tanah gambut

301
K R KTERISTIK D N PENGELOL N L H N R W Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2006

Upload: ryakwang

Post on 15-Oct-2015

197 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

tanah gambut

TRANSCRIPT

  • KARAKTERISTIK DAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA

    Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

    Departemen Pertanian 2006

  • KARAKTERISTIK DAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA

    PENGARAH : Irsal Las

    PENYUNTING :

    Didi Ardi S. Undang Kurnia

    Mamat H.S. Wiwik Hartatik Diah Setyorini

    REDAKSI PELAKSANA :

    Karmini Gandasasmita Suwarto

    Widhya Adhy Sukmara

    Diterbitkan oleh :

    BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN

    Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

    Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123 Telp 0251-323012, Fax. 0251-311256

    e-mail : [email protected] http://www.soil-climate.or.id

    Edisi pertama tahun 2006

    ISBN 979-9474-52-3

  • i

    KATA PENGANTAR

    Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang sangat potensial untuk pengembangan pertanian. Luas lahan ini, diperkirakan sekitar 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan pasang surut sekitar 20 juta ha dan rawa lebak 13 juta ha. Namun demikian, ekosistem rawa, secara alami bersifat rapuh (fragile) oleh sebab itu dalam memanfaatkan lahan rawa dengan produktivitas optimal dan berkelanjutan, diperlukan teknologi pengelolaan lahan yang tepat dan terpadu.

    Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, melalui berbagai lembaga penelitian dan kegiatan, terutama yang dikoordinasikan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian telah mengidentifikasi karakteristik lahan rawa tersebut secara komprehensif dan menemukan berbagai inovasi teknologi untuk mengatasi masalah yang ada, sehingga pemanfaatannya optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Teknologi pengelolaan tanah, tata air mikro, ameliorasi tanah dan pemupukan, serta penggunaan varietas yang adaptif merupakan beberapa hasil penelitian yang telah terbukti sangat beperan dalam meningkatkan produktivitas lahan rawa. Untuk menyebarluaskan hasil yang telah diperoleh, supaya dapat dimanfaatkan masyarakat luas, maka hasil itu kami rangkum di dalam terbitan ini.

    Buku Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa ini memuat informasi tentang lahan rawa di Indonesia secara komprehensif mulai dari lahan rawa secara umum, rawa pasang surut, dan rawa lebak, sampai teknologi pengelolaan lahan sulfat masam dan gambut, pemanfaatan lahan rawa lebak, sumberdaya hayati pertanian, konservasi dan rehabilitasi lahan rawa, dan usaha agribisnis di lahan rawa pasang surut. Sehingga, diharapkan bisa digunakan sebagai acuan bagi berbagai usaha praktis, di dalam pengelolaan maupun penelitian lanjutan, untuk menemukan teknologi pemanfaatan lahan rawa yang lebih efektif dan efisien.

    Kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi terbitnya buku ini, saya sampaikan terima kasih.

    Bogor, Desember 2006

    Kepala Badan Penelitian dan

    Pengembangan Pertanian

    Dr. Ir. Achmad Suryana, MS

  • iii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    KATA PENGANTAR .................................................................................. i

    DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

    I. KLASIFIKASI DAN PENYEBARAN LAHAN RAWA ......................... 1 Subagyo H.

    II. LAHAN RAWA PASANG SURUT ...................................................... 23 Subagyo H.

    III. LAHAN RAWA LEBAK ....................................................................... 99 Subagyo H.

    IV. TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM .............. 117 Didi Ardi Suriadikarta dan Diah Setyorini

    V. TEKNOLOGI PENGELOLAAN HARA LAHAN GAMBUT ................. 151 Wiwik Hartatik dan Didi Ardi Suriadikarta

    VI. TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN RAWA LEBAK ................... 181 Trip Alihamsyah dan Isdijanto Ar-Riza

    VII. SUMBERDAYA HAYATI PERTANIAN LAHAN RAWA ..................... 203 Izhar Khairullah, Mawardi, dan Muhrizal Sarwani

    VIII. KONSERVASI DAN REHABILITASI LAHAN RAWA ....................... 229 Abdurachman Adimihardja, Kasdi Subagyono, dan M. Al-Jabri

    IX. USAHA AGRIBISNIS DI LAHAN RAWA PASANG SURUT ............ 275 Achmadi Jumberi dan Trip Alihamsyah

  • 1

    I

    KLASIFIKASI DAN PENYEBARANLAHAN RAWA Subagyo H.

  • Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

    2

    1.1. PENGERTIAN

    Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated) atau tergenang (waterlogged) air dangkal. Dalam pustaka, lahan rawa sering disebut dengan berbagai istilah, seperti swamp, marsh, bog dan fen, masing-masing mempunyai arti yang berbeda.

    Swamp adalah istilah umum untuk rawa, digunakan untuk menyatakan wilayah lahan, atau area yang secara permanen selalu jenuh air, permukaan air tanahnya dangkal, atau tergenang air dangkal hampir sepanjang waktu dalam setahun. Air umumnya tidak bergerak, atau tidak mengalir (stagnant), dan bagian dasar tanah berupa lumpur. Dalam kondisi alami, swamp ditumbuhi oleh berbagai vegetasi dari jenis semak-semak sampai pohon-pohonan, dan di daerah tropika biasanya berupa hutan rawa atau hutan gambut.

    Marsh adalah rawa yang genangan airnya bersifat tidak permanen, namun mengalami genangan banjir dari sungai atau air pasang dari laut secara periodik, dimana debu dan liat sebagai muatan sedimen sungai seringkali diendapkan. Tanahnya selalu jenuh air, dengan genangan relatif dangkal. Marsh biasanya ditumbuhi berbagai tumbuhan akuatik, atau hidrofitik, berupa reeds (tumbuhan air sejenis gelagah, buluh atau rumputan tinggi, seperti Phragmites sp.), sedges (sejenis rumput rawa berbatang padat, tidak berbuluh, seperti famili Cyperaceae), dan rushes (sejenis rumput rawa, seperti purun, atau mendong, dari famili Juncaceae, yang batangnya dapat dianyam menjadi tikar, topi, atau keranjang). Marsh dibedakan menjadi "rawa pantai" (coastal marsh, atau salt-water marsh), dan "rawa pedalaman" (inland marsh, atau fresh water marsh) (SSSA, 1984; Monkhouse dan Small, 1978).

    Bog adalah rawa yang tergenang air dangkal, dimana permukaan tanahnya tertutup lapisan vegetasi yang melapuk, khususnya lumut spaghnum sebagai vegetasi dominan, yang menghasilkan lapisan gambut (ber-reaksi) masam. Ada dua macam bog, yaitu "blanket bog, dan "raised bog. Blanket bog adalah rawa yang terbentuk karena kondisi curah hujan tinggi, membentuk deposit gambut tersusun dari lumut spaghnum, menutupi tanah seperti selimut pada permukaan lahan yang relatif rata. Raised bog adalah akumulasi gambut masam yang tebal, disebut hochmoor", yang dapat mencapai ketebalan 5 meter, dan membentuk lapisan (gambut) berbentuk lensa pada suatu cekungan dangkal.

  • Subagyo

    3

    Fed adalah rawa yang tanahnya jenuh air, ditumbuhi rumputan rawa sejenis reeds, sedges, dan rushes, tetapi air tanahnya ber-reaksi alkalis, biasanya mengandung kapur (CaCO3), atau netral. Umumnya membentuk lapisan gambut subur yang ber-reaksi netral, yang disebut laagveen atau lowmoor.

    Lahan rawa merupakan lahan basah, atau wetland, yang menurut definisi Ramsar Convention mencakup wilayah marsh, fen, lahan gambut (peatland), atau air, baik terbentuk secara alami atau buatan, dengan air yang tidak bergerak (static) atau mengalir, baik air tawar, payau, maupun air asin, termasuk juga wilayah laut yang kedalaman airnya, pada keadaan surut terendah tidak melebihi enam meter (Wibowo dan Suyatno, 1997).

    Lahan rawa sebenarnya merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut), yaitu antara daratan dan laut, atau di daratan sendiri, antara wilayah lahan kering (uplands) dan sungai/danau. Karena menempati posisi peralihan antara sistem perairan dan daratan, maka lahan ini sepanjang tahun, atau dalam waktu yang panjang dalam setahun (beberapa bulan) tergenang dangkal, selalu jenuh air, atau mempunyai air tanah dangkal. Dalam kondisi alami, sebelum dibuka untuk lahan pertanian, lahan rawa ditumbuhi berbagai tumbuhan air, baik sejenis rumputan (reeds, sedges, dan rushes), vegetasi semak maupun kayu-kayuan/hutan, tanahnya jenuh air atau mempunyai permukaan air tanah dangkal, atau bahkan tergenang dangkal.

    1.2. KLASIFIKASI WILAYAH RAWA

    Lahan rawa yang berada di daratan dan menempati posisi peralihan antara sungai atau danau dan tanah darat (uplands), ditemukan di depresi, dan cekungan-cekungan di bagian terendah pelembahan sungai, di dataran banjir sungai-sungai besar, dan di wilayah pinggiran danau. Mereka tersebar di dataran rendah, dataran berketinggian sedang, dan dataran tinggi. Lahan rawa yang tersebar di dataran berketinggian sedang dan dataran tinggi, umumnya sempit atau tidak luas, dan terdapat setempat-setempat. Lahan rawa yang terdapat di dataran rendah, baik yang menempati dataran banjir sungai maupun yang menempati wilayah dataran pantai, khususnya di sekitar muara sungai-sungai besar dan pulau-pulau deltanya adalah yang dominan.

  • Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

    4

    Pada kedua wilayah terakhir ini, karena posisinya bersambungan dengan laut terbuka, pengaruh pasang surut dari laut sangat dominan. Di bagian muara sungai dekat laut, pengaruh pasang surut sangat dominan, dan ke arah hulu atau daratan, pengaruhnya semakin berkurang sejalan dengan semakin jauhnya jarak dari laut.

    Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar (spring tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah (down stream area) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona. Klasifikasi zona-zona wilayah rawa ini telah diuraikan oleh Widjaja-Adhi et al. (1992), dan agak mendetail oleh Subagyo (1997). Ketiga zona wilayah rawa tersebut adalah:

    Zona I : Wilayah rawa pasang surut air asin/payau Zona II : Wilayah rawa pasang surut air tawar Zona Ill : Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut

    1.2.1. Zona I: Wilayah rawa pasang surut air asin/payau

    Wilayah rawa pasang surut air asin/payau terdapat di bagian daratan yang bersambungan dengan laut, khususnya di muara sungai besar, dan pulau-pulau delta di wilayah dekat muara sungai besar. Di bagian pantai ini, dimana pengaruh pasang surut air asin/laut masih sangat kuat, sering kali disebut sebagai tidal wetlands, yakni lahan basah yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut/salin.

    Di bagian pantai yang terbuka ke laut lepas, apabila pesisir pantainya berpasir halus, dan ombak langsung mencapai garis pantai, oleh pengaruh energi ombak dan angin biasanya terbentuk beting pasir pantai (coastal dunes/ridges), yang di belakangnya terdapat semacam danau-danau sempit yang disebut laguna (lagoons). Wilayah di belakang laguna, merupakan jalur yang ditumbuhi hutan bakau atau mangrove (Rhizophora sp., Bruguiera sp.), dan masih dipengaruhi oleh air pasang melalui sungai-sungai kecil (creeks). Di belakang hutan mangrove, terdapat jalur wilayah yang dipengaruhi oleh air payau (brackish water), dan ditumbuhi vegetasi nipah (Nipa fruticans). Di belakang hutan nipah, terdapat landform rawa belakang (backswamp) yang dipengaruhi oleh air tawar (fresh water).

  • Subagyo

    5

    Gambar 1.1. Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) bagian bawah dan tengah

    Selanjutnya lebih jauh ke arah daratan, pada landform cekungan/depresi, ditempati oleh hutan rawa dan gambut air tawar (fresh-water swamp and peat forests).

    Di bagian estuari atau teluk yang terlindung dari hantaman ombak langsung, atau di bagian pantai yang terlindung gosong pasir (sand spits), pada bagian paling depan terdapat dataran lumpur tidak bervegetasi, yang terbenam di

  • Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

    6

    bawah air laut sewaktu air pasang, tetapi terlihat muncul sebagai daratan sewaktu air surut. Dataran berlumpur ini disebut tidal flats, atau mudflats. Pada bagian daratan yang sedikit lebih tinggi letaknya, yang sebagian atau seluruhnya masih digenangi air pasang, disebut tidal marsh (rawa pasang surut), atau "salt marsh (rawa dipengaruhi air garam). Di bagian terluar yang masih dipengaruhi oleh pasang surut, biasanya didominasi oleh vegetasi rambai (Sonneratia sp.), api-api (Avicennia sp.), dan jeruju (Acanthus licifolius), dan di belakangnya ke arah daratan ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove, dengan tumbuhan bawah buta-buta (Excoecaria agallocha), dan pial (Acrostichum aureum). Jalur bakau ini lebarnya beragam dan dapat mencapai 1,5-2 km ke arah darat.

