uthman dan ali

32
UTHMA<N DAN ‘ALI: Akar Konflik Politik dan Teologi Makalah Dipresentasikan dalam diskusi kelas mata kuliah “Sejarah Peradaban Islam” Oleh: Ibnu Hajar Ansori NIM: FO.6.4.10.005 Dosen Pengampu: Prof. Achmad Djainuri, MA. PhD. PROGRAM STUDI HADITH 1 Edi si Rev isi

Upload: ibnu-hajar-ansori

Post on 01-Jul-2015

104 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: UTHMAN DAN ALI

UTHMA<N DAN ‘ALI:

Akar Konflik Politik dan Teologi

Makalah

Dipresentasikan dalam diskusi kelas mata kuliah

“Sejarah Peradaban Islam”

Oleh:

Ibnu Hajar Ansori

NIM: FO.6.4.10.005

Dosen Pengampu:

Prof. Achmad Djainuri, MA. PhD.

PROGRAM STUDI HADITH

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SUNAN AMPEL SURABAYA 2010/2011

1

EdisiRevisi

Page 2: UTHMAN DAN ALI

UTHMA<N DAN ‘Ali:

Akar Konflik Politik Dan Teologi

Oleh:

Ibnu Hajar Ansori

Nim: FO.6.4.10.005

Abstrak: Dari masa ke masa, politik selalu identik dengan konflik, hal itu dikarenakan ada keterkaitan antara politik dan kekuasaan yang selalu diperebutkan. Perebutan tersebut tidak jarang berakhir dengan peperangan dan saling membunuh Hal itulah yang melanda kaum muslimin pasca Rasu>lilla>h s{alla> Alla>h ‘alaihi wa sallam. Sepeninggal beliau, kaum muslimin harus mentukan nasib mereka sendiri dengan melakukan perundingan di Saqi>fah sebagai titik awal pemerintahan dengan model khila>fah terbentuk. Abu Bakar al-Shiddi>q terpilih sebagai Khali>fah. Hanya dua tahun memerintah, Abu Bakar meninggal dunia dan posisi khali>fah digantikan oleh Umar bin Khatta>b. Akan tetapi –setelah enam tahun menjabat– masa khila>fah Umar berakhir dengan pembunuhan terhadap dirinya pada saat s}alat s}ubuh. Umar tidak memilih seorangpun dari para sahabat untuk menggantikannya, tetapi dia memilih enam orang yang dipercaya untuk bermusyawarah menentukan khali>fah berikutnya. Enam orang tersebut adalah Abdurrahma>n bin ‘Auf, Uthma>n bin Affa>n, Ali bin Abi Tha>lib, Sa’ad bin Abi Waqqa>s, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwa>m. Kendati berjalan alot, proses pemilihan membuahkan hasil dengan terpilihnya Uthma>n sebagai khalifah. Enam tahun awal merupakan masa kejayaan khila>fah Uthma>n, namun enam tahun terakhir merupakan masa kehancurannya. Khali>fah Uthma>n terbunuh di kediamannya oleh para pemberontak. Kepemimpinan umat Islam beralih ke ‘Ali bin Abi Tha>lib dalam kondisi yang sudah sangat buruk. Selama masa khila>fahnya hampir tidak ada kondisi yang dapat dikatakan stabil. Berbagai pemberontakan berkecamuk dan berakhir dengan terbunuhnya ‘Ali pada tahun ke enam masa khila>fahnya. Konflik politik tersebut berkembang menjadi konflik teologi, karena masing-masing kelompok berusaha

2

Page 3: UTHMAN DAN ALI

melakukan pembenaran-pembenaran atas pendapatnya dengan bingkai dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Kata Kunci: Uthma>n, ‘Ali, Akar konflik, politik, teologi

1. PENDAHULUAN

Berawal dari peristiwa Saqi>fah bani Sa’idah1 pemerintahan

dengan model khila>fah terbentuk. Abu Bakar terpilih sebagai

Khali>fah Rasu>lilla>h (pengganti Rasu>lulla>h) yang dalam

perkembangannya disebut Khali>fah saja. Ketika Abu Bakar sakit dan

merasa ajalnya sudah dekat, beliau bermusyawarah dengan para

pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Al-Khatta>b

sebagai penggantinya yang disebut Khali>fah Khali>fah Rasu>lilla>h,

selanjutnya hanya disebut Khalifah juga.

Kondisi umat Islam pada masa Abu Bakar dan Umar cenderung

stabil. Berbeda halnya dengan kondisi umat Islam pada masa

Uthma>n dan ‘Ali. Sejak awal pemilihannya, khila>fah Uthman sudah

menumbuhkan benih-benih konflik. Hal itu karena tampak adanya

senioritas kesukuan yang menjadi penentu terpilihnya Uthma>n,

sehingga mengunggui ‘Ali.2 Selanjutnya, stabilisasi dapat dilakukan

oleh Uthma>n pada enam tahun pertama dia memimpin. Akan tetapi,

stabilitas semakin menurun pada enam tahun berikutnya disebabkan

kebijakan-kebijakan yang tidak sejalan dengan kehendak kaum

muslimin pada umumnya, sehingga berujung dengan terbunuhnya

khali>fah Uthma>n.

Sepeninggal Uthma>n, ‘Ali dibai’at sebagai khali>fah. Akan

tetapi, kondisi kaum muslimin sudah berada dalam Al-Fitnah Al-Kubra>

yang dilatarbelakangi oleh kepentingan-kepentingan kelompok yang

1 Saqifah adalah balairung tua di Madinah, tempat yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk berdiskusi dan menyelesaikan masalah-masalah genting mereka. Dalam peristiwa tersebut, kaum Muha>jiri>n dan Ans}ar berkumpul untuk bermusyawarah menentukan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin mereka pasca Rasulullah SAW.. Kendati berjalan alot –karena masing-masing pihak merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam-, namun, musyawarah tersebut menghasilkan kata sepakat untuk memilih Abu Bakar sebagai khalifah. Peristiwa Saqifah diceritakan secara rinci oleh Thabari dalam kitab Tarikh beliau, jilid 2 (Kairo: Al-Istiqlal, 1939) h. 455—460.2 Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010) h. 223

3

Page 4: UTHMAN DAN ALI

berebut khila>fah. Stabilitas Negara semakin tidak terkend’Ali dan

terjadi beberapa pemberontakan, dan berakhir dengan terbunuhnya

khalifah ‘Ali. Konflik tersebut menyebabkan umat Islam semakin

terpecah belah, fanatisme kesukuan semakin tampak jelas dan

Ukhwah Isla>miyyah kurang mendapat perhatian.

Dari konflik yang dilatarbelakangi oleh politik tersebut kemudian

berkembang menjadi konflik teologi yang menyebabkan umat Islam

terbagi dalam beberapa aliran. Melalui makalah ini, penulis akan

mendeskripsikan tentang Khila>fah Uthma>n dan ‘Ali sebagai titik

awal kemunculan konflik politik dan teologi.

