silsilah kerajaan sakya
DESCRIPTION
Agama BuddhaTRANSCRIPT
Silsilah Kerajaan Sakya
Pada zaman dahulu di daerah Majjhima (daerah tengah dari Jambudipa), suku
Bangsa Ariyaka yang datang dari utara Pegunungan Himava (Himalaya)
membentuk sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sakya. Kata Sakya diambil
karena pada saat itu banyak sekali Hutan Pohon Sakka di sekitar daerah tersebut.
Suatu masa tibalah masa kepemerintahan bagi Raja Okkaka di kerajaan tersebut.
Beliau memiliki 4 orang Pangeran (Okkamukha, Karanda, Hatthinika dan
Sinipura) serta 5 orang Putri. Pada suatu hari, Ratu (istri Raja Okkaka, yang juga
masih saudara kandungnya) meninggal dunia. Kemudian Raja menikah lagi
dengan seorang gadis yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Raja
sangat gembira, sehingga Beliau melepaskan kata-kata yang menjadi bumerang
baginya sendiri. Raja mengucapkan janji kepada Ratu (istri Raja Okkaka yang
baru) bahwa beliau akan meluluskan semua permintaan Ratu. Dalam kesempatan
itu, Ratu memohon kepada Raja agar anak laki-lakinya diangkat menjadi Putra
Mahkota (pewaris kerajaan). Mendengar permohonan Ratu itu, Raja Okkaka
menjadi kaget dan menolak untuk meluluskannya. Namun Ratu terus merengek
dan mengingatkan Raja akan janjinya yang pernah beliau ucapkan. Karena malu,
maka Raja pun akhirnya meluluskan permohonan Ratu tersebut.
Raja Okkaka kemudian memanggil keempat Pangeran dan memerintahkan
mereka untuk membawa semua saudari kandung mereka untuk pergi ke suatu
daerah lain dan membangun negeri baru. Keempat Pangeran beserta kelima Putri
kemudian mohon diri dari Ayahandanya, dan bersama rombongan dalam jumlah
yang besar, mereka pergi ke sebuah hutan lain yang banyak ditumbuhi Pohon
Sakka, di lereng Gunung Himalaya. Di dekat daerah tersebut ada seorang petapa
bernama Kapila yang tinggal di sana. Karena itulah, maka kota yang dibangun itu
diberi nama Kapilavatthu (vatthu = tempat). Di kerajaan itulah, mereka menikah
di antara sesama saudara, kecuali Putri yang tertua menikah dengan Raja dari
Devadha. Empat pasangan yang pertama merupakan leluhur dari Kerajaan Suku
Sakya, dan satu pasangan lainnya merupakan leluhur dari Kerajaan Koliya.
Pada suatu waktu ketika Raja Jayasena memerintah di Kapilavatthu, beliau
memiliki seorang Pangeran bernama Sihahanu dan seorang Putri bernama
Yasodhara. Setelah Raja Jayasena meninggal, Pangeran Sihahanu menjadi Raja di
Kapilavatthu dan menikah dengan Putri Kancana, yaitu adik dari Raja Anjana
(Kerajaan Devadha). Mereka memiliki lima orang Pangeran yang diberi nama
Suddhodana, Sukkodhana, Amitodhana, Dhotodana dan Ghanitodana serta dua
orang Putri yang diberi nama Pamita dan Amita. Adik dari Raja Sihahanu, yaitu
Putri Yasodhara, menikah dengan Raja Anjana dari Devadha dan memiliki dua
orang Pangeran yang diberi nama Suppabuddha dan Dandapani serta dua orang
Putri yang diberi nama Maya dan Pajapati (Gotami).
Setelah Raja Sihahanu mangkat, Pangeran Suddhodana pun naik tahta dan
menikahi Putri Maya. Adik Raja Suddhodana yang bernama Sukkodana,
kemudian menikah dan mempunyai putra yang bernama Ananda. Amitodhana
mempunyai dua orang putra yang bernama Mahanama dan Anurudha, serta
seorang putri bernama Rohini. Sedangkan adik perempuannya yang bernama
Amita, menikah dan mempunyai seorang putra bernama Devadatta dan seorang
putri yang bernama Yasodhara.
Lahirnya Pangeran Siddhattha Gotama
Meski Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun mereka
masih belum mendapatkan keturunan. Suatu masa ketika Ratu Maya berusia 45
tahun, Ratu mengikuti perayaan Asadha yang berlangsung tujuh hari lamanya.
Setelah perayaan selesai, Ratu kemudian mandi dengan air wangi dan setelah itu
ia mengucapkan janji Uposatha. Selanjutnya ia pun pergi beristirahat di kamarnya.
Dalam tidurnya, Ratu Maya bermimpi bahwa ada empat orang Dewa Agung yang
mengantarnya ke Gunung Himalaya, kemudian membawanya ke Pohon Sala di
Lereng Manosilatala. Lalu para istri dari Dewa-dewa Agung tersebut
memandikannya di Danau Anotta, menggosoknya dengan minyak wangi dan
kemudian memakaikan pakaian para dewata pada Ratu Maya. Ratu kemudian
diajak ke istana emas dan direbahkan di atas dipan yang mewah. Di tempat itulah
seekor gajah putih dengan membawa sekuntum bunga teratai di belalainya
memasuki kamar, kemudian mengelilingi dipan sebanyak tiga kali untuk
selanjutnya memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan. Setelah itu Ratu Maya
terbangun dan tiba-tiba terjadilah sebuah gempa bumi yang singkat. Ratu Maya
segera bergegas memberitahukan hal ini ke Raja Suddhodana. Para Brahmana pun
dipanggil untuk memberi petunjuk akan mimpi tersebut. Setelah menganalisa
mimpi ini, para Brahmana meramalkan jika Ratu Maya akan mengandung seorang
bayi laki-laki yang kelak bisa menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua raja di
dunia) atau seorang Buddha (seorang yang mencapai Pencerahan Sempurna). Dan
memang tidak lama kemudian, Ratu Maya menyadari bahwa ia sedang hamil.
Ratu pun dapat merasakan keberadaan sang bayi yang tumbuh makin besar di
dalam rahimnya dalam posisi duduk bermeditasi dengan posisi muka menghadap
ke depan.
Ratu Maha Maya bermimpi tentang seekor gajah putih
Sepuluh bulan (Penanggalan Candra Sengkala) kemudian, di Bulan Vaisak, Ratu
Maya mohon izin dari Raja Suddhodana untuk dapat bersalin di rumah ibunya (di
Kerajaan Devadha). Dalam perjalanannya itu, Ratu Maya beserta seluruh
rombongan tiba di Taman Lumbini (sekarang bernama Rumminde di Pejwar,
Nepal). Di taman itu, mereka berhenti dan Ratu Maya pun beristirahat. Ratu Maya
berjalan-jalan di taman itu dan berhenti di bawah Pohon Sala. Pada saat itulah
Ratu Maya merasa akan segera melahirkan. Maka dengan cepat para dayang
membuat tirai di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada dahan Pohon Sala, dan
dalam sikap berdiri seperti itulah Ratu Maya melahirkan seorang bayi laki-laki.
Kejadian itu terjadi tepat pada purnamasidhi (Bulan Purnama yang bulat
sempurna) di Bulan Vaisak pada tahun 623 SM. Sekali lagi terjadilah gempa bumi
dashyat yang singkat. Empat Maha Brahma menerima sang bayi dengan jala
emas. Para Dewa turut bergembira atas kelahiran sang bayi, meski mereka semua
tidak dapat terlihat oleh mata manusia biasa. Kemudian dari langit turun air dingin
dan panas untuk memandikan sang bayi sehingga menjadi segar. Sang bayi sendiri
juga sudah bersih karena tidak ada darah atau noda lain yang melekat pada
tubuhnya ketika dilahirkan. Bayi itu kemudian berdiri tegak dan berjalan tujuh
langkah di atas tujuh kuntum bunga teratai ke arah utara. Setelah itu, sang bayi
pun kemudian berbicara :
“Aggo ‘ham asmi lokassa,
jettho ‘ham asmi lokassa,
settho ‘ham asmi lokassa,
ayam antima jati,
natthi dani punabbhavo”
Yang artinya :
“Akulah Pemimpin dalam dunia ini,
Akulah Tertua dalam dunia ini,
Akulah Teragung dalam dunia ini,
inilah kelahiranku yang terakhir kali,
tak akan ada tumimbal lahir lagi”
Pada masa itu, ada seorang petapa bernama Asita (yang juga dikenal sebagai
Kaladevala) yang berdiam di Gunung Himalaya. Ketika sedang bermeditasi, ia
diberitahukan oleh para dewa dari Alam Tavatimsa, bahwa telah lahir seorang
bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Buddha. Maka pada hari itu juga,
Petapa Asita pun berkunjung ke istana Raja Suddhodana untuk melihat bayi
tersebut. Setelah melihat sang bayi, Petapa Asita melihat adanya 32 tanda luar
biasa di bayi itu. 32 tanda (Mahapurissa) tersebut adalah :
1. Telapak kaki rata (suppatitthita-pado).
2. Pada telapak kakinya terdapat cakra dengan seribu ruji, lingkaran dan pusat
dalam bentuk sempurna.
