yang mati di tanah gusuran kampung akuarium filesetidaknya tiga warga korban gusuran dari kampung...
TRANSCRIPT
1
Yang Mati di Tanah Gusuran Kampung Akuarium
https://tirto.id/yang-mati-di-tanah-gusuran-kampung-akuarium-co3R
Wuriani (42) bersama anak keduanya di area penggusuran Kampung Akuarium,
Penjaringan, Jakarta Utara. tirto.id/Arimacs Wilander
Reporter: M. Ahsan Ridhoi & Hendra Friana
19 Mei, 2017
Setidaknya tiga warga korban gusuran dari Kampung Akuarium meninggal selama
beberapa pekan terakhir
Pada masa kampanye, Anies Baswedan menjanjikan kembali membangun permukiman
Kampung Akuarium
Kondisi kebersihan dan sanitasi yang buruk membuat kesehatan menjadi perkara mahal
warga gusuran di Kampung Akuarium.
tirto.id - Eka Juwanti, 22 tahun, seorang warga Kampung Akuarium, meninggal karena
kondisi sanitasi yang buruk di daerah penggusuran. Eka salah satu dari 90 kepala
keluarga yang digusur huniannya oleh pemerintahan Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama.
Selama tiga pekan terakhir, sedikitnya tiga warga meninggal, termasuk Eka, di Kampung
Akuarium yang menolak digusur dan bertahan dalam kondisi hunian yang buruk sejak 13
bulan terakhir. Mereka berjuang mempertahankan hak-hak dasar, keadilan, dan
pengakuan.
Kampung Akuarium adalah salah satu dari 193 kasus penggusuran paksa yang dilakukan
2
pemerintahan Ahok sepanjang 2016, yang berdampak terhadap 5.726 keluarga dan
5.379 unit usaha, menurut penelitian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Baca: Hikayat Si Raja Gusur
Penggusuran di Kampung Akuarium terjadi pada 11 April 2016. Ia melibatkan sekitar
empat ribu personel Satpol PP DKI Jakarta atas perintah Ahok. Penggusuran tersebut,
kata Ahok, diperuntukkan untuk "kepentingan revitalisasi kawasan Kota Tua."
Eka bersama orangtuanya dan seorang adik memilih tinggal di sebuah perahu milih
ayahnya. Keluarganya menolak untuk tinggal di Rusunawa yang telah disiapkan oleh
Pemprov DKI.
Lebih lengkap mengenai kondisi warga gusuran yang tinggal di Rusunawa, baca: Balada Korban
Penggusuran yang Tinggal di Rusun
Eka mengalami sakit sejak tinggal di perahu, beberapa waktu berselang. Dokter yang
mendiagnosisnya menyimpulkan bahwa Eka menderita kekurangan kalium. Ia mesti
dirawat di Rumah Sakit Koja, Jakarta Utara, selama delapan hari.
"Pokoknya, waktu itu setelah penggusuran dia sakit. Saya lupa tanggalnya," kata
Sukarti, 41 tahun, ibu Eka, kepada reporter Tirto di kawasan gusuran Kampung Akuarium,
17 Mei lalu.
Selama pengobatan, menurut Sukarti, tak ada sama sekali bantuan dari pihak Pemprov
DKI Jakarta. Padahal, menurutnya, ia bersama warga korban gusuran lain sudah
mengajukan ke Pemprov untuk diberi fasilitas kesehatan.
Hal itu dibenarkan oleh Topaz, seorang warga korban gusuran lain. Ia mengatakan surat
pengajuan fasilitas kesehatan telah dilayangkan ke Pemprov DKI melalui lurah
Penjaringan sejak sekitar setahun lalu. Tetapi surat tersebut belum kunjung direspons
hingga kini.
"Tapi, kami masih menunggu," kata Topaz.
"Kami kalau berobat ke Puskesmas Penjaringan atau klinik saja. Bayar sendiri,"
ujar Topaz di kawasan gusuran Kampung Akuarium.
Saat dikonfirmasi ke Kelurahan Penjaringan, Lurah Penjaringan Agus Sugiharto tidak
3
ada di tempat. Menurut salah satu staf kelurahan, yang enggan menyebutkan namanya,
Lurah Agus sedang pergi untuk "urusan kelurahan dan tidak bisa dipastikan kapan
kembali ke kantor." Padahal, saat itu, baru pukul 1 siang atau belum jam usai kerja.
Staf kelurahan itu menolak memberikan nomor kontak pribadi Lurah Agus.
Selama masa pengobatan di RS Koja, menurut Sukarti, putrinya menggunakan asuransi
kesehatan nasional. "Anaknya memang sudah punya BPJS," katanya.
Setelah tiga minggu dirawat, Eka dibawa pulang dan menjalani rawat jalan di Puskesmas
Penjaringan, sekitar dua kilometer dari Kampung Akuarium.
Memang ada rumah sakit lain di sekitar situ, yakni RS Atma Jaya, sebuah rumah sakit
elite, terletak di sebelah kantor Kelurahan Penjaringan atau sekira 1,5 kilometer dari
Kampung Akuarium. Sukarti berkata "tak banyak berharap" pada rumah sakit tersebut
karena tentu saja ia tak kuat membayar pengobatan di sana.
"Saya pernah punya uang hanya 50 ribu rupiah untuk hidup. Gimana? Yang kerja hanya
suami saya. Kalau dulu, saya punya rumah kontrakan sebelum digusur," katanya.
Selama merawat putrinya, keluarga Sukarti tinggal di atas perahu.
Seorang anak berjalan di depan spanduk kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017 di Kampung Akuarium,
Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (11/4). Tirto/Arimacs Wilander
Keluarga-keluarga Kampung Akuarium yang menolak digusur ini kembali menempati
hunian lagi, dengan mendirikan tenda semipermanen, sesudah
Anies Baswedan-Sandiaga Uno memenangkan Pilkada DKI Jakarta, 19 April lalu.
Menurutnya, Anies Baswedan pada 11 April sempat menjenguk Eka. Saat itu
4
Anies berkata "prihatin" kepada Eka yang juga pernah ditolak oleh RS Atma Jaya karena
perkara biaya dan disebut tidak mempunyai penyakit yang serius untuk mendapat
perawatan di tempat tersebut.
"Pak Anies sempat jenguk. Ya, Pak Anies khawatir dan prihatin. Tapi, tidak memberikan
santunan," kata Sukarti.
Saat dijenguk oleh Anies itu, kata Sukarti, keadaan Eka tidak terlalu buruk. Ia tidak
menyangka bila penyakit anaknya akan berujung pada komplikasi sampai merenggut
nyawa.
Pada 2 Mei, Eka mengembuskan napas terakhir.
Menurut diagnosis dokter, Eka menderita kekurangan kalium, kekurangan gizi, dan
penyakit paru-paru. Kematiannya menambah serentetan kematian korban gusuran
Kampung Akuarium.
Topaz menyebut ada dua warga lain yang meninggal. Mereka adalah Supinah, 41 tahun,
dan Anton, 45 tahun. Menurut Topaz, Supinah meninggal karena menderita kanker
payudara. Sedangkan Anton meninggal beberapa hari lalu tanpa ada sakit yang jelas.
"Kalau Bu Supinah meninggalnya di kontrakan. Sudah enggak tinggal di sini. Pak Anton
habis dikerokin malamnya, paginya meninggal. Dadakan," kata Topaz.
Berbeda dengan Eka, Supinah sudah tidak lagi tinggal di Kampung Akuarium saat
menderita sakit kanker payudara. Ia meninggal di sebuah rumah kontrakan yang masih di
kawasan Penjaringan.
Seperti halnya Eka, Supinah menggunakan biaya pribadi selama dirawat. Tidak ada
bantuan dari pemerintah provinsi. Padahal, penyakit Supinah tergolong berat dan
berlangsung dalam waktu lama.
Sementara Anton meninggal pada 14 Mei lalu.
Menurut Topaz, bantuan kesehatan selama ini hanya dari lembaga-lembaga
nonpemerintah dan sukarelawan dari individu atau kelompok yang peduli korban gusuran
Kampung Akuarium.
"Kadang memang ada bantuan kesehatan dari LSM atau tenaga kesehatan yang datang ke
5
sini," katanya.
Topaz berharap pemerintah DKI Jakarta memperhatikan korban gusuran yang menolak
dipindah.
"Sudah kena gusur, sakit juga. Kami, kan, juga masih manusia," katanya.
Apa jawaban Pemrov DKI Jakarta soal kematian warga di Kampung Akuarium?
Sekretaris Daerah Pemrov DKI Jakarta Saefullah dengan enteng menjawab: "Meninggal,
kan, bukan urusan Pemda. Meninggalkan bagian dari qodo dan qodar. Takdir. Penyebabnya
bisa sakit, bisa apa saja."
Soal keluhan fasilitas kesehatan yang disuarakan masyarakat tergusur di kampung
Akuarium, Saefullah menjawab itu adalah "kesalahan mereka sendiri." Sudah disiapkan
rusun, katanya, kenapa malah tetap memilih tinggal di tanah gusuran?
"Pertama, mereka itu, kan, sudah dapat bantuan rusun. Merka yang sudah tinggal di rusun
rata-rata komentarnya puas. Bukan hanya di Akuarium. Bukit Duri juga rata-rata puas.
Silakan aja kamu ke sana. Kalau masukannya positif buat kita. Kalau negatif buat kita
juga. Sebagai bahan evaluasi," katanya, kemarin (18/5).
"Soal pertanyaan layanan kesehatan. Puskesmas kita itu, kan, standby 24 jam. Kalau
mereka sakit, kan, bisa lari ke Puskesmas. Bisa lari juga ke RSUD tingkat kecamatan.
Tidak mungkin ditolong di situ. Jadi layanan kesehatan kita ini sudah full. Tidak perlu
kemana-mana. Jadi mereka tinggal datang saja ke tempat terdekat. Karena para dokter
kita, kan, dibayar sama APBD," ujarnya.
(tirto.id - wam/wam)
Balada Korban Penggusuran Yang Tinggal Di Rusun
6
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana & Reja Hidayat
28 Desember, 2016
Warga korban gusuran yang tinggal di rusun rentan tersingkir lagi dari rusun yang
ditempatinya.
Praktik penggusuran meningkatkan jumlah penduduk miskin di Provinsi DKI Jakarta.
Kendati mendapat kesempatan menghuni rumah susun, tapi korban gusuran di
Jakarta harus menghadapi rentetan persoalan baru yang pelik.
tirto.id - “Kalau di sana bisa nabung sehari Rp20 ribu, di sini seribu saja susah,” kata
Masruroh Noviani ketika ditemui reporter Tirto.id di Rusun Rawa Bebek, Jakarta Timur.
Dia tengah memetik cabai hijau di halaman belakang rusun. “Dapat 1 kilo kurang 1 ons nih,”
katanya, menunjukkan kantong plastik berisi cabai.
Sesudahnya, dia melanjutkan memasak di warung, yang diberikan pihak pengelola rusun,
seukuran 2x4 meter persegi. Di rusun tempatnya menjalani kehidupan baru itu, setiap
penghuni dibolehkan memanen cabai asalkan turut menyiram dan memfotonya terlebih
dulu.
Sambil menggoreng kerupuk, Noviani menuturkan aktivitas barunya di rusun, seraya
membandingkan kehidupan lamanya di Pasar Ikan, Penjaringan, yang digusur pada 30
Maret dan 1 April lalu. Dia salah satu dari 652 orang yang dipindahkan ke Rusun Rawa
Bebek, berjarak sekitar 27 kilometer atau 2,5 jam dengan transportasi publik. Sebagian
warga Pasar Ikan lain ditempatkan paksa ke Rusun Marunda.
Suaminya, Maman, menjalani profesi sebagai sopir truk pengiriman barang lintas provinsi
selama 26 tahun. Kantornya di Pasar Ikan. Dalam 30 hari, bila tidak mengambil libur,
biaya transportasi suaminya berangkat dan pulang dari rusun dan tempat kerja bisa
menghabiskan uang sekira Rp1.080.000.
Noviani berkisah, saban pagi sekira jam 4 pagi, suaminya rutin belanja sayuran, yang
paling banter menghabiskan waktu pergi-pulang selama 1,5 jam. Setelah itu Noviani
membuka lapak sayuran di halaman belakang rusun. Sementara, suaminya lanjut membuka
penutup terpal kios makanan ringan di lantai dasar. Sekitar jam 8 pagi, Noviani menutup
lapak lalu menjaga kios.
Selagi Noviani menjaga warung, Maman menumpang ojek motor untuk berangkat ke
7
Stasiun Cakung, dengan ongkos rata-rata Rp10 ribu. Kemudian dia naik kereta menuju
Stasiun Jakarta Kota dengan biaya Rp3 ribu. Lantas dia naik bus Kopami Jaya 02 menuju
Mitra Bahari, sedikitnya menghabiskan ongkos Rp5 ribu. Biaya ongkos harian ini
dijalaninya kembali ketika pulang ke rusun.
“Suami saya tadinya dari sini berangkat naik motor, nyampe sana kurang lebih satu jam
kalau cepat. Cuma sering kecelakaan, mungkin dia ngantuk atau kecapean. Makanya
akhirnya naik kereta. Pernah tulang tangannya patah pas pergelangan. Parah,” kata
Noviani.
Untuk biaya sewa rusun, listrik, dan air dalam sebulan, keluarganya harus membayar
sekitar Rp540 ribu. Selain biaya makan sehari-hari, dia juga harus membayar ongkos
pulang-pergi kedua anaknya ke SDN Pulo Gebang 13, yang menelan biaya sebulan Rp300
ribu.
“Kasihan, kan. Ini masuknya jam 10. Pulangnya jam 3 sore. Bus sekolahnya, yang jadi
fasilitas rusun cuma bawa anak SMP. Jemput juga anak SMP. Jam 5:30, anak-anak harus
berangkat. Masak dia masuk jam 10 tapi jam setengah 6 pagi harus berangkat?” ujarnya.
Tak jauh dari Noviani, Andi (44) tampak termenung di bibir kolam yang baru dibuat
sebulan lalu. Sesekali Andi melempar makanan ikan ke kolam. Dia lahir dan hidup di
daerah Pasar Ikan. Beda dengan huniannya dulu, kini tak ada lagi hamparan air yang luas,
selain kubangan kolam ikan buatan di rusun.
Andi bekerja sebagai kuli periklanan, sementara setiap hari istrinya bekerja buruh
pembersih jeroan ikan. Untuk bekerja, hingga kini keduanya harus tetap bolak-balik ke
Pasar Ikan. Keluarganya kewalahan membayar biaya sewa rusun, listrik, dan air.
Ditambah harus menanggung biaya hidup dua anak yang duduk di bangku SD dan SMP.
“Nunggak 2 bulan. Baru-baru kemarin kita bayar tapi nyicil. Untuk menempuh tempat
kerja jauh,” kata Andi kepada Tirto.
Menunggak Biaya Sewa, Tidur di Gerobak
Menjelang petang, enam petugas kebersihan menggotong bak sampah seukuran 1x0,5
meter di halaman belakang rusun Rawa Bebek. “Semua sampah di rusun ini ditampung di
situ,” kata Andi, sambil menunjuk para petugas kebersihan yang menuangkan isi bak
sampah kecil ke dalam bak lebih besar.
8
Seorang perempuan tua berkulit gelap tiba-tiba mendekat. Tidak mempedulikan bau bak
sampah menyengat, dia meminta satu kantong plastik besar bewarna hitam.
“Buat nyari plastik bekas. Saya pemulung tapi warga sini,” kata perempuan itu saat
reporter Tirto.id bertanya apakah dia warga rusun atau orang luar. Perempuan itu
berjalan mendekati kolam ikan tempat Andi tengah tercenung. Saat ditanya apakah dia
bersedia diwawancara, dia menolak. “Saya sibuk kerja, enggak bisa diajak ngobrol,”
katanya. Dia juga enggan memberitahu namanya.
Saat dikonfirmasi soal pemulung itu, Darnawati Sembiring, Kepala Unit pengelola
Rusun Rawa Bebek, membenarkan bahwa perempuan itu semula warga Pasar Ikan. Setiap
sore dia sering memulung barang bekas di sekitar rusun.
Pernah suatu kali perempuan itu, yang terdaftar sebagai penghuni rusun, menunggak
biaya sewa. Darnawati mendatangi unitnya yang gelap karena nunggak biaya listrik.
“Sempat dia bilang, 'Saya balik lagi deh, tinggal di gerobak.' Saya tidak lepaskan.
Pemerintah harus bertanggungjawab orang-orang seperti itu. Jadi saya tidak lepas,”
kata Darnawati kepada Tirto.
Selain dihuni warga gusuran dari Pasar Ikan, Bukit Duri, dan Kali Krukut, Rusun Rawa
Bebek diperuntukkan bagi warga miskin yang belum menikah.
Dari hunian lama mereka di Pasar Ikan dan Bukit Duri, sekitar 2.110 warga dibawa paksa
ke rusun di Jakarta Timur itu, wilayah dengan pendapatan rumah tangga terendah di
seluruh Jakarta, yakni 27,45 persen (upah minum layak Jakarta tahun 2016 adalah Rp3,1
juta).
Gaji pokok suami Noviani sekira Rp 1,5 juta. Di sisi lain dalam sebulan, usaha dagangan
keluarga itu rata-rata laku Rp200 ribu. Pendapatan ini jauh jika dibandingkan dengan
biaya kebutuhan hidup minimum atau layak menurut hitungan BPS DKI Jakarta (2015),
yakni Rp2,5 juta.
Rentan Diusir
9
Setiap kepala keluarga dari lokasi gusuran ini, ketika diproses sebagai penghuni rusun,
wajib menandatangani surat perjanjian dengan pihak kepala unit rusun. Sementara
penempatan blok atau lantai dipilih dari hasil undian. Jangka waktu mereka menyewa,
sesuai Peraturan Gubernur nomor 111 tahun 2014, selama 2 tahun. Sesudahnya mereka
akan dievaluasi, yang lebih menekankan pada ketaatan penghuni membayar sewa bulanan.
Setelah prosedur tuntas, setiap unit rusun diberikan kartu rusun. Kartu ini adalah kerja
sama pemerintah provinsi Jakarta dengan Bank DKI dan PT Transportasi Jakarta. Ia
dipakai sebagai satu pintu: membayar biaya sewa dan air serta sebagai kartu gratis
menggunakan bus TransJakarta. Untuk yang terakhir, sebagai penekanan, kartu itu
hanya berlaku untuk satu kepala keluarga,
bukan satu orang.
Sementara, berdasarkan surat perjanjian
penghuni rusun yang mengacu pada Peraturan
Gubernur tentang mekanisme penghunian
rusun, bila terjadi keadaan kahar (bencana,
kebakaran) dan perubahan peruntukan lahan
rusun, maka para penghuni rusun “harus
mengosongkan … tanpa menuntut ganti rugi
berapa pun dan dengan alasan apapun.”
Terkait biaya sewa, warga cukup menabung
di rekening di Bank DKI dengan deposito
minimal harga sewa plus Rp50 ribu. Setiap
bulan Bank DKI melakukan debet otomatis,
dengan menyisakan uang minimal di rekening
sebesar Rp50 ribu itu.
Jika warga hunian rusun menunggak, mereka
dikenakan denda otomatis sebesar 2 persen
setiap bulan.
