abstrak daftar isi bab i pendahuluanlatar belakang masalah sebelum berlakunya undang-undang nomor 1...

49
88 ABSTRAK KEKUATAN MENGIKAT AKTA NOTARIIL PERJANJIAN PERKAWINAN TERKAIT HARTA BERSAMA YANG DIBUAT PASCA PENCATATAN PERKAWINAN Pengaturan perjanjian kawin dijumpai pada Pasal 29 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan yang menetapkan, “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Namun demikian, terhadap kata “Pada waktu perkawinan dilangsungkan” dijumpai kekaburan norma apakah sebelum perkawinan atau dalam perkawinan. Berdasarkan hal tersebut di atas, menarik untuk diteliti persoalan pembuatan perjanjian kawin melalui akta notaris dalam perkawinan yang sedang berlangsung. Adapun permasalahannya adalah pertama, apakah yang menjadi ruang lingkup substansi dari pembuatan akta notariil perjanjian perkawinan pasca pencatatan perkawinan terkait pengaturan harta bersama? Kedua, bagaimanakah kekuatan mengikat akta notariil perjanjian perkawinan mengenai harta bersama yang dibuat pasca pencatatan perkawinan terhadap pihak ketiga yang terkait? Penelitian ini dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif yang berangkat dari kekaburan norma tentang kata-kata, “pada waktu perkawinan dilangsungkan”. Dengan demikian, jenis pendekatan yang diterapkan adalah pendekatan perundang-undangan, konsep hukum, dan penafsiran. Sumber bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Bahan hukum yang diperoleh kemudian diklasifikasikan dan dianalisis secara kualitatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pertama, ruang lingkup substansi dari pembuatan akta notariil perjanjian perkawinan pasca pencatatan perkawinan terkait pengaturan harta bersama adalah harta benda dari perkawinan itu sendiri yang terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Kedua, kekuatan mengikat akta notariil perjanjian perkawinan mengenai harta bersama yang dibuat pasca pencatatan perkawinan terhadap pihak ketiga yang terkait adalah apabila penetapan pengadilan tersebut langsung dibuatkan akta notariil perjanjian perkawinan dan dicatatkan ke kantor catatan sipil serta dilaporkan ke kantor dinas kependudukan setempat. Kata Kunci: Perjanjian Perkawinan, Pasca Pencatatan

Upload: others

Post on 26-Dec-2019

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

88

ABSTRAK

KEKUATAN MENGIKAT AKTA NOTARIIL PERJANJIAN PERKAWINAN TERKAIT HARTA BERSAMA YANG DIBUAT PASCA PENCATATAN

PERKAWINAN

Pengaturan perjanjian kawin dijumpai pada Pasal 29 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan yang menetapkan, “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Namun demikian, terhadap kata “Pada waktu perkawinan dilangsungkan” dijumpai kekaburan norma apakah sebelum perkawinan atau dalam perkawinan. Berdasarkan hal tersebut di atas, menarik untuk diteliti persoalan pembuatan perjanjian kawin melalui akta notaris dalam perkawinan yang sedang berlangsung. Adapun permasalahannya adalah pertama, apakah yang menjadi ruang lingkup substansi dari pembuatan akta notariil perjanjian perkawinan pasca pencatatan perkawinan terkait pengaturan harta bersama? Kedua, bagaimanakah kekuatan mengikat akta notariil perjanjian perkawinan mengenai harta bersama yang dibuat pasca pencatatan perkawinan terhadap pihak ketiga yang terkait?

Penelitian ini dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif yang berangkat dari kekaburan norma tentang kata-kata, “pada waktu perkawinan dilangsungkan”. Dengan demikian, jenis pendekatan yang diterapkan adalah pendekatan perundang-undangan, konsep hukum, dan penafsiran. Sumber bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Bahan hukum yang diperoleh kemudian diklasifikasikan dan dianalisis secara kualitatif.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pertama, ruang lingkup substansi dari pembuatan akta notariil perjanjian perkawinan pasca pencatatan perkawinan terkait pengaturan harta bersama adalah harta benda dari perkawinan itu sendiri yang terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Kedua, kekuatan mengikat akta notariil perjanjian perkawinan mengenai harta bersama yang dibuat pasca pencatatan perkawinan terhadap pihak ketiga yang terkait adalah apabila penetapan pengadilan tersebut langsung dibuatkan akta notariil perjanjian perkawinan dan dicatatkan ke kantor catatan sipil serta dilaporkan ke kantor dinas kependudukan setempat.

Kata Kunci: Perjanjian Perkawinan, Pasca Pencatatan

9

ABSTRACT

THE POWER OF BINDING AGREEMENT NOTARY DEED MARITAL PROPERTY RELATED JOINT MADE AFTER LISTING OF MARRIAGE

The arrangement agreement mate found in article 29 paragraph 1, “at the time or preceding marriage be held the two sides over a joint agreement may be able to a written agreement ratified by officials marriage registry, after which that is in it shall also apply to a third party along to a third party snagging.” However to words, “in the marriage be held” found vagueness norm do before marriage or in marriage. That causes the interpretation of when in the marriage be held, whether at a time after marriage be held in religious or when marriage has been liste according to the regulations.

Based on the foregoing, interesting to be researched the problem of making the agreement mate through a notarial deed in marriage the ongoing. As for the problem is first, what is scope the substance of certificate marriage notarial agreement post recording marriage associated with setting wealth? Second, how is binding power of certificate marriage notarial agreement about wealth a joint made recording marriage associated with a third party related?

This research is classified as research law normative departing from vagueness norm about words, “in the marriage be held”. Thus kind of approach that applied approach is legislation, the concept of law, and interpretation. A source of materials law which used is the law primary, secondary, and tertiary. Material law obtained then classified and analyzed by qualitatively.

The conclusion of research is: first, scope of substance of certificate marriage notarial agreement post recording marriage associated with setting wealth is property from marriage itself consisting of wealth together wealth default. Second, binding power of certificate marriage notarial agreement about wealth a joint made recording marriage associated with a third party related were the court order immediately certificate marriage notarial agreement and listed to the civil office registration and reported to the office of local population.

Keywords: Marital Agreements, Post Recording

xii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DEPAN

SAMPUL DALAM......................................................................................... i

PRASYARAT GELAR MAGISTER KENOTARIATAN ......................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI .......................................... iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... vi

ABSTRAK ...................................................................................................... viii

ABSTRACT ..................................................................................................... ix

RINGKASAN ................................................................................................. x

DAFTAR ISI................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah......................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................. 15

1.3. Orisinalitas Penelitian ............................................................ 16

1.4. Tujuan Penelitian ................................................................... 19

1.4.1. Tujuan Umum .............................................................. 20

1.4.2. Tujuan Khusus ............................................................. 20

1.5. Manfaat Penelitian ................................................................. 20

1.5.1. Manfaat Teoritis ........................................................... 20

13

xiii

1.5.2. Manfaat Praktis ............................................................ 21

1.6. Landasan Teoritis dan Konsep ............................................... 21

1.6.1. Landasan Teoritis ...................................................... 22

1.6.1.1. Hukum Progresif .......................................... 22

1.6.1.2. Teori Kepastian Hukum ............................... 23

1.6.1.3. Teori Nilai Dasar Hukum............................. 26

1.6.1.4. Teori Perlindungan Hukum.......................... 27

1.6.2. Konsep........................................................................ 28

1.7. Metode Penelitian....................................................................

32

1.7.1. Jenis Penelitian............................................................. 32

1.7.2. Jenis Pendekatan .......................................................... 33

1.7.3. Sumber Bahan Hukum ................................................. 34

1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................... 37

1.7.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum.......... 37

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PERKAWINAN ............................................................................. 41

2.1. Perkawinan ............................................................................. 41

2.1.1. Pengertian Perkawinan................................................. 41

2.1.2. Syarat Sahnya Perkawinan ........................................... 47

2.1.3. Tata Cara Perkawinan .................................................. 54

2.1.4. Akibat Perkawinan ....................................................... 55

2.2. Perjanjian Perkawinan............................................................ 61

2.2.1. Pengertian Perjanjian Perkawinan ............................... 61

14

2.2.2. Tujuan Perjanjian Perkawinan.................................... 77

2.2.3. Tata Cara Perjanjian Perkawinan Sebelum Pencatatan Perkawinan ............................................... 81

2.2.4. Tata Cara Perjanjian Perkawinan Pasca Pencatatan Perkawinan ................................................................. 87

2.3. Pencatatan Perkawinan........................................................... 90

NOTARIIL PERJANJIAN PERKAWINAN PASCA PENCATATAN PERKAWINAN ................................................ 99

3.1. Tata Cara Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Pencatatan Perkawinan Secara Notariil ................................. 99

4.3. Kekuatan Mengikat Akta Notariil Perjanjian PerkawinanPasca Pencatatan Perkawinan Secara Perdata ..... 186

2.3.1. Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang

Perkawinan .................................................................90

2.3.2. Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang

Administrasi Kependudukan ......................................94

2.3.3. PencatatanPerkawinanyang Tidak Dapat Dibuktikan dengan Akta Perkawinan ............................................

