uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana
TRANSCRIPT
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH DETASEMEN KHUSUS 88 DALAM
PEMBERANTASAN TERORISME
DISAMPAIKAN DALAM RANGKA MEMENUHI UJIAN AKHIR SEMESTER
DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
DOSEN PENGAMPU : RINA S. SHAHRULLAH, SH.,MCL.,Ph.D.
OLEH
T. SUZAN FRIANA (1252041)
PROGRAM MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS INTERNASIONAL BATAM
TAHUN 2012
0
A. LATAR BELAKANG
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. 1
Dewasa ini begitu banyak pelanggaran HAM yang terjadi. Tidak hanya di
Indonesia namun di berbagai belahan dunia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja
maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. 2
Salah satu bentuk pelanggaran HAM di Indonesia adalah pelanggaran HAM yang
dilakukan dalam pemberantasan terorisme. Berdasarkan hasil kerja tim yang dibentuk
KOMNASHAM pada September 2010 telah menyelesaikan penyelidikan tahap
pertama pada November 2010. Dimana dalam laporan yang disampaikan pada sidang
Paripurna Komnas HAM pada 22 Desember 2010 menyebutkan ditemukan fakta indikasi
pelanggaran HAM dalam penanganan terorisme. Indikasi pelanggaran HAM ditemukan
dari penyelidikan di empat wilayah, yaitu Sumatra Utara, Jabodetabek, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur. Pelanggarannya mencakup penganiayaan, perampasan hak, salah tangkap,
perusakan harta benda, hingga penghilangan nyawa. Anehnya pimpinan Polri dan
Densus 88 selalu menutupi indikasi pelanggaran HAM tersebut dengan tameng
1 Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
2 Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
1
penegakan hukum. Terbitnya peraturan Kapolri 8/2009 tentang Implementasi
Prinsip dan Standar HAM dalam tugas Polri, menurutnya, mengecewakan.3
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan
membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan
perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan
yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga
sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para
pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti
peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa
serangan-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki
justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan
yang kejam.
Berdasarkan hasil Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun
menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New
York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001. Dan terorisme dikenal di
Indonesia sejak terjadinya peristiwa bom Bali.
Berbagai usaha yang dilakukan bahkan setelah terjadi Bom Bali 1 pemerintahan
RI membentuk suatu ketentuan undang-undang yang dinamakan “Undang-undang
Republik Indonesia Nomor.15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti undang-undang nomor. 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme menjadi undang-undang”.
Kemudian Pemerintahan RI membentuk suatu kesatuan khusus yang dinamakan
Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik
3 Komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming, dalam pernyataan persnya, [Koran-Digital] Indikasi Pelanggaran HAM di Densus 88, Jumat, 28 Januari 2011
2
Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini
dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa
anggota juga merupakan anggota tim Gegana.
Hingga pada puncaknya pasukan khusus ini dapat menghentikan sepak terjang
salah satu gembong teroris yang paling diburu yakni Gembong teroris Noordin M Top
yang tewas dalam penggerebekan Densus 88 di Solo, Jawa Tengah, 17 September lalu,
ternyata semua itu bukan akhir dari pada sepak terjang para teroris yang ada di Indonesia
namun akan tetapi telah mengembangkan jaringan sel-sel baru terorisme.
Namun akhir-akhir ini upaya pembrantaran terorisme yang bersifat refresif
banyak meresahkan warga. Penangkapan berdasarkan azas kecurigaan semata
menyebabkan banyak korban salah tangkap, atau pengepungan yang salah sasaran
sehingga menyebabkan keresahan bagi masyarakat. Alih-alih ingin memberantas
terorisme tapi tindakan yang dilakukan justru membuat terror baru bagi masyarakat dan
justru melanggar hak asasi.
Dari uraian tersebut penulis tertarik membuat suatu makalah yang mengkaji
apakah terdapat unsur-unsur pelanggaran HAM yang dilakukan dalam upaya
pemberantasan terorisme di Indonesia dengan judul “Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Oleh Detasemen Khusus 88 Dalam Pemberantasan Terorisme di Indonesia.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan dikaji
dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah terdapat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Densus 88 dalam
pemberantasan terorisme ?
