tarian sunyi - jayaningsila.files.wordpress.com filedan si laras kecil akan duduk tenang di hadapan...

162
Tarian Sunyi Page 1 TARIAN SUNYI SEBUAH NOVEL Jayaning Sila Astuti

Upload: vuliem

Post on 25-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 1

TARIAN

SUNYI

SEBUAH NOVEL

Jayaning Sila Astuti

Page 2: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 2

PROLOG

Semua sudah berakhir. Cukup sampai di sini.

Ah, ya. Tak terasa benar berlalunya waktu, dan tak terasa benar bagaimana kawan-

kawan yang kucinta bertumbangan satu persatu. Demi yang mereka perjuangkan dan mereka

yakini sebagai kebenaran.

Kuayun lagi kursi goyang yang memanggul tubuhku. Kurasakan ini seperti pangkuan

Bunda, yang nyaman menentramkan. Lalu kurapatkan sweter hangat yang membungkus

tubuhku. Kemudian kubiarkan lagi pikiranku melayang. Pada mereka, kawan-kawan tercinta

yang bertumbangan.

Aku sebenarnya amat marah pada mereka, mengapa tak mengajakku serta. Kami

berempat, dan kini hanya satu yang tersisa. Akulah. Bersama dengan sisa-sisa hal yang kami

perjuangkan dahulu.

Aku amat marah mengetahui mereka satu persatu meninggalkanku. Tak kumaafkan.

Namun, lama-lama aku berfikir ini mungkin kehendak Tuhan, yang menginginkan salah satu dari

kami tinggal. Untuk melihat perkembangan dari apa yang keras kami perjuangkan. Agar lewat

mataku, kawan-kawanku tahu jadi seperti kehidupan yang Tuhan janjikan.

Berangsur-angsur kumaafkan mereka, atas kejahatan mereka tak mengajakku serta pergi

ke surga. Berangsur-angsur kuterima ketertinggalanku di dunia ini. Aku kembali melangkah,

melanjutkan yang dulu kami buat. Berangsur-angsur pula, setelah sekian lama berjalan sendiri,

wadagku yang menua ini meminta tempatnya pada kesenangan kursi goyang.

Dan kini, saatnya aku kembali mengenang beragam kisah indah yang telah kami

ciptakan. Dan demi anak cucu yang harus tahu bagaimana kisah indah mereka dan aku dahulu,

akan kurangkaikan kata ini untuk kalian. Berurutan.

Akan kuawali dengan kisah tentang Laras, tentang kenekatannya yang jauh melampaui

perempuan sebangsa yang hidup semasa dengannya. Tentang petualangan mengejar pria impian.

Ini tentang Laras, seorang gadis desa dari kalangan biasa, yang berkedudukan sama

dengan setiap anggota keluarga. Dalam membuat keputusan, dalam bermata pencaharian.

Page 3: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 3

Ayahnya awak kapal dagang yang lebih banyak menghabiskan waktunya di laut,

membuat Laras kecil harus cukup puas untuk hanya hidup berdua dengan ibunya di desa. Dan

sang pelaut, hanya pulang sekali dalam beberapa masa. Membawakan berbagai kisah yang

ditimba di berbagai negeri. Dan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang

membawakan kisah dengan gaya yang sempurna.

Begitulah kisah hidupnya yang awal. Namun semuanya mulai berubah pada hari ketika

ia putuskan pergi lihat tontonan di pelataran kadipaten.

“Aku ingin lihat tontonan nanti malam,” sebentuk suara lirih meluncur dari bibir Laras.

Namun begitu, pandangannya tak menatap pada kawannya, Ratri, tapi terbang ke awang-awang.

Ia seolah sedang bermimpi. Dan si kawan yang tak paham, tak urung jadi heran.

“Ada apa? Kenapa tiba-tiba….”

Baru kemudian pandangan Laras teralih pada Ratri.

“Akan ada tontonan di kediaman Gusti Bupati. Aku ingin lihat.”

Si Ratri mengamati sorot mata kawannya. Seperti sorot mata orang yang baru bangun

tidur, yang barusan mimpi indah.

“Jangan macam-macam, Ras. Kita ini perempuan, mana boleh keluar malam. Apa kata

orang?”

Sorot mata yang sempat berbinar itu layu lagi. Sebenarnya Ratri tak tega. Tapi apa

boleh buat, keluar malam bagi perempuan tetap saja tak patut.

“Karena tak boleh itulah aku bicarakan denganmu. Aku ndak mau hanya pergi sendiri,

tapi bertiga dengan Bapakmu. Dengan begitu tetap ada yang menjaga. Orang tak akan ngomong

macam-macam.”

“Kenapa sebenarnya kau bersikeras ingin nonton? Toh belum tentu tontonannya akan

bagus, apalagi bakal bikin kita senang.”

“Tak tahulah Rat. Aku hanya merasa akan ada sesuatu yang penting di sana. Artinya

kau harus datang,“ katanya sambil membuang pandang.

Ratri tercenung.

“Jangan terlalu percaya pada perasaan.”

“Perasaan ini kuat sekali Rat. Kalau begini, selalu betul ini sebagai firasat.”

“Bapakku pernah bilang, di negeri-negeri jauh sana, orang-orang perempuan boleh

keluar malam buat nonton asalkan tak sendirian. Kita juga pasti boleh, asalkan bersama teman.”

Page 4: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 4

Ratri yang sedang nggerus lombok, berhenti. Dilonggarkannya pikirannya untuk

sekedar menamatkan raut wajah kawannya.

“Itu di tempat yang jauh, bukan di sini. Sudah, jangan ngimpi lagi.” Diulurkannya seikat

bayam pada kawannya itu, “Mending kau petiki ini saja daripada terus menerus ngimpi. Biar bisa

cepat sarapan, trus kirim ke sawah. Bapakku dan Simbokmu pasti sudah kaliren dari tadi nunggu

kiriman.”

Namun niat baiknya tak bersambut. Sebab si kawan masih ingin ngimpi.

“Sekali ini saja Rat, lain kali tidak. Tolong bujuk Bapakmu buat temani kita ya.”

Ratri geleng-geleng kepala. Tak biasanya si kawan sebegitu inginnya. Ya sudahlah tak

apa-apa, pikirnya. Semoga saja firasatnya itu bukan sesuatu yang buruk. Sesekali saja, tidak

sering-sering.

“Ya, nanti aku bilang Bapak. Tapi aku ndak janji Bapak mau.”

Mata itu berbinar lagi. Dan anggukan senanglah yang kemudian ia dapat.

“Dan sekarang, kita mesti cepat-cepat selesai masak.”

Senyum sumringah Laras mau tak mau membuka senyum Ratri.

Page 5: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 5

Kadangkala,

kita hidup tak hanya dengan sesuatu yang jelas

Kadangkala,

kita hidup karena nekat dan firasat,

Serta ingin tahu

Page 6: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 6

BAB I

Kuayun lagi kursi goyangku yang mulai berhenti. Beginilah lanjutan kisah Laras,

seperti yang dituturkannya padaku tentang hari istimewa itu :

Aku berhasil membujuk Simbok untuk mengijinkanku pergi, setelah kukatakan pada

kalau aku tak pergi sendiri. Aku akan pergi dengan Ratri, ditemani Bapaknya. Ratri pun sampai

datang ke rumah untuk meyakinkan Simbok. Dan akhirnya, beradalah kami malam ini di

pelataran kediaman bupati, bersama ratusan orang yang mungkin sama haus tontonannya dengan

kami.

“Ayo Rat, cepat! Nanti kita ndak dapat tempat,” bisikku. Kami mulai ketinggalan

langkah dari Bapaknya Ratri

“Iya, tapi sabarlah. Paling juga belum mulai,” balasnya.

“Memang belum mulai, tapi kita musti berebut tempat. Kalau hanya dapat tempat di

belakang, sama saja ndak bisa lihat apa-apa.”

Ratri mempercepat langkah, kainnya dicincing sedikit. Kupercepat langkah,

memperpendek jarak dengan Bapaknya Ratri. Biar tak hilang kami nanti.

Dari ujung pelataran tempat kami berada kini, bisa kulihat atap sebuah panggung

megah. Ah, dasar kediaman Bupati memang luas, tontonan yang seramai ini masih bisa

dipusatkan di sisi kanan pendopo agung saja. Sedang di sebelah kirinya, ada keriuhan yang lain.

Keriuhan para abdi dalem mempersiapkan iring-iringan, dan para prajurit yang menjadi batas

keriuhan di sebelah kanan dan kiri pendopo. Mungkin mau ada acara besar.

Kalau melihat riuhnya malam ini, kukira sangat luaslah tersiar kabar tentang tontonan

malam ini. Mungkin karena tontonan ini penting, atau mungkin karena sudah sangat lama tak

pernah ada tontonan.

Bapaknya Ratri yang mencarikan kami tempat untuk duduk. Untuk berdua, sebab

beliau kemari mau jualan.

“Rat, lihat apa kamu…?”

“Bukan apa-apa,” jawabnya. Namun pandangannya tak jua beralih.

“Ayolah katakan, kau sedang cari siapa?” bisikku lagi.

Page 7: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 7

“Kubilang tak ada apa-apa.”

“Tapi matamu jelalatan terus. Pasti ada apa-apa.”

“Stt…” Ratri mengunci mulutku dengan telunjuknya. “Aku akan bilang, tapi kamu

harus janji tidak akan bilang ke Bapak atau Simbok.”

Aku mengiyakan.

“Kau tahu kenapa ada tontonan malam ini? Kenapa mereka mau main tanpa pasang

kotak?” Dia beri jeda sebentar, mungkin memancing rasa penasaranku. “Karena Gusti Bupati

akan kedatangan tamu. Tuan Asisten Residen M yang baru.”

Ratri pasti main-main.

“Mana mungkin Tuan Besar mau kemari? Darimana kau tahu?”

Ratri tersenyum.

“Hampir semua orang tahu. Apalagi kalau biasanya jarang ada tontonan.”

“Jadi sebelumnya kau sudah tahu tapi ndak ingin pergi?”

Ia mengangguk.

“Keluar malam kan ndak patut buat perempuan.”

“Jangan bicara patut ndak patut lagi. Kalau memang perempuan ndak boleh keluar

malam, pasti tak banyak perempuan yang akan datang malam ini. Buktinya?”

“Iya aku tahu. Kamu tahu kan putri bungsu Tuan Bupati? Gusti Ayu Harsini itu. Gusti

Bupati pasti mau mendapuk Tuan Asisten sebagai calon mantunya. Tuan ini kan belum punya

istri. Padahal tampannya, ampun....! Dan belum genap sebulan pula datang dari Holland,

mumpung belum ketemu banyak dara ayu. Begitu pasti pikirannya Gusti Bupati itu.”

“Jadi?”

“Ayo kita cari tahu yang mana orangnya.”

Kuiyakan saja. Mana mungkin bisa ketemu dengan Tuan Asisten Residen. Seperti katak

mimpi naik pohon saja.

“Ayo!”

“Buat apa?”

“Ya biar tahu.”

“Ndak usah. Kalau tahu pun ndak ada gunanya.”

Ratri mendelik.

Page 8: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 8

“Ndak ada gunanya bagaimana? Siapa tahu Tuan itu malah kepincutnya sama kamu,

bukan sama Gusti Ayu. Ayo sini!” Ditariknya tanganku dan diseretnya aku menerobos

kerumunan orang yang berdiri di utara panggung.

“Mau kemana ini?”

“Mencuri pandang pada si Tuan Asisten.” Aku yang tercekat menyentak lepas tanganku

dari genggaman Ratri.

“Jangan gila, mana mungkin bisa.”

“Aku mengenal tempat ini Ras. Bapak dan Simbokku pernah mengabdi di sini bertahun-

tahun, ingat? Aku tahu tempat ini.”

“Mungkin letak ruang-ruangnya berubah.”

“Memang. Tapi tidak mungkin sampai tidak bisa kukenali.”

Aku menggeleng lagi. Makin cemas.

“Percayalah, sekarang ramai. Tak akan ada yang tahu.”

Dia menarikku sebelum mampu kukatakan sesuatu, kemudian mnyembunyikan raga

kami dalam kegelapan bayang-bayang. Kami susuri sisi dalam tembok ini, dan berhenti di titik

yang tak tersorot sinar rembulan.

“Kita tunggu sampai keramaian memuncak. Itu saat yang tepat untuk masuk.” Kami

menunggu dalam hening.

Suara gending yang ditabuh sejak sore makin bertalu-talu. Ratri masih diam. Irama

gending kudengar makin cepat, dan „Gong...!‟. Dan „Pelaris...!‟ sahutan serempak dari semua

yang hadir menyambut irama puncak itu. Ungkapan sederhana bagi doa setulus hati dari segenap

yang hadir.

“Ayo!”

Kami sebrangi jarak sedemikian lebar antara tembok dengan bagian belakang kadipaten

ini. Dengan berlari dan menaikkan kain bawahan kami sedikit. Lalu mengendap-endap di taman

kecil yang membelah tiap-tiap bangunan.

“Pertemuannya di gandok. Kita ke sana.”

“Darimana kau tahu?”

“Manalagi tempat yang biasa dipakai menjamu tamu besar selain gandok kadipaten

kalau pendopo sedang tak bisa dipergunakan?”

Page 9: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 9

Aku paham. Pelataran depan yang begitu ramainya membuat pendopo tak cukup pantas

untuk menyambut tamu sepenting Tuan Asisten Residen.

“Lalu bagaimana?”

Ratri tak menjawab, hanya terus menarikku menyusuri jalan-jalan sempit menuju

kediaman utama. Lalu menyelinap ke kamar tamu yang tak terkunci. Yang paling dekat dengan

gandok kediaman utama.

Pasti aneh terasanya gandok kediaman utama yang di dalamnya akan diadakan

pertemuan penting dibiarkan tak dijaga. Tidak, bukannya tak dijaga. Tapi Ratri saja yang sudah

hafal jalan mana yang aman.

Agar tak mencurigakan, pintu kami buka sedikit saja. kami mengintip bergantian, harap-

harap cemas apa betul akan terlihat jelas raut wajah Tuan itu dari sini. Menungguu kapan

rombongan si Tuan dan Gusti Bupati akan datang.

Ternyata tak lama ketika rombongan pertama datang. Pastilah Gusti Bupati adalah

priyayi sepuh berwibawa yang berjalan paling depan. Berjalan dengan seorang abdi, yang segera

bersila tak jauh dari tempat Gusti Bupati ketika beliau sudah lenggah. Dua orang yang kukira

orang-orang terdekat beliau pun segera duduk mendampingi. Suasananya senyap. Suara Gusti

Bupati yang berbicara lamat-lamat dengan orang di kanan kirinya pun masih bisa terdengar.

Sebenarnya aku tak terlalu peduli dengan mereka Namun tetap kusimpan ingatan

tentang wajah mereka Mungkin suatu saat nanti aku membutuhkannya Tak berselang lama

penjaga memberitahukan kedatangan tamu yang ditunggu-tunggu Tuan Asisten Residen Kini

arah pandangku tertuju pada rombongan baru itu. Yang mereka kenakan sungguh kontras dengan

yang dikenakan rombongan Gusti Bupati Putih lawan coklat sepuhan emas

Yang mana Tuan Asisten?

“Lihat yang paling depan sebelah kiri, yang berselempang.”

Mereka makin dekat, ketegangan kami meningkat. Begerakpun sangat hati-hati. Sekilas

sempat kurasakan si Tuan melirik ke pintu ini, seolah mengerti kehadiran kami. Walaupun itu

sangat kusangsikan.

Sekarang bisa kupandangi warna kulitnya. Dengan rambut coklat gelap, sedikit

kemerahan. Eropa. Disambutnya tabik Gusti Bupati dengan hormat, kemudian duduk berhadapan

dengan beliau melingkari meja.

Page 10: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 10

“Betul kata orang Tuan itu memang tampan. Memang patut jadi dewa impian. Benar

kan?”

“Ya, baiklah. Sekarang apa lagi?”

“Menunggu para Tuan itu selesai berbincang dan berkenan untuk pulang. Baru

kemudian kita bisa menyelinap pergi.”

Aku menyetujuinya. Memang hanya tinggal menunggu yang bisa kami lakukan.

Kugeser tubuhku supaya Ratri bisa leluasa mengamati keadaan di luar. Dia yang mengenal

tempat ini, maka dia yang akan mencarikan jalan untuk kami pergi Aku hampir tertidur ketika

Ratri mengguncang pundakku.

“Mereka sudah hampir pergi. Kita harus bersiap-siap juga.”

Sedang kusiapkan diri untuk pergi secepatnya saat ia tiba-tiba berbalik dengan wajah

pucat.

“Mereka berjalan kemari. Kita harus sembunyi.”

Direbahkannya tubuhnya lantai lalu ia merayap ke kolong ranjang. Aku yang tak kalah

panik menyambar tongkat di kepala dipan dan kubawa bersembunyi dalam lemari.

Betul kata Ratri. Orang-orang itu sepertinya sedang bicara di depan kamar. Tak lama

sebelum satu detak sepatu terdengar masuk ke kamar ini. Kami terus menunggu.

Detak langkah itu mendekat ke tempatku sembunyi, dan kuayunkan tongkat di tanganku

tepat saat pintunya terbuka. Sekuat tenaga. Dan sosok itu tersungkur seketika.

Ratri melongok dari kolong. Tanpa bicara ia bergegas membantuku mengangkat tubuh

itu dan membaringkannya di ranjang

“Dandani dia seolah-olah sedang tidur saja, lalu segera keluar. Cepat! Sebelum mereka

kembali.”

Kupasangkan bantal, lalu kuhamparkan selimut di atas tubuhnya. Aku sedang

memandanginya untuk yang terakhir kali ketika tiba-tiba tangan di balik selimut itu

mencengkeram lenganku. Matanya menatap nanar.

“Rat!”

Pria ini menoleh pada Ratri. Ratri memandang ngeri para pria ini, padaku, sebelum

menyelinap pergi. Hilang di balik pintu. Aku ditinggal sendirian

“Temanmu sudah pergi. Kupikir kau sengaja ditinggal untuk menemaniku

menghabiskan malam. Bukan begitu?”

Page 11: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 11

Tanganku yang bebas yang sedang berusaha mencari sesuatu untuk senjata disambarnya

juga lalu ditelikung ke belakang. Hingga wajah kami hampir bersentuhan. Dia tersenyum sinis.

Sungguh baru kusadari bahwa sifatnya sama sekali tak setampan yang dikatakan orang.

Kini kutahu warna matanya. Biru gelap, yang jadi lebih gelap saat emosi membalutnya.

Ikat pinggang kulitnya berpindah mengikat tanganku. Sambil terus mengawasiku, disobeknya

kain seprai dan dijadikannya ikatan untuk kakiku.

Satu ciuman mendarat di keningku.

“Ini hadiah untuk keberanianmu, sayang. Tenang-tenang saja di sini. Takkan ada hal

buruk yang terjadi.”

Aku tak suka seringainya. Pria ini menepis kotoran di bajunya, menoleh padaku

sebentar, sebelum menyambut panggilan orang-orang yang ada di luar kamar ini.

Yang kurasakan, putus asa. Dengan ketidaktahuan apa yang akan terjadi, dan tak bisa

berbuat apa-apa. Ikatan-ikatan ini membuatku sulit melarikan diri. Boleh tidak ya aku berharap

tidak akan dihukum esok? Aku menyesal. Harga yang kubayar untuk kesenangan sejenak ini

terlalu mahal. Aku hanya tinggal berharap Bapak dan Simbok tidak terlalu meratapi

kehilanganku.

Di tengah tikaman putus asa yang tak habis-habisnya, satu ketukan terdengar dari

jendela. Apa itu Ratri? Harus kubuka jendelanya. Bagaimana? Ah ya! Bergerak ke pinggir

ranjang, berusaha untuk duduk, meloncat-loncat ke jendela, dan mendorongnya sebisa mungkin

dengan punggungku.

Benar!

“Ras, ayo!”

Kutunjukkan tanganku yang terikat. Letak jendela yang cukup tinggi tak urung

membuat Ratri kebingungan. Namun ditariknya tanganku dan dilepaskannya ikatan itu dengan

susah payah.

Ikatan terlepas. Tanpa buang waktu segera kubuka ikatan di kaki, dan melompati

jendela. Jendela kututup pelan sebelum mengendap-endap secepatnya dengan sedikit menyincing

jarit, kembali ke area tontonan. Maaf tata krama, kali ini aku sedang tak ingin mengindahkanmu

dulu.

Page 12: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 12

Sesampainya di sana, untunglah tontonan belum rampung. Sayangnya tempat kami

duduk kami sudah dipakai orang. Maka kami duduk tak jauh dari tempat yang tadi. Semoga

Bapaknya Ratri belum mencari-cari.

Dan karena niatku datang kemari adalah untuk nonton, kutanya orang yang duduk di

sebelah kami bagaimana jalan lakonnya. Namun orang itu menggeleng sambil menyahut, “Nanti

saja Nduk, kalau Bapak cerita sekarang terlalu ramai. Nanti suara Bapak tak terdengar.”

Lelaki itu sedikit saja membesarkan suaranya, namun segera disambut sahutan “Stt….!”

dari samping kanan-kiri.

Kalau begini, bagaimana bisa menonton. Masih pertengahan memang. Tapi tetap saja

tak enak kalau tak tahu cerita awalnya. Akhirnya, tak ada yang musti dilakukan, secara tak

terkontrol lamunanku berlanjut. Merenungi lagi pertemuanku dengan si Tuan Asisten.

Ah sudah. Tidak boleh dipikirkan lagi. Yang baru saja terjadi adalah kekeliruan yang

harus dilupakan. Setidaknya sementara.

Ternyata tak hanya kami yang bertemu dengan Tuan Asisten Residen. Bapaknya si

Ratri juga. Bedanya, kami sengaja sembunyi-sembunyi melihatnya. Sedangkan Bapaknya si

Ratri – kalau sudah nasib akan terjadi juga – tak pergi kemana-mana, hanya merelakan dirinya

untuk berdiri di tempat yang cukup dekat dengan panggung seselesai berdagang. Sebenarnya tak

terlalu dekat, namun cukuplah untuk tahu tontonannya dari awal hingga akhir.

Dan keberuntungan menghampirinya, itu kata Bapaknya si Ratri. Saat ia sedang asyik-

asyiknya menonton, ada orang yang berteriak-teriak di belakangnya, “Minggir, minggir, Tuan

Asisten Residen mau lewat.”

Dasar orang gemblung, kalau mau ngibul mbok ya tahu diri sedikit, cerita si Bapak.

Mana mungkin Tuan Asisten Residen mau datang kemari. Ini kan tontonan orang desa, bukan

pesta kaum ningrat. Bapaknya Ratri tak menggubris.

“Tak tahunya Nduk, beberapa saat kemudian, orang itu malah teriak di kupingku. Ya

Bapak kaget. Waktu noleh, ternyata yang teriak-teriak kayal kesetanan itu bukan orang

gemblung. Benar-benar opsir! Dan di belakangnya seorang Tuan yang masih muda, pastinya

Tuan Ten, seperti yang dibilang opsir tadi. Duh bagusnya...” Bapaknya si Ratri geleng-geleng

kepala, takjub.

Page 13: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 13

“Bapak heran, orang macam apa Tuan Ten itu sampai mau ikut nonton. Ini baru

awalnya Nduk, kamu bakal merasa lebih takjub kalau lihat Tuan Ten itu sampai mlongo.”

Aku tertunduk, Bapaknya Ratri ternyata jualan di tempat yang tetap masih bisa jelas

ngawasi kami. Ya terang saja kami tak bakal bisa sembunyikan yang baru saja kami perbuat.

Kata beliau, “Ratri memang nekat Nduk. Begitulah kalau diikuti maunya. Untungnya

ndak ada kejadian buruk.”

Andai saja kukatakan kalau kami sempat ketahuan, aku yakin Bapak tidak akan

menanggapi sedatar ini.

“Kamu ndak sempat lihat lakon yang kemarin ya Nduk? Wah, mereka memang pintar

bikin lakon. Ck ck, mujur bener nasibnya si Bambang Setiyawan tu punya istri Dewi Sawitri.

Cantik, pinter.Kamu lihat Nduk waktu Dewi Sawitri minta seratus anak pahal suaminya itu

sudah mati? Ndak masuk akal, tapi pinter. Bathoro Narodo jadi harus menghidupkan lagi si

Bambang Setiyawan. Kan ndak mungkin to Nduk punya anak kalau suami sudah ndak punya.

Yang nari itu juga ndak kalah bagusnya. Apalagi pas nunjukkan kebahagiaan mereka. Weleh

weleh!”

“Orang-orang yang tahu kedatangan Tuan Ten langsung minggir kasih jalan. LAlu

Tuan itu duduk di depan panggung sisi kanan. Diapit dua opsir di kanan kirinya, tiga di

belakangnya, terus dua lagi yang berdiri di pinggir kirinya dekat lalu lalang orang. Bapak berdiri

sebelahan sama opsir itu. Pokonya Bapak bisa lihat Tuan itu jelas! Bapak perhatikan terus

sampai lupa sama kalian. Tuan itu ndak noleh-noleh! Apalagi pas tarinya. Kelihatan senang

banget nontonnya. Bapak ini betul-betul ndak nyangka ada orang besar kagum sama tontonannya

orang desa.”

Bapaknya Ratri masih saja terus saja berkisah tentang pertemuan indahnya dengan si

Tuan. Padahal batinku mengatakan Tuan itu mengerikan.

Si Bapak menuang teh. Singkong rebusnya digeser ke tengah, mungkin biar aku tak

segan untuk ikut makan.

“Ayo dimakan, Nduk Laras. Rat, itu Nduk Laras diajak makan. Nanti keburu dingin.”

Mana Bapaknya Ratri tahu kalau aku tak minat makan. Bayangan buruk andai saja

Ratri tak bisa datang lagi masih melekat di ingatan.

“Ayo Nduk, cepat dimakan. Bapak ini malu kalau kamu itu pulang kelaparan, kayak

ndak ditawari makan.”

Page 14: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 14

Terpaksa makan juga beberapa, baru kemudian dibolehkan pulang. Ratri yang

mengantar.

“Rat?”

“Ya?”

“Kamu sudah lihat Tuan itu kan?”

Dahinya berkerut. Mungkin kebingungan.

“Tentu saja, kan kita menyelinap berdua. Ada apa?”

“Kau dengar cerita Bapak yang terakhir. Rasanya mustahil kalau Tua itu suka.”

“Kenapa tak masuk akal?”

“Orang-orang seperti Tuan itu berbeda dari kita. Pangkatnya, rumahnya. Ndak mungkin

menyukai yang orang-orang seperti kita suka. Sudah kulihat di kedalaman matanya. Aku ndak

percaya ada rasa suka yang tulus dari lubuk hatinya.”

Kami berjalan bersisian dalam diam. Melewati jalan setapak tanah, dengan berkali-kali

jumpa para penduduk desa yang berangkat ke ladang.

“Aku mau belajar nari Rat.”

Aku tahu kerutan di dahinya makin dalam. Kukira ia masih mencoba cari sambungan

omonganku yang barusan dengan yang tadi.

“Kenapa tiba-tiba?”

“Tarian yang kemarin itu lembut, cantik. Pasti bahagia kalau aku juga bisa

menarikannya.”

“Bukan karena Bapak bilang Tuan itu sangat suka tariannya?”

“Mungkin itu juga.” Tak bisa kusembunyikan senyumku.

“Aku memang bilang dia itu mengerikan. Dia itu ndak bisa dipercaya. Tapi aku melihar

sesuatu darinya, meski ndak tahu itu apa.”

Ratri manggut-manggut.

“Ras, kalau kamu belajar menari karena tarian itu kamu anggap cantik, aku bisa pahami.

Tapi kalau ingin belajar karena si Tuan suka, itu ndak akan bisa membuatmu dekat dengannya.

Juga ndak akan biisa membuatmu memahami yang tersembunyi di matanya.”

“Tuan itu dan orang-orangnya Rat, kukira selalu mengejar yang mereka inginkan

sampai akhirnya bisa tiba di tanah kita. Aku tahu kemungkinannya kecil, bahkan mungkin aku

akan terjebak dalam keinginan itu seumur hidup.”

Page 15: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 15

“Lalu apa kau masih ingin menuruti keinginan itu?”

“Aku hanya sedang menginginkan hal-hal baru, yang berbeda dari yang selama ini kita

punya. Tidakkah membosankan jika segala sesuatu selalu sama? Pertemuan dengan Tuan itu

hanya pemicu, kamu tahu, yang semakin membulatkan tekadku.”

“Apa kau sudah pikirkan caranya?”

“Aku akan minta mereka mengijinkanku ikut serta dalam rombongan ludruk mereka.

Belajar nari sambil ngludruk ndak ada salahnya. Dan kamu?”

“Aku kenapa?”

“Selanjutnya kamu mau lakukan apa? Tidakkah kau ingin mencoba hal baru juga?”

Dia terdiam. Pertimbangannya banyak tampaknya.

“Kita berteman sejak kecil Rat. Aku tahu kamu suka nekat. Apa ndak ingin sekali-kali

mencicipi pengalaman-pengalamannya Bapakku, datang ke tempat dan keadaan baru?”

“Tapi kita ini perempuan.”

“Memangnya perempuan tak boleh rasakan yang para lelaki nikmati. Tidak adil sekali.”

Ratri menghela nafas panjang.

“Sebenarnya aku tak berminat. Tapi sudahlah, aku ikuti kamu. Ya siapa tahu

keinginamu dekat dengannya bisa terwujud, aku bakal ikut senang juga.”

Kugenggam tangannya. Aku selalu yakin dia bisa jadi sahabatku kapanpun itu.

***

Tentunya penasaran dengan Tuan Asisten Residen yang memikat hati. Maka inilah

kisahnya, sahabatku yang kedua :

Nama saya Rijkaard Pieters. Umur 24 tahun. Rumah saya sebuah bangunan mungil

dengan taman tulip di sekelilingnya serta kandang sapi di belakang. Mama pemerah susu.

Sedang Papa, ia pergi entah kemana Mama tak pernah cerita. Yang saya tahu, dia sudah mati dari

kehidupan kami. Sia-sia mengharapkan kepulangannya.

Saya pernah dengar ia pergi ke Hindia, sebagai pegawai kerajaan Belanda. Mungkin dia

sudah senang sekarang. sehingga lupa pada kami.

Ya sudahlah, biarkan saja. Semua yang sudah usang dan tak berguna, lempar saja ke

belakang, biar dimakan oleh sang waktu tanpa protes. Biar hilang tak usah dikenang. Lupakan

saja Papa, kita bicara yang lainnya.

Page 16: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 16

Kata pepatah tentang orang yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan yang ia

inginkan itu betul! Awal tahun kedua kuliah, berbekal pengalaman dan nilai yang cukup, saya

diterima sebagai asisten seorang ahli tanggul ternama di Leiden.

Akhir tahun keempat saya selesai sekolah tinggi dan meraih gelar insinyur. Tuan

Philiph yang mengerti betul diri saya, menyuruh saya mendaftar sebagai ahli tanggul kerajaan.

Yang artinya, seorang pegawai yang siap dikirim kemanapun demi kepentingan kerajaan.

Dengan begitu, peluang saya untuk menimba pengalaman serta merintis karir akan lebih besar.

Mungkin benar. Berbekal pengalaman yang saya punya, saya datangi kantor kementrian

pekerjaan umum wilayah.

Seorang pria paruh baya yang saya temui di sana mengatakan begini, “Tepat sekali kau

datang kemari pagi ini. Kerajaan sedang membutuhkan banyak ahli tanggul untuk memperkuat

pertahanan laut kita. Kau beruntung. Sangat!”

Katanya lagi, “Ah kau sungguh beruntung Nak. Aku masih punya satu kabar baik

lainnya. Kerajaan sedang membutuhkan banyak orang untuk ditempatkan di Hindia. Memang

bukan posisi-posisi yang terlalu tinggi, tapi cukup bagus untuk memulai karir di pemerintahan

Hindia. Kalau kau berminat.”

Saya diam.

“Kalau kau berminat, datanglah pada orang yang namanya tertulis di sini,” diberikannya

satu kartu nama, “Kau akan dapatkan informasi lengkap darinya.”

Melihat saya ragu, katanya, “Kalau kau tak ingin menemuinya, datanglah padaku. Aku

akan membantumu. Pikirkan saja baik-baik. jangan sampai menyesal belakangan.”

Saya mengangguk lalu pamit. Setelah berjanji akan datang besok pagi, memberikan

keputusan. Sorenya, saya bawa obrolan itu pada Mama. Saya ceritakan sedetail-detailnya tentang

tawaran bekerja di Hindia

“Kau sudah dewasa, Rijkaard. Ambil jalan manapun yang menurutmu paling baik. Kau

sudah tahu mana lebih kurangnya masing-masing pilihan, tinggal kau tanyakan pada dirimu,

mana baiknya yang kau inginkan dan mana kurangnya yang bisa kau tolerir. Ibu percaya

padamu.”

Pada akhirnya, tetap saya yang harus menimbang dan menentukan. Sulit ternyata jadi

orang dewasa. Harus mengambil keputusan yang mana takkan ada yang bisa dipersalahkan akan

hasilnya kecuali diri sendiri.

Page 17: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 17

Semalaman saya sulit tidur. Berguling-guling saja di ranjang, sampai satu pemikiran

terbersit di benak. Seketika saya terjaga. Rasanya tak sabar berumpa dengan pagi. Saya lihat

jarum pendek jam dinding baru bertengger pada angka dua. Paling tidak saya masih harus saya

tunggu enam jam lagi sebelum bisa menemuinya.

Namun, sudah saya putuskan.

Saya menemui pria di kantor pekerjaan umum itu pagi ini.

“Saya sudah memutuskan Tuan. Dan seperti yang saya janjikan, saya datang kemari

untuk memberitahukan keputusan saya.”

“Kalau begitu, katakanlah.” Pria itu menutup berkas yang sedang dibacanya dan

meletakkan pena di genggaman di atasnya.

“Saya akan ke Hindia.”

“Mengapa?”

“Saya ingin mengabdikan diri pada kerajaan.”

“Alasan lainnya?”

“Alasan tadi adalah yang terkuat yang dapat saya ungkapkan pada Tuan.”

Dia pasti mengerti bahwa tak setiap hal bisa diungkap. Selalu ada yang tersembunyi dan

hanya menjadi rahasia pribadi.

“Baiklah. Kukira kau hanya bisa katakana itu karena waktumu berfikir yang teramat

sempit. Tapi Nak, jarang tersedia waktu yang cukup untuk orang berfikir benar-benar matang.

Jadi, kusarankan jangan pernah menyesali yang kau putuskan kalau kau ingin hidupmu bahagia.”

“Saya mengerti.”

“Hubungi orang yang namanya kuberikan padamu kemarin. Dia tahu yang harus

dilakukannya untukmu.”

“Terima kasih. Tuhan yang akan membalas kebaikan hati Anda.”

Kau tentu ingin tahu alasan saya yang sebenarnya. Sama penasarannya dengan pria itu.

Saya tertawa. Siapapun tak akan saya beritahu, kecuali kau. Kau sahabat saya, maka kau akan

tahu segalanya tentang saya.

Page 18: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 18

Saya ingin mencari dia, Jan Pieters, dan mengatakan padanya bahwa kami tak

membutuhkannya lagi. Dia sudah membuang kami, maka kami juga akan membuangnya dari

kehidupan kami selamanya. Kenapa? Karena pria seperti itu harus diberi pelajaran, agar tak

berbuat seenaknya lagi pada orang.

Selain itu, saya memang ingin melihat tanah Hindia. Suatu tempat yang disebut-sebut

tak pernah dibalut salju, yang selalu panas, dan selalu rimbun dengan daun. Dan hmm,

kedatangan saya bakal jadi amal baik saya rasa. Saya dengar mereka orang-orang yang belum

mandiri, orang-orang yang membutuhkan kami untuk mengurus kepentingan-kepentingan

mereka. Kalau begitu, mengapa tidak?

Saya akan menemuinya pagi berikutnya, si kepala kepegawaian daerah jajahan yang

namanya di kartu nama yang diberikan pada saya.

“Silahkan duduk dulu,” katanya.

Tanpa diminta dua kali, segera saya geser kursi di samping saya untuk saya duduki.

Saya lihat si Tuan sedang memeriksa beberapa berkas, mencoret-coret. Dua map yang

bertumpuk di sebelahnya ia periksa seperti itu juga, sebelum berpaling pada saya.

“Rijkaard Pieters?”

“Betul Tuan.”

“Ada yang kamu perlukan dariku?”

“Saya ingin bekerja di Hindia. Oleh sebab itu saya disarankan untuk menemui Tuan.”

“Ada yang bisa kulihat?”

Saya tahu yang dimaksud, lembar-lembar riwayat hidup saya. Berkas itu saya letakkan

di meja, lalu saya dekatkan padanya. Serius sekali dibacanya lembar demi lembar. Dibolak-balik,

dengan sesekali memandang pada saya. Sampai ia lepaskan kacamata dan bersandar santai di

kursinya.

“Kamu sangat minim pengalaman tentang pemerintahan. Coba jelaskan kelebihan apa

yang kamu punya yang bisa membuat saya mempertimbangkan untuk menerima anda?”

“Saya bisa belajar dan beradaptasi dengan cepat. Jadi, meskipun pengalaman saya di

pemerintahan kurang, saya akan bisa bekerja dengan baik.”

Page 19: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 19

“Sudah kulihat rekomendasi untukmu dari kantor pekerjaan umum. Ya, walaupun

kurang cocok, kuberi kau kesempatan. Aku bisa berikan fasilitas khusus, tapi kau tetap akan diuji

sebelum ditempatkan. Kau mengerti?”

“Ya, saya mengerti. Saya akan mengikuti aturan yang ada.”

Beliau mengajak saya keluar. Kami susuri lorong-lorong kantor, lalu naik dua lantai.

Saya terus mengikutinya sampai di ruangan paling ujung. Di pintunya direkatkan tulisan Ruang

Arsip Negara, Dilarang Masuk Kecuali Berkepentingan. Tuan itu membuka pintu, memutar

kenopnya dan masuk. Ditunjuknya satu persatu bagian ruangan itu.

“Seluruh arsip di ruangan ini boleh kamu baca. Tapi untuk keamanan, ruangan ini akan

kukunci dari luar. Akan kutugaskan seseorang berjaga andaikan sewaktu-waktu kamu ingin

keluar, entah untuk ke kamar kecil atau untuk pulang. Dan satu lagi, yang akan kamu baca ini

bukan arsip yang diperuntukkan untuk publik, jadi jangan membagi informasi apapun yang ada

di ruangan ini dengan siapapun.”

“Saya mengerti. Dengan memberi ijin saja, itu sudah anugerah bagi saya.”

“Baik, saya harus tinggalkan Anda sekarang.”

Tiba-tiba aku teringat, “Sampai kapan saya berhak di sini?”

”Sampai kantor kami tutup. Sebelum pukul setengah lima sore.”

“Terima kasih,” kata saya sebelum lelaki baik hati itu berbalik keluar dan mengunci

pintu.

Rasanya sumpek sekali ruangan ini. Tanpa jendela dan hanya ada ventilasi kecil-kecil

yang menyebar. Saya mengerti ini dilakukan demi terjaganya rahasia. Saya juga yakin ruangan

ini pasti sudah diatur dengan suhu tertentu agar koleksinya awet. Ah sudah biarkan saja jadi

urusannya penjaga ruangan ini. Asal lampunya tak mati, selesai urusan saya.

Sepertinya mulus sekali jalan yang saya tempuh. Kelihatannya ya, tapi tidak. Saya harus

belajar banyak sebelum saatnya ujian tiba.

Saya kira kedatangan kami selalu disambut bak dewa penyelamat di Hindia. Ternyata

tidak. Beberapa arsip yang kubaca bertutur tentang pemberontakan. Meski tak ada penjelasan

tentang jumlah pastinya, juga tak ada keterangan di mana pemberontakan paling banyak terjadi.

Page 20: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 20

Hanya saja di pengantarnya, penulisnya mengatakan bahwa gerakan yang akan dibeberkan dalam

tulisan ini adalah juga termasuk pemberontakan walaupun tidak bersenjata.

Sebelum berlanjut membacanya, saya buka beberapa arsip yang hampir serupa, yang

sama-sama diberi kode „pemberontakan‟ di pinggir arsipnya. Kubacai sekilas-sekilas, hampir

semuanya berkisah tentang pemberontakan bersenjata. Lalu yang tidak bersenjata ini apa

maksudnya? Rasa penasaran membuat saya mengembalikan arsip-arsip lainnya dan membawa

arsip tentang pemberontakan tak bersenjata itu ke meja baca.

Selama ini, tak pernah ada masalah teramat berat yang membuat kerajaan Holland harus

turun tangan sendiri. Biasanya, masalah yang terjadihanya berupa pemberontakan bersenjata

yang pengikutnya cukup banyak. Solusinya jelas, mengirim sejumlah tentara berpengalaman

untuk memadamkannya. Jika kurang, kirim tambahan tentara dari wilayah lain di Hindia yang

sedang lebih aman. Atau jika masih kurang juga, pemerintah Hindia akan menyewa tentara

bayaran. Siapapun yang cukup sehat dan memenuhi syarat untuk berperang.

Sayangnya masalah berat yang ini tak bisa diselesaikan dengan menambah tentara,

sebab perkaranya adalah aksi boikot para pedagang Cina terhadap salah satu perusahaan dagang

Holland di Hindia. Para pedagang Cina ini sepakat tidak melakukan jual beli dengan perusahaan

tersebut dalam bentuk apapun.

Perkara ini segera disikapi dengan meminta pertolongan beberapa bank sebagai

pemegang gadai surat hutang para pedagang tersebut. Namun cara ini tak mempan. Phak bank

yang akan rugi jika melepaskan surat hutang para pedagang. Janji pemberian sejumlah besar

uang buat mendirikan sekolah khusus anak Cina pun dianggap sepi. Kesepakatan putus

hubungan itu sepertinya mutlak.

Perkara ini dianggap besar karena putusnya hubungan dengan pedagang sebanyak itu

akan membuat perusahaan merugi besar. Karena akan kehilangan kepercayaan para pedagang

Eropa sebagai pemasok rempah terbesar di Eropa.

Selesai saya baca menyeluruh, saya ambil lagi satu arsip lain secara acak. Yang ini

tentang seorang Jawa bernama Tirto Hadi Soerjo. Saya baca sekilas, dan saya simpulkan bahwa

dia banyak membuat masalah untuk pemerintah Hindia.

Tepat pukul empat, pintu terbuka. Seorang petugas masuk, menghampiri saya.

“Kantor akan segera tutup. Tuan van Disch menyuruh saya untuk mengantar Anda

keluar.”

Page 21: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 21

“Baik.”

Saya masukkan lagi arsip itu ke tempatnya semula, lalu saya ikuti si petugas keluar.

Katanya, “Tak banyak orang yang mendapatkan ijin untuk membaca arsip-arsip di

ruangan ini. Anda sangat beruntung.”

“Terima kasih banyak. Boleh saya tahu siapa saja yang boleh masuk ke ruangan itu?”

“Saya tak tahu. Setahu saya, hanya Tuan van Disch yang berhak untuk masuk. Dan

kunci yang saya pegang ini, bila dalam sepuluh menit tidak berada di tangan Tuan van Disch,

maka saya akan kehilangan pekerjaan sayaAtau Tuan ingin bertemu dengan beliau lagi?”

“Apa Tuan berpesan pada Anda untuk mengantar saya bertemu beliau lagi?”

“Jika Tuan ingin, saya disuruh untuk mengantar Tuan menemui beliau. Masih ada

setengah jam lagi sebelum kantor tutup.”

Aku mengangguk. Si petugas mengantarkanku beserta kunci yang tadi mengurung saya

di ruang arsip itu pada si empunya.

Seperti apapun kata orang, takkan manis kalau tak dicoba. Hindia tetap Hindia. Saya

akan ke sana.

***

Dan inilah kisah dari kawanku yang ketiga : Soesilo Hadiprojo.

Orang tuaku menamaiku Poniman. Lahir hari Selasa Pon, wukunya madhangkungan.

Kelahiranku istimewa, kata Simbok. Karena bukannya ditangani dukun seperti bayi kebanyakan,

kelahiranku langsung ditangani dokter. Dokter!

Jangan bayangkan Bapak dan Simbok priyayi berjabatan tinggi, hingga sanggup

mengundang dokter untuk menangani kelahiranku. Tidak. Bapak hanya tukang kebun, dan

Simbok tukang masak. Lalu, bagaimana kelahiranku bisa ditangani dokter? Tuannya Simbok dan

Bapak yang memanggilkan dokter. Istri beliau juga sedang hamil tua. Diperkirakan sebentar lagi

lahir. Beliau berharap, dengan membantu kelahiranku, putranya juga akan lahir dengan selamat.

Itu keberuntungan pertamaku.

