juga telah menjadi

kitab-kitab rujukan bagi para hakim PA di Indonesia. Di samping itu disusun

pula daftar-daftar pertanyaan mengenai 160 masalah di bidang perkawinan,

kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah, yang nantinya akan diteliti dan

dicatat jawaban serta penyelesaiannya oleh setiap kitab yang telah terdaftar

itu. Hal ini tentu bukanlah pekerjaan ringan seperti hal membalikkan telapak

tangan. Maka dari itu, Pemerintah dan Mahkamah Agung membuat kontrak

kerja dengan ketujuh Institut Agama Islam Negeri (IAIN), khususnya dengan

Fakultas Shari‟ah IAIN yang bersangkutan. Ketujuh IAIN tersebut diberi

67

Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum islam di Indonesia, 58. 68

Empat jalur tersebut, yaitu: a. pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan

penelaahan/pengkajian kitab-kitab. b. wawancara dilakukan dengan para ulama. c. lokakarya.

Hasil-hasil penelaahan dan pengkajian kitab-kitab dan wawancara diseminarkan lewat

lokakaryanya. d. studi perbandingan untuk memperoleh system/kaidah-kaidah hukum/seminar

satu sama lain dengan jalan memperbandingkan dari Negara-negara Islam lainnya – Depag

RI, KHI, 139.

Page 259: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

237

tugas untuk membahas kitab fiqh yang berjumlah 18 buah dalam waktu 3

bulan, dimulai dari tanggal 7 Maret sampai dengan 21 Juni 1985 sesuai

dengan kontrak yang telah disepakati.69

69

Perincian ketujuh IAIN yang ditunjuk untuk membahas kitab-kitab fikih tersebut

adalah:

a) IAIN al Raniri Banda Aceh :

(1) Al-Bajuri

(2) Fat al-Mu‟in

(3) Sharqawi „ala al Tahrir

(4) Mughni al-Muhtaj

(5) Al-Sharqawi

b) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(1) I‟anah al-Thalibin

(2) Targhib al-Mushtaq

(3) Bulghat al-Salik

(4) Tuhfah

(5) Shamsuri fi al-Faraid

(6) Al-Mudawwanah

c) IAIN Antasari Banjarmasin

(1) Qalyubi/Mahalli

(2) Fat al-Wahhab berikut Sharahnya

(3) Bidayah al-Mujtahid

(4) Al-„Umm

(5) Bughyat al-Mustarshidin

(6) Aqidah wa Shari‟ah

d) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

(1) Al-Muhalla

(2) Al-Wajiz

(3) Fat al-Qadir

(4) Al-Fiqh „al Madhahib al Arba‟ah

(5) Fiqh Sunnah

e) IAIN Sunan Ampel Surabaya

(1) Kashf al-Qina

(2) Majmu‟ atau Fatawi ibn Taymiyah

(3) Qawanin Shar‟iyyah Lisayyid Utsman bin Yahya

(4) Al-Mughni

(5) Al-Hidayah Sharh Bidayah Taimiyyah Mubtadi

f) IAIN Alauddin Ujung Pandang

(1) Qawanin Shar‟iyyah Lisayyid Sudaqah Dakhlan

(2) Nawab al-Jalil

(3) Sharah ibn Abidin

(4) Al-Muwatta‟

(5) Hashiah Syamsuddin Muhammad Irfan Dasuqi

g) IAIN Imam Bonjol Padang

(1) Badai al-Sanai‟

(2) Tabyin al-Haqiq

(3) Al-Fatawi al-Hindiyyah

(4) Fat al-Qadir

(5) Nihayah – Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 59.

Page 260: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

238

2) Jalur Wawancara Dengan Ulama70

Jalur kedua ini, dilaksanakan dengan mengumulkan ulama-ulama yang

mempunyai keahlian di bidang fikih Islam. Agar seluruh ulama Indonesia ikut

serta dalam proses wawancara ini, maka tempat wawancara diadakan di

sepuluh daerah di Indonesia, yakni Banda Aceh, Medan, Palembang, Padang,

Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Ujung Pandang, Mataram dan

Banjarmasin. Kegiatan wawancara ini berakhir dalam bulan Oktober dan

Nopember 1985.71

Untuk pelaksanaan wawancara dengan para ulama ini72

panitia pusat

telah sepakat untuk memakai dua cara; Pertama, dengan mempertemukan

para ulama tersebut untuk diwawancarai secara bersamaan. Kedua,

mewawacarai mereka dengan cara terpisah jika cara pertama tidak mungkin

dilaksanakan. Pokok masalah yang diajukan dalam wawancara tersebut sudah

disusun sistematis dalam sebuah buku yang berbentuk questioner yang berisi

102 masalah di bidang hukum keluarga.73

3) Jalur Yurisprudensi PA

Pelaksanaan jalur ini, dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Badan

PA terhadap Putusan dan Fatwa Pengadilan Agama yang telah dihimpun

dalam 16 buku.74

Ke-16 buku tersebut terhimpun dalam himpunan dibawah

ini:

70

Pelaksanaan wawancara dilakukan antara lain dengan tokoh-tokoh ulama yang

dipilih, yang benar-benar diperkirakan berpengalaman cukup dan berwibawa dan

diperhitungkan kelengkapan gegorafis dari jangkauan wibawanya. Wawancara dilaksanakan

berdasarkan pokok-pokok penelitian yang disipakan Tim Inti – Lihat Depag RI, Kompilasi

Hukum Islam, 140. 71

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 38. 72

Wawancara dengan ulama dimulai bulan September 1985 di Bandung, dengan

mengumpulkan para ulama se-Jawa Barat dan DKI yang pembukaannya dilakukan oleh

Menko Kesra, H. Alamsyah Ratuprawiranegara sebagai Menteri Agama a.i. dan dihadiri pula

oleh Bapak Wakil Ketua Mahkamah Agung yang mewakili Bapak Ketua Mahkamah Agung.

Selama 4 hari para ulama membahas dan memberikan kesimpulan pandangan hakim fikih

mengenai masalah-masalah yang dikemukakan Panitia. Cara bekerja ulama di Bandung ini

dijadikan teladan bagi 9 daerah lainnya – Lihat Busthanul Arifin, Laporan Tentang

Pelaksanaan KHI (Makalah), 3, 4. 73

Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 61. 74

Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 142.

Page 261: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

239

a. Himpunan Putusan PA/PTA 4 buku, yaitu 1976/1977, 1977/1978,

1978/1999 dan 1980/1981.

b. Himpunan Fatwa 3 buku, yaitu terbitan tahun 1978/1979, 1979/1980 dan

1980.1981.

c. Yurisprudensi PA 5 buku yaitu, terbitan tahun 1977/1978, 1978.1979,

1981/1982, 1982.1983 dan 1983/1984.

d. Law Report 4 buku, yaitu terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981.1982

dan 1982/1983.75

Jalur Yurisprudensi ini dianggap perlu karena putusan yang ditetapkan

oleh PA beberapa waktu sebelumnya, masih sangat mungkin untuk diterapkan

pada masa setelahnya. Maka dengan dipakainya jalur yurisprudensi ini, KHI

tidak hanya merujuk pada kitab-kitab fikih melainkan juga bisa merujuk

kepada putusan-putusan hakim terdahulu, pada waktu itu, penafsiran mereka

dalam menjatuhkan suatu putusan dianggap sesuai dengan keadaan dan

masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Hakim perlu memperhatikan

kesadaran hukum (Kadarkum)masyarakat berdasarkan UU No. 14/1970 pasal

20 ayat (1).76

4) Jalur Studi Perbandingan

Jalur ini ditempuh untuk mendapatkan dari negara-negara Islam yang

menerapkan hukum Islam, seperi Maroko, Turki dan Mesir mengenai sistem

peradilan dan masuknya hukum Islam ke dalam tata Hukum Nasional di

negara-negara tersebut. Dan juga informasi mengenai sumber hukum dan

hukum materil yang menjadi pegangan di bidang hukum keluarga (al ahwal al-

shakhsiyyah) yang menyangkut kepentingan kaum muslimin.77

75

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 44. 76

UU No. 14/1970 pasal 20, ayat (1) tersebut berbunyi : “Hakim sebagai penegak

hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup

dalam masyarakat”. Di samping landasan yuridis berdasarkan UU ini, dalam Fikih dan kaidah

Fiqhiyah dikatakan, bahwa Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat dan

keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berubah dan ilmu Fikih itu sendiri selalu

berkembang, karena menggunakan metode-metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan

masyarakat. Di antara metode-metode itu ialah Mashlahah Mursalah, Istihsan, Istishab dan

„urf. – Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, 134. 77

Dadan Muttaqien, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata

Hukum di Indonesia, 62.

Page 262: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

240

Namun demikian menurut Busthanul Arifin, titik berat studi ini justru

diletakkan ada negara-negara tetangga, karena pasti akan lebih bermanfaat

dikarenakan negara-negara itu banyak persamaannya dengan kita dalam

sejarah masuk dan berkembangnya Islam serta dalam perkembangan dan

pelaksanaan hukum Islam.78

Penyusunan KHI, selain digarap melalui empat jalur di atas juga

mendapat dukungan dan masukan dari beberapa organisasi Islam. Majelis

Tarjih PP Muhammadiyah, misalnya pada tanggal 8-9 April 1986 bertempat di

kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta telah menyelenggarakan

“Seminar KHI” yang juga dihadiri oleh Menteri Agama dan Ketua MUI KH.

Hasan Basry. Dalam seminar ini dibahas berbagai persoalan hukum, seperti

perkawinan wanita hamil karena zina, masalah li‟an, syiqaq, rujuk, taklik

talak, pembagian warisan, harta bersama (gono-gini) dalam perkawinan dan

penjualan harta wakaf.79

Kemudian setelah mengolah hasil dari pengkajian kitab-kitab fikih,

penelitian yurisprudensi, wawancara dengan para ulama dan studi banding,

maka dirumuskanlah KHI tersebut ke dalam naskah rancangan KHI yang

terbagi dalam 3 buku, Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang

Hukum Waris dan Buku III tentang Hukum Wakaf.80

Seluruh kegiatan dari pelaksanaan proyek penyusunan naskah KHI

yang terdiri dari 3 buku tersebut yang dimulai pada tanggal 25 Maret 1985

sampai selesainya, memerlukan waktu selama 2 (dua) tahun 9 (sembilan)

bulan. Yang untuk selanjutya pada tanggal 29 Desember naskah tersebut oleh

pimpinan proyek diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung dan Menteri

Agama.81

Naskah rancangan KHI yang telah diserahkan kepada Ketua MA dan

Menteri Agama tersebut kemudian dilokakaryakan82

untuk memperoleh

78

Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, 60. 79

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 45 80

Depag RI, Kompilasi Hukum Islam …, 150. 81

Depag RI, Kompilasi Hukum Islam …,146. 82

Depag RI, Kompilasi Hukum Islam …,146.

Page 263: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

241

komentar dan perbaikan dari para ulama dan cendekiawan muslim yang

diundang sebagai wakil-wakil yang representative dari daerah penelitian/

pengkajian dan wawancara.

Lokakarya yang berlangsung selama lima hari (2-6 Februari 1988)

tersebut bertempat di Hotel Kartika Chandra dengan diikuti oleh 124 orang

peserta. Dalam membahas permasalahan yang dilokakaryakan itu maka panitia

membaginya ke dalam tiga komisi, yaitu 83

a) Komisi I Bidang Hukum Perkawinan diketaui oleh Yahya Harahap

sekretaris Mahmuddin Kosasih Nara Sumber Halim Muchammad dengan

anggota sebanyak 42 orang.

b) Komisi II Bidang Hukum Kewarisan diketaui oleh A. Wasit Aulawi

dengan sekretaris Zainal Abidin Abu Bakar Nara sumber A. Azhar Basyir

dengan anggota sebanyak 42 orang.

c) Komisi III Bidang Hukum Perwakafan diketuai oleh Masrani Basrar.

Sekretaris A. Gani Abdullah. Nara Sumber Rahmat Jatnika, beranggotakan

29 orang.84

Hasil lokakarya sebagai naskah akhir KHI ini, kemudian diserahkan

kepada Presiden RI, tanpa menunggu waktu yang lama maka pada tanggal 10

Juni 1991 keluarlah Instruksi Presiden No. 1/1991 yang ditujuhkan kepada

Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI.85

Tanggal 22 Juli 1991 Menteri

Agama menetapkannya melalui Keputusan Menteri Agama No. 54 tahun 1991

tentang pelaksanaan Inpres No.1/1991 tanggal 10 Juni 1991.86

Dengan

lahirnya Inpres No. 1/1991 serta Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun

1991 tersebut, akhirnya bangsa Indonesia mempunyai Kompilasi

Hukum Islam sendiri dalam membantu para hakim di wilayah PA untuk

menyelesaikan perkara yang mereka hadapi, dengan harapan agar putusan

yang diberikan seragam pada masalah yang sama.87

Upaya mengkompilasi

83

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 47 84

Depag RI, Kompilasi Hukum Islam …, 147, 148. 85

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 50 86

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 50 87

Depag RI, Kompilasi Hukum Islam …, 152.

Page 264: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

242

Hukum Islam ini merupakan salah satu usaha yang sangat positif dalam

pembinaan hukum Islam di Indonesia sebagai salah satu sumber

pembentukan Hukum Nasional.