96

BAB RUANG LINGKUP DAN SUBSTANSI AKTA

3.2. Bentuk Perjanjian Perkawinan Pasca Pencatatan

Perkawinan Secara 150

3.3. Isi Perjanjian Perkawinan Pasca Pencatatan Perkawinan

Secara 152

BAB IV

KEKUATAN MENGIKAT AKTA NOTARIIL PERJANJIAN PERKAWINAN PASCA PENCATATAN PERKAWINAN .............................................................................

162

4.1. Kedudukan Akta Notariil Perjanjian Perkawinan Pasca

Pencatatan Perkawinan dari Jenis Akta-162

4.2. Kekuatan Mengikat Akta Notariil Perjanjian Perkawinan Pasca Pencatatan Perkawinan dari Jenis A k t a - a k t a n y a S e c a r a 16

6

15

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 261

LAMPIRAN.................................................................................................... 269

4.4. Analisis Kasus Putusan Pengadilan Negeri ...........................

196

BABV

PENUTUP ......................................................................................

259

5.1. Kesimpulan ............................................................................

259

5.2. Saran.......................................................................................

260

16

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3019 (selanjutnya ditulis UU Perkawinan), bangsa Indonesia

sudah mengenal pemberlakuan hukum secara plural yang diterapkan berdasarkan

golongan penduduk. Artinya sistem Hukum Perdata yang berlaku itu terdiri dari

berbagai macam ketentuan dimana setiap penduduk mempunyai sistem hukumnya

masing-masing, seperti hukum adat, hukum Islam, hukum perdata barat dan

sebagainya.1

Pada masa pemerintahan kolonial menerapkan kebijakan penggolongan

penduduk atas 3 (tiga) golongan sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan

Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS), yaitu: golongan penduduk Eropa,

golongan Pribumi dan golongan penduduk Timur Asing Tionghoa yang masing-

masing dibedakan perlakuan status perdatanya sedangkan mengenai hukum yang

berlaku atas masing-masing golongan tersebut diatur dalam Pasal 131 Indische

Staatsregeling (IS). Di Indonesia, aturan mengenai perkawinan tidak saja

dipengaruhi adat setempat, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai macam ajaran

agama, seperti agama Hindu, Budha, Kristen serta agama Islam.2

1Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, hal. 3-4. 2Martiman Prodjohamidjojo, 2004, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan, Jakarta:

PT. Indonesia Legal Center Publishing, hal. 19.

1

17

2

Ketentuan hukum yang beragam tersebut berlaku terhadap permasalahan

perdata (hukum perdata) pada umumnya, kecuali golongan Indonesia asli non

Kristen, dirangkum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya

disebut KUH Perdata) yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek

(BW). Salah satu ketentuan yang hingga kini masih berlaku adalah yang

berkenaan dengan pengaturan harta dalam perkawinan. Perkawinan merupakan

institusi yang sangat penting dalam masyarakat karena melegalkan hubungan

hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita.3

Sehubungan dengan pengertian perkawinan, Pasal 1 UU Perkawinan

menyatakan bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki 2

(dua) aspek penting, yaitu:

1) Aspek formil (hukum) dapat dilihat dari kata-kata “ikatan lahir batin”,

artinya perkawinan tersebut mempunyai nilai ikatan secara lahir yang

tampak dan ikatan secara batin yang dapat dirasakan oleh yang

bersangkutan dan ikatan batin inilah yang merupakan inti dari perkawinan

itu.

2) Aspek sosial religius dapat dilihat dari kata-kata ”membentuk keluarga”

dan berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, artinya perkawinan

3Salim H.S., 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika,

(selanjutnya disebut Salim H.S. I), hal. 61.

3

mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, baik jasmani

dan rohani yang bersangkutan.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan, “Perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu.” Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, “Tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pasal

2 ayat (1) dan ayat (2) di atas menunjukkan adanya pemisahan dalam penulisan

sehingga memberikan peluang terjadinya beberapa penafsiran terhadap sahnya

suatu perkawinan.

Dalam UU Perkawinan untuk sahnya suatu perkawinan itu tidak saja

dipandang dari segi hukum keperdataan saja melainkan juga harus memberikan

legalitas dari segi hukum agama dan kepercayaan masing-masing calon suami

isteri yang akan melangsungkan perkawinan tersebut dan juga sah dari segi

hukum pencatatan administrasi kependudukan pada instansi yang berwenang.

Artinya perkawinan itu sah baik dilakukan secara hukum agama dan sah menurut

hukum negara pada saat yang bersamaan.

Perkembangan yang terjadi di masyarakat sekarang ini banyak terjadi

permasalahan yang mungkin dihadapi oleh suami atau isteri dalam menjalankan

kehidupan perkawinan, sehingga pembuatan perjanjian perkawinan dapat

dijadikan sebuah solusi bagi calon suami isteri yang akan melangsungkan

perkawinan untuk melindungi harta kekayaan dari calon suami isteri tersebut.

Sebagai gambaran seorang isteri yang melangsungkan perkawinan tidak membuat

perjanjian perkawinan dengan suaminya maka ternyata ditengah perjalanan

4

perkawinan mereka perilaku si suami sering melakukan kesalahan yang dapat

merugikan isteri dan harta kekayaan milik bersama, misalnya suami suka berjudi

dan menghabiskan uang dari harta bersama. Hal itu tentunya akan merugikan

isteri dan harta bersama selama perkawinan atau sebaliknya isteri yang terlalu

boros dalam memakai harta bersama sehingga tentunya akan merugikan suami

yang sudah bekerja keras mengumpulkan harta tersebut.

Gambaran lain dalam bidang hukum keperdataan yaitu Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang diperbaharui oleh Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut

UU PT), seorang suami atau isteri bekerja dalam jabatannya sebagai Direksi suatu

perusahaan Perseroan Terbatas bertanggung jawab penuh atas kerugian Perseroan

Terbatas sampai harta kekayaan pribadi jika yang bersangkutan bersalah atau lalai

menjalankan tugasnya. Berdasarkan keadaan yang diuraikan di atas terlihat

adanya resiko dari perilaku pasangan suami isteri dan pekerjaan suami isteri

selama perkawinan terhadap harta bersama mereka, sehingga memberikan

implikasi untuk membuat perjanjian perkawinan.

Jika suami isteri kawin dengan persatuan bulat harta kekayaan

perkawinan, maka utang yang dibuat oleh suami atau isteri dapat dituntut

pelunasannya dari harta persatuan. Sebaliknya jika suami isteri dengan perjanjian

perkawinan pisah mutlak harta kekayaan perkawinan maka utang suami hanya

dapat ditagih dari harta pribadi suami, demikian pula utang yang dibuat oleh isteri

hanya dapat ditagihkan dari harta pribadi isteri.

5

Kedua gambaran di atas membawa konsekuensi bagi calon suami isteri

apabila akan melangsungkan perkawinan untuk membuat perjanjian perkawinan.

Kepastian hukum dalam pembuatan perjanjian perkawinan merupakan hal yang

sangat penting bagi calon suami isteri karena dapat menjamin keinginan dari calon

suami isteri yang mana isinya akan sesuai dengan kebutuhannya. Perjanjian

perkawinan adalah perjanjian dibuat oleh suami dengan isteri pada waktu sebelum

perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan dan isinya berlaku juga terhadap

pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.4

Dalam UU Perkawinan, pembuatan perjanjian perkawinan diatur dalam

Pasal 29 ayat (1), (2), (3) dan (4) sebagai berikut:

1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut;

2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan;

3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan; 4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Berdasarkan rumusan pasal-pasal di atas terdapat beberapa unsur yang

menjadi dasar hukum dari perjanjian perkawinan yaitu:

a. Perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum atau pada saat perkawinan

dilangsungkan.

