tesiskhairuna

Upload: irwandiman6349

Post on 12-Jul-2015

929 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Judul Tesis: Penerapan Pendekatan Metakognitif Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Kelas V SD Dalam Memodelkan Soal Cerita Matematika Pada Pokok Bahasan Pecahan. Tesis. Medan: Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan, 2010. Oleh: Muflihatun Khairuna Pasaribu

2

DAFTAR ISI ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH 1.2. IDENTIFIKASI MASALAH 1.3. PEMBATASAN MASALAH 1.4. RUMUSAN MASALAH 1.5. TUJUAN PENELITIAN 1.6. MANFAAT PENELITIAN KAJIAN PUSTAKA 2.1. KERANGKA TEORITIS 2.1.1. Kerangka Teoritis 2.1.1.1. Kemampuan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika 2.1.1.2. Pemodelan Soal Cerita Matematika 2.1.1.3. Pembelajaran Matematika 2.1.1.4. Pendekatan Metakognitif 2.1.1.5. Konsep Pecahan 2.1.1.6. Teori Belajar Yang Mendukung Pendekatan Metakognitif 2.1.2. Penelitian Yang Relevan 2.2. KERANGKA KONSEPTUAL 2.3. HIPOTESIS METODE PENELITIAN 3.1. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN 3.1.1. Tempat Penelitian 3.1.2. Waktu Penelitian 3.2. SUBJEK DAN OBJEK PENELITIAN 3.2.1. Subjek Penelitian 3.2.2. Objek Penelitian 3.3. DISAIN PENELITIAN 3.3.1. Siklus I 3.3.2. Siklus II 3.4. DEFINISI OPERASIONAL 3.5. TEKNIK PENGUMPULAN DATA 3.6. TEKNIK ANALISIS DATA 3.7. INDIKATOR KERJA i ii iii v vii ix x 1 1 8 9 10 10 11 12 12 12 12 13 19 24 38 40 47 49 54 55 55 55 55 55 55 56 56 58 62 68 68 92 94

BAB II

BAB III

3

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL PENELITIAN 4.1.1. Proses Adaptasi Pendekatan Metakognitif PQ4R 4.1.2. Pelaksanaan Pendekatan Metakognitif PQ4R 4.1.2.1. Siklus I 4.1.2.2. Siklus II 4.1.3. Kemampuan Metakognitif Siswa 4.1.4. Kemampuan Siswa SD Dalam Memodelkan Soal Cerita Matematika 4.2. TEMUAN PENELITIAN 4.3. DISKUSI HASIL PENELITIAN KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN 5.2. SARAN

95 95 96 99 99 120 138 139 140 143 149 149 150 152 155

BAB V

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

4

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG MASALAH Pada umumnya, soal-soal yang ada pada buku paket/pegangan siswa

diberikan dimulai dari yang mudah (aspek ingatan), kemudian diikuti oleh soalsoal yang mengungkapkan kemampuan pemahaman. Setelah itu, diberikan soalsoal penerapan yang mengaitkan konsep-konsep yang dibahas dengan kehidupan sehari-hari yang biasanya disajikan dalam bentuk cerita atau lebih populer disebut dengan soal cerita. Karena matematika memiliki model pembahasan, baik dengan lambang maupun dengan gambar, diagram atau grafik, maka masalah kehidupan sehari-hari atau masalah keilmuan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa matematika. Selanjutnya, karena matematika memiliki operasi dan prosedur, maka model matematika itu dapat diolah untuk mencari pemecahan dari suatu masalah. Dalam kurikulum 2004 mata pelajaran matematika untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah disebutkan bahwa: Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, dan eksperimen, sebagai alat pemecahan masalah melalui pola pikir dan model matematika, serta sebagai alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan. Tujuan pembelajaran matematika adalah melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten. Serta mengembangkan sikap gigih dan percaya diri sesuai dalam menyelesaikan masalah.

5

Salah satu cara untuk melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten adalah menyelesaikan soal cerita yang menyangkut masalah kehidupan sehari-hari melalui model matematika. Melalui soal cerita, maka siswa dilatih untuk mengembangkan pola pikirnya, mengembangkan sikap gigih, dan percaya diri untuk memenuhi tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2004. Selain itu, Nurhadi (2004: 205) mengemukakan: Kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika mulai dari SD dan MI sampai SMA dan MA adalah sebagai berikut: 1. Menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; 2. Memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik atau diagram untuk memperjelas keadaan atau masalah; 3. Menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; 4. Menunjukkan kemampuan strategik dalam membuat (merumuskan), menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah; 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. Melalui soal cerita, kelima kecakapan atau kemahiran matematika di atas dapat dikembangkan. Karena soal cerita bermanfaat untuk mencapai fungsi, tujuan, dan kecakapan atau kemahiran matematika, maka pemberian soal cerita kepada siswa dalam proses pembelajaran matematika dianggap perlu. Untuk itulah, diperlukan suatu pendekatan pembelajaran untuk meningkatkan

kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita. Namun, pada kenyataannya berbagai masalah ditemui dalam pembelajaran matematika. Salah satu contoh masalah dalam pembelajaran matematika tersebut

6

yaitu apabila sebuah pertanyaan diajukan kepada siswa: Apa bagian yang sulit dalam pelajaran matematika? Mungkin sebagian besar siswa akan mengangguk setuju jika disebutkan salah satu bagian yang sulit adalah menyelesaikan masalah soal cerita matematika. Rendahnya kemampuan memodelkan soal cerita terjadi pada siswa SD. Sebagian besar siswa dapat menyelesaikan soal tetapi tidak mampu menjelaskan jawaban yang mereka berikan. Sebagian besar siswa hanya mampu mengerjakan soal yang sudah diberikan contoh penyelesaian, siswa hanya mengikuti langkahlangkah yang diberikan guru pada contoh soal. Siswa tidak dapat menjelaskan alasan dari setiap langkah yang mereka kerjakan. Proses pembelajaran yang terjadi juga masih satu arah yaitu guru sebagai pusat pembelajaran. Para siswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal cerita. Mereka masih sulit memahami apa yang diketahui dan ditanya dari soal. Mereka hanya mengalikan atau membagi angka-angka yang ada dalam soal, tanpa tahu mengapa bisa dikalikan maupun dibagi. Berdasarkan observasi lapangan dan wawancara dengan salah satu guru yang mengajar matematika di SD Negeri 060818 Medan, bahwa kesulitan siswa menyelesaikan soal cerita disebabkan kesulitan siswa dalam membuat pemodelan atau representasi matematika. Sebagai contoh, di saat siswa diminta

menyelesaikan soal cerita mengenai operasi hitung menggunakan perbandingan. Jika diberikan soal sebagai berikut: Perbandingan manik-manik merah dan

manik-manik biru pada kalung adalah 1 : 3. Jika banyak manik-manik merah 5, berapa banyak manik-manik biru? Tanpa berpikir panjang, kebanyakan siswa menyelesaikan soal tersebut dengan langsung mengurangkan banyak manik-

7

manik merah dengan nilai perbandingan manik-manik biru, sehingga mereka menuliskan: Manik-manik biru = manik-manik merah nilai perbandingan manik-manik biru = 53=2 Ini merupakan penyelesaian yang salah, karena mereka belum memahami soal tersebut. Jadi, masih dibutuhkan pemahaman yang lebih untuk menyelesaikan soal cerita. Agar dapat menyelesaikan soal cerita tersebut dengan benar, maka seharusnya siswa menerapkan lima langkah mudah dalam menyelesaikan soal cerita yang dimulai dengan membaca soal, pilih informasi penting, menentukan strategi yang tepat misalnya menggunakan perbandingan, menyelesaikan masalah, dan memeriksa jawaban. Masalah dunia real dan model matematika yang menghadirkan kesulitan siswa yaitu transisi dari dunia real ke model matematika dan sebaliknya transisi solusi model ke dunia real. Kegagalan siswa dalam pemodelan dapat diakibatkan antara lain karena siswa tidak dapat mentransformasi masalah dunia real ke model matematika, tidak mengetahui konsep-konsep matematika yang mendasari ke arah pemodelan, tidak mampu menghubungkan data dengan kaedah-kaedah

matematika sehingga ditemukan suatu bentuk model matematika, atau tidak mampu menyelesaikan model matematika yang ditemukan. Permasalahan lain yang dapat mengakibatkan siswa mengalami kesulitan memahami pemodelan matematika adalah lemahnya pemahaman siswa terhadap teknik dan strategi pemecahan masalah dan proses berpikir matematis siswa yang belum kritis dan analitis.

8

Seorang guru biasanya menjelaskan kepada siswanya bagaimana menjawab suatu soal cerita. Dimulai dengan menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Setelah itu dilanjutkan dengan proses penyelesaian soal. Merupakan suatu kekeliruan apabila seorang siswa yang mampu menuliskan apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan maka siswa tersebut sudah dianggap dapat memahami masalah. Tidak sedikit siswa yang hanya mampu menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, namun setelah itu tidak mampu berbuat apa-apa. Ini menunjukkan bahwa memahami masalah tidak cukup hanya dengan menuliskan kembali apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan. Untuk dapat menyelesaikan soal cerita matematika dengan benar seorang siswa perlu memahami apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan. Memahami apa yang diketahui berarti memahami informasi yang tersurat maupun yang tersirat di dalamnya. Sedangkan memahami apa yang ditanyakan berarti mengerti tentang istilah atau konsep-konsep yang berkaitan dengan yang ditanyakan. Setelah itu baru dilanjutkan dengan langkah atau proses penyelesaian. Hal ini juga didukung tulisan Andriani diperoleh bahwa hasil penelitian Tim Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika di beberapa Sekolah Dasar di Indonesia mengungkapkan bahwa kesulitan siswa dalam belajar matematika yang paling menonjol adalah keterampilan berhitung yaitu 51%, penguasaan konsep dasar yaitu 50%, dan penyelesaian soal pemecahan masalah 49%. Dilanjutkan pada tahun 2002 penelitian Pusat Pengembagan Penataran Guru Matematika mengungkapkan di beberapa wilayah Indonesia yang berbeda, sebagian besar siswa SD kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah dan menerjemahkan soal kehidupan sehari-hari ke model matematika.

