skripsi - repository.unair.ac.idrepository.unair.ac.id/55659/19/ff_ft_23-16_kur_t-min.pdf · badan...

215
SKRIPSI TOKSISITAS SUBKRONIS TABLET FRAKSI EA-96 HERBA SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees) PADA HATI DAN GINJAL TIKUS WISTAR YESINTA KURNIAWATI DEPARTEMEN FARMAKOGNOSI DAN FITOKIMIA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2016 ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI

Upload: lamthuan

Post on 03-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SKRIPSI

TOKSISITAS SUBKRONIS TABLET FRAKSI EA-96

HERBA SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees)

PADA HATI DAN GINJAL TIKUS WISTAR

YESINTA KURNIAWATI

DEPARTEMEN FARMAKOGNOSI DAN FITOKIMIA

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2016

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI

i

SKRIPSI

TOKSISITAS SUBKRONIS TABLET FRAKSI EA-96

HERBA SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees)

PADA HATI DAN GINJAL TIKUS WISTAR

YESINTA KURNIAWATI

051211133006

DEPARTEMEN FARMAKOGNOSI DAN FITOKIMIA

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2016

iv

Lembar Pengesahan

TOKSISITAS SUBKRONIS TABLET FRAKSI EA-96

HERBA SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees)

PADA HATI DAN GINJAL TIKUS WISTAR

SKRIPSI

Dibuat untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi

pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga 2016

Oleh :

Yesinta Kurniawati

NIM. 051211133006

Skripsi ini telah disetujui oleh :

Pembimbing Utama Pembimbing Serta

Dr. Achmad Fuad H.,MS. Dr. Widjiati, drh.M.Si.

NIP.195212121981031009 NIP.196209151990022001

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena

berkat Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga senantiasa

terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada

keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada umatnya hingga akhir

zaman, amin.

Penulisan usulan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah

satu syarat sebelum melakukan penyusunan skripsi yang bertujuan

untuk memperoleh gelar Sarjana pada Program Pendidikan

Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya. Judul

yang penulis ajukan adalah “Toksisitas Subkronis Tablet Fraksi EA-

96 Herba Sambiloto (Andrographis Paniculata Nees) pada Hati dan

Ginjal Tikus Wistar “ (Departemen Farmakognosi Dan Fitokimia

Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya Tahun Ajaran

2016/2017).

Dalam penyusunan dan penelitian skripsi ini tidak terlepas dari

bantuan, bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan senang hati

menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya, Ibu

Dr. Umi Athiyah, MS atas kesempatan yang diberikan kepada

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

2. Dr. A. Fuad Hafid, Apt.,MS selaku Dosen Pembimbing Utama

dan Dr. Widjiati, drh.M.Si selaku Dosen Pembimbing Serta

vi

yang telah memberikan inspirasi, meluangkan waktu, pikiran,

tenaga, dan perhatiannya dalam membantu dan membimbing

penulis hingga akhir penyusunan skripsi ini;

3. Dr. Aty Widyawaruyanti, Apt.,M.Si dan Drs. Herra Studiawan,

Apt.,MS yang telah meluangkan waktu untuk menguji dan

mengevaluasi skripsi ini;

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Surabaya, terutam Ibu Dra. Rakhmawati, Apt.,M.Si selaku

dosen wali penulis yang tanpa lelah telah membimbing dan

mengamalkan ilmunya selama menempuh masa belajar,

sehingga memperluas ilmu pengetahuan dan wawasan penulis;

5. Pimpinan dan para karyawan Fakultas Farmasi Universitas

Airlangga Surabaya terutama Mas Eko dan Pak Parto atas

bantuannya selama penulis menyelesaikan skripsi di fakultas

Farmasi Universitas Airlangga Surabaya;

6. Mbak Lidya Tumewu, S.Farm,M.Farm dan Mbak Hikatul

Ilmi,S.Si.,M.Kes di Laboratorium Satreps gedung Institutes

Tropical Disease Kampus C Univeritas Airlangga Surabaya

yang selama ini banyak membantu memberikan masukan dan

arahan tentang penelitian yang akan penulis lakukan. Sehingga

penulis dapat lebih memahami penelitian yang akan dikerjakan

dan dapat menyusun usulan skripsi ini;

7. Kedua orang tua penulis, Ayah dan Ibu atas doa yang tiada

henti, semangat yang tiada surut, pengorbanan yang tiada akhir

dan kasih sayang yang tidak perna padam. Semoga keberhasilan

vii

putrimu ini menjadi kebanggaan dan kabahagiaan ayah dan ibu

sekalian yang akan dikenang sepanjang masa.

Dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak

kekurangan, maka dari itu sangat diharapkan untuk segala bentuk

kritik dan saran membangun dari berbagai pihak demi perbaikan di

masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pembaca serta perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang

kefarmasian.

Surabaya, Agustus 2016

Penulis

viii

RINGKASAN

TOKSISITAS SUBKRONIS TABLET FRAKSI EA-96 HERBA SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees) PADA HATI

DAN GINJAL TIKUS WISTAR

Yesinta Kurniawati Malaria merupakan masalah kesehatan yang serius di dunia, pada tahun 2012 menginfeksi 207 juta penduduk dunia dengan angka kematian 627.000 (WHO, 2013). Setiap tahun terdapat 300-500 juta kasus baru mengenai malaria dan sekitar 1,5 juta orang meninggal karena penyakit ini; mayoritas terutama pada anak-anak (Widyawaruyanti dkk, 2014). Andrographis paniculata Nees di Indonesia dikenal sebagai sambiloto. Sambiloto mengandung andrografolid yang diketahui mempunyai aktivitas sebagai antimalaria baik in vivo maupun in vitro yang dapat menghambat pertumbuhan parasit malaria (Suyanto, 1995; Dina, 2004; Sri, 2001; Widyawaruyanti, 1995; 2004). Sambiloto dikembangkan menjadi produk fitofarmaka obat tradisional dengan menggunakan pendekatan multikomponen dalam pemanfaatannya dengan melakukan standarisasi terhadap bahan baku obat dan produk akhirnya sehingga terjamin keajegan khasiat, kualitas, dan keamanannya serta dapat menjamin keajegan komposisi zat yang terkandung (Widyawaruyanti dkk, 2014). Sambiloto dikembangkan menjadi produk fitofarmaka obat tradisional dalam bentuk sediaan tablet fraksi etil asetat-96 herba Sambiloto (Andrographis

paniculata Nees). Perlu dilakukan suatu uji non klinik maupun uji klinik terhadap produk fitofarmaka obat tradisional sambiloto (BPOM, 2014). Penelitian ini melakukan uji non klinik salah satunya uji toksisitas yang dilakukan untuk mendeteksi efek toksik dari bahan obat tersebut pada sistem biologi hewan coba guna mendapatkan data respon dari dosis sediaan bahan obat yang diuji (BPOM, 2014). Uji toksisitas yang dilakukan adalah uji toksisitas subkronik dimana uji ini dilakukan untuk mengetahui kerusakan yang mungkin ditimbulkan akibat pemakaian obat secara berulang dalam jangka waktu tertentu dengan melakukan pemeriksaan biokimia darah (SGOT, SGPT, BUN, dan kreatinin serum);

ix

pemeriksaan hematologi (leukosit, eritrosit, hematokrit); serta pemeriksaan histopatologi hati dan ginjal (BPOM, 2014). Metode penelitian yang digunakan dalam uji toksisitas subkronis antara lain analisis perubahan berat badan tikus coba, pemeriksaan kimia klinik, pemeriksaan hematologi, analisis makropatologi, dan histopatologi. Untuk analisis perubahan berat badan tikus coba dengan melakukan penimbangan berat badan setiap tiga hari sekali, kemudian hasilnya akan diamati melalui grafik untuk melihat perubahan berat badan tikus coba selama perlakuan. Sedangkan pada analisis pemeriksaan kimia klinik, pemeriksaan hematologi, dan makropatologi akan di analisis menggunakan metode one-way ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05). Untuk mengetahui ada tidaknya efek perlakuan antar pasangan kelompok, analisis dilanjutkan dengan Post Hoc Test (Uji LSD). Analisis histopatologi menggunakan analisis statistik non-parametrik Kruskal-Wallis untuk dapat mengetahui ada tidaknya perbedaan hasil skoring pengamatan terjadinya kerusakan pada sel hati dan ginjal hewan coba masing-masing kelompok perlakuan.

Berdasarkan hasil analisis kima klinik tikus jantan kelompok kontrol negatif mengalami gangguan fungsi ginjal dilihat dari kenaikan kadar kreatinin melebihi rentang kadar normal kreatinin dari referensi adalah 0,30-1,00 mg/dl (Doloksaribu, 2008). Sedangkan pada tikus betina tidak ada gangguan fungsi ginjal, akan tetapi pemberian bahan uji tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto dapat menurunkan kadar kreatinin plasma kelompok dosis 327 mg/kg dari tikus betina. kemudian analisis dari hematologi, kadar hematokrit dari tikus jantan kelompok dosis kontrol dan kelompok dosis 1000 mg/kg masih dalam rentang normal kadar hematokrit dari referensi adalah 39-53 % (Aboderin dan Oyetayo, 2006). Akan tetapi kadar hematokrit kelompok dosis 327 mg/kg berada di bawah rentang normal kadar dari referensi. Penurunan kadar hematokrit dari kelompok kontrol satelit dan kelompok dosis 327 mg/kg tidak lebih dari 30% dan kadarnya tidak kurang dari 20%, sehingga penurunan tersebut masih aman. Hasil analisis histopatologi diketahui bahan uji menimbulkan perubahan histopatologi hati dengan kerusakan nekrosis, dilatasi sinusoid, dan oedema pada tikus jantan. Pada tikus jantan dan betina, nekrosis terjadi pada semua

x

kelompok perlakuan dengan tingkat kerusakan ringan sampai sedang, Kemudian dilatasi sinusoid dan oedema terjadi pada semua kelompok perlakuan dengan tingkat kerusakan ringan sampai berat. Diketahui bahan uji juga menimbulkan perubahan histopatologi ginjal dengan granular cast pada tikus jantan dan betina yang terjadi pada dosis 1000 mg/kg dan dosis satelit dengan tingkat kerusakan ringan. Hasil pemeriksaan berbagai parameter pada uji toksisitas subkronik tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto dengan dosis 50 mg/kg, 327 mg/kg, dan 1000 mg/kg yang diberikan perlakuan selama 28 hari dan pada dosis satelit yaitu 1000 mg/kg diberikan perlakuan selama 42 hari menimbulkan efek toksisitas subkronis pada hati dan ginjal tikus wistar berdasarkan hasil analisis diketahui terjadi perubahan histopatologi hati dengan parameter nekrosis, dilatasi sinusoid, dan oedema. Nekrosis terjadi pada semua kelompok perlakuan dengan tingkat kerusakan ringan sampai sedang, kemudian dilatasi sinusoid dan oedema pada semua kelompok perlakuan dengan tingkat kerusakan ringan sampai berat. Serta diketahui terjadi perubahan histopatologi ginjal dengan parameter granular cast pada tikus jantan dan betina pada dosis 1000 mg/kg dan dosis satelit dengan tingkat kerusakan ringan.

Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai efek toksik dari tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto, seperti diantaranya penggunaan hewan coba lain (selain tikus galur wistar) dan menggunakan organ lain (selain hati dan ginjal). Uji toksisitas subkronis ini diketahui memiliki 2 metode berdasarkan lamanya waktu penelitian, antara lain selama 28 hari (seperti yang dilakukan peneliti) dan selama 90 hari (BPOM, 2014). Penelitian uji toksisitas subkronis selama 28 hari diketahui telah menimbulkan toksisitas subkronis pada hati dan ginjal tikus wistar melalui hasil analisis histopatologi, maka tidak perlu dilanjutkan untuk penelitian uji toksisitas subkronis selama 90 hari. Sehingga tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto dapat terus dikembangkan menjadi sediaan fitofarmaka antimalaria.

xi

ABSTRACT

Subchronic Toxicity of EA-96 Tablet Fractions of Bitter Herbs (Andrographis Paniculata Nees) on Liver and Kidney Wistar Rats

This study aims to determine whether there subchronic toxicity effects, liver and renal histopathology changes, and the effect on levels of SGOT and SGPT mice generated from antimalarial tablet EA-96 fractions bitter herbs (Andrographis paniculata Nees) in mice. The research method checks clinical chemistry, hematology examination, and macropathology using one-way ANOVA followed by Post Hoc Test. Histopathology using non-parametric statistical analysis Kruskal-Wallis. Analysis of clinical chemistry and hematology, the creatinine and hematocrit resulted in decreased levels of some of the test group. However, this decline still meets the normal range of levels. Macropathology careful observation, the test material influence on relative organ weight percentage of male and female rat liver in some test groups. Macropathology kidney, the test material to give effect to the kidney relative organ weight percentage of female rats to some of the test group. Histopathological analysis of unknown materials testing EA-96 tablet fraction of Bitter herbs induce histopathological changes in liver and kidney the mice during the treatment period. The study concluded that the tablet fraction of Bitter herbs EA-96 at a dose of 50 mg / kg body weight of mice, 327.6 mg / kg body weight of mice, and 1000 mg / kg rat and satellite dose 1000 mg / kg rat toxicity effects subchronic against rats (wistar strain) on histopathological liver and kidneys for 28 days of treatment. It is advisable not need to continue subchronic toxicity study for 90 days. Keywords: Sambiloto, ethyl acetate-96 tablet fraction, clinical chemistry, histopathology, subchronic toxicity.

xii

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL i

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ii

LEMBAR PERNYATAAN iii

LEMBAR PENGESAHAN iv

KATA PENGANTAR v

RINGKASAN viii

ABSTRAK xi

DAFTAR ISI xii

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR LAMPIRAN xix

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 5

1.3 Tujuan Penelitian 5

1.4 Hipotesis 6

1.5 Manfaat Penelitian 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Tanaman Sambiloto 7

2.2 Tinjauan tentang Uji Toksisitas 11

2.3 Tinjauan tentang Hati 16

2.4 Tinjauan tentang Ginjal 19

2.5 Tinjauan tentang SGOT dan SGPT 41

xiii

2.6 Tinjauan tentang BUN 42

2.7 Tinjauan tentang Kreatinin 42

2.8 Tinjauan tentang Trigliserida 43

2.9 Tinjauan tentang GGT 44

2.10 Tinjauan tentang Glukosa 45

2.11 Tinjauan tentang Darah 46

2.12 Tinjauan tentang Hewan Coba Tikus 59

BAB III. KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Kerangka Konseptual 64

3.2 Bagan Kerangka Konseptual 69

BAB IV. METODE PENELITIAN

4.1 Bahan Penelitian 70

4.2 Alat-Alat 71

4.3 Metode Penelitian 72

4.4 Skema Kerja 96

BAB V. HASIL PENELITIAN

5.1 Pembuatan Larutan Uji 97

5.2 Pemberian Dosis Terhadap Tikus Coba 99

5.3 Data Hasil Penimbangan Berat Badan Tikus Coba 100

5.4 Data Hasil Pemeriksaan Kima Klinik 103

5.5 Data Hasil Pemeriksaan Hematologi 108

5.6 Data Hasil Analisis Makroskopik 111

5.7 Data Hasil Analisis Histopatologi 114

BAB VI. PEMBAHASAN

6.1. Efek tablet fraksi EA terhadap pertambahan berat badan tikus

coba 126

xiv

6.2. Efek tablet terhadap hasil pemeriksaan kimia klinik pada hati

tikus coba 127

6.3 Efek tablet terhadap hasil pemeriksaan kimia klinik pada ginjal

tikus coba 128

6.4. Efek tablet terhadap hasil pemeriksaan hematologi tikus coba 130

6.5. Efek tablet terhadap makroskopik hati tikus coba 132

6.6. Efek tablet terhadap makroskopik ginjal tikus coba 133

6.7. Efek tablet terhadap histopatologi hati tikus coba 134

6.8 Efek tablet terhadap histopatologi ginjal tikus coba 138

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan 142

7.2 Saran 144

DAFTAR PUSTAKA

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Tanaman herba Sambiloto 7

Gambar 2.2. Herba Sambiloto dan struktur andrografolid 10

Gambar 2.3. Jalur metabolisme lemak 26

Gambar 2.4. Sel darah merah (eritrosit) 51

Gambar 2.5. Sel darah putih (leukosit) dan golongan sel darah putih

(leukosit) 53

Gambar 2.6. Tikus galur wistar dan kelompok tikus galur wistar 61

Gambar 5.1. Grafik rerata berat badan tikus jantan (A), kelompok

satelit (B) 102

Gambar 5.2. Grafik rerata berat badan tikus betina (C), kelompok

satelit (D) 102

Gambar 5.3. Mikroskopis hati dengan kongesti, perbesaran 400x 121

Gambar 5.4. Mikroskopis hati dengan dilatasi sinusoid, perbesaran

400x 121

Gambar 5.5. Mikroskopis hati dengan nekrosis, perbesaran 400x 122

Gambar 5.6. Mikroskopis hati dengan oedema (vacoulisasi

sitoplasma),

perbesaran 400x 122

Gambar 5.7. Mikroskopis ginjal, panah merah: glomerulus,

panah biru: tubulus distal, panah hinjau: tubulus proksimal,

perbesaran 100x 123

Gambar 5.8. Mikroskopis ginjal dengan granular cast, perbesaran

400x 123

Gambar 5.9. Mikroskopis ginjal, panah hijau : degenerasi hidrofik,

xvi

panah biru: granular cast, pembesaran 400x 124

Gambar 5.10. Mikroskopis ginjal dengan nekrosis, perbesaran 400x 124

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel V.1. Pembagian dosis tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto 100

Tabel V.2. Nilai rerata pertambahan berat badan tikus coba selama

28 hari 101

Tabel V.3. Nilai rerata pertambahan berat badan tikus kelompok

satelit

selama 42 hari 101

Tabel V.4. Nilai rerata analisis kimia klinik pada hati tikus coba 104

Tabel V.5. Nilai rerata analisis kimia klinik pada hati tikus coba

kelompok satelit 105

Tabel V.6. Nilai rerata analisis kimia klinik pada ginjal tikus coba 106

Tabel V.7. Nilai rerata analisis kimia klinik pada ginjal tikus coba

kelompok satelit 107

Tabel V.8. Nilai rerata analisis hematologi tikus coba 109

Tabel V.9. Nilai rerata analisis hematologi tikus coba kelompok

satelit 110

Tabel V.10.Nilai rerata analisis makroskopik hati tikus coba 111

Tabel V.11.Nilai rerata analisis makroskopik hati tikus coba

kelompok satelit 112

Tabel V.12.Nilai rerata analisis makroskopik ginjal tikus coba 113

Tabel V.13.Nilai rerata analisis makroskopik ginjal tikus coba

kelompok

satelit 114

Tabel V.14.Nilai rerata rank analisis histopatologi hati tikus coba 115

Tabel V.15.Nilai rerata rank analisis histopatologi hati tikus coba

xviii

kelompok satelit 117

Table V.16.Nilai rerata rank analisis histopatologi ginjal tikus coba 118

Tabel V.17.Nilai rerata rank analisis histopatologi ginjal tikus coba

kelompok satelit 120

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 156

Lampiran 2 157

Lampiran 3 158

Lampiran 4 163

Lampiran 5 164

Lampiran 6 168

Lampiran 7 172

Lampiran 8 175

Lampiran 9 178

Lampiran 10 180

Lampiran 11 182

Lampiran 12 184

Lampiran 13 186

Lampiran 14 193

Lampiran 15 194

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Malaria merupakan salah satu penyakit tertua di dunia.

Setiap tahun terdapat 300-500 juta kasus baru mengenai

malaria dan sekitar 1,5 juta orang meninggal karena penyakit

ini; mayoritas terutama pada anak-anak (Widyawaruyanti

dkk., 2014). Malaria masih merupakan masalah kesehatan

yang serius di dunia, pada tahun 2012 menginfeksi 207 juta

penduduk dunia dengan angka kematian 627.000 (WHO,

2013). Indonesia menduduki peringkat ke-26 dengan

prevalensi 9,19 per 100 penduduk di antara negara di dunia

yang endemik malaria. Tahun 2013 dilaporkan Kementerian

Kesehatan RI bahwa 424 kabupaten endemis malaria dari 522

kabupaten. Diperkirakan sekitar 45% penduduk Indonesia

beresiko tertular penyakit malaria (Kemenkes RI, 2012).

Indonesia merupakan negara yang dikenal memiliki

keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia (Konthen dan

Sastrowardoyo, 2007). Keaneragaman hayati tersebut dapat

dimanfaatkan sebagai pembuatan obat tradisional. WHO

merekomendasikan penggunaan obat tradisional termasuk

herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat,

pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk

penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga

2

mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan

khasiat dari obat tradisional (World Health Organization,

2003). Hal ini merupakan faktor yang sangat menguntungkan

bagi upaya penelitian maupun pemanfaatan tanaman yang

dapat digunakan untuk pengobatan serta pengembangan

formulasi berbagai ramuan yang berasal dari tanaman dan

perlu adanya suatu penelitian lebih lanjut mengenai tanaman-

tanaman berkhasiat keamanan efektif untuk mengobati suatu

penyakit.

Di Indonesia, malaria tergolong penyakit menular yang

masih bermasalah. Penyakit ini berjangkit di semua pulau di

Indonesia, mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi,

baik di kota maupun di desa (Mursito, 2002). Dari hasil

inventarisasi jenis tanaman di Indonesia, tercatat lebih kurang

30.000 jenis tanaman yang tumbuh di Indonesia dan tidak

kurang dari 1.000 jenis tanaman yang telah dimanfaatkan

oleh masyarakat dalam upaya penyembuhan dan pencegahan

suatu penyakit, peningkatan daya tahan tubuh, serta

pengembalian kesegaran tubuh (Mursito, 2002). Untuk itulah

perlu adanya suatu penelitian lebih lanjut mengenai tanaman-

tanaman berkhasiat, salah satunya tentang kandungan bahan

aktifnya serta berapa kadar bahan aktif yang terkandung

didalamnya, guna perhitungan dosis yang efektif untuk

mengobati suatu penyakit.

3

Andrographis paniculata Nees umumnya di Indonesia

dikenal sebagai Sambiloto secara tradisional digunakan

sebagai antiradang, antipiretik atau meredakan demam, dan

untuk penawar racun atau detoksikasi sedangkan di India akar

dan daun tanaman sambiloto digunakan untuk

menyembuhkan sakit karena gigitan ular dan serangga

(Achmad et al., 2007). Kandungan utama dari ekstrak

Sambiloto adalah andrografolida (Hariana, 2006).

Andrographolid diketahui mempunyai aktivitas sebagai

antimalaria baik in vivo maupun in vitro yang dapat

menghambat pertumbuhan parasit malaria (Suyanto, 1995;

Dina, 2004; Sri, 2001; Widyawaruyanti, 1995; 2004).

Kemudian telah dikembangkan menjadi produk fitofarmaka

antimalaria dengan fraksi etil asetat yang sudah diuji

aktivitasnya dalam menghambat parasit malaria sehingga

diformulasi menjadi tablet fraksi etil asetat.

Sebagai produk fitofarmaka obat tradisional Sambiloto

menggunakan pendekatan multikomponen dalam

pemanfaatannya sehingga dapat dipertanggungjawabkan

secara medis. Dengan melakukan standarisasi terhadap bahan

baku obat dan produk akhirnya telah menjamin keajegan

khasiat, kualitas, dan keamanannya serta dapat menjamin

keajegan komposisi zat yang terkandung. Dengan demikian

obat tradisional Sambiloto dapat masuk dalam sistem

kesehatan formal untuk mengobati pasien malaria

(Widyawaruyanti dkk., 2014). Dari uraian tersebut maka

4

perlu dilakukan suatu uji non klinik maupun uji klinik

terhadap produk fitofarmaka obat tradisional Sambiloto. Uji

non klinik dilakukan terhadap hewan coba untuk menilai

keamanan dan profil farmakodinamik bahan obat, sedangkan

uji klinik dilakukan dengan mengikutsertakan subjek manusia

disertai adanya intervensi produk uji guna menentukan efek

klinik, farmakologi, identifikasi reaksi yang tidak diinginkan,

dan memastikan keamanan juga efektifitas produk (BPOM,

2014). Dalam penelitian ini melakukan uji non klinik salah

satunya uji toksisitas yang dilakukan untuk mendeteksi efek

toksik dari bahan obat tersebut pada sistem biologi hewan

coba guna mendapatkan data respon dari dosis sediaan bahan

obat yang diuji (BPOM, 2014). Dengan demikian dapat

mengevaluasi keselamatan produk baru, mencegah produk

berbahaya dan beracun agar tidak memasuki lingkungan dan

masyarakat, juga dapat mempercepat penemuan obat dan

meringkas proses pengembangan obat.

Pada penelitian ini melakukan uji toksisitas pada tablet

fraksi etil asetat. Tablet fraksi etil asetat dalam penelitian ini

digunakan tablet fraksi etil asetat-96 herba Sambiloto dengan

menggunakan hewan coba (tikus galur wistar). Uji toksisitas

yang dilakukan adalah uji toksisitas subkronik dimana uji ini

dilakukan untuk mengetahui respon kerusakan yang mungkin

ditimbulkan akibat pemakaian obat secara berulang dalam

jangka waktu tertentu. Uji ini dilakukan terhadap hewan coba

5

selama tidak lebih dari 10% seluruh umur hewan. Data uji

toksisitas subkronis diperoleh dari pemeriksaan kimia klinik,

hematologi, makropatologi, dan hispatologi (BPOM, 2014).

Penelitian ini dapat memberikan informasi terkait

keamanan penggunaan tablet fraksi etil asetat-96 herba

Sambiloto terhadap hewan coba tikus (tikus galur wistar)

secara in vivo. Dengan demikian menjadi data pendukung

yang dapat dipertanggungjawabkan dalam menjamin

keamanan terkait dengan efek toksisitasnya sehingga berguna

untuk penelitian selanjutnya atau perencanaan pengujian

tablet fraksi etil asetat-96 herba Sambiloto pada manusia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah tablet antimalaria fraksi etil asetat-96 herba

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) tidak dapat

menimbulkan efek toksisitas subkronis pada hati tikus

wistar?

2. Apakah tablet antimalaria fraksi etil asetat-96 herba

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) tidak dapat

menimbulkan efek toksisitas subkronis pada ginjal tikus

wistar?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui ada atau tidaknya efek toksisitas subkronis

yang ditimbulkan dari tablet antimalaria fraksi etil asetat-

6

96 herba Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

pada hati tikus wistar.

2. Mengetahui ada atau tidaknya efek toksisitas subkronis

yang ditimbulkan dari tablet fraksi etil asetat-96 herba

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) pada ginjal

tikus wistar.

1.4 Hipotesis

1. Pemberian tablet antimalaria fraksi etil asetat-96 herba

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) tidak

menimbulkan efek toksisitas subkronis pada hati tikus

wistar.