2. KHILA<FAH UTHMA<<<<<<N BIN ‘AFFA<<<<<<N

2.1. PROSES PENGANGKATAN UTHMA<N SEBAGAI KHALI<FAH

Umar terbunuh3 pada waktu menjadi imam s}halat

s}ubuh. Beliau ditikam oleh seorang budak dari persia yang

diduga bernama Abu Lu’lu’ah. Umar tidak menempuh jalan yang

dilakukan oleh Abu Bakar. Beliau tidak mengangkat penggatinya

sebagai khali>fah, hal itu karena beliau bingung menentukan

siapa yang akan meneruskannya. Sebenarnya, beliau berharap

kawan-kawan lamanya masih hidup agar bias diangkat menjadi

khali>fah. Setidaknya ada lima kandidat yang direncanakan oleh

Umar untuk menjadi penerusnya.

Mereka adalah Mu’a>z} bin Jabal sebagai pilihan pertama;

Abu ‘Ubaidah Jarra>h sebagai pilihan kedua; dan kaum

Muha>jiri>n yang hadir di Saqi>fah sebagai pilihan ketiga;

pilihan keempat adalah Salim Maula> Huz}aifah yang bukan

orang Quraish dan yang kelima adalah Khalid bin Wali>d.4

Faktanya, semua kandidat khali>fah tersebut telah meninggal

dunia. Oleh karena itu, Umar tidak mengusulkan siapapun untuk

menggantikannya sebagai khali>fah.

3 S{ahi>h Muslam, Kitab Al-Fadha>il, 4337; Sunan Al-Tirmiz}I, Kitab Tafsir Al-Qura>n ‘an Rasu>lilla>h,3038; Musnad Ahmad, Kitab Musnad Al-‘Ashrah Al-Mubasshirina bi Al-Jannah, 4494 Rasul Ja’fariyan, The History of Ch’Alips terj. Ana Farida, Nailul Aksa & Khalid Sitaba, Sejarah Pemikiran Islam: Dari Abu Bakar sampai Usman (Jakarta: Al-Huda), 2010, h. 176

4

Page 5: UTHMAN DAN ALI

Ketika Hafsah binti Umar mendengar bahwa ayahnya tidak

memilih siapapun sebagai khali>fah, dia berkata kepada

ayahnya: “jika engkau memiliki seorang gembala yang merawat

dombamu dan jika dia meninggalkan kewajibannya, kau akan

menganggapnya sebagai orang yang tak berguna, maka

pertimbangkanlah bahwa penduduk akan menjadi lebih buruk”.

Kemudian Umar menjawab bahwa jika ia tidak mengangkat

siapapun sebagai khalifah, maka dia telah bertindak seperti Nabi

s}alla> Alla>h ‘alaihi wa sallam. Jika ia memilih seseorang untuk

menggantikannya, maka ia telah melakukan sesuatu seperti Abu

Bakar dan keduanya tampak baginya sebagai tradisi keagamaan

yang tidak salah. Umar menyatakan bahwa selama hidupnya, dia

telah memanggul beban yang tak ingin ia tanggung lagi setelah

kematiannnya.

Akan tatapi, Umar tetap tidak dapat meninggalkan

khila>fah begitu saja. Umar menyerahkan suksesi pemilihan

khalifah kepada enam tokoh yang kemudian disebut dewan

khila>fah,5 dewan syuro6 atau As}h}a>b al-Shura>7 yang

bertindak sebagai Dewan formatur8 khila>fah. Puteranya yang

bernama Abdullah masuk dalam tim, namun tidak boleh dipilih.

Menurut Umar, dari bani ‘Adi cukup Umar saja yang menjadi

khalifah. Enam orang tersebut adalah ‘Ali bin Abi> Tha>lib,

Uthma>n bin ‘Affa>n, Saad bin Abi Waqa>s, Abdurahma>n bin

‘Auf, Zubair bin ‘Awwa>m dan Thalha bin Ubaidilla>h”.

Sedangkan Abdulla>h bin Umar hanya berperan sebagai

konsultan dan tidak memiliki hak suara.9

Dari fakta tersebut, tampak jelas bahwa Umar tidak secara

langsung memilih khali>fah penggantinya. Hal itu karena ada

keraguan dalam dirinya tentang siapa yang akan

5 Istilah “Dewan Khila>fah” dirujuk dari The History of Ch’Alips terj. Ana Farida, Nailul Aksa dan Khalid Sitaba 6 Istilah “Dewan Syuro” dirujuk dari QS. ‘Ali Imran: 159 dan Asy-Syura: 387 Sjechul Hadi Permono menyebutnya dengan istilah “Ashab al-Shura>”8 K. Hitti menyebutnya dengan istilah “Dewan Formatur”9 Dedi Supriyadi, h. 87

5

Page 6: UTHMAN DAN ALI

menggantikannya sebagai khali>fah. Beliau hendak tidak

memikul tanggung jawab terhadap kesalahan-kesalahan yang

dilakukan orang-orang sepeninggal beliau. Takut keadaan kaum

muslimin berpecah belah. Akan tetapi, jika dibiarkan begitu saja,

beliau khawatir keadaan akan menjadi kacau, karena dalam

perang menghadapi tentara Persia dan Rumawi semua orang

Arab sudah ikut serta sehingga setiap kabilah mengaku dirinya –

seperti kaum Muha>jiri>n dan Ansha>r – berhak memilih

khali>fah dari golongan mereka. Oleh karena itu, beliau

mengambil jalan tengah, dengan memilih enam orang yang akan

bermusyawarah menentukan satu dari mereka yang menjadi

khali>fah.

Terkait dengan mekanisme pemilihan, Umar berkata

kepada Dewan Khila>fah: ”Jika yang setuju tiga orang dan yang

tidak setuju tiga orang, pilihlah Abdulla>h bin Umar menjadi

penengah. Dari pihak manapun dari kedua pihak itu yang

diputuskan pilihlah seorang dari mereka. Kalau mereka tidak

menyetujui keputusan Abdulla>h bin Umar, maka ikutlah k’Alian

bersama mereka yang didalamnya ada Abdurahma>n bin ‘Auf”.

Ada tiga mekanisme pemilihan yang ditetapkan oleh Umar.

Pertama, yang berhak menjadi khalifah adalah yang dipilih oleh

anggota Dewan Khila>fah dengan suar terbanyak. Kedua,

apabila suara terbagi secara berimbang (3:3), maka Abdulla>h

bin Umar yang berhak memutuskannya. Ketiga, apabila campur

tangan Abdulla>h bin Umar tidak diterima, maka calon yang

dipilih oleh Abdurrahma>n bin ‘Auf harus diangkat menjadi

khalifah. Jika masih ada yang menentangnya, maka hendaknya

dibunuh. 10

Musyawarah berjalan alot, faktor kabilah termasuk yang

melatarbelakangi kealotan tersebut. Zubair tidak bisa maju

sebagai khali>fah karena ada ‘Ali yang sama-sama dari bani

Hasyim. Saad bin Abi Waqa>s peluangnya tipis karena bersal

10 Dedi Supriyadi, h. 87

6

Page 7: UTHMAN DAN ALI

dari Bani Zahro, suatu kabilah yang tidak punya wibawa

dibanding lainnya. Thalhah sama dengan Umar dari Bani Adiy

sehingga tidak mungkin mencalonkan diri. Nominator terkuat

adalah Abdurrahma>n bin ‘Auf, Uthma>n dari bani Umayah dan

‘Ali dari Bani Hasyim. Namun Abdurahma>n mengundurkan diri

ia berkata ”saya mengundurkan diri dari pencalonan”. Maka

Uthma>n dengan cepat berkata ” saya setuju”. Saad dan Zubair

berkata ” kami setuju”.Karena Talhah tidak ada ditempat, maka

tinggal ‘Ali bin Abi Tha>lib yang harus memberi pendapatnya.

