uqubat denda emas murni dalam qanun jinayat

14
Uqubat Denda Emas Murni dalam Qanun Jinayat Kanun Jurnal Ilmu Hukum Firdaus Amanda, Syahrizal Abbas Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 501-514. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 23111. ISSN: 0854-5499 e-ISSN: 2527-8482. Open access: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT PURE GOLD UQUBAT IN JINAYAT QANUN Firdaus Amanda Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jalan Putroe Phang No. 1 Darussalam, Banda Aceh 23111 E-mail: [email protected]; Telp.: (0651) 7552295 Syahrizal Abbas Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Jalan Krueng Kale No. 1 Darussalam, Banda Aceh 23111 Diterima: 01/08/2018; Revisi: 12/09/2018; Disetujui: 13/09/2018 DOI: https://doi.org/10.24815/kanun.v21i3.11483 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa qanun jinayat menggunakan emas murni sebagai standar dalam jarimah maisir dan uqubat denda terhadap pelaku jinayat. Selain itu, apa menjadi dasar filosofis, yuridis, dan sosiologis bagi penentuan standar uqubat denda terhadap pelaku jinayat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa uqubat emas murni yang terdapat dalam Qanun Jinayat tidak terlepas dari sejarah masyarakat Aceh yang kental dengan nilai keislaman, sehingga uqubat emas murni yang dikenal dalam Islam diambil juga dalam qanun. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi penetapan uqubat emas murni yang terdapat dalam qanun Aceh, yaitu faktor filosofis, yuridis, dan sosiologis. Kata Kunci: uqubat denda; pelaku jinayat; emas murni. ABSTRACT This study aims to find out why the qanun Jinayat uses pure gold as the standard in jarimah maisir and uqubat (fines) against perpetrators of jinayat. Moreover, what is philosophical, juriditical, and sociological basis for determining the uqubat standard for fines for jinayat perpetrators. The research method used is descriptive-qualitative method. The results showed that pure gold uqubat contained in jinayat qanun is inseparable from the history of the Achenese which is thick with islamic values, so the pure gold uqubat is also taken from qanun. There are three factors that influece the establishment of pure gold uqubat stipulate in Aceh qanun, namely philosophical, juridical, and sociological factors. Key Words: uqubat; jinayat perpetrators; pure golds.

Upload: others

Post on 02-Dec-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT

Uqubat Denda Emas Murni dalam Qanun Jinayat Kanun Jurnal Ilmu Hukum Firdaus Amanda, Syahrizal Abbas Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 501-514.

Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 23111. ISSN: 0854-5499 │e-ISSN: 2527-8482. Open access: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun

UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT

PURE GOLD UQUBAT IN JINAYAT QANUN

Firdaus Amanda

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Jalan Putroe Phang No. 1 Darussalam, Banda Aceh 23111

E-mail: [email protected]; Telp.: (0651) 7552295

Syahrizal Abbas

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Jalan Krueng Kale No. 1 Darussalam, Banda Aceh 23111

Diterima: 01/08/2018; Revisi: 12/09/2018; Disetujui: 13/09/2018

DOI: https://doi.org/10.24815/kanun.v21i3.11483

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa qanun jinayat menggunakan emas murni

sebagai standar dalam jarimah maisir dan uqubat denda terhadap pelaku jinayat. Selain itu, apa

menjadi dasar filosofis, yuridis, dan sosiologis bagi penentuan standar uqubat denda terhadap

pelaku jinayat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif-kualitatif. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa uqubat emas murni yang terdapat dalam Qanun Jinayat tidak

terlepas dari sejarah masyarakat Aceh yang kental dengan nilai keislaman, sehingga uqubat

emas murni yang dikenal dalam Islam diambil juga dalam qanun. Terdapat tiga faktor yang

mempengaruhi penetapan uqubat emas murni yang terdapat dalam qanun Aceh, yaitu faktor

filosofis, yuridis, dan sosiologis.

Kata Kunci: uqubat denda; pelaku jinayat; emas murni.

ABSTRACT

This study aims to find out why the qanun Jinayat uses pure gold as the standard in

jarimah maisir and uqubat (fines) against perpetrators of jinayat. Moreover, what is

philosophical, juriditical, and sociological basis for determining the uqubat standard

for fines for jinayat perpetrators. The research method used is descriptive-qualitative

method. The results showed that pure gold uqubat contained in jinayat qanun is

inseparable from the history of the Achenese which is thick with islamic values, so the

pure gold uqubat is also taken from qanun. There are three factors that influece the

establishment of pure gold uqubat stipulate in Aceh qanun, namely philosophical,

juridical, and sociological factors.

