pengaruh berbagai penggunaan lahan pada tanah gambut ombrogen bekas terbakar terhadap agihan cacak...
DESCRIPTION
SKRIPSIPENGARUH BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN PADA TANAH GAMBUT OMBROGEN BEKAS TERBAKAR TERHADAP AGIHAN CACAK TOTAL MIKROORGANISME TANAHOleh : Donald Fernando Sinaga NIMAIE006037KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 20111SKRIPSIPENGARUH BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN PADA TANAH GAMBUT OMBROGEN BEKAS TERBAKAR TERHADAP AGIHAN CACAK TOTAL MIKROORGANISME TANAHOleh : Donald Fernando Sinaga NIMAIE006037Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyarTRANSCRIPT
1
SKRIPSI
PENGARUH BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN PADA TANAH
GAMBUT OMBROGEN BEKAS TERBAKAR TERHADAP AGIHAN
CACAK TOTAL MIKROORGANISME TANAH
Oleh :
Donald Fernando Sinaga
NIMAIE006037
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2011
2
SKRIPSI
PENGARUH BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN PADA TANAH
GAMBUT OMBROGEN BEKAS TERBAKAR TERHADAP AGIHAN
CACAK TOTAL MIKROORGANISME TANAH
Oleh :
Donald Fernando Sinaga
NIMAIE006037
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
MemperolehGelar Sarjana Pertanian/Teknologi Pertanian
padaFakultas PertanianUniversitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2011
3
SKRIPSI
PENGARUH BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN PADA TANAH
GAMBUT OMBROGEN BEKAS TERBAKAR TERHADAP AGIHAN
CACAK TOTAL MIKROORGANISME TANAH
Oleh :
Donald Fernando Sinaga
NIMAIE006037
Diterima dan disetujui
Tanggal : / /
Dosen Pembimbing I,
Ruly Eko Kusuma K. SP., M.P.
NIP 19780420 200604 1 025
Dosen Pembimbing II,
Ruth Feti Rahayuniati, SP., M.P.
NIP19740610 200604 2001
Mengetahui:
Dekan,
Dr. Ir. H. Achmad Iqbal, M.Si.
NIP 19580331 198702 1 001
4
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Daerah Kalampangan adalah salah satu kawasan gambut di Kalimantan
tengah dengan jenis tanah gambut ombrogen. Keterbatasan lahan produktif
menyebabkan ekstensifikasi pertanian mengarah pada lahan-lahan marjinal. Lahan
gambut ombrogen adalah salah satu jenis lahan marjinal yang dipilih, karena
relatif lebih jarang penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan
relatif kecil. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu
sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB
Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari
segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan
gambut layak untuk dijadikan areal pertanian.
Permasalahan pengembangan pertanian di lahan gambut terkendala
antara lain oleh karena kesuburan tanah yang rendah, masalah air, dan subsiden
(Nurzakiah dan Jumberi, 2004). Kesuburan tanah gambut yang rendah disebabkan
karena pH tanah yang masam, kandungan P, K, Ca, Dan Mg serta hara mikro
yang rendah, tanah gambut juga mempunyai kemampuan mengikat air yang
tinggi, yaitu sampai 20 kali berat keringnya (Widjaya-Adhi et al, 1992 dalam Eni
dan maulia, 2009).
Tanah gambut merupakan tanah hidromorfik yang berasal dari sisa-sisa
tumbuhan dan dalam keadaan selalu tergenang dimana proses dekomposisinya
berlangsung tidak sempurna sehingga terjadi penumpukkan dan akumulasi bahan
5
organik membentuk tanah gambut. Masalah lain pada tanah gambut adalah
subsiden (penurunan permukaan tanah), akibat dari proses dekomposisi gambut
(Eni dan Maulia, 2009).
Pembakaran gambut dalam kegiatan pembukaan lahan dan pengadaan
abu bakar menyebabkan polusi asap terjadi pada setiap musim kemarau.
Keberadaan gangguan asap pada setiap musim kemarau akan menyebabkan
kerugian pada masyarakat berupa gangguan kesehatan, aktifitas transportasi,
pendidikan, perdagangan dan lain-lain (Sagiman, 2007).
Kebakaran hutan pada lahan gambut selama musim kering dapat
disebabkan atau dipicu oleh kejadian alamiah dan kegiatan manusia. Kejadian
alamiah seperti terbakarnya ranting dan daun kering akibat suhu tanah yang tinggi
dan pelepasan gas emisi memicu terjadinya kebakaran (Abdullah et al., 2002).
Meskipun demikian, 90–95% pemicu utama terjadinya kebakaran adalah adanya
kegiatan manusia. Kegiatan manusia yang dapat memicu terjadinya kebakaran
meliputi pembukaan lahan dalam rangka pengembangan pertanian berskala besar,
persiapan lahan oleh petani, dan berbagai penggunaan lahan lainnya. Pembukaan
dan persiapan lahan oleh petani dengan cara membakar merupakan cara yang
murah dan cepat terutama bagi tanah yang berkesuburan rendah. Banyak
penelitian telah menunjukkan bahwa cara ini cukup membantu memperbaiki
kesuburan tanah dengan meningkatkan kandungan unsur hara dan mengurangi
kemasaman (Diemont et al., 2002).
Proses dekomposisi lahan gambut dipengaruhi oleh adanya
mikroorganisme perombak bahan organik dalam tanah. Mikroorganisme
6
perombak bahan organik ini terdiri atas golongan fungi dan bakteri. Lapisan
gambut terbentuk dalam kondisi tertentu, karena tumbuhan yang mati dalam
keadaan normal dengan cepat mengalami penguraian oleh fungi, bakteri, dan
organisme lainnya. Namun karena sifat tanah gambut yang anaerob dan memiliki
keasaman tinggi, serta kurangnya unsur hara sehingga proses dekomposisi
berlangsung lambat (Central Kalimantan Peatlands Project, 2006). Fungi dan
bakteri berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik (Foth, 1991
dalam Budi, 2010).
Mikroorganisme juga dapat dimanfaatkan dalam pengolahan air. Air
merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang dapat diambil dari berbagai
sumber, antara lain dari air hujan, air tanah, dan air permukaan. Penduduk
pedesaan yang tinggal di daerah rawa dan daerah pasang surut seperti di
Kalimantan umumnya menghadapi kesulitan dalam memperoleh air bersih
terutama pada musim kemarau, karena menurunnya intensitas hujan dan
menurunnya kualitas sumber air tanah. Salah satu sumber air permukaan yang ada
di Kalimantan khususnya di Propinsi Kalimantan Barat adalah air gambut yaitu
air permukaan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah gambut dibawahnya.
Penggunaan mikroorganisme untuk mengolah air gambut sangat potensial untuk
dikembangkan karena air gambut memiliki kandungan organik cukup yang dapat
dimanfaatkan mikroorganisme tertentu sebagai sumber nutrisi untuk
pertumbuhannya.
