uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

26
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH DETASEMEN KHUSUS 88 DALAM PEMBERANTASAN TERORISME DISAMPAIKAN DALAM RANGKA MEMENUHI UJIAN AKHIR SEMESTER DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA DOSEN PENGAMPU : RINA S. SHAHRULLAH, SH.,MCL.,Ph.D. OLEH T. SUZAN FRIANA (1252041) 0

Upload: suzangafar

Post on 15-Jun-2015

786 views

Category:

Education


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH DETASEMEN KHUSUS 88 DALAM

PEMBERANTASAN TERORISME

DISAMPAIKAN DALAM RANGKA MEMENUHI UJIAN AKHIR SEMESTER

DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA

DOSEN PENGAMPU : RINA S. SHAHRULLAH, SH.,MCL.,Ph.D.

OLEH

T. SUZAN FRIANA (1252041)

PROGRAM MAGISTER HUKUM

UNIVERSITAS INTERNASIONAL BATAM

TAHUN 2012

0

Page 2: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

A. LATAR BELAKANG

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat

dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan

anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,

Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia. 1

Dewasa ini begitu banyak pelanggaran HAM yang terjadi. Tidak hanya di

Indonesia namun di berbagai belahan dunia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah

setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja

maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,

menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau

kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau

dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar

berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. 2

Salah satu bentuk pelanggaran HAM di Indonesia adalah pelanggaran HAM yang

dilakukan dalam pemberantasan terorisme. Berdasarkan hasil kerja tim yang dibentuk

KOMNASHAM pada September 2010 telah menyelesaikan penyelidikan tahap

pertama pada November 2010. Dimana dalam laporan yang disampaikan pada sidang

Paripurna Komnas HAM pada 22 Desember 2010 menyebutkan ditemukan fakta indikasi

pelanggaran HAM dalam penanganan terorisme. Indikasi pelanggaran HAM ditemukan

dari penyelidikan di empat wilayah, yaitu Sumatra Utara, Jabodetabek, Jawa Tengah, dan

Jawa Timur. Pelanggarannya mencakup penganiayaan, perampasan hak, salah tangkap,

perusakan harta benda, hingga penghilangan nyawa. Anehnya pimpinan Polri dan

Densus 88 selalu menutupi indikasi pelanggaran HAM tersebut dengan tameng

1 Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

2 Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

1

Page 3: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

penegakan hukum. Terbitnya peraturan Kapolri 8/2009 tentang Implementasi

Prinsip dan Standar HAM dalam tugas Polri, menurutnya, mengecewakan.3

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan

membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan

perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan

yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga

sipil.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para

pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti

peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa

serangan-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki

justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan

yang kejam.

Berdasarkan hasil Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun

menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New

York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001. Dan terorisme dikenal di

Indonesia sejak terjadinya peristiwa bom Bali.

Berbagai usaha yang dilakukan bahkan setelah terjadi Bom Bali 1 pemerintahan

RI membentuk suatu ketentuan undang-undang yang dinamakan “Undang-undang

Republik Indonesia Nomor.15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti undang-undang nomor. 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana

terorisme menjadi undang-undang”.

Kemudian Pemerintahan RI membentuk suatu kesatuan khusus yang dinamakan

Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik

3 Komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming, dalam pernyataan persnya, [Koran-Digital] Indikasi Pelanggaran HAM di Densus 88, Jumat, 28 Januari 2011

2

Page 4: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini

dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa

anggota juga merupakan anggota tim Gegana.

Hingga pada puncaknya pasukan khusus ini dapat menghentikan sepak terjang

salah satu gembong teroris yang paling diburu yakni Gembong teroris Noordin M Top

yang tewas dalam penggerebekan Densus 88 di Solo, Jawa Tengah, 17 September lalu,

ternyata semua itu bukan akhir dari pada sepak terjang para teroris yang ada di Indonesia

namun akan tetapi telah mengembangkan jaringan sel-sel baru terorisme.