Tetapi ‘Ali tetap diam, tidak menyatakan setuju atau menolak.

Abdurahma>n kemudian bertanya ”Abu al-Hasan bangaimana

pendapat anda?”. ‘Ali menyatakan kesangsiannya atas tindakan

Abdurahma>n.” berjanjilah anda,”kata ‘Ali, ”bahwa anda akan

mendahulukan kebenaran, tidak meperturutkan hawa nafsu,

tidak mengutamakan kerabat dan tidak mengabaikan bimbingan

bagi umat.” dengan tanpa ragu Abdurrahma>n berkata:”

berjanjilah k’Alian bahwa k’Alian akan mendukung saya dalam

mengadakan perubahan dan menyetujui orang yang saya

pilihkan, saya berjanji kepada Allah tidak akan mengutamakan

kerabat dan tidak akan mengabaikan bimbingan kepada umat

muslimin.”

Pada akhirnya kata kunci berada pada Abdurrahman bin

‘Auf. Saat menemui ‘Ali ia bertanya ”seandainya anda tidak

termasuk orang yang dicalonkan, siapa yang anda pilih? ‘Ali

menjawab ” Uthma>n”, kemudian ia langsung menemui

Uthma>n dan menanyakan seandainya anda diluar enam calon

siapa yang anda pilih sebagai khali>fah? Uthma>n menjawab

”‘Ali”.

Sebelum itu ia telah berbicara dengan semua anggota majlis

syura dan dimintanya memberi kuasa kepada tiga orang

diantara mereka yang berhak memegang pimpinan. Maka Zubair

memberikan haknya kepada ‘Ali, Saad memberi kuasa kepada

Abdurahma>n dan hak Thalhah diberikan kepada Uthma>n.

7

Page 8: UTHMAN DAN ALI

Akan tetapi, karena Abdurahman sudah mengundurkan diri,

maka pencalonan itu dibatasinya pada ‘Ali dan Uthma>n. Hak

memilih salah seorang dari keduanya itu kini berada ditangan

Abdurahma>n bin ‘Auf.

Maka pada waktu s{ubuh ia mengumpulkan kaum

muslimi>n, sehingga masjid penuh sesak lalu ia berkata :”Wahai

sek’Alian manusia! Aku telah menanyakan keinginan k’Alian

namun aku tidak mendapati seorangpun yang condong kepada

salah seorang dari mereka berdua baik ‘Ali maupun Uthma>n.

Wahai ‘Ali kemarilah!”Maka bangkitlah ‘Ali dan berdiri dibawah

mimbar kemudian Abdurrahman memegang tangannya seraya

berkata, ”apakah engkau mau dibai’at untuk tetap setia

menjalankan Al-Quran, sunnah Nabinya SAW, dan apa yang telah

dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar?”‘Ali menjawab,” aku

jalankan sesuai dengan kemampuanku.”Lalu Abdurahman

melepaskan pegangannya dan memanggil Uthma>n, ”wahai

Uthma>n kemarilah!, maka Uthma>n bangkit dan tangannya

dipegang oleh Abdurahman lalu bertanya, ” apakah engkau mau

dibai’at untuk tetap setia menjalankan Al-Quran, sunnah Nabinya

SAW, dan apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar?”

Uthman menjawab, ”Ya!” Lantas Abdurahman

menengadakahkan kepalanya keatap masjid sambil memegang

tangan Uthma>n dan berkata, ”Ya Alla>h dengarkanlah dan

saksikanlah, Ya Alla>h sesunggunya Aku telah ‘Alihkan beban

yang ada dipundakku ke pundak Uthma>n”. Maka orang-

orangpun berdesak-desak untuk membai’at sehingga beliau

dikerumuni oleh orang-orang dibawah mimbar Abdurahma>n bin

‘Auf akhirnya menetapkan Uthma>n sebagai khali>fah.11

2.2. CORAK PEMERINTAHAN UTHMA<<N

11 http://ypiattauhiid.blogspot.com/2009/11/utsman-dan-’Ali-akar-konflik-politik-dan.html

8

Page 9: UTHMAN DAN ALI

Kehidupan yang mulai makmur di akhir masa

pemerintahan Umar sebagai hasil penaklukan Islam, menjadikan

masyarakat lebih cenderung untuk bersenang-senang pada

pemerintahan khalifah Uthma>n. Ditambah usia Uthma>n yang

sudah 70 tahun, dianggap secara fisik dan psikis telah menurun

untuk meikul tugas-tugas kenegaraan yang memerlukan

semangat yang tinggi dan tenaga yang kuat.

Dilatarbelakangi hal tersebut, dimungkinkan adanya

konfrontasi tersembunyi dari kelompok pendukung ‘Ali dari bani

Hashi>m dan tidak mustahil ada oknum-oknum di belakang

Uthma>n yang yang secara tidak langsung ikut mengubah sifat

pemerintahan Uthma>n menjadi pemerintahan kekeluargaan,

hal itu terlihat banyaknya posisi aparatur pemerintahan yang

diisi oleh keluarga Uthma>n dari bani Umayyah

Corak pemerintahan yang diterapkan oleh Uthma>n selain

berbeda dengan pemerintahan pada masa dua khalifah

pendahulunya, juga berperan sebagai pengantar corak

pemerintahan kerajaan (monarki) yang secara tegas diterapkan

oleh Mu’awiyah pasca itu.12 Hal itulah yang kemudian

menimbulkan adanya konflik yang berujung pada

pemberontakan terhadap khila>fah.

