repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · web view...

72
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu peristiwa alam biasa, fenomena alam ini akan berubah menjadi bencana alam tanah longsor manakala tanah longsor tersebut menimbulkan korban baik berupa korban jiwa maupun kerugian harta benda dan hasil budaya manusia. Sulawesi Selatan yang sebagian wilayahnya adalah daerah perbukitan dan pegunungan, menyebabkan wilayah ini menjadi daerah yang rawan terhadap kejadian tanah longsor. Intensitas curah hujan yang tinggi dan kejadian gempa yang sering muncul, secara alami akan dapat memicu terjadinya bencana alam tanah longsor. Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses yang berlangsung secara perlahan. Beberapa jenis bencana seperti gempa bumi, tsunami dan gunung meletus hampir tidak mungkin diperkirakan secara akurat,

Upload: others

Post on 27-Feb-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah longsor adalah suatu peristiwa alam biasa, fenomena alam ini

akan berubah menjadi bencana alam tanah longsor manakala tanah longsor

tersebut menimbulkan korban baik berupa korban jiwa maupun kerugian

harta benda dan hasil budaya manusia. Sulawesi Selatan yang sebagian

wilayahnya adalah daerah perbukitan dan pegunungan, menyebabkan

wilayah ini menjadi daerah yang rawan terhadap kejadian tanah longsor.

Intensitas curah hujan yang tinggi dan kejadian gempa yang sering muncul,

secara alami akan dapat memicu terjadinya bencana alam tanah longsor.

Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses

yang berlangsung secara perlahan. Beberapa jenis bencana seperti gempa

bumi, tsunami dan gunung meletus hampir tidak mungkin diperkirakan secara

akurat, kapan akan terjadi dan berapa besaran kekuatannya, sedangkan

beberapa bencana lainnya seperti banjir, tanah longsor, kekeringan masih

dapat diramalkan sebelumnya. Meskipun demikian kejadian bencana selalu

memberikan dampak kejutan dan menimbulkan banyak kerugian baik jiwa

maupun materi. Kejutan tersebut terjadi karena kurangnya kewaspadaan dan

kesiapan dalam menghadapi ancaman bahaya.

Page 2: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

2

Sejak tahun 2001 hingga 2008 tercatat lebih dari 36 kejadian tanah

longsor di Indonesia dengan memakan korban 1228 jiwa meninggal/hilang

dan lebih dari 4044 rumah rusak tertimbun (Karnawati dan Fathani, 2008).

Menurut Nugroho, tanah longsor yang terbesar terjadi tahun 2010 di

Indonesia adalah tanah longsor Ciwedey Jawa Barat yang menelan korban

sebanyak 44 jiwa dan menurut BNPB, korban tanah longsor tahun 2011

sebanyak 104 jiwa dan tahun 2012 sebanyak 56 jiwa. Longsor dan banijr

terbesar tahun 2012 terjadi di Ambon yang menelan korban sebanyak 21

orang dan merusak 118 buah rumah. Dikhawatirkan kejadian tanah longsor

akan semakin meningkat di tahun-tahun mendatang akibat makin terusiknya

lahan-lahan rentan tanah longsor oleh kegiatan pembangunan yang kurang

berwawasan lingkungan (Karnawati & Fathani, 2008).

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada 11

Kabupaten di Sulawesi Selatan yang rawan terhadap tanah longsor yaitu

Tanah Toraja, Luwu, Pinrang, Sidrap, Wajo, Soppeng, Bone, Sinjai,

Bantaeng, Gowa dan Makassar. Hal ini dimungkinkan karena kondisi daerah

ini yang bertopografi pegunungan hingga perbukitan, maka untuk

menghubungkan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya dibutuhkan cut

and fill lahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini

menyebabkan banyak ruas jalan di Sulawesi Selatan yang rentan terhadap

bahaya tanah longsor (Samang dkk, 2006)

Page 3: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

3

Berdasarkan survei geologi yang dilakukan oleh Pachri (2009) dan

Busthan (2010 sampai awal 2012) telah terjadi bencana tanah longsor pada

poros jalan Malino-Manipi. Tanah longsor tersebut menyebabkan tertutupnya

badan jalan poros Malino- Manipi sehingga arus transportasi terputus dan

dampak lanjutannya adalah terganggunnya roda perekonomian masyarakat

Malino dan Manipi. Selain merusak badan jalan, juga menimbun lahan

persawahan dan perkebunan penduduk setempat.

Berdasarkan hal di atas penulis berkesimpulan bahwa kedepan tanah

longsor akan semakin sering terjadi atau dengan kata lain ruas jalan Malino –

Manipi adalah daerah yang rentan terhadap kejadian tanah longsor. Untuk

meminimalisasi dampak bencana, maka harus dilakukan mitigasi bencana

dan untuk melakukan mitigasi bencana maka karakteristik bencana harus

harus dikaji secara saksama. Hal ini yang menyebabkan penulis tertarik

untuk melakukan penelitian disertasi di daerah ini dengan judul “ Kajian

Geologi Teknik kerentanan Tanah Longsor Pada Ruas Jalan Malino

Kabupaten Gowa sampai Manipi Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi-

Selatan” sebagai salah satu upaya untuk mendukung mitigasi bencana tanah

longsor.

B. Identifikasi Masalah Penelitian

Ruas jalan Malino Kabupaten Gowa – Manipi Kabupaten Sinjai dan

ruas jalan Manipi – Kota Sinjai, 4 tahun terakhir setiap tahun mengalami

Page 4: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

4

kejadian tanah longsor. Tanah longsor yang terjadi menyebabkan

tertimbunnya badan jalan dan terpotongnya badan jalan sehingga arus

transportasi Malino – Manipi dan Manipi – Kota Sinjai menjadi terputus,

material longsor juga menimbun lahan perkebunan dan lahan persawahan

yang ada disekitar lokasi tanah longsor. Selain itu, akibat tanah longsor ini

juga menyebabkan tiang listrik dan tiang kabel telepon posisinya menjadi

miring. Penulis menyimpulkan bahwa ruas jalan Malino – Manipi adalah

daerah yang rentan terhadap bahaya tanah longsor.

C. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah yang akan dikaji

meliputi :

1. Bagaimana karakteristik bidang diskontinuitas batuan

2. Bagaimana profil tingkat pelapukan batuan

3. Bagaimana model karakteristik bidang diskontinuitas batuan dan

hubungannya dengan tingkat pelapukan batuan dan pengaruhnya

terhadap tingkat kerentanan tanah longsor pada ruas jalan Malino-

Manipi

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas maka tujuan

penelitian yang akan dicapai adalah :

1. Menganalisis karakteristik bidang diskontinuitas batuan

Page 5: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

5

2. Mengkaji tingkat pelapukan batuan

3. Pemodelan karakteristik bidang diskontinuitas batuan dan

hubungannya dengan tingkat pelapukan batuan dan pengaruhnya

terhadap tingkat kerentanan tanah longsor pada ruas jalan Malino-

Manipi

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini sebagai

berikut :

1. Meningkatkan pemahaman/pengetahuan tentang seluk beluk tanah

longsor bagi pemangku kepentingan yaitu Pemerintah (instansi terkait)

dan masyarakat pada umumnya.

2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan terhadapi Pemerintah

Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Daerah Sinjai, Pemda

Kabupaten Gowa dan Instansi terkait dalam membuat kebijakan

tentang metode minimalisasi dampak bencana tanah longsor.

3. Sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan

faktor-faktor penyebab terjadinya kerentanan tanah longsor.

4. Dengan mengetahui faktor penyebab kerentanan tanah longsor, maka

mitigasi yang akan dilakukan akan lebih efektif dan efisien

Page 6: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Issu Strategis Kerentanan Tanah longsor

Kepulauan Indonesia terletak pada wilayah pertemuan 3 (tiga)

lempeng besar dunia yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada

daerah pertemuan antar lempeng tersebut terjadi zona penunjaman atau

subduction zone yang mengakibatkan pembentukan gunungapi di busur

kepulauan dengan kemiringan sedang hingga terjal. Material hasil letusan

gunungapi mempunyai porositas tinggi dan kurang kompak dan tersebar di

daerah dengan kemiringan terjal, jika terganggu keseimbangan hidrologinya,

daerah tersebut akan rawan terhadap tanah longsor. Kondisi tersebut

mengakibatkan wilayah yang berada dalam busur kepulauan bersifat rawan

terhadap tanah longsor (BNPB, 2010). Peta kerangka tektonik wilayah

Indonesia disajikan dalam gambar 1.

