ma'rifat mistikus cinta

Upload: kiriabis

Post on 13-Jul-2015

176 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

MEISTER ECKHART DAN RUMI: ANTARA MISTISISME MAKRIFAH DAN MISTISISME CINTAAbdul Hadi W. M.

Walaupun dalam garis besarnya hampir semua bentuk mistisisme memiliki ciri yang sama, khususnya kecenderungannya akan faham keesaan wujud atau monoisme; namun berdasar kaedah dan titik tolak pencarian masing-masing mistikus, sejumlah1

sarjana

sering

mengelompokkannya ke dalam beberapa kategori . Rudolf Otto (1932:7379) dan F. C. Happold (1960:43) misalnya mengelompokkannya ke dalam dua jenis: (1) Mistisisme Cinta dan Penyatuan (the mysticism of love and union) dan (2) Mistisisme Makrifah dan Pemahaman (the mysticism of knowledge and understanding). Dengan cara lain, Happold

mengelompokkan ke dalam tiga corak: (1) Mistisisme-alam (nature-

Khalifa Abdul Hakim misalnya menyebutkan persamaan-persamaan tersebut, bahwa pada umumnya para mistikus mempunyai pandangan mirip dalam hal: (1) Hakikat wujud tunggal atau satu; (2) Semua fenomena merupakan aspek dari Hakikat yang sama dan setiap fenomena menuju pada hakikat yang sama pula; (3) Karena semua wujud fenomenal berasal dari hakikat terakhir, maka mereka mengembalikan mereka kepada sumber asal yang sama; (4) Hakikat wujud memang dapat diresapi dengan nalar dalam peringkat yang tinggi, membuktikan bahwa nalar bersifat komprehensif, tidak parsial; (5) Pengetahuan tentang yang hakiki tidak dapat dicerap melalui logika, pengamatan batinlah yang merupakan pembimbing terbaik untuk menyerapnya; (6) Tujuan utama kehidupan ialah bagaimana seseorang dapat meresapi Hakikat pengalaman ruhani, sebab hanya dengan demikian jiwa seseorang dapat bersatu kembali dengan Sang Hakikat; (7) Penglihatan batin disebut Cinta. Pengetahuan tentang Hakikat melekat dalam Cinta; (8) Cinta yang demikian itulah yang merupakan sumber utama semua bentuk moralitas keagamaan dan adab yang tinggi. Tanpa cinta , semua agama dan moralitas akan menjadi formal dan mekanis. Tanpa Cinta pula pikiran akan tetap berada dalam kegelapan. Lihat Khalifa Abdul Hakim Rumi, Nietzsche and Iqbal dalam Iqbal as a Thinker by Eminent Scholar (Lahore: SH Muhammad Ashraf, 1973;187-210) Tentang persamaan antara pengalaman mistik dalam tradisi keagamaan apa pun, F. C. Happold antara lain menyebutkan: (1) Pengalaman mistik tak terlukiskan, sukar diuraikan dengan kata-kata; (2) Walau bersifat perasaan, namun mengandung unsur pengetahuan dan bersifat noetic, membuat orang merasakan kesadaran mendalam tentang wujud dan memiliki keyakinan mendalam (haqq al-yaqin); (3) Walau berlangsung singkat, namun memberikan pencerahan batin; (4) Jiwa yang menerima pengalaman ini tidak memiliki persiapan dan pasif, seakan-akan dikuasai kekuatan di luar diri; (5) Orang yang mengalaminya merasakan hadirnya kesadaran akan Kesatuann Wujud dari segala sesuatu yang berbagai-bagai. Semua dalam Yang Satu, Yang Satu dalam semua; (6) Jiwa merasakan hidup di luar waktu; (7) Diliputi perasaan kesatuan dan persatuan dengan Sang Wujud; (8) Para mistikus

1

Jurnal Universitas Paramadina Vol.1 No. 3, Mei 2002: 198-223

Abdul Hadi W.M. Meister Eckhart dan Rumi

mysticism); (2) Mistisisme-jiwa (soul-mysticism) dan (3) Mistisisme-Tuhan (God-mysticism).2 Dalam istiadat Islam, corak mistisisme yang muncul dalam sejarah, tidak jarang dikelompokkan ke dalam tiga corak: (1) Tasawuf Akhlaq, yang diwakili Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali; (2) Tasawuf Cinta, yang diwakili oleh Fariduddin al-`Attar dan Jalaluddin al-Rumi; (3) Tasawuf

Falsafah, yang diwakili Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Suhrawardi alMaqtul. Kadang dua corak terakhir dipadukan, seperti tampak pada Bayazid al-Bhistami dan Mansur al-Hallaj, dan pada abad ke-20 oleh Muhammad Iqbal. Dalam mistisisme tradisi Kristen, dan Meister sekaligus Eckhart dipandang mewakili Apabila

makrifah

mistisisme-Tuhan.

pengelompokan ini

dianggap sepenuhnya benar, maka membandingkan

Eckhart dan Rumi sama dengan membandingkan mistisisme makrifah dan mistisisme cinta. Tetapi muncul pula masalah lain, karena Rudolf Otto (1932:77) memasukkan tasawuf Rumi ke dalam mistisisme-alam.

Persoalannya apakah pengelompokan itu relevan atau tidak, dalam menentukan mistisisme mana yang peringkat pencapaiannya lebih tinggi? Atau, apakah tidak mungkin ada titik temu di ujung pencarian mereka, walaupun titik keberangkatan masing-masing berbeda? Sebelum membahas corak dan kecenderungan mistisisme kedua tokoh tersebut, kami akan coba memaparkan dulu apakah yang disebut mistisisme secara umum, serta kaedah yang digunakan para mistikus dalam mencapai hakikat terakhir keberadaan.

2

Pengelompokan ini bersifat longgar. Lihat Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf (Kelantan, Pustaka Aman Press Sdn. Bhd., 1977:272-294). Dengan melihat pokok yang ditekankan oleh masing-masing Sufi, Abu Bakar Atjeh juga mengelompokkan tasawuf ke dalam tiga jenis: Tasawuf Akidah, Tasawuf Tarekat dan Tasawuf Falsafah. Bayazid al-Bhistami, Sahl alTustari,Muhasibi dan Mansur al-Hallaj dimasukkan ke dalam kelompok Sufi Akidah. biasanya membedakan antara fenomenaldan hakiki yang kekal. diri diri

199

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223

Mistisisme dan Pengetahuan Intuitif Sebagai jalan keruhanian untuk mencapai hakikat diri dan

ketuhanan, mistisisme sering diartikan sebagai hikmaah dan pengetahuan eksperimental tentang Tuhan, yakni pengetahuan tentang-Nya sebagai

Wujud Mutlak yang didasarkan pemahaman intuitif atau kalbiah, yang juga disebut pengetahuan langsung dan dialami sepenuhnya oleh sang pencari. Happold (1960:43) mengatakan bahwa mistisisme juga dapat disebut sebagai upaya akal budi manusia untuk mengenal hakikat terakhir segala sesuatu dan hakikat ketuhanan sedalam-dalamnya. Walaupun para mistikus menggunakan pikiran, tetapi pikiran yang dimaksud tidak sama dengan pikiran yang digunakan dalam falsafah. Pikiran yang digunakan dalam mistisisme ialah akal intuitif atau intuitus mysticus (intuisi mistikus). Tujuan akal intuitif ialah menyatukan apa yang dilihat kalbu, sehingga rahasia ketuhanan atau wujud terpahami sampai hakikatnya terakhir. Sedangkan pikiran yang digunakan dalam falsafah bersifat analitik, dengan tujuan memilah-milah segala hal sampai dijumpai ciri terakhir dari sesuatu yang membedakannya dari sesuatu yang lain. Akal intuitif di lain hal, sebagai dikemukakan oleh Nicolas Cusa, adalah pemikiran terpadu atas sesuatu yang dapat menyebabkan obyek-obyek pengetahuan menjelma pola baru yang segar. Sebagaimana Muhammad Iqbal, Nicolas Cusa yakin bahwa peringkat yang dicapai melalui pengetahuan intuitif lebih tinggi dibanding peringkat pengetahuan yang dicapai oleh pemahaman rasional, sebab pengetahuan intuitif mampu mentransendensikan kebenaran

perennial Lagi pula yang ingin dicapai oleh pengetahuan intuitif bukan . hanya mengenal hakikat segala sesuatu, melainkan juga keselamatan (salvation) (Happold, 1960:42) Yang dimaksud keselamatan ialah keterbebasan jiwa dari obyek aneka ragam di luar dirinya, yang merintangi jiwa mencapai persatuan dengan Yang Hakiki.