Pemerintahan Uthma>n berlangsung selama 12 tahun13,

24—36 H/644—656 M, merupakan masa Khila>fah Rasyidah

terlama: Umar menjabat khalifah selama 10 tahun (13—23

H./634—644 M.), Abu Bakar selama 2 tahun (11—13 H./632—634

M.) dan ‘Ali selama 5 tahun (36—41 H./656—661 M.). 14 Para

pencatat sejarah membagi masa pemerintahan Uthma>n

menjadi dua periode: enam tahun pertama merupakan masa

pemerintahan yang baik dan enam tahun terakhir merupakan

12 Sjechul Hadi Permono, Islam dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan (Surabaya: CV. Aulia, 2004) h. 129—130 13 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiah II (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) 2006, h. 3814 Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008) h. 88

9

Page 10: UTHMAN DAN ALI

masa pemerintahan yang buruk.15 Uthma>n wafat sebagai

syahid pada hari Jumat tanggal 17 Dzulhijah 35 H dalam usia 82

tahun ketika para pemberontak berhasil memasuki rumahnya

dan membunuh Utsman saat sedang membaca Al-Quran. Persis

seperti apa yang disampaikan Rasullullah Saw perihal kematian

Utsman yang syahid nantinya. Beliau dimakamkan di kuburan

Baqi di Madinah.16

2.3. KONFLIK POLITIK PADA MASA KHILA>FAH UTHMA<N

Berbicara tenang konflik –yang kemudian sering disebut Al-

Fitnah Al-Kubra> (Bencana Besar)- yang terjadi di kalangan para

sahabat sebenarnya hanya akan menimbulkan pandangan-

pandangan yang problematis di kalangan Sunni. Beberapa ulama

pun enggan mengungkapnya secara rinci, sebagaimana Rasul

Ja’farian17 mengutip perkataan Thabari bahwa ada bagian-bagian

fakta sejarah yang membuat Thabari ragu untuk

meriwayatkannya. Rasulullah SAW sendiri melarang kita mencela

para sahabat.18 Jika dimaknai lebih jauh, termasuk

mengungkapkan hal-hal yang dapat menyebabkan kita mencela

mereka.

Adapun beberapa faktor yang memicu konflik politik yang

berakhir dengan pemberontakan terhadap khila>fah Uthma>n,

Rasul Ja’fariyan19 membaginya dalam tiga kategori ditinjau dari

keberatan pemberontak terhadap kebijakan-kebijakan Uthma>n.

Pertama, keberatan yang berkaitan dengan isu-su yang

membuat khali>fah dituduh telah melakukan bid’ah agama.

Diantara prilaku Uthman yang dianggap bid’ah agama adalah

membakar Alquran, mengabaikan hukum kis}a>s} kepada

Ubaidilla>h bin Umar,20 dan melakukan shalat secara penuh di

15 Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra) 2009, h. 5516 Fatah Syukur, h. 5717 Rasul Ja’fariyan, h. 19918 S{ahih Bukhari 3470 dan S{ahih Muslim 254119 Rasul Ja’fariyan, h. 199—214 20 Ubaidilla>h bin Umar telah membunuh tiga orang: Hurmuzan dari Iran dan dua keluarga Abu Lu’lu’ah yang dituduh membunuh ayahnya, Umar.

10

Page 11: UTHMAN DAN ALI

Mina, tidak seperti yang dilakukan oleh Rasulullah s}alla>>

Alla>h ‘alaihi wa sallam.

Kedua, keberatan yang berkaitan dengan kebijakan politik

Uthma>n yang memercayakan posisi strategis dalam

pemerintahan kepada keluarga Bani Umayah. Banyak ulama

yang menyebutkan bahwa tindakan Uthma>n pada enam tahun

pertama dari masa khila>fahnya merupakan tindakan yang

benar. Akan tetapi pada paruh kedua tampaknya ia lebih

cenderung berusaha meningkatkan kekuatan politik dan

administrasi Bani Umayah. Dalam beberapa hal, keputusan

tersebut telah dipertimbangkan oleh Uthma>n. Akan tetapi,

penempatan dari orang-orang Bani Umayyah yang memiliki

problem ke-Islam-an maupun kemasyarakatan menjadi

permasalahan tersendiri dalam menjaga stabilitas khila>fahnya.

Misalnya, Hakam bin Muawiyah yang pernah diasingkan

oleh Rasulullah s}alla>> Alla>h ‘alaihi wa sallam., sehingga

dijuluki Thori>d al-Rasu>l.21 Akan tetapi, oleh Uthma>n

dipanggil kemb’Ali ke Madinah dan dipekerjakan untuk

mengumpulkan sedekah dari suku Khuza>’ah; Ha>rith bin

Hakam dipekerjakan di Pasar Madinah, Uthma>n juga

memberikan kepemimpinan Kufah kepada pamannya, W’Alid bin

‘Uqbah bin Abi> Mu’aith. W’Alid yang disebut pelaku kejahatan

oleh Alla>h dan Rasulullah s}alla>> Alla>h ‘alaihi wa sallam

menjanjikan neraka kepadanya, jelas seorang pendosa. Dia

pantas dihukum, karena peminum anggur menurut pernyataan

para saksi.

Masalah yang tidak kalah serius adalah penetapan daerah-

daera subur di Irak menjadi milik suku Quraish, sehingga terjadi

beberapa pemberontakan di Kufah. Selain itu terjadi pula

kekacauan di Bashrah yang semula dipimpin Abu> Mu>sa

Asy’ari. Uthma>n kemudian memberhentikan Abu> Mu>sa dan

21 Al-Ima>m Abu Al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim Al-Shahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal (Beirut: Dar Al-Fikr, 2005), hal.18.

11

Page 12: UTHMAN DAN ALI

menempatkan Abdulla>h bin Amir bin Kuraiz, sepupu khali>fah

yang masih berusia dua puluh lim atahun.

Kebijakan lain yang diambil oleh Uthma>>n yang

menyulut aksi keberatan dan pemberontakan adalah melepas

jabatan Amr bin <A<sh yang memerintah Mesir dan

menyerahkannya kepada Abdulla>h bin Sa’d bin Abi Sharh,

seorang yang pernah diasingkan oleh Rasulullah s}alla>> Alla>h

‘alaihi wa sallam. Pada masa yang sama, Uthma>n

menempatkan Muawiyah untuk memimpin Damaskus.22 Yang

terpenting adalah penempatan Marwan bin Hakam sebagai

sekretaris Uthma>n sek’Aligus penasehatnya. Dialah pada

dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Uthma>n

hanya menyandang gelar Khalifah.23

Ketiga, keberatan yang berkaitan dengan sikap borosnya

Uthma>n terhadap keluarga Bani Umayah. Keborosan ini begitu

besar; mula-mula diberikan kepada semua pemuka Quraisy,

kemudian hanya kepada Bani Umayah, akhirnya muncul

kelompok oposisi yang dipimpin oleh Thalhah dan Zubair.

Beberapa fakta yang menguatkan tuduhan sikap boros Khali>fah

Uthma>n diantaranya adalah menghadiahi Harith bin Hakam

(saudara Marwan) sebuah tanah yang dikatakan berasal dari

sedekah Nabi SAW. Juga, tanah Fadak, 24 yang menyebabkan

Fathimah Zahra as. berselisih dengan Abu Bakar dan telah

diambil sebagai milik umum, kemudian dihadihkan kepada

Marwan bin Hakam, menantu Khali>fah.25

Ketika beberapa keberatan terhadap Uthma>n secara

bertahap semakin intensif, beberapa lelaki berdiri di hadapan

Uthma>n di masjid dan mengajukan keberatan kepadanya.

Uthma>n terpaksa menggunakan kekerasan untuk

menenangkan mereka, dan perbuatan tersebut menyebabkan

22 Rasul Ja’fariyan, h. 203--20523 Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa (Bandung: CV. Rusyda, 1987) h. 8724 Al-Syahrastani, h. 1825 Rasul Ja’fariyan, h. 206--207

12

Page 13: UTHMAN DAN ALI

terpicunya bentrokan yang lebih parah di pihak mereka. Ketika

keberatan terhadap Uthma>n semakin tajam, beberapa

penduduk Kufah dan Mesir berangkat menuju Madinah atas

permintaan para sahabat, seiring dengan munculnya protes

terhadap para penguasa Bani Umayah di kota-kota tersebut.