2. Apakah POLRI telah melaksanakan peraturan KAPOLRI Nomor 8 tahun 2009
tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dan Peraturan Kapolri Nomor 23
Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana dalam
memberantas terorisme ?
3
C. TINJAUAN PUSTAKA
1. PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Hak Asasi (fundamental rights) artinya hak yang bersifat mendasar (grounded).
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang bersifat mendasar dan inheren dengan
jati diri manusia secara universaloleh karena itu menelaah HAM, menurut Todung Mulya
Lubis sesungguhnya adalah menelaah totalitas kehidupan; sejauh mana kehidupan kita
member tempat yang wajar kepada kemanusiaan.4
Adapun ruang lingkup HAM meliputi :
a. Hak pribadi: hak-hak persamaan hidup, kebebasan, keamanan, dan lain-lain;
b. Hak milik pribadi dan kelompok sosial tempat seseorang berada;
c. Kebebasan sipil dan politik untuk dapat ikut serta dalam pemerintahan; serta
d. Hak-hak berkenaan dengan masalah ekonomi dan sosial.
Hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga
keselamatan eksistensi umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama
antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer),dan
negara.
Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik
kesimpulan tentang beberapa hakikat hak asasi manusia, yaitu :
a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia
secara otomatis.
4 Majda El-Muhtaj, M. Hum, Hak Asasi Manusia dalam konstitusi Indonesia (Jakarta : Kencana Prenada Media Group : 2007) hlm. 47
4
b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis,
pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.
c. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau
melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara
membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.
Negara-negara dibawah naungan PBB yang dipimpin oleh Elenor Roosevelt
secara resmi membuat deklarasi tentang HAM yang disebut “ Universal Decralation of
Human Rights”. Universal Decralation of Human Rights menyatakan bahwa setiap orang
mempunyai:
1. Hak untuk hidup
2. Hak Kemerdekaan dan keamanan badan
3. Hak untuk diakui kepribadiannya menurut hukum
4. Hak untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana
5. Hak untuk masuk dan keluar wilayah suatu Negara
6. Hak untuk mendapat hak milik atas benda
7. Hak untuk bebas mengutarakan pikiran dan perasaan
8. Hak untuk bebas memeluk agama
9. Hak untuk mendapat pekerjaan
10. Hak untuk berdagang
11. Hak untuk mendapatkan pendidikan
12. Hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan masyarakat
13. Hak untuk menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan.
2. DASAR HUKUM PENEGAKAN HAM DI INDONESIA
Indonesia adalah yang melaksanakan demokrasi dan menjunjung tinggi Hak
asasi manusia. Hal tersebut diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.
5
Dalam bab III undang-undang 39/1999 dinyatakan bahwa hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia terdiri dari :
1. Hak hidup
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3. Hak mengembangkan diri
4. Hak memperoleh keadilan
5. Hak atas kebebasan pribadi
6. Hak atas rasa aman
7. Hak atas kesejahteraan
8. Hak turut serta dalam pemerintahan
9. Hak wanita; dan
10. Hak anak.
Indonesia juga telah meratifikasi berbagai konvensi internasional terkait HAM.
Adapun yang relevan dengan makalah ini adalah Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan, atau merendahkan martabat Manusia atau Toture Convention. Telah
diratifikasi dengan UU No. 5 tahun 1998.
3. PERLINDUNGAN HAM DALAM PEMBERANTASAN TERORISME
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan
membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan
perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu
pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali
merupakan warga sipil.5
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para
pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak
menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung
makna bahwa serangan-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan
5 Definisi ini diambil dari situs http ://id.wikepedia.org./wiki/terorisme pada kategori terorisme
6
tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak
mendapatkan pembalasan yang kejam.6
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfud MD mengatakan,
terorisme merupakan musuh dari kemanusiaan. Karena itu, terorisme harus diperangi.
Selain itu, kata Mahfud, terorisme juga bertentangan dengan prinsip dasar pendirian
sebuah sebuah negara.7 Menurut beliau, ada empat hal yang menjadi ancaman besar
bagi keutuhan sebuah negara, antara lain: terorisme, korupsi, narkoba, dan kejahatan
terhadap negara seperti makar dan sparatisme. “Empat hal tersebut merupakan
merupakan bahaya besar bagi negara itu. Dan itu harus diperangi dan diancam
hukuman berat,” demikian Ketua MK ini menjelaskan.8
Untuk memberantas terorisme Indonesia membuat payung hukum yaitu Pasca
Bom Bali I 2002, pemerintah Indonesia serius merespon aksi terorisme yang terjadi di
Tanah Air. 18 Oktober 2002, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Penganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tantang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali 12 Oktober 2002.
