the constraints of execution on the conviction of …

20
Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 95-114. ISSN: 0854-5499 HAMBATAN EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA JINAYAH PADA MAHKAMAH SYAR’IYAH BIREUEN THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF SYARIAH LAW CASE HELD BY SYAR’IYAH COURT BIREUEN Oleh: Muazzin *) ABSTRACT The existence and authority Syar'iyah Courts regulated in Qanun Number 10 of 2002 on the Islamic Syari'ah Courts. Since the Year 2007 to Year 2010, the Syar’iyah Court Bireun has examined on jinayah case as many as 27 cases. Although the Court's decision in the case already have permanent legal force, yet one of the case is conducted or executed by the State Attorney Bireun. The results showed that there are some things that cause no or not execution judgement of judge Syar'iyah Court Bireun, Syar'iyah Court Bireun and the State Attorney Bireun have no special budget to carry out additional tasks as implementing agencies in the implementation of Islamic Law in Aceh, Qanun Aceh does not give authority to the institutions of law enforcement to make arrests of suspects, accused and convicted in the case jinayah. Keywords: Execution, Judgement of Judge, Case Jinayah. A. PENDAHULUAN Keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam memeriksa dan mengadili perkara Jinayah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Bab XVIII Pasal 11 Undang-Undang tersebut menentukan bahwa Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam (ayat 3). Lebih lanjut pasal ini juga menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) diatur dengan Qanun Aceh. Ketentuan UUPA tersebut merupakan pengaturan dan penegasan kembali tentang keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah yang sudah diatur dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam. Pasal 49 Qanun ini menetapkan bahwa perkara-

Upload: others

Post on 08-Nov-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 95-114.

ISSN: 0854-5499

HAMBATAN EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA JINAYAH PADA

MAHKAMAH SYAR’IYAH BIREUEN

THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF SYARIAH LAW CASE

HELD BY SYAR’IYAH COURT BIREUEN

Oleh: Muazzin *)

ABSTRACT

The existence and authority Syar'iyah Courts regulated in Qanun Number 10 of 2002 on

the Islamic Syari'ah Courts. Since the Year 2007 to Year 2010, the Syar’iyah Court

Bireun has examined on jinayah case as many as 27 cases. Although the Court's

decision in the case already have permanent legal force, yet one of the case is

conducted or executed by the State Attorney Bireun. The results showed that there are

some things that cause no or not execution judgement of judge Syar'iyah Court Bireun,

Syar'iyah Court Bireun and the State Attorney Bireun have no special budget to carry

out additional tasks as implementing agencies in the implementation of Islamic Law in

Aceh, Qanun Aceh does not give authority to the institutions of law enforcement to make

arrests of suspects, accused and convicted in the case jinayah.

Keywords: Execution, Judgement of Judge, Case Jinayah.

A. PENDAHULUAN

Keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam memeriksa dan mengadili

perkara Jinayah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh (UUPA). Bab XVIII Pasal 11 Undang-Undang tersebut menentukan bahwa

Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara

yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan

jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam (ayat 3). Lebih lanjut pasal ini juga

menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum

keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) diatur dengan Qanun

Aceh.

Ketentuan UUPA tersebut merupakan pengaturan dan penegasan kembali tentang

keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah yang sudah diatur dalam Qanun Nomor 10

Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam. Pasal 49 Qanun ini menetapkan bahwa perkara-

Page 2: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin

96

perkara dalam bidang perdata yang meliputi hukum keluarga, hukum perikatan dan hukum

tentang harta benda serta perkara-perkara dalam bidang pidana, yang meliputi qishash-diyat,

hudud dan ta’zir sebagai kewenangan Mahkamah Syar’iyah.

Untuk mewujudkan kepastian hukum, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 dalam Pasal 53 dan

54 dinyatakan bahwa hukum materil dan formil yang bersumber dari Syari’at Islam tersebut,

yang akan dilaksanakan di Aceh, terlebih dahulu akan dituangkan dalam bentuk Qanun

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian Syari’at Islam yang akan dilaksanakan

oleh Hakim Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota dan Hakim Mahkamah Syar’iyah Provinsi

melalui putusan dan penetapannya itu harus dituangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu.

Hampir satu dasawarsa pemberlakuan Syari’at Islam dan berfungsinya Mahkamah

Syar’iyah sebagai institusi peradilan dalam rangka pelaksanaan Syari’at Islam tersebut di

Provinsi NAD, ternyata telah memunculkan beberapa permasalahan yang secara langsung atau

tidak langsung turut mempengaruhi kapasitas Mahkamah Syar’iyah dalam menjalankan

fungsinya dalam memeriksa dan mengadili, khususnya dalam perkara jinayah yang merupakan

lingkup kewenangan baru bagi lembaga ini, seiring dengan pemberlakuan Syari’at Islam. Salah

satu permasalahan penting adalah belum atau tidak dilaksanakannya (eksekusi) putusan

Mahkamah Syar’iyah dalam perkara Jinayah, padahal putusan tersebut sudah mempunyai

kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah penelitian untuk memperoleh

jawaban atas permasalahan yang diidentifikasikan dalam penelitian ini yaitu mengapa terjadi

penangguhan pelaksanaan (eksekusi) putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Bireun dan apa saja

upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun agar

putusan Hakim dalam perkara Jinayah dapat dilaksanakan (dieksekusi).