Namun akhir-akhir ini upaya pembrantaran terorisme yang bersifat refresif

banyak meresahkan warga. Penangkapan berdasarkan azas kecurigaan semata

menyebabkan banyak korban salah tangkap, atau pengepungan yang salah sasaran

sehingga menyebabkan keresahan bagi masyarakat. Alih-alih ingin memberantas

terorisme tapi tindakan yang dilakukan justru membuat terror baru bagi masyarakat dan

justru melanggar hak asasi.

Dari uraian tersebut penulis tertarik membuat suatu makalah yang mengkaji

apakah terdapat unsur-unsur pelanggaran HAM yang dilakukan dalam upaya

pemberantasan terorisme di Indonesia dengan judul “Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Oleh Detasemen Khusus 88 Dalam Pemberantasan Terorisme di Indonesia.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan dikaji

dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Densus 88 dalam

pemberantasan terorisme ?

2. Apakah POLRI telah melaksanakan peraturan KAPOLRI Nomor 8 tahun 2009

tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dan Peraturan Kapolri Nomor 23

Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana dalam

memberantas terorisme ?

3

Page 5: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

C. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Hak Asasi (fundamental rights) artinya hak yang bersifat mendasar (grounded).

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang bersifat mendasar dan inheren dengan

jati diri manusia secara universaloleh karena itu menelaah HAM, menurut Todung Mulya

Lubis sesungguhnya adalah menelaah totalitas kehidupan; sejauh mana kehidupan kita

member tempat yang wajar kepada kemanusiaan.4

Adapun ruang lingkup HAM meliputi :

a. Hak pribadi: hak-hak persamaan hidup, kebebasan, keamanan, dan lain-lain;

b. Hak milik pribadi dan kelompok sosial tempat seseorang berada;

c. Kebebasan sipil dan politik untuk dapat ikut serta dalam pemerintahan; serta

d. Hak-hak berkenaan dengan masalah ekonomi dan sosial.

Hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga

keselamatan eksistensi umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan

menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama

antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer),dan

negara.

Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik

kesimpulan tentang beberapa hakikat hak asasi manusia, yaitu :

a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia

secara otomatis.

4 Majda El-Muhtaj, M. Hum, Hak Asasi Manusia dalam konstitusi Indonesia (Jakarta : Kencana Prenada Media Group : 2007) hlm. 47

4

Page 6: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis,

pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.

c. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau

melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara

membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.

Negara-negara dibawah naungan PBB yang dipimpin oleh Elenor Roosevelt

secara resmi membuat deklarasi tentang HAM yang disebut “ Universal Decralation of

Human Rights”. Universal Decralation of Human Rights menyatakan bahwa setiap orang

mempunyai:

1. Hak untuk hidup

2. Hak Kemerdekaan dan keamanan badan

3. Hak untuk diakui kepribadiannya menurut hukum

4. Hak untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana

5. Hak untuk masuk dan keluar wilayah suatu Negara

6. Hak untuk mendapat hak milik atas benda

7. Hak untuk bebas mengutarakan pikiran dan perasaan

8. Hak untuk bebas memeluk agama

9. Hak untuk mendapat pekerjaan

10. Hak untuk berdagang

11. Hak untuk mendapatkan pendidikan

12. Hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan masyarakat

13. Hak untuk menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan.

2. DASAR HUKUM PENEGAKAN HAM DI INDONESIA

Indonesia adalah yang melaksanakan demokrasi dan menjunjung tinggi Hak

asasi manusia. Hal tersebut diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia.