2. Landasan Hukum dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) disusun atas prakarsa penguasa

negara, yaitu Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI88

melalui Surat

Keputusan bersama No. 07/KMI/1985 tanggal 25 Maret 1985 yang ditanda

tangani di Yogyakarta oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri

Agama89

sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya.

Menurut Yahya Harahap, tema utama penyusunan KHI adalah

mempositifkan “hukum Islam di Indonesia90

yang dijadikan pedoman oleh

para hakim Pengadilan Agama dalam melaksanakan tugasnya, sehingga

terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum91

, sebab untuk dapat

berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang

jelas dan dapat dilaksanakan, baik oleh aparat penegak hukum, maupun

oleh masyarakat. Dengan lahirnya KHI, semua hakim dilingkungan

Peradilan Agama diarahkan ke dalam persepsi penegakkan hukum yang

sama dan tidak dibenarkan menjatuhkan putusan-putusan yang

berdisparitas.92

Menurut Abdul Gani Abdullah, penyusunan hukum perkawinan

dan hukum perwakafan dalam KHI didasarkan kepada beberapa

perundang-undangan, seperti UU No. 22 Tahun 1946, UU No. 32 Tahun

88

Pada saat itu Mahkamah Agung di ketuai oleh Ali Said dan Menteri Agama

adalah Munawir Sjadzali. 89

Dirjen Bimbaga Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 142. 90

Yahya Harahap, Informasi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan

Abstraksi Hukum Islam, Dalam Mimbar Hukum, No. 5 Tahun III, 1992, 25. 91

Dirjen Binbaga Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 139 92

Yahya Harahap, Informasi Kompilasi Hukum Islam … 28.

Page 265: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

243

1954, UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan PP No. 28 tahun

1977. 93

Di samping merujuk kepada perundang-undangan yang telah

disebutkan, penyusunan KHI juga merujuk kepada pendapat para ulama,

baik pendapat para ulama dalam berbagai kitab fikih, maupun pendapat

para ulama yang tidak secara langsung dituangkan dalam kitab-kitab fikih

yang sesuai dengan uruf, atau adat istiadat masyarakat Indonesia.94

Dengan demikian, KHI menjadi penjelas dan pengurai bagi perundang-

undangan yang telah ada dan menjadikan pendapat para ulama yang

terdapat dalam berbagai kitab fikih, sebagai hukum positif, atau sebagai

hukum Nasional di Indonesia untuk menjadi pedoman para hakim

Peradilan Agama dalam menetapkan hukum dari berbagai persoalan yang

muncul berkenaan dengan masalah perkawinan, warisan dan wakaf.

Dengan adanya KHI ini di Indonesia, tidak ada lagi ditemukan pluralisme

keputusan Peradilan Agama, karena kitab yang dijadikan rujukan para

hakim di Peradilan Agama adalah sama.95

setelah adanya KHI, fikih Islam

yang selama ini tidak dipandang sebagai hukum positif, telah

ditransformasikan menjadi hukum positif, atau sebagai hukum Nasional

yang berlaku dan mengikat bagi seluruh umat Islam di Indonesia.96

Dengan demikian, diharapkan bahwa KHI akan lebih mudah diterima oleh

masyarakat Islam Indonesia, karena materi fikih Islam dalam KHI digali

93

Lihat Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam

Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani, Press, 1994), cet. I, 63. 94

Kompilasi Hukum Islam adalah Fikih Indonesia karena ia disusun dengan

memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Prof. T. M. Hasby Ash

Siddiqy pernah mencetuskan, bahwa Fikih Indonesia sebelumnya mempunyai tipe Fikih

Lokal semacam Fikih Hijazy, Fikih Misry, Fikih Hindy dan Fikih lain-lainnya yang

sangat memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat yang bukan

berupa mazhab baru, tapi ia mempersatukan berbagai Fikih dalam menjawab satu

persoalan Fikih. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum Islam. Di dalam

system Hukum Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang

menjadi arah pembangunan hukum Nasional Indonesia – Depag RI, Kompilasi Hukum

Islam, 134. 95

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di

Indonesia, 35. 96

Fikih Islam menjadi Hukum Nasional berdasarkan instruksi Presiden Nomor

I Tahun 1991.

Page 266: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

244

dari tradisi bangsa Indonesia, sehingga tidak akan muncul hambatan

psikologis di kalangan umat Islam yang hendak melaksanakan hukum

Islam.

Meskipun KHI telah dijadikan pedoman oleh para hakim

Pengadilan Agama di Indonesia dalam memeriksa dan memutus sengketa

antara umat Islam di bidang perkawinan (Buku I), kewarisan (Buku II) dan

wakaf (Buku III), akan tetapi secara yuridis kekuatan berlakunya masih

lemah, karena hanya berdasarkan INPRES belum termasuk kedalam

perundang-undangan yang ditetapkan MPRS No. XX/MPRS1966, TAP

MPR No. III/MPR/2000. Ketetapan MPR, baik No. XX/MPRS/1960 jo.

TAP MPR No. V/MPR / 1973 Jo TAP MPR No. III/MPR/2000,

merupakan dasar hukum atas tata aturan perundang-undangan yang

mempunyai kekuatan hukum positif secara tertulis. Keberadaannya dapat

memaksa dan mengikat pada setiap warga negara. Sedangkan INPRES

adalah isntrumen hukum yang absah dilakukan presiden dan mempunyai

kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa pada pihak yang

diperintah.97

Berhubung KHI baru berbentuk INPRES98

dan materinya perlu

disempurnakan, maka sejak era reformasi telah ada upaya untuk

meningkatkan KHI menjadi RUU Hukum Materiil Peradilan Agama, agar

statusnya lebih kuat dan dapat masuk dalam Lembaran Negara.

97

Jaenal Aripin, Reformasi Hukum di Indonesia dan Inplikasinya Terhadap

Peradilan Agama, (Desertasi SPS UIN Jakarta, 1428 H/2007 M), 390, 391. 98

INPRES adalah instrumen hukum yang absah dilakukan Presiden dan

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa pada pihak yang diperintah,

sebagaimana dikatakan oleh H.A.S. Natabaya, bahwa isntruksi bukanlah jenis peraturan

perundang-undangan, karena hanya mengikat secara intern suatu organisasi, kalau toh

mengikat hanya terbatas pada orang atau instansi yang diberi instruksi. Dengan demikian,

maka instruksi Menteri dan Instruksi Presiden tidak termasuk dalam jenis peraturan

perundang-undangan. Lihat: H.T.S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006),

117.

Page 267: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

245

BAB V

EVALUASI PELAKSANAAN UU NO. 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN

Hukum Syariah dan Fikih Islam tentang perkawinan telah diadopsi dalam

UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, walaupun secara rinci belum

semuanya tercaver. Ketentuan Hukum Syariah dan Fikih Islam tentang

perkawinan sudah diberlakukan secara Nasional di Indonesia, karena sudah

dijadikan pedoman oleh para Hakim Pengadilan Agama se Indonesia dalam

menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam perkawinan melalui UU No. 1

tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan tersebut. UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI

Buku I tentang Perkawinan masih mempunyai kelemahan-kelemahan, walaupun

banyak keunggulan-keunggulannya. Maka untuk melengkapi kekurangan UU

Perkawinan dan KHI tersebut, perlu adanya UU yang melengkapinya, seperti

RUU HMPA bidang perkawinan, yang sekarang ini sudah dikirim oleh

pemerintah ke DPR, untuk disidangkan dan ditetapkan menjadi Undang-Undang.

A. Keunggulan dan Kelemahan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan.

1. Keunggulan

Adapun keunggulannya antara lain :

a. Dengan masuknya Hukum Syariah dan Hukum Fikih Islam tentang

perkawinan dalam hukum positif, berarti Hukum Syariah dan Hukum

Fikih Islam tentang perkawinan telah menjadi Hukum Nasional.

Dengan demikian, maka Hukum Islam tentang Perkawinan telah

mengikat kepada yang berperkara di Pengadilan Agama di seluruh

Indonesia. Khusus UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sudah

mengikat, karena tercantum dalam Lembaran Negara dan dapat

dikategorikan sebagai Undang-Undang yang Islami, karena seluruh

245

Page 268: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

246

kandungannya sesuai, atau tidak bertentangan dengan hukum

perkawinan Islam. Sebagian substansinya bersumber dari Al-Quran,

Hadis dan pendapat para ulama fikih. Sedangkan sebagian yang

lainnya merupakan hasil ijtihad para Ulama dan Cendekiawan Muslim

Indonesia, yang disesuaikan dengan budaya dan adat istiadat di

Indonesia demi kemaslahatan, selama tidak bertentangan dengan

prinsip-prinsip syariah (maqasid shari‟ah).

b. UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 merupakan bagian dari kodifikasi

hukum Perkawinan Islam, semua pasal-pasalnya sejalan dengan

syariah. Oleh karena itu penyebaran dan implementasi dari UU

Perkawinan No. 1 tahun 1974 merupakan sebuah Pelembagaan Syariah

di Indonesia.1

c. UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan melindungi dan

menyetarakan kedudukan suami dan istri dalam rumah tangga, yang

berbeda hanya dalam masalah yang bersifat fungsional, karena kodrat

masing-masing jenis kelamin. Suami sebagai seorang laki-laki dan istri

sebagai seorang wanita. Masing-masing suami dan istri mempunyai

hak dan kewajiban yang seimbang. Dalam UU No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan, sesuai dengan prinsip perkawinan, sangat jelas

disebutkan, bahwa kedudukan suami istri adalah sama dan seimbang,

baik dalam kehidupan rumah tangga, maupun dalam pergaulan hidup

bermasyarakat.2

Sehubungan dengan isi UU No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan yang berkenaan dengan hak dan kewajiban suami istri,

Sayuti Thalib mengatakan, bahwa ada lima hal yang sangat penting :

1) Pergaulan hidup suami istri yang baik dan tenteram dengan rasa

cinta mencintai dan santun menyantuni, artinya masing-masing

1 Lihat: The Indonesian Marriage Law of 1974 An Institutionalization of

The Shari‟a for Social Changes, in Shari‟a and Politic in Modern Indonesia,

(Singapore: ISEAS, 2003), 85. 2 Lihat: UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 30 s/d pasal 34.

Page 269: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

247

pihak wajib mewujudkan pergaulan yang mar‘ruf ke dalam rumah

tangga ataupun keluar (masyarakat).

2) Suami memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai kepala

keluarga dan istri juga memiliki kewajiban dalam posisinya

sebagai ibu rumah tangga.

3) Rumah kediaman disediakan suami dan suami istri wajib tinggal

dalam satu kediaman tersebut. Pada dasarnya suami wajib

menyediakan tempat tinggal yang tetap, namun dalam kasus-kasus

tertentu, rumah kediaman tersebut dapat diwujudkan secara

bersama-sama.

4) Biaya kehidupan menjadi tanggung jawab suami, sedangkan istri

wajib membantu suami mencukupi biaya hidup tersebut.

5) Si istri bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan

membelanjakan biaya rumah tangga yang diusahakan suaminya

dengan cara-cara yang benar, wajar dan dapat dipertanggung

jawabkan.3

Menurut Martiman, hak dan kewajiban suami istri yang

dikandung oleh pasal-pasal 30 s/d 34 UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan adalah :

1) Cinta mencintai satu dengan lainnya.

2) Hormat menghormati dan menghargai satu sama lainnya

3) Setia satu sama lainnya

4) Saling memberi dan saling menerima bantuan lahir dan batin satu

sama lainnya

5) Sebagai suami berkewajiban mencari nafkah bagi anak-anak dan

istrinya serta wajib melindungi istri dan memberikan segala

keperluan hidup rumah tangga, lahir batin, sesuai dengan

kemampuannya.

3 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat

Islam, (Jakarta: UI Press, 1982), 73, 78.

Page 270: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

248

6) Sebagai istri berkewajiban mengatur rumah tangga sebaik-

baiknya.4

Sehubungan dengan masalah ini Busthanul Arifin

mengatakan bahwa kedudukan suami dan istri dalam perkawinan

sebagaimana yang termuat dalam pasal 30-34 UU No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan adalah seimbang. Masing-masing mempunyai

fungsi dan tanggung jawab yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang

satu, yaitu tercapainya kebahagiaan rumah tangga dan keluarga yang

sakinah, mawaddah dan rahmah. Tidak itu saja, hubungan kedudukan

tersebut juga mengandung rasa keadilan, sekaligus sangat potensial

untuk dikembangkan dalam menghadapi perubahan-perubahan cepat

yang terjadi dalam masyarakat.5

Pernyataan Busthanul Arifin di atas, identik dengan

pernyataan Yahya Harahap, bahwa kedudukan suami istri dalam

sebuah keluarga adalah seimbang. Keduanya sederajat dan segala

sesuatu yang muncul dalam perkawinan harus dirundingkan bersama.

Bahkan Yahya Harahap mengatakan, bahwa istri berhak mencapai

kedudukan sosial di luar lingkungan rumah tangga dan suami tidak

dapat melarang hak tersebut.6

Dari uraian dan pendapat para Cendekiawan Muslim

Indonesia yang berkenaan dengan pasal-pasal 30 s/d 34 Undang-

Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah disebutkan di

atas, jelas sekali apa yang menjadi kewajiban suami, menjadi hak istri.