Rombongan inidipimpin oleh Abdurrahma>n bin Udais Balawi

dengan Muhammad bin Abi Hudz}aifah. Ibnu Shubbah juga

menyampaikan surat yang ditulis oleh bangsa Mesir kepada

Uthma>n sebelum menuju ke Madinah. Mereka memberitahukan

tentang wajibnya mewujudkan perintah-perintah ketuhanan

yang berhubungan dengan ayat-ayat Al-Qura>n.

Pengajuan keberatan tersebut terus berlanjut sampai

terjadi pengepungan rumah Uthma>n selama empat puluh hari

dan pada hari Jumat terakhir di awal senja, tanggal 18 Dzulhijjah

35 H,26 bertepatan dengan 17 Juni 656, 27 Khalifah Uthma>n

dibunuh. Nama pembunuhnya tidak diketahui secara pasti. Pada

awalnya, para penentang Uthma>n tidak berpikir tentang

pembunuhannya. Mereka hanya hendak menurunkannya. Akan

tetapi, Uthma>n menolak untuk diturunkan dari kekuasaannya.

Hal itulah yang menyebabkan para pemberontak lepas kend’Ali

dan akhirnya Uthma>n terbunuh. Terbunuhnya Uthma>n inipun

telah disebutkan dalam hadi>th Rasu>lulla>h sebagaimana

ditulis oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dengan. 28

Sejak terbunuhnya Uthma>n bin Affa>n (tahun 35 H)

sampai sekarang, umat Islam tidak lagi memiliki pemimpin yang

diakui oleh semua pihak. Setiap kelompok mempunyai

pemimpinnya tersendiri dan tidak mengakui pemimpin dari

kelompok lain. Akhir masa khila>fah Uthma>n merupakan masa

krisis kewibawaan khali>fah. Hal itu terbukti banyaknya protes

dari sebagian besar kaum muslimi>n, termasuk beberapa tokoh

yang masuk dalam Dewan Syura seperti ‘Ali, Thalhah, Zubair,

26 Rasul Ja’fariyan, 26127 K. Hitti, h. 22028 Musnad Ahmad, Kitab Musnad Al-‘Ashrah Al-Mubasshiri>n bi Al-Jannah, 449

13

Page 14: UTHMAN DAN ALI

mereka sama lantang menjadi kelompok oposisi Uthma>n.

Bahkan Abdurrahma>n bin ‘‘Auf yang berperan penting dalam

pemilihan Uthma>n menyatakan bahwa Uthma>n telah

melanggar sumpah yang diucapkan pada waktu pemilihan.

3. KHILA<FAH ‘Ali BIN ABI>< THA<LIB

3.1. PROSES PENGANGKATAN ‘Ali SEBAGAI KHALI<FAH

Setelah Uthma>n wafat, ‘Ali diangkat sebagai khali>fah

keempat di Masjid Nabawi Madinah pada 24 Juni 656. Secara

otomatis, dunia Islam mengakui khila>fahnya. 29 Akan tetapi, ada

beberapa sahabat yang tidak mengakui kepemimpinan ‘Ali.

Setidaknya ada tiga kelompok sahabat yang menyatakan

penolakan terhadap khalifah ‘Ali.

Pertama, Abdulla>h bin Umar dan orang-orang yang

sepaham dengannya, tidak mau mengakui ‘Ali sebagai

khali>fah. Mereka meninggalkan kota Madinah sebagai

pernyataan sikap penolakan. Menurut W. Montgomery Watt,

sikap yang ditunjukkan oleh Abdulla>h bin Umar sangat

dimungkinkan memiliki motivasi keagamaan bukan politik.30

Pendapat tersebut lebih tepat, karena Abdulla>h bin Umar tidak

meiliki kepentingan untuk menjadi khali>fah dan hal itu

termasuk dari wasiat dari ayahnya, Umar bin Khatta>b bahwa

dari bani ‘Adi> cukup Umar saja yang menjadi khali>fah.

Kedua, kelompok Muawiyah yang diangkat sebagai

gubernur Syiria oleh Uthma>n, dia tetap mempertahankan

kekuasaannya dan tidak mau mamatuhi khali>fah ‘Ali. Ketika

‘Ali gagal menghukum orang-orang yang melakukan

pembunuhan Uhtma>n, maka Muawiyah mengklaim sebagai

w’Ali keluarganya yang berkewajiban menuntut balas atas

terbunuhnya Uthma>n.

29 Ibid, h. 22330 W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought, Terj. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999) h. 13

14

Page 15: UTHMAN DAN ALI

Ketiga, Umm Al-Mukmini>n Aisyah, janda Rasulullah SAW.

bersama dua orang Makkah yang kaya, Thalhah dan Zubair.

Kelompok ini mengklaim hendak menegakkan penerapan

hukuman terhadap orang-orang yang melakukan kesalahan

secara adil. Akan tetapi, tampaknya mereka tidak memiliki posisi

keagamaan yang jelas dan dimungkinkan lebih dipengaruhi oleh

kepentingan pribadi. Kelompok inilah yang melakukan

pemberontakan pertama terhadap khalifah ‘Ali secara terbuka di

dekat Basrah pada bulan Desember 656 dalam perang yang

disebut perang Jamal. 31

31 W. Montgomerey Watt, h. 13

15

Page 16: UTHMAN DAN ALI

3.2. CORAK PEMERINTAHAN ‘Ali

Dalam suasana keruh disebabkan pembunuhan khali>fah

Uthma>n, satu-satunya kandidat khali>fah yang dapat diterima

oleh Muhajiri>n dan Ansha>r adalah ‘Ali bin Abi> Tha>lib. ‘Ali

menerimanya dengan setengah hati melihat telah sedemikian

buruk kondisi masyarakat yang sangat banyak dari mereka

terlibat dalam pembunuhan khali>fah, karena hal itu hanya akan

menyebabkan dirinya terlibat dalam masalah pembunuhan

tersebut. Setelah ditekan oleh permintaan dari hampir seluruh

penjuru, akhirnya ‘Ali menerima bai’at khila>fah.

‘Ali hanya memerintah selama enam tahun. Selama masa

itu, ia menghadapi berbagai pergolakan dan tidak ada masa

sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan

stabil.32 Sejak awal khila>fahnya, ‘Ali telah mewarisi masalah

sangat besar yang tidak dihadapi oleh tiga pendahulunya,

sehingga khila>fah ‘Ali lebih cenderung hanya menyelesaikan

konflik antar-kaum muslimi>n dan tidak banyak melakukan

perluasan wilayah.

