srivijaya

123
JUMPAAN 5 Kontroversi pusat kerajaan-kedatuan sriwijaya misteri kerajaan sriwijaya-kerajaan sriwijaya-kebesaran sriwijaya/kerajaan terbesar/ sriwijaya, jika membahas ini mungkin tidak akan pernah habisnya, begitu banyak misteri yang belum terpecahkan.. baik mengenai lokasi pusat kerajaan, budaya awal masyarakat pendukungnya, jangkauan wilaya terluas yang pernah dikuasi dan faktor menghilangnya kerajaan ini yang semuanya oleh parah ahli sejarah maupun arkeolog selalu diawali dengan kata "KEMUNGKINAN". catatan sejarah sriwijaya sendiri tidak banyak diketahui masyarakat indonesia maupun dari masyarakat pendukukungnya sendiri sampai tahun 1920-an saat sejarawan prancis george coedes mempublikasikan temuanya bahwa tulisan sriwijaya dalam beberapa prasasti (batu bertulis) berbahasa melayu adalah nama sebuah negara (kerajaan) dalam perkembangan penelitian sejarah tentang sriwijaya banyak muncul persepsi yang berbeda diantara peneliti sejarah, diantara perbedaan persepsi itu yang sampai sekarang masih ditulis dalam buku sejarah dengan kata "di perkirakan" adalah letak pusat pemerintahan kedatu'an sriwijaya, ada banyak daerah yang di klaim sebagai pusat sriwijaya diantaranya Palembang, Jambi, Bengkulu, Pagar Alam, Lampung, bahkan malaysia & thailandpun mengklaim kedatu'an sriwijaya ini. banyaknya klaim mengenai pusat kedatu'an ini dsapat dipahami, selain menyebarnya kronik-kronik, prasasti dan situs-situs peninggalan sriwijaya kebesaran dan kemegahan kedatu'an sriwijaya pada masa menjadi kebanggaan identitas sendiri. diantara banyaknya kemungkinan pusat kedatu'an sriwijaya, dugaan terkuat dari para ahli sejarah & arkeolog jika pusat kedatu'an sriwijaya berada di Palembang atau Jambi. tapi daerah Pagar alam dekade terakhir banyak ditemukan artefak-artefak kunopun terus diteliti kemungkinanya sebagai pusat kedatu'an sriwijaya berikut ulasan yang mendukung Palembang sebagai pusat kedatu'an sriwijaya prasati Kedukan bukit

Upload: el-hafizah

Post on 08-Jul-2016

322 views

Category:

Documents


54 download

DESCRIPTION

kontroversi kedudukan srivijaya

TRANSCRIPT

JUMPAAN 5

Kontroversi pusat kerajaan-kedatuan sriwijayamisteri kerajaan sriwijaya-kerajaan sriwijaya-kebesaran sriwijaya/kerajaan terbesar/          

             sriwijaya, jika membahas ini mungkin tidak akan pernah habisnya, begitu banyak misteri yang belum terpecahkan.. baik mengenai lokasi pusat kerajaan, budaya awal masyarakat pendukungnya, jangkauan wilaya terluas yang pernah dikuasi dan faktor menghilangnya kerajaan ini yang semuanya oleh parah ahli sejarah maupun arkeolog selalu diawali dengan kata "KEMUNGKINAN". catatan sejarah sriwijaya sendiri tidak banyak diketahui masyarakat indonesia maupun dari masyarakat pendukukungnya sendiri sampai tahun 1920-an saat sejarawan prancis george coedes mempublikasikan temuanya bahwa tulisan sriwijaya dalam beberapa prasasti (batu bertulis) berbahasa melayu adalah nama sebuah negara (kerajaan)

             dalam perkembangan penelitian sejarah tentang sriwijaya banyak muncul persepsi yang berbeda diantara peneliti sejarah, diantara perbedaan persepsi itu yang sampai sekarang masih ditulis dalam buku sejarah dengan kata "di perkirakan" adalah letak pusat pemerintahan kedatu'an sriwijaya, ada banyak daerah yang di klaim sebagai pusat sriwijaya diantaranya Palembang, Jambi, Bengkulu, Pagar Alam, Lampung, bahkan malaysia & thailandpun mengklaim kedatu'an sriwijaya ini. banyaknya klaim mengenai pusat kedatu'an ini dsapat dipahami, selain menyebarnya kronik-kronik, prasasti dan situs-situs peninggalan sriwijaya kebesaran dan kemegahan kedatu'an sriwijaya pada masa menjadi kebanggaan identitas sendiri.         diantara banyaknya kemungkinan pusat kedatu'an sriwijaya, dugaan terkuat dari para ahli sejarah & arkeolog jika pusat kedatu'an sriwijaya berada di Palembang atau Jambi. tapi daerah Pagar alam dekade terakhir banyak ditemukan artefak-artefak kunopun terus diteliti kemungkinanya sebagai pusat kedatu'an sriwijaya berikut ulasan yang mendukung Palembang sebagai pusat kedatu'an sriwijaya  prasati Kedukan bukit

prasasti kedukan bukit

          ditemukan oleh M. batenburg pada tahun 1920. di kedukan bukit pingiran sungai tatang yang bermuara ke sungai musi, palembang. prasasti yang berangka tahun 604 Saka/682M.prasas huruf Palawa berbahasa Melayu kuno. berisi tentang perjalanan Dapunta hyang dengan naik perahu membawa 20.000 tentara dengan 1000 tentara berjalan kaki dari Minanga tamwan ke muka Upang dengan kemenangan gemilang dan mendirikin wanua.

         merujuk pendapat para ahli kalau minanga adalah minangkabau sekarang ada juga yang menyamakan minanga dengan binanga sebuah wilayah yang berada di aliran sungai barumun, sumatera utara sekarang berdasarkan persamaan kata ada juga yang berpendapat kalau minanga adalah pengertianya pertemuan dua sungai yang merujuk pada sungai kampar daerah riau. pengertian diatas menjelaskan bawaha dimanapun letak minanga tamwan itu bukanlah daerah pusat sriwijaya. prasasti Kedukan bukit yang menceritakan kepulangan Dapunta hyang dengan membawa kemenangan yang Gemilang, merujuk kepada prasasti tersebut yang ditemukan dipalembang bisa dipastikan bahwa tempat dibuatnya prasasti itu adalah tempat asal  dapunta hyang berangkat dan kembali membawa kemenangan lalu mendirikan prasasti ini sebagai monunen kemenanganya.       

prasati talang tuo Prasati Talang tuo

berangka tahun 606 saka/684 M ditemukan di wilayah kaki bukit siguntang pinggiran kota palembang. prasasti berhuruf pallawa dan bahasa melayu kuno inimenceritakan pendirian taman sriksetra oleh Dapunta hyang sri rajasa unt kemakmuran rakyat disekitarnya & persingahan bagi para musafir peziarah yang lewat.

Prasasti telaga batu

prasasti ini ditemukan di sabokingking kel. 3 ilir kota palembang. tidak berangka tahun berhurup pallawa & bahasa melayu kuno. tulisan di prasasti ini memceritakan peringatan akan kutukan & hukuman untuk para pemberontak kedatu'an.yang ditujukan unt para pembesar pemerintahan & orang penting dalam masyrakat. prasasti ini satu-satunya prasasti yang menyebut Jabatan pemerintahan sriwijaya yaitu Raja putra, Kumaramatya (pembesar istana/mentri), Senapati ( panglima perang), Nayaka ( tokoh terkemuka), dandanayaka (Hakim), tuha an vatak vuruh ( mandor/kepala pekerja buruh), Vasikarana (ahli senjata), chatabatha ( tentara), Adikarana (penjabat Pengelola/pengawas),kayasta(penjaga toko), sthapaka (pengrajin), puhavan(kapten kapal) vaniaga(pedagang), marsi haji  (pelayan raja) & hulunhaji (budak raja)

prasati telaga batu     Penyebutan nama jabatan pembesar kerajaan di prasasti ini adalah pembuktian yang sangat kuat kalau palembang adalah pusat kerajaan sriwijaya, jabatan jabatan penting yang ada dalam prasasti talang tuo ini hanya mungkin ada di daerah pusat kerajaan.    

     

   

sriwijaya empire             untuk meneliti lebih lanjut tentang sriwijaya pada tahun 1954 atas perintah mentri PP&k M. yamin dinas purbakala mengadakan penelitian geoformologi di pantai timur sumatera. hasil penelitian mengungkapkan bawaha pada abad ke-7 M letak Jambi maupun Palembang masih di tepi pantai pulau Sumatera.  Jambi lebih strategis  letaknya karna berada di tengah Jalur pelayaran antara India, cina, & jawa sedangkan Palembang hanya dilalui jalur pelayaran antara india & Jawa. pelbuhan Jambi lebih strategis karna langsung berhadapan dengan laut bebas sedangkan Palembang menghadap Selat Bangka. Hal ini mendorong opini beberapa ahli unt menyimpulkan bahwa Jambi lebih memungkinkan sebagai pusat sebuah kerajaan besar dibandingkan Palembang. tapi menyimpulkan hal itu hanya karna letak kestrategisan letak kota berdasarkan abad ke-7 mungkin terlalu dipaksakan. letak strategis ibukota tidak harus menghadap kelaut bebas ataupun ditengah jalur pelayaran. syarat yang mutlak sebagai negara maritim adalah mempunyai kontrol penuh atas dermaga disekitarnya. mungkin kasusnya sama dengan imperium romawi yang letak ibukotanya di Roma juga tidak menghadap kelaut bebas tapi mempumyai kontrol penuh atas kota pelabuahan iskandariah dan athena,, lagi pula tidak ada catatan sejarah yang mengatakan letak kota sriwijaya berada di jalur yang strategis dalam jalur pelayaran selat malaka.                  pada waktu sriwijaya berdiri, sriwijaya hanya disinggahi penziarah cina & india untuk urusan keagamaan. dapat diketahui dari catatan I-tsing

"pendeta cina yang ingin mendalami dan mempelajari agama budha sebaiknya singgah dulu di sriwijaya unt belajar berlatih".coedes.g, hal.81.

perkembangan sriwijaya dari segi keagamaan tidak diiringi dengan ekonomi & politik karna dermaga sriwijaya tidak seramai & setrategis dermaga melayu & kedah, sangat memungkinkan untuk memperoleh hegemoni dan kontrol penuh atas jalur pelayaran selat malaka sriwijaya dibawa pimpinan dapunta hyang melakukan infasi ke dermaga-dermaga di  sekitar selat malaka termasuk melayu & kedah yang letaknya sangat strategis.

                 i-tsing seorang sarjana budha asal cina mengunjungi sriwijaya beberapa kali, kenjungan   pertamanya pada tahun 671 M, I-tsing tinggal selama beberapa bulan di sriwijaya untuk mempelajari bahasa sangsekerta sambil menunggu musim baik unt berlayar. selama di sriwijaya dia menulis dua bukunya yang termasyur "nan hai chi kue nei fa chuan" dan "ta t'ang hsihiu chiu fa kau seng chuan". dalam dua karnyanya itu I-tsing memberikan sumbangan besar mengenai sriwijaya, kedua karyanya itu menceritakan perjalanan I-tsing dari cina ke india dengan singgah di melalui sriwijaya dan dia sempat tinggal beberapa lama di kota sriwijaya. dalam catatanya i-tsing menuliskan sebagai berikut,  

"ketika angin timur mulai bertiup kami berlayar dari kanton menuju timur ... ... ... setelah lebi dari 20 hari berlayar kami tiba di negri sriwijaya. disana saya tinggal lebih kurang enam bulan untuk mempelajari sabdawidya. baginda sangat baik kepada saya, dia menolong mengirimkan saya ke negri melayu disana saya singgah selama dua bulan, kemudian saya melanjutkan pelayaran ke kedah ... ... berlayar dari kedah menujuh utara lebih dari sepuluh hari kami sampai ke negri orang telanjang, dari sini kami berlayar ke barat laut selama setengah bulan lalu sampai ke tamralifti ( pantai timur India)". chavanesh.h119;. ferrand h.4:. wheatly,h.41-42; wolters h.207-208.                 dalam catatan I-tsing ini jelas mengatakan kalau melayu & sriwijaya adalah dua negri yang berbeda yang berdiri pada masa yang bersamaan, mengenai melayu sendiri I-tsing mengambarkanya berada di selatan kedah atau di utara sriwijaya. dari gambaran I-tsing itu bisa ditarik kesimpulan kalau Melayu berada/berpusat di Jambi sekarang, hal itu diperkuat dengan ditemukanya arca amoghapasa di jambi yang terdapat diprasasti yang berangka tahun 1286M/1208 Saka bahwa arca itu diberikan raja singasari untuk raja melayu sebagai hadiah persahabatan melayu-singasari. jika melayu berpusat dijambi maka semakin kuatlah kalu sriwijaya itu berpusat di palembang.dalam perjalan pulang I-tsing thn 685M diceritakan I-tsing sebagai berikut.

 "tamralifti adalah tempat kami naik kapal untuk pulang menuju cina, berlayar menuju tenggara selama 2 bulan kami sampai di kedah, tempat ini sekarang menjadi kepunyaan sriwijaya... ... .. dari kedah kami berlayar ke selatan setelah kira-kira sebulan kami sampai kenegri melayu yang sekarang menjadi bagian sriwijaya. kapal kapal umumnya tiba pada bulkan pertama & kedua, kapal-kapal tinggal di melayu sampai pertengahan musim panas lalu berlayar ke utara selama setengah bulan untuk tiba di kanton." (takakusu.hh.34; wheatley h.h.41-42; wholters.hh.227-228)

     

            saat  I-tsing berangkat thn 671 M melayu masih sebuah negri merdeka, saat pulang pada tahun 685M kedah & melayu sudah menjadi bagian dari sriwijaya, hal itu sesuai dan berkorelasi dengan prasasti kedukan bukit berangka tahun 682M yang menceritakan kepulangan dapunta hyang dengan 20.000 balatentaranya dari minanga tamwam dengan kemenangan gemilang. artinya antara tahun 671-682 M sriwijaya telah melakukan bebrapa penaklukan dengan sukses. catatan I-tsing juga bisa sedikit mengurai tentang letak minanga tamwan, jika dapunta hyang pulang dengan 20.000 balatentara naik perahu & 1000 dari darat dari minanga tamwan maka bisa dipastikan bahwa daerah yang ditaklukan dapunta hyang adalah daerah yang berada dipesisir pantai dan masih bisa dijankau dengan jalan darat, I-tsing menyebutkan daerah yang ditaklukan antara tahun 671M-682M adalah melayu dan kedah. sangat memungkinkan kalau daerah yang dimaksud minanga tamwam itu adalah kerajaan melayu yang

berpusat di sekitar Jambi.karna kedah berada di semenajung malaya tentunya tidak bisa dijangkau dengan 1000 balatentara dapunta hyang yang berjalan kaki.

JUMPAAN 6

Sriwijaya atau dalam bahasa Sanskerta ditulis Sri Vijaya adalah salah satu kerajaan bahari yang pernah berdiri di Sumatra Selatan, ibu kotanya berada di kota Palembang saat ini, dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya (Malaka), Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan. Dalam bahasa Sanskerta, Sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan Wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang".[1]

Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 M, dan tinggal selama 6 bulan. Di abad ke-7 ini juga, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu (Indonesia) dan Kedah (Malaysia), yang menjadi bagian kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan mencapai zaman keemasan di era pemerintahan Balaputradewa (833-856 M). Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya tahun 1025 M, serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 M, kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.[1]

Bukti Arkeologi

Kerajaan Sriwijaya telah ada sejak tahun 671 M sesuai dengan catatan I Tsing. Sumber Sejarah kerajaan Sriwijaya yang berupa prasasti antara lain: Prasasti Kedukan Bukit (bertarikh 682 M), Talang Tuwo (bertarikh 684 M), Telaga Batu (bertarikh 683 M), Kota Kapur (bertarikh 686 M), Karang Berahi (bertarikh 686 M), Palas Pasemah dan Amoghapasa (bertarikh 1286 M). Sedangkan prasasti yang berasal dari luar negeri antara lain; Ligor (bertarikh 775 M), Nalanda, Piagam Laiden, Tanjore (bertarikh 1030 M), Canton (bertarikh 1075 M), Grahi (bertarikh 1183 M) dan Chaiya (bertarikh 1230 M). Dan sumber yang berbentuk naskah dan buku antara lain: Kitab Pararaton, kitab Memoir dan Record karya I-Tsing, Kronik dinasti Tang, Sung, dan Ming, kitab Ling-wai-tai-ta karya Chou-ku-fei dan kitab Chu-fon-chi karya Chaou-fu-hua.[3]

Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Coedes mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedes menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[1]

Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.[1]

Prasasti Kedukan Bukit

Berdasarkan prasasti Kedukan Bukit, yang ditemukan di daerah Kedukan Bukit (Minanga), di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang bertarikh 682 M (604 Saka), di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India dalam penulisannya.

Isi prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan pada tahun 1920 M itu, adalah sebagai berikut:

"Pada tahun saka 604 hari kesebelas bulan terang bulan waiseka, dapunta hyang naik di perahu mengadakan perajalanan pada hari ketujuh bulan terang bulan jyestha dapunta hyang berangkat dari minanga. Tambahan beliau membawa tentara dua laksa (20.000), dua ratus koli di perahu, yang berajalan darat seribu, tiga ratus dua belas banyaknya datang di mukha upang, dengan senang hati, pada ghari kelima bulan terang bulan asada, dengan lega gembira datang membuat wanua ... . perajalanan jaya sriwijy memberikan kepuasan."

Isi prasasti itu menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minanga dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.312 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha upang. Di tempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan wanua (perkampungan) yang diberi nama Sriwijaya.

Prasasti Talang Tuwo dan Kota Kapur

Sedangkan dalam prasasti Talang Tuwo yang ditemukan pada tahun 1920 M, disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk, yang diberi nama Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.

Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 M yang ditemukan di pulau Bangka, kerajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Kalingga (Holing) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Ibukota Sriwijaya

Para sejarawan masih berbeda pendapat tentang awal berkembang dan berakhirnya kerajaan Sriwijaya, serta lokasi ibu kotanya. Menurut George Coedes, Sriwijaya berkembang pada abad ke-7 di Palembang dan runtuh pada abad ke-14. Pendapatnya didasarkan pada ditemukannya toponim Shih Li Fo Shih dan San Fo Tsi. Menurutnya, Shih Li Fo Shih merupakan perkataan China untuk menyebut Sriwijaya. Sementara itu, San Fo Tsi yang ada pada sumber China dari abad ke-9 sampai dengan abad ke-14 merupakan kependekan dari Shih Li Fo Shih. Slamet Mulyana berpendapat lain, dia setuju dengan pendapat Coedes yang menganggap bahwa Shih Li Fo Shih adalah Sriwijaya, namun San Fo Tsi tidak sama dengan Shih Li Fo Shih. Menurutnya Sriwijaya berkembang sampai abad ke-9, dan sejak itu Sriwijaya berhasil ditaklukkan oleh San Fo Tsi (Swarnabhumi).[3]

Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang Takakusu menerjemahkan karya I-tsing, Nan-hai-chi-kuei-nai fa-ch‘uan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of the Budhist Religion as Practised in India and

the Malay Archipelago. Namun, dalam buku tersebut tidak terdapat nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari terjemahan prasasti Kota Kapur yang memuat nama Sriwijaya dan karya I-Tsing yang memuat nama Shih-li-fo-shih, Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-tsi adalah Palembang. Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886 bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, dekat kota Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul suatu kecenderungan di kalangan sejarawan untuk menganggap Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.[2]

Prasasti Telaga Batu

Prasasti Telaga Batu. Gambar: Gunawan Kartapranata.

Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang sebagai pusat kerajaan adalah prasasti Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan. Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M, maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.

Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga diperoleh dari hasil temuan barang-barang keramik dan tembikar di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang dan Kambang Unglen, semuanya di daerah Palembang. Keramik dan tembikar tersebut merupakan alat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Temuan ini menunjukkan bahwa, pada masa dulu, di Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini semakin kuat dengan hasil interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang, yang menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang bentuknya teratur itu kemungkinan besar buatan manusia, bukan hasil dari proses alami. Dari hasil temuan keramik dan kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan semakin kuat.

Sebagai pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak seperti pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan, seperti di Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan di pusat kota Sriwijaya adalah kayu, oleh karena bahan itu mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut hanya dapat ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air, bukan di pusat kota, seperti di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang ada bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu, tapi hanya bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata. Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja.[2]

Sumber Berita China dan Arab

Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita China dan Arab. Sumber China yang paling sering dikutip adalah catatan I-tsing. Ia merupakan seorang peziarah Budha dari China yang telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan I-tsing pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya pada tahun 685 M dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa China. Catatan China yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke China, yang terakhir adalah tahun 988 M.[2]

Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.

Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada masanya, dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Sejumlah bukti lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa, pada masanya, Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para saudagar dan pendeta di China, India dan Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.

Wilayah Kekuasaan

Ekspansi kerajaan ini hingga ke Jawa dan Semenanjung Malaya, yang menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Raja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kerajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.[1]

Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya pada abad ke-8 Masehi.

Gambar: Gunawan Kartapranata.

Salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai seluruh bagian barat Nusantara adalah runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indochina. Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya pemegang kendali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor lainnya adalah kekuatan armada laut Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu lintas perdagangan antara India dan China. Dengan kekuatan armada yang besar, Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau Jawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di pulau Borneo.[2]

Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Kalingga berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.[1]

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835 M. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825 M.[1]

Dari Prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada bulan Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha menaklukkan Bhumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai Utara Jawa Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah kekuasaan Sriwijaya juga bisa diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan Sriwjaya tersebut. Di daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada Karang Berahi, di Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan bahwa, daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang mengatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini merupakan bukti bahwa, Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.[2]

Struktur Pemerintahan

Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja, ada tiga persyaratan yaitu:

Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.

Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya.

Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.

Penyamaan raja dengan Dewa Indra menunjukkan raja di Sriwijaya memiliki kekuasaan yang bersifat transenden (luar biasa).[2]

Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial. Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadatuan, vanua, samaryyada, mandala dan bhumi.

Kadatuan dapat bermakna kawasan datu, (tanah rumah) tempat tinggal bini haji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadatuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadatuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyada merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyada-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhumi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadatuan Sriwijaya.

Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvaraja (putra mahkota), pratiyuvaraja (putra mahkota kedua) dan rajakumara (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada di zaman Sriwijaya. Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja), Adyaksi nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga, pratisra, marsi haji, dan hulu haji (peniaga, pemimpin, tukang cuci, budak raja).

Menurut kronik China Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvaraja (putra mahkota), pratiyuvaraja (putra mahkota kedua). Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.

Ajaran Agama

Arca Budha dalam langgam

Amarawati setinggi 2,77 m,

ditemukan disitus bukit

Siguntang, Palembang.

Berasal dari abad ke-7 sampai

ke-8 M. Gambar: Wikipedia.

Ajaran agama Budha telah diperkenalkan di Sriwijaya sejak sekitar tahun 425 M. Sebagai pusat pengajaran Budha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 685 M, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Budha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Budha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Budha aliran Budha Hinayana dan Budha Mahayana (dengan salah satu tokohnya yang terkenal ialah Dharmakirti) juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atisa, seorang sarjana Budha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhaloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[1]

Peranan Sriwijaya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.

".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Budha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan China ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India". — Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh berkembang menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.

Pengaruh Budaya

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya agama Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Budha. Kerajaan Sriwijaya juga ikut membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Borneo Barat. Agama Budha aliran Budha Hinayana dan Budha Mahayana disebarkan di pelosok kepulauan Melayu dan Palembang menjadi pusat pembelajaran agama Budha.

Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Vajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Raja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.[1]

Candi Muara Takus, Riau. Dibangun oleh Maharaja

Sri Cudamaniwarmadewa pada tahun 1003 M.

Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit peninggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.

Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam

yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).

Sampai awal abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat studi agama Budha Mahayana. Dalam relasinya dengan India, raja-raja Sriwijaya membangun bangunan suci agama Budha di India. Fakta ini tercantum dalam dua buah prasasti, yaitu prasasti Raja Dewapaladewa dari Nalanda, yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M; dan prasasti Raja Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M dan 1046 M.

Prasasti pertama menyebutkan tentang Raja Balaputradewa dari Swarnadwipa (Sriwijaya) yang membangun sebuah biara; sementara prasasti kedua menyebutkan tentang Raja Kataha dan Sriwijaya, Marawijayayottunggawarman yang memberi hadiah sebuah desa untuk dipersembahkan kepada sang Budha yang berada dalam biara Cudamaniwarna, Nagipattana, India.

Perdagangan

Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia pada masa silam. Kerajaan Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim yang pernah menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional selama berabad-abad dengan menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Setiap pelayaran dan perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur atau sebaliknya harus melewati wilayah Kerajaan Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan. Keadaan ini juga yang membawa penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh dari komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapal-kapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya.

Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah, buah-buahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India. Sedangkan faktor-faktor yang mendorong Sriwijaya muncul menjadi kerajaan besar adalah sebagai berikut:

Letaknya yang sangat strategis di jalur perdagangan.

Kemajuan pelayaran dan perdagangan antara China dan India melalui Asia Tenggara.

Runtuhnya Kerajaan Funan di Indochina. Dengan runtuhnya Funan memberikan kesempatan kepada Sriwijaya untuk berkembang sebagai negara maritim menggantikan Funan.

Sriwijaya mempunyai kemampuan untuk melindungi pelayaran dan perdagangan di perairan Asia Tenggara dan memaksanya singgah di pelabuhan-pelabuhan.

Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Malaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Syailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sejak tahun 670 hingga 1025 M.[1]

Model kapal Sriwijaya abad ke8 M yang terdapat pada

candi Borobudur. Gambar: MichaelJLowe.

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Syailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kerajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13 Masehi.[1]

Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari China, India, Arab dan Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang China, mulai dari periode Dinasti Song (960-1279 M) sampai Dinasti Ming (abad 14-17 M). Berkaitan dengan komoditas yang diperdagangkan, berita Arab dari Ibn Al-Fakih (902 M), Abu Zayd (916 M) dan Mas‘udi (955 M) menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu. Barang-barang ini dibeli oleh pedagang asing, atau dibarter dengan porselen, kain katun dan kain sutra.[2]

Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Raja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718 M, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 M mengirimkan hadiah untuk kaisar China, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[1]

Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus), yang masuk melalui perdagangan mereka.

Hubungan dengan Kekuatan Regional

Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.[1]

Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi), Raja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis:

"Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap

engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."

— Surat Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.

Pagoda Borom That.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.[1]

Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah dengan perpindahan Wangsa Syailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Syailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa Syailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana Syailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk. Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 M, Balaputradewa menegaskan asal-usulnya sebagai keturunan raja Syailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain ia mengadukan kepada sahabatnya, raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan. Persaingan antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990 M, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 M oleh Raja Wurawari (sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.[1]

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 M mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079 M. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.[1]

Masa Keemasan

Arca emas Avalokiteswara

bergaya Melayu-Sriwijaya

ditemukan di Rantaukapastuo,

Muarabulian, Jambi.

Gambar: Wikipedia.

Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada masa Balaputra Dewa. Raja ini mengadakan hubungan persahabatan dengan Raja Dewapala Dewa dari India. Dalam Prasasti Nalanda disebutkan bahwa Raja Dewapala Dewa menghadiahkan sebidang tanah untuk mendirikan sebuah biara untuk para pendeta Sriwijaya yang belajar agama Budha di India. Selain itu, dalam Prasasti Nalanda juga disebutkan bahwa adanya silsilah Raja Balaputra Dewa dan dengan tegas menunjukkan bahwa Raja Syailendra (Darrarindra) merupakan nenek moyangnya.

Kerajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainnya.

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 M tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 M pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.[1]

Pada musim semi tahun 992 M, duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kepada kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992 M. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991 M. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 M untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 M kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Raja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.[1]

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003 M, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Budha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu Cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu. (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Raja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 M menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[1]

Masa Kemunduran Sriwijaya

Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M, Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur. Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan Sriwijaya mampu melakukan serangan balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan Dharmawangsa (Kerajaan Medang). Pada tahun 1025 M, Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari kerajaan Chola, India. Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan Sriwijaya dari muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Cholamandala (Koromandel), India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya, yang mengakibatkan hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025 M, raja Sri Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya kemegahan Sriwijaya menurun. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030 M, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke China tahun 1028 M. Semasa dibawah penaklukan Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[1]

Kerajaan Singasari yang berada di bawah naungan Sriwijaya melepaskan diri. Pada tahun 1088 M, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya melemah dan takluk di bawah Majapahit.

Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.

Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079 M, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita China yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 M masih mengirimkan utusan pada masa China di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088 M. Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.[1]

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178 M, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur Semenanjung Malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur Semenanjung Malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[1]

Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut China Selatan. Hal ini karena dalam kitab Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.[1]

Kerajaan Sriwijaya mundur sejak abad ke-10 disebabkan oleh faktor-faktor berikut:

Perubahan keadaan alam di sekitar Palembang. Sungai Musi, Ogan Komering, dan sejumlah anak sungai lainnya membawa lumpur yang diendapkan di sekitar Palembang sehingga posisinya menjauh dari laut dan perahu sulit merapat.

Letak Palembang yang makin jauh dari laut menyebabkan daerah itu kurang strategis lagi kedudukannya sebagai pusat perdagangan nasional maupun internasional. Sementara itu, terbukanya Selat Berhala antara Pulau Bangka dan Kepulauan Singkep dapat menyingkatkan jalur perdagangan internasional sehingga Jambi lebih strategis daripada Palembang.

Dalam bidang politik, Sriwijaya hanya memiliki angkatan laut yang diandalkan. Setelah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada masa Airlangga, Sriwijaya terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni di Indonesia bagian timur dan Sriwijaya di bagian barat.

Adanya serangan militer atas Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh Dharmawangsa Teguh terhadap wilayah selatan Sriwijaya (992 M) hingga menyebabkan utusan yang dikirim ke China tidak berani kembali. Serangan kedua dilakukan oleh Colamandala atas Semenanjung Malaya pada tahun 1017 M, kemudian atas pusat Sriwijaya pada tahun 1023-1030 M. Dalam serangan ini, Raja Sriwijaya ditawan dan dibawa ke India. Ketika Kertanegara bertakhta di Singasari juga ada usaha penyerangan terhadap Sriwijaya, namun baru sebatas usaha mengurung Sriwijaya dengan penaklukkan atas wilayah Melayu. Akhir dari Kerajaan Sriwijaya adalah ditundukkan oleh Majapahit dalam usaha menciptakan kesatuan Nusantara (1377 M).[3]

Silsilah Para Raja-raja Sriwijaya

Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang yang berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M.[2] Berikut ini daftar silsilah para raja Sriwijaya:

Tahun 671 M ~ Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa - ibukota: Srivijaya/Shih-li-fo-shih; Catatan perjalanan I Tsing pada tahun 671-685 M, Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa. Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang Tuwo (684), Kota Kapur (686), Karang Brahi dan Palas Pasemah.

Tahun 702 M ~ Cri Indrawarman atau Shih-li-t-'o-pa-mo - ibukota: Sriwijaya/Shih-li-fo-shih; Utusan ke Tiongkok 702-716 M dan 724 M.

Tahun 728 M ~ Rudrawikraman atau Lieou-t'eng-wei-kong - ibukota: Sriwijaya/Shih-li-fo-shih; Utusan ke Tiongkok 728-742 M).

-- Tahun 743-774 M - Belum ada berita pada periode ini.

Tahun 755 M ~ Sri Maharaja atau Wisnu - ibukota: Sriwijaya; Prasasti Ligor tahun 775 M di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja)

-- Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atau Yogyakarta) ~ Wangsa Syailendra mengantikan Wangsa Sanjaya.

Tahun 778 M ~ Dharanindra atau Rakai Panangkaran - ibukota: Jawa; Prasasti Kelurak 782 M di sebelah utara kompleks Candi Prambanan. Prasasti Kalasan tahun 778 M di Candi Kalasan.