2. Pemberian tablet antimalaria fraksi etil asetat-96 herba

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees tidak

menimbulkan efek toksisitas subkronis pada ginjal tikus

wistar.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi kepada masyarakat tentang keamanan penggunaan

tablet antimalaria fraksi etil asetat-96 herba Sambiloto

(Andrographis paniculata Nees) sebagai sediaan fitofarmaka

antimalaria dan untuk memberikan informasi pada penelitian

selanjutnya atau perencanaan pengujian pada manusia.

7

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan tentang Tanaman Sambiloto (Andrographis

paniculata Nees)

a. Klasifikasi Tanaman Sambiloto

(a) (b) (c)

Gambar 2.1. Tanaman tampak dari samping (a), simplisia

herba Sambiloto (b), dan tanaman tampak dari atas (c)

Berikut ini adalah klasifikasi dari tanaman Sambiloto :

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Classis : Dicotyledoneae

Ordo : Solanaceae

Familia : Acanthaceae

Genus : Andrographis

Species : Andrographis paniculata Nees

(Dalimartha, 1999).

b. Nama Daerah

Sambiloto memiliki nama lain seperti papaitan

(Sumatera), takilo, bidara, sadilata, sambiloto (Jawa),

8

sambilata, sadilata, ki oray, ki peurat, ki ular (Sunda)

(Hariana, 2006).

c. Morfologi Tanaman Sambiloto

Tanaman sambiloto memiliki morfologi yaitu herba

tegak tinggi sekitar 0,5 - 1 meter, batang muda bersiku

empat, sedang yang tua berkayu dengan pangkal membulat,

percabangan monodial, warna hijau. Daun tunggal

berbentuk bulat telur, bersilang berhadapan dengan ujung

dan pangkalnya runcing, helai daun bertepi rata dengan

pertulangan menyirip, panjang daun 3 - 5 cm, lebar 0,5 -1,5

cm, berasa pahit, berhadapan, bagian atasnya hijau tua,

bagian bawahnya berwarna lebih pucat. Bunga majemuk,

kecil, berwarna putih dengan garis-garis ungu, tersendiri

dengan diatur diketiak dan diujung rangkai. Seluruhnya

membentuk bunga malai yang besar, kelopak bentuk lanset,

berbagi lima, pangkalnya berlekatan, memiliki dua bulir

benang sari, bulat panjang, kepala putik ungu kecoklatan.

Buah berbentuk kotak, tegak, agak berbentuk silinder, bulat

panjang, bagian ujungnya runcing dan tengahnya beralur,

buah berwarna hijau, setelah tua berwarna hitam. Bijinya

tiga sampai empat buah yang dilempar keluar jika buah

masak (Sudarsono et al., 1996).

d. Kandungan Kimia

Kandungan utama dari ekstrak sambiloto adalah

andrografolida. Daun dan cabang sambiloto terdapat

9

senyawa kimia seperti deoksi-andrografolid, andrografolid,

neoandrografolid, 14-deoksi-11, 12 didehidroandrografolid,

dan homoandrografolid. Sementara pada akar mengandung

flavonoid berupa polimetoksiflavon, andrografin,

panikolin, dan apigenin-7, 4-dimetil eter, alkena, keton,

aldehid, kalium, kalsium, natrium, serta asam kersik. Selain

itu terdapat andrografolid 1% dan kalmegin (Hariana,

2006).

Andrografolida memiliki titik leleh 230-239 0C

(Mishra et al., 2007). Andrografolida diabsorpsi dengan

cepat dan hampir seluruhnya diabsorpsi dalam darah

setelah pemberian per oral dengan dosis 20 mg/kg BB

tikus. Bioavailabilitasnya akan menurun empat kali lipat

bila dosis yang diberikan sepuluh kali lebih tinggi.

Meskipun sebagian besar andrografolida (55%) terikat

protein plasma dan hanya sedikit yang dapat masuk ke

dalam sel, namun sifat farmakokinetik andrografolida

menunjukkan mengikuti model kompartemen satu.

Eliminasi andrografolida yang utama bukan melalui

ekskresi ginjal. Metabolisme andrografolida juga sangat

tergantung dari dosisnya (Panossian et al., 2000).

10

(a) (b)

Gambar 2.2. Herba Sambiloto (a) dan struktur

andrografolida (b)

e. Kegunaan Tanaman

Di Indonesia Sambiloto digunakan untuk antiradang,

antipiretik atau meredakan demam, dan untuk penawar

racun atau detoksikasi. Di India akar dan daun digunakan

untuk menyembuhkan sakit karena gigitan ular dan

serangga. Di Cina digunakan sebagai obat antiinflamasi,

antipiretik, obat influensa, disentri, infeksi saluran kencing,

dan radang paru-paru (Achmad et al., 2007).

f. Etil Asetat

Etil asetat disebut juga etil acetic acid ethyl ester,

acetic ester, acetic ether, acetoxyethane, aethylis acetas,

aethylium aceticum, ethyl ethanoate, vinegar naphtha. Etil

asetat cairan tidak berwarna, mudah menguap, harum, bau

sedikit acetous, memiliki rasa menyenangkan ketika

diencerkan, dan mudah terbakar. Etil asetat mempunyai

rumus kimia C4H8O2, mempunyai berat molekul 88,1.

Berat jenis etanol 0,902 g/cm3 pada suhu 200C, titik

11

didihnya 77 0C. Kelarutan etil asetat antara lain dalam air

suhu 250C kelarutannya 1:10, lebih larut dalam air dengan

suhu rendah dibanding pada suhu tinggi, larut dalam

aseton, kloroform, diklorometana, etanol (95%), dan eter

dan dengan cairan organik lainnya. Etil asetat digunakan

sebagai flavoring agent dan pelarut (Rowe et al., 2006).

g. Tablet

Tablet adalah sediaan padat yang mengandung bahan

obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Tablet dapat dibuat

dalam berbagai ukuran, bentuk, dan penandaan permukaan

bergantung pada desain cetakan (Anonim, 1995).

Tablet memiliki beberapa keunggulan dibanding

sediaan yang lain diantaranya adalah murah, ringan, mudah

dikemas dan dikirim, variabilitas kandungan rendah serta

dapat dijadikan produk dengan profil pelepasan khusus

(Banker and Anderson, 1994).

2.2 Tinjauan tentang Uji Toksisitas

Berdasarkan peraturan Kepala Badan Pengawas Obat

Dan Makanan Republik Indonesia nomor 7 tahun 2014

tentang Pedoman Uji Toksisitas Non Klinik Secara In Vivo

adalah sebagai berikut :

2.2.1 Uji Toksisitas

Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi

efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk

12

memperoleh data dosis-respon yang khas dari

sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan

untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya

sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada

manusia, sehingga dapat ditentukan dosis

penggunaannya demi keamanan manusia. Uji

toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model

berguna untuk melihat adanya reaksi biokimia,

fisiologik dan patologik pada manusia terhadap

suatu sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat

digunakan secara mutlak untuk membuktikan

keamanan suatu bahan/ sediaan pada manusia,

namun dapat memberikan petunjuk adanya toksisitas

relatif dan membantu identifikasi efek toksik bila

terjadi pemaparan pada manusia. Faktor-faktor yang

menentukan hasil uji toksisitas secara in vivo dapat

dipercaya adalah: pemilihan spesies hewan uji, galur

dan jumlah hewan; cara pemberian sediaan uji;

pemilihan dosis uji; efek samping sediaan uji; teknik

dan prosedur pengujian termasuk cara penanganan

hewan selama percobaan.

2.2.2 Macam Uji Toksisitas

2.2.2.1 Uji Toksisitas Akut Oral

Uji toksisitas akut oral adalah suatu

pengujian untuk mendeteksi efek toksik

13

yang muncul dalam waktu singkat setelah

pemberian sediaan uji yang diberikan

secara oral dalam dosis tunggal, atau dosis

berulang yang diberikan dalam waktu 24

jam. Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu,

sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis

diberikan pada beberapa kelompok hewan

uji dengan satu dosis perkelompok,

kemudian dilakukan pengamatan terhadap

adanya efek toksik dan kematian. Hewan

yang mati selama percobaan dan yang

hidup sampai akhir percobaan diotopsi

untuk dievaluasi adanya gejala-gejala

toksisitas. Tujuan uji toksisitas akut oral

adalah untuk mendeteksi toksisitas

intrinsik suatu zat, menentukan organ

sasaran, kepekaan spesies, memperoleh

informasi bahaya setelah pemaparan suatu

zat secara akut, memperoleh informasi

awal yang dapat digunakan untuk

menetapkan tingkat dosis, merancang uji

toksisitas selanjutnya, memperoleh nilai

LD50 suatu bahan/ sediaan, serta

penentuan penggolongan bahan/ sediaan

dan pelabelan.

14

2.2.2.2 Uji Toksisitas Kronik Oral

Uji toksisitas kronis oral adalah suatu

pengujian untuk mendeteksi efek toksik

yang muncul setelah pemberian sediaan

uji secara berulang sampai seluruh umur

hewan. Uji toksisitas kronis pada

prinsipnya sama dengan uji toksisitas

subkronis, tetapi sediaan uji diberikan

selama tidak kurang dari 5-12 bulan.

Tujuan dari uji toksisitas kronis oral

adalah untuk mengetahui profil efek toksik

setelah pemberian sediaan uji secara

berulang selama waktu yang panjang,

untuk menetapkan tingkat dosis yang tidak

menimbulkan efek toksik (NOAEL). Uji

toksisitas kronis harus dirancang

sedemikianrupa sehingga dapat diperoleh

informasi toksisitas secara umum meliputi

efek neurologi, fisiologi, hematologi,

biokimia klinis dan histopatologi.

2.2.2.3 Uji Toksisitas Subkronis Oral

Uji toksisitas subkronis oral adalah

suatu pengujian untuk mendeteksi efek

toksik yang muncul setelah pemberian

sediaan uji dengan dosis berulang yang

15

diberikan secara oral pada hewan uji

selama sebagian umur hewan, tetapi tidak

lebih dari 10% seluruh umur hewan.

Prinsip dari uji toksisitas subkronis oral

adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat

dosis diberikan setiap hari pada beberapa

kelompok hewan uji dengan satu dosis per

kelompok selama 28 atau 90 hari, bila

diperlukan ditambahkan kelompok satelit

untuk melihat adanya efek tertunda atau

efek yang bersifat reversibel. Selama

waktu pemberian sediaan uji, hewan harus

diamati setiap hari untuk menentukan

adanya toksisitas. Hewan yang mati

selama periode pemberian sediaan uji, bila

belum melewati periode rigor mortis

(kaku) segera diotopsi,dan organ serta

jaringan diamati secara makropatologi dan

histopatologi. Pada akhir periode

pemberian sediaan uji, semua hewan yang

masih hidup diotopsi selanjutnya

dilakukan pengamatan secara

makropatologi pada setiap organ dan

jaringan. Selain itu juga dilakukan

pemeriksaan hematologi, biokimia klinis

dan histopatologi.Tujuan uji toksisitas

16

subkronis oral adalah untuk memperoleh

informasi adanya efek toksik zat yang

tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut;

informasi kemungkinan adanya efek

toksik setelah pemaparan sediaan uji

secara berulang dalam jangka waktu

tertentu; informasi dosis yang tidak

menimbulkan efek toksik (No Observed

Adverse Effect Level / NOAEL) dan

mempelajari adanya efek kumulatif dan

efek reversibilitas zat tersebut.

2.3 Tinjauan tentang Hati

2.3.1 Anatomi Fisiologi Hati

Hati merupakan organ homeostasis yang

memainkan peranan penting dalam proses

metabolisme dalam manusia dan hewan. Hati

berwarna coklat kemerahan dan terletak di bawah

diafragma yaitu di dalam rongga abdomen. Hati

menerima makanan terlarut dalam darah apabila

makanan ini tercerna dan diserap di usus (Jacob,

2008).

Hati merupakan salah satu organ vital yang

memiliki peranan penting dalam metabolisme melalui

sifat beberapa sistem enzim yang terlibat dalam

transformasi biokimia. Sel utama penyusun hati

17

adalah hepatosit. Hepatosit merupakan sel utama

yang bertanggung jawab terhadap peran sentral hati

dalam metabolisme. Di dalam hati sel hepatosit

terdapat sebanyak 60% dari total sel yang terdapat di

dalam hati. Pada struktur hati terdapat lubang yang

merupakan pembuluh darah kapiler yang disebut

sinusoid, dinding sinusoid mengandung sel fagosit

yang disebut sel Kupfer yang bertugas

memfagositosis dan menghancurkan partikel padat

bakteri dalam sel darah mati (Hodgson, 2004). Selain

sel-sel tersebut, sel lain yang dapat ditemukan dalam

hati normal yaitu sel darah, sel epitelium, limfosit,

fibroblast, dan hepatic stellate cells (Malarkey et al,

2005).

Secara anatomi hati terbagi menjadi 4 lobus yaitu

lobus kanan, lobus kiri, lobus quadratus dan lobus

kaudatus. Masing-masing lobus dibentuk oleh

lobulus-lobulus yang merupakan unit fungsional

dasar hati. Secara keseluruhan, hati dibentuk oleh

sekitar 100.000 lobulus yang terdiri dari hepatosit,

saluran sinusoid yang dikelilingi oleh endotel

vaskuler dan sel kupfer yang merupakan bagian dari

sistem retikuloedotiel. Struktur ini berbentuk

heksagonal yang mengelilingi vena sentral, pada

setiap sudut heksagonal terdapat traktus portal yang

masing-masing mengandung cabang-cabang arteri

18

hepatika, vena portal dan duktus biliaris

intrahepatika. Karena garis khayal dari tiap sudut

heksagonal sampai ke vena sentral, tiap lobulus

terbagi menjadi 6 area yang disebut asinus yang

berbentuk segitiga (segitiga kiernan) dengan vena

sentral sebagai puncak. Kerja terpenting hati adalah

pengambilan komponen bahan makanan yang

diantarkan dari saluran cerna melalui pembuluh porta

ke dalam hati, detoksifikasi senyawa-senyawa toksik

melalui biotransformasi, sebagai pembuat dan

penyimpanan hasil metabolisme dan biosintesis,

penyerapan asam amino, karbohidrat, protein, lipid,

asam empedu, kolesterol, vitamin. Selain itu fungsi

hati juga untuk melindungi tubuh terhadap terjadinya

penumpukan zat berbahaya dari luar maupun dari

dalam. Hati juga merupakan tempat dimana obat dan

bahan toksik lainnya dimetabolisme melalui darah

(Sativani, 2010). Karena fungsi hati yang sangat

penting bagi tubuh, apabila terjadi kerusakan ini

dapat berdampak pada fungsional dan struktur

anatomis hati. Kerusakan akibat obat-obatan

khususnya terdapat dalam klirens dan bioransformasi

obat-obat yang dimetabolisme, seperti peningkatan

asam lemak yang dimobilisasi dari jaringan adiposa

dapat dipicu oleh glukokortikoid, selain itu

lipogenesis dan peningkatan produksi glukosa dalam

19

hati yang diikuti terjadinya katabolisme protein

(Olefsky, 1975).

2.3.2 Fungsi Hati

Beberapa fungsi hati yang penting diantaranya :

2.3.2.1 Fungsi Sirkulasi

Hati dapat menampung darah 500-600

ml (13% dari volume darah total) karena

organ ini dapat mengembang maupun

kontraksi sehingga sejumlah darah dapat

disimpan dalam pembuluh darah di

dalamnya. Tekanan darah vena hepatika

memegang peranan penting dalam hal

tersebut. Bila terdapat tekanan yang tinggi

dalam atrium kanan maka darah akan

ditimbun dalam hati dan hati mengembang.

Bila tekanan vena hepatika kembali normal

maka darah yang disimpan dalam hati akan

dialirkan ke dalam sirkulasi darah bagian

tubuh yang lain (Hadi, 1999).

2.3.2.2 Fungsi Pembentukan dan Sekresi

Empedu

Fungsi utama hati adalah membentuk

dan mengekskresi empedu. Hati sebagai

20

suatu kelenjar dapat mengeluarkan empedu,

namun tidak secara langsung dikeluarkan

melainkan disimpan dalam kandung

empedu terlebih dahulu. Pada saat tertentu

cairan empedu ini dikeluarkan (Hadi,

1999).

Hati menyekresi empedu sekitar 500

hingga 1000 ml empedu kuning setiap hari.

Unsur utama empedu adalah air (97%),

elektrolit, garam empedu, fosfolipid

(terutama lesitin), kolesterol, garam

anorganik, dan pigmen empedu (terutama

bilirubin terkonjugasi) (Lindseth, 2006).

Prekursor garam empedu adalah kolesterol

yang disuplai dalam diet atau di sintesis

dalam sel hati selama metabolisme lemak,

kemudian diubah menjadi asam kolat atau

asam kenodeoksikolat dalam jumlah yang

hampir sama. Asam –asam ini akan

berikatan dengan glisin dan taurin untuk

membentuk asam gliko terkonjugasi atau

asam tauro terkonjugasi. Garam dari asam-

asam tersebut disekresi dalam empedu.

Jumlah empedu yang disekresi oleh hati

setiap hari sangat tergantung pada

21

tersedianya garam empedu. Semakin

banyak jumlah garam empedu dalam

sirkulasi enterohepatik, semakin besar

kecepatan sekresi empedu (Guyton, 1981).

Empedu disekresi oleh sel hati,

kemudian mengalir ke kanalikuli empedu

yang terletak di antara sel-sel hati dalam

lempeng hepatik. Dari kanalikuli, empedu

mengalir ke perifer menuju septa

interlobaris, bermuara dalam duktus biliaris

terminal dan secara progresif masuk ke

duktus yang lebih besar menuju duktus

hepatikus dan duktus koledokus. Saluran

ini mengalirkan empedu masuk kedalam

duodenum atau dibelokkan ke dalam

kandung empedu (Guyton, 1981).

2.3.2.3 Fungsi Metabolisme

Fungsi ini merupakan fungsi yang

paling penting diantara fungsi-fungsi yang

dimiliki hati. Meliputi metabolisme

karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan

mineral (Hadi, 1999).

22

2.3.2.3.1 Metabolisme Karbohidrat

Hati berperan penting

dalam metabolisme

makronutrien yang dihantarkan

oleh vena porta pasca absorpsi

di usus. Monosakarida dari

usus halus diubah menjadi

glikogen dan disimpan dalam

hati. Dari depot glikogen ini,

glukosa dilepaskan secara

konstan ke dalam darah

(glikogenolisis) untuk

memenuhi kebutuhan tubuh

(Lindseth, 2006). Mekanisme

ini mendukung fungsi hati

sebagai dapar glukosa, dimana

cadangan glikogen

memungkinkan hati membuang

kelebihan glukosa dari darah,

menyimpannya, dan

mengembalikannya ke darah

bila konsentrasi gula darah

mulai turun (Guyton, 1981).

Hati juga mampu

mensintesis glukosa dari

23

protein dan lemak

(glukoneogenesis). Bila kadar

glukosa mulai turun dibawah

normal, sejumlah asam amino

diubah menjadi glukosa

sehingga membantu

mempertahankan konsentrasi

glukosa darah yang relatif

normal. Selain itu, hati juga

membentuk banyak senyawa

kimia yang penting dari hasil

antara metabolisme karbohidrat

(Guyton, 1981).

2.3.2.3.2 Metabolisme Protein

Peranan hati dalam

metabolisme protein sangat

penting untuk kelangsungan

hidup. Semua protein plasma

(kecuali gamma globulin)

disintesis oleh hati. Protein

tersebut antara lain adalah

albumin yang diperlukan untuk

mempertahankan tekanan

osmotik koloid (Lindseth,

2006). Penurunan protein

24

plasma menyebabkan mitosis

sel hati dengan cepat dan

ukuran hati menjadi lebih

besar, efek ini disertai

peningkatan protein plasma

dengan cepat sampai

konsentrasi plasma kembali

normal (Guyton, 1981).

Sebagian besar degradasi

asam amino dimulai dalam hati

melalui proses deaminasi,

sebelum asam amino

digunakan sebagai energi atau

diubah menjadi karbohidrat

atau lemak (Guyton, 1981).

Amonia yang dilepaskan

kemudian disintesis menjadi

urea dan diekskresi oleh ginjal

dan usus. Amonia yang

terbentuk dalam usus akibat

kerja bakteri pada kolon juga

diubah menjadi urea dalam hati

(Lindseth, 2006). Oleh karena

itu tanpa fungsi hati,

konsentrasi amonia plasma

25

akan meningkat dengan cepat

dan mengakibatkan koma

hepatikum dan kematian.

Fungsi hati juga meliputi

interkonversi berbagai asam

amino dan senyawa lain yang

penting pada proses

metabolisme tubuh, misalnya

sintesis asam amino non-

esensial (Guyton, 1981).

2.3.2.3.3 Metabolime Lemak

Fungsi hati terkait

metabolisme lemak antara lain

meliputi hidrolisis trigliserida,

kolesterol, fosfolipid dan

lipoprotein yang diabsorpsi

dari usus menjadi asam lemak

dan gliserol (Lindseth, 2006).

Pada proses glukoneogenesis,

asam lemak ini mengalami β-

oksidasi membentuk asam

aseto asetat yang tinggi apabila

terjadi secara berlebih (Guyton,

1981).

26

Gambar 2.3. Jalur metabolisme

lemak

Hati memegang peranan

utama dalam sintesis

kolesterol, yang sebagian besar

diekskresi dalam empedu

sebagai kolesterol atau asam

kolat. Hati juga berperan untuk

membentuk lipoprotein yang

berfungsi untuk transpor lemak

hasil perubahan karbohidrat

dan protein dalam jumlah

besar, menuju ke jaringan

adiposa untuk disimpan

(Lindseth, 2006).

27

2.3.2.3.4 Metabolisme Vitamin dan

Mineral

Hati memiliki fungsi

sebagai penyimpanan vitamin,

dimana vitamin A, D, E dan K

yang larut lemak serta vitamin

B12 disimpan dalam jumlah

besar di hati. Selain

penyimpanan vitamin, hati juga

menyimpan tembaga dan besi

(Lindseth, 2006). Besi

disimpan dalam hati dalam

bentuk feritin yang berikatan

dengan apoferitin yang

terkandung dalam sel hati.

Ikatan ini bersifat reversibel,

sehingga besi dapat dilepaskan

kembali dalam darah apabila

kadar besi dalam darah mulai

menurun (Guyton, 1981).

2.3.2.3.5 Metabolisme Steroid

Dalam metabolisme

steroid, hati berperan dalam

inaktivasi dan sekresi

28

aldosteron, glukokortikoid,

estrogen, progesteron dan

testosteron (Lindseth, 2006).

Normalnya, hati mengambil

(uptake) fraksi hormon steroid

yang tidak terikat globulin dari

darah, kemudian sebagian

hormon tersebut mengalami

oksidasi, konjugasi, dan

ekskresi ke dalam empedu,

sedangkan sebagian yang lain

mengalami siklus

enterohepatik (McPhee &

Ganong, 2005).

Pada gangguan hati yang

disertai shunting dari portal

menuju sistemik, klirens

hormon mengalami gangguan,

ekstraksi fraksi menuju siklus

enterohepatik terganggu, dan

konversi androgen menjadi

estrogen secara enzimatis

meningkat. Hasil akhir dari

proses ini adalah peningkatan

kadar estrogen dalam darah,

29

yang dapat mempengaruhi

fungsi sintesis dan sekresi

protein oleh hepatosit dan

mempengaruhi aktivitas

sitokrom P450. Aktivitas

sitokrom P450 meningkat

sebagai kompensasi

peningkatan kadar estrogen

dengan meningkatkan

metabolisme. Oleh karena itu,

penderita gangguan hati pria

menunjukkan supresi hormon

gonad dan pituitary dan

berakibat pada terjadinya

feminisasi (McPhee & Ganong,

2005).

2.3.2.4 Fungsi Hematologik

Hati merupakan tempat perusakan

eritrosit karena eritrosit yang sudah tua

dindingnya akan rapuh serta mudah pecah

pada waktu darah mengalir melalui

pembuluh darah kecil dalam hati. Selain itu

hati dapat mengolah dan menyimpan

bahan-bahan yang dipakai untuk

pembentukan eritrosit. Hati juga

30

mempunyai peran penting dalam proses

hemostatik (Hadi, 1999).

2.3.2.5 Fungsi Sebagai Gudang Darah dan

Filtrasi

Hati berfungsi sebagai gudang darah

dan penyaring karena terletak strategis

diantara usus dan sirkulasi umum

(Lindseth, 2006). Sejumlah besar darah

dapat disimpan dalam pembuluh-pembuluh

darah hati. Volume darah normal yang

berada di dalam hati sekitar 500 ml, tetapi

meningkatnya tekanan dalam atrium kanan

jantung menyebabkan membesarnya hati

dan sekitar 1 liter darah ekstra disimpan

dalam vena dan sinus hepatika. Jadi hati

merupakan organ vena besar yang dapat

diperluas dan mampu bekerja sebagai

tempat penyimpanan darah yang berguna

bila ada volume darah yang berlebih dan

dapat memberikan darah ekstra dengan

rangsang simpatis pada saat berkurangnya

volume darah (Guyton, 1981).

Darah yang melalui vena porta yang

berasal dari vena mesenterika membawa

31

banyak bakteri usus. Darah tersebut apabila

menyentuh sel kupfer dalam sel-sel hati,

bakteri akan masuk dalam dinding sel

kupfer untuk disimpan secara permanen.

Hanya 1% bakteri usus yang memasuki

darah portal berhasil melalui hati dan

masuk ke dalam sirkulasi sistemik (Guyton,

1981).

2.3.2.6 Fungsi Proteksi dan Detoksifikasi

Fungsi hati untuk pertahankan tubuh

dikerjakan oleh sel Kupffer. Sel ini

mempunyai kemampuan fagositosis kepada

seluruh kuman yang terserap dari lumen

usus dan masuk ke dalam hati melalui vena

porta. Selain itu sel Kupffer mempunyai

kemampuan untuk membentuk antibodi

yang penting untuk reaksi pertahanan

tubuh. Hati juga mempunyai kemampuan

untuk membuat sebagian besar toksikan

menjadi kurang toksik dan lebih mudah

larut dalam air sehingga mudah

diekskresikan melalui ginjal (Hadi, 1999).

Fungsi detoksifikasi oleh hati sangat

penting dan dilakukan oleh enzim hati

32

melalui oksidasi, reduksi, hidrolisis atau

konjugasi zat-zat yang dapat berbahaya,

dan mengubahnya menjadi zat yang secara

fisiologis tidak aktif. Tetapi, fungsi

detoksifikasi oleh hati ini juga dapat

memberikan efek toksik pada hati, terkait

penyalahgunaan alkohol (Lindseth, 2006).