Betul! Beberapa hari berselang dari kelahiranku, Nyonya melahirkan bayi laki-laki.

Seperti yang diharapkan Tuan, putranya yang kemudian dinamai Hevga Raymond Griitz lahir

Page 22: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 22

dengan selamat. Meski Nyonya tak terselamatkan akibat perdarahan pasca melahirkan. Maka

jadilah Hevga anak pertma dan satu-satunya dalam keluarga Tuan Griitz.

Sebagaimana para pejabat tinggi Eropa lainnya, Tuan sangat sibuk. Hevga, atau Tuan

Muda, sering ditinggal di rumah sendirian. Simbok yang disuruh mengasuh. Sekaligus karena

aku dan HEvga seumuran, aku disuruh menemaninya bermain.

Usia 6 tahun, tiap anak Eropa harus sekolah. Hevga yang akan disekolahkan di ELS

dicarikan pengasuh baru. Seorang wanita Eropa paruh baya bernama Magdalena.

Tuan bilang padaku, “Mulai hari ini, kamu tak boleh dekat-dekat lagi Tuan Muda.

Mengerti?”

Simbok mengangguk, aku ikut-ikutan.

Dan ketika di dapur, Simbok berkata pula, “Mulai hari ini, Man, kamu ndak boleh main

“lagi sama Tuan Muda Hevga.

Hari kelima kami tak dibolehkan lagi main bersama, Hevga mogok sekolah. Ia tak mau

bangun, tidak mau keluar kamar. Magdalena sampai menyuruh Simbok membujuk Hevga agar

mau berangkat sekolah. Simbok sudah ngiming-ngimingi dengan yang biasanya Hevga suka, tak

mempan juga. Hevga tetap tidak mau berangkat sekolah.

Tuan Griitz marah besar. Berkali-kali beliau katakan harusnya Hevga bersyukur punya

orang tua yang masih menyekolahkan. Seharusnya dia merasa bersalah kalau tak sekolah,

melihat bagaimana orang tua-orang tua lainnya cari uang banting tulang untuk sekedar

menyekolahkan anaknya. Hevga bergeming, bahkan sampai Tuan Besar tidak bisa marah lagi.

Tuan benar-benar putus asa kali ini.

Kata Hevga, “Aku mau Simbok, Bapak, sama Poniman ke sini.”

Tuan segera menyuruh asistennya memanggil kami. Sampai di teras depan, tempat Tuan

Besar dan Hevga berhadap-hadapan, kami berdiri berjajar bertiga. Saat kulirik dia, sempat

kulihat kedipan matanya.

“Papa sudah panggil mereka kemari. Sekarang apa lagi?”

Dia tersenyum pada Tuan Besar. Raut wajahnya serius, entah dibuat-buat atau sedang

sungguh-sungguh.

“Aku mau sekolah kalau dia,” telunjuknya mengarah padaku, “berangkat sekolah juga

bersamaku.”

Tuan Besar menggeleng.

Page 23: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 23

“Papa mau sekolahkan dia, tapi tidak bisa di ELS. Papa akan menyekolahkan dia di

volkschool, atau tweede inlandsche. Terserah mana saja yang dia mau.”

“Kalau begitu aku juga akan sekolah di sana.”

“Tidak bisa! Mana ada anak Eropa masuk sekolah pribumi!”

“Kalau begitu Papa boleh pilih, aku yang masuk sekolah dia, atau dia yang masuk

sekolaku.”

Ayah anak itu saling pandang. Sama-sama berkeras dengan pendirian masing-masing.

Akhirnya Tuan Besar mengalah.

“Papa akan masukkan Iman ke ELS, tapi besok kamu harus sekolah.”

Ternyata Tuan Muda yang keras kepala ini masih memilih untuk tidak mau kalah.

“Hevga akan masuk sekolah dengan Iman. Kalau Iman mulai masuk sekolah besok, aku

berangkat sekolah besok. Tapi kalau Iman mulai sekolah minggu depan, Hevga juga masuk

sekolah minggu depan.”

Tuan menemukan tandingan.

Hari Senin dengan diantar bendi, Tuan Besar, Hevga, dan aku, berangkat ke ELS. Tuan

menyuruh Hevga masuk kelas lebih dulu sementara beliau akan mengurus administraku untuk

masuk ke sekolah ini. Dia menolak. Dia memilih ikut masuk ke ruang direktur sekolah dan

menunggu. Tuan Besar mengalah lagi.

Tuan Besar masuk ke kantor direktur agak lama, lalu keluar membawa map dan kantong

plastik bening berisi kain bahan seragam.

Katanya, “Mulai hari ini, kau sekolah di sini, dengan Hevga. Dan namamu aku ganti

dengan yang bagus, tapi Soesilo Adiprojo. Biar anak-anak yang lain tidak mengejek. Nanti kau

harus bantu Tuan Muda belajar, jadi kau harus rajin belajar. Mengerti?”

Aku mengangguk, takut-takut.

Tuan dan direktur mengantar kami ke kelas. Tanpa menunggu guru memperkenalkan,

Hevga menarikku masuk dan memperkenalkanku di antara kawan-kawan sekelasnya.

“Teman-teman, perkenalkan teman baru kita. Soesilo Adiprojo.”

Ditariknya aku duduk sebangku dengannya. Aku tahu semua mata memandang padaku.

Kulirik mereka satu persatu, dan tahulah aku : aku satu-satunya Jawa diantara anak-anak Eropa.

Ya, aku Poniman alias Soesilo Adiprojo, anak tukang kebun dan tukang masak pribumi, mulai

hari ini sekolah di ELS. Sekolah khusus untuk anak Eropa.

Page 24: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 24

Aku dan Hevga lulus dalam 10 peringkat terbaik ELS kami. Membuat puluhan siswa

yang lain iri. Lagi-lagi, Hevga memakai cara yang hampir sama supaya aku bisa meneruskan

sekolah di HBS bersamanya.

Tiga tahun berikutnya berlalu. Kami lulus dalam 50 lulusan terbaik se-HBS Hindia. Dan

untuk yang ketiga kalinya, Hevga meminta Tuan Besar memberangkatkan kami berdua untuk

melanjutkan sekolah ke Holland. Aku tahu dia nekat dan gila sejak dulu. Hanya tak kusangka

segila ini.

“Dulu Papa meluluskan keinginanmu karena kau masih kecil dan belum bisa berfikir

dewasa. Tapi sekarang, apa bijak memakai cara ini lagijuga untuk memaksa Papa menuruti

keinginanmu?”

Katanya, “Aku minta maaf dulu sudah memaksa Papa. Tapi sekarang, aku punya alas an

kuat. Dia pintar Pa, dia harus sekolah lagi.”

“Uang Papa tidak cukup untuk menyekolahkan dua anak. Jangan kau anggap biaya

sekolah itu murah..”

“Tapi dia harus sekolah Pa.”

“Papa sudah membiayainya sampai lulus ELS. HBS juga. Apa Papa masih kurang baik

padanya? Kalau dia memang ingin sekolah, harusnya orang tuanya yang menanggung biayanya.

Apa dia yang menyuruhmu memaksa Papa menyekolahkannya? Dasar anak tak tahu diri! Apa

dia ingin keluarganya diusir dari sini!”

“Dia tidak pernah menyuruhku, Pa. Memang aku yang ingin dia melanjutkan sekolah.”

“Papa tidak mengerti. Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Dulu ELS, lalu HBS,

sekarang Holland!”

Mereka diam, saling pandang, mungkin mengukur sampai sejauh mana pihak lawan

dapat bertahan.

Kalau dulu aku hanya dengar cerita lengkapnya dari Hevga saat kenaikan kelas, kali ini

kudengar sendiri. Sungguh, aku tak sengaja. Aku disuruh Simbok mengantar kopi untuk Tuan

Besar, dan berhenti di balik pintu ketika kudengar pertengkaran mereka.

Page 25: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 25

Lama hening. Tiba-tiba daun pintu yag menyembunyikanku dari pandangan mereka

terbuka. Dia melihatku, kemudian mendekat.

“Kenapa bertengkar dengan Tuan Besar?”

“Tidak apa-apa.”

“Memang seharusnya Bapak dan Simbok yang menanggung biaya sekolahku dan

bukannya Tuan Besar.”

“Aku tahu uang Papa masih terlalu banyak kalau hanya untuk menyekolahkan satu anak

lagi. Tenanglah, Papa pasti luluh.”

“Tapi kau membuatnya marah besar lagi kali ini.”

“Tidak apa-apa. Sudah lama tidak ada orang yang berani menentang Papa. Agar tak

cepat tua, sesekali Papa musti merasakan ini,” ditepuknya pundakku lalu pergi.

Memang benar Tuan Besar meloloskan keinginannya. Tapi tak bisa kubayangkan

rasanya jika orang yang berani melawannya adalah putra tunggalnya sendiri.

Kata Hevga suatu hari saat kami akan berangkat, “Akhirnya Papa bisa mengerti.”

Lalu teringat olehku perbincangan kami empat sekawan beberapa hari sebelum wisuda

kelulusan HBS Surabaya.

“Ayo ke Belanda!” kata Hevga tiba-tiba.

Aku, Widhi, dan Suryo serempak menoleh.

“Kita lanjutkan sekolah di sana,” lanjutnya.

“Aku ingin menengok tanah moyangku.”

Tidak menarik. Itu hal yang mustahil buatku, kubuang pandang ke depan. Daripada

ngimpi yang terlalu tinggi.

“Aku tidak bisa. Romo menyuruhku masuk sekolah calon ambtenaar. Aku harus mulai

memikirkan masa depan setelah ini,” tegas Suryo.

“Aku juga,” imbuh Widhi.

Tinggal aku yang bungkam.

“Dan kau Man, apa rencanamu setelah lulus HBS?” Ah ya aku lupa katakan, kawan-

kawanku ini masih selalu memanggilku Iman.

Aku melirik mereka bergantian, terus menggigiti batang rumput di sela-sela bibirku.

Memangnya aku punya pilihan. Widhi dan Suryo, Romo mereka pejabat pangreh praja. Hevga,

Papanya pejabat Eropa kaya, pemilik perkebunan. Dan aku, Bapak hanya tukang kebun.

Page 26: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 26

“Man?” sela Hevga.

Aku angkat bahu.

“Ada usul?”

“Ikut aku ke Belanda.”

Aku dan Hevga berpandangan. Meledak sudah tawaku, tak bisa kutahan.

“Kali ini tidak mungkin.”

“Kenapa?”

“Kau tahu betul siapa aku, siapa Bapak. Jangan bicara macam-macam.”

“Tapi kau pintar. Peringkat 50 besar tidak mudah untuk diraih.”

“Memang,” jawabku santai. “Tapi biayanya, segala macam persiapannya? Tidak

mungkin kusiapkan semua itu tanpa biaya.”

“Kau tenang saja, uang Papa masih terlalu banyak kalau hanya untuk menyekolahkan

satu anak lagi.”

Kupikir aku sangat beruntung. Seseorang yang bukan siapa-siapa bisa sampai ke

Holland. Meski perantaranya adalah seorang kawan Eropa yang kuanggap gila. Ya, sepertinya

jalan mulai terbuka untukku bermimpi lebih tinggi.

Dan jawabnya ketika kutanya mengapa ia bersikeras memberikan padaku juga semua

yang ia nikmati, “Aku hanya ingin teman baikku punya bekal yang cukup untuk hidup. Setelah

ini, kau boleh lakukan apapun yang kau inginkan”.

Page 27: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 27

Hidup sering berjalan tak sesuai dengan yang kita inginkan

Kita inginkan kedamaian, kemapanan, ketenangan,

tapi kepentingan yang tak habis-habis menawarkan gejolak.

Dan gejolak membawa kita pada pemikiran

yang mengajarkan tentang memahami orang-orang

Page 28: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 28

BAB II

Soesilo Adiprojo

Tiga minggu berjalan sejak kami pertama kali menginjakkan kaki di negeri Van Heutz.

Di Leiden.

Saat mengingat kata-kata Hevga „Kau boleh melakukan apapun yang kau ingin‟, aku

jadi berharap menemukan banyak hal baru di sini. Terutama ketika ingatan tentang wawancara

seleksi masuk universitas ini terbayang kembali.

“Bagaimana saya harus memanggilmu?”

“Adi, Tuan.”

“Baik, Adi, beri saya alasan kenapa harus menerima Anda di universitas ini.”

Aku diam. Jawaban klise yang diajarkan untuk wawancara macam ini, “Saya memiliki

kelebihan yang akan menguntungkan universitas ini jika saya bergabung di dalamnya”. Lalu

setelah si pewawancara tertarik menayakan lebih lanjut, baru dijelaskan detailnya. Nah detail ini

yang harus dipikirkan dulu : apa kelebihanku yang bisa membuat Tuan ini tertarik.

Otakku berputar. Mengingat-ingat kebiasaanku, kesukaanku Sampai kutemukan satu

jawaban : aku lebih suka bicara lewat tulisan.

“Oke, kalau kesulitan menjawab, katakan saja alasanmu ingin melanjutkan studi di

sini.”

“Saya akan menjawab kedua pertanyaan Tuan sekaligus. Saya suka menulis Tuan. Saya

rasa saya membantu pengembangan universitas ini lewat tulisan-tulisan saya. Dan alasan saya

memilih di sini adalah karena saya ingin belajar hal-hal baru di tempat yang baru.”

Pria itu mencopot kacamatanya, meletakkannya hati-hati di meja. Yang memberi kami

jarak. Dahinya mengerut.

“Bisa kau jelaskan maksudmu dengan hal-hal baru di tempat baru?”

“Saya hanya tahu Holland dari buku-buku yang saya baca. Saya tahu universitas ini juga

hanya dari cerita. Datang dan belajar di dalamnya akan menjadi suatu pengalaman yang amat

berharga untuk saya, terutama jika saya dapat mengembangkan kemampuan menulis saya.”

Page 29: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 29

Pok..! Satu tepukan menyeretku kembali ke alam nyata. Pada tulisan-tulisan berjajar di

majalah dinding depan ruang pertemuan. Hevga.

“Ayo masuk, pertemuan akan segera dimulai.”

Dan di sinilah aku sekarang, berjalan ke satu ruangan di salah satu sisi Universitas

Leiden. Beralas karpet tanpa kursi, bersama dengan mungkin dua puluhan orang lainnya.

“Selamat siang semuanya. Selamat berkumpul di klub jurnalistik. Yang akan kita

lakukan hari ini sampai seminggu ke depan pengaplikasian jurnalistik. Silahkan berkumpul

dengan kawan sekelompok dan rundingkan yang akan kalian angkat kali ini. Jika ada masalah,

segera tanyakan.”

Beberapa orang yang berdiri di samping-sampingnya serentak menyebar, masuk dalam

tiap kelompok. Di tangan mereka masing-masing setumpuk surat kabar, yang diberikan pada

kelompok-kelompok dampingannya.

Dan kami berempat duduk melingkar. Kebetulan semuanya lelaki.

“Apa yang akan kita lakukan berikutnya?”

“Melakukan yang diinginkan orang-orang itu,” ujar Leo.

“Ya betul, mempertimbangkan banyak hal di sekitar kita, memilih satu yang paling

menarik, dan menjadikannya target buruan.” Kali ini Herbert yang bicara.

Kemudian, pria yang tadi menyambut kami mulai bicara lagi.

Katanya, “Waktu kita tak lama. Jadi segera tentukan topik yang akan kalian angkat dan

bicarakan dengan pendamping kalian. Ingat, tulisan yang terbaik akan betul-betul diterbitkan.

Bersemangatlah. ”

“Memang seperti yang mereka katakan, asalkan peka, kita bisa mendapati banyak hal

dalam waktu sesedikit apapun.”

“Ya, harus sesuatu yang baru kalau kita memngulasnya secara singkat. Jika ulasannya

mendalam, kupikir tidak masalah topiknya tidak baru. Bukankah mengumpulkannya pun butuh

waktu panjang sebenarnya?”

“Benar. Dua-duanya bisa jadi pertimbangan.”

Perbincangan berlanjut menjadi perdebatan. Sampai tercapai kesepakatan, kami akan

mengulas isu tuntutan balas budi dari sebagian kaum terpelajar Holland terhadap pemerintah

kerajaan Holland para para warga daerah koloninya.

Page 30: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 30

Pria yang mendampingi kami tak bicara sepatah katapun. Mungkin melihat dan

mendengar baik-baik yang kami perbincangkan. Dan sudah final keputusan kami atas tema yang

akan diangkat, dia seolah mengerti. Diambilnya satu tumpukan di lemari lalu diberikannya pada

kami.

Katanya, “Kalau boleh kuberikan pendapat, tema yang kalian angkat masih terlalu luas.

Lagipula di sini,” ditunjuknya tumpukan surta kabar di tengah kami, “Hanya disampaikan hal-hal

yang tak terlalu beresiko untuk diberitakan. Sedang bahasan yang berat takkan kalian temukan di

dalamnya. Jika ingin tulisan kalian lebih dari sekedar sampah, buat ulasan yang mendalam

setelah kalian temukan fokusnya. Asal kalian pertimbangkan juga kemungkinan resikonya.”

Dahi yang semakin dalam berkerut dan pandangan-pandanganb yang terfokus menjadi

reaksi atas kata-katanya. Kami menunggu.

“Ada kasus menarik tentang kebebasan pemberitaan di kampus kita. Katakanlah isu

yang ingin kalian angkat tadi sedang hangat-hangatnya sekarang, tapi tidak demikian beberapa

bulan lalu. Pada waktu itu, baru satu atau dua tulisan yang muncul. Dan salah satunya terbit lewa

surat kabar kampus kita. Penulisnya salah satu dosen, Tuan V. Venter. Tak disangka setelah

penerbitan itu, surat kabar kampus kita tidak terbit lagi. Pembredelan. Akan bagus sekali kalau

kalian berani mengangkat.”

“Tentang resikonya?”

“Surat kabar student punya kebebasan yang berbeda dengan surat kabar kampus.

Lagipula peredarannya terbatas, hanya di kalangan student saja. Dan jika telah melewati dapur

redaksi, resiko ditanggug oleh semua yang terlibat. Bukan hanya kalian secara pribadi. Tulisan

Tuan ini bacalah dulu. Agar kalian tahu duduk perkara yang sebenarnya.”

…………. Kita bangsa Holland adalah bangsa yang makmur. Jikalau rajin membaca

perkembangan-perkembangan yang terjadi di seluruh penjuru dunia melalui surat kabar-surat

kabar harian, atau mingguan, atau media informasi lain yang tak kalah banyaknya, maka kita

akan pahami segera bahwasanya keadaan di negeri kita adalah baik belaka.

Bagaimana bisa? Jawabannya ada pada betapa besarnya usaha pemerintah kita untuk

mewujudkan hal tersebut. Ini merupakan suatu bukti gamblang tak terbantahkan betapa besar

kasih sayang Sri Ratu terhadap rakyat Holland. Sungguh mulia budi Sri Ratu.

Page 31: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 31

Salah satu upaya yang ditempuh kerajaan Belanda dalam misinya meningkatkan

kesejahteraan kita para rakyatnya adalah merangkul berbagai daerah di luar Eropa menjadi

koloni bagi Holland. Termasuk daerah yang nun jauh di Asia Tenggara. Ya, daerah-daerah

tersebut mensuplai banyak hasil bumi mereka ke Holland sehingga kebutuhan rakyat kita yang

berkaitan dengan hasil bumi tersebut tercukupi atau bahkan berlebih.

Betapa pesat perkembangan di Holland. Namun saat menengok pada keadaan daerah-

daerah koloni kita, miris sekali rasanya. Jauh sekali perbedaannya. Bahwa ketika seluruh rakyat

Holland tanpa kecuali merasakan kemakmuran, maka demikian pula yang seharusnya dicecap

oleh rakyat kita di daerah koloni.

Pelbagai masalah juga terjadi pada rakyat kita di daerah-daerah yang jauh. Betapa

seharusnya kita memperhatikan betul kesejahteraan mereka juga. Betapa seharusnya kita juga

memberikan balasan atas segala kebaikan dan kerja keras mereka terhadap kerajaan Holland.

Betapa seharusnya kita memberikan balasan yang sepadan ......................

Lanjutannya lebih banyak membahas tentang nominal-nominal uang dan analisisnya.

Kami saling lempar pandang. Sepertinya kami sudah saling sepakat. Waktunya hampir

habis. Kami berbagi tugas, dan memutuskan akan menindaklanjuti perkara ini besok. Di taman

belakang kampus.

“Sampai jumpa kawan-kawan semua. Semoga yang kita lakukan sore ini berbuah

manis,” katanya menutup perjumpaan kami. Sungguh pendamping yang baik.

Tak dapat kutahan, satu senyum samar terukir di bibirku. Kukatakan saat wawancara

hari itu bahwa aku mau kemampuan menulisku meningkat. Apa benar-benar kuyakini ke arah

inilah lajunya keinginanku itu?

Pembredelan bukan sesuatu yang lazim di masa ini, karena pada faktanya pemerintah

Holland sedang giat-giatnya menggalakkan minat baca dan minat belajar rakyatnya. Isunya

memang tidak panas, tapi kontradiksinya yang bikin panas. Sebenarnya ada tema lain yang kami

ajukan, tapi yang tentang pembredelanlah yang diterima.

Page 32: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 32

Ah jangan dikira proses yang dibebankan di klub jurnalistik ini mudah. Memang tak ada

anggota yang dikeluarkan. Tapi bila tak sungguh-sungguh punya loyalitas, akan gugur di tengah

jalan. Seperti Hevga. Ia tak pernah bisa melogika gunanya memburu banyak orang hanya untuk

menelurkan satu tulisan.

Dia memilih klub politik pada akhirnya, suatu wadah untuk para student belajar

menganalisis politik satu negara sekaligus kaitannya dengan hal-hal lain di sekitarnya. Mungkin

di sanalah jiwanya.

Yah, sebenarnya bisa saja aku mundur dan memilih yang lain. Tapi kupikir-pikir, kalau

aku mundur yang mana lagi yang akan segera kucoba. Belum tentu tantangan pilihan baruku

lebih mudah. Belum tentu sesuai juga denganku. Betapa menyedihkannya kalau harus mencari

dan mencoba dari awal lagi. Jadi kuputuskan bertahan.

Dan hal pertama yang kulakukan setelah memutuskan bertahan saat ini adalah menemui

pimpinan koran kampus dan meminta penjelasan kenapa tidak terbit lagi.

Seorang pria keluar dari ruang pimpinan menyambut kedatangan kami di depan pintu

ruang pimpinan. Katanya, “Saya sudah sampaikan maksud kedatangan kalian. Masuk saja.”

Dia mengantarkan kami ke dalam, lalu pergi. Agak lama sebelum Tuan pemilik ruangan

ini mengalihkan pandangan pada kami. Pada lima menit yang ketiga, Herbert yang

menghitungnya.

“Ada apa?”

“Kami anggota baru klub jurnalistik. Kami datang kemari untuk konfirmasi masalah

berhenti terbitnya koran kampus kita.”

“Oh. Kalian ingin tahu apa? Aku tak punya banyak waktu.” Jawabannya datar.

“Kami dengar koran kampus kita sudah dua bulan tidak terbit. Bisa Anda jelaskan

sebabnya?”

Pria itu membenahi letak kacamatanya. Dicermatinya kami satu persatu.

“Kalian anak-anak baru tidak usah ikut pusing dengan hal-hal seperti ini. Belajar saja

yang benar. Yang seperti ini biar orang-orang tua saja yang urus.”

Bukan sambutan yang ramah. Sayang sekali.

“Kami sama sekali tak punya maksud turut campur Tuan. Kami hanya sedang berusaha

peduli dengan masalah yang terjadi di kampus ini. Dan pemberitaan yang ingin kami buat ini

Page 33: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 33

bukan dengan maksud buruk, kami hanya ingin orang-orang yang terikat dengan kampus ini ikut

merasa peduli.”

Dia masih saja menatap kami dengan datar.

“Memangnya apa yang berubah kalau kalian peduli? Apa koran kampus kita akan terbit

lagi?”

Tak! Satu titik terang. Koran kampus kami dihentikan penerbitannya. Kudiamkan saja

pertanyaan itu

“Kalau kami boleh tahu, Tuan,” kucoba mengejar lagi, “Kenapa penerbitannya

dihentikan?”

Lelaki itu menggeleng. Katanya, “Kau tanya saja pada Venter. Dia yang buat tulisan itu.

Sekarang keluarlah Nak. banyak sekali yang harus kuurus untuk penerbitan koran baru.”

Dua info lagi. Kukira masalahnya lebih dari sekedar berat.

“Ini alamatnya di Gravensteen. Kau coba saja ajak dia bicara. Semoga saja dia bisa

memuaskan keingintahuan kalian. Kalau dia tanya siapa yang menyuruh kalian mencarinya,

kalian saja de Wit yang memberitahu kalian. Sekarang pergilah.”

Disuruhnya kami menghabiskan minuman kami sebelum pergi. Sekarang teranglah,

kami harus menemui Vande Venter kalau ingin mendapatkan informasi lengkapnya. Dan

Gravensten bukannya terlalu jauh, hanya tak mungkin ditempuh dengan jalan kaki.

Kami menyewa kereta untuk ke sana. Beberapa kali bertanya, barulah alamat itu

ketemu. Bukan daerah pinggiran sebenarnya, tapi sejujurnya, menyusuri kota kadangkala lebih

sulit dari menyisir alamat di pinggiran. Apalagi Vande Venter bukan orang terkenal di daerah ini.

Seorang wanita paruh baya yang tinggal di gedung yang sama dengannya mengantar kami ke

pintu kamar sewaan Tuan Venter.

Namun katanya, “Aku tak melihatnya keluar atau masuk dari rumah itu sejak kemarin.

Beberapa orang juga datang, tapi tak ada yang membuka pintu. Kukira tak ada orang.”

“Tak apa-apa. Kami menunggu saja,” kata Herbert.

“Aku tinggal di sana,” ditunjuknya satu pintu di ujung lorong ini. “Kalau kalian butuh

sesuatu, datanglah ke tempatku. Aku akan sangat senang membantu kalian.”

Kami mengiyakan. Dan si wanita baik hati berbalik pergi.

“Apa betul dia akan pulang hari ini?” tanyaku.

Page 34: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 34

“Kukira tak ada dari kita yang tahu, Adi. Jangan khawatir, rumahku dekat dari sini. Kita

bisa datang jam berapapun kita mau. Mm, kuharap masing-masing punya sesuatu yang bisa

dikerjakan sembari menunggu. Bukan begitu Adi, Herman?”

“Tentu,” sahutku.

Kali ini kami bertiga, tanpa Leo. Dia kerja malam.

Untung saja ada kursi panjang di samping pintu kamar Tuan Venter. Jadi bisa duduk

cukup nyaman. Barangkali kursi panjang ini memang diperiapkan untuk para tamu beliau yang

menunggu.

Masing-masing dari kami mengeluarkan buku. Meski aku sendiri tak yakin apakah

pikiran kawan-kawanku benar-benar tertuju pada barisan huruf di lembar-lembar buku.

Kedatangan kami sore ini bolehlah dianggap sebagai kebodohan. Kami tidak bikin janji

sebelumnya. Tapi bagaimana kau pikir kami bisa bikin janji jika di kampus beliau tak ada? Tuan

Venter dibebastugaskan dari kampus sampai kasus ini selesai ditangani. Padahal kami tak tahu

dimana lagi beliau bisa ditemui. Beberapa orang yang lalu lalang menyempatkan diri

memandang pada kami yang tak tampak beranjak sedikitpun sejak – mungkin saat – mereka

pergi hingga datang kembali.

Hampir petang ketika dua orang mendekat ke pintu di samping kami. Tuan Venter salah

satunya. Kami serentak berdiri dan mendekat pada mereka.

“Tuan Venter?” Herman mendului.

Dua pria itu tak bereaksi. Hanya memandang.

“Ada apa mencari Venter?”

“Kami ingin konfirmasi tentang berhentinya penerbitan koran kampus kita.”

“Untuk apa?”

“Kami dari koran student ingin mengangkat masalah ini. Dan perkenalkan, nama saya

Adi. Kawan di sebelah kiri saya Herman, dan yang di kanan saya ini Herbert.”

Pria yang kuduga sebagai Tuan Venter bertukar pandang dengan kawannya. Entah apa

artinya, namun kemudian pria ini membukakan pintu. Kami dibolehkan masuk. Satu tahap lebih

maju, batinku.

Dia menemani kami di ruang tengah, tak ada ruang tamu. Sementara si kawan masuk ke

dalam.

“Sekarang katakana, untuk kepentingan apa kalian ingin tahu?”

Page 35: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 35

Herman yang mewakili bicara.

“Kami anggota baru klub jurnalistik. Topik ini rencananya akan kami angkat di buletin

edisi berikutnya. Dan karena kami dapat info bahwa salah satu orang yang mengerti betul

perkara ini adalah Anda, maka kami datang kemari.”

“Mana buktinya?”

Kusodorkan surat keterangan yang dibuatkan klub. Dilihatnya saja sekilas.

“Katakan yang ingin kalian tahu. Akan kujawab jika bisa.”

Pertanyaan dan jawaban silih berganti dilontarkan. Mulai lengkaplah duduk perkaranya

di benakku.

Semuanya berawal dari dimuatnya tulisan Tuan Venter di koran kampus seminggu

sebelum koran kampus kami dihentikan. Tulisan yang mengangkat tentang keharusan

pemerintah dan masyarakat Holland member balasan atas hal yang telah dilakukan para warga

daerah koloni terhadap negeri Holland ini dianggap mencemarkan nama baik pemerintah,

kaitannya dengan nominal-nominal dana yang dijabarkan. Dan karena anggapan pencemaran

nama baik ini, utusan pemerintah yang daang tempo hari memberi dua pilihan : meralat tulisan

yang dibuat sendiri oleh penulisnya dan dimuat beberapa kali, ditambah dengan permohonan

maaf atas pencantuman data yang tidak benar, atau diperkarakan di pengadilan.

Tititk baliknya : Tuan. Dan sang actor yang tak bersedia meralat membuat masalah jadi

rumit. Saat ini, sebatang rokok terselip di celah bibirnya.

“Aku tidak akan meralat tulisanku. Apa masuk akal aku harus minta maaf untuk

kesalahan yang tak pernah kubuat? Aku tidak mau, dan tidak akan pernah mau. Kenapa

kaupikir? Kita tidak mungkin minta maaf karena menyampaikan kebenaran kan? Semua orang

punya hak berfikir dan bicara. Dan aku hanya sedang menggunakannya sebagai sesama

manusia.”

Kucatat baik-baik ungkapan itu.

“Sangat egois jika mereka ingin menyimpan kebenaran untuk dirinya sendiri. Kalau

sedang berinisiatif baik, mereka akan menanganinya diam-diam karena tak mau hal seperti ini

terpublikasikan. Alasannya demi nama baik Holland. Padahal, kau tahu, kalau mereka

menutupinya, mereka melakukan pembohongan public besar-besaran.“

“Tentang pembebastugasan Anda, Tuan?”

Page 36: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 36

“Itu hak kampus. Mereka punya kebijakannya sendiri. Yang kuyakini, aku mengajarkan

yang benar agar kita waspada dan bisa menilai dengan kritis. Sekarang mungkin rakyat koloni

kita tak berbuat apa-apa. Tapi apakah kediaman mereka akan berlangsung selamanya? Atau

sebenarnya mereka tak sediam kelihatannya?”

Teman-temanku sedang berbuat sama denganku, mencatat pernyataan-pernyataan pria

ini selengkapnya.

“Dan yang kalian perlu ingat, ini baru perlawanan kecil dari seorang Venter. JIka

sampai betul ada pencabutan ijin terbit, ini akan jadi catatan buruk bagi pemerintah kita karena

membatasi keleluasaan media massa. Peristiwa ini malah akan memberi tahu masyarakat kita

betapa pemerintah ketakutan dibongkar keburukannya. Bukan ancaman bagi para pemberani

untuk terus melawan.“

Radikal, hal lain yang bisa kuungkap dari kepribadian orang ini.

“Tuan, apabila masalah ini betul-betul akan dibawa ke pengadilan, apa yang akan Anda

lakukan?”

“Aku sedang mempersiapkan hal itu.” Dia tersenyum.

“Sudahlah, itu hanya efek. Kita bahas esensinya saja. Yang sebenarnya ingin

kusampaikan, aku ingin mereka ingat baik-baik bahwa kita sudah mendapat banyak dari rakyat

koloni kita. Dan seharusnya yang kita berikan pada mereka sepadan. Ya, memberikan yang

betul-betul mereka butuhkan. Bukan hanya yang mereka butuhkan menurut kita.”

Kawan Tuan Venter membawakan suguhan minuman, lalu ditatanya di depan kami

satu persatu. Dua cangkir lagi untuk Tuan Venter dan dirinya sendiri. Kemudian duduk di

samping Tuan Venter.

“Kau Adi, darimana asalmu?”

“Saya dari Jawa.” Dia manggut-manggut.

“Putra priyayi tentunya?”

Aku menggeleng.

“Tidak Tuan, Bapak saya tukang kebun.”

“Lalu bagaimana bisa sampai di sini?”

“Tuan kami yang menyekolahkan kami hingga kemari, sekaligus untuk menemani

putranya. Tuan Muda teman sepermainan saya sejak kecil.”

Pria ini kelihatannya tertarik.

Page 37: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 37

“Unik sekali Tuanmu itu. Aku ikut senang untukmu. Apa kau senang tinggal di

Holland?”

“Ya Tuan, saya sangat senang.”

“Baguslah. Selain itu, kau tentu punya kawan sesama Jawa atau yang dari Hindia di

sini. Sampaikan pada mereka bahwa kami sangat ingin berbuat sesuatu untuk kalian dan saudara-

saudaramu di Hindia. Tapi kami tak bisa bekerja sendiri. Kami butuh bantuan kalian. Tolong

sampaikan.”

“Ya, saya mengerti Tuan. Nanti saya sampaikan.”

Kurasa semua pertanyaan sudah beroleh jawaban. Kami pamit pulang. Tentang

menyampaikan pada kawan-kawan, semoga saja betul-betul bisa kulakukan. Aku tak tahu pada

siapa saja harus kusampaikan, dan bagaimana caranya.

Aku datang ke negeri ini untuk belajar. Betul biaya kuliahku ditanggung oleh Tuan

Griitz, tapi tidak dengan biaya hidupku. Aku harus bekerja untuk mencukupi kebutuhanku

sendiri. Sejak hari keberapa belas tiba di negeri ini, aku kerja di rumah makan dengan 3 kali

giliran pagi dan tiga kali giliran sore.

Kesibukan di tempat kerjaku tak perlu kuceritakan kupikir. Ya selayaknya kesibukan di

rumah makan lainnya di seluruh penjuru dunia. Koki di dapur memasak, pelayan menunggu

tamu datang, mencatat pesanan mereka, kemudian menyajikannya.

Tapi, kurasa masih ada hal unik yang harus kuceritakan. Bukan kesibukannya, tapi latar

belakang pendirian serta orang-orangnya.

Sampai hari ini, kebanyakan orang-orang Jawa atau Hindia dibawa ke negeri ini sebagai

babu atau abdi. Apa saja sebutannya pada intinya sama saja. Abdi bagi si Tuan besar yang baru

kembali setelah tinggal sekian lama di Hindia. Dan nasib si abdi, ada yang menjadi abdi abadi

sebab si Tuan sudah merasa cocok dan tak ingin ganti-ganti, ada juga yang dipecat gara-gara

kesalahan yang menurut Tuannya tak termaafkan dan kebingungan untuk pulang ke Hindia. Tipe

yang kedua ini, banyak yang berkeputusan untuk tinggal dan mencoba bertahan hidup. Dengan

segala cara.

Page 38: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 38

Salah satunya adalah yang jadi pemilik rumah makan ini. Tak ada pasang iklan,

mungkin karena tak ada biaya. Mungkin juga karena pikiran tak mungkin bisa dijajarkan dengan

rumah-rumah makan kelas Eropa, maka promosinya lebih banyak dari mulut ke mulut. Dan

rumah makan inipun, dengan berbagai kesulitan dan tanpa banyak mengerti peraturan yang

berlaku di negeri ini, berdiri juga. Dengan nama Warung Djawa. Pengobat kangen akan suasana

Jawa bagi para perantau Hindia.

Dihitung hingga hari ini berarti sudah hamper lima tahun berdiri. Namanya juga

Warung Djawa, seluruhnya dibuat se-Jawa mungkin. Masakannya, suasananya, semua yang

bekerja di dalamnya. Dan satu lagi, tidak merekrut yang tidak punya latar belakang Jawa atau

Hindia.

Mengingatnya aku tak bisa menahan senyum. Mungkin pemilik rumah makan ini

punya pedoman begini, „Kalau orang Belanda di Hindia bilang selain yang kulit putih lulusan

Eropa tak berhak punya pangkat tinggi, maka di rumah makan ini barangsiapa bukan Jawa tak

diperkenankan ikut-ikut mengelola bahkan hal terkecil sekalipun.‟ Warung Jawa adalah dari

Jawa, oleh Jawa, dan untuk para manusia Jawa.

Kuenyahkan lamunanku ketika pintu rumah makan terbuka. Ada tamu, dan aku harus

segera melayaninya. Seorang pria Eropa. Kuantar ia ke meja dekat jendela. Biasanya pengunjung

kami paling suka dekat jendela, bisa makan sambil melihat pemandangan. Sebenarnya

pemandangannya biasa, tiap hari orang yang tinggal dekat sini melihatnya. Mereka suka duduk

dekat jendela, karena posisi ini memberi mereka cara pandang yang berbeda terhadap hal biasa

yang mereka amati tiap harinya.

“Sajikan masakan terenak yang ada di sini. Saya ingin mengenang masa saya tinggal di

Jawa dulu. Tiga porsi ya, sebentar lagi kawan-kawan saya datang,” katanya tanpa menyentuh

buku menu sama sekali.

“Baik Tuan.”

“Satu lagi Nak, katakan pada Tuanmu ada yang perlu kubicarakan denganmu nanti.

Kami minta ijinnya untuk itu.”

Aku mengangguk sambil undur ke belakang, menyerahkan pesanan pada koki. Pintu

terbuka lagi, namun kawanku yang lain sigap menghampirinya dan mengantarkannya ke meja

yang sama dengan tamuku. Pasti mereka orang yang ditunggu.

Page 39: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 39

Tentang dominasi etnis Jawa di sini, Hevga yang berdarah Eropa tak punya tempat. Di

sisi lain, karena darah Eropanya, banyak pekerjaan paruh waktu lain yang terbuka untuknya. Dia

dapat pekerjaan di salah satu toko dekat kampus, tak jauh dari kamar sewaan kami.

Sesuatu yang mengingatkan kami pada kuliah adalah rutinitas bangun jam tiga atau

empat pagi. Yang bangun lebih awal membangunkan yang lain. Saat itulah kami punya

kesempatan belajar, mengerjakan tugas. Pokoknya mempersiapkan hari berikutnya.

Ya, kehidupan kami seperti rutinitas padat nyaris tanpa celah. Tapi menyenangkan,

sebab tak hanya satu dua orang yang menjalani. Ada puluhan bahkan mungkin ratusan orang

yang melakoni hal serupa.

Kulirik jam dinding. Lewat setengah jam dari jadwal tutupnya. Makanan mereka sudah

tandas. Saat itulah mereka memanggilku. Sekarang aku duduk di antara para pria Eropa, salah

satunya Tuan Venter. Di kursi yang sama, sejajar dan setara.

“Venter bilang pada kami kalau kalian pernah bicara banyak. Betul begitu?”

Aku mengangguk, sekali. Asap mengepul tak henti-henti dari celah bibir mereka.

“Dan dia titipkan pesan untuk-teman Hindiamu. Sudah sampaikan?”

Aduh, apa yang harus kukatakan sekarang.

“Ada apa? Kenapa diam saja?”

Kuputuskan bicara apa adanya saja.

“Maaf Tuan, saya masih tak tahu bagaimana caranya menyampaikan pesan Tuan pada

kawan-kawan saya.”

“Mungkin memang tak mudah.”

“Ada apa Tuan?”

“Ya seperti yang Venter bilang, kami betul-betul ingin berbuat sesuatu untuk kalian.

Bukan begitu, Venter?”

Tuan Venter mengangguk tanpa sedikitpun mengalihkan pandang dari minumannya.

“Tapi kuminta betul-betul sampaikan. Ini sangat penting bagi kami.”

Aku jadi bertanya-tanya, ada apa sesungguhnya. Sepenting apa artinya pesan itu hingga

para Tuan Eropa ini menyempatkan diri mendatangiku.

“Aku akan kemari lagi besok malam. Tolong bawakan hasil wawancaramu, aku ingin

lihat.”

“Ya, besok akan saya bawakan.”

Page 40: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 40

Pria yang berambut coklat tiba-tiba menyela, “Hei Robert, besok ajak lagi aku kemari.

Aku sangat suka tempat ini.”

Kawan-kawannya tertawa.

“Kau ini, kalau saja kulitmu lebih coklat, kau pasti memilih tinggal di Hindia daripada

ikut orang tuamu pulang ke Holland.”

Si rambut coklat ikut tertawa. Diletakkannya beberapa gulden di meja.

“Ambil saja kembalinya. Aku tidak akan bosan-bosannya datang kemari.”

“Terima kasih kedatangannya,” ujarku.

“Ya, sampai jumpa besok.”

Mereka membalas senyumku sebelum berbalik keluar. Dan kupikir episode hidupku

malam ini selesai. Barang-barangku bisa kubereskan dan segera pulang. Sayangnya belum.

Seseorang mendekat setelah mereka pergi. Atmo.

“Ada apa mereka mencarimu?”

“Tidak ada apaapa. Tidak usah dipikirkan.”

“Tapi mereka kemari sepertinya sengaja untuk menemuimu.”

“Iya memang. Salah satu dari mereka menjadi narasumber tugas liputanku tempo hari.

Ayo beres-beres, sudah waktunya tutup.”

Kupikir penjelasanku masuk akal. Sayangnya Atmo tak kelihatan mau menerima begitu

saja. Ia masih ingin bertanya, tapi lebih baik kami bicara lain kali saja.

Di warung, kehidupan berjalan seperti biasa. Kecuali bahwa aku membawa tulisan

tentang wawancara itu dan mereka berjanji akan datang lagi kemari malam ini. Kesibukan yang

biasa dengan mayoritas tamu berkulit coklat, dengan segelintir tamu kulit putih yang ingin

bernostalgia dengan kenangan semasa tinggal bersama di Asia Tenggara.

Sore berganti malam. Mereka datang beberapa saat lewat dari pukul delapan. Rekanku

yang menyambut, aku sedang melayani tamu.

Di Hindia sana maupun di Holland, biasanya orang kulit putih akan mendapatkan

layanan pertama hampir dalam semua hal. Yang akan dilayani lebih dulu meski mereka datang

Page 41: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 41

paling akhir sekalipun. Tapi di sini, itu tidak berlaku. Semua tamu akan dilayani dengan cara

yang sama, dengan sama hormatnya.

Misalnya saat warung sedang ramai, yang datang lebih dulu adalah seorang pria Jawa,

dan yang datang berikutnya adalah pria Eropa maka yang akan dilayani lebih dulu tetap si pria

Jawa. Inilah satu hal yang membuatku betah. Tempat ini menawarkan keadilan. Dan satu versi

dari dominasi Jawa : kami pemiliknya, maka kami yang akan tentukan aturan mainnya.

Tak lama setelah memberikan pesanan ke dapur, rekanku mendekat padaku dan

mengatakan bahwa tamu yang baru datang itu mencariku. Katanya, “Pergilah. Yang lain biar aku

yang urus.”

Kudekati mereka, para tamu istimewaku malam ini.

“Selamat malam.”

“Malam juga. Duduklah.”

Salah satu dari mereka menarikkan kursi. Sudah kuselipkan pesanan mereka di

kantongku.

“Apa Anda masih menginginkan tulisan kami tentang wawancara itu?”

“Tentu saja.”

Kuletakkan pesanan mereka di meja. Pria yang dipanggil Robert tempo hari itu

meraihnya, membacanya. Diletakkan lagi, kemudian berpindah tangan beberapa kali hingga rata

semua sudah membacanya.

Pesanan mereka tiba, terselang cukup lama untuk masing-masing menikmati hidangan.

Pria itu menyodorkan satu mangkok untukku.

“Bicaralah, Venter!”

“Oke. Kenalkan dulu, ini Robert. Aku yakin kau sudah tahu. Dan ini,” ditunjuknya yang

berambut coklat, “Fede. Bagaimana? Apa kau sudah sampaikan pada mereka?”

Ternyata pertanyaan yang sama.

“Maaf, saya masih belum sampaikan. Saya tak kenal satu pun dari mereka.”

Robert menyahut, “Aku yakin kau mengenal mereka. Kau hanya belum tahu bahwa

merekalah orangnya. Tolong pikirkanlah baik-baik. ini betul-betul untuk kebaikan kalian

sendiri.”