3. Tumit yang bagus (ayatapanhi).
4. Jari-jari panjang (digha-anguli).
5. Tangan dan kaki yang lembut serta halus (mudutaluna).
6. Tangan dan kaki bagaikan jala (jala-hattha-pado).
7. Pergelangan kaki yang agak tinggi (ussankha-pado).
8. Kaki yang bagaikan kaki kijang (enijanghi).
9. Kedua tangan dapat menyentuh atau menggosok kedua lutut tanpa
membungkukkan badan.
10. Kemaluan terbungkus selaput (kosohitavattha-guyho).
11. Kulitnya bagaikan perunggu berwarna emas (suvannavanno).
12. Kulitnya sangat lembut dan halus, sehingga tidak ada debu yang dapat
melekat pada kulit.
13. Pada setiap pori kulit ditumbuhi sehelai bulu roma.
14. Rambut yang tumbuh pada pori-pori berwarna biru-hitam.
15. Potongan tubuh yang agung (brahmuiu-gatta).
16. Tujuh tonjolan (sattussado), yaitu pada kedua tangan, kedua kaki, kedua
bahu dan badan.
17. Dada bagaikan dada singa (sihapubbaddha kayo).
18. Pada kedua bahunya tak ada lekukan (citantaramso).
19. Tinggi badan sama dengan panjang rentangan kedua tangan, bagaikan
Pohon Nigroda (beringin).
20. Dada yang sama lebarnya (samavattakkhandho).
21. Indria perasa sangat peka (rasaggasaggi).
22. Rahang bagaikan rahang singa (siha-banu).
23. Empat puluh buah gigi (cattarisa-danto).
24. Gigi-gigi yang sama rata (sama-danto).
25. Antara gigi-gigi tak ada celah (avivara-danto).
26. Gigi putih bersih (susukka-datho).
27. Lidah sangat panjang (pahuta-jivha).
28. Suara bagaikan suara brahma, seperti suara Burung Karavika.
29. Mata biru (abhinila netto).
30. Bulu mata lentik, bagaikan bulu mata sapi (gopakhumo).
31. Di antara alis-alis mata, tumbuh sehelai rambut halus, putih bagaikan kapas
yang lembut.
32. Kepala bagaikan berserban (unhisasiso).
Setelah melihat sang bayi, Petapa Asita kemudian memberi hormat kepada bayi
tersebut. Hal ini juga diikuti oleh Raja Suddhodana. Setelah memberi hormat,
Petapa Asita kemudian tertawa gembira, namun kemudian menangis. Petapa Asita
kemudian menjelaskan bahwa sang bayi kelak akan menjadi Buddha. Namun
karena saat ini Petapa Asita sudah berusia lanjut, maka ia menjadi sedih karena
mungkin ia tidak bisa menunggu sampai bayi itu kelak menjadi dewasa dan
memberikan ajarannya. Petapa Asita juga mengatakan bahwa Pangeran kelak
akan meninggalkan istana untuk pergi bertapa, jika setelah melihat empat
peristiwa, yaitu:
1. Orang tua (lanjut usia).
2. Orang sakit.
3. Orang mati.
4. Petapa yang tenang indrianya.
Pada hari yang sama dengan kelahiran sang bayi itu, ada 7 peristiwa penting
lainnya yang juga terjadi di sekitar Kerajaan Sakka, yaitu:
1. Kelahiran Putri Yasodhara, anak dari Amita (adik perempuan dari Raja
Suddhodana).
2. Kelahiran Pangeran Ananda dari Sukkodana (adik laki-laki dari Raja
Suddhodana).
3. Kelahiran Kanthaka, seekor kuda putih di istana.
4. Kelahiran Channa, seorang anak dari orang dalam istana.
5. Kelahiran Kaludayi, seorang anak dari orang dalam istana.
6. Tumbuhnya Pohon Bodhi (dalam Bahasa Latin disebut Ficus Religiosa).
7. Munculnya Nihikumbhi (kendi untuk tempat penyimpanan harta pusaka) ke
permukaan tanah.
Lima hari setelah kelahiran sang bayi, Raja Suddhodana memanggil sanak
keluarganya bersama 108 orang Brahmana untuk berpesta dan merayakan
kelahiran anak pertamanya. Di antara para Brahmana, ada 8 orang yang mahir
dalam meramal nasib, yaitu: Rama, Dhaja, Lakkhana, Manti, Kondanna, Bhoja,
Suyama dan Sudatta. Semuanya meramal jika kelak sang bayi akan menjadi
seorang Cakkavati (Raja dari semua raja di dunia) atau menjadi Buddha. Tapi
hanya Kondanna (Brahmana termuda) yang dengan tegas mengatakan bahwa sang
bayi kelak pasti akan menjadi Buddha. Karena itulah, maka nama yang diberikan
kepada sang bayi adalah “Siddhattha”, yang berarti “tercapailah segala cita-
citanya”. Karena terlahir dari keluarga Gotama, maka nama lengkap dari bayi itu
adalah Siddhattha Gotama (Sanskrit: सि�द्धा�र्थ� गौ�तम). Tujuh hari setelah Pangeran
Siddhattha dilahirkan, Ratu Maya meninggal dunia dengan tenang dan
bertumimbal lahir di Alam Deva Tavatimsa. Pangeran Siddhattha kemudian
dirawat oleh Putri Pajapati (adik kandung Ratu Maya), yang akhirnya dinikahi
oleh Raja Suddhodana. Dari pernikahan ini, lahirlah seorang putra bernama Nanda
dan seorang putri bernama Rupananda.
Kisah masa kanak-kanak Pangeran Siddhattha
Ketika Pangeran Siddhattha menginjak usia kanak-kanak, Raja Suddhodana
mengajaknya ke perayaan membajak yang sudah menjadi tradisi Kerajaan Sakka.
Raja juga turut membajak bersama para petani dengan memakai alat bajak yang
terbuat dari emas. Perayaan berlangsung sangat menarik, sehingga para dayang
yang bertugas untuk menjaga Pangeran Siddhattha malah meninggalkannya. Di
sana, Pangeran kecil pun melihat satu fenomena kehidupan yang cukup
membuatnya heran. Di sana Pangeran melihat seekor cacing yang dimakan oleh
seeokor katak, kemudian katak itu dimangsa oleh seekor ular, dan kemudian ular
itu diterkam oleh seekor burung untuk kemudian dimakannya. Pangeran pun
tertegun dengan kejadian itu. Dalam benaknya, ia berpikir bahwa kebahagiaan di
kehidupan hanyalah sementara, karena kelak akan tiba saatnya menderita.
Pangeran juga merasa heran kenapa banyak makhluk yang harus menderita seperti
ini, dan terus menjalani kehidupan yang penuh dengan rasa ketakutan dan
kesenangan semu. Pangeran lalu merenungkannya di bawah pohon jambu pada
tengah hari saat itu. Ketika para dayang kembali, mereka terheran melihat
Pangeran Siddhattha sedang duduk bersila dan tidak menghiraukan sekelilingnya.
Mereka lantas melaporkan hal ini kepada Raja. Raja Suddhodana pun lekas
menengok putranya bersama semua orang di perayaan itu. Raja Suddhodana dan
orang-orang pun terheran ketika melihat Pangeran Siddhattha. Mereka juga
melihat keajaiban, dimana jatuhnya bayangan pohon jambu tidak mengikuti arah
sinar matahari, namun tetap memayungi Pangeran Siddhattha yang sedang
bermeditasi. Melihat kejadian ini, untuk kedua kalinya Raja Suddhodana memberi
hormat kepada anaknya.
Pangeran Siddhattha Kecil duduk bersila di bawah pohon jambu
Ketika Pangeran berusia tujuh tahun, Raja memerintahkan untuk membuat tiga
buah kolam di halaman istana untuk ditanami Bunga Teratai. Satu kolam ditanami
bunga teratai berwarna biru (Upalla), satu kolam ditanami bunga teratai berwarna
merah (Paduma), dan kolam lainnya dengan bunga teratai berwarna putih
(Pundarika). Raja juga memesan wewangian, pakaian, dan tutup kepala dari
Negeri Kasi, yang waktu itu merupakan negeri penghasil barang bermutu tinggi.
Pelayan-pelayan diperintahkan untuk melindungi Pangeran Siddhattha dengan
sebuah payung yang indah kemanapun Pangeran pergi, baik siang maupun malam
sebagai lambang keagungannya. Setelah usianya cukup, Pangeran Siddhattha pun
dibawa pada seorang guru bernama Visvamitta. Pangeran diberikan pelajaran
berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran Siddhattha dapat memahami semua
pelajaran dalam waktu yang singkat, sehingga tidak ada lagi yang dapat diajarkan
kepadanya.