Alkohol yang dikonsumsi, 80%

dimetabolisme oleh hati. Alkohol yang

tersisa diabsorpsi dalam lambung atau

diekskresi melalui ginjal, paru-paru dan

kulit. Alkohol diangkut ke hati dan

dimetabolisme melalui proses

dehidrogenase alkohol yng menghasilkan

asetaldehid dan asetat. Sebagian asetat yang

terbentuk bergabung dengan koenzim

membentuk asetil KoA yang mengalami

biosintesis menjadi asam lemak dan dapat

menyebabkan perlemakan hati, stenosis

hepatik, atau efek toksik pada sel dan

fungsi hati. penyalahgunaan alkohol terus

menerus dapat meningkatkan kadar

asetaldehid dan terus berlangsungnya

cedera hati alkoholik (Lindseth, 2006).

33

2.3.3 Deteksi kerusakan Hati

Pemeriksaan adanya kerusakan pada organ hati

dapat dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya :

1. Patologi Makroskopik

Warna dan penampilan sering dapat

menunjukkan sifat toksisitas, seperti

perlemakan hati atau sirosis. Biasanya berat

organ merupakan petunjuk yang sangat peka

dari efek pada hati. Meski suatu efek tidak

selalu menunjukkan toksisitas, dalam kasus

tertentu peningkatan berat hati merupakan

kriteria paling peka untuk toksisitas (Lu, 1995).

2. Pemeriksaan Mikroskopik

Mikroskopik cahaya dapat mendeteksi

berbagai jenis kelainan histologi, seperti

perlemakan, nekrosis, sirosis, nodul

hiperplastik, dan neoplasia. Mikroskop elektron

dapat mendeteksi perubahan dalam berbagai

struktur subsel (Lu, 1995).

3. Uji Biokimia

Pengukuran aktivitas plasma dari enzim

AST (SGPT), ALT (SGOT), alkalin fosfatase,

34

dan γ-glutamyl transpeptidase adalah cara yang

sering dilakukan untuk mendeteksi kerusakan

hati baik pada hewan coba maupun manusia.

Enzim-enzim tersebut merupakan enzim

intraselluler yang akan dilepaskan saat terjadi

kematian sel hati (Jones, 1996).

2.4 Tinjauan tentang Ginjal

2.4.1 Anatomi fisiologi Ginjal

Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di

belakang peritoneum pada kedua sisi vertebra

thorakalis ke 12 sampai vertebra lumbalis ke-3.

Bentuk ginjal seperti biji kacang. Ginjal kanan sedikit

lebih rendah dari ginjal kiri, hal ini karena adanya

lobus hepatis dexter yang besar. Setiap ginjal

terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula

fibrosa terdapat cortex renalis di bagian luar yang

berwarna cokelat gelap, dan medulla renalis di bagian

dalam yang berwarna cokelat lebih terang

dibandingkan korteks. Bagian medulla berbentuk

kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak

kerucut tersebut menghadap kaliks yang terdiri dari

lubang-lubang kecil disebut papilla renalis (Wahl,

2006).

35

Masing-masing ginjal terdiri dari 1–4 juta nefron

yang merupakan satuan fungsional ginjal, nefron

terdiri atas korpuskulum renal, tubulus kontortus

proksimal, ansa henle dan tubulus kontortus distal

(Junqueira & Carneriro, 2007). Setiap korpuskulum

renal terdiri atas seberkas kapiler berupa glomelurus

yang dikelilingi oleh kapsula epitel berdinding ganda

yang disebut kapsula bowman. Lapisan viseralis atau

lapisan dalam kapsula ini meliputi glomerulus,

sedangkan lapisan luar yang membentuk batas

korpuskulum renal disebut lapisan parietal. Diantara

kedua lapisan kapsula bowman terdapat ruang

urinarius yang menampung cairan yang disaring

melalui dinding kapiler dan lapisan viseral (Junqueira

& Carneriro, 2007).

Tubulus renal yang berawal pada korpuskulum

renal adalah tubulus kontortus proksimal, tubulus ini

terletak pada korteks yang kemudian turun kedalam

medula dan menjadi ansa henle. Ansa henle terdiri

atas beberapa segmen, antara lain segmen desenden

tebal tubulus kontortus proksimal, segmen asenden

dan desenden tipis, dan segmen tebal tubulus

kontortus distal (Eroschenko, 2010). Ginjal

diperdarahi oleh arteri renalis yang letaknya setinggi

diskus intervertebralis vertebra lumbal satu dan

36

vertebra lumbal dua. Persarafan ginjal berasal dari

pleksus renalis dari serabut simpatis dan parasimpatis

(Moore & Anne, 2012).

2.4.2 Fungsi Ginjal

Ginjal memiliki beberapa fungsi penting, antara

lain :

1. Pengaturan keseimbangan air dan elektrolit.

Ginjal mengatur keseimbangan air dan

elektrolit dengan menentukan kecepatan

ekskresinya sesuai dengan asupan berbagai

macam zat.

2. Ekskresi hasil buangan metabolik dan bahan

kimia asing.

Ginjal merupakan organ pertama yang

membuang produk sisa metabolisme yang

tidak diperlukan lagi oleh tubuh, misalnya urea

(dari metabolisme asam amino), kreatinin (dari

kreatinin otot) , asam urat (dari asam nukleat),

produk akhir pemecahan hemoglobin (seperti

bilirubin), dan metabolit dari berbagai hormon.

Ginjal juga membuang banyak toksin dan zat

asing lainnya yang diproduksi oleh tubuh atau

37

pencernaan, contohnya pestisida, obat-obatan,

dan makanan tambahan.

3. Pengaturan tekanan arteri

Ginjal berperan penting dalam mengatur

tekanan arteri jangka panjang dengan

mengekskresi sejumlah natrium dan air.

Sedangkan untuk mengatur tekanan arteri

jangka pendek, ginjal menyekresi faktor atau

zat vasoaktif, seperti renin, yang menyebabkan

pembentukan produk vasoaktif, misalnya

angiotensin II.

4. Pengaturan keseimbangan asam dan basa

Ginjal megatur keseimbangan asam dan

basa dengan cara mengekskresi asam dan

mengatur penyimpanan dapar cairan tubuh

yaitu dengan mengekskresi asam dan mengatur

penyimpanan dapar cairan tubuh. Ginjal

merupakan satu-satunya organ untuk

membuang tipe-tipe asam tertentu dari tubuh

yang dihasilkan oleh metabolisme protein,

seperti asam sulfat atau fosfat.

38

5. Pengaturan produksi eritrosit (sekresi

eritropoietin)

Ginjal menyekresi eritropoietin yang

merangsang pembentukan sel darah merah.

Salah satu rangsangan yang penting untuk

sekresi eritropoietin oleh ginjal ialah hipoksia.

Pada manusia normal, ginjal menghasilkan

hampir semua eritropoietin yang disekresi ke

dalam sirkulasi. Pada orang dengan penyakit

ginjal berat atau yang ginjalnya telah diangkat

dan dilakukan hemodialisis, timbul anemia

berat sebagai hasil dari penurunan produksi

eritropoietin.

6. Pengaturan produksi 1,25-dihidroksi vitamin

D3.

Ginjal mengahasilkan bentuk aktif vitamin

D, yaiut 1,25-dihidroksi vitamin D3. Vitamin D

memegang peranan penting dalam pengaturan

kalsium dan fosfat.

7. Sintesis glukosa (glukoneogenesis).

Ginjal mensintesis glukosa dari asam

amino dan precursor lainnya selama masa

39

puasa yang panjang, proses ini disebut

glukonegenesis.

(Guyton and Hall, 1997).

2.4.3 Deteksi kerusakan Ginjal

Pemeriksaan fungsi ginjal dapat dilakukan

melalui beberapa cara :

1. Analisis urin

1) Proteinuria.

2) Glikosuria.

3) Volume urin dan Osmolaritas.

4) Kapasitas pengasaman.

5) Enzim.

2. Analisis darah

1) Nitrogen urea darah (BUN)

Nitrogen Urea Darah (BUN) diperoleh

dari metabolisme protein normal dan

diekskresi melalui urin. Peningkatan BUN

biasanya menunjukkan kerusakan

glomerulus. Namun kadar BUN juga dapat

40

dipengaruhi oleh kurangnya zat makanan

dan hepatotoksisitas yang merupakan efek

umum beberapa toksikan.

2) Kreatinin

Kreatinin adalah suatu metabolit

keratin dan diekskresi seluruhnya dalam

urin melalui filtrasi glomerulus.

Meningkatnya kadar kreatinin dalam

darah merupakan indikasi rusaknya fungsi

ginjal. Selain itu, data kadar kreatinin

dalam darah dan jumlanya dalam urin

dapat digunakan untuk memperkirakan

laju filtrasi glomerulus. Kekurangan

prosedur ini adalah kenyataan bahwa

sebagian kreatinin disekresi oleh tubulus.

3. Uji khusus

1) Laju Filtrasi Glomerulus (GFR).

2) Bersihkan ginjal.

3) Uji ekskresi PSP.

4. Pemeriksaan morfologi

1) Pemeriksaan makroskopik

41

Perubahan berat organ ginjal sering

menunjukkan lesi pada ginjal. Beberapa

lesi patologik lain juga dapat dideteksi

pada pemeriksaan makroskopik.

2) Mikroskop cahaya

Pemeriksaan hispatologik dapat

mengungkapkan tempat, luas, dan sifat

morfologik lesi ginjal.

3) Mikroskop elektron

Prosedur ini berguna untuk menilai

perubahan ultrastruktural dalam sel,

misalnya mitokondria serta organel lain.

(Lu, 1995).

2.5 Tinjauan tentang SGOT dan SGPT

Enzim transaminase dijumpai dalam jumlah besar pada

jaringan tertentu, seperti pada hati (SGOT dan SGPT) atau

jantung (SGPT). Adanya peningkatan kadar SGOT dan atau

SGPT dalam darah mengindikasikan terjadinya nekrosis dari

jaringan-jaringan tersebut (bioMerieux®, 2004).

Pada kasus kerusakan hati, peningkatan yang signifikan

dari enzim transaminase menunjukkan adanya cytolisis

42

(kerusakan sel). Pada pasien yang menderita sirosis alkoholik,

kongesti hati, dan metastasis kanker liver, maka perbandingan

SGOT/SGPT (dengan peningkatan kadar keduanya) adalah

lebih dari satu (>1). Sedangkan perbandingan SGOT/SGPT

(dengan peningkatan kadar keduanya) yang kurang dari satu

(<1) terjadi pada pasien yang menderita hepatitis akut,

hepatitis viral, dan infeksi mononukleosis (bioMerieux®,

2004).

Kadar SGOT tikus jantan normal adalah 60-300 IU/I,

dan 80-250 IU/I untuk tikus betina. Kadar SGPT tikus jantan

normal adalah 25-55 IU/I, dan 25-50 IU/I untuk tikus betina

(Hall, 1992).

2.6 Tinjauan tentang BUN (Blood Ureum Nitrogen)

Urea merupakan produk akhir dari proses katabolisme

asam amino, disintesis oleh hati (ureogenesis) dan 90%

dieliminasi melalui urin (bioMerieux®, 2004). Hati mengubah

NH3 yang berasal dari metabolism protein menjadi urea yang

diekskresi lewat ginjal. Kadar urea-nitrogen darah tikus

normal adalah 10-16 mg/dl untuk tikus jantan, dan 10-19

mg/dl untuk tikus betina (Hall, 1992).

2.7 Tinjauan tentang Kreatinin

Kreatinin merupakan komponen nonprotein nitrogen

yang difiltrasi bebas oleh glomerulus dan tidak direabsorbsi

43

oleh tubulus seperti halnya urea. Kreatinin terbentuk dari

kreatin dan kreatinfosfat. Keratin terdapat dalam otot, otak,

dan darah baik dalam bentuk kreatinfosfat maupun dalam

bentuk bebas (Harper, 1983). Kadar kreatinin tikus normal

adalah 0,5-0,8 mg/dl (Hall, 1992). Kadar kreatinin dalam

darah sebanding dengan GFR (Glomerulus Filtration Rate)

dari ginjal (bioMerieux®, 2004).

2.8 Tinjauan tentang Trigliserida

Trigliserida adalah salah satu jenis lemak yang terdapat

dalam darah dan berbagai organ dalam tubuh. Dari sudut ilmu

kimia trigliserida merupakan substansi yang terdiri dari

gliserol yang mengikat gugus asam lemak (A.P. Bangun,

2003).

Trigliserida dalam tubuh digunakan untuk menyediakan

energi berbagai proses metabolisme. Fungsi lipid ini

mempunyai peranan yang hampir sama dengan karbohidrat .

Sebagian besar trigliserida di sintesis dalam hati tetapi ada

juga yang disintesis di dalam jaringan adiposa. Trigliserida

yang ada dalam hati kemudian ditransport oleh lipoprotein ke

jaringan adipose, dimana trigliserida juga disimpan untuk

energi (Arthur C Guyton, 1991).

Penyusun utama trigliserida adalah minyak nabati dan

lemak hewani yang terbentuk dari 3 asam lemak dan gliserol.

Fungsi utama trigliserida adalah sebagai zat energi. Lemak

44

disimpan dalam tubuh dalam bentuk trigliserida. Apabila sel

membutuhkan energi, enzim lipase dalam sel lemak akan

memecah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak serta

melepasnya ke pembuluh darah. Oleh sel-sel yang

membutuhkan komponen-komponen tersebut kemudian

dibakar dan menghasilkan energi, karbondioksida (CO2) dan

air (H2O) (Madja, 2007). Nilai kadar normal trigliserida tikus

26-145 mg/dl (Bresnahan, 2004).

2.9 Tinjauan tentang Gamma Glutamyltransferase (GGT)

Gamma Glutamyltransferase (GGT) merupakan salah

satu enzim dalam serum yang pertama kali bekerja pada

proses degradasi ekstraselular glutathione (GSH).

Glutathione adalah antioksidan utama pada sel mamalia yang

berperan penting dalam perlindungan sel dari oksidan. GGT

sering digunakan untuk menilai fungsi sistem hepatobiliaris,

seperti pada inflamasi hati, penyakit perlemakan hati (fatty

liver disease), dan penyalahgunaan alkohol. Enzim GGT

diproduksi di banyak jaringan, sebagian besar diproduksi di

organ hati dan dibawa oleh lipoprotein dan albumin. Kadar

GGT serum dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti;

genetika, asupan alkohol, lemak tubuh, lipid plasma, tekanan

darah, kadar glukosa, kebiasaan merokok, dan berbagai

konsumsi obat, misalnya antikonvulsan dan obat-obatan yang

mengoksidasi enzim. GGT merupakan tes fungsi hati

enzimatik generasi kedua yang memiliki tingkat sensitivitas

45

tinggi, sehingga GGT digunakan sebagai biomarker (penanda

biologis) berbagai penyebab mortalitas dan risiko dari

penyakit kardiovaskular (Andreas E Haurissa, 2014).

GGT merupakan protein yang diproduksi secara

multigen, terdiri dari 7 gen dan pseudogen. Secara molekuler,

GGT merupakan senyawa glikoprotein dengan berat molekul

68.000 dalton yang terdiri dari 2 protein, masing-masing

dengan berat 46.000 dalton dan 22.000 dalton. Nilai normal

GGT adalah antara 0-30 IU/L (Andreas E Haurissa, 2014).

2.10 Tinjauan tentang Glukosa

Glukosa merupakan suatu gula monosakarida yaitu

karbohidrat terpenting yang digunakan sebagai sumber energi

utama dalam tubuh. Glukosa merupakan prekusor untuk

sintesis semua karbohidrat lain di dalam tubuh seperti

glikogen, ribose, dan deoxiribose dalam asam nukleat,

galaktosa dalam laktosa susu, dalam glikolipid dan dalam

glikoprotein dan proteoglikan (Murray R. K. et al., 2003).

Ada beberapa jenis pemeriksaan yang dilakukan terhadap

glukosa darah antara lain yaitu pemeriksaan glukosa darah

puasa (GDP), glukosa darah sewaktu (GDS), dan glukosa 2

jam setelah makan . Nilai normal GDS darah vena (<110

mg/dl) dan serum atau plasma (<140 mg/dl), nilai normal

GDP darah vena (60-110 mg/dl) dan serum atau plasma (70-

110 mg/dl), kemudian nilai normal G2JPP darah vena (120

46

mg/dl) dan plasma atau serum (≤ 140 mg/dl) (Darwis dkk.,

2005).

Beberapa faktor dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan

laboratorium, diantaranya yaitu; obat kortizon dan tiazid

dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah, trauma

dan stress dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah.

Penundaan pemeriksaan serum dapat menyebabkan

penurunan kadar gula darah, merokok dapat meningkatkan

kadar gula darah serum, aktifitas yang berat sebelum uji

laboratorium dilakukan dapat menurunkan kadar gula darah

(Lemon, P, & Burke K, 2002). Kadar glukosa darah normal

tikus jantan 105,2 ±14,2 mg/dl (Taguchi, 1985).

2.11 Tinjauan tentang Darah

Darah adalah suatu suspensi partikel dalam suatu larutan

koloid cair yang mengandung elektrolit. Darah adalah

jaringan tubuh yang yang berbeda dengan jaringan tubuh lain,

berada dalam bentuk konsistensi cair, beredar dalam suatu

sistem tertutup yang dinamakan sebagai pembuluh darah dan

menjalankan fungsi transpor sebagai bahan serta fungsi

homeostatis (Sadikin M, 2002). Darah berperan sebagai

media pertukaran antara sel yang terfiksasi dalam tubuh dan

lingkungan luar, serta memiliki sifat protektif terhadap

organisme dan khususnya terhadap darah sendiri (Baldy,

2005).

47

Darah diproduksi dalam sumsum tulang dan nodus

limpa. Darah terdiri dari 2 komponen yaitu plasma darah dan

butir-butir darah. Plasma darah adalah bagian cair darah yang

sebagian besar terdiri atas air, elektrolit dan protein darah.

Butir-butir darah (Blood corpuscles) terdiri atas 3 elemen

yaitu eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih),

dan trombosit (butir pembeku/platelet). (Handayani W dan

Haribowo A.S, 2008)

Komponen cair darah yang disebut plasma terdiri dari 91

sapai 92% air yang berperan sebagai media transpor, dan 8

sampai 9% zat padat. Zat padat tersebut antara lain protein-

protein seperti albumin, globulin, faktor-faktor pembekuan,

dan enzim, unsur organik seperti zat nitrogen nonprotein

(urea, asam urat, xantin, kreatinin, asam amino), lemak netral,

fosfolipid, kolesterol, dan glukosa, serta unsur anorganik

berupa natrium, klorida, bikarbonat, kalsium, kalium,

magnesium, fosfor, besi, dan iodium. Komponen sel darah

terdiri dari sel darah merah (eritrosit), beberapa jenis sel

darah putih (leukosit), dan fragmen sel yang disebut

trombosit (Baldy, 2005).

2.11.1 Komponen Sel Darah

2.11.1.1 Tinjauan tentang Eritrosit

Sel darah darah merah (eritrosit)

tidak memiliki inti sel, eritrosit

48

mempunyai kandungan protein

hemoglobin, yang mengangkut sebagian

besar oksigen dari paru ke seluruh sel

tubuh. Sel eritrosit diproduksi di sumsum

tulang (Corwin EJ, 2007). Eritrosit

terbentuk melalui beberapa tahapan yaitu

pembelahan dan perubahan morfologi

sel-sel berinti dimulai dari proeritoblas

sampai ortokromatik eritroblas,

kemudian membentuk eritrosit tidak

berinti yang disebut retikulosit dan

akhirnya menjadi eritrosit (Boedina SK,

1988).

Morfologi dari eritrosit dapat diamati

dengan cara mikroskopis dengan

pembuatan sediaan apus dengan

pengecatan Wright Giemsa atau dengan

pengecatan yang lain. Eritrosit memiliki

bentuk bikonkav dengan diameter 7-9

μm. Sediaan darah apus yang telah

dilakukan pengecatan dengan Giemsa

maka eritrosit yang normal akan tampak

warna kemerah-merahan dengan tepi

agak lebih gelap dan terlihat warna

menjadi lebih pucat pada bagian tengah.

49

Apabila pada pemeriksaan darah tepi

dengan eritrosit sebagian besar

mempunyai diameter <7 μm disebut

dengan istilah mikrositosis. Hal ini dapat

dijumpai pada anemia difisiensi besi,

thalasemia, dan anemia karena penyakit

menahun. Sedangkan apabila eritrosit

dengan diameter lebih dari 9 μm atau

lebih besar dari ukuran normal maka

disebut makrositosis, hal ini bisa

dijumpai pada anemia megaloblastik.

Eritrosit yang menunjukkan zone tengah

yang lebih pucat dan lebar disebut juga

sebagai eritrosit hipokrom, merupakan

petunjuk bahwa kadar hemoglobin

eritrosit itu rendah. Apabila sebaliknya

dengan kondisi terdapat eritrosit muda

yang ukurannya lebih besar dari pada

eritrosit normal dan berwarna kebiru-

biruan biasa disebut dengan polikromasi,

hal ini bisa dijumpai pada retikulositosis

(Boedina SK, 1988).

Menghitung jumlah eritrosit dapat

dilakukan dengan cara manual dan

automatik. Menghitung jumlah eritrosit

dengan cara manual menggunakan

50

volume yang kecil dan pengenceran yang

tinggi memakan waktu dan ketelitiannya

kurang, sehingga sekarang ini jarang

digunakan. Sebelum ada cara automatic

pemeriksaan manual masih sering

dipakai namun hanya sedikit yang

menunjukkan hasil yang teliti dan dapat

dipercaya. Pada umumya pemeriksaan

manual memberikan hasil yang

meragukan (Writmann FK, 1989), oleh

karena itu dibuatlah alat hitung

automatik, dengan alat ini maka

penghitungan sel menjadi lebih mudah,

cepat dan teliti bila dibandingkan dengan

cara manual. Meskipun demikian

pemeriksaan manual tetap masih

dipertahankan karena sebagai metode

rujukan (Wirawan. R dan Silman.E,

1992).

Nilai normal eritrosit tikus sekitar

7,2 – 9,6 x 106 per mm3 darah (Smith dan

Mangkoewidjojo, 1988). Peningkatan

jumlah eritrosit dijumpai pada polistemia

vera, dehidrasi, dan hipoksia. Sedangkan

penurunan jumlah eritrosit dapat

dijumpai pada anemia, perdarahan,

51

hemolisis dan malnutrisi (Uthman E,

2001).

Pemakaian antikoagulan Na2EDTA

berlebih menyebabkan penurunan dan

perubahan degeneratif eritrosit oleh

Na2EDTA yang bersifat hiperosmolar,

sehingga menyebabkan eritrosit mengerut

dan dapat menyebabkan penurunan

jumlah eritrosit karena tidak terhitung

oleh alat automatik hematology analyzer

(Wirawan R, 2004).

Gambar 2.4. Sel darah merah (eritrosit)

2.11.1.2 Tinjauan tentang Leukosit

Sel darah putih (leukosit) dibentuk

disumsum tulang dari sel-sel progenitor.

Pada proses diferensiasi selanjutnya, sel-

sel progenitor menjadi golongan yang

tidak bergranula yaitu limfosit T dan B,

monosit, dan magrofag, atau golongan

yang bergranula yaitu neutrofil, basofil,

52

dan eosinofil. Peranan sel darah putih

adalah untuk mengenali dan melawan

mikroorganismepada reaksi imun dan

untuk membantu proses peradangan dan

penyembuhan (Corwin EJ., 2007). Nilai

normal leukosit tikus 5,0-13,0 x 103 per

mm3 (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Hitung jumlah leukosit merupakan

pemeriksaan yang digunakan untuk

menunjukkan adanya infeksi dan dapat

juga untuk mengikuti perkembangan dari

suatu penyakit tertentu. Dua metode yang

digunakan untuk menghitung jumalah

leukosit yaitu metode manual atau

mikroskopis dan automatik untuk metode

elektronik (Wirawan.R dan Silman E.,

1996).

Leukositosis adalah peningkatan

jumlah sel darah dalam sirkulasi. Hal ini

merupakan respons normal terhadap

infeksi atau proses peradangan.

Sedangakan penurunan jumlah leukosit

dibawah nilai normal adalah leukopenia,

hal ini dapat disebabkan misalnya infeksi

virus, penyakit atau kerusakan sumsum

53

tulang, radiasi atau kemoterapi. Penyakit

sistemik yang parah misalnya lupus

eritrematosus, penyakit tiroid, dan

sindrom cushing, dapat menyebabkan

penurunan jumlah leukosit (Corwin EJ.,

2007).

Pemakaian antikoagulan EDTA

berlebihan menyebabkan perubahan pada

morfologi neutrofil, seperti

pembengkakan, hilangnya lobus neutrofil

dan sel mengalami disintegrasi yang

dapat menyebabkan penurunan jumlah

leukosit (Narayanan S., 2000).

(a) (b)

Gambar 2.5. Sel darah putih (leukosit) (a) dan

golongan sel darah putih (leukosit) (b)

2.11.1.3 Tinjauan tentang Trombosit

Trombosit adalah fragmen dari

megakariosit yang ditemukan di darah

tepi yang berperan dalam pembekuan

darah (M.Biomed C dan Lestari E.,

54

2011). Trombosit disebut juga platelet

atau keping darah. Sebenarnya, trombosit

tidak dapat dipandang sebagai sel utuh

karena ia berasal dari sel raksasa yang

berada di sumsum tulang, yang

dinamakan megakariosit. Dalam

pematangannya, megakariosit ini pecah

menjadi 3000-4000 serpihan sel, yang

dinamai sebagai trombosit. Trombosit

berbentuk seperti cakram bikonveks

(dalam keadaan inaktif) dengan diameter

2-3 m dan volume 8-10 fl (Firkin BG.,

1994).

Umur trombosit setelah pecah dari

sel asalnya dan masuk darah ialah antara

8 sampai 14 hari. Jumlah trombosit

normal adalah antara 150.000-

450.000/mm3 dengan rata-rata

250.000/mm3 (Sadikin MH., 2002).

Fungsi utama trombosit adalah

pembentukan sumbatan mekanis selama

respon hemostatik normal terhadap luka

vaskular. Trombosit berfungsi penting

pada usaha tubuh untuk mempertahankan

jaringan bila terjadi luka. Trombosit ikut

55

serta dalam usaha menutup luka,

sehingga tubuh tidak mengalami

kehilangan darah dan terlindung dari

penyusupan benda atau sel asing.

Trombosit melekat (adesi) pada

permukaan asing terutama serat kolagen.

Disamping melekat pada permukaan

asing, trombosit akan melekat pada

trombosit lain (agregasi). Selama proses

perubahan bentuk trombosit yang

menyebabkan trombosit akan melepaskan

isinya. Masa agregasi trombosit akan

melekat pada endotel, sehingga terbentuk

sumbat trombosit yang dapat menutup

luka pada pembuluh darah, sedangkan

pembentukan sumbat trombosit yang

stabil melalui pembentukan fibrin

(Sadikin MH., 2002).