Langkah pertama yang dilakukan oleh khali>fah ‘Ali adalah

menarik kemb’Ali semua tanah yang telah dibagikan khalifah

Uthma>n kepada kaum kerabatnya kepada kepemilikan negara

dan mengganti semua gubernur yang tidak disenangi rakyat,

diantaranya Ibnu Amir, penguasa Bashrah diganti Uthman bin

Hani>f; Gubernur Mesir, Abdulla>h diganti Qays; Mu’a>wiyah

juga diminta untuk meletakkan jabatannya, tetapi ia menolak,

bahkan ia tidak mengakui khila>fah ‘Ali.33

Kebijakan-kebijakan tersebut tidak sepenuhnya berhasil

mengend’Alikan stabilitas khila>fah, hal itu disebabkan

buruknya kondisi masyarakat yang dilatarbelakangi

kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok. Bahkan jalan

damai yang ditawarkan oleh ‘Ali pada setiap pemberontakan

32 Badri Yatim, h. 3933 Syed Muhammadunnnasir dalam Dedi Sipriyadi, h. 96

16

Page 17: UTHMAN DAN ALI

yang terjadi selalu tidak membuahkan hasil dan berakhir dengan

peperangan.

3.3. KONFLIK POLITIK PADA MASA KHILA<FAH ‘Ali

Masalah politik merupakan puncak yang disebut dengan al-

Fitnah al-Kubra> di kalangan umat Islam. Umat Islam berpecah

kepada tiga kelompok: Pertama: kelompok ‘Ali, kedua: kelompok

Muawiyah, dan ketiga: kelompok moderat/netral yang tidak

memihak kepada salah satu dari dua kelompok tersebut.  Dua

kelompok pertama memiliki pengikut yang banyak, sedangkan

kelompok moderat kerana tidak ikut campur dalam masalah

politik maka jumlahnya tidak diketahui, tetapi kelompok ini

merupakan mayoritas umat, di antara para sahabat yang

bergabung di dalam kelompok moderat ini adalah: Abdulla>h bin

Umar (Ibn Umar), Sa’ad bin Ma>lik, Sa’ad bin Abi> Waqqa>s,

Muhammad bin Maslamah, Usa>mah bin Zaid, dan lain-lain.34

Kelompok pemberontak setelah membunuh Uthma>n

bergabung dengan ‘Ali, itulah sebabnya kelompok Aisyah dan

kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan menuntut agar ‘Ali

menegakkan hukum terhadap mereka. Tetapi ‘Ali tidak dapat

melaksanakan tuntutan itu. Hal ini menyebabkan krisis politik

yang berpanjangan.

Kematian Uthma>n menjadi titik tolak bagi perpecahan

umat Islam. Al-Baghdadi (wafat th. 429 H) dalam bukunya Al-

Farq bayna al-Fira>q mengatakan: Thumma ikhtalafu> ba’da

qatlihi> fi qo>tilihi wa kho>zilihi> ikhtila>fan ba>qiyan ila>

yawmina> had}a> . (Kemudian mereka (para shahabat)

berselisih setelah terbunuhnya (Usman) dalam masalah orang-

orang yang telah membunuhnya dan orang-orang yang

membiarkannya terbunuh, perselisihan yang kekal (berbekas)

sampai hari (zaman)kita ini).35

34 Al-Shahrastani, hal 136-137.35 Imam Abdul Qadir bin Tahir bin Muhammad Al-Baghdadi (1997), al-Farq Bayn Al-Firaq, Beirut: Dar al-Marifah, hal. 24.

17

Page 18: UTHMAN DAN ALI

Perang saudara pun mulai berkobar.  Perang pertama yang

terjadi adalah perang unta (perang jamal) pada 9 Desember 656,

yaitu perang antara ‘Ali dengan pasukan gabungan Thalhah,

Zubair dan Aisyah. Dalam peperangan ini yang tampak p’Aling

berkepentingan adalah Thalhah dan Zubair. Keduanya mewakili

kelompok Makkah. Keduanya juga memiliki pengikut di Hijaz dan

Irak yang tidak mau mengakui khila>fah ‘Ali. Sedangkan

kaitannya dengan keikutsertaan Aisyah dalam perang tersebut,

K Hitti menyatakan bahwa Aishah sangat membenci ‘Ali,

karena ‘Ali telah melukai kehormatannya. ‘Ali mencurigainya

telah berbuat mesum ketika tertinggal sendirian di belakang

barisan rombongan Rasu>lulla>h SAW.36 Terlepas dari masalah

pribadi yang melatarbelakangi ‘Aishah untuk memerangi ‘Ali

sebagaimana dinyatakan oleh K. Hitti tersebut, Al-Shahrastani

menyatakan bahwa keikutsertaan ‘Aishah dalam perah Jamal

tersebut bukan disebabkan ‘Aishah berkepentingan terhadap

kursi khila>fah. Akan tetapi, disebabkan hasutan Thalhah dan

Zubair kepadanya.37

Dalam peperangang tersebut, ‘Ali mengalahkan

musuhnya; Thalhah dan Zubair terbunuh dan dimakamkan

dengan penuh penghormatan; Aishah tertangkap dan

diperlakukan dengan sangat hati-hati untuk menjaga

kehormatannnya sebagai umm al-mukmini>n, kemudian dikirim

kemb’Ali ke Madinah.

Pertentangan antara kelompok Mua>wiyah dan ‘Ali

semakin meruncing dan membawa kepada terjadinya perang

Siffi>n. Setelah kelompok Muawiyah hampir kalah, mereka

mengajak untuk bertahkim (arbitrate) untuk menyelesaikan

konflik yang terjadi. Perundingan (tahkim) dilaksanakan di

Daumatul Jandal pada bulan Ramadhan tahun 37 H. Kelompok

Muawiyah diwakili oleh ‘Amr bin ‘A<sh (wafat th.43 H) dan

36 K. Hitti, h. 22437 Al-Shahrashtani, h. 20

18

Page 19: UTHMAN DAN ALI

kelompok ‘Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy'ari> (wafat th. 44 H).

Kedua  bertindak sebagai hakim dari kelompok masing-masing

Perundingan antara kedua belah pihak tidak berjalan

dengan jujur. Amr membuat tipuan terhadap Abu Musa dengan

mengatakan bahawa konflik yang terjadi adalah disebabkan oleh

dua orang, yaitu ‘Ali dan Mua>wiyah, maka untuk menciptakan

perdamaian, kedua orang itu harus dipecat dan kemudian

diserahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah baru.

Tipuan itu berhasil. Amr memberikan kesempatan pertama

kepada Abu Musa untuk naik mimbar; Abu Musa mengumumkan

pemecatan ‘Ali. Sesudah itu Amr naik mimbar pula, ia menerima

pemecatan ‘Ali dan kerana ‘Ali sudah dipecat khalifah tinggal

seorang lagi, yaitu Muawiyah. Amr menetapkan Muawiyah

sebagai khali>fah umat Islam seluruhnya. Hal itu menyebabkan

kelompok ‘Ali tidak puas hati.