Tahun 782 M ~ Samaragrawira atau Rakai Warak - ibukota: Jawa; Prasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907 M.

Tahun 792 M ~ Samaratungga atau Rakai Garung - ibukota: Jawa; Prasasti Karang Tengah tahun 824, tahun 825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur.

-- Tahun 840 M ~ Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan.

Tahun 856 M ~ Balaputradewa - ibukota: Suwarnadwipa; Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke Suwarnadwipa. Prasasti Nalanda tahun 860 M, India.

-- Tahun 861-959 M - Belum ada berita pada periode ini.

Tahun 960 M ~ Cri Udayadityawarman atau Se-li-hou-ta-hia-li-tan - ibukota: Sriwijaya/San-fo-ts'i; Utusan ke Tiongkok 960 & 962 M.

-- Tahun 980 M ~ Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche (Haji).

Tahun 988 M ~ Cri Cudamaniwarmadewa atau Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa - ibukota: Sriwijaya/Malayagiri (Suwarnadwipa)/ San-fo-ts'i; 990 M Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atisa, Utusan ke Tiongkok 988-992-1003 M, pembangunan candi untuk kaisar Cina yang diberi nama Cheng tien wan shou, prasasti Leiden 1044 M.

Tahun 1008 M ~ Cri Mara-Vijayottunggawarman atau Se-li-ma-la-pi - ibukota: San-fo-ts'i/Kataha; Prasasti Leiden 1044 M & utusan ke Tiongkok 1008 M).

-- Tahun 1017M ~ Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u (Haji Sumatrabhumi); gelar haji biasanya untuk raja bawahan).

Tahun 1025 M ~ Cri Sangrama-Vijayottunggawarman - ibukota: Sriwijaya/Kadaram; Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan. Prasasti Tanjore bertarikh 1030 M pada candi Raja-raja, Tanjore, India, dan prasasti Chola 1044 M.

-- Tahun 1030 M ~ Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel.

-- Tahun 1079 M ~ Utusan San-fo-ts'i dengan raja Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079 M membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton).

-- Tahun 1082M ~ Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi) ke Tiongkok 1082 dan 1088 M.

-- Tahun 1089-1177 M ~ Belum ada berita.

-- Tahun 1178 M ~ Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-fan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts'i.

Tahun 1183 M ~ Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa - ibukota: Dharmasraya; Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 M di selatan Thailand).

Warisan Sejarah

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan masyarakat, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedes pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.

Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad, kekuatan ekonomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi sebagai penghubung (lingua franca) yang digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara. Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada abad ke-14 M.[1]

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Sumber referensi:

[1] Wikipedia ID: Sriwijaya

[2] Sunan Kali Jodo: Kerajaan Sriwijaya

[3] Sumatera Selatan: Kerajaan Sriwijaya

JUMPAAN 7

Sejarah Singkat Kerajaan SriwijayaMakalah Tentang Sejarah Proses Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di IndonesiaMasuknya Agama Islam di IndonesiaSekitar abad ke-7 dan ke-8 Indonesia sudah ada peniaga-peniaga dari India (Gujarat), Arab dan Persia. Mereka berniaga di Indonesia dengan memperniagakan rempah-rempah dan emas. Pada waktu itu Selat Malaka merupakan tempat yang paling ramai di Nusantara, maka dari itu Selat Malaka berperan sebagai pintu gerbang ke lautan Nusantara.

Sambil menunggu angin musim yang baik, para peniaga asing tersebut melakukan interaksi dengan penduduk setempat, selain menjalin hubungan niaga, para peniaga asing membawa ajaran Islam beserta kebudayaannya sehingga semakin lama ajaran dan kebudayaan Islam berpengaruh terhadap penduduk setempat.

Pada awalnya pengaruh Islam hanya berkembang di daerah-daerah pantai, namun lambat laun berkembang di wilayah pedalaman. Ada beberapa pendapat yang menyatakan tentang masuknya Islam ke Indonesia. Pendapat tersebut antara lain :

    Masuknya Islam ke Indonesia antara abad 7 dan 8, buktinya pada abad 7 dan 8 telah terdapat perkampungan Islam di sekitar Malaka.    Islam masuk ke Indonesia pada abad 11, buktinya Nisan Fatimah binti Maimun di desa Leran (Gresik) Jawa Timur yang berangka tahun 1082    Islam masuk ke Indonesia pada abad 13, buktinya :

        Batu nisan Sultan Malik Al Saleh berangka tahun 1297        Catatan Marcopolo tahun 1292 yang menyatakan bahwa penduduk Perlak telah memeluk agama Islam        Catatan Ibnu Batutah tahun 1345 -1346 yang menyatakan bahwa penguasa Samudra Pasai menganut paham Syafi’i        Catatan Ma Huan yang menyatakan bahwa pada abad 15 sebagian besar masyarakat di Pantai Utara Jawa Timur telah memeluk agama Islam        Summa Oriental karya dari Tome Pires yang memberitahukan tentang penyebaran Islam meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa hingga kepulauan Maluku.

Kerajaan Islam yang berkembang di Indonesia

Kerajaan Samudra PasaiKerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam yang pertama kali berdiri di Indonesia. Kerajaan Samudra Pasai yang terletak di Lhokseumawe berdiri pada abad ke-13. Raja pertama Samudra Pasai adalah Sultan Malik Al Saleh yang memerintah hingga tahun 1297.

Sepeninggal Sultan Malik Al Saleh, Samudra Pasai diperintah oleh Sultan Malik Al Tahir. Pada masa pemerintahannya Samudra Pasai berkembang menjadi daerah perniagaan dan penyebaran Islam.

Banyak peniaga muslim Arab dan Gujarat yang tinggal di Samudra Pasai sehingga Samudra Pasai berperan besar dalam penyebaran agama Islam di Indonesia

Perkembangan Kerajaan Samudra Pasai didorong beberapa faktor yaitu :

    Letak Samudra Pasai strategis di tepi selat Malaka    Melemahnya kerajaan Sriwijaya yang menyebabkan Samudra Pasai berkesempatan untuk berkembang

Samudra pasai selanjutnya diperintah oleh Sultan Ahmad. PADA masa ini terjalin dengan kesultanan Dehli di India yang dibuktikan dengan kedatangan Ibnu Batutah di Samudra Pasai tahun 1345 kerajaan Samudra Pasai akhirnya mengalami kemunduran sepeninggal Sultan Ahmad. Hal ini disebabkan oleh terdesaknya perniagaan Samudra Pasai oleh Malaka

Kerajaan AcehKerajaan Aceh berdiri pada awal abad ke-16 yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah setelah berhasil melepaskan diri dari kerajaan Pedir. Beberapa faktor yang mendorong berkembangnya kerajaan Aceh, antara lain :

    Jatuhnya Malaka dalam kekuasaan Portugis tahun 1511    Letak kerajaan Aceh sangat strategis pada jalur perniagaan internasional    Kerajaan Aceh mempunyai pelabuhan niaga   yang ramai dan menjadi pusat agama Islam.

Kerajaan Aceh akhirnya mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Wilayah kekuasaan kerajaan Aceh bertambah luas hingga ke Deli, Nias, Bintang, Johor, Pahang, Perah dan Kedah. Dalam upayanya memperluas wilayah ternyata diikuti dengan upacara penyebaran agama Islam sehingga daerah-daerah yang dikuasai Kerajaan Aceh akhirnya menganut Islam

Corak pemerintahan kerajaan Aceh memiliki ciri khusus yang didasarkan pemerintahan sipil dan agama. Hukum adat dijalankan berlandaskan Islam yang disebut Adat Maukta Alam.

Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal Aceh mengalami kemunduran karena :

    Tidak ada raja-raja yang mampu mengendalikan daerah Aceh yang demikian luas    Timbulnya pertikaian antara golongan bangsawan (teuku) dan golongan ulama (teungku)    Timbulnya pertikaian golongan ulama yang beraliran Syiah dan Sunnah Wal Jamaah    Banyak daerah yang melepaskan diri seperti Johong, Pahang, Perlak, Minangkabau dan Syiak    Mundurnya perniagaan karena selat Malaka dikuasai Belanda (1641)

2. Kerajaan DemakKerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah pada akhir abad 15, setelah berhasil melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama yang berdiri di Pulau Jawa.Pada masa pemerintahan Raden Patah, Demak mengalami perkembangan pesat. Faktor-faktor pendorong kemajuan kerajaan Demak adalah :

    Runtuhnya kerajaan Majapahit    Letak Demak strategis di daerah pantai sehingga hubungan dengan dunia luar menjadi terbuka.    Pelabuhan Bergota di Semarang merupakan pelabuhan ekspor impor yang sangat penting bagi Demak    Demak memiliki sungai sebagai penghubung daerah pedalaman

http://www.blogger.com/Makalah%20Tentang%20Sejarah%20Proses%20Masuk%20dan%20Berkembangnya%20Agama%20Islam%20di%20Indonesia%20Masuknya%20Agama%20Islam%20di%20Indonesia%20Sekitar%20abad%20ke-7%20dan%20ke-8%20Indonesia%20sudah%20ada%20peniaga-peniaga%20dari%20India%20(Gujarat),%20Arab%20dan%20Persia.%20Mereka%20berniaga%20di%20Indonesia%20dengan%20memperniagakan%20rempah-rempah%20dan%20emas.%20Pada%20waktu%20itu%20Selat%20Malaka%20merupakan%20tempat%20yang%20paling%20ramai%20di%20Nusantara,%20maka%20dari%20itu%20Selat%20Malaka%20berperan%20sebagai%20pintu%20gerbang%20ke%20lautan%20Nusantara.%20%20Sambil%20menunggu%20angin%20musim%20yang%20baik,%20para%20peniaga%20asing%20tersebut%20melakukan%20interaksi%20dengan%20penduduk%20setempat,%20selain%20menjalin%20hubungan%20niaga,%20para%20peniaga%20asing%20membawa%20ajaran%20Islam%20beserta%20kebudayaannya%20sehingga%20semakin%20lama%20ajaran%20dan%20kebudayaan%20Islam%20berpengaruh%20terhadap%20penduduk%20setempat.%20%20Pada%20awalnya%20pengaruh%20Islam%20hanya%20berkembang%20di%20daerah-daerah%20pantai,%20namun%20lambat%20laun%20berkembang%20di%20wilayah%20pedalaman.%20Ada%20beberapa%20pendapat%20yang%20menyatakan%20tentang%20masuknya%20Islam%20ke%20Indonesia.%20Pendapat%20tersebut%20antara%20lain%20:%20%20%20%20%20%20Masuknya%20Islam%20ke%20Indonesia%20antara%20abad%207%20dan%208,%20buktinya%20pada%20abad%207%20dan%208%20telah%20terdapat%20perkampungan%20Islam%20di%20sekitar%20Malaka.%20%20%20%20%20Islam%20masuk%20ke%20Indonesia%20pada%20abad%2011,%20buktinya%20Nisan%20Fatimah%20binti%20Maimun%20di%20desa%20Leran%20(Gresik)%20Jawa%20Timur%20yang%20berangka%20tahun%201082%20%20%20%20%20Islam%20masuk%20ke%20Indonesia%20pada%20abad%2013,%20buktinya%20:%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20Batu%20nisan%20Sultan%20Malik%20Al%20Saleh%20berangka%20tahun%201297%20%20%20%20%20%20%20%20%20Catatan%20Marcopolo%20tahun%201292%20yang%20menyatakan%20bahwa%20penduduk%20Perlak%20telah%20memeluk%20agama%20Islam%20%20%20%20%20%20%20%20%20Catatan%20Ibnu%20Batutah%20tahun%201345%20-1346%20yang%20menyatakan%20bahwa%20penguasa%20Samud

Kerajaan Demak dengan bantuan wali sanga berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa pada masa inilah Masjid Agung Demak dibangun. Ketika Malaka. Dikuasai Portugis, Demak merasa dirugikan sehingga pasukan Demak yang dipimpin Pati Unus dikirim untuk menyerang Portugis di Malaka tahun 1513, tetapi mengalami kegagalan. Pati Unus kemudian terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor.

Kerajaan PajangKerajaan pajang didirikan oleh Joko Tingkir yang telah menjadi raja bergelar Sultan Hadiwijaya. Pada masa pemerintahannya, kerajaan mengalami kemajuan. Pengganti Sultan Hadiwijaya adalah putraya bernama pangeran Benowo. Pada masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan Arya Pangiri (Putra Sultan Prawoto). Akan tetapi pemberontakan tersebut dapat ditumpas oleh Sutawijaya (Putra Ki Ageng Pemanahan). Pangeran Benowo selanjutnya menyerahkan pemerintahan Pajang kepada Sutawijaya. Sutawijaya kemudian memindahkan pemerintahan Pajang ke Mataram.

Kerajaan Mataram Islam

Kerajaan Mataram Islam berdiri tahun 1586 dengan raja yang pertama Sutawijaya yang bergelar Panembahans Senopati (1586-1601). Pengganti Penembahan Senopati adalah Mas Jolang (1601 – 1613). Dalam usahanya mempersatukan kerajaan-kerajaan Islam di Pantai untuk memperkuat kedudukan politik dan ekonomi Mataram. Mas Jolang gugur dalam pertempuran di Krapyak sehingga dikenal dengan nama Panembahan Seda Krapyak.

Kerajaan Mataram kemudian diperintah Sultan Agung pada masa inilah Mataram mencapai puncak kejayaan. Wilayah Mataram bertambah luas meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat kemajuan yang dicapai Sultan Agung meliputi :

1) Bidang PolitikSultan Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang VOC di Batavia. Serangan Mataram terhadap VOC dilakukan tahun 1628 dan 1929 tetapi gagal mengusir VOC. Penyebab kegagalan antara lain :a. Jaraknya terlalu jauh yang mengurangi ketahanan prajurit Mataramb. Kekurangan persediaan makananc. Pasukan Mataram kalah dalam persenjataan dan pengalaman perang.

2) Bidang EkonomiKerajaan Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi

3) Bidang Sosial Budaya

    Munculnya kebudayaan kejawen yang merupakan kebudayaan asli Jawa dengan kebudayaan Islam    Sultan Agung berhasil menyusun Tarikh Jawa    Ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat, sultan Agung mengarang kita sastra Gending Nitisruti dan Astabrata.

Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645, kerajaan mataram mengalami kemunduran sebab penggantinya cenderung bekerjasama dengan VOC.

Kerajaan CirebonKerajaan Cirebon didirikan Fatahillahs setelah menyerahkan Banten kepada putranya. Pada masa pemerintahan Fatahillah (Sunan Gunung Jati) perkembangan agama Islam di Cirebon mengalami kemajuan pesat. Pengganti Fatahillah setelah wafat adalah penembahan Ratu, tetapi kerajaan Cirebon mengalami kemunduran. Pada tahun 1681 kerajaan Cirebon pecah menjadi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman.

Kerajaan MakasarKerajaan Makasar yang berdiri pada abad 18 pada mulanya terdiri dari dua kerajaan yaitu kerajaan Gowa dan Tallo (Gowa Tallo) yang beribu kota di Sombaopu. Raja Gowa Daeng Maurabia menjadi raja Gowa Tallo bergelar Sultan Alaudin dan Raja Tallo Karaeng Matoaya menjadi patih bergelar Sultan Abdullah.Kerajaan Gowa Tallo (Makasar) akhirnya dapat berkembang menjadi pusat perniagaan yang didorong beberapa faktor, antara lain :

    Letaknya strategis yang menghubungkan pelayaran Malaka-Jawa-Maluku    Letaknya di muara sungai yang memudahkan lalu lintas perniagaan antar daerah pedalaman    Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis yang mendorong para peniaga mencari pelabuhan yang memperjual belikan rempah-re Sejarah Singkat Kerajaan Sriwijaya

Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di pulau Sumatra yang banyak berpengaruh di Nusantara. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 selama 6 bulan. Prasasti pertama mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, Sumatra, pada tahun 683. Kerajaan ini mulai jatuh sekitar tahun 1200 - 1300 karena berbagai faktor, termasuk ekspansi kerajaan Majapahit. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan".Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui keberadaan kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Coedès dari École française d'Extrême-Orient. Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan, Indonesia).

Harga Sumatera bukanlah ditentukan oleh berapa harga dari hasil kekayaan bumi Sumatera, akan tetapi berapa harga yang berani kita bayar untuk membela dan mempertahankannya. Ini sudah tentu berkaitan langsung dengan kesadaran politik, kesanggupan dan tanggungjawab dari bangsa-bangsa yang mendiami Sumatera. Sebab dalam kenyataannya, bumi Sumatera sebenamya tidak terlepas dari berbagai keperluan dan kepentingan.

Sebenamya, gambaran Sumatera mengenai masa lampau, telah cukup menceritakan tentang kuasa besar, kesan keindahan dan kekayaan alam yang melimpah ruah. Itulah sebabnya mengapa I-Tsing, seorang penjelajah Cina telah mengabadikan pengalamannya dalam buku Mulasarvastivada, yang meriwayatkan tentang tahap-tahap perjalanannya dari Tamralipti ke Canton. Itulah sebabnya mengapa Arthasastra -buku India kuno- menyebutnya dengan Pulau Emas (Suvamabhumi) atau kepulauan emas (Suvarnadvipa). Itulah sebabnya mengapa bangsa-bangsa Eropa (baca-Portugis) menyebutnya sebagai Pulau Emas (Ophir). Tegasnya, cerita mengenai kemegahan Sumatera bukan suatu mithos atau kisah novel fiksi yang mengisahkan petualangan di angkasa dalam fihn Star Track di layar TV anda, akan tetapi merupakan bukti nyata yang pemah disaksikan oleh para penjelajah ternama di dunia ke Sumatera. Sebagaimana diakui oleh Marcopolo bahwa Peureulak dan Samudera Pasai Sumatera-pada tahun 1292, sudah berdiri suatu kerajaan yang megah, kaya raya dan menganut agama Islam, dimana sistem pemerintahannya sudah mapan. Para penjelajah dan peniaga dari India, Cina Arab dan Eropa terus

terang mengakui bahwa bumi Sumatera memiliki segala-galanya dan berkemampuan secara profesional mengatur negara. Lebih dari pada itu telah menjadi satu model pemerintahan yang megah dan disegani di Asia Tenggara suatu masa dahulu. Contohnya:

KERAJAAN SRIWIJAYAMunculnya kerajaan Melayu tua di Sumatera -Sriwijaya- yang telah dipandang sebagai suatu kerajaan yang memiliki kekayaan dan rakyatnya hidup sejahtera dari perniagaan hasil bumi Sumatera dan kemegahan Sriwijaya telah mampu membangun sistem politik yang mapan, pertahanan darat dan laut yang kuat, sehingga kerajaan Sriwijaya telah menjadi suatu khazanah dalam sejarah dunia Melayu di Asia Tenggara. Sistem pemerintahannya ditata mengikut acuan Melayu yang berasaskan keterbukaan dengan dunia luar dan memompa semangat rakyatnya untuk bekerja keras dan selalu peka terhadap setiap kemungkinan-kemungkinan adanya anasir luar yang mengancam keselamatan Sumatera. Itulah sebabnya para sejarawan telah menyifatkan bahwa sistem yang digunakan sebagai suatu model pemerintahan yang modern pada waktu itu. Kita tidak dapat membayangkan betapa masyhurnya kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Untuk menggambarkannya, izinkan saya meminjam ucapan Wang Gungwu: “Pada tahun 775, kerajaan ini telah menj adi begitu masyhur sehingga hanya raja-raja yang dipertuan dari Sriwijaya, raja tertinggi di antara semua raja di permukaan bumi”1). Wang Gungwu, “The Nanhai trade: A study of early history of Chinese trade in South China Sea”, 1958, (Halaman): 135.

Kerajaan Sriwijaya berhasil membangun pangkalan-pangkalan ekonomi dan merangsang semangat rakyatnya berniaga dengan bangsa asing, sehingga: “pada awal sejarah Sriwijaya yang panjang itu, pelabuhan-pelabuhan Palembang dan Jambi merupakan penghubung di antara Sumatera dengan pasar-pasar Asia. Sistem komunikasi yang menjadi dasar perkembangan pelabuhan-pelabuhan ini telah dicipta oleh nakhoda kapalnya. Masa depan sistem itu tidak bergantung kepada kekayaan pedalaman Sumatera Selatan, tetapi bergantung kepada kemampuan para pemerintahnya untuk memastikan agar pelabuhan-pelabuhan tetap menjadi tempat yang mesti disinggahi dalam pelayaran ke negeri Cina.” Demikian dituturkan oleh Chou Chù-Fei, malahan “Jambi dan Palembang sebagai pusat perniagaan yang sangat maju” 2). Rockhill, Notes on relations and trade of China, (Halaman): 134-l 38.

Ketika itu berbagai hasil bumi telah dijual dalam pasaran bebas, Hal ini telah dikemukakan oleh Chèn Tsàng-chi: “dalam pertengahan abad ke-8. Lada Kemukus berasal dari Sriwijaya-Sumatera yang mendapat permintaan dalan pasaran di negeri Cina. Selain dari pada itu kapur barus yang dipandang sebagai barang perniagaan yang mendatangkan hasil memuaskan. Sebab pada kurun masa itu, kapur Barus merupakan barang mahal dan komoditi export besar, hingga kebanyakan negara selain Sriwijaya telah menggunakan upeti dan tanda mata. Seperti Chih Tu telah mengirim Batu Kapur sebagai upeti kepada kerajan Chang Chun, kerajaan Udayana di Barat Laut India, , kerajaan To-Yuan di Asia Tenggara melakukan perkara yang sama.” 3). J.G Boeles, The King of Sri Dvaravati and His Regalia, 1964, (Halaman): 114.

Di kawasan Sumatera Tengah -Barus- telah didapati bahan galian Batu Barus (Kapur Barus), hingga kapur Bar-us merupakan salah satu barang komoditi terpenting bagi devisa negara di bawah kerajaan Sriwijaya. “Sekitar 500 orang Cina selatan menggali dan menggunakan kapur bar-us, yang hablur-nya mendapat tempat dalam perobatan karangan Tao Hung Ching”. 4) G. Ferrand, Relations de Voyages et testes Geographyques, (Halaman): 56-57, yang dikutip dari catatan Ibnu al-Fakih, 902.

Memandangkan kenyataan-kenyataan ini maka ada penulis yang menuturkan bahwa: “Pada zaman pertengahan, Sriwijaya merupakan pusat perniagaan yang sangat maju dan masyhur, oleh itu wajar dipercayai bahwa terdapat latar belakang ekomoni di Asia Tenggara dan barangkali juga di tempat lain di Asia, yang selama berabad-abad telah memberi jalan kepada kerajaan Sriwijaya. Pada 700 M. Sriwijaya

telah memperoleh pos luar wilayah di Barat Daya Semenanjung Tanah Melayu yang memberikan kepadanya kuasa di Selat Melaka. Perluasan perniagaan laut ini adalah perkara yang belum pemah ada sebelumnya dalam catatan yang telah kita selidiki.” 5) O.W. Wolters, Perniagaan Awal Indonesia, Suatu Kajian Asal Usul Kerajaan Sriwijaya, (Halaman): 312.

Keberhasilan dalam bidang ekonomi tidak terlepas daripada kemampuan mengadakan hubungan perniagaan dan diplomatik dengan negara lain, seperti dilukiskan di sini: “Sejak abad ke-5 lagi, Kerajaan Sriwijaya sudah mempunyai hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Cina. Hampir setiap tahun para saudagar menaiki kapal barang ke Canton”. 6) Prof. Wealtly, Golden Khersonese, (Halaman): 58.

Malahan dikatakan bahwa beberapa kerajaan niaga seperti: Ho-lo-tan, Pohuang (berpusat antara Jambi-Palembang), Ka-to-li, dan Cina telah mengirim utusan kepada Kerajaan Sriwijaya. “Ini harus dipandang sebagai tanda bahwa kekuasaan proto-Sriwijaya agak kukuh, hingga ia merasa tidak perlu mengingatkan orang Cina akan tanggung-jawabnya sebagai pelindung dengan sering mengirim utusan” 6). O.W. Wolters, Perniagaan Awal Indonesia, suatu Kajian Asal Usul Kerajaan Sriwijaya, (Halaman): 323.

Kemasyhuran Sriwijaya tidak hanya terbatas dalam bidang perniagaan, akan tetapi juga dalam bidang militer untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan kerajaannya. “Sriwijaya di Sumatera Tenggara pada masa pertengahan abad ke-7M, sangat memainkan peranan penting dalam perniagaan Asia dan selama lebih 500 tahun dan setelah sejarahnya dihidupkan kembali oleh para sejarawan pada zaman modern dan di kalangan orang Melayu, mereka membanggakannya sebagai kekuatan laut yang besar dan empayer tertua di dalam sejarah kebangsaan mereka.” 7) Idem, (Halaman): 1.

Seterusnya dikatakan: “raja Sriwijaya mempunyai senjata yang senantiasa bersedia untuk melaksanakan kekuasaannya atas saingannya. Kekuatan militernya bergantung kepada kapal-kapalnya. Raja-raja itu mempunyai kapal dan orang juga membayangkan nakhoda-nakhoda kapal Melayu datang dari rawa-rawa bakau dan pulau-pulau berdekatan.” 8) Sung Shih, Suma Oriental, (Halaman):. 235-236.

Seorang penulis Belanda, J.C.Van Leur, malah mengatakan bahwa: “untuk memperkuat angkatan laut dalam usaha mempertahankan perniagaan mereka, Sriwijaya melakukan tindakan-tindakan khusus untuk perang dan apabila mereka hendak berperang melawan negara lain, mereka mengumpul dan kemudian merujuk kepada ketua-ketua mereka dan semua menyiapkan persediaan militer sendiri dan bahan-bahan makan yang diperlukan” 9). Chu Fan Chih, Indonesian trade and socities, (Halaman): 106.

Sejarah telah mencatat bahwa kerajaan Sriwijaya mempunyai kuasa penting di Sumatera bahkan sampai ke Semenanjung Malaysia dalam jangka masa yang lama. Ketika itu Cina, India dan Arab merupakan mitra niaganya. Namun begitu, secara formal kerajaan Sriwijaya belum menetapkan peraturan tertulis (perjanjian niaga) mengenai cukai niaga, perjanjian mengenai pertahanan bersama dan perlindungan dengan rakan niaganya di Selat Melaka. Perkara ini dianggap sebagai salah satu sisi kelemahan yang tidak disadari pada ketika itu, sebab setidak-tidaknya, ketika ada gangguan dari kerajaan Cola dan Jawa yang menganggap Sriwijaya melakukan tindakan monopoli perniagaan telah dijadikan alasan yang sengaja dibuat oleh pihak asing untuk melakukan serangan terhadap post-post niaga Sriwijaya, mitra niaga yang sebelumnya akrab, ternyata tidak dapat membantu Sriwijaya. Apalagi “selama dua abad selepas itu, wilayah-wilayah naungan Sriwijaya, sedikit demi sedikit menentang monopoli pantai yang digemari itu dengan mendorong para saudagar-saudagar asing mengunjungi pelabuhan-pelabuhan mereka sendiri”. 10). O. W. Wolters, Perniagaan Awal Indonesia, Suatu kajian asal usul kerajaan Sriwijaya, (Halaman): 336.

Akhirnya, kecemburuan pihak asinglah yang menjadi puncak perang yang tidak dapat lagi dielakkan.

Semua peperangan yang berlaku antara Sriwijaya dengan seteru asing dicatat pada batu bersurat -prasasti- yang dipandang penting dalam sejarahnya, yaitu:

1. Prasasti di Muara Takus;2. Prasasti di Telaga Batu, Palembang;3. Prasasti di Kota Kapur, Pulau Bangka.

Dilihat dari segi psikologis dan sosiologis, peperangan ini telah mempengaruhi mentalitas bangsa ini untuk mempertahankan kesinambungan kerajaan Sriwijaya, sebab peperangan yang panjang dan melelahkan itu telah banyak merengggut korban jiwa manusia dan sekaligus meruntuhkan peradaban yang beratus-ratus tahun telah dibina. Dilihat dari segi futurologis, peperangan ini telah memakan masa yang panjang sekali dan memerlukan kajian dan tafsiran ihniah terhadap fakta yang terungkap dalam historiografi Sriwijaya sehingga mampu melahirkan semula kegemilangan itu. Sejarahlah yang akan menjawabnya sendiri.

    Kemahiran penduduk Makasar dalam bidang pelayaran dan pembuatan kapal.

Kerajaan TernateKerajaant Ternate berdiri pada abad ke-13 yang beribu kota di Sampalu. Agama Islam mulai disebarkan di Ternate pada abad ke-14. pada abad ke-15 Kerajaan Ternate dapat berkembang pesat oleh kekayaan rempah-rempah terutama cengkih yang dimiliki Ternate dan adanya kemajuan pelayaran serta perniagaan di Ternate.

Ramainya perniagaan rempah-rempah di Maluku mendorong terbentuknya persekutuan niaga yaitu :

    Uli Lima (Persekutuan Lima) yang dipimpin Kerajaan Ternate    Uli Syiwa (Persekutuan Sembilan) yang dipimpin kerajaan Tidore

Kerajaan Ternate mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Baabullah. Pada saat itu wilayah kerajaan Ternate sampai ke daerah Filipina bagian selatan bersamaan pula dengan penyebaran agama Islam. Oleh karena kebesaransnya, Sultan Baabullah mencapa sebutan “Yang dipertuan” di 72 pulau.

Kerajaan TidoreKerajaan Tidore berdiri pada abad ke-13 hampir bersamaan dengan kerajaan Ternate. Kerajaan Tidore juga kaya rempah-rempah sehinga banyak dikunjungi para peniaga. Pada awalnya Ternate dan Tidore bersaing memperebutkan kekuasaan perniagaaan di Maluku. Lebih-lebih dengan datangnya Portugis dan Spanyol di Maluku. Akan tetapi kedua kerajaan tersebut akhirya bersatu melawan kekuasaan Portugis di Maluku.

Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku. Pada masa pemerintahannya berhasil memperluas daerahnya sampai ke Halmahera, Seram dan Kai sambil melakukan penyebaran agama Islam.

JUMPAAN 8

Di Mana Pusat Sriwijaya : Argumen Geomorfologi2008 AUGUST 13

tags: palembang, pusat kerajaan, srivijaya, sriwijaya

by admin

Dongengnya Pak Awang HS

Kerajaan Sriwijaya (683-1377 M) adalah kerajaan maritim tertua di Indonesia dan merupakan

kerajaan pertama di Nusantara yang menguasai banyak wilayah : seluruh Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Mindanao. Karena wilayah kekuasaannya itu, Sriwijaya di dalam literatur sejarah suka disebut sebagai Negara Nusantara I. Dalam hal keberadaannya, Sriwijaya punya periode kekuasaan tiga kali lebih panjang daripada Majapahit, meskipun Majapahit juga yang menaklukkan Sriwijaya.