    Wilayah di belakang hutan mangrove, masih dipengaruhi oleh air pasang melalui sungai-sungai kecil, namun sudah ada pengaruh air tawar dari hutan rawa pantai lebih ke darat. Bagian yang dipengaruhi oleh air payau ini, didominasi oleh nipah bersama panggang (Araliceae) dan pedada (Sonneratia acida), membentuk jalur hutan nipah yang lebarnya dapat mencapai 500 m. Di belakang jalur hutan nipah terdapat landform rawa belakang yang sudah dipengaruhi oleh air tawar. Di rawa delta Pulau Petak, wilayah rawa belakang ini, umumnya didominasi pohon gelam (Melaleuca leucadendron). Lebih jauh ke arah daratan, pada sub-landform cekungan/ depresi ditempati hutan rawa dan gambut air tawar.

    Bagian wilayah pasang surut yang dipengaruhi oleh air asin/salin dan air payau ini, di pantai timur pulau Sumatera seperti di Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau, umumnya masuk ke dalam daratan Pulau Delta dan sepanjang sungai besar sejauh dari beberapa ratus meter sampai sekitar 4-6 km ke dalam. Wilayah ini, karena pengaruh air laut/salin atau air payau, tanahnya mengandung garam-garam yang tinggi, dikatagorikan sebagai tipologi lahan salin, dan tidak sesuai untuk lahan pertanian.

    Berapa jauh zona I wilayah pasang surut air asin/payau masuk ke arah hulu dari muara sungai, tergantung dari bentuk estuari, yaitu bagian muara sungai yang melebar berbentuk V ke arah laut, dimana gerakan air pasang dan surut terjadi. Jika bentuk estuari lebar dan lurus, pengaruh air asin/salin dapat mencapai sekitar 10-20 km dari mulut/muara sungai besar. Namun, apabila relatif sempit dan sungai berkelok, pengaruh air asin/salin hanya mencapai jarak 5-10 km dari muara sungai. Sementara dari laut/ sungai ke arah daratan Pulau Delta,

  • Subagyo

    7

    atau ke arah wilayah pinggiran sungai, jarak masuknya air pasang dapat mencapai sekitar 4-5 km.

    1.2.2. Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawar

    Wilayah pasang surut air tawar adalah wilayah rawa berikutnya ke arah hulu sungai. Wilayahnya masih termasuk daerah aliran sungai bagian bawah, namun posisinya lebih ke dalam ke arah daratan, atau ke arah hulu sungaI. Di wilayah ini energi sungai, berupa gerakan aliran sungai ke arah laut, bertemu dengan energi pasang surut yang umumnya terjadi dua kali dalam sehari (semi diurnal). Karena wilayahnya sudah berada di luar pengaruh air asin/salin, yang dominan adalah pengaruh air-tawar (fresh-water) dari sungai sendiri. Walaupun begitu, energi pasang surut masih cukup dominan, yang ditandai oleh masih adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai.

    Di daerah tropika yang beriklim munson, yang dicirikan oleh adanya musim hujan dan musim kemarau, di musim hujan ditandai oleh volume air sungai yang meningkat, berakibat bertambah besarnya pengaruh air pasang ke daratan kiri-kanan sungai besar, dan bertambah jauh jarak jangkauan air pasang ke arah hulu. Limpahan banjir sungai selama musim hujan yang dibawa air pasang, mengendapkan fraksi debu dan pasir halus ke pinggir sungai. Pengendapan bahan halus yang terjadi secara periodik selama ber-abad-abad akhirnya membentuk (landform) tanggul sungai alam (natural levee), yang jelas terlihat ke arah hulu dan makin tidak jelas terbentuk, karena pengaruh pasang surut, ke arah hilir dan di muara sungai besar.

    Di antara dua sungai besar, ke arah belakang tanggul sungai, tanah secara berangsur atau secara mendadak menurun ke arah cekungan di bagian tengah yang diisi tanah gambut. Ke bagian tengah, lapisan gambut semakin tebal/dalam dan akhirnya membentuk kubah gambut (peat dome). Bagian yang menurun tanahnya di antara tanggul sungai dan depresi/kubah gambut disebut (sub-landform) rawa belakang (backswamp). Di musim kemarau, pada saat volume air sungai relatif tetap atau malahan berkurang, pengaruh air asin/salin dapat merambat sepanjang sungai sampai jauh ke pedalaman. Pada bulan-bulan terkering, Juli-September, pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak sejauh 40-90 km dari muara sungai.

  • Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

    8

    Makin jauh ke pedalaman, atau ke arah hulu, gerakan naik turunnya air sungai karena pengaruh pasang surut makin berkurang, dan pada jarak tertentu berhenti. Di sinilah batas zona II, dimana tanda pasang surut yang terlihat pada gerakan naik turunnya air tanah juga berhenti. Jarak zona II dari pantai, tergantung dari bentuk dan lebar estuari di mulut/muara sungai dan kelak-kelok sungai dapat mencapai sekitar 100-150 km dari pantai. Sebagai contoh, kota Palembang di tepi S. Musi, pengaruh pasang surut masih terasa, tetapi relatif sudah sangat lemah, berjarak sekitar 105 km dari pantai. Di muara Anjir Talaran di dekat kota Marabahan di Sungai Barito, Provinsi Kalimantan Selatan, yang berjarak (garis lurus) sekitar 65 km dari muara, pasang surut relatif masih agak kuat.

    Pencapaian air pasang di musim hujan dan air asin di musim kemarau pada tiga sungai besar di Sumatera adalah S. Rokan: 48 dan 60 km, S. Inderagiri: 146 dan 86 km, dan S. Musi 108 dan 42 km dari muara sungai. Di Kalimantan, S. Kapuas Besar: 150 dan 24 km, S. Kahayan 125 dan 65 km, dan S. Barito 158 dan 68 km dari muara sungai. Di Papua, S. Mamberamo: 30 dan 8 km, S. Lorenz (pantai selatan, barat Agats) 103 dan 63 km, dan S. Digul (barat Merauke) 272 dan 58 km dari muara sungai (Nedeco/Euroconsult-Biec,1984).

    1.2.3. Zona III: Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut

    Wilayah rawa lebak terletak lebih jauh lagi ke arah pedalaman, dan dimulai di wilayah dimana pengaruh pasang surut sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu, rawa lebak sering disebut sebagai rawa pedalaman, atau rawa non-pasang surut. Biasanya sudah termasuk dalam daerah aliran sungai bagian tengah pada sungai-sungai besar. Landform rawa lebak bervariasi dan dataran banjir (floodplains) pada sungai-sungai besar yang relatif muda umur geologisnya, sampai dataran banjir bermeander (meandering floodplains), termasuk bekas aliran sungai tua (old river beds), dan wilayah danau oxbow (oxbow lakes) pada sungai-sungai besar yang lebih tua perkembangannya. Pengaruh sungai yang sangat dominan adalah berupa banjir besar musiman, yang menggenangi dataran banjir di sebelah kiri-kanan sungai besar. Peningkatan debit sungai yang sangat besar selama musim hujan, "verval" sungai atau perbedaan penurunan tanah dasar sungai yang rendah, sehingga aliran sungai melambat, ditambah tekanan balik arus air pasang dari muara, mengakibatkan air sungai seakan-akan

  • Subagyo

    9

    "berhenti" (stagnant), sehingga menimbulkan genangan banjir yang meluas. Tergantung dari letak dan posisi lahan di landscape, genangan dapat berlangsung dari sekitar satu bulan sampai lebih dari enam bulan. Sejalan dengan perubahan musim yang ditandai dengan berkurangnya curah hujan, genangan air banjir secara berangsur-angsur akan surut sejalan dengan perubahan musim ke musim kemarau berikutnya.

    1.3. PENYEBARAN DAN LUAS LAHAN RAWA

    1.3.1. Penyebaran lahan rawa

    Sumberdaya lahan rawa di Indonesia, sebagai salah satu pilihan lahan pertanian di masa depan, secara dominan terdapat di empat pulau besar di luar Jawa, yaitu Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua, serta sebagian kecil di Pulau Sulawesi. Penyebaran lahan rawa, berikut tanah gambut diilustrasikan pada Gambar 1.2.

    Di Sumatera, penyebaran lahan rawa secara dominan terdapat di dataran rendah sepanjang pantai timur, terutama di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi, serta dijumpai lebih sempit di Provinsi Sumatera Utara dan Lampung. Di pantai barat, lahan rawa menempati dataran pantai sempit, terutama di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sekitar Meulaboh dan Tapaktuan), Sumatera Barat (Rawa Lunang, Kabupaten Pesisir Selatan), dan Bengkulu (selatan kota Bengkulu).

    Di Kalimantan, penyebaran lahan rawa yang dominan terdapat di dataran rendah sepanjang pantai barat, termasuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat; pantai selatan, dalam wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, dan sedikit di Kalimantan Selatan; serta pantai timur dan timur laut, dalam wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Penyebaran rawa lebak yang cukup luas, terdapat di daerah hulu Sungai Kapuas Besar, sebelah barat Putussibau, Kalimantan Barat, serta di sekitar Danau Semayang dan Melintang, sekitar Kotabangun, di Daerah Aliran Sungai (DAS) bagian tengah Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.

  • Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

    10

    Gam

    bar 1.2. Peta penyebaran lahan raw

    a dan lahan gambut di Indonesia

  • Subagyo

    11

    Di Papua, penyebaran lahan rawa yang terluas terdapat di dataran rendah sepanjang pantai selatan, termasuk wilayah Kabupaten Fakfak, dan pantai tenggara dalam wilayah Kabupaten Merauke. Kemudian di daerah Kepala Burung, di sekeliling Teluk Berau-Bintuni, dalam wilayah Kabupaten Manokwari dan Sorong.

    Selanjutnya di sepanjang dataran pantai utara, memanjang dari sekitar Nabire (Kabupaten Paniai) sampai Sarmi (Kabupaten Jayawijaya). Penyebaran lahan rawa lebak yang cukup luas terdapat di lembah Sungai Mamberamo, yang terletak hampir di bagian tengah pulau.

    Di Sulawesi, penyebaran lahan rawa relatif tidak luas, dan terdapat setempat-setempat di dataran pantai yang sempit. Lahn rawa yang relatif agak luas ditemukan di pantai barat-daya kota Palu, dalam wilayah Kabupaten Mamuju, kemudian di sekitar Teluk Bone, sepanjang pantai timur-Iaut Palopo, dan sedikit di pantai selatan Kabupaten Toli-toli di sekitar Teluk Tomini.

    1.3.2. Luas lahan rawa

    Belum seluruh wilayah lahan rawa di Indonesia diteliti cukup intensif. Dari ketiga pulau besar, Sumatera, Kalimantan, dan Papua, hanya lahan rawa pasang surut di pantai timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung) telah banyak diteliti dan dipetakan tanahnya antara tahun 1969-1980 dalam rangka pelaksanaan P4S (Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut), Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (sekarang, Departemen Kimpraswil). Seluruh wilayah Pulau Sumatera, termasuk wilayah lahan rawanya, kemudian dipetakan tanahnya pada tingkat tinjau oleh proyek LREP-I (Land Resource Evaluation and Planning Project) Pusat Penelitian Tanah (sekarang Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian), antara tahun 1986-1990.

    Di Kalimantan, lahan rawa di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan banyak memperoleh perhatian selama pelaksanaan P4S. Di Kalimantan Barat, khususnya di wilayah pulau-pulau delta di antara S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, dan Ambawang, di sebelah selatan kota Pontianak, seperti Rasau Jaya, Pinang luar, dan Air Putih. Di Kalimantan Tengah di wilayah pulau delta pada aliran bawah Sungai Kahayan, antara S. Kahayan dan Kapuas, seperti Pangkoh, Tamban luar, dan Berengbengkel. Di

  • Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

    12

    Kalimantan Selatan, sebagian besar penelitian dikonsentrasikan di wilayah Delta Pulau Petak, seperti di Barambai, Jelapat, dan Belawang. Selanjutnya penelitian wilayah lahan rawa terakhir, dilakukan antara tahun 1996-1998, yaitu pada wilayah rawa antara S. Sebangau-Kahayan-Kapuas-Kapuasmurung yang diteliti dalam rangka pelaksanaan proyek PLG (Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar) di wilayah tersebut.

