2. tinjauan pustaka 2.1 rumput lautrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62374/4...basal...

10
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Alga laut diklasifikasikan menjadi mikroalga dan makroalga. Makroalga terdiri dari banyak sel dan berbentuk koloni (Castro dan Huber 2003). Makroalga termasuk di dalamnya alga merah, hijau, dan coklat serta umumnya disebut sebagai rumput laut. Struktur rumput laut lebih kompleks daripada alga uniselular, namun jika dibandingkan dengan tumbuhan terestrial, rumput laut tidak memiliki bagian struktur anatomi dan mekanisme reproduksi yang jelas (Castro dan Huber 2003). Rumput laut tidak memiliki daun, batang dan akar sejati. Bagian tubuhnya disebut talus, dapat berupa filamen, lembaran tipis berdaun banyak, persegi dengan kulit keras atau lumut raksasa (Castro dan Huber 2003). Cara hidupnya bisa sebagai fitobentos yang hidup menancap atau melekat di dasar laut. Biasanya rumput laut banyak ditemukan di perairan yang dasarnya berlumpur atau berpasir karena keberadaan benda keras yang terbatas sebagai tempatnya melekat. Rumput laut ini juga banyak ditemukan di daerah terumbu karang (Nontji 2007). Jenis rumput laut yang telah banyak dimanfaatkan berasal dari marga Eucheuma, Gelidium, Gracilaria, Hypnea, dan Sargassum, sedangkan jenis lainnya seperti Caulerpa dan Dictosphaeria masih dimanfaatkan dalam skala kecil untuk konsumsi lokal (Atmadja et al. 1996). Beberapa jenis rumput laut telah dikenal memiliki kandungan lemak, protein, vitamin dan mineral yang cukup signifikan (Wong dan Cheung 2000), meskipun kandungannya sangat bervariasi tergantung pada spesies, lokasi, cuaca dan suhu (Kaehler dan Kennish 1996 dalam Sanchez-Machado et al. 2004). Rumput laut dikenal sebagai bahan yang memiliki kandungan lemak yang rendah, protein dan karbohidrat yang tidak bisa dicerna oleh enzim pencernaan manusia. Sifat karbohidrat inilah yang menjadikan rumput laut cocok digunakan sebagai makanan diet karena hanya memberikan sedikit asupan kalori (Lahaye dan Kaeffer 1997 dalam Sanchez-Machado et al. 2004). Kandungan asam lemak tak jenuh pada rumput laut juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman

Upload: phamliem

Post on 11-Jul-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Lautrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62374/4...basal (pangkal). Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumput Laut

Alga laut diklasifikasikan menjadi mikroalga dan makroalga. Makroalga

terdiri dari banyak sel dan berbentuk koloni (Castro dan Huber 2003). Makroalga

termasuk di dalamnya alga merah, hijau, dan coklat serta umumnya disebut

sebagai rumput laut. Struktur rumput laut lebih kompleks daripada alga uniselular,

namun jika dibandingkan dengan tumbuhan terestrial, rumput laut tidak memiliki

bagian struktur anatomi dan mekanisme reproduksi yang jelas (Castro dan Huber

2003).

Rumput laut tidak memiliki daun, batang dan akar sejati. Bagian tubuhnya

disebut talus, dapat berupa filamen, lembaran tipis berdaun banyak, persegi

dengan kulit keras atau lumut raksasa (Castro dan Huber 2003). Cara hidupnya

bisa sebagai fitobentos yang hidup menancap atau melekat di dasar laut. Biasanya

rumput laut banyak ditemukan di perairan yang dasarnya berlumpur atau berpasir

karena keberadaan benda keras yang terbatas sebagai tempatnya melekat. Rumput

laut ini juga banyak ditemukan di daerah terumbu karang (Nontji 2007). Jenis

rumput laut yang telah banyak dimanfaatkan berasal dari marga Eucheuma,

Gelidium, Gracilaria, Hypnea, dan Sargassum, sedangkan jenis lainnya seperti

Caulerpa dan Dictosphaeria masih dimanfaatkan dalam skala kecil untuk

konsumsi lokal (Atmadja et al. 1996).

Beberapa jenis rumput laut telah dikenal memiliki kandungan lemak,

protein, vitamin dan mineral yang cukup signifikan (Wong dan Cheung 2000),

meskipun kandungannya sangat bervariasi tergantung pada spesies, lokasi, cuaca

dan suhu (Kaehler dan Kennish 1996 dalam Sanchez-Machado et al. 2004).

Rumput laut dikenal sebagai bahan yang memiliki kandungan lemak yang rendah,

protein dan karbohidrat yang tidak bisa dicerna oleh enzim pencernaan manusia.

Sifat karbohidrat inilah yang menjadikan rumput laut cocok digunakan sebagai

makanan diet karena hanya memberikan sedikit asupan kalori (Lahaye dan

Kaeffer 1997 dalam Sanchez-Machado et al. 2004). Kandungan asam lemak tak

jenuh pada rumput laut juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman

Page 2: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Lautrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62374/4...basal (pangkal). Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang

5  

terestrial (Ortiz et al. 2006). Komposisi kimia rumput laut kering disajikan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia rumput laut kering

Senyawa kimia nilai (%)

Kadar air (%) 3,57-6

Kadar abu (%) 43-58,32

Kadar protein (%) 6,38-14,02

Kadar lemak (%) 0,21-1,00

Kadar serat kasar (%) 2,75-16,95

Sumber : Yulianingsih dan Tamzil (2007)

Kandungan kimia rumput laut segar adalah air yang mencapai 80-90 %,

namun pada rumput laut kering kadar airnya mencapai 3,57-6 % (Yulianingsih

dan Tamzil 2007), kadar lemak rumput laut sangat kecil, meskipun demikian

susunan asam lemaknya lebih lengkap dibandingkan dengan tanaman tingkat

tinggi (Darcy-Vrillon 1993 dalam Ortiz et al. 2006). Komponen asam lemak

rumput laut sebagai produk perikanan mengandung asam lemak tak jenuh (EPA

dan DHA) yang lebih baik jika dibandingkan dengan sayuran. Asam lemak ini

tidak dapat disintesis sendiri oleh manusia (Ortiz et al. 2006) dan dikenal sebagai

prekusor linolenat.

Saat ini manusia masih mengandalkan produk terestrial sebagai sumber

asupan lemak. Hal ini dikarenakan sumber-sumber ini mudah didapatkan dan

harganya relatif lebih murah jika dibandingkan dengan produk perikanan. Rata-

rata lemak yang dibutuhkan manusia dalam sehari dapat mencapai 40-50 gram

(Nadesul 2007).

2.1.1 Eucheuma spinosum

Rumput laut jenis Eucheuma spinosum merupakan rumput laut dari jenis

alga hijau (Chlorophyceae). Rumput laut jenis ini memiliki talus yang licin dan

silindris, berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu, atau merah. Percabangan ke

berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan di daerah

basal (pangkal). Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa

cakram. Cabang pertama dan kedua membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri

Page 3: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Lautrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62374/4...basal (pangkal). Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang

6  

khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari. Lokasi budidaya rumput laut

jenis ini di Indonesia antara lain Lombok, Sumba, Sulawesi Tenggara,

Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Lampung, Kepulauan Seribu, dan Perairan

Pelabuhan Ratu (Atmadja et al. 1996). Klasifikasi E. cotonii berdasarkan Bosse

(1913) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Biliphyta

Filum : Rhodophyta

Subfilum : Eurhodophytina

Kelas : Florideophyceae

Subkelas : Rhodymeniophycidae

Ordo : Gigartinales

Famili : Areschougiaceae

Genus : Eucheuma

Spesies : E. spinosum

2.1.2 Gracilaria salicornia

Gracilaria salicornia mamiliki talus bulat, licin, berbuku-buku atau

bersegmen-segmen. Membentuk rumpun yang lebat berekspansi melebar (radial)

dapat mencapai 25 cm. Ukuran talus 1,1-5 cm, tinggi sekitar 15 cm. Rumput laut

ini banyak ditemukan tumbuh pada batu kerikil di daerah rataan terumbu berpasir

(tumbuh menempel pada batu dan pasir) di daerah pasang surut. Gracilaria ini

sering ditemukan terdampar di pantai karena tidak kuat menempel pada substrat

atau menempel pada substrat yang labil dan mudah terhempas ombak (Atmadja et

al. 2006).

Potensi Gracilaria salicornia belum banyak diketahui, tetapi di negara lain

ada yang menjadikannya sebagai lalap atau sayuran. Kandungan koloidnya berupa

agar dan komponen kimia lainnya. Klasifikasi rumput laut jenis Gracilaria

salicornia menurut Armisen (1995) dalam Phillips dan William (2000) adalah

sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Rodhophyta

Page 4: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Lautrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62374/4...basal (pangkal). Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang

7  

Kelas : Florideophyceae

Ordo : Gracilariales

Famili : Gracilariaceae

Genus : Gracilaria

Spesies : Gracilaria salicornia

2.1.3 Ulva lactuca

Rumput laut ini memiliki karakteristik khusus yang dicirikan dengan talus

tipis, bentuk lembaran licin, warna hijau tua, tepi lembaran berombak. Talus

warna gelap pada bagian tertentu, terutama dekat bagian pangkal karena ada

sedikit penebalan. Ulva banyak ditemukan pada perairan dangkal dengan

kedalaman 0,5-5 m dan dapat hidup di perairan payau. Tumbuh melekat pada

substrat karang mati di daerah paparan terumbu karang (Atmadja et al. 2006).

Ulva lactuca belum banyak dimanfaatkan secara ekonomis, namun

beberapa daerah di Indonesia Timur ada yang telah memanfaatkannya sebagai

makanan ternak (Atmadja et al. 2006). Klasifikasi Ulva lactuca menurut C.

Regardh (1823) dalam Anonim (2008a) adalah:

Kingdom : Plantae

Divisi : Chlorophyta

Kelas : Chlorophyceae

Ordo : Ulvales

Famili : Ulvaceae

Genus : Ulva

Spesies : Ulva lactuca

Menurut Ortiz el al. (2006), Ulva lactuca memiliki kadar abu, kadar

protein, kandungan asam amino esensial dan kadar serat pangan yang tinggi serta

kandungan lemak yang rendah. Rumput laut ini juga memiliki asam lemak tidak

jenuh dan pro-vitamin E yang baik dijadikan sebagai makanan sehat untuk

manusia dan ternak.

Page 5: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Lautrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62374/4...basal (pangkal). Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang

8  

2.1.4 Chaetomorpha crassa

Chaetomorpha crassa memiliki bentuk dan penampakan yang cukup unik,

rumput laut ini berbentuk silindris yang menyerupai rambut atau membentuk

gumpalan seperti benang kusut. Tumbuhan yang termasuk dalam kelas alga hijau

ini banyak ditemukan tumbuh menempel pada alga lain (Atmadja et al. 2006).

Alga jenis ini dapat ditemui dalam jumlah yang melimpah dan menjadi

masalah dalam budidaya Eucheuma sp. atau alga budidaya yang lainnya di

perairan pantai (Atmadja et al. 2006). Rumput laut ini belum diketahui nilai

ekonomis dan kandungan kimia potensial lainnya. Klasifikasi Chaetomorpha

crassa menurut (C. Agardh) Kutzing (2007) dalam Anonim (2007b) adalah:

Kingdom : Plantae

Divisi : Chlorophyta

Kelas : Ulvophyceae

Ordo : Cladophorales

Famili : Cladophoraceae

Genus : Chaetomorpha

Spesies : Chaetomorpha crassa

2.1.5 Sargassum polycystum

Rumput laut ini termasuk ke dalam kelompok alga coklat yang memiliki

potensi sebagai sumber penghasil alginat. Sargassum memiliki ciri thalli silindris

berduri kecil merapat, holdfast membentuk cakram kecil dengan atasnya secara

karakteristik terdapat perakaran atau stolon yang rimbun berekspansi ke segala

arah. Karakteristik lain yang dimiliki oleh alga jenis ini adalah daun kecil,

lonjong, dan bergerigi serta memiliki gelembung udara (bladder). Keberadaannya

di alam dapat ditemukan di perairan rataan terumbu dan tersebar luas di perairan

Indonesia (Atmadja et al. 1996). Klasifikasi rumput laut jenis Sargassum sp.

menurut Bold dan Wynne (1985) dalam Anonim (2008c) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Phaeophyta

Kelas : Phaeophyceae

Ordo : Fucales

Page 6: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Lautrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62374/4...basal (pangkal). Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang

9  

Famili : Sargassaceae

Genus : Sargassum

Spesies : Sargassum polycystum

2.2 Limbah Karaginan dan Agar

Limbah hasil ekstraksi rumput laut terdiri dari dua bentuk yaitu padat dan

cair. Proporsi limbah dalam proses pengolahan karaginan berkisar antara 65%-

70% (Fithriani et al. 2007), sedangkan limbah agar merupakan produk hasil

samping dari proses pengolahan rumput laut, kelas Rodhophyceae yang termasuk

agarophyte, menjadi agar. Limbah yang dihasilkan ini memiliki kandungan

selulosa yang tinggi berkisar antara 27,38%-39,45% (Fithriani et al. 2007).

2.3 Polisakarida

Struktur polisakarida secara alami terbentuk dari komponen gula yang

saling berikatan (Morris 1979). Polisakarida berfungsi sebagai cadangan

makanan, bahan pembentuk struktur sel dan sebagai dasar klasifikasi berdasarkan

fungsinya (Kennedy 1989). Sejumlah jenis polisakarida yang memiliki fungsi

sebagai pengental dan gelling agent pada beberapa produk makanan sering

disebut hidrokoloid (Phillips dan William 2000).

Beberapa sumber penghasil hidrokoloid diketahui berasal dari alga laut.

Sejumlah polisakarida dari alga tersebut telah diisolasi dan telah ditemukan

struktur kandungannya. Alga merah, hijau dan coklat serta alga air tawar

mengandung pati polisakarida yang dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu amilosa

dan amilopektin. Keberadaan amilosa pada ekstrak polisakarida ini dapat rusak

akibat larutan basa atau asam yang digunakan selama proses isolasi (Kennedy

1989). Kandungan polisakarida lain yang saat ini telah banyak diaplikasikan untuk

beberapa industri makanan adalah agar dan karaginan pada alga merah dan alginat

pada alga coklat (Atmadja et al. 1996).

Polisakarida lain di dalam rumput laut yang merupakan komponen terbesar

adalah selulosa yang secara esensial mirip dengan tumbuhan terestrial. Selulosa

terdapat sekitar 10% dari bobot kering rumput laut (Kennedy 1989). Komponen

ini merupakan jenis polisakarida yang tidak larut dalam air dan memiliki

Page 7: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Lautrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62374/4...basal (pangkal). Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang

10  

karakteristik tidak dapat dicerna oleh tubuh manusia (Zecher dan Gerrish 1999).

Selulosa dari rumput laut dapat dikonversi menjadi glukosa dengan teknik

sakarifikasi (Kim et al. 2008). Glukosa merupakan salah satu turunan karbohidrat

yang terdiri atas satu unit monomer (monosakarida) dan pada rumput laut gula

sederhana secara alami ini banyak ditemukan dalam bentuk galaktosa yang

berperan sebagai gelling agent dalam pembentukan agar (Morinho-Soriano dan

Bourret 2005).

Bentuk polisakarida lain yang ada pada rumput laut adalah pati, namun

sifat pati dari alga dan tanaman tingkat tinggi memiliki beberapa perbedaan.

Perbedaan pati yang terdapat pada tanaman tingkat tinggi dan alga adalah lebih

rendahnya viskositas dan ikatan hidrogen pada alga. Hal ini mengindikasikan

molekul pati pada alga lebih kecil dibandingkan dengan tanaman tingkat tinggi.

Pengamatan menggunakan sinar-x memperlihatkan matriks pati kurang teratur,

tetapi masih menunjukkan karakteristik pati tanaman tingkat tinggi (Kennedy

1989).

2.3.1 Agar

Agar adalah polisakarida yang telah digunakan secara luas di masyarakat

karena kemampuannya dalam membentuk gel bahkan pada konsentrasi yang

rendah. Agar adalah polisakarida yang terakumulasi pada dinding sel alga

agarofit. Agar terbentuk dari campuran dua polisakarida agarosa dan agaropektin

(Phillips dan William 2000).

Rantai agarosa tidak mengandung gugus sulfat, sedangkan rantai

agaropektin mengandung gugus sulfat (Glicksman 1983). Unit gula sederhana

pada agarosa terdiri dari D-galaktosa, L-galaktosa, 3,6-anhidro-L-galaktosa dan

D-xylosa. Menurut Glicksman (1983), agaropektin juga memiliki unit yang sama

dengan agarosa, hanya pada unit 3,6-anhidro-L-galaktosa diganti dengan L-

galaktosa bersulfat. Jenis dan kualitas komponen pada rantai polisakarida agar

tergantung pada faktor spesies, kondisi lingkungan, faktor fisiologi dan metode

pengekstrakan (Marinho-Soriano dan Bouret 2005).

Jumlah agar dan sifat fisik agar seperti kekuatan gel dan gelling

temperature serta sifat kimia agar menentukan nilai komersialnya (Marinho-

Page 8: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Lautrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62374/4...basal (pangkal). Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang

11  

Soriano dan Bouret 2005). Alga merah yang dikenal sebagai sumber penghasil

agar adalah Gracilaria dan Gelidium yang telah banyak dimanfaatkan.

Kandungan agar di dalam rumput laut dapat dihidrolisis menggunakan alkali yang

dapat meningkatkan kekuatan gel dan menghasilkan agar yang lebih kuat (Phillips

dan William 2000). Secara umum agar sebenarnya dapat diperoleh dengan

ekstraksi menggunakan akuades, setelah dilakukan praperlakuan menggunakan

H2SO4.

Sifat gel dari agar sangat dipengaruhi oleh keberadaan fraksi 3,6-

anhidrogalaktosa dan komponen sulfat (Duckworth and Yaphe 1971 dalam

Marinho-Soriano dan Bouret 2005). Secara umum kandungan 3,6-

anhidrogalaktosa yang tinggi dapat meningkatkan kekuatan gel, sebaliknya

kandungan sulfat yang tinggi dapat menurunkan kekuatan gel (Armisen 1995

dalam Marinho-Soriano dan Bouret 2005). Agar secara umum telah banyak

dimanfaatkan sebagai gelling agent pada produk pangan, kosmetik dan obat-

obatan, disamping aplikasi lainnya dibidang kesehatan dan bioteknologi

(Marinho-Soriano dan Bouret 2005).

2.3.2 Karaginan

Karaginan merupakan keluarga polisakarida linier bersulfat dari D-

galaktosa dan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang diekstrak dari beberapa jenis alga

merah. Karaginan didefinisikan sebagai produk yang diperoleh dengan ekstraksi

menggunakan air atau larutan alkali (Glikcsman 1983).

Semua jenis karaginan larut dalam air panas pada suhu lebih dari 70 oC

(Angka dan Suhartono 2000), sedangkan kappa karaginan dan iota karaginan

dapat larut dalam air dingin dan larutan garam natrium (Phillips dan William

2000). Kedua jenis karaginan tersebut tidak dapat larut dalam larutan garam

kation lain seperti kalium atau kalsium (Angka dan Suhartono 2000). Jaringan

selulosa yang ada pada Eucheuma dapat mengurangi hidrasi sehingga larutan

menjadi lebih kental setelah diberi perlakuan pemanasan yang lebih lama atau saat

dinaikkan suhunya. Keberadaan selulosa ini dapat menurunkan kekuatan

pemutusan ikatan dan menghasilkan gel yang rapuh. Larutan alkali yang

Page 9: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Lautrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62374/4...basal (pangkal). Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang

12  

digunakan dalam proses ekstraksi dapat memodifikasi L-galaktosa 6-sulfat

menjadi 3,6-anhidro-L-galaktosa (Nussinovitch 1997).

2.3.3 Alginat

Alginat merupakan salah satu komponen yang melimpah di alam, yang

bisa didapatkan dari alga coklat dan bakteri tanah poliskarida kapsular. Alginat

termasuk dalam keluarga kopolimer biner tidak bercabang dengan jumlah variasi

yang besar dalam hal komposisi dan urutan penyusunnya (Phillips dan William

2000). Alginat sering disebut sebagai produk pemurnian karbohidrat yang

diekstrak dari alga coklat menggunakan larutan alkali (Glicksman 1983). Alginat

adalah garam dari asam alginat yang banyak dijumpai dalam bentuk natrium

alginat.

Asam alginat merupakan prekursor dari garam alginat yang merupakan

suatu polimer poliguluronat yang terdiri dari asam D-mannuronat dan asam L-

guluronat yang terikat melalui atom-atom karbon 1 dan 4 (McNeely dan Pettitt

1973). Kadar alginat mencapai 40% dari bobot kering rumput laut dan memegang

peranan penting dalam mempertahankan struktur rumput laut (Rasyid 2003). Daya

kelarutan alginat dipengaruhi oleh pH, konsentrasi, ion pada larutan, dan

keberadaan ion divalen (Moe et al. 1995 dalam Rioux 2007). Pemanfaatan alginat

pada industri tekstil, percetakan, industri briket dan sebagai bahan pengemulsi,

insektisida, kosmetik dan farmasi (Rasyid 2003).

2.3.4 Serat Makanan

Istilah serat makanan pertama kali digunakan untuk menyebut dinding sel

tanaman, namun kemudian secara spesifik digunakan untuk menyebut bagian

yang tidak dapat dicerna (Asp et al. 2004). Trowell et al. (1976) dalam Asp et al.

(2004) menyatakan bahwa serat makanan termasuk polisakarida yang tidak dapat

dicerna dan lignin.

Pada tahun 2001, American Association of Cereal Chemist (AACC)

menyebutkan, serat makanan adalah bagian yang dapat dimakan dari suatu

karbohidrat tanaman atau sejenisnya yang tidak dapat dicerna dan diabsorpsi pada

Page 10: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Lautrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/62374/4...basal (pangkal). Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang

13  

saluran pencernaan manusia (Asp et al. 2004). Menurut Apriyantono et al. (1989),

serat makanan dibagi menjadi tiga fraksi utama, yaitu:

a) polisakarida struktural, terdapat dalam dinding sel dan terdiri dari selulosa dan

polisakarida non-selulosa (hemiselulosa dan substansi pekat);

b) non-polisakarida struktural, sebagian besar terdiri dari lignin;

c) polisakarida non-struktural, termasuk gum dan mucilage serta polisakarida lain

seperti karaginan dan agar dari alga laut.

Serat makanan dapat memelihara usus dan mengurangi risiko kanker usus

(Asp et al. 2004). Fungsi serat adalah mencegah sembelit dan memperlancar

buang air besar (Koswara 2008). Serat makanan dibagi menjadi dua berdasarkan

sifat dan efeknya di dalam tubuh (Hermann 2000), yaitu: (a) serat tidak larut air,

seperti selulosa dan lignin, yang dapat menyerap air dan bersifat bulky, sehingga

usus besar dapat bekerja dengan baik, (b) serat makanan larut air, seperti gum dan

pektin. Rumput laut memiliki kandungan soluble dan insoluble fiber yang lebih

tinggi dari pada kandungannya pada buah dan sayuran (Ortiz et al. 2006).

Kandungan serat dalam dinding sel dapat diekskresikan dengan metode

netral detergen fiber (Arora 1989) sehingga kemampuan serat dapat dipisahkan.

Jika kandungan lignin dalam bahan pangan tinggi, maka koefisien cerna bahan

pangan tersebut menjadi rendah (Sutardi 1980). Serat memiliki banyak potensi

yang bisa dikembangkan untuk berbagai kebutuhan. Pada bahan makanan yang

memiliki kandungan serat tinggi banyak dimanfaatkan sebagai pangan fungsional

yang memiliki khasiat dapat mencegah sembelit, kanker usus, penyakit jantung

dan obesitas (Ortiz et al. 2006). Selain pengembangan pada bidang pangan, saat

ini mulai banyak dilakukan usaha optimasi untuk menghasilkan bahan bakar (bio-

etanol) dan kertas (pulp). Kandungan serat berupa selulosa dapat dihidrolisis

menjadi gula sederhana yang kemudian dapat dijadikan substrat oleh mikroba

untuk dikonversikan menjadi bioetanol melalui proses fermentasi (Kim et al.

2007).