200

Abdul Hadi W.M. Meister Eckhart dan Rumi

kuat, sedangkan falsafah dapat dimulai dengan kesangsian dan keraguan. Maka itu tidak mengherankan apabila mistisisme pada umumnya muncul dari tradisi keagamaan tertentu atau sistem kepercayaan yang telah berkembang lama. Dalam tasawuf atau mistisisme Islam, pengenalan intuitif sering disamakan dengan `isyq (Cinta), yang oleh Rumi dan Iqbal sering disejajarkan dengan keimanan yang teguh atau kesaksian yang penuh terhadap Yang Satu. Dikatakan demikian, sebab dalam kodratnya Cinta dapat membawa pikiran, kesadaran dan hati terpusat hanya kepada Yang Satu yang merupakan sasaran satu-satunya dari Cinta . Nicolas Cusa misalnya mengatakan, Dalam setiap pengetahuan, hal-hal harus diterima dalam lingkup prinsip utamanya (principio) jika pokok perkara hendak dipahami; dan postulat pertama terletak hanya atas dasar keimanan (Happold, 1960:44). Atau seperti dikemukakan St. Augustinus pada abad ke-5 SM, Pemahaman sebenarnya adalah pahala dari keimanan. Karena itu jangan berupaya memahami sesuatu dengan tujuan sekedar percaya, melainkan lakukan tindakan berdasar keimanan agar kau dapat memahami secara mendalam, sebab sebelum bertindak atas dasar iman kau tidak akan memahami. (Ibid). Dalam mistisisme Hindu, intuisi disebut prajna atau pratiba. Praarti harfiahnya ialah sebelum, dan dari kata jnana, pengetahuan mendalam jna atau makrifah. Dari bentukan ini prajna kemudian diberi arti sebagai3

kemampuan terpendam jiwa yang ada pada setiap orang dan muncul melalui proses pencerahan batin (Maswinara, 1998, v). Kesadaran tersebut menerangi pikiran, nalar, akal dan inteligensia. Hasilnya ialah kemampuan melihat obyek secara mendalam. Ia tidak bertentangan dengan nalar, karena

Sayyid Naimuddin misalnya mengatakan, Love (`ishq)...is claimed by the mystics of Islam to provide an effective safeguard against barren intellectualism....It is the only means of becoming aware of our inner selves and the Supreme Self (God). The intuitio of Bergson and the `ishq of Rumi and Iqbal are all endeavours to get directly at the heart of things. The importance of love and its superiority over reason has been the recurring theme of Sufi poetry in Persian from the bahwa to Lebih jauh para mistikus menyadari beginning the present day. For both (Rumi and Iqbal) religion is not mere profession of a creed; it is a way of life, as awakening of the self spirit of men. Lihat Sayyid dasar-dasar keimanan yang pengetahuan intuitif tidakordapat dicapai tanpa Naimuddin The Concept of Love in Rumi and Iqbal Dalam Islamic Culture .

3

201

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223

sebelum memperoleh intuisi, biasanya seseorang telah berpikir atau merenungi obyek tersebut. Jadi tersingkapnya hakikat obyek-obyek terhadap intuisi itu terjadi sebagai hasil pemikiran mendalam. Hanya saja penerimaannya diperoleh secara langsung ketika seseorang melakukan meditasi atau tafakur. Tersingkapnya kebenaran melalui pencerahan kalbu ini, dalam tasawuf, disebut kasyf. Karena melahirkan kemampuan melihat secara langsung, dalam falsafah India, intuisi juga disebut sebagai pasyati buddhi, yaitu kecerdasan melihat, dan yang dilihat ialah kebenaran terdalam. Ia juga disebut rtamibharaha, yaitu pengenalan atas kebenaran secara spontan dan lengkap, tanpa proses penyelidikan terlebih dahulu. Berdasarkan pengertian ini seorang ahli falsafah India, Ranade, mengemukakan: Intuisi benar-benar tidak bertentangan dengan nalar, dan di dalamnya nalar dan perasaan saling menyusup karena sumbernya dapat dikembalikan kepada hal yang sama (Ibid). Pengertian serupa dikemukakan oleh Muhammad Iqbal. Dalam bukunya Membangun Kembali Pemikiran Agama Dalam Islam, dia menyamakan aktivitas terdalam kalbu dengan penglihatan batin, intuisi. Menurut Iqbal, intuisi sebagai sumber pengalaman mistik memiliki kemampuan memperkenalkan kepada kita masalah-masalah hakikat yang lain, yang tidak tersingkap kepada pengamatan indra dan nalar biasa. AlQur menyebutnya sebagai kemampuan melihat secara mendalam (fu`ad), an yang hasil laporannya apabila ditafsirkan secara tepat dapat memberi pengenalan terhadap kebenaran tertinggi (Abdul Hadi, 2002:19). Para sufi sering menyebutnya ayn al-qalb dalam bahasa Arab, atau chism-i dil dalam bahasa Persia, yang artinya sama ialah mata hati atau penglihatan kalbu Peranan ayn al-qalb ialah memahami hakikat tertinggi . manusia dan ketuhanan, sebab hanya akal yang lebih tinggi, yaitu akal intuitif, yang dapat memahami dan melihat suatu keberadaan atau wujud yang lebih tinggi. Arti kata memahami (dari fahmXIII, October 1968:185-210.

202

Abdul Hadi W.M. Meister Eckhart dan Rumi

dan meliputi, dan hanya yang lebih tinggi dapat mencakup dan meliputi (Nasr, 1983:15) Lalu apakah mistisisme atau tasawuf secara umum? Abu WafaalTaftazani (1985:6) mengemukakan, Ia adalah falsafah hidup yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia, secara moral melalui latihan keruhanian tertentu, kadang-kadang untuk menyatakan pemenuhan keadaan fana(napusnya nafs atau ego rendah) dalam Hakikat Tertinggi, serta pengenalan tentang-Nya secara intuitif, tidak secara rasional, yang buahnya ialah kebahagiaan ruhaniah, yang hakikatnya sukar diungkap dengan kata-kata biasa... Dalam kaitan ini Shah Nikmatullah Wali sufi Persia abad ke-14 dan pendiri tarikat Nikmatullah mengatakan bahwa akal dan intuisi, yaitu cinta, merupakan dua sayap dari burung jiwa yang sama dalam mencapai kebenaran. Hanya saja peranannya berbeda:

Akal dipakai untuk memahami Keberadaan manusia sebagai hamba-Nya Cinta untuk mencapai kesaksian Bahwa Tuhan itu Ahad, esa (Abdul Hadi, 2000)