Fede ikut bicara. “Begini, misalnya rumah makan ini. Sepengamatanku tentang aturan-

aturan yang diterapkan disini, aku yakin pemiliknya adalah orang yang berpikiran terbuka, yang

Page 42: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 42

punya pandangan jauh tentang kehidupan. Orang-orang yang tidak memandang perbedaan warna

kulit, perbedaan warna rambut, atau perbedaan fisik lainnya sebagai penghalang kita bisa

berbicang bersama.”

Aku jadi agak curiga dengan alasan mereka meminta padaku.

“Kuharap kau bisa mempertimbangkan dengan bijak. Orang-orangmu tidak akan

mempercayai kami tanpa ada seseorang diantara kalian yang member mereka rasa yakin.”

Kami saling diam. Santapan sudah habis, dan jam dinding menunjukkan hampir pukul

sepuluh malam. Fede meninggalkan bayarannya di meja.

“Well, kami harus pergi. Kami tunggu kabar baiknya.”

Sesungging senyum terlukis di bibirku seraya mengantar mereka keluar. Kuharap aku

segera mengerti mengapa mereka sangat menginginkannya. Atmo sedang memandangku dari

pintu dapur ketika aku berbalik. Ah, lagi-lagi.

“Tuan-tuan Eropa mau apa? Kalau hanya urusan liputanmu itu mereka tak mungkin

sampai dua kali datang kemari.”

Aku jadi tak enak.

“Iya, memang ada urusan lainnya.”

“Apa?”

“Bantu aku beres-beres dulu, nanti kukatakan.”

Aku tahu dia tidak sabaran. Memang sudah sifatnya. Maka sambil dia membantuku

beres-beres, aku bercerita. Bahwa mereka ingin dipertemukan dengan orang-orang kalangan

Hindia yang mau mendukung cita-cita mereka.

“Apa menurutmu mereka mengatakan yang sejujurnya? Atau kau kira ada maksud

lainnya?”

“Aku tak tahu. Yang manapun tujuan mereka, bagiku tak ada bedanya. Aku tak kenal

dengan orang-orang yang mereka maksud.”

“Tapi aku kenal beberapa diantaranya.”

Kami saling pandang.

“Sepulang kerja ini, ikutlah denganku. Kau akan kupertemukan dengan mereka.”

“Aku lelah,” jawabku.

“Jangan katakan tidak jika kau belum pernah datang sendiri. Aku yakin kau bakal

tertarik kalau ikut denganku.”

Page 43: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 43

“Sudahlah. Aku sebenarnya tak terlalu peduli dengan yang mereka katakan. Jadi biarkan

aku tenang.”

“Tapi kau harus peduli. Kalau betul mereka ingin membanu kita, itu akan sangat besar

artinya.”

“Kalau kau yang berminat, kau saja yang menemui mereka. Jangan memaksaku.”

“Jangan bersikap egois! Kau harus pikirkan teman-teman yang lain juga.”

“Egois apa! Kau piker aku hidup enak selama ini? Kau tahu bagaimana kujalani

hidupku tiap hari! Hampir tanpa jeda!”

“Tapi banyak yang lebih menderita daripadamu!”

Sama-sama bicara dengan nada meninggi. Tak akan selesai bila tak ada yang mengalah.

Sementara kuturuti saja maunya.

Kukira fase jurnalistikku yang pertama hampir berakhir. Paling tinggal menyerahkan

tulisan, pengevaluasian, dan selesai. Perkara asas keberimbangan informasi, lain kali saja

dipikirkan. Sekarang apa adanya dulu. Kemudian berganti dengan yang lain.

Ternyata tidak. Fase jurnalistikku kemarin bukannya hampir berakhir. Malah jadi titik

bermulanya segala yang terjadi berikutnya.

Malam sedingin ini, setelah mampir ke rumah dan memberitahu Hevga kalau akan

pulang larut, aku dan Atmo menyusuri jalan-jalan kecil kota Leiden. Kurasa hamper satu jam

berjalan, tapi belum juga sampai di tempat tujuan. Yang kutahu, perjalanan kami makin menuju

daerah pinggiran.

“Masih lama?”

“Tidak. Sebentar lagi sampai.”

“Apa orang-orang yang kau kenal ada di sana?”

“Tentu saja.”

Betul tak lama, kami berbelok ke satu rumah besar. Sayangnya malam, jadi aku tak bisa

mengamati detail-detail yang mungkin indah dari rumah besar ini. Pagarnya tertutup rapat, dan

gelap. Seperti rumah tak berpenghuni. Atmo mendorong gerbangnya, kemudian menyorongku

masuk.

Page 44: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 44

“Lewat pohon yang itu,” bisiknya.

Ya, dia pernah bercerita tentang jalan masuknya. Deretan pohon cemara yang ditanam

dekat tembok tinggi, memanjang sampai sisi belakang rumah. Orang-orang yang datang harus

merepet ke pohon itu, atau paling tidak ke bayang-bayangnya, sehingga orang yang luar takkan

ada yang tahu kalau rumah itu didatangi. Semua pintu terkunci. Lampu pun tak ada yang

menyala.

Sampai di sisi belakang rumah, akan ada pintu kayu setinggi dada yang sedikit terbuka.

Itulah pintu masuknya.

Sebenarnya, kalau melihat dari deret pohon cemara, pintu itu hampir tak kelihatan.

Tertutup deretan pot bunga setinggi perut orang dewasa dan bunga-bunga tinggi yang ditanam di

masing-masing pot. Sempurna.

Aku masih sibuk mengagumi penataan tempat ini saat ia tiba di sampingku.

“Ayo masuk! Kita bisa ketinggalan banyak nanti.”

Secercah sinar temaram menyeruak keluar ketika pintu dibuka. Aku ikut masuk. Cahaya

temaram itu tak berasal dari ruang belakang ternyata. Tapi ruang tengah, tempat orang-orang

sebangsaku sedang lesehan di karpet. Arah pandang mereka tertuju padaku. Mungkin karena

mereka belum pernah melihatku. Beberapa orang mengakrabiku.

Malam makin larut. Obrolan yang mulanya basa-basi belaka perlahan jadi serius. Walau

tak urung gelak tawa dan canda menyelingi.

Secercah sinar temaram menyeruak keluar ketika pintu dibuka. Aku ikut masuk. Cahaya

temaram itu tak berasal dari ruang belakang ternyata. Tapi ruang tengah, tempat orang-orang

sebangsaku sedang lesehan di karpet. Arah pandang mereka tertuju padaku. Mungkin karena

mereka belum pernah melihatku. Beberapa orang mengakrabiku.

Malam makin larut. Obrolan yang mulanya basa-basi belaka perlahan jadi serius. Walau

tak urung gelak tawa dan canda menyelingi.

Salah satu hal yang riuh bicarakan adalah perbaikan keadaan. Perbaikan kesejahteraan

masyarakat kelas bawah Hindia. Bahwa harusnya para penduduk asli lebih sejahtera dari para

Tuan Eropa yang sebenarnya pendatang, dan mengapa yang terjadi malah sebaliknya. Orang-

orang ini sibuk berdebat masalah sebab dan akibat, kemudian pemecahannya. Sedang aku

sebagai pendengar , sedang sibuk berfikir mengapa orang-orang ini mau merepotkan diri

Page 45: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 45

memikirkan orang lain sedang hidup mereka sendiri sudah terlalu berat untuk dijalani.

Terbayang tawaran kerjasama yang diinginkan Tuan Robert dan kawan-kawannya

Jam besar di sudut ruangan berdentang satu kali ketika mata ini hampir tak mampu

terbuka. Aku pamit pulang. Atmo menyusul tak lama kemudian. Dia akan mengantarku pulang.

“Aku membicarakan Tuan-tuan yang mencarimu itu dengan Wira. Dia kenal dengan

banyak orang Eropa.”

“Lalu apa katanya?”

“Dia kenal dengan banyak orang Eropa. Tapi dia tak kenal Vande Venter ataupun

Robert Marck. Dia janji akan mencarikan info untukmu.”

Aku diam saja. Masih terus bertanya-tanya, dan malah semakin banyak

ketidakmengertianku tentang semua ini.

Aku yakin Atmo bisa membaca ketidaktertarikan dalam ekspresiku tempo hari, tapi

masih saja ia memaksaku datang mala mini. Yah, kupikir datang masih lebih baik daripada

diceramahi panjang pendek hingga kukatakan bersedia datang.

Seperti sebelumnya, isinya obrolan. Aku lebih banyak diam dan mendengar. Dan Atmo

tak biasanya coba-coba memancing reaksiku. Dibiarkannya aku begitu saja.

Lewat sedikit dari jam sepuluh, dua orang baru tiba. Yang seorang berbusana lengkap

layaknya priyayi Jawa, dan yang seorang lagi berbusana biasa seperti kami pada umumnya.

Kukira mereka orang penting, atau minimal orang yang sedang ditunggu-tunggu. Bagaimana

tidak jika kedatangan mereka diikuti dengan wajah-wajah sumringah segenap kawan yang hadir.

Semua tatapan mata tersedot pada mereka.

“Hadirin sekalian, kita kedatangan tamu istimewa. Raden Adhi Soerjo yang datang

jauh-jauh dari Jawa khusus untuk menjumpai kita. Sebelum obrolan ini kita mulai, sudilah

kiranya Tuan memberi pembuka bagi saudara-saudara kita yang hadir.”

Pria itu tersenyum.

“Alangkah terhormatnya saya diberikan kesempatan ini. Tak dapat tidak saya merasa

sangat bahagia dan bangga dengan berkumpulnya saudara-saudara saya sebanyak ini.

Page 46: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 46

Kebersamaan kita ini semoga bisa menjadi kekuatan bagi kita untuk berbuat lejar dan bersama

menimba ilmu kemudian membagikannya pada saudara-saudara kita yang lain.

Saya sempat diberitahu oleh beberapa kawan kalau akhir-akhir ini marak terdengar

orang-orang terpelajar Holland yang merasa tidak puas dengan sikap pemerintahnya terhadap

rakyat daerah koloni. Mereka ingin pemerintahnya bersikap yang sepantasnya terutama tentang

hal yang menyangkut hajat hidup banyak orang. Kini mulai lagi seru diperdebatkan hal apa

sajakah itu. Saya dengar pembahasan ini juga sudah ramai diperbincangkan oleh saudara-saudara

kita dalam forum ini. Dan sudah pula dirumuskan beberapa hal tersebut. Betul demikian saudara-

saudara?”

“Betul…” sahut yang hadir serempak.

“Saya dengar mulai ada juga para Tuan Holland itu yang mencoba menghubungi kita

karena ingin membantu kita. Betul?”

“Betul…”

“Dan malam ini yang akan kita bicarakan adalah bagaimana sikap kita terhadap iktikad

para Tuan tersebut.”

Sekarang jelas yang orang-orang ini akan lakukan.

“Nah sekarang saya serahkan pada saudara-saudara sekalian adakah yang ingin urun

pendapat bagaimana seharusnya kita bersikap.”

Hening.

“Ini lebih fokus pada sikap orang Hindia terhadap mereka, bukannya sikap penduduk

daerah koloni secara umum. Kalau saya ya senang-senang saja. Bagimanapun, kalau bban

ditanggung berdua pasti akan lebih ringan daripada ditanggung sendirian. Bagaimanapun, kita

membutuhkan dukungan mereka. Kalau mempertimbangkan bahwa biasanya orang Eropa

dianggap lebih berkuasa daripada orang kulit berwarna. Baik di negeri ini maupun di Hindia.”

Seseorang yang duduk di tengah angkat bicara.

Lalu kawan yang duduk di sampingnya ikut bicara juga. Katanya, “He Marto, mereka

itu sudah banyak menyengsarakan kita. Apa mereka pantas dipercaya?”

“Mereka memang sudah menyengsarakan rakyat kita, tapi toh itu tidak mewakili sikap

rakyat Holland secara keseluruhan. Aku yakin masih ada orang baik di antara mereka.”

“Ya, saya percaya masih ada orang baik. Tapi bagaimana caranya kita bisa tahu orang

yang sedang mendekati kita itu betul-betul berniat baik atau punya maksud-maksud tertentu yang

Page 47: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 47

malah bisa merusak yang susah payah kita usahakan selama ini? Bagaimana Tuan?” Satu yang

lain menimpali.

“Kita berusaha percaya, saudara-saudara sekalian. Namun kita harus memegang teguh

sikap hati-hati dan waspada. Itulah yang akan menolong kita memahami tanda-tanda yan ada di

sekeliling kita.”

“Jadi maksud Tuan kami harus belajar percaya pada Tuan-tuan Eropa? Lalu bagaimana

jika ternyata yang ingin mereka usung berbeda dengan yang ingin kita kerjakan lebih dulu?”

“Saya yakin kita bisa merundingkannya. Dan lepas dari segala prasangka, kita harus

memanfaatkan semua peluang demi kebaikan kita. Kadang memang baik menerima uluran

tangan orang lain, tapi tak boleh sampai bergantung. Mereka ingin memberikan balas budi pada

kita, mengapa tidak kita terima? Itu sah-sah saja. Sebab hakikatnya orang hidup itu saling

memanfaatkan asalkan tidak saling merugikan.”

Perbincangan ini masih panjang sebetulnya. Orang-orang ini mulai bicara tentang

struktur, lalu membagi tugas, lalu menunjuk orang-orang yang diberi tanggung jawab itu. Semua

yang hadir dilibatkan, bahkan aku yang tak tertarik dan tak tahu apa-apa dilibatkan juga. Sampai

berbusa-busa mereka meyakinkanku untuk turut serta, berupaya member pengertian bahwa tak

ada peran yang tak dibutuhkan.

Aku mengalah. Kuterima yang mereka minta.

Dan aku lagi-lagi pulang pagi. Hevga sudah bangun dan sedang menekuri bukunya. Dia

mendongak melihatku datang.

“Darimana saja baru pulang?”

“Dengan Atmo, pergi ke tempat kawan.”

Pandangannya beralih. Kakinya diselonjorkan.

“Teman mana yang kau kunjungi hingga dini hari?”

“Jangan dibahas dulu, aku lelah.”

“Dua hari ini kau selalu pulang pagi. Padahal nanti ada tugas yang harus dikumpulkan.

Apa sudah kau kerjakan?”

Page 48: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 48

Aku diam saja. Hevga tak salah mengingatkanku. Tapi kepalaku sedang sangat terberati

kantuk dan hasil pertemuan tadi.

“Apa ini akan sering-sering?”

“Kenapa?”

“Jangan lupa tujuan awalmu kemari.”

“Aku akan belajar baik-baik. Kau tenang saja.”

“Tadi pagi surat Papa sampai. Dia menanyakan keadaanmu. Ada salam dari Bapak dan

Simbok juga. Kata Papa, di Jawa sedang ramai orang dari Tweede Kommer berkunjung. Mereka

minta fasilitas untuk pribumi HIndia diperbaiki dan macam-macam tuntutan lain yang tidak

masuk akal. Mereka bilang hal tersebut didukung para putra pribumi Hindia di Holland.”

“Lalu?”

Papa bilang kau tak usah ikut-ikut. Belajar saja yang benar biar nanti kau bisa bantu

kelola perkebunan Papa.”

Kurasa aneh.

“Kenapa bukan kau?”

“Aku akan masuk akademi militer tiga bulan lagi. Papa sudah kuberitahu dan beliau

setuju.”

“Jadi tujuanmu datang kemari sebenarnya?”

“Aku ingin jadi perwira, Man. Kau tahu itu, Papa juga tahu betul hal itu. Sekolah ini, ya

pengisi waktu sembari menunggu.”

“Kalau begitu kenapa jurusan sastra dan kenapa di Leiden?”

“Karena kulihat kau berbakat di bidang itu. Jadi kenapa tidak? Harusnya kau berterima

kasih padaku. Kau tahu, berat membujuk Papa mengirimmu kemari dan bukannya ke sekolah

pertanian. Coba bilang kau ingin jadi apa? Sinder? Jurnalis? Atau keduanya?”

Aku semakin takjub pada pribadi pria keturunan Holland yang satu ini. Betapa banyak

ternyata yang dia mengerti tentangku. Meski ia anak majikan dan aku anak Simbok Emban.

Kudekati ia, kurangkul erat.

“Kau tumpuan perkebunan Papa sekarang. Belajarlah yang giat.”

Bagai air, mungkin sudah saatnya kehidupan kami mengalir pada nak sungai yang

berbeda.

“Apa kau akan menetap di Holland?”

Page 49: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 49

Dia menggeleng.

“Aku akan minta ditugaskan di Jawa kalau saatnya tiba. Jadi kau harus pulang.”

“Aku mengerti. Kita akan bertemu lagi nanti, di kediaman Tuan Gtriitz. Di rumahmu.”

“Janji?”

“Ya, aku janji.”

Tautan jari kelingking mempersatukan ketetapan hati kami.

Page 50: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 50

Filosofi selembar daun

Tarian ibarat selembar daun kering

Dengan menari, manusia memanjatkan syukur pada Yang Kuasa

Dengan jatuh ke tanah, daun kering menunaikan darma bakti

pada alam raya

Page 51: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 51

BAB III

Larasati

Kurogoh saku rok panjangku, kukeluarkan lembaran kumal yang puluhan kali kubaca.

Tentang pemindahtugasan seorang Asisten Residen kembali ke Holland. Kucermati lagi baris

demi baris, kutanam dalam-dalam di ingatan, lalu kumasukkan lagi ke saku. Bahwa semua itu

hanya masa lalu, akhir dari mimpi masa muda.

Kau ingat, aku dulu ingin belajar menari karena Tuan itu suka – menurutku dan Ratri

waktu itu – pada tari. Kami memohon-mohon pada Bapak dan Simbok sampai akhirnya diijinkan

pergi ke tempat yang dianggap sebagai tonggak budaya Jawa, meski dengan berat hati.

Memulai memang tak mudah. Kami datangi sanggar paguyuban-paguyuban tari

ternama, hanya ada penolakan. Sampai suatu malam saat nonton ludruk, seseorang menarik kami

yang ke belakang panggung. Mungkin para dewa sedang baik hati. Orang itu menawariku naik

panggung, menggantikan pemain yang mendadak sakit. Dia janjikan bayaran kalau kami mau

bantu.

Kupikir, biasanya kelompok pertunjukan macam ini selalu punya orang pengganti. Jadi

untuk apa sampai membawa orang asing bermain di panggung. Tapi sudahlah, itu urusan mereka

saja. Singkatnya, dengan berbagai pertimbangan kami diijinkan bergabung.

Kelompok ludruk tidak pernah menetap lama. Selalu berpindah, dan tampil di banyak

tempat. Selalu menampilkan yang baru, sehingga pertunjukan selalu dinanti di semua tempat

yang pernah disinggahi.

Dan peristiwa berulang : perubahan nasib karena campur tangan orang-orang Eropa.

Seorang Tuan mencari Ratri seselesainya pertunjukan. Ia katakan ingin membawa Ratri pulang

dan berbagi kehidupan.

Waktu itu jalan empat tahun sejak pertama kami meninggalkan rumah.

“Apa kau ingin pergi?”

“Kurasa ya.”

“Kenapa?”

Page 52: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 52

“Mau seperti apapun, akhir hidup seorang wanita pasti bersama suaminya. Kalau ada

yang menghendaki berbagi hidup denganku, mengapa tidak?”

“Tapi Tuan itu mungkin tidak akan menjadikanmu istri sahnya. Apa kau bisa terima?”

“Mengapa tidak. Asalkan ia baik-baik padaku dan anak-anak kami kelak, itu sudah

cukup.”

“Tapi kalau nantinya dia tidak baik-baik padamu dan anakmu, atau kalau habis masa

tugasnya dan dia ingin pulang ke negeri asalnya, mau bagaimana?”

Dagunya masih terangkat, bersama sebentuk senyum.

“Itu akan kupikirkan belakangan. Aku melakukan ini juga untukmu Ras. Aku akan

minta pada Tuan untuk cari tahu dimana gerangan orang yang kita cari. Dengan begitu, akan

jelas kemana lagi kau harus pergi.”

Ratri benar-benar menjalankan rencananya. Dan calon kekasih hati Ratri, si Tuan Eropa,

menulis kabar tentang Rijkaard Pieters di lembaran kertas yang saat ini tersimpan rapi dalam

saku. Ditulis tangan rapi dalam bahasa Belanda. Dan Ratri melakoni maunya. Ia pamit pada

kami semua untuk tinggal di kediaman Tuan yang belakangan kutahu bernama Twistmar.

Sekali lagi, kukeluarkan lembaran itu. Kubaca keras-keras.

Ratri sayang, sudah kudapatkan kabar tentang Rijkaard Pieters. Seperti yang kau

katakan, ia pernah menjadi asisten residen. Namun sekarang tidak. Dia sudah ditarik pulang ke

Holland.

Kudengar, ia sendiri yang meminta untuk ditarik pulang ke Holland. Ibunya yang sakit-

sakitan memintanya untuk pulang. Seseorang mengatakan padaku bahwa dia dipekerjakan di

departemen jajahan sekarang. Entah di bagian mana aku sendiri tak tahu. Ibunya tinggal di

Leiden. Mungkin sesekali ia akan berada di sana.

Dan kawanmu yang masih ingin berjumpa dengan pria ini, suruhlah ia melupakan

keinginannya itu. Kecuali kalau ia mau ikut pergi ke Holland dan mencarinya di sana. Tapi

kusarankan sayang, beritahukan padanya untuk tidak pergi. Kehidupan di Holland lebih kejam

baginya dibanding di Jawa.

Salam sayang,

T.

Page 53: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 53

Twistmar. Aslinya surat ini memang untuk Ratri, tapi ia berikan padaku sebelum pergi.

Angin sedang bertiup tak terlalu dingin. Tak terasa sore makin temaram. Sebentar lagi

malam. Kuteruskan saja penelusuran kenangan ini sambil terus menyusur jalanan yang semakin

sepi.

Aku juga memilih. Dan di sinilah aku sekarang, di satu sisi kota Leiden yang dinamai

Neve.

Di sinilah aku berada sekarang, di satu sisi kota Leiden yang dinamai Neve. Kenapa ke

Leiden, dan kenapa Neve? Karena kebanyakan penghuninya adalah orang-orang kulit coklat,

khususnya Jawa. Dan mengapa orang-orang Jawa memilih Neve? Begini ceritanya.

Harga sewa pemukiman di Neve termasuk paling murah di Leiden. Mungkin karena

letaknya yang ada di pinggiran kota. Mungkin juga karena fasilitasnya yang sederhana. Dengan

alasan itu, tentunya Neve menjadi pilihan yang menjanjikan bagi para kaum tak berpunya.

Awalnya, orang-orang Jawa datang ke negeri ini karena dibawa oleh Tuannya. Dengan

berbagai alasan, mereka dilepas oleh si Tuan dan akhirnya harus memperjuangkan hidupnya

sendiri. Tentunya, tempat tinggal murahlah yang akan mereka sewa. Ya di Neve ini.

Aku tak tahu bagaimana orang-orang Jawa pertama memilih tinggal di Neve dan

bukannya daerah murah lainnya. Tapi yang jelas, penduduk yang bukan Jawa semakin lama

semakin sedikit. Terutama yang Eropa.

Maka jadilah Neve, satu wilayah dari kota Leiden yang hampir seluruh penduduknya

adalah Jawa. Satu wilayah yang punya kehidupan dan tata aturan sendiri.

Kata sang nasib, hidup adalah kegigihan. Sebuah proses berkelanjutan yang tidak

pernah berakhir. Itu benar. Mulanya Neve hanya dihuni orang-orang miskin, para buruh di

pabrik. Namun seiring dengan berjalannya waktu, si miskin yang gigih pun berhasil. Mereka

mulai hidup lebih baik. Dan hidup yang lebih baik membuat mereka berfikir lebih luas. Mulailah

mereka mempertimbangkan keadaan lingkungan. Perbaikan-perbaikan diadakan, sehingga

lingkungan Neve lebih terawat.

Mulai ada yang berjualan meski tidak sampai malam. Sedikit demi sedikit pekerjaan

jadi lebih beragam. Kehidupan lebih berwarna. Dan sesekali diadakan acara hiburan.

Page 54: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 54

Tak dinyana, acara sesekali ini disambut baik oleh warga Neve. Permintaan agar digelar

lebih sering meruak. Tapi kembali lagi, sedikit orang yang mau menyiapkan hiburan. Ah, lagi-

lagi. Sejak dulu kalau namanya aspirasi itu pasti lebih lancar daripada pelaksanaanya.

Pelan-pelan warga bersedia mengerti kalau tak mungkin ada hiburan kalau tak ada yang

mau melonggarkan waktu untuk menghibur. Satu persatu kelompok hiburan mulai terbentuk.

Dan kini, satu atau dua kali malam minggu dalam sebulan pasti ada hiburan.

Untuk seluruh warga, kalau mau nonton ya nonton saja. Tidak ada tarikan. Tapi

berhubung ada biaya sewa lampu, panggung, dan alat, si pelaksana hiburan pasang kotak

sumbangan di dekat pintu masuk area pertunjukan.

Sebenarnya juga bukan area pertunjukan sungguhan. Hanya tanah lapang cukup luas di

pinggiran Neve milik beberapa warga yang sengaja dibiarkan jadi lapangan. Ya memang dibeli

untuk pentas-pentas macam begini katanya. Biar muat banyak orang.

Malam ini akan ada hiburan. Dimana-mana sepi. Orang-orang sudah berkumpul di sana

kupikir. Memang sudah hampir jam delapan.

Aku sedang tak ingin keluar sebenarnya. Tapi tontonan yang tak setiap minggu ada

sepertinya sayang dilewatkan. Siapa tahu berkumpul dengan banyak bisa menghilangkan

jenuhku. Jalanku santai, akan kunikmati segala yang bisa dinikmati malam ini.

Namun, sekelebat bayangan mengganggu. Ekor mataku menangkap sosoknya yang

lebih tinggi daripada rata-rata kami orang Hindia. Dia akan ke lapangan juga tampaknya. Kulihat

langkah-langkah panjangnya semakin mendekat pada jalan yang kuambil.

Berlagak tak punya maksud menoleh, kulihat wajahnya sekilas. Kemudian tatapanku

terkunci di sana. Lama, dan orang itu menatapku juga. Mata pria itu menyipit memperhatikan

keseluruhan diriku. Mungkin sedang berharap mengingat sesuatu.

Sayangnya aku tak ingin dia mengingatku waktu ini. Aku pun berbalik dengan santai

seolah-olah salah mengenali seseorang. Sosok itu terpaku sejenak sebelum hilang di antara

kerumunan orang.

Ah, setelah ini mana mungkin fikiranku bisa terfokus pada tontonan. Pikiran yang

kacau, degub jantung yang tak karuan. Bagaimana dia mempengaruhiku sebegini rupa jika

pernah kuputuskan berhenti memikirkannya?

Page 55: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 55

Melihatnya membuatku teringat hidupku yang dulu. Sesuatu yang kupilih karenanya,

dan kutinggalkan pula untuknya. Seorang penari dan pemain ludruk yang terpisah dari

rombongan.

Seorang penari tidak akan bisa hidup tanpa kelompoknya, tanpa penari lainnya, tanpa

pemusiknya, tanpa semua yang dibutuhkan untuk hadir dan mewujudkan pertunjukan yang utuh.

Aku tersenyum.

Omong-omong, sudah berapa lama ya aku tidak menari. Belum terlalu lama rasanya,

tapi cukup membuat tubuhku kaku.

“Ras!” Satu panggilan membuyarkan lamunanku. Itu Haryo.

“Ras! Keluarlah, ada tamu.”

Tapi masakannya? Ah sudahlah, kumatikan saja dulu apinya. Kupindahkan pancinya,

lalu kukurangi kayunya. Kulihat dari balik tirai, tamunya satu orang. Aku keluar sekalian

membawakan tehnya. Haryo menarikku duduk di sampingnya.

Beliau tersenyum. Kurasa sudah cukup banyak yang mereka perbincangkan sebelum

aku bergabung.

“Begini, Nak Laras pasti mengerti kalau warga ingin agar acara hiburan di Neve dibuat

lebih beragam. Saya dengar dulu Nak Laras penari. Kalau tak memberatkan, kami mau minta

anak berdua tampil sesekali.”

Lagi-lagi beliau tersenyum.

“Saya akan sangat senang sekali apabila bisa memenuhi keinginan warga di sini. Tapi

saya tidak bisa sendiri. Maksud saya, untuk pertunjukan, saya butuh penari lainnya, pemusiknya,

perias, penata panggung. Padahal saya tidak punya kelompok.”

“Nak Haryo juga sudah bersedia membantu. Saya pikir itu bisa disiasati, Nak.”

Haryo mengangguk. Ia memberiku isyarat untuk setuju ketika aku sedang bersiap

mendebat keputusannya. Enak saja, memangnya dia pikir melakukan yang seperti ini gampang.

“Saya dan Nak Haryo sudah pernah membicarakan persiapannya panjang lebar. Jadi

saya kira tinggal melaksanakan saja. Betul kan Nak Haryo? Saya mohon bantuannya Nak Laras.

Page 56: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 56

Saya sangat ingin yang pernah kita miliki di Jawa bisa dimengerti juga oleh warga kita yang

tinggal di sini. Supaya kita tetap punya sesuatu saat bersanding dengan penduduk asli.”

Haryo lagi-lagi mengangguk.

“Kalau begitu saya pamit dulu Nak. Saya ingin segera infokan pada warga. Saya yakin

banyak yang berminat.”

“Tentu Pak. Bagaimana mungkin yang seperti ini peminatnya sedikit.”

Beliau tampak sumringah sekali dengan sikap Haryo. Meyakinkan sekali bahwa rencana

ini akan berhasil. Semoga saja beliau tahu kalau memang sudah sifatnya Haryo mendukung

orang berlebihan, entah rencana itu bakal berhasil atau gagal nantinya. Tapi semoga saja tidak

berakhir buruk.

Aku hanya memandang dia yang melenggang santai ke dalam. Kemudian kembali

dengan dua cangkir kopi, serta sepiring gorengan.

“Kenapa kau langsung menyanggupinya?”

“Kenapa tidak?”

“Persiapannya tidak ringan,” kataku keras.

“Memang tidak ringan, tapi bukannya tidak mungkin. Kita hidup dari seni panggung,

Ras. Suka tak suka kita tak bisa mengingkari itu. Panggung dan seni sudah jadi bagian dari aliran

darah kita, dan kita sama sekali tak bisa melepaskan diri darinya. Aku dan kau. Kupikir tak ada

salahnya kalau kita membentuk kelompok baru. Kau bisa mengajari mereka menari, dan aku

akan mengajari mereka memainkan gamelan.”

Begitu santainya ia berkata, sambil makan gorengan dan menyeruput kopi panas pelan-

pelan. Yah, aku menyerah. Kalau memang sudah direncanakan, ya tinggal dijalankan.

“Sekarang bagaimana?”

“Aku sudah jelaskan semua yang kita butuhkan. Sudah kujelaskan pula tentangmu yang

tak mau menari sendirian. Beliau sanggupi mencarikan orang. Gamelannya juga akan dicarikan.

Aku yang melatih gending, kau yang melatih tarinya. Teratasi sudah masalahnya. Tentang

persiapan, Pak Ketua akan mengabari kita secepatnya. Apalagi yang kurang?”

“Waktu Yo. Berapa lama hingga mereka siap untuk tampil pertama kalinya?”

Kursi yang menghadap jendela diputarnya ke arahku. Tatapannya lurus mengunci

pandangku.

Page 57: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 57

“Memangnya kenapa kalau butuh waktu lama? Kau penari. Apa yang bisa kau ajarkan

pada orang-orang selain tarian. Ini baktimu sebagai penari, maka lakukanlah.”

Aku memikirkannya, tapi tak berani kutatap matanya. Lebih nyaman sambil mencermati

cangkir ini, memperhatikan kepulan uapnya.

“Aku tahu kau jenuh, Ras. Aku juga. Lama berada di sini dengan tujuan yang tidak

jelas. Karena itu aku melakukannya, meski tak bisa kita jadikan sandaran hidup. Jangan hanya

berfikir pendek saja.”

“Akan kujalani semampuku.”

Kuraih cangkir kopiku lalu beranjak ke dapur. Hari beranjak petang. Harus kumasak

sesuatu untuk makan malam.

“Jangan hanya memikirkan pria itu. Kau juga harus pikirkan hidupmu,” teriaknya

sebelum aku menghilang di balik kelambu.

Kali ini orang lain yang menentukan hidupku. Kemauan mbalelo dari yang dia buat,

adakah? Kurasa tidak. Mungkin benar yang dia bilang. Meski aku merasa akan terjadi masalah

lagi. Dengannya, pria yang tak sengaja kutemui di tontonan.

Omong-omong tentang Haryo, dia dan Ratri kawan karibku saat sama-sama masih main

ludruk. Dan ketika kuputuskan ke Holland, dia yang ikut. Hanya ikut, tanpa menanyakan

alasanku, tanpa menanyakan dimana kami akan tinggal.

Dia bilang waktu itu, “Ras, kita bisa mampir di Neve kalau kau mau. Kudengar banyak

orang Jawa yang tinggal di sana.”

Itu tiga bulan yang lalu.

Dan Pak Ketua, siapa dia? Mengapa kami begitu menghormatinya? Ketua itu pemimpin

perkumpulan warga Jawa Neve. Meski tak ada pengakuan dari kerajaan Holland, beliau yang

memegang pucuk kendali tertinggi orang Jawa yang tinggal di Neve, bahkan di luar Neve.

Beliau juga yang menyambut dan memberi kami tumpangan tinggal sebelum kami

mampu menyewa rumah sendiri. Apa salahnya mengabulkan permintaan orang yang sudah

menolong kita saat kita mengalami kesulitan. Mungkin itu yang Haryo pikirkan. Ya, bagaimana

mungkin kami tega menolak membantunya.

Page 58: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 58

Entah bagaimana Ketua dan Haryo mengaturnya, tapi segalanya tampak lancar-lancar

saja. Berjeda dua minggu dari hari itu, aku sedang berdiri di hadapan para siswa tariku sekarang.

Ada satu proses yang berubah dari rencanaku dulu. Keinginan awalku, orang-orang yang ingin

bergabung diseleksi. Dan yang loloslah yang mendapatkan kesempatan untuk belajar menari

bersamaku.

Tapi lama-lama kupikir, cara itu agak kejam. Harusnya tiap orang berhak untuk belajar

sebelum seleksi diadakan. Memang prosenya jadi panjang. Tapi dengan begini takkan ada yang

merasa sakit hati.

Saat ini, para gadis ayuku sedang berjajar rapi dengan sampur terikat di pinggang. Siap

mencoba gerakan-gerakan dasar dalam seni tari, juga menjajaki ragawi dan hakikat kejawen.

Bahwa setiap yang tercipta dalam budaya Jawa mewujudkan hal-hal yang ada di alam raya.

Memang tak cukup sehari dua hari saja menguasai tari. Keluwesan gerak terbentuk

dengan latihan yang tak kenal lelah. Gerak lembut yang melambangkan banyu mili

mengisyaratkan kearifan falsafah „tiap segala sesuatu pasti jatuhnya ke bawah‟. Ojo dumeh.

Gerak-gerak perkasa tari prajurit misalnya, melambangkan betapa para prajurit mati-matian

membela negerinya. Sikap gagah berani bertaruh nyawa.

Kujelaskan hakikathakikat ini di sela-sela waktu istirahat. Betapa keindahan tari takkan

utuh jika hanya mengandalkan penguasaan teknik ragawi.

Kami duduk melingkar, sehingga bisa saling tatap satu sama lain. Selembar daun kering

kuletakkan di telapak tanganku, dan dengan satu tiupan daun itu melayang. Pelan-pelan lalu

jatuh ke bawah para gadis ayuku yang masih terpesona dengan hakikat tak pelak memperhatikan

seksama yang baru saja kuperbuat.

“Kalian tahu, gerak alami daun kering tertiup angin ini, adalah juga satu bentuk tarian.

Coba perhatikan bagaimana geraknya sejak berpindah dari telapak tanganku hingga jatuh ke

tanah. Jika kita tanggap pada sasmita, hal yang tampaknya kecil seperti ini juga mampu membuat

kita mengerti tentang arifnya kehidupan.”

“Mbakyu, apakah ada tarian yang melambangkan gerak daun itu?”

“Mungkin ada, tapi aku tak tahu. Aku hanya mengerti yang lazim dipelajari orang.”

“Mbakyu, kenapa leluhur kita menciptakan tarian? Untuk apa sebenarnya?”

“Leluhur kita sangat percaya adanya kekuatan yang lebih besar di luar manusia.

Leluhur kita juga percaya bahwa kekuatan itu tersimpan dalam benda-benda di alam raya.

Page 59: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 59

Pohon, batu, gunung, masing-masing menyimpan kekuatan. Semua yang ada di sekeliling kita

punya andil pada alam raya, tidak hanya manusia.

Kita tahu, kekuatan-kekuatan itu anugerah Tuhan. Tapi Tuhan yang ada namun tak

tampak oleh mata manusia, membuat manusia menduga-duga dimana dan bagaimana memuja-

Nya. Dan pohon-pohon, batu-batu, yang menyimpan sedikit dari kekuatan-Nya pun akhirnya

dijadikan tempat memuja.”

Beberapa dahi berkerut.

“Dan manusia yang pada fitrahnya mencintai keindahan, menciptakan sesuatu yang

indah untuk menyempurnaan pemujaan-pemujaan mereka. Tari lah salah satunya. Maka tarian

adalah doa.”

“Itukah alasannya Mbakyu selalu menyuruh kami menari sepenuh hati?”

“Ya. jika menari dengan sepenuh hati dan mengerti untuk apa kalian menari, itu sama

artinya dengan sedang mengucapkan syukur dan berdoa setulusnya atas segala yang telah

diberikan Sang Pencipta pada kita manusia. Karena itu, jika menari adalah hubungan batin

dengan Tuhan, hanya kalian sendiri yang bisa putuskan kualitasnya.”

Kuharap mereka betul-betul mengerti.

“Ayo masuk, kita latihan lagi. Sekarang, aku yakin kalian sudah tahu apa yang harus

kalian lakukan dengan tari yang kalian bawakan.”

Kusorong mereka satu persatu ke pendopo, tempat istri Pak Ketua baru saja

menghidangkan minuman sebelum berlatih lagi. Samar-samar terdengar gamelan ditabuh. Haryo

masih mengajar rupanya.

Malam ini, pertunjukan kami digelar. Tidak di panggung besar, hanya sebuah panggung

yang cukup untuk 20 orang naik bersama. Kami juga tak tampil sendiri. Ada dua kelompok lain

yang bergabung dengan kami, memainkan lakon satria pilih tanding Aryo Wibisono dari negeri

Gondomanik.

Haryo sibuk menata menata gamelan. Demi malam ini, pengalamannya bertahun-tahun

akan diuji. Menata penabuh-penabuh yang lain, memberi arahan pada masing-masing. Serta

dukungan dan kepercayaan.

Page 60: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 60

Bathara Surya baru saja pulang ke peraduan. Dan Dewi Nawangwulan baru saja turun

dari kahyangan, menunjukkan kalau selendangnya di langit.

Dan alunan irama gamelan yang mendayu menyusup kalbu, membujuk orang-orang

untuk datang. Banyak dan semakin banyak. Wajah-wajah sumringah dan gumam riuh rendah

para penonton membuat suasana semarak. Dan tarian Dewi Wulan pun semakin indah.

Ritme tabuhan makin memuncak, sampai gong besar menyudahinya. Senyap. Segala

suara manusia seolah lenyap, tersisa desau angin dan kerik jangkrik. Nafas yang perlahan pun

seolah enggan ditarik.

Lalu bunyi gamelan mengalun lagi lirih-lirih. Semesta manusia pun mulai hidup,

dengan lepasnya hembus-hembus nafas yang tertahan.

Dan para gadis ayuku, satu persatu menjelma serupa dewi di panggung. melukiskan puji

syukurnya pada semesta lewat sebentuk tari beskalan. Juga ungkapan selamat datang untuk para

sanak kadang, para saudara Jawa yang sama merantau di bumi orang.

Wajah-wajah sumringah makin memerah. Dan gemuruh tepuk tangan memberi kami

tanda bahwa waktunya telah tiba. lakon akan digelar, tentang satrio pinilih Aryo Wibisono dari

Gondomanik. Bahwa kedatangannya ke pesisir selatan pulau Jawa adalah demi mendapatkan

tolak bala wabah penyakit di bumi Gondomanik. Tak dinyana Dewi Sawitri lah pemilik tolak

bala yang ia cari. Seorang dewi yang mensyaratkan tiap orang yang menginginkan tolak bala itu

mundur dari urusan-urusan kenegaraan. Syarat yang dengan ikhlas hati diterima Raden Aryo

demi kembalinya ketenangan di negerinya.

Satu tari penutup lakon dimainkan. Tari yang sama dengan yang waktu itu, tentang

pertemuan kembali Dewi Sawitri dan Bambang Setiyawan. Tiba-tiba sekelebat perasaan

menyelinap di dada, entah apa.

Kukira, Haryo keluar malam selama ini hanya untuk mengurus pertunjukan dan latihan.

Tapi untuk apa lagi dia keluar malam ini kalau urusan pertunjukan sudah selesai kemarin.

Memang betul para pria suka berkumpul saat malam, tapi tidakkah dia ingin istirahat barang dua

atau tiga hari? Bukankah pagi pun dia harus bekerja?

Page 61: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 61

Sebenarnya ingin kubiarkan saja. Ini urusannya dan toh sudah sama-sama dewasa.

Namun dipikir-pikir, dia satu-satunya temanku sepenanggungan. Kalau terjadi apa-apa, aku juga

ikut bertanggungjawab atas dirinya. Maka kucegat ia sebelum pergi.

“Mau kemana Yo?”

“Kumpul dengan teman-teman.”

“Apa tak bisa berselang sehari saja? Pentas baru dihelat kemarin. Kau butuh istirahat.”

“Belum saatnya Ras, masih ada yang harus kulakukan.”

“Katakan Yo. Kau bisa membaginya denganku.”

Dia menggeleng, kemudian tersenyum. Disentuhkannya tangannya di pipiku.

“Sayangnya tidak Ras. Tidak ada perempuan dalam pekerjaan ini.”

Senyumnya melembut. Ia coba memberiku pengertian dengan caranya. Kuraih tangan

itu, kuhangatkan dalam genggamanku.

“Aku mengerti kau peduli padaku, jadi kau tak ingin menyusahkanku dengan urusanmu.

Tapi setidaknya tolong beritahu aku yang kau lakukan.”

“Tidakkah lebih baik kau tak tahu?”

Kali ini dengan tatapanku, aku berusaha memberinya pengertian tentang caraku peduli

padanya. Aku menginginkan penjelasan.

“Kau tahu ketua? Yang diketahui orang, beliau satu-satunya yang memegang kendali

tertinggi di Neve. Ketua yang berhak menentukan hal apapun yang berkait dengan warga Neve.

masih ada satu ketua lainnya di belakang ketua yang kita kenal. Ia yang menyelesaikan hal yang

tak bisa diselesaikan dengan cara biasa.”

“Dan kau?”

“Aku mengikuti ketua yang pertama, juga ketua yang kedua.”

Sekarang jelas. Malam belum larut, namun senyapnya terasa menggigit. Mata yang

saling memandang nyalang, pendar-pendar lampu minyak yang meredup membentuk siluet-

siluet di dinding.

“Sekarang bagaimana?”

“Bagaimana apanya?”

“Kau, kegiatan barumu itu, apa tidak berbahaya? Lalu pekerjaanmu, tidakkah

terbengkalai?”

Page 62: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 62

“Kalau sudah konsekuensi pekerjaan, mau apa lagi selain dihadapi. Kau tenanglah,

sampai hari ini keduanya berjalan baik-baik saja.”

“Lalu aku Yo?”

“Kau kenapa?”

“Selama ini kita hadapi semuanya bersama. Untuk yang ini, tolong libatkan aku juga.”

Di antaranya senyumnya, ditepuknya pipiku sekali lagi.

“Kau penari Laras. Teruslah menari, ajarkan tarianmu pada orang-orang. Olah ragawi

serta hakikatnya, itu hal terbaik yang bisa dilakukan seorang penari. Percayalah, nanti

keahlianmu akan banyak gunanya.”

Kuamati ia yang bersiap pergi. Jadi hanya sampai sebegini saja rahasia yang bisa ia

bagi?

“Aku tetap ingin terlibat Yo?”

“Tentu. Akan ada saatnya, tunggu saja.”

Dirapatkannya jaket kulitnya, kemudian menghilang di balik malam. Dan aku tak boleh

ikut serta? Enak sekali menikmatinya sendirian. Kita datang bersama, maka sepantasnya kalau

kita berjalan berdampingan. Kalau kau tak mau menunjukkanku jalannya, kurasa aku cukup

pintar untuk menemukan jalan itu sendirian.