Biaya sewa di tiap rusun berbeda. Di Rusun Marunda, untuk setiap unit tipe 30, lantai I
seharga Rp159 ribu/bulan. Semakin ke atas, biaya sewanya semakin murah: Rp151 ribu
(lantai 2), Rp144 ribu (lt. 3), Rp136 ribu (lt. 4), dan Rp128 ribu (lt. 5). Sedangkan biaya
sewa Rusun Jatinegara Barat dibikin rata untuk semua lantai (ada 16 lantai), sebesar
Rp300 ribu/bulan.
10
“Saya dibantu anak kalau bayar.” kata Karyanti, warga gusuran dari Kalijodo yang
dipindahkan ke Rusun Marunda. “Anak kerja di laundry Pluit. Ini sudah 3 bulan belum
bayar. Sakit. Sakit,” ujar perempuan berusia 48 tahun itu.
“Digusur tanpa bantuan apa-apa. Tanpa ganti rugi. Ahok, mah, gubernur paling kejam,”
keluh Karyanti.
“Saya pengin di sini ada koperasi simpan pinjam,” tambahnya. “Makanya saya jual soto,
tapi berhenti lagi.” Kini, saban hari, Karyanti bersama suami berkeliling rusun menjajakan
gorengan.
Darnawati, Kepala Unit rusun Rawa Bebek, menjelaskan bahwa penghuni rusun di
tempatnya dari gusuran Bukit Duri kini menempati 377 unit, Pasar Ikan 164 unit, dan
Krukut 23 unit. Di rusun yang sama, warga dari Bukit Duri dikenakan biaya sewa beragam,
semakin tinggi lantai semakin murah—sama dengan rusun Marunda. Paling mahal Rp300
ribu di lantai 1 hingga paling murah di lantai 5 Rp200 ribu.
Tetapi ini tidak berlaku untuk warga gusuran dari Pasar Ikan, seluruh lantai diterapkan
sama biaya sewa, Rp300 ribu. Alasannya, mereka ditempatkan di blok rusun yang
diperuntukkan bagi masyarakat umum-miskin. Blok rusun bagi warga Pasar Ikan yang
seharusnya mereka tempati masih dalam proses pembangunan.
Bagaimana tunggakan sewa di Rusun Rawa Bebek? Jumlahnya variatif, tetapi ada yang
tenggang hingga tiga bulan.
“Saat ini kalau jumlah tunggakan lebih kurang Rp120 juta untuk semuanya,” kata
Darnawati.
Menambah Jumlah Penduduk Miskin
Warga gusuran menambah jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data
Sensus BPS DKI Jakarta (Maret 2015), ada 487.388 orang miskin. Ia bertambah
menjadi 503.038 orang (September 2015) dan naik lagi menjadi 510.359 jiwa (Maret
2016).
Mereka yang digusur paksa juga menambah persentase warga yang menghuni rumah sewa.
Rilis BPS DKI Jakarta tentang persentase rumah tangga menurut provinsi dan status
kepemilikan rumah kontrak atau sewa, pada 2014 sebanyak 33,71 persen, sedangkan
11
tahun 2015 sebanyak 34,13 persen.
Bila mengacu UU nomor 1 tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan pemukiman, negara
wajib menyediakan kebutuhan rumah bagi masyarakat. DKI Jakarta menanggung rencana
pembangunan sekitar 70.000 rumah setiap tahun. Keterbatasan lahan di wilayah Jakarta
bikin pemerintah (maupun pihak swasta) membangun hunian secara vertikal (ke atas).
Arifin dari Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah DKI Jakarta menjelaskan bahwa
pemerintah provinsi masih terus melakukan pembangunan rusun khusus program
penggusuran. Sejauh ini, pemerintah mengelola 23 rusunawa bagi warga korban
penggusuran paksa.
“Yang jelas, saya kalau jadi bangun rusun untuk tahun besok (2017) itu 11 ribuan unit. Ada
di beberapa lokasi. Intinya ada di 22 lokasi,” kata Arifin kepada Tirto.id.
Baca juga artikel terkait PENGGUSURAN JAKARTA atau tulisan menarik lainnya Dieqy
Hasbi Widhana
(tirto.id - dqy/fhr)