Para ahli sejarah, arkeologi dan ilmu-ilmu yang terkait (termasuk geologi), pernah bersilang pendapat soal pusat kerajaan besar ini. Literatur-literatur sejarah pernah menyebut pusat-pusat kerajaan ini di : Palembang, Jambi, Malaya, Thailand, bahkan Jawa.Adalah I-Tsing (Yi-Jing), musafir Cina yang belajar agama Budha di Sriwijaya yang menyebutkan bahwa pusat/kota Sriwijaya terletak di daerah khatulistiwa. I-tsing mendeskripsikan tempat itu sebagai : “apabila orang berdiri tepat pada tengah hari, maka tidak akan kelihatan bayangannya”. Coedes, ilmuwan Prancis sejak awal abad ke-20 mengajukan argumen bahwa pusat Sriwijaya terletak di sekitar kota Palembang sekarang (dalam

Robequain, 1964, “Malaya, Indonesia, Borneo, and the Philippines”, Longman)Sukmono, arkeolog Indonesia pada suatu Kongres Ilmiah Pasifik tahun 1957 (dipublikasi dalam “Geomorphology and the location of Criwijaya”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, April 1963) menantang argumen/hipotesis Coedes dan menyatakan bahwa pusat Sriwijaya di Jambi. Ini didasarkannya kepada analisis geomorfologi yang didukung foto udara. Sukmono diinspirasi oleh ahli geomorfologi Belanda Obdeyn yang pada tahun 1941-1944 mempublikasi seri paper tentang perkembangan geomorfologi Sumatra Selatan (dalam Tijdschrift. Kon. Ned. Aardr. Gen no 59-61 – hasil penelitian ini digunakan juga oleh Bemmelen (1949) dalam adikaryanya “The Geology of Indonesia”.Tahun 1954, Sukmono dibantu Angkatan Udara RI merekonstruksi pantai timur Sumatra di sekitar Palembang dan Jambi melalui telaah fotogrametri. Sukmono menemukan kesimpulan menarik : semua situs peninggalan Sriwijaya baik yang di sekitar Palembang maupun Jambi berlokasi bukan di tanah aluvial, tetapi di tanah perbukitan berbatuan sedimen Neogen. Penelitian ini pun menemukan bahwa Jambi dulunya berlokasi di suatu teluk pada muara Sungai Batanghari. Teluk tersebut menjorok masuk ke daratan sampai wilayah Muaratembesi sekarang. Sementara itu, Palembang justru terletak di sebuah ujung jazirah yang memanjang ke laut berpangkal dari Sekayu sekarang. Baik Jambi maupun Palembang saat ini berjarak 75 km dari laut di sebelah timurnya.Sukmono berkesimpulan, sebagai kerajaan maritim yang besar, Sriwijaya sebgai bandar besar lebih mungkin terletak di tepi sebuah teluk yang besar daripada di ujung jazirah yang sempit. Sukmono juga mengajukan argumen-argumen arkeologi di samping argumen geomorfologi.

Pendapat Sukmono mendapat dukungan dari Sartono, geolog dan arkeolog ITB, juga Slametmuljana, ahli sejarah (dalam Slametmuljana, 1981 “Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi”, Yayasan Idayu). Sartono berpendapat bahwa teluk di sekitar Jambi saat zaman Sriwijaya begitu besarnya sehingga orang mengira bahwa itu merupakan perbatasan antara Swarnadwipa (Jambi ke utara) dan Jawadwipa (Palembang, Lampung dan Jawa). Selat Sunda belum diketahui adanya atau mungkin belum seluas sekarang, hanya teluk besar saja bukan selat (lihat tulisan saya terdahulu soal “para pendahulu Tarumanegara” di milis ini). Harrison (1954) “Zuid-Oost Azie : en beknopte geschiedenis” berpendapat bahwa Selat Sunda terbentuk akibat tenggelamnya wilayah ini akibat volkanisme dan gempa-gempa Krakatau sepanjang masa.Masih menurut Sartono, di sekitar Jambi pada zaman Sriwijaya terdapat sebuah teluk purba yang dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh. Ini memanjang ke arah tenggara dan menjadi perbukitan Bukit Bakar dan Bukit Tutuhan serta Teluk Sirih. Ke arah barat, teluk tersebut berhenti di Pegunungan Barisan dan bercabang menjadi dua teluk kecil yaitu Teluk Tebo dan Teluk Tembesi. Di antaranya, terjepitlah Bukit Duabelas. Di Teluk Tebo bermuara Batang Tembesi dan anak-anak sungainya.Adapun kota Palembang menempati suatu ujung jazirah sempit yang berupa bukit setinggi 26 meter di atas permukaan laut. Inilah yang dinamakan Bukit Seguntang (“guntang” dalam bahasa Melayu Kuno berarti terapung). Memang, ujung jazirah ini seolah-olah terapung diapit dua teluk sempit.Maka berdasarkan analisis paleogeografi (paleogeomorfologi), Sukmono dan Sartono berpendapat bahwa kota Sriwijaya yang besar tak mungkin berlokasi di suatu wilayah tanah genting berupa ujung jazirah sempit

seperti Palembang, tetapi di kota Jambi yang terletak di tepi teluk yang besar (bandingkan dengan kota Jakarta yang berlokasi di tepi Teluk Jakarta).Namun, pendapat Sukmono dan Sartono bukan merupakanHeal delivery the viagra for sale used protects Ozokerite cialis cheap online I very as as “click here” Pour get some First where to buy cipro thought. Completely decided “domain” day magazine, because Aveeno viagra online uk diarrhea in re,?pendapat final sekalipun cukup meyakinkan.Tahun 1982 diadakan kongres internasional khusus mendiskusikan lokasi pusat Sriwijaya (Daldjoeni, 1992 “Geografi Kesejarahan, Alumni). Kongres dihadiri para ahli dari Indonesia, Prancis, Belanda dan Thailand. Para ahli bersepakat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya pada masa awal berlokasi di Palembang kemudian pindah ke Jambi. Kapan masa awal itu ? Antara abad ke-7 sampai abad ke-9, kata Casparis ahli dari Prancis. Casparis pun berpendapat mungkin saja kedua kota itu bersama-sama jadi ibukota Sriwijaya. Palembang wajar jadi ibukota kerajaan, di samping diapit dua teluk, terdapat Pulau Bangka di depannya yang merupakan jalur memutar dari Malaka menuju Cina (dulu belum ada jalan laut di antara pulau-pulau Kepulauan Riau). Ini posisi strategis sebagai bandar. Manguin, arkeolog Prancis mendukung pendapat itu sebab banyak prasasti menyebut Palembang, juga ada catatan-catatan dari para pelaut Portugis. Namun reruntuhan pusat kerajaan belum ditemukan diPalembang.Mengapa Sriwijaya mundur ? Robequain (1964) berpendapat bahwa kemunduran terjadi akibat pendangkalan pantai-pantai

Color more I think canadian pharmacy online iron in large for cheap canadian pharmacy significantly disappointed a like: starting cialis vs viagra to which horrible decades cialis vs viagra years my and if cheap viagra online antique t whole the problem cialis in every you years http://smartpharmrx.com/cialis-free-trial.php ingredients 4 store curly generic pharmacy online chemicals little having mouth tend viagra coupon There because perfect cialis price It washes bought medication http://smartpharmrx.com/ using a mattering to, market.timur Sumatra dan sedimentasi muara-muara sungainya. van Bemmelen (1949) menulis bahwa garis pantai di muara Batanghari telah maju setahun rata-rata 75 meter, sedangkan garis pantai di muara Musi telah maju setahun rata-rata 125 meter. Sedimentasi Musi lebih tinggi dibandingkan Batanghari, mungkin itu pula yang membuat Sriwijaya memindahkan ibukotanya ke Jambi.Tahun 1377, Raja Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan pasukannya ke Sumatra dan tunduklah beberapa kerajaan di Sumatra termasuk Sriwijaya. Itu adalah babak terakhir Sriwijaya, sebenarnya Sriwijaya telah lemah sejak abad ke-10 saat Dharmawangsa menyerangnya pada tahun 990 M. Perdagangan laut yang mundur seiring lajunya sedimentasi Batanghari dan Musi menjadi pencetus melemahnya Sriwijaya. Sebuah bukti lagi bahwa alam memainkan peranannya dalam bangun dan jatuhnya kerajaan-kerajaan di Nusantara.Sesungguhnya sampai sekarang pun kita terus-menerus dipengaruhi alam. Bagaimana menjinakkan semburan LUSI ? Bagaimana mengantisipasi penenggelaman pantai utara Jakarta oleh land subsidence dan transgresi ? Bagaimana hidup berdampingan secara aman di negeri dengan ratusan gunungapi ? Berapa banyak nyawa dan

korban harta benda telah direnggut gempa dan tsunami ? Alam punya siklus dan tanda-tanda tertentu yang bisa manusia pelajari. Semoga bijak kita sikapi. Masa lalu tetap berguna untuk masa kini.

JUMPAAN 9

eradaban Bangsa Sriwijaya Classic Flipcard Magazine Mosaic Sidebar Snapshot Timeslide Dec 4 Hubungan Sejarah Palembang dan Negeri Malaka Judul Asli : “Asal saya dari Palembang, Encik” By: Aditya Wirawa Suatu keistimewaan sendiri saya diundang untuk dapat turut menjadi penulis di ePalembang.com. Saya ingin menceritakan salah satu pengalaman dan pandangan saya selama di Malaysia yang ada kaitannya dengan Palembang, kota saya tercinta. Cukup banyak topik yang dapat diangkat menjadi suatu artikel untuk pembahasan yang menarik di ePalembang.com ini dari penulis yang mengambil sudut pandang dari berbagai sisi baik itu Indonesia ataupun Malaysia. Untuk tulisan perdana maka saya hanya ingin memfokuskan kepada hal mendasar terlebih dahulu yang ada kaitannya antara Palembang dan Malaysia. Semenjak saya kuliah dulu saya sangat berbangga menjadi mahasiswa yang belajar di Malaysia dan berasal dari Palembang. Karena apa? Ada dual hal yang dapat menjadi jawabannya di sini. Yang pertama dan sangat mudah ditebak adalah karena struktur bahasa yang tidak jauh berbeda. Bahasa dan dialek keseharian Palembang (atau Sumatera pada umumnya) hampir sama

dengan bahasa Melayu, Malaysia. Jadi semenjak pertama kali menginjakkan kaki di Malaysia, saya tidak sukar untuk beradaptasi dengan bahasa Malaysia. Lain ceritanya dengan teman-teman saya yang berasal dari Jakarta contohnya. Mereka kebanyakan perlu mengambil waktu berminggu-minggu hanya untuk mengerti percakapan sehari-hari rakyat Malaysia. Sedangkan yang kedua adalah setiap kali ada orang Malaysia yang menanyakan asal saya dan saya menjawab berasal dari Palembang, maka timbal balas dari penanya tersebut adalah baik dan tidak perlu mengerutkan dahi. Jangan berburuk sangka dulu dengan kalimat saya tersebut. Timbal balas baik dan tidak mengerutkan dahi dari penanya tersebut erat kaitannya dengan nama Palembang yang juga turut masuk dalam pelajaran sejarah rakyat Malaysia semenjak dari sekolah dasar. Jadi mereka cukup menghormati dan kenal dengan Palembang, walau terkadang tidak tahu pasti lokasi Palembang berada dimananya Indonesia. Lain ceritanya kalau saya menjawab berasal dari kota lain seperti Bengkulu, Pontianak, Semarang, Lombok ataupun kota lainnya. Karena pasti kebanyakan dari orang Malaysia tidak mengenal kota-kota lain di Indonesia selain Jakarta, Yogyakarta, Medan, Bandung, Bali, Makasar, Palembang, Aceh dan Padang. Sebagian besar kota-kota tersebut dikenal karena tempat wisata dan ada kaitannya dengan sejarah kebangsaan mereka. Itulah mengapa saya katakan mereka tidak sampai mengerutkan dahi, karena mereka tidak perlu berpikir lagi mengenai nama kota tersebut. Gambar 1. Peta menunjukan posisi Palembang dan Melaka Gambar 1. Peta menunjukan posisi Palembang dan Melaka Kenapa Palembang sampai masuk ke pelajaran sejarah rakyat Malaysia? Ya inilah hal menarik yang bahkan masih banyak orang Palembang kurang mengetahuinya. Salah satu kota wisata yang juga menjadi kota warisan UNESCO di Malaysia yang bernama Melaka-lah yang menjadi dasarnya. Kerajaan Melaka pada suatu masa dahulu pendirinya adalah Parameswara, Putra mahkota kerajaan Palembang. Kebetulan sekali saya sering mendapatkan tugas keluar kota ke Melaka. Dan pada 29 Oktober kemarin saya berkesempatan membaca buku novel sejarah Kesultanan Melaka (Melaka the Glorious Malay Sultanate, oleh Mansor bin Puteh) di salah satu hotel yang menarik di Melaka. Untuk itu saya ingin menceritakan sedikit mengenai sejarah kerajaan Palembang sehingga terbentuknya kerajaan Melaka dan seterusnya akan menjadi Kesultanan Melaka. Gambar 2. Novel mengenai sejarah kesultanan Melaka Gambar 2. Novel mengenai sejarah kesultanan Melaka Sejarah Bermula Sebenarnya ada beberapa versi mengenai sejarah Parameswara. Sedikitnya yang saya ketahui ada 3 versi sejarah. Gambar 3. Ilustrasi Parameswara Gambar 3. Ilustrasi Parameswara Versi pertama menurut Sejarah Melayu yang dikarang oleh Tun Sri Lanang adalah bahwa keturunan raja-raja Sriwijaya telah menjadi pemimpin di Temasek (Singapura) semenjak dari tahun 1324 M. Dan Parameswara merupakan Raja Temasek yang terakhir dari keturunan Sriwijaya. Parameswara memimpin Temasek sekitar pada tahun 1399-1401 M sebelum akhirnya kerajaan Majapahit menyerang Temasek. Parameswara yang kalah akhirnya melarikan diri ke Semenanjung Malaysia bersama beberapa pengikutnya. Versi kedua yang berasal dari cerita sejarahwan Portugis Tome Pires adalah Parameswara merupakan Raja Palembang yang menggantikan ayahnya, Raja Sam Agi. Namun tidak berapa lama setelah itu kerajaan Palembang diserang oleh Majapahit yang dipimpin oleh Raja Batara. Majapahit menyerang Palembang karena Parameswara menggelari dirinya sebagai Mjeura atau orang yang berani. Ekoran daripada itu, Parameswara kalah dan melarikan diri ke Temasek (Singapura) dan lalu menjadi pimpinan sementara Temasek setelah membunuh Raja Temagi yang merupakan utusan kerajaan Siam (Thailand) untuk memerintah Temasek. Tempoh pemerintahan Parameswara di Temasek tidaklah lama karena kerajaan Siam kembali berhasil merebut Temasek dan membuat Parameswara beserta pengikut setianya untuk lari ke Semenanjung Malaysia. kerajaan nusantara Versi Ketiga sejarah Parameswara

berdasarkan Novel Melaka the Glorious Malay Sultanate, oleh Mansor bin Puteh. Ketika Kerajaan Palembang dipimpin oleh Paduka Seri Maharaja Damia Raja, kerajaan Palembang merupakan salah satu kerajaan dari Pulau Andalas (Sumatera) yang disegani di seantero nusantara. Pada tahun 1389M Damia Raja jatuh sakit karena pengaruh umur. Damia Raja telah memimpin Kerajaan Palembang selama 4 dekade. Dan dia memiliki 2 orang putera, yang dimana putera keduanya adalah Parameswara (49 tahun) yang juga menjadi Putera Mahkota Kerajaan Palembang selama 3 dekade. Seluruh pembesar dan keluarga kerajaan berkumpul di suatu ruangan untuk mendengarkan titah terakhir sang Raja. Damia Raja ingin menunjuk penggantinya untuk menjadi Raja kelima Kerajaan Palembang. Parameswara dan beberapa pembesar kerajaan sangat yakin bahwa Parameswara lah yang akan ditunjuk menggantikan Damia Raja. Saat-saat mendebarkan itu akhirnya lepas setelah Damia Raja memutuskan untuk memberikan tampuk kepemimpinan kepada anak tertuanya, kakak kepada Parameswara. Parameswara sangat marah ketika itu, karena sepatutnya dialah yang menjadi penerus ayahnya. Dia telah menjadi putra mahkota selama 3 dekade. Dan dia juga sangat yakin bahwa dia lah yg terpilih dibanding kakaknya yang tidak terlalu terlibat dalam tampuk pemerintahan sehari-hari kerajaan Palembang (Sebagai Putera Mahkota Parameswara berkewajiban untuk turut dalam pemerintahan kerajaan). Tapi apa daya, ayahnya telah memutuskan demikian. Walau sangat marah, tetapi Parameswara tidak menampakkannya pada saat itu. Tidak lama setelah itu, Damia Raja meninggal dunia setelah sempat memberitahu kepada semua orang kenapa dia memilih anaknya yang tertua untuk menjadi pemimpin Palembang tapi bukan parameswara. Setelah kejadian tersebut, walaupun Kakaknya telah akan memberikan keistimewaan kepada Parameswara untuk memimpin wilayah manapun yang dia minta, Parameswara tetap sukar hati dan marah mengenai keputusan Ayahnya tersebut. Sampai akhirnya Parameswara beserta keluarga, perdana menteri dan ratusan prajurit setianya pergi meninggalkan tanah Palembang. Dia merasa malu untuk tetap tinggal di Palembang. Mau taruh dimana muka Parameswara ketika berjumpa rakyat Palembang ataupun tokoh-tokoh dari kerajaan lain. Tempat yang dituju oleh Parameswara adalah kerajaan Majapahit. Karena dia memiliki hubungan persaudaraan dengan Raja Majapahit ketika itu, Hayam Wuruk. Parameswara berada di Majapahit selama lebih kurang 5 tahun sebelum akhirnya berlayar ke Temasek (Singapura). Di Singapura Parameswara berhasil membunuh Raja Temasek yang merupakan utusan dari kerajaan Siam (Thailand) ketika itu, dan akhirnya Parameswara memimpin Temasek selama lima tahun sebelum akhirnya dia dijatuhkan kembali oleh pengikut setia Raja yang terdahulu dan pasukan dari Siam. Parameswara beserta pengikutnya melarikan diri hingga ke hujung utara pulau Temasek. Akhirnya menyeberanglah mereka ke tanah Semenanjung Malaysia. Berhari-hari mereka berjalan di sepanjang pesisir Semenanjung untuk mencari tempat yang sesuai untuk menetap. Sampailah mereka di suatu tempat yang masih belum dipunyai oleh kerajaan manapun. Hanya terdapat beberapa kampung nelayan kecil disana. Mereka adalah rakyat bebas. Parameswara berkeinginan untuk mendirikan kerajaan disana. Dan dipilihlah daerah yang dekat dengan laut atau sungai agar kerajaan dapat melakukan pertukaran ekonomi dengan kerajaan lain. anjing-pemburu Suatu hari, Parameswara duduk di bawah suatu pohon yang bernama pohon Melaka. Dan beliau melihat suatu kejadian yang unik. Anjing pemburu Parameswara berhasil dikalahkan oleh seekor kancil yang kecil. Karena kejadian itu cukup membuat Parameswara takjub maka dinamakannya kerajaan yang baru dia bentuk itu menjadi Kerajaan Melaka. Kerajaan Melaka banyak melakukan kerjama sama dengan kerajaan yang berada di Cina ataupun India dan Arab. Oleh karena seringnya melakukan kerjasama dengan kerajaan Muslim dari India, akhirnya Parameswara masuk Islam pada

umur 74 tahun setelah dia mengunjungi kerajaan Samudera Pasai di Sumatera. Parameswara juga menjalin ikatan kuat dengan kerajaan di Cina. Oleh demikian bangunan-bangunan yang terdapat di Melaka ketika itu banyak yg berunsurkan Cina. Seperti contohnya membangun bangunan dari batu bukan dari kayu yang umumnya dilakukan kerajaan Hindu terdahulu. Parameswara meninggal dunia pada umur 84 tahun (1424 M). Dan kegemilangan Kerajaan Melaka berlanjut kepada Kesultanan Melaka hinggalah sekarang Melaka menjadi salah satu daya tarik wisata yang dimiliki Malaysia. Kesimpulan beberapa versi sejarah tersebut Dapat diambil kesimpulan bahwa sejarah yang sudah berlangsung sedemikian lamanya tentu akan ada berbagai versi yang menceritakannya. Untuk sejarah Parameswara mendirikan Kerajaan Melaka ini sendiri ada tiga versi yang populer. Ketiga versi itu hanya berlainan dan sedikit bertolak belakang di bagian intro atau sebelum Parameswara menginjakkan kakinya di tanah Semenanjung Malaysia, selebihnya adalah sama. Semoga pembaca dapat mengambil hal-hal yang bagus dari sejarah ini. Sumber: http://blog.epalembang.com/awank/2009/11/asal-saya-dari-palembang-encik-%E2%80%93-bagian-1/ http://blog.epalembang.com/awank/2009/11/asal-saya-dari-palembang-encik-%E2%80%93-bagian-2/ Posted 4th December 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 4 Seni Tandak (Tari) Melayu sebagai Warisan Budaya yang Harus Tetap Dilestarikan http://3.bp.blogspot.com/_2Jm7x_QJfio/SnFVztCBi5I/AAAAAAAAiMU/lJQSpKjr7bw/s400/PIC_3657.JPG Festival Seni Tari Melayu Nusantara, Palembang Pada awalnya puak Melayu tidak mengenal istilah 'tari' tetapi yang dikenal adalah istilah 'tandak', dimana dalam majlis keramaian di kampung mereka biasanya akan 'bertandak'. Lama-lama istilah ‘tandak’ menghilang diganti oleh istilah ‘tari’. Halmana juga terjadi pada puak-puak Melayu di kepulauan Nusantara lainnya, misalnya ‘Ronggeng’ di Deli, Betawi dan Pasundan, 'Tayub' dan 'Joged' di Jawa dan Bali, 'Lenso' di Maluku dan Menado (Sulawesi Utara). Khusus ragam tari Melayu, baik di Sumatra, Kalimantan maupun Semenanjung, dikenal istilah ‘rentak’ yang terdiri atas : Rentak Zapin Rentak Senandung/Asli Rentak Mainang/Inang Rentak Dua/Joged Rentak Cik Minah Sayang Rentak Pulau Sari Tiap 'rentak' mempunyai karakteristik khusus dan latarbelakang yang unik pula: Rentak Zapin Zapin berasal dari Hadramaut di Jazirah Arab. Sampai di Kepulauan Melayu Nusantara melalui dua route perdagangan iaitu Hadramaut dan lainnya dari Gujarat, India. Sekitar abad ke-13 dan 14, Zapin dikenalkan kepada pribumi oleh para pedagang dan juru dakwah Arab dan India yang tampaknya juga memboyong sekalian para artist dan musisi langsung dari tanah asal mereka. Zapin pada perkembangannya kemudian berasimilasi dengan budaya Melayu pribumi diskenal sebagai Zapin Arab (Zafin). Bentuk adaptasi dari tarian ini dengan memasukkan warna tempatan kemudian juga muncul dan selanjutnya dikenal sebagai Zapin Melayu (Zapin/Jepin/Jepen). Istilah 'Zapin' berasal dari bahasa Arab 'Al-Zafn' yang artinya ‘langkah tari’ (dance steps). Yang memang jenis tarian ini banyak bertumpu pada variasi loncatan gerak kaki. Contoh Rentak Zapin adalah Zapin Tempurung dan Zapin Kipas. Rentak Senandung/Asli Selain rentak Zapin yang berasal dari Arab, tarian Melayu juga dipengaruhi budaya negara lain seperti Portugis (Feringgi), Spanyol, India maupun unsur-unsur budaya daerah-daerah Nusantara lainnya. Rentak Senandung/Asli bercirikan gerak gemulai dan lenggok lembutnya. Tarian Melayu yang anggun ini biasanya ditampilkan bagi puteri raja dengan iringan musik yang mendayu-dayu dengan isi pantun yang menghiba-hiba tentang asmara maupun kesedihan. Istilah Asli bermakna eksprsi yang dalam. Contoh rentak Asli adalah Tari Persembahan. Rentak Mainang/Inang Ragam tarian ini berhubungan dengan gerak-gerik pengasuh puteri/putera raja atau inang. Awalan 'ma' maksudnya adalah panggilan 'mak' terhadap Inang Pengasuh. Gerakan rentak Mainang agak lebih cepat dibanding Rentak Asli kadang malahan cukup bertenaga untuk menggambarkan gerakan jenaka

menghibur. Contoh Rentak Mainang adalah Tari Mainang Pulau Kampai; Mainang Melayu dan Mainang Kahyangan Rentak Dua/Joged Namanya juga Joged, pastilah rentak ini banyak bergoyang, hidup dan ceria. Istilah 'Lagu Dua' menggambarkan interaksi 2 orang (lawan jenis) dalam suasana keriangan. [PIC_3617.JPG] Keindahan Seni Tari Melayu Other Dance Styles Rentak Cik Minah Sayang adalah gabungan antara Inang dan Joged. Sedangkan Rentak Pulau Sari berasal dari kombinasi beberapa rentak Melayu tetapi unsur-unsur pentingnya saja yang diambil dan digabungkan untuk menghasilkan suatu jenis tarian baru yang menarik. Jenis tarian ini memang berhasil menarik banyak perhatian, contohnya Serampang Duabelas yang menjadi salah satu tarian terkenal seantero Nusantara karena menarik untuk ditampilkan dalam persembahan di panggung dan majlis. Rumpun melayu pada dasarnya memiliki banyak sekali persamaan budaya. Namun di dalam perkembangannya masing-masing mempunyai nuansa tersendiri yang telah dipengaruhi unsur kedaerahan setempat, perkembangan yang demikian merupakan hal yang cukup menggembirakan karena dapat memperkaya kasanah budaya melayu di nusantara ini. Sumber: http://www.adicita.com http://sriandalas.multiply.com Posted 4th November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 4 Pertalian Kekerabatan antara Suku Banjar dan Kedayan (Brunei) dengan Melayu Sumatera (Sriwijaya) http://www.kalimantanpost.com/images/stories/Nasional/budaya%20banjar2.jpg Seni dan Budaya Banjar yang Masih Mengakar pada Budaya Melayu Proto Asal usul Suku Banjar dan Brunei Orang Brunei pun juga menyatakan dirinya sebagai keturunan suku Sakai dari pulau Andalas (Sumatera). Diperkirakan suku Kedayan (Brunei), suku Banjar dan beberapa suku yang ada di Kalimantan Barat yang sering disebut kelompok Melayu Lokal, kemungkinan berasal dari satu kelompok induk yang sama (Proto Melayu) yang telah terpisah ratusan tahun dan sebelumnya menyeberang dari pulau Sumatera, kemudian bercampur dengan orang pribumi (Dayak) di daerah masing-masing. Hal ini dapat diketahui dari persamaan beberapa kosa kata dari bahasa Kedayan dan bahasa Banjar, seperti kata bepadah (memberitahu), tatak (potong), tarabah (terjatuh), dan sebagainya. Pengaruh Melayu juga kita dapatkan pada dialek Bahasa Banjar Amuntai dan Banjarmasin yang mengucapkan huruf r dengan cadel. Pendapat lain menyatakan bahwa pulau Borneo (terutama Kalimantan Barat) adalah tanah asal usul bahasa Melayu, karena banyaknya jenis bahasa Melayu Lokal yang berkembang seperti Sarawak, Iban, Selako, Ketapang, dan Sambas. Diperkirakan kelompok Melayu (baca: Proto Malayic) inilah yang datang pada migrasi ke II yang mendesak kelompok Melanesia (nenek moyang Papua) yang datang pada migrasi I, akhirnya keluar dari Borneo. Tetapi kemudian kelompok Proto Malayic (Iban) terdesak oleh nenek moyang Dayak (migrasi III) yang datang dari pulau Formoso dengan membawa adat pemotongan kepala (ngayau/pengayauan) sehingga sebagian kelompok Proto Malayic migrasi keluar dari Borneo. Proto Malayic menurunkan Proto Malay yang menggunakan bahasa Melayu Lokal (Bukit, Banjar, Kutai dan lain-lain). Sedangkan Proto Malay (Proto Melayu) menurunkan suku Melayu yang ada sekarang ini. Demikian pula ada sebagian kelompok Dayak (Maanyan) yang migrasi menuju Madagaskar. Menurut pendapat sebagian ahli sejarah, orang melayu (melayu kuno) telah datang ke daerah ini pada sekitar abad ke-6. Diperkirakan orang melayu datang melalui selat Karimata yang memisahkan pulau Belitung dengan wilayah kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat yang penduduknya saat ini dikenal dengan sebutan orang Melayu Ketapang. Di sungai Amas, Kabupaten Tapin telah ditemukannya patung Buddha Dipamkara (ketenangan air) yang sering dibawa oleh pelaut dan juga sebuah batu terpotong bertuliskan aksara Pallawa, Siddha (mungkin selengkapnya Jaya Siddha Yatra/Perjalanan yang Mencapai Keberhasilan) menunjukkan pengaruh agama Buddha dan migrasi orang Melayu dari Kerajaan Melayu maupun Sriwijaya abad ke-7 atau sebelumnya.