    Di Papua, baru wilayah di sekitar Merauke, yakni daerah S. Digul-Kabupaten Merauke, dan daerah S. Digul-Pantai Kasuari, seluas 3,7 juta ha sudah dipetakan pada tingkat tinjau oleh Pusat Penelitian Tanah untuk pengembangan wilayah di tempat tersebut (Puslittan, 1985, 1986). Wilayah rawa lainnya, seperti di sekitar Teluk Berau-Bintuni, dan di pantai utara pulau antara Nabire dan Sarmi belum pernah diteliti tanahnya. Tim peneliti Nedeco/Euroconsult-Biec yang melakukan Nationwide study of coastal and near coastal swamp land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya pada tahun 1982-1984, diperkirakan pernah meneliti sebagian lahan rawa, khususnya di pantai selatan Pulau Papua ini. Selama pelaksanaan P4S antara tahun 1969-1984, lahan rawa di Papua belum sempat tertangani oleh pemerintah pusat.

    Oleh karena tidak lengkapnya data dan informasi lahan rawa, maka data luas lahan rawa di Indonesia belum dapat ditentukan secara lebih pasti dan akurat. Luas lahan rawa masih bersifat perkiraan, dan estimasi yang dilakukan oleh beberapa peneliti atau instansi lain, menunjukkan luas lahan rawa yang bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 1.1.

    Data luas lahan rawa pertama kali dikemukakan oleh Mulyadi (1977), yaitu sekitar 39,42 juta ha, sudah termasuk lahan rawa lebak. Data ini kemudian digunakan oleh Direktorat Rawa, Departemen Pekerjaan Umum (Direktorat Rawa, 1992; Sugeng, 1992) untuk perencanaan pengembangan lahan rawa. Sementara itu, Nedeco/Euroconsult-Biec (1984) bekerja sama dengan Direktorat Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum melaksanakan studi nasional lahan pantai di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua), tidak termasuk pulau Sulawesi, memperoleh luas lahan rawa di ketiga pulau tersebut sebesar 23,5 juta ha. Hasil penelitian ini, diuraikan agak mendetail, disajikan pada Lampiran 1.1. Berdasarkan peta-peta laporan akhir studi tersebut, Nedeco/Euroconsult-Biec tampaknya tidak memasukkan penyebaran lahan rawa lebak.

  • Subagyo

    13

    Tabel 1.1. Estimasi luas lahan rawa di Indonesia Lahan rawa

    Sumber data Pulau Tanah gambut

    Tanah mineral Rawa lebak Total

    ha ... Polak, 1952 Indonesia 16.349.865

    Mulyadi, 1977 Sumatera Kalimantan Papua Sulawesi

    13.211.000 12.764.000 12.980.500

    469.000 Total 39.424.500

    Nedeco/Euroconsult-Biec, 1984

    Sumatera Kalimantan Papua Sulawesi

    4.200.1503.156.0001.906.500

    tad

    4.742.7903.872.3505.872.000

    tad

    8.942.940 7.028.350 7.778.500

    - Total 9.262.650 14.487.140 23.749.790

    Subagyo et al., 1990 Sumatera Kalimantan Papua Sulawesi Maluku

    6.407.7505.352.5003.129.750

    --

    6.804.5115.645.3239.866.0001.115.814

    775.500

    13.212.261 10.997.823 12.995.750

    1.115.814 775.500

    Total 14.890.000 24.207.148 39.097.148

    Nugroho et al., 1991 Sumatera Kalimantan Papua Sulawesi

    4.798.0004.674.8001.284.250

    145.500

    1.806.0003.452.1002.932.6901.039.450

    2.786.000 3.580.500 6.305.770

    608.500

    9.390.000 11.707.400 10.522.710

    1.793.450 Total 10.902.550 9.230.240 13.280.770 33.413.560

    Puslittanak, 2000 Sumatera Kalimantan Papua Sulawesi Maluku

    6.590.3454.447.5232.011.780

    127.74424.885

    5.862.8065.259.9738.293.2511.212.677

    478.975

    12.453.151 9.707.496

    10.305.031 1.340.421

    503.860 Total 13.302.276 21.107.682 34.309.958

    Catatan: - Data Polak (1952) hanya menyebutkan total luas tanah gambut di Indonesia. - Data Mulyadi (1977) hanya menyebutkan luas lahan rawa di setiap pulau. - Data Nedeco/Euroconsult-Biec (1984), tidak memperhitungkan luas rawa lebak. Pulau Sulawesi

    tidak termasuk diteliti; tad = tidak ada data. - Data Subagyo et al. (1990) diolah kembali; luas lahan basah (wetsoils) yang ada dikurangi luas

    lahan sawah (BPS, 2000). Data Subagyo et al. (1990) dan Puslittanak (2000), sudah termasuk lahan rawa lebak.

  • Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

    14

    Selanjutnya, Subagyo et al. (1990) dalam Studi ''wetsoils" di Indonesia,

    memperoleh luas lahan basah, termasuk lahan sawah di empat pulau besar plus Maluku sebesar 43.124.250 ha. Apabila dikurangi luas lahan sawah di lima pulau/kepulauan tersebut, seluas 4.027.102 ha (data BPS, 2000), maka diperoleh luas lahan rawa seluas 39.097.148 ha.

    Studi yang lebih mendetail dilakukan Nugroho et al. (1991) untuk menentukan areal potensial lahan pasang surut, rawa, dan pantai di Indonesia. Dengan menggunakan peta dasar "Tactical Ploatage Chart" (TPC) berskala 1:500.000 yang berjumlah 49 lembar, dan berbagai sumber informasi, utamanya dari Nedeco/Euroconsult-Biec (1984), peta-peta satuan lahan dan tanah P. Sumatera dan LREP-I 1990, peta-peta sistem lahan dan RePPProT 1991, dan berbagai peta tanah dari dokumentasi Puslittanah dan Agroklimat, diperoleh luas lahan rawa 33.413.560 ha. Hasil penelitiannya, yang dilakukan berdasarkan tipologi lahan diuraikan agak mendetail dan disajikan pada Lampiran 1.2.

    Berdasarkan studi ini, luas lahan rawa seluruhnya adalah 33,41 juta ha, yang terbagi ke dalam lahan rawa lebak seluas 13,28 juta ha, dan lahan rawa pasang surut 20,13 juta ha. Lahan pasang surut sendiri tersusun dari lima tipologi lahan, yaitu lahan/tanah gambut sekitar 10,90 juta ha, lahan potensial 2,07 juta ha, lahan sulfat masam potensial 4,34 juta ha, sulfat masam aktual 2,37 juta ha, dan lahan salin sekitar 0,44 juta ha. Berdasarkan data pada Lampiran 1.2, terasa sulit untuk menentukan secara pasti berapa luas sebenarnya masing-masing tipologi lahan, karena adanya bermacam-macam asosiasi antar berbagai tipologi lahan.

    Data dari studi Nugroho et al. (1991) yang relatif komprehensif ini, kemudian dijadikan semacam "angka resmi" luas lahan rawa di Indonesia, dan digunakan oleh berbagai instansi dan proyek, seperti oleh Departemen Kimpraswil (Ditjen Pengairan-Dep. PU, 1998), Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa (Balittra) Banjarbaru-Kalimantan Selatan (Alihamsyah, 2001), dan beberapa proyek pengembangan lahan rawa Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian, seperti proyek SWAMPS-II 1985-1994, ISOP (Integrated

  • Subagyo

    15

    Swamp Development Project) 1994-2000, dan Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan) 1997-2000.

    Sementara itu, berdasarkan sebaran jenis tanah dari Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000 (Puslittanak, 2000), luas lahan rawa sudah termasuk lahan rawa lebak, dapat dihitung, dan diperoleh luas 34,31 juta ha, terdiri atas lahan/tanah gambut 13,20 juta ha, dan tanah mineral basah 21,11 juta ha. Rincian luas lahan rawa berdasarkan jenis tanah, disajikan pada Lampiran 1.3.

    Berdasarkan keempat penelitian terakhir (Tabel 1.1) agak sulit menentukan berapa angka yang dipilih untuk luas lahan rawa di Indonesia. Studi Nedeco/Euroconsult-Biec (1984) menunjukkan luas lahan rawa tidak termasuk lahan lebak, di tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan, dan Papua) sebesar 23,75 juta ha. Seandainya data dari Nugroho et al. (1991) untuk lahan rawa di P. Sulawesi (1,79 juta ha), dan rawa lebak di tiga pulau besar (12,67 juta ha) ditambahkan, maka luas lahan rawa seluruhnya akan mencapai 38,22 juta ha. Sementara itu, data luas lahan gambut juga berbeda, estimasi terendah berkisar antara 9,26-10,90 juta, dan yang lebih tinggi antara 13,20-14,89 juta ha.

    Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan data pada Tabel 1.1, adalah bahwa luas lahan rawa di Indonesia sekitar 33,41-39,10 juta ha, dengan Iuas rawa pasang surut sekitar 20,13-25,82 juta ha, dan lahan rawa lebak sekitar 13,28 juta ha. Luas lahan/tanah gambut berdasarkan estimasi rendah antara 9,26-14,89 juta ha, dan estimasi lebih tinggi sekitar 13,20-14,89 juta ha. Luas total lahan gambut yang pada awalnya (sebelum reklamasi tahun 1970-an) sekitar 16,35 juta ha, namun setelah reklamasi ekstensif selama Pelita I-III (1969-1984) yang diikuti oleh pembukaan oleh masyarakat setempat/pemukim spontan pada tahun-tahun sesudahnya, luasnya dewasa ini telah menyusut menjadi sekitar 13-14 juta ha (Subagyo, 2002). Penyebaran lahan rawa diurutkan dari yang terluas, terdapat di Sumatera, Papua, dan Kalimantan, serta Sulawesi.

  • Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

    16

    PENUTUP

    Dari ketiga zona wilayah rawa, ditinjau dari kegunaannya untuk pertanian, yang paling potensial sebenarnya lahan rawa lebak, kemudian lahan rawa pasang surut air tawar, dan terakhir lahan rawa pasang surut air asin/payau. Dalam pembicaraan sehari-hari yang menyangkut potensi lahan rawa untuk pertanian, sering kali kata rawa, air tawar, dan air asin/payau dihilangkan, sehingga hanya dikenal, lahan lebak, lahan pasang surut, dan lahan salin. Lahan rawa secara keseluruhan masih tetap disebut lahan rawa, atau swampland, dan termasuk dalam kelompok lahan basah, atau wetlands.

    Ditinjau dari keluasannya, lahan pasang surut adalah paling dominan, diikuti oleh lahan lebak, kemudian lahan pasang surut air asin/payau yang karena kandungan garamnya relatif tinggi, atau salinitasnya tinggi, disebut lahan salin. Lahan salin ini, karena kendala kandungan garam yang tinggi dengan reaksi tanah netral sampai agak alkalis (pH 7,0-8,4), tidak cocok untuk budidaya tanaman pertanian, sehingga umumnya tidak di reklamasi atau dibuka untuk persawahan dan pemukiman. Pilihan penggunaan yang lebih sesuai adalah untuk budidaya tambak, atau tetap dipertahankan keberadaannya sebagai wilayah konservasi alam, untuk tujuan pengamanan sumberdaya hayati dan plasma nutfah, ekologi, dan lingkungan hidup.

    Sementara itu, yang paling luas di reklamasi selama pembukaan wilayah pasang surut secara besar-besaran, sekitar 1970-1984, adalah lahan pasang surut di Pulau Sumatera (Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, dan Lampung), dan Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan), serta sedikit di Provinsi Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Lahan pasang surut di Pulau Papua (Irian Jaya), karena begitu besarnya volume pekerjaan reklamasi di Sumatera dan Kalimantan, belum sempat tertangani oleh pemerintah, walaupun 2-3 survei pendahuluan telah dilakukan pada lahan rawa di wilayah pantai bagian selatan pulau. Sampai awal tahun 1998, menurut data Dirjen Pengairan Departemen PU (sekarang Kimpraswil), reklamasi lahan rawa seluruhnya mencapai 5,39 juta ha. Khusus untuk lahan pasang surut telah direklamasi 3,84 juta ha, yang terdiri atas 0,94 juta ha oleh pemerintah dan 2,90 juta ha oleh swadaya masyarakat.

  • Subagyo

    17

    Lahan pasang surut yang dianggap memiliki potensi dan prospek yang besar untuk dijadikan pilihan strategis guna pengembangan areal produksi pertanian ke depan, untuk mendukung dan mengamankan ketahahan pangan nasional, inventarisasi biofisiknya termasuk masalah berapa luas masing-masing lahan pasang surut, lahan lebak, dan lahan salin yang lebih akurat, perlu lebih mendapatkan perhatian di masa-masa mendatang. Luas total lahan rawa saat ini, yang diestimasi antara 33-39 juta ha, masih bersifat perkiraan yang belum tentu benar. Secara khusus, lahan rawa di Kawasan Timur Indonesia, terutama di Pulau Papua (Irian Jaya) yang data dan informasinya masih sangat terbatas, perlu lebih banyak dieksplorasi dan diteliti luas dan potensi alaminya, baik potensinya sebagai sumberdaya pertanian maupun sebagai sumberdaya hayati untuk tujuan konservasi, ekologi, dan lingkungan hidup.

