tafsir semiotika keadilan berpoligami: studi...

152
TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI PEMIKIRAN NASR HAMID ABU ZAYD SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Disusun oleh: NURUL FAUZIAH GUSMAYANTI NIM: 1113034000136 JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDYATULLAH JAKARTA 2018

Upload: vukhanh

Post on 03-Aug-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI PEMIKIRAN NASR

HAMID ABU ZAYD

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun oleh:

NURUL FAUZIAH GUSMAYANTI

NIM: 1113034000136

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDYATULLAH JAKARTA

2018

Page 2: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li
Page 3: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li
Page 4: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li
Page 5: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

i

ABSTRAK

Nurul Fauziah Gusmayanti

Tafsir Semiotika Keadilan Berpoligami: Studi Pemikiran Nasr Hâmid Abû

Zayd

Kajian ini mendiskusikan tentang semiotika keadilan berpoligami QS. (4):

3 dan 129 menurut Nasr Hâmid Abû Zayd berdasarkan perspektif semiotika Charles

Sanders Peirce, fokus kajian yang mendiskusikan bagaimana Abû Zayd membaca

wacana poligami sehingga berkesimpulan bahwa pernikahan dalam Islam adalah

monogami belum banyak dilakukan.

Dalam mendiskusikan kokus kajian di atas, penulis mengimplementasikan

tahap-tahap pembacaan semiotika Peirce sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan makna poligami dan juga keadilan secara umum

maupun keadilan pada ayat-ayat poligami.

2. Menganalisa, membaca juga mendeskripsikan wacana keadilan

berpoligami dengan menggunakan analisa semiotika Charles

Sanders Peirce dari redaksi ayat, asbabun nuzul dan juga mufassir

yang mewakili jamannya masing-masing (Al-Tabari, Al-Râzî,

Rasyîd Rida dan ‘Abduh) hal ini bertujuan untuk melihat fungsi

keadilan pada setiap-setiap jaman.

3. Mendeskripsikan pembacaan wacana keadilan berpoligami Abû

Zayd kemudian menganalisa dan membaca pembacaannya tersebut

dengan analisa semiotika Charles Sanders Peirce.

4. Melihat relevansi pembacaan Abû Zayd dengan para mufassir,

kemudian melakukan perbandingan antara mufassir dan Abû Zayd.

Penelitain deskriptif analitik ini menemukan bahwa argumentasi Abû Zayd

tentang penolakan poligami dan penawaran monogami sebagai alternatif konsep

pernikahan dalam Islam yang sesuai dengan semangat modernitas itu mengandung

kelemahan. Abû Zayd terkesan memaksakan untuk memahami term ( dan (تعدلوا

dalam satu makna yaitu keadilan yang mutlak tanpa membedakan makna (القسط)

keadilan material (القسط) dan makna keadilan immaterial ( Sementara .(تعدلوا

pembacaan peneliti dengan perspektif semiotika Peirce menemukan bahwa

perbedaan tersebut tidak terelakan, sehingga makna kedua term tersebut harus

dibedakan. Konsekuensinya poligami adalah bagian dari ajaran islam namun

dengan pemenuhan ketentuan dan syarat tertentu antara lain melindungi yang lemah

(anak yatim).

Kata kunci: Poligami, Keadilan, Abû Zayd, Semiotika Peirce

Page 6: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

ii

ABSTRACT

Nurul Fauziah Gusmayanti

An Interpretation on Semiotics of Polygamy’s Justice: a study on Nasr Hâmid

Abû Zaid’s Perspective

The research discusses Semiotics of Polygamy’s Justice of QS. (4): 3 and

129 according to Nasr Hâmid Abû Zaid’s perspective on Charles Sanders Pierce’s

semiotics, in which its focus is to discuss how Abû Zaid reads and interprets

discourse of polygamy so that it takes conclusion that marriage in Islam based on

monogamous inclination is not yet done.

In discussing the focus of the research, the researcher implements the stages of

reading semiotics of Pierce as can be followed below:

1. to explain the meaning of polygamy and justice in general term as well as

justice in the verses of polygamy

2. to analyze, to read also to describe the discourse of polygamous justice by

using semiotic analysis of Charles Sanders Peirce from the verse content, its

historical revelation and also its interpreter’s which are representing their

respective time (Al-Tabarî, Al-Râzî, Rashîd Rida and ‘Abduh) and it aims

to see the function justice in every age.

3. to describe reading of discourse of polygamous justice according to Abû

Zaid and then to analyze and to read its interpreting based on Charles Sander

Pierce’s perspective.

4. to look at the relevance of Abû Zaid’s reading with other interpreters or

commentators of Quran and to compare their ideas with Abû Zaid’s

The descriptive analytic study finds that Abû Zayd's argument about refusal

of polygamy and offering of monogamy as an alternative to the concept of marriage

in Islam in accordance with the spirit of modernity has its weakness. Abû Zayd

seems to be impelled to understand the term (تعدلوا) and (القسط) in one sense that is

absolute justice without distinction between the meaning of material justice (القسط)

and the meaning of immaterial justice (تعدلوا). In addition to that, the researcher’s

reading based on Peirce's semiotic perspectives finds that the difference is

inevitable, so the meaning of both terms must be distinguished. Consequently

polygamy is part of the teachings of Islam but with the fulfillment of certain terms

and conditions, that is, to protect the weak (orphans)

Keywords: Polygamy, Justice, Abû Zayd, semiotic Pierce

Page 7: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

iii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah swt., Dzat yang memberikan nikmat, yakni

hembusan nafas, pandangan mata, sehingga dapat memandang indahnya alam

semesta dan nikmat-nikmat lain yang tidak mampu dihitung oleh hamba-Nya.

Penulis panjatkan atas segala rahmat dan karunia-Nya. Ṣalawat serta salam

semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li al-‘Âlamîn, cahaya di

atas cahaya, manusia paling sempurna, Nabi Muhammad saw., Rasul penutup

para Nabi, serta doa untuk keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga

zaman menutup mata.

Alḥamdulillâh, berkat rahmat dan ‘inayah Allah swt. penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini adalah karena keterlibatan

berbagai pihak yang jika tanpanya karya ini tidak akan terwujud. Kepada

beliau-beliau penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya.

Melalui upaya dan usaha yang melelahkan, akhirnya dengan limpahan

karunia-Nya lah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-

baiknya. Berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan

dalam penyusunan skripsi ini, alḥamdulillâh dapat teratasi berkat tuntunan

serta bimbingan-Nya dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

penulis ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-

dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosada, MA., selaku Rektor Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 8: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

iv

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

beserta para pembantu Dekan.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-

Qur’an dan Tafsir dan Ibu Drs. Banun Bina Ningrum, M. Pd., selaku

Sekretaris Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

4. Segenap jajaran dosen dan civitas akademik Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, terkhususnya jurusan Tafsir Hadis yang

dengan ikhlas dan tulus serta penuh sabar dalam mencurahkan dan

mendidik pada saya selama menimba ilmu di kampus tercinta ini.

5. Bapak Dr. Kusmana, MA., Ph.D, selaku dosen pembimbing skripsi

yang selalu memberikan didikasinya kepada penulis, bersabar

memberikan ilmu dan bimbingannya selama penulis berada di bawah

bimbingannya. Juga melalui beliau, tumbuh ide-ide baru, pemikiran

baru, sehingga penulis semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Kedua orang tuaku tercinta, ayahanda Agusman dan ibunda

Oktaviyanti yang telah mengarahkan, dengan penuh kasih sayang tanpa

pamrih, tak pernah lelah dan tak bosan dalam memberikan dukungan

moral maupun materil, serta do’a dan semangat yang selalu membanjiri

hati buah hatimu ini.

7. Adik-Adikku tercinta Nurul Desiana, Nurul Fadhila, dan Nurul Az-

Zahra, yang mana kalian selalu memberikan motivasi dan dukungan

lahir dan batin dalam penulisan skripsi ini.

Page 9: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

v

8. Sahabat-sahabtku Wulan, Shafa, Adit, Shafer, Tuffa dan delela yang

selalu memberikan semangat dan meyakinkan penuils untuk

menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabat seperjuangaku Dewi Aprilia Ningrum dan Sadam Husein yang

telah memberikan support serta doanya dalam menyelesaikan tugas

akhir ini.

10. Seluruh teman-teman Jurusan Tafsir Hadits angkatan 2013 terutama

Ubaidillah Khan, Salman, Rino, dan Jaharatul Nabila, Arimah, Sherly,

Nurul Ihya terima kasih atas doa kalian dan dukungan kalian yang

semua nama-nama tidak saya sebutkan satu persatu.

11. Teman-teman dari KKN SANUBARI khususnya WANITA

TANGGUH SANUBARI; Revi, Oki, Delila, Fifi, dan Hani yang selalu

memberikan motivasi kepada saya.

12. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses

penyelesaian skripsi ini, namun luput untuk penulis sebutkan, tanpa

mengurangi rasa hormat dan terima kasih penulis.

Akhir kata penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan

skripsi ini masih terdapat kekurangan dan bahkan tidak menutup

kemungkinan di dalamnya skripsi ini terdapat kekeliruan dan kesalahan. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan kritik dan sarannya untuk penulis yang

lebih baik lagi kedepannya dan harapan penulis semoga skripsi ini sedikit

banyak dapat bermanfaat bagi pembaca dan semoga Allah swt. selalu

Page 10: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

vi

memberkahi dan membalas semua kebaikan pihak-pihak yang turut serta

membantu penyelesaian skripsi ini.

Âmîn yâ Rabb al-Âlamîn.

Ciputat, 11 Januari 2018

Nurul Fauziah Gusmayanti

Page 11: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada

buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013/2014.

1. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

b be ب

t te ت

ts te dan es ث

j je ج

h h dengan garis di bawah ح

kh ka dan ha خ

d de د

dz de dan zet ذ

r er ر

z zet ز

s es س

sy es dan ye ش

s es dengan garis di bawah ص

ḏ de dengan garis di bawah ض

ṯ te dengan garis di bawah ط

ẕ zet dengan garis di bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

Page 12: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

viii

gh ge dan ha غ

f ef ف

q ki ق

k ka ك

l el ل

m em م

n en ن

w we و

h ha ه

apostrof ` ء

y ye ي

2. Vokal Tunggal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal

alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A fathah

I kasrah

U ḏammah و

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ai a dan i ي

au a dan u و

Page 13: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

ix

3. Vokal panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a a dengan topi di atas ا

i i dengan topi di atas ي

u u dengan topi di atas و

4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-syamsiyyah bukan asy-

syamsiyyah, al-rijâl bukan ar-rijâl.

5. Tasydîd

Huruf yang ber-tasydîd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-

turut, seperti السنة = al-sunnah.

6. Ta marbūṯah

Jika ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf

tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti أبوهريرة = Abū Hurairah.

7. Huruf Kapital

Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam

Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang,

maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,

bukan huruf awal atau kata sandangnya, seperti البخاري = al-Bukhâri.

Page 14: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

x

DAFTAR ISI

ABSTRAK…………………………………………………………………………i

KATA PENGANTAR……………………………………………………………iii

PEDDOMAN TRASLITRASI…………………………………………………...vii

DAFTAR ISI………………………………………………………………………x

BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………..1

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………...1

B. Rumusan Masalah………………………………………………………..16

C. Batasan Masalah………………………………………………………….18

D. Tujuan dan Manfaat………………………………………………………19

E. Metodologi Penelitian……………………………………………………20

F. Kajian Pustaka……………………………………………………………23

G. Sistematika penulisan…………………………………………………….25

BAB II. Konsep Keadilan dalam al-Qur’an: Makna Terma dan

Tafsir…….............................................................................................................27

A. Pengertian Keadilan………………………………………………………27

B. Adil dalam al-Qur’an……………………………………………………..30

1. Secara Umum…………………………………………………….30

2. QS. An-Nissa ayat 3 dan 129……………………………………..35

C. Penafsiran keadilan dalam QS. An-Nissa ayat 3 dan 129............................41

1. Teks, Terjemahan dan Asbabun Nuzul QS. An-Nissa (4): 3 dan

129………………………………………………………………..41

2. Tafsir Ath-Thabari …………………………………….………....46

Page 15: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

xi

3. Tafsir Ar-Razi ……………...........................................................49

4. Tafsir Al-Manar …………………………………….…………....52

BAB III. Nasr Hamid Abu Zaid dan Charles Sanders Peirce: Riwayat Hidup

dan Pemikiran ......................................................................................................60

A. Nasr Hamid Zaid ........................................................................................60

1. Riwayat Hidup ...............................................................................60

2. Pemikiran .......................................................................................67

B. Charles Sanders Peirce ...............................................................................77

1. Riwayat Hidup ...............................................................................77

2. Pemikiran .......................................................................................78

C. Aplikasi Semiotika dalam Kajian Tafsir ....................................................84

1. Aplikasi Semiotika dalam Kajian Tafsir Secara Umum…………84

2. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce Secara Umum……...87

3. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce atas Penafsiran QS. An-

Nissa (4): 3 dan 129 ……………………………………………..89

BAB IV. Aplikasi Semiotika Al-Qur’an Charles Sanders Peirce atas

Pemikiran Nasr HamidAbu Zayd tentang Poligami………………………...114

A. Metodologi ..............................................................................................114

B. Aplikasi Teori Charles Sanders Peirce Atas pemikiran Nasr Hamid Abu

Zayd tentang Keadilan………………………………………………….120

C. Relevansi Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid dengan Mufassir

lain............................................................................................................121

BAB V. PENETUP .............................................................................................130

A. Kesimpulan ………………………………………………………….….130

B. Saran …………………………………………………………………....133

Page 16: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semiotika, yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the

study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem

apa pun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-

tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Jika kita mengikuti Charles S., maka

semiotika tidak lain dari pada sebuah nama lain bagi logika, yakni “doktrin formal

tentang tanda-tanda” (the formal doctorine of signs); sementara bagi Ferdinand de

Saussure, semilogi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang

mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat” (a scince that studies the life of

signs within society).1

Dengan demikan, bagi Peirce semiotika adalah suatu cabang dari filsafat;

sedangkan bagi Saussure semilogi adalah bagian dari disiplin ilmu psikoligi sosial. Di

dalam perkembangan selanjutnya semiotika telah banyak dipengaruhi oleh

strukturalisme dan pasca kulturalisme seperti, misalnya, antropologi struktural Claude

Levi-Strauss, neo-Marxisme Louis Althusser, “arkeologi” Micheal Foucault, Neo-

Freudianisme Jacques Lacan, seta gramatilogi Jacques Derridda.2

Baik istilah semiotika maupun semiologi dapat digunakan untuk merujuk

kepada ilmu tentang tanda-tanda (the science of signs) tanpa adanya perbedaan

1 Kris Budiman, Semiotika Visual: konsep, Isu, dan Problem Ikonitas (Yogyakarta: Jalasutra,

2011), h. 3. 2 Budiman, Semiotika Visual…., h. 3.

Page 17: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

2

pengertian yang terlalu tajam. Satu-satunya perbedaan diantara keduanya, menurut

Hawkes, adalah bahwa istilah semiologi lebih banyak dikenal di Eropa yang mewarisi

tradisi linguistik Saussurean; sementara istilah semiotika cenderung dipakai oleh para

penutur inggris atau mereka yang mewarisi tradisi Peircian.3 Semiotika pada dasarnya

dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry), yakni

sintaktik, semantik, dan pragmatik.4

Semiotika adalah cabang ilmu yang mengkaji tentang tanda-tanda. Ilmu ini

menganggap bahwa fenomena sosial dan kebudayaan merupakan sekumpulan tanda-

tanda. Secara garis besar, ranah kajian semiotika dibagi menjadi dua, semiotika

signifikasi yang dimotori oleh Ferdinand de Saussure dan semiotika komunikasi yang

dimotori oleh Charles Sanders Peirce. Semiotika signifikasi ditekankan pada aspek

hubungan antara penanda dan petanda, sedangkan semiotika komunikasi ditekankan

pada aspek komunikasi. Semiotika mengkaji sistem-sistem, aturan-aturan atau

konvensi-konvensi yang memungkinkan suatu tanda dalam masyarakat memiliki arti,

sehingga semiotika pun memiliki ranah kajian yang begitu luas.5

Al-Quran dengan menggunakan bahasa sebagai media merupakan lahan subur

bagi kajian semiotika. Semiotika al-Quran dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu

3 Budiman, Semiotika Visual…., h. 3.

4 Budiman, Semiotika Visual…., h. 3. 5 Ali Imron, Semiotika Al-Qur’an: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf (Yogyakarta:

Teras, 2011), h. 33-34.

Page 18: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

3

semiotika yang mengkaji tanda-tanda dalam al-Quran, diantaranya: kalimat, kata atau

huruf, dan totalitas struktur di dalamnya. Dalam kaitannya dengan hal di atas,6 Arkoun

mendasarkan sebuah hipotesis sebagai berikut: al-Quran mengandung sejumlah

pemaknaan potensial yang diusulkan kepada segala manusia. Pada tahap pemaknaan

ini, al-Quran mengacu pada agama transejarah yang tahap pemaknaannnya

diaktualisasikan dalam doktrin teologis, yuridis, filsafat, politis, etis, dan sebagainya

yang kurang lebih telah dirasuki oleh makna transendensi.7

Pembacaan semiotik tidak hanya menganalisis tanda-tanda dan mencari

tingkatan makna yang ada. Dalam kajian semiotika komunikasi, tanda-tanda tersebut

merupakan wahana untuk komunikasi. Semiotika al-Quran dapat menjadi cabang

bidang penerapan semiotika karena didalamnya terdapat tanda-tanda yang memiliki

arti. Anggapan seperti ini mempunyai implikasi bahwa al-Quran (tanda dan bahasanya)

dipandang sebagai sesuatu yang profan. Namun, anggapan seperti ini juga bukan

berarti menafikan sakralitas al-Quran dalam arti yang sebenarnya.8

Menganggap bahasa Arab seperti bahasa-bahasa di dunia pada umumnya

sebagai sebuah produk budaya memiliki sistem tanda yang menarik untuk dikaji.

Pandangan seperti ini menganggap al-Quran dengan bahasa Arabnya merupakan

sebuah tanda sehingga untuk menemukan arti (meaning) dan makna (sense) harus

dikaji sistem tanda yang ada didalamnya. Konsep-konsep yang berada di balik sistem

6 Ali Imron, Semiotika Al-Qur’an: Metode…., h. 33.

7 Muhammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru

(Jakarta: INIS, 1994)., h. 12. 8 Imron, Semiotika Al-Qur’an…., h. 22.

Page 19: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

4

tanda pada bahasa al-Quran dicari dengan meneliti pola hubungan antara penanda dan

petanda.9

Pembacaan terhadap al-Quran dilakukan melalui dua tahap, yaitu pembacaan

heuristik dan pembacaan retroaktif. Pembacaan heuristik adalah pembacaan

berdasarkan konvensi bahasa, atau berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat

pertama. Pembacaan retroaktif adalah pembacaan berdasarkan sistem semiotik tingkat

kedua, atau berdasarkan konvensi di atas konvensi bahasa. Dua tahapan pembacaan di

atas menghasilkan tingkatan makna yang berbeda. Dapat pula dikatakan bahwa

pembacaan heuristik adalah pembacaan secara semantik, sedangkan pembacaan

retroaktif adalah pembacaan secara hermeneutik.10

Saat ini telah banyak pemikir muslim yang mencoba menafsirkan al-Quran dan

juga mencoba menjawab permasalahan-permasalahan umat Islam di zaman ini dengan

menggunakan metode hermeneutika dan juga semiotika seperti Muhammad Arkoun,

Nasr Hâmid Abû Zayd, Fazlur Rahmȃn, Amina Wadud, dan masih banyak lagi. Setelah

penulis membaca berbagai macam penafsiran dan juga pemikiran para pemikir muslim

tersebut, ada beberapa kesamaan dari mereka yaitu walaupun mereka menggunakan

teori hermaneutik atau semiotik yang berbeda, namun hampir sebagian besar dari

mereka mencoba menjawab permasalahan ummat mengenai poligami, datang dengan

jawaban yang sama yaitu menolak poligami dengan berbagai macam argumen mereka

9 Imron, Semiotika Al-Qur’an…., h. 31.

10 Imron, Semiotika Al-Qur’an…, h. 45.

Page 20: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

5

masing-masing. Beberapa dari mereka tergolong dalam feminis muslim seperti Fazlur

Rahmȃn, Amina Wadud, dan Nâsr Hamid Abû Zayd.

Di antara sekian banyak tema mengenai relasi laki-laki dan perempuan yang

mendapatkan perhatian cukup serius dari feminis muslim adalah masalah poligami.

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Secara etimologis, poligami merupakan

derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang berarti istri atau

pasangan. Poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri lebih dari satu secara

bersamaan.11 Adapun secara terminologis, poligami dapat dipahami sebagai suatu

keadaan di mana seorang suami memiliki istri lebih dari satu orang. Seorang suami

yang berpoligami dapat saja beristri dua orang, tiga orang, empat orang, atau bahkan

lebih dalam waktu bersamaan.12

Perdebatan seputar poligami yang selama ini terjadi, telah menyita perhatian

umat Islam, karena poligami dihubungkan dengan budaya Islam bahkan sunnah Nabi.

Secara historis praktek poligami sudah ada semenjak zaman pra-Islam. Poligami

dipraktekkan secara luas dikalangan masyarakat Yunani, Persia dan Mesir kuno. Di

Jazirah Arab sendiri sebelum Islam, masyarakat telah mempraktekkan poligami,

bahkan poligami yang tidak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata

11 Nasharuddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi: Upaya penggalian konsep perempuan dalam al-

Qur’an : Mencermati Konsep Kesejajaran perempuan dalam al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1999), cet. I., h. 94. 12 Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur (Ponorogo: STAIN

Ponorogo Press, 2009)., h. 15.

Page 21: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

6

pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku

mempunyai istri sampai ratusan.13

Hampir semua agama mengakui keberadaan poligami, karena poligami sudah

dikenal oleh banyak kelompok masyarakat tertentu yang terdiri dari bangsa-bangsa,

bahkan agama katolik pun sebelum adanya konsili Vatikan, masyarkat Roma kuno

menganut poligami. Hal ini bisa terjadi karena beberapa aturan bagi perempuan

diantaranya, perempuan harus di bawah penjagaan dan perwalian laki-laki selama

hidupnya, serta tidak memiliki hak kepemilikan terhadap harta. Munculnya tradisi

monogami di Roma merupakan salah satu dampak dari peralihan sistem Negara yang

menjadi Republik, perubahan tersebut juga berdampak pada aturan yang mengurus

tentang hak dan tanggung jawab perempuan, diantaranya perempuan aristrokat

memiliki hak untuk mengajukan bercerai, perempuan Roma juga berhak atas

kepemilikan hartanya sendiri termasuk juga warisan.14

Sebenarnya tidak ada masalah baru dalam Islam, praktek poligami sesuai yang

disampaikan di atas, sudah ada semenjak zaman pra Islam. Namun yang perlu

diperhatikan adalah pembaharuan jika sekarang ini poligami menjadi masalah

kontemporer dalam Islam. Perbedaan penafsiran terhadap ayat poligami menyebabkan

silang pendapat diantaranya mempersoalkan syarat mutlak yang harus dipenuhi

poligami, yakni adil, yang dinukil dari surat al-Nisâ’ ayat 3. Kalangan tradisionalis

13 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007).,

h. 45. 14 Iswanti, “Menimbang Perkawinan Monogami Dalam Agama Katolik”, Jurnal Perempuan

edisi 31, (2003)., h. 49.

Page 22: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

7

beranggapan bahwa poligami merupakan perintah dan penekanan pada syarat untuk

adil pada surat al-Nisâ’ ayat 3, perintah itu adalah kewajiban masing-masing individu

yang berpoligami, sementara kalangan modernis beranggapan bahwa teks poligami

harus mempertimbangkan syarat mutlak adil yang berlandaskan kemaslahatan.

Poligami lahir dari kebudayaan yang tidak memiliki pemahaman kesetaraan,

dan cara berfikir patriarki sehingga cenderung memposisikan perempuan di bawah

otoritas kaum laki-laki, dengan tidak mengutamakan hak dan kebutuhan perempuan

secara adil. Sementara menikah adalah bersatunya dua insan yang memiliki

kesepakatan untuk hidup bersama dengan penuh cinta kasih demi terwujudnya

kemaslahatan yang diridhoi Allah, dan memuat semangat kesetaraan atas hak dan

kebutuhan. Syarat adil, yang dimaknai pada ayat tersebut bukan sekaligus sebagai

anjuran untuk berpoligami, hal tersebut dapat dilihat pada asbâb al-nuzûl (asbâb al-

wurûd) turunnya ayat tersebut.15

Untuk menjadi sebuah aturan, pemaknaan adil sebagai syarat dalam poligami

haruslah memiliki kajian yang komprehensif, sehingga tidak menimbulkan mudharat

dalam penerapannya. Konsep adil dalam poligami mengandung dua unsur jenis

keadilan, yakni keadilan etis, merupakan keadilan yang berlandaskan terhadap

kebajikan tertinggi yang menentukan perilaku manusia serta keadilan teologis yakni

keadilan yang sesuai dengan doktrin yang ditetapkan oleh para teolog berkaitan dengan

kehendak Allah. Artinya makna adil harus ditinjau dari semua aspek.

15 Musdah Mulia, Menggugat Poligami…., h. 46.

Page 23: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

8

Dalam ayat-ayat poligami16 terdapat dua kata yang maknanya saling berdekatan

yaitu al-‘adl dan al-qisth yang dalam mayoritas terjemah al-Quran dan beberapa

literatur kitab tafsir kedua kata tersebut diartikan dengan satu kata saja yaitu adil, dan

makna adil di sini juga tidak hanya menempatkan sesuatu pada tempatnya, tapi ada

beberapa makna lain yang apabila ditelisik dalam kamus-kamus Arab, kitab akhlak dan

dilihat dari sisi penggunaannya dalam al-Quran masing-masing kata tersebut memiliki

signifikansi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sehingga untuk

mendapatkan makna yang lengkap dan komprehensif, perlu dilakukan kajian

mendalam tentang kedua kata tersebut berserta penggunaanya dalam al-Quran. Dalam

hal membedakan makna kata, perhatian terhadap makna kata juga telah dilakukan sejak

periode awal Islam, yaitu oleh para ahli bahasa Arab. Kaum muslim pada mulanya

ketika menghadapi kesulitan dalam memahami makna kata-kata asing dalam al-Quran,

mereka mencari referensi.

Makna kata tersebut dalam warisan sastra jahiliyah, khususnya puisi.17 Salah

satu ulama yang pertama kali dianggap telah melakukan evaluasi makna kata dengan

metode linguistik dalam proses penafsiran al-Quran adalah Ibn ‘Abbâs. Pada masanya

proses pengujian keotentikan arti dan pemantapan otoritas makna yang berhubungan

dengan kata-kata, bahasa, serta sastra arab klasik telah dimulai18. Dipilihnya kata al-

‘adl dan al-qisth karena kedua kata tersebut memainkan istilah penting dalam struktur

16 Q.S. Al-Nisâ’ ayat 3 dan 129 17 Sugeng Sugiyono, Lisan dan Kalam Kajian Semantik al-Qur’an (Yogyakarta: UIN Sunan

Kalijaga Press, 2009)., h. 2.

18 Sugiyono, Lisan dan Kalam…, h. 2.

Page 24: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

9

konsep linguistik dalam al-Quran yang sering tidak dipahami banyak orang. Pada

umumnya orang memahami al-‘adl dengan keadilan, begitu juga dengan al-qisth

dipahami dengan maka serupa. Padahal antara satu kata dengan kata yang lainnya

dalam al-Quran tidak bisa saling menggantikan, sehingga pada dasarnya masing-

masing kata tersebut memiliki makna yang berbeda namun jika dikonversikan ke dalam

bahasa Indonesia belum ditemukan padanan kata yang tepat. Oleh karena itu dalam

kerangka memahami makna kata al-‘adl dan al- qisth dengan pendekatan linguistik

diperlukan suatu proses yang tidak sederhana dan mudah. Oleh sebab itu diperlukan

semantik sebagai metode kajiannya. Problem ini diajukan untuk menemukan jawaban

tentang makna deskriptif dari masing-masing kata al-‘adl dan al-qisth.

Syaikh Muhammad ‘Abduh adalah salah satu dari sedikit ulama yang

mengharamkan poligami, dengan alasan bahwa syarat yang diminta adalah berbuat

adil, dan itu tidak mungkin bisa dipenuhi manusia seperti dinyatakan dalam QS. Al-

Nisâ: 129. ‘Abduh yang mantan Syaikh Al-Azhâr ini menjelaskan tiga alasan haramnya

poligami:

Pertama, syarat pertama poligami adalah berbuat adil, syarat ini mustahil bisa

dipenuhi seperti yang dikatakan dalam QS. Al-Nisâ: 129. Kedua, buruknya perlakuan

para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat

melaksanakan kewajiban memberi nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Dan

Ketiga, dampak psikologis anak-anak hasil poligami, mereka tumbuh dalam kebencian

dan pertengkaran karena ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan istrinya

Page 25: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

10

yang lain. (Al-‘Amal Al-Kamilah/ Imâm Syaikh Muhammad ‘Abduh, Kairo, Dâr Asy-

Syurûq, 1933, II: 88-93).19

Argumen ‘Abduh inilah yang sering diusung oleh kaum sekuler liberal, untuk

menolak poligami, disamping dalih utama mereka adalah HAM dan Gender Equality

(Kesetaraan Gender). Padahal keadilan yang mustahil bisa dilakukan manusia bukan

keadilan dalam segala hal, seperti yang dikatakan sahabat Ibnu ‘Abbâs, yaitu keadilan

dalam hal mahabbah dan ghirah kepada istri-istri. Yang di tuntut oleh QS. Al-Nisâ: 129

adalah keadilan dalam memberi nafkah. “adil” juga tidak identik dengan “sama rata”.20

Selain, Muhammad ‘Abduh, Nasr Hâmid Abû Zayd (selanjutnya ditulis Abû Zayd)

juga merupakan salah satu cendikiawan muslim yang paling artikulatif menjelaskan

tentang isu poligami, terkait dengan ayat poligami.21

Abû Zayd mendiskusikannya dalam konteks kajiannya terhadap perundang-

undangan Tunisia yang menjadikan poligami sebagai tindakan kriminal.22 Dalam hal

ini, Abû Zayd menguraikan penafsirannya atas ayat tersebut dalam tiga langkah.

Pertama, konteks teks itu sendiri. Abû Zayd memulai kajiannya dengan

mempertanyakan “hilangnya” hukum menggauli “budak yang kamu miliki” (wa mâ

malakat aymânukum) di kalangan para Islamis sementara tetap mempertahankan

19 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara jodoh, poligami dan perselingkuhan (Jakarta: Pustaka

al-Kautsar, 2007)., h. 119. 20 Jaiz, Wanita antara jodoh…, h. 119-120. 21 QS. Al-Nisâ’ (4): 3 dan 129. 22 Dalam perundang-undangan Tunisia dinyatakan bahwa laki-laki yang menikah padahal ia

dalam keadaan beristri dan akad nikah sebelumnya belum rusak, maka ia dihukum kurungan satu tahn

dan (dianggap) berhutang sebesar 24.000 Frank atau dihukum dengan salah satu jenis dari kedua jenis

hukuman itu walapun perkawinan barunya itu belum terjalin sesuai dengan hukum undang-undang.

Lihat Nur Ichwan dan Moch Syamsul Hadi, Dekontruksi Gender: Wacana Krtik Perempuan dalan Islam

(Yogyakarta: Samba, 2003)., h. 238.

Page 26: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

11

praktek poligami, padahal teks tersebut memiliki tingkat kejelasan yang sama dengan

teks maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat.

Bagi Abû Zayd, jawaban kalangan Islamis mengenai hal ini memperlihatkan kerancuan

cara pandang mereka bukan hanya terhadap teks tetapi terhadap kehidupan secara

umum.23

Abû Zayd menunjukkan hilangnya kesadaran historis dikalangan para Islamis

dalam memahami teks di atas. Menurutnya “hilangnya” hukum menggauli budak

perempuan ini diniscayakan oleh perjalanan kehidupan dan realitas manusia melalui

perjuangan untuk mengembalikan kebebasan mereka sebagai manusia merdeka. Dalam

konteks seperti ini pula poligami mestinya ditempatkan. Menurut Abû Zayd,

pembolehan poligami sampai dengan empat orang istri harus dipahami dan ditafsirkan

dalam konteks karakter hubungan-hubugan kemanusiaan khususnya hubungan laki-

laki dan perempuan di dalam masyarakat Arab pra-Islam. Dengan cara demikian, akan

terlihat bahwa pembolehan poligami merupakan “penyempitan” (taqyîd) terhadap

kepemilikan dan pengkondisian perempuan dalam masyarakat Arab pra-Islam,

khususnya jika perempuan itu berasal dari kelas sosial yang rendah.24

Selain itu, berbeda dengan tradisi poligami sebelum Islam yang tidak tunduk

terhadap parameter apa pun, termasuk mengenai jumlah isteri yang boleh dinikahi,

Islam membatasi parameter kaidah-kaidah adat yang tak terbatas untuk mencegah

pelechan terhadap perempuan. Dalam tradisi Arab sebelum Islam, perkawinan

23 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…, h. 267-271. 24 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…, h. 268.