Begitu pula sebaliknya pada sisi lain ada ditemukan banyak

persamaan-persamaan. Oleh sebab itu antara suami istri dalam suatu

rumah tangga menurut UU Perkawinan tersebut, adalah mitra sejajar.

4 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta:

Indonesia Legal Center Publishing, 2002), 34. 5 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia…, 120.

6 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading,

1975), 10.

Page 271: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

249

Hal ini sesuai dengan ajaran Syariah, atau Hukum Fikih Islam dan

sesuai pula dengan keyakinan umat Islam dan tradisi yang berlaku di

Indonesia. Dalam Syariah Islam tidak ada perbedaan kedudukan laki-

laki dan wanita. Yang membedakan kedudukannya di sisi Allah adalah

kualitas ketakwaannya.7 Begitu pula kedudukan suami dan istri dalam

rumah tangga, kedudukan mereka sama. Kalau ada perbedaan di antara

suami istri, itu hanya akibat perbedaan fungsional masing-masing8

sebagai suami atau sebagai istri, sesuai dengan hak dan kewajiban

masing-masing.

Dalam KHI tentang perkawinan, masalah hak dan kewajiban

suami istri disebutkan dengan sangat rinci, berbeda dengan UU No. 1

tahun 1974 tentang Perkawinan belum terlalu rinci. Kalau diperhatikan

dengan cermat, nampaknya KHI tentang Perkawinan tersebut

merupakan penjabaran dan penegasan dari ketentuan-ketentuan hukum

yang ada dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pembahasan yang berkenaan dengan hak dan kewajiban

suami istri dalam KHI tentang perkawinan terdapat pada pasal 77 s/d

pasal 83. Pasal 77-78 mengatur hak-hak yang umum bagi suami istri,

pasal 79 menyangkut kedudukan suami istri, pasal 80 berkenaan

dengan kewajiban suami, pasal 81 tempat kediaman, pasal 82

kewajiban suami terhadap istri yang lebih dari seorang (suami

berpoligami) dan pasal 83 berkenaan dengan kewajiban istri.9

Dalam pasal-pasal KHI tersebut sangat jelas mengatur

kedudukan suami istri serta kewajiban antara suami istri. Dalam

beberapa hal KHI tentang Perkawinan mengadopsi pasal-pasal UU No.

1 tahun 1974 tentang Perkawinan seperti pasal yang berkenaan dengan

7 Lihat: Q.S. al-Hujurat / 49 : 13.

8 Lihat: Q.S. al-Nisa / 4 : 34.

9 Untuk jelasnya masalah tersebut di atas, Lihat: KHI Buku I tentang

perkawinan dari pasal 77 s/d pasal 83.

Page 272: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

250

kedudukan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah

tangga, posisi yang seimbang, kewajiban saling mencintai, saling

membantu dan saling menghormati. Di samping itu KHI ini merinci

hal-hal yang dijelaskan secara umum dalam UU No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan, misalnya bentuk kebutuhan yang harus dipenuhi

suami, seperti nafkah, kiswah (pakaian) dan kediaman atau sandang,

pangan dan papan, biaya perawatan, pengobatan istri dan anak serta

pendidikan anak.

Suami sebagai kepala keluarga sebagaimana telah disebutkan

di atas, adalah berdasarkan firman Allah yang mengatakan : Kaum

laki-laki itu adalah qawwam (pemimpin) bagi perempuan, oleh karena

Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian lain

dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta

mereka...”.10

Para Ulama tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan kata

qawwam dalam firman Allah surah al-Nisa/4 : 34. Al Thabary

menafsirkan dengan penanggung jawab, karena suami bertanggung

jawab dalam mendidik dan membimbing istri agar menunaikan

kewajibannya kepada Allah dan kepada suami.11

Sedangkan

Muhammad Asad seorang mufassir kontemporer mengatakan, bahwa

kata qawwam berarti to take full care of, yang berarti menjaga

sepenuhnya, baik dalam bentuk fisik, maupun moral.12

Ada pula ulama

yang menafsirkan kata qawwam dengan makna pelindung, seperti

Abdullah Yusuf Ali.13

10

Lihat: Q.S. al-Nisa / 4 : 34. 11

Al Tabary, Jami‟al Bayan, (Bairut : Dar al Fikr, 1988), Jilid IV, 57. 12

Muhammad Asad, The Message of The Qur‟an, (Giblartar: Dar al

Andalus, 1980), 109. 13

Lihat: Abdullah Yusuf Ali, Al-Quran Terjemah dan Tafsirnya, Terj. Ali

Audah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), 190.

Page 273: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

251

Rashid Rida menyebutkan, bahwa laki-laki memiliki

kelebihan yang fithri dan kasbi. Sejak diciptakan, laki-laki telah

diberikan Allah quwwah (kekuatan) dan qudrah (kemampuan),

sedangkan kelebihan kasbi, adalah karena laki-laki mampu berusaha,

mencari nafkah dan leluasa bergerak tanpa dihalangi hal-hal yang

bersifat refproduksi (menstruasi, hamil dan melahirkan).14

Dari uraian singkat tentang beberapa penafsiran ulama

tentang makna qawwam dapat disimpulkan, bahwa makna qawwam

adalah sebagai penanggung jawab, pelindung dan penjaga kaum

perempuan. Dari penafsiran-penafsiran inilah menjadi dasar dalam UU

No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan bahwa suami sebagai

kepala keluarga.

d. UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan mempertegas tafsir

ayat tentang syarat kebolehan beristri lebih dari satu15

yang disebutkan

dalam firman Allah Q.S. al-Nisa‘/4:3, bahwa dibolehkan untuk

berpoligami jika dapat berlaku adil terhadap para istri. Seseorang tidak

dapat berlaku adil, jika tidak mampu biaya/nafkah untuk para istri dan

anak-anaknya. Dalam lanjutan ayat 3 surah al-Nisa‘ itu dikatakan:

“...Kemudian jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka

(kawinilah) seorang saja”. Jadi syarat dibolehkan berpoligami itu

adalah dapat berlaku adil, jika tidak bisa berlaku adil, cukup satu istri

saja.

Poligami dalam Islam bukanlah untuk menghidup suburkan

tirani dan dominasi kaum laki-laki dan perbudakan atas perempuan,

tetapi sebagai jalan keluar dari kesulitan yang dialami keluarga, bukan

hanya untuk kepentingan dan kemaslahatan suami, tetapi juga untuk

14

Muhammad Rashid Rida, Tafsir al Manar, (Misr : al Haiah al Misriyah

al ‗Ammah Li al Kitab, 1973), Jilid III, 57. 15

Lihat UU No. 1 tahun 1974 pasal 3 s/d pasal 5, dan KHI tentang

Perkawinan pasal 55 s/d pasal 59.

Page 274: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

252

istri dan seluruh keluarga.16

Menutup pintu poligami bagi laki-laki

yang bisa memenuhi syarat untuk itu, yaitu adil zahir17

seperti nafkah,

pakaian, tempat tinggal dan biaya-biaya lainnya, dapat membuka pintu

selingkuh dan pezinaan, jika laki-laki itu tidak kuat iman, oleh karena

itu Islam mengakomodir poligami, karena dalam keadaan tertentu

poligami dibutuhkan sebagai solusi, tetapi Islam tidak membenarkan

adanya poliandri, karena mengaburkan garis keturunan.

Substansi UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan

berkenaan dengan syarat-syarat dibolehkannya poligami sama, tetapi

KHI menyebutkan syarat-syarat boleh poligami lebih mendetail,

bahkan telah menegaskan pula, bahwa poligami dari satu orang pada

waktu yang bersamaan, dibatasi hingga empat orang istri,18

dengan

syarat mampu biaya dan dapat berlaku adil terhadap para istri, sesuai

dengan ketetapan firman Allah Q.S. Al-Nisa‘/4:3.

Syarat-syarat boleh berpoligami dipertegas dan dirinci oleh

UU No. 1 tahun 1974, terutama KHI tentang Perkawinan tujuannya

untuk melindungi perempuan-perempuan (para istri) dan anak-anak

yang banyak terlantar akibat poligami.

e. UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan menjelaskan

kedudukan hukum harta kekayaan dalam perkawinan.19

Masalah ini

diadopsi dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan,

karena arah dan kecenderungan pada kehidupan suami dan istri,

kepada masalah peruntukan dan manajemen harta kekayaan dalam

perkawinan. Dalam masyarakat Indonesia bentuk dan tata rumah

16

Abd Hakim Abu Shuqqah, Tahrir al Mar‟ah Fi „Asri al Risalah,

(Kuwait: Dar al Qalam, t.th), 291. 17

Adil batin agak susah dilaksanakan, walaupun oleh Nabi, yaitu adil

hati, cinta dan kasih sayang. Oleh sebab itu Jumhur Ulama menafsirkan kata adil

sebagai syarat dibolehkannya poligami dengan adil zahir. 18

Untuk jelasnya lihat: KHI tentang Perkawinan pasal 55. 19

Lihat: UU No. 1 tahun 1974 pasal 35 s/d pasal 37, dan KHI tentang

perkawinan pasal 85 s/d pasal 97.

Page 275: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

253

tangga dapat bersifat patrilineal, matrilineal, atau bilateral dengan

segala konsekuensinya. Begitu pula, terdapat perbedaan dalam cara

pengelolaan penghasilan selama perkawinan. Ketentuan tentang harta

kekayaan dalam perkawinan ini, yang disebut juga sebagai harta

bersama, dapat melindungi dan menyelamatkan kondisi istri, karena

pada umumnya istri tidak bekerja yang mendatangkan uang atau tidak

mempunyai penghasilan tetap jika perkawinannya mengalami

perceraian. Pembagian harta bersama ini dilaksanakan setelah

putusnya perkawinan.

Pada dasarnya shariah, atau Hukum Fikih Islam tidak

mengenal percampuran harta antara suami dan istri. Ini berarti, harta

bawaan sebelum perkawinan berlangsung, tetap menjadi milik masing-

masing. Ketentuan ini penting sebagai pedoman untuk menyelesaikan

persoalan yang timbul dalam rumah tangga, terutama kalau suami

berpoligami. Suami yang melangsungkan perkawinan kedua, ketiga,

atau keempat, tidak berarti membawa, atau memberikan begitu saja

kekayaan yang dimilikinya untuk rumah tangganya yang baru. Harta

pencaharian bersama dengan istri yang lama tidak boleh dicampur

dengan pencaharian bersama dengan istri (istri-istrinya yang baru)

secara sewenang-wenang, melainkan harus diperhitungkan sedemikian

rupa agar tidak menimbulkan kekisruhan.20

Itulah sebabnya, bahwa

seorang suami tidak boleh berpoligami, kecuali setelah memenuhi

berbagai persyaratan.

Pemilikan harta bawaan tetap diakui, kecuali suami dan istri

(rumah tangga non poligami) saling merelakan, bahwa harta bawaan

itu menjadi harta bersama.

20

Lihat: Naskah Akademik Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang

Perkawinan, 2007, 71, 72.

Page 276: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

254

f. Dalam KHI tentang perkawinan telah dibuatkan pasal berkenaan

dengan perempuan hamil karena zina, karena masalah ini banyak

terjadi pada masyarakat di Indonesia, sering muncul sebagai problem

dalam masyarakat, memerlukan ketetapan hukum menikahi perempuan

hamil diluar nikah itu.

Dengan mempertimbangkan berbagai mudharat dan mafsadat

terhadap masalah ini serta berdasarkan fatwa hukum yang telah

disepakati oleh ulama, maka dalam KHI tentang perkawinan telah

dipertegas hukum pernikahan perempuan hamil di luar nikah itu,

bahwa seorang perempuan hamil akibat hubungan seksual di luar

perkawinan dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya,

tanpa menunggu kelahiran anaknya dan tidak diperlukan perkawinan

ulang (tajdid al nikah) setelah anak yang dikandungnya lahir.21

g. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan

hukum perkawinan Islam yang diadopsi dan ditransformasikan ke

dalam Hukum Nasional. Dengan demikian ia mempunyai daya ikat

yang kokoh bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam,

karena ia mempunyai dua daya ikat, yaitu sebagai warga negara yang

mempunyai kewajiban untuk melaksanakan hukum negaranya dan

sebagai Muslim yang wajib mengikuti ketentuan Hukum Islam, karena

sudah tercantum dalam Lembaran Negara, sehingga telah mempunyai

kekuatan hukum yang mengikat.

h. Dengan adanya UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan,

para istri sudah banyak mengetahui hak-haknya sebagai istri dan

mereka sudah banyak mengetahui bahwa para istri boleh mengajukan

cerai gugat ke Pengadilan Agama, jika suaminya tidak bertanggung

21

Lihat: Pasal 53 KHI Buku I Tentang Perkawinan.

Page 277: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

255

jawab dan tidak memenuhi hak-hak istrinya, atau melakukan kekerasan

terhadap istri (KDRT) dan lain-lain.22

i. Dengan teradopsinya Hukum Fikih Islam (Hukum Islam) tentang

Perkawinan ke dalam Hukum Nasional akan menjadi multi player

effect, bagi Negara diuntungkan, karena perundang- undangannya jadi

berwibawa, ditaati dan dipatuhi oleh Warga Negaranya dan bagi Islam

juga mendapat keuntungan, antara lain :

1) Islam telah dapat memberikan kontribusi kepada negara dalam

bidang pembangunan hukum.