Penerbitan ketentuan ini didasarkan pandangan bahwa payung hukum yang ada
tidak memadai dan gagal mengatasi problem-problem serupa yang pernah terjadi
sebelumnya. Tragedi Bom Bali merupakan aksi terorisme terburuk dalam sejarah
bangsa Indonesia, dan tidak mungkin diatasi dengan payung hukum yang ada.
Kemudian pada proses selanjutnya, Perpu No. 1 Tahun 2002 ditetapkan
menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002 ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 16
6 Ibid
7 Mahfud MD: Terorime Musuh Kemanusiaan, Harus Diperangi 20 November 2012 dalam lazuardi biru.orf
8 ibid
7
Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan
Tindakan Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali 12 Oktober 2002
Dari tinjauan sejarah itu menunjukkan, bahwa tindakan pemerintah dalam
mengambil kebijakan untuk memerangi terorisme lebih bersifat reaksioner dan
represif. Sehingga wacana untuk merevisi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kembali santer disuarakan.
Pada tahun 2006 sebagai wujud perang melawan teroris pemerintah RI
meratifikasi konvensi internasional pemberantasan pendanaan terorisme melalui
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang pengesahan internasional Convention
for the Supression of the Financing Terrorism, 1999 ( Konvensi Internasional
Pemberantasan pendanaan Terorisme).9
Tindakan represif adalah segala usaha dan tindakan untuk menggunakan segala
daya yang ada meliputi antara lain, melakukan penangkapan terhadap para pelaku
kejahatan, melakukan penggeledahan, penyitaan barang bukti, penahanan dan proses
penyidikan, bahkan bisa juga sebagai alat untuk menghancurkan aksi teror. Dalam
tindakan represif, di dalamnya terkandung tindakan preventif dalam arti luas.10
Penanganan secara represif memang berhasil dilakukan oleh Kepolisian Indonesia.
Di satu sisi, terorisme adalah tindakan kejahatan yang tidak bisa ditolerir, namun
di sisi lain, pemberantasan terorisme ini juga menghkawatirkan banyak kalangan,
khususnya civil society dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Apalagi kalau
sampai privasi dan hak warga negara dibatasi oleh Undang-Undang Terorisme ini.
Karena di beberapa pasal itu ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan
hak-hak yang ada di dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana),
seperti penangkapan dan penahanan yang terlalu lama.
9 Lasina, dalam tulisannya Aspek Hukum Pemberantasan Terorisme di Indonesia
10 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Alumni: Bandung, 1986), hlm. 118.
8
Seharusnya dalam proses tindakan apapun, dalam kontek HAM seorang tersangka
itu berhak untuk didampingi seorang pengacara, namun faktanya dalam hal ini agak
sulit bagi orang yang dituduh melakukan tindakan terorisme mendapatkan akses
terhadap pengacara itu.
D. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. PELANGGARAN HAM YANG DILAKUKAN OLEH DENSUS 88 DALAM
PEMBERANTASAN TERORISME
Penanggulangan terorisme harus diletakkan dalam kerangka dan paradigma
perlindungan hak asasi manusia. Karena itu adalah tidak tepat jika atas nama
penanggulangan terorisme peminggiran, pembatasan, dan pelanggaran hak-hak
asasimanusia terjadi. Titik keseimbangan antara kebutuhan untuk menciptakan keamanan
dan perlindungan terhadap hak asasi manusia harus dirumuskan secara proporsional.11
Apa yang telah terjadi sejak tahun 2003, ketika Peraturan Pemerintah
PenggantiUndang-Undang (Perppu) No. 1/2002 tentang PemberantasanTindak Pidana
Terorisme yang disahkan dengan UU No. 15/2003 tentang Pengesahan Perppu No.
