tinjauan pustaka · bakteri rumen terdiri dari jenis gram positif dan gram negatif. spesies bakteri...

14
TINJAUAN PUSTAKA Lerak (Sapindus rarak), Potensi Produksi dan Penyebarannya Tanaman lerak (Sapindus rarak) merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara dan telah lama dikenal di Pulau Jawa. Buah lerak telah dikenal lama dan dipakai sebagai bahan pencuci pakaian atau rambut. Walaupun penggunaannya sebagai bahan pencuci telah terdesak oleh penggunaan detergen dari bahan kimia sintetik, senyawa aktif dalam buah lerak dapat dimanfaatkan di bidang lain. Tanaman lerak berbentuk pohon tinggi mencapai ± 42 m dan besar dengan diameter batang ± 1 m (Gambar 1). Daun bentuknya bundar telur sampai lanset. Perbungaan terdapat di ujung batang warna putih kekuningan. Bentuk buah bundar seperti kelereng kalau sudah tua/masak warnanya coklat kehitaman, permukaan buah licin/mengkilat. Bijinya bundar dan berwarna hitam (Gambar 2). Antara buah dan biji terdapat daging buah berlendir sedikit dan aromanya wangi (Widowati 2003 ). Gambar 1. Pohon lerak (Sapindus rarak)

Upload: trinhdien

Post on 05-Mar-2019

243 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

Lerak (Sapindus rarak), Potensi Produksi dan Penyebarannya

Tanaman lerak (Sapindus rarak) merupakan tanaman yang berasal dari Asia

Tenggara dan telah lama dikenal di Pulau Jawa. Buah lerak telah dikenal lama dan

dipakai sebagai bahan pencuci pakaian atau rambut. Walaupun penggunaannya sebagai

bahan pencuci telah terdesak oleh penggunaan detergen dari bahan kimia sintetik,

senyawa aktif dalam buah lerak dapat dimanfaatkan di bidang lain. Tanaman lerak

berbentuk pohon tinggi mencapai ± 42 m dan besar dengan diameter batang ± 1 m

(Gambar 1). Daun bentuknya bundar telur sampai lanset. Perbungaan terdapat di ujung

batang warna putih kekuningan. Bentuk buah bundar seperti kelereng kalau sudah

tua/masak warnanya coklat kehitaman, permukaan buah licin/mengkilat. Bijinya bundar

dan berwarna hitam (Gambar 2). Antara buah dan biji terdapat daging buah berlendir

sedikit dan aromanya wangi (Widowati 2003 ).

Gambar 1. Pohon lerak (Sapindus rarak)

5

a b

Gambar 2. Biji lerak (a) dan hasil ekstrak metanol lerak (b)

Adapun klasifikasi tanaman lerak sebagai berikut (USDA 1985) :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Bangsa : Sapindales

Suku : Sapindaceae

Marga : Sapindus

Jenis : Sapindus rarak

Tanaman lerak paling sesuai pada iklim tropik dengan kelembaban tinggi,

berdrainase baik, subur dan mengandung banyak humus. Lerak tumbuh pada ketinggian

di bawah 1.500 m di atas permukaan laut, dengan pertumbuhan paling baik pada daerah

berbukit dataran rendah dengan ketinggian 0 - 450 m di atas permukaan laut, curah

hujan rata-rata 1.250 mm/tahun. Lerak termasuk dalam kelas Dicotyledone, berakar

tunggang dengan perakaran yang kompak sehingga dapat digunakan sebagai pengendali

erosi dan penahan angin. Tanaman lerak mulai berbuah pada umur 5 – 15 tahun, dan

musim berbuah pada awal musim hujan (November-Januari) yang menghasilkan buah

sebanyak 10000–15000 biji/pohon (Udarno 2009).

6

Setiap satu kg biji lerak diperkirakan berjumlah 350 biji. Biji lerak kering dapat

disimpan selama satu tahun (Lehman 2009). Beberapa daerah penghasil lerak terbesar di

Indonesia adalah Kediri, Banten, dan Madura. Setiap bulan Kediri mampu mengirim tiga

ton (hasil produksi hutan-hutan setempat) ke berbagai industri. Kediri bahkan sanggup

memasok enam ton lagi setiap bulan (Dudung 2009). Lerak atau juga dikenal sebagai

rerek (Jawa Barat) atau lamuran (Palembang) adalah tumbuhan yang dikenal karena

kegunaan bijinya yang dipakai sebagai deterjen tradisional. Tanaman lerak tersebar di

berbagai daerah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tanaman ini

belum dibudidayakan secara luas dan masih terbatas sebagai tanaman sampingan

(Widowati 2003).