Menyadari hal di atas tersebut, Pemerintah Indonesia memberikan

perhatian besar terhadap kondisi geologis tersebut. Pemerintah dalam

menanggapi kejadian bencana alam yang sering melanda negara kita, maka

sejak Pemerintahan Orde Lama sampai Pemerintahan saat ini telah

berkali-kali membentuk lembaga atau badan yang secara khusus bekerja

dalam usaha-usaha penanggulangan bencana.

Page 7: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

7

Gambar 1 : Peta Kerangka Tektonik Indonesia (PVMBG, 2011)

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, dimana kewenangan

penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab daerah, maka

Pemerintah Pusat mulai meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dan

masyarakat setempat untuk dapat secara mandiri mengatasi permasalahan

bencana di setiap provinsi dan kota/kabupaten

Pada priode 2005 – 2008 yaitu setelah tragedi gempa dan tsunami di

aceh dan sekitarnya, keluar Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2005

tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Badan ini selain memiliki fungsi koordinatif juga didukung oleh pelaksana

harian sebagai unsur pelaksana penanggulanagn bencana. Sejalan dengan

itu, pendekatan melalui paradigma pengurangan resiko merupakan jawaban

Page 8: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

8

yang tepat untuk melakukan upaya penanggulangan bencana pada era

otonomi daerah. Dalam paradigma ini, setiap individu diperkenalkan dengan

berbagai ancaman yang ada di wilayahnya, bagaimana cara memperkecil

ancaman dan kerentanan yang dimilki, serta meningkatkan kemampuan

masyarakat dalam menghadapi ancaman. Dalam priode ini lahir Undang-

Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Karena pentingnya usaha-usaha penanggulangan bencana maka

sejak tahun 2009 telah dibentuk secara bertahap Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD) pada tingkat Provinsi dan Kota/Kabupaten

Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

mendefinisikan bencana sebagai “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor

manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”. Definisi bencana

seperti dipaparkan tersebut mengandung tiga aspek dasar, yaitu :

(1) Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak

(hazard). (2) Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan,

penghidupan, dan fungsi dari masyarakat. (3) Ancaman tersebut

mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk

mengatasi dengan sumber daya mereka.

Page 9: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

9

Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster)

maupun oleh ulah manusia (man-made disaster) (BNPB, 2006).

Berdasarkan kondisi geologi dan kondisi curah hujan di Indonesia

serta ikut mendukung pelaksanaan regulasi yang dibuat oleh Pemerintah

berkaitan dengan penanggulangan bencana di Indonesia yang menitip

beratkan pada paradigma pengurangan resiko bencana seperti yang telah

diuraikan di atas maka penelitian kerentanan tanah longsor sangat relevan

atau sangat urgen untuk dikaji secara akademik.

B. Mekanisme Tanah Longsor

Ada beberapa ahli yang mengemukakan tentang pengertian atau

definisi dari tanah longsor seperti Varnes (1978), Cruden (1991) dan

Karnawati (2005). Menurut Varnes (1978) longsoranatau tanah longsor

adalah bergeraknya massa penyusun lereng yaitu tanah, batuan maupun

campuran keduanya ke arah bawah atau keluar lereng di bawah pengaruh

gravitasi bumi. Cruden (1991) juga mengemukakan pengertian tanah longsor

(landslide) sebagai pergerakan suatu massa batuan, tanah atau bahan

rombankan material penyusun lereng (yang merupakan pencampuran tanah

dan batuan) menuruni lereng. Pengertian yang dikemukakan oleh Karnawati

(2005), tanah longsor adalah proses transportasi atau pergerakan sebagian

massa penyusun lereng (mass wasting process) yang kemudian diikuti oleh

proses pengendapan (sedimentasi) material yang tertransport. Selanjutnya

Karnawati mengatakan, apabila material yang bergerak/longsor tersebut

Page 10: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

10

terendapkan pada lahan dengan gradien hidrolika masih cukup tinggi, atau

membentuk endapan dengan kemiringan lereng yang cukup terjal/curam

maka endapan tersebut masih dapat mengalami gangguan kestabilan,

sehingga endapan tersebut dapat bergerak lagi menuruni atau keluar lereng

sampai akhirnya mencapai posisi stabil.

Tanah longsor atau gerakan tanah yang terjadi pada suatu daerah

dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain faktor – faktor geologis, faktor

curah hujan, dan. faktor buatan manusia

Faktor pengontrol terjadinya longsoran merupakan fenomena yang

mengkondisikan suatu lereng menjadi berpotensi bergerak, meskipun pada

saat ini lereng tersebut masih stabil ( belum bergerak atau belum longsor).

Lereng yang berpotensi untuk bergerak ini baru akan bergerak apabila ada

gangguan yang memicu terjadinya gerakan (Karnawati, 2005). Faktor-faktor

ini umumnya merupakan fenomena alam (meskipun ada yang bersifat non

alamiah).

Ada banyak ahli yang mengemukakan pendapat tentang faktor

penyebab tanah longsor. Pendapat masing-masing ahli ada yang sama

namun ada juga yang beda. Berikut ini akan dikemukakan beberapa

pendapat tentang penyebab tanah longsor.

Menurut Popescu, penyebab tanah longsor secara garis besar

dikelompokkan kedalam tiga kelompok yaitu : kondisi tanah dan batuan,

Page 11: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

11

proses-proses geomorfologi, proses-proses fisik dan proses-proses buatan

manusia.

Karnawati (2005) dalam bukunya yang berjudul “Bencana Alam

Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulannya,

berpendapat bahwa proses terjadinya tanah longsor atau gerakan tanah

dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor penyebab pengontrol dan faktor pemicu

gerakan. Faktor pengontrol meliputi : aspek geomorfologi, geologi, tanah,

geohidrologi dan tata guna lahan. Faktor pemicu gerakan meliputi :infiltrasi air

ke dalam lereng, getaran dan aktivitas manusia.

Ada banyak klasifikasi mekanisme tanah longsor, seperti klasifikasi

yang dikemukakan oleh Varnes (1978), Hoek dan Bray (1981). Klasifikasi

tanah longsor yang sering digunakan adalah klasifikasi yang dikemukakan

oleh Varnes untuk lereng alami. Adapun klasifikasi Hoek dan Bray banyak

digunakan dalam bidang pertambangan yaitu untuk lereng buatan.Klasifikasi

oleh Varnes didasarkan pada mekanisme gerakan dan material yang

berpindah atau bergerak.

Varnes (1978) mengklasifikasi tanah longsor menjadi 6 tipe yaitu fall

(jatuhan), topless (jungkiran), slides (longsoran), lateral spread (hamparan

lateral), flow (aliran) dan complex /compound (kompleks atau gabungan).

Lebih jelasnya klasifikasi tanah longsor menurut Vernes (1978) disajikan

Page 12: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

12

dalam tabel 1 dan gambar mekanisme tanah longsor menurut USGS

disajikan dalam gambar 2.