5

Page 7: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

Dalam bab III undang-undang 39/1999 dinyatakan bahwa hak asasi manusia dan

kebebasan dasar manusia terdiri dari :

1. Hak hidup

2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan

3. Hak mengembangkan diri

4. Hak memperoleh keadilan

5. Hak atas kebebasan pribadi

6. Hak atas rasa aman

7. Hak atas kesejahteraan

8. Hak turut serta dalam pemerintahan

9. Hak wanita; dan

10. Hak anak.

Indonesia juga telah meratifikasi berbagai konvensi internasional terkait HAM.

Adapun yang relevan dengan makalah ini adalah Konvensi Menentang Penyiksaan

dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau

Merendahkan, atau merendahkan martabat Manusia atau Toture Convention. Telah

diratifikasi dengan UU No. 5 tahun 1998.

3. PERLINDUNGAN HAM DALAM PEMBERANTASAN TERORISME

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan

membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan

perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu

pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali

merupakan warga sipil.5

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para

pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak

menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung

makna bahwa serangan-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan

5 Definisi ini diambil dari situs http ://id.wikepedia.org./wiki/terorisme pada kategori terorisme

6

Page 8: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak

mendapatkan pembalasan yang kejam.6

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfud MD mengatakan,

terorisme merupakan musuh dari kemanusiaan. Karena itu, terorisme harus diperangi.

Selain itu, kata Mahfud, terorisme juga bertentangan dengan prinsip dasar pendirian

sebuah sebuah negara.7 Menurut beliau, ada empat hal yang menjadi ancaman besar

bagi keutuhan sebuah negara, antara lain: terorisme, korupsi, narkoba, dan kejahatan

terhadap negara seperti makar dan sparatisme. “Empat hal tersebut merupakan

merupakan bahaya besar bagi negara itu. Dan itu harus diperangi dan diancam

hukuman berat,” demikian Ketua MK ini menjelaskan.8

Untuk memberantas terorisme Indonesia membuat payung hukum yaitu Pasca

Bom Bali I 2002, pemerintah Indonesia serius merespon aksi terorisme yang terjadi di

Tanah Air. 18 Oktober 2002, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Penganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tantang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali 12 Oktober 2002.

Penerbitan ketentuan ini didasarkan pandangan bahwa payung hukum yang ada

tidak memadai dan gagal mengatasi problem-problem serupa yang pernah terjadi

sebelumnya. Tragedi Bom Bali merupakan aksi terorisme terburuk dalam sejarah

bangsa Indonesia, dan tidak mungkin diatasi dengan payung hukum yang ada.

Kemudian pada proses selanjutnya, Perpu No. 1 Tahun 2002 ditetapkan

menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002 ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 16

6 Ibid

7 Mahfud MD: Terorime Musuh Kemanusiaan, Harus Diperangi 20 November 2012 dalam lazuardi biru.orf

8 ibid

7

Page 9: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan

Tindakan Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali 12 Oktober 2002

Dari tinjauan sejarah itu menunjukkan, bahwa tindakan pemerintah dalam

mengambil kebijakan untuk memerangi terorisme lebih bersifat reaksioner dan

represif. Sehingga wacana untuk merevisi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kembali santer disuarakan.

Pada tahun 2006 sebagai wujud perang melawan teroris pemerintah RI

meratifikasi konvensi internasional pemberantasan pendanaan terorisme melalui

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang pengesahan internasional Convention

for the Supression of the Financing Terrorism, 1999 ( Konvensi Internasional

Pemberantasan pendanaan Terorisme).9

Tindakan represif adalah segala usaha dan tindakan untuk menggunakan segala

daya yang ada meliputi antara lain, melakukan penangkapan terhadap para pelaku

kejahatan, melakukan penggeledahan, penyitaan barang bukti, penahanan dan proses

penyidikan, bahkan bisa juga sebagai alat untuk menghancurkan aksi teror. Dalam

tindakan represif, di dalamnya terkandung tindakan preventif dalam arti luas.10

Penanganan secara represif memang berhasil dilakukan oleh Kepolisian Indonesia.