4Gatot Supramono, 1998, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta: Djambatan, (selanjutnya

disebut Gatot Supramono I), hal. 39.

6

Ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan menunjukkan

perumusan yang lebih luas dan lebih longgar mengenai adanya 2 (dua)

macam waktu untuk membuat perjanjian perkawinan bagi calon pasangan

suami isteri, yaitu “sebelum dan pada saat perkawinan dilangsungkan”.

Ditentukannya saat pembuatan perjanjian tersebut maka “tidak

diperbolehkan membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan

berlangsung”. Makna yang terkandung dalam kata “sebelum” adalah

bahwa perjanjian perkawinan itu dibuat sebelum perkawinan itu dilakukan

menurut hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing calon suami

isteri, hal ini sesuai dengan sahnya perkawinan sebagaimana yang diatur

dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.

Sedangkan makna kata “pada waktu perkawinan dilangsungkan” adalah

perjanjian perkawinan itu dibuat pada saat perkawinan berlangsung yaitu

saat sahnya perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan dari

calon suami isteri dan setelah itu langsung dilakukan pencatatan dihadapan

pegawai pencatat perkawinan, sehingga dalam hal ini perkawinan yang

dilakukan telah memenuhi Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan.

b. Bentuk perjanjian perkawinan dapat dibuat dalam bentuk tertulis.

Pernyataan ini juga menimbulkan beberapa penafsiran karena tidak ada

diatur secara tegas, sehingga perjanjian perkawinan dapat dibuat secara

tertulis dengan akta notariil, atau dibawah tangan bahkan secara diam-

diam.

7

7

c. Perjanjian perkawinan yang dibuat harus disahkan atau dicatatkan

olehpegawai pencatat perkawinan.

d. Perjanjian perkawinan isinya tidak boleh melanggar batas-batas

hukum, agama dan kesusilaan.

e. Perjanjian perkawinan pada prinsipnya tidak boleh dirubah maksudnya

adalah kecuali apabila suami isteri menyetujui untuk merubah perjanjian

perkawinan dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga, maka

berdasarkan UU Perkawinan perubahan tersebut dimungkinkan.

Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak saat perkawinan

dilangsungkan, sedangkan bagi pihak ketiga, perjanjian perkawinan baru berlaku

setelah dibukukan atau didaftarkan di dalam suatu register umum. Pada dasarnya

kelima unsur yang terdapat dalam Pasal 29 UU Perkawinan hanya mengatur dari

segi waktu, pembuatan, masa berlaku keabsahan dan tentang dapat diubahnya

perjanjian perkawinan dengan persetujuan kedua belah pihak.

Hal ini juga menunjukkan bahwa UU Perkawinan sangat terbatas sekali

mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Demikian pula halnya dengan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Lembaran Negara Nomor 12 Tahun 1975 (selanjutnya disebut PP No.9/1975)

sebagai peraturan pelaksanaan dari UU Perkawinan tidak ada mengatur secara

khusus mengenai perjanjian perkawinan akan tetapi hanya mengatur mengenai

pencatatan perkawinan, tata cara perkawinan, akta perkawinan, tata cara

8

5Mulyadi, 2008, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan Pertama, Semarang: Badan

Penerbit Universitas Diponegoro, hal. 41.

perceraian, pembatalan perkawinan, waktu tunggu, ketentuan mengenai beristeri

lebih dari seorang.

Penyebutan mengenai perjanjian perkawinan hanya terdapat pada Pasal 12

huruf h PP No.9/1975 yang menyatakan bahwa akta perkawinan memuat

perjanjian perkawinan apabila ada. Sedangkan mengenai pengaturan tentang isi

dari perjanjian perkawinan tidak ditentukan secara tegas, UU Perkawinan hanya

menentukan bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar batas-batas

hukum, agama, dan kesusilaan. Dengan demikian, terkait dengan isi perjanjian

perkawinan yang tidak ada diatur dalam UU Perkawinan tersebut di atas maka

untuk membuatnya dapat dilihat berdasarkan Petunjuk Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor MA/PEMB./0807 Tahun 1975 memberikan pendapat

untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan yang sudah ada sebelumnya

sebagaimana diatur dalam KUH Perdata bagi yang menundukkan diri pada

peraturan tersebut, hukum adat bagi golongan Bumi Putera dan Huwelijk

Ordonnantie Christen Indonesiers (Stb.1933-74) bagi golongan Bumi Putera yang

beragama Kristen.

Secara formil, perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh

suami atau isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap harta

kekayaan mereka. Perkawinan yang sah menurut hukum akan menimbulkan

akibat hukum sebagai berikut:5

1. Timbulnya hubungan antara suami isteri;

2. Timbulnya harta benda dalam perkawinan;

9

6R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 1991, Hukum Orang dan Keluarga

(Personen en familie-recht), Surabaya: Airlangga University Press, hal. 74-75.

3. Timbulnya hubungan antara orang tua dan anak.

Maksud dan tujuan suami isteri membuat janji-janji perkawinan adalah

untuk mengatur akibat hukum dari perkawinan yaitu mengenai harta kekayaan

agar tidak terjadi persatuan bulat harta kekayaan perkawinan diantara suami isteri

selama perkawinan. Perjanjian perkawinan yang berisi penyimpangan terhadap

persatuan bulat biasanya dibuat oleh suami isteri yang jumlah kekayaannya sangat

tidak berimbang dimana kekayaan suami lebih besar dibandingkan kekayaan isteri

atau sebaliknya. Menurut Pitlo, perjanjian perkawinan dibuat dengan tujuan

sebagai berikut:

1) Untuk membatasi atau meniadakan sama sekali kebersamaan harta kekayaan menurut undang-undang;

2) Untuk pemberian-pemberian hadiah dari suami kepada isteri atau sebaliknya;

3) Untuk membatasi kekuasaan suami terhadap barang kebersamaan, sehingga tanpa bantuan isteri suami tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang bersifat memutus;

4) Sebagai testamen dari suami untuk isteri atau sebaliknya; 5) Pemberian hadiah dari pihak ketiga kepada suami dan/atau isteri; 6) Sebagai testamen dari pihak ketiga kepada suami dan/atau isteri.

6

Meskipun dalam Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan tidak secara tegas

menyebutkan mengenai isi perjanjian perkawinan tetapi melihat ketentuan Pasal

1338 KUH Perdata, dapat diartikan bahwa isi tentang perjanjian perkawinan

tersebut dapat meliputi apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan hukum

agama dan kesusilaan. Kalau sesuai dengan makna yang ada pada perjanjian

perkawinan itu sendiri maka dalam hal ini perjanjian perkawinan meliputi harta

kekayaan calon suami isteri yakni berupa:

10

1. Harta bersama yang didapat calon suami isteri selama perkawinan

2. Harta bawaan masing-masing calon suami isteri sebelum perkawinan

Dalam UU Perkawinan, mengenai harta benda dalam perkawinan,

pengaturannya dapat dilihat dalam Pasal 35, 36, dan 37 yang menyatakan sebagai

berikut :

Pasal 35:

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan

lain.

Pasal 36:

(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas

persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai

hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta

bendanya.

Pasal 37:

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing.

Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan tersebut mencerminkan suatu kedudukan

yang setara terhadap kekuasaan atas harta bersama dalam perkawinan. Kedudukan

yang setara di atas melahirkan tanggung jawab dari suami dan isteri tersebut

11

manakala secara bersama-sama atau salah satu melakukan suatu perbuatan hukum

terhadap harta bersama tersebut atau salah satu dari mereka melakukan suatu

perbuatan hukum perkawinan.7

Soerjono Soekanto membagi harta benda perkawinan ke dalam 4 (empat)

jenis sebagai berikut:8

1. Harta kekayaan yang diperoleh dari suami atau isteri, yang merupakanwarisan atau hibah/pemberian dari kerabat yang dibawa ke dalam keluarga.