Page 27: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

12

poligami tidak dibatasi jumlahnya. Dalam konteks seperti inilah ayat tentang poligami

diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bagi Abû Zayd, interpretasi yang

dilakukan untuk membolehkan perkawinan poligami merupakan upaya untuk kembali

meletakkan dominasi laki-laki dan kesemena-menaanya terhadap eksistensi

perempuan.25

Dengan demikian, kebolehan perkawinan poligami hingga dengan empat isteri

secara historis lebih merupakan transisi (naqlah) dalam rangka pembebasan perempuan

dari keterkaitannya dengan laki-laki. Karena hal itu merupakan transisi ke arah

penyempitan, maka pembatasan nikah dengan satu perempuan dinilai sebagai transisi

alamiah (naqlah tabi’iyah) sejalan dengan cara yang sebelumnya ditempuh oleh

Islam.26

Kedua, konteks al-Quran secara keseluruhan. Hal ini dilakukan Abû Zayd

untuk mengungkapkan dimensi makna yang sangat penting dari teks, yaitu sesuatu

yang tersembunyi (al-mudmar) atau disembunyikan (al-maakut ‘anh). Dalam kaitan

ini, Abû Zayd meletakkan syarat keadilan sebagaimana tercantum dalam teks “Dan jika

kamu takut tidak bisa berlaku adil maka kawinilah seorang perempuan saja” sebagai

hal yang niscaya. Namun, dengan mengaitkan keniscayaan syarat keadilan itu dengan

teks “Dan kamu sekalian tidak akan bisa berlaku adil terhadap isteri-isteri kamu

walaupun kamu sangat menginginkannya,” Abû Zayd menegaskan bahwa al-Quran

25 Nasr Hâmid Abû Zayd, Dâwair al-Khawf: Qirâ’ah fî Khitâb al-Mar’ah (Beirut: al-Markaz

al-Saqâfî al-‘Arabî, 1999)., h. 217. 26 Moch. Nur Ichwan “Meretas Keserjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr

Hâmid Abû Zayd (Bandung: Teraju, 2003)., h. 140.

Page 28: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

13

sesungguhnya memastikan sikap dan hampir mengabaikan (membatalkan) perkawinan

poligami.27

Penjelasan linguistik terhadap ayat di atas28, menurut Abû Zayd, menegaskan

bahwa syarat keadilan terhadap para isteri secara mutlak adalah tidak mungkin. Hal ini

terlihat dari struktur kalimat kondisional dalam fa in khiftum allâ ta’dilû fa wâhidah

kemudian melalui penggunaan adat al-syart “law” yang berfaedah untuk menghalangi

terjadinya akibat (jawâb) karena keterhalangan terjadinya syart. Kata “lan” yang

dipakai di awal teks (wa lan tastathî’û an ta’dilû bayna al-nisâ’ wa law harashtum)

menegaskan terjadinya suatu kejadian untuk masa sekarang dan masa yang akan datang

secara bersamaan. Dari sini Abû Zayd menegaskan bahwa jawâb al-syart dengan “lan”

yang didahulukan atas fi’il al-syart dengan “law” menegaskan ketidakmungkinan

ganda (al-nafy al-murakkab) pada level makna: ketidakmungkinan untuk bertindak adil

selamanya (nafy abadî) kepada dua isteri atau lebih dan ketidak mungkinan seorang

suami berkeinginan untuk berbuat adil kepada mereka.29

Selain itu, keadilan adalah prinsip esensial (al-mabda’) dalam Islam, sementara

itu poligami yang hanya berada dalam batas hukum kebolehan (al-ibâhah) tidak akan

naik menjadi prinsip. Poligami dalam hal ini hanyalah kejadian parsial relatif yang

dikondisikan oleh syarat-syarat yang bisa berubah-ubah karena darurat. Dengan

demikian, jika hukum ternyata bertentangan dengan prinsip maka hukum itu harus

“dikorbankan” (Idza ta’arada al-hukm ma’a al-mabda’ falâ budda al-tadhiyah bi al-

27 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…., h. 271-273. 28 Q.S Al-Nisâ’ ayat 3 dan 129. 29 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…., h. 272.

Page 29: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

14

hukm). Dari analisis ini, Abû Zayd menegaskan bahwa hampir-hampir al-Quran secara

diam-diam atau implisit sebenarnya mengharamkan poligami.30

Abû Zayd menegaskan ketidaksetujuannya terhadap pandangan klasik yang

menyebut poligami saat ini dalam kategori kebolehan (al-ibâhah). Penjelasam Abû

Zayd menempatkan pembatasan poligami menjadi maksimal empat perempuan oleh

al-Quran sebagai bentuk penyempitan (al-taqyîd) terhadap poligami masyarakat Arab

pra-Islam yang tak terbatas. Penyempitan itu bertujuan untuk meluruskan hukum-

hukum sosial yang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat atau tidak sejalan

dengan kesadaran yang ingin direalisasikan oleh al-Quran.31

Dengan demikian, poligami tidak bisa dimasukkan dalam kategori “al-

mubâhat” sebagaimana yang terdapat dalam fikih klasik. Oleh karenanya,

mengabaikan (membatalkan) perkawinan poligami tidak bisa disebut mengharamkan

hal-hal yang diperbolehkan oleh agama. justru mengabaikan poligami menjadi

perkawinan monogami (perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja)

merupakan bentuk “penyempitan” yang lain untuk disesuaikan dengan perkembangan

masyarakat. Dengan kata lain, “penyempitan” seperti ini bukan termasuk dalam

kategori hukum keagamaan (al-ahkâm al-dîniyyah) melainkan berada dalam hukum

kemasyarakatan (al-ahkâm al-madaniyyah).32

30 Abû Zayd, Dâwair al-Khawf…., h. 288-290. 31 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…., h. 273. 32 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender….., h. 275-276.

Page 30: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

15

Sebagai gantinya, Abû Zayd membangun penafsirannnya mengenai poligami

dalam kerangka pemikiran yang dipinjam dari ‘Adil Dahir. Dalam artikelnya yang

berjudul “An- La Ma’qul fî al-Harakat al-Islâmiyah al-Mu’âsirah”, Dahir membuat

pembedaan antara “al-mabda’” (prinsip), “al-qaidah” (kaidah), dan “al-hukm”

(hukum). Diantara contoh dari “al-mabda’” adalah keadilan, kebebaasan, hak hidup,

kebahagiaan. “al-qaidah” yang memiliki cakupan lebih sempit dari “al-mabda’”

dicontohkan dengan larangan mencuri, larangan berzina, larangan bersumpah palsu,

larangan menyusahkan orang lain, dan lain-lain yang jika dilakukan bisa merusak nilai-

nilai dalam “mabda’”, sedangkan “hukm” merupakan hal-hal yang kebolehannya

disebut dengan “al-darûrah”.33

Dalam konteks poligami, keadilan adalah mabda’. Sementara untuk memiliki

sampai empat isteri adalah hukm. Hukm tidak bisa menjadi qaidah apalagi menjadi

mabda’. Hukm adalah peristiwa spesifik dan relatif, tergantung pada perubahan kondisi

yang melingkupinya. Ketika terdapat kontradiksi antara mabda’ dan hukm, yang

terakhir ini haruslah dikalahkan untuk mempertahankan yang pertama. Walau al-Quran

tidak memerintahkan untuk mempertahankan yang pertama.34

Al-Quran tidaklah menetapkan hukm (tasyir) terkait dengan masalah poligami,

naun memang mengungkapkan sebuah limitasi terhadap poligami. Abû Zayd

berpendapat bahwa al-Quran melarang poligami secara tersamar (al-tahrîm al-dimmi).

33 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…., h. 275-276. 34 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…., h. 275-276.

Page 31: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

16

Pada langkah ketiga, berdasarkan atas kedua langkah diatas Abû Zayd

mengusulkan pada sebuah pembahaaruan hukum Islam. Berdasarkan atas distingsi

‘Adil Dahir di atas, bahwa poligami haruslah diperlakukan sebagai hukm, yang tidak

dapat menjadi sebuah kaidah, apalagi mabda. Keadilanlah yang dapat menjadi mabda

yang harus dipertahankan dalam level kaidah dan hukum. Walaupun Abû Zayd

memberikan konklusi yang mengambang tentang argumennya tentang poligami ini

namun larangan pelarangan secara tersamar di atas, dan poligami sebagai hukum yang

tidak boleh merusak qa’idah dan mabda’, dapat disimpulkan bahwa poligami

dilarang.35

Abû Zayd merupakan cendikiawan muslim yang mampu menjawab isu tentang

poligami secara sistematis dan juga Abû Zayd merupakan salah satu feminis muslim

yang paling artikulatif dalam mendiskusikan ataupun menjawab isu-isu mengenai

perempuan. Meskipun berbagai pendapatnya banyak menuai kontroversi hingga

sempat membuatnya harus dideportasi dari negaranya.

Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut

mengenai “Tafsir Semiotika Keadilan Berpoligami: Studi Pemikiran Nasr Hâmid

Abû Zayd”.

B. Rumusan Masalah

Penulis menggunakan analisis semiotika untuk mengetahui tanda adil ( (تعدلوا

dan (القسط). Karena dalam agama Islam, tanda dan penandaan memainkan peran

35 Ichwan, Meretas Keserjanaan…, h. 142.

Page 32: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

17

penting. Kata ayat yang arti dasarnya adalah tanda, terdapat ratusan kali dalam al-

Quran. Misalnya dalam QS. Al-Fhushilat/43: 53:

أو لم يكف برب ه ٱلحق ن لهم أن تنا في ٱلفاق وفي أنفسهم حتى يتبي هۥ على سنريهم ءاي ك أن

٥٣كل شيء شهيد

Artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)

Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi

mereka bahwa al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya

Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu

Maka semiotika menjadi wahana baru untuk ilmuan mengenal tanda atau teks

di dalam al-Quran terutama tanda adil ( Banyak ilmuan yang .(القسط) dan (تعدلوا

mempelajari ilmu tanda ini atau yang disebut ilmu semiotika. Diantaranya adalah

Ferdinand de Saussure, Umberto Eco, Roland Barthes dan Charles Sanders Peirce dan

lain-lain. Sebelumnya, penulis telah menyinggung bahwa bahwa cabang penyelidikan

semiotik ialah sintaktik, semantik dan pragmatik. Dari berbagai ilmuan semiotik,

penulis memilih semiotika Charles Sanders Peirce sebagai metode yang dipilih dalam

analisa penulis. Alasan penulis memilih teori Peirce dikarenakan; Pertama, ia

mempunyai arah metode yang berbeda dengan tokoh semiotik sebelumnya seperti

Ferdinand de Saussure, Louis Hjelmslev, Roland Barthes dan sebagainya. Kajian

semiotika sebelumnya terfokus pada teori kode, atau juga disebut dengan semiotika

signifikasi, yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure. Sedangkan fokus kajian Peirce

beralih kepada teori produksi tanda atau teori fungsi tanda, yang biasa disebut dengan

semiotika komunikasi. Salah satu ciri khas dari semiotika komunikasi Peirce ialah

kajian pragmatiknya untuk mengetahui hubungan antara pemakai bahasa dengan

lambang dalam pemakaiannya. Kedua, Charles Sanders Peirce juga merupakan

Page 33: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

18

pencetus mazhab tersendiri dalam kajian semiotika, di mana sebelumnya para ahli

semiotika membaca tanda dibagi menjadi dua hal; penanda dan petanda, yang disebut

dengan semiotika mazhab diadik. Berbeda dengan ilmuan semiotika sebelumnya,

Peirce membagi tanda menjadi tiga hal; Representament, Objek, Interpretant, yang

disebut dengan semiotika mazhab triadik sehingga memiliki peluang untuk melakukan

sistematisasi pendalaman memahami atas tanda. Ketiga, tawaran penafsiran Abû Zayd

menarik untuk diapresiasi lebih lanjut dan pemahaman semiotika Peirce dapat

membantu penulis menganalisa konteks keadilan berpoligami yang digagas oleh Nasr

Hamid Abû Zayd lebih jauh lagi. Alasan-alasan ini yang membuat penulis

menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce untuk menjadikan pisau analisis

dalam memahami makna keadilan berpoligami Abû Zayd. Oleh karena itu, penulis

membuat rumusan masalah mengenai “Bagaimana Aplikasi Teori Semiotika

Charles Sanders Peirce Terhadap Pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd tentang

Keadilan Berpoligami?”

C. Batasan masalah

Dalam mengkaji interpretasi kata adil dalam ayat-ayat poligami, penulis

memberikan pembatasan ayat-ayat poligami yang akan dianalisa menggunakan surat

Al-Nisâ’ (4): 3 dan 129.

Penulis menggunakan kedua ayat di atas karena, menurut penulis dua ayat ini

menekankan keadilan dalam poligami dan terdapat kata yang sama dalam dua ayat di

atas yaitu kata ( hal ini berhubungan dengan apa yang akan penulis kaji yaitu (تعدلوا

Page 34: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

19

interpretasi kata adil ( dengan menggunakan analisis semiotika Charles Sanders (تعدلوا

Peirce.

Selain itu, penulis melihat ayat ini (QS. Al-Nisâ’:129) menegaskan adanya

hubungan berupa penjelasan tentang makna keadilan yang diungkap dalam ayat ketiga

surah Al-Nisâ’. Hubungan kesesuain antara ayat ke 3 dan ke 129 dalam surah al-Nisâ’

ini, di mana keadilan yang dipersyaratkan bagi pelaku poligami dijabarkan sebagai

keadilan yang tidak mungkin dapat diwujudkan, merupakan bukti bahwa kedua ayat

ini sangat berhubungan yang diposisikan sebagai pernyataan dan penjelasan.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Melihat dari permasalahan di atas dapat dijelaskan tujuan penulisan skripsi ini

sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui cara mengaplikasikan teori semiotika Charles Sander

Peirce terhadap ayat-ayat poligami dalam al-Quran.

b. Untuk mengetahui interpretasi makna kata adil ( -pada ayat (القسط) dan (تعدلوا

ayat poligami dalam al-Quran dan juga dalam ilmu semiotika khususnya

semiotika Charles Sanders Peirce.

c. Untuk berpartisipasi dan berkontribusi pada perdebatan wacana poligami.

d. Mengklarifikasikan kompleksitas persoalan keadilan dalam wacana

poligami.

e. Mendeskripsikan pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd tentang wacana poligami

Page 35: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

20

2. Manfaat Penelitian

Dengan penelitian ini, diharapkan mampu memberikan kontribusi teoritis

maupun praktis antara lain:

a. Kegunaan teoritis penelitian ini sebagai pembahasan yang memperkuat

argumentasi bahwa al-Quran dapat di analisa menggunakan pendekatan atau

pisau analisa ilmu semiotika/semiologi di dalam menafsirkan al-Quran.

b. Kegunaan praktis adalah sebagai bahan tambahan ajar pada mata kuliah

tafsir seperti, semiotika, metodologi penelitian tafsir, dan pendekatan

modern di dalam penafsiran al-Quran.

E. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan

Seperti yang kita ketahui dalam teori semiotika Peirce, Peirce membagi proses

pemahaman tanda pada tiga metode yaitu firstness (makna tanda potensi), secondness

(makna tanda yang sudah dikaitkan dengan makna potensi), dan thirdness (makna

kesepakatan). Firstness merupakan relasi antar elemen tanda yang bersifat Subyektf

(berdasarkan pengalaman pribadi) yang fokus kajiannya adalah agensi. Sementara

secondness adalah relasi antar elemen tanda yang bersifat material (terindra) yang

fokus kajiannya adalah obyek, dan thridness adalah relasi antar tanda yang bersifat

maknawi (interpretasi) fokus kajiannya pada teks, selain itu Peirce juga membagi tanda

tersebut kedala tiga tingkatan yaitu: Kepertamaan (Firstness), Kekeduaan

(Secondeness), Keketigaan (Thirdness). Model metode pertama terdiri dari qualisign

Page 36: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

21

untuk Firstness, sinsign untuk Secondness, dan legisign untuk Thirdness. Dalam model

metode kedua Firstness menghubungkan pada ikon, Secondness pada indeks, dan

Thirdness pada simbol. Terakhir dalam metode ketiga Firstness menghubungkan

rheme, Secondness pada decisign, dan Thirdness pada argument.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kepertamaan (Firstness)

untuk melihat konteks dari ayat-ayat poligami itu sendiri, dan juga menggunakan

metode keketigaan (Thirdness) untuk menelaah pemikiran (interpretasi) feminis

muslim yaitu Abû Zayd dan juga para mufassir lainnya mengenai ayat-ayat poligami.

Selain itu, menurut hemat penulis teori semiotika Charles S. Peirce yang didalamnya

terdapat proses simiosis akan mampu membantu penulis untuk mendapatkan

pemaknaan ataupun interpretasi atas relevansi penafsiran Abû Zayd tentang keadilan

poligami. Teori semiotika Charles S. Peirce yang berlandaskan dengan logika dan

pragmatisme mampu membantu penulis untuk mendudukkan pemikiran Abû Zayd

dalam wacana poligami.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan data-data

kepustakaan (library research). Objek utama dalam penelitian ini adalah al-Quran dan

penafsirannya. Penulis akan menggunakan teori semiotik triadik Charles Sander Peirce

dalam memahami kata adil pada ayat-ayat poligami di al-Quran. Jadi dalam penelitain

akan berkonsentrasi pada pengolaan dari sumber data-data pustaka baik berupa buku,

jurnal maupun semua artikel yang berkaitan dengan pembahasan kata adil dalam

Page 37: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

22

poligami dan semiotik, dengan fokus penafsiran keadilan berpoligami menurut Nasr

Hâmid Abû Zayd.

3. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

1. Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Dawāir al-Khauf: Qirā`at fī Khitāb al-Mar`ah

(Beirut; Al-Markaz al-Tsaqāfy al-‘Araby, 2004)

2. Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, Dekonstruksi Gender:

Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: SAMHA, 2003.

Terjemahan Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Dawāir al-Khauf: Qirā`at fī Khitāb

al-Mar`ah.

3. Ar-Razi, Fakhr al-Dîn. Al-Tafsîr al-Kabîr. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995.

4. Ridha,Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al Ma’arifah.

5. Al-Thabari, Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib al-

Amili Abu Ja’far. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder sebagai rujukan pembantu dalam penelitian ini adalah

merupakan buku-buku atau jurnal ilmiah yang berkaitan dengan penafsiran-penafsiran,

teori semiotik triadik, dan studi tentang tafsir ayat-ayat poligami dalam al-Quran.

Dalam penulisan skripsi digunakan pedoman penulisan dalam buku Pedoman

Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun

2013/2014 Program Studi 1.

Page 38: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

23

Penulis mengambil metodologi semiotik, khususnya semiotik yang

dikembangkan oleh Charles Sander Peirce, karena belum adanya penelitian ayat-ayat

poligami yang menggunakan mata pisau analisa ini, selain itu juga saya ingin

membuktikan bahwa metodologi ini mampu menawarkan kepada pembaca dalam

penafsiran tanda dari berbagai macam aspek, termasuk pembacaan ayat-ayat mengenai

kata adil dalam poligami.

F. Kajian Pustaka

Dalam peninjauan yang dilakukan oleh penulis terhadap buku-buku yang

membahas tentang poligami dan teori-teori semiotika, seperti karya Abduttawab

Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW (poligami dakam Islam vs Monogami

Barat), Jakarta: CV. Pedoman ilmu jaya, 1993., Abdul Nasir Taufiq al-Atthar,

Polygami Ditinjau dari segi agama, sosial, dan perundang-undangan, Jakarta : Bulan

Bintang., Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam memahami Bahasa Agama,

Malang: UIN-Malang Press, 2007., Anik Farida, M.Hum., Menimbang Dalil Poligami

antara teks, konteks dan praktek, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembanan Agama

Jakarta, 2008., Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur,

Ponorogo : STAIN PONOGORO PRESS, 2009., Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara

jodoh, poligami dan perselingkuhan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007., Paul Ricouer,

Teori Interpretasi membelah makna dalam anatomi teks,Jogjakarta : IRCiSoD, 2014

Selain meninjau dari buku-buku, penulis juga meninjau dari skripsi-skripsi

yang berkaitan dengan poigami dan semiotika khususnya semiotika , diantaranya

adalah Konsep Berpoligami yang Adil: Study atas Penafsiran Sayyid Qutub Dalam

Page 39: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

24

Tafsir fi dhilal al-Qur’an karya Fachrudin Nur Ubay, mahasiswa Universitas Islam

Negeri Jakarta Fakultas Ushuluddin, Poligami Dalam Perfektif Agama-Agama Semitik

karya Noviyanti Triastuti, mahasiswa Universitas Islam Negeri Jakarta Fakultas

Ushuluddin, Poligami dalam pandangan Isam Tinjauan Q.S An;Nisa’ (4): dan 129

karya Rita Sasmita Pritarim, Universitas Islam Negeri Jakarta fakultas Ushuluddin,

Poligami dalam Perfektif Pemikir Modern karya Munajat Adisaputra, Universitas

Islam Negeri Jakarta Fakultas Ushuluddin.

Selain meninjau skripsi-skripsi tentang poligami, menulis juga meninjau skripsi

mengenai semiotika al-Quran dan juga semiotika Charles Sander Peirce yaitu Hadis

Tentang Keutaaan Ibu Suatu Tinjauan dan Analsis Semiotik Charles S. Peirce karya

Lexi Zulkarnaen Hikmah, mahasiswa Universitas Islam Negeri Jakarta Fakultas

Ushuluddin. Pesan Semiotis Al-Qur’an: Analisis Strutural Q.S. Al-Lahab karya Irfan

Sanusi, dan juga skripsi yang berjudul Kisah Yusuf dalam Al-Qur’an Perfektif

Semiologi Roland Barthes karya Pipit Fitriyana.

Dalam beberapa karya yang telah penulis tinjau, penulis belum menemukan

tulisan yang menyinggung mengenai makna atau interpretasi dari kata adil yang

menggunakan analisisa semiotika Charles Sanders Peirce yang terdapat dalam surat

Al-Nisâ ayat 3 dan 129. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis akan menggunakan

analisis semiotika Charles S. Peirce dalam mengakaji pemikiran keadilan berpoligami

menurut Abû Zayd. Penulis akan mencoba mengungkapkan apa alasan Abû Zayd

mengatakan bahwa monogami adalah makna yang tak tersirat dari al-Quran, selain itu

penulis juga akan mengungkapkan perbedaan penapat Abû Zayd dengan para mufassir

klasik, pertengahan abad dan juga kontemporer.

Page 40: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

25

G. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan saya sajikan menjadi lima bab. Masing-masing bab

memiliki beberapa sub bab.

Bab pertama, sebagaimana yang telah diuraikan di atas yaitu berisi

pendahuluan yang membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,

pembatasan masalah, tujuan dan mafaat penelitian, metodologi penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab kedua, membahas mengenai makna terma dan tafsir dari kata adil di dalam

al-Quran, deskripsi makna kata adil dalam pengertian secara umum maupun di dalam

QS. al-Nisâ ayat 3 dan 129 menurut para mufassir dalam berbagai zaman, yang diwakili

oleh al-Tabarî, al-Râzî, dan al-Manâr.

Bab tiga, pada bab ini penulis akan menguraikan beberapa riwayat hidup serta

pemikiran para tokoh semiotika yaitu Charles Sanders Peirce dan juga Nasr Hâmid Abû

Zayd. Selain membahas tentang riwayat hidup para tokoh tersebut, dalam bab ini juga

penulis menguraikan aplikasi semiotika dalam kajian tafsir dan aplikasi semiotika

Charles Sanders Peirce.

Bab empat, penulis akan membahas mengenai pengertian dan makna generik

serta proses semiosis, selain itu pada bab ini penulis akan menguraikan semiotika

penafsiran Nasr Hâmid Abû Zayd tentang keadilan dan dalam bab ini penulis juga akan

menguraikan relevansi semiotika Abû Zayd dan Amina Wadud dalam tafsir di

Indonesia .

Page 41: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

26

Bab lima, adalah penutupan dan kesimpulan. Bab ini menjawab rumusan

masalah penelitian ini dan membarikan rekomendasi serta saran untuk penelitian lebih

lanjut.

Page 42: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

27

BAB II

KEADILAN DALAM AL-QUR’AN: MAKNA TERMA DAN TAFSIR

A. Pengertian Keadilan

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) keadilan diartikan sama

berat; tidak berat sebelah; dan tidak memihak1, artinya tidak melebihi atau mengurangi

dari pada yang sewajarnya, berpihak dan berpegang pada kebenaran.2

Sementara itu Firdaus al-Hisyam dan Rudy Hariyono berpendapat bahwa kata

adil diartikan just, fair, impartial, rightful, lawful, honest (secara pantas, adil, tidak

berat sebelah, berdasarkan keadilan, hukum yang sah, lurus hati).3 Dalam kamus

Cambridge kata fair berarti treating everyone in the same way, so that no one has an

advantage (perbuatan seseorang dengan cara yang sama, sehingga tidak ada seorang

pun mendapatkan keuntungan).4 Maksud dari definisi tersebut adalah bahwa tidak ada

salah satu yang merasa diuntungkan dan yang lain dirugikan, melainkan keduanya

mendapatkan kepuasan dan kerelaan dari sebuah keputusan dan keputusan pun tidak

berat sebelah.

1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar bahasa Indonesia (Jakarta: Balai pustaka,

2015)., h. 4. 2 Peter Salin dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern

English Press, 2002)., h. 12. 3 Firdaus al-Hisyam dan Rudy Hariyono, Kamus Lengkap 3 Bahasa: Arab Indonesia Inggris

(Surabaya: Gitamedia Press, 2006)., h. 523. 4 Cambridge University, Cambridge School Dictionary (New York: Cambridge University

Press, 2008)., h. 273.

Page 43: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

28

Pengertian di atas sejalan dengan pengertian yang telah dirumuskan dalam

hukum Islam bahwa adil adalah “mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari

segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah

dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti “berpihak atau berpegang kepada

kebenaran.”5

Dalam ilmu sosial keadilan didefinisikan dengan adanya keseimbangan dan

pembagian yang proposional atas hak dan kewajiban setiap warga negara yang

mencangkup seluruh aspek kehidupan: ekonomi, politik, pengetahuan, dan

kesempatan. Definisi lain dari keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan

pemusatan salah satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh kelompok atau golongan

tertentu.6

Dalam ilmu tasawuf keadilan didefinisikan dengan seseorang harus

mendapatkan haknya dan memberikan kewajibannya. Dalam hal ini, yaitu

mendamaikan perselisihan antara orang yang menzalimi dengan orang yang terzalimi.7

Karena kewajiban setiap muslim adalah menegakkan amr ma’rûf nahî munkar.

Sehingga ketika ia melihat kemunkaran/kezaliman, ia wajib melerainya.

Berbeda halnya dengan ilmu hadits keadilan diartikan sebagai sifat yang

tertancap dalam jiwa seseorang untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri.

Menjauhi dosa besar seperti syirik, sihir, membunuh, memakan riba, memakan harta

5 Dahlan, et, al., (eds), Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid I., h. 25. 6 Komarudin Hidayat dan Azyumardi Azra, Pendidikan Kewargaanegaraan (Civic Education),

cet. 6 (Jakarta: Kencana, 2008)., h. 187. 7 Muhammad Yûsuf Mûsâ, Falsafah Al-Akhlâqiyah fî Al-Islâm (Mesir: Muassâsah Al-Khanaji,

1963)., h. 162.

Page 44: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

29

anak yatim, melarikan diri sewaktu perang berkecamuk, menuduh zina wanita baik-

baik, menyakiti kedua orang tua dan mengharapkan kehalalan di al-Bait al-Harâm dan

menjauhi dosa kecil seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan,

serta menjauhi perkara-perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri.8

Sedangkan dalam ilmu filsafat menurut Aristoteles seperti yang dikutip dari Ibn

Maskawaih keadilan terbagi menjadi tiga macam:

1. Keadilan yang dilakukan seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam hal ini

seseorang mengerjakan secara terus-menerus perkara yang telah

diperintahkan/diwajibkan Tuhan kepada hamba-Nya.

2. Keadilan yang bersifat komutatif, yaitu keadilan yang mengatur hubungan

antara satu orang dengan yang lainnya dalam menegakkan hak-hak tiap

individu. Seperti dalam menghormati kepala negara/pemimpin, menunaikan

amanat dan menunaikan janji bermu’amalah. Keadilan ini lebih menuntut agar

semua orang menepati apa yang telah dijanjikannya.

3. Keadilan yang ditegakkan setiap orang dalam hal hutang-piutang dan wasiat.

Keadilan yang harus mereka tegakkan adalah dengan membayarkan hutangnya

dan menjalankan wasiatnya.9

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keadilan dapat berupa

suatu tindakan seseorang untuk menunaikan hak dan kewajiban terhadap orang lain,

atau mendamaikan perselisihan secara tidak memihak, menegakkan kebenaran atau

8 Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatîb, Ushûl Al-Hadîts, Penerjemah H.M Nur Ahmad Musyafiq,

(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)., h. 203. 9 Kâmil Muhammad Muhammad ‘Araidah, Ibn Maskawaih Madzâhib Akhlâqiyah (Bairut: Dâr

al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.)., h. 287.

Page 45: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

30

mengajak orang lain pada kebenaran dan menjauhi kejahatan, membayar hutang

piutang, dan juga menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah.

B. Adil dalam al-Quran

1. Secara Umum

Al-Quran adalah firman Allah yang terdiri dari susunan berbagai macam kata.

Banyaknya kata tersebut disesuaikan dengan teks dan konteksnya. Oleh karena itu

cukup banyak pula beberapa kata yang dianggap memiliki arti yang sama. Hal inilah

yang menjadi perdebatan para mufassir, karena ada anggapan bahwa kosakata yang

terdapat di dalam al-Quran memiliki sinonim. Ada pula mufassir yang berpendapat

bahwa tidak ada sinonimitas di dalam al-Quran.

‘Âisyah binti Syahtî menolak adanya sinonimitas kata di dalam al-Quran.

Menurutnya setiap kata memiliki arti dan makna tersendiri. Sehingga antara satu kata

dengan kata yang lainnya tidak memiliki kesamaan makna. Di dalam kitab Al-Burhân

fî ‘Ulûm Al-Qur’ân dijelaskan bahwa ada beberapa kata yang dianggap mutâradif

(sinonim).10 Seperti kata adil. Di dalam al-Quran banyak kata yang semakna dengannya

namun berbeda lafaznya yaitu kata ‘adl dan qist.

10 Adapun beberapa kata yang dianggap memiliki sinonim kata seperti kata al-khauf, di dalam

al-Quran kata ini disebutkan sebanyak 125 kali dengan berbagai derivasinya, kata al-khauf berarti takut

dan lafaz lain yang satu arti dengannya kurang lebih ada 8 kata, yaitu kata al-khasyyah, al-rubh, al-

rahbah, wajala, asy-syafaqah, hadzara, al-rau’u. Kata-kata tersebut memiliki makna yang sama dengan

kata al-khauf. Lihat Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî Ulîmil Qur’ân (Mansyurat al-‘Asr al-Hadîts,

1973)., h. 204.

Page 46: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

31

Kata adil dalam bahasa Indonesia awalnya diserap dari kata ‘adl dalam bahasa

Arab yang terambil dari kata ‘adala yang terdiri dari huruf ‘ain, dal dan lam. Rangkaian

huruf ini kemudian menghasilkan dua makna yang bertolak belakang yaitu “lurus dan

sama” serta “bengkok dan berbeda”.11 Dari makna pertama kata ‘adl bisa diartikan

sebagai menetapkan suatu hukum dengan benar. Jadi seorang yang ‘adl adalah berjalan

lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, ‘persamaan’ itulah yang

merupakan makna asal kata ‘adl.12 Kedua, ‘adl dalam arti kata ‘seimbang’. Bermakna

memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan kelayakan sehingga terdapat

kesesuain kedudukan dan fungsinya dibanding dengan individu lain.13 Sedangkan

dalam bahasa Inggris kata adil diterjemahkan sebagai just.14 Arti kata Inggris itu kira-

kira sama dengan yang dimaksud oleh kata adil dalam bahasa Indonesia.15

Kata al-‘adl bermakna al-istiwâ’ ( suatu keadaan yang sama/lurus.”16“ (اإلستواء

Makna ini berarti menetapkan hukum dengan benar. Jadi orang yang adil adalah

seseorang yang berjalan dan sikapnya selalu menggunakan ukuran sama. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa kata al-‘adl memiliki makna “persamaan”, dan inilah makna

asal kata al-‘adl yang menjadikan pelakunya tidak berpihak kepada salah satu.17

Sehingga ia hanya menegakkan keadilan terhadap orang yang bersalah sesuai dengan

11 Ibnu Fâris, Mu’jam Maqâyîs al-Lugah (t.t: t.p, t.th. Vol III)., h. 745. 12 Enslikopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007)., h. 5. 13 Hafidz Taqiyuddin, Argumen Keadilan dalam Hukum Waris Islam: Studi Konsep ‘Awl dan

Radd (Tangerang Selatan: Cinta Buku Media, 2014)., h.18. 14 John M.Echols dan Hassan Shadly, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka,

1996)., h. 338. 15 Dawam Rahardjo, Ensiklopedoa al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konspp-konsep

Kunci, (Jakarta, 2002)., h. 369. 16 Fâris, Mu’jam Maqâyîs…., h. 246 17 Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam…., h. 25

Page 47: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

32

hukum yang telah ditetapkan di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Menurut pendapat al-

Râghib al-Ashfahânî dalam kitabnya Al-Mufradât fî Gharîb Al-Qur’ân mengatakan

bahwa pengertian term ‘adl adalah

العدالةوالمعتدلة:لفظيقتضيمعنىالمساواة18

(al-Adalâh dan al-Mu’tadalah merupakan lafadz yang menunjukkan sama)

Kata ‘al-adl disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 28 kali pengulangan dengan

berbagai derivasinya, dan dengan derivasi makna terjemahan adil dan seimbang.