1/2002 menjadi UU (selanjutnyadisebut UU No. 15/2003 tentang Tindak Pidana
Terorisme) adalah dugaan peragaan kesewenang-wenangan aparat kepolisian terhadap
warga negara dan orang-orang yang dituduh sebagai teroris.12
Namun demikian, dominasi pandangan tentang supremasi keamanan telah
membentuk afirmasi publik yang kokoh atas segala tindakan apapun yang dilakukan oleh
Kepolisian RI dalam memberantas terorisme. Publik terlanjur dibuat cemas dan takut
dengan segala bentuk teror sehinggaapapun tindakan untuk melawan terorisme selalu
memperolehpembenaran tanpa interupsi, apalagi protes.13
Kinerja dan prestasi Polri dalam menanganai terorisme pada saat yang bersamaan
juga menuai kritik tajam, khususnya ekspos yang berlebihan dan tindakan represif yang
11 Thematic Review SETARA Institute dalam artikel “Menyoal Akuntabilitas Kinerja Penanggulangan Terorisme di Indonesia” ( Jakarta, 6 Juni 2011)
12 ibid
13 ibid
9
selalu menjadi pilihan utama penindakan terorisme. Padahal, sebagaimana diakui banyak
pihak, represif justru hanya akan melahirkan radikalisme baru dan gerakan baru yang
sama besar potensinyadengan terorisme yang telah ditumpas. Tindakan represif yang
mewujud pada penggrebekan, penembakan, bahkan hingga meninggal, telah menjadi
pilihan politik penindakan terorisme oleh Polri.
Cara-cara semacam ini telah menutup secara permanen penggalian informasi dari
orang-orang yang diduga sebagai teroris. Padahal pendekatan modern dan humanis dalam
penangan terorisme sangat mungkin justru akan membuka informasi yang lebih luas.
Dengan bekal informasi yang luas dan akurat ini, upaya-upaya penanganan terorisme
akan menyasar pada subyek dan obyek yang tepat. Cara ini pula diyakini akan mampu
membuka akar soal secara lebih dalam termasuk pilihanlangkah penanganannya secara
holistik.
SETARA Institute mencatat, bahwa sepanjang peristiwa penyergapan teroris di Aceh
(2010), Pamulang (2010), Cikampek dan Cawang (2010) tercatat 72 orang ditangkap
dengan 13 orang di antaranya di tembak mati, yaitu; 6 orang di Aceh Besar, 2 orang (Jaja
dan Arham) di Leupung, 1 orang di Aceh, 3 orang di Pamulang (Dulmatin, Hasan Noor
dan Ridwan), serta terakhir pada penyergapan di Cikampek dan Cawang yang
menewaskan 5 orang (Maulana dan Saptono, dll.). Pilihan represi dalam menangani
terorisme yang terjadi di tahun 2010 sebenarnya bukan hal baru bagi Polri. Prestasi
serupa kembali dilakukan oleh Polri dalam penanganan terorisme sepanjang tahun 2011.
Penyergapan tersangka/ pelaku yang diduga teroris sejak tahun 2005-2010 dilakukan
dengan pendekatan keamanan (security approach). Diawali dengan penyergapan Azhari
di Malang pada 2005 (2 orang tewas), penyergapan teroris di Wonosobo 2006 (2 orang
tewas), penyergapan teroris di Jogjakarta 2007 (2 orang tewas), penyergapan teroris di
Poso Januari 2007 (14 orang tewas), penyergapan teroris di Temanggung (1 orang
tewas),penyergapan teroris di Mojosongo, Solo, September 2009 (5 orang tewas). Pada
14 Mei 2011, bahkan Polri menembak warga sipil, Nur Iman, dalam pengejaran terhadap
orang tersangkateroris Sigit Qordhowi dan Hendro Yunianto di Jalan Palagan Tentara
10
Pelajar, tepatnya di Dusun Dukuh RT 2/RW III, Desa Sanggrahan, Grogol, Sukoharjo,
Jawa Tengah.14
Angka-angka korban meninggal dunia sebagaimana dipaparkan di atas, merupakan
akumulasi dari tindakan represi dan diskresi tanpa batas yang dimiliki Polri dalam
menangani terorisme, khususnya Densus 88. Penindakan yang berujung padapenembakan
tersangka/ pelaku yang diduga teroris, seringkali didasari argumen bahwa penembakan