Peningkatan jumlah trombosit

disebut trombositosis, misalnya dijumpai

pada trombositemia idiopatik dan setelah

splenektomi. Penurunan jumlah

trombosit atau trombositopenia dapat

dijumpai pada penyakit infeksi tertentu,

misalnya demam berdarah dengue yang

disebabkan oleh virus dengue, adalah

56

penyakit yang dapat menurunkan jumlah

trombosit darah sampai ke tingkat yang

rendah. Akibatnya, penderita akan sangat

rentan akan perdarahan yang sukar

dihentikan. Trombositopenia dapat

menyebabkan epistaksis, perdarahan

pada saluran cerna. Perdarahan kecil di

bawah kulit juga sering terjadi. Keadaan

lain yang dapat menyebabkan

trombositopenia ialah trombositopenia

purpura, anemia aplastik, leukimia akut,

dan kadang-kadang setelah kemoterapi

dan terapis radiasi (Sadikin MH., 2002).

2.11.2 Tinjauan tentang Hematokrit

Hematokrit adalah volume eritrosit yang

dipisahkan dari plasma dengan memutarnya di

dalam tabung khusus yang nilainya dinyatakan

dalam persen. Nilai hematokrit digunakan untuk

mengetahui nilai eritrosit rata-rata dan untuk

mengetahui ada tidaknya anemi. Penetapan nilai

hematokrit dapat dilakukan dengan metode makro

(cara automatik) dan mikro (cara manual).

Penetapan hematokrit cara manual (metode mikro)

dapat dilakukan sangat teliti, kesalahan metodik

rata-rata ± 2 % (Gandasoebrata, 2007).

57

Pemeriksaan hematokrit bermanfaat untuk

mengukur derajat anemia dan polisitemia. Untuk

mengetahui adanya ikterus yang dapat diamati dari

warna plasma, dimana warna yang terbentuk kuning

atau kuning tua. Dapat juga digunakan untuk

menentukan rata-rata volume eritrosit, merupakan

tes screening dalam mendeteksi adanya

hiperbilirubinemia (Maxwell M. Wintrobe, 1974).

Warna plasma yang diperoleh dari pemusingan yang

berwarna kuning atau kuning tua baik dalam

keadaan fisiologi atau patologi merupakan indikasi

naiknya bilirubin dalam darah, misalnya pada

infeksi hepatitis. Naiknya kolesterol juga dapat

diketahui dari warna plasma yang berwarna seperti

susu, misalnya pada penderita Diabetes Militus.

Plasma yang berwarna merah merupakan indikasi

adanya hemolisis dari eritrosit seperti penggunaan

spuit yang belum kering, pada pengambilan darah

atau hemolisis intravascular. Serta untuk mengetahui

volume rata-rata eritrosit dan konsentrasi

hemoglobin rata-rata di dalam eritrosit (Dep Kes RI,

1989). Nilai normal hematokrit disebut dengan %,

nilai hematokrit tikus normal yaitu 39%-53%

(Aboderin & Oyetayo, 2006).

58

2.11.3 Fungsi Darah

Dalam keadaan fisiologis, darah selalu berada

dalam pembuluh darah, sehingga dapat menjalankan

fungsinya sebagai berikut:

1. Sebagai alat pengangkut yang meliputi hal-hal

berikut ini:

a. Mengangkut gas oksigen (O2) dan

karbondioksida (CO2).

b. Mengangkut sisa-sisa atau ampas dari hasil

metabolisme jaringan berupa urea, kreatinin

dan asam urat.

c. Mengangkut sari makanan yang diserap

melalui usus untuk disebarkan ke seluruh

jaringan tubuh.

d. Mengangkut hasil-hasil metabolisme

jaringan

2. Mengatur keseimbangan cairan tubuh.

3. Mengatur panas tubuh.

4. Berperan serta dalam mengatur pH cairan tubuh.

5. Mempertahankan tubuh dari serangan penyakit

infeksi.

6. Mencegah perdarahan

(Handayani W. dan Haribowo A.S., 2008).

59

2.12 Tinjauan tentang Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus)

2.12.1 Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Tikus merupakan hewan yang melakukan

aktivitasnya pada malam hari (nocturnal). Tikus

digunakan dalam penelitian karena memiliki

karakteristik genetik yang unik, mudah

berkembangbiak, murah serta mudah untuk

mendapatkannya (Adiyati, 2011).

Tikus putih (Rattus norvegicus) dikenal

dengan nama lain Norway Rat. Pada wilayah

Asia Tenggara berkembangbiak di Indonesia,

Filipina, Laos, Malaysia, dan Singapura. Tikus

galur Wistar salah satu strain tikus yang paling

popular untuk penelitian laboratorium. Ciri tikus

wistar memiliki kepala lebar, telinga panjang,

dan panjang ekor yang selalu kurang dari

panjang tubuhnya. Tikus galur Sprague dawley

dan Long-Evans dikembangkan dari tikus galur

Wistar. Tikus galur Wistar lebih aktif dan

(agresif) daripada jenis lain seperti tikus galur

Sprague dawley (Sirois, 2005). Tikus galur

Sprague dawley memiliki ekor panjang

melebihi tubuhnya, bertubuh panjang, kepala

60

lebih sempit, telinga tebal dan pendek dengan

rambut halus (Adiyati, 2011).

2.12.2 Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Order : Rodentia

Suborde : Odontoceti

Family : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus novegicus

(Krinke, 2000).

61

(a) (b)

Gambar 2.6. Tikus galur wistar (a) dan

kelompok tikus galur wistar (b)

2.12.3 Makanan tikus

Kualitas makanan tikus merupakan faktor

penting yang mempengaruhi kemampuan tikus

mencapai potensi genetik untuk tumbuh, berbiak,

hidup lama, atau reaksi setelah pengobatan dan

lain-lain. Bahan dasar makanan tikus dapat juga

sedikit bervariasi, misalnya : protein, 20-25%

(tetapi hanya 12% jika protein itu lengkap berisi

semua 20 asam amino esensial dengan konsentrasi

benar); lemak 5%; pati 45-50%; serat kasar kira-

kira 5% dan abu 4-5%. Makanan tikus harus

mengandung vitamin A (4.000 IU/kg); vitamin D

(1.000 IU/kg); alfa-tokoferol (30mg/kg); asam

linolenat (3g/kg); tiamin (4mg/kg); ribovlafin

62

(3mg/kg); pantotenat (8mg/kg); vitamin B12

(50µg/kg); biotin (10µg/kg); piridoksin (40-

300µg/kg); dan kolin (1.000 mg/kg). keperluan

mineral dalam makanan tikus yaitu kalsium 0,5%;

fosfor 0,4%; magnesium 400-mg/kg; kalium

0,36%; natrium 0,05%; tembaga 5,0 mg/kg;

yodium 0,15%; besi 35,0 mg/kg; mangan 50,0

mg/kg; dan seng 12,0 mg/kg (Smith dan

Mangkoewidjojo, 1988).

2.12.4 Pemberian bahan uji

Pemberian bahan uji pada hewan coba harus

diupayakan sebaik mungkin agar tidak

menimbulkan stress atau nyeri pada hewan. Ada

beberapa cara pemberian bahan uji pada hewan

coba, yaitu :

1. Suntikan intraperitonium.

2. Suntikan subkutan dan intramuskular.

3. Suntikan intradermal.

4. Pemberian peroral.

5. Suntikan intravena.

(Kusumawati, 2004).

63

2.12.5 Pengambilan darah

Untuk memperoleh darah dalam jumlah besar

dan dalam waktu singkat dapat digunakan cara

intracardinal. Akan tetapi teknik ini sulit

dilakukan dan membutuhkan seorang operator

yang berpengalaman karena cara ini mudah

menyebabkan terjadinya kematian. Cara ini

sebaiknya dilaksanakan pada hewan yang

teranastesi. Jarum ditusukkan melalui dinding

abdomen bagian ventral sedikit di sebelah lateral

processus xiphoideus. Untuk hewan dewasa,

jarum ditusukkan melalui dinding thorax, sedikit

lateral daerah palpitasi jantung maksimum. Cara

pengambilan darah yang lain dapat dilakukan

melalui sinus orbitalis atau melalui amputasi

ujung ekor tikus (Kusumawati, 2004).

64

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

1.1 Kerangka Konseptual

Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh

parasit Plasmodium dan ditularkan oleh nyamuk Anopheles.

Dalam perkembangannya nyamuk mempunyai empat

stadium, yaitu sel telur, larva, pulpa, dan dewasa. Penyebaran

malaria di dunia sangat luas terutama di negara yang beriklim

tropis dan subtropis (Erdinal, 2006). Munculnya kembali

malaria di banyak bagian dunia ini karena cepat

meningkatnya resistensi terhadap sebagian besar obat

antimalaria yang tersedia, serta resistensi vektor terhadap

insektisida (Widyawaruyanti dkk., 2014).

Penyebaran ini mengakibatkan adanya resistensi parasit

malaria terhadap obat standar yang ada (Bero, 2009;

Nogueira, 2011; Saxena, 2003). Jika terjadi resistensi obat

standar maka penderita malaria dan angka kematian akibat

malaria akan semakin meningkat. Mengingat bahan obat

tidak hanya dari bahan sintetis namun juga dapat diperoleh

dari bahan alam, khususnya nabati yang cukup mudah

didapatkan di negara yang memiliki kekayaan alam atau

keaneragaman hayati yang melimpah seperti di negara

Indonesia ini (Konthen dan Sastrowardoyo, 2007). Dengan

demikian diperlukan penemuan obat malaria baru dengan

65

memanfaatkan tanaman obat yang mengandung senyawa

berbagai kimia dan telah dilakukan skrining terhadap

aktivitas antimalarianya sehingga dapat menjadi sumber

kandidat obat antimaria baru (Bero, 2009; Nogueira, 2011;

Saxena, 2003).

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) diketahui

mempunyai kandungan senyawa andrografolid yang

mendominasi seluruh bagian tanamannya (herba) (Hariana,

2006). Dengan demikian andrografolid merupakan senyawa

utama dari tanaman herba Sambiloto. Sebuah penelitian

membuktikan ekstrak etanol Sambiloto dapat menghambat

pertumbuhan parasit Plasmodium falciparumin in vitro

sedangkan senyawa utama dalam Sambiloto yaitu

andrografolida dapat menghambat 50% pertumbuhan

Plasmodium berghei in vivo (ED50 = 3,6 mg/kg BB)

(Suyanto, 1995; Dina, 2004; Sri, 2001; Widyawaruyanti,

1995; 2004). Tidak hanya sebatas ekstrak etanol Sambiloto,

akan tetapi fraksi diterpen lakton Sambiloto dengan

pemberian dosis tunggal juga mempunyai ED50 sebesar 9,7

mg/kg BB pada uji aktivitas antimalaria secara in vivo

(Widyawaruyanti, 2009).

Dalam mengembangkan sambiloto sebagai produk

sediaan farmasi yang terjamin efikasi, kualitas, dan

keamanannya, maka dilakukan pengembangan formula

sediaan tablet fraksi diterpen lakton andrografolida sebagai

66

produk fitofarmaka untuk terapi antimalaria. Pemberian

sediaan tablet fraksi diterpen lakton andrografolida telah

terjamin keamananya berdasarkan hasil penelitian uji

toksisitas akut dan sub akut yang menunjukkan tidak adanya

pengaruh terhadap kadar SGOT dan SGPT serta pemeriksaan

histopatologi hati dan ginjal menunjukkan gambaran yang

normal (Widyawaruyanti, 2010).

Selanjutnya dilakukan pengembangan produk

fitofarmaka untuk terapi malaria dengan fraksi etil asetat

(EA) Sambiloto yang mengandung senyawa diterpen lakton

andrografolida dikombinasikan dengan artesunat. Kemudian

dari pengembangan tersebut diperoleh metode ekstraksi,

fraksinasi, dan standarisasi fraksi etil asetat yang optimal

sehingga dapat menghasilkan formula tablet farksi etil asetat

dengan karakteristik yang sesuai persyaratan dan laju disolusi

yang terbaik dibanding formula lain. Fraksi etil asetat yang

diperoleh menunjukkan aktivitas antimalaria in vivo pada

mencit terinfeksi malaria dan fraksi etil asetat dapat

menghambat pertumbuhan parasit sebesar 86,57% sedangkan

kombinasi dengan artesunat menghambat sebesar 90% pada

mencit terinfeksi Plasmodium berghei. Pemberian kombinasi

fraksi etil asetat dan artesunat aman, tidak menimbulkan efek

toksik pada hati dan ginjal (Widyawaruyanti, 2011).

Pada penelitian ini menggunakan pelarut etanol 96%

untuk mengekstraksi serbuk Sambiloto dengan cara maserasi.

Kemudian hasil ekstraksi tersebut diuapkan dalam rotavapor

67

sampai diperoleh ekstrak pekat. Ekstrak pekat tersebut

kemudian di fraksinasi dengan etil asetat : air komposisi

tertentu, fase etil asetat dipisahkan dan diuapkan dalam

rotavapor untuk memperoleh fraksi etil asetat kering. Fraksi

etil asetat kering ditabletasi menjadi sediaan tablet fraksi etil

asetat-96 herba Sambiloto yang mengandung senyawa

andrografolid. Tablet tersebut merupakan produk fitofarmaka

obat tradisional Sambiloto yang menggunakan pendekatan

multikomponen dalam pemanfaatannya agar dapat

dipertanggungjawabkan secara medis. Maka harus dilakukan

standarisasi terhadap bahan baku obat dan produk tersebut

agar dapat menjamin keajegan khasiat, kualitas, dan

keamanannya serta dapat menjamin keajegan komposisi zat

yang terkandung (Widyawaruyanti dkk., 2014). Salah satunya

yaitu melakukan uji toksisitas dan uji toksisitas yang

dilakukan adalah uji toksisitas subkronik dimana uji ini

dilakukan untuk mengetahui kerusakan yang mungkin

ditimbulkan akibat pemakaian obat secara berulang dalam

jangka waktu tertentu dengan melakukan pemeriksaan kimia

klinik darah (SGOT, gamma gt, SGPT, BUN, dan kreatinin);

pemeriksaan hematologi (leukosit, eritrosit, hematokrit); serta

pemeriksaan histopatologi hati dan ginjal. Menurut WHO

(2000) pemeriksaan kimia klinik meliputi: fungsi hati (GOT,

GPT, Gamma GT) dan fungsi ginjal (Nitrogen urea,

Kreatinin, Total-bilirubin). Parameter utama minimal yang

harus diperiksa adalah nitrogen urea, kreatinin, GOT dan

68

GPT (BPOM, 2014). Pemeriksaan hematologi meliputi:

konsentrasi hemoglobin, jumlah eritrosit (RBC/Red Blood

Cell), jumlah leukosit (WBC/White Blood Cell), diferensial

leukosit, hematokrit, jumlah platelet (trombosit), perhitungan

tetapan darah yaitu: MCV (Mean Corpuscular Volume),

MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin), MCHC (Mean

Corpuscular Hemoglobin Concentration) dan penetapan

deferensial leukosit. Pemeriksaan hispatologi sekurang-

kurangnya dilakukan pada 5 organ utama yaitu hati, limpa,

jantung, ginjal, paru dan ditambah organ sasaran yang

diketahui secara spesifik (BPOM, 2014).

Dari hasil uji toksisitas tersebut akan membuktikan

bahwa tablet antimalaria fraksi etil asetat-96 herba Sambiloto

(Andrographis paniculata Nees) tidak menimbulkan efek

toksisitas subkronis pada hati dan ginjal tikus wistar.

69

1.2 Bagan Kerangka Konseptual

T

Efficacy Safety

Uji toksisitas subkronik

Tablet fraksi etil asetat-96 herba Sambiloto dikembangkan

menjadi produk fitofarmaka sebagai antimalaria

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

1. Fraksi etil asetat-96 herba sambiloto (mengandung diterpen lakton andrografolid) memiliki aktivitas antimalaria in vivo (Widyawaruyanti et al., 2010).

2. Tablet fraksi diterpen lakton (DTL) sambiloto memiliki aktivitas antimalaria dan aman berdasarkan gambaran histopatologi hati tikus, kadar SGOT dan SGPT (Widyawaruyanti et al., 2010)

3.

Tablet antimalaria fraksi etil asetat-96 herba Sambiloto (Andrographis paniculata

Nees) tidak menimbulkan efek toksisitas subkronis pada hati dan ginjal tikus wistar

Pemeriksaan

histopatologi hati dan

ginjal

Pemeriksaan hematologi (jumlah leukosit, jumlah eritrosit, dan hematokrit)

Pemeriksaan kimia klinik darah (SGOT, Gamma GT, SGPT, BUN, dan

kreatinin)

Quality

70

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Bahan Penelitian

4.1.1 Bahan Obat

Bahan obat yang digunakan dalam penelitian ini

adalah tablet fraksi etil asetat-96 herba sambiloto

(Andrographis Paniculata Nees) yang diperoleh dari

Fakultas Farmasi Universitas Airlangga dengan

bobot 650 mg yang mengandung 35 mg

andrografolid per tablet (Widyawaruyanti A, Hafid

F.A, Tantular I.S., 2015)..

4.1.2 Spesifikasi Tablet Fraksi EA-96 Herba Sambiloto

1. Evaluasi granul

Kandungan lengas : 2,9 1 ± 0,02 %

Kecepatan alir : 9,4 ± 1,0 gram/ detik

2. Keseragaman bobot : 654,2 ± 0,4 mg

3. Kekerasan : 6,36 ± 0,21 kP

4. Kerapuhan : 0,77 ± 0,06%

5. Waktu hancur : 15 menit 29 detik

6. Penetapan kadar : 6,51 ± 0,20 %

\

71

4.1.2 Bahan Kimia

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

Aquadest, Suspensi CMC Na 0,5%, Formalin

10%, Eter (bius hewan coba), Antikoagulan EDTA,

Kit diagnostika SGOT, Kit diagnostika Gamma GT,

Kit diagnostika SGPT, Kit diagnostika Kreatinin

Serum, Kit diagnostika BUN.

4.1.3 Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini

adalah tikus jantan dan tikus betina yang didapat dari

Universitas Gadja Mada Yogyakarta. Tikus yang

digunakan adalah umur 6-8 minggu dengan berat

badan 120 sampai 200 gram.

4.2 Alat-Alat

Alat-alat yang digunakan adalah sebagai berikut :

Mortir dan stamper, sonde, spuit injeksi 3 ml dan 5 ml,

alat bedah, tabung bius, mikroskop, gelas objek, gelas

penutup, beker glass, gelas ukur, corong gelas, batang

pengaduk, pipet tetes, kertas saring, tissue, aluminium foil,

timbangan kasar, timbangan analitik, lemari pendingin,

cawan timbang, pinset, kandang tikus, timbangan hewan

coba, pot plastik, tabung venoject, mikroskop olympus.

72

4.3 Metode Penelitian

4.3.1 Penyiapan Hewan Coba

Tikus yang akan digunakan diadaptasikan

dengan lingkungan selama 1 minggu. Tiap kandang

berisi 5 ekor tikus. Semua tikus dipelihara dengan

cara yang sama dan mendapat diet yang sama pula.

Sebelum dilakukan perlakuan, semua tikus

ditimbang untuk menghitung pengaturan dosis.

4.3.2 Penyiapan Larutan Uji

Pemberian tiap dosis dalam bentuk ekstrak

kering yang disuspensikan dalam musilago CMC Na

0,5%. Control negatif diberi musilago CMC Na

0,5%.

Pembuatan CMC Na 0,5% :

Ditimbang 0,5 gram CMC Na, ditaburkan diatas

air panas 20x nya, dibiarkan mengembang (±15

menit), digerus sampai terbentuk musilago.

Kemudian dipindahkan ke dalam botol yang telah

dikalibrasi dan ditambah air sampai 100 ml. Lalu

diberikan kepada kelompok kontrol secara oral.

73

4.3.3 Uji Toksisitas Tablet Fraksi Etil Asetat-96 Herba

Sambiloto pada Tikus

4.3.3.1 Pengujian Toksisitas Subkronis

Pada uji toksisitas ini, pemberian

dosis awal menggunakan dosis efektif

(ED) antimalaria yaitu 327,6 mg/Kg BB

tikus atau 65,52 mg/200 gram BB tikus.

Dosis pengujian digunakan dosis 1/6 x

DE, 1 x DE, 3 x DE, dan dosis satelit (3

x DE) yang diberikan selama 28 hari.

Setelah 28 hari tersebut, atau pada hari

ke-29 semua tikus yang masih hidup

diambil darahnya untuk dilakukan

pemeriksaan kimia klinik darah dan

pemeriksaan hematologi. Pemeriksaan

kimia klinik darah antara lain SGOT,

Gamma GT, SGPT, BUN, dan kreatinin.

Sedangkan pemeriksaan hematologi

meliputi jumlah eritrosit (RBC/red

blood cell), jumlah leukosit

(WBC/white blood cell), dan

hematokrit. Selanjutnya semua tikus

diotopsi untuk dilakukan pengamatan

terhadap organ hati dan ginjal.

74

Pada kelompok tikus dosis satelit

diperlakukan berbeda dengan kelompok

dosis yang lain yaitu setelah

pengamatan selama 28 hari, kelompok

tikus dosis satelit dilakukan pengamatan

kembali selama 14 hari. Selanjutnya

pada hari ke-15 tikus yang masih hidup

diperlakukan dengan cara yang sama

seperti kelompok dosis yang lain, yaitu

dilakukan pengambilan darah dan

diotopsi untuk dilakukan pengamatan

terhadap organ hati dan ginjal.

4.3.3.2 Pengumpulan Data Uji Toksisitas

Subkronis

Disiapkan 5 kelompok tikus yang

masing-masing kelompok terdiri dari 5

ekor tikus. Untuk semua kelompok

kecuali kelompok kontrol, tiap hewan

coba diberi tablet fraksi etil asetat sesuai

dengan berat masing-masing hewan

coba. Pemberian dilakukan per oral

sebanyak satu kali dalam sehari selama

28 hari.

75

Kelompok Kontrol: Sebagai kelompok

kontrol negatif, tikus jantan dan tikus

betina diberi suspensi CMC Na 0,5%.

Kelompok Dosis I: Sebagai kelompok

dosis non toksik, tikus jantan dan tikus

betina yang diberi antimalaria fraksi etil

asetat dengan dosis 50 mg/kg BB.

Kelompok Dosis II: Sebagai kelompok

dosis efektif, tikus jantan dan tikus

betina yang diberi antimalaria fraksi etil

asetat dengan dosis 327 mg/kg BB.

Kelompok Dosis III: Sebagai kelompok

dosis toksik terendah, tikus jantan dan

tikus betina yang diberi antimalaria

fraksi etil asetat dengan dosis 1000

mg/kg BB.

Kelompok Kontrol Satelit: Sebagai

kelompok kontrol satelit, tikus jantan

dan tikus betina diberi suspensi CMC

Na 0,5%. Perlakuannya selama 28 hari

dilanjutkan dengan pengamatan selama

14 hari.

76

Kelompok Dosis Satelit: Sebagai

kelompok dosis toksik tertinggi, tikus

jantan dan tikus betina yang diberi

antimalaria fraksi etil asetat dengan

dosis 1000 mg/kg BB. Perlakuannya

selama 28 hari dilanjutkan dengan

pengamatan selama 14 hari.

4.3.3.3 Pengambilan Darah Hewan Coba

Pengambilan darah hewan coba

pada akhir perlakuan, hewan coba tikus

dibius dengan eter dan darah diambil

melalui jantung dengan spuit injeksi

sebanyak ± 5 ml. Darah yang telah

diambil dibagi menjadi dua bagian,

yaitu ± 2 ml darah untuk pemeriksaan

hematologi meliputi jumlah eritrosit,

jumlah leukosit, dan hematokrit.

Kemudian dimasukkan ke dalam vial

yang telah berisi antikoagulan EDTA

dan segera dihomogenkan secara

perlahan tanpa membuat sel-sel darah

lisis. Sedangkan ± 3 ml darah sisanya

dimasukkan ke dalam tabung venoject

yang bersih dan kering untuk

pemeriksaan serum pada SGOT,

77

Gamma GT, SGPT, BUN, dan kreatinin

serum. Kemudian disentrifuse dengan

kecepatan 3000 rpm selama 10 menit.

Serum yang sudah terpisah diambil dan

dimasukkan ke dalam tabung lain yang

bersih, kering dan bertutup rapat untuk

pemeriksaan selanjutnya.

4.3.3.4 Pengambilan Organ Hati dan Ginjal

Pengambilan organ hati dan ginjal

dilakukan pada akhir masa perlakuan dan

setelah pengambilan darah. Tikus dibius

dengan eter namun tidak sampai mati,

diambil darahnya melalui jantung.

Selanjutnya tikus dikorbankan dengan

pemberian eter, diambil organ hati dan

ginjalnya. Organ tersebut disimpan dalam

larutan formalin 10% untuk selanjutnya

dipreparasi guna pengamatan

histopatologi.

4.3.3.5 Pemeriksaan Serum Hewan Coba

Pemeriksaan SGOT, Gamma GT,

SGPT, BUN, dan kreatinin pada serum

hewan coba tikus, dilakukan

Laboratorium Kimia Klinik Balai Besar

78

Laboratorium Kesehatan Surabaya

dengan menggunakan kit diagnostika

(bioMerieux®), alat sentrifuse Rotofix

32A Hettich, serta spektrofotometer

(Analyzer Tokyo Boeki Medical System

Prestige 24i).

4.3.3.6 Pemeriksaan SGOT (AST)

Dibuat larutan pereaksi dengan

mencampur Reagen 1 (Tris buffer pH

7,8; L-aspartat; dan NaN3) dengan

Reagen 2 (α-ketoglutarat; NADH; MDH;

dan LDH).

Ke dalam tabung reaksi dipipet 1,0

ml larutan pereaksi dan 100 μl serum.

Campur sampai homogen dan diamkan

selama 1 menit. Kemudian diamati

serapan awal sampel dengan

spektrofotometer (λ= 340 nm). Catat

penurunan serapannya setiap menit

selama tiga menit.

Dihitung perbedaan rata-rata serapan

per menit (ΔA/menit).

Aktivitas enzim SGOT = ΔA/menit x F

(Untuk λ= 340 nm , F = 1746)

(bioMerieux®, 2004).

79

4.3.3.7 Pemeriksaan Gamma GT

Dibuat larutan pereaksi dengan

mencampur Reagen 1 (Tris buffer pH

7,8; L-aspartat; dan NaN3) dengan

Reagen 2 (α-ketoglutarat; NADH; MDH;

dan LDH).

Ke dalam tabung reaksi dipipet 1,0

ml larutan pereaksi dan 100 μl serum.

Campur sampai homogen dan diamkan

selama 1 menit. Kemudian diamati

serapan awal sampel dengan

spektrofotometer (λ= 340 nm). Catat

penurunan serapannya setiap menit

selama tiga menit.

Dihitung perbedaan rata-rata serapan

per menit (ΔA/menit).

Aktivitas enzim gamma gt = ΔA/menit x

F (Untuk λ= 340 nm , F = 1746)

(bioMerieux®, 2004).