Tabel 1 : Mekanisme Tanah Longsor (Varnes, 1978)

Type of movement

Type of material

Bedrock Engineering soils

Predominantly fine

Predominantly coarse

Falls Rockfall Earth fall Debris fall

Topples Rock topple Earth topple Debris topple

Slides

Rotational Rock slump Earth slump Debris slump

Translational

Few units

Rock block slide

Earth block slide

Debris block slide

Many units

Rock slide Earth slide Debris slide

Lateral spreads Rock spread Earth spread Debris spread

Flows

Rock flow Earth flow Debris flow

Rock avalanche

Debris avalanche

(Deep creep)

(Soil creep)

Complex and compound Combination in time and/or space of two or more

Page 13: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

13

principal types of movement

Gambar 2 : Jenis Mekanisme Tanah Longsor (USGS)

C. Karakteristik Bidang Diskontinuitas Batuan

Menurut International Society For Rock Mechanics yang dikemukan

oleh Brown (1981) dalam bukunya yang berjudul Rock Characterization

Testing and Monitoring, dikemukakan bahwa ada 10 karakteristik bidang

diskontinuitas pada batuan, kemudian Wyllie dan Mah (2004) dalam bukunya

yang diberi judul Rock Slope Engineering mengemukakan bahwa ada 13

parameter karakteristik bidang diskontinuitas atau bidang rekahan termasuk

Page 14: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

14

yang dikemukakan oleh Brown ditambah 3 parameter lainnya oleh Wyllie

dan Mah yang secara kualitatif dapat menyebabkan menurunnya kualitas

batuan. Ke – 13 parameter tersebut sebagai berikut (Brown, 1981 dan Wyllie

dan Mah, 2004) :

1. Tipe batuan (rock type)

2. Kekuatan dinding rekahan (wall Strength)

3. Tipe rekahan (discontinuity type)

4. Orientasi (orientation)

5. Kekasaran bidang rekahan (roughness)

6. Bukaan (aperture)

7. Tipe isian pada rekahan (infilling)

8. Spasi rekahan (spacing)

9. Panjang rekahan (persistence)

10.Jumlah pasangan rekahan (number of sets)

11.Ukuran blok rekahan (block size)

12.Aliran mata air (seepage)

Penjelasan ke-12 parameter karakteristik bidang diskontinuitas pada

batuan dijelas sebagai berikut (Brown, 1981 dan Wyllie dan Mah,

2004):

1. Tipe batuan (rock type)

Page 15: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

15

Tipe atau jenis batuan terdiri dari 4 tipe dan masing-masing tipe terdiri

berbagai nama batuan. Ke-4 tipe batuan adalah : batuan beku, batuan

sedimen, batuan metamorf dan batuan piroklastik.

2. Kekuatan dinding rekahan (wall Strength)

Kekuatan dinding rekahan adalah adalah kesan yang didapatkan bila

batuan dipukul menggunakan palu geologi. Kekuatan dinding rekahan

mulai dari ekstrim lemah sampai ekstrim kuat. Berikut tabel klasififikasi

kekuatan dinding rekahan

Tabel 2 : Klasifikasi dan Diskripsi kekuatan dinding rekahan

Kategori

Klasifikasi Diskripsi kondisi batuan Perkiraan UCS (kg/cm2)

ROR1

R2

R3

R4

R5

R6

Ekstrim lemahSangat lemah

Lemah

Kekuatan sedang

Kuat

Sangat kuat

Ekstrim kuat

Dapat digores dengan kukuRemuk dengan pukulan palu geologi dan dapat teriris dengan pisau sakuDapat teriris dengan pisau saku, dengan palu geologi, palu akan tertancap dangkal.Tidak dapat teriris dengan pisau saku, sample dapat terambil dengan kali pukulanMemerlukan pukulan lebih dari satu kali untuk meretakkan batuanMemerlukan beberapa kali untuk meretakkan batuanHanya dengan palu geologi dapat memecahkan batuan

2.5 – 1010 – 50

50 – 250

250 – 500

500 – 1000

1000 – 2500

>2500

3. Tipe rekahan (discontinuity type)

Page 16: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

16

Tipe rekahan adalah kekar (joint), perlapisan batuan dan foliasi. Kekar

(joint) terbentuk akibat deformasi pada batuan, terjadi setelah batuan

terbentuk. Perlapisan terjadi pada batuan sedimen, terjadi pada saat

pengendapan batuan terjadi. Foliasi terjadi pada batuan metamorf,

terjadi pada saat batuan metamorf terjadi.

4. Orientasi (orientation)

Orientasi batuan atau kedudukan batuan adalah posisi batuan

dipermukaan bumi, meliputi jurus (arah) dan kemiringan batuan.

Kedudukan batuan ditentukan berdasarkan kedudukannya dari arah

utara geografis.

5. Kekasaran bidang rekahan (roughness)

Kekasaran permukaan rekahan adalah keadaan permukaan bidang

kekar, keadaan kekasaran mulai dari licin (slickenside) sampai kasar.

Klasifikasi kekasaran permukaan rekahan sebagi berikut (tabel 3):

Page 17: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

17

Tabel 3 : Diskripsi kekasaran permukaan rekahan

Kategori Diskripsi

IIIIIIIVVVIVIIVIIIIX

Kasar ( tidak teratur) bertanggaHalusLicinKasar (tidak teratur) bergelombangHalusLicinKasar (tidak teratur) planarHalusLicin

6. Bukaan (aperture)

Bukaan rekahan adalah lebar rekahan pada batuan. Klasifikasi lebar

bukaan rekahan sebagai berikut (tabel 4):

Tabel 4 : Kasifikasi lebar bukaan rekahan

Lebar bukaan Diskripsi< 0.1 mm0.1 – 0.25 mm0.25– 0.50 mm0.50 – 2.5 mm0.25 – 10 mm > 10 mm1 – 10 cm10 – 100 cm>100 cm

Sangat rapatRapatSebagian terbuka tertutupTerbukaTerbuka sedangTerbuka lebar bercelahSangat lebarEkstrim lebarBerongga terbuka

7. Tipe isian pada rekahan (infilling)

Rekahan pada batuan kadang-kadang terisi mineral/material tertentu,

misalnya kalsit, kuarsa, lempung, gauge ataupun oksida besi.

Page 18: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

18

8. Spasi rekahan (spacing)

Spasi rekahan adalah jarak antara rekahan yang satu dengan rekahan

yang berdekatan pada suatu kumpulan rekahan yang kedudukannya

sejajar atau hampir sejajar. Klasifikasi spasi rekahan sebagai berikut

(tabel 5).

Tabel 5 : Klasifikasi spasi rekahan

Spasi Rekahan Klasifikasi< 20 mm20 – 60 mm60 – 200 mm200 – 600 mm600 – 2000 mm2000 – 6000 mm>6000 mm

Ekstrim tertutupSangat tertutupTertutupTertutup sedangLebarSangat lebarEkstrim lebar

9. Panjang rekahan (persistence)

Persistensi rekahan adalah panjang rekahan yang dapat ditelusuri

sesuai keadaan batuan di lapangan. Klasifikasi persintensi rekahan

adalah tabel 6.

Tabel 6 : Klasifikasi panjang rekahan

Persistensi Klasifikasi< 1 m

1 – 3 m3 – 10 m10 – 20 m

>20 m

Sangat pendekPendekSedangPanjang

Sangat panjang

Page 19: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

19

10. Jumlah pasangan rekahan (number of sets)

Kadang-kadang rekahan yang terjadi pada batuan kedudukannya

relatit sejajar antara satu rekahan dengan rekahan lainnya. Rekahan

yang demikian disebut rekahan berpasangan. Pasangan-pasangan

rekahan tersebut bisa lebih dari satu pasang rekahan tergantung pada

deformasi yang terjadi pada batuan. Berikut adalah diskripsi pasangan

rekahan (tabel 7).

Tabel 7 : Kategori dan diskripsi pasangan rekahan

Kategori DiskripsiIIIIIIIVVVIVIIVIIIIX

Masif, kadang-kadang ada rekahan randomSatu pasang rekahanSatu pasang rekahan ditambah rekahan randomDua pasang rekahanDua pasang rekahan ditambah rekahan randomTiga pasang rekahanTiga pasang rekahan ditambah rekahan randomEmpat rekahan atau lebihBatuan hancur atau seperti tanah

11. Ukuran blok rekahan (block size)

Ukuran blok rekahan tergantung pada spasi dan jumlah pasangan

kekar/rekahan. Semakin rapat spasi rekahan dan semakin banyak

jumlah pasangan rekahan, blok rekahan semakin kecil. Blok rekahan

ditentukan permeter kubik volume batuan yang mengalami rekahan.

Berikut adalah klasifikasi banyaknya rekahan permeter kubik (Jv) :

Page 20: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

20

Tabel 8 : Klasifikasi besar blok rekahan

Diskripsi Jv. (rekahan/m3)Blok sangat besar

Blok besarBlok sedang

Blok kecilBlok sangat kecil

< 1.01 – 33 – 10

10 – 30 >30

12. Aliran mata air (seepage)

Pada celah rekahan, kadang-kadang dijumpai adanya rembesan air.