Budidaya tanaman lerak dapat dilakukan secara generatif dengan biji. Buah lerak

tersusun dalam tandan dengan jumlah 8 – 12 buah, berbentuk bulat dengan ukuran 2 cm,

berwarna hijau tua dan biji berwarna hitam. Biji yang akan digunakan untuk

perbanyakan harus sudah cukup tua dan sehat. Biji disimpan di tempat teduh dan

dibasahi secara teratur sebelum disemaikan, kemudian biji disemaikan hingga menjadi

benih dan dapat dipindah ke lapangan pada umur 3 bulan (Udarno 2009). Senyawa aktif

pada buah lerak yang sampai saat ini telah diketahui adalah senyawa-senyawa dari

golongan saponin dan sesquiterpene (Wina et al. 2005a). Thalib et al. (1994)

menyatakan bahwa daging buah lerak yang diekstrak dengan heksan dan metanol

mengandung saponin sebesar 14.6%, protein, tanin, fenol dan karbohidrat terlarut.

Ekologi Mikroba Rumen dan Interaksinya

Ternak ruminansia mempunyai karakteristik tersendiri dibanding ternak lainnya,

karena kemampuannya mencerna serat dari tanaman untuk dikonversi menjadi daging

dan susu. Ternak ruminansia tidak dengan sendirinya memproduksi enzim-enzim

pencerna serat, tetapi karena dalam rumen ternak ruminansia terdapat bakteri, jamur dan

protozoa. Ternak ruminansia sebagai inang menyediakan habitat yang cocok untuk

pertumbuhan mikroorganisme tersebut, sementara mikroba mensuplai protein, vitamin

dan asam organik rantai pendek untuk ternak (Russell & Rychlik 2001).

7

Ternak ruminansia juga memfermentasi pati dan gula, dan bahan makanan non

serat tersebut dapat meningkatkan laju fermentasi dan produktivitas ternak. Namun

demikian, ketika ternak ruminansia diberi pakan rendah serat, maka mekanisme

homeostatik dari aliran digesta, pembuangan gas dan regulasi pH akan terganggu

sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan ternak. Rumen mengandung berbagai tipe

bakteri (Tabel 1) yang aktif mendegradasi komponen pakan (Russel & Rychlik 2001).

Tabel 1. Karakteristik bakteri dominan pada rumen

Spesies Substrat Produk Fermentasi

Fibrobacter succinogenes CU S,F,A Ruminococcus albus CU, HC A, F, E, H2 Ruminococcus flavefaciens CU, HC S, F, A, H2 Eubacterium ruminantium HC, DX, SU A, F, B, L Ruminobacter amylophilus ST S, F, A, E Streptococcus bovis ST, SU L, A, F, E Succinomonas amylolytica ST S, A, P Prevotella ruminocola, albensis, brevis, dan bryantii

ST, PC, XY, SU S, A, F, P

Butyrivibrio fibrisolvens ST, CU, HC, PC, SU B, F, A, H2 Selenomonas ruminantium ST, DX, SU, L, S L, A, P, B, F, H2 Megasphaera elsdenii L, SU P, A, B, Br, H2 Lachnospira multiparus PC, SU L, A, F, H2 Succinivibrio dextrinosolvens PC, DX, SU S, A, F, L Anaerovibrio lipolytica GL, SU A, S, P Peptostreptococcus anaerobius AA Br, A Clostridium aminophilum AA A, B Clostridium sticklandii AA A, Br, B, P Wollinella succinogenes OA, H2, F S Methanobrevibacter ruminantium H2, CO2, F CH4 Keterangan : CU=cellulose, HC=hemicellulose, DX=dextrins, SU=sugar, ST=starch, PC=pectin; XY=xylans, L=lactate, S=succinate, GL=glycerol, AA=amino acid, OA=organic acids, H2=Hydrogen, F=formate, CO2=carbon dioxide, A=acetate, E=ethanol, B=butyrate, L=lactate, P=propionate, Br=Branched-chain volatile fatty acids, CH4=methane (Russel & Rychlik 2001).

Populasi bakteri dalam rumen sangat tinggi (>1010 sel/gr) dan bakteri tersebut

berperan dominan dalam berbagai jalur fermentasi rumen (Russel & Wilson 1996).