Aku percaya tiap orang berhak menentukan garis nasibnya. Kita bisa meminta pada

orang tentang sesuatu, tapi tak bisa kita tentukan hasilnya. Kadang diberi kadang tidak. Kalau

diberi tentu. Kalau tidak, minta saja dari yang lain. Haryo tak mau memberi yang kumau, maka

akan kucari sendiri.

Aku sempat datang ke perkebunan bunga Leiderdorp di jatah hari libur Haryo. Melihat

siapa tahu ada yang bisa kujadikan petunjuk. Beberapa orang yang bukan Eropa sempat kutemui,

kutanyai tentang Haryo. Mereka hanya angkat bahu sambil menggeleng. Pikirku, aku yakin

mereka tahu sesuatu. Mungkin karena tak mengenalku, mereka memilih bungkam. Salah satunya

hanya katakan, “Seingatku Haryo pernah menyebut Warung Djawa.”

Keingintahuanku yang lain hanya disambut jawaban tidak tahu. Kecuali tanyaku tentang

letak tempat itu.

Page 63: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 63

Seperti yang orang itu bilang, warung itu kulihat di sebelah kiri jalan. Tak jauh dari toko

kue Eve. Tempat yang kecil, tidak menarik. Yang tampak hanya plang besarnya „Warung

Djawa‟.

Seorang pelayan menyambut begitu aku masuk. Diantarnya ke satu meja dekat jendela,

ditarikkannya kursi, lalu dipersilahkannya aku duduk.

“Ada yang ingin Anda pesan sekarang?”

Kuraih lembaran menu di meja. Tak ada warung di Jawa punya cara macam ini. ini adat

Eropa.”

“Bawakan saja yang menurutmu enak.”

Dia pasti lebih tahu yang mana yang enak. Tempat ini betul tak mencerminkan Jawa.

Harusnya bukan meja-meja bundar untuk beberapa orang yang sedikit seperti ini, tapi meja

panjang yang mana banyak orang bisa makan bersama. Dan bukannya kursi satu-satu, tapi

lesehan beralas tikar pandan. Dia kembali tak lama, membawa pesananku dalam talam berukir

warna coklat.

“Apa Anda datang sendirian?”

“Kenapa?”

“Tidak biasanya pengunjung perempuan datang sendirian.”

“Oh.”

“Tapi tak apa, tidak masalah.”

Kuperhatikan warung ini sedang sepi, hanya satu dua orang yang datang. Cepat datang

dan cepat pula pergi, silih berganti. Merasa tak dibutuhkan lagi, pria yang melayaniku

menyempatkan diri mengangguk sebelum menjauh.

Ah, makan sendirian membuatku memiliki cukup waktu melihat-lihat. Meja kursi dan

sebagian besar perabot diwarna coklat mengkilat. Sewarna pohon, sewarna tanah. Lukisan satu

pendopo agung yang entah dimana digantung menutupi sudut kiri di belakang meja kasir. Dan

tiap sudut dilukisi dengan ukir-ukiran warna coklat, seolah sudut-sudut itu terbuat dari kayu jati.

Warna coklat yang dominan itu suram. Namun, kesan itu tak tampak di sini. Cara

mereka mempadu-padankan coklat dengan warna-warni bunga tulip menjadikan coklat bagian

dari warna ceria.

Saat acara makanku tampak selesai, pelayan yang sama mendekat.

“Ada lagi yang ingin Anda pesan?”

Page 64: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 64

Aku menggeleng.

“Tidak, tolong katakan harganya. Dan satu lagi, aku ingin bertanya sesuatu kalau kau

tak keberatan.”

“Tentu saja.”

“Apa teman saya Haryo sering datang kemari?”

Pria itu tertegun, bingung. Kurasa ada sesuatu, bahasa tubuhnya berubah. atau sedang

berfikir, karena pernah mendengar nama itu suatu kali. Meski akhirnya ia menggeleng.

“Maaf, saya tak tahu.”

Kubalas dengan anggukan, membayar makanan yang kupesan, kemudian pulang. Sekali

dua kali aku datang, dia boleh tak percaya padaku. Tapi pada kali berikutnya, aku yakin ia akan

bicara. Ya, aku akan datang lagi esok hari dan mencoba membuat diriku dipercaya.

Kedatanganku yang kedua di warung itu dibiarkan saja. untung saja pada kedatanganku

yang keempat, pria yang pernah melayaniku mencegatku di tak jauh dari warung.

Katanya, “Dimana kerjamu?”

“Kenapa?”

“Sebelumnya kau tak pernah tampak makan siang di warung. Apa kau baru saja dapat

pekerjaan di sekitar sini?”

“Memang apa hubugannya makan dengan pekerjaan? Apa yang tempa kerjanya jauh tak

boleh datang?”

“Bukan begitu. Hanya tak lazim perempuan pergi jauh sendirian.“Tidak. Tapi tidak

biasanya seorang wanita muda datang sendirian kemari.” Dia diam sebentar. Lalu lanjutnya,

“Apa maumu sebenarnya? Dan siapa Haryo?”

Kata-katanya tidak terlontar spontan. Terlihat sekali berhati-hati meski mungkin

keingintahuannya tentangku tak terbendung lagi.

“Dan kau kenapa ingin tahu?” Sama-sama berkeras lebih dulu mendapat jawaban, kami

malah hanya berjalan beriringan di bawah sengat matahari siang.

“Kalau jawabanmu masuk akal, akan kuberitahu yang kau inginkan.”

Aku sibuk berfikir hal mana dari penjelasan Haryo yang bisa kubagikan dengan pria ini.

seseorang yang tak kukenal, juga tak kuketahui alasannya ingin tahu.

Page 65: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 65

“Temanku Haryo selalu keluar tiap malam. Bahkan sehari setelah pertunjukan besar

kami, dia juga pergi. Kurasa itu aneh, sebab aku tahu dia sebenarnya sedang sangat lelah.

Mempersiapkan pertunjukan seperti appun pasti menguras tenaga.”

“Pertunjukan yang mana?”

“Lakon ludruk Aryo Wibisono di Neve, aku dan dia yang menyiapkannya.”

Dia gigit bibir, dan dahinya lagi-lagi berkerut agar terlihat berfikir keras barangkali.

“Neve jauh. Kalau kau mau, kutunggu di depan warung jam tujuh nanti malam. Ikutlah

denganku, kau akan tahu jawabannya.”

Pria itu mundur, berbalik kemudian menjauh. Seperti pria-pria lain yang sempat

kutanyai, dia tak memberi nama apalagi alamat. Hanya memberi keterangan singkat yang tak

akan jelas maksudnya jika tak berusaha diungkap.

Malamnya, aku sampai di depan rumah makan sekitar jam tujuh. Entah kurang entah

lewat. Dimana-mana senyap. Dia yang seharusnya menungguku tak terlihat. Namun saat

kuteruskan langkah mendekat, dia muncul dari satu sisi di kegelapan. Ia berjaket dan bercelana

panjang hitam.

“Ayo,” katanya.

Kuikuti ia berjalan. Sebisa mungkin mengikuti langkahnya yang panjang.

Dinginnya malam ini menusuk, pantas saja sedikit orang berseliweran di jalan.

Sebaliknya, rumah-rumah benderang. Mungkin karena musim dingin hampir tiba. Jadi tergoda

untuk pulang, menyalakan perapian, kemudian menyulam, atau merencanakan yang harus

kulakukan pada latihan tari berikutnya. Tidak! Hal itu bisa ditunda nanti setelah aku tahu yang

Haryo sembunyikan.

Ekor mataku terus merekam langkah kami yang berbelok di gang di kanan jalan.

keberadaannya yang berbelok di gang. Dan beberapa kali lagi berbelok di gang kecil dengan sisi

kanan dan kirinya adalah bangunan yang bentuknya hampir sama. Andai punya pilihan, aku

takkan mau melewati jalan yang seperti ini. Terlalu sulit mengingatnya.

Dan kini aku setengah berlari mengejar langkahnya. Aku tak sempat lagi mengamati

sekitar. Yang kutahu, setelah beberapa waktu yang cukup membuat nafasku memburu, kami

sampai di tempat terbuka. Hembus angin yang menggoyang dedaunan, membuatnya

bergemerisik, sungguh terasa lapangnya. Lalu berhenti di depan sebuah rumah berpagar tembok

tinggi.

Page 66: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 66

Katanya, “Itu tujuan kita.”

“Rumah itu tak berpenghuni!” sentakku.

Bagaimana mungkin rumah tak terawat macam ini jadi jujugan? Lihat saj rerumputan di

halamannya yang meninggi, ranting pepohonannya yang tak beraturan.

“Kau yang mengikutiku, jadi anggap saja aku yang lebih tahu. Terserah saja mau ikut

masuk atau tidak. Tapi kuingatkan, di sini sepi. Kalau tak masuk, kau akan tinggal sendirian

sampai aku kembali.”

Bagaimana ini? Aku juga tidak hafal jalan kembali. Sungguh tak adakah pilihan lain?

Betul, rumah ini aneh. Gerbangnya tertutup tapi tak terkunci. Hampir tak ada tanaman

hias, dan hanya pohon cemara yang tumbuh tinggi sekeliling pagar sebelah dalam yang tampak

rapi.

Ah! Aku lupa sesuatu!

“Siapa namamu?” Kulirik dia bersamaan dengan didorongnya pintu gerbang terbuka,

namun dia malah tertawa.

“Kau ceroboh,” ujarnya.

“Ya, tapi kau tetap harus katakan.”

Dia melenggang.

“Nanti kau akan tahu sendiri.”

Kuikuti dia menyusuri celah sempit di balik bayang-bayang cemara sampai ke sisi

belakang rumah. Kemudian masuk ke dalam lewat pintu kayu yang tersamar deretan pot tinggi.

Mungkin kau kira langsung saja kutemukan orang-orang bergerombol. Ternyata tidak.

Masih harus terlewati entah berapa belas anak tangga untuk menemukan pintu ruang atas yang

tertutup juga.

“Ini jawabannya. Haryo yang kau cari ada di sini hampir tiap malam.”

Jadi kemari selama ini ia pergi.

“Dia pernah katakan padaku, mungkin suatu saat teman perempuannya akan datang

mencarinya. Dia minta aku mengentarmu kemari, juga mengantarmu pulang. Atau kalau kau

masih tak percaya, aku bisa memintanya keluar sebentar.”

“Ya, minta ia keluar sebentar.”

Sebentar ia menghilang. Katanya setelah kembali, “Ia yang akan menemanimu pulang.

Sementara menunggu, kita bisa bicara. Kau tak ingin katakan sesuatu?”

Page 67: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 67

Gelengan kepalaku sudah cukup menjawab. Tubuhnya bersandar santai pada punggung

kursi, dengan telapak tangan terentang di belakang kepala sebagai bantal.

“Aku punya harapan suatu saat nanti tiap orang akan dianggap setara dalam segala hal.

Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Tapi beberapa kurun belakangan ini, yang seperti

itu tak terjadi. Kenapa? Kau tahu sebabnya? Karena orang-orang yang dianggap kelas bawah

menerima saja perlakuan itu dan tidak melawan.

Ya, aku ingin sekali mewujudkannya. Melawan.”

Kudengarkan saja.

“Karena banyak hal yang seharusnya kita miliki, yang seharusnya bisa kita lakukan, jadi

terhalang karena pembedaan itu.” Akan kulakukan yang bisa kulakukan, Laras.”

Dia tersenyum. Mungkin tersenyum pada impiannya, atau mungkin malah

mentertawakannya. Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Haryo.

“Ras, kita pulang sekarang.”

Kutoleh pria di sampingku. Dia mengerti, memang ini yang sedang kutunggu.

“Namaku Sapto. Datanglah ke warung kalau kau ingin bicara denganku.”

Page 68: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 68

Ah laut,

meski tak lagi berkutat dengannya, saya selalu suka.

Karena kami pejuang samudra.

Bagaimana tidak bila sebagian tanah kami lebih rendah dari permukaan laut,

Dan sehari-hari kami adalah berfikir caranya agar laut tak kuasa merenggut?

Page 69: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 69

BAB IV

Rijkaard

Lazimnya, semua orang kulit putih akan sejahtera jika datang ke Hindia. Tak peduli

apakah di negeri asalnya mereka gelandangan, kere, atau bromocorah sekalipun. Di sini, mereka

akan diberikan kuasa, hak-hak istimewa, serta tanah. Tentu saja jika mereka menjadi abdi

pemerintah.

Saya begitu juga. Saya berangkat dari Holland dengan bekal seadanya, beberapa

pakaian dan celana serta sedikit uang, dan tiba di sini sudah dengan kuasa dan kehormatan dalam

genggaman. Apalagi yang kurang?

Saya sadar betul bahwa kehadiran kami di negeri ini tidak selalu dijunjung tinggi. Ada

segelintir orang yang tetap bertekad untuk tidak mengakui kami mesti secara tersembunyi.

Mereka sebut kami berbuat licik dan curang untuk mewujudkan keinginan kami. Tak kurang-

kurang Tuan Van Disch mengingatkan tentang hal itu. kalau betul begitu, orang-orang kami lah

yang membuat masalah. Jadi yang perlu saya lakukan pertama kali adalah menarik simpati

mereka. Akan saya bela kepentingan mereka, akan saya beri yang mereka mau.

Yang saya lakukan sehari-hari adalah memeriksa laporan dari saudara muda saya Gusti

Bupati dan pejabat pangreh praja lainnya, kemudian melaporkannya pada Tuan Residen di

Surabaya, memeriksa kas negara di M, dan menghadiri undangan para pembesar pribumi. Yang

lainnya, berkuda dari satu tempat ke tempat lainnya, menelusuri jalan-jalan yang tak pernah

dijadikan jalur dalam kunjungan-kunjungan resmi. Saya ingin melihat sendiri kondisi rakyat.

Kadang saya lebih suka jalan kaki, kuda saya tuntun saja. Saya senang menatap wajah

rakyat saya satu demi satu dan bergumam dalam hati, „Inilah rakyat saya, orang-orang yang

harus saya ayomi‟. Sekalgus saya ingin memeriksa apakah penyelewengan yang dicapkan pada

pejabat Eropa oleh sekelompok pembelot itu betul-betul orang-orang saya yang lakukan, atau

malah para pejabat pribumi di bawah saya.

Kadang-kadang dengan menyelinap di antara sekian banyak penonton, saya ikut

melihat yang rakyat saya nikmati. Saya sempat diajari bahasa Jawa sebelum berangkat kemari.

Page 70: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 70

Ada gunanya ternyata. Setidaknya saya bisa mengerti yang sedang rakyat saya nikmati. Nanti

setelah kembali ke Holland, saya pasti tak akan sanggup melupakan yang sempat saya alami di

sini.

Ada satu lagi yang pasti akan teringat, yaitu ketika seorang wanita Jawa menyusup ke

dalam kamar peristirahatan saya dan memukul saya hingga roboh. Saya hanya tak habis pikir

bagaimana seorang perempuan Jawa yang dididik bertingkah laku lembut dan berpembawaan

halus bisa sampai memukul. Jelas saya jadi meragukan didikan itu, setidaknya didikan yang

wanita itu dapat. Entah dimana ia sekarang.

Semua kesenangan itu sayang sekali tak dapat saya cecap lama. Saya harus pulang ke

Holland setelah masa tugas berakhir karena kondisi kesehatan ibu saya tidak baik. Maka segera

saja saya tulis surat pada Tuan Residen agar beliau segera bisa membuat permohonan

penempatan pejabat baru menggantikan saya, sebelum saya kirimkan permohonan untuk tidak

memperpanjang masa tugas saya di Hindia ke Batavia.

Dan Tuan Residen memanggil saya beberapa hari kemudian.

“Kau sudah pikirkan baik-baik keinginanmu ini?”

“Sudah Tuan.”

“Kalau kau meninggalkan Hindia, kau hanya akan mendapatkan pesangon dan biaya

pulang ke Holland. Sedang hak tanahmu otomatis akan dicabut.”

“Saya sudah mempertimbangkannya baik-baik Tuan.”

Pria paruh baya itu menghela nafas berat. Kumis tebalnya bergerak-gerak. Ditepuk-

tepuknya bahuku.

“Sayang sekali. Apa kau tidak bisa minta saja ibumu yang menyusulmu kemari?”

“Saya tak pernah bisa membayangkan meminta itu dari ibu saya.”

“Aku tahu kemampuanmu, Nak. Pemerintah Hindia akan sangat kehilangan seorang

pekerja yang giat sepertimu, terutama aku. Tapi bagaimanapun, aku menghargai keputusanmu.”

Pria itu memelukku.

“Permohonanmu ke Batavia biar aku yang urus. Sementara itu tinggallah dulu sampai

kutemukan penggantimu.”

“Saya mengerti.”

Setelah bicara dengan Tuan Residen, saya segera kirim permohonan tidak

memperpanjang tugas ke pemerintah pusat. Agar nanti saat Tuan Residen tiba di Batavia, tinggal

Page 71: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 71

menyelesaikan saja dan segera bisa dibawa kemari sura tanggapannya. Sekaligus Tuan Residen

mengurus penempatan pejabat baru.

Tak sampai dua minggu, dua pucuk surat diantarkan ke kantor saya. Satu berstempel

pemerintah pusat di Batavia di Batavia, dan satu lagi bertuliskan nama Huizen Mattius di

belakang amplopnya. Kedua surat itu tertuju pada orang yang sama : Rijkaard Pieters. Saya.

Surat yang berstempel berisi keputusan tidak memperpanjang masa tugas saya. Sedang

surat dari Tuan Residen mengatakan bahwa beliau masih berada di Batavia, sedang

mengusahakan harga yang cocok untuk menumpang kapal pemerintah. Juga mengusahakan satu

hal lain yang tak bisa dijelaskan lewat surat. Beliau hanya berpesan agar saya berangkat segera

setelah surat ini tiba.

Kata si kurir pengantar surat, “Tuan Residen berpesan supaya saya mengantarkan Tuan

ke Batavia.”

Tak terbilang terima kasih saya. Tuan yang baik hati itu juga telah mengirim pemandu

jalan sekaligus.

“Berapa lama saya bisa tiba di Batavia?”

“Kalau tak banyak halangan, satu minggu bisa sampai Tuan.”

“Baiklah, kita berangkat besok. Kudamu tinggalkan saja di sini, besok kita pakai kuda

yang baru. Sekarang kau istirahat saja dulu.”

Salah satu penjaga pintu mendekat melihat lambaian tanganku. Saya suruh ia membawa

si kurir ke peristirahatan dan melayaninya baik-baik.

Saya pulang. Lewat pelabuhan Batavia, dengan menumpang kapal dagang pengangkut

rempah yang akan berlayar ke Holland. Setelah Tuan Residen tak berhasil membujuk kapten

kapal pemerintah memberi harga miring. Katanya, yang diberikan pelayanan khusus hanya abddi

pemerintah dan bukannya mantan abdi. Jadi kalau saya yang mantan abdi ini harus membayar

penuh kalau ingin menumpang.

Dari pelabuhan menuju selat Sunda, terus ke selatan ke Samudra Hindia. Mengikuti rute

yang pernah diambil Vasco da Gama pada tahun 1497. Lalu mengitari sebagian besar Afrika

sebelah selatan, sebelum bertemu dengan perairan Portugal. Kemudian ke utara, ke Holland.

Page 72: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 72

Beberapa kali kami singgah di darat. Kami menukar rempah secukupnya dengan

perbekalan, lalu berlayar lagi.

Asal kau tahu, para pedagang tak ada yang mau rugi. Kapal pengangkut rempah ini

datang Hindia untuk membeli rempah banyak-banyak, sebab berlimpahnya persediaan di tempat

asalnya membuat harganya murah. Setelah muatannya penuh, kapal ini akan berlayar pulang. Di

sanalah rempah akan dijual seluruhnya dengan harga tinggi.

Omong-omong, kenapa hanya menjual secukupnya saja di persinggahan? Karena

semakin dekat jarak tempat penjualan dengan dengan tempat penghasilnya, orang tidak akan

mau membeli dengan harga tinggi. Sedang di Eropa, orang akan mau membeli dengan harga

berapapun karena persediaannya yang terbatas. Orang tak akan mau berlayar mengarungi

separuh bumi hanya demi barang yang segelintir saja.

Dan kini, baru saja seorang kawan mengatakan padaku bahwa perairan Holland jauhnya

tak sampai seratus kilometer dari sini. Tak lama lagi kami akan berbelok di Sungai Rhine,

kemudian merunutnya sampai tiba di pelabuhan Amsterdam.

Kau tahu yang nampak di wajah para awak kapal ini? Kegembiraan tak terhingga.

Sebab semakin detik terlewat, semakin dekat kami dengan tanah kelahiran. Dengan orang-orang

yang dirindukan.

“Hei Rijkaard!” Satu panggilan mengalihkan lamunan saya. Herman.

“Ada apa?”

“Kapten menyuruh kita berkumpul di geladak. Pertemuan biasa.”

Dia mendekat, merangkulku erat.

“Cepat kau selesaikan pekerjaanmu lalu ke geladak. Kutunggu di sana.”

Saya mengangguk. Saya dorong dia pergi.

Semua telah hadir saat saya tiba. Kecuali beberapa orang yang memang tak bisa

meninggalkan bagiannya. Untung saja samudra sedang tenang.

“Aku yakin kalian sudah tahu hal pentingnya. Jadi dengarkan baik-baik. Ini daftar calon

peserta lelang potensial yang harus kalian temui.”

Mereka orang-orang yang diperkirakan akan membeli banyak muatan kami. Daftar itu

bergulir dari satu tangan ke tangan yang lain.

“Catat siapa saja yang ingin turun ke darat, dan siapa saja yang akan tetap di kapal

bersamaku. Lelangnya dua minggu setelah kita merapat. Ingat, hari Selasa jam 9 pagi.”

Page 73: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 73

Serentak gaduh. Masing-masing sibuk menyuarakan keinginannya. Aku memilih tetap

tinggal di kapal. Saya rasa pengalaman yang ini yang mungkin tidak akan terulang lagi.

Sekitar tujuh harian kawan-kawan berkelana seminggu lamanya teman-teman yang

mendapat bagian untuk menjaring para peminat rempah, sebelum kembali dan menyampaikan

perolehannya. Kata mereka, kantor perwakilan resmi urusan dagang pemerintah juga berjanji

untuk mempromosikan lelang kami. Saya sempat bingung, apa istimewanya. Bukankah memang

sudah seharusnya?

Kenyataannya tidak begitu, kata Herman. Biasanya, lelang kecil tidak pernah

diprmosikan. Memang tidak ada aturan seperti itu, tapi para penyelenggara lelang kecil cukup

tahu diri. Tidak ada cukup cukup uang untuk membayar pajak siaran.

Tapi kali ini, mengapa perwakilan resmi bersedia. Ya karena penyelenggaraan lelang

sangat sedikit bulan ini. Laut sedang tak bersahabat, dan gelombangnya sedang tak bisa

diperkirakan. Saya pikir, pasti ada batas minimal pajak dagang yang disetor tiap harinya ke kas

negara. Jadi karena pendapatan yang besar tak ada, yang kecil pun tak apa.

Dan saat inilah yang dinanti. Puncaknya.

Pagi-pagi buta kami tiba di gedung lelang. Cek akhir kebutuhan sudah kami lakukan

kemarin, sekarang tinggal menjalankan. Menjelang jam delapan, beberapa orang silih berganti

datang. Bertanya ini itu kemudian pergi. Mungkin baru datang lagi jam sembilan, kalau

memutuskan kembali.

Berikutnya dua orang berkulit coklat yang datang. Yang satu berjas perlente, dan

satunya cukup berkemeja saja. Mereka berjalan berdampingan, sama sekali tak tampak rikuh

berada di sekeliling orang Eropa.

Masih jauh dari jam sembilan tapi mereka tak memutuskan pergi, malah meminta

diantarkan ke dalam. Si perlente itu tersenyum lalu mengajak saya bersalaman. Saya sambut juga

meski rikuh rasanya. Tak biasanya seorang Eropa bersalaman dengan orang kulit berwarna,

apalagi yang tak punya kedudukan.

Saya antar mereka ke dalam, lalu saya persilahkan menempati bangku di deret tengah.

Betapa kagetnya saya saat si pria kulit coklat yang berjas itu tersenyum dan bicara, “Saya peserta

Page 74: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 74

lelang yang datang pertama kali, betul? Tentunya saya berhak memilih dimana saya akan

duduk.”

Sungguh sikap dan cara berlaku orang ini membuat saya terpaku. Setengah terkejut,

saya antarkan mereka duduk di tempat yang mereka mau. Di tempat strategis tepat di depan

panggung lelang. Saya masih tak henti-hentinya terpana, bahkan sampai sayatinggalkan mereka

dan bertemu kembali dengan kedua kawan saya

“Mau apa mereka?” Herman melirik sengit.

”Ikut lelang.”

“Tapi mereka tidak punya hak!” sentaknya.

“Biarkan saja, Herman. Kalau tak mampu, mereka takkan berani datang lagi. Biar ini

jadi pelajaran langsung buat mereka. Lihat saja seperti apa jadinya.”

“Ya Herman, biarkan saja. Asal kita untung besar, siapapun yang beli tak jadi masalah.

Begitu kan Rijkaard?” Itzak berusaha menenangkan Herman.

Anggukan kecil dan sebelah alis yang ditinggikan saya kira cukup memberi jawaban.

Meskipun otak saya terus berputar, mencoba mengerti bagaimana orang macam mereka berani

ikut lelang di Holland. Dan lagi, tak peduli kecil atau besar, bagaimana mereka diijinkan ikut

lelang sedangkan orang harus terdaftar di kantor perwakilan resmi untuk ikut berdagang?

Saya tak sempat berpikir lebih banyak lagi, sebab para peserta lain mulai datang. Jam di

dekat kami menunjuk angka sembilan. Sebentar lagi.

Sayup-sayup dari dalam terdengar para peserta bergantian mengajukan tawaran. Sekitar

setengah jam saya rasa, sampai suara gemuruh memekakkan terdengar. Prosesi lelang awal

selesai. Lalu terdengar sayup-sayup para peserta saling mengadu harga lagi. Kemudian gemuruh

lagi. Demikian berulang beberapa kali, sampai proses lelang berakhir dan para peserta keluar

dari ruangan. Tak selama biasanya, tapi pasti rempah kami sudah terjual seluruhnya.

Kapten keluar bersama dua orang berkulit coklat yang tadi datang pertama kali.

“Rijkaard, para Tuan ini ingin melihat barangnya. Ayo!”

Ternyata.

“Pembeli lainnya langsung menemui kita di gudang. Aku akan kesana lebih dulu. Dan

kau, temani Tuan-tuan ini ke gudang kita.” Kapten memberikan secarik kertas pada saya, catatan

barang lelang yang dua orang ini menangkan. Lebih dari separuh. Mereka yang paling banyak

menang.

Page 75: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 75

Saya ikut kedua orang itu dengan kereta mereka, sedang Kapten naik kereta sewaan

langsung ke gudang. Tak lama waktu yang diperlukan kereta ini untuk mengantar kami ke

gudang. Langsung kubawa mereka ke dalam, ke karung-karung rempah yang mereka

menangkan. Kapten segera menyusulku ke sana. Pemenang yang lain belum ada yang datang.

“Selamat datang Tuan-tuan sekalian. Semua ini,” ditunjuknya barang yang ditumpuk di

sisi kiri kami, di pojok utara gudang, “Adalah barang-barang yang akan Tuan-tuan bawa pulang.

Mari, silahkan diperiksa dulu. Kami tak ingin ada yang dirugikan dalam hubungan dagang kita.”

Segera saja Kapten menggiring mereka ke sana. Kapten dan lelaki yang berjas berhenti

di dekat karung lada. Sementara pria berkemeja yang kukira usianya lebih muda, saya bimbing

memeriksa karung pala. Saya bantu ia mengecek isi dalamnya.

Kami tak sempat bicara banyak. Namanya Haryo, datang kemari dari Jawa dengan

kawan perempuannya. Dan saya beritahu ia nama depan saya : Rijkaard. Itu saja.

Lelaki ini menutup kembali karung pala, lalu beranjak pada karung lainnya.

Lelaki yang lebih tua mendekat pada kami. Katanya, “Kereta barang sudah datang.”

“Saya mengerti.”

Mereka berpamitan.

Kata Haryo lagi, “Saya senang bisa berbincang dengan Anda, Rijkaard. Saya berharap

kita bisa berjumpa lagi suatu saat nanti.”

“Tentu saja. Selamat jalan.” Saya iyakan.

Kemudian kereta sewaan itu membawa pergi sosok mereka. Dan kereta itupun segera

tertutup dengan kereta barang besar yang membuntuti dari belakang. Saya dan Kapten masuk

lagike gudang, membantu kawan-kawan melayani para pemenang lelang.

Tujuh hari semenjak hari lelang, urusan perdagangan selesai. Rempah sudah diambil

oleh pemilik barunya, tempat lelang sudah dibayar, gudang sudah dibersihkan, bahkan

keuntungan penjualan juga sudah dibagi-bagi. Sekarang hari terakhir kami bisa bersantai-santai

di darat. Karena besok, gudang ini akan dikembalikan beserta pembayarannya.

Page 76: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 76

Besok juga, kapal akan dibawa ke galangan, diperbaiki, dipoles, dipercantik lagi, agar

layak lagi dibawa berlayar. Sementara kami akan diberi libur dua minggu penuh untuk

bercengkrama dengan keluarga.

Biasanya, malam terakhir di dermaga dihabiskan dengan bersenang-senang di luaran.

Tapi Kapten meminta kami tetap tinggal malam ini. Katanya ada sesuatu hal penting yang harus

disampaikan. Jadilah kami berdiam, menunggu. Padahal langit sedang cerah.

Semua segera berkumpul ketika Kapten datang.

“Besok kalian boleh pulang,” Kapten buka suara.

Ah, kalau yang ini saya tahu. Pasti baru pembukaan. Pandangannya menelusuri kami

satu persatu.

“Dan sebelum semuanya pulang, baiknya kusampaikan bahwa kawan kita Rijkaard tak

akan bersama kita lagi di pelayaran berikutnya. Aku tahu kalian sudah tahu, namun tak ada

salahnya kusampaikan lagi.”

Dihisapnya cerutunya. Asapnya mengepul naik.

“Sudah lama aku berfikir aku lelaki yang sendirian. Dari hari ke hari hidupku di laut.

Kapal ini yang jadi istriku. Dan kalianlah yang menjadi anak yang kusayang dan kubela

sepanjang waktu. Sedang anak dan istriku sendiri kutinggalkan di daratan.

Aku tak ikut merasakan jungkir baliknya mereka untuk hidup. Aku tak pernah ikut

merasakan bahagianya berkumpul untuk merayakan sesuatu bersama mereka. sampai tiba

masanya tubuhku tak lagi kuat mengarungi samudra. Nah anak-anak, inilah pelayaran terakhirku.

Karena setelah ini, aku igi menebus semua masa yang terlewat bersama anak dan istriku.

Tapi bagaimana dengan kalian? Aku tak mampu berhenti begitu tanpa memikirkan yang

terjadi dengan kalian selanjutnya.”

Disesapnya lagi asap cerutunya dalam-dalam. Semua diam, hanya sesekali beradu

pandang. Mungkin inilah gongnya.

“Kapal ini hidup dengan kerja keras kita semua. Sekarang kupasrahkan pada kalian.

Kalau ada yang mau menggantikanku, kapal ini akan kuserahkan.”

Malam ini tidak akan jadi malam yang biasa.

Perubahan besar akan terjadi keputusan manapun yang diambil. Dan dua minggu

liburan sehabis berlayar, saya tak yakin berjalan sesuai kebiasaan.

“Kenapa tiba-tiba Kapten?”

Page 77: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 77

Lelaki tua itu menggeleng.

“Tidak. Aku hanya baru merasa sekarang lah saat yang tepat. Pikirkanlah dulu malam

ini. Dan besok pagi sebelum kalian pulang, katakan padaku keputusan kalian.”

Saya yakin malam ini tiap orang sedang banyak pikiran.

“Rijkaard, kau tak ingin katakan sesuatu pada kawan-kawanmu?”

Seorang kawan menimpali, “Ya Rijkaard, katakanlah sesuatu.”

“Baiklah.” Kucermati satu persatu wajah mereka.

“Kawan-kawan, senang sekali bisa merasakan seperjalanan dengan kalian. Segala yanng

saya alami akan selalu saya ingat dan jadi pelajara yang amat berharga. Semoga yang baik-baik

yang terkenang dalam hati kita.”

“Kau juga pergi besok?” katanya lagi.

Saya iyakan kemudian kami berangkulan. Herman menyelipkan sesuatu di telapak

tanganku.

“Kenang-kenangan,” katanya.

Saya tukar hadiahnya dengan saputangan. Satu demi satu saya tukarkan milik saya

dengan barang-barang mereka, sampai hampir semua isi tas berganti. Kecuali uang dan barang-

barang pribadi yang musti saya bawa pulang. Termasuk yang harus saya bawa saat melapor ke

departemen jajahan Amsterdam.

Kapten yang memberi peluk perpisahan terakhir memberikan pisau lipat kesayangannya

sebagai kenang-kenangan. Saya tukar dengan sebatang pena berukir yang terbawa dari Hindia.

Herman dan Itzak menghampiri, melepaskanku dari pelukan Kapten.

“Malam ini bukan saatnya untuk tidur kawan. Ini hari terakhir kebersamaan kita di sini,

mari habiskan bersama.” Itzak merapatkan rangkulannya.

Kapten mengangguk mengerti. Malam ini cerah, kami berjalan-jalan di dermaga. Dan

tak hanya bertiga ternyata. Kawan-kawan sedang menanti di depan gudang.

“Biasanya, kita selalu menghabiskan malam terakhir dengan bersenang-senang. Apalagi

malam seistimewa ini. Ayo semua bersenang-senang.”

Kau pasti tahu, dermaga memang tak pernah sepi bahkan di malam hari. Selalu ada

kapal yang datang dan pergi, hilir mudik silih berganti. Tapi malam ini sangat indah. Kami

berjalan dan terus berjalan, sambil saling berkisah. Dan saya bercerita tentang kehidupan saya di

Page 78: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 78

Hindia sampai akhirnya harus pulang ke Holland. Dengan beberapa hal yang saya lewatkan,

terutama tentang jabatan asisten residen.

Sampai menjelang pagi, saat tiap orang harus melanjutkan hidupnya sendiri.

Yah, perjalanan nasib memang tak pernah bisa diperkirakan. Keputusan yang dibuat

satu orang yang berada dalam kelompok, pasti mempengaruhi keputusan orang dari komunitas

yang sama. Dan sedikit banyak, secara langsung atau tidak, juga mempengaruhi orang-orang

yang berhubungan dengan kelompok itu.

Beberapa kawan yang usianya tidak muda, ada yang memilih untuk mengambil

keputusan yang sama dengan kapten. Beberapa lainnya, yang merasa kehidupan di laut lebih

menjanjikan, memilih tetap berlayar. Mereka pikir berlayar membuat mereka tetap mampu

menafkahi keluarga. Apalagi dengan semakin banyaknya tuntutan masyarakat terhadap anak-

anak mereka.

Kapal akan tetap berlayar. Seorang kawan yang mengambil alih pimpinan. Dan bagi

para awak kapal yang pulang, ditugaskan merekrut awak kapal baru. Betul kan, libur takkan

berlangsung seperti biasa saja.

Saya dan beberapa kawan yang memutuskan untuk meninggalkan kapal, diantar oleh

kapten baru dan kawan-kawan sampai batas kota Rotterdam, sebelum saya meneruskan

perjalanan ke sebuah desa dekat ibukota. Tempat ibu selalu menunggu saya pulang.

Ah laut, meski tak berkutat lagi dengannya, saya akan selalu suka. Karena kami orang-

orang Holland adalah pejuang lautan. Bagaimana tidak jika sebagian wilayah kami lebih rendah

dari permukaan laut, dan sehari-hari kami terus berfikir caranya agar laut tak merenggut tanah

kami.

Mama saya membuat taman di sekeliling rumah. Sejauh mata memandang, yang

tertangkap adalah wujud bunga tulip. Kata Mama, bunga tulip sedang mekar-mekarnya di desa

kami saat saya lahir. Alam pun merayakan kelahiran saya. Jadi, Mama merombak taman di

sekeliling rumah kami menjadi taman tulip. Meskipun masih ada terselip beberapa jenis bunga

lainnya, tapi tetap tak sedominan bunga tulip. Dan, kata beliau, andaikan saya pergi kemanapun

Page 79: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 79

dan beliau hanya bisa menunggu kepulangan saya, memandang bunga-bunga itu membuat beliau

selalu merasa dekat.

Tak terasa kereta yang saya tumpangi berhenti.

“Hei Nak, ini rumah Nyonya Pieters.”

Teguran itu membuyarkan lamunan saya.

“Ah iya. Terima kasih.”

Saya selipkan rijksdaalder ke genggaman tangan lelaki tua ini. Kemudian si lelaki ini

menghela kudanya berbalik, memaksa kuda itu menarik lagi gerobak tuanya. Selepas

kepergiannya, saya pandangi cermat rumah berpagar kayu setinggi pinggang di depanku. Masih

seperti dulu.

Dengan ransel berat di punggung, saya berjalan ke pintunya. Sambil memandangi

bunga-bunga tulip hidup yang segar. Pelan-pelan sesungging senyum terlukis di bibir ini. Bunga-

bunga yang terawat membisikkan sesuatu pada saya, yang akan saya buktikan kebenarannya

sebentar lagi.

Pintu segera terbuka saat saya ketuk sekali saja. Dan Mama muncul dari baliknya,

terpana. Kain sulaman masih menggantung di lengan kirinya.

“Rijkaard!”

“Hai Ma, putramu sudah pulang sekarang.”

Senyumnya melebar. Senang sekali bisa memluk Mama lagi.

“Saya bahagia bisa pulang dan melihat Mama baik-baik saja. Tapi kenapa menatapku

seperti itu? Apa Mama tak senang melihat saya pulang?”

“Tentu saja saya senang. Bagaimana kau ini! Tapi tubuhmu bau. Kau seharusnya mandi

lebih dulu sebelum memelukku. Sekarang Mama Ibu jadi harus mandi lagi!”

Mama selalu berkata saya sudah dewasa. Membiarkan saya berfikir dan memutuskan

banyak hal sendiri, tapi memperlakukan saya tak ubahnya anak-anak yang musti diingatkan

untuk mandi. Kadang memukul pantat saya kalau dirasanya saya berbuat salah. Apa kata orang

melihat pria dewasa dipukul pantatnya? Seperti yang baru saja Mama perbuat pada saya.

Dibukakannya pintu kamar mandi, lalu didorongnya saya masuk.

“Mandilah. Sementara ibu siapkan makanan untukmu.”

Kalau masih seperti biasanya. Semua toples kue akan keluar dari lemari. Dan makanan-

makanan yang saya suka akan sudah ada di meja saat saya keluar dari kamar mandi.

Page 80: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 80

“Mama kira kau akan pulang dengan kapal pegawai bulan lalu. Mama sudah siapkan

makanan kesukaanmu. Tahunya baru sekarang. Duduk dan makanlah, Mama tahu kau kelaparan,

kekurangan makan pula.”

Diambilnya handuk yang tersampir di pundak saya, lalu keluar. Mungkin menjemurnya

di belakang, seperti biasanya.

“Sekarang katakan bagaimana kau bisa pulang?”

Sambil menyuapkan makanan, sesekali saya sela dengan bercerita.

“Sebenarnya bisa saja naik kapal pemerintah, Ma. Tapi karena saya hanya mantan

pegawai dan bukannya sedang menjadi pegawai, maka saya harus bayar mahal kalau ingin naik.

Jadi lebih baik saya ikut kapal lainnya.”

“Memangnya kapal apa sampai anakku yang tampan jadi tak terawat?”

Saya mengerling jenaka. Dan Mama menggeleng-geleng. Saya memang tak jelaskan

kapalnya, tapi saya kira Mama sudah paham kalau ini jelasnya bukan kapal penumpang yang

semestinya. Mana ada seorang ibu yang tak mengerti kebiasaan anak-anaknya.

“Mama tanya itu kapal apa?”

Saya tertawa, Mama masih gigih ingin tahu.

“Kapal pengangkut rempah. Mama jangan salah, ada untungnya saya tak ikut kapal

pemerintah. Saya jadi tahu banyak hal. Saya belajar berlayar Ma, juga lelang rempah di dermaga.

Dahi Mama berkerut makin tajam, dan pluk! Satu pukulan mampir di lengan saya.

“Sebenarnya tak hanya sekali dua kali Mama mengajarimu. Tapi kenapa kau tak paham-

paham juga. Kau harus berhubungan dengan orang-orang penting kalau ingin jadi orang penting.

Bukannya naik kapal rempah!”

Saya hanya bisa angkat bahu. Saya dengarkan saja, sambil membantu beliau membawa

peralatan makan kotor ke dapur.

“Sekarang bagaimana?”

“Saya akan temui kepala pegawai daerah jajahan. Saya akan bicara dengan beliau.”

“Bicara apa?Kau masih mau minta dipekerjakan di kementrian itu? Kau harus pikir dulu

Rijkaard Pieters, pengalamanmu masih sedikit. Atau di daerah lainnya yang jauh-jauh itu? Kalau

begitu untuk apa minta pulang?”

Sekarang saya betul-betul percaya bahwa wanita yang melahirkan saya ini adalah yang

paling pengasih yang pernah Tuhan ciptakan di dunia. Bodoh sekali pria yang meninggalkannya.

Page 81: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 81

Saya hujani pipinya dengan ciuman, dan pelukan. Terhirup oleh saya bau kasih sayang yang

selalu mampu membuatku tenang.

“Saya takkan minta ditugaskan di tempat jauh Ma. Saya hanya akan minta ditempatkan

di Holland. Saya tentu takkan sanggup jauh-jauh lagi dari Mama.”

Ketegangannya sirna.

“Apa kau yakin mereka akan menerimamu?”

“Saya tak tahu, Ma. Kita lihat saja nanti seperti apa jadinya.”

“Dan kalau mereka tak mau menerima?” Saya hanya mampu memberinya senyuman.

“Saya yakin Tuhan masih menyimpan sesuatu dalam diri saya yang bisa saya andalkan.

Saya juga masih puya tabungan, kita bisa beli lahan dan membuka peternakan kita sendiri.”

Disusupkannya jemari tangan tuanya di sela-sela helai rambutku, lalu mengacaknya.

“Aku tahu pengalaman mampu mendidik putraku jadi lebih dewasa. Seseorang yang

mampu menimbang baik buruk dan menentukan keputusan dalam kehidupannya.”

Lalu kata Mama lagi, “Tatalah barang yang akan kau bawa besok. Sementara Mama

buatkan bekalmu.”

Saat ini di kantor kementrian jajahan, saya sedang menunggu di ruang tamu. Menanti

panggilan dari penerima tamu untuk bertemu dengan orang yang sama lima tahun lalu. Hari ini

adalah kali kedua, harusnya tidak menjadi tempat yang asing lagi. Sayangnya, kesibukan

masing-masing membuat mereka tak saling peduli. Kecuali penerima tamu, tak ada yang begitu

peduli untuk menyapa semua yang datang.

“Tuan Pieters.”

Nama saya disebut. Satu orang penerima tamu menghampiri.

“Mari saya antarkan,” katanya.

Sebenarnya aku tahu betul tempatnya. Tapi memang beginilah birokrasi, aturan yang

dibuat konon untuk melindungi. Pria itu mengantar sampai depan pintu, kemudian meninggalkan

saya setelah terdengar suara seseorang menyuruhku masuk.

Pintu pelan-pelan saya buka. Tepat seperti dulu, pintu yang terbuka tersambung

langsung dengan pandang cermat si pemilik ruangan. Tuan Van Disch.

Page 82: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 82

“Silahkan duduk dulu. Ada yang perlu kubantu?”

“Saya ingin melaporkan keberadaan pasca habisnya masa penugasan saya di Hindia.”

Pria itu menutup berkas-berkas di mejanya, lalu memasukkannya ke laci.

“Nama saya Rijkaard Pieters. Saya ditugaskan sebagai asisten Residen M lima tahun

lalu. Menurut ketentuan, saya diharuskan melaporkan keberadaan jika tak melanjutkan

pengabdian saya.”

“Ada surat keterangannya?”

Saya letakkan surat itu di meja. Dicermatinya isi surat itu, seraya menandai beberapa

bagian dengan tinta merah.

“Baiklah. Tinggalkan suratmu sebagai arsip di sini. Apa kau butuh rekomendasi?

Mungkin kau butuh melamar pekerjaan.”

“Sebenarnya saya ingin bekerja di kementrian jajahan.”

Surat kedua saya letakkan di meja.

“Ini rekomendasi dari atasan saya, Tuan Residen Huizen Mattius. Saya harap ini bisa

jadi bahan petimbangan.”

Surat itu dibacanya. Dipandangnya saya bergantian dengan surat itu.