dilakukan oleh Tim Penyergap karena terduga teroris melawan petugas, terutamadengan
menggunakan senjata api. Alasan Polri sederhana, yaitu bagaimana polisi menentukan
"when" to shoot (kapan akan menembak), bukan pada how to shoot (bagaimana akan
menembak, proses/ prosedur menembak). Selain itu, alasan lain adalah Polri ingin
melindungi publik, melindungi masyarakat karena proses penyergapan yang rawan sangat
mungkin terjadi salah tembak/ asal tembak oleh teroris. Sehingga penembakan
mematikan lebih dipilih daripada penembakan untuk melumpuhkan.15
Salah satu bentuk pelanggaran HAM dalam penanganan terorisme ini dapat dilihat
dari kasus salah tangkap terhadap Abdul Rahman, pria berusia 20 tahun. Warga Grogol,
Sukoharjo, Jawa Tengah pada September 2012 lalu. Ia dalah korban salah tangkap
Densus 88 Antiteror saat terjadi serangkaian penggerebekan dan penangkapan di
sejumlah wilayah di Kota Solo, Jateng
Kini Abdul Rahman menuntut keadilan atas tindakan sewenang-wenang tim Densus
88 Antiteror. Ini disebabkan dirinya sempat diperlakukan semena-mena dan dianiaya
saat diinterogasi. Dalam pengakuannya, Ahad (23/9/2012), korban mengaku ditampar
berulang kali, dipukul di bagian kepala dan tengkuk sesaat setelah ditangkap dan saat
menjalani serangkaian pemeriksaan di Markas Kepolisian resor Kota Solo. Abdul
ditangkap di pinggir Jalan Slamet Riyadi saat menonton penggerebegan di Kelurahan
Pajang, Surakarta, Sabtu pagi. Tiba-tiba beberapa petugas datang menangkap korban lalu
dimasukkan paksa ke dalam mobil. Meski sempat meronta dan teriak minta tolong,
namun karena jumlah petugas banyak korban tak berkutik.Setelah diperiksa hampir
14 Thematic Review SETARA Institute, op.cit
15 Thematic Review SETARA Institute, op.cit
11
sepuluh jam, korban akhirnya dilepaskan begitu saja tanpa penjelasan apa-apa.
Permintaan maaf pun tidak.16
Operasi penindakan terorisme tersebut diakui mampu meringkus beberapa aktor yang
diduga kuat terkait dengan teror di Indonesia dalam waktu singkat. Akan tetapi,
kemampuan dalam melumpuhkan jaringan teror ini masih belum diikuti dengan kualitas
pelaksanaan penindakan di lapangan. Terbukti, lanjutnya, bahwa ada praktik salah
tangkap yang dikombinasikan dengan tindakan melumpuhkan lawan secara serampangan
kepada warga sipil. “Tindakan semacam itu potensial memicu teror dan kontraproduktif
dengan tujuan Densus 88 dalam memerangi terorisme dan menunjukkan adanya
pelanggaran hak asasi manusia.
2. POLRI BELUM SEPENUHNYA MELAKSANAKAN PERATURAN KAPOLRI
NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IMPLEMENTASI PRINSIP DAN STANDAR
HAM DAN PERATURAN KAPOLRI NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG
PROSEDUR PENINDAKAN TERSANGKA TINDAK PIDANA DALAM
MEMBERANTAS TERORISME
Sesungguhnya POLRI dalam setiap usaha pemberantasan kejahatan wajib
menjunjung tinggi HAM. Hal tersebut dapat dilihat dalam aturan KAPOLRI Nomor 8
tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM. Namun, kenyataannya
masih saja terjadi pelanggaran HAM. Kerap kali, oknum Kepolisian masih
memperlihatkan arogansi kekuasan yang dimilikinya.
Dalam kasus memberantas terorisme tidak saja terjadi pelanggaran peraturan
KAPOLRI, namun jelas melanggar Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Persoalan pelanggaran HAM oleh Densus 88 itu berawal dari payung hukum yang
16 Abdullah Faqih, dalam ARTIKEL yang berjudul Terorisme posted 13/09/2012 pada situs liputan 6.com
12
menaungi mereka yaitu UU No 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme yang bersifat represif.