Key Words: uqubat; jinayat perpetrators; pure golds.

Page 2: UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Uqubat Denda Emas Murni dalam Qanun Jinayat Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 501-514. Firdaus Amanda, Syahrizal Abbas

514

PENDAHULUAN

Aceh merupakan salah satu bagian dari Bangsa Indonesia dan diakui sebagai daerah yang

diberikan otonomi khusus. Pasal 18 B ayat (1) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa: “negara

mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa yang diatur

dengan undang-undang.” Pelaksanaan syariat Islam di Aceh sebenarnya telah diatur dalam Undang-

Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa

Aceh, kemudian Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Abbas, 2015).

Sehingga dengan kedua undang-undang tersebut, Aceh berwenang untuk mengurus daerahnya dan

menjalankan syariat Islam (Tripa, 2012).

Aceh yang telah diberikan otonomi khusus dalam mengatur dan membangun daerahnya telah

mengatur sejumlah hal dalam Qanun Jinayat. Qanun ini mengatur sejumlah kejahatan atau jinayat

dan memberikan sanksi kepada pelakunya. Sanksi yang diberikan ragam jenisnya, mulai dari

hukuman cambuk sampai dengan hukuman denda, termasuk denda yang berbentuk emas murni.

Pasal 18 Qanun Jinayat terkait jarimah maisir dengan nilai taruhan dua gram, denda paling

banyak 120 gram emas murni. Pasal 19 mengatur jarimah maisir dengan nilai taruhan dua gram

emas murni, denda paling banyak 300 gram emas. Pasal 20 mereka yang memfasilitas jarimah

maisir, denda 450 gram emas. Pasal 21 jarimah maisir yang mengikutsertakan anak-anak dicaman

denda 450 gram emas murni. Pasal 22, percobaan jarimah maisir, diancam setengah dari uqubat

yang diancamkan.

Pasal-pasal di atas dan masih banyak pasal lainnya dengan tegas menyebutkan bahwa yang

namanya judi (jarimah maisir) merupakan suatu taruhan atau mendapatkan keuntungan dengan

maksimal batas dua gram emas murni. Sedangkan mengenai hukumannya juga selalu menyatakan

adanya denda berbentuk emas murni jika si terpidana menghendaki denda sebagai hukumannya.

Alasan-alasan terkait emas murni sebagai jenis hukum dalam qanun jinayat di Aceh,

dikarenakan harga emas yang tidak terpengaruh dari nilai mata uang yang selalu naik turun. Begitu

Page 3: UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT

Uqubat Denda Emas Murni dalam Qanun Jinayat Kanun Jurnal Ilmu Hukum Firdaus Amanda, Syahrizal Abbas Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 501-514.

515

juga halnya apabila dilihat dari tradisi masyarakat Aceh yang selalu menjadikan emas sebagai

patokan harta, misalnya saja mengenai mahar di Aceh, mereka selalu menjadikan emas sebagai

bentuk maharnya.

Permasalahan yang menjadi topik dalam penelitian ini adalah terkait emas murni yang

dijadikan patokan hukuman denda dalam Qanun Jinayat tersebut. Hal ini disebabkan apabila

ditinjau dari segi hukum positif yang berlaku di Indonesia yaitu KUHP tidak mengenal adanya

unsur emas murni sebagai patokan hukuman dendanya. Oleh karena itu, pengkajian tentang

hukuman denda emas murni yang ada di Aceh tersebut perlu dilakukan, sehingga akan ditemukan

alasan-alasan kenapa hal itu bisa dilaksanakan, baik karena alasan filosofis, yuridis, maupun

sosiologis.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (Moleong, 2005). Sumber data yang

digunakan adalah sumber data sekunder dengan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Dalam

menganalisa data, digunakan teknik kualitatif. Penulis berusaha untuk mengkualifikasikan bahan-

bahan yang telah diperoleh dan dikumpulkan dari perpustakaan, kemudian dianalisa dan dibuat

perbandingan, sehingga menemukan serta menjelaskan jawaban yang menjadi pertanyaan dari

penelitian.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1) Analisis Qanun Jinayat yang Menggunakan Emas Murni sebagai Standar Uqubat

Masyarakat Aceh terkenal dengan kentalnya agama Islam. Segala tingkah laku masyarakat

harus disesuaikan dengan unsur-unsur syariat Islam. Agama Islam lebih menonjol dalam segala

bentuk dan manifestasinya di dalam masyarakat, walaupun pengaruh adat juga tidak hilang sama

sekali (Koentjaraningrat, 2002). Keberadaan adat sendiri dipengaruhi karena adat lahir dari

Page 4: UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Uqubat Denda Emas Murni dalam Qanun Jinayat Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 501-514. Firdaus Amanda, Syahrizal Abbas

516

renungan para ulama, kemudian dipraktikkan, dikembangkan, dan dilestarikan (Mardani, 2009).