2. Harta kekayaan yang diperoleh dari usaha suami atau isteri yang diperoleh sebelum atau selama perkawinan.

3. Harta kekayaan yang diperoleh dari hadiah kepada suami isteri pada waktu perkawinan.

4. Harta kekayaan yang diperoleh dari usaha suami isteri dalam masa perkawinan.

Hal senada juga dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma yang

mengelompokkan harta benda perkawinan menjadi:9

a. Harta bawaan yaitu harta yang dibawa oleh suami/isteri ke dalam ikatan perkawinan, baik yang berupa hasil jerih payah masing-masing ataupun yang berasal dari hadiah atau warisan yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan mereka berlangsung.

b. Harta pencarian, yakni harta yang diperoleh sebagai hasil karya suami/isteri selama ikatan perkawinan berlangsung.

c. Harta peninggalan. d. Harta pemberian seperti hadiah, hibah dan lain-lain.

Perjanjian perkawinan pada dasarnya adalah bentuk kesepakatan yang

termasuk dalam hukum perjanjian Buku III Pasal 1338 KUH Perdata yang

menyatakan sebagai berikut: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

7Sonny Dewi Juniasih, 2015, Harta Benda Perkawinan (Kajian Terhadap Kesetaraan

Hak dan Kedudukan Suami dan Isteri atas Kepemilikan Harta dalam Perkawinan), Bandung: PT. Refika Aditama, hal. 25.

8Soerjono Soekanto, 2002, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

hal. 244. 9Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,

Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: CV. Mandar Madju, hal. 123-124.

12

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, artinya para pihak yang

berjanji bebas membuat perjanjian selama tidak melanggar kesusilaan, ketertiban

umum, dan undang-undang. Menurut Herlien Budiono, unsur-unsur perjanjian

terdiri atas:10

1. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih. 2. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak. 3. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum. 4. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain

atau timbal balik. 5. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.

Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan “itikad baik”. Lazimnya

pasangan calon suami isteri membuat perjanjian perkawinan dalam rangka

mengatur harta benda perkawinannnya selama perkawinan. Dapat berupa

perolehan harta kekayaan terpisah, masing-masing pihak memperoleh apa yang

diperoleh atau didapat selama perkawinan itu termasuk keuntungan dan kerugian.

Perjanjian perkawinan ini berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya, juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga ini

tersangkut.

Berkenaan dengan bentuk perjanjian perkawinan umumnya pasangan

calon suami isteri membuatnya dalam bentuk notariil, yaitu dengan menghadap

kepada Notaris dan menyampaikan maksudnya tersebut untuk dituangkan dalam

bentuk akta, dan selanjutnya salinan akta perjanjian perkawinan mana didaftarkan

ke pengadilan negeri setempat kemudian didaftarkan pula pada Kantor Catatan

Sipil (selanjutnya disebut KCS). Bentuk lain yaitu dibawah tangan dimungkinkan

10Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya Dibidang

Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 5.

13

pula, karena UU Perkawinan tidak menentukan bentuk dari perjanjian perkawinan

lain halnya dalam KUH Perdata yang menentukan bahwa bentuknya harus dibuat

dengan akta notaris. Dapat timbul pertanyaan apakah suami isteri yang telah lama

kawin berdasarkan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut membuat perjanjian

perkawinan dan dicatatkan di instansi yang berwenang dengan alasan perkawinan

tersebut belum dicatatkan berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan?. Hal ini

dalam prakteknya memungkinkan terjadi karena substansi ketentuan Pasal 2 ayat

(1) dan (2) jo. Pasal 29 UU Perkawinan.

Terhadap pertanyaan di atas ada 2 (dua) kemungkinan adanya asumsi-

asumsi bahwa perkawinan telah sah secara substansi, tetapi secara segi formal

belum dicatatkan, maka perjanjian perkawinan dapat dibuat dan disahkan/

dicatatkan yaitu:

1. Bahwa suami isteri tersebut tidak dapat membuat perjanjian perkawinan,

karena perkawinan mereka telah berlangsung dan perkawinannya telah sah

berdasarkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, sedangkan pencatatan

hanya bersifat administratif saja (Pasal 2 ayat (2)). Dalam hal ini karena

ada anggapan bahwa perkawinan adalah sah menurut agama dan

kepercayaannya dan perkawinan telah berlangsung lama, jadi apapun

alasannya perjanjian perkawinan tidak dapat dilakukan setelah

perkawinan.

2. Bahwa suami isteri tersebut masih dapat membuat perjanjian perkawinan,

dan dicatatkan pada instansi yang berwenang dengan asumsi bahwa

sahnya perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan

14

dilakukan secara bersamaan (tidak ada tenggang waktu yang lama). Oleh

karena perkawinan baru dilakukan berdasarkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU

Perkawinan saja, maka secara formal perkawinan belum sempurna (belum

dipenuhi), sehingga dengan demikian mereka dapat membuat perjanjian

perkawinan.

Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan telah menegaskan bahwa pada waktu

atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama

dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat

perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang

pihak ketiga tersangkut. Apabila berpegang pada ketentuan Pasal 29 ayat (1)

maka makna kata yang mengatakan perjanjian perkawinan itu dibuat “sebelum

perkawinan dilangsungkan”, hal ini tentunya tidak ada persoalan. Tetapi pada

makna kata “pada saat perkawinan dilangsungkan” akan menimbulkan 2 (dua)

penafsiran yang berbeda dimana disatu pihak bisa ditafsirkan pada saat

perkawinan itu dilangsungkan adalah pada saat perkawinan itu sedang diupacarai

secara keagamaan ataukah perkawinan itu sedang berlangsung sebelum terjadi

perceraian diantara pasangan suami isteri tersebut. Terkait penafsiran yang

berbeda di atas dan seiring dengan perkembangan zaman saat ini, sudah ada

keluar Penetapan Hakim dari Pengadilan Negeri Tangerang Nomor:

269/PEN.PDT.P/2015/PN.Tng. mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat

pasca pencatatan perkawinan yang diajukan oleh pasangan suami isteri dalam

perkawinan campuran yang berbeda kewarganegaraan dimana suaminya

15

berkewarganegaraan Jerman dan isterinya berkewarganegaraan Indonesia yang

telah menikah selama 17 (tujuh belas) tahun.

Berdasarkan uraian di atas terlihat adanya kekaburan norma yang terdapat

dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yang menjadi dasar untuk membuat

perjanjian perkawinan terkait harta bersama pasca pencatatan perkawinan.

Berdasarkan hal itu, penelitian tentang kekuatan mengikat akta notariil perjanjian

perkawinan terkait harta bersama pasca pencatatan perkawinan menjadi aktual

dan menarik untuk dilakukan.

Berdasarkan latar belakang di atas, selanjutnya akan dibahas lebih

mendalam tentang perjanjian perkawinan terkait harta bersama yang dibuat pasca

pencatatan perkawinan. Untuk itu Penulis mengajukan tesis dengan judul:

“ KE K U ATA N M E N GI KAT A KTA N O TA R I I L PE R J A N J I A N

PERKAWINAN TERKAIT HARTA BERSAMA YANG DIBUAT PASCA

PENCATATAN PERKAWINAN”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah yang menjadi ruang lingkup substansi dari pembuatan akta notariil

perjanjian perkawinan pasca pencatatan perkawinan terkait pengaturan

harta bersama?

2. Bagaimanakah kekuatan mengikat akta notariil perjanjian perkawinan

mengenai harta bersama yang dibuat pasca pencatatan perkawinan

terhadap pihak ketiga yang terkait?

16

1.3. Orisinalitas Penelitian

Untuk menjamin orisinalitas penulisan tesis ini, maka harus dibandingkan

dengan tesis penelitian lain. Pertama Penulis membandingkan dengan tesis

mahasiswa Magister Hukum Universitas Udayana atas nama Agus Wahyu

Dharmawan Redhana pada Tahun 2014 (dua ribu empat belas) dengan judul tesis

Pembuatan Perjanjian perkawinan Sebelum Perkawinan Dicatatkan. Rumusan

masalah dalam tesis tersebut antara lain: Apakah pasangan suami isteri orang

Bali-Hindu yang telah menikah melaksanakan perkawinan berdasarkan Pasal 2

ayat (1) UU Perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan?. Rumusan

masalah yang kedua bagaimana kekuatan mengikat perjanjian perkawinan yang

dibuat berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, tetapi belum dicatatkan

berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan?.