Sedangkan kata al-qist (القسط) yang terdiri dari tiga huruf yaitu qaf, sin, dan ta’ adalah

kosakata bahasa Arab yang berbentuk masdar yang memiliki dua makna berbeda.19

Berdasarkan derivasinya, kata al-qist memiliki dua makna yang bertentangan yaitu جار

20 Menurut al-Sya’ rawi kata al-qisth yang bermakna adil.(adil dan menyimpang) وعدل

berasal dari kata قسطا -ي قسط -أقسط sedangkan yang bermakna menyimpang berasal dari

kata 21.قسط-يقس ط -قسطا Menurut pendapat al-Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya Al-

Mufradât fi Gharîb Al-Qur’an mengatakan bahwa keadilan dengan menggunakan term

qisth diartikan: النصببالعدل (bagian atau yang dibagikan secara adil.22

Dalam kamus Al-Munawwir kata al-qist memilki banyak arti. Secara etimologi

kata al-qisth bermakna ( صيب al-nasîb artinya bagian dan ada beberapa makna yang (الن

18 Abû al-Qâsim al-Husain bin Muhammad (ar-Râgib al- Ashfahânî), Al-Mufradât fî Gharîb

Al-Qur’ân (T.tp, Maktabâh Nazar Mushtâfa al-Bâz, t.t)., h. 422. 19 Fâris, Mu’jam Maqayis…., h. 86. 20 Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî al-Muqrî al-Fayyûmî, Al-Misbâh Al-Munîr (Beirut: Dâr al-

Kutub al-Ilmiyah, 1994)., h. 503 21 Muhammad Mutawalli Al-Sya’rawi, Tafsîr A-Sya’rawi, jilid 4 (T.tp.: Dâr at-Tafiqîyyah lî at-

Turats, t.t.)., h. 30 22 Abu al-Qâsim, Al-mufradât fî Gharîb Al-Qur’an, h. 521.

Page 48: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

33

semakna dengannya. Seperti al-qist dapat bermakna (المقدار) al-miqdâr artinya kadar,

jumlah, ( ) ,al-mîzân artinya neraca, timbangan (الميزان زق ,al-rizq artinya rezeki (الر

( جم al-najm artinya angsuran, cicilan.23 Elias A. Elias dan Edwar E. Elias (الن

mengartikan al-qisth adalah fair and square24 (dengan jujur).25

Di dalam kitab Tâj Al-Arûs karya al-Zabîdî diterangkan bahwa kata al-qist

digunakan untuk menerangkan keadilan yang terkait tentang pembagian

saja واأقسط وا قسم واعدل وا،وإذا وإذاحكم (bila memutuskan perkara mereka memutuskannya

dengan adil, apabila mereka membaginya dengan merata) artinya apabila mereka

membagi (sesuatu) mereka membaginya dengan adil. Sedangkan kata al-‘adl

digunakan untuk menegakkan keadilan secara lurus, sesuai dengan hukum syar’i,

seperti hukum qisâs, jinayah, dan sebagainya. Adanya persamaan dalam memberikan

balasan/ganjaran. Jika hal itu baik, maka katakan baik dan jika hal itu buruk, maka

katakan buruk.

Dalam kamus al-Furûq al-Lughawîyah perbedaan antara lafadz القسط dan العدل

adalah : Kalau lafadz القسط mengandung pengertian keadilan yang jelas (tampak) dan

zahir (terlihat oleh panca indera). Sebagian dari maknanya adalah terlihat dari

ungkapan, takaran dan timbangan itu dinamakan juga) سمي المكيال قسطا والميزان قسطا

qisthan/keadilan), karena hal tersebut menggambarkan keadilan dalam timbangan yang

23 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Qamus ‘Arabi-Induniai (Yogyakarta: Pustaka

Progresif, 1984)., h. 1202. 24 Elias A. Elias dan Edwar E. Elias, Qamus Al-Ilyâs Al-Ashrî Injilizi- Arabî (Bairut: Dâr al-

Jil, 1934)., h. 265. 25 Peter Salim, Adavced English-Indonesia Dictionary (Jakarta: Modern English Press, 1991).,

h. 822.

Page 49: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

34

bisa dilihat secara zahir/jelas (dengan menggunakan mata). Sedangkan lafadz العدل

adalah keadilan yang bersifat abstrak (tersembunyi dan tidak terlihat). Karena itu, kita

katakan “القسط” adalah bagian yang bentuk/wujudnya jelas dan digunakan untuk

membagi sesuatu yang kongkrit.26

Dalam kamus Lisân al-‘Arab perbedaan keduanya adalah kalau القسط bermakna

timbangan/takaran, yang terambilkan dari istilah القسطdan العدل (timbangan/takaran

yang seimbang). Allah menghendaki untuk menurunkan atau mengangkat timbangan

amal para hamba yang terangkat kepada-Nya. Ini hanya sebagai perumpamaan dalam

penggunaan lafadz القسط. Ada juga yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

itu adalah bahagian dari rizki yang merupakan bagian dari tiap-tiap makhluk, baik القسط

sedikitnya ataupun banyaknya. Seperti itu juga, lafadz tersebut juga bisa dimaknakan

sebagai bagian/nasib seperti dalam ungkapan “masing-masing orang mengambil

qisthahu” artinya mengambil bagiannya. Sehingga dengan demikian kata al-qisth itu

digunakan untuk segala sesuatu yang bisa ditakar/ditimbang, baik benda cair seperti air

ataupun tidak. Sementara lafadz العدل bermakna adil dalam artian abstrak (digunakan

untuk mengukur sesuatu yang tidak bisa diperkirakan secara jelas dan kasat mata).27

Pengertian ini mirip dengan apa yang terdapat dalam kitab al-Furûq al-Lughawîyah.

Sedangkan dalam kitab al-Mu’jam al-Wasît lafadz القسط bermakna

seimbang/adil. Dia berbentuk masdar (kata dasar) yang mensifati kata sebelumnya baik

26 Abî Hilâl al-Hasân ibn Abdillâh ibn Sahl al-‘Askarî, al-Furûq al-Lughawîyah (Beirut: Dâr

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010)., h. 263. 27 Ibn Manzûr , Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr Shadir, 1414)., h. 377.

Page 50: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

35

yang berbentuk tunggal, tatsniah (dua), dan jama’ (plural). Misalnya dikatakan ميزان

dan ,(dua timbangan yang seimbang) ميزانان القسط ,(satu timbangan yang seimbang) قسط

Sebagian ungkapan yang lain .(beberapa timbangan yang seimbang) موازين قسط

tersebut dalam al-Quran ونضع الموازين القسط ليوم القيامة (dan Kami letakkan timbangan-

timbangan yang seimbang pada hari kiamat). Alhasil istilah “seimbang” dalam

persoalan timbangan, baik terhadap benda cair ataupun tidak diistilahkan dengan lafadz

bermakna keseimbangan/kesetaraan. Digunakan العدل Sementara itu lafadz 28.القسط

untuk menyebut kata-kata yang tidak bisa ditimbang secara zahir seperti seseorang itu

adil dalam berjalan, dalam menimbang, dalam beribadah, dan lain sebagainya.29

Jadi, perbedaan makna kata القسط adalah keadilan yang dapat dilakuan dalam

hal materi seperti pembagian waris, wakku, dan lain-lain (sesuatu yang terukur dan

terlihat) sementara kata العدل adalah keadilan yang bersifat abstrak.

2. Adil dalam QS. al-Nisâ’ ayat 3 dan 129

Kata ‘adl di dalam al-Quran memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu

pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan).

Kata ‘adl di dalam berbagai bentuknya terulang 28 kali di dalam al-Quran, menurut

penelitian M. Quraish Shihab bahwa paling tidak ada empat makna keadilan yaitu ‘adl

di dalam arti sama, ‘adl di dalam arti “seimbang”, ‘adl di dalam arti perhatian terhadap

hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya, ‘adl di dalam

28 Syauqi Daîf, al-Mu’jam al-Wasît, (Mesir: Dâr al-Da’wah, t.t), vol. 2., h. 734. 29 Syauqi Daîf, al-Mu’jam al-Wasît…., h. 588.

Page 51: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

36

arti “yang dinisbahkan kepada Allah” . ‘adl di dalam arti ‘sama’. Pengertian ini yang

paling banyak terdapat di dalam al-Quran, antara lain pada QS. Al-Nisâ’ (4): 3, 58, dan

129.30

ن ٱلنساء مثنى مى فٱنكحوا ما طاب لكم م ع فإن وإن خفتم ألا تقسطوا في ٱليت ث ورب وثل ألا تعولوا لك أدنى نكم ذ حدة أو ما ملكت أيم ٣خفتم ألا تعدلوا فو

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah

wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika

kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau

budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada

tidak berbuat aniaya.(Q.S. Al-Nisâ: 3)

Ayat ini menerangkan keadilan seorang wali anak yatim terhadap anak yatim

yang berada di bawah tanggungannya. Menurut Ibn ‘Âsyûr keadilan yang dimaksud

adalah keadilan yang dituntut kepada seorang wali atas anak yatim yang berada dalam

tanggungannya dalam mengelolah hartanya31 dan tidak dianjurkan untuk menikahinya

dengan alasan banyak harta dan kecantikannya. Wali tetap harus menjaga harta anak

yatim tanggungannya walaupun sedikit hartanya dan kurang cantik.32 Jika seorang wali

tidak mampu berbuat adil terhadap anak yatim tangguhannya dalam menjaga hartanya,

maka hendaklah ia menikahi wanita lain yang baik menurutnya. Hal ini juga berkaitan

30 Enslikopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata…, h. 6. 31 Dalam kitab Al-Shahih Al-Bukhari diterangkan asbâb an-nuzûl ayat ini berdasarkan hadits

yang diriwayatkan oleh ‘Âisyah. ‘Urwah bertanya kepada ‘Âisyah tentang ayat ini, kemudian ia

menjawabnya: “Wahai anak saudara perempuanku, ini adalah anak yatim perempuan yang berada

dibawah tanggungan walinya, dan ia hendak menyatukan haratnya dengan harta anak yatim itu serta ia

kagum akan kecantikan sang anak. Lalu ia berkeinginan untuk menikahinya dengan tidak berlaku adil

yaitu dengan tidak memberinya mahar hingga Ia memberinya seperti ia memberi suatu kepada yang

lainya. Hal inilah yang dilarang untuk menikahi seorang anak yatim perempuan kecuali ia dapat berlaku

adil dengan memberikan mahar kepadanya. Oleh karena itu mereka memerintahkan untuk menikahi

wanita lain yang baik bagi mereka selain dari anak yatim perempuan. Lihat Ibn ‘Âsyûr, Tafsir At-Tahrîr

wa At-Tanwîr, h.222. 32 Ibn ‘Âsyûr, Tafsir At-Tahrîr wa At-Tanwîr, h.222.

Page 52: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

37

tentang kehawatiran seorang wali. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat ar-Râzî,

33 az-Zamakhsyarî, 34 al-Âlûsî, 35 dan Thabâthabâi.36

Thabâthabâi’ menjelaskan bahwa ketidakadilan sang wali adalah setelah

mengambil harta anak yatim tersebut. Sehingga ia jatuh miskin dan tidak memiliki

harta untuk menafkahi dirinya sendiri dan tidak ada yang menyukainya. Pada saat

itulah wali datang kepadanya dan menikahinya.37 Hal tersebut mengindikasikan bahwa

sang wali telah memakan dengan zalim harta anak yatim dan mencampur hartanya

dengan harta sang anak. Allah telah berfirman dalam QS. an-Nisâ/4:2 dan ayat 10

bahwa tidak boleh bagi seorang wali anak yatim memakan dan mencampur hartanya

dengan harta anak yatim.

مى وءاتوا لوا ٱليت لهم ول تتبدا يب ب ٱلخبيث أمو ه ٱلطا لكم إنا أمو لهم إلى كان ۥول تأكلوا أمو ٢حوبا كبيرا

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka,

jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan

harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan

memakan) itu, adalah dosa yang besar.38

ل ٱلاذين إنا مى يأكلون أمو ما يأكلون في بطونهم نارا وسيصلون سعيرا ٱليت ١٠ظلما إنا

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,

sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk

ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).39

33 Fakhruddîn, Tafsîr Al-Fakhr Ar-Râzî: At-Tafsîr Al-Kabir wa Mafâtih Al-Ghaib, h.177 34 Az-Zamakhsyarî, Tafsîr Al-Kasyasyâf ‘an Haqâiq Ghawâmidh At-Ta’wîl wa ‘Uyûn Al-

Aqâwîl fî Wujûh At-Ta’wîl, h. 457. 35 Al-Âlûsî, Rûh Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’an, h.166. 36 At-Thabâthabâî, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’an, h. 166. 37 At-Thabâthabâî, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’an, h. 166.

38 QS. An-Nisâ/4:2 39 QS. An-Nisâ/4:10

Page 53: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

38

Pada ayat sebelumnya QS. An-Nisâ/4:3 diterangkan dua perkara keadilan,

pertama, keadilan dengan menggunakan term al-‘adl. Kata ‘adl. Kata ‘adl pada ayat

ini menerangakan keadilan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istri. Hal ini

sering terjadi pada bangsa Arab bahwa seorang laki-laki dari bangsa Arab telah

menikahi 10 atau lebih orang perempuan. Namun ia tidak mampu berbuat adil terhadap

para istrinya. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada para suami untuk menikahi

seorang perempuan saja.

Menurut Ibn ‘Âsyûr jika seorang suami khawatir tidak dapat berlaku adil maka

hendaknya ia menikahi satu orang perempuan saja atau seorang budak. Kekhawatiran

yang dimaksud adalah tidak dapat berbuat adil terhadap beberapa istri yang telah

dinikahinya, yaitu dengan adanya persamaan perlakuan suami terhadap mereka. Seperti

dalam hal memberi nafkah, pakaian, kegembiraan, dan hubungan seksualitas. Allah

telah mensyariatkan bahwa boleh menikahi perempuan lebih dari satu hanya bagi

orang-orang yang mampu berbuat adil. Hal ini bertujuan untuk kemaslahatan bersama,

diantaranya untuk memperbanyak populasi umat dengan bertambahnya jumlah

kelahiran, menjamin kehidupan para wanita pada tiap-tiap generasi karena jumlh

kelahiran wanita lebih banyak dari pada laki-laki, masa hidup wanita lebih lama dari

pada laki-laki menurut kebiasaan, dan mengurangi perzinahan.40

Menurut al-Âlûsî kehawatiran akan berbuat tidak adil terhadap beberapa istri

sama seperti kekhawatiran akan berbuat tidak adil terhadap hak-hak anak yatim.41Al-

40 Ibn ‘Âsyûr, Tafsir At-Tahrîr wa At-Tanwîr, h.226 41 Al-Âlûsî, Rûh Al-Ma’ânî fî Tafsîr Al-Qur’an Al-‘Azhîm wa As-Sab’ Al-Matsânî, h.406

Page 54: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

39

Razî berpendapat jika kamu takut akan tidak berbuat adil dalam menjaga hak-hak anak

yatim maka jadilah kamu orang-orang yang takut untuk berbuat zina dan nikahilah

wanita-wanita yang baik menurutmu, tetapi bukan wanita-wanita yang muhrim (yang

diharamkan untuk dinikahi).42

Sementara itu, dalam surah al-Nisâ’ ayat 129 disebutkan:

تعدلوا بين ٱلنساء ولو حرصتم فل تميلوا كلا ٱلميل فتذروها كٱلمعلاقة ولن تستطيعوا أن

حيما كان غفورا را قوا فإنا ٱللا ١٢٩وإن تصلحوا وتتا

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),

walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu

terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain

terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri

(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.” (Al-Nisâ’: 129)

Kata ‘adl dalam pada ayat ini diartikan ‘sama’. Menurut al-Baidâwî43 kata ‘adl

pada ayat ini adalah tidak condong sedikitpn kepada salah satu istri sebagaimana yang

dilakukan oleh Rasulullah dengan membagikan bagiannya/haknya terhadap para

istrinya “Ya Allah, inilah pembagianku yang aku mampu, maka janganlah engkau cela

aku pada sesuatu yang Engkau mampu dan tidak ku mampu.” (Abû Dâud berkata; yaitu

hati).

Hal ini mengindikasikan bahwa rasul membagi hak dan kewajiban para istri

dengan adil dalam hal kasih sayang. Begitupun yang maksud ayat ini bahwa jika

seorang suami memiliki dua istri maka hendaklah dia berlaku adil dengan

42 Fakhruddîn, Tafsîr Al-Fakhr Ar-Râzi: Al-Tafsîr Al-KabIr wa Mafâtîh Al-Ghaib, h.178. 43 Al-Baidâwî, Anwar At-Tanzil wa Isrâr At-Ta’wil (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alâmîah, t.t)., h.

309.

Page 55: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

40

semampunya, tidak condong berbuat baik kepada salah satunya dan membenci lainnya.

Rasulullah besabda “Barangsiapa yang memiliki dua orang istri kemudian ia cenderung

kepada salah seorang diantara keduanya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam

keadaan sebelah badannya miring.” Dapat disimpulkan bahwa makna kata ‘adl

berkaitan dengan sesuatu yang bersifat immateri yaitu bersifat abstrak dan keadilan

dengan menggunakan term al- ‘adl sangat sulit untuk dilakukan.

Ayat ini44 juga menegaskan adanya hubungan berupa penjelasan tentang makna

keadilan yang diungkap dalam ayat ketiga surah al-Nisâ’. Hubungan kesesuain antara

ayat ke-3 dan ke-129 dalam surah al-Nisâ’ ini,45 di mana keadilan yang dipersyaratkan

bagi perilaku poligami dijabarkan sebagai keadilan yang tidak mungkin dapat

diwujudkan, merupakan bukti bahwa kedua ayat tersebut sangat berhubungan yang

diposisikan sebagai pernyataan dan penjelasannya. Dengan demikian, kemandirian

ayat poligami menjadi sesuatu yang tidak terbantahkan sebagai satu tema hukum dalam

ajaran Islam.46

44 QS. Al-Nisâ’ ayat 129 45 Keterkaitan kedua ayat diatas, dalam pembahasan ini tidak dimaksudkan untuk mengulas

tentang makna keadilan itu sendiri, tetapi hanya sekedar membuktikan adanya keterkaitan keduanya. 46 Makmun, dkk., Poligami…., h. 29-30.

Page 56: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

41

B. Penafsiran Keadilan dalam QS. Al-Nisâ’ ayat 3 dan 129

1. Teks, Terjemahan dan Asbâb al-Nuzûl QS. Al-Nisâ’ (4): 3 dan 129

ع فإن وإن خفتم ث ورب ن ٱلنساء مثنى وثل مى فٱنكحوا ما طاب لكم م ألا تقسطوا في ٱليت

ألا تعولوا لك أدنى نكم ذ حدة أو ما ملكت أيم ٣خفتم ألا تعدلوا فو

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah

wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika

kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau

budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada

tidak berbuat aniaya”. (Q.S. Al-Nisâ’: 3)

Ayat ini dilatarbelakangi oleh beberapa riwayat yang mempunyai redaksi yang

berbeda-beda sebagai asbâb al-nuzûlnya. Diantaranya :47

1. Riwayat dari Âisyah :

وإن:"عائشة عن عروة، عن الزهري، عن معمر، عن املبارك، ابن حدثنا قال، محيد ابن حدثنا هي أخيت، ابن يا: فقالت ،"النساء من لكم طاب ما فانكحوا اليتامى يف تقسطوا أال خفتم صداقها، سنة من بأدىن ينكحها أن ويريد ومجاهلا، ماهلا يف فريغب وليها، حجر يف تكون اليتيمة من سواهن ما ينكحوا أن وأمروا الصداق، إكمال يف هلن يقسطوا أن إال ينكحوهن أن فنهوا

48.النساء

Artinya : Telah bercerita kepada kami Ibn Humaid, ia berkata : Telah bercerita

kepada kami Ibn al-Mubârak, dari Ma’mar, dari al-Zuhrî, dari ‘Urwah, dari

‘Âisyah terkait ayat ke-3 Surah al-Nisâ’ lalu berkata : Ketahuilah bahwa dulu

ada seorang anak dari saudara perempuanku, dia seorang perempuan yatim

yang berada dalam lindungan walinya, namun sang wali berkeinginan untuk

menguasai harta dan kecantikannya, sehingga ia berniat untuk menikahinya

dengan mahar yang sangat rendah. Namun mereka (para wali itu) dilarang

untuk menikahi mereka kecuali jika mereka bisa berlaku adil terhadap

47 A. Mujab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman al-Qur’an surat al-Baqarah- al-Nâs

(Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002)., h. 205-206. 48 Hadis ini diriwayatkan oleh Imâm al-Thabarî dalam kitabnya Tafsîr al-Thabarî dengan tujuh

sanad, baik yang lengkap ataupun yang dipotong. Hadis tersebut berstatus sahih. Demikian juga, hadis

tersebut diriwayatkan oleh Imâm al-Bukhârî dalam Shahîh al-Bukhârî sebanyak 12 kali. Begitu juga

Imâm al-Baihaqî dalam Sunan Al-Kubra-nya dengan sanad yang bermacam-macam., h. 358.

Page 57: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

42

perempuan-perempuan yatim tersebut dengan menyempurnakan mahar

mereka. Jika mereka tidak mampu, maka mereka diperintahkan untuk menikahi

perempuan lain selain perempuan-perempuan yatim tersebut.

2. Hadis Riwayat ‘Ikrimah :

مسعت قال، مساك عن شعبة، حدثنا قال، جعفر بن حممد حدثنا قال، املثىن بن حممد حدثنا قريش من الرجل كان: قال ،"اليتامى يف تقسطوا أال خفتم وإن:"اآلية هذه يف يقول عكرمة فنزلت: قال األيتام، مال على فيميل ماله، فيذهب األيتام، عنده ويكون النسوة، عنده يكون 49".النساء من لكم طاب ما فانكحوا اليتامى يف تقسطوا أال خفتم وإن:"اآلية هذه

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn al-Mutsannâ, ia

berkata : telah bercerita kepada kami Muhammad ibn Ja’far, ia berkata : telah

bercerita kepada kami Syu’bah, dari Simâk, ia berkata : saya mendengar

‘Ikrimah berkata terkait ayat surah al-Nisâ’ ayat ke-3, ada seorang laki-laki dari

golongan Suku Quraisy mempunyai beberapa orang istri dan pada saat yang

sama ia juga mempunyai tanggungan beberapa orang anak yatim. Lalu harta

pribadinya habis, sehingga dia melirik harta anak-anak yatim yang ia jaga, maka

turunlah ayat tersebut.

3. Hadis riwayat Sa’îd ibn Jubair :

كان قال، جبري بن سعيد عن أيوب، عن علية، ابن حدثنا قال، إبراهيم بن يعقوب حدثين وإن:"فنزلت اليتامى، فذكروا: قال عنه، ينهوا أو بشيء يؤمروا أن إال جاهليتهم، على الناس خفتم فإن ورباع وثالث مثىن النساء من لكم طاب ما فانكحوا اليتامى يف تقسطوا أال خفتم

فكذلك اليتامى، يف تقسطوا ال أن خفتم فكما: قال ،"أميانكم ملكت ما أو فواحدة تعدلوا أال 50.النساء يف تقسطوا ال أن فخافوا

Artinya : Telah menceritakan kepada saya Ya’qûb ibn Ibrâhîm, ia berkata : telah

bercerita kepada kami Ibn ‘Ulayyah, dari Ayyûb, dari Saîd ibn Jubair, ia berkata

: adalah manusia pada masa jahiliyyah, mereka diperintah untuk sesuatu dan

dilarang juga untuk sesuatu tersebut, lalu ia melanjutkan, maka mereka

menyebutkan bahwa hal itu adalah perkara tentang anak-anak yatim, maka

turunlah ayat surah al-Nisâ’ ayat ke-3. Sedangkan terkait potongan ayat, “maka

nikahilah perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat.” hingga

akhir, ia berkata : maka sebagaimana kamu khawatir tidak bisa berlaku adil

49 Hadis ini dirawayatkan oleh Imam al-Tabarî dalam kitabnya Tafsîr al-Tabarî., h. 361. 50 Hadis ini dirawayatkan oleh Imam al-Tabarî dalam kitabnya Tafsîr al-Tabarî., h. 363.

Page 58: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

43

terhadap anak-anak yatim, maka seperti demikian maka takutlah kalau kamu

tidak bisa berlaku adil terhadap istri-istri kamu.

لا ٱلميل فتذروها كٱلمعلاقة ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين ٱلنساء ولو حرصتم فل تميلوا ك

حيما كان غفورا را قوا فإنا ٱللا ١٢٩وإن تصلحوا وتتا

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),

walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu

terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain

terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri

(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.” (Al-Nisâ’: 129)

Ayat ini mempunyai asbâb al-Nuzûl sebagai berikut :51

قال الوهاب عبد حدثنا قال، بشار ابن وحدثنا علية ابن حدثنا قال، إبراهيم بن يعقوب حدثين نسائه بني يقسم كان وسلم عليه اهلل صلى اهلل رسول أن: قالبة أيب عن أيوب، حدثنا مجيعا،

لك فيما ت لمين فال أملك، فيما ق سمي هذا اللهم: يقول مث فيعدل، 52.أملك وال ت Artinya : telah menceritakan kepadaku Ya’qûb ibn Ibrâhîm, ia berkata : telah

menceritakan kepada kami Ibn ‘Ulayyah, dan telah bercerita kepada kami ibn

Basysyâr, ia berkata : telah bercerita kepada kami ‘Abd al-Wahhâb, keduanya

berkata : telah bercerita kepada kami Ayyûb, dari Abî Qilâbah bahwa

Rasûlullâh SAW telah berusaha membagi waktunya untuk para istrinya dengan

adil, kemudian ia berkata : Ya Allah ini adalah usahaku dalam membagi sesuatu

yang aku miliki (waktu dan nafkah), maka janganlah engkau menghukumku

dalam hal yang Engkau miliki dan tidak aku miliki (kecenderungan hati dan

cinta).

Selanjutnya, penulis akan mendeskripsikan penafsiran ulama yang berbeda

zaman mengenai keadilan dalam QS. An-Nisa ayat 3 dan 129. Kitab tafsir yang diteliti

untuk mendeskripsikan penafsiran tersebut ialah Jami’ al-Bayān fī Tafsīr Al-Qur`an

51 Mahali, Asbabun Nuzul…, h. 280-281.

52 Hadis ini diriwayatkan oleh Imâm al-Tabarî dalam Tafsîr al-Tabarî, Imâm Abû Dâud dalam

Sunan Abî Dâud, Imâm al-Nasâ’i dalam kitab Sunan al-Nasâ’i, Imâm Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu

Mâjah, Imâm al-Tirmidzî dalam Sunan al-Tirmidzî, Imâm al-Baihaqî dalam Sunan al-Kubra. Imâm Ibn

Hajar dalam Fath al-Barî berkata : Hadis ini diriwayatkan oleh empat orang imam dan dishahihkan oleh

Ibnu Hibbân dan Imâm Hakîm.

Page 59: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

44

karya Ibnu Jarir al-Tabarī (224-310 H./838-922 M.), Tafsīr al-Kabīr karya Fakhruddin

al-Rāzī (lahir 545 H./1150 M.), dan Tafsīr al-Manār karya Muhammad Abduh dan

Rasyīd Ridā. Alasan mengapa tiga kitab tafsir tersebut yang dipakai ialah: Pertama,

mayoritas ulama menilai kitab tafsir al-Tabarī sebagai kitab tafsir yang mengumpulkan

hadis sebagai sumber tafsir atau disebut juga dengan tafsir bi al-ma’tsur, meskipun

kemudian pengarangnya juga melakukan ijtihad dan memilih pendapat yang dinilainya

lebih kuat. Kitab tafsir ini dalam perkembangannya dijadikan sebagai sumber rujukan

baik oleh mufassir yang menggunakan riwayat maupun yang menggunakan akal

(ra’yu). Selain itu, para sarjana Barat juga menggunakannya sebagai sumber informasi

yang utama. 53

Kedua, dalam Tafsīr al-Kabīr, al-Rāzī dalam menafsirkan teks al-Qur`an banyak

menggunakan argumentasi teologi dan filsafat sehingga tidak sedikit ulama yang

mengategorikan tafsir ini sebagai kitab tafsir yang bernuansa falsafī. Di samping itu,

al-Rāzī juga sangat menonjol dalam melakukan munasabah (mencari korelasi makna),

baik antara satu ayat dengan ayat lain maupun antara surat dengan surat lain, dalam

membahas suatu masalah. Hal ini menjadikan pembahasannya terhadap suatu ayat

mengenai masalah tertentu terlihat komprehensif, komulatif, dan tuntas. Dengan

demikian secara general karakteristik kitab tafsir ini adalah keluasan dan kedalaman

53 Kitab ini banyak digunakan untuk mengetahui jenis-jenis qira’ah dan memahami

perbandingan riwayat sabab al-nuzȗl. Sebagai kitab tafsir klasik, maka kitab ini juga dipakai untuk

memahami makna kosakata (mufradāt) ayat-ayat al-Qur’an, seperti yang umu dipahami di kalangan ahli

linguistic, bahwa kosakata cenderung mengalami pengembangan makna. Jika terdapat perbedaan di

kalangan ulama tafsir tentang makna sebuah kosakata, maka penulis merujuk pada tafsir ini, karena tafsir

ini lebih dekat masanya kepada Rasulullah. Lihat Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan; Bias

Laki-laki dalam Penafsiran (Yogyakarta; LKiS, 2003), h. 13

Page 60: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

45

pembahasan, terbuka dalam mengemukakan pendapat, mendalam adu argumentasinya,

menggunakan berbagai variasi metode penafsiran, banyak mengungkapkan perbedaan

qira’at, banyak memaparkan riwayat-riwayat, dan berkecenderungan terhadap aliran

ortodoks Sunni, terutama aliran Asy’ariyah yang berusaha membela dan

mempertahankan mazhab Syafi’i. 54

Ketiga, kitab Tafsīr al-Manār ditulis pada saat perkembangan pemikiran Islam

memasuki era modern, yaitu era umat Islam tergugah dan bangkit untuk melakukan

reformasi, modernisasi, dan purifikasi ajaran Islam, setelah sekian lama mengalami ke-

jumud-an. Selain itu tafsir ini memperkenalkan dirinya sebagai sebagai salah satu kitab

tafsir yang menghimpun riwayat-riwayat shahih dan pandangan akal yang tegas

menjelaskan hikmah-hikmah syariat dan sunnatullah terhadap manusia, dan

menjelaskan fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk yang final untuk seluruh manusia, dan

bisa operasional dalam berbagai ruang dan waktu. Tafsir ini merupakan salah satu tafsir

yang berorientasi pada sastra-budaya dan kemasyarakatan (tafsīr al-adabī wa al-

ijtima’ī); suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat al-Qur’an pada

segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya

dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an.55

54 Tafsir ini juga biasa disebut Mafātih al-Ghaib. Tafsir ini digunakan sebagai rujukan dalam

melacak berbagai pendapat para ulama tentang suatu masalah, karena salah satu cirri kitab tafsir ini

adalah perbandingan. Kekhususan lainnya ialah di dalam mengemukakan pendapat para ulama, al-Razī

berupaya memelihara jarak dengan pendapat ulama yang dikemukakannya sehingga tidak tampak

keberpihakannya pada salah satu pendapat. Kalaupun ia mendukung salah satu pendapat ia memberikan

argumentasi yang kuat atau alasan dukungannya. Lihat Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan,

h 13. 55 Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, h. 14

Page 61: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

46

2. Tafsîr Al-Tabarî

a. Al-Nisâ’ : 3

Dari semua riwayat yang dipaparkan oleh al-Tabarî dalam kitab tafsirnya, Abû

Ja’far al-Tabarî berpendapat bahwa pendapat yang yang paling benar adalah pendapat

yang menyatakan bahwa jika seorang wali khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap

anak-anak yatim, maka demikian pulalah hendaknya mereka khawatir terhadap istri-

istrinya. Sehingga janganlah mereka (para wali) menikahi anak-anak yatim hingga

mereka yakin bahwa mereka tidak akan berbuat zalim terhadap anak-anak yatim

tersebut dari satu hingga empat orang sekaligus. Namun jika para wali tersebut masih

khawatir dengan satu orang misalnya, maka janganlah nikahi ia, tetapi cukuplah bagi

mereka hamba sahaya yang mereka miliki. Sesungguhnya hal itu lebih aman dan

menentramkan bagi mereka. Adapun alasan al-Tabarî mengatakan bahwa pendapat ini

benar karena Allah mengawali ayat sebelumnya dengan larangan memakan harta anak-

anak yatim tanpa alasan yang benar serta menyampurkannya dengan harta lain selain

harta mereka. Lalu Allah berfirman, “Maka berikanlah terhadap anak-anak yatim

tersebut harta mereka dan janganlah kalian menyampurkan harta yang buruk dengan

yang baik dan juga jangan memakan harta mereka ke dalam harta kalian,

sesungguhnya hal tersebut termasuk dosa yang sangat besar”.56

Kemudian Allah mengingatkan mereka bahwa jika mereka bertakwa kepada

Allah dalam hal ini, maka jauhilah dosa tersebut. Sehingga hal yang wajib bagi mereka

56 Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Kutub al-

Ilmiyyah, 1987). Juz VII., h. 358.