Tanah gambut ombrogen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
tanah gambut yang berasal dari Desa Kalampangan Kota Palangkaraya Provinsi
7
Kalimantan tengah. Secara geografis, daerah ini terletak antara 113° 57’ dan 114°
07’ BT dan 2° 17’ dan antara 2° 23’ LU. Daerah ini berada diantara dua sungai,
yaitu sungai Kahayan dan Sunagai Sebangu.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang terjadi pada lahan gambut ombrogen bekas terbakar
adalah akibat terbakarnya lahan gambut menyebabkan perubahan lingkungan,
hilangnya biomassa tanah gambut, perubahan suhu tanah, dan perubahan total
mikroorganisme.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui kondisi agihan cacak total
Mikroorganisme tanah dan kadar abu pada berbagai penggunaan lahan di tanah
gambut ombrogen bekas terbakar.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk menentukan langkah pemanfaatan lahan
gambut ombrogen bekas terbakar sehingga mampu memberikan keuntungan
secara ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambut Ombrogen
Menurut Noor (2001), Gambut terbentuk dari seresah organik yang
terdekomposisi secara anaerob, karena laju penambahan bahan organik
(humifiksasi) lebih tinggi dari pada laju dekomposisinya. Akumulasi gambut
umumnya akan membentuk lahan gambut pada lingkungan jenuh atau tergenang
air, sehingga menyebabkan aktivitas mikroorganisme terhambat. Di dataran
rendah dan daerah pantai mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi
anaerobik yang dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian
penumpukan seresah tanaman yang semakin bertambah akan membentuk gambut
ombrogen.
Tanah gambut terbentuk pada tempat yang kondisi tergenang, seperti
pada cekungan-cekungan daerah lembah, rawa bekas danau, atau daerah
depresi/basin pada dataran pantai di antara dua sungai besar, dengan akumulasi
bahan organik yang telah beradaptasi dengan lingkungan tergenang. Penumpukan
bahan organik secara terus-menerus menyebabkan lahan gambut membentuk
kubah (peat dome). Dataran dan kubah gambut terbentang pada cekungan luas di
antara sungai-sungai besar, dari dataran pantai ke arah hilir sungai hingga
mencapai jarak 10 – 30 km (Tim Sintesis Kebijakan, 2008).
Berdasarkan wilayah iklim, gambut dibedakan menjadi dua yaitu gambut
tropik (gambut yang berada di kawasan tropik atau sub tropik) dan gambut iklim
sedang (gambut yang berada di kawasan yang umumnya mempunyai iklim empat
9
musim). Berdasarkan proses pembentukannya, gambut dibedakan menjadi dua
macam yaitu gambut ombrogen (dipengaruhi oleh air hujan) dan gambut topogen
(dipengaruhi keadaan topografi dan air tanah). Gambut omborgen kurang subur
karena terbentuk dari tanaman pepohonan yang kadar kayunya tinggi. Selain itu,
karena pengaruh pasang surut air sungai atau laut yang tidak mencapai wilayah
ini, maka kondisi lahan miskin hara. Lain halnya dengan gambut topogen yang
berada di kawasan tropik mempunyai kesuburan lahan relatif baik, karena adanya
pengaruh air sungai dan pengaruh tanah mineral (Noor, 2001).
Gambut ombrogen umumnya terbentuk jauh dari pantai. Tanah diantara
dua sungai mengakibatkan adanya sedikit mikroorganisme pengurai hingga
lapisan gambut mulai terbentuk di atasnya. Gambut ombrogen umumnya terdapat
di atas gambut topogen. Awalnya di daerah dataran atau cekungan yang tergenang
air merupakan tanah mineral, semakin lama cekungan tersebut akan tertimbun
oleh sisa-sisa tanaman dan membentuk lapisan gambut topogen. Perkembangan
selanjutnya gambut semakin tebal sehingga akar tanaman tidak mampu
menjangkau tanah mineral dibawahnya dan air sungai tidak mampu lagi
menggenangi permukaan gambut. Sumber hara utama dari gambut ini hanya
berasal dari air hujan sehingga vegetasi yang tumbuh kurang subur dan
menyebabkan gambut yang terbentuk merupakan gambut miskin hara, yaitu
gambut ombrogen (Sagiman, 2007).
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi: (1)
gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan
basa-basa serta unsur hara lainnya, gambut yang relatif subur biasanya adalah
10
gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut, (2) mesotrofik
adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan basa-
basa sedang, dan (3) gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena
miskin mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh
dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik. Gambut di
Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik
(Radjagukguk, 1997 dalam Agus dan Subiksa, 2008).
B. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan pada lahan gambut umumnya terjadi selama musim
kering yang terimbas oleh periode iklim panas atau dikenal sebagai El Nino-
Southern Oscilation (ENSO). Periode panas ini dapat terjadi setiap 3–7 tahun, dan
lama kejadiannya dari 14 bulan hingga 22 bulan (Singaravelu, 2002). Kebakaran
hutan tropika basah di Indonesia diketahui terjadi sejak abad ke-19, yakni di
kawasan antara Sungai Kalinaman dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan
Katingan) di Kalimantan Tengah, yang rusak akibat kebakaran hutan tahun 1877.
Statistik Kehutanan Indonesia telah mencatat adanya kebakaran hutan sejak tahun
1978, meskipun kebakaran besar yang diketahui oleh umum terjadi pada tahun
1982/1983 telah menghabiskan 3,6 juta ha hutan termasuk sekitar 500.000 ha
lahan gambut di Kalimantan Timur (Page et al., 2000; Parish, 2002). Selanjutnya
pada tahun 1987 kebakaran hutan dalam skala besar terjadi lagi di 21 propinsi
terutama di Kalimantan Timur, yang terjadi bersamaan dengan munculnya periode
iklim panas ENSO, sehingga sejak saat itu timbul anggapan bahwa kebakaran
11
hutan adalah bencana alam akibat kemarau panjang dan kering karena ENSO.
Begitulah kebakaran besar terjadi lagi pada tahun 1991, 1994 dan 1997 di 24
propinsi di Indonesia. Kebakaran selama musim kering pada tahun 1997, telah
membakar sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia (BAPPENAS, 1998
dalam Kurnain, 2007).
Kebakaran hutan dan lahan gambut dapat berakibat langsung dan tidak
langsung atas lingkungan di dalam tapak kejadian (on site effect) atau di luar tapak
kejadian (off site effect). Akibat kebakaran hutan dan lahan gambut antara lain
adalah kehilangan lapisan serasah dan lapisan gambut, stabilitas lingkungan,
gangguan atas dinamika flora dan fauna, gangguan atas kualitas udara dan
kesehatan manusia, kehilangan potensi ekonomi, dan gangguan atas sistem
transportasi dan komunikasi. Kasus kebakaran hutan dan lahan gambut di
Kalimantan Tengah pada tahun 1997 telah menghilangkan lapisan gambut 35–70
cm (Jaya et al., 2000). Kehilangan lapisan gambut ini berakibat atas kestabilan
lingkungan, karena kehilangan lapisan gambut setebal itu setara dengan pelepasan
karbon (C) sebanyak 0,2–0,6 Gt C. Pelepasan C ini berdampak luar biasa atas
emisi gas karbondioksida (CO2) ke atmosfer, yang turut berperan dalam
pemanasan global (Siegert et al., 2002). Selain itu, kebakaran tahun 1997 telah
merusak vegetasi hutan sehingga kerapatan pohon berkurang hingga 75% (D’Arcy
dan Page, 2002).