Melalui uraian tersebut jelaslah bahwa tasawuf, sebagaimana mistisisme yang sejati, bukanlah jalan keruhanian yang pasif. Ia adalah jalan yang menuntut sikap aktif penemunya dalam upaya mencari pengetahuan ketuhanan. Apabila pengetahuan yang didambakan telah diperoleh, maka seseorang akan mencapai persatuan dengan-Nya. Seyyed Hossein Nasr (1983:121) menamakan tasawuf sebagai jalan keruhanian (suluk) ini sebagai al-qawush al-syu`udi, yaitu jalan mendaki menuju sumber darimana manusia sebagai makhluk keruhanian diturunkan. Dalam bukunya yang lain Nasr (1980:22) mengatakan, Secara hakiki, Tasawuf membicarakan tiga unsur, yaitu kodrat Tuhan, kodrat ) itu sendiri demikian realisasi manusia dan kebajikan ruhani, yang hanya dengan cara ialah mencakup

203

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223

Tuhan dimungkinkan dan yang hanya dengan cara itu manusia dapat mencapai peringkat ahsan taqwim (keadaan terbaik), menjadi alamat Namanama dan sifat-sifat Tuhan. Inilah unsur-unsur tasawuf yang langgeng sebagaimana unsur-unsur setiap mistisisme yang sejati. Tujuan akhirnya ialah Tuhan, awal keberangkatannya ialah manusia dalam keadaan rendahnya dan jalan tasawuflah yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, yang merupakan asal-usul keruhaniannya . Jalan keruhanian atau tasawuf yang dimaksud Nasr ialah Jalan Cinta, sebab hanya Cinta yang dapat menghubungkan jiwa seorang pencari (talib) dengan Yang Dicari, yang hakikatnya bersifat keruhanian. Persamaan lain dari semua bentuk mistisisme keagamaan, selain kecenderungan terhadap faham keesaan wujud, ialah anggapan bahwa dalam diri manusia ada dua diri(self), yaitu khayali(ego rendah, nafs) diri dan hakiki(khudi, menurut Iqbal). diri Ego atau nafs bukan diri hakiki, sebab keberadaannya tergantung pada tubuh dan obyek-obyek material. Ia merupakan sasaran perubahan, pelapukan dan pembusukan, dan merupakan bagiandari segala sesuatu yang akan binasa karena ia adalah mistisisme Hindu atau Vedanta Darsana, selain dari wajah-Nya Dalam . diri hakiki disebut atman. Ia

adalah jiwa yang kekal, tidak berubah dan tidak terikat ruang dan waktu, serta bebas dari hal-hal yang bersifat material atau maya. Karena itu dalam Vendata, kesaksian bahwa Brahman dan Atman itu esa dipandang

sebagai bentuk pengetahuan tertinggi dan sejati. Dalam mistisisme Kristen, hakikidalam bahasa Inggris disebut diri dengan berbagai istilah seperti the sparks, the centre, apex of soul, the ground of spirit. Istilah the ground of spirit dapat disamakan dengan istilah medan yang qadimdalam tasawuf Melayu. Dalam tasawuf Melayu pula diri hakikidisebut diri kuntu kanzan, artinya dari perbendaharaan atau ilmu diri Tuhan yang tersembunyi, yang di dalamnya terbentang rahasia ketuhanan (sirr Allah) .

204

Abdul Hadi W.M. Meister Eckhart dan Rumi

Karena itu benar apabila Nicholson (1974:59), Keseluruhan tasawuf berada di atas keyakinan bahwa bilamana nafs telah hapus, Diri Sejagat dijumpai, atau dalam bahasa sufi hanya ekstase (wajd) saja yang dapat mengantar seseorang ke tujuan tempat jiwa dapat berhubungan langsung dan bersatu dengan Tuhan. Zuhd (pengingkaran terhadap dunia), penyucian diri, cinta dan makrifah yang merupakan gagasan penting dalam tasawuf, berkembang berdasarkan prinsip utama tersebut. Meister Eckhart menyamakan hakiki dengan Ruh Kudus (the diri Holy Spirit). Ibn `Arabi dan sufi yang lain merujukkan pada gagasan Nur Muhammad, cahaya Muhammad yang berkilau-kilauan, yang merupakan hakikat terdalam manusia, yang berperan sebagai ruh penghubung (ruh

idafi) antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Eckhart berkata, Karena kekuatan Ruh Kuduslah, yaitu ruh yang berkilau-kilauan, yang menyebabkan jiwa hidup dalam api cinta dan dapat kembali ke sumbernya. Ia selanjutnya menyebut Ruh Kudus sebagai the Charity of God. Katanya, kita adalah ruh kudus dan apabila kita menyerapnya dalam tindakan maka kita akan menjadi sejiwa dengan Tuhan, menjadi satu Cinta (Rudolf Otto, 1932:15).

Ajaran Meister Eickhart Meister Eickhar adalah mistikus dan cendekiawan terkemuka dari ordo Dominican. Dia lahir di Hochheim di Thuringia, Jerman, pada tahun 1260 M dan wafat pada tahun 1327 M. Ajaran mistiknya mirip dengan Dante, sastrawan dan mistikus Italia abad ke-13 M. Seperti Dante, Eckhart menggabungkan pengalaman mistik dengan kekuatan intelektual. Dia juga dipandang sebagai peletak dasar filsafat dan mistisisme Jerman. Sebagai rohaniwan terkemuka pada umumnya, dia memiliki banyak pengikut dan murid. Ajaran-ajaran mistik Eckhart diutarakan dalam khotbah-khotbahnya di Strassburg yang memikat khalayak ramai karena dia menggunakan bahasa sehari-hari, namun indah. Khotbah-khotbahnya dihimpun dalam buku. Terjemahannya dalam bahasa Inggris

205

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223

edisi C. de B. Evans yang terbit di Inggris pada tahun 1924. Karya tulisnya dalam bahasa Jerman dijumpai antara lain dalam buku Meister Eckhart s lateinische Schriften, suntingan Denifle dan terbit pertama kali pada tahun 1816. Eckhart juga menyampaikan ajaran mistiknya dalam berbagai halaqah falsafah dan mistisisme di berbagai kota di Jerman. Pada mulanya ajarannya dianggap moderat. Tetapi pada masa tuanya ajaran mistiknya dianggap melampaui batas, sehingga mengundang amarah penguasa Gereja Katholik. Dia dituduh murtad dan menganut faham pantheisme, yang bertentangan dengan teologi Kristen. Tetapi pengkafiran terhadap dirinya tidak membuat pengaruhnya surut (Underhill, 1911:463). Rudolf Otto (1932) dan F.C. Happold (1960:43) memasukkan ajaran Eckhart ke dalam mistisisme pengetahuan dan pemahaman. Mistisisme pengetahuan muncul dari dorongan yang lekat pada diri manusia, yaitu hasrat menemukan rahasia alam semesta, dan menyerapnya tidak secara parsial melainkan secara keseluruhan. Pengelompokan ini terkait dengan kenyataan bahwa mistisisme ditakrif sebagai hikmah dan pengetahuan eksperimental tentang Tuhan, sebagaimana telah dikemukakan, yaitu pengetahuan berdasarkan pengalaman langsung atau intuitif tentangnya. Di lain hal, seperti ajaran Sankara seorang filosof-mistikus Hindu abad ke-9 M dari aliran advaita (monisme tak bersyarat), ajaran Eckhart juga dikelompokkan ke dalam perpaduan mistisisme-jiwa dan mistisismeTuhan. Dalam mistisisme-Tuhan dan mistisisme-jiwa, yang ditekankan ialah sifat-sifat terpendam jiwa yang mulia dan keagungannya sebagai kekal. Eckhart, seperti Sankara, percaya bahwa bilamana watak jiwa (atman) yang mutlak dapat dibebaskan dari segala sesuatu yang tak berjiwa, atau apabila jiwa sanggup menjelmakan wujudnya dalam pengetahuan-diridan terbebas dari rasa keakuan yang sempit dan dunia, maka ia akan mencapai kekekalan dan dapat menyatu dengan Yang Satu, Yang Awal, Yang Kekal dan Tak Terhingga (Happold Sermons, bisa dibaca dalam