Rembesan air dapat dibagi menjadi 5 kondisi, yaitu kering, lembab,

basah, menetes dan mengalir.

Skematik karakteristik bidang diskontinuitas pada batuan pada gambar

berikut :

Page 21: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

21

Gambar 3 : Skematik parameter diskontinuitas batuan (Wyllie dan Mah,

2004)

D. Tingkat Pelapukan Batuan

Undul (2012) mengatakan bahwa pelapukan adalah proses perubahan

dan penghancuran batuan dan tanah dipermukaan bumi atau dekat

permukaan bumi oleh proses fisika, kimia dan biologi menjadi

lempung, oksida besi dan produk pelapukan lainnya.

Menurut Wyllie dan Mah (2004), pelapukan batuan terbagi atas 6

tingkatan, mulai dari batuan segar (tidak lapuk) sampai residual soil.

Tingkatan pelapukan batuan dalam tabel 9 sebagai berikut :

Tabel 9 : Tingkat pelapukan batuan (weathering grade) (Wyllie dan Mah, 2004)

Tingkat (grade)

Istilah Diskripsi

I Segar (fresh) Tidak tanpak gejala adanya pelapukan, permukaan batuan belum tanpak perubahan

II Agak lapuk sebagian telah terjadi perubahan warna pada batuan dan permukaan rekahan,

III Lapuk sedang Kurang dari setengan tubuh batuan telah berubah komposisi dan terjadi disintergrasi menjadi tanah

IV Lapuk tinggi Lebih dari setengah tubuh batuan telah berubah warna, berubah komposisi dan telah terjadi disintegrasi menjadi tanah

V Lapuk

sempurna

Semua tubuh batuan telah berubah komposisi atau telah terjadi disintergrasi menjadi soil

VI Tanah Residu Semua tubuh batuan telah menjasi soil,

Page 22: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

22

tekstur dan struktur sudah tidak tanpak. Belum tanpak gejala material mengalami transportasi

E. Faktor Keamanan Lereng

Tanah longsor terjadi apabila terdapat ganguan kesetimbangan atau

gangguan kestabilan pada lereng. Keseimbangan atau kestabilan pada

lereng bergantung pada hubungan momen gaya yang mejadikan lereng

longsor (draving forces) yang akan membuat massa tanah atau batuan

meluncur atau bergerak ke bawah, dan momen gaya yang menahan

(resisting forces) yang akan menjadikan tanah atau batuan tetap seimbang

atau stabil (Karnawati, 2005).

Gaya yang menjadikan lereng longsor adalah berat massa material

tanah atau batuan, beban pada lereng, tekanan air dalam pori-pori tanah dan

adanya getaran. Gaya-gaya yang menahan sehingga lereng tidak longsor

adalah kuat geser (shear strength) yaitu nilai kohesi (C) dan sudut geser

dalam (Ø). Besar nilai kohesi tergantung pada kekuatan aktan antar atom-

atom atau melekul-melekul penyusun partikel – partikel tanah atau batuan

atau tergantung pada kekuatan sementasi antara partikel-partikel batuan.

Sudut geser dalam adalah nilai yang mengekspresikan kekautan friksi antara

partikel-partikel pentusun batuan atau tanah.

Page 23: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

23

Selanjutnya Karnawati mengatakan bahwa berdasarkan interaksi

antara momen-momen gaya tersebut di atas, kestabilan suatu lereng dihitung

berdasarkan dengan cara membandingkan antara gaya yang menahan dan

gaya yang melongsorkan atau meluncurkan. Perbandingan tersebut

diformulasikan sebagai berikut :

FK = Gaya Penahan Gerakan/ Gaya Penggerak/Peluncur

Faktor Keamanan (FK) adalah suatu nilai yang yang ekspresikan

tingkat kestabilan suatu lereng. Menurut Sower (1979) Bila :

FK > 1 = lereng tidak aman

FK 1 – 1,2 = stabilitas lereng meragukan

FK > 1,2 = lereng aman

F. Konsepsional Kerentanan Tanah Longsor

Menurut Karnawati (2005) kerentanan tanah longsor adalah fenomena

yang mengkondisikan suatu lereng menjadi berbakat atau berpotensi atau

rentan untuk bergerak walaupun pada saat ini lereng tersebut masih stabil

(belum bergerak atau belum longsor). Lereng yang berbakat untuk longsor,

baru akan bergerak apabila ada gangguan yang memicu terjadinya gerakan.

Dalam buku Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana

Longsor atau Tanah Longsor, yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan

Page 24: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

24

Umum tahun 2007, dijelaskan bahwa tingkat kerentanan tanah tanah longsor

pada suatu daerah dapat dibedakan ke dalam tiga tingkatan kerentanan,

yaitu;

1. Daerah tingkat kerentanan tinggi

Mempunyai potensi yang tinggi untuk mengalami tanah longsor dan

mempunyai cukup padat permukiman, atau terdapat konstruksi bangunan

penting. Pada daerah ini sering mengalami tanah longsor, terutama pada

musim hujan atau saat gempa bumi terjadi. Ciri-ciri daerah yang mempunyai

tingkat kerentanan tinggi meliputi :

Kondisi kemiringan lereng lebih dari 40%

Kondisi tanah penutup lereng berupa residual soil bersifat gembur dan

mudah meloloskan air yang menumpang di atas batuan padat dengan

ketebalan lebih dari 2 m.

Pada batuan penyusun lereng terdapat bidang diskontinuitas, bidang

rekahan, bidang retakan dan kemiringan perlapisan batuan miring ke

arah luar lereng atau perlapisan batuan searah dengan kemiringan

lereng.

Curah hujan tinggi, mencapai 100mm/hari atau 70 mm/jam, dengan

curah hujan tahunan lebih dari 2500 mm. Curah hujan kurang dari 70

mm/jam, tetapi berlangsung terus menerus selama lebih dari dua jam

hingga beberapa hari.

Page 25: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

25

Sering muncul rembesan-rembesan air atau mata air pada lereng,

terutama pada bidang kontak antara batuan kedap dengan lapisan

tanah yang permeable.

Lereng pada daerah rawan gempa

Vegetasi berupa alang-alang, rumput-rumputan, tumbuhan semak,

dan tumbuhan perdu

Pola tanam pada lereng ditanami dengan pola tanam yang tidak tepat

dan sangat sensitif.

Intensitas penggalian/pemotongan lereng tinggi, tanpa perhitungan

analisis kestabilan lereng.

Dilakukan pencetakan kolam yang dapat mengakibatkan

merembesnya air kolam ke dalam lereng.

Sistem drainase tidak memadai.

Dilakukan pembangunan konstruksi dengan beban yang terlalu besar

dan melampaui daya dukung tanah.

Kepadatan penduduk tinggi (>50 Jiwa/ha).

Tidak ada usaha mitigasi bencana oleh pemerintah/masyarakat

a. Daerah tingkat kerentanan sedang

Daerah tingkat kerentanan sedang merupakan daerah dengan potensi

yang tinggi untuk mengalami tanah longsor, namun tidak ada permukiman

serta konstruksi bangunan yang terancam relatif tidak mahal dan tidak

penting. Ciri-ciri daerah yang tingkat kerentannya sedang meliputi :

Page 26: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

26

Kondisi kemiringan lereng berkisar 20 - 40%

Kondisi tanah penutup lereng berupa residual soil bersifat gembur dan

mudah meloloskan air yang menumpang di atas batuan padat dengan

ketebalan 2 m.

Pada batuan penyusun lereng terdapat bidang diskontinuitas, bidang

rekahan, bidang retakan tapi kemiringan perlapisan batuan tidak

miring ke arah luar lereng atau perlapisan batuan tidak searah dengan

kemiringan lereng.

Curah hujan sedang, berkisar 30 – 70 mm/jam), berlangsung tidak

lebih dari 2 jam dan hujan tidak setiap hari (1000 - 2500 mm/tahun).

Jarang muncul rembesan-rembesan air atau mata air pada lereng

Frekuensi gempa jarang terjadi.

Vegetasi berupa tumbuhan berdaun jarum seperti cemara dan pinus.

