pengaruh berbagai penggunaan lahan pada tanah gambut ombrogen bekas terbakar terhadap agihan cacak...

41
1 SKRIPSI PENGARUH BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN PADA TANAH GAMBUT OMBROGEN BEKAS TERBAKAR TERHADAP AGIHAN CACAK TOTAL MIKROORGANISME TANAH Oleh : Donald Fernando Sinaga NIMAIE006037 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 2011

Upload: donald-fernando-sinaga-3982

Post on 28-Jul-2015

484 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

SKRIPSIPENGARUH BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN PADA TANAH GAMBUT OMBROGEN BEKAS TERBAKAR TERHADAP AGIHAN CACAK TOTAL MIKROORGANISME TANAHOleh : Donald Fernando Sinaga NIMAIE006037KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 20111SKRIPSIPENGARUH BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN PADA TANAH GAMBUT OMBROGEN BEKAS TERBAKAR TERHADAP AGIHAN CACAK TOTAL MIKROORGANISME TANAHOleh : Donald Fernando Sinaga NIMAIE006037Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syar

TRANSCRIPT

Page 1: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

1

SKRIPSI

PENGARUH BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN PADA TANAH

GAMBUT OMBROGEN BEKAS TERBAKAR TERHADAP AGIHAN

CACAK TOTAL MIKROORGANISME TANAH

Oleh :

Donald Fernando Sinaga

NIMAIE006037

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS PERTANIAN

PURWOKERTO

2011

Page 2: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

2

SKRIPSI

PENGARUH BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN PADA TANAH

GAMBUT OMBROGEN BEKAS TERBAKAR TERHADAP AGIHAN

CACAK TOTAL MIKROORGANISME TANAH

Oleh :

Donald Fernando Sinaga

NIMAIE006037

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

MemperolehGelar Sarjana Pertanian/Teknologi Pertanian

padaFakultas PertanianUniversitas Jenderal Soedirman

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS PERTANIAN

PURWOKERTO

2011

Page 3: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

3

SKRIPSI

PENGARUH BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN PADA TANAH

GAMBUT OMBROGEN BEKAS TERBAKAR TERHADAP AGIHAN

CACAK TOTAL MIKROORGANISME TANAH

Oleh :

Donald Fernando Sinaga

NIMAIE006037

Diterima dan disetujui

Tanggal : / /

Dosen Pembimbing I,

Ruly Eko Kusuma K. SP., M.P.

NIP 19780420 200604 1 025

Dosen Pembimbing II,

Ruth Feti Rahayuniati, SP., M.P.

NIP19740610 200604 2001

Mengetahui:

Dekan,

Dr. Ir. H. Achmad Iqbal, M.Si.

NIP 19580331 198702 1 001

Page 4: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

4

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Daerah Kalampangan adalah salah satu kawasan gambut di Kalimantan

tengah dengan jenis tanah gambut ombrogen. Keterbatasan lahan produktif

menyebabkan ekstensifikasi pertanian mengarah pada lahan-lahan marjinal. Lahan

gambut ombrogen adalah salah satu jenis lahan marjinal yang dipilih, karena

relatif lebih jarang penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan

relatif kecil. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu

sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB

Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari

segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan

gambut layak untuk dijadikan areal pertanian.

Permasalahan pengembangan pertanian di lahan gambut terkendala

antara lain oleh karena kesuburan tanah yang rendah, masalah air, dan subsiden

(Nurzakiah dan Jumberi, 2004). Kesuburan tanah gambut yang rendah disebabkan

karena pH tanah yang masam, kandungan P, K, Ca, Dan Mg serta hara mikro

yang rendah, tanah gambut juga mempunyai kemampuan mengikat air yang

tinggi, yaitu sampai 20 kali berat keringnya (Widjaya-Adhi et al, 1992 dalam Eni

dan maulia, 2009).

Tanah gambut merupakan tanah hidromorfik yang berasal dari sisa-sisa

tumbuhan dan dalam keadaan selalu tergenang dimana proses dekomposisinya

berlangsung tidak sempurna sehingga terjadi penumpukkan dan akumulasi bahan

Page 5: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

5

organik membentuk tanah gambut. Masalah lain pada tanah gambut adalah

subsiden (penurunan permukaan tanah), akibat dari proses dekomposisi gambut

(Eni dan Maulia, 2009).

Pembakaran gambut dalam kegiatan pembukaan lahan dan pengadaan

abu bakar menyebabkan polusi asap terjadi pada setiap musim kemarau.

Keberadaan gangguan asap pada setiap musim kemarau akan menyebabkan

kerugian pada masyarakat berupa gangguan kesehatan, aktifitas transportasi,

pendidikan, perdagangan dan lain-lain (Sagiman, 2007).

Kebakaran hutan pada lahan gambut selama musim kering dapat

disebabkan atau dipicu oleh kejadian alamiah dan kegiatan manusia. Kejadian

alamiah seperti terbakarnya ranting dan daun kering akibat suhu tanah yang tinggi

dan pelepasan gas emisi memicu terjadinya kebakaran (Abdullah et al., 2002).

Meskipun demikian, 90–95% pemicu utama terjadinya kebakaran adalah adanya

kegiatan manusia. Kegiatan manusia yang dapat memicu terjadinya kebakaran

meliputi pembukaan lahan dalam rangka pengembangan pertanian berskala besar,

persiapan lahan oleh petani, dan berbagai penggunaan lahan lainnya. Pembukaan

dan persiapan lahan oleh petani dengan cara membakar merupakan cara yang

murah dan cepat terutama bagi tanah yang berkesuburan rendah. Banyak

penelitian telah menunjukkan bahwa cara ini cukup membantu memperbaiki

kesuburan tanah dengan meningkatkan kandungan unsur hara dan mengurangi

kemasaman (Diemont et al., 2002).

Proses dekomposisi lahan gambut dipengaruhi oleh adanya

mikroorganisme perombak bahan organik dalam tanah. Mikroorganisme

Page 6: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

6

perombak bahan organik ini terdiri atas golongan fungi dan bakteri. Lapisan

gambut terbentuk dalam kondisi tertentu, karena tumbuhan yang mati dalam

keadaan normal dengan cepat mengalami penguraian oleh fungi, bakteri, dan

organisme lainnya. Namun karena sifat tanah gambut yang anaerob dan memiliki

keasaman tinggi, serta kurangnya unsur hara sehingga proses dekomposisi

berlangsung lambat (Central Kalimantan Peatlands Project, 2006). Fungi dan

bakteri berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik (Foth, 1991

dalam Budi, 2010).

Mikroorganisme juga dapat dimanfaatkan dalam pengolahan air. Air

merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang dapat diambil dari berbagai

sumber, antara lain dari air hujan, air tanah, dan air permukaan. Penduduk

pedesaan yang tinggal di daerah rawa dan daerah pasang surut seperti di

Kalimantan umumnya menghadapi kesulitan dalam memperoleh air bersih

terutama pada musim kemarau, karena menurunnya intensitas hujan dan

menurunnya kualitas sumber air tanah. Salah satu sumber air permukaan yang ada

di Kalimantan khususnya di Propinsi Kalimantan Barat adalah air gambut yaitu

air permukaan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah gambut dibawahnya.

Penggunaan mikroorganisme untuk mengolah air gambut sangat potensial untuk

dikembangkan karena air gambut memiliki kandungan organik cukup yang dapat

dimanfaatkan mikroorganisme tertentu sebagai sumber nutrisi untuk

pertumbuhannya.

Tanah gambut ombrogen yang digunakan dalam penelitian ini adalah

tanah gambut yang berasal dari Desa Kalampangan Kota Palangkaraya Provinsi

Page 7: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

7

Kalimantan tengah. Secara geografis, daerah ini terletak antara 113° 57’ dan 114°

07’ BT dan 2° 17’ dan antara 2° 23’ LU. Daerah ini berada diantara dua sungai,

yaitu sungai Kahayan dan Sunagai Sebangu.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang terjadi pada lahan gambut ombrogen bekas terbakar

adalah akibat terbakarnya lahan gambut menyebabkan perubahan lingkungan,

hilangnya biomassa tanah gambut, perubahan suhu tanah, dan perubahan total

mikroorganisme.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui kondisi agihan cacak total

Mikroorganisme tanah dan kadar abu pada berbagai penggunaan lahan di tanah

gambut ombrogen bekas terbakar.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk menentukan langkah pemanfaatan lahan

gambut ombrogen bekas terbakar sehingga mampu memberikan keuntungan

secara ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Page 8: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambut Ombrogen

Menurut Noor (2001), Gambut terbentuk dari seresah organik yang

terdekomposisi secara anaerob, karena laju penambahan bahan organik

(humifiksasi) lebih tinggi dari pada laju dekomposisinya. Akumulasi gambut

umumnya akan membentuk lahan gambut pada lingkungan jenuh atau tergenang

air, sehingga menyebabkan aktivitas mikroorganisme terhambat. Di dataran

rendah dan daerah pantai mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi

anaerobik yang dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian

penumpukan seresah tanaman yang semakin bertambah akan membentuk gambut

ombrogen.

Tanah gambut terbentuk pada tempat yang kondisi tergenang, seperti

pada cekungan-cekungan daerah lembah, rawa bekas danau, atau daerah

depresi/basin pada dataran pantai di antara dua sungai besar, dengan akumulasi

bahan organik yang telah beradaptasi dengan lingkungan tergenang. Penumpukan

bahan organik secara terus-menerus menyebabkan lahan gambut membentuk

kubah (peat dome). Dataran dan kubah gambut terbentang pada cekungan luas di

antara sungai-sungai besar, dari dataran pantai ke arah hilir sungai hingga

mencapai jarak 10 – 30 km (Tim Sintesis Kebijakan, 2008).

Berdasarkan wilayah iklim, gambut dibedakan menjadi dua yaitu gambut

tropik (gambut yang berada di kawasan tropik atau sub tropik) dan gambut iklim

sedang (gambut yang berada di kawasan yang umumnya mempunyai iklim empat

Page 9: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

9

musim). Berdasarkan proses pembentukannya, gambut dibedakan menjadi dua

macam yaitu gambut ombrogen (dipengaruhi oleh air hujan) dan gambut topogen

(dipengaruhi keadaan topografi dan air tanah). Gambut omborgen kurang subur

karena terbentuk dari tanaman pepohonan yang kadar kayunya tinggi. Selain itu,

karena pengaruh pasang surut air sungai atau laut yang tidak mencapai wilayah

ini, maka kondisi lahan miskin hara. Lain halnya dengan gambut topogen yang

berada di kawasan tropik mempunyai kesuburan lahan relatif baik, karena adanya

pengaruh air sungai dan pengaruh tanah mineral (Noor, 2001).

Gambut ombrogen umumnya terbentuk jauh dari pantai. Tanah diantara

dua sungai mengakibatkan adanya sedikit mikroorganisme pengurai hingga

lapisan gambut mulai terbentuk di atasnya. Gambut ombrogen umumnya terdapat

di atas gambut topogen. Awalnya di daerah dataran atau cekungan yang tergenang

air merupakan tanah mineral, semakin lama cekungan tersebut akan tertimbun

oleh sisa-sisa tanaman dan membentuk lapisan gambut topogen. Perkembangan

selanjutnya gambut semakin tebal sehingga akar tanaman tidak mampu

menjangkau tanah mineral dibawahnya dan air sungai tidak mampu lagi

menggenangi permukaan gambut. Sumber hara utama dari gambut ini hanya

berasal dari air hujan sehingga vegetasi yang tumbuh kurang subur dan

menyebabkan gambut yang terbentuk merupakan gambut miskin hara, yaitu

gambut ombrogen (Sagiman, 2007).

Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi: (1)

gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan

basa-basa serta unsur hara lainnya, gambut yang relatif subur biasanya adalah

Page 10: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

10

gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut, (2) mesotrofik

adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan basa-

basa sedang, dan (3) gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena

miskin mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh

dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik. Gambut di

Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik

(Radjagukguk, 1997 dalam Agus dan Subiksa, 2008).

B. Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan pada lahan gambut umumnya terjadi selama musim

kering yang terimbas oleh periode iklim panas atau dikenal sebagai El Nino-

Southern Oscilation (ENSO). Periode panas ini dapat terjadi setiap 3–7 tahun, dan

lama kejadiannya dari 14 bulan hingga 22 bulan (Singaravelu, 2002). Kebakaran

hutan tropika basah di Indonesia diketahui terjadi sejak abad ke-19, yakni di

kawasan antara Sungai Kalinaman dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan

Katingan) di Kalimantan Tengah, yang rusak akibat kebakaran hutan tahun 1877.

Statistik Kehutanan Indonesia telah mencatat adanya kebakaran hutan sejak tahun

1978, meskipun kebakaran besar yang diketahui oleh umum terjadi pada tahun

1982/1983 telah menghabiskan 3,6 juta ha hutan termasuk sekitar 500.000 ha

lahan gambut di Kalimantan Timur (Page et al., 2000; Parish, 2002). Selanjutnya

pada tahun 1987 kebakaran hutan dalam skala besar terjadi lagi di 21 propinsi

terutama di Kalimantan Timur, yang terjadi bersamaan dengan munculnya periode

iklim panas ENSO, sehingga sejak saat itu timbul anggapan bahwa kebakaran

Page 11: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

11

hutan adalah bencana alam akibat kemarau panjang dan kering karena ENSO.

Begitulah kebakaran besar terjadi lagi pada tahun 1991, 1994 dan 1997 di 24

propinsi di Indonesia. Kebakaran selama musim kering pada tahun 1997, telah

membakar sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia (BAPPENAS, 1998

dalam Kurnain, 2007).

Kebakaran hutan dan lahan gambut dapat berakibat langsung dan tidak

langsung atas lingkungan di dalam tapak kejadian (on site effect) atau di luar tapak

kejadian (off site effect). Akibat kebakaran hutan dan lahan gambut antara lain

adalah kehilangan lapisan serasah dan lapisan gambut, stabilitas lingkungan,

gangguan atas dinamika flora dan fauna, gangguan atas kualitas udara dan

kesehatan manusia, kehilangan potensi ekonomi, dan gangguan atas sistem

transportasi dan komunikasi. Kasus kebakaran hutan dan lahan gambut di

Kalimantan Tengah pada tahun 1997 telah menghilangkan lapisan gambut 35–70

cm (Jaya et al., 2000). Kehilangan lapisan gambut ini berakibat atas kestabilan

lingkungan, karena kehilangan lapisan gambut setebal itu setara dengan pelepasan

karbon (C) sebanyak 0,2–0,6 Gt C. Pelepasan C ini berdampak luar biasa atas

emisi gas karbondioksida (CO2) ke atmosfer, yang turut berperan dalam

pemanasan global (Siegert et al., 2002). Selain itu, kebakaran tahun 1997 telah

merusak vegetasi hutan sehingga kerapatan pohon berkurang hingga 75% (D’Arcy

dan Page, 2002).

Page 12: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

12

C. Pola Penggunaan Lahan Gambut

Noor (2001) mengatakan, bahwa pembukaan lahan gambut untuk

pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah

ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu ekosistem baru.

Lebih lanjut Noor mengatakan pengembangan pertanian di lahan gambut dapat

diartikan sebagai upaya peningkatan fungsi produksi. Antara fungsi produksi dan

fungsi perlindungan lingkungan ekosistem lahan gambut saling berhubungan dan

saling mempengaruhi. Jika fungsi perlindungan menurun , maka fungsi produksi

dapat terganggu.

Tata guna lahan gambut mencakup penataan terhadap (1) kawasan non-

budidaya atau konservasi; dan (2) kawasan budidaya atau reklamasi. Kawasan

non-budidaya dibagi menjadi kawasan lindung, suaka alam, dan konservasi.

Kawasan konservasi dipilih beberapa lokasi yang mewakili ekosistem spesifik

tertentu dan diberi batasan alami yang jelas sebelum reklamasi dilakukan.

Kawasan budidaya perlu dibagi antara kawasan budidaya dan pemukiman.

Menurut Noor (2001), pola penggunaan lahan gambut untuk penentuan wilayah

kawasan lindung, pemukiman, dan pertanian yang dikembangkan memerlukan

informasi awal, antara lain data tipologi lahan (luapan air) ketebalan lapisan

gambut dan tipe penyusun lapisan bawah (sub-stratum). Lapisan gambut yang

mempunyai ketebalan organik <1 m cocok untuk pengembangan berbagai ragam

komoditas yang meliputi tanaman pangan, misalnya padi, kedelai, kacang tanah,

jagung, ubikayu, dan ubijalar. Lahan gambut yang mempunyai tebal lapisan

organik antara 1 – 2 m cocok untuk pengembangan tanaman perkebunan seperti

Page 13: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

13

kelapa, kelapa sawit, karet, sagu, dan kopi. Adapun lahan gambut yang

mempunyai tebal lapisan organik >2 m lebih sesuai untuk pengembangan tanaman

hortikultura seperti kubis, pepaya, nanas, dan sejenisnya. Gambut yang tebal

lapisan organiknya sangat dalam, yaitu >3 m dapat dimanfaatkan sebagai kawasan

lindung yang sekaligus berfungsi sebagai wilayah tangkapan air.

Pola tanam dengan memadukan (intregrated farming system) beberapa

tanaman perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit, karet, dan kopi dengan tanaman

padi/palawija dapat dikembangkan di lahan gambut dalam rangka optimalisasi

sumber daya. Pola tanam ini dapat dilakukan dengan pembuatann surjan. Selain

itu, petani juga dapat memelihara ternak unggas dan sapi yang ternyata cukup

berhasil (Ardjakusumah et al, 2002).

Petani tradisional dalam melakukan pengaturan pola tanam atau suksesi

tanaman dilakukan secara bertahap. Setelah pembukaann lahan pada 1 – 4 tahun

pertama dilakukan penanaman padi. Kemudian setelah 4 – 6 tahun dilakukan

penanaman kelapa dengan sistem surjan dan padi ditanam pada tabukan. Setelah

kelapa berumur 4 tahun, secara bertahap tanaman padi dihilangkan dan diganti

dengan pembuatan surjan (tukungan) untuk tanaman kelapa. Jadi, penggantian

atau pembentukan kelapa secara keseluruhan baru dicapai setelah antara 15 – 20

tahun (Ardjakusumah et al, 2002).

Tanaman khas pada lahan gambut tergantung pada kedalaman gambut.

Pemanfaatan lahan gambut dangkal (< 1 m) adalah untuk budidaya pertanian

dengan sistem surjan, misal untuk tanaman padi, palawija, buah-buahan, dan

Page 14: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

14

tanaman tahunan. Kedalaman lahan gambut lebih dari 1 m hanya dapat digunakan

untuk tanaman tahunan (Ratmini, 1997).

Pemanfaatan lahan gambut untuk tanaman sagu akan ramah lingkungan,

karena tanaman sagu menghendaki lahan yang kadar airnya tinggi, selain itu

karena anakan sagu yang banyak dan membentuk rumpun mengakibatkan

perkebunan sagu akan selalu tertutup oleh vegetasi sagu, sehingga berfungsi

membersihkan udara dan menghasilkan O2 yang sangat diperlukan makhluk hidup

(Bintoro et al, 2010). Sagu dapat menjadi alternatif tanaman sumber karbohidrat

selain beras.

Pemanfaatan lahan gambut dengan tanaman Akasia (Acacia crassicarpa)

juga dapat dilakukan dengan baik, karena tanaman ini merupakan tanaman yang

toleran pada jenis tanah yang bervariasi, mengandung kadar garam, tidak subur,

mempunyai drainase tidak sempurna yang tergenang pada saat musim hujan dan

kering pada musim kemarau serta merupakan tanaman yang cukup mudah

beradaptasi dengan lingkungan. Akasia banyak dijumpai di daerah beriklim humid

dan subhumid yang mempunyai suhu maksimum rata-rata pada musim panas

sebesar 32 - 34ºC, suhu minimum rata-rata pada musim dingin sebesar 12 - 21ºC

dan suhu harian maksimum mencapai 32ºC (Turnbull, 1968 dalam Widyasari,

2008).

D. Kondisi Total Mikroorganisme Tanah Gambut

Kondisi mikroorganisme di tanah gambut dapat dilihat dalam tiga

kelompok, sebagai berikut (Noor, 2001).

Page 15: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

15

1. Mikroorganisme yang terlibat dalam tahap perombak awal dari keadaan asli.

Pada tahap ini jamur dan bakteri banyak berperan dalam menghancurkan

selulosa, hemiselulosa, dan beberapa protein. Perkembangan gambut dari

suasana aerob menjadi anaerob akan diikuti oleh keterlibatan mikroorganisme

yang berbeda.

2. Mikroorganisme yang terlibat dalam perkembangan (penebalan gambut) yang

hampir sepanjang tahun terendam. Mikroorganisme yang berperan bersifat

anaerob yang memperoleh oksigen dari oksidasi dan perombakan bahan

organik. Pada tahap ini dihasilkan gas hidrogen (sebagai metana) dan sulfida.

Kebanyakan hasil sisa merupakan derivat dari perombakan selulose dan

senyawa organik kompleks.

3. Mikroorganisme yang terlibat setelah gambut mengalami pengatusan atau

terbuka. Mikroorganisme yang berperan adalah jamur, bakteri aerob, dan

mikroorganisme yang berada pada tahap perombakan awal. Sisa perombakan

adalah bahan-bahan yang lebih tahan seperti lignin.

Jumlah mikroorganisme dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti

keasaman tanah. Jumlah mikroorganisme cenderung menurun dengan

meningkatnya keasaman tanah. Bakteri penambat N (Azotobacter, SP.), bakteri

nitrit, dan bakteri perombak selulose tidak ditemukan di lahan gambut oligotrofik

yang miskin. Tetapi di lahan gambut yang kaya, pH tinggi dan tergolong gambut

eutrofik sering dijumpai adanya bakteri Azotobacter.

Page 16: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

16

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas

Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, yaitu pada bulan

November 2010 sampai April 2011.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah gambut

ombrogen bekas terbakar, aquades steril, media PDA (Potatos Dekstrose Agar)

untuk pengamatan jamur, dan media NA (Nutrient Agar) sebagai media bakteri.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung reaksi, cawan petri, pipet

1 mL dan 10 mL, beker glass, erlenmeyer, bunsen, alkohol 70 %, tissue, gunting,

pelastik, timbangan analitik, kompor gas, dan autoklaf.

C. Rancangan Pengambilan Sampel

Rancangan yang di gunakan dalam pengambilan sampel adalah

Rancangan Acak Kelompok. Percobaan ini terdiri dari 5 kombinasi perlakuan

sehingga diperoleh 20 sampel pengamatan tiap kondisi lahan berikut.

AI (1-5) AII (1-5) AIII (1-5) AIV (1-5)

BI (1-5) BII (1-5) BIII (1-5) BIV (1-5)

CI (1-5) CII (1-5) CIII (1-5) CIV (1-5)

DI (1-5) DII (1-5) DIII (1-5) DIV (1-5)

Page 17: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

17

Keterangan:

1. Kondisi lahan: A = Hutan asli, B = Hutan Akasia, C= Dihutankan

dengan menjaga tinggi muka air tanah, dan D = Perkebunan Sagu.

2. Pengambilan sampel:

Sampel diambil berdasarkan jarak dari hasil drainase, yaitu meliputi I =

50 m, II = 100 m, III = 200 m, dan IV = 400 m. Pecuplikan sampel

meliputi (1) 0 – 20 cm, (2) 20 – 40 cm, (3) 40 – 60 cm, (4) 60 – 80 cm,

dan (5) 80 – 100 cm.

D. Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati adalah total mikroorganisme tanah gambut

ombrogen, yaitu dengan mengamati jamur dan bakteri, serta kadar abu tanah

gambut ombrogen.

E. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian melalui beberapa tahap, yaitu

1. Tahap Persiapan

Pembuatan media PDA dan NA, alat dan bahan yang akan digunakan disteril

terlebih dahulu dengan Autoklaf pada suhu 1200 selama 30 menit.

a. Cara pembuatan PDA (Potato Dextrose Agar)

- Kentang sebanyak 200 gr direbus dengan menggunakan 500 ml

aquades selama 15 – 20 menit atau sampai mendidih.

- 20 gr agar dipanaskan dengan 500 ml aquades hingga mendidih.

Page 18: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

18

- Setelah kentang selesai direbus, kemudian kentang disaring untuk

mendapatkan airnya saja.

- 500 ml air rebusan kentang tersebut di campur dengan 500 ml agar

yang telah dipanaskan, sehingga didapat 1 L.

- Kemudian dimasukkan 15 gr Dekstrose kedalam 1 L larutan tersebut,

dengan demekian akan diperoleh 1 L PDA.

- Sebelum digunakan PDA disteril terlebih dahulu dengan Autoklaf pada

suhu 1200

C selama 30 menit.

b. Cara pembuatan NA (Nutrient Agar)

- 200 gr kecambah dimasukkan ke dalam 500 ml aquades untuk

kemudian direbus hingga mendidih,

- Setelah kecambah mendidih, kecambah disaring untuk memisahkan

antara kecambah dan air rebusan kecambah.

- 20 gr agar dimasukkan ke dalam 500 ml aquades untuk kemudian

dipanaskan hingga mendidih.

- Setelah agar mendidih, kemudian 500 ml agar tersebut di campur

dengan 500 ml air rebusan kecambah. Sehingga diperoleh 1 L media

NA.

- Sebelum digunakan NA disteril terlebih dahulu dengan Autoklaf pada

suhu 1200

C selama 30 menit.

2. Tahap pelaksanaan

a) Seri pengenceran yang digunakan dalam penelitian adalah 10-3

(untuk

pengamatan jamur) dan 10-6

(untuk pengamatan bakteri).

Page 19: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

19

b) Pengamatan dapat dilakukan setiap hari

c) Perhitungan dari hasil

Rata-rata jumlah koloni per cawan petri dikalikan dengan faktor

pengenceran untuk mendapatkan jumlah mikroba total per gram contoh

tanah.

3. Tahap Analisis Data

4. Tahap Penyusunan Laporan.

Page 20: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kadar Abu Tanah Gambut Ombrogen

Kadar abu alami yang belum terganggu umumnya rendah. Peningkatan

intensitas pertanaman dapat meningkatkan kadar abu seiring meningkatnya

mineralisasi tanah. Menurut Noor, 2001 kadar abu tanah gambut yang ditanamni

tanaman semusim dan sayuran lebih tinggi dibandingkan yang berada di bawah

tanaman karet dan semak-semak terutama dilapisan 0-20 cm. Hasil analisis

menunjukkan bahwa kadar abu pada tanah gambut ombrogen tergolong rendah,

hal ini disebabkan karena proses mineralisasi oleh mikroorganisme berjalan

sangat lambat.

Besarnya kadar abu dalam tanah dapat digunakan untuk mengetahui laju

proses mineralisasi oleh mikroorganisme dekomposer. Tabel 1 menunjukkan

kadar abu gambut ombrogen tertinggi di Kalampangan terdapat pada lahan sagu,

yaitu berkisar antara 0,2358 % pada jarak 400 m dari saluran kanal dan di

kedalaman 100 cm, sampai 2,0053 % pada jarak 200 m dari saluran kanal dan di

kedalaman 20 cm. Kadar abu tertinggi kedua adalah pada lahan yang dihutankan,

yaitu berkisar antara 0,1099 % pada jarak 200 m dari kanal dan dikedalaman 80

cm, sampai 0,9843 % pada jarak 400 m dari kanal dan dikedalaman 20 cm. Urutan

ketiga adalah akasia, yaitu dengan kadar abu 0,2315 % pada jarak 400 m dari

saluran kanal dan dikedalaman 100 cm, sampai 0,9342 % pada jarak 100 m dari

kanal dan dikedalaman 20 cm. Hutan asli merupakan lahan yang memiliki kadar

Page 21: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

21

abu paling rendah, yaitu berkisar antara 0,2029 % pada jarak 100 m dari kanal dan

dikedalaman 100 cm, sampai 0,8658 pada jarak 50 m dan dikedalaman 20 cm.

Table 1. Hasil analisis kadar abu tanah gambut ombrogen

Jarak dari kanal

(m)

Kedalaman

(cm)

Kadar Abu (%)

Sagu Dihutankan Akasia Hutan asli

50

20 1,8940 0,6645 0,9342 0,8658

40 1,1178 0,6650 0,5811 0,4546

60 0,9292 0,3436 0,6874 0,5601

80 0,8585 0,3855 0,6238 0,5401

100 0,7122 0,1632 0,2792 0,3740

100

20 1,2840 0,6684 0,8948 0,5633

40 0,9547 0,5438 0,7415 0,3744

60 0,9224 0,5376 0,5524 0,3768

80 0,5757 0,3448 0,3684 0,3053

100 0,3917 0,1489 0,3411 0,2029

200

20 2,0053 0,7672 0,8978 0,2029

40 0,8785 0,4475 0,7501 0,5828

60 0,6873 0,3176 0,9246 0,4896

80 0,5988 0,1099 0,5622 0,5977

100 0,4384 0,1971 0,2315 0,3345

400

20 1,5954 0,9843 0,4866 0,3717

40 1,0293 0,6376 0,4081 0,3709

60 1,0923 0,5605 0,4667 0,4027

80 0,7610 0,4005 0,3622 0,4773

100 0,2358 0,3425 0,3590 0,3455

Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu Tanah (2010)

Hasil menunjukkan bahwa semakin dalam gambut, maka kadar abu akan

semakin rendah (Gambar 1). Semakin dalam gambut, maka kandungan airnya

akan semakin tinggi, hal ini akan menyebabkan kadar abu semakin rendah.

Keadaan jenuh air juga akan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam

proses dekomposisi bahan organik pada tanah gambut ombrogen. Aktivitas

Page 22: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

22

mikroorganisme yang terhambat akan mempengaruhi proses mineralisasi,

sehingga menyebabkan kadar abu rendah. Kadar abu paling rendah adalah pada

kedalaman >80 cm.

Gambar 1. Kadar Abu tanah gambut ombrogen berdasarkan kedalaman

Berdasarkan Gambar 1, maka dapat dikatakan bahwa semakin dalam

gambut maka kadar abu gambut juga semakin rendah. Peningkatan kadar abu

dilahan-lahan pertanian yang dikelola secara intensif berkolerasi dengan

meningkatnya fraksi anorganik tanah gambut. Kadar abu tertinggi adalah pada

lapisan permukaan, sedangkan tanah gambut dibawah hutan asli mempunyai

kadar abu paling rendah, yaitu 0,2029 % di kedalaman 20 cm pada jarak 50 m dari

Page 23: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

23

saluran kanal, hal ini disebabkan karena pada lahan ini sama sekali belum

terganggu.

Kadar abu merupakan bagian berat mineral bahan yang didasarkan atas

berat keringnya. Abu yaitu zat organik yang tidak menguap, sisa dari proses

pembakaran atau hasil oksidasi. Penurunan kadar abu berhubungan dengan

mineral suatu bahan.

Dekomposisi merupakan proses perombakan bahan organik oleh

mikroorganisme dekomposer. Selama proses dekomposisi terjadi perubahan fraksi

bahan organik dari komponen yang kompleks menjadi bentuk yang lebih

sederhana. Demikian seterusnya hingga mencapai bahan organik dalam bentuk

yang paling sederhana. Pada kondisi lingkungan yang mendukung, proses tersebut

berlanjut dengan proses mineralisasi, yaitu perombakan bahan organik sederhana

menjadi senyawa-senyawa anorganik.

Penggunaan lahan yang berpenagruh dengan kadar abu adalah pada

penggunaan lahan sebagai kebun sagu. Kebun sagu merupakan lahan yang

memiliki kadar abu. Perlakuan-perlakuan manusia, seperti pemupukan pada lahan

ini akan mempengaruhi kandungan mineral, serta meningkatkan aktivitas

mikroorganisme. Aktivitas mikroorganisme dalam dekomposisi akan

menghasilkan mineral tanah, sehingga kadar abu pada penggunaan lahan kebun

sagu lebih tinggi diantara penggunaan lahan yang lain, terutama dilapisan atas (0 –

20 cm). Kadar abu gambut yang berada dibawah hutan asli rendah dibandingkan

dengan kebun sagu.

Page 24: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

24

Faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi dan naiknya kadar abu tanah

gambut ombrogen antara lain karena adanya campur tangan manusia, adanya

saluran kanal, serta keberadaan DAM. Kanal adalah jaringan drainase makro yang

dapat mengendalikan tata air dalam satu wilayah, sedangkan DAM merupakan

drainase mikro untuk mengendalikan tata air di tingkat lahan. Menurut Agus dan

Subiksa (2008), sistem drainase yang tepat dan benar sangat diperlukan pada

lahan gambut, baik untuk tanaman pangan maupun perkebunan. Fungsi drainase

adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk

pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik. Semakin

pendek interval/jarak antar parit drainase maka hasil tanaman semakin tinggi.

Walaupun drainase penting untuk pertumbuhan tanaman, namun semakin dalam

saluran drainase akan semakin cepat laju subsiden dan dekomposisi gambut, serta

menaikkan kadar abu tanah gambut. Lebih lanjut Agus dan Subiksa mengatakan,

Sistem drainase yang tidak tepat akan mempercepat kerusakan lahan gambut.

Oleh karena itu salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan

gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air

berfungsi untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak

terlalu dalam. Masing-masing penggunaan lahan pada penelitian ini yang sudah

menggunakan bangunan pengendali adalah pada penggunaan lahan yang

dihutankan, sehingga pada lahan ini merupakan kadar abu tertinggi kedua setelah

kebun sagu.

Page 25: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

25

B. Jumlah Jamur pada Tanah Gambut Ombrogen

Tabel 2. Jumlah jamur pada masing-masing penggunaan lahan pada tanah gambut

ombrogen

Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu Tanah (2010)

Jamur (fungi, kapang, cendawan) merupakan tumbuhan tingkat rendah

dan tidak berklorofil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan gambut

ombrogen di Kalampanagan yang dimanfaatkan untuk kebun sagu merupakan

lahan yang memiliki jumlah jamur paling tinggi, yaitu 30 x 103 cfu/g pada jarak

400 m dari kanal dikedalaman 20 cm. Jumlah jamur tertinggi kedua terdapat pada

penggunaan lahan yang dihutankan, yaitu 15 x 103 cfu/g pada jarak 400 m

dikedalaman 20 cm. Dilanjutkan dengan lahan gambut ombrogen yang

jarak dari

kanal (m)

kedalaman

(cm)

jumlah jamur (x 103 cfu/g tanah)

sagu dihutankan akasia hutan asli

50

20 13 10 6 5

40 10 10 5 3

60 6 9 5 2

80 6 3 2 2

100 4 1 1 1

100

20 11 7 5 5

40 10 4 5 5

60 10 3 2 2

80 2 2 1 1

100 1 1 1 1

200

20 11 9 11 11

40 6 9 11 7

60 5 6 8 5

80 5 4 5 5

100 3 4 1 2

400

20 30 15 13 3

40 21 12 6 3

60 10 2 4 2

80 13 2 5 1

100 2 2 1 1

Page 26: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

26

dimanfaatkan untuk tanaman akasia, jumlah jamur tertinggi pada lahan ini

terdapat pada jarak 400 m dari kanal, dikedalaman 20 cm, yaitu sebesar 13 x 103

cfu/g. Hutan asli merupakan lahan gambut ombrogen yang jumlah jamurnya

paling sedikit diantara penggunaan lahan yang lain, yaitu sebesar 11 x 103 cfu/g

tepatnya pada jarak 200 m dari kanal dengan kedalaman 20 cm (Tabel 2).

Gambar2. Jumlah jamur berdasarkan kedalaman pada masing-masing penggunaan

lahan gambut ombrogen.

Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa semakin dalam gambut

maka jumlah jamur semakin sedikit. Dekomposisi gambut di Kalampangan

menunjukkan bahwa dekomposisi permukaan gambut terutama disebabkan oleh

dekomposisi aerob yang dilaksanakan oleh jamur (Sagiman, 2007). Noor (2004)

Page 27: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

27

juga mengatakan jamur dapat hidup dengan baik pada kondisi aerob, yaitu bagian

permukaan tanah gambut ombrogen.

C. Jumlah Bakteri pada Tanah Gambut Ombrogen

Bakteri pengurai bahan organik dapat ditemukan ditempat yang

mengandung senyawa organik berasal dari sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik

dilaut maupun di darat. Berbagai bentuk bakteri dari bentuk yang sederhana

tunggal sampai bentuk koloni seperti filamen/spiral berperan dalam proses

dekomposisi sisa tumbuhan maupun hewan (Saraswati et al, 2006).

Sama seperti populasi jamur, populasi bakteri terbanyak adalah pada

penggunaan lahan kebun sagu, yaitu berkisar antara 10 – 70 x 106

sel/g, pada

lahan ini jumlah bakteri tertinggi tersebut terdapat pada jarak 200 m dari kanal

pada kedalaman 20 cm. Lahan yang memiliki jumlah bakteri tertinggi diurutan

kedua adalah pada lahan yangh dihutankan, yaitu berkisar anatara 4 – 46 x 106

sel/g, pada lahan ini jumlah bakteri paling banyak terdapat pada jarak 200 m dan

paling rendah terdapat pada jarak 400 m dari kanal. Diurutan ketiga adalah pada

lahan akasia, yaitu berkisar anatara 1 – 27 x 106 sel/g, bakteri tertinggi tersebut

terdapat pada jarak 400 m dari kanal dan terendah pada jarak 100 m dari kanal.

Hutan asli merupakan lahan yang memiliki jumlah bakteri terendah, yaitu berkisar

anatara 1 – 15 x 106 sel/g (Tabel 3).

Page 28: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

28

Tabel 3. Jumlah bakteri pada masing-masing penggunaan lahan gambut ombrogen

jarak dari

kanal

(m)

kedalaman

(cm)

Jumlah bakteri (x 106 sel/g tanah)

sagu dihutankan akasia hutan asli

50

20 65 16 26 10

40 51 15 25 9

60 17 10 22 6

80 14 8 20 3

100 10 5 13 1

100

20 62 31 27 10

40 62 28 23 8

60 61 25 22 8

80 44 20 14 2

100 19 14 9 1

200

20 70 46 27 8

40 61 46 27 5

60 40 32 16 4

80 30 19 9 1

100 10 11 8 2

400

20 33 20 27 15

40 31 11 25 9

60 31 4 5 4

80 14 4 1 1

100 11 4 1 1

Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu Tanah (2010)

Berdasarkan Gambar 2, dapat diketahui bahwa semakin dalam gambut

maka jumlah bakteri akan semakin menurun. Tidak berbeda dengan jamur, hal ini

disebabkan karena kondisi gambut pada kedalaman >80 cm selalu tergenang air

atau jenuh air, sehingga menghambat aktivitas bakteri.

Page 29: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

29

Gambar 3. Jumlah bakteri tanah gambut ombrogen berdasarkan kedalaman

D. Total Mikroorganisme Tanah Gambut Ombrogen

Tingginya bahan organik pada tanah gambut merupakan karakteristik

yang dimiliki oleh tanah gambut. Isroi (2008) meyatakan bahwa tanah sangat kaya

akan mikroorganisme, seperti bakteri, actinomycetes, fungi, protozoa, alga dan

virus. Tanah yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroorganisme per

gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada aktivitas

mikroorganisme tersebut. Tambahnya lagi, bahwa sebagian besar mikroorganisme

tanah memiliki peranan yang menguntungkan, yaitu berperan dalam

menghancurkan limbah organik, siklus hara tanaman, fiksasi nitrogen, pelarut

Page 30: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

30

posfat, merangsang pertumbuhan, biokontrol patogen, dan membantu penyerapan

unsur hara.

Jamur dan bakteri merupakan mikroorganisme yang paling berperan

dalam dekomposisi tanah gambut ombrogen. Total mikroorganisme pada

penelitian ini didapat dari hasil penjumlahan jumlah jamur dan jumlah bakteri,

sehingga diperoleh hasil seprti pada Tabel 3.

Tabel 4. Total mikroorganisme tanah gambut ombrogen pada masing-masing

penggunaan lahan

jarak dari

kanal (m)

kedalaman

(cm)

total mikroorganisme (x 106 cfu/g)

sagu dihutankan akasia hutan asli

50

20 65,013 16,010 26,006 10,005

40 51,010 15,010 25,005 9,003

60 17,006 10,009 22,005 6,002

80 14,006 8,003 20,002 3,002

100 10,004 5,001 13,001 1,001

100

20 62,011 31,007 27,005 10,005

40 62,010 28,001 23,005 8,005

60 61,010 25,003 22,002 8,008

80 44,002 20,002 14,003 2,001

100 19,001 14,004 9,001 1,001

200

20 70,011 46,009 27,011 8,011

40 61,006 46,009 27,011 5,007

60 40,005 32,006 16,008 4,005

80 30,005 19,004 9,005 1,005

100 10,003 11,004 8,001 2,002

400

20 33,030 20,015 27,013 15,003

40 31,021 11,012 25,006 9,003

60 31,010 4,002 5,004 4,002

80 14,013 4,002 1,005 1,001

100 11,002 4,002 1,001 1,001

Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu Tanah (2010)

Sesuai dengan jumlah jamur dan bakteri, yaitu jumlah tertinggi pada

lahan kebun sagu, dihutankan, akasia, dan terakhir pada lahan hutan asli.

Page 31: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

31

Kondisi penggunaan lahan yang mempengaruhi kondisi mikroorganisme

adalah pada lahan sagu dan lahan yang dihutanakan. Lahan sagu merupakan

perkebunan yang dimiliki oleh daerah Kalampangan. Kondisi mikroorganisme

yang tinggi pada kebun sagu adalah karena adanya campur tangan manusia, yaitu

melalui pemupukan dan pengelolaan lainya yang sudah sering dilakukan oleh

manusia agar sagu dapat tumbuh dengan baik dan produktif. Pupuk yang

diberikan pada lahan ini memberikan dampak positif terhadap aktivitas

mikroorganisme. Lahan gambut digunakan untuk perkebunan sagu pembuatan

saluran drainase atau DAM tidak diperlukan, karena tanaman ini merupakan

tanaman rawa yang toleran terhadap genangan. Sagu dapat menjadi alternatif

tanaman sumber karbohidrat selain beras (Agus dan Subiksa, 2008).

Lahan yang Dihutankan adalah lahan kosong yang kemudian sengaja

ditanami tanaman yang sama dengan hutan alami. Pada lahan ini sudah ada

campur tangan manusia, yaitu melalui konservasi mekanik dengan pembuatan

DAM serta tetap menjaga tinggi muka air tanah. Agus dan Subiksa (2008),

mengatakan salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut

adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi

untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu

dalam.

Hutan akasia merupakan urutan ketiga yang memiliki total

mikroorganisme. Pada lahan ini di beri DAM tanpa memperhatikan tinggi muka

air tanah, sehingga menyebabkan sistem irigasi tidak baik. DAM yang tidak

memperhatikan tinggi muka air tanah akan menyebabkan tergenang pada musim

Page 32: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

32

hujan, dan kekeringan pada musim kemarau. Akasia merupakan tanaman yang

dapat tumbuh pada jenis tanah yang bervariasi, mengandung kadar garam, tidak

subur, mempunyai drainase tidak sempurna yang tergenang pada saat musim

hujan dan kering pada musim kemarau serta merupakan tanaman yang cukup

mudah beradaptasi dengan lingkungan (Widyasari, 2008). Pemupukan pada lahan

akasia di lahan gambut Kalampangan tidak pernah di lakukan, kerena sifat akasia

yang toleran. Kondisi pengairan yang kurang sempurna dan pengolahan lahan

yang tidak pernah dilakukan menyebabkan mikroorganisme pada lahan ini tidak

dapat hidup dengan baik.

Hutan asli merupakan lahan yang mempunyai total mikroorganisme

terendah. Hutan asli merupakan hutan alami tanpa ada campur tangan manusia.

Kondisi tanah yang selalu tergenang karena tidak ada DAM dan tidak ada

pengelolaan tanah menyebabkan aktivitas mikroorganisme pada lahan ini

terhambat. Mikroorganisme yang sedikit pada lahan ini menyebabkan proses

dekomposisi berjalan lebih lambat dibandingakan dengan penggunaan yang lahan.

Hal ini dapat dibuktikan dengan kadar abu pada lahan ini sangat rendah.

Gambar 3 merupakan hasil penjumlahan antara jamur dan bakteri

menghasilkan total mikroorganisme yang menunjukkan jika semakin dalam

gambut maka mikroorganisme akan semakin rendah, hal ini karena semakin

dalam gambut maka kandungan air akan semakin tinggi dan menyebabkan

lingkungan menjadi anaerob. Menurut Waksman dalam Sagiman (2007),

perombakan bahan organik saat pembentukan gambut dilakukan oleh

mikroorganisme anaerob dalam perombakan ini dihasilkan gas methane dan

Page 33: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

33

sulfida. Setelah gambut didrainase untuk tujuan pertanian maka kondisi gambut

bagian permukaan tanah menjadi aerob, sehingga memungkinkan fungi dan

bakteri berkembang untuk merombak senyawa sellulosa, hemisellulosa, dan

protein.

Gambar 4. Total mikroorganisme berdasarkan kedalaman tanah gambut

ombrogen.

Faktor penghambat pertumbuhan mikroorganisme pada tanah gambut

ombrogen adalah aerasi yang kurang baik, dapat dilihat dari lahan hutan akasia

dan hutan asli yang memiliki mikroorganisme terendah karena aerasi yang kurang

baik. Menurut Atmojo (2003), Aerasi tanah sering terkait dengan pernafasan

Page 34: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

34

mikroorganisme dalam tanah dan akar tanaman, karena aerasi terkait dengan O2

dalam tanah. Dengan demikian aerasi tanah akan mempengaruhi populasi

mikroorganisme dalam tanah. tambahnya lagi, bahwa kadar air yang optimal bagi

tanaman dan kehidupan mikroorganisme adalah sekitar kapasitas lapang.

C/N yang tinggi juga dapat menghambat aktivitas mikroorganisme dalam

merombak organik tanah gambut ombrogen. Bahan organik akan termineralisasi

jika nisbah C/N dibawah nilai kritis 25 – 30, dan jika diatas nilai kritis akan terjadi

imobilisasi N (Stevenson dalam Atmojo, 2003). C/N gambut umumnya sangat

tinggi melibihi 30 ini berarti hara nitrogen kurang tersedia untuk tanaman

(Soewono, dalam Sagiman, 2007).

Jika bahan organik mempunyai kandungan lignin tinggi kecepatan

mineralisasi N akan terhambat. Lignin adalah senyawa polimer pada jaringan

tanaman berkayu, yang mengisi rongga antar sel tanaman, sehingga menyebabkan

jaringan tanaman menjadi keras dan sulit untuk dirombak oleh organisme tanah.

Pada jaringan berkayu, kandungan lignin bisa mencapai 38 % (Stevenson, 1982).

Perombakan lignin akan berpengaruh pada kualitas tanah dalam kaitannya dengan

susunan humus tanah. Dalam perombakan lignin ini, di samping jamur (fungi-

ligninolytic) juga melibatkan kerja enzim (antara lain enzim lignin peroxidase,

manganeses peroxidase, laccases dan ligninolytic) (Hammel, 2003).

Kondisi lingkungan yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme

adalah pada lahan sagu, hal ini dapat dilihat dari hasil analisis yang menunjukkan

bahwa kebun sagu di Kalampangan memiliki kadar abu dan total mikroorganisme

paling tinggi dibandingkan penggunaan lahan yang lain. Mikroorganisme yang

Page 35: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

35

paling dominan pada lahan gambut ombrogen adalah bakteri, yaitu berkisar antara

1 x 106 – 70 x 10

6 sel/g, sedangkan jumlah kamur mencapai 1 x 10

3 – 30 x 10

3

cfu/g.

Hubungan kadar abu dengan mikroorganisme adalah dalam hal proses

dekomposisi. Kadar abu merupakan mieral yang terdapat dalam tanah gambut

ombrogen, dan hasil akhir dari proses dekomposisi adalah mineral. Dari hasil

analisi diketahui kadar abu tertinggi adalah pada lahan sagu, dan mikroorganisme

tertinggi juga pada lahan sagu. Oleh karen itu pada perkebunan sagu dapat

dikatakan laju dekomposisinya lebih cepat dibandingkan dengan lahan yang lain.

Page 36: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

36

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Kondisi agihan cacak total mikroorganisme tertinggi adalah pada penggunaan

lahan kebun sagu, tertinggi kedua adalah lahan yang dihutankan, dilanjutkan

dengan yang ketiga adalah hutan akasia, dan tarakhir populasi tersendah adalah

pada lahan hutan asli.

2. Kadar abu tertinggi adalah pada lahan perkebunan sagu, dan terendah adalah

pada hutan asli.

3. Penggunaan lahan yang menyebabkan terjadinya peningkatan agihan cacak

total mikroorganisme adalah penggunaan lahan sebagai kebun sagu dan

penggunaan lahan yang dihutankan.

4. Penggunaan lahan yang produktif dan ramah lingkungan adalah penggunaan

lahan sebagai kebun sagu dan lahan yang dihutankan.

B. saran

Penggunaan lahan gambut ombrogen sebaiknya memperhatikan

pengolahan tanah yang baik, serta dibuat DAM dengan tetap menjaga tinggi muka

air tanah, sehingga menjadi lahan yang kembali produktif dan sesuai dengan

lingkungan.

Mengingat pentingnya peran mikroorganisme tanah dalam proses

dekomposisi bahan organik pada tanah gambut dan masih relatif terbatasnya

Page 37: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

37

informasi mengenai jenis jamur dan bakteri pada tanah gambut. Perlu

diidentifikasi jenis-jenis jamur dan bakteri tanah gambut dalam rangka

mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Dengan demikian akan dapat

diketahui populasi, jenis jamur dan bakteri yang berperan dalam proses

dekomposisi bahan organik tanah gambut. Informasi yang diperoleh diharapkan

dapat digunakan sebagai data pendukung dalam pengelolaan lahan gambut

ombrogen.

DAFTAR PUSTAKA

Page 38: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

38

Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan

Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre

(ICRAF), Bogor, Indonesia.

Abdullah, M.J., M.R. Ibrahim, dan A.R. Abdul Rahim. 2002. The influence of

forest fire in Peninsular Malaysia: History, root causes, prevention, and

control. Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of

Fire in Peatlands, 19–21 March 2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 14 h.

Ardjakusumah S., Nur’ani, E, dan Sumantri. 2002. Teknik penyiapan pada lahan

gambut bongkor untuk tanaman holtikultura. Pusat penelitian tanah dan

agroklimat, Bogor.

BAPPENAS. 1998 dalam Kurnain, A. 2007. Kebakarab Hutan dan Lahan

Gambut: Karakteristik dan Penanganannya. Fakultas Pertanian

Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

Bintoro, Yanuar, dan Shandra. 2010. Sagu Di Lahan Gambut. IPB Press,

Bandung.

BB Litbang SDLP (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya

LahanPertanian. 2008. Laporan tahunan 2008, Konsorsium penelitian

danpengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Balai Pesar

Penelitiandan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

Central Kalimantan Peatlands Project. 2006. Lahan gambut di kalimantan. CKPP

Universitas Palangkaraya, Palangkaraya. www.cckp.or.id diakses 26 maret

2011.

Diemont, W.H., P.J.M. Hillegers, K. Kramer, dan J. Rieley. 2002. Fire and peat

forests, what are the solutions? Makalah disajikan pada Workshop on

Prevention and Control of Fire in Peatlands, 19–21 March 2002, Kuala

Lumpur, Malaysia, 18 h.

Dwi Hatmoko, Maulia Aries, dan Khairul Anwar. 2007. Potensi Sebaran Lahan

Rawa Berdasarkan Luasan Tipologi dan Tipe Luapan Di Kalimantan.

Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA), Kalimantan.

D`Arcy, L.J. dan S.E. Page. 2002. Assessment of the effects of the 1997/1998

forest fire and anthropogenic deforestation on peat swamp forest in Central

Kalimantan, Indonesia. Dalam: J.O. Rieley, & S.E. Page (eds.), Peatlands

for People, Natural Resources Function, and Sustainable Management,

BPPT dan Indonesian Peat Association, Jakarta, h. 179–185.

Eni dan Maulia. 2009. Komunitas Cacing Tanah pada Beberapa Penggunaan

Lahan Gambut Di Kalimantan Tengah (Earthworms Community On

Page 39: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

39

Several Land Uses Of Peat Land In Central Kalimantan). Balai Penelitian

lahan Rawa, Kalimantan selatan.

Hammel, K.E. (2003)Fungal degradation of lignin, In Driven by Nature Plant

Litter Quality and Decomposition, ( Eds Cadisch, G. and Giller, K.E.), pp.

33-46. Department of Biological Sciences. Wey College. University of

London, UK.

Isroi, 2008. Bioteknologi mikroba untuk pertanian organik. (On-line),

http://biogen.litbang.deptan.go.id/berita_artkel/artikel_2006_bioteknologi_

mikroba.php diakses 26 Maret 2011

Foth., H.D. 1991 dalam Jurnal Penelitian Budi Utomo 2010. Eksplorasi Fungi

pada Tanah Gambut yang Berada pada Lapisan Fibrik, Hemik,

dan Saprik.USU. Medan.

Jaya, A., S.E. Page, J.O. Rieley, S. Limin, dan H.D.V. Böhm. 2000. Impact of

forest firest on carbon storage in tropical peatlands. Dalam: L. Rochefort,

& J.Y. Daigle (eds.), Sustaining our Peatlands. Proceedings of the

11th

International Peat Congress, Québec City, Canada, h. 106–113.

Kurnain,A. 2005.Dampak kegiatan pertanian dan kebakaran atas watak gambut

ombrogen. Disertasi, UniversitasGadjahMada, Yogyakarta, 315 h.

KNLHRI (Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia). 2010.

Profil Ekosistem Gambut Di Indonesia. Jakarta.

Noor. 2004.Lahan Rawa, Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat

Masam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Noor.2001. Pertanian Lahan Gambut Potensi dan Kendala. Kanisius:

Yogyakarta.

Page, S.E., J.O. Rieley, H.D.V. Böhm, F. Siegert, dan N.Z. Muhamad. 2000.

Impact of the 1997 fires on the peatlands of Central Kalimantan,

Indonesia. Dalam: L. Rochefort, & J.Y. Daigle (eds.), Sustaining our

Peatlands, Proceedings of the 11th

International Peat Congress. Québec

City, Canada, h. 962–970.

Parish, F. 2002.Peatlands, biodiversity and climate change in SE Asia: an

overview. Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of

Fire in Peatlands, 19–21 March 2002.KualalumpurMalaysia, 11 h.

Radjagukguk, B. 1997 dalam Agus, F dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut:

Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai penelitian Tanah

dan World Agroforesty Centre (ICRAF). Bogor. Indonesia.

Page 40: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

40

Ratmini, sri, NP. 1997. Sistem surjan di lahan pasang surut. Proyek penelitian

dan pengembangan pertanian rawa terpadu-ISDP. Badan penelitian dan

pengembangan pertanian. Jakarta.

Saraswati, edi, dan emi. 2006. Organisme perombak bahan organik.

Siegert, F., H-D.V. Böehm, J.O. Rieley, S.E. Page, J. Jauhiainen, H. Vasander,

dan A. Jaya. 2002. Peat fires in Central Kalimantan, Indonesia: fire

impacts and carbon release. Dalam: J.O. Rieley, & S.E. Page (eds.),

Peatlands for People, Natural Resources Function, and Sustainable

Management, BPPT dan Indonesian Peat Association, Jakarta, h. 142–154.

Simbolon, H. 2004. Proses awal pemulihan hutan gambut kalampangan-

kalimantantengah pasca kebakaran hutan desember 1997 dan september

2002. Berita biologi 7(3). pp. 145-154.

Sagiman,S. 2007. Pemanfaatan lahan gambut dengan Perspektf pertanian

berkelanjutan. Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura, Pontianak.

Singaravelu, S.S. 2002. El Nino, climate change and peat fires.Makalah disajikan

pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 19–21

March 2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 9 h.

Soewono,S. 2007. Fertility management for sustainable agriculture on tropical

ombrogenous peat.In Biodiversity and Sustainability of Tropical

Peatlands. Eds J.O. Rieley. and S.E. Page. Proceedings of the international

Symposium on Biodiversity, Environmental importance and sustainability

of Tropical Peat and Peatlands, held in Palangkaraya, Central Kalimantan,

Indonesia, 4-8 sept. 1995.

Stevenson, F.T. 1982. Humus Chemistry. John Wiley and Sons, Newyork. Dalam

Atmojo, Suntoro, W. 2003. Peran Bahan Organik Terhadap Kesuburan

Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu

Kesuburan Tanah, Fakultas pertanian, Universitas Sebelas Maret,

Surakarta.

Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Pemanfaatan dan Konservasi Ekosistem Lahan

Rawa Gambut Di Kalimantan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Sumberdaya Lahan pertanian, Bogor.

Turnbull JW. 1986. Dalam Karya Ilmiah Widyasari, Eka. 2008.Pengaruh Sifat

Fisik dan Kimia Tanah Gambut Dua Tahun Setelah Terbakar dalam

Mempengaruhi Pertanian Acacia Carssicarpa A. Cunn. Ex Benth. Di

Areal IUPHHK-H-PT. Sibangun Bumi Andalas Wood Industries. Fakultas

Kehutanan. IPB. Bogor.

Page 41: Pengaruh Berbagai Penggunaan Lahan Pada Tanah Gambut Ombrogen Bekas Terbakar Terhadap Agihan Cacak Total Mikroorganisme Tanah

41

Widjaya-Adhi IPG, Nugroho DA, dan Karania AS. 1992. Dalam jurnal penelitian

Eni Maftu’ah dan Maulia Aries Susanti. 2009. Komunitas Cacing Tanah

pada Beberapa Penggunaan Lahan Gambut Di Kalimantan tengah (Earth

Worms Comunity On Several Land Use Of Peat Land In Central

Kalimantan). Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru,

Kalimantan selatan.