2015_2 2 akurasi data dan kriteria kemiskinan dalam upaya penanggulangannya

5
 - 9 - Info Singkat © 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI  www.dpr.go. id ISSN 2088-2351 Vol. VII, No. 04/II/P3DI/Februari 2015 KESEJAHTERAAN SOSIAL Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis AKURASI DA T A DAN KRITERIA KEMISKINAN DALAM UP A YA PENANGGULANGANNY A Mohammad Mulyadi*) Abstrak  Salah satu masalah dalam penanggulan gan kemiskinan bermuara pada rendahnya validitas data dan kurang jelasnya kriteria masyarakat miskin. Padahal untuk menghasilkan perencanaan penanggulangan kemiskinan yang baik, terukur, dan terencana memerlukan kualitas data yang baik. Rendahnya validitas data berpengaruh terhadap ketepatan program pemberantasan kemiskinan. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan kajian dan mengevaluasi kriteria itu serta memperbarui jumlah angka kemiskinan sehingga upaya penanggulangan kemiskinan dapat lebih mudah dipetakan. Pendahuluan Bangsa yang rakyatnya makmur tentu memiliki martabat dan konsekuensinya akan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Singapura misalnya, dari sisi geogras dan demogras  bukanlah negara besar, tetapi karena kehidupan rakyatnya sejahtera, negara ini disegani dan diperhitungkan dalam kancah internasional. Sebaliknya, negara kita yang secara geogras maupun demogras sebagai negara besar, karena banyaknya jumlah penduduk miskin seperti ditunjukkan dengan rendahnya pendapatan per kapita mereka, Indonesia menjadi negara yang mudah dilecehkan dan didikte oleh negara lain. Masalah kemiskinan di Indonesia merupakan masalah sosial yang relevan untuk dikaji terus-menerus berikut solusinya. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama dan menjadi persoalan masyarakat, hal ini juga karena gejala kemiskinan semakin sulit ditanggulangi. Salah satu penyebab sulitnya penanganan masalah kemiskinan adalah data yang dimiliki oleh institusi yang diberi kewenangan oleh negara untuk  berkonsentr asi menangani masalah kemiskinan ini tidak valid atau akurat. Padahal untuk menghasilkan perencanaan penanggulangan kemiskinan yang baik, terukur, dan terencana diperlukan kualitas data yang baik. Dengan demikian, keakuratan dan kevalidan data sangat penting sebagai dasar kegiatan penanggulang an kemiskinan. *) Peneliti Madya Sosiolo gi pada Bidang Kesejahteraan Sos ial, Pusat Pengkajian, Pen golahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Email: [email protected]

Upload: s4kuramochi

Post on 06-Oct-2015

32 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Salah satu masalah dalam penanggulangan kemiskinan bermuara pada rendahnya validitas data dan kurang jelasnya kriteria masyarakat miskin. Padahal untuk menghasilkan perencanaan penanggulangan kemiskinan yang baik, terukur, dan terencana memerlukan kualitas data yang baik. Rendahnya validitas data berpengaruh terhadap ketepatan program pemberantasan kemiskinan. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan kajian dan mengevaluasi kriteria itu serta memperbarui jumlah angka kemiskinan sehingga upaya penanggulangan kemiskinan dapat lebih mudah dipetakan.

TRANSCRIPT

  • - 9 -

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Vol. VII, No. 04/II/P3DI/Februari 2015KESEJAHTERAAN SOSIAL

    Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

    AKURASI DATA DAN KRITERIA KEMISKINAN DALAM UPAYA PENANGGULANGANNYA

    Mohammad Mulyadi*)

    Abstrak

    Salah satu masalah dalam penanggulangan kemiskinan bermuara pada rendahnya validitas data dan kurang jelasnya kriteria masyarakat miskin. Padahal untuk menghasilkan perencanaan penanggulangan kemiskinan yang baik, terukur, dan terencana memerlukan kualitas data yang baik. Rendahnya validitas data berpengaruh terhadap ketepatan program pemberantasan kemiskinan. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan kajian dan mengevaluasi kriteria itu serta memperbarui jumlah angka kemiskinan sehingga upaya penanggulangan kemiskinan dapat lebih mudah dipetakan.