    DAFTAR PUSTAKA

    Alihamsyah, T. 2001. Propek pengembangan dan pemanfaatan lahan pasang surut dalam perspektif eksplorasi sumber pertumbuhan pertanian masa depan. h. 1-18. Dalam 1. A. Riza, T. Alihamsyah, dan M. Sarwani (penyunting). Pengelolaan Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut. Monograf ISSN 1410-637 X. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa.

    BPS (Badan Pusat Statistik). 2000. Statistik Indonesia 2000.

    Direktorat Rawa. 1992. Prasarana fisik bagi pengembangan lahan pasang surut: Jaringan reklamasi rawa dan bangunan penunjang, serta operasionalisasinya. h. 63-80. Dalam Sutjipto Ph., dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992.

    Ditjen Pengairan PU (Pekerjaan Umum). 1998. Pengembangan Daerah Rawa. Direktorat Jenderal Pengairan, Dep. PU. Februari 1998; 93 hal.

    Monkhouse, F.J., and J. Small. 1978. A Dictionary of the Natural Environment. A Halsted Press Book. John Wiley & Sons, New York.

    Mulyadi, D. 1977. Sumberdaya Tanah Kering. Penyebaran dan potensinya untuk kemungkinan budidaya pertanian. Kongres Agronomi I, Jakarta, 27-29 Oktober 1977.

  • Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

    18

    Nedeco/Euroconsult-Biec. 1984. Final Report. Nationwide Study of Coastal and Near Coastal Swamp land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya. Volume 3 Maps. August 1984. Governm. of the Republic of Indonesia. Ministry of Public Works. Direct. Gen. of Water Resources Development.

    Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W. Wahdini, Abdulrachman, H. Suhardjo, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1991. Laporan Akhir. Penentuan areal potensial lahan pasang surut, rawa, dan pantai. Skala 1:500.000. Laporan Teknik No. 1/PSRP/1991. Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan, Puslittanah dan Agroklimat.

    Polak, B. 1952. Veen en Veenontginning in Indonesia. Overdruk van het M.I.A.I Nr. 5 en 6.Sept.- Dec. 1952.

    Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia. Skala 1:1.000.000. Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian.

    Puslittan (Pusat Penelitian Tanah). 1985. Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat Tinjau Daerah Sungai Digul, Kabupaten Merauke. Dep. Transmigrasi/Sekr. Jendral dan Dep. Pertanian/Badan Litbang Pertanian, 222 hal.

    Puslittan (Pusat Penelitian Tanah). 1986. Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat Tinjau Daerah Merauke (Sungai Digul-Pantai Kasuari). Dep. Transmigrasi/Sekr. Jendral dan Dep. Pertanian/Badan Litbang Pertanian, 235 hal.

    SSSA (Soil Science Society of America). 1984. Glossary of Soil Science Terms. SSSA, Madison, Wisconsin, USA. August 1984.

    Subagyo, H. 1997. Potensi pengembangan dan tata ruang lahan rawa untuk pertanian. h. 17-55. Dalam A.S. Karama et al. (penyunting). Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI. Makalah Utama. Jakarta, 25-27 Juni 1996.

    Subagyo, H. 2002. Penyebaran dan potensi tanah gambut di Indonesia untuk pengembangan pertanian. h. 197-227. Dalam CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia). 2003. Sebaran Gambut di Indonesia. Seri Prosiding 02. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.

    Subagyo, H., M. Sudjadi, E. Suryatna, and J. Dai. 1990. Wet soils of Indonesia. p. 248-259. In Kimble, J.M. 1992 (ed.). Proc. Eighth Int. Soil Correl. Meeting (VIII ISCOM): Characterization, Classification, and Utilization of Wet Soils.

  • Subagyo

    19

    Lousiana and Texas. October 6-21, 1990. USDA, SCS, National Soil Survey Center, Lincoln, NE.

    Sugeng, S. 1992. Pengembangan dan pemanfaatan rawa di Indonesia. h. 43-63. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Potensi Lahan Rawa untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan. Fak. Pertanian, Univ. Sriwijaya, Palembang, 23-24 Oktober 1991.

    Wibowo, P., and N. Suyatno. 1997. An Overview of Indonesia Wetland Sites-Included in Wetland Database. Wetlands International-Indonesia Programme, PHPA, Bogor.

    Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan, dan pemanfaatan. h. 19-38. Dalam Sutjipto P. dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992.

  • Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

    20

    Lampiran 1.1. Area of coastal and near coastal swamp of Indonesia

    Landform and island Not suitable Suitable Total ha Deep peats Sumatra 3.972.375 3.972.375 Kalimantan 3.156.000 3.156.000 Papua 1.542.500 1.542.500

    Subtotal 8.670.875 0 8.670.875 Complexes of deep peats with floodplain Papua 364.000 364.000 Sumatra 227.775 227.775

    Subtotal 591.775 0 591.775 Tidal flats Papua 1.515.000 1.515.000 Sumatra 531.325 531.325 Kalimantan 995.200 995.200

    Subtotal 3.041.525 0 3.041.525 Meander belts Kalimantan 34.800 34.800 Lowland, poorly drained, tidal Papua 1.570.000 1.570.000 Kalimantan 1.232.675 1.232.675 Sumatra 1.380.140 1.380.140

    Subtotal 4.182.815 4.182.815 Lowland, poorly drained, braided river Papua 360.375 191.625 552.000 Lowland, poorly drained, floodplain Kalimantan 280.000 74.375 354.375 Sumatra 728.125 130.000 858.125 Papua 474.950 98.750 573.700

    Subtotal 1.483.075 303.125 1.786.200 Lowland, poorly drained, low terraces Kalimantan 66.100 66.100 Papua 979.875 979.875

    Subtotal 1.045.975 1.045.975 Miscellaneous Papua 138.750 258.250 397.000 Sumatra 168.525 168.525

    Subtotal 307.275 258.250 565.525 Occupied lands Kalimantan 1.189.200 1.189.200 Sumatra 2.089.100 2.089.100

    Subtotal 3.278.300 0 3.278.300 TOTAL 17.768.000 5.981.790 23.749.790

    Sumber : Nedeco/Euroconsult-Biec. 1984.

  • Subagyo

    21

    Lampiran 1.2. Luas lahan rawa di Indonesia

    Pembagian lahan rawa dengan tipologi lahan Simbol Luas Luas . ha . Lahan rawa lebak 13.280.770 Lebak dangkal R1 4.167.530 Lebak tengahan R2 3.444.550 Asosiasi Lebak tengahan, dengan Gambut-dangkal dan Gambut-sedang

    R2/G1 2.630.530

    Lebak dalam R3 677.550 Asosiasi Lebak dalam, dengan Gambut-dangkal dan Gambut-sedang

    R3/G1 2.360.610

    Subtotal 13.280.770 Lahan rawa pasang surut 20.132.790 Gambut-dangkal dan Gambut-sedang G1 4.261.900 Asosiasi Gambut-dangkal dan Gambut-sedang, dengan Lahan agak salin

    G1/S1 103.000

    Gambut-dalam G2 3.720.650 Asosiasi Gambut-dalam dan Gambut-sangat dalam

    G2/G3 2.817.000

    Subtotal 10.902.550 Lahan potensial P 30.130 Asosiasi Lahan potensial dengan Lahan agak salin

    P/S1 1.205.430

    Asosiasi Lahan potensial dengan Lahan salin P/S2 832.400 Subtotal 2.067.960 Sulfat masam potensial SM1 1.132.750 Asosiasi Sulfat masam potensial, dengan Gambut-dangkal dan Gambut-sedang

    SM1/G1 66.000

    Asosiasi Sulfat masam potensial, dengan Lahan agak salin

    SM1/S1 1.017.430

    Asosiasi Sulfat masam potensial, dengan Lahan salin

    SM1/S2 2.127.800

    Subtotal 4.343.980 Asosiasi Sulfat masam aktual, dengan Lahan salin SM2/S2 2.374.000 Lahan agak salin S1 304.000 Lahan salin S2 140.300 Subtotal 444.300 Total lahan rawa 33.413.560

    Sumber : Nugroho et al. (1991)

  • Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

    22

    Lampiran 1.3. Jenis tanah dan luas lahan rawa di Indonesia

    SPT Takson tanah (Soil Survey Staff, 1999) Bahan induk Sub-landform Tanah mineral

    Tanah gambut

    . ha . 2 Haplohemists Organik Kubah gambut - 6.474.932 Haplosaprists

    3 Haplohemists Organik Dataran gambut - 5.384.017 Sulfihemists

    4 Endoaquents Aluvium dan Organik

    Dataran pasang surut

    1.508.075 1.005.384

    Haplohemists 5 Hydraquents Aluvium Dataran pasang

    surut 3.064.938 -

    Sulfaquents 6 Endoaquepts Aluvium Dataran pasang

    surut 1.380.634 -

    Endoaquents 7 Endoaquepts Aluvium Dataran pasang

    surut 285.310 -

    Halaquepts 8 Udipsamments Aluvium Pesisir pantai 454.179 - Endoaquents

    14 Endoaquepts Aluvium Delta atau dataran estuarin

    2.225.819 -

    Sulfaquents 15 Endoaquepts Aluvium Rawa belakang 669.668 -

    Sulfaquents 16 Endoaquepts Aluvium dan

    organik Basin aluvial (lakustrin)

    506.916 337.944

    Haplohemists 17 Endoaquepts Aluvium Basin aluvial

    (lakustrin) 83.019 -

    Endoaquents 18 Endoaquepts Aluvium Basin aluvial

    (lakustrin) 24.102 -

    Dystrudepts 20 Endoaquepts Aluvium Jalur aliran sungai 4.606.942 -

    Dystrudepts 25 Sulfaquepts Aluvium Dataran aluvial 400.239 -

    Sulfaquents 27 Endoaquepts Aluvium Dataran aluvial 5.486.743 -

    Dystrudepts 26 Endoaquepts Aluvium Dataran aluvial 411.098

    Endoaquents Total : 21.107.682 13.202.276 Total lahan rawa : 34.309.958

    Sumber : Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000 (Puslittanak, 2000)

  • 23

    II

    LAHAN RAWA PASANG SURUT Subagyo H.

  • Lahan Rawa Pasang Surut

    24

    2.1. TANAH LAHAN RAWA PASANG SURUT

    Dalam keadaan alamiah, tanah-tanah pada lahan rawa pasang surut merupakan tanah yang jenuh air atau tergenang dangkal, sepanjang tahun atau dalam waktu yang lama, beberapa bulan, dalam setahun. Dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah rawa termasuk tanah basah, atau "wetsoils", yang dicirikan oleh kondisi aquik, yakni saat ini mengalami penjenuhan air dan reduksi secara terus-menerus atau periodik. Proses pembentukan tanah yang dominan adalah pembentukan horison tanah tereduksi berwarna kelabu-kebiruan, disebut proses gleisasi, dan pembentukan lapisan gambut di permukaan. Bentuk wilayah, atau topografi lahan rawa pasang surut adalah sangat rata (flat) sejauh mata memandang, dengan ketinggian tempat relatif kecil, yaitu sekitar 0-0,5 m dpl di pinggir laut sampai sekitar 5 m dpl di wilayah lebih ke pedalaman.

    Secara umum, ada dua jenis tanah yang terbentuk, yaitu tanah gambut (peat soils), dan tanah non-gambut, atau tanah mineral basah (wet mineral soils). Tanah mineral yang terdapat di wilayah rawa, seluruhnya merupakan endapan bahan halus, berupa debu halus dan lumpur yang diendapkan air pasang ditambah dengan bahan aluvium yang dibawa ke muara oleh air sungai. Oleh karena itu, tanah yang terbentuk semuanya merupakan tanah aluvial basah, yang di permukaannya terdapat lapisan gambut tipis (

  • Subagyo

    25

    dan zona II: wilayah rawa pasang surut air tawar. Sedangkan zona III: wilayah rawa lebak/rawa non pasang surut disajikan pada Bab III.

    2.1.1. Zona I: Wilayah rawa pasang surut air asin/payau

    Wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan bagian dari wilayah rawa pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut lepas. Biasanya, wilayah rawa ini menempati bagian terdepan dan pinggiran pulau-pulau delta serta bagian tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut/salin. Sebagai contoh, pulau-pulau delta di muara S. Musi dan Banyuasin di Sumatera Selatan, antara lain adalah Delta Upang, Delta Telang, dan P. Rimau. Di muara S. Batanghari di Jambi, yakni Delta Berbak; di muara S. Barito dan Kapuas di Kalimantan Selatan, adalah Delta Pulau Petak. Di muara Sungai Kapuas di Kalimantan Barat, adalah beberapa pulau delta yang dibentuk oleh S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, Ambawang, dan S. Kubu.