4.3.3.8 Pemeriksaan SGPT (ALT)

Dibuat larutan pereaksi dengan

mencampur Reagen 1 (Tris buffer pH

7,5; L-alanine; NaN3 dengan Reagen 2

(α-ketoglutarat; NADH; dan LDH).

80

Ke dalam tabung reaksi dipipet 1,0

ml larutan pereaksi dan 100 μl serum.

Campur sampai homogen dan diamkan

selama 1 menit. Kemudian diamati

serapan awal sampel dengan

spektrofotometer (λ= 340 nm). Catat

penurunan serapannya setiap menit

selama tiga menit.

Dihitung perbedaan rata-rata serapan

per menit (ΔA/menit).

Aktivitas enzim SGOT = ΔA/menit x F

(Untuk λ= 340 nm , F = 1746)

(bioMerieux®, 2004).

4.3.3.9 Pemeriksaan BUN

Dibuat larutan pereaksi dengan

mencampur Reagen 2 (Tris buffer pH

7,8; α-ketoglutarat; dan NaN3) dengan

Reagen 3 (NADH; GLDH; Urease; dan

ADP), masing-masing dengan volume

sama banyak (25 ml).

Ke dalam tabung reaksi dipipet 1 ml

larutan pereaksi dan 10 μl standar

(Regen 1). Campur sampai homogen

dan diamatiserapannya dengan

spektrofotometer (λ= 340 nm) pada

81

detik ke-20 (A1) an pada detik ke-80

(A2). Serum juga dipreparasi dan

diamati dengan cara yang sama dengan

standar.

Dihitung perbedaan serapan, ΔA= A2 -

A1

Kadar BUN dapat dihitung dengan

rumus :

x kadar standar

(bioMerieux®, 2004).

4.3.3.10 Pemeriksaan Kreatinin Serum

Dibuat larutan pereaksi dengan

mencampur Reagen 2 (picric acid)

dengan Reagen 3 (sodium hydroxide dan

sodium phosphate), masing-masing

dengan volume sama banyak (25 ml).

Ke dalam tabung reaksi dipipet 1 ml

larutanpereaksi dan 100 μl standar

(Reagen 1). Campur sampai homogen

dan diamatiserapannya dengan

spektrofotometer (λ= 492 nm) pada

detik ke-20 (A1) dan pada detik ke-80

(A2). Serum juga dipreparasi dan

diamati dengan cara yang sama dengan

standar.

82

Dihitung perbedaan serapan, ΔA= A1 -

A2

Kadar kreatinin dapat dihitung dengan

rumus :

x kadar standar

(bioMerieux, 2004).

4.3.3.11 Pengamatan Makroskopik

Pengamatan makroskopik dilakukan

pada organ hati dan ginjal tikus coba.

Makroskopik merupakan persentase

berat organ relatif yang diperoleh dari

berat organ absolut dibagi dengan berat

badan tikus coba dikali 100%. Pada

akhir percobaan, tikus coba yang telah

dikorbankan harus segera diotopsi dan

dilakukan pengamatan secara

makroskopik secara seksama untuk

organ hati dan ginjalnya. Organ hati dan

ginjal tikus coba ditimbang untuk

memperoleh berat organ absolut.

Dilakukan perhitungan melalui rumus:

% Berat organ relatif

= x 100%

(BPOM, 2014).

83

4.3.3.12 Pemeriksaan Hematologi

Pemeriksaan hematologi tikus coba,

dilakukan di Laboratorium Hematologi

Balai Besar Laboratorium Kesehatan

Surabaya dengan menggunakan Rotator

(Roller-Mixer Transmetric Wina 201)

dan spektrofotometer (Analyzer Sysmex

KX-21). Sampel darah dihomogenkan

terlebih dahulu dengan rotator,

kemudian sampel tersebut diperiksa

dengan spektrofotometer (automatic

analyzer) sehingga diperoleh hasil

pemeriksaan parameter hematologi yang

meliputi jumlah eritrosit, jumlah

leukosit, dan hematokrit.

4.3.3.13 Pembuatan Preparat Hispatologi Hati

dan Ginjal

Pembuatan preparat histopatologi

hati dan ginjal, dilakukan di

Laboratorium Patologi Veteriner

Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga, menggunakan

metode parafin dengan beberapa

tahapan, yaitu :

84

a) Fiksasi dan pencucian

Fiksasi adalah proses

mengawetkan jaringan agar awet

dan kondisinya seperti hisup.

Fiksasi jaringan dengan larutan

buffer formalin 10%. Perendaman

minimal 1x24 jam dengan volume

5 kali besar specimen (Nassar dkk,

2008).

Organ hati dan ginjal

dimasukkan wadah yang sudah

diisi larutan formalin 10% dan

dibiarkan 24 jam. Semua organ

harus tenggelam dalam larutan

formalin 10%. Kemudian organ

dicuci dengan air mengalir selama

30 menit.

b) Dehidrasi

Dehidrasi merupakan proses

yang bertujuan untuk menarik air

dari dalam jaringan dengan

menggunakan alcohol secara

bertahap sehingga jaringan

nantinya dapat diisi paraffin untuk

membuat blok preparat. Caranya

dengan memasukkan jaringan ke

85

dalam alkohol secara berurutan

mulai dari konsentrasi 70% selama

½ jam, alkohol 95% selama ½

jam, kemudian alkohol 100%

selama ½ jam, alkohol 100%

selama 1 jam sebanyak 3 kali,

alkohol 100% selama 1 jam

sebanyak 3 kali, alkohol 100%

selama ½ jam specimen (Nasar

dkk., 2008).

c) Clearing

Clearing dilakukan untuk

menjernihkan jaringan, yaitu tahap

untuk mengeluarkan alkohol dari

jaringan dan menggantinya dengan

suatu larutan yang dapat berikatan

dengan paraffin. Jaringan tidak

dapat langsung dimasukkan ke

dalam paraffin karena alkohol dan

parafin tidak bisa saling

melarutkan, larutan yang

digunakan adalah xylene/ xylol.

Setelah jaringan dikeluarkan dari

cairan dehidrasi, jaringan

dimasukkan ke dalam xylol 1

selama 1 jam. jaringan akan

86

menjadi bening. Untuk

meyakinkan cairan alcohol telah

keluar, jaringan dimasukkan ke

dalam larutan xylol 2 selama 2 jam

(Nasar dkk., 2008).

d) Impregnasi/ Embedding

Merupakan proses untuk

mengeluarkan cairan (clearing

agent) dari jaringan dan diganti

dengan parafin. Pada tahapan ini

jaringan harus benar-benar bebas

dari clearing agent karena cairan

tersebut dapat mengkristal dan

sewaktu dipotong dengan

mikrotom akan menyebabkan

jaringan mudah robek. Zat

pembenam (bahan impregnasi)

yang digunakan adalah parafin cair

panas yang mempunyai

temperature rendah (melting

temperature) kira-kira 580C

selama 2 ½ jam, kemudian

dimasukkan dalam parafin cair 2

selama 4 jam. Setelah itu, jaringan

siap dimasukkan dalam blok

parafin (Nasar dkk., 2008).

87

e) Pengecoran (blocking)

Dengan membuat potongan

besi berbentuk huruf L

(Leuckhart) 2 buah potongan besi

disusun di atas lembaran logam

hingga rapat dan membentuk

ruang seperti kubus. tuangkan

parafi cair di bagian pinggir

tempat pertemuan potongan besi

agar tidak bocor. Sealanjutnya

parafin dituangkan ke dalam

ruangan kubus tersebut (Nasar

dkk., 2008).

f) Pemotongan (mounting)

Dilakukan dengan rotary

microtome. Selama pemotongan,

suhu blok diusahakan rendah yaitu

5-10 0C, dengan mendinginkan

blok dan pisau pemotong dengan

air es agar sediaan tetap basah,

sehingga blok dapat terpotong

dengan baik. Blok yang

mengandung jaringan lalu

dipindahkan secara hati-hati

menggunakan kuas ke dalam

waterbath yang temperaturnya

88

diatur 37-40 0C dan dibiarkan

beberapa saat hingga blok parafin

tersebut mengembang (Nasar dkk.,

2008).

Blok parafin yang sudah

berkembang dengan baik,

kemudian ditempelkan pada kaca

objek dengan cara memasukkan

kaca objek itu ke dalam water bath

dan menggerakkannya ke arah

blok parafin, dengan

menggunakan kuas kemudian

dilekatkan pada kaca objek.

Setelah melekat kaca objek

digerakkan keluar dari waterbath

dengan hati-hati agar blok parafin

tidak terlipat. Kaca objek yang

berisi blok parafin diletakkan di

atas hotplatetermoplate, dibiarkan

selama beberapa jam. Cara lainnya

adalah dengan melewatkan kaca

objek di atas api sehingga blok

parafin melekat erat di atas kaca

objek (Nasar dkk., 2008).

89

g) Pengecatan jaringan

Merupakan proses pemberian

warna pada jaringan yang telah

dipotong sehingga unsure jaringan

menjadi kontras (dapat

dikenali/diamati) dengan

mikroskop. Dilakukan pengecatan

Haematoxylin Harris-Eosin (HE)

dengan prosedur sebagai berikut

(Nasar dkk., 2008) :

1) Deparafinisasi, untuk

menghilangkan parafin yang

menempel pada irisan

jaringan sehingga bahan cat

dapat melekat. Dilakukan

dengan memasukkan dalam

larutan xylol.

2) Dehidrasi dalam larutan alkohol

dengan gradasi menurun

100%, 95%, 70%.

3) Direndam dalam larutan

Haematoksilin harris selama

15 menit.

4) Dibilas dalam air mengalir

dalam waktu yang singkat.

90

5) Dicelupkan dalam NHO3 secara

cepat 3-10 kali celup,

kemudian dilakukan

pengecekan diferensiasi

warna di bawah mikrosop.

6) Dibilas dalam air mengalir

dalam waktu yang singkat.

7) Dicelup sebanyak 3-5 kali

dalam larutan ammonium atau

lithium hingga potongan

berwarna biru cerah.

8) Dicuci dalam air mengalir

selama 10-20 menit. Bila

pencucian tidak maksimal

jaringan akan sulit diwarnai

oleh Eosin.

9) Direndam dalam Eosin selama

15 detik- 20 menit.

10) Dilakukan dehidrasi dalam

alcohol dengan konsentrasi

yang meningkat secara

perlahan, masing-masing

selama 2 menit.

11) Dimasukkan dalam larutan

xylol 2 x 2 menit.

91

12) Ditutup dengan kaca penutup

dan preparat siap untuk

silakukan pemeriksaan di

bawah mikroskop cahaya.

4.3.3.14 Pemeriksaan Preparat Histopatologi

Pemeriksaan ini menggunakan

mikroskop cahaya untuk mengamati

secara mikroskopik preparat hati dan

ginjal tikus. Mula-mula dilakukan

perbesaran 100 kali kemudian

digunakan perbesaran 400 kali. Setiap

preparat hati dan ginjal tikus diamati

melalui lima lapang pandang yang

berbeda.

Pada setiap lapang pandang

diamati perubahan-perubahan yang

terjadi. Setiap preparat digeser minimal

lima kali lapang pandang kemudian

skor dijumlah dan dibagi lima, maka

hasil dari lima kali pergeseran itu

adalah data dari satu preparat. Cara

pemberian skor adalah sebagai berikut:

apabila tidak terjadi perubahan

histopatologi organ hati dan ginjal,

maka diberi skor 0 (nol), jika terjadi

92

perubahan histopatologi kurang dari

30% lapang pandang, maka diberi skor

1 (satu) dan dianggap perubahan

tingkat ringan. Apabila perubahan

yang terjadi adalah 30-50%, dianggap

perubahan histopatologi tingkat sedang

diberi skor 2 (dua). Dikatakan

mengalami perubahan histopatologi

tingkat berat apabila pada satu lapang

pandang terjadi perubahan

histopatologi lebih dari 50% dan diberi

skor 3 (tiga) (Arsad et al., 2014).

4.3.3.15 Analisis Data Preparat Histopatologi

Analisis data preparat

histopatologi dilakukan dengan cara

mengamati sampel jaringan

menggunakan mikroskop kemudian

diberi skor dan diolah dengan memberi

penilaian peringkat (rank) kemudian

dianalisis menggunakan Uji Kruskal

Wallis yaitu uji statistik non

parametrik dengan perolehan data yang

berdasarkan nilai skoring atau

penilaian derajat perubahan. Apabila

terdapat perbedaan yang nyata diantara

93

kelompok perlakuan, dapat dilanjutkan

dengan Uji Mann-Whitney (Spiegel,

1994).

4.3.3.16 Analisis Data Kimia Klinik,

Hematologi, dan Makroskopis

Data yang diperoleh yaitu berupa

data kimia klinik (SGOT, Gamma GT,

SGPT, BUN, kreatinin), hematologi

(leukosit, eritrosit, hematokrit), dan

makroskopik dari masing-masing

kelompok perlakuan. Data tersebut

kemudian masing-masing dianalisis

secara statistik dengan uji One-Way

ANOVA pada tingkat kepercayaan

95% (harga α= 0,05). Sebagai variabel

bebas adalah dosis dan sebagai variabel

tergantung adalah kadar SGOT,

Gamma GT, SGPT, BUN, kreatinin

serum, jumlah eritrosit, jumlah

leukosit, hematokrit, dan bobot organ.

Hipotesis statistik penelitian ini adalah:

Ho (P > 0,05) = tidak ada perbedaan

bermakna dari variabel tergantung

pada setiap kelompok.

94

Ha (P < 0,05) = ada perbedaan

bermakna dari variabel tergantung

pada setiap kelompok.

Uji ini dilakukan untuk

membuktikan apakah perbedaan yang

ditunjukkan oleh masing-masing

kelompok sifatnya bermakna, dari

analisis tersebut didapatkan harga

Fhitung yang kemudian dibandingkan

dengan Ftabel, bila ternyata harga

Fhitung< Ftabel (harga signifikansi > α),

maka Ho diterima dan dapat

disimpulkan tidak ada perbedaan

bermakna antar kelompok perlakuan.

Namun bila harga Fhitung> Ftabel (harga

signifikansi < α), maka Ho ditolak dan

dapat disimpulkan ada perbedaan

bermakna antar kelompok perlakuan.

Untuk mengetahui ada tidaknya efek

perlakuan antar pasangan kelompok,

analisis dilanjutkan dengan Post Hoc

Tests (Uji LSD). Harga LSD

digunakan sebagai pembanding selisih

antar rata-rata hasil pemeriksaan. Bila

selisih harga rata-rata tersebut lebih

95

kecil dari harga LSD yang didapat

berarti tidak ada perbedaan yang

bermakna antar kelompok tersebut.

Bila selisih harga rata-rata sama atau

lebih besar dari harga LSD yang

didapat berarti ada perbedaan yang

bermakna antar kelompok tersebut

(Asviah AF., 2008).

96

4.4 Skema Kerja

60 ekor tikus

10 ekor tikus

Tablet Dosis I

(Dosis Toksik)

Terendah)

10 ekor tikus

Tablet

Dosis II

(Dosis Non

Toksik)

10 ekor tikus

Tablet Dosis III

(Dosis Efektif)

10 ekor tikus

Kontrol Negatif

Pemberian bahan uji pada setiap kelompok,

dengan dosis yang disesuaikan, selama 28 hari

Pengamatan selama perlakuan, tikus harus

diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas

Tikus yang masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan pada setiap organ dan jaringan

Pengam

-atan

peruba-

han

berat

badan

Pemeriksaan

Biokimia darah

meliputi:

SGOT, gamma gt, SGPT, BUN, kreatinin serum

Kesimpulan

Analisis data

10 ekor tikus

Dosis Satelit

Penga-

matan

intake

makan-

an

Pemeriksaan

Hematologi darah

meliputi :

Jumlah eritrosit (RBC/red blood cell), Jumlah leukosit (WBC/white blood cell), Hematokrit

Tikus yang mati harus di otopsi

meliputi : dilakukan pada organ hati dan ginjal

Semua kelompok tikus (kecuali kelompok dosis

satelit dilanjutakan 14 hari)

10 ekor tikus

Dosis Kontrol Satelit

Pemeriksaan

Makroskopik

meliputi :

Bobot organ relatif

=bobot organ absolut/ bobot badan

10 ekor tikus

Dosis Satelit

Tikus yang mati harus di otopsi

97

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Pembuatan Larutan Uji

Berdasarkan pada penelitian sebelumnya hasil uji aktivitas

antimalaria fraksi EA 96% pada hewan coba yang dibuat

sebagai dosis efektif menunjukkan bahwa untuk manusia

dengan berat badan 50 kg diperlukan dosis 140 mg

andrografolida yang setara dengan 670 mg fraksi EA 96%.

Maka dibuat formula tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto yang

mengandung 35 mg andrografolid per tablet yang setara dengan

167,5 mg fraksi EA-96 dengan aturan pakai sehari 2x4 tablet

atau 1x4 tablet per sekali minum untuk manusia dengan berat

badan 50 kg. Diketahui berat per tablet 650 mg, maka untuk

manusia dengan berat badan 50 kg diperlukan 4 tablet per sekali

minum dengan berat seluruhnya 2600 mg.

Keterangan: Penyondean dilakukan sehari sebanyak satu kali

dengan volume sebanyak 2,0 ml/200 gram BB tikus.

Pembuatan larutan uji dibagi sesuai dengan kelompok dosis

masing-masing dan dibuat untuk pemakaian selama 3 hari,

berikut uraiannya:

98

1. Kelompok kontrol

Dibuat suspensi CMC-Na 0,5%, yaitu sebanyak 0,5

gram CMC-Na dalam 100,0 ml air. Suspensi tersebut selain

digunakan untuk kelompok kontrol, juga digunakan untuk

mensuspensi larutan uji kelompok dosis lainnya. Kelompok

kontrol memerlukan sebanyak 20,0 ml per kelompok tikus

yang terdiri dari 10 ekor tiap kelompok, begitu juga dengan

kelompok kontrol satelit.

2. Kelompok dosis I

Dosis 10 mg/ 200 g BB tikus diberikan untuk 10 ekor

tikus per kelompok. Apabila jumlah volume yang

disondekan sebanyak 2,0 ml, maka diperlukan larutan uji

sebanyak 20,0 ml per hari dengan dosis 100 mg/20,0 ml

b/v.

3. Kelompok dosis II

Dosis 65,52 mg/200 g BB tikus diberikan untuk 10

ekor tikus per kelompok. Apabila jumlah volume yang

disondekan sebanyak 2,0 ml, maka diperlukan larutan uji

sebanyak 20,0 ml per hari dengan dosis 655,2 mg/20,0 ml

b/v.

99

4. Kelompok dosis III

Dosis 200 mg/200 g BB tikus diberikan untuk 10 ekor

tikus per kelompok. Apabila jumlah volume yang

disondekan sebanyak 2,0 ml, maka diperlukan larutan uji

sebanyak 20,0 ml per hari dengan dosis 2000 mg/20,0 ml

b/v.

5. Kelompok dosis satelit

Dosis 200 mg/200 g BB tikus diberikan untuk 10 ekor

tikus per kelompok. Apabila jumlah volume yang

disondekan sebanyak 2,0 ml, maka diperlukan larutan uji

sebanyak 20,0 ml per hari dengan dosis 2000 mg/20,0 ml

b/v.

5.2 Pemberian Dosis Terhadap Tikus Coba

Pemberian dosis bahan uji untuk uji toksisitas subkronis

tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto tercantum dalam table

sebagai berikut:

100

Tabel V.1. Pembagian dosis tablet fraksi EA-96 herba

Sambiloto

Kelompok Uji Dosis tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto

Kontrol negatif CMC-Na 0,5% CMC-Na 0,5% Dosis I 10 mg/200 g BB tikus 50 mg/kg BB tikus

Dosis II 65,52 mg/200 g BB

tikus 327,6 mg/kg BB

tikus

Dosis III 200 mg/200 g BB

tikus 1000 mg/kg BB tikus

Dosis Satelit 200 mg/200 g BB

tikus 1000 mg/kg BB tikus Dosis Kontrol

Satelit CMC-Na 0,5% CMC-Na 0,5%

5.3 Data Hasil Penimbangan Berat Badan Tikus Coba

Tikus jantan dan betina yang digunakan dapam penelitian

ini ditimbang setiap 3 hari sekali selama 28 hari untuk

kelompok kontrol negatif dan perlakuan, sedangkan untuk

kelompok satelit selama 42 hari. Rata-rata hasil pertambahan

berat badan tikus jantan dan betina setiap 28 hari disajikan pada

tabel di bawah ini.

101

Tabel V.2. Nilai rerata pertambahan berat badan tikus coba

selama 28 hari

Kelompok Rerata±SD

Tikus Jantan Tikus Betina

Kontrol negatif 31,60±13,83 20,20±7,33 Dosis 50 mg/kg 17,00±10,42 11,60±9,86 Dosis 327 mg/kg 27,80±13,95 26,4±6,73

Dosis 1000 mg/kg 28,00±12,39 17,40±9,32 Keterangan: n kelompok jantan 20 ekor, n kelompok betina 20

ekor

Tabel V.3. Nilai rerata pertambahan berat badan tikus

kelompok satelit selama 42 hari

Kelompok Rerata±SD

Tikus Jantan Tikus Betina

Dosis Satelit 61,75±13,77 22,60±5,73 Kontrol Satelit 17,00±4,64 11,75±3,20

Keterangan: n kelompok jantan 10 ekor, n kelompok betina 10

ekor

Data penimbangan berat badan setiap 3 hari sekali pada

Lampiran 7, dioalah dalam bentuk grafik. Gambar grafik

penimbangan berat badan tikus dapat dilihat pada gambar

berikut.

102

Gambar 5.1. Grafik rerata berat badan tikus jantan (A),

kelompok satelit (B)

Gambar 5.2. Grafik rarata berat badan tikus betina (C),

kelompok satelit (D)

Berdasarkan data penimbangan berat badan tikus jantan (A)

dan betina (C), diketahui berat badan tikus pada kelompok

kontrol dan kelompok perlakuan tablet fraksi EA mengalami

kenaikan berat badan selama perlakuan dibandingan antara

berat badan awal (Hari ke-I) dengan berat badan akhir (Hari ke-

X). Begitu juga dengan berat badan tikus jantan satelit (B) dan

betina satelit (D) mengalami kenaikan berat badan dibandingan

A

C

B

D

103

antara berat badan awal (Hari ke-I) dengan berat badan akhir

(Hari ke-XIV).

5.4 Data Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik

Parameter pada pemeriksaan kimia klinik yang diperiksa

untuk data toksisitas subkronik pada organ hati adalah SGPT,

Gamma GT, dan SGOT. Pada organ ginjal adalah BUN dan

Kreatinin. Tikus kelompok kontrol negatif, kontrol satelit dan

perlakuan tablet fraksi EA di bedah dan darah dari intrakardial

untuk pemeriksaan kimia klinik diambil pada hari ke-29,

sedangkan kelompok satelit dibedah pada hari ke-43. Hasil

pemeriksaan kimia klinik pada tikus jantan dan betina

kemudian dianalis statistik dengan program SPSS one-way

ANOVA untuk melihat perbedaan yang terjadi antar kelompok.

Rata-rata hasil pemeriksaan kimia klinik tikus jantan dan betina

dapat dilihat pada tabel berikut.

104

Tabel V.4. Nilai rerata analisis kimia klinik pada hati tikus coba

Parameter

Organ Hati

Rata-rata±SD

Kontrol Tablet fraksi EA Sambiloto (mg/kgBB)

I II III

Jantan

SGOT(U/L) 172,60±22,96 140,60±17,04 141,75±20,02 149,40±17,87

Gamma GT (U/L) 15,60±2,30 14,00±1,00 14,75±1,26 14,40±2,30

SGPT (U/L) 202,60±46,78 152,00±45,60 135,75±39,63 177,40±26,50

Betina

SGOT (U/L) 169,40±75,86 127,00±21,40 114,20±30,09 105,60±14,74

Gamma GT (U/L) 10,40±1,82 10,20±1,64 10,00±0,71 11,40±4,72

SGPT (U/L) 121,60±51,66 103,60±12,14 91,00±17,59 81,00±26,30

Berdasarkan hasil uji statistik pada organ hati menunjukkan

kadar SGOT, Gamma GT, dan SGPT dari tikus jantan dan

betina memiliki nilai P>0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbedaan bermakna pada kadar SGOT, Gamma GT,

dan SGPT dari tikus jantan dan betina pada semua kelompok

perlakuan. Artinya, bahan uji tidak memberikan pengaruh

terhadap kadar SGOT, Gamma GT, dan SGPT dari tikus jantan

dan betina pada semua kelompok perlakuan. Nilai normal

SGOT, tikus jantan=60-300 IU/I, tikus betina=80-250 IU/I

(Hall Robert L.,1992). Nilai normal Gamma GT, tikus jantan

dan betina=0-30 U/L (Andreas E. Haurissa, 2014). Nilai

Normal SGPT, tikus jantan=25-55 IU/I, tikus betina=25-50 IU/I

(Hall Robert L.,1992).

105

Tabel V.5. Nilai rerata analisis kimia klinik pada hati tikus coba

kelompok satelit

Parameter Rata-rata±SD

Kontrol Satelit Satelit

Jantan

SGOT (U/L) 165,00±26,39 134,25±16,68

Gamma GT (U/L) 16,20±1,64 16,75±1,50

SGPT (U/L) 189,00±51,36 196,00±35,67

Betina

SGOT (U/L) 132,25±33,74 124,40±30,74

Gamma GT (U/L) 7,50±1,29 8,00±1,22

SGPT (U/L) 133,25±28,96 119,00±25,93

Dari tikus jantan satelit dan betina satelit memiliki nilai

P>0,05 pada kadar SGOT, Gamma GT, dan SGPT. Hal ini

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada

kadar SGOT, Gamma GT, dan SGPT dari tikus jantan satelit

dan betina satelit pada semua kelompok perlakuan. Artinya,

bahan uji tidak memberikan pengaruh terhadap kadar SGOT,

Gamma GT, dan SGPT tikus jantan satelit dan betina satelit

pada semua kelompok perlakuan. Nilai normal SGOT, tikus

jantan=60-300 IU/I, tikus betina=80-250 IU/I (Hall Robert

L.,1992). Nilai normal Gamma GT, tikus jantan dan betina=0-

30 U/L (Andreas E. Haurissa, 2014). Nilai Normal SGPT, tikus

106

jantan=25-55 IU/I, tikus betina=25-50 IU/I (Hall Robert

L.,1992).