206

Abdul Hadi W.M. Meister Eckhart dan Rumi

Gagasan dasar mistisisme-Tuhan ialah bagaimana jiwa dapat kembali ke medan yang qadim dan tak terhingga, yaitu Tuhan. Jika ruh atau jiwa telah kembali ke asal-usul ketuhanannya, ia akan mengalami transformasi dan menyadari dirinya yang sejati serta akan merasakan lezatnya hidup kekal dalam Yang Abadi. Dalam mistisisme Kristen Barat, yang meyakini bahwa ruh dicipta oleh Tuhan dan kemudian ditiupkan ke dalam jasad, tidak dikenal gagasan mengenai terserapnya jiwa dalam esensi ketuhanan. Yang diyakini ialah bahwa dalam puncak pengalaman mistik, ruh atau jiwa mengalami perubahan dan menjadi seakan-akan Tuhan, tanpa kehilangan identitas dirinya. Itu terjadi melalui proses penyatuan (uniomystica) dan transformasi, sehingga merasakan dirinya sebagai ciptaan baru. Gambaran tentang mistisisme-pengetahuan mungkin dapat

dimengerti melalui seloka Sri Sankara berikut ini:

Brahmasatyam jagan mithya Jivo brahmatna na aparah (Hanya Brahman, bukan dunia, yang nyata Jiwa pribadi tak beda dengan Brahman) Menurut Sri Sankara, segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah Brahman. Perbedaan dan kemajemukan adalah khayalan semata. Atman (jiwa) adalah sang diri yang nyata, merupakan dasar segala jenis pengetahuan, dugaan dan pembuktian. Ia merupakan diri yang ada di luar, di depan, di belakang, kanan, kiri, atas dan bawah. Brahman, yang tidak dapat diuraikan, mengatasi segala sesuatu (adrsta). Dia meliputi segala sesuatu, tak terhingga, ada dengan sendirinya, kesenangan itu sendiri dan hakikat dari yang mengetahui. Ia memiliki rupanya sendiri (svarupa) (Hiriyanna, 1994:343-345). Sankara membedakan antara Brahman, Tuhan Tertinggi, dan Isvara , 1960:44). sebagai Tuhan sang Pencipta. Brahman

207

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223

hakikat, belum ke luar dari dirinya, dan merupakan paramarthika (realitas mutlak). Sebelum ke luar dari dirinya, yakni belum muncul sebagai pencipta, Brahman bersifat transenden (turiya), tak memiliki pribadi (saguna) dan tanpa sifat (nirguna). Dia menjadi Isvara, Tuhan yang berpribadi, setelah keluar dari Diri-Nya sendiri dan menyatu dengan maya (kenyataan khayali), dan dengan demikian immanen. Dengan cara yang hampir sama, dalam upayanya memahami wujud Tuhan yang hakiki, Meister Eckhart membedakan antara Deus (God) dan Deitas (Godhead). Deus adalah Tuhan yang telah turun dari alamnya yang transenden dan hadir sebagai pencipta atau khaliq. Dia lantas memiliki pribadi, sifat dan nama. Tetapi Deitas, adalah ahad, kekal selamanya, merupakan kesatuan utama, wujud tak bernama dan tak dapat dipahami manusia. Para sufi mengatakan, Dialah Huwa yang Ahad, yang awal dan yang akhir, Dhat Maha Tinggi yang tak dikenal. Apabila Tuhan sebagai khaliq (Allah) dapat dikenal, Tuhan sebagai Dhat Maha Tinggi dan Mutlak tidak dapat dikenal dengan akal pikiran, kecuali melalui kasyf, penyingkapan mata kalbu setelah seseorang mendapat pencerahan. Deus sebagai Tuhan yang dikenal, menurut Eckhart, bukan dalam Diri-nya Sendiri, tetapi dalam diferensiasi atau pembedaan sebagai

pencipta, yang berbeda dari ciptaan-Nya. Deitas bersifat mutlak, diam, bebas dari aktivitas dan tak dapat dijangkau oleh pikiran manusia, namun hidup sebagai energi, memancarkan Diri-Nya ke dalam dunia ciptaan dan menarik kembali dunia ke dalam Diri-Nya sendiri. Seperti Sankara dan Ibn `Arabi, Eckhart berpendapat bahwa ada kesatuan lengkap dalam segala sesuatu. Segala sesuatu diliputi oleh Deitas dan Deitas ada dalam (meliputi) segala sesuatu. Tujuan mistikus bukan semata-mata memahami Tuhan sebagai Deus, tetapi sebagai Deitas. Yaitu menyeberangi Deus dan masuk ke dalam kekosongan (wuste) Deitas

merupakan kewujudan yang tak dikenal, esa, tak terbatas, tanpa bagian, tanpa akhir, abadi, hakikat segala

208

Abdul Hadi W.M. Meister Eckhart dan Rumi

Tetapi sekali lagi dapat dikemukakan bahwa tujuan Eckhart mengemukakan pandangan demikian ialah untuk memberikan kemungkinan agar seseorang melihat segala sesuatu dalam principio, dalam asal-usul kejadian dan asas kejadiannya yang sebenarnya, yaitu melihat segala sesuatu dalam Tuhan, dalam persatuan dengan dhatnya yang kekal; di mana segala sesuatu, kepelbagaian dan dualitas, berada dalam Kesatuan kekal (Rudolf Otto, 1932:9). Mengenai hakikat Deitas Eckhart mengatakan dengan cara yang sederhana sebagai berikut:

Tuhan memiliki rupa dan dhat tersendiri; rupanya berkembang dari dhatNya dan menurut gambaran rupa inilah Dia membentuk segala sesuatu yang menjadi. Tetapi kodrat Tuhan yang sederhana ialah dapat disebut bentuk yang tak berbentuk, atau sebutlah menjadi namun tidak menjadi. Karena itu Dia bebas dari segala sesuatu yang menjadi dan semua hal pada akhirnya binasa. Dia benar-benar Ahad, tak tertampung pikiran dari segala suatu yang bersifat kuantitatif dan tidak pula dapat dibedabedakan (Ibid 15).

Mengenai hubungan ruh dan jiwa manusia (atman) dengan Deitas, Eckhart mengatakan:

Karena Deitas (Tuhan sebagai Dhat Maha Tinggi) yang tak bernama dan semua yang diberi nama asing bagi-Nya, begitu pula jiwa (al-ruh) tidak bernama. Keadaan ruh sama dengan Tuhan. (Ibid 15)

Eckhart mengatakan bahwa ruh senantiasa dalam keabadian dan karena Tuhan dalam kepenuhan Deitas atau Dhat-Nya bersemayam dan di dalam kesunyian dalam Rupa-Nya sendiri, yaitu ruh itu sendiri. Gereja Deitas tidak dapat keheningannya. Itulah sebabnya penguasa (Ibid 16).Katholik menyebut dipahami dengan pengetahuan rasional. Kata Eickhart sebagai penganut faham pantheisme. Eckhart,