    Pada zona wilayah rawa ini, terdapat kenampakan-kenampakan (features) bentang alam (landscape) spesifik yang mempunyai bentuk dan sifat-sifat yang khas disebut landform. Sebagian besar wilayah zona I termasuk dalam landform marin. Pembagian lebih detail dari landform marin, disebut sub-landform, pada zona I rawa pasang surut air asin/payau dapat dilihat pada irisan vertikal tegak lurus pantai, dan diilustrasikan pada Gambar 2.1a dan 2.1b.

    Gambar 2.1a. Penampang skematis zona I wilayah rawa pasang surut air asin/ payau, merupakan pantai lepas yang memiliki beting pasir pantai (coastal dunes)

  • Lahan Rawa Pasang Surut

    26

    Gambar 2.1b. Penampang skematis zona I wilayah rawa pasang surut air asin/

    payau, pantai pada bagian yang terlindung dalam estuari, atau teluk

    Seperti telah diuraikan sebelumnya, di bagian terdepan terdapat dataran

    lumpur, atau mud-flats, yang terbenam sewaktu pasang dan muncul sebagai daratan lumpur tanpa vegetasi sewaktu air surut. Di belakang dataran lumpur, pada pantai yang ombaknya kuat dan pantainya berpasir, dapat terbentuk bukit-bukit rendah (beting) pasir pantai. Tanah yang terbentuk di sini merupakan tanah berpasir. Di belakangnya terdapat danau-danau kecil dan sempit yang disebut laguna (lagoons), biasanya ditempati tanah-tanah basah bertekstur liat. Lebih ke dalam ke arah daratan, dijumpai rawa pasang surut bergaram (tidal salt marsh) yang sebagian masih selalu digenangi pasang dan ditumbuhi hutan bakau/ mangove. Sebagian lagi, di wilayah belakangnya terdapat bagian lahan yang kadang masih dipengaruhi air pasang melalui sungai-sungai kecil (creeks), namun juga sudah ada pengaruh air tawar (fresh-water) yang kuat dari wilayah hutan rawa dan gambut air tawar yang menempati depresi/cekungan lebih ke darat. Bagian lahan yang dipengaruhi air payau ini ditumbuhi banyak spesies, tetapi yang terutama adalah nipah (Nipa fruticans), panggang (Sonneratia acida), dan pedada (Araliceae).

    Tanah di zona I, seluruhnya terbentuk dari endapan marin, yaitu terbentuk dalam lingkungan laut/marin, yang secara khas dicirikan oleh kandungan mineral besi-sulfida berukuran sangat halus, beberapa mikron (0,001 mm), yang disebut pirit. Ditinjau dari sifat kematangan tanah (soil ripeness), tanah pada zona I umumnya bervariasi dari masih mentah (unripe) sampai setengah matang (half ripe). Profil tanah umumnya menunjukkan tanah bagian atas (upper layers) teroksidasi setebal 25-50 cm, setengah matang sampai hampir matang (nearly ripe), tekstur liat berdebu, dan berwarna kelabu sampai coklat kekelabuan tua.

  • Subagyo

    27

    Lapisan tanah bawah (subsoil) tereduksi, mentah sampai setengah matang, tekstur liat berdebu, dan umumnya berwarna kelabu gelap-sangat gelap terkadang hitam, atau kelabu kehijauan.

    Pada bagian "dataran bergaram" yang ditumbuhi bakau/mangrove, karena pengaruh air laut pasang, tanahnya bersifat salin, mempunyai reaksi alkalis (pH >7,5), mengandung garam/salinitas tinggi, dan merupakan wilayah tipologi lahan salin. Pada bagian yang dipengaruhi air payau, tanah umumnya bereaksi mendekati netral (pH 6,5-7,5) karena pengaruh air tawar dengan kandungan garam lebih rendah, dan merupakan wilayah tipologi lahan agak-salin. Pada wilayah rawa belakang yang dipengaruhi air tawar, tanah bereaksi semakin masam, dan terbentuk lapisan gambut di permukaan, yang bersifat lebih memasamkan tanah.

    Wilayah zona I, khususnya di bagian sub-landform "dataran bergaram", atau "salt-marsh", baik yang dipengaruhi air asin/salin maupun air payau, akibat salinitas atau kandungan garam yang masih tinggi, tanah umumnya tidak sesuai untuk pertanian. Oleh karenanya, tanah tersebut tidak direklamasi, baik oleh penduduk maupun oleh pemerintah.

    2.1.2. Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawar

    Seperti telah diuraikan sebelumnya, lokasi zona II masih terdapat pada wilayah daerah aliran bagian bawah, tetapi lebih ke arah hulu, dimana pengaruh langsung air laut/salin sudah tidak ada lagi, tetapi energi pasang surut masih terasa berupa naik dan turunnya air (tawar) sungai mengikuti siklus gerakan air pasang surut. Wilayahnya dapat mencakup seluruh pulau-pulau delta kecil, seperti Delta Upang dan Delta Telang, atau sebagian besar wilayah pulau besar, seperti Delta Berbak dan Delta Pulau Petak. Secara keseluruhan, wilayah ini umumnya dimasukkan sebagai landform fluvio-marin, karena terbentuk dari gabungan pengaruh sungai (fluvio) dan pengaruh marin.

    Satuan-satuan sub-landform yang terdapat di zona II dapat dilihat lebih jelas pada wilayah yang terletak di antara dua sungai besar. Penampang skematis sub-landform di antara dua sungai besar pada zona II diilustrasikan pada Gambar 2.2.

  • Lahan Rawa Pasang Surut

    28

    Gambar 2.2. Penampang skematis sub-landform di antara dua sungai besar

    pada zona II lahan rawa pasang surut air tawar

    Oleh karena pengaruh sungai masih kuat, di sepanjang pinggir sungai

    terbentuk tanggul sungai alam (natural levee) yang sempit dan lebarnya bervariasi, makin ke arah hilir relatif sempit dan tidak begitu nyata terlihat di lapangan. Tetapi ke arah hulu, kenampakannya di potret udara lebih jelas, terutama karena perbedaan vegetasi yang tumbuh. Lebarnya yang tercatat adalah sekitar 0,2-1 km, dan setempat-setempat sampai sekitar 2 km. Tanggul sungai dapat terbentuk sebagai akibat pengendapan muatan sedimen sungai yang terjadi selama berabad-abad, setiap kali sungai meluap ke daratan selama musim hujan. Bahan endapan berupa debu halus dan lumpur, akan mengendap pertama-tama di pinggir sungai, sementara bahan yang lebih halus berupa liat, akan diendapkan pada wilayah di belakang tanggul. Tanah yang terbentuk di bagian tanggul sungai alam, merupakan endapan sungai (fluviatile) yang tebalnya beragam, dari sekitar 0,5 m sampai lebih dari 1,5 m, menutupi endapan dasar yang merupakan endapan marin. Oleh karena terbentuk dari bahan relatif agak kasar, debu kasar dan halus serta lumpur, tanah tanggul sungai (levee soils) umumnya bertekstur sedang, dengan kandungan fraksi debu relatif tinggi, seperti lempung, lempung berdebu, lempung liat berdebu, dan liat berdebu.

    Pada wilayah di belakang tanggul sungai, permukaan tanah umumnya berangsur menurun ke arah cekungan/depresi besar di hampir bagian tengah wilayah di antara dua sungai besar. Wilayah di antara tanggul sungai dan cekungan/depresi besar di bagian tengah, disebut sub-landform dataran rawa belakang (backswamp). Dari pengamatan lapangan di areal hutan gambut di antara S. Sebangau-Kahayan-Kapuasmurung-Barito di Kalimantan Tengah, peralihan dari tanggul sungai ke arah cekungan/depresi, menunjukkan penurunan

  • Subagyo

    29

    tanah dasar mineral tidak selalu terjadi secara berangsur, tetapi dapat juga menurun secara mendadak dalam jarak yang relatif pendek, dan menjadi bagian dari cekungan/depresi besar. Ini berarti dataran rawa belakangnya sangat sempit, atau tidak ada.

    Depresi besar di sekitar bagian tengah wilayah di antara dua sungai besar ditempati tanah gambut. Posisi depresi di berbagai wilayah pulau delta tidak selalu persis di bagian tengah, tetapi seringkali menyamping mengikuti bentuk pulau delta. Batasan tanah gambut yang sederhana adalah memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65% (berdasarkan berat) dengan ketebalan gambut lebih dari 0,5 m. Definisi tanah gambut yang disebut Histosols dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), lebih rumit, yaitu (i) harus tersusun dari bahan tanah organik, (ii) jenuh air selama 1 bulan atau lebih setiap tahun, dan (iii) ketebalannya minimal 0,4 atau 0,6 m tergantung dari tingkat dekomposisi bahan gambut dan bobot-jenisnya.

    Tanah gambut yang menempati cekungan/depresi besar mempunyai ketebalan yang bervariasi. Di bagian pinggir ditempati gambut dangkal dengan ketebalan 0,5-1 m, dan gambut sedang dengan ketebalan 1-2 m, dan seringkali mengandung sisipan-sisipan lapisan tanah mineral. Keduanya biasanya merupakan gambut topogen yang relatif subur (eutrofik). Semakin ke bagian tengah depresi, lapisan gambut semakin tebal dan kesuburan bahan gambutnya cenderung makin menurun. Tanah gambut dalam (2-3 m) dan gambut sangat-dalam (>3 m) yang terbentuk disebut gambut ombrogen, dengan tingkat kesuburan sedang (mesotrofik) sampai rendah (oligotrofik). Oleh karena perbedaan pertumbuhan vegetasi hutan di bagian pinggir dan bagian tengah cekungan, permukaan tanah gambut semakin meninggi di bagian tengah dan membentuk semacam kubah dari tanah gambut, yang disebut kubah gambut (peat dome). Ketinggian relatif di bagian tengah kubah, dapat mencapai sekitar 3-5 m. Bentuk kubah gambut umumnya lonjong atau hampir bujur telur, dan ukurannya cukup besar. Sebagai contoh dua kubah gambut di Delta Pulau Petak yang diteliti Lembaga Penelitian Tanah tahun 1972, masing-masing berukuran sekitar 4-9 km lebar dan 8-15 km panjang; serta 8-12 km lebar, dan 15-24 km panjang (SRI, 1973). Dua buah kubah gambut di areal Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar (PLG) yang disurvei Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 1996, masing-masing mempunyai dimensi Iebar dan panjang sekitar 17-22 km, dan 23-45 km (Subagyo, 2002).

  • Lahan Rawa Pasang Surut

    30

    Pada awal pembukaan lahan rawa pasang surut di Sumatera dan Kalimantan, yang survei tanahnya dilakukan secara intensif antara tahun 1969 dan 1984, banyak ditemukan wilayah kubah gambut di berbagai tempat, baik di Sumatera maupun di Kalimantan. Di Sumatera, kubah gambut ditemukan di daerah rawa Sumatera Selatan, seperti di Sugihan Kiri, Delta Upang, Delta Telang, Pulau Rimau, dan Karang Agung Ulu (Wiradinata dan Hardjosusastro, 1979), serta di Delta Reteh antara S. Reteh dan S. Inderagiri di Provinsi Riau. Di Kalimantan Barat, terdapat beberapa kubah gambut besar di Delta S. Kapuas, di antara S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, Ambawang, dan Kubu-Terentang, pada wilayah rawa pasang surut sebelah selatan kota Pontianak, di bagian muara S. Kapuas (LPT, 1969). Di Provinsi Kalimantan Tengah, wilayah kubah gambut ditemukan sangat luas di wilayah delta antara S. Mentaya, Katingan, Sebangau, Kahayan, Kapuas, dan Barito (Jaya, 2002).

    Dewasa ini, yakni sekitar 35 tahun kemudian, sebagian dari wilayah kubah gambut tersebut, terutama yang telah berhasil dijadikan areal pemukiman transmigrasi, telah lenyap dijadikan lahan pertanian. Yang tersisa umumnya tinggal berupa wilayah lahan gambut sempit yang ditempati gambut dangkal atau tanah bergambut. Sebagai contoh, wilayah dimana kubah gambut telah lenyap atau tinggal sedikit sekali, di antaranya terdapat di Delta Upang, Delta Telang, Sugihan Kiri, dan Pulau Rimau di Sumatera Selatan, serta Delta Pulau Petak di Kalimantan Selatan.