Di satu sisi, terorisme adalah tindakan kejahatan yang tidak bisa ditolerir, namun

di sisi lain, pemberantasan terorisme ini juga menghkawatirkan banyak kalangan,

khususnya civil society dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Apalagi kalau

sampai privasi dan hak warga negara dibatasi oleh Undang-Undang Terorisme ini.

Karena di beberapa pasal itu ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan

hak-hak yang ada di dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana),

seperti penangkapan dan penahanan yang terlalu lama.

9 Lasina, dalam tulisannya Aspek Hukum Pemberantasan Terorisme di Indonesia

10 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Alumni: Bandung, 1986), hlm. 118.

8

Page 10: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

Seharusnya dalam proses tindakan apapun, dalam kontek HAM seorang tersangka

itu berhak untuk didampingi seorang pengacara, namun faktanya dalam hal ini agak

sulit bagi orang yang dituduh melakukan tindakan terorisme mendapatkan akses

terhadap pengacara itu.

D. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

1. PELANGGARAN HAM YANG DILAKUKAN OLEH DENSUS 88 DALAM

PEMBERANTASAN TERORISME

Penanggulangan terorisme harus diletakkan dalam kerangka dan paradigma

perlindungan hak asasi manusia. Karena itu adalah tidak tepat jika atas nama

penanggulangan terorisme peminggiran, pembatasan, dan pelanggaran hak-hak

asasimanusia terjadi. Titik keseimbangan antara kebutuhan untuk menciptakan keamanan

dan perlindungan terhadap hak asasi manusia harus dirumuskan secara proporsional.11

Apa yang telah terjadi sejak tahun 2003, ketika Peraturan Pemerintah

PenggantiUndang-Undang (Perppu) No. 1/2002 tentang PemberantasanTindak Pidana

Terorisme yang disahkan dengan UU No. 15/2003 tentang Pengesahan Perppu No.

1/2002 menjadi UU (selanjutnyadisebut UU No. 15/2003 tentang Tindak Pidana

Terorisme) adalah dugaan peragaan kesewenang-wenangan aparat kepolisian terhadap

warga negara dan orang-orang yang dituduh sebagai teroris.12

Namun demikian, dominasi pandangan tentang supremasi keamanan telah

membentuk afirmasi publik yang kokoh atas segala tindakan apapun yang dilakukan oleh

Kepolisian RI dalam memberantas terorisme. Publik terlanjur dibuat cemas dan takut

dengan segala bentuk teror sehinggaapapun tindakan untuk melawan terorisme selalu

memperolehpembenaran tanpa interupsi, apalagi protes.13

Kinerja dan prestasi Polri dalam menanganai terorisme pada saat yang bersamaan

juga menuai kritik tajam, khususnya ekspos yang berlebihan dan tindakan represif yang

11 Thematic Review SETARA Institute dalam artikel “Menyoal Akuntabilitas Kinerja Penanggulangan Terorisme di Indonesia” ( Jakarta, 6 Juni 2011)

12 ibid

13 ibid

9

Page 11: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

selalu menjadi pilihan utama penindakan terorisme. Padahal, sebagaimana diakui banyak

pihak, represif justru hanya akan melahirkan radikalisme baru dan gerakan baru yang

sama besar potensinyadengan terorisme yang telah ditumpas. Tindakan represif yang

mewujud pada penggrebekan, penembakan, bahkan hingga meninggal, telah menjadi

pilihan politik penindakan terorisme oleh Polri.

Cara-cara semacam ini telah menutup secara permanen penggalian informasi dari

orang-orang yang diduga sebagai teroris. Padahal pendekatan modern dan humanis dalam

penangan terorisme sangat mungkin justru akan membuka informasi yang lebih luas.

Dengan bekal informasi yang luas dan akurat ini, upaya-upaya penanganan terorisme

akan menyasar pada subyek dan obyek yang tepat. Cara ini pula diyakini akan mampu

membuka akar soal secara lebih dalam termasuk pilihanlangkah penanganannya secara

holistik.