2) Dengan teradopsinya Hukum Islam (Syari‘ah dan Fikih Islam)

bidang perkawinan ke dalam Hukum Nasional, menunjukkan

keunggulan ajaran Islam, bahwa ajaran Islam itu selalu aktual

disetiap waktu dan tempat (اإل سالم صالح لكل زمان ومكان)

3) Shariat dan Fikih Islam (Hukum Islam) tentang perkawinan dapat

diterapkan kepada umat Islam melalui kekuasaan negara.

2. Kelemahan

Adapun kelemahan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang

Perkawinan antara lain :

a. Materi KHI tentang perkawinan banyak duplikasi dengan apa yang

telah diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,

walaupun ditemukan banyak hal-hal baru yang belum disebutkan

dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut.

b. Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada pasal

tentang ketentuan umum yang memuat berbagai pengertian berupa

keterangan dari berbagai istilah yang digunakan dalam UU No. 1 tahun

1974 tentang Perkawinan itu dan belum semua masalah yang terkait

22

Lihat: Pasal 116 KHI Buku I Tentang Perkawinan.

Page 278: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

256

dengan perkawinan dicantumkan, seperti masalah wali dalam

perkawinan, peminangan dan mahar, pada hal kedua masalah ini

adalah sesuatu yang penting dicantumkan dalam buku-buku fikih dan

hukum adat.

c. KHI tentang Perkawinan tidak memiliki kekuatan mengikat secara

hukum (legally binding force), walaupun terbukti efektif menjadi

rujukan para Hakim Pengadilan Agama seluruh Indonesia, karena tidak

dicantumkan dalam lembaran negara sebagai media publikasi yang

menjadi syarat bagi sebuah peraturan agar memiliki kekuatan hukum

mengikat, apalagi dengan berlakunya UU No. 10 tahun 2004 tentang

pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, instruksi Presiden tidak

lagi tercantum dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-

Undangan.23

d. Penggunaan kata perkawinan dan pernikahan tidak konsisten

disebutkan dalam KHI tentang Perkawinan, walaupun dua kata

tersebut sama artinya.24

e. Dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan belum

disebutkan sanksi pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan

perkawinan, kecuali ada sebagian kecil dalam PP No. 9 tahun 1975

tentang pelaksanaan UU Perkawinan, tetapi masih terlalu ringan dan

tidak sesuai lagi dengan kondisi ekonomi sekarang.

f. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum

dicantumkan secara tegas masalah gugat cerai istri.

g. Pada pasal 116, sub k KHI tentang Perkawinan disebutkan, bahwa di

antara alasan-alasan putusnya perkawinan adalah, peralihan Agama

atau Murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam

rumah tangga. Seharusnya tidak perlu lagi dicantumkan kata-kata

23

Lihat: Naskah Akademik RUU HMPA bidang perkawinan 17. 24

Lihat: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:

Akademika Pressindo, 1992), 66, 67.

Page 279: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

257

―yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga‖, karena

dengan menyebutkan kata-kata yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan

dalam rumah tangga‖ berarti sungguhpun kalau murtad asal rukun dalam

rumah tangga maka perkawinan tidak batal.25

Demikianlah antara lain keunggulan dan kelemahan masing-masing

dari UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. Jika KHI tentang

Perkawinan akan ditingkatkan menjadi RUU HMPA bidang Perkawinan

dan telah disahkan menjadi undang-undang setelah diperbaiki kelemahan-

kelemahannya, akan melengkapi substansi dari UU No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan.

B. Dampak UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI Buku I tentang Perkawinan

Terhadap NTCR

UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan setelah

diimplementasikan dan disosialisasikan, ternyata banyak mempengaruhi

NTCR, khususnya cerai gugat, karena para istri telah banyak mengetahui hak-

haknya dari UU Perkawinan dan KHI tersebut. Jika hak-haknya tidak dipenuhi

oleh suaminya, atau suaminya tidak memperlakukannya dengan baik (tidak

mu‟asharah bi al ma‟ruf), mereka mengajukan gugat cerai ke Pengadilan

Agama tempat domisilinya. Tiap tahun meningkat cerai gugat, dibanding

dengan cerai talak. Berikut ini, penulis tampilkan data perceraian untuk

sepuluh tahun dari tahun 2000 s/d 2009 yang diambil dari Mahkamah Agung

berdasarkan data yang dilaporkan oleh Pengadilan Tinggi Agama se

Indonesia, sebagai berikut :

25

Dengan mencantumkan kata-kata ―yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan

dalam rumah tangga setelah kata ―murtad‖ itu bertentangan dengan pasal 75 (a) KHI tersebut.

Page 280: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

258

PERKARA DITERIMA MAHKAMAH AGUNG :

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN

YANG DITERIMA PENGADILAN AGAMA

YURISDIKSI PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA

TAHUN 2000

NO PTA CERAI

TALAK

CERAI

GUGAT

PERKARA

LAIN JUMLAH KET.

1 Banda Aceh 388 636 266 1,290

2 Medan 885 1,640 171 2,696

3 Padang 955 1,462 227 2,644

4 Pekanbaru 911 1,946 234 3,091

5 Jambi 294 713 65 1,072

6 Palembang 942 1,978 205 3,125

7 Bengkulu 295 653 43 991

8 Bandar Lampung 433 1,039 45 1,517

9 Jakarta 1,396 2,801 228 4,425

10 Bandung 19,579 12,579 2,357 34,515

11 Semarang 16,696 24,786 1,250 42,732

12 Yogyakarta 906 1,409 196 2,511

13 Surabaya 22,270 26,539 1,530 50,339

14 Banjarmasin 640 1,779 191 2,610

15 Palangkaraya 218 540 19 777

16 Pontianak 327 775 56 1,158

17 Samarinda 580 1,432 170 2,182

18 Ujung Pandang 1,290 3,312 331 4,933

19 Palu 315 669 46 1,030

20 Kendari 248 523 44 851

21 Manado 295 534 56 885

22 Mataram 768 2,144 351 3,263

23 Kupang 57 76 26 159

24 Ambon 223 247 53 523

25 Jayapura 174 339 16 529

Jumlah

71,121 90,551

8,176

169,848

161,672

258

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2000.

Page 281: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

259

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN

YANG DITERIMA PENGADILAN AGAMA

YURISDIKSI PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA

TAHUN 2001

NO PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 Banda Aceh 248 486 262 996

2 Medan 822 1 ,669 190 2,681

3 Padang 938 1,454 214 2,606

4 Pekanbaru 997 1 ,833 337 3,167

5 Jambi 323 832 70 1,225

6 Palembang 844 1,985 186 3,015

7 Bengkulu 277 554 39 870

8 Bandar Lampung 409 988 42 1,439

9 Jakarta 1,484 2,960 255 4,699

10 Bandung 18,732 13,223 2,431 34,386

11 Semarang 16,762 25,978 1,138 43,878

12 Yogyakarta 919 1 ,466 238 2,623

13 Surabaya 21,920 27,588 1,404 50,912

14 Banjarmasin 583 1,749 195 2,527

15 Palangkaraya 155 416 20 591

16 Pontianak 357 802 85 1,244

17 Samarinda 603 1 ,422 184 2,209

18 Ujung Pandang 1,307 3,424 337 5,068

19 Palu 323 652 51 1 ,026

20 Kendari 260 516 44 820

21 Manado 289 549 46 884

22 Mataram 764 2,023 515 3,302

23 Kupang 58 81 25 164

24 Ambon 300 253 85 638

25 Jayapura 93 263 9 365

Jumlah

69,767 93,166

8,402

171,335 162,933

259

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2001.

Page 282: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

260

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN

YANG DITERIMA MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA

YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI

AGAMA SELURUH INDONESIA

TAHUN 2002

NO PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 Banda Aceh 349 639 536 1.524

2 Medan 832 1.792 184 2.808

3 Padang 722 1.415 409 2.546

4 Pekanbaru 911 2.116 211 3.238

5 Jambi 310 834 50 1.194

6 Palembang 792 1.921 159 2.872

7 Bengkulu 225 522 41 788

8 Bandar Lampung 411 1.018 59 1.488

9 Jakarta 1.401 2.901 250 4.552

10 Bandung 16.509 13.646 1.929 32.084

11 Semarang 14.926 25.104 1.085 41.115

12 Yogyakarta 937 1.496 223 2.656

13 Surabaya 20.799 28.2 1.346 50.345

14 Banjarmasin 536 1.766 178 2.48

15 Palangkaraya 141 473 19 633

16 Pontianak 348 836 65 1.249

17 Samarinda 628 1.487 214 2.329

18 Ujung Pandang 1.302 3.508 334 5.144

19 Palu 318 655 45 1.018

20 Kendari 241 515 65 821

21 Manado 286 563 48 897

22 Mataram 670 2.192 303 3.165

23 Kupang 63 73 30 166

24 Ambon 315 359 36 710

25 Jayapura 193 444 29 666

Jumlah

64.165 94.475

7.848

166.488 158.640

260

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2002.

Page 283: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

261

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN

YANG DITERIMA MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA

YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI

AGAMA SELURUH INDONESIA

TAHUN 2003

NO PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 Banda Aceh 368 791 459 1.618

2 Medan 887 1.863 195 2.945

3 Padang 887 1.419 271 2.577

4 Pekanbaru 961 2.128 207 3.296

5 Jambi 293 908 60 1.261

6 Palembang 814 1.859 170 2.843

7 Bengkulu 284 513 32 829

8 Bandar Lampung 360 988 58 1.406

9 Jakarta 1.417 3.006 197 4.620

10 Bandung 14.501 13.718 1.558 29.777

11 Semarang 13.616 22.773 966 37.355

12 Yogyakarta 857 1.478 215 2.550

13 Surabaya 18.089 25.243 1.595 44.927

14 Banjarmasin 505 1.699 199 2.403

15 Palangkaraya 171 427 26 624

16 Pontianak 318 827 130 1.275

17 Samarinda 673 1.656 259 2.588

18 Ujung Pandang 1.260 3.200 284 4.744

19 Palu 275 625 46 946

20 Kendari 249 456 49 754

21 Manado 274 502 46 822

22 Mataram 679 1.944 245 2.868

23 Kupang 41 94 14 149

24 Ambon 247 364 39 650

25 Jayapura 199 487 11 697

Jumlah

58.225 88.968

7.331

154.524 147.193

261

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2003.

Page 284: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

262

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN

YANG DITERIMA MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA

TAHUN 2004

NO PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 N.A.D 528 1.050 589 2.167

2 Medan 946 2.080 219 3.245

3 Padang 969 1.619 295 2.883

4 Pekanbaru 1.007 2.482 234 3.723

5 Jambi 293 949 82 1.324

6 Palembang 891 2.128. 164 3.183

7 Bengkulu 298 581 33 912

8 Bandar Lampung 389 1.041 53 1.483

9 Jakarta 1.604 3.256 263 5.123

10 Bandung 14.712 14.886 1.920 31.518

11 Semarang 13.656 24.482 935 39.073

12 Yogyakarta 899 1.644 212 2.755

13 Surabaya 18.599 27.703 1.397 47.699

14 Banjarmasin 538 1.883 228 2.649

15 Palangkaraya 177 503 25 705

16 Pontianak 343 932 142 1.417

17 Samarinda 813 1.893 402 3.108

18 Ujung Pandang 1.197 3.397 249 4.843

19 Palu 350 710 34 1.094

20 Kendari 243 520 35 798

21 Manado 241 648 38 927

22 Mataram 735 2.169 250 3.154

23 Kupang 55 81 15 151

24 Ambon 245 356 40 641

25 Jayapura 202 479 10 691

Jumlah

59.930 97.472

7.864

165.266 157.402

262

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2004.

Page 285: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

263

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN

YANG DITERIMA MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA

TAHUN 2005

NO PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 N.A.D 424 1.124 1.452 3.000

2 Medan 991 2.322 244 3.557

3 Padang 1.079 1.726 318 3.123

4 Pekanbaru 1.080 2.730 233 4.043

5 Jambi 343 996 76 1.415

6 Palembang 998 2.294 132 3.424

7 Bengkulu 314 601 45 960

8 Bandar Lampung 463 1.147 86 1.696

9 Jakarta 1.681 3.403 406 5.490

10 Bandung 14.216 16.146 1.651 32.013

11 Semarang 14.429 25.403 1.091 40.923

12 Yogyakarta 1.000 1.704 191 2.901

13 Surabaya 19.898 29.759 1 671 51.328

14 Banjarmasin 631 1.898 255 2.784

15 Palangkaraya 180 568 35 783

16 Pontianak 379 1.047 119 1545

17 Samarinda 810 2.060 485 3.355

18 Ujung Pandang 1.317 3.430 332 5.079

19 Palu 376 781 43 1.200

20 Kendari 217 495 41 753

21 Manado 309 638 52 999

22 Mataram 730 2.142 286 3.158

23 Kupang 72 132 21 225

24 Ambon 249 342 30 621

25 Jayapura 251 495 12 758

Jumlah

62.437 103.383

9.313

175.133 165.820

263

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2005.