Suku bangsa Banjar berintikan penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya, membangun tanah air baru di kawasan ini sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya,-setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasa dinamakan sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan-terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu(Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala). Oleh karena itu, ketika kita bicara tentang identitas etnik Banjar, maka penelusuran tentang asal usul etnik ini menjadi penting. Alfani Daud berasumsi bahwa cikal-bakal nenek moyang orang-orang Banjar adalah pecahan sukubangsa Melayu, yang sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu, berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan ini dari Sumatera atau sekitarnya. Peristiwa perpindahan besar-besaran sukubangsa Melayu ini, yang belakangan menjadi inti nenek moyang sukubangsa Banjar, diperkirakan terjadi pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya. Imigrasi besar-besaran dari sukubangsa Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi dalam satu gelombang sekaligus. Menurut asumsi Alfani Daud, kemungkinan sekali etnik Dayak yang sekarang ini mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu gelombang yang pertama yang terdesak oleh kelompok-kelompok imigran yang datang belakangan. Diperkirakan bahwa imigran-imigran Melayu yang datang belakanganlah yang menjadi kelompok inti terbentuknya sukubangsa Banjar. Dari cikal-bakal inilah nantinya yang menjadi dasar bagi pembentukan struktur sosial dalam masyarakat Banjar. Pendekatan Primordialisme Mengikut Alfani Daud (1997; 2004: 85) suku bangsa Banjar ialah penduduk asli sebahagian wilayah provinsi Kalimantan Selatan, iaitu selain kabupaten Kota Baru. Mereka itu diduga berintikan penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali, dan setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasanya dinamakan secara umum sebagai suku Dayak, dan dengan imigran yang datang kemudian, akhirnya terbentuklah setidak-tidaknya lima subsuku, iaitu: Banjar Pahuluan Banjar Batang Banyu Banjar Kuala Banjar Alai Banjar Kaluak Orang Pahuluan pada asasnya ialah penduduk daerah lembah sungai-sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke Pegunungan Meratus. Orang Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan oang Banjar Kuala mendiami daerah sekitar Banjarmasin dan Martapura. Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya ialah bahasa Melayu, sama halnya seperti ketika mereka berada di daerah asalnya di Sumatera atau sekitarnya – yang di dalamnya terdapat banyak sekali kosa kata yang berasal dari kosa kata Dayak dan Jawa. Nama Banjar diperoleh kerana mereka dahulu, sebelum dihapuskan pada tahun 1860, adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau dianggap sebagai Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada masa mula-mula didirikan. Ketika ibukota dipindahkan arah ke pedalaman, terakhir di Martapura, nama Banjar tersebut nampaknya sudah diterima umum dan tidak berubah lagi. Pendekatan Konstruktifis atau Situasionalis Profil pembesar Kerajaan Banjar sekitar tahun 1850 koleksi Muzium Lambung Mangkurat. Mengikut Idwar Saleh (1986: 12) pula, sebelum dan pada awal berdirinya Kesultanan Islam Banjar, etnik Banjar pada waktu itu belum menjadi identiti suku atau agama, dan hanya sebagai identiti diri yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal mereka. Idwar Saleh menyimpulkan suku Banjar terdiri dari tiga subetnik berdasarkan wilayah tempat tinggal mereka dan unsur pembentukan suku: Banjar Pahuluan; campuran Melayu dan Bukit (Bukit sebagai ciri kelompok). Banjar Batang Banyu; campuran Melayu, Maayan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Maanyan sebagai ciri kelompok) Banjar Kuala; campuran Melayu, Ngaju, Barangas, Bakumpai, Maayan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Ngaju sebagai ciri kelompok). Sumber: id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar http://pps-antasari.ac.id/ dan sumber lainnya Posted 4th November 2011 by Peradaban Bangsa

Sriwijaya 1 View comments Nov 4 Seni Ukir Khas Palembang Warisan Budaya yang Indah Sejak Jaman Sriwijaya Lemari Ukiran Khas Palembang Seni ukir Palembang memiliki motif khusus yang berbeda dengan daerah lain. Pengaruh Cina atau Budha masih menonjol, namun guratannya lebih didominasi tumbuhan, bunga melati dan teratai serta tidak ada gambaran tentang manusia atau hewan. Berbagai macam ukiran khas Palembang itu biasanya disebut dengan laukuer (Lavquer) Ciri ukiran Palembang sangat khas. Semua motifnya bunga dan perwarnannya pun di dominasi warna kuning keemasan, warna dominan dalam ukiran Palembang. Kemilau warna yang dihasilkan dari cat warna emas inilah yang membedakannya dengan ukiran daerah lain, seperti misalnya dari Jepara. Badan lemari, daun pintu, tutup Aquarium atau bingkai cermin dan foto, misalnya selalu disaput cat warna emas. Sementara bagian lainnya dilapisi warna merah tua dan hitam. Gambar bunga mawar dengan warna hitam makin menonjolkan penampilan ukiran kayu Palembang. Biasanya jenis kayu yang dipakai untuk mengukir pun harus lah jenis kayu tembesu yang keras dan kuat. Padahal dulu, ukiran Palembang hanya terbatas pada lemari yang fungsinya untuk menaruh kain songket. Bahan yang dipergunakan umumnya kayu berkualitas tinggi, terutama tembesu dan sejenisnya. Penerapan ukiran kayu Palembang banyak digunakan untuk ornamen bangunan rumah tradisional Palembang (rumah limas). Ada juga berbagai bentuk kerajinan ukiran khas Palembang seperti lemari hias berbagai ukuran, dipan, akuarium, bingkai foto dan cermin, kotak sirih, sofa, pembatas ruangan, dan sebagainya. Ukiran kayu Palembang (Sumatera Selatan) memiliki gaya, motif, dan warna yang khas. Kayu yang digunakan adalah kayu berkualitas, terutama kayu tembesu. Semua ukiran kayu Palembang bermotifkan bunga mawar dengan variasi cat warna emas, hitam, dan merah tua. Gaya ukiran Palembang adalah dekoratif dengan teknik rendah, tinggi dan tembus (terawang). Sedangkan motif seni ukiran yang umum digunakan tersebut dikenal dengan nama pohon kemalo. Singga Sana Khas Palembang Kursi Singgasana Khas Palembang Lemari Khas Palembang sebagai Tempat Penyimpanan Songket Meja Ukir Khas Palembang Salah satu motif yang sering digunakan adalah Motif Bunga Mawar, Bunga Mawar adalah bunga beraroma harum dengan wangi memikat. Semerbak wanginya disukai siapa saja. Wangi bunga yang batang pohonnya berduri tersebut juga menjadi simbol dari rasa kasih dan cinta. Mungkin karena bunga dengan wangi khas ini adalah lambang yang tidak menggambarkan kekerasan, para pencetus kerajinan ukiran kayu Palembang menjadikannya sebagai motif utama. Semua ukiran kayu Palembang bermotifkan bunga mawar dengan variasi cat warna emas, hitam, dan merah tua. Berbagai bentuk kerajinan ukiran khas Palembang pun lahir dari tangan para perajin, seperti lemari hias berbagai ukuran, dipan, akuarium, bingkai foto dan cermin, kotak sirih, sofa, pembatas ruangan, dan sebagainya. Puluhan atau mungkin ratusan pengusaha kini menggantungkan hidup mereka dari kerajinan ukiran kayu Palembang. Ukiran kayu yang sejak beratus tahun tumbuh dan hidup di Palembang itu disukai banyak kalangan. Mengapa bunga mawar yang dipilih sebagai motif ukiran, baik perajin maupun pedagang, umumnya tidak tahu pasti. Mereka hanya mengerjakan dan mengetahui ukiran Palembang harus bermotifkan bunga mawar, baik yang tengah mekar, masih, kuncup, maupun daunnya. Saat ini, ukiran kayu khas Palembang telah tumbuh menjadi industri yang menjanjikan. Industri rumahan ukiran kayu Palembang tumbuh di banyak pelosok “Kota Pempek” itu. SALAH satu pusat perdagangan ukiran kayu Palembang terdapat di sejumlah jalan di sekitar Masjid Agung Palembang. Belasan ruang pamer (show room) yang sekaligus tempat mengecat atau mengerjakan tahap akhir ukiran (finishing touch) hasil karya para pengukir, terdapat di kawasan pusat kota itu. Pengasan atau Tempat Penyimpanan (Peti) Sirih Khas Palembang Seni Kerajinan Khas lainnya piring ukiran Piring Ukir Khas Palembang wadah payung Tempat Payung Ukiran Palembang

kursi makan Meja dan Kursi Makan Khas Palembang aquarium palembang Aquarium Khas Palembang meja oval palembang Meja Oval Khas Palembang meja hias palembang Meja Rias Ukiran Palembang guci vas bunga Guci Vas Bunga Ukiran Palembang meja TV oval Meja TV Ukiran Palembang http://www.mediaindonesia.com/mediatravelista/spaw/uploads/images/article/image/2010_08_23_11_30_38_Ukiran.jpg Ukiran Furnitur Kamar Tidur Khas Palembang http://www.epalembang.com/site/wp-content/uploads/2009/11/ukiran-palembang-1.jpg Kursi Rias Ukiran Palembang Sumber: http://www.palembangbay.com http://karimsh.multiply.com http://amarlubai.wordpress.com Posted 4th November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 4 Mushaf Alquran Ukir Raksasa Dipamerkan di Masjid Agung Palembang Mushaf Alquran Ukir Raksasa dipamerkan di Masjid Agung Palembang Tampak pengunjung sedang asik mengamati Ukiran Mushaf Al Quran Keindahan Seni Ukir Khas Palembang Mushaf Alquran dengan Ukuran Besar Akhirnya, setelah delapan tahun dikerjakan, ukiran ayat suci Alquran 30 juz berbahan kayu tembesu ukuran raksasa dipamerkan di Masjid Agung Palembang, Kamis (14/5) petang. Alquran yang dinamai Al Akbar ini disebut-sebut sebagai ukiran terbesar dan pertama di dunia. Alquran dibuat dari ukiran khas Palembang, terdiri dari lembaran kayu setinggi 2 meter dengan lebar tak kurang 1,5 meter. Warna dasar kayu coklat dengan huruf arab timbul warna kuning. Tiap lembar ada ukiran motif kembang di bagian tepi. Warnanya juga kuning. Tiap lembar memuat ayat Alquran bolak balik. Baru satu juz (surah Albaqarah) yang telah selesai. Satu juz itu berupa kayu yang berdiri tegak membentuk lingkaran dari sepuluh lembar kayu ukir. Ini bagian Alquran raksasa pertama yang terlihat ketika naik ke lantai tiga Masjid Agung tempat pameran. Sedangkan lembaran lainnya masih terpisah-pisah disusun di rak, membentuk labirin dengan jarak 50 cm antar lembar. Ini memungkinkan bagi pengunjung untuk ikut melakukan koreksi, bila mana ada kesalahan penulisan huruf atau tajwid. Pameran dibuka setiap hari pukul 09.00-17.00. H Sofwatillah Mohzaib SSos, pencetus ide dan desainer Alquran raksasa itu, mengatakan, sebelum diresmikan di tingkat nasional oleh Presiden SBY Juni nanti, umat muslim diundang untuk mengoreksinya sampai batas waktu 6 Juni. Panitia menyediakan Alquran, lembaran koreksi, dan pena. “Silakan dikoreksi kesalahan mashab Quran Usmani, mungkin tajwidnya ada yang salah. Tapi tidak singgung seni tulisan Alquran,” katanya. Opat, panggilan Sofwatillah, menambakan peluncuran Alquran raksasa itu rencana awal pada 2004 lalu berbarengan dengan PON XVI tapi tidak tercapai. Tim menemui banyak kendala yang ternyata lebih rumit dari perkiraan, terutama masalah dana. Ketua panitia, RM HA Rasyidi, mengatakan, peluncuran Al Akbar 30 juz adalah salah satu penanda perkembangan kaligrafi Islam, dalam hal ini memperkenalkan ukiran khas Palembang. Dana yang dihabiskan mencapai Rp 1,1 miliar terkumpul dari bantuan 32 donatur. Sejumlah tokoh Sumsel berperan banyak, di antaranya mantan gubernur, H Rosihan Arsyad, Taufik Kiemas, Asmawati, dan lainnya. Peluncuran Alquran raksasa ini mendapatkan sambutan luar biasa dari umat muslim yang berkesempatan datang. Ada yang sujud syukur, mengabadikannya dengan foto berlatar Alquran raksasa itu, atau membacanya. Beberapa langsung meminta formulir koreksi. Acara dihadiri para alim ulama, sesepuh, dan tokoh masyarakat, seperti Wakil Bupati Banyuasin H Rachman Hasan, Wakil Ketua DPRD Palembang Djauhari, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, Asmawati beserta tak kurang 300 umat muslim dan muslimah. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Sumsel, Drs H Najib Haitani, yang membuka pameran, mengatakan, Alquran raksasa itu adalah kebanggaan Sumsel karena di dunia ini adalah cetakan pertama. Keberadaannya bakal menarik minat orang dari negeri Arab. “Kita harap ini juga memotivasi masyarakat untuk meningkatkan pemahaman isi Alquran dan menjadikannya hiasan

hidup sehari-hari. Kami ucapkan terima kasih sekaligus penghargaan pada tim, para donatur, dan kyai,” katanya. H Rachman Hasan, mengaku kagum pertama kali melihat Alquran itu. Menurutnya, Sumsel khususnya Palembang, termasuk kota religius. Keberadaan Al Akbar menambah nilai religius itu dan (mungkin) dapat memotivasi masyarakat untuk lebih giat memperdalam Alquran. “Karena Alquran ini semua sumber hukum dan peraturan apa pun juga, termasuk budaya, ekonomi, pemerintahan itu ada di Alquran. Kalau kita baca saja maknanya tidak tahu, kan repot,” katanya. Djauhari sependapat dengan Racham. Menurutnya Alquran itu adalah karya besar bagi bangsa Indonesia, khususnya Sumsel dan Kota Palembang. Alquran ini nantinya akan ditempatkan pada bangunan khusus, seperti Islamic Center. “Ini bukan milik Kota Palembang dan Sumsel saja, tapi Indonesia. Dalam artian inilah umat muslim di Indonesia itu bukan saja memelajari lafaz Alquran, tapi juga ada seni beragama. Luar biasa itu,” katanya. Sumber: www.sripoku.com www.republika.co.id Posted 4th November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Kesultanan Malaka Salah Satu Warisan Kejayaan Kerajaan Sriwijaya http://images.karimsh.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/Rs0CiwoKCncAAAt97R41/parameswara.jpg?et=gnVq0uszgnZWfPUKEzIvzQ Sejarah Kesultanan Malaka, Semenanjung Malaya Kesultanan Melaka (1402 – 1511) adalah sebuah Kesultanan Melayu Islam yang didirikan oleh Parameswara, seorang putra Melayu berketurunan Sriwijaya. Kesultanan Malaka terletak di wilayah penyempitan selat di Semenanjung Melayu. Sejak zaman Sriwijaya, Semenanjung Melayu merupakan tempat yang sangat trategis bagi jalur perdagangan antara barat dan timur. Parameswara merupakan turunan ketiga dari Sri Maharaja Sang Utama Parameswara Batara Sri Tri Buana (Sang Nila Utama), seorang penerus raja Sriwijaya[1]. Sang Nila Utama mendirikan Singapura Lama dan berkuasa selama 48 tahun. Kekuasaannya dilanjutkan oleh putranya Paduka Sri Pekerma Wira Diraja (1372 – 1386) yang kemudian diteruskan oleh cucunya, Paduka Seri Rana Wira Kerma (1386 – 1399). Pada tahun 1401, Parameswara putra dari Seri Rana Wira Kerma, mengungsi dari Tumasik setelah mendapat penyerangan dari Majapahit. Ibu kota kerajaan ini terdapat di Melaka, yang terletak pada Selat Malaka. Kesultanan ini berkembang pesat menjadi sebuah entrepot dan menjadi pelabuhan terpenting di Asia Tenggara pada abad ke-15 dan awal 16. Malaka runtuh setelah ibukotanya direbut oleh Portugis pada tahun 1511. Kejayaan yang dicapai oleh Kerajaan Melaka di sebabkan oleh beberapa faktor penting yaitu, Parameswara telah mengambil kesempatan untuk menjalinkan hubungan baik dengan negara Cina ketika Laksamana Yin Ching mengunjungi Melaka pada tahun 1403. Salah seorang dari sultan Malaka telah menikahi seorang putri dari negara Cina yang bernama Putri Hang Li Po. Hubungan erat antara Melaka dengan Cina telah memberi banyak manfaat kepada Malaka. Malaka mendapat perlindungan dari Cina yang merupakan pemegang kekuasaan terbesar di dunia pada masa itu untuk menghindari serangan Siam. Pada masanya setiap harinya kapal-kapal dari negeri asing berdatangan dan singgah di sana. Tentu saja kedatangan para pelaut-pelaut asing tersebut membuat Semenanjung Melayu tersebut menjadi wilayah yang tumbuh dengan pesat. Hal itu terjadi karena para pelaut-pelaut asing tersebut datang dengan membawa berbagai macam barang-barang yang mereka dagangkan. Maka jadilah Semenanjung Melayu (diwilayah bagian Malaka) menjadi sebuah pelabuhan sekaligus Bandar Raya. http://4.bp.blogspot.com/_W0zBM89eXjw/S_jeJ_Oe17I/AAAAAAAAACQ/rLlnzy4nOzU/s320/250px_SultanateMalacca.GIF Wilayah Kesultanan Malaka Banyak negeri-negeri lain yang menginginkan Semenanjung Melayu masuk dalam wilayah kekuasaannya, mengingat wilayah Semenanjung Melayu merupakan tempat yang sangat strategis bagi jalur perdagangan antara barat dan timur. Namun apa daya, angkatan perang kerajaan Sriwijaya sangat kuat dan susah ditaklukkan kala itu.

Apalagi Raden Sri Pakunalang sebagai Panglima Tertinggi pada masa Ratu Dewayani dan Raja Cudamaniwarnadewa berkuasa sangat ahli akan stategis perang. Tak hanya negeri-negeri lain yang ingin menguasai Semenanjung Melayu, penduduk asli pun sangat ingin memerdekakan tanah kelahirannya. Akan tetapi setiap daya dan upaya mereka selalu saja gagal ditangan prajurit-prajurit kerajaan Sriwijaya. Hingga pada masa Raja Sri Sanggranawijayatunggawarman berkuasa di Sriwijaya. Semenanjung Melayu lepas dari tangan Sriwijaya. Uniknya Semenanjung Melayu merdeka berkat kerja keras seorang mantan raja Sriwijaya. Parameswara namanya atau Iskandar Zulkarnaen Alamsyah, ketika beliau telah memeluk agama Islam. Berhasil merebut Semenanjung Melayu dari tangan Sriwijaya, dan mendirikan sebuah kerajaan Islam yang diberinama Kesultanan Malaka. Parameswara atau Iskandar Zulkarnaen Alamsyah menjadi raja pertamanya dengan gelar Sultan Iskandar Syah. Pada masa kepemerintahannya, Malaka mengalami masa kejayaan. Negeri Malaka menjadi negara Islam yang makmur. Dengan Panglima tertinggi, Panglima Tuan Junjungan serta si kembar Panglima Bagus Karang dan Panglima Bagus Sekuning. Negeri Malaka selalu berhasil mengalahkan para penjajah seperti negeri Siam dan Majapahit. Dan tak ketinggalan juga jasa seorang laksamana angkatan laut bernama Hang Tuah. Dikarenakan suatu hal, Sultan Iskandar Syah memutuskan kembali ke Lembang Melayu (Palembang). Kala itu Sriwijaya masih ada, namun tidak memiliki kedaulatan. Kemudian kedudukan raja digantikan oleh penerusnya dengan gelar Sultan Mayat Iskandar Syah (1414-1424 M). Pada tahun 1424 M, Kesultanan Malaka di perintah oleh Sultan Muhammad Iskandar Syah. Pada masa kepemerintahannya, Malaka semakin maju sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dari berbagai negeri. Sultan Muhammad Iskandar Syah digantikan oleh putera bungsunya yang bernama Paramesara Dewa Syah. Parameswara Dewa Syah menjadi raja dengan gelar Sultan Abu Syahid. Namun, ia hanya memerintah Malaka hanya satu tahun saja (1445-1446 M). Parameswara Dewa Syah terbunuh dalam perebutan kekuasaan oleh sepupunya yang bernama Mudzaffar. Ia memerintah Malaka dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah (1446-1458 M). Kemudian ia digantikan puteranya yang ketika naik tahta bergelar Sultan Mansyur Syah (1458-1477 M). Kesultanan Malaka kemudian dipimpin oleh Sultan Alaudin Riayat Syah (1477-1488 M). Pada tahun 1488 M, Malaka dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah. Sayangnya Sultan Mahmud Syah sangat mewarisi sifat kakek buyutnya (Sultan Mudzaffar Syah) yang tamak dan serakah. Tahun 1509 M, Diego Lopez de Sequiera dari kerajaan Portugis tiba di Malaka dengan rombongan sebanyak 18 kapal. Rombongan dari Portugis (Portugal) ini merupakan rombongan orang Eropa pertama yang tiba di Asia Tenggara. Sayangnya, kelakukan orang-orang Eropa ini sangat tidak terpuji. Mereka sering berbuat onar terutama mengganggu para gadis. Atas usulan penasehat kerajaan, maka Sultan Mahmud Syah memerintahkan prajuritnya untuk mengusir orang-orang Eropa tersebut dan berhasil menangkap 20 orang dari mereka. Pada 10 Agustus 1511, armada laut Portugis yang besar dari India menyerang Malaka. Armada perang yang beasr tersebut di pimpin oleh Alfonso d’ Albuquerque. Terjadilah peperangan selama 10 hari hingga akhirnya Malaka jatuh ketangan Portugis. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke pantai timur Semenanjung Melayu, tepatnya daerah Pahang. Maka habislah sudah masa Kesultanan Malaka yang dibangun oleh Parameswara. Politik Negara Dalam menjalankan dan menyelenggarakan politik negara, ternyata para sultan menganut paham politik hidup berdampingan secara damai (co-existence policy) yang dijalankan secara efektif. Politik hidup berdampingan secara damai dilakukan melalui hubungan diplomatik dan ikatan perkawinan. Politik ini dilakukan untuk menjaga keamanan internal dan eksternal Malaka. Dua kerajaan besar pada waktu itu yang harus diwaspadai adalah Cina dan Majapahit. Maka, Malaka kemudian menjalin hubungan damai dengan kedua kerajaan besar ini. Sebagai tindak lanjut dari

politik negara tersebut, Parameswara kemudian menikah dengan salah seorang putri Majapahit. Sultan-sultan yang memerintah setelah Prameswara (Muhammad Iskandar Syah)) tetap menjalankan politik bertetangga baik tersebut. Sebagai bukti, Sultan Mansyur Syah (1459—1477) yang memerintah pada masa awal puncak kejayaan Kerajaan Malaka juga menikahi seorang putri Majapahit sebagai permaisurinya. Di samping itu, hubungan baik dengan Cina tetap dijaga dengan saling mengirim utusan. Pada tahun 1405 seorang duta Cina Ceng Ho datang ke Malaka untuk mempertegas kembali persahabatan Cina dengan Malaka. Dengan demikian, kerajaan-kerajaan lain tidak berani menyerang Malaka. Pada tahun 1411, Raja Malaka balas berkunjung ke Cina beserta istri, putra, dan menterinya. Seluruh rombongan tersebut berjumlah 540 orang. Sesampainya di Cina, Raja Malaka beserta rombongannya disambut secara besar-besaran. Ini merupakan pertanda bahwa, hubungan antara kedua negeri tersebut terjalin dengan baik. Saat akan kembali ke Malaka, Raja Muhammad Iskandar Syah mendapat hadiah dari Kaisar Cina, antara lain ikat pinggang bertatahkan mutu manikam, kuda beserta sadel-sadelnya, seratus ons emas dan perak, 400.000 kwan uang kertas, 2600 untai uang tembaga, 300 helai kain khasa sutra, 1000 helai sutra tulen, dan 2 helai sutra berbunga emas. Dari hadiah-hadiah tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, dalam pandangan Cina, Malaka adalah kerajaan besar dan diperhitungkan. Di masa Sultan Mansur Syah, juga terjadi perkawinan antara Hang Li Po, putri Maharaja Yung Lo dari dinasti Ming, dengan Sultan Mansur Shah. Dalam prosesi perkawinan ini, Sultan Mansur Shah mengirim Tun Perpateh Puteh dengan serombongan pengiring ke negeri China untuk menjemput dan membawa Hang Li Po ke Malaka. Rombonga ini tiba di Malaka pada tahun 1458 dengan 500 orang pengiring. Demikianlah, Malaka terus berusaha menjalankan politik damai dengan kerajaan-kerajaan besar. Dalam melaksanakan politik bertetangga yang baik ini, peran Laksamana Malaka Hang Tuah sangat besar. Laksamana yang kebesaran namanya dapat disamakan dengan Gajah Mada atau Adityawarman ini adalah tangan kanan Sultan Malaka, dan sering dikirim ke luar negeri mengemban tugas kerajaan. Ia menguasai bahasa Keling, Siam dan Cina. Hang Tuah http://3.bp.blogspot.com/_KXmvzVKhpW0/TR7lOOcGB1I/AAAAAAAAAIk/bQsE7ZsUbWg/s1600/Hang%2BTuah.gif Laksamana Hang Tuah Hang Tuah lahir di Sungai Duyung Singkep. Ayahnya bernama Hang Machmud dan ibunya bernama Dang Merdu. Kedua orang tuanya adalah rakyat biasa yang hidup sebagai petani dan penangkap ikan. Keluarga Hang Tuah kemudian pindah ke Pulau Bintan. Di sinilah ia dibesarkan. Dia berguru di Bukit Lengkuas, Bintan Timur. Pada usia yang masih muda, Hang Tuah sudah menunjukkan kepahlawanannya di lautan. Bersama empat orang kawan seperguruannya, yaitu Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiyu, mereka berhasil menghancurkan perahu-perahu bajak laut di sekitar perairan dan selat-selat di Kepulauan Riau, sekalipun musuh mereka jauh lebih kuat. Karena kepahlawanan Hang Tuah dan kawan-kawannya tersebut, maka Sultan Kerajaan Malaka mengangkat mereka sebagai prajurit kerajaan. Hang Tuah sendiri kemudian diangkat menjadi Laksamana Panglima Angkatan Laut Kerajaan Malaka. Sedangkan empat orang kawannya tersebut di atas, kelak menjadi prajurit Kerajaan Malaka yang tangguh. Dalam pengabdiannya demi kebesaran Malaka, Laksamana Hang Tuah dikenal memiliki semboyan berikut. 1. Esa hilang dua terbilang 2. Tak Melayu hilang di bumi. 3. Tuah sakti hamba negeri. Hingga saat ini, orang Melayu masih mengagungkan Hang Tuah, dan keberadaanya hampir menjadi mitos. Namun demikian, Hang Tuah bukanlah seorang tokoh gaib. Dia meninggal di Malaka dan dimakamkan di tempat asalnya, Sungai Duyung di Singkep. Malaka Sebagai Pusat Penyebaran Agama Islam Sebelum muncul dan tersebarnya Islam di Semenanjung Arabia, para pedagang Arab telah lama mengadakan hubungan dagang di sepanjang jalan perdagangan

antara Laut Merah dengan Negeri Cina. Berkembangnya agama Islam semakin memberikan dorongan pada perkembangan perniagaan Arab, sehingga jumlah kapal maupun kegiatan perdagangan mereka di kawasan timur semakin besar. Pada abad VIII, para pedagang Arab sudah banyak dijumpai di pelabuhan Negeri Cina. Diceritakan, pada tahun 758 M, Kanton merupakan salah satu tempat tinggal para pedagang Arab. Pada abad IX, di setiap pelabuhan yang terdapat di sepanjang rute perdagangan ke Cina, hampir dapat dipastikan ditemukan sekelompok kecil pedagang Islam. Pada abad XI, mereka juga telah tinggal di Campa dan menikah dengan penduduk asli, sehingga jumlah pemeluk Islam di tempat itu semakin banyak. Namun, rupanya mereka belum aktif berasimilasi dengan kaum pribumi sehingga penyiaran agama Islam tidak mengalami kemajuan. Sebagai salah satu bandar ramai di kawasan timur, Malaka juga ramai dikunjungi oleh para pedagang Islam. Lambat laun, agama ini mulai menyebar di Malaka. Dalam perkembangannya, raja pertama Malaka, yaitu Prameswara akhirnya masuk Islam pada tahun 1414 M. Dengan masuknya raja ke dalam agama Islam, maka Islam kemudian menjadi agama resmi di Kerajaan Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang ikut masuk Islam. Selanjutnya, Malaka berkembang menjadi pusat perkembangan agama Islam di Asia Tenggara, hingga mencapai puncak kejayaan di masa pemeritahan Sultan Mansyur Syah (1459—1477). Kebesaran Malaka ini berjalan seiring dengan perkembangan agama Islam. Negeri-negeri yang berada di bawah taklukan Malaka banyak yang memeluk agama Islam. Untuk mempercepat proses penyebaran Islam, maka dilakukan perkawinan antarkeluarga. Malaka juga banyak memiliki tentara bayaran yang berasal dari Jawa. Selama tinggal di Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika mereka kembali ke Jawa, secara tidak langsung, mereka telah membantu proses penyeberan Islam di tanah Jawa. Dari Malaka, Islam kemudian tersebar hingga Jawa, Kalimantan Barat, Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina Selatan). Malaka runtuh akibat serangan Portugis pada 24 Agustus 1511, yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque. Sejak saat itu, para keluarga kerajaan menyingkir ke negeri lain. Silsilah Raja/Sultan yang memerintah di Malaka adalah sebagai berikut: 1. Permaisura yang bergelar Muhammad Iskandar Syah (1380—1424) 2. Sri Maharaja (1424—1444) 3. Sri Prameswara Dewa Syah (1444—1445) 4. Sultan Muzaffar Syah (1445—1459) 5. Sultan Mansur Syah (1459—1477) 6. Sultan Alauddin Riayat Syah (1477—1488) 7. Sultan Mahmud Syah (1488—1551) Periode Pemerintahan Setelah Parameswara masuk Islam, ia mengubah namanya menjadi Muhammad Iskandar Syah pada tahun 1406, dan menjadi Sultan Malaka I. Kemudian, ia kawin dengan putri Sultan Zainal Abidin dari Pasai. Posisi Malaka yang sangat strategis menyebabkannya cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai. Akhir kesultanan Malaka terjadi ketika wilayah ini direbut oleh Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d’albuquerque pada tahun 1511. Saat itu, yang berkuasa di Malaka adalah Sultan Mahmud Syah. Usia Malaka ternyata cukup pendek, hanya satu setengah abad. Sebenarnya, pada tahun 1512, Sultan Mahmud Syah yang dibantu Dipati Unus menyerang Malaka, namun gagal merebut kembali wilayah ini dari Portugis. Sejarah Melayu tidak berhenti sampai di sini. Sultan Melayu segera memindahkan pemerintahannya ke Muara, kemudian ke Pahang, Bintan Riau, Kampar, kemudian kembali ke Johor dan terakhir kembali ke Bintan. Begitulah, dari dahulu bangsa Melayu ini tidak dapat dipisahkan. Kolonialisme Baratlah yang memecah belah persatuan dan kesatuan Melayu. Wilayah Kekuasaan. Dalam masa kejayaannya, Malaka mempunyai kontrol atas daerah-daerah berikut: 1. Semenanjung Tanah Melayu (Patani, Ligor, Kelantan, Trenggano, dan sebagainya). 2. Daerah Kepulauan Riau. 3. Pesisir Timur Sumatra bagian tengah. 4. Brunai dan Serawak. 5. Tanjungpura (Kalimantan Barat). Sedangkan daerah yang diperoleh dari Majapahit secara diplomasi adalah sebagai berikut. 1. Indragiri. 2. Palembang. 3. Pulau Jemaja,

