web viewkekuasaan eksekutif diluar pengawasan ... kekuasaan legislatif atau dapat pula dengan...

11
TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Di Susun Oleh: Maria Silviana SEKOLAH KEJURUAN MENEGAH UNGGUL SAKTI JAMBI Macam - macam Kelemahan Sistem Pemerintahan Sebelum Masa Reformasi

Upload: dinhduong

Post on 25-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Web viewKekuasaan eksekutif diluar pengawasan ... kekuasaan legislatif atau dapat pula dengan ‘mengorbankan’ kekuasaan legislatif dengan tujuan untuk membuka jalan

TUGASPENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Di Susun Oleh:Maria Silviana

SEKOLAH KEJURUAN MENEGAHUNGGUL SAKTI JAMBI

Macam - macam Kelemahan Sistem Pemerintahan Sebelum Masa Reformasi

1) Pelaksanaaan Sistem Presidensial.

Page 2: Web viewKekuasaan eksekutif diluar pengawasan ... kekuasaan legislatif atau dapat pula dengan ‘mengorbankan’ kekuasaan legislatif dengan tujuan untuk membuka jalan

1. Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.

2. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif, sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama, sehingga berdampak pada hasil keputusan.

3. Sistem pemerintahan tidak berjalan, tidak dapat bekerja sama sehingga pertanggung jawaban kurang jelas.

4. Karena presiden tidak dapat diberhentikan oleh DPR, maka pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh.

5. Pengaruh rakyat terhadap politik (kebijakan) negara kurang mendapat tempat yang seluas-luasnya.

6. Penyusunan program kerja mudah disesuaikan dengan lama masa jabatan yang di pegang eksekutif.

7. Pelaksanaaan sistem pemerintahan tidak dapat dilaksakan, masa revolusi kegentingan belum terbentuk alat-alat kelengkapan Negara.

8. Multi partai berdampak pada kepentingan Parpol/Golongan.9. Stabilitas politik terancam, tidak terdapat partai yang menang

secara mayoritas jatuh bangun kabinet yang singkat, sehingga kebijakan pembangunan tidak berjalan dengan semestinya.

10. Kehidupan partai tidak demokratis.11. Sistem demokrasi terpimpin.12. Penataan kehidupan konstitusi tidak berjalan.13. Pertentangan ideologi sangat tajam (nasionalis, agama,

komunis).

Douglas V. Varney juga mengemukakan beberapa kelemahan sistem presidensial,  antara lain:

14. The problem of executive-legislative conflict, which may turn into ‘deadlock’ and ‘paralysis’. Masalah yang muncul dari konflik legislatif-eksekutif yang dapat mengarah pada terjadinya deadlock dan paralysis. Apabila terjadi  perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif, tidak ada metode institutional untuk menyelesaikan persoalan ini.  Menurut Arend Lijphart, hal ini dapat dihindari dengan tetap memisahkan kedua cabang kekuasaan tersebut tapi tidak membuat keduanya seimbang. Dengan kata lain, dilakukan dengan meningkatkan kekuasaan presiden dibanding kekuasaan legislatif  atau dapat pula dengan ‘mengorbankan’ kekuasaan legislatif dengan tujuan untuk

Page 3: Web viewKekuasaan eksekutif diluar pengawasan ... kekuasaan legislatif atau dapat pula dengan ‘mengorbankan’ kekuasaan legislatif dengan tujuan untuk membuka jalan

membuka jalan bagi sistem pemerintahan yang lebih aktif dan efektif.

15. Temporal rigidity. Kekakuan sementara ini disebabkan oleh president’s fixed term in office, sehingga segala sesuatunya menjadi rigid, spesifik, terjadwal dan tidak adanya revolutionary reserve.

16. Presidential Government operates on the basis of the winner-take-all rule. Dalam pemilihan presiden, hanya satu kandidat dan satu partai saja  yang menang dan yang lainnya kalah. Apalagi dengan terpusatnya kekuasaan di tangan presiden tidak akan mendorong pembentukan koalisi atau cara pembagian kekuasaan lain atau setidaknya melakukan negosiasi dengan pihak oposisi dalam pengambilan kebijakan.

17. Presiden yang terlalu kuat akan menberikan peluang untuk menjurus pada sikap otoriter, bahkan diktatorisme, karena tidak terdapat balance of power (perimbangan kekuatan) antara presiden dan lembaga legoslatif (DPR).

18. Sentralisasi kekuasaan mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap perkembangan daerah. Hal ini mengakibatkan timbulnya gerakan separatisme, seperti di Aceh dan Papua.

19. Pada masa Presiden Soeharto, membawa krisis multidimensi (moral, moneter, dan keuangan) serta pemerintahan yang otoriter.