Sejak kecil, Pangeran Siddhattha mempunyai rasa welas asih yang tinggi kepada
semua makhluk. Pangeran sering bermain di taman dan memberikan makanan
kepada berbagai jenis hewan. Pada suatu hari, Pangeran Siddhattha berjalan di
taman bersama dengan saudara sepupunya yang bernama Devadatta. Devadatta
melihat serombongan belibis terbang. Dengan segera ia mengambil busur dan
kemudian memanah ke serombongan belibis tersebut. Anak panahnya tepat
mengenai salah satu belibis itu. Pangeran Siddhattha kemudian langsung
menghampiri tempat belibis itu jatuh, dan kemudian dengan hati-hati mencabut
anak panah yang menancap di sayap belibis itu. Pangeran lalu meremas beberapa
lembar daun untuk mengobati belibis itu. Devadatta mendesak Pangeran
Siddhattha untuk menyerahkan belibis itu, namun Pangeran Siddhattha
menolaknya. Perkara ini kemudian dibawa ke tempat Dewan Para Bijaksana. Di
sana dibuat satu keputusan yang mengesahkan Pangeran Siddhattha berhak atas
belibis tersebut, karena atas dasar pemikiran bahwa hidup adalah milik orang yang
berusaha mempertahankannya, bukan milik orang yang berusaha
menghancurkannya.
Pangeran Siddhattha menyelamatkan seekor belibis yang dipanah oleh Devadatta
Pangeran Siddhattha menikmati kehidupan sebagai Putra Mahkota
Saat Pangeran berusia 16 tahun, Raja Suddhodana membangun tiga istana super
mewah untuk Pangeran Siddhattha. Satu istana untuk musim dingin (Ramma),
satu istana untuk musim panas (Suramma) dan satu istana untuk musim hujan
(Subha). Raja Suddhodana lalu mengirimkan undangan kepada para orangtua
yang mempunyai anak gadis untuk mengirimkan anak gadisnya ke pesta, dimana
Pangeran akan memilih seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun semua
orangtua itu tidak mempedulikannya. Mereka menganggap Pangeran Siddhattha
adalah seorang yang tidak mempunyai bakat kesenian maupun ilmu peperangan.
Sugesti itu menciptakan persepsi bahwa Pangeran Siddhattha mungkin kelak tidak
bisa melindungi istrinya. Ketika Pangeran mengetahui hal ini, Pangeran pun
memohon kepada Raja Suddhodana untuk mengadakan satu sayembara yang
mempertandingkan berbagai ilmu kesenian dan ilmu peperangan. Semua tamu
undangan yang sebelumnya pun dipanggil kembali; beserta semua anak laki-laki
dan pangeran-pangeran dari negeri lain, turut memeriahkan sayembara itu. Dalam
kontes bakat seni, ternyata Pangeran Siddhattha berhasil menujukkan bakat
seninya. Salah satunya adalah menciptakan pantun. Dalam berbagai ilmu
peperangan, misalnya menjinakkan kuda liar, menggunakan pedang, hingga
bertarung; Pangeran Siddhattha juga menunjukkan kehebatannya. Khusus dalam
menggunakan busur panah, Pangeran Siddhattha dipastikan menang telak. Semua
orang tidak bisa membentangkan busur tersebut, karena busur itu sangat besar dan
berat. Namun Pangeran Siddhattha dapat menggunakannya dan berhasil
melepaskan anak panah yang menembus batang Pohon Tala. Setelah
menunjukkan semua kehebatannya, semua hadirin sangat kagum pada Pangeran
Siddhattha. Di antara kurang lebih 40.000 gadis cantik, Pangeran Siddhattha
menjatuhkan pilihannya pada gadis yang bernama Yasodhara, yang merupakan
sepupunya (adik kandung Devadatta, anak dari Bibi Amita). Pada penutupan
acara, Devadatta mempertunjukkan kekuatannya dengan menantang seekor gajah
liar. Gajah jantan yang besar itu dibunuh Devadatta hanya dengan sekali pukul
dan sekali tendang. Pangeran Siddhattha sangat iba melihat hal ini. Kemudian ia
sendiri menyeret mayat gajah itu dengan kakinya sampai sejauh 8 yojana (1
yojana = 8 mil), untuk kemudian dikuburnya.
Pangeran Siddhattha memeragakan keterampilannya dalam seni memanah
Setelah Pangeran Siddhattha menikah dengan Putri Yasodhara, kekhawatiran Raja
Suddhodana menjadi berkurang. Dengan pernikahan ini, Raja berharap agar
Pangeran lebih diikatkan kepada hal-hal duniawi. Selanjutnya Raja masih harus
tetap menjaga Pangeran agar tidak melihat empat peristiwa, supaya Pangeran
kelak tidak akan pergi dari istana untuk bertapa. Sejak kecil sampai sekarang,
Pangeran tidak pernah diizinkan berjalan-jalan di kota yang penuh dengan
berbagai macam keadaan yang menderita. Setiap pengawal maupun dayang yang
sakit, maka dia harus diganti. Semua pengawal dan dayangnya adalah orang yang
muda dan kuat. Semua dinding istana dibuat menjadi lebih tinggi, dan setiap pintu
dijaga oleh pengawal kepercayaan Raja. Dengan demikian Pangeran Siddhattha
dan Putri Yasodhara terus memadu cinta mereka di tiga istana super mewah itu,
dan selalu dikelilingi para dayang dan para pengawal yang memberikan pelayanan
sebaik-baiknya. Dengan melakukan hal ini, Raja Suddhodana merasa puas dan
berharap kelak Pangeran Siddhattha akan menggantikan dirinya sebagai Raja
Negeri Sakka.
Pangeran Siddhattha melihat empat peristiwa
Meski dilimpahi banyak kemewahan, namun Pangeran Siddhattha tetap tidak puas
karena hidup terpisah dari dunia luar. Maka pada suatu hari Pangeran menghadap
Raja Suddhodana dan berkata:
“Ayahanda, perkenankanlah aku berjalan-jalan ke luar istana untuk melihat tata-
cara kehidupan penduduk yang kelak akan kupimpin.”
Karena permohonan ini wajar, maka Raja pun mengatakan:
“Baik, anakku. Engkau boleh keluar dari istana untuk melihat para penduduk
hidup di kota. Tapi aku harus membuat persiapan sehingga sesuatunya baik dan
dapat menerima kedatanganmu.”
Setelah itu Raja memerintahkan kepada seluruh rakyat untuk menghias kota.
Semua orang yang sakit dan lanjut usia diasingkan ke tempat tersembunyi. Setelah
semua siap, Raja pun mengizinkan Pangeran untuk keluar istana. Pangeran
Siddhattha keluar istana bersama dengan kuda kesayangannya yang bernama
Kanthaka, dan seorang teman sekaligus kusirnya yang bernama Channa. Ia
bahagia melihat kehidupan kota yang indah. Segalanya terlihat begitu
menyenangkan. Namun tiba-tiba muncul seorang lanjut usia yang menghampiri
mereka. Rambutnya berwarna putih, kulitnya kering dan berkeriput, matanya
sudah hampir buta, badannya kurus, pakaiannya compang-camping, giginya sudah
ompong, dan ia pun berjalan dengan badan terbungkuk dan kelihatan lemah
sekali. Orang tua itu meminta makan pada Pangeran. Namun karena Pangeran
sangat tercengang, maka Pangeran tidak bisa menjawab apa-apa. Ketika orang tua
itu pergi, Pangeran bertanya kepada Channa:
“Siapa itu, Channa? Dia pasti bukan manusia! Mengapa ia bungkuk sekali?
Mengapa badannya kurus dan gemetaran? Kenapa semua rambutnya putih, dan
bukan hitam seperti kita? Ada apa dengan matanya? Dan kemana semua giginya?
Jika benar dia seorang manusia, apa ada orang yang terlahir dalam keadaan seperti
tu?”
Channa pun menjawab :
“Saat masih muda, keadaan orang itu sama seperti kita. Namun karena ia sudah
tua sekali, maka kedaannya berubah menjadi seperti apa yang Tuanku lihat tadi.
Sebaiknya Tuanku melupakannya saja, karena semua orang pasti akan menjadi
tua. Hal itu tidak dapat dielakkan.”
Pangeran tertegun mendengar jawaban dari Channa. Mereka kemudian kembali ke
istana. Di istana, Pangeran kemudian merenungkan hal ini dengan saksama. Ia
tidak dapat menerima kenyataan hidup bahwa semua orang, tanpa memandang
status maupun latar belakang, pastilah akan menjadi tua. Malam itu ternyata
diadakan sebuah pesta besar di istana. Namun Pangeran tampak terdiam dan
memandang ke arah para penari yang cantik sambil berkata dalam hatinya:
“Suatu saat kalian semua akan menjadi tua dan kecantikanmu semua akan
memudar…”
Setelah pesta usai, Pangeran masuk ke kamar, dan pikiran itu masih melekat
dalam dirinya. Di sana Pangeran terus membayangkan bahwa semua orang akan
menjadi tua, dan menjadi buruk rupa. Usia tua, mungkin adalah hal yang biasa
bagi kebanyakan orang. Namun bagi Pangeran Siddhattha, kondisi ini sangatlah
mengerikan. Setelah persoalan ini diketahui Raja Suddhodana, Raja menjadi
cemas. Ia kemudian lebih sering mengadakan pesta besar dan selalu mengirimkan
dayang-dayang cantik untuk menghibur Pangeran Siddhattha.