Perundingan tersebut bukan saja tidak menyelesaikan

konflik, tetapi malah menimbulkan kelompok baru. Kelompok ‘Ali

terpecah menjadi dua; Pertama, yang tetap setia kepadanya,

selanjutnya disebut syiah; Kedua, yang memberontak, keluar

dari kelompok ‘Ali dan berb’Alik menjadi musuhnya, karena tidak

puas dengan keputusan ‘Ali untuk mengikuti perundingan

tersebut. Kelompok ini disebut Khawa>rij. Kelompok ini pada

mulanya memaksa ‘Ali untuk ikut bertahkim, tetapi setelah ‘Ali

menerima tahkim mereka menolaknya; Mereka memakai

semboyan La hukma illa lillah (Tidak ada hukum (keputusan)

melainkan bagi Allah semata).38

Kini kelompok yang bertikai dalam masalah politik menjadi

tiga; kelompok Mua>wiyah, kelompok ‘Ali dan kelompok

Khawa>rij. Kelompok terakhir ini mengkafirkan kelompok

Pertama dan Kedua, mereka menghalalkan darah orang Islam

yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka memerangi

kelompok Pertama dan Kedua, mereka mengirim utusan rahasia

38 Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, (Kairo: Da>r al-Fikr al-Arabi, 1996) hal. 58

19

Page 20: UTHMAN DAN ALI

untuk membunuh ‘Ali, Muawiyah dan Amru bin Ash. Muawiyah

dan Amr selamat dari pembunuhan, sedangkan ‘Ali terbunuh di

tangan Abdurrahma>n bin Muljam pada 21 Ramadhan 40 H

bertepatan dengan 25 Januari 661 M.39

Setelah fakta tersebut dian’Alisis, maka akan tampak jelas,

bahwa pemberontakan yang terjadi, baik dari kelompok

triumvirate40 maupun kelompok Mu’a>wiyah dilatarbelakangi

tuntutan –atau balas dendaة- atas terbunuhnya Khali>fah

Uthma>m bin ‘Affa>n,

4. POLITIK DAN TEOLOGI

Berbicara tentan politik, tidak akan terlepas dengan

kepemimpinan dan kekuasaan yang sering diperebutkan oleh manusia

dengan beragam strategi dan tipu muslihat yang sering berujung

konflik. Tidak sedikit peperangan yang terjadi disebabkan konflik

politik, termasuk yang terjadi pada masa sahabat Rasu>lulla>h

s}alla>> ‘Alihi wa sallam sepeninggal beliau.

Al-Syahrastani (wafat th. 548 H) dalam bukunya Al-Milal wa al-

Nihal menyatakan bahwa perselisihan terbesar di antara umat adalah

perselisihan mengenai ima>mah (kepemimpinan), kerana tidak pernah

pedang dihunus dalam Islam dengan alasan agama sebagaimana

(sesering) dihunus karena ima>mah pada setiap zaman).41

Masalah ima>mah adalah masalah politik, masalah menentukan

siapa yang akan memimpin umat. Walaupun sebenarnya perselisihan

mengenai ima>mah itu sudah bermula sejak Rasulullah s}alla>> ‘Alihi

wa sallam wafat, terutama antara golongan Muhajiri>n dan golongan

Ansha>r, namun perselisihan tersebut dapat diselesaikan dengan

damai, yaitu dengan mengangkat  Abu Bakar menjadi khali>fah.

Dengan ungkapan yang lebih spesifik, Abdul Hakim Balba’

menyatakan bahwa permasalahan khila>fah menjadi penyebab utama

39 S.H. M. Jefri, Origin and Early Development of Shi’a Islam, terj. Meth Kieraha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995) h. 13740 Istilah tersebuh digunakan oleh S. H. M. Jafri untuk menyebut kelompok dari tiga sekawan: Thalhah, Zubair dan ‘Aisyah41 Al-Shahrastani, hal.17.

20

Page 21: UTHMAN DAN ALI

perpecahan kaum muslimin pasca meninggalnya Rasu>lulla>h

s}alla>> ‘Alihi wa sallam.42

Konflik politik yang terjadi dikalangan umat Islam pada masa

khulafa> Al-Ra>shidi>n dan perjuangan politik untuk merebut

kekuasaan selalu dikemas dengan d’Alil-d’Alil agama sebagai payung

pelindung. Dari konflik politik tersebut kemudian berkembang menjadi

konflik teologi, dalam perkembangannya disebut dengan ilmu kalam

atau –menurut Sahilun A. Nasir43- disebut juga dengan ilmu tauhid.

Ketika Al-Ftnah Al Kubra> melanda umat Islam, yaitu setelah

terbunuhnya khalifah Uthman, ‘Ali bin Abi Tha>lib menduduki tampuk

kekhalifahan. Akan tetapi, Mu’a>wiyah, keluarga dekat dari Uthma>n

tidak mengakui khila>fah ‘Ali dan memusuhinya. Muawiyah menuduh

‘Ali terlibat dalam pembunuhan Uthma>n..

Peristiwa terbunuhnya Uthma>n menjadi titik yang jelas dari

permulaan berlarut-larutnya perselisihan, bahkan peperangan di

antara kaum muslimi>n.44 Terjadi perbedaan pendapat di kalangan

sahabat menyikapi pembunuhan Uthma>n: sebagian dari sahabat

berpendapat bahwa pembunuhan Uthma>n merupakan kejahatan

besar dan pembunuhnya adalah orang kafir, karena Uthma>n adalah

khalifah yang sah dan salah seorang dari prajurit Islam yang setia.

Seb’Aliknya, sebagian yang lain berpendapat bahwa Uthma>n adalah

salah bahkan kafir, karena kesalahannya selama menjadi khali>fah

merupakan penghianatan terhadap amanah, orang yang

membunuhnya berada di pihak yang benar.

Perbedaan pendapat tersebut kemudian berkembang pada

pembahasan yang bersifat umum seperti iman dan hakikatnya,

bertambah atau berkurang45, soal ima>mah, apakah dipilih atau

ditetapkan berdasarkan nash.46 Pembahasan tentang dosa tersebut

berlanjut pada pembahasan pada sumber prilaku: apakah dari manusia

42 Abdul Hakim Balba’, Adab Al-Mu’tazilah ila> Niha>yati Al-Qarn Al-Ra>bi’ Al-Hijriy (Kairo: Mathba’ah Al-Risa>lah,1969) h. 12

43 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) (Jakarta:Rajaw’Ali Pers, 2010) h. 144 Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1974) h. 945 Ibid, h. 1046 Al-Shahrastani, h. 20

21

Page 22: UTHMAN DAN ALI

sendiri atau dari Tuhan. Dari perbedaan tersebut lahirlah faham

Fat’Alisme dan Freewill atau yang dikenal dengan istilah ilmu kalam,

dengan aliran Jabbriyah yang mengatakan bahwa semua perbuatan

manusia itu bersumber dari Tuhan dan Qadariyah yang mengatakan

bahwa manusia adalah yang bertanggungjawab sepenuhnya atas

psegala perbuatannya, karena sumber perbuatan tersebut adalah

manusia sendiri. Kemudian muncul juga golongan-golongan lain,

seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Masing-masing aliran mencari

dukungan dari teks-teks al-Qur’an, hadits-hadits dan fatwa-fatwa

daripada ulama terdahulu.47

Adapun paham teologi yang muncul pada khila>fah ‘Ali bermula

dari terjadinya tahkim yang berakhir dengan kekalahan politik ‘Ali dari

Mu’a>wiyah. Kekalahan tersebut menimbulkan kekecewaan sebagian

dari kelompok ‘Ali. Mereka keluar dari barisan ‘Ali dan membentuk

sebuah kelompok eksklusif yang disebut kaum Khawa>rij (plural dari

Khariji): kaum Khawarij terdiri dari suku-suku pengemnbara dari

semenanjung Arabia dan perbatasan-perbatasan Irak. Karena sifat

badui dan eksklusif itu mereka menjadi tidak toleran dan melakukan

perubahan politik dan agama melalui cara-cara kekerasan. Mereka

adalah ‘pemberontak’ atau ‘aktivis revolusi’. Akan tetapi, dib’Alik

fanatisme dan sikap keras yang ditunjukkan, mereka adalah orang-

orang yang ekstrim saleh dan taat dalam beragama.

Kaum Khawarij berpendapat bahwa keputusan politik yang

diambil dalam perundingan itu tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur’an.

Semboyan mereka “La hukma illa lillah” (tidak ada hukum kecu’Ali

hukum Alla>h). Fakta sejarah menunjukkan bahwa kaum Khawarij

adalah golongan pertama yang mengangkat prinsip itu. Prinsipnya

adalah bahwa teks al-Qur’an menyediakan pemecahan bagi setiap

problematika dan jawaban bagi setiap pertanyaan.

Kaum Khawarij berpendapat, bahwa pelaku dosa besar tidak bisa

disebut Muslim, tapi sudah menajdi kafir. Oleh karena itu, mereka

melancarkan jihad (perang suci) untuk membunuh pemerintah yang

47 Ahmad Hanafi, h. 10

22

Page 23: UTHMAN DAN ALI

berkuasa dan masyarakat pada umumnya, atas nama ide’Alisme yang

mereka gabungkan dengan fanatisme yang tidak mengenal kompromi.

Khawarij mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sependapat dan

sepaham dengan mereka, sampai akhirnya mereka berhasil

membunuh ‘Ali bin Abi Tha>lib.

Dalam suasana ramainya perdebatan tentang pendosa besar

apakah mereka kafir dan ‘penghuni neraka,’ muncul sekte baru yang

disebut kaum Murji’ah. Kaum ini pada masa khila>fah Uthma>n dan

‘Ali mewakili pandangan yang moderat dalam menghadapi kelompok-

kelompok keras yang mendukung dan menentang Uthma>n atau ‘Ali.

Kelompok Murji’ah berpendapat bahwa iman dalam hati saja cukup

bagi seseorang untuk bisa disebut Muslim, dan bahwa perbuatan

(amal) berbeda dengan iman. Perbuatan dosa besar tidak merusak

atau mengurangi iman seseorang.

Menurut mereka, orang-orang yang terlibat dosa besar apakah

akan menjadi ‘penghuni surga,’ ataukah ‘penghuni neraka’ tidak dapat

dijawab oleh manusia, tetapi harus diserahkan pada ketentuan dan

kemurahan Tuhan pada Hari Akhir. Karena itu kelompok ini, disebut

kaum Murji’ah berarti orang-orang yang ‘menangguhkan’

penghakiman atas seseorang sampai Hari Akhir nanti, dan

menyerukan agar masyarakat tidak melakukan penghakiman atas

seseorang pelaku dosa besar yang nasibnya akan diputuskan Allah

nanti di hari kiamat.

Kelompok yang tidak mau ikut campur dan memihak dalam

pertengkaran politik antara ‘Ali dan lawan-lawannya disebut dengan

kaum Mu’tazilah, mereka mengambil sikap netral dan memfokuskan

diri pada perjuangan moral dan intelektual. Di Irak mereka memulai

pengembangan kalam dengan pendekatan spekulasi filosofis48. Karena

sebelum Islam daerah ini merupakan kantong filsafat Hellenisme

Rumawi dan aliran keagamaan lainnya.

5. PENUTUP

48 Ibid, h. 11

23

Page 24: UTHMAN DAN ALI

Dari uraian di atas penulis dapat mengambil simpulan bahwa

sepeninggal Rasu>lilla>h s}alla>> Alla>h ‘alaihi wa sallam kondisi

umat Islam terus mengalami degradasi kewibawaan. Hal itu

disebabkan belum tampak nyata pada masa khila>fah Abu Bakar dan

Umar. Akan tetapi tampak nyata pada masa khila>fah Uthman dan ‘Ali

disebabkan kepentingan-kepentingan kesukuan yang bersaing dalam

politik khila>fah.

Permasalahan politik tersebut kemudian menyebabkan

perselisihan pendapat seputar ilmu kalam atau teologi yang kemudian

memunculkan berbagai aliran, sehingga dapat dinyatakan bahwa

masa khila>fah Uthma>n dan ‘Ali merupakan awal timbulnya konflik

politik dan teologi di kalangan kaum muslimi>n.

24

Page 25: UTHMAN DAN ALI

BIBLIOGRAFI

Amin, Ahmad Islam dari Masa ke Masa. Bandung: CV. Rusyda, 1987

Al-Baghda>di, Imam Abdul Qadir bin Tahir bin Muhammad. al-Farq Bayn Al-Firaq, Beirut: Dar al-Marifah, 1997

Al-Shahrastani, Al-Ima>m Abu Al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim. Al-Milal Wa Al-Nihal. Beirut: Dar Al-Fikr, 2005

al-Thabari, Abu Ja`far Muhammad ibn Jarir. Tarikh al-Thabari:Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jilid 2. Kairo: Al-Istiqlal, 1939

Balba’, Abdul Haki>m. Adab Al-Mu’tazilah ila> Niha>yati Al-Qarn Al-Ra>bi’ Al-Hijriy. Kairo: Mathba’ah Al-Risa>lah, 1969

Hanafi, Ahmad. Theologi Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1974

http://ypiattauhiid.blogspot.com/2009/11/utsman-dan-’Ali-akar-konflik-politik-dan.html

Ja’fariyan, Rasul.The History of Ch’Alips . terj. Ana Farida, Nailul Aksa & Khalid Sitaba, Sejarah Pemikiran Islam: Dari Abu Bakar sampai Usman. Jakarta: Al-Huda, 2010

Jefri, S. H. M. Origin and Early Development of Shi’a Islam, terj. Meth Kieraha, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995

K. Hitti, Philip. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010

Muslam, S{ahi>h Muslim. Bairut: Da>r Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1994

Nasir, Sahilun A.Pemikiran Kalam (Teologi Islam). Jakarta:Rajaw’Ali Pers, 2010

Permono,Sjechul Hadi. Islam dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan . Surabaya: CV. Aulia, 2004

Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam . Bandung: Pustaka Setia, 2008

Syukur, Fatah. Sejarah Peradaban Islam . Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009

Watt, W. Montgomery. The Formative Period of Islamic Thought, Terj. Studi Islam Klasik: Wacana Kritik Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999

25

Page 26: UTHMAN DAN ALI

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiah II . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006

Zahrah, Al-Imam Muhammad Abu, Ta>ri>kh al-Maz}a>hib al-

Isla>miyyah, Kairo: Da>r al-Fikr al-Arabi, tt.

----------, Mausu>ah Al-Hadi>th Al-Shari>f

26