12
C. Pola Penggunaan Lahan Gambut
Noor (2001) mengatakan, bahwa pembukaan lahan gambut untuk
pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah
ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu ekosistem baru.
Lebih lanjut Noor mengatakan pengembangan pertanian di lahan gambut dapat
diartikan sebagai upaya peningkatan fungsi produksi. Antara fungsi produksi dan
fungsi perlindungan lingkungan ekosistem lahan gambut saling berhubungan dan
saling mempengaruhi. Jika fungsi perlindungan menurun , maka fungsi produksi
dapat terganggu.
Tata guna lahan gambut mencakup penataan terhadap (1) kawasan non-
budidaya atau konservasi; dan (2) kawasan budidaya atau reklamasi. Kawasan
non-budidaya dibagi menjadi kawasan lindung, suaka alam, dan konservasi.
Kawasan konservasi dipilih beberapa lokasi yang mewakili ekosistem spesifik
tertentu dan diberi batasan alami yang jelas sebelum reklamasi dilakukan.
Kawasan budidaya perlu dibagi antara kawasan budidaya dan pemukiman.
Menurut Noor (2001), pola penggunaan lahan gambut untuk penentuan wilayah
kawasan lindung, pemukiman, dan pertanian yang dikembangkan memerlukan
informasi awal, antara lain data tipologi lahan (luapan air) ketebalan lapisan
gambut dan tipe penyusun lapisan bawah (sub-stratum). Lapisan gambut yang
mempunyai ketebalan organik <1 m cocok untuk pengembangan berbagai ragam
komoditas yang meliputi tanaman pangan, misalnya padi, kedelai, kacang tanah,
jagung, ubikayu, dan ubijalar. Lahan gambut yang mempunyai tebal lapisan
organik antara 1 – 2 m cocok untuk pengembangan tanaman perkebunan seperti
13
kelapa, kelapa sawit, karet, sagu, dan kopi. Adapun lahan gambut yang
mempunyai tebal lapisan organik >2 m lebih sesuai untuk pengembangan tanaman
hortikultura seperti kubis, pepaya, nanas, dan sejenisnya. Gambut yang tebal
lapisan organiknya sangat dalam, yaitu >3 m dapat dimanfaatkan sebagai kawasan
lindung yang sekaligus berfungsi sebagai wilayah tangkapan air.
Pola tanam dengan memadukan (intregrated farming system) beberapa
tanaman perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit, karet, dan kopi dengan tanaman
padi/palawija dapat dikembangkan di lahan gambut dalam rangka optimalisasi
sumber daya. Pola tanam ini dapat dilakukan dengan pembuatann surjan. Selain
itu, petani juga dapat memelihara ternak unggas dan sapi yang ternyata cukup
berhasil (Ardjakusumah et al, 2002).
Petani tradisional dalam melakukan pengaturan pola tanam atau suksesi
tanaman dilakukan secara bertahap. Setelah pembukaann lahan pada 1 – 4 tahun
pertama dilakukan penanaman padi. Kemudian setelah 4 – 6 tahun dilakukan
penanaman kelapa dengan sistem surjan dan padi ditanam pada tabukan. Setelah
kelapa berumur 4 tahun, secara bertahap tanaman padi dihilangkan dan diganti
dengan pembuatan surjan (tukungan) untuk tanaman kelapa. Jadi, penggantian
atau pembentukan kelapa secara keseluruhan baru dicapai setelah antara 15 – 20
tahun (Ardjakusumah et al, 2002).
Tanaman khas pada lahan gambut tergantung pada kedalaman gambut.
Pemanfaatan lahan gambut dangkal (< 1 m) adalah untuk budidaya pertanian
dengan sistem surjan, misal untuk tanaman padi, palawija, buah-buahan, dan
14
tanaman tahunan. Kedalaman lahan gambut lebih dari 1 m hanya dapat digunakan
untuk tanaman tahunan (Ratmini, 1997).
Pemanfaatan lahan gambut untuk tanaman sagu akan ramah lingkungan,
karena tanaman sagu menghendaki lahan yang kadar airnya tinggi, selain itu
karena anakan sagu yang banyak dan membentuk rumpun mengakibatkan
perkebunan sagu akan selalu tertutup oleh vegetasi sagu, sehingga berfungsi
membersihkan udara dan menghasilkan O2 yang sangat diperlukan makhluk hidup
(Bintoro et al, 2010). Sagu dapat menjadi alternatif tanaman sumber karbohidrat
selain beras.
Pemanfaatan lahan gambut dengan tanaman Akasia (Acacia crassicarpa)
juga dapat dilakukan dengan baik, karena tanaman ini merupakan tanaman yang
toleran pada jenis tanah yang bervariasi, mengandung kadar garam, tidak subur,
mempunyai drainase tidak sempurna yang tergenang pada saat musim hujan dan
kering pada musim kemarau serta merupakan tanaman yang cukup mudah
beradaptasi dengan lingkungan. Akasia banyak dijumpai di daerah beriklim humid
dan subhumid yang mempunyai suhu maksimum rata-rata pada musim panas
sebesar 32 - 34ºC, suhu minimum rata-rata pada musim dingin sebesar 12 - 21ºC
dan suhu harian maksimum mencapai 32ºC (Turnbull, 1968 dalam Widyasari,
2008).
D. Kondisi Total Mikroorganisme Tanah Gambut
Kondisi mikroorganisme di tanah gambut dapat dilihat dalam tiga
kelompok, sebagai berikut (Noor, 2001).
15
1. Mikroorganisme yang terlibat dalam tahap perombak awal dari keadaan asli.
Pada tahap ini jamur dan bakteri banyak berperan dalam menghancurkan
selulosa, hemiselulosa, dan beberapa protein. Perkembangan gambut dari
suasana aerob menjadi anaerob akan diikuti oleh keterlibatan mikroorganisme
yang berbeda.
2. Mikroorganisme yang terlibat dalam perkembangan (penebalan gambut) yang
hampir sepanjang tahun terendam. Mikroorganisme yang berperan bersifat
anaerob yang memperoleh oksigen dari oksidasi dan perombakan bahan
organik. Pada tahap ini dihasilkan gas hidrogen (sebagai metana) dan sulfida.
Kebanyakan hasil sisa merupakan derivat dari perombakan selulose dan
senyawa organik kompleks.
3. Mikroorganisme yang terlibat setelah gambut mengalami pengatusan atau
terbuka. Mikroorganisme yang berperan adalah jamur, bakteri aerob, dan
mikroorganisme yang berada pada tahap perombakan awal. Sisa perombakan
adalah bahan-bahan yang lebih tahan seperti lignin.
Jumlah mikroorganisme dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti
keasaman tanah. Jumlah mikroorganisme cenderung menurun dengan
meningkatnya keasaman tanah. Bakteri penambat N (Azotobacter, SP.), bakteri
nitrit, dan bakteri perombak selulose tidak ditemukan di lahan gambut oligotrofik
yang miskin. Tetapi di lahan gambut yang kaya, pH tinggi dan tergolong gambut
eutrofik sering dijumpai adanya bakteri Azotobacter.