Beberapa hari kemudian, Pangeran Siddhattha kembali memohon kepada Raja
Suddhodana agar diperkenankan melihat-lihat lagi kota Kapilavatthu, namun kali
ini tanpa terlebih dahulu mengumumkan hal ini pada penduduk. Raja
mengizinkannya dengan berat hati, karena dia tahu sudah tidak ada gunanya lagi
untuk melarang Pangeran. Pangeran Siddhattha dan Channa pergi dengan
berpakaian ala bangsawan agar tidak dikenal oleh penduduk sewaktu berada di
kota. Hari itu pemandangan kota berbeda dari sebelumnya. Tidak ada orang-orang
yang mengelu-elukan Pangeran Siddhattha, tidak ada bendera-bendera, bunga-
bunga, dan lainnya. Semua penduduk berpakaian biasa-biasa saja, dan tidak
banyak yang memakai pakaian yang bagus. Pangeran melihat semua orang sedang
sibuk bekerja. Ada seorang pandai besi yang tubuhnya berkeringat karena sedang
membuat pisau. Ada orang yang sedang mencelup pakaian sehingga
menghasilkan kain yang beraneka warna. Ada tukang kue yang sedang membuat
kue, hingga ada seorang penjual daging. Tiba-tiba Pangeran dikejutkan dengan
seorang yang sedang merintih-rintih sambil bergulingan di tanah. Tangan orang
itu terus memegangi perutnya. Di muka dan sekitar badannya terdapat bercak-
bercak berwarna ungu. Matanya lesu dan nafasnya terputus-putus. Untuk kedua
kalinya, Pangeran Siddhattha melihat hal yang membuat hatinya sedih.
Pangeran menghampiri orang itu, meletakkan kepala orang itu di pangkuannya,
kemudian bertanya dengan suara yang menghibur:
“Apa yang terjadi padamu? Mengapa engkau merintih-rintih?”
Orang itu tidak sanggup menjawab dan hanya menangis tersedu-sedu. Kemudian
Channa pun berkata kepada Pangeran Siddhattha:
“Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dan darahnya
beracun. Ia menderita demam pes sehingga seluruh tubuhnya terasa terbakar. Oleh
karena itu dia merintih-rintih dan tidak bisa berbicara.”
“Tapi, apa ada orang yang juga menderita penyakit seperti dia?”
“Ada, dan mungkin Tuanku adalah orang selanjutnya jika Tuanku berdekatan
dengannya selama ini. Mohon dengan sangat agar Tuanku meletakkannya
kembali, sebab sakit pes itu sangat menular.”
“Channa, masih adakah penyakit lain selain demam pes ini?”
“Ada, Tuanku. Ada ratusan penyakit lain yang bahkan lebih hebat dari sakit pes.”
“Apakah tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat
terserang penyakit? Apakah penyakit datangnya secara mendadak?”
“Benar, Tuanku. Semua makhluk dapat terserang penyakit. Penyakit itu datangnya
secara tak terduga. Ada penyakit yang bisa disembuhkan, namun ada beberapa
penyakit yang sepertinya tidak dapat disembuhkan, Tuanku.”
Mendengar penjelasan ini, hati Pangeran menjadi sedih sekali. Maka Pangeran
Siddhattha dan Channa akhirnya kembali ke istana. Di istana, Pangeran kembali
merenungkan hal ini. Kejadian ini membuat Raja menjadi sedih sekali. Beberapa
hari kemudian, Pangeran Siddhattha mohon kepada Raja untuk diperkenankan
kembali melihat-lihat Kapilavatthu. Raja pun menyetujuinya, karena dia tidak
ingin membuat Pangeran menjadi lebih sedih.
Ketika Pangeran Siddhattha dan Channa baru berjalan-jalan tidak terlalu jauh,
mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis mengikuti
sebuah usungan yang diangkat oleh empat orang. Di atas usungan itu berbaringlah
seseorang yang lanjut usia. Badannya kurus sekali dan nampak menderita
penyakit, namun ia tidak bergerak sama sekali. Usungan itu diletakkan di atas
tumpukkan kayu dekat tepi sungai yang kemudian api pun dinyalakan. Orang itu
diam saja dan tidak bergerak meskipun api telah membakar semua bagian
tubuhnya.
“Channa, ada apa dengan orang itu? Mengapa orang itu berbaring di sana dan
membiarkan dirinya dibakar oleh api?”
“Dia sudah tidak tahu apa-apa lagi, Tuanku. Orang itu sudah mati.”
“Mati?! Channa, jadi itu yang dinamakan mati? Kapan pastinya orang itu akan
mati? Apa semua orang pasti akan mati?”
“Benar, Tuanku. Semua makhluk pasti akan mati. Kapan pastinya itu tidak dapat
ditentukan, karena semua makhluk dapat mati kapan saja dan di mana saja.”
Kali ini Pangeran Siddhattha benar-benar tercengang. Ia tidak bisa berkata apa-
apa lagi. Hatinya hancur ketika membayangkan semua makhluk di dunia ini pasti
akan mati. Kemudian mereka kembali ke istana, dan Pangeran Siddhattha kembali
merenungkan persoalan ini. Pangeran bertekad untuk mencari obat agar semua
makhluk dapat menghindari usia tua, sakit dan mati.
Ketika Pangeran Siddhattha mengunjungi Kota Kapilavatthu untuk keempat
kalinya, Pangeran pergi beristirahat di bawah pohon jambu. Tiba-tiba Pangeran
Siddhattha melihat seorang petapa berjubah kuning datang menghampirinya.
Pangeran memberi salam pada petapa itu, kemudian menanyakan kegunaan dari
mangkuk yang dibawa oleh petapa itu. Petapa itu menjawab:
“Pangeran yang mulia, aku ini seorang petapa yang mengasingkan diri dari
keduniawian. Aku sedang berusaha mencari obat agar semua makhluk terhindar
dari usia tua, sakit dan mati. Mangkuk ini aku bawa untuk mengharapkan
kemurahan hati dari orang-orang yang mempunyai rasa cinta kasih. Selain dari
itu, aku tidak menginginkan benda-benda maupun hal lainnya di dunia ini yang
bersifat tidak kekal dan tidak memuaskan ini.”
Pangeran kaget karena petapa ini ternyata memiliki cita-cita yang sama dengan
dirinya.
“O, petapa suci, di manakah obat itu dapat ditemukan?”
“Pangeran yang mulia, aku mencari obat itu di dalam ketenangan dan kesunyian
hutan-hutan yang jauh dari keramaian dunia. Sekarang maafkan aku, karena aku
harus melanjutkan perjalanan. Pencerahan dan kebahagiaan bisa dicapai.”
Pangeran merasa bahagia sekali, dan berkata dalam hati:
“Aku juga harus menjadi petapa seperti dia.”
Pangeran Siddhattha melihat empat peristiwa
Ketika Pangeran sampai di depan istana, para dayang menyambutnya dan
memberitahukan bahwa Putri Yasodhara kini sudah melahirkan seorang bayi laki-
laki. Mendengar hal ini Pangeran sangat gembira. Namun sekilas kemudian
wajahnya menjadi pucat. Pangeran kemudian mengangkat kepalanya ke langit dan
berkata:
“Rahulajato, bandhanang jatang.”
Yang artinya
“Satu jeratan telah terlahir, satu ikatan telah terlahir.”
Karena itulah anak Pangeran Siddhattha dan Putri Yasodhara diberi nama Rahula
(rahula = jerat). Dalam perjalanannya kembali ke istana, Pangeran bertemu
dengan Kisa Gotami. Kisa Gotami sangat kagum pada Pangeran, dan ia pun
berkata :
“Nibbuta nuna sa mata,
Nibbuta nuna so pita,
Nibbuta nuna sa nari,
Yassa yang idiso pati.”
Yang artinya :
“Tenanglah ibunya,
Tenanglah ayahnya,
Tenanglah istrinya,
Yang mempunyai suami seperti Anda.”
Hati Pangeran tergetar mendengar kata “Nibbuta” yang berarti “tenang”
(padamnya semua nafsu) ini. Karena itulah Pangeran pun menghadiahkan sebuah
kalung emas yang sedang dipakainya kepada Kisa Gotami.
Pangeran Siddhattha meninggalkan istana
Untuk menyambut kelahiran cucunya, Raja Suddhodana mengadakan satu pesta
yang sangat mewah. Tapi Pangeran Siddhattha tampak terdiam dan tidak
berbahagia. Dengan berhati-hati Pangeran pun mendekati Raja, kemudian
memohon izin untuk mencari obat terhadap usia tua, sakit dan mati di pedalaman
hutan. Hal ini membuat Raja menjadi marah besar. Kemudian Pangeran
Siddhattha mengganti permohonannya menjadi suatu permintaan yang mustahil
bisa dilakukan oleh semua orang atau pribadi manapun.
“Ayahanda, kalau aku tidak diberikan izin, maka mohon kiranya Ayahanda
berkenan memberikan delapan macam anugerah kepadaku.”