*)

Kontrak Penelitian dengan Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala Nomor: 032/H11.2/SP3/2010. Muazzin,

S.H.,M.H., Adalah Staf Pengajar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.

Page 3: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).

97

B. TINJAUAN PUSTAKA

Penegakan hukum demi suatu keadilan harus dilakukan melalui suatu proses yang

berkesinambungan dalam menanggulangi tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. Salah

satu cara penanggulangan tersebut dilakukan melalui suatu sistem yaitu Sistem Peradilan Pidana

(Criminal Justice Sistem) sebagai sistem yang berfungsi menanggulangi tindak pidana yang

terjadi dalam masyarakat. Penanggulangan tersebut dilakukan dengan menekan tingkat

kejahatan hingga pada tingkat yang terendah.

Di Indonesia proses penegakan hukum mempunyai suatu sistem yaitu Sistem Peradilan

Pidana yang dimulai dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga

Pemasyarakatan1

. Menurut Kunarto2

sistem peradilan pidana dapat digambarkan sebagai

berikut:

“... adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.

Menanggulangi berarti usaha mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas

toleransi masyarakat. Sistem dianggap berhasil apabila sebagian dari laporan maupun

keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan dengan

diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat

pidana.”

Romli Atmasasmita3 mengartikan Sistem Peradilan Pidana sebagai interkoneksi antara

keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Sistem Peradilan

Pidana harus merupakan kesatuan terpadu dari usaha-usaha untuk menanggulangi kejahatan

yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat.

Sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal istilah Sistem Peradilan Pidana terpadu (Integrated

Criminal Justice Sistem). Sasaran yang ingin dicapai antara lain kelancaran dalam proses

peradilan pidana sejak tahap penyidikan, penuntutan, putusan atau vonis hakim sampai dengan

1 Chainur Arrasjid, Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminal, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1999, hlm.19.

2 Kunarto, Batu Sandungan, Cipta Manunggal, Jakarta, 1999, hlm.240.

3 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem), Bina Cipta, Bandung, 1996, hlm.14.

Page 4: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin

98

eksekusi4. Seluruh komponen dari sistem peradilan pidana, ikut bertanggung jawab untuk

menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan dalam masyarakat.

Tanggung jawab tersebut merupakan keharusan bagi setiap komponen. Keterpaduan kerja

dari sistem peradilan pidana dapat diamati dari komponen-komponen sistem peradilan pidana

sebagai berikut:

1. Kepolisian

Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. Adapun langkah pertama yang dilakukan oleh

subsistem kepolisian sebagai salah satu komponen Sistem Peradilan Pidana adalah

melakukan penyelidikan yang dapat memberikan tanda adanya dugaan keras tentang adanya

kejahatan yang kemudian diteruskan dengan tindakan penyidikan. Dalam melaksanakan

penyidikan dinyatakan antara lain dengan menjamin hak-hak tersangka dan perlakuan

terhadap tersangka secara layak dan sebagai subyek. Kedudukan polisi sebagai penyidik

yang mandiri tidak terlepas dari fungsi penuntutan dan pengadilan dimana terjalin hubungan

koordinasi fungsional dan institusional serta adanya sinkronisasi pelaksanaan.

Hubungan koordinasi dan kansultasi penyidik dan penuntut umum merupakan

hubungan kerjasama positif yang sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing

dalam rangka penanganan perkara pidana pada tingkat penyidikan. Hubungan kerjasama

positif tersebut diarahkan kepada usaha untuk mempersiapkan pelaksanaan tugas penuntutan

dengan cara meletakkan dasar-dasar penuntutan sejak dilaksanakan penyidikan5. Ketentuan

yang menghubungkan polisi dengan jaksa dalam KUHAP merupakan suatu ketentuan yang

4 Anthon F. Susanto, “Membangun Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Ligitasi, Fakultas Hukum Unpas, Bandung, Vol.3 No.1 Januari-Juni 2002.

5 Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm.204.

Page 5: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).

99

penting yang dapat menjembatani dua hal yaitu koordinasi fungsional antara polisi dan jaksa

yang harus bekerjasama secara terpadu dalam suatu Sistem Peradilan Pidana dan kesadaran

akan tanggung jawab dalam peranan masing-masing komponen.