16
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, yaitu pada bulan
November 2010 sampai April 2011.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah gambut
ombrogen bekas terbakar, aquades steril, media PDA (Potatos Dekstrose Agar)
untuk pengamatan jamur, dan media NA (Nutrient Agar) sebagai media bakteri.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung reaksi, cawan petri, pipet
1 mL dan 10 mL, beker glass, erlenmeyer, bunsen, alkohol 70 %, tissue, gunting,
pelastik, timbangan analitik, kompor gas, dan autoklaf.
C. Rancangan Pengambilan Sampel
Rancangan yang di gunakan dalam pengambilan sampel adalah
Rancangan Acak Kelompok. Percobaan ini terdiri dari 5 kombinasi perlakuan
sehingga diperoleh 20 sampel pengamatan tiap kondisi lahan berikut.
AI (1-5) AII (1-5) AIII (1-5) AIV (1-5)
BI (1-5) BII (1-5) BIII (1-5) BIV (1-5)
CI (1-5) CII (1-5) CIII (1-5) CIV (1-5)
DI (1-5) DII (1-5) DIII (1-5) DIV (1-5)
17
Keterangan:
1. Kondisi lahan: A = Hutan asli, B = Hutan Akasia, C= Dihutankan
dengan menjaga tinggi muka air tanah, dan D = Perkebunan Sagu.
2. Pengambilan sampel:
Sampel diambil berdasarkan jarak dari hasil drainase, yaitu meliputi I =
50 m, II = 100 m, III = 200 m, dan IV = 400 m. Pecuplikan sampel
meliputi (1) 0 – 20 cm, (2) 20 – 40 cm, (3) 40 – 60 cm, (4) 60 – 80 cm,
dan (5) 80 – 100 cm.
D. Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati adalah total mikroorganisme tanah gambut
ombrogen, yaitu dengan mengamati jamur dan bakteri, serta kadar abu tanah
gambut ombrogen.
E. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian melalui beberapa tahap, yaitu
1. Tahap Persiapan
Pembuatan media PDA dan NA, alat dan bahan yang akan digunakan disteril
terlebih dahulu dengan Autoklaf pada suhu 1200 selama 30 menit.
a. Cara pembuatan PDA (Potato Dextrose Agar)
- Kentang sebanyak 200 gr direbus dengan menggunakan 500 ml
aquades selama 15 – 20 menit atau sampai mendidih.
- 20 gr agar dipanaskan dengan 500 ml aquades hingga mendidih.
18
- Setelah kentang selesai direbus, kemudian kentang disaring untuk
mendapatkan airnya saja.
- 500 ml air rebusan kentang tersebut di campur dengan 500 ml agar
yang telah dipanaskan, sehingga didapat 1 L.
- Kemudian dimasukkan 15 gr Dekstrose kedalam 1 L larutan tersebut,
dengan demekian akan diperoleh 1 L PDA.
- Sebelum digunakan PDA disteril terlebih dahulu dengan Autoklaf pada
suhu 1200
C selama 30 menit.
b. Cara pembuatan NA (Nutrient Agar)
- 200 gr kecambah dimasukkan ke dalam 500 ml aquades untuk
kemudian direbus hingga mendidih,
- Setelah kecambah mendidih, kecambah disaring untuk memisahkan
antara kecambah dan air rebusan kecambah.
- 20 gr agar dimasukkan ke dalam 500 ml aquades untuk kemudian
dipanaskan hingga mendidih.
- Setelah agar mendidih, kemudian 500 ml agar tersebut di campur
dengan 500 ml air rebusan kecambah. Sehingga diperoleh 1 L media
NA.
- Sebelum digunakan NA disteril terlebih dahulu dengan Autoklaf pada
suhu 1200
C selama 30 menit.
2. Tahap pelaksanaan
a) Seri pengenceran yang digunakan dalam penelitian adalah 10-3
(untuk
pengamatan jamur) dan 10-6
(untuk pengamatan bakteri).
19
b) Pengamatan dapat dilakukan setiap hari
c) Perhitungan dari hasil
Rata-rata jumlah koloni per cawan petri dikalikan dengan faktor
pengenceran untuk mendapatkan jumlah mikroba total per gram contoh
tanah.
3. Tahap Analisis Data
4. Tahap Penyusunan Laporan.
20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kadar Abu Tanah Gambut Ombrogen
Kadar abu alami yang belum terganggu umumnya rendah. Peningkatan
intensitas pertanaman dapat meningkatkan kadar abu seiring meningkatnya
mineralisasi tanah. Menurut Noor, 2001 kadar abu tanah gambut yang ditanamni
tanaman semusim dan sayuran lebih tinggi dibandingkan yang berada di bawah
tanaman karet dan semak-semak terutama dilapisan 0-20 cm. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kadar abu pada tanah gambut ombrogen tergolong rendah,
hal ini disebabkan karena proses mineralisasi oleh mikroorganisme berjalan
sangat lambat.
Besarnya kadar abu dalam tanah dapat digunakan untuk mengetahui laju
proses mineralisasi oleh mikroorganisme dekomposer. Tabel 1 menunjukkan
kadar abu gambut ombrogen tertinggi di Kalampangan terdapat pada lahan sagu,
yaitu berkisar antara 0,2358 % pada jarak 400 m dari saluran kanal dan di
kedalaman 100 cm, sampai 2,0053 % pada jarak 200 m dari saluran kanal dan di
kedalaman 20 cm. Kadar abu tertinggi kedua adalah pada lahan yang dihutankan,
yaitu berkisar antara 0,1099 % pada jarak 200 m dari kanal dan dikedalaman 80
cm, sampai 0,9843 % pada jarak 400 m dari kanal dan dikedalaman 20 cm. Urutan
ketiga adalah akasia, yaitu dengan kadar abu 0,2315 % pada jarak 400 m dari
saluran kanal dan dikedalaman 100 cm, sampai 0,9342 % pada jarak 100 m dari
kanal dan dikedalaman 20 cm. Hutan asli merupakan lahan yang memiliki kadar
21
abu paling rendah, yaitu berkisar antara 0,2029 % pada jarak 100 m dari kanal dan
dikedalaman 100 cm, sampai 0,8658 pada jarak 50 m dan dikedalaman 20 cm.
Table 1. Hasil analisis kadar abu tanah gambut ombrogen
Jarak dari kanal
(m)
Kedalaman
(cm)
Kadar Abu (%)
Sagu Dihutankan Akasia Hutan asli
50
20 1,8940 0,6645 0,9342 0,8658
40 1,1178 0,6650 0,5811 0,4546
60 0,9292 0,3436 0,6874 0,5601
80 0,8585 0,3855 0,6238 0,5401
100 0,7122 0,1632 0,2792 0,3740
100
20 1,2840 0,6684 0,8948 0,5633
40 0,9547 0,5438 0,7415 0,3744
60 0,9224 0,5376 0,5524 0,3768
80 0,5757 0,3448 0,3684 0,3053
100 0,3917 0,1489 0,3411 0,2029
200
20 2,0053 0,7672 0,8978 0,2029
40 0,8785 0,4475 0,7501 0,5828
60 0,6873 0,3176 0,9246 0,4896
80 0,5988 0,1099 0,5622 0,5977
100 0,4384 0,1971 0,2315 0,3345
400
20 1,5954 0,9843 0,4866 0,3717
40 1,0293 0,6376 0,4081 0,3709
60 1,0923 0,5605 0,4667 0,4027
80 0,7610 0,4005 0,3622 0,4773
100 0,2358 0,3425 0,3590 0,3455
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu Tanah (2010)
Hasil menunjukkan bahwa semakin dalam gambut, maka kadar abu akan
semakin rendah (Gambar 1). Semakin dalam gambut, maka kandungan airnya
akan semakin tinggi, hal ini akan menyebabkan kadar abu semakin rendah.