“Tentu saja, anakku. Aku lebih baik turun tahta daripada tidak meluluskan
permintaanmu kali ini.”
“Kalau begitu, mohon Ayahanda memberikan kepadaku :
1. Anugerah supaya tidak menjadi tua.
2. Anugerah supaya tidak menderita penyakit.
3. Anugerah supaya tidak mati.
4. Anugerah supaya Ayahanda tetap bersamaku.
5. Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama dengan semua
kerabat dapat tetap bersamaku.
6. Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap berjaya seperti sekarang.
7. Anugerah supaya mereka yang hadir pada pesta kelahiranku dapat
memadamkan semua nafsu keinginannya.
8. Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua, sakit dan mati pada
semua makhluk.”
Mendengar pernyataan tersebut, Raja menjadi kaget dan kecewa. Raja kemudian
membujuk Pangeran Siddhattha dengan berkata:
“Anakku, usiaku sekarang sudah tua. Tunggu dan tangguhkan kepergianmu saja
setelah aku mangkat.”
“Ayahanda, relakan kepergianku justru sewaktu Ayahanda masih hidup. Aku
berjanji bila sudah berhasil, aku akan kembali ke Kapilavatthu untuk
mempersembahkan obat yang telah kutemukan ke hadapan Ayahanda.”
Perdebatan terus berlangsung, sampai Pangeran merasa frustasi dan pergi ke
kamarnya. Raja memerintahkan para dayang yang cantik untuk menyusul
Pangeran dan menghiburnya, agar Pangeran dapat melupakan niatnya itu.
Dayang-dayang cantik masuk ke kamar dan menghibur Pangeran Siddhattha.
Karena Pangeran kelelahan, maka dia pun terlelap di kamar itu. Para dayang pun
berhenti menghibur Pangeran dan ikut tertidur di kamar itu. Pada tengah malam,
Pangeran terbangun dan memandang ke sekelilingnya. Pangeran melihat para
dayang itu tergeletak dan tidur simpang-siur dalam berbagai posisi. Ada yang
terlentang, ada yang terkelungkup, ada yang mulutnya menganga, ada yang air
liurnya mengalir keluar, ada yang menggigau, dan masih banyak lagi. Pangeran
merasa dirinya berada di pekuburan sehingga membuatnya merasa jijik. Karena
hal itulah, maka Pangeran memutuskan untuk meninggalkan istana malam itu
juga. Pangeran memanggil Channa dan menyuruhnya untuk menyiapkan
Kanthaka. Pangeran kemudian pergi ke kamar Yasodhara untuk melihat anak dan
istrinya sebelum pergi untuk bertapa. Yasodhara sedang tidur nyenyak dan
memeluk Rahula. Wajah Rahula berpaling dan menghadap ke arah dekapan
ibunya, sehingga wajahnya tidak dapat terlihat. Pangeran ingin menggeser sedikit
sehingga wajah Rahula dapat terlihat. Namun hal itu diurungkan karena takut
kalau Yasodhara terbangun dan rencananya bisa gagal. Pangeran Siddhattha pun
berkata dalam hati:
“Biarlah malam ini aku tidak dapat melihat wajah anakku, tapi nanti setelah aku
berhasil mendapatkan obat itu, aku akan datang kembali dan dengan puas melihat
wajah anak dan istriku.”
Pangeran Siddhttha melihat istri dan anaknya yang sedang tertidur
Setelah itu Pangeran pun meninggalkan istana dengan menunggang Kanthaka
diikuti oleh Channa yang mengikuti dari belakang sambil memegangi ekor
Kanthaka. Pangeran Siddhattaha dengan mudah melewati semua penjaga pintu
gerbang dan gerbang kota, karena mereka semua sedang tertidur lelap. Setelah
sampai di luar perbatasan kota, Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya
untuk melihat Kota Kapilavatthu terakhir kalinya (di tempat itu, sekarang sudah
didirikan sebuah cetiya yang diberi nama Kanthakanivattana-cetiya). Kemudian
perjalanan dilanjutkan dengan melintasi perbatasan Negeri Sakka, Koliya dan
Malla hingga menyeberangi Sungai Anoma. Di sana Pangeran Siddhattha turun
dari kuda, melepaskan semua jubah dan perhiasannya untuk diserahkan kepada
Channa. Pangeran mencukur kumisnya, membersihkan tubuhnya dan memotong
rambutnya dengan pedang, dan kemudian pedang itu dilemparkan ke atas. Rambut
yang tersisa sepanjang dua anguli (dua jari), sekitar dua inchi. Rambut ini pun
tetap tak bertambah panjang sampai seumur hidup Pangeran Siddhattaha.
Kemudian Pangeran membawa 8 perlengkapan seorang bhikkhu yang sudah
dipersiapkan sebelumnya. 8 perlengkapan itu adalah jubah luar, jubah dalam, kain
bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum dan saringan air. Setelah
itu Pangeran menyuruh Channa untuk kembali istana.
Pangeran Siddhattha bersama Channa dan Kanthaka kabur dari istana
“Tidak ada gunanya hamba diam terus di istana tanpa Tuanku. Perkenankanlah
hamba ikut bersama Tuanku.”
“Jangan, Channa. Bawa semua pakaian dan perhiasan ini kembali dan berikan
kepada Ayahanda. Sampaikan pesan kepada Ayahanda, Yasodhara, Ibunda dan
semua orang untuk jangan terlalu bersusah hati. Aku pasti akan menemukan obat
yang dapat menghentikan usia tua, sakit dan mati. Setelah aku memperolehnya,
aku akan membagikannya kepada semua makhluk di dunia ini.”
Channa memberi hormat dan mohon diri untuk kembali ke istana. Tapi Kanthaka
tidak mau diajak pergi. Pangeran mendekati Kanthaka dan mengusap-usap dan
menepok-nepok lehernya dengan penuh rasa kasih sayang.
“Ayolah, Kanthaka. Ikutlah pulang bersama dengan Channa. Tunggulah sampai
aku berhasil menemukan obat itu. Aku pasti akan membaginya padamu.”
Kanthaka pun ikut dengan Channa, tapi baru berjalan tidak seberapa jauh,
Kanthaka berhenti dan menengok ke belakang untuk melihat Pangeran terakhir
kalinya. Kanthaka sedih sekali hingga air matanya pun mengalir membasahi
kedua matanya. Tidak lama kemudian, Kanthaka tiba-tiba terjatuh dan meninggal
dunia. Setelah meninggal dunia, Kanthaka pun terlahir di Alam Dewa Tusita.
Mengetahui bahwa Pangeran Siddhattha, Channa dan Kanthaka menghilang dari
istana, Raja Suddhodana mengutus semua pengawal pergi mencari mereka.
Kemudian ada sekelompok pengawal yang bertemu dengan Channa yang sedang
berjalan sendirian. Mereka membawa Channa pulang ke istana, dan kemudian
Channa menceritakan semuanya kepada Raja Suddhodana, Ratu Pajapai Gotami,
Putri Yasodhara dan seluruh anggota kerajaan.
Channa menyerahkan semua peninggalan Pangeran Siddhattha kepada Raja
Suddhodana dan menyampaikan salam perpisahannya kepada Ratu Pajapati,
Yasodhara dan seluruh anggota kerajaan. Channa juga memberitahukan bahwa
saat ini Pangeran Siddhattha sedang berada di tepi Sungai Anoma di Negeri
Malla. Meskipun Raja sangat kecewa, namun ia tahu bahwa kepergian Pangeran
Siddhattha ini sesuai dengan ramalan dari Petapa Asita dan Kondanna. Kini Raja
hanya bisa berharap-harap cemas agar Pangeran dapat berhasil menjadi Buddha.
Sejak saat itu, Raja menyuruh orang kepercayaannya untuk mengikuti dan
melaporkan setiap hal yang dikerjakan oleh Pangeran Siddhattha.
Pangeran Siddhattha memotong rambutnya sebagai tanda pelepasan duniawi
Bertapa di Hutan Uruvela
Dari tepi Sungai Anoma, Pangeran Siddhattha lalu pergi ke kebun mangga di
Anupiya dan berdiam di sana sampai tujuh hari. Suatu pagi Pangeran berjalan ke
arah Rajagaha untuk pindapata (berjalan dengan mangkuk dan menerima
pemberian makanan dari para penduduk). Di sana Pangeran (Petapa Gotama)
menolong sekawanan domba-domba yang akan disembelih oleh satu kelompok
aliran kepercayaan di Pandavapabbata. Pangeran lalu menjelaskan betapa hal itu
adalah kesia-siaan, dan akhirnya penyembelihan domba itu pun tidak sampai
terjadi. Raja Bimbisara terkesima dengan kebijaksanaan Petapa Gotama. Raja
Bimbisara pun mengundang Petapa Gotama untuk tinggal di kerajaannya dan
membabarkan ajarannya kepada banyak orang. Tetapi Petapa Gotama menolaknya
dan menjawab:
“Terima kasih banyak, Baginda. Aku sangat mencintai orang tuaku, istriku,
anakku, Anda sendiri, dan semua makhluk di dunia ini. Aku belum mencapai
Pencerahan Sempurna. Aku hendak mencari obat untuk menghentikan usia tua,
sakit dan mati. Karena itulah aku masih ingin melanjutkan perjalananku.”