SETARA Institute mencatat, bahwa sepanjang peristiwa penyergapan teroris di Aceh

(2010), Pamulang (2010), Cikampek dan Cawang (2010) tercatat 72 orang ditangkap

dengan 13 orang di antaranya di tembak mati, yaitu; 6 orang di Aceh Besar, 2 orang (Jaja

dan Arham) di Leupung, 1 orang di Aceh, 3 orang di Pamulang (Dulmatin, Hasan Noor

dan Ridwan), serta terakhir pada penyergapan di Cikampek dan Cawang yang

menewaskan 5 orang (Maulana dan Saptono, dll.). Pilihan represi dalam menangani

terorisme yang terjadi di tahun 2010 sebenarnya bukan hal baru bagi Polri. Prestasi

serupa kembali dilakukan oleh Polri dalam penanganan terorisme sepanjang tahun 2011.

Penyergapan tersangka/ pelaku yang diduga teroris sejak tahun 2005-2010 dilakukan

dengan pendekatan keamanan (security approach). Diawali dengan penyergapan Azhari

di Malang pada 2005 (2 orang tewas), penyergapan teroris di Wonosobo 2006 (2 orang

tewas), penyergapan teroris di Jogjakarta 2007 (2 orang tewas), penyergapan teroris di

Poso Januari 2007 (14 orang tewas), penyergapan teroris di Temanggung (1 orang

tewas),penyergapan teroris di Mojosongo, Solo, September 2009 (5 orang tewas). Pada

14 Mei 2011, bahkan Polri menembak warga sipil, Nur Iman, dalam pengejaran terhadap

orang tersangkateroris Sigit Qordhowi dan Hendro Yunianto di Jalan Palagan Tentara

10

Page 12: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

Pelajar, tepatnya di Dusun Dukuh RT 2/RW III, Desa Sanggrahan, Grogol, Sukoharjo,

Jawa Tengah.14

Angka-angka korban meninggal dunia sebagaimana dipaparkan di atas, merupakan

akumulasi dari tindakan represi dan diskresi tanpa batas yang dimiliki Polri dalam

menangani terorisme, khususnya Densus 88. Penindakan yang berujung padapenembakan

tersangka/ pelaku yang diduga teroris, seringkali didasari argumen bahwa penembakan

dilakukan oleh Tim Penyergap karena terduga teroris melawan petugas, terutamadengan

menggunakan senjata api. Alasan Polri sederhana, yaitu bagaimana polisi menentukan

"when" to shoot (kapan akan menembak), bukan pada how to shoot (bagaimana akan

menembak, proses/ prosedur menembak). Selain itu, alasan lain adalah Polri ingin

melindungi publik, melindungi masyarakat karena proses penyergapan yang rawan sangat

mungkin terjadi salah tembak/ asal tembak oleh teroris. Sehingga penembakan

mematikan lebih dipilih daripada penembakan untuk melumpuhkan.15

Salah satu bentuk pelanggaran HAM dalam penanganan terorisme ini dapat dilihat

dari kasus salah tangkap terhadap Abdul Rahman, pria berusia 20 tahun. Warga Grogol,

Sukoharjo, Jawa Tengah pada September 2012 lalu. Ia dalah korban salah tangkap

Densus 88 Antiteror saat terjadi serangkaian penggerebekan dan penangkapan di

sejumlah wilayah di Kota Solo, Jateng

Kini Abdul Rahman menuntut keadilan atas tindakan sewenang-wenang tim Densus

88 Antiteror. Ini disebabkan dirinya sempat diperlakukan semena-mena dan dianiaya

saat diinterogasi. Dalam pengakuannya, Ahad (23/9/2012), korban mengaku ditampar

berulang kali, dipukul di bagian kepala dan tengkuk sesaat setelah ditangkap dan saat

menjalani serangkaian pemeriksaan di Markas Kepolisian resor Kota Solo. Abdul

ditangkap di pinggir Jalan Slamet Riyadi saat menonton penggerebegan di Kelurahan