2. Kejaksaan

Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

dalam BAB I Bagian Pertama Pasal 1 Butir 1 menyebutkan bahwa Jaksa adalah pejabat

yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum

serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sedangkan yang dimaksud dengan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Keterpaduan Sistem Peradilan Pidana merupakan kegiatan penanganan suatu perkara

secara bersama yakni antara penyidik, penuntut umum, pengadilan dan lembaga

penmasyarakatan. Keempat unsur atau komponen tersebut saling terkait, saling pengaruh

mempengaruhi dan saling ketergantungan6.

3. Pengadilan

Pengadilan merupakan komponen ketiga dalam subsistem peradilan pidana. Lembaga

peradilan merupakan pelaksana atau pemeriksa suatu perkara dengan suatu putusan hakim

yang bersifat mengikat, putusan mana dapat berupa pemidanaan terhadap orang yang

bersalah. Bekerjanya subsistem pengadilan diawali dengan pelimpahan berkas perkara dari

penuntut umum yang dilanjutkan dengan memeriksa dan diakhiri dengan memutuskan

perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak menurut cara yang diatur

oleh undang-undang. Pada hakekatnya pengadilan merupakan tempat pengujian dan

perwujudan negara hukum, merupakan barometer dari kemampuan bangsa melaksanakan

6 Leden Marpaung, Putusan Bebas Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm.98

Page 6: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin

100

norma-norma hukum dalam negara, sehingga yang bersalah menerima hukuman yang

setimpal dengan perbuatannya. Hakim sebagai komponen dari subsistem peradilan pidana

bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasrkan Pancasila melalui perkara-

perkara yang dihadapkan kepadanya.

4. Lembaga Pemasyarakatan

Komponen terakhir dari subsistem peradilan pidana adalah Lembaga Pemasyarakatan.

Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri menurut bahasa Indonesia berasal dari dua kata yaitu

“Lembaga” dan “Pemasyarakatan”. Lembaga berarti organisasi yang bermaksud melakukan

suatu penyelidikan atau usaha ilmiah. Pemasyarakatan berarti kegiatan untuk melakukan

pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (narapidana, anak didik pemasyarakatan dan

yang lainnya), berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan

bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang

berlaku sejak diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995 menyebutkan bahwa:

Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan

Warga Pembinaan Pemasyarakatan berdsarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu

antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat, untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan

Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak

pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan

dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan

bertanggung jawab.

Dalam hukum pidana terdapat tiga hal pokok yang menjadi dasar pijakan dan harus

dikembangkan untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Ketiga hal tersebut adalah mengenai:

a) subyek hukum pidana, yaitu berkaitan dengan siapa yang dapat dihukum, b) perbuatan

Page 7: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).

101

apa saja yang dapat dihukum, dan c) hukuman apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku

perbuatan yang dapat dihukum. Kebijakan kriminal (criminal policy) dalam bidang

hukuman (jenis hukuman) terus menerus mencari solusi yang tepat untuk menentukan jenis

hukuman yang efektif, sehingga di dalam konsep rancangan KUHP yang baru terdapat

beberapa jenis hukuman baru yang tidak terdapat dalam KUHP sekarang, seperti:

pengawasan, kerja sosial, pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat. Selain

itu ada juga dalam bentuk tindakan, seperti perawatan di rumah sakit jiwa, perampasan

keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, perbaikan akibat-akibat tindak pidana dan

latihan kerja7.

Dalam kebijakan hukum pidana, pemberian hukuman untuk menanggulangi kejahatan

merupakan salah satu upaya disamping upaya-upaya lain. Penganganan kejahatan melalui

sistem peradilan pidana merupakan sebagian kecil dari penanganan kejahatan secara

keseluruhan. Penanganan melalui sistem peradilan pidana ini dikenal dengan istilah ”upaya

penal”, yaitu dengan menggunakan peraturan perundang-undangan pidana. Disamping itu

ada upaya lain yaitu ”upaya non penal” yang penekanannya ditujukan kepada faktor

penyebab terjadinya kejahatan. Keseluruhan penanganan atau penanggulangan kejahatan ini

merupakan politik kriminal (kebijakan hukum pidana).

Dari sudut pengertiannya, kebijakan hukum pidana (criminal policy) atau politik

kriminal adalah usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik kriminal ini

merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy).

Kesemuanya merupakan bagian dari politik sosial (social policy) yakni usaha dari

masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya8.

Dengan demikian, kebijakan kriminal merupakan bagian dari kebijakan sosial yang

bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Usaha untuk mencapai kesejahteraan

7 Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, Hlm.46.