Pola tanam pada lereng ditanami dengan pola tanam yang tidak tepat

dan sangat sensitif.

Intensitas penggalian/pemotongan lereng rendah, tanpa perhitungan

analisis kestabilan lereng.

Dilakukan pencetakkan kolam tetapi terdapat perembesan air kolam

ke dalam lereng.

Sistem drainase agak memadai, ada usaha-usaha untuk memperbaiki.

Dilakukan pembangunan konstruksi dengan beban yang tidak terlalu

besar dan tidak melampaui daya dukung tanah.

Page 27: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

27

Kepadatan penduduk tinggi (20 - 50 Jiwa/ha).

Terdapat usaha mitigasi bencana oleh pemerintah/masyarakat tetapi

belum terkoordinasi dan melembaga dangan baik.

b. Daerah tingkat kerentanan rendah

Daerah tingkat kerentanan rendah merupakan daerah dengan potensi

tanah longsor yang tinggi, namun tidak ada risiko terjadinya korban jiwa

terhadap manusia dan bangunan, daerah yang kurang berpotensi untuk

mengalami longsoran, namun di dalamnya terdapat permukiman atau

konstruksi penting. Ciri-ciri daerah yang tingkat kerentannya rendah

meliputi :

Kondisi kemiringan lereng lebih dari 0 - 20%

Kondisi tanah penutup lereng berupa bersifat padat dan tidak mudah

meloloskan air dengan ketebalan kurang dari 2 m.

Pada batuan penyusun lereng tidak terdapat bidang diskontinuitas,

bidang rekahan, bidang retakan dan kemiringan perlapisan batuan

tidak miring ke arah luar lereng atau perlapisan batuan tidak searah

dengan kemiringan lereng.

Curah hujan rendah, kurang dari 30 mm/jam, berlangsung tidak lebih

dari 1 jam dan hujan tidak setiap hari (kurang dari 1000 mm/tahun).

Tidak terdapat rembesan-rembesan air atau mata air pada lereng

Lereng tidak termasuk daerah rawan gempa

Page 28: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

28

Vegetasi berupa tumbuhan berakar tunjang yang perakarannya

menyebar seperti jati, kemiri, kosambi, laban, dlingsem, mindi, johar,

bungur, banyan, mahoni, renghas, sonokeling, trengguli, tayuman,

asam jawa dan pilang.

Pola tanam pada lereng ditanami dengan pola tanam yang tepat dan

teratur.

Tidak ada penggalian/pemotongan lereng. Jika ada, dilakukan dengan

memperhitungkan kestabilan lereng.

Tidak melakukan pencetakkan kolam.

Sistem drainase memadai.

Dilakukan pembangunan konstruksi dengan beban ringan dan tidak

melampaui daya dukung atau tidak ada pembangunan konstruksi.

Kepadatan penduduk tinggi (<20 Jiwa/ha).

Terdapat usaha mitigasi bencana oleh pemerintah/masyarakat yang

sudah terorganisasi dan terkoordinasi dengan baik.

G.Kondisi Geologi Regional Daerah Penelitian

Menurut Sukamto dan Supriatna ,(1982) bentuk morfologi yang

menonjol di sekitar daerah penelitian adalah kerucut gunungapi

Lompobattang yang menjulang mencapai ketinggian 2876 meter di atas

permukaan laut. Kerucut gunung Lompobattang ini dari kejauhan masih

memperlihatkan bentuk aslinya dan tersusun oleh batuan gunungapi berumur

Pliosen.

Page 29: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

29

Dua bentuk kerucut tererosi lebih sempit sebarannya terdapat di sebelah

Barat dan di sebelah Utara gunung Lompobattang. Di sebelah Barat terdapat

gunung Baturape mencapai ketinggian 1124 meter, dan disebelah Utara

terdapat gunung Cindako, mencapai ketinggian 1500 meter. Kedua bentuk

kerucut tererosi ini disusun oleh batuan gunungapi berumur Pliosen.

Disebelah Barat gunung Cindako dan sebelah Utara gunung Baturape

merupakan daerah berbukit halus di bagian barat. Bagian Barat mencapai

ketinggian kira-kira 500 meter di atas permukaan laut dan hampir merupakan

suatu daratan. Bentuk morfologi ini tersusun oleh batuan klastik gunungapi

berumur Miosen. Bukit yang memanjang yang tersebar di daerah ini

mengarah ke gunung Cindako dan gunung Baturape berupa retas-retas

basal.

1. Stratigrafi Regional

Secara regional daerah penelitian termasuk dalam Lembar Ujung

pandang, Benteng dan Sinjai yang dipetakan oleh Sukamto dan Supriatna.

(1982) (Gambar 3.). Satuan batuan tertua yang telah diketahui umurnya

adalah batuan sedimen flysch Kapur Atas yang dipetakan sebagai Formasi

Marada (Km) yang terdiri dari batuan sedimen flysch yaitu peselingan antara

batupasir, batulanau dan serpih serta batuan terobosan yang bersifat trakit-

andesit. Berdasarkan fosil Globotruncana yang terdapat pada batupasir

gampingan, menunjukkan umur Kapur Atas dan di endapkan pada

lingkungan laut dalam (van Leewen, dalam Sukamto, 1982). Batuan Malihan

Page 30: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

30

(S) belum diketahui umurnya, apakah lebih tua atau lebih muda daripada

Formasi Marada ; yang jelas diterobos oleh Granodiorit yang diduga berumur

Miosen (19-2 juta tahun yang lalu). Hubungan Formasi Marada dengan

satuan batuan yang lebih muda, yaitu formasi Salo Kalupang dan batuan

Gunungapi terpropilitkan tidak begitu jelas, kemungkinan tak selaras.

Formasi Salo Kalupang (Teos) yang diperkirakan berumur Eosen

Awal-Oligosen Akhir berfasies sedimen laut, dan diperkirakan setara dengan

umur bagian bawah Formasi Tonasa (Temt). Formasi Salo Kalupang terjadi

di sebelah Timur Lembah Walanae dan Formasi Tonasa terjadi disebelah

Baratnya. Formasi Salo Kalupang, terdiri dari batupasir, serpih dan

batulempung berselingan dengan konglomerat gunungapi, breksi dan tufa

serta bersisipan dengan lava dan batugamping serta napal.

Batuan Gunungapi Kalamiseng (Tmkv) terdiri atas lava dan breksi

dengan sisipan tufa, batupasir, batulempung dan napal kebanyakan

bersusunan basal dan andesitik; kelabu tua hingga kehijauan, umumnya

tansatmata, kebanyakan terubah, amigdaloid dengan mineral sekunder

karbonat dan silikat; sebagian lavanya menunjukan struktur bantal. Satuan

batuan ini tersingkap di sepanjang pegunungan timur lembah Walanae,

terpisahkan oleh jalur sesar dari batuan sedimen dan karbonat yang berumur

Eosen di bagian baratnya, satuan ini berumur Miosen Bawah.

Page 31: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

31

Satuan batuan yang berumur Miosen Tengah sampai Pliosen

menyusun Formasi Camba (Tmc) yang tebalnya 4250 meter dan menindih

tidak selaras batuan-batuan yang lebih tua. Formasi ini disusun oleh batuan

sedimen laut berselingan dengan klastika gunungapi, yang menyamping

beralih menjadi dominan batuan gunungapi (Tmcv). Batuan sedimen laut

berasosiasi dengan karbonat mulai diendapkan sejak Miosen Akhir sampai

Pliosen di cekungan Walanae, daerah Timur, dan menyusun Formasi

Walanae (Tmpw) dan anggota Selayar (Tmps).