Pajang, Surakarta, Sabtu pagi. Tiba-tiba beberapa petugas datang menangkap korban lalu

dimasukkan paksa ke dalam mobil. Meski sempat meronta dan teriak minta tolong,

namun karena jumlah petugas banyak korban tak berkutik.Setelah diperiksa hampir

14 Thematic Review SETARA Institute, op.cit

15 Thematic Review SETARA Institute, op.cit

11

Page 13: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

sepuluh jam, korban akhirnya dilepaskan begitu saja tanpa penjelasan apa-apa.

Permintaan maaf pun tidak.16

Operasi penindakan terorisme tersebut diakui mampu meringkus beberapa aktor yang

diduga kuat terkait dengan teror di Indonesia dalam waktu singkat. Akan tetapi,

kemampuan dalam melumpuhkan jaringan teror ini masih belum diikuti dengan kualitas

pelaksanaan penindakan di lapangan. Terbukti, lanjutnya, bahwa ada praktik salah

tangkap yang dikombinasikan dengan tindakan melumpuhkan lawan secara serampangan

kepada warga sipil. “Tindakan semacam itu potensial memicu teror dan kontraproduktif

dengan tujuan Densus 88 dalam memerangi terorisme dan menunjukkan adanya

pelanggaran hak asasi manusia.

2. POLRI BELUM SEPENUHNYA MELAKSANAKAN PERATURAN KAPOLRI

NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IMPLEMENTASI PRINSIP DAN STANDAR

HAM DAN PERATURAN KAPOLRI NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG

PROSEDUR PENINDAKAN TERSANGKA TINDAK PIDANA DALAM

MEMBERANTAS TERORISME

Sesungguhnya POLRI dalam setiap usaha pemberantasan kejahatan wajib

menjunjung tinggi HAM. Hal tersebut dapat dilihat dalam aturan KAPOLRI Nomor 8

tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM. Namun, kenyataannya

masih saja terjadi pelanggaran HAM. Kerap kali, oknum Kepolisian masih

memperlihatkan arogansi kekuasan yang dimilikinya.

Dalam kasus memberantas terorisme tidak saja terjadi pelanggaran peraturan

KAPOLRI, namun jelas melanggar Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Persoalan pelanggaran HAM oleh Densus 88 itu berawal dari payung hukum yang

16 Abdullah Faqih, dalam ARTIKEL yang berjudul Terorisme posted 13/09/2012 pada situs liputan 6.com

12

Page 14: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

menaungi mereka yaitu UU No 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana

terorisme yang bersifat represif.

Menurut mantan Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming, Setidaknya ada

tiga hal terkait pemberantasan terorisme. Pertama, tidak diterapkan asas praduga tak

bersalah. Kedua, Densus 88 dengan semaunya menangkap tersangkan teror hanya dengan

informasi intelijen tanpa bukti yang cukup kuat. Dan yang ketiga, Densus 88 bertindak

sewenang-wenang tanpa ada kontrol dari otoritas lainnya. Karena itu, lanjut Daming, UU

tentang pemberantasan terorisme itu sangat layak untuk diajukan ke Mahkamah

Konstitusi untuk dilakukan uji materi.17

Dalih dari perilaku berlebihan Densus 88 adalah bahwa untuk memerangi

terorisme harus dilakukan dengan upaya yang luar biasa (extraordinary efforts) sambil

berlindung di balik UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme yang

memang mengijinkan penangkapan seorang tersangka selama 7 X 24 jam (berbeda

dengan kejahatan biasa dimana tersangka hanya dapat ditangkap 1 X 24 jam, setelah itu

harus dikeluarkan surat perintah penahanan atau malah dilepaskan).  Undang-Undang

tersebut juga mentolerir dasar penangkapan seorang tersangka berdasarkan laporan

intelijen (classified information) sebagai bukti permulaan yang dianggap cukup.