Tabel V.6. Nilai rerata analisis kimia klinik pada ginjal tikus

coba

Parameter

Organ Ginjal

Rata-rata±SD

Kontrol Tablet fraksi EA Sambiloto (mg/kgBB)

I II III

Jantan

BUN (mg/dl) 22,10±4,71a 21,80±1,48a 22,88±2,46a 24,10±4,83a

Kreatinin (mg/dl) 1,23±0,37b 0,84±0,37ab 0,54±0,13a 0,64±0,09a

Betina

BUN (mg/dl) 21,40±2,07a 22,00±3,95a 23,30±3,70a 22,20±3,35a

Kreatinin (mg/dl) 0,64±0,11b 0,52±0,05ab 0,41±0,13a 0,61±0,05b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama, menyatakan adanya perbedaan bermakna (P<0,05)

Pada organ ginjal dari tikus jantan dan betina tidak ada

perbedaan bermakna pada kadar BUN (P>0,05) pada semua

kelompok perlakuan. Perbedaan bermakna kadar kreatinin dari

tikus jantan antara kelompok kontrol dengan kelompok dosis I,

II, dan III, serta antara kelompok dosis I dengan kelompok

dosis II. Artinya, bahan uji memberikan pengaruh terhadap

kadar kreatinin tikus jantan antara kelompok kontrol dengan

kelompok dosis I, II, dan III, serta antara kelompok dosis I

dengan kelompok dosis II. Dari tikus betina perbedaan

bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok dosis I

dan II, serta antara kelompok dosis I dan kelompok dosis II.

107

Artinya, bahan uji memberikan pengaruh terhadap kadar

kreatinin tikus betina perbedaan bermakna antara kelompok

kontrol dengan kelompok dosis I dan II, serta antara kelompok

dosis I dan kelompok dosis II. Kadar kreatinin berbeda

bermakna namun masih berada pada kadar rata-rata normal.

Nilai normal kreatinin, tikus jantan dan betina=0,30-1,00 mg/dl

(Doloksaribu, 2008).

Tabel V.7. Nilai rerata analisis kimia klinik pada ginjal

tikus coba kelompok satelit

Parameter Rata-rata±SD

Kontrol Satelit Satelit

Jantan

BUN (mg/dl) 23,10±2,63a 22,37±2,53a

Kreatinin (mg/dl) 0,73±0,18a 0,80±0,14a

Betina

BUN (mg/dl) 20,62±2,84a 16,90±1,71b

Kreatinin (mg/dl) 0,36±0,08a 0,65±0,08b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama, menyatakan adanya perbedaan bermakna (P<0,05)

Dari tikus jantan satelit tidak ada perbedaan bermakna pada

kadar BUN (P>0,05) pada semua kelompok. Perbedaan

bermakna ditemukan pada kadar BUN dan kreatinin dari tikus

betina satelit antara kelompok kontrol satelit dengan kelompok

dosis satelit dengan P<0,05. Artinya, bahan uji memberikan

pengaruh terhadap kadar BUN dan kreatinin dari tikus betina

108

satelit antara kelompok kontrol satelit dengan kelompok dosis

satelit. Kadar BUN dan kreatinin berbeda bermakna namun

masih berada pada kadar rata-rata normal. Nilai normal BUN,

tikus jantan 10-16 mg/dl, tikus betina=10-19 mg/dl (Hall Robert

L.,1992). Nilai normal kreatinin, tikus jantan dan betina=0,30-

1,00 mg/dl (Doloksaribu, 2008).

5.5 Data Hasil Pemeriksaan Hematologi

Parameter pada pemeriksaan hematologi yang diperiksa

adalah leukosit, eritrosit, dan hematokrit. Hasil pemeriksaan

hematologi pada tikus jantan dan betina kemudian dianalisis

statistik dengan program SPSS one-way ANOVA untuk melihat

perbedaan yang terjadi antar kelompok. Rata-rata hasil

pemeriksaan hematologi tikus jantan dan betina dapat dilihat

pada tabel di bawah ini.

109

Tabel V.8. Nilai rerata analisis hematologi tikus coba

Parameter Rata-rata±SD

Kontrol Tablet fraksi EA Sambiloto (mg/kgBB)

I II III

Jantan Leukosit (103/mm3) 17,00±7,51a 17,58±5,19a 11,78±6,31a 14,58±3,83a Eritrosit (106/mm3) 7,44±0,58a 7,65±0,53a 6,94±0,95a 7,80±0,84a

Hematokrit (%) 41,00±2,74ab 39,50±1,73ab 35,20±4,71a 42,60±2,19b Betina

Leukosit (103/mm3) 8,96±4,84a 7,32±3,44a 9,64±2,79a 6,44±1,94a Eritrosit (106/mm3) 7,28±0,41a 7,78±0,24a 7,54±0,63a 7,56±0,63a

Hematokrit (%) 39,60±2,30a 42,20±0,84a 41,40±4,50a 40,40±3,78a Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama, menyatakan adanya perbedaan bermakna (P<0,05)

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar

leukosit, eritrosit, dan hematokrit dari tikus betina pada semua

kelompok perlakuan memiliki nilai P>0,05. Hal ini menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada kadar leukosit,

eritrosit, dan hematokrit dari tikus betina pada semua kelompok

perlakuan. Begitu juga dengan kadar leukosit dan eritrosit dari

tikus jantan pada semua kelompok perlakuan memiliki nilai

P>0,05, artinya tidak terdapat perbedaan bermakna pada kadar

leukosit dan eritrosit dari tikus jantan pada semua kelompok

perlakuan. Perbedaan bermakna ditemukan pada kadar hematokrit

dari tikus jantan (P<0,05) antara kelompok kontrol dengan

kelompok dosis II dan III, serta antara kelompok dosis II dan

110

kelompok dosis III. Kadar hematokrit berbeda bermakna namun

masih berada pada rentang kadar rata-rata normal. Nilai normal

leukosit, tikus jantan=3,0-14,5 x 103/µl, tikus betina=2,0-11,5 x

103/µl. Nilai normal eritrosit, tikus jantan dan betina=7,2-9,6 x

106/µl (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Nilai normal

hematokrit, tikus jantan dan betina=39-53% (Aboderin dan

Oyetayo, 2006).

Tabel V.9. Nilai rerata analisis hematologi tikus coba kelompok

satelit

Parameter Rata-rata±SD

Kontrol Satelit Satelit

Jantan Leukosit (103/mm3) 12,88±8,85 16,45±2,30 Eritrosit (106/mm3) 6,82±1,05 7,70±0,29

Hematokrit (%) 33,60±4,04 41,00±4,55 Betina

Leukosit (103/mm3) 4,92±0,69 5,40±2,12 Eritrosit (106/mm3) 7,75±0,13 8,00±0,45

Hematokrit (%) 41,50±1,00 42,20±3,03

Dari tikus betina satelit dan jantan satelit pada semua

kelompok perlakuan memiliki nilai P>0,05. Hal ini

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada

kadar leukosit, eritrosit, dan hematokrit dari betina satelit dan

jantan satelit. Artinya bahan uji tidak memberikan pengaruh

111

terhadap kadar leukosit, eritrosit, dan hematokrit dari betina

satelit dan jantan satelit pada semua kelompok perlakuan.

5.6 Data Hasil Analisis Makroskopik

Analisis makroskopik dilakukan untuk mengetahui

pengaruh bahan uji terhadap organ hepar dan ginjal dengan

parameter presentase berat organ relatif yang diperoleh dari

berat organ absolut hati dan ginjal yang dibagi dengan berat

badan tikus. Hasil analisis makroskopik hati dan ginjal tikus

coba kemudian dianalisis statistik dengan program SPSS one-

way ANOVA untuk melihat perbedaan yang terjadi antar

kelompok. Hasil rerata analisis makroskopik hati dan ginjal

tikus coba ditampilkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel V.10. Nilai rerata analisis makroskopik hati tikus coba

Berat Organ Hati (%)

Rata-rata±SD

Kontrol Tablet Fraksi EA Sambiloto (mg/kgBB)

I II III

Jantan 5,04±0,15c 3,86±0,47a 4,51±0,34bc 4,40±0,25ab

Betina 3,52±0,23a 3,44±0,17a 3,49±0,35a 3,83±0,32a

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama, menyatakan

adanya perbedaan bermakna (P<0,05)

Berdasarkan hasil uji statistik pada organ hati menunjukkan

bahwa tikus betina pada semua kelompok tidak berbeda

bermakna dengan P>0,05. Perbedaan bermakna terdapat pada

112

tikus jantan (P<0,05). Dari tikus jantan berbeda bermakna

antara kelompok kontrol dengan kelompok dosis I, II, dan III,

kemudian antara kelompok dosis I dengan kelompok dosis II

dan III, antara kelompok dosis II dengan kelompok dosis III.

Artinya bahan uji memberikan pengaruh terhadap makroskopis

hati tikus jantan antara kelompok kontrol dengan kelompok

dosis I, II, dan III, kemudian antara kelompok dosis I dengan

kelompok dosis II dan III, antara kelompok dosis II dengan

kelompok dosis III.

Tabel V.11. Nilai rerata analisis makroskopik hati tikus coba

kelompok satelit

Berat Organ Hati (%)

Rata-rata±SD

Kontrol satelit Satelit

Jantan 3,19±0,77a 4,44±1,14a

Betina 2,80±0,42a 3,86±0,38b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris

yang sama, menyatakan adanya perbedaan

bermakna (P<0,05)

Hasil analisis makroskopis hati dari tikus jantan satelit

pada semua kelompok tidak berbeda bermakna pada semua

kelompok dengan P>0,05. Perbedaan bermakna terdapat pada

tikus betina satelit (P<0,05). Pada tikus betina satelit perbedaan

113

bermakna ditemukan antara kelompok kontrol negatif dengan

kelompok dosis satelit. Artinya pemberian bahan uji

berpengaruh pada makroskopis hati tikus betina satelit antara

kelompok kontrol negatif dengan kelompok dosis satelit.

Tabel V.12. Nilai rerata analisis makroskopik ginjal tikus

coba

Berat Organ Ginjal (%)

Rata-rata±SD

Kontrol Tablet Fraksi EA Sambiloto (mg/kgBB)

I II III

Jantan 0,77±0,07a 0,77±0,09a 0,77±0,05a 0,81±0,09a

Betina 0,66±0,07ab 0,68±0,07ab 0,59±0,05a 0,71±0,04b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama, menyatakan

adanya perbedaan bermakna (P<0,05)

Hasil analisis makroskopis ginjal ditemukan

perbedaan bermakna pada makroskopik ginjal tikus betina

(P<0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok dosis

II dan III, serta antara kelompok dosis II dan kelompok

dosis III. Artinya bahan uji berpengaruh pada makroskopis

ginjal tikus betina antara kelompok kontrol dengan

kelompok dosis II dan III, serta antara kelompok dosis II

dan kelompok dosis III.

114

Tabel V.13. Nilai rerata analisis makroskopik ginjal tikus coba

kelompok satelit

Berat Organ Ginjal (%)

Rata-rata±SD

Kontrol satelit Satelit

Jantan 0,64±0,09 0,74±0,12

Betina 0,61±0,03 0,69±0,03

Makroskopis ginjal dari tikus jantan satelit dan betina

satelit pada semua kelompok memiliki nilai P>0,05. Hal ini

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada

makroskopik ginjal dari tikus jantan, jantan satelit, dan betina

satelit pada semua kelompok perlakuan. Artinya bahan uji tidak

memberikan pengaruh terhadap makroskopis ginjal tikus jantan

satelit dan betina satelit pada semua kelompok perlakuan.

5.7 Data Hasil Analisis Histopatologi

Analisis histopatologi untuk mengamati secara

mikroskopik preparat hati dan ginjal tikus menggunakan

mikroskop cahaya. Menggunakan perbesaran 400 kali dan

diamati melalui lima lapang pandang yang berbeda. Hasil

histopatologi hati dan ginjal tikus kemudian dianalisis statistik

Kruskal-Wallis untuk melihat perbedaan yang terjadi antar

kelompok. Kemudian apabila terdapat perbedaan yang nyata

115

diantara kelompok perlakuan, dapat dilanjutkan dengan Uji

Mann-Whitney. Hasil nilai rerata skoring analisis histopatologi

hati dan ginjal tikus coba ditampilkan dalam tabel sebagai

berikut:

Tabel V.14. Nilai rerata rank analisis histopatologi hati tikus

coba

Parameter kerusakan

Histopatologi hati

Mean rank

Kontrol Tablet fraksi EA Sambiloto (mg/kgBB)

I II III

Jantan

Kongesti 9,50a 9,50a 9,50a 13,50a

Nekrosis 3,00a 12,00b 12,00b 15,00b

Dilatasi s. 9,00a 9,00a 9,00a 15,00b

Oedema 7,00a 7,00a 10,50a 17,50b

Betina

Kongesti 10,50a 10,50a 10,50a 10,50a

Nekrosis 3,00a 12,50b 12,50b 14,00b

Dilatasi s. 5,60a 11,00ab 11,00ab 14,40b

Oedema 4,80a 9,00a 10,50a 17,70b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama, menyatakan adanya perbedaan bermakna (P<0,05)

Berdasarakan kriteria kerusakan hati dari tikus jantan tidak

ada perbedaan bermakna (P>0,05) pada kerusakan dengan

kongesti pada semua kelompok. Perbedaan bermakna dari tikus

116

jantan dengan kerusakan nekrosis terjadi antara kelompok

kontrol dengan kelompok dosis I, II, dan III. Artinya bahan uji

memberikan pengaruh pada hati tikus jantan dengan kerusakan

nekrosis kelompok kontrol dengan kelompok dosis I, II, dan III.

Perbedaan bermakna dari tikus jantan dengan kerusakan dilatasi

sinusoid terjadi antara kelompok dosis III dengan kelompok

kontrol, kelompok dosis I, dan dosis II. Artinya bahan uji

memberikan pengaruh pada hati tikus jantan dengan kerusakan

dilatasi sinusoid antara kelompok dosis III dengan kelompok

kontrol, kelompok dosis I, dan dosis II. Perbedaan bermakna

dari tikus jantan dengan kerusakan oedema terjadi antara

kelompok dosis III dengan kelompok kontrol, kelompok dosis I,

dan dosis II. Artinya bahan uji memberikan pengaruh pada hati

tikus jantan dengan kerusakan oedema antara kelompok dosis

III dengan kelompok kontrol, kelompok dosis I, dan dosis II.

Kriteria kerusakan hati dari tikus betina tidak ada

perbedaan bermakna (P>0,05) pada kerusakan dengan kongesti

pada semua kelompok. Perbedaan bermakna dari tikus betina

dengan kerusakan nekrosis terjadi antara kelompok kontrol

dengan kelompok dosis I, II, dan III. Artinya bahan uji

memberikan pengaruh pada hati tikus betina dengan kerusakan

nekrosis kelompok kontrol dengan kelompok dosis I, II, dan III.

Perbedaan bermakna dari tikus betina dengan kerusakan dilatasi

sinusoid terjadi antara kelompok kontrol dengan kelompok

dosis I, II, dan III, serta antara kelompok dosis III dengan dosis

I dan II. Artinya bahan uji memberikan pengaruh pada hati tikus

117

betina dengan kerusakan dilatasi sinusoid antara kelompok

kontrol dengan kelompok dosis I, II, dan III, serta antara

kelompok dosis III dengan dosis I dan II. Perbedaan bermakna

dari tikus betina dengan kerusakan oedema terjadi antara

kelompok dosis III dengan kelompok kontrol, kelompok dosis I,

dan dosis II. Artinya bahan uji memberikan pengaruh pada hati

tikus betina dengan kerusakan oedema antara kelompok dosis

III dengan kelompok kontrol, kelompok dosis I, dan dosis II.

Tabel V.15. Nilai rerata rank analisis histopatologi hati tikus

coba kelompok satelit

Parameter

kerusakan

Histopatologi hati

Mean rank

Kontrol satelit Satelit

Jantan

Kongesti 6,50 4,50

Nekrosis 5,50 5,50

Dilatasi s. 5,50 5,50

Oedema 6,00 5,00

Betina

Kongesti 6,50 4,50

Nekrosis 6,00 5,00

Dilatasi s. 6,00 5,00

Oedema 5,90 5,10

118

Dari tikus jantan satelit dan betina satelit tidak ditemukan

perbedaan yang bermakna (P>0,05) pada hati dengan kerusakan

kongesti, nekrosis, dilatasi sinusoid, dan oedema. Artinya bahan

uji tidak memberikan pengaruh pada hati tikus jantan satelit dan

betina satelit dengan kerusakan kongesti, nekrosis, dilatasi

sinusoid, dan oedema pada semua kelompok.

Tabel V.16. Nilai rerata rank analisis histopatologi ginjal tikus

coba

Parameter

Kerusakan

Histopatologi ginjal

Mean rank

Kontrol Tablet fraksi EA Sambiloto (mg/kgBB)

I II III

Jantan

Granular c. 8,00a 8,00a 8,00a 18,00b

Cellular c. 10,50a 10,50a 10,50a 10,50a

Degenerasi h. 9,50a 9,50a 9,50a 13,50a

Nekrosis 10,50a 10,50a 10,50a 10,50a

Betina

Granular c. 8,00a 8,00a 8,00a 18,00b

Cellular c. 10,50a 10,50a 10,50a 10,50a

Degenerasi h. 10,50a 10,50a 10,50a 10,50a

Nekrosis 10,50a 10,50a 10,50a 10,50a

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama, menyatakan adanya perbedaan bermakna (P<0,05)

119

Untuk kriteria kerusakan ginjal dari tikus jantan dan betina

tidak ada perbedaan bermakna (P>0,05) yang terdapat pada

ginjal dengan kerusakan cellular cast, degenerasi hidrofik, dan

nekrosis pada semua kelompok. Perbedaan bermakna terdapat

pada ginjal tikus jantan dan betina dengan kerusakan granular

cast yang terjadi antara kelompok dosis III dengan kelompok

kontrol, kelompok dosis I dan II. Artinya bahan uji berpengaruh

pada ginjal tikus jantan dan betina dengan kerusakan granular

cast antara kelompok dosis III dengan kelompok kontrol,

kelompok dosis I dan II.

120

Tabel V.17. Nilai rerata rank analisis histopatologi ginjal tikus

coba kelompok satelit

Parameter Kerusakan

Histopatologi ginjal

Mean rank

Kontrol satelit Satelit

Jantan

Granular c. 5,50 5,50

Cellular c. 5,50 5,50

Degenerasi h. 6,50 4,50

Nekrosis 5,50 5,50

Betina

Granular c. 5,50 5,50

Cellular c. 5,50 5,50

Degenerasi h. 6,50 4,50

Nekrosis 5,50 5,50

Dari tikus jantan satelit dan betina satelit tidak ditemukan

perbedaan bermakna (P>0,05) pada ginjal dengan kerusakan

granular cast, cellular cast, degerasi hidrofik, dan nekrosis.

Artinya bahan uji tidak memberikan pengaruh pada ginjal tikus

jantan satelit dan betina satelit dengan kerusakan granular cast,

cellular cast, degerasi hidrofik, dan nekrosis pada semua

kelompok.

121

Gambar 5.3. Mikroskopis hati dengan kongesti, perbesaran

400x

Gambar 5.4. Mikroskopis hati dengan dilatasi sinusoid,

perbesaran 400x

122

Gambar 5.5. Mikroskopis hati dengan nekrosis, perbesaran

400x

Gambar 5.6. Mikroskopis hati dengan oedema (vacoulisasi

sitoplasma), perbesaran 400x

123

Gambar 5.7. Mikroskopis ginjal normal, panah merah :

glomerulus, panah biru : tubulus distal, panah hijau : tubulus

proximal; pembesaran 100x

Gambar 5.8. Mikroskopis ginjal dengan granular cast,

perbesaran 400x.

124

Gambar 5.9. Mikroskopis ginjal, panah hijau : degenerasi

hidrofik, panah biru: granular cast, pembesaran 400x

Gambar 5.10. Mikroskopis ginjal dengan nekrosis, perbesaran

400x

125

BAB VI

PEMBAHASAN

Sambiloto mengandung senyawa utama berupa andrografolida.

Ekstrak, fraksi dan senyawa utama dari tanaman ini berpotensi

sebagai antimalaria baik in vivo maupun in vitro yang dapat

menghambat pertumbuhan parasit malaria (Suyanto, 1995; Dina,

2004; Sri, 2001; Widyawaruyanti, 1995; 2004). Pada uji in vitro

diketahui memiliki aktivitas antimalaria terhadap Plasmodium

falciparum dengan nilai IC50 sebesar 7,2 µg/ml. Secara in vivo

diketahui isolat andrografolid menghambat 50% menghambat

Plasmodium burghei (ED50) sebesar 3,60 mg/kg BB. Ekstrak

Sambiloto dilaporkan memiliki aktivitas antimalaria dengan harga

ED50 sebesar 12,23 mg/kg BB yang setara dengan 1,32 mg

andrografolid per kg BB (Kusumawardhani, 2005; Dini, 2001;

Widyawaruyanti, 2001). Saat ini, tablet fraksi etil asetat Sambiloto

dikembangkan sebagai sediaan fitofarmaka antimalaria. Sediaan

fitofarmaka harus memenuhi persyaratan efikasi, kualitas, dan

keamanan yang terjamin (Widyawaruyanti dkk., 2014). Penelitian

ini difokuskan untuk mengamati keamanan tablet fraksi etil asetat

Sambiloto dengan melakukan uji toksisitas subkronik.

Uji toksisitas subkronik bertujuan untuk mengetahui dosis

tertinggi yang diberikan tanpa memberikan efek merugikan dan

untuk mengetahui pengaruh sediaan terhadap tubuh akibat

pemberiaan berulang. Persyaratan uji toksisitas yang dilakukan

dalam penelitian ini telah sesuai dengan kriteria BPOM tahun 2014,

126

yaitu jenis hewan yang digunakan harus dipertimbangkan

berdasarkan sensitivitas, cara metabolism sediaan uji yang serupa

dengan manusia, kecepatan tumbuh serta mudah tidaknya cara

penanganan sewaktu dilakukan percobaan. Hewan pengerat

merupakan jenis hewan yang memenuhi persyaratan tersebut,

sehingga paling banyak digunakan pada uji toksisitas. Hewan yang

digunakan harus sehat; asal, jenis dan galur, jenis kelamin, usia serta

berat badan harus jelas. Biasanya digunakan hewan muda dewasa,

dengan variasi bobot tidak lebih dari 20%. Hewan coba yang

digunakan pada penelitian ini adalah tikus galur wistar dengan

rentang umur 6-8 minggu dan berat badan 120-200 gram.

6.1 Efek tablet fraksi EA terhadap pertambahan berat badan

tikus coba

Selama masa perlakuan hewan coba tikus ditimbang 3 hari

sekali selama 28 hari untuk melihat efek tablet fraksi EA terhadap

perubahan berat badan tikus. Pengamatan terhadap perubahan berat

badan tikus coba digunakan sebagai indikator untuk melihat efek

samping yang ditimbulkan oleh obat atau senyawa kimia. Suatu obat

diketahui memiliki efek samping jika terjadi penurunan berat badan

secara signifikan sebesar 10% dari berat awal. Berdasarkan data

rerata penimbangan berat badan tikus coba pada Lampiran 7, berat

badan tikus coba sudah bervariatif dari awal penimbangan, sehingga

berpengaruh pada penimbangan selanjutnya. Maka analisisnya

dilakukan dengan melihat rerata pertambahan berat badan yang

diperoleh dari selisih berat badan hari pertama dengan hari terakhir

127

penelitian, tercantum pada tabel V.2 dan V.3. Pada grafik diketahui

berat badan tikus jantan dan betina pada semua kelompok

mengalami kenaikan. Berdasarkan analisis statistik (one-way

ANOVA) diketahui berat badan tikus jantan dan betina tidak

berbeda bermakna (P>0,05) pada semua kelompok. Hal ini

menunjukkan kenaikan berat badan tersebut tidak dipengaruhi oleh

pemberian tablet fraksi EA. Namun, kenaikan disebabkan

bertambahnya umur tikus coba.

6.2 Efek tablet terhadap hasil pemeriksaan kimia klinik pada

hati tikus coba

Pemeriksaan kimia klinik pada hati tikus coba meliputi

pemeriksaan kadar SGOT, Gamma GT, dan SGPT. Dari tikus

jantan, betina, jantan satelit, dan betina satelit berdasarkan hasil

analisis statistik pada tabel V.4 diketahui kadar SGOT, Gamma GT,

dan SGPT pada semua kelompok tidak berbeda bermakna. Artinya

pemberian bahan uji tidak berpengaruh terhadap kadar SGOT,

Gamma GT, dan SGPT tikus coba. Kadar SGOT dan Gamma GT

pada seluruh kelompok masih masuk dalam rentang kadar normal

dari literatur, Lampiran 4. Namun, kadar SGPT pada seluruh

kelompok melebihi rentang kadar normal dari literatur, Lampiran 4.

SGPT merupakan enzim hati yang lebih sensitif terhadap adanya

kerusakan hati dibandingkan SGOT dikarenakan sumber utama

SGPT ada di hati. Sedangkan SGOT banyak terdapat pada jaringan

jantung, otot rangka, ginjal, dan otak. SGOT dan SGPT

mencerminkan keutuhan atau integrasi sel-sel hati, apabila kedua

128

enzim tersebut meningkat maka tingkat kerusakan sel-sel hati

semakin tinggi (Cahyono, 2009). Nilai SGPT pada tikus coba

kadarnya sangat tinggi pada semua kelompok, hal ini bisa

disebabkan adanya faktor fisiologis yang terganggu dari organ hati.

Hal bisa dihubungkan dari hasil analisis histopatologi hati dimana

terjadi kerusakan ringan sampai kerusakan yang berat dengan

parameter kongesti, nekrosis, dilatasi sinusoid, dan oedema pada

jaringan hati.

6.3 Efek tablet terhadap hasil pemeriksaan kimia klinik pada

ginjal tikus coba

Pemeriksaan kimia klinik pada ginjal tikus coba meliputi

pemeriksaan kadar BUN dan kreatinin. BUN merupakan urea dalam

plasma darah yang terbentuk dari proses akhir katabolisme asam

amino. Urea dalam darah direabsorpsi ke dalam medulla ginjal dan

diekskresikan melalui urin. Urea dalam darah dan urea dalam urin

dapat digunakan untuk mengetahui efektivitas fungsi ginjal. Maka

konsentrasi urea plasma akan meningkat pada kondisi gangguan

fungsi ginjal karena adanya penurunan proses filtrasi glomerolus

(Sumaryono W. dkk., 2008). Hasil analisis statistik dari tikus jantan,

betina, dan jantan satelit tidak ditemukan perbedaan bermakna pada

kadar BUN. Artinya pemberian bahan uji tidak memberikan

pengaruh pada kadar BUN tikus jantan, betina, dan jantan satelit.

Namun, perbedaan kadar BUN ditemukan dari tikus betina satelit

antara kelompok kontrol satelit dengan kelompok satelit. Kadar

BUN dari tikus betina kelompok satelit masih dalam rentang normal

129

yaitu 10-19 mg/dl (Hall Robert L., 1992). Sedangkan dari tikus

betina kelompok kontrol satelit memiliki nilai kadar BUN melebihi

rentang normal dari literatur, tetapi masih dalam rentang normal

kelompok kontrol negatif dan kelompok perlakuan yang sama-sama

memiliki kadar BUN tinggi. Kadar BUN yang tinggi pada semua

kelompok perlakuan karena faktor fisiologis ginjal terganggu. Hal

ini dapat dihubungkan dengan hasil analisis histopatologi ginjal,

namun pada ginjal hanya terjadi kerusakan ringan dengan parameter

granular cast dan degenerasi hidrofik pada beberapa kelompok

sedangkan nilai BUN tinggi pada semua kelompok. Maka dapat

dilakukan penambahan parameter kerusakan pada histopatologi

ginjal untuk melihat adanya kerusakan lain yang menyebabkan nilai

BUN semua kelompok tinggi.