Page 286: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

264

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN

YANG DITERIMA MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA

TAHUN 2006

NO PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 N.A.D 601 1,382 1,530 3,513

2 Medan 1,161 2,330 358 3,849

3 Padang 1,114 1,783 418 3,315

4 Pekanbaru 1,147 2,593 316 4,056

5 Jambi 367 904 85 1,356

6 Palembang 936 1,879 150 2,965

7 Bengkulu 310 604 56 970

8 Bandar Lampung 513 1,233 161 1,907

9 Jakarta 1,830 3,542 434 5,806

10 Bandung 12,899 14,838 2,361 30,098

11 Semarang 14,566 25,863 1,131 41,560

12 Yogyakarta 929 1,669 211 2,809

13 Surabaya 19,520 29,739 3,280 52,539

14 Banjarmasin 668 1,832 247 2,747

15 Palangkaraya 169 547 40 756

16 Pontianak 372 1,068 122 1,562

17 Samarinda 834 2,048 856 3,738

18 Ujung Pandang 1,432 3,760 830 6,022

19 Palu 370 741 37 1,148

20 Kendari 256 578 51 885

21 Manado 167 396 59 622

22 Mataram 701 2,051 422 3,174

23 Kupang 81 115 20 216

24 Ambon 106 203 42 351

25 Jayapura 266 572 12 850

26 Banten 698 1,458 183 2,339

27 Bangka Belitung 260 ' 650 23 933

28 Gorontalo 157 367 39 563

29 Maluku Utara 172 220 36 428

Jumlah

62,602 104,965

13,510

181,077 167,567

264

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah

Agung RI. Tahun 2006.

Page 287: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

265

TABEL III DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG DITERIMA

YURIDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI /

PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA TAHUN 2007

NO PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 Aceh 830 1,589 2,182 4,601

2 Medan 1,266 2,555 573 4,394

3 Padang 1,209 1,976 738 3,923

4 Pekanbaru 1,384 3,076 322 4,782

5 Jambi 476 1,165 177 1,818

6 Palembang 982 2,143 169 3,294

7 Bengkulu 395 696 72 1,163

8 Bandar Lampung 594 1,412 183 2,189

9 Jakarta 2,115 3,482 621 6,218

10 Bandung 12,569 16,034 3,375 31,978

11 Semarang 21,063 37,839 1,943 60,845

12 Yogyakarta 1,097 1,929 261 3,287

13 Surabaya 20,961 31,791 3,942 58,694

14 Banjarmasin 761 2,299 558 3,618

15 Palangkaraya 233 628 34 895

16 Pontianak 486 1,341 230 2,057

17 Samarinda 985 2,272 1,465 4,722

18 Makassar 1,540 4,050 2,163 7,753

19 Palu 482 859 100 1,441

20 Kendari 319 644 106 1,069

21 Manado 190 389 40 619

22 Mataram 844 2,137 503 3,484

23 Kupang 74 98 35 207

24 Ambon 91 133 27 251

25 Jayapura 280 571 25 876

26 Banten 865 1,657 238 2,760

27 Bangka Belitung 293 672 25 990

28 Gorontalo 184 412 95 691

29 Maluku Utara 191 230 44 465

Jumlah

72,759 124,079

20,246

217,084 196,838

265

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah

Agung RI. Tahun 2007.

Page 288: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

266

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN

PERKARA LAIN YANG DITERIMA YURISDIKSI MAHKAMAH

SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA

SYAR’IYAH ACEH / PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH

INDONESIA TAHUN 2008

NO MSY.A/PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 Aceh 855 1,863 1,566 4,284

2 Medan 1,598 3,453 610 5,661

3 Padang 1,416 2.650 1,341 5,407

4 Pekanbaru 1,812 4,100 595 6,507

5 Jambi 547 1,535 201 2,283

6 Palembang 1,269 2,628 287 4,184

7 Bengkulu 435 842 76 1,354

8 Bandar Lampung 728 1,746 179 2,653

9 Jakarta 2,242 4,648 776 7,666

10 Bandung 14,159 21,521 4,564 40,244

11 Semarang 16,943 33:380 1,842 52,165

12 Yogyakarta 1,170 2,361 348 3,879

13 Surabaya 24,893 39,523 4,638 69,054

14 Banjarmasin 907 2,965 706 4,578

15 Palangkaraya 310 877 118 1,305

16 Pontianak 636 1,610 259 2,505

17 Samarinda 1,300 3,050 1,555 5,905

18 Makassar 1,931 5,279 1,939 9,149

19 Palu 535 1,124 131 1,790

20 Kendari 390 727 113 1,230

21 Manado 209 429 44 682

22 Mataram 1,097 2,573 728 4,398

23 Kupang 81 143 82 306

24 Ambon 103 168 65 336

25 Jayapura 303 658 28 989

26 Banten 1,103 2,252 523 3,878

27 Bangka Belitung 381 935 55 1,371

28 Gorontalo 193 443 81 717

29 Maluku Utara 226 264 53 543

Jumlah

77,773 143,747

23,503

245,023

221,520

266

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah

Agung RI. Tahun 2008.

Page 289: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

267

TABEL III

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG DITERIMA

YURISDIKSI MAHKAMAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA

TAHUN 2009

NO PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 Aceh 851 2,117 1,517 4,485

2 Medan 1,779 4,107 596 6,482

3 Padang 1,496 2,879 1,150 5,525

4 Pekanbaru 2,117 4,953 877 7,947

5 Jambi 647 1,719 171 2,537

6 Palembang 1,292 3,062 246 4,600

7 Bangka Belitung 398 1,077 48 1,523

8 Bengkulu 415 942 88 1,445

9 Bandar Lampung 843 2,203 148 3,194

10 Jakarta 2,721 5,422 715 8,858

11 Banten 1,371 3,140 890 5,401

12 Bandung 15,033 27,874 4,607 47,514

13 Semarang 19,423 38,531 2,366 60,320

14 Yogyakarta 1,368 2,750 487 4,605

15 Surabaya 27,548 46,220 5,337 79,105

16 Pontianak 699 1,955 298 2,952

17 Palangkaraya 356 1,087 136 1,579

18 Banjarmasin 1,113 3,529 822 5,464

19 Samarinda 1,397 3,515 1,368 6,280

20 Manado 209 549 43 801

21 Gorontalo 184 543 88 815

22 Palu 558 1,198 111 1,867

23 Kendari 435 902 110 1,447

24 Makassar 2,175 6,430 1,776 10,381

25 Mataram 1,323 3,320 2,411 7,054

26 Kupang 79 138 50 267

27 Ambon 132 254 134 520

28 Maluku Utara 227 277 58 562

29 Jayapura 403 784 32 1,219

Jumlah

86,592 171,477

26,680

284,749 258,069

267

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah

Agung RI. Tahun 2009.

Page 290: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

268

Dari data-data yang telah disebutkan di atas, nampak jelas bahwa Undang-

Undang No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan mempunyai pengaruh

terhadap NTCR, khususnya terhadap perceraian cerai gugat dari istri. Hal ini

dapat di lihat pada data dari tahun 2000 sampai dengan 2009 tentang perceraian

dari seluruh daerah di Indonesia yang dilaporkan oleh Pengadilan Tinggi Agama

ke Departemen Agama RI dan ke Mahkamah Agung setiap tahun dengan

perbandingan cerai talak dan cerai gugat (khulu’) dan lainya sebagai berikut :

DATA YANG DITERIMA MAHKAMAH AGUNG

DARI TAHUN 2000 S/D 2009

NO TAHUN CERAI

TALAK

CERAI

GUGAT

(KHULU’)

PERKARA

LAIN JUMLAH

1 2000 71.121 90.551 8.176 169.848

2 2001 69.767 93.166 8.402 171.335

3 2002 64.165 94.475 7.848 166.488

4 2003 58.225 88.968 7.331 154.524

5 2004 59.930 97.472 7.864 165.266

6 2005 62.437 103.383 9.313 175.133

7 2006 62.602 104.965 13.510 181.077

8 2007 72.759 124.079 20.246 217.084

9 2008 77.773 143.747 23.503 245.023

10 2009 86.592 171.477 26.680 284.749

JUMLAH 685.371 1112.583 132.873 1930.527

Sumber: 1. Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama

RI. Tahun 2000 – 2005.

2. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,

Mahkamah Agung RI. Tahun 2006 – 2009.

Page 291: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

269

Dari tabel di atas nampak, bahwa dari 1930.527 kasus perceraian yang

terjadi di seluruh tanah air yang diterima oleh Mahkamah Agung dari Pengadilan

Tinggi se Indonesia dari tahun 2000 s/d 2009, perceraian karena cerai gugat dari

istri (khulu’) paling tinggi, yaitu 1112.583. sedangkan cerai talak hanya 685.371

yang paling rendah adalah perceraian karena perkara lain, seperti karena fasakh,

suami mafqud, murtad dan lain-lain hanya 132.873.

Perceraian karena cerai gugat (khulu’) dari istri semakin meningkat dari

tahun ke tahun sejak tahun 2000 s/d 2009, adalah merupakan dampak dari adanya

UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan. Dalam UU No. 1 tahun 1974

dan KHI tersebut telah dicantumkan apa saja hak dan kewajiban istri terhadap

suami. Istri telah melaksanakan kewajibannya, sementara suami tidak

melaksanakan kewajibannya terhadap istri. Dalam UU perkawinan dan KHI

tersebut telah dicantumkan pula prosedur dan tata cara pengajuan cerai ke

Pengadilan Agama, ini membuat para istri yang merasa di zalimi oleh semua, baik

karena tidak diberi nafkah, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan lain-lain,

dengan mudah mengajukan gugat cerai ke Pengadilan, yang selama ini banyak

perempuan yang tidak mengetahuinya, karena menurutnya, hanya suamilah yang

boleh melakukan gugatan perceraian melalui talak.

Dari perkara-perkara/data-data perceraian yang diterima Mahkamah

Agung yang telah disebutkan di atas, dari tahun 2000 s/d 2009, baru sebagian

diputuskan oleh Pengadilan, dengan rincian sebagai berikut :

Page 292: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

270

PERKARA DIPUTUS

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN

YANG DIPUTUS PENGADILAN AGAMA

YURISDIKSI PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA

TAHUN 2000

NO PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 Banda Aceh 343 570 289 1,202

2 Medan 651 1.375 424 2.450

3 Padang 762 1,247 399 2,408

4 Pekanbaru 761 1,639 362 2,762

5 Jambi 287 627 92 1,006

6 Palembang 786 1,711 361 2,858

7 Bengkulu 247 570 118 935

8 Bandar Lampung 376 888 157 1,421

9 Jakarta 1,198 2,444 384 4,026

10 Bandung 18,494 11,375 3,217 33,086

11 Semarang 14,865 22,465 3,051 40,381

12 Yogyakarta 847 1,312 190 2,349

13 Surabaya 19,963 24,797 2,944 47,704

14 Banjarmasin 467 1,586 267 2,320

15 Palangkaraya 194 514 23 731

16 Pontianak 288 666 85 1,039

17 Samarinda 461 1,228 307 1,996

18 Ujung Pandang 1,036 2,947 619 4,602

19 Palu 281 576 96 953

20 Kendari 204 435 140 779

21 Manado 217 483 133 833

22 Mataram 614 1,796 460 2,870

23 Kupang 41 79 29 149

24 Ambon 218 247 50 515

25 Jayapura 144 287 46 477

Jumlah

63,745 81,864

14,243

159,852 145,609

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2000.

Page 293: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

271

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN

YANG DIPUTUS PENGADILAN AGAMA

YURISDIKSI PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA

TAHUN 2001

NO PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 Banda Aceh 240 375 233 848

2 Medan 684 1,372 447 2,503

3 Padang 712 1 ,302 519 2,533

4 Pekanbaru 761 1 ,723 371 2,855

5 Jambi 248 698 119 1,065

6 Palembang 724 1,716 310 2,750

7 Bengkulu 208 459 108 775

8 Bandar Lampung 341 827 116 1,284

9 Jakarta 1,259 2,592 477 4,328

10 Bandung 17,077 11,620 3,335 32,032

11 Semarang 14,588 23,118 2,978 40,684

12 Yogyakarta 864 1,345 235 2,444

13 Surabaya 19,724 25,365 2,676 47,765

14 Banjarmasin 486 1,554 319 2,359

15 Palangkaraya 158 358 48 564

16 Pontianak 234 718 138 1,090

17 Samarinda 453 1,162 356 1,971

18 Ujung Pandang 1,089 3,083 701 4,873

19 Palu 288 595 73 956

20 Kendari 218 456 128 802

21 Manado 237 467 109 813

22 Mataram 623 1,910 452 2,985

23 Kupang 47 60 32 139

24 Ambon 263 251 63 577

25 Jayapura 67 193 44 304

Jumlah

61,593 83,319

14,387

159,299 144,912

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2001.

Page 294: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

272

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN

YANG DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA

TAHUN 2002

NO PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 Banda Aceh 339 576 474 1.389

2 Medan 703 1.499 419 2.621

3 Padang 707 1.309 335 2.351

4 Pekanbaru 761 1.730 -347 2.838

5 Jambi 240 669 100 1.009

6 Palembang 711 1.683 262 2.656

7 Bengkulu 207 463 92 762

8 Bandar Lampung 324 893 194 1.411

9 Jakarta 1.163 2.588 446 4.197

10 Bandung 15.476 12.586 2.758 30.820

11 Semarang 13.336 23.090 2.740 39.166

12 Yogyakarta 785 1.423 268 2.476

13 Surabaya 19.170 26.203 2.641 48.014

14 Banjarmasin 469 1.520 278 2.267

15 Palangkaraya 117 407 33 557

16 Pontianak 292 671 136 1.099

17 Samarinda 476 1.190 408 2.074

18 Ujung Pandang 1.107 3.158 566 4.831

19 Palu 272 579 114 965

20 Kendari 200 446 125 771

21 Manado 231 490 122 843

22 Mataram 594 1.815 462 2.871

23 Kupang 39 58 34 131

24 Ambon 285 315 28 628

25 Jayapura 149 376 59 584

Jumlah

58.153 85.737

13.441

157.331 143.89

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2002.