Masyarakat Aceh selalu ingin mengatur daerahya sendiri berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam

hukum Islam. Baik dari aspek pemerintahan, ekonomi, politik dan lain-lainnya (Royadi, 2006).

Keinginan di atas, akhirnya bisa direspons oleh pemerintah pusat, hal ini ditandai dengan

adanya amanat dan perintah tiga undang-undang tentang pelaksanaan syarat Islam di Aceh, yaitu:

Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah

Istimewa Aceh dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Setelah kehadiran Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, dalam rangka menindaklanjuti

pelaksanaan syariat Islam, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus NAD (Mardani, 2009). Undang-undang ini memperkenalkan qanun sebagai wadah untuk

syariat Islam yang akan dijalankan sebagai hukum positif di Aceh. Undang-undang ini juga

memperkenalkan peradilan syariat Islam di Aceh, yang akan dilakukan oleh Mahkamah Syar`iyah,

sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dengan dibantu oleh Kepolisian dan Kejaksaan.

Kemudian disahkan qanun yang menjadi landasan operasional syari‟at Islam di Aceh, yaitu Qanun

Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari‟at Islam bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.

Ketentuan khusus pelaksanaan syari‟at Islam di wilayah Aceh seperi qanun dan Mahkamah

Syar‟iyah kedudukannya dikuatkan lagi melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Syar‟iyah dan Mahkamah Syar‟iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

yaitu lembaga peradilan sebagai pengganti institusi Peradilan Agama, yang bebas dari pihak mana

pun yang berlaku untuk pemeluk agama Islam di seluruh wilayah Aceh. Walaupun undang-undang

tersebut akhirnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh.

Sejak awal ditulis dan disahkan qanun tersebut, telah direncanakan bahwa qanun-qanun

tersebut akan direvisi dan disempurnakan setelah dilaksanakan secara nyata di lapangan. Menurut

rencana, setelah disahkan pada tahun 2003 yang diikuti dengan sosialisasi, maka qanun tersebut

Page 5: UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT

Uqubat Denda Emas Murni dalam Qanun Jinayat Kanun Jurnal Ilmu Hukum Firdaus Amanda, Syahrizal Abbas Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 501-514.

517

dilaksanakan tahun 2004. Revisi dan penyempurnaan atas tiga qanun tersebut baru dapat terlaksana

pada tahun 2009. Tetapi karena ada perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif maka

rancangan tersebut tidak jadi disahkan, walaupun sudah disetujui oleh fraksi-fraksi yang ada di

DPRA dalam Sidang Paripurna mereka. Kemudian pada tahun 2014, revisi dan penyempurnaan

tersebut dapat disahkan.

Pada tanggal 23 Oktober 2014 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengesahkan Qanun Nomor

6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Qanun Hukum Jinayat merupakan penyempurnaan atas tiga

qanun di bidang jinayat yang berlaku sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan hukum sebagai

pengatur keamanan dan ketertiban bagi masyarakat Aceh berlandasan syariat Islam. Berlakunya

Qanun Jinayat secara otomatis mencabut Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 12 Tahun

2003 tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir, dan No. 14 Tahun 2003 tentang

Khalwat.

Secara spesifik jarimah atau perbuatan yang dilarang di dalam qanun ini terdiri dari 10 tindak

pidana, sebagaimana dijelaskan lebih detail di dalam Pasal 1 Qanun Hukum Jinayat, yaitu: khamar,

maysir, khalwat, ikhtilat, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadhaf, liwat, dan musaḥaqah.

Upaya pencegahan, perbaikan dan pendidikan melalui penjatuhan ‘uqubat dalam bentuk ‘‘uqubat

hudud dan ta’zir. ‘uqubat hudud sebagaimana dimaksud adalah berbentuk cambuk. Dalam Qanun

ini, ‘uqubat ta`zir dibagi menjadi dua: (1) ‘uqubat ta`zir utama yang berupa: (a) cambuk, (b) denda,

(c) penjara, dan (d) restitusi. (2) ‘uqubat ta`zir tambahan yang berupa: (a) Pembinaan oleh negara,

(b) restitusi oleh orang tua/wali, (c) pengembalian kepada orang tua/wali, (d) pemutusan

perkawinan, (e) pencabutan izin dan pencabutan hak, (f) perampasan barang-barang tertentu, dan

(g) kerja sosial.