Perbedaan bermakna juga ditemukan pada kadar kreatinin dari

tikus jantan, betina, dan betina satelit. Kadar kreatinin berkaitan

dengan fungsi organ ginjal. Kreatinin merupakan produk sisa yang

diekskresikan oleh ginjal terutama melalui filtrasi glomerulus.

Konsentrasi kreatinin dalam plasma tidak dipengaruhi oleh jumlah

air yang diminum, beban kerja, dan kecepatan produksi urin

sehingga kenaikan kadar kreatinin dalam plasma mengindikasikan

adanya penurunan ekskresi yang disebabkan oleh adanya gangguan

fungsi ginjal (Sumaryono W. dkk., 2008). Hasil uji Post Hoc Test

dari tikus jantan didapatkan hasil nilai P<0,05, kadar kreatinin

antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok dosis 50 mg/kg,

dosis 327 mg/kg, dan dosis 1000 mg/kg adalah 0,047; 0,002; dan

130

0,005, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian bahan uji

berpengaruh terhadap kadar kreatinin tikus jantan namun kadar

tersebut masih dalam rentang normal yaitu 0,30-1,00 mg/dl

(Doloksaribu, 2008). Uji Post Hoc Test dari tikus betina didapatkan

hasil nilai P<0,05, kadar kreatinin antara kelompok kontrol negatif

dengan kelompok dosis 327 mg/kg adalah 0,001 dan antara

kelompok dosis 327 mg/kg dengan kelompok dosis 1000 mg/kg

adalah 0,004. Ini menunjukkan ada perbedaan bermakna antara

dosis 327 mg/kg dan dosis 1000 mg/kg terhadap kadar kreatinin

tikus betina, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian bahan

uji berpengaruh terhadap kadar kreatinin tikus betina, namun kadar

kreatinin masih dalam rentang normal, yaitu 0,30-1,00 mg/dl

(Doloksaribu, 2008). Artinya pemberian bahan uji memberikan

pengaruh terhadap kadar kreatinin dari tikus jantan; betina; dan

betina satelit, yaitu bahan uji menurunkan kadar kreatinin menjadi

normal dapat dilihat pada kelompok kontrol dari tikus jantan yang

kadarnya tinggi kemudian setelah diberi perlakuan menjadi normal.

6.4 Efek tablet terhadap hasil pemeriksaan hematologi tikus

coba

Pemeriksaan hematologi meliputi pemeriksaan kadar leukosit,

eritrosit, dan hematokrit. Leukosit (sel darah putih) berperan

melawan mikroorganisme pada reaksi imun untuk membantu proses

penyembuhan. Peningkatan kadar leukosit (Leukositosis)

merupakan respon normal terhadap infeksi atau proses peradangan

(Corwin EJ., 2007). Hasil analisis terhadap kadar leukosit dan

131

eritrosit pada tikus jantan tidak berbeda bermakna. Namun, kadar

leukosit pada tikus jantan melebihi rentang normal yaitu tikus jantan

3,0-14,5 x103/µl (Hall Robert L., 1992). Kadar leukosit yang tinggi

pada tikus jantan disebabkan karena adanya infeksi atau proses

peradangan terutama pada organ hati dan ginjal.

Pemeriksaan hematologi kadar leukosit, eritrosit, dan

hematokrit dari tikus betina, jantan satelit, dan betina satelit pada

semua kelompok masuk dalam rentang normal, yaitu 39-53%

(Aboderin dan Oyetayo, 2006). Hasil analisis menunjukkan tidak

ada perbedaan bermakna pada kadar leukosit, eritrosit, dan

hematokrit dari tikus betina, jantan satelit, dan betina satelit pada

semua kelompok (P>0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa

pemberian bahan uji tidak mempengaruhi kadar leukosit, eritrosit,

dan hematokrit dari tikus betina, jantan satelit, dan betina satelit

pada semua kelompok.

Perbedaan ditemukan pada kadar hematokrit dari tikus jantan.

Hematokrit merupakan persentase sel darah merah terhadap volume

darah total. Penurunan kadar hematokrit merupakan indikator

anemia, reaksi hemolitik, leukemia, sirosis, kehilangan banyak

darah dan hipertiroid. Penurunan hematokrit sebesar 30%

menunjukkan anemia sedang hingga parah. Peningkatan kadar

hematokrit dapat terjadi pada eritrositosis, dehidrasi, kerusakan

paru-paru kronik, polisitemia dan syok. Kadar hematokrit <20%

dapat menyebabkan gagal jantung dan kematian, sedangkan jika

>60% terkait dengan pembekuan darah spontan (Kallis SG. et al.,

1980). Hasil uji Post Hoc Test didapatkan nilai P<0,05 antara

132

kelompok kontrol negatif dengan kelompok dosis 327 mg/kg adalah

0,01 dan antara kelompok dosis 327 mg/kg dengan kelompok dosis

1000 mg/kg adalah 0,002. Artinya pemberian bahan uji berpengaruh

terhadap kadar hematokrit tikus jantan antara kelompok kontrol

dengan kelompok dosis 327 mg/kg dan kelompok dosis 327 mg/kg

dengan kelompok dosis 1000 mg/kg. Kadar hematokrit tikus jantan

pada kelompok dosis 1000 mg/kg masih dalam rentang kadar

normal, tetapi pada kelompok kontrol satelit dan kelompok dosis

327 mg/kg kadar hematokrit menurun di bawah rentang normal

yaitu 39-53% (Aboderin dan Oyetayo, 2006). Penurunan kadar

hematokrit tikus jantan kelompok kontrol satelit dan kelompok dosis

327 mg/kg tidak lebih dari 30% dan kadarnya tidak kurang dari

20%, sehingga penurunan tersebut masih aman.

6.5 Efek tablet terhadap makroskopik hati tikus coba

Analisis makroskopik hati untuk mengetahui pengaruh bahan

uji terhadap organ hati yang diperoleh dari berat organ dibagi

dengan berat badan tikus. Berdasarkan hasil uji statistik

menunjukkan bahwa makroskopik hati dari tikus betina dan jantan

satelit pada semua kelompok memiliki nilai P>0,05. Perbedaan

bermakna ditemukan pada makroskopik hati dari tikus jantan dan

betina satelit (P<0,05) pada semua kelompok. Hasil uji Post Hoc

Test dari tikus jantan didapatkan hasil nilai P<0,05 antara kelompok

kontrol dengan kelompok perlakuan (dosis 50 mg/kg, dosis 327

mg/kg, dan 1000 mg/kg) dengan nilai P yaitu 0,000; 0,018; dan

0,006, antara kelompok dosis 50 mg/kg dengan kelompok dosis 327

mg/kg nilai P yaitu 0,006, dan antara kelompok dosis 50 mg/kg

133

dengan kelompok dosis 1000 mg/kg nilai P yaitu 0,018. Dari tikus

betina satelit nilai P<0,05 antara kelompok kontrol satelit dengan

dosis satelit adalah 0,005. Artinya bahan uji memberikan pengaruh

terhadap makroskopis hati dari tikus jantan dan betina satelit pada

semua kelompok.

6.5 Efek tablet terhadap makroskopik ginjal tikus coba

Makroskopik ginjal untuk mengetahui pengaruh bahan uji

terhadap organ ginjal yang diperoleh dari berat organ dibagi dengan

berat badan tikus. Makroskopik ginjal dari tikus jantan dan jantan

satelit pada semua kelompok memiliki nilai P>0,05. Hal ini

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada

makroskopik ginjal tikus jantan dan jantan satelit pada semua

kelompok. Perbedaan bermakna makroskopik ginjal dari tikus betina

dan betina satelit (P<0,05) pada semua kelompok. Hasil uji Post

Hoc Test dari tikus betina didapatkan hasil nilai P<0,05 antara

kelompok dosis 50 mg/kg dengan kelompok dosis 327 mg/kg dan

antara kelompok dosis 327 mg/kg dengan kelompok dosis 1000

mg/kg dengan nilai P yaitu 0,035 dan 0,006. Dari tikus betina satelit

nilai P<0,05 antara kelompok kontrol satelit dengan dosis satelit

adalah 0,004. Artinya bahan uji memberikan pengaruh terhadap

makroskopis ginjal dari tikus betina dan betina satelit pada semua

kelompok.

134

6.6 Efek tablet terhadap histopatologi hati tikus coba

Histopatologi dilakukan untuk mengamati secara mikroskopik

adanya kerusakan hati tikus coba. Terjadinya kerusakan hati

umumnya disebabkan oleh gangguan keseimbangan dari ion-ion,

cairan, atau produk-produk metabolisme seperti lemak bebas

maupun hasil penguraian dari membrane fospolipid. Keadaan

tersebut dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan

cairan yang berupa pembengkakan sel maupun degenerasi selular

(Evans dan Butler, 1993).

Parameter untuk melihat kerusakan pada hati adalah kongesti,

dilatasi sinusoid, nekrosis dan oedema. Kongesti dan dilatasi

sinusoid dapat terjadi karena adanya desakan pada dinding hati

akibat terjadinya pembendungan pada vena oleh zat toksik.

Penyebab lain terjadinya dilatasi sinusoid bisa disebabkan terjadinya

degenerasi lemak yang parah sehingga terbentuk vacuola lemak

secara merata (Ressang, 1984). Oedema (vacoulisasi sitoplasma)

merupakan disfungsi parenkim yang disebabkan oleh terjadinya

degenerasi akibat penimbunan lemak yang dapat juga menyebabkan

terjadinya nekrosis sentrolobular. Nekrosis sendiri ditandai dengan

pembengkakan sel, kebocoran membran, dan disintegrasi inti

(Huxtable, 1988).

Hasil analisis histopatologi untuk kriteria kerusakan hati dengan

kongesti, pada tikus jantan; tikus betina; tikus jantan satelit; dan

tikus betina satelit tidak berbeda bermakna (P>0,05) dengan nilai P

135

sebesar 0,096; 1; 0,221; dan 0,134. Hasil analisis nekrosis pada tikus

jantan satelit dan betina satelit tidak berbeda bermakan dengan nilai

P sebesar 1 dan 0,549. Perbedaan bermakna pada parameter nekrosis

ditemukan pada tikus jantan dan betina dengan nilai P sebesar 0,001.

Kerusakan dengan dilatasi sinusoid pada tikus jantan satelit dan

betina satelit tidak berbeda bermakna dengan nilai P sebesar 1 dan

0,513. Perbedaan bermakna pada parameter dilatasi sinusoid

ditemukan pada tikus jantan dan tikus betina. Kerusakan dengan

oedema pada tikus jantan satelit dan betina satelit tidak berbeda

bermakna dengan nilai P sebesar 0,513 dan 0,606. Perbedaan

ditemukan pada tikus jantan dan betina didapatkan nilai P<0,05,

yaitu sebesar 0,002. Dari analisis histopatologi hati kelompok satelit

tikus jantan maupun betina memang tidak berbeda bermakna antara

kelompok kontrol satelit dan kelompok dosis satelit, namun hasil

rerata rank pada kelompok kontrol satelit tikus jantan dan betina jika

dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif yang sama-sama

diberi suspensi CMC-Na 0,5% hasilnya berbeda bermakna (P<0,05),

namun diketahui suspensi CMC-Na 0,5% berperan sebagai

pembawa bahan uji yang tidak memiliki pengaruh terhadap

histopatologi hati tikus coba. Maka hal ini dapat terjadi karena

faktor fisiologis hati tikus coba yang terganggu khususnya pada

kelompok kontrol negatif maupun kelompok kontrol satelit. Hal ini

dapat dihubungkan dengan kadar SGPT yang tinggi dalam

pemeriksaan kimia klinik yang terjadi pada semua kelompok dari

tikus jantan dan betina.

136

Hasil uji Mann-Whitney dari tikus jantan dengan parameter

nekrosis perbedaan bermakna ditemukan antara kelompok kontrol

dengan kelompok dosis 50 mg/kg, 327 mg/kg, dan 1000 mg/kg.

Artinya bahan uji memberikan pengaruh pada parameter nekrosis

dari tikus jantan terhadap kelompok kontrol dengan kelompok dosis

50 mg/kg, 327 mg/kg, dan 1000 mg/kg. Parameter dilatasi sinusoid

ditemukan perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dengan

kelompok dosis 1000 mg/kg dan antara kelompok dosis 1000 mg/kg

dengan kelompok dosis 50 mg/kg dan 327 mg/kg. Artinya bahan uji

memberikan pengaruh pada parameter dilatasi sinusoid dari tikus

jantan terhadap kelompok kontrol dengan kelompok dosis 1000

mg/kg dan antara kelompok dosis 1000 mg/kg dengan kelompok

dosis 50 mg/kg dan 327 mg/kg. Parameter oedema ditemukan

perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok

dosis 1000 mg/kg dan antara kelompok dosis 1000 mg/kg dengan

kelompok dosis 50 mg/kg dan 327 mg/kg. Artinya bahan uji

memberikan pengaruh pada parameter oedema dari tikus jantan

terhadap kelompok kontrol dengan kelompok dosis 1000 mg/kg dan

antara kelompok dosis 1000 mg/kg dengan kelompok dosis 50

mg/kg dan 327 mg/kg. Bahan uji menimbulkan perubahan

histopatologi hati berupa kerusakan nekrosis, dilatasi sinusoid, dan

oedema pada tikus jantan. Pada tikus jantan dan betina, nekrosis

terjadi pada semua kelompok perlakuan dengan tingkat kerusakan

ringan sampai sedang, kemudian dilatasi sinusoid dan oedema

terjadi pada semua kelompok perlakuan dengan tingkat kerusakan

ringan sampai berat.

137

Hasil uji Mann-Whitney dari tikus betina dengan parameter

nekrosis perbedaan bermakna ditemukan antara kelompok kontrol

dengan kelompok dosis 50 mg/kg, 327 mg/kg, dan 1000 mg/kg.

Artinya bahan uji memberikan pengaruh pada parameter nekrosis

dari tikus betina terhadap kelompok kontrol dengan kelompok dosis

50 mg/kg, 327 mg/kg, dan 1000 mg/kg. Parameter dilatasi sinusoid

ditemukan perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dengan

kelompok dosis 50 mg/kg, 327 mg/kg, dan 1000 mg/kg dan antara

kelompok dosis 1000 mg/kg dengan kelompok dosis 50 mg/kg dan

327 mg/kg. Artinya bahan uji memberikan pengaruh pada parameter

dilatasi sinusoid dari tikus betina terhadap kelompok kontrol dengan

kelompok dosis 1000 mg/kg dan antara kelompok dosis 1000 mg/kg

dengan kelompok dosis 50 mg/kg dan 327 mg/kg. Parameter

oedema ditemukan perbedaan bermakna antara kelompok kontrol

dengan kelompok dosis 1000 mg/kg dan antara kelompok dosis

1000 mg/kg dengan kelompok dosis 50 mg/kg dan 327 mg/kg.

Artinya bahan uji memberikan pengaruh pada parameter oedema

dari tikus betina terhadap kelompok kontrol dengan kelompok dosis

1000 mg/kg dan antara kelompok dosis 1000 mg/kg dengan

kelompok dosis 50 mg/kg dan 327 mg/kg. Bahan uji menimbulkan

perubahan histopatologi hati berupa kerusakan nekrosis, dilatasi

sinusoid, dan oedema pada tikus betina. Pada tikus jantan dan

betina, nekrosis terjadi pada semua kelompok perlakuan dengan

tingkat kerusakan ringan sampai sedang, Kemudian dilatasi sinusoid

dan oedema terjadi pada semua kelompok perlakuan dengan tingkat

kerusakan ringan sampai berat.

138

6.6 Efek tablet terhadap histopatologi ginjal tikus coba

Parameter untuk melihat kerusakan pada ginjal adalah granular

cast, cellular cast, degenerasi hidrofik, dan nekrosis. Kerusakan

pada ginjal seperti degenerasi hidrofik terjadi karena permeabilitas

dinding sel yang terganggu akibat mekanisme toksisitas senyawa

xenobiotik, selain itu terjadi akibat gangguan pada metabolisme

energi di dalam sel terutama mekanisme transport aktif Na+/K+-

ATP-ase (Price dan Wilson, 1984). Cellular cast merupakan

kelainan ginjal yang menunjukkan adanya peradangan yang

mengenai tubulus, jaringan peritubulus atau glomerolus, biasanya

dari glomerolus yang rusak. Sedangkan granular cast merupakan

gangguan parenkim ginjal yang menunjukkan kombinasi

peradangan dan pendarahan atau menunjukkan kerusakan yang telah

menyatu (berintegrasi) dan lepas ke dalam lumen tubulus (Fehally J.

and Johnson JJ., 2000).

Kriteria kerusakan ginjal dengan glanular cast, pada tikus

jantan satelit dan betina satelit tidak berbeda bermakna dengan nilai

P sebesar 1. Dari analisis histopatologi ginjal kelompok satelit tikus

jantan maupun betina memang tidak berbeda bermakna antara

kelompok kontrol satelit dan kelompok dosis satelit, namun hasil

rerata rank pada kelompok kontrol satelit tikus jantan dan betina jika

dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif yang sama-sama

diberi suspensi CMC-Na 0,5% hasilnya berbeda bermakna (P<0,05),

namun diketahui suspensi CMC-Na 0,5% berperan sebagai

pembawa bahan uji yang tidak memiliki pengaruh terhadap

139

histopatologi ginjal tikus coba. Maka hal ini dapat terjadi karena

faktor fisiologis ginjal tikus coba yang terganggu khususnya pada

kelompok kontrol negatif maupun kelompok kontrol satelit. Hal ini

dapat dihubungkan dengan kadar BUN yang tinggi dalam

pemeriksaan kimia klinik yang terjadi pada semua kelompok dari

tikus jantan dan betina.

Selanjutnya perbedaan bermakna ditemukan pada tikus jantan

dan betina didapatkan glanular cast dengan P<0,05, yaitu sebesar 0.

Hasil uji Mann-Whitney dari tikus jantan dan betina pada parameter

granular cast ditemukan perbedaan bermakna antara kelompok

kontrol dengan kelompok dosis 1000 mg/kg dan antara kelompok

dosis 1000 mg/kg dengan kelompok dosis 50 mg/kg dan 327 mg/kg.

Artinya bahan uji memberikan pengaruh pada parameter granular

cast dari tikus jantan dan betina terhadap kelompok dosis 1000

mg/kg dan antara kelompok dosis 1000 mg/kg dengan kelompok

dosis 50 mg/kg dan 327 mg/kg. Kerusakan dengan cellular cast

pada tikus jantan, betina, jantan satelit, dan betina satelit tidak

berbeda bermakna (P>0,05) dengan nilai P masing-masing sebesar

1. Cellular cast tidak ditemukan dalam penelitian ini. Kerusakan

dengan degenerasi hidrofik pada tikus jantan, betina, jantan satelit,

dan betina satelit tidak berbeda bermakna (P>0,05) dengan nilai P

sebesar 0,096; 1; 0,134; dan 0,134. Kerusakan ginjal dengan

nekrosis pada tikus jantan, betina, jantan satelit, dan betina satelit

tidak berbeda bermakna (P>0,05) dengan nilai P masing-masing

sebesar 1. Artinya bahan uji tidak memberikan pengaruh pada

140

histopatologi ginjal tikus coba dengan kerusakan degenerasi hidrofik

dan nekrosis. Bahan uji menimbulkan perubahan histopatologi ginjal

berupa granular cast pada tikus jantan dan betina yang terjadi pada

dosis 1000 mg/kg dan dosis satelit dengan tingkat kerusakan ringan.

Berdasarkan analisis hasil pemeriksaan dari berbagai parameter

pada uji toksisitas subkronik tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto

dengan dosis 50 mg/kg, 327 mg/kg, dan 1000 mg/kg yang diberikan

perlakuan selama 28 hari dan pada dosis satelit yaitu 1000 mg/kg

diberikan perlakuan selama 42 hari menimbulkan efek toksisitas

subkronis pada hati dan ginjal tikus wistar berdasarkan hasil analisis

diketahui terjadi perubahan histopatologi hati dengan parameter

nekrosis, dilatasi sinusoid, dan oedema. Nekrosis terjadi pada semua

kelompok perlakuan dengan tingkat kerusakan ringan sampai

sedang, kemudian dilatasi sinusoid dan oedema pada semua

kelompok perlakuan dengan tingkat kerusakan ringan sampai berat.

Serta diketahui terjadi perubahan histopatologi ginjal dengan

parameter granular cast pada tikus jantan dan betina pada dosis

1000 mg/kg dan dosis satelit dengan tingkat kerusakan ringan.

Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai efek toksik dari

tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto, seperti diantaranya

penggunaan hewan coba lain (selain tikus galur wistar) dan

menggunakan organ lain (selain hati dan ginjal). Uji toksisitas

subkronis ini diketahui memiliki 2 metode berdasarkan lamanya

waktu penelitian, antara lain selama 28 hari (seperti yang dilakukan

141

peneliti) dan selama 90 hari (BPOM, 2014). Penelitian uji toksisitas

subkronis selama 28 hari diketahui telah menimbulkan toksisitas

subkronis pada hati dan ginjal tikus wistar melalui hasil analisis

histopatologi, maka tidak perlu dilanjutkan untuk penelitian uji

toksisitas subkronis selama 90 hari. Sehingga tablet fraksi EA-96

herba Sambiloto dapat terus dikembangkan menjadi sediaan

fitofarmaka antimalaria.

142

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian, tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto

dengan dosis 50 mg/kg, 327mg/kg, dan 1000 mg/kg yang

diberikan perlakuan selama 28 hari dan pada dosis satelit yaitu

1000 mg/kg diberikan perlakuan selama 42 hari dapat

disimpulkan bahwa:

1. Berdasarkan pemeriksaan kimia klinik:

1.1 Pemberian tablet antimalaria fraksi EA-96 herba

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) tidak

menimbulkan efek toksisitas subkronis pada hati tikus

wistar dengan parameter SGOT, Gamma GT, dan

SGPT pada semua kelompok perlakuan.

1.2 Pemberian tablet antimalaria fraksi EA-96 herba

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

menimbulkan efek toksisitas subkronis pada ginjal

tikus wistar dengan parameter BUN dan kreatinin.

BUN dari tikus betina antara kelompok kontrol satelit

dengan dosis satelit. Kreatinin dari tikus jantan antara

kelompok kontrol dengan kelompok dosis 50 mg/kg,

327 mg/kg, dan 1000 mg/kg, serta antara kelompok

dosis 50 mg/kg dengan kelompok dosis 327 mg/kg.

Kreatinin dari tikus betina antara kelompok kontrol

143

dengan kelompok dosis 50 mg/kg dan 327 mg/kg,

antara kelompok dosis 50 mg/kg dan kelompok dosis

327 mg/kg, dan antara kelompok kontrol satelit dengan

kelompok dosis satelit. Kadar BUN dan kreatinin

masih berada pada kadar rata-rata normal dari literatur.

2. Berdasarkan pemeriksaan hematologi:

2.1 Pemberian tablet antimalaria fraksi EA-96 herba

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

menimbulkan efek toksisitas subkronis pada tikus

wistar dengan parameter hematokrit. Pada tikus jantan

antara kelompok kontrol dengan kelompok dosis 50

mg/kg dan 327 mg/kg, serta antara kelompok dosis

327 mg/kg dengan kelompok dosis 1000 mg/kg. Kadar

hematokrit masih berada pada rentang kadar rata-rata

normal dari literatur.

3. Berdasarkan analisis histopatologi:

3.1 Pemberian tablet antimalaria fraksi EA-96 herba

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

menimbulkan efek toksisitas subkronis pada hati tikus

wistar berdasarkan hasil analisis terjadi perubahan

histopatologi hati dengan parameter nekrosis, dilatasi

sinusoid, dan oedema. Pada tikus jantan dan betina,

nekrosis terjadi pada semua kelompok perlakuan

dengan tingkat kerusakan ringan sampai sedang,

kemudian dilatasi sinusoid dan oedema terjadi pada

144

semua kelompok perlakuan dengan tingkat kerusakan

ringan sampai berat.

3.2 Pemberian tablet antimalaria fraksi EA-96 herba

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

menimbulkan efek toksisitas subkronis pada ginjal

tikus wistar berdasarkan hasil analisis terjadi

perubahan histopatologi ginjal dengan parameter

granular cast pada tikus jantan dan betina pada dosis

1000 mg/kg dan dosis satelit dengan tingkat kerusakan

ringan.

7.2 SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disarankan:

1. Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai toksisitas dari

tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto dengan menggunakan

hewan coba lain (selain tikus galur wistar).

2. Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai toksisitas dari

tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto dengan menggunakan

organ lain (selain hati dan ginjal) pada hewan coba.

3. Pada penelitian uji toksisitas subkronis selama 28 hari

diketahui telah menimbulkan toksisitas subkronis pada hati

dan ginjal tikus wistar melalui hasil analisis histopatologi,

maka tidak perlu dilanjutkan untuk penelitian uji toksisitas

subkronis selama 90 hari.

145

DAFTAR PUSTAKA

Aboderin F. I. and V. O. Oyetayo. 2006. Haematological studies of

rats fed diff erent doses of probiotic, Lactobacillus plan-tarum,

isolated from fermenting corn slurry. Pakistan J of Nutrition.

Vol.5.p.102-105.

Achmad S. A., Hakim E. H., Makmur L., Syah Y. M., Juliawaty L.

D., Mujahidin D., 2007. Tumbuh-tumbuhan obat Indonesia. Jilid I.

Penerbit ITB : Bandung. hal. 27-38.

Adiyati P.N., 2011. Ragam jenis ektoparasit pada hewan coba tikus

putih (Rattus norvegicus) galur sprague dawley. Skripsi. Fakultas

Kedokteran Hewan Institute Pertanian Bogor. Bogor.

Arsad Siti Suriani, Esa Norhaizan Mohd, Hamzah Hazilawati, 2014.

Histopathologic changes in liver and kidney tissues from male

sprague dawley rats treated with Rhaphidophora decursiva (roxb.)

Schott extract. J Cytol Histol. Vol.4.No.001. p. 2157-7099.

Asviah A. Farida. 2008. Uji toksisitas subkronik campuran ekstrak

etanol herba sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dan

rimpang kunyit (Curcuma domesticaval) pada tikus putih. Skripsi.

Departemen Farmakognosi Dan Fitokimia. Fakultas Farmasi

Universitas Airlangga Surabaya.

Baldy Catherine M., 2005. Komposisi darah dan sistem makrofag-

monosit. In: Price, S.A., Wilson L.M., (Eds.). Patofisiologi: Konsep

Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Ajar

Kedokteran EGC. hal. 247-304.