Page 295: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

273

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN

YANG DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA

TAHUN 2003

NO

MAHKAMAH

SYAR’IYAH

PROP./PTA

CERAI CERAI PERKARA JUMLAH KET.

TALAK GUGAT LAIN

1 Banda Aceh 291 617 533 1.441

2 Medan 788 1.587 364 2.739

3 Padang 770 1.260 372 2.402

4 Pekanbaru 785 1.908 294 2.987

5 Jambi 228 763 104 1.095

6 Palembang 700 1.667 272 2.639

7 Bengkulu 243 441 66 750

8 Bandar Lampung 307 865 148 1.320

9 Jakarta 1.203 2.532 395 4.130

10 Bandung 13.675 12.430 2.314 28.419

11 Semarang 12.073 20.837 2.322 35.232

12 Yogyakarta 748 1.326 247 2.321

13 Surabaya 16.524 23.867 2.582 42.973

14 Banjarmasin 400 1.564 300 2.264

15 Palangkaraya 126 397 55 578

16 Pontianak 263 729 207 1.199

17 Samarinda 529 1.420 410 2.359

18 Ujung Pandang 1.063 2.942 563 4.568

19 Palu 236 540 87 863

20 Kendari 163 434 113 710

21 Manado 236 434 76 746

22 Mataram 578 1.651 341 2.570 :

23 Kupang 41 64 14 119

24 Ambon 216 287 37 540

25 Jayapura 174 384 71 629

Jumlah

52.360 80.946

12.287

145.593 133.306

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2003.

Page 296: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

274

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN

YANG DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA

TAHUN 2004

NO

MAHKAMAH

SYAR’IYAH

PROP./PTA

CERAI CERAI PERKARA JUMLAH KET.

TALAK GUGAT LAIN

1 Banda Aceh 442 910 580 1.932

2 Medan 767 1.780 490 3.037

3 Padang 810 1.395 427 2.632

4 Pekanbaru 863 2.141 336 3.340

5 Jambi 226 772 188 1.186

6 Palembang 726 1.831 306 2.863

7 Bengkulu 226 515 87 828

8 Bandar Lampung 299 916 141 1.356

9 Jakarta 1.357 2.810 492 4.659

10 Bandung 13.848 13.623 2.511 29.982

11 Semarang 12.033 22.087 2.337 36.457

12 Yogyakarta 773 1.479 257 2.509

13 Surabaya 16.902 25.871 2.481 45.254

14 Banjarmasin 444 1.650 292 2.386

15 Palangkaraya 124 434 55 613

16 Pontianak 283 771 202 1.261

17 Samarinda 633 1.502 560 2.695

18 Ujung Pandang 1.018 3.119 563 4.700

19 Palu 321 635 100 1.056

20 Kendari 189 417 88 694

21 Manado 220 536 85 841

22 Mataram 589 1.745 382 2.716

23 Kupang 33 77 18 128

24 Ambon 205 316 64 585

25 Jayapura 173 399 49 621

Jumlah

53.509 87,731

13.091

154.331 141.24

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2004.

Page 297: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

275

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN

YANG DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA

TAHUN 2005

NO

MAHKAMAH

SYAR’IYAH

PROP./PTA

CERAI CERAI PERKARA JUMLAH KET.

TALAK GUGAT LAIN

1 N.A.D 363 905 1.459 2.727

2 Medan 811 1.967 466 3.244

3 Padang 902 1.572 425 2.899

4 Pekanbaru 941 2.347 363 3.651

5 Jambi 296 893 95 1.284

6 Palembang 860 2.067 268 3.195

7 Bengkulu 261 518 102 881

8 Bandar Lampung 388 990 168 1.546

9 Jakarta 1.462 3.105 626 5.193

10 Bandung 13.415 15.139 2.346 30.900

11 Semarang 12.694 23.653 2.735 39.082

12 Yogyakarta 879 1.629 225 2.733

13 Surabaya 17.728 27.805 2.841 48.374

14 Banjarmasin 522 1.736 370 2.628

15 Palangkaraya 153 483 81 717

16 Pontianak 282 829 255 1.366

17 Samarinda 674 1.715 634 3.023

18 Ujung Pandang 1.093 3.081 549 4.723

19 Palu 304 725 80 1.109

20 Kendari 178 442 105 725

21 Manado 282 558 111 951

22 Mataram 598 1.869 397 2.864

23 Kupang 57 108 24 189

24 Ambon 210 307 59 576

25 Jayapura 183 416 63 662

Jumlah

55.536 94.859

14.847

165.242 150.395

Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI.

Tahun 2005.

Page 298: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

276

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN

YANG DIPUTUS MAHKAMAH SYAR’IYAH/PENGADILAN AGAMA

YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA TAHUN 2006

NO PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 N.A.D 534 1,224 1,731 3,489

2 Medan 963 1,981 540 3,484

3 Padang 991 1,544 523 3,058

4 Pekanbaru 938 2,224 370 3,532

5 Jambi 356 870 179 1,405

6 Palembang 783 1,567 225 2,575

7 Bengkulu 246 523 120 889

8 Bandar Lampung 428 1,091 232 1,751

9 Jakarta 1,564 3,049 617 5,230

10 Bandung 11,873 13,577 2,900 28,350

11 Semarang 12,499 23,496 2,633 38,628

12 Yogyakarta 849 1,528 234 2,611

13 Surabaya 17,351 27,370 4,512 49,233

14 Banjarmasin 551 1,746 338 2,635

15 Palangkaraya 145 489 71 705

16 Pontianak 218 805 353 1,376

17 Samarinda 682 1,803 929 3,414

18 Ujung Pandang 1,173 3,385 1,093 5,651

19 Palu 297 682 83 1,062

20 Kendari 194 457 123 774

21 Manado 123 338 60 521

22 Mataram 560 1,685 514 2,759

23 Kupang 74 78 25 177

24 Ambon 94 174 69 337

25 Jayapura 180 458 79 717

26 Banten 523 1,175 213 1,911

27 Bangka Belitung 194 521 54 769

28 Gorontalo 113 215 50 408

29 Maluku Utara 119 190 47 356

Jumlah

54,645 94,245

18,917

167,807 148,890

Sumber : Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI.

Tahun 2006.

Page 299: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

277

TABEL III. A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG DIPUTUS

YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR’IYAH PROPINSI/

PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA TAHUN 2007

NO PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 Banda Aceh 685 1,368 2,269 4,322

2 Medan 1,096 2,213 1,061 4,370

3 Padang 1,070 1,769 1,058 3,897

4 Pekanbaru 1,141 2,584 916 4,641

5 Jambi 361 927 348 1,636

6 Palembang 846 1,942 557 3,345

7 Bengkulu 281 592 220 1,093

8 Bandar Lampung 514 1,184 390 2,088

9 Jakarta 1,673 3,013 1,277 5,963

10 Bandung 11,900 14,604 5,306 31,810

11 Semarang 18,390 34,629 7,284 60,303

12 Yogyakarta 994 1,784 418 3,196

13 Surabaya 18,474 29,259 7,539 55,272

14 Banjarmasin 594 1,983 846 3,423

15 Palangkaraya 190 527 141 858

16 Pontianak 426 1,099 460 1,985

17 Samarinda 887 1,883 1,779 4,549

18 Ujung Pandang 1,377 3,613 2,676 7,666

19 Palu 397 753 240 1,390

20 Kendari 231 523 259 1,013

21 Manado 188 381 110 679

22 Mataram 699 1,782 931 3,412

23 Kupang 65 72 71 208

24 Ambon 84 123 74 281

25 Jayapura 247 492 167 906

26 Banten 770 1,378 292 2,440

27 Bangka Belitung 232 560 79 871

28 Gorontalo 163 363 169 695

29 Maluku Utara 154 I 184 115 453

Jumlah

64,129 111,584

37,052

212,765 175,713

Sumber : Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI.

Tahun 2007.

Page 300: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

278

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN

PERKARA LAIN YANG DIPUTUS MAHKAMAH

SYAR’IYAH ACEH / PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH

INDONESIA TAHUN 2008

NO PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 Banda Aceh 765 1,598 2,043 4,406

2 Medan 1,320 2,867 1,320 5,507

3 Padang 1,186 2,278 1,850 5,314

4 Pekanbaru 1,430 3,405 1,384 6,219

5 Jambi 468 1,340 419 2,227

6 Palembang 1,013 2,142 830 3,985

7 Bengkulu 381 735 273 1,389

8 Bandar Lampung 631 1,575 382 2,588

9 Jakarta 1,840 3,776 1,783 7,399

10 Bandung 12,810 19,195 7,034 39,039

11 Semarang 14,398 29,161 6,061 49,620

12 Yogyakarta 1,106 2,103 613 3,822

13 Surabaya 21,839 35,726 9,128 66,693

14 Banjarmasin 781 2,597 1,031 4,409

15 Palangkaraya 273 763 249 1,285

16 Pontianak 487 1,360 607 2,454

17 Samarinda 988 2.467 2,357 5,812

18 Ujung Pandang 1,576 4,694 2,695 8,965

19 Palu 463 999 295 1,757

20 Kendari 324 610 292 1,226

21 Manado 167 375 134 676

22 Mataram 880 2,110 1,261 4,251

23 Kupang 62 115 124 301

24 Ambon 81 138 100 319

25 Jayapura 219 495 223 937

26 Banten 974 2,017 877 3,868

27 Bangka Belitung 339 823 240 1,402

28 Gorontalo 148 384 172 704

29 Maluku Utara 175 217 165 557

Jumlah

67,124 126,065

43,942

237,131 193,189

Sumber : Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI.

Tahun 2008.

Page 301: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

279

TABEL III.A

DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG DIPUTUS

YURISDIKSI MAHKAMAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA

SELURUH INDONESIA

TAHUN 2009

NO MSY. PRO/PTA CERAI CERAI PERKARA

JUMLAH KET. TALAK GUGAT LAIN

1 Banda Aceh 711 1,754 1,558 4,023

2 Medan 1,428 3,417 952 5,797

3 Padang 1,290 2,517 1,211 5,018

4 Pekanbaru 1,723 4,111 1,194 7,028

5 Jambi 529 1,507 235 2,271

6 Palembang 1,023 2,583 488 4,094

7 Bengkulu 326 867 137 1,330

8 Bandar Lampung 337 783 137 1,257

9 Jakarta 722 1,903 270 2,895

10 Bandung 2,143 4,557 1,153 7,853

11 Semarang 1,115 2,558 1,060 4,733

12 Yogyakarta 13,642 24,538 5,460 43,640

13 Surabaya 16,481 33,745 4,339 54,565

14 Banjarmasin 1,191 2,392 515 4,098

15 Palangkaraya 24,053 41,281 6,897 72,231

16 Pontianak 547 1,624 403 2,574

17 Samarinda 277 933 194 1,404

18 Ujung Pandang 946 3,220 888 5,054

19 Palu 1,071 2,962 1,592 5,625

20 Kendari 173 436 86 695

21 Manado 127 437 129 693

22 Mataram 429 1,035 156 1,620

23 Kupang 349 709 193 1,251

24 Ambon 1,771 5,521 2,191 9,483

25 Jayapura 1,096 2,670 2,565 6,331

26 Banten 54 134 52 240

27 Bangka Belitung 100 198 153 451

28 Gorontalo 190 224 90 504

29 Maluku Utara 287 624 129 1,040

Jumlah

74,131 149,240

34,427

257,798 223,371

Sumber : Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI.

Tahun 2009.

Page 302: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

280

Dari perkara-perkara/data-data gugatan perceraian seluruh Indonesia yang

telah diputus dari tahun 2000 s/d 2009 yang diterima oleh Mahkamah Agung,

ternyata ada juga gugatan perceraian yang diputus oleh Pengadilan Negeri, bahkan

ditemukan juga datanya sejak 1999, dengan perbandingan sebagai berikut :

DATA PERKARA CERAI YANG DIPUTUS

TAHUN 2000 - 2009

TAHUN

PERKARA PERKARA CERAI

DIPUTUS PN CERAI

DIPUTUS PA

1999 — 3.431

2000 145.609 3.539

2001 144.912 3.877

2002 143.890 3.842

2003 133.306 3.361

2004 141.24 2.514

2005 150.395 2.674

2006 148.89 2.606

2007 175.088 3.645

2008 193.189 4.404

2009 223.371 5.285

Sumber: 1. Laporan Tahunan Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama

RI. Tahun 2000 – 2005.

2. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,

Mahkamah Agung RI. Tahun 2006 – 2009.

Adapun data gugatan perceraian yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri

yang disebutkan di atas adalah gugatan perceraian yang dilakukan / diajukan oleh

warga Indonesia non muslim.