    Bagian yang terluas dari zona II adalah wilayah dataran rawa belakang, yakni wilayah bertopografi datar yang menempati posisi di antara tanggul sungai dan cekungan/depresi di bagian tengah antara dua sungai besar. Di berbagai pulau delta, baik di Sumatera maupun Kalimantan, wilayah rawa belakang ini merupakan wilayah yang menjadi tujuan reklamasi rawa oleh P4S-PU (1969-1984), dan dewasa ini merupakan persawahan pasang surut yang utama di lahan rawa. Menurut BPS (2001) luas lahan sawah yang aktif ditanami padi adalah 591.877 ha, terutama tersebar di delapan provinsi, yang bila diurutkan dari yang terluas sampai tersempit adalah Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi, Riau, Lampung, dan Sumatera Utara.

    Sebagaimana pada zona I, endapan dasar yang membentuk tanah rawa di wilayah rawa belakang adalah endapan marin, oleh karena itu sering disebut sebagai tanah aluvial marin. Ciri yang unik dari tanah aluvial marin adalah adanya

  • Subagyo

    31

    senyawa besi-sulfida (FeS2) yang disebut pirit. Kandungan pirit di tanah rawa pasang surut umumnya rendah, yakni hanya sekitar 0-5%, namun walaupun kadarnya rendah, temyata di kemudian hari menjadi permasalahan utama yang berat, atau sangat sulit diatasi, apabila tanah rawa dibuka untuk pertanian. Masalahnya dimulai pada saat rawa direklamasi, yaitu dengan penggalian saluran-saluran drainase besar, seperti saluran primer, sekunder, dan tersier, dengan tujuan untuk mengeringkan wilayah agar tanah rawa yang semula basah atau tergenang menjadi tanah yang relatif lebih kering yang siap digunakan sebagai lahan pertanian.

    Akibat adanya saluran-saluran drainase tersebut, permukaan air tanah menjadi turun, dan tanah bagian atas menjadi kering dan terbuka. Akibat adanya oksigen di udara, maka tanah bagian atas ini mengalami oksidasi, sementara tanah bagian bawah masih tetap berada di lingkungan air tanah, yaitu tetap dalam kondisi tereduksi. Pirit yang terbentuk dalam suasana reduksi dalam endapan laut di dekat pantai dengan kandungan bahan organik tinggi, berasal dari vegetasi pantai seperti api-api dan bakau/mangrove. Dalam kondisi reduksi, pirit bersifat stabil sesuai dengan suasana lingkungan pembentukannya. Akibat penurunan air tanah, pirit yang berada di tanah bagian atas ikut terbuka (exposed) di lingkungan yang aerob, dan mengalami oksidasi, menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe-III). Hasil akhirnya merupakan tanah ber-reaksi masam ekstrim (pH

  • Lahan Rawa Pasang Surut

    32

    berdebu, berwarna coklat, coklat kemerahan atau kelabu. Lapisan tanah bawah tereduksi, setengah matang sampai mentah, reaksi tanah sangat masam sampai agak masam (pH >4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan umumnya berwarna kelabu-kelabu gelap.

    Profil tanah sulfat masam potensial, tanah bagian atas teroksidasi relatif lebih tipis sekitar 25-75 cm, setengah matang sampai hampir matang, reaksi tanah sangat masam-agak masam (pH >4,0), tekstur umumnya liat berdebu, dan warnanya kelabu tua sampai coklat kekelabuan. Lapisan bawah tereduksi, hampir mentah (practically unripe) sampai mentah, reaksi tanah masam-agak masam (pH >4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan warnanya kelabu tua sampai kelabu gelap.

    Tanah sulfat masam aktual, karena memiliki reaksi masam ekstrim, dan banyak kandungan ion-ion yang bersifat racun/toksik, sehingga tidak sesuai untuk tanaman pertanian. Tanaman padi yang ditanam di tanah ini tidak menghasilkan gabah yang berarti. Lahan ini banyak ditinggalkan petani transmigran, sehingga menjadi lahan bongkor dan ditutupi semak-semak lebat. Vegetasi alami yang mampu tumbuh adalah yang toleran terhadap kemasaman tinggi, terdapat di Delta pulau Petak biasanya berupa purun (Lepironia mucronata), atau purun tikus (Fimbristylis sp.), dan gelam (Melaleuca leucadendron).

    2.2. GENESIS TANAH RAWA

    Seperti telah diuraikan sebelumnya, lahan rawa pasang surut berada di bagian muara sungai-sungai besar, berupa pulau-pulau delta berukuran relatif kecil yang terpisah dari daratan, atau sebagai pulau-pulau delta besar yang menyambung ke daratan, dan diapit oleh dua sungai besar. Sebagai contoh yang pertama adalah Delta (pulau) Upang, Delta Telang, dan Pulau Rimau pada muara S. Musi-Banyuasin di Sumatera Selatan. Contoh yang kedua adalah Delta Berbak pada S. Batanghari di Jambi, Delta Reteh antara S. Reteh dan Inderagiri di Riau, dan Delta Pulau Petak antara S. Kapuasmurung dan Barito di Kalimantan Selatan.

    Dengan mempertimbangkan posisi lahan rawa tersebut, dapat dimengerti bahwa lahan rawa pasang surut terbentuk karena proses akreasi (accreation), yaitu proses pelebaran daratan baru ke arah laut yang terjadi secara alami,

  • Subagyo

    33

    karena pengendapan bahan-bahan sedimen yang dibawa sungai (sedimen load) di wilayah bagian muara sungai besar. Di bagian muara sungai, pada saat air sungai yang bereaksi sekitar netral (pH 5-6), bertemu dengan air laut yang bereaksi sekitar alkalis (pH 7-9), maka muatan sedimen sungai yang berupa bahan halus, liat sampai debu halus, akan "menjojot" yakni membentuk gumpalan-gumpalan kecil yang mengendap di dasar laut. Pengendapan yang intensif terjadi selama musim hujan dan terus-menerus berlangsung selama berabad-abad, lambat laun membentuk "dataran lumpur", atau "mudflats" yang muncul sebagai daratan tanpa vegetasi sewaktu air surut, dan tenggelam di bawah air sewaktu air pasang. Sejalan dengan waktu, tumbuhan yang toleran air asin, khususnya api-api (Avicennia sp.) dan bakau/mangrove (Rhizophora sp., Bruguiera sp.) akan tumbuh di lumpur, yang menjebak lebih banyak sedimen, sehingga dataran lumpur terbangun secara vertikal semakin tinggi, dan akhirnya menjadi dataran rawa pasang surut, tidal marsh, atau salt marsh, yang ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove.

    Mencermati bentuk-bentuk pantai di Indonesia dimana lokasi rawa pasang surut berada, dapat disimpulkan bahwa pantai-pantai Indonesia bukan termasuk shorelines of submergence (Strahler, 1973), yaitu bentuk-bentuk pantai yang terbentuk karena permukaan air laut naik, atau kerak bumi menurun. Juga tidak termasuk shorelines of submergence, yaitu bentuk-bentuk pantai yang terjadi karena permukaan air laut menurun, atau kerak bumi meninggi. Tetapi termasuk dalam neutral submergence, yaitu apabila pantai terbentuk sebagai akibat penambahan bahan-bahan baru ke dalam laut. Kata netral di sini diartikan, tidak ada perubahan relatif pada posisi permukaan air laut atau posisi kerak bumi. Bentuk-bentuk pantai Indonesia, karena berbentuk delta-delta, dapat dimasukkan sebagai delta shorelines.

    Dari sekian banyak wilayah rawa di pulau-pulau delta di Indonesia, tampaknya yang paling intensif diteliti dari aspek kIasifikasi tanah, proses fisika dan kimia, pengelolaan air dan kesuburan tanah, serta aspek lingkungan dari reklamasi tanah sulfat masam adalah Delta Pulau Petak. Riset dilakukan oleh tim gabungan antara peneliti-peneliti dari Land and Water Research Group (LAWOO) dan dari Badan Litbang Pertanian (AARD), berlangsung dari Oktober 1987 sampai sekitar Maret 1991. Genesis, atau proses pembentukan Delta Pulau Petak dilaporkan oleh Jansen et al. (1990) dan Prasetyo et al. (1990).

    Sampai sekitar 5.500 tahun yang lalu, seluruh wilayah Delta Pulau Petak sekarang ini masih merupakan wilayah teluk yang berpantai dangkal. Dari 5.500

  • Lahan Rawa Pasang Surut

    34

    tahun sebelum masehi (SM), kenaikan permukaan air laut secara berangsur (eustatik) berkurang atau berhenti, dan perluasan secara lateral dari pantai asli mulai teljadi. Perluasan lateral karena proses akreasi yang membentuk Delta Pulau Petak berlangsung melalui 3 fase sedimentasi, yaitu fase sedimentasi I, dari 5.500 sampai 4.000-3.500 tahun SM, fase sedimentasi II, dari 4.000-3.500 tahun SM sampai 1.000-700 tahun SM, dan fase sedimentasi III dari 1.000-700 tahun SM. Pada fase I, bahan sedimen dipasok dari S. Barito dan Kapuas; pada fase II sumber bahan sedimen berasal dari S. Barito dan S. Pulau Petak; dan fase III sumber sedimen adalah S. Kapuasmurung dan Barito, dan membentuk garis pantai yang ada sekarang ini.

    Genesis tanah gambut di wilayah rawa pantai Indonesia diperkirakan dimulai sekitar 5.000-4.000 tahun yang lalu (Subagyo, 2002), dan diperkirakan hampir bersamaan waktunya dengan dimulainya proses akreasi yang membentuk wilayah pulau-pulau delta di rawa pasang surut yang ada sekarang ini. Mengikuti informasi geologi, diketahui bahwa berdasarkan radiometric dating periode zaman es Pleistosin (Pleistocene glaciation) yang terakhir, yaitu zaman es (glacial) Wisconsin (di Amerika Utara) yang setara dengan zaman es Wurm (di Eropa) berakhir sekitar 18.000/15.000-10.000 tahun yang lalu (Strahler, 1973). Dengan melelehnya lapisan es/ gletser zaman es Wisconsin dan Wurm tersebut, permukaan air laut di seluruh dunia secara berangsur (eustatic) naik. Diperkirakan kenaikan permukaan laut di seluruh dunia terjadi selama akhir zaman Pleistosin sampai awal Holosin (Holocene), sekitar 100-135 m (Davis et al., 1976; Holmes, 1978). Di perairan laut Indonesia, kenaikan permukaan air laut diperkirakan !ebih dari 100 m (Andriesse, 1997), atau sekitar 120 m (Neuzil, 1997).

    Stabilisasi permukaan laut di wilayah pantai di sebagian besar Asia Tenggara tercapai sekitar 6.000-5.000 tahun yang lalu (Diemont dan Pons, 1991), atau 6.000-4.000 tahun yang lalu (Neuzil, 1997), sementara Brinkman dan Pons (1968) menyebutkan sekitar 5.500 tahun yang lalu. Dengan adanya permukaan laut yang sudah relatif stabil waktu itu, proses pelebaran/perluasan pantai secara lateral akibat sedimentasi bahan-bahan halus yang dibawa sungai, yakni proses akreasi pantai, diperkirakan mulai terjadi, diikuti dengan pembentukan tanah gambut. Berbagai data pengukuran C-14 dating contoh-contoh tanah gambut di Sumatera dan Kalimantan untuk memperkirakan umur pembentukan gambut, memperkuat estimasi mulainya proses akreasi di wilayah pantai di Indonesia. Sebagai contoh: di pantai timur P. Sumatera, gambut di

  • Subagyo

    35

    sekitar S. Batanghari di Jambi menunjukkan umur 4.300 tahun SM (Cameron et al., 1987), gambut di Bengkalis, dan S. Siak Kanan di Riau, masing-masing berumur 5.730-4.740 dan 5.220-3.620 tahun SM (Neuzil, 1997). Di pantai P. Kalimantan, gambut di Teluk Keramat, Kalimantan Barat, menunjukkan umur 4.040-2.570 tahun SM (Neuzil, 1997), di dekat S. Mahakam, Kalimantan Timur, 4.400-3.850 tahun SM (Diemont dan Pons, 1991). Contoh gambut dari S. Lassa dan Baram di Serawak, Malaysia, menunjukkan umur masing-masing 6.500-5.000 dan 4.000 tahun SM (Neuzil, 1997).

    2.3. PIRIT DALAM TANAH RAWA

    Seperti telah diuraikan sebelumnya, di dalam lumpur dan endapan marin tereduksi, serta lapisan tanah bawah tereduksi pada tanah sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual pada lahan rawa pasang surut air salin/payau (Zona I) dan air tawar (Zona II), terdapat pirit.