Anggota Batuan Gunungapi Formasi Camba (Tmcv) berumur Miosen

Tengah sampai Miosen Akhir dengan ketebalan sekitar 2.500 m. Formasi

Camba (Tmcv) ini disusun oleh batuan gunungapi, lava, konglomerat dan tufa

berbutir halus hingga lapili, bersisipan dengan batuan sedimen laut berupa

batupasir tufaan, batupasir gampingan dan batulempung yang mengandung

banyak sisa- sisa tumbuhan. Bagian bawahnya lebih banyak mengandung

breksi gunungapi dan lava yang berkomposisi andesit dan basal,

konglomerat juga berkomponen andesit dan basal dengan ukuran 3 – 50

cm, tufa kristal dan tufa vitrik. Bagian atasnya mengandung ignimbrit bersifat

trakit dan tefrit leusit, ignimbrit berstruktur kekar meniang, berwarna kelabu

kecoklatan dan coklat tua, tefrit leusit berstruktur aliran dengan permukaan

berkerak roti, berwarna hitam. Satuan Tmcv ini termasuk sebagai Batuan

Gunungapi Sopo, Batuan Gunungapi Lemo. Breksi gunungapi yang

tersingkap di Pulau Selayar mungkin termasuk formasi ini. Breksinya sangat

Page 32: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

32

kompak, sebagian gampingan, berkomponen basal amfibol, basal piroksin

dan andesit (0,5 – 30 cm), bermassa dasar tufa yang mengandung biotit dan

piroksin. Satuan ini merupakan fasies gunungapi dari Foramsi Camba yang

berkembang baik di daerah sebelah utaranya (Lembar Pangkajene dan

Watampone Bagian Barat), lapisannya kebanyakan terlipat lemah dengan

kemiringan rata- rata 20o, menindih tak selaras batugamping Formasi

Tonasa (Temt) dan batuan yang lebih tua.

2. Struktur Geologi Regional

Menurut Sukamto dan Supriatna (1982), secara regional struktur

geologi daerah Pegunungan Lompobattang dan sekitarnya berupa struktur

lipatan dan struktur sesar, dimana struktur lipatannya mempunyai jurus dan

kemiringan tertentu. Adapun perlipatannya dicirikan oleh kemiringan

perlipatan batuan, baik batuan Tersier maupun Kuarter (Plistosen). Oleh

sebab itu umur perlipatan ini

Struktur sesar mempunyai arah kemiringan bidang sesar yang

bervariasi, seperti pada daerah gunungapi Lompobattang ditemukan sesar

dengan arah Utara – Selatan, Timur – Barat, Baratdaya – Timurlaut, dan

Baratlaut – Tenggara, dimana jenis sesar ini sangat sulit ditentukan.

Page 33: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

33

Gambar 4.. Peta Geologi Regional daerah Sulawesi Bagian Selatan (modifikasi dari Sukamto dan Suprianta, 1982).

Terjadinya perlipatan dan pensesaran berhubungan dengan proses

tektonik di daerah setempat, dimana akhir dari kegiatan gunungapi Miosen

diikuti oleh aktivitas tektonik yang menyebabkan Terban Walanae. Peristiwa

ini mengakibatkan terbentuknya sesar yang kemungkinan berlangsung sejak

awal Miosen Tengah sampai kala Pliosen yang disertai dengan proses

sedimentasi. Hal ini juga diikuti oleh kegiatan gunungapi pada daerah

bagian Barat. Peristiwa ini berlangsung selama Miosen Tengah sampai

Pliosen.

Daerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah PenelitianDaerah Penelitian

Page 34: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

34

Pada kala tersebut dimungkinkan juga terjadinya perlipatan gunungapi

kontinen yang disertai dengan kegiatan magma yang masih berlangsung

hingga kala Plistosen.

Berhentinya kegiatan magma pada kala Plistosen Atas oleh kegiatan

tektonik menyebabkan terjadinya sesar di daerah ini.

G. Kerangka Konseptual Penelitian

H. Definisi Operasional

Tanah longsor adalah perpindahan batuan penyusun lereng hingga

keluar lereng karena adanya bidang diskontinuitas dan gaya gravitasi

Kerentanan tanah longsor adalah suatu fenomena pada tubuh batuan

untuk mengalami longsor walaupun saat ini masih belum longsor

Page 35: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

35

Geologi teknik adalah salah satu cabang ilmu geologi yang digunakan

dalam pemecahan masalah-masalah rekayasa teknik sipil.

Kategori kerentanan terdiri kerentanan rendah, kerentanan sedang

(menengah) dan kerentanan tinggi,

Tingkat pelapukan batuan adalah tingkatan perubahan komposisi,

warna dan disintegrasi material penyusun batuan.

Karakteristik bidang diskontinuitas batuan adalah suatu keadaan,

fenomena atau gejala yang terdapat pada batuan, hal ini terjadi pada

saat batuan terbentuk atau setelah batuan terbentuk

Faktor keamanan adalah nilai atau angka yang mengespresikan

tingkat kestabilan lereng

I. . Penelitian Terdahulu Tentang Tanah Longsor

Berikut adalah daftar penelitian terdahulu tentang tanah longsor (tabel 10)

Tabel 10 : Daftar Penelitian Terdahulu tentang Tanah Longsor

No.

Nama Peneliti Judul Nama Jurnal/Proseding/Publisher

lainnya

Tahun Publikasi

1. Robin Fell et.al Guideline For Landslide Susceptibility, Hazard and Risk Zoning For Land use

Planning

Elsevier, Eng. Geology,

Journl Home page

2008

2. Agung Setianto dan Soetaat

Low Cost Mapping For Innaccesible, Steep Slope

and Unstable Area, A Case studi At Mt. Bawakaraeng Caldera South Sulawesi

Indonesia

Prosceedings Of The First Makaassar

International Comprence

Civil

2010

Page 36: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

36

Engineering (Micce 2010)

3. Heru Sri Nuryanto Analisis Resiko Bencana Tanah longsor Di Kab.

Karanganyar Jawa Tengan

Jurnal Penanggulangan Bencana

2011

4. T. Muchlis, T. Faisal F. dan Ign.

Sudarmo

Perencanaan Sistem Peringatan Dini Bencana

Tanah longsor di Dusun Lucu Palongan Desa Campoan Kec. Mandingan Sitobondo

Jatim

2008

5. Rudiyanto Analisis Potensi Bahaya Tanah Longsor

Menggunakan GIS di Kec. Selo Boyolali Jateng

2010

6. Lawalenna Samang dkk

Identifikasi dan Pemetaan Ruas Jalan Rawan Bencana Longsoran dengan Berbasis

GIS di Sulsel

BALITBANDA Sulawesi Selatan

2007

7 F.C. Dai and C.F. Lee

Landslide Characteristic and Slope Instability Modeling Using GIS, Lantau Island

Hong Kong

2002

8. Keh Jian Shou and Ying Liang

Chen

Spasial Risk Analysis of Li-shan Landslide In Taiwan

2004

9. Ronnie Creighton Landslide In Ireland Geological Survey Of

Ireland and Irish Landslide

Group

2006

10.V.K. Sharma Zonasi Of Landslide Hazard

For Urban Palnning, Case Study Of Nainital Town, Kumaon Himalaya India

Geological Survey Of

India

2006

11. Bakhtiar F., Thomas Blaschke and Lubna Rafiq

GIS – Based Langslide Susceptability Mapping, A

Case Study In Bostan Abad Country Iran

12. S. Steriacchini at.al

Landslide Risk Analysis : A Multi Disciplinary

Methodological Approach

Natural Hazard and Earth System

Sciences

2007

Page 37: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

37

13. P. Farina et.al Landslide Risk Analysis by Means Of Remote Sensing techniques : Results from The ESA/SLAM Project

- Tanpa tahun

14 K.T. Chau et.al Landslide hazard analysis for Hong Kong using landslide

inventory and GIS

Computers and

Geosciences, Elsevier

2003

15 R. Bell and T. Glade

Quatitative Risk Analysis For Landslide- Example From Bildudalur, NW - Iceland

Natural Hazard and Earth System

Sciences

2004

16. Agung Setianto, Tetsoro Esaki and

Ibrahim Jalamaluddin

Ground Elevation Change Detection For Environmental

Hazadr Assessment At Copper and Gold Mining In

Papua Indonesia

Prosceedings Of The First Makaassar

International Comprence

Civil Engineering (Micce 2010)

2010

17. Mavroulli et.al Methodology to evaluate Rock Slope Stability Under

Seismic Condition At Sola de Santa Coloma, Andoora

Natural hazard and Earth System

Sciences

2009

18. Arsalan Ghahramani

Two Major Landslides In Iran and Their Remedial

Measures

The 12th

International Conference Of International Association

For Computer Methods and Advance In

Geomechanics (IACMAG)

2008

19. T. Kert and H.C. Tsai

Analysis Of The Potential For Nearly Circular Slope Failure Using On Site Survey With

Adverse Calculation

Wseas Transactions

On Information & Application

2008

20. Muhammad Mukhlisin dan Mohd. Raihan

Taha

Analisis Kestabilan Lereng pada Sebuah Lereng Granitik pelapukan sebagai pengaruh

Tebal tanah

Euro Journals Publishingf,

Inc.