Page 303: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

281

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hukum Fikih Islam tentang Perkawinan (Fiqh Munakahat) dapat diterima

menjadi Hukum Nasional, karena sesuai dengan keyakinan umat Islam

dan budaya Indonesia yang secara yuridis formal dan secara normatif telah

menjadi hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Hukum Islam

dan Hukum Adat yang berlaku dalam masyarakat muslim di Indonesia

telah menyatu, sehingga tidak dapat lagi dibedakan. Kehidupan

masyarakat muslim senantiasa berada dalam garis-garis Hukum Islam,

seperti dalam masalah perkawinan dan berkeluarga, perekonomian dan

muamalat serta dalam hubungan sosial lainnya.

2. Adapun Hukum Perkawinan Islam (Fiqh Munakahat) yang telah diadopsi

dalam Hukum Nasional adalah sebagai berikut :

Hukum Perkawinan Islam dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan meliputi sekitar dasar dan hukum Perkawinan, hukum

poligami dan syarat-syaratnya, syarat-syarat perkawinan, perkawinan yang

dilarang (yang disebabkan karena berhubungan darah, atau susuan, atau

karena perkawinan), masa ‘iddah (masa tunggu) bagi wanita yang dicerai,

perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri, harta benda dalam

parkawinan, putusnya perkawinan dan akibatnya yang meliputi masalah

talak, fasakh, khulu, dan li’an, kedudukan anak dari hasil perkawinan

yang sah dan dari luar perkawinan, hak dan kewajiban antara orang tua

dan anak serta Perwalian.

Sedangkan Hukum Perkawinan Islam dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) Buku I Tentang Perkawinan, meliputi sekitar dasar-dasar

Perkawinan dan hukumnya, peminangan, rukun dan syarat perkawinan,

mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, kawin hamil, beristri lebih

dari satu orang (poligami), batalnya perkawinan, hak dan kewjiban suami-

istri, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian,

akibat terputusnya perkawinan, rujuk dan masa berkabung.

Page 304: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

282

Semua materi UU No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam

(KHI) tentang perkawinan adalah materi dan prinsip-prinsip Fiqh

Munakahat (Hukum perkawinan Islam), walaupun belum semua materi

Fiqh Munakahat dan prinsip-prinsipnya masuk di dalamnya. Maka

dengan ini jelas bahwa Hukum perkawinan Islam (Fikih Islam tentang

Munakahat) telah diadopsi dalam Sistem Hukum Nasional.

3. UU No. 1 tahun 1974 dan KHI Buku I tentang Perkawinan mempunyai

keunggulan dan kelemahan.

a. Keunggulan

1). Dengan diadopsinya Hukum Perkawinan Islam dalam UU No. 1

tahun 1974 tentang Perkawinan, berarti Hukum Perkawinan Islam

(Fiqh Munakahat) sudah menjadi Hukum Nasional. Dengan

demikian UU Perkawinan ini telah mengikat karena telah

tercantum dalam Lembaran Negara.

2). UU No. 1 tahun 1974 dan KHI Buku I tentang Perkawinan

melindungi dan mensejajarkan kedudukan suami dan istri dalam

rumah tangga, yang berbeda hanya dalam masalah yang bersifat

fungsional, karena kodrat dan perbedaan jenis kelamin masing-

masing. Dimana perbedaan fungsional itu, bukan sesuatu yang

bertentangan, tetapi untuk saling melengkapi dan bantu-membantu

dalam suatu rumah tangga atau suatu keluarga.

3). UU No. 1 tahun 1974 dan KHI Buku I tentang perkawinan merinci

dan mempertegas syarat-syarat dibolehkannya Poligami (Q.S An-

Nisa : 3), demi menjaga ketenangan dan kesejahteraan rumah

tangga, yang sering terjadi akibat poligami tersebut menelantarkan

istri dan anak-anak.

4). UU No.1 tahun 1974 dan KHI Buku I tentang Perkawinan

mempertegas kedudukan hukum harta kekayaan dalam

perkawinan (harta bersama), dan untuk melindungi hak

perempuan.

Page 305: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

283

5). Dalam KHI Buku I tentang perkawinan telah dimasukkan hukum dan

cara penyelesaian kasus perempuan hamil di luar nikah, yang mana

masalah ini sering terjadi pada masyarakat Indonesia, yang

memerlukan penyelesaian masalahnya.

6) Salah satu produk perundang-undangan yang diadopsi dari hukum

Islam dalam Hukum Nasional adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan.

7) Dengan terintegrasinya Hukum Perkawinan Islam ke dalam Hukum

Nasional, akan menjadi multi player effect. Bagi negara diuntungkan,

karena perundang-undangannya jadi berwibawa, ditaati dan dipatuhi

oleh warga negara dan bagi Islam, juga mendapat keuntungan, antara

lain :

a) Islam telah dapat memberikan kontribusi kepada Negara dalam

bidang pembangunan hukum, khususnya Hukum Perkawinan.

b) Dengan masuknya Hukum Islam (Shari’ah dan Hukum Fikih

Islam) kedalam Hukum Nasional menunjukkan keunggulan ajaran

Islam, bahwa ajaran Islam itu selalu aktual di setiap waktu dan

tempat (اإلسالم صالح لكل زمان ومكان)

c) Shari’ah atau Hukum Fikih Islam tentang perkawinan dapat

diterapkan kepada umat Islam melalui kekuasaan negara.

b. Kelemahan

1) Tidak ada pasal ketentuan umum yang memuat berbagai pengertian

istilah yang digunakan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

untuk memudahkan bagi orang mempedomaninya. Di samping itu,

belum semua masalah yang terkait dengan perkawinan tercantum di

dalamnya.

Page 306: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

284

2) Materi KHI Buku I tentang perkawinan banyak duplikasi dengan materi

yang telah diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,

walaupun ditemukan banyak hal-hal baru yang belum disebutkan dalam

UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Di samping itu, KHI tidak

memiliki kekuatan hukum (legally binding force), karena hanya

berdasarkan INPRES NO. 1 tahun 1991 sehingga belum dicantumkan

dalam lembaran Negara.

Juga dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 tentang

pembentukan peraturan perundang-undangan, Instruksi Presiden tidak

lagi tercantum dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Hal ini berdampak pada melemahnya kedudukan hukum materiil dalam

KHI yang ternyata masih dipergunakan oleh para Hakim Pada Badan

Peradilan Agama di Indonesia dan masyarakat yang memerlukannya.

3) Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI tentang

perkawinan belum dicantumkan sanksi pidana atas pelanggaran

terhadap ketentuan perkawinan, kecuali yang ada sebagian kecil saja.

4) Pengaturan ketentuan-ketentuan di bidang perkawinan yang terdapat

dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun

1975, masih bersifat umum, sehingga dipandang kurang memadai

sebagai hukum materiil bagi Peradilan Agama.

4. Dengan adanya UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan

mempunyai dampak dengan meningkatnya gugat cerai istri (khulu’), karena

para istri pada umumnya sudah mengetahui hak-haknya dalam perkawinan,

sehingga jika tidak dipenuhi oleh suami, sedangkan istri itu tidak sabar,

apalagi dengan terjadinya KDRT, maka ia mengajukan gugat cerai ke

Pengadilan.

Page 307: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

285

B. Rekomendasi

1. Berhubung karena UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan belum

lengkap dan KHI baru berstatus INPRES No. I Tahun 1991, yang telah

menjadi pedoman para Hakim di Pengadilan Agama se Indonesia dalam

memeriksa dan memutuskan perkara yang berkaitan dengan perkawinan,

maka hendaklah pemerintah segera mengesahkan RUU Hukum Materiil

Peradilan Agama (HMPA) bidang Perkawinan yang telah dikirim ke DPR

RI agar menjadi undang-undang untuk melengkapi undang-undang No.

1/1974 tentang Perkawinan.

2. Menghimbau kepada DPR, bahwa sebelum menetapkan RUU HMPA

bidang Perkawinan menjadi undang-undang, terlebih dahulu mengundang

ORMAS-ORMAS Islam dan berbagai pihak yang dipandang perlu, agar

memberi masukan-masukan untuk kelengkapan RUU HMPA Bidang

Perkawinan itu dan hendaklah menyesuaikannya dengan ‘urf dan adat

kebiasaan yang telah berlaku di masyarakat Indoensia selama tidak

bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran dan

Hadis serta tujuan syariat Islam (مقاصد الشريعة).

Page 308: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

DAFTAR PUSTAKA

A. Al Quran Al Karim

B. Buku

Abady, Muhammad bin Ya’qub Fairuz, al Qamus al Muhit, (Bairut: Dar al Fikr, 1995)

Abduh, Muhammad, Tafsir al-Manar, (al-Qahirah: t.p., t.th) Abdullah, Abdul Ghani, Badan Hukum Syarak Kesultanan Bima, (Jakarta:

Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, 1987). ................, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,

(Jakarta: Gema Insani Press, 1994).

Abidin, Ibnu, Hashiyah Radd al Muhtar ‘ala al Durr al Mukhtar, Sharh Tanwir al Absar, (Mesir : Mustafa al Baby al Halaby, 1386 H / 1966 M)

Abu Shuqqah, Abd. Hakim, Tahrir al Mar’ah Fi Asri al Risalah, (Kuwait:

Dar al Qalam, t.th). Abu Zahrah, Muhammad, al Ahwal al-Shakhsiyyah, (al-Qahirah: Dar al Fikr

al ‘Araby) Adams, Lewis Mulfored, dkk. (ed), Webster Shari’ah Word University

Dixtionary, (Washington DC : Publisher Company Inc, 1965). AF, Hasanuddin, et.el., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Percetakan Pustaka

Al-Husna Baru dan UIN Jakarta Press, 2004) Ahmad, Amrullah dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum

Nasional; Mengenang 65 Tahun Prof. DR. H. Busthanul Arifin, SH, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

Ali, Abdullah Yusuf, Al Quran Terjemah dan Tafsirnya, Terj. Ali Audah,

(Jakarta: pustaka Firdaus, 1993). Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata

Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 2005) ..............., Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002)

286

Page 309: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

287

..............., Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1990)

Arifin, Busthanul, Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah,

Hambatan dan Prospeknya,(Jakarta : Gema Insani Press, 1996)

..............., Laporan Tentang Pelaksanaan KHI, (Makalah), 1987

Aripin, Jaenal, Reformasi Hukum di Indonesia dan Inplikasinya Terhadap

Peradilan Agama, (Desertasi SPS UIN Jakarta, 1428 H/2007M)

Arnold, T.W., The Preaching of Islam; A History of Propagethom of the

Muslim Faith. (London; Constable, 1913)

‘Arabiyyah, Al, Majma’ al-Lughah, al Mu’jam al Wasit, (Mesir: Dar al Ma’arif, 1392 H/1972 M)

Asad, Muhammad, The Message of The Qur’an, (Giblartar: Dar al Andalus,

1980)

Ash’ath, Al, Sulaiman, Sunan Abi Daud, (t.t., t.p., t.th.)

Athir, Ibnu, Nihayah fi Gharib al Hadith wa al Athar, (t.t. : Dar al Fikr, 1979).

‘Audah, Abd. Qadir, al Tashri’ al Jina’i al Islami, (al Qahirah: Maktabah Dar

al Turath, t.th).

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

Abad XVII dan XVIII, (Bandung : Penerbit Mizan, 1994)

................, The Indonesian Marriage Law of 1974 An Institutionalization of

The Shari’a for Social Changes, in Shari’a and Politic in Modern

Indonesia, (Singapore : ISEAS, 2003).

Bahy, Al, Muhammad, al-Islam wa Hijab al-Mar’ah al-Mu’asirah, (Mesir:

Maktabah Wahbah, 1978)

Bakri, Hasbullah, Suatu Perbandingan Mengenai Penyiaran Kristen dan

Islam, (Jakarta : Bulan Bintang)

Basran, Masrain, Kompilasi Hukum Islam Mimbar Ulama, No. 105, Tahun X,

Mei 1986

Page 310: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

288

Basry, Hasan, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Utama,No. 104,

Tahun X April 1986)

Besant, Annie, the Life and Teachings of Muhammad, (Madras: t.p., 1932).

Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fikih, (Jakarta Prenada Media, 2003).

Bukhary, Al, Muhammad Ismail, Sahih al Bukhary, (al Qahirah: Tab’ah al

Sha’by wa al Fajalah, 1376)

Burhanuddin, Jajat, Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengalaman Islam

Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003)

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988)

Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT. Intermasa, 1996)

Dimyaty, Al, Muhammad Shata al Malibary, I’anah al Talibin, (t.t.: Dar

Ihya’ al Kutub al ‘Arabiyah, t.th.)

Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : Kencana Pernada

Media Group, 2006)

Djamil, Fathurrahman, Konsekwensi Perkawinan di bawah Tangan Terhadap

Anak dan harta Dalam Perspektif Hukum Islam, (Makalah yang di

sajikan pada diskusi ilmiah yang di selenggarakan oleh GTZ di

hotel Meridien, Jakarta, 2007)

Djuanda, Adhi, “Sifilis”, dalam Mawarli Harahap, ed., Penyakit Menular

Seksual, (Jakarta: PT. Gramedia, 1984).

Effendy, Bahtiar, Jalan Tengah Poliltik Islam, (Jakarta : Ushul Press, 2005).

FZ, Amak, Proses Pembentukan UU Perkawinan, (Bandung: Bulan Bintang,

t.th.).

Ghazali, Al, Muhammad, al Mustasfa Fi Ilm al Usul, (Bairut: Dar al Kutub al

Ilmiyyah, 1983).