Hasilpenelitan tesis tersebut antara lain pasangan suami isteri orang Bali-

Hindu yang telah melaksanakan perkawinan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU

Perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan sebelum perkawinannya

dicatatkan berdasarkan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU

Administrasi Kependudukan), dengan tidak melebihi batas waktu pencatatan

perkawinan yang telah ditetapkan oleh undang-undang. UU Perkawinan lebih

menekankan pada aspek formalitasnya, yang menentukan bahwa perkawinan

tersebut sah secara hukum adalah setelah perkawinan tersebut dicatatkan.

Pembuatan perjanjian perkawinan itu sendiri tidak boleh bertentangan dengan

hukum, agama, dan kesusilaan, serta dapat memberi kepastian hukum, berlaku

17

adil dan seimbang, bermanfaat bagi kedua belah pihak dan/atau pihak ketiga yang

tersangkut dengan perjanjian perkawinan tersebut.

Perjanjian perkawinan yang dibuat setelah melaksanakan Pasal 2 ayat (1)

UU Perkawinan tetapi belum dicatatkan berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU

Perkawinan, mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para

pihak yang membuatnya, karena telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian.

Adanya konsensus dari pasangan suami isteri orang Bali-Hindu untuk membuat

perjanjian perkawinan tersebut akan menimbulkan kekuatan mengikat

sebagaimana layaknya UU (Asas Pacta Sunt Servanda).

Selain itu Penulis juga membandingkan dengan tesis dari mahasiswa

Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro atas nama Muhammad Hikmah

Tahajjudin pada Tahun 2010 (duaribu sepuluh) dengan judul tesis Perjanjian

Perkawinan Setelah Perkawinan dan Akibat Hukumnya. Adapun rumusan

masalah dari tesis tersebut antara lain, bagaimana fungsi perjanjian perkawinan

yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan?. Rumusan masalah yang kedua,

bagaimana kedudukan harta suami isteri dalam hukum setelah adanya perjanjian

perkawinan yang didasarkan dengan penetapan pengadilan negeri?.

Hasil penelitian tesis tersebut di atas antara lain, perjanjian perkawinan

yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan adalah berfungsi untuk mengatur

akibat perkawinan setelah diadakannya perjanjian perkawinan tersebut

berdasarkan penetapan pengadilan negeri. Dengan dibuatnya perjanjian

perkawinan setelah perkawinan tersebut ada perubahan status harta kekayaan

perkawinan, yang pada awalnya merupakan harta bersama, karena terjadi

18

persatuan harta, menjadi harta pribadi sesuai kepemilikannya masing-masing,

karena telah diadakan pemisahan harta berdasarkan perjanjian perkawinan

tersebut. Kedudukan harta suami isteri setelah dibuatnya perjanjian perkawinan

berdasarkan penetapan pengadilan negeri mengalami perubahan, yaitu selain

dalam perkawinan tersebut ada harta pribadi suami atau isteri juga ada beberapa

harta kekayaan yang pada awalnya merupakan harta bersama yang kemudian

menjadi harta pribadi sesuai yang disepakati dan didasari oleh adanya penetapan

dari pengadilan negeri, sehingga perjanjian perkawinan tersebut memperkecil

kedudukan harta pribadi suami isteri.

Penulis juga membandingkan dengan tesis mahasiswa Magister

Kenotariatan Universitas Brawijaya atas nama Luh Krisna Damayanti Tahun 2011

(dua ribu sebelas) dengan judul tesis, Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan

Akta Perjanjian Perkawinan Pasca Perkawinan Menurut Agama Hindu

Dilangsungkan. Adapun rumusan masalah dari tesis tersebut antara lain, apakah

Notaris mempunyai kewenangan membuat akta perjanjian perkawinan sebelum

perkawinan menurut Agama Hindu dicatatkan berdasarkan UU Perkawinan?.

Rumusan Masalah yang kedua adalah bagaimanakah keabsahan akta perjanjian

perkawinan yang dibuat Notaris sebelum perkawinan menurut Agama Hindu

dicatatkan berdasarkan UU Perkawinan?.

Hasil penelitian dari tesis tersebut adalah Notaris mempunyai kewenangan

untuk membuat akta perjanjian perkawinan sesuai dengan kewenangan yang

diberikan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya

19

disebut UUJN), yaitu untuk membuat akta yang otentik yang merupakan

formulasi dari keinginan para pihak. Mengenai akta perjanjian perkawinan yang

dibuat oleh Notaris dimana perkawinan menurut Agama Hindu telah

dilangsungkan meskipun belum dicatatkan dapat dilakukan karena dalam UU

Perkawinan lebih menekankan pada aspek formalitasnya, bahwa setelah

perkawinan dicatatkan baru perkawinan tersebut sah secara hukum dan akta

perjanjian perkawinan tersebut dapat dicatatkan bersamaan pada waktu pencatatan

perkawinan berlangsung.

Akta perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh Notaris sebelum

perkawinan yang dilangsungkan menurut Agama Hindu dicatatkan memiliki

tingkat keabsahan yang sama seperti akta otentik lainnya. Akta perjanjian

perkawinan dibuat oleh pejabat umum yang isinya tidak bertentangan dengan

Agama Hindu, peraturan, ketertiban umum dan kesusilaan akan memiliki

kekuatan pembuktian seperti akta otentik, oleh karenanya memiliki akibat hukum

tidak hanya bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut, tetapi juga bagi

pihak ketiga yang terikat dalam perjanjian perkawinan tersebut, seperti

masyarakat adat di Bali, sistem kekeluargaan sampai dengan pewarisan.

Setelah Penulis bandingkan dengan ketiga tesis tersebut maka penelitian

ini tidak ada kemiripan antara judul dan rumusan masalah yang Penulis buat

dengan ketiga tesis tersebut sehingga bebas dari penjiplakan atau plagiat.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dibagi 2 (dua) yaitu tujuan yang bersifat umum

dan tujuan yang bersifat khusus. Adapun tujuan yang dimaksud sebagai berikut.

20

1.4.1. Tujuan Umum

Secara umum yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji

dan menganalisa, “Kekuatan Mengikat Akta Notariil Perjanjian Perkawinan

Terkait Harta Bersama yang Dibuat Pasca Pencatatan Perkawinan”.

1.4.2. Tujuan Khusus

Berdasarkan pada perrmasalahan yang dibahas, maka yang menjadi tujuan

khusus dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai apa yang menjadi ruang

lingkup substansi dari pembuatan akta notariil perjanjian perkawinan

terkait harta bersama yang dibuat pasca pencatatan perkawinan.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai kekuatan mengikat akta

notariil perjanjian perkawinan terkait harta bersama yang dibuat pasca

pencatatan perkawinan terhadap pihak ketiga yang terkait.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dibagi

menjadi 2 (dua). Manfaat tersebut antara lain manfaat secara teoritis dan manfaat

secara praktis sebagaimana yang akan dipaparkan sebagai berikut.

1.5.1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat dijadikan referensi,

tambahan ilmu dan memperdalam perkembangan hukum perkawinan yang

berkaitan dengan perjanjian perkawinan terkait harta bersama yang dibuat pasca

pencatatan perkawinan.

21

1.5.2. Manfaat Praktis

Selain kegunaan secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini juga

mampu memberikan manfaat secara praktis. Adapun manfaat praktis dari

penelitian ini antara lain:

1. Bagi Akademisi, hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk

menambah wawasan dalam melakukan penelitian lebih lanjut terhadap

perjanjian perkawinan terkait harta bersama pasca perkawinan.

2. Bagi Notaris, hasil penelitian perjanjian perkawinan pasca perkawinan

dapat memberikan masukan dan menambah informasi dalam menjalankan

profesinya terkait dalam membuat akta perjanjian perkawinan

3. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini agar dapat disosialisasikan kepada

masyarakat sehingga bagi pasangan yang menikah tidak lupa untuk

mencatatkan perkawinannya pada kantor instansi yang berwenang untuk

itu sehingga dapat mencegah terjadinya sengketa yang timbul sebagai

akibat dari perjanjian perkawinan terkait harta bersama yang dibuat pasca

pencatatan perkawinan.