Keadaan jenuh air juga akan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam
proses dekomposisi bahan organik pada tanah gambut ombrogen. Aktivitas
22
mikroorganisme yang terhambat akan mempengaruhi proses mineralisasi,
sehingga menyebabkan kadar abu rendah. Kadar abu paling rendah adalah pada
kedalaman >80 cm.
Gambar 1. Kadar Abu tanah gambut ombrogen berdasarkan kedalaman
Berdasarkan Gambar 1, maka dapat dikatakan bahwa semakin dalam
gambut maka kadar abu gambut juga semakin rendah. Peningkatan kadar abu
dilahan-lahan pertanian yang dikelola secara intensif berkolerasi dengan
meningkatnya fraksi anorganik tanah gambut. Kadar abu tertinggi adalah pada
lapisan permukaan, sedangkan tanah gambut dibawah hutan asli mempunyai
kadar abu paling rendah, yaitu 0,2029 % di kedalaman 20 cm pada jarak 50 m dari
23
saluran kanal, hal ini disebabkan karena pada lahan ini sama sekali belum
terganggu.
Kadar abu merupakan bagian berat mineral bahan yang didasarkan atas
berat keringnya. Abu yaitu zat organik yang tidak menguap, sisa dari proses
pembakaran atau hasil oksidasi. Penurunan kadar abu berhubungan dengan
mineral suatu bahan.
Dekomposisi merupakan proses perombakan bahan organik oleh
mikroorganisme dekomposer. Selama proses dekomposisi terjadi perubahan fraksi
bahan organik dari komponen yang kompleks menjadi bentuk yang lebih
sederhana. Demikian seterusnya hingga mencapai bahan organik dalam bentuk
yang paling sederhana. Pada kondisi lingkungan yang mendukung, proses tersebut
berlanjut dengan proses mineralisasi, yaitu perombakan bahan organik sederhana
menjadi senyawa-senyawa anorganik.
Penggunaan lahan yang berpenagruh dengan kadar abu adalah pada
penggunaan lahan sebagai kebun sagu. Kebun sagu merupakan lahan yang
memiliki kadar abu. Perlakuan-perlakuan manusia, seperti pemupukan pada lahan
ini akan mempengaruhi kandungan mineral, serta meningkatkan aktivitas
mikroorganisme. Aktivitas mikroorganisme dalam dekomposisi akan
menghasilkan mineral tanah, sehingga kadar abu pada penggunaan lahan kebun
sagu lebih tinggi diantara penggunaan lahan yang lain, terutama dilapisan atas (0 –
20 cm). Kadar abu gambut yang berada dibawah hutan asli rendah dibandingkan
dengan kebun sagu.
24
Faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi dan naiknya kadar abu tanah
gambut ombrogen antara lain karena adanya campur tangan manusia, adanya
saluran kanal, serta keberadaan DAM. Kanal adalah jaringan drainase makro yang
dapat mengendalikan tata air dalam satu wilayah, sedangkan DAM merupakan
drainase mikro untuk mengendalikan tata air di tingkat lahan. Menurut Agus dan
Subiksa (2008), sistem drainase yang tepat dan benar sangat diperlukan pada
lahan gambut, baik untuk tanaman pangan maupun perkebunan. Fungsi drainase
adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk
pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik. Semakin
pendek interval/jarak antar parit drainase maka hasil tanaman semakin tinggi.
Walaupun drainase penting untuk pertumbuhan tanaman, namun semakin dalam
saluran drainase akan semakin cepat laju subsiden dan dekomposisi gambut, serta
menaikkan kadar abu tanah gambut. Lebih lanjut Agus dan Subiksa mengatakan,
Sistem drainase yang tidak tepat akan mempercepat kerusakan lahan gambut.
Oleh karena itu salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan
gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air
berfungsi untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak
terlalu dalam. Masing-masing penggunaan lahan pada penelitian ini yang sudah
menggunakan bangunan pengendali adalah pada penggunaan lahan yang
dihutankan, sehingga pada lahan ini merupakan kadar abu tertinggi kedua setelah
kebun sagu.
25
B. Jumlah Jamur pada Tanah Gambut Ombrogen
Tabel 2. Jumlah jamur pada masing-masing penggunaan lahan pada tanah gambut
ombrogen
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu Tanah (2010)
Jamur (fungi, kapang, cendawan) merupakan tumbuhan tingkat rendah
dan tidak berklorofil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan gambut
ombrogen di Kalampanagan yang dimanfaatkan untuk kebun sagu merupakan
lahan yang memiliki jumlah jamur paling tinggi, yaitu 30 x 103 cfu/g pada jarak
400 m dari kanal dikedalaman 20 cm. Jumlah jamur tertinggi kedua terdapat pada
penggunaan lahan yang dihutankan, yaitu 15 x 103 cfu/g pada jarak 400 m
dikedalaman 20 cm. Dilanjutkan dengan lahan gambut ombrogen yang
jarak dari
kanal (m)
kedalaman
(cm)
jumlah jamur (x 103 cfu/g tanah)
sagu dihutankan akasia hutan asli
50
20 13 10 6 5
40 10 10 5 3
60 6 9 5 2
80 6 3 2 2
100 4 1 1 1
100
20 11 7 5 5
40 10 4 5 5
60 10 3 2 2
80 2 2 1 1
100 1 1 1 1
200
20 11 9 11 11
40 6 9 11 7
60 5 6 8 5
80 5 4 5 5
100 3 4 1 2
400
20 30 15 13 3
40 21 12 6 3
60 10 2 4 2
80 13 2 5 1
100 2 2 1 1
26
dimanfaatkan untuk tanaman akasia, jumlah jamur tertinggi pada lahan ini
terdapat pada jarak 400 m dari kanal, dikedalaman 20 cm, yaitu sebesar 13 x 103
cfu/g. Hutan asli merupakan lahan gambut ombrogen yang jumlah jamurnya
paling sedikit diantara penggunaan lahan yang lain, yaitu sebesar 11 x 103 cfu/g
tepatnya pada jarak 200 m dari kanal dengan kedalaman 20 cm (Tabel 2).
Gambar2. Jumlah jamur berdasarkan kedalaman pada masing-masing penggunaan
lahan gambut ombrogen.
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa semakin dalam gambut
maka jumlah jamur semakin sedikit. Dekomposisi gambut di Kalampangan
menunjukkan bahwa dekomposisi permukaan gambut terutama disebabkan oleh
dekomposisi aerob yang dilaksanakan oleh jamur (Sagiman, 2007). Noor (2004)
27
juga mengatakan jamur dapat hidup dengan baik pada kondisi aerob, yaitu bagian
permukaan tanah gambut ombrogen.
C. Jumlah Bakteri pada Tanah Gambut Ombrogen
Bakteri pengurai bahan organik dapat ditemukan ditempat yang
mengandung senyawa organik berasal dari sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik
dilaut maupun di darat. Berbagai bentuk bakteri dari bentuk yang sederhana
tunggal sampai bentuk koloni seperti filamen/spiral berperan dalam proses
dekomposisi sisa tumbuhan maupun hewan (Saraswati et al, 2006).