Raja Bimbisara kemudian menjawab:
“Kalau itu menjadi keputusanmu, aku juga tidak akan memaksa. Tapi berjanjilah
bila Anda sudah mendapatkan obat itu, maka jangan lupa untuk mengunjungi
Rajagaha kembali.”
Dan Petapa Siddhattha mengiyakan permintaan Raja Bimbisara itu:
“Baiklah, Baginda, aku berjanji.”
Dari Rajagaha, Petapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan sampai di
tempat Petapa Alara Kalama. Di tempat ini Petapa Gotama berguru pada Petapa
Alara Kalama. Petapa Gotama diajari tentang cara-cara bermeditasi dan
pengertian tentang Hukum Kamma dan konsep Tumimbal Lahir (proses
penerusan kehidupan). Dalam waktu yang singkat, ia sudah menyamai kepandaian
gurunya. Petapa Gotama merasa semua pengetahuan yang diajarkan gurunya ini
masih belum bisa mengakhiri usia tua, sakit dan mati. Maka Petapa Gotama pun
mohon diri dan melanjutkan pengembaraannya. Di tempat lain, Pertapa Gotama
bertemu dengan Pertapa Uddaka Ramaputta dan ia pun melatih diri bersamanya.
Uddaka Ramaputta terkenal sebagai petapa yang hebat di zaman itu. Di sana
Petapa Gotama dan Petapa Uddaka Ramaputta mengembangkan cara bermeditasi
yang paling tinggi sehingga dapat mencapai keadaan “bukan-pencerapan dan
bukan bukan-pencerapan”. Dalam waktu yang singkat, Petapa Gotama berhasil
mencapai tingkat kemampuan yang tinggi. Karena itu Petapa Gotama diminta
untuk menjadi mitra dan membantu untuk mengajarkan semua ilmunya kepada
murid-murid Uddaka Ramaputta yang banyak sekali. Karena semua pengetahuan
yang ia miliki sekarang masih juga belum berhasil mengakhiri usia tua, sakit dan
mati, maka Petapa Gotama pun mohon diri dan kembali meneruskan
pengembaraannya.
Petapa Gotama mendapat bimbingan dari Petapa Alara Kalama
Petapa Gotama kemudian sampai di Senanigama, di Uruvela. Di tempat ini Petapa
Gotama bertemu dengan 5 orang petapa lain yang bernama Bhaddiya, Vappa,
Mahanama, Assaji dan Kondanna. Mereka menerapkan cara ekstrim agar dapat
mengendalikan batin dan kesadaran mereka, yang mereka percaya dapat
menyelami kebenaran sejati guna menemukan cara menghindari usia tua, sakit
dan mati. Mereka berlima bersama Petapa Gotama berlatih dengan menyiksa diri.
Petapa Gotama melaksanakan latihan dengan cara yang paling ekstrim di antara
mereka semua. Petapa Gotama menjemur dirinya di bawah terik matahari pada
hari siang, dan pada waktu tengah malam ia berendam di sungai dalam waktu
yang sangat lama. Ia juga merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit
mulutnya sehingga keringat mengucur di seluruh tubuhnya. Dengan sakit yang
demikian hebatnya, Petapa Gotama berusaha agar batinnya tidak melekat, selalu
waspada, tenang serta fokus. Setelah beberapa lama, Petapa Gotama kemudian
menahan nafasnya sampai nafasnya tidak lagi keluar dari hidung atau mulut,
namun keluar sedikit demi sedikt dari lubang telinga sehingga mengeluarkan
suara yang mendesis. Petapa Gotama juga berpuasa dengan mengurangi
makanannya dari hari ke hari, hingga hanya memakan sebutir nasi dalam waktu
satu hari. Karena hal inilah maka kesehatan tubuhnya sangat memburuk.
Badannya kurus sekali. Saking kurusnya, bahkan jika perut bagian depan ditekan
dengan jari tangan, maka bagian punggung bawah pun akan muncul tonjolan
akibat dari bagian perut depan yang ditekan tersebut. Kulit dan dagingnya sudah
tersisa sedikit sekali. Ia bagaikan tengkorak hidup. Warna kulitnya berubah
menjadi gelap kehitam-hitaman dan banyak rambutnya yang rontok. Ia juga tidak
sanggup berdiri karena kakinya sangat lemah. Hal ini diketahui oleh orang
kepercayaan Raja Suddhodana yang kemudian melaporkannya kepada Raja. Raja
dan seluruh anggota istana menangisi keadaan Petapa Gotama. Namun mereka
tidak bisa berbuat apa-apa selain berharap agar Petapa Gotama dapat dengan
segera menjadi Buddha.
Petapa Gotama menerapkan latihan ekstrim sehingga kesehatan tubuhnya
memburuk
Petapa Gotama pun berpikir jika cara yang ia terapkan sekarang adalah tidak
benar. Ia merasa bahwa untuk melatih diri agar batin tidak lagi melekat dan selalu
waspada pada setiap saat tidak harus dilakukan dengan cara seperti ini. Petapa
Gotama pun mandi di sungai, kemudian berjalan dengan tertatih-tatih ke
gubuknya untuk beristirahat. Namun ketika berjalan tidak seberapa jauh dari
sungai, Petapa Gotama jatuh pingsan. Pada waktu itu ada seorang anak
penggembala kambing bernama Nanda yang menemukannya. Ia kemudian
memberi air susu kambing kepada Petapa Gotama sehingga dia pun menjadi
siuman kembali. Petapa Gotama selalu dirawat oleh Nanda dan diberikan berbagai
makanan bergizi sehingga perlahan pun kesehatannya pulih kembali. Hal ini
diketahui oleh lima orang petapa yang lain. Mereka menganggap Petapa Gotama
sudah gagal, maka mereka pergi meninggalkannya dan pergi ke Taman Rusa di
Benares.
Saat kesehatan Petapa Gotama sudah pulih, ia kembali melakukan pertapaannya.
Petapa Gotama merenungkan tentang cara-caranya selama ini, dan berusaha untuk
mencari jalan yang benar agar dapat menemukan cara menghindari usia tua, sakit
dan mati. Ketika ia sedang merenungkan hal ini, lewatlah serombongan penari
ronggeng yang berjalan sambil berbincang-bincang. Salah satu dari penari
ronggeng itu kemudian berkata:
“Kalau kecapi dipetik terlalu keras, maka talinya akan putus sehingga lagunya
hilang. Kalau dipetik terlalu lemah, maka suaranya tidak akan harmonis. Orang
yang dapat memainkan kecapi dengan baik adalah orang yang dapat memetik
kecapi dengan tepat, sehingga lagunya harmonis.”
Petapa Gotama mendapat inspirasi setelah mendengar pembicaraan
serombongan penari ronggeng
Mendengar ucapan salah satu penari ronggeng itu, Petapa Gotama mendapatkan
pencerahan situasional. Ia kemudian menemukan jalan yang akan diterapkan guna
mencapai Penerangan Agung atau Pencerhana Sempurna. Kemudian Petapa
Gotama pun menggunakan jalan tengah yang ia temukan untuk mencapai
Pencerahan Sempurna itu.
Di dekat tempat itu tinggallah seorang wanita muda kaya-raya yang bernama
Sujata. Sujata ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena permohonannya
untuk mendapatkan anak laki-laki dapat tercapai. Hari itu Sujata mengutus
pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah pohon tersebut. Sujata
pun kaget ketika pelayannya datang kembali dengan tergesa-gesa dengan
memberitahukan bahwa dewa pohon itu saat ini muncul. Mendengar hal ini Sujata
gembira sekali. Sujata dengan menggendong bayinya kemudian bersama pelayan-
pelayannya membawa berbagai masakan yang lezat untuk pergi ke tempat pohon
itu. Sujata melihat dewa pohon itu sedang bermeditasi dan kelihatannya sangat
agung. Ia tidak tahu bahwa orang yang dia anggap sebagai dewa pohon itu adalah
Petapa Gotama. Kemudian Sujata dengan hati-hati mempersembahkan semua
makanan kepada Petapa Gotama, yang dikiranya sebagai dewa pohon. Petapa
Gotama menerima persembahan itu, dan setelah habis menyantapnya ia pun
bertanya:
“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”
“Tuanku yang agung, makanan ini aku persembahkan sebagai ucapan terima
kasihku karena Tuanku telah mengabulkan permohonanku untuk mendapatkan
anak laki-laki.”
Kemudian Pertapa Gotama menengok ke arah bayi itu dan meletakkan tangannya
di dahi bayi itu. Petapa Gotama pun berkata:
“Semoga hidupmu selalu diliputi berkah dan keberuntungan. Aku bukanlah dewa
pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi seorang petapa
untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada
semua makhluk yang berada dalam jalan kegelapan. Aku yakin dalam waktu
dekat aku akan memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini, persembahan
makananmu telah banyak membantu, karena sekarang badanku menjadi kuat dan
segar kembali. Karena itulah, maka engkau pasti akan mendapatkan berkah yang
sangat besar akibat persembahanmu ini. Tetapi, adikku yang baik, apakah engkau
sekarang bahagia dan semua kehidupanmu sudah terpuaskan dari segala sisinya?”