Ekosistem mikroba rumen terdiri atas bakteri (1010–1011 sel/ml, yang merepresentasikan

lebih dari 50 genera), protozoa silia (104–106/ml dari 25 genera), kapang/jamur (103–105

zoospores/ml, merepresentasikan 5 genera) dan bacteriophages (108–109/ml) (Hobson &

8

Stewart 1997). Namun, jumlah sebenarnya lebih besar karena sebagian besar bakteri

tidak dapat dikultur. Karena protozoa lebih besar ukurannya dibanding bakteri, maka

biomassa protozoa hampir setengah dari biomassa total mikroba.

Mikroba rumen baik bakteri maupun protozoa sangat spesifik untuk bertahan dan

berkembang dalam rumen yang selalu anaerobik. Kenyatannya, keberadaan oksigen

sangat toksik untuk sebagian mikroba rumen. Nilai pH rumen selalu dipertahankan pada

kisaran 5.7-7.3 oleh fosfat dan bikarbonat dari saliva serta bikarbonat dari fermentasi

rumen. Suhu berada pada kisaran 36-410C. Mikroba rumen dapat secara baik

beradaptasi dengan kondisi tersebut dan kebutuhan pertumbuhan spesifiknya

merefleksikan keberadaan dan jenis nutrien yang ada dalam pakan. Populasi mikroba

rumen tetap eksis dalam kondisi yang sangat dinamis. Total populasi dapat berubah

secara dramatis dengan sejumlah faktor seperti frekuensi pemberian pakan dan jenis

pakan. Komponen senyawa sekunder seperti tannin, saponin dan mimosin disintesis

dalam tanaman untuk memproteksi tanaman tersebut dari infeksi predator mikroba dan

serangga (Kamra 2005).

Mempertahankan rumen selalu sehat dan seimbang merupakan kunci agar serat

dapat dicerna pada laju maksimal dan konsumsi pakan juga dapat dimaksimalkan.

Hijauan jarang digunakan sebagai satu-satunya sumber pakan sapi, sehingga sering

diberikan juga konsentrat yang lebih cepat difermentasi dalam rumen. Fermentasi yang

lebih aktif menghasilkan VFA yang lebih banyak dan menurunkan pH. Selain itu,

bakteri rumen dapat bekerja dengan baik apabila pH rumen selalu dipertahankan 6.8.

Jika pH turun dibawah 6 maka pencernaan serat menurun secara dramatis. Hal ini

dikarenakan enzim yang diperlukan untuk memecah serat tidak dapat berfungsi secara

efektif pada pH <6.0. Selain itu, laju pertumbuhan dan aktivitas fibrolitik menurun pada

pH rendah. Bakteri fibrolitik tidak dapat mempertahankan pH dalam selnya ketika pH

rumen rendah. Ketidakmampuan sistem pengaturan pH pada sel tersebut yang

menyebabkan bakteri tidak dapat tumbuh (Russel & Wilson 1996).

Bakteri rumen terdiri dari jenis gram positif dan gram negatif. Spesies bakteri

rumen yang termasuk dalam gram positif antara lain Lactibacillus ruminis, Lactobacillus

vitulinus, Eubacterium ruminantium, Clostridium polysaccarilyticum, Streptococcus

9

bovis dan Butyrivibrio fibrisolvens, sedangkan yang termasuk dalam gram negatif antara

lain Prevotella sp., Ruminobacter amylophilus, Fibrobacter succinogenes, Selenomonas

ruminantium, Succinimonas amylolitica dan Treponema bryantii (Hobson & Stewart

1997).

Saponin

Saponin merupakan glikosida steroid atau triterpenoid yang banyak terdapat

pada tanaman. Diberi nama saponin karena kemampuannya membentuk senyawa stabil

yaitu busa seperti sabun dalam larutan air. Saponin terdiri atas gula yang biasanya

mengandung glukosa, galaktosa, asam glukoronat, xylosa, rhamnosa atau methylpentosa

yang berikatan membentuk glikosida dengan hydrophobic aglycone (sapogenin) yang

membentuk triterpenoid (gambar 3a) atau steroid (Gambar 3b).

Gambar 3. Struktur molekul saponin: a) triterpenoid, b) steroid (Francis et al. 2002)

Aglycone mengandung satu atau lebih rantai karbon (C=C) tidak jenuh. Besarnya

kompleksitas struktur saponin berasal dari variabilitas struktur aglycone, rantai samping

dan posisi pengikatan gula pada aglycone (Francis et al. 2002). Beberapa saponin

diketahui berfungsi sebagai antimikroba, menghambat jamur dan memproteksi tanaman

dari serangan serangga. Saponin pada tanaman merupakan bagian sistem pertahanan

dan dikelompokkan sebagai phytoanticipins atau phytoprotectant. Disebut

phytoanticipins jika saponin diaktivasi oleh enzim tanaman untuk merespon adanya

kerusakan jaringan atau serangan patogen. Sedangkan phytoprotectant merupakan

saponin yang berfungsi sebagai antimikroba atau anti serangga. Selain itu, saponin juga

merupakan sumber monosakarida (Morrissey & Osbourn 1999). Saponin merupakan

deterjen alami atau surfaktan karena mengandung bagian yang bisa larut dalam air yaitu

10

bagian rantai samping karbohidrat maupun bagian larut lemak yaitu inti sel (sapogenin)

(Cheeke & Otero 2005).

Pengaruh Saponin pada Mikroba Rumen

Saponin diketahui dapat mengurangi sebagian populasi protozoa yang dikenal

dengan defaunasi parsial. Saponin yang berasal dari tanaman maupun saponin murni

berpotensi menekan pertumbuhan protozoa rumen dan dapat dijadikan agen defaunasi

(Wina et al. 2005a; Benchaar et al. 2008). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

tidak ada indikasi pengaruh toksik dari saponin pada pertumbuhan bakteri atau degradasi

protein secara in vitro (Van Nevel & Demeyer 1990). Steroidal saponin (SAP) dari

ekstrak Yucca schidigera mempunyai pengaruh yang berbeda pada beberapa spesifik

bakteri rumen. Pertumbuhan bakteri Streptococcus bovis, Prevotella bryantii dan

Ruminobacter amylophilus menurun, sedangkan pertumbuhan bakteri Selonomonas

ruminantium meningkat. Kurva pertumbuhan semua bakteri non selulolitik hampir

sama baik yang diberi SAP maupun tidak. Aktivitas pencernaan oleh tiga bakteri

selulolitik utama (Ruminococcus albus, Ruminococcus flavefaciens dan Fibrobacter

succinogenes) dihambat oleh SAP, namun demikian F. succinogenes paling tidak

sensitif terhadap SAP dan lebih efektif pada saat deglikosilasi SAP dibandingkan R.

flavefaciens dan R. albus (Wang et al. 2000).

Muetzel et al. (2003) melaporkan bahwa penambahan daun Sesbania pachyarpa

yang mengandung saponin menunjukkan adanya efek yang positif terutama pada

peningkatan pertumbuhan Ruminococcus sp. Peningkatan proporsi daun S. pachyarpa

dalam ransum memicu penurunan populasi eukarotik yang drastis. Hal ini menunjukkan

bahwa defaunasi mempunyai pengaruh yang positif. Selanjutnya, Ozutsumi et al.

(2006) menyatakan bahwa pada rumen yang mendapat perlakuan defaunasi terjadi

peningkatan jumlah bakteri P. ruminicola, R. albus, dan R. flavefaciens dibandingkan

pada rumen yang tidak mendapat perlakuan defaunasi. Sebaliknya, jumlah bakteri F.

succinogenes lebih rendah pada perlakuan defaunasi.

Goel et al. (2008b) juga melakukan investigasi tentang pengaruh ekstrak

tanaman yang mengandung saponin (daun Carduus, Sesbania dan Knautia serta biji

11

Fenugreek) pada komunitas mikroba rumen. Penambahan saponin menurunkan

protozoa sebesar 10%-39% dan saponin dari Sesbania menurunkan populasi metanogen

sebesar 78%. Populasi kapang rumen menurun 20%-60% dan populasi bakteri

Fibrobacter succinogenes meningkat 21%-45%, sementara Ruminococcus flavefaciens

meningkat 23%-40%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saponin mempunyai

aktivitas anti protozoa. Saponin dari biji Fenugreek berpotensi meningkatkan efisiensi

rumen dan dapat mengubah komposisi mikroba rumen ke arah stimulasi profilerasi

bakteri pendegradasi serat dan menghambat populasi fungi. Karnati et al. (2009)

melaporkan bahwa defaunasi secara selektif menurunkan Ruminococci dan Clostridia

tetapi cenderung meningkatkan beberapa populasi Butyrivibrio. Keberadaan protozoa

mempengaruhi baik populasi bakteri maupun archaea melalui pemangsaan selektif,

kompetisi substrat atau melalui interaksi simbiosis. Sementara itu, Mao et al. (2010)

melaporkan bahwa pemberian saponin dari teh sebesar 3 g/h yang diberikan pada domba

dapat menurunkan protozoa rumen dan menurunkan populasi beberapa bakteri

selulolitik (F. succinogenes dan R. flavefaciens).