Dampak negative yang terjadi dari sistem pemerintahan Presidensial.

a) Terjadi pemusatan kekuasaan Negara pada satu lembaga, yaitu Presiden.

b) Peran pengawasan & perwakilan DPR semakin lemah.c) Penjabat- penjabat Negara yang diangkat cendrung dimanfaatkan

untuk loyal dan mendukung kelangsungan kekuasaan Presiden.d) Kebijakan yang dibuat cendrung menguntungkan orang – orang

yang di dekat Presiden.e) Penciptakan prilaku KKN.f) Terjadi personifikasi bahwa Presiden dianggap sebagai Negara.g) Rakyat dibuat semakin tidak berdaya, dan tunduk terhadap

Presiden.h)

2) Pelaksanaaan Sistem Parlementer.

Page 4: Web viewKekuasaan eksekutif diluar pengawasan ... kekuasaan legislatif atau dapat pula dengan ‘mengorbankan’ kekuasaan legislatif dengan tujuan untuk membuka jalan

1. Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.

2. Kedudukan eksekutif tidak stabil karena kab inet dapat d iberhent ikan set iap saat o leh par lemen.

3. sering terjadi pergantian kabinet sehingga Kebijakan politik Negara cenderung labil.

4. Karena dapat terjadi pergantian kabinet secara mendadak seh ingga eksekut i f   tidak dapat mengerjakan program ker janya dengan baik .

5. Masa jabatan kabinet tidak ditentukan.6. Kepala negara tidak dapat diganggu gugat, karena yang

bertanggung jawab adalah para menteri.7. Mementingkan kekuatan partai di parlemen.8. Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa

ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubarkan.

9. Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.

10.Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.

11.Penyusunan kabinet demikkian sulit, karena memperhatikan konstelasi anggota-anggota parlemen sehingga timbul istilah, “Kabinet Dagang Sapi”. Setiap partai akan memperebutkan kedudukan kementrian yang dianggap mempunyai possisi penting dan menentukan , misalnya meenteri luar negeri, keungan, pertahanan, dan menteri dalam negeri.

12. Jika menteri-menteri tidak dapat mempertanggungjawabkan tindakannya, maka diberikan mosi tidak percaya dari parlemen yang mengakibatkan krisis kabinet dan akhirnya kabinet jatuh (bubar).

Benjamin Reilly juga mengemukakan beberapa kelemahan sistem presidensial,  antara lain:

Page 5: Web viewKekuasaan eksekutif diluar pengawasan ... kekuasaan legislatif atau dapat pula dengan ‘mengorbankan’ kekuasaan legislatif dengan tujuan untuk membuka jalan

13. Tendency towards ponderous or immobile decision-making (pengambilan keputusan cenderung lambat atau sulit). Koalisi yang dibentuk dalam sistem parlementer menyebabkan eksekutif lebih mudah mengalami deadlock karena ketidakmampuan partai-partai anggota koalisi mencapai kesepakatan mengenai isu-isu tertentu.

14. Lack of accountability and discipline (kurangnya akuntabilitas dan kedisiplinan). Karena koalisi dibentuk dari partai-partai yang berbeda, maka sulit bagi pemilih untuk menilai kinerja pemerintahan dan menentukan siapa yang bertanggungjawab atas suatu keputusan tertentu.

15. Propensity towards weak or fragmanted government (pemerintahan cenderung lemah atau terfragmentasi). Dalam situasi yang terfragmentasi, eksekutif cenderung lemah dan tidak stabil, serta melemahkan keberlanjutan dan arah kebijakan publik.

Dampak negative yang terjadi dari sistem pemerintahan Parlementer.

a) Akibat dari jatuhnya kabinet, maka kabinet tidak mungkin dapat melaksankan programnya, karena parlemen sering menjatuhkan kabinet yang disebabkan oleh kelompok oposisi terlalu kuat.

b) Karena kabinet tidak dapat melakukan programnya, berarti tidak jungkin tercapai tujuan nasional, yaitu masyarakat adil dan sejahtera.

c) Timbulnya dampak negative yaitu mulai disintegrasi bangsa.

3) Kelemahan Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara Indonesia

1. Produk hukum belum banyak memihak kepentingan rakyat, demikian juga aparat penegak hokum (Polisi, Jaksa, dan hakim ) masih ada oknum yang belum bekerja secera professional sehingga dapat diajak berkolusi.