Dikaitkan dengan ‘uqubat denda emas murni sebagai standar hukuman bagi pelaku jinayat

sebagaimana yang terdapat dalam berbagai pasal dalam qanun tersebut, sangatlah sesuai dengan

Page 6: UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Uqubat Denda Emas Murni dalam Qanun Jinayat Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 501-514. Firdaus Amanda, Syahrizal Abbas

518

daerah Aceh sendiri. Pada dasarnya „uqubah dalam Qanun Hukum Jinayat yang harus ditaati dan

dilaksanakan oleh masyarakat Aceh beragama Islam yang melakukan jarimah.

Mengenai hukuman denda berbentuk emas murni yang terdapat dalam qanun jinayat Aceh, di

dalam buku-buku fiqih ditemui banyak hadis yang menyatakan bahwa pada masa Nabi diyat berat

yaitu 100 (seratus) ekor unta dewasa dianggap sama dengan harga 1000 (seribu) dinar emas, kurang

lebih sama dengan 4200 (empat ribu dua ratus) gram emas pada masa sekarang. Berdasarkan

pendapat ini hukuman mati dapat disamakan dengan denda sebesar 4000 (empat ribu) gram emas

dibulatkan. Dengan demikian setengah hukuman mati, yaitu hukuman cambuk seratus kali dapat

disamakan dengan denda sebesar 2000 (dua ribu) gram emas. Berdasarkan uraian di atas maka satu

kali hukuman cambuk pada dasarnya dianggap sama dengan penjara satu bulan atau denda sebesar

20 (dua puluh) gram emas. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa pengambilan hukuman denda

berupa emas murni tidak terlepas dari sejarah kehidupan masyarakat Aceh yang terlalu kental

dengan agama Islam.

Walaupun demikian, tidak secara serta merta hukuman denda yang ada dalam Islam diambil

secara penuh oleh hukum jinayat di Aceh. Hal ini dipertimbangkan dengan kondisi ekonomi

masyarakat di Aceh, penetapan denda dengan menggunakan emas dalam jumlah yang relatif besar

terasa sangat memberatkan. Oleh karena itu, besaran hukuman denda diturunkan jumlahnya hingga

50 % dari ketentuan asal. Dengan demikian ditetapkan kesetaraan baru 1 (satu) kali cambuk setara

dengan 1 (satu) bulan penjara, dan setara pula dengan denda 10 (sepuluh) gram emas. Emas dipilih

untuk menentukan besaran hukuman denda, di samping karena lebih sesuai dengan hadist

Rasulullah, juga karena dianggap lebih stabil, sehingga tidak akan terjadi kesenjangan antara

hukuman denda dengan hukuman lainnya karena adanya inflasi setelah waktu berjalan beberapa

lama.

Untuk memudahkan, Ketua Mahkamah Syar‟iyah Aceh diberi kewenangan untuk menetapkan

kesetaraan harga emas dengan uang rupiah secara berkala. Penetapan ini akan diubah dan

Page 7: UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT

Uqubat Denda Emas Murni dalam Qanun Jinayat Kanun Jurnal Ilmu Hukum Firdaus Amanda, Syahrizal Abbas Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 501-514.

519

disesuaikan setiap ada perbedaan dengan harga pasar. Ketua Mahkamah Syar‟iyah wajib melakukan

penyesuaian apabila harga dalam penetapan telah berbeda lebih dari sepuluh persen dengan harga di

pasaran, baik lebih mahal ataupun lebih murah.

Penetapan hukuman denda berupa emas murni yang terdapat dalam qanun jinayat di Aceh

tidak terlepas dari eksistensi hukum Islam sendiri. Karena dalam hukum Islam denda berupa emas

sangatlah dikenal dan masih eksis sampai saat sekarang ini, hal ini bisa dimaklumi karena emas

merupakan alat tukar yang sudah mendunia dan juga harganya yang selalu stabil, tidak seperti alat

tukar lainnya yang kadangkala selalu berubah setiap saat. Kemudian kedekatan budaya masyarakat

Aceh yang terkenal dengan keislamannya, yang menjadikan emas murni sebagai sesuatu yang

sangat kental dalam kehidupan mereka, bukan hanya dijadikan sebagai hukuman dalam pidana

tetapi juga dalam hubungan perdata seperti perkawinan juga dipakai.