2009

21 Satoshi Tsuchiya The Large Scale Landslide Springer- 2009

Page 38: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

38

et.al On Flank Of Caldera In south Sulawesi Indonesia

Verlag

22. Hiritomo Ueno et.al

Geology and Clay Mineralogy of The Landslide

Area In Guinsaugon, Southern Leyte Island

Philippines

Departmen Of Environmental

System Science,

Fakulty Risk and Crisis

Management Chiba Institute

Of Science.

2007

23 Richard dan Lucas

Landslide Susceptibility Map Ocf Utah

Utah Geological

Survey

2007

24 Ashley H Illiott and Kimm M.

Harty

Landslide Of Utah Utah Geological

Survey

2010

25. Respati Wikantiyoso

Mitigasi Bencana Di Perkotaan, Adaptasi atau

Antisipasi Perencanaan dan Perancangan Kota

Lokal Wisdom 2010

26. Edi P. Utomo dkk Studi Kebijakan IPTEK, Zona Resiko Bencana Geologi

Jawa Barat

PUSLIT Geoteknologi LIPI Bandung

2003

27. Hans B. H. et.al Analysis Of landslide Susceptibility In The

Suusamyr Region, Tien Shan: Statistical and

Geotechnical Approach

Springer and Verlag

2005

28. Ataollah Kelastaghi and Hasan Ahmadi

Landslide Susceptibility Analysis with a Bivariate

Approach and GIS In Northern Iran

Arab J. Geoscience

2009

30. M.H. Vahidnia et.al

Landslide Hazard Zonation Using Kuantitative Methods

In GIS

International Journal Of

Civil Engineering

2009

31. Ranjan Kumar Dahal et.al

Comparative Analysis Of Contributing Parameters For Rainfal Triggered Landslide In The Lesser Himalaya of

Nepal

Springer-Verlag

2008

32. Narumon I. and Analytical Hierarchy Prosess Suranaree J. 2010

Page 39: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

39

Songkot D. For Landslide Susceptibility Mapping In Lower Mae

Chaem Watershed, Northern Thailand.

Sci. Technology

33. Bill Phillips Geologic Hazards Of Idaho Idaho Geological

Survey

2007

34. R.K. Dahal et.al DEM – Based Deterministic Landslide Hazard Analysis In

The Lesser Himalaya Of Nepal

Taylor & Francis

(Georisk)

2008

35. Oh Che Young et.al

The Comparative Research Of Landslide Susceptibility

Mapping Using FR, AHP, LR and ANN

Dept. Of Geoinformatic Engineering

Pukyung National

University Korea

Tanpa tahun

36. A. Esmail and H. Ahmadi

Using GIS & RS Mass Movement Hazard Zonation

– A Case Study in Germichay, Ardebil Iran

Natural Resources

Faculty Tehran University Karaj Iran

Tanpa tahun

37. K. Shou and Y. Chen H. Liu

Hazard Analysis Of Li- Shan Landslide In Taiwan

Elsevier, Science Direct

Journal Homepage.

2008

38. Hakan A.N. at.al Landslide Susceptibility Mapping For a Part Of Tectonic Kelkit Valley

(Eastern Black Sea Region Of Turkey)

Elsevier, Science Direct)

2008

39. Young K. Yeon et.al

Landslide Susceptibility Mapping In Injae Korea, Using a Decision Tree

Elsevier, Science Direct

2010

40. Masa Soren Effect Of Fault On Stability Of Slope In Open Cast Mines

Dept. Of Mining

Engineering National

Institute Of Technology

Rourkela

2010

41. B.P. Watson A Rock Mass Rating System The South 2004

Page 40: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

40

For Evaluating Stope Srtability On The Bushveld

Platinum Mines

African Institute Of Mining And Metalurgy

42. Djakamiharja A.S. dan Subowo Eko

The Application Of Rock Mass rating And Slope Mass Rating On Slope Cutting At A

Section Of Liwa – Krui Roadway, West Lampung

Sumatera Indonesia

Research And Development

Center For Geotechnology

Indonesia Institute Of Sciences

43. Vergari et.al Landslide Susceptibility Assesment In The Upper Orcia Valley (Southern Tuscany, Italy) Through Conditional Analysis : A

Constribution to The Unbiased Selection Of

Causal Factor

Natural Hazard and Earth System

Sciences

2011

44. Mubekti dan Alhasanah F.

Mitigasi Daerah rawan Tanah Longsor Menggunakan Teknik Pemodelan GIS

Jurnal teknik Lingkungan

2008.

45 Massanat Y.M. Parametric Evaluation Of The Stability Of Natural

Slopes

Jordan Journal Of Civil

Engineering

2002

46. Robert. H. An evaluation Of Slope Stability Classification

ISRM Eurock 2002, Pertugal

Madeira, Funchal.

2002

47. Abdul Fatal dkk Studi Karakteristik Parameter Kuat Geser Tanah Lempung Pasir Hunje-Tol Cipularang

Jawa Barat

Jurnal Infrastruktur

dan Lingkungan

Binaa

2006

48 Tomas R. et.al A Graphical Approach For Slope Mass rating

Elsevier Journal

Homepage

2012

49 Romana M. et.al SRM Geomechanics Classification : Application, Experience and Validation

ISRM, Technology

Roadmap For Rock

Mechanics South African

2003

Page 41: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

41

Institute Of Mining and Metalurgy

50. Chigira M. et.al Weathering Mechanisms And Their Effect on the

Landsliding Of Ignimbrit Subject to Vapor-phase

Crystalization in The Shirakawa Pyroklastic Flow,

Northern Japan

Elsivier, Engineering

Geology

2002

BAB III

METODE PENELITIAN

Page 42: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

42

A. Disain Penelitian

Penelitian dilakukan secara eksploratif yaitu mengadakan penelitian

langsung di lapangan meliputi :

1. Analisis karakteristik kondisi geologi meliputi sudut lereng, jenis

batuan, nama batuan dan stratigrafi serta struktur geologi

2. Analisis profil tingkat pelapukan batuan

3. Analisis karakteristik bidang diskontinuitas batuan

4. Sampling batuan tidak terganggu (undisturbed sample) dilakukan

pada batuan dengan kondisi tingkat pelapukan berbeda. Sampel

batuan akan di analisis di laboratorium mineralogi tanah dan analisis

kuat geser tanah/batuan untuk mendapatkan nilai kohesi dan sudut

geser dalam.

B. Lokasi Dan Waktu

Lokasi penelitian adalah sepanjang ruas jalan Malino Kabupaten Gowa

sampai Manipi Sinjai Barat Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan.

Penelitian direncanakan pada Maret 2013 sampai Agustus 2013.

C. Populasi Dan Sampel

Page 43: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

43

Populasi penelitian adalah daerah sepanjang ruas jalan Malino Kabupaten

Gowa sampai Manipi Kabupaten Sinjai dan sampelnya adalah daerah-

daerah berlereng batuan (rock slope) dan berlereng tanah (soil slope).

D. Instrumen Penelitian

Instrumen utama yang akan digunakan dalam penelitian adalah Foto

udara/citra landsat, peta geologi regional skala 1 : 250.000, peta topografi

skala 1 : 25.000, GPS, kompas geologi dan palu geologi.