146

Bangun A. P., 2003. Terapi jus dan ramuan tradisional untuk

kolesterol. Jakarta: Agromedia pustaka.

Banker G. S., and Anderson N. R., 1994. Teori dan praktek farmasi

industri. Terjemahkan oleh Suratmi S. Edisi 3. Jakarta: Universitas

Indonesia Press. hal. 645- 656, 697, 700-704.

Bero J. Quetin-Leclercq J., 2011. Natural products published in

2009 from plants traditionally used to treat malaria. J Planta Med.

Vol.77.p.631-640.

bioMerieux®, 2004. Medical procedure kit asat, alat, crea, and urea

uv 250. Marcy-I’Etoile France: bioMerieux®SA.

Boedina S. K., 1998. Pengantar hematologi dan imunohematologi.

Jakarta: BP FKUI. hal. 1-23.

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2014. Pedoman uji klinik

obat herbal nomor 13 tahun 2014. Badan Pengawas Obat dan

Makanan RI.

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2014. Pedoman uji

toksisitas non klinik secara in vivo nomor 7 tahun 2014. Badan

Pengawas Obat dan Makanan RI.

Bresnahan J., 2004. Biological and physiological data on laboratory

animal. USA: Kansas State University.

147

Corwin E. J., 2007. Buku saku patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Page. 399.

Dalimartha, S., 1999. Atlas tumbuhan indonesia. Jilid II. Jakarta:

Trubus Agrowidya. hal. 120-121.

Darwis Y., dkk, 2005. Pedoman pemeriksaan laboratorium untuk

penyakit diabetes mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan

Indonesia.

Departemen Kesehatan RI, 1989. Materia medika Indonesia. Jilid V.

Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan. hal.

194-197; 513-520; 536; 539-540; 549-552.

Departemen Kesehatan RI, 1995. Farmakope indonesia. Edisi IV.

Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. hal. 5, 488-

489, 515, 771.

Departemen Kesehatan RI, 2012. Data malaria depkes 2012.

Republika 26 April 2013.

Dina S., 2004. Uji antimalaria in vivo isolat andrografolida dari

Andrographis paniculata Nees terhadap Plasmodium berghei pada

mencit. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Surabaya.

Eroschenko Victor P., 2010. Atlas histologi difiore dengan korelasi

fungsional. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Evans J. G. dan W. H. Butler, 1993. Histopathology in safty

evaluation. Dalam: Experimental Toxicology. The Basic Issues. 2nd

edition. D. Anderson and D.M. Conning (eds). Hartnolls Ltd.,

Bodmin, h. 119.

148

Feehally J. and Johnson J. J., 2000. Introduction to glomerular

disease: clinical presentation. Philadelphia: Mosby. p.21.1-13.

Firkin B. G., 1994. Morphology of platelate, in; firkin b.g. Ed. The

platelate and its disorders. Victoria: MTP Press Limited. page. 9-

14.

Gandasoebrata, 2007. Penuntun laboratorium klinik. Edisi 5.

Jakarta: Dian Rakyat.

Guyton A. C., 1981. Fisiologi kedokteran. Jakarta: EGC Penerbit

Buku Kedokteran.

Guyton A. C., 1991. Buku test fisiologi kedokteran. Edisi 5.

Terjemahan Adji Dharma dan Lukman P. Jakarta.

Hadi S., 1999. Gastroenterologi. 7th Edition. Bandung: Penerbit

Alumni.

Hall Robert L., 1992. Clinical pathology of laboratory animals. In:

Andress, J.M., (Eds.). Animal Models in Toxicology. New York:

Marcell Dekker Inc. page. 791.

Handayani W. dan Haribowo A. S., 2008. Buku ajar asuhan

keperawatan pada klien dengan gangguan sistem hematologi.

Jakarta: Salemba Medika.

Hariana H. A., 2006. Tumbuhan obat dan khasiatnya. Seri 3.

Penebar Swadaya : Jakarta. hal. 30-32.

Haurissa E. Andreas. 2014. Gamma-Glutamyltransferase sebagai

biomarker risiko penyakit kardiovaskuler. The American journal of

cardiology. Volume 41, No 1.p. 816.

149

Hudgson E., 2004. Textbook of modern toxicology. 3rd

ed. United

States of America: Wiley-Interscience. page. 3-6; 359-362.

Huxtable C. R. R., 1988. The urinary system. dalam :

clinicopathologic principles for veterinary medicine. First

Published, W.F.Robinson & C.R.R. Huxtable (eds), Cambridge

University Press, New York. h. 216.

Jacob S., 2008. Animal anatomy: a clinically orientated approach.

New York: Churchill Livingstone, Inc.

Jones Alison l., 1996. Hepatotoxicity. In: John H. Duffus and

Howard G. J. Worth (Eds.). Fundamental Toxicology for Chemists.

Cambridge: The Royal Society of Chemistry.

Junqueira L. C. and Carneiro J., 2007. Histologi dasar teks & atlas.

Edisi 10. Alih Bahasa: Jan Tambayong. Editor: Frans Dany. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kailis S. G., Jellet L. B., Chisnal W., Hancox D. A., 1980. A

rational approach to the interpretation of blood and urine pathology

tests. Aust J Pharm.p. 221-30

Knodell R. G., Ishak K. G., Black W. C., et al. 1981. Formulation

and application of a numerical scoring system for assessing

histological activity in asymtomatic chronic active hepatitis. J

Hepatology. Vol. 1. page. 431.

Konthen, Putu Cedhe, Sastrowardoyo, Widayat., 2007. Peran Jamu,

obat herbal terstandar, dan fitofarmaka sebagai modus terapi di

indonesia. Sentra P3T Prop. Jatim.

Krinke, G. J., 2000. The laboratory rat. san diego. CA: Academic

Press. hal: 150-152.

150

Kusumawati Diah., 2004. Bersahabat dengan hewan coba.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kusumawardhani D., Widyawaruyanti A., Kusumawati I., 2005.

Efek antimalaria ekstrak sambiloto terstandar (parameter kadar

andrografolida) pada mencit terinfeksi Plasmodium berghei.

Majalah Farmasi Airlangga [Artikel]. Surabaya: Universitas

Airlangga.Vol.5.

Lemon P. dan Burke K., 2002. Medical surgical nursing: critical

thinking in client care. 2nd Edition. New Jersey : Prenince Hall.

Limananti A. I., dan Triratnawati A., 2003. Ramuan cekok sebagai

penyembuhan kurang nafsu makan pada anak: suatu kajian

etnomedisin. J Makara Kesehatan. Vol.7 No.1.hal.11-20.

Lindseth Glenda N., 2006. Gangguan hati , kandung empedu dan

pankreas dalam patofisiologi Prince, Sylvia A., Wilson Larraine M.

patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 1. Edisi

6. Jakarta: EGC.p. 472-515.

Loomis T. A., 1978. Toksikologi dasar. Edisi 3. Philadelphia: Lea

and Febiger. hal. 195-235.

Lu F. C., 1995. Toksikologi dasar: asas, organ sasaran, dan

penilaian resiko (Terjemahan). Edisi II. VI. Jakarta : Press. hal. 85-

100.

Malarkey D. E., Johnson K., Ryan L., Boorman G., and maronpot R.

R., 2005. New insights into functional aspects of liver morphology.

J Toxicol Pathol. Vol. 33. page. 27-34.

151

Maxwell M. Wintrobe., 1974. Clinical Hematology. 7th

Edition.

Philadelphia: Lea & Febriger. page. 627; 647.

M. Biomed C. dan Lestari E., 2011. Pedoman teknik dasar untuk

laboratorium kesehatan. Edisi 2. World Health Organization.

McPhee S. J., 2003. Pathophysiology of disease: an introduction to

clinical medicine. 5th Edition. America : The McGraw-Hill

Companies.

Moore Keith L. dan Anne M. R. Agur., 2012. Anatomi klinis dasar.

Jakarta: EGC.

Murray R.K., Granner D.R., Mayes P.A., Rodwell V.W., 2003.

Biokima harper. Edisi 25. Terjemahan Andry Hartono. Jakarta:

Kedokteran EGC.

Mursito Bambang, 2002. Ramuan tradisional untuk penyakit

malaria. Jakarta: Penebar Swadaya.

Narayana S., 2000. The prenalytic phase: an important component

of laboratory medicine. Am J Clin Pathol. page. 52, 113, 429.

Nasar M., Endarjo S., dan Handjani R. D., 2008. Pedoman

penanganan bahan pemeriksaan untuk histologi. perhimpunan

dokter spesialis patologi indonesia (IAIP). PT. Roche Indonesia.

hal. 9-13.

Peter A. Mayes, 2003. Biokimia harper. Edisi 5. Terjemahan Andry

Hartono. Jakarta.

152

Price S. A. dan Wilson, L. M., 1984. Patofisiologi: konsep klinik

proses-proses penyakit bagian i.( diterjemakan oleh Adji

Dharmawan). EGC. Jakarta.

Rowe C. Raymond , Sheskey J. Paul, Owen C. Siân., 2006.

Handbook of pharmaceutical excipients. 5th

Edition. American

Pharmacists Association and Pharmaceutical Press, Washington DC

and London. page. 268.

Ressang A. A., 1984. Patologi khusus veteriner. Edisi 2. Bali: N. V

Percetakan.

Sadikin M. H., 2002. Biokima darah. Edisi 1. Jakarta: Penerbit

Wijaya Medika.

Sirois M., 2005. Laboratory animal medicine: principle and

procedures. Mosby, Inc. United States Of America. p. 43-45.

Smith John B. dan Mangkoewidjojo S., 1988. Pemeliharaan,

pembiakan, dan penggunaan hewan percobaan di daerah tropis.

Edisi I. Jakarta: UI Press. hal.37-39.

Soewolo, 1997. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional.

Spiegel M. R., 1994. Statistika. Edisi ke-2. Cetakan I. Terjemahan: I

Nyoman Susila dan Ellen Gunawan. Jakarta: Erlangga.hal.417.

Sri Susanti, 2001. Uji aktivitas antimalaria andrografolida terhadap

Plasmodium palciparum stadium gametosit in vitro. Skripsi.

Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Surabaya.

153

Sudarsono, Pudjoarinto A., Gunawan D., Wahyuono S., Donatus A.

L., Purnomo D. M., Wibowo S., Ngatidjan, 1996. Tumbuhan Obat.

PPOT-UGM. Yogyakarta. hal. 38-40.

Suhirman S. dan C. Winarti, 2005. Prospek dan fungsi tanaman

obat sebagai Imunomodulator. Jakarta: Balai Penelitian Tanaman

Obat dan Aromatik.

Sukardja I. D. G., 1998. Correlation of clinical and pathological

diagnosis of neoplasm. modern pathology for service and research

on cancer. hal. 15-35.

Sumaryono W., Wibowo A. E., Ningsih S., Agustini K., Sumarny

R., Amri F., Winarno H., 2008. Analisis urea-kreatinin tikus putih

pasca pemberian ekstrak buah mahkota dewa dan herba pegagan.

Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. Vol.6 No.1.hal.35-40.

Suyanto, 1995. Uji aktivitas antimalaria secara in vitro isolat

Andrographis paniculata Nees. Skripsi. Fakultas Farmasi

Universitas Airlangga. Surabaya.

Taguchi Y., 1985. Experimental animals. Tokyo: Clea Japan, Inc.

Wahl, I. 2006. Building anatomy: an illustrated guide to how

structures work. New York: McGraw-Hill Book co.

Widyawaruyanti A., Hafid A. F., Tantular I. S., 2015. Aplikasi

klinik tablet fraksi etil asetat herba Sambiloto (Andrographis

paniculata Nees) pada terapi malaria. Laporan Akhir Penelitian

Unggulan Strategis Nasional Tahun Anggaran 2015. Universitas

Airlangga.

154

Widyawaruyanti A., Hafid A. F.., Radjaram A, Tantular I. S., 2011.

Pengembangan produk fraksi etil asetat Sambiloto kombinasi

dengan artesunat sebagai terapi antimalaria. Laporan Penelitian

Hibah Riset Unggulan. LPPM Unair.

Widyawaruyanti A., Hafid A. F., Tantular I. S., Dachliyati L.,

Santosa M. H., 2009. Pengembangan fitofarmaka obat malaria dari

fraksi diterpen lakton herba Sambiloto (Andrographis paniculata

Nees). Laporan Penelitian DP2M 2009/2010 Tahun I. LPPM Unair.

Widyawaruyanti A., Hafid A. F., Tantular I. S., Dachliyati L.,

Santosa M. H., 2010. Pengembangan fitofarmaka obat malaria dari

fraksi diterpen lakton herba Sambiloto (Andrographis paniculata

Nees). Laporan Penelitian DP2M 2009/2010 Tahun II. LPPM

Unair.

Widyawaruyanti A., dkk, 1995, Uji antimalaria ekstrak herba

Sambiloto terhadap Plasmodium falciparum secara in vitro. Laporan

Penelitian DIP OPF Unair 1994-1995. Lembaga Penelitian Unair.

Widyawaruyanti A., Hafid F. A., Radjaram A., Ekasari W., 2004.

Pengembangan sediaan farmasetika andrografolida hasil isolasi

Andrographis paniculata Nees sebagai obat antimalaria. Laporan

Penelitian Hibah Bersaing/DP2M/2003-2004. Lembaga Penelitian

Unair.

Widyawaruyanti A., Asrory M., Ekasari W., Setiawan D., Radjaram

A., Tumewu L., Hafid A. F., 2014. In vivo antimalarial activity of

andrographis paniculata tablets. Procedia Chemistry .p.101-104.

155

Wirawan Riadi dan Erwin Silman, 1996. Pemeriksaan laboratorium

hematology sederhana. Edisi 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.

World Health Organization, 2003. Traditional medicine 2003.

Geneva: World Health Organization Press.

World Health Organization, 2013. World malaria report 2013.

Geneva: World Health Organization Press.

Writmann F. K., 1989. Tinjauan klinis atas hasil pemeriksaan

laboratorium. Edisi 9. Jakarta: EGC.

156

LAMPIRAN 1 VOLUME MAKSIMUM YANG DAPAT DIBERIKAN PADA

HEWAN COBA

Keterangan: Pada umumnya volume yang diberikan ½ volume maksimal. Dikutip dari: Ritschel W.A., 1974, Laboratory Manual of Biopharmaceutics and Pharmacokinetics, Drugs Intelligence Publications., Inc.

157

LAMPIRAN 2 KONVERSI PERHITUNGAN DOSIS UNTUK BEBERAPA

JENIS HEWAN DAN MANUSIA

Dikutip dari: Ghosh, M.N., 1971. Fundamental of Experimental Pharmacology. Calcuta: Scientific Book Agency.

158

LAMPIRAN 3 PERHITUNGAN DOSIS, PEMBUATAN LARUTAN UJI, DAN

PERHITUNGAN VOLUME PENYONDEAN

KELOMPOK KONTROL NEGATIF & KONTROL NEGATIF

SATELIT

Kelompok kontrol negatif diberikan larutan uji CMC-Na 0,5%.

Cara Pembuatan Larutan CMC-Na 0,5% :

1. Misal akan dibuat 100 ml larutan CMC-Na 0,5%, maka

ditimbang 500 mg serbuk CMC-Na.

2. (1) ditaburkan di atas aquadest panas dalam mortir (aquadest

panas yang dibutuhkan sebanyak ± 20 kali berat CMC-Na, jadi

untuk CMC-Na sebanyak 500 mg, maka aquadest panasnya 10

ml) dikembangkan (didiamkan) selama ± 15 menit.

3. .Jika (2) telah mengembang dan membentuk mucilago Ædiaduk

menggunakan stamper sampai homogen.

4. (4) + aquadest sampai 100 ml aduk sampai homogen.

Perhitungan Volume Penyondean Larutan Uji CMC-Na 0,5%

pada Tikus Coba:

1. Masing-masing tikus coba ditimbang berat badannya.

2. Volume larutan uji CMC-Na 0,5% yang akan disondekan

ditentukan berdasarkan penimbangan berat badan tikus coba

(1).

3. Namun untuk kontrol negatif, volume larutan uji CMC-Na

0,5% yang akan disondekan pada semua tikus coba dibuat sama

yaitu 2,0 ml/ 200 g BB tikus.

159

KELOMPOK DOSIS I

Kelompok dosis I dengan dosis 50 mg/kg BB tikus atau 10

mg/200 g BB tikus. Perlakuan dilakukan sebanyak sehari satu kali

penyondean dengan volume 2,0 ml/ 200 g BB tikus dan untuk

pembuatan larutan uji dilakukan setiap 3 hari sekali. Jadi untuk

perlakuan pada tikus coba, jumlah suspensi tablet fraksi EA-96

herba Sambiloto yang dibutuhkan selama 3 hari sebagai berikut:

= 10 mg/200 g BB setara dengan 10 mg/2,0 ml b/v

= 10 mg/2,0 ml b/v x 10 ekor tikus/kelompok

=100 mg/20,0 ml b/v per hari x 3 hari

=300/60,0 ml b/v

Cara Pembuatan Larutan Uji Dosis I :

1. Menggerus beberapa butir tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto

menggunakan mortir dan stamper sampai halus menjadi serbuk.

2. Sebelum menimbang terlebih dahulu melihat ukuran labu ukur

yang tersedia yaitu ukuran 10 ml dan 50 ml, maka menimbang

sebanyak 50 mg/10,0 ml dan 250 mg/50,0 ml.

3. (2) disuspensikan dalam 10,0 ml dan 50,0 ml larutan CMC-Na

0,5% masukkan sedikit demi sedikit larutan CMC-Na 0,5%

ke dalam serbuk aduk sampai homogen dengan mortir dan

stampermasukkan suspensi tersebut ke dalam labu ukur 10,0

ml dan 50,0 mltambahkan larutan CMC-Na 0,5% ad 10,0 ml

dan 50,0 mlmasukkan ke dalam botol.

160

KELOMPOK DOSIS II

Kelompok dosis II diberikan suspensi tablet fraksi EA-96 herba

Sambiloto dalam CMC-Na 0,5%, yang mengandung 35 mg

andrografolid yang setara dengan 167,5 mg fraksi EA-96 per 50 kg

BB manusia dengan aturan pakai sehari 2x2 tablet. Diketahui berat

per tablet 650 mg, maka untuk manusia dengan berat badan 50 kg

diperlukan 4 tablet per hari dengan berat seluruhnya 2600 mg.

Tabel konversi dosis

Bahan Obat Dosis manusia

(BB 50 kg)

Dosis manusia

(BB 70 kg)

Dosis tikus

(200 gram)

Tablet fraksi EA-96

herba sambiloto 2600 mg 3640 mg 65,52 mg

(dari manusia BB 70 kg ke tikus BB 200 g dikalikan 0,018 )

Perlakuan dilakukan sebanyak sehari satu kali penyondean

dengan volume 2,0 ml/ 200 g BB tikus dan untuk pembuatan larutan

uji dilakukan setiap 3 hari sekali. Jadi untuk perlakuan pada tikus

coba, jumlah suspensi tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto yang

dibutuhkan selama 3 hari sebagai berikut:

= 65,52 mg/200 g BB setara dengan 65,52 mg/2,0 ml b/v

= 65,52 mg/2,0 ml b/v x 10 ekor tikus/kelompok

=655,2 mg/20,0 ml b/v per hari x 3 hari

=1965,6/60,0 ml b/v

Cara Pembuatan Larutan Uji Dosis II :

1. Menggerus beberapa butir tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto

menggunakan mortir dan stamper sampai halus menjadi serbuk.

161

2. Sebelum menimbang terlebih dahulu melihat ukuran labu ukur

yang tersedia yaitu ukuran 10 ml dan 50 ml, maka menimbang

sebanyak 327,6 mg/10,0 ml dan 1638 mg/50,0 ml.

3. (2) disuspensikan dalam 10,0 ml dan 50,0 ml larutan CMC-Na

0,5% masukkan sedikit demi sedikit larutan CMC-Na 0,5%

ke dalam serbuk aduk sampai homogen dengan mortir dan

stampermasukkan suspensi tersebut ke dalam labu ukur 10,0

ml dan 50,0 mltambahkan larutan CMC-Na 0,5% ad 10,0 ml

dan 50,0 mlmasukkan ke dalam botol.

KELOMPOK DOSIS III & DOSIS SATELIT

Kelompok dosis III dan dosis satelit dengan dosis yang sama

masing-masing 1000 mg/kg BB tikus atau 200 mg/200 g BB tikus.

Perlakuan dilakukan sebanyak sehari satu kali penyondean dengan

volume 2,0 ml/ 200 g BB tikus dan untuk pembuatan larutan uji

dilakukan setiap 3 hari sekali. Jadi untuk perlakuan pada tikus coba,

jumlah suspensi tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto yang

dibutuhkan selama 3 hari sebagai berikut:

= 200 mg/200 g BB setara dengan 200 mg/2,0 ml b/v

= 200 mg/2,0 ml b/v x 10 ekor tikus/kelompok

=2000 mg/20,0 ml b/v per hari x 3 hari

=6000/60,0 ml b/v

Cara Pembuatan Larutan Uji Dosis III :

1. Menggerus beberapa butir tablet fraksi EA-96 herba Sambiloto

menggunakan mortir dan stamper sampai halus menjadi serbuk.

162

2. Sebelum menimbang terlebih dahulu melihat ukuran labu ukur

yang tersedia yaitu ukuran 10 ml dan 50 ml, maka menimbang

sebanyak 1000 mg/10,0 ml dan 5000 mg/50,0 ml.

3. (2) disuspensikan dalam 10,0 ml dan 50,0 ml larutan CMC-Na

0,5% masukkan sedikit demi sedikit larutan CMC-Na 0,5%

ke dalam serbuk aduk sampai homogen dengan mortir dan

stampermasukkan suspensi tersebut ke dalam labu ukur 10,0

ml dan 50,0 mltambahkan larutan CMC-Na 0,5% ad 10,0 ml

dan 50,0 mlmasukkan ke dalam botol.

163

LAMPIRAN 4 HARGA NORMAL PARAMETER PATOLOGI KLINIK PADA

HEWAN COBA TIKUS

Parameter Patologi Klinik Satuan Jantan Betina

SGOT IU/I 60-300 80-250

SGPT IU/I 25-55 25-50

BUN mg/dl 10-16 10-19

Kreatinin mg/dl 0,30-1,00 0,30-1,00

Gamma GT U/L 0-30 0-30

Jumlah Leukosit x103/µl 3,0-14,5 2,0-11,5

Jumlah Eritrosit x106/µl 7,2-9,6 7,2-9,6

Hematokrit % 39-53 39-53

Dikutip dari: Hall, Robert L., 1992. Clinical Pathology of Laboratory Animals. In: Andress, J.M., (Eds.). Animal Models in Toxicology. New York: Marcell Dekker Inc, p. 791.

164

LAMPIRAN 5 DATA PEMERIKSAAN KIMIA KLINIK

165

166

167

168

LAMPIRAN 6 DATA PEMERIKSAAN HEMATOLOGI

169

170

171

172

LAMPIRAN 7 DATA PENIMBANGAN BERAT BADAN TIKUS COBA

TIKUS JANTAN

Keterangan :

Kelompok 1: Kontrol Negatif

Kelompok 2: Dosis 50mg/Kg BB Tikus

Kelompok 3: Dosis 327mg/Kg BB Tikus

Kelompok 4: Dosis 1000 mg/Kg BB Tikus

173

TIKUS BETINA

Keterangan :

Kelompok 1: Kontrol Negatif

Kelompok 2: Dosis 50mg/Kg BB Tikus

Kelompok 3: Dosis 327mg/Kg BB Tikus

Kelompok 4: Dosis 1000 mg/Kg BB Tikus

174

TIKUS JANTAN SATELIT

Keterangan :

Kelompok 5: Dosis Satelit

Kelompok 6: Kontrol Negatif Satelit

TIKUS BETINA SATELIT

Keterangan :

Kelompok 5 : Dosis Satelit

Kelompok 6 : Kontrol Negatif Satelit

175

LAMPIRAN 8

DATA HASIL ANALISIS STATISTIK KIMIA KLINIK

TIKUS JANTAN

Oneway

Post Hoc Tests

176

177

178

LAMPIRAN 9 DATA HASIL ANALISIS STATISTIK HEMATOLOGI

TIKUS JANTAN

Oneway

Post Hoc Tests

179

180

LAMPIRAN 10 DATA HASIL ANALISIS STATISTIK MAKROSKOPIS HATI

DAN GINJAL TIKUS COBA

TIKUS JANTAN

Oneway

Post Hoc Tests

181

182

LAMPIRAN 11 DATA NILAI SKORING HISTOPATOLOGI HATI

PENILAIAN HEPAR DENGAN PEMBESARAN 400X PADA

LIMA LAPANG PANDANG PADA TIKUS JANTAN

183

PENILAIAN HEPAR DENGAN PEMBESARAN 400X PADA

LIMA LAPANG PANDANG PADA TIKUS BETINA

184

LAMPIRAN 12 DATA NILAI SKORING HISTOPATOLOGI GINJAL

PENILAIAN GINJAL DENGAN PEMBESARAN 400X PADA

LIMA LAPANG PANDANG PADA TIKUS JANTAN

185

PENILAIAN GINJAL DENGAN PEMBESARAN 400X PADA

LIMA LAPANG PANDANG PADA TIKUS BETINA

186

LAMPIRAN 13 DATA HASIL ANALISIS STATISTIK HISTOPATOLOGI TIKUS

COBA

HEPAR TIKUS JANTAN

Kruskal-Wallis Test

187

188

Mann-Whitney Test

189

190

191

192

193

LAMPIRAN 14 GAMBAR TABLET FRAKSI EA-96 HERBA SAMBILOTO

Larutan Uji

194

LAMPIRAN 15 GAMBAR PERLAKUAN TERHADAP TIKUS COBA

KOMISI ETIK PENELITIANFAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Animal Care and Use Committee (ACUC)

KETERANGAN KELAIKAN ETIK* ETHICAL CLEARENCE,,

No : 489-KE

KOMTST ETIK pENELtTtAN {ANIMAL CARE AND |JSE COMM\TTE7

FAKU LTAS KEDOKTERAN HEWAN UN IVERSITAS AI RLANGGA SURABAYA,TELAH MEMPETAJAR} SEGARA SEKEAMA RANGANGAN PENET}T}AN YANG

DIUSULKAN, MAKA DENGAN INI MENYATAKAN BAHITYA :

PENELIIIAN BERJUDUL : Aplikasi Klinik Tablet Fraksi EtilAsetat Herba Sambiloto(Andrograph is pa nicul afa) Pada terapi Malaria

: Aty Widyawaruyanti

U N IT/LEMBAGA/TEMPAT : Fakultas Farmasi Universitas AirlanggaPENELITIAN

BINYATA}GN : kAtK ETIK

Surabaya, 5 Agustus 2015

l, Ketua,

Ak#'-

ff. E. Bimo Aksono, M.Kes.,Drh.

Ntp. r 96609201 992031 003I

;:>I

w-.'--'ffi-*--I: