zikir dan cinta - · pdf filemenurut syekh ahmad bin muhammad zain bin mustafa al- fatani...
TRANSCRIPT
1
ZIKIR DAN CINTA
Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS)
mata kuliah Pendidikan Tasawuf
Dosen Pengampu: Dr. H. Amir Mahmud, M.Ag.
Disusun oleh:
Abdul Ghofur
NIRM. 016.11.10.2717
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURAKARTA
SURAKARTA
2017
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Zikir merupakan salah satu ajaran praktis tasawuf. Dimana tasawuf
salah satu asal katanya adalah shofw yang berarti bersih, shafa berarti
jernih, suffah merupakan sebuah kamar disamping masjid Rasulullah
SAW. Menurut Syekh Ahmad bin Muhammad Zain bin Mustafa Al-
Fatani dalam bukunya hadiqatul azhar bahwa arti tasawwuf ialah
memakai shuf artinya bulu.
Sedangkan asal zikir adalah ash-safa yang berarti bersih dan
hening. Menurut bahasa artinya ingat atau sebut. Didalam Al-Quran
terdapat banyak perintah untuk mengingat Allah SWT seperti dalam QS.
Al-Jumu‟ah: 10 yang artinya:“Dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu mendapat kemenangan”. Beberapa pembagian zikir antara lain zikir
lisan, zikir qalby, zikir aqly, dan zikir ruhy. Dalam melaksanakannya tidak
ada larangan untuk mengerjakan salah satu atau semua zikir tersebut
karenaAllah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kemampuannya.
Zikir merupakan menifestasi pengabdian seorang hamba kepada
Allah SWT, sehingga membuahkan rasa cinta yang mendalam dan harapan
akan memperoleh ridha-Nya. Nabi Muhammad SAW sendiri diutus oleh
Allah SWT untuk membawa misi dan pesancinta kasih sayang bagi alam
semesta (rahmatan lil „alamin).Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu
bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta
(mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari
bagaimana para ulama sufi, seperti Al-Ghazali, menempatkan mahabbah
sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.
Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu
sejak zaman Rabi‟ah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak
pelak menarik orang-orang yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan
3
dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika alienasi
sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi
tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak
mengorbankan penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang
dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern membuat banyak orang jadi
mengabaikan ruang rohani dalam dirinya.
Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas secara lebih dalam
mengenai zikir dan cinta, mengetahui bagaimana keduanya berperan dan
bersinergi dalam diri seorang manusia. Semoga dapat memberikan
pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan zikir?
2. Apakah yang dimaksud dengan cinta?
3. Bagaimana perilaku sufi menuju kebenaran?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang zikir
2. Untuk mengetahui dan memahami tentang cinta
3. Untuk mengetahui perilaku sufi menuju kebenaran
Adapun manfaat penulisan makalah ini agar dapat memberikan
pengetahuan dan pemahaman secara lebih mendalam dan mendetail
mengenai zikir, cinta, dan peran keduanya sebagai jalan sufi menuju
kebenaran.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Zikir
1. Pengertian Zikir
Zikir berasal dari kata dzakara-yadzkuru-dzikran. Kata ini secara
bahasa memiliki beragam arti, seperti menyebut, mengingat,
memerhatikan, menuturkan, menjaga, mengambil pelajaran, mengenal,
dan mengerti.1Asal zikir adalah ash-shafa artinya bersih dan hening.
Wadahnya adalah al-wafa, artinya menyempurnakan. Dan syaratnya
adalah al-hudhur artinya hadir hati sepenuhnya. Hamparannya adalah
amal saleh dan khasiatnya adalah pembukaan dari Tuhan.2
Kata zikir pada mulanya berarti mengucapkan dengan lidah atau
menyebut sesuatu, kemudian berkembang menjadi mengingat. Karena
mengingat sesuatu sering kali mengantarkan lidah menyebutnya.
Demikian juga menyebut dengan lidah dapat mengantarkan hati untuk
mengingat lebih banyak lagi apa yang disebut-sebut itu. Adapun
zikrullah dapat mencakup penyebutan nama Allah atau ingatan
menyangkut sifat-sifat atau perbuatan Allah, surga atau neraka-Nya,
rahmat dan siksa-Nya, dan segala yang dikaitkan dengan-Nya.
Imam Nawawi (rahimahullâh) dalam Al-Adzkar menyatakan
bahwa zikir itu dapat dilakukan dengan hati atau dengan lisan. Akan
tetapi lebih afdhal bila dilakukan dengan keduanya. Namun, bila ingin
memilih di antara kedua hal itu, maka lebih afdhal bila dilakukan
dengan hati. Jadi, zikir dengan hati dan lisan itu harus tetap dilakukan
dengan niat semata-mata karena Allâh SWT.