Page 62: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

47

sebenarnya adalah bertakwa kepada Allah dan berhati-hati dalam urusan perempuan

sebagaimana mereka berhati-hati dalam urusan anak-anak yatim. Selain itu Allah juga

mengingatkan mereka bagaimana cara menyelamatkan diri dari sifat aniaya terhadap

perempuan sebagaimana mereka juga ingin selamat dalam sifat zalim terhadap harta

anak-anak yatim.

al-Tabarî berkata:“menikahlah kalian (laki-laki) jika kalian sudah merasa aman

dari sifat aniaya terhadap perempuan, (jika tidak) maka Saya tidak akan

membolehkan kalian untuk menikahi mereka. Sementara itu Saya halalkan bagi

kalian (yang sudah merasa yakin untuk tidak berlaku zalim terhadap istrinya)

untuk menikahi dua, tiga, hingga empat orang perempuan sekaligus. Namun

jika perasaan untuk tidak bisa berlaku adil itu masih ada, maka cukup dengan

satu orang istri saja sesuai dengan kesanggupan. Dan jika dengan satu orang

juga masih belum yakin, maka janganlah menikahi mereka, akan tetapi

cukuplah bagi kalian hamba sahaya yang kalian miliki, karena tanggungjawab

terhadap mereka tidak seberat tanggungjawab kepada perempuan-perempuan

merdeka, karena mereka hakikatnya adalah milik dan harta kalian.”57

Dari pendapat diatas dapat kita simpulkan bahwa al-Tabarî memahami ayat di

atas dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam asuhan

walinya, dan juga perempuan-perempuan lain yang menjadi istri mereka. Dia

menafsirkan ayat tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap perempuan yang

dikawini. Apabila seorang laki-laki tidak dapat berbuat adil terhadap anak yatim yang

dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan- perempuan lain yang ia sukai,

dua, tiga ataupun empat. Namun, jika dia khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap

mereka, maka nikahilah satu orang saja. Jika masih khawatir tidak bisa berlaku adil

walupun terhadap satu orang saja, maka janganlah kamu menikahinya. Akan tetapi

bersenang-senanglah dengan budak yang mereka miliki, karena budak-budak itu

57 al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân…, h. 367.

Page 63: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

48

adalah miliknya dan merupakan hartanya, yang demikian itu lebih dekat pada

keselamatan dari dosa, aniaya, dan penyelewengan terhadap perempuan.

b. Al-Nisâ’ : 129

Al-Tabarî berpendapat bahwa para suami tidak akan sanggup untuk

menyamakan semua istri-istrinya dalam hal cinta dan kasih sayang, sehingga yang

dituntut dari para suami adalah berusaha sekeras mungkin untuk menyamakan

perlakuan terhadap para isteri dengan cara bersikap sama terhadap masing-masing dari

mereka, para suami tidak akan mampu belaku adil dalam perkara hati sekalipun mereka

telah berusaha sekuat tenaga untuk itu, karena persoalan kecenderungan hati bukanlah

kuasa mereka, namun perkara yang muncul secara natural dalam hati seseorang.58

Al-Tabarî berkata : Sesungguhnya Allah telah memerintahkan melalui firman-

Nya dalam surat al-Nisâ’ ayat ke-129 tersebut akan para suami untuk berlaku

adil terhadap para istri mereka sesuai dengan kemampuan mereka seperti

membagi jatah harian (nafkah batin), nafkah lahir, tidak berlaku aniaya

terhadap fisik mereka. Dan Allah memaafkan mereka dari hal yang tersembunyi

seperti rasa cinta dan kasih sayang yang terselip dalam hati mereka terhadap

masing-masing istrinya.59

Dari pemaparan al-Tabarî di atas dapat kita lihat bahwa menurut al-Tabarî

berlaku adil terhadap istri dalam hal cinta dan kasih sayang adalah hal yang tidak

mungkin atau tidak akan mampu dilakukan oleh seorang suami, ketidakmampuan

berlaku adil dalam hal cinta dan kasih sayang ini, jangan sampai membuat suami

58 al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân…., h. 566-567. 59 al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân…., h. 570

Page 64: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

49

berlaku tidak adil dalam hal materi seperti pembagian harta, waktu dan ha-hal bersifat

materi

3. Tafsir Fakhruddîn Al-Râzî

a. Al-Nisâ’ : 3

Berbeda dengan al-Tabarî, al-Râzî menambahkan bahwa firman Allah :

ت قسط وا jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil(وإنخفت مألا ( sebagai syarat, dan

م واما طابلك sebagai (Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi) فانكح

suatu kebolehan. Dengan demikian, mesti ada keterangan yang jelas tentang bagaima

na sebenarnya hubungan antara kebolehan menikahi perempuan-perempuan yang

disukai (beristri sampai empat atau poligami) dengan syarat tersebut.60

Menurut al-Râzî, untuk menjawab pertanyaan tersebut, dikalangan para

mufassir ada empat alasan61 :

1. Karena adanya wali yang tertarik kepada kecantikan dan harta anak yatim

perempuan dan bermaksud menikahinya tetapi enggan membayar mahar.

2. Karena adanya lelaki yang berpoligami tetapi tidak memberi hak-hak istri-

istrinya dan tidak berlaku adil terhadap mereka.

3. Karena adanya lelaki yang enggan menjadi wali disatu sisi bagi anak-anak

yatim perempuan, disisi yang lain dia menginginkan untuk menikahinya

akan tetapi dia takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak yatim,

60 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995). Juz IX, h. 178. 61 Al-Râzî, Al-Tafsîr…., h. 178.

Page 65: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

50

sementara dia takut juga dari dosa zina, maka hendaknya menikahi saja

perempuan-perempuan yang dihalalkan baginya.

4. Karena adanya seorang lelaki yang berpoligami serta mengayomi

anak-anak yatim tetapi tidak mampu memberikan nafkah kepada istri-istri

mereka, maka mereka mengambil harta anak anak yatim yang ada padanya

untuk diberikan kepada istri-istri mereka. Ketika seorang lelaki tidak

mampu berlaku adil terhadap harta anak yatim karena banyak istri maka dil

arang untuk berpoligami.62

Berdasarkan penjelasan di atas, al-Râzî memahami ayat ini masih dalam

kaitannya dengan perintah berlaku adil terhadap anak-anak yatim dan juga keharusan

berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dinikahi, al-Râzî menyatakan bahwa

keadilan merupakan pilar atau syarat utama bagi seorang yag hendak melakukan

poligami. Karena menurutnya apabila seorang laki-laki khawatir tidak mampu berlaku

adil terhadap anak-anak yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini

perempuan-perempuan lain sebanya yang ia sukai dua, tiga, maupun empat orang istri

agar hilang kekhawatiran tersebut. Namun jika masih khawatir tidak bisa berlaku adil

terhadap empat orang istri maka seorang istri lebih baik bagi mereka. Kemudian Al-

Râzî memperingatkan bahwa batas maksimal empat orang istri, dan batas minimal satu

orang istri. Sedangkan diantara dua batas tersebut (dua atau tiga orang istri) itu boleh-

boleh saja, asal orang tersebut mampu berlaku adil.

62 Al-Râzî, Al-Tafsîr…., h. 179

Page 66: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

51

b. Surat Al-Nisâ’ Ayat 129

Menurut al-Râzî potongan pertama dalam ayat ini

واأنتعدل وابينالنساءولوحرصت م“ mempunyai dua catatan:63 ولنتستطيع

1. Ayat tersebut menyebutkan bahwa kalian (manusia) secara adat dan naluri

alamiyah tidak akan sanggup bersikap adil terhadap istri-istri kalian,

sehingga ketika kalian tidak sanggup melakukannya maka kalian tidak

ditaklif (dibebani) untuk melakukannya. Kaum Mu’tazilah berpendapat

bahwa hal ini tergolong sebagai pensyariatan sesuatu yang tidak mungkin

dilakukan oleh manusia.

2. Mereka juga tidak akan sanggup untuk berlaku adil dalam perkataan dan

perbuatan, karena perbedaan rasa terhadap masing-masing mereka secara

otomatis akan menyebabkan perbedaan sikap terhadap masing-masingnya.

Karena secara rasio, tindakan tidak akan mungkin muncul tanpa didorong

oleh faktor yang melatarinya.

Al-Râzî berpendapat terkait dengan ungkapan "الميل ك لا تميل وا "فال mengandung

makna bahwa kalian tidak dilarang untuk mencintai secara lebih salah seorang dari

istri-istri kalian, karena persoalan hati bukan menjadi urusan kalian. Namun kalian

dilarang untuk menampakkan perbedaan rasa cinta itu secara nyata kepada mereka,

baik dalam hal perkataan atau sifat. Dari pendapat al-Râzî dapat kita lihat bahwa

keadilan yang dimaksud dalam ayat ini adalah keadilan dalam segi immateri namun,

63 Al-Râzî, Al-Tafsîr…., Juz XI, h. 68.

Page 67: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

52

dengan bijak al-Râzî menyatakan bahwa ketidakmampuan berlaku adil dalam perihal

cinta jangan sampai membuat seseorang tidak mampu berlaku adil dalam perihal

perilaku terhadap istri-istrinya.64

4. Tafsir Al-Manâr

a. Al-Nisâ’ : 3

Rasyîd Ridâ berpendapat bahwa ayat ini pada awalnya berbicara tentang wasiat

untuk menjaga anak yatim, baik harta maupun kesucian mereka. Yang dimaksud

dengan istilah yatim di sana adalah para yatim perempuan dan yang dimaksud dengan

perempuan di sana adalah perempuan yang bukan yatim. Artinya adalah jika kalian

khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim, maka

bermuamalahlah (berinteraksilah) dengan mereka sebagaimana kalian bermuamalah

dengan perempuan selain mereka dalam memberikan mahar pernikahan mereka atau

dalam persoalan lainnya dan bahkan harus lebih baik lagi. Namun jika kalian tidak

sanggup untuk itu, maka jangan nikahi mereka, tapi menikahlah dengan perempuan

lain yang dihalalkan bagi kamu dan menarik perhatian kamu selain perempuan-

perempuan yatim tersebut.65

Sementara itu Muhammad ‘Abduh menyikapi penyebutan perihal poligami

dalam konteks ayat yang dikaitkan dengan kasus anak-anak yatim serta larangan

memakan harta meraka sekalipun lewat jalan pernikahan melalui perkataannya:

“Jika kalian merasa takut dari memakan harta istri kalian yang yatim, maka

janganlah kalian menikahi mereka! Karena sesungguhnya Allah telah

menjadikan alternatif bagi kalian terkait dengan anak yatim dengan

64 Al-Râzî, Al-Tafsîr…., h. 68.

65 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Beirut: Dâr al Ma’arifah)., Juz IV, h. 245.

Page 68: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

53

membolehkan kalian menikah dengan empat orang perempuan selain mereka

secara sekaligus. Namun, jika kalian khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap

mereka semua, maka satu istri saja lebih baik. Standar takut dari ketidakadilan

bisa diketahui dengan sangkaan kuat atau keragu-raguan terkait hal itu, bahkan

juga bisa diketahui lewat kebimbangan untuk melakukannya. Akan tetapi,

syariat Islam mentolerir kebimbangan, karena sedikit sekali ilmu yang bisa

memastikan hal ini. Maka hal yang dibolehkan untuk seorang laki-laki dalam

kasus ini adalah ia menikah dengan perempuan kedua atau lebih dengan catatan

dia yakin terhadap dirinya bahwa dia sanggup untuk berbuat adil (tidak ragu-

ragu).”66

Kemudian ‘Abduh melanjutkan penjelasannya : Ketika Allah berfirman, “Maka

jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukup menikah dengan satu orang

perempuan.”,67 Ia menjelaskan sebabnya melalui perkataan ذلكأدنيألتعولوا, artinya hal

itu lebih dekat dari tidak berlaku zalim, maka Allah jadikan usaha preventif agar tidak

berbuat zalim menjadi alasan pensyariatan menikah dengan satu perempuan saja.

Asumsi ini diperkuat dengan adanya syarat untuk berlaku adil serta penegasan bahwa

sikap adil itu sebagai hal yang sangat berat dan tidak mudah sebagaimana yang

disinggung oleh Allah pada surat al-Nisâ’ ayat 129 (tafsiran ayat ini sudah disebutkan

di tafsiran ayat ke 129 yang saya kirim minggu lalu). Muhammad ‘Abduh juga

mengatakan : Barang siapa yang merenungkan kedua ayat di atas (al-Nisâ’ ayat ke 3

dan 129), niscaya dia akan mengetahui bahwa pembolehan poligami dalam Islam dikait

dengan syarat yang ketat, seolah-olah ia hanyalah pintu darurat yang diperbolehkan

bagi orang yang membutuhkannya dengan syarat dia yakin bisa berlaku adil. Manakala

seseorang merenungi ketatnya syarat ini pada zaman sekarang serta kemudaratan yang

mungkin saja muncul akibat poligami, niscaya dia akan memastikan bahwa tidak

66 Rasyîd Ridâ, al-Manâr…., h. 348.

Page 69: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

54

seorangpun yang mampu mengkampanyekan syariat poligami tersebut. Karena sebuah

rumah yang didalamnya ada dua orang istri tidak akan mungkin tetap dalam kondisi

aman dan tentram serta juga tidak berjalannya aturan yang dibikin oleh sang suami,

bahkan sang suami bisa saja bekerja sama dengan salah seorang dari keduanya untuk

memusuhi yang lain. Kemudian permusuhan itu menjalar kepada anak-anak keduanya,

sehingga dengan demikian mudarat poligami berkembang dari individu menuju rumah

dan dari rumah menuju keturunan (umat/antar keluarga).68

Muhammad ‘Abduh melanjutkan keterangannya:

“Poligami pada awal Islam memiliki beberapa faedah yang terpenting di

antaranya adalah untuk menghubungkan keturunan dan memperbanyak

kerabat. Tidak ada di dalamnya hal-hal negatif seperti yang ada pada zaman

sekarang, karena sesungguhnya agama menjadi tempat sandaran bagi

perempuan dan laki-laki sehingga pilihan berpoligami tidak merusak tatanan

keberagamaan mereka. Adapun hari ini kemudaratan poligami berefek terhadap

anak dari masing-masing istri hingga ke orangtua dan karib kerabat mereka. Hal

itu membangkitkan permusuhan dan kekacauan antara mereka semua, bahkan

bisa menimbulkan pencurian, perzinaan, kebohongan, khianat, rasa takut, kata-

kata kasar, serta yang paling parah, berupa saling bunuh-bunuhan.”69

Hal itu semua pernah terjadi di berbagai pengadilan yang ada yang mengurusi

persoalan-persoalan tersebut. Hal itu juga disebabkan oleh kurangnya rasa

keberagamaan dari masing-masing pihak, sehingga mengunggulkan egonya masing-

masing saja. Sehingga dengan demikian, sekali lagi tidak ada kesempatan bagi kita

untuk mengkampanyekan gerakan berpoligami kepada masyarakat.70 Maka sudah

menjadi kewajiban ulama untuk memikirkan masalah ini khususnya para ulama-ulama

mazhab karena agama sejatinya diturunkan untuk kemaslahatan manusia dan kebaikan

68 Rasyîd Ridâ, al-Manâr….., h. 348-349. 69 Rasyîd Ridâ, al-Manâr….., h. 349. 70 Rasyîd Ridâ, al-Manâr….., h. 349-350

Page 70: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

55

mereka serta menolak kemudaratan. Apabila dalam sebuah kasus terdapat kemudaratan

yang muncul belakangan, maka hal itu akan menghendaki adanya perubahan terhadap

hukum dari kasus tersebut agar bisa diimplementasikan dalam era kekinian.

Berdasarkan keterangan ini, dapat diketahui bahwa Muhammad ‘Abduh menghukumi

poligami dengan hukum haram jika sang suami tidak dapat berlaku adil.71

Ini merupakan pendapat Muhammad ‘Abduh yang disampaikan pada

ceramahnya yang pertama tentang surat al-Nisâ’ ayat 3. Kemudian diceramahnya yang

kedua dia menjelaskan: “Telah berlalu keterangan bahwa kebolehan poligami dikait

dengan syarat-syarat yang sangat ketat (sulit untuk dicapai yaitu adil teradap para

istri)”.

Syekh Muhammad ‘Abduh melanjutkan keterangannya:

“Adapun potongan ayat أيمان ك م ملكت ما diatafkan (dihubungkan) kepada أو

potongan ayat فواحدة yang artinya maka cukuplah bagimu satu orang istri saja

yang diperlakukan secara adil, ini berlaku untuk laki-laki yang menikah dengan

banyak perempuan atau cukuplah bagi kalian untuk menggauli budak-budak

kalian saja dengan tanpa syarat apapun. Hal itu lebih aman agar kalian tidak

berlaku zalim terhadap banyak perempuan, karena berlaku adil terhadap para

budak tidaklah diwajibkan karena mereka tidak berhak untuk mendapatkannya.

Hanya saja yang wajib diberikan kepada mereka adalah kecukupan (materi)

semata. Hal ini bukan berarti kebolehan kaum muslimin semenjak masa-masa

awal berkembangnya Islam untuk berlebih-lebihan dalam menggauli budak

dengan cara yang benar ataupun tidak ketika hal itu mengakibatkan

kemudaratan sebagaimana yang telah disaksikan bersama pada saat ini. Rasyid

Rida kurang sependapat dengan ‘Abduh tentang menikahi atau menggauli

budak”72

Sementara itu Rasyîd Ridâ berpendapat Sesungguhnya syariat poligami

berseberangan dengan kaedah asal pernikahan karena seyogyanya seorang laki-laki

71 Rasyîd Ridâ, al-Manâr……, h. 350.

72 Rasyîd Ridâ, al-Manâr……, h. 350.

Page 71: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

56

hanya mempunyai satu orang istri saja, sebagaimana halnya seorang istri hanya

mempunyai seorang suami saja. Namun kemudaratan (faktor sosial) telah

menyebabkan hukum tersebut menjadi berubah, terlebih pada umat yang sering

mengadakan perperangan seperti umat Islam pada awal-awal perkembangannya.

Sehingga dengan demikian poligami itu dibolehkan karena darurat, akan tetapi

disyaratkan dalam pelaksanaanya untuk tidak berlaku zalim.73

Menurut Rasyîd Ridâ bersikap adil antara dua orang istri itu mustahil karena

ketika seorang suami menikahi istri kedua, otomatis ia akan membenci istri yang

pertama. Maka bagaimana mungkin ia bisa bersikap adil antara keduanya padahal

Allah telah memerintahkannya untuk bersikap adil. Maka yang lebih baik adalah dia

menikah dengan satu orang perempuan saja.74

Dari pemaparan ‘Abduh dan Rasyîd Ridâ di atas dapat kita lihat bahwa kedua

mufassir ini sepakat bahwa syarat kebolehan berpoligami adalah berlaku adil terhadap

para istri, jika seseorang tidak mampu berlaku adil maka haram baginya untuk

melakukan poligami sementara bagi yang mampu berlaku adil, poligami merupakan

pilihan darurat (seperti yang telah di jelaskan ‘Abduh di atas) dan tujuan berpoligami

jelas untuk menolong anak-anak atau perempuan yatim.

b. Al-Nisâ’ : 129

Ayat ini merupakan fatwa lain yang tidak berkaitan langsung dengan dua ayat

sebelumnya. Namun latar belakang ayat ini didasari oleh pertanyaan beberapa orang

yang memiliki dua atau lebih istri sebelum turunnya ayat surah al-Nisâ ayat ke 3. Ayat

73 Rasyîd Ridâ, al-Manâr….., h. 350-351.

74 Rasyîd Ridâ, al-Manâr…., h. 350

Page 72: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

57

ini juga dilatarbelakangi dari sikap beberapa orang yang berpoligami setelah mereka,

namun berniat untuk dapat berlaku adil kepada seluruh istri-istri mereka. Akan tetapi

setelah mereka usahakan, mereka kewalahan dan merasa berat untuk dapat berlaku adil

kepada seluruh istri tersebut, terutama dalam hal yang bersifat perasaan atau

hati/kecenderungan. Mereka sanggup berlaku adil dalam pembagian jatah, materi, dan

segala yang bisa terlihat, namun lagi-lagi mereka merasa gagal dalam menata hati agar

menyamaratakan semua istri dalam pandangan hati/perasaan mereka. Karena semua itu

adalah naluriah hati, mereka tidak bisa mengaturnya sedemikian rupa sesuai dengan

ikhtiar dan usaha mereka. Maka oleh sebab itu, Allah Swt memberi keringanan kepada

orang-orang yang bertakwa yang selalu bertekad untuk menjaga diri dari ketidakadilan

dalam hal cinta dan kecenderungan hati. Allah menjelaskan bahwa keadilan yang

paripurna terhadap para istri merupakan sebuah hal yang tidak mungkin dicapai oleh

seseorang (suami), sehingga Ia tidak menghisap seorang hamba karena kecenderungan

naluriah ini.75

Seolah-olah Allah berkata:

Manakala kalian berkeinginan untuk menjadikan perkara adil terhadap

seluruh istri sama seperti adilnya dua daun timbangan yang mempunyai berat

yang sama, maka ketahuilah bahwa kalian sekali-kali tidak akan dapat

melakukannya. Mungkin kalian sanggup melakukannya dalam hal-hal yang

bersifat materi, tapi dalam hal immateri seperti keridaan, kasih sayang, rasa

cinta, dan lain-lain, pasti kalian tidak akan bisa melakukannya. Sehingga jika

kondisinya demikian, maka dalam faktanya janganlah kalian terlalu cenderung

kepada istri yang kalian cintai dan menjauhkan diri dari mereka yang kurang

kalian cintai. Hal tersebut dapat membuat mereka (yang kurang kalian cintai)

akan sakit dan merasa menjadi wanita yang terkatung-katung tanpa ada

kejelasan. Seolah-olah mereka bukan lagi menjadi seorang istri namun juga

tidak ditalak. Keringanan yang diberikan kepada kalian (untuk tidak berlaku

adil) hanya dalam persoalan kecenderungan hati saja, yaitu persoalan yang

75 Rasyîd Ridâ, al-Manâr…., Juz. V., h. 448.

Page 73: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

58

ikhtiar manusia tidak ada di dalamnya, tidak dalam persoalan yang bersifat

materi dan terlihat. Maka dalam persoalan materi dan segala tingkah laku

yang terlihat ini, kalian wajib berlaku adil terhadap semua mereka.76

Jika kalian bisa melakukan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan dan

ketidakadilan, maka Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Artinya jika kalian

selalu menjaga diri dan memperbaiki pola interaksi dengan para istri serta takut untuk

berbuat zalim terhadap salah seorang di antara mereka serta mengutamakan salah satu

dari mereka dari yang lain dalam hal interaksi keseharian yang bersifat ikhtiyariah (bisa

dipilih/diusahakan) seperti pembagian jatah dan nafkah, maka Allah akan mengampuni

kalian khususnya dalam hal ketidakadilan kalian dalam mengatur hati untuk mencintai

masing-masingnya, karena sesungguhnya Allah mempunyai sifat maha pemberi

ampunan dan sangat penyayang terhadap para hambanya.77

Sebagian kalangan mengira bahwa ayat ini menjadi dalil larangan untuk

berpoligami, apalagi kalau dikaitkan dengan anjuran untuk ber-monogami saja kalau

khawatir tidak bisa berlaku adil sebagaimana yang diisyaratkan oleh surah Al-Nisâ’

ayat ke-3. Seolah-olah, menurut mereka, berpoligami adalah sebuah pekerjaan yang

tidak boleh, karena orang yang khawatir tidak bisa berlaku adil tidak dibolehkan

baginya untuk menikahi lebih dari seorang perempuan. Selain itu, Allah juga telah

memberitahukan bahwa keadilan adalah sebuah hal yang tidak mungkin bisa dilakukan

oleh seseorang, dalam artian tidak mungkin seseorang bisa meyakinkan dirinya untuk

bisa berlaku adil terhadap para istrinya. Maka perasaan untuk tidak bisa berlaku adil

76 Rasyîd Ridâ, al-Manâr….., h. 448-449.

77 Rasyîd Ridâ, al-Manâr…., h. 449.

Page 74: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

59

itu merupakan sebuah keyakinan yang sudah pasti ada. Sehingga cukuplah dengan

analisa ini, poligami pada dasarnya adalah terlarang (haram), karena dikhawatirkan

akan menimbulkan kezaliman serta ketidakadilan.78

Menurut Rasyîd Ridâ analisa ini bisa saja benar jika ayat ini hanya sampai pada

redaksi حرصت م ولو النساء بين تعدل وا أن وا تستطيع saja. Namun kenyataannya, Allah ولن

menambah redaksi ayat tersebut dengan ungkapan علاقة كالم وها فتذر الميل ك لا تميل وا .فال

Sehingga keadilan yang tidak bisa dilakukan oleh seorang suami itu adalah keadilan

yang bersifat paripurna yang diinginkan oleh mereka yang mempunyai sifat wara dan

ketakwaan yang tinggi dalam beragama, sebagaimana yang telah kami jelaskan

sebelumnya. Hal ini bersifat pasti, terlihat dari teks “wa law harastum” (sekalipun

kalian berharap akan hal itu), karena keadilan hakiki tergolong hal yang bersifat abstrak

(tidak kasat mata), tidak mudah seseorang bisa menyeimbangkan hati dan perasaannya

agar tetap mencintai secara merata seluruh istri-istrinya. Namun Allah menjelaskan

(kepada mereka yang mempunyai sifat wara dan ketakwaan yang tinggi dalam

beragama tersebut) pada ayat ini tentang apa yang Ia maksud dengan adil itu sendiri,

yaitu adil dalam prilaku dan interaksi sosial yang terlihat, bukan dalam persoalan yang

abstrak yang tidak bisa dilihat. Karena hal yang terakhir ini tidak mungkin bisa

dilakukan oleh manusia. Allah tidak membebani seorang hamba kecuali sesuai dengan

tingkat kemampuannya.79

78 Rasyîd Ridâ, al-Manâr…., h. 449.

79 Rasyîd Ridâ, al-Manâr…., h. 449.

Page 75: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

60

BAB III

NASR HÂMID ABÛ ZAYD DAN CHARLES SANDER PEIRCE:

RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN

1. Nasr Hâmid Abû Zayd

A. Riwayat Hidup

Nasr Hâmid Abû Zayd lahir di Kairo, tepatnya di sebuah tempat bernama

Quhafa dekat Tanta pada 10 Juli tahun 1943. Ia anak yang pendiam, dan suka sekali

pada sastra. Sedari muda, ia sangat tertarik dengan kajian bahasa dan filsafat. Ia

bahkan fokus pada perangkat metodologi analisa wacana dan dinamika teori teks

dalam semiotika. Jelas, pikirannya menginduk ke Perancis dengan tokoh besar

Derrida, Arkoun dan pengagum Hasan Hanafî. Tak heran, untuk memperkuat

minatnya itu, ia masuk ke Fakultas Sastra Universitas Kairo dan kemudian

mengabdi di sana.1 Pendidikan tingginya mulai S1, S2 dan S3 dalam jurusan Bahasa

dan Sastra Arab di selesaikannya di Universitas Kairo dengan predikat Highest

Honour. Ia pernah tinggal di Amerika selama 2 tahun (1978-1980), saat

memperoleh beasiswwa untuk penelitian doktoralnya di Institut of Midlle Eastern

Studies University of Pennsylvania Philadelphia USA.2

Gejolak sosial politik di Mesir kala itu, selama kurun waktu 1947-1961, di

tengah perlawanan terhadap tentara Israel pada satu sisi dan pertikaian antar elit

1 Wikipedia, the free encyclopedia, Nasr Hâmid Abû Zayd. Lihat juga:

http://www.mesias.8k.com/abuzayd.htm dan lihat juga: Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam

Studi al-Quran,(T.tp: Gema Insani, 2005)., h. 4 2 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an; Teori Hermeneutika Nasr

Hâmid Abû Zayd (Bandung: Teraju, 2003)., h. 18

Page 76: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

61

politik dan elit agamawan di sisi lain3, telah mengusik kesadaran Abû Zayd untuk

mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Di usia 11 tahun, tepatnya tahun 1954 ia

resmi menjadi anggota sebuah organisasi Islam yang cukup berpengaruh yaitu

Ikhwân al-Muslimîn4. Saat itu, organisasi tersebut dipimpin oleh Sayyid Qutb dan

ia mulai tertarik pada pemikiran Sayyid Qutb, terutama yang tertuang dalam

karyanya al-Islâm wa al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah (Islam dan Keadilan Sosial),

karena di dalamnya lebih menekankan keadilan manusiawi dalam menafsirkan

Islam5.

Sebagai seorang aktifis pembela keadilan, ia juga pernah merasakan

kehidupan getir di balik jeruji besi penjara meski hanya satu hari. Saat Ikhwân al-

Muslimîn tengah konflik dengan pemerintah setempat. Dengan alasan gerakan ini

telah berupaya memusuhi dan mengancam pemerintahan, akhirnya mereka

melakukan penangkapan besar-besaran terhadap anggota Ikhwân, termasuk Abû

Zayd kecil. Kemudian keesokan harinya dibebaskan mengingat usianya masih di

3 Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah Masalah dan Prospek (Jakarta: Gema Insani Press,

1997)., h. 28. 4 Pendirinya adalah Syaikh Hasan al-Bannâ` (1324-1368 H/ 1906-1949) dari Mesir. Ikhwân

al-Muslimîn merupakan gerakan sosial politik keagamaan yang paling berpengaruh di Mesir, pernah

juga terlibat dalam satuan khusus tentara membantu membantu Palestina di tahun 1948, gerakan ini

menurut pendirinya adalah geraan da’wah salafiyyah, tarîqah sunniyyah, haqîqah sufiyyah, lembaga

politik, klub olahraga, lembaga ilmiah dan kebudayaan, perserikatan ekonomi dan pemikiran sosial.

Ia menekankan kepada pentingnya penelitian dan pembahasan terhadap dalil serta pentingnya

kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah dan membersihkan dari segala bentuk kemusyrikan untuk

mencapai kesempurnaan tauhid. Ikhwân menerapkan tasawuf sebagai sarana pendidikan dan

peningkatan jiwa seperti pernah dilakukan para ahli tasawuf terdahulu yang aqidahnya benar dan

jauh dari segala bentuk bid’ah, khurafat, menghina diri dan sifat negatif. Gerakan ini mulanya

berskala internasional. Lihat buku yang disusun oleh Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMY,

“Ikhwân al-Muslimîn”, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Akara Ideologis dan

Penyebarannya), terj. A. Najiyulla (Jakarta Timur: al-I’tishom Cahaya Umat, 2002)., h. 7-13. 5 Moch Nur Ichwan, Hermeneutika Qur’an Nasr Hâmid Abû Zayd: Menuju Kesarjanaan

Qur’an Kritis (Thesis, 2000)., h. 13.

Page 77: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

62

bawah umur. Sebelumnya, pengalaman pahit ini juga pernah dialami oleh ayahnya,

seorang aktifis Ikhwân al-Muslimîn6.

Abû Zayd mulai mengenal teori-teori Hermeneutika ketika berada di

Universitas Pennsylvania itu. Ia mengakui, bahwa Hermeneutika telah membuka

cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan: “Aku banyak membaca sendiri,

khususnya di dalam bidang filsafat dan Hermeneutika. Hermeneutika, ilmu

menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku.” (I did a lot

of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics.

Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brandnew world for

me). Sekembalinya dari Amerika, Abû Zayd menyelesaikan disertasi Doktornya

pada tahun 1980 dengan judul “Falsafah al-Ta’wîl: Dirâsah fî Ta’wîl AI-Quran

`inda Muhy al-Dîn ibn `Arabî” (Filsafat Hermeneutika: Studi Terhadap

Hermenutika al-Quran menurut Ibn Arabi). Ia mengklaim bahwa dirinyalah yang

pertama kali menulis tentang Hermeneutika di dalam bahasa Arab dengan

tulisannya “al-Hirminiyutiga wa Mu’dilât Tafsîr al-Nâs” (Hermeneutika dan

Problema Penafsiran Teks) pada tahun 19817. Di dalam karya tersebut, Abû Zayd

memaparkan secara ringkas berbagai teori penafsiran yang telah dilakukan oleh

Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Emilio Betti, Hans Georg

Gadamer, Paul Ricoeur dan Eric D. Hirsch.8

6 Ichwan, Hermeneutika Qur’an…., h. 13 7 Makalah-nya yang berjudul “al-Hirminiyutiga wa Mu’dilât Tafsîr al-Nâs”

(Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) dapat kita temukan di buku Isykaliyah al-Qirâ’ah

wa Alliyah al-Ta’wîl edisi terjemahan Indonesia oleh Muhammad Mansur (PT. Lkis Pelangi Aksara,

Yogyakarta, 2004)., h. 3-64. 8 Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an (t.t: Gema Insani, 2005)., h. 5

Page 78: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

63

Ia kemudian membuat komunitas kritis dalam lingkungannya. Kajiannya

masih seputar wilayah teks, dengan menggali kembali warisan-warisan intelektual

Islam sebagai teks yang harus dikeluarkan dari wacana ideologis. Ia berusaha

mencari tafsir yang ke luar dari hanya pengenalan teks semata, memasuki sisi ikutan

sejarah-politik dan watak ekonomi. Abû Zayd percaya, peradaban selalu

membentuk teks-teks keagamaan tadi. Secara sederhana, proyek kajian Abû Zayd

adalah mencoba membongkar konsep keyakinan. Ia percaya, banyak teks yang

hanya diyakini tanpa upaya pemahaman yang konkret adalah keimanan tanpa

landasan. Maka, segera bukunya terbit, Imâm al-Syâfi’î, Kemodernan,

Eklektisisme-Arabisme yang memicu masalah itu.9

Dan ketika Abû Zayd mendapatkan kesempatan untuk promosi guru

besarnya di Universitas Kairo tempatnya belajar dan mengabdi, Abû Zayd

mengajukan buku itu beserta bukunya yang lain berjudul Naqd al-khitâb al-Dîni,

untuk keperluan pengujian.10

Hari itu datang, tanggal 16 Desember 1993. Namun ternyata forum akhirnya

tidak berjalan sebagaimana yang dia inginkan. Dr. ‘Abd al-Sabur Syahin sebagai

penilai (muqarrir), menilai karya-karya Abû Zayd berkadar ilmiah rendah dan telah

keluar dari kerangka keimanan. Bukunya yang pertama bahkan telah menghina

Imâm al-Syâfi’î dengan tuduhan keji. Ajakan Abû Zayd untuk membebaskan diri

dari kekuasaan teks, di mata Shabur, hal itu adalah ajakan untuk berpaling dari al-

Quran. Kesimpulan yang sama, celakanya, juga diikuti penilai yang lain, Dr.