2) Analisis Standar Uqubat Denda terhadap Pelaku Jinayat

Pembuatan qanun jinayat di Aceh secara filosofisnya dapat dilihat dalam naskah akademik

dan Rancangan Qanun Jinayah yang dipersiapkan oleh para ahli, metode yang digunakan untuk

keduanya berasal dari perspektif ushul fiqh atau filsafat hukum Islam, ushul fiqh dijadikan sebagai

pegangan dan prinsip utama (Abbas, 2015). Metode pembuatan qanun ini sendiri melibatkan empat

pokok (prinsip) yang menjadi acuan utamanya, yaitu:

a. Ketentuan-ketentuan yang akan dilaksanakan harus tetap bersumber dan berpedoman

kepada Al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah, dan beberapa praktik sahabat. Dalam hal sumber

hukum yang digunakan dalam qanun ini jelas disebutkan bahwa Al-Qur‟an dan hadis masih

tetap menjadi pedoman utama dalam menentukan substansi qanun ini, baik itu dari segi jenis

kejahatan yang dimasukkan ataupun dari segi pembuktiannya.

Page 8: UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Uqubat Denda Emas Murni dalam Qanun Jinayat Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 501-514. Firdaus Amanda, Syahrizal Abbas

520

b. Penafsiran atau pemahaman atas Al-Qur‟an dan hadis tersebut akan dihubungkan dengan

keadaan dan kebutuhan lokal (adat) masyarakat Aceh pada khususnya atau dunia Melayu

Indonesia pada umumnya, serta dengan tata aturan yang berlaku dalam kerangka NKRI.

c. Penafsiran dan pemahaman tersebut akan diupayakan untuk selalu berorientasi ke masa

depan, guna memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang sedang membangun di awal

abad ke lima belas hijriah atau abad ke dua puluh satu masehi, serta mampu menyahuti

“semangat” zaman modern seperti tercermin dalam isu perlindungan HAM dan kesetaraan

gender, serta mempertimbangkan kemajuan ilmu dan teknologi terutama sekali ilmu hukum,

yang perkembangannya relatif sangat cepat dan pesat.

d. Guna melengkapi tiga prinsip di atas, dipedoman prinsip yang terkandung dalam sebuah

kaidah fikih kulliah yang dikenal luas; al-muhafazhah „ala al-qadim ash-shalih wa alakhdzu

bi al-jadid al-ashlah (tetap memakai ketentuan-ketentuan lama (mazhab) yang masih baik

(relevan) serta berusaha mencari dan merumuskan ketentuan baru yang lebih baik dan lebih

unggul) (Abubakar, 2008).

Pada dasarnya penentuan‘uqubat dalam qanun Aceh tersebut hanya mengambil sebagian

hukuman yang ada dalam Al-Qur‟an dan hadis. Bahkan dari beberapa jenis‘uqubat yang ada dalam

ketentuan syariat, seperti; ‘uqubat mati (qishash),‘uqubat potong tangan,‘uqubat penjara (kurungan

dalam rumah, diasingkan),‘uqubat cambuk dan‘uqubat diyat (semacam ganti rugi yang dibayarkan

pelaku kepada korban penganiayaan atau keluarga korban pembunuhan) dan‘uqubat denda, Qanun

Jinayat hanya mengadopsi hukuman hudud dan ta‟zir, sedangkan qishas-diyat tidak diatur, karena

kejahatan pembunuhan dan penganiayaan belum diatur dalam Qanun Jinayat.

Terkait kesetaraan ‘uqubat, sebagaimana yang terdapat dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan

Syi‟ar Islam, ditetapkan bahwa satu kali cambuk sama dengan dua bulan penjara, sama dengan

denda Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) alasan dan pertimbangan yang dipakai pada waktu itu

Page 9: UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT

Uqubat Denda Emas Murni dalam Qanun Jinayat Kanun Jurnal Ilmu Hukum Firdaus Amanda, Syahrizal Abbas Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 501-514.

521

adalah menyamakan seratus kali cambuk sebagai ‘uqubat cambuk tertinggi yang ada dalam nash

(Al-Qur‟an) dengan penjara dua ratus bulan (16 tahun delapan bulan) sebagai hukuman penjara

tertinggi dalam KUHP, dan denda Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) taksiran harga untuk 100

ekor anak lembu,‘uqubat diyat untuk pembunuhan tidak sengaja.