2. Majelis permusyawaratan rakyat yang anggota-anggotanya terdiri dari anggota DPR utusan daerah dan utusan golongan (sekarang DPR dan DPD) merupakan lembaga Negara yang syarat dengan muatan politis sehingga keputusan maupun ketetapan-ketetapanya sangat bergantung kepada konstelasi politik rezim yang berkuasa pada saat itu. Contoh pada masa orde baru wewenang, MPR untuk mengubah UUD tidak pernah dilakukan, meskipun banyak suara-suara rakyat yang menghendaki amandemen keputusan politik masa itu, dikeluarkannya ketetapan MPR, No.IV/MPR/1983 Tentang Referendum bila ingin merubah UUD 1945

Page 6: Web viewKekuasaan eksekutif diluar pengawasan ... kekuasaan legislatif atau dapat pula dengan ‘mengorbankan’ kekuasaan legislatif dengan tujuan untuk membuka jalan

3. Pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh, sehingga ada kecendrungan eksekutif lebih dominan bahkan dapat mengarah ke otoriter. Contoh Pada masa orde lama Presiden dapat membubarkan MPR dan lembaga-lembaga lain yang tidak berfungsi bahkan seakan menjadi babu presiden. Demikian juga pada masa orde baru meskipun ada lembaga-lembaga yang lain namun kurang berfungsi sebagai mana fungsinya.

4. Tidak ada satu ketentuan pun dalam batang tubuh yang mengatur mengenai mandaritas. Dalam praktik justru jabatan presiden dibedakan menjadi kepala Negara, kepala pemerintahan, dan mandaritas. Pelembagaan mandaritas sebagai sesuatu jabatan ketatanegaraan tersendiri menimbulkan akibat yang dipandang sebagai bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi.

5. Jika para menteri tidak terdiri dari orang-orang yang jujur, bersih, dan professional, program-program pemerintah tidak berjalan efektif dan populis (berpihak kepada rakyat). Hal ini aksan berakibat munculnya arogansi kekuasaan, salah urus dan tumbuh suburnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Secara umum hal ini terjadi pada masa pemerintahan orde baru, meskipun harus diakui adanya keberhasilan dibidang fisik.

6. Sejarah ketatanegaraan dan politik Indonesia menunjukan terjadinya pasang surut peran DPR dan DPRD, di satu pihak, serta peran Presiden dan Kepala Daerah, di lain pihak. Seperti yang telah dikemukakan s ebelumnya bahwa praktek ketatanegaraan dan politik Indonesia pernah menempatkan DPR dan DPRD sedemikian kuat dalam praktek penyelenggaraan negara. Periode ini berlangsung sejak 1950 hingga pertengahan 1959. Periode ini betul-betul menunjukan peran DPR dan DPRD yang luar biasa. Periode ini selesai ditandai oleh dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, DPR dan DPRD benar-benar lumpuh. Peran DPR dan DPRD tidak lebih hanya sebagai tukang stempel. Bahkan, lebih jauh, demokrasi pun mengalami masa yang cukup suram.

7. Ada kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden.

8. MPR masih memiliki kewenangan-kewenangan yang meletakkannya sebagai suatu lembaga “Supra”, bahkan di atas konstitusi, karena masih berwenang menetapkan dan melakukan perubahan terhadap konstitusi (Pasal 3 ayat 1)

9. Pasal 7 A menyatakan bahwa : “ presiden dan wakil presiden daoat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh majelis permusyawaratan rakyat atas usul dewan perwakilan rakyat,

Page 7: Web viewKekuasaan eksekutif diluar pengawasan ... kekuasaan legislatif atau dapat pula dengan ‘mengorbankan’ kekuasaan legislatif dengan tujuan untuk membuka jalan

baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hokum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wali presiden.”

Ketentuan Pasal 7 A ini dilihat dari aspek checks and balances , yang menyangkut misalnya hak dan kewajiban serta tata hubungan antara lembaga Negara seperti antara Presiden dengan DPR dan DPD terdapat ketidakseimbangan. DPR misalnya dapat meng-impeach Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui mekanisme pengajuan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pada itu meski para anggota DPR dan DPD sama-sama anggota MPR dan sama-sama dipilih oleh rakyat melalui Pemilu, kewenangan konstitusionalnya dalam Pasal 7A ini tidak seimbang dengan DPR, sebab DPD tidak diberi kewenangan dalam proses meng-impeach Presiden. Dengan kata lain, Pasal 7 A UUD 1945 hasil amandemen terdapat ketidaksesuaian dalam konteks kedaulatan rakyat dan sistem checs and balances.  Karenanya Pasal 7 A UUD 1945 hasil amandemen perlu disempurnakan dengan menambah formulasi, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Dewan Perwakilan Daerah.

10. Sering terjadinya pergantian para pejabat karena adanya hak perogatif presiden.

11. MPR memiliki kewenangan menentukan impeachment terhadap Presiden dan Wakil Presiden meskipun sudah ada rekomendasi dari Mahkamah Konstitusi (Pasal 7B ayat 7)

12. (Pasal 8 ayat 3) Pasal 8 ayat 3 UUD 1945 menegaskan bahwa “jika Presiden dan/atau Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksanaan tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden  …. “Ketentuan Pasal 8 ayat 3 ini tidak sesuai dengan paham kedaulatan rakyat yang dianut oleh UUD 1945, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 2 “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.