“Bisa kau jelaskan alasannya?”

“Saya ingin pengalaman saya di Hindia dapat termanfaatkan di sini.”

“Memangnya pengalaman apa yang kau punya sehinga aku seharusnya

mempekerjakanmu?”

Saya belum sempat memberi jawaban saat pintu ruangan diketuk. Seorang staf –

kelihatannya – masuk dengan membawa setumpuk berkas, lalu diletakkan di rak samping.

Kemudian membisiki Tuan Van Disch sesuatu.

Mereka sempat melirik saya.

“Saya sungguh ingin bekerja di sini? Aku punya tawaran pekerjaan yang bisa menguji

pengalamanmu. Kau tertarik?”

Padahal saya belum katakan apapun tentang pekerjaan yang saya mau. Tapi ini

kesempatan, yang mungkin takkan terulang. Toh saya bisa saja mundur kalau tak cocok.

“Ya, saya tertarik.”

“Kalau begitu kau ikut saja dengan Frank. Dia yang akan jelaskan.”

Pria yang membawa berkas itu tersenyum

Page 83: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 83

“Ya, mari ikuti saya.”

Charlie membawa saya melewati koridor yang sambung menyambung, sampai di

ruangan ujung di lantari teratas. Seseorang duduk di belakang meja saat saya masuk ke dalam.

“Tuan, ini pria yang dikirim Tuan Van Disch.”

Frank memberikan lembaran surat yang segera saya tahu sebagai surat rekomendasi dan

surat keterangan tugas saya. Dibacanya seksama lalu dilipatnya lagi.

“Silahkan duduk. Kita perlu berkenalan dulu. Frank, tolong tutup pintunya.”

Frank meninggalkan kami berdua setelah menutup pintu.

“Jadi kau baru saja selesai bertugas di Jawa?

“Ya Tuan.”

“Pekerjaan yang kutawarkan ini hampir kesemuanya melibatkan pemahaman akan diri

orang-orang Hindia, atau Jawa karena kau ditugaskan di sana. jelaskan padaku seberapa besar

kau mengerti mereka?”

“Saya melihat dua strata dalam lingkup masyarakat Jawa, priyayi dan jelata. Priyayi

berasal dari keturunan para raja dan kerabatnya, sehingga keseharian mereka juga mengadopsi

tata aturan keraton. Kalangan ini terpetakan dengan kelemahlembutannya, serta kestabilan yang

mereka inginkan alam kehidupan. Dalam pikiran mereka, trah mereka ada untuk mencontohkan

pada rakyat biasa bagaimana sopan santun dan trapsusila para raja Jawa dijalankan. Di sisi lain,

kestabilan hidup yang mereka pahami adalah suatu keadaan dimana mereka tak perlu bekerja

untuk hidup. Rakyatlah yang harusnya bekerja untuk kesejahteraan mereka.

Di sinilah intinya, kondisi stabil. Hidupi saja orang-orang ini, dan mereka akan tunduk

dengan kemauan kita. Yang saya maksud, buat mereka tergantung dengan jenis-jenis pekerjaan

serta jabatan yang kita ciptakan. Saya yakin kebanyakan orang akan lebih baik gaji yang sudah

pasti daripada sejumlah besar uang yang tak pasti.

Dan orang-orang jelatanya, saya pikir mereka bukan orang-orang yang punya inisiatif.

Jadi setelah kita berhasil merangkul para priyayinya, rakyat biasa akan tunduk dengan

sendirinya.

Terkadang ada yang menyadari bahwa yang kita lakukan ini merusak tatanan hidup

masyarakat mereka. Beri saja mereka jabatan atau apalah agar mereka tak banyak lagi berulah.

Saya yakin, pada dasarnya tidak ada orang yang mau hidup susah.

Page 84: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 84

Itu yang pertama. Yang kedua, buat mereka terkagum-kagum dengan segala yang

berbau Eropa. Adat kita, pengetahuan kita, orang-orang kita. Hanya tinggal selangkah kita bisa

menerapkan yang kedua ini bila yang pertama sudah teramini.

Yang saya ungkapkan tadi adalah rencana-rencana. Bolehkan saya mengungkapkan

yang lainnya?”

Pria itu mengangguk.

“Tentu. Katakan saja semua yang kau pikirkan.”

“Sebetulnya saya kagum pada Jawa, dan kesuburan yang mengikuti namanya. Namun

karena sikap mereka yang selalu menganggap segala sesuatu yang datang dari luar itu bagus,

keindahan yang mereka punya lambat laun menghilang. Seninya, budayanya. Saya sangat

menyayangkannya, meski itu memang efek yang harus mereka tanggung atas langkah kita.

Saya juga mengagumi trapsusila terhadap orang yang lebih tua yang mereka ajarkan

pada anak keturunan mereka, keramahan para pejabat prajanya.

Satu lagi yang saya tangkap dari cara hidup mereka, mereka orang yang terlalu penakut

menghadapi kehidupan dengan menenggelamkan diri dalam hal yang sebetulnya bukan esensi.”

Pria itu mempermainkan penanya. Cermat sekali mendengarkan yang saya katakan.

“Ya, ya, kita berusaha memahami orang Jawa. Lalu bagaimana pendapatmu tentang

karakteristik orang Jawa yang tinggal di Holland?”

“Saya pikir sama saja dengan prototipe orang Jawa pada umumnya. Tapi ketika mereka

tinggal di Holland, saya yakin berbagai gesekan yang mereka alami dengan bangsa-bangsa lain

membuat mereka banyak berfikir. Yang mulai mampu berfikir inilah yang perlu diwaspadai dan

dipantau perkembanganya.”

“Lalu kewaspadaan macam apa yang ingin kau terapkan?‟

“Terutama aktifitas sosialnya, kita harus memantaunya. Tapi satu hal yang harus kita

mengerti bahwa pemantauan itu harus dilakukan dengan rapi, atau katakanlah yang mampu

mengatasi masalah tanpa bukti yang bisa mengarahkan tuduhan pada pihak kerajaan. Agar

mereka tak meningkatkan kewaspadaan.”

Dia tersenyum. Semoga pertanda baik.

“Pemikiran yang bagus. Waktu singkat yang kau manfaatkan di sana tidak sia-sia. Data

dirimu tinggalkan di sini, biar kupelajari. Sekarang ayo ikut denganku.”

Page 85: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 85

Lelaki itu memasukkan surat-surat serta data diri saya ke laci meja yang paling atas, lalu

memberiku isyarat mengikutinya. Datang ke sebuah ruangan lain berpenjaga dan hanya orang-

orang berwajah serius yaang ada di sana.

Seseorang di ujung meja pertemuan ini berdiri melihat kedatangan kami. Tuan yang

bicara banyak dengan saya, berjalan mendekat pada orang itu, lalu mengatakan sesuatu padanya.

“Semua sudah datang. Mari kita mulai saja. Dan dia,” katanya seraya menunjuk pada

saya, “Adalah rekan baru kita Rijkaard Pieters. Selamat bergabung Pieters. Terima kasih sudah

mengantarnya kemari, Dissels.”

Seseorang yang duduk paling dekat dengan saya menarikkan kursi, lalu dipersilahnya

saya duduk. Mereka pasti sudah saling kenal, sebab tak ada lagi yang diperkenalkan selain saya.

Sebelum pergi Tuan Dissels berbisik, “Mulai sekarang di sinilah tempatmu. Baik-

baiklah. Dan itu Gautier Thomas, tanya saja padanya jika kau ingin tahu sesuatu.

Sedikit demi sedikit saya mulai mengerti yang terjadi. Dan secara terurut, begini

ceritanya. Sudah umum diketahui bahwa selama ini sebagian dari orang-orang bangsa kita yang

tinggal di Hindia kembali kemari dengan membawa serta abdi mereka yang orang Hindia.

Seiring berjalannya waktu, entah karena si tuan meninggal dan penerusnya tak menginginkan

abdi itu atau sebab lain, banyak abdi yang dilepas. Beberapa diantaranya mendirikan „Warung

Jawa‟. Penyelidikan awal mengungkap bahwa si Jawa satu ini mendirikan usaha dengan modal

dan jerih payahnya sendiri.

Yang membuat kami tak habis pikir adalah bagaimana mungkin seorang abdi berbuat

sejauh itu, bahkan yang tidak dipikirkan oleh kaum priyayi.

Hanya rumah makan kecil awalnya, kemudian berkembang. Entah bagaimana, si Jawa

berhasil menjalin hubungan baik dengan orang-orang bangsa kami. Sehingga selain sesama Jawa

yang datang ke rumah makan itu, juga bangsa Eropa.

Data kami menyebutkan si Jawa ini memiliki beberapa usaha lain yang mana semua

pekerjanya adalah orang sebangsanya. Dan orang sebangsa yang ia percaya, dibantu modal untuk

mendirikan usaha. Berkembang, dan berkembang lagi. Sampai di taraf yang mengkhawatirkan,

saat di kota maupun di desa mulai bermunculan kios-kios dan usaha lain yang diketahui milik

orang-orang Hindia.

Lalu dimana letak masalahnya? Masalah pertama ada pada terus berkembangnya usaha

mereka. Sebenarnya jika berpegang pada asas „kesejahteraan hak semua orang‟ maka mereka

Page 86: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 86

juga berhak memperbaiki nasib. Namun jika dibiarkan, pada akhirnya kesejahteraan mereka akan

mengganggu kesejahteraan orang-orang asli Holland, serta negara. Kenapa, bagaimana ulah

mereka bisa mempengaruhi negara kita? Karena jika kesejahteraan rakyat kita menurun, maka

dunia usaha sulit merangkak juga. Apalagi saat ini kita sedang memperoleh banyak perlawanan

dari para penduduk daerah jajahan, yang pastinya ikut menguras kas negara.

Masalah yang kedua, entah bagaimana pikiran mereka bekerja hingga bergulir sebuah

pemikiran aneh : mereka menginginkan agar pemerintah Kerajaan Holland mendesak pemerintah

Hindia memberikan perbaikan nasib bagi kawula Hindia. Dan orang-orang sebangsa si pemilik

Warung Jawa inilah yang melakukannya.

Meskipun belum ada pernyataan resmi terkait hal ini, kami tahu ini hanya tinggal

menunggu waktu. Dan kami yang ada dalam ruangan ini, adalah tim eksekutor. Tugas kami

adalah mencegah pemikiran aneh itu agar tidak semakin banyak menyebar apalagi terlaksana.

Dari tujuan itulah keberhasilan kami diukur.

Meski kami tidak pernah ada dalam struktur yang tercantum dalam kementrian ini, kami

tahu betul yang harus kami lakukan. Demi negara dan rakyat kami.

Setiap orang harus mengikuti perkembangan sekecil apapun. Dan siap berkumpul

kapanpun. Kemudian pertemuan dibubarkan. Semua pergi membawa urusannya sendiri-sendiri,

tinggal tersisa Tuan Thomas dan saya.

“Kau baru di sini. Kupikir kau perlu belajar lebih banyak untuk mengikuti pemikiran

rekan-rekanmu yang lain.”

Saya pikir juga begitu, gumam saya dalam hati.

“Ayo ikut aku. Ada yang harus kau pelajari di ruang arsip pribadiku.”

Jika dulu Tuan van Disch membawa saya ke ruang arsip negara, kali ini Tuan Thomas

membawa saya ke ruang arsip pribadinya. Satu ruang tersembunyi yang dibuka lewat panel

rahasia di di belakang lemari. Dia meninggalkan saya sendirian, setelah mengatakan kalau dia

akan kembali tiga empat jam lagi.

Dan yang saya lakukan berikutnya adalah mencoba memahami dan menyerap data

orang-orang kulit berwarna di negeri ini, terutama bangsa Hindia. Kau pasti sudah tahu

sebabnya. Membaca populasinya, persebarannya, pekerjaannya, serta perkumpulan-perkumpulan

yang mereka punya. Kemudian mencoba menggabungkan fakta-fakta tersebut dengan asumsi-

asumsi yang mengalir, guna memprediksi beragam kemungkinan peristiwa yang akan terjadi.

Page 87: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 87

Ada sesuatu yang berkembang di pertemuan kali ini.

“Orang-orang yang menyebut dirinya perwakilan rakyat Hindia mereka mengajukan

permohonan untuk bertemu dengan Yang Mulia Ratu. Mereka mengajukan beberapa tuntutan,

dua hal yang paling pokok adalah tentang kesejahteraan dan pendidikan untuk orang-orang

Hindia.”

Tuan Thomas membagikan lembaran kertas pada tiap orang.

“Itu salinan tuntutan mereka, silahkan dipelajari. Perlu kutekankan kembali, tim kita

sengaja dibentuk untuk menangani permasalahan ini di luar jalur diplomasi. Jadi tugas kita

adalah meminimalkan dampak dari apapun keputusan yang diambil dalam pertemuan tersebut.”

Hening.

“Ada peribaratan yang harus kalian tahu bahwa orang yang terdidik baik akan selalu

punya solusi atas masalah yang dialaminya. Sebaliknya, orang yang tak terdidik akan berfikiran

sempit dan cepat menyerah. Yang kita lakukan selama ini adalah menciptakan tipe orang yang

kedua dalam diri orang-orang itu. Jadi yang harus kita lakukan dari awal hingga akhir adalah,”

dia menunggu, hingga seluruh perhatian terpusat padanya, “membuat hal itu tidak berubah.

Mengerti? Lebih teknis ada yang ingin bicara?”

“Saya tidak tahu pemerintah akan mempertimbangkannya seperti apa, tapi lebih baik

sarankan saja untuk mengabulkan keiginan mereka. setidaknya agar mereka tetap beranggapan

bahwa kerajaan Holland selalu mengayomi mereka. Yang kita butuhkan hanya memperkecil

akibat yang mungkin muncul. Tepat seperti yang Tuan Thomas bilang, membuat mereka

berfikiran sempit dan mudah menyerah.”

Pitt yang bicara. Nama itu terjahit manis di atas saku baju seragamnya.

“Saran itu akan kusampaikan. Tujuh orang yang ada di sini, akan dibagi menjadi tiga

tim. Tim pemantau, tim penggarapan mental, dan tim penggarapan fasilitas. Aku yang akan

memimpin langsung misi ini, sekaligus pemimpin tiga tim. Ada yang ditanyakan?”

Pandangan Tuan Lee menyapu kami satu persatu. Tak ada komentar.

“Kalau begitu, tim sudah kubagi. Pieters dan Pitt sebagai pemantau, Jan dan Dennis

sebagai tim penggarap mental, van Hooft dan Ell menggarap fasilitas yang mereka punya.”

Saya dan Pitt, tugas kami memantau para pembelot itu, rencana-rencana pemerintah

juga. Untuk apa? Mendapatkan info bagi dua tim lainnya dan memberi masukan hal mana yang

perlu digarap berikutnya. Yang kami lakukan hanya melihat dan menyampaikan. Tidak boleh

Page 88: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 88

bertindak sendiri agar tak terlibat dengan kesulitan apapun. Sudah ada yang ditugaskan untuk

eksekusi. Timnya Jan dan Dennis serta van Hooft dan Ell.

Pitt yang punya banyak relasi di dalam pemerintahan, dia yang masuk ke pemerintahan.

Dan bagian saya mencermati perkembangan orang-orang Hindia itu. Karena saya lebih mengenal

mereka di tempat asalnya dibanding Pitt.

Sebentar lagi pesta ulang tahun Yang Mulia Ratu, sebulan lagi. Pesta besar. Saatnya

para pembesar negeri ini dan para kepala negara sahabat berkumpul untuk memberikan ucapan

selamat pada Yang Mulia Ratu. Rakyat juga akan ikut merayakan, lewat karnaval dan pesta

jalanan.

Hari itu juga pertemuan pra-perundingan resmi wakil pemerintah dengan para pembelot

akan diadakan. Betul-betul kamuflase yang sempurna. Kenapa? Karena orang takkan mengira

maksud kedatangan mereka berbeda dengan kedatangan orang-orang yang lainnya, selama tidak

ada publikasi yang kentara. Cukup yang tahu hanya orang-orang yang berkepentingan, kami dan

mereka.

Pitt mengharuskan saya datang. Mungkin dipikirnya saya yang mengerti mereka akan

bisa melihat sesuatu yang tidak semua orang bisa melihatnya. Sesuatu yang bisa melancarkan

pekerjaan kami. Dan dia sudah mempersiapkan segalanya dengan sempurna untuk saya. Peran

pendengar, dan seseorang yang ditugaskan menyiapkan saya untuk posisi itu.

Page 89: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 89

Kau tahu kenapa aku malah menyuruhmu bersembunyi, Adi?

Perjuangan ibarat sebuah rumah.Ia ada di tengah alam,yang kadang mengirim

banjir atau badai, atau tak menentunya cuaca, untuk merusaknya.

Apa menurutmu orang yang bisa berlindung di dalamnya bila bagian yang rusak

tak diperbaiki?

Maka itulah yang kami lakukan dengan membawamu kemari.

Page 90: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 90

BAB V

Soesilo Adiprojo

Untuk satu hal yang tak pernah kumengerti ujungnya, bergulirnya sang waktu dan

perjalanan nasib. Keajaibannya yang tak pernah tertebak oleh alam pikiran manusia

mengombang-ambingkan jiwa sang makhluk Tuhan dari satu ujung ke ujung lainnya. Dari satu

alur nasib ke alur nasib lainnya, dari tempat satu ke tempat lainnya. Duhai manusia yang tak

pernah tahu dimana ia akan berada di sisi waktu yang berikutnya.

Kami mengajukan tuntutan pada Ratu sebulanan yang lalu. Tidak ada tanggapan.

Mungkin, surat kami belum dibaca. Atau, langsung ditumpuk di bagian dokumen tak penting

seselesainya dibaca.

Mungkin mereka melakukan itu karena mereka pikir kami akan diam saja. Salah kalau

sampai mereka berfikiran seperti itu. Salah besar! Kami akan tetap berupaya selama punya daya.

Coba tebak yang kami lakukan? Kami buat pamflet-pamflet, kemudian

menempelkannya di papan-papan pengumuman penting di seantero kota besar di negeri ini.

Andai saja kami punya akses ke media umum, kami bisa berbuat lebih daripada ini. Akan lebih

banyak orang yang membaca, seiring dengan bertambah banyak orang yang mengerti dan

mendukung keinginan kami.

Waktu berjalan, kenekatan kami mulai mendapat tanggapan. Isu-isu mulai menyebar.

Namun yang seperti ini saja tidak akan cukup. Dengan wakil kerajaan menyatakannya sebagai

hasil perbuatan orang tak bertanggung jawab, habislah sudah. Maka kami buat media kecil-

kecilan, namanya Suara Djawa. yah, semacam buletin lah. Diedarkan pada orang-orang Jawa di

Amsterdam dan kota-kota lainnya.

Kau ingat Warung Jawa yang kuceritakan dulu? Ada fasilitas bacaan di sana. Sambil

menunggu pesanan diantarkan, orang-orang bisa menghabiskan waktu dengan membaca. Dan

Page 91: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 91

Suara Djawa, berdampingan dengan surat kabar Holland, bisa dipinjam oleh setiap pengunjung

yang datang. Demikian juga di Warung Djawa yang di Amsterdam

Semakin banyak orang yang tahu. Tulisan-tulisan dari warga Holland sendiri mulai

bermunculan di media, mempertanyakan pada kerajaan dan kami, fakta sebenarnya dari kabar

yang santer beredar.

Puncaknya ada di hari ulang tahun Ratu beberapa jam lagi. Mereka mengundang kami

untuk datang dan membicarakan permohonan kami.

Hari ini ulang tahun Ratu, kau tahu. Ulang tahun Ratu! Beliau yang sudah begitu

banyak berbuat untuk negeri ini sedang berbahagia, maka patutlah jika kami rakyatnya juga

berbuat yang serupa. Arak-arakan kerajaan, dilanjutkan dengan karnaval indah yang

menampilkan pesona tersembunyi sebuah negeri bernama Holland dihelat seharian. Sedang nanti

malam, sebuah pesta kerajaan yang dihadiri Ratu dan para petingginya serta para petinggi negara

sahabat akan digelar semalaman.

Perjalanan kami ke istana sedikit terhambat oleh arak-arakan ini. Meski begitu, kami

menikmatinya, kesemarakan yang dihelat hanya setahun sekali.

“Menurutmu, apa yang akan mereka katakan nanti?”

Seseorang membuat lamunanku terpecah. Hari.

“Bukannya mereka bilang ingin membicarakan tentang permohonan kita?”

“Aku tak yakin.”

Pandangannya lurus ke depan. Ia cemas.

“Kau harus ingat, Di, kedatangan kita ke sana bukan hanya untuk kunjungan biasa atau

memberi selamat saja. Kedatangan kita betul-betul untuk memperjuangkan yang menjadi hak

kita. Tak bisa main-main.”

“Memang tak ada yang mau main-main. Hanya saja tak harus segelisah itu. Kita harus

tenang supaya bisa berfikir jernih.”

“Aku gugup.”

“Percayalah. Selama kita benar, Tuhan selalu punya jalan.”

Obrolan kami berhenti. Siapapun harusnya paham, kalau akan maju berperang yang

terpenting adalah keberanian dan kejernihan pikiran. Masalah kemungkinan kalah, perasaan

takut dan gelisah, taruh jauh-jauh di belakang. Jangan dilirik sekarang.

Page 92: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 92

Beberapa orang berseragam pengawal menyambut kedatangan kami di gerbang selatan

istana, kemudian membawa kami ke ruang pertemuan.

“Mari, Tuan-tuan. Wakil Ratu sudah menunggu.”

Dua pengawal membukakan pintu, kemudian pengawal lainnya mengabarkan

kedatangan kami. Orang-orang yang ada dalam ruangan serentak berdiri. Dan pelayan mengantar

kami ke tempat. Ruang pertemuan yang didesain elegan ini rasanya cukup menampung 100

orang.

Dan pria yang berada di salah satu ujung meja ikut berdiri, membungkuk sedikit seraya

berkata, “Selamat datang Tuan-tuan. Kedatangan Anda sekalian sudah kami nantikan.”

Dan juru bicara kami, Prayogo, membungkuk pula dan berkata, “Alangkah

beruntungnya kami mendapatkan sambutan yang seistimewa ini dari perwakilan kerajaan.”

Aku sengaja duduk di deret depan paling ujung, dekat pintu keluar. Dengan meja yang

memanjang ke samping semua yang hadir akan terlihat. Eropa berhadap-hadapan dengan

pribumi Hindia, di meja yang sama dengan tempat duduk yang sama tingginya.

Seorang pria yang duduk di seberang membuatku terpaku. Sepertinya aku pernah

bertemu dengannya. Tapi dimana? Benakku menampilkan kembali pertemuan-pertemuanku

yang penting dengan para pria Eropa, namun tak kutemukan ia di sana. kutampilkan lagi tiap

adegan lebih lama, kuteliti orang-orangnya satu persatu, dan kutemukan! Aku pernah melihatnya

di pelabuhan, di pelelangan rempah.

Tapi apa betul orang adalah orang yang sama dengan yang kutemui di pelabuhan?

Kalau iya, bagaimana mungkin ia bisa berpindah peran begitu cepat. Kalau tidak, bagaimana

mungkin ada dua orang yang begitu mirip.

Pria itu diam seolah acuh dengan yang sedang terjadi. Namun beberapa kali bertemu

pandang membuatku mengerti bahwa itu hanya kesan yang ia ciptakan untuk orang yang tak

memperhatikan sementara ia berfikir dan mengamati. Ah, rasanya tak aneh bila mereka

menempatkan orang-orang khusus untuk mengamati kami. Maka tak aneh pula jika kami

tempatkan beberapa dari kami untuk mengamati mereka.

Sesekali kulayangkan pandang pada Prayogo dan kawan-kawan yang datang sebagai

juru bicara. Tak ada masalah. Pembicaraan bergulir sesuai dengan yang dipersiapkan.

“Jadi, kita akan berjumpa dua minggu lagi. Selamat siang.”

Page 93: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 93

“Terima kasih atas kedatangannya. Kami akan sampaikan ucapan selamat serta hadiah

dari Anda sekalian pada Yang Mulia Ratu.”

Prayogo berdiri. Pria yang berdiri di ujung meja, Wakil Ratu berdiri. Serentak teman-

teman kami dan orang-orang mereka berdiri. Kami saling bersalaman lalu pamit pulang.

Seorang kawan sempat menyenggolku dan berbisik, “Apa kita bisa percaya begitu saja

pada mereka?”

“Kita sedang berusaha untuk percaya.”

Hasan menyuruhku datang malam ini, ke rumah yang dulu. Dia menitipkan pesan pada

Atmo, teman sekerjaku di warung. Hasan tak mengatakan apa-apa, hanya berpesan bahwa aku

harus datang.

Beberapa kawan yang duduk melingkari meja, menoleh serempak saat aku masuk.

Mereka bergeser memberiku tempat. Betapa menyenangkannya ketika senyum mereka yang

menyambut kedatanganku.

“Duduklah.”

Aku pun duduk di antara mereka. Heranku, kenapa hanya ada beberapa orang saja. Lain

dari pertemuan biasanya.

“Ada apa?”

“Dengar, sebenarnya masih terlalu dini untuk kau terlibat jauh. Tapi apa boleh buat, ya

memang harus dipersiapkan sebanyak mungkin orang-orang baru. Kita tak pernah tahu yang

akan terjadi di masa depan.”

Aku sungguh tak mengerti. Pandangan kawan-kawan tertuju padaku seolah meminta

sesuatu. Padahal aku sendiri tak mengerti yang sedang terjadi.

“Jelaskan perlahan San. Dia tak tahu yang baru saja kita bicarakan.”

“Tak apa Kang Arya, aku siap mendengar.”

“Kami berfikir satu hal, betul bahwa mereka menjanjikan keinginan kita akan dibahas

saat perundingan. Tapi siapa yang bisa menjamin hasilnya. Kita butuh lebih banyak dukungan,

tidak hanya dari rekan kita sesama Jawa atau Hindia tapi juga Eropa.”

Aku mengerti, butuh Eropa untuk melawan Eropa.

“Orang-orang yang punya kepedulian terhadap kondisi rakyat di daerah-daerah koloni,

mereka yang kita butuhkan. Tuan Venter, dosenmu itu mungkin salah satunya.”

Page 94: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 94

“Dalam bentuk apa?”

“Dalam bentuk apapun yang dia kawan-kawannya bisa. Banyak sekali yang kita

butuhkan. Salah satunya, menyebarluaskan impian kita pada masyarakat. Sehingga yang paling

kita butuhkan dari mereka adalah pemuatan tulisan tentang kita di surat kabar. Kita tahu bahwa

orang selain Eropa tak punya hak mempergunakan fasilitas masyarakat secara leluasa.”

Sekarang jelas yang harus kulakukan berikutnya.

“Dan untuk itu kita butuh dukungan dari orang-orang Eropa yang berkedudukan kuat di

masyarakat.” Nada suaranya mantap, sambil menunjuk beberapa lembar kertas secara bergantian

padaku. Menyimpan segenap harapan akan perubahan. Ya, kami semua memiliki ini jauh di

lubuk hati kami, bahwa akan ada perbaikan.

“Aku tidak terlalu dekat dengannya. Aku juga tak tahu apa kita bisa mempercayainya.”

“Kita coba dulu saja. Selanjutnya kita serahkan saja pada kuasa-Nya.”

Kupandangi mereka satu persatu. Kucoba memahami yang mereka pikirkan.

“Aku mengerti,” kataku seraya tersenyum.

“Terima kasih. Kami tahu kau bisa diandalkan.”

Kami bicara lama. Waktu berlalu tak terasa. Dari cermin berukuran paruh badan di

kamar mandi kudapati kantong mata menebal dan sorot mata berkabut menghiasi wajahku. Ah,

aku ingat sekarang. Hari ini genap seminggu aku terus menerus begadang.

Seseorang pernah berkata : dalam mewujudkan suatu impian, entah miliki sendiri atau

milik bersama, yang besar atau yang kecil, harus ada yang mau bekerja lebih keras dari yang

lainnya. Yang mengatur segalanya. Meski pada akhirnya, yang punya peran besar atau yang

hanya berperan kecil, semuanya harus terlibat. Tak ada yang boleh diam saja. Seperti bangunan,

tiap orang punya peran yang tak tergantikan. Mereka mungkin yang berfikir tenang rencana, dan

aku sebagai salah satu pelaksana.

Cermin ini menggurat wajahku dengan presisi yang tepat. Tanpa cela, hingga bisa

kulihat wajah ayah dan bunda. Tentang alasan kuliah dan jam-jam yang tertinggal di kampus

Leiden, teringat perselisihanku dengan Hevga tentang masalah yang sama. Berfikir tentang

kuliah yang serasa tertinggal jauh di belakang.

Sekali lagi kugelontorkan air di wajahku. Ah, sudah saatnya aku keluar dan memikirkan

kembali dunia nyata.

Page 95: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 95

“Aku perlu menjernihkan isi kepalaku dulu.” Kuberikan jawaban itu pada pandangan

bertanya-tanya Hasan.

Dia tersenyum. Tangannya ia rentangkan lebar-lebar, terdengar bunyi gemeretuk tulang.

Tubuhnya menyandar. Begitu pula yang dilakukan Abhinaya dan yang lainnya. Mereka lelah.

“Sudah terfikir yang akan kau lakukan?”

“Akan kulihat situasinya dulu. Nanti kukabari.”

Aku sedang bersiap pulang ketika Bhi, menyelipkan lembaran kertas ke dalam tasku.

“Mungkin kau akan butuh ini nanti,” katanya.

Bhi mengantarku hingga gerbang, kemudian berbalik lagi ke dalam. Aku pulang

sendirian. Berfikir.

Tuan Venter akan sulit sekali ditemui. Dia sudah tidak mengajar lagi. Dan satu-satunya

cara agar bisa bicara dengannya adalah lewat surat yang diselipkan lewat bawah pintu rumahnya.

Maka kutulis surat begini setibanya aku di kamar sewaanku,

Yang terhormat Tuan Venter,

Saya ingin mempertemukan Anda dengan kawan-kawan saya, orang-orang yang ingin

Anda bilang waktu itu ingin Anda temui. Bila Anda masih menginginkannya, kita bisa bicara

lebih lanjut. Di alun-alun kota sebelah utara, dekat gerbang pada hari Rabu ini jam tiga sore.

Terima kasih

S. Adiprojo

Akan kuantar surat ini besok malam, agar tak menarik perhatian orang.

“Bagaimana? Apa sudah berhasil menemuinya?”

“Hanya kutinggalkan pesan di rumahnya kalau aku akan menunggu hari Rabu di taman

kota. Bagaimana perkembangan yang lainnya?”

“Terus berjalan. Teman-teman juga sedang mengusahakan sebanyak mungkin

dukungan. Yah, agak sulit meyakinkan orang-orang Eropa.”

Page 96: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 96

Kami tertawa. Saling tahu kalau kata-kata itu hanya ironi, menyederhanakan dari situasi

aslinya.

“Hari Rahu biar aku yang temani kau. Omong-omong, kenapa Rabu, baru dua hari dari

lagi? Tidak bisakah lebih cepat?”

“Aku tidak tahu bagaimana menemuinya, Bhi, jadi kuletakkan surat itu di rumahnya.

Aku juga tak tahu kapan ia akan pulang. Dan lagi, kupikir dia butuh waktu untuk menghubungi

kawan-kawannya.”

“Ya ya, aku tahu. Kita hanya sedang terdesak.”

Kami sama-sama terdiam, meski duduk berhadapan.

“Apa kau merasa nyaman dengan keadaanmu yang sekarang?”

Kerutan terbentuk di keningku, aku tak mengerti.

“Kau baru saja bergabung dengan kami. Tapi begitu saja kami menyeretmu dalam

pemikiran dan keinginan kami. Apa kau merasa nyaman?”

Hei, kenapa tiba-tiba dia menanyakan ini?

“Kenapa tiba-tiba menanyakannya?”

“Tidak apa-apa. Hanya tak ingin kau menanggung kesusahanmu sendirian. Berjanjilah

kau akan mengatakan pada kami jika kau mendapat kesulitan.”

Alis kanan yang meninggi serta gerakan kepala ke kiri memberikan jawaban : ya.

“Kapan semua berkumpul di Amsterdam?”

“Seminggu lagi. Tapi hanya kau dan Hasan yang pergi. Terlalu sering pulang pergi

Leiden-Amsterdam sangat melelahkan.”

“Kenapa?”

“”Tetap harus ada yang tinggal di sini, berjaga kalau ada hal mendadal yang harus

dilakukan. Sebetulnya tak benar-benar berdua. Kau dan Hasan mewakili tim dukungan dari kota

ini, sedang tim lainnya masing-masing akan mengirim dua utusan juga.”

“Dan kenapa harus aku?”

“Kami pikir harus ada anggota muda yang terlibat agar tetap ada yang meneruskan

perjuangan kita ini kelak.”

“Aku tak tahu sudah berapa kali kau menyinggung tentang penerus. Sebegitu

pentingkah?”

Mata hitamnya berbinar.

Page 97: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 97

“Kau akan tahu nanti, ketika sudah ada generasi setelahmu. Setelah kau memahami

segalanya, kau akan tahu bagaimana rasanya mempertahankan yang sudah dibangun dengan

segenap jiwa raga.”

Baiklah, aku akan sangat menunggu saat-saat itu.

Ah ya, kau ingat lembaran kertas yang diselipkan Bhi di tasku kemarin? Dia menulis

penjelasan tentang dimana sekarang aku berada. Yaitu di sebuah tim dukungan dari masyarakat

Leiden. Lebih tepatnya di tim yang mengusahakan dukungan dari para tokoh-tokoh pendidik.

Yang menggalang dari para tokoh politik lain lagi. Yang menggalang dari masyarakat kecil atau

kaum pedagang, juga sudah beda. Sudah ada bagiannya sendiri-sendiri.

Penjelasan sepenting itu seharusnya tak dituliskan begitu saja di kertas lembaran.

Terlalu berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah. Untung saja segera kubaca, dan kubakar

seselesainya.

Di taman kota hari Rabu. Ditemani cahaya teduh matahari sore, sesekali suara jangkrik

dan katak bersahutan, menciptakan simphoni bernama riang. Aku dan Bhi tak lama menunggu,

kemudian sekelebat bayangan mendekat.

Katanya, “Venter tak bisa menemui kalian di sini. Tapi dia akan menemui kalian di

suatu tempat yang aman. Ikutlah denganku, akan kutunjukkan tempatnya.”

Ia membawa kami agak jauh, ke penginapan sederhana, lalu masuk ke salah satu

kamarnya. Pria itu mengetuk pintu, dan seseorang berseru dari dalam, “Ada apa?”

“Mengantar yang kau inginkan.” Kemudian pintu terbuka.

Pria itu masuk lebih dulu. Dan benarlah, seorang lelaki lain yang segera kukenali

sebagai Tuan Venter menengok pada kami. Hanya tiga orang di dalam, orang-orang yang sama

dengan yang datang ke warung pada waktu itu. Kami dipersilahkan duduk, dan pria itu pamit

pergi.

“Waktu kita tak panjang, jadi langsung bicara saja pada pokoknya.”

Untuk waktu yang agak lama aku dan Bhi diam, memandang wajah orang-orang yang

duduk di hadapan kami. Mempersepsi, mengukur kejujuran, kepercayaan, segala yang mungkin

kami percaya untuk berbagi sebuah rahasia.

Page 98: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 98

Kupandang wajah mereka satu persatu, menamatkan detailnya. Coba merangkum

pengamatan sekilas dengan berbagai teori tentang struktur tubuh yang membentuk pribadi

manusia. Kami hanya sedang mencoba untuk membangun percaya.

“Nama saya Abhinaya, dan kawan saya Adiprojo. Saya yakin Tuan-tuan sekalian sudah

mendengar tentang pertemuan antara wakil rakyat Hindia dengan wakil kerajaan lima hari yang

lalu. Dan akan diadakan pertemuan resminya sembilan hari lagi.”

“Lanjutkan!” kata Fede.

“Kami meminta kerajaan lebih memperhatikan kesejahteraan rakyat kami. Salah

satunya dengan memberi fasilitas pendidikan yang lebih baik. Kami tahu itu bukan hal yang

mudah untuk dikabulkan. Jadi kami membutuhkan dukungan dari banyak pihak, supaya kerajaan

betul-betul melaksanakan yang kami inginkan.”

“Lalu dukungan apa yang kalian inginkan?”

“Kami menyerahkan bentuk bantuan pada pemberinya. Namun yang saat ini sangat

kami butuhkan adalah pemuatan tulisan tentang kami di media. Kami ingin menyiarkan cita-cita

kami pada masyarakat lewat tulisan, sehingga tiap orang tahu yang sebenarnya terjadi di daerah-

daerah koloni. Begitulah Tuan.”

Herriet, keningnya berkerut tajam. Fede sama seriusnya, apalagi dengan jari tengah

yang terus menerus mengetuk pinggiran kursi. Sementara Venter membawakan kopi dari dalam.

Herriet sedikit mencondongkan tubuhnya. “Apa kau yakin rakyat Holland akan peduli?

Selama ini Gubernur Jenderal mengabarkan Hindia selalu aman, rakyatnya sejahtera dan

bahagia. Aku ragu yang kalian sampaikan akan dianggap serius.”

“Karena itulah kami membutuhkan dukungan.”

Ruang yang kami huni hening lagi.

“Apa timbal baliknya jika kami membantu kalian? Dan, rasanya akan lebih mudah bila

kalian buat sendiri saja medianya. Fasilitas pendidikan yang kalian maksud itu sekolah? Lebih

mudah langsung kalian dirikan sendiri juga.”

“Banyak hal selain „mudah‟ yang menjadi pertimbangan kami, Tuan.”

“Begitukah? Coba jelaskan, agar kami mengerti!” Pria itu tersenyum, terus menerus

mengaduk kopi. Sorot matanya, senyumnya, seperti paduan rasa yang mengandung tidak

percaya.

Page 99: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 99

“Kami menginginkan pemerintah yang mendirikan langsung sekolah-sekolah itu, salah

satunya adalah demi legalitasnya. Kami ingin pemerintah yang mewajibkan rakyat kami

bersekolah. Anda akan mengerti bila berada di posisi kami.

Alasan lainnya adalah biaya. Seharusnya pendidikan yang cukup sudah diberikan

pemerintah pada rakyat walau tak diminta. Jika rakyat Holland mendapatkannya, kawula Sri

Ratu yang lain harusnya juga mendapatkannya.”

“Apa kalian yakin keinginan kalian akan terwujud?”

Bhi tersenyum, memandangku lalu mereka.

“Upaya lah yang terpenting bagi kami. Masalah terwujud atau tidak, biar Tuhan saja

yan putuskan.”

“Ada lagi?”

“Tidak Tuan, kami menunggu jawaban.”

Kukira mereka butuh waktu untuk berfikir. Dan betul!

“Kami tak bisa berikan jawaban sekarang. Akan kami kabari lagi nanti.”

“Ya, kami mengerti.”

Bhi mengajakku pamit. Tentu setelah menghabiskan kopi yang disuguhkan.

Kesepakatan sudah dibuat. Mereka bersedia mendukung kami dalam hal yang paling

esensi : pemuatan tulisan tentang kami di surat kabar. Tiga pria itu yang menghubungkan kami

dengan para Tuan Eropa. Bhi, Hasan, dan dua kawan lain yang tak kukenal yang membuat

kesepakatan dengan mereka.

Terhitung dari sekarang, tinggal delapan hari lagi menuju pelaksanaan pertemuan resmi.

Bhi bilang, mereka janjikan pemuatan tulisan tentang kami tiap tiga hari sekali di surat

kabar kota. Mereka sedang usahakan juga di surat kabar nasional, meskipun tak bisa sesering

surat kabar kota.

Entah bagaimana, mereka tak pernah lagi menyinggung tentang timbal balik.

Sebenarnya aku curiga, secara logika tak ada orang yang mau bekerja tanpa imbalan. Tapi kata

Bhi, mereka tak butuh imbalan dari kita. Sebab pada hakekatnya, yang mereka lakukan ini hanya

Page 100: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 100

sedikit balas budi terhadap yang diberikan rakyat kami pada kerajaan Holland selama ini.

Katanya lagi, Tuan Fede yang mengatakannya sendiri.

Sekali lagi, mereka tak bisa berjanji bisa mempengaruhi rakyat Holland. Waktunya

terlalu sempit.

Mereka bantu menghubungkan kami dengan komunitas yang peduli pada nasib rakyat

koloni di seluruh penjuru negeri, satu demi satu. Dan mereka hanya menuntut satu dari kami :

rasa saling percaya.

Bhi dan Hasan yang akan selalu berhubungan dengan mereka, begitulah kebijakannya.

Ah cukup sudah aku berkisah. Ada hal lain yang harus kupikirkan pagi ini. Kuliah.

Aku sempat terpaku di samping gerbang. Baru seminggu tak datang, rasanya banyak

sekali yang berubah. Bukan bangunannya, mungkin juga bukan orang-orangnya. Tapi

suasananya. Mereka yang biasanya tak menganggapku, kini meluangkan waktu meski sekedar

untuk melirik. Dengan tatapan aneh, seolah tak seharusnya aku di sini. Beberapa dosen yang

mengajar di kelasku juga berbuat sama. Bahkan kawan-kawan yang biasanya bersikap ramah.

Awalnya aku bertanya-tanya mengapa. Namun kemudian, segera saja kutemukan

jawabannya. Tulisan tentang kami di surat kabar kota mulai diterbitkan pagi ini. Kurasa tatapan

aneh mereka hanya keingintahuan apa aku terlibat atau tidak dalam gerakan yang tersebut dalam

tulisan itu. Kau tentu sudah tahu. Tapi mereka, demi kebaikan bersama, lebih baik tak tahu dan

tak pernah mendapat jawabannya.

Ah! Begini saja mereka sudah bersikap aneh. Apalagi besok pagi saat pamflet-pamflet

kami sebar lebih banyak. Pasti bakal lebih seru. Dan tentu aku akan makin keranjingan datang ke

kampus, menikmati suasana yang makin panas saja.

Dan malamnya, aku dan kawan-kawan menyebar ke segenap penjuru kota untuk tulisan

ini :

Pada faktanya, terjadi banyak kerusuhan di Hindia pada masa-masa sekarang. Baik yang

besar sehingga menyulut kericuhan tiada henti, maupun yang hanya menyala sebentar kemudian

mati. Kenapa? Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa Hindia yang dilaporkan sebagai tanah

nan damai dan sejahtera di bawah lindungan Kerajaan Holland bergolak?

Muncullah sebuah asumsi : rakyat Hindia tidak puas dengan wali negeri yang diutus oleh

Yang Mulia Ratu. Kemudian muncul lagi tanya, dalam hal apa ketidakpuasan itu terjadi.

Page 101: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 101

Diakui atau tidak, hal paling mendasar yang dibutuhkan manusia adalah yang disebut

orang Jawa sebagai sandang, pangan, papan. Ketika ketiga hal tersebut terpenuhi, maka dasar

keamanan dan kestabilan suatu negeri akan terjamin. Namun manakala hal tersebut tak terpenuhi,

maka yang terjadi adalah kegoncangan. Dan salah satu bentuk kegoncangan yang dapat dilihat

langsung dari tanah Hindia adalah kerusuhan bersenjata.

Merunut lebih jauh penyebab dari rakyat yang tidak mampu memenuhi tiga kebutuhan

dasarnya – sandang, pangan, papan – salah satunya mungkin disebabkan karena kurangnya

pengetahuan rakyat terhadap pemanfaatkan segala hal yang ada di sekitarnya. Dan mengapa

kekurangan pengetahuan ini terjadi adalah karena kurangnya didikan pengetahuan yang diterima

oleh bumiputera Hindia.

Sambil menempel, aku curi-curi baca. Pamflet ini baru jadi satu jam yang lalu. Bhi yang

memeriksa isinya, dan langsung menginstruksikan kawan-kawan untuk berangkat ke sasaran

masing masing.

“Ayo cepat! Sasarannya masih banyak.”

Seorang kawan menyadarkanku pada terbatasnya sang waktu.

“Sekarang dimana lagi?” kataku.

“Papan pengumuman di ujung jalan.”

Kami beranjak. Menyebar sebanyak ini dalam betul-betul melelahkan. Namun, tak

urung rasa penasaran yang menang. Kulanjutkan membaca. Begini lanjutannya :

Dimanakah tepatnya didikan tentang pengetahuan itu diperoleh? Di sekolah. Meskipun

sekolah bukan satu-satunya sarana, namun adalah yang paling efektif pada masa sekarang. Dan

mengingat masih sangat sedikitnya jumlah sekolah yang diperuntukkan pada kawula Hindia, maka

alangkah besarnya harapan kami pada Yang Mulia Ratu dan kerajaan Holland untuk

memperbanyak jumlahnya serta mempermudah jalan bagi kalangan kebanyakan untuk ikut

mencecapnya.