9 Ichwan, Hermeneutika Qur’an…, h. ix. 10 Lihat: http://www.mesias.8k.com/abuzayd.htm, lihat juga: Charles Hirschkind, heresy or

hermeneutics, the case of nasr hâmid abû zayd, EHR, volume 5, issue 1: Contested Polities Updated

February 26, 1996., h. 465-469

Page 79: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

64

Muhammad Baltaqî, Dr. Isma’îl salim, Dr. Sya’ban Isma’îl, Dr. Muhammad

Syuk’ah. Karier akademik Abû Zayd pun tamat. Ia kemudian dikafirkan11.

Dalam buku itu, Abû Zayd memang megkritisi Imâm al-Syâfi’î, dan

mengatakan ulama itu telah secara sepihak menempatkan budaya Quraisy sebagai

sentral penafsiran pada al-Quran. Ia menilai al-Syâfi’î telah membakukan model

pemaknaan al-Quran, teorisasi sunnah sebagai sumber tasyri’ yang otoritatif dan

memperluas sunnah sampai dengan Ijmâ’, tapi menolak qiyâs. “akibatnya, tak bisa

dibedakan lagi mana teks yang primer dan sekunder. Ini menunjukkan watak

moderat al-Syâfi’î hanya semu karena argumentasinya hanya mengutip sosiologis

Quraisy”, kritiknya. Pandangan inilah yang membuat Syahin dan Muhammad

Imarah menjadi emosi. Imarah misalnya, menilai Abû Zayd telah merusak

sakralitas al-Quran dan menyatakan al-Quran bukan ciptaan Tuhan tapi produk

budaya Arab, khususnya Quraisy12. Abû Zayd melawan, menyatakan pada publik:

“I’m sure that I’m a Muslim. My worst fear is that people in Europe may

consider and treat me as a critic of Islam. I’m not. I’m not a new Salman

Rushdie, and don’t want to be welcomed and treated as such. I’m a

researcher. I’m critical of old and modern Islamic thought. I treat the

Qur’an as a nass (text) given by God to the Prophet Mohamed. That text is

put in a human language, which is the Arabic language. When I said so, I

was accused of saying that the Prophet Mohamed wrote the Qur’an. This is

not a crisis of thought, but a crisis of conscience”. (Aku yakin bahwa aku

seorang Muslim. Saya paling takut jika orang-orang di Eropa

memperlakukan saya sebagai seorang kritikus Islam. Aku tidak demikian.

Aku bukan Salman Rushdie yang baru, dan tidak ingin harus

diterima dan diperlakukan seperti itu. Aku seorang peneliti. aku kritis

terhadap pemikiran Islam klasik dan modern. Aku memperlakukan al-Quran

sebagai nas (teks) yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Teks

itu dimasukkan dalam bahasa manusia, yaitu bahasa Arab. Ketika aku bilang

begitu, aku dituduh mengatakan bahwa Nabi Muhammad menulis al-Quran.

Ini bukan krisis pemikiran, tapi krisis hati nurani)13.

11 Hirschkind, heresy or hermeneutics…, h. 469-472. 12 Hirschkind, heresy or hermeneutics…., h. 469-472. 13 Hirschkind, heresy or hermeneutics…., h. 469.

Page 80: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

65

Polemik pun bertebaran di media massa. Dr. Syahin menjadikan kasus Abû

Zayd ini tema dalam khotbah salat Jum’at di masjid ‘Amr bin al-As, ia memang

imam tetap di sana. Dan dalam waktu singkat, publik pun terbelah, antara yang

simpati dengan Abû Zayd dan kelompok pembencinya. Kelompok pembencinya

mengumpulkan semua tulisan kecaman dan menjadikannya sebuah buku Qisah Abû

Zayd wa Inhisaru al-Almaniyah fî Jamî’ati al-Qâhirah, Kisah Abû Zayd dan

Kehancuran Sekularisme di Universitas Kairo. Buku ini diberi pengantar oleh Dr.

Syahin sendiri dengan kecaman yang sangat pedas. Buku-buku lain pun terbit, Abû

Zayd kian terperosok. Namun, pendukung Abû Zayd tak mau kalah, juga

menerbitkan buku al-Qaul al-Mufîd, Ucapan yang Berguna. Abû Zayd sendiri tak

menyerah, ia ajukan banding kepengadilan untuk mendapatkan haknya sebagai

pengajar di Universitas. Tapi, keputusan pengadilan justru memperburuk

keadaannya. vonis murtad jatuh, dan hukum diterapkan: ancaman kematian,

keharusan perceraian, dan konsekuensi lain dari kemurtadan. Abû Zayd

menangis14.

Pertengkaran ini memuncak dalam sidang banding, dan Abû Zayd

menyambut debat itu dengan kajian yang kian cemerlang, Al-Tafkîr fî zamân al-

Takfîr (Pemikiran di Masa Pengkafiran). Disinilah, ia melontarkan pidato yang

amat terkenal itu: “Ilmu, tidak akan memberikan kepadamu sebagian dirinya,

kecuali kamu menyerahkan seluruh dirimu kepadanya. Jika kamu telah

menyerahkan kepadanya seluruh dirimu, maka dengan pemberian dirinya

kepadamu yang sebagian itu saja, ia sungguh-sungguh menempatkanmu dalam

bahaya”. Dan memang, meski argumentasi buku itu demikian kuatnya dan tak

14 Hirschkind, heresy or hermeneutics…., h. 463-475

Page 81: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

66

terbantahkan, Abû Zayd tetap saja dikalahkan. Kekalahannya sekali lagi

membuktikan tesisnya tentang “keyakinan tanpa pemahaman”. Ia kembali

dikafirkan, dan dinilai murtad. Konsekuensinya menurut hukum di sana, sebagai

seorang yang murtad, perkawinannya dibatalkan. Seorang murtad dinilai tak boleh

menikahi wanita muslimah. Dan ketika tangan pengadilan akan memutus

pernikahannya, tahun 1995, ia dengan berat hari “mengungsi” ke Leiden, Belanda,

di mana pemikiran seliar apa pun, sepanjang ada arguemntasinya, bisa tumbuh

merdeka15. Ia harus hidup sebagai ilmuwan yang hidup di negeri orang selama

kurang lebih enam tahun16.

Karya tulis Nasr Hâmid Abû Zayd yang telah diterbitkan antara lain:

a. The al-Qur’an: God and Man in Communication (2000), Leiden

b. Al-Khitâb wa al-Ta’wîl (2000), Dar el-Beida

c. Dawâir Al-Khawf: Qirâ’ah fî Khitâb al-Mar’ah (1999)

d. Al-nas, al-Sultah, al-Haqîqah: al-Fikr al-dîni bayna Irâdah al-Ma’rifah wa

Iradâh al-Haymanah (1995)

e. Al-Tafkîr fî Zamân al-Takfîr: Didda al-Lahl wa al-Zayf wa al-Khurafat

(1995)

f. Naqd al-Khithâb al-Dîni (1994)

15 Hirschkind, heresy or hermeneutics…., h. 463-475. 16 Phil HM. Nur Kholis, Nashr Abû Zayd, beberapa pembacaan terhadap Turats Arab,

sebuah pendahuluan pada terjemahan buku Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil (PT. Lkis

Pelangi Aksara, Yogyakarta,2004)., h. xxv.

Page 82: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

67

g. Mafhum al-Nas: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’an (1990)

h. Al-Ittijah al-‘Aqli fî al-Tafsîr: Dirâsat fî Qadiyyst al-Majaz ‘Nda al-

Mu’tazlat (1982)

i. Falsafat al-Ta’wîl: Dirâsat fî Ta’wîl al-Qur’an ‘Inda Muhyi al-Dîn Ibnu

‘Arabî (1983)

Abû Zayd meninggal pada hari senin 5 juli 2010, akibat serangan virus

langka yang secara medis belum ditemukan cara pengobatannya.17

B. Pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd

• Konsep Wahyu dan Teks al-Quran

Kajian tentang tekstualitas al-Quran sebenarnya bukan merupakan hal baru.

Pengkaji al-Quran muslim kontemporer semisal Mohammed Arkoun, Muhammad

Syahrûr, serta Fazlur Rahmân juga lekat dengan bahasan tersebut. Disini penulis

hanya akan memfokuskan kapan tekstualitas al-Quran dalam pemikiran Nasr

Hâmid Abû Zayd.

Istilah teks (text, wording, phrase) dalam bahasa Arab disebut al-nass.

Dalam bahasa Arab klasik kata “nass" tersebut berarti “"mengangkat" (to raise, to

lift). Pada perkembangan selanjutnya. kata tersebut memiliki berbagai konotasi. Ia

mengalami pergeseran konotasi secara semantik dari suatu yang bersifat fisik

(physical things) kepada wilayah gagasan-gagasan (field of ideas). Namun perlu

diketahui, bahwa kata naas itu sesungguhnya setara dengan apa yang disebut text.

Untuk Itu. sebuah pernyataan yang menegaskan bahwa “tidak diperkenankan untuk

17 Henry Shalahuddin, Al-Qur’an di Hujat (Depok: Al-Qalam, 2007)., h. 246.

Page 83: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

68

melakukan ijtihad ketika masih ada teks” (lâ ijtihâd fî mâ fîhi al- nass), adalah

sebagai prinsip yang menegaskan istilah teks kepada makna semantik klasik saja.

Padahal prinsip itu tidak dapat digunakan pada wacana Islam kontemporer. Apabila

prinsip dari pemaknaan tersebut diberlakukan, maka merupakan suatu bentuk

manipulasi samantik, terutama ketika kata nass hanya ditetapkan kepada al-

Quran18.

Teks al-Quran sebagai pesan berarti bahwa masyarakat yang menjadi

sasarannya adalah seluruh manusia, manusia yang terkait dengan sistem bahasa

yang sama dengan teks, dan yang terkait dengan peradaban di mana hahasa tersebut

dianggap sebagai sentralnya19. Karena itu, penelusuran konsep teks oleh Abû Zayd

ini sesungguhnya bertujuan untuk pertama, menelusuri relasi dan kontak sistematis

(al 'alaqât al murakkabât) antara teks dan kebudayaan yang mempengaruhi

pembentukan teks tersebut. Kedua. teks sebagai bentuk dan kebudayaan20. Pada

tujuan yang kedua ini, pembahaan konsep teks difokuskan kepada aspek yang

terkait dengan masalah kebudayaan dan tradisi. tepatnya masalah historisitas,

otoritas. dan konteks21.

Kenyataan yang menunjukkan bahwa teks al-Quran senantiasa mempunyai

hubungan dialektika dengan masyarakat Arab di masa pewahyuan rnerupakan hal

nyata yang memberikan pengertian bahwa secara tidak langsung teks al-Quran

18 Abû Zayd, The Textuality of the Qur’an: an Introduction to the Translation, (t. tp., t.th).,

h. 1., dalam Hilman Latief, Nasr Hâmid Abû Zayd :Kritik Teks Keagamaan, Cet. 1 (Yogyakarta:

Elsaq Press, 2003)., h. 93. 19 Abû Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulûmul Qur’an, diterj. dari Mafhûm

al-Nas: Dirâsat fî Ulûm al-Qur’an, oleh Khoiron Nahdliyyin, Cet. I (Yogyakarta: LKIS, 2001)., h.

69. 20 Abû Zayd, Mafhûm al-Nas: Dirâsat fî Ulûm al-Qur’an (Beirut: Al-Markaz al-Saqâfî al-

‘Arabî, 2000)., h. 28. 21 Abû Zayd, Mafhûm al-Nas…., h. 28.

Page 84: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

69

dibentuk oleh realitas peradaban Arab yang ada di satu sisi, namun di sisi lain juga

teks al-Quran berperan dalam perombakan peradaban lewat pesan atau konsep-

konsep yang ditawarkan dari al-Quran itu sendiri. Jadi proses keduanya saling

terkait. tidak bisa dipisahkan. Oleh karena proses inilah, lalu Nasr Hâmid Abû Zayd

mengatakan bahwa al Quran merupakan produk budaya (muntij al-tsaqâfî). Ide

dasar pemikiran tersebut berasumsi bahwa inspirasi al-Quran adalah Tuhan, akan

tetapi ketika memasuki realitas semesta, wahyu tersebut tersejarahkan dan

termanusiakan oleh "intervensi" budaya dalam bingkai sistem bahasa.22 Pernyataan

Nasr yang menuai banyak kritik dari kalangan penentangnya ini sesungguhnya

mempresentasikan sisi kognitif pengertian al-Quran, yang bisa ditelusuri

diantaranya melalui paradigma teori semiotik. Teks dapat dikatakan sebagai fiksasi

atau pelembagaan sebuah wacana lisan. Sedangkan wacana dalam hal ini adalah

aktivitas sharing pendapat atau pemikiran, dalam arti bahwa wacana merupakan

medium bagi proses dialog antar berbagai individu untuk memperkaya wawasan

dan pemikiran dalam rangka mencari kebenaran. Teks Juga lebih dekat kepada

konsep langue atau sistem tanda yang rnemisahkan dari parole, yaitu sebuah event

(peristiwa) wacana. Oleh karena itu, teks cenderung kehilangan dimensi

spontanitasnya karena subjek pembicara atau penulis tidak hadir. Namun, teks tetap

menjadi bagian dan sebuah wacana yang hidup sehingga dengan demikim dibalik

teks terdapat mata rantai psikologis yang perlu dipertimbangkan oleh

22 Nasr Hamid Abû Zayd, Al-Nass, al-Haqîqat: Al-Fikr al-Dîni bain Irâdat al-Ma’rifat wa

Irâdat al-Haiminat (Beirut: Markaz al-Tsaqâfî al-Arabî, 1994)., h. 74.

Page 85: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

70

pembacanya23. Berikut ini adalah bagan untuk menjelaskan tindak komunikasi

wahyu menurut Nasr Hâmid Abû Zayd:

Diagram Tindak Komunikasi Wahyu24

• Semiotika al-Quran (Makna dan Signifikansi)

Pembicaraan mengenai ‘makna’ dan ‘signifikansi’ merupakan dua konsep

penting dalam teori hermeneutika Abû Zayd. Kedua terma ini diperkenalkan dalam

wacana hermeneutik Barat oleh E. D. Hirsch, Jr, dalam Validity in Interpretation,

yaitu:

Bukanlah makna teks yang berubah, namun signifikansinya (yang berubah)

bagi penulisnya. Pembedaan ini teramat sering diabaikan. Makna adalah

makna yang direpresentasikan oleh sebuah teks; ia adalah apa yang

dipresentasikan oleh tanda-tanda. Signifikansi, pada sisi lain, menamai

sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang, atau sebuah persepsi,

situasi, atau sesuatu yang dapat dibayangkan…Signifikansi selalu

mengimplikasikan sebuah hubungan, dan satu kutub konstan yang tak

berubah dari hubungan itulah apa yang dimaksud oleh teks. Kegagalan

23 Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kaja Hermeneutik (Jakarta:

Paramadina, 1996)., h. 146-147. 24 Diagram mengutip dari Ichwan, Meretas Kesarjanaan…, h. 74.

Al-Qur’an: Pesan Allah: Pembicara /

Pengirim Pesan

Muhammad:

Penerima

Jibril: Channel

Bahasa Arab: Code

Page 86: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

71

untuk mempertimbangkan pembedaan yang simple dan esensi ini telah

menjadi sumber kekacauan yang luar biasa dalam teori hermeneutika.25

Menurut kutipan dari Hirsch di atas, makna adalah apa yang dipresentasikan

oleh teks, sedangkan signifikansi adalah apa yang muncul dalam hubungan antara

makna dan pembaca. Abû Zayd memberikan penjelasan lebih mengenai dua term

tersebut dalam kitabnya, Naqd al-Khitāb al-Dīnī:

Abu Zayd berkata: Perbedaan antara “Ma’na” dan “Maghza”, terletak pada

dua aspek. Pertama, “Ma’na” mempunyai watak historis, ia tidak mungkin

diungkapkan tanpa pemahaman yang memadai terhadap konteks internal

bahasa (al-siyaq al-lughawi al-dakhili) dan konteks eksternal sosial-budaya

(al-siyaq al-tsaqafi al-ijtima’i al-khariji). Dengan bahasa lain, “Ma’na”

adalah pemahaman terhadap teks yang didapatkan dari konteks internal

bahasa dan konteks eksternal sosial-budaya bahasa. Sedangkan “Maghza”

(signifikansi) mempunyai watak kontemporer, ia merupakan hasil

pembacaan yang berbeda dengan masa terbentuknya teks. Yaitu

pemahaman terhadap teks sesuai dengan kondisi kekinian melalui perspektif

pembaca. Kedua, “Ma’na” memiliki watak yang bersifat statis-relatif (al-

stabit al-nisbi), Statis berarti ia merupakan makna asli, relatif karena

memiliki keterbatasan ruang dan waktu. “Ma’na” merupakan arti asli teks

yang sebenarnya, dimanapun teks berada, “Ma’na” selalu menyertai teks

tersebut. Sedangkan “signifikansi” bersifat dinamis dan terus bergerak

mengikuti perputaran cakrawala pembaca yang terus berubah.

Dari sinilah kita bisa melacak, mengapa pemahaman Abu Zaid bahwa

makna bersifat statis, yakni hampir-hampir tak berubah karena historisitasnya,

sedangkan yang dinamis adalah signifikansinya. Namun demikian, Abu Zaid

tampaknya tidak mau terpaku pada teori Hirsch tersebut di atas. Dia berupaya

mengusulkan “tiga level makna” suatu pesan, yang inheren di dalam teksteks

keagamaan, termasuk teks al-Qur’an. Tiga level makna yang dimaksud adalah:

25 E.D. Hirsch, Jr, Validity in Interpretation (New Haven and London: Yale University Pr

ess, 1967/1978)., dalam Ichwan, Meretas Keserjanaan., h. 89.

Page 87: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

72

a. Level pertama adalah makna yang hanya menunjuk kepada bukti atau fakta

historis (syawāhid tārikhiyyah), yang tidak dapat diinterpretasikan secara

metaforis.

b. Level kedua adalah makna yang menunjuk kepada bukti atau fakta sejarah

dan dapat diinterpretasikan secara metaforis.

c. Level ketiga adalah makna yang bisa diperluas berdasarkan signifikansi

yang diungkap dari konteks sosio-kultural di tempat teks muncul. Pada level

terakhir ini, makna haruslah diperoleh secara objektif, sehingga signifi kansi

dapat diturunkan darinya secara lebih valid. Namun, signifikansi tidak boleh

merusak makna. Signifi kansi memberikan sedikit ruang bagi subjektivitas

pembaca, yang diarahkan oleh makna yang diderivasi secara objektif itu.26

Pembedaan level makna menurut Abû Zayd, di sisi lain juga berati bahwa

makna suatu pesan tidak selalu menuntut ditariknya suatu signifikansi, seperti pada

level makna yang pertama, misalnya dan ini hanya merupakan salah satu

kemungkinan dari ketiga level makna di atas.

• Dekonstruksi Gender

Sebelum masuk pembahasan, perlu dijelaskan lebih dahulu bahwa yang

dimaksud dengan istilah dekonstruksi gender ini bukanlah meninjau kembali

apakah gender dalam Islam diperlukan atau tidak. Akan tetapi, ia lebih diarahkan

kepada penyorotan benang kusut posisi dan peran perempuan, baik dalam ranah

domestik maupun publik, dengan mengajukan sebuah kerangka gagasan dari nilai-

nilai humanisme. Tentunya dalam hal ini, tidak bisa lepas dari pembacaan kembali

26 Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Naqd al-Khitāb al-Dīnī (Kairo; Sinā li al-Nasyr., h. 210

Page 88: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

73

(re-reading) terhadap al-Quran sebagai Kitab Suci dengan semangat pembebasan.

Makna-makna patriarkis dan misoginis yang diklaim berasal dari al-Quran

merupakan hasil dari siapa, bagaimana, dan dalam konteks apa orang membaca dan

menyimpulkannya. Makna-makna itu juga terkait erat dengan peran masyarakat

penafsir dan negara dalam membentuk pengetahuan dan otoritas keagamaan yang

memungkinkan diterapkannya model pembacaan yang patriarkis dan misoginis.

Maka tidak menutup kemungkinan bahwa praktek kebudayaan Muslim yang

selama ini bercorak patriarkis dan misoginis pada dasarnya bukan bersumber dari

teks Kitab Suci melainkan dari penafsirannya. Kritik Abû Zayd atas wacana

perempuan dalam Islam merupakan bagian dari upaya dekontruksi gender-nya yang

dapat dijumpai dalam master piece-nya Dawâir al-Khauf: Qirâ’ah fî Khitâb al-

Mar’ah27, di samping itu juga karya-karyanya yang lain.28

Tulisan Kritik Wacana perempuan dalam Islam ini muncul setelah ada

dorongan dari sahabat karibnya Prof. Hasan Yagi, seorang direktur penerbitan di

pusat kebudayaan Arab (Al- Markâz al-Saqâfî al-‘Arabî) melalui pertemuannya di

dalam pameran buku internasional Frankfurt. Pada saat itulah Abû Zayd

27 Menurut penerjemah, Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, dijumpai upaya

dekonstruksi gender oleh Nasr Hâmid Abû Zayd meliputi isu penting dalam wacana feminisme

Muslim. Diawali dengan prolog yang meninjau kembali kisah Adam dan Hawa yang berkembang

dalam masyarakat, dengan melakukan kritik terhadap penafsiran at-Tabari terhadap kisah itu yang

dianggapnya banyak bersumber dari Bibel. Hal ini menghantarkan dekonstruksi gender-nya yang

terbagi dalam dua bagian, yakni pertama: perempuan dalam wacana krisis. Bagian kedua; kekuasaan

dan hak: idealitas teks dan krisis realitas. Yang masing-masing terdiri dari beberapa bab. Lebih

jelasnya lihat dalam Nasr Hâmid Abû Zayd, Dawâir al-Khauf: Qirâ’ah fî Khitâb al-Mar’ah, Terj.

Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan

dalam Islam, (Yogyakarta: SAMHA, 2003).

28 Karya-karya yang mendukung karakteristik analisisnya dalam Dawair al-Khauf juga

dipengaruhi oleh karya terdahulunya tentang perempuan yang berjudul al-Mar’ah fî Khitâb al-

Azmah: Perempuan di dalam wacana krisis di Kairo pada 1994. Kemudian teks al-Ittijâh al-‘Agli fî

al-Tafsîr: Dirâsah fî Qadhiyyat al-Majâz fî Al-Qur’an ‘Inda al-Mu’tazilah (Rasionalisme dalam

tafsir, studi problem metafor menurut Mu’tazilah.

Page 89: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

74

menyerahkan semua tulisannya dalam Bahasa Arab –baik yang sudah

dipublikasikan maupun yang belum– di mana sebagian besarnya ditulis sebelum

dikeluarkannya “vonis pengadilan” terhadap aspek-aspek pemikirannya.29 Dalam

tulisannya ia menjelaskan bahwa persoalan mendasar dalam wacana keagamaan

adalah wacana tentang perempuan yang bersifat sektarian- rasialistik, dalam

pengertian bahwa ia memperbincangkan keabsolutan perempuan dan

menempatkannya dalam hubungan komparatif dengan keabsolutan laki-laki. Ketika

suatu pola hubungan bahwa antara laki-laki dan perempuan saling berhadapan atau

bertentangan telah terdefinisikan, dan dari situ salah satunya harus tunduk dan

takluk pada yang lain dan masuk secara patuh ke dalam wilayah otoritasnya.30

Menurutnya di dalam penekanan wacana “ekualitas” (al-musâwah) dan

“kemitraan” (al-musyârakah) adanya rasa superior, yakni wacana tentang

sentralitas laki-laki. Ketika perempuan dikatakan mempunyai posisi sejajar maka

yang dimaksud adalah kesejajaran yang diukur dengan ukuran laki-laki. Dan ketika

perempuan dibolehkan bekerjasama maka yang dimaksud adalah bahwa ia

mengabdi kepada laki-laki31. Kritik Abû Zayd terhadap wacana perempuan dalam

Islam dilakukan melalui ijtihadnya mengenai pemahaman, interpretasi dan tafsir

aqidah berangkat dari kesadaran yang tidak mungkin diingkari oleh kaum

muslimin, baik historis, sosiologis, politis, intelektual, dan kultural. Dengan

29 Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Dawāir al-Khauf: Qirā`at fī Khitāb al-Mar`ah (Beirut; Al-

Markaz al-Tsaqāfy al-‘Araby, 2004), h.13 30 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…, h. XXXIV. 31Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…, h. 51-68.

Page 90: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

75

mempublikasikan kajian-kajian mengenai metodologi tafsir dan takwil didalam

budaya Arab-Islam pada satu sisi dan Barat-Kristen pada sisi yang lain32.

Abû Zayd melontarkan kritik sebagai implementasi dari ijtihadnya itu

dengan Bahasa yang terang-terangan tanpa ditutup-tutupi sebagaimana

pengakuannya dalam pengantar buku33. Di dalam keterus terangannya ia berpijak

pada dua titik tolak utama. Pertama, kepercayaan yang mendalam akan solidaritas

Islam dan kekuatannya dalam jiwa manusia jika didasarkan atas akal dan kekuatan

dan lemah argumen serta kacaunya pemahaman kaum muslim atas Islam. Kedua,

dengan adanya iman pada diri seseorang tidak menjauhi pemahaman, penjelasan

dan interpretasi karena kepastian-kepastian iman keagamaan adalah aqidah dan

ibadah. Adapun pengujian dan hipotesis dilakukan melalui dua pendekatan:

pertama, membaca apa yang ditulis ulama terdahulu. Kedua, memperbincangkan

pendapat-pendapat mereka dalam perspektif kontemporer. Hal tersebut dilakukan,

mengingat tradisi pemikiran yang sebelumnya dilakukan dengan pembacaan kritis

dengan wujud karya-karya monumentalnya dalam konteks ruang lingkup dan

interaksi budayanya, harus kehilangan makna daya kritisnya akibat ketertundukan

pada belenggu tradisi yang diyakini kebenaran sahihnya. Sehingga kecenderungan

untuk sekedar mengulang-ulang bahkan meringkasnya tampak lebih dominan

dibandingkan dengan upaya kritis membaca kembali warisan-warisan intelektual

(turats) dalam konteks kekinian. Dengan demikian, kajian gender tentang

32 Abû Zayd membedakan antara tafsir dan takwil, yakni; al-tafsir berarti mengungkap

sesuatu yang tersembunyi melalui tanda yang bermakna bagi mufassir melalui mana ia dapat sampai

pada makna yang tersembunyi atau samar. Sedang al-ta’wil berarti kembali kepada sesuatu

(perbuatan atau perkataan) untuk menyingkap makna yang ditujukan (dilâlah) atau sumber (al-asl),

dan signifikansi (al-maghza) atau implikasi (al-‘aqîbah). Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika

Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002)., h.59. 33 Saenong, Hermeneutika Pembebasan….., h. 59.

Page 91: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

76

perempuan dalam Islam mutlak dilakukan pembacaan ulang. Bahwa selama ini

kajian gender yang terkodifikasi hanya sekedar kutipan dan ringkasan dari apa yang

sudah dilakukan ulama terdahulu, semisal dari al-Nawâwî dalam kitabnya, Uqûdul

Lujain fî Bayâni Huqûqi al-Zaujain, tanpa mau melihat setting sosialnya, di mana

tantangan kultural dan sosiologis masa sekarang sangat berbeda jauh dari tantangan

yang pernah dihadapi pada masa silam ketika tersusunnya karya tersebut.34

Realitas adanya perubahan kondisi sosial dan membaiknya kedudukan

perempuan dalam masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan untuk membaca

teks-teks keagamaan dalam makna historisnya dengan maksud menemukan esensi

dan mengungkapkan yang tetap (immutable), ketentuan-ketentuan yang tidak bisa

berubah (unchangeable dictates) yang tersembunyi di balik kesementaraan dan

perubahan35. Konteks sosio-kultural mempunyai andil besar dalam menafsirkan

sebuah kitab al-Quran. Ketika “teks” harus dipaksa untuk berpisah dengan kondisi

obyektif-historisnya ke dalam wilayah politik untuk melindungi dari kehancuran

dan kemusnahan. Sehingga dalam kondisi seperti ini, al-Quran akhirnya hanya

menjadi mushaf yang kering dan terpisahkan antara teks dan realitas36. Imbasnya

teks-teks agama mengalami transformasi dari obyek yang harus dipahami dan

ditafsirkan sekedar menjadi hiasan yang antik. Padahal, seperti apa yang dikatakan

oleh Abû Zayd bahwa al-Quran sebagai produk budaya (muntaj tsaqâfî) dan pada

akhirnya membentuk budaya (muntij tsaqâfî) yang mempunyai peluang untuk

34 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…., h. 4-49. 35 Saenong, Hermeneutika Pembebasan …., h. 42. 36 Makna teks (nas) dengan musaf (buku) terdapat perbedaan. Distingsi teks lebih merujuk

kepada “makna” (dalâlah) yang memerlukan pemahaman, penjelasan dan interpretasi sedangkan

mushaf lebih merujuk kepada “benda” baik yang bersifat estetik maupun mistik.

Page 92: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

77

dikaji dan ditafsirkan, karena ekspresi hubungan dialektiknya antara teks budaya

dan realitas dengan konteks historisnya.37

2. Charles Sander Pierce

A. Biografi Charles Sander Peirce

Charles Sanders Peirce lahir dalam sebuah keluarga intelektual pada tahun

1839. Ayahnya, Benjamin, adalah seorang professor matematika di Harvard. Pada

tahun 1859, 1862, dan 1863 secara berturut-turut, ia menerima gelar B.A., M.A.,

dan B.Sc. dari Universitas Harvard. Selama lebih dari tiga puluh tahun, yaitu antara

1858-1860 dan tahun 1861-1891, Peirce banyak melakukan tugas astronomi dan

geodesi untuk survey Pantai Amerika Serikat (United States oast Survey). Dari

tahun 1879 sampai tahun 1884, ia menjadi dosen paruh waktu dalam bidang logika

di Universitas Johns Hopkins (Lechte, 2001: 222)38.

Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan

multidimensional. Namun, sikapnya yang temperamental karena penyakit syaraf

yang diidapnya membuatnya dijauhi oleh para koleganya. Puncaknya, ia

dikeluarkan sebagai dosen dari Universitas Johns Hopkins.

Meskipun Peirce menerbitkan tulisan lebih dari sepuluh ribu halaman cetak,

namun ia tidak pernah menerbitkan buku yang berisikan telah tentang masalah yang

37 Ichwan dan Hadi, Dekonstruksi Gender….., h. 68-80.

38 Menurut Lechte (2001: 222), kualifikasi dan kemampuasn Peirce yang dideskripsikan di

atas tidak perlu menampilkan keterpelajaran klasik yang datang dari karya-karyanya. Ia tidak hanya

menerjemahkan istilah “semiotika” yang sekarang jadi popular itu, dari bahasa Yunani Kuno, tetapi

ia juga menjadi seorang pemikir tentang karya-karya Kant dan Hegel yang ia baca dalam bahasa

Jerman, dan ia juga agak terpengaruh oleh filsafat Yohanes Duns Scotus, khususnya istilah Scotus,

haecceity ini juga mengingatkan kita akan singularitas.

Page 93: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

78

menjadi bidangnya. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan karyanya tentang tanda,

pemikiran Peirce harus dianggap selalu berada dalam proses dan terus mengalami

modifikasi dan penajaman lebih lanjut. Selain itu, Peirce sering memberikan kesan

bahwa ia selalu merasa perlu untuk memulai perenungannya dengan satu

pertanyaan, seolah setiap kali ia bertemu dengan hadirin yang baru (maka perlu ada

pengulangan). Seolah-olah perumusan yang sudah dilakukan sebelumnya dianggap

kurang mantap (maka perlu ada perubahan dan penajaman). Singkatnya, di sini

tidak ada dokumen Peircean yang sistematis dan definitive mengenai sifat tanda;

yang ada hanyalah peninjauan ulang secara terus menerus dan inovatif sekaligus

berulang.