1.6. Landasan Teoritis dan Konsep

Dalam membahas dan menganalisis tesis ini yang berjudul, “Kekuatan

Mengikat Akta Notariil Perjanjian Perkawinan Terkait Harta Bersama yang

Dibuat Pasca Pencatatan Perkawinan” akan digunakan beberapa teori, asas,

pendapat sarjana, dan konsep sebagai acuan dasarnya. Adapun teori-teori yang

digunakan adalah: Teori Hukum Progresif, Teori Kepastian Hukum, Teori Nilai

Dasar Hukum, dan Teori Perlindungan Hukum.

22

1.6.1. Landasan Teoritis

1.6.1.1. Teori Hukum Progresif

Menurut Teori Hukum Progresif sebagaimana yang dicetuskan oleh

Satjipto Rahardjo, bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya.

“Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide,

kultur, dan cita-cita.”11

Beliau menyatakan pemikiran hukum perlu kembali pada

filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk manusia dengan filosofis tersebut, maka

manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani

manusia, bukan sebaliknya.

Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari

kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk

mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif

menganut “ideologi”. Hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat.

Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada

peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam

ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan

perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang

ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan

buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk

menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat

melakukan interprestasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. Untuk itu

agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang

11Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 32.

23

kreatif menterjemahkan hukum itu dalam kepentingan-kepentingan sosial yang

memang harus dilayaninya.

Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat

proses logis formal. Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya,

argumen-argumen logis formal “dicari” pasca keadilan ditemukan untuk

membingkai secara yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh

karena itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri,

melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Dalam masalah penegakan

hukum, terdapat 2 (dua) macam tipe penegakan hukum progresif:

1. Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif.

Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang

memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif.

2. Kebutuhan akan semacam kebangunan dikalangan akademisi, intelektual

dan ilmuan serta teoritisi hukum Indonesia.

Teori Hukum Progresif ini akan dipergunakan dalam melakukan

pembahasan terhadap permasalahan pertama dan kedua.

1.6.1.2. Teori Kepastian Hukum

Menurut W.J.S Poerwadarminta, “kepastian” berasal dari kata “pasti” yang

artinya tentu, sudah tetap, tidak boleh tidak, suatu hal yang sudah tentu.12

Kepastian hukum adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif dan

tidak bisa dijawab secara sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah

ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur

12W.J.S.Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta:

Balai Pustaka, hal. 84.

24

secara jelas dan logis, dan jelas dalam artian tidak menimbulkan tafsir yang

berbeda dan logis dalam artian dapat menjadi sistem norma dengan norma lain

sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang

ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konstentasi norma, reduksi

norma atau distorsi norma.

Menurut Utrecht, hukum tugasnya menjamin bahwa adanya kepastian

hukum (rechhtszekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu terdapat 2

(dua) tugas lain, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum bertugas polisionil

(politionele taak van het recht) yang berarti hukum menjaga agar dalam

masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri.13

Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama

adanya suatu aturan hukum yang bersifat umum bagi individu dimana aturan

hukum tersebut dibuat untuk mengetahui perbuatan mana yang boleh atau tidak

boleh dilakukan, sedangkan yang kedua teori kepastian hukum berupa keamanan

hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah, sehingga individu dapat

mengetahui dan mengontrol apa saja yang boleh dibebankan dan dilakukan

pemerintah atau negara terhadap individu.14

Kepastian hukum bukan hanya

berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi

dalam putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya dalam memutus

suatu perkara yang serupa. J.M Otto sebagaimana yang dikutip Tatiek Sri

13Riduan Syahrani, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, (selanjutnya disebut Riduan Syahrani I), hal. 23. 14

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), hal. 158.

25

Djatmiati, menyebutkan bahwa kepastian hukum atau rechtszekerheid dapat

dijabarkan atas beberapa unsur sebagai berikut:

1. Adanya aturan yang konsisten dan dapat ditetapkan oleh negara; 2. Aparat pemerintah menerapkan aturan tersebut secara konsisten dan

berpegang pada aturan tersebut; 3. Rakyat pada dasarnya tunduk pada hukum; 4. Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan aturan

hukum tersebut; 5. Putusan hakim dilaksanakan secara nyata.

15

Kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan suatu kepastian

tindakan yang sesuai dengan aturan hukum, karena frasa kepastian hukum tidak

mampu menggambarkan kepastian perilaku hukum secara benar-benar. Kepastian

hukum menjamin keadilan bagi setiap insan dan anggota masyarakat dengan

masyarakat lain tanpa membedakan darimana dia berasal. Berdasarkan uraian di

atas dapat disimpulkan bahwa kepastian hukum berarti hukum harus memberikan

kejelasan atas tindakan pemerintah dan masyarakat, sehingga memberikan

kepastian hukum dan tidak menimbulkan multitafsir atas aturan hukum tersebut.

Selain itu, aturan hukum satu dengan aturan hukum lainnya haruslah terjalin suatu

harmonisasi sehingga aturan tersebut tidak kontradiktif atau berlawanan antara

satu dengan aturan lainnya.

Dengan penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan suatu

kepastian hukum terhadap kekuatan mengikat perjanjian perkawinan yang dibuat

pasca pencatatan perkawinan, mengingat ketentuan yang mengatur perjanjian

perkawinan dalam UU Perkawinan menentukan bahwa perjanjian perkawinan

dibuat sebelum perkawinan dan meskipun dapat dilakukan perubahan selama

15Tatiek Sri Djatmiati, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi,

Surabaya: PPS Universitas AirLangga, hal. 18.

26

26

perkawinan dengan persetujuan kedua belah pihak. Jadi bukan dapat dibuat

perjanjian baru selama perkawinan berlangsung. Teori Kepastian Hukum dalam

tesis ini akan dipergunakan dalam melakukan pembahasan atas permasalahan

pertama dan kedua.

1.6.1.3. Teori Nilai Dasar Hukum

Apabila membahas nilai dasar dari suatu hukum, tidak bisa dilepaskan dari

pembahasan terhadap keberlakuan hukum, artinya nilai-nilai dasar hukum tersebut

hanya dapat dilihat dalam keberlakuan hukum. Menurut Gustav Radbruch sebagai

pencetus teori nilai dasar hukum mengatakan, “Nilai-nilai dasar dari hukum ada

tiga (3) yaitu: kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.”16

Munurutnya juga,

“Karena dalam nilai-nilai dasar dari hukum terdapat suatu Spannungsverhaltnis,

suatu ketegangan satu sama lain dan masalah ini biasanya dibicarakan dalam

hubungan dengan berlakunya hukum.”17

Sebagai contohnya tentang nilai dasar

kepastian hukum, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai-nilai keadilan dan

kegunaan ke samping (manfaat).

Mengenai hal yang utama dari nilai kepastian hukum adalah adanya

peraturan itu sendiri. “Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai

kegunaan bagi masyarakat, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.”18

Teori di atas akan digunakan dalam menjawab permasalahan kedua mengenai

kekuatan akta notariil perjanjian perkawinan terkait harta bersama yang dibuat

pasca pencatatan perkawinan oleh pasangan suami isteri, ini berarti:

16Satjipto Rahardjo, op.cit., hal. 19.

17Satjipto Rahardjo, loc.cit.

18Satjipto Rahardjo, loc.cit.

27

a. Perjanjian perkawinan tersebut harus mampu memberi jaminan kepastian

hukum bagi pembuatnya maupun pihak ketiga.

b. Perjanjian perkawinan tersebut harus berasaskan keadilan, yang

diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukannya untuk satu

kelompok atau bahkan orang tertentu saja.

c. Perjanjian perkawinan tersebut harus memberi manfaat baik secara

langsung maupun tidak langsung dalam rangka mewujudkan kesejahteraan

dan kemakmuran.

1.6.1.4. Teori Perlindungan Hukum

Menurut Van Apeldoorn19

tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan

hidup secara damai. Hukum menginginkan kedamaian diantara manusia dengan

melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, yaitu kehormatan,

kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya.

Fitzgerald mengemukakan hukum bertujuan mengintegrasikan dan

mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena suatu lalu

lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat

dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan dilain pihak.20

Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga

hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang

perlu diatur dan dilindungi.21

Philipus M. Hadjon membedakan perlindungan hukum atas 2 (dua) jenis

yaitu:

19L. J. van Apeldoorn, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 10.

20Satjipto Rahardjo, op.cit., hal. 53.

21Satjipto Rahardjo, op.cit., hal. 69.

28

1. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang bertujuan

untuk mencegah terjadinya permasalahan atau sengketa.

2. Perlindungan Hukum Refresif

Perlindungan hukum refresif adalah perlindungan hukum yang bertujuan

untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul.22

Teori Perlindungan Hukum ini diharapkan mampu menganalisa rumusan

masalah pertama dan kedua.

1.6.2. Konsep

Untuk menghindari adanya penafsiran dan pemahaman yang terlalu luas

terhadap pokok-pokok kajian dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan

beberapa konsep yang berhubungan dengan tesis ini. Adapun konsep-konsep yang

digunakan dalam penelitian “Kekuatan Mengikat Akta Notariil Perjanjian

Perkawinan Terkait Harta Bersama Pasca Pencatatan Perkawinan” meliputi:

a. Kekuatan Mengikat Akta Notariil

Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam

bukunya Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, menyebutkan

bahwa kekuatan sebuah akta otentik ada 3 (tiga) macam yaitu:23

1) Kekuatan Pembuktian Formil yaitu membuktikan antara para pihak

bahwa mereka sudah menerangkan apa yang tertulis dalam akta

tersebut;

22Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya:

Bina Ilmu, (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon I), hal. 205. 23

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2009, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Cet. XI, Bandung: Mandar Maju, hal. 40.

29

2) Kekuatan Pembuktian Materiil yaitu membuktikan antara para pihak

bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi;

3) Kekuatan Mengikat yaitu membuktikan antara para pihak dan pihak

ketiga bahwa pada tanggal yang tersebut dalam akta yang bersangkutan

telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa

yang ditulis dalam akta tersebut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI),

“kekuatan” berasal dari kata “kuat” yang artinya adanya desakan atau

dorongan efektif yang menjurus pada tindakan sosial. Sedangkan kata

“mengikat” berasal dari kata “ikat” yang artinya wajib ditepati.

Maksudnya perjanjian yang telah dibuat mengharuskan kedua belah pihak

menepatinya dengan sungguh-sungguh. Akta notariil adalah akta yang

dibuat dan dibacakan serta ditandatangani di depan Notaris.Isi akta

merupakan keinginan para pihak tapi sebagai pejabat umum, Notaris

bertanggung jawab penuh atas isi akta tersebut mengenai kebenaran dan

ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya, menjamin tanggalnya dan

orang atau para pihak yang menandatangani akta tersebut adalah orang

yang cakap berwenang.

Dalam penelitian ini yang Penulis maksudkan dengan kekuatan mengikat

akta notariil itu adalah bagaimana berlakunya perjanjian perkawinan yang

dibuat pasca pencatatan perkawinan dimana perjanjian perkawinan

tersebut dibuat dalam bentuk akta notariil apabila dikaitkan dengan

30

keluarnya Putusan Hakim Pengadilan Negeri Tangerang Nomor:

269/PEN.PDT.P/2015/PN.Tng.

b. Perjanjian Perkawinan

Titik Triwulan Tutik menyatakan bahwa, “Perjanjian perkawinan adalah

perjanjian perkawinan yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau

pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat

perkawinan yang menyangkut harta kekayaan”.24

Sedangkan menurut

R.Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin mengatakan bahwa

“Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami

isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur

akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka”.25

Dari kedua pendapat sarjana tersebut di atas, dapat ditarik suatu

kesimpulan bahwa perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian

perkawinan yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat

perkawinan dilangsungkan mengenai segala harta yang berhubungan

dengan kekayaan dari calon suami isteri tersebut.

c. Harta Benda Perkawinan

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya pengaturan harta benda dalam

perkawinan diatur dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 UU Perkawinan,

UU Perkawinan membagi harta benda perkawinan atas 2 (dua) jenis yaitu:

1) Harta bersama suami isteri adalah harta yang didapat dan diperoleh

suami isteri selama perkawinan mereka berlangsung;

24Titik Triwulan Tutik, op.cit., hal.12.

25R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1986, Hukum Orang dan Keluarga,

Bandung: Alumni, hal. 76.

31

2) Harta bawaan suami isteri adalah harta yang dibawa masing-masing

pasangan suami isteri sebelum perkawinan mereka dilangsungkan.

d. Perjanjian Perkawinan Pasca Pencatatan Perkawinan

Perjanjian perkawinan pasca pencatatan adalah perjanjian perkawinan

yang dibuat setelah perkawinan dilakukan secara hukum agama dan

kepercayaan masing-masing calon suami isteri sesuai dengan bunyi Pasal

2 ayat (1) UU Perkawinan, kemudian setelah itu dilakukan pencatatan

perkawinan tersebut pada kantor pencatatan perkawinan setempat sesuai

Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.

e. Penetapan Hakim

Penetapan hakim adalah keputusan pengadilan atas perkara permohonan

dan tidak ada lawan hukum. Di dalam penetapan, pihak yang berperkara

hanya 1 (satu) yaitu pemohon dimana pemohon itu sendiri adalah pihak

yang menganggap dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh

berlakunya undang-undang. Dalam penetapan hakimtidak menggunakan

kata “mengadili” namun cukup dengan menggunakan kata “menetapkan”

untuk memutuskan perkara yang diajukan Para Pemohon dan sebelum

diajukan permohonan tidak ada konflik atau sengketa yang

melatarbelakangi keluarnya penetapan tersebut.

f. Putusan Hakim

Di dalam putusan hakim pihak yang berperkara ada 2 (dua) yaitu pihak

penggugat dan pihak tergugat dan kedua pihak tesebut sebelumnya sudah

timbul konflik atau sengketa yang menimbulkan gugatan pihak penggugat

32

yang merasa haknya dilanggar oleh pihak tergugat mengajukan gugatan

atas perkara yang merugikan dirinya yang ditujukan untuk tergugat kepada

pengadilan yang berwenang. Dalam putusan, Hakim menggunakan kata

“mengadili” dimana kata itu digunakan untuk mempertegas bahwa

tergugat bersalah dan harus membayar ganti rugi kepada penggugat

sebagai pihak yang dirugikan haknya.

1.7. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian ilmiah, metode memiliki peran yang sangat

penting, karena dengan adanya metode dapat memberikan petunjuk bagaimana

cara memperoleh bahan hukum dan bagaimana kemudian bahan hukum tersebut

diolah menjadi suatu karya ilmiah. Adapun metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.7.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif.

Dalam penelitian hukum ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang ditulis dalam

peraturan perundang-undangan atau sebagai kaidah norma yang merupakan

patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.26

Karakteristik utama penelitian

hukum normatif berupa sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau

fakta sosial, karena dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah bahan

hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.

hal. 118. 26

Amirudin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

33

Menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip, penelitian hukum

normatif terdiri dari:27

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum; b. Penelitian terhadap sistematika hukum; c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum; d. Penelitian sejarah hukum; dan e. Penelitian perbandingan hukum.

Jenis penelitian hukum normatif dipilih dalam penulisan tesis ini karena

beranjak dari adanya kekaburan norma dalam kata-kata “pada waktu perkawinan

dilangsungkan yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan. Seiring

dengan perkembangan zaman dan adanya kebutuhan dan kepentingan dari suami

isteri di dalam perkawinan mereka yang sedang berlangsung, telah ada dibuat

perjanjian perkawinan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan mereka.

1.7.2. Jenis Pendekatan

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang digunakan

yaitu: “(1) pendekatan undang-undang (the statute approach), (2) pendekatan

kasus (case approach), (3) pendekatan historis (historical approach), (4)

pendekatan komparatif (comparative approach), pendekatan konseptual

(conceptual approach)28

.” Penulisan tesis ini menggunakan 3 (tiga) jenis

pendekatan, yaitu:

Pendekatan undang-undang (Statue Aproach), digunakan untuk membahas

dan menelaah semua undang-undang yang berkaitan dengan isu hukum yang

45.

27Suratman dan Philips Dillah, 2012, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, hal.

28Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), hal. 93.

34

35

sedang diteliti, seperti undang-undang yang berlaku yaitu KUH Perdata, UU

Perkawinan, PP No.9/1975, serta UU Administrasi Kependudukan, sasarannya

adalah untuk menjawab ada atau tidaknya kekaburan norma tersebut.

Pendekatan Konsep (Conceptual Aproach), beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, agar

dapat digunakan untuk mengungkap dan mengkaji konsep dari kekuatan mengikat

akta notariil perjanjian perkawinan terkait harta bersama yang dibuat pasca

pencatatan perkawinan. Selain itu dalam kajiannya digunakan konsep perjanjian

perkawinan pasca pencatatan, konsep akta notariil perjanjian perkawinan, konsep

kekuatan mengikat perjanjian perkawinan dan konsep penetapan hakim yang

dikaitkan dengan Teori Hukum Progresif, Teori Kepastian Hukum, Teori Nilai

Dasar Hukum, Teori Perlindungan Hukum dan Penafsiran.

Pendekatan Kasus (The Case Approach), dimana ratio decidendi dalam

suatu kasus tertentu akan dianalisa secara mendalam apakah dalam penegakan

hukum kasus tersebut telah sesuai dengan kaidah dan norma hukum yang telah

ada atau tidak.29

1.7.3. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ada 3

(tiga) sumber bahan hukum (bahan pustaka) yang dipergunakan, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer (primary or authorities sources)

29Ibid., hal. 119.

36

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari

peraturan dasar perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini.

Dalam penelitian ini digunakan sumber hukum primer yang terdiri dari:

a) Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Staatsblad 1847 Nomor 23), terjemahan R. Subekti dan

Tjitrosudibio).

b) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya

Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946

Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di

Seluruh Luar Daerah Jawa dan Madura (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1954 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 694).

c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).

d) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran

Negara Republik Indonesia 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3019).

e) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006

Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4674).

37

f) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756).

g) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491).

h) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1975, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3050 Tahun 1975).

b. Bahan Hukum Sekunder (secondary or authorities sources)

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dapat berupa

rancangan undang-undang, hasil penelitian, putusan-putusan hakim dan

pendapat para pakar hukum. Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder

yang digunakan adalah buku literatur dibidang hukum perdata, hukum

perkawinan, hukum perjanjian, dan lain sebagainya.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier

37

37

tersebut berupa kamus hukum dan ensiklopedia hukum.30

Bahan hukum

tertier yang digunakan dalam penelitian ini berupa kamus hukum untuk

mencari definisi dari istilah-istilah hukum yang digunakan dalam

penulisan penelitian ini.

1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini diperoleh melalui

pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan teknik studi pustaka dengan sistem

kartu yakni semua bahan yang diperlukan kemudian dicatat mengenai hal-hal

yang dianggap penting bagi penelitian yang digunakan.31

Sistem kartu digunakan

saat mencatat judul buku, nama pengarang buku, halaman dan materi yang

dianggap pentingdan mendukung penelitian ini. Sistem kartu ini juga didukung

dengan teknik bola salju (snow ball) yakni dengan memukan bahan hukum

sebanyak mungkin melalui referensi dari berbagai literatur hukum.

1.7.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang telah dikumpulkan, diklasifikasikan secara kualitatif,

kemudian dianalisa dengan teori-teori hukum yang relevan, disimpulkan untuk

menjawab permasalahan dan disajikan secara deskriftif analistis yaitu terhadap

bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis. Deskripsi

23.

30Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, hal.

31Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu

Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Pers, hal. 13.

38

meliputi “isi maupun struktur hukum positif”32

, maksud dan tujuannya adalah

melakukan pemahaman untuk menentukan makna aturan hukum.

Oleh karena tesis ini mengkaji kekaburan norma maka dilakukan

penafsiran atau interpretasi dengan berpedoman pada metode interpretasi atau

metode penafsiran. Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian metode

penafsiran atau interpretasi secara sederhana sebagai berikut: “Interpretasi adalah

metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk

dapat diterapkan pada peristiwanya...”33

Ada 6 (enam) metode interpretasi atau penafsiran yang dikemukakan oleh

Philipus M. Hadjon, yaitu:

1) Interpretasi gramatikal: mengartikan suatu term hukum atau suatu bagian kalimat menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum;

2) Interpretasi sistematis: dengan titik tolak dari sistem aturan mengartikan suatu ketentuan hukum;

3) ”Wets en rechtshistorische interpretative” menelusuri maksud pembentuk undang-undang adalah suatu “wetshistorische interpretative”. Dalam hal menemukan jawaban atau suatu isu hukum dengan menelusuri perkembangan hukum (aturan) disebut “rechtshistorische interpretative”;

4) Interpretasi perbandingan hukum: mengusahakan penyelesaian suatu isu hukum dengan membandingkan berbagai stelsel hukum;

5) Interpretasi antisipasi: menjawab suatu isu hukum dengan mendasarkan pada suatu aturan hukum yang belum berlaku; dan

6) Interpretasi teleologis: setiap interpretasi pada dasarnya adalah teleologis.34

Dalam penelitian ini digunakan penafsiran gramatikal dan sistematis

hukum. Penafsiran gramatikal dilakukan untuk mencari arti atau makna isi aturan

hukum. Di dalam penelitian ini isu hukum terhadap kata-kata “pada waktu

32Philipus M. Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam

Yuridika, Nomor 6, Tahun IX, Nopember-Desember, (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon II), tanpa halaman. 33

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 21. 34

Philipus M. Hadjon II, loc.cit.

39

perkawinan dilangsungkan” yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) UU

Perkawinan jika digunakan penafsiran gramatikal, mempunyai makna bahwa

perjanjian perkawinan itu dibuat pada saat perkawinan itu sedang dilakukan

upacara keagamaan ataukah perjanjian perkawinan itu dibuat setelah pencatatan

perkawinan dilakukan.

Selain itu, digunakan penafsiran sistematis, yaitu “penafsiran menurut

pembuat undang-undang karena ada kalanya undang-undang sendiri menafsirkan

dalam ketentuan atau pasal undang-undang itu arti kata atau istilah yang

digunakan.”35

Penafsiran ini digunakan untuk mengetahui secara benar maksud

atau kehendak dari pembentuk undang-undang, yang tercantum dalam penjelasan

setiap undang-undang. Dalam tesis ini, isu hukum terhadap kata-kata, “pada

waktu perkawinan dilangsungkan” yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) UU

Perkawinan jika digunakan penafsiran sistematis adalah untuk mengetahui secara

benar maksud dari ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jika dilihat dari

penjelasannya dan peraturan pelaksanaannya jika dikaitkan dengan ketentuan

Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU Administrasi Kependudukan serta Pasal 1338 KUH

Perdata.

Dalam sistematisasi ini, dilakukan koherensi antara aturan-aturan hukum

yang berhubungan agar dapat dipahami dengan baik. Pada tahap ini pula

dilakukan rasionalisasi dan penyederhanaan sistem hukum dengan mengkontruksi

aturan-aturan umum dan pengertian-pengertian umum agar bahan hukum menjadi

35Mochtar Kusumaatmadja dan Bernard Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum,

Bandung: Alumni, hal. 108.

40

40

tertata lebih baik, lebih masuk akal (tatanan logikanya menjadi lebih jelas) dan

lebih dapat ditangani (hanterbaar).”36

Pada tahap eksplanasi dilakukan penjelasan dan analisis terhadap makna

dalam aturan-aturan hukum sehubungan dengan isu hukum dalam penelitian tesis

ini, yaitu dengan menganalisa ketentuan dalam kata-kata yang terdapat di Pasal 29

ayat (1) UU Perkawinan, sehingga keseluruhannya membentuk suatu kesatuan

yang saling berhubungan secara logis. “Penganalisisan pada hakekatnya

merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis

untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.”37

Konstruksi yang

dilakukan dengan cara memasukkan Pasal 1338 KUH Perdata dan ketentuan

dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan.

36Bernard Arief Sidharta, 1999, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar

Maju, hal. 149-150. 37

Soerjono Soekantodan Sri Mamudji, op.cit., hal. 251-252.

4141