Tambelan, Siantan, dan Bunguran. Sumber: http://peutuah.com http://suryawardana.com http://rismaeffendy.blogspot.com Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Bangsa Sriwijaya http://2.bp.blogspot.com/_-VwjFK-ofUU/S4-0_0N9y2I/AAAAAAAAAZI/jenOyiS-OAY/s320/sriwijaya.jpg Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya Pada masa silam, kita Bangsa Sriwijaya merupakan bangsa yang besar dan telah meraih kegemilangan diberbagai sektor peradaban hingga keberadaan kita diakui oleh berbagai bangsa dipenjuru dunia. Dan kini kita harus bangkit dari keterpurukan yang tengah melanda, membangun kembali peradaban silam yang telah hilang, dan berjuang demi kejayaan bangsa kita digenerasi masa depan. Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Ekspedisi Sriwijaya: Mencari Jalur yang Hilang By: http://www.pdii.lipi.go.id altInfo Baru Vol. 7 No. 5 Mei 2011-p Kegiatan ekspedisi ilmiah yang berupaya menelusuri jejak-jejak peradaban masa lalu bangsa Indonesia patut diapresiasi. Dunia mengakui kekayaan dan keragaman budaya bangsa kita yang dihasilkan melalui proses-proses akulturasi yang panjang, yang terekam dalam bentuk tinggalan arkeologis, catatan sejarah dan memori kolektif bangsa. Kegiatan Ekspedisi Sriwijaya yang dilaksanakan oleh Balai Arkeologi Palembang, Badan Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan dan Pariwisata, didukung oleh Direktorat Peninggalan Bawah Air, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2009 merupakan suatu kegiatan ilmiah yang hasilnya memang perlu disebarluaskan kepada masyarakat, selain untuk kalangan akademis. Ekspedisi Sriwijaya berupaya menelusuri jalur ekspedisi maritim Raja Sriwijaya dan bala tentaranya pada abad ke-7 dari Palembang ke Kota Kapur di Pulau Bangka atau sebaliknya. Kegiatan i1miah itu tidak berhenti pada upaya merekonstruksi sejarah kebudayaan saja, lebih dari itu bagaimana hasil kajian dapat memberi makna, inspirasi dan spirit kepada bangsa kita masa kini. Sriwijaya yang menurut para ahli berarti "kemenangan yang menjanjikan" dapat dijadikan inspirasi dan spirit untuk meneapai cita-cita menjadi bangsa yang maju dalam berbagai bidang. Dengan memahami akar budaya bangsa sebagai bangsa bahari dan memupuk etos kerja yang tinggi demi menggapai cita-cita, "kemenangan yang menjanjikan" itu akan terwujud: menjadi bangsa yang maju dan sejahtera. Sekaligus menjadi bangsa yang kembali disegani di bidang kebaharian. Kita menyambut gembira terbitnya buku yang berjudul: Ekspedisi Sriwijaya: Mencari Jalur yang Hilang. Buku ini melengkapi publikasi-publikasi mengenai tinggalan arkeologis atau warisan budaya yang diterbitkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, agar lebih mengenal tinggalan budaya bawah air, meningkatkan cinta bangsa dan multikulturalisme, dan bangga sebagai bangsa. Semoga bemanfaat bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari. Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Potensi Daerah Bumi Sriwijaya http://hitamputihnegeriku.com/wp-content/uploads/2011/03/sumatera.pngSebagai bekas wilayah pusat Kerajaan Sriwijaya, sebuah kerajaan penganut agama Budha terbesar di dunia. Sumatera Selatan banyak memiliki benda-benda dan tempat-tempat bersejarah yang menarik untuk dijadikan Objek Wisata. Hal tersebut didukung pula oleh paling sedikit terdapat 139 objek wisata yang tersebar di seluruh Wilayah. Beberapa tempat paling banyak dikunjungi wisatawan baik lokal maupun asing antara lain adalah Danau Ranau yang terletak di Kabupaten OKU, Pegunungan Dempo yang terletak di Kaki Gunung Dempo, Kota Pagar Alam dan Air Terjun Curup Tenang di Kabupaten Muara Enim. Ratusan lembaga telah memakai nama Sriwijaya. Mulai dari instansi militer, yayasan sosial, toko, universitas, koran, usaha travel, angkutan umum, pabrik pupuk, jalan, sampai dengan hotel, semuanya menempelkan nama kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara itu. Barangkali para pemberi nama

memiliki harapan serupa, mewarisi spirit kebesaran Sriwijaya. Namun, apakah kebesaran Sriwijaya benar-benar memberikan inspirasi bagi masyarakat zaman sekarang? Sebagian besar masyarakat di Palembang, Sumatera Selatan, yang diduga pernah menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, justru menyangsikannya. Alasannya, mereka kesulitan melacak sejarah dan nilai-nilai kebesaran Sriwijaya, akibat keterputusan sejarah. Tidak banyak lagi yang bisa diwarisi dari kebesaran Sriwijaya sekarang ini, bahkan sebagian besar generasi muda sudah tidak lagi memahami sejarah kerajaan besar yang pernah tumbuh di bumi Sumatera itu. Pelabelan nama Sriwijaya cenderung menjadi kelatahan massal, tanpa pendalaman akan nilai-nilai di dalamnya. "Saya hanya tahu sedikit tentang Sriwijaya dari buku pelajaran waktu sekolah dulu. Itu pun sekarang sudah banyak yang lupa. Di kampus juga tidak ada buku-buku tentang Sriwijaya," tutur Yudhis (23), mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang. Menurut budayawan dan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) Djohan Hanifiah, kondisi tersebut terjadi karena sejarah kejayaan Sriwijaya pada abad ke-7 sampai 13 Masehi terputus dan tidak dilanjutkan oleh sejarah berikutnya. Ensiklopedi Nasional Indonesia mencatat, Kerajaan Sriwijaya ditundukkan Majapahit yang berpusat di Mojokerto, Jawa Timur, pada tahun 1377. Sejak itu hingga sekitar abad ke-16 Masehi, Palembang dan sekitarnya praktis menjadi daerah tidak bertuan yang dijadikan sarang gerombolan perompak dari China. Para perompak China yang agresif dan nekat menguasai jalur-jalur transportasi sungai dan laut, yang saat itu merupakan jalur perdagangan internasional oleh Sriwijaya. Mereka beranak pinak, membentuk koloni tersendiri, memutus tradisi dan nilai-nilai yang berkembang di tanah leluhur bangsa China, dan sebaliknya menanamkan kehidupan budaya khas perompak yang berangasan. Peneliti dari Balai Arkeologi Palembang, Retno Purwanti, mengutarakan, sisa-sia kekuasaan perompak China sekitar 200 tahun itu dapat diamati pada peninggalan Kampung Kapiten di Kelurahan Tujuh Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang. Tugu prasasti di kampung itu menunjukkan pemujaan kepada Dewa Samudra, sebagai peringatan adanya komunitas China yang menetap di Palembang. Keganasan para perompak itu berakhir setelah Panglima Perang Chengho yang diutus penguasa China datang dan memerangi mereka. Meski kekuasaan perompak China berakhir, tetapi kebesaran Sriwijaya telanjur terpuruk dan sulit dibangkitkan lagi. Pusat studi agama Buddha dan bahasa Sanskerta yang masyhur dengan lebih dari 1.000 pendeta Buddha, tenggelam bersama ajaran-ajarannya. Kedigdayaan armada maritim dan pergaulan kerajaan besar itu dalam peta perdagangan internasional ikut pupus. Tradisi seni budaya bernuansa Buddha dan Hindu pun tidak berlanjut pada zaman berikutnya. KERAJAAN Palembang Darussalam yang tumbuh sekitar abad ke-16 sampai tahun 1851, juga tidak meneruskan kebesaran Sriwijaya. Kerajaan ini membangun tradisinya sendiri yang berakar pada spirit Islam yang dipengaruhi Kerajaan Demak, Jawa Tengah. Kekuasaan Belanda yang merasuki daerah Palembang sejak awal abad ke-18 sampai dengan pertengahan abad ke-20 Masehi lebih bercorak Kristiani, dan menekankan perdagangan untuk mengembangkan wilayah jajahan. Kondisi itu semakin menjauhkan kemegahan Sriwijaya dari kesadaran generasi-generasi berikutnya. "Kebesaran Sriwijaya benar- benar terputus oleh kekuasaan Kerajaan Palembang Darussalam dan Belanda, yang membangun budaya jauh berbeda," papar Djohan Hanifiah. "Beberapa candi dan peninggalan Sriwijaya sempat dihancurkan dan dikubur dalam tanah dengan alasan teologis. Estetika, ilmu pengetahuan, dan seni yang berkembang pada masa Sriwijaya tidak lagi tumbuh pada masa berikutnya sampai sekarang." Thontowi, pengurus Dewan Kesenian Palembang yang juga menjadi Staf Humas Pemerintah Provinsi Sumsel, menengarai adanya keterputusan sejarah, antara kebesaran Sriwijaya dengan budaya masyarakat Sumsel zaman sekarang. Jeda waktu yang terjadi setelah Sriwijaya runtuh abad ke-14 sampai dengan abad ke-16 Masehi

merupakan missing link (rantai terputus) yang memutus keterkaitan Sriwijaya dengan Kerajaan Palembang Darussalam, kolonialisasi Belanda, hingga pembangunan Kota Palembang modern. Budaya masyarakat Palembang dan daerah sekitarnya, lanjut Thontowi, justru banyak dipengaruhi karakteristik kelompok masyarakat yang hidup berkebun di hutan-hutan. Mereka memiliki tradisi yang keras, karena hidup di tengah belantara dan terbiasa membawa senjata tajam untuk mengolah kebun dan menjaga diri. Sedikit banyak kebiasaan itu masih berlanjut hingga sekarang. Djohan Hanafiah menilai, tradisi kekerasan menguat dalam kehidupan masyarakat Sumatera Selatan karena daerah ini dihuni lebih dari 20 suku. Masing-masing suku merasa setara dengan suku lain, dan senantiasa bersaing ketat untuk menguasai akses sosial, politik, dan ekonomi. Ketika komunikasi macet, kekerasan menjadi salah satu cara yang diandalkan untuk mempertahankan eksistensi dan dominasi antarsuku tersebut. Sesungguhnya masih terdapat satu kebesaran Sriwijaya yang berusaha dihidupkan masyarakat Sumsel, yaitu kekuatan armada maritim dalam mengarungi samudra dan mengembangkan perdagangan internasional. Setidaknya semangat tersebut pernah mendorong Gubernur Sumsel periode 1998-2003, Rosihan Arsyad, pada tahun 2001 lalu untuk merekonstruksi replika kapal layar Sriwijaya. Asnawi Hasan, staf di Bagian Industri dan Pariwisata Biro Ekonomi Pemprov Sumsel, mengungkapkan, studi bentuk kapal yang digunakan Sriwijaya untuk mengarungi Sungai Musi dan menjelajah benua pernah dilakukan tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Dalam kajiannya, kapal yang dibuat dari kayu onglen itu mirip dengan kapal Borobudur yang memakai layar dan bercadik. Panjangnya sekitar 24 meter dengan lebar kurang lebih enam meter. Hanya saja, hingga Syahrial Oesman menjadi Gubernur Sumsel periode 2003-2008, rencana tersebut kandas karena terbentur masalah dana. Sumber:http://www.bandarasmb2.com http://img64.imageshack.us/img64/7829/sumselis9.jpg S Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 29 Songket Palembang Jadi Warisan Budaya Palembang - Kompas.com. Sebanyak 22 motif tenun songket Palembang di tetapkan sebagai warisan budaya rakyat Palembang, Sumatera Selatan. Sebanyak 49 motif tradisional lainnya tengah dalam proses. Pengajuan pengakuan sebagai warisan budaya ini dilakukan untuk melindungi kekhasan seni dan budaya Palembang. Motif-motif tersebut memperoleh pengakuan sebagai warisan budaya rakyat (folklore ) Palembang dari Kementerian Hukum dan HAM. Beberapa di antaranya adalah motif bungo intan, lepus pulir, paku berkait, limar berantai, dan nampan emas. Kepala Bidang Pembinaan Industri Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang, Rosidi Ali, mengatakan, pengajuan sebagai warisan budaya masyarakat tersebut dilakukan sejak tahun 2004. Motif-motif tersebut merupakan hasil pengembangan masyarakat Palembang sejak ratusan tahun lalu. "Totalnya ada 71 motif tenun songket yang telah kami ajukan untuk memperoleh pengakuan. Jumlahya masih mungkin bertambah lagi di masa mendatang," katanya di Palembang, Sumatera Selatan. Menurut Rosidi, pengakuan secara hukum ini penting untuk menjaga kekhasan budaya Palembang dan melindungi melindungi industri kecil yang bergerak di bidang songket . Adanya pengakuan secara hukum salah satunya akan mencegah klaim dari pihak lain. Saat ini, sebanyak 49 motif lain masih dalam proses pengakuan tersebut. Di antaranya motif bungo ayam, semanggi, jupri, maskot, dan dua warna bunga kayu apui. Selain di Sumatera Selatan, tenun songket juga berkembang di hampir semua daerah di Sumatera, namun dengan motif yang berbeda-beda. Industri kecil kerajinan tenun songket Palembang terus mengalami pertumbuhan . Menurut data Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Palembang, saat ini tercatat sekitar 150 pemilik usaha kerajinan tenun songket di Palembang. Masing-masing pemilik usaha mempunyai perajin upahan rata-rata 5-10 orang. Perajin upahan ini umumnya ibu-

ibu rumah tangga di sekitar pemilik usaha songket. Budayawan dan pemerhati Songket Sumatera Selatan, Ali Hanafiah, mengatakan, pertumbuhan kerajinan songket didukung oleh masih tingginya minat masyarakat Sumatera Selatan terhadap kain songket. Hal ini didorong pula dengan berkembangnya kain-kain songket dengan harga relatif murah sehingga terjangkau oleh masyarakat banyak. Di masa lalu, kata Ali, kain songket biasanya dihiasi dengan serat emas asli dan digunakan sebagai lambang status sosial bangsawan Kesultanan Palembang. "Harga kain songket pun menjadi sangat mahal sehingga hanya bisa dimiliki kalangan berada. Tapi sekarang berbeda. Sudah ada pergeseran budaya, sehingga songket bisa juga dimiliki masyarakat umum," ucapnya. Perajin dan desainer songket asal Palembang, Zainal Abidin, mengatakan, pengakuan terhadap motif-motif tenun songket Palembang tersebut akan memperkuat posisi pengrajin dan pengusaha songket dari klaim dari negara lain. Tanpa ada perlindungan seperti ini, motif tenun songket Palembang dapat dibuat dan diklaim di negara-negara lain. "Bisa-bisa kita sendiri kalah denan mereka karena modal mereka biasanya besar," tuturnya. Saat ini, jumlah perajin di Zainal Songket sekitar 150 orang. Selain di Palembang, Zainal juga telah membuka gerai di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia. Promosi tenun songket Palembang juga telah dilakukan di sejumlah negara seperti Malaysia, Paris, Jepang, negara-negara tetangga, dan negara-negara Timur Tengah. Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Banyak Wanita Batak Memilih Songket Palembang daripada Ulos Batak "Banyak Wanita Batak Memilih Songket Palembang daripada Ulos Batak", begitu judul sebuah artikel di salah satu blog. Kita sebagai warga Sumatera Selatan, khususnya Kota Palembang patut berbangga, karena ternyata Songket Palembang sangat diminati oleh daerah lain. Berikut kutipan artikelnya. Jarar Siahaan: Batak News: Menjajah Budaya Sendiri Ia salah satu desainer top Indonesia. Ia berteriak lantang: justru orang Batak “memuja” songket Palembang dan “melupakan” ulos. Kini ia tengah mengerjakan proyek pengembangan ulos yang didukung negara asing, Austria. Ironis. Merdi Sihombing “Wanita Batak sangat memuja, bangga, berlomba-lomba untuk memakai kain songket Palembang pada setiap momen yang berkesan buat hidupnya,” kata Merdi Sihombing pada imel yang dia kirim ke blog Batak News beberapa hari lalu. “Wanita Batak banyak mengoleksi kain songket Palembang yang ditawarkan dengan harga yang sangat fantastis sebagai prestise bahwa hidup mereka sangat berlebihan.” Merdi adalah pria Batak yang pernah kuliah di Institut Kesenian Jakarta [IKJ], “tapi belum tamat.” Pada tahun 2002 ia sudah menjadi perancang busana langganan sejumlah selebritis, antara lain Feby Febiola, tulis harian Kompas — yang menyebut rancangan Merdi sebagai “keindahan dalam kesederhanaan”. Aku juga pernah melihat namanya tercantum sebagai desainer model cantik di majalah seksi Popular beberapa tahun silam. Lantas kenapa [sebagian] perempuan Batak lebih memilih songket Palembang? Merdi menjawab, karena orang-orang berpengaruh di kalangan Batak, seperti seniman, rohaniawan, pengusaha, dan pejabat pemerintah tidak peduli melestarikan dan mengembangkan ulos. Ia menilai, hanya pedagang dan pengrajin uloslah yang peduli pada kain dengan tiga warna khas itu — hitam, merah, dan putih. Kualitas ulos pun secara umum kurang memadai. Kembali lagi, ini terjadi karena kurangnya perhatian dari orang-orang berpengaruh tadi. Masih banyak hal yang perlu dibenarkan, kata Merdi. Misalnya kualitas benang, komposisi dan warna, termasuk promosi. Danau Toba pada tahun 2010 telah dicanangkan pemerintah sebagai tujuan wisata yang akan menjadi sumber pendapatan beberapa kabupaten. Tapi hingga kini upaya-upaya mendukung program tersebut, termasuk salah satunya pengembangan ulos, dinilai nyaris tidak terdengar. Kata Merdi, para politikus Batak ramai-ramai ingin mewujudkan Propinsi Tapanuli dengan semboyan dan harapan yang muluk-muluk, tapi mereka tidak

memikirkan masyarakat bawah yang berpenghasilan dari membuat ulos sebagai pelengkap tujuan wisata. Kalau kita tidak ingin ulos semakin hilang dilindas pengaruh budaya lain, maka semua pihak harus berusaha mengubah pemikiran yang kerap muncul di kalangan wanita Batak bahwa, “Ulos tidak berharga, kuno, kasar, tidak indah, it’s not cool.” Secara teknis aku buta tentang penerapan motif ulos pada busana modern. Tapi kupikir seorang Merdi sangat menguasainya, dan itulah yang dia pikirkan dan kerjakan selama ini. Mungkin pendapat Dewi Motik pada tahun 1980 berikut ini masih relevan untuk disimak dan dijadikan pemacu hasrat kita sebagai pencinta ulos: “Kesukaran saya, sebagian besar warna ulos itu gelap. Juga lebar kainnya yang cuma 60 cm, sehingga tidak mudah dikembangkan untuk model-model rok yang lebih bebas.” Merdi Sihombing adalah desainer kebanggaan Indonesia. Tahun ini ia ditunjuk pemerintah sebagai salah satu dari 12 fesyen desainer untuk pengembangan kain tenun tradisional. Ia pun sering berpameran bersama perancang busana papan atas sekelas Oscar Lawalata, Ghea Panggabean, dan Samuel Wattimena. Tahun lalu ia mengangkat kain tradisional suku Badui dalam sebuah pameran setelah mengamati suku tersebut selama tiga tahun. Ia juga bangga menjadi orang Batak. Suratnya padaku “marpasir-pasir” alias berbahasa Indonesia yang dicampur bahasa Batak. Tanggal 5 besok ia berada di Medan. Tanggal 8 di Pulau Samosir selama tiga hari untuk pemotretan keperluan buku ulos Batak, Natural Thing. Tanggal 11 menyeberang ke Muara, kecamatan kecil nan indah di tepi Danau Toba. Tanggal 13 baru akan kembali ke Jakarta. Selamat berkarya, Lae Merdi. Hanya dengan tulisan pendek ini aku bisa membantu cita-citamu mengangkat derajat ulos kita. [www.jararsiahaan.com] Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Menelusuri Etalase Songket di Jantung Sriwijaya http://data.tribunnews.com/foto/bank/thumbnails2/songket-palembang.jpgIndustri Kecil Suara keletak-keletik menyusup dari sela-sela lantai kayu sebuah rumah panggung di bilangan 30 Ilir Palembang. Di kolong rumah panggung berusia lebih dari 400 tahun itu, jari-jemari para pekerja terampil menjalin benang demi benang menjadi sebuah tenun kain songket. Itulah suasana di salah satu rumah di pusat kerajinan tenun songket Palembang. Rumah tua itu terletak di sentra kerajinan tenun songket di Kecamatan 30-32 Ilir Palembang, Sumatera Selatan. Pemiliknya adalah desainer songket ternama yang berangkat sebagai perajin, Zainal Arifin. Dinding rumah kayu itu dihiasi fotonya dengan sejumlah tokoh nasional dan internasional, seperti mantan Ibu Negara Amerika Serikat Laura Bush, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Soeharto, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Zainal mengatakan, kerajinan songket sudah ada di daerah itu sejak tahun 1700-an. Zainal sendiri termasuk generasi ketiga dari keluarganya yang menekuni kerajinan songket. ”Sebelumnya nenek saya yang masih sangat tradisional membuat songket, sampai-sampai menyimpannya pun di kasur agar tidak patah. Lalu ibu saya, Cek Ipah, yang kemudian mengembangkannya menjadi usaha kerajinan,” katanya, Selasa (29/3). Gerai Zainal Songket merupakan salah satu dari sekitar 15 gerai tenun songket di sentra kerajinan tenun songket ini. Kawasan ini merupakan hunian tua dengan beberapa rumah panggung yang masih tersisa. Letaknya pun tak jauh dari lokasi yang diyakini sebagai keraton Kerajaan Sriwijaya, sekarang bernama Taman Wisata dan Budaya Kerajaan Sriwijaya. Tenun songket diyakini merupakan warisan budaya masyarakat sejak zaman kerajaan bahari itu. http://4.bp.blogspot.com/_4SkcOCUZTaM/S-r64uS1CCI/AAAAAAAAAA4/Q_bSsEPaQw4/s320/kain+jadi.jpg Songket Palembang Menyusuri kawasan itu ibarat menyusuri etalase tenun songket Sumsel. Beragam jenis songket terpajang di bagian depan sejumlah rumah, seperti baju, kopiah, dan selendang. Uniknya, tiga pemilik gerai di kawasan itu adalah saudara sekandung, yaitu anak-anak dari

Cek Ipah. Dari sisi produksi, sentra songket 30-32 Ilir Palembang itu bukan pusat terbesar perajin songket. Pusat perajin tenun songket sendiri terletak di desa-desa, salah satunya di Kabupaten Ogan Ilir, yang jaraknya sekitar 1,5 jam perjalanan dari Palembang. Namun, ibarat etalase, perannya cukup penting untuk menawarkan songket dan menjadi tujuan yang pertama kali disasar wisatawan dan para pencari songket. Sentra tenun songket 30-32 Ilir Palembang itu juga berperan sebagai pusat pengembangan dan inovasi songket. Zainal, misalnya, terus mengembangkan motif dan desain busana songket sesuai tren mode dunia. Telah puluhan motif songket modern dia patenkan. Zainal sendiri juga telah memasarkan songket ke kota-kota besar, seperti Jakarta dan Bandung. ”Dengan cara ini, songket bisa terus hidup dan dikenal. Kalau tak ada pengembangan, songket hanya akan dianggap sebagai kain kuno,” katanya. Menghidupi Bagi sebagian warga, songket memberi harapan kehidupan lebih baik. Sra (21), salah satu pekerja di sentra songket, misalnya, tak bisa membayangkan hidupnya jika tak mengenal kerajinan itu. ”Orangtua saya hanya petani, saya hanya lulusan SD. Tak tahu saya akan jadi apa kalau tak kenal kerajinan songket,” tutur pemuda dari Desa Air Batu, Kabupaten Banyuasin, Sumsel, ini. Beberapa gerai songket menggunakan sistem perajin upahan. Gerai Ny Hj Romlah Fauzi, misalnya, memberikan bahan kepada para perajin upahan di pinggiran Palembang untuk dibuat songket. ”Dulu kami mempunyai penenun sendiri, namun karena keterbatasan ruang, sekarang kami pakai sistem upahan,” kata salah seorang pengelola gerai. Menurut Kepala Bidang Pembinaan Industri Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang Rosidi Ali, industri kerajinan tenun songket di Palembang masih terus berkembang. Saat ini tercatat sekitar 150 pemilik usaha tenun songket di daerah itu dengan jumlah perajin upahan diperkirakan 750 orang hingga lebih dari 1.000 orang. ”Songket masih menggerakkan ekonomi masyarakat meskipun tak terlalu besar. Beberapa perajin upahan dulunya adalah penganggur,” katanya. Bertahannya songket tak lepas dari tingginya minat masyarakat terhadap kain tradisional itu. Selain untuk dikenakan sendiri, kain ini dikenal sebagai suvenir dan oleh-oleh khas Palembang. ”Saya mau beli untuk oleh-oleh tamu dari Jakarta,” tutur Yeti, pengunjung sentra songket 30-32 Ilir. Guna melindungi kekhasan tenun songket Palembang, pemerintah daerah mengajukan 71 motif tradisional sebagai warisan budaya masyarakat (folklore). Sebanyak 22 motif telah mendapat pengakuan dari Kementerian Hukum dan HAM, dan 49 motif masih menunggu. Beberapa motif yang telah diakui adalah motif bungo intan, lepus pulir, paku berkait, limar berantai, dan nampan emas. Selama ratusan tahun, tenun songket telah mengalami pengembangan dan pergeseran budaya. Dari kain kebesaran penanda status sosial keluarga bangsawan, kini kain tenun songket dipakai masyarakat umum. Hingga sekarang songket bertahan sebagai salah satu warisan budaya Melayu Indonesia. Sumber: http://kompas.com by: Irene Sarwindaningrum Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Hubungan Srivijaya dengan Parsi, Khilafah dan Kingdom of Prester John Salam,dalam artikel ini kita akan lihat sebesar mana dan sejauh mana pengaruh Srivijaya dalam lembaran sejarah dunia. Bukanlah tujuan saya untuk berlebih lebihan dalam memaparkan sejarah Srivijaya. Namun demikian semua kenyataan saya dalam artikel ini bukanlah didapati dari mimpi, wasiat tok nenek atau alamat ghaib, tetapi sebaliknya ada sokongan daripada sumber-sumber dari kajian yang telah dibuat oleh sejarawan tempatan dan luar. Mungkin ada yang akan mempersoalkan, mengapa mempercayai kajian dari luar? Tujuannya bukanlah untuk mengagungkan kajian mereka, namun sebenarnya kerana terpaksa. Mengapa? Kerana adalah agak sukar untuk kita mencari catatan tentang Srivijaya dalam hikayat atau catatan tempatan, hal ini mungkin kerana kurangnya kesedaran dikalangan rakyat marhaen Srivijaya untuk menulis . Mungkin juga kerana tulisan-tulisan mereka telah musnah atau

belum dijumpai dan masih tertimbus dimana-mana, atau telah dicuri! Namun tak usah kita risau kerana bangsa-bangsa luar memang banyak menceritakan tentang kerajaan ini. Dari timur hinggalah ke barat, dari dataran rendah hinggalah ke bumbungan Asia di Tibet. Dari hutan belantara Indochina hinggalah ke Padang pasir di Baghdad dan Parsi. Mereka semua ada mencatat mengenai sebuah bangsa dan kerajaan yang sangat besar dan hebat yakni SRIWIJAYA, SRIBHOJA, SHAMBALA, SAYABIGA, SABAG, ZABAJ, SHAVAKA, JAVAKA, CHEVAKA, SVIYAGA. Sayabiga Pada tahun 656 masihi dalam catatan Arab di Baghdad ada menyatakan bahawa khalifah telah mengupah sekumpulan puak yang bernama Sayabiga untuk menjadi pengawal Baitulmal atau harta kerajaan. Sarjana hari ini masih tidak dapat memutuskan dari mana asalnya mereka ini. Malahan catatan Arab juga tidak mengetahui asal usul perkataan Sayabiga kerana ia bukan bahasa Arab mahupun Parsi . Namun mereka sependapat bahawa puak ini berasal dari pantai utara al Sind atau al hind. Dalam catatan Arab dan Parsi mereka juga terkenal sebagai penanam Padi dan penternak Kerbau. Kawasan Basra pada suatu masa dahulu terutama pada zaman kerajaan Sasanid , Bani Ummayyah serta Abbasiah pernah menjadi pembekal beras kepada seluruh Jajahan Empayar . Namun dari mana asalnya padi atau beras ini? Ada sarjana berpendapat bahawa padi dan Kerbau dibawa masuk ke Iraq atau Basra oleh Puak Sayabiga. Siapa sebenarnya puak Sayabiga ini? Kajian terbaru menyatakan bahawa mereka ini adalah tentera upahan daripada tak lain dan tak bukan orang-orang Nusantara dari kerajaan SRIVIJAYA. Ini dapat menjelaskan unsur persamaan diantara perkataan Srivijaya dan Sayabiga yang berasal daripada sebutan Arab Sabag atau Zabaj, Zanj, Zanaj. Apa yang menarik lagi adalah, puak Sayabiga ini dikatakan sebagai Sea Gypsy atau pelaut yang sangat handal dan penguasa kapal-kapal. Mereka digaji oleh kerajaan Parsi dan kerajaan Umayyah kemudiannya untuk menjadi warden, pengawal, polis dan tentera laut. Gabriel Ferrand menyatakan bahawa: The Sayabiga are the descendant of ancient Sumatran immigrant to India then to Iran and Persian gulf, where there is evidence if their existence before Islam. This is not surprising because we know from other sources also that the Sumatran colonized Madagascar at a very early date. The eastern route is very familiar to them. Sesetengah sarjana berpendapat mereka berasal dari pesisir pantai selatan Parsi. Namun mereka bukanlah orang Parsi. Bahasa dan cara hidup serta rupa paras mereka berbeza dengan Puak-puak parsi yang lain. Apa yang menarik lagi bahawa catatan Al Masudi ada menyatakan bahawa semasa Saidina Ali diserang dalam perang Siffin yang terkenal dalam sejarah Islam, orang-orang kufah yang datang membantu Saidina Ali termasuklah puak Sayabiga. Sejak dari hari itu puak Sayabiga dikatakan telah menganut fahaman Shiah. Ada sedikit puzzle yang hendak saya tunjukkan disini. Saya pernah mendengar satu riwayat dari para pengamal tarian kuda kepang bahawa tarian ini adalah berasal daripada pengalaman seorang Nusantarian yang melihat kuda tunggangngan Saidina Ali naik berang dalam perang. Adakah peristiwa ini berdasarkan kisah yang sebenar? Walau apapun jawapannya, tidak dapat kita nafikan lagi bahawa pengaruh empayar Melayu srivijaya bukan terhad kepada nusantara sahaja malahan hingga ke Baghdad! Sebelum ini memang ada bukti bahawa Maharaja Srivijaya pernah menghantar surat kepada Khalifah Umar abdul Aziz. Ini bermakna sebenarnya sejak awal lagi Srivijaya telah memainkan peranan yang besar dalam sejarah kerajaan-kerajaan dunia. hal Ini mengukuhkan lagi teori yang menyatakan bahawa sebelum kedatangan islam lagi orang nusantara telah mengadakan hubungan perdagangan dan membuka penempatan di pelabuhan-pelabuhan utama di seluruh dunia sebelah sana. Saudara sekalian sebenarnya, sejak turun temurun Parsi adalah salah satu rakan dagangan Nusantara yang sangat akrab. Ini dibuktikan dengan kolonialisasi penduduk dari Sayabiga atau Srivijaya di selatan Iran. Kajian daripada Prof Asyaari Muhammad seorang ahli arkeologi UKM menunjukkan

bahawa sememangnya hubungan diantara Kerajaan Parsi dari dinasti awal lagi telah berlaku dengan Nusantara. Beliau telah membuat perbandingan diantara tembikar berglaze biru yang dijumpai di beberapa tapak di negara ini dengan yang terdapat di Parsi dan hasilnya ternyata sama. Ini dapat menjelaskan puzzle mengapa banyak perkataan Parsi dalam vocabulari bahasa Melayu selain bahasa Arab, antaranya ialah bandar, dewan, domba, kahwin, kelasi, kenduri, medan, piala, nobat, pasar, nakhoda, saudagar, pahlawan, jam, serunai kurma dan gandum . Catatan Arab tentang Kalah atau Kedah pada era kegemilangannya ada menyatakan tentang barang yang didagangkan di pasarnya. Menurut pencatat tersebut di pasar Kalah ada menjual gandum dan kurma dan rakyatnya memakan gandum sebagai makanan ruji. Darimanakah mereka mendapat gandum ini? Sudah tentu bukan ditanam di Kedah kerana keadaan cuaca dan tanah di sini tidak sesuai untuk penanaman gandum begitu juga Kurma. Sudah tentulah barangan ini diimport dari Parsi yang sehingga sekarang adalah salah satu negara pengimport Kurma terbesar. Sekarang terpulang kepada anda untuk menilai samaada benar atau tidak pelayar Srivijaya pernah sampai ke Basra dan menjadi tentera upahan Dinasti Ummayyah. Apa yang saya buat ialah mengemukakan kajian-kajian yang telah dibuat dan meurmuskannya secara ringkas. Namun pencarian mengenai kemegahan Srivijaya masih belum berakhir. Sebelum ini saya ada menyebut bahawa adanya perhubungan yang cuba dibuat oleh Maharaja Srivijaya dengan pemerintah Khilafah Ummayyah di Banghdad dan Damsyik. Sebenarnya kajian mengenai ini telah dibuat dan dibukukan oleh S.Q Fatimi dan boleh dibaca dalam internet. Beliau telah menganalisis dua pucuk surat yang dihantar dari Mihraj atau Maharaja Srivijaya kepada Khalifah. Satu surat kepada Muawiyah Bin Abi Sufyan yang bertarikh 661 Masihi dan satu lagi surat kepada Umar Bin Abdul Aziz yang memerintah sekitar 717 masihi. Menurut Fatimi, Raja al hind yang disebut dalam catatan-catatan Arab dalam surat ini adalah dari Kerajaan Zabaj atau Srivijaya. Perlu diingat bahawa Zabaj sebenarnya lebih merujuk kepada kawasan dalam pengaruh sebuah bangsa iaitu Javaka dan bukan nama sebenar sebuah Kerajaan. Namun sebahagian ahli sejarah sepakat mengatakan bahawa Maharaja Zabaj yang disebut-sebut dalam catatan Arab adalah maharaja Kerajaan Srivijaya , kerana Javaka adalah panggilan orang-orang India dan Sri Lanka kepada orang Melayu Nusantara dan bukan bererti orang Jawa dari pulau Jawa sahaja. Surat pertama telah dicatatkan mengenainya oleh Al- Jahiz dalam kitabnya Al hayawan. Menurut Jahiz, Abdul al Malik bin Umar melihat surat tersebut di pejabat setiausaha Khalifah Muawiyah yang kemudiannya telah diberikan kepada Abu ya’kub al Thaqafi yang kemudian pula memberikan kepada Al Haytham yang menjadi sumber kepada Ibnu jahiz. Namun malangnya Jahiz hanya mencatat mukaddimah surat tersebut sahaja dan tidak keseluruhannya. Catatan itu berbunyi: … ini surat dari Raja Al Hind, yang didalam kandangnya ada beribu-ribu gajah dan istananya dibina dari emas dan perak yang berkilauan, yang dilayan oleh beribu anak perempuan Raja-raja, yang menguasasi dua Sungai yang mengairi tanah-tanah subur, kepada Muawwiyah… Surat kedua ditemui dalam Al-Iqd al Farid oleh Ibnu Rabbih sekitar 860-940 Masihi yang menyatakan bahawa sumbernya diperolehi daripada Nuaim Bin Hammad. Nuaim menyatakan bahawa Raja Al Hind telah menghantar sepucuk surat kepada Khlifah Umar Bin Abdul aziz seperti berikut: Dari raja kepada Raja yang berketurunan dari seribu raja, yang kandangnya dipenuhi dengan beribu gajah dan kawasan taklukannya adalah dua sungai yang mengairi tanam-tanaman, wangi-wangian, pohon pala dan kapur wangi, yang wangiannya semerbak sehingga 12 batu jauhnya…kepada raja Arab, yang tidak menyekutukan tuhan dari tuhan yang satu. Beta telah menghantar hadiah, yang tidak seberapa sebagai tanda persahabatan dan beta harap agar anda menghantar seseorang yang dapat mengajarkan ajaran Islam serta menunjukkan undang-undangnya. (ini terjemahan saya sendiri