“Tuanku yang agung, aku tidak menuntut banyak di kehidupan ini. Sedikit tetesan
air hujan sudah cukup untuk memenuhi mangkuk Bunga Lily, meskipun belum
cukup untuk membuat tanah menjadi basah. Aku sudah puas dapat hidup bersama
dengan suamiku dan membesarkan anak ini. Setiap hari dengan senang aku
mengurusi semua pekerjaan rumah tangga, memberi sesajen kepada para dewata,
serta tidak lupa kami sekeluarga selalu berbuat baik dan menolong orang yang
memang membutuhkan pertolongan. Kami sekeluarga tahu bahwa keberuntungan
selalu datang dari perbuatan baik, dan kemalangan selalu datang dari perbuatan
jahat. Oleh karena itulah, apa yang musti kami sekeluarga takuti meski tiba
saatnya kematian datang nanti?”
“Kau sudah memberikan penjelasan sederhana yang mengandung saripati
kebajikan sangat tinggi di dalamnya. Meski kau tidak mempelajari semua segi
dunia ini, namun kau dan sekeluargamu tahu jalan kebenaran dan menyebarkan
keharuman sampai ke semua pelosok. Sebagaimana engkau sudah mendapatkan
kepuasan, maka semoga aku pun juga akan mendapatkan apa yang aku cari.”
“Semoga Tuanku yang agung berhasil mencapai apa yang Tuanku cari selama
ini.”
Petapa Gotama pun melanjutkan perjalanannya dengan membawa mangkuk
kosong. Di tepi sungai Neranjara, Petapa Gotama mengucapkan tekadnya
(adhitthana) dalam hati:
“Jika memang jalan yang aku jalani ini benar dan akan membawaku pada
Pencerahan Sempurna, biarlah mangkuk ini mengalir melawan arus sungai.”
Satu keajaiban pun terjadi, karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.
Hal ini membuat Petapa Gotama mendapatkan semangat baru dan kepercayaan
yang sangat tinggi.
Petapa Gotama menerima persembahan makanan dari Sujata
Petapa Gotama mencapai Pencerahan Sempurna (Penerangan Agung)
Petapa Gotama melanjutkan perjalanannya, dan pada sore hari akhirnya ia tiba di
Gaya. Ia memilih untuk bermeditasi di bawah Pohon Bodhi. Kemudian ia
menyiapkan tempat di sebelah timur pohon itu dengan rumput kering yang
diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Ia kemudian bertekad dan
berkata dalam hati:
“Dengan disaksikan oleh Bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-
tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak
bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Pencerahan Sempurna dan
merealisasi Nibbana.”
Sotthiya mempersembahkan rumput kering untuk digunakan sebagai alas
bermeditasi bagi Petapa Gotama
Kemudian Petapa Gotama melaksanakan meditasi anapanasati, yaitu meditasi
dengan menggunakan objek keluar-masuknya nafas. Tidak lama kemudian, semua
pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya. Muncullah semua pikiran
akan keinginan pada benda-benda dan hal-hal duniawi yang dapat memuaskan
nafsu, tidak menyukai penghidupan yang suci dan bersih, perasaan lapar dan haus
yang luar biasa, rasa malas dan ketidakinginan berbuat apa-apa, rasa kantuk yang
berat, takut terhadap makhluk-makhluk halus dan gangguan dari hewan-hewan di
hutan, gelisah, goyah saat merasakan perubahan kondisi dan cuaca di lingkungan
hutan, keragu-raguan terhadap Dhamma, kebodohan (ketidaktahuan), keras
kepala, keserakahan, keinginan untuk dipuji dan kesombongan serta memandang
rendah orang lain. Semua pikiran tidak baik itu mucul bersama dan datang silih-
berganti. Dengan ketenangan dan kesabaran yang luar biasa, Petapa Gotama
berusaha agar tidak terhanyut dalam pikiran tersebut. Namun ia berusaha tetap
memandangnya dengan kesadaran penuh sebagai sesuatu yang muncul dan lenyap
karena ada sebab dan akibat di dalamnya. Petapa Gotama terus menyelami semua
gejolak ini. Petapa Gotama pun memberantas sikap-sikap tidak baik yang
merintangi Pembebasan, yaitu:
Kerinduan terhadap duniawi (Kamachanda-Nivarana)
Itikad- itikad jahat (Vyapada-Nivarana)
Kemalasan dan kelambanan (Thinamiddha-Nivarana)
Kegelisahan dan kekhawatiran (Uddhacca-Kukkucca-Nivarana)
Keragu-raguan (Vicikiccha-Nivarana)
Ketika Petapa Gotama berhasil menyingkirkan kelima rintangan ini, maka
timbullah kegembiraan. Karena gembira maka timbullah kegiuran (piti). Karena
batin tergiur, maka seluruh tubuh terasa nyaman, kemudian Petapa Gotama
merasa bahagia. Karena bahagia maka pikirannya menjadi terpusat. Lalu setelah
terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik,
maka Petapa Gotama masuk dan berdiam dalam jhana pertama; suatu keadaan
batin yang tergiur dan bahagia (piti-sukha), yang timbul dari kebebasan, yang
masih disertai vitakka (pengarah pikiran pada objek) dan vicara (mempertahankan
pikiran pada objek). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, dan diresapi serta
diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari “kebebasan”.
Setelah membebaskan diri dari vitakka dan vicara, Petapa Gotama memasuki dan
berdiam dalam jhana kedua; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang
timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan vitakka dan vicara,
keadaan batin yang memusat. Semua bagian dari tubuhnya diliputi oleh perasaan
tergiur dan bahagia yang timbul dari “konsetrasi”. Petapa Gotama telah
membebaskan dirinya dari perasaan tergiur, lalu berdiam dalam keadaan yang
seimbang dan disertai dengan perhatian murni dan kewaspadaan yang jelas.
Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang dikatakan oleh Para Arya
sebagai “kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang batinnya seimbang dan
penuh perhatian murni”. Petapa Gotama kemudian memasuki dan berdiam dalam
jhana ketiga. Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan
perasaaan bahagia yang tanpa disertai perasaan tergiur. Dengan menyingkirkan
perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan menghilangkan perasaan-perasaan
senang dan tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, Petapa Gotama
kemudian memasuki dan berdiam dalam jhana keempat; yaitu suatu keadaan yang
benar-benar seimbang, yang memiliki perhatian murni (sati parisuddhi).
Demikian Petapa Gotama bermeditasi di sana, memenuhi seluruh tubuhnya
dengan perasaan batin yang bersih dan jernih.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, bebas dari nafsu, bebas dari noda,
lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama
menggunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang yang timbul dari
pengetahuan (nana-dassana). Maka Petapa Gotama pun mengerti: “Tubuhku ini
mempunyai bentuk, terdiri atas 4 unsur pokok (unsur padat, cair, api dan angin),
berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus-
menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran
dan kematian; tidak memuaskan; dan karena sifatnya tidak kekal dan tidak
memuaskan; maka tidak layak disebut sebagai 'aku' atau 'milikku'. Begitu pula
dengan kesadaran (vinnana) yang berkaitan dengannya. Dengan pikiran yang
telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk
digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan
dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan “tubuh-ciptaan-batin” (mano-maya-
kaya), yang memiliki bentuk, memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh
lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apapun. Dengan pikiran yang telah
terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk
digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan
dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk iddhi (kesaktiaan - yang
dilandasi oleh kemampuan batin).
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari
noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa
Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-
kemampuan dibbasota (Telinga Dewa). Dengan kemampuan-kemampuan
dibbasota yang jernih, yang melebihi telinga manusia, Petapa Gotama
mendengarkan suara manusia dan dewa dan semua makhluk, yang jauh maupun
yang dekat. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu,
bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat
digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya
pada ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan
menembus pikirannya sendiri, Petapa Gotama pun mengetahui pikiran-pikiran
makhluk lain.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari
noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa
Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan
tentang pubbenivasanussatinana (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau).
Petapa Gotama melihat dengan terang tentang semua kelahiran-kelahirannya
terdahulu, tanpa ada yang terlewatkan sedikit pun. Kejadian ini terjadi pada waktu
jaga pertama, yaitu antara pukul 18.00-22.00. Dengan pikiran yang telah terpusat,
bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan,
teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan
mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya
makhluk-makhluk (cutupapata-nana) sesuai dengan tumpukan kamma mereka
masing-masing. Dan dengan kemampuan dibbacakkhunana (Mata Dewa) yang
jernih, melebihi mata manusia, Petapa Gotama melihat bagaimana setelah
makhluk-makhluk berlalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain;
rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana
makhluk-makhluk itu muncul dan terlahir sesuai dengan perbuatan-perbuatannya.
Kejadian ini terjadi pada waktu jaga kedua pada pukul 22.00-02.00.