Maka, lengkap sudah pelanggaran ini.  Karakter Undang Undang Anti Teroris

dimanapun memang cenderung kurang memberikan perlindungan terhadap tersangka,

saksi, ataupun korban.  Termasuk di AS.  US Patriot Act 2001 dan US Homeland

Security Act 2002 di Amerika Serikat berkarakter kurang lebih sama dengan UU Anti

Teroris Indonesia.  Sama halnya dengan Internal Security Act (ISA) di dua negeri jiran,

yaitu Malaysia dan Singapura.

Kendati demikian,  memerangi terorisme dengan menebar teror baru ala Densus

88 jelas tak dapat diterima. Apalagi ketika tersangka, saksi atau korban beroleh

perlakuan yang keji padahal belum jelas unsur kesalahannya karena belum disidangkan

17 Shodiq Ramadhan dalam artikel “Ada Indikasi Pelanggaran HAM Berat dalam Penanganan Terorisme” (Situs Suara Islam.com) Minggu, 25 November 2012

13

Page 15: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

oleh pengadilan.  Negara RI telah memiliki UU HAM No. 39 tahun 1999,  UU

Pengadilan HAM No. 26 tahun 2000, telah mengamandemen dan memasukkan pasal-

pasal tentang HAM pada perubahan UUD 45 tahun 2000, serta meratifikasi Kovenan

Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Intenational Covenant on Civil and Political

Rights) pada tahun 2005  dan Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture)

tahun 1998 yang nyata-nyata melarang penganiayaan dan perlakuan kejam.

Hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari penganiayaan (freedom from torture)

sebagaimana tersebut pada pasal 28 (i) UUD 45 amandemen kedua adalah bagian dari

underogable rights,  alias hak yang tak dapat dikesampingkan dalam situasi apapun, 

untuk tersangka terorisme sekalipun.

Sebuah ironi, demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme banyak negara-

negara dunia khususnya Indonesia telah mengorbankan hak-hak asasi manusia.Termasuk

hak-hak yang digolongkan kedalam Non-derogable right, yaitu hak dasar yang tidak

boleh dilanggar dan dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Namun faktanya

undang-undang antiterorisme telah memberikan legitimasi kesewenang-wenangan

(arbitrary detention) pengingkaran atas prinsip free and fair trial. Seperti halnya Komnas

HAM Indonesia, secara terpisah Amnesti Internasional menyatakan penggunaan siksaan

dalam interogasi orang-orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Dan fakta

empirik penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerintah (khususnya Densus 88)

nyaris tanpa koreksi.

Praktik salah tangkap dan aksi kekerasan yang dilakukan personel Densus 88

kepada warga sipil menunjukkan bahwa semua kegiatan penindakan di lapangan nyaris

tidak mengacu kepada ketentuan Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2011 tentang

Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme. “Dalam ketentuan tersebut

diterangkan bahwa semua kegiatan penindakan tersangka baik yang terencana maupun

segeraharus dilakukan melalui tahapan khusus, melibatkan intelijen Polri yang bekerja

untuk membuat analisa situasi dan kondisi tersangka dan lingkungannya (Pasal 11),

14

Page 16: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

diikuti dengan  prinsip kehati-hatian dan mempertimbangkan risiko

keamanan/keselamatan manusia (Pasal 7).18

Pelanggaran ataupun penyimpangan dalam memberantas terorisme ini tentu harus segera

di hentikan karena berpotensi menimbulkan kebencian, dendam dan konflik yang

berkepanjangan dari pihak-pihak yang diduga teroris dan bukan menumpas gerakan

terorisme tetapi beresiko menyuburkan keberadaan terorisme di Indonesia. Terorisme

jelas merupakan suatu perbuatan keji dan layak mendapatkan hukuman sesuai aturan

yang berlaku. Namun dalam upaya pemberantasannya diperlukan profesionalitas POLRI

bukan upaya represif yang cenderung berkesan terburu buru.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