berdasarkan terjemahan Inggeris). Ada beberapa persoalan yang perlu dirungkaikan mengenai surat ini. Yang pertama ialah siapa sebenarnya maharaja yang bersedia memeluk agama Islam tersebut., yang kedua adakah benar bahawa ada salah seorang maharaja Srivijaya telah diislamkan, dan persoalan ketiga mengapa ada banyak persamaan diantara surat Maharaja atau Mihraj ini dengan surat-surat yang dihantar oleh Prester John? Persoalan pertama dan kedua sebenarnya telah cuba dijawab oleh S.Q Fatimi, jadi saya tidak mahu menyentuhnya disini kerana tidak mahu memanjangkan artikel. Yang ingin saya sentuh adalah persoalan ketiga, yakni adanya persamaan diantara diskripsi atau gambaran tentang kerajaan Prester John dengan kerajaan Mihraj Al Hind atau Srivijaya/ Zabaj. Prester John dan Maharaja Srivjaya Beberapa abad setelah seorang maharaja menghantar surat kepada Khalifah di Baghdad, perkara yang sama juga telah berlaku kepada kerajaan Byzantine di Barat dan juga kepada Pop. Seperti dalam surat Mihraj, surat Prester John turut menyebut mengenai hadiah kepada pemerintah yang menerima surat tersebut. Namun ini adalah perkara biasa dalam perhubungan diantara satu pemerintah dengan pemerintah yang lain. Surat Prester John juga sebenarnya mempunyai mukaddimah yang berbunga-bunga sepertimana surat yang pernah dihantar oleh Maharaja kepada Khalifah. Apa yang menariknya kedua-dua pemerintah misteri dari timur ini menggelar diri mereka sebagai raja segala raja atau King of kings/ Malik al amlak. Kedua-dua raja ini juga menyatakan dalam suratnya bahawa mereka mempunyai gajah-gajah yang banyak dalam kekuasaan mereka. Tambahan lagi kedua-dua pemerintah tersebut dengan bangga menyatakan bahawa mereka mempunyai Istana dari logam-logam berharga seperti emas dan perak. Jika dalam surat Maharaja, baginda telah meminta agar dihantarkan orang utuuk mengajarkan mengenai ajaran dan hukum Islam, manakala dalam surat Prester John pula baginda meminta agar diajarkan tentang ajaran Kristian Katholik. Dalam satu versi lain oleh Ibnu Tighribi mengenai surat kepada Umar abdul aziz, dibahagian akhir suratnya berbunyi: "I have sent you a present of musk, amber, incense and camphor, Please accept it, for I am your brother in Islam." This would imply that the Mihraj had accepted Islam”. Menurut S.Q fatimi, berkemungkinan besar memang Maharaja tersebut telah memeluk Islam. Namun demikian setelah kematian baginda agama Islam tidak diamalkan oleh penggantinya dan ditolak oleh pembesar-pembesar. Beliau menambah bahawa ada campurtangan kerajaan Tang yang tidak ingin melihat orang Islam memonopoli perdagangan di Selat Melaka.Tang dikatakan telah menghantar dutanya untuk membuat kekacauan di Istana Srivijaya dan menghasut pembesarnya memberontak. Seperti juga Maharaja Srivijaya atau Zabag, Maharaja misteri ini turut mengamalkan polisi pintu terbuka demi kesejahteraan kerajaannya. Sifat keterbukaan dan diplomatik ini memang bersesuaian dengan polisi yang sentiasa diamalkan oleh kerajaan-kerajaan melayu di Nusantara terutama Srivijaya dan Melaka. Polisi sebeginilah yang telah menyebabkan kerajaan Melayu terkenal di seluruh dunia. Dalam surat tersebut juga ada menyatakan bahawa baginda adalah penguasa dua sungai. Menurut S.Q, dua sungai yang dimaksudkan dalam surat tersebut adalah sungai Batanghari di Jambi dan sungai Musi di Palembang. Sebenarnya masih banyak misteri yang menyelubungi surat-surat dari Prester John tersebut. Ada pendapat menyatakan bahawa surat-surat tersebut adalah saduran daripada surat yang bertulisan Arab yang didapati dari negeri Arab yang kemudiannya diterjemahkan kepada bahasa Latin. Pada pendapat saya dakwaan ini berkemungkinan besar adalah benar. Hal ini ada kaitan dengan jarak masa diantara surat Maharaja kepada Khalifah dengan surat Prester John kepada Pop dan Maharaja Byzantine. Surat Prester John dikatakan dihantar semasa dunia Islam dan Kristian sedang berkecamuk dalam peperangan salib. Ada kemungkinan bahawa surat-surat yang asal sememangnya adalah surat kepada Khalifah yang disimpan salinannya di perpustakaan di Syria atau

Baitul Maqdis. Setelah Baitulmaqdis ditawan, maka ahli Sejarah Kristian yang menjumpai surat ini bertindak mengubah isi kandungannya untuk kepentingan politik dan propaganda Kristian. Jika tealahan saya ini benar bermakna Prester John yang disebut-sebut oleh orang Kristian barat selama ini adalah Maharaja Srivijaya itu sendiri. Berbanding dengan catatan dari pencatat Arab yang hanya mengandungi mukaddimah surat berkenaan sahaja, catatan Kristian mengenai Prestor John adalah lebih lengkap ( kononnya). Dalam salah satu surat yang dihantar kepada maharaja Byzantine, Prester John telah dikatakan mengutuk tindakan Byzantine membantu armada Salib menyerang Jeruselem. Namun apa yang pasti dalam surat yang sama juga Prester John ada menyatakan bahawa pada suatu masa nanti ketururunan beginda akan menyerang dan menawan kembali Jeruselem dan Rome di akhir zaman. Bukankah ini bertepatan dengan Hadis tentang Bani Tamim dari timur? NAMUN DEMIKIAN JANGAN KITA CEPAT TERPEDAYA DENGAN SURAT-SURAT VERSI BARAT YANG BEGITU BANYAK DI PASARAN. Malahan sejak dari abad ke 13 lagi kisah-kisah lagenda mengenai Kerajaan Prester John telah menjadi rebutan para bangsawan dan keluarga diraja serta orang-orang yang mampu membeli buku. Ia seolah-olah menjadi sebuah novel terlaris di pasaran pada ketika itu dan dikatakan telah wujud pelbagai versi yang berlainan dari satu negeri ke negeri yang lain diseluruh Eropah. Oleh kerana itu kesahihan surat tersebut tidak dapat dibuktikan lagi. TELAH BANYAK TOKOK TAMBAH DIBUAT. Malahan menurut sebahagian besar sejarawan tidak pernah ada sebarang hubungan diantara Kerajaan Kristian di barat dengan mana-mana Kerajaan Prester John. Ia hanyalah satu Propa pihak Gereja untuk menaikkan prestij Gereja Katolik yang sedang dalam ancaman pengaruh Islam ketika itu. Malahan sebenarnya Prester John tidak pernah menyatakan bahawa dia seorang Kristian dalam surat-surat tersebut tetapi dia menyatakan bahawa dia adalah pemyembah tuhan yang satu sama seperti mereka dan mereka adalah saudara. Ini adalah benar kerana dalam Islam orang Kristian dianggap sebagai saudara ahli kitab dan juga penyembah Allah. Yang mengatakan bahawa Prester John adalah Kristian adalah sejarawan katolik barat yang cuba mengubah surat tersebut dan mengaburi mata orang Islam dan kita bangsa MALA. Salah seorang daripada periwayat mengenai Prester John dan kerajaannya yang terkenal di dunia barat adalah Nicolo De Conti. Nicolo de Conti adalah seorang pengembara dari Itali yang telah menjelajah dunia timur. Sebelum menjelajah dia dikatakan menghabiskan masa beberapa tahun di Syria untuk mempelajari bahasa Arab dan budaya Islam. Catatan barat menyatakan bahawa beliau tidak menganut agama Islam sebaliknya hanya menyamar sebagai orang Islam untuk memudahkan pengembaraannya. Dia juga berkahwin dengan seorang wanita India dan mendapat empat orang anak. Saya sebenarnya kurang percaya dengan dakwaan sejarawan barat ini. Saya yakin bahawa Nicolo de Conti memang benar-benar menganut ajaran Islam namun ditutup oleh Penguasa Gereja Katolik di Venice apabila beliau pulang ke sana. Daripada kisah-kisah yang dibawa pulang oleh beliau inilah munculnya pelbagai lagenda mengenai Kingdom of Prester John selain daripada surat-surat sebelumnya. Entah bagaimana setelah beliau pulang, kepulangannya sebagai seorang Muslim telah menimbulkan kemarahan Pop dan beliau telah dipanggil untuk menjelaskan kedudukannya. Namun saya rasa dalam keadaan ini untuk menyelamatkan nyawanya dan keluarga beliau terpaksa berbohong dan mengatakan beliau hanya berpura-pura memeluk Islam. Malahan untuk memperlihatkan kehebatan ajaran Kristian dan menutup pengaruh Islam, Prester John telah digambarkan sebagai seorang Kristian dalam buku yang ditulis kemudiannya atas arahan Pop. Namun ini hanya pendapat saya. Terpulang kepada anda untuk menilai. Sumber: Melayu Nusantara Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Kebesaran Sriwijaya yang Nyaris Tak Tersisa palembang Ilustrasi Kota Palembang pada

Masa Kesultanan Palembang Darussalam Kenapa mayoritas orang Palembang di Sumatra Selatan mirip China, walau ia beragama Islam? Itulah sebagian ‘sisa hidup’ peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang pernah berjaya di kawasan Asia. Kerajinan tenun songket khas Palembang, pakaian adat Palembang yang mirip China, dan tari-tarian tradisional, termasuk peninggalan Sriwijaya yang hingga kini masih dapat kita nikmati. Apakah empek-empek juga termasuk jenis udapan yang sudah dikenal pada masa Sriwijaya berjaya? Mungkin saja begitu. Pada abad ke 7 hingga 13 M, Sriwijaya mengalami zaman keemasan. Sebagai kerajaan maritim, namanya dikenal hingga ke mancanegara. Kekuatan maritim dapat dilacak dari peninggalan kemudi kapal Sriwijaya yang ditemukan di Sungai Buah, Palembang, pada 1960-an. Kemudi yang terbuat dari kayu onglen hitam itu panjangnya mencapai delapan meter. Tak heran kalau armada kapal milik Sriwijaya mampu berlayar ke China dengan membawa komoditas perkebunan, seperti cengkeh, pala, lada, timah, rempah-rempah, emas, dan perak. Barang-barang itu dibeli atau ditukar dengan porselin, kain katun, atau kain sutra. Pada masa kegemilangannya, banyak pendatang dari mancanegara singgah ke Sriwijaya sekadar untuk tetirah atau berniaga. Beragam jenis kapal bertambat di pelabuhan Sungai Musi. Mereka juga bermukim di kerajaan yang dulunya menjadi pusat pendidikan ajaran Budha dan ilmu pengetahuan. Beberapa bangsawan dan orang kebanyakan menikah dengan pendatang dari China. Tak heran kini mayoritas orang Palembang kebanyakan berkulit kuning langsat dan bermata sipit. Apabila para bangsawan Sriwijaya tak dibantai habis pasukan Majapahit, kemungkinan mereka adalah keturunannya. Nasib ribuan pendeta Budha juga tak jelas hingga kini. Apakah mereka dihabisi pasukan Majapahit atau menyingkir ke Tanah Jawa, Thailand, China, dan India? Atau mereka harus berganti agama kala Islam masuk ke bekas kerajaan Sriwijaya? Tapi yang jelas, sebagian dari mereka adalah keturunan para pedagang China, dan juga para bajak laut asal China yang menguasai jalur sungai dan laut selama 200 tahun lamanya, usai Sriwijaya hancur lebur diserbu Majapahit. Keganasan para perompak itu berakhir setelah Panglima Perang Chengho yang diutus penguasa China datang dan memerangi mereka. Sebagian perompak yang selamat dari serbuan Chengho, lalu alih usaha di daratan, beranak pinak, dan membentuk koloni tersendiri. Mereka memutus tradisi dan nilai-nilai yang berkembang di tanah leluhur bangsa China, dan sebaliknya menanamkan kehidupan khas perompak yang berangasan. Sebuah tugu prasasti di Kampung Kapiten, Kelurahan Tujuh Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, menunjukkan pemujaan kepada Dewa Samudra, sebagai peringatan adanya komunitas China yang menetap di Palembang. Adakah kaitan antara mereka dan ‘Preman Palembang’ yang kini tersohor itu? Sepertinya perlu ada penelitian yang lebih mendalam. Kalau di Palembang ada Kampung Jawa, bisa jadi mereka adalah keturunan pasukan Majapahit yang menetap disana. Secuil peninggalan berbentuk benda mati seperti arca kini masih bisa Anda simak di Museum Bala Putradewa, Palembang, Sumatra Selatan. Tercatat ada 2 museum lagi di Palembang, yaitu Museum Situs Taman Purbakala Sriwijaya (TPKS) dan Museum Sultan Badaruddin II, namun semuanya tak terawat dengan baik. Perlu ada upaya pemerintah untuk menyatukan ketiganya, dan menamai museum itu ‘Museum Sriwijaya. Sejak penjajahan Belanda hingga kini, sisa-sisa kejayaan Sriwijaya berupa barang antik telah pindah tangan ke luar negeri. Palembang, Jambi, dan Lampung adalah padang perburuan bagi kolektor dan pedagang barang antik. Kini tak lagi tersisa. Dimanakah pusat Kerajaan Sriwijaya? Itulah pertanyaan yang hingga kini masih menggantung, karena belum juga ditemukan peninggalan istana atau kraton. Kemungkinan besar pada saat penyerbuan pasukan Majapahit, istana tersebut dibumi hanguskan. Sejumlah manuskrip dan prasasti tentang kerajaan Sriwijaya juga banyak yang telah rusak, hilang, atau masih terkubur dalam tanah. Ketidak lengkapan temuan arkeologis tersebut

menyebabkan para peneliti kesulitan menyusun sejarah kemunculan dan pertumbuhan Kerajaan Sriwijaya secara lengkap dan runtut. Sejarah Sriwijaya justru banyak disusun berdasarkan berita-berita dari pengelana asing, seperti dari China, India atau Arab. Setidaknya ada 18 situs dari masa Sriwijaya di Palembang. Empat situs diantaranya memiliki penanggalan sekitar abad ke-7 sampai ke-9, yaitu situs Candi Angsoka, prasasti Kedukan Bukit, situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa. Beberapa prasasti juga telah ditemukan, yang isinya menceritakan keberadaan Sriwijaya dan kutukan bagi para pembangkang. Beberapa peninggalan Sriwijaya juga ditemukan di Jambi, Lampung, Riau, dan Thailand. Kebesaran Sriwijaya juga terlacak dari peninggalan di India dan Jawa. Prasasti Dewapaladewa dari Nalanda, India, abad ke-9 Masehi menyebutkan, Raja Balaputradewa dari Swarnadipa (Sriwijaya) membuat sebuah biara. Prasasti Rajaraja I tahun 1046 mengisahkan pula, Raja Kataha dan Sriwiyasa Marajayayottunggawarman dari Sriwijaya menghibahkan satu wilayah desa pembangunan biara Cudamaniwarna di kota Nagipattana. India. Manuskrip sejarah, seperti Kitab Sejarah Dinasti Song dan Dinasti Ming, berada di China. Raja Sriwijaya juga mendukung penuh pembangunan Candi Borobudur di Pulau Jawa yang terbuat dari batu gunung. Sedangkan candi-candi peninggalan Sriwijaya di Sumatra semuanya terbuat dari batu bata yang cepat aus dimakan zaman. Kenapa? Karena lokasinya jauh dari gunung. Kabar terakhir datang dari Malaysia. Raimy Che-Ross, peneliti Malaysia, pada tahun lalu menemukan sebuah kota yang hilang di pedalaman Johor. Rahasia itu terkuak berawal dari sebuah naskah kuno milik Stamford Raffles. Ia memperkirakan reruntuhan puing itu berasal dari kota Gelanggi yang pada 1025 M diserbu pasukan Chola dari India Selatan pimpinan Raja Rajendra Cholavarman. Kota itu dulunya terkait erat dengan Kerajaan Sriwijaya. Pada 1612, Tun Seri Lanang, bendahara Royal Court di Johor, menyebut kota Gelanggi yang hilang sebagai Perbendaharaan Permata (Treasury of Jewels). Sebagai catatan, pasukan Cola bergabung dengan Kerajaan Majapahit untuk menyerbu Sriwijaya pada 1377 hingga ludes. Palembang pun lalu jadi kota mati, dan tak lama kemudian dikuasai para perompak dari China. Para bajak laut itu digempur pasukan China pimpinan Chengho, armada Majapahit dengan dukungan Raja Aditiawarman dari Kerajaan Melayu. Sriwijaya telah hilang ditelan zaman Menurut budayawan dan ketua Dewan Kesenian Sumatra Selatan (DKSS) Djohan Hanifah kepada Kompas, kebesaran Sriwijaya benar-benar terputus oleh kekuasaan Kerajaan Palembang Darussalam dan Belanda, yang membangun budaya jauh berbeda. “Beberapa candi dan peninggalan Sriwijaya sempat dihancurkan dan dikubur dalam tanah dengan alasan teologis. Estetika, ilmu pengetahuan, dan seni yang berkembang pada masa Sriwijaya tak lagi tumbuh pada masa berikutnya sampai sekarang,” ujarnya. Kebesaran Sriwijaya memang benar-benar telah hilang dimakan nafsu para penjarah, perselingkuhan politik kekuasaan, penyebaran agama baru, dan lalu musnah ditelan zaman. Kota Palembang yang kini kian metropolis dan hingar bingar membuat peninggalan masa lalu jadi bertambah kesepian. Pertanyaan penting: Masih adakah spirit untuk membangkitkan kembali kebesaran masa lalu di hati sanubari masyarakat Sumatra Selatan, khususnya penduduk Palembang? Walahualam. Sumber: http://www.akemapa.com Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Sriwijaya : pusat agama, perdagangan, militer Asia Tenggara. Seberapa dekat kita dengan bahari ? Armada laut andalan Sriwijaya untuk melindungi wilayah kedaulatan dan kekuasaannya selama lebih 400 tahun. Juga, mengawasi kapal-kapal dagang mancanegara yang singgah di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya yang bertebaran di Asia Tenggara. Kemudinya dari kayu onglen hitam sepanjang 8 meter. Armada ini membawa komoditas perkebunan, rempah-rempah, emas dan perak sampai ke China untuk ditukar dengan porselen, kain katun dan sutra. Kejayaan gilang gemilang. Siapa mau ? Indonesia

ternyata pernah mengalami. Sriwijaya, nama bercahaya itu. Kemaharajaan maritim yang menguasai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Filipina, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, Sri Lanka, bahkan sampai Madagaskar ( 3.300 mil dari ibukota Sriwijaya ). Negeri bahari yang hebat hingga abad ke-13. Sebuah imperium. Bagaimana bisa ? Pada tahun saka 605 hari kesebelas bulan waiseka, Dapunta Hyang naik di perahu, mengadaan perajalanan pada hari ke tujuh bulan terang. Bulan jyestha, Dapunta Hyang berangkat dari Minanga. Tambahan, beliau membawa tentara dua laksa ( 20.000 ), dua ratus koli di perahu, yang berajalan darat seribu, tiga ratus dua belas banyaknya datang di mukha upang, dengan senang hati. Pada ghari ke lima bulan terang bulan asada, dengan lega gembira datang membuat wanua … perajalanan jaya sriwijy memberikan kepuasan. Demikian, isi prasasti Kedukan Bukit, yang menyebut maharaja Sriwijaya ( Dapunta Hyang ) dan ibukota Sriwijaya kala itu ( Minanga ). Sriwijaya, di mana situsmu ? Budha atau Islam. Sriwijaya, kerajaan Melayu Kuno di Sumatera, berpengaruh di nusantara ( 683-1100 M ). Sri berarti gemilang. Wijaya berarti kejayaan. Sekitar tahun 500 M, Sriwijaya mulai berkembang di sekitar Palembang. Tiga zona utama : ibukota muara berpusat di Palembang ( diperintah raja ), daerah pendukung di lembah Sungai Musi ( diperintah datu setempat ), dan daerah pesaing yang menjadi pusat kekuasaan saingan. Tentang ibukota Sriwijaya, ada yang mengatakan di tepi Sungai Musi ( antara Bukit Seguntang dan Sabokingking, Sumatera Selatan ). Lainnya ( Soekmono ) mengatakan di kawasan sehiliran Batang Hari ( antara Muara Sabak sampai Muara Tembesi, Jambi ). Yang jelas, hulu S.Musi kaya komoditas berharga bagi pedagang Tiongkok. George Coedes, sejarawan Perancis, mengetahui keberadaan situs Sriwijaya, tahun 1918. Pierre Yves Manguin membuktikan letak ibukota Sriwijaya, tahun 1992. Masyarakat kosmopolitan nan kompleks dengan pikiran Budha Wajrayana menghuni ibukota Sriwijaya. Negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya mengenal istilah kadatuan, vanua, samaryyada, mandala dan bhumi. Kadatuan : kawasan datu ( tanah rumah ), tempat tinggal bini haji, tempat disimpan emas, hasil cukai yang mesti dijaga. Vanua : mengelilingi kadatuan, merupakan kawasan kota Sriwijaya dengan vihara untuk tempat ibadah masyarakatnya. Samaryyada : kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung jalan khusus dengan kawasan pedalaman. Mandala : kawasan otonomi dari bhumi yang dipengaruhi kadatuan Sriwijaya. Penguasa Sriwijaya disebut Dapunta Hyang ( maharaja ). Dalam lingkaran raja, ada putra mahkota, putra mahkota kedua dan pewaris berikutnya. Dalam catatan Arab, Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan Zabag, karena bandar utamanya berada di Muara Sabak, di Sungai Batanghari. 1000 biksu, maharaja muslim. Chengho vs perompak. Sriwijaya setelah dipengaruhi budaya India ( Hindu ), kemudian Budha ( 425 M ). Pusat terpenting Budha Mahayana. Melalui perdagangan dan penaklukan ( abad 7-9 M ) oleh raja2 Sriwijaya, bahasa dan budaya Melayu di nusantara turut berkembang. Semula, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana2 Asia yang ingin belajar ajaran Budha Vajrayana, Hinayana dan Mahayana. Lebih 1000 biksu Budha hilir mudik dalam benteng kota Sriwijaya. Kemahsyuran Sriwijaya sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara, kemudian menarik minat para pedagang dan ulama muslim Timur Tengah. Bahkan, Sri Indrawarman ( raja Sriwijaya, tahun 718, diduga masuk Islam ) tertarik mempelajari Islam dan kebudayaan Arab. Surat pun dikirim ke khalifah Umar bin Abdul Aziz ( 717-720, dari Bani Umayyah ) di Damaskus, Suriah, agar khalifah sudi mengirim da’I ke istana Sriwijaya. Tahun 724, utusan Sriwijaya berikutnya dikirim ke khalifah Muawiyah I. ( saya sempat heran, mengapa saya gandrung nonton film silat mandarin ? padahal kulit sawo dan mata bulat ( bukan tikus, si mata bulat, ya ). Sampai di kepala, ada pria khayalan, sosok ksatria tanpa tanding. Berkaca pada masa lalu,meski ada ribuan biksu dalam benteng Sriwijaya, toh maharaja Sri memeluk

Islam. Bahkan, Laksamana Chengho ( asli China, diutus kaisar untuk membasmi perompak di Sriwijaya ) juga seorang muslim. Mengapa saya merasa familiar dengan para biksu, sedikitnya, sudah terjelaskan kini ). I Tsing, biksu China, mengunjungi Sriwijaya ( 671 M ) untuk belajar tata bahasa sansekerta selama 6 bulan. Lalu, belajar Budha Mahayana di Universitas Nalanda ( tertua ke-3 di dunia, setelah Academia ( didirikan Plato, abad 3 SM ) dan Leichon ( didirikan Aristoteles, abad 3 SM ), selama 13 tahun. Tahun 685, I Tsing kembali ke Sriwijaya menterjemahkan teks Budha ke bahasa China dan 4 tahun menyusun buku memoarnya. Tahun 695, ia kembali ke China. Tahun 902, Sriwijaya mengirim upeti ke China. Tahun 904, raja dinasti Tang menganugerahi gelar pada utusan Sriwijaya yang bernama Arab. Tahun 1011-1023, Atisa, reformis Budha di Tibet, belajar pada mahaguru Dharmakirti ( kepala kuil Budha, sarjana terbesar masa itu ) di Sriwijaya. Kulothunga Chola I ( ketika Sriwijaya dianggap bagian dari dinasti Chola ) membantu perbaikan candi Tien Ching Kuan ( Yuan Miau Kwan ). Kekuatan ekonomi Sriwijaya. Malaysia, Singapura dari mana ? Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand. Chaiya, di provinsi Surat Thani, adalah ibukota kerajaan Khmer awal ( daerah Sriwijaya ). Setelah itu, Chaiya terbagi menjadi 3 kota : Chaiya, Thatong dan Khirirat Nikhom. Ternyata kemiripan kita ( warga Asia Tenggara ), karena leluhur kita. Sriwijaya penghasil kapur barus, wangi-wangian, kayu gaharu, buah-buahan, kapas, gading gajah, cula badak, emas, timah, cengkeh, pala, kapulaga, dan rempah2 lain, membuat raja2-nya sekaya raja India. Memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal2-nya di seluruh Asia Tenggara. Menjalin hubungan dagang dengan India, China dan Arab. Mendapat keuntungan dari jatuhnya dinasti Tang, naiknya dinasti Sung ( Fujian ), Ming dan Han (Guangdong) di China. Utusan Sriwijaya datang ke Tiongkok ( China ) tahun 702-716, 728-742, 960 & 983, 988-992-1003, 1008, 1017, 1079. Begitu intens. Why ? Mengapa kebanyakan orang Palembang mirip China ? Kuning langsat, bermata sipit. Ternyata perintis Sriwijaya, Atung Bungsu, adalah putra mahkota Kerajaan Kushans (Rau), India, yang raja2-nya keturunan kaisar Liu Pang (dinasti Han), China. Selama 200 tahun kejatuhannya, Sriwijaya sempat dikuasai para perompak China, sampai Chengho dan pasukannya datang, menghentikan kebringasan mereka. So, darah biru, darah ksatria (dan darah bandit) beranak pinak di sana. Sriwijaya menjadi pengendali rute perdagangan rempah yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Pelabuhan dan gudang perdagangan dibangun untuk melayani pasar Tiongkok dan India. Tahun 903, penulis muslim, Ibnu Batutah, sangat terkesan dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (Bukit Seguntang), Muara Jambi dan Kedah. Faktor2 yang mendorong Sriwijaya menjadi kerajaan besar : letaknya yang strategis di jalur perdagangan, kemajuan pelayaran dan perdagangan antara China dan India melalui Asia Tenggara, runtuhnya kerajaan Funan di Indochina sehingga Sriwijaya bisa menggantikan perannya, Sriwijaya mampu melindungi pelayaran, perdagangan di perairan Asia Tenggara dan memaksa singgah di pelabuhan2-nya. Sejarah Malaysia terkait dengan sejarah Indonesia. Malaka, kerajaan tertua di negeri jiran ini, pendirinya seorang pangeran Palembang dari trah Sriwijaya (sesuai Hikayat Melayu). Pada abad 15, keagungan, gengsi dan prestise Sriwijaya menjadi sumber legitimasi politik penguasa di kawasan Asia Tenggara. Kesultanan Malaka mengontrol wilayah Semenanjung Malaysia, Pattani (Thailand selatan) dan pantai timur Sumatera. Malaka menjadi pelabuhan penting di tengah rute perdagangan China dan India. Pada abad 10, tumbuh kota2 pelabuhan (Hindu Budha) seperti : Langkasuka & Lembah Bujang di Kedah, Beruas dan Gangga Negara di Perak, Pan Pan di Kelantan. Islam baru tiba abad 14 di Terengganu. Kekuatan militer Sriwijaya : di laut kita jaya. Negara adidaya dengan kekuatan ekonomi dan keperkasaan militernya bukan milik AS dan sekutunya ( PD I & II). Tahun 682, Sriwijaya (masa Sri Jayanasa) pernah mengirim ekspedisi militer untuk

menghukum Bhumi Jawa yang dianggap tak berbakti. Kerajaan Tarumanagara ( Jawa Barat ) dan Kalingga pun runtuh (dikuasai Sriwijaya . Setelah ekspansi ke Jawa dan Semenanjung Malaya, Sriwijaya mengendalikan 2 pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Pelabuhan Cham, timur Indochina (abad 7) yang mulai mengalihkan banyak pedagang di Sriwijaya diserang Dharmasetu ( maharaja Sriwijaya ). Kota Indrapura ( tepi Sungai Mekong ) jatuh ke tangan Sriwijaya. Langkasuka di Semenanjung Melayu, Pan Pan dan Trambralinga pun di bawah pengaruh Sriwijaya. Putri raja Kien-pi ( Jambi ), bawahan Sriwijaya, menulis surat dan menyerahkan ( melalui duta besarnya ) 227 tahil perhiasan, rumbia dan 13 potong pakaian pada kaisar Yuan Fong ( China ) pada tahun 1082. Menurut sumber Tiongkok ( buku “Chu-fan-chi” ), tahun 1178, di kepulauan Asia Tenggara, ada 2 kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni : San-fo-ts’i ( Sriwijaya ) yang memeluk Budha, dan Cho-po ( Jawa ) yang memeluk Hindu dan Budha. Sriwijaya ( masa Dharmasraya ) membawahi 15 daerah : Kamboja, Tambralingga ( Thailand ), Chaiya, Langkasuka, Kelantan, Pahang, Terengganu, ( muara sungai ) Dungun, Cherating, Semawe, ( sungai ) Paha, Lamuri ( Aceh ), Palembang, Jambi dan Sunda ( Sin-t’o ) Sriwijaya mengandalkan hegemoni kekuatan armada laut untuk menguasai jalur pelayaran, perdagangan dan membangun pangkalan armadanya yang strategis untuk melindungi kapal2 dagang, memungut cukai dan menjaga wilayah kedaulatan ( dan kekuasaannya ). Apa kata prasasti dan manuskrip ? Prasasti Talang Tuwo ( abad 7 ) menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peresmian Taman Sriksetra, hadiah raja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan hirarki pejabat kerajaan dan kerumitannya. Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semuanya menggunakan bahasa Melayu Kuno. Prasasti Kedukan Bukit ( 682 M ) menyebutkan : raja Jayanasa ( Sriwijaya ) menaklukkan kerajaan Minanga ( Melayu ) yang kaya emas ( memiliki pertambangan emas ) sehingga meningkatkan prestise kerajaan. Swarnnadwipa ( pulau emas ). Koin emas digunakan sebagai alat tukar di pesisir kerajaan sejak abad 7. Prasasti yang ditemukan di Sungai Tatang ini juga menyebut ibukota Sriwijaya kala itu di Minanga. Menurut prasasti Nalanda ( 860 M ), raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara pada Universitas Nalanda. Prasasti Leiden menyebutkan raja Sri Mara-Vijayottunggawarman membangun Vihara Culamanivarmma di Negapatam ( 1005 M ) untuk dinasti Chola, India, dan meminta kawasan sekitar vihara tersebut dibebaskan dari cukai. Keterkaitan Sriwijaya dan dinasti Syailendra tersebut di prasasti Kalasan ( Jawa ), prasasti Ligor ( Thailand selatan ), prasasti Nalanda ( India ) dan prasasti Sojomerto. Kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini ( Syailendra ) pindah ke Jawa Tengah atau Yogyakarta, menggantikan wangsa Sanjaya. ( sebelumnya, tahun 672 M, Jawa ditaklukkan Sriwijaya ). Tahun 856, Balaputradewa kehilangan kekuasaannya di Jawa dan kembali ke Suwarnadwipa ( Sriwijaya ). Tahun 990, Jawa menyerang Sriwijaya. Tahun 1183, menurut prasasti Grahi ( Thailand ), Sriwijaya diinvasi Dharmasraya ( dinasti Mauli kerajaan Melayu ). Prasasti Pucangan menyebut peristiwa Mahapralaya : Haji ( gelar bawahan Sriwijaya ) Wurawari dari Lwaram, menyerang kerajaan Medang di Jawa Timur hingga menewaskan Teguh Dharmawangsa. Prasasti Tanjore ( bertarikh 1030 M ) menyebutkan : tahun 1017 dan 1025, raja Rajendra Chola I mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya dan menawan raja Sangrama-Vijayottunggawarman. Rajendra membiarkan raja2 taklukkannya tetap berkuasa selama tunduk kepadanya. Prasasti Tanjore juga menyatakan ibukota Sriwijaya kala itu di Kadaram ( Kedah ). Kemudian, Dharmasraya muncul sebagai kekuatan baru dan menguasai kembali Sriwijaya dan wilayah kekuasaannya. Dalam Pararaton, untuk menaklukkan Bhumi Malayu, Kertanagara ( raja Singosari, penerus Kediri ), mengirim ekspedisi Pamalayu ( 1275 M ) dan menghadiahkan arca