    PendahuluanBangsa yang rakyatnya makmur tentu

    memiliki martabat dan konsekuensinya akan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Singapura misalnya, dari sisi geografis dan demografis bukanlah negara besar, tetapi karena kehidupan rakyatnya sejahtera, negara ini disegani dan diperhitungkan dalam kancah internasional. Sebaliknya, negara kita yang secara geografis maupun demografis sebagai negara besar, karena banyaknya jumlah penduduk miskin seperti ditunjukkan dengan rendahnya pendapatan per kapita mereka, Indonesia menjadi negara yang mudah dilecehkan dan didikte oleh negara lain.

    Masalah kemiskinan di Indonesia merupakan masalah sosial yang relevan untuk dikaji terus-menerus berikut

    solusinya. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama dan menjadi persoalan masyarakat, hal ini juga karena gejala kemiskinan semakin sulit ditanggulangi.

    Salah satu penyebab sulitnya penanganan masalah kemiskinan adalah data yang dimiliki oleh institusi yang diberi kewenangan oleh negara untuk berkonsentrasi menangani masalah kemiskinan ini tidak valid atau akurat. Padahal untuk menghasilkan perencanaan penanggulangan kemiskinan yang baik, terukur, dan terencana diperlukan kualitas data yang baik. Dengan demikian, keakuratan dan kevalidan data sangat penting sebagai dasar kegiatan penanggulangan kemiskinan.

    *) Peneliti Madya Sosiologi pada Bidang Kesejahteraan Sosial, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Email: [email protected]

  • - 10 -

    Urgensi Validitas Angka Kemiskinan

    Ada ungkapan terkenal yang menyatakan: there are three kinds of lies: lies, damned lies, and statistics. Ungkapan ini mungkin saja menemukan kebenarannya di Indonesia, jika kita menghubungkannya dengan praktek yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menyajikan angka statistik, terutama dalam beberapa tahun terakhir ini. Salah satu yang paling kontroversial adalah angka kemiskinan yang realitas sosialnya tidak sesuai dengan data sebagaimana ditampilkan.

    Kalau angka kemiskinan tidak jujur, maka segala bentuk program penanggulangan kemiskinan niscaya akan menemui kegagalan. Namun demikian, kita harus mengakui bahwa di mata pemerintah, angka kemiskinan yang tinggi perlu disembunyikan karena dapat melahirkan penilaian negatif dari publik. Akibatnya, pemerintah sering mempergunakan angka statistik sebagai pencitraan belaka.

    Di sinilah letak masalahnya. Angka kemiskinan versi BPS bertentangan dengan realitas di lapangan. Ketika krisis ekonomi terbukti telah mendorong lonjakan PHK, data BPS tentang Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin, dan Garis Kemiskinan pada rentang waktu 1970-2013 malah menyatakan bahwa kemiskinan telah menurun secara drastis. Oleh karena itu, tidak salah jika sebagian ekonom yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit, antara lain Hendri Saparini, Fadhil Hasan, Ichsanuddin Noorsy, dan Iman Sugema, mengatakan angka statistik BPS dijuluki sebagai statistik akrobatik.

    Untuk diketahui, data statistik sangatlah penting bagi pembangunan nasional. Tanpa memegang data statistik yang benar, sebuah bangsa mustahil untuk mencapai kemajuan. Pertanyaannya sederhana. Bukankah penghilangan sebagian orang miskin dalam data statistik akan berdampak pada strategi penanggulangan kemiskinan yang meleset?

    Keakurasian angka kemiskinan di tanah air menjadi salah satu masalah dalam implementasi pengentasan kemiskinan, misalnya terkait program Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP),

    dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ketiga kartu yang tergabung dalam program Government to Person (G2P) tersebut adalah bantuan yang ditujukan kepada keluarga kurang mampu, sama halnya dengan Program Keluarga Harapan (PKH) atau Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang pernah diberikan melalui kantor pos pada masa pemerintahan sebelumnya.

    Dari ketiga program jaminan sosial yang baru diluncurkan tersebut, KKS yang bersifat langsung nontunai dan diberikan dalam bentuk rekening simpanan melalui layanan keuangan digital merupakan sebuah terobosan baru. Selain mempermudah masyarakat kurang mampu dalam mendapatkan bantuan, cara tersebut dinilai dapat membuka akses mereka terhadap sistem perbankan sehingga dapat mendorong masyarakat miskin untuk menabung, sekaligus membuka akses mendapatkan pinjaman dari bank yang bisa digunakan untuk kegiatan produktif.

    Di Brasil, program sejenis dengan nama Bolsa Familia (tabungan keluarga) terbukti ampuh dalam mereduksi tingkat kesenjangan hingga 17% dalam lima tahun dan dapat menekan angka kemiskinan dari 42,7% menjadi 28,8% (Kompas, 5/11/2014). Salah satu penentu keberhasilan program Bolsa Familia adalah dukungan keakurasian data yang tentu saja merupakan output dari sistem pendataan yang dilakukan secara teliti. Dalam soal ini, pemerintah terkesan terburu-buru. Meskipun sulit dan membutuhkan waktu, data rumah tangga sasaran semestinya dimutakhirkan dan diverifikasi terlebih dulu.

    Bagaimana pun, Indonesia kiranya masih menghadapi kesulitan untuk mencapai prestasi Brasil tersebut. Sedikitnya ada dua kendala yang kemungkinan besar akan terjadi di lapangan. Pertama, program berpeluang tidak tepat sasaran. Hal itu terjadi ketika program menyasar rumah tangga yang seharusnya tidak menerima bantuan (inclusion error) dan/atau mengabaikan rumah tangga kurang mampu (exclusion error). Saat ini, data yang dijadikan acuan penerima manfaat program adalah data lama, yakni hasil

  • - 11 -

    Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 yang dilaksanakan BPS. Data inilah yang menjadi basis data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Persoalannya, kondisi kemiskinan sangatlah dinamis karena status kemiskinan rumah tangga bisa berubah dalam rentang waktu yang sangat pendek, taruhlah dalam hitungan enam bulan. Kedua, ada kemungkinan timbulnya konflik sosial akibat program yang tidak tepat sasaran. Konflik bisa terjadi antara penerima dan yang tidak, serta antara masyarakat dan aparat pemerintah yang dianggap bertanggung jawab terhadap penetapan penerima manfaat program.

    Oleh karena itu, data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan. Data yang akurat dan tepat tersebut secara periodik harus dimutakhirkan mengikuti perubahan penduduk yang dinamis. Hal ini dilakukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.

    Urgensi Kriteria Masyarakat MiskinKriteria masyarakat miskin

    sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan memperoleh pekerjaan, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral.

    Di mata sebagian ahli, terutama para ekonom, kemiskinan sering didefinisikan semata-mata sebagai fenomena ekonomi, dalam arti rendahnya penghasilan atau tidak dimilikinya mata pencaharian yang cukup untuk tempat bergantung hidup. Sebagian pendapat ini mungkin benar, tetapi kurang mencerminkan kondisi riil yang sebenarnya dihadapi masyarakat miskin. Kemiskinan sesungguhnya bukan semata-mata kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok atau standar hidup yang layak. Yang lebih esensial, kemiskinan juga menyangkut kemungkinan orang atau keluarga miskin untuk melangsungkan dan

    mengembangkan kegiatan perekonomian dalam upaya meningkatkan taraf kehidupannya (Soetrisno, 2001: 78) .

    Kuncoro (2004: 5) menyebutkan konsep kemiskinan sebagai perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan. Perkiraan kebutuhan hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk dapat hidup secara layak. Bila pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum, maka orang dapat dikatakan miskin. Sementara itu, kemiskinan menurut BPS adalah kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi kebutuhan makan kurang dari 2100 kalori per kapita per hari. Selain itu, Bank Dunia (World Bank) mengartikan kemiskinan sebagai kondisi di mana tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US$ 1 per hari.