209

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223

Tidak ada kelas substansi dapat dikenakan terhadap Deitas, tidak ada genus commune. Ia tidak dapat dirujuk dengan kata-kata, seperti halnya wujud dalam arti biasa menandakan sebuah katagori benda-benda. Tidak dapat pula ia dirujuk kepada sifat, karena ia tanpa sifat: belum diketahui oleh aktivitas, karena ia tanpa aktivitas seperti difirmankan dalam kitab suci Tuhan bisa dirujuk melalui hubungan Dia adalah dirinya sendiri semata. Karena itu benar bahwa ia tidak dapat ditakrifkan dengan perkataan dan ide; Dia adalah Ahad sebagaimana kitab Injil mengatakan. (Rudolf Otto, 1932: 15-18). Sebagai penyebab segala sesuatu dan akhir segala sesuatu, darimana ajaran mengenai unio-mystica berkembang, dia mengatakan Tuhan menyebabkan segala sesuatu tersembunyi dalam dirinya, ia bukan ini dan bukan itu, tidak berbeda dan terpisah, tetapi sebagai satu dalam Kesatuan. Dan ketika seseorang menjumpai Yang Satu, yang di dalamnya segala hal adalah satu, maka dia memisah ke arah kesatuan. Kesatuan dengan hakikat ketuhanan hanya dapat dicerap dengan pengetahuan yang didasarkan atas wujud nyata, bukan berdasarkan emosi berlebihan. (Ibid 75). Pernyataan ini yang antara lain membuat mistisismenya disebut Mistisisme Pengetahuan atau Makrifah. Seperti Sankara dan Ibn `Arabi, Meister Eckhard berkata pula: Yang Mengetahui dan yang diketahui itu satu. Orang awam membayangkan

bahwa mereka bisa melihat Tuhan, seakan-akan Dia berdiri di situ dan di sini. Namun tidak demikian halnya. Tuhan dan aku, kami satu dalam pengetahuan (Ibid 17) . Eckhart mengakui pentingnya unsur perasaan dan cinta dalam pengalaman mistik, namun menolak ekstase sebagai tahap penting pencapaian pengalaman mistik. Ini mungkin disebabkan dua hal: Pertama, pengalaman mistik yang sesungguhnya mesti didasarkan keimanan. Dalam hal ini ia setuju dengan St. Augustinus. Kedua, menurut pandangannya Deitas dan kesatuan asas segala sesuatu merupakan pengetahuan dan Supreme Spirit (Ruh Tertinggi). Kata Eckhart, The Godhead (Deitas) is by

210

Abdul Hadi W.M. Meister Eckhart dan Rumi

itself its own object, and is itself ever the same, lives and is only in itself. (Ibid). Adapun pandangan Eckhart mengenai pengetahuan intuitif, dan perbedaannya pernyataannya: dengan pengetahuan rasional dapat disimak melalui

dalam jiwa terdalam terdapat percikan pengetahuan supra indrawi Di yang tak pernah padam. Selain ada pengetahuan yang berbeda, yaitu yang tertuju pada obyek-obyek di dunia luar, yaitu pengetahuan indrawi dan pemahaman. Inilah yang menutupi pengetahuan yang lainnya. Pengetahuan intuitif merupakan pengetahuan yang lebih tinggi, tidak dibatasi waktu dan ruang, tanpa yang lain.Dalam kehidupan pengetahuan yang tinggi ini segala sesuatu adalah satu dan semua hal serupa, segala dalam kesegalaan dan satu dalam kesegalaan. (Rudolf Otto, 1932:39)

Pengetahuan intuitif atau yang disebut juga intuitus mysticus, menurut Eckhart timbul dari kedalaman pikiran yang mengalami pencerahan (enlightenment) dan hasilnya adalah gnostics (makrifah). Walaupun

melahirkan perasaan Cinta terhadap Sang Maha Wujud, ia bukan emosi yang meluap-luap. Sebagai pengetahuan yang berkenaan langsung dengan wujud hakiki kehidupan, pengetahuan inilah yang paling tepat dijadikan sarana untuk menyerap pengalaman Penyatuan diri dengan Hakikat Ketuhanan atau Deitas (Ibid 75).

Rumi dan Mistisisme Cinta Jalaluddin al-Rumi adalah seorang ahli tasawuf dan penyair sufi Persia terbesar sepanjang sejarah. Nama lengkapnya Jalaluddin Muhammad bin Husyain al-Khatibi al-Bahri. Nama al-Rumi dikenakan sebagai takhallus (julukan) karena dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Konia, Turki, yang ketika masih merupakan wilayah kekaisaran Byzantium disebut

its nature is Reason. Or: The living essential absolutely real Reason, which is

211

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223

pada tanggal 5 Jumadil Akhir tahun 672 H bertepatan dengan 16 Desember 1273 di Konia. Ayah Rumi, Bahauddin Walad, adalah seorang ulama terkemuka di lingkungan kerajaan Khwarizmi, Asia Tengah. Pada tahun 1210 M, sebelum Khwarizmi diserbu tentara Jengis Khan, Bahauddin Walad mengungsi bersama keuarganya. Mula-mula ke Khurasan dan Nisyapur di Iran Utara. Pada tahun 1220 M kerajaan Khwarizmi direbut oleh tentara Mongol. Keluarga Rumi kemudian mengungsi ke Baghdad dan kemudian lagi ke Mekkah. Setelah itu mereka pindah ke Damaskus, sebelum akhirnya menemukan tempat tinggal terakhir di Konia (Nicholson, 1952:xvi-xvii). Rumi mula-mula mempelajari tasawuf dari ulama terkenal bernama Burhanuddin al-Tirmidhi. Tetapi gurunya yang sejati ialah Syamsudin alTabrizi atau Syams dari Tabriz, ibukota kesultanan Ilkhan Mongol pada

abad ke-13 M. Pertemuan Rumi dengan Syams terjadi ketika Rumi berusia 37 tahun. Dia melihat dalam pribadi Syams semangat ketuhanan yang kuat. Inilah yang merubah jalan hidup Rumi. Syams tampil sebagai sufi yang dipenuhi oleh kemabukan mistik (dzawq) dan jiwanya yang memancarkan cinta ilahi dapat membawanya ke jalan makrifah. Sejak itulah Rumi benarbenar tenggelam dalam ekstase mistikal yang membuatnya menjadi seorang penyair yang kreatif dan subur. Terlebih-lebih ketika Syamsuddin

menghilang dan wafat, kerinduan pada gurunya diekspresikan dalam sajaksajak yang penuh kerinduan mistik dan ungkapan cinta yang mendalam. Sebelum tampil sebagai ahli tasawuf dan sastrawan terkemuka, Rumi adalah seorang guru agama yang memiliki banyak murid dan pengikut. Dalam usia 36 tahun dia sudah bosan mengajar ilmu-ilmu formal. Dia insyaf bahwa pengetahuan formal tidak mudah mengubah jiwa murid-muridnya. Menurut Rumi, perubahan bisa terjadi apabila seseorang mendapat pencerahan. Untuk mendapat pencerahan, seseorang harus bersedia menempuh jalan cinta. Begitulah baru sesudah mempelajari tasawuf secara Rumawi Timur. Rumi lahir pada tanggal 6 Rabi Awal 604 H bertepatan ul dengan 30 September 1207 M di Balkh, Afghanistan sekarang. Rumi wafat

212

Abdul Hadi W.M. Meister Eckhart dan Rumi

dengan cara yang benar dapat membuat seseorang bahagia, bebas dari kungkungan dunia dan memiliki pengetahuan luas tentang Tuhan dan manusia. Tenaga tersembunyi itu disebut `isyq-i ilahi (Cinta Ilahi) (Afzal Iqbal, 1978:111-5) Rumi mengungkapkan gagasan tasawufnya dalam puisi, prosa puisi, khotbah dan dialog. Karya tasawufnya sangat melimpah dan di antara yang masyhur ialah Diwan-i Shamsi Tabriz (Sajak-sajak Pujian kepada Syamsi Tabriz), Matsnawi-i Ma`nawi (Prosa Berirama tentang Makna-makna), Ruba iyat (kumpulan sajak-sajak empat baris), Fihi Ma Fihi (Di Dalam Ada Seperti Yang Di Dalam), Makatib (kumpulan surat-surat Rumi kepada para sahabatnya) dan Majalis-i Sab`ah (himpunan khotbah Rumi di measjidmesjid dan halaqah keagamaan). F. C. Happold (1960) memasukkan Rumi sebagai tokoh terkemuka mistisisme cinta dan persatuan mistik. Mistisisme jenis ini berusaha membebaskan diri dari rasa terpisah dan kesebatangkaraan diri, melalui jalan persatuan dengan alam dan Tuhan, yang membawa rasa damai dan memberi kepuasan kepada jiwa. Merasa sepi, mistikus cinta berusaha menanggalkan diri khayali atau ego rendah (nafs) dan pergi menuju Diri yang lebih agung, Diri Sejati dan Hakiki. Menurut pandangan mistikus cinta, manusia adalah makhluq yang paling mampu menyadari individualitasnya. Pada saat yang sama manusia mampu berperan serta dalam segala sesuatu melalui pikiran, perasaan dan imaginasinya. Tujuan mistisisme cinta ialah melakukan perjalanan ruhani menuju Diri Hakiki dan kebakaan, di mana Yang Satu bersemayam. Rumi berpendapat bahwa seseorang yang ingin memahami kehidupan dan asal usul ketuhanan dari dirinya, ia dapat melakukannya melalui Jalan Cinta, tidak semata-mata melalui Jalan Pengetahuan. Cinta adalah asas penciptaan alam semesta dan kehidupan. Cinta adalah keinginan yang kuat untuk mencapai sesuatu, untuk menjelmakan diri. Rumi mendalam dan mengamalkannya dalam kehidupan, intuitif. sadar bahwa malahan menyamakan cinta dengan pengetahuan Rumi Secara teologis, dalam diri manusia terdapat tenaga hasilnya ialah haqq al-yaqin cinta diberi makna keimanan, yang tersembunyi, yang jika digunakan

213

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223

yang penuh kepada Yang Haqq. Cinta adalah penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta. Cinta sejati, kata Rumi, dapat membawa seseorang mengenal alam hakikat yang tersembunyi dalam bentuk-bentuk lahiriah kehidupan. Karena cinta dapat membawa kita menuju kebenaran tertinggi, Rumi berpendapat cintalah sebenarnya yang merupakan sarana terpenting dalam menstransendensikan dirinya. Cintalah sayap yang membuatnya dapat terbang tinggi menuju Yang Satu (Sayyid Naimuddin, 1968). Dalam Divan Syams-i Tabriz Rumi berujar antara lain:

Inilah Cinta: Terbang tinggi ke langit, mikraj Mencampakkan, setiap saat, ratusan hijab Mula-mula dengan menyangkal dunia (zuhd) Pada akhirnya jiwa berjalan tanpa kaki jasad. Sejak itu jiwa memandang dunia telah raib Dan tak peduli semua yang nampak di depan mata. Hati, kurestui kau dan kuizinkan O Memasuki lingkaran (dai rah) para pencinta! Memandang jauh ke balik dunia rupa Menembus lubuk terdalam hakikat! Dari mana nafas ini datang kepadamu, o Jiwaku? Dari mana keasyikan ini datang, o Hati? O Burung (ruh) bicaralah dalam bahasa burung. Kini kutahu makna tersembunyi kata-katamu! (Nicholson, 1952:138-9) Seperti halnya sufi yang lain, khususnya al-Nuri dan al-Hallaj, Rumi meyakini bahwa Cinta (`isyq) merupakan rahasia ketuhanan (sirr Allah) atau rahasia penciptaan (sirr al-khalq). Karena itu Cinta juga merupakan rahasia makhluk-makhluk-Nya, yang dalam diri manusia merupakan potensi ruhani yang dapat mengangkatnya naik ke hirarki tertinggi penciptaan. Mereka juga yakin bahwa pengalaman mistik dapat membersihkan penglihatan kalbu, sehingga kalbu dapat menyaksikan bahwa Wujud hakiki adalah satu, sedang

, keyakinan

214

Abdul Hadi W.M. Meister Eckhart dan Rumi

Pandangan sufi bahwa Cinta merupakan rahasia ketuhanan dan penciptaan didasarkan atas al-Qur dan Hadis Qudsi. Dalam al-Qur an an

5:59 dinyatakan, lebih kurang, Hai orang mukmin, siapa saja di antara kalian ingkar dari jalan agama, niscaya Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lembut kepada orang-orang mukmin dan bersikap keras kepada orang-orang kafir, yang berjuang mengurbankan diri (jihad) di jalan Allah, dan tidak takut terhadap celaan orang-orang yang gemar mencela. Ada pun Hadis Qudsi yang dirujuk ialah yang maksudnya: Aku adalah

perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (berkehendak kuat) untuk dikenal, maka aku mencipta. Kedua sumber rujukan itu diberi ta (tafsir ruhaniah) sebagai wil berikut: Hakikat ketuhanan ialah perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfi). Dengan mencipta hakikat segala sesuatu yaitu di bumi Tuhan ingin yang

memperkenalkan

Diri-Nya,

perbendaharaan-Nya

tersembunyi. Menurut sufi, sejauh mengenai Dhat-Nya atau Hakikat-Nya ini tak seorang dapat mengetahui selain Dia sendiri. Namun agar Keindahan dari Kesempurnaan-Nya menjadi nyata, Dia menghiasi inti segala sesuatu (al-a`yan al-tsabitah) dengan cermin-cermin dan menyingkap sebagian dari Diri-Nya melalui cermin-cermin itu. Inilah yang dimaksud al-Qur bahwa an Tuhan memperlihatkan ayat-ayat-Nya di alam semesta dan dalam diri manusia. Dalam segala sesuatu yang dicipta-Nya Dia melihat Diri-Nya Sendiri melalui karya-Nya sendiri (Abdul Hadi, 2002:54). Rumi menafsirkan perbendaharaan tersembunyi sebagai

perbendaharaan hikmah-Nya yang abadi yang ingin dipandang, direnungi, dipikirkan dan dikenal (Schimmel, 1978:275). Karena mendapatkan cermin dari perbendaharaan Tuhan yang tersembunyi, segala sesuatu di alam semesta juga cinta dan rindu terhadap perwujudan diri mereka. Pencinta wujud yang lain itu nisbi. Dalam pengalaman kesufian, yang nisbi ini akan ingin dikenal cintanya, perindu ingin diketahui rindunya, pencari ingin dikenal sirna tercampak oleh cinta dan kefanaan. bahwa ia mencari; sedang Tuhan dan perbendaharan dari cinta dan hikmah-

215

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223

pada mereka yang mau menerima petunjuk-Nya (Fihi Ma Fihi, 238; Sayyid Naimuddin, 1968). Melalui pernyataan Rumi tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan yang ingin dicapai para sufi melalui jalan Cinta ialah mengenal Tuhan sebagai Wujud Hakiki yang meliputi semua wujud. Inilah yang disebut ma`rifa (makrifat). Tetapi mengenal saja tidak cukup. Yang lebih penting lagi ialah merasakan kehadiran-Nya dalam segala sesuatu, dalam segenap peristiwa, dalam kehidupan pribadi, dengan maksud dapat merealisasikan persatuan dengan-Nya dalam semua aspek kehidupan. Tujuan lain yang tak kalah penting dari jalan Cinta ialah mengenal hakikat diriatau diri kita yang sebenarnya. Mengenai keadaan jiwa seorang yang sedang menempuh jalan Cinta, Rumi mengatakan dalam Divan-i Syamsi Tabriz, lebih kurang sebagai berikut:

Kali ini seluruh diriku telah diselubungi Cinta Kali ini seluruh diriku bebas dari kepentingan dunia Setiap berhala dari empat anasir tubuh telah kululuhkan Sekali lagi aku menjadi Muslim, sabuk kekafiran kulepaskan Sesaat aku berputar mengedari sembilan angkasa raya Kukitari planet dan bintang-bintang mengikuti sumbunya Sesaat aku gaib di suatu tempat rahasia aku berada bersama-Nya Aku dekat ke kampung halamannya, kusaksikan segala yang harus disaksikan (Abdul Hadi, 1985:111) Apa yang disaksikan sang Sufi di tempat rahasia itu? Di mana tempat rahasia itu berada? Dalam sajaknya yang lain Rumi menyatakan bahwa yang dia saksikan ialah keadaan sebelum hari penciptaan

berlangsung, yaitu ketika Yang Satu sebagai Dhat Mutlak belum menyatakan diri (la ta ayyun) dan jiwa manusia masih bersatu dengan-Nya, yaitu ketika masih berada di dalam perbendaharaan-Nya yang tersembunyi. Nya ingin dijelmakan agar supaya cinta dan hikmah-Nya dapat dinyatakan

216

Abdul Hadi W.M. Meister Eckhart dan Rumi

Ketika nama-nama belum ada Pun ketika tidak ada tanda wujud diberi nama Dengan kemunculanku Nama-nama Dan yang diberi nama, terlihat jadinya Pada hari itu ketika belum ada akudan kita Satu-satunya isyarat penyingkap rahasia-Nya Ialah tanda-tanda-Nya yang diliputi keindahan. Namun tanda-tanda-Nya itu pun belum ada. Maka kucari ia di palang salib dan iman orang Nasrani Dengan susah payah kucari ia Namun ternyata ia tak ada di palang salib. Kukunjungi candi Hindu dan pagoda lama Juga tidak ada tanda apa pun di sana. Ke puncak Herat aku pergi, ke Kandahar kucari Ia tak ada di tempat yang rendah maupun tinggi Akhirnya aku pun pergi ke puncak gunung Qaf Yang kulihat hanya kediaman burung Anqa Kupergi ke Ka bah di Mekkah, juga tidak di sana ia Ia tak ada di tempat orang tua dan muda berlindung Kutanya Ibnu Sina pendekar filsafat yang ulung Ah, tempat itu pun tak tercapai oleh pikiran Ibnu Sina. Kubelok haluan dan pergi ke tempat yang lebih jauh lagi: Ia tak ada di istana yang dipuji setinggi langit Akhirnya aku pergi ke dalam hatiku sendiri Ya, di sana aku melihat-Nya, tidak di tempat lain. (Abdul Hadi, 1986:36) Jadi tempat rahasia itu, di mana jiwa manusia dapat menyaksikan Yang Satu sebagai Wujud Hakiki dan rahasia penciptaan (sirr al-khalq) ialah di lubuk hati kita yang terdalam. Menurut Ibnu `Arabi, pengetahuan ketuhanan dan cinta kepada Yang Satu, bersemayam dalam hati, bukan dalam pikiran. Mengenai wujud dan keberadaan, dalam Matsnawi Rumi menulis lebih kurang sebagai berikut:

Kami dan keberadaan kami bukanlah wujud: Kaulah itu yang sedang mengenakan pakaian kefanaan Yang menggerakkan kami dan jiwa kami ialah rahmat-Mu, Seluruh wujud kami adalah ciptaan dari ilmu-Nya yang tersembunyi. Keindahan Wujud Kauperlihatkan pada yang bukan wujud (`adam) Aku sudah ada pada hari itu

217

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223

Janganlah Kaujauhkan Nikmat Kasih-Mu dari kami: Jangan jauhkan dari bibir ini pencuci mulut, anggur dan cawan-Mu! Jika dijauhkan juga, siapa yang akan memohon kepada-Mu? Adakah lukisan dan gambar terpisah dari Pelukisnya? Janganlah kami yang Kaulihat, namun lihatlah dalam diri kami Pesona Cinta dan kasih sayang-Mu sendiri! (Nicholson, 1950:107) Adapun pandangan Rumi bahwa Cinta dan persatuan mistik berkaitan erat, dapat dibandingkan dengan pernyataan al-Hallaj. Dalam sajaknya berikut ini secara tersirat al-Hallaj menunjukkan bahwa Cinta memiliki kekuatan transformatif, dalam arti mampu merubah atau

membalikkan kesadaran seseorang terhadap rasa keakuannya yang picik menjadi rasa keakuan universal. Kesadaran batin seorang sufi yang tercerap oleh keberadaan mutlak Sang Wujud akan berubah. Dalam lubuk kesadaran batinnya. Ia merasakan dirinya lenyap dan tempatnya dalam hati diganti oleh Yang Satu. Al-Hallaj menulis: Aku adalah Dia yang kucinta, dan Dia yang kucinta adalah aku Kami dua jiwa bersemayam dalam satu badan Kalau kau memandangku, kau memandang-Nya pula. Kalau kau memandang-Nya, kau memandang kami pula. (Abdul Hadi, 2002:46) Rumi juga sependapat dengan Bayazid al-Bisthami, sufi Persia

abad ke-9 M, yang mengatakan bahwa apabila jiwa seorang sufi dirasuki Cinta atau anthusiasme ketuhanan, maka hanya Yang Satu yang akan menjadi tumpuan perhatiannya. Selain-Nya akan lenyap dari penglihatan hatinya dan jiwanya tak akan membiarkan yang lain menapakkan jejak dalam kesadarannya (Ibid). Dengan demikian Cinta ilahi juga berkaitan dengan kegairahan mistik, baik berupa wajd (ekstase mistik), dzawq (kemabukan mistik) dan junon (kepayang). Rumi lebih jauh menyatakan bahwa cinta merupakan kemampuan ruhani yang terpendam dalam hati manusia Ia akan tetap terpendam jika tidak dirangsang oleh keindahan. Sarana untuk menghidupkan bara api cinta Setelah yang bukan wujudmencintai-Mu.

218

Abdul Hadi W.M. Meister Eckhart dan Rumi

yang terpendam itu ialah zikir, musik dan nyanyian. Melalui ekstase (wajd) ditimbulkan oleh nada musik yang indah, cinta yang tidur lelap dalam hati akan bangun kembali dan membentangkan sayapnya kembali untuk membawa jiwa naik ke alam yang lebih tinggi. Bagi Rumi, musik keruhanian (sama merupakan sarana tanzih (transendensi) yang ampuh. Selain itu ia ) berperan sebagai pembebasan jiwa dari sesuatu yang material melalui sesuatu yang material itu sendiri (tajarrud). Bunyi dan nada berasal dari dunia material, tetapi keindahan lagu yang mengalun darinya berasal dari alam transcendental. Melalui musiklah jiwa mengenal kembali asal-usul keruhaniannya. Rumi melukiskan dengan indah dalam mukadimah kitabnya Mattsnawi: Dengar alunan pilu seruling bambu Sayu sendu nadanya menusuk kalbu Begitulah ia sejak bercerai dari batang pohon rimbun Dadanya sesak dipenuhi Cinta dan kepiluan Walau dekat tempatnya laguku ini berasal: Tak seorang tahu dan dapat mendengar, O kurindi kawan yang mengerti isyarat ini Dam mencampurkan ruhnya dengan ruhku Api cintalah yang membakar diriku Anggur cintalah yang memberiku cita mengawan Inginkah kautahu bagaimana pencinta luka? Dengar, dengar alunan seruling bambu (Abdul Hadi, 1985:42) Mengenai hubungan musik dengan keindahan alam transenental (al-`alam al-malakut), dia menulis pula: Nada suling dan puput yang memikat telinga Dari putaran angkasa biru asalnya Hanya iman yang mengatas rantai angan dan cita Tahu siapa pembikin suara sumbang dan merdu Kami adalah bagian dari Adam, bersamanya kami dengar Lagu para malaikat dan serapim dekat kursi-Nya

219

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223

Itulah yang menambat alunan musik merdu dari surga O musik adalah daging semua pencinta Ia menggetar lambungkan jiwa ke angkasa raya Bara mulai berpijar, api abadi tambah berkobar Kami senantiasa mendengarnya, hidup baka dalam riang dan damai (Ibid 43) Demikianlah pencarian Rumi terhadap Hakikat Wujud. Melalui jalan Cinta yang berliku-liku dan lama dia akhirnya mencapai makrifat atau pengetahuan mendalam tentang wujud dan keesaan wujud. Tetapi bagi Rumi makrifat tidaklah penting apabila dengan itu seseorang tidak mencapai persatuan rahasia (unio-mystica) dengan Sang Wujud. Hanya apabila persatuan rahasia atau persatuan batin dengan Sang Wujud dicapai, jiwa seseorang dapat merasakan bahwa dirinya merupakan bagian dari keabadian dan perputaran kehidupan yang abadi.