Setelah itu mulailah muncul perbaikan-perbaikan, dengan cara dilakukan pengkajian

berdasarkan bahan bacaan dan masukan dari berbagai pihak, serta kejadian-kejadian yang terjadi di

lapangan, maka dilakukan beberapa perbaikan dengan pertimbangan sebagai berikut:

“Hukuman mati atau diyat yang membayar 100 (seratus) ekor unta dewasa (sebagai ‘uqubat

untuk pembunuhan sengaja) dianggap sebagai ‘uqubat tertinggi, tepatnya ‘uqubat denda

tertinggi. ‘Uqubat ini disamakan dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara

tertinggi yang ada dalam KUHP yaitu 15 (lima belas) tahun (untuk memudahkan dibulatkan

menjadi 200 (dua ratus) bulan). Adapun hukuman lain yang ditentukan oleh nash yaitu

cambuk seratus kali (untuk perbuatan zina) dan potong satu tangan (untuk pencurian) harus

dianggap sebagai hukuman yang lebih rendah dari itu. ‘Uqubat cambuk 100 (seratus) kali

dianggap sama dengan separuh hukuman mati, dengan alasan hukuman tertinggi dalam

masalah perlindungan kehormatan dan kejahatan seksual adalah hukuman untuk para

pemerkosa yang beratnya direncanakan dua kali hukuman untuk orang-orang berzina. Dengan

demikian hukuman cambuk seratus kali dianggap sama dengan penjara 100 (seratus) bulan

dan harga 50 (lima puluh) ekor unta.”

“Sedang mengenai „uqubat denda dan restitusi, di dalam buku-buku fiqih ditemui hadis yang

menyatakan bahwa pada masa nabi diyat berat yaitu 100 (seratus) ekor unta dewasa dianggap

sama dengan harga 1000 (seribu) dinar emas, lebih kurang sama dengan 4200 (empat ribu dua

ratus) gram emas pada masa sekarang. Berdasarkan pendapat ini „uqubat mati dapat

disamakan dengan denda sebesar 4000 (empat ribu) gram emas dibulatkan. Dengan demikian

setengah hukuman mati, yaitu hukuman cambuk seratus kali dapat disamakan dengan denda

sebesar 2000 (dua ribu) gram emas. Berdasarkan uraian di atas maka satu kali hukuman

cambuk pada dasarnya dianggap sama dengan penjara satu bulan atau denda sebesar 20 (dua

puluh) gram emas”.

Namun demikian dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat di Aceh,

penetapan denda dengan menggunakan emas dalam jumlah yang relatif besar terasa sangat

memberatkan. Oleh karena itu, besaran „uqubat denda diturunkan jumlahnya hingga 50 %

(lima puluh persen) dari ketentuan asal. Dengan demikian ditetapkan kesetaraan baru 1 (satu)

kali cambuk setara dengan 1 (satu) bulan penjara, dan setara pula dengan denda 10 (sepuluh)

gram emas.

„Uqubat denda berupa emas murni yang sekarang berlaku dalam Qanun Jinayat Aceh

merupakan hasil perombakan dari „uqubat denda sebelumnya, karena banyak substansi dalam

qanun ini telah diubah pasca ditolak oleh pihak eksekutif pemerintahan Aceh, karena dianggap akan

Page 10: UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Uqubat Denda Emas Murni dalam Qanun Jinayat Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 501-514. Firdaus Amanda, Syahrizal Abbas

522

tidak sesuai. Dalam penyusunan qanun di Aceh, hal-hal yang telah dijelaskan di atas menjadi

pertimbangan terhadap substansi yang ada dalam qanun yang dirumuskan oleh para ahli,

kewenangan penyusunan secara formal oleh undang-undang diserahkan kepada pemerintah Aceh

dan DPRA, sedang secara substansial penulisan rancangannya dipersiapkan oleh para ulama dan

juga para sarjana. Bahkan pembahasannya juga didampingi oleh para ulama, para sarjana dan para

praktisi.

Analisis secara yuridis. Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia

memiliki Keistimewaan dan Otonomi khusus, salah satunya kewenangannya adalah untuk

melaksanakan Syariat Islam, dengan menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan dan kepastian

hukum berdasarkan amanah Pasal 125 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh, hukum Jinayat (hukum Pidana) merupakan bagian dari Syari‟at Islam yang

dilaksanakan di Aceh. Jika melihat Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah,

maka banyak sekali ditemukan jenis hukuman berbentuk denda berupa emas murni sebagaimana

yang telah dibahas sebelumnya.

Awal mulanya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah, dasar yuridisnya

peraturan ini, timbul dari amanah Undang-Undang Pemerintah Aceh tepatnya pada Pasal 125, jadi

Pemerintah Aceh harus melaksanakannya. Pembuatana qanun sendiri pada dasarnya adalaha terkait

dengan adanya kekhawatiran terhadap masyarakat Aceh yang sudah mulai melenceng dari norma

agama yang memang sangat kental sebelummnya, sehingga perlu dibuat sebuah peraturan agar

masyarakat aman dan tentram dalam menjalankan kehidupannya. Jika tertangkap petugas dan

terbukti melanggar batas-batas yang telah ditentukan, maka hukuman yang terdapat dalam qanun

tersebut akan dilaksanakan, dan hal ini sudah menjadi hukum yang berlaku khusus di Aceh.

Pemberlakuan jenis hukuman tersebut, pada dasarnya adalah pergantian dari jenis hukuman

sebelumnya. Di mana dalam qanun sebelumnya, jenis denda yang ditetapkan adalah nilai mata

uang, dan mengingat kondisi dan pengaruh zaman nilai mata uang tersebut semakin lama semakin

Page 11: UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT

Uqubat Denda Emas Murni dalam Qanun Jinayat Kanun Jurnal Ilmu Hukum Firdaus Amanda, Syahrizal Abbas Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 501-514.

523

kurang memadai sebagai fungsi hukuman, sebab sudah tidak relefan lagi dengan kondisi

masyarakat dewasa ini. Hukuman denda berupa emas murni di atas secara yuridis telah memiliki

kekuatan hukum tetap. Sebab, suatu peraturan perundang-undangan dapat memenuhi kualifikasi

yuridis apabila memenuhi unsur: (a) mempunyai kekuatan hukum sah; (b) mempunyai kekuatan

hukum berlaku; dan (c) mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Mengingat qanun tersebut telah lama disahkan dan telah diuji sesuai dengan peraturan yang

ada, maka jenis hukuman yang terdapat di dalamnya pun akan inklud mempunyai kekuatan hukum

yang tetap. Karena suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai kekuatan hukum

sah apabila peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk oleh lembaga/ institusi/badan yang

berwenang. Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai kekuatan hukum berlaku

apabila peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan di atasnya. Suatu perundang-undangan dikatakan mempunyai kekuatan

hukum mengikat apabila peraturan perundang-undangan tersebut diundangkan/diumumkan. Suatu

peraturan perundang-undangan yang memenuhi kualifikasi yuridis akan berdampak kepada adanya

ketertiban hukum, kepastian hukum, dan perlindungan hukum, sehingga hukum berfungsi sebagai

alat pembaharuan masyarakat (Machmudin, 2003).

Terkait pembahasan sosiologi hukum, maka erat kaitannya antara hukum dengan struktur

sosial di mana hukum itu berlaku, bahwa dalam mempelajari hukum dan masyarakat penempatan

hukum tidak sebagai seperangkat aturan yang logis dan konsisten saja melainkan kita menempatkan

itu dalam konteks. Perspektif yang digunakan adalah konsep hukum yang normatif kekonsep

hukum dalam perspektif sosiologis konteks (Suteki, 2013). Terkait dengan pengertian sosiologi,

hubungan timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (Sorokin, 1992).

Berbicara hukuman yang terdapat dalam qanun tersebut, khususnya mengenai hukuman denda

emas murni, peneliti yang juga merupakan warga Aceh memang sepakat mengenai jenis hukuman

tersebut. Karena ada akarnya dalam tradisi Islam, serta sesuai dengan budaya masyarakat Aceh

Page 12: UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Uqubat Denda Emas Murni dalam Qanun Jinayat Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 501-514. Firdaus Amanda, Syahrizal Abbas

524

yang kental dengan jenis harta emas. Di samping hukuman denda emas ini memiliki nilai tradisi, ia

juga mengandung nilai religius. Kita juga bisa melihat, banyaknya kelemahan- kelemahan dari

hukuman denda berupa uang yang selama ini berlaku dalam hukum positif nasional kita dan bahkan

pada qanun sebelumnya. Mulai dari tidak pernah stabilnya nilai mata uang, sehingga lama kelamaan

nilai mata uang yang telah ditetapkan sebagai hukuman denda, bukan lagi sebagai hukuman

mengingat nilainya yang sangat rendah, bahkan kadangkalanya menjadi cemoohan semata.