    Dengan demikian, pemerintah sebaiknya mengevaluasi dan mengkaji kembali apa saja yang menjadi kriteria seseorang digolongkan miskin. Pada prakteknya banyak warga miskin yang belum mendapatkan kartu-kartu tersebut. Kriteria miskin tentunya berkembang sehingga pemerintah perlu mengkaji dan mengevaluasi kriteria itu dan memperbaharui jumlah angka kemiskinan.

    Misalnya saja, hingga saat ini BPS membuat kriteria seseorang miskin jika tempat tinggalnya menggunakan lantai tanah, dinding bilik dan beratap rumbia, hanya membeli satu stel pakaian dalam setahun, hanya makan sekali dalam sehari, dan lain sebagainya. Persoalannya ketika di sebuah desa ada warga dengan kriteria rumah seperti itu namun memiliki tanah luas dan banyak ternak. Selain itu, terdapat beberapa kriteria yang sudah tidak relevan lagi, yakni menggunakan kayu bakar/arang/minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari, sementara harga minyak tanah sekarang jauh lebih mahal daripada harga LPG.

    Sampai bulan September 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 27,73 juta orang (10,96 persen), berkurang sebesar 0,55 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2014

  • - 12 -

    yang sebesar 28,28 juta orang (11,25 persen), dan berkurang sebesar 0,87 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2013 yang sebesar 28,60 juta orang atau 11,46 persen (Berita Resmi Statistik BPS, 2/1/2015).

    PenutupSebagai lembaga yang melakukan

    pengawasan terhadap kinerja Pemerintah, DPR RI setidaknya dapat mempertanyakan kinerja BPS dalam menyediakan data statistik kemiskinan selama ini. Kebutuhan akan data yang akurat dan valid bukan hanya berkaitan dengan isu pengentasan kemiskinan saja, tetapi juga bidang-bidang lain, seperti ekonomi, perdagangan, atau industri. Untuk itu, BPS dituntut agar dapat mewujudkan organisasi yang profesional dan independen.

    Beberapa arahan yang dapat dilayangkan kepada BPS, antara lain pertama, BPS harus dilepaskan dari naungan pemerintah dan diletakkan sebagai lembaga independen yang dikontrol rakyat. Kedua, BPS harus selalu meng-update perkembangan statisitik terkini, terutama dalam hal metodologi. Ketiga, BPS harus melepaskan kegiatan sensusnya dari lembaga-lembaga pemerintah seperti kelurahan, RT/RW, dan sebagainya, karena sangat rawan akan manipulasi data. Dan keempat, dalam rangka mewujudkan organisasi yang profesional BPS harus dikelola secara profesional pula, menggunakan sumber daya manusia yang handal, serta melakukan proses pembinaan dan rekruitmen yang bersih dan transparan.

    Berkaitan dengan evaluasi kriteria miskin, kementerian dan lembaga pemerintah perlu bersinergi dalam memformulasikan kembali kriteria seseorang yang digolongkan miskin. Simpang siur kriteria miskin harus sesegera mungkin diselesaikan. Kriteria tersebut harus mampu mengakomodasi perubahan terkini, tidak hanya mempertimbangkan aspek kebutuhan fisik saja, namun juga mempertimbangkan aspek kebutuhan lain yang relevan sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penetapannya. Ke depan, kriteria yang ditetapkan tersebut haruslah

    menjadi dasar tunggal dalam menghitung angka kemiskinan di Indonesia.

    ReferensiKuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan

    Pembangunan Daerah, Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta : Erlangga.

    Mulyadi, Mohammad. 2014. Kemiskinan. Identifikasi Penyebab dan Penanggulangannya. Jakarta: P3DI Setjen DPR RI bekerjasama dengan Publica Press.

    Sriharini. 2007. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin. Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi Aksara.

    Supriatna, Tjahya. 1997. Birokrasi, Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Bandung : Humaniora Utama Press.

    Sutrisno, R. 2001. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan. Yogyakarta: Philosophy Press bekerja sama Fakultas filsafat UGM.

    h t t p : / / w w w . b p s . g o . i d / m e n u t a b .php?tabel=1&kat=1&id_subyek=23, diakses tanggal 18 Februari 2015

    http://www.tnp2k.go.id/id/data-indikator/mengenai-data-indikator/, diakses tanggal 20 Februari 2015