E.1. KESIMPULAN

1. Bahwa bersadarkan fakta yang ada dalam upaya memberantas terorisme POLRI

melalui Detasemen Khusus 88 telah melanggar hak asasi manusia. Pelanggarannya

mencakup penganiayaan, perampasan hak, salah tangkap, perusakan harta benda,

hingga penghilangan nyawa. Anehnya pimpinan Polri dan Densus 88 selalu

menutupi indikasi pelanggaran HAM tersebut dengan tameng penegakan hukum

sesuai UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme;

2. Memerangi terorisme dengan menebar teror baru ala Densus 88 jelas tak dapat

diterima. Apalagi ketika tersangka, saksi atau korban beroleh perlakuan yang keji

padahal belum jelas unsur kesalahannya karena belum disidangkan oleh pengadilan. 

Negara RI telah memiliki UU HAM No. 39 tahun 1999,  UU Pengadilan HAM No.

26 tahun 2000, telah mengamandemen dan memasukkan pasal-pasal tentang HAM

pada perubahan UUD 45 tahun 2000, serta meratifikasi Kovenan Internasional Hak-

Hak Sipil dan Politik (Intenational Covenant on Civil and Political Rights) pada tahun

2005  dan Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) tahun 1998 yang

nyata-nyata melarang penganiayaan dan perlakuan kejam. Selain melanggar UU

tersebut, pemberantasan terorisme juga melanggar peraturan yang dibuat oleh POLRI

18 Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme

15

Page 17: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

yaitu Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dan

Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka

Tindak Pidana dalam memberantas terorisme

E.2. Saran

Terorisme harus dituntaskan sampai kepada jaringan dasarnya, karena terorisme

merupakan suatu perbuatan yang keji. Agar terlaksana penegakan hukum dan HAM

seyogyanya dalam melakukan tidakan pemberantasan terorisme wajib berpegang pada

ketentuan hukum yang berlaku. Begitu pula dalam DENSUS 88 dalam usaha

memberantas terorisme di Indonesia hendaknya berpijak kembali pada dasar hukum yang

ada agar tidak melanggar hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia dan tidak

menimbulkan terror baru bagi masyarakat yang tidak bersalah.

F. DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Repunlik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang Repunlik Indonesia No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia

Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak

Pidana Terorisme

Majda El-Muhtaj, M. Hum, Hak Asasi Manusia dalam konstitusi Indonesia (Jakarta :

Kencana Prenada Media Group : 2007)

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Alumni: Bandung, 1986), hlm. 118.

16

Page 18: Uas ham ( buk rina) an. t. suzan friana

Saharuddin Daming, Komisioner Komnas HAM, dalam pernyataan persnya, [Koran-

Digital] Indikasi Pelanggaran HAM di Densus 88, Jumat, 28 Januari 2011

Mahfud MD: Terorisme Musuh Kemanusiaan Harus Diperangi, 20 November 2012

dalam situs lazuardi biru.orf

Shodiq Ramadhan dalam artikel “Ada Indikasi Pelanggaran HAM Berat dalam

Penanganan Terorisme” (Situs Suara Islam.com) Minggu, 25 November 2012

Abdullah Faqih, dalam artikel yang berjudul Terorisme posted 13/09/2012 pada situs

liputan 6.com

Thematic Review SETARA Institute dalam artikel “Menyoal Akuntabilitas Kinerja

Penanggulangan Terorisme di Indonesia” ( Jakarta, 6 Juni 2011)

Lasina, dalam tulisannya Aspek Hukum Pemberantasan Terorisme di Indonesia

Situs http ://id.wikepedia.org./wiki/terorisme pada kategori terorisme

17