Demi terciptanya kestabilan kondisi di tanah Hindia, dengan tidak adanya kerusuhan,

kemiskinan maupun kelaparan. Demi yang tertanam dalam hati rakyat adalah ketaatan dan

kemuliaan bagi Yang Mulia Ratu junjungan kawula Hindia.

Atas nama kawula Hindia

Hasan Sadiki Usman

Page 102: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 102

Suasana yang kusebut aneh dan penuh curiga kemarin, kembali panas hari ini. Apalagi

setelah surat kabar beroplah terbesar di negeri ini beredar tadi pagi. Ada tulisan tentang kami.

Begini isinya :

Saya mendengar kabar bahwa permohonan rakyat Hindia kepada Sri Ratu

tentang penambahan jumlah sarana pendidikan rakyat di Hindia akan ditanggapi dalam

perundingan resmi tujuh hari lagi. Saya sangat bangga terhadap iktikad baik tersebut.

Kawula Hindia turut andil dalam mensejahterakan negeri kita. Mereka telah

menyumbang banyak komoditas berharga bagi serikat dagang kita. Serikat yang menaungi

para pedagang kita di Hindia timur. Dengan demikian, tak salah bila kita menyebut

mereka telah menyumbang banyak untuk kesejahteraan kita.

Maka sudah sepatutnya apabila nanti Sri Ratu kita yang mulia tidak hanya

menutup niat baiknya sampai pada bersedia melaksanakan perundingan saja, namun juga

bersedia menitahkan pada serikat dagang kita untuk membangunkan bagi mereka

sekolah-sekolah, supaya terperhatikan juga segi pengembangan kemampuan hidup anak-

anak bumiputera.

Alangkah bijaknya jika Sri Ratu tak melupakan para kawula Hindia yang ada di

Holland. Berikanlah yang serupa dengan yang akan diberikan pada para saudara mereka di

Hindia.

Dan alangkah akan lebih indah jika rakyat negeri ini memberikan dukungan yang

sama, atau paling tidak setuju terhadap orang-orang yang mendukung keinginan tersebut.

Saya sungguh-sungguh berharap adanya suatu tatanan dunia baru yang mana

tiap-tiap orang punya derajat yang sama, punya hak dan kewajiban yang sama, meskipun

berada dalam kepemimpinan yang berbeda. betapa indahnya keadaan yang seperti ini,

saat semua orang bisa tertawa bersama dan menanggung segalanya bersama.

Terjadi kegemparan di masyarakat luas. Bukan atas pemikiran orang Hindia yang layak

memperoleh didikan, tapi atas pemikiran „semua orang punya derajat yang sama‟.

Sehari berselang, mulai muncul tanggapan. Satu tulisan Herman Vinn, seorang politikus

tersohor negeri ini, muncul keesokan harinya. Ia menegaskan bahwa bagaimanapun orang Hindia

dan Holland adalah berbeda. Menurutnya, bisa saja orang Holland memberi mereka didikan ala

Page 103: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 103

Eropa tapi tetap saja mereka Hindia. Mustahil berharap mereka akan bisa duduk sejajar dnegan

kita. Harus disadari kalau kemampuan tiap orang itu berbeda.

Pada intinya, sepertinya dia sepakat kalau Sri Ratu meluluskan keinginan kami.

Mungkin sudah disadarinya sumbangan rakyat kita. Tapi menurutnya, ide tentang kesederajatan

itu tidak realistis. Jadi untuk orang-orang yang punya ide seperti itu, pikirkanlah dulu masak-

masak kalau ingin memuatkannya di surat kabar. Bisa meracuni pikiran orang yang tak mengerti.

Masih banyak tanggapan lain. Baik yang pro atau kontra, baik yang dimuat di media

atau yang hanya jadi obrolan ringan. Baik yang pro-kontra pendapat Vinn, atau pro-kontra

tulisan sebelumnya.

Sepertinya media menganggap isu ini menguntungkan. Dan betul! Ketika mereka

teratur menyediakan setengah halaman mereka untuk isu ini, oplah penjualan mereka meningkat.

Sehingga kami tak perlu membayar halaman khusus. Aku jadi ingat sesuatu, kawan-kawan Eropa

kami harus membayar mahal untuk tulisan yang pertama dulu.

Jangan kira itu saja cukup. Kau ingat Suara Djawa? Media ini sekarang lebih

digalakkan, apalagi dengan semakin mengalirnya bantuan. Beberapa dari para nyonya Eropa

yang Hindia, mereka ingin mendukung cita-cita kami dengan sebagian harta yang kini mereka

punya.

Kami yakin pemerintah tidak akan tinggal diam. Pamflet yang kami tempel di berbagai

sudut kota tahu-tahu menghilang. Orang-orang yang berkumpul dan ketahuan membahas tentang

kami ditangkap dan diamankan meski tidak saat itu juga. Dalihnya, mencegah timbulnya

kerusuhan.

Untungnya, kalau hanya beli surat kabar tidak akan dicekal. Mungkin asumsinya begini

: dengan tidak mengijinkan orang membeli surat kabar berarti menarik mundur rakyat Holland

beberapa abad ke belakang dengan tidak tahu perkembangan negara kita dan negara tetangga.

Bicara tentang tetangga, tersiar kabar utusan Napoleon menemui Sri Ratu.

Membicarakan perkara penting jelasnya. Yang agak janggal, pertemuan dua negara ini malah

tidak dipublikasikan. Malah terkesan ditutupi. Ada apa ya?

Tentang pamflet-pamflet yang menghilang, rasanya tak bisa dicegah. Tidak ada yang

melihat langsung pelakunya, jadi tidak bisa menuduh sembarangan. Yang bisa dilakukan hanya

menggantikan yang hilang. Kami akan tempelkan yang baru di ruang-ruang kosong itu nanti

malam.

Page 104: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 104

Kau tahu dimana aku sekarang? Berdiri di ujung jalan, dengan jaket penahan dingin,

dan berjuang keras menahan kuap. Seseorang yang bersikap seolah acuh padahal sedang

mengamati dengan cermat. Sambil tersenyum, bergumam dalam hati „Yang terjadi sesuai dengan

yang diperkirakan‟, kemudian beranjak dari pohon yang menutupiku dari pandangan.

Kau pasti berfikir yang kuceritakan ini mengada-ada, melebihkan dari yang terjadi

sebenarnya. Orang-orang seperti kami mana mungkin bisa menggoncang negeri stabil macam

ini? Membuat para petinggi mendengarkan? Mustahil!

Mungkin mustahil, jika saja Napoleon tak juga sedang bikin perkara dengan Holland.

Kabar yang beredar, orang itu ingin menciptakan imperium baru bagi Prancis. Meliputi Holland.

H-4 perundingan jam 8 malam, anggota timku dikumpulkan. Di markas yang baru di

pinggiran kota Leiden, dekat dengan percetakan yang tak terjaring pengawasan polisi kota.

“Teman-teman kita ada yang menghilang.”

Kawan-kawan yang hadir saling beradu pandang.

“Di Amsterdam, teman-teman kita yang memegang peran kunci menghilang tiba-tiba.

Dua orang ditemukan terbunuh di kediamannya. Dalam pikiranku, bukannya tak mungkin hal itu

juga terjadi pada kita.”

Pernyataan Hasan membuat kami tercengang.

“Kapan terjadinya?”

“Semalam. Jadi masih belum diketahui apakah ini campur tangan kerajaan atau ulah

orang lain yang ingin merecoki kita. Bagaimana menurut kalian?”

Seorang kawan menggeleng-geleng dengan wajah resah. “Aku tak menyangka bakal

begini.”

“Disangka atau tidak toh sudah terjadi.”

Seorang yang lain menyeletuk, “Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Bersikap hati-hati, dan menyimpan semua rahasia untuk diri sendiri.”

Aku menunduk. Akhirnya sampai di sini juga. Amsterdam seperti itu, Neve pasti segera

panas juga. Lebih waswas tiap saat.

“Apa rumah ini ada kemungkinan sudah dicurigai juga?” tanyaku.

Page 105: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 105

“Bisa jadi.”

“Jadi kita harus pindah lagi?”

Dia menggeleng.

“Tidak perlu. Kita hanya tidak bisa bertemu lagi di sini dan harus mengamankan

beberapa barang. Tak lebih.”

Seorang kawan bertanya lagi, “Lalu dimana berkumpulnya? Barang apa yang musti

dipindahkan secepatnya?”

Bhi menepuk bahu kawan itu. “Rencana sudah disusun Har. Kita tinggal menunggu

perintah.”

Begitukah?

“Sekarang yang penting kita lanjutkan rencana seperti semula. Masalah ini biar

diselesaikan diluar pertemuan malam ini. Sekarang kuminta laporan dari masing-masing orang

sudah berapa banyak yang berhasil diyakinkan untuk mendukung kita.”

“San! Masalah ini bukan hal yang bisa dipandang remeh. Bukankah kau bilang hal yang

berkaitan dengan perjuangan kita harus dipikirkan dan ditanggapi serius?”

“Masalah ini bukannya kuanggap tidak serius. Kita hanya baru akan membahasnya

nanti, setelah bahasan utama selesai.”

Bhi merangkulku dan berbisik, “Tenanglah. Hasan sudah mempertimbangkan semuanya

sebelum memutuskan sesuatu untuk kita. Nanti dia akan bicara langsung pada orang-orang yang

ia inginkan untuk menjalankan rencananya. Semua dapat bagian. Tenang saja.”

“Tapi kalau tak dibeberkan rencananya, tidak akan ada yang bisa menggantikan bila ia

yang hilang. Karena tak ada yang mengerti utuh rencananya.”

“Sudahlah ikuti saja. Kujelaskan setelah pertemuan ini selesai, bagaimana?”

Tak kuberi jawaban, namun Bhi mengartikannya sebagai persetujuan.

Pertemuan berlanjut, dengan penambahan daftar nama pendukung dan bentuk dukungan

yang diberikan, juga sasaran-sasaran baru. Sayangnya terlalu banyak yang masih yang memilih

menyembunyikan identitasnya.

Saat pertemuan berakhir, Bhi menahanku agar tak terburu pergi. Ia mengajakku bicara

tentang banyak hal. Tampak sekali ia berusaha memaksaku tinggal. Dan saat semua sudah pergi,

tersisa bertiga saja, Hasan mendekat.

Page 106: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 106

“Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Ikutlah dengan Bhi, aku segera menyusul.

Hati-hati, jangan sampai ada yang mengikuti.”

Kami tak saling bicara, hanya terus berjalan hampir sepanjang malam. Sampai ke

sebuah rumah pertanian kecil di sisi lain pinggiran Leiden. Awalnya kukira ini hanya pondok

peristirahatan biasa, dengan satu kamar, satu ruang tamu, serta dapur. Ternyata lebih dari itu.

Dindingnya hanya kayu tanpa perapian – kalau perapian rusak itu dianggap tak ada – dan pasti

membeku di musim dingin. Kami masuk ke dalam.

Malam makin larut, dan hanya ada sebatang lilin sebagai penerang.

“Ada apa sebenarnya? Kenapa musti kemari, tidak di sana saja?”

“Tunggulah sampai Hasan datang. Dia yang akan memberi penjelasan.”

Kau bisa bayangkan bagaimana malam berlalu jika yang tertinggal hanya dua orang

yang sama-sama terdiam. Bhi sibuk dengan pikirannya sendiri. Sedang aku hanya bisa diam

memandang bagaimana angin berhembus dan dedaunan yang bergoyang. Untunglah Hasan

datang tak lama kemudian.

“San.”

“Ayo ikut aku. Ada yang ingin kutunjukkan padamu.”

Satu persatu kami masuk dalam kamar. Mereka menggulung kasur, hingga tampaklah

lubang – sepertinya jalan masuk – menuju ruang bawah tanah. Hasan memberiku isyarat untuk

masuk.

Kami berjalan dengan lilin sebagai penerang. Ternyata hampir sama sempitnya dengan

rumah induk. Bedanya, ruang ini gelap dan tak bersekat. Dengan barang-barang yang ditumpuk

sepanjang pinggir ruangan.

Dibukanya satu peti dengan kunci yang dibawanya. Tampaklah empat kotak persegi

setelah kain yang menyamarkannya dikeluarkan. Satu yang terbungkus kain warna merah

diangkat, lalu diletakkan di lantai.

“Bukalah. Akan kuberitahu kau apa itu.”

Kubuka ikatan kain di kotak itu, lalu kubaca sekilas kertas yang direkatkan di tutup

kotak. Keningku berkerut.

“Ini dokumen-dokumen yang tersimpan di markas. Pelajarilah baik-baik. Bhi akan

tinggal bersamamu, untuk membantumu mempelajarinya.”

Emosiku mendidih. Berani-beraninya!

Page 107: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 107

“Ini kau pindahkan tanpa sepengetahuan kami? Berani-beraninya!”

“Tak ada yang berharap keberadaan dokumen-dokumen ini jadi rahasia umum. Lebih

baik begini.”

“Tapi tidak berarti boleh dipindahkan diam-diam!”

“Suatu saat kau akan mengerti.”

Hasan tersenyum dan tak mengatakan apa-apa lagi. Dia sibuk mengeluarkan kotak-

kotak lainnya dan membuka ikatannya satu persatu.

“Kau suruh aku dan Bhi tinggal di sini berapa lama?”

“Tinggallah sampai ketegangan di luar mereda.”

“Kau menyuruhku tinggal ketika yang lain sedang sibuk berjuang? Kau anggap apa aku

ini! Tidak masuk akal!”

“Dengarkan dulu sebelum mengambil kesimpulan. Bisa kan?”‟

Jalan pikirannya benar-benar tak bisa kupahami. Mana pantas seorang pemimpin

bertindak semacam ini. Aku tak mengerti harus berkata apa. Dan lagi-lagi kediamanku diartikan

sebagaii persetujuan.

“Kau tahu perjuangan ibarat sebuah rumah. Ia berada di tengah alam yang kadang

mengirim banjir atau badai, atau tak menentunya cuaca untuk merusaknya. Apa menurutmu

orang bisa berlindung di dalamnya jika bagian rumah yang rusak tak diperbaiki?”

“Tentu tidak bisa.”

“Maka itulah yang kami lakukan dengan membawamu kemari. Jika suatu saat nanti ada

yang memporak-porandakan rumah kita, perjuangan kita, kalian lah yang harus menggantikan

kami yang hilang.”

Tubuhku menyandar di peti itu, dan Hasan menyandar pada peti lainnya, tak jauh

dariku. Dengan tatakan lilin itu di tangannya.

“Kenapa memilihku?”

“Apa?” Matanya menyipit.

“Beri aku alasan kenapa harus kuterima?”

“Aku tahu pasti berat menerima ini. Butuh kebesaran hati. Tidak bisa berjalan

beriringan, ah! Sejujurnya kami tak punya pilihan lain. Pertimbangannya adalah karena kau

orang baru. Tidak banyak kawan kita yang mengenalmu, maka kemungkinan tak banyak juga

pihak lawan yang mengenalmu. Artinya, kami bisa mengandalkanmu untuk tetap hidup. Kau

Page 108: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 108

juga terdidik baik. Apa lagi? Kau pasti bisa menerima keputusan ini, karena aku tahu kami bisa

mengandalkanmu.”

Ditepuknya pundakku berkali-kali.

“Ayo naik. Ada yang harus kukatakan pada Bhi sebelum pergi.”

Sampai di atas, kami menutup lagi lubang itu. Hingga tampak seakan tak ada apapun di

baliknya.

Aku ditinggalkan sendiri saat mereka bicara berdua dalam kamar. Agak lama. Mereka

keluar dan Hasan memelukku. Dia memeluk Bhi lalu berbalik pergi. Aku terdiam melepas

kepergiannya.

“Ayo, kita lakukan sesuatu yang lebih berguna.”

Diajaknya aku mengunci pintu dan menutup semua jendela. Bhi mengepit sekotak

penuh lilin sambil turun ke ruang bawah.

“Apa semua yang ada di sini harus kupelajari, Bhi?”

Jawabnya, “Makin banyak yang kau serap semakin baik.”

Kami keluarkan isi kotak yang pertama. Seluruhnya, lalu kujajar di meja. Hanya ada

kertas-kertas, namun isi masing-masingnya berbeda. Yang pertama tentang Sriwijaya dan

Majapahit. Tulisan yang kedua tentang kerajaan-kerajaan laut sebelum kedatangan bangsa Eropa

di wilayah yang kini lazim disebut Hindia. Kemudian yang judulnya „Perang salib dan

kemunduran kelautan di kerajaan-kerajaan nusantara lama‟.

Apa ini! Katanya harus belajar pergerakan, kenapa malah disodori bacaan yang macam

begini!

Kubuka lagi, dan kutemukan tulisan tentang regenerasi organisasi di bawah „perang

salib‟. Ah, pasti tulisan yang di atas tadi hanya untuk menyamarkan yang ini, batinku. Aku

hampir mulai membacanya ketika kutemukan tulisan tangan kecil di atas judul tulisan ini.

„Bacalah secara berurutan, agar tercapai yang kami maksudkan dari tulisan-tulisan ini‟.

Jadi yang menyusun dokumen-dokumen ini menginginkanku membacanya secara

berurutan. Kenapa? Alasannya kutemukan di lembaran yang terakhir, sebelum dokumen-

dokumen terjilid. Begini bunyinya :

Disarankan untuk membaca lembar-lembar ilmu ini secara berurutan. Dimulai dari tulisan

tentang kerajaan-kerajaan lama yang ada di wilayah yang kini lazim disebut Hindia, terutama

Page 109: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 109

masa-masa kejayaannya. Kenapa bicara tentang kejayaan dulu, karena kami ingin mengatakan

padamu bahwa orang-orang kita pernah sangat berjaya. Kita telah memiliki jung Jawa jauh sebelum

bangsa-bangsa Eropa mengenal kapal-kapal perang yang mampu mengangkut begitu banyak

tentara. Kita telah memiliki hubungan baik dengan negara-negara jauh. Bahkan kita juga memiliki

pusat-pusat budaya dan tempat belajar yang menjadi tujuan para empu dan pelajar dari negeri-

negeri seberang. Namun jika mencermati kondisi yang sekarang, betapa jauh terbaliknya. Ada apa?

Karena pada masa itu, kita adalah orang-orang yang bangga pada dirinya. Sedang pada

masa keberadaan bangsa Eropa di HIndia, mereka melakukan segala cara untuk mematahkan

kebanggaan diri dalam jiwa kita, kemudian menggantinya dengan kebanggaan pada Eropa.

Kembali pada bangga diri itu dalam jiwa kita, apalah artinya puluhan tahun terkubur

dalam bayang-bayang Eropa dibandingkan dengan ratusan tahun kejayaan yang pernah

ditorehkan para leluhur kita pada masa sebelumnya? Akhirnya semua kembali pada kita, apakah

kita mau mencoba memberi diri kita rasa bangga dan kepercayaan atas kemampuan sendiri.

Tentang jung Jawa dan hubungan baik dengan negeri-negeri jauh, kita banyak

melakukannya dengan kapal-kapal laut kita. Apa jadinya jika sekarang kerajaan-kerajaan dan

para penguasa kehilangan kuasa atas armada lautnya? Hanya semakin tenggelam dan saling

berebut barang yang sedikit yang tersisa di daratan. Semakin tenggelam dan seolah lupa ingatan

akan begitu banyak hal yang ada di negeri asing yang menunggu untuk dijelajahi. Dan siapakah

yang melakukannya pada kita? Eropa, yang sekarang menjadi tuan di tanah kita.

Tulisan berikutnya tentang pengasuhan anak di berbagai belahan dunia. Untuk apa?

Supaya kita bisa memperbandingkan cara-cara tersebut dan mengambil yang paling cocok untuk

anak-anak kita.

Mengenai alasan mengapa kita malah menuntut Sri Ratu untuk menitahkan pada

Gubernur Jenderal di Hindia menyerahkan sebagian keuntungannya untuk memberi didikan bagi

bumiputera adalah permasalahan biaya. Kita belum punya cukup uang untuk mendirikan sekolah-

sekolah kita sendiri. Memang yang paling tahu yang dibutuhkan oleh anak-anak bangsa kita adalah

kita sendiri. Namun apa daya, permasalahan biaya membuat kita memanfaatkan mereka untuk

membantu kita. Dengan imbalan, kesediaan rakyat kita sepenuhnya membela kerajaan Holland

dari ancaman pendudukan Prancis dan Inggris yang mengincar Hindia dari daftar koloni Holland.

Dan alasan paling dasar kenapa pendidikan yang baik yang paling awal dikejar adalah

karena pendidikan adalah dasar dari kehidupan. Orang yang terdidik adalah orang pintar, yaitu

orang yang mampu melihat potensi dari sekitarnya dan mengolahnya dengan cara yang sebaik-

baiknya demi dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Sedang hubungannya dnegan bangga diri

adalah bahwa rasa bangga diri akan membuat si orang pintar mengembangkan diri secara

maksimal dan mencetak lagi kejayaan. Itulah harapan kita bersama pada masa depan.

Page 110: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 110

Kemudian regenerasi. Alasan kami menyembunyikan sejumlah orang untuk belajar baik-

baik adalah supaya tetap ada yang menggantikan tugas kami jika sesuatu hal membuat kami tak

mampu melanjutkan pergerakan ini. Menghilang untuk belajar bukan pengecut. Orang-orang yang

seperti ini hanyalah sedang menunggu waktu yang tepat untuk muncul.

Setelah catatan pendek ini, akan kau temukan dokumen-dokumen tentang pergerakan

kita. Semuanya, selengkapnya. Kami selalu percaya, siapapun yang dipilih sebagai generasi

berikutnya, adalah orang-orang hebat yang terpilih.

Leiden, pertengahan tahun 18xx

Page 111: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 111

Kami punya mimpi bersekolah dimanapun,

Tak ada yang akan katakan “hanya anak-anak Eropa yang boleh

mendaftar”.

Kami punya mimpi, jika kami miskin,

Ada yang bersedia membiayai

Kami juga punya mimpi, bahwa suatu saat nanti,

kami dan Eropa adalah setara

Page 112: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 112

BAB VI

LARASATI

Hari ini, tepat seminggu sebelum perundingan dilangsungkan. Yang tampak di wajah

setiap orang hanya kesibukan dan persiapan yang tak kunjung habisnya. Tak ada yang diam,

apalagi berpangku tangan. Dan aku, kau tahu yang kulakukan? Aku sedang menunggu

kedatangan beberapa wanita, Nyonya Eropa-Jawa, untuk berkumpul dalam satu pertemuan dan

berbincang. Untuk memberi pada mereka pemahaman dan meminta dari mereka dukungan.

Wanita yang kusebut Eropa-Jawa itu, karena mereka bersuamikan Eropa. Namun ada

juga yang peranakan. Sebenarnya pertemuan ini hanya untuk para wanita yang pertama. Namun

entah darimana mereka tahu adanya pertemuan ini, para nyonya peranakan ini menemui kami

dan meninta diundang secara resmi.

Sekarang, pertemuan para nyonya ini sedang berlangsung. Kaku pada awalnya, tapi

setelah menemukan beberapa persamaan antara satu dengan lain, suasana mencair. Mereka

saling berbagi cerita. Akan kukisahkan lagi beberapa di antaranya.

Wanita yang pertama bernama Saripah. Namun pria yang menjadi ayah dari anak-

anaknya selalu memanggilnya Maria. Bagaimana bisa? Pria itu merasa Saripah adalah cahaya

dalam hidupnya, seperti Bunda Maria bagi Yesus, dengan kelebihan dan kekurangannya.

Maka si pria ajarkan padanya segala ilmu pengetahuan Eropa, sehingga Ipah bisa

mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kesabaran Ipah, ketaatannya pada suami,

kerelaannya untuk hidup dalam situasi apapun yang sedang dijalani dalam hidup mereka, itulah

mengapa si pria menganggapnya cahaya. Meski gereja tak pernah mengukuhkan hubungan

mereka.

Terlepas dari kenyataan awal pertemuan mereka, bahwa Maria hanyalah perempuan

yang dihadiahkan seorang Bupati pada si pria Eropa atas jasanya menyelesaikan suatu perkara.

Para wanita ini menyimak dengan seksama ketika Maria menuturkan kisahnya.

Terutama saat Maria menuturkan kebaikan si pria membelikan tanah perkebunan atas namanya.

Tampaknya si pria menghargai Saripah seperti menyikapi para wanita Eropa.

Page 113: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 113

Satu dari para Nyonya menyeletuk, “Meskipun ia tak menikahimu?”

Ucap Maria menutup kisahnya, “Ya, meskipun ia tak menikahiku. Asalkan anak-anakku

tumbuh baik dan bahagia, tak ada yang lebih menggembirakan daripada itu.”

Ini kisah dari wanita kedua :

Kakekku selalu mengatakan kalau leluhur kami datang dari tempat yang tak pernah

mengenal salju, nun jauh di sana. Dari generasi ke generasi cerita ini diwariskan, sampai

sekarang. Dan baru belakangan ini kami tahu dimana sebenarnya tempat itu, di pulau bernama

Jawa di benua Asia sebelah tenggara.

Artinya, jauh sebelum bangsa Eropa menemukan Asia Tenggara dan mengumumkan

penemuannya di Eropa pertama kali, leluhur kami yang pengembara telah sampai dan menetap di

negeri ini. Dan bagaimana ceritanya kami tiba di sini? Begini runutannya.

Para leluhur kami yang pengembara, menumpang kapal dengan menjadi awaknya,

kemudian mengikuti kapal itu menjelajah tempat-tempat terjauh yang baru dijangkau para

pedagang saja. Dari tempat-tempat di belahan dunia timur, sampai di Konstantinopel. Pada masa

itu, para pedagang dari dunia barat dan dunia timur masih bebas bertemu di pelabuhan

Konstantinopel, bebas bertukar dagangan untuk dibawa pulang.

Para leluhur kami memutuskan tinggal beberapa lama, sebelum menjadi awak sebuah

kapal Holland dengan perjanjian yang unik : jika mereka diperbolehkan bekerja di kapal, mereka

akan bercerita tentang suatu negeri dimana rempah-rempah yang sulit didapat di Eropa dijual

murah. Dan sampailah leluhur kami di tanah ini.

Entah apa sebab sebetulnya si pengembara memutuskan untuk tinggal, tapi itulah awal

dari keberadaan saya di negeri ini. Waktu terus bergulir, banyak perubahan yang terjadi. Salah

satunya adalah bahwa para saudara dari leluhur kami sudah tidak menjadi tuan lagi di tanahnya

sendiri. Dan yang melakukannya adalah orang yang di negeri ini menjadi kawan dan saudara

bagi kami. Sedih sekali rasanya.

Kedatanganku kemari untuk menyampaikan kalau kami tak pernah lupa darah mana

yang mengalir dalam nadi, meski kini sudah banyak bercampur dengan darah penduduk asli

negeri ini. Dan walau pertemuan ini tak bertujuan politis, kami nyatakan siap mendukung

keinginan besar para saudara sedarah kami orang-orang Jawa.

Sebenarnya, salah satu tujuan jangka panjang dari pertemuan-pertemuan semacam ini

memang mengumpulkan dukungan yang demikian. Mengingatkan mereka pada keadaan di luar

Page 114: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 114

kehidupan Eropa yang mereka jalani, tentang kondisi saudara sebangsa mereka di luar sana.

Berarti, tujuan itu tercapai beberapa tahap lebih cepat dari rencana.

Dan dari wanita ketiga, begini ceritanya :

Sejak kecil, Mama selalu bernyanyi untukku. Saat aku sulit tidur, saat aku menangis,

pada saat apapun yang sulit, lagu yang dinyanyikan Mama selalu bisa membuatku tenang. Tapi

namanya juga anak-anak, aku tidak tertarik tahu lebih dalam. Namun seiring berjalannya waktu,

aku menyadari bahwa yang dinyanyikan Mama tak pernah diajarkan oleh guru-guru di sekolah.

Dan ketika kutanyakan pada Mama, beliau bilang hanya itu yang beliau tahu.

“Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?”

“Aku tidak pernah dengar yang seperti itu di sekolah, Ma. Itu lagu apa?”

Baru kemudian beliau katakan itu tetembangan Jawa. Beliau mempelajarinya saat masih

di Jawa, bersama kelompok seninya. Tampil dari desa ke desa.

Oh, saat itulah aku tahu kalau orang-orang Jawa meyebutnya tembang.

Mama juga sering melantunkannya saat kami tidur berempat, Aku, Papa, Mama, dan

kakakku. Aku punya catatan semua tembang itu, dan diam-diam melantunkannya saat sendu.

Tenang sekali rasanya.

Kadang saat menatap mama menyanyi, kulihat pandangnya menerawang.

“Apa yang menurutmu sedang dipikirkannya?” seseorang menyeletuk

“Kurasa Mama rindu dengan tanah kelahirannya, meski Mama tak pernah katakan.”

“Apa kau pernah menanyakannya?”

“Pernah, beberapa kali. Namun Mama selalu bilang, tanah kelahiran Mama hanya masa

lalu. Dan rumah Mama sekarang adalah di sini, bersama Papa dan kami anak-anaknya.” Wanita

itu tersenyum.

“Dan?” seseorang yang lain menyeletuk lagi.

“Aku ingin mengenang Mama dengan yang menikmati hal yang sangat beliau cintai,

tetembangan itu. Adakah yang bisa membantuku?”

Berbagai obrolan dan cerita lain berlanjut. Hingga hari beranjak sore dan para wanita itu

bersiap pulang.

Seorang nyonya berkata begini waktu berpamitan, “Aku tidak menyesal bersikeras pada

suamiku untuk datang kemari. Pertemuan ini sangat menyenangkan. Tolong jangan lupa

Page 115: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 115

mengabariku jika akan diadakan lagi. Terima kasih telah mengadakannya untuk kami, untuk

wadah berbincang sesama kaum perempuan.”

Aku mengangguk, dan katanya, “Sama-sama Nyonya. Saya senang pertemuan kecil

macam ini menyenangkan bagi semua yang datang.”

Nyonya itu menggenggam tanganku erat mengguncangnya beberapa kali sebelum

melepasnya. Para wanita ini saling bersalaman, berciuman pipi atau berpelukan kemudian

pulang.

Malamnya, ketika mengulang kisah para wanita itu pada Haryo, barulah aku berani

berkomentar.

“Menurutku seharusnya Saripah tetap meminta pria itu menikahinya, meski ia merasa

sudah cukup bahagia dengan keadaan rumah tangganya yang sekarang. Banyak yang dapat

terjadi dalam sekejap mata. Apa tak pernah terlintas dalam benak mereka bahwa si pria mati

muda? Lalu apa yang akan terjadi dengan dia dan anak-anaknya?”

Entah apa yang terbetik di benaknya ketika tiba-tiba berkata, “Apa kau pikir menikah

akan menyelesaikan segala masalah dengan membawa akhir yang berbeda?”

“Tentu saja! Dengan menikah, dia masih akan berhak mendapatkan perlindungan

hukum sepeninggal suaminya!”

Haryo menggeleng. “Hukum akan melindunginya jika lawannya adalah sesama Hindia.

Tapi jangan berharap hal yang sama jika melawan orang Eropa. Apalagi di sini, posisi yang

nyata adalah kita lah yang menumpang di tanah mereka.”

Ucapannya membuatku sadar.

“Lalu apa yang harus kita lakukan?”

“Memberi dukungan sepenuhnya, dan tempat tinggal. Di Neve mungkin, atau di tempat-

tempat kita yang lain.”

Keningku berkerut. Sepertinya perhatianku sedikit teralihkan.

“Apa maksudnya „tempat kita yang lain‟?”

“Kita akan punya banyak tempat seperti Neve di negeri ini. Sehingga kita bisa

membangun kehidupan kita dan saudara-saudara kita dengan lebih baik.”

Aku mengerti sekarang.

“Sempurna!”

Page 116: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 116

Kulanjutkan dengan kisah wanita yang kedua dan ketiga. Saat usai, dia menoleh padaku

yang duduk bersebelahan dengannya.

“Kau tahu yang lagi-lagi kita abaikan sampai hari ini?”

Aku menyandar, melepas beban yang memberati pundakku. Namun aku mengangguk.

“Jika yang kita perjuangkan ini berhasil, kita masih harus membangun semuanya

kembali. Merencanakan ajaran untuk sekolah-sekolah yang baru. Apa pekerjaan kita akan pernah

ada akhirnya?”

“Sepertinya tidak. Aku juga masih melatih tari, Yo, meskipun belum bisa seintens

dulu.”

Kami saling melempar senyum.

Sejujurnya, aku tak tahu secara detail yang direncanakan para pemimpin kami setelah

perundingan nanti. Aku hanya tahu kalau sekolah-sekolah itu benar-benar dibangun, akan ada

pelajaran seni. Dan yang mengajar haruslah orang-orang bumiputera, sebab yang diinginkan

tentang pelajaran seni ini ialah pengajaran terhadap anak-anak kami tentang seni dan budaya

yang berkembang di kalangan bumiputera Hindia.

Dan untuk anak-anak kami yang tinggal di negeri ini, Holland, yang mungkin tidak

akan didirikan sekolah khusus putera Hindia namun lebih pada diperbolehkan belajar di sekolah

umum saja, kami harus dirikan sekolah khusus seni untuk melengkapi pengajaran yang diberikan

di sekolah umum.

Mungkin kau bertanya, kenapa harus seni? Apa lebihnya seni dibanding lainnya

sehingga harus diajarkan pada semua bumiputera? Karena seni ada sebagai pengasah kepekaan

jiwa akan keindahan, segala jenis keindahan yang ada di alam raya, yang dianugerahkan Yang

Maha Pencipta pada manusia. Ibarat kepingan mata uang, jika pengetahuan adalah sisi kanan

maka pemahaman akan seni adalah sisi kiri. Sesuatu yang menggenapkan menjadi kepingan.

Karena sebagian dari seni hadir sebagai jiwa peradaban. Dengan demikian, bagaimana mungkin

seni tak diajarkan?

Dan tari serta tetembangan, adalah bagian seni yang kumengerti. Setidaknya, dua ini

yang akan kuupayakan untuk diajarkan. Akan kugarap dengan Haryo nanti.

Yang lain lagi dalam pikiranku, aku mau lebih banyak lagi waktu bagi para wanita

untuk berkumpul, berbincang tentang keluarga dan kehidupan wanita. Ah satu lagi! Aku mau

segera dibangun Neve-Neve lain di tempat manapun bumiputera Hindia berada.

Page 117: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 117

Beberapa hari setelah perundingan itu berakhir, saat sedang kusiapkan makan malam,

Haryo pulang lebih awal. Ia membantuku meracik bahan, memasak juga, sampai

menghidangkannya juga.

“Ras, aku datang untuk memenuhi janjiku.”

“Yang mana?” Aku masih tak mengerti.

“Menjelaskan yang kulakukan selama ini. Apa kau masih ingin tahu yang terjadi saat

kami dan mereka bertemu?”

“Terserah saja. kau pasti sudah tak betah menahan lidah.”

Dia tertawa.

“Sebenarnya iya. Tapi karena ini tak boleh diceritakan sembarangan, kau harus berjanji

dulu takkan menceritakannya pada orang lain lagi.”

Kuberi persetujuan dengan menempelkan telunjukku di bibir.

“Kau tahu Laras, di malam terakhir kita bicara, yang aku sama sekali tak berminat

bicara tentang diriku? Aku sedang sangat pusing saat itu. Beberapa kawan yang memegang peran

penting menghilang tiba-tiba. Dan satu orang yang menduduki posisi penting terbunuh di

kediamannya. Apa kau masih bisa berfikir jernih jika kejadiannya seperti itu?”

Tak kutanggapi. Kusibukkan diri dengan menyendokkan nasi dan lauk ke piring kami

masing-masing.

“Kau bisa bayangkan yang kurasakan waktu itu? Kalut! Tulang-tulangku serasa dilolosi,

kepalaku serasa hampir meledak. Otakku seakan mati suri. Malam itu, dengan memendam

ketegangan dalam-dalam, masalah-masalah yang ada berusaha diselesaikan.”

“Lalu?”

“Lalu masalah berhasil diselesaikan. Jangan tanya bagaimana prosesnya. Semua terjadi

terlalu cepat, sampai tak tahu bagaimana hari kemarin bisa berlalu.”

Aku menikmati ceritanya sebagai pengiring santap malam. Haryo sendiri begitu sibuk

dengan ceritanya sampai makanan di piringnya tak tersentuh. Hanya diaduk sesekali, lalu

sendoknya diletakkan lagi.

“Apa kau bosan?”

Page 118: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 118

“Tidak. Aku hanya merasa belum perlu bicara. Tapi kurasa lebih baik kita makan dulu,

baru kau lanjutkan ceritamu.”

Dia mengangguk. Makan malam ini tak lama. Hanya seperempat jam kukira, dan genap

tiga perempat jam sampai meja dirapikan. Serta lima belas menit tambahan untuk menyiapkan

kopi, teman setia para manusia yang mencintai malam. Acara berbagi kisah akan dimulai

sekarang.

“Hari itu di gedung Oranje jam 8 pagi, dengan pihak kerajaan sudah menunggu di

dalam, kami dipersilahkan masuk. Pihak kita ditempatkan di sisi kiri dan pihak kerajaan di sisi

kanan, mengelilingi meja bundar. Namun masih ada deret bangku kosong. Aku penasaran, siapa

yang belum hadir.

Berselang seperempat jam, rombongan yang satu lagi tiba. Pembawa acara

memperkenalkan mereka sebagai rombongan perwakilan Gubernur Jenderal Hindia, lalu

mempersilahkan mereka duduk di deret bangku yang kosong itu. Tak kuduga mereka benar-

benar bakal datang sekarang. Pantas saja pengamanannya ekstra ketat. Lihat saja berapa banyak

pria tegap berdiri di sisi pintu. Belum terhitung yang menjaga di gerbang, atau tempat-tempat

lainnya.

Berikutnya penyampaian pandangan umum dari wakil kerajaan terhadap tuntutan kita.

Kata si juru bicara, “Para hadirin sekalian, keinginan terbesar wali negeri Holland adalah

mengayomi seluruh rakyatnya dimanapun mereka berada. Kami menginginkan yang terbaik

untuk rakyat. Dan dengan tujuan itu, Sri Ratu mengutus orang kepercayaannya menjadi

Gubernur Jenderal di tanah Hindia.

Mengenai keinginan Anda sekalian agar didirikan sekolah-sekolah untuk bumiputera

Hindia, pihak kerajaan tidak berkeberatan. Namun yang jadi pertanyaan, benarkah hal tersebut

yang paling dibutuhkan oleh rakyat Anda saat ini? Apalagi jika pada faktanya yang mengajukan

tuntutan tersebut adalah rakyat Hindia yang sudah lama tinggal di Holland. Tidakkah yang

mungkin Anda sekalian tuntutkan sekarang bukan lagi hal yang paling penting bagi rakyat Anda

di Hindia? Kami minta diberikan penjelasan atas hal ini.”

Lelaki itu menyudahi pengantarnya, kemudian duduk setelah memberi hormat ke

beberapa orang yang ia anggap penting dalam ruangan ini.

Page 119: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 119

Kurang ajar sekali dia! Dia membalikkan semua logika. Mana mungkin protes saudara-

saudara kami di Hindia bisa terdengar sampai ke telinga mereka kalau perwakilan Gubernur

Hindia itu menyensornya lebih dulu! Aku teringat kembali isi surat kami.

.... kami rakyat Hindia mengajukan :

1. Mendirikan sekolah-sekolah yang bisa dimasuki semua bumiputera di Hindia, termasuk

sekolah menengah dan sekolah tinggi

2. Memberi kesempatan kepada bumiputera untuk mendapatkan bantuan biaya dan hak

belajar di Holland

3. Memberikan hak belajar di sekolah umumpada bumiputera Hindia yang tinggal di

Holland

untuk dipenuhi. .....

Amsterdam, 15 Oktober 18xx

Atas nama Perwakilan Himpunan Rakyat Hindia di Holland

Sasmito Adiputro

Moderator pertemuan bicara lagi. Katanya, “Pada Wakil Gubernur Jenderal Hindia,

silahkan menyampaikan pandangan.”

Si Wakil Gubernur memperkenalkan diri sebagai Herman Slejmeijer. Katanya,

“Merupakan suatu kehormatan bagi saya dapat mewakili Tuan Gubernur Jenderal dalam

pertemuan kali ini. Segenap hormat kami sampaikan pada Sri Ratu yang mulia, para wakilnya,

serta wakil rakyat Hindia yang hadir pagi ini.

Pada hakikatnya, Tuan Gubernur dan para pejabat yang ada dalam pimpinan beliau

menganut prinsip yang sama dengan Sri Ratu, bahwa pemerintah adalah pengayom bagi rakyat.

Meskipun kami terkejut dengan tuntutan tersebut, kami menyambutnya dengan tangan terbuka.

Malah kami berfikir adanya tuntutan tersebut adalah demi perbaikan kerja pemerintah.

Namun sebelumnya, kami menginginkan penjelasan rinci mengenai hal tersebut,

sehingga bisa segera ditindaklanjuti. Terakhir kami sampaikan, kami ada di sini mewakili Tuan

Page 120: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 120

Gubernur sehingg segala keputusan yang kami ambil pada pertemuan ini akan diamini oleh

beliau. Demikian. Terima kasih.”

Berikutnya giliran kita yang bicara, memberi penjelasan seperti yang mereka minta.

Sasmito yang jelaskan bahwa kami menginginkan sekolah-sekolah yang bisa dimasuki semua

masyarakat Hindia.

„Ini mengacu pada fakta bahwasanya pendidikan yang cukup adalah cara utama bagi

rakyat untuk menyeimbangkan pengetahuan dan gagasannya. Sehingga mereka tidak menjadi

orang yang mudah menyerah, tapi menjadi orang yang punya beragam pemikiran untuk

menyelesaikan perkara. Karena pengetahuan terkait erat dengan kesejahteraan.

Sedikit menyinggung penerapan ketentuan pemerintah Hindia tentang penanaman

tanaman wajib yang lebih dari batas kewajaran. Sehingga si pemilik tanah tidak punya cukup

waktu dan lahan untuk kebutuhan diri dan keluarganya sendiri.

Lalu darimana kami yang sudah lama tinggal di negeri ini tahu bahwa pendidikan

adalah kebutuhan paling urgent bagi masyarakat Hindia?

Pendidikan yang baik sebenarnya bisa didapatkan dari lingkungan sekitarnya. Namun

pendidikan lewat sekolah umum tak kalah penting, sebab pengalaman yang didapat di

lingkungan akan ditelaah tiap sisinya lebih dalam di sekolah. Dengan sebuah harapan bahwa

praktik tidak hanya akan jadi sekedar praktik, tapi dengan diperdalam di sekolah maka akan

lebih mampu memberdayakan lingkungan.

Sekolah umum adalah penghubung antara pengalaman pribadi dengan ajaran sekolah.

Satu lagi, pendidikan dari lingkungan itu kurang tertata – dalam artian mana yang ditemui lebih

dulu di masyarakat maka itu yang akan dipelajari lebih dulu – sedangkan pendidikan di sekolah

umum, pengajarannya lebih tertata. Meski didikan dari lingkungan itu terjadi alamiah.

Tentang betapa pentingnya pendidikan Anda bisa lihat sendiri seperti apa

diperjuangkannya pendidikan bagi penduduk negeri ini.

Sasmito menyatakan keyakinannya bahwa pemerintah akan mengabulkan yang kita

minta. Tidak akan mangkir, meski kami bukan orang yang punya kuasa untuk menuntut jika

mereka mangkir. Kami hanya punya rencana lain.

Dan ternyata mereka merestui keinginan kita : akan ada banyak sekolah yang didirikan

untuk bumiputera Hindia. Namun untuk teknisnya, mereka masih meminta gambaran rencana

Page 121: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 121

kita tentang ancangan biaya yang dibutuhkan, pengajar-pengajarnya, ajarannya, serta jumlah

sekolah yang riil diminta.

Pertemuan berlangsung alot lagi ketika membahas poin ketiga, tentang izin belajar

bumiputera Hindia di sekolah umum Holland. Akhirnya disetujui juga, meski ketentuan-

ketentuan lain akan diatur oleh masing-masing sekolah. Dan di pembahasan akhir, mereka bilang

akan dirikan 50 sekolah dulu dan akan ditambah sesuai situasinya nanti.

Andai saja mereka masih mempersulit persetujuannya dengan alasan kas pemerintah

Hindia, kami akan bilang kenapa kerajaan tidak turut membantu jika memang pemerintah Hindia

kesulitan. Bukankah sebagian besar hasil pajak rakyat Hindia disetor dalam kas kerajaan

Holland? Apa karena sedang ada ancaman dari negara tetangga sehingga kerajaan jadi sangat irit

untuk keluar uang? Eropa yang sedang demam perang memang menyusahkan.

Ya benar yang dikatakan si Herman Slejmijer itu. Dia bertanya tentang biaya,

pengajara, ajaran-ajarannya. Pikirannya pasti melayang pada wujud sekolah itu yang senyatanya.

Yang kami minta tentang pengajarnya, mungkin separuh guru pribumi dibantu separuh

guru Eropa. Dengan berbagai pertimbangan. Tentang ajaran dan bahan ajarnya disamakan dulu

dengan sekolah umum. Meski tetap ada yang berbeda. Mereka juga mengingatkan kita bahwa

bantuan ini tak mungkin akan berlaku selamanya.

Yah, pokoknya semua jenjang sekolah seperti yang ada di Eropa, perlahan namun pasti

harus juga dibangun di Hindia. Sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah tinggi.

Dan untuk memantau pelaksanaannya, laporan ringkasnya akan dimuatkan di surat

kabar berskala nasional negeri ini. Sedang lengkapnya diberikan langsung pada pihak yang

terkait. Dibuatnya pertiga bulan sekali, dengan ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati.

“Ya begitulah Laras, yang terjadi kemarin.”

Haryo memberitahuku ini tak lama setelah hari itu. Tenaga kami dibagi dua, sebagian

menindaklanjuti hasil perjanjian itu di Hindia sekaligus mengurus aturan resmi yang akan

melandasi pembangunan sekolah-sekolah itu di Hindia, sebagian menindaklanjuti yang ada di

negeri ini. Kami juga berusaha memberitahu para penguasa pribumi maupun Eropa meski Wakil

Gubernur Jenderal sudah menyanggupi menyampaikan pada para pejabat pemerintahan

seluruhnya.

Page 122: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 122

Kami mengingatkan mereka agar hasil perundingan ini dicatat di staatblad Holland

serta staatblad Hindia. Orang-orang pemerintahan sudah cukup mengingat dengan staatblad itu.

Mereka tahu cara membacanya. Namun untuk rakyat kebanyakan, kawan-kawan berinisiatif

menterjemahkan dan mengumumkannya secara resmi pada rakyat setelah mendapatkan ijin edar

dari pemerintah.

Waktu terus berjalan, sedikit demi sedikit perbaikan mulai tampak nyata di depan mata.

Para bumiputera mulai terdaftar namanya di sekolah-sekolah umum Holland. Terlepas dari tiap

sekolah memiliki persyaratan tersendiri untuk menerima murid barunya, terlepas dari sikap para

murid lainnya pada kami.

Mereka mengajari kita tentang Holland, tentang bagaimana mengagumi Holland.

Mereka mengajari murid-muridnya untuk membanggakan ke-Holland-annya. Semua murid tanpa

kecuali. Sedangkan kami – kita – adalah Hindia.

Kita dan mereka berbeda. Mungkin itulah sebab selalu terasa ada yang kurang meski

sudah kita cecap yang mereka cecap juga. Kami dirikan sekolah yang mengajari bagaimana

membanggakan diri kami sebagai Jawa dan Hindia. Satu sekolah yang mengenalkan paa

bumiputera pada budaya dan keluhuran para pendahulunya.

Dan aku memilih berpartisipasi mengelola sekolah budaya itu. Sebagai pengajar tari,

yang memberi pengertian tentang luhur dan dalamnya makna tiap gerak yang dicipta dalam

tarian Jawa terutama. Tarian yang merupakan jiwa kami yang sesungguhnya.

Aku hanya tinggal berdoa semoga masa depan berjalan semulus yang kami rencanakan.

Kalau ada rintangan pun, haruslah yang bisa kami selesaikan.

Kawanku Ana, salah seorang di antara para wanita yang pernah datang ke pertemuan

wanita Hindia yang kuadakan, akan menikah. Dia mengundang kami untuk turut menyaksikan.

Tentu saja aku senang, dan tanpa dia sendiri yang menyampaikan undangan itu pun akan

kuusahakan untuk datang. Apalagi kalau sampai ia sempatkan untuk mengantarnya sendiri. Tapi,

keinginan itu memudar langsung padam saat kulihat nama pria Eropa tertulis sebagai pengantin

prianya.

Page 123: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 123

Sepertinya ia mampu melihat keberatan di mataku. Segurat senyum paling manis

tampak di bibirnya, digenggamnya tanganku.

“Kalau kau memang tak ingin datang hari itu, aku takkan memaksa, Laras. Aku tahu

bagaimana perasaanmu berada di tengah-tengah mereka. Tapi tolong datanglah ke pesta kecil

yang kuadakan dua hari sebelumnya. Pesta itu kuadakan khusus untuk memperkenalkan calon

suamiku dengan kawan-kawan kita. Tolonglah. Tempatnya di alamat yang sama dengan yang

tertera di undangan itu.”

Saat belum kuberikan kepastian, katanya lagi, “Aku tak pernah meminta sesuatu dengan

sangat untuk kau lakukan kan, Laras? Untuk yang ini saja, kumohon datanglah.”

Anggukanku membuatnya tersenyum. Lalu ia pergi denngan hati senang.

Yah, bagaimana mungkin aku tak datang. Dia sudah melakukan banyak untuk

mempermudah orang kami menembus aturan sekolah-sekolah Eropa, membuat kami bisa belajar

nyaman di dalamnya.

Dua hari sebelum pernikahannya, aku datang diantar kereta sewaan salah satu penduduk

Neve. Dan betul yang dia katakan, hanya kawan-kawan kami yang diundang. Orang-orang yang

semuanya kutahu. Dikenalkannya aku langsung pada calon suaminya.

“Kenalkan Laras, dia calon suamiku.”

Lanjutnya, “Kau akan tertawa jika kukatakan dia berusaha mendapatkanku habis-

habisan. Dia yang jatuh hati lebih dulu, karena aku termasuk sedikit orang yang tak terpana

dengan pesonanya. Dia berkali-kali datang ke rumah, hingga orang tuaku merasa tak enak dan

memaksaku menemuinya. Dan beginilah jadinya. Kau harus merasakannya juga suatu hari nanti.

Betul kan Nika?”

Ana memandang calon suaminya mesra. Pria itu tersenyum, mengangguk. Sedang aku

tak bisa mengatakan apa-apa. Namun pikiranku melayang, pada seseorang yang pernah sangat

kuinginkan. Menanyai lagi hatiku apakah masih ingin memperjuangkanmu, coba menemuimu.

Atau menyerah pada pria lain yang memujaku. Yang peduli dan selalu bersamaku.

Pikiran-pikiran itu membawaku mendudukkan Haryo bersamaku setelah makan pada

malamnya.

“Aku perlu bicara hal penting denganmu. Bisakah?”

“Tentu. Katakan saja.”

Page 124: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 124

Dia mengangguk, meskipun bisa kulihat „Ada apa ini? Tidak biasanya‟ terpancar dari

raut wajah dan sorot matanya.

“Aku bertanya-tanya apakah hidup kita akan seperti ini seterusnya. Pada dasarnya,

setiap sesuatu diciptakan bersama pasangannya. Seharusnya kita juga.”

“Kau ingin tanyakan kenapa kita tak seperti itu?”

“Mungkin begitu.”

Kami saling pandang.

“Mungkin karena kita merasa sudah cukup dengan ini.”

Hening lagi. Aku tak mengerti yang berkecambuk di benaknya, hingga ia menyambung

ucapannya, “Sebenarnya kau ingin katakan apa?”

“Aku ingin menemuinya.”

“Siapa?”

“Pria itu, seseorang yang kucari hingga kemari.”

“Kenapa?”

“Karena hidup harus berlanjut. Aku ingin jawaban darinya sebelum meneruskan

langkah. Aku masih ingin tahu apakah dia mungkin menerimaku, meski tak yakin apa dia masih

mengingatku sekarang..”

“Lalu apa yang akan kau lakukan jika dia tak memberimu apapun?”

“Melupakannya. Akan kucari seseorang yang bisa kuraih dengan kedua belah tanganku

ini, bukan pangeran impian lagi.”

“Lakukanlah.”

Haryo hampir beranjak pergi, dia kududukkan kembali.

“Aku mengatakan ini padamu bukan tanpa maksud. Tentunya aku butuh bantuanmu.”

“Memangnya apa yang bisa dilakukan orang sepertiku?”

“Tolong bantu aku menemuinya. Minta kawan-kawanmu mencari tahu tentang dia.

Nanti aku akan menemuinya sendiri. Aku tahu ini bukan hal yang mudah tapi siapa lagi yang

bisa kumintai tolong selain kau, seseorang yang mengerti kisahku sejak awal hingga hari ini.”

Kami berpandangan.

“Akan kulakukan, asal kau mau berjaji sesuatu padaku.”

“Apa?”

Page 125: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 125

“Apapun jawaban darinya, kau harus kembali. Kau lebih dibutuhkan di sini daripada

bersamanya.”

Aku mengangguk. Apapun yang terjadi aku akan berusaha kembali. Meski dia yang

menuntun hidupku sampai hari ini, jika memang tak bisa diharapkan, tak akan ada gunanya lagi

diperjuangkan. Tak hanya satu yang harus diperjuangkan dalam hidup ini, terlalu banyak. Hanya

kedurhakaan terhadap hidup kalau umurku kusia-siakan hanya untuk bergantung pada dahan

yang rapuh.

Dia bukan pria kebanyakan, aku tahu itu. Berusaha meraihnya mungkin berarti

mempertaruhkan jiwa. Tapi, sudah sampai di sini. Aku tak mau mundur sebelum menemukan

ujung pencarianku ini.

“Kalaupun aku harus kembali untukmu, aku sama sekali tak keberatan.

Aku tahu tak ada pria yang mau berkorban begitu banyak untuk seorang wanita tanpa

dia menyimpan sesuatu di hatinya.

Aku tak terlalu tahu caranya, tapi Haryo berhasil menghubungkanku dengan seseorang

yang akan membawaku pada pria yang ingin kutemui. Untuk datang ke suatu tempat yang

mungkin takkan pernah kudatangi kecuali untuk urusan ini.

Kulihat senyum dikulum di bibir pria itu ketika melihatku datang.

“Apa dia yang kau bilang ingin menemuiku?”

“Ya Tuan.” Pria di sampingku ini mengangguk.

“Kalau begitu kau keluarlah. Biar dia bersamaku. Mari,” dituntunnya aku masuk,

“Sudah kusiapkan hidangan di dalam.”

Kawanku ini bergeming. Sepertinya masih berat meninggalkanku.

“Percayalah Tuan Griitz, nona di sampingmu ini wanita yang kuat. Dia mampu menjaga

dirinya sendiri. Bukan begitu Nona?”

Kusentuh lengannya.

“Percayalah, aku mampu menjaga diri,” kataku menenangkan.

Pria yang kucari ini, Rijkaard, mulai bicara begitu pengantarku pergi.

“Ada urusan apa menemuiku?”

Page 126: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 126

“Saya ingin bertemu Tuan.”

“Kenapa?”

“Karena Tuan telah menuntun banyak perubahan pada diri saya.”

“Aku tak merasa melakukan sesuatu pun untukmu.”

“Tuan memang tak secara langsung melakukannya. Namun saya melakukan banyak hal

karena Tuan.”

Pria itu tersenyum. Dituangnya teh kemudian diberikannnya secangkir padaku.

“Sekarang kita sudah bertemu. Keinginanmu terwujud. apalagi yang akan kau

lakukan?”

“Saya akan pergi dan tidak akan mengganggu Tuan lagi.”

Kini pria itu tertawa. Tawa geli.

“Kau wanita bertekad baja, Nona. Dan aku yakin, cerdas.” Omongannya sedikit tersela

dengan hirupan teh, “Jadi kukira kau sdah mempertimbangkan kemungkinan resikonya saat kau

berkeras ingin menemuiku. Bahwa kau tidak mungkin bisa pergi dengan begitu mudahnya.”

Hening sejenak. Ungkapan itu sempat kuperhitungkan berikutnya, namun kenyataan

kadang lebih menakutkan daripada bayangan.

“Tempat ini adalah tempat yang tidak sembarang orang boleh tahu, apalagi masuk ke

dalamnya.. Bahkan pria yang tadi mengantarmu, meskipun dia Eropa, tak bisa seenaknya pergi

setelah datang kemari. Tapi dia pria yang baik, iya kan? jadi dia hanya akan dipindah tugaskan

ke tempat yang cukup aman. Dan pilihan untukmu Nona, hanya dua, di penjara atau menghadap

Tuhan di surga.”

Benakku mendadak kosong. Aku ingin berfikir sesuatu, tapi tak ada sesuatu pun yang

bersedia mampir di benakku.

“Itu kemungkinan yang sangat buruk untuk wanita berharga sepertimu. Jangan kau kira

aku tak tahu siapa engkau, seorang wanita biasa yang menjadikan dirinya pendukung para pria

yang menginginkan perubahan dari nasib orang-orang kalian. Maka aku punya tawaran lain yang

kukira lebih adil. Tinggallah di sini bersamaku, menjadi istriku, dan membesarkan anak-anakku.

Dengan begitu kau masih hidup untuk melihat yang terjadi dengan orang-orangmu.”

Cahaya lampu ruangan ini remang. Untunglah. Semoga tak tampak terlalu jelas cangkir

yang gemetar di tanganku.

Page 127: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 127

“”Kenapa Tuan membiarkan saya hidup dengan menjadikan saya bagian dari kehidupan

Tuan?”

Pria itu menyalakan lampu utama. Benderang. Mendekat, kemudian menatapku lekat.

“Alasannya sederhana, aku tak mau hidup seorang yang berharga sepertimu tersia-sia.

Terserah. Hidup atau mati, tergantung pilihanmu sendiri.”

Kalau sudah begini, pilihan apalagi yang kupunya? Bagi seorang wanita yang benar-

benar pejuang, pantang terlibat dengan musuh. Dan aku, apa sungguh-sungguh murni pejuang?

Sepertinya tidak. Aku ini wanita biasa, yang sedang berusaha menggapai rasa yang sempat

bersemayam di hatinya.

Tapi bukankah yang terbaik adalah bersama orang-orang kita sendiri dan berjuang

bersama mereka? Tapi bukankah takdir seorang wanita adalah bersama kekasih hatinya?

Bukankah kebahagiaan paling dasar berawal dari keluarga? Bukankah posisi kita hidup di dunia

tak selamanya untuk berkorban bagi orang lain, tapi berupaya menggapai bahagianya sendiri?

Jadi apa yang harus kupilih?

Pada akhirnya ketika kebingungan itu melanda, kataku padanya, “Saya hanya seorang

wanita, Tuan pilihkan saja yang mana baiknya.”

Page 128: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 128

Tak pernah ada perang yang baik

Kehidupan yang tertata rapi di negeri kami goyah

Perang hanya kesia-siaan yang membuat orang tak bisa

membangun kehidupan

Anak terpisah dari ibunya,

Kakek dari cucunya,

Dan seorang istri harus memilih antara suami atau kawannya

Page 129: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 129

BAB VII

RIJKAARD

Akhirnya kami menikah. Dengan pesta sederhana, dihadiri kalangan dekat saja.

Pernikahan ini menjadi hari bahagia tempat orang-orang yang kukenal berkumpul dan saling

melempar tawa. Yah, pesta pernikahan yang biasa. Yang tak perlu dan tak ingin terlalu

disebarluaskan.

Kerajaan akan segera mengumumkan perintah pada seluruh warga negara pria untuk

mendatakan dirinya di kantor kementrian pertahanan. Menunggu giliran dijadikan tentara negara,

jika benar-benar pecah perseteruan Prancis-Holland. Tak peduli ras! Semua yang tinggal di

negeri ini dan memenuhi kriteria harus mendaftar, atau dipaksa mendaftar.

Sepertinya tetangga saya itu bermaksud memaksakan kehendak. Belum ada gerak

menyerang memang, tapi tentara-tentara mereka sudah mulai mengumpul di perbatasan. Tidak

hanya di perbatasan dekat Holland, namun juga di titik strategis yang dekat dengan perbatasan

Jerman.

Sempat terfikir tentang betapa cerdasnya pendiri negara yang membangun sentral tidak

di satu tempat saja, kemudian menempatkannya dekat laut. Dengan begitu, para orang serakah

tidak akan bisa dengan mudahnya menaklukkan tanah ini. Apalagi kami juga punya Oostindische

Compagnie dan Westindische Compagnie. Bertambah besar saja minat mereka menguasai tanah

air saya ini?

Perasaan saya mengatakan keadaan akan makin kacau. Dan kekacauan yang

terbayangkan besar menyedot perhatian hampir semua orang, entah rakyat kebanyakan atau

kalangan kami yang memang khusus ditugaskan. Saya jadi jarang pulang, dan Larasati istri jadi

sering di rumah sendirian.

Saya sedang sibuk di kantor ketika suatu hari Pitt menghampiri dan membawa saya

keluar. Dia perlakukan saya seolah sesuatu yang rapuh.

“Ada apa? Katakanlah.”

Raut ragunya membuat perasaan saya tak enak.

Page 130: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 130

“Tak apa, katakan saja.”

“Kepala rumah tanggamu baru saja datang. Dia menitipkan kabar.” Sebentar dia

terdiam, kemudian lanjutnya, “Istrimu hilang sejak semalam. Pengurus rumahmu sudah

mencarinya kemana-mana tapi tidak ada.”

Genggaman tangan saya mengeras. Baru sebulan pernikahan, dan satu minggu sejak

saya tak bisa pulang, dia sudah menghilang. Janji suci macam apa itu. Apa dia tak mengerti

maknanya „sampai maut memisahkan‟, artinya kesetiaan pada pasangan?

“Pengurus rumahmu menemukan ini di meja rias kamar istrimu.”

Diangsurkannya lembaran kertas terlipat rapi di tangannya. Tertulis :

Teruntuk suamiku, Rijkaard Pieters

Waktu teramat singkat yang kita lalui bersama adalah kebahagiaan tiada terkira buatku.

Kesempatan yang kau berikan, yang sebelumnya selalu kukira mimpi yang tak mungkin jadi

kenyataan, telah mewujud. Namun, keadaan berubah. Aku merasa ini adalah pertanda bagi

berakhirnya saat kebersamaan kita.

Akan kujaga baik-baik tanda matamu di rahimku. Kuharap kita bisa berjumpa lagi suatu

hari nanti, setelah semua perseteruan ini berakhir.

Laras, seorang wanita yang impian tertingginya adalah di sisi pria yang ia cinta.

Pitt melempar senyum prihatin. Tangannya menepuk-nepuk pundak saya.

Disodorkannya segelas kopi pahit yang entah dia dapat dari mana. Mungkin dia berharap

kepahitan kopi ini mampu menyerap pahitnya rasa nyeri di kedalaman hati saya. Saya rasa ia

mengerti rasanya ditinggalkan.

Keadaan tak lagi kacau, kau tahu, tapi lebih dari sekedar kacau. Keadaan serba tak

terprediksi. Jumlah tentara Prancis yang begitu banyaknya di perbatasan, entah bagaimana

sedikit demi sedikit berkurang. Ahli strategi kerajaan mengatakan mereka menyusup diam-diam

Page 131: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 131

ke negara kami. Sekilas masuk akal. Tapi tidak! Bagaimana mungkin mereka menyusup masuk

bila sepanjang perbatasan Prancis-Holland dijaga tentara-tentara terbaik kami? Apa mungkin

mereka menyusup lewat Romawi sedang Romawi – setahu saya – tidak pro pada rencana

imperium Prancis?

Rakyat kami yang tinggal di dekat perbatasan, sebagian sudah diungsikan. Tempat

tinggal mereka dipakai untuk markas tentara. Sedang mereka pindah ke tempat yang

diperkirakan jauh dari jalur perang. Yang memiliki kerabat, dihimbau menumpang pada

kerabatnya saja. Dan yang tak punya, dibuatkan pemukiman-pemukiman darurat. Sebagian lagi

dititipkan di rumah warga yang mau memberi tumpangan.

Benar-benar keparat! Licik betul mereka memaksa kami tunduk tak berselang lama dari

hari ulang tahun Yang Mulia Ratu. Tentu saja kami tak banyak melawan, tenaga kami baru saja

terkuras. Mereka memanfaatkan kelengahan kami untuk menyerang.

Hingga hari ini, baru separuh rakyat perbatasan yang dipindahkan. Sedang separuh

lainnya masih kebingungan. Kebingungan apakah harus ikut pindah atau tidak. Perang takkan

mungkin terjadi di sepanjang perbatasan, hanya di daerah-daerah tertentu saja. Dan kebingungan

mereka adalah karena wilayah mereka tak dinyatakan sebagai daerah rawan perang, sedang ahli

strategi kerajaan pun tak bisa yakin sepenuhnya daerah itu tak dibidik musuh sebagai area

perang.

Kepala para menteri pasti sedang berdenyut-denyut sekarang. Menteri pertahanan

pusing memikirkan penyiapan tentara, memindahkannya dari markas pertahanan satu ke markas

yang lainnya, merekrut tentara tambahan, memikirkan strategi perang. Belum lagi

memperhatikan penjagaan kerabat kerajaan. Meski hanya memberi perintah, kementrian

pertahanan tetap saja tonggak negara saat suasana perang. Kebijakannya lah yang menentukan

negeri ini masih tetap berdiri atau tidak di masa berikutnya. Juga karena ia lah yang menjaga

keselamatan Yang Mulia Ratu.

Mentri urusan pangan bingung bagaimana caranya produksi pangan tetap mencukupi

atau malah berlebih agar ada cadangan untuk waktu-waktu mendatang, sedang para petani

banyak dipindahkan ke pengungsian. Sulit sekali memikirkan caranya rakyat tetap bisa makan

kenyang sedang ada uangpun tak ada pangan yang bisa dibeli.

Menteri perdagangan kami juga pening, bagaimana barang kiriman dari daerah-daerah

koloni bisa tiba tepat waktu jika di perairan-perairan Eropa jika sedang bertebaran pasukan

Page 132: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 132

bersenjata yang siap mencegat kapal yang dicurigai. Kemudian diperiksa entah berapa lama.

Belum lagi bila ditembak di laut lepas, lalu plas! Karam sudah. Kalau begini, apakah berdagang

masih terlihat menguntungkan serta mendatangkan banyak uang? Tentu saja tidak. Dan lagi,

dengan harga berapa orang-orang mampu beli barang kami padahal tak bisa begitu saja

menentukan harga bila tak ingin rugi.

Sementara Eropa bergolak, perdagangan dalam skala besar dihentikan. Galangan-

galangan diperintahkan membuat kapal perang saja. Untuk berjaga-jaga kalau sewaktu-waktu

ada yang menyerang lewat perairan.

Asia dan Afrika yang tenang-tenang saja, perdagangan kami dijalankan di sana. Kami

gencarkan perdagangan di sana untuk mendulang uang, sehingga bisa mengisi kas kerajaan yang

terkuras untuk perang. Dengan kata lain, para Gubernur Jenderal di wilayah-wilayah koloni

sedang diuji loyalitasnya pada kerajaan, bagaimana mereka bisa mengusahakan keuntungan

untuk mengisi kas negara. Bahkan mungkin mereka sampai berdagang ke Eropa.

Para pedagang dalam negeri Holland tak lagi terlalu fokus pada pengembangan

dagangnya. Mereka lebih banyak berfikir tentang cara mereka dan keluarganya tetap hidup saat

kekacauan ini berakhir nantinya. Lebih disibukkan dengan hal pengungsian.

Bicara tentang mengungsi, saya teringat urusan dengan penduduk Neve. Leiden

termasuk kota yang diperkirakan aman dari serangan, jadi pemerintah memutuskan Leiden

sebagai salah satu fokus pengungsian. Tapi jangan kira mudah saja menjalankannya. Harus

dipertimbangkan di rumah siapa menumpangkan mereka, apalagi di kondisi serba kacau begini.

Menitipkan satu atau dua orang berbeda dengan menitipkan puluhan orang atau bahkan ratusan.

Masih ingat yang orang-orang Neve janjikan jika kami mengabulkan keinginan mereka,

bahwa mereka bersedia memberikan loyalitasnya? Kami menagih itu. Kami temui Ketua Neve

dan meminta dua hal dari mereka sebagai bukti loyalitas mereka. Pertama, beliau harus pastikan

para lelaki dewasa di Neve terdaftar namanya sebagai calon tentara di kementrian pertahanan.

Dan yang kedua, kami minta mereka bersedia berbagi tempat tinggal dengan para warga yang

dipindahkan dari perbatasan.

Kami katakan padanya bahwa kami sudah penuhi sebagian yang kami janjikan.

Contohnya sekolah-sekolah umum Holland yang sudah bersedia menerima anak-anak Hindia

sebagai siswa. Sedang janji kami yang lainnya, mereka harusnya paham kenapa tak segera bisa

dilaksanakan.

Page 133: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 133

Masih ingat yang ditugaskan pada saya saat orang-orang Hindia menuntut fasilitas pada

kerajaan Holland? Mengawasi sepak terjang mereka, terutama yang tinggal di Neve sebab di

sanalah pusat kekuatannya. Tapi itu dulu. Sekarang, tugas saya adalah memantau perpindahan

penduduk keluar masuk Leiden serta penempatan warga pengungsian. Saya juga yang

menangani kelanjutan perjanjian „loyalitas pada negara‟ dengan ketua Neve.

Dua hari lalu, rombongan pengungsi yang pertama tiba. Warga Neve yang sudah

diberitahu sebelumnya mengosongkan sebagian rumah mereka, sedang pemilik rumahnya

memilih tinggal dengan tetangga atau saudara. Terserah saja kalau mereka merasa lebih nyaman

begitu.

Saya yang memimpin pemeriksaan di rumah-rumah itu segera setelah dikosongkan,

juga memerintahkan pendataan untuk menentukan kapasitas tiap rumah. Lalu saat rombongan

tiba, kami tinggal mendata jumlahnya dan menempatkan mereka. Entah bagaimana, rombongan

ini saja begitu banyaknya. Belum lagi rombongan berikutnya, padahal rumah kosong yang tersisa

tinggal beberapa. Sepertinya harus mencari tempat baru di sisi lain kota ini, atau malah di daerah

lainnya.

Pitt mengusulkan satu cara mengurangi jumlah penduduk dan pengungsi di Neve.

Panggil saja semua pria dewasa yang cukup umur untuk jadi tentara, lalu kirim segera ke kamp

militer. Perkara mereka dikirim kemana selanjutnya, terserah dimana saja mereka dibutuhkan.

Pitt yang lebih mengerti birokrasi kerajaan yang akan mengatur. Keyakinannya, sumbangan

tentara baru tidak akan disia-siakan dalam situasi perang. Dan untuk kesuksesan rencana ini,

saya harus datang ke rumah-rumah untuk pendataan berapa yang bisa dikurangi dari tiap rumah.

Sekaligus menentukan rumah mana lagi yang bisa dikosongkan.

Tak disangka saat itu menjadi saat istimewa saya.

“Silahkan masuk Tuan. Ada apa datang malam-malam?” Seorang wanita berusia sekitar

empat puluh tahunan menyambut ketika saya datang ke rumahnya.

“Keadaan sedang tak bisa terprediksikan sekarang. Saya hanya ingin memastikan

keadaan penduduk Mbok, melihat adakah yang harus saya lakukan.”

“Ya Tuan.”

Saya bisa melihat sikapnya yang rikuh. Bagaimanapun, lelaki yang biasanya menemui

tamu. Terutama jika tamunya lelaki. Namun akhirnya Simbok juga yang harus menemui saya

jika tak ada lelaki lagi di rumahnya.

Page 134: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 134

“Simbok tinggal dengan siapa?”

“Dengan Genduk Tuan. Silahkan masuk Tuan, biar saya suruh Genduk suguhkan

minuman.”

Dia persilahkan saya duduk di kursi kayu panjang. Ia juga meski dengan rikuhnya. Dan

kami duduk berhadapan. Lalu seorang perempuan keluar dengan membawakan talam minuman.

Dia bersimpuh dengan talam di pangkuan setelah menata suguhan. Walau bersikap seolah tak

mengenalku, saya tahu betul siapa dia. Lelaki mana yang bisa tak mengenali istrinya.

“Saya dengar semua anakmu lelaki. Sepi memang kalau harus tinggal sendirian. Saya

senang sudah ada yang menemani Simbok tinggal di sini.”

“Terima kasih, Tuan.”

“Ya Mbok.” Jeda sebentar kemudian saya lanjutkan, “Sebentar lagi rombongan

pengungsi berikutnya tiba. Rombongan tentara yang akan menjaga perbatasan juga akan

menyusul. Saya rasa rumah ini terlalu besar kalau hanya untuk berdua. Bukan begitu Mbok?”

Perempuan itu manggut-manggut.

“Rundingkan dengan Gendukmu, Mbok, diantara mereka yang mana yang kau inginkan

tinggal?”

“Ya Tuan.”

”Besok pagi saya kemari lagi. Pikirkanlah baik-baik.”

Saya rasa Laras akan memberi banyak pertimbangan untuk Simbok itu menjatuhkan

pilihan. Sayangnya hari belum begitu saja berakhir. Pendataan harus selesai malam ini juga, tak

bisa ditunda. Karena malam adalah saat berkumpulnya keluarga, maka kami akan tahu kondisi

sesungguhnya jika pemeriksaan dilaksanakan saat malam.

Mungkin malam ini keberuntungan saya. Dia sudah ditemukan. Setidaknya saya bisa

mengawasinya meski tak bisa selalu bersama.

Kehidupan yang tertata rapi di negeri kami goyah. Keinginan pemerintah agar seluruh

rakyat suka membaca tersisihkan. Bagaimana tidak jika surat kabar mulai kesulitan terbit? Ya

karena rakyat kami tak lagi mampu membeli, juga karena para kolumnis serta wartawan surat

kabar-surat kabar banyak yang pergi mengungsi. Mencari selamat sendiri-sendiri. Tak hanya

Page 135: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 135

keinginan membaca, penyebaran berita pun kesulitan. Karena satu-satunya penyiar berita yang

masih berjalan hanya radio kerajaan. Rencana dan program-program kerajaan yang lain juga

banyak yang terabaikan.

Holland terkenal dengan tulipnya. Bagi kami, bunga tulip adalah perlambang

kebangsawanan. Maka banyak diantara rakyat yang suka membudidayakan lalu menjualnya

dengan harga tinggi. Bahkan sampai ke negeri tetangga. Namun saat ini, rakyat kami yang

sedang disibukkan dengan pengungsian dan perang, lupa pada perlambang kebangsawanan. Tak

lagi peduli. Kami seakan amnesia pada keluasan impian, pada harapan akan masa depan, pada

harta benda yang pernah dimiliki. Yah, kami hanya ingin tetap hidup untuk memulai lagi.

Siapapun yang mengerti sejarah panjang pergolakan di Eropa akan paham bahwa

keinginan imperium Prancis bukan rencana yang main-main. Napoleon yang ambisius itu selalu

berfikir keadaan sekarang dengan masa lalu adalah sama. Dunia yang pernah mendudukkan

Prancis sebagai penguasa Eropa, ia ingin mewujudkannya lagi. Ingin menyatukan seluruh Eropa

dalam satu bendera? Kampanye macam apa itu! Bukankah sama saja dengan menjajah seluruh

Eropa?

Ratu sedang mengirimkan para duta terbaiknya ke negara-negara tetangga, meminta

bantuan untuk membendung serangan Prancis. Pada kerajaan Inggris, kekaisaran Romawi

Jerman, serta Tsar Rusia. Semoga para duta itu berhasil memberi mereka pengertian bahwa

ambisi Prancis ini merupakan ancaman bersama. Bahwa ini harus dicegah sedini mungkin

sebelum Prancis mendapatkan tentara tambahan dari wilayah taklukannya.

Sementara itu, semua lelaki yang sanggup berperang di Neve sudah dikirim ke kamp

militer untuk latihan tempur. Dan tentara yang ditugaskan di sisi timur kota Leiden sudah tiba

empat belas batalyon tadi sore, langsung menempati rumah-rumah kosong yang sudah disiapkan.

Sedang orang-orang tertentu yang kupercaya, akan saya tempatkan di rumah Simbok. Sekaligus

untuk menjaga istriku. Akan kuantarkan mereka ke sana malam ini.

Simbok yang menyambut saat saya mengetuk pintunya. Saya suruh tmereka masuk

juga. Dan suguhan kopi sudah tersedia di meja.

“Suruh gendukmu keluar, Mbok. Saya ingin perkenalkan dia dengan kawan-kawan

barunya.”

Wajah Simbok terlihat lain.

“Genduk sudah tidak tinggal di sini Tuan. Genduk pamit pergi tadi pagi.”

Page 136: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 136

Hilang lagi!

“Kemana dia pergi Mbok?”

Simbok gugup. Wajahnya pias.

“Genduk ndak bilang,Tuan. Cuma langsung pamit pergi waktu temannya datang.”

“Temannya laki-laki atau perempuan?‟

“Laki-laki, Tuan.”

Saya berusaha tersenyum, entah senyum macam apa yang tampak.

“Mbok, mereka yang akan tinggal di sini. Tolong antar ke kamarnya. Langsung bawa

masuk barang kalian.”

Perempuan paruh baya itu mengangguk. Lalu mereka ikuti Simbok masuk ke ruang

dalam. Saya tak perlu ikut masuk, mereka sudah tahu yang harus dilakukan.

Saya sedang disibukkan lamunan ketika Simbok bicara. Entah kapan dia mulai ada di

depan saya, saya tak betul-betul tak sadar.

“Tuan, maaf bila baru Simbok sampaikan. Genduk bilang pernah jumpa dengan istri

Tuan, dan istri Tuan menitipkan pesan. Nyonya bilang tak usah mencarinya. Nyonya akan

kembali bila tiba waktunya. Simbok ndak tahu hubungan Genduk dengan Tuan, Simbok hanya

sampaikan yang Genduk bilang.”

“Saya mengerti, Mbok.”

Saya ijinkan dia pergi. Saya tahu banyak yang perlu dia lakukan.

Huh, Larasati. Apa salah bila aku ingin menemuinya? Apa alasannya dia tak ingin

bertemu suaminya sendiri? Padahal saya hanya ingin melihatnya, memastikan bahwa dia baik-

baik saja. Juga hanya ingin sebentar bicara.

Tak lama mereka menyusul keluar. Lebih baik saya ikut mereka ke pangkalan. Saya tak

tahan lebih lama lagi di sini.

Tak ada yang bisa saya lakukan di pangkalan. Lebih baik jalan-jalan saja. Keliling Neve

dengan berkuda, lalu menyisir daerah yang lebih jauh. Menyusup di jalan-jalan setapak di antara

rimbunan pohon.

Page 137: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 137

Anggap saja karena perang sudah dekat, saya tak nyenyak tidur. Tiap detik dihantui

bayang-bayang kematian, entah hilangnya nyawa sendiri atau nyawa orang lain yang menjadi

tanggungan. Ah tidak! Munafik sekali bicara tentang tanggung jawab. Sejatinya saya tak peduli

dengan orang-orang Neve, mereka bukan siapa-siapa untuk saya. Saya juga tidak terlalu peduli

rakyat saya punya tempat berlindung yang layak atau tidak. Saya ada di sini karena ingin

menemui seseorang, yang ternyata tak ingin bertemu.

Saya beritahukan padamu, menjaga dan bersikap peduli itu melelahkan. Menuntut kita

melakukan banyak pengorbanan. Jadi kalau tak ingin sungguh-sungguh berkorban, lebih baik tak

usah bersikap peduli.

Perkara saya pernah katakan ingin bekerja di tempat yang ilmu saya termanfaatkan di

sana, saya hampir lupa pernah berfikir seidealis itu. Saya lelah dengan perang. Kesia-siaan yang

membuat orang jadi tak bisa membangun kehidupan, membuat istri harus terpisah dari suaminya,

anak terpisah dari ibunya, kakek dari cucu tersayangnya. Terutama, saya jengah dengan istri

yang memilih pergi di saat suaminya memerlukan dukungan.

Malam yang makin dingin membuat saya merapatkan mantel. Tak satupun orang

tampak kecuali yang sedang giliran ronda. Sengaja saya pelankan langkah kuda saat dekat

dengan mereka. Saya sedang tak ingin berjumpa apalagi bertegur sapa.

Dan untuk yang kedua kali, saya lewat dekat rumah Simbok. Sekedar ingin. Saat itulah

saya lihat bayangan mencurigakan di kegelapan. Tak jelas siapa, namun ia sempat terpaku

sebelum berlari ke rerimbunan.

Saya yang tak mungkin mengejar dengan berkuda meluncur turun. Kuda saya

tambatkan di pohon, lalu lari memburunya. Tak peduli kaki saya terlilit belukar berkali-kali. Dia

tak boleh lolos. Bisa jadi dia berniat jahat. Apa jadinya kalau sampai terlaksana? Dia gigih

berlari, saya gigih mengejar. Saya takkan berhenti sampai dapat.

Alam sedang berpihak pada saya rupanya. Karena gelap, ia terjungkal. Tak menyia-

nyiakan kesempatan, tangannya saya telikung di punggung. Dia coba berontak, tapi posisi saya

lebih menguntungkan. Takkan bisa lepas.

“Jangan berharap bisa lepas! Katakan, kau punya urusan apa di sini?”

Masih saja ia coba berontak. Saya paksa ia berlutut. Satu tendangan bersarang di

betisnya, namun ia tetap bungkam.

Page 138: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 138

“Saya akan tunggu sampai kau bicara. Ah tidak, terlalu lama. Saya akan membawamu

ke markas militer, biar mereka yang mengurusmu.”

Satu tendangan lagi.

“Selama saya masih baik, katakan. Atau kau lebih suka orang-orang militer yang

memaksamu bicara? Percayalah, mereka takkan selunak ini. Atau kau ingin mati saja di sini?”

Kebungkamannya menghapus rasa kasihan saya.

“Saya bisa menyeretmu dengan kuda, dan tak ada yang akan menyalahkan saya. Kau

melanggar perintah wajib militer untuk warga Neve. Kau lihat tali ini? Ini hadiahmu kalau kau

terus saja bungkam.”

Saya tak habis pikir bagaimana mungkin ia malah mengamati saya. Berani sekali! Saya

sudah bermaksud meninju perutnya ketika ia berkata, “Saya kawannya Larasati.”

Dengan mengatakan itu, mungkin dia berharap niatan saya terhenti. Sayangnya tidak.

Ungkapannya malah membuat emosi saya tersulut. Beberapa tendangan tanpa ampun meluncur

ke tubuhnya.

“Jangan ngawur! Kau pikir bisa meloloskan diri dengan menyebut namanya?”

“Tuan tidak akan tahu dimana istri Tuan jika Tuan mencelakakan saya.”

Saya tertawa. Ia pasti bisa melihat senyum sinis di bibir saya.

“Tak hanya kau yang tahu nama istri saya. Bagaimana saya bisa percaya?”

“Tuan boleh tidak percaya, tapi saya teman Larasati sejak masih sama-sama di Jawa

sampai sekarang. Saya tahu segalanya tentang dia, lebih daripada Tuan.”

Punya nyali juga ia rupanya, berani tawar menawar dalam posisi yang jelas kalah.

“Kalau begitu katakan sesuatu yang bisa membuat saya percaya.”

“Saya yang menjemput dia tadi pagi, Tuan. Saya juga yang mengantarkan dia ke tempat

barunya. Dan kawan saya, Hevga lah, yang Tuan singkirkan setelah mengantarkan Laras

menemui Anda.”

Antara percaya dan tidak, menyingkirkan pengantar Laras bukan peristiwa yang akan

dijadikan berita. Bagaimana ia bisa tahu?

“Hevga adalah karibnya teman saya, dan tentu saja ia jadi kawan saya. Betapa saya

merasa bersalah ketika Hevga tak pernah kembali.”

“Saya akan percaya jika kau katakan dimana istri saya.”

Page 139: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 139

“Lalu Tuan bunuh kawan-kawan saya? Tidak Tuan, saya takkan mengijinkan itu terjadi.

Saya yakin Laras juga. Lebih baik saya yang mati daripada Tuan bunuh semua kawan saya.”

“Kuda ini takkan saya surut menyeretmu jika kau katakan dimana dia.”

Sekelebat saya teringat. Bukan ini awalnya yang ingin saya tahu. Hah, hampir saja dia

berhasil membuat saya lupa.

“Kalau saya katakan pun belum tentu Tuan tidak menyeret saya.”

“Saya masih punya tawaran kedua. Kalau kau katakan yang kau lakukan di sini, tanpa

memberitahu dimana istriku pun kau akan saya lepas.”

Dia tersenyum. Namun rasanya seperti penghinaan. Saya ikatkan ujung tali pengikat

tangannya di pelana. Dan, kau tahulah yang terjadi selanjutnya. Kuda yang berderap kencang

membuat tubuhnya terpelanting dan terseret menembus belukar.

Saya sudah beri dia kesempatan. Perkara ia mau ambil atau tidak, terserah saja. Biar ia

sendiri yang pilih hidup matinya.

Dua puluh menit terseret rasanya takkan membuatnya mati. Dia masih mampu berdiri

ketika kuda berhenti berlari, meski tertatih. Saya lepaskan tali yang menyeretnya, lalu saya bantu

ia berjalan ke halaman. Pintu rumah terbuka, dan Pitt menengok dari sana.

“Kemana saja kau pergi lama sekali? Masih banyak yang harus kita kerjakan.”

“Akan saya jelaskan nanti, tapi kami perlu masuk dulu.”

Kejengkelannya terhenti saat arah pandangnya tiba pada pria yang saya bawa.

Dibukanya pintu lebar-lebar, lalu menyingkir memberi jalan masuk. Pandangnya tak beralih dari

ikatan di tangan pria ini, juga tubuhnya yang penuh goresan dan berdarah.

“Tunggu sebentar, biar saya bawa dulu dia ke dalam.”

Saya papah dia ke ruang tengah, lalu saya dudukkan di kursi panjang. Kalau dari dekat

begini, rasanya tak tega juga melihatnya. Tapi sudahlah. Saya hampir pergi ketika ia menarik

tangan saya.

“Tuan, saya sungguh-sungguh teman karib Laras. Saya tahu betul susah payahnya dia

berusaha menemui Anda.”

Menurutmu saya harus berkata apa?

“Ya saya percaya.”

“Apapun yang terjadi, saya tahu Tuan akan tetap mengirim saya ke kamp latihan. Tapi

ijinkan saya katakan sesuatu lebih dulu.”

Page 140: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 140

“Baiklah, katakan saja.”

“Sebenarnya saya tak ingin berprasangka buruk, tapi kenyataan memaksa saya berfikir

begini. Saya Tuan, melihat semua lelaki dewasa di Neve yang mampu berperang dikirim ke

kamp latihan. Juga para lelaki yang punya ikatan dengan Neve. Semuanya, hampir tanpa sisa.

Jika Tuan katakan para lelaki dewasa Holland tak semuanya dikirim berperang karena tetap

diperlukan orang yang mengerjakan hal selain yang berkaitan dengan perang, saya bisa pahami.

Kalau Tuan katakan mereka semua juga akan diberangkatkan namun menunggu giliran, saya

juga bisa mengerti.

Yang tidak bisa saya terima adalah kenapa hanya di Neve yang dikirim seluruhnya.

Yang Tuan lakukan itu sama saja dengan menghabisi para pelindung kami secara serentak.

Karena tak ada lagi yang akan melindungi kaum wanita, anak-anak, dan orang-orang tua kami.

Saya tak tahu tujuan Tuan, tapi saya berfikir Tuan-tuan sedang menghancurkan Neve

secara perlahan. Agar nanti saat kekacauan ini berakhir, tak ada hutang pada kami yang Tuan-

tuan perlu dilunasi. Siapa yang akan menagih pada Tuan-tuan sekalian bila kawan-kawan kami

yang mengerti duduk perkaranya sudah habis di medan perang?”

Saya diam saja, tak merasa perlu menanggapi. Wajar bila ia berfikir begitu. Tiap orang

punya persepsi dan kepentingannya sendiri. Hanya saja, tak pernah terbersit di benak saya bahwa

yang kami lakukan ini untuk menghancurkan mereka. Saya lakukan ini demi keselamatan

bersama.

“Laras, Tuan, kembali pada kami karena merasa hal macam ini akan terjadi. Dia ingin

di saat genting begini, kemampuan dan keberadaannya adalah di antara kami kawan-kawan yang

membutuhkannya.

Saya tahu memang tak patut seorang istri meninggalkan suaminya, apalagi di saat sang

suami sedang butuh dukungan. Namun hidup adalah kumpulan pilihan, Tuan, dan Laras

memahami itu.”

“Kau sebenarnya ingin mengatakan apa? Langsung saja, tak usah berbelit.”

Dia tersenyum.

“Tolong katakan pada pemimpin Tuan, bersikap adil lah pada semua rakyatnya.”

“Ya,” ujar saya tanpa bicara panjang. Saya tinggalkan ia, lalu keluar menemui Pitt yang

menunggu di ruang depan.

“Untuk apa kau bawa dia kemari?”

Page 141: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 141

“Saya menangkapnya di Neve. Sepertinya dia melarikan diri dari wajib militer.”

“Lalu kenapa tidak langsung diserahkan saja ke markas militer? Malah kau bawa

kemari. Kau bisa dituduh menyembunyikan pelarian.”

Jelas sekali Pitt marah. Kami telah bersepakat tak akan membawa siapapun kemari,

apalagi orang asing.

“Dia kawan karib Laras, Pitt. Maka dia juga kawan saya. Dia yang menjaga Laras

selama ini.”

Pitt angkat bahu. Sikapnya seolah tak peduli.

“Terserahlah. Asal jangan sampai kau anggap semua orang Jawa itu kawanmu. Kita dan

mereka berbeda, sejak awalnya hingga kapanpun juga. Dan lagi, kalau dia kawanmu, kenapa kau

hajar dia habis-habisan?”

“Saya menghajarnya karena tadinya ia tak lekas bicara. Pitt, saya tak pernah

berkeinginan menyembunyikannya dari wajib militer. Saya hanya tak ingin menyerahkan dia

sendirian.”

“Kenapa?”

“Kau tahu sendiri bakal seperti apa perlakuan orang-orang militer. Tolong antar dia,

usahakan mereka memperlakukannya dengan baik. Bagaimanapun saya berhutang banyak

padanya atas nama Larasati.”

Tawanya meledak tiba-tiba.

“Sejak kapan kau peduli padanya, Rijkaard? Bukankah dulu kau katakan menikahinya

hanya supaya ia tak berulah? Sejak kapan kau jadi romantis? Menganggap seorang wanita yang

bukan Eropa benar-benar istri? Lelucon macam apa itu!”

Sebenarnya saya juga tak tahu kapan rasa itu mulai ada. Apa karena ia yang selalu

menunggu kepulangan saya? Ataukah saya hanya mulai terbiasa dengan kehadirannya dan kisah-

kisah yang ia tuturkan tiap malam?

“Ingat Rijkaard, kau saja tak pernah memperkenalkannya pada Mamamu. Tanyalah lagi

pada hatimu apa betul kau menganggapnya berharga.”

“Ya saya mengerti. Tapi lelaki yang di dalam itu, tolong kau antar dia.”

“Akan kuantar dia pagi-pagi sekali.” Sebentar dia terdiam. Katanya kemudian, “Bicara

apa kalian di dalam?”

Saya ulangi pendapat pria itu tentang tindakan kami di Neve.

Page 142: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 142

“Biarkan saja dia bicara. Yakinlah, kebijakan yang diambil para pemimpin kita adalah

yang terbaik. Sudah dipertimbangkan baik-buruknya. Jadi tak perlu kau ambil pusing, kita

tinggal jalankan,” kata Pitt sebelum melenggang pergi.

Mungkin memang lebih baik langsung saya yakini saja. Tiap orang punya kepentingan,

punya tujuan yang terselip, meski berjalan pada koridor yang sama. Dan itu sah. Lagipula, terlalu

banyak yang tak mampu kita ketahui dengan waktu dan tangan kita yang hanya sepasang. Dan

tak ada keputusan yang salah selama ditimbang dengan seimbang, antara sisi hati dan logikanya.

Waktu terus berjalan tak bisa dihentikan, namun para utusan tak kunjung pulang.

Sementara pergerakan tentara Prancis semakin mencurigakan. Kekaisaran Romawi sedang punya

konflik internalnya sendiri, juga mengalami masalah karena serangan Napoleon juga. Tsar entah

kenapa terkesan tak ingin ambil sikap. Sedang Britan juga belum memberi keputusan. Mungkin

Britan sendiri masih sibuk memikirkan cara mempertahankan koloninya dari invansi.

Sungguh Eropa dalam bahaya. Jika ambisi Napoleon tak segera diredam, bukan tak

mungkin api perang menyebar ke seluruh dunia. Sehingga tak hanya Eropa yang akan

mengalami ruginya.

Di tengah situasi genting ini, utusan Prancis muncul di perbatasan. Dengan dikawal

sepasukan tentara, mereka minta diijinkan lewat. Mereka ingin menawarkan damai. Untuk itu

sang utusan minta dipertemukan dengan Yang Mulia Ratu.

Dia tunjukkan tanda buktinya sebagai pejabat tinggi Prancis. Mungkin berharap cepat

diloloskan. Tapi tidak semudah itu. Dia harus menemui Jenderal Beauharnis lebih dulu untuk

pemeriksaan, baru kemudian diberi ijin. Dan demi keamanan sang utusan, juga mengontrol

pengawal yang beliau bawa, Jenderal mengutus sepasukan tentara mengantarkan mereka ke

tempat Ratu sekarang berada, di dekat Tournei.

Jenderal mengirim pemberitahuan pada Ratu segera setelah rombongan sang utusan

berangkat. Juga pemberitahuan pada pimpinan-pimpinan markas tentara, terutama yang berada di

sekitar jalur yang akan dilewati oleh sang utusan.

Page 143: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 143

Hanya setengah hari perjalanan, rombongan sang utusan tiba di Tournei. Ratu dan para

pejabat yang telah mendapat kabar sebelumnya segera menyambut. Lalu sang utusan

menyerahkan pesan dari yang mereka pertuan.

Begini isinya,

Tak hanya sekali Eropa tersatukan di bawah panji yang sama. Yang terdekat adalah

Kekaisaran Romawi, yang karena berbagai sebab panji tersebut akhirnya tak lagi dijunjung

tinggi. Namun, tersatukan dalam satu panji tetaplah mengharukan. Dan Eropa yang tersatukan

dalam satu panji akan menjadi Eropa yang berjaya dan pemimpin bagi dunia.

Cita-cita kami rakyat Prancis adalah terwujudkannya itu lagi, sebuah kepemimpinan

yang meliputi seluruh Eropa dan menjadi pemimpin bagi dunia.

Demi terwujudkannya cita-cita mulia iu, saya Napoleon Buonaparte meminta pada

Yang Mulia Ratu untuk mendukung dan bergabung. Saya yakin Yang Mulia akan sangat

mempertimbangkan kedamaian dan kessejahteraan rakyat Holland dalam menentukan

kebijakan.

Mewakili rakyat Prancis,

Napoleon Buonaparte

Sang utusan menunggu jawaban. Namun Sang Ratu hanya berkata, “Beristirahatlah

Tuan. Saya yakin Tuan sangat kelelahan menempuh perjalanan panjang untuk sampai kemari.

Setelah Tuan cukup beristirahat, saya akan berikan jawaban. Tapi mohon maafkan bila hanya

sekedarnya kami menyambut Tuan dan pendamping-pendamping Tuan.”

Tak butuh waktu lama untuk tersebarnya berita kedatangan sang utusan, serta isi surat

yang dibawanya. Dan memang Yang Mulia Ratu langsung mengirim utusann untuk

mengabarkan ini pada perdana menteri yang menjalankan fungsi pemerintahan di Amsterdam,

memerintahkan beliau untuk menyebarkannya pada seluruh rakyat Holland.

Dan untuk itu, beberapa surat kabar besar yang masih hidup meski tersendat

diperintahkan memberitakan tentang kedatangan sang utusan dan memuat salinan suratnya di

surat kabar mereka. Atas nama kemerdekaan Holland, supaya semua rakyat tahu perkembangan

di negerinya.

Page 144: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 144

Sementara perdana menteri membakar emosi rakyat dan memancing reaksinya, Ratu

merundingkan kebijakan dengan para pejabat di Tournei. Kemudian memanggil sang utusan ke

tenda besar beliau keesokan harinya.

“Tuan yang saya hormati, sampaikan salam hormat kami pada junjungan Tuan. Kami

hargai semua iktikad baik Yang Mulia Napoleon Buonaparte nya untuk semua bangsa di tanah

Eropa, terutama rakyat kami. Untuk itulah, saya minta pada Tuan untuk menyampaikan pesan

kami ini.”

Yang Mulia Ratu memberi isyarat pada salah satu pejabat, yang segera menyerahkan

pesan itu pada sang utusan.

“Salam serta pesan Yang Mulia akan kami sampaikan, tanpa dilebihi maupun dikurangi.

Dan, Yang Mulia, pesan balasan dari Yang Mulia ini akan sangat dinantikan di negeri kami.

Oleh karena itu jika diijinkan, kami mohon pamit sekarang. Semoga Yang Mulia panjang umur.”

Satu anggukan menjadi isyarakat diberikannya ijin itu. Dan beberapa pengawal

langsung menunjukkan jalan. Pasukan yang kemarin mengantar rombongan sang utusan sudah

bersiap di dekat gerbang perkemahan, kemudian menggantikan para pengawal Ratu menemani

mereka. Sampai nanti di gerbang perbatasan.

Tak berselang lama, Sri Ratu mengirimkan lagi utusan ke Amsterdam. Beliau

perintahkan pada perdana menteri untuk memberitahukan kebijakan Ratu pada seluruh rakyat

atas kunjungan utusan Prancis. Juga memberikan runutan lengkap bagaimana Ratu menghadapi

mereka, lewat media apapun yang bisa. Radio dan surat kabar. Dan dari situlah saya tahu runutan

kisahnya, bahwa Sang Ratu memilih berjuang. Beliau komandokan rakyat Holland untuk

membela kemerdekaan hingga titik darah penghabisan.

Tentang rombongan sang utusan, kebanyakan orang berfikir bahwa dengan dikawal

tentara kerajaan, mereka akan selamat sampai di perbatasan dan akan bisa kembali pulang ke

negerinya. Ternyata bukan jaminan. Di tengah perjalanan, sekelompok orang menyerang

rombongan tersebut. Dan tentunya bukan kelompok sembarangan jika tak ada satupun dari

rombongan maupun tentara Holland yang tampak selamat.

Pejabat perbatasan Holland didatangi pejabat perbatasan Prancis, diingatkan dengan

yang waktu seharusnya kedatangan rombongan sang utusan. Mereka harus membawa sang

utusan pulang. Dan kerena rombongan yang dinanti tak kunjung datang, pejabat Holland

Page 145: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 145

menugaskan sejumlah tentara melakukan pencarian bersama pejabat Prancis. Dan diketahuilah

bahwa mereka tumpas semua, juga tentara perbatasan Holland yang mengawal mereka.

Empat jenasah berpakaian serba hitam tercampur diantara jenasah utusan dan para

pasukan. Jelas mereka diserang. Untung saja pesan Sang Ratu tak diambil, sehingga si pejabat

Prancis bisa membawanya pulang.

Kami yakin si pejabat Prancis pulang dengan memendam amarah meskipun tak

mengatakan apa-apa. Pejabat kami berjanji memberi penjelasan atas peristiwa ini. Dan

penjelasannya adalah bahwa para penyerang itu tidak termasuk dalam kesatuan manapun di

ketentaraan Holland. Mereka murni gerilyawan anti-Prancis.

Kerajaan Holland akan mengirim utusan pada Napoleon untuk menyampaikan

penjelasan resmi kronologi peristiwanya. Utusan yang dikawal dua pasukan tentara berbeda

bangsa, tentara dari orang-orang Holland dan tentara dari orang-orang Jawa Hindia.

Saya yakin mereka tak mungkin tak sadar bahwa dikirim sebagai utusan berarti

mungkin takkan pernah kembali lagi ke Holland. Tapi mereka jalani juga. Mungkin itulah yang

disebut loyalitas pada negara, seperti yang dilakukan oleh rombongan utusan Prancis tempo hari.

Memang harus selalu ada yang berkorban. Kata Pitt, pria yang saya titipkan padanya juga

termasuk yang dikirim dalam pasukan.

Perang sepertinya memang tak terhindarkan. Meski tanpa bantuan, kami tetap harus

mampu bertahan. Lebih baik berkalang tanah daripada menyerah kalah ketika kehormatan diri

dan negeri diinjak-injak orang.

Tentara Prancis mulai menyerang. Batas-batas negara di perbatasan dirobohkan. Dan

perkemahan Sri Ratu dipindahkan ke tempat yang lebih jauh, demi keamanan.

Tentara-tentara Holland yang sudah mengira hari ini segera tiba, bersiap menyambut. Di

area pertempuran, silih berganti tampuk kepemimpinan pasukan dilengserkan. Ketika sang

komandan terbunuh, yang berpangkat di bawahnya menggantikan. Demikian seterusnya, dari

pagi hingga menjelang malam, saat masing-masing kubu harus memberi istirahat pada masing-

masing pasukan. Untuk berlanjut esok paginya, sampai sang waktu, kekuatan dan strategi

menentukan pihak mana yang menang.

Page 146: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 146

Kata orang, kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. Sebuah pembelajaran demi

kedewasaan. Kau bisa simpulkan sendiri maksudnya : kami kalah. Ibukota diduduki. Sedang Sri

Ratu dan keluarga kerajaan serta prajurit-prajurit yang tersisa menyelinap pergi dari Holland,

meminta perlindungan pada negara tetangga. Sepertinya begitu, sebab Ratu dan keluarganya tak

tampak dimanapun di negeri ini. Sehingga pemerintahan yang baru bentukan Prancis

mengiming-imingi hadiah bagi yang melaporkan keberadaan mereka.

Namun tak ada yang melapor. Mereka pikir bisa membeli kesetiaan kami pada negara?

Jangan harap! Kami sudah serahkan sumpah setia kami pada Pangeran van Oranje sejak

dilepaskan dari penindasan Burgondia.

Beberapa hari berselang setelah Holland dinyatakan jatuh, terdengar berita dari

Amsterdam. Orang-orang Prancis akan mengadakan festival di ibukota selama dua hari tiga

malam sepuluh hari lagi. Konon katanya, mereka namai festival itu perayaan keruntuhan rezim

tirani Holland, sehingga harus dirayakan besar-besaran. Ada beragam pertunjukan, yang masing-

masing mewakili tiap ragam etnis di negara ini.

Tidak akan digelar di gedung pertunjukan seperti biasanya pesta yang berkelas, tapi di

lapangan terbuka agar semua rakyat bisa ikut menikmatinya. Begitu kata mereka. Dan di tanggal

23 bulan yang sama dengan dirobohkannya kepemimpinan penerus Pangeran van Oranje di tanah

ini, malam pertama festival itu digelar.

Kau ingat, kewajiban saya memantau kondisi di Neve pasca perjanjian dengan mereka

sampai direnggutnya Amsterdam dari sisi kami. Maka kini saat Holland jatuh, saya dan Pitt

kehilangan kewajiban atas mereka sampai datangnya perintah berikutnya. Hari ini, tepatnya

malam ini, kami sudah berada di ibukota. Kami ingin tahu seperti apa kondisinya.

Di lapangan yang sama dengan yang digunakan sebagai tempat pesta rakyat untuk

memeriahkan ulang tahun Sri Ratu dua bulanan yang lalu, Jenderal Prancis Frans Odena

membangun panggung untuk merayakan kejatuhan Ratu. Orang-orang yang mengerti akan tahu

ini adalah bentuk penghinaan pada bangsa Holland. Bagaimana tidak? Coba saja resapi ironinya.

Saya dan Pitt saling memandang, bertanya-tanya akan seperti apa jadinya festival ini.

Page 147: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 147

Di tembok-tembok kota ditempel poster-poster festival. Sepertinya besar-besaran. Di

bawah tulisan acara dituliskan, „Hadirilah bersam-sama perayaan akan hadirnya pemerintahan

yang bersih dan demokratis di antara kita, yang tidak mengenal nepotisme‟. Tidak saya baca lagi

ke bawahnya, sudah ter tebak isinya.

Orang-orang yang belum tahu menyempatkan diri berhenti, membaca, kemudian pergi.

Tak tampak apa-apa di wajah mereka, juga tak keluar komentar. Mungkin takut salah bicara.

Meski sipil Prancis tak bercampur dengan orang-orang Holland, siapa yang tahu di antara

mereka ada tentara Prancis yang sedang bebas tugas dan tak berseragam.

Yah setidaknya Amsterdam tidak jatuh dengan mudah. Menjelang mereka menyerang

ibukota, kamu sudah pindahkan semua bahan pangan. Yang tak bisa dipindahkan, dihancurkan.

Tentara-tentara di Amsterdam sudah dipindahkan seluruhnya, dan penduduk pun diungsikan.

Saat mereka tiba, Amsterdam sunyi senyap. Saat sedang dibalut kecewa karena tak ada

sesuatupun yang mereka dapat, tentara kami menyerang dari segala penjuru. Sedikit lagi. Tak

disangka pasukan bantuan mereka datang dan mengepung kami dari luar lingkaran, sehingga

kami yang akhirnya harus terpukul mundur. Tak ada yang menyangka Jenderal itu hanya

memasukkan separuh tentaranya ke ibukota, dan menyimpan separuh lainnya untuk cadangan.

Dan malamnya di lapangan kota, saya dan Pitt putuskan untuk datang. Namun tak

segera masuk ke lapangan, hanya berdiri di balik bayang-bayang pohon. Menjadi pengamat

sambil menghisap rokok eceran yang kami beli di toko sebelah.

“Kau tebak berapa banyak orang yang akan datang?”

Pitt menggeleng, sambil tak henti-hentinya menghisap asap dari benda nikmat di sela-

sela bibirnya.

“Kau sendiri, menurutmu berapa banyak yang akan datang?”

Saya juga menggeleng.

“Tak ada yang betul-betul tahu isi hati rakyat kita sekarang. Peristiwa-peristiwa terjadi

cepat sekali silih berganti. Terlalu sulit dilogika oleh rakyat kita yang tidak tahu runutan

peristiwanya.”

Batang rokok yang tinggal puntungnya saya lempar ke bawah pohon. Baranya saya

injak sampai mati.

“Kalau yang datang menonton banyak, apa artinya?”

Pitt menggeleng.

Page 148: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 148

“Tak ada yang tahu isi hati terdalam tiap orang kecuali dia sendiri. Sudahlah, kita amati

saja dulu yang penjajah-penjajah keparat itu lakukan, setelah itu baru kita berfikir tentang

keadaan.”

Setengah jam berlalu dari saat tenggelamnya matahari. Pertunjukan setengah jam lagi

dimulai. Tapi lapangan tetap sepi, malah yang hadir bisa dihitung jari. Padahal di pertunjukan

biasa, depan panggung penuh bahkan satu jam sebelumnya. Atau jika pertunjukan terkenal, pasti

meluber sampai jauh di belakang. Paling tidak, orang-orang yang tertarik hilir mudik mencari

tempat yang pas. Saya yakin orang-orang Prancis itu tidak akan suka.

Saya jadi teringat kisah pembantaian massal rakyat yang dikumpulkan di lapangan

terbuka. Tepatnya dimana saya lupa, hanya dulu pernah dibahas di sekolah. Apa mungkin

mereka tak berani hadir karena alasan ini? Jika benar mereka merencanakan kekejaman macam

ini, saya akan cegah agar tak terjadi. Apalagi di lapangan yang punya sejarah panjang perayaan

kejayaan bangsa Holland.

Setengah jam lagi berlalu. Yang datang bertambah beberapa gelintir. Seseorang

berseragam tentara tampak menggerutu panjang pendek pada orang di sekelilingnya sambil

berjalan keluar dari lapangan. Ia menuju ke arah kami. Hati-hati saya dan Pitt berjalan makin ke

balik bayang-bayang agar tak ketahuan.

Sungguh, wajah ditekuknya membuat saya ingin muntah. Wajah wajah orang jahat,

penjajah yang sudah mengobrak-abrik tanah kelahiran saya. Saya rekam wajah ini sedetail-

detailnya di benak. Bila terjadi hal buruk dengan saudara-saudara saya di lapangan ini, seraut

wajah inilah yang akan saya buru dan saya habisi pertama kali.

Terdengar bentakan dari dalam toko, kemudian suara tangis anak-anak. Ah terserah apa

maumu penjajah, asal kau tak keluarkan senapan dan mulai menembak, kau akan aman keluar

dari toko ini. Tak lama kemudian si tentara keluar, disusul oleh pria pemilik toko dan

keluarganya. Mereka menutup toko untuk datang ke lapangan.

Sepasukan tentara datang pada si tentara pemarah, memberi hormat, lalu menyebar ke

segala penjuru. Mereka gedor rumah warga, memaksa penghuninya datang ke lapangan kota.

Sehingga lapangan mulai dipadati orang. Meski mereka datang tanpa kerelaan, namun berjalan

dengan dorongan popor senapan.

Ah saya lupa katakan, mulai minggu lalu rakyat kami kembali ke rumahnya masing-

masing. Tak lagi di pengungsian.

Page 149: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 149

“Saya berharap sedang membawa sepeti senapan dan granat saat ini, Pitt. Saya ingin

lemparkan pada mereka.”

Pitt tertawa.

Denting piano dan gesekan biola dimainkan oleh para pemusiknya, sampai satu lagu

tanpa ada yang menyanyi. Kemudian berhenti. Dan si tentara pemarah – sebenarnya tak tampak

jelas dari kejauhan di sini, hanya terlihat dari gerak tubuhnya – naik ke panggung. Pengeras

suaranya sempat berdenging ketika si tentara akan bicara, namun teknisi yang tanggap segera

bisa menangani.

“Saudara-saudara yang kucintai, saya sangat senang saudara-saudara berkenan hadir

pada malam hari ini. Ini adalah perayaan besar bagi datangnya demokrasi di Holland, jadi saya

sadari saudara-saudara sekalian pasti akan datang. Betapa ini menjadi bukti kepedulian saudara-

saudara sekalian pada Holland.

Malam hari ini saudara-saudara, sebagai wujud rasa cinta rakyat Prancis pada saudara-

saudaranya di Holland, setelah peperangan yang menguras tenaga dan air mata, kami

persembahkan festival ini. Dan terkhusus untuk malam ini, sebagai pembuka akan ditampilkan

musik dan tarian dari orang-orang yang asalnya jauh di sebelah tenggaranya Asia. Tak ada

maksud lain, kami hanya ingin menghibur. Selamat menikmati.”

Satu, dua, kemudian gemuruh tepuk tangan tercipta mengiringi turunnya si tuan tentara

dari panggung. Saya kira yang akan ditampilkan adalah sesuatu yang biasa, seperti tadi musik

perpaduan piano dan biola. Ternyata berbeda. Yang ini paduan kenong, kempul, demung, saron,

gong. Mereka nggending! Lalu sekelompok penari naik ke panggung. Telinga saya tergelitik

tiba-tiba.

“Pitt, saya akan ke sana.”

Keningnya bekerut, pertanda tak mengerti.

“Ada apa?”

“Sepaham saya, kita saja tak pernah mengakui orang-orang Jawa sebagai bagian dari

kita. Pasti ada sesuatu di sana.”

Ditahannya pundak saya.

“Tak perlu. Terserah saja mereka mau tampilkan apa. Terlalu bahaya untuk ikut ke sana.

Sudahlah, pantau saja dari sini.”

Saya menggeleng. Saya harus tahu.

Page 150: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 150

“Saya takkan apa-apa. Saya akan segera kembali.”

Saya singkirkan tangganya, keluar dari bayang-bayang pohon, dan berjalan dalam

bayang-bayang lainnya. Langkah saya perlahan agar para tentara itu tak menyadari seseorang

yang baru mendekat pada kumpulan. Tak sulit menerobos kerumunan.

Mata ini tak menangkap kejanggalan sampai mata saya terpaku pada satu sosok yang

sedang tampil sebagai penari utama. Larasati, dengan perutnya yang tak lagi rata. Berani sekali

mereka memaksanya menari dalam kondisi hamil! Keparat!

Tunggu saja, saya akan buat perhitungan nantinya.

Page 151: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 151

Pikiranku melayang pada seorang pria yang pernah sangat kuinginkan

Menanyai lagi hatiku apakah masih ingin memperjuangkannya, coba

menemuinya,

Atau menyerah pada pria lain yang memujaku

Bimbang, kau tahu?

Tapi seharusnya, sesuatu yang sudah kumulai tak kubiarkan berhenti

begitu saja,

Sampai kutemukan ujungnya

Page 152: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 152

BAB VIII

LARASATI

Tentara kerajaan Holland sudah jatuh. Itu yang terjadi dan tak bisa dipungkiri.

Darimana kami tahu sedang tak ada surat kabar yang beredar juga tak ada siaran radio? Dari

angin yang berhembus sendu, serta awan yang terus-menerus menggantung seolah enggan pergi.

Kebebasan Holland terenggut sudah.

Jika berfikir negeri ini dan rakyatnya telah banyak memberi penderitaan padaku dan

saudara-saudaraku, harusnya aku mensyukuri kejatuhannya. Karena dendam kami terbalas. Dan

mereka akan tahu rasanya selalu menjadi orang kedua meski di negeri sendiri.

Harusnya, tapi tak sepenuhnya demikian. Kami yang bukan orang Holland pun ikut

merasakan sakit dan perihnya. Bukan karena tanah kelahiran kami direbut orang, tapi karena

kami harus kehilangan banyak hal yang sudah kami usahakan untuk yang kesekian kali. Hal

yang sudah hampir matang dan akan memberikan perbaikan kondisi bagi saudara-saudaraku di

negeri ini juga di Hindia sana.

Amsterdam sudah dikuasai. Kota-kota besar lain juga mulai disisiri, kemudian

ditaklukan. Aku yakin Leiden takkan dilupakan. Hanya tinggal menunggu waktu. Dan betul

perkiraanku. Tak sampai seminggu berselang sejak hari didudukinya Amsterdam, tentara Prancis

sampai di Leiden. Padahal begitu jauhnya jarak Leiden-Amsterdam.

Sebenarnya kami sudah memperkirakannya, tapi ini terlalu cepat. Apalagi Ratu, perdana

menteri, serta para petinggi negeri sedang menghilang. Tanpa ada berita sama sekali. Keadaan

ini pasti berpengaruh buruk pada moral dan semangat para tentara. Dan masalahnya, hanya

sedikit tentara yang ditempatkan untuk menjaga kota ini.

Sebenarnya aku hanya tahu Neve, entah bagaimana bagian kota yang lainnya. Tapi

kurasa tak jauh berbeda. Hanya ada sedikit tentara untuk Leiden. Yang berbeda hanya bahwa

Neve dijaga sedikit tentara tanpa penduduk lelaki dewasa, dan yang ada di rumah-rumah

tinggallah para orang tua, wanita dan anak-anak. Neve dan Leiden terduduki dengan mudahnya.

Page 153: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 153

Bagaimana bisa diduduki dengan mudah? Apa kami menyerah tanpa perlawanan?

Tidak! Hanya saja tak ada cukup tentara, dan tak ada cukup lelaki dewasa yang mampu

mengangkat senjata.

Di Neve, komandan tentara Prancis datang menemui ketua. Katanya, “Kami tak butuh

orang-orangmu. Tak ada yang bisa kami dapatkan dari kalian. Sia-sia saja kalian hidup.”

Ketua hanya terdiam. Sepertinya si komandan sudah bersiap melepas pelurunya ketika

seorang pria mendekat dan berbisik padanya. Dia mengangguk-angguk kemudian tersenyum.

“Dia bilang penduduk kalian sering menggelar pertunjukan. Kalau kau mau

mengadakan pertunjukan untuk kami, kalian akan kuampuni. Kau pilih yang mana?”

Kebetulan saja aku sedang bersembunyi di rumah ketua. Dan karena letak kamar ini

dekat dengan ruang tamu, tak sengaja betul pembicaraan mereka terdengar. Sampai muncul

keinginanku mengintip keluar. Hanya ada ketua dan ibu di ruang tamu. Dan ketua yang terdiam,

pasti sama bingungnya denganku yang mendengarkan dari dalam kamar. Bagaimana kami tahu

yang mereka inginkan kalau mereka tak katakan secara gamblang?

Orang yang berbisik pada komandan tadi membisikinya lagi. Dan si pembesar

mengangguk-angguk mengerti.

“Coba sebut pertunjukan apa saja yang pernah kalian buat. Kalau aku tertarik dengan

salah satunya saja, kalian akan kuampuni.”

Ketua pun menjelaskan seperlunya.

“Bagus, aku tertarik. Kalian kuampuni. Dan karena aku mau kalian tampil di festival

Amsterdam seminggu lagi, aku mau semuanya segera siap. Besok kalian akan kuberangkatkan

ke Amsterdam. Aku tak terima alasan. Kecuali kalau kau ingin orang-orangmu mati. Mengerti!”

nada bicaranya yang meninggi membuat ketua tak ingin mengatakan apapun kecuali

mengangguk.

Kemudian mereka pergi. Kuharap mereka takkan kembali, tapi itu tak mungkin. Markas

mereka tak jauh dari sini. Ketua masih termangu ketika kubuka pintu kamar dan

menghampirinya .

“Apalagi yang akan kita lakukan sekarang? Kita sudah kehabisan segalanya untuk

menyelamatkan orang-orang kita. Tapi mereka masih saja meminta. Mana mungkin bisa menari

tanpa iringan, padahal tak ada penabuh gamelan lagi yang tersisa.”

Kutepuk lembut pundak yang kelelahan itu.

Page 154: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 154

“Masalah ini biar Laras saja yang tangani, Bapak. Bapak ingat kan siapa yang

membantu Bapak menghidupkan kesenian Jawa di Neve ini?”

“Tapi kau sedang hamil, Nak. Tak boleh kelelahan. Mana mungkin Bapak tega? ”

“Aku tahu, Pak.” Kuelus perutku. “Ia akan mengerti. Karena ia akan jadi setegar aku,

aku yakin itu.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan, Nak?”

“Bila tak menyulitkan, saya minta Bapak dan Ibu memanggil para gadis yang pernah

belajar menari bersamaku. Saya akan minta mereka membantu. Saya juga akan ikut mencari.”

Pria tua itu tersenyum, kemudian memelukku.

“Kau tak boleh kelelahan, tak baik untuk bayimu. Tinggallah saja di sini dan pikirkan

rencana berikutnya. Biar kami saja yang jemput mereka.”

“Betulkah tak apa?” kataku sejenak ragu.

“Akan lebih merepotkan kalau tiba-tiba terjadi sesuatu padamu.”

Tak kusangka menari saja bisa menyelamatkan banyak nyawa, tak hanya untuk bertahan

hidup. Coba kalau dulu kutolak tawaran Haryo mengajar tari, entah apa yang bisa kami tawarkan

sebagai ganti nyawa saudara-saudaraku di sini.

Kau ingat alasan latihan tari kami tak bisa rutin lagi? Karena saat itu orang-orang Neve

sedang sibuk menuntut kerajaan Holland memberi kami fasilitas yang layak. Dan tak lama

setelahnya, kegoncangan terjadi. Serangan Prancis. Dan habislah sudah yang kami usahakan

dengan susah payah. Padahal anak-anak kami sudah mulai dibolehkan belajar di sekolah umum

selayaknya anak-anak Holland, dan kehidupan kami mulai tertata.

Sekarang seolah kembali ke titik nol lagi, seperti dulu saat kami belum berbuat banyak.

Sampai tak bisa kujelaskan lagi masih adakah yang tersisa. Tapi kejadian seperti ini siapa sangka

bakal terjadi, siapa pula yang inginkan. Juga tak hanya kami yang rasakan. Orang-orang yang

lebih dulu menetap di negeri ini pasti merasa lebih remuk lagi.

Cukup lama kutunggu sebelum pak ketua dan ibu datang bersama dengan para gadis

yang kuinginkan. Kemudian kuminta mereka duduk di lantai bersisian. Kursi tamu pak ketua tak

muat untuk semuanya. Lalu kujelaskan pada mereka duduk perkaranya.

“Nah sekarang pertimbangkanlah. Keputusan kalian yang akan menentukan nasib

saudara-saudara kita di Neve. Meskipun aku tak bisa jamin bila kita penuhi keinginan mereka,

Page 155: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 155

mereka akan memenuhi janjinya. Juga tak bisa kujamin nasib kita nanti setelah dikirim ke

Amsterdam. Apapun pendapat kalian, bicaralah.”

Aku tahu mereka sama-sama berfikir. Memang tak ada yang bisa menjamin nasib kami

meski kami putuskan mengikuti kemauan tentara-tentara Prancis itu. Kami hanya berfikir, jika

kami ikuti, saudara-saudara kami masih punya harapan untuk hidup. Meski tak tahu berapa lama

penangguhan ini diberikan.berlangsung. Dan kami pun punya waktu sedikit lebih panjang untuk

berfikir bagaimana caranya tetap hidup.

“Saya bersedia ikut.” Satu dukungan kudapatkan dari Sulastri.

Kemudian satu persatu memberikan persetujuannya.

“Kuingatkan lagi kawan-kawan, kita tak punya jaminan nasib baik. Jadi mulai sekarang,

tiap orang bertanggung jawab atas hidupnya masing-masing. Walaupun kita selalu berusaha

menanggung susah senang bersama.”

Kuharap semua menyadari hal itu. Sebagaimana daun kering yang tidak akan bisa saling

membuat janji untuk gugur bersamaan dari ranting pohon.

Kami tiba di Amsterdam sehari sebelum festival digelar. Dan langsung ditunjukkan

panggungnya, juga peralatan yang tersedia. Kata mereka, selain yang tersedia silahkan diurus

sendiri. Untung saja seperangkat gamelan serta perlengkapan tari yang tersimpan di rumahku

masih utuh, sehingga tinggal dibawa sewaktu akan berangkat.

Sudah bukan rahasia bila para tentara menggoda wanita yang mereka bawa. Terutama

bila yang mereka bawa hanya wanita biasa. Dan itulah yang terjadi, pura-pura tak sengaja

menyenggol, menyentuh. Kami hanya bisa diam, dan sesering mungkin bersama. Orang

cenderung masih bersikap sopan di hadapan para wanita yang bersama-sama.

Dan sesering mungkin bersama itu, sambil kami rundingkan yang akan ditampilkan

nantinya. Jangan kira gampang menyiapkan pertunjukan.

Kami anggap pertunjukan ini hampir sama dengan yang sering kami buat di Neve.

Bedanya ada pada panggung yang lebih besar dan penonton yang lebih banyak. Apapun lah,

yang jelas kami lakukan ini untuk bertahan.

Page 156: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 156

Masih selalu kutanamkan dalam hati para penariku bahwa keindahan tarian tak hanya

dari gerak tubuh, namun dari ketulusan hati yang selalu bersyukur pada anugrah Tuhan. Rasa

syukur bahwa kami masih diberi penangguhan kematian. Syukur masih diberi kesempatan untuk

menunjukan pada orang-orang bagaimana rasanya memohon pada Tuhan, menyampaikan

sesuatu yang ada di lubuk hati terdalam.

Kemudian tarian kami berakhir, digantikan penampilan yang lain. Dan kami menunggu

selesainya dari balik panggung. Menunggu diantarkan ke penginapan yang tadi, atau penginapan

yang lain lagi.

“Sabar ya sayang,” kuelus perutku yang makin membuncit. “Kondisi sekarang memang

sedang sulit, tapi kau harus kuat.”

Seusai penampilan terakhir, sempat kudengar pembawa acara mengumumkan bahwa

perwakilan rakyat Holland membentuk pemerintahan baru yang lebih demokratis. Disebutkan

pula siapa pemimpin baru republik ini. Kuingat juga meski tak terlalu paham artinya.

“Laras,” seseorang memanggilku. Miar.

“Seorang pria menitipkan ini untukmu. Katanya, jangan sampai seorangpun tahu,”

bisiknya sambil pura-pura mengelus perutku.

“Apa kau ingin segera membacanya?”

Aku mengangguk.

“Ayo kita cari keramaian. Agar tak ada yang menyadarinya.”

Miar mengajakku menyusup ke keramaian di dekat panggung, lalu kubaca pesan itu di

sana.

Laras, senang rasanya kita masih bisa berjumpa. Meski hanya saya yang melihatmu,

tanpa kau menyadari bila pandangku terus melekat padamu sepanjang penampilan kalian. Saya

tahu dimana berikutnya kau akan dipindahkan. Nanti malam di kebun belakangnya, tunggulah

kedatangan saya disana segera setelah kau bisa datang.

Seseorang yang merindumu.

Tanpa nama pengirim di surat itu.

“Dimana kau bertemu dengannya, Miar?”

Page 157: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 157

“Kami tak sengaja berjumpa saat aku kembali dari kamar kecil.”

“Apa kau masih ingat seperti apa dia? Warna matanya, warna rambutnya?”

Miar mengangguk. “Rambutnya coklat, warna matanya biru gelap kalau tak salah.”

Aku tahu, dia Rijkaard

Aku seolah lupa pada yang disebut ketakutan saat menyelinap keluar dari penginapan.

Bahkan ketika berjalan sendirian ke kebun belakang. Aku seolah lupa bahwa mungkin saja aku

akan ketahuan, ditangkap kemudian disekap dan diperlakukan entah seperti apa. Semua tersamar

oleh harapan berjumpa dengan seseorang yang aku tak berani berharap bisa kutemui lagi.

Syukurlah yang kuharapkan tak jauh dari kenyataan. Saat berdiri di samping pagar kebun,

satu lengan kokoh begitu kukenal merengkuhku. Ia menuntunku lebih ke dalam kebun, kemudian

memelukku. Kami saling memandang.

Secara hitungan, belumlah lama waktu kami berpisah. Tak sampai hitungan tahun. Tapi

peristiwa-peristiwa pahit yang terjadi membuat banyak perubahan. Rijkaard-ku yang selalu rapi,

rambutnya berantakan. Tampak lebih tua.

“Saya takut kau tak datang.”

“Selama aku hidup, aku akan berusaha datang.”

Dia tersenyum. Direbahkannya kepalanya di pangkuanku.

“Itu yang saya takutkan. Kau akan lakukan apapun untuk memenuhi keinginanmu. Aku

takut terjadi sesuatu yang buruk.”

“Tapi kukira kau tetap senang aku datang.”

Dia tertawa. Terus saja kubelai rambutnya. Waktu seolah berhenti di sini. Tiap detik yang

berharga yang berjalan kami nikmati dalam hening malam. Dalam desau angin yang mengisikan

kebahagiaan.

“Saya ingin kau selamat, Laras. Dengan begitu kau harus pergi dari sini, keluar dari

Eropa.”

“Itu tak mungkin. Aku tak bisa meninggalkan kawan-kawanku.”

Ia terdiam.

“Kalau kau ingin, saya bisa titipkan kau pada seorang kawan yang akan berlayar keluar

Eropa. Kau akan selamat asalkan tak tinggal di Eropa.”

“Dengan siapa? Jangan katakan aku harus pergi sendirian.”

Page 158: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 158

“Saya tak bisa menemanimu.”

“Kenapa?”

Dia tersenyum. Disentuhnya pipiku.

“Saya harus tinggal. Saya sudah berjanji akan mengabdi pada negara, jadi tak mungkin

saya meninggalkan Holland saat ini.”

“Begitu juga aku. Aku tak bisa meninggalkan teman-temanku meski harus ikut meregang

nyawa di sini. ”

Keadaan kami tak baik. Maju sulit, mundurpun tak bisa.

“Saya ingin melihatmu menari lagi, Laras, tari yang dulu kita sama-sama lihat sewaktu di

Jawa. Saat jumpa pertama kali, kau ingat? Tentang Dewi Sawitri?”

“Ya, aku ingat.”

“Kalau Dewa Narada betul-betul ada, dan saya mati lebih dulu, minta Ia menghidupkan

saya lagi. Berjanjilah. Saya ingin punya seratus anak darimu, tidak hanya satu.”

Aku mengangguk. Aku tahu kami sama-sama berharap bisa berjumpa suatu hari nanti,

saat semua kekacauan ini berakhir, saat orang-orang Prancis itu sudah pergi dari negeri ini. Tapi

sama-sama tak tahu dan tak yakin bagaimana Tuhan akan takdirkan.

Semoga saja tarianku untuk Rijkaard tak hanya jadi tarian kepedihan yang sunyi.

Page 159: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 159

“Laras, kalau Bathara Narada betul-betul ada,

minta Ia menghidupkan saya lagi.

Saya ingin punya seratus anak darimu,

tidak hanya satu.”

Page 160: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 160

EPILOG

Semua sudah berakhir. Cukup sampai di sini saja.

Ah, ya. Tak terasa benar berlalunya waktu, dan tak terasa benar bagaimana kawan-

kawanku pergi. Demi yang mereka perjuangkan dan mereka yakini sebagai kebenaran.

Pelan-pelan kuayun lagi kursi goyang yang memanggul tubuhku. Lalu kurapatkan

sweter hangat yang memberi tubuh tua ini kehangatan. Nyaman. Kubiarkan lagi pikiranku

melayang. Pada mereka, kawan-kawanku.

Aku sebenarnya amat marah pada mereka. Kami berempat, dan kini hanya satu yang

tersisa. Akulah. Bersama dengan sisa-sisa hal yang kami perjuangkan dahulu.

Aku amat marah saat tahu mereka pergi satu persatu. Kenapa mereka tidak memilih

hidup saja? Tak kumaafkan! Namun, lama-lama aku berfikir ini mungkin kehendak Tuhan, yang

menginginkan salah satu dari kami tinggal. Untuk melihat perkembangan dari hal yang gigih

kami perjuangkan. Agar lewat mataku, kawan-kawan tahu jadi seperti apa kehidupan yang

dijanjikan itu. Sedikit demi sedikit kumaafkan mereka.

Berangsur-angsur kuterima ketertinggalanku di dunia ini. Aku melangkah kembali,

melanjutkan hidup. Berangsur-angsur pula, setelah sekian lama berjalan sendiri, wadagku yang

menua meminta tempatnya pada kesenangan kursi goyang. Dan kini, saatnya aku kembali

mengenang beragam kisah indah yang telah kami ciptakan.

Dan demi anak cucu yang harus tahu bagaimana kisah indah mereka dan aku dahulu,

telah kurangkaikan kata ini untukmu. Berurutan. Kuawali dengan kisah tentang Laras, kemudian

Adi, kemudian Rijkaard. Kini tuntas sudah ceritaku tentang kehidupan mereka.

“Jadi Rijkaard dan Laras berpisah pada akhirnya ya Opa? Lalu nanti, apa mereka akan

bertemu lagi? Atau bagaimana?”

“Memangnya kenapa, Sayang?”

“Setiap orang kan akhirnya harus bahagia. Apa Laras juga bahagia?”

Aku tertawa.

“Lalu Hans maunya mereka jadi seperti apa?”

Page 161: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 161

“Kalau dia perempuan hebat, dia harusnya hidup bahagia. Dia akan bertemu dengan

suaminya lagi dan mereka bahagia. Dan temannya Laras apa bisa pulang dari Prancis? Teman

Opa yang sembunyi, ada dimana dia sekarang? Apa mereka juga bahagia seperti Oma dan Opa?”

Lagi-lagi aku tertawa. Kuraih dan kupeluk buah hati putriku dan kududukkan ia di

pangkuan.

“Ayo, Opa belum katakan bagaimana akhirnya.”

“Opa tak pernah dengar lagi kabar mereka. Perang membuat kami tercerai-berai dan tak

pernah lagi berjumpa.”

Bibir mungilnya mengerucut.

“Harusnya Opa tidak usah cerita kalau akhirnya tidak bahagia.”

Tinju kecil-kecil cucuku menimpa paha dan dadaku. Kutanggapi dengan derai tawa.

Meski sesungguhnya aku selalu salut pada mereka. Hidup yang bahagianya sesingkat itu masih

dijalani juga. Juga tidak pernah berkeinginan mati lebih cepat selayaknya orang-orang yang

merasa tak cukup bahagia sehingga ingin cepat-cepat saja mengakhiri hidup.

Saat aku meminta dikirim ke Hindia, Neve sudah tak ada lagi. Aku tak tahu apakah

perjanjian yang mereka upayakan tetap dijalankan. Aku juga tak tak tahu masih berapa banyak

orang Jawa yang hidup dan bertahan. Mereka lagi-lagi kehilangan kekuatan.

Rijkaard kawanku, Larasati istrinya, dan Adi seseorang yang kuanggap kawan sejak

hari pertama kali kulihat ia di pertemuan pra-perundingan dulu. Seseorang yang dalam beberapa

hal mirip denganku. Kawan-kawanku satu persatu menghilang, hingga yang tersisa hanya

kenangan.

Oh aku hampir lupa. Perkenalkan, namaku Johanes Pitterson. Dan Rijkaard selalu

memanggilku Pitt.

SELESAI

Malang, 27 September 2010

Page 162: TARIAN SUNYI - jayaningsila.files.wordpress.com fileDan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang membawakan kisah dengan gaya yang sempurna. Begitulah kisah hidupnya

Tarian Sunyi Page 162

OTOBIOGRAFI

Jayaning Sila Astuti, lahir di Trenggalek Jawa Timur pada 1 Oktober. Memulai langkah

kepenulisannya pada tahun 2003, dan diselami lebih dalam pada tahun 2006 saat bergabung

dengan UKM Penulis Universitas Negeri Malang.

Mulai tahun 2012, penulis sedang mendalami Psikologi Industri dan Organisasi di Universitas

Islam Indonesia. Mohon doanya ya..

Penulis bisa dihubungi pada jayaningsila @gmail.com, atau nomer +6285646573810. Karya-

karya lainnya bisa dinikmati pada buku-bukunya yang sudah terbit, atau pada blog

jayaningsila.wordpress.com atau www.kompasiana.com/jayaningsila.