B. Pemikiran Charles Sanders Peirce

• Mengenal Semiotik

Mungkin sejak manusia pertama hidup di bumi, ketika itu pula manusia

mampu melakukan komunikasi. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh

komunikasi. Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan

komunikasi dengan sesamanya.39 Menurut Berger tanda-tanda adalah sesuatu yang

berdiri pada sesuatu yang lain atau menambahkan dimensi yang berbeda pada

sesuatu, dengan memakai segala apapun yang dapat dipakai untuk mengartikan

sesuatu lainnnya.40

Sebetulnya gagasan mengenai pemikiran manusia dan fungsi komunikasi

dengan memahami tanda-tanda berlangsung lama dalam tradisi barat. Seorang

39 Alex Sobur, Semitika Komnikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006)., h. 15. 40 Arthur Asa Berger, Tanda-tanda Dalam Kebudayan Kontemporer, Penerjemah: M. Dwi

Marianto dan Sunarto (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000)., h. 1

Page 94: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

79

tokoh Sofis, Prodicus, mendasari pengajarannya bahwa pemilihan kata-kata yang

tepat sangat penting bagi efektifnya sebuah komunikasi. Selain itu, Plato,

menyarankan untuk memisahkan antara objek dan nama yang digunakan untuk

menandai objek tersebut, ia menyatakan:

“Any name which yo give, in my opinion, is the right one, and if you change

that and give another, the new name is as correct as the old”

Aristoteles megetahui tanda kebahasaan berasal dari instrumen alam dan ia

mengamati bahwa pikiran manusia diteruskan oleh penggunaan tanda-tanda serta

bahwa kata-kata yang terucap merupakan simbol dari pengalaman mental. Semiotik

mulai dibicarakan dengan baik pada abad pertengahan yang termuat pada tulisan

karya Roger Bacon De Signis, Bacon membedakan tanda-tanda alam (seperti asap

menandakan adanya api), dari tanda-tanda tersebut menyebabkan komunikasi

manusia (baik tanda-tanda verbal maupun non-verbal). Ia mengenalkan model

semiotik triadik yang menggambarkan hubungan antara tanda, objek yang dituju,

dan interpretasi manusia. Model triadik inilah yang menjadikan konsep dasar studi

semiotik modern. Setelah itu seorang filosof Inggris, John Locke pada akhirnya

memberikan sebuah nama untuk studi mengenai tanda-tanda. Dalam Essay

Concerning of Human Understanding, ia menyatakan bahwa “semiotike doctrine of

signs” akan menjadi salah satu cabang dari tiga cabang utama ilmu bersamaan

dengan filsafat alam dan etika praktis.41

Baik istilah semiotika maupun semiologi dapat digunakan untuk merujuk

kepada ilmu tentang tanda-tanda (the sience of signs) tanpa adanya pengertian yang

41 Martin Ryder, “Semiotik Languange and Culture,” artikel diakses pada tanggal 21

Januari 2008 dari http://carbon .cudenever.edu/~mryder/semiotikcs_este.html

Page 95: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

80

terlalu tajam. Satu-satunya perbedaan diantara keduanya, menurut Hawkes adalah

bahwa istilah semiologi lebih banyak dikenal di Eropa yang mewarisi tradisi

linguistik Saussurean; sementara itu istilah semiotika cenderung dipakai oleh

penutur bahasa Inggris atau mereka yang mewarisi tradisi Peircean.42

Semiologi dan semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni

loika, retorika, dan poetika. Akar namanya sendiri adalah semeion tampaknya

diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan pehatiannya

terhadap simptomatologi dan diagnostik iferensial.43

Semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the

study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem

apapun yang memungkinkan seseorang memandang entitas-entitas tertentu sebagai

tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna.

Jika mengikuti Pierce, maka semiotika tidak lain daripada sebuah nama lain

dari logika, yakni doktrin formal tentang tanda-tanda (the formal doctrine of signs);

sementara bagi Saussure, semiologi adalah ilmu umum tentang tanda “suatu ilmu

yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat” (a science that studies

the life of signs within society). Dengan demikian, bagi Pierce semiotika adalah

cabang dari filsafat; sedangkan bagi Saussure semiologi adalah bagian dari disiplin

psikoligi sosial. Di dalam perkembangan selanjutnya semiotika juga telah banyak

dipengaruhi oleh srtukturalisme dan post-strukturalisme seperti misalnya,

42 Budiman, Semiotika Visual (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), Simptomatologi adalah ilmu

tentang gejala-gejala penyakit, lihat J.S Badudu, Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa

Indonesia (Jakarta: P.T. Kompas Media Nusantara,2003). Sedangkan doagnostik infersial adalah

penarikan kesimpulan terhadap jenis penyakit dari tanda atau gejala yang tampak. Lihat J.S. Badudu,

Kamus Kata-kata Serapan Asing., h. 58 dan 152. 43 Kurniawan, Semiollogi Roland Barthes (Magelang: Indonesia Tera, 2001)., h. 49.

Page 96: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

81

antropologi srukturalisme Calude Levi Strauss, neo Marsisme-nya Louis Althusser,

neo-Freudianisme Jacques Lacan, serta gramatologi Jacques Derrida.44

• Teori Semiotika Charles Sanders Peirce

Bagi Peirce segala sesuatu adalah tanda. Dengan perantaraan tanda-tanda

kita dapat melakukan komunikasi. Namun tanda tidak hanya dipakai dalam

komunikasi saja, tetapi kita juga menggunakan tanda dalam kehidupan sehari-hari,

yaitu apabila kita mencoba memahami dunia, dan apabila kita sadar atau tidak

dalam tindakan ditentukan oleh cara kita menginterpretasikan tanda.

Menurut Piece kita berpikir hanya dalam tanda. Dan ia pun yakin bahwa

segala sesuatu adalah tanda. Peirce mendefinisikan tanda sebagai berikut:

“I define a sign as anything which is so determined by something else, called

its Object, and so determines an effect upon a person, which effect, I call its

Interpretant, that the latter is thereby mediately determined by former”.

“Saya mendefinisikan tanda sebagai apa pun yang ditentukan oleh sesuatu

yang lain, yang disebut Objek, dan menentukan suatu pengaruh pada

seseorang, yang pengaruh itu saya sebut Interpretant, yang mana

Interpretant ditentukan oleh Objek”. 45

Dari definisi di atas disebutkan bahwa apapun dapat menjadi tanda. Yang

dimaksud apapun di sini tidak hanya benda fisik yang dapat menjadi tanda, namun

pikiran pun dapat menjadi tanda, seperti yang dikatakan Peirce bahwa semua

pemikiran adalah tanda. Jadi tanda tidak hanya berbentuk khusus seperti: signal,

simtom, paraf, pernyataan linguistik, dan lain-lain.

Dengan ini, Peirce melihat tanda dalam mata rantai tanda yang tumbuh.

Maka Peirce menjabarkan tanda ini dalam bentuk tripihak/ (triadic) yaitu firstness,

44 Budiman, Semiotika Visual…., h. 3-4. 45 Fariz Pari, Epistimologi Semiotik Peirce (Jabaru:Kopi Center, 2012)., h. 28.

Page 97: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

82

secondness, dan thirdness. Dari situ kemudian dihasilkan tiga trikotomi: trikotomi

pertama adalah qualisign, sinsign, dan legisign; trikotomi kedua adalah ikonis,

indeks, dan simbol; trikotomi ketiga adalah term (rheme), proposisi (dicent), dan

argument.46

Dengan kata lain, sebuah tanda senantiasa memiliki tiga dimensi yang saling

terkait: Representamen (R) sesuatu yang dapat dipersepsi (perceptible), Objek (O)

sesuatu yang mengacu kepada hal lain (referential), dan interpretan (I) sesuatu yang

dapat diinterpretasi (interpretable).47 Relasi ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Tipologi tanda Pierce menurut berbagai trikotomi48

Relasi dan

Kategori Proses Tipologi Fungsi

Kategori

Kehadiran

(Fenomenoligi)

Tanda dengan

ground

menghasilkan

pemahaman

(firstness)

Penampila

n relevansi

untuk

subjek

dalam

konteks

1.Qualisign

2.Sinsign

3.Legisign

1.Predikat

2.Objek

3.Kode,

Konvensi

1. Firstness 2. Secondness 3. Thirdness

Tanda dengan

objek

(secondness)

Proses

representa

si objek

oleh tanda

1.Ikon

2.Indeks

3.Simbol

1.Kemiripan

2.Petunjuk

3.Konvensi

1. Firstness

2. Secondness 3. Thirdness

Tanda dengan

interpretan

dengan

subjek

(thirdness)

Proses

interpretas

i oleh

subjek

1.Rheme

2.Dicisign

3. Argument

1.Kemungkin

an

2.Preposisi

3.Kebenaran

1. Firstness 2. Secondness 3. Thirdness

46 T. Christomy & Untung Yuwono, Semiotika Budaya ( Depok: Pusat Penelitian

Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2010)., h.

115-116. 47 Christomy & Yuwono, Semiotika Budaya…., h. 117. 48 Fariz Pari, Epistimologi Semiotik Peirce: Kajian Terapan teori Semiotik (Tesis S2

Fakultas Pascasarjana Univesitas Indonesia, 1994)., h. 29.

Page 98: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

83

Dari proses di atas dapat kita lihat bahwa Peirce membagi proses

pemahaman tanda pada tiga metode yaitu Firstness merupakan relasi antar elemen

tanda yang bersifat Subyektif (berdasarkan pengalaman pribadi) yang fokus

kajiannya adalah agensi. Sementara Secondness adalah relasi antar elemen tanda

yang bersifat material (terindra) yang fokus kajiannya adalah obyek, dan Thridness

adalah relasi antar tanda yang bersifat maknawi (interpretasi) fokus kajiannya pada

teks, selain itu Peirce juga membagi tanda tersebut kedalam tiga tingkatan yaitu:

Kepertamaan (Firstness), Kekeduaan (Secondeness), Keketigaan (Thirdness).

Model metode pertama terdiri dari qualisign untuk Firstness, signsin untuk

Secondness, dan legisign untuk Thirdness. Dalam model metode kedua Firstness

menghubungkan pada ikon, Secondness pada indeks, dan Thirdness pada simbol.

Terakhir dalam metode ketiga Firstness menghubungkan rheme, Secondness pada

decisign, dan Thirdness pada argument.

Trikatomi Peirce di atas disebut juga dengan semiosis. Dengan kata lain,

proses semiosis adalah sebuah rangkaian yang tidak berujung-pangkal (tanpa

akhir); sebuah semiosis yang tanpa batas (unlimited semiosis)49 Proses yang tidak

terbatas tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

49 Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya (Depok, Komunitas Bambu,

2008)., h. 117.

Page 99: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

84

O1 O2 O3 O4

• Aplikasi Semiotika dalam Kajian Tafsir

1. Aplikasi Semiotika dalam Kajian Tafsir Secara Umum

a. Semiotika Ferdinand De Saussure

Saussure dianggap sebagai bapak semiologi, dengan teori semiotiknya yang

terkenal dengan Strukturalisme50 Saussure mendefinisikan tanda linguistik sebagai entitas

dua sisi (diadik). Sisi pertama disebutnya dengan Penanda (signifier). Penanda adalah

aspek material dari sebuah tanda. Sebagaimana kita menangkap bunyi saat orang berbicara.

Bunyi ini muncul dari getaran pita suara (yang tentu saja bersifat material). Sisi kedua

adalah apa yang disebut Saussure sebagai Petanda (signified). Petanda merupakan konsep

mental, seperti ketika kita menyebut kata “kucing” (yang disusun dari penanda k-u-c-i-n-

g), adalah apa yang terkesankan pada pendengar, bukanlah kucing yang sesungguhnya,

melainkan sebuah konsep tentang “kucing”, seperti bertaring, berkaki empat, menggigit,

ekornya selalu bergoyang, mengeong dan suka kencing atau buang air besar kucing-

kucingan.

Satu hal yang sangat penting juga pada kajian Saussure tentang tanda

linguistik adalah adanya sifat arbitrer yang mengaitkan antara penanda dan

50 Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-Qur’an

Kontemporer “ala” M. Syahrur (el SAQ Press dan TH Press. Yogyakarta. 2007)., h. 100.x

R1 I1/ R2 I2/ R3 I3/R4 I4/R

n+1

Page 100: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

85

petanda. Dia menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap fenomena bahasa (language)

selalu dibentuk oleh dua faktor, yaitu Parole (ekspresi kebahasaan)

dan Langue (sistem pembedaan di antara tanda-tanda) yang kemudian terjadi

semacam konvensi yang tidak disadari yang membentuk sistim bahasa tersebut

kemudian akhirnya dipatuhi. Bahasa merupakan gabungan sintagmatis dari adanya

gabungan penanda dan petanda yang kemudian terdapat sinkronisasi yang bisa

dipahami.

Contoh dalam al-Qur’an yaitu firman Allah dalam surat al-Anfâl ayat 60.

وا وأعد ا م ٱستطعتملهم باط ر ومن ة قو بهيلٱلخمن ۦترهبون كمٱللعدو وعدو وءاخرينمندونهملتعلمونهم منشيءفيسبيلٱلل وماتنفقوا ٱلليعلمهم يوف

٦٠وأنتملتظلمونمإليك

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu

sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan

persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang

orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah

mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan

dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)

Dari ayat di atas, pembahasan pokok dan menarik untuk dikaji secara

semiotik adalah kata ترهبون yang secara akar bahasa berasal dari kata ترهبون yang

diartikan takut/gentar. Sedangkan kata ترهبون mayoritas mufassir mengartikan

menakut-nakuti. Lafadz ترهبون berposisi sebagai sebuah penanda karena bersifat

material, sedangkan petanda dari lafadz tersebut berupa konsep yang muncul dari

kata ترهبون bisa berupa tindakan menakut-nakuti saja, dan bisa juga muncul konsep

dalam benak kita yaitu menakut-nakuti dengan adanya unsur goncangan dan

mungkin juga menakut-nakuti dengan adanya unsur teror. Karena menurut

Saussure hubungan antara penanda ترهبون dengan petanda yang berupa konsep

“menakut-nakuti” itu bersifat mana-suka atau arbitrer (sewenang-wenang)

Page 101: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

86

Dan ketika ayat tersebut disusun menurut sintagmatis secara linier, maka timbullah

makna asosiatif paradigmatis yang berupa pikiran-pikiran yang menentukan makna dari

ayat tersebut, yang akhirnya akan memunculkan berbagai makna berbeda tentang

bagaimana menggambarkan konsep “menakut-nakuti”, sesuai dengan konsep masing-

masing yang dipikirkan.

b. Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes adalah seorang tokoh semiotika penganut madzhab

Strukturalisnya Saussure, jadi tidak jauh berbeda dengan konsep Strukturalis ala

Saussure yang tetap menganggap bahwa dalam tanda linguistik terdapat dua sisi

yang saling berhubungan, yaitu penanda yang diistilahkan oleh Barthes

dengan Expression, dan petanda yang diistilahkan dengan Content, kemudian

keduanya terjadi Relasi (hubungan) yang menimbulkan makna Denotasi atau

makna sebenarnya. Kesatuan expression yang berhubungan dengan content yang

kemudian menimbulkan makna denotasi disebut sebagai sistem I, sedangkan dari

sistem I ini kemudian berhubungan dengan content kedua yang akhirnya

memunculkan makna konotasi atau makna tidak sebenarnya. Dan kesatuan proses

tadi sampai timbulnya makna konotasi kemudian disebut sistem II. Makna konotasi

yang terus menerus akan menjadi mitos, dan mitos yang terus-menerus akan

menjadi ideologi.

Ketika Saussure hanya berhenti sampai pada hubungan penanda dan

petanda, maka Barthes meneruskan konsentrasinya pada makna konotasi yang

timbul dari hubungan antara kedua tanda linguistik tersebut. Jika content berubah-

ubah dari expresi yang tunggal, maka content-content tersebut dinamakan dengan

Page 102: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

87

makna Konotasi, sedangkan jika content-nya tetap dan expresinya yang berubah-

ubah, maka itu dinamakan dengan Metabahasa.

Teori ini jika kita terapkan pada ayat di atas adalah, tidak begitu jauh

berbeda dengan konsep penanda dan petanda ala Saussure. Seperti yang ada pada

lafadz ترهبون ini berposisi menjadi penanda yang dalam bahasa Barthes adalah

expression atau ucapan, sedangkan petanda yang berupa konsep yang dalam bahasa

Barthes adalah content atau isi adalah konsep tentang “menakut-nakuti”. Adanya

hubungan antara expresi dan content kemudian memunculkan makna denotasi yaitu

makna menakut-nakuti yang sesungguhnya.

Dari makna denotasi tersebut, maka muncullah makna konotasi dari ترهبون

yang bisa berupa menakut-nakuti dengan teror statement, menakut-nakuti dengan

pelecehan, menakut-nakuti dengan ancaman, menakut-nakuti dengan penyerangan

atau bahkan menakut-nakuti dengan tindakan pengeboman. Maka semua itu

dinamakan makna konotasi. Dan jika content-nya tetap yaitu konsep tentang

“menakut-nakuti”, akan tetapi expresinya berbeda-beda, seperti kata menghujat,

mengancam, menghardik, meneror, menyerang, atau mengebom, maka hal tersebut

dinamakan metabahasa.

3. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce dalam Kajian Tafsir

Secara Umum

Berbeda dengan apa yang diungkapkan Saussure yang meyakini bahwa

tanda memiliki dua sisi keterkaitan. Konsep semiotika yang dianut Peirce adalah

bahwa teori tanda dibentuk oleh hubungan tiga sisi. Tiga sisi hubungan tersebut

adalah Representamen (oleh Peirce disebut juga “tanda”) yang berhubungan dengan

Objek (sesuatu yang dirujuk oleh tanda atau representamen), yang dengan

Page 103: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

88

hubungan tersebut membuahkan Interpretant (sesuatu yang diserap oleh benak kita,

sebagai hasil penghadapan kita dengan tanda itu sendiri).

Wujud Interpretant yang tersamar, memungkinkan ia menjelma menjadi

Tanda/Representamen baru. Dan hasilnya adalah satu mata rantai semiosis. Ini

menempatkan Interpretant dalam satu hubungan dengan Objek lain, yang pada

gilirannya akan melahirkan Interpretant baru. Interpretant ini nantinya

ditransformasi menjadi Tanda/Representamen yang berhubungan dengan Objek

berikutnya, yang mengakibatkan lahirnya Interpretant lain. Ini terus berlangsung

tanpa batas yang disebut dengan unlimited semiosis atau mata rantai semiotika

tanpa batas.

Aplikasi teori Peirce ini pada contoh ayat di atas adalah, jika kita membahas

lafadz ترهبون yang berposisi sebagai Representamen/Tanda, kemudian tanda ini

berhubungan dengan Objek yang berupa ‘kekuatan militer”, maka akan

membuahkan Interpretant berupa “menakut-nakuti” dengan kesiapan kekuatan

militer”. Ini merupakan hubungan tanda sederhana yang dibentuk oleh tiga sisi

Dari tiga sisi hubungan tanda ini, bisa menjadi mata rantai semiotika yang

panjang dan bahkan tanpa batas. Lafadz ترهبون yang menjadi

Representament/Tanda berhubungan dengan Objek berupa “kekuatan militer”,

maka membuahkan Interpretant berupa “menakut-nakuti dengan kekuatan militer”.

Interpretant ini ditransformasi menjadi Representament baru yang berhubungan

dengan Objek berupa “meneror”, maka membuahkan Interpretant baru berupa

“menakut-nakuti dengan teror”. Interpretant ini ditransformasi menjadi

Representament baru yang berhubungan dengan Objek berupa “menyerang”, maka

Page 104: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

89

membuahkan Interpretant baru lagi berupa “menakut-nakuti dengan mengebom”,

dan begitu seterusnya.

Maka tidaklah suatu hal yang aneh jika dari ayat tersebut terjadi perbedaan

pemaknaan lafadz ترهبون yang berarti “menakut-nakuti”, tergantung Objek yang

dirujuk oleh masing-masing kepala. Para mufassir konvensional mengkonsepsikan

dengan Objek “persiapan militer yang kokoh”, maka timbullah Interpretant ترهبون

lafadz ترهبون adalah “menakut-nakuti dengan kekuatan militer”. Berbeda dengan

itu, kelompok kaum muslim radikal mengkonsepsikan ترهبون dengan Objek

“penyerangan”, maka timbullah Interpretant lafadz ترهبون adalah “menakut-nakuti

dengan penyerangan”. Maka tidaklah mengherankan jika mereka melakukan

tindakan terorisme dengan melakukan pengeboman ataupun dengan cara lain, hal

ini tidak lain adalah karena perbedaan konsepsi Objek dari Representamen lafadz

نترهبو .

Ketiga uraian tentang kajian semiotika dalam studi al-Quran di atas

memberikan gambaran kepada pemerhati kajian tafsir al-Quran bahwa dengan

pendekatan semiotika seseorang yang mengkaji satu kata dalam al-Quran yang

dianggap sebagai tanda atau simbol akan melahirkan multi makna dan penafsiran

yang berbeda.

4. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce atas Penafsiran QS.

Al-Nisâ` (4): 3 dan 129.

Seperti telah dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa, setiap tanda

memerlukan interpretasi. Suatu tanda berfungsi karena ada orang yang

menginterpretasikannya dalam pikirannya. Jika tidak ada interpretasi berarti tanda

Page 105: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

90

tidak berfungsi sebagai tanda. Hubungan tanda dengan interpretasi dalam

terminologi C. S. Peirce adalah hubungan triadik, yaitu antara tanda, objeknya, dan

interpretant yaitu interpretasi oleh individu atau subjek dalam pikirannya. Proses

pemaknaan atau interpretasi suatu tanda oleh subjek atau individu disebut semiosis.

Proses semiosis pada semiotika Charles Sanders Peirce merupakan proses

pemahaman pada satu tanda, Peirce membagi proses pemahaman tanda pada tiga

metode yaitu Firstness merupakan relasi antar elemen tanda yang bersifat Subyektf

(berdasarkan pengalaman pribadi) yang fokus kajiannya adalah agensi. Sementara

Secondness adalah relasi antar elemen tanda yang bersifat material (terindra) yang

fokus kajiannya adalah obyek, dan Thridness adalah relasi antar tanda yang bersifat

maknawi (interpretasi) fokus kajiannya pada teks, selain itu Peirce juga membagi

tanda tersebut kedalam tiga tingkatan yaitu: Kepertamaan (Firstness), Kekeduaan

(Secondeness), Keketigaan (Thirdness). Model metode pertama terdiri dari

qualisign untuk Firstness, sinsign untuk Secondness, dan legisign untuk Thirdness.

Dalam model metode kedua Firstness menghubungkan pada ikon, Secondness pada

indeks, dan Thirdness pada simbol. Terakhir dalam metode ketiga Firstness

menghubungkan rheme, Secondness pada decisign, dan Thirdness pada argument.

Dan seperti yang telah penulis paparkan bahwa untuk mengetahui makna awal dari

kata القسط dan العدل dalam al-Quran pada ayat-ayat poligami maka penulis akan

menggunakan metode kepertamaan (Firtness) dari semiotika Peirce, berikut

langkah-langkanya:

Page 106: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

91

a. Makna Generik (Firstness)

Untuk mengetahui mendapatkan pemahaman awal (makna awal) dari kata

generik kata القسط dan العدل dalam al-Qur’an pada ayat-ayat poligami, maka penulis

mengacu pada dimensi makna ayat tersebut (redaksi ayat) dan juga asbâb al-nuzûl

dua ayat poligami51.

1. Dimensi Makna Ayat (Mencari Makna Awal) QS. Al-Nisâ` (4): 3 dan 129

Untuk menelaah makna awal dari kata القسط dan العدل dalam Qur’an pada

ayat-ayat poligami maka penulis akan mencarinya melalui redaksi ayat tersebut.

Ayat Al-Qur’an Subjek Represent

amen

Objek Interpretasi

في تقسطوا أل خفتم وإنفٱنكحوا ماطابلكم مى ٱليت ع ثورب وثل نٱلنساءمثنى محدة فو تعدلوا أل خفتم فإنلك ذ نكم أيم ملكت ما أو

تعولوا أل ٣أدنى“Dan jika kamu takut tidak

akan dapat berlaku adil

terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim

(bilamana kamu

mengawininya), maka

kawinilah wanita-wanita

(lain) yang kamu senangi:

dua, tiga atau empat.

Kemudian jika kamu takut

tidak akan dapat berlaku

adil, maka (kawinilah)

seorang saja, atau budak-

budak yang kamu miliki.

Yang demikian itu adalah

lebih dekat kepada tidak

berbuat aniaya”.(Q.S. Al-

nisâ`: 3)

Wali

anak

yatim

تقسطوا

Anak-

anak

yatim

berlaku adil

terhadap anak-

anak yatim

dalam segi

hak-hak

mereka.

51 Surat al-Nisâ` Ayat 3 dan 129.

Page 107: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

92

تعدلوا أن تستطيعوا ولنفل بينٱلنساءولوحرصتمفتذروها ٱلميل كل تميلوا تصلحوا وإن كٱلمعلقةغفورا كان ٱلل فإن قوا وتت

حيما ١٢٩ر

“Dan kamu sekali-kali

tidak akan dapat berlaku

adil di antara isteri-

isteri(mu), walaupun

kamu sangat ingin berbuat

demikian, karena itu

janganlah kamu terlalu

cenderung (kepada yang

kamu cintai), sehingga

kamu biarkan yang lain

terkatung-katung. Dan

jika kamu mengadakan

perbaikan dan memelihara

diri (dari kecurangan),

maka sesungguhnya Allah

Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang.” (Q.S.

Al-nisâ`: 129)

Suami ت عدلوا أن Istri Seorang suami

tidak akan

mampu

berlaku adil

terhadap istri-

istrinya

a) Proses Semiosis QS. al-Nisâ` (4): 3

O

Anak Yatim Perempuan

dan para istri

R تقسطوا

(Qualisign)

I Wali anak yatim

harus berlaku adil

terhadap anak yatim

perempuan yang

hendak di nikahinya

Page 108: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

93

I Seorang suami tidak akan

mampu berlaku adil

terhadap istri-istrinya

Lafadz تقسطوا yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini di

kategorikan sebagai qualisign (karena sumber / tanda yang kita ambil langsung dari

ayat Qur’an itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Anak

yatim perempuuan”, maka membuahkan Interpretant “Wali anak yatim yang harus

berlaku adil terhadap anak yatim yang hendak dinikahinya. Dari proses semiosis di

atas dapat kita lihat bahwa jika kita melihat dari redaksi ayat, maka ayat ini

berbicara tentang perlindungan atas hak-hak anak yatim.

b). Proses Semiosis QS. al-Nisâ` (4): 129

O

Para Isteri

Lafadz تعدلوا أن yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini

di kategorikan sebagai qualisign (karena sumber / tanda yang kita ambil langsung

dari ayat al-Quran itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Istri-

istri”, maka membuahkan Interpretant “Seorang suami tidak akan mampu berlaku

adil terhadap para istrinya”. Dari proses semiosis di atas dapat kita lihat bahwa jika

kita melihat dari redaksi ayat, maka ayat ini menegaskan bahwa seorang suami tidak

akan mampu berlaku adil kepada para istrinya.

R تعدلوا أن

(Qualisign)

)

Page 109: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

94

1. Makna Konteks Awal Ayat QS. Al-Nisâ` (4): 3

Menurut hemat penulis antara satu riwayat dan yang lainnya mengenai

asbâb al-nuzûl saling mendukung satu sama lain dimana semua riwayat tersebut

merincikan riwayat sebelumnya dan subyek dari asbâb al-nuzûl adalah wali para

anak yatim perempuan.

Lafadz تقسطوا yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini di

kategorikan sebagai sinsign (karena sumber / tanda yang kita ambil dari asbâb al-

nuzûl (konteks) ayat Quran itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan dengan

Objek “Anak yatim perempuuan kaya (pada masa sahabat)”, maka membuahkan

Interpretant “Wali anak yatim yang harus berlaku adil terhadap anak yatim yang

hendak dinikahinya”.

Dari proses semiosis asbâb al-nuzûl di atas dapat kita lihat bahwa yang

melatarbelakangi turunnya ayat ini karena terjadinya ketidak-adilan yang dilakukan

oleh seorang wali laki-laki dari suku Quraisy yang terhadap perempuan yatim kaya

yang masih dalam lindungan wali tersebut. Dari proses semiosis yang penulis

R تقسطوا

(Sinsign)

I Wali anak yatim harus berlaku

adil terhadap anak yatim

perempuan yang hendak di

nikahinya

O

Anak Yatim Perempuan Kaya

(pada masa sahabat)

Page 110: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

95

lakukan dapat kita simpulkan bahwa dari segi historitas ayat ini diturunkan

sebenarnya adalah salah satu cara Allah melindungi anak yatim perempuan kaya

dari ketidak-adilan sang wali.

2. Makna Konteks Awal Ayat QS. Al-Nisâ` (4): 129

Ayat ke 129 diturunkan sehubungan dengan ‘Âisyah binti Abû Bakar

Shiddîq, istri Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mencintai ‘Âisyah melebihi

kecintaanya terhadap istri-istri yang lain. Oleh sebab itu setiap saat Rasulullah

SAW berdoa: “Ya Allah, inilah giliranku sesuai dengan kemampuan yang ada pada

diriku. Janganlah Engkau memaksakan sesuatu yang menjadi perintah-Mu di atas

kemampuan yang ada pada diriku”. (HR. Ibnu Hâtim dari Abû Zar’ah), dari Ibnu

Syaibah dari Husain al-Ju’fi dari Zaydah dari ‘Abd al-‘Azîz bin Râfi’ dari Ibnu Abî

Mulaikah).52 Jika pada ayat 3 subyeknya adalah wali anak yatim, maka pada ayat

129 ini subyeknya dari asbâb al-nuzûl nya adalah Rasulullah SAW.

52 Mahali, Asbabun Nuzul.

O Cinta/ Kasih sayang

R تعدلوا أن

(Sinsign)

)

I Ketidakmampuan seorang suami

(Nabi SAW) berlaku Adil terhadap

Isteri-isteri beliau dalam hal

pembagian kasih sayang

Page 111: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

96

Lafad أن yang menjadi Representament/Tanda pada proses ini di تعدلوا

kategorikan sebagai Sinsign (karena sumber / tanda yang kita ambil langsung dari

asbâb al-nuzûl (konteks) ayat tersebut kemudian tanda ini berhubungan dengan

Objek “cinta/kasih sayang” maka membuahkan Interpretant “ketidakampuan Nabi

berlaku adil dalam hal pembagian kasih sayang”.

Dari proses semiosis Asbâb al-Nuzûl di atas dapat kita lihat alasan turunnya

ayat ini karena doa Nabi yang berkeluh kesah dan mengaku kepada Allah

bahwasanya Rasul memang mampu berlaku adil kepada para istrinya dalam segi

materi (waktu dan nafkah), namun Rasulullah tidak mampu berbohong bahwa di

dalam hati Rasulullah sangat mencintai ‘Âisyah. Dari proses semiosis yang penulis

lakukan dapat kita lihat bahwa dari latar belakang ayat ini, pesan yang ingin Allah

sampaikan kepada kita adalah penegasan Allah bahwa berlaku adil dalam segi

immateri memang tidak akan mungkin dilakukan.

• Analisa Perbandingan Redaksi Ayat dan Asbâb al-Nuzûl QS. Al-

Nisâ` (4): 3

Dari proses semiosis antara redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl yang telah

dilakukan oleh penulis, dapat kita lihat bahwa kedua proses semiosis di atas

sebenarnya saling mendukung dan menjelaskan, selain itu dari proses di atas dapat

kita lihat bahwasanya persamaan/kesepakatan (legisign) yang disepakati dari

redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl adalah pada surat Al-Nisâ` (4): 3 berbicara

mengenai perlindugan (keadilan) yang harus dilakukan untuk anak yatim

perempuan. Hal ini akan penulis tunjukkan dengan proses semiosis sebagai berikut:

Page 112: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

97

Lafadz تقسطوا yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini di

kategorikan sebagai Qualisign (karena sumber / tanda yang kita ambil dari redaksi

ayat Qur’an itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Anak

yatim perempuuan”, maka membuahkan Interpretant “Keadilan kepada para istri

menjadi dasar keadilan kepada anak yatim perempuan”. Interpretant ini

ditransformasi menjadi Representament baru “Keadilan kepada anak yatim

perempuan" yang pada proses ini di kategorikan sebagai Sinsign (karena sumber /

tanda yang kita ambil dari Asbâb al-nuzûl (konteks) ayat al-Qur’an itu sendiri)

kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Anak yatim perempuan kaya (pada

masa sahabat”, maka membuahkan Interpretant baru yang pada proses ini di

kategorikan sebagai Legisgn (karena interpretan tersebut diambil berdasarkan

persamaan/ kesepakatan yang terlihat antara redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl) yaitu

R3 I2 Poligami dimaksudkan untuk

melindungi anak yatim

perempuan kaya (pada masa

sahabat/awal Islam)

(Legisign)

O

Anak Yatim Perempuan

kaya (pada masa sahabat)

R1 تقسطوا

(Qualisign)

R2 Keadilan kepada anak

yatim perempuan

O

Anak Yatim Perempuan

dan para istri

REDAKSI AYAT ASBABUN NUZUL

I1 Keadilan kepada para istri

menjadi dasar keadilan

kepada anak yatim

perempuan

(Sinsign)

Page 113: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

98

”Poligami dimaksudkan untuk melindungi anak yatim perempuan kaya (pada masa

sahabat/awal Islam).”

Pada proses semiosis perbandingan di atas penulis tidak menuliskan proses

semiosis pada redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl karena menurut penulis pada proses

semiosis tersebut memiliki kesamaan sehingga penulis hanya menuliskan semiosis

penggabungan antara redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl lalu setelah itu penulis

melanjutkan dengan memaparkan persamaan (kesepakatan) dari kedua proses

semiosis tersebut.

• Analisa Perbandingan Redaksi Ayat dan Asbâb al-Nuzûl QS. Al-

Nisâ` (4): 129

Dari proses semiosis antara redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl yang telah

dilakukan oleh penulis, dapat kita lihat bahwa kedua proses semiosis di atas

sebenarnya saling mendukung dan menjelaskan, selain itu dari proses di atas dapat

kita lihat bahwasanya persamaan/kesepakatan (legisign) yang disepakati dari

redaksi ayat dan asbabun nuzul adalah pada surat Al-Nisâ` (4): 129 berbicara

mengenai ketidakmampuan seorang suami untuk berlaku adil dalam hal pembagian

rasa kasih sayang dan cinta kasih. Hal ini akan penulis tunjukkan dengan proses

semiosis sebagai berikut.