Namun, Imam Nawawi juga menegaskan bahwa yang dimaksud
zikir di sini ialah hadirnya hati. Maka sudah sepantasnya bagi setiap
orang yang melakukan zikir untuk menyadari bahwa itulah tujuannya
1Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf; Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya
(Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi), (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hal. 76. 2 Permadi, Pengantar Ilmu Tasawwuf, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 62.
5
sehingga timbul keinginan untuk meraih hasilnya dengan men-
tadabbur ucapan-ucapan zikirnya serta memikirkan makna-maknanya.
Karena tadabbur atau tafakkur (merenung) dalam berzikir merupakan
keharusan sebagaimana ketika ia membaca Al-Qur‟an karena kedua-
duanya memiliki maksud dan tujuan yang sama.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami zikir merupakan
satu istilah yang tidak pasif dan selalu on (hidup) lewat penyebutan-
penyebutan lisan, disertai dengan menghadirkan hati, yang
konsekuensinya adalah men-tadabbur ucapan-ucapan zikirnya serta
memikirkan makna-maknanya yang pada akhirnya mewujudkan
pribadi yang saleh. Zikir adalah suatu hal yang indah dalam kehidupan
fana ini. Oleh karenanya, sesungguhnya tidak ada alasan apapun, yang
membolehkan seorang muslim meninggalkan zikir. Justru semakin
seorang muslim tenggelam dalam kelezatan zikir, semakin pula ia
rindu dan rindu pada Dzat yang disebutnya dalam zikirnya.
2. Landasan Zikir
Banyak ayat Al-Qur‟an dan Hadits Nabi SAW yang menjadi
landasan dan memerintahkan manusia untuk selalu berzikir kepada
Allah SWT, di antaranya QS. Al-Jumu‟ah ayat 10, QS. Al-Ahzab ayat
41-42, dan QS. Ar-Ra‟ad ayat 28 sebagai berikut:
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-
banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu‟ah: 10).
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan
menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan
bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab:
41-42).
6
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra‟ad: 28).
Adapun keutamaan zikir dalam hadits Nabi SAW antara lain:
مثل الذي يذكر ربو والذي ال يذكر ربو مثل الي والميت
Artinya: “Perumpamaan orang yang ingat akan Rabbnya dengan orang
yang tidak ingat Rabbnya laksana orang yang hidup dengan orang
yang mati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
هم هم الملئكة، وغشيت ت الرحة، ون زلت ال ي قعد ق وم يذكرون اهلل، إال حفكينة ، وذكرىم اهلل فيمن عنده عليهم الس
Artinya: “Tidaklah suatu kaum duduk berzikir kepada Allah,
melainkan mereka dinaungi oleh para malaikat, diliputi oleh rahmat,
turun kepada mereka ketenangan dan Allah SWT menyebut-nyebut
mereka di hadapan para malaikat (di langit).” (HR. Muslim).
ال ي زال لسانك رطبا من ذكر اللو Artinya: “Hendaklah lisanmu senantiasa basah dengan berdzikir
kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
3. Macam Zikir
Macam-macam zikir antara lain:3
a. Zikir Lisany (zikir lidah) adalah menyebut nama Allah dengan
lidah, bunyinya berupa kalimat tayyibah seperti subhanallah,
alhamdulillah, istighfar, asma‟ul husna, dan lainnya. Zikir ini poin
pahalanya paling rendah dibandingkan macam zikir yang lain, zikir
ini juga disebut zikir syari‟at.
b. Zikir Qalbi (zikir hati) adalah menyebut nama Allah dengan hati
kalimat tasbih (subhanallah), tahlil, takbir, tahmid, taqdis,
3Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf…, hal. 76-77.
7
hauqolah, tarji‟, dan istighfar. Zikir ini pahalanya bisa mencapai 70
kali lipat atau lebih dibandingkan zikir lisan, dikarenakan zikir ini
tidak diketahui oleh orang sehingga keikhlasannya lebih terjaga,
zikir ini juga disebut sebagai zikir thariqat.
c. Zikir Aqly (zikir pikir) adalah memikirkan arti, makna, dan maksud
yang terkandung dalam kalimat-kalimat zikir. Zikir ini disebut juga
zikir tafakkur (memikirkan) dan tadabbur (merenungkan) keesaan
dan kekuasaan Allah sebagaimana yang tersurat dalam kalimat
zikir yang diucapkan.
d. Zikir Ruhy (zikir roh) kembalinya roh pada fitrah atau asal
kejadiannya saat berada dalam arwah, menyaksikan dan
membuktikan wujudnya Tuhan secara langsung tanpa perantara.
Zikir ini disebut juga zikir makrifah dan ini tingkatan zikir
tertinggi.
B. Cinta
1. Pengertian Cinta
Cinta itu logis secara makna meski tak bisa didefinisikan. Cinta
bisa dimengerti dengan rasa (dzawq, perception) tanpa ketidaktahuan.
Cinta bisa dimengerti oleh orang yang menjalaninya dan menyelami
sifatnya. Cinta tidak bisa dimengerti definisinya dan tak bisa
dipungkiri kehadirannya. Cinta adalah persepsi yang tidak diketahui
realitasnya, demi Allah bukankah ini suatu eksotika?4
Cinta tidak bisa didefinisikan, kecuali hanya memaparkan efek-
efek, jejak-jejak (impacts), dan cendera-cendera cinta saja. Cinta tidak
bisa didefinisikan secara dzatiyah, dan hanya bisa didefinisikan secara
formal dan verbal. Orang yang mendefinisikan cinta tidaklah
mengenalnya. Siapa yang tidak meneguk cinta, berarti tidak
mengenalnya. Orang yang berkata aku telah kenyang dengan cinta,
4 Mahmud Mahmud Al-Ghurab, Semesta Cinta Ibnu „Arabi, (Yogyakarta: INDeS Publishing,
2015), hal. 40.
8
berarti tidak mengenal cinta. Cinta adalah minuman yang tak pernah
memuaskan.
Cinta bagaikan gelombang cahaya yang tercipta dalam morfologi
rasa yang bertahta di semesta. Cinta memiliki makna yang begitu
dalam, indah, mempesona, agung, dan berwibawa. Cinta adalah
hakikat yang tak ada, tak tertulis, dan tak bisa didengar. Cinta adalah
konsep yang abstrak, sulit terdeteksi, bahkan secara ilmiah. Cinta
hanya dapat ditemukan dengan segenap penjiwaan, kesungguhan, dan
ketulusan.5
2. Realitas Cinta
Konsekuensi dari cinta adalah munculnya realitas-realitas cinta
yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya, antara lain:6
a. Cinta tak menerima persekutuan, sehingga tidak layak seorang
pecinta mencintai dualitas, karena hati tak bisa mencakupi dua-
duanya. Dzat Pencinta adalah satu dan tak terbagi-bagi. Namun,
jika dzat itu murakkab (rangkap) maka bisa jadi cintanya
bergantung pada beberapa objek dan kondisi yang bermacam-
macam. Jika dzat yang menjadi dependensi bermacam-macam
benda itu berhubungan dengan banyak objek, hingga manusia bisa
mencintai lebih dari satu kekasih.
b. Cinta itu membuat buta dan tuli, setiap cinta tidak memberikan
kewenangan terhadap pelakunya, yang menjadikan sang pelaku
menjadi tuli dari segala yang didengar selain kekasihnya,
membuatnya buta dari segala yang dilihat selain wajah kekasihnya,
membuatnya bisu untuk mengucapkan apa pun selain menyebut
kekasihnya, menutup hatinya sehingga tidak ada yang masuk selain
cinta kekasihnya.
c. Seseorang tiada mencintai karena diri sang kekasih, kecuali semata
untuk dirinya sendiri. Sang pencinta tiada mencintai yang lain,
5 Muhammad Akrom, Cinta dalam Kaidah Fisika, (Yogyakarta: Diva Press, 2008), hal. 14-15.
6 Mahmud Mahmud Al-Ghurab, Semesta Cinta Ibnu …., hal. 44-50.
9
melainkan mencintai dirinya. Tidaklah ia mencintai bahkan tak
layak mencintai yang lain untuk selamanya karena memang
mencintai yang lain tidaklah mengandung kebajikan. Jika pun ada
akan kembali pada sang pencinta. Jati dirinyalah yang paling ia
cintai, ia mencintai karena kebajikan itu kembali kepadanya.
d. Keluhuran cinta dan kehinaan pencinta, cinta adalah salah satu sifat
al-Haq, maka cinta bersifat agung karena ditautkan kepada al-Haq
dan menjadi sifat-Nya. Keagungan itu kemudian menjalar kepada
makhluk, sehingga menyebabkan kehinaan pada kedua sisi. Karena
itu, terlihat pencinta menjadi hina di hadapan keagungan cinta,
bukan di hadapan keagungan kekasih. Sehingga tampaklah bahwa
itu adalah keagungan cinta, bukan keagungan kekasih.
e. Arus cinta dalam wujud, salah satu keluhuran Allah SWT yaitu
menjadikan suatu realitas mengalir dalam setiap entitas yang
memungkinkan bersifat wujud disertai dengan kenikmatan yang
tiada tara. Kosmos pun saling mencintai satu sama lain dengan
cinta yang terkait dari realitas cinta yang permanen. Sehingga bisa
dibilang si A mencintai si B dan si A mencintai sesuatu. Ini tak lain
adalah fenomena kesejatian pada entitas apa yang ia cintai maupun
fenomena kesejatian di hadapan yang lain, apa pun dia.
f. Mabuk minuman cinta, cinta memiliki minuman yang merupakan
tajalli (manifestasi) yang berada di antara dua tajalli, itulah tajalli
abadi yang tak pernah mengalami keterputusan. Dan itulah maqam
tertinggi yang menjadi tempat al-Haq bermanifestasi di dalamnya
untuk para hamba-Nya ahli makrifat. Yang paling awal adalah
tajalli ad-Dzawq (perception theophany). Barang siapa tidak
mencicipi minuman tersebut, maka ia tak bisa mengenal-Nya.
Adapun tajalli yang memberi kepuasan adalah milik orang-orang
yang mengalami kesempitan, karena tujuan mereka minum adalah
supaya puas. Sementara orang-orang yang lapang, tidaklah bisa
merasakan kepuasan dengan minum.
10
3. Hierarki Cinta
Cinta memiliki tiga tingkatan, yaitu:7
a. Cinta biologis, cinta biologis bersifat umum, karena setiap pencinta
menerima sosok-sosok biologis atas apa yang diberikan oleh
hakikat mereka, hingga dalam cintanya, mereka mengalami sifat
yang ada pada sosok biologis tersebut, seperti suka, rindu,
merindukan, senang bertemu, melihat dan berhubungan dengan
kekasih. Cinta biologis adalah cinta milik orang awam. Tujuannya
adalah persatuan roh hewani, hingga roh masing-masing menjadi
roh kawannya, yaitu dengan cara menarik kenikmatan dan
membangkitkan syahwat, seperti mengalirnya air dalam kain wol
atau mengalirnya warna dalam benda berwarna.
b. Cinta spiritual-psikologis (ruhaniyah-nafsiyah), cinta ini bertujuan
tasyabbuh (penyerupaan) dengan kekasih, dengan menunaikan hak
dan mengetahui derajat kekasih. Jika cinta biologis tunduk kepada
batasan, ukuran, dan bentuk, maka cinta rohani tidak bisa dibatasi,
jauh dari ukuran dan bentuk, hal ini karena energi rohaniah
mengalami ketertarikan yang bersifat nisbi. Cinta ini membuat
pencinta mencintai kekasih untuk dirinya sendiri dan untuk
kekasihnya, ia mengatur segala hal berdasarkan hikmah dan tidak
menjauhkannya dari tempatnya masing-masing.
c. Cinta ilahiyah, cinta ilahiyah adalah cinta Allah kepada hamba dan
cinta hamba kepada Allah. Seperti firman Allah SWT:
Artinya: “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai Dia.” (QS.
Al-Maidah: 54).
Cinta manusia kepada Allah terbagi menjadi 4 macam
yaitu; 1) mencintai Allah karena Dia, 2) mencintai-Nya karena diri
7 Mahmud Mahmud Al-Ghurab, Semesta Cinta Ibnu …., hal. 109-132.
11
kita, 3) mencintai-Nya karena Dia dan diri kita, 4) mencintai-Nya
tidak karena Dia maupun diri kita, tidak pula karena keduanya.
Adapun puncak cinta ilahiyah adalah jika hamba menyaksikan
keberadaan dirinya sebagai penampakan dari al-Haq. Bagi al-Haq
yang bertajali, hamba adalah seperti roh bagi jisim. Sementara
batinnya gaib dan tidak pernah bisa diketahui, dan hanya
disaksikan oleh sang pencinta. Dan al-Haq menjadi penampakan
bagi hamba, hingga Dia memiliki sifat seperti sifat-sifat hamba,
seperti terbatas, terukur, dan memiliki aksiden. Al-Haq
menyaksikan sang hamba dan hamba menjadi kekasih-Nya.
4. Sebutan-sebutan Cinta
Cinta memiliki empat nama, yaitu:8
a. Al-Hawa
Kata ini berasal dari “hawa al-Najm” (bintang telah jatuh), jika
hawa tidak bersekutu dengan sesuatu pun dan sang pencinta terlepas
dari kehendaknya sendiri, lalu mengikuti kehendak kekasih. Hawa
itu memiliki kekuasaan, karena berasal dari alam tinggi. Karena itu
disebut dengan nama “jatuh” yaitu memusatkan kehendak kepada
kekasih dan bergantung kepadanya, saat pertama kali ia muncul di
dalam hati. Allah tidak memiliki nama al-Hawa, timbulnya al-Hawa
menjadi sebab melihat, pemberitahuan, atau ihsan. Andai tak ada
hawa, maka orang yang mencintai tidak akan mencintai. Dengan
hawa terjadilah ujian, ia kadang turun dan kadang naik.
b. Al-Hubb
Al-Hubb adalah lepas dari beningnya hawa dalam hati dari kotoran
aksiden. Pencinta tidak lagi memiliki tujuan dan kehendak terhadap
kekasihnya. Jika hawa hanya bergantung pada Allah semata, bukan
jalan yang lain, lalu menjadi murni dan bersih dari kotoran kawan di
jalan, hal ini disebut hubb karena kejernihan dan kemurniannya.
Berdasarkan hal itu pula, hubb (wadah) tempat air disebut hub
8 Mahmud Mahmud Al-Ghurab, Semesta Cinta Ibnu …., hal. 134-152.
12
(cinta), karena di dalamnya air menjadi bening, jernih, kotorannya
mengendap di bawah. Begitu pula cinta yang dimiliki makhluk, jika
bergantung kepada al-Haq dan bebas dari semua gantungan yang
lain, yang menjadikan musyrik dan menyekutukan Allah dalam
ketuhanan, maka disebut dengan cinta.
c. Al-„Isyq
Al-„Isyq adalah cinta yang keterlaluan atau berlebihan. Dia adalah
makna dari kekasih yang mengalami asmara. Dialah yang
menggelorakan api rindu dan cinta dalam hati, seperti kisah cinta
Zulaikha kepada Yusuf. Kata Al-„Isyq diderifasikan dari al-Isyqoh
yaitu tumbuhan yang berduri. Antara asyiq (pencinta) dan ma‟syuq
(kekasih) haruslah ada sebab dan ikatan, hingga ia bisa menyelimuti
kekasih secara khusus. Dalam Al-Qur‟an hal ini dikinayahi dengan
syiddatul hub (cinta yang sangat), sesuai firman-Nya:
Artinya: “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
d. Al-Wudd
Al-Wudd menjadi salah satu nama Allah, yaitu Al-Wadud (Maha
Mencintai), ini merupakan sifat Allah yang permanen. Karena itu
cinta disebut dengan wudd karena bersifat kokoh di bumi. Al-Wudd
adalah kelanggengan al-Hubb, al-„Isyq, dan al-Hawa. Dalam
keadaan bagaimana pun, jika seseorang telah kokoh dengan sifat
yang dimiliki dan tak ada yang berubah sedikit pun, tidak pula lepas
dari pengaruh sifat yang dimiliki kekuasaan yang kokoh itu, baik
dalam sesuatu yang menyenangkan, menjengkelkan, diusir, ditolak,
dari mawjud yang ia inginkan untuk menjadi wadah tajalli
kekasihnya, dan dia selalu dalam kekuasaan benda itu karena
merupakan penampakan Sang Kekasih, itulah yang disebut al-Wudd.
Sesuai firman Allah SWT:
13
Artinya: “Allah akan menjadikan cinta untuk mereka.” (QS. Maryam:
96).
5. Manajemen Cinta
Cinta memang persoalan hati (qalbu) dan hati seperti namanya
adalah bersifat labil (yataqallabu) sehingga yang diperlukan adalah
upaya maksimal lahir batin dalam pengendaliannya secara adil untuk
setiap yang berhak atasnya. Nabi SAW memaklumi fenomena batin ini
dalam pengakuannya:
“Ya Allah, inilah usahaku sebatas kuasaku, maka janganlah Engkau
cela diriku tentang apa yang Engkau kuasai dan aku tidak kuasai
(hati).” (HR. Abu Dawud).
Melalui proses manajemen dan pengendalian cinta, seseorang
dapat menjadikan perasaan cinta sebagai motivasi kontrol dalam
kerangka kebajikan dan kemuliaan. Inilah esensi pesan Risalah Islam
mengenai alhubb wal bughdhu fillah (cinta dan benci karena Allah).
Hal itu karena kemarahan dalam perspektif manajemen cinta
merupakan kelaziman cinta sejati yang diekspresikan dalam bentuk
yang arif bijaksana tanpa keluar jalur syariat sebagaimana kemarahan
Nabi SAW diungkapkan dalam bentuk ekspresi perubahan mimik
muka, diam, atau isyarat lainnya sebagai peringatan yang selanjutnya
diberikan penjelasan dan dialog dari hati ke hati.9
Manajemen cinta akan menumbuhkan sikap adil dalam cinta yang
membawa hidup sehat dan seimbang (tawazun) dan bukan menjadi
sumber penyakit sebagaimana Ibnul Qayyim sampaikan bahwa cinta
bagi ruh sama dengan fungsi makanan bagi tubuh. Jika engkau
meninggalkannya tentu akan membahayakan dirimu dan jika engkau
9Setiawan Budi Utomo. Manajemen Cinta; dalam
http://www.dakwatuna.com/2010/02/04/5505/manajemen-cinta-bagian-ke-1/#ixzz4tMxsJKaY.