8 Muladi, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm.1.

Page 8: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin

102

masyarakat dalam kebijakan kriminal itu dapat dilakukan melalui jalur ”penal” dan ”non

penal”. Jalur penal lebih diarahkan kepada penggunaan hukum pidana setelah terjadinya

kejahatan. Sedangkan jalur non penal lebih diarahkan kepada usaha mencari faktor kondusif

terjadinya kejahatan. Dalam hal ini yang diupayakan adalah menghilangkan sebab-sebab

timbulnya kejahatan, yang antara lain adalah karena tidak efektifnya hukuman yang

diterapkan.

Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor pendorong

penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-

mata dengan upaya penal. Disinilah keterbatasan upaya penal dan oleh karena itu harus

ditunjang oleh jalur non penal. Salah satu jalur non penal untuk mengatasi masalah-masalah

sosial tersebut adalah lewat jalur kebijakan sosial (social policy) 9.

Perlunya sarana non penal diintensifkan dan diefektifkan adalah karena diragukannya

atau dipermasalahkannya efektifitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal10

.

Jadi yang perlu diperhatikan dengan penggunaan jalur non penal itu adalah bagaimana

upaya menghilangkan faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan. Dalam hal ini tentunya

perlu dicari sebab-sebab terjadinya kejahatan. Pembuatan ketentuan perundang-undangan

merupakan salah satu cara untuk pencegahan kejahatan.

Tujuan pemidanaan yang tercantum dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) Baru Pasal 47 yang menyebutkan bahwa:

(1) Pemidanaan bertujuan untuk:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi

pengayoman masyarakat;

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadikannya oranh yang baik dan berguna;

9 Barda Nawawi Arief, Upaya Non-Penal dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah, disampaikan pada Seminar Kriminologi VI di Semarang, 1991, hlm.8.

Page 9: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).

103

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan

merendahkan martabat manusia.

Dalam penjelasan Pasal 47 Rancanan KUHP Baru tersebut ditegaskan bahwa dalam

tujuan pertama jelas tersimpul pandangan tentang urgensi perlindungan masyarakat. Tujuan

kedua, bermaksud bukan saja untuk merehabilitasi tetapi meresosialisasi terpidana dan

mengintegrasikannya ke dalam masyarakat. Sedangkan tujuan ketiga, adalah dimaksudkan

untuk mengembalikan keseimbangan kehidupan sosial yang telah terguncang oleh karena

kejahatan terpidana, yaitu dengan cara membalas kejahatan terpidana dengan pemidanaan

sehingga diharapkan dapat memuaskan perasaan dendam si korban. Adapun tujuan keempat

hakekatnya merupakan tujuan yang lebih bersifat spiritual dimana terbalasnya rasa bersalah

pada diri terpidana baru dapat dicapai apabila ia telah sampai pada sikap tobat yang

sesungguhnya.

Terkait dengan pembentukan dan kewenangan Mahkamah Syar,iyah dalam memeriksa

dan mengadili perkara Jinayah, memiliki sejarah yang panjang. Baerawal dari ketentuan

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan

Provinsi Daerah Istimewa Aceh menyatakan bahwa penyelenggaraan kehidupan beragama

di daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya dalam

masyarakat (Ayat 1). Lebih lanjut dinyatakan bahwa Daerah mengembangkan dan mengatur

penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan tetap

menjaga kerukunan hidup antar umat beragama (Ayat 2).

Aturan mengenai pelaksanaan Syari’at Islam dalam undang-undang tersebut kemudian

disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tantang Otonomi Khusus

10 Barda Nawawi Arief, Ibid., hlm.15.

Page 10: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin

104

Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada

konsideran menimbang huruf (e) Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi

Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi

Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Provinsi NAD).

Dalam pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 disebutkan bahwa Peradilan

Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan

nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun

(Ayat 1). Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)

didasarkan atas Syari’at Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan

Qanun Provinsi NAD. Kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) diberlakukan

bagi pemeluk agama Islam.

Apa saja yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah pada tingkat pertama dan

banding seperti yang disebutkan oleh Undang-Undang di atas diserahkan kepada Qanun

Provinsi NAD. Untuk itu telah disahkan sebuah Qanun yaitu Qanun Nomor 10 Tahun 2002

tentang Peradilan Syari’at Islam. Pasal 49 Qanun ini menetapkan bahwa perkara-perkara

dalam bidang perdata yang meliputi hukum keluarga, hukum perikatan dan hukum tentang

harta benda serta perkara-perkara dalam bidang pidana, yang meliputi qishash-diyat, hudud

dan ta’zir sebagai kewenangan Mahkamah Syar’iyah.

Keberadaan Mahkamah Syar’iyah kembali mendapatkan pengaturan dalam Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Bab XVIII Pasal 11 Undang-

Undang tersebut menentukan bahwa Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa,

mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah

(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang

didasarkan atas syari’at Islam (Ayat 3). Lebih lanjut pasal ini juga menyatakan bahwa

Page 11: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).