    Pirit adalah mineral berkristal oktahedral, termasuk sistem kubus, dari senyawa besi-sulfida (FeS2) yang terbentuk di dalam endapan marin kaya bahan organik, dalam lingkungan air laut/payau yang mengandung senyawa sulfat (SO4) larut. Dengan menggunakan teknik SEM (Scanning Electron Microscope) diketahui bahwa partikel-partikel pirit berada dalam bentuk kristal, yang individu-individu kristal tunggalnya sangat halus, terbanyak berukuran

  • Lahan Rawa Pasang Surut

    36

    Gambar 2.3. Kristal-kristal pirit diobservasi dengan mikroskop elektron scanning (SEM), (a) memperlihatkan kristal besar berbentuk oktahedral dan framboidal; (b) memperlihatkan framboidal besar yang tersusun dari kristal-kristal tunggal oktahedral berukuran kecil (Michaelsen dan Phi, 1998)

    a

    b

  • Subagyo

    37

    Dalam lapisan tanah yang mengandung pirit, partikel pirit tergabung dengan jaringan sisa-sisa akar mangrove, atau tersebar dalam matriks tanah. Di lapangan, lapisan tanah yang mengandung pirit berwarna lebih gelap/hitam (hue 10YR, 2,5Y, 5Y, N, dan 5GY; kroma 1), sering bercampur dengan sisa-sisa daun atau akar tumbuhan bakau atau nipah, dan kadang berbau busuk (H2S).

    Secara umum kandungan pirit yang terdapat dalam tanah sulfat masam potensial relatif tidak tinggi, maksimum 6-7 persen (berdasarkan berat), dan kandungan yang paling umum bervariasi dari 1-4 persen (Van Bremen, 1973). Pada tanah sulfat masam potensial di Vietnam, kandungan pirit sampai sedalam 90 cm, berkisar dari 0,2 sampai 5,5-6% (berdasarkan berat). Lapisan bagian atas sampai 50 cm, kandungan piritnya bervariasi 0-3,5%, dan meningkat ke lapisan lebih bawah (Michaelsen dan Phi, 1998). Walaupun kandungan pirit yang terdapat dalam tanah marin, khususnya sulfat masam potensial relatif kecil, namun ternyata kemudian merupakan permasalahan atau kendala berat dalam pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian.

    Penyebaran kandungan pirit dan pH-H2O lapangan di dalam profil tanah rawa di Delta Pulau Petak, yang diambil dari lokasi dekat laut (Tabunganen) sampai Iokasi yang jauh dari laut (Talaran), dan beberapa contoh profil dari Vietnam disajikan pada Tabel 2.1.

    Jarak dekat atau jauhnya Iokasi profil dari laut, tampaknya tidak berpengaruh pada kandungan pirit setiap lapisan di dalam profil tanah. Kandungan pirit pada profil tanah di Tabunganen, yang terdekat dengan laut, tidak lebih tinggi dari kandungan pirit pada profil tanah dari Talaran, yang terletak paling jauh dari laut. Sementara kandungan pirit pada profil tanah di Belawang, yang terletak cukup jauh dari laut, ternyata justru menunjukkan kandungan pirit yang paling tinggi. Sedangkan kandungan pirit pada profil tanah di Sakalagun, hanya berseberangan dengan lokasi Belawang, paling rendah.

  • Lahan Rawa Pasang Surut

    38

    Tabel 2.1. Kandungan pirit dan pH-H2O lapang pada tanah rawa di Delta Pulau Petak, Indonesia dan di Vietnam

    Profil Kedalaman pH-(H2O) lapang Pirit Profil KedalamanpH-(H2O)

    lapang Pirit

    cm %FeS2 cm %FeS2 Indonesia TAB 4/I 4/II 4/III 4/IV 4/V 4/VI 4/VII

    11 33 52 85

    125 155 180

    5,0 5,4 5,3 5,1 4,9 5,3 5,8

    0,24 0,24 1,07 4,71 2,52 2,11

    Vietnam RMB -1 -2 -3 -4

    15 30 50 90

    -

    1,10 2,40 4,90

    LUP 1/I 1/II 1/III 1/IV 1/V 1/VI 1/VII

    5 15 32 51 70 95

    135

    6,1 6,5 6,2 6,4 6,1 6,3 5,6

    0,25 0,22 0,07 0,11 0,50 0,20 2,76

    RA -1 -2 -3 -4

    15 30 50 90

    - 1,20 2,70 6,00

    JEL 1/I 1/II 1/III 1/V 1/VI

    5 15 30 67

    115

    5,2 5,4 5,5 5,9 5,8

    0,14 0,15 0,14 0,15 1,35

    RM -1 -2 -3 -4

    15 30 50 90

    - 0,70 0,90 3,10

    SPT 2/II 2/III 2/IV 2/V

    5 20 38 56

    3,5 3,6 3,9 4,9

    0,16 0,15 1,29 6,96

    R -1 -2 -3 -4

    15 30 50 90

    - 0,40 2,40 3,30

    SAK 2/I 2/II 2/III 2/IV 2/V 2/VI 2/VII

    7 25 42 62 90

    120 145

    4,5 4,8 4,8 4,9 5,0 4,8 5,8

    0,05 0,07 0,06 0,07 0,07 0,07 0,45

    F2X47-A -B21 -B22 -B23 -BC -C

    22 57 85 115 150 230

    3,7 3,1 3,0 3,2 2,8 2,9

    1,45

    0,14 0,82 0,80

    BEL 6/II 6/III 6/IV 6/V 6/VI 6/VII

    20 50 80

    100 120 140

    3,1 3,0 4,0 4,3 4,4 4,5

    0,24 3,92 5,76 4,33 3,30 0,30

    A2X5-B21 -B22 -BC -C

    25 68 86 295

    3,4 3,3 3,0 2,6

    0,09 0,09 0,25 0,96

    TAL 3/II 3/III 3/IV 3/V 3/VI 3/VII 3/VII

    10 32 54 69 83 98

    115

    3,3 3,2 3,4 3,3 3,5 3,6 3,7

    0,10 0,15 0,12 0,15 4,32 3,90 6,11

    TL1 -B23 -1BC -C1

    89 111 178

    3,4 2,7 2,8

    0,08 0,61 1,12

    Sumber: Konsten dan Sarwani (1990) (data diproses); Konsten et al. (1986); Michaelsen and Phi (1998). TAB = Tabunganen; LUP = Lupakluar; JEL = Jelapat; SPT = Serapat; SAK = Sakalagun; BEL = Belawang; TAL = Talaran. Dari Tabunganen ke Talaran, lokasinya makin jauh dari laut.

  • Subagyo

    39

    Perhitungan data kandungan pirit dari 22 profil tanah rawa yang terdiri atas 100 contoh dari Pulau Petak, Indonesia, dan 17 profil yang terdiri atas 59 contoh dari Vietnam, menunjukkan variasi data rata-rata kandungan pirit dan simpangan baku (standard deviation) seperti disajikan pada Tabel 2.2. Kandungan pirit tanah rawa, sebagaimana diwakili dari data tanah rawa di Delta Pulau Petak, dengan menggunakan skala kandungan pirit menurut Pons (1970) yaitu rendah (few): 4,50%, menunjukkan bahwa kandungan pirit pada lapisan tanah atas (0-50 cm) beragam dari 0,05-4,24%.

    Tabel 2.2. Kandungan pirit pada tanah rawa di Indonesia dan Vietnam Kandungan pirit Tanah sulfat masam Variasi Rata-rata Simpangan baku

    .. % .. Delta Pulau Petak, Indonesia - Tanah bagian atas teroksidasi (0-50 cm) 0,05-4,24 0,52 (rendah) 0,94 - Lapisan bawah (50-100 cm) 0,07-6,96 1,89 (sedang) 2,60 - Tanah bawah tereduksi (100-150 cm) 0,30-6,11 2,61 (tinggi) 1,89 - Lapisan tanah tereduksi (150-200 cm) 2,11-6,00 3,54 (tinggi) 2,14 Vietnam - Tanah bagian atas teroksidasi (0-50 cm) 0,00-3,50 0,87 (rendah) 1,13 - Lapisan bawah (50-100 cm) 0,09-6,00 2,45 (tinggi) 2,27 - Tanah bawah tereduksi (100-150 cm) 0,10-1,24 0,60 (rendah) 0,43 - Lapisan tanah tereduksi (150-200 cm) 0,14-1,12 0,71 (rendah) 0,37

    Kesimpulan yang dapat ditarik dari observasi data pada Tabel 2.2 tersebut adalah bahwa kandungan pirit pada tanah rawa bagian atas yang teroksidasi di Indonesia, umumnya rendah. Kandungan pirit dalam tanah cenderung meningkat ke lapisan bawah, yaitu termasuk sedang. Lebih ke bawah pada lapisan bawah tereduksi, pada kedalaman lebih dari 1 m tergolong tinggi.

    Lain halnya dengan kandungan pirit tanah rawa Vietnam, sampai kedalaman sekitar 1 m sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tanah rawa dari Delta Pulau Petak. Kandungan pirit rata-rata pada tanah bagian atas, sama-sama rendah, tetapi kandungan pirit di bagian tanah bawah tereduksi sedalam 1-2 m, menjadi rendah kembali. Bahan sedimen yang diendapkan di tanah rawa Vietnam mungkin berbeda dengan bahan sedimen yang membentuk tanah rawa di Delta Pulau Petak.

  • Lahan Rawa Pasang Surut

    40

    Dengan menggunakan simulasi model untuk tanah sulfat masam (SMASS: Simulation Model for Acid Sulphate Soils) yang divalidasi dengan kondisi lapangan tanah sulfat masam potensial di Barambai I dan II, Delta Pulau Petak, dari kurva prediksi hubungan antara kedalaman dan kandungan pirit yang dibuat van Wijk et al. (1992) dapat diprediksi bahwa pada kondisi pengelolaan air normal yang dilakukan saat ini, dalam 5 tahun ke depan, pirit pada kedalaman 40 cm menurun dari kondisi awal sekitar 3,9% menjadi sekitar 2,3%, atau terjadi penurunan kandungan pirit rata-rata sekitar 0,32% per tahun. Dengan perbaikan pengelolaan air, berupa pencucian tambahan pada akhir musim hujan dengan menggunakan air berkualitas lebih baik dari saluran tersier, dapat diprediksi terjadi penurunan kandungan pirit dari sekitar 3,9% menjadi 2%, atau rata-rata sekitar 0,38% per tahun. Namun, kurva prediksi tersebut tidak menunjukkan perubahan kandungan pirit pada kedalaman tanah lebih dalam, antara 50-100 cm. Kandungan pirit praktis tidak berubah, dan tetap tinggi antara 4,2-6,5%, baik sesudah 5 maupun 10 tahun, walaupun telah dilakukan perlakuan perbaikan pengelolaan air.

    2.3.1. Pembentukan dan oksidasi pirit

    Proses pembentukan pirit telah disarikan oleh Langenhoff (1986) berdasarkan makalah Pons et al. (1982) dan publikasi Dent (1986), metalui beberapa tahap:

    Reduksi sulfat (SO4) menjadi sulfida (S) oleh bakteri pereduksi sulfat dalam lingkungan anaerobik;

    Oksidasi parsial sulfida menjadi polisulfida (misalnya Fe3S4: Greigite; Fe4S5: Pyrrhotite), atau unsur S; diikuti pembentuksan FeS, dari sulfida terlarut, besi oksida (FeOOH, Fe2O3), atau mineral silikat mengandung unsur Fe;

    Pembentukan FeS2 dari penggabungan FeS dengan unsur S, atau presipitasi langsung dari besi (Fe-II) terlarut dengan ion-ion polisulfida.

    Reaksi keseluruhan pembentukan pirit, dari besi-oksida (Fe2O3) sebagai sumber Fe, digambarkan sebagai berikut:

    Fe2O3 + 4SO42- + 8CH2O + O2 2FeS2 + 8HCO3- + 4H2O sulfat bahan organik PIRIT karbonat

  • Subagyo

    41

    Bahan baku pembentukan pirit dengan demikian adalah besi-oksida, ion sulfat, bahan organik (ditulis sebagai CH2O), kondisi reduksi, dan bakteri pereduksi sulfat. Kondisi seperti ini terdapat pada lumpur atau bahan endapan dalam lingkungan air asin/payau, yang kaya bahan organik berasal dari vegetasi api-api dan bakau/mangrove. Da!am suasana jenuh air atau anaerobik, oleh adanya ion mono-karbonat (HCO3-), pH tanah endapan adalah netral sampai agak alkalis, sehingga kondisi pirit stabil dan tidak berbahaya.