Petapa Gotama mengingat kehidupan-kehidupan lampaunya
Pada waktu jaga ketiga yaitu antara pukul 02.00-04.00, dengan pikiran yang telah
terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk
digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan
dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda
batin (asavakkhayanana)… Petapa Gotama mengetahui sebagaimana adanya
“Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya penderitaan”. Dengan mengetahui dan
melihat demikian, maka pikirannya terbebaskan dari noda-noda nafsu (kamasava),
noda-noda pewujudan (bhavasava), noda-noda ketidaktahuan (avijjasava).
Dengan terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya.
Dan ia pun mengetahui: “Berakhirlah kelahiran kembali, terjalanilah kehidupan
suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan setelah ini.”
Tidak ada unsur yang melekat lagi di batinnya. Petapa Gotama telah mencapai
Pencerahan Sempurna dan merealisasi Nibbana. Dan dengan disaksikan oleh
Bumi, Petapa Gotama pun akhirnya sukses menjadi Buddha (Yang Tercerahkan).
Dengan usaha sendiri hingga akhirnya sukses mencapai Pencerahan Sempurna,
dan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengajarkan Dhamma kepada
orang lain guna mencapai Pencerahan, maka Petapa Gotama pun disebut sebagai
Sammasambuddha Gotama. Dengan wajah berseri dan batin yang sangat damai,
Petapa Gotama kemudian mengeluarkan pekik kemenangan:
“Anekajati samsaram
Sandhavissam anibbissam
Gahakarakam gavesanto
Dukkha jati punappunam
Gahakaraka! Dittho’si
Punageham na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutam vismakhitam
Vismakharagatam cittam
Tanhanam khayamajjhaga.”
Yang artinya
“Dengan letih Aku mencari "pembuat rumah" ini
Berlari-berputar dalam lingkaran tumimbal lahir
Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada akhir
Pembuat rumah! Sekarang telah Ku-ketahui
Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
Semua atapmu telah Ku-robohkan
Semua fondasimu telah Ku-bongkar
Batin-Ku sekarang mencapai keadaan terbebas
Dan berakhirlah semua nafsu keinginan.”
Kemudian secara tiba-tiba terjadilah sebuah gempa bumi. Sebuah gempa bumi
dashyat yang berlangsung dalam waktu yang singkat. Para Dewa dari berbagai
alam datang dan bersuka-ria atas keberhasilan Petapa Gotama menjadi Buddha.
Demikianlah Pengeran Siddhattha akhirnya berhasil menjadi Buddha pada usia 35
tahun di Bulan Vaisak pada tahun 588 SM.
Petapa Gotama mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Sammasambuddha
Tujuh minggu setelah Penerangan Agung
Selama minggu pertama, Sang Buddha duduk bermeditasi di bawah Pohon Bodhi
dan menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari
semua nafsu-keinginan dan kemelekatan; sehingga batinnya menjadi sangat
damai. Pada minggu kedua, Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari Pohon Bodhi
dan memandanginya terus-menerus tanpa berkedip selama satu minggu penuh,
sebagai cetusan rasa terima kasih. Selama minggu ketiga, Sang Buddha berjalan
mondar-mandir di atas jembatan emas yang diciptakan-Nya di udara; karena
melalui Mata Dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa banyak sekali Dewa
yang masih meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Pencerahan
Sempurna. Selama minggu keempat, Sang Buddha berdiam di kamar batu permata
yang diciptakan-Nya. Di kamar itu Sang Buddha bermeditasi dan
menyelami abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu psikologi dan metafisika
batin. Batin-Nya sedemikian bersih sehingga seluruh tubuh-Nya mengeluarkan
kilauan cahaya biru, kuning, merah, putih dan jingga. Selama minggu kelima,
Sang Buddha bermeditasi di bawah Pohon Ajapala Nigrodha (Pohon Beringin),
yang letaknya tidak jauh dari Pohon Bodhi. Pada minggu keenam, Sang Buddha
bermeditasi di bawah Pohon Mucalinda. Karena hujan lebat turun, tiba-tiba
datanglah seekor ular kobra yang besar sekali dan melilitkan badannya tujuh kali
memutari dan memayungi Sang Buddha dengan kepalanya. Ketika hujan berhenti,
ular kobra itu berubah menjadi seorang anak muda. Kemudian Sang Buddha
berkata:
“Berbahagialah mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang bisa
mendengar dan melihat kebenaran. Berbahagialah mereka yang bisa bersimpati
pada makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah mereka yang dapat hidup
dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi nafsu-keinginan. Lenyapnya
"ikatan tentang keberadaan aku" merupakan berkah tertinggi.”
Sang Buddha dan ular kobra
Pada minggu ketujuh, Sang Buddha bermeditasi di bawah Pohon Rajayatana.
Pada hari ke-50, dua orang pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha yang
sedang bermeditasi pada pagi hari. Mereka bernama Tapussa dan Bhalika. Setelah
berpuasa selama tujuh minggu, akhirnya Sang Buddha mendapatkan persembahan
makanan dari mereka berdua yang berupa beras dan madu. Persembahan dari
mereka sangat banyak. Karena sudah menjadi tradisi bagi sejak dari Para Buddha
terdahulu untuk tidak menerima persembahan makanan dengan kedua tangan,
maka dengan kesaktian-Nya, Sang Buddha menerima semua persembahan
makanan tersebut dalam satu mangkuk. Setelah Sang Buddha selesai makan,
Tapussa dan Bhalika memohon agar diterima sebagai pengikut awam. Mereka pun
diterima sebagai upasaka-upasaka (orang yang mengikuti Ajaran Buddha dan
masih hidup sebagai perumah tangga) pertama yang berlindung pada Dviratna
(Sang Buddha dan Dhamma). Kemudian mereka meminta sesuatu benda pada
Sang Buddha, agar dapat mereka bawa pulang. Sang Buddha kemudian
memberikan beberapa helai rambut (kesa dhatu = relik rambut). Mereka berdua
menerimanya dengan gembira, dan mereka pun mendirikan sebuah pagoda di
dekat tempat tinggal mereka untuk menyimpan kesa dhatu tersebut.
Setelah Tapussa dan Bhalika pergi, Sang Buddha merenungkan apakah Dhamma
yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak. Sebelum
mencapai Pencerahan Sempurna, Beliau memang berkehendak untuk
membagikan “obat suci” itu kepada semua makhluk di dunia. Namun Sang
Buddha masih menimbang-nimbang perihal ini. sebab Dhamma itu sangat dalam
dan sulit dimengerti, sehingga bisa mengakibatkan munculnya pemahaman keliru
ataupun menjadi satu pembabaran yang tidak dapat diterima oleh dunia.
Kemudian Sang Buddha melihat ke kolam bunga teratai yang berada di dekat-
Nya. Bunga teratai itu tumbuh di kolam yang kotor, namun ia sama sekali tidak
terjerat ke dalam kolam itu. Memang ada bunga teratai yang masih berada di dasar
kolam, ada juga yang masih berada di permukaan air kolam, namun ada juga yang
menjulang tinggi di atas permukaan air kolam. Begitu juga pada batin semua
makhluk di dunia ini. Ada yang masih tenggelam di kekotoran duniawi, ada juga
yang dapat melihat cahaya terang di atas permukaan kolam keduniawian, namun
ada yang mampu lepas sama sekali dari semua kekotoran duniawi. Atas dasar
inilah maka Sang Buddha memutuskan untuk membabarkan Ajaran-Nya kepada
khalayak ramai, dan dengan bertekad bahwa Beliau baru akan Parinibbana
(mangkat) setelah Ajaran-Nya diterima dan disukai khalayak ramai. Sang Buddha
juga tidak ingin melakukan hal ekstrim dalam rencana pembabaran Ajaran-Nya.
Beliau tidak ingin memaksa semua orang mendengarkan Dhamma. Beliau hanya
akan mencari orang-orang yang memang mampu untuk mendengar, melihat dan
mempraktikkan Dhamma. Hanya orang yang memiliki sedikit debu di matanya
yang bisa melihat Dhamma.
Perhatian Sang Buddha pertama kali ditujukan kepada Alara Kalama. Namun
karena melalui kemampuan batin-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa
seminggu yang lalu Petapa Alara Kalama sudah meninggal dunia. Kemudian
perhatian selanjutnya ditujukan kepada Uddaka Ramaputta, namun Sang Buddha
juga mengetahui bahwa Petapa Uddaka Ramaputta baru saja meninggal dunia
pada kemarin malam. Karena itulah Sang Buddha menujukan perhatian-Nya pada
kelima orang petapa yang pernah bertapa bersama-Nya dahulu.
Sang Buddha berangkat menuju Taman Rusa Isipathana di Benares. Dalam
perjalanan menuju Sungai Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang Petapa
Ajivaka bernama Upaka. Karena terpesona melihat keagungan Sang Buddha,
Upaka pun bertanya:
“Siapakah Anda? Dan siapa guru Anda?”
Sang Buddha menjawab: “Saya adalah Orang Yang Maha Tahu, dan saya tidak
mempunyai guru.”