Khatimah atau Penutup Demikianlah telah diuraikan bahwa walaupun kedua mistikus itu berangkat dari tradisi keagamaan yang berbeda, dan juga dari metode atau jalan keruhanian berbeda, keduanya pada akhirnya berjumpa dalam kebenaran yang sama. Ini tidaklah mengherankan karena sejak awal telah terjadi interaksi dan saling berpengaruh antara mistisisme Kristen dan Islam. Pada abad ke8 M, ketika tasawuf mulai berkembang, para mistikus Islam banyak mengambil gagasan keruhanian mereka dari para asketik Kristen. Kemudian pada abad ke-12 dan 13 M, ketika tasawuf muncul sebagai mistisisme yang mantap dan sophisticated, pada gilirannya ia memberi pengaruh besar terhadap mistisisme Kristen, khususnya melalui saluran kesusastraan Arab dan Spanyol (Luce Lopez Baralt, 1992:1-44) Namun selain terdapat persamaan, terdapat pula perbedaan. Perbedaannya antara lain ialah Rumi menganggap jalan Cinta tidak mungkin ditempuh tanpa ekstase mistik (wajd) dan kemabukan mistik (sukr),

Kenangan kami, walau tolol dan menyedihkan

220

Abdul Hadi W.M. Meister Eckhart dan Rumi

membawa seseorang pada rasa Cinta yang mendalam terhadap Yang Satu, namun kurang memberi perhatian terhadap ekstase dan kemabukan mistik. Perbedaan lainnya ialah apabila Rumi tidak didakwa sebagai pembawa bid oleh penguasa ortodoksi Islam pada zamannya dan sesudahnya, ah Meister Eckhart justru didakwa sebagai seorang zindiq dan pembawa bid ah di lingkungan Gereja Katholik selaku penguasa ortodoksi Kristen pada abad ke-13 M (Dawson, 1960:199-217). Penerimaan Rumi di lingkungan masyarakat keagamaan Islam, barangkali terkait dengan kenyataan bahwa pada abad ke-13 M tasawuf telah sepenuhnya terpadukan dengan ilmu-ilmu Islam yang lain, seperti fiqih, syariah, usuluddin dan ilmu tafsir. Semua itu terjadi berkat jasa Imam alGhazali (wafat tahun 1111 M), khususnya melalui bukunya IhyaUlum al-din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), yang mampu menjelaskan perbedaan ajaran Sufi dengan ajaran kaum Bathiniah. Lagi pula, pada abad ke-13 17 M para Sufi tampil ke depan sebagai penyebar agama yang aktif di Afrika dan belahan timur Dunia Islam, serta memainkan peranan penting pula dalam menghidupkan kebudayaan dan lembaga pendidikan Islam yang terhenti kegiatannya akibat penaklukan tentara Mongol yang dipimpin Jengis Khan dan Hulagu Khan (Afzal Iqbal, 1978:5-46). Sebaliknya Eckhart hidup pada masa ketika otoritas Gereja Katholik sangat besar dalam semua aspek kehidupan agama Kristen dan tidak memberi peluang tumbuhnya faham monisme yang bila ditafsirkan secara harfiah bertentangan dengan faham dualisme wujud antara Pencipta dan Ciptaan-Nya. Lagi pula Eckhart menafsirkan doktrin trinitas (Tuhan Bapa, Ruh Kudus dan Sang Putra) menggunakan metode hermeneutika dan penafsirannya itu bertentangan dengan penafsiran penguasa agama Katholik (Otto, 1932:43). Pada akhirnya kajian perbandingan semacam ini perlu dikembangkan, karena memang sangat bermanfaat dan dapat memberikan perspektif lain yang lebih segar dalam rangka dialog yang setara antar yang agama beserta tradisi keruhanian dan intelektualnya. bermakna pengalaman mistik menampung rasa berahi atau kegairahan yang meluap. Sedangkan Eckhart, sekalipun mengakui bahwa pengalaman mistik

221

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223

Daftar PustakaAbdul Hadi W.M. 1985. Rumi, Sufi dan Penyair. Bandung: Pustaka Abdul Hadi W.M. 1986. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus Abdul Hadi W.M 2002. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina Abdul Hamid Irfani. 1976. The Sayings of Rumi and Iqbal. Sialkot: Bazm-E-Rumi, Abu Bakar Atjeh. 1977. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasauf. Kelantan, Malaysia: Pustaka Aman Sdn Bhd Afzal Iqbal. 1976. Life and Works of Rumi. Lahore: SH Muhammad Ashraf Darr., Annemarie Schimmel. 1978. Mystical Dimension of Islam. Chapel Hill: The University of North Caroline Press, 1978. B. Hiriyanna. 1974.Outlines of Indian Philosophy. Delhi: Motilal-Banarsidass Pub., Christopher Dawson. 1960. Religion and the Rise of Western Culture. New York: Image Books Evelyn Underhill. 1962. Mysticism: A Study in the Nature and Development of Man s Spiritual Consciousness. New York: E. P. Dutton & Co. Inc. F. C. Happold. 1962. Mysticism: A Study and an Anthology. Middlesex, England: Penguins Book Frits Staal. 1977. Exploring Mysticism. Middlesex-England: Penguins Book. I Wayan Maswinara. 1998. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya:Paramita Jalaluddin Rumi. 1995. Signs of the Unseen. Trans. from Fihi Ma Fihi by W. M. Thalston Jr. Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed & Co. Jalaluddin Rumi. 1925. Mathnawi-i ma`nawi. Edited and translated by R. A. Nicholson, 8 vols. Gibb Memorial Series, n.s. 4. London 1925-40.

222

Abdul Hadi W.M. Meister Eckhart dan Rumi

Khalifa Abdul Hakim. Rumi, Nietzshce and Iqbal Dalam Iqbal as a Thinker. By . Eminent Scholars. Lahore: SH Muhammad Ashraf, 1973. Hal. 187-210. Luce Lopez Baralt. 1992. Islam in Spanish Literature: From the Middle Ages to the Present. Translated by Andrew Hurley. Leiden, New York, Koeln: E. J. Brill, Meister Eckhart. 1958. Selected Treatises and Sermons. Trans. from Latin and German with an Introduction and Notes by James. Clark and John . Skinner. Faber and Faber, London Mircea Eliade. 1958. Patterns in Comparative Religion. Trans. Rosemary Sheed & Ward, New York R. A. Nicholson. 1952. Selected Poems from Divan-i Shamsi Tabriz. Cambridge: Cambridge University Press R. A. Nicholson. 1950. Rumi, Poets and Mystics. London: George Allen & Unwin Ltd. Rudolf Otto. 1932. Mysticism East and West: A Comparative Analysis of the Nature of Mystcism -- Meister Eckhart and Shankara. London: Macmillan Co. Sayyid Naimuddin. The Concept of Love in Rumi and Iqbal Islamic Culture . VIII,October 1968 :186-210. Seyyed Hossein Nasr. 1980. Living Sufism. London-Boston-Sidney: George Allen & Unwin Ltd. Seyyed Hossein Nasr. 1983. Islam dan Nestapa Manusia Modern. Terj. Annas Mahyudin. Bandung: Pustaka W. T. Stace. 1960. Mysticism and Philosophy. Philadelphia and New York: J.B. LippincottCompany, 1960.

223