Menurut mantan Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming, Setidaknya ada
tiga hal terkait pemberantasan terorisme. Pertama, tidak diterapkan asas praduga tak
bersalah. Kedua, Densus 88 dengan semaunya menangkap tersangkan teror hanya dengan
informasi intelijen tanpa bukti yang cukup kuat. Dan yang ketiga, Densus 88 bertindak
sewenang-wenang tanpa ada kontrol dari otoritas lainnya. Karena itu, lanjut Daming, UU
tentang pemberantasan terorisme itu sangat layak untuk diajukan ke Mahkamah
Konstitusi untuk dilakukan uji materi.17
Dalih dari perilaku berlebihan Densus 88 adalah bahwa untuk memerangi
terorisme harus dilakukan dengan upaya yang luar biasa (extraordinary efforts) sambil
berlindung di balik UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme yang
memang mengijinkan penangkapan seorang tersangka selama 7 X 24 jam (berbeda
dengan kejahatan biasa dimana tersangka hanya dapat ditangkap 1 X 24 jam, setelah itu
harus dikeluarkan surat perintah penahanan atau malah dilepaskan). Undang-Undang
tersebut juga mentolerir dasar penangkapan seorang tersangka berdasarkan laporan
intelijen (classified information) sebagai bukti permulaan yang dianggap cukup.
Maka, lengkap sudah pelanggaran ini. Karakter Undang Undang Anti Teroris
dimanapun memang cenderung kurang memberikan perlindungan terhadap tersangka,
saksi, ataupun korban. Termasuk di AS. US Patriot Act 2001 dan US Homeland
Security Act 2002 di Amerika Serikat berkarakter kurang lebih sama dengan UU Anti
Teroris Indonesia. Sama halnya dengan Internal Security Act (ISA) di dua negeri jiran,
yaitu Malaysia dan Singapura.
Kendati demikian, memerangi terorisme dengan menebar teror baru ala Densus
88 jelas tak dapat diterima. Apalagi ketika tersangka, saksi atau korban beroleh
perlakuan yang keji padahal belum jelas unsur kesalahannya karena belum disidangkan
17 Shodiq Ramadhan dalam artikel “Ada Indikasi Pelanggaran HAM Berat dalam Penanganan Terorisme” (Situs Suara Islam.com) Minggu, 25 November 2012
13
oleh pengadilan. Negara RI telah memiliki UU HAM No. 39 tahun 1999, UU
Pengadilan HAM No. 26 tahun 2000, telah mengamandemen dan memasukkan pasal-
pasal tentang HAM pada perubahan UUD 45 tahun 2000, serta meratifikasi Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Intenational Covenant on Civil and Political
Rights) pada tahun 2005 dan Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture)
tahun 1998 yang nyata-nyata melarang penganiayaan dan perlakuan kejam.
Hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari penganiayaan (freedom from torture)
sebagaimana tersebut pada pasal 28 (i) UUD 45 amandemen kedua adalah bagian dari
underogable rights, alias hak yang tak dapat dikesampingkan dalam situasi apapun,
untuk tersangka terorisme sekalipun.
Sebuah ironi, demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme banyak negara-
negara dunia khususnya Indonesia telah mengorbankan hak-hak asasi manusia.Termasuk
hak-hak yang digolongkan kedalam Non-derogable right, yaitu hak dasar yang tidak
boleh dilanggar dan dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Namun faktanya
undang-undang antiterorisme telah memberikan legitimasi kesewenang-wenangan
(arbitrary detention) pengingkaran atas prinsip free and fair trial. Seperti halnya Komnas
HAM Indonesia, secara terpisah Amnesti Internasional menyatakan penggunaan siksaan
dalam interogasi orang-orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Dan fakta
empirik penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerintah (khususnya Densus 88)
nyaris tanpa koreksi.
Praktik salah tangkap dan aksi kekerasan yang dilakukan personel Densus 88
kepada warga sipil menunjukkan bahwa semua kegiatan penindakan di lapangan nyaris
tidak mengacu kepada ketentuan Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme. “Dalam ketentuan tersebut
diterangkan bahwa semua kegiatan penindakan tersangka baik yang terencana maupun
segeraharus dilakukan melalui tahapan khusus, melibatkan intelijen Polri yang bekerja
untuk membuat analisa situasi dan kondisi tersangka dan lingkungannya (Pasal 11),
14
diikuti dengan prinsip kehati-hatian dan mempertimbangkan risiko
keamanan/keselamatan manusia (Pasal 7).18
Pelanggaran ataupun penyimpangan dalam memberantas terorisme ini tentu harus segera
di hentikan karena berpotensi menimbulkan kebencian, dendam dan konflik yang
berkepanjangan dari pihak-pihak yang diduga teroris dan bukan menumpas gerakan
terorisme tetapi beresiko menyuburkan keberadaan terorisme di Indonesia. Terorisme
jelas merupakan suatu perbuatan keji dan layak mendapatkan hukuman sesuai aturan
yang berlaku. Namun dalam upaya pemberantasannya diperlukan profesionalitas POLRI
bukan upaya represif yang cenderung berkesan terburu buru.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
E.1. KESIMPULAN
1. Bahwa bersadarkan fakta yang ada dalam upaya memberantas terorisme POLRI
melalui Detasemen Khusus 88 telah melanggar hak asasi manusia. Pelanggarannya
mencakup penganiayaan, perampasan hak, salah tangkap, perusakan harta benda,
hingga penghilangan nyawa. Anehnya pimpinan Polri dan Densus 88 selalu
menutupi indikasi pelanggaran HAM tersebut dengan tameng penegakan hukum
sesuai UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme;
2. Memerangi terorisme dengan menebar teror baru ala Densus 88 jelas tak dapat
diterima. Apalagi ketika tersangka, saksi atau korban beroleh perlakuan yang keji
padahal belum jelas unsur kesalahannya karena belum disidangkan oleh pengadilan.
Negara RI telah memiliki UU HAM No. 39 tahun 1999, UU Pengadilan HAM No.
26 tahun 2000, telah mengamandemen dan memasukkan pasal-pasal tentang HAM
pada perubahan UUD 45 tahun 2000, serta meratifikasi Kovenan Internasional Hak-
Hak Sipil dan Politik (Intenational Covenant on Civil and Political Rights) pada tahun
2005 dan Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) tahun 1998 yang
nyata-nyata melarang penganiayaan dan perlakuan kejam. Selain melanggar UU
tersebut, pemberantasan terorisme juga melanggar peraturan yang dibuat oleh POLRI
18 Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme
15
yaitu Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dan
Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka
Tindak Pidana dalam memberantas terorisme
E.2. Saran
Terorisme harus dituntaskan sampai kepada jaringan dasarnya, karena terorisme
merupakan suatu perbuatan yang keji. Agar terlaksana penegakan hukum dan HAM
seyogyanya dalam melakukan tidakan pemberantasan terorisme wajib berpegang pada
ketentuan hukum yang berlaku. Begitu pula dalam DENSUS 88 dalam usaha
memberantas terorisme di Indonesia hendaknya berpijak kembali pada dasar hukum yang
ada agar tidak melanggar hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia dan tidak
menimbulkan terror baru bagi masyarakat yang tidak bersalah.
F. DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang Repunlik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Repunlik Indonesia No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia
Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak
Pidana Terorisme
Majda El-Muhtaj, M. Hum, Hak Asasi Manusia dalam konstitusi Indonesia (Jakarta :
Kencana Prenada Media Group : 2007)
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Alumni: Bandung, 1986), hlm. 118.
16
Saharuddin Daming, Komisioner Komnas HAM, dalam pernyataan persnya, [Koran-
Digital] Indikasi Pelanggaran HAM di Densus 88, Jumat, 28 Januari 2011
Mahfud MD: Terorisme Musuh Kemanusiaan Harus Diperangi, 20 November 2012
dalam situs lazuardi biru.orf
Shodiq Ramadhan dalam artikel “Ada Indikasi Pelanggaran HAM Berat dalam
Penanganan Terorisme” (Situs Suara Islam.com) Minggu, 25 November 2012
Abdullah Faqih, dalam artikel yang berjudul Terorisme posted 13/09/2012 pada situs
liputan 6.com
Thematic Review SETARA Institute dalam artikel “Menyoal Akuntabilitas Kinerja
Penanggulangan Terorisme di Indonesia” ( Jakarta, 6 Juni 2011)
Lasina, dalam tulisannya Aspek Hukum Pemberantasan Terorisme di Indonesia
Situs http ://id.wikepedia.org./wiki/terorisme pada kategori terorisme
17