    Namun apabila lahan rawa pasang surut direklamasi, yaitu dengan dibuatnya jaringan tata air makro berupa saluran-saluran primer, sekunder sampai tersier, lahan mengalami pengeringan/pengatusan, air tanah menjadi turun, maka lingkungan pirit menjadi terbuka (exposed) di udara. Dalam suasana aerobik, pirit menjadi tidak stabil karena bereaksi dengan oksigen udara. Reaksi oksidasi pirit dengan oksigen berjalan lambat, dan dipercepat oleh adanya bakteri Thiobacillus ferrooxidans. Seluruh reaksinya digambarkan sebagai berikut:

    FeS2 + 15/4O2 + 7/2 H2O Fe(OH)3 + 2SO42- + 4H+ PIRIT oksigen besi-III (koloidal) asam sulfat

    Hasil reaksi adalah dihasilkannya besi-III koloidal, dan asam sulfat yang terlarut menjadi ion sulfat dan melimpahnya ion H+, yang mengakibatkan pH tanah turun drastis dari awalnya netral-agak alkalis (pH 5,5-6,5) menjadi masam ekstrim (pH 1,3 sampai

  • Lahan Rawa Pasang Surut

    42

    menghasilkan mineral jarosit, yang nampak sebagai karatan-karatan berwarna kuning jerami, yang juga sangat masam.

    FeS2 + 15/4O2 + 5/2H2O + 1/3K+ 1/3KFe3(SO4)2(OH)6 + 4/3SO4 + 4H+ PIRIT oksigen JAROSIT asam sulfat

    Jarosit stabil dalam kondisi teroksidasi (potensial redoks > 400-500 mV) pada lingkungan masam (pH 2-4).

    2.3.2. Kondisi tanah sesudah oksidasi pirit

    Berbagai pengamatan di berbagai daerah transmigrasi yang menyertai pembukaan lahan rawa pasang surut di Kalimantan Tengah (Pangkoh, Anjir Basarang), Kalimantan Selatan (Delta Pulau Petak, Barambai), Sumatera Selatan (Sugihan Kanan), Jambi (Pamusiran), dan Riau, menunjukkan bahwa pada tahun-tahun awal pembukaan, banyak wilayah persawahan transmigrasi yang dibangun oleh proyek P4S, dilaporkan penduduk transmigran sebagai persawahan yang produktif, dengan rata-rata produksi padi mencapai 2,5-3 ton GKP/ha.

    Namun dengan berjalannya waktu, sesuai dengan selesainya saluran-saluran primer, sekunder dan tersier, banyak areal sawah mulai menurun produksinya, dan sesudah beberapa tahun hasilnya sangat rendah. Khususnya sesudah rehabilitasi saluran, dimana saluran-saluran diperdalam dan dibersihkan, tanpa diikuti pembuatan pintu-pintu pengatur tingginya permukaan air, degradasi lahan sawah semakin akut. Banyak areal sawah, yang sesudah 5 tahun berturut-turut digarap tidak pernah menghasilkan padi sama sekali, dan mulai banyak yang ditinggalkan petani. Selanjutnya lahan ditutupi vegetasi liar, seperti purun, purun tikus, paku-pakuan, semak-semak gelam, atau semak dari vegetasi lain yang toleran terhadap kondisi tanah masam ekstrim. Lahan sawah yang telah mengalami degradasi menjadi bongkor/mati, dan tidak pernah digarap lagi dan ditinggalkan, sehingga menjadi lahan tidur yang ditutupi semak belukar.

    Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pada tahun awal pembukaan, lahan sawah aslinya merupakan tanah sulfat masam potensial dengan lapisan tanah yang mengandung pirit atau bahan sulfidik relatif dangkal (

  • Subagyo

    43

    tanah relatif masih dangkal, dan reaksi tanah masih agak masam-netral (4,5-5,5). Namun, dengan selesainya saluran-saluran primer dan sekunder yang berukuran besar dan dalam, penurunan permukaan air tanah semakin besar, dan oksidasi pirit mulai berlangsung cepat, khususnya selama musim kemarau. Didukung oleh kondisi tata air mikro berupa pembuangan air di petakan-petakan sawah, serta di saluran kuarter dan tersier berjalan tidak lancar, degradasi lahan sawah semakin dipercepat, dan berakhir menjadi lahan sawah bongkor/mati yang ditumbuhi semak-semak lebat.

    Seperti telah diuraikan, dalam kondisi awal/asli, dalam suasana jenuh air atau anaerobik, pirit bersifat stabil dan tidak berbahaya. Oleh adanya ion mono-karbonat (HCO3), sebagai salah satu produk pembentukan pirit, pH tanah cenderung mendekati netral sampai agak alkalis. Pada kondisi awal pembukaan lahan, kondisi tanah sawah seperti ini masih cukup kondusif untuk pertanaman padi sawah.

    Sesudah lahan mengalami drainase, dan penurunan permukaan air tanah yang melebihi kedalaman lapisan pirit, kemudian diikuti oksidasi pirit di musim kemarau, kondisi tanah sawah di bagian atas sedalam 0-50 cm mengalami perubahan drastis. Tanah marin yang semula berupa sulfat masam potensial dapat berubah mendekati sifat-sifat tanah sulfat masam aktual, yang dicirikan oleh reaksi tanah ekstrim masam dengan pH < 3,5. Kondisi tanah di lingkungan perakaran 0-50 cm, pada akhir musim kemarau (sekitar Agustus-Oktober) dicerminkan oleh sifat-sifat berikut:

    pH tanah turun drastis, umumnya di bawah pH 4,0. Pada pH ini, ion aluminium (AI3+) akan dibebaskan dalam tarutan tanah, dan dapat mencapal konsentrasi yang bersifat toksik terhadap pertumbuhan padi atau tanaman lain.

    Konsentrasi besi-III yang tinggi dan adanya ion AI yang melimpah dalam larutan tanah, akan mengikat ion fosfat yang tersedia, sehingga mengurangi fosfat yang tersedia, bahkan mengakibatkan kahat/defisiensi P.

    Adanya ion AI yang berlebihan akan mengganti basa-basa dapat tukar pada kompleks pertukaran kation, dan membebaskan ion Ca, Mg, dan K ke dalam larutan tanah, yang selanjutnya dapat tercuci keluar karena dibawa hanyut oleh air yang mengalir. Tidak hanya pasokan K menjadi terbatas, tetapi juga mengakibatkan kahat unsur Ca dan Mg.

  • Lahan Rawa Pasang Surut

    44

    Secara ringkas, akibat penurunan pH tanah di bawah pH 3,5 terjadi keracunan ion H+, AI, SO42-, dan Fe-III, serta penurunan kesuburan tanah alami akibat hilangnya basa-basa tanah, sehingga tanah mengalami kahat P, K, Ca, dan Mg. Bloomfield dan Coulter (1973) melaporkan bahwa telah terjadi kahat unsur hara makro (K, Ca, Mg), dan mikro (Mn, Zn, Cu, dan Mo) pada berbagai tanah sulfat masam di daerah tropika.

    2.3.3. Pengaruh penggenangan

    Memasuki musim hujan yang berlangsung dari sekitar Oktober/November sampai dengan Maret/April, air tanah berangsur naik ke permukaan, dan tergantung kondisi tata air makro dan mikro, seringkali dapat menggenangi tanah. Tanah kembali menjadi jenuh air, atau bahkan tergenang. Kondisi tanah dalam lapisan perakaran sesudah penggenangan di musim hujan adalah sebagai berikut:

    Dalam kondisi tergenang, redoks potensial tanah menjadi lebih tinggi, dan pH tanah meningkat kembali, yang mengakibatkan konsentrasi ion H dan AI dalam larutan tanah menurun, atau kurang bersifat toksik, tetapi masalah-masalah baru muncul.

    Kandungan ion sulfat (SO42-) dalam larutan tanah meningkat kembali. Ini diakibatkan oleh hidrolisis AI-sulfat hidrat:

    AIOHSO4 + 2H2O7 AI(OH)3 + 2H+ + SO42-

    Atau, desorpsi sulfat yang diadsorpsi kompleks pertukaran liat tanah

    Tanah-SO4 + 2H2O Tanah-(OH)2 + 2H+ + SO42-

    Dalam kondisi tergenang, oksigen yang berada dalam tanah dalam waktu relatif singkat segera digunakan oleh bakteria aerobik, sehingga konsentrasinya mendekati nol, oleh karena diffusi oksigen udara pada tanah jenuh air sangat lambat. Dalam lingkungan reduksi, tanpa oksigen, bakteri anaerobik akan memanfaatkan semua senyawa-senyawa teroksidasi sebagai sumber oksigennya.

    Tahap pertama yang mengalami reduksi adalah nitrat (NO3-), sehingga semua nitrat akan direduksi menjadi ion amonium (NH4+). Setelah semua nitrat lenyap,

  • Subagyo

    45

    sebarang oksida-mangan (MnO2) yang ada akan direduksi menjadi ion Mn2+. Dalam 1-3 minggu penggenangan, hampir seluruh Mn dapat tukar, direduksi menjadi Mn2+ (Konsten et al., 1990). Sesudah semua MnO2 habis, reduksi sebarang Fe-III (ferri-oksida) mulai terjadi, yang menghasilkan Fe-II (ferro) yang melimpah, dan peningkatan pH oleh karena dihasilkannya senyawa hidrokarbonat dalam larutan tanah.

    Fe(OH)3 + CH2O + 2H+ Fe2+ + CO2 + 1 H2O

    Peningkatan pH larutan tanah bersifat menstabilkan reduksi Fe-III, sehingga dihasilkan ion Fe-II dalam konsentrasi tinggi yang bersifat toksik terhadap tanaman. Selain itu, jumlah ion Fe-II yang melimpah mendesak ke luar basa-basa dapat tukar Ca dan Mg dari kompleks adsorpsi tanah, sehingga jumlahnya meningkat dalam larutan tanah. Kedua unsur hara ini dengan mudah terbawa keluar dari lingkungan akar oleh air yang mengalir.

    Sesudah semua ferri-oksida tereduksi, reduksi sulfat mulai terjadi, yang berakibat menurunkan konsentrasi ion sulfat dan ion H+ (karena digunakan untuk membentuk bikarbonat), dan disertai dengan peningkatan pH tanah.

    SO42- + 2CH2O H2S + 2HCO3- Proses reduksi sulfat terjadi pada potensial redoks antara -0,12V dan -0,19V,

    serta hanya terjadi di atas pH 5,0, tetapi juga pada reaksi lebih masam, pH 2,8-3,4 (Konsten et al., 1990). Sulfida yang terbentuk segera bereaksi dengan Fe-II yang tersedia dalam larutan tanah, dan membentuk senyawa ferro-sulfida. Adanya reduksi sulfat pada lapisan tanah ditandai oleh karatan FeS yang berwarna hitam, dan terkadang oleh bau (busuk) H2S. Senyawa H2S yang dihasilkan dari reduksi sulfat bersifat sangat toksik terhadap pertumbuhan tanaman.

    Secara ringkas, akibat penggenangan selama musim hujan, terjadi peningkatan pH tanah, dan penurunan konsentrasi AI. Namun, kemungkinan dapat terjadi keracunan ion Fe-ll, dan Mn karena konsentrasinya yang sangat tinggi dalam larutan tanah. Kemungkinan juga terjadi keracunan H2S, dan pencucian unsur basa Ca dan Mg yang berakibat menurunkan kesuburan alami tanah rawa.

    Demikian seriusnya permasalahan budidaya tanaman yang timbul akibat oksidasi pirit, apabila senyawa-senyawa yang bersifat racun, yakni ion H+, Al3+,

  • Lahan Rawa Pasang Surut

    46

    SO42-, dan Fe-III, serta Fe2+, Mn2+, dan H2S tersebut tidak dapat terbuang dari lingkungan perakaran, maka pertumbuhan tanaman yang normal sulit sekali diharapkan. Lambat atau cepat, tanah akan mengalami degradasi dan menunjukkan gejala bongkor, atau mati suri. Teknik pengelolaan tanah yang sesuai, dan pengelolaan air yang tepat, yang mampu membuang atau melakukan pencucian unsur-unsur beracun secara efektif, baik dengan air pasang berkualitas baik, dan atau dengan air hujan, merupakan salah satu kunci utama keberhasilan pertanian di lahan rawa. Selain itu, penggunaan bahan amelioran seperti kapur pertanian (kaptan), dolomit, batuan fosfat (rock phosphate), abu sisa pembakaran tumbuhan, abu dapur, dan abu volkan merupakan tindakan yang sangat diperlukan untuk memperbaiki lingkungan perakaran, mempertahankan kesuburan tanah, dan meningkatkan produktivitas tanah rawa.

    2.4. TANAH RAWA DALAM TAKSONOMI TANAH

    Tanah rawa merupakan tanah yang terdapat pada lahan basah, atau wetland, dan terdiri atas tanah-tanah basah, atau wetsoils. Secara umum tanah rawa terdiri atas dua kelompok tanah, yaitu tanah mineral dan tanah gambut. Dalam kondisi asli alami, tanah rawa merupakan ta