Sama seperti populasi jamur, populasi bakteri terbanyak adalah pada
penggunaan lahan kebun sagu, yaitu berkisar antara 10 – 70 x 106
sel/g, pada
lahan ini jumlah bakteri tertinggi tersebut terdapat pada jarak 200 m dari kanal
pada kedalaman 20 cm. Lahan yang memiliki jumlah bakteri tertinggi diurutan
kedua adalah pada lahan yangh dihutankan, yaitu berkisar anatara 4 – 46 x 106
sel/g, pada lahan ini jumlah bakteri paling banyak terdapat pada jarak 200 m dan
paling rendah terdapat pada jarak 400 m dari kanal. Diurutan ketiga adalah pada
lahan akasia, yaitu berkisar anatara 1 – 27 x 106 sel/g, bakteri tertinggi tersebut
terdapat pada jarak 400 m dari kanal dan terendah pada jarak 100 m dari kanal.
Hutan asli merupakan lahan yang memiliki jumlah bakteri terendah, yaitu berkisar
anatara 1 – 15 x 106 sel/g (Tabel 3).
28
Tabel 3. Jumlah bakteri pada masing-masing penggunaan lahan gambut ombrogen
jarak dari
kanal
(m)
kedalaman
(cm)
Jumlah bakteri (x 106 sel/g tanah)
sagu dihutankan akasia hutan asli
50
20 65 16 26 10
40 51 15 25 9
60 17 10 22 6
80 14 8 20 3
100 10 5 13 1
100
20 62 31 27 10
40 62 28 23 8
60 61 25 22 8
80 44 20 14 2
100 19 14 9 1
200
20 70 46 27 8
40 61 46 27 5
60 40 32 16 4
80 30 19 9 1
100 10 11 8 2
400
20 33 20 27 15
40 31 11 25 9
60 31 4 5 4
80 14 4 1 1
100 11 4 1 1
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu Tanah (2010)
Berdasarkan Gambar 2, dapat diketahui bahwa semakin dalam gambut
maka jumlah bakteri akan semakin menurun. Tidak berbeda dengan jamur, hal ini
disebabkan karena kondisi gambut pada kedalaman >80 cm selalu tergenang air
atau jenuh air, sehingga menghambat aktivitas bakteri.
29
Gambar 3. Jumlah bakteri tanah gambut ombrogen berdasarkan kedalaman
D. Total Mikroorganisme Tanah Gambut Ombrogen
Tingginya bahan organik pada tanah gambut merupakan karakteristik
yang dimiliki oleh tanah gambut. Isroi (2008) meyatakan bahwa tanah sangat kaya
akan mikroorganisme, seperti bakteri, actinomycetes, fungi, protozoa, alga dan
virus. Tanah yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroorganisme per
gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada aktivitas
mikroorganisme tersebut. Tambahnya lagi, bahwa sebagian besar mikroorganisme
tanah memiliki peranan yang menguntungkan, yaitu berperan dalam
menghancurkan limbah organik, siklus hara tanaman, fiksasi nitrogen, pelarut
30
posfat, merangsang pertumbuhan, biokontrol patogen, dan membantu penyerapan
unsur hara.
Jamur dan bakteri merupakan mikroorganisme yang paling berperan
dalam dekomposisi tanah gambut ombrogen. Total mikroorganisme pada
penelitian ini didapat dari hasil penjumlahan jumlah jamur dan jumlah bakteri,
sehingga diperoleh hasil seprti pada Tabel 3.
Tabel 4. Total mikroorganisme tanah gambut ombrogen pada masing-masing
penggunaan lahan
jarak dari
kanal (m)
kedalaman
(cm)
total mikroorganisme (x 106 cfu/g)
sagu dihutankan akasia hutan asli
50
20 65,013 16,010 26,006 10,005
40 51,010 15,010 25,005 9,003
60 17,006 10,009 22,005 6,002
80 14,006 8,003 20,002 3,002
100 10,004 5,001 13,001 1,001
100
20 62,011 31,007 27,005 10,005
40 62,010 28,001 23,005 8,005
60 61,010 25,003 22,002 8,008
80 44,002 20,002 14,003 2,001
100 19,001 14,004 9,001 1,001
200
20 70,011 46,009 27,011 8,011
40 61,006 46,009 27,011 5,007
60 40,005 32,006 16,008 4,005
80 30,005 19,004 9,005 1,005
100 10,003 11,004 8,001 2,002
400
20 33,030 20,015 27,013 15,003
40 31,021 11,012 25,006 9,003
60 31,010 4,002 5,004 4,002
80 14,013 4,002 1,005 1,001
100 11,002 4,002 1,001 1,001
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu Tanah (2010)
Sesuai dengan jumlah jamur dan bakteri, yaitu jumlah tertinggi pada
lahan kebun sagu, dihutankan, akasia, dan terakhir pada lahan hutan asli.
31
Kondisi penggunaan lahan yang mempengaruhi kondisi mikroorganisme
adalah pada lahan sagu dan lahan yang dihutanakan. Lahan sagu merupakan
perkebunan yang dimiliki oleh daerah Kalampangan. Kondisi mikroorganisme
yang tinggi pada kebun sagu adalah karena adanya campur tangan manusia, yaitu
melalui pemupukan dan pengelolaan lainya yang sudah sering dilakukan oleh
manusia agar sagu dapat tumbuh dengan baik dan produktif. Pupuk yang
diberikan pada lahan ini memberikan dampak positif terhadap aktivitas
mikroorganisme. Lahan gambut digunakan untuk perkebunan sagu pembuatan
saluran drainase atau DAM tidak diperlukan, karena tanaman ini merupakan
tanaman rawa yang toleran terhadap genangan. Sagu dapat menjadi alternatif
tanaman sumber karbohidrat selain beras (Agus dan Subiksa, 2008).
Lahan yang Dihutankan adalah lahan kosong yang kemudian sengaja
ditanami tanaman yang sama dengan hutan alami. Pada lahan ini sudah ada
campur tangan manusia, yaitu melalui konservasi mekanik dengan pembuatan
DAM serta tetap menjaga tinggi muka air tanah. Agus dan Subiksa (2008),
mengatakan salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut
adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi
untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu
dalam.
Hutan akasia merupakan urutan ketiga yang memiliki total
mikroorganisme. Pada lahan ini di beri DAM tanpa memperhatikan tinggi muka
air tanah, sehingga menyebabkan sistem irigasi tidak baik. DAM yang tidak
memperhatikan tinggi muka air tanah akan menyebabkan tergenang pada musim
32
hujan, dan kekeringan pada musim kemarau. Akasia merupakan tanaman yang
dapat tumbuh pada jenis tanah yang bervariasi, mengandung kadar garam, tidak
subur, mempunyai drainase tidak sempurna yang tergenang pada saat musim
hujan dan kering pada musim kemarau serta merupakan tanaman yang cukup
mudah beradaptasi dengan lingkungan (Widyasari, 2008). Pemupukan pada lahan
akasia di lahan gambut Kalampangan tidak pernah di lakukan, kerena sifat akasia
yang toleran. Kondisi pengairan yang kurang sempurna dan pengolahan lahan
yang tidak pernah dilakukan menyebabkan mikroorganisme pada lahan ini tidak
dapat hidup dengan baik.
Hutan asli merupakan lahan yang mempunyai total mikroorganisme
terendah. Hutan asli merupakan hutan alami tanpa ada campur tangan manusia.
Kondisi tanah yang selalu tergenang karena tidak ada DAM dan tidak ada
pengelolaan tanah menyebabkan aktivitas mikroorganisme pada lahan ini
terhambat. Mikroorganisme yang sedikit pada lahan ini menyebabkan proses
dekomposisi berjalan lebih lambat dibandingakan dengan penggunaan yang lahan.
Hal ini dapat dibuktikan dengan kadar abu pada lahan ini sangat rendah.
Gambar 3 merupakan hasil penjumlahan antara jamur dan bakteri
menghasilkan total mikroorganisme yang menunjukkan jika semakin dalam
gambut maka mikroorganisme akan semakin rendah, hal ini karena semakin
dalam gambut maka kandungan air akan semakin tinggi dan menyebabkan
lingkungan menjadi anaerob. Menurut Waksman dalam Sagiman (2007),
perombakan bahan organik saat pembentukan gambut dilakukan oleh
mikroorganisme anaerob dalam perombakan ini dihasilkan gas methane dan
33
sulfida. Setelah gambut didrainase untuk tujuan pertanian maka kondisi gambut
bagian permukaan tanah menjadi aerob, sehingga memungkinkan fungi dan
bakteri berkembang untuk merombak senyawa sellulosa, hemisellulosa, dan
protein.
Gambar 4. Total mikroorganisme berdasarkan kedalaman tanah gambut
ombrogen.
Faktor penghambat pertumbuhan mikroorganisme pada tanah gambut
ombrogen adalah aerasi yang kurang baik, dapat dilihat dari lahan hutan akasia
dan hutan asli yang memiliki mikroorganisme terendah karena aerasi yang kurang
baik. Menurut Atmojo (2003), Aerasi tanah sering terkait dengan pernafasan
34
mikroorganisme dalam tanah dan akar tanaman, karena aerasi terkait dengan O2
dalam tanah. Dengan demikian aerasi tanah akan mempengaruhi populasi
mikroorganisme dalam tanah. tambahnya lagi, bahwa kadar air yang optimal bagi
tanaman dan kehidupan mikroorganisme adalah sekitar kapasitas lapang.
C/N yang tinggi juga dapat menghambat aktivitas mikroorganisme dalam
merombak organik tanah gambut ombrogen. Bahan organik akan termineralisasi
jika nisbah C/N dibawah nilai kritis 25 – 30, dan jika diatas nilai kritis akan terjadi
imobilisasi N (Stevenson dalam Atmojo, 2003). C/N gambut umumnya sangat
tinggi melibihi 30 ini berarti hara nitrogen kurang tersedia untuk tanaman
(Soewono, dalam Sagiman, 2007).
Jika bahan organik mempunyai kandungan lignin tinggi kecepatan
mineralisasi N akan terhambat. Lignin adalah senyawa polimer pada jaringan
tanaman berkayu, yang mengisi rongga antar sel tanaman, sehingga menyebabkan
jaringan tanaman menjadi keras dan sulit untuk dirombak oleh organisme tanah.
Pada jaringan berkayu, kandungan lignin bisa mencapai 38 % (Stevenson, 1982).
Perombakan lignin akan berpengaruh pada kualitas tanah dalam kaitannya dengan
susunan humus tanah. Dalam perombakan lignin ini, di samping jamur (fungi-
ligninolytic) juga melibatkan kerja enzim (antara lain enzim lignin peroxidase,
manganeses peroxidase, laccases dan ligninolytic) (Hammel, 2003).
Kondisi lingkungan yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme
adalah pada lahan sagu, hal ini dapat dilihat dari hasil analisis yang menunjukkan
bahwa kebun sagu di Kalampangan memiliki kadar abu dan total mikroorganisme
paling tinggi dibandingkan penggunaan lahan yang lain. Mikroorganisme yang
35
paling dominan pada lahan gambut ombrogen adalah bakteri, yaitu berkisar antara
1 x 106 – 70 x 10
6 sel/g, sedangkan jumlah kamur mencapai 1 x 10
3 – 30 x 10
3
cfu/g.
Hubungan kadar abu dengan mikroorganisme adalah dalam hal proses
dekomposisi. Kadar abu merupakan mieral yang terdapat dalam tanah gambut
ombrogen, dan hasil akhir dari proses dekomposisi adalah mineral. Dari hasil
analisi diketahui kadar abu tertinggi adalah pada lahan sagu, dan mikroorganisme
tertinggi juga pada lahan sagu. Oleh karen itu pada perkebunan sagu dapat
dikatakan laju dekomposisinya lebih cepat dibandingkan dengan lahan yang lain.
36
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Kondisi agihan cacak total mikroorganisme tertinggi adalah pada penggunaan
lahan kebun sagu, tertinggi kedua adalah lahan yang dihutankan, dilanjutkan
dengan yang ketiga adalah hutan akasia, dan tarakhir populasi tersendah adalah
pada lahan hutan asli.
2. Kadar abu tertinggi adalah pada lahan perkebunan sagu, dan terendah adalah
pada hutan asli.
3. Penggunaan lahan yang menyebabkan terjadinya peningkatan agihan cacak
total mikroorganisme adalah penggunaan lahan sebagai kebun sagu dan
penggunaan lahan yang dihutankan.
4. Penggunaan lahan yang produktif dan ramah lingkungan adalah penggunaan
lahan sebagai kebun sagu dan lahan yang dihutankan.
B. saran
Penggunaan lahan gambut ombrogen sebaiknya memperhatikan
pengolahan tanah yang baik, serta dibuat DAM dengan tetap menjaga tinggi muka
air tanah, sehingga menjadi lahan yang kembali produktif dan sesuai dengan
lingkungan.
Mengingat pentingnya peran mikroorganisme tanah dalam proses
dekomposisi bahan organik pada tanah gambut dan masih relatif terbatasnya
37
informasi mengenai jenis jamur dan bakteri pada tanah gambut. Perlu
diidentifikasi jenis-jenis jamur dan bakteri tanah gambut dalam rangka
mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Dengan demikian akan dapat
diketahui populasi, jenis jamur dan bakteri yang berperan dalam proses
dekomposisi bahan organik tanah gambut. Informasi yang diperoleh diharapkan
dapat digunakan sebagai data pendukung dalam pengelolaan lahan gambut
ombrogen.
DAFTAR PUSTAKA
38
Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre
(ICRAF), Bogor, Indonesia.
Abdullah, M.J., M.R. Ibrahim, dan A.R. Abdul Rahim. 2002. The influence of
forest fire in Peninsular Malaysia: History, root causes, prevention, and
control. Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of
Fire in Peatlands, 19–21 March 2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 14 h.
Ardjakusumah S., Nur’ani, E, dan Sumantri. 2002. Teknik penyiapan pada lahan
gambut bongkor untuk tanaman holtikultura. Pusat penelitian tanah dan
agroklimat, Bogor.
BAPPENAS. 1998 dalam Kurnain, A. 2007. Kebakarab Hutan dan Lahan
Gambut: Karakteristik dan Penanganannya. Fakultas Pertanian
Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
Bintoro, Yanuar, dan Shandra. 2010. Sagu Di Lahan Gambut. IPB Press,
Bandung.
BB Litbang SDLP (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
LahanPertanian. 2008. Laporan tahunan 2008, Konsorsium penelitian
danpengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Balai Pesar
Penelitiandan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Central Kalimantan Peatlands Project. 2006. Lahan gambut di kalimantan. CKPP
Universitas Palangkaraya, Palangkaraya. www.cckp.or.id diakses 26 maret
2011.
Diemont, W.H., P.J.M. Hillegers, K. Kramer, dan J. Rieley. 2002. Fire and peat
forests, what are the solutions? Makalah disajikan pada Workshop on
Prevention and Control of Fire in Peatlands, 19–21 March 2002, Kuala
Lumpur, Malaysia, 18 h.
Dwi Hatmoko, Maulia Aries, dan Khairul Anwar. 2007. Potensi Sebaran Lahan
Rawa Berdasarkan Luasan Tipologi dan Tipe Luapan Di Kalimantan.
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA), Kalimantan.
D`Arcy, L.J. dan S.E. Page. 2002. Assessment of the effects of the 1997/1998
forest fire and anthropogenic deforestation on peat swamp forest in Central
Kalimantan, Indonesia. Dalam: J.O. Rieley, & S.E. Page (eds.), Peatlands
for People, Natural Resources Function, and Sustainable Management,
BPPT dan Indonesian Peat Association, Jakarta, h. 179–185.
Eni dan Maulia. 2009. Komunitas Cacing Tanah pada Beberapa Penggunaan
Lahan Gambut Di Kalimantan Tengah (Earthworms Community On
39
Several Land Uses Of Peat Land In Central Kalimantan). Balai Penelitian
lahan Rawa, Kalimantan selatan.
Hammel, K.E. (2003)Fungal degradation of lignin, In Driven by Nature Plant
Litter Quality and Decomposition, ( Eds Cadisch, G. and Giller, K.E.), pp.
33-46. Department of Biological Sciences. Wey College. University of
London, UK.
Isroi, 2008. Bioteknologi mikroba untuk pertanian organik. (On-line),
http://biogen.litbang.deptan.go.id/berita_artkel/artikel_2006_bioteknologi_
mikroba.php diakses 26 Maret 2011
Foth., H.D. 1991 dalam Jurnal Penelitian Budi Utomo 2010. Eksplorasi Fungi
pada Tanah Gambut yang Berada pada Lapisan Fibrik, Hemik,
dan Saprik.USU. Medan.
Jaya, A., S.E. Page, J.O. Rieley, S. Limin, dan H.D.V. Böhm. 2000. Impact of
forest firest on carbon storage in tropical peatlands. Dalam: L. Rochefort,
& J.Y. Daigle (eds.), Sustaining our Peatlands. Proceedings of the
11th
International Peat Congress, Québec City, Canada, h. 106–113.
Kurnain,A. 2005.Dampak kegiatan pertanian dan kebakaran atas watak gambut
ombrogen. Disertasi, UniversitasGadjahMada, Yogyakarta, 315 h.
KNLHRI (Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia). 2010.
Profil Ekosistem Gambut Di Indonesia. Jakarta.
Noor. 2004.Lahan Rawa, Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat
Masam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Noor.2001. Pertanian Lahan Gambut Potensi dan Kendala. Kanisius:
Yogyakarta.
Page, S.E., J.O. Rieley, H.D.V. Böhm, F. Siegert, dan N.Z. Muhamad. 2000.
Impact of the 1997 fires on the peatlands of Central Kalimantan,
Indonesia. Dalam: L. Rochefort, & J.Y. Daigle (eds.), Sustaining our
Peatlands, Proceedings of the 11th
International Peat Congress. Québec
City, Canada, h. 962–970.
Parish, F. 2002.Peatlands, biodiversity and climate change in SE Asia: an
overview. Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of
Fire in Peatlands, 19–21 March 2002.KualalumpurMalaysia, 11 h.
Radjagukguk, B. 1997 dalam Agus, F dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut:
Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai penelitian Tanah
dan World Agroforesty Centre (ICRAF). Bogor. Indonesia.
40
Ratmini, sri, NP. 1997. Sistem surjan di lahan pasang surut. Proyek penelitian
dan pengembangan pertanian rawa terpadu-ISDP. Badan penelitian dan
pengembangan pertanian. Jakarta.
Saraswati, edi, dan emi. 2006. Organisme perombak bahan organik.
Siegert, F., H-D.V. Böehm, J.O. Rieley, S.E. Page, J. Jauhiainen, H. Vasander,
dan A. Jaya. 2002. Peat fires in Central Kalimantan, Indonesia: fire
impacts and carbon release. Dalam: J.O. Rieley, & S.E. Page (eds.),
Peatlands for People, Natural Resources Function, and Sustainable
Management, BPPT dan Indonesian Peat Association, Jakarta, h. 142–154.
Simbolon, H. 2004. Proses awal pemulihan hutan gambut kalampangan-
kalimantantengah pasca kebakaran hutan desember 1997 dan september
2002. Berita biologi 7(3). pp. 145-154.
Sagiman,S. 2007. Pemanfaatan lahan gambut dengan Perspektf pertanian
berkelanjutan. Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Singaravelu, S.S. 2002. El Nino, climate change and peat fires.Makalah disajikan
pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 19–21
March 2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 9 h.
Soewono,S. 2007. Fertility management for sustainable agriculture on tropical
ombrogenous peat.In Biodiversity and Sustainability of Tropical
Peatlands. Eds J.O. Rieley. and S.E. Page. Proceedings of the international
Symposium on Biodiversity, Environmental importance and sustainability
of Tropical Peat and Peatlands, held in Palangkaraya, Central Kalimantan,
Indonesia, 4-8 sept. 1995.
Stevenson, F.T. 1982. Humus Chemistry. John Wiley and Sons, Newyork. Dalam
Atmojo, Suntoro, W. 2003. Peran Bahan Organik Terhadap Kesuburan
Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Kesuburan Tanah, Fakultas pertanian, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Pemanfaatan dan Konservasi Ekosistem Lahan
Rawa Gambut Di Kalimantan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan pertanian, Bogor.
Turnbull JW. 1986. Dalam Karya Ilmiah Widyasari, Eka. 2008.Pengaruh Sifat
Fisik dan Kimia Tanah Gambut Dua Tahun Setelah Terbakar dalam
Mempengaruhi Pertanian Acacia Carssicarpa A. Cunn. Ex Benth. Di
Areal IUPHHK-H-PT. Sibangun Bumi Andalas Wood Industries. Fakultas
Kehutanan. IPB. Bogor.
41
Widjaya-Adhi IPG, Nugroho DA, dan Karania AS. 1992. Dalam jurnal penelitian
Eni Maftu’ah dan Maulia Aries Susanti. 2009. Komunitas Cacing Tanah
pada Beberapa Penggunaan Lahan Gambut Di Kalimantan tengah (Earth
Worms Comunity On Several Land Use Of Peat Land In Central
Kalimantan). Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru,
Kalimantan selatan.