Page 8: Web viewKekuasaan eksekutif diluar pengawasan ... kekuasaan legislatif atau dapat pula dengan ‘mengorbankan’ kekuasaan legislatif dengan tujuan untuk membuka jalan

13. Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 ini seharusnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 ayat 1, demikian pula jika terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, penggantinya dikembalikan kepada rakyat untuk memilih siapa pengganti Presiden dan Wakil Presiden yang kosong itu, bukun diambil oper oleh MPR . Karenanya materi muatan Pasal 8 ayat 3 perlu disempurnakan dengan mencantumkan secara eksplisit “jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, … Selambat-lambatnya tiga bulan setelah itu diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.

14. Kewenangan Presiden dalam hal mengangkat duta dan konsul tidak lagi berupa prerogative Presiden semata, karena harus memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat 2 dan 3)

15. Dalam hal pembentukan, perubahan dan pembubaran kementrian Negara, kekuasaan presiden dibatasi, karena harus diatur dengan Undang-Undang (Pasal 17 ayat 4), dengan demikian DPR juga memegang kekuasaan.

16. Pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh. Pengaruh rakyat terhadap kebijaksanaan politik kurang mendapat perhatian.

17. Perdana menteri diangkat oleh presiden. Tahun 1959 – 1966 (Demokrasi Terpimpin) presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuasaan-kekuasaan yang menghalanginya sehingga nasib parpol ditentukan oleh presiden ( 10 parpol yang diakui). Tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat.

18. Terjadi perubahan system kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan usul BP-KNIP Tahun 1949-1950. Didasarkan pada konstitusi RIS. Pemerintahan yang diterapkan saat itu adalah system parlementer kabinet semu (Quasy Parlementary). System pemerintahan yang dianut pada masa konstitusi RIS bukan kabinet parlementer murni karena dalam system parlementer murni, parlementer mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintahan

19. Tahun 1950-1959 landasannya adalah UUD ’50 pengganti konstitusi RIS ’49. Sitem pemerintahan yang dianut adalah parlementer kabinet adalah demokrasi liberal yang masih bersifat semu.

20. Adanya kekaburan dan inkonsistensi teori dan materi muatan UUD 1945. Adanya Kekacauan struktur dan sistematisasi pasal-pasal UUD 1945. Adanya ketidaklengakapan konstitusi dan

Page 9: Web viewKekuasaan eksekutif diluar pengawasan ... kekuasaan legislatif atau dapat pula dengan ‘mengorbankan’ kekuasaan legislatif dengan tujuan untuk membuka jalan

pasal-pasal yng multi-interpretatif, yang menimbulkan instabilitas hokum dan politik.

21. UUD 1945 kurang menyediakan ketentuan yang mengatur kekuasaan untuk saling mengawasi dan mengendalikan antarcabang pemerintahan. Akibatnya, kekuasaan presiden yang besar makin menguat karena tidak cukup terdapat mekanisme pengendali dan penyeimbang.

22. Pasal 13 ayat (3) UUD 1945, yakni presiden menerima penempatan duta Negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Biasanya kewenangan menerima duta Negara lain adalah domain eksekutif atau presiden, maka ketentuan adanya pertimbangan DPR menunjukkan dominasi kekuasaan DPR yang telah memasuki domain presiden. Kemudian inkonsistensi dan kekaburan teori UUD 1945 yang berhubungan dengan system pemerintahan presidensial. Hal ini dapat dilihat dari :

23. Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang berisikan, “dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.” Pasal ini bersifat inkonsisten dan kabur, sebab dalam system pemerintahan presidensial segenap legislasi (pembuatan UU) merupakan wewenang badan legislative. Sehingga presiden tidak mengambil keputusan terhadap hasil akhir legislasi walaupun presiden berhak mengajukan suatu RUU kepada DPR dan DPD untuk sector hubungan pusat dan daerah. Oleh karena itu, presiden berhak menolak RUU atau hak Veto , dengan ketentuan bahwa bobot keputusan parlemen yang menentukan validitas dari RUU tersebut.

Kelemahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan yang bersifat mendasar dari UUD 1945 sebelum amandemen, maupun pasca amandemen itulah yang menyebabakan UUD 1945 tidak bisa berlaku sebagai konstitusi yang hidup, yang berlaku puluhan tahun ke depan. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah solusi untuk mencegah kelemahan-kelemahan ini kembali bermunculan di masa yang akan datang, karena tidak menutup kemungkinan amandemen UUD 1945 kembali akan dilakukan. Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah dengan membentuk Komisi Konstitusi dalam membuat draft konstitusi sebelum dibahas dalam rapat paripurna MPR.