Tradisi Aceh yang sangat kental dengan jenis harta emas juga sangat cocok dengan hukuman

denda emas murni tersebut, hal ini mengingat budaya Aceh yang selalu memuliakan emas sebagai

simbol harta. Kita lihat saja misalnya dalam dunia pernikahan, di Aceh mahar yang dijadikan dalam

pernikahan selalu digunakan emas. Karena emas sangatlah mempunyai nilai yang sakral dan identik

juga dengan keislamannya, bahkan mahalnya nilai emas yang berada dalam budaya Aceh, sangat

menunjang sepak terjang dari hukuman denda berupa emas murni yang terdapat dalam qanun

tersebut sangat menakutkan bagi para pelaku jinayat ke depannya. Sebab dengan mendengar emas

sebagai denda, terkesan sangat mahal dan susah untuk menebusnya. Berbeda dengan uang, di mana

dalam benak masyarakat dewasa ini, uang jutaan rupiah saja tidak terlalu berguna lagi, akibat

rendahnya nilai mata uang tersebut. Walaupun pada dasarnya nilai mata uang tersebut dahulu pada

masa pembentukan KUHP sangat bernilai besar.

SIMPULAN

Uqubat emas murni dalam qanun jinayat Aceh tidak terlepas dari aspek historis masyarakat

Aceh. Di mana masyarakat Aceh yang sangat kental dengan nilai keislamannya menginginkan

seluruh kehidupannya di atur secara Islami. Agama Islam sendiri sangat mengenal adanya hukuman

denda berupa emas murni, sehingga masyarakat Aceh membudayakan nilai emas dalam kehidupan

mereka. Penetapan ‘uqubat denda berupa emas murni merupakan hasil ijtihad dari ulama yang

Page 13: UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT

Uqubat Denda Emas Murni dalam Qanun Jinayat Kanun Jurnal Ilmu Hukum Firdaus Amanda, Syahrizal Abbas Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 501-514.

525

diambil dari nahs, sehingga dengan demikian penetapan denda tersebut selain ada unsur tradisi juga

mempunyai unsur secara islami.

Secara filosofis pengambilan hukum dari ‘uqubat emas murni merupakan hasil rombakan dari

hukuman denda dalam qanun sebelumnya, dan pengambilan hukumannya merupakan hasil ijtihad

dan penggalian dari prinsip pidana yang terdapat dalam Al-Quran dan sunnah serta sejarah

penerapan hukum pidana dalam Islam. Secara yuridis awal mulanya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun

2014 tentang Hukum Jinayah, timbul dari amanah Undang-undang Pemerintah Aceh tepatnya pada

Pasal 125, jadi Pemerintah Aceh harus melaksanakannya. Pembuatana qanun sendiri pada dasarnya

adalaha terkait dengan adanya kekhawatiran terhadap masyarakat Aceh yang sudah mulai

melenceng dari norma agama yang memang sangat kental sebelummnya, sehingga perlu dibuat

sebuah peraturan agar masyarakat aman dan tentram dalam menjalankan kehidupannya. Sedangkan

secara sosiologis, ‘uqubat emas murni sangatlah sejalan dengan tradisi masyarakat Aceh, sebab

dalam kehidupan masyarakat Aceh emas murni seringkali dipergunakan, misalnya dalam mahar

pernikahan. Sehingga dengan memakai emas sebagai jenis hukuman denda, bisa menyatukan antara

hukum dan kebiasaan hidup masyarakat Aceh.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, S. (2015). Maqashid al-Syariah dalam Hukum Jinayat di Aceh. Banda Aceh: Dinas Syariat

Islam Aceh.

Abubakar, A. (2008). Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Paradigma,

Kebijakan, dan Kegiatan). Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh.

Koentjaraningrat. (2002). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Machmudin, D. D. (2003). Pengantar Ilmu Hukum (Sebuah Sketsa). Bandung: PT. Refika Aditama.

Mardani. (2009). Bunga Rampai Hukum Aktual. Bogor: Ghalia Indonesia.

Moleong, L. J. (2005). Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Page 14: UQUBAT DENDA EMAS MURNI DALAM QANUN JINAYAT

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Uqubat Denda Emas Murni dalam Qanun Jinayat Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 501-514. Firdaus Amanda, Syahrizal Abbas

526

Yahya, N. (2014). Legislasi Hukum Positif (Fikih) Aceh: Tinjauan Pergumulan Qanun Hukum

Jinayah. Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, 14 (2).

Rosyadi, A. R. (2006). Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia. Bogor:

Ghalia Indonesia.

Sorokin, P. (1992). Contemporary Sociology Theories. New York: Harper and Row.

Suteki. (2013). Desain Hukum di Ruang Sosial. Yogyakarta: Thafa Media.

Tripa, S. (2012). Otoritas Gampong dalam Implementasi Syariat Islam di Aceh. Media Syari’ah, 14

(1).