Hajar, Ibnu, Al-Asqalany, Ibanah al Ahkam, (Bairut-Libnan : Dar al Fikr,

1424 H / 2004 M).

Hakim, Al, Al-Mustadrak, (Bairut, Dar Al-Kutub, Al-Ilmiyah, 1990).

Page 311: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

289

Hammam, Sharh Fath al Qadir, (t.t. : Mustafa al Baby al Halaby, 1970)

Harahap, Yahya, Informasi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi

Hukum Islam, Dalam Mimbar Hukum, No. 5 Tahun III, 1992. ..............., Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975)

Haris, Syamsuddin, PPP dan Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Widiasarana,

1991).

Haroen, Nasrun, Usul Fikih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001).

Hasan, Kamal, Modernisasi Indonesia Respon Cendekiawan Muslim, (Jakarta:

Suara Harian Studi Indonesia, 1987).

Hashry, Al, Ahmad, al Walayah wa al Wasayah Fi al Fiqh al Islamy: al

Ahwal al Shakhsiyyah, (Bairut: Dar al Jil, t.th).

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, (Jakarta : Tinta Mas,

1961)

Hosen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta : Pustaka

Firdaus, 2003)

Indonesia, Majlis Ulama, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,

(Jakarta: Depag RI, 2003) .

..............., Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI II, (Ponorogo: Panitia

Ijtima’, 2006)

..............., Hasil-hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se Indonesia III, (Padang

Panjang: Tim Materi Ijtima’ Ulama, 1430 H/2009 M)

..............., Ajaran Islam dan Penanggulangan Perkawinan Usia Muda,

(Jakarta: MUI, 1411 H/1991 M)

Jaziry Al, Abd. Rahman, Kitab al Fiqh ‘Ala al Madhahib al Arba’ah, (t.t : Dar

Ihya’ al Turath al ‘Araby, 1986).

Jurjany, Al, al-Ta’rifat, (Bairut-Libnan: Dar al-Kutub al ‘Ilmiyah, 1424

H/2003 M).

Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Universitas Yarsi, 1999).

Page 312: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

290

Kashir, Ibnu, Tafsir Al-Quran al-Azim, (al-Qahirah : Maktabah al-

Taufiqiyah,t.t.)

Khallaf, Abd. Wahhab, Ilmu Usul al-Fiqh, (Kuwait, Dar al-Qalam, t.th),

Kuzari, Ahmad, Perkawinan sebagai Sebuah Perikatan, (Jakarta: Rajawali

Press, 1995)

Lukito, Ratno, Pergumulan Antara Hukum Alam dan Adat di Indonesia,

(Jakarta: INIS, 1998)

Madkur, Muhammad Salam, al Qada Fi al Islam, (al Qahirah: Dar al Nahdah

al ‘Arabiyyah, 1964).

Mahally, Al, Jalaluddin, Qalyuby Wa ‘Umairah, (Riyad: Dar Ihya al Kutub al

‘Arabiyah, t.th).

Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy

of Law and Religion, 1987).

Majah Ibnu, Muhammad Yazid, Sunan Ibnu Majah, (al Qahirah: Matba’ah

‘Isa al Baby al Halaby, t.th.).

Manan, Abd, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2006).

................, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Agama, (Jakarta: Yayasan al Hikmah, 2001).

Manzur, Ibnu, Lisan al- Arab, ( t.t., Dar al-Ma’arif, t.th).

Maraghy, Al Ahmad Mustafa, Tafsir al Maraghy, (Bairut: Dar al Fikr, 1365

H).

Mudzdhar, M. Atho’ dan Nasution, Khaeruddin, Hukum Keluarga di Dunia

Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003).

Munawwir, Al A.W, Kamus al-Munawwir, Arab-Indonesia, (Yogyakarta:

Pustaka Progressif, 1997).

Page 313: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

291

Munawy, Al, Muhammad Abd Rauf, Fath al-Qadir Sharh al-Jami’ al-Saghir

Min Ahadith Li Bashir an-Nadhir, (Bairut: Dar al-Kutub al-

Islamiyah, 1994 M/1415 H)

Muttaqien, Dadan, et. Al, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam

Dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta : UII Press, 1999).

Nasa’i, Al Ahmad Shua’ib, Sunan al Nasa’i, (al Qahirah Tab’ah Mustafa al

Baby al Halaby, 1384).

Natabaya, H.T.S., Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta

: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,

2006)

Nawawy, Al, Sharh Sahih Muslim, (Bairut: Dar Ihya al-Turath al-‘Araby,

1392 H)

..............., Riyadu al-Salihin, (Beirut: Dar al Fikr, 1414 H / 1994 M)

Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta : Grafiti

Pers.

Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di

Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006).

Peorwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1987).

Praja, Juhaya S, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya,

1991)

Prins, J, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Graha Indonesia, 1982)

Prodjohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta:

Indonesia Legal Center Publishing, 2002)

Qaradawy, Al, Yusuf, al Halal wa al Haram fi al Islam, (Bairut: al Maktabah

al Islamiyah li al Tiba’ah wa al Nashr, 1967)

Qattan, Al, Manna’ Khalil, al-Tashri’ wa al-Fiqh Fi al-Islam, (t.t., Maktabah

Wahbah, 1976).

Page 314: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

292

Qudamah, Ibnu, Al Mughny, (Al Riyad : Maktabah al Riyad al Hadithah,

t.th.).

Qushairy, Al, Muslim al Hajjaj, Sahih Muslim, (al Qahirah: Maktabah al

Jumhuriyah, t.th.).

Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, t.th), Z.A.

Noeh, Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam di Indonesia,

(Bandung: al-Ma’arif, 1980).

Rahman, Abd, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Akademika

Persindo, 1992).

Ramulyo, Mohamad Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari

Undang-Undang No. I Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,

(Jakarta: Bumi Aksara, 1996)

Rais, Isnawati, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Balitbang, 2006)

Ramulyo, Mohamad Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari

Undang-Undang No. I Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,

(Jakarta: Bumi Aksara, 1996)

RI, Depag, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga

dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya, (Jakarta :

Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001)

..............., Hukum dan Peradilan Agama, Sejarah Peradilan Agama, (Jakarta :

Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama,

1982),

..............., Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta

: CV. Ade Cahya, 1985)

..............., Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta

: Dirjen Bimbingan Islam Depag R.I., 1991/1992),

..............., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 2000)

..............., Al Qur’an dan Terjemahnya, (Saudi Arabia : Khadim al-Haramain al-Syarifain, t.th)

Rida, Muhammad Rashid, Tafsir al Manar, (Misr: al Haiah al Misriyah al ‘Ammah Li al Kitab, 1973)

Page 315: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

293

Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad al-Syaukani dan Relevansinya dengan

Pembaharuan Hukum di Indonesia, (Jakarta, Disertasi PPS IAIN Jakarta, 1998)

Rushd, Ibnu, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtasid, (al-Qahirah; Matba’ah al-Fajalah al-Jadidah, 1974 M / 1394 H).

SA, Ichtianto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia,

dalam Eddi Rudiana Arief, et.al, (Peny). Hukum Islam di Indonesia

: Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung : PT.Remaja Rosda

Karya, 1991).

Sabiq, Sayid, Al, Fiqh al Sunnah, (al Qahirah: Dar al Kitab al Islamy-Dar al

Hadith, t.th)

Saridjo, Marwan, Jabatan untuk umat. Kesaksian Kolega dan Para Sahabat, 70 tahun Kafrawi Ridwan, (Jakarta: Media Citra, 2002)

Sasroatmodjo, Arso dan Aulawi, A. Wasit, Hukum, Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).

Shafi’i, Al, Muhammad Idris, al-Umm, (Bairut-Libnan, Dar al-Fikr, 1400 H/1980 M)

..............., Ahkam Al-Quran, (Bairut-Libnan: Dar al Kutub al Islamiyyah, 1400

H/1980 M).

Shahrur, Muhammad, Al Kitab wa Al-Quran : Qira’ah Mu’asirah, (The Book

and the Qur’an Reading), (Damaskus : Dar al Ahaly, 1990), cet. II.

Shairazy, Al, al Muhadhdhab, (Semarang: Maktabah wa Matba’ah Taha Putra, t.th.).

Shaltut, Mahmud dan Sayis, Al, Ali, Perbandingan Mazhab dalam Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).

Shaltut, Mahmud, al Islam Aqidah wa Shari’ah, (al Qahirah: Dar al Qalam, 1966).

Shaukani, Imam, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2006)

Shaukany, Al, Muhammad Ali, Nail al Autar, (t.t.,: Maktabah al Taufiqiyyah,

t.th)

Shihab, M. Quraish, Pengantin al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007)

Page 316: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

294

Sjadzali, Munawir, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam,

(Yogyakarta: UII Press, 1999).

Sofyan, Yayan, Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistem Hukum

Nasional, (Jakarta: Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2007).

Subhan, Zaitunah, (editor), Membendung Liberalisme, (Jakarta : Republika, 2006).

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005).

Sukardja, Ahmad, Hukum Islam dan Sistem Masyarakat di Indonesia,

Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Islam dan Pranata Sosial,

(Serang: Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Djati Serang, 1977).

Suma, Amin, Transformasi Syari’ah ke Dalam Hukum Nasional di Indonesia,

Dalam Gagasan dan Pemikiran Tentang Pembaharuan Hukum

Nasional, (Jakarta: Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2004).

Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1986).

Sunny, Ismail, Hukum Islam Dalam hukum Nasional, (Jakarta : Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1989).

Supramono, Gatot, Segi-segi Hubungan Luar Nikah, (Jakarta : Djambatan, 1998)

Suyuty, Al, Jalaluddin, al Ashbah wa al Nazair, (Bairut-Libnan: Dar al Fikr,

1995 M/1415H)

..............., al Jami al Saghir, (Bairut-Libnan: Dar al Kutub al Islamiyah, t.th.)

Sabuny, Al, Muhammad Ali, Rawai al Bayan, Tafsir Ayat al Ahkam,

(Damshiq: Maktabah al Ghazaly, 1400 H/1980 M)

San’any, Al, Muhammad bin Ismail, Subul al-Salam, (al Qahirah: Dar

al Hadits, 2004 M/1425 H)

Taqiyuddin, Imam, Kifayah al Akhyar, (Bandung : al Ma’arif, t.th)

Tebba, Sudirman (ed), Perkembangan Kontemporer Hukum Islam di Asia

Tenggara, (Bandung: Mizan, 1993).

Tabary, Al, Muhammad Jarir, Jami’ al Bayan, (Bairut: Dar al Fikr, 1988).

Page 317: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

295

Thaba, Abd. Aziz, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta:

Gema Insani Press, 1999).

Thalib, Sayuti, Receptio a Contrario, (Jakarta: Bina Aksara, 1985).

Usman, Rachmadi, Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 2003)

Usman, Suparman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum

Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001)

Yanggo, Huzaimah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Logos, 1997)

..............., Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta : Mawardi Prima, 2001)

..............., Al-Qur’an Kitab suci Aktual Sepanjang Zaman, Dalam Jurnal Misykat, (Jakarta : Pasca Sarjana IIQ, 2008)

..............., Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung :

Penerbit Angkasa, 2005)

..............., Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Adelina, 2005)

Widiana, Wahyu, Aktualisasi KHI di Peradilan Agama dan Upaya menjadikannya sebagai Undang-Undang (Makalah), Jakarta

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 1994)

Zarqa, Al, Mustafa’ Ahmad, al-Fiqh al-Islamy Fi Thaubihi al-Jadid, (Bairut, Dar al-Fikr, 1968)

Zuhaily, Al, Wahbah, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al

Fikr, 1989)

Zuhdi, Masyfuk, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1990)

C. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, Wawancara dan lain-lain

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Depag RI, Himpunan peraturan Perundang-undangan Perkawinan, 2008.

Page 318: ADOPSI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48977... · 2019-12-30 · Yang ditulis oleh: Abdul Wahab Abd Muhaimin, NIM : 04.3.00.1.01.01.0001,

296

..............., Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tengang Perkawinan dan

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahum 1975, Serto Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 2004

.............., Laporan Tahunan Perkara Cerai Talak, Cerai Gugat dan Perkara lain, tahun 2000 – 2005.

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (MA) RI,

Laporan Tahunan Perkara Cerai Talak, Cerai gugat dan Perkara

Lain tahun 2006 – 2009

Risalah Sidang Pleno DPR RI, tanggal 17 September 1973, Pandangan Umum

Fraksi ABRI.

Surat Pernyataan Organisasi-Organisasi Wanita Terhadap Perkawinan Presiden Soekarno dengan Ny. Hartini.

Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT. Intermasa, 1996)

Surat Pernyataan Organisasi-Organisasi Wanita Terhadap Perkawinan Presiden Soekarno dengan Ny. Hartini.

Tim Pengarustamaan Gender, Pembaruan Hukum Islam CLD-KHI, (Jakarta :

Pengarustamaan Gender, 2004).

Tim Penyusun Naskah Akademik RUU HMPA, Naskah Akademik RUU

HMPA, (Jakarta: Depag RI, 2007)

Tim Penyusun Text Ilmu Fikih, Ilmu Fikih, (Jakarta: Direktorat Pembinaan

Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983)

Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan (Penyempurnaan) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Wawancara penulis dengan Drs. H. Sofyan Lahilote, SH, Hakim Pengadilan

Tinggi Agama Sulawesi Utara, yang berasal dari Gorontalo lewat telepon pada tanggal 31 Agustus 2008.