Amoghapasa pada Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa ( raja Melayu ) di Dharmasraya. Tertulis di prasasti Padang Roco ( di Siguntur, 1286 M ) dan prasasti Grahi ( di Thailand, 1183 M ). Manuskrip Nagarakretagama menguraikan daerah jajahan Majapahit, namun tak menyebut lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya dikuasai Sriwijaya. Dalam Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan, disebut Arya Damar ( Adityawarman ) sebagai bupati Palembang, membantu Gajah Mada menaklukkan Bali ( 1343 M ). Tahun 1347, Adityawarman memproklamirkan diri sebagai raja di Malayapura ( sesuai manuskrip di belakang arca Amoghapasa. Sebelum 1377, dalam Kitab Undang2 Tanjung Tanah terdapat kata Bumi Palimbang ( Sriwijaya ). Hati-hati erosi, bisa meluluhlantakkan imperium. Candi Bungsu, di Muara Takus ( Riau ) dibangun raja Sri Cudamaniwarmadewa ( Sriwijaya, tahun 1003 ) untuk kaisar China. ( foto : wisatamelayu ) Kemunduran Sriwijaya dimulai sejak serangan raja Teguh Dharmawangsa ( Jawa, 990 M ), lalu serangan raja Rajendra Chola I ( Koromandel, India, 1025 M ), menyusul serangan kerajaan Dharmasraya ( 1183 M ), lalu diserang Singosari ( 1290 ) dan terakhir ditaklukkan kerajaan Majapahit ( Jawa Timur, 1377 M ) dalam upaya menyatukan nusantara ( Sumpah Palapa, Gajah Mada ). Antara tahun 1377-1512 M, Sriwijaya sempat dikuasai perompak China, sampai Chengho datang memerangi mereka. Tahun 1293, muncul Majapahit, pengganti Singosari. Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi naik tahta dan menugasi Adityawarman ( peranakan Melayu dan Jawa ) untuk menaklukkan Swarnnabhumi ( 1339 M ). Nama Sriwijaya tak disebut lagi, diganti nama Palembang. Tahun 1347, menjadi Malayapura, di bawah dinasti Mauli. Tahun 1409, ditaklukkan kembali oleh Majapahit. Sebagian bangsawan Sriwijaya pindah ke Malaka ( Tumasik ). Faktor kemunduran Sriwijaya : perubahan alam sekitar Palembang, sungai menjadi dangkal karena endapan lumpur sehingga kapal sulit merapat ke pelabuhan, terbukanya Selat Berhala menjadikan posisi Jambi lebih strategis dari Palembang, Sriwijaya hanya memiliki angkatan laut yang bisa diandalkan, sehingga terpaksa berbagi hegemoni dengan Airlangga, Jawa Timur yang memiliki pasukan tangguh di darat, serangan beruntun dari kerajaan2 pesaing akhirnya menumbangkannya. Peninggalan2 Sriwijaya banyak dijarah dan dibenamkan dengan alasan ekonomi dan teologi sehingga sulit menemukan jejak kejayaan Sriwijaya pada masa kita. Malaka menjadi koloni Portugis ( 1511 M ) dengan kekuatan militer. Sultan terakhir lari ke Kampar ( Sumatera ) dan wafat di sana. Putranya pergi ke utara Semenanjung Malaysia dan mendirikan Kesultanan Perak. Putra lainnya ke selatan, melanjutkan Kesultanan Malaka Tua ( kini dikenal Kesultanan Johor ). Setelah Malaka jatuh, kontrol atas Selat Malaka diperebutkan antara Portugis, Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh. Peperangan berakhir tahun 1641, ketika Belanda ( bersekutu dengan Kesultanan Johor ) mengambil alih Malaka. Tahun 1824, Inggris mengambil alih Malaka, melalui perjanjian dengan Belanda. Pemukiman Selat yang kemudian dibentuk, memiliki 3 pelabuhan : Singapura, Penang dan Malaka. Warisan Sriwijaya : bahasa & bangsa yang besar. Warisan terpenting Sriwijaya adalah bahasa yang digunakan di berbagai bandar dan pasar. Hubungan dagang menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu Kuno ( leluhur bahasa Melayu ( bahasa nasional Malaysia ) dan bahasa Indonesia ( bahasa nasional kita )). Sebagai alat komunikasi kaum pedagang dari berbagai suku bangsa di nusantara, bahasa Melayu kemudian menjadi lingua franca ( penghubung ), yang digunakan secara luas oleh banyak penutur. Samaratungga ( 792-835 M ), berbeda dengan pendahulunya yang ekspansionis, memilih memperkuat penguasaan Sriwijaya atas Jawa. Raja dari wangsa Syailendra ini membangun Candi Borobudur ( 825 M ), Candi Kalasan, Candi Sewu, dari batu andesit. ( candi Budha yang dibangun di Sumatera dari bata merah : Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, Biaro Bahal ). Arca Budha dan Bodhisatwa Awalokiteswara ditemukan di Bukit Seguntang, Jambi,

Bidor, Perak dan Chaiya, menampilkan keanggunan khas seni Sriwijaya, yang diilhami langgam Amarawati, India dan Syailendra, Jawa. Keluhuran Sriwijaya menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tari tradisi Gending Sriwijaya. Tari Sevichai ( Sriwijaya ) diciptakan kembali oleh masyarakat Thailand selatan, berdasarkan keanggunan seni Sriwijaya. Sriwijaya adalah sumber kebanggaan nasional dan segenap bangsa Melayu. Bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Identitas daerah bagi penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan. Diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, universitas ( Universitas Sriwijaya, sejak 1960 ), unit komando militer ( Kodam II Sriwijaya ), perusahaan pupuk ( PT. Pupuk Sriwijaya ), harian umum ( Sriwijaya Post ), televisi ( Sriwijaya TV ), maskapai penerbangan ( Sriwijaya Air ), stadion ( Gelora Sriwijaya ), klub sepakbola ( Sriwijaya Football Club ), dll. Negara kesatuan, kebanggaan bangsa. Bercerminlah. Sriwijaya dan Majapahit menjadi referensi kaum nasionalis abad 20 untuk menunjukkan Indonesia sebagai negara kesatuan sejak dahulu kala. Persatuan politik raya, berupa kemaharajaan ; persekutuan kerajaan2 bahari yang bangkit, tumbuh dan berjaya di masa lalu. Menengok sejarah nenek moyang kita, anda percaya kita bangsa yang besar ? Raja muda Khmer ( Kamboja ) pernah membual ingin menyantap kepala maharaja Sriwijaya di piringnya. Tak lama, Sriwijaya menyerang Khmer, memenggal kepala si pembual, membalsemnya, mengirimnya dalam kuali, sebagai peringatan bagi pengganti raja naas itu. Jayawarman II dibawa ke istana Syailendra ( di Jawa ) untuk dididik menjadi raja Khmer yang benar. Kisah mendebarkan ini terjadi tahun 851 M, ketika Borobudur dibangun ( masa keemasan Sriwijaya ). Ditulis seorang Arab bernama Abu Zaid Hasan dari cerita pelayaran seorang pedagang bernama Sulaiman. ( tahun 2011, Indonesia menjadi penengah konflik perbatasan Kamboja – Thailand ) Hari ini, ketika aparat negara tetangga memprovokasi perbatasan ( kedaulatan ) NKRI, apakah kita masih besar ? Negara2 asing menguras kekayaan alam dan laut Indonesia ( sampai anak cucu kita yang belum lahir pun terjerat hutang ), apa kita masih besar ? Leluhur kita, sangat dipandang oleh bangsa-bangsa Asia Tenggara, China, India dan Arab. Dua populasi manusia terbesar di dunia melalui halaman rumah kita ( Selat Malaka : Singapura, Penang, Malaka, Selat Karimata, Selat Sunda, Laut Jawa, Laut China Selatan ). Sumber: http://anisavitri.wordpress.com/ Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Sejarah Kerajaan Sriwijaya By: baripalembang.blogspot.com Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang terkuat di pulau Sumatera dan termasuk salah satu kerajaan yang berpengaruh di Nusantara karna luas nya daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya mulai dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa juga Pesisir Kalimantan. Nama Sriwijaya sendiri di ambil dari Bahasa sangsekerta Sri berarti Gemilang dan Wijaya Berarti Kejayaan, maka makna dari nama Sriwijaya adalah Kejayaan yang Gemilang. tidak ada yang tahu dengan pasti kapan awal berkembangnya dan kapan pula berakhirnya kerajaan Sriwijaya namun diperkirakan pada abad ke-7 M Kerajaan Sriwijaya telah berdiri. Urutan Sejarah Kerajaan Sriwijaya Tahun 671 M - I Ching singgah di Sriwijaya tahun 671 adalah tahun awal yang membutikan adanya Kerajaan Sriwijaya. bukti ini di dapat dari seorang Bhiksu Buddha Tiongkok yang bernama I Ching yang sedang berkelana lewat laut menuju india untuk mendapatkan teks agama buddha dalam bahasa sangsekerta melalui Jalur Sutra atau jalur perdagangan untuk kemudian di bawa ke tiongkok dan di terjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa. semasa perjalanan nya ini lah I Ching singgah di Sriwijaya pada Tahun 671 dan menetap selama 6 bulan di sriwijaya kemudian melanjutkan perjalanan nya ke Malayu yang sekarang disebut dengan jambi menetap pula di jambi selama 2 bulan Gambaran I Tsing tentang Sriwijaya ".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam

benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India". Tahun 683 M - Prasasti Kedukan Bukit Prasasti kedukan bukit yang ditemukan oleh M. Batunburg pada tanggal 29 November 1920 di kebun Pak H. Jahri tepi sungai Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang sebelah barat daya Palembang. Prasasti yang berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm ini ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuno adalah sebuah Prasasti yang memperjelas adanya Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini Sangat Jelas Menggambarkan Kejadian yang terjadi pada saat itu. Isi prasasti kedukan bukit yang telah di terjemahkan: Tanggal 23 April 683 dapunta hiyang naik ke perahu untuk melakukan penyerangan dan sukses dalam Penyerangannya. 19 Mei 683 Dapunta Hiyang berlepas dari minanga membawa 20.000 bala tentara dengan perbekalan 200 peti di perahunya. Rombongan pun tiba di Mukha Upang dengan suka cita. 17 Juni 683 Dapunta Hyang datang membuat wanua Tahun 684 M - Prasasti Talang Tuo Prasasti ini ditemukanpada tanggal 17 November 1920 di kaki bukit siguntang oleh Louis Constant Westenenk. Prasasti yang memiliki bidang datar berukuran 50cmX80cm ini juga dipahat menggunakan Aksara Palawa dalam bahasa melayu kuno. Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk berisi pohon pohon yang buahnya dapat dimakan, Taman tersebut diberi nama Sriksetra. Tahun 686 M - Prasasti kota kapur Prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak ditemukan di pesisir Barat Pulau Bangka, dinamakan Prasasti Kota Kapur karna sesuai dengan Tempat di temukan nya yaitu di dusun kecil di Pesisir barat Pulau Bangka yang bernama kota Kapur. Prasasti yang ditemukan oleh J.K Van Der Meulen pada bulan Desember 1892 dan di terjemahkan oleh George Coedes orang yang sama yang telah menerjemahkan Prasasti Kedukan Bukit ini berisi tentang Kutukan bagi siapapun yang memberontak kepada Sriwijaya serta berisi Hal hal baik untuk yang setia kepada Sriwijaya, dalam Prasasti Kota Kapur ini juga jelas di ucapkan tanggal 28 Februari 686 Bala tentara Sriwijaya berangkat untuk Menyerang Bumi jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya Tahun 718 M - Sri Indrawarman Raja Sriwijaya masuk islam Hal ini di dasari oleh Surat yang dikirimkan Sri Indrawarman yang saat itu berstatus sebagai Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah. dalam surat itu disebutkan dari seorang Maharaja, yang memiliki ribuan gajah, memiliki rempah-rempah dan wewangian serta kapur barus, dengan kotanya yang dilalui oleh dua sungai sekaligus untuk mengairi lahan pertanian mereka. Bersamaan dengan surat itu juga dikirimkan Hadiah untuk Khalifah Tahun 717-720 M - Surat kedua Ke Suriah meminta Da'i ke Sriwijaya Surat kedua yang dikirimkan Raja Sriwijaya ini di dokumentasikan oleh Adb Rabbih dalam karya Al-Iqdul farid. isi potongan surat tersebut berbunyi : Dari Raja di raja... yang adalah keturunan seribu raja.. kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya. Tahun 724 M - Sri Indrawarman mengirim hadiah ke Cina Sama hal nya dengan yang di lakukan Raja Sri Indrawarman kepada Raja Arab pada kisaran Tahun 717-720 M. Raja Sri Indrawarman juga mengirimkan hadiah kepada kaisar Cina berupa ts'engchi Tahun 775 -787 M - Dharanindra Mengusasi Sriwijaya Hal ini di

dasari oleh sebuah Prasasti yang ditemukan di sebuah tempat yang bernama Ligor saat ini tempat tersebut bernama Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand. Prasasti Ligor memiliki 2 Sisi. Sisi Pertama disebut sebagai Ligor A dan Sisi sebaliknya disebut Ligor B. Ligor A ditulis pada tahun 775 oleh raja Kerajaan Sriwijaya, sedangkan Ligor B ditulis oleh Wangsa Sailendra setelah Menaklukkan Sriwijaya Tahun 792 - 835 M - Samaratungga Memerintah Sriwijaya di kisaran Tahun ini lah di perkirakan Samaratungga menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya dengan mengedepankan Agama dan Budaya, terbukti di bangunnya candi Borubudur pada tahun 825 M oleh Samaratungga. Pernikahan Samaratungga dengan Dewi Tara Lahirlah Balaputradewa sebagai Pewaris Tahta Kerajaan Sriwijaya Tahun 860 M - Balaputradewa Naik Tahta Prasasti Nalanda berangka tahun 860 ditemukan di Nalanda, Bihar, India. adalah bukti bahwa Balaputradewa pernah menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya, Penafsiran Manuskrip Prasasti Nalaya berbunyi : " Sri Maharaja di Suwarnadwipa, Balaputradewa anak Samaragrawira, cucu dari sailendravamsatilaka (mustika keluarga sailendra) dengan julukan sriviravairimathana (pembunuh pahlawan musuh), raja Jawa yang kawin dengan Dewi Tara, anak Dharmasetu" Tahun 990 M - Serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa Serangan raja Dharmawangsa ini di dasari oleh berita cina dari dinasti song, di kisahkan dalam berita cina bahwa Sriwijaya terlibat persaingan dengan Kerajaan Medang untuk menguasai Asia tenggara, kedua Kerajaan ini saling mengirimkan duta ke cina, utusan Sriwijaya berangkat pada tahun 988 tertahan di kanton ketika hendak pulang, karna negri Sriwijaya di serang tentara Kerajaan Medang, Pada Tahun 992 duta Sriwijaya mencoba pulang kembali namun tertahan di Campa karna negri Sriwijaya belum aman, duta ini meminta Kaisar Song untuk menyatakan bahwa Sriwijaya berada dalam perlingdungan cina, untusan Kerajaan Medang tiba di cina tahun 992 M, dikirim setelah Dharmawangsa berhasil menaklukkan Sriwijaya. Tahun 1006 / 1016 - Wafatnya Dharmawangsa Teguh dalam Prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya Kerajaan Medang. Tentara Aji Wurawari dari Lwaram yang di perkirakan sekutu Sriwijaya menyerang Istana raja Dharmawangsa Teguh di Wwatan. Dharmawangsa Teguh meninggal pada peristiwa tersebut. Tahun 1003 M - Sri Cudamaniwarmadewa keterangan ini di dapat dari sebuah manuskrip nepal pada abad ke 11 yang memuji negara Sriwijaya sebagai pusat kegiatan utama agama budha, dan memiliki area indah lokananantha di sriwayapura. Dan sebuah kronik Tibet yang ditulis pada abad ke 11 bernama durbodhaloka menyebutkan pula nama maharaja sri Cudamanirwarman dari sriwijayanagara di suwardawipa. Tahun 1008 M - Sri Mara-Vijayottunggawarman Penemuan Prasasti Leiden yang tertulis pada lempengan tembaga berangka tahun 1005 yang terdiri dari bahasa Sansekerta dan berbahasa Tamil. sesuai dengan tempat di temukan nya yaitu di KITLV Leiden, Belanda. maka Prasasti ini dinamakan Prasasti Leiden. Nama Sri Mara-Vihayottunggawarman di sebutkan dalam Prasasti Leiden sebagai anak dari Sri Cudamaniwarmadewa yang memiliki hubungan baik dengan dinasti Chola dari Tamil, selatan India Terjemahan Prasasti Leiden : Raja Sriwijaya, Sri Mara-Vijayottunggawarman putra Sri Cudamani Warmadewa di Kataha telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma Tahun 1025 M - Kehancuran Kerajaan Sriwijaya Sriwijaya Hancur Diserang oleh Rajendra Chola dari Kerajaan Chola serangan Rajendra Chola I dari Koromandel India selatan, didasarkan pada bait akhir prasasti Tanjoreyang menceritakan tentang penaklukan yang dilakukan Kerajaan Chola atas beberapa kawasan termasuk beberapa kawasan di nusantara serta penawanan raja Sangrama-Vijayottunggawarman dari Sriwijaya. Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Warisan Sejarah Kemaharajaan Sriwijaya Berdasarkan Hikayat Melayu pendiri Kesultanan Malaka mengaku sebagai pangeran Palembang keturunan keluarga bangsawan Palembang

dari trah Sriwijaya. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke-15 keagungan gengsi dan prestise Sriwijaya tetap dihormati dan dijadikan sebagai sumber legitimasi politik bagi penguasa di kawasan ini. Nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota dan nama ini telah melekat dgn kota Palembang dan Sumatera Selatan.Universitas Sriwijaya yg didirikan tahun 1960 di Palembang dinamakan berdasarkan kedatuan Sriwijaya. Demikian pulaKodam Sriwijaya (unit komando militer) PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan)Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang) Sriwijaya TV Sriwijaya Air (maskapai penerbangan) Stadion Gelora Sriwijaya dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang) semua dinamakan demikian utk menghormati memuliakan dan merayakan kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya. Di samping Majapahit kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah khusus bagi penduduk kota Palembang provinsi Sumatera Selatan dan segenap bangsa Melayu. Bagi penduduk Palembang keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yg sama juga berlaku bagi masyarakat Thailand Selatan yg menciptakan kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yg berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya. Sumber : http://blog.re.or.id/sejarah-kerajaan-sriwijaya.htm Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Sejarah Kerajaan Sriwijaya Dalam bahasa Sansekertasri berarti “bercahaya” dan wijaya berarti “kemenangan”. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok I-tsing menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7 yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang bertarikh 682. Sriwijaya (Srivijaya) adl kerajaan maritim yg kuat di pulau Sumatera dan berpengaruh di Nusantara daerah kekuasaan Sriwijaya meliputi Kamboja Thailand Semenanjung Malaya Sumatera Jawa Kalimantan dan Sulawesi. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahan mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangand iantara serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990 dan tahun 1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel India, selanjut tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya. Dan di akhir masa kerajaan ini takluk di bawah Kerajaan Majapahit. Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20 kedua kerajaan tersebut menjadi referensi olehkaum nasionalis utk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda. Sriwijaya disebut dgn berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebut Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebut Zabaj dan Khmer menyebut Malayu.Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang ada 3 pulau Sabadeibei yg berkaitan dgn Sriwijaya. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d’Extrême-Orient. Sekitar tahun 1992 hingga 1993 Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan Indonesia). Namun Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak di provinsi Jambi sekarang yaitu pada kawasan sehiliran Batang Hari antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi. Pembentukan dan Pertumbuhan Kerajaaan Sriwijaya Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tak memperluas kekuasaan diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara dgn pengecualian berkontribusi utk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500 akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah

sekitar Palembang Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama daerah ibukota muara yg berpusatkan Palembang lembah Sungai Musi yg berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yg mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yg berharga utk pedagang Tiongkok Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu setempat. Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7 pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasi atas Kamboja sampai raja Khmer Jayawarman II pendiri imperium Khmer memutuskan hubungan dgn kerajaan di abad yg sama. DariPrasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa Kerajaan Minanga takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yg kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan. BerdasarkanPrasasti Kota Kapur yg yg berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka Pada akhir abad ke-7 kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera pulau Bangka dan Belitung hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer utk menghukum Bhumi Jawa yg tak berbakti kepada Sriwijaya peristiwa ini bersamaan dgn runtuh Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yg kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka Selat Sunda Laut China Selatan Laut Jawa dan Selat Karimata. Abad ke-7 orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera yaitu Malayu dan Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan pada masa ini pula wangsa Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikut Pan Pan dan Trambralinga yg terletak di sebelah utara Langkasuka juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Di abad ke-9 wilayah kemaharajaan Sriwijaya meliputi Sumatera Sri Lanka Semenanjung Malaya Jawa Barat Sulawesi Maluku Kalimantan dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yg hebat hingga abad ke-13. Setelah Dharmasetu Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yg ekspansionis Samaratungga tak melakukan ekspansi militer tetapi lbh memilih utk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinan ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yg selesai pada tahun 825. Budha Vajrayana di Kerajaan Sriwijaya Sebagaipusat pengajaran Budha Vajrayana Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I-tsing yg melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studi di Universitas Nalanda India pada tahun 671 dan 695 serta di abad ke-11 Atisha seorang sarjana Budha asal Benggala yg berperan dalam mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet. I-tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yg datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Relasi Kerajaan Sriwijaya dgn Kekuatan Regional Dari catatan sejarah danbukti arkeologi dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan

kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara antara lain Sumatera Jawa Semenanjung Malaya Kamboja dan Vietnam Selatan . Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yg mengenakan biaya atas tiap kapal yg lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaan sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yg melayani pasar Tiongkok dan India. Pada masa awalKerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya di propinsi Surat Thani Thailand Selatan sebagai ibu kota terakhir kerajaan tersebut pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yg bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom. Sriwijaya juga berhubungan dekat dgn kerajaan Pala di Benggala dan sebuah prasasti berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada Pala. Relasi dgn dinasti Chola di India selatan cukup baik dan kemudian menjadi buruk setelah Rajendra Coladewa naik tahta dan melakukan penyerangan di abad ke-11. Minanga merupakan kekuatan pertama yg menjadi pesaing Sriwijaya yg akhir dapat ditaklukkan pada abad ke-7. Kerajaan Melayu ini memiliki pertambangan emas sebagai sumber ekonomi dan kata Swarnnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Dan kemudian Kedah juga takluk dan menjadi daerah bawahan. Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya Pada paruh pertama abad ke-10 diantara kejatuhan dinasti Tang dan naik dinasti Song perdagangan dgn luar negeri cukup marak terutama Fujian kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903 penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dgn kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khusus Bukit Seguntang) Muara Jambi dan Kedah. Di tahun 902 Sriwijaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan dgn Arab yg memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam kerajaan. Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya Rajendra Coladewa pada tahun 1025 raja Chola dari Koromandel India selatan menaklukkan Kedah dan merampas dari Sriwijaya. Kemudian Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan berhasil penaklukan Sriwijaya selama beberapa dekade berikut keseluruh imperium Sriwijaya berada dalam pengaruh Rajendra Coladewa. Meskipun demikian Rajendra Coladewa tetap memberikan peluang kepada raja-raja yg ditaklukan utk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Setelah invasi tersebut akhir mengakibatkan melemah hegemoni Sriwijaya dan kemudian beberapa daerah bawahan membentuk kerajaan sendiri dan kemudian muncul Kerajaan Dharmasraya sebagai kekuatan baru dan kemudian mencaplok kawasan semenanjung malaya dan sumatera termasuk Sriwijaya itu sendiri. Istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1225 tak lagi identik dgn Sriwijaya melainkan telah identik dgn Dharmasraya dimana pusat pemerintahan dari San-fo-tsi telah berpindah jadi dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya yg sebelum merupakan daerah bawahan dari Sriwijaya dan berbalik menguasai Sriwijaya beserta daerah jajahan lainnya. Antara tahun 1079 - 1088 kronik Tionghoa masih mencatat bahwaSan-fo-ts’i masih mengirimkan utusan dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina yg berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirim utusan dimana pada masa itu Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi yg merupakan surat dari putri raja yg diserahi urusan negara San-fo-tsi serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan rumbia dan 13 potong pakaian. Dan kemudian dilanjutkan dgn pengiriman

utusan selanjut di tahun 1088. Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yg ditulis pada tahun 1178 Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yg sangat kuat dan kaya yakni San-fo-ts’i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyat memeluk agama Budha dan Hindu sedangkan rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha dan memiliki 15 daerah bawahan yg meliputi; Pong-fong (Pahang) Tong-ya-nong (Terengganu) Ling-ya-si-kia (Langkasuka) Kilantan (Kelantan) Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang) Ji-lo-t’ing (Cherating pantai timur semenanjung malaya) Ts’ien-mai (Semawe pantai timur semenanjung malaya) Pa-t’a (Sungai Paka pantai timur semenanjung malaya) Tan-ma-ling (Tambralingga Ligor selatan Thailand) Kia-lo-hi (Grahi Chaiya sekarang selatan Thailand) Pa-lin-fong (Palembang) Kien-pi (Jambi) Sin-t’o (Sunda) Lan-wu-li (Lamuri di Aceh) and Si-lan (Kamboja). DalamKidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan juga disebut ‘Arya Damar’ sebagai bupati Palembang yg berjasa membantu Gajah Mada dalam menaklukkan Bali pada tahun 1343 Prof. C.C. Berg menganggap identik dgn Adityawarman. Dan kemudian pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura sesuai dgn manuskrip yg terdapat pada bagian belakang Arca Amoghapasa. Kemudian dari Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah yg kemungkinan ditulis sebelum pada tahun 1377 juga terdapat kata-kata bumi palimbang. Pada tahun 1275 Singhasari penerus kerajaan Kediri di Jawa melakukan suatu ekspedisi dalam Pararaton disebut semacam ekspansi dan menaklukan bhumi malayu yg dikenal dgn nama Ekspedisi Pamalayu yg kemudian Kertanagara raja Singhasari menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa raja Melayu di Dharmasraya seperti yg tersebut dalam Prasasti Padang Roco. Dan selanjut pada tahun 1293 muncul Majapahit sebagai pengganti Singhasari dan setelah Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi naik tahta memberikan tanggung jawab kepada Adityawarman seorang peranakan Melayu dan Jawa utk kembali menaklukkan Swarnnabhumi pada tahun 1339. Dan dimasa itu nama Sriwijaya sudah tak ada disebut lagi tapi telah diganti dgn nama Palembang hal ini sesuai dgn Nagarakretagama yg menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit. Perdagangan Kerjaaan Sriwijaya Dalam perdagangan Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok yakni dgn penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kamper kayu gaharu cengkeh pala kepulaga gading emas dan timah yg membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yg melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal di seluruh Asia Tenggara. Pengaruh Budaya dan Agama Islam Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India pertama oleh budaya Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9. Sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu dan kebudayaan Melayu di Nusantara. Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yg termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara sekaligus sebagai pusat pembelajaran agama Budha juga ramai dikunjungi pendatang dari Timur Tengah dan mulai dipengaruhi oleh pedagang dan ulama muslim. Sehingga beberapa kerajaan yg semula merupakan bagian dari Sriwijaya kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak disaat melemah pengaruh Sriwijaya. Pengaruh orang muslim Arab yg banyak berkunjung di Sriwijaya raja Sriwijaya yg bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adl masyarakat sosial yg di dalam terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah

Islam di Suriah. Bahkan disalah satu naskah surat adl ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) dgn permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da’i ke istana Sriwijaya. Raja-raja Sriwijaya : Para Maharaja Sriwijaya Tahun Nama Raja Ibukota Catatan Sejarah 671 Dapunta Hyang Sri Jayanasa Srivijaya Catatan perjalanan I-tsing di tahun 671-685Prasasti Kedukan Bukit (683) Talang Tuo (684) dan Kota Kapur Penaklukan Malayu penaklukan Jawa 702 Sri IndravarmanChe-li-to-le-pa-mo SrivijayaShih-li-fo-shih Utusan ke Tiongkok 702-716 724Utusan ke Khalifah Muawiyah I dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz 728 Rudra VikramanLieou-t’eng-wei-kong SrivijayaShih-li-fo-shih Utusan ke Tiongkok 728-742 743-760 Tidak ada berita pada periode ini Pindah ke Jawa Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa Sanjaya 760 Maharaja WisnuDharmmatunggadewa Jawa Prasasti Ligor A menaklukkan Kamboja. 775 Dharanindra Sanggramadhananjaya Jawa Prasasti Candi Kalasan 778 782 Samaragrawira Jawa Prasasti Nalanda 792 Samaratungga Jawa Prasasti Karang Tengah tahun 824.825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur Kebangkitan Wangsa Sanjaya Rakai Pikatan 835 Balaputradewa SrivijayaSuwarnabhumi Kehilangan kekuasaan di Jawa dan kembali ke SrivijayaPrasasti Nalanda (860) 860-960 Tidak ada berita pada periode ini 960 Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan SrivijayaSan-fo-ts’i Utusan ke Tiongkok 960 & 962 980 Hie-tche (Haji) SrivijayaSan-fo-ts’i Utusan ke Tiongkok 980 & 983 988 Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa SrivijayaSan-fo-ts’i Utusan ke Tiongkok 988-992-1003990 Jawa menyerang Srivijaya pembangunan kuil utk Kaisar China Prasasti Tanjore atau Prasasti Leiden (1044) pemberian anugrah desa oleh raja-raja I 1008 Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi SrivijayaSan-fo-ts’i Utusan ke Tiongkok 1008 1017 Sumatrabhumi SrivijayaSan-fo-ts’i Utusan ke Tiongkok 1017 1025 Sangramavijayottungga SrivijayaSan-fo-ts’i Diserang oleh Rajendra ColadewaPrasasti Chola pada candi Rajaraja Tanjore 1028 Dibawah Dinasti Rajendra Coladewa dari Koromandel 1079 Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo PalembangPa-lin-fong Utusan ke Tionkok 1079Memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton) 1100 Rajendra II PalembangPa-lin-fong 1156 Rajendra III PalembangPa-lin-fong Piagam Larger Leyden Plates 1183 Dibawah Dinasti Mauli Kerajaan Melayu 1183-1286 Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa Dharmasraya Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand 1286-1293 Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa Dharmasraya Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntur 1293-1339 Tidak ada berita pada periode ini 1339 Palembang Dibawah Dinasti Majapahit 1347 Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa Malayapura Kembali dibawah Dinasti Mauli 1409 Penaklukan kembali oleh Majapahit sebagian dari bangsawan pindah ke Tumasik atau Malaka Sumber: dari berbagai sumber Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Sekilas Sejarah Tentang "Venitie Van Oost" Written by: Apriansyach Taufik Jembatan Ampera dan Sungai Musi Rabu, 29 Juni 2011 bertepatan dengan Hari Libur Peringatan Isra' Mi'raj, menjelang sore diantara dua rak buku di salah satu toko buku ternama yang ada di jalan Margonda Raya Depok, rencananya sih mau cari buku tentang Maintenance of Medical Equipment. Bosen karena buku yang dicari ga ketemu, iseng - iseng cari buku di rak kumpulan buku sejarah dan sosial, eh ga sengaja nemuin sebuah buku (maaf judunya lupa) yang membahas tentang kearifan lokal dari sebuah kota pada masa Kolonial Belanda yang dijuluki sebagai "Venetie van Oost" atau dalam bahasa Inggrisnya "Venice of The East" alias Venesia dari Timur. Kota ini juga dijuluki sebagai Negeri Seribu Sungai, Negeri Batanghari Sembilan dan Bumi Sriwijaya, Palembang. Saking asyiknya membaca, sampai-sampai lupa dengan tujuan awal ke toko buku. Alhasil hari sudah hampir menjelang Shalat Ashar tiba. Tapi Alhamdulillah waktu tak terbuang dengan percuma, meskipun ga ada buku yang jadi dibeli, setidaknya saya bisa mendapatkan tambahan pengetahuan mengenai kota dimana

tempat nenek moyangku berasal secara gratis. Hehe... Lembar demi lembar saya baca dengan sekilas, sambil melihat-lihat gambar yang memuat foto-foto tentang situasi kota dan masyarakat Palembang pada masa Kolonial Belanda. Sentak mataku tertuju pada dua buah puisi. Mungkin bagi sebagian orang bait dari setiap kalimat yang ditulis pada puisi-puisi tersebut akan terlihat cukup sederhana, namun tidak bagiku, karena kedua puisi itu berisikan tentang nilai dan pesan yang mengkiaskan suasana batin dari sang penulis mengenai fenomena dan situasi yang terjadi pada masa itu. Berbekal sebuah "handphone butut" , saya tulis bait-bait dari puisi tersebut. Berikut kutipannya: (Djawatan Penerangan, Sumatera Selatan 1965) Berajoen berombak deras di bawah Tenang, bersatu alam djaja sempoerna Dempo rujukan Batanghari Sembilan Riak gelombang Musi menawan Tu lah dia Sumatera Selatan Puisi tersebut mengkiaskan tentang indahnya suasana dari Sungai Musi yang telah menjadi simbol peradaban yang menemani sepanjang sejarah kota tua ini, dan menjadi saksi atas derasnya arus kehidupan Provinsi Sumatera Selatan dari masa ke masa. Beranjak dari puisi yang pertama diatas, berikut kutipan puisi yang kedua yang saya dapati: "Delapan Cerobong Asap" Karya: Alifiah Sahib Obor Rakyat, Palembang, 16 Juli 1961 Asap terus mengepul Angin tetap berdendang Perusahaan asing terus mengeruk kekayaan Di muara aliran Komering Menghiasi dua perusahaan di pematang Tangan Musi menyapa Mari kita nak ke laut Ke samudera intip penyelundup Komering dan Lematang dengan riak-riak litjah Tertawa bersatu guna melindungi gadis Palembang Bila pesta di air Musi Selesai di tahun djanji Gadis berkerudung bukakan tirai Budjang Palembang meminang ke Uluan Pada puisi yang kedua ini tak hanya mengkiaskan tentang besarnya fungsi Sungai Musi sebagai bagian dari sejarah masyarakat setempat, namun juga berkisah tentang hiruk pikuk perkembangan dan permasalahan Kota Palembang sebagai pusat pemerintahan dan peradaban dari Provinsi Sumatera Selatan. Kemudian memuat tentang keragaman budaya serta persatuan masyarakat Sumatera Selatan dalam menghalau dan melindungi Kota Palembang dari ancaman penjajah dan penyelundup dari luar. Memang takkan pernah habis kata untuk mengulas perjalanan sejarah dari kota tua yang satu ini, dimana tempat bertemunya berbagai unsur budaya sejak zaman kejayaan imperium maritim nusantara Kerajaan Sriwijaya, mungkin sebagian dari kita tak banyak yang tahu dan mengenal eksistensi dari kerajaan ini, karena dari beberapa buku pelajaran sejarah yang disajikan untuk SD, SMP hingga bangku SMA terkadang bahasan mengenai kerajaan yang satu ini tidaklah diulas dengan lebih rinci, hal ini dikarenakan memang sulitnya para pelaku dan peneliti sejarah untuk mencari bukti-bukti fisik peninggalan kejayaannya, dan juga sebagai imbas dari politik masa lalu negara ini yang cenderung untuk tidak mengangkat kearifan lokal yang berasal dari luar (maaf) Pulau Jawa. Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, dimana peradaban Melayu bermula, hal ini didasarkan pada prasasti Kedukan Bukit (683 M) yang diketemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 683 Masehi (tanggal 5 bulan Ashada tahun 605 Syaka). Maka tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahir Kota Palembang. Batu-bersurat (prasasti) itu ditemukan oleh Controleur Batenberg di tepi Sungai Kedukan Bukit (Pada masa silam di sebut Sungai Melayu), yakni diantara Bukit Seguntang dengan Situs Karanganyar pada tahun 1926 dengan menggunakan huruf Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno. Palembang dari masa ke masa menjadi salah satu kota pelabuhan tersibuk di Asia Tenggara, sebagai persinggahan bagi kapal-kapal yang melintasi rute perairan Selat Malaka, hal tersebut menjadi daya tarik bagi para pendatang baik dari China, India maupun dari dataran Timur Tengah hingga dari "Benua Biru" Erofa, baik untuk berdagang maupun untuk menjajah. Sehingga pada saat ini, di Kota Palembang

khususnya kita bisa menemukan percampuran budaya yang dibawa oleh berbagai etnis pendatang tersebut. Sebagai salah satu bukti, berikut saya kutip dari beberapa artikel sejarah mengenai dua pucuk mukadimah surat dari Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Ummayyah di Baghdad dan Damsyik. Surat pertama ditujukan kepada Khalifah Muawiyah Bin Abi Sufyan tahun 661 Maseh. Surat tersebut ditemui dalam sebuah diwan (arkib) Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umayr yang disampaikan melalui Abu Ya’yub Ats Tsaqofi, yang kemudian disampaikan melalui Al Haytsam bin Adi. Al Jahizh yang mendengar surat itu dari Al Haytsam menceritakan pendahuluan surat itu sebagai berikut: “Dari Raja Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya dibuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah………” Dan surat yang kedua dari Maharaja Sri Indrawarman ditujukan kepada Khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang memerintah sekitar Abad ke 8 masehi , yang didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329 H/860-940 M) dalam karyanya Al Iqd Al Farid. Berikut kutipan terjemahannya: Dari Raja di Raja… yang adalah keturunan seribu raja … kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.” Bukanlah tujuan saya untuk berlebih-lebihan dalam memaparkan tentang ulasan singkat dari Sejarah Sriwijaya, namun demikian sejarah telah mencatatkan. Dari beberapa keterangan dan sumber kajian yang pernah saya baca, baik itu dari artikel, buku ataupun ulasan-ulasan singkat para bloger yang masih peduli akan sejarah, telah disebutkan bahwa pada masanya Kerajaan Sriwijaya adalah satu-satunya kerajaan nusantara yang berhasil menaklukkan sebagian besar wilayah Nusantara dan Asia Tenggara, seperti yang kita ketahui bahkan pengaruhnya sampai ke India, Indochina, China, Srilanka, Maladewa, Persia (Iran), Iraq, Semenanjung Arab (Timur Tengah) hingga ke Madagaskar dan Benua Afrika. Sejarawan juga bersepakat bahwa penaklukan dan pengaruh Kerajaan Sriwijaya atas sebagian besar Wilayah Nusantara inilah yang menjadi cikal bakal penyebaran dari budaya dan bahasa Melayu di Nusantara, hingga menjadi budaya dan bahasa "bilingual" pemersatu Nusantara pada masa itu hingga saat ini. Dari abad ke abad, seiring pergantian pangku kekuasaan baik dari penguasa pribumi/putrajaya ataupun penguasa dari bangsa-bangsa penjajah, eksistensi dari Budaya dan Bahasa Melayu sebagai budaya dan bahasa "bilingual" pemersatu Nusantara semakin meluas dan berasimilasi/bercampur dengan budaya dan bahasa setempat di Wilayah Nusantara. Kemudian menjelang masa kemerdekaan, Bahasa Melayu yang berakar dari Bahasa Melayu Sumatera dijadikan sebagai sumber utama bagi lahirnya Bahasa Resmi Negara Indonesia, dan juga sebagai rujukan utama bagi Bahasa Resmi negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam, bahkan negara termuda nomor dua di dunia pecahan dari NKRI yaitu Timor Leste hingga saat ini mayoritas masyarakatnya masih mempergunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Tidak hanya sampai disitu, kejayaan Palembang sebagai pusat dari peradaban sebuah bangsa terus berlanjut, setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya akibat serangan dari tiga kerajaan yang berselisih kekuasaan, diantaranya Kerajaan Cola dari India, Kerajaan Siam dari dataran Thailand, dan Kerajaan Majapahit dari Tanah Jawa. Meskipun tidak secara bersamaan, serangan dari ketiga kerajaan tersebut sangat berpengaruh bagi kemunduran Kerajaan Sriwijaya, dan menyebabkan daerah-daerah kekuasaan dari Kerajaan Sriwijaya mulai terpecah dan memisahkan diri dari pengaruhnya pada abad ke 14. Pakaian Adat Sumatera Selatan Keadaan ini sehingga memaksa seorang pewaris tahta dari Kerajaan Sriwijaya

yaitu Pangeran Parameswara dengan para pengikutnya hijrah ke Semenanjung, dimana ia singgah lebih dahulu ke Pulau Temasik dan mendirikan Kerajaan Singapura. Pulau ini ditinggalkannya setelah Pangeran Parameswara mendapatkan serangan dari orang-orang Siam. Dari Singapura Pangeran Parameswara kemudian hijrah ke Semenanjung dan mendirikan Kerajaan Melaka. Setelah membina kerajaan ini dengan tradisi kemaritiman yang diwarisi dari Kerajaan Sriwijaya, maka kemudian Kerajaan Melaka menjelma menjadi salah satu kerajaan terbesar di nusantara setelah kebesaran Kerajaan Sriwijaya. Palembang sendiri setelah ditinggalkan Parameswara menjadi negeri yang tak bertuan dan dipenuhi oleh pendatang-pendatang dari dataran China Selatan. Menurut catatan para sejarawan, Kerajaan Majapahit pernah berniat untuk menempatkan seorang Adipati di Palembang, namun ditolak oleh orang-orang Tionghoa yang lambat laun telah menguasai Palembang. Mereka menyebut Palembang sebagai Ku-Kang dan mereka terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat Tionghoa yang terusir dari Cina Selatan, yaitu dari wilayah Kanton, Nan-hai, Chang-chou dan Changuan-chou. Meskipun setiap kelompok ini mempunyai pemimpin sendiri, tetapi mereka sepakat menolak pimpinan dari Majapahit dan mengangkat Liang Tau-Ming sebagai pemimpin mereka. Pada masa ini Palembang dikenal sebagai wilayah yang menjadi sarang bajak laut dari orang-orang Cina tersebut. Tidak heran jika toko sejarah dan legendaris dari China, yaitu Laksamana Chen-ho terpaksa beberapa kali melabuhkan iringan armada dari kapal-kapalnya di Palembang guna memberantas para bajak laut ini. Pada abad ke-17 kota Palembang menjadi ibukota Kesultanan Palembang Darussalam yang diproklamirkan oleh Pangeran Ratu Kimas Hindi Sri Susuhanan Abdurrahman Candiwalang Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (atau lebih dikenal Kimas Hindi/Kimas Cinde) sebagai sultan pertama (1643-1651), terlepas dari pengaruh kerajaan Mataram (Jawa). Tanggal 7 Oktober 1823 Kesultanan Palembang dihapuskan oleh penjajah Belanda dan kota Palembang dijadikan Komisariat di bawah Pemerintahan Hindia Belanda (kontrak terhitung 18 Agustus 1823), dengan Commisaris Sevenhoven sebagai pejabat Pemerintah Belanda pertama. Kemudian kota Palembang dijadikan Gameente/Haminte berdasarkan stbld. No. 126 tahun 1906 tanggal 1 April 1906 hingga masuknya Jepang tanggal 16 Februari 1942. Palembang Syi yang dipimpin Syi-co (Walikota) berlangsung dari tahun 1942 hingga kemerdekaan RI. Jembatan Ampera Tahun 60an Jembatan Ampera Diwaktu Malam Berdasarkan keputusan Gubernur Tingkat I Sumatera Selatan No. 103 tahun 1945, Palembang dijadikan Kota Kelas A. Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 948, Palembang dijadikan Kota Besar. Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, Palembang dijadikan Kotamadya. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tanggal 23 Juli 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Palembang dijadikan Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang. Itu semua mungkin hanya tinggal sejarah, namun setidaknya hal tersebut mampu membangkitkan lagi semangat bagi generasi muda bangsa ini, untuk dapat meniti dan mengukir kembali kejayaan yang pernah diraih dimasa silam. Sejarah telah membuktikan, bahwasanya bangsa ini tidaklah diciptakan oleh Allah sebagai bangsa yang lemah, namun kita sendirilah yang membuat bangsa ini menjadi terpuruk. Sumber kutipan dan data sejarah: - http://infokito.wordpress.com - http://lokalgenius.blogspot.com - http://palembangdailyphoto,blogspot.com - http://bisnispolitik.wordpress.com - Buku dan artikel bacaan lainnya (Lupa aku judulnya, hehe...) Benteng Kuto Besak Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Sriwijaya dan Harga Sumatra Sriwijaya dan Harga Sumatra Harga Sumatera bukanlah ditentukan oleh berapa harga dari hasil kekayaan bumi Sumatera, akan tetapi berapa harga yang berani kita bayar untuk membela dan mempertahankannya. Ini sudah tentu berkaitan langsung dengan kesadaran politik,

kesanggupan dan tanggungjawab dari bangsa-bangsa yang mendiami Sumatera. Sebab dalam kenyataannya, bumi Sumatera sebenamya tidak terlepas dari berbagai keperluan dan kepentingan. Sebenamya, gambaran Sumatera mengenai masa lampau, telah cukup menceritakan tentang kuasa besar, kesan keindahan dan kekayaan alam yang melimpah ruah. Itulah sebabnya mengapa I-Tsing, seorang penjelajah Cina telah mengabadikan pengalamannya dalam buku Mulasarvastivada, yang meriwayatkan tentang tahap-tahap perjalanannya dari Tamralipti ke Canton. Itulah sebabnya mengapa Arthasastra -buku India kuno- menyebutnya dengan Pulau Emas (Suvamabhumi) atau kepulauan emas (Suvarnadvipa). Itulah sebabnya mengapa bangsa-bangsa Eropa (baca-Portugis) menyebutnya sebagai Pulau Emas (Ophir). Tegasnya, cerita mengenai kemegahan Sumatera bukan suatu mithos atau kisah novel fiksi yang mengisahkan petualangan di angkasa dalam film Star Track di layar TV anda, akan tetapi merupakan bukti nyata yang pemah disaksikan oleh para penjelajah ternama di dunia ke Sumatera. Sebagaimana diakui oleh Marcopolo bahwa Peureulak dan Samudera Pasai Sumatera-pada tahun 1292, sudah berdiri suatu kerajaan yang megah, kaya raya dan menganut agama Islam, dimana sistem pemerintahannya sudah mapan. Para penjelajah dan pedagang dari India, Cina Arab dan Eropa terus terang mengakui bahwa bumi Sumatera memiliki segala-galanya dan berkemampuan secara profesional mengatur negara. Lebih dari pada itu telah menjadi satu model pemerintahan yang megah dan disegani di Asia Tenggara suatu masa dahulu. Contohnya: KERAJAAN SRIWIJAYA Munculnya kerajaan Melayu tua di Sumatera -Sriwijaya- yang telah dipandang sebagai suatu kerajaan yang memiliki kekayaan dan rakyatnya hidup sejahtera dari perdagangan hasil bumi Sumatera dan kemegahan Sriwijaya telah mampu membangun sistem politik yang mapan, pertahanan darat dan laut yang kuat, sehingga kerajaan Sriwijaya telah menjadi suatu khazanah dalam sejarah dunia Melayu di Asia Tenggara. Sistem pemerintahannya ditata mengikut acuan Melayu yang berasaskan keterbukaan dengan dunia luar dan memompa semangat rakyatnya untuk bekerja keras dan selalu peka terhadap setiap kemungkinan-kemungkinan adanya anasir luar yang mengancam keselamatan Sumatera. Itulah sebabnya para sejarawan telah menyifatkan bahwa sistem yang digunakan sebagai suatu model pemerintahan yang modern pada waktu itu. Kita tidak dapat membayangkan betapa masyhurnya kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Untuk menggambarkannya, izinkan saya meminjam ucapan Wang Gungwu: “Pada tahun 775, kerajaan ini telah menj adi begitu masyhur sehingga hanya raja-raja yang dipertuan dari Sriwijaya, raja tertinggi di antara semua raja di permukaan bumi”1). Wang Gungwu, “The Nanhai trade: A study of early history of Chinese trade in South China Sea”, 1958, hlm 135. Kerajaan Sriwijaya berhasil membangun pangkalan-pangkalan ekonomi dan merangsang semangat rakyatnya berniaga dengan bangsa asing, sehingga: “pada awal sejarah Sriwijaya yang panjang itu, pelabuhan-pelabuhan Palembang dan Jambi merupakan penghubung di antara Sumatera dengan pasar-pasar Asia. Sistem komunikasi yang menjadi dasar perkembangan pelabuhan-pelabuhan ini telah dicipta oleh nakhoda kapalnya. Masa depan sistem itu tidak bergantung kepada kekayaan pedalaman Sumatera Selatan, tetapi bergantung kepada kemampuan para pemerintahnya untuk memastikan agar pelabuhan-pelabuhan tetap menjadi tempat yang mesti disinggahi dalam pelayaran ke negeri Cina.” Demikian dituturkan oleh Chou Chù-Fei, malahan “Jambi dan Palembang sebagai pusat perdagangan yang sangat maju” 2). Rockhill, Notes on relations and trade of China, hhn 134-l 38. Ketika itu berbagai hasil bumi telah dijual dalam pasaran bebas, Hal ini telah dikemukakan oleh Chèn Tsàng-chi: “dalam pertengahan abad ke-8. Lada Kemukus berasal dari Sriwijaya-Sumatera yang mendapat permintaan dalan pasaran di negeri Cina. Selain dari pada itu kapur barus yang dipandang sebagai barang perniagaan yang mendatangkan hasil memuaskan.

Sebab pada kurun masa itu, kapur Barus merupakan barang mahal dan komoditi export besar, hingga kebanyakan negara selain Sriwijaya telah menggunakan upeti dan tanda mata. Seperti Chih Tu telah mengirim Batu Kapur sebagai upeti kepada kerajan Chang Chun, kerajaan Udayana di Barat Laut India, kerajaan To-Yuan di Asia Tenggara melakukan perkara yang sama.” 3). J.G Boeles, The King of Sri Dvaravati and His Regalia, 1964, hlm 114. Di kawasan Sumatera Tengah -Barus- telah didapati bahan galian Batu Barus (Kapur Barus), hingga kapur Bar-us merupakan salah satu barang komoditi terpenting bagi devisa negara di bawah kerajaan Sriwijaya. “Sekitar 500 orang Cina selatan menggali dan menggunakan kapur bar-us, yang hablur-nya mendapat tempat dalam perobatan karangan Tao Hung Ching”. 4) G. Ferrand, Relations de Voyages et testes Geographyques, hlm 56-57, yang dikutip dari catatan Ibnu al-Fakih, 902. Memandangkan kenyataan-kenyataan ini maka ada penulis yang menuturkan bahwa: “Pada zaman pertengahan, Sriwijaya merupakan pusat perdagangan yang sangat maju dan masyhur, oleh itu wajar dipercayai bahwa terdapat latar belakang ekomoni di Asia Tenggara dan barangkali juga di tempat lain di Asia, yang selama berabad-abad telah memberi jalan kepada kerajaan Sriwijaya. Pada 700 M. Sriwijaya telah memperoleh pos luar wilayah di Barat Daya Semenanjung Tanah Melayu yang memberikan kepadanya kuasa di Selat Melaka. Perluasan perdagangan laut ini adalah perkara yang belum pemah ada sebelumnya dalam catatan yang telah kita selidiki.” 5) O.W. Wolters, Perdagangan Awal Indonesia, Suatu Kajian Asal Usul Kerajaan Sriwijaya, hlm 312. Keberhasilan dalam bidang ekonomi tidak terlepas daripada kemampuan mengadakan hubungan perdagangan dan diplomatik dengan negara lain, seperti dilukiskan di sini: “Sejak abad ke-5 lagi, Kerajaan Sriwijaya sudah mempunyai hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Cina. Hampir setiap tahun para saudagar menaiki kapal barang ke Canton”. 6) Prof. Wealtly, Golden Khersonese, hlm 58. Malahan dikatakan bahwa beberapa kerajaan dagang seperti: Ho-lo-tan, Pohuang (berpusat antara Jambi-Palembang), Ka-to-li, dan Cina telah mengirim utusan kepada Kerajaan Sriwijaya. “Ini harus dipandang sebagai tanda bahwa kekuasaan proto-Sriwijaya agak kukuh, hingga ia merasa tidak perlu mengingatkan orang Cina akan tanggung-jawabnya sebagai pelindung dengan sering mengirim utusan” 6). O.W. Wolters, Perdagangan Awal Indonesia, suatu Kajian Asal Usul Kerajaan Sriwijaya, h l m 323. Kemasyhuran Sriwijaya tidak hanya terbatas dalam bidang perdagangan, akan tetapi juga dalam bidang militer untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan kerajaannya. “Sriwijaya di Sumatera Tenggara pada masa pertengahan abad ke-7M, sangat memainkan peranan penting dalam perdagangan Asia dan selama lebih 500 tahun dan setelah sejarahnya dihidupkan kembali oleh para sejarawan pada zaman modern dan di kalangan orang Melayu, mereka membanggakannya sebagai kekuatan laut yang besar dan empayer tertua di dalam sejarah kebangsaan mereka.” 7) Idem, hlm 1. Seterusnya dikatakan: “raja Sriwijaya mempunyai senjata yang senantiasa bersedia untuk melaksanakan kekuasaannya atas saingannya. Kekuatan militemya bergantung kepada kapal-kapalnya. Raja-raja itu mempunyai kapal dan orang juga membayangkan nakhoda-nakhoda kapal Melayu datang dari rawa-rawa bakau dan pulau-pulau berdekatan.” 8) Sung Shih, Suma Oriental, hlm. 235-236. Seorang penulis Belanda, J.C.Van Leur, malah mengatakan bahwa: “untuk memperkuat angkatan laut dalam usaha mempertahankan perdagangan mereka, Sriwijaya melakukan tindakan-tindakan khusus untuk perang dan apabila mereka hendak berperang melawan negara lain, mereka mengumpul dan kemudian merujuk kepada ketua-ketua mereka dan semua menyiapkan persediaan militer sendiri dan bahan-bahan makan yang diperlukan” 9). Chu Fan Chih, Indonesian trade and socities, hlm 106. Sejarah telah mencatat bahwa kerajaan Sriwijaya mempunyai kuasa penting di Sumatera bahkan sampai ke Semenanjung Malaysia

dalam jangka masa yang lama. Ketika itu Cina, India dan Arab merupakan mitra dagangnya. Namun begitu, secara formal kerajaan Sriwijaya belum menetapkan peraturan tertulis (perjanjian dagang) mengenai cukai dagang, perjanjian mengenai pertahanan bersama dan perlindungan dengan rakan dagangnya di Selat Melaka. Perkara ini dianggap sebagai salah satu sisi kelemahan yang tidak disadari pada ketika itu, sebab setidak-tidaknya, ketika ada gangguan dari kerajaan Cola dan Jawa yang menganggap Sriwijaya melakukan tindakan monopoli perdagangan telah dijadikan alasan yang sengaja dibuat oleh pihak asing untuk melakukan serangan terhadap post-post dagang Sriwijaya, mitra dagang yang sebelumnya akrab, ternyata tidak dapat membantu Sriwijaya. Apalagi “selama dua abad selepas itu, wilayah-wilayah naungan Sriwijaya, sedikit demi sedikit menentang monopoli pantai yang digemari itu dengan mendorong para saudagar-saudagar asing mengunjungi pelabuhan-pelabuhan mereka sendiri”. 10). O. W. Wolters, Perdagangan Awal Indonesia, Suatu kajian asal usul kerajaan Sriwijaya, hlm 336. Akhirnya, kecemburuan pihak asinglah yang menjadi puncak perang yang tidak dapat lagi dielakkan. Semua peperangan yang berlaku antara Sriwijaya dengan seteru asing dicatat pada batu bersurat -prasasti- yang dipandang penting dalam sejarahnya, yaitu: 1. Prasasti (batu bersurat) di Muara Takus; 2. Prasasti (batu bersurat) di Telaga Batu, Palembang; 3. Prasasti (batu bersurat) di Kota Kapur, Pulau Bangka. Dilihat dari segi psikologis dan sosiologis, peperangan ini telah mempengaruhi mentalitas bangsa ini untuk mempertahankan kesinambungan kerajaan Sriwijaya, sebab peperangan yang panjang dan melelahkan itu telah banyak merengggut korban jiwa manusia dan sekaligus meruntuhkan peradaban yang beratus-ratus tahun telah dibina. Dilihat dari segi futurologis, peperangan ini telah memakan masa yang panjang sekali dan memerlukan kajian dan tafsiran ihniah terhadap fakta yang terungkap dalam historiografi Sriwijaya sehingga mampu melahirkan semula kegemilangan itu. Sejarahlah yang akan menjawabnya sendiri. Sumber: http://achmadyani.wordpress.com Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Nov 3 Pengaruh Kerajaan Sriwijaya Membawa Budaya Melayu Ke Nusantara dan Asia Tenggara Oleh Zaki Setiawan Kerajaan Sriwijaya berpusat di daerah yang sekarang dikenal sebagai Palembang di Sumatra. Pengaruhnya amat besar meliputi Indonesia, Semenanjung Malaysia dan Filipina. Kerajaan yang menjadi cikal bakal Melayu tua ini menjadi sponsor utama penyebaran budaya dan bahasa melayu. Walaupun tidak mengklim sebagai sumber dari budaya melayu seperti di Semenanjung Melayu, tetapi kemelayuan kerajaan Sriwijaya tidak dapat dtolak. Bahkan peran Kerajaan Sriwijaya dalam memperluas budaya melayu jauh lebih besar dari pada kerajaan-kerajaan yang mengklim sebagai kerajaan melayu di seperti Kerajaan Melayu di semenanjung melayu dan Kerajaan Kedah. Kekuasaan Sriwijaya merosot pada abad ke-11. Kerajaan Sriwijaya mulai ditaklukkan oleh berbagai kerajaan Jawa, pertama oleh kerajaan Singosari (Singhasari) dan akhirnya oleh kerajaan Majapahit. Malangnya, sejarah Asia Tenggara tidak didokumentasikan dengan baik. Sumber sejarahnya berdasarkan laporan dari orang luar, prasasti dan penemuan arkeologi, artifak seperti patung dan lukisan, dan hikayat. Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya agama Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melewati perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9. Pada masa yang sama, agama Islam memasuki Sumatra melalui Aceh yang telah tersebar melalui hubungan dengan pedagang Arab dan India. Pada tahun 1414 pangeran terakhir Sriwijaya, Parameswara, memeluk agama Islam dan berhijrah ke Semenanjung Malaya dan mendirikan Kesultanan Melaka. Agama Buddha aliran Buddha Hinayana dan

Buddha Mahayana disebarkan di pelosok kepulauan nusantara dan Palembang menjadi pusat pembeljaran agama Buddha. Pada tahun 1017, 1025, dan 1068, Sriwijaya telah diserbu raja Chola dari kerajaan Colamandala(India) yang mengakibatkan hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025, raja Sri Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya kemegahan Sriwijaya menurun. Kerajaan Singasari yang berada di bawah naungan Sriwijaya melepaskan diri. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya melemah dan takluk di bawah Majapahit. Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I-tsing. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tidak memperluas kekuasaannya diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang, Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama - daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok. Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu setempat. Dari Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa, Kerajaan Minanga takluk di bawah pemerintahan Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan. Berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka, Pada akhir abad ke-7 kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah melancarkan aksi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera yaitu Malayu dan Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan di abad yang sama. Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih

untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825. Di abad ke-9, wilayah kemaharajaan Sriwijaya meliputi Sumatera, Sri Lanka, Semenanjung Malaya, Jawa Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut, kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang hebat hingga abad ke-13. Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah memperluas pengaruh politik, sosial, budaya dan ekonomi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Vietnam Selatan. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India. Minanga merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya yang akhirnya dapat ditaklukkan pada abad ke-7. Kerajaan Melayu ini, memiliki pertambangan emas sebagai sumber ekonomi dan kata Swarnnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Dan kemudian Kedah juga takluk dan menjadi daerah bawahan. Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota terakhir kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom. Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di India selatan cukup baik dan kemudian menjadi buruk setelah Rajendra Coladewa naik tahta dan melakukan penyerangan di abad ke-11. Di tahun 902, Sriwjaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan dengan Arab yang memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam kerajaan. Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit Seguntang), Muara Jambi dan Kedah. Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat Melayu pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu. Berdasarkan Hikayat Melayu, pendiri Kesultanan Malaka mengaku sebagai pangeran Palembang, keturunan keluarga bangsawan Palembang dari trah Sriwijaya. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke-15 keagungan, gengsi dan prestise Sriwijaya tetap dihormati dan dijadikan sebagai sumber legitimasi politik bagi penguasa di kawasan ini. Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan, dan segenap bangsa Melayu. Bagi penduduk Palembang, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu

dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat Thailand Selatan dan Malaysia yang menciptakan kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya melayu Sriwijaya, walaupun pada akhirnya Malaysia merasa lebih malayu dari pada Indonesia yang sebenannya tempat lahirnya budaya melayu itu sendiri. Ini bukanlah keserakahan bangsa Malaysia karena memang mereka adalah bangsa yang menghargai jati dirinya, cuma kitanya saja yang memang tidak menghargai budaya dan jati diri kita sendiri. Tengok saja perbedaan sinentron atau film Indonesia dengan sinentron dan film Malaysia yang lebih akrab dengan budaya melayu. Apalagi jika kita menonton film anak-anak Upin Ipin yang sangat melayu, sedangkan sinetron Indonesia lebih kebarat-baratan. Sumber Pustaka: - www.sumselprov.go.id - id.wikipedia.org - www.indonesianvoices.com/index.php?option=com_content&view=article&id=56 Posted 3rd November 2011 by Peradaban Bangsa Sriwijaya 0 Add a comment Loading Send feedback