(Diakses 22 September 2017)
14
terlalu banyak menyantapnya serta tidak seimbang tentu akan
membinasakanmu.
Proses menuju cinta suci yang diberkati Allah tidaklah mudah
sehingga memerlukan upaya manajemen diri termasuk pengendalian
ego dan penumbuhan rasa empati serta solidaritas sebagai persyaratan
iman. Sabda Nabi SAW:
“Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sampai ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” Bahkan cinta
sesama mukmin merupakan syarat masuk surga “Tidaklah kalian
akan masuk surga sampai kalian beriman dan kalian tidak akan
beriman sehingga kalian saling mencintai.” (HR. Muslim)
Cinta yang dikehendaki Islam adalah cinta sejati dan arif bukan
cinta buta yang bodoh. Manajemen cinta mengajarkan agar perasaan
cinta kepada seseorang tidak menghalangi untuk tetap melakukan
segala hal yang semestinya dikerjakan. Sehingga tidak akan melakukan
ataupun meninggalkan segala hal demi rasa cinta ataupun mendapatkan
cinta dari orang yang dicintai meskipun hal itu bertentangan dengan
kemaslahatan (kebaikan) dirinya, membahayakan orang lain, dan
menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Adapun cinta yang arif sejati adalah sebagaimana cinta Allah
kepada hamba-Nya dan cinta Rasulullah SAW kepada umatnya
sehingga yang diinginkan Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah
kebaikan, kesempurnaan, dan kemuliaan dengan membenci segala
kemungkaran dan kejahatan. (QS. Fathir: 35, Al-Kahfi: 18).
Seorang muslim hanya mengenal cinta suci mulia yang penuh
kearifan dan kesadaran yang melahirkan cinta kepada Allah dan Rasul-
Nya. Suatu ketika seorang Arab badui menghadap Nabi SAW dan
menanyakan perihal datangnya kiamat, lalu beliau balik bertanya:
“Apa yang telah kau persiapkan?” Ia menjawab: “Cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya” Beliau menyahut: “Engkau bersama siapa yang kau
cintai” (HR. Bukhari dan Muslim)
15
Cinta karena Allah dan benci karena Allah akan menjadi filter,
kontrol sekaligus tolok ukur dalam mencintai segala hal. Dengan
demikian cinta yang tulus karena Allah Dzat Maha Abadi inilah yang
akan bertahan abadi sementara cinta yang dilandasi motif lainnya
justru yang akan cepat berubah, bersifat temporer dan akan
membuahkan penyesalan. (QS. Az-Zukhruf: 43, Al-Furqan: 25).
C. Perilaku Sufi Menuju Kebenaran
Tujuan utama tasawuf adalah bagaimana seseorang dapat sampai ke
pintu kebenaran yang sesungguhnya. Untuk meraih itu, menurut ahli
tasawuf setidaknya dapat dilakukan dengan menguasai tiga wilayah
kehidupan manusia itu sendiri, yakni pengetahuan, cinta, dan tindakan.10
1. Pengetahuan (Ma’rifah)
Pengetahuan merupakan satu dari wilayah keberadaan manusia
yang mesti diwujudkan sehingga dapat menghantarkan pada wilayah
kebenaran sesungguhnya sebagai bentuk tujuan pencarian tertinggi
dalam tasawuf. Seiring dengan kajian pengetahuan, para sufi
memaknai bahwa pengetahuan (ma‟rifah) memiliki kualitas yang lebih
transenden dibandingkan dengan penggunaan kata ilmu.
Ibn Al-Arabi mengatakan bahwa penggunaan kata „ilm dan
ma‟rifah di dalam wacana sufi sesungguhnya memiliki perbedaan yang
amat mendasar. Menurutnya ma‟rifah lebih tepat dimaknai dengan
kebijaksanaan (gnosis) atau sejenis pengetahuan langsung. Gnosis
adalah pengetahuan yang diperoleh melalui penyingkapan dengan
menyaksikan dan merasakan. Sedangkan „ilm lebih tepat dimaknai
dengan pengetahuan atau ilmu pengetahuan yang lebih ditujukan pada
ajaran-ajaran atau doktrin Islam atau sufi.
Harun Nasution menguraikan bahwa pengetahuan pada kelompok
orang awam dan ulama belum merupakan pengetahuan hakiki tentang
10
Amril, Akhlak Tasawuf; Meretas Jalan Menuju Akhlak Mulia, (Bandung: Refika Aditama,
2015), hal. 54-65.
16
Tuhan. Keduanya disebut dengan ilmu bukan ma‟rifah. Pengetahuan
dalam arti kelompok ketiga lah yang merupakan pengetahuan hakiki
tentang Tuhan dan pengenalan ini disebut dengan ma‟rifah. Ma‟rifah
hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan
hati sanubarinya. Ma‟rifah dimasukkan Tuhan ke dalam hati seseorang
sufi sehingga hatinya penuh dengan cahaya.11
Adapun secara epistemologis Dzunun al-Misri, peletak teori
ma‟rifah menyatakan bahwa hati sanubari merupakan instrumen untuk
mendapatkan ma‟rifah. Sedangkan al-Qusayri menyebut ada tiga alat
dalam tubuh manusia yang digunakan kaum sufi dalam hubungannya
denga Tuhan, yaitu qalb untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, ruh untuk
mengetahui Tuhan dan sir untuk melihat Tuhan. Alat yang terakhir
inilah yang meniscayakan dapat memperoleh ma‟rifah.
Upaya meraih pengetahuan kebenaran di atas (ma‟rifah), bukan
berarti menampikkan ilmu pengetahuan (ilmu). Ibn Al-Arabi
menyatakan yang terpenting dari seluruh pengetahuan (ilmu) adalah
pengetahuan tentang Tuhan. Adapun ilmu tentang segala sesuatu selain
Tuhan, dimaksudkan sabagai sasaran untuk dapat mencapai
pengetahuan tentang Allah SWT. Semua ilmu yang dipelajari dan
dikembangkan mesti difungsikan untuk mendukung pengetahuan
ma‟rifah.
Penempatan posisi ilmu selain ma‟rifah sebagai pendukung,
meniscayakan orang yang memiliki dan memanfaatkannya mampu
menangkap saling keterkaitan segala sesuatu dengan Tuhan sebagai
pusatnya. Selain ma‟rifah diposisikan sebagai kelezatan yang tertinggi
dalam perspektif tasawuf, Al-Ghazali mengungkapkan bahwa orang
yang memiliki ma‟rifah tidak akan mengatakan “Ya Allah” atau “Ya
Rabb”, karena memanggil Tuhan dengan kata-kata seperti itu berarti
Tuhan ada di balik tabir. Orang yang telah memiliki ma‟rifah berarti
antara dia dan Tuhan-Nya sudah tidak ada lagi pembatas.
11
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 76.
17
2. Cinta (Mahabbah)
Pengetahuan (ma‟rifah) dan cinta (mahabbah) merupakan dua
entitas yang berbeda satu dengan lainnya. Pengetahuan selalu
berorientasi pada pencarian dan penemuan akan kebenaran. Dengan
demikian melahirkan berbagai teori pengetahuan dan cara
memperoleh kebenaran dari sebuah pengetahuan. Sedangkan cinta
merupakan bentuk tarik menarik dari satu wujud ke wujud lainnya
sedemikian rupa. Secara psikologis, cinta merupakan energi, bagaikan
api yang nyalanya dapat menerangi dan panasnya menghidupi jiwa
yang sedemikian rupa membangkitkan dinamika kehidupan manusia.
Cinta juga merupakan cakupan kerinduan kegairahan akan penyatuan,
atau kepedihan akan keterpisahan.
Al-Ghazali mengatakan bahwa ma‟rifah lebih dahulu ada,
mahabbah timbul dari ma‟rifah. Bagi Al-Ghazali mahabbah adalah
bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepada-Nya. Cinta
yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang telah
memberi hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Mahabbah kepada
Allah SWT adalah tujuan tertinggi dari maqam dan derajat. Adapun
aktivitas setelah mahabbah seperti sawq, uns, ridha, dan seterusnya
merupakan hasil atau akibat dari mahabbah.
Cinta dalam perspektif tasawuf sesungguhnya mutlak milik Allah
SWT berupa cinta-Nya terhadap diri-Nya. Cinta seperti ini mengalir
cinta-Nya kepada makhluk-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa Allah
SWT merupakan sumber cinta bagi setiap eksistensi makhluk-Nya.
3. Tindakan (Zikir)
Bila pengetahuan dan cinta merupakan pintu-pintu untuk dapat
masuk pada kebenaran sebagai bentuk pencarian tertinggi dalam
wacana tasawuf, maka tindakan merupakan media untuk dapat
menghantarkan para sufi sampai pada dua pintu kebenaran, yaitu
pengetahuan dan cinta.
18
Beragam teori banyak ditampilkan dalam kajian tasawuf. Namun
demikian, bentuk umum tentang tindakan-tindakan yang mesti
dilakukan sufi untuk mencapai dua pintu kebenaran disebut thariqah
(mengikuti dan melaksanakan maqam untuk mencapai tujuan yang
sesungguhnya). Thariqah dimaknai sebagai bentuk jalan spiritual di
bawah bimbingan syekh yang mengantarkan para sufi pada kebenaran
dengan terlebih dahulu tetap melaksanakan syari‟ah. Seperti shalat
wajib, puasa, zakat, haji, membaca Al-Qur‟an, dan lainnya.
Adapun ibadah lain yang memiliki arti penting yaitu zikir, yang di
antara isinya menyebut nama-nama Allah SWT dalam aktivitas seperti
meditasi. Nama-nama Allah SWT ini biasanya dilantunkan terus
menerus, baik sendirian maupun berjamaah dengan suara keras
maupun tanpa suara.
Al-Ghazali menyatakan zikir sangat penting dikarenakan
bermanfaat untuk memusatkan hati hanya kepada Allah SWT.
Sementara Ibn „Atha menyebutkan bahwa zikir sebagai pembersihan
jiwa dari ketidakkhusyukan serta kealpaan dengan menghadapkan hati
kepada Allah secara terus menerus. Dalam tindakan sufi, zikir
merupakan karakter. Dalam pandangan muslim ketika memahami
tindakan sufi adalah memahami tindakan zikir yang mereka lakukan.
Dengan demikian, zikir menjadi identik dan tidak terpisahkan dari
tindakan sufi.
Tindakan menjadi instrumen yang amat penting dan strategis untuk
membawa setiap aktivitas manusia menjadi bermakna dan sesuai yang
diharapkan. Sehubungan dengan pengetahuan dan cinta sebagai entitas,
aktivitas manusia untuk memasuki wilayah kebenaran tentu sangat
membutuhkan tindakan yang terpimpin dan memiliki keterarahan yang
jelas sehingga eksistensi keduanya benar-benar mendapatkan hasil
yang diinginkan. Dalam perspektif tasawuf, tindakan benar-benar
dapat membawa pada pengetahuan dan cinta ke arah yang diinginkan,
bagi sufi dilakukan dalam apa yang disebut dengan maqam-maqam.
19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian makalah tentang zikir dan cinta dapat disimpulkan:
1. Zikir merupakan satu istilah yang tidak pasif dan selalu on (hidup)
lewat penyebutan lisan, menghadirkan hati, men-tadabbur ucapan
zikirnya, memikirkan maknanya, dan mewujudkan pribadi yang
saleh. Banyak dalil Al-Qur‟an dan Hadits Nabi SAW yang menjadi
landasan untuk selalu berzikir kepada Allah SWT, di antaranya QS.
Al-Jumu‟ah ayat 10, QS. Al-Ahzab ayat 41-42, dan lainnya.
Adapun zikir terbagi menjadi zikir lisany, qalbi, aqly, dan ruhy.
2. Cinta itu logis secara makna meski tak bisa didefinisikan. Cinta
bisa dimengerti dengan rasa (dzawq, perception). Cinta memiliki
makna yang begitu dalam, indah, mempesona, agung, dan
berwibawa. Cinta meniscayakan adanya realitas-realitas. Cinta
memiliki hirarki berupa cinta biologis, ruhaniyah-nafsiyah, dan
ilahiyah. Adapun cinta memiliki sebutan sesuai kadarnya yaitu Al-
Hawa, Al-Hubb, Al-„Isyq, dan Al-Wudd.
3. Tujuan utama tasawuf adalah agar seseorang dapat sampai ke pintu
kebenaran yang sesungguhnya. Hal itu dapat dilakukan dengan
menguasai tiga wilayah kehidupan manusia, yakni pengetahuan
(ma‟rifah), cinta (mahabbah), dan tindakan (zikir).
B. SARAN
Di era globalisasi dan zaman milenium ini, semoga tetap mampu
mempraktikkan jalan tasawuf walaupun kecil. Mampu memahami
pengetahuan dengan baik, senantiasa bermunajat atas kebesaran-Nya,
dan mampu mensinkronkan antara syariat dan akhlak (tasawuf),
sehingga tercapai pintu kebenaran hakiki dan merengguk cinta-Nya.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Bangun Nasution. 2015. Akhlak Tasawuf; Pengenalan,
Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi dan
Tokoh-tokoh Sufi). Jakarta: Rajawali Pers.
Amril. 2015. Akhlak Tasawuf; Meretas Jalan Menuju Akhlak Mulia.
Bandung: Refika Aditama.
Harun Nasution. 1990. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Mahmud Mahmud Al-Ghurab. 2015. Semesta Cinta Ibnu „Arabi.
Yogyakarta: INDeS Publishing.
Muhammad Akrom. 2008. Cinta dalam Kaidah Fisika. Yogyakarta: Diva
Press.
Permadi. 1997. Pengantar Ilmu Tasawwuf. Jakarta: Rineka Cipta.
Setiawan Budi Utomo. Manajemen Cinta; dalam
http://www.dakwatuna.com/2010/02/04/5505/manajemen-cinta-
bagian-ke-1/#ixzz4tMxsJKaY. (Diakses 22 September 2017)