105

ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah

(hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) diatur dengan Qanun Aceh.

Untuk mewujudkan kepastian hukum, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 dalam Pasal 53

dan 54 dinyatakan bahwa hukum materil dan formil yang bersumber dari Syari’at Islam

tersebut, yang akan dilaksanakan di Aceh, terlebih dahulu akan dituangkan dalam bentuk

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian Syari’at Islam yang akan

dilaksanakan oleh Hakim Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota dan Hakim Mahkamah

Syar’iyah Provinsi melalui putusan dan penetapannya itu harus dituangkan ke dalam Qanun

terlebih dahulu.

Dalam hubungannya dengan hukum materilnya, hingga sekarang telah disusun

beberapa buah Qanun yaitu:

1. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah

dan Syi’ar Islam.

2. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar (Minuman Keras).

3. Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maysir (Perjudian).

4. Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (Perbuatan Mesum atau Pergaulan

Bebas).

5. Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.

Sementara itu mengenai kelembagaannya, telah disahkan Qanun Nomor 10 tentang

Peradilan Syari’at Islam dan Qanun Nomor 11 Tahun 2004 tentang Kepolisian Daerah, yang

antara lain mengatur tambahan tugas kewenangan polisi dalam penegakan Syari’at Islam di

Aceh. Sedangkan Qanun tentang Kejaksaan Provinsi NAD, yang mengatur tambahan

kewenangan dan tugas lembaga ini dalam menegakkan Qanun, atau untuk menggunakan

Qanun dalam penyidikan dan penuntutan serta kewajiban membawa perkara tersebut ke

Mahkamah Syar’iyah, masih dalam pembahasan. Sementara itu Qanun tentang hukum

formil akan disusun, dan akan dikerjakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan. Baik

Page 12: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin

106

kemampuan untuk mempersiapkan rancangannya, melaksanakannya dan juga kemampuan

keuangan Daerah.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dalam wilayah yurisdiksi Mahkamah Syar’iyah Bireun

yang meliputi wilayah administratif Kabupaten Bireun. Pemilihan lokasi ini atas pertimbangan

bahwa berdasarkan data rekapitulasi perkara jinayah yang ditangani sampai tahun 2008, untuk

perkara Jinayah (maisir atau perjudian) sebanyak 70 perkara telah diperiksa dan diadili oleh

Mahkamah Syar’iyah Bireun. Namun dari keseluruhan perkara tersebut belum dilakukan

eksekusi oleh Kejaksaan Negeri Bireun. Padahal putusan Mahkamah Syar’iyah tersebut sudah

memiliki kekuatan hukum yang tetap, tetapi tidak dilaksanakan atau dieksekusi oleh kejaksaan.

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan tahapan penelitian, yaitu

penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian

lapangan dilakukan dalam upaya untuk mendapatkan data sekunder yang berupa teori-teori dan

konsep tentang Syari’at Islam, Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil. Data ini

diperoleh dengan mempelajari bahan-bahan kepustakaan berupa buku teks, hasil penelitian,

makalah yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Sementara itu melalui penelitian

lapangan akan diperoleh data primer yang diperlukan untuk mempertajam analisis dan

pembahasan. Data ini diperoleh dengan melakukan wawancara dengan mempergunakan alat

pengumpulan data Questioner dan Interview. Wawancara dilakukan dengan para responden dan

informan. Adapun yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah : (a) Hakim Mahkamah

Syar’iyah 5 orang; (b) Kepolisian 2 orang; (c) Kejaksaan Negeri 2 orang; (d) Dinas Syari’at

Islam 2 orang; (d) Terdakwa 10 orang.

Penentuan responden dilakukan berdasarkan tingkat akurasi (validitas) sumber

informasi, yaitu mereka yang mempunyai keterkaitan secara langsung dengan permasalahan

Page 13: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).

107

kapasitas Mahkamah Syar’iyah sebagai institusi peradilan dalam pelaksanaan Syari’at Islam di

Provinsi NAD.

Sedangkan yang dijadikan sebagai informan adalah : (a) Akademisi 4 orang; (b)

Tokoh Agama 4 orang; (c) Advokad/Pengacara 4 orang

Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, langkah berikutnya yang dilakukan

adalah memindahkan berbagai catatan dan data yang didapatkan dalam penelitian lapangan

melalui cara tabulasi data sesuai dengan topiknya masing-masing. Proses selanjutnya adalah,

data tersebut diedit kembali untuk diperiksa reabilitas dan vilidtasnya, agar data yang

dihasilkan benar-benar valid. Langkah berikutnya adalah melakukan analisis data. Dalam

menganalisis data dan mengambil kesimpulan, data sekunder dan data primer dianalisis dengan

metode kualitatif, selanjutnya akan disajikan dalam bentuk deskriptif analisis.