Satu masalah utama dalam penggunaan tanaman yang mengandung saponin

adalah adanya adaptasi populasi mikroba dalam rumen terhadap saponin atau tanaman

mengandung saponin (Teferedegne 2000). Odenyo et al. (1997) melaporkan bahwa S.

sesban yang mengandung saponin yang ditambahkan secara langsung ke dalam rumen

domba fistula bersifat toksik pada protozoa, tetapi apabila S.sesban diberikan dalam

pakan akan menurunkan aktivitas antiprotozoa. Hal ini menunjukkan bahwa proses

mengunyah menyebabkan detoksifikasi, yang diduga oleh amilase saliva, atau adanya

partikel berukuran besar yang memproteksi saponin dari degradasi sehingga aktivitas

biologisnya berkurang. Eugene et al. (2004) mengamati pengaruh defaunasi total pada

domba yang diberi pakan campuran konsentrat dan hijauan dengan rasio protein : energi

(P/E) berbeda (80, 100, 120 dan 140) terhadap populasi mikroba rumen. Populasi

bakteri selulolitik utama (R. albus, R. flavefasciens dan F. succinogenes) tidak

dipengaruhi oleh rasio protein/energi pakan dengan jumlah berkisar 3-5% dari total

bakteri. Penelitian lain (Lila et al. 2003; 2005) menunjukkan bahwa pemberian

sarsaponin sampai level 3.2 g/L dapat menurunkan populasi protozoa setelah 6 jam

12

fermentasi in vitro. Selanjutnya, pada uji in vivo dengan sapi jantan menunjukkan

bahwa pemberian sarsaponin sebesar 0.5% dan 1% dari bahan kering pakan juga dapat

menurunkan populasi protozoa. Komposisi protozoa yang diamati adalah Entodinium

sp. Dasytricha sp. dan Isotricha sp.

Pengaruh Saponin pada Fermentasi Rumen dan Produksi Ruminansia

Ahli nutrisi ternak umumnya berpendapat bahwa saponin merupakan komponen

yang harus dihilangkan. Pada ruminansia dan hewan budidaya lainnya, konsumsi

saponin mempunyai pengaruh yang signifikan pada semua fase metabolisme mulai dari

pencernaan pakan sampai ekskresi fesesnya (Cheeke 2000). Penghambatan yang

persisten terhadap protozoa dapat mempunyai aplikasi yang lebih luas. Retensi N dapat

diperbaiki dengan defaunasi, yang telah banyak dilaporkan dalam beberapa penelitian

dimana protozoa dihilangkan baik dengan perlakuan kimia, fisik atau ternak yang

diisolasi sejak lahir sehingga bebas dari protozoa (Eugene et al. 2004).

Pengamatan umum tentang saponin adalah pengaruhnya yang khas adalah

penurunan konsentrasi NH3 dan perubahan proporsi VFA dimana saponin meningkatkan

konsentrasi propionat (Goel et al. 2008a). Lila et al. (2003; 2005) menyatakan bahwa

pemberian saponin dapat menurunkan konsentrasi NH3 serta meningkatkan produksi

VFA total dan proporsi propionat baik secara in vitro maupun in vivo pada sapi.

Suplementasi pakan dengan daun S. sesban yang tinggi kandungan saponinnya, telah

diketahui berpotensi memperbaiki aliran protein dari rumen dengan menekan aksi

protozoa yang ada tetapi bakteri rumen mampu memetabolisme senyawa antiprotozoa

(Newbold et al. 1997). Hu et al.(2005) juga melaporkan adanya penurunan konsentrasi

NH3 sebesar 27% serta peningkatan produksi propionat dengan pemberian saponin dari

teh sebesar 8 mg/200 g pakan pada fermentasi in vitro.

Efek positif saponin lebih terbukti ketika diinjeksi secara langsung melalui

rumen dibanding ditambahkan dalam pakan. Wang et al. (2000) mengamati bahwa

suplementasi dengan ekstrak Yucca dapat menguntungkan untuk ruminansia yang diberi

pakan tinggi konsentrat. Saponin Yucca juga mempunyai efek negatif langsung pada

bakteri selulolitik tetapi tidak berbahaya terhadap bakteri amilolitik. Mekanisme

13

antibakteri dari saponin masih belum jelas. Beberapa penelitian lain juga menunjukkan

bahwa beberapa efek dari saponin pada domba tergatung jenis kelamin. Bosler et al.

(1997) melaporkan bahwa baik domba jantan maupun betina yang diberi pakan 40 mg

saponin Quilaja yang dicampur dalam ransum basal signifikan meningkatkan ADG

(average daily gain) dibanding kontrol tetapi pertambahan bobot badan pada betina lebih

rendah.

Benchaar et al. (2008) melakukan penelitian menggunakan sapi perah fistula

untuk mengevaluasi pengaruh saponin dari ekstrak Y. schidigera (YSE, 10% saponin, 60

g/ekor/hari) terhadap kecernaan, karakteristik fermentasi rumen, populasi protozoa dan

produksi susu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering sapi yang

diberi YSE lebih rendah dibandingkan kontrol (21.8 vs. 23.2 kg/d). Kecernaan bahan

kering, bahan organik, protein kasar, NDF (neutral detergent fiber), dan ADF (acid

detergent fiber) pada keseluruhan saluran pencernaan tidak dipengaruhi oleh perlakuan.

Suplementasi YSE tidak mempengaruhi degradasi rumen secara in situ. Konsentrasi

total VFA, pH rumen, proporsi molar VFA asetat (65.0), propionat (19.6) dan butirat

(11.2) relatif sama antar perlakuan. Konsentrasi NH3 dan populasi protozoa rumen tidak

berubah dengan penambahan YSE dalam ransum. Produksi susu, lemak susu dan

protein susu tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

suplementasi YSE pada sapi perah mempunyai pengaruh yang terbatas pada kecernaan,

karakteristik fermentasi rumen dan populasi protozoa. Hal ini dapat dikarenakan dosis

yang digunakan kurang untuk mengubah fermentasi mikroba.

Muetzel et al. (2003) melaporkan bahwa penambahan daun Sesbania pachyarpa

yang mengandung saponin dapat memicu fermentasi. Penambahan 40% S .pachyarpa

dapat meningkatkan produksi gas dan konsentrasi rRNA bakteri, namun demikian

produksi VFA hanya berubah sedikit. Abreu et al. (2004) juga melakukan penelitian

tentang penggunaan buah Sapindus saponaria (12% saponin) dan melaporkan bahwa

suplementasi S. saponaria dapat memperbaiki profil VFA dimana proporsi propionat

meningkat dan asetat turun. Hu et al. (2005) melaporkan adanya pengaruh yang sangat

kecil terhadap kecernaan bahan organik dan produksi VFA dengan penambahan saponin

dari teh secara in vitro. Sementara itu, suplementasi saponin teh sebesar 0.4 mg/ml

14

meningkatkan biomasa protein mikroba sebesar 18.4% dan 13.8% serta menurunkan

konsentrasi N-NH3 sebesar 8.3% dan 19.6% pada cairan rumen yang mendapat

perlakuan faunasi dan defaunasi. Selanjutnya, Mao et al. (2010) menyatakan pemberian

saponin dari teh pada domba sebesar 3 g/h dapat menurunkan pH rumen. Konsentrasi

VFA total meningkat, namun proporsi VFA tidak berubah antar perlakuan. Sintesis

protein mikroba juga meningkat dengan perlakuan saponin. Namun demikian,

pemberian saponin dari teh tidak mempengaruhi konsumsi pakan dan pertambahan

bobot badan harian domba.

Pemberian saponin dari Biophytum petersianum Klotzsch sampai dengan 319 ml

(setara dengan 26 mg saponin/kg BB) pada kambing menurunkan konsentrasi amonia

tetapi menurunkan konsentrasi VFA total dan proporsi butirat. Proporsi propionat

meningkat dengan pemberian saponin (Santoso et al. 2007). Namun demikian, kehati-

hatian diperlukan pada ransum yang tinggi serat. Penghambatan sejumlah bakteri yang

terlibat dalam pencernaan serat mempunyai konsekuensi yang serius pada keseluruhan

proses pencernaan. Saponin Lucerne diketahui dapat menyebabkan penurunan efisiensi

sintesis protein mikroba pada domba, karena pertumbuhan bakteri juga ditekan seperti

halnya protozoa (Lu & Jorgensen 1987). Selain itu, manfaat dari sarsaponin nampaknya

tergantung pakan, yaitu dapat meningkatkan kecernaan pada pakan silase sorghum dan

pakan berserat lainnya tetapi menurunkan kecernaan pada pakan sereal dan protein.

Penurunan efisiensi sintesis protein sebesar 36% juga terjadi pada ternak yang

mengkonsumsi ekstrak Y.schidigera (Goetsch & Owens 1985)

Lerak sebagai pakan aditif ternak telah terbukti dapat meningkatkan performa

domba. Hal ini telah dibuktikan dan dilaporkan oleh beberapa peneliti pada percobaan

berbeda di Balai Penelitian Ternak (Thalib et al. 1994; 1996; Wina et al. 2005a,b).

Thalib et al. (1996) mencekokkan ekstrak lerak setiap 3 hari sekali ke dalam rumen

domba yang diberi pakan basal jerami padi dan memperoleh peningkatan bobot hidup

harian sebesar 22%, sedangkan Wina et al. (2005b) melaporkan bahwa pemberian

ekstrak lerak setiap hari menghasilkan pertambahan bobot badan domba sebesar 40%.

15

Pengaruh Saponin pada Sintesis Protein Mikroba

Penekanan populasi protozoa juga diketahui dapat meningkatkan efisiensi

pembentukan protein mikroba karena sifat protozoa yang sering memangsa bakteri

(Firkins 1996). Efisiensi pemanfaatan protein pakan memegang peranan penting pada

nutrisi ternak ruminansia. Sekitar 70%-80% protein didegradasi dalam rumen menjadi

peptida dan asam amino serta diubah lebih lanjut menjadi amonia. Banyaknya protein

yang tersedia untuk ternak ruminansia tergantung pada kombinasi protein mikroba yang

masuk ke usus halus dan protein pakan yang lolos degradasi (Selje et al. 2007).

Saponin dari Y. schidigera diketahui dapat meningkatkan produksi N mikroba

pada domba (Santoso et al. 2004). Hu et al. (2005) juga menyatakan bahwa saponin

dari teh pada taraf 8 mg/200 mg pakan (4% dari pakan) dapat meningkatkan sintesis

protein mikroba sebesar 74% dibanding kontrol secara in vitro selama 24 jam

fermentasi. Santoso et al. (2007) juga melaporkan adanya peningkatan efisiensi, retensi

nitrogen dan sintesis mikroba rumen dengan pemberian saponin dari B. petersianum

Klotzsch sebesar 26 mg pada kambing. Sementara, Fujihara et al. (2003) menyatakan

bahwa defaunasi pada kambing dapat meningkatkan ekskresi derivatif purin sebesar

40%. Efisiensi sintesis protein mikroba berbeda untuk setiap jenis ternak tergantung

pakan yang diberikan. Kisaran efisiensi sintesis protein mikroba sebesar 7.5-24.3 g

untuk ternak yang diberi pakan berbasis hijauan dan 9.1-27.9 g untuk pakan campuran

serta 7.0-23.7 g untuk pakan konsentrat (Karsli & Russel 2001).

Pengaruh Saponin pada Produksi Gas Metan

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan saponin pada pakan

dapat menurunkan produksi metan yang diduga berhubungan dengan penurunan

populasi protozoa dan atau populasi bakteri metanogen. Hasil penelitian Wang et al.

(1998) menunjukkan bahwa penambahan saponin dari Yucca dapat menurunkan

produksi metan sebesar 15%. Hess et al. (2003) juga melaporkan adanya penurunan

produksi metan sebesar 20% dengan pemberian saponin dari S.saponaria tanpa

mempengaruhi populasi bakteri metanogen in vitro maupun in vivo pada domba. Ekstrak

etanol, air dan metanol dari Sapindus mukoroossi juga dapat menurunkan produksi

16

metan berturut-turut sebesar 96, 39.4 dan 20% (Agarwal et al. 2006). Namun demikian

saponin yang diekstrak dari A.concinna tidak mempengaruhi produksi metan pada rasio

konsentrat:hijauan=1:1 walaupun terjadi penurunan jumlah protozoa (Patra et al. 2006).

Goel et al. (2008a) juga melakukan percobaan untuk mengevaluasi tiga bahan

tanaman yaitu daun Carduus, S. sesban dan biji Fenugreek serta ekstraknya yang

mengandung saponin terhadap penekanan produksi metan secara in vitro. Diantara

ketiga bahan tanaman tersebut, daun Carduus berpotensi paling tinggi untuk digunakan

sebagai suplemen pakan pada rasum berbasis hijauan atau konsentrat untuk mengurangi

produksi gas metan dan meningkatkan pemanfaatan nutrien untuk produksi biomasa

mikroba. Gugus aktif pada daun Carduus bukan kelompok tannin atau saponin dan

terlarut dalam ekstraksi dengan air maupun methanol. Sedangkan saponin yang

terkandung dalam Fenugreek dan Sesbania tidak menurunkan produksi metan. Namun

demikian, jika bahan tanaman tersebut digunakan sebagai suplemen pakan terutama

pada ransum berbasis konsentrat, berpotensi meningkatkan produksi biomassa mikroba

dan menurunkan produksi metan per unit substrat yang didegradasi.

Hu et al. ( 2005) juga telah melakukan kajian tentang pengaruh saponin dari teh

dengan taraf 0, 2, 4, 6 dan 8 mg dalam 200 mg campuran substrat (jagung:rumput=1:1)

terhadap emisi metan secara in vitro dan menunjukkan bahwa pemberian saponin dari

teh signifikan menurunkan konsentrasi metan berturut-turut sebesar 13, 22, 25 dan 26%.

Selanjutnya, pemberian saponin dari teh secara in vivo pada domba muda sebesar 3 g/h

dapat menurunkan produksi metan sebesar 27.7% dibanding kontrol (Mao et al. 2010).

Nilai penghambatan produksi metan oleh saponin dari teh ini lebih besar dibandingkan

penelitian Yuan et al. (2007) yang memberikan saponin teh sebesar 5 g/h pada domba

dewasa dan dapat menurunkan produksi metan sebesar 8.5%. Perbedaan ini diduga

disebabkan oleh perbedaan akitivitas mikroorganisme antara domba muda dan dewasa.

Pemberian sarsaponin sebesar 3.2 g/L pada substrat hay dan konsentrat juga

dapat menurunkan konsentrasi metan in vitro sebesar 44% (Lila et al. 2003). Sementara,

pada pemberian sarsaponin 1% BK pakan secara in vivo pada sapi juga dapat

menurunkan metan sebsar 27% (Lila et al. 2005).

17

Pengaruh Saponin pada Metabolisme Kolesterol

Beberapa studi menunjukkan bahwa saponin dari berbagai sumber yang berbeda

menurunkan level kolesterol serum baik pada hewan maupun manusia. Campuran misel

yang besar terbentuk oleh interaksi saponin dengan garam empedu yang dapat

meningkatkan ekresinya ketika mengkonsumsi bahan pangan tinggi saponin seperti

kedelai, lucerne dan chickpea. Hal ini mempercepat metabolisme kolesterol dalam hati

yang menyebabkan levelnya di dalam serum turun. Ekstrak etanol dari biji Fenugreek

dapat menghambat absorpsi taurocholate dan deoxycholate secara in vitro dan

tergantung dosis pada usus yang dibalik (Stark & Madar 1993). Penurunan absoprsi

kolesterol usus halus dipengaruhi oleh beberapa saponin, namun demikian nampaknya

tanpa melibatkan resirkulasi garam empedu enterohepatic.

Saponin juga menurunkan sedikit LDL-kolesterol secara selektif dalam serum

tikus dan manusia. Morehouse et al. (1999) menyatakan bahwa mekanisme aktivitas

saponin dalam menurunkan kolesterol saat di usus halus tetapi tidak melibatkan

stoikiomimetri yang komplek dengan kolesterol. Saponin sintetik (seperti tiqueside dan

pamaqueside) lebih berpotensi dibanding saponin alami dalam mencegah

hiperkolesterolemia dan secara in vivo menunjukkan bahwa potensi pamaquecide 10 kali

lipat dibanding tiqueside. Peneliti lain menunjukkan mekanisme aksi dari saponin

dengan menunda absorpsi lemak di usus halus dengan menghambat aktivitas lipase

pankreas (Han et al. 2000). Saponin dari ekstrak daun teh mempunyai aktivitas

antihiperkolesterolemia sebesar 72% dan penambahan 0.5% saponin teh pada pakan

tikus tinggi kolesterol dapat menghambat peningkatan level kolesterol serum. Saponin

dari teh juga merangsang penurunan kolesterol dan trigliserida di hati dan

meningkatkan ekskresi kolesterol di feses. Hal ini mengindikasikan bahwa saponin

dapat menghambat penyerapan kolesterol di usus halus (Matsui et al. 2009). Harwood

et al. (1993) melaporkan adanya penurunan absorbsi kolesterol di usus halus sebesar

86% dengan pemberian saponin sintetis (tiqueside) 150mg/kg/hari pada hamster tanpa

ada perubahan absorpsi empedu maupun aktivitas cholesterol 7α-hydroxylase. Hal ini

mengindikasikan bahwa tiqueside menghambat absorpsi kolesterol tanpa mengganggu

re-sirkulasi asam empedu enterohepatic.