E. Teknik Dan Analisis Data

Pada penelitian ini akan dilakukan beberapa kajian yaitu :

a. Kajian sudut lereng pada lokasi terpilih yang kemungkinan terjadi

tanah longsor. Sudut lereng ditentukan dengan cara langsung di

lapangan menggunakan kompas dan klinometer.

b. Kajian komposisi mineral, tekstur dan struktur batuan untuk

menentukan tipe dan nama batuan,

c. Kajian tingkat pelapukan batuan, meliputi batuan segar (tidak lapuk),

agak lapuk, lapuk sedang, lapuk tinggi, lapuk sempurna dan tanah

residu.

d. Analisis parameter karakteristik bidang diskontinuitas batuan dilakukan

langsung di lokasi penelitian. Metode penelitian dengan cara Window

Page 44: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

44

mapping dan scan line, pengukuran dari masing-masing parameter

karakteristik bidang diskontinuitas batuan diuraikan dibawah ini :

1. Tipe atau jenis batuan : diketahui dengan cara menentukan warna,

tekstur, komposisi mineral dan struktur batuan. Ada 4 tipe atau

jenis batuan yaitu batuan beku, batuan sedimen, batuan metamorf

dan batuan volkanik. Masing-masing tipe terdiri dari berbagai

nama batuan tergantung warna, tekstur, komposisi mineral dan

struktur batuan.

2. Tipe atau jenis isian pada rekahan : diketahui dengan cara

mengamati mineral pengisi rekahan. Jenis mineral yang biasa

pengisi rekahan adalah mineral kalsit, mieral kuarsa, oksida besi

atau mineral lempung.

3. Tipe atau jenis bidang diskontinuitas : diketahui dengan cara

mengamati tubuh singkapan batuan secara cermat. Tipe bidang

diskontinuitas batuan terdiri dari bidang perlapisan, bidang

rekahan dan bidang foliasi.

4. Kedudukan bidang diskontinuitas batuan, ditentukan dengan

kompas dan klinometer kompas

5. Spasi bidang diskontinuitas : diketahui dengan mengadakan

pengukuran terhadap jarak antara bidang diskontinuitas yang

berpasangan menggunakan pita meter.

Page 45: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

45

6. Persintensi : diketahui dengan cara mengukur panjang bidang

diskontuitas menggunakan pita meter, panjang pengukuran

tergantung dari kondisi singkapan batuan

7. Kekasaran permukaan : diketahui dengan mengamati permukaan

bidang rekahan, apakah permukaan bidang diskontinuitas batuan

termasuk sangat, kasar, sedang, halus atau sangat halus. Dapat

juga diklasifikasi menjadi bergerigi, bergelombang atau lurus.

8. Kekuatan dinding rekahan : ditentukan secara kualitatif dengan

cara dinding rekahan dipukul dengan palu geologi.

9. Bukaan Rekahan : diketahui dengan cara mengamati singkapan

batuan secara detail apakah rekahan yang ada kondisinya rapat

sekali, rapat-terbuka sebagian, terbuka - terbuka sedang, sangat

terbuka-terbuka ekstrim atau berongga.

10. Ukuran Blok rekahan diketahui dengan cara mengukur besar blok

kekar menggunakan pita ukur

11. Kondisi air yang keluar dari bidang atau celah rekahan diketahi

dengan mengamati keadaan ada tidaknya air yang keluar dari

celah rekahan apakah batuan kering, lembab, basah, menetes dan

mengalir.

12. Jumlah set rekahan : diketahui dengan mengadakan pengamatan

pasangan-pasangan rekahan yang ada menggunakan kompas

geologi dan klinometer. Dari hasil pengamatan akan diketahui

Page 46: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

46

apakah batuan massif, ada 1 pasang rekahan, 2, 3 atau batuan

sudah hancur (crushed rock) atau sudah seperti tanah.

e. Kajian mineralogi tanah menggunakan alat XRD dan AAS untuk

menentukan jenis mineral lempung dan sifat swelling

f. Mengadakan pengambilan sampel tanah (residual soil), batuan lapuk

tinggi dan lapuk sempurna pada titik-titik terpilih untuk analisis

laboratorium sifat mekanik meliputi, kohesi dan sudut geser dalam

(internal friction) untuk menentukan faktor keamanan lereng

menggunakan software Geostudio.

DAFTAR PUSTAKA

Page 47: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

47

Anonim, 2007, Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana

Longsor, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/2007,

Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Dep. PU

Anonim, Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi, Edisi 4, Program

Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Arif M. dan Widodo A., 2008, Analisa Balik Kelongsoran (Studi Kasus Di

Jember), Jurusan Teknik Sipil FTSP- ITS Surabaya

Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana, 2007., Pengenalan

Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya, Edisi Ke-2, ISSN 978-

979-96016-2-9.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2010, Rencana Nasional

Penanggulangan Bencana Tahun 2010-2014, Peraturan Kepala

BNPB No.3 Tahun 2010,

Brown E.T., (editor), 1981, Rock Characterization, Testing and Monitoring

(ISRM Suggested Methods), Published For The Commission On

Testing Methods, International Society For Rock Machanics,

Pergamon Press, Oxford

Cascini L, et al, 2006. Landslide hazard and risk zoning for urban planning

and development

http://profile.usgs.gov/myscience/upload_folder/ci2009Apr221621194

273788-Landslide%20risk%20management,%20ICLRM.pdf

Cruden, D.M., 1991. A simple definition of a landslide. Bulletin International

Association for Engineering Geology, 43: 27-29.

www.ukgeohazards.info/.../ landslide .../eng_geol_ landslide s_index.htm

Fell, R., Ho K.K.S., Lacasse S., and Leroi E., 2005, A Framework For

Landslide Risk and Management, In :Landslide Management Edited

by Oldrich Hungr, Robin Fell, Rejean Couture and Erik Eberhardt,

A.A. Balkema Publisher Leiden.

Page 48: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

48

Fell R., Corominas J., Bonnard Ch., Cascini L., Leroi E., and Savage W.Z.,

2008, Guidelaines For Landslide Susceptibility, Hasard and Risk

Zoning For Land Use Planning, Engineering Geology,Journal

Homepage : www.elsivier.com/locate/enggeo

Karnawati, D. 2005., Bencana Alam Gerakan Massa Tanah Di Indonesia dan

Upaya Penanggulangannya, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik

Universitas Gajahmada, Yogyakarta.

Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi, 2006., Edisi-4, Program

Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 33 Tahun 2006 Tanggal : 18

Oktober 2006 Pedoman Umum Mitigasi Bencana.

Peraturan Kepala BNPB No. 4 Tahun 2008, tentang Pedoman Rencana

Penanggulangan Bencana

Popescu M.E., (tanpa tahun), Landslide Causal Factors and Landslide

Remedial Options, Illionis Institute, Chicago, USA.

Samang L. 2007, Identifikasi dan Pemetaan Ruas Jalan Rawan Bencana

Longsor dengan Basis SIG Di Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar

Siagian, Y.O.P., 1991., Faktor Penyabab Gerakan Tanah, Disampaikan pada

Kursus Bidang Geologi Program Gerakan Tanah, Sub Direktorat

Geologi Teknik, Direktorat GTL, Dirjen Geologi dan Sumber Daya

Mineral Dep. Pertambangan dan Energi.

Singarimbung dan Soyan (editor), 1989., Metode Penelitian Survai, LP3ES,

Jakarta.

Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif dan R&D, Penerbit Alfabeta, Bandung.

Sukamto R dan Supriatna S, 1982., Peta Geologi Lembar Ujungpandang,

Benteng dan Sinjai, Puslitbang Geologi Departemen Pertambangan

dan Energi, Bandung.

Page 49: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

49

Varnes, D.J., 1978, Slope Movement Types and Processes, In Schuster, R.L.

ang Krizek, R.J., Landslide Analysis and Control, Transportation

Research Board, Special Report 176, National Academi of Sciences

USA.

Undang-Undang No. 24 tahun 2007, Tentang Penanggulangan Bencana

Undul O., 2012, Weathering Of Ultra Mafic Rocks, Istambul University,

Geological Engineering, ETH, Zurich

USGS, 2004, Landslide Types and Processes

Wyllie D.C. and Mah Ch. W., 2004., Rock Slope Engineering, 4 th Edition,

Spon Press, Taylor and Francis Group, London

Lampiran 1 : Peta Topografi Lokasi Penelitian (Bakosurtanal)

Page 50: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

50

Lampiran 2 : Peta Geologi Lokasi Penelitian (Sukamto dan Supriatna, 1982)

Page 51: repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 5438... · Web view repository.unhas.ac.idlahan untuk pembuatan jalan-jalan penghubung tersebut. Hal ini menyebabkan

51