Page 114: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

99

Lafadz تعدلوا أن yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini di

kategorikan sebagai Qualisign (karena sumber / tanda yang kita ambil dari redaksi

ayat Qur’an itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “para

Isteri”, maka membuahkan Interpretant “ketidakmampuan Nabi SAW berlaku adil

terhadap istri-istrinya”. Interpretant ini ditransformasi menjadi Representament

baru “Nabi SAW tidak mampu Adil terhadap istri-istrinya” yang pada proses ini

dikategorikan sebagai Sinsign (karena sumber / tanda yang kita ambil dari Asbâb

al-nuzûl (konteks) ayat al-Quran itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan

dengan Objek “cinta/kasih sayang”, maka membuahkan Interpretant baru yang

pada proses ini di kategorikan sebagai Legisgn (karena interpretan tersebut diambil

berdasarkan persamaan/ kesepakatan yang terlihat antara redaksi ayat dan asbâb al-

nuzûl) yaitu ”keidakampuan suami berlaku adil dalam hal pembagian kasih

sayang”.

O2 Rasa Cinta/ Kasih sayang Nabi

SAW

O1 Para isteri

REDAKSI AYAT ASBÂB AL-NUZÛL

R1 تعدلوا أن

(Qualisign)

)

I1 Ketidakmampuan

Nabi SAW berlaku

Adil terhadap istri-

istrinya (Sinsign)

R2 Nabi SAW tidak

mampu Adil terhadap

istri-istrinya

I2 / (R3) Ketidakmampuan Nabi SAW

berlaku Adil terhadap para isterinya

dalam hal pembagian kasih sayang (Legisign)

Page 115: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

100

Pada proses semiosis perbandingan di atas penulis tidak menuliskan proses

semiosis pada redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl karena menurut penulis pada proses

semiosis tersebut memiliki kesamaan sehingga penulis hanya menuliskan semiosis

penggabungan antara redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl lalu setelah itu penulis

melanjutkan dengan memaparkan persamaan (kesepakatan) dari kedua proses

semiosis tersebut.

• Analisa Perbandingan Ayat-ayat Poligami

Terdapat perbedaan makna term adil ( تعدلوا) dan (القسط). Pada dua ayat ini,

setelah melihat dan membaca latar belakang turunnya dua ayat tentang poligami di

atas dapa kita simpulkan bahwa dari segi asbâb al-nuzûl surat Al-Nisâ` (4): 3

diturunkan untuk melindungi anak yatim perempuan kaya dari ketidak-adilan yang

dilakukan oleh walinya (dengan cara menikahi perempuan yatim tersebut), jadi

keadilan yang dimaksud pada ayat ini adalah perlakuan adil (tidak membeda-

bedakan) antara anak yatim dan juga istri-istri lain. Sementara itu, dari segi asbâb

al-nuzûl surat Al-Nisâ` (4): 129 diturunkan untuk menjawab doa (pegakuan) Nabi

SAW atak ketidakmampuan beliau utnuk berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam

hal cinta dan kasih sayang, dan hal ini menunjukan bahwa Allah pun tidak memaksa

manusia untuk berlaku adil dalam hal cinta dan kasih sayang karena berlaku adil

dalam pembagian kasih sayang dan cinta adalah hal yang sulit untuk dilakukan

manusia. Namun, ketidakmampuan tersebut jangan sampai membuat sikap kita

terhadap orang lain pun menjad tidak adil (berpihhak pada satu pihak).

Dari kedua asbâb al-nuzûl ayat di atas dapat kita lihat bahwa keadilan yang

dimaksud pada surat Al-Nisâ` (4): 3 adalah keadilan yang bersifat terlihat dan

Page 116: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

101

terukur (hal ini dapat dilihat karena ayat ini memerintahkan untuk berlaku/

memperlakukan anak yatim secara adil) sedangkan pada surat Al-Nisâ` (4): 129

keadilan yang dimaksud adalah yang bersifat abstrak (tak terlihat/immateri).

b. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce atas Penafsiran al-Tabarî pada

QS. Al-Nisâ` (4): 3 dan 129

1. QS. Al-Nisâ` (4): 3

al-Thabarî memahami ayat ini dengan melihat asbâb al-nuzûl juga riwayat-

riwayat para sahabat mengenai ayat ini, dan dari sekian banyak riwayat al-Tabarî

memahami ayat ini dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada

dalam asuhan walinya, dan juga perempuan-perempuan lain yang menjadi istri

mereka. Dia menafsirkan ayat tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap

perempuan yang dikawini. Apabila seorang laki-laki tidak dapat berbuat adil

terhadap anak yatim yang dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-

perempuan lain yang ia sukai, dua, tiga ataupun empat. Namun, jika dia khawatir

tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka nikahilah satu orang saja. Jika

masih khawatir tidak bisa berlaku adil walaupun terhadap satu orang saja, maka

janganlah kamu menikahinya. Akan tetapi bersenang-senanglah dengan budak

yang mereka miliki, karena budak- budak itu adalah miliknya dan merupakan

hartanya, yang demikian itu lebih dekat pada keselamatan dari dosa, aniaya, dan

penyelewengan terhadap perempuan.

Page 117: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

102

Lafad تقسطوا yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini

dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir

untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut) kemudian tanda ini berhubungan

dengan Objek “Anak yatim perempuan dan para isteri”, maka membuahkan

Interpretant “Seorang suami harus berlaku adil terhadap anak yatim perempuan

yang hendak dinikahinya dan juga para isterinya” yang pada proses ini disebut

dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari al-Thabarî

mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut).

Dari proses semiosis diatas dapat kita lihat bahwa al-Thabarî memaknai

keadilan yang dimaksud pada ayat ini adalah keadilan yang bersifatnya terlihat dan

terukur (seperti pembagian waktu dan harta). Kemudian, keadilan yang terlihat dan

terukur kemudian keadilan ini merupakan hal yang harus mampu dilakukan oleh

seorang suami yang hendak berpoligami.

2. QS. Al-Nisâ` (4): 129

Dari pemaparan at-Thabari di atas dapat kita lihat bahwa menurut al-Thabarî

berlaku adil terhadap istri dalam hal cinta dan kasih sayang adalah hal yang tidak

R تقسطوا

(Rheme)

)

I Seorang suami harus berlaku adil

terhadap anak yatim perempuan

yang hendak di nikahinya dan

juga para isterinya

(Argumen)

O

Anak Yatim Perempuan dan para isteri

Page 118: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

103

mungkin atau tidak akan mampu dilakukan oleh seorang suami, ketidakmampuan

berlaku adil dalam hal cinta dan kasih sayang ini, jangan sampai membuat suami

berlaku tidak adil dalam hal materi seperti pembagian harta, waktu dan ha-hal

bersifat materi.

Lafadz أن yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini تعدلوا

dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir

untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut) kemudian tanda ini berhubungan

dengan Objek “para isteri”, maka membuahkan Interpretant “ketidakmampuan

suami berlaku adil terhadap istri-istrinya” yang pada proses ini disebut dengan

argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari al-Thabarî mengenai

makna kata adil dalam ayat tersebut). Interpretant ini ditransformasi menjadi

Representament baru “Suami tidak mampu adil terhadap istri-istrinya” yang

kemudian tanda baru ini berhubungan dengan Objek “cinta/kasih sayang”, maka

membuahkan Interpretant baru yaitu “keidakampuan suami berlaku adil dalam hal

O2 Cinta/ Kasih sayang

R1 تعدلوا أن

(Rheme)

)

I1 Ketidakmampuan

Suami berlaku Adil

terhadap istri-istrinya

(Argumen)

I2 / (R3) Ketidakmampuan Suami berlaku

Adil terhadap para isterinya dalam

hal pembagian kasih sayang (Argumen)

O1 Para isteri

R2 Suami tidak mampu

Adil terhadap istri-

istrinya

Page 119: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

104

pembagian kasih sayang” yang pada proses ini disebut dengan argumen (karena

interpretasi ini merupakan argumen dari al-Thabarî mengenai makna kata adil

dalam ayat tersebut).

Dari proses semiosis penafsiran al-Thabarî dapat kita lihat bahwa al-Thabarî

memaknai kata adil dalam ayat ini sebagai adil yang bersifat abstrak (tidak terlihat

dan terukur) seperti perasaan dan kasih sayang, yang harus kita ketahui bahwa

sebelum al-Thabarî mengatakan atau memaparkan tafsirnya, al-Thabarî terlebih

dahulu memaparkan pendapat-pendapat para sahabat, tabi’in, dan para penafsir lain

tentang ayat ini.

c. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce atas Penafsiran al-Râzî pada

QS. Al-Nisâ` (4): 3 dan 129

1. QS. Al-Nisâ` (4): 3

Berdasarkan penjelasan di atas, al-Râzî memahami ayat ini masih dalam

kaitannya dengan perintah berlaku adil terhadap anak-anak yatim dan juga

keharusan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dinikahi, al-Râzî

menyatakan bahwa keadilan merupakan pilar atau syarat utama bagi seorang yang

hendak melakukan poligami. Karena menurutnya apabila seorang laki-laki

khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang akan

dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan lain yang ia

sukai dua, tiga, maupun empat orang istri agar hilang kekhawatiran tersebut.

Namunn jika masih khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap empat orang istri

maka seorang istri lebih baik bagi mereka. Kemudian al-Râzî memperingatkan

bahwa batas maksimal empat orang istri, dan batas minimal satu orang istri.

Page 120: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

105

Sedangkan diantara dua batas tersebut (dua atau tiga orang istri) itu boleh-boleh

saja, asal orang tersebut mampu berlaku adil.

Lafadz تقسطوا yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini

dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir

untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut) kemudian tanda ini berhubungan

dengan Objek “Syarat”, maka membuahkan Interpretant “mampu berlaku adil

syarat yang wajib bagi seorang suami yang hendak berpoligami (menikah lagi) ”

yang pada proses ini disebut dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan

argumen dari al-Râzî mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut)..

Dari proses semiosis yang di atas, ditemukan bahwa al-Râzî dan Al-Tabarî

memahami sama makna kata adil pada ayat ini, yaitu keadilan dalam bentuk yang

terlihat dan terukur (waktu, harta, dan lain-lain). Namun, yang membedakan

diantara kedua penafsir ini adalah jika Al-Tabarî menyatakan bahwa mampu

berlaku adil dalam hal materi adalah hal yang harus dilakukan seorang suami

kepada istri, sementara al-Râzî berpendapat bahwa keharusan suami berlaku adil

terhadap istri-istri dan juga perempuan yang hendak dinikahinya adalah suatu pilar

utama atau syarat utama bagi para suami yang hendak berpoligami. Menurut

R تقسطوا

(Rheme)

)

I Mampu berlaku adil merupakan syarat

yang wajib bagi seorang suami yyang

hendak berpoligami (menikah lagi)

(Argumen)

O

Syarat

Page 121: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

106

penulis suatu hal yang wajar jika al-Râzî berpendapat demikian karena tafsir ini

merupakan tafsir yang bercorak fiqih.

2. QS. Al-Nisâ` (4): 129

Al-Râzî berpendapat terkait dengan ungkapan " فال تميلوا كل الميل" mengandung

makna bahwa kalian tidak dilarang untuk mencintai secara lebih salah seorang dari

istri-istri kalian, karena persoalan hati bukan menjadi urusan kalian. Namun kalian

dilarang untuk menampakkan perbedaan rasa cinta itu secara nyata kepada mereka,

baik dalam hal perkataan atau sifat. Dari pendapat al-Râzî dapat kita lihat bahwa

keadilan yang dimaksud dalam ayat ini adalah keadilan dalam segi immateri

namun, dengan bijak al-Râzî menyatakan bahwa ketidakmampuan berlaku adil

dalam perihal cinta jangan sampai membuat seseorang tidak mampu berlaku adil

dalam perihal prilaku terhadap istri-istrinya

O2 Cinta/ Kasih sayang

R1 تعدلوا أن

(Rheme)

)

I1 Ketidakmampuan suami berlaku Adil

terhadap istri-istrinya

(Argumen)

I2 / (R3) Ketidakmampuan suami berlaku

Adil terhadap para isterinya dalam

hal pembagian kasih sayang (Argumen)

O1 Para isteri

R2 Suami tidak mampu

Adil terhadap istri-

istrinya

Page 122: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

107

Lafadz أن yang menjadi Representament/Tanda berhubungan yang pada تعدلوا

proses ini dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang

mufassir untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut) dengan Objek “para isteri”,

maka membuahkan Interpretant “ketidakmampuan suami berlaku adil terhadap

istri-istrinya” yang pada proses ini disebut dengan argumen (karena interpretasi ini

merupakan argumen dari al-Razi mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut).

Interpretant ini ditransformasi menjadi Representament baru “suami tidak mampu

berlaku adil terhadap istri-istrinya” yang berhubungan dengan Objek “cinta/kasih

sayang”, maka membuahkan Interpretant baru yaitu “keidakampuan suami berlaku

adil dalam hal pembagian kasih sayang” yang pada proses ini disebut dengan

argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari al-Razi mengenai makna

kata adil dalam ayat tersebut).

Dari proses semiosis di atas, dapat kita lihat bahwa al-Râzî dan Al-Tabarî

memiliki penafsiran pemaknaan kata adil pada ayat ini yaitu adil dalam pembagian

rasa cinta (kasih sayang) yang memang tak akan mampu dilakukan oleh manusia.

d. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce atas Penafsiran al-Manâr pada

QS. Al-Nisâ` (4): 3 dan 129

1. QS. Al-Nisâ` (4): 3

Dari pemaparan ‘Abduh dan Rasyîd Ridhâ pada BAB II dapat kita lihat

bahwa kedua mufassir ini sepakat bahwa syarat kebolehan berpoligami adalah

berlaku adil terhadap para istri, jika seseorang tidak mampu berlaku adil maka

haram baginya untuk melakukan poligami sementara bagi yang mampu berlaku

adil, poligami merupakan pilihan darurat (seperti yang telah di jelaskan ‘Abduh di

atas) dan tujuan berpoligami jelas untuk menolong anak-anak atau perempuan

yatim.

Page 123: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

108

Lafadz تقسطوا yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini

dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir

untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut) kemudian tanda ini berhubungan

dengan Objek “Syarat”, maka membuahkan Interpretant “mampu berlaku adil

syarat yang wajib bagi seorang suami yang hendak berpoligami (menikah lagi) ”

yang pada proses ini disebut dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan

argumen dari Rasyîd Ridhâ dan ‘Abduh mengenai makna kata adil dalam ayat

tersebut).

Dari proses semiosis yang di atas dapat kita lihat bahwa Rasyîd Ridhâ,

‘Abduh dan al-Râzî sepakat bahwa makna kata adil pada ayat ini bermakna keadilan

dalam bentuk yang terlihat dan terukur (waktu, harta, dan lain-lain). Selain itu Al-

Manâr dan al-Râzî pun sama-sama berpendapat bahwa keharusan suami berlaku

adil terhadap istri-istri dan juga perempuan yang hendak dinikahinya adalah suatu

pilar utama atau syarat utama bagi para suami yang hendak berpoligami.

R تقسطوا

(Rheme)

)

I Mampu berlaku adil merupakan syarat

yang wajib bagi seorang suami yyang

hendak berpoligami (menikah lagi)

(Argumen)

O

Syarat

Page 124: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

109

2. QS. Al-Nisâ` (4): 129

Menurut Rasyîd Ridhâ keadilan yang tidak bisa dilakukan oleh seorang

suami itu adalah keadilan yang bersifat paripurna yang diinginkan oleh mereka

yang mempunyai sifat wara` dan ketakwaan yang tinggi dalam beragama,

sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya. Hal ini bersifat pasti, terlihat

dari teks “wa law harastum” (sekalipun kalian berharap akan hal itu), karena

keadilan hakiki tergolong hal yang bersifat abstrak (tidak kasat mata), tidak mudah

seseorang bisa menyeimbangkan hati dan perasaannya agar tetap mencintai secara

merata seluruh istri-istrinya. Namun Allah menjelaskan (kepada mereka yang

mempunyai sifat wara` dan ketakwaan yang tinggi dalam beragama tersebut) pada

ayat ini tentang apa yang ia maksud dengan adil itu sendiri, yaitu adil dalam prilaku

dan interaksi sosial yang terlihat, bukan dalam persoalan yang abstrak yang tidak

bisa dilihat. Karena hal yang terakhir ini tidak mungkin bisa dilakukan oleh

manusia. Allah tidak membebani seorang hamba kecuali sesuai dengan tingkat

kemampuannya.

O2 Cinta/ Kasih sayang

R1 تعدلوا أن

(Rheme)

)

I1 Ketidakmampuan

suami berlaku

Adil terhadap

istri-istrinya

(Argumen)

I2 / (R3) Ketidakmampuan suami berlaku

Adil terhadap para isterinya dalam

hal pembagian kasih sayang (Argumen)

O1 Para Isteri

R2 Suami tidak

mampu Adil

terhadap istri-

istrinya

Page 125: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

110

Lafadz أن yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini تعدلوا

dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir

untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut) kemudian tanda ini berhubungan

dengan Objek “para isteri”, maka membuahkan Interpretant “ketidakmampuan

suami berlaku adil terhadap istri-istrinya” yang pada proses ini disebut dengan

argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari Rasyîd Ridhâ dan

‘Abduh mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut). Interpretant ini

ditransformasi menjadi Representament baru “Suami tidak mampu adil terhadap

istri-istrinya” yang berhubungan dengan Objek “cinta/kasih sayang”, maka

membuahkan Interpretant baru yaitu “keidakampuan suami berlaku adil dalam hal

pembagian kasih sayang” yang pada proses ini disebut dengan argumen (karena

interpretasi ini merupakan argumen Rasyîd Ridhâ dan ‘Abduh mengenai makna

kata adil dalam ayat tersebut).

Dari proses semiosis di atas, dapat kita lihat bahwa Al-manâr memaknai

kata adil pada ayat ini yaitu adil dalam pembagian rasa cinta (kasih sayang) yang

memang tak akan mampu dilakukan oleh manusia.

• Analisa Perbandingan

Dari semua tafsir pada surat al-Nisâ` ayat 3 yang telah penulis teliti dengan

menggunakan metode semiotika Charles Sander Peirce, penulis melihat dan

menemukan bahwa dari ketiga tafsir yang mewakili jamannya tersebut sebenarnya

tidak saling kontradiktif melainkan saling mendukung satu sama lain dan

membentuk symbol baru, dan hal ini dapat penulis buktikan melalui proses semiosis

dibawah ini:

Page 126: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

111

Lafadz تقسطوا yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini di

kategorikan sebagai Qualisign (karena sumber / tanda yang kita ambil dari redaksi

ayat Qur’an itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Anak

yatim perempuuan”, maka membuahkan Interpretant “Keadilan kepada para istri

menjadi dasar keadilan kepada anak yatim perempuan” yang pada proses ini di

kategorikan sebagai Sinsign (karena sumber / tanda yang kita ambil dari Asbâb al-

nuzûl (konteks) ayat al-Quran itu sendiri). Interpretant ini ditransformasi menjadi

Representament baru “Keadilan kepada anak yatim perempuan” kemudian tanda

ini berhubungan dengan Objek “Anak yatim perempuan kaya (pada masa sahabat)”,

maka membuahkan Interpretant baru yang pada proses ini di kategorikan sebagai

Legisgn (karena interpretan tersebut diambil berdasarkan persamaan/ kesepakatan

REDAKSI AYAT ASBÂB AL-NUZÛL Al-TABARÎ Al-RÂZÎ dan Al-

MANÂR O

Anak Yatim

Perempuan dan para

istri

O

Anak Yatim

Perempuan kaya

(pada masa sahabat)

O

Anak Yatim

Perempuan dan

para istri

O

Syarat

R1 تقسطوا

(Qualisign)

I1 Keadilan

kepada para

istri menjadi

dasar keadilan

kepada anak

yatim

perempuan

(Sinsign)

I3 Seorang suami

harus berlaku

adil terhadap

anak yatim

perempuan

yang hendak di

nikahinya dan

juga para

isterinya

(Argumen)

R5/ I4 Mampu

berlaku adil

merupakan

syarat yang

wajib bagi

seorang

suami yang

hendak

berpoligami

(menikah

lagi)

(Argumen)

R2 Keadilan

kepada

anak yatim

perempuan

I2 Poligami

dimaksudkan

untuk melindungi

anak yatim

perempuan kaya

(pada masa

sahabat/awal

Islam)

(Legisign)

R3 Melindungi

anak yatim

perempuan dari

keinginan sang

wali yang

hendak berlaku

tidak adil

terhadapnya.

R4 Adil terhadap

anak yatim

perempuan

yang hendak

dinikahi dan

juga para isteri

Page 127: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

112

yang terlihat antara redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl) yaitu “Poligami dimaksudkan

untuk melindungi anak yatim perempuan kaya (pada masa sahabat)” yang

kemudian tanda ini menjadi representamen baru “Melindungi anak yatim

perempuan dari keinginan sang wali yang hendak berlaku tidak adil terhadapnya”

berhubungan dengan Objek “Anak yatim perempuan dan para isteri”, maka

membuahkan Interpretant baru “Seorang suami harus berlaku adil terhadap anak

yatim perempuan yang hendak dinikahinya dan juga para isterinya” yang pada

proses ini disebut dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari

al-Tabari mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut), lalu tanda ini menjadi

represetamen baru “adil terhadap anak yatim perempuan yang hendak dinikahi dan

para istri” berhubungan lagi dengan Objek “Syarat”, maka membuahkan

Interpretant baru “mampu berlaku adil syarat yang wajib bagi seorang suami yang

hendak berpoligami (menikah lagi) ” yang pada proses ini disebut dengan argumen

(karena interpretasi ini merupakan argumen dari ar-Râzî, Rasyîd Ridhâ dan ‘Abduh

mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut).

Dari proses semosis di atas dapat kita lihat bahwa antara redaksi ayat sampai

dengan penafsiran para mufassir, semuanya saling menguatkan dan saling

mendukung satu sama lain, oleh karena itu ketika dijajarkan maka kita bisa melihat

keterkaitan dan saling mendukung di antara para mufassir.

Sementara itu, pada ayat 129 penulis melihat bahwa sebenarnya semua

mufassir di atas sepakat bahwa sebenarnya makna kata adil pada ayat ini adalah adil

dalam bentuk abstrak (tidak terlihat dan terukur) dan ketiganya sepakat bahwa

keadilan dalam pembagian hal-hal yang bersifat abstrak ini sulit untuk dilakukan

oleh seseorang, namun ketiakmampuan berlaku adil dalam hal yang bersifat abstrak

Page 128: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

113

jangan sampai membuat seseorang bersikap tidak adil dalam segi yang terlihat dan

terukur (seseorang harus tetap berlaku adil dalam perlakuannya meskipun tidak

mampu berlaku adil dalam hal cinta maupun kecondongan hati).

Page 129: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

114

BAB IV

APLIKASI SEMIOTIKA AL-QUR’AN CHARLES SANDERS

PEIRCE ATAS PEMIKIRAN NASR HÂMID ABÛ ZAYD

TENTANG KEADILAN BERPOLIGAMI

A. Metodologi

Seperti yang telah penulis paparkan pada bab III bahwa dalam segi penafsiran

Nasr Hâmid Abû Zayd meminjam teori makna dan signifikansi dari Hirch tentang

makna dan sigfikansi yang menurut Abû Zayd, makna adalah “makna kontekstual

original yang hampir-hampir mapan (fixed) disebabkan oleh historisitasnya”,

sedangkan signifikansi bisa berubah (changeable). Berdasarkan kategorisasi antara

makna dan signifikansi itulah, Nasr Hâmid Abû Zayd mencoba mendefinisikan ‘tiga

level makna pesan’ yang inheren di dalam teks-teks keagamaan, yaitu:1

a. Level pertama adalah makna yang hanya menunjuk kepada “bukti/fakta

historis” (syawâhid tarîkhiyyah), yang tidak dapat diinterpretasikan secara

metaforis.

b. Level kedua, makna yang menunjuk kepada “bukti/fakta historis” dan dapat

diinterpretasikan secara metaforis.

c. Level ketiga adalah makna yang bisa diperluas berdasarkan atas “signifikansi”

yang dapat diungkap dari konteks sosio-kultural di mana teks itu berada.

1 Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Naqd al-Khitāb al-Dīnī (Kairo; Sinā li al-Nasyr, ), h. 210

Page 130: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

115

Pada level terakhir di atas, makna haruslah diperolah secara objektif, sehingga

signifikansi dapat diturunkan darinya secara valid. Namun, signifikansi tidak boleh

merusak makna. Makna berdasarkan atas teks, sementara signifikansi berdasarkan atas

pembaca dan proses pembacaan. Signifikansi memberikan ruang bagi subjektifitas

pembaca yang diarahkan oleh makna yang objektif itu. Pembedaan level makna

menurut Abû Zayd, di sisi lain juga berati bahwa makna suatu pesan tidak selalu

menuntut ditariknya suatu signifikansi, seperti pada level makna yang pertama,

misalnya dan ini hanya merupakan salah satu kemungkinan dari ketiga level makna di

atas.

Untuk lebih memahami metodologi Nasr Hâmid Abû Zayd, disini penulis Abû

Zayd terhadap ayat poligami, seperti yang kita ketahui di dalam al-Quran hanya surat

Al-Nisâ` (4): 3 yang membahas mengenai poligami sementara itu banyak cendikiawan

muslim yang mendiskusikan poligami dengan surat Al-Nisâ` (4): 129 karena menurut

beberapa cendikiawan muslim kedua ayat ini saling berkaitan, termasuk juga bagi Nasr

Hâmid Abû Zayd.

Sebelum memaparkan secara rinci mengenai metodologi Abû Zayd dalam

mendiskusikan isu tentang poligami, perlu diingat bahwa Abû Zayd mendiskusikan isu

poligami ini dengan melihat realita sosial yang ada di Tunisia yaitu adanya perundang-

undangan baru (Undang-Undang No. 46 Tahun 1964), dimana dalam undang-undang

tersebut terdapat aturan tentang larangan poligami.

Menurut Abû Zayd, dalam mendiskusikan ayat poligami di atas dibagi menjadi

tiga langkah. Pertama, konteks teks itu sendiri. Dia mengkontraskan absennya praktek

hukum memiliki ‘yang dimiliiki tangan kananmu’ (budak perempuan atau tawanan

Page 131: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

116

perang) sebagai ‘selir’ dalam wacana Islamis pada satu sisi, dan untuk

mempertahankan poligami: “makna nikahilah perempuan-perampuan yang kamu

sukai: dua, tiga, atau empat,“ pada sisi lain. Menurut Abû Zayd, ada sesuatu yang

hilang, yakni kesadaran akan historisitas teks-teks keagamaan, bahwa ia adalah teks

linguistik dan bahwa bahasa adalah produk sosial dan kultur. Abû Zayd berargumen

bahwa izin bagi seorang laki-laki untuk menikah dengan hingga empat istri haruslah

diletakkan dalam konteks hubungan antar manusia, khususnya hubungan antara laki-

laki dan perempuan sebelum kedatangan Islam. Dalam periode pra-Islam, hukum

kesukuan sangatlah dominan dan poligami tidak dibatasi.

Dalam konteks ini izin untuk memiliki istri sampai empat dipahami sebagai

awal upaya penghormatan kepada kaum perempuan. Abû Zayd, menyarankan bahwa

pembahasan ini harus dipahami sebagai awal pembebasan terhadap perempuan dari

dominasi kaum laki-laki.2

Kedua, meletakkan teks dalam konteks secara keseluruhan. Dengan ini, Abû

Zayd berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang implisit dapat diungkapkan.

Teks al-Qur’an sendiri juga menyarankan untuk hanya memiliki seorang istri jika

suami takut tidak bisa berbuat adil: “jika kamu takut tidak akan bisa bertindak adil

(terhadap mereka), maka seorang saja.” dalam ayat yang lain juga dipertegas bahwa:

“kamu tidak akan bisa berbuat adil diantara istri-istri kamu meskipun kamu sangat

berkeinginan untuk melakukannya.(QS. Al-Nisa’ (4): 129). Analisis linguistik dari ayat

poligami adalah tidak mungkin bersikap adil kepada istri. Penggunaan klausa

2 Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Dawāir al-Khauf: Qirā`at fī Khitāb al-Mar`ah (Beirut; Al-Markaz

al-Tsaqāfy al-‘Araby, 2004), h. 288

Page 132: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

117

kondisional (pengandaian) dan penggunaan partikel kondisional Law (jika)

menandakan penegasian terhadap jawâb al-syart (konklusi dari klausa kondisional)

disebabkan karena adanya penegasian terhadap kondisi (syart) itu. Yang harus

diperhatikan adalah penggunaan partikel lan (tidak akan pernah) yang berfungsi

sebagai koroborasi (ta’yîd) di awal kalimat, ini menunjukkan bahwa “dapat bertindak

adil” tidak akan pernah terjadi. Disini Abû Zayd menyimpulkan bahwa terdapat negasi

ganda: pertama, negasi total terhadap kemungkinan bertindak adil terhadap dua istri

atau lebih, dan kedua, negasi terhadap kemungkinan memiliki keinginan yang kuat

untuk berlaku adil terhadap mereka3.

Abû Zayd meminjam distingsi ‘Adil Dhahir tentang mabda’ (prinsip), qa’îdah

(kaidah), hukm (hukum). Keadilan, kebebasan, hak untuk hidup, dan kebahagiaan,

termasuk dalam katagori mabda’, qa’îdah adalah derivasi dari mabda’ dan tidak boleh

bertentangan dengannya, Misalnya: “jangan mencuri, jangan berzina, jangan membuat

kesaksian palsu, jangan mengganggu orang lain,” adalah termasuk mabda’.4 Dalam

konteks yurisprudensi Islam, tujuan universal syarî’at (al-maqâsid al-kulliyyah li al-

syarî’ah) sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Syatibî dalam al-Muwaffaqat, yakni

perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql),

keturunan (hifz al-nasl) dan harta (hifz al-mâl).5 Sementara Abû Zayd menawarkan tiga

prinsip universal dalam hukum Islam. Pertama, rasionalisme (‘aqliyyah) sebagai lawan

dengan jâhiliyyah, dalam pengertian mentalitas kesukuan dan tindakan emosional.

3 Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Dawāir al-Khauf: Qirā`at fī Khitāb al-Mar`ah, h. 289 4 Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Dawāir al-Khauf: Qirā`at fī Khitāb al-Mar`ah, h. 292 5 Abî Ishâq al-Syatibî, Al-Muwaffaqat fî Ushu al-Syarî’ah, (Libanon: Dâr Al-Kitâb Al-

‘alâmiyyah, t.th), juz II.

Page 133: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

118

Kedua, kebebasan (hurriyyah), yang dilawankan dengan segala bentuk perbudakan

(‘ubudiyyah). Ketiga, keadilan (‘adâlah) sebagaimana dilawankan dengan eksploitasi

manusia (zulm).6

Dalam konteks poligami, keadilan adalah mabda’ (prinsip) sementara untuk

memiliki sampai empat istri adalah hukm. Hukm tidak menjadi qa’îdah apalagi mabda’.

Hukm adalah peristiwa spesifik dan relatif, tergantung perubahan kondisi yang

melingkupinya. Ketika terjadi kontradiksi antara mabda’ dan hukm, yang terakhir harus

dikalahkan untuk mempertahankan yang pertama. Abû Zayd berpendapat bahwa al-

Qur’an melarang poligami secara tersamar dengan kata lain limitasi itu sesungguhnya

mengindikasikan pelarangan (pengharaman) secara tersamar (al-tahrîm al-dimmi).

Langkah ketiga, berdasarkan kedua langkah tersebut, Abû Zayd mengusulkan

sebuah pembaharuan hukum Islam. Dalam hukum Islam klasik, poligami

diklasifikasikan di bawah bab “hal-hal yang diperbolehkan” (al- mubâhat). Terma

“pembolehan”, menurut Abû Zayd, tidaklah sesuai karena pembolehan terkait dengan

hal yang tidak dibicarakan oleh teks, sementara pembolehan poligami dalam al-Qur’an

pada hakekatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami yang tak terbatas yang telah

dipraktekkan sebelum datangnya Islam. Pembatasan tidak berarti pembolehan. Namun

demikian, poligami tidak masuk dalam bab “pelarangan (pengharaman) terhadap hal

yang diperbolehkan” (tahrîm al-mubâhat). Dalam hal ini Abû Zayd berpendapat bahwa

6 Moch. Nur Ichwan “Meretas Keserjanaan Kritis; Teori Hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zayd

(Jakarta: Teraju, 2003)., H. 141

Page 134: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

119

poligami sebagai hukm tidak boleh merusak qa’îdah dan mabda’, sehingga poligami

dilarang.7 Dibawah ini adalah diagram tentang interpretasi ayat poligami:

7 Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Dawāir al-Khauf: Qirā`at fī Khitāb al-Mar`ah, h. 290

Praktek poligami pra- Islam: Poligami

tidak terbatas

Islam membatasi poligami: empat istri

dengan syarat suami bisa bertindak

adil

Poligami dilarang

Tujuan akhir legilasi Islam: monogami

Sikap adil dalam poligami tidaklah

mungkin: monogami lebih ditekankan

Makna

Signifikansi

“Yang tak terkatakan”

Arah Teks

Page 135: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

120

B. Aplikasi Teori Charles Sanders Peirce Atas pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd

tentang Keadilan Berpoligami

1. Proses semiosis pemikiran Nasr Hâmid tentang poligami

Setelah melihat metodologi dan Cara Abû Zayd dalam mendiskusikan isu

poligami, disini penulis akan mendeskripsikan pemikiran Abû Zayd dengan metode

semiotika Charles S. Peirce, sebagai berikut:

Lafadz فإن خفتم ألا تعدلوا (pada surat Al-Nisâ` (4): 3 dikategorkan oleh

Abû Zayd sebagai Fi’il Syarth (sementara itu pada proses semiotika Peire pendapat

Nasr ini temasuk pada kategori rheme karena kata ini memungkinkan seorang mufassir

untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut. Kemudian tanda ini berhubungan dengan

Objek “ فواحدة ” yang menurut Abû Zayd kata tersebut adalah Jawâb Syart, maka

R1

فإن خفتم ألا تعدلوا

Fi’il syarth (ayat 3

surat Al-Nisâ` )

(Rheme)

)

I1 / ( R2 )

Keadilan

merupakan syarat

utama dalam hal

berpoligami

(Argumen)

I2 / ( R3 )

Keadilan merupakan syarat utama bagi

seorang laki-laki yang hendak berpoligami

namun pada ayat 129 ditegaskan melalui

kata ولن yang menunjukkan bahwa

ketidak mungkinan seseorang berlaku adil

(Argumen)

O

تعدلوا أن تستطيعوا ولن

Surat Al-Nisâ` Ayat 129

O

فواحدة

Jawab syarth (yang terdapat

pada surat Al-Nisâ` ayat 3

Page 136: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

121

membuahkan Interpretant “Keadilan merupakan syarat utama dalam hal berpoligami”

yang pada proses ini disebut dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan

argumen dari Abû Zayd mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut). Interpretant

ini ditransformasi menjadi Representament baru yang berhubungan dengan Objek

“ تعدلوا أن تستطيعوا ولن ” (lafadz yang terdapat pada surat Al-Nisâ` (4): 129, maka

membuahkan Interpretant baru yaitu “Keadilan merupakan syarat utama bagi seorang

laki-laki yang hendak berpoligami namun pada ayat 129 ditegaskan melalui kata ولن

yang menunjukkan bahwa ketidakmungkinan seseorang berlaku adil” yang pada proses

ini disebut dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen Abû Zayd

mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut (QS. Al-Nisâ` (4):3 dan 129).