9

Untuk dapat menyelesaikan suatu masalah yang berbentuk soal cerita matematika, diperlukan suatu pendekatan. Matematika (2001:95-96) mengungkapkan: Kesuksesan sesorang dalam menyelesaikan pemecahan masalah antara lain sangat tergantung pada kesadarannya tentang apa yang mereka ketahui dan bagaimana dia melakukannya. Metakognisi adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang dia ketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Anak perlu menyadari akan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam pemecahan masalah, karena dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan: Apa yang saya kerjakan?, Mengapa saya mengerjakan ini?, Hal apa yang membantu saya dalam menyelesaikan masalah ini?. Menanamkan metakognisi kepada siswa yang berhubungan dengan kompetensi pemodelan matematika mencakup beberapa metode yang cukup logis antara lain: menanamkan ilmu pengetahuan tentang pemodelan, melakukan diskusi atau pembahasan tentang persepsi siswa yang berbeda tentang proses pemodelan di dalam kelas, mengatasi segala kesalahan-kesalahan yang dihasilkan oleh siswa dan menganalisisnya, membuat perencanaan, monitoring, dan validasi, dan membantu mereka dengan skema proses pemodelan, membandingkan dan membahas solusi yang berbeda dengan mengajukan argumen dan alasan untuk itu, dan menggambarkan contoh-contoh positif dari monitoring sendiri dalam pelajaran pemodelan, dan melakukan monitoring eksternal oleh para guru. Cheong dan Goh (2002: 4- 5) menyebutkan ada 4 metode pembelajaran umum yang mendukung metakognisi yaitu Justification for Answers, KWL (Know Want to Learn), IDEAL (Identify, Define, Explore, Act, and Look), dan PQ4R (Preview, Question, Read, Reflect, Recite, and Review). Keempat metode Tim MKPBM Jurusan Pendidikan

10

pembelajaran

ini

biasanya

digunakan

untuk

meningkatkan

kemampuan

metakognisi siswa. Karena menyadari akan pentingnya kemampuan siswa SD untuk menyelesaikan soal cerita, maka peneliti merasa terpanggil untuk menerapkan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa tersebut. Dalam menyelesaikan soal cerita, siswa dituntut untuk memahami hal-hal yang ada pada teks soal tersebut agar dapat menjawabnya dengan benar. Untuk itu, peneliti memilih salah satu metode pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam meningkatkan pemahaman membaca teks dan untuk

mengembangkan metakognisi siswa dalam memodelkan soal cerita matematika yaitu PQ4R (Preview, Question, Read, Reflect, Recite, and Review). PQ4R digunakan karena melalui PQ4R kinerja memori dapat ditingkatkan dalam memahami substansi teks. Karena pada hakekatnya PQ4R merupakan penimbul pertanyaan dan tanya jawab yang dapat mendorong pembaca teks melakukan pengolahan materi secara lebih mendalam dan luas. Metode ini digunakan untuk membantu siswa mengingat apa yang mereka baca. P singkatan dari Preview (membaca selintas dengan cepat), Question (bertanya), Read (membaca), Reflect (refleksi), Recite (tanya jawab sendiri), Review (mengulang secara menyeluruh). Langkah-langkah penerapan PQ4R mengikuti urutan nama-nama tersebut, yaitu: (1) Preview adalah tugas membaca dengan cepat dengan memperhatikan judul-judul dan topik utama, baca tujuan umum dan rangkuman, dan rumuskan isi bacaan tersebut membahas tentang apa, (2) Question adalah mendalami topik dan judul utama dengan mangajukan pertanyaan yang jawabannya dapat ditemukan di dalam bacaan tersebut, kemudian mencoba menjawabnya sendiri, (3) Read adalah

11

tugas membaca bahan bacaan secara cermat, dengan mengecek jawaban yang diajukan pada langkah kedua, (4) Reflect adalah melakukan refleksi sambil membaca dengan cara menciptakan gambaran visual dari bacaan dan mengubungkan informasi baru di dalam bacaan tentang apa yang telah diketahui, (5) Recite adalah melakukan resitasi dengan menjawab dengan suara keras pertanyaan yang ajukan tanpa membuka buku, dan (6) Review adalah langkah untuk mengulang kembali seluruh bacaan, baca ulang bila perlu, dan sekali lagi jawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Peneliti memilih pokok bahasan pecahan. Peneliti memilih pokok bahasan ini karena siswa selalu menemui hal-hal yang berhubungan dengan pecahan dalam kehidupan sehari-hari. Sewaktu siswa mengembangkan pemahaman mereka mengenai pecahan, mereka bisa dan sebaiknya secara terus menerus mengembangkan penguasaan pecahan dan cara-cara untuk memikirkan kombinasi tentang fakta-fakta dasar. Soal cerita mengenai pecahan juga merupakan metode yang bisa digunakan untuk mengembangkan keterampilan komputasi. Karena dilatarbelakangi hal-hal di atas, maka peneliti peneliti akan melakukan penelitian dengan judul PENERAPAN PENDEKATAN SISWA

METAKOGNITIF

UNTUK

MENINGKATKAN

KEMAMPUAN

KELAS V SD DALAM MEMODELKAN SOAL CERITA MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN PECAHAN.

1.2.

IDENTIFIKASI MASALAH Berbagai masalah ditemui dalam pembelajaran matematika di tingkat

Sekolah Dasar. Karena pentingnya penguasaan matematika yang kuat sejak dini,

12

maka perlu diupayakan penanggulangan masalah-masalah tersebut sejak dini pula. Masalah yang ditemui dalam pembelajaran matematika di tingkat Sekolah Dasar antara lain dalam pembelajaran soal cerita. Adapun masalah-masalah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Kemampuan siswa kelas V SD dalam menyelesaikan masalah matematika masih rendah karena kurangnya pemahaman siswa tentang masalah matematika tersebut. 2. Kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika masih rendah. 3. 4. Hasil belajar matematika siswa kelas V SD masih rendah. Siswa kelas V SD belum mampu mengoptimalkan dan meningkatkan kemampuan metakognisinya dalam belajar matematika. 5. 6. Pembelajaran matematika yang diterapkan selama ini masih belum memadai. Kurangnya pengembangan dan penerapan pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika. 7. Pengembangan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika. 8. Penerapan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika.

1.3.

PEMBATASAN MASALAH Pentingnya upaya untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut, agar

dapat terselesaikan dengan baik, maka peneliti merasa perlu untuk membatasi

13

masalah yang akan diteliti. Dari berbagai masalah di atas, maka masalah yang akan diteliti dibatasi pada:1. Kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika.

Kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika merupakan aktivitas menerjemahkan kalimat cerita menjadi persamaan, pertidaksamaan, atau fungsi maupun membuat model berupa diagram. Adapun pokok bahasan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pecahan. 2. Penerapan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika. Pada aspek

penerapan pendekatan metakognitif ditinjau dari tahap adaptasi dan penerapan tindakan. Pada tahap adaptasi ini, siswa akan diperkenalkan

dengan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif PQ4R, dan dilanjutkan dengan penerapan tindakan.

1.4.

RUMUSAN MASALAH Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Apakah penerapan pendekatan metakognitif PQ4R dapat digunakan untuk

mengungkapkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan? 2. Apakah terdapat peningkatan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan melalui penerapan pendekatan metakognitif PQ4R?

1.5.

TUJUAN PENELITIAN

14

Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti antara lain: 1. Untuk mengidentifikasi penerapan pendekatan metakognitif PQ4R dalam mengungkapkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan. 2. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan melalui penerapan pendekatan metakognitif PQ4R.

1.6.

MANFAAT PENELITIAN Hasil dari pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas ini akan memberikan

manfaat yang berarti bagi perorangan/institusi di bawah ini: 1. Bagi guru: dengan dilaksanakannya penelitian tindakan kelas ini, guru dapat sedikit demi sedikit mengetahui pendekatan pembelajaran yang bervariasi khususnya pendekatan metakognitif PQ4R untuk memperbaiki dan

meningkatkan sistem pembelajaran di kelas, serta meningkatkan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika. 2. Bagi siswa: hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi siswa untuk meningkatkan kemampuan metakognisinya dan kemampuannya dalam memodelkan soal cerita matematika. 3. Bagi sekolah: hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan yang baik pada sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran. 4. Bagi mahasiswa calon guru: hasil penelitian ini akan memberikan masukan dan sumbangan informasi mengenai pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan di lapangan.

15

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1

KERANGKA TEORITIS Kerangka teoritis dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian

sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Selain itu, kerangka teoritis juga

bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Dalam kerangka teoritis akan

dipaparkan mengenai dasar teori dan penelitian yang relevan.

2.1.1. Kerangka Teoritis Dalam kerangka teoritis akan dipaparkan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian, antara lain: 2.1.1.1. Kemampuan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Siswa yang telah mengikuti pembelajaran akan memiliki kemampuan (kompetensi) pada materi pembelajaran tersebut. Siswa yang telah memiliki kemampuan (kompetensi) mengandung arti bahwa siswa telah memahami, memaknai, dan memanfaatkan materi pelajaran yang telah dipelajarinya. Begitu juga halnya dengan pembelajaran matematika. Setelah mengikuti pembelajaran matematika, siswa diharapkan memiliki kemampuan tertentu pula. Kemampuan yang diharapkan dimiliki siswa setelah mengikuti pembelajaran matematika hendaknya diperoleh dan dibentuk oleh siswa sendiri, agar lebih bermakna. Jika telah kita pahami fungsi matematika yaitu sebagai bahasa, sebagai cara berpikir

16

nalar, dan sebagai alat memecahkan masalah, maka pembelajaran matematika hendaknya diarahkan kepada pembentukan kemampuan untuk memfungsikan matematika, baik dalam mempelajari ilmu lain maupun dalam melakukan pekerjaan. Menurut National Council of Teacher of Mathematics (NCTM, 2000), tujuan pembelajaran matematika telah mengalami perubahan, tidak lagi hanya menekankan pada peningkatan hasil belajar, namun juga diharapkan dapat meningkatkan keterampilan proses. Menurut National Council of Teacher of Mathematics (NCTM, 2000) menetapkan ada 5 keterampilan proses yang harus dikuasai siswa melalui pembelajaran matematika, yaitu: (1) pemecahan masalah (problem solving); (2) penalaran dan pembuktian (reasoning and proof); (3) koneksi (connection); (4) komunikasi (communication); serta (5) representasi (representation). Kelima keterampilan proses matematika ini harus dapat Oleh karena itu, perlu

dikembangkan melalui pembelajaran matematika.

dipertimbangkan untuk merancang pembelajaran matematika yang secara komprehensip dapat meningkatkan penguasaan fakta dan prosedur, pemahaman konsep serta penguasaan keterampilan proses matematika sekaligus.2.1.1.2.

Pemodelan Soal Cerita Matematika

Soal yang digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam bidang studi matematika dapat berbentuk soal cerita dan soal non cerita. Biasanya, pada buku untuk kelas lima sampai kelas delapan, soal-soal yang dikemukakan merupakan bagian dari kumpulan soal yang memiliki satu konteks atau tema. Soal cerita adalah soal yang disajikan dalam bentuk cerita dan pada umumnya soa1 ini diangkat dari kegiatan sehari-hari yang di dalamnya

17

terkandung berbagai konsep matematika. Fosnot dan Dolk (dalam Walle, 2008: 153) mengemukakan bahwa: pada soal cerita, anak-anak cenderung untuk fokus pada mendapatkan jawaban, mungkin sesuai dengan apa yang diinginkan oleh gurunya. Soal cerita dirancang untuk mengantisipasi dan mengembangkan pemodelan matematika anak-anak di dunia nyata. Penggunaan soal cerita sangat membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan metakognisinya. Untuk itu, perlu dikenalkan kepada siswa langkah-langkah dalam menyelesaikan soal cerita matematika. Huston (2008) mengemukakan bahwa: Math is difficult for many people. The rules are many and often difficult to remember. Story problems are especially difficult because one has to interpret the words to come up with the math work. Following the five steps listed in this article will make any problem easy to solve. Step 1: Read the Problem This step requires the solve to do just what it says and read the problem. No solving is done or information is searched for. This is the step to get an overview. Step 2: Select Important Information This step requires rereading the problem. While rereading all the important information in the problem is underlined. This information should include the numbers and all math words. The solver should also try and figure out which math procedure is called for by the words. For example, the words combine and total mean add while difference means subtract. The word is following a number tells which number is the answer or what the solution will be based on. Step 3: Decide Which Strategy to Use for Solving In this step a chose of how to solve the problem will have to be made. The choice could be as simple as writing a math equation. More complex problems may require the formulation of an algebra problem or the use of a problem solving strategies. Strategies such as guess and check, draw a picture and work backwards can be used on many types of problems. Sometimes more than one strategy will work on problem in which case the solver can select their favorite strategy or use the easiest one. Step 4: Solve the Problem The solver has identified the pertinent information and chosen a strategy. Now is time to solve the problem. Sometimes in this step the solver will realize the chosen strategy isn't working, in which case they need to return to step 3 and select another strategy. Step 5: Check the Answer

18

The final step is to check your answer. Put the answer back into the problem and see if it makes sense or could possibly be an answer. If the answer makes sense, congratulations the problem is solved. If the answer makes no sense, return to step 2 and try again. Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa menyelesaikan soal cerita sulit, tetapi dengan mengikuti lima langkah mudah, maka soal cerita menjadi mudah untuk diselesaikan. Adapun langkah tersebut yaitu: 1. Baca soal Langkah ini untuk mengetahui apa yang dikatakan dan baca soal. Langkah ini digunakan untuk memperoleh sebuah latar belakang. 2. Pilih informasi penting Langkah ini menginginkan membaca kembali soal. Ketika membaca kembali semua informasi penting dalam soal digaris bawahi. Informasi ini meliputi angka dan kata-kata matematika. Pemecah soal juga mencoba dan mengggambarkan prosedur matematika yang disampaikan oleh kata-kata. 3. Tentukan strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah Pada langkah ini, pilih sebuah penyelesaian sederhana berupa persamaan matematika atau strategi penyelesaian masalah lainnya. 4. Selesaikan masalah Sekarang, waktunya menyelesaikan masalah. Jika strategi yang dipilih tidak dapat berjalan, maka kembali ke langkah 3 dan pilih strategi lainnya. 5. Periksa jawaban Periksa jawaban yang diperoleh. Apakah jawaban yang diperoleh mungkin menjadi jawaban dari soal. Jika ya, maka soal telah terselesaikan. Jika tidak, maka kembali ke langkah 2 dan coba lagi.

19

Ada pendapat lain tentang menyelesaikan masalah, yaitu lima fase menyelesaikan masalah matematika, yaitu: (1) Fase I: Memfokuskan perhatian terhadap masalah; (2) Fase II: Membuat suatu keputusan tentang bagaimana menyelesaikan masalah; (3) Fase III: Melaksanakan keputusan untuk

menyelesaikan masalah; (4) Fase IV: Menginterprestasikan hasil dan merumuskan jawaban terhadap masalah; dan (5) Fase V: Melakukan penyelesaian masalah. Pelaksanaan kelima fase evaluasi terhadap

tersebut

menggunakan

kemampuan metakognitif, sebagaimana yang telah dikemukan terlebih dahulu. George Polya memberi petujuk tentang langkah-langkah menyelesaikan masalah sebagai berikut: Langkah 1: Langkah 2: Pahami masalahnya, di sini harus dikenali apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan apa kondisi (persyaratan) nya. Rencanakan penyelesaiannya, di sini harus dipikirkan alat dan strategi apa yang cocok diterapkan untuk pemecahan masalah itu. Yang dimaksud dengan alat adalah pengetahuan berupa konsepkonsep atau rumus-rumus. Yang dimaksud dengan strategi adalah kombinasi teknik-teknik menyelesaikan masalah, misalnya:

menyederhanakan masalah, menggambar atau membuat model, mengamati kasus-kasus, memikirkan dari belakang, yaitu dari yang Langkah 3: ditanyakan. Laksanakan rencana itu, di sini dilakukanlah proses pengolahan data dengan operasi dan prosedur yang direncanakan sampai Langkah 4: ditemukan hasil. Menguji kebenaran hasil, di sini ditelaah kembali kesahihan pengolahan data tadi, dicari keterbatasannya, atau dibuktikan bahwa hasil itu sudah dapat dinyatakan dalam bentuk umum (generalisasi).

20

Untuk menganalisis soal-soal cerita, paling tidak ada dua strategi yang bisa diajarkan dan sangat berguna yaitu pikirkan jawabannya sebelum menyelesaikan soalnya, atau selesaikan soal yang lebih sederhana. Orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan soal dengan baik gagal mengalokasikan waktu yang cukup untuk memikirkan mengenai inti soalnya. Mereka mengerjakannya dengan terburu-buru, meyakini bahwa mengunyah bilangan akan menyelesaikan masalah. Tentu saja tidak begitu. Sebaiknya, murid-murid mengalokasikan waktu untuk membicarakan mengenai kira-kira apa jawabannya. Ada tiga hal yang terjadi. Pertama, murid-murid diminta untuk fokus pada soalnya dan pada makna dari jawabannya, bukan pada bilangannya. Bilanganbilangan tidaklah begitu penting jika kita melihat dari sudut pandang struktur soal. Kedua, dengan fokus pada struktur soalnya, murid-murid bisa mengidentifikasi bilangan mana yang penting atau data yang harus mereka cari di grafik atau tabel dan juga bilangan apa yang tidak penting. Tiga, pemikiran tersebut akan mengarahkan pada estimasi jawabannya. Kadang-kadang, untuk soal yang terjadi sehari-hari, estimasi bisa didasarkan pada logika saja. Pada kejadian apapun, memikirkan mengenai makna dari jawabannya dan seberapa besar kira-kira jawabannya merupakan langkah awal yang cukup berguna. Strategi penyelesaian soal dengan cara menyelesaikan soal yang lebih sederhana terlebih dahulu dapat digunakan untuk memberikan alat bantu bagi murid-murid yang bisa digunakan untuk menganalisis soal dan tidak hanya menebak belaka mengenai perhitungan yang akan dilakukan. Terbukti jauh lebih berguna jika kita memberikan sedikit soal saja kepada murid-murid di mana

21

mereka harus menggunakan model gambar untuk memberikan justifikasi pada jawaban yang mereka buat daripada memberikan mereka banyak sekali soal namun mereka hanya menjawab dengan menebak dan tidak tahu apakah tebakan mereka benar atau tidak. Penyelesaian soal cerita memerlukan pemodelan. Secara sederhana,

pemodelan (modelling) dapat diartikan sebagai menemukan pola dan generalisasi atau representasi untuk menunjukkan struktur bentuk dari obyek dan situasi. Hamson (2003) membedakan antara pemodelan matematika (mathematical modelling) dan model matematika (mathematical models). Dia mendefinisikan pemodelan matematika (mathematical modelling) sebagai aktivitas

menerjemahkan sebuah masalah nyata ke dalam sebuah bentuk matematika. Bentuk atau model matematika diselesaikan dan kemudian diinterpretasikan kembali untuk membantu menjelaskan masalah nyata. Model dapat berupa objek nyata, rumus, pernyataan aljabar, atau representasi aljabar. Pemodelan meliputi penerjemahan masalah yang sebenarnya ke dalam pernyataan matematika atau menemukan pola dan generalisasi. Pemodelan matematika harus dikenalkan pada semua kelompok umur, dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Blum & Kaiser (dalam

Parlaungan, 2008) istilah kompetensi pemodelan dengan membuat daftar rincian ke dalam sub kompetensi yang berhubungan dengan pemahaman proses pembentukan model. Kompetensi yang dimaksud adalah sebagai berikut:1. Untuk memahami masalah real dan untuk menciptakan suatu model

berdasarkan realita.2. Untuk menciptakan suatu model matematika dari model real.

22

3. Untuk menyelesaikan problem-problem matematika dalam model matematika

ini. 4. 5. Untuk menginterpretasikan hasil-hasil matematika dalam situasi real. Untuk memvalidasi solusi. Kelima kompetensi tersebut di atas didasari oleh indikator-indikator pemodelan matematika yang meliputi penggunaan diagram, grafik, ekspresi matematis (persamaan), kata-kata atau kalimat baik lisan atau tertulis, dan bendabenda manipulative (alat peraga). 2.1.1.3. Pembelajaran Matematika Belajar matematika berarti belajar ilmu pasti. Belajar ilmu pasti berarti belajar bernalar. Jadi, belajar matematika berarti berhubungan dengan penalaran. Adapun pemikiran yang mendasari pembelajaran matematika menurut Nurhadi (2004: 203) yaitu : Kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif, dan bekerja sama yang efektif sangat diperlukan dalam kehidupan modern yang kompetitif ini. Kemampuan itu dapat dikembangkan melalui belajar matematika. Kecakapan matematika yang ditumbuhkan pada siswa merupakan sumbangan mata pelajaran matematika kepada pencapaian kecakapan hidup yang ingin dicapai melalui kurikulum ini. Ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam pembelajaran matematika, yaitu fungsi matematika, tujuan pembelajaran matematika, prinsip mempelajari matematika, dan peran guru dalam pembelajaran matematika.

Fungsi Matematika Seseorang akan tertarik untuk melakukan sesuatu apabila suatu kegiatan tersebut memiliki fungsi bagi dirinya. Dengan kata lain, seseorang tidak akan melakukan kegiatan apabila kegiatan tersebut tidak mempunyai nilai apa-apa bagi

23

dirinya. Hal ini terjadi karena manusia selalu menginginkan keuntungan atau manfaat. Begitu juga halnya dengan matematika. Seseorang mau mempelajari matematika, karena matematika berfungsi dalam kehidupannya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kadir (2003: 2): Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur, menurunkan dan menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari melalui materi pengukuran dan geometri, aljabar, peluang dan statistika, kalkulus dan trigonometri. Matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan melalui model matematika yang dapat berupa kalimat dan persamaan matematika, diagram, grafik atau tabel. Tujuan Pembelajaran Matematika Manusia hidup mempunyai tujuan masing-masing. Karena dengan adanya tujuan yang ingin dicapai, maka manusia akan berusaha dengan maksimal untuk mencapai tujuan hidupnya. Begitu pula dengan pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika juga mempunyai tujuan. Dengan adanya tujuan pembelajaran matematika, maka akan dicari cara atau strategi untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika tersebut. Adapun tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2004 adalah sebagai berikut: 1. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkosistensi. 2. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencobacoba. 3. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. 4. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan.

24

Prinsip Mempelajari Matematika Dalam melakukan suatu kegiatan, maka kita perlu mematuhi prinsip yang ada dalam kegiatan tersebut. Begitu pula halnya dengan mempelajari matematika. Dalam mempelajari matematika ada beberapa prinsip yang harus dipahami sebagaimana yang dikemukakan oleh Uno (2006 : 125): Untuk mempelajari matematika hendaknya berprinsip pada: (1) materi matematika disusun menurut urutan tertentu atau tiap topik matematika berdasarkan subtopik tertentu, (2) seorang siswa dapat memahami suatu topik matematika jika ia telah memahami subtopik pendukung atau prasyaratnya, (3) perbedaan kemampuan antar siswa dalam mempelajari atau memahami suatu topik matematika dan dalam menyelesaikan masalahnya ditentukan oleh perbedaan penguasaan subtopik prasyaratnya, (4) penguasaan topik baru oleh seorang siswa tergantung pada penguasaan topik sebelumnya. Peran Guru Dalam Pembelajaran Matematika Guru memiliki peranan dalam proses pembelajaran. Yulaelawati (2004 : 114115) menyebutkan: Peran guru dalam pembelajaran matematika sebagai berikut : 1. Membelajarkan matematika dengan tujuan memberikan pemahaman dan perspektif pemecahan masalah, artinya peserta didik mampu mengembangkan logika dan bukan hanya menghitung jawaban atas soal matematika belaka. Pembelajaran matematika hendaknya difokuskan pada proses, struktur, dan pemecahan masalah, bukan hanya sekedar menjawab soal. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memberi peserta didik soal yang bervariasi, yang menuntut prosedur pemecahan yang juga bervariasi. 2. Membangun interaksi antara peserta didik dengan guru dalam belajar, guru mengajak peserta didik memahami konsep-konsep matematika, khususnya yang abstrak dengan cara menarik agar pelajaran matematika menjadi menyenangkan bagi peserta didik. 3. Membantu peserta didik mengungkapkan bagaimana proses yang berjalan dalam pemikirannya ketika memecahkan masalah (soal), misalnya dengan cara meminta peserta didik menceritakan langkah yang ada dalam pikirannya di dalam kelompok kecil secara bergiliran. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kesalahan berpikir yang terjadi dan merapikan jaringan pengetahuan peserta didik.

25

4. Menggunakan kesalahan yang dibuat peserta didik sebagai bahan sumber informasi belajar dan pemahaman bagi peserta didik. Saat ini matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting di sekolah. Untuk itu, diperlukan pengajaran yang efektif dalam matematika. Pengajaran yang efektif antara lain ditandai dengan keberhasilan anak dalam belajar. Dengan demikian untuk berhasilnya pengajaran matematika,

pertimbangan-pertimbangan tentang bagaimana anak belajar merupakan langkah awal yang harus diperhatikan. Dalam upaya untuk melakukan hal tersebut, diperlukan beberapa prinsip dasar. Prinsip dasar tersebut akan dipaparkan berikut ini. Siswa terlibat secara aktif Prinsip ini berlandaskan pada pandangan bahwa keterlibatan anak secara aktif dalam suatu aktivitas belajar memungkinkan mereka memperoleh pengalaman yang mendalam tentang bahan yang dipelajari, dan pada akhirnya akan mampu meningkatkan pemahaman anak tentang bahan tersebut. Keterlibatan siswa secara aktif bentuknya bisa secara fisik, dan yang lebih penting lagi secara mental. Bentuk-bentuk aktivitasnya antara lain bisa berupa interaksi siswa-siswa atau siswa-guru, memanipulasi benda konkrit seperti alat peraga, dan menggunakan bahan-bahan ajar tertentu seperti buku dan alat-alat teknologi. Memperhatikan pengetahuan awal siswa Karena sifat matematika yang merupakan suatu struktur yang terorganisir dengan baik, maka pengetahuan prasyarat siswa merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran matematika. Dengan

memperhatikan pengetahuan awal siswa, guru diharapkan mampu menyusun

26

strategi pembelajaran lebih tepat yang meliputi penyiapan bahan ajar, penyusunan langkah-langkah pembelajaran, serta penyiapan alat evaluasi yang sesuai. Mengembangkan kemampuan komunikasi siswa Salah satu syarat untuk berkembangnya kemampuan interaksi antara satu individu dengan individu lainnya adalah berkembangnya kemampuan komunikasi. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan kemampuan tersebut antara lain adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan dan berargumentasi secara lisan dan tertulis, mengajukan atau menjawab pertanyaan, dan berdiskusi baik dalam kelompok kecil maupun kelas. Mengembangkan kemampuan metakognisi siswa Metakognisi adalah suatu istilah yang berkaitan dengan apa yang diketahui seseorang tentang individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Selain itu, metakognisi juga merupakan bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini maka siswa dimungkinkan mengembangkan kemampuannya secara optimal dalam belajar matematika, karena dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan seperti: Apa yang saya kerjakan?, Mengapa saya mengerjakan ini?, Hal apa yang bisa membantu saya menyelesaikan masalah ini?. Mengembangkan lingkungan belajar yang sesuai Lingkungan belajar hendaknya diciptakan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam belajar. Terciptanya lingkungan belajar yang baik dapat membantu siswa dalam mencapai perkembangan potensialnya.

27

Dari kelima prinsip di atas, maka peneliti memilih salah satu prinsip untuk digunakan dalam pembelajaran matematika yaitu mengembangkan kemampuan metakognisi siswa. Pembahasan lebih lanjut mengenai kemampuan metakognisi siswa akan dibahas berikut ini.

2.1.1.4.

Pendekatan Metakognitif

Salah satu prinsip dasar agar pembelajaran matematika dapat berhasil adalah mengembangkan kemampuan metakognisi siswa. Metakognisi merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh Flavell pada tahun 1976 dan menimbulkan banyak perdebatan pada pendefinisiannya. Hal ini berakibat bahwa metakognisi tidak selalu sama di dalam berbagai macam bidang penelitian psikologi, dan juga tidak dapat diterapkan pada satu bidang psikologi saja. Namun demikian, pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para peneliti bidang psikologi, pada umumnya memberikan penekanan pada kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri. Apabila dikaji berdasarkan asal katanya, metakognisi berasal dari bahasa Inggris metacognition. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Cheong, dkk (2002: 1): What is Metacognition? Metacognition is thoughtfulness. It is commonly defined as thinking about ones own thinking and thinking about how one processes information effectively. Dari definisi di atas, secara sederhana dapat dikatakan bahwa metakognisi merupakan berpikir tentang berpikir dan berpikir tentang bagaimana seseorang memproses informasi secara efektif. Metakognisi merujuk pada kesadaran

28

memonitor (kesadaran akan bagaimana dan mengapa mengerjakan sesuatu) dan aturan (memilih mengerjakan sesuatu atau memutuskan untuk membuat perubahan) tentang proses pemikiran sendiri. Metakognisi adalah fungsi eksekutif yang mengurus dan mengawal bagaimana seseorang menggunakan pikirannya. Metakognisi ini merupakan proses kognitif yang paling tinggi dan canggih. Metakognisi tidak sama dengan kognisi atau proses pemikiran. Metakognisi adalah suatu kemampuan individu berdiri di luar kepalanya dan berusaha merenungkan cara dia berpikir atau merenungkan proses kognitif yang dilakukan. John Flavell membagi metakognisi ke dalam tiga variabel penting, yaitu: a. Variabel individu Variabel inidividu mengandung makna bahwa manusia itu adalah organisme kognitif atau pemikir. Artinya, segala tindak-tanduk kita adalah akibat dari cara kita berpikir. Variabel individu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Variabel intra-individu yaitu apa saja yang terjadi di dalam diri seseorang. Misalnya: seorang siswa mengetahui dirinya lebih pandai dalam mata pelajaran matematika dibandingkan dengan mata pelajaran sejarah. Variabel antra-individu yaitu kemampuan individu membandingkan dan membedakan kemampuan kognitif dirinya dengan orang lain. Misalnya: seorang siswa mengetahui bahwa gurunya jauh lebih pandai dalam Bahasa Inggris dibandingkan dengan dia sendiri, atau seorang siswa mengetahui bahwa dirinya lebih pandai pada mata pelajaran IPA dibandingkan dengan teman yang duduk dekat dengan dia di kelasnya.

29

Variabel universal yaitu pengetahuan yang diperoleh dari unsur-unsur yang ada di dalam sistem budaya sendiri. Misalnya: mengetahui bahwa sebagai manusia kita lupa. Sebenarnya, mula-mula kita paham terhadap apa yang kita lupakan itu, tetapi lama kelamaan kita sadar bahwa kita tidak paham. b. Variabel tugas Variabel tugas adalah kesanggupan individu untuk mengetahui kesan-kesan, pentingnya, dan hambatan sesuatu tugas kognitif. Misalnya informasi yang disampaikan oleh guru adalah sesuatu yang sulit dan siswa tahu bahwa guru tersebut tidak akan mengulangi, maka para siswa tentu akan memberikan perhatian yang lebih serius dan mendengarkan serta memproses informasi itu dengan lebih teliti. c. Variabel strategi Variabel strategi adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu atau mengatasi kesulitan yang timbul. Ini biasanya dilakukan dengan cara yang disebut pemantauan kognitif (cognitive monitoring). Schoenfeld (1992) mengemukakan secara lebih spesifik bahwa terdapat tiga cara untuk menjelaskan metakognisi dalam pembelajaran matematika, yaitu: (a) keyakinan dan intuisi, (b) pengetahuan tentang proses berpikir, dan (c) kesadaran-diri (regulasi-diri). Keyakinan dan intuisi menyangkut ide-ide matematika apa saja yang disiapkan untuk menyelesaikan masalah matematika dan bagaimana ide-ide tersebut membentuk jalan/cara untuk menyelesaikan masalah matematika. Pengetahuan tentang proses berpikir menyangkut seberapa akurat seseorang dalam menyatakan proses berpikirnya. Sedangkan kesadaran-diri

30

atau regulasi-diri menyangkut keakuratan seseorang dalam menjaga dan mengatur apa yang harus dilakukannya ketika menyelesaikan masalah matematika, dan seberapa akurat seseorang menggunakan input dari pengamatannya untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas menyelesaikan masalah. ONeil & Brown (1997) menyatakan bahwa metakognisi sebagai proses di mana seseorang berpikir tentang berpikir dalam rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah. Sedang Anderson & Kathwohl (2001) menyatakan bahwa pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan tentang kognisi, secara umum sama dengan kesadaran dan pengetahuan tentang kognisi-diri seseorang. Karena itu dapat dikatakan bahwa metakognisi merupakan kesadaran tentang apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Sedang strategi metakognisi merujuk kepada cara untuk meningkatkan kesadaran mengenai proses berpikir dan pembelajaran yang berlaku sehingga bila kesadaran ini terwujud, maka seseorang dapat mengawal pikirannya dengan merancang, memantau dan menilai apa yang dipelajarinya. Desoete (2001) menyatakan bahwa metakognisi memiliki tiga komponen pada penyelesaian masalah matematika dalam pembelajaran, yaitu: (a) pengetahuan metakognitif, (b) keterampilan metakognitif, dan (c) kepercayaan metakognitif. Metakognisi siswa melibatkan pengetahuan dan kesadaran siswa tentang aktivitas kognitifnya sendiri atau segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas kognitifnya. Pengetahuan berkaitan dengan pengetahuan deklaratif, procedural, dan kondisional, sedangkan aktivitas kognitif siswa berkaitan perencanaan, prediksi, monitoring, dan mengevaluasi penyelesaian suatu tugas tertentu. Oleh karena itu, metakognisi siswa memiliki peranan penting

31

dalam menyelesaikan masalah, khususnya dalam mengatur dan mengontrol aktivitas kognitif siswa dalam menyelesaikan masalah, sehingga belajar dan berpikir yang dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan masalah matematika menjadi lebih efektif dan efisien. Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsur analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal

tumbuhkembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal. Tujuan metakognitif adalah memonitor dan mengatur tindakan untuk membantu siswa mengembangkan kebiasaan dan kecakapan melihat dan mengatur strategi dan kemajuan mereka saat menyelesaikan soal. Para siswa dapat juga dibantu dalam mengembangkan kebiasaan memonitor diri mereka sendiri setelah kegiatan penyelesaian soal berakhir. Diskusi singkat setelah soal selesai dapat difokuskan pada apa yang dikerjakan dalam penyelesaian soal. Hal ini membutuhkan kemampuan metakognitif siswa. Pemecah soal dengan baik akan melihat cara berfikir mereka secara teratur dan otomatis. Mereka tahu kapan akan macet atau tidak dapat memahami. Mereka membuat keputusan secara sadar untuk memperoleh strategi, memikirkan kembali soalnya, mencari pengetahuan yang terkait yang mungkin membantu atau sekedar memulai lagi. Di samping itu, siswa yang belajar melihat dan mengatur perilaku penyelesaian soal mereka sendiri menunjukkan perbaikan dalam penyelesaian soal.

32

Kesulitan yang dialami anak yang tidak mempunyai perkembangan kemampuan metakognitif yaitu: a. Mengenal ketika suatu masalah menjadi lebih sulit, dan pendekatan baru diperlukan. b. Menyimpulkan bahwa ada suatu asumsi itu benar berdasarkan informasi yang ada. c. Meramalkan hasil dengan menggunakan strategi belajar khusus dalam situasi yang diberikan. d. Mencoba untuk memonitor cara belajar dan merubah pendekatan jika diperlukan. Perkembangan metakognisi dapat diupayakan melalui cara di mana anak dituntut untuk mengobservasi tentang apa yang mereka ketahui dan kerjakan, dan untuk merefleksi tentang yang dia observasi. Beberapa hal yang dapat dilakukan guru untuk menolong anak mengembangkan kesadaran metakognisinya antara lain melalui kegiatan-kegiatan berikut ini:a.

Ajukan pertanyaan yang berfokus pada apa dan mengapa seperti Apa yang kamu lakukan saat mengerjakan soal ini?, Kesalahan apa yang sering kamu lakukan dalam mengerjakan soal seperti ini?, Mengapa?, Apa yang kamu lakukan jika kamu menghadapi jalan buntu dalam menyelesaikan suatu masalah?, Apakah cara ini dapat membantu kamu?, Mengapa kamu harus memeriksa kembali pekerjaan yang sudah selesai?, Pemecahan masalah apa yang menurut kamu paling mudah/sukar?, Mengapa?.

b.

Kembangkan berbagai aspek pemecahan masalah yang dapat meningkatkan prestasi anak seperti: suatu masalah dapat diselesaikan dalam beberapa

33

alternatif penyelesaian, masalah tertentu memerlukan waktu lama untuk diselesaikan, dan tidak selamanya masalah itu memuat informasi yang lengkap. c. Dalam proses pemecahan suatu masalah, anak harus secara nyata melakukannya secara mandiri atau berkelompok sehingga mereka merasakan langsung liku-liku proses untuk menuju pada suatu penyelesaian. Asrori (2008: 22) mengemukakan bahwa: Setidaknya ada beberapa cara untuk meningkatkan kemampuan metakognitif, yaitu: a. Pelabelan (labeling) Pada langkah ini, cara yang dilakukan adalah: (1) nyatakan tujuan yang akan dicapai; (2) berikan nama atau label kemampuan kognitif yang akan dilakukan; (3) berikan sinonim/perkataan sama-maksud terhadap sesuatu yang akan dimasukkan ke dalam proses kognitif; (4) nyatakan cara kemampuan kognitif itu digunakan; dan (5) jelaskan mengapa kemampuan itu harus dipelajari. b. Proseduring Pada langkah ini, cara yang dilakukan adalah: (1) nyatakan prosedur kemampuan kognitif berkenaan dengan memberi urutan langkahlangkah, apa yang dilakukan pada setiap langkah, dan mengapa langkah itu dilakukan; (2) tunjukkan bagaimana kemampuan itu dapat diperoleh; (3) nyatakan aturan-aturan pokok dan hal-hal yang penting untuk diketahui mengenai kemampuan itu; dan (4) uraikan hambatan yang mungkin timbul dan cara mengatasinya. c. Demonstrasi Pada langkah ini, cara yang dilakukan adalah: (1) tunjukkan bagaimana sesuatu kemampuan itu digunakan dengan merujuk kepada contoh tertentu berdasarkan prosedur yang ada; (2) deskripsikan apa yang terjadi dalam pikiran selama terlibat dengan kemampuan yang bersangkutan (think aloud); dan (3) terangkan bagaimana mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi. d. Aplikasi Pada langkah ini, cara yang dilakukan adalah: (1) siswa diberi tugas untuk mengaplikasikan kemampuan kognitif yang bersangkutan; dan (2) siswa memperhatikan dan menganalisis bagaimana proses kemampuan kognitif itu digunakan antara mereka. e. Refleksi Pada langkah ini, cara yang dilakukan adalah guru dan siswa merenungkan dan menganalisis tentang kemampuan kognitif yang digunakan.

34

Metakognisi dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah matematika. Menyelesaikan masalah matematika terdiri dari lima fase. Adapun kaitan antara fase menyelesaikan masalah matematika dan aspek metakognisi yang dilibatkan untuk setiap fase adalah sebagai berikut. Fase I: Memfokuskan perhatian terhadap masalah Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase tersebut, yaitu: pengetahuan deklaratif dan keterampilan perencanaan. Fase II: Membuat suatu keputusan tentang bagaimana menyelesaikan masalah Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase tersebut, yaitu: keterampilan perencanaan dan keterampilan prediksi. Fase III: Melaksanakan keputusan untuk menyelesaikan masalah Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase tersebut, yaitu: pengetahuan prosedural, pengetahuan kondisional, dan keterampilan monitoring. Fase IV: Menginterprestasikan hasil dan merumuskan jawaban terhadap masalah Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase tersebut, yaitu: pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, pengetahuan kondisional, dan keterampilan monitoring. Fase V: Melakukan evaluasi terhadap penyelesaian masalah Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase tersebut, yaitu: keterampilan monitoring dan keterampilan evaluasi. Adapun karakteristik pendekatan metakognitif meliputi: 1. Advance organizer

35

Advance organizer adalah suatu pernyataan yang diberikan pada awal pembelajaran yang dirancang untuk membantu pebelajar menyimpan dan mengingat kembali materi yang telah dipelajari. Advance organizer merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep-konsep dasar dari apa yang harus dipelajari dan hubungannya dengan apa yang telah ada di dalam struktur kognitif pebelajar. Advance organizer sebagai materi perkenalan yang diberikan terlebih dahulu sebelum tugas belajar dan pada tingkat abstraksi yang lebih tinggi serta ruang lingkup yang lebih luas daripada tugas belajar itu sendiri. Advance organizer merupakan jembatan kognitif untuk memudahkan pengaitan informasi baru dengan konsep relevan yang telah ada dalam struktur kognitif pebelajara. Tujuan pemberian advance organizer adalah untuk menjelaskan,

mengintegrasikan, dan saling menghubungkan materi yang telah dipelajari dengan materi baru. Beberapa ciri advance organizer, yaitu: a. Berupa abstraksi b. Sebagai sebuah jembatan yang menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki pebelajar c. Suatu pengantar dari materi baru, unit, atau pelajaran d. Berupa suatu garis besar abstrak dari informasi baru, dan berupa suatu pernyataan kembali dari pengetahuan awal e. Memberikan pebelajar suatu struktur informasi baru f. Mendorong pebelajar untuk mentransfer atau mengaplikasikan apa yang diketahuinya.

36

g. Berisikan muatan yang memiliki substansi intelektual yang cukup, tidak sekedar pengetahuan umum biasa Mengembangkan advance organizer dapat digunakan sebagai alat bantu terhadap pembelajaran yang efektif. Suatu advance organizer mungkin berbentuk ikhtisar atau sebuah pengantar terhadap isi pelajaran, suatu pernyataan tentang prinsip-prinsip yang terkandung dalam informasi yang akan disajikan, suatu pernyataan tentang tujuan belajar, dan sebagainya. Apapun bentuk advance

organizer tersebut, tujuannya adalah untuk menciptakan suatu kesiapan jiwa pebelajar atau mind set untuk menerima pelajaran. Advance organizer dapat membantu pebelajar dalam tiga hal yaitu: (1) untuk menunjukkan perhatian pebelajar pada apa yang penting dalam suatu materi, (2) untuk mengetahui hubungan antara ide-ide yang akan dibicarakan, dan (3) untuk mengingatkan pebelajar pada informasi yang relevan dengan yang telah diketahui. Prosedur untuk menyusun advance organizer adalah sebagai berikut: a. Kenali pelajaran baru atau unit untuk menemukan pengetahuan prasyarat b. Diajarkan kembali bila perlu c. Kenali apakah para pebelajar telah mengetahui bahan/materi prasyarat ini d. Buatlah daftar atau rangkuman tentang prinsip-prinsip atau ide-ide umum yang utama pada pelajaran atau pokok bahasan yang baru (dapat dilakukan pertama kali)e. Tulislah satu paragraf (advance organizer) yang menekankan prinsip-prinsip

umum yang utama, persamaan topik-topik baru dengan yang lamaf. Subtopik utama dari unit atau pelajaran harus meliputi urutan yang sama

seperti yang disajikan dalam advance organizer

37

2. Perhatian

Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, di mana dalam proses ini diperlukan adanya perhatian. Dalam kenyataannya sebagian besar

pelajaran diterima oleh murid dengan perhatian yang disengaja, karena itu guru atau pendidik seharusnya selalu berusaha menarik perhatian anak-anak didiknya. Perhatian dapat diartikan sebagai: a. Pemusatan tenaga psikis tertuju kepada suatu obyek b. Banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai sesuatu aktivitas yang dilakukan 3. Mediasi metakognitif Mediasi dimaksudkan untuk memberikan bantuan-bantuan kepada siswa, dapat dalam bentuk pemberian contoh-contoh, petunjuk atau pedoman mengerjakan, bagan/alur, langkah-langkah atau prosedur melakukan tugas, pemberian balikan, dan sebagainya. Bimbingan atau bantuan dari orang dewasa atau teman yang lebih kompeten sangat efektif untuk meningkatkan produktivitas belajar. Dalam melaksanakan suatu pendekatan pembelajaran diperlukan metode pembelajaran. Cheong dan Goh (2002: 4- 5) menyebutkan ada 4 metode pembelajaran umum yang mendukung metakognisi yaitu Justification for Answers, KWL (Know Want to Learn), IDEAL (Identify, Define, Explore, Act, and Look), dan PQ4R (Preview, Question, Read, Reflect, Recite, and Review).

38

Keempat metode pembelajaran ini biasanya digunakan untuk meningkatkan kemampuan metakognisi siswa. Metode pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif yang akan dikembangkan adalah metode yang diperoleh dengan memodifikasi metode yang telah dikembangkan oleh Meyer dan Suzana (2003) yaitu metode pembelajaran yang menyajikan pelajaran dalam tiga tahap dengan rincian sebagai berikut: 1. Tahap pertama diskusi awal, guru menjelaskan tujuan mengenai topik yang sedang dipelajari, penamaan konsep berlangsung dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Guru membimbing siswa

menanamkan kesadaran dengan bertanya dalam bahan ajar atau pertanyaan yang diajukan guru.2. Tahap kedua siswa bekerja secara mandiri untuk menyelesaikan soal-soal

latihan yang diberikan. Guru memberikan pengaruh timbal balik (feedback) secara individual, berkeliling memandu siswa dalam menyelesaikan soal dengan memberikan stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat metakognitif. Pengaruh timbal balik metakognitif menuntun siswa untuk

memusatkan pada kesalahan dan memberikan petunjuk kepada siswa agar siswa dapat mengoreksi sendiri. Pada tahap kedua ini dapat dikombinasikan dengan metode PQ4R.3. Tahap ketiga adalah refleksi dan rangkuman. Refleksi dilakukan oleh guru

dan siswa. Refleksi guru lebih mengarah kepada pemantapan dan aplikasi yang lebih luas agar siswa mendapatkan pembelajaran yang lebih bermakna (meaningful). Refleksi siswa lebih mengarah kepada apa yang telah ia

39

pahami dari pembelajaran serta kemungkinan aplikasi dalam masalah yang lebih luas. Selanjutnya membuat rangkuman yang dilakukan oleh siswa

sendiri yang merupakan rekapitulasi dari apa yang telah dilakukan di kelas dengan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. Anderson (dalam Syah, 2001: 128) mengemukakan bahwa teknik PQ4R pada hakekatnya merupakan penimbul pertanyaan dan tanya jawab yang dapat mendorong pembaca teks melakukan pengolahan materi secara lebih mendalam dan luas. Selanjutnya, metode PQ4R itu sesuai dengan kepanjangannya terdiri atas enam langkah. Langkah 1, preview. Bab yang akan dipelajari hendaknya disurvai terlebih dahulu untuk menentukan topik umum yang terdapat di dalamnya. Kemudian subbab-subbab yang ada dalam bab tersebut hendaknya diidentifikasi sebagai unit-unit yang akan dibaca. Setelah itu, gunakanlah empat langkah berikutnya (langkah 2, 3, 4, dan 5) untuk memahami setiap subbab. Langkah 2, question. Pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan subbab hendaknya disusun misalnya dengan cara mengubah judul subbab yang bersangkutan ke dalam bentuk kalimat-kalimat bertanya. Langkah 3, read. Isi subbab hendaknya dibaca secara cermat sambil mencoba mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun tadi. Langkah read merupakan implikasi langkah sebelumnya untuk mempertegas dan memperkuat interpretasi terhadap isi bacaan. Ragam membaca itu bermacammacam. Salah satu di antaranya ialah membaca dengan cermat dengan maksud memahami sepenuhnya informasi yang terkandung dalam bacaaan. Cermat di samping mengamati isi dari tulisan yang dibaca, juga tak kalah penting adalah

40

cermat mengamati gaya atau style dan detil-detil kata per kata, kalimat per kalimat, paragraf per paragraf. Membaca cermat meliputi baca kata demi kata, baca analitis, dan baca kritis. Karakteristik membaca cermat yaitu: Mendapatkan pemahaman materi teks secara detail Mempertahankan konsentrasi Mengingat dengan jelas apa yang dibaca Mengikuti langkah-langkah atau arahan secara cermat Memahami ide atau istilah sulit Langkah 4, reflect. Selama membaca, isi subbab hendaknya dikenang secara mendalam (dipikirkan) seraya berusaha memahami isi dan menangkap contoh-contohnya serta menghubungkannya dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Langkah 5, recite. Setelah subbab selesai dibaca, informasi yang terdapat di dalamnnya hendaknya diingat-ingat. Lalu, semua pertanyaan mengenai subbab tersebut dijawab. Kalau ada jawaban yang kurang memuaskan, maka bagian tertentu yang sulit diingat dan menyebabkan kesalahan jawaban itu hendaknya dibaca lagi. Langkah 6, review. Setelah menyelesaikan satu bab, tanamkanlah materi bab tersebut ke dalam memori sambil mengingat-ingat intisari-intisarinya. Kemudian, jawablah sekali lagi seluruh pertanyaan yang berhubungan dengan subbab-subbab dari bab tersebut. Adapun kebaikan metode PQ4R antara lain:a.

Dengan melakukan preview dan question, sebelum read, pengetahuan awal siswa sudah aktif untuk mengawali proses pembuatan hubungan antara

41

informasi baru dengan apa yang telah diketahui siswa dan organisasi bacaan sudah diketahui mereka. Hal ini memudahkan perpindahan informasi baru dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang ketika langkah read berlangsung.b. Dengan read atau membaca secara aktif dan review, siswa terbantu untuk

memahami makna tersurat dalam bacaan.c.

Dengan adanya aktivitas mengelaborasi dalam strategi ini, yaitu aktivitas menanggapi dan memecahkan masalah dan informasi yang diberikan guru dengan pengetahuan yang telah diketahui melalui bahan bacaan pada langkah read, siswa terbantu dalam memahami makna tersirat dalam bacaan. Adapun kelemahan metode PQ4R antara lain:

a.

Siswa mengalami kesulitan dalam menemukan ide-ide utama dan membuat pertanyaan dari setiap ide utama tersebut.

b.

Metode PQ4R sulit diikuti oleh siswa yang kemampuannya rendah dalam menafsirkan, menilai, dan menghargai isi bacaan.

2.1.1.5.

Konsep Pecahan Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering membagi-bagikan makanan

kepada orang lain. Misalkan kita membagi 10 buah jeruk kepada 5 orang dan setiap orang itu mendapat bagian yang sama. Berapa buah jeruk diterima oleh setiap orang itu? Masalah ini sangat mudah diselesaikan oleh siswa yang sudah menguasai operasi pembagian bilangan asli, yaitu 10 : 2 = 5. Bagaimana jika masalahnya kita ubah menjadi sebagai berikut: Misalkan kita membagi 2 buah mangga untuk 5 orang dengan setiap orang memperoleh bagian yang sama.

42

Berapa buah mangga yang diterima oleh setiap orang itu? Mungkin siswa akan menjawab tidak bisa. Jika hal seperti ini terjadi berarti siswa tersebut belum belajar atau belum memahami pengertian pecahan. Untuk menanamkan pemahaman siswa tentang pengertian pecahan, guru harus menyediakan beberapa benda kongrit dan beberapa gambar yang diharapkan dapat membantu membangun pemahaman siswa terhadap pengertian pecahan. Misalkan kegiatannya adalah sebagai berikut: Guru menunjukkan satu buah mangga kepada siswa kemudian memotong buah mangga itu menjadi dua bagian sama besar. Guru bertanya kepada siswa, ada berapa potongan buah mangga seluruhnya sekarang? Siswa akan menjawab dua potong. Guru menunjukkan satu potongan buah mangga itu kepada siswa dan bertanya, ada berapa potongan buah mangga di tangan bapak / ibu guru? Siswa menjawab 1 potong. Selanjutnya guru mengatakan kepada siswa bahwa bagian mangga yang ditunjukkan oleh bapak / ibu guru adalah 1 dari keseluruhan atau 1 dari 2, dan ditulis dengan . Untuk menguatkan pemahaman siswa tentang pengertian

pecahan, guru perlu memberikan beberapa kegiatan seperti di atas untuk pecahan selain yang dilakukan langsung oleh siswa secara berkelompok. Memilih benda-benda yang ada di sekitar siswa untuk digunakan sebagai alat peraga dalam menanamkan konsep pecahan harus hati-hati. Jika pemilihan benda itu tidak tepat, besar kemungkinan konsep pecahan yang ingin ditanamkan tidak akan ditangkap siswa secara baik. Usahakan benda-benda kongrit yang digunakan untuk menanamkan konsep pecahan mempunyai bentuk teratur dan mudah potong menjadi beberapa bagian sama besar. Perlu diingat bahwa suatu

43

alat peraga itu baik jika alat peraga tersebut dapat digunakan membantu menanamkan suatu konsep matematika, alat peraga itu harus dapat meningkatkan minat siswa terhadap matematika, dan alat peraga itu harus aman bagi siswa. Kegiatan pembelajaran seperti contoh di muka merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan benda-benda kongrit. Setelah kegiatan

pembelajaran yang melibatkan benda-benda kongrit, kegiatan pembelajaran selanjutnya melibatkan benda-benda semi kongrit, seperti menggunakan gambar. Untuk kegiatan pembelajaran yang menggunakan gambar, kita dapat

memanfaatkan pengalaman siswa tentang luas daerah, kita juga dapat memanfaatkan pengalaman siswa tentang panjang ruas garis. Kegiatan lain yang dapat kita laksanakan untuk membangun pemahaman siswa terhadap pecahan adalah memanfatkan pengalaman siswa tentang himpunan dan unsur-unsurnya. Pecahan dapat diilustrasikan sebagai perbandingan himpunan bagian yang sama dari suatu himpunan terhadap keseluruhan himpunan semula. Maksudnya dari pernyataan itu adalah apabila suatu himpunan dibagi atas himpunan bagian yang sama, maka perbandingan setiap himpunan bagian yang sama itu terhadap keseluruhan himpunan semula akan mengilustrasikan suatu pecahan. 2.1.1.6. Teori Belajar Yang Mendukung Pendekatan Metakognitif Jika kita ingin mengetahui teori belajar yang mendukung suatu pendekatan, maka kita dapat melihat karakteristik pendekatan tersebut terlebih dahulu. Berdasarkan karakteristik pendekatan metakognitif yaitu: advance

organizer, perhatian (directed attention dan selective attention), dan mediasi metakognitif (self management, functional planning, self monitoring, dan self

44

evaluation) yang telah dibahas sebelumnya, maka dari karakteristik-karakteristik itu kita bisa mengetahui teori belajar yang mendukung pendekatan metakognitif. Berikut ini akan dipaparkan teori belajar yang mendukung pendekatan metakognitif. Pada hakikatnya advance organizer merupakan sarana yang diperlukan untuk mempersiapkan pebelajar dalam belajar agar dapat melakukan pemrosesan informasi yang baik, sehingga terjadi pengaitan informasi baru dengan ide-ide relevan yang telah ada dalam struktur kognitif pebelajar. Hal ini sesuai dengan teori belajar bermakna yang dikembangkan oleh Ausubel. Dalam teori belajar verbal bermakna, dasar pemikiran utama adalah bahwa konsep/informasi baru harus berhubungan dengan konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif. Oleh karena itu, Ausubel (1978) berpendapat bahwa faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna dan penyimpanan informasi adalah struktur kognitif itu sendiri. Bila struktur kognitif ini jelas, mantap dan tersusun dengan baik akan timbul pemahaman yang tepat dan jelas yang dapat mempertahankan kekuatan atau keberadaannya. Sebaliknya, bila struktur kognitif tidak tersusun dengan baik, hal ini akan menghambat belajar bermakna dan penyimpanan informasi baru. Suatu hal yang sifatnya karakteristik untuk teori ini adalah apa yang dinamakan advance organizer. Advance organizer yang dikembangkan oleh Ausubel (teori belajar bermakna) merupakan penerapan konsepsi tentang struktur kognitif di dalam merancang pembelajaran. Penggunaan advance organizer sebagai kerangka isi akan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mempelajari informasi baru, karena merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep-konsep

45

dasar tentang apa yang dipelajari, dan hubungannya dengan materi yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Jika ditata dengan baik, advance organizer akan memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran yang baru, serta hubungannya dengan materi yang telah dipelajarinya. Perhatian utama advance organizer menurut Ausubel adalah untuk membantu guru menyampaikan sejumlah besar informasi secara bermakna dan efisien. Di samping itu, advance organizer dirancang untuk memperkuat struktur kognitif pebelajar agar dapat meningkatkan kemampuan pebelajar mengorganisasi bahan pelajaran baru dengan baik, jelas dan stabil. Dengan demikian advance organizer dapat meningkatkan retensi dan pemahaman bahan baru yang dipelajari. Ausubel, Novak, dan Hanesian (1978) menyatakan bahwa hasil belajar dan retensi pengetahuan merupakan fungsi dari struktur kognitif yang sudah dimiliki oleh pebelajar. Mereka juga menyatakan bahwa pengetahuan tersusun pada ingatan dalam struktur hirarkis, mulai dari yang umum kepada yang lebih rinci. Diperolehnya terlebih dahulu pengetahuan yang lebih umum dan abstrak akan dapat membantu dalam pemahaman pengetahuan baru. Pemberian advance organizer pada awal pembelajaran diperlukan untuk membantu kesiapan siswa dalam memperoleh pengetahuan baru. Pebelajar yang sudah termotivasi mestinya menerima rangsangan (stimulus) yang akan membawanya pada peristiwa penting belajar dan selanjutnya rangsangan itu disimpannya dalam ingatan. Dengan kata lain, dia harus

mengikuti bagian-bagian dari stimulus yang cocok dengan tujuan belajarnya. Proses perhatian biasanya dipandang sebagai suatu keadaan internal yang bersifat sementara yang disebut mental set. Begitu terbentuk, set itu bertindak sebagai

46

salah satu proses control eksekutif. Set (perangkat) perhatian mungkin digerakkan oleh rangsangan dari luar dan dalam waktu yang relatif singkat menyiagakan orang untuk menerima bentuk rangsangan-rangsangan tertentu. perhatian dalam pembelajaran sesuai dengan teori belajar Gagne. Teori belajar yang disusun Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara behaviorisme dan kognitivisme, yang berpangkal pada teori proses informasi. Menurut Gagne cara berpikir seseorang tergantung pada (1) Pentingnya

keterampilan apa yang telah dimilikinya, dan (2) keterampilan serta hirarki apa yang diperlukan untuk mempelajari suatu tugas. Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara

kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Bertitik tolak dari model belajarnya, yaitu model pemrosesan informasi, Gagne mengemukakan delapan fase dalam suatu tindakan belajar. Adapun

delapan fase tersebut yaitu fase motivasi, fase pemahaman, fase perolehan, fase pengingatan, fase pengungkapan kembali, fase generalisasi, fase penampilan, dan

47

fase umpan balik.

Salah satu fase yang berhubungan dengan karakteristik

pendekatan metakognitif adalah fase pemahaman. Teori belajar pengolahan informasi mendeskripsikan bahwa tindakan belajar merupakan proses internal yang mencakup beberapa tahapan. Gagne

(1985) mengemukakan bahwa tahapan-tahapan ini dapat dimudahkan dengan menggunakan metode pembelajaran yang mengikuti urutan tertentu, yang disebut dengan peristiwa pembelajaran (the event of instruction). Peristiwa-peristiwa pembelajaran ini mendeskripsikan kondisi belajar internal dan eksternal utama untuk kapabilitas apapun yang dipelajari. Peristiwa pembelajaran ini dibagi

menjadi sembilan tahapan yang diasumsikan sebagai cara-cara eksternal yang berpotensi mendukung proses-proses internal dalam belajar. Salah satu peristiwa pembelajaran yang dikembangkan oleh Gagne adalah menarik perhatian. Gagne mengemukakan dua bentuk perhatian yaitu perhatian langsung (directed attention) dan perhatian selektif (selective attention). Dalam

karakteristik pendekatan metakognitif kedua bentuk perhatian ini dibutuhkan. Sehingga teori belajar Gagne ini turut mendukung penerapan pendekatan metakognitif. tersebut.

Berikut ini akan dipaparkan masing-masing bentuk perhatian

Perhatian langsung (directed attention) berfungsi untuk membuat siswa siap menerima stimulus-stimulus. Dalam mengajar, perubahan stimulus secara tiba-tiba dapat mencapai maksud ini. Sebagai contoh, kalimat perhatikan dua gambar berikut ini, apakah ada perbedaannya? dapat membangkitkan suatu set perhatian.

48

Perhatian selektif (selective attention) berfungsi untuk membuat siswa memilih informasi yang mana yang akan diteruskan ke memori jangka pendek. Dalam mengajar, seleksi stimulus-stimulus relevan yang akan

dipelajari dapat ditolong guru dengan cara mengeraskan ucapan suatu kata selama mengajar, atau menggarisbawahi suatu kata atau beberapa kata dalam suatu kalimat, atau dengan menunjukkan sesuatu yang harus diperhatikan para siswa, misalnya dalam mengajarkan penulisan rumus-rumus matematika. Set perhatian yang dipakai oleh pebelajar menentukan aspek mana dari rangsangan luar itu yang ditanggapi. Persepsi seseorang bersifat memilih dan ini ditentukan oleh set perhatian yang dipakai, sebaliknya set itu dipengaruhi oleh petunjuk-petunjuk yang mencerminkan tujuan belajar tertentu. Tentu saja bagi pebelajar tingkat tinggi pengarahan dan pengontrolan perhatian itu lebih banyak dilakukan sendiri. Pada setiap perencanaan dan implementasi pembelajaran perhatian guru harus dipusatkan kelompok anak yang tidak dapat memecahkan masalah belajar sendiri, yaitu mereka yang hanya dapat menyelesaikan masalah dengan bantuan. Guru perlu menyediakan berbagai jenis dan tingkatan bantuan yang dapat memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Bantuan-bantuan tersebut dapat dalam bentuk pemberian contohcontoh, petunjuk atau pedoman mengerjakan, bagan/alur, langkah-langkah atau prosedur melakukan tugas, pemberian balikan, dan sebagainya. Bimbingan atau bantuan dari orang dewasa atau teman yang lebih kompeten sangat efektif untuk meningkatkan produktivitas belajar.

49

Menurut Vygotsky, kunci utama untuk memahami proses-proses sosial dan psikologis adalah tanda-tanda atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut merupakan produk dari lingkungan sosio-kultural di mana seseorang berada. Semua perbuatan atau

proses psikologis yang khas manusiawi dimediasikan dengan psychological tools atau alat-alat psikologis berupa bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika. Dalam kegiatan pembelajaran, anak dibimbing oleh orang dewasa atau oleh teman sebaya yang lebih kompeten untuk memahami alat-alat semiotik ini. Anak mengalami proses internalisasi yang selanjutnya alat-alat ini berfungsi sebagai mediator bagi proses-proses psikologis lebih lanjut dalam diri anak. Mekanisme hubungan antara pendekatan sosio-kultural dan fungsi-fungsi mental didasari oleh tema mediasi semiotik, artinya tanda-tanda atau lambang-lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penghubung antara rasionalitas sosio-kultural (intermental) dengan individu sebagai tempat berlangsungnya proses mental (intramental). Ada dua jenis mediasi:

Mediasi metakognitif yaitu penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan untuk melakukan self regulation atau regulasi diri, meliputi self planning, self monitoring, self checking, dan self evaluating. Mediasi metakognitif ini

berkembang dalam komunikasi antar pribadi. Selama menjalani kegiatan bersama, orang dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten biasa menggunakan alat-alat semiotik tertentu untuk membantu mengatur tingkah laku anak. Selanjutnya anak akan menginternalisasikan alat-alat semiotik ini untuk dijadikan sarana regulasi diri. Langkah pertama dari pengaturan diri

50

(self regulation) adalah mempelajari bahwa segala sesuatu memiliki makna. Langkah kedua adalah latihan. Kemudian langkah terakhir adalah

penggunaan isyarat dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain.

Mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu atau subject-domain problem. Mediasi kognitif bisa berkaitan dengan konsep spontan (yang bisa salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya). Konsep-

konsep ilmiah yang berhasil diinternalisasikan anak akan berfungsi sebagai mediator dalam pemecahan masalah. Konsep-konsep ilmiah dapat berbentuk pengetahuan deklaratif (declarative knowledge) yang kurang memadai untuk memecahkan berbagai persoalan, dan pengetahuan prosedural (procedural knowledge) berupa metode atau strategi untuk memecahkan masalah. Menurut Vygotsky, untuk membantu anak mengembangkan pengetahuan yang sungguh-sungguh bermakna, dengan cara memadukan antara konsepkonsep dan prosedur melalui demonstrasi dan praktek.

2.1.2. Penelitian Yang Relevan Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan berhubungan dengan penelitian ini antara lain:a.

Yenny Suzanna (2004) menyatakan bahwa kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan metakognitif lebih baik daripada kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya konvensional. Kemampuan

pemahaman dan penalaran matematik siswa sebelum pembelajaran tergolong

51

kurang pada kedua kelompok penelitian, namun setelah pembelajaran matematika selesai, siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan metakognitif memiliki kemampuan pemahaman dan penalaran yang lebih baik daripada mereka yang mendapat pembelajaran konvensional, meskipun kemampuan kedua kelompok masih dalam kualifikasi cukup.

Pemahaman memiliki kaitan yang signifikan dengan kemampuan penalaran matematik siswa pada kedua kelompok penelitian. Sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif pada umumnya positif.b. Hepsi Nindiasari (2004) menyatakan bahwa (a) kemampuan pemahaman dan

koneksi matematik siswa yang mendapat pembelajaran metakognitif lebih baik dibandingkan dengan kemampuan pemahaman dan koneksi matematik siswa yang mendapat pembelajaran biasa; (b) kemampuan pemahaman dan koneksi matematik siswa formal dan transisi lebih baik dibandingkan dengan kemampuan pemahaman dan koneksi matematik siswa konkret; (c) secara umum siswa memiliki sifat positif terhadap pembelajaran metakognitif dan soal-soal koneksi matematik; (d) pada umumnya guru berpendapat pembelajaran metakognitif baik untuk dilaksanakan; (e) faktor-faktor penghambat dalam pembelajaran metakognitif antara lain pengetahuan prasyarat siswa, adanya siswa yang masih belum termotivasi untuk mengikuti dan aktif dalam pembelajaran. Sedangkan yang menjadi faktor pendukung adalah lebih banyaknya siswa yang memiliki motivasi untuk mengikuti pembelajaran serta tidak adanya perilaku yang menyimpang selama kegiatan

52

belajar mengajar; (f) dalam pembelajaran metakognitif siswa aktif mengikuti proses jalannya pembelajaran.c.

Eti Herawati (2004) menyatakan bahwa dalam pembelajaran menerjemahkan soal cerita ke dalam model matematika dan penyelesainya hendaknya guru meminta siswa membaca kata demi kata, ungkapan demi ungkapan dari soal cerita yang dihadapi kemudian menerjemahkan kata-kata dan ungkapan itu dengan menggunakan bahasa sendiri, siswa diminta memanipulasi bendabenda konkret, siswa membaca soal cerita yang dihadapi kemudian membuat gambar representasi semi konkrit dari bilangan/kuantitas yang ada pada soal cerita, dan memberikan tugas latihan dalam kelompok kecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ketuntasan belajar meningkat; (2) kesalahan akibat penerjemahan sintaksis menurun; (3) kesalahan pembalikan menurun; (4) kesalahan pada butir soal yang mengekspresikan suatu perbandingan menurun; (5) kesalahan dalam menyelesaikan soal cerita menurun. Dari ketiga penelitian relevan di atas, dapat disimpulkan bahwa

pendekatan metakognitif dapat meningkatkan kualitas pembelajaran matematika dan secara umum siswa memiliki sifat positif terhadap pembelajaran metakognitif. Selain itu, kemampuan siswa dalam menerjemahkan soal cerita ke dalam model matematika dan penyelesaiannya dapat dikembangkan melalui pemodelan matematika.

2.2. KERANGKA KONSEPTUAL Kerangka konseptual merupakan sarana peneliti untuk menganalisis secara terstruktur dan beragumentasi tentang kecenderungan dugaan ke mana penelitian

53

akan berlangsung. Peneliti akan mengungkapkan kerangka konseptual yang dikaji dari dua sisi yaitu penerapan pendekatan metakognitif dan peningkatan kemampuan memodelkan soal cerita matematika. 2.2.1. Penerapan Pendekatan Metakognitif PQ4R Dapat Digunakan Untuk Mengungkapkan Kemampuan Siswa Kelas V SD Dalam Memodelkan Soal Cerita Matematika Pada Pokok Bahasan Pecahan Penerapan pendekatan metakognitif PQ4R berkaitan dengan cara untuk menjelaskan metakognisi dalam pembelajaran matematika. Ketiga cara tersebut yaitu keyakinan dan intuisi, pengetahuan tentang proses berpikir, dan kesadaran diri. Keyakinan dan intuisi menyangkut ide-ide matematika apa saja yang

disiapkan untuk menyelesaikan masalah matematika dan bagaimana ide-ide tersebut membentuk jalan/cara untuk menyelesaikan masalah matematika. Pengetahuan tentang proses berpikir menyangkut seberapa akurat seseorang dalam menyatakan proses berpikirnya. Sedangkan kesadaran diri menyangkut keakuratan seseorang dalam menjaga dan mengatur apa yang harus dilakukannya ketika menyelesaikan masalah matematika, dan seberapa akurat seseorang menggunakan input dari pengamatannya untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas menyelesaikan masalah. Apabila dikaitkan dengan pendapat Huston (2008) tentang lima langkah mudah dalam menyelesaikan soal cerita yaitu baca soal, pilih informasi penting, tentukan strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah, selesaikan masalah, dan periksa jawaban maka pemecah soal dengan baik akan melihat cara berpikir mereka secara teratur dan otomatis. Mereka tahu kapan akan macet atau tidak dapat memahami. Mereka membuat keputusan secara sadar untuk

54

memperoleh strategi, memikirkan kembali soalnya, mencari pengetahuan yang terkait yang mungkin membantu atau sekedar memulai lagi. Di samping itu, siswa yang belajar melihat dan mengatur perilaku penyelesaian soal mereka sendiri menunjukkan perbaikan dalam penyelesaian soal. Selain itu, untuk memodelkan soal cerita dilibatkan pula aspek-aspek metakognitif yang digunakan dalam pembelajaran matematika. Pada tahap

mengorganisir, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide matematika melibatkan pengetahuan deklaratif. Pada tahap memilih pemodelan matematika untuk

memecahkan masalah melibatkan keterampilan perencanaan dan prediksi. Pada tahap menerapkan dan menerjemahkan pemodelan matematika untuk

memecahkan masalah melibatkan pengetahuan prosedural, kondisional, dan monitoring. Pada tahap menggunakan pemodelan untuk menginterpretasikan

fenomena fisik, sosial, dan fenomena matematika melibatkan pengetahuan deklaratif, prosedural, kondisional, dan monitoring. Jika dikaitkan dengan karakteristik pendekatan metakognitif yaitu advance organizer, perhatian, dan mediasi metakognitif, maka ketiga karakteristik ini juga diperlukan dalam mengungkapkan kemampuan memodelkan soal cerita matematika. Melalui advance organizer siswa akan menunjukkan perhatian pada apa yang penting dalam suatu soal cerita, menghubungkan antara ide-ide yang akan dibicarakan dan mengingatkan pada informasi yang relevan yang telah diketahui yang diperlukan untuk memodelkan soal cerita matematika tersebut. Perhatian yang dimaksud dalam pembelajaran yaitu pada saat proses penerimaan informasi agar siswa memilih informasi mana yang akan diteruskan ke memori. Sedangkan mediasi metakognitif diperlukan dalam memodelkan soal cerita

55

matematika karena dengan mediasi metakognitif ini siswa dapat melakukan regulasi diri dengan menyadari bahwa segala sesuatu memiliki makna, memerlukan latihan, dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Melalui penerapan pendekatan metakognitif ini, diharapkan siswa dapat mengatasi kesulitan dalam memodelkan soal cerita matematika dengan cara mengenal ketika suatu masalah menjadi lebih sulit dan pendekatan baru diperlukan, menyimpulkan bahwa ada suatu asumsi itu benar berdasarkan informasi yang ada, meramalkan hasil dengan menggunakan strategi belajar khusus dalam situasi yang diberikan, mencoba untuk memonitor cara belajar dan merubah pendekatan jika diperlukan.

2.2.2. Peningkatan Kemampuan Siswa Kelas V SD Dalam Memodelkan Soal Cerita Matematika Pada Pokok Bahasan Pecahan Melalui Penerapan Pendekatan Metakognitif PQ4R Soal-soal matematika yang digunakan sebagai gambaran kehidupan sehari-hari atau aplikasinya dalam bidang lain ini tertuang dalam bentuk-bentuk soal cerita. Soal yang disusun dalam bentuk kalimat verbal tersebut

memungkinkan siswa menggunakan daya imajinasi dan kreativitasnya serta ide dan nalarnya untuk mengemukakan berbagai alternatif pemecahan soal-soal tersebut. Biasanya, soal cerita diselesaikan melalui pemodelan matematika. Jika siswa dibina dengan membiasakannya menyelesaikan soal-soal seperti ini, di mana siswa merasakan manfaat matematika dalam kehidupannya sehari-hari. Kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika merupakan keterampilan untuk memahami soal; merencanakan model penyelesaian; menyelesaikan model menggunakan aturan, proses, konsep matematika; dan

56

menentukan jawaban berdasarkan model dan kondisi soal. Untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita, maka diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan aktivitas kognitifnya. Salah satu

pendekatan tersebut adalah pendekatan metakognitif. Salah satu prinsip dasar agar pembelajaran matematika dapat berhasil adalah mengembangkan

kemampuan metakognisi siswa.

Metakognisi adalah fungsi eksekutif yang

mengurus dan mengawal bagaimana seseorang menggunakan pikirannya. Metakognisi ini merupakan proses kognitif yang paling tinggi dan canggih. Tujuan metakognitif adalah memonitor dan mengatur tindakan untuk membantu siswa mengembangkan kebiasaan dan kecakapan melihat dan mengatur strategi dan kemajuan mereka saat menyelesaikan soal. Kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika ini dapat dilihat berdasarkan hasil pre test dan post test. Untuk ketuntasan

individu, setiap siswa dalam proses belajar mengajar dikatakan tuntas/paham secara individu terhadap materi pelajaran yang disajikan apabila siswa mampu memperoleh nilai sama dengan atau di atas kriteria ketuntasan minimal, yaitu 60. Untuk ketuntasan klasikal, sesuai dengan petunjuk teknik penilaian, kelas dikatakan tuntas secara klasikal terhadap materi pelajaran yang disajikan jika ketuntasan klasikal mencapai 80%. Artinya, 80% dari siswa di kelas tersebut telah mencapai nilai sama dengan atau di atas kriteria ketuntasan minimal, yaitu 60. Dari hasil pre test dan post test ini dapat dilihat perkembangan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan. Dari perkembangan ini, kita dapat melihat apakah terdapat peningkatan

57

kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan.

2.3. HIPOTESIS Berdasarkan kerangka teoritis, hasil penelitian yang relevan, dan kerangka konseptual di atas, dirumuskan hipotesis tindakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Penerapan pendekatan metakognitif PQ4R dapat digunakan untuk mengungkapkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan.2. Terdapat peningkatan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal

cerita matematika pada pokok bahasan pecahan melalui penerapan pendekatan metakognitif PQ4R.

58

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN 2.1.1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 060818 Jl. M. Nawi Harahap Medan. Karena berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru

matematika di SD Negeri 060818 Medan kemampuan memodelkan soal cerita matematika pada siswa SD masih rendah. Selain itu, di sekolah ini juga belum pernah dilakukan penelitian yang sejenis. 2.1.2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun pelajaran 2010/2011 pada 25 Oktober 2010 sampai dengan 23 November 2010.

2.2. SUBJEK DAN OBJEK PENELITIAN 2.2.1. Subjek Penelitian Dalam penentuan subjek penelitian ini digunakan penentuan sampel secara rambang (random sampling). Di dalam penentuan sampel untuk populasi

terbatas, peluang rambang dapat diberikan kepada anggota-anggota populasi secara individual. Sehingga subjek dalam penelitian ini dapat ditentukan secara rambang yaitu siswa kelas VA SD Negeri 060818 Jl. M. Nawi Harahap Medan

59

tahun pelajaran 2010/2011 sebanyak 47 orang yang terdiri dari 19 orang laki-laki dan 28 orang perempuan.

2.2.2. Objek Penelitian Adapun objek dalam penelitian ini meliputi: a. Objek yang mencerminkan proses yaitu tindakan pendekatan metakognitif PQ4R beserta perangkat-perangkatnya antara lain RPP, bahan aja