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Penangguhan pelaksanaan (eksekusi) Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah pada

Mahkamah Syar’iyah Bireun.

Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam menetapkan

bahwa perkara-perkara dalam bidang perdata yang meliputi hukum keluarga, hukum

perikatan dan hukum tentang harta benda serta perkara-perkara dalam bidang pidana, yang

meliputi qishash-diyat, hudud dan ta’zir sebagai kewenangan Mahkamah Syar’iyah. Atas

dasar kewenangan tersebut, dalam rentang waktu 2007 sampai dengan 2010, Mahkamah

Syar’iyah Bireun telah memeriksa dan mengadili perkara jinayah sebanyak 27 perkara.

Keseluruhan perkara tersebut merupakan pelanggaran terhadap Qanun Nomor 13 Tahun

2003 tentang Maisir. Sementara pelanggaran terhadap ketentuan Qanun Nomor 12 Tahun

2003 dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tidak satupun diperiksa dan diadili oleh Mahkamah

Syar’iyah Bireun.

Page 14: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin

108

Meskipun keputusan Mahkamah Syar’iyah dalam perkara tersebut sudah memiliki

kekuatan hukum yang tetap, belum satu dari perkara tersebut dilaksanakan atau dieksekusi

oleh Kejaksaan Negeri Bireun. Padahal dalam Pasal 29 Qanun Nomor 13 Tahun 2003

tentang Maisir dinyatakan bahwa pelaksanaan ’uqubat dilakukan segera setelah putusan

hakim mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedangkan penundaan pelaksanaan ’uqubat

hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat hal-

hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang

(Ayat 2). Ketentuan serupa juga diatur dalam Pasal 32 Qanun Nomor 12 Tahun 2003

tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya dan Pasal 27 Qanun Nomor 14 Tahun 2003

tentang Khalwat. Pihak kejaksaan tidak pernah menyampaikan laporan secara resmi tentang

alasan yang menyebabkan tidak atau belum dieksekusinya Putusan Mahkamah Syar’iyah

Bireun tersebut.11

Hasil penelitian memperlihatkan ada beberapa hal yang menyebabkan

Kejaksaan Negeri Bireun tidak atau belum melaksanakan (eksekusi) terhadap Putusan

Mahkamah Syar’iyah tersebut, yaitu:

a. Pemerintah Daerah tidak menyediakan anggaran yang cukup

Mahkamah Syar’iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun tidak memiliki

anggaran yang khusus untuk melaksanakan tugas tambahan sebagai institusi pelaksana

dalam pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Sebagai instansi vertikal kedua lembaga ini

mengelola anggaran yang bersumber dari APBN, sama seperti Pengadilan Agama dan

Kejaksaan Negeri di daerah lain di Indonesia.12

Dalam melaksanakan tugas tambahan

yang dibebankan kepada kedua lembaga ini tidak diikuti pengalokasian anggaran dari

APBD.

Pelaksanaan (eksekusi) Putusan Mahkamah Syar’iyah oleh Kejaksaan Negeri

Bireun, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Qanun tentang Maisir, dilakukan di

11

A. Karim, Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus 2010.

Page 15: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).

109

suatu tempat yang dapat disaksikan oleh orang banyak dan dihadiri oleh Jaksa Penuntut

Umum dan tenaga kesehatan yang ditunjuk. Konsekuensi dari ketentuan pasal ini adalah

diperlukan anggaran yang besar untuk setiap kali melaksanakan eksekusi. Paling tidak

diperlukan dana sebesar Rp. 20.000.000,- setiap kali eksekusi. Dana tersebut diperlukan

untuk kebutuhan peralatan, honor petugas (kejaksaan, pengamanan, dan petugas

kesehatan) dan lainnya. Oleh karena itu, dalam menyiasati keterbatasan anggaran ini,

pelaksanaan eksekusi dilakukan terhadap beberapa orang terpidana.13

Kewenangan

pengelolaan anggaran untuk pelaksanaan (eksekusi) Putusan Mahkamah Syar’iyah

Bireun seluruhnya dibebankan kepada APBD Kabupaten Bireun melalui DIPA Dinas

Syariat Islam Kabupaten Bireun. Ironisnya, Dinas Syariat Islam tidak memiliki anggaran

untuk eksekusi putusan. Sejak tahun 2007 hingga 2009, Dinas Syariat Islam mengusulkan

anggaran untuk kegiatan tersebut, akan tetapi dihilangkan oleh panitia anggaran eksekutif

dengan alasan keterbatasan anggaran. Bahkan untuk tahun 2010 lalu, Dinas Syariat Islam

tidak mengusulkan lagi anggaran untuk pelaksanaan putusan mahkamah.14

Tahun

Anggaran 2010, jumlah anggaran yang dikelola oleh Dinas Syariat Islam untuk Bidang

Pengawasan Syariat Islam dan Wilayatul Hisbah hanya sebesar Rp. 224.896.000,-.

Anggaran sebesar ini kemudian dibagi lagi untuk kegiatan yang dilaksanakan oleh dua

seksi, yaitu Seksi Penyidikan dan Pencegahan serta Seksi Pelaksanaan Syariat Islam.

Mengacu kepada jumlah anggaran yang tersedia tersebut, terlihat bahwa persoalan

ketersediaan anggaran ini merupakan penyebab utama yang mengakibatkan tidak atau

belum dieksekusinya Putusan Mahkamah Syar’iyah Bireun.

12 A. Karim, Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus 2010. 13

Ricky Febriandi, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus 2010. 14

Ahmad Ajady, Sekretaris Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireun, Wawancara, Tanggal 31 Agustus 2010.

Page 16: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin

110

b. Tidak ada kewenangan untuk melakukan penahan

Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun Nomor 13 Tahun 2003

tentang Maisir, dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat tidak memberikan

kewenangan untuk melakukan penahanan kepada institusi penegak hukum dalam perkara

pelanggaran terhadap ketiga qanun tersebut. Sehingga tidak ada kekuatan yang dapat

memaksa terdakwa atau terpidana untuk mengikuti proses penegakan hukum yang

berjalan.

Tidak adanya kewenangan untuk melakukan penahanan ini merupakan masalah

tersendiri dalam penegakan ketentuan qanun di atas. Pada tingkat pemeriksaan di

mahkamah misalnya, ketika terdakwa dipanggil untuk menghadiri sidang, tidak bersedia

hadir. Mahkamah tidak diperkenankan untuk menjemput paksa supaya terdakwa

dihadirkan ke persidangan. Akibatnya membuat pemeriksaan menjadi lama dan berjalan

sangat lambat. Hal ini juga dapat terjadi pada saat eksekusi, pernah terjadi kasus di

Kabupaten Bireun, pada saat eksekusi akan dilaksanakan terpidana melarikan diri.

Karena tidak ada kewenangan untuk memaksa kepada penegak hukum, terpidana tidak

dikejar dan ditangkap kembali. Sekarang ini terpidana bebas berkeliaran tanpa ada upaya

dari penegak hukum untuk menangkap kembali.15

2. Upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri

Bireun agar Putusan Hakim dalam perkara Jinayah dapat dilaksanakan

(dieksekusi).

Uraian terdahulu memperlihatkan bahwa jumlah Putusan Mahkamah Syar’iyah

Bireun yang tidak atau belum dilaksanakan (tidak dieksekusi) oleh Kejaksaan Negeri

Bireun sangat besar, dan sudah berlangsung dalam waktu yang lama. Apabila keadaan ini

Page 17: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).

111

berlangsung terus untuk waktu yang lama akan mengakibatkan kewibawaan Mahkamah

Syar’iyah sebagai institusi Peradilan Syari’at Islam (khusus dalam perkara jinayah) di

Provinsi Aceh akan melemah, dan kepastian hukum tidak dirasakan lagi oleh masyarakat.

Mahkamah Syar’iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun telah malakukan upaya-

upaya sehingga eksekusi putusan mahkamah dapat berjalan dengan lancar, sehingga

kepastian hukum dapat tercipta. Upaya tersebut adalah:

a. Penunjukan Hakim Pengawas dan Pengamat

Keberadaan Hakim Pengawas dan Pengamat ini sudah dikenal dalam lingkungan

Pengadilan Negeri. Hakim ini akan bertugas untuk memastikan bahwa keputusan yang

sudah ditetapkan oleh pengadilan sudah dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Apabila terpidana sudah ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan, Hakim

Pengawas dan Pengamat dapat melakukan pemeriksaan ke ruang tahanan terpidana

untuk memastikan apakah keputusan pengadilan sudah dilaksanakan atau belum.

Keberadaan Hakim Pengawas dan Pengamat ini diharapkan akan berperan

sekaligus untuk mengetahui apa saja kendala-kendala dalam pelaksanaan putusan

mahkamah. Sehingga dapat dicarikan upaya pemecahannya. Keberadaan Hakim

Pengawas dan Pengamat ini belum diatur dalam qanun, padahal peranannya sangat

menentukan.16

b. Koordinasi dengan lembaga terkait

Kejaksaan Negeri Bireun melakukan koordinasi dengan lembaga terkait,

khususnya Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireun. Koordinasi ini dilakukan untuk

memastikan bahwa tersedia dana dan mencukupi untuk pelaksanaan (eksekusi)

15 Bakhtiar, Panitera Sekretaris Mahkamah Syar’iyah Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus 2010. 16 A. Karim, Ketua Mahkamah Syar’iyah Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus 2010.

Page 18: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin

112

Putusan Mahkamah Syar’iyah Bireun. Pihak kejaksaan hanyalah sebagai pelaksana

saja, sedangkan pengelolaan anggaran adalah kewenangan dari Dinas Syariat Islam.17

E. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan dan dikemukakan saran sebagai

berikut :

A. Kesimpulan

1. Kurun waktu tahun 2007 hingga tahun 2010, Mahkamah Syar’iyah Bireun telah

memeriksa dan mengadili perkara jinayah sebanyak 27 perkara. Keseluruhan perkara

tersebut merupakan pelanggaran terhadap Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Maisir. Sementara pelanggaran terhadap ketentuan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 dan

Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tidak satupun diperiksa dan diadili oleh Mahkamah

Syar’iyah Bireun. Meskipun keputusan Mahkamah Syar’iyah dalam perkara tersebut

sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap, belum satu dari perkara tersebut

dilaksanakan atau dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Bireun.

2. Mahkamah Syar’iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun tidak memiliki anggaran

yang khusus untuk melaksanakan tugas tambahan sebagai institusi pelaksana dalam

pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Sebagai instansi vertikal kedua lembaga ini

mengelola anggaran yang bersumber dari APBN, sama seperti Pengadilan Agama dan

Kejaksaan Negeri di daerah lain di Indonesia.

3. Qanun Aceh tidak memberikan kewenangan kepada institusi penegakan hukum untuk

melakukan penahanan terhadap tersangka, terdakwa dan terpidana dalam perkara

17 Ricky Febriandi, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Bireun, Wawancara, Tanggal 30 Agustus 2010.

Page 19: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muazzin No. 53, Th. XIII (April, 2011).

113

jinayah. Sehingga tidak ada kekuatan yang dapat memaksa terdakwa atau terpidana

untuk mengikuti proses penegakan hukum yang berjalan.

4. Mahkamah Syar’iyah Bireun dan Kejaksaan Negeri Bireun malakukan upaya-upaya

seperti membentuk Hakim Pengawas dan Pengamat, melakukan koordinasi dengan

lembaga terkait sehingga eksekusi putusan mahkamah dapat berjalan dengan lancar,

sehingga kepastian hukum dapat tercipta.

B. Saran

1. Pemerintah Aceh dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bireun harus memiliki

komitmen anggaran yang tinggi untuk mendukung pelaksanaan Syariat Islam di

Aceh, dengan memberikan dukungan anggaran yang tersedia dan mencukupi untuk

pelaksanaan (eksekusi) Putusan Mahkamah Syariah Bireun. Hal ini sejalan dengan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Undang-Undang Pemerintahan

Aceh, yang secara ekplisit mengatur tentang dukungan anggaran dalam APBA bagi

Mahkamah Syar’iyah dan Kejaksaan selaku instansi vertikal.

2. Mengingat peranannya yang sangat penting, perlu diatur tentang masa penahanan

terhadap pelaku pelanggaran Qanun Jinayat. Tentang masa penahanan ini sebenarnya

sudah diatur dalam Rancangan Qanun Hukum Acara Jinayat sekarang ini sedang

dalam tahapan proses legislasi, sehingga belum ada hukum acara yang bersifat

khusus. Oleh karena itu upaya penyidikan dan penuntutan tetap menggunakan

KUHAP.

Page 20: THE CONSTRAINTS OF EXECUTION ON THE CONVICTION OF …

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Hambatan Eksekusi Putusan Hakim dalam Perkara Jinayah No. 53, Th. XIII (April, 2011). Muazzin

114

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi (2002), Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I, Penerbit PT Raja Grafindo, Jakarta.

Adami Chazawi (2002), Pelajaran Hukum Pidana, Bagian II, Penerbit PT Raja Grafindo, Jakarta.

Adami Chazawi (2002), Pelajaran Hukum Pidana, Bagian III, Penerbit PT Raja Grafindo, Jakarta.

Al Yasa’ Abubakar (2004), Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Anthon F. Susanto, “Membangun Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Ligitasi, Fakultas Hukum Unpas, Bandung, Vol.3 No.1 Januari-Juni 2002.

Barda Nawawi Arief (1991), Upaya Non-Penal dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah disampaikan pada Seminar Kriminologi VI di Semarang.

Chainur Arrasjid (1999), Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminal, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas hukum USU, Medan.

Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD (2004), Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, Edisi Ketiga, Banda Aceh.

Harun M. Husein (1991), Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Kunarto (1999), Batu Sandungan, Cipta Manunggal, Jakarta.

Leden Marpaung (1994), Putusan Bebas Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta.

Mardjono Reksodiputro (1995), Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Muladi, Barda Nawawi Arief (1992), Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung

Yahya Harahap (2001), Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika.

Romli Atmasasmita (1996), Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem), Bina Cipta, Bandung.

Rusydi Ali Muhammad (2003), Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, Problema, Solusi dan Implementasi, Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Logos, Jakarta.