C. Relevansi Pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd dengan Mufassir lain

Sebelum memaparkan proses semiosis pemikiran Abû Zayd, penulis sengaja

memberikan sajian lengkap tentang argument-argumen dan langkah-langkah Abû Zayd

menjawab isu poligami, hal ini bertujuan untuk memudahkan penulis dalam melakukan

pengaplikasian semiotika Charles Sander Pierce terhadap pemikiran Abû Zayd

mengenai keadilan poligami. Setelah melakukan proses semiosis serta membaca

argumen Nasr dapat kita lihat bahwa keadilan atau kata adil yang dimaksud oleh

seorang Abû Zayd adalah adil dalam bentuk immateri (seperti rasa kasih sayang dan

juga cinta), hal ini dapat kita lihat melalui argument Abû Zayd yang menghubungkan

makna adil yang ada dalam Al-Nisâ` (4): 3 dengan makna kata adil pada Al-Nisâ` (4):

129. Hal inilah yang membuat interpretasi Abû Zayd berbeda dengan mara mufassir

lain.

Page 137: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

122

Setelah melihat pemaparan Nasr Hâmid Abû Zayd di atas, penulis berpendapat

bahwa ada sesuatu yang terlupakan (terlewatkan) oleh Abû Zayd ketika mendiskusin

isu poligami. Dalam mendiskusikan poligami, Abû Zayd melihat konteks realita sosial

pada masanya (mendiskusikan poligami dengan melihat perubahan undang-undanag

Tunisia) dan melihat budaya pernikahan (poligami pra-Islam dan setelah datangnya

islam). Namun, Abû Zayd tidak mendiskusikan isu poligami dan keadilan poligami

dengan melihat realita sosial saat ayat poligami turun (Asbâb al-Nuzûl), menurut

penulis hal inilah yang membuat interpretasi Abû Zayd mengenai ayat berbeda dengan

para mufassir lain seperti al-Tabarî, al-Râzî, dan al-Manâr. Seperti yang penulis

paparkan pada bab II bahwa sebelum memaparkan penafsiran tentang ayat poligami,

para mufassir seperti al-Tabarî, al-Râzî, dan al-Manâr terlebih dahulu menyinggunng

mengenai asbâb al-nuzûl ayat-ayatnya. Dan disini penulis akan mendeskripsikan

metodologi para mufassir terssebut ketika menafsirkan ayat-ayat poligami:

1. Al-Tabarî

Dalam menafsirkan QS. Al-Nisâ` (4): 3 al-Tabarî terlebih dahulu memaparkan

asbâb al-nuzûl ayat dan juga riwayat-riwayat maupun pendapat-pendapat para sahabat

maupun tabi’in, dan lain-lain kemudian barulah al-Tabarî memaparkan pendapatnya

(penafsirannya) tentang ayat tersebut. Dari semua riwayat yang dipaparkan oleh al-

Tabarî dalam kitab tafsirnya, Abû Ja’far al-Tabarî berpendapat bahwa pendapat yang

yang paling benar adalah pendapat yang menyatakan bahwa jika seorang wali khawatir

tidak bisa berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka demikian pulalah hendaknya

mereka khawatir terhadap istri-istrinya. Sehingga janganlah mereka (para wali)

Page 138: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

123

menikahi anak-anak yatim hingga mereka yakin bahwa mereka tidak akan berbuat

zalim terhadap anak-anak yatim tersebut dari satu hingga empat orang sekaligus.

Namun jika para wali tersebut masih khawatir dengan satu orang misalnya, maka

janganlah nikahi ia, tetapi cukuplah bagi mereka hamba sahaya yang mereka miliki.

Sesungguhnya hal itu lebih aman dan menentramkan bagi mereka. Adapun alasan al-

Tabarî mengatakan bahwa pendapat ini benar karena Allah Swt mengawali ayat

sebelumnya dengan larangan memakan harta anak-anak yatim tanpa alasan yang benar

serta menyampurkannya dengan harta lain selain harta mereka. Lalu Allah berfirman,

“Maka berikanlah terhadap anak-anak yatim tersebut harta mereka dan janganlah

kalian menyampurkan harta yang buruk dengan yang baik dan juga jangan memakan

harta mereka ke dalam harta kalian, sesungguhnya hal tersebut termasuk dosa yang

sangat besar”.8

Dari pendapat al-Tabarî di atas dapat kita lihat bahwa keadilan yang dimaksud

pada ayat ini adalah keadilan yang besifat material (terindera) karena pada

pemaparannya al-Tabarî menekankan keadilan pada cara memperlakukan anak-anak

yatim.

Sementara itu pada ayat 129 al-Tabarî pun menafsirkan ayat ini dengan terlebih

dahulu melihat asbabun nuzul ayatnya dan juga menuliskan riwayat-riwayat dan

pendapat-pendapat para sahabat, tabi’in, dan lain-lain mengenai ayat ini setelah itu

barulah al-Tabarî memaparkan tafsirnya tentang ayat ini. Menurut al-Tabarî keadilan

8 Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghalib al-Amili Abû Ja’far al-Tabarî , Jamî’

al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi al-Qur’an., h. 368.

Page 139: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

124

yang dimaksud pada ayat ini adalah keadilan dalam hal kasih sayang dan juga cinta

kasih yang memang akan sulit dilakukan oleh manusia. Namun, menurut al-Tabarî

ketidakmungkinan seorang suami membagi kasih sayang terhadap istri-istrinya

membuat seorang suami berlaku tidak adil dalam hal pembagian waktu dan harta.

2. Al-Râzî

Al-Râzî menafsirkan surat Al-Nisâ` (4): 3 dengan memilahnya menjadi

beberapa persoalan yang berkaitan dengan cara memperlakukan anak yatim dan juga

beliau memaparkan asbabun nuzul dari ayat tersebut. Menurut penulis dari pemaparan

Al-Râzî mengenai ayat ini, Al-Râzî memaknai keadilan pada ayat ini sama seperti al-

Tabari yaitu keadilan yang sifatnya material (terindera) seperti harta dan waktu. Hal ini

dapat dilihat karena dalam persoalan yang dibahas oleh Al-Râzî berkenaan dengan

keadilan untuk memperlakukan anak yatim dengan semestinya. Selain itu berbeda

dengan al-Tabarî, Al-Râzî menambahkan bahwa firman Allah:

jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil( وإن خفتم ألا تقسطوا ( sebagai syarat,

dan فانكحوا ما طاب لكم (Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi)

sebagai suatu kebolehan. Dengan demikian, mesti ada keterangan yang jelas tentang

bagaimana sebenarnya hubungan antara kebolehan menikahi perempuan-perempuan

yang disukai (beristri sampai empat atau poligami) dengan syarat tersebut. D ari

n diatas dapat kita lihat bahwapemapara Al-Râzî menempatkan keadilan dalam

berpoligami ad laki-alah satu syarat yang harus dapat dilakukan oleh suami atau laki

berpoligamiyang hendak

Page 140: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

125

3. Al-Manâr

Dalam menafsirkan ayat poligami QS. Al-Nisâ` (4): 3 dan 129 ‘Abduh dan

Rasyîd Ridâ terlebih dahulu melihat konteks ayat tersebut dengan memaparkan asbâb

al-nuzûl ayat tersebut, setelah itu barulah kedua mufassir ini mendiskusikannya dengan

realita sosial pada masa mereka menafsirkan ayat tesebut.

Menurut penulis, bagi ‘Abduh dan Rasyîd Ridâ keadilan yang dimaksud pada

QS.Al-Nisâ` (4): 3 adalah keadilan yang bersifat material (terindera) seperti keadilan

dalam pembagian harta dan waktu. Hal ini terlihat karena dalam tafsirnya, ‘Abduh

menyikapi penyebutan perihal poligami dalam konteks ayat yang dikaitkan dengan

kasus anak-anak yatim serta larangan memakan harta meraka sekalipun lewat jalan

pernikahan melalui perkataannya:

“Jika kalian merasa takut dari memakan harta istri kalian yang yatim, maka

janganlah kalian menikahi mereka! Karena sesungguhnya Allah telah

menjadikan alternatif bagi kalian terkait dengan anak yatim dengan

membolehkan kalian menikah dengan empat orang perempuan selain mereka

secara sekaligus. Namun, jika kalian khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap

mereka semua, maka satu istri saja lebih baik. Standar takut dari ketidakadilan

bisa diketahui dengan sangkaan kuat atau keragu-raguan terkait hal itu, bahkan

juga bisa diketahui lewat kebimbangan untuk melakukannya. Akan tetapi,

syariat Islam mentolerir kebimbangan, karena sedikit sekali ilmu yang bisa

memastikan hal ini. Maka hal yang dibolehkan untuk seorang laki-laki dalam

kasus ini adalah ia menikah dengan perempuan kedua atau lebih dengan catatan

dia yakin terhadap dirinya bahwa dia sanggup untuk berbuat adil (tidak ragu-

ragu).”9

Sementara itu Rasyîd Ridâ berpendapat bahwa ayat ini pada awalnya berbicara

tentang wasiat untuk menjaga anak yatim, baik harta maupun kesucian mereka. Yang

dimaksud dengan istilah yatim di sana adalah para yatim perempuan dan yang

9 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dâr al Ma’arifah., h. 348

Page 141: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

126

dimaksud dengan perempuan di sana adalah perempuan yang bukan yatim. Artinya

adalah jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan

yatim, maka bermuamalahlah (berinteraksilah) dengan mereka sebagaimana kalian

bermuamalah dengan perempuan selain mereka dalam memberikan mahar pernikahan

mereka atau dalam persoalan lainnya dan bahkan harus lebih baik lagi. Namun jika

kalian tidak sanggup untuk itu, maka jangan nikahi mereka, tapi menikahlah dengan

perempuan lain yang dihalalkan bagi kamu dan menarik perhatian kamu selain

perempuan-perempuan yatim tersebut.10

Dari argumen ‘Abduh dan Rasyîd Ridâ di atas, dapat kita lihat bahwa kedua

mufassir ini menempatkan keadilan sebagai suatu syarat mutlak ketika seorang suami

hendak berpoligami, pendapat ‘Abduh dan Rasyîd Ridâ ini sama dengan pendapat Al-

Râzî yang juga menempatkan keadilan sebagai syarat utama dalam poligami.

Sementara itu ‘Abduh menjelaskan tiga alasan haramnya poligami:

Pertama, syarat pertama poligami adalah berbuat adil, syarat ini mustahil bisa

dipenuhi seperti yang dikatakan dalam QS.Al-Nisâ`: 129. Kedua, buruknya perlakuan

para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat

melaksanakan kewajiban memberi nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Dan

Ketiga, dampak psikologis anak-anak hasil poligami, mereka tumbuh dalam kebencian

dan pertengkaran karena ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan istrinya

yang lain. (Al-‘Amal Al-Kamîlah/ imâm Syaikh Muhammad ‘Abduh, Cairo, Dâr Asy-

Syurûq, 1933, II: 88-93).11

10 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dâr al Ma’arifah., h. 348-350.

Page 142: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

127

Dari penjelasan ‘Abduh di atas dapat kita lihat bahwa meskipun ‘Abduh

berargumen bahwa keadilan yang dimaksud pada QS. Al-Nisâ` (4): 3 sebagai suatu

keadilan yang bersifat terindera seperti pembagian harta dan juga waktu, dan pada QS.

Al-Nisâ`: 129 adalah keadilan yang bersifat abstrak (tidak terindera) seperti keadilan

dalam pembagian kasih sayang dan cinta kasih, menurut ‘Abduh ketidakmampuan

seseorang dalam berlaku adil pada pembagian kasih sayang akan membuat seseorang

menjadi tidak adil dalam pembagian harta dan juga waktu. Hal ini dapat dibuktikan

dengan pernyataan abduh yang menyatakan bahwa sebuah rumah yang di dalamnya

ada dua orang istri tidak akan mungkin tetap dalam kondisi aman dan tentram serta

juga tidak berjalannya aturan yang dibikin oleh sang suami, bahkan sang suami bisa

saja bekerja sama dengan salah seorang dari keduanya untuk memusuhi yang lain.

Kemudian permusuhan itu menjalar kepada anak-anak keduanya, sehingga dengan

demikian mudarat poligami berkembang dari individu menuju rumah dan dari rumah

menuju keturunan (umat/antar keluarga).12

Ketika mufassir lain seperti Al-Tabari, Al-Râzî serta ‘Abduh dan Rasyîd Ridâ

memaknai kata adil pada surat Al-Nisâ` dengan keadilan yang bersifat terindra (terlihat

dan terukur) seperti adil dalam hal pembagian waktu, harta dan perlakuan terhadap

semua istri, namun Abû Zayd menghubungkan kata adil tersebuut dengan kata adil

pada surat Al-Nisâ` (4): 129 yang menurutnya sebuah penegasan bahwa keadilan yang

digambarkan pada Al-Nisâ` (4): 3 tidak akan mungkin dapat dilakukan oleh seorang

11 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara jodoh, poligami dan perselingkuhan, Jakarta: Pustaka

al-Kautsar, 2007., h. 119.

12 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dâr al Ma’arifah., Juz. V, h. 448.

Page 143: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

128

suami. Padahal seperti yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya bahwa para

mufasir sepakat bahwa makna kata adil pada surat Al-Nisâ` (4): 129 adalah adil dalam

perihal pembagian rasa kasih sayang dan cinta kasih yang memang akan sulit untuk

dilakukan oleh manusia, bukan hanya mufassir yang beranggapan demikian, jika kita

lihat dari asbâb al-nuzûl maka konteks turunnya surat tersebut adalah untuk penegasan

bahwa seseorang tidak akan mungkin berlaku adil dalam pembagian kasih sayan,

namun ketidakmampuan ini lantas membuat seorang suami berlaku (bersikap) tidak

adil terhadap isterinya dalam hal pembagian waktu dan harta.

Berdasarkan analisa di atas penlis menilai bahwa Abû Zayd memaknai

keadilan dalam kedua ayat ini dengan keadilan yang mutlak tidak seperti para mufassir

lain yang memaknai keadilan pada ayat ini secara proposional, dan hal inilah yang

menunjukkan bahwa Abû Zayd tidak sebijak para mufassir terdahulunya dala

menjawab isu mengenai keadilan berpoligami.

Selain itu, menurut penulis ketika Nasr Hâmid Abû Zayd mendiskusikan

keadilan dalam berpoligami, dia berangkat dari keadilan yang bersifat abstrak/

immateri (tidak terindera) seperti keadilan dala hal kasih sayang. Hal ini dapat dilihat

dari argumen Abû Zayd yang menyatakan bahwa lafadz فإن خفتم ألا تعدلوا (pada surat Al-

Nisâ` (4): 3 dikategorkan oleh Abû Zayd sebagai Fi’il Syarth padahal seperti yang kita

ketahui dalam beberapa kamus yang penulis tulis pada bab II kata ( تعدلوا) maknanya

adalah keadilan yang bersifat abstrak (tidak terindera) seperti keadilan dalam

pembagian kasih sayang dan cinta kasih hal inilah yang membuat interpretasi Abû Zayd

berbeda dengan para Mufasir lain.

Page 144: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

129

Menurut penulis argumentasi Abû Zayd tentang penolakan poligami dan

penawaran monogami sebagai alternatif konsep pernikahan dalam Islam yang sesuai

dengan semangat modernitas itu mengandung kelemahan. Abû Zayd terkesan

memaksakan untuk memahami term ( تعدلوا) dan (القسط) dalam satu makna yaitu keadilan

yang mutlak tanpa membedakan makna keadilan material (القسط) dan makna keadilan

immaterial ( تعدلوا). Sementara pembacaan peneliti dengan perspektif semiotika Peirce

menemukan bahwa perbedaan tersebut tidak terelakan, sehingga makna kedua term

tersebut harus dibedakan. Konsekuensinya poligami adalah bagian dari ajaran Islam

namun dengan pemenuhan ketentuan dan syarat tertentu antara lain melindungi yang

lemah (anak yatim).

Page 145: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

130

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan proses semiosis pada bab sebelumnya mengenai pemikiran

Abû Zayd tentang keadilan berpoligami, penulis berpendapat bahwa ada sesuatu yang

terlupakan (terlewatkan) oleh Abû Zayd ketika mendiskusikan wacana poligami.

Dalam mendiskusikan poligami, Abû Zayd melihat konteks realita sosial pada masanya

(mendiskusikan poligami dengan melihat perubahan undang-undanag Tunisia) dan

melihat budaya pernikahan (poligami pra-Islam dan setelah datangnya islam). Namun,

Abû Zayd tidak mendiskusikan isu poligami dan keadilan poligami dengan melihat

realita sosial saat ayat poligami turun (asbâb al-Nuzûl), menurut penulis hal inilah yang

membuat interpretasi Abû Zayd mengenai ayat berbeda dengan para mufassir lain

seperti al-Tabarî, al-Râzî, dan al-Manâr. Seperti yang penulis paparkan pada bab II

bahwa sebelum memaparkan penafsiran tentang ayat poligami, para mufassir seperti

al-Tabarî, al-Râzî, dan al-Manâr terlebih dahulu menyinggunng mengenai asbâb al-

Nuzûl ayat-ayatnya.

Selain itu setelah melakukan proses semiosis, penulis melihat bahwa dari semua

mufassir yang ditulis pada skripsi ini memaknai lafadz القسط dan العدل pada ayat 3 surat

al-Nisâ’ adalah keadilan dalam bentuk yang terlihat dan dapat diukur seperti

pembagian waktu dan harta, selain itu berlaku adil adalah suatu kewajiban bagi seorang

suami yang hendak berpoligami. Penulis juga melihat dan menemukan bahwa dari

ketiga tafsir yang mewakili jamannya tersebut sebenarnya tidak saling kontradiktif

Page 146: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

131

melainkan saling mendukung satu sama lain. Dan semua mufassir yang penulis tulis

pun setuju bahwa konteks pada surat al-Nisâ’ (4): 3 adalah untuk melindungi anak

yatim, berbeda dengan Abû Zayd yang membaca asbâb al-Nuzûl ayat hanya sebagai

suatu penjelasan mengenai pembatasan jumlah istri kemudian lalu mendiskusikan

konteks asbâb al-Nuzûl ayat dengan undang-undang Tunisia yang melarang poligami

dan penghapusan undang-undang tentang perbudakan. Menurut penulis perbedaan

pengambilan konteks ayat inilah yang membuat perbedaan interpretasi antara Abû

Zayd dan Mufassir lain. Dari proses semiosis di bab sebelumnya penulis melihat bahwa

para mufasir dan juga Abû Zayd sepakat kebolehan berpoligami bergantung pada

syarat keadilan, yaitu seorang suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya

dalam hal pembagian harta dan waktu.

Sementara itu, pada ayat 129 penulis melihat bahwa sebenarnya semua

mufassir di atas sepakat bahwa sebenarnya makna kata adil pada ayat ini adalah adil

dalam bentuk abstrak (tidak terlihat dan terukur) dan ketiganya sepakat bahwa keadilan

dalam pembagian hal-hal yang bersifat abstrak ini sulit untuk dilakukan oleh seseorang,

namun ketidakmampuan berlaku adil dalam hal yang bersifat abstrak jangan sampai

membuat seseorang bersikap tidak adil dalam segi yang terlihat dan terukur (seseorang

harus tetap berlaku adil dalam perlakuannya meskipun tidak mampu berlaku adil dalam

hal cinta maupun kecondongan hati). Pemaknaan yang dilakukan oleh para mufassir

ini berbeda dengan Abû Zayd, karena dari pemaparannya Abû Zayd terlihat

menerjemahkan keadilan sebagai keadilan yang mutlak dimana keadilan yang

dimaksud oleh Abû Zayd ini tidak akan mungkin dilakukan oleh manusia.

Page 147: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

132

Menurut penulis argumentasi Abû Zayd tentang penolakan poligami dan

penawaran monogami sebagai alternatif konsep pernikahan dalam Islam yang sesuai

dengan semangat modernitas itu mengandung kelemahan. Abû Zayd terkesan

memaksakan untuk memahami term ( dalam satu makna yaitu keadilan (القسط) dan (تعدلوا

yang mutlak tanpa membedakan makna keadilan material (القسط) dan makna keadilan

immaterial ( Sementara pembacaan peneliti dengan perspektif semiotika Peirce .(تعدلوا

menemukan bahwa perbedaan tersebut tidak terelakan, sehingga makna kedua term

tersebut harus dibedakan. Konsekuensinya poligami adalah bagian dari ajaran Islam

namun dengan pemenuhan ketentuan dan syarat tertentu antara lain melindungi yang

lemah (anak yatim).

Penulis setuju dengan pendapat para mufassir (al-Tabarî, Al-Râzî, ‘Abduh, dan

Rasyîd Ridâ) yang menyatakan bahwa keadilan pada ayat 129 ini adalah keadilan yang

bersifat tak dapat dilihat dan tak dapat dihitung (abstrak/immateri), namun

ketidakmampuan berlaku adil dalam hal ini tidak lantas membuat seseorang

menampakkannya dalam prilaku sehari-hari. Contoh terdekat adalah orang tua kita

terkadang memiliki kecendrungan hati pada satu anak namun kecenderungan itu tak

dinampakkan dalam prilakunya, karena setiap orang tua pasti memperlakukan anaknya

dengan sama (adil).

Page 148: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

133

B. Rekomendasi

1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang konsep keadilan di dalam al-

Qur’an yang dianalisa melalui teori semiotika, khususnya semiotika

Charles Sanders Peirce, dan tulisan ini dapat dijadikan langkah awal untuk

berpijak demi mengembangkan kajian tersebut.

2. Penelitian ini hanyalah bagian kecil dari usaha untuk membaca ulang atau

mendeskripsikan secara rinci tentang pemikiran Abu Zayd yang

kontraversi, karena seperti yang kita ketahui bahwa masih banyak

pemikiran Abu Zayd yang kontraversi tentang wacana-wacana yang ada di

Islam seperti talak, hak waris, dan lain-lain dan oleh sebab itu menurut

penulis, mesti ada penelitian lebih lanjut untuk membaca ulang pemikiran-

pemikiran Abu Zayd yang kontraversi tersebut.

Page 149: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

DAFTAR PUSTAKA

Abû Zayd, Nasr Hâmid. Dâwair al-Khawf: Qirâ’ah fî Khitâb al-Mar’ah. Beirut: al-

Markaz al-Saqâfî al-‘Arabî. 1999.

-------------. The Textuality of the Qur’an: an Introduction to the Translation.

-------------. Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulûmul Qur’an. Penerjemah

Khoiron Nahdliyyin. Cet. I. Yogyakarta: LKIS. 2001.

-------------. Mafhûm al-Nas; Dirâsat fî Ulûm al-Qur’an. Beirut: Al-Markaz al-

Saqâfî al-‘Arabî. 2000.

-------------. Al-Nass, al-Haqîqat: Al-Fikr al-Dîni bain Irâdat al-Ma’rifat wa Irâdat

al-Haiminat. Beirut: Markaz al-Tsaqâfî al-Arabî. 1994.

-------------. Dawâir al-Khauf: Qirâ’ah fî Khitâb al-Mar’ah. penerjemah Moch. Nur

Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi. Yogyakarta: SAMHA. 2003.

-------------. Naqd al-Khitâb al-Dîni. Penerjemah Khoirun Nahdiyin. Kritik Wacana

Agama. Yogyakarta; LkiS. 2003.

Ahmad, bin Muhammad bin ‘Alî al-Muqrî al-Fayyûmî. Al-Misbâh Al-Munîr.

Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah. 1994.

‘Araidah, Kâmil Muhammad Muhammad. Ibn Maskawaih Mazahib Akhlaqiyah.

Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah.

Arkoun, Muhammad. Nalar Islami dan Nalar Modern; Berbagai Tantangan dan

Jalan Baru. Jakarta: INIS. 1994.

Armas, Adnin. Metodologi Bibel dalam Studi al-Quran. Gema Insani. 2005.

Badudu, J.S. Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:

P.T. Kompas Media Nusantara. 2003.

Baidan, Nasharuddin. Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya penggalian konsep perempuan

dalam al-Qur’an; Mencermati Konsep Kesejajaran perempuan dalam al-

Qur’an. cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999.

Al-Baidâwî. Anwar At-Tanzil wa Isrâr At-Ta’wil. Beirut: Dâr al-Kutub al-

‘Alâmîah.

Berger, Arthur Asa. Tanda-tanda Dalam Kebudayan Kontemporer. Penerjemah M.

Dwi Marianto dan Sunarto. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2000.

Budiman, Kris. Semiotika Visual; konsep, Isu, dan Problem Ikonitas. Yogyakarta:

Jalasutra. 2011.

Page 150: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

Cambridge University. Cambridge School Dictionary. New York: Cambridge

University Press. 2008.

Christomy, T. dan Yuwono, Untung. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian

Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya,

Universitas Indonesia. 2010.

Daîf, Syauqi al-Mu’jam al-Wasît. vol. 2. Mesir: Dâr al-Da’wah.

Dahlan. Ensiklopedia Hukum Islam.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

pustaka. 2015.

Echols, John M. dan Shadly, Hassan. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia

Pustaka. 1996.

Elias, Elias. A. dan Elias, Edwar E. Qamus Al-Ilyâs Al-Ashrî Injilizi- Arabî. Bairut:

Dâr al-Jil. 1934.

Enslikopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati. 2007.

al-Hasân, Abî Hilâl ibn Abdillâh ibn Sahl al-‘Askarî. al-Furûq al-Lughawîyah.

Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2010.

Hidayat, Komarudin dan Azra, Azyumardi. Pendidikan Kewargaanegaraan (Civic

Education). cet. 6. Jakarta: Kencana. 2008.

----------. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kaja Hermeneutik. Jakarta:

Paramadina. 1996.

Hirschkind, Charles. heresy or hermeneutics, the case of nasr hâmid abû zayd.

EHR. volume 5. issue 1: Contested Polities. (February 26, 1996).

al-Hisyam, Firdaus dan Hariyono, Rudy. Kamus Lengkap 3 Bahasa; Arab

Indonesia Inggris. Surabaya: Gitamedia Press. 2006.

Hoed, Benny H. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.

2008.

http://www.mesias.8k.com/abuzayd.htm

al-Husain, Abû al-Qâsim bin Muhammad (ar-Râgib al- Ashfahânî). Al-Mufradât fî

Gharîb Al-Qur’ân. Maktabâh Nazar Mushtâfa al-Bâz.

Ibnu ‘Arabi. Isykaliyah al-Qirâ’ah wa Alliyah al-Ta’wîl. Penerjemah Muhammad

al-Mansur. Yogyakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara. 2004.

Ibnu Fâris. Mu’jam Maqâyîs al-Lugah. Vol III.

Ibn Manzûr. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dâr Shadir. 1414.

Page 151: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

Ichwan, Moch. Nur. “Meretas Keserjanaan Kritis al-Qur’an; Teori Hermeneutika

Nasr Hâmid Abû Zayd. Bandung: Teraju. 2003.

------------------------. Moch Nur Ichwan, Hermeneutika Qur’an Nasr Hâmid Abû

Zayd: Menuju Kesarjanaan Qur’an Kritis. Thesis. 2000.

Ichwan, Nur dan Hadi, Moch Syamsul. Dekontruksi Gender: Wacana Krtik

Perempuan dalan Islam. Yogyakarta: Samba. 2003.

Imron, Ali. Semiotika Al-Qur’an; Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf

Yogyakarta: Teras. 2011.

Iswanti. “Menimbang Perkawinan Monogami Dalam Agama Katolik,” Jurnal

Perempuan edisi 31. (2003).

Jaiz, Hartono Ahmad. Wanita antara jodoh, poligami dan perselingkuhan. Jakarta:

Pustaka al-Kautsar. 2007.

Al-Khatîb, Muhammad ‘Ajjaj. Ushûl Al-Hadîts. Penerjemah H.M Nur Ahmad

Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007.

Kurniawan. Semiollogi Roland Barthes. Magelang: Indonesia Tera. 2001.

Latief, Hilman. Nasr Hâmid Abû Zayd :Kritik Teks Keagamaan. Cet. 1.

Yogyakarta: Elsaq Press. 2003.

Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMY, ““Ikhwân al-Muslimîn”, Gerakan

Keagamaan dan Pemikiran (Akara Ideologis dan Penyebarannya),

Penerjemah A. Najiyulla. (Jakarta Timur: al-I’tishom Cahaya Umat. 2002.

Mahali, A. Mujab. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman al-Qur’an surat al-Baqarah-

al-Nâs. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2002.

Makmun, Rodli. dkk. Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur. Ponorogo:

STAIN Ponorogo Press. 2009.

Mubarok, Ahmad Zaki. Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-

Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur. el SAQ Press dan TH Press:

Yogyakarta. 2007.

Mulia, Siti Musdah. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

2007.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Qamus ‘Arabi-Induniai. Yogyakarta:

Pustaka Progresif. 1984.

Mûsâ, Muhammad Yûsuf. Falsafah Al-Akhlâqiyah fî Al-Islâm. Mesir: Muassâsah

Al-Khanaji. 1963.

Pari, Fariz. Epistimologi Semiotik Peirce. Jabaru: Kopi Center. 2012.

-------------. Epistimologi Semiotik Peirce: Kajian Terapan teori Semiotik. Tesis S2

Fakultas Pascasarjana Univesitas Indonesia. 1994.

Page 152: TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39483... · 2018-04-20 · semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li

al-Qaththân, Mannâ Khalîl. Mabâhits fî Ulîmil Qur’ân. Mansyurat al-‘Asr al-

Hadîts, 1973.

Rahardjo, Dawam. Ensiklopedoa al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konspp-

konsep Kunci. Jakarta. 2002.

al-Râzî, Fakhr al-Dîn. Al-Tafsîr al-Kabîr. Beirut: Dâr al-Fikr. 1995.

Ridhâ, Muhammad Rasyîd. Tafsîr al-Manâr. Beirut: Dâr al Ma’arifah.

Ryder, Martin “Semiotik Languange and Culture,” artikel diakses pada tanggal 21

Januari 2008 dari http://carbon

.cudenever.edu/~mryder/semiotikcs_este.html.

al-Sâbûnî, Muhammad Alî. Rawâ’iul Bayân, Tafsîr Ayât al-Ahkâm min al-Qur’ân.

vol. 2. Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah.

Saenong, Ilham. B. Hermeneutika Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur’an

Menurut Hassan Hanafi. Jakarta: Teraju. 2002.

Salin, Peter dan Salim, Yenny. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer .Jakarta:

Modern English Press. 2002.

Salim, Peter. Adavced English-Indonesia Dictionary. Jakarta: Modern English

Press. 1991.

Shalahuddin, Henry. Al-Qur’an di Hujat. Depok: Al-Qalam. 2007.

Sihbudi, Riza. Indonesia Timur Tengah Masalah dan Prospek. Jakarta: Gema

Insani Press. 1997.

Sobur, Alex. Semitika Komnikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006.

Sugiyono, Sugeng. Lisan dan Kalam Kajian Semantik al-Qur’an. Yogyakarta: UIN

Sunan Kalijaga Press. 2009.

Al-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli. Tafsîr Asy-Sya’rawi. Dâr at-Tafiqîyyah lî at-

Turats.

al-Syatibî, Abî Ishâq. Al-Muwaffaqat fî Ushu al-Syarî’ah. Libanon: Dâr Al-Kitâb

Al-‘alâmiyyah.

al-Tabarî, Abû Ja’far. Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-

Kutub al-Ilmiyyah. 1987.

Taqiyuddin, Hafidz. Argumen Keadilan dalam Hukum Waris Islam; Studi Konsep

‘Awl dan Radd. Tangerang Selatan: Cinta Buku Media. 2014.

Tim Penyusun. Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